PENGARUH EMPATI, SELF-CONTROL, DAN SELF-ESTEEM TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMAN 64 JAKARTA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh : Amalia Setianingrum NIM: 1110070000136
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M
LEMBAR ORISINALITAS Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Amalia Setianingrum NIM
: 1110070000136
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PENGARUH EMPATI, SELF-CONTROL,
DAN
SELF-ESTEEM
TERHADAP
PERILAKU
CYBERBULLYING PADA SISWA SMAN 64 JAKARTA” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindak plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan karya orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta,
2015
Amalia Setianingrum NIM: 11100700000136
iii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
2015
Amalia Setianingrum NIM: 1110070000136
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Yakinlah akan ada sesuatu yang menantimu selepas banyak keesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit (Ali bin Abi Thalib)
Aku persembahkan karya sederhana dari hati untuk yang terkasih Ibu, Ayah, Kakak, Sahabat, dan semua, yang begitu berarti keberadaannya. You Are My Everything......
vi
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology B) Maret 2015 C) Amalia Setianingrum D) The Effects Empathy, Self-Control, and Self-Esteem Toward Cyberbullying among students SMAN 64 Jakarta E) xiv+ 90 Page + Appendix F) This research was condudted to know the dynamics of personality in perpetrators of cyberbullying. The authors theorized that the variables of empathy (perspective taking, fantasy, empathic concern, and personal distress), selfcontrol (behavior control, cognitive control, and decisional control), and selfesteem affect cyberbullying. These variables will be the eighth of views which variables affest the behavior of cyberbullying. This study uses a quantitative approach, used CFA (Confirmatory Factor Analysis) to test the measuring instrument and the multiple regression analysis to test hypotheses. Samples were 200 students of SMAN 64 Jakarta taken by nonprobability sampling technique. To measure cyberbullying behavior researchers create their own measuring instrument refers to the theory of Willard (2007), to measure empathy researchers using standard measurement tools made Davis (1980), namely Interpersonal Reactivity Index (IRI), for self-control researchers create their own measurement tool which refers in theory Averill (1973), and to measure the self-esteem of researchers using standard measuring devices Rosenberg (1965). The results showed that empathy and self-control significantly influence the behavior of cyberbullying with a contribution of 24.2%. Then from eight independent variables studied, there are four dimensions that influence the behavior of cyberbullying that perspective taking, empathic concern, behavior control, and decisional control. Kata kunci: cyberbullying, empati, self-control, self-esteem G) References : 7 book + 43 journal + 2 skripsi + 9 artikel + 2 e-book
vii
KATA PENGANTAR Ucapan puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan berbagai karunia nikmat yang tak terhingga dan kasih sayang yang begitu besar sampai detik ini hingga penulis dapat menyelesaikan skripri ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari doa, dukungan dari berbagai pihak, baik bersifat materil maupun nonmateril. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si, Dekan Fakultas Psikologi beserta jajarannya atas doa dan dukungannya terhadap semua mahasiswa mahasiswinya. 2. Neneng Tati Sumiati, M.Si.Psi terima kasih atas kesabaran dan pengertian dalam memberikan bimbingan, masukan, kritik dan nasehat semoga senantiasa Allah berikan kesehatan dan kebahagiaan. 3. Kepala sekolah SMAN 64 Jakarta Bapak Drs. Nana Juhana, M.Pd atas izin yang telah diberikan dan pak Zulhadi serta guru-guru yang ikut membantu saat pengumpulan data di SMAN 64 Jakarta. 4. Para responden yang sudah bersedia mengisi kuesioner untuk keperluan data peneliti. Semoga Allah berikan kebahagiaan dan membalas kebaikan responden. 5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi atas segala bantuan dan ketulusannya membantu mahasiswa menyelesaikan tugas akademik. 6. Keluargaku. Ibunda Rumibah, ayah Bahar Maksum, kakak-kakak penulis Muhammad Taufik, Ahmad Sauqi Rodfan, Arif Setiabudi. Terimakasih atas doa, dukungan, serta kasih sayang yang begitu besar. Kehadiran kalian memantapkan setiap langkah penulis. Doakan penulis semoga
viii
menjadi anak dan adik yang selalu menyenangkan dan membahagiakan kalian. 7. Kakak perempuanku, patner terhebatku, sahabat yang selalu penulis sayang yang senantiasa memberikan dukungan, mengajarkan banyak hal, Osin dan Zulaika (almh). Kalian bagian terpenting dari perjalanan hidup penulis. Semoga kebaikan senantiasa ada di dalam kehidupan kalian dan semoga kakak Eka selalu tenang di alam sana. 8. Sahabatku, mama Kaila (Hasti), Atiqoh, Naqiyah, Triani, Rere. Terimakasih atas kebersamaan, dukungan, gelak tawa bersama yang selalu akan dirindukan penulis. Kebersamaan ini telah memberikan banyak hal yang bermakna dikehidupan penulis. 9. Keluarga besar Psikologi 2010, Aniq, Atiqoh, Naqiyah, Triani, Rere, Putri, Yunita, Nashwa, Anjar, Temil, Teteh, Meida, Fatin, Septi, Fahri, Dian, Adila dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Semoga kesolidan senantiasa terjaga. Terimakasih telah melengkapi sejarah hidup penulis. 10. Keluarga besar KOPRI PMII Ciputat, kak lia, ujo, wia, yani, qory, ala, lia, khumaeroh dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Yang menemani dan mengajarkan banyak hal tentang arti kehidupan dalam keberagaman. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih untuk segala doa, dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Jakarta,
Maret 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... ii LEMBAR ORISINALITAS .......................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ v MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi ABSTRAK ..................................................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................. viii DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................... 1-13 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Pembatasan dan Perumusan masalah .......................................... 9 1.2.1. Pembatasan masalah.......................................................... 9 1.2.2. Perumusan masalah ......................................................... 10 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 11 1.3.1. Tujuan penelitian ............................................................. 11 1.3.2. Manfaat penelitian........................................................... 12 1.4. Sistematika Penulisan ............................................................... 13 BAB 2. LANDASAN TEORI ................................................................ 14-48 2.1. Cyberbullying ........................................................................... 14 2.1.1. Definisi cyberbullying ..................................................... 14 2.1.2. Bentuk aktivitas cyberbullying ....................................... 15 2.1.3. Elemen cyberbullying ..................................................... 17 2.1.4. Pengukuran cyberbullying .............................................. 19 2.1.5. Faktor yang mempengaruhi cyberbullying ..................... 20 2.2. Empati ....................................................................................... 22 2.2.1. Definisi empati ................................................................ 22 2.2.2. Aspek-aspek empati ........................................................ 24 2.2.3. Pendekatan pada empati .................................................. 25 2.2.5. Pengukuran empati .......................................................... 27 2.3. Self-Control ............................................................................... 29 2.3.1. Definisi self-control ....................................................... 29 2.3.2. Aspek-aspek self-control................................................. 31 2.3.3. Pengukuran self-control .................................................. 33 2.4. Self-Esteem ................................................................................ 34 2.4.1. Definisi self-esteem ......................................................... 34 2.4.2. Karakretistik self-esteem ................................................. 35 2.4.3. Pengukuran self-esteem ................................................... 37 2.5. Remaja....................................................................................... 38 2.5.1. Definisi remaja ............................................................... 38 x
2.5.2. Ciri-ciri masa remaja ....................................................... 38 2.5.3. Perkembangan pada remaja............................................. 39 2.6. Kerangka Berpikir ..................................................................... 43 2.7. Hipotesis Penelitian................................................................... 46 BAB 3. METODE PENELITIAN ........................................................ 49 -70 3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ................. 49 3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ........................... 50 3.3. Instrumen Penelitian.................................................................. 50 3.3.1. Instrumen Pengumpulan data ......................................... 50 3.3.2. Alat ukur penelitian ........................................................ 52 3.4. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian ................................. 55 3.4.1. Uji validitas konstruk cyberbullying............................... 57 3.4.2. Uji validitas konstruk empati .......................................... 58 3.4.3. Uji validitas konstruk self-control .................................. 63 3.4.4. Uji validitas konstruk self-esteem ................................... 66 3.5. Teknik Analisis Data ................................................................. 67 3.5. Prosedur Penelitian.................................................................... 69 BAB 4. HASIL PENELITIAN ............................................................ 71 - 83 4.1. Gambaran Subjek Penelitian ..................................................... 71 4.2. Hasil Analisis Deskriptif ........................................................... 71 4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ...................................... 72 4.4. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ................................................... 76 4.5. Proporsi Varian ......................................................................... 81 BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN............................... 84-90 5.1. Kesimpulan ............................................................................... 84 5.2. Diskusi ...................................................................................... 85 5.3. Saran .......................................................................................... 89 5.4.1. Saran metodologis .......................................................... 89 5.4.2. Saran praktis ................................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 3.7 Tabel 3.8 Tabel 3.9 Tabel 3.10 Tabel 3.11 Tabel 3.12 Tabel 3.13 Tabel 3.14 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8
Penilaian Skala Likert............................................................. Blueprint Skala Cyberbullying................................................. Blueprint Skala Empati............................................................ Blueprint Skala Self-control..................................................... Blueprint Skala Self-esteem...................................................... Hasil Uji Validitas Konstruk Cyberbullying............................ Hasil Uji Validitas Konstruk Perspective Taking.................... Hasil Uji Validitas Konstruk Fantasy...................................... Hasil Uji Validitas Konstruk Empathic Concern..................... Hasil Uji Validitas Konstruk Personal Distress....................... Hasil Uji Validitas Konstruk Behavior Control........................ Hasil Uji Validitas Konstruk Cognitive Control....................... Hasil Uji Validitas Konstruk Decisional Control..................... Hasil Uji Validitas Konstruk Self-esteem.................................. Subjek Penelitian....................................................................... Hasil Analisis Deskriptif........................................................... Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian.......................... Kategorisasi Skor Variabel Penelitian...................................... Model Summary Analisis Regresi............................................ Tabel ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV.......... Koefisien Regresi...................................................................... Proporsi Varian Independent Variabel (IV) .............................
xii
51 52 53 54 55 58 59 60 61 62 64 65 66 67 71 72 73 74 78 78 79 83
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Kerangka Berpikir................................................................... 46
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Lampiran B Lampiran C
Surat Penelitian Kuesioner Penelitian Path Diagram
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah Kasus tentang bullying di sekolah sudah menjadi hal yang banyak terjadi dari tiga puluh tahun lalu. Menurut Olweus (dalam Aoyama, 2010) bullying merupakan perilaku agresif yang ditandai dengan tindakan berulang. Biasanya bullying melibatkan tindakkan melecehkan dan mengancam seseorang secara verbal, mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti (intimidasi), atau menyerang secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul). Namun, pada beberapa tahun terakhir bentuk baru dari bullying muncul dengan memanfaatkan beragam teknologi yang ada. Peningkatan akses terhadap teknologi bukan hanya memberikan dampak positif dalam interaksi sosial dan pembelajaran yang kolaboratif bagi siswa, tetapi juga membawa masalah yang harus mendapatkan perhatian lebih, dalam penanganannya. Media-media sosial yang seharusnya mempermudah dan mengeratkan hubungan antar manusia, justru dalam beberapa kasus menjadi sarana untuk saling melukai dengan kata-kata. Contohnya, banyak anak yang merasa lebih hebat dan berkuasa mengganggu anak lain yang dianggap lemah dan tidak akan melawan untuk dijadikan bahan ejekan
1
2
dan hinaan dengan mengakses teknologi, baik melalui internet maupun pesan singkat dengan telpon genggam. Hal ini disebut cyberbullying. Bentuk dari bullying yang dilakukan di dunia maya ini memiliki “pemain” yang jauh lebih luas yang dapat melibatkan semua kalangan, baik dari pelajar sekolah dasar, menengah, mahasiswa, bahkan kaum pekerja. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 82 juta orang dan capaian Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80% di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Untuk pengguna facebook, Indonesia di peringkat ke-4 terbesar dunia. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Sedangkan, berdasarkan data Asia Pacific Digital Marketing Year Book 2012 lalu, jumlah pengguna Facebook di Indonesia sudah mencapai lebih dari 40 juta. Dari jumlah itu, sebanyak 59% pengguna dari kalangan remaja usia 13-18 tahun, atau 41% pengguna berusia 18-24 tahun. Dengan menggunakan data statistik di atas, tentu saja kelompok usia tersebut sangat rentan pada masalah penyimpangan perilaku di media sosial ketimbang orang dewasa. Anak-anak yang menggunakan akses tersebut dapat melakukan apa saja di jejaring sosial. Bahkan tanpa disadari apa yang mereka lakukan saat bersosial media, bisa mengarah terjadinya cyberbullying. Menurut survei global yang dilakukan The Health Behavior in SchoolAged Children (HBSC) (Kaman, 2013), Indonesia merupakan negara dengan kasus bullying tertinggi kedua di dunia setelah Jepang. Kasus bullying di
3
Indonesia ternyata mengalahkan kasus bullying di Amerika Serikat yang menempati posisi ketiga. Ironisnya, kasus bullying di Indonesia lebih banyak dilakukan di jejaring sosial. Sebagai negara dengan jumlah populasi yang banyak di dunia, Indonesia memiliki jumlah pengguna Facebook terbesar keempat di dunia. Selain itu, Indonesia juga „menyumbang‟ 15% tweet setiap hari untuk Twitter. Bahkan, Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2012) lebih dari 60% pengakses internet berumur dibawah 7 - 18 tahun. Penelitian yang dilakukan pada siswa SMP dan SMA di beberapa kota di jawa tengah, hasil menunjukkan telah terjadi perilaku cyberbullying sebanyak 28% meski dampak yang ditunjukkan belum begitu serius (Rahayu, 2012). Sedangkan dari Data hasil survei yang dilakukan Juwita (2009) menyatakan bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi mengenai kasus bullying dibanding dengan kota Jakarta dan Surabaya. Tercatat sekitar 70,65 % kasus Bullying terjadi di SMP dan SMA di Yogyakarta. Jadi dapat diasumsikan individu yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan cyberbullying pada remaja rentang usia 13 tahun – 18 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap cyberbullying. Selain itu, berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) 2014 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Tingginya kasus pada remaja yang terjadi dapat bermacammacam motifnya, seperti salah satunya untuk menjadi pusat perhatian dan mendapatkan reaksi yang dapat dilakukan dengan cara mengejek atau
4
mengirimkan gambar yang memalukan melalui media elektronik yang bahkan dapat menimbulkan perkelahian di dunia nyata. Perilaku tersebut kadang kurang disadari oleh remaja yang merupakan salah satu perilaku cyberbullying. Seperti yang pernah terjadi pada siswa SMAN 64 Jakarta, dengan alasan tersebut peneliti menjadikan sekolah tersebut tempat penelitian. Kasus nyata yang sering terjadi di Indonesia adalah twitwar atau perang twitter. Beberapa waktu lalu yang terjadi kasus bully pada Bastian salah satu personil grup musik, ada yang mengungah foto Bastian yang mencium seorang gadis yang menjadi banyak komentar cacian karena Bastian yang masih berumur 15 tahun dan menjadi public figure. Selain itu, baru-baru ini terjadi kasus pengungahan video Chelsea Ishan yang sedang berganti baju. Video yang diunggah oleh orang yang tidak diketahui tersebut diduga untuk menjatuhkan Chelsea Ishan yang karirnya sedang „naik daun‟ tersebut, banyak yang akhirnya mem-bully tetapi dengan bijaknya sikap yang ditunjukkan Chealsea Ishan yang tidak menghiraukan video tersebut dan menghimbau dalam kampanye stop bullying. Kasus lainnya yang sempat membuat ramai di media sosial Twitter, kasus Farhat Abbas yang mengejek dan menjelekkan Ahmad Dhani atas kasus yang dialami oleh anak Ahmad Dhani yang akhirnya sampai dengan pelaporan Ahmad Dhani pada pihak kepolisian dan anak Ahmad Dhani yang tersulut emosi hingga ingin membuat pertarungan tinju dengan Farhat Abbas. Dari beberapa kasus tersebut, dapat menjelaskan maraknya kasus cyberbullying yang terjadi di Indonesia. Tindakan cyberbullying ini terjadi tanpa dapat pengawasan baik dari pihak sekolah atupun yang berkepentingan untuk mengawasi tindakan ini. Hal
5
tersebut yang tetap membuat leluasanya pelaku cyberbullying melakukan tindakannya.
Cyberbullying merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan teknologi yang tidak dikontrol, dimana seorang anak dapat menulis teks atau menunggah gambar dengan tujuan untuk menjelek-jelekan dan menghina orang lain dengan niat mempermalukan orang lain. Selain itu tulisan dan gambar yang diunduh dapat mengundang komentar dari pihak ketiga untuk ikut berkomentar (bystander) yang sering mengikuti untuk melecehkan dan mempermalukan korban. Sehingga dapat memperparah dampak bagi korban cyberbullying (Camfield, 2006). Sedangkan pelaku bullying menunjukkan rasa empati yang kecil untuk teman sebaya mereka. Menurut Menesini, et.al (dalam Dilmac, 2009), pelaku bullying sebenarnya sadar akan perasaan orang lain namun tidak dapat atau tidak mau mengizinkan perasaan itu mempengaruhi mereka dan anak-anak pelaku bullying juga cenderung ingin dapat mengontorol teman-temannya (Gourneau, 2012).
Penelitian lainnya menemukan bahwa rendahnya respon empati secara utuh berpengaruh pada perilaku cyberbullying. Pada siswa pelaku cyberbullying memiliki respon empati yang rendah dibandingkan siswa yang bukan pelaku cyberbullying (Steffgen, Konig, Pfetsch, & Melzer, 2011). Pada penelitian lainnya tentang empati dan cyberbullying, dimensi empati dibagi menjadi dua yaitu : (1) afektif empati (2) cognitif empati (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa rendahnya afektif empati maupun
6
kognitif empati mempengaruhi tingginya perilaku cyberbullying pada remaja perempuan maupun laki-laki (Ang & Goh, 2010). Menjadi penting untuk mengetahui kecenderungan sikap empati secara afektif maupun kognitif pada remaja untuk upaya lebih lanjut dalam intervensi dalam pengurangan perilaku cyberbullying. Dalam penelitian ini bertujuan melihat peran empati pada cyberbullying. Secara khusus, untuk melihat apakah pelaku cyberbullying memiliki empati yang rendah dibanding dengan yang bukan pelaku cyberbullying.
Alasan lain yang membuat lebih banyak lagi pelaku cyberbullying karena pelaku dapat menyembunyikaan identitas atau anonimitas (Heirman & Walrave, 2008). Penyamaraan atau penyembunyian identitas sebenernya membuat pelaku cyberbullying merasa tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, sehingga mudah terlibat dalam permusuhan dan perilaku agresif. Menurut Pellegrini (dalam Dilmac, 2009), menyebutkan pelaku bullying memiliki emosional tinggi dan kontrol diri rendah, namun hingga saat ini, belum ada jurnal atau penelitian yang menyebutkan secara jelas bahwa tipe kepribadian tertentu menentukan kecenderungan seseorang untuk menjadi pelaku ataupun korban cyberbullying. Sedangkan pada penelitian remaja di Singapura dan Malaysia ditemukan agresivitas sebagai mediator dari perilaku cyberbullying (Ang, Tan, & Mansor, 2011). Dalam penelitian tersebut, remaja pelaku cyberbullying cenderung memiliki sikap agresivitas yang tinggi yang salah satu faktor pemicunya rendahnya self-control.
7
Hasil penelitian Denson, DeWall, dan Finkel, (2012) yang menyatakan bahwa kegagalan self control dapat memberikan kontribusi untuk tindakan yang paling agresif yang menyertakan kekerasan. Ketika agresi mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai dengan standar pribadi atau standar sosial yang dapat menekan perilaku agresif tersebut. Masih sedikit studi yang mengaitkan self-control yang rendah terhadap pelaku dan korban bullying, meskipun fakta bahwa self-control yang rendah telah diidentifikasi sebagai prediktor yang penting dari perilaku penyimpangan dan kejahatan dalam studi empiris yang telah ada (Gottfredson & Hirschi, 1990). Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa secara langsung maupun tidak langsung rendahnya self-control mempengaruhi perilaku pelaku maupun korban dalam cyberbullying (Vazsonyi, Machackova, Sevcikova et al., 2012). Penelitian Holt, Bossler dan May (2012) tentang tindakan cybercrime dan kenakalan pada remaja, menemukan hasil bahwa pelaku cybercrime dan kenakalan pada remaja dipengaruhi oleh rendahnya self-control dan kelompok teman dengan perilaku yang menyimpang. Rendahnya self-control tidak hanya menentukan perilaku kriminal, tetapi juga menentukan perkembangan ikatan sosial yang terjadi, Self-control yang rendah dapat mengganggu ikatan sosial seseorang (Wright, Caspi, Moffitt, & Silva, 1999). Dari hasil penelitiannya, Chapple (2005) menyimpulkan bahwa self-control yang rendah menyebabkan penolakan dari rekan sesama (peer rejection), hubungan dengan rekan atau kelompok yang menyimpang (deviant peer) dan kenakalan (delinquency).
8
Masa remaja adalah saat ketika perkembangan identitas sangat penting. Selama periode ini, proses pembentukan identitas sebagian besar tergantung pada isyarat dan peraturan dari lingkungan sosial (stereotip sosial) (Hurlock, 1994). Oleh karena itu, remaja cenderung mencari perilaku dan situasi yang membantu mereka menghargai diri mereka sendiri secara positif dan menghindari orangorang yang membuat mereka merasa buruk tentang siapa diri mereka. Hal ini berhubungan dengan persepsi dan penerimaannya sendiri mengubah anak dan memainkan peran penting dalam mengarahkan pertumbuhan pribadi.
Dari literatur sebelumnya menunjukkan bahwa pengalaman dengan cyberbullying memiliki efek negatif pada perkembangan remaja. Salah satunya adalah self-esteem seseorang. Beberapa penelitian menyebutkan rendahnya selfesteem ditemukan pada korban cyberbullying bukan pada pelaku cyberbullying (Salmivalli, Kaukiainen, Kaistaniemi, & Lagerspetz, 1999). Sedangkan penelitian lainnya menyebutkan baik pelaku ataupun korban cyberbullying sama-sama memiliki self-esteem yang rendah dibandingkan individu yang tidak pernah mengalami cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2010; Fong-Ching et al, 2013). Sementara penelitian terbaru menyebutkan tidak adanya pengaruh self-esteem dengan bullying di sekolah maupun cyberbullying (Robson & Witenberg, 2013). Dari beberapa hasil penelitian tentang self-esteem tersebut menjadi menarik untuk diteliti pada penelitian ini untuk lebih melihat keadaan self-esteem pada pelaku cyberbullying.
9
Dari
data-data
menyimpulkan
bahwa
dan
beberapa
perilaku
hasil
penelitian
cyberbullying
pada
di
atas,
remaja
peneliti
merupakan
permasalahan yang harus mendapatkan perhatian dalam pencegahan dan pemecahan solusi yang tepat. Untuk remaja, dapat dengan memberikan kesadaran atas perilaku yang dilakukan memiliki dampak psikologis bagi orang lain, intervensi sedini mungkin untuk remaja yang menjadi pelaku cyberbullying dengan pendidikan internet sehat bagi setiap anak-anak dan remaja di sekolah. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena masih kurangnya penelitian tentang cyberbullying di Indonesia. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul penelitian yaitu “Pengaruh empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta”
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan masalah. Adapun pokok permasalahan yang menjadi batasan permasalahan dalam penelitian ini adalah perilaku cyberbullying yang dipengaruhi oleh variabelvariabel lain diantaranya empati, self-control, dan self-esteem. Adapun penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut sebagai berikut: 1. Cyberbullying dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik seperti menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain baik berupa
10
pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui media sosial. 2. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. 3. Adapun yang dimaksud self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan yang diyakini, dibagi berdasarkan pada aspek behavior control, cognitive control, dan decisional control (Averill, 1973). 4. Yang dimaksud dengan Self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan yang utuh. 5. Subjek penelitian siswa SMAN 64 Jakarta 1.2.2 Perumusan Masalah Setelah melalui tahap identifikasi masalah dan tahap seleksi masalah, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 2. Apakah terdapat pengaruh perspective taking dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 3. Apakah terdapat pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
11
4. Apakah terdapat pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 5. Apaka terdapat pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 6. Apakah terdapat pengaruh behavior control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 7. Apakah terdapat pengaruh cognitive control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 8. Apakah terdapat pengaruh decisional control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 9. Apakah terdapat pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1
Tujuan penelitian ini ialah :
a. Untuk menguji pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. b. Untuk menguji pengaruh perspective taking dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. c. Untuk menguji pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. d. Untuk menguji pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
12
e. Untuk menguji pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. f. Untuk menguji pengaruh behavior control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. g. Untuk menguji pengaruh cognitive control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. h. Untuk menguji pengaruh decisional control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. i. Untuk menguji pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
1.3.2
Manfaat penelitian ini dilihat dari segi teoritis dan praktis sebagai berikut:
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
ranah psikologi, terutama ranah psikologi pendidikan serta
memberikan informasi bagi pembaca yang berniat melakukan penelitian mengenai dinamika karakteristik pada pelaku cyberbullying. b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan prevention bagi remaja dan para pendidik agar dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku cyberbullying pada remaja.
13
1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini : Bab 1. Pendahuluan Bab pendahuluan memuat empat sub bab yaitu latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab 2. Kajian Teori Pada bab ini dipaparkan teori-teori yang berhubungan dengan variabel penelitian, yaitu cyberbullying, empati, self-control, dan self-esteem. Selanjutnya dipaparkan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian. Bab 3. Metode Penelitian Bab ini berisi uraian tentang populasi dan sampel termasuk teknik sampling, variabel
penelitian,
definisi
operasional
variabel
penelitian,
instrumen
pengumpulan data, uji validitas konstruk dan hasilnya, teknik analisis data dan prosedur penelitian. Bab 4. Hasil Penelitian Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran subjek penelitian, deskripsi data, analisis data dan hasil uji hipotesis. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel-tabel. Bab 5. Kesimpulan, Diskusi dan Saran Dalam bagian ini memuat kesimpulan, diskusi dan saran
BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep dari variabel-variabel penelitian. Berisi tentang teori Cyberbullying, empati, self-control, dan selfesteem. 2.1 Cyberbullying 2.1.1
Definisi Cyberbullying
Cyberbullying adalah perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, menggunakan bantuan alat elektronik yang dilakukan berulang dan terus menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri (Smith, Mahdavi, Carvalho, Fisher, Russell, & Tippett, 2008). Sedangkan menurut Kowalski (2008), cyberbullying mengacu pada bullying yang terjadi melalui instant messaging, email, chat room, website, videogame, atau melalui gambar atau pesan yang dikirim melalui telepon seluler. Sedangkan Willard (2007) mendefinisikan sebagai perilaku kejam kepada orang lain dengan mengirim hal berbahaya atau terlibat dalam bentuk lainnya dengan media internet atau teknologi digital. Menurut Li (2010) cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan melalui alat komunikasi seperti e-mail, telepon selular, instant messaging atau jaringan world wide. Sedangkan Hiduja & Patchin (2007) mendefinisikannya sebagai bahaya yang disengaja dan berulang melalui media elektronik. Sedangkan Belsey, Berson & Feron (dalam Dilmac, 2009) mengartikan cyberbullying sebagai
14
15
perilaku individu atau kelompok dengan media sosial yang bertujuan untuk melecehkan seseorang dengan segaja. Dari beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa cyberbullying adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik yang berisi hal menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain yang berupa pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui media online. 2.1.2
Bentuk Aktivitas Cyberbullying
Menurut Willard (2007), tipe aktivitas pada cyberbullying yaitu : a. Flaming, pertengkaran online menggunakan bahasa kasar dan vulgar. b. Harassment, perilaku yang berulang kali mengirimkan pesan yang kasar dan menghina. c. Denigration, mengirimkan atau mem-posting berita mengenai seseorang untuk merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut. d. Impersonation, berpura-pura menjadi orang lain dan mem-posting hal-hal yang dapat membuat seseorang berada dalam masalah atau merusak reputasinya. e. Outing, menyebarkan informasi memalukan mengenai orang lain secara online. f. Trickery, menghasut seseorang untuk menceritakan rahasia atau informasi pribadinya, lalu menyebarkan secara online.
16
g. Exclusion, dengan sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari sebuah kelompok online.
Sedangkan Australian Federal Police (2013) menambahkan bentuk dari cyberbullying, yaitu Cyber-stalking (penguntitan di dunia maya), yaitu upaya seseorang menguntit atau mengikuti orang lain dalam dunia maya dan menimbulkan gangguan bagi orang lain tersebut. Menurut Office for Internet Safety (2008), aktivitas yang sering dilakukan oleh pelaku cyberbullying adalah : a. Personal Intimidation, mengirimkan pesan singkat berisi ancaman, menulis komentar yang kasar pada profil online korban, atau pesan via instant messaging. b. Impersonation, membuat akun profil dan website palsu yang mengarah pada korban. Dapat juga dengan melibatkan mendapat akses pada akun profil dan menggunakannya untuk berpura-pura menjadi pemilik akun tersebut untuk mengontak akun lainnya dan kemudian mem-bully. c. Exclusion, perilaku memblokir seseorang dari kelompok atau komunitas online populer seperti Kaskus, Facebook atau Twitter. d. Personal humilition, perilaku mem- posting gambar atau video penyiksaan atau dipermalukan secara offline. e. False reporting, membuat laporan palsu atau melaporkan pengguna lain untuk perilaku tertentu kepada penyedia layanan media sosial agar akun pengguna tersebut dihapus.
17
Sedangkan pada penelitian ini, bentuk aktivitas cyberbullying mengacu pada Willard (2007) yaitu, Flaming, Harassment, Denigration, Impersonation, Outing & Trickery, dan Exclusion. 2.1.3
Elemen Cyberbullying
Pada umumnya terdapat 3 elemen baik dalam setiap praktek bullying dan cyberbullying: pelaku (cyberbullies), korban (victims) dan saksi peristiwa (bystander). 1. Pelaku (cyberbullies) Camodeca dan Goossens (dalam Kowalski, 2008) karakteristik anak yang menjadi pelaku cyberbullying adalah memiliki kepribadian yang dominan dan dengan mudah dan menyukai melakukan kekerasan. Cenderung lebih cepat tempramental, impulsif dan mudah frustasi dengan keadaan yang sedang dialaminya. Lebih sering melakukan kekerasan terhadap orang lain dan sikap agresif kepada orang dewasa dibandingkan dengan anak lainnya. Sulit dalam menaati peraturan. Terlihat kuat dan menunjukkan rendahnya rasa empati pada orang yang dia bully. Pandai memanupulasi dan berkelit pada situasi sulit yang di hadapi. Sering terlibat dalam agresi proaktif, agresi yang disengaja untuk tujuan tertentu dan agresi reaktif, reaksi defensif ketika diprovokasi. 2. Korban (victims) Seorang remaja yang biasanya menjadi target cyberbullying biasanya mereka yang berbeda dalam pendidikan, ras, berat badan, cacat, agama
18
dan mereka yang cenderung sensitif, pasif, dianggap lemah dan biasanya mereka yang jarang bergaul atau keluar rumah (Kowalski, 2008). Sedangkan dalam National School Climate Center (Marden, 2010) karakteristik remaja yang menjadi target atau korban cyberbullying adalah sensitif, menarik diri dari lingkungan sosial, pasif, mengalami masalah dengan kesehatan mental, sering membiarkan orang lain mengendalikan diririnya, dan cenderung depresi. Dalam beberapa penelitian, korban cyberbullying cenderung memiliki self-esteem lebih rendah dibandingkan teman sebayanya. Hal tersebut yang membuat dirinya mengalami kecemasan sosial dan cenderung menghindari kontak sosial (Campfield, 2006). 3. Saksi Peristiwa (bystander) Saksi peristiwa adalah seseorang yang menyaksikan penyerangan perilaku bully pada korbannya. Saksi peristiwa dapat dengan bergabung dalam web dan meninggalkan komentar yang menyakitkan, atau tanpa melakukan apapun kecuali mengamati perilaku bullying (Marden, 2010). Sedangkan menurut Willard (2007), bystander terbagi menjadi dua, yaitu: 1) harmful bystander, pengamat yang mendukung peristiwa bullying atau terus mengamati kejadian tersebut dan tidak memberi bantuan apapun kepada korban, dan 2) helpful bystander, pengamat yang berusaha menghentikan bullying dengan cara memberikan dukungan kepada korban atau memberi tahu orang yang lebih mempunyai otoritas.
19
2.1.4 Pengukuran Cyberbullying Beberapa alat ukur dalam penelitian terdahulu cyberbullying adalah CBQ (Cyberbullying Quesionare) terdiri dari 21 multiple choise yang dikembangkan dalam penelitian yang dilakukan untuk korban anak usia 11-16 tahun (Smith et al., 2008). Kemudian Menesini, Nocentini, & Palladino (2012) mengevaluasi sekaligus merevisi alat ukur cyberbullying and cybervicitimization Scale. Setiap skala terdiri atas 18 item yang mengukur frekuensi cyberbullying. Alat ukur Revised Cyber Bullying Inventory (RCBI) dikembangkan oleh Topcu and ErdurBaker (2010) yang terdiri dari 14 item untuk cyberbullying dan 14 item untuk cybervictimization. Sedangkan di Indonesia penelitian tentang cyberbullying mengembangkan alat ukur sendiri. Pratiwi (2011) mengukur perilaku cyberbullying dengan alat ukur yang dibuat sendiri yang mengacu pada teori Willard (2007) berupa beberapa aktivitas dalam cyberbullying. Terdiri atas 32 item untuk melihat aktivitas pelaku, 24 item untuk korban dan 17 item untuk pengamat. Permatasari (2012) menggunakan alat ukur cyberbullying berdasarkan aktivitas cyberbullying. Alat ukur tersebut terdiri atas 10 item bentuk cyberbullying, 6 item tujuan cyberbullying dan 7 item dampak cyberbullying dan sampel yang digunakan dalam penelitian remaja SMA di Yogyakarta. Pada penelitian ini, peneliti membuat sendiri alat ukur cyberbullying yang mengacu pada aktivitas cyberbullying pada teori Wilard (2007). Alat ukur terdiri dari 22 item yang menjelaskan tentang (Flaming) pertengkaran online
20
menggunakan bahasa kasar dan vulgar, (Harassment) berulang kali mengirimkan pesan yang kasar, kejam, dan mengolok-olok, (Denigration) mengirimkan atau memposting rumor mengenai seorang untuk merusak pertemanan atau reputasi orang
tersebut,
(Impersonation)
berpura-pura
menjadi
orang
lain
dan
mengirimkan atau memposting hal-hal yang dapat membuat seseorang berada dalam masalah atau merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut. (Outing & Trickery) menghasut seseorang untuk menceritakan rahasia atau informasi pribadinya dan menyebar rahasia atau informasi memalukan mengenai orang lain secara online, dan (Exclusion) secara sengaja mengeluarkan seseorang dari kelompok online secara kasar.
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying Hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh terhadap bullying dalam literatur sebagai faktor yang berperan terjadinya cyberbullying, menurut Li (2010) seperti : 1. Bullying tradisional Pada penelitian Riebel, jager & Fischer (2009) terdapat hubungan antara bullying yang terjadi secara langsung dengan dunia maya. Maka memungkinkan bullying yang dimulai secara langsung menjalar ke dunia maya. hal tersebut memberikan lahan baru bagi pelaku bullying untuk menghina orang lain. 2. Jenis kelamin Banyak
penelitian
yang
telah
menunjukkan
bahwa
laki-laki
lebih
memungkinkan melakukan tindakan cyberbullying dibandingkan perempuan.
21
3. Budaya Penelitian Li (2010) mengindikasikan budaya merupakan prediktor yang kuat dalam cyberbullying yang sejalan dengan penelitian Baker (2010) mengenai bullying yang memainkan peran penting dalam terjadinya bullying dan cyberbullying. 4. Penggunaan internet Besarnya kebutuhan akan penggunaan internet bagi manusia memberikan dampak yang positif, tetap memberikan dampak resiko yang mungkin terjadi. Dalam hal kehidupan sosial, salah satu ancaman yang serius adalah cyberbullying. Cyberbullying terjadi pada dunia maya, menjadi masuk akal untuk berasumsi intensitas penggunaan seseorang dalam penggunaan internet dapat menjadikan sebagai pelaku atau korban dari dampak buruk yang dapat diakibatkan dari interaksi pada dunia maya. Pada penelitian Hoff dan Mitchell (2009) menemukan beberapa faktor penyebab dari tindakan cyberbullying yang dikeompokkan pada dua kategori utama, cyberbullying yang disebabkan oleh isu relasi, seperti : (a) putus hubungan, (b) kecemburuan, (c) pada kecacatan, agama, dan gender, dan (d) kelompok atau geng; dan cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti : (a) intimidasi golongan luar kelompok dan (b) penyiksaan pada korban.
22
2.2 Empati 2.2.1 Definisi Empati Empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain agar dapat memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaannya. Secara sederhana kata-kata empati merujuk pada sikap dan perasaan yang merasakan dan memahami kondisi emosi orang lain. Tetapi untuk lebih memahami batasan-batasan dari empati, tentunya kita mesti memahami definisi empati dari dari berbagai teori dan para ahli. Adapun pendapat dari para ahli mengenai empati diantaranya sebagai berikut, Empati memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004). Rogers
(dalam
Taufik,
2012)
menawarkan
dua
konsepsi
dari
empati. Pertama, melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat dengan komponen-komponen yang saling berhubungan. Kedua, dalam memahami orang lain tersebut, individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan memahami orang lain tersebut. Empati dapat disimpulkan dengan kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman tersebut serta untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain.
23
Dengan kata lain empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang lain (Hurlock,1994). Empati adalah 1) memproyeksikan perasaan sendiri pada satu kejadian suatu obyek alamiah atau suatu karya estesis. 2) realisasi dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain. Menurut Stein (dalam Davis, 1990) empati adalah sepenuhnya keunikan dan perbedaan yang mencolok dari proses hubungan intersubjektif yang didalamnya ditemukan tahapan yang bertingkat dan memberikan kita sesuatu yang telah dilakukan, agak seperti realitas setelah kejadian. Tiga tahapannya adalah simpati, perasaan belas kasihan, dan perubahan diri. Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif, kognitif, pengalaman, atau keduanya. Ada kesepakatan bahwa dua komponen yang diperlikan adalah empati menyiratkan kemampuan perspektif tertentu dalam berbicara dan juga berperilaku prososial, yaitu berbagi dan membantu orang lain. Dengan kata lain sebagai kesadaran sosial dan kepekaan sosial. Keduanya untuk mengenali dan memahami perasaan, kebutuhan dan persepsi dari orang lain (Garton & Gingat, 2005). Menurut Hoffman (2000) empati adalah suatu respon afektif (perasaan) terhadap situasi orang lain dari pada situasi diri sendiri. Sedangkan Eisenberg (2000) berpendapat bahwa empati merupakan respon afektif yang berasal dari pemahaman kondisi emosional orang lain, yaitu apa yang sedang dirasakan oleh orang lain pada waktu itu. Cotton (dalam Garton & Gringat, 2005) empati didefinisikan sebagai kemampuan afektif untuk berbagi dalam perasaan orang lain dan kemampuan
24
kognitif untuk memahami perasaan orang lain dalam perspektif dan kemampuan untuk berkomunikasi terhadap empati seseorang serta perasaan dan pemahaman yang lain dengan cara lisan verbal dan nonverbal. Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan proses afektif dan kognitif yang memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka, seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga memahami situasi dan kondisi emosional dari sudut pandang orang lain.
2.2.2 Aspek-Aspek Empati Davis (1980) menjelaskan empat aspek empati antara lain, yaitu: 1. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut Galinsky & Ku (dalam Taufik, 2012) mendefinisikannya sebagai menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain. Perspective taking secara psikologis dan sosial penting dalam keharmonisan interaksi antar individu. Seseorang
dapat
mengoptimalkan
kemampuan
berpikirnya
untuk
memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Hal ini erat kaitannya dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012) perspective taking dibagi dua bentuk :
25
Membayangkan bagaimana seseorang akan berpikir dan merasakan apabila ia berada pada situasi anggota kelompok lain.
Membayangkan bagaimana seorang anggota kelompok lain berpikir dan merasakan.
2. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tidankan dari karakter khayalan dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton. 3. Empathic concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain. 4. Personal distress, yaitu reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain yang diekspresikan dengan perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin yang berlebihan dan rasa tidak berdaya. Personal distress bisa disebut empati negatif (negative empathic). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek empati menurut
Davis
(1980) meliputi:
perspective taking, fantasy,
empathic
concern,dan personal distress. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan keempat aspek tersebut menjadi independent variabel.
2.2.3 Pendekatan pada Empati Memahami lebih jauh dari teori empati, tidak terlepas dari penjelasanpernjelasan dari berbagai pendekatan. Diantaranya ada dua pendekatan yang digunakan untuk memahami teori empati, yakni teori dari Baron-Cohen & Wheelwright (2004), yang membagi empati ke dalam dua pendekatan, yaitu:
26
a. Pendekatan Afektif Pendekatan afektif mendefinisikan empati sebagai kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain (Taufik, 2012). Dalam pandangan afektif, perbedaan definisi empati dilihat dari seberapa besar dan kecilnya respon emosional pengamat pada emosi yang terjadi pada orang lain. Terdapat empat jenis empati afektif, menurut Stotland, Sherman & Shaver yaitu: 1) perasaan pada pengamat harus sesuai dengan orang yang diamati; 2) perasaan pada pengamat sesuai dengan kondisi emosional orang lain namun dengan cara yang lain; 3) pengamat merasakan emosi yang berbeda dari emosi yang dilihatnya, disebut juga sebagai empati kontras; sedangkan Baston menambahkan 4) perasaan pada pengamat harus menjadi satu untuk perhatian atau kasih sayang pada penderitaan orang lain (dalam Baron-Cohen & Wheelwright, 2004). b. Pendekatan Kognitif Pendekatan kognitif merupakan aspek yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Eisenberg & Strayer (dalam Baron-Cohen & Wheelwright 2004) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) dan orang lain. Sedangkan
menurut Leslie, adanya pemisahan antara perspektif sendiri,
menghubungkan keadaan mental orang lain (dalam Baron-Cohen & Wheelwright, 2004), dan menyimpulkan kemungkinan isi dari kondisi mental mereka, serta mengingat kembali ketika hal yang sama terjadi.
27
2.2.4 Pengukuran Empati Pengukuran empati yang saat ini tengah dikembangkan diarahkan kepada kategori usia dewasa dan anak-anak, untuk kategori usia remaja biasanya menggunakan alat ukur untuk orang dewasa. Pengukuran empati untuk anak-anak, biasanya menggunakan media gambar. Pengukuran empati tersebut disajikan dalam bentuk narasi atau slide, audiotape, dan videotape. Beberapa alat ukur empati (Taufik, 2012), diantaranya : 1. FASTE FASTE (The Feshbach Affective Situation Test of Empathy) telah secara luas digunakan untuk mengukur empati pada anak-anak. Alat ukur ini didesain secara khusus untuk digunakan pada anak-anak usia empat tahun hingga delapan tahun. FASTE terdiri dari delapan gambar yang meliputi slide-slide bergambar anak-anak dengan narasi. Meski sudah banyak yang menggunakan alat ukur ini oleh ilmuan psikologi, namun tidak luput dari kritikan tajam para peneliti lainnya. Kritikan yang diberikan berkisaran tentang bias gender. Ada tiga bias gender pada alat ukur tersebut, yaitu bias gender antara gender gambar anak-anak yang ada dalam slide, subjek yang mengikuti eksperimen, dan gender si peneliti sendiri. Setelah mendapat serangan tajam dari para peneliti, Fesbach mencoba untuk merevisi menjadi FPATE. Pada tes ini anak-anak menyaksikan tayangan film yang dapat membangkitkan emosi kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, atau ketakutan. Untuk mengontrol bias gender, setelah menonton tayangan
28
tersebut anak-anak diberikan seperangkat tes yang menunjukkan anak lakilaki atau anak perempuan sebagai karakter utama.
2. QMEE dan BEES Alat tes lainnya QMEE. Alat tes ini dibuat oleh Merhabian dan Epstein pada tahun 1971, yang mengukur tanggapan-tanggapan emosional, alat ini dianggap berhasil dalam mengungkap beberapa kasus psikoterapi. The QMEE secara luas banyak digunakan untuk mengukur empati pada orang tua. Alat ini terdiri atas 33 pernyataan yang merefleksikan reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku emosional orang lain dan situasi-situasi emosional yang beragam. Respon jawaban terhadap anat ini dilakukan dengan menjawab skala 1-9 (diberi angka 0 hingga +4, 0 hingga -4). Itemitem negatif diskor terbalik dan semua item ditotal. 3. IRI Pada tahun 1980, Davis membuat alat ukur empati yang diberi nama Interpersonal Reactivity Index (IRI) yaitu pengukuran yang mengarah pada pengukuran multidimensional dan disposisional. Alat ukur ini memiliki alat ukur yang terpisah dari aspek-aspek keahlian sosial, namun kntraknya saling berkaitan. Instrumen ini terdiri dari empat sub-skala item, dengan jumlah 28 item. Adapun kecenderungan respon dari responden berdasarkan bentuk skala likert. Empat subskala yang ada pada alat ukur ini, yaitu : 1) perspective taking, 2) fantasy, 3) empathic concern,dan 4) personal distress.
29
4. Empathy Questionnaire (EQ) Baron-Cohen dan Wheelwright (2004), membuat alat ukur empati setelah memberikan kritikannya terhadap skala IRI, mereka membuat alat ukur empati baru dari penggabyngan alat ukur sebelumnya, diaplikasikan dalam bidang klinis dan sangat sensitif dalam mengukur individu yang kurang empatik yang disebut Empathy Questionnaire (EQ). EQ berhasil mengidentifikasi beberapa kelompok orang-orang yang didiagnosa memiliki kecenderungan autis dan psikopat.
Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah Interpersonal Reactivity Index (IRI). Skala baku empati dari Davis (1980) dengan melihat empati dari empat aspek : perspective taking, fantasy, empathic concern,dan personal distress. Jumlah skala 28 item baku dan dengan model skala likert.
2.3 Self-control 2.3.1 Definisi Self-control Dalam pengertian yang umum self-control lebih menekankan pada pilihan tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas, tidak melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa kini maupun masa yang akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat. Dalam kamus psikologi (Chaplin, 2006), definisi kontrol diri atau self control adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada.
30
Calhoun dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang mengaruskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Kedua, Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Disamping itu kontrol diri memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi (Calhoun & Acocela, 1990). Menurut Hurlock (1994) mengatakan bahwa kontrol diri muncul karena adanya perbedaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, motivasi, dan kemampuan mengelola potensi dan pengembangannyaa. Self-control berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongandorongan dalam dirinya. Menurut
konsep ilmiah pengendalian emosi berarti
mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat di terima secara sosial. Memang konsep ilmiah menitik beratkan pada pengendalian, tetapi tidak sama artinya dengan penekanan. Mengontrol emosi berarti mendekati suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan.
31
Menurut Rothbaum (dalam Tangney, Baumiester, & Boone, 2004) menyatakan bahwa self-control secara luas dianggap sebagai kapasitas untuk berubah dan beradaptasi sehingga menghasilkan sesuatu lebih baik secara optimal antara diri dan dunia. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan yang diyakini, sehingga dapat menekan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan. Pada masa-masa remaja ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat mengkontrol dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga ada yang sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya. 2.3.2 Aspek-Aspek Self Control Berdasarkan konsep Averill (1973), terdapat tiga aspek : 1. Behavior Control Merupakan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi
atau
memodifikasi
suatu
keadaan
yang
tidak
32
menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan
kemampuan
memodifikasi
stimulus.
Kemampuan
mengatur
pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir dan membatasi intensitasnya. 2. Cognitive Control Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti
33
individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif. 3. Decesional Control Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu : mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, dimana individu dapat menahan dirinya. Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek tersebut, kontrol diri ditentukan dengan sejauh mana salah satu aspek tersebut mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol dirinya. 2.3.3 Pengukuran Self-control Ada beberapa alat ukur yang dapat mengukur self-control, diantaranya : 1. Kendall & Wilcox (dalam Wang, 2002) membuat skala pengukuran baku yang diberi nama Self-control Rating Scale (SCRS) yang terangkum kedalam 33 item baku. 2. Self-control Scale (Tangney, Baumiester, & Boone, 2004) yang terdiri dari 10 item baku yang mengukur self-control secara keseluruhan. 3. Self-control Questionnaire oleh Brandon sebagai skala sifat kontrol diri. Brandon menekankan pada perilaku kesehatan, dan memiliki cakupan item yang luas.
34
Pada penelitian ini membuat skala sendiri yang mengacu pada teori dari Averill (1973), yang memiliki aspek: Behavior Control, Cognitive Control, dan Decesional Control yang terangkum dalam 23 item.
2.4 Self-esteem 2.4.1
Pengertian Self-esteem
Menurut Rosenberg (dalam Hinduja & Patchin, 2010), self-esteem adalah sikap individual baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas. Mruk (2006) menjelaskan bahwa Rosenberg telah menjelaskan cara lain dalam mendefinisikan self-esteem adalah suatu rangkaian sikap individu tentang apa yang
dipikirkan
mengenai
persepsi
perasaan,
yaitu
perasaan
tentang
“keberhargaan” dirinya. Sedangkan menurut Coopersmith (dalam Heatherton & Wyland, 2003) menjelaskan self-esteem sebuah penilaian pribadi terhadap keberhargaan dirinya yang diekspresikan dalam sikap yang berpegangan teguh pada prinsip pribadi. Self-esteem merupakan sikap penerimaan atau penolakan yang mengidinkasikan tingkat kepercayaan terhadap dirinya akan kapasitas, signifikansi, dan kesuksesan. Menurut Powell, Newgent, dan Le (2006) juga berpendapat bahwa self-esteem adalah penilaian dan merasakan mengenai diri individu itu sendiri. Sedangkan menurut Since Berk (dalam Powel, Newgent, & Le, 2006) penilaian yang dibuat tentang nilai diri sendiri dan perasaan yang terkait dengan penilaian tersebut.
35
Dari beberapa pengertian diatas, peneliti menyimpulkan self-esteem adalah sikap individu dalam melihat diri sendiri baik positif ataupun negatif mengenai dirinya sendiri dalam kapasitasnya sendiri. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori Rosenberg (dalam Mruk, 2006). 2.4.2
Karakteristik Self-esteem
Beberapa pandangan Rosenberg tentang karakteristik self-esteem (dalam Mruk, 2006) : 1. Menunjukkan bahwa pemahaman self-esteem sebagai fenomena suatu sikap diciptakan dengan kekuatan sosial dan kebudayaan. 2. Study tentang self-esteem ini diharapkan pada masalah-masalah tersendiri. Salah satunya yaitu refleksitas self, yang mengandung arti bahwa evaluasi diri lebih kompleks daripada evaluasi objek eksternal. 3. Self-esteem ini merupakan sikap yang menyangkut keberhargaan individu sebagai seseorang yang dilihat sebagai suatu variabel yang penting dalam berperilaku karena self-esteem sendiri bekerja untuk atau melawan dalam situasi tertentu. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rosenberg, Minchiton (1995) menjabarkan self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan perilaku individu. Tiga aspek self-esteem, yaitu : a. Perasaan Mengenai Diri Sendiri Menerima diri sendiri, individu dapat menerima dirinya secara nyata dan penuh. Dapat menghormati diri sendiri, individu memiliki keyakinan
36
dirinya penting. Menghargai keberhargaan dirinya sendiri, dengan memaafkan atau memaklumi diri sendiri atas ketidaksempurnaan dirinya dan juga atas kesalahan yang telah dibuatnya.dan dapat memegang kendali atas emosi diri sendiri. Individu yang mempunyai self-esteem rendah tidak dapat atau sulit untuk dapat menerima dirinya sendiri. b. Perasaan Terhadap Hidup Dapat menerima kenyataan dan tanggung jawab atas setiap perjalanan hidup yang dialaminya. Harapan dan realitas dimana seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi akan membangun harapan atau cita-cita berdasarkan realitas yang berkaitan dengan kemampuan yang dimilikinya. Dapat memegang kendali atas dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem yang tinggi tidak berusaha mengendalikan orang lain. Sebaliknya, ia akan dengan mudah menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapinya. c. Perasaan dalam Kaitannya dengan Orang Lain Individu dapat menghormati orang lain dan memiliki toleransi terhadap orang lain. Seorang yang memeiliki self-esteem tinggi akan mudah menerima kekurangan orang lain, fleksibel dan tidak memaksakan nilainilai atau keyakinan pada orang lain, ia percaya bahwa setiaap orang, termasuk dirinya mempunyai hak yang sama dan patut dihormati. Bijaksana dalam melakukan hubungan dengan orang lain dimana seseorang dengan self-esteem tinggi akan menjadi orang yang memiliki sikap asertif, sikap dapat “meraangkul” yang didalamnya terdapat unsur melindungi. Ia menghormati kebutuhan dirinya sendiri tetapi juga
37
sekaligus mengakui kebutuhan orang lain. Ia mengetahui apa yang diinginkan dan tidak takut mewujudkannya. Penelitian yang dilakukan oleh Psikolog Universitas California terhadap sejumlah responden dalam rentang usia 6 sampai 83 tahun, diperoleh hasil bahwa secara umum perkembangan self-esteem seseorang mengikuti pola yang sama, yaitu,
stabilitas
self-esteem
masa
anak-anak
adalah
rendah,
kemudian
menunjukkan peningkatan selama masa remaja dan dewasa awal, kemudian menurun pada paruh baya dan lanjut usia (Trzesniewski, 2003). 2.4.3 Pengukuran Self-esteem Alat ukur untuk mengukur self-esteem telah banyak digunakan oleh penelitian terdahulu. Heatherton dan Wyland (2003) menyebutkan beberpa alat ukur diantaranya Janis-Field Feelings of Indequancy Scale, The Rosenberg Self-esteem scale, The State Self-esteem Scale (SSES: Heatherton & Polivy, 1991), Selfesteem Inventory (Minchiton, 1995). Setiap alat ukur memiliki fungsi berbeda, sehingga digunakan dalam situasi dan usia yang berbeda pula. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Rosenberg. Peneliti mengadaptasi terlebih dahulu alat ukur The Rosenberg Self-esteem scale dalam penelitian cyberbullying oleh Hinduja dan Patchin (2010) ke dalam bahasa indonesia.
38
2.5 Remaja 2.5.1 Definisi Remaja Remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan ketika seseorang berada pada rentang usia 11 – 18 tahun (hurlock, 1994). Perkembangan adalah proses bertambahnya kematangan seseorang. Senada dengan Papalia, Olds, dan Feldman (2009), masa remaja adalah masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial. 2.5.2 Ciri-ciri Masa Remaja Hurlock (1994) menjelasakan masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Seperti : 1. Periode yang Penting Perkembangan fisik yang cepat yang disertai perkembangan mental yang cepat, terutama masa awal remaja. Hal tersebut menjadi hal yang penting karena akibat baik jangka pendek ataupun jangka panjang dari perkembangan yang cepat tersebut dapat memberikan dampak yang tidak diduga pada fase selanjutnya. Menjadi penting bagi orangtua dalam mengawasi dan membentuk sikap dan nilai-nilai pada fase ini. 2. Periode Peralihan Peralihan tahapan masa remaja ini sangat bergantung dari masa sebelumnya, karena peralihan yang disebut disini bukan bersifat putus tetapi menerus dari fase sebelumnya. Seperti dijelaskan Osterrienth (dalam
39
Hurlock, 1994) struktur psikis anak remaja berasal dari kanak-kanak, dan banyak ciri umum anak remaja sudah terlihat dari masa kanak-kanak akhir. 3. Periode Perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan yang hampir terjadi pada remaja seperti, meningginya emosi, perubahan fisik, minat dan peran dalam kelompok sosial, perubahan nilai dan keinginan untuk lebih bebas. 4. Masa Mencari Identitas Fase saat remaja berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, status dalam keluarga sebagai anak atau orang dewasa. Salah satu cara yang dilakukan oleh remaja dapat dengan menggunakan simbol-simbol status yang ada dalam masyarakat. Seperti, menggunakan mobil, berpakaian, merokok dll. 2.5.3 Perkembangan pada Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyebutkan masa remaja ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, emosi, dan sosial. Sedangkan Hurlock (1994) perkembangan pada remaja terjadi juga secara moral. 1. Perubahan Fisik Masa remaja adalah masa peralihan dari ketidakmatangan pada masa anakanak menuju kematangan pada masa dewasa. Perubahan fisik yang terjadi biasa diikuti dengan perubahan biologis yang biasa disebut pubertas. Masa
40
pubertas ditandai dengan kematangan seksual, perubahan hormonal dan percepatan pertumbuhan secara fisik. 2. Perkembangan Kognitif Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), perkembangan kognitif tertinggi masuk pada fase remaja yang disebut operasional formal. Perubahan yang terjadi seperti, lebih berpikir abstrak, idealis, dan logis. Ketika mereka dalam fase tersebut, mereka akan lebih banyak berpikir secara egosentris, merasa paling hebat dan suka menjadi pusat perhatian temantemannya. Dalam fase tersebut, sangat dibutuhkan peran orangtua untuk memberikan tanggung jawab pada anak mereka dalam pengambilan keputusan, dengan pengawasan yang cukup. Walaupun remaja dapat memecahkan masalah abstrak dan membayangkan masyarakat yang ideal, dalam beberapa hal cara berpikir remaja masih belum matang.
Menurut
Elkind
(dalam
Papalia,
Olds,
&
Feldman,
2009)
ketidakmatangan yang terjadi dapat dipengaruhi beberapa hal : 1. Idealisme dan mudah mengkritik : mereka menjadi sangat sadar akan kemunafikan. Dengan penalaran verbal yang tajam, mereka dapat meyerang tokoh publik dengan satir dan parodi. 2. Sifat argumentatif : saat remaja biasanya individu terus menerus mencari kesempatan untuk mencoba dan memamerkan kemampuan penalaran mereka. Sehingga, remaja menjadi sering berdebat seiring dengan penguasaan fakta dan logika.
41
3. Sulit dalam memutuskan sesuatu : remaja dapat memikirkan banyak alternatif dalam waktu yang sama, tetapi kurang memiliki strategi yang efektif untuk memilih. 4. Kemunafikan yang tampak nyata 5. Kesadaran diri : remaja yang berada dalam tahap operasinal formal dapat berpikir mengenai berpikir baik dalam diri mereka sendiri atau orang lain. Akan tetapi, karena terlalu fokus pada keadaan mental mereka sendiri, seringkali menggangap bahwa orang lain berpikir hal yang sama dengan mereka. 6. Keistimewaan dan kekuatan yang menunjukkan keyakinan remaja bahwa mereka istimewa.
3. Perkembangan Emosi Masa remaja telah lama di gambarkan sebagai masa kekacauan emosi. Dalam keadaan yang ekstreem, pandangan tentang masa “strom and stress” (Hurlock, 1994). Namun, masa remaja waktu meningkatnya fluktuasi emosi yang kurang stabil. Saat remaja kurang pandai untuk mengekspresikan perasaan mereka secara benar. Mampu mengatur emiosi seseorang merupakan aspek penting dalam perkembangan remaja. Ketika kemampuan kognitif di samakan, remaja yang mengaku mengalami emosi yang lebih negatif memiliki nilai akademis yang lebih rendah dibanding dengan remaja yang mengalami emosi yang baik. Remaja dapat dikatakan sudah mencapai kematangan emosi saat mereka tidak lagi „meledakkan‟ emosinya sesuka hatinya, melainkan dengan cara yang lebih
42
dapat diterima lingkungan. Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah seperti pada fase perkembangan sebelumnya. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus mengetahusi tentang situasi yang menimbulkan reaksi emosional, dapat berbagi untuk menyelesaikan masalahnya dengan orang lain, atau dapat menggunakan katarsis emosi dalam menyalurkan emosinya, seperti melakukan latihan fisik, bekerja, menangis, tertawa (Hurlock, 1994). 4. Perkembangan Sosial Penyesuaian sosial masa remaja termasuk dalam kategori yang sulit. Remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sebayanya, tetapi harus terus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolahnya juga. Hal yang menjadi sulit saat penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya, melibatkan kawanan, serta persahabatan (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). 5. Perkembangan Moral Kohlberg (dalam Hurlock, 1994) membagi tahapan perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, seperti : 1. Moralitas Prakonvensional Perilaku anak mengikuti keadaan lingkungan mereka. Pada tahap pertama, seorang anak menuruti peraturan yang berlaku untuk menghindari hukuman. Pada tahap kedua, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial
43
lingkungannya untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasa ditemui anak usia 4 – 10 tahun. 2. Moralitas konvensional Anak sudah menemukan konsep figur otoritas dan telah menginternalisasi standar yang berlaku di lingkungannya. Pada tahap pertama, anak peduli untuk menjadi baik bagi keadaan lingkungan dan mendapat dukungan orang
lain
dan
mempertahankannya.
Pada
tahap
kedua,
anak
mempertahankan aturan yang berlaku di suatu kelompoknya untuk menghindari kecaman atau ketidaksetujuan sosial. Tingkat ini biasanya dicapai saat usia 10 tahun, banyak yang tidak bergerak naik dari tingkatan ini, bahkan sampai dewasa. 3. Moralitas pascakonvensional anak sudah mengenali konflik perbedaan antara standar moral yang berlaku di lingkungan dan sudah dapat membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan dan hukum. Anak biasanya mencapai tingkatan ini pada masa awal remaja atau lebih umum saat memasuki dewasa awal.
2.6 Kerangka Berpikir Pesatnya perkembangan teknologi di era digital ini tidak lepas dengan kemudahan akses internet. Penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi kehidupan seseorang. Kemudahan akses internet saat ini sangat memungkinkan seseorang dapat mengekspresikan dirinya tanpa harus ada norma-
44
norma sosial yang berlaku saat berinteraksi secara langsung. Seseorang dapat menjadi siapa saja saat berinteraksi dalam dunia maya. Pada hal ini lah orang mudah untuk melakukan tindakan cyberbullying. Cyberbullying sangat rentan terjadi pada remaja. Kemudahan akses yang ada memberikan peluang yang cukup tinggi para remaja melakukan cyberbullying. Terlebih, masa remaja adalah masa pencarian jati diri dan senang untuk mencoba hal baru. Masa remaja merupakan masa peralihan dan perubahan, seperti emosi, fisik, psikis, minat dan sosial (Santrock, 2012). Cyberbullying merupakan tindakan serangkaian komunikasi dimana pelaku melakukan serangan dengan media dunia maya, seperti sosial media, instant messangaing, email, dan telepon genggam. Para pelaku cyberbullying biasanya termotivasi karena marah, perasaan ingin membalas dendam, tetapi ada yang melakukan semata-mata karena ingin mendapat reaksi dari orang tertentu. Motif setiap pelaku dalam tindakan cyberbullying dapat berbeda-beda. Ada tiga hal yang dipredksi menjadi dorongan remaja dapat melakukan tindakan cyberbullying, yaitu kurangnya rasa empati, self-control dan self-esteem. Peneliti menjadikan ketiga hal tersebut independent variabel dalam penelitian ini. Empati umumnya diartikan bagaimana menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati tersebut mengacu pada pemahaman afektif & kognitif atau keduanya. Kurangnya respon empati yang dimiliki seseorang remaja dapat menjadikannya pelaku cyberbullying. Remaja pelaku cyberbullying sendiri, dibandingkan dengan teman sebayanya cenderung memiliki empati yang lebih
45
rendah, sejalan dengan penelitian Steffgen, Konig, Pfetsch, dan Melzer, (2011) yang menemukan para pelaku cyberbullying memiliki empati yang rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman cyberbullying. Rendahnya self-control pada seseorang dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam tindakan yang agresif yang dapat pula menyertakan kekerasan. Ketika agresivitas mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai standar sosial yang dapat menekan perilaku agresifnya (Denson, Finkel, & DeWall, 2012). Sedangkan pada remaja yang tidak memiliki self-control yang baik cenderung lebih mudah untuk melakukan tindakan agresif, seperti bullying dan melakukan kekerasan fisik. Berdasarkan penelitian sebelumnya, para pelaku cyberbullying ditemukan memiliki self-esteem yang rendah (Hinduja & Patchin, 2010). Rendahnya selfesteem seseorang dapat menjadikan seorang mencari eksistensi dirinya dari orang diluarnya. Dorongan tersebut dapat membuat seseorang dengan berani melakukan tindakan yang akan membuat dirinya di lihat oleh orang lain. Kerangka berpikir seperti dipaparkan di atas selanjutnya dapat dilihat pada bagan berikut:
46
Berikut skema kerangka berpikir :
EMPATI Perspective Taking
Fantasy Empathic Concern Personal Distress Perilaku Cyberbullying
SELF-CONTROL Behavior Control Cognitive Control Desicional Control
SELF-ESTEEM Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 2.7 Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh IV terhadap DV. DV dalam penelitiann ini yaitu cyberbullying, sedangkan variabel yang diteorikan peneliti sebagai IV berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya yaitu, empati, self-control dan self-esteem. Hipotesis mayornya adalah “ada pengaruh yang signifikan dari empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta”
47
Hipotesis Minor H1
: Ada pengaruh perspective taking pada variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
H2
: Ada pengaruh fantacy pada variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
H3
: Ada pengaruh empathic concern pada variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
H4
: Ada pengaruh personal distress pada variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
H5
: Ada pengaruh behavior control pada variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
H6
: Ada pengaruh cognitive control pada variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
H7
: Ada pengaruh decisional control pada variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
H8
: Ada pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
48
Hipotesis Nihil Karena adanya analisis statistik, maka hipotesis mayor dibalik menjadi hipotesis nihil, yang berbunyi bahwa “Tidak ada pengaruh yang signifikan dari empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta”
BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab ini dipaparkan tentang populasi dan sampel, teknik sampling, variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas kontruk, teknik analisis data, dan prosedur penelitian. 3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa yang bersekolah di SMAN 64 Jakarta kelas X, XI, dan XII yang berjumlah 770 siswa. Peneliti menetapkan sekolah tersebut karena sekolah memfasilitasi hotspot untuk seluruh siswa di sekolah dan pernah terjadi bullying yang terjadi di sekolah. Sedangkan subjek penelitian pada penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut : 1. Responden merupakan siswa SMA 64 Jakarta 2. Responden merupakan pengguna internet aktif 6 bulan terakhir baik komputer, smartphone, laptop, ataupun telepon genggam. 3. Responden melakukan setidaknya sekali tindakan cyberbullying seperti membajak, mengirimkan kata-kata kasar, atau mengirimkan gambar yang membuat malu orang lain. Selanjutnya, Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling, dimana tidak semua populasi memiliki kesempatan yang sama untuk ditetapkan sebagai sampel. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 200 siswa, karena disesuaikan dengan kemampuan peneliti berdasarkan pertimbangan waktu dan dana sampel dalam penelitian.
49
50
3.2
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Dependent Variable : Cyberbullying adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik yang berisi hal menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain yang berupa pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui media online. Independent Variable : 1. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. 2. Self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan suatu tindakan sesuai yang diyakini, berdasarkan pada aspek behavior control, cognitive control, dan decisional control. 3. Self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.
3.3 Instrumen Penelitian 3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama terdiri dari identitas responden. Bagian kedua terdiri dari
51
instrumen berisi pertanyaan elisitasi untuk mendapatkan gambaran umum pelaku cyberbullying. Bagian ketiga berisi tentang skala mengenai cyberbullying. Bagian keempat instrumen merupakan alat ukur dari empati, self-control dan self-esteem. Untuk model skala, peneliti menggunakan model skala likert, dimana variabel penelitian dijadikan sebagai titik tolak penyusunan item instrumen. Jawaban dari setiap instrumen memiliki empat pilihan, yaitu “Selalu” (SL), “Sering” (S), “Hampir Tidak Pernah” (HTP), “Tidak Pernah” (TP). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pemusatan atau menghindari jumlah respon yang bersifat netral. Model instrumen terdiri dari pernyataan positif (favourable) dan pernyataan negatif (unfavorurable). Penskoran tertinggi diberikan pilihan selalu dan terendah pada pernyataan tidak pernah dalam pernyataan favourable. Sedangkan dalam pernyataan unfavourable penskoran dibalik seperti pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Penilaian Skala Likert
Pilihan Selalu Sering Hampir Tidak Pernah Tidak Pernah
Favorable 4 3 2 1
Pernyataan Unfavorable 4 3 2 1
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat alat ukur, yaitu : alat ukur perilaku cyberbullying, alat ukur empati, alat ukur self-control dan alat ukur self-esteem.
52
3.3.2 Alat Ukur Penelitian 1. Perilaku Cyberbullying Instrumen pengumpulan data yang digunakan, peneliti membuat sendiri tentang perilaku cyberbullying yang mengacu pada aktivitas cyberbullying pada teori Willard (2007). Alat ukur terdiri dari 22 item yaitu 19 item favorable dan 3 item unfavorable. Adapun pembagian item-item tiap aspek dapat dilihat pada tabel 3.2. Tabel 3.2 Blue Print skala Cyberbullying
No
Indikator
Dimensi
Fav
1
Flaming
2
Harrasment
3
Denigration
12
mengirimkan kata-kata kasar sehngga menimbulkan pertengkaran mengirimkan pesan menggunakan bahasa kasar mengirimkan pesan berisi ejekan
mengirimkan pesan berisi ancaman
2
mengirimkan rumor yang merusak reputasi seseorang memposting gambar edit yang memalukan memposting perkataan kasar dengan mengatasnamakan orang lain memposting tulisan yang memalukan menggunakan akun orang lain menyebarkan gambar memalukan milik orang lain mengirimkan pesan terusan pribadi ke orang lain mengucilkan seseorang dari obrolan kelompok online mengeluarkan seseorang dari kelompok online
5,20,22
4
Impersonation
5
Outing & Trickery
6
Exclusion
Jumlah
Item Unfav
1,3,4
14,21 13
11 6, 19 7, 18 10,15 16 9,17 8 19
3
53
2. Empati Skala empati yang digunakan mengacu pada aspek-aspek empati menurut Davis. Peneliti mengadaptasi skala Davis (1980) Interpersonal Reactivity Index (IRI) ke dalam bahasa indonesia. Skala terdiri dari 28 item yang terdiri dari 19 item favorable dan 9 item unfavorable. Adapun pembagiannya pada tabel 3.3. Tabel 3.3 Blue Print skala Empati Item No
Aspek
Indikator Fav 8,11,21 25,28
Unfav 3,15
1
Perspective taking
Berpikir dan merasakan berdasarkan keadaan orang lain
2
Fantasy
Mengimajinasikan diri dalam situasi fiktif
1,5,16, 23,26
7,12
3
Empathic concern
Merasakan pengalaman orang lain
2,9,20,22
4,14,18
4
Personal distress
Merasakan perasaan cemas dari pengalaman negatif
6,10,17 24,27
13,19
19
9
Jumlah
3. Self-control Skala self-control yang digunakan mengacu pada aspek-aspek self-control menurut Averill (1973) yaitu behavior control, cognitive control, dan decisional control dengan menggunakan skala likert. Skala terdiri dari 23 item yang terdiri
54
dari 15 item favorable dan 8 item unfavorable. Adapun pembagiannya pada tabel 3.4. Tabel 3.4 Blue Print skala Self-control Item No 1
2
3
Aspek Behavior control
Cognitive control Decisional control
Indikator Mengatur pelaksanaan untuk mengendalikan situasi Memodifikasi stimilus dengan cara mencegah stimulus
Memperoleh informasi Melakukan penilaian Mengantisipasi keadaan Menafsirkan kejadian
Jumlah
Fav
Unfav
1,3,4,5
2
7,9
6,8
10,11,12, 13 15
14,16
17,18,19 23
20,21,22
15
8
4. Self-esteem Peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Rosenberg. Peneliti mengadaptasi terlebih dahulu alat ukur The Rosenberg Self-Esteem scale dalam penelitian cyberbullying oleh Hinduja & Patchin (2010) ke dalam bahasa indonesia. Adapun pembagiannya pada tabel 3.5.
55
Tabel 3.5 Blue Print skala Self-esteem Item No
Aspek
Self1 Esteem
Indikator
Fav
Unfav
Penghargaan atas diri sendiri.
1,6
5,8
Kebermaknaan atas apa yang sudah dilakukan.
2
9,10
4,7
3
5
5
Kepuasan akan diri sendiri. Jumlah
3.4. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian Sebelum melakukan analisis data, penulis melakukan pengujian terhadap validitas konstruk keempat instrument yang dipakai, yaitu cyberbullying, perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress, behavior control, cognitive control, decisional control dan self-esteem. Untuk menguji validitas konstruk alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan Confirmatory Faktor Analysis (CFA). Adapun logika dari CFA : 1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.
56
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat unidimensional. 3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks korelasi
antar
item
yang
seharusnya
diperoleh
jika
memang
unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ - matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan ∑ - S = 0. 4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chisquare. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat diterima bahwa item ataupun sub tes instrument hanya mengukur satu faktor saja. 5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan tvalue. Jika hasil t-value tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian dikeluarkan dan sebaliknya. 6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya negatif, maka item tersebut harus di keluarkan. Sebab hal ini tidak sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable).
57
Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan menggunakan software LISREL 8.70 (Linear Structural Relationship).
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Cyberbullying Penulis menguji apakah 23 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur perilaku cyberbullying. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 1230.98, df = 209, P-value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.157. Oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square = 159.61, df = 134 , P-value = 0.06495, dan nilai RMSEA = 0.031 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu perilaku cyberbullying. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.14 berikut ini:
58
Table 3.6 Uji Validitas Konstruk Cyberbullying No. Item
Lambda
Standard Error
T-value
Signifikan
1 0.67 (0.07) 10.28 2 0.52 (0.07) 7.89 3 0.60 (0.07) 9.23 4 0.43 (0.07) 6.19 5 0.55 (0.07) 8.38 6 0.33 (0.07) 4.57 7 0.38 (0.07) 5.63 8 0.43 (0.07) 6.39 9 0.63 (0.06) 9.86 10 0.76 (0.06) 12.43 11 0.76 (0.06) 12.47 12 0.80 (0.06) 13.19 13 0.73 (0.06) 12.00 14 0.73 (0.06) 12.16 15 0.53 (0.07) 8.12 16 0.53 (0.07) 7.83 17 0.67 (0.07) 10.10 18 0.62 (0.07) 9.38 19 0.64 (0.07) 9.92 20 0.62 (0.06) 9.69 21 0.43 (0.07) 6.26 22 0.52 (0.07) 7.29 Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan Dari hasil tabel 3.14 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan. Namun pada item 3, 9, dan 15 didrop karena korelasi antar item lebih dari lima kali.
3.4.2. Uji Validitas Kontruk Empati Empati memiliki lima aspek, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, dan personal distress
59
1. Perspective Taking Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur perspective taking. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 60.10, df = 14, P-value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.129. Oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya dan penulis menghilangkan item 1 karena berkolerasi lebih dari tiga kali, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 9.32, df = 6, P-value = 0.15623, dan nilai RMSEA = 0.053 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu perspective taking. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.7 berikut ini: Gambar 3.7 Uji Validitas Konstruk Perspective Taking No Item 8 11 15 21 25 28
Lamda
Standard Eror
T-Value
Signifikan
0.48 (0.09) 4.33 0.18 (0.10) 2.97 0.10 (0.09) 1.70 X 0.52 (0.09) 3.57 0.52 (0.09) 1.37 X 0.56 (0.09) 2.38 Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
60
2. Fantasy Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur fantasy. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 32.88, df = 14 , P-value = 0.00299, dan nilai RMSEA = 0.082. Oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 14.97, df = 12 , P-value = 0.24322, dan nilai RMSEA = 0.035 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu fantasy. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.8 berikut ini: Gambar 3.8 Uji Validitas Konstruk Fantasy No Item 1 5 7 12 16 23 26
Lamda 0.51 0.31 0.56 0.41 0.52 0.30 0.47
Standard Eror
T-Value
Signifikan
(0.09) 5.75 (0.09) 3.57 (0.08) 6.77 (0.09) 4.47 (0.08) 6.28 (0.09) 3.55 (0.08) 5.60 Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96)
61
3. Empathic Concern Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur empathic concern. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 34.96, df = 14 , P-value = 0.00149, dan nilai RMSEA = 0.087. Oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 20.03, df = 13, P-value = 0.09439, dan nilai RMSEA = 0.052 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu empathic concern. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.9 berikut ini: Gambar 3.9 Uji Validitas Konstruk Empathic Concern No Lamda Standard Eror Item 2 0.81 (0.08) 4 0.45 (0.08) 9 0.41 (0.08) 14 0.31 (0.08) 18 0.33 (0.08) 20 0.56 (0.08) 22 0.42 (0.08) Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96)
T-Value
Signifikan
10.50 5.74 5.23 3.85 4.17 7.33 5.39
62
4. Personal Distress Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur personal distress. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-square = 19.36, df = 14 , Pvalue = 0.15148, dan nilai RMSEA = 0.044 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu personal distress. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.10 berikut ini: Gambar 3.10 Uji Validitas Konstruk Personal Distress No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan Item 6 0.36 (0.08) 4.37 10 0.49 (0.08) 6.05 13 0.20 (0.09) 2.45 17 0.78 (0.08) 8.94 19 0.14 (0.08) 1.68 X 24 0.57 (0.08) 7.01 27 0.13 (0.08) 1.59 X Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
63
3.4.3. Uji Validitas Kontruk Self-Control Self-Control memiliki tiga aspek, yaitu behavior control, cognitive control, dan decisional control. 1) Behavior Control Penulis menguji apakah 9 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur behavior control. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 67.31, df = 27, P-value = 0.00003, dan nilai RMSEA = 0.087. Oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 34.68, df = 24 , P-value = 0.07328, dan nilai RMSEA = 0.047 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu behavior control. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.11 berikut ini:
64
Gambar 3.11 Uji Validitas Konstruk Behavior Control No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan Item 1 0.65 (0.07) 8.89 2 0.02 (0.07) 0.21 X 3 0.94 (0.07) 12.71 4 0.54 (0.07) 7.46 5 0.37 (0.07) 4.96 6 0.13 (0.07) 1.69 X 7 0.01 (0.07) 0.12 X 8 0.02 (0.07) 0.21 X 9 0.11 (0.07) 1.43 X Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan 2) Cognitive Control Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur cognitive control. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 48.99, df = 14 , P-value = 0.00001, dan nilai RMSEA = 0.112. Oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 16.05, df = 11 , P-value = 0.13912, dan nilai RMSEA = 0.048 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu cognitive control. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.12 berikut ini:
65
Gambar 3.12 Uji Validitas Konstruk Cognitive Control No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan Item 10 0.26 (0.08) 3.22 11 0.17 (0.09) 1.95 X 12 -0.28 (0.09) -3.24 X 13 0.62 (0.09) 7.08 14 0.50 (0.09) 5.69 15 0.67 (0.08) 8.01 16 0.46 (0.08) 5.96 Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
3) Decisional Control Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur decisional control. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu factor fit, dengan Chi-square = 23.46, df = 14 , P-value = 0.05323, dan nilai RMSEA = 0.058 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu decisional control. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.13 berikut ini:
66
Gambar 3.13 Uji Validitas Konstruk Decisional Control No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan Item 17 0.61 (0.09) 6.53 18 0.23 (0.09) 2.59 19 0.45 (0.09) 5.01 20 0.33 (0.09) 3.73 21 0.39 (0.09) 4.30 22 0.48 (0.09) 5.28 23 0.25 (0.09) 2.76 Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan 3.4.4. Uji Validitas Kontruk Self-Esteem Penulis menguji apakah 10 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur self-esteem. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 291.71, df = 35, P-value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.192. Oleh sebab itu penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 37.39, df = 27 , P-value = 0.08809, dan nilai RMSEA = 0.044 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu self-esteem. Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.14 berikut ini:
67
Gambar 3.14 Uji Validitas Konstruk Self-Esteem No Item Lamda Standard Eror T-Value 1 0.52 (0.08) 6.55 2 0.70 (0.08) 9.01 3 0.47 (0.08) 6.12 4 0.51 (0.08) 6.71 5 0.32 (0.08) 4.14 6 0.65 (0.08) 8.30 7 0.61 (0.07) 8.20 8 0.35 (0.08) 4.29 9 0.22 (0.08) 2.74 10 0.32 (0.08) 3.95 Keterangan : tanda = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
Signifikan
3.5 Teknik Analisa Data Untuk menguji hipotesis penelitian, peneliti menggunakan metode analisis regresi berganda (multiple reggression analysis) yaitu suatu metode untuk menguji signifikan tidaknya pengaruh dari sekumpulan variabel bebas (IV) yaitu empati, self-control,
self-esteem
terhadap
variabel
terikat
(DV)
yaitu
perilaku
cyberbullying. Analisis regresi berganda digunakan agar dapat menjawab hipotesis nihil yang ada pada bab II. Dalam penelitian ini dependent variable sebanyak satu variabel dan independent variable sebanyak delapan variabel. Sehingga susunan persamaan garis regresi penelitian ini adalah: Y1 : a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8+e
68
Keterangan : Y1
: Dependent Variabel (DV) „Cyberbullying‟
a
: Intercept/konstan
b
: Koefisien regresi untuk masing-masing IV
X1
: Aspek Empati Perspective Taking
X2
: Aspek Empati Fantasy
X3
: Aspek Empati Empathic Concern
X4
: Aspek Empati Pesonal Distress
X5
: Aspek Self-Control Behavior Control
X6
: Aspek Self-Control Cognitive Control
X7
: Aspek Self-Control Decisional Control
X8
: Aspek
e
: Residu
Self-Esteem
Dalam analisis regresi berganda ini dapat diperoleh beberapa informasi, yaitu: 1. R2 (Rsquare) untuk mengetahui berapa persen (%) sumbangan IV terhadap DV. 2. Dapat diketahui apakah secara keseluruhan IV berpengaruh secara signifikan terhadap DV. 3. Diketahui signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing IV. Koefisien yang signifikan menunjukkan dampak yang signifikan dari IV yang bersangkutan. 4. Dapat diketahui besarnya sumbangan dari setiap IV pada DV, dan melihat signifikansinya.
69
5. Semua perhitungan dan komputerisasi dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 17.0
3.5. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu : 1. Peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti kemudian menentukan variabel yang akan diteliti yaitu perilaku cyberbullying, empati, selfcontrol, dan self-esteem. Setelah itu mengadakan studi pustaka untuk melihat masalah tersebut dari sudut pandang teoritis. 2. Mempersiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu alat ukur yang dibuat sendiri berdasarkan teori dari Willard (2007) yaitu bentuk aktivitas cyberbullying, alat ukur empati menggunakan skala baku yang di adaptasi sesuai teori Davis (1980), alat ukur self-control yang dibuat sendiri berdasarkan teori Averill (1973), dan alat ukur self-esteem yang diadaptasi dari teori Rossenberg (dalam Mruk, 2006). Semua skala yang digunakan pada penelitian ini berbentuk skala likert. 3. Menentukan sampel penelitian yaitu pelaku cyberbullying yang sesuai dengan kriteria dan lokasi yang telah ditetapkan, yaitu SMAN 64 Jakarta. Pertama-tama peneliti mengadakan pilot study dengan mewawancarai salah satu guru bimbingan dan konseling di sekolah tersebut dan memberikan kuesioner singkat tentang aktivitas cyberbullying.
70
4. Penetapan sampel yang telah melalui screening terlebih dahulu diberikan angket lanjutan yang dilakukan secara offline dan secara langsung kepada responden yang bersangkutan. 5. Selanjutnya, setelah mendapatkan data yang diinginkan peneliti kemudian melakukan pengolahan data dan pengujian terhadap data yang sudah didapatkan.
BAB 4 HASIL PENELITIAN Dalam bab ini, dipaparkan hasil penelitian yang meliputi, gambaran subjek penelitian, hasil analisis deskriptif, kategorisasi skor variabel penelitian, hasil pengujian hipotesis, pembahasan hasil pengujian hipotesis dan proporsi varians. 4.1
Gambaran Subjek Penelitian
Gambaran umum subjek penelitian ini didasarkan dari jenis kelamin, tingkat kelas, dan media yang digunakan. Seperti pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Frekuensi
Presentase
123 77 200
61,5% 38,5% 100%
47 54 99 200
23,5% 27% 49,5% 100%
87 73 40 200
43,5% 36,5% 20% 100%
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Kelas X XI XII Total Media yang digunakan oleh sampel pelaku Facebook Twitter Lainnya Total
4.2
Hasil Analisis Deskriptif
Pada tabel 4.2 digambarkan hasil statistik deskriptif dari variabel dalam penelitian ini yang berisi nilai minimum, nilai maksimum, mean dan standar deviasi (SD). Nilai tersebut disajikan dalam tabel 4.2. 71
72
Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif
N Cyberbullying Perspective Taking Personal Distress Empathic Concern Fantasy Behavior Control Cognitive Control Decisional Control Self-Esteem Valid N (listwise)
200 200 200 200 200 200 200 200 200 200
Minimum Maximum 40.19 29.84 31.34 28.04 25.88 34.07 27.01 34.25 30.12
87.88 63.46 66.95 65.63 66.72 66.59 63.98 67.94 69.35
Mean 49.9999 49.9988 50.0005 49.9999 50.0002 50.0006 49.9994 49.9997 50.0001
Std. Deviation 8.84240 8.56391 8.21776 8.03440 7.73183 8.70055 7.88108 7.38218 8.56109
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa nilai maksimum tertinggi berada pada perilaku cyberbullying, sebesar 87.88 dan nilai minimun tertendah berada pada aspek fantasy, sebesar 25.88. 4.3
Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Kategorisasi dalam penelitian ini dibuat menjadi dua kategori, skor variabel penelitian yaitu tinggi, sedang dan rendah. Untuk mendapatkan norma kategorisasi tersebut dilakukan dengan menggunakan pedoman sebagai berikut: Tabel 4.3 Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian Kategorisasi Tinggi Rendah
Rumus X ≥ Mean + 1SD X ≤ Mean – 1SD
73
Setelah kategorisasi tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentase kategori untuk masing-masing variabel. Variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen terdiri dari variabel perilaku cyberbullying. Variabel independen terdiri atas tiga variabel yaitu empati, self-control dan selfesteem. Empati meliputi perspective taking, personal distress, fantasy, dan empathic concern. Self-control meliputi behavior control, cognitive control dan decisional control. Sehingga total keseluruhan variabel yang dapat diketahui kategorisasinya berjumlah sembilan variabel. Kategorisasi pada variabel penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Cyberbullying
Perspective Taking
Personal Distress
Fantasy
Empathic Concern
Kategori
Frekuensi
Percent
T
94
47
R Total
106 200
53 100
T
96
48
R Total
104 200
52 100
T
99
49.5
R Total
101 200
50.5 100
T
102
51
R Total
98
200
49 100
T
61
30.5
R 139 69.5 Total 200 100 Keterangan : T = Tinggi, R = Rendah,
Behavior Control
Cognitive Control
Decisional Control
SelfEsteem
Kategori
Frekuensi
Percent
T
86
43
R Total
114 200
57 100
T
111
55.5
R Total
89 200
44.5 100
T
100
50
R Total
100 200
50 100
T
120
60
R Total
80 200
40 100
74
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa 47% partisipan dalam penelitian ini berada pada kategori tinggi, dan 53% partisipan berada pada kategori rendah. Dari pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya perilaku cyberbullying berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki perilaku cyberbullying yang rendah. Selanjutnya pada aspek empati yang meliputi perspective taking, personal distress, fantasy, dan empathic concern. Pada variabel perspective taking diketahui bahwa sebesar 48% partisipan dalam penelitian ini berada pada kategori tinggi, dan 52% berada kategori rendah. Dari pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya tingkat perspective taking partisipan berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki kecenderungan mengambil sudut pandang orang lain secara spontan rendah. Variabel kedua pada empati adalah personal distress. Sebesar 49.5% berada pada kategori tinggi, dan 50.5% berada pada kategori rendah. Dari pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya personal distress partisipan berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat kecemasan pada diri sendiri yang rendah. Variabel ketiga pada empati adalah fantasy. Sebesar 51%, berada pada kategori tinggi, dan 49% berada pada kategori rendah. Dari pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya tingkat fantasy partisipan berada pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam
75
penelitian ini memiliki kemampuan yang tinggi dalam kemampuan untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tidankan dari karakter khayal dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton. Variabel terakhir dari empati yaitu empathic concern. Sebesar 30,5% berada pada kategori tinggi, dan 69.5% berada pada kategori rendah. Dari pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya tingkat empathic concern partisipan berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat perasaan yang rendah dalam simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain. Selanjutnya aspek kedua adalah self-control adalah behavior control, cognitive control, dan decisional control. Pada variabel behavior control sebesar 43% berada pada kategori tinggi, dan 57% berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki pengendalian diri dengan tindakan yang rendah. Variabel kedua yaitu cognitive control. Sebesar 55.5% berada pada kategori tinggi, dan 44.5% berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Variabel ketiga yaitu decisional control. Sebesar 50% berada pada kategorisasi tinggi, dan 50% berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan
76
bahwa partisipan dalam penelitian ini sama besarnya dalam memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.. Variabel terakhir pada penelitian ini yaitu self-esteem. Sebesar 60% berada pada kategori tinggi, dan 40% berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki kepercayaan atas dirinya sebagai totalitas tinggi.
4.4
Hasil Uji Hipotesis Penelitian
Selanjutnya dalam penelitian ini dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui pengaruh antara masing-masing independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV). Analisis dilakukan dengan teknik Multiple Regression. Data yang dianalisi diantaranya faktor skor atau true score yang diperoleh dari hasil analisis faktor. Alasan penggunaan faktor skor adalah untuk menghindari dampak negatif dari kesalahan pengukuran. Pada tahapan ini teknik yang digunakan dalam penelitian adalah analisis regresi berganda menggunakan software SPSS 17.0. Dalam regresi ada 3 hal yang perlu dilihat, yaitu melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varians dependent variable (DV) yang dijelaskan oleh independent variable (IV). Kedua uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing koefisien regresi. Ketiga untuk melihat persamaan regresi yang digunakan untuk melihat prediksi besaran tingkat kebahagiaan pasangan jika variabel independennya diketahui. Selanjutnya untuk tabel R square, dapat dilihat pada tabel 4.5.
77
Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi
Model
R
1
.491
Adjusted R Square
R Square a
.242
Std. Error of the Estimate
.210
7.14226
a. Predictors: (Constant), SELFESTEEM, FANTASY, EMPATHICCONCERN, COGNITIVECONTROL, PERSONALDISTRESS, PERSPECTIVETAKING, BEHAVIORCONTROL, DECISIONALCONTROL
Dari tabel 4.5, dapat dilihat bahwa perolehan R-square sebesar 0.242 atau 24,2%. Artinya proporsi varians dari cyberbullying yang dapat dijelaskan oleh variabel empati, self-control, dan self-esteem adalah sebesar 24.2%, sisanya 75.8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak ikut diukur dalam penelitian ini. Selanjutnya dianalisis dampak dari seluruh independent variable (IV) terhadap cyberbullying. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Tabel ANOVA pengaruh keseluruhan IV terhadap DV ANOVAb Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
Regression
3102.482
8
387.810
Residual
9743.277
191
51.012
12845.759
199
Total
F 7.602
Sig. .000
a
a. Predictors: (Constant), SELFESTEEM, FANTASY, EMPATHICCONCERN, COGNITIVECONTROL, PERSONALDISTRESS, PERSPECTIVETAKING, BEHAVIORCONTROL, DECISIONALCONTROL b. Dependent Variable: CYBERBULLYING
78
Jika dilihat pada bagian kolom sig, dapat diketahui nilai (p < 0.05), maka hipotesis nol ditolak. Oleh karena itu hipotesis nihil mayor yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan dari variabel empati (perspective taking, personal distress, fatasy, dan empathic concern), variabel self-control (behavior control, cognitive control, decisional control), dan variabel self-esteem terhadap perilaku cyberbullying ditolak. Artinya, terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel empati (perspective taking, personal distress, fatasy, dan empathic concern), variabel self-control (behavior control, cognitive control, decisional control), dan variabel self-esteem terhadap perilaku cyberbullying.
Tabel 4.7 Koefisien Regresi Coefficientsa Standardized
Unstandardized Coefficients
Coefficients
Model B (Constant)
1
Std. Error
Sig.
Beta
11.508
6.921
.098
PERSPECTIVETAKING
-.175
.069
-.187
.012
FANTASY
-.065
.058
-.071
.266
EMPATHICCONCERN
-.187
.069
-.180
.007
PERSONALDISTESS
.104
.064
.106
.108
BEHAVIORCONTROL
-.144
.072
-.141
.046
COGNITIVECONTROL
.007
.070
.007
.925
DECISIONALCONTROL
.192
.094
.176
.042
SELFESTEEM
.040
.066
.043
.542
a. Dependent Variable: CYBERBULLYING
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, dapat disimpulkan persamaan regresinya sebagai berikut
79
Cyberbullying =
11.508 - 0.175 Perspective Taking - 0.065 Fantasy - 0.187 Empathic Concern + 0.104 Personal Distress – 0.144 Behavior Control + 0.007 Cognitive Control + 0.192 Decisional control + 0.040 Self-Esteem.
Untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan dapat dilihat pada nilai sig pada kolom di atas, jika sig < 0.05 maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap periaku cyberbullying dan sebaliknya. Dari hasil di atas terdapat empat koefisien regresi yang signifikan pengaruhnya terhadap periaku cyberbullying, yaitu perspective taking, empathic concern, behavior control, dan decisional control sedangkan sisanya tidak signifikan. Hal ini menyatakan hanya empat independent variable (IV) dari 8 variabel yang signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing independent variable (IV) adalah sebagai berikut: 1. Nilai koefisien regresi sebesar -0.175 pada variabel perspective taking dengan nilai sig sebesar 0.012 (sig < 0.05), yang berarti bahwa perspective taking secara negatif memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying. Artinya, semakin rendah tingkat kecenderungan untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan, maka semakin tinggi perilaku cyberbullying. 2. Nilai koefisien regresi sebesar -0.065 pada variabel fantasy dengan nilai sig sebesar 0.266 (sig > 0.05), yang berarti bahwa fantasy tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying.
80
3. Nilai koefisien regresi sebesar -0.187 pada variabel empathic concern dengan nilai sig sebesar 0.007 (sig < 0.05), yang berarti bahwa empathic concern secara negatif memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying. Artinya, semakin rendah tingkat perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain, semakin tinggi tingkat perilaku cyberbullying. 4. Nilai koefisien regresi sebesar 0.104 pada variabel personal distress dengan nilai sig sebesar 0.108 (sig > 0.05), yang berarti bahwa personal distress
tidak
memiliki
pengaruh
signifikan
terhadap
perilaku
cyberbullying. 5. Nilai koefisien regresi sebesar -0.144 pada variabel behavior control dengan nilai sig sebesar 0.046 (sig < 0.05), yang berarti bahwa behavior control secara negatif memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying. Artinya, semakin rendah tingkat pengendalian diri secara perilaku, semakin tinggi tingkat perilaku cyberbullying. 6. Nilai koefisien regresi sebesar 0.007 pada variabel cognitive control dengan nilai sig sebesar 0.925 (sig > 0.05), yang berarti bahwa cognitive control
tidak
memiliki
pengaruh
signifikan
terhadap
perilaku
cyberbullying. 7. Nilai koefisien regresi sebesar 0.192 pada variabel decisional control dengan nilai sig sebesar 0.042 (sig < 0.05), yang berarti bahwa decisional control memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying. Artinya semakin tinggi kemampuan untuk memilih hasil atau suatu
81
tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. maka semakin tinggi pula tingkat perilaku cyberbullying. 8. Nilai koefisien regresi sebesar 0.040 pada variabel self-esteem dengan nilai sig sebesar 0.542 (sig > 0.05), yang berarti bahwa self-esteem tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying.
Dari penjabaran hasil di atas, maka dapat diketahui bahwa hipotesis minor yang diterima berjumlah empat dari delapan variabel yaitu H2 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan perspective taking terhadap perilaku cyberbullying. Selanjutnya H3, yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan empathic concern terhadap perilaku cyberbullying. Setelah itu H5, yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan behavior control terhadap perilaku cyberbullying. Terakhir H7 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan decisional control terhadap perilaku cyberbullying.
4.5
Proporsi Varian
Selanjutnya, dianalisa juga bagaimana penambahan proporsi varians dari tiap independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV). Pada tabel 4.8 signifikansi bisa dilihat pada kolom pertama dari kanan, bila sig< 0.05 berarti variabel tersebut signifikan. Sedangkan sumbangan varians yang diberikan independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV) bisa dilihat pada baris R Square Change. Besarnya proporsi varians pada perilaku cyberbullying pada tabel 4.8.
82
Tabel 4.8 Proporsi varians independent variable (IV) Change Statistics Model
R Square R Square Change
F Change
df1
df2
Sig. F Change
1
.109
.109
24.218
1
198
.000
2
.118
.009
1.983
1
197
.161
3
.156
.038
9.019
1
196
.003
4
.182
.026
5.841
1
195
.017
5
.215
.033
8.155
1
194
.005
6
.222
.007
1.763
1
193
.186
7
.241
.019
4.695
1
192
.031
8
.242
.001
.373
1
191
.542
1: PERSPECTIVETAKING, 2: FANTASY, 3: EMPATHICCONCERN, 4: PERSONALDISTRESS, 5: BEHAVIORCONTROL, 6: COGNITIVECONTROL, 7: DECISIONALCONTROL, 8: SELF-ESTEEM.
Dari tabel di atas didapatkan informasi sebagai berikut: 1. Variabel perspective taking memberikan sumbangan sebesar 10.9% terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 24.218, df1 = 1 dan df2= 198 dengan Sig.F Change= 0.000 (sig < 0.05). 2. Variabel fantasy memberikan sumbangan sebesar 0.9% terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 1.983, df1 = 1 dan df2= 197 dengan Sig.F Change= 0.161 (sig > 0.05). 3. Variabel empathic concern memberikan sumbangan sebesar 3.8% terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 9.019, df1 = 1 dan df2= 196 dengan Sig.F Change= 0.003 (sig < 0.05).
83
4. Variabel personal distress memberikan sumbangan sebesar 2.6% terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 5.841, df1 = 1 dan df2= 195 dengan Sig.F Change= 0.017 (sig < 0.05). 5. Variabel behavior control memberikan sumbangan sebesar 3.3% terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 8.155, df1 = 1 dan df2= 194 dengan Sig.F Change= 0.005 (sig < 0.05). 6. Variabel cognitive control memberikan sumbangan sebesar 0.7% terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change= 1.763, df1 = 1 dan df2= 193 dengan Sig.F Change= 0.186 (sig > 0.05). 7. Variabel decisional control memberikan sumbangan sebesar 1.9% terhadap varians cyberbullying Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 4.695, df1 = 1 dan df2= 192 dengan Sig.F Change= 0.031 (sig < 0.05). 8. Variabel self-esteem memberikan sumbangan sebesar 0.1% terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change= 0.373, df1 = 1 dan df2= 191 dengan Sig.F Change= 0.542 (sig > 0.05). Dengan demikian, terdapat lima dari delapan independent variable (IV), yaitu perspective taking, personal distress, empathic concern, behavior control dan decisional control yang berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberbullying jika dilihat dari besarnya R2 yang dihasilkan dari sumbangan proporsi variabel yang diberikan.
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab ini, akan dipaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang dilakukan. Bab ini terdiri atas kesimpulan, diskusi dan saran. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil uji hipotesis mayor, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari empati (perspective taking, personal distress, fantasy, empathic concern), self-control (behavior control, cognitive control, decisional control) dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada remaja SMAN 64 Jakarta. Kemudian berdasarkan hasil uji hipotesis minor yang menguji signifikansi masing-masing koefisien regresi terhadap dependent variable (DV), diperoleh hanya ada empat koefisien regresi yang signifikan mempengaruhi perilaku cyberbullying yaitu perspective taking, empathic concern, behavior control, dan decisional control. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku cyberbullying dipengaruhi oleh perspective taking, empathic concern yang merupakan aspek dari empati dan behavior control, dan decisional control yang merupakan aspek self-control.
84
85
5.2 Diskusi Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis, didapatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari variabel empati (perspective taking, empathic concern) dan self-control (behavior control, dan decisional control) terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. Secara
umum
variabel
empati
berpengaruh
terhadap
perilaku
cyberbullying pada sampel penelitian ini. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Steffgen, Konig, Pfetsch, & Melzer (2011) yang menemukan rendahnya respon empati pada pelaku cyberbullying dan menurut Menesini (dalam Dilmac, 2009), pelaku bullying sebenarnya sadar akan perasaan orang lain namun tidak dapat atau tidak mau mengizinkan perasaan itu mempengaruhi mereka yang akhirnya lebih memilih melakukan tindakan bullying. pada penelitian ini pada dimensi perspective taking memiliki hubungan negatif dengan perilaku cyberbullying, jadi semakin rendah skor perspective taking pada pelaku cyberbullying, maka semakin tinggi perilaku cyberbullying. Artinya, semakin rendah seseorang melihat sudut pandang orang lain, maka perilaku cyberbullying akan semakin tinggi pada seseorang. Perspective taking secara psikologis dan sosial penting dalam keharmonisan interaksi antar individu. Seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Hal ini erat kaitannya dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung dengan kecermatan analisisnya.
86
Pada dimensi empathic concern ditemukan pula memiliki hubungan yang negatif yang artinya semakin rendah skor empathic concern, semakin tinggi tingkat perilaku cyberbullying. Artinya, semakin rendah tingkat perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain maka akan semakin tinggi perilaku cyberbullying seseorang. Dimensi lain dari variabel empati, yaitu fantasy berpengaruh negatif dan tidak signifikan. Artinya semakin rendah imajinasi seseorang maka semakin tinggi pula kecenderungan dalam perilaku cyberbullying. Meski tidak signifikan dalam mempengaruhi perilaku cyberbullying dimensi fantasy memberikan kontribusi sebesar 0.9% dalam mempengaruhi perilaku cyberbullying seseorang. Sedangkan pada dimensi personal distress tidak signifikan mempengaruhi perilaku cyberbullying. Artinya semakin tinggi kecemasan seseorang maka kecenderungan melakukan perilaku cyberbullying semakin tinggi. Personal distress dikatakan juga sebagai empati negative atau reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain yang diekspresikan dengan perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin yang berlebihan dan rasa tidak berdaya (Davis, 1980). Secara umum variabel self-control mempengaruhi perilaku cyberbullying pada penelitian ini. Dimensi behavior control berarah negatif dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cyberbullying yang artinya semakin rendah pengendalian respon secara langsung mempengaruhi perilaku maka semakin tinggi perilaku cyberbullying seseorang. Hal tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa secara langsung maupun tidak langsung rendahnya self-control mempengaruhi perilaku cyberbullying (Vazsonyi,
87
Machackova, Sevcikova et al., 2012). Kegagalan seseorang dalam pengendalian diri merupakan salah satu prediktor terjadinya cyberbullying. Dengan rendahnya kontrol perilaku (behavior control) seseorang, maka ia akan sulit mengendalikan perilakunya yang sesuai dengan norma yang berlaku dilingkungannya. Sebaliknya, jika seseorang memiliki kontrol perilaku yang tinggi, maka ia akan mudah mengendalikan perilakunya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan pada dimensi decisional control berpengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying tetapi berarah positif. Artinya, semakin tinggi skor aspek decisional control maka semakin tinggi perilaku cyberbullying seseorang. Berbeda dari beberapa penelitian sebelumnya yang mengukur decisional control yang menemukan arah yang negatif, salah satunya pada penelitian Badriyah (2013) yang mengukur self-control pada agresivitas remaja menemukan hasil yang negatif pada dimensi decisional control, peneliti berpendapat bahwa perbedaan antara hasil penelitian terdahulu ini bisa diakibatkan sampel penelitian, teknik pengambilan data, maupun alat ukur yang digunakan. Pada penelitian ini item-item yang digunakan pada dimensi decisional control menitik beratkan pada hal melakukan sesuatu sesuai yang diyakini diri sendiri, menjadi hal yang positif saat pada sampel pelaku cyberbullying lebih meyakini kebenaran yang dilakukan untuk tetap melakukan tindakan bullying. Sedangkan pada variabel self-esteem tidak memiliki pengaruh pada perilaku cyberbullying. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Patchin & Hinduja (2010) yang menyatakan bahwa baik pelaku ataupun korban yang pernah mengalami cyberbullying sama-sama memiliki self-esteem yang
88
rendah. Sedangkan pada penelitian ini 60% responden memiliki kepercayaan atas dirinya tinggi. Peneliti berasumsi bahwa pada penelitian Patchin & Hinduja (2010) responden masih pada anak-anak akhir, sedangkan pada subjek penelitian ini 49,5% pada remaja akhir yang sudah memiliki self-esteem tinggi. Sejalan dengan hal tersebut dalam penelitian Family Health Study oleh Baldwin & Hoffman menemukan bahwa self-esteem menurun pada remaja perempuan dari usia 12 – 17 tahun. Sebaliknya, self-esteem pada laki-laki meningkat pada usia yang sama dengan perempuan. Dalam studi yang dijelaskan, perubahan selfesteem selama masa remaja berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hidup dan keadaan keluarga (dalam Santrock, 2012). Terdapat beberapa kelemahan pada penelitian ini seperti, sedikitnya sampel yang kurang dapat merepresentasikan populasi. Lalu kurangnya screening yang lebih spesifik dalam penggolongan seseorang sebagai pelaku cyberbullying. Menurut Willard (2007), frekuensi menentukan seseorang dapat dikatakan menjadi pelaku cyberbullying. Contohnya, pada hari yang sama pelaku bisa berulang kali mengirim pesan menyakitkan atau memalukan kepada orang lain. Selain itu, peneliti hanya menggunakan variabel pada faktor internal seorang pelaku cyberbullying tanpa menambahkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pelaku cyberbullying pada remaja.
89
5.3 Saran Pada bagian ini, saran dibagi menjadi dua, bagian yaitu saran metodologis dan saran praktis. Penulis memberikan saran secara metodologis dengan harapan dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan penelitian selanjutnya. Selain itu, peneliti juga menguraikan saran secara praktis dengan harapan dapat memberikan informasi tambahan, terutama bagi pembaca yang berniat melakukan penelitian. 5.3.1 Saran Metodologis 1. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan hanya pelaku cyberbullying di satu sekolah sebaiknya penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar menggunakan sampel dari beberapa sekolah dan tidak terbatas melihat sampel pelaku saja, tetapi pada korban dan pengamat sehingga mampu mendapatkan gambaran lain lebih lengkap. 2. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak sampel penelitian agar lebih seimbang dan dapat merepresentasikan dari populasi dan melakukan screening lebih mendalam dalam pemilihan responden dan pastikan bahwa karakteristik sampel memenuhi syarat dengan baik sehingga tujuan penelitian dapat tercapai dengan baik. 3. Pada penelitian ini, hanya meneliti variabel instrinsik, untuk penelitian selanjutnya sebaiknya memasukkan variabel eksternal untuk diteliti seperti komunikasi orangtua-anak dan dapat menyertakan orangtua siswa sebagai subjek penelitian yang dapat melihat presepsi antara orangtua dan anak. 4. Pada penelitian selanjutnya yang akan menggunakan self-control, disarankan menggunakan alat ukur self-control scale yang terdiri dari 10
90
item dari Tangney, Baumeister, & Boone (2004), alat ukur baku ini hanya mengukur satu aspek secara keseluruhan self-control. 5. Berdasarkan hasil penelitian ini, untuk penelitian selanjutnya yang ingin menggunakan variabel self-esteem lebih cocok diteliti pada korban cyberbullying.
5.3.2 Saran Praktis 1. Pada penelitian ini ditemukan bahwa ada pengaruh self-control dan empati terhadap perilaku cyberbullying pada remaja. Bagi para orangtua dan guru dapat melakukan pelatihan untuk pengembangan rasa empati atau tanggung jawab pada siswa. Sehingga diharapkan pada remaja agar dapat lebih bijak dalam menggunakan internet dan tidak menposting tulisan yang memicu terjadinya perilaku cyberbullying. 2. Bagi orangtua dapat lebih meningkatkan rasa peduli pada anak, karena dengan kemajuan zaman saat ini akan memberikan dampak baik secara langsung ataupun tidak langsung pada perkembangan anak. Disarankan bagi orangtua dapat meningkatkan pengawasan pada anak dalam setiap kegiatan dan keseharian pada anak. 3. Penelitian ini dapat menjadikan pertimbangan lebih lanjut dalam penanganan masalah cyberbullying di Indonesia dan pergerakan dalam penggunaan internet sehat pada remaja di sekolah dengan sarana seperti seminar dan pelatihan.
DAFTAR PUSTAKA
Ang, R.P., & Goh, D.H. (2010). Cyberbullying among adolescents: the role of affective and cognitive empathy, and gender. Child Psychiatry Human Development, 41(4):387-97. doi: 10.1007/s10578-010-0176-3. Ang, R.P., Tan, K.A., & Mansor, A.T. (2011). Normative beliefs about aggression as a mediator of narcissistic exploitativeness and cyberbullying. Journal of Interpersonal Violence, 26(13). 2619–2634. Aoyama, I. (2010). Cyberbullying: What are the psychological profiles of bullies, victims and bully-victims?. Place unkown: Graduate Faculty of Baylor University Asia Digital Marketing Association. (2012). Data asia pasific digital marketing year book 2012. Retrived from http://www.asiadigitalmarketingyearbook.com/resources/2012 Australian Federal Police. (2013). Cyberbullying – don’t start it. don’t be a part of it, http://www.afp.gov.au/policing/cybercrime/~/media/afp/pdf/c/cyberbullying-no-crops.ashx diakses pada tanggal 8 Januari 2014 Averill, J.R. (1973). Personal control over aversive stimuli and its relationship to stress. Psychologi Bull. 80. 286-303 Baker, Ö. (2010). Cyberbullying and its correlation to traditional bullying, gender and frequent and risky usage of internet-mediated communication tools. New media & Society, 12(1), 109-125. doi: 10.1177/1461444809341260 Badriyah, L. (2013). pengaruh empati dan self-control terhadap agresivitas remaja SMA Negeri 3 kota tanggerang selatan. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Baron-Cohen, S., & Wheelwright, S. (2004). The empati question: An investigation of adult with asperger syndrome or high functioning autism, and normal sex differences. Journal of Autism and Developmental Disorder, 34, 2, 163-175. BPS. (2012). Statistik telekomunikasi indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat statistika. Calhoun, J.F. & Acocella, J.R. (1990). Psychology of adjustment and human relationship. New York: McGraw-Hill, Inc.
Campbell, A.M. (2005). Cyberbullying: an old problem in a new guise?. Australian Journal of Guidance And Counseling, 15(1), 68-76. DOI: http://dx.doi.org/10.1375/ajgc.15.1.68 Campfield, D.C. (2006). Cyberbullying and victimization: Psychosocial characteristics of bullies, victims, and bully/victims. Theses, Dissertations, Professional Papers. Retrived from http://scholarworks.umt.edu/etd/288 Chaplin, J.P. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Chapple.L.C., (2005). Self-control, peer relations, and delinquency. Justice Quarterly. 22 (1), 89-96. Davis, C.M. (1990). What is empathy, and can empathy be taught. Physical Therapy. Journal of the American Physical Therapy Association. 70, 707711. Davis, M.H. (1980). A Multidimentional approach to individual differences in empathy. JSAS Catalog of Selected Document in Psychology. Denson, T.F, Finkel, E.J, & DeWall, C.N. (2012). Self-contol and aggression. Psychological Science, 21(1) 20 –25. DOI: 10.1177/0963721411429451 Dilmac, B. (2009). Psychological needs as a predictor of cyberbullying: A preliminary report on college students. Educational Sciences: Theory & Practice, 9(3), 1307-1325 Eisenberg, N. (2000). Emotion regulation and moral development. Annual Review of Psychology, 51, 665-697. Retrived from http://psychwww.colorado.edu/~tito/sp03/7536/Eisenberg_2000.pdf. Fong-Ching, C., Chiu, C.H., Miao, N.F., Chen, P.H., Lee., C.M., Chiang, J.T., & Pan, Y.C. (2013). The relationship between parental mediation and internet addiction among adolescents, and the association with cyberbullying and depression. Comprehensive Psychiatry, 57. Retrived 12 April 2014 http://dx.doi.org/10.1016/j.comppsych.2014.11.013 Garton, A.F., & Gringart, E. (2005). The development of a scale to measure empathy in 8- and 9-year old children. Australian Journal of Education and Developmental Psychology, 5, 17-25. Retrived from http://www.newcastle.edu.au/__data/assets/pdf_file/0017/100394/v5garton-gringart.pdf Gottfredson, M. R., & Hirschi, T. (1990). General theory of crime. Stanford, CA: Stanford University Press.
Gourneau, B. (2012). Students’ perspectives of bullying in schools. Contemporary Issues in Education Research. 5(3), 117-125. Retrived from http://www.cluteinstitute.com/ojs/index.php/CIER/article/view/6929 Guarni, A., Passini, S., Melotti, G., & Brighi, A. (2012) Risk and protective factors on perpetration of bullying and cyberbullying. Adam Mickiewicz University Press. 23(6), 33-55. ISBN 978-83-232-2520-1. ISSN 12336688 Heatherton, C. & Wyland, L.(2003). Assessing self-esteem. Retrived 2 Juni 2014 from http://www.dartmouth.edu/~thlab/pubs/03_Heatherton_Wyland_APP_ch.p df Heirman, W., & Walrave, M. (2008). Assessing concerns and issues about the mediation of technology in cyberbullying. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 2(2), article 1. Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2013 dari http://cyberpsychology.eu/view.php?cisloclanku= 2008111401&article=1 Hinduja, S. and Patchin, J. W. (2007). Offline consequences of online vitimization: school violence and deliquence. Journal of school violence. 6 (3), 89-113. Doi: 10.1300/J202v6n3_06 Hinduja, S. and Patchin, J. W. (2010). Cyberbullying research summary: Cyberbullying and self-esteem. Diunduh pada tanggal 12 Oktober 2013 dari http://www.cyberbullying.us Hoff, D.L. & Mitchell, S.N. (2009). Cyberbullying: causes, effects, and remedies. Journal of Educational Administration. 47(5), 652-665. Diunduh pada tanggal 22 Agustus 2014 dari www.emeraldinsight.com/0957-8234.htm Hoffman, M.L. (2000). Empathy and moral development: Implications for caring and justice. Cambridge University Press. Holt, T.J., Bossler, A.M., & May, D.C. (2012). Low self-control, deviant peer associations, and juvenile cyberdeviance. Journal Criminal Justice 37:378–395. DOI 10.1007/s12103-011-9117-3 Hurlock, E.B. Developmental psychology: A life-span approach, 5th ed. Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, edisi kelima. Istiwidayanti & Soedjarwo (terj). 1994. Jakarta: Erlangga Juwita, R. (2009). Seminar nasional: School bullying, deteksi dan intervensinya. http://seminar.uii.ac.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4 9
Kaman, C. (2013). What country has the most bullies?. Latitude News. Di akses pada tanggal 20 Desember 2013 http://www.latitudenews.com/story/whatcountry-has-the-most-bullies-2/ Kemenkoinfo. (2014). Kemkominfo: Pengguna internet di Indonesia capai 82 Juta. Di akses pada tanggal 8 mei 2014 http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pen gguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.VH6Ps9K UcTI Kowalski, R.M. (2008). Cyberbullying: Recognizing and treating victim and aggressor. Psychiatric Times: Child & Adolescent Psychiatry, 25(11). Diunduh pada tanggal 11 November 2013 dari http://www.psychiatrictimes.com/display/article/10168/1336550 KPAI . (2014). KPAI: 2014, Ada 622 Kasus Kekerasan Anak.. Retrived from http://www.kpai.go.id/ Li, K. (2010). A study of relationship between cyber-bullying and personality of the elders at Kaohsiung, Taiwan. Diunduh pada tanggal 12 Oktober 2013 dari http://etd.npue.edu.tw/ ETD-db/ETD-search/view_etd?URN=etd0720111-231019 Li, Q. (2007). Bullying in the new playground: Research into cyberbullying and cyber victimization. Australasian Journal of Educational Technology, 23(4), 435-454. Diunduh pada tanggal 12 April 2014 dari http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet23/li.html Marden, N.E. (2010). Exposing the cyberbully. Diunduh pada tanggal 2 Agustus 2014 dari http://library.wcsu.edu/dspace/bitstream/0/526/1/CYBERBULLYING_THE SIS_FINAL .pdf Menesini, E., Nocentini, A., & Palladino, B.E. (2012). Online and offline peer led models againts bullying and cyberbullying. Journal of Psychotema. 24(4), 634-636. ISSN 0214-9915. www.psicothema.com Minchinton, J. (1995). Maximum self-esteem. Golden Book Center: Kuala Lumpur. Mruk, C.J. (2006). Self-esteem research theory and practive:toward a positive psychology of self-esteem. New York: Springer Publishing Company, Inc. Office for Internet Safety. (2008). A guide to cyberbullying: Get with it! Understanding and identifying cyberbullying to help protect your children. Dublin: Brunswick Press Ltd.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. Human development, 10th ed. Perkembangan manusia, edisi 10. Brian Marwensdy (terj). 2009. Jakarta: Salemba Humanika Permatasari, D.D,. (2012). Fenomena cyberbullying pada siswa SMA (Lima SMA di Kota Yogyakarta). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. http://eprints.uny.ac.id/7331/ Powell, M.S., Newgent, R.A., & Le, M. (2006). Group cinematherapy: Using metaphor to enhance adolescent self-esteem. The art in psychotherapy, 33. 247-253. DOI: 10.1016/j.aip.2006.03.004 Pratiwi, D. (2011). Pengaruh trait kepribadian, strain, dan interaksi orangtua terhadap cyberbullying pada remaja. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Rahayu, F.S. (2012). Cyberbullying sebagai dampak negatif penggunaan teknologi informasi. Jurnal Sistem Informasi, 8(1). 22-29. Retrived from http://jurnal.mti.cs.ui.ac.id/index.php/jsi/article/view/321 Riebel, J., Jager, R.S., & Fischer, U.C.(2009). Cyberbullying in Germany – an exploration of prevalence, overlapping with real life bullying and coping strategies. Psychology Science Quarterly, 51(3). 298-314. ISSN 18666140 Robson, C., & Witenberg, R. T. (2013). The influence of moral disengagement, morally based self-esteem, age, and gender on traditional bullying and cyberbullying. Journal of School Violence, 12(2), 211-231. Retrived from http://dx.doi.org/10.1080/15388220.2012.762921 Salmivalli, C., Kaukiainen, A., Kaistaniemi, L., & Lagerspetz, K.M. (1999). Selfevaluated self-esteem, peer-evaluated self-esteem, and defensive egotism as predictors of adolescents participation in bullying situations. Personality and Social Psychology Bulletin, 25(10), 1268-1278. doi: 10.1177/0146167299258008 Santrock, J.W. (2012). Adolescence. Fourteenth Edition. New York: Mc Graw Hill. Smith, P.K., Mahdavi, J., Carvalho, M., Fisher, S., Russell, S., & Tippett, N. (2008). Cyberbullying : Its nature and impact insecondary school pupils. Journal of psychology and psychiatry, 49(2). 376-385. Doi:10.1111/j.1469-7610.2007.01846.x
Steffgen, G., Konig, A., Pfetsch, J., & Melzer, A. (2011). Are cyberbullies less empathic? adolescents’ cyberbullying behavior and empathic responsiveness. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 14(11), 643-648. DOI: 10.1089/cyber.2010.0445
Tangney, J.P., Baumiester, R.F., & Boone, A.L. (2004). High self-control predicts good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal of Personality, 72(2), 271-324. DOI: 10.1111/j.00223506.2004.00263.x Taufik. (2012). Empati pendekatan psikologi sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Topcu, C., & Erdur-Baker, Ö. (2010). The revised cyber bullying inventory (RCBI): validity and reliability studies. Procedia Social and Behavioral Sciences, 5, 660-664. doi: 10.1016/j.sbspro.2010.07.161 Trzesniewski, K.H., Donnellan, M.B., & Robins, R.W. (2003). Stability of selfesteem across the life span. Journal of Personality and social Psychology, 84(1), 205-220. DOI: 10.1037/0022-3514.84.1.205 Vazsonyi, A.T., Machackova, H., Sevcikova, A., Smahel, D., & Cerna, A. (2012). Cyberbullying in context: Direct and indirect effects by low self-control across 25 European countries. European Journal of Developmental Psychology, 2012, 9 (2), 210–227. DOI: 10.1080/17405629.2011.644919 Wang, A. (2002). Validation of a self-control rating scale in a Chinese preschool. Journal of Research in Childhood Education. Spring; 16, 2; ProQuest pg. 189. DOI: 10.1080/02568540209594984 Willard, N. (2007). Educator’s guide to cyberbullying and cyberthreats. Diunduh pada tanggal 11 Agustus 2013 dari http://csriu.org/ Wright, B.R., Caspi, A., Moffitt, T., & Silva, P.A. (1999). Low self-control, social bonds, and crime: Social causation, social selection, or both?. Criminology, 37(3), 479-514. DOI: 10.1111/j.1745-9125.1999.tb00494.x
KUESIONER PENELITIAN
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH TAHUN 2015
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Selamat Pagi/ Siang / Sore Kepada responden yang terhormat, Saya mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang saat ini sedang melakukan penelitian dalam rangka memenuhi tugas akhir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas online. Kuesioner ini di rancang untuk mencari informasi dari pelajar mengenai aktivitas online. Hasil dari kuesioner ini akan digunakan sebagai bahan dasar penelitian mengenai aktivitas online dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tidak ada jawaban benar atau salah dalam penelitian ini. Oleh karena itu, Anda diharapkan menjawab semua pernyataan dengan jujur dan sesuai dengan diri Anda. Data yang Anda berikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian. Partisipasi Anda di sangat berharga, untuk itu kami berharap Anda bersedia untuk memberikan jawaban dengan sungguh-sungguh. Kuesioner ini terdiri dari IV bagian, bacalah dengan seksama petunjuk pengerjaan sebelum menjawab. Anda diharapkan menjawab dengan cermat dan teliti, jangan sampai ada pernyataan yang terlewat. Atas kerja sama dan bantuannya, saya ucapkan terimakasih, serta mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Hormat Saya,
Amalia Setianingrum
DATA DIRI RESPONDEN Inisial
:
Jenis Kelamin
:
Usia
:
Beri tanda (√) pada jawaban yang sesuai dengan Anda, jawaban boleh lebih dari satu! 1. Apakah Anda aktif menggunakan internet selama enam bulan terakhir?
O O
Ya Tidak
2. Apakah Anda memiliki akun pribadi pada media sosial seperti :
O O O O O O O O O O O
Yahoo Gmail Facebook Twitter Path Instagram MySpace YouTube Line WhatsApp Lainnya, sebutkan ....................................
3. Manakah dari akun tersebut yang masih aktif ? 4. Diantara perilaku dibawah, mana yang pernah Anda lakukan?
O O O O
Membajak akun, berapa kali? Memblokir, berapa kali? Menghina seseorang di media sosial, berapa kali? Mengupload foto teman yang memalukan, berapa kali?
PETUNJUK PENGISIAN SKALA I Pada skala I terdapat beberapa item berbentuk pernyataan, baca dan pahami baik-baik. Anda diminta untuk menjawab dengan memberikan tanda (X) pada salah satu pilihan jawaban yang paling mewakili keadaan diri Anda. Keterangan : SL
: bila Anda SELALU melakukan aktivitas pada pernyataan tersebut.
SR
: bila Anda SERING melakukan aktivitas pada pernyataan tersebut.
HTP : bila Anda HAMPIR TIDAK PERNAH melakukan aktivitas pada pernyataan tersebut. TP
: bila Anda TIDAK PERNAH melakukan aktivitas pada pernyataan tersebut.
CONTOH PENGISIAN Jika pernyataan dibawah ini SERING Anda rasakan, maka beri tanda (X) pada kolom SR. No 1.
Pernyataan
SL
Saya sopan kepada siapapun di dunia maya.
SR
HTP
TP
X
SKALA I No
Pernyataan
1
Saya menjaga perkataan saya ketika saya online di media sosial.
2
Saya berulangkali mengirim SMS atau pesan melalui media sosial mengenai kebencian saya terhadap seseorang secara online.
3
Saya berlaku sopan kepada siapapun penguna akun di media sosial.
4
Saya menahan diri agar tidak terjadi pertengkaran di media sosial.
5
Saya memposting kata kata kasar dan bohong mengenai seseorang di media sosial.
6
Saya menjadi orang lain dan mengirimkan atau menuliskan hal yang memalukan tentang orang lain yang saya tidak sukai.
7
Saya berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan pada
SL
SR
HTP
TP
media online atas namanya tanpa seizin orang tersebut. 8
Saya ikut ambil andil dalam mengeluarkan seseorang dari suatu grup online.
9
Saya dan teman-teman saya memblokir akun seseorang agar orang tersebut tidak dapat mengakses informasi mengenai kami.
10
Saya menyebarkan rahasia orang lain di media sosial.
11
Saya membuka foto diakun media sosial milik orang lain kemudian saya edit dengan hal yang memalukan.
12
Saya membalas setiap orang yang menghina saya di media sosial.
13
Saya berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan pada media online atas namanya tanpa seizin orang tersebut.
14
Saya mengganti nama teman saya dengan nama panggilan yang tidak menyenangkan di akun media sosialnya.
15
Saya menyebarkan cerita yang memalukan mengenai seseorang di media sosial untuk membuatnya malu.
16
Saya menyebarkan rahasia teman dengan memposting pembicaraan pribadi di media sosial.
17
Saya menandai seseorang sebagai spam agar orang tersebut tidak bisa mengakses akunnya.
18
Saya sign-in menggunakan akun orang lain untuk mencari tau informasi seseorang untuk mempermalukannya.
19
Saya menggunakan akun milik orang lain untuk mencari tahu informasi seseorang.
20
Saya menyebarkan informasi yang saya dapat untuk mengejek, mempermalukan, atau menghina seseorang secara langsung.
21
Saya mengirimkan pesan kepada orang yang saya benci dengan katakata kasar.
22
Saya membuat atau ikut serta dalam grup media sosial yang menunjukkan kebencian saya terhadap seseorang.
PETUNJUK PENGISIAN SKALA II - SKALA IV Pada skala I terdapat beberapa item berbentuk pernyataan, baca dan pahami baik-baik. Anda diminta untuk menjawab dengan memberikan tanda (X) pada salah satu pilihan jawaban yang paling mewakili keadaan diri Anda. Keterangan : SS S
: bila pernyataan tersebut SANGAT SESUAI dengan diri Anda. : bila pernyataan tersebut SESUAI dengan diri Anda.
TS : bila pernyataan tersebut TIDAK SESUAI dengan diri Anda. STS
: bila pernyataan tersebut SANGAT TIDAK SESUAI dengan diri Anda.
CONTOH PENGISIAN Jika pernyataan dibawah ini SERING Anda rasakan, maka beri tanda (X) pada kolom SR. No
Pernyataan
1.
SS
S
TS
STS
X
SKALA II No 1
Pernyataan Saya melamun dan berfantasi, tentang gal-hal yang mungkin terjadi pada saya.
2
Saya memiliki perasaan yang lembut dan peduli terhadap orang-orang yang kurang beruntung.
3
Saya kadang-kadang merasa sulit untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
4
Kadang-kadang saya tidak merasa kasihan terhadap orang lain ketika mereka mengalami masalah.
5
Saya benar-benar terlibat dengan perasaan karakter dalam novel.
SS
S
TS
STS
6
Dalam situasi darurat, saya merasa khawatir.
7
Saya biasanya bersikap objektif ketika menonton film atau bermain, dan tidak merasakan perasaan yang mendalam.
8
Jika terjadi perselisihan, saya mencoba memahami sudut pandang orang lain sebelum saya membuat keputusan.
9
Ketika saya melihat seseorang dimanfaatkan, saya merasa kasihan terhadap mereka.
10
Saya terkadang merasa tidak berdaya ketika berada ditengah-tengah situasi yang sangat emosional.
11
Terkadang saya mencoba memahami teman saya melalui perspektif teman saya.
12
Saya jarang merasa sangat terlibat dengan buku atau film yang bagus.
13
Ketika saya melihat seseorang terluka, saya cenderung untuk tetap tenang.
14
Saya merasa tidak terganggu terhadap kemalangan orang lain.
15
Jika saya yakin akan sesuatu, saya tidak mendengarkan pendapat orang lain.
16
Setelah bermain atau menonton film, saya merasa seolah-olah menjadi bagian dari karakter yang tadi saya tonton.
17
Berada dalam situasi emosional membuat saya takut.
18
Ketika saya melihat seseorang diperlakukan tidak adil, kadang-kadang saya tidak merasa kasihan terhadap mereka.
19
Saya biasanya cukup efektif dalam menangani keadaan darurat.
20
Saya sering tersentuh terhadap hal-hal yang saya lihat.
21
Saya mencoba untuk melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang.
22
Saya akan menggambarkan diri saya sebagai orang yang baik dan berhati lembut.
23
Ketika saya menonton film yang bagus, saya dapat dengan mudah menempatkan diri pada karakter yang baik.
24
Saya cenderung kehilangan kontrol selama keadaan darurat.
25
Ketika saya sedang marah pada seseorang, saya mencoba berdiam diri untuk sementara waktu.
26
Ketika saya membaca sebuah cerita atau novel yang menarik, saya membayangkan dan merasakan bagaimana jika peristiwa dalam cerita itu terjadi pada saya.
27
Ketika saya melihat seseorang yang membutuhkan pertolongan dalam keadaan darurat, saya ikut merasakan sedih.
28
Sebelum mengkritik orang lain, saya mencoba membayangkan dan merasakan jika saya berada di posisi mereka.
SKALA III No
Pernyataan
1
Saya selalu merencanakan setiap hal yang akan saya lakukan setiap harinya.
2
Saya seorang yang spontan dan blak-blakan.
3
Saya seorang yang teratur dan terencana.
4
Saya selalu memiliki plan b apabila rencana yang saya lakukan tidak berjalan baik.
5
Saya selalu berpikir berulang kali sebelum saya memposting sesuatu di media sosial.
6
Saya akan meluapkan kemarahan kepada siapapun yang ada didekat saya.
7
Saya mengabaikan ejekan dan hinaan teman saya kepada saya.
8
Saya selalu butuh teman untuk mengalihkan emosi atau kemarahan saya yang meledak-ledak pada diri saya.
9
Jika saya sedang marah, saya melampiaskan dengan melakukan hobi yang saya sukai atau pergi berjalan-jalan dengan teman.
10
Jika saya tidak sependapat dengan teman, saya langsung mengungkapkannya dengan cara saya.
11
Saya mempertimbangkan setiap saran yang diberikan teman kepada saya.
12
Saya selalu menerima informasi dari teman tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu.
SS
S
TS
STS
13
Setelah saya melakukan kesalahan, saya akan introspeksi diri.
14
Setiap perbedaan pendapat saya dengan orang lain, saya merasa teman saya berniat menjatuhkan reputasi saya.
15
Saya jadikan kritikan teman saya sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik.
16
Saya akan membalas teman saya yang mengejek dan menjelekan saya.
17
Saya seorang yang teguh pada pendirian saya.
18
Saya jarang mendengar pendapat orang lain sebelum saya menjalani apa yang saya yakini.
19
Saya lebih memilih mencari kebenaran dengan data dan fakta, dari pada hanya mengandalkan intuisi.
20
Sebagian besar keputusan yang ada di hidup saya, selalu ditentukan oleh orang tua saya.
21
Saya selalu meminta saran pada teman untuk semua hal yang akan saya lakukan.
22
Saya mengikuti semua saran teman kepada saya.
23
Orang tua saya memberikan saya kebebasan untuk menentukan pilihan yang saya ingini.
SKALA IV No 1
pernyataan
SS
Saya merasa bahwa saya adalah orang yang berharga, setidaknya sama berharganya dengan orang lain.
2
Saya merasa bahwa saya memiliki kualitas yang baik.
3
Saya cenderung merasa gagal dengan semua yang saya lakukan.
4
Saya dapat melakukan hal-hal yang kebanyakan orang lain dapat lakukan.
5
Saya merasa saya tidak memiliki banyak hal untuk dibanggakan.
6
Saya bersikap positif terhadap diri sendiri.
7
Secara keseluruhan, saya puas dengan diri saya.
8
Saya harap saya dapat lebih menghargai diri saya.
9
Saya merasa tidak berguna.
10
Kadang-kadang saya pikir saya tidak berguna.
Terima Kasih atas Partisipasinya Mohon diperiksa kembali dan pastikan semua nomor terisi dengan baik.
S
TS
STS
LAMPIRAN 3 Path Diagram 1. Path Diagram Cyberbullying
2. Path Diagram Empati a. Perspective Taking
b. Fantasy
c. Empathic Concern
d. Personal Distress
3. Path Diagram Self-Control a. Behavior Control
b. Cognitive Control
c. Decisional Control
4. Path Diagram Self-Esteem