HUBUNGAN ANTARA KETERLIBATAN AYAH DAN SELF-ESTEEM REMAJA PADA SISWA SMA DI JAKARTA PUSAT Fatima Zahra dan Eko Handayani Program Sarjana Reguler Fakultas Psikologi Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah dan self-esteem remaja, dilihat dari persepsi ayah dan anak. Partisipan pada penelitian ini adalah 133 siswa kelas X SMA dan ayah mereka. Keterlibatan ayah diukur dengan alat ukur seven-item father involvement scale yang disusun oleh Carlson (2006), sedangkan self-esteem diukur dengan alat ukur Self-Liking/Self-Competence Scale-Revised (SLCS-R) yang disusun oleh Tafarodi dan Swann (2001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh remaja dengan kedua dimensi self-esteem remaja, yaitu self-liking (r = .295; n = 133; p < 0,01 two-tailed) dan self-competence (r = .262; n = 133; p < 0,01 two-tailed). Namun, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh ayah dengan kedua dimensi self-esteem remaja, yaitu self-liking (r = .143; n = 133; p > 0,01 two-tailed) dan self-competence (r = .151; n = 133; p > 0,01 two-tailed). Hasil tersebut mengimplikasikan bahwa keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh remaja berhubungan dengan self-esteem remaja. Maka, semakin tinggi keterlibatan ayah berdasarkan persepsi remaja, tingkat self-esteem remaja pun semakin tinggi.
The Relationship between Father Involvement and Adolescent Self-Esteem in Central Jakarta High School Student Abstract The goal of this study was to examine the relationship between father involvement and adolescent self-esteem, with regards to father and adolescent perception. Participants were 133 10th grade students and their father. Father involvement was measured by Seven-Item Father Involvement Scale (Carlson, 2006), whereas selfesteem was measured by Self-Liking/Self-Competence Scale-Revised (SLCS-R) (Tafarodi & Swann, 2001). The result of this study shows that father involvement perceived by adolescent related with both dimensions of adolescent self-esteem, there are self-liking (r = .295; n = 133; p < 0,01 two-tailed) and self-competence (r = .262; n = 133; p < 0,01 two-tailed). But, father involvement perceived by father did not related with both dimensions of adolescent self-esteem, there are self-liking (r = .143; n = 133; p > 0,01 two-tailed) and selfcompetence (r = .151; n = 133; p > 0,01 two-tailed). The result implied that father involvement perceived by adolescent related with adolescent self-esteem. Therefore, the higher father involvement perceived by adolescent, the higher adolescent self-esteem will be. Keywords: Father Involvement; Self-Esteem; Adolescent
Pendahuluan Dari hasil studi yang telah dilakukan oleh para peneliti mengenai hubungan antara orang tua dan anak, diketahui bahwa orang tua berperan penting dalam perkembangan diri
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
anak maupun remaja (Lewis & Lamb 2003; McKinney & Renk, 2008). Namun, di antara kedua orang tua, ibu merupakan pihak yang lebih banyak diperhatikan perannya pada perkembangan diri anak (Bowlby, 1982; dalam Flouri & Buchanan, 2003; Levin & Currie, 2010; Phares, 1996, 1999; dalam McKinney & Renk, 2008;). Pada kebanyakan literatur, peran ayah seringkali kurang dilihat, bahkan dianggap kurang penting (Amato, 1994). Padahal, ayah dan ibu memiliki peran yang unik dan berbeda dalam kehidupan anak sehingga hubungan antara ayah dan ibu dengan anaknya perlu diteliti secara terpisah (McKinney & Renk, 2008). Kini, mulai banyak studi yang meneliti pentingnya peran ayah dalam perkembangan diri anak dan remaja (McKinney & Renk, 2008; Lewis & Lamb, 2003; Culp, Schadle, Robinson, & Culp, 2000; Phares, Fields, & Kamboukos, 2009). Pada penelitian-penelitian mengenai hubungan antara perilaku orang tua dan perilaku anak, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa tidak hanya perilaku ibu, tapi perilaku ayah pun berhubungan dengan perilaku anak (Lewis & Lamb, 2003). Temuan tersebut juga ditemukan pada sosok yang dianggap ayah namun tidak memiliki hubungan biologis dengan anak (Flouri & Buchanan, 2003). Berikut ini merupakan contoh beberapa perilaku ayah yang berhubungan dengan kondisi dan perilaku anak. Pertama, saat ayah menyediakan waktu untuk anak, anak akan merasa mendapat dukungan secara emosional (Cabrera, Tamis-LeMonda, Bradley, Hofferth, & Lamb, 2000). Kedua, semakin terlibatnya ayah dengan anak, jumlah perilaku bermasalah anak yang dilaporkan oleh ibu semakin kecil (Amato & Rivera, 1999). Sebaliknya, saat ayah tidak dekat dengan anak dan tidak dapat mengontrol perilaku anak, anak akan lebih berisiko untuk melakukan pelanggaran hukum dan perilaku menyimpang (Single-Rushton & McLanahan, 2004). Ketiga, otonomi yang diberikan oleh ayah pada remaja dengan tetap menjaga kedekatan antara mereka akan membuat remaja memandang dirinya secara positif sehingga self-esteem dan egonya pun berkembang secara positif (Allen, Hauser, Bell, & O’Connor, 1994). Keempat, perilaku ayah dapat berperan dalam hal akademis anak. Hasil penelitian Rogers, Theule, Ryan, Adams, dan Keating (2009) menunjukkan bahwa ketika ayah berperan aktif dalam proses belajar anak, kompetensi akademis anak akan cenderung tinggi. Namun, jika ayah menekan anak untuk berprestasi di sekolah, kompetensi akademis dan pencapaian akademis anak justru cenderung rendah. Beberapa contoh sikap dan perilaku positif ayah pada anak, seperti melakukan aktivitas bersama, mengasihi anak, dan dekat dengan anak merupakan bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak (Cabrera dkk., 2000). Menurut para peneliti, keterlibatan ayah
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
dengan anak dapat dipengaruhi oleh lokasi tempat tinggal ayah, yaitu tinggal bersama dengan anak atau tidak (Sarkadi, Kristiansson, Oberklaid, & Bremberg, 2007), jenis kelamin anak (Russel & Saebel, 1997), serta status hubungan ayah dan anak, apakah ayah kandung atau ayah tiri (Amato & Rivera, 1999). Selain itu, faktor budaya juga turut memengaruhi bagaimana peran ayah dan keterlibatannya dalam kehidupan anak (Hochschild, 1995, dalam Lamb, 2004). Di Indonesia, ayah merupakan pihak yang otoriter, memiliki jarak emosional dengan anak, serta harus dihormati dalam keluarga (Mulder, 1999, dalam Mikarsa, 2012). Ayah lebih berperan pada hal-hal di luar masalah rumah tangga dan kurang terlibat pada pengasuhan anak (Mikarsa, 2012). Hal tersebut berbeda dengan peran ibu yang lebih bertanggung jawab untuk mengatur hal-hal terkait rumah tangga dan pengasuhan anak (Mikarsa, 2012). Walaupun memiliki peran berbeda, namun secara umum, orang tua di Indonesia menerapkan gaya pengasuhan otoriter terhadap anak-anaknya (Sarwono, 2005). Melalui proses sosialisasi, anak diajarkan untuk tidak membalas kata-kata orang tuanya maupun orang lain yang berusia lebih tua. Anak yang ideal adalah anak yang patuh, menghormati orang tua, dan mendengarkan perintah maupun keinginan orang tua (Sarwono, 2005). Jika dilihat dari konteks budaya, gaya pengasuhan otoriter di Indonesia belum tentu bermakna negatif. Chao (2001, 2005, 2007, dalam Santrock, 2011) menjelaskan bahwa pada orang tua yang berasal dari budaya Asia, kontrol dalam gaya pengasuhan otoriter merupakan bentuk perhatian dan keterlibatan orang tua pada anak. Walaupun begitu, anak yang berasal dari keluarga yang tinggal di daerah urban tidak terlalu menyukai bentuk pengasuhan otoriter karena telah mendapat pengaruh modernisasi dari budaya Barat (Sarwono, 2005). Berdasarkan karakteristik daerah urban yang dijelaskan oleh UNICEF pada web-nya, seperti memiliki populasi antara 2000-50.000 orang, mata pencaharian utama penduduknya bukan pada
bidang
pertanian,
serta
memiliki
fasilitas-fasilitas
umum
(http://www.unicef.org/sowc2012/pdfs/SOWC-2012-DEFINITIONS.pdf), Jakarta memenuhi kriteria tersebut dan dapat disebut sebagai daerah urban. Oleh karena itu, anak yang berasal dari keluarga yang tinggal di Jakarta telah mendapat pengaruh modernisasi dari budaya Barat sehingga cenderung tidak menyukai gaya pengasuhan otoriter yang umumnya diterapkan oleh orang tua di Indonesia. Meskipun orang tua memiliki peranan penting pada diri anak, hubungan antara orang tua dan anak saat anak berusia remaja justru menjadi renggang karena anak lebih dekat dengan teman-temannya dan orang tua mulai memberi kebebasan pada anak (Youniss, 1985; Santrock, 2011). Padahal, hubungan yang dekat antara orang tua dan remaja penting agar
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
remaja dapat terbuka dengan orang tua (Santrock, 2011). Keterbukaan remaja dengan orang tua dapat membantu remaja melakukan penyesuaian diri saat ia mengalami masa “storm and stress”, yaitu saat dimana remaja mengalami berbagai konflik, seperti konflik dengan orang tua, gangguan mood, risiko terlibat dalam masalah perilaku (Arnett, 1999), serta mengalami perubahan besar pada persepsi diri dan identitasnya (Erikson, 1968, dalam Eccles, Wigfield, Flanagan, Miller, Reuman, & Yee, 1989). Di masa remaja, khususnya remaja awal, anak juga mengalami masalah-masalah lain, seperti self-esteem rendah, kurang percaya diri akan kemampuan akademis, dan memiliki persepsi diri yang kurang stabil bahkan cenderung rendah (Simmons, Rosenberg, & Rosenberg, 1973). Arnett (1999) menekankan bahwa tidak semua remaja mengalami “storm and stress” dan masalah-masalah tersebut, tetapi masa remaja adalah masa dimana “storm and stress” lebih mungkin muncul dibanding tahap perkembangan lain. Menurut Simmons dkk. (1973), masalah-masalah yang muncul di masa remaja berkaitan dengan perubahan lingkungan yang dialami remaja, seperti perubahan lingkungan sekolah saat anak mengalami transisi antara sekolah menengah pertama menuju sekolah menengah atas. Dari penjelasan sebelumnya, diketahui bahwa salah satu aspek yang terkena dampak perubahan pada masa “storm and stress” adalah self-esteem remaja. Karena perubahan persepsi diri serta perubahan lingkungan yang dialami, self-esteem remaja cenderung negatif. Walaupun begitu, remaja sebenarnya membutuhkan persepsi diri positif serta self-esteem yang tinggi untuk membantunya menjalani proses perubahan dan transisi tersebut (Heaven & Ciarrochi, 2008). Selain itu, self-esteem remaja perlu diperhatikan karena berperan penting dalam perilaku dirinya (Zimmerman, Copeland, Shope, & Dielman, 1997). Self-esteem tinggi dapat membantu remaja menjadi lebih resilien dan adaptif (Rutter, 1987) serta melindungi remaja dari kemungkinan terlibat dalam perilaku-perilaku negatif. Sebaliknya, self-esteem rendah membuat remaja rentan melakukan perilaku maladaptif (Boden, Fergusson, & Horwood, 2008; Zimmerman dkk., 1997), depresi (Orth, Robins, dan Roberts, 2008), agresi, perilaku antisosial, delinquency (Donnellan, Trzesniewski, Robins, Moffitt, & Caspi, 2005), maupun penggunaan obat-obatan terlarang (Stacy, Newcomb, & Bentler, 1992). Karena selfesteem remaja merupakan hal penting untuk membantu remaja dalam proses penyesuaian diri serta menghindari perilaku maladaptif, proses pembentukan dan perkembangan self-esteem remaja pun penting untuk diperhatikan. Menurut Gecas dan Schwalbe (1986), self merupakan produk sosial sehingga ia berkembang melalui interaksi dengan orang lain dan pemahaman mengenai peran diri sendiri (Gecas & Schwalbe, 1986). Dengan adanya interaksi sosial dan pemahaman akan peran,
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
individu mampu melihat dirinya sebagaimana yang menurutnya dilihat oleh orang lain terhadap dirinya. Di antara banyaknya interaksi sosial dalam hidup, interaksi sosial paling awal yang dialami individu adalah interaksi dalam keluarga. Di sinilah awal perkembangan self-esteem muncul. Konsep awal mengenai diri tumbuh saat anak berinteraksi dengan orang tua dan anggota keluarga lain (Gecas & Schwalbe, 1986) dan bagaimana anak mempersepsi sikap orang tua terhadapnya. Sikap positif atau negatif dari orang tua akan memengaruhi bagaimana anak memandang dirinya sendiri, apakah positif atau negatif, dan dengan kata lain memengaruhi konsep diri anak tersebut. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang tua berperan penting dalam proses perkembangan anak, salah satunya pada perkembangan self-esteem anak. Di antara kedua orang tua, studi literatur yang telah dilakukan peneliti menunjukkan bahwa ayah pun turut berperan penting dalam perkembangan diri anak (Lewis & Lamb, 2003). Peran ayah pada anak akan dilihat dalam bentuk keterlibatan ayah dengan anaknya (Cabrera dkk., 2000). Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana hubungan antara keterlibatan ayah dengan self-esteem anak, khususnya anak remaja, yang sedang mengalami proses perubahan besar pada persepsi diri dan self-esteem-nya. Pada penelitian ini, keterlibatan ayah akan dilihat dari persepsi ayah dan anak. Menurut Tafarodi, Wild, dan Ho (2010), memerhatikan persepsi anak maupun orang tua penting dalam melakukan penelitian mengenai hubungan antara orang tua dan anak. Saat hanya persepsi orang tua atau anak saja yang dilihat, pendapat mereka mungkin saja bias (Tafarodi dkk., 2010). Ayah dan anak yang akan menjadi responden pada penelitian ini adalah yang tinggal di Jakarta, khususnya Jakarta Pusat. Berdasarkan data yang diperoleh dari web Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, yaitu jakarta.bps.go.id, Jakarta Pusat merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya. Dari sensus penduduk pada tahun 2010, kepadatan penduduk di Jakarta Pusat tercatat sebesar 18.688,72 penduduk per km2. Namun, hingga tahun 2011, jumlah SMA Negeri dan Swasta yang berada di Jakarta Pusat lebih sedikit dibanding yang ada di daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang ada tidak sebanding dengan institusi pendidikan yang tersedia untuk mereka. Kondisi ini tentunya merupakan kondisi yang tidak ideal bagi anak. Untuk itu, peran orang tua menjadi lebih dibutuhkan lagi untuk menjaga anak-anaknya agar tetap berkembang dengan baik. Berdasarkan tinjauan literatur yang telah dilakukan serta analisa terhadap kondisi di Indonesia, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara keterlibatan ayah, yang dilihat dari persepsi ayah maupun anak remajanya, dengan self-esteem remaja. Dengan
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
diperhatikannya persepsi ayah dan anak dalam menilai keterlibatan ayah, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan mengenai persepsi ayah dan anak mengenai hubungan antara mereka. Sebab, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hubungan antara orang tua dan remaja cenderung renggang, terlepas dari pentingnya kedekatan antara orang tua dengan anak usia remaja. Selain itu, peneliti juga menganggap bahwa penelitian mengenai self-esteem remaja penting untuk dilakukan karena self-esteem memiliki peranan penting bagi remaja yang sedang mengalami masa transisi dalam lingkungannya. Peneliti juga berharap agar hasil penelitian ini dapat menambah pemahaman mengenai bagaimana hubungan antara keterlibatan ayah dan self-esteem remaja, yang dapat dijadikan bahan literatur untuk penelitian selanjutnya mengenai keterlibatan ayah maupun self-esteem remaja.
Tinjauan Teoritis Keterlibatan Ayah Sejauh ini, belum ada definisi konkret dari keterlibatan ayah. Pada awal perkembangan teorinya, keterlibatan ayah dijelaskan berdasarkan dimensi yang ada di dalamnya, yaitu interaksi (interaction), aksesibilitas (accessibility), dan tanggung jawab (responsibility) (Lamb, Pleck, Charnov, & Levine, 1987). Ketiganya dibedakan dari intensitas waktu yang dihabiskan oleh ayah dan anak. Kini, teori mengenai keterlibatan ayah telah banyak berkembang. Salah satu peneliti yang meneliti mengenai keterlibatan ayah, yaitu Carlson (2006), menambahkan satu dimensi lagi dari tiga dimensi yang dijelaskan oleh Lamb dkk. (1987), yaitu kedekatan ayah-anak. Maka, keterlibatan ayah yang dijelaskan oleh Carlson (2006) memiliki empat dimensi, yaitu interaksi, aksesibilitas, tanggung jawab, dan kedekatan ayah-anak. Berdasarkan penjelasan tersebut, keterlibatan ayah didefinisikan sebagai peran aktif ayah dalam berinteraksi, berada di sekitar anak, bertanggung jawab terhadap kepentingan anak, dan menjaga kedekatan dengan anak yang dilihat dari segi kuantitas, yaitu intensitas waktu yang dihabiskan bersama, serta kualitas, yaitu perasaan dekat antara ayah dan anak. Beberapa faktor yang memengaruhi keterlibatan ayah antara lain motivasi (Lamb, 2004), keterampilan dan rasa percaya diri (Lamb, 2004; Culp, Schadle, Robinson, & Culp, 2000), dukungan sosial (Lamb, 2004; Ryan, Kalil, & Ziol-Guest, 2008), praktik institusi (Lamb, 2004), budaya (Hofferth, 2003), jenis kelamin anak (Russel & Saebel, 1997), status hubungan ayah-anak (Amato & Rivera, 1999), dan tempat tinggal ayah (King & Heard, 1999; Hawkins, Amato, dan King, 2006).
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
Self-Esteem Menurut Tafarodi dan Swann (2001), self-esteem adalah pemahaman individu terhadap dua hal, yaitu kompetensi dan keberhargaan dirinya. Pemahaman individu mengenai kompetensi dirinya disebut dengan self-competence, sedangkan pemahaman individu mengenai keberhargaan dirinya disebut dengan self-liking. Keduanya merupakan dimensi dari self-esteem yang berhubungan namun tetap terpisah dalam membangun self-esteem (Tafarodi & Swann, 2001). Self-esteem dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain faktor genetik (Mruk, 2006), gender (Mruk, 2006; Joseph, Markus, & Tafarodi, 1992), orang tua (Coopersmith, 1967; dalam Mruk, 2006; Gecas & Schwalbe, 1986), serta budaya (Markus & Kitayama, 1991). Selain itu, self-esteem individu juga dipengaruhi oleh lingkungan serta perubahanperubahan penting di masa hidupnya yang dapat dilihat pada tiap tahapan perkembangan. Pada masa kanak-kanak, self-esteem anak umumnya tinggi karena mereka memiliki pandangan positif dalam hidup (Robins & Trzesniewski, 2005). Di masa ini, anak belum banyak mengalami penilaian dari lingkungan sekitar sehingga aspek keberhargaan dirinya lebih menonjol dibandingkan aspek kompetensi diri (Mruk, 2006). Namun, saat anak mulai mendekati masa remaja, self-esteem-nya cenderung menurun (Robins & Trzesniewski, 2005). Salah satu penyebabnya adalah karena anak telah memasuki lingkungan sekolah yang penuh dengan penilaian dari orang-orang sekitar, seperti guru, teman, atau orang tua. Anak juga mulai sadar akan hal-hal apa saja yang mampu atau tidak mampu ia lakukan sehingga aspek kompetensi diri anak mulai berkembang (Mruk, 2006). Di masa dewasa, self-esteem kembali meningkat seiring dengan pencapaian yang diraih individu dalam berbagai aspek hidup (Erikson, 1985, dalam Robins & Trzesniewski, 2005). Selanjutnya, saat individu mencapai usia tua, self-esteem-nya kembali turun (Robins, Trzesniewski, Tracy, Potter, & Gosling, 2002). Hal tersebut dapat disebakan oleh hal-hal besar yang terjadi di masa tua, seperti kehilangan pekerjaan, teman, maupun pasangan hidup (Robins & Trzesniewski, 2005) atau meningkatnya kebijaksanaan dan kerendahan hingga manula tidak terlalu mementingkan pandangannya akan kompetensi dan keberhargaan diri seperti saat muda dulu (Erikson, 1985, dalam Robins & Trzesniewski, 2005).
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
Metode Penelitian Pada penelitian ini, terdapat dua variabel, yaitu keterlibatan ayah dan self-esteem. Keterlibatan ayah akan diukur dengan menggunakan alat ukur Seven-Item Father Involvement Scale yang dibuat oleh Carlson (2006). Alat ukur tersebut terdiri dari tujuh item yang menggambarkan hubungan ayah dengan anaknya. Setiap item dari alat ukur ini dijawab dengan menggunakan respons berskala Likert yang terdiri dari 1-4. Nilai 1 berarti hardly ever atau hampir tidak pernah, 2 berarti sometimes atau sesekali, 3 berarti often atau sering, dan 4 yang berarti extremely atau sangat sering. Berdasarkan penjelasan Carlson (2006), hasil dari kuesioner ini dapat dibagi ke dalam empat kategori, yaitu tidak memiliki ayah, memiliki keterlibatan yang rendah dengan ayah, memiliki keterlibatan yang sedang dengan ayah, dan memiliki keterlibatan yang tinggi dengan ayah. Alat ukur ini memiliki nilai internal consistency 0,85. Alat ukur keterlibatan ayah diberikan pada responden remaja dan ayah untuk melihat keterlibatan ayah dari dua persepsi, yaitu persepsi ayah dan anak. Variabel self-esteem akan diukur dengan menggunakan alat ukur Self-Liking/SelfCompetence-Revised yang dibuat oleh Tafarodi dan Swann (2001). SLCS-R terdiri dari 16 item yang dibagi menjadi dua bagian untuk mengukur dua domain, yaitu self-competence dan self-liking. Masing-masing domain diukur oleh 8 item. Skala yang digunakan dalam alat ukur ini adalah skala Likert. Responden memberi tanggapan terhadap pernyataan pada setiap item dengan menggunakan skala 1-5 yang memiliki rentang penilaian antara sangat tidak setuju hingga sangat setuju. Setiap domain dinilai secara terpisah sehingga tiap responden memperoleh dua skor yang mewakili tiap domain, yaitu self-competence dan self-liking. Rentang skor yang mungkin dimiliki oleh responden untuk setiap domain berkisar antara 833 dengan nilai tengah 24. Walaupun tiap domain dinilai secara terpisah, namun keduanya tetap saling berkaitan sebagai dimensi dari self-esteem. Nilai koefisien realibilitas yang diperoleh melalui test-retest setelah tiga bulan adalah 0,94 untuk self-competence dan 0,83 untuk self-liking. Pengujian terhadap convergent validity dari alat ukur ini dilakukan dengan meminta beberapa orang untuk menilai satu orang yang sama dengan menggunakan alat ukur SLCS-R. Berdasarkan pengujian tersebut, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa alat ukur ini valid berdasarkan metode pengujian convergent validity (Tafarodi & Swann, 2001). Alat ukur self-esteem diberikan pada responden remaja saja dan tidak diberikan pada responden ayah, sesuai tujuan penelitian yang ingin mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah dan self-esteem remaja.
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
Responden pada penelitian ini adalah remaja kelas X SMA dan ayahnya. Remaja kelas X SMA dipilih sebagai responden penelitian ini karena dianggap sedang menghadapi situasi baru dan lebih lebih menantang dalam berbagai aspek, seperti akademis, seksual, maupun hubungan interpersonal sehingga membutuhkan sumber daya dan kesiapan diri untuk menghadapinya, salah satunya dengan memiliki pandangan yang positif akan diri sendiri (Cheavens, 2000; Ciarrochi, Heaven, & Davies, 2007; Umana-Taylor & Updegraff, 2007; dalam Heaven dan Ciarrochi, 2008). Setelah dilakukan randomisasi, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa responden remaja pada penelitian ini adalah siswa dari SMAN 68, SMAN 1 Jakarta, dan SMA Theresia. Ketiga sekolah tersebut berlokasi di Jakarta Pusat, sesuai dengan lokasi penelitian yang telah ditentukan sejak awal berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang telah disebutkan pula sebelumnya. Selain itu, remaja yang disertakan sebagai responden adalah remaja yang memiliki ayah, baik ayah kandung maupun sosok lain yang dianggap sebagai ayah. Maka, responden ayah yang disertakan pada penelitian ini adalah ayah kandung maupun sosok lain yang dianggap sebagai ayah karena definisi ayah tidak hanya meliputi ayah kandung, tapi juga figur lain yang dianggap sebagai ayah oleh anak (Sarkadi, Kristiansson, Oberklaid, dan Bremberg, 2007). Menurut Kumar (1999), desain penelitian dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti jumlah pengambilan data yang dilakukan, reference periode, serta nature of investigation. Pada penelitian ini, pengambilan data dilakukan sebanyak satu kali sehingga disebut dengan one-shot studies (Kumar, 1999). Berdasarkan reference periode, penelitian ini merupakan penelitian retrospective karena meneliti fenomena yang telah terjadi pada responden (Kumar, 1999). Pada penelitian ini, responden diminta mengingat situasi yang telah terjadi, yaitu hubungan antara ia dan ayahnya bagi responden remaja atau antara ia dan anaknya bagi responden ayah. Selain itu, responden juga diminta mengingat kondisinya pada beberapa waktu terakhir, seperti perilaku yang pernah ia lakukan atau rasakan. Berdasarkan nature of investigation, penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental karena tidak memberikan manipulasi apapun pada responden serta kontrol ketat terhadap extraneous variable (Kumar, 1999). Hasil utama penelitian ini diperoleh melalui pengolahan data pada software SPSS dengan menggunakan teknik statistik Pearson Correlation. Pearson Correlation adalah teknik statistik yang digunakan untuk melihat apakat terdapat hubungan yang signifikan antara dua mean skor variabel yang diteliti (Gravetter & Wallnau, 2009). Data yang diolah dalam penelitian ini hanya data dari remaja dan ayah yang berpasangan karena pada penelitian ini, keterlibatan ayah dibedakan antara yang dipersepsi oleh remaja dan ayah. Dari seluruh
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
kuesioner yang disebar, yaitu sebanyak 713 kuesioner masing-masing untuk remaja dan ayah, peneliti berhasil mendapatkan kembali 133 pasang kuesioner ayah dan remaja yang dapat diolah untuk mendapatkan hasil utama penelitian.
Hasil Penelitian Gambaran karakteristik responden penelitian dapat dilihat pada tabel berikut. Pada Tabel 1, terdapat gambaran umum karakteristik responden penelitian pertama, yaitu ayah.
Tabel 1. Gambaran Umum Karakteristik Responden Penelitian (Ayah)
Karakteristik
Frekuensi
Persentase
3 123 7
2,26 92,48 5,26
125
93,99
8
6,01
1 0 27 10 69 23 3
0,8 0 20,3 7,5 51,9 17,3 2,3
131 2 0
98,5 1,5 0
129 4
97 3
8 36 30 17 14 7 21
6 27,1 22,6 12,8 10,5 5,3 15,8
133
100
Usia 30-40 (early adulthood) 41-60 (middle adulthood) 61-70 (late adulthood) Status Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendidikan Terakhir SD SMP SMA Diploma S1 S2 S3 Status hubungan dengan anak Ayah kandung Ayah tiri Ayah angkat Status Pernikahan Menikah Tidak menikah Pendapatan 0 1-5juta 5-10juta 10-15juta 15-20juta 20-25juta > 25.000.000 TOTAL
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa mayoritas responden ayah berada pada rentang usia antara 41-60 tahun (123 orang; 92,48%) atau berada pada tahapan perkembangan middle adulthood (Santrock, 2011). Berdasarkan status pekerjaan, mayoritas
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
responden ayah memiliki pekerjaan, yaitu berjumlah 125 orang (93,99%). Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas pendidikan memiliki tingkat pendidikan terakhir S1 (69 orang; 51,9%). Tingkat pendidikan terakhir yang paling sedikit dimiliki responden adalah SD (1 orang; 0,8%). Tidak ada responden yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP. Berdasarkan status hubungan dengan anak, mayoritas responden merupakan ayah kandung (129 orang; 97%). Berdasarkan status pernikahan, 129 responden ayah (97%) berstatus menikah sedangkan 4 responden ayah (3%) berstatus tidak menikah. Jumlah pendapatan per bulan responden ayah juga dilihat dalam data kontrol. Mayoritas responden ayah memiliki pendapatan sebesar 1 hingga 5 juta rupiah per bulan. Berbeda tipis dari jumlah tersebut, 30 responden memiliki pendapatan sebesar 10 hingga 15 juta rupiah per bulan. Kategori pendapatan per bulan terbesar, yaitu di atas 25 juta rupiah, dipilih oleh 21 responden (15,8%). Jumlah responden paling sedikit terdapat dalam kategori pendapatan 20-25 juta rupiah per bulan (7 orang; 5,3%). Kategorisasi pendapatan dibuat berdasarkan hasil diskusi dalam tim penelitian, termasuk dengan dosen pembimbing skripsi. Selanjutnya, gambaran umum karakteristik responden penelitian kedua, yaitu remaja, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Gambaran Karakteristik Responden Penelitian (Remaja)
Karakteristik
Frekuensi
Persentase
1 5 94 33
0,8 3,8 70,7 24,8
50
37,5
83
62,5
121 2 8
91 1,5 6
2
1,5
0
0
131 2 0 133
98,5 1,5 0
Usia 13 14 15 16 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tinggal dengan Ayah dan ibu kandung Ayah kandung Ibu kandung Kerabat lain (misal: kakek, nenek, om, tante, dll.) Lain-lain, jelaskan ____ (misal: orang tua angkat, kos, dll.) Status hubungan dengan ayah Ayah kandung Ayah tiri Ayah angkat TOTAL
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
Usia responden remaja berkisar antara 13 hingga 16 tahun. Mayoritas responden berusia 15 tahun (94 orang; 70,7%). Jumlah terbanyak kedua berada pada kategori usia 16 tahun (33 orang; 24,8%). Kategori usia dengan jumlah responden remaja paling sedikit adalah kategori usia 13 tahun (1 orang; 0,8%). Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden adalah perempuan (83 orang; 62,5%). Responden laki-laki berjumlah 50 orang (37,5%). Responden remaja juga diminta mengisi keterangan mengenai dengan siapa mereka tinggal sehari-hari. 121 responden remaja tinggal dengan ayah dan ibu kandung (91%). Responden remaja yang tinggal dengan ayah kandung saja berjumlah 2 orang (1,5%) sedangkan yang tinggal dengan ibu kandung saja berjumlah 8 orang (6%). Responden remaja yang tinggal dengan kerabat lain, seperti kakek, nenek, om, tante, dan lain-lain berjumlah 2 orang (1,5%). Berdasarkan status hubungan dengan ayah, mayoritas responden memiliki hubungan kandung dengan ayah mereka (131 orang; 98,5%). 2 responden memiliki hubungan tiri dengan ayah mereka (1,5%) dan tidak ada responden yang memilih kategori ayah angkat. Untuk memperoleh hasil utama penelitian, yaitu mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh ayah dan anak dengan self-esteem remaja, dilakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik korelasi Pearson. Hasil analisis terhadap hubungan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi ayah dengan kedua dimensi self-esteem remaja dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Korelasi Skor Keterlibatan Ayah (Persepsi Ayah) dengan Kedua Dimensi Self-Esteem Remaja
Dimensi Self-Esteem Self-Liking Self-Competence
r .143 .151
Sig. (2-tailed) .101 .083
Keterangan Tidak Signifikan pada LoS 0,01
Melalui Tabel 3, diketahui bahwa keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh ayah tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan self-liking dengan koefisien korelasi sebesar 0,101 (r = 0,143; n = 113; p < 0,01; two tailed). Dari hasil ini, dapat diinterpretasikan bahwa tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan ayah yang dilihat dari persepsi ayah dan self-liking remaja. Maka, semakin besar skor keterlibatan ayah yang dilihat dari persepsi ayah tidak diikuti dengan semakin besarnya skor self-liking remaja. Hasil ini membuat hipotesis null diterima dan hipotesis alternatif ditolak. Selain itu, hasil analisis ini menunjukkan bahwa keterlibatan ayah yang dipersepsi ayah tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan self-competence dengan koefisien korelasi sebesar 0,083 (r = ,151; n = 133; p < 0,01; two tailed). Dari hasil ini, dapat diinterpretasikan bahwa tidak terdapat
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan ayah yang dilihat dari persepsi ayah dan self-competence remaja. Maka, semakin besar skor keterlibatan ayah yang dilihat dari persepsi ayah tidak diikuti dengan semakin besarnya skor self-competence remaja. Hasil ini membuat hipotesis null diterima dan hipotesis alternatif ditolak. Selanjutnya, hasil analisis terhadap hubungan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi anak dengan kedua dimensi selfesteem remaja dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Korelasi Skor Keterlibatan Ayah (Persepsi Anak) dengan Kedua Dimensi Self-Esteem Remaja
Dimensi Self-Esteem Self-Liking Self-Competence
r .295** .262**
Sig. (2-tailed) .001 .002
Keterangan Signifikan pada LoS 0,01
**
Melalui Tabel 4, diketahui bahwa keterlibatan ayah memiliki korelasi yang signifikan dengan self-liking remaja dengan koefisien korelasi sebesar 0,001 (r = ,295; n = 133; p < 0,01; two tailed). Dari hasil ini, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan ayah menurut persepsi anak dan self-liking remaja. Yang dimaksud dengan hubungan positif adalah semakin besar skor keterlibatan ayah menurut anak, maka semakin besar pula skor self-liking remaja. Hasil ini juga membuat hipotesis null ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Selain itu, ditemukan pula bahwa besaran coefficient of determination dari penelitian ini adalah r2 = 0,087 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa 8,7% variansi skor self-liking dapat dijelaskan melalui skor keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh anak sedangkan sebesar 91,3 variansi skor self-esteem dijelaskan oleh faktor error, kebetulan, atau faktor dari variabel lain yang tidak diukur atau dijelaskan melalui penelitian ini. Selain itu, hasil ini juga menunjukkan bahwa keterlibatan ayah menurut persepsi anak memiliki korelasi yang signifikan dengan self-competence dengan koefisien korelasi sebesar 0,002 (r = ,262; n = 133; p < 0,01; two tailed). Dari hasil ini, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan ayah menurut persepsi anak dan self-competence remaja. Yang dimaksud dengan hubungan positif adalah semakin besar skor keterlibatan ayah yang dilihat dari persepsi anak, maka semakin besar pula skor selfcompetence remaja Hasil ini juga membuat hipotesis null ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Selain itu, ditemukan pula bahwa besaran coefficient of determination dari penelitian ini adalah r2 = 0,068 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa 6,8% variansi skor self-competence dapat dijelaskan melalui skor keterlibatan ayah sedangkan sebesar 93,2%
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
variansi skor self-esteem dijelaskan oleh faktor error, kebetulan, atau faktor dari variabel lain yang tidak diukur atau dijelaskan melalui penelitian ini.
Pembahasan Hasil utama penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang siginifikan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh anak dan kedua dimensi dari self-esteem, yaitu selfliking dan self-competence. Sebaliknya, keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh ayah tidak berhubungan secara signifikan dengan kedua dimensi dari self-esteem, yaitu self-liking dan self-competence. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Gecas dan Schwalbe (1986) yang menemukan bahwa self-esteem remaja lebih berhubungan dengan perilaku orang tua yang dipersepsi oleh anak dibandingkan dengan yang diakui oleh orang tua itu sendiri. Acock dan Bengtson (1980, dalam Gecas & Schwalbe, 1986) juga menemukan hal serupa pada penelitian mereka mengenai sikap anak dengan persepsi terhadap sikap orang tua. Mereka menemukan adanya hubungan yang lebih kuat di antara sikap anak dengan persepsi mereka terhadap sikap orang tuanya dibandingkan dengan sikap orang tua yang dipersepsi oleh orang tua sendiri. Menurut Gecas dan Schwalbe (1986), penemuan-penemuan tersebut menunjukkan dukungan terhadap paham symbolic-interactionist, bahwa persepsi individu terhadap sikap atau perilaku orang lain lebih berdampak pada sikap dan perilaku individu itu sendiri dibandingkan dengan sikap atau perilaku yang sebenarnya ditunjukkan orang lain terhadapnya. Adanya hubungan antara keterlibatan ayah dengan kedua dimensi self-esteem, yaitu self-liking dan self-competence, menunjukkan bahwa semakin ayah terlibat dengan anak, maka perasaan anak bahwa dirinya berharga dan kompeten pun semakin tinggi. Hasil ini sejalan dengan hasil pada penelitian-penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa orang tua merupakan sumber persepsi individu mengenai kompetensi dan keberhargaan dirinya (Bandura, 1977; Cooley, 1902; Gecas & Schwalbe, 1986; Harter, 1986, 1990; Mead, 1934; Rogers, 1951; Sullivan, 1953, dalam McGuire, Neiderhiser, Reiss, Hetherington, & Plomin, 1994). Salah satu hal yang mendasari adanya hubungan antara keterlibatan ayah dengan perasaan berharga dan kompeten pada remaja adalah pemberian otonomi dari ayah pada anak remajanya. Namun, tentu saja otonomi tersebut dibarengi dengan aturan-aturan ketat yang diberikan oleh ayah pada anak (Youniss, 1985). Menurut Gecas dan Schwalbe (1986), pemberian otonomi tersebut membuat anak merasa dipercaya dan memiliki kontrol terhadap
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
lingkungannya sehingga meningkatkan perasaan bahwa dirinya berharga dan memiliki kompetensi untuk mengatur diri serta lingkungannya sendiri (Gecas & Schwalbe, 1986). Jika dilihat pada tiap dimensi secara terpisah, hubungan positif dan signifikan antara keterlibatan ayah dengan self-liking anak yang ditemukan pada penelitian ini sesuai dengan penjelasan Gecas dan Schwalbe (1986) yang menyatakan bahwa dukungan, minat, dan partisipasi orang tua (yang tercakup dalam konsep keterlibatan ayah) dapat memberikan informasi pada anak mengenai keberhargaan dirinya. Maka, semakin tinggi keterlibatan ayah dengan anak, anak akan merasa semakin berharga. Begitupun sebaliknya, saat ayah hanya sedikit terlibat dengan anak, perasaan berharga pada diri anak pun berkurang. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Rosenberg (1965, dalam Tafarodi dkk., 2010) yang menyatakan bahwa perasaan berharga yang rendah pada diri anak dapat diprediksi oleh kurangnya minat ayah terhadap anak. Namun, hubungan positif dan signifikan antara keterlibatan ayah dengan self-competence yang ditemukan pada penelitian ini berbeda dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Culp dkk. (2000). Mereka tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dengan persepsi anak mengenai kompetensi dirinya. Menurut mereka, hal tersebut dikarenakan tidak dinilainya aspek kualitas hubungan ayahanak pada penelitian mereka. Pada penelitian ini, aspek kualitas hubungan ayah-anak juga turut dinilai dalam alat ukur keterlibatan ayah yang dikembangkan oleh Carlson (2006). Oleh karena itu, perbedaan itulah yang mungkin dapat menyebabkan perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian mengenai keterlibatan ayah dan kompetensi anak yang lebih dulu diteliti oleh Culp dkk. (2000).
Kesimpulan Berdasarkan analisis terhadap hubungan antara keterlibatan ayah (dilihat dari persepsi ayah dan anak) dengan self-esteem remaja, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh remaja dengan kedua dimensi dari self-esteem, yaitu self-liking dan self-competence. Dari hubungan tersebut, dapat diketahui bahwa skor tinggi pada keterlibatan ayah menurut persepsi remaja berhubungan dengan skor tinggi pada self-liking dan self-competence-nya. Begitupun sebaliknya, skor rendah pada keterlibatan ayah menurut persepsi remaja berhubungan dengan skor rendah pada self-liking dan self-competence dirinya. Namun, pada analisis terhadap hubungan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh ayah dengan kedua dimensi self-esteem remaja, yaitu self-liking dan self-competence, tidak ditemukan hubungan positif yang signifikan. Oleh
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
karena itu, penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya hubungan antara keterlibatan ayah yang dipersepsi oleh ayah dengan kedua dimensi self-esteem remaja, yaitu self-liking dan self-competence. Maka, kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah keterlibatan ayah yang dipersepsi remaja berhubungan positif dengan self-esteem remaja.
Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, peneliti menyarankan agar para ayah memerhatikan hubungannya dengan anaknya, khususnya remaja. Sebab, terdapat bukti bahwa keterlibatan ayah berhubungan dengan self-liking dan self-competence remaja, yaitu dua dimensi pembangun self-esteem yang dapat memengaruhi kehidupan remaja, baik pada masa remaja maupun masa dewasa nanti. Selain itu, peneliti menyarankan agar ayah lebih memerhatikan pendapat anak mengenai hubungan antara ia dan anak dibandingkan memercayai persepsi yang dimiliki sendiri. Sebab, pendapat anak lah yang lebih berpengaruh pada pribadinya, dibandingkan sikap atau perilaku sebenarnya yang ditunjukkan oleh ayah pada anak.
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
Daftar Referensi
Allen, J. P., Hauser, S. T., Bell, K. L., & O’Connor, T. G. (1994). Longitudinal assessment of autonomy and relatedness in adolescent-family interactions as predictors of adolescent ego development and self-esteem. Child Development, 65, 179-194. Amato, P. R. (1994). Father-child relations, mother-child relations, and offspring psychological well-being in early adulthood. Journal of Marriage and Family, 56(4), 1031-1042. Amato, P. R., & Rivera, F. (1999). Paternal involvement and children’s behavior problems. Journal of Marriage and the Family, 61(2), 375-384. Arnett, J. J. (1999). Adolescent storm and stress, reconsidered. American Psychologist, 54(5), 317-326. Boden, J. M., Fergusson, D. M., Horwood, L. J. (2008). Does adolescent self-esteem predict later outcomes? A test of the causal role of self-esteem. Development and Psychopatology, 20, 319-339. Cabrera, N. J., Tamis-LeMonda,C. S., Bradley, R. H., Hofferth, S., & Lamb, M. E. (2000). Fatherhood in the twenty-first century. Child Development, 71(1), 127-136. Carlson, M. J. (2006). Family structure, father involvement, and adolescent behavioral outcomes. Journal of Marriage and Family, 68(1), 137-154. Culp, R. E., Schadle, S., & Robinson, L., & Culp, A. M. (2000). Relationships among paternal involvement and young children’s perceived self-competence and behavioral problems. Journal of Child and Family Studies, 9(1), 27-38. Donnellan, M. B., Trzesniewski, K. H., Robins, R. W., Moffitt, T. E., & Caspi, A. (2005). Low self-Esteem is related to aggression, antisocial behavior, and delinquency. Psychological Science, 16(4), 328-335. Eccles, J. S., Wigfield, A., Flanagan, C. A., Miller, C., Reuman, D. A., & Yee, D. (1989). Self-concept, domain values, and self-esteem: relations and changes at early adolescence. Journal of Personality, 57(2), 283-310. Flouri, E., & Buchanan, A. (2003). The role of father involvement in children’s later mental health. Journal of Adolescence, 26, 63-78. Gecas, V., & Schwalbe, M. L. (1986). Parental behavior and adolescent self-ssteem. Journal of Marriage and Family, 48(1), 37-46.
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
Gravetter, FJ. & Wallnau, LB. (2009). Statistic for the behavioural sciences. UK: Wadswoth Cengage Learning. Hawkins, D. N., Amato, P. R., & King, V. (2006). Parent-adolescent involvement: The relative influence of parent gender and residence. Journal of Marriage and Family, 125-136. Heaven, P., & Ciarrochi, J. (2008). Parental styles, gender and the development of hope and self-esteem. European Journal of Personality, 22, 707-724. DOI: 10.1002/per.699 Hofferth, S. (2003). Race/ethnic differences in father involvement in two-parent families: culture, context, or economy? Journal of Family Issues, 24(2), 185-216. DOI: 10.1177/0192513X02250087 Josephs, R. A., Markus, H. R., Tafarodi, R. W. (1992). Gender and self-esteem. Journal of Personality and Social Psychology, 63(3), 391-402. King, V., & Heard, H. E. (1999). Nonresident father visitation, parental conflict, and mother's satisfaction: what's best for child well-being? Journal of Marriage and Family, 61(2), 385-396. Kumar, R. (1999). Research Methodology: A Step-By-Step Guide for Beginners. London: Sage Publications. Lamb, M. E. (2004). The Role of the Father in Child Development (4th ed.). New Jersey: John Wiley & Sons. Lamb, M. E., Pleck, J. H., Charnov, E. L., & Levine, J. A. (1987). A biosocial perspective on paternal behavior and involvement. Dalam J. B. Lancaster, J. Altman, A. S. Rossi, & L. R. Sherroa (Eds.), Parenting across the lifespan: Biosocial dimensions (pp. 111— 142). New York: Aldine de Gruyte. Levin, K. A., & Currie, C. (2010). Family structure, mother-child communication, fatherchild communication, and adolescent life satisfaction. Health Education, 110(3), 152168. DOI: 10.1108/09654281011038831 Lewis, C., & Lamb, M.E. (2003). Father’s influences on children’s development: The evidence from two-parent families. European Journal of Psychology of Education, 18(2), 211-228. Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224-253. McGuire, S., Neiderhiser, J. M., Reiss, D., Hetherington, E. M., Plomin, R. (1994). Genetic and environmental influences on perceptions of self-worth and competence in
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
adolescence: a study of twins, full siblings, and step-siblings. Child Development, 65, 785-799. McKinney, C., & Renk, K. (2008). Differential parenting between mothers and fathers: Implications for late adolescents. Journal of Family Issues, 29, 806-827. DOI: 10.1177/0192513X07311222 Mikarsa, H. L. (2012). Indonesia. In Jeffrey Jensen Arnett (Eds.) Adolescent psychology around the world (121-131). New York: Psychology Press. Mruk, C. J. (2006). Self-Esteem Research, Teory, and Practices: Toward a Positive Psychologyof Self-Esteem. New York: Springer Publishing Company. Orth, U., Robins, R. W., & Roberts, R. W. (2008). Low self-esteem prospectively predicts depression in adolescence and young adulthood. Journal of Personality and Social Psychology, 95(3), 695-708. Phares, V., Fields, S., & Kamboukos, D. (2009). Fathers’ and mothers’ ivolvement with their adolescents. J Child Fam Stud, 18, 1-9. DOI 10.1007/s10826-008-9200-7 Rutter, M. (1987). Psychosocial Disturbances in Young People: Challenges for Prevention. New York: Cambridge University Press. Robins, R. W., & Trzesniewski, K. H. (2005). Self-esteem development across the life span. American Psychological Society, 14(3), 158-162. Robins, R. W., Trzesniewski, K. H., Tracy, J. L., Potter, D. J., & Gosling, S. D. (2002). Global self-esteem across the life span. Psychology and Aging, 17(3), 423-434. Rogers, M. A., Theule, J., Ryan, B. A., Adams, G. R., Keating, L. (2009). Parental involvement and children’s school achievement. Canadian Journal of School Psychology, 24(1), 34-57. DOI: 10.1177/0829573508328445 Ryan, R. M., Kalil, A., & Ziol-Guest, K. M. (2008). Longitudinal patterns of nonresident fathers' involvement: The role of resources and relations. Journal of Marriage and Family, 70(4), 962-977. Santrock, J. W. (2011). Live-span development (13th ed.). New York: McGraw-Hill. Sarkadi, A., Kristiansson, R., Oberklaid, F., & Bremberg, S. (2007). Fathers’ involvement and children’s developmental outcomes: a systematic review of longitudinal studies. Acta Pædiatrica, 97, 153-158. Sarwono, S. W. (2005). Families in Indonesia. Dalam Jaipaul L. Roopnarine & Uwe P. Gielen (Eds.), Families in Globar Perspective (pp. 104-119). Boston: Pearson Education Inc.
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014
Simmons, R. G., Rosenberg, F., & Rosenberg, M. (1973). Disturbance in the self-image at adolescence. American Sociological Review, 38, 553-568. Single-Rushton, W., & McLanahan, S. (2004). Father Absence and Child Wellbeing: A Critical Review. Dalam Moynihan, D., Smeeding, T., Rainwater, L, Editors. The Future of the Family. (pp. 6-55). New York: Russel Sage Foundation Stacy, A. W., Newcomb, M. D., & Bentler, P. M. (1992). Interactive and higher-order effects of social influences on drug use. Journal of Health and Social Behavior, 33(3), 226241. Tafarodi, R. W., & Swann, W. B. (2001). Two dimensional self-esteem: Theory and neasurement. Personality and Individual Differences, 31(2001), 653-673. Tafarodi, R. W., Wild, N., Ho, C. (2010). Parental authority, nurturance, and twodimensional self-esteem. Scandinavian Journal of Psychology, 1-10. DOI: 10.1111/j.1467-9450.2009.00804.x Youniss, J. (1985). Adolescent Relations with Mothers, Fathers, and Friends. Chicago: The University of Chicago Press. Zimmerman, M. A., Copeland, L. A., Shope, J. T., & Dielman, T. E. (1997). A longitudinal study of self-esteem: implications for adolescent development. Journal of Youth and Adolescence, 26(2), 117- 141.
Hubungan antara..., Fatima Zahra, FPSI UI, 2014