Hubungan Antara Self-Esteem Dengan Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder Pada Remaja Putri Rahmania P.N Ika Yuniar C. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Abstract The aim of the study was to examine the relationship between self-esteem and tendency of Body Dysmorphic Disorder (BDD) in female adolescents. Self-esteem is the attitudinal, evaluative component of the self, the affective judgments placed on the self-concept consisting of feelings of worth and acceptance which are developed and maintained as a consequence of awareness of competence and feedback from the external world. BDD is a psychiatric disorder characterized by a preoccupation with an imagined or slight defect causes significant distress or impairment in functioning. The subjects of the research comprise 100 female high school students whose ages between 15-18 (N=100). The instrument used to collect data for the dependent variable is Self-Esteem Questionnaire (SEQ) by Dubois, et.al. that consist 42 items. And the instrument used to collect data for the tendency of body dysmorphic disorder consisting 38 favorable items. The collected data were analyzed by Pearson product moment correlation using SPSS 16.0 statistical analysis program. The results showed that there were significant relationship between self-esteem and tendency of BDD (p=0,000, r=-0,405). The higher self-esteem so the lower tendency of BDD and vice versa, the lower self-esteem so the higher tendency of BDD.
Keywords: self-esteem, tendency of body dysmorphic disorder, female adolescents Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara self-esteem dengan kecenderungan Body Dysmorphic Disorder (BDD) pada remaja putri. Self-esteem merupakan penilaian individu mengenai dirinya yang diekspresikan melalui perilakunya sehari-hari. Body Dysmorphic Disorder (BDD) merupakan bentuk gangguan mental yang mempersepsi tubuh dengan ide-ide bahwa dirinya memiliki kekurangan dalam penampilan sehingga kekurangan itu membuatnya tidak menarik dan menyebabkan distress serta gangguan dalam fungsi kehidupan. Penelitian ini dilakukan pada remaja putri yang berusia 15-18 tahun yang berstatus sebagai siswa sekolah menengah atas dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 100 orang (N= 100). Alat pengumpul data berupa kuesioner Self-Esteem Questionnaire (SEQ) yang terdiri dari 42
Korespondensi: Rahmania P.N, Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, e-mail:
[email protected]
110
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Juni 2012
Rahmania P. N., Ika Y. C.
yang disusun oleh Dubois, dkk. dan alat ukur kecenderungan BDD yang terdiri dari 38 butir item. Analisis data dilakukan dengan teknik statistik korelasi product moment dari Pearson dengan bantuan program statistik SPSS 16.0 for windows. Dari hasil analisis data penelitian diperoleh nilai korelasi antara self-esteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder sebesar -0,405 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (r=-0,405, p=0,000). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara selfesteem dengan kecenderungan body dysmorhic disorder. Semakin tinggi self-esteem maka semakin rendah kecenderungan BDD dan sebaliknya.
Kata Kunci: self-esteem, kecenderungan body dysmorphic disorder, remaja putri PENDAHULUAN Masa remaja disebut juga masa pubertas dimana perkembangan fisik berlangsung cepat yang menyebabkan remaja menjadi sangat memperhatikan tubuh mereka dan membangun citra tubuh atau body image (Santrock, 2003). Pada umumnya remaja putri lebih kurang puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki lebih banyak body image negatif dibandingkan dengan remaja putra selama pubertas (Brooks-Gun & Paikoff, 1993; Henderson & Zivian, 1995; Richards, dll, 1990 dalam Santrock, 2003). Remaja banyak menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap tubuh, khususnya pada remaja putri yang lebih banyak mengembangkan body image negatif (Jones, 2004). Permasalahan mengenai body image pada remaja putri tersebut bertentangan dengan salah satu tugas perkembangan yang seharusnya dilaksanakan pada masa remaja, yaitu menerima kondisi fisiknya serta memanfaatkan tubuhnya secara efektif (Sarwono, 2010). Remaja dituntut untuk bisa melalui salah satu tugas perkembangannya dengan menerima kondisi fisiknya serta memanfaatkan tubuhnya secara efektif. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian pada remaja putri. Mereka mengembangkan body image negatif sehingga tidak mampu menerima kondisi fisiknya (Santrock, 2003). Distorsi body image dan ketidakpuasan tubuh pada remaja yang berlebihan dapat berkembang hingga menjadi suatu gangguan yang disebut body dismorphic disorder, yaitu preokupasi mengenai kerusakan dalam
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Juni 2012
penampilan fisik dan menyebabkan distress serta penurunan fungsi sosial (American Psychiatric Association, 2000). Sebanyak 1-1,5% dari populasi dunia memiliki kecenderungan BDD, dan kecenderungan BDD akan lebih tinggi pada budaya yang sangat mementingkan penampilan (Veale & Neziroglu, 2010). Di Argentina, sebanyak 39 (47%) dari 85 siswa yang tidak mengalami depresi menunjukkan gejala BDD. Sedangkan dari 25 siswa yang mengalami depresi, 11 (44%) diantaranya didiagnosis menderita BDD (Borda, dkk., 2011). Taqui, dkk (2008) melakukan survey pada 156 siswa kedokteran di Pakistan, 57,1% diantaranya adalah perempuan. Sebanyak 78,8% siswa m e n u n j u k k a n ke t i d a k p u a s a n t e r h a d a p penampilan mereka dan 5,8% siswa memenuhi kriteria BDD menurut DSM IV. Bagian yang menjadi fokus perhatian pada perempuan yaitu masalah berat badan (40,4%), kulit (24,7%), dan gigi (18%). Salah satu faktor yang dianggap memiliki peran penting dalam berkembangnya body dysmorphic disorder adalah self-esteem (Phillips, dkk 2004). Rendahnya self-esteem pada masa remaja merupakan prediktor kesehatan fisik dan mental yang buruk (Erol & Orth, 2011). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara selfesteem dengan body dissatisfaction pada remaja putri (Tiggeman, 2005). Sementara itu, penelitian pada 113 anak dan remaja di El-Salvadoran American menyebutkan bahwa tingginya BMI berhubungan dengan ketidakpuasan terhadap
111
Hubungan antara Self-Esteem dengan Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja Putri
tubuh, rendahnya self-esteem, dan usaha untuk mengurangi berat badan. Ketidakpuasan terhadap tubuh memiliki hubungan signifikan dengan selfesteem (Mirza, dkk., 2005). Hubungan yang kuat antara self-esteem dengan ketidakpuasan tubuh juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Berg, dkk (2010) dengan hasil penelitiannya adalah terdapat hubungan antara ketidakpuasan terhadap tubuh dengan self-esteem. Ketidakpuasan terhadap tubuh merupakan salah satu karakteristik body dysmorphic disorder ((American Psychiatric Association, 2000). Berangkat dari hal tersebut, penulis ingin menguji secara empiris mengenai hubungan antara self-esteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder pada remaja putri. HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DENGAN KECENDERUNGAN BODY DYSMORPHIC DISORDER Self-esteem merupakan komponen afektif, kognitif dan evaluatif yang bukan hanya merupakan persoalan pribadi ataupun psikologis, tetapi juga interaksi sosial. Self-esteem merupakan sikap yang berdasarkan pada persepsi mengenai nilai seseorang. Self-esteem merupakan sikap positif ataupun negatif terhadap diri individu (Rosenberg dalam Murk, 2006). Self-esteem meliputi dua aspek, yaitu penerimaan diri dan penghormatan diri. Kedua aspek tersebut memiliki 5 dimensi yaitu dimensi akademik, sosial, emosional, keluarga, dan fisik. Dimensi akademik mengacu pada persepsi individu terhadap kualitas pendidikan individu, dimensi sosial mengacu pada persepsi individu terhadap hubungan sosial individu, dimensi emosional merupakan keterlibatan individu terhadap emosi individu, dimensi keluarga mengacu pada keterlibatan individu dalam partisipasi dan integrasi di dalam keluarga, dan dimensi fisik yang mengacu pada persepsi individu terhadap kondisi fisik individ (Rosenberg dalam Albo, dkk. 2007 dalam Widiharto, 2007). Body image adalah bagaimana remaja mempersepsikan penampilan fisiknya, dan bagaimana sebenarnya mereka tampak oleh orang
112
lain (Santrock, 2003). Body image tersusun atas komponen afeksi, kognitif dan tingkah laku. Komponen afektif berhubungan dengan perasaan individu terhadap penampilan tubuhnya yang mencakup kepuasan dan evaluasi terhadap penampilan f isik, komponen kognitif berhubungan dengan keyakinan individu mengenai bentuk dan penampilan fisik, komponen tingkah laku mencakup pada kegiatan yang dilakukan untuk memelihara atau mempertahankan penampilan tubuhnya (Rosenberg dalam Ermanza, 2008). Self-esteem yang didalamnya terdapat dimensi fisik tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan body image. Apabila remaja putri memiliki self-esteem tinggi, maka mereka mengembangkan body image positif yang berarti mereka memiliki persepsi positif mengenai diri mereka sehingga mereka merasa puas dengan penampilan fisik mereka dan bisa melalui tugas perkembangannya yaitu menerima kondisi fisik dan memanfaatkannya secara efektif. Akan tetapi, jika remaja putri memiliki self-esteem rendah, maka mereka merasa tidak puas terhadap penampilan fisik mereka dan mengembangkan body image negatif yang berarti mereka mengalami distorsi body image. Distorsi body image ini disebut sebagai gangguan body dysmorphic yang merupakan bentuk gangguan mental yang mempersepsi tubuh dengan ide-ide bahwa dirinya memiliki kekurangan dalam penampilan sehingga kekurangan itu membuatnya tidak menarik. Mereka memiliki ketidakpuasan akut terhadap beberapa bagian tubuh tertentu yang membuat mereka merasa sangat terganggu dan tidak nyaman dengan penampilan fisik mereka hingga mereka mengalami distress dan penurunan fungsi sosial (American Psychiatric Association, 2000). Sehingga, secara tidak langsung remaja putri yang memiliki self-esteem rendah akan memiliki kecenderungan body dysmorphic disorder. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa rendahnya self-esteem pada masa remaja merupakan prediktor kesehatan fisik dan mental yang buruk (Erol & Orth, 2011). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa self-esteem yang rendah ditemukan pada individu yang memiliki gangguan psikiatris yaitu depresi, gangguan makan, gangguan kecemasan, penyalahgunaan zat (Guillon, dkk., 2003; Silverstone, dkk., 2003). Dan Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Juni 2012
Rahmania P. N., Ika Y. C.
body dysmorphic disorder merupakan salah satu bentuk gangguan pada kesehatan mental seseorang. Hasil dari penelitian Tiggeman (2005) menunjukkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara self-esteem dengan body dissatisfaction dimana body dissatisfaction merupakan salah satu karakteristik body dysmorphic disorder. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa self-esteem memiliki hubungan dengan kecenderungan body dysmorphic disorder melalui body image. Remaja putri yang memiliki self-esteem rendah akan merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka dan meningkatkan body image negatif yang berarti mereka mengalami distorsi body image yang disebut dengan body dysmorphic disorder. Sehingga, secara tidak langsung remaja putri yang memiliki self-esteem rendah akan memiliki kecenderungan body dysmorphic disorder. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan penelitian korelasional yaitu penelitian yang pada umumnya untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel (Azwar, 2011). Variabel yang dibandingkan adalah Self-Esteem (variabel X) dan Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder (variabel Y). Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri yang memiliki rentang usia antara 15-18 tahun yang berstatus sebagai siswa SMA Negeri 4 Surabaya. Sample diperoleh dengan cara cluster random sampling sebanyak 100 siswi dari 6 kelas XI dan XII. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. Untuk mengukur self-esteem digunakanlah skala Likert dari alat ukur yang dikembangkan oleh Dubois, dkk (1996) bernama Self-Esteem Questionnaire (SEQ) yang terdiri dari 42 item dengan nilai reliabilitas sebesar 0,860. Kemudian untuk mengukur kecenderungan body dysmorphic d i s o rd e r d i g u n a k a n l a h a l a t u k u r ya n g dikembangkan dari daftar gejala munculnya body dysmorphic disorder yang disusun oleh Phillips (2009). Alat ukur ini terdiri dari 38 item pernyataan dengan nilai reliabilitas sebesar 0,956. Metode analisis data menggunakan teknik
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Juni 2012
korelasi sederhana yaitu teknik korelasi Pearson (Product Moment) yang digunakan untuk mengukur hubungan data yang berdistribusi normal (parametrik) dan memenuhi uji linearitas (Trihendradi, 2009). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran subyek penelitian Penghitungan Body Mass Index (BMI) dilakukan untuk tiap subyek. Subyek yang memiliki berat tubuh yang underweight sebanyak 40 orang siswa (40%), berat tubuh normal sebanyak 53 orang siswa (53%), overweight sebanyak 6 orang siswa (6%), dan obesitas 1 orang siswa (1%). Subyek yang merasa berat badannya normal sebanyak 47 orang siswa (47%), subyek yang merasa terlalu gemuk sebanyak 36 orang siswa (36%), dan subyek yang merasa terlalu kurus sebanyak 17 orang siswa (17%). Sebanyak 82 orang siswa (82%) tidak puas terhadap penampilannya. Sedangkan subyek yang puas terhadap penampilannya sebanyak 18 orang siswa (18%). Subyek yang tidak puas terhadap penampilannya melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki penampilannya. Usaha tersebut adalah dengan memeriksa penampilan berkalikali (56,10%), olahraga tanpa kenal waktu (6,10%), perawatan ke klinik kecantikan (8,54%), mengikuti program pelangsingan (3,66%), mengikuti fitness (1,22%), melakukan diet ketat (8,54%), lain-lain (15,85%). Individu yang memiliki self-esteem dalam kategori tinggi sebanyak 32 orang (32%), selfesteem sedang sebanyak 41 orang (41%), dan sisanya sebanyak 27 orang (27%) memiliki selfesteem rendah. Sedangkan untuk kecenderungan body dysmorphic disorder, sebanyak 35 orang (35%) masuk ke dalam kategori tinggi, 36 orang (36%) memiliki kecenderungan body dysmorphic disorder sedang, dan sebanyak 29 orang (29) yang memiliki kecenderungan body dysmorphic disorder rendah. Uji Asumsi Beberapa asumsi yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan teknik statistik parametrik Pearson (Product Moment) dalam mengolah data adalah data berjenis interval, memiliki distibusi normal dan bersifat linear (Trihendradi, 2009).
113
Hubungan antara Self-Esteem dengan Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja Putri
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian telah memenuhi ketiga asumsi di atas. Data yang diperoleh menggunakan skala likert,memiliki skor akumulasi dari jawaban berupa data interval dan berskala kontinu. Untuk mengetahu apakah data dari dua skala memiliki distribusi normal dan bersifat linear, maka dilakukan uji normalitas dan uji linearitas dengan menggunakan teknik perhitungan One-Sample Kolmogorov-Smirnov dan Anova dengan bantuan program SPSS 16.00 for windows. Tabel 1 Hasil Uji Normalitas
Tabel diatas menunjukkan bahwa taraf signifikansi yang didapat adalah sebesar 0,000 dimana Sig (0,000) < 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan liniear antara variabel self-esteem dengan variabel kecenderungan body dysmorphic disorder. Uji Hipotesis Pengujian terhadap hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Pearson (Product Moment) dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows. Berikut ini adalah hasil analisis data yang diperoleh: Tabel 3 Uji Korelasi Antar Variabel
Dengan melihat signifikansi KolmogorovSmirnov pada tabel diatas, didapatkan hasil signifikansi untuk skala self-esteem dan skala kecenderungan body dysmorphic disorder yang lebih besar dari 0,05 yaitu masing-masing sebesar 0,667 dan 0,681. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sebaran data yang dihasilkan oleh kedua skala tersebut berdistribusi normal. Tabel 2 Hasil Uji Linearitas
114
Dari tabel diatas, diperoleh signifikansi sebesar 0,000 dan korelasi pearson sebesar -0,405 (p=-0,405) pada signifikansi sebesar 1%. Kedua variabel dikatakan memiliki hubungan apabila taraf signifikansi kurang dari 0,05 (Sig < 0,05), sehingga hipotesis awal penelitian ini dapat diterima, yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara self-esteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder. Korelasi pearson sebesar 0,405 menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki derajat hubungan yang sedang. Kecenderungan body dysmorphic disorder tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh self-esteem. Terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi munculnya kecenderungan body dysmorphic disorder. Hasil korelasi yang menunjukkan angka negatif memiliki arti bahwa hubungan antara kedua variabel adalah hubungan negatif. Hal ini berarti semakin tinggi variabel self-esteem maka semakin rendah kecenderungan body dysmorphic disorder.
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Juni 2012
Rahmania P. N., Ika Y. C.
Pembahasan Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara self-esteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder pada remaja putri. Hipotesis nol (Ho) yang berbunyi tidak ada hubungan antara self-esteem dengan kecenderungan body dymorphic disorder dalam penelitian ini ditolak. Hal ini dibuktikan dari hasil koefisien korelasi sebesar -0,405 (p= 0,405) dan signifikansi sebesar 0,000 (Sig= 0,000). Signifikansi sebesar 0,000 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara selfesteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder. Hal tersebut membuktikan teori yang telah dikemukakan oleh Erol & Orth (2011) yang menyebutkan bahwa self-esteem sebagai prediktor kesehatan mental. Ko e f i s i e n ko re l a s i s e b e s a r - 0 , 4 0 5 menunjukkan bahwa hubungan tersebut berada pada tingkat sedang. Kecenderungan body d y s m o r ph i c d i s o rd e r t i d a k s e p e n u h nya dipengaruhi oleh self-esteem. Terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi munculnya kecenderungan body dysmorphic disorder yaitu faktor genetik, faktor psikologis seperti penganiayaan masa kanak-kanak, penghinaan, serta faktor sosial dan budaya yang menekankan akan pentingnya penampilan fisik yang sempurna. Self-esteem merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan body dysmorphic disorder meskipun pengaruhnya tidak besar. Sementara itu, nilai negatif dari hasil korelasi menunjukkan arah hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi self-esteem maka semakin rendah kecenderungan body dysmorphic disorder. Dan juga sebaliknya, semakin rendah self-esteem maka semain tinggi kecenderungan body dysmorphic disorder. Tingkat self-esteem yang tinggi menyebabkan remaja putri memiliki gambaran positif mengenai tubuh mereka. Mereka merasa puas dengan penampilan fisik dan merasa tidak terlalu fokus pada penampilan fisik hingga pada tingkat yang ekstrim sehingga kecenderungan body dysmorphic disorder menjadi rendah. Sementara itu jika remaja putri memiliki selfesteem rendah, mereka akan selalu beranggapan bahwa tubuh mereka memiliki kekurangan. Mereka merasa tidak puas dengan penampilan fisik dan menjadi terlalu fokus pada penampilan
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Juni 2012
hingga pada tingkat yang ekstrim sehingga memiliki kecenderungan body dysmorphic disorder yang tinggi. Dari 100 orang subyek penelitian, 36 orang diantaranya merasa tubuhnya terlalu gemuk dan 47 orang yang merasa diri mereka memiliki berat badan normal. Padahal menurut perhitungan body mass index (BMI), subyek yang masuk kategori overweight hanya 6 orang dan 1 orang masuk ke dalam kategori obesitas, sedangkan subyek yang masuk dalam kategori normal sebanyak 53 orang. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara yang terjadi sebenarnya dengan apa yang dirasakan subyek. Subyek yang merasa tubuh mereka terlalu gemuk sebanyak 47 orang sedangkan sebenarnya subyek yang masuk dalam kategori overweight hanyalah 7 orang. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar subyek yang merupakan remaja putri telah mengembangkan body image negatif dengan mempersepsi tubuh mereka bahwa mereka terlalu gemuk. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa remaja putri lebih banyak mengembangkan citra tubuh yang negatif dan cenderung berpikir bahwa diri mereka terlalu berat sehingga memiliki self-confident yang kurang (Santrock, 2003). Kurangnya rasa nyaman terhadap diri sendiri juga terlihat pada hasil penelitian yang menyebutkan bahwa sebagian besar subyek sering mengecek penampilan mereka berkali-kali untuk memastikan bahwa penampilan fisik mereka baikbaik saja. Mereka juga melakukan diet ketat dan olahraga tanpa mengenal waktu untuk memperbaiki penampilan yang mereka anggap kurang. Padahal sebenarnya hal-hal tersebut tidak perlu dilakukan karena persoalan mengenai penampilan fisik subyek tidak terlalu berat. Jika dilihat dari data-data diatas, remaja banyak yang merasa kurang nyaman dengan dirinya. Mereka merasa terlalu gemuk, tidak puas dengan penampilan mereka, mengecek penampilan berkali-kali karena merasa ada penampilan yang kurang, dan terlalu mengkhawatirkan penampilan mereka. Hal ini tentu saja dapat mengganggu kehidupan subyek karena waktu banyak yang mereka habiskan untuk memikirkan masalah penampilan fisik saja. Mereka menjadi terlalu fokus pada penampilan fisik.
115
Hubungan antara Self-Esteem dengan Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja Putri
Dilihat dari data-data diatas, remaja banyak yang merasa kurang nyaman dengan dirinya. Mereka merasa terlalu gemuk, tidak puas dengan penampilan mereka, mengecek penampilan berkali-kali karena merasa ada penampilan yang kurang, dan terlalu mengkhawatirkan penampilan mereka. Hal ini tentu saja dapat mengganggu kehidupan subyek karena waktu banyak yang mereka habiskan untuk memikirkan masalah penampilan fisik saja. Mereka menjadi terlalu fokus pada penampilan fisik. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa individu yang memiliki self-esteem dalam kategori tinggi sebanyak 32 orang (32%), self-esteem sedang sebanyak 41 orang (41%), dan sisanya sebanyak 27 orang (27%) memiliki self-esteem rendah. Sedangkan untuk kecenderungan body dysmorphic disorder, sebanyak 35 orang (35%) masuk ke dalam kategori tinggi, 36 orang (36%) memiliki kecenderungan body dysmorphic disorder sedang, dan sebanyak 29 orang (29) yang memiliki kecenderungan body dysmorphic disorder rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa subyek lebih banyak memiliki self-esteem dan kecenderungan body dysmorphic disorder pada tingkat sedang. Akan tetapi apabila dibandingkan, subyek lebih banyak yang memiliki kecenderungan body dysmorphic disorder tinggi daripada rendah. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa usia remaja merupakan usia yang memang rentan mengalami body dysmorphic disorder. Hal tersebut disebabkan karena remaja mengalami pubertas dan menjadi sangat fokus terhadap penampilan mereka. Pandangan mereka mengenai body image pun meningkat dan pada remaja putri cenderung lebih mengembangkan body image negatif sehingga terjadi ketidaksesuaian antara gambaran tubuh yang
mereka inginkan dengan gambaran tubuh yang sebenarnya. Temuan-temuan dari hasil penelitian diatas yang terjadi pada remaja yang merasa tidak puas dengan keadaan tubuh mereka dan sangat mengkhawatirkan penampilan fisik mereka menunjukkan bahwa remaja tersebut memiliki self-esteem yang rendah. Individu yang memiliki self-esteem rendah memiliki gambaran diri yang negatif dan merasa kurang percaya diri. Akibat dari body image negatif yang dikembangkan oleh remaja putri, mereka merasa tubuh mereka kurang ideal. Mereka mencoba berbagai macam cara untuk mengatasinya yang pada akhirnya mereka merasa tidak percaya diri untuk tampil di depan umum karena bayangan mengenai kekurangan penampilan fisik mereka. Mereka berusaha menutup-nutupi bagian tubuh yang mereka anggap kurang bagus. Mereka menjadi tidak nyaman dengan diri mereka sendiri. Mereka menjadi menarik diri agar orang lain tidak melihat kekurangan tubuhnya. Sebaliknya, individu yang memiliki self-esteem tinggi merasa yakin akan dirinya, merasa nyaman dengan diri sendiri, merasa bahagia dan memiliki padangan positif terhadap diri. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara selfesteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder pada remaja putri. Kedua variabel memiliki hubungan negatif yang menggambarkan bahwa semakin tinggi self-esteem maka semakin rendah kecenderungan body dysmorphic disorder dan sebaliknya, semakin rendah self-esteem maka semakin tinggi kecenderungan body dysmorphic disorder.
DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed.). Washington, DC. Azwar, S. (2011). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Berg, P.A. Mond, J., Eisenberg, M., Ackard, D., Neumark-Sztainer, N. 2010. The link between body dissatisfaction and self-esteem in adolescents: Similiarities across gender, age, weight status, race/ethnic, and socioeconomic status. Journal of Adolescent Health, 40, 290-296.
116
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Juni 2012
Rahmania P. N., Ika Y. C.
Dubois, D.L., Felner, R.D., Brand, S., Phillips, R.S.C., Lease, A.M. (1996). Early adolescent self-esteem: A developmental-ecological framework and assessment strategy. Journal of Research on Adolescence, 6(4), 543-579. Ermanza, G.H. (2008). Hubungan harga diri dan citra tubuh pada remaja putri yang obesitas dari sosok menengah atas. Universitas Indonesia. Diakses pada tanggal 10 September 2012 dari h t t p : / / l o n t a r. u i . a c . i d / f i l e ? f i l e = d i g i t a l / 1 2 5 1 9 9 - 1 5 5 . 5 3 3 % 2 0 E R M % 2 0 h % 2 0 %20Hubungan%20Antara%20-%20Literatur.pdf Erol, R.Y & Orth, U. (2011). Self-esteem development from age 14 to 30 years: A longitudinal study. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 101, No. 3, 607–619 Guillon, M.S., Crocq, M., Bailey, P.E. (2003). The relationship between selfesteem and psychiatric disorder in adolescents. European Psychiatry, 18, 59-62 . Jones, D.C. (2004). Body image among adolescent girls and boys: A longitudinal study. Developmental Psychology. Vol. 40, No. 5, 823–835 Mirza, N.M., Davis, D., Yanovski, J.A. 2005. Body dissatisfaction, self-esteem, and overweight among inner-city Hispanic children and adolescents. Journal of Adolescent Health, 36, 267.e16-267.e20. Mruk, C.J. (2006). Self-esteem research, theory, and practice: Toward a positive psychology of self-esteem (3rd ed.). New York: Springer Publishing Company. Phillips, K.A. (2009). Understanding body dysmorphic disorder: An essential guide. New York: Oxford University Press. Phillips, K.A., Pinto, A., Jain. S. (2004). Self-Esteem in body dysmorphic disorder. Body Image I. 385-390 Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga Sarwono, S.W. (2010). Psikologi remaja (edisi revisi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Taqui A.M., Shaikh, M., Gowani, S.A., Shahid, F., Khan, A., Tayyeb, S.M., Satti, M., Vaqar, T., Shahid, S., Shamsi, A., Ganatra, H.A., Naqvi, H.A. (2008). Body dysmorphic disorder: Gender differences and prevalence in a Pakistani medical student population. BMC Psychiatry, 8, 20. Tiggemann, M. 2005. Body dissatisfaction and adolescent self-esteem. Body Image, 2, 129-135. Trihendradi, C. (2009). 7 langkah mudah melakukan analisis statistik menggunakan SPSS 17. Yogyakarta: Penerbit Andi. Veale, D & Neziroglu, F. (2010). Body dysmorphic disorder: A treatment manual. UK: Wiley-Blackwell Widiharto, C.A., Sandjaja, S.S., Eriany, P. (2010). Perilaku bullying ditinjau dari harga diri dan pemahaman moral anak. Universitas Tarumanagara. Diakses pada tanggal 9 September 2012 dari http://www.psikologi.tarumanagara.ac.id/s2/wp-content/uploads/2010/09/21-perilaku-bullyingditinjau-dari-harga-diri-dan-pemahaman-moral-anak-christhoporus-argo-widiharto-mpsi.pdf
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No. 02, Juni 2012
117