Suplemen 2
Suplemen 2
PENGARUH MELEMAHNYA HARGA KOMODITAS DUNIA TERHADAP PDRB PERKEBUNAN SUMATERA BAGIAN SELATAN Kasus gagal bayar subprime mortgage yang terjadi di AS menyebabkan tergerusnya asetaset finansial global yang telah saling terkait satu sama lain pada era bubble economy. Nilai aset yang jatuh sedemikian rupa membuat perusahaan-perusahaan berkelas internasional bangkrut dan juga merugikan investor dalam jumlah besar. Hal ini berpengaruh pada memburuknya nilai kekayaan, realokasi portofolio dan flight to quality, serta lesunya permintaan berbagai komoditas akibat daya beli yang menurun. Sebagai konsekuensinya, harga berbagai komoditas di pasar dunia mengalami penurunan. Hal ini berimbas pada nilai tambah sektor riil, termasuk juga komoditas unggulan ekspor di Sumatera Bagian Selatan. Penurunan harga CPO, karet, dan berbagai komoditas unggulan lainnya menyebabkan penurunan PDRB, khususnya PDRB Perkebunan di Sumbagsel. Menurunnya penjualan produk hilir dari karet yang juga sebagai akibat dari menurunnya permintaan dunia, mempunyai andil besar dalam menurunnya ekspor karet Sumbagsel. Gambar 1. Transmisi Krisis Global terhadap PDRB Perkebunan Sumbagsel
Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan IV 2008
1
Suplemen 2
Walaupun secara bersamaan nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi akibat derasnya capital outflow, hal ini tidak dapat mempertahankan nilai tambah ekspor komoditi, khususnya sawit dan karet. Untuk menjelaskan secara formal sensitivitas antara perubahan harga karet dan sawit dunia terhadap PDRB perkebunan, perlu juga dimasukkan beberapa variabel penjelas tambahan untuk mengisolasi pengaruh-pengaruh variabel lainnya terhadap PDRB perkebunan, sehingga kemungkinan koefisien yang dihasilkan bias atau inefisien semakin kecil. Sesuai dengan pola transmisi di atas, setidaknya satu variabel lain, yaitu nilai tukar, harus disertakan. Melemahnya permintaan dunia tidak hanya terjadi pada CPO dan karet, namun juga terjadi pada berbagai komoditi lainnya. Sehingga seringkali harga antar komoditi mempunyai korelasi yang kuat. Tabel 1. Matriks Korelasi Harga Komoditas Unggulan Sumbagsel di Pasar Internasional COAL COAL COFFEE CPO IDR RUB TIMAH
1.00
COFFEE
CPO
IDR
RUB
TIMAH
WTI
0.45
0.44
0.22
0.33
0.60
0.72
1.00
0.94
0.02
0.83
0.88
0.90
1.00
-0.03
0.75
0.83
0.89
1.00
-0.18
-0.14
0.16
1.00
0.89
0.75
1.00
0.88
WTI
1.00
Merujuk pada Gujarati, dua variabel memiliki tingkat korelasi yang kuat jika mempunyai angka korelasi di atas 0.8. Maka, harga kopi mempunyai korelasi yang kuat dengan harga CPO, karet, timah, dan minyak. Kemudian harga CPO mempunyai korelasi yang kuat dengan harga timah dan minyak. Selain itu, harga karet juga mempunyai korelasi yang kuat dengan harga timah. Berdasarkan korelasi tersebut, tidak seluruh harga komoditi dapat digunakan secara bersamaan dalam regresi. Harga komoditas yang dipergunakan hanya CPO dan karet sebagai komoditas unggulan di Sumbagsel, tingkat korelasi keduanya di bawah 0.8. Merujuk pada pola data, berbeda dengan propinsi lainnya, PDRB perkebunan Sumsel sangat sensitif terhadap faktor musiman. Sehingga, variabel dummy perlu disertakan untuk memperkecil residual dan mencegah parameter variabel independen yang tidak efisien. Karena data yang digunakan adalah panel, maka variabel dummy tersebut harus di terapkan di seluruh cross-section, namun tanpa dikenakan restriksi antar cross-section. Untuk simplifikasi model, variabel independen disederhanakan menjadi hanya harga komoditas dan nilai tukar. Dengan kata lain, seluruh variabel lainnya yang secara simultan mempengaruhi PDRB perkebunan dianggap sudah terwakili oleh kedua variabel tersebut atau mengikuti pola stokastik error. Hal ini dimungkinkan, walaupun tidak sempurna, jika mempertimbangkan kerangka pikir di atas. Data yang digunakan masing-masing sebagai berikut : (1) data PDRB perkebunan riil yang diperoleh dari BPS, (2) rerata harga dunia CPO dan karet yang diperoleh dari Bloomberg, dan (3) rerata nilai tukar IDR/USD yang diperoleh dari Bank Indonesia. Cross-section yang digunakan adalah Sumatera Selatan, Bandar Lampung, dan Bangka Belitung, sedangkan time series yang digunakan adalah kuartalan sejak Q1 2005 sampai dengan Q3 2008. Tidak diikutsertakannya Bengkulu dikarenakan 2
Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan IV 2008
Suplemen 2
data PDRB Bengkulu tidak memilah sektor pertanian sampai dengan sektor perkebunan. Berdasarkan penjelasan di atas, spesifikasi model yang digunakan secara formal adalah sebagai berikut: Model 1, Koefisien umum:
Model 1, Koefisien spesifik:
Model 2, Koefisien umum:
Model 2, Koefisien spesifik:
Dimana Y merupakan PDRB perkebunan riil, Pcpo merupakan harga CPO dunia, Prub harga karet dunia, ER adalah nilai tukar, D merupakan variabel dummy kuartalan, dan u adalah stokastik error. Nilai ยต=0 untuk model pertama dan 1 untuk model kedua. K=3 adalah jumlah dummy, dan t adalah waktu. a, b, c, d, dan e merupakan parameter. Nilai D1, D2, dan D3 adalah 1 berturut-turut pada kuartal 2, 3, dan 4, serta bernilai 0 pada observasi lainnya. Hal ini untuk mengakomodasi faktor musiman yang mempengaruhi PDRB perkebunan. Huruf m mendenotasikan cross-section, dan huruf t mendenotasikan waktu. Elemen perkalian antara harga dan nilai tukar dapat dijelaskan sebagai harga di dalam nilai tukar domestik, dalam hal ini Rupiah. Regresi dilakukan dengan menggunakan metode data panel. Karena jumlah cross-section yang lebih kecil dibandingkan jumlah parameter, dank arena terdapat spesifikasi koefisien yang spesifik menurut cross-section, maka penggunaan efek acak (random effect) tidak dimungkinkan. Karena itu, metode yang digunakan adalah efek tetap (fixed effect) tanpa terlebih dahulu memilih metode dengan menggunakan uji Hausman.
Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan IV 2008
3
Suplemen 2
Tabel 2. Hasil Estimasi Model 1 Variabel
Koefisien umum Sumsel
Lampung
Koefisien spesifik Babel
Sumsel
Lampung
Babel
harga CPO
0.18549*
0.20862**
0.11730***
0.23054
Harga karet
0.12615***
0.09552**
0.08680***
0.19613*
Nilai tukar
0.88528*
-0.13796
0.18274
2.61105**
Dummy Q2
0.34593***
-0.02853
0.05831
0.33136***
-0.02691*
0.071263
Dummy Q3
0.62846***
-0.03362
0.16579
0.61295***
-0.02671
0.174397
Dummy Q3
0.31145***
-0.03652
0.10435
0.31387***
-0.03009***
0.095505
R2
0.982330
0.984255
DW stat
1.580979
2.124439
S.E
0.087406
0.082507
* Signifikan pada nilai kritis 10% ** Signifikan pada nilai kritis 5% *** Signifikan pada nilai kritis 1%
Grafik 2. Perbandingan Nilai Actual dan Fitted PDRB Sektor Perkebunan Sumbagsel Berdasarkan Model 1 Sumatera Selatan Lampung Bangka-Belitung YREAL_PAL
YREAL_BAB
YREAL_LAM
2000000
950000
360000
900000
320000
850000
280000
800000
240000
750000
200000
1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 05:1
05:3
06:1
06:3
07:1
YREAL_PAL (Baseline)
07:3
08:1
08:3
700000 05:1
05:3
06:1
06:3
07:1
07:3
08:1
Actuals
YREAL_LAM (Baseline)
Actuals
08:3
160000 05:1
05:3
06:1
06:3
07:1
YREAL_BAB (Baseline)
07:3
08:1
08:3
Actuals
Estimasi tersebut menghasilkan statistik R yang cukup tinggi, menunjukkan bahwa lebih dari 98% variasi pada data dapat diterangkan oleh model. Angka DW statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi pada kedua regresi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan, penurunan harga CPO internasional sebesar 1% akan menurunkan PDRB perkebunan Sumbagsel sebesar 0.19%. Penurunan harga karet internasional akan menurunkan PDRB perkebunan Sumbagsel sebesar 0.13%. Lebih sensitifnya perubahan harga CPO dalam mempengaruhi PDRB dapat disebabkan karena adanya perbedaan elastisitas permintaan antara komoditas CPO dan karet. Kemudian, dapat diperkirakan pula bahwa depresiasi Rupiah sebesar 1% akan
4
Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan IV 2008
Suplemen 2
meningkatkan PDRB perkebunan Sumbagsel sebesar 0.88% karena menjadikan komoditi ekspor Sumbagsel menjadi lebih kompetitif di pasar internasional. Secara spesifik menurut propinsi, penurunan harga CPO sebesar 1% akan menurunkan PDRB perkebunan Sumatera Selatan dan Bandar Lampung masing-masing sebesar 0.21% dan 0.12%. Sedangkan penurunan harga karet sebesar 1% akan menurunkan PDRB perkebunan Sumatera Selatan, Bandar Lampung, dan Bangka Belitung masing-masing sebesar 0.1%, 0.09%, dan 0.2%. Sedangkan untuk variabel nilai tukar, depresiasi Rupiah sebesar 1% akan meningkatkan PDRB perkebunan Bangka Belitung sebesar 2.61%. Selain itu, hasil estimasi mengindikasikan bahwa faktor musiman sangat signifikan dalam mempengaruhi pola PDRB perkebunan di Sumatera Selatan. Regresi dengan koefisien spesifik menjelaskan bahwa terdapat sedikit faktor musiman pada pola pergerakan PDRB perkebunan Bandar Lampung. Tabel 3. Hasil estimasi model 2 Koefisien umum
Variabel Sumsel harga CPO*
Lampung
Koefisien spesifik Babel
Sumsel
Lampung
Babel
0.18011*
0.21276***
0.11750***
0.210059
0.11572***
0.10355**
0.08719***
0.156434
Nilai tukar Harga karet* Nilai tukar Dummy Q2
0.33917***
-0.03529
0.05155
0.33657***
-0.0267*
0.045521
Dummy Q3
0.62178***
-0.0403
0.15911
0.61809***
-0.02647
0.148966
Dummy Q3
0.31419***
-0.03377**
0.10710
0.31175***
-0.03019***
0.105952
2
R
0.987295
0.988106
DW stat
1.501594
1.612991
S.E
0.088298
0.091546
* Signifikan pada nilai kritis 10% ** Signifikan pada nilai kritis 5% *** Signifikan pada nilai kritis 1%
Berbeda dengan sebelumnya, pada model kedua ini, diasumsikan pergerakan nilai tukar Rupiah sebagai variabel yang blended dengan harga. Dengan kata lain, dalam mengambil keputusan atas impor, importir hanya memperdulikan nilai riil yang harus dibayarkan, tanpa memperdulikan fluktuasi dan ekspektasi perubahan nilai tukar pada triwulan berikutnya. Berdasarkan hasil estimasi, penurunan harga CPO dalam Rupiah sebesar 1% akan menurunkan PDRB perkebunan SUmbagsel sebesar 0.18%, sedangkan penurunan harga karet dalam Rupiah sebesar 1% akan menurunkan PDRB perkebunan Sumbagsel sebesar 0.11%. Kemudian secara spesifik, penurunan harga CPO dalam Rupiah sebesar 1% akan
Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan IV 2008
5
Suplemen 2
menurunkan PDRB perkebunan Sumsel dan Bandar Lampung masing-masing sebesar 0.21% dan 0.12%, sedangkan penurunan harga karet dalam Rupiah sebesar 1% akan menurunkan PDRB perkebunan Sumatera Selatan dan Bandar Lampung masing-masing sebesar 0.1% dan 0.09%. Seperti model sebelumnya, faktor musiman juga tampak signifikan di Sumatera Selatan dan Bandar Lampung, dengan momentum pertumbuhan tertinggi pada kuartal ketiga untuk Sumatera Selatan dan kuartal pertama untuk Bandar Lampung. Grafik 3. Perbandingan Nilai Actual dan Fitted PDRB Sektor Perkebunan Sumbagsel Berdasarkan Model 2 Sumatera Selatan Lampung Bangka-Belitung YREAL_PAL
YREAL_LAM
2000000
YREAL_BAB
960000
1800000
360000
920000
320000
1600000
880000
1400000
280000
1200000
840000
1000000
800000
240000 800000 600000 05:1
200000
760000 05:3
06:1
06:3
07:1
07:3
YREAL_PAL (Baseline)
08:1
08:3
Actuals
720000 05:1 05:3 06:1 06:3 07:1 07:3 08:1 08:3
160000 05:1 05:3 06:1 06:3 07:1 07:3 08:1 08:3
YREAL_LAM (Baseline)
YREAL_BAB (Baseline)
Actuals
Actuals
Berdasarkan seluruh regresi yang telah dilakukan, hasil koefisien yang dihasilkan adalah konsisten antara satu regresi dengan regresi lainnya. Kesimpulan umum yang dihasilkan adalah: Pertama, perubahan harga CPO lebih berpengaruh terhadap perubahan PDRB perkebunan Sumbagsel dibandingkan perubahan harga karet. Namun, perbedaan sensitivitas ini dapat dipengaruhi oleh tingkat korelasi yang berbeda antara harga CPO dan harga karet terhadap harga komoditi lain yang juga signifikan dalam mempengaruhi PDRB perkebunan Sumsel. Kedua, depresiasi Rupiah mampu meningkatkan PDRB perkebunan jika diperhatikan melalui data rata-rata triwulanan. Ketiga, terdapat faktor musiman yang signifikan dalam mempengaruhi PDRB perkebunan di Sumsel dan Bandar Lampung. Menurunnya permintaan dunia secara drastis mengancam sektor perkebunan di Sumbagsel. Padahal, Sumbagsel masih sangat bergantung pada sektor perkebunan. Di saat pasar secara natural tidak dapat memenuhi harapan industri, maka peran pemerintah dan bank sentral sangat krusial dalam menjaga kelangsungan industri tersebut pada jangka pendek, baik misalnya melalui pelonggaran ketentuan perkreditan melalui pengurangan bobot risiko. Sementara itu, dalam jangka panjang, Sumbagsel harus mendiversifikasi sektor penyumbang PDRB dan mengoptimalkan perdagangan antar daerah.
6
Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan IV 2008