Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
HUBUNGAN ANTARA EMOTIONAL ABUSE OLEH ORANG TUA DENGAN SELF ESTEEM PADA REMAJA Maria Elena Panggabean Briggita Sherly Hidayat Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
[email protected]
Abstract Emotional abuse from parent was the most common type of abuse among children. It was also the most destructive effect to the children.Children who suffered from emotional abuse tend to have lower self esteem and lower self image. This research aimed to found the realtion between parental emotional abuse with teenager self esteem. Quantitative approach will be used in this research. Using purposive sampling method, 100 university student from West Jakarta were chosen as participant in this research. Data collected using emotional abuse scale and self esteem scale. The result of this research analyzed using pearson product moment with r = -.0401, p < .001. Based on this fionding, can be concluded that there was a striong and significant corelation between parental emotional abuse and teenager self esteem. Keywords : emotional abuse, self esteem, teenager
Pendahuluan Tanggung jawab orang tua adalah memberikan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi seorang anak berupa perlindungan (keamanan), kasih sayang, perhatian, dan kesempatan untuk terlibat dalam hubungan yang positif yang dapat menumbuhkan serta mengembangkan kehidupan mental yang sehat (Salmiah, 2009). Namun kenyatannya, masih banyak anak yang kurang mendapatkan perilaku yang seharusnya dilakukan oleh orang tua. Seringkali orang tua melakukan perilaku seperti berteriak, mengumpat, mengejek, mengancam akan memukul atau mengancam mengusir anak (Papalia, Old, & Feldman, 2009). Bentuk perilaku tersebut disebut dengan istilah emotional ab use (Farmer, 1990). Emotional abuse adalah bentuk paling umum dari kekerasan anak dan paling merusak serta berdampak pada perkembangan (Wolfe, 1991). Menurut Garbarino (dalam Hagan, 2006) emotional abuse merupakan perilaku yang dilakukan oleh orang dewasa yang berdampak pada perkembangan diri dan kompetensi sosial
139
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
anak. Bentuk perilaku emotional abuse meliputi perilaku yang merusak secara psikis seperti
menolak
(rejecting),
mengisolasi
(isolating),
meneror
(terrorizing),
mengabaikan (ignoring), dan merusak (corrupting). Selain itu, bentuk perilaku emotional abuse meliputi perilaku atau sikap yang menyakiti perasaan maupun mental anak, sikap atau perilaku tidak memberikan kasih sayang yang tulus, cara berkomunikasi verbal maupun non verbal yang kasar, tidak memperdulikan, membenci, membatasi pergaulan, tidak memberi kesempatan bermain seusai usia dan perkembangan anak, secara eksesif memarahi, mendiamkan, memusuhi, mengancam serta menakut-nakuti (Widiyatmadi, 2007). Hal yang sama dikatakan oleh Axmaher (dalam Gesinde, 2011) yang mengatakan bahwa emotional abuse adalah kekerasan yang paling kejam dan merusak dari semua kekerasan sehingga dapat meningkatkan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri. Anak dikatakan telah mengalami emotional abuse apabila orang tua secara tidak sengaja atau sengaja terlibat dalam bentuk respon emosi yang tidak tepat pada anak (Jolly, Aluede, & Ojugo, 2009). Data dari Komnas Perlindungan Anak menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2007 hingga 2009, kasus kekerasan psikis yang dikenal juga dengan emotional abuse menempati peringkat pertama yaitu sebanyak 2.094 kasus (Kekerasan Terhadap Anak Makin Memiriskan, 2010). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2008) pada remaja di SMP N 2 Karanganyar, Ngawi menemukan bahwa mayoritas perilaku kekerasan yang dialami oleh anak usia remaja adalah perilaku emotional abuse dengan persentase sebesar 86.7% dari 455 siswa. Data dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dari tahun 1992-2002 dari 7 kota besar yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang ditemukan bahwa terdapat 6,3 % kasus emotional abuse yang terjadi dari 3.969 kasus kekerasan. Berdasarkan tempat terjadinya, sebanyak 30.1 % emotional abuse terjadi di rumah, sedangkan berdasarkan kategori usia korban, kasus emotional abuse paling banyak terjadi pada usia 6 sampai 12 tahun (28.8%) dan terendah pada usia 16-18 tahun (0.9%) (Solihin, 2004). Para pelaku kekerasan itu sendiri didominasi oleh orang terdekat yaitu orang tua, ayah dan atau ibu mereka (Astuti, 2008). Emotional abuse sering terjadi sebagai akibat dari orang tua yang kehilangan kendali dalam memberikan disiplin pada anak (Gesinde, 2011). Sementara menurut Baumrid (dalam Wolfe, 1991) emotional abuse disebabkan oleh pendekatan yang 140
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
salah dalam melakukan pendidikan terhadap anak. Lebih lanjut lagi, emotional abuse terjadi ketika tuntutan terhadap anak yang tinggi, sedangkan pada waktu yang sama sensitifitas terhadap kemampuan dan kebutuhan anak tidak terpenuhi. Dampak emotional abuse adalah korban secara nyata merusak diri sendiri, depresi, berpikir untuk bunuh diri, kecemasan yang berlebihan, kurang percaya diri, pasif,
tidak dapat mengontrol emosi, tertutup, menarik diri seperti menghindari
kontak sosial, pemalu, dan kurangnya komunikasi dengan orang lain, dan korban juga cenderung memiliki self esteem yang rendah (Engel, 2005; Cavet, 2002). Oleh karena itu, peneliti tertarik ingin melihat apakah terdapat hubungan antara emotional abuse dengan self esteem. Self esteem adalah hasil evaluasi seseorang mengenai dirinya sendiri, atau sikap seseorang mengenai dirinya yang berada dalam dimensi positif-negatif (Baron & Byrne, 2004). Menurut Coopersmith (dalam Bracken, 1996) self esteem adalah penilaian yang dibuat oleh individu untuk menggambarkan sikap menerima atau tidak menerima keadaan dirinya, dan menandakan sampai seberapa jauh individu itu percaya bahwa dirinya mampu, sukses, dan berharga. Individu yang memiliki self esteem yang tinggi adalah individu yang aktif dan mampu mengekspresikan diri dengan baik, berhasil dalam bidang akademik, mampu bersosialisasi dan menjalin hubungan sosial, dapat menerima kritik dengan baik sehingga tidak merasa rendah diri ketika mendapat kritik dari orang lain, percaya pada dirinya sendiri sehingga tidak bergantung pada orang lain, mempunyai keyakinan akan kemampuan diri sendiri, tidak mudah terpengaruh pada penilaian dari orang lain tentang dirinya, dapat menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru, memiliki perasaan-perasaan yang positif sehingga tidak memiliki rasa bersalah atau cemas yang berlebihan ataupun perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Sedangkan individu dengan self esteem yang rendah adalah individu yang memilliki perasaan tidak berharga, lemah atau rendah diri, takut mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan sosial, terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi, merasa tidak diterima dan tidak diperhatikan di lingkungannya, kurang dapat mengekspresikan diri, sangat bergantung kepada orang lain, tidak konsisten atau mudah terpengaruh, secara pasif akan selalu mengikuti apa yang ada di lingkungannya, dan menggunakan banyak cara-cara pertahanan diri (defense mechanism).
141
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Hal ini bertolak belakang dengan cara mendidik para orang tua di Cina. Hampir 100 persen para orang tua di Cina mendidik anak dengan sangat keras, tegas, tidak memberikan kebebasan untuk memilih, menolak untuk mengakui bahwa anak memiliki kekurangan dan dapat gagal, memaksakan kehendak kepada anak, dan berkata kasar kepada anak (Cecilia, 2011). Namun, terbukti bahwa anak-anak tersebut tumbuh besar, sukses, dan tidak berpengaruh terhadap konsep diri dan anak tidak merasa dendam dengan orang tua mereka (Dave, 2011). Selain itu, Gotlieb (dalam Xueqin, 2011) juga mengatakan bahwa ketika anak selalu dipuji dan diberikan kemudahan maka anak tersebut tidak akan siap untuk menghadapi dunia yang sebenarnya. Peran orang tua dalam pembentukan tinggi atau rendahnya self esteem sangat penting terutama saat anak memasuki masa remaja. Penelitian ini akan dilakukan pada usia remaja dimana masa remaja dan segala permasalahan yang terjadi di dalamnya selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Termasuk di dalamnya proses pembentukan identitas diri yang menjadi tugas utama remaja (Shaffer, 2009). Perkembangan self esteem menjadi sangat penting dalam pencapaian identitas diri. Emotional Abuse Garbarino (dalam Hagan, 2006) mendefinisikan emotional abuse sebagai perilaku orang dewasa menyerang perkembangan diri dan kompetisi sosial remaja Perilaku ini seperti menolak, mengisoasi, meneror, mengabaikan, dan merusak. Menurut Iwaenic (dalam Evans, 2002) menjelaskan bahwa emotional abuse merupakan perilaku orang tua yang acuh tak acuh dan merusak self esteem remaja, menurunkan rasa berprestasi, mengurangi rasa memiliki, dan menghilangkan kesejahteraan. Corby (1998) mendefinisikan kekerasan emotional abuse sebagai bentuk adanya kekejaman dan penolakan terhadap remaja secara emosional sehingga berdampak serius pada mempermalukan dan tidak mempedulikan kebutuhan remaja akan dukungan emosional. Emotional abuse juga mencakup tuntutan yang berlebihan atau tidak masuk akal pada seorang remaja seperti mengejek secara terus menerus, meremehkan, atau melakukan serangan verbal (Farmer, 1990). Menurut Hagan (2006), emotional abuse pada anak dapat terbagi menjadi lima kategori yaitu menolak, mengisolasi, meneror, mengabaikan dan merusak.
142
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Perilaku menolak seperti menunjukkan sikap permusuhan terhadap anak dengan merendahkan self esteem dan keinginan remaja, baik secara verbal maupun non verbal. Perilaku isolasi seperti mencegah remaja berinteraksi dengan dunia sosial di luar, dan membuat remaja percaya bahwa mereka hidup sendirian di dunia ini dan tidak membutuhkan orang lain. Perilaku meneror seperti mengancam dengan hukuman berat atau dengan sengaja menumbuhkan rasa ketakutan dan ancaman, Perilaku mengabaikan seperti tidak adanya respon atau interaksi dari orang dewasa secara
emosional.
Perilaku
merusak
seperti
mengarahkan
remaja
untuk
mengembangkan perilaki merusak diri atau kesalahan dalam sosialisasi. Baumrid (dalam Wolfe, 1991), emotional abuse dapat disebabkan oleh pendekatan yang salah dalam melakukan pendidikan terhadap remaja. Emotional abuse terjadi ketika tuntutan terhadap remaja yang tinggi, sedangkan pada waktu yang sama sensitifitas terhadap kemampuan dan kebutuhan remaja tidak terpenuhi. Orang tua yang sangat menuntut dan gagal untuk memahami keterbatasan dan kebutuhan anak, biasanya menjadi awal terbentuknya pola kekerasan fisik dan emotional abuse. Sebaliknya, beberapa orang tua yang menempatkan sedikit tuntutan akan melahirkan sikap yang tidak merespon kebutuhan remaja sehingga menjadi indikasi terbentuknya emotional abuse dalam bentuk pengabaian. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memberikan dan memantau tuntutan yang diberikan sesuai dengan kapasitas masing-masing remaja. Emotional abuse dapat memberikan dapak negatif bagi remaja diantaranya depresi, kecemasan, ketergantungan, agresif, menarik diri, upaya bunuh diri, self esteem rendah, tidak dapat mengontrol emosi, dan kurang percaya diri (Cavest, 2002). Stevens (dalam Gesinde, 2011) juga menyatakan bahwa emotional abuse dapat merusak keberhargaan diri dan dapat mengganggu perkembangan psikologis remaja di bidang kecerdasan, memori, pengakuan, persepsi, imajinasi, perhatian, dan perkebangan moral. Hal ini mengakibatkan gangguan kemampuan untuk memahami, merasa, dan dalam mengekspresikan diri.
Self esteem Berk (2006) mendefinisikan self esteem sebagai penilaian yang dibuat individu terhadap keberhargaan diri individu yang berasal dari perasaan individu selama ini. Self esteem juga dapat diartikan sebagai suatu evaluasi global diri terhadap diri sendiri atau gambaran diri (self image) bahwa dirinya berharga (self 143
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
worth). Menurut Coopersmith (1967), self esteem terdiri dari beberapa aspek yaitu perasaan diri berharga, perasaan mampu, dan perasaan diterima. Perasaan berharga merupakan perasaan indvidu yang muncul karena adanya penilaian dari orang lain terutama orang tua, dan oleh diri sendiri. Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki individu terhadap kemampuan dalam mencapai suatu prestasi atau sebuah hasil yang diharapkan, sedangkan perasaan diterima merupakan perasaan ketika individu merasa diterima dan dihargai saat individu menjadi bagian dari kelompok tersebut. Self esteem dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor orang tua (Pohan, 2006). Sikap orang tua serta apa yang dialami remaja pada masa kanak-kanak merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi self esteem remaja, karena pada fase ini sedang terjadi proses pembentukan self concept dan self esteem. Menurut Felson (dalam Baron & Byrne, 2004), remaja akan cenderung mengevaluasi dirinya berdasarkan evaluasi orang tua terhadapnya. Remaja yang memiliki self esteem tinggi, dipengaruhi oleh sikap orang tua dalam memperlihatkan ekspresi mencintai anak, memberikan perhatian, kebutuhan, dan permasalahan anak, memberi peraturan yang jelas dan adil, memberi kebebasan yang terkontrol, serta mengikut sertakan anak dalam memberikan pendapat dalam pengambilan keputusan di keluarga.
Remaja Santock (20007) menjelaskan bahwa masa remaja adalah masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan besar yang melibatkan fisik, kognitif, dan psikosial remaja. Pada umumnya, masa remaja dimulai ketika memasuki usia 10 hingga 12 tahun, dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Menurut
Erikson
(dalam
Santrock,
2007),
remaja
memiliki
tugas
perkembangannya tersendiri. Pada masa ini, remaja berada pada tahap peralihan identitas dan kekacauan identitas (identity vs identity confusion), dimana remaja dihadapkan pada permasalahan mencari identitas dan menyelesaikan masa krisis identitas yang terjadi akibat banyaknya perubahan-perubahan dalam diri dan lingkungan sosial remaja.
144
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Dinamika penelitian Emotional abuse adalah bentuk paling umum dari kekerasan anak yang paling merusak dan berdampak pada perkembangan remaja (Wolfe, 1991). Emotional abuse merupakan perilaku yang dilakukan oleh orang dewasa yang menyerang perkembangan diri dan kompetisi sosial anak. Bentuk-bentuk perilaku emotional abuse meliputi menolak, mengisolasi, meneror, mengabaikan, dan merusak. Menurut Loring (dalam Engel, 2005), emotional abuse yang dilakukan orang tua dapat berdampak pada pembentukan self esteem
yang cenderung
rendah pada remaja. Self
esteem
adalah
penilaian
yang
dibuat
oleh
individu
untuk
menggambarkan sikap menerima atau tidak menerima keadaan dirinya, serta menandakan sampai seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, sukses, dan berharga (Bracken, 1996). Salah satu faktor pembentuk self esteem pada remaja adalah hubungan dengan orang tua. Remaja akan cenderung mengevaluasi dirinya berdasarkan evaluasi orang tua terhadap dirinya (Baron & Byrne, 2004). Self esteem yang tinggi diperoleh ketika remaja menilai dirinya secara positif, sedangkan jika anak menilai dirinya secara negative maka self esteem remaja akan rendah. Dengan demikian, tinggi rendahnya self esteem seseorang sangat dipengaruhi oleh bagaimana perilaku orang tua pada anak (Shaffer, 2009). Menurut Erickson (dalam Santrock, 2007), fungsi self esteem menjadi sangat penting dalam mencapai identitas diri yang merupakan tugas utama pada masa remaja. Remaja dengan self esteem yang tinggi akan memiliki keyakinan diri sehingga dapat memutuskan hal-hal yang penting bagi remaja, seperti menentukan kehidupan seperti apa yang akan dijalani yang sesuai dengan diri remaja tersebut. Remaja yang mencapai identitas diri sudah bersiap dengan baik dalam menghadapi tantangan dan tugas perkembangan selanjutnya. Sementara itu, remaja dengan self esteem rendah yang tidak mencapai identitas diri akan merasa diri gagal sehingga dapat berpengaruh pada tahap perkembangan selanjutnya, dimana remaja harus bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kehidupannya.
145
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Metode penelitian Partisipan Kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah remaja akhir di Universitas X dengan rentang usia 18-21 tahun. Jumlah partisipan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang pada penelitian data utama dan 50 orang untuk uji coba alat ukur.
Prosedur dan pengukuran Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatid dengan jenis penelitian korelasional. Penelitian bersifat korelasional karena bertujuan untuk menentukan apakah terdapat asosiasi antar variabel dan melihat seberapa jauh korelasi yang ada di antara variabel yang diteliti (Sangadji & Sopiah, 2010). Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dengan jenis purposive sampling. Metode ini digunakan peneliti untuk menentukan subjek yang dianggap paling mampu menyediakan informasi yang dicari dan mau membagi informasi tersebut (Kumar, 1999). Alat ukur Emotional abuse dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan lima kategori perilaku yang dikemukakan oleh Garbarino (dalam Hagan, 2006). Alat ukur ini berupa kuesioner dengan menggunakan skala likert. Adapun variabel emotional abuse meliputi lima kategori yaitu: menolak (rejecting), mengisolasi (isolating), meneror (terrorizing), mengabaikan (ignoring), dan merusak (corrupting). Alat ukur ini terdiri dari 97 item. Alat ukur Self Esteem yang digunakan dalam penelitian ini adalah adaptasi dari Self Esteem Inventory dari Coopersmith (CSEI). Alat ukur ini telah digunakan oleh Meliala (2009) dalam skripsinya yang berjudul Hubungan Citra Merek Terhadap Harga Diri Pada Remaja. Alat ukur ini terdiri dari tiga aspek yaitu perasaan berharga, perasaan mampu dan perasaan diterima sebanyak 27 item. Setelah diuji coba pada 50 partisipan, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 97 item pada alat ukur emotional abuse terdapat 78 item yang dinyatakan valid dan reliabel. Pada alat ukur emotional abuse menunjukkan dari 27 item alat ukur self esteem, terdapat 22 item yang dinyatakan valid dan reliabel.
146
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasi Pearson Product Moment. Uji asumsi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji normalitas yang menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov Test. Selain itu, peneliti menggunakan t-test independent untuk melakukan analisis data tambahan kedua variabel yaitu emotional abuse dan self esteem dengan jenis kelamin dan menggunakan teknik One Way Anova untuk melakukan analisis data kedua variabel dengan tingkat pendapatan orang tua.
Hasil penelitian Dari hasil analisis terhadap skor total emotional abuse diperoleh (M = 150,31; SD = 28,26; Min = 101,50; Max = 244,63) dan dari hasil analisis deskriptif terhadap skor total self esteem diperoleh (M = 71,43; SD = 10,26; Min = 40,71; Max = 10,26). Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat uji One Sample Kolmogorov Smirnov Test, yang hasilnya menunjukkan bahwa data skala emotional abuse berdistribusi normal (Z = 1,302; p = .068) dan data skala self esteem berdistribusi normal (Z = .689; p = 0.729). Dari uji korelasi antara emotional abuse dengan self esteem yang menggunakan teknik perhitungan Pearson Product Moment menunjukkan hipotesis diterima bahwa ada korelasi negatif yang cukup kuat dan signifikan antara emotional abuse oleh orang tua dengan self esteem pada remaja (r = -.0401, p < .001). Hasil penelitian juga menunjukkan sumbangan efektif emotional abuse terhadap self esteem sebesar 16 % yang didapat dari kuadrat skor hasil korelasi. Berdasarkan perhitungan menggunakan One Way Anova terhadap lima kategori pendapatan orang tua diperoleh pendapatan kurang dari 3 juta (M = 147,52; SD = 23,81; Min = 112,97; Max = 190,15). Pendapatan sebesar tiga sampai lima juta (M = 151,81; SD = 31,54; Min = 101,50; Max = 244,63). Pendapatan lima sampai tujuh juta (M = 154,80, SD = 34,47; Min = 101,72; Max = 228,35). Pendapatan tujuh sampai sepuluh juta (M = 155,77; SD = 17,22; Min = 131,94; Max = 170,40). Pendapatan lebih besar dari sepuluh juta (M = 142,50; SD = 16,27; Min = 116,66; Max = 171,86). Dari hasil uji keragaman varian diperoleh bahwa varian kelompok yang dibandingkan adalah sama ( Levene’s Test = 2.287; p = .066). Dari uji perbedaan emotional abuse pada kelima kategori tingkat pendapatan orang tua yaitu, kurang
147
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
dari tiga juta, tiga sampai lima juta, lima sampai tujuh juta, tujuh sampai sepuluh juta, dan lebih besar dari sepuluh juta dengan menggunakan teknik one-way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada kelima kategori tingkat pendapatan orang tua (F = .475; p = .754). Dari hasil perhitungan dengan t-test independent, diperoleh
laki-laki (M = 70.49; SD = 8,97) dan
perempuan (M = 72.17; SD = 11.24). Dari uji kesamaan varian pada kelompok lakilaki dan perempuan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam varians laki-laki dan perempuan (F = .882; p = .350). Selanjutnya dari uji perbedaan emotional abuse pada kelompok laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada kelompok laki-laki dan perempuan (t= -.813; p = .418). Dari hasil perhitungan dengan t-test independent, diperoleh laki-laki (M = 152,33; SD = 25,13) dan perempuan (M = 148,59; SD = 30,81). Dari uji kesamaan varian pada kelompok lakilaki dan perempuan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam varians laki-laki dan perempuan (F = .952; P = .332). Selanjutnya dari uji perbedaan self esteem pada kelompok laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan self esteem pada kelompok laki-laki dan perempuan (t= .656; p = .513). Berdasarkan perhitungan menggunakan One Way Anova diperoleh pendapatan kurang dari tiga juta (M = 70,95; SD = 10,14; Min = 48,29; Max = 89,43). Pendapatan sebesar tiga sampai lima juta (M = 69,89; SD = 8,55; Min = 40,71; Max = 86,02). Pendapatan lima sampai tujuh juta memiliki (M = 71,56; SD = 11,71; Min = 41,84; Max = 86,15). Pendapatan tujuh sampai sepuluh juta (M = 83,27; SD = 13,248; Min = 65,93; Max = 96,89). Pendapatan lebih besar dari sepuluh juta memiliki (M = 173,43; SD = 11,49; Min = 58,56; Max = 102,98). Dari hasil uji keragaman varian diperoleh bahwa varian kelompok yang dibandingkan adalah sama (Levene’s Test = .851; p = .496). Dari uji perbedaan self esteem pada kelima kategori tingkat pendapatan orang tua yaitu, kurang dari tiga juta, tiga sampai lima juta, lima sampai tujuh juta, tujuh sampai sepuluh juta, dan lebih besar dari sepuluh juta dengan menggunakan teknik one-way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan self esteem pada kelima kategori tingkat pendapatan orang tua (F = 1,756; p = .144).
Pembahasan 148
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdapat hubungan antara emotional abuse yang dilakukan oleh orang tua terhadap self esteem remaja. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara perlakuan orang tua terhadap self esteem (Baron & Bryne, 2004). Selain itu hubungan sosial remaja dengan orang tua merupakan kontribusi yang penting pada self esteem remaja (Santrock, 2001). Hal ini dapat disebabkan karena orang tua adalah orang yang memiliki ikatan yang paling dekat dengan anak. Menurut Felson (dalam Baron & Byrne, 2004) anak akan melakukan evaluasi terhadap dirinya berdasarkan sikap atau perilaku orang tua terhadap dirinya. Coopersmith (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa ketika orang tua memberikan ekspresi mencintai, memberikan perhatian pada kebutuhan dan permasalahan anak, memberikan kebebasan dalam batasan-batasan yang jelas, mengikutsertakan anak dalam memberikan pendapat dan pengambilan keputusan dalam keluarga maka anak tersebut akan memiliki self esteem yang tinggi. Berdasarkan penelitian juga diperoleh bahwa anak yang pernah mengalami pengabaian, tidak mendapatkan dukungan dari orang tua yang merupakan bentukbentuk dari emotional abuse memiliki self esteem yang rendah (Santrock, 2007b). Selain itu dikatakan juga oleh Loring (2005), Cavet (2002), dan Farmer (1990) bahwa emotional abuse yang dilakukan oleh orang tua berdampak pada self esteem korban. Mengingat nilai korelasi yang diperoleh cukup kuat dengan sumbangan efektif emotional abuse sebesar 16%, peneliti menganggap hal tersebut terjadi dikarenakan oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pembentukan self esteem. Faktorfaktor tersebut adalah kelas sosial, hubungan individu dengan teman sebaya, prestasi dan genetik. Pada umumnya, remaja dari kelas sosial menengah ke atas memiliki self esteem yang lebih tinggi dibandingkan kelompok remaja yang berasal dari kelas sosial menengah ke bawah. Penelitian menunjukkan bahwa kelas sosial remaja yang ditandai oleh pendidikan dan penghasilan orang tua merupakan faktor penting dari self esteem (Steinberg, 1999). Hubungan remaja dengan teman sebaya juga penting. Para remaja yang mendapat penghargaan serta penerimaan dari teman sebaya juga berhubungan dalam pembentukan self esteem (Kail & Cavanaugh, 2007). Menurut Kelly dan Hansen (dalam Dacey & Travers, 2002) hubungan yang positif dengan teman sebaya dapat meningkatkan self esteem seorang remaja. 149
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Prestasi bagi seorang remaja juga dapat meningkatkan self esteem (Atwater & Duffy, 1999). Berdasarkan penelitian, memperlihatkan bahwa ada kemungkinan tingkat harga diri ditentukan oleh genetik (Steinberg, 1999). Dari hasil analisis perbedaan self esteem ditinjau dari tingkat pendapatan orang tua menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan self esteem terhadap kelima kategori tingkat pendapatan orang tua. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa kelas sosial menengah ke atas memiliki self esteem yang lebih tinggi dibandingkan kelompok remaja yang berasal dari kelas sosial menengah kebawah (Steinberg, 1999), sbrowneedangkan tinggi rendahnya self esteem sangat dipengaruhi oleh peran orang tua (Shaffer, 2009). Pada penelitian ini kategori tingkat pendapatan orang tua kurang dapat menggambarkan kelas sosial. Selain itu, dari hasil analisis perbedaan emotional abuse ditinjau dari tingkat pendapat orang tua juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan emotional abuse terhadap kelima kategori pendapatan orang tua. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua yang sering melakukan emotional abuse terjadi pada tingkat sosial menengah ke atas (Gesinde, 2011). Hal ini dapat terjadi
dikarenakan
kategori
tingkat
pendapatan
orang
tua
kurang
dapat
menggambarkan tingkat status sosial. Dari hasil penelitian, dilihat dari nilai rata-rata emotional abuse dan self esteem diperoleh bahwa pada mahasiswa di universitas X ditemukan sedikit yang mengalami emotional abuse dan memiliki self esteem yang tinggi. Berarti sesuai dengan teori bahwa ketika seorang remaja tidak mengalami emotional abuse maka self esteem remaja cenderung tinggi. Selain itu dapat dilakukan lagi penelitian selanjutnya untuk melihat faktor suku dan agama terhadap terjadinya emotional abuse dan hubungannya pada self esteem. Dalam penelitian ini juga kurang mengeskplorasi mengenai data-data partisipan seperti suku, agama, latar belakang orang tua, sehingga kurang dapat memperoleh data tambahan yang dapat dijadikan informasi dalam penelitian ini
Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian hipotesa dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat hubungan antara emotional abuse oleh orang tua dengan self esteem pada remaja (r = -.401, p < .001). Nilai 150
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
korelasi bersifat negatif. Dengan kata lain, semakin tinggi seseorang mengalami emotional abuse maka semakin rendah self esteem remaja tersebut dan sebaliknya, jika semakin jarang seseorang mengalami emotional abuse maka semakin tinggi self esteem remaja. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sumbangan efektif emotional abuse terhadap self esteem kecil yaitu sebesar 16% dengan nilai rata-rata emotional abuse termasuk ke dalam kategori rendah dan nilai rata-rata self esteem termasuk ke dalam kategori tinggi. Berdasarkan hasil analisis perbedaan emotional abuse dan self esteem dari kedua kategori demografis yaitu jenis kelamin dan tingkat pendapatan orang tua, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan emotional abuse dan self esteem dengan jenis kelamin dan tingkat pendapatan orang tua. Berdasarkan kelemahan dan keterbatasan penelitian ini, maka peneliti memberikan beberapa saran yang dapat dicermati sebagai bahan pertimbangan penelitian di masa mendatang yaitu: Mencari literatur dan data – data yang lebih banyak lagi mengenai emotional abuse untuk memperkaya informasi dalam penelitian selanjutnya karena peneliti cukup kesulitan dalam mencari data-data dan literatur mengenai emotional abuse untuk memperkaya informasi dalam penelitian selanjutnya. Serta gambaran hubungan yang lebih spesifik antara emotional abuse dengan self esteem sehingga dapat dijadikan perbandingan penelitian yang lebih baik lagi. Melakukan analisa yang lebih mendalam dengan mengkorelasikan dimensi-dimensi antar kedua variabel. Disarankan untuk melakukan penelitian dengan membatasi status sosial ekonomi dari partisipan agar memperoleh hasil untuk melihat apakah terdapat hubungan emotional abuse dengan self esteem pada remaja yang berasal dari status sosial menengah ke bawah dan status sosial menengah ke atas. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar lebih representatif sehingga kesimpulan yang ditarik akan lebih tepat. Selain jumlah sampel yang lebih banyak, untuk penelitian lanjutan dapat diambil sampel yang lebih bervariasi, tidak hanya terbatas pada satu golongan tertentu sehingga pengeneralisasiannya menjadi lebih luas. Sebaiknya dilakukan wawancara yang mendalam sehingga data atau informasi yang diperoleh lebih lengkap dan lebih akurat. Selain itu, melalui wawancara ada kesempatan untuk mendalami jawaban partisipan yang diberikan pada kuesioner memang sesuai dengan keadaan diri 151
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
partisipan. Sebab, mungkin saja partisipan memberi jawaban yang bukan sebenarnya. Peneliti juga menyarankan supaya dilakukan kontrol yang lebih ketat terhadap
partisipan
agar
data
yang
dihasilkan
diharapkan
dapat
lebih
menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan hasilnya juga akan lebih kaya. Mengingat hasil nilai korelasi hanya cukup kuat, maka perlu digali faktor-faktor lain yang mungkin berkaitan dengan self esteem seperti agama, suku, latar belakang orang tua dan lain-lain. Hal ini dapat dilakukan dengan penelitian kualitatif. Saran untuk orang tua agar tidak melakukan bentuk-bentuk perilaku dari emotional abuse seperti menolak (rejecting), mengisolasi (isolating), meneror (terrorizing), mengabaikan (ignoring), dan merusak (corrupting) karena berdampak dalam pembentukan self esteem anak yang sangat penting dalam kehidupan pada masa remaja. Sebaiknya, orang tua dapat memberikan bentuk-bentuk perilaku yang dapat membentuk self esteem anak menjadi tinggi seperti kasih sayang, perhatian, penghargaan, kesempatan untuk memberikan pendapat dan lain-lain. Selain itu dapat dilakukan seminar yang dapat meningkatkan kesadaran terhadap emotional abuse bagi orang tua maupun remaja. Sehingga untuk remaja yang mengalami emotional abuse dapat lebih asertif kepada orang tua dan orang tua yang melakukan emotional abuse dapat menyadari bahwa bentuk-bentuk perilaku tersebut adalah emotional abuse dan berdampak tidak baik untuk perkembangan remaja. Daftar Pustaka Astuti, M. D. (2008). Perilaku kekerasan orang tua pada remaja di SMP N 2 Karanganyar, Ngawi. Retrieved from http://eprints.undip.ac.id/9319/1/Abstrak.pdf Baron, R. A., Byrne, D. (2004). Psikologi sosial (10th ed.). (Ratna Djuwita, Melania Meitty Parman, Dyah Yasmina, Lita P. Lunanta, Trans.). Jakarta: Erlangga (Karya asli diterbitkan tahun 2003). Bracken, B. A. (1996). Handbook of self-concept: Developmental, social, and clinical considerations. New York, NY: John Wiley & Sons, Inc. Browne, K. D., Hanks, H., Stratton, P., & Hamilton, C. (2002). Early prediction and prevention of child abuse a handbook. New York, NY: John Wiley & Sons, Ltd. Cecilia. (2011, April 25). Parenting: Cara didik barat atau timur?. Ghiboo.com. Retrieved from http://family.ghiboo.com/cara-didik-barat-atau-timur Dave. (2011, Maret 29). Chuo ajak orang tua untuk galak dengan “Tiger Parenting”. Swara Pendidikan. Retrieved from http://www.swarapendidikan.com Engel, B. (2005). Breaking the cycle of abuse: How to move beyond your past to create an abuse free future. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, inc. Evans, H. (2002). Emotional abuse. NSPCC. Retrieved from http://www.nspcc.org.uk
152
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Farmer, S. (1990). Adult children of abusive parents: A healing program for those who have been physically, sexually, or emotionally abused. New York, NY: Random House Publishing Group. Gesinde, A. M. (2011). Dimensions of emotional maltreatment of school adolescents at home: Implications for counselling practice. Ife PsychologIA 19(1), 40-54. Retrieved from http://search.proquest.com Hagan, K. O. (2006). Identifying emotional and psychological abuse: A guide for childcare professionals. New York, NY: Open University Press. Jolly, O., Aluede, O. & Ojugo, A. I. (2009). A psychological postulation for the understanding of classroom emotional abuse. European Journal of Educational Studies 1(3), 125131. Kail, V. R., & Cavanaugh, C. J. (2007). Human development: A life-span view (4th ed.). Belmont, CA: Thomson Wadsworth. Kekerasan terhadap anak makin memiriskan. (2010, Oktober 12). Retrieved from http://sejiwa.org/kekerasan-terhadap-anak-makin-memiriskan/ Kumar, C. R. (1999). Research methodology: A step by step guide fo beginers. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Meliala, G. D. F. (2009). Hubungan citra merek terhadap harga diri pada remaja. Unpublished Thesis. Papalia, D. E., Olds. S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed.). New York, NY: McGraw-Hill. Salmiah, S. (2009). Child abuse. Unpublished Thesis. Sangadji, E. M., & Sopiah. (2010). Metodologi penelitian: Pendekatan praktis dalam penelitian. Yogyakarta: C.V Andi Offset. Santrock, J. W. (2001). Adolescence (8th ed.). New York, NY: McGraw-Hill. Santrock, J. W. (2007a). Perkembangan anak (11th ed.). (Mila Rachmawati, Anna Kuswanti, Penerj.). Jakarta: Erlangga (Karya asli diterbitkan tahun 2003). Santrock, J. W. (2007b). Remaja (11th ed.). (Benedictine Widyasinta, Trans.). Jakarta: Erlangga. (Karya asli diterbitkan tahun 2007). Shaffer, R. D. (2009). Social and personality development (6th ed). Belmont, CA: Wadsworth, Cengage Learning. Solihin, L. (2004). Tindakan kekerasan pada anak dalam keluarga. Jurnal Pendidikan Penabur (3), 129-139. Retrieved from http://www.bpkpenabur.or.id Steinberg, L. (1999). Adolescence (5th ed.). New York, NY: The McGraw-Hill Companies, Inc. Wolfe, D. A. (1991). Preventing physical and emotional abuse of children. New York, NY: The Guilford Press. Widiyatmadi, H. M. E. 2007. Cegah kekerasan terhadap anak. Hidup mingguan umat beriman, 06, 48-49. Xueqin, J. (2011, July 9). Little emperor syndrome. The diplomate. Retrieved from http://thediplomat.com
153