PENGARUH KELEKATAN ORANG TUA-ANAK DAN GURU-ANAK TERHADAP PEMBENTUKAN SELF ESTEEM ANAK DI SEKOLAH DASAR PROGRESIF DAN KONVENSIONAL
DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap Pembentukan Self Esteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan Konvensional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Dian Anggraeni Tri Astuti NIM I251100141
RINGKASAN DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI. Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap Pembentukan Self Esteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan Konvensional. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan MELLY LATIFAH. Self esteem (harga diri) merupakan kemampuan anak dalam mengevaluasi dan menghargai diri dan mengindikasikan sejauh mana seseorang tersebut percaya bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan berharga. Self esteem tinggi dicirikan dengan kepercayaan diri dan keaktifan anak dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kelekatan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembentukan self esteem anak. Hubungan tersebut dicirikan dengan kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan anak, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak, akan mempengaruhi hubungan dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu kelekatan anak dengan guru akan membantu anak membangun self esteemnya. Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kelekatan orang tua dengan anak dan guru dengan anak terhadap pembentukan self esteem anak usia sekolah dasar pada sekolah progresif dan konvensional. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Tempat penelitian dipilih secara purposive, terdiri atas 5 sekolah. Sekolah dasar yang terlibat dalam penelitian ini merupakan sekolah progresif atau konvensional yang memiliki kesamaan dalam fasilitas fisik sekolah. Lokasi penelitan dipilih berdasarkan rekomendasi Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kota Depok. Contoh penelitian adalah keluarga siswa kelas 4 dan 5 yang dipilih secara acak sebanyak 30 keluarga dari setiap sekolah sehingga total contoh sebanyak 150 keluarga. Data dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang diisi siswa atas bimbingan peneliti. Kuesioner tersebut adalah Parental Bonding Instrument (PBI) untuk data kelekatan orang tua anak, The Student – Instructor Relationship (SIRS) untuk data kelekatan guru-anak, dan Self-Esteem Inventory (SEI) untuk mengukur selfesteem. Pengolahan data meliputi pengeditan, pengkodean, entry data, pengecekan data, dan selanjutnya dianalisis secara statistika deskriptif dan analisis statistika inferensial. Analisis statistika inferensial yang digunakan adalah uji korelasi Spearman, Pearson, Chi Square, dan uji beda t-test, serta uji regresi linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak dari kedua tipe sekolah memiliki self esteem yang cukup tinggi. Kelekatan ibu maupun ayah dari kedua tipe sekolah menunjukkan bahwa kelekatan care lebih tinggi daripada kelekatan overprotection, sedangkan kelekatan ibu overprotection dari sekolah konvensional lebih tinggi daripada sekolah progresif. Kelekatan connectedness yang terbentuk antara guru dengan anak lebih tinggi daripada kelekatan anxiety. Antara kedua tipe sekolah menunjukkan hal yang sama. Dari hasil uji hubungan ditemukan bahwa adanya hubungan yang positif antara kelekatan care pada orang tua-anak dengan self esteem yang tinggi, dan hubungan negatif antara kelekatan overprotection pada orang tua-anak dengan self esteem yang rendah, baik di sekolah progresif maupun konvensional. Ditemukan juga bahwa terdapat hubungan yang positif antara kelekatan connectedness pada guru-anak dengan tingginya self esteem anak, serta hubungan yang negatif antara kelekatan anxiety pada guru-anak dengan rendahnya self esteem, Hal ini terjadi
pada kedua tipe sekolah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kelekatan orang tua-anak berhubungan dengan kelekatan guru-anak. Semakin orang tua care terhadap anaknya, maka anak semakin mampu membangun kelekatan connectedness dengan gurunya. Sebaliknya semakin orang tua overprotection terhadap anaknya, maka anak juga semakin anxiety dengan gurunya. Secara umum self esteem anak dipengaruhi oleh kelekatan. Semakin tinggi kelekatan anxiety guru dengan anak, maka semakin rendah self esteem anak. Kelekatan dengan ibu yang care mempengaruhi tingginya self esteem anak dan kelekatan ibu yang overprotection, mempengaruhi semakin rendahnya self esteem anak. Tipe sekolah tidak mempunyai pengaruh dalam pembentukan self esteem anak. Kata kunci: kelekatan orang tua-anak, kelekatan guru-anak, self esteem, sekolah progresif, sekolah konvensional
SUMMARY DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI. Influence of Parent-Child Attachment and Teacher-Student Attachment to Build Self Esteem in Progressive and Conventional School. Advisor: DWI HASTUTI and MELLY LATIFAH. Self esteem is one’s ability to evaluate him/herself with the award for him/herself and indicates the extent to which a person believes that he/she is capable, meaningful, successful, and worthwhile. High self esteem is characterized by self-confidence and liveliness of children in socializing with the environment. A factor that affects the process of building self esteem is the relationship between parents and children. The relationship is described by mother's sensitivity to respond to signals that the child gives. The immediate or delay respond and, right or wrong respond will affect the relationship in the long term, it is referred to as attachment. The attachment between teacher and student was also expected to influence child’s self esteem. In general, this study was aimed to analyze the influence of the parentchild attachment and teacher-student attachment in building school-age students’ self esteem. This was cross-sectional study, consisting of 5 elementary schools selected purposively recommended by Head of Department of Education in Depok City. The criteria of selected school were homogeneous and characterized as progressive and conventional schools. Thirty students’ families were selected randomly from the fourth and the fifth grade. Total sample were 150 families. Data was collected using questionnaires which is filled by student. The questionnaires are were Parental Bonding Instrument (PBI) to measure parentchild attachment, The Student – Instructor Relationship (SIRS) to measure teacher-student attachment and Self-Esteem Inventory (SEI) to measure child selfesteem. Data was edited, coded, entried into the computer, cleaning the data, and then analyzed. Data was analyzed using descriptive and inferential statistical analysis. Inferential statistical analysis used Spearman and Pearson correlation test, Chi Square, t-test, and linear regression. The result showed that most of the students had high self esteem both in conventional and progressive school’s students. In term of parent-child attachment, showed that care attachment was higher than overprotection attachment on both types of schools, but maternal overprotection attachment from conventional schools was higher than progressive schools. The result also showed that connectedness of teacher-student attachment was higher than anxiety. Spearman correlation test revealed that there were correlation between maternal care attachment and high self-esteem, also between maternal overprotection attachment and low self esteem on both type of schools. There were correlations between connectedness teacher-student attachment and high students’ self esteem, also between anxiety teacher-student attachment and low students’ self esteem on both types of schools. Overall, students’ self esteem was influenced by the attachment between teacher and student. The more anxiety between student and teacher it is likely, the lower student’s self esteem. Maternal care attachment influenced to higher self esteem of child, meanwhile the more overprotection the maternal attachment, the
lower self esteem of child. Type of schools had no influence in building child’s self esteem. Keyword: parent-child attachment, teacher-student attachment, self esteem, progressive school, and conventional school
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH KELEKATAN ORANG TUA-ANAK DAN GURUANAK TERHADAP PEMBENTUKAN SELF ESTEEM ANAK DI SEKOLAH DASAR PROGRESIF DAN KONVENSIONAL
DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.Sc
Judul Tesis : Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap Pembentukan Self Esteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan Konvensional Nama : Dian Anggraeni Tri Astuti NIM : I251100141
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc Ketua
Ir. Melly Latifah, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr
Tanggal Ujian: 02 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
Judul Tesis
Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap Pembentukan SelfEsteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan Konvensional : Dian Anggraeni Tri Astuti
: 1251100141
Nama NIM
Disetujui oleh Komisi Pembimbing . O
M o
"
,
~
,...
Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc
Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc MSc
Tanggal Ujian: 02 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
0 8 NOV 2013
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini ialah kelekatan dengan orang tua dan guru terhadap pembentukan self esteem anak, dengan judul Pengaruh kelekatan orang tua-anak dan guru-anak terhadap pembentukan self esteem anak di sekolah dasar progresif dan konvensional. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc dan Ibu Ir. Melly Latifah, M.Si selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan juga kepada Ibu Ratna Megawangi, PhD yang banyak memberi saran dan masukan selama proses penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Diah Krisnatuti sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan. Rasa terima kasih juga penulis tujukan kepada dan ibu drg. Rahma Dewi selaku Direktur yayasan Indonesia Heritage Foundation yang memberikan dana dalam program S2 ini. Terima kasih sebesarnya juga kepada Taufiq Ilmawan selaku suami serta buah hati tercinta yang merelakan kesibukan bundanya menuntut ilmu, terima kasih kepada ibunda Sumarsiniwati atas segala doanya, serta terima kasih kepada seluruh teman-teman seangkatan dan teman sekerja yang menemani dan membantu dalam proses kuliah maupun penyelesaian tesis ini. Tak lupa ungkapan terima kasih kepada sekolah yang telah bersedia menjadi tempat penelitian, serta siswa-siswi kelas 4 dan 5 yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013 Dian Anggraeni Tri Astuti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 5 6
2 TINJAUAN PUSTAKA Self Esteem (Harga Diri) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Kelekatan Orang tua dengan Anak Kelekatan Guru dengan Anak
6 6 9 11 12
3 KERANGKA PMIKIRAN
13
4 METODE Desain , Tempat dan Waktu Penilitian Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
17 17 17 18 19 21
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan Umum
22 22 36
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
39 39 40
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
44
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jenis dan cara pengumpulan data Hasil uji reliabilitas kuesioner kelekatan orang tua-anak, kelekatan guru-anak, dan self esteem Rata-rata usia contoh dan jumlah saudara serta perbedaannya antar tipe sekolah Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan hubungannya dengan tipe sekolah Sebaran keluarga menurut tingkat pendidikan orang tua dan hubungannya dengan tipe sekolah Sebaran contoh menurut status pekerjaan ibu pada dua tipe sekolah Rata-rata pendapatan total keluarga dan perbedaannya antar tipe sekolah Sebaran contoh menurut tingkat kelekatan orang tua–anak pada kedua tipe sekolah Rata-rata skor menurut tingkat kelekatan orang tua–anak dan hubungannya dengan tipe sekolah Sebaran contoh menurut dimensi kelekatan orang tua-anak pada dua tipe sekolah Sebaran contoh menurut kelekatan orang tua-anak pada dua tipe sekolah Rata-rata skor kelekatan guru–anak dan hubungannya dengan tipe sekolah Rata-rata skor tingkat self esteem anak dan hubungannya dengan tipe sekolah Nilai koefisien korelasi antara karakteristik orang tua dan anak dengan kelekatan orang tua pada dua tipe sekolah Nilai koefisien korelasi antara karakteristik anak dengan kelekatan guru-anak Nilai koefisien korelasi antara karakteristik orang tua dan karakteristik anak dengan self esteem Nilai koefisien korelasi antara kelekatan orang tua dan kelekatan guru dengan self esteem Nilai koefisien korelasi antara kelekatan orang tua dengan kelekatan guru dan dengan self esteem anak Faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem
18 19 24 25 26 26 27 28 28 29 29 29 30 31 32 33 33 34 35
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Lingkungan yang mempengaruhi anak berdasarkan teori ekologi Bronfenbrenner Kerangka pemikiran penelitian pengaruh kelekatan orang tua-anak dan guru-anak terhadap pembentukan self esteem Teknik penarikan contoh Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan hubungannya dengan tipe sekolah
9 16 18 25
5
Sebaran contoh menurut tingkat self esteem anak berdasarkan Tipe sekolah
30
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Rata-rata dan Standar deviasi beberapa variabel penelitian Analisis Item Kuesioner Parental Bonding Instrumen untuk Ibu Analisis Item Kuesioner Parental Bonding Instrumen untuk Ayah Analisis Item Kuesioner Student Instructur Relationship Analisis Item Kuesioner Self Esteem Uji Hubungan antar variabel di sekolah Progresif Uji Hubungan antar variabel di sekolah Konvensional
44 45 46 47 48 49 50
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan suatu bangsa tidak terlepas dari keberadaan generasi muda sebagai tumpuan harapan untuk memimpin negara dimasa yang akan datang. Generasi muda yang memiliki jiwa kreatif, penuh semangat, serta inovasi dari ideide unik yang siap untuk membangun bangsa. Generasi unggul seperti ini diharapkan juga memiliki kepribadian yang utuh dan ketahanan mental yang baik. Kemampuan menjadi individu yang tangguh perlu upaya yang dilakukan sejak dini saat masih kecil. Demi menunjang keberhasilan seseorang dalam hidup maka sejak kecil anak perlu menguasai berbagai kemampuan terutama kemampuan sosial emosional yang baik, karena menurut Goleman (1995) keberhasilan hidup seseorang lebih ditentukan oleh kemampuan emosionalnya dibandingkan dengan kemampuan intelektual. Kemampuan sosial emosional merupakan pondasi bagi perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya secara lebih luas. Salah satu aspek kepribadian yang perlu dikembangkan agar kemampuan sosial emosional anak baik adalah self esteem (harga diri). Self esteem yang tinggi perlu dimiliki anak, mengingat pentingnya peran self esteem bagi anak untuk mencapai kebahagiaan dalam menjalani kehidupan. Anak yang memiliki self esteem tinggi mampu membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, memiliki rasa aman untuk bersosialisasi dengan teman-teman atau lingkungan sehingga memiliki motivasi yang tinggi untuk berprestasi. Sebaliknya anak yang memiliki self esteem rendah selalu meragukan apakah mampu untuk meraih sesuatu atau tidak, mencari situasi aman dan nyaman, takut mencoba dan bergantung kepada orang lain. Menurut teori perkembangan anak Erik Erikson (1963), masa sekolah (School Age) yaitu usia 6-12 tahun ditandai adanya kecenderungan industry– inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang anak menghadapi hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri yang berakibat pada rendahnya self esteem (Santrock 1997). Peran lingkungan terdekat yaitu keluarga dan sekolah sangat menentukan kesuksesan dan kegagalannya. Pembentukan pertama self esteem anak adalah dari lingkungan terdekat yaitu keluarga. Orang tua merupakan orang terdekat yang sangat mempengaruhi bagaimana seorang anak terbentuk kepribadiannya. Hubungan antara anak dengan orang tua merupakan bagian dari interaksi sosial yang dilakukan anak dengan lingkungan keluarganya. Bonner (dalam Gerungan 1987) merumuskan interaksi sosial sebagai hubungan antara dua atau lebih individu dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Pada dasarnya, hubungan antara anak dengan orang tua merupakan hubungan yang timbal balik, sehingga dengan demikian, dalam usaha untuk menciptakan hubungan yang memuaskan kedua belah pihak, maka peranan orang tua maupun anak sangatlah besar (Gunarsa 1989). Pendapat tersebut
2 menunjukkan bahwa kualitas interaksi antara anak dengan orang tua, merupakan faktor penting dalam menunjang sifat-sifat kepribadian dan motivasi yang diperlukan dalam belajar. Menurut Hurlock (1978), komunikasi yang terbuka atau penghargaan terhadap pendapat orang lain seringkali melahirkan harapan yang masuk akal di kalangan anggota keluarga. Sikap menerima dari orang tua berarti memperlakukan anak sebagai pribadi, menerima dan menghargai haknya dan tidak dijadikan sebagai alat pemenuhan kepentingan keluarga. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa sikap menolak dari orang tua terhadap anak cenderung menjadikan anak mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Para ahli menemukan hubungan yang kuat antara self esteem dengan kebahagiaan individu (Santrock 2007). Penelitian yang melibatkan seribu anak menunjukkan anak dengan self esteem rendah lebih mudah mengalami depresi daripada anak yang memiliki self esteem tinggi (Rao 1994). Self esteem pada anak mulai realistis ketika anak mulai menginjak fase anak akhir (Harter 2006). Pada usia akhir, anakanak mampu mengevaluasi dirinya dan pada umumnya menjadi lebih kritis dalam membentuk dan membangun kesan terhadap harga dirinya (Papalia & Olds 2004). Oleh karena itu Branden (1994) menekankan pentingnya keluarga khususnya orang tua dalam pembentukan self esteem anak. Kondisi rumah yang membuat anak merasa tidak aman dan tidak nyaman dapat berdampak buruk terhadap tingkat self esteem anak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Richard dan Killman (dalam Kartadinata 1983) menunjukkan bahwa 13 persen dari 34 orang kasus yang ditangani, mengalami penolakan dari ibunya dan sebanyak 63 persen mengalami perasaan ditolak sebagai akibat perlakuan ibu yang terlalu melindungi mereka. Dampak yang akan terjadi apabila anak mengalami penolakan dalam keluarganya akan berpengaruh dalam sikap atau kepribadian anak. Coopersmith (1967) juga mengemukakan berdasarkan hasil penelitiannya pada anak usia 10-12 tahun atau pada fase pra remaja (preadolescence) bahwa perkembangan self esteem pada masa tersebut dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Seorang anak dengan self esteem tinggi terbentuk karena sikap positif dari orang tua terhadap keberadan anak, orang tua memberikan kebebasan kepada anak tidak terlalu mengekang tetapi juga tidak bersikap permissive. Papalia & Olds (2004) juga menyatakan orang tua yang hangat, responsive dan memiliki harapan-harapan realistik akan meningkatkan self esteem anak, sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, atau terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan yang jelas dan konsisten dapat menurunkan self esteem anak. Disamping peran orang tua, pembentukan self esteem anak diduga juga dipengaruhi lingkungan terdekat kedua yaitu sekolah. Di Indonesia terdapat berbagai tipe sekolah dengan sistem yang berbeda-beda. Secara umum ada tipe sekolah progresif dan konvensional, dimana masing-masing mempunyai ciri khusus yang berbeda. Saat seorang anak mempunyai kemampuan bersosialisasi dengan baik dari keluarganya akan memudahkan anak tersebut bersosialisasi dengan lingkungan disekitarnya termasuk sekolah. Kemampuan ini akan mampu memberikan perlindungan dan ketahanan diri terhadap faktor resiko pada masa kanak-kanak (Miller, Brehm, & Whitehouse 1998). Maddox dan Prinz (2003)
3 berpendapat bahwa hal yang paling berpengaruh dalam faktor perlindungan untuk anak adalah adanya kelekatan yang positif di sekolah. Kelekatan yang dimaksud adalah dengan gurunya sebagai orang tua kedua dari anak, karena ketika berada di sekolah anak berinteraksi dengan gurunya. Hurlock (1978) mengemukakan bahwa hubungan antara anak (siswa) dengan guru ditentukan oleh sikap guru terhadap anak dan sikap anak terhadap gurunya. Agar anak mempunyai persepsi yang positif, guru harus bersikap terbuka, jujur, dan menghargai anak. Sikap guru seperti ini akan menumbuhkan rasa aman dan percaya diri pada anak. Oleh karena itu, menurut Kartadinata (1983), situasi belajar harus merupakan situasi yang demokratis, dimana gagasan anak dihargai, dan timbulnya keragaman pendapat adalah sesuatu yang dapat diterima dalam mengembangkan dinamika pembelajaran. Biasanya situasi demikian akan ditemui di sekolah progresif. Guru sadar bahwa setiap anak itu berbeda kebutuhan, Sedangkan di sekolah konvensional kemampuan dan kepribadiannya. pembelajaran fokus pada pencapaian nilai tertinggi dan kemampuan menguasai prestasi akademik. Hasil studi Michael dan Powell (dalam Supriadi 1985) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mendasari interaksi antara anak/siswa dengan guru adalah metode pembelajaran yang digunakan oleh guru, kepribadian guru, kepercayaan anak/siswa terhadap guru, adanya penghargaan yang baik, dan tidak ada penekanan khusus dalam disiplin. Perasaan anak-anak terhadap hubungannya dengan guru dan sekolah dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam sosialisasinya dengan lingkungan dan emosionalnya serta prestasi akademisnya (Greenberg 1995). Sekolah progresif dan konvensional yang mempunyai metode pembelajaran yang berbeda diduga mempengaruhi hubungan kelekatan yang terbentuk antara guru dengan anak, dengan demikian akan berpengaruh terhadap pembentukan self esteem anak di sekolahnya.
Perumusan Masalah Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe 2002). Menurut Ainsworth (dalam Belsky 1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya. Kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak akan mempengaruhi hubungan atau lebih sering disebut kelekatan (Attachment) anak dan ibunya. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50 persen pada ibu, 33 persen pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe 2002). Kenyamanan secara fisik juga memegang peranan penting dalam pandangan Erikson (1986) mengenai perkembangan bayi. Pendapat Erikson yang menyatakan bahwa pada tahun pertama kehidupan terjadi tahap percaya vs tidak percaya (trust versus mistrust). Kenyamanan secara fisik dan pengasuhan yang sensitif adalah kunci untuk membentuk rasa percaya (basic trust) pada bayi. Bayi yang mendapat kenyamanan ini pada tahap umur berikutnya akan tumbuh lebih baik daripada
4 bayi yang tidak mendapat kenyamanan. Keluarga sebagai lingkungan terdekat dan pertama bagi anak harus mampu mendukung anak agar ketika saatnya tiba bersosialisasi dilingkungannya, anak sudah siap. Perlunya penghargaan terhadap berbagai prestasi anak serta komunikasi yang harmonis sangat menentukan bagaimana anak menilai harga dirinya. Hubungan yang terjalin tidak hanya sekedar adanya komunikasi, namun terbentuk suatu ikatan yang dalam antara anak dengan orang disekitarnya. Kelekatan anak dengan orang tua ini akan mempengaruhi kelekatan anak tersebut dengan gurunya kelak. Di sekolah, guru mempunyai peran yang sama dengan orang tua. Seperti halnya orang tua-anak, hubungan guru-anak yang terjalin di sekolah melibatkan emosi dan sosial antar keduanya (Pianta 1999). Kelekatan antara orang tua dengan anak sangat dasyat mempengaruhi pembentukan kepribadian anak, salah satunya adalah terbentuknya self esteem. Banyak anak di Indonesia yang bermasalah terkait dengan kepribadiannya. Jika melihat berbagai media, adanya berita tawuran remaja, maraknya pergaulan bebas remaja, ditemukan anak usia sekolah dasar yang sudah mengenal film porno kemudian mempraktekkannya dengan temannya, pencurian yang dilakukan anakanak maupun remaja, dan masih banyak berita negatif lainnya. Bahkan menurut survey yg dilakukan save the children di 10 kota besar di Indonesia mendapati 93 % anak pernah mendapati kekerasan di rumah dan sekolah. Artinya anak mengalami penekanan secara fisik dan mental, yang tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pembentukan jati dirinya termasuk self esteemnya. Menurut Dariuszky (2004) yang menghambat perkembangan self esteem adalah perasaan takut, yaitu kekhawatiran atau ketakutan (fear). Hal tersebut juga mencirikan tidak adanya komunikasi yang baik antara anak dengan orang tuanya. Tidak adanya komunikasi yang baik menyebabkan tidak terbentuknya kelekatan, sehingga anak menjadi insecure. Fenomena lain terkait dengan berbagai harapan orang tua yang dibebankan kepada anak saat mulai masuk usia sekolah. Usia anak-anak yang semestinya diberikan kesempatan bermain lebih banyak, ketika masuk dunia sekolah, anak mulai mengalami penekanan. Berbagai materi pelajaran yang diberikan tanpa melihat materi tersebut bermakna atau tidak bagi anak. Harapan orangtua agar anaknya berhasil mempunyai nilai tinggi dengan cara les diberbagai lembaga privat, serta keinginan orang tua mempunyai kemampuan yang lebih dengan les musik, renang, atau les-les yang lain. Bahkan meskipun sudah mengikuti berbagai macam les pelajaran, masih banyak anak yang berprestasi rendah, padahal berdasarkan tes inteligensi (IQ) anak termasuk berIQ rata-rata bahkan superior (lebih besar dari 110 skala Weschler). Berdasarkan hasil penelitian Achir (dalam Munandar 2004) sekitar 39 persen siswa berbakat di Jakarta memperoleh nilai di bawah rata-rata. Bahkan dari hasil penelitian di Amerika Serikat diperkirakan antara 15 – 50 persen anak berbakat berprestasi kurang (underachiever). Menurut Munandar (2004), salah satu penyebab anak tidak mampu berprestasi sesuai kemampuannya adalah latar belakang seseorang, yang menyangkut rasa harga diri (self esteem) yang rendah. Rasa harga diri yang rendah adalah ketidak percayaan atas kemampuan yang dimiliki. Seseorang tidak percaya bahwa dirinya mampu melakukan apa yang diharapkan orang tua dan gurunya. Dampak dari self esteem yang rendah, biasanya dengan perilaku berani dan menentang atau dengan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri. Misalnya
5 dengan menyalahkan sekolah atau guru atau dengan menyatakan tidak peduli atau tidak berusaha dengan sungguh-sungguh jika prestasi mereka kurang memuaskan. Rendahnya self esteem terkadang dicirikan dari perkataan anak terhadap dirinya “matematika memang susah”, atau “aku memang bodoh”. Menyalahkan merupakan mekanisme anak untuk menghindari tanggung jawab. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi self esteem adalah adanya penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulangkali, kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan terlalu ideal diri yang tidak realistis (Papalia & Old 2004). Fenomena lain yang terjadi adalah saat anak masuk sekolah. Anak mulai mendengar orang-orang dewasa mengkritiknya, memberikan komentar yang kurang berkenan tentang prestasinya. Jack Canfield 1986, seorang psikolog ahli self esteem, menemukan bahwa dalam satu hari rata-rata setiap anak menerima 460 komentar yang negatif dan 75 komentar positif. Terdapat enam kali lebih banyak komentar negatif daripada komentar positif. Setelah beberapa tahun di sekolah, terjadilah learning shutdown, yang menguras banyak tenaga kreatif manusia. Hal ini bisa terjadi di sekolah manapun. Sekolah progresif dengan metode pembelajaran yang active learning, konkrit serta berpusat pada siswa seharusnya dapat menstimulasi peningkatan prestasi anak. Penghargaan terhadap berbagai pendapat anak di sekolah progresif juga diharapkan meningkatkan self esteem anak. Di sekolah konvensional, dengan metode ceramah, pembelajaran berpusat pada guru, lebih banyak hapalan serta pemberian nilai dan rangking dapat memicu terjadinya kompetisi berlebih pada siswa. Kompetisi yang berlebihan akan memunculkan label negatif pada siswa, dimana akan mempengaruhi self esteemnya. Fenomena diatas merupakan landasan untuk membuat suatu penelitian mengenai pengaruh kelekatan orang tua dengan anak dan guru dengan anak terhadap pembentukan self esteem dengan membedakan tipe sekolah, yaitu progresif dan konvensional, sebagai tempat anak belajar. Penelitian ini difokuskan kepada anak dan sekolah. Anak meliputi hubungan antara karakteristik anak dan karakteristik orang tua, serta bentuk kelekatan yang terjalin dengan orang tuanya, kelekatan dengan gurunya, tipe sekolah, dan self esteem anak.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kelekatan orang tua-anak dan guru-anak anak terhadap pembentukan self esteem anak di sekolah dasar progresif dan konvensional. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Membedakan kelekatan orang tua-anak dengan kelekatan guru-anak, dan self esteem anak pada dua tipe sekolah, 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik orang tua dan anak dengan kelekatan orang tua-anak, dan hubungan karakteristik anak dengan kelekatan guru-anak pada dua tipe sekolah
6 3. 4. 5. 6.
Menganalisis hubungan antara karakteristik orang tua dan anak dengan self esteem anak pada dua tipe sekolah, Menganalisis hubungan antara kelekatan orang tua-anak dengan kelekatan guru-anak pada dua tipe sekolah, Menganalisis hubungan antara kelekatan orang tua-anak dan kelekatan guruanak dengan self esteem, Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem anak.
Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak terkait yaitu masyarakat (orang tua) dan sekolah. Bagi orang tua akan memberikan pandangan bahwa hubungan kelekatan yang terbentuk antara orang tua dengan anak dapat menentukan sikap apa yang terbentuk dalam diri anak. Sikap orang tua juga dapat menjadi penentu apakah anaknya akan tangguh dengan self esteem tinggi dalam masyarakat atau tidak. Semua berawal dari rumah, karena merupakan lingkungan yang pertama kali dikenal anak. Bagi sekolah, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai faktor yang mempengaruhi self esteem siswa. Sekolah memberikan standar kepada gurunya cara berkomunikasi yang baik kepada siswanya. Harapannya para guru mampu mendidik siswanya secara utuh menyeluruh sehingga menghasilkan kualitas anak didik yang terbaik. Pembelajaran akan bisa efektif bila guru mempunyai koneksi dengan murid serta peduli dengan memberikan kehangatan dalam berkomunikasi, serta membangun kepercayaan dengan murid. Keberhasilan murid juga sangat dipengaruhi oleh guru dan sistem sekolah. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan untuk menentukan kebijakan sekolah dalam menentukan kualitas guru serta melihat hal-hal yang mempengaruhi motivasi belajar, dimana hal ini tergantung dari self esteem anak. Bagi pemerintah penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam menentukan kebijakan-kebijakan terutama yang terkait dengan perlindungan hakhak anak. Di Indonesia undang-undang perlindungan terhadap anak masih perlu data kuat agar dapat ditegakkan dan diterapkan dengan sebenar-benarnya, sehingga tidak terjadi lagi kekerasan terhadap anak.
2 TINJAUAN PUSTAKA Self Esteem (Harga Diri) Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi yang dibuat individu dengan penghargaan untuk dirinya dan mengindikasikan sejauh mana individu tersebut percaya bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan berharga. Secara singkat, self-esteem adalah pendapat personal akan keberhargaan diri yang diekspresikan dalam sikap individu yang berpengaruh terhadap dirinya. Hal ini merupakan pengalaman subyektif yang disampaikan individu dengan laporan verbal dan tingkah laku yang terlihat.
7 Self-esteem memiliki definisi yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dari tahun ke tahun para ahli terus menambahkan dan memperbaiki definisi dari self-esteem sehingga dengan terus berkembangnya definisi tersebut, maka konsep self-esteem akan semakin jelas dan dimengerti. Self-esteem merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya dipertahankan oleh individu. Self-esteem mengekspresikan sikap dari penerimaan diri atau penolakan diri dan mengindikasikan kepercayaan individu untuk mampu, penting, sukses, dan berharga. Selain definisi dari Coopersmith, banyak juga definisi lain yang merupakan pengembangan dari Coopersmith seperti dari Nathaniel Branden dan James Battle. Menurut Branden (1992), self-esteem adalah kepercayaan diri akan kemampuan seseorang berpikir dan menangani tantangan dalam hidup dan kepercayaan diri bahwa seseorang tersebut pantas untuk hidup bahagia, merasa dihargai dan diterima. Sedangkan menurut Battle (1992), self-esteem adalah persepsi yang dimiliki oleh individu akan seberapa berharga diri individu tersebut. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self – Esteem Dalam perkembangannya, self-esteem dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu (Coopersmith 1967): 1. Karakteristik Orangtua, antara lain: self-esteem dan stabilitas emosi ibu. Seorang ibu dengan self-esteem tinggi akan mempunyai standar yang tinggi dalam membentuk self-esteem anaknya dan memiliki emosi yang stabil daripada ibu dengan self-esteem rendah. Seorang ibu yang memiliki emosi tidak stabil dan sangat tergantung pada suasana hatinya tidak dapat memberikan perhatian dan konsisten dalam berelasi dengan anak mereka. Seorang ibu dengan self-esteem tinggi akan lebih percaya diri dan memiliki daya tahan dalam sikap dan tingkah laku mereka berhubungan dengan perawatan anak mereka. Sedangkan seorang ayah dengan self-esteem tinggi akan lebih memperhatikan dan menerima anaknya, dan kemudian anak tersebut akan mempercayai ayahnya 2. Karakteristik Individu, seperti: kondisi fisik, inteligensi, dan keadaan emosi. Individu yang memiliki kondisi fisik yang tidak sehat akan menganggap diri mereka tidak mampu dan tidak berharga. Begitu pula dengan individu yang memiliki inteligensi di bawah rata-rata akan merasa sulit dalam menilai diri dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya serta perasaan-perasaannya. Selain itu, individu yang memiliki gangguan emosi seperti kecemasan dan stres dapat terhambat dalam menyalurkan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya, sehingga dapat menumbuhkan penilaian negatif terhadap diri dan lingkungannya. Nilai dan cita-cita individu juga berkaitan dengan perkembangan self-esteem individu 3. Latar Belakang Sosial, termasuk di dalamnya adalah sosial-ekonomi, agama, pekerjaan ayah-ibu, dan nilai-nilai yang dianut dalam keluarga. Latar belakang sosial individu dapat menghambat atau mendorong timbulnya perasaan positif/ negatif terhadap dirinya. Individu dengan keluarga yang secara ekonomi serba kekurangan, akan terhambat dalam menyalurkan kemampuan yang dimilikinya.
8 Tingkat Self – Esteem Tingkat self-esteem individu satu dengan yang lainnya berbeda. Coopersmith (1967) mengulas karakteristik umum yang nampak pada individu dengan berbagai tingkatan self-esteem, yaitu : Pertama Self-esteem tinggi, Individu yang memiliki self-esteem yang tinggi atau positif, puas dengan karakteristik dan kemampuan dirinya. Adanya penerimaan dan penghargaan diri yang positif memberikan rasa aman dalam menyesuaikan diri atau bereaksi terhadap stimulus lingkungan sosial. Individu mempercayai persepsi diri, sehingga tidak terpaku pada kesukaran-kesukaran personal. Pada umumnya individu dengan self-esteem tinggi nampak; (i) aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, (ii) berhasil dalam bidang akademis, terlebih dalam mengadakan hubungan sosial, (iii) dapat menerima kritik dengan baik, (iv) percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri, (v) tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri, (vi) keyakinan akan dirinya tidak didasarkan pada fantasinya karena memang mempunyai kemampuan, kecakapan sosial, dan kualitas diri yang tinggi, (vii) tidak akan terpengaruh pada penilaian dari oranng lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun negatif, (viii) akan menyesuaikan dirinya dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum dikenalnya, (ix) akan lebih banyak menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesenangannya, sehingga tercipta tingkat kecemasan dan perasaan tidak aman yang rendah serta memiliki daya pertahanan yang seimbang. Kedua Self-esteem rendah. Dengan adanya penghargaan diri yang buruk pada diri sendiri membuat individu tidak mampu untuk mengekspresikan dirinya dalam lingkungan sosialnya. Mereka tidak puas dengan karakteristik dan kemampuan-kemampuannya sehingga individu yang memiliki self-esteem yang rendah akan cenderung dependen, pasif, dan bersikap konform terhadap lingkungannya. Individu cenderung sensitif terhadap kritik sebagai pembuktian akan ketidakmampuannya. Pada umumnya individu dengan self-esteem rendah nampak; (i) mempunyai perasaan inferior, (ii) takut dan gagal dalam mengadakan hubungan sosial, (iii) terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi, (iv) merasa diasingkan dan tidak dicintai, (v) kurang dapat mengekspresikan diri, (vi) sangat tergantung pada lingkungan, (vii) tidak konsisten, (viii) secara pasif selalu mengikuti apa yang ada di lingkungannya, (ix) taktik pertahanan diri yang banyak mereka gunakan adalah defence mechanism, (x) mudah mengakui masalahnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Megawangi (2007) menyatakan bahwa keluarga dimiliki sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan sosialisasi anak, serta mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam
9 masyarakat. Menurut Berns (1997), keluarga memiliki fungsi ekonomi, sosialisasi/pendidikan, peran sosial, dan reproduksi.
Gambar 1 Lingkungan yang mempengaruhi anak berdasarkan teori ekologi Bronfenbrenner Teori ekologi memperlihatkan bahwa perkembangan kehidupan seorang anak sangat tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal diri mereka. Teori sistem ekologi Brofenbrenner menelaah perkembangan anak dalam konteks hubungan yang membentuk lingkungan mereka. Teori Bronfenbrenner mendefinisikan secara kompleks setiap "lapisan" lingkungan, masing-masing dengan efek pada perkembangan anak. Microsystem adalah lapisan yang paling dekat dengan anak dan berisi struktur dimana anak memiliki kontak langsung. Microsystem ini meliputi hubungan dan interaksi seorang anak dengan lingkungan terdekatnya (Berk 2003). Termasuk bagaimana kondisi dirinya yang akan mempengaruhi perilakunya. Struktur dalam Microsystem juga termasuk keluarga, sekolah, lingkungan, atau bahkan lingkungan penitipan anak. Pada tingkat ini, terjadi dampak hubungan dalam dua arah. Misalnya, orang tua dari seorang anak dapat mempengaruhi keyakinan dan perilaku mereka, bagaimanapun, anak juga mempengaruhi perilaku dan kepercayaan dari orang tua. Lingkungan Sekolah Sekolah merupakan salah satu faktor eksternal yang akan sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sekolah sama halnya dengan keluarga. Jika melihat teori ekologi Bronfenbrenner (1990), sekolah merupakan bagian dari lingkungan mikrosistem. Walaupun sekolah bukanlah lingkungan eksternal pertama yang mempengaruhi anak, namun sekolah memberikan dampak yang luar biasa terhadap kualitas seorang anak. Setiap sekolah memiliki metode pembelajaran yang berbeda. Berdasarkan metode pembelajarannya secara umum sekolah dibagi ke dalam dua tipe, yaitu progresif dan konvensional. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tipe sekolah. Sekolah Progresif. Pendidikan progresif berawal dari pemikiran John Dewey di abad 20-an, di mana ia mengemukakan 5 poin penting, yaitu (Kohn 2008) pertama pendidikan adalah partisipasi individu dalam kesadaran sosial,
10 kedua sekolah adalah tempat mendapatkan informasi, tempat di mana banyak hal yang dipelajari, atau tempat di mana suatu kebiasaan dibentuk sehingga sekolah harus merupakan cerminan dari komunitas. Sekolah harus merepresentasikan kehidupan saat ini. Ketiga, kurikulum di sekolah harus mencerminkan perkembangan manusia di dalam kehidupan sosialnya, sehingga harus menyatu dengan kegiatan-kegiatan lain atau dengan kata lain terintegrasi. Keempat, metode pembelajaran berfokus pada anak, karena itu materi yang diberikan melihat pada apa yang diminati anak. Kelima, sekolah merupakan alat rekonstruksi sosial. Jadi pendidikan harus memberikan hal yang tepat untuk mencapainya. Berdasarkan pemikiran Dewey tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah progresif adalah sekolah yang memiliki cara atau metode pengajaran berbeda dari sekolah yang konvensional. Biasanya sekolah progresif memiliki ciri-ciri; (Kohn 2008) menekankan cara belajar melalui praktek (learning by doing), kurikulum yang terintegrasi dan berdasarkan tema, sangat menekankan pada penyelesaian masalah dan berpikir kritis, bekerja kelompok dan pengembangan kemampuan sosial, memahami dan praktek adalah tujuan dari belajar, bukan sekedar menghapal, kolaboratif dan cooperative learning project, pendidikan sebagai tanggung jawab sosial dan demokras, kurikulum terintegrasi dengan pelayanan masyarakat dan service learning project terdapat di kurikulum harian, isi mata pelajaran diseleksi berdasarkan kemampuan apa yang akan dibutuhkan di masyarakat pada masa depan, penekanan terhadap buku merupakan alternatif variasi sumber belajar, menekankan pada pembelajaran sejati dan kemampuan sosia, dan penilaian berdasarkan evaluasi dan projek dan hasil karya siswa. Sekolah progresif pada tingkat sekolah dasar tidak menggunakan nilai dalam melaporkan perkembangan belajar muridnya. Laporan perkembangan yang ditampilkan biasanya berupa narasi. Sekolah Konvensional. Sekolah konvensional adalah sekolah yang memiliki metode pendidikan dengan cara-cara lama, yaitu sebagai berikut (Megawangi, Dina WF, Riza, dan Merdekawati EF 2010): pendekatan satu arah (one-way teaching), orientasi hapalan (rote learning/drilling), terpacu hanya dari buku (textbook thinking), orientasi pada nilai atau ujian nasional, dan materi pembelajaran parsial. Pendekatan satu arah artinya bentuk komunikasi antara guru dan murid di mana guru mengajar dan murid belajar atau mendengarkan. Guru biasanya berdiri di depan kelas menjelaskan materi pelajaran dan murid biasanya hanya duduk diam dan manis. Cara belajar rote learning artinya belajar dengan cara mengingat atau menghafal tanpa memahami makna yang dihafalkan (Beck 2009). Walaupun anak dapat hafal dari materi yang diberikan, namun anak tidak dapat memahaminya dengan baik. Ini berarti anak belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir yang rendah seperti taksonomi Bloom, yaitu di mana mengingat atau menghafal berada pada lapisan berpikir paling bawah (Megawangi et.al 2010). Sekolah konvensional mengukur keberhasilan belajar siswa dengan menggunakan nilai. Orientasi nilai akan membunuh rasa percaya diri dan siswa menjadi takut untuk mengambil inisiatif karena takut salah/gagal. Cara ini hanya dapat mengembangkan kemampuan berpikir terendah karena hanya mampu membeo jawaban yang benar saja (Megawangi et al. 2010).
11 Materi pembelajaran yang parsial artinya materi yang diberikan tidak terintegrasi antar pelajaran. Siswa tidak dapat melihat keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya, bahkan siswa tidak mengerti apa relevansinya dengan kehidupan nyata (Megawangi et al. 2010).
Kelekatan Orang tua dengan Anak Kelekatan adalah proses yang berlangsung antara pengasuh dan bayi. Kelekatan dapat juga dideffinisikan sebagai suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus. Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman anak (Sutcliffe 2002). Mary Ainsworth (1979) juga memberikan kontribusi besar bagi perkembangan teori kelekatan. Ainsworth bergabung dengan penelitian bersama tim Bowlby di tahun 1950 dan mengembangkan dampak dari pemisahan anakanak dengan pengasuhnya. Ainsworth melakukan observasi naturalistik ibu dan bayi dan kemudian mengembangkan dalam laboratorium prosedur yang dikenal sebagai 'Strange Situation'. Dari penelitian ini, Ainsworth mengidentifikasi tiga jenis kelekatan pada bayi: secure (bayi akan tertekan pada saat ibu mereka pergi dan akan kembali terhibur atau tenang saat ibu mereka datang kembali), anxiousambivalent (di mana bayi mengalami stres pada saat ibu mereka pergi, bahkan saat kembali), dan anxious avoidant (di mana bayi tidak terganggu oleh keberangkatan ibu mereka dan tidak tertarik saat ada ibu mereka). Manfaat Kelekatan Kenyamanan secara fisik juga memegang peranan penting dalam pandangan Erikson (1986) mengenai perkembangan bayi. Pendapat Erikson yang menyatakan bahwa pada tahun pertama kehidupan terjadi tahap trust versus mistrust. Kenyamanan secara fisik dan pengasuhan yang sensitif adalah kunci untuk membentuk basic trust pada bayi. Trust pada bayi ini pada akhirnya akan menjadi dasar dari attachment dan dasar dari ekspektasi menetap yang menganggap bahwa dunia adalah tempat yang aman, baik dan menyenangkan. Sementara John Bowlby (1969), seorang psikoanalis, yang menekankan pentingnya kelekatan pada tahun pertama kehidupannya, dan juga pentingnya responsivitas pengasuh. Bowlby percaya bahwa bayi dan pengasuh primer secara biologis sudah terdeposisi untuk membentuk attachment. Bayi akan menangis, tersenyum, merengek, atau merangkak dan berjalan mengikuti ibu mereka. Secara otomatis pengasuh primer akan selalu dekat dengan mereka. Bowlby (1969) adalah yang pertama dalam menyajikan gagasan bahwa pengalaman pengasuhan awal, yaitu seorang ibu yang mencatat sinyal dari seorang bayi yang tertekan atau takut. Orang tua merupakan figur penting dalam kehidupan seorang anak terutama remaja. Hubungan dan peran orang tua pada masa remaja sangat penting bagi perkembangan diri remaja (Dirgagunarsa 2004). Hubungan yang baik antara orang tua dan remaja yang telah dibina sejak lahir akan menimbulkan adanya kelekatan (attachment) atau ikatan relasi satu sama lain. Hetherington dan Parke (2003) mengemukakan bahwa kelekatan adalah hubungan, mengembangkan
12 interaksi antara orang tua dan anak. Dari penelitian yang dilakukan oleh Holmbeck ditemukan bahwa ikatan hubungan yang hangat, mendalam dan berkualitas antara orang tua dan anak serta remaja mampu membantu anak pra remaja dalam mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya. Orford menemukan bahwa suatu hubungan yang berkualitas dapat dilihat dari seberapa jauh hubungan tersebut memberikan fungsi-fungsi dukungan sosial yang penting, seperti pertolongan, perhatian, suatu pengakuan, dan pendampingan. Berdasarkan penelitian Coopersmith (dalam Borualogo 2004) diketahui bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam meningkatkan harga diri anak terutama pada masa remaja.
Kelekatan Guru dengan Anak Pianta (1999) mendefinisikan hubungan sebagai suatu sistem timbal balik antara dua individu yang melibatkan interaksi, persepsi, dan karakteristik kedua individu yang bersangkutan. Lebih lanjut lagi Pianta mengatakan bahwa hubungan merupakan suatu hasil dari beberapa komponen kegiatan yang terjadi berulang-ulang. Pianta (1999) menggambarkan hubungan sebagai refleksi dari pembentukan interaksi dan persepsi antara satu individu dan individu lainnya. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa suatu hubungan merupakan perilaku interaktif antar individu yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan atribut motivasional. Kohn (dalam Powell & Caseau 2004) menyebutkan bahwa hubungan guru-anak yang positif ditandai dengan perilaku guru yang memberi perhatian khusus pada anak, menghargai, memikirkan sudut pandang anak. Peneliti lain bernama Altman dan Taylor (1973), serta Knapp ( dalam Powell & Caseu 2004) menyebutkan bahwa hubungan guru-anak yang positif merupakan hasil dari proses komunikasi yang luas dan dalam antara guru dan anak sehingga mengarah kepada hubungan interpersonal. Beberapa peneliti mengembangkan dimensi hubungan guru-anak berdasarkan konsep berpikir dan pendekatan yang berbeda. Irvine (dalam Pianta 1999) membagi bentuk hubungan guru-anak menjadi empat kategori, yaitu hubungan yang lekat, hubungan yang menunujukkan penolakan, hubungan yang menunjukkan kecemasan, hubungan yang acuh tak acuh. Anak yang termasuk kategori lekat, cenderung berinisiatif membangun hubungan yang positif dengan guru, sedangkan anak yang menunjukkan penolakan cenderung menjalin hubungan yang tinggi dengan guru, namun hubungan yang terjalin tersebut sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh anak terhadap peraturan kelas. Anak yang penuh dengan kecemasan cenderung menjalin hubungan dengan guru hanya untuk kepentingan akademis saja, sedangkan anak yang acuh tak acuh cenderung sedikit membina hubungan dengan guru, dan guru pun memberi perhatian yang sedikit pula terhadap anak. Howes dan Kolega (dalam Birch & Ladd 1998) mengembangkan dimensi hubungan guru-anak berdasarkan teori kelekatan yang membagi menjadi dimensi hubungan guru-anak menjadi hubungan yang aman, menghindar, dan ambivalen. Kesinambungan antara konsep kelekatan dan hubungan guru-anak digambarkan dengan fakta bahwa hubungan antara perasaan aman dalam suatu hubungan anak dengan orang dewasa di sekolah, dalam hal ini adalah guru, dan kebebasan anak
13 untuk mengeksplorasi lingkungannya berakar dari kelekatan orang tua-anak. Di sekolah guru mempunyai peran yang sama dengan orang tua. Seperti halnya orang tua-anak, hubungan guru-anak yang terjalin di sekolah melibatkan emosi dan sosial antar keduanya (Pianta 1999). Pianta (1999) mengidentifikasi hubungan guru-anak melalui pengukuran persepsi guru mengenai hubungannya dengan anak secara individual. Dalam hal ini Pianta mendifinisikan persepsi sebagai perasaan yang dialami guru saat berhubungan dengan seorang anak dan keyakinan guru mengenai perasaan yang dialami anak saat berhubungan dengan guru. Pianta mengklasifikasi hubungan guru-anak menjadi tiga dimensi, yaitu konflik, kedekatan, dan ketergantungan. Dimensi konflik mengindikasikan perilaku penolakan/pertentangan oleh guru terhadap anak dan sebaliknya. Dimensi konflik dicirikan oleh permasalahan perilaku pada anak, seperti perilaku mengabaikan tugas, melakukan interaksi, dan menampilkan emosi negative (marah, takut, sedih), dan perilaku menentang atau melawan. Dimensi ketergantungan berhubungan dengan ketergantungan yang tinggi dari anak kepada guru, kedekatan fisik yang berlebihan kepada guru, serta respon guru yang berlebihan terhadap anak. Hubungan guru-anak yang penuh ketergantungan dan konflik dapat menyebabkan anak dapat mengalami permasalahan perilaku di sekolah, menghindari sekolah, menolak terlibat kegiatan di kelas, sehingga berdampak kepada menurunnya kemampuan akademik anak di sekolah (Birch & Ladd 1998). Pianta dan Stuhlman (2003) menyebutkan bahwa pola hubungan yang penuh konflik antara guru dan anak dapat menyebabkan masalah perilaku pada anak, misalnya perilaku agresif dan antisosial, yang dapat menghambat proses adaptasi anak terhadap lingkungan sekolah.
3 KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritis struktural-fungsional, artinya setiap anggota keluarga melakukan tugasnya sesuai dengan struktur dan fungsinya sehingga tercipta suatu unit keluarga yang harmonis dan seimbang. Pada pendekatan teoritis struktural-fungsional, keluarga adalah suatu organisasi di mana terdapat pembagian kerja. Pembagian kerja ini dilakukan dengan sesuai sehingga keluarga bisa menjadi stabil dan begitupun dengan lingkungan sosialnya di masyarakat. Aplikasi teori yang terdapat pada penelitian ini adalah tentang terbentuknya kelekatan, yaitu suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus. Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman anak. Hubungan ini adalah antara orang tua dengan anaknya. Dari hasil hubungan ini terbentuk kelekatan antara keduanya sehingga mempengaruhi kepribadian anak. Selain itu, penelitian ini juga mengaplikasi teori ekologi, karena melihat lingkungan terdekat yang dapat mempengaruhi anak selain keluarga juga sekolah. Keluarga sebagai lapisan pertama merupakan faktor utama dalam penentu perkembangan anak. Komunikasi orang tua dengan anaknya akan menentukan kelekatan yang terbentuk antara orang tua dengan anak. Saat orang tua mampu membangun kelekatan yang baik akan sangat membantu perkembangan
14 kepribadian anak, dalam hal ini adalah self esteem. Self esteem tinggi akan menumbuhkan kepercayaan diri yang baik dan motivasi yang baik dalam berprestasi di sekolah. Terjalinnya kelekatan orang tua dengan anaknya dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu karakteristik anak maupun karakteristik keluarga. Karakteristik anak yang terdiri dari usia, jenis kelamin, dan jumlah saudara mempengaruhi komunikasi orang tua dalam membina hubungan. Hal ini dikarenakan usia setiap anak terkait dengan tugas perkembangannya (Hurlock 1994) sehingga dibutuhkan strategi pengasuhan yang berbeda untuk membimbing anak agar berkembang sesuai tahap perkembangannya (Herbert 2004). Jenis kelamin anak mempengaruhi perlakuan orang tua. Bayi perempuan cenderung lebih dimanja daripada bayi laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah lebih melindungi anak perempuannya dibandingkan dengan anak laki-lakinya (Stephens 2009). Jumlah saudara, artinya jumlah anak yang dimiliki orang tua juga akan mempengaruhi bagaimana orang tua mengasuh dan berkomunikasi. Menurut Becker (1991), semakin banyak jumlah anak yang dimiliki maka semakin menurun kualitas anak tersebut. Menurunnya kualitas anak disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan waktu, tenaga, dan materi yang diberikan orang tua kepada anak. Hal ini bisa menyebabkan kelekatan yang terjalin dengan orang tua berkurang secara kualitas sehingga anak merasa kurang mendapat perhatian dengan orang tua. Anak yang kurang mendapat perhatian atau bahkan sangat dikontrol menimbulkan kemampuan bersosialisasi kurang, dan mungkin pembentukan self esteem-nya kurang baik. Karakteristik orang tua pendidikan ayah dan ibu dan pendapatan keluarga serta status pekerjaan ibu. Pendidikan dan pendapatan keluarga merupakan keadaan sosial ekonomi. Pinderhughes et al. (2000) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara status sosial ekonomi orang tua dengan kebiasaan orang tua memukul anak. Artinya orang tua yang miskin akan lebih sering memukul anaknya dibandingkan orang tua yang tidak miskin. Hal ini dikarenakan mereka cenderung lebih sering mengalami stres, dan stres ini akan berkaitan dengan bentuk komunikasi. Anak yang mendapat perlakuan demikian akan merasa tidak berharga, kondisi ini akan menyebabkan munculnya emosi negatif yang akan mempengaruhi dalam penghargaan terhadap diri yang negatif. Selain itu, pendidikan dan pendapatan orang tua akan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis fasilitas yang diberikan kepada anak, kebebasan anak dalam menentukan keinginannya, sehingga hal ini dapat mempengaruhi self esteem anak. Sekolah merupakan salah satu faktor eksternal yang akan sangat mempengaruhi perkembangan anak. Peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi keberhasilan pemahaman siswa. Guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator akan sangat mendukung kelancaran pemahaman siswa. Kesamaan kelekatan orangtua dan guru adalah pada hubungannya. Setiap hari guru akan berinteraksi dengan anak-anak yang mempunyai latar belakang keluarga berbeda. Dari interaksi ini seorang siswa akan merasakan bagaimana hubungannya dengan gurunya. Siswa dapat merasakan kenyamanan atau bahkan ketakutan saat bertemu maupun berkomunikasi dengan guru. Dari hubungan ini terbentuklah sebuah kelekatan, baik kelekatan yang postif yaitu dekat atau kelekatan yang negatif atau merasa takut saat dekat dengan guru. Latar belakang
15 orang tua dari siswa yang berbeda, berbeda pula cara pengasuhan orang tua, sehingga kelekatan orang tua dengan anak pun berbeda-beda. Guru berinteraksi dengan anak-anak yang secure dengan cara hangat dan santai, sedangkan ketika berinteraksi dengan anak yang insecure guru berinteraksi dengan mengontrol, cenderung berharap kepatuhan dan lebih pada instruksi untuk mengarahkan. Terkadang guru menemukan kesulitan membangun hubungan posistif dengan anak yang mempunyai kelekatan dengan orangtuanya tidak baik atau insecure. Berbagai macam tipe sekolah yang ada di Indonesia menghasilkan kualitas yang berbeda baik gurunya maupun siswanya. Tipe sekolah progresif dengan sistem pembelajaran active learning, berpusat pada murid, lebih banyak praktek akan menumbuhkan rasa nyaman pada siswa. Lain halnya sekolah dengan tipe konvensional dengan sistem pembelajaran yang menuntut nilai, drilling atau hapalan mengharuskan siswa dapat menghapal pelajaran, lebih banyak ceramah atau berpusat pada guru, terkadang menimbulkan rasa bosan pada siswa sehingga timbul ketidak nyamanan di sekolah. Rasa nyaman tersebut dapat membangun kelekatan yang baik antara guru dengan siswa. Dengan emosi yang baik seorang anak akan mampu belajar dengan baik. Kenyamanan antara guru dengan murid diduga akan terbangun hubungan yang lekat antara keduanya sehingga siswa merasa lebih berharga, maka self esteemnya terbentuk dengan baik. Dalam penelitian ini diharapkan dapat mengungkap adanya pengaruh kelekatan orang tua dan guru dengan anak dalam pembentukan self esteem anak usia sekolah dasar yaitu kelas 4 dan 5, dengan melihat apakah tipe sekolah juga mempunyai peranan yang cukup signifikan selain kelekatan yang terbentuk antara orang tua dengan anaknya ataupun antara guru dengan anak.
Karakteristik orang tua - Pendidikan ibu dan ayah - Pendapatan total keluarga - Status pekerjaan ibu
Stabilitas emosi ibu Self esteem ibu Kelekatan Orang tuaAnak - Care - Overprotection
Karakteristik anak - Usia - Jenis kelamin - Jumlah saudara
Self Esteem Anak Usia SD Kelekatan Guru-Anak
Tipe sekolah - Konvensional - Progresif
- Connectedness - Anxiety
Peer Group
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian pengaruh kelekatan orang tua dan guru dengan anak terhadap pembentukan self esteem.
17
4 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian payung. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian difokuskan pada dua tipe Sekolah Dasar (SD) di kota Depok, yaitu sekolah progresif dan sekolah konvensional. Setiap tipe sekolah dibagi menjadi sekolah umum dan sekolah berbasis agama. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive, yaitu berdasarkan rekomendasi dari Kepala Pendidikan Nasional Kota Depok. Hal ini dilakukan karena tidak tersedia data yang membedakan antara sekolah konvensional dan progresif. Adapun ciri-ciri sekolah konvensional adalah: 1. Metode pembelajaran rote learning/drilling, orientasi kepada buku pelajaran. 2. Laporan perkembangan belajar siswa menggunakan nilai. 3. Komunikasi satu arah, siswa lebih banyak mendengarkan, duduk diam, sedangkan guru lebih banyak menerangkan materi dengan metode ceramah. 4. Materi terpisah, walaupun bertema namun dalam praktek pengajaran tidak sesuai. Adapun ciri-ciri sekolah progresif adalah: 1. Metode pembelajaran active learning, ada praktek ataupun project sebagai proses dalam memahami materi. 2. Laporan perkembangan belajar siswa menggunakan narasi. Jika terdapat nilai hanya sebagai syarat dari Diknas. 3. Komunikasi dua arah, diskusi yang membangun pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. 4. Materi terintegrasi, bertema. Pemilihan sekolah juga didasarkan pada kondisi fisik, fasilitas sekolah, serta kemampuan ekonomi orang tua. Sekolah yang terpilih adalah sekolah yang memiliki bangunan yang memadai (baik gedung maupun saung), fasilitas fisik yang cukup lengkap (perpustakaan, toilet, tempat ibadah, aula, ruang untuk setiap kelas, peralatan praktikum), tersedianya ekstrakurikuler, bayaran SPP atau sumbangan di atas Rp 150.000,00. Sekolah yang dipilih pada masing-masing tipe sekolah (progresif dan konvensional) terdiri atas sekolah umum dan sekolah berbasis agama. Sekolah tersebut dipilih berdasarkan tingkat sosial ekonomi orang tua siswa yang berada pada tahap menengah ke atas. Hal ini dilihat dari kondisi bangunan sekolah yang memadai dan SPP sekolah. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2012. Pengambilan data berupa pengisian kuesioner oleh siswa menghabiskan waktu kurang lebih tiga hari di setiap sekolah. Data kuesioner orang tua terakhir dikumpulkan pada bulan Juli 2012.
Teknik Penarikan Contoh Populasi contoh pada penelitian ini adalah siswa kelas 4 dan 5 Sekolah Dasar (SD) di kota Depok. Alasan pengambilan contoh pada kelas 4 dan 5 adalah kemampuan siswa dalam menilai hubungannya dengan orang tua dan gurunya
18 lebih baik dibandingkan dengan siswa kelas rendah (1 – 3). Siswa kelas 4 dan 5 yang termasuk dalam contoh adalah siswa dengan kondisi normal, artinya berdasarkan diagnosa psikolog dan/atau guru bukan merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pengambilan contoh menggunakan metode acak beraturan dengan masing-masing sekolah terdiri dari 30 sampel sehingga total sampel adalah 150. Berikut adalah kerangka pengambilan contoh.
Sekolah Progresif
Sekolah Konvensional
Sekolah Umum
Kelas 4 Kelas 5 n = 30
Kelas 4 Kelas 5 n = 30
Sekolah Berbasis Agama
Sekolah Umum
Sekolah Berbasis Agama
Kelas 4 Kelas 5 n = 30
Kelas 4 Kelas 5 n = 30
Kelas 4 Kelas 5 n = 30
Gambar 3 Teknik penarikan contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Keseluruhan data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dengan menggunakan metoda wawancara menggunakan kuesioner. Data primer yang meliputi karakteristik anak (umur, jenis kelamin dan jumlah saudara), karakteristik orangtua (pendapatan, dan tingkat pendidikan), persepsi anak terhadap kelekatan antara guru-murid/anak, dan penilaian anak terhadap dirinya (self esteem-nya) yang diperoleh melalui kuesioner. Jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data. No 1.
Variabel
Indikator
Skala Data
Karakteristi k anak
Usia Jenis kelamin Jumlah saudara Lama mengajar Pendidikan Jenis Kelamin Persepsi murid terhadap hubungannya dengan gurunya
Rasio Nominal Rasio Ordinal Ordinal Nominal Ordinal
2.
Karakteristik guru
3.
Kelekatan
Respo n-den Anak Anak Anak Guru
Anak
Alat Bantu
Acuan
Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner
Kuesioner (19 item)
SIRS(Collins & Read, 1990; Davis, 2003; Pianta & Stuhlman, 2004; Ryan et al., 1998; Simpson, Rholes, and Phillips, 1996)-modifikasi
19
Lanjutan No
4.
Variabel
Self-esteem
Persepsi anak terhadap hubungannya dengan orangtuanya
Ordinal
Respo n-den Anak
Penilaian diri
Ordinal
Anak
Indikator
Skala Data
Alat Bantu
Acuan
Kuesioner (25 item)
PBI (Gordon Parker, Hilary Tupling dan L.B. Brown)
Kuesioner (25 item)
Self-Esteem Inventory (SEI) dari Coopersmith, 1981-modifikasi
Uji reliabilitas dan validitas dilakukan pada kuesioner kelekatan orang tuaanak, kelekatan guru-anak, dan self esteem. Tabel 2 menunjukkan nilai Cronbach α hasil dari uji validitas kuesioner tersebut Tabel 2 Hasil uji reliabilitas kuesioner kelekatan orang tua –anak, kelekatan guruanak, dan self esteem Kuesioner Kelekatan Orang tua-Anak: Parental Bonding Instrument Care Overprotection Kelekatan Guru-Anak : Student-Instructur Relationship Connectedness Anxiety Self Esteem Inventory
Nilai Cronbach α 0.873 0.551 0.841 0.587 0.741
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah terlebih dahulu melalui proses editiing, coding, scoring, entry data, cleaning data, dan analisis data. Lalu data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Untuk mengontrol kualitas data dilakukan uji reliabilitas dan uji validitas dengan metode Cronbach’s Alpha untuk kuesioner kelekatan orang tua-anak dan kelekatan guru-anak. Data yang dianalisis secara statistik deskriptif meliputi: 1. Data karakteristik anak yang terdiri atas: usia anak, jenis kelamin, dan jumlah saudara. 2. Data karakteristik orang tua yang terdiri atas: tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah, pendapatan total keluarga, serta status pekerjaan ibu. 3. Data kelekatan orang tua-anak yang diisi oleh anak menggunakan metode pengisian kuesioner, yaitu: Parental Bonding Instrument (PBI): Kuesioner ini diterjemahkan oleh penulis, terdiri dari 25 item pertanyaan tentang hubungannya dengan ibu dan 25 item pertanyaan yang sama tentang hubungannya dengan ayah. Kuesioner ini terdiri dari dua tipe kelekatan orang tua, yaitu Care dan Overprotection. Kelekatan Care terdiri dari 12 pertanyaan dan kelekatan overprotection terdiri dari 13 pertanyaan dengan 4 skala jawaban yaitu tidak pernah (skor 0), jarang (skor 1), sering (skor 2), dan selalu (skor 3). Kedua dimensi ini dibagi menjadi empat kategori (kuadran)
20
4.
yaitu; affectionate constraint (high care dan high protection), optimal parenting (high care dan low protection), affectionless control (low care dan high protection), dan neglectful parenting (low care dan low protection). Data kelekatan guru-anak, merupakan modifikasi dari kuesioner The StudentInstructor Relationship (SIRS) yang digunakan untuk mengukur hubungan guru-anak persepsi anak/murid. Kuesioner ini berprinsip pada teori dimana kualitas hubungan dianggap hal paling signifikan. Sebagai contoh, perasaan keterkaitan atau connectedness serta hubungan mendasar yang muncul atau hubungan erat dengan para guru, teman, dan orang tua itu merupakan bekal penting untuk mengatasi banyak hal (Collins & Read, 1990; Davis, 2003; Pianta & Stuhlman, 2004; Ryan et al., 1998; Simpson, Rholes, and Phillips, 1996). Kuesioner terdiri dari 19 item. Instrumen ini dikategorikan dalam dua dimensi, yaitu Instructor Connectedness dan Instructor Anxiety. 5. Data self esteem anak. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur selfesteem adalah alat ukur Self-Esteem Inventory (SEI) dari Coopersmith, 1981, yang diadaptasi dan dimodifikasi serta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh peneliti. Alat ukur ini terdiri atas 25 item yang berupa pernyataan yang menggambarkan diri responden. Kuesioner ini disertai 2 pilihan jawaban, yaitu : 1 (Sesuai denganku), 0 (Tidak sesuai denganku).
Statistik inferensial digunakan untuk mengeneralisasikan hasil penelitian dan data sampel, yaitu: 1. Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik anak (usia dan jumlah saudara), karakteristik orang tua (usia ibu, usia ayah, pendapatan total keluarga), kelekatan (kelekatan orang tua-anak, kelekatan guru-anak), dan self esteem. 2. Uji korelasi Spearman ini digunakan karena variabel-variabel yang akan diketahui hubungannya dianggap sebagai nominal dan ordinal. Hubungan antar variabel-variabel yang akan diuji yaitu sebagai berikut: Karakteristik orangtua (jumlah anak, pendapatan keluarga, pendidikan orang tua) dan karakteristik anak (umur, jenis kelamin anak) dengan kualitas kelekatan antara orangtuaanak. 3. Uji korelasi Chi-square digunakan untuk melihat hubungan antara jenis kelamin, dengan tipe sekolah. 4. Uji beda Anova digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata variabel numerik antar setiap sekolah. 5. Uji beda t-test digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata variabel numerik antar tipe sekolah (konvensional dan progresif). 6. Uji Ancova digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik anak, karakteristik orang tua, kelekatan terhadap self esteem dengan melihat asal sekolah yaitu progresif dan konvensional. Formulasi notasi uji Ancova adalah: Y1 = β0 + β1 X1 + β2 D1 + β3 X2 + β4 X3 + β5 X4 + β6 X5 + β7 X6 + β8 X7 + β9 X8 + β10 X9 + β11 X10 + β12 X11 + β13 D2 + ε Keterangan: Y1 = Self Esteem X1 = Usia anak (tahun)
21 D1 = Jenis kelamin (0 = laki-laki, 1 = perempuan) X2 = Jumlah saudara X3 = Usia ibu (tahun) X4 = Tingkat pendidikan ibu X5 = Tingkat pendidikan ayah X6 = Pendapatan total keluarga (Rupiah/bulan) X7 = Status pekerjaan ibu X8 = Kelekatan Ibu Care X9 = Kelekatan Ibu Overprotection X10 = Kelekatan Ayah Care X11 = Kelekatan Ayah Overprotection X12 = Kelekatan guru-anak connectedness X13 = Kelekatan guru-anak anxiety D2 = Dummy Tipe sekolah (0 = progresif, 1 = konvensional)
Definisi Operasional Usia anak dan usia guru adalah umur responden, baik anak maupun guru, dihitung dari tahun kelahiran sampai dengan tahun pengambilan data dan satuannya berupa tahun. Jenis kelamin anak dan guru adalah tipe seksual responden berupa pilihan lakilaki atau perempuan. Tingkat pendidikan ibu dan ayah adalah tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh oleh ibu dan ayah, mulai dari tidak sekolah, SD, SMP, SMA, diploma, S1, dan S2/S3. Pendapatan total keluarga adalah pemasukan dana yang diterima oleh orang tua (ayah dan ibu) setiap bulan dibagi dalam satuan rupiah. Jumlah saudara adalah keseluruhan anak yang dimiliki dalam satu keluarga mulai dihitung dari anak yang pertama sampai terakhir. Pendidikan guru adalah tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh oleh guru yang dibedakan dalam tiga kategori yaitu dari kependidikan, non kependidikan, dan pendidikan lainnya. Pendapatan guru adalah pemasukan dana yang diterima oleh guru setiap bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang ditanggung. Kelekatan adalah ikatan kasih sayang yang sangat dalam dan abadi yang menghubungkan antara seseorang dengan orang lain melintasi waktu dan ruang (Ainsworth 1973; Bowlby 1969). Kelekatan orang tua-anak adalah hubungan antara orang tua dan anak yang merupakan sumber emosional dan kognitif bagi anak. Hubungan tersebut memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan sosial. Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe 2002). Kelekatan guru-anak adalah hubungan sebagai suatu sistem timbal balik antara dua individu yang melibatkan interaksi, persepsi, dan karakteristik kedua individu yang bersangkutan. Lebih lanjut lagi Pianta mengatakan bahwa
22 hubungan merupakan suatu hasil dari beberapa komponen kegiatan yang terjadi berulang-ulang. Pianta (1999) menggambarkan hubungan sebagai refleksi dari pembentukan interaksi dan persepsi antara satu individu dan individu lainnya. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa suatu hubungan merupakan perilaku interaktif antar individu yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan atribut motivasional. Self-Esteem adalah sebagai evaluasi yang dibuat individu dengan penghargaan untuk dirinya dan mengindikasikan sejauh mana individu tersebut percaya bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan berharga. Secara singkat, selfesteem adalah pendapat personal akan keberhargaan diri yang diekspresikan dalam sikap individu yang berpengaruh terhadap dirinya (Coopersmith 1967) Sekolah konvensional adalah sekolah yang memiliki metode pengajaran klasikal di mana komunikasi yang berlangsung hanya satu arah yaitu guru menerangkan dan siswa mendengarkan. Sekolah progresif adalah sekolah yang memiliki metode pengajaran active learning dan tidak terdapat peringkat/ranking di setiap kelas.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai pengaruh kelekatan (attachment) orang tua-anak dan guru-anak terhadap pembentukan self esteem dilakukan di beberapa sekolah di kota Depok dengan dua tipe sekolah, yaitu SD progresif diwakili oleh satu SD Swasta Umum dan dua SD Swasta Berbasis Agama, sedangkan SD konvensional yang diwakili oleh satu SD Negeri dan satu SD Swasta Berbasis Agama. Kondisi dan keadaan SD yang diambil mempunyai kesetaraan baik fasilitas sekolah maupun keadaan ekonomi orang tua murid.
Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pertama dilakukan di SD Negeri yang berlokasi di Kecamatan Pancoran Mas dengan luas 2 639 m2. SD Negeri ini mempunyai fasilitas cukup lengkap dengan kondisi cukup baik. Jumlah keseluruhan siswa dari kelas 1-6 adalah 823 orang dengan jumlah guru 27 orang. Rata-rata satu kelas terdiri dari 40 siswa atau lebih dengan satu wali kelas. Guru lebih banyak menggunakan metode ceramah sehingga komunikasi yang terbentuk adalah komunikasi satu arah. Sistem penilaian menggunakan angka serta peringkat antar siswa di kelas, sehingga siswa dapat mengetahui tingkat kemampuannya berdasarkan nilai yang didapat. Sistem evaluasi yang digunakan guru untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi pelajaran berupa tes tertulis, unjuk kerja, portofolio, project, dan praktek. Tes tertulis biasanya dengan tipe soal pilihan ganda, isian, dan atau esai. Dari kelima sistem evaluasi yang dilakukan guru, tes tertulis mempunyai proporsi yang lebih besar dalam menentukan tingkat pemahaman siswa. Hal inilah yang membuat orientasi guru dalam mengajar adalah agar siswa dapat menjawab soal dengan benar (teaching to the test).
23 Lokasi penelitian kedua dilakukan di SD Swasta Berbasis Agama yang berlokasi di Kecamatan Pancoran Mas dengan luas 8 645 m2. Kondisi serta fasilitas yang dimiliki tergolong lengkap dan dalam keaadan baik. Jumlah keseluruhan siswa dari kelas 1-6 adalah 899 orang dengan jumlah guru 33 orang. Rata-rata satu kelas terdiri dari 40 siswa atau kurang dengan 1 wali kelas. Sama halnya dengan lokasi penelitian pertama, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah sehingga komunikasi yang terbentuk adalah komunikasi satu arah. Sistem penilaian menggunakan angka serta peringkat antar siswa di kelas, sehingga siswa dapat mengetahui tingkat kemampuannya berdasarkan nilai yang didapat. Sistem evaluasi yang digunakan guru untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi pelajaran berupa tes tertulis, unjuk kerja, portofolio, project, dan praktek. Tes tertulis biasanya dengan tipe soal pilihan ganda, isian, dan atau esai. Dari kelima sistem evaluasi yang dilakukan guru, tes tertulis mempunyai proporsi yang lebih besar dalam menentukan tingkat pemahaman siswa. Hal inilah yang membuat orientasi guru dalam mengajar adalah agar siswa dapat menjawab soal dengan benar (teaching to the test). Lokasi penelitian ketiga berada di Sekolah Dasar Swasta Umum yang berlokasi di Kecamatan Cimanggis dengan luas 3 hektar. SD tersebut memiliki fasilitas tergolong lengkap dengan kondisi baik. Jumlah keseluruhan siswa dari kelas 1-6 adalah 139 orang dengan jumlah guru 29 orang. Rata-rata satu kelas terdiri dari 20 siswa atau kurang dengan dua wali kelas. Guru lebih banyak menggunakan metode pengajaran active learning, komunikasi yang terjadi adalah komunikasi dua arah. Guru berperan sebagai fasilitator sehingga siswa terlihat lebih aktif. Diskusi sebagai salah satu cara yang digunakan guru, dalam hal ini siswa diberikan kebebasan dalam bertanya dan berpendapat. Pembelajaran bersifat tematik dari kelas 1-5, dan terlihat jelas tujuan dari tema yang ditentukan. Sistem evaluasi yang digunakan terdiri dari project, produk, tes tertulis, portofolio, dan performance. Siswa selalu diberikan penghargaan dari hasil kerjanya. Hal ini terlihat dari pemberian nilai kepada siswa tidak berupa angka namun narasi perkembangan kemampuannya. Sekolah ini juga tidak menggunakan peringkat antar siswa di kelas. Hasil karya siswa dipajang di kelas. Posisi serta lokasi belajar siswa bisa berubah, siswa terkadang duduk secara berkelompok, di kursi maupun di karpet tergantung dari kondisi. Terlihat jelas perbedaan dengan lokasi penelitian yang lain, sekolah ini mempunyai jadwal khusus selama kurang lebih 20 menit setiap pagi mengalirkan pengajaran karakter secara formal pada siswanya. Secara informal pengajaran karakter juga dilakukan dengan terintegrasi baik dalam kegiatan belajar maupun di luar jam belajar. Lokasi penelitian keempat berada di SD Swasta Berbasis Agama yang berlokasi di Kecamatan Beji dengan luas 1 935 m2. Kondisi fasilitas yang dimiliki tergolong lengkap dan cukup baik. Jumlahkeseluruhan siswa dari kelas 1-6 adalah 524 orang dengan jumlah guru 53 orang. Rata-rata satu kelas terdiri dari 30 siswa atau kurang dengan dua wali kelas. Guru menggunakan metode pengajaran student active learning dengan banyak diskusi, terutama pada mata pelajaran umum, seperti sains, sosial, bahasa Indonesia, dan lain sebagainya. Khusus pada mata pelajaran agama dan budi pekerti metode yang digunakan bervariasi terkadang diskusi atau ceramah, bahkan kombinasi keduanya. Tambahan materi akan diadakan bagi siswa yang belum mencapai target hafalan agamanya. Sistem
24 penilaian berupa angka. Susunan tempat duduk siswa dibuat berkelompok. Di dinding kelas terpajang hasil karya siswa. Lokasi penelitian kelima berada di SD Swasta Berbasis Agama yang berlokasi di Kecamatan Sukmajaya dengan luas 1 300 m2. Fasilitas yang dimiliki tergolong lengkap dengan kondisi baik. Jumlah keseluruhan siswa dari kelas 1-6 adalah 257 orang dengan jumlah guru 38 orang. Rata-rata satu kelas terdiri dari 20 siswa atau lebih dengan dua wali kelas. Sekolah ini menerapkan metode pengajaran active learning. Siswa diajak berdiskusi tentang materi pelajaran. Pengajaran mengenai agama seperti hafalan dilakukan dengan cara puzzle atau games.
Karakteristik Contoh Karakteristik Anak Usia Anak. Contoh terdiri atas anak yang merupakan siswa kelas 4 dan 5 dengan usia rata-rata 10 tahun, yaitu sebesar 51,3%. Selain itu, terdapat 18% berusia 9 tahun dan 30,7% berusia 11 tahun. Pemilihan contoh pada usia rata-rata 10 tahun (anak sudah kelas 4-5) dengan asumsi siswa sudah dapat menilai dan mengerti persepsi terhadap hubungannya dengan orang tuanya maupun dengan gurunya. Siswa kelas 4-5 juga lebih baik dalam pemahaman bacaan. Hasil uji beda t, rata-rata usia siswa yang menjadi contoh pada tipe sekolah progresif dan konvensional tidak berbeda secara nyata (Tabel 3). Jumlah saudara (anak dalam keluarga). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh memiliki dua orang saudara atau kurang. Tabel 3 menunjukkan hasil uji Anova dan t-test bahwa terdapat perbedaan jumlah saudara antar tipe sekolah. Contoh dari sekolah progresif memiliki saudara lebih banyak daripada contoh dari sekolah konvensional. Jumlah saudara ini diduga mempengaruhi kualitas kelekatan orang tua terhadap anaknya sehingga dapat mempengaruhi pembentukan self esteem anak. Tabel 3 Rata-rata usia contoh dan jumlah saudara serta perbedaannya antar tipe sekolah Karakteristik Usia anak Jumlah saudara
Konvensional MinRata-rata + Maks SD 9-11 10,13 + 0,7 1-5
2.35+ 0,799
Progresif Min-Maks Rata-rata + SD 9-11 10,12 + 0,684 1-6
2,71+ 1,073
p-value (uji beda ttest) 0,911 0,033
Jenis Kelamin. Diperkirakan berhubungan dengan kelekatan orang tua dan guru. Jenis kelamin anak diduga berpengaruh terhadap kualitas hubungan guru-anak. Perbedaan jenis kelamin anak merupakan prediktor perbedaan persepsi guru terhadap permasalahan perilaku dan kompetensi anak (Patterson, Kupersmidt & Vaden, diacu dalam Saft & Pianta 2001). Guru memiliki persepsi yang berbeda mengenai hubungannya dengan anak laki-laki dan perempuan, sehingga memiliki harapan yang berbeda pula. Perbedaan persepsi ini akan mempengaruhi perbedaan sikap dan perilaku guru, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kelekatan yang
25 terbentuk antara guru dengan anak. Perlakuan orangtua diduga juga berbeda menurut jenis kelamin anaknya. Tabel 4 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan hubungannya dengan tipe sekolah Karakteristik Anak Laki-laki Perempuan
Tipe Sekolah Konvensional Progresif 53.3% 43.3% 46.7% 56.7%
Total 47.3% 52.7%
Chi-Square 0.299
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh dalam penelitian ini adalah perempuan sebanyak 52,7% dan sisanya 47,3% berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan uji hubungan Chi-Square terdapat hubungan antara jenis kelamin dan tipe sekolah. Contoh dari sekolah konvensional lebih banyak berjenis kelamin laki-laki, sebaliknya contoh dari sekolah progresif lebih banyak berjenis kelamin perempuan.
Jenis Kelamin Contoh 56,70%
60,00% 50,00%
52,70%
46,70% 53,30%
40,00%
43,30%
47,30% Laki-laki
30,00%
Perempuan
20,00% 10,00% 0,00% Konvensional
Progresif
Total
Gambar 4 Sebaran contoh Karakteristik Orang Tua menurut jenis kelamin dan hubungannya dengan tipe sekolah orang tua terdiri dari tingkat pendidikan terakhir ibu dan ayah, Karakteristik Karakteristik Orang tua Karakteristik orang tua yaitu tingkat pendidikan, status pekerjaan ibu, dan pendapatan total keluarga. Tingkat pendidikan ibu diduga berhubungan dengan bagaimana pengasuhan ibu sehingga akan menunjukkan kelekatannya terhadap anaknya. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang tinggi diduga mempunyai kedudukan dan pekerjaan serta pendapatan yang tinggi pula. Hal ini akan mempengaruhi gaya hidup bahkan pola asuh serta kelekatan terhadap anakanaknya. Tabel 5 menjelaskan hampir setengah ibu dari contoh pada penelitian ini berpendidikan sarjana. Uji beda Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p 0,01) antara contoh sekolah progresif dan konvensional dalam hal tingkat pendidikan ayah dan ibu. Berdasarkan tingkat pendidikan, lebih dari separuh contoh ayah dan ibu memiliki tingkat pendidikan diatas diploma, yaitu sarjana atau pasca sarjana.
26 Tabel 5 Sebaran keluarga menurut tingkat pendidikan orang tua dan hubungannya dengan tipe sekolah Tingkat pendidikan
Ibu Konvensional
Progresif
1.7% 30.0% 26.7% 40.0% 1.7%
0.0% 12.2% 22.2% 53.3% 12.2%
SMP SMA DIPLOMA S1 S2/S3 Chi-Square
0.007**
Ayah Konvensional Progresif
16.7% 21.7% 46.7% 15.0%
2.2% 6.7% 62.2% 28.9% 0.000**
Tabel 6 menunjukkan sebaran status pekerjaan ibu, dimana ibu dari sekolah progresif lebih banyak yang bekerja di luar rumah. Hal ini terkait dengan pendidikan ibu bahwa dari sekolah progresif tingkat pendidikannya lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh ibu dari sekolah progresif yang bekerja yaitu sekitar 58.90% dan ibu yang tidak bekerja sekitar 41.10%. Sejalan dengan tingkat pendidikan ibu dari sekolah progresif lebih banyak yang berpendidikan tinggi minimal SMA. Contoh ibu dari sekolah konvensional yang bekerja sekitar 41.70% dan yang tidak bekerja sekitar 58.30%, dengan minimal pendidikan SMP. Tabel 6 Sebaran contoh menurut status pekerjaan ibu pada dua tipe sekolah Status Pekerjaan Ibu Ibu bekerja Ibu tidak bekerja
Tipe Sekolah Konvensional Progresif 41.7% 58.9% 58.3% 41.1%
Total 52.0% 48.0%
Keadaan ibu bekerja dan tidak bekerja ini diduga akan mempengaruhi kelekatan dengan anaknya sehingga berhubungan dengan pembentukan self esteem anak. Keberadaan ibu disamping anak setiap saat akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Dalam keluarga tradisional, ayah dan ibu mempunyai peran yang berbeda (Astrianti, 1999). Menurut Notosoedirjo dan Latipun (2002), ibu merupakan orang pertama yang mempunyai hubungan dengan anaknya. Ibu lebih banyak melewatkan waktu untuk memperhatikan anaknya secara fisik dan memberikan kesejahteraan secara afeksi (Berk 2003). Mereka mengatakan bahwa ibu menunjukkan karakteristik dalam memberikan empati dan kenyamanan emosional untuk anak-anaknya. Ibu bertanggung jawab untuk suasana emosional dan afektif dalam rumah, dan untuk membesarkan anak-anak, sedangkan ayah dianggap kurang berperan dalam hal membesarkan anak (Shulman & Seiffge-Krenke 1997). Tabel 7 menjelaskan pendapatan orang tua contoh. Pendapatan orang tua dari hasil penelitian menunjukkan rata-rata orang tua contoh dai tipe sekolah progresif memiliki pendapatan total sebesar Rp 15.287 466.67/bulan. Pendapatan total keluarga terkecil adalah Rp 0/bulan dan tertinggi mencapai Rp 75.000.000/bulan. Tipe sekolah konvensional memiliki rata-rata pendapatan total keluarga sekitar Rp 9.320 000.00/bulan. Pendapatan total keluarga terkecil adalah
27 Rp 1.000.000.00/bulan dan tertinggi mencapai Rp 30.000.000/bulan. Hasil uji Anova dan t-test pada Tabel 7 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dalam pendapatan total keluarga dari kedua antar tipe sekolah. Tabel 7 Rata-rata pendapatan total keluarga dan perbedaannya antar tipe sekolah Pendapatan Total
Konvensional
Progresif
Min-Maks Rata-rata (rupiah) Standar Deviasi
1.000.000-30.000.000 9 320 000.00 6 664 802.564
0-75.000.000 15 287 466.67 1.042E7
p-value (uji beda t-test) 0,000**
Pendapatan total keluarga dari sekolah progresif lebih besar daripada pendapatan total keluarga dari sekolah konvensional. Pendapatan keluarga dari contoh rata-rata cukup tinggi, artinya kelas ekonomi keluarga ini tergolong menengah keatas. Kelas ekonomi yang cukup tinggi ini akan mempengaruhi bagaimana karakteristik orang tuanya, dalam hal ini yang berkaitan dalam penelitian adalah self esteem. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Coorpersmith (1978) menyatakan bahwa seseorang yang berada dalam kelas ekonomi bawah cenderung memiliki self esteem yang rendah. Artinya dalam studi ini dimana kelas ekonomi para orang tua adalah tinggi sehingga dugaannya mereka mempunyai self esteem tinggi.
Kelekatan Orang tua dengan Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelekatan orang tua sekolah progresif baik ayah maupun ibu lebih banyak adalah kelekatan care. Sekitar 79.38 % kelekatan care ibu dan 71.33 % kelekatan care ayah. Artinya lebih dari setengah orang tua sekolah progresif mempunyai hubungan yang baik dengan anaknya, meskipun masih ada sekitar 37.75% ibu yang overprotection atau cara berkomunikasi orang tua adalah dengan aturan dan kontrol. Sekitar 34.93 % ayah juga overprotection terhadap anaknya. Sekolah konvensional juga menunjukkan lebih dari setengah orang tua yang kelekatannya care. Kelekatan ibu care cukup banyak yaitu 82.59 % dan kelekatan ayah care 76.25 %. Tabel 8 Sebaran contoh menurut tingkat kelekatan orang tua-anak pada kedua tipe sekolah Kelekatan Orang tua Care Overprotection
Konvensional ibu ayah 82.59 % 76.25 % 41.67 % 38.72 %
Progresif ibu ayah 79.38 % 71.33 % 37.75 % 34.93 %
Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa antara kedua tipe sekolah terdapat perbedaan yang nyata mengenai kelekatan ibu dengan dimensi overprotection. Sedangkan kelekatan ayah tidak ada perbedaan yang nyata antara kedua tipe sekolah. Sekolah konvensional lebih banyak ibu yang overprotection terhadap anaknya. Hal ini sangat dimungkinkan karena dengan berbagai program yang ada di sekolah konvensional yaitu PR, ulangan harian maupun tengah semester,
28 kemungkinan besar ibu akan sangat mengontrol kegiatan bermain anak ataupun kegiatan yang lain. Tabel 9 Rata-rata skor menurut tingkat kelekatan orang tua-anak dan hubungannya dengan tipe sekolah Rata-rata skor kelekatan orang tua-anak Ibu Care
Konvensional
Progresif p-value
Min-maks
Rata-rata+SD
Min-maks
Rata-rata+SD
0.42-1.00
0.8260+0.16051
0.44-1.00
0.7937+0.15316
0.216
0.08-0.69
0.4165+0.11615
0.08-0.64
0.3777+0.11737
0.048*
Care
0.33-1.00
0.7617+0.17314
0.28-1.00
0.7139+0.17061
0.097
overprotection
0.13-0.62
0.3870+0.12037
0.03-0.62
0.3493+0.12729
0.072
overprotection Ayah
Dalam penelitian ini juga dapat dilihat sebaran kelekatan orang tua secara lebih rinci yaitu melalui kuadran-kuadrannya (Tabel 10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu membangun kelekatan dengan anaknya secara affectionate constraint yaitu sekitar 42.7%, artinya seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya secara berlebihan dengan sangat mengontrol segala perilaku anaknya (high care and high protection), sehingga anak tertekan dengan control ibunya. Berikutnya adalah seorang ibu yang mampu menerapkan model optimal parenting hanya sekitar 28.7%, artinya ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan sangat baik sesuai porsi yang dibutuhkan dan memberi kebebasan kepada anak dalam menentukan pilihannya (high care and low protection). Kuadran berikutnya hubungan yang dibina ibu adalah affectionless control yaitu sekitar 26.0%, artinya ibu lebih banyak mengontrol anak dengan cukup ketat, namun tidak mengekspresikan bentuk kasih sayangnya. Dalam hal ini orang tua tidak memberi kebebasan dalam berpendapat atau memilih. Kuadran terakhir adalah neglectful parenting sekitar 2.7%, dimana ibu sama sekali tidak menunjukkan kasih sayangnya dengan baik dan juga tidak memberikan aturan atau control terhadap anaknya, dengan kata lain anak sangat diabaikan. Demikian juga ayah membangun kelekatan dengan anaknya sekitar 35.3% bersikap affectionate constraint, 31.3% optimal parenting, 28.7% Affectionless control dan 4.7% neglectful parenting. Tabel 10 Sebaran contoh menurut dimensi kelekatan orang tua – anak pada kedua tipe sekolah Kelekatan Orang tua
Affectionate constraint Optimal parenting Affectionless control Neglectful parenting
Konvensional
ibu Progresif
46.7%
40.0%
28.3%
28.9%
23.3%
27.8%
1.7%
3.3%
Total
42.7 % 28.7 % 26.0 % 2.7%
Konvensional
Ayah Progresif
40.0%
32.2%
30.0%
32.2%
28.3%
28.9%
1.7%
6.7%
Total
35.3 % 31.3 % 28.7 % 4.7%
29 Kelekatan yang dibangun orang tua ini akan terkait dengan perkembangan self esteem anak, menurut dugaan orang tua yang terlalu overprotection akan membuat anak tidak secure dengan lingkungan dan dirinya, yang berakibat terhadap perkembangan self esteem anak. Berbeda dengan orang tua yang lebih menunjukkan kasih sayanya dan kepeduliannya akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya. Anak akan merasa secure dengan lingkungan dan dirinya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan aman akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak serta lebih populer dikalangan teman sebayanya di sekolah. Anakanak ini juga lebih mampu membina hubungan persahabatan yang intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi. Anak dengan kondisi demikian akan lebih baik self esteemnya.
Kelekatan Guru dengan Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara guru dengan siswa dari kedua tipe sekolah dengan kelekatan connectedness tinggi sekitar 79.3% dan rendah sekitar 20.7% total dari kedua tipe sekolah. Kelekatan anxiety rendah sekitar 74.7% dan anxiety tinggi sekitar 25.3%. Tabel 11 Sebaran contoh menurut kelekatan guru-anak pada dua tipe sekolah Tipe Sekolah
Kelekatan guru-anak Connectedness rendah tinggi Anxiety rendah tinggi
Konvensional
Progresif
Total
20.0% 80.0%
21.1% 78.9%
20.7% 79.3%
78.3% 21.7%
72.2% 27.8%
74.7% 25.3%
Hasil uji beda t-test menunjukkan bahwa kelekatan guru-anak dari kedua tipe sekolah tidak berbeda nyata, meskipun tipe sekolah terlihat sedikit lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua tipe sekolah hubungan guru dan anak cukup baik dan dekat, terbukti lebih dari setengah kelekatannya adalah connectedness. Kelekatan yang baik ini diduga akan mempengaruhi perkembangan self esteem anak, karena peran guru hampir sama dengan peran orang tua saat di sekolah. Tabel 12 Rata-rata skor kelekatan guru–anak dan hubungannya dengan tipe sekolah Rata-rata skor kelekatan GuruAnak Connectedness
Min-maks
Rata-rata+SD
Min-maks
Rata-rata+SD
0.30-1.00
0.6450+0.16436
0.21-1.00
0.6179+0.16976
0.333
Anxiety
0.08-0.83
0.4252+0.15643
0.08-0.67
0.4316+0.13689
0.792
Konvensional
Progresif p-value
30 Tingkat Self Esteem Anak Self-esteem merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya dipertahankan oleh individu. Self-esteem mengekspresikan sikap dari penerimaan diri atau penolakan diri dan mengindikasikan kepercayaan individu untuk mampu, penting, sukses, dan berharga. Seorang anak akan mampu menghargai dirinya saat orang lainpun menghargai dirinya. Gambar 5 menunjukkan sebaran tingkat self esteem anak dari kedua tipe sekolah. Dari hasil penelitian rata-rata skor tingkat self esteem menunjukkan nilai yang hampir sama dari kedua tipe sekolah yaitu sekitar 17.55 untuk tipe konvensional dan 16.40 untuk tipe progresif. Total tingkat self esteem anak sekitar 50% tinggi, 46% sedang dan 4% rendah. Tingkat Self Esteem 60,0% 50,0%
55%
50%
48% 47%
46%
43%
40,0% rendah 30,0%
sedang tinggi
20,0% 10,0%
6%
1,7%
4%
0,0% Konvensional
Progresif
Total
Gambar 5 Sebaran contoh menurut tingkat self esteem anak berdasarkan tipe sekolah
Tabel 13 menunjukkan rata-rata skor tingkat self esteem anak. Rata-rata tingkat self esteem tipe sekolah konvensional sedikit lebih tinggi dari tipe sekolah progresif, meski tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Orang tua menjadi penentu utama terbentuknya self esteem anak. Selanjutnya ketika anak menginjakkan kaki pertama kali ke dunia sekolah, lingkungan sekolah terutama guru akan ikut serta dalam pembentukan self esteem anak. Tabel 13 Rata-rata skor tingkat self esteem anak dan hubungannya dengan tipe sekolah Rata-rata skor Self esteem
Konvensional Min-maks Rata-rata+SD 6-24
17.55+3.730
Progresif Min-maks Rata-rata+SD 7-24
16.40+4.329
p-value 0.095
Self-esteem contoh cukup baik, hal ini terlihat dari observasi yang dilakukan pada saat pengambilan data. Karakteristik anak-anak secara sekilas menunjukkan bahwa self esteemnya cukup baik. Pada umumnya ciri-ciri contoh dengan self-esteem tinggi nampak; (i) aktif dan dapat mengekspresikan diri
31 dengan baik, (ii) berhasil dalam bidang akademis, terlebih dalam mengadakan hubungan sosial, (iii) dapat menerima kritik dengan baik, (iv) percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri, dan (v) dapat menyesuaikan dirinya dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum dikenalnya.
Hubungan Kelekatan Orang Tua-Anak dengan karakteristik Orang tua dan Anak Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara bentuk kelekatan orang tua terhadap anaknya berdasarkan jenis kelamin dan jumlah saudara anak yang dimiliki (jumlah anak dari orang tua tersebut). Anak laki-laki merasa orang tuanya yaitu ibu menunjukkan sikap lebih overprotection daripada anak perempuan. Anak laki-laki disini merasa banyak hal yang dilarang oleh orang tuanya, ia tidak merasakan kebebasan dalam bereksplorasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua lebih overprotection terhadap anak laki-lakinya, karena dalam pergaulan dengan temannya anak laki-laki lebih keras. Tabel 14 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik orang tua dan anak dengan kelekatan orang tua pada dua tipe sekolah Konvensional Variabel
Jenis kelamin anak Usia anak Jumlah saudara Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Pendapatan keluarga Status Pekerjaan ibu
Progresif
Ibu Overprot Care ection
Ayah Overprot Care ection
Ibu Overprot Care ection
Ayah Overpro Care tection
0.185
-0.145
0.225
-0.098
0.096
-0.240*
0.142
-0.206
-0.046
0.031
-0.038
0.101
-0.009
0.061
-0.086
0.051
-0.070
-0.060
-0.077
-0.135
-0.190
0.210*
-0.105
0.198
0.142
0.056
0.101
0.012
0.023
-0.039
0.031
0.071
0.044
0.040
0.082
0.092
-0.039
-0.170
-0.055
0.055
0.187
-0.060
0.023
-0.175
0.079
-0.195
0.062
-0.069
-0.220
0.011
-0.105
0.159
0.099
0.154
-0.024
0.012
Keterangan: * nyata pada p ≤ 0.05, ** nyata pada p ≤ 0.01
Pada tipe sekolah konvensional, kelekatan orang tua tidak memiliki hubungan dengan karakteristik anak maupun karakteristik orang tua. Banyak faktor lain yang mungkin berhubungan namun tidak masuk dalam penelitian ini. Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa semakin banyak anak pada keluarga siswa di sekolah tipe progresif, maka orang tua mereka semakin overprotection. Artinya orang tua semakin banyak memberikan aturan dan memberikan batasan kepada anaknya dalam rangka mengontrol perilaku anak. Orang tua (Ibu) di sekolah progresif dari hasil penelitian lebih banyak yang bekerja, sehingga kuantitas pertemuan dengan anaknya lebih sedikit. Mengatasi hal tersebut dimungkinkan ibu lebih senang memberikan aturan-aturan dalam rangka mengontrol dari jarak jauh dan demi kenyamanan perasaan orang tua. Hasil uji Spearman menunjukkan tingkat pendidikan ibu dan ayah tidak berhubungan dengan tingkat kelekatan antara orang tua dengan anaknya. Hasil uji
32 Pearson juga menunjukkan bahwa pendapatan tidak berhubungan dengan tingkat kelekatan orang tua dengan anaknya.
Hubungan Kelekatan Guru-Anak dengan Karakteristik Anak Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara kelekatan connectedness dengan karakteristik anak. Sedangkan kelekatan anxiety memiliki hubungan dengan usia anak, semakin bertambah usia semakin tinggi tingkat kecemasannya. Hal ini dimungkinkan karena anak sudah mulai bisa merasakan sikap yang ditunjukkan oleh gurunya. Menurut (Pianta, 1999) anak yang penuh dengan kecemasan cenderung menjalin hubungan dengan guru hanya untuk kepentingan akademis saja. Anak yang menunjukkan penolakan cenderung menjalin hubungan yang tinggi dengan guru, namun hubungan yang terjalin tersebut sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh anak terhadap peraturan kelas. Semakin bertambah usia, anak bisa membaca situasi sehingga ketika dia melakukan kesalahan maka akan timbul kecemasan saat dekat dengan gurunya. Tabel 15 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik anak dengan kelekatan guruanak Variabel Jenis kelamin anak
Kelekatan guru-anak Konvensional Progresif Connectedness Anxiety Connectedness Anxiety -0.086 -0.103 -0.061 -0.062
Usia anak -0.153 0.094 Jumlah saudara -0.059 0.137 Keterangan: * nyata pada p ≤ 0.05, ** nyata pada p ≤ 0.01
-0.064 -0.127
0.378** 0.166
Hasil penelitian dari Lynch dan Cicchetti (dalam Birch & Ladd 1998) mengidentifikasi bahwa hubungan guru-anak berhubungan dengan kualitas emosi anak. Proses komunikasi di sekolah akan lebih menentukan kualitas kelekatan daripada karakteristik guru itu sendiri.
Hubungan Karakteristik Orang Tua dan Anak dengan Self Esteem Anak Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa pembentukan self esteem anak ditemukan tidak berhubungan dengan jenis kelamin, usia, maupun jumlah saudara dalam satu keluarga. Yang berhubungan cukup signifikan dalam pembentukan self esteem anak adalah tingkat pendidikan ibu dan status bekerja ibu, namun ini hanya terdapat pada sekolah tipe progresif. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka anak merasa memiliki self esteem yang rendah. Ibu yang lebih banyak bekerja di luar rumah berhubungan dengan semakin rendahnya self esteem anak. Hal ini diduga karena orang tua (ibu) dari tipe sekolah progresif, lebih banyak yang berpendidikan tinggi dan bekerja. Ibu mempunyai harapan yang tinggi terhadap anaknya, sehingga hal ini dapat membuat anak merasa dituntut untuk bisa memenuhi harapan ibunya. Harapan ibu yang tinggi, terkadang membuat ibu lupa
33 untuk memberi penghargaan terhadap sesuatu hal yang sudah diraih oleh anaknya. Tatkala ibu tidak menunjukkan penerimaan akan prestasi seorang anak maka anak akan merasa gagal. Menurut Notosoedirjo dan Latipun (2002), ibu merupakan orang pertama yang mempunyai hubungan dengan anaknya. Ibu lebih banyak melewatkan waktu untuk memperhatikan anaknya secara fisik dan memberikan kesejahteraan secara afeksi (Berk 2003). Ketika keberadaan ibu jarang, atau dengan kata lain ibu bekerja di luar rumah, maka keberadaan ibu di samping anak berkurang. Hal ini menyebabkan anak merasa terlewati masa bersama dan berdekatan secara fisik dengan ibunya. Tabel 16 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik orang tua dan karakteristik anak dengan self esteem Karakteristik Jenis Kelamin Anak Usia Anak Jumlah Saudara Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Pendapatan Status Pekerjaan Ibu
Self Esteem Konvensional Progresif 0.118 -0.029 0.043 -0.142 -0.054 -0.026 0.031 -0.048 0.026 -0.349** -0.002 -0.129 -0.048 0.210*
Keterangan: * nyata pada p ≤ 0.05, ** nyata pada p ≤ 0.01
Hubungan Kelekatan Orang Tua-Anak dan Kelekatan Guru-Anak dengan Self Esteem Anak Hasil uji Spearman (Tabel 17) menunjukkan self esteem anak berhubungan signifikan dengan kelekatan ibu dan ayah yang bersifat peduli (care). Kelekatan yang dibangun orang tua di rumah sangat berhubungan dengan perkembangan self esteem anak. Semakin tinggi kepedulian ibu dan ayah dalam menjalin hubungan kelekatan dengan anaknya, maka self esteem anak semakin tinggi. Pada tipe sekolah progresif ketika ibu atau ayahnya memberikan kontrol dan aturan yang berlebihan (overprotection), hal ini sangat berdampak pada semakin rendahnya self esteem anak. Pada tipe sekolah konvensional hubungannya tidak signifikan namun memiliki hubungan yang negatif, artinya kontrol dari orang tua secara berlebihan akan memberikan kontribusi dalam rendahnya self esteem anak. Tabel 17 Nilai koefisien korelasi antara kelekatan orangtua dan kelekatan guru dengan Self Esteem Kelekatan kelekatan Ibu Care kelekatan Ibu Overprotection kelekatan Ayah Care kelekatan Ayah Overprotection Kelekatan guru Connectedness Kelekatan guru Anxiety
Self Esteem Konvensional 0.481** -0.166 0.534** -0.118 0.300* -0.340**
Progresif 0.214* -0.221* 0.257* -0.232* 0.111 -0.490**
34 Keterangan: * nyata pada p ≤ 0.05, ** nyata pada p ≤ 0.01
Self esteem yang dirasakan oleh anak berhubungan dengan perasaan lekat dan khawatir terhadap gurunya. Semakin anak merasa lekat atau dekat (connected) dengan gurunya maka self esteem-nya meningkat, sebaliknya ketika anak merasa cemas untuk dekat dengan gurunya akan membuat self esteem anak rendah. Anak merasa membutuhkan guru dalam kaitan akademik, kemudian muncul kecemasan saat mengalami kesulitan dan kegagalan. Diduga hal ini membuat anak merasa takut dan kurang percaya dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan anak dalam kuesionernya dimana anak merasa dekat dengan guru antara lain siswa mudah dekat dengan guru dengan rata-rata jawaban setuju. Guru peduli dengan siswa dengan jawaban rata-rata setuju. Kondisi dimana siswa merasa cemas dengan gurunya saat mereka menyatakan bahwa mereka kurang nyaman menunjukkan perasaannya kepada guru dengan memberikan jawaban setuju.
Hubungan Kelekatan Orang Tua-Anak dan Kelekatan Guru-Anak Hasil uji Spearman (Tabel 18) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kelekatan yang terbentuk antara orang tua dengan anak di rumah berhubungan dengan kelekatan yang terbentuk antara guru dengan anak di sekolah. Saat anak merasa secure dengan orang tuanya, anak mampu bersosialisasi dengan baik di sekolah, terutama dengan gurunya sehingga terbentuk kelekatan dengan gurunya. Kelekatan yang memberikan rasa secure pada anak ini pada akhirnya sesuai hasil penelitian, bahwa anak tersebut mempunyai self esteem yang tinggi. Kelekatan dengan ayah juga akan memberikan kontribusi terhadap rasa nyaman pada diri anak, sehingga meningkatkan kemampuannya bersosialisasi dengan gurunya. Rasa secure ini juga memberikan rasa percaya diri pada anak untuk berani dekat dengan gurunya. Pada akhirnya self esteem anak juga semakin baik. Berbeda saat orang tua memberikan perlakuan yang terlalu mengontrol anak, berdampak pada perkembangan self esteem anak yang semakin rendah. Tabel 18 Nilai koefisien korelasi antara kelekatan orangtua dengan kelekatan guru dan dengan self esteem anak Kelekatan Guru-Anak Connectedness Anxiety Self Esteem Kelekatan ibu care 0.381** -0.289** 0.333** Kelekatan ibu overprotection -0.054 0.153 -0.175* Kelekatan ayah care 0.456** -0.354** 0.379** Kelekatan ayah overprotection -0.080 0.103 -0.174* Keterangan: * nyata pada p ≤ 0.05, ** nyata pada p ≤ 0.01 Kelekatan Orang tua-Anak
Perkembangan self esteem anak atau seseorang dipengaruhi oleh pola asuh atau lingkungan keluarga sejak kecil. Para ahli berkeyakinan bahwa harga diri tidak diperoleh dengan instan, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini dalam kehidupan bersama orang tua. Pola asuh dan interaksi pada usia dini merupakan faktor yang sangat mendasar bagi pembentukan harga diri. Sikap
35 orang tua akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. Orang tua yang menunjukkan perhatian, penerimaan, cinta, dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak akan membanglitkan rasa percaya diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orang tuanya dan sikap orang tua kepada anak tersebut dapat membuat anak merasa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Dikemudian hari, anak akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri seperti orang tuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya. Hal ini dapat menumbuhkan harga diri yang positif bagi anak. Demikian juga ketika anak akan terjun ke dunia sekolah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Esteem Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi Self Esteem anak adalah karakteristik anak (usia anak, jenis kelamin, dan jumlah saudara), karakteristik orang tua (tingkat pendidikan Ayah dan ibu, serta pendapatan total keluarga), kelekatan (kelekatan ibu dan ayah, kelekatan guru dengan anak), serta tipe sekolah. Tabel 19 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Esteem B Mean Square Variabel Corrected Model 69.853 Intercept 21.046 171.565 Jenis Kelamin(1: laki-laki, 2: -0.197 1.327 perempuan) Usia Anak(tahun) 0.080 0.412 Jumlah saudara(orang) 0.297 11.342 Pendidikan ayah(tingkat) 0.161 1.727 Pendidikan ibu(tingkat) -0.698 39.118 Pendapatan total 0.000 17.525 keluarga(rupiah/bulan) kelekatan ibu care(skor) 5.494 92.987 Kelekatan Ibu Overprotection(skor) -5.714 57.494 kelekatan guru-anak anxiety(skor) -8.991 206.600 Tipe sekolah Progresif(0) -0.679 12.922 Tipe sekolah Konvensional(1) 0a R Squared Adjusted R Squared Keterangan: * nyata pada p ≤ 0.05, ** nyata pada p ≤ 0.01
F 5.284 12.978
Sig. 0.000 0.000
0.100
0.752
0.031 0.858 0.131 2.959
0.860 0.356 0.718 0.088
1.326
0.252
7.034 0.009** 4.349 0.039* 15.628 0.000** 0.977 0.325 0.275 0.223
Hasil uji Ancova pada p≤0.05 (Tabel 19) menunjukkan bahwa faktor yang cukup berpengaruh dalam pembentukan self esteem anak adalah kelekatan anak dengan orang tua terutama ibu dan kelekatan anak dengan guru. Seorang ibu yang hubungannya lekat care terbukti berpengaruh terhadap pembentukan self esteem anaknya. Makin tinggi self esteem anak ketika ibu membangun kelekatan care. Berbeda dengan ibu yang terlalu overprotection dapat menghambat perkembangan emosi anaknya. Semakin anak dikontrol oleh orang tua, ternyata
36 self esteem anak juga menjadi semakin rendah. Demikian juga ketika anak merasa cemas dekat dengan gurunya ternyata sangat berpengaruh terhadap perkembangan pembentukan self esteem anak. Anak yang terlalu dikontrol oleh orang tuanya, di sekolah juga mengalami kecemasan dekat dengan gurunya maka dampak yang terjadi adalah self esteem anak makin rendah. Tipe sekolah tidak berpengaruh terhadap pembentukan self esteem anak, selama guru mampu membangun kelekatan yang baik dengan anak maka bagaimanapun bentuk pembelajaran ternyata tidak berpengaruh terhadap pembentukan self esteem anak. Selama orang tua juga mampu membangun kelekatan dengan anaknya, kemudian di sekolah anak akan mudah bersosialisasi sehingga mudah membangun kelekatan dengan gurunya. Saat dekat dengan gurunya anak merasa dihargai dan terakui sehingga self esteemnya terbentuk dengan baik. Pembahasan Umum Self-esteem adalah kebutuhan yang sangat penting untuk setiap individu. Self-esteem merupakan kebutuhan dasar yang berkontribusi dalam kehidupan individu selama proses hidupnya. Self-esteem terus berkembang seiring dengan perkembangan individu dan merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang rentang kehidupan individu (Coopersmith 1967). Terbentuknya self esteem yang baik sejak dini dari keluarga (rumah) akan dapat menentukan adaptasi anak di lingkungan yang lebih luas misalnya sekolah. Dari hasil penelitian menemukan beberapa fakta yang terkait dengan self esteem. Pertama adalah karakteristik orang tua, dimana tingkat pendidikan yang tinggi mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan self esteem anak. Tingkat pendidikan yang tinggi orang tua, memunculkan ego dari orang tua bahwa anaknya adalah penerusnya, sehingga harapan dan cita-cita yang dibebankan kepada anak cukup tinggi. Harapan dan cita-cita tersebut jika dibebankan kepada anak tanpa melihat potensi yang dimiliki anak, akan menuntut anak bekerja keras demi orang tuanya. Orang tua mungkin tidak menerima jika anaknya mengalami kegagalan. Jika hal ini terjadi maka anak akan merasa tidak berharga dan rendah diri. Menurut Papalia dan Olds (2004) bahwa orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, dapat menurunkan self esteem anak, sedangkan orang tua yang hangat, responsive dan memiliki harapan-harapan realistik akan meningkatkan self esteem anak. Temuan lain dalam penelitian ini adalah status bekerja ibu yang berhubungan dengan self esteem anak. Ibu yang bekerja di luar rumah mempunyai anak yang self esteemnya rendah. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam penelitian ini ibu yang bekerja adalah ibu yang pendidikannya tinggi, jadi masih ada kaitan dengan berbagai harapan serta cita-cita ibu terhadap anaknya. Anak akan tertekan dengan harapan tersebut, sedangkan keberadaan ibu tidak selalu bisa hadir secara dekat bagi anak. Keberadaan ibu akan mempengaruhi kelekatan yang terbangun antara ibu atau ayah dengan anaknya. Kelekatan orang tua yang baik (care) akan berhubungan dengan tingkat self esteem anak. Semakin orang tua lekat anak semakin secure dan self esteem juga semakin tinggi. Menurut Branden (1994)
37 bahwa pentingnya peran keluarga khususnya orang tua dalam pembentukan self esteem anak. Hubungan antara anak dengan orang tua merupakan bagian dari interaksi sosial yang dilakukan anak dengan lingkungan keluarganya. Hubungan tersebut memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan sosial. Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe 2002). Hal ini bisa menjadi pondasi awal terbentuknya self esteem seorang anak. Orang tua yang mampu membangun kelekatan secara optimal dengan anaknya serta tepat akan membantu seorang anak dalam membentuk self esteem-nya. Felson dan Zielinski (dalam Rice, 1999) mengemukakan bahwa dukungan orang tua dalam bentuk pujian, komunikasi dan afeksi merupakan hal penting dalam perkembangan harga diri (self esteem). Selain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah (guru) juga mempunyai peran yang sama dengan orang tua. Seperti halnya hubungan orang tua-anak, hubungan guru-anak yang terjalin di sekolah melibatkan emosi dan sosial antar keduanya (Pianta 1999). Menurut Lynch dan Cicchetti (dalam Birch & Ladd 1998) bahwa hubungan guru-anak terkait dengan kualitas emosi anak. Anak yang termasuk ke dalam kategori hubungan yang lemah cenderung memiliki emosi positif yang rendah dan mencari kedekatan psikologis yang tinggi dengan guru. Hubungan yang tidak lekat antara guru dan anak dicirikan dengan rendahnya emosi positif pada anak dan rendahnya kedekatan psikologis antara guru dan anak. Anak merasa tidak aman dan tidak puas kepada guru, dan tidak memiliki keinginan untuk lebih dekat dengan guru. Banyak faktor yang mempengaruhi hubungan guru-anak, salah satunya adalah kualitas kelekatan ibu dan anak. O’Connor dan McCartney (2007) mengemukakan bahwa kualitas guru anak dipengaruhi oleh pengalaman kelekatan anak dengan ibunya. Penelitian ini juga membuktikan bahwa saat anak mempunyain kelekatan yang baik (care) maka di sekolah anak mampu membangun hubungan dan kelekatan yang connectedness dengan gurunya. Anak yang secure sejak dari rumahnya, kemudian tatkala mereka terjun ke lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah mereka juga secure dan mampu membangun hubungan yang secure dengan gurunya. Pastinya anak yang demikian juga memiliki self esteem yang tinggi. Begitu juga sebaliknya orang tua yang overprotection atau tidak mengeskspresikan kepeduliannya dengan lebih baik dengan anaknya, yang terjadi adalah anak tidak secure dan saat harus terjun ke lingkungan yang lebih luas, mereka juga tidak secure serta merasa minder. Merasa minder ini bagian dari penghargaan terhadap dirinya yang rendah, sehingga self esteemnya pun rendah. Hasil penelitian membuktikan bahwa pembentukan self esteem anak sangat dipengaruhi oleh kelekatan dengan orang terdekat yang sering melakukan interaksi dengannya. Pertama, yang paling berpengaruh dalam penelitian ini adalah kelekatan dengan guru. Seorang guru yang membuat siswanya merasa cemas saat berdekatan dengannya akan membuat siswa mempunyai self esteem yang rendah. Kekhawatiran anak jika tidak memenuhi harapan guru misalnya mendapatkan nilai jelek, merupakan salah satu penyebab siswa selalu cemas dan tidak percaya diri. Selain kelekatan dengan guru, pengaruh terbesar berikutnya adalah ibu. Seorang ibu yang mampu membangun kelekatan dengan baik bersama
38 anaknya, maka self esteem anak terbentuk dengan baik. Ibu mengekspresikan kepedulian dan kedekatan dengan anaknya secara nyata, maka anak akan merasa dihargai dan diakui oleh kedua orang tuanya. Berbeda halnya jika ibu terlalu mengontrol kinerja anaknya serta menunjukkan otoritasnya, anak merasa tidak mampu, dan mungkin selalu tergantung dengan ibunya. Hal ini akan berdampak pada rendahnya self esteem anak. Tipe sekolah progresif dan konvensional tidak memberikan pengaruh terhadap pembentukan self esteem anak, meskipun sarana prasarana baik, dan pembelajaran yang berbeda. Kenyamanan diri yang tertanam dalam hati, yang memberi pengaruh besar terhadap pembentukan self esteem. Kenyamanan diri ini akan memberikan kebahagiaan, penerimaan terhadap diri sehingga self esteem berkembang dengan baik. Para ahli menemukan hubungan yang kuat antara self esteem dengan kebahagiaan individu (Santrock 2007). Berdasarkan hasil penelitian, orang tua memiliki tugas yang penting untuk membangun kelekatan dengan anaknya. Para pendidik perlu terus memberikan stimulasi yang positif bagi anak agar menjadi manusia yang mempunyai self esteem tinggi. Self esteem merupakan penilaian atau evaluasi individu yang diberikan kepada dirinya sendiri yang meliputi penilaian yang positif atau negatif yang dinyatakan oleh sikap penerimaan atau penolakan terhadap dirinya dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga. Perkembangan self esteem anak dipengaruhi oleh pola asuh atau lingkungan keluarga sejak kecil. Para ahli mengatakan harga diri (self esteem) tidak diperoleh dengan instan, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini dalam kehidupan bersama orang tua. Pola asuh dan interaksi di usia dini merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan harga diri. Sikap orang tua akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. Orang tua yang menunjukan perhatian, penerimaan, cinta, dan kasih sayang dan kelekatan emosional yang tulus dengan anak akan membangkitkan rasa percaya diri pada anak. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orang tuanya dan sikap orang tua kepada anak tersebut dapat membuat anak merasa dirinya tetap dihargai dan dikasihi. Di kemudian hari, anak akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri sesuai kemampuannya seperti orang tuanya yang tidak memaksakan harapannya diri anak secara berlebihan, hal ini dapat menumbuhkan harga diri yang positif bagi anak. Harga diri positif yang sudah terbentuk sejak anak-anak akan sangat menentukan kemampuannya bersosialisasi ketika remaja. Namun keterlibatan orang tua tidak putus hanya sampai anak-anak, bahkan sampai remaja atau dewasa peran kelekatan orang tua tetap mempengaruhi seorang anak dalam menilai dirinya sendiri. Menurut Atwater (1983) penerimaan dan perhatian dari orang tua selama masa pertumbuhan merupakan faktor penting yang mempengaruhi perkembangan diri remaja, salah satunya adalah harga diri. Berdasarkan penelitian Coopersmith (dalam Borualogo, 2004) diketahui bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam meningkatkan harga diri anak terutama pada masa remaja. Demikian sebaliknya orang tua yang mengontrol anak dengan berlebihan akan muncul dalam persepsi anak bahwa dirinya tidak berharga, sehingga muncul rasa ketidakpercayaan diri yang berakibat pada penerimaan diri serta penilaian diri yang rendah.
39 Hasil penelitian uji pengaruh nilai adjusted R squared yang diperoleh dalam penelitian sebesar 22.3% menunjukkan adanya variabel-variabel lain di luar dari variabel yang diteliti. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar lebih banyak hal yang terungkap. Beberapa peneliti lain yaitu, menurut Coopersmith (1967) dalam perkembangannya, self-esteem dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu antara lain adalah karakteristik Orangtua. Terutama karakteristik ibu, yaitu self esteem ibu dan stabilitas emosi ibu. Seorang ibu dengan self-esteem tinggi akan mempunyai standar yang tinggi dalam self-esteem dan memiliki emosi yang stabil daripada ibu dengan self-esteem rendah. Seorang ibu yang memiliki emosi tidak stabil dan sangat tergantung pada suasana hatinya, tidak dapat memberikan perhatian dan konsisten dalam berkomunikasi dengan anak mereka. Seorang ibu dengan self-esteem tinggi akan lebih percaya diri dan memiliki daya tahan dalam sikap dan tingkah laku mereka berhubungan dengan perawatan anak mereka. Sedangkan seorang ayah dengan self-esteem tinggi akan lebih memperhatikan dan menerima anaknya, dan kemudian anak tersebut akan mempercayai ayahnya. Menurut Hurlock (2004) terdapat empat komponen-komponen self esteem, yaitu: pertama Aktifitas sosial (Social activities), dalam hal ini seorang individu melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan interaksi sosial yang ada dilingkungan sekitar individu. Kedua Sekolah (School), seseorang yang mempunyai kemampuan yang baik atau intelegensi yang baik di sekolah dapat mempengaruhi self esteemnya. Bila individu memiliki intelegensi tinggi maka ia akan memiliki gambaran yang pasti tentang dirinya sebagai orang yang mampu menghadapi tantangan baru, memiliki rasa percaya diri tinggi, serta tidak putus asa apabila menghadapi kegagalan. Individu seperti itu digolongkan sebagai orang yang memiliki harga diri tinggi. Ketiga adalah Keluarga (Family), merupakan salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya harga diri pada anak dan remaja adalah pengasuhan dari orang tua. Individu yang diasuh dengan penerimaan dan kehangatan serta memiliki suasana rumah yang memahami dan toleran, memiliki harga diri yang tinggi dibandingkan dengan remaja yang diasuh dengan orangtua yang permisif dan otoriter. Keempat adalah Diri (Self), merupakan seseorang yang menilai dan menyatakan dirinya sebagai orang yang dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, maka ia akan mengembangkan perasaan yang baik, bernilai bagi orang lain, merasa bahagia. Keadaan inilah yang akan berpengaruh terbentuknya self esteem yang positif pada diri sendiri.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa yang mempunyai pengaruh terbesar dalam pembentukan self esteem adalah saat anak dalam kondisi secure. Kondisi nyaman atau secure tercipta saat adanya kelekatan antara orang tua dengan anaknya. Tingkat self esteem anak akan tinggi ketika orang tua membangun kelekatan dengan cara perduli dan memberi kebebasan kepada anaknya (care). Demikian sebaliknya, self esteem anak semakin rendah tatkala
40 orang tua dalam membangun kelekatannya dengan cara mengatur dan mengontrol anak tanpa memberi kebebasan dalam memilih atau berpendapat (overprotection). Keberadaan guru di sekolah juga mempunyai peran yang sama dengan orang tua, dimana semakin anak lekat dengan guru (kelekatan connectedness) maka semakin tinggi self esteem anak. Terdapat hubungan antara kelekatan orang tua-anak care dengan kelekatan guru-anak connectedness, ketika anak secure atau lekat dengan orangtuanya, maka anak mampu membangun kedekatan dengan gurunya dan self esteem anak juga tinggi. Demikian sebaliknya, anak yang tidak secure atau orang tuanya terlalu mengontrol dan mendominasi segala perilaku anak maka di sekolah anak cenderung mengalami kecemasan saat dekat dengan gurunya dan self esteem anak rendah. Tipe sekolah progresif dan konvensional tidak mempengaruhi pembentukan self esteem anak. Dalam hal ini berbagai model pembelajaran mungkin dapat diterima dan dijalani anak selama anak merasa nyaman dengan gurunya. Hal ini memperlihatkan bahwa Locus of control internal anak lebih menetukan bagaimana self esteemnya. Rasa secure atau nyaman anak terhadap orang tua dan gurunya akan memberikan dampak lebih besar terhadap pembentukan self esteem anak.
Saran Terbuktinya hasil penelitian bahwa kelekatan mempengaruhi pembentukan self esteem anak, maka bagi orang tua, perlu lebih bijak dalam membina hubungan dengan anaknya. Saat ibunya bekerja, sebaiknya lebih memperhatikan bagaimana cara membangun kelekatan dengan anak agar anak tetap merasa ibunya memperhatikan dengan penuh cinta dan kasih sayang sehingga anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai dimata orang tuanya. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional lebih baik memperkaya programnya dengan penyuluhan terhadap pengasuhan anak. Dalam hal ini BKKBN perlu membuat suatu program resmi yang wajib diikuti penduduk Indonesia tidak hanya program dua anak, tetapi program wajib sayang keluarga. Program Sayang Keluarga ini mempunyai misi bagaimana menjadi orang tua bijak dan menghasilkan anak yang berkualitas. Bagi perusahaan besar dianjurkan mempunyai program mensejahterakan dan pemberdayaan masyarakat setempat berupa program parenting melalui divisi Corporate Social Responsibility, karena ketidaktahuan orang tua dalam pengasuhan dan hal-hal yang mempengaruhi perkembangan anak, terutama self esteem akan berkontribusi terhadap rusaknya generasi bangsa. Program parenting ini juga sebaiknya diadakan secara berkala, misalnya dua bulan sekali dan dalam skala kecil yaitu perwilayah RW. Tujuannya agar terjadi diskusi yang cukup antara fasilitator atau pembicara dengan orang tua. Pihak Sekolah dan guru dapat memberi dukungan kepada murid serta membangun komunikasi yang baik, serta menilai siswanya agar selalu positif dengan tidak membandingkan dengan anak lain. Sekolah juga perlu memberi pelatihan tentang komunikasi efektif dan perkembangan anak kepada gurunya agar lebih mampu mengenal anak berikut karakteristik perkembangannya sesuai
41 umur. Program parenting melalui komite juga perlu digalakkan oleh sekolah agar visi misi sekolah dalam pendidikan anak tercapai. Bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya saat pengisian kuesioner dibantu dengan metode wawancara satu persatu responden sehingga mendapat data yang lebih lengkap. Responden selain dari persepsi anak juga dari persepsi orang tua maupun guru. Adapun teknik penarikan contoh perlu lebih luas agar dapat merepresentasikan kondisi siswa dan keluarga di wilayah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Ainsworth, M. D. S. 1979. The development of infant–mother attachment. In B. Caldwell & H. Ricciuti (Eds.), Review of child development research (Vol. 3, pp. 1–94). Chicago: University of Chicago Press. Atwater, E. 1983. Psychology of adjustment: Personal growth in a changing world. (2nd ed.), Englewood Cliffs, Prentice-Hall, New Jersey. Astrianti, S. 1999. Perbedaan kualitas relasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan dengan ayahnya. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Battle, J. 1992. Culture – free Self-esteem Inventories for Children and Adults. Texas: Pro-Ed.Beck, Beck, A. T. 2009. Foreword. In F. M. Dattilio, Cognitive-behavioral therapy with couples and families: A comprehensive guide for clinicians. New York: Guilford Press. Becker GS. 1991. A Treatise on the Family. Cambridge: Harvard University Press. Berk, L. E. 2003. Child development (6th ed.), MA: Allyn & Bacon, Boston. Berns, Roberta. 1997. Child, family, school, community: Socialization and support. 4th edition. Harcourt Brace College Publishers Belsky, J. Ed. 1988. Infancy, Childhood and adollescene. Clinical Implication of Attachment. Lawrence Erlbaum Associate Birch, S. H., & Ladd, G. W. 1997. The teacher–child relationship and children’s early school adjustment Journal of School Psychology, 35, 61–79. Birch, S. H., & Ladd, G. W. 1998. Children’s interpersonal behaviors and the teacher–child relationship. Developmental Psychology, 34, 934–946Birch & Ladd, 1998 Borualogo, I. S. 2004. Hubungan antara persepsi tentang figur attachment dengan self-esteem remaja panti asuhan Muhammadiyah”, Jurnal Psikologi, 13, 1, 2949, Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung, Bandung. Bowlby, J. 1969. Attachment and loss, volume one: Attachment. Victoria: Penguin Books. Bronfenbrenner, U. 1990. Discovering what families do. In Rebuilding the Nest: A New Commitment to the American Family. Family Service America. Branden, N. 1994. The six pillars of self-esteem. New York: Bantam Books. Branden, 1992. The Power of Self-esteem. Health Communication, Inc. Canfield, Jack. 1986. Self esteem in the Classroom: A Self Esteem Curriculum. Culver City, CA: Self Esteem Seminars Coopersmith, S. 1967. The Anticedents of Self Esteem. San Francisco: W.H Freeman and Company
42 Dariuszky, G. 2004. Membangun Harga Diri. Bandung : CV. Pionir Jaya. Dirgagunarsa, S., & Dirgagunarsa, Y. S. 2003. ”Psikologi remaja”, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Erikson, E.H. 1963. Childhood and society, (2nd ed.). New York: Norton. Erikson, E. 1986. Childhood and Society. Publisher Norton & Company, Incorporated, W. W Gerungan W.A. 1987. Psikologi Sosial. Bandung: PT Erasco. Greenberg, M., Kusche, C., Cook, E., & Quamma, J. 1995. Promoting emotional competence in school-aged children: The effects of the PATHS curriculum. Development and Psycholopathology, 7, 117–136. Gunarsa S. D. 1989. Psikologi Perkembangan: Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ. Penerbit Bantam Books. University Michigan. 352 hal. Harter, S. 2006. The development of self-representations in childhood and adolescence. In W. Damon & R. Lerner (Eds.), Handbook of child psychology (6th ed.). New York: Wiley Herbert M. 2004. Parenting across the lifespan. Di dalam: Hoghughi M, Long N, editor. Handbook of Parenting: Theory and Research for Practice. London: Sage Publications Ltd. Hetherington, E. M., & Parke, R. D. 2003. Child psychology: A contemporary viewpoint., (5th ed.), McGraw-Hill, New York,. Hurlock, E.B. 2004. Psikologi Perkembangan. PT Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Hurlock, E. B. 1994. Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang hidup”, (penerjemah : Istiwidayanti & Soedjarwo), Penerbit Erlangga, Jakarta. Hurlock, E. B. 1978. Child Development: McGraw-Hill. University Michigan Kartadinata, Sunaryo. 1983. Kontribusi Iklim Kehidupan Keluarga dan Sekolah terhadap Adekuasi Penyesuaian Diri, Tesis, Bandung : FPS IKIP. Kohn, A. 2008. (Spring). Progressive education: Why it’s hard to beat, but also hard to find. Independent School. Maddox SJ, Prinz RJ. 2003. School bonding in children and adolescents: conceptualization, assessment, and associated variables. Department of Psychology, University of South Carolina, Columbia, South Carolina 29208, USA.
[email protected] Megawangi, R. 2007. Character Parenting Space. Publishing House Bandung: Mizan. Megawangi R, Dina WF, Riza, Merdekawati EF. 2010. Seri Pendidikan Karakter: Mencetak Generasi Kreatif. Depok: Indonesia Heritage Foundation. MizanMiller, B.C., Fan, X., Christensen, M., Grotevant, H.D., & Van Dulmen, M. 2000. Comparisons of adopted and nonadopted adolescents in a large, nationally representative sample. Child Development, 71, 1458-1473. Munandar Utami. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: Rineka Cipta Notosoedirjo, M., & Latipun. 2002. Kesehatan Mental: Konsep dan penerapan. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang,.
43 O’Connor E, & McCartney, K. 2007. Examining teacher-child relationships and achievement as part of an ecological model of development. American Educational Research Journal, 44, 340-370. Papalia D. E, Olds, S. W, & Feldman, R.D,. 2004. “Human development”, (9th ed.),McGraw-Hill, New York. Pianta, R. C. 1999. Enhancing relationships between children and teachers. Washington, DC: American Psychological Association. Pianta, R. C., Hamre, B., & Stuhlman, M. 2003. Relationships between teachers and children. In W. Reynolds and G. Miller (Eds.), Comprehensive handbook of psychology: Vol. 7. Educational psychology, 199–234. Pinderhughes EE, Dodge KA, Zelli A, Bates JE, Pettit GS. 2000. Discipline responses: Influences of parents’ socioeconomic status, ethnicity, beliefs about parenting, stress, and cognitive-emotional processes. Journal of Family Psychology 14(3):30-400. Powell, Robert G., & Caseau. 2004. Classroom Communication and Diversity: Enhancing Instructional PracticeLEA's communication series. Penerbit L. Erlbaum Associates. Rao U. 1994. Adolescent depression may lead to depression later in life. The Brown University Child and Adolescent Behavior Letter. Rice, F. P, 1999. The adolescent: Development, relationships, and culture, (9th ed.), Needham Heights, Allyn & Bacon, MA,. Saft, E.W.,& Pianta,R.C. 2001. Teacher’s perceptions of their relationship with student effect of child age, gender & ethnicity of teachers and children. School Psychology Quarterly, 16, 125-145. Santrock, J.W. 2007. A topical approach to life-span development, third Ed. New York: McGraw-Hill. Santrock, J. W, 2004. Life-span development. (9th ed.), McGraw-Hill, New York,. ___________,”Adolescence”, (10th ed.), McGraw-Hill, New York, 2007. Santrock, J.W. 1997. Perkembangan Anak. Edisi kesebelas. Jilid 1 dan 2. Penerbit Erlangga Shulman, S., & Seiffge-Krenke. 1997. I, Fathers and adolescents: Developmental and clinical perspectives”, Routledge, London. Stephens MA. 2009. Gender Differences in Parenting Styles and Effects on the Parent Child Relationship. Thesis. Texas State University. Supriadi, Dedi. 1985. Kontribusi Kualitas Interaksi Anak-Orang Tua dalam Keluarga dan Siswa-guru di Sekolah terhadap Kepribadian Kreatif, Tesis, Bandung: FPS IKIP. Sutcliffe, J. 2002. Baby Bonding, Membentuk Ikatan Batin dengan Bayi. Jakarta: Taramedia & Restu Agung
44 Lampiran 1 Nilai minimum, maksimum dan standar deviasi setiap variabel yang diteliti Progresif Variabel Usia anak Jumlah saudara Self Esteem Kelekatan guru-anak connectedness Kelekatan guru-anak anxiety Kelekatan ibu care Kelekatan ibu overprotection kelekatan ayah care kelekatan ayah overprotection pendapatan total keluarga
Konvensional Std. Mean Deviation 10.13 0.700 2.35 0.799 17.55 3.730 21.23 5.378
10.12 2.71 16.40 20.33
Std. Deviation 0.684 1.073 4.329 5.563
10.34
3.285
10.18
3.757
28.58 14.72
5.522 4.594
29.73 16.25
5.784 4.538
25.68 13.62
6.150 4.991
27.45 15.10
6.220 4.711
15287466.67
1.042E+07
9320000.00
6664802.564
Mean
Lampiran 2 Analisis Item Kuesioner Parental Bonding Instrumen untuk Ibu konvensional No.
1. 2. 3.
Pertanyaan
Tidak Pernah (0) 2
Progresif
Jarang (1)
Sering (2)
Selalu (3)
Ratarata
1 5
18 18
39 37
2.5667 2.5333
14
16
26
4
Tidak Pernah (0)
Jarang (1)
Sering (2)
Selalu (3)
Ratarata
1
9 3
46 42
35 44
2.2889 2.4333
1.3333
11
30
37
12
1.5556
1
6
32
51
2.4778
4.
Ibu berbicara lembut dan ramah Ibu ada ketika dibutuhkan Ibu membiarkan anak melakukan kesukaannya Ibu bersikap dingin
2
5
19
34
2.4167
5.
Ibu memahami masalah anak
1
4
18
37
2.5167
20
31
39
2.2111
6.
Ibu sayang
1
5
9
45
2.6333
5
18
67
2.6889
7.
Ibu suka ketika anak bisa membuat keputusan sendiri
24
23
10
3
.8667
41
35
12
2
.7222
8.
Ibu menganggap seperti anak kecil
19
28
12
1
.9167
42
38
8
2
.6667
9.
1
13
29
17
2.0333
4
21
34
31
2.0222
10.
Ibu mengontrol yang dilakukan anak Ibu mencari tahu rahasia anak
18
28
8
6
1.0333
42
29
9
10
.8556
11.
Ibu senang diskusi dengan anak
9
21
30
2.3500
1
19
38
32
2.1222
12.
Ibu sering tersenyum
9
16
35
2.4333
15
30
45
2.3333
13.
Ibu menganggap anaknya bayi
21
10
17
1.5333
23
33
15
19
1.3333
14. 15.
8
18
34
2.4333
3
9
33
45
2.3333
7
21
23
9
1.5667
15
29
32
14
1.5000
16.
Ibu tidak paham kebutuhan anak Ibu membiarkan anak memutuskan sesuatu sendiri Anak merasa tidak dibutuhkan ibu
1
5
7
47
2.6667
2
6
23
59
2.5444
17.
Ibu menenangkan saat anak marah
2
7
17
34
2.3833
1
17
24
48
2.3222
18. 19.
Ibu tidak terlalu banyak ngobrol Ibu membuat anak tergantung
4 10
6 26
20 16
30 8
2.2667 1.3667
2 27
10 41
43 16
35 6
2.2333 1.0111
12
Lampiran 3 Analisis Item Kuesioner Parental Bonding Instrumen untuk Ayah konvensional No.
Pertanyaan
Tidak Pernah (0) 3 4
Progresif
Jarang (1)
Sering (2)
Selalu (3)
Ratarata
7 5
23 23
27 28
2.2333 2.2500
Tidak Pernah (0) 2 3
12
21
23
4
1.3167
2 1
5 18 12
27 26 19
26 15 29
22
24
12
20
30
4
Jarang (1)
Sering (2)
Selalu (3)
Ratarata
20 5
37 39
31 43
2.0778 2.3556
21
29
33
7
1.2889
2.2833 1.9167 2.2833
2 3 1
11 19 10
32 32 21
45 36 58
2.3333 2.1222 2.5111
2
.9000
33
41
16
7
3
.8833
46
31
11
2
.6556
14
27
15
1.8833
8
29
28
25
1.7778
23
25
7
5
.9000
58
18
10
4
.5556
2 1 19 3
21 14 17 9
25 18 12 28
12 27 12 20
1.7833 2.1833 1.2833 2.0833
3 34 1
26 19 30 10
36 39 11 36
25 32 15 43
1.9222 2.1444 1.0778 2.3444
8
19
27
6
1.5167
19
37
23
11
1.2889
1
7
15
37
2.4667
9
23
58
2.5444
17.
Ayah senang diskusi dengan anak Ayah sering tersenyum Ayah menganggap anaknya bayi Ayah tidak paham kebutuhan anak Ayah membiarkan anak memutuskan sesuatu sendiri Anak merasa tidak dAyahtuhkan Ayah Ayah menenangkan saat anak marah
2
18
18
22
2.0000
2
25
30
33
2.0444
18.
Ayah tidak terlalu banyak ngobrol
7
15
27
11
1.7000
6
14
36
34
2.0889
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Ayah berbicara lembut dan ramah Ayah ada ketika dAyahtuhkan Ayah membiarkan anak melakukan kesukaannya Ayah bersikap dingin Ayah memahami masalah anak Ayah sayang Ayah suka ketika anak bisa membuat keputusan sendiri Ayah menganggap seperti anak kecil Ayah mengontrol yang dilakukan anak Ayah mencari tahu rahasia anak
.8111
Lampiran 4 Analisis Item Kuesioner Student Instructur Relationship Konvensional No.
Pertanyaan
Sangat tidak setuju (1)
Progresif
Kurang Setuju (2)
Setuju (3)
Sangat setuju (4)
Ratarata
3
38
19
3.27
32
25
1
2.42
6
37
17
Sangat tidak setuju (1)
Kurang Setuju (2)
Setuju (3)
Sangat setuju (4)
Ratarata
5
40
45
3.44
9
36
35
10
2.51
3.18
1
6
44
39
3.34
1.
guru memberi perhatian muridnya
2.
murid tidak terlalu tergantung pada guru
3.
Guru sangat perduli dengan muridnya
4.
ketakutan kehilangan guru
2
8
33
17
3.08
7
13
33
37
3.11
5.
khawatir ketika banyak bicara dengan guru
4
25
25
6
2.55
3
27
40
20
2.86
6.
mudah berinteraksi dengan guru
1
13
31
15
3.00
3
18
44
25
3.01
7.
Guru membuat siswa merasa tidak percaya diri
1
6
21
32
3.40
1
14
23
52
3.40
8.
gugup ketika berdekatan dengan guru
3
7
35
15
3.03
5
18
32
35
3.08
9.
Guru tidak baik hubungannya dengan murid
1
6
30
23
3.25
2
9
36
43
3.33
10.
Guru hanya menghargai beberapa murid
3
13
16
28
3.15
2
6
27
55
3.50
11.
siswa nyaman bercerita dengan guru
2
15
31
12
2.88
4
22
35
29
2.99
12.
siswa mudah untuk dekat dengan guru
13
33
14
3.02
4
19
40
27
3.00
13
Kadang-kadang guru tiba-tiba marah, baik dll
6
24
23
7
2.52
7
30
36
17
2.70
14
Guru hanya menyukai beberapa muridnya
4
8
32
16
3.00
2
7
30
51
3.44
15
Guru tidak nyaman berkomunikasi dengan muridnya
4
5
30
21
3.13
2
10
26
52
3.42
16
Siswa tidak nyaman menunjukkan perasaan pada guru (ketika sedih, marah, atau senang)
7
26
23
4
2.40
12
25
31
22
2.70
17
Siswa mudah berhubungan dengan guru
1
16
29
14
2.93
5
17
42
26
2.99
18
tidak nyaman ketika guru terlalu ramah
1
12
30
17
3.05
4
12
43
31
3.12
2
Lampiran 5 Analisis Item Kuesioner Self Esteem No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Item berpikir sesuatu yang tidak menyenangkan kesulitan berbicara didepan umum keinginan untuk menjadi orang lain. sulit menyelesaikan masalah merasa senang selalu mudah marah ketika di rumah Adaptasi dengan sesuatu yang baru terkenal diantara teman sebaya Penghargaan Orangtuaku mengenai perasaan mudah menyerah Tuntutan keluarga tidak yakin dengan diri sendiri punya banyak masalah yang dipikirkan Merasa tidak ada yang mau mengikuti idenya merasa rendah diri keinginan pergi dari rumah menyerah ketika punya PR Merasa tidak semenarik berani menyampaikan ide kepada orang lain Orangtua memahaminya Merasa orang lain yang lebih baik orangtua selalu memaksakan kehendaknya sering kecewa dengan dirinya selalu ingin seperti orang lain tidak bisa dekat dengan orang lain
Sesuai denganku (0) 17 23 23 18 13 23 38 32 4 7 25 13 27 13 19 14 12 23 6 5 41 7 17 17 10
konvensional Tidak Sesuai denganku (1) 43 37 37 42 47 37 22 28 56 53 35 47 33 47 41 46 48 37 54 55 19 53 43 43 50
rata-rata 0.7167 0.6167 0.6167 0.7000 0.7833 0.6167 0.3667 0.4667 0.9333 0.8833 0.5833 0.7833 0.5500 0.7833 0.6833 0.7667 0.8000 0.6167 0.9000 0.9167 0.3167 0.8833 0.7167 0.7167 0.8333
Sesuai denganku (0) 32 53 29 33 40 38 54 51 9 20 32 26 43 21 28 33 19 34 27 9 67 9 28 28 11
progresif Tidak Sesuai denganku (1) 58 37 61 57 50 52 36 39 81 70 58 64 47 69 62 57 71 56 63 81 23 81 62 62 79
rata-rata 0.6444 0.4111 0.6778 0.6333 0.5556 0.5778 0.4000 0.4333 0.9000 0.7778 0.6444 0.7111 0.5222 0.7667 0.6889 0.6333 0.7889 0.6222 0.7000 0.9000 0.2556 0.9000 0.6889 0.6889 0.8778
Lampiran 6 Matriks korelasi antar variabel berdasarkan uji Pearson (data numeric) dan uji Spearmen (data kategorik) di sekolah Progresif X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
X1 X2
0.338**
1
X3
0.302**
0.321**
1
X4
0.002
-0.360**
-0.135
1
X5 X6
0.033
0.068
0.054
-0.050
1
0.052 0.026 0.149 0.013 0.028 -0.040 0.015 0.087
-0.004 -0.110 0.072 0.196 -0.022 -0.177 -0.047 0.043
-0.136 0.025 0.158 -0.013 0.082 -0.194 0.062 -0.065
0.107 0.048 -0.049 0.114 0.137 0.156 -0.016 0.026
-0.041 0.036 -0.089 -0.052 0.104 -0.235* 0.137 -0.202
1 0.064 -0.064 0.381** -0.010 0.061 -0.084 0.047
1 -0.123 0.166 -0.190 0.209* -0.106 0.198
1 -0.249* 0.359** -0.093 0.468** -0.104
1 -0.216* 0.217* -0.314** 0.181
1 -0.208* 0.678** -0.243*
1 -0.246* 0.734**
1 -0.388**
1
-0.066
-0.292**
-0.129
0.210*
-0.013
-0.142
-0.026
0.077
-0.459**
0.202
-0.218*
0.230*
-0.221*
X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 Y
1
Keterangan: ** nyata pada p < 0.01 * nyata pada p < 0.01 X1 : X2 : X3 : X4 : X5 : X6 : X7 :
Y
Pendidikan ayah(tingkat) Pendidikan ibu(tingkat) Pendapatan total keluarga(rupiah/bulan) Status pekerjaan ibu Jenis Kelamin(1: laki-laki, 2: perempuan) Usia Anak(tahun) Jumlah saudara(orang)
X8 : X9 : X10 : X11 : X12 : X13 : Y :
kelekatan guru-anak connectedness(skor) kelekatan guru-anak anxiety(skor) kelekatan ibu care(skor) Kelekatan Ibu Overprotection(skor) kelekatan ayah care(skor) Kelekatan ayah Overprotection(skor) Self Esteem
1
Lampiran 7 Matriks korelasi antar variabel berdasarkan uji Pearson (data numeric) dan uji Spearmen (data kategorik) di sekolah Konvensional X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
X1
1
X2
.558**
1
X3
.393**
.402**
1
X4
-.109
-.317*
-.419**
1
X5
.114
.155
.014
-.090
1
X6
-.252
-.021
.096
.016
-.131
1
X7
.009
-.188
.140
-.053
-.118
-.115
1
X8
-.045
-.153
-.126
.031
-.016
-.157
-.055
1
X9
-.056
.014
.130
.023
-.100
.094
.136
-.407**
1
X10
.129
.085
.186
-.193
.218
-.045
-.067
.356**
-.342**
1
X11
.071
.043
-.058
.017
-.186
.032
-.057
-.106
.060
-.294*
1
X12
.101
.078
.021
-.103
.230
-.037
-.077
.446**
-.396**
.817**
-.284*
1
X13
-.002
.104
-.181
.163
-.120
.099
-.136
-.154
.004
-.364**
.743**
-.306*
1
Y
-.023
-.041
-.002
-.002
.150
.043
.020
.343**
-.331**
.494**
-.225
.524**
-.137
X8 : X9 : X10 : X11 : X12 : X13 : Y :
kelekatan guru-anak connectedness(skor) kelekatan guru-anak anxiety(skor) kelekatan ibu care(skor) Kelekatan Ibu Overprotection(skor) kelekatan ayah care(skor) Kelekatan ayah Overprotection(skor) Self Esteem
Keterangan: ** nyata pada p < 0.01 * nyata pada p < 0.05 X1 : X2 : X3 : X4 : X5 : X6 : X7 :
Pendidikan ayah(tingkat) Pendidikan ibu(tingkat) Pendapatan total keluarga(rupiah/bulan) Status pekerjaan ibu Jenis Kelamin(1: laki-laki, 2: perempuan) Usia Anak(tahun) Jumlah saudara(orang)
Y
1
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jepara, pada tanggal 20 Oktober 1979 dari ayah Suharmanto dan ibu Sumarsiniwati. Penulis merupakan puteri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU N 1 Jepara dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor, fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Pada tahun 2003 penulis memperoleh gelar Sarjana Perikanan. Tahun 2005 sampai sekarang penulis aktif di sebuah yayasan yang bergerak dibidang pendidikan yaitu Indonesia Heritage Foundation (IHF). Demi menunjang pengetahuan serta wawasan, pada tahun 2010 penulis diberikan tugas dari yayasan untuk melanjutkan S2 dan diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak.