PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGELOLA KOPERASI TERHADAP PERKEMBANGAN KOPERASI UNIT DESA DI KABUPATEN NIAS
Atozisochi Daeli, Amru Nasution,Matias Siagian
Abstract: The study on the development of cooperation is done not only in Indonesia but also other developing countries in the world. For example which is carried out by Pollnac, it discussed about the various disadvantages and advantages of cooperation in countries such as Africa, Asia, and South America. There are still a lot of problems on how the cooperation that is the supporting economy part of a country can face low tide, that all of these are influenced by a lot of factors such as human resources, political will of a country, unbalanced economy sector, etc. These were the reason why the study was carried out. In this research, all the problems connecting with the development of the cooperation concerned with the development of the Nias district was part of the study that was carried out in this research. As the problems that are put forward, that is, how far is the influence of the human resource quality in maintaining the cooperation towards the development of Village Cooperation Unit in Nias district. The research carried out, proved that some interesting things are worth studied further. Such as there are some discoveries on factors significantly proven as a factor from the development of Village Cooperation Unit and they are: theoretically these research discoveries strengthen the support on the power of the government’s role in determining the development of the cooperation, especially the Village Cooperation Unit. These discoveries, overall, gives a conclusion that the conditions that is expected by Mohammad Hatta which is, the cooperation can develop with its independence is far from reality and hope, because the quality of a human resources cooperation managing has an ability as a tool for catching chances that is provided by the government through various assistance and training programs. Keywords: cooperation, development, human resource quality PENDAHULUAN Gejala ketimpangan pembangunan masih terjadi hingga dipenghujung tahun 1990-an. Seperti misalnya dengan acuan yang hampir sama, Haeruman Js (1996, 44-48), menunjukkan bahwa daerah-daerah di Pulau Jawa mengalami perkembangan ekonomi yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah diluar Jawa. Kondisi ekonomi antardaerah di Kawasan Indonesia Barat (KIB) umumnya juga berbeda dengan antardaerah di Kawasan Indonesia Timur (KIT). Demikian pula kondisi ekonomi perkotaan, berbeda jauh dengan kondisi ekonomi pedesaan. Terjadinya ketimpangan antardaerah atau kawasan di Indonesia, menurut Haeruman Js(1996) berkaitan erat dengan pola dan strategi
pembangunan yang secara nasional sebenarnya memiliki pola umum yang sama disetiap daerah, namun dalam implementasi memiliki beberapa perbedaan yang mencolok antardaerah. Upayaupaya yang telah dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antardaerah, antara lain dengan mengembangkan program bantuan pembangunan antardaerah, antara lain dengan mengembangkan program bantuan pembangunan daerah yang dialokasikan dalam bentuk program inpres ke daerah-daerah yang kondisi perekonomiannya relatif terbelakang. Memang diakui oleh Haeruman Js bahwa upaya-upaya itu telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi daerah-daerah itu, namun kesenjangan masih terjadi antara daerah-daerah di Jawa dengan luar Jawa, khususnya Kawasan Indonesia Timur.
Atozisichi Daeli adalah Staf Biro Pembangunan Serda Provinsi Sumatera Utara Amru Nasution dan Matias Siagian adalah Dosen MSP SPs USU
1
Daeli, dkk., Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia…
Gejala yang sama juga telah terjadi di Provinsi Sumatera Utara, yaitu hingga tahun 2002 masih terlihat adanya kesenjangan pencapaian pembangunan antardaerah. Kabupaten Nias merupakan salah satu daerah yang paling tertinggal dibandingkan dengan daerahdaerah lainnya. Kesenjangan pembangunan yang terjadi di Kabupaten Nias dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya tampaknya merupakan gejala yang umum dan banyak dialami oleh daerah-daerah lain di tanah air bahkan di negaranegara berkembang lainnya, walaupun programprogram percepatan pembangunan seperti proyek-proyek IDT dan P2KT telah berlangsung cukup lama, namun tampaknya belum banyak membantu mengurangi kesenjangan yang terjadi. Eksistensi KUD yang seyogianya merupakan intitusi yang harus lebih dikembangkan, mengingat desa-desa di Kabupaten Nias sebagian besar masih tertinggal, bahkan sebagian besar desa-desa itu belum dapat dilalui kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Terjadinya ketimpangan dari aspek jumlah koperasi yang tidak merata pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Nias, tentunya turut memberikan kontribusi terhadap lambannya perkembangan koperasi unit desa, sehingga wajar jika jumlah KUD di seluruh Kabupaten Nias hingga saat ini hanya 17 KUD yang aktif dan 7 tidak aktif. Oleh karena itu, dalam konteks mengatasi ketimpangan pembangunan di Kabupaten Nias, upaya pembangunan koperasi, khususnya Koperasi Unit Desa yang sejak lama telah terbentuk menjadi salah satu alternatif yang relevan. Namun, harus diakui bahwa di Indonesia perkembangan perkoperasian sangat lamban, walaupun perhatian pemerintah dinilai sudah cukup optimal, sehingga indikasi faktor penyebab lambannya perkembangan perkoperasian di Indonesia diduga berkaitan dengan persoalan kualitas sumber daya manusia pengelola koperasi. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi “Sejauhmana pengaruh kualitas sumber daya manusia pengelola koperasi terhadap perkembangan Koperasi Unit Desa di Kabupaten Nias?”. METODE Penelitian ini berbentuk eksplanasi, dengan lokasi penelitian di Kabupaten Nias. Populasi
2
dalam penelitian ini adalah seluruh institusi Koperasi Unit Desa (KUD) yang masih aktif di Kabupaten Nias. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui wawancara dengan instrumen kuesioner. Analisis didasarkan pada pengujian terhadap hubungan antara variabel kualitas sumber daya manusia terhadap variabel perkembangan koperasi yang dikontrol dengan variabel institusi pemerintah, institusi swasta, perusahaan pribadi dan dukungan anggota KUD. Teknik pengujian hubungan antarvariabel secara bivariat menggunakan formula koefisien korelasi rank spearmen dan tingkat signifikansi = 0,05, selanjutnya untuk mengetahui kemurnian hubungan antara variabel kualitas sumber daya manusia pengelola koperasi terhadap perkembangan koperasi unit desa di Kabupaten Nias dari pengaruh variabel bantuan institusi pemerintah, institusi swasta, pribadi maupun variabel dukungan antara anggota koperasi dilakukan pengujian koefisien parsial dengan tingkat signifikansi = 0,05. PEMBAHASAN Menurut Anoraga dan H. Djoko Sudantoko (2002:1), Koperasi berasal dari kata ”co” yang berarti bersama, dan ”operation” yang mengandung makna bekerja. Jadi, secara leksikologis koperasi bermakna sebagai suatu perkumpulan kerja sama yang beranggotakan orang-orang maupun badan-badan, di mana ia memberikan kebebasan untuk keluar dan masuk sebagai anggotanya. Pengertian Koperasi menurut UndangUndang Koperasi No.25 tahun 1992 adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam undangundang ini diatur prinsip-prinsip koperasi yaitu: 1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka 2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis 3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota 4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal 5. Kemandirian 6. Pendidikan perkoperasian 7. Kerjasama antarkoperasi
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Di Indonesia ada dua bentuk koperasi, yaitu Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi primer adalah koperasi yang anggotanya adalah orang-orang yang memiiki kesamaan kepentingan ekonomi dan ia melaksanakan kegiatan usahanya dengan langsung melayani para anggotanya. Contoh koperasi primer ini adalah Koperasi Unit Desa. Sedangkan koperasi sekunder adalah semua koperasi yang didirikan dan beranggotakan koperasi primer dan atau koperasi sekunder. Berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi, koperasi sekunder dapat didirikan oleh koperasi sejenis maupun berbagai jenis atau tingkatan. Dalam hal koperasi mendirikan koperasi sekunder dalam berbagai tingkatan, seperti yang selama ini dikenal sebagai pusat, gabungan, dan induk, maka jumlah tingkatan maupun penamaannya diatur sendiri oleh koperasi yang bersangkutan. Berapa tingkatan penggabungan yang dilakukan sangat tergantung pada pertimbangan kelayakan dan efisiensi usaha dan pelayanan kepada para anggotanya. Koperasi sekunder ini misalnya adalah Pusat atau Induk KUD (PUSKUD/INKUD). Untuk konteks Indonesia, pembagian koperasi didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat. Secara umum ada lima klasifikasi koperasi, yakni: 1. Koperasi Konsumsi 2. Koperasi Simpan Pinjam Atau Koperasi Kredit 3. Koperasi Produksi 4. Koperasi Jasa 5. Koperasi Serba Usaha Perdebatan tentang kemampuan koperasi sebagai salah satu institusi yang mampu mendongkrak keterpurukan perekonomian rakyat, masih tetap berlangsung hingga saat ini. Perdebatan itu melibatkan banyak pihak, baik dari pemerhati maupun praktisi koperasi di Indonesia. Salah satu pihak menganggap koperasi tidak akan mampu berkembang sebagai salah satu pilar ekonomi yang kokoh. Para analisis dari kubu yang pesimistis ini memberikan argumentasi terhadap eksistensi koperasi di Indonesia, yaitu bahwa sistem koperasi yang dikenal di Indonesia tidak akan pernah mampu bersaing dengan sistem ekonomi liberal yang dikembangkan oleh banyak negara. Selain itu, fungsi koperasi yang dualistis, yakni fungsi ekonomi dan fungsi sosial akan membuat koperasi bergerak lamban, terseok-seok dan
cenderung mengabaikan prinsip-prinsip ekonomi dalam aktivitas produksinya. Padahal keberadaan dan perkembangan suatu institusi koperasi sangat ditentukan, sejauhmana institusi itu dapat dikelola secara efisien dan efektif. Sebaliknya, analisis dari pihak yang optimistis berkeyakinan bahwa koperasi merupakan salah satu institusi yang handal dan tepat, tidak hanya untuk membangun perekonomian rakyat, tetapi memiliki potensi untuk membangun perekonomian nasional. Pihak ini melihat kebijakan koperasi secara makro telah mampu memfasilitasi eksistensi dan perkembangan koperasi sebagai lembaga ekonomi dan sosial. Memang sebagian besar mereka mengakui bahwa secara kualitas perkembangan koperasi belum seperti yang diharapkan. Terlepas dari perdebatan yang terjadi, keberadaan dan kewajiban untuk membangun koperasi di Indonesia sudah merupakan amanat konstitusi dalam pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak ada satu alasan yang cukup kuat untuk mengabaikan keberadaan dan perkembangan koperasi. Di samping itu, perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitas sebenarnya cukup menggembirakan, seperti terlihat pada data Rencana Strategis Pembangunan Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah (2000), bahwa pada periode 1997-1999 jumlah koperasi yang berbadan hukum dan aktif, dan jumlah anggota koperasi yang aktif meningkat, begitu juga dengan aset koperasi juga mengalami peningkatan. Beberapa tahun belakangan ini, terutama pada masa era reformasi dan diberlakukannya otonomi daerah, perhatian terhadap gerakan pembangunan koperasi semakin tinggi. Hal ini terlihat dari konsep Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan yang menjadi kata kunci yang sering muncul dalam laporan-laporan resmi Pemerintah Daerah Kabupaten Nias, terutama yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemberdayaan koperasi. Salah satu contoh adalah konsep ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai argumentasi utama dalam Program Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Kecil Menengah pada tahun anggaran 2001 (Inventarisasi Mekanisme Pengelolaan Koperasi dan UKM Berdasarkan Potensi Dan Peluang Usaha Di Kabupaten Nias Tahun 2001). Seyogianya, upaya-upaya pemberdayaan koperasi dan usaha kecil menengah, terutama
3
Daeli, dkk., Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia…
pada pelaksanaan otonomi daerah, telah menghasilkan koperasi-koperasi dan usaha kecil menengah yang lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, dari data sekunder dan beberapa hasil wawancara, ditemukan bahwa upaya pemberdayaan koperasi dan usaha kecil menengah belum mampu memberikan hasil yang optimal, bahkan cenderung mengalami kemunduran, baik secara kuantitas maupun kualitas. Seorang informan kunci dari Dinas Koperasi Pengusaha Kecil Dan Menengah Pemerintah Daerah Kabupaten Nias menyatakan sebagai berikut: “Banyak faktor yang menyebabkan upaya pemberdayaan koperasi dan pengusaha kecil tidak memberikan hasil yang optimal, padahal upaya-upaya yang lebih serius justru lebih terlihat pada tahun-tahun terakhir ini. Di antaranya berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya di lapangan adalah akibat adanya anggapan para pangurus dan anggota koperasi, bahwa kemajuan koperasi sudah merupakan tanggung jawab pemerintah semata. Banyak program yang diprakarsai oleh pemerintah daerah terutama yang menyangkut fasilitas permodalan (kredit), tidak dapat dikelola dengan baik, bahkan ada sebagian para pengurus yang tidak mampu menyalurkan pembinaan secara optimal kepada para anggota. Di samping itu, terdapat pula kasus-kasus yang menyebabkan kemunduran aktivitas koperasi, misalnya terjadinya konflik sesama pengurus dan anggota setelah adanya program bantuan modal”. Hingga 31 Desember 2003, tercatat jumlah seluruh koperasi yang ada di Kabupaten Nias sebanyak 318 unit yang terdiri dari 24 unit KUD, dan 294 unit non KUD. Data ini semakin memberikan justifikasi bahwa perhatian terhadap perkembangan KUD dari Pemerintah Daerah Nias masih sangat rendah. Padahal eksistensi KUD yang seyogianya merupakan institusi yang harus lebih dikembangkan, mengingat desa-desa di Kabupaten Nias sebagian besar masih tertinggal, bahkan sebagian besar desa-desa itu belum dapat dilalui kendaraan. Lebih jauh dapat ditelusuri bahwa keberadaan atau perkembangan koperasi, terutama yang non KUD juga tidak merata di seluruh Kecamatan, bahkan terdapat kecenderungan perkembangan koperasi terpusat pada ibukota kabupaten. Minimnya jumlah KUD dibandingkan dengan jumlah non KUD berkaitan erat dengan hambatan dan ciri pendirian masing-
4
masing koperasi, yakni pada jenis koperasi non KUD, sebagian besar upaya pendiriannya tidak harus melibatkan banyak orang dan proses yang lebih sederhana. Misalnya pendirian Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) tidak memerlukan persetujuan dari seluruh pegawai pada unit kerja masing-masing, cukup hanya berdasarkan surat keputusan pimpinan kantor. Demikian pula pendirian koperasi serba usaha, koperasi karyawan, koperasi pasar, koperasi simpan pinjam, koperasi angkutan dan sebagainya yang hanya melibatkan beberapa orang dan jumlah anggota yang jauh lebih sedikit, sehingga secara teknis lebih mudah dalam pengelolaannya. Namun, uniknya adalah seyogianya jumlah KUD akan lebih banyak, karena intervensi terhadap KUD dari pemerintah lebih besar dibandingkan dengan intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap koperasi non KUD. Jumlah anggota koperasi sering dijadikan sebagai alasan utama sebagai penyebab lambannya perkembangan suatu koperasi. Gejala ini merupakan suatu ironi mengingat salah satu keberhasilan koperasi adalah terlihat dari perkembangan jumlah anggota. Namun demikian alasan jumlah anggota dikemukakan oleh seorang pengurus koperasi unit desa yang terekam dalam salah satu wawancara bebas yang dilakukan kepada salah seorang ketua koperasi unit desa, yakni: “Agak sulit untuk mengatur amggota yang jumlahnya terlalu banyak, mereka hanya mau hadir pada acara pengucuran kredit usaha tani, adanya program bantuan dari pemerintah. Sedangkan acara-acara lainnya sulit untuk diharapkan hadir, paling-paling yang hadir sekitar 20 hingga 30 persen. Inilah yang menyebabkan kami pengurus, sering melakukan kegiatan-kegiatan KUD berdasarkan keputusan beberapa orang di antara kami. Namun, ini pulalah yang menjadi alasan para anggota menyudutkan kami dengan pertanyaan kenapa mereka tidak tahu dan tidak diundang untuk membicarakan langkah-langkah koperasi.” Di samping jumlah anggota dari koperasi non KUD yang lebih sedikit menjadi salah satu alasan lebih berkembangnya koperasi ini dibandingkan dengan KUD, ternyata dari berbagai wawancara dengan beberapa staf Dinas Koperasi Dan Pengusaha Kecil Dan Penanaman Modal Kabupaten Nias, diperoleh informasi bahwa jenis koperasi non KUD lebih gesit dan lebih lincah dalam menangkap peluang-peluang
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
yang terutama berkaitan dengan jasa-jasa perbankan. Di samping itu, ternyata institusi koperasi yang ada dapat dimanfaatkan oleh pengurus dalam meningkatkan posisi tawar menawar dengan pihak-pihak lain, misalnya terhadap adanya kebijakan dinas pasar pemerintah daerah yang dianggap terlalu memberatkan para pedagang, maka melalui institusi inilah mereka melakukan pendekatan, bahkan perlawanan terhadap kebijakan tersebut. Banyak kasus yang membuktikan adanya kekuatan institusi Koperasi non KUD dalam memperjuangkan kepentingan para anggota. Alasan-alasan pragmatis yang dikemukakan di atas, ternyata dapat dijadikan sebagai salah satu alasan mengapa jenis koperasi atau kelompok koperasi non KUD lebih mampu berdaya dibandingkan dengan KUD. Ciri yang menonjol dari koperasi unit desa di Kabupaten Nias adalah eksistensi atau kemunculan merupakan akibat dari adanya program-program tertentu dari pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten. Berbeda dengan koperasi non KUD yang lebih banyak dibentuk oleh segelintir orang atau oleh instansi tertentu, namun gerakannya selalu lebih berorientasi pada upaya pemaksimalan keuntungan pada anggota, paling tidak upaya untuk menangkap adanya peluang-peluang yang sebenarnya tidak ditujukan khusus kepada mereka. Namun, pada sisi kepentingan pengembangan Koperasi Unit Desa, keberadaan koperasi non KUD di Kabupaten Nias, tampaknya dicurigai sebagai salah satu faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap lambannya gerakan koperasi unit desa. Argumentasi yang lebih realistis adalah dari persoalan banyaknya peluang-peluang atau kesempatan-kesempatan yang sebenarnya ditujukan bagi pengembangan Koperasi Unit Desa diambil oleh koperasikoperasi non KUD. Perkembangan jumlah koperasi yang baru terbentuk sebenarnya bukanlah sebagai akibat meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berkoperasi, tetapi lebih banyak ditentukan dari arah kebijakan pembangunan secara nasional, yakni pada era 1980 hingga 1999 terdapat banyak program-program yang mengutamakan keterlibatan koperasi, demikian pula dengan program-program pengentasan kemiskinan, program penampungan produksi pertanian yang
lebih dikenal dengan program kemitraan, Bapak Angkat, dan sebagainya. Berdasarkan wawancara bebas dan data-data sekunder, diperoleh gambaran bahwa terbatasnya jumlah KUD yang berdiri di Kabupaten Nias dibandingkan dengan jenis-jenis koperasi lainnya disebabkan pendirian dan pengelolaan Koperasi Unit Desa lebih sulit dibandingkan dengan pendirian dan pengelolaan jenis-jenis koperasi lainnya. Di samping itu, ditemukan adanya informasi yang menggambarkan bahwa aliran kebijakan yang digariskan secara nasional mengenai upayaupaya pembangunan, baik yang berhubungan langsung mengenai koperasi maupun yang tidak berhubungan secara langsung, tetapi melibatkan peran koperasi sebagai instrumen utama, lebih cenderung tertangkap oleh para elite-elite masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal disekitar ibu kota kecamatan. Akses kelompok elite masyarakat terhadap berbagai sumber maupun isu-isu pembangunan ternyata sangat menentukan jenis koperasi yang mereka kembangkan. Dalam hal ini pembentukan koperasi unit desa lebih kompleks, karena harus melibatkan banyak orang, kontrol yang diperkirakan terlalu kaku dan adanya kecurigaan yang berlebih-lebihan dari pendiri maupun pemrakarsa pendirian jenis koperasi terhadap dedikasi dan loyalitas para anggota. Upaya yang dilakukan pemerintah tampaknya hingga kini belum mampu mendudukkan koperasi sebagaimana mestinya. Artinya ada persoalan yang belum diketahui secara jelas mengapa keberpihakan pemerintah terhadap keberadaan koperasi tidak diikuti dengan pencapaian atau perkembangan koperasi yang optimal. Secara kualitas, gambaran koperasi di Indonesia belum sebanding dengan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah. Salah satu indikator makro yang representatif adalah masih rendahnya nilai transaksi per anggota koperasi yang jauh di bawah Rp 50.000; per bulan, menunjukkan aktivitas koperasi di Indonesia masih belum optimal (Kantor Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI, 2000). Indikator lainnya adalah meningkatnya jumlah koperasi-koperasi yang dijadikan sebagai alat untuk memperoleh fasilitas-fasilitas yang menguntungkan segelintir orang, seperti DO pupuk, fasilitas ekspor, kredit dan sebagainya.
5
Daeli, dkk., Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia…
Gagalnya gerakan koperasi di Indonesia untuk berkompetisi dengan arus liberalisasi ekonomi, dimungkinkan terjadi akibat terhambatnya proses gerakan koperasi pada tahap permulaan kemerdekaan yang masih sebatas fungsi advokasi dan sosialisasi prinsip-prinsip dan konsep-konsep koperasi, pada tahap demokrasi terpimpin. Begitu pula saat tahap orde baru, gerakan koperasi berpacu dengan gerakangerakan pembangunan disegala sektor yang didominasi oleh pengaruh-pengaruh ekonomi liberal, sehingga gerakan koperasi pada tahap ini pun tidak mampu berkompetisi dan selalu tertinggal jauh, walaupun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah melalui kebijakankebijakan rehabilitasi, konsolidasi dan pengembangan koperasi tetap berlanjut. Pada tahap inilah banyak pihak menyatakan pemerintah belum memberikan tekanan lebih yang memihak pada kepentingan koperasi. Pada dimensi ini, persoalan-persoalan koperasi dilihat sebagai persoalan yang lebih condong pada faktor eksternal, yaitu apabila kita menginginkan suatu koperasi berkembang, maka harus ada perhatian dan perlakuan yang memudahkan koperasi untuk memperoleh akses terhadap berbagai sumber dalam rangka menguatkan kemampuannya untuk berkompetisi dengan sektor lain. Dimensi lain dari alasan perkembangan koperasi tidak dilihat dari aspek ideologi yang dikotomis antara pertarungan kekuatan liberalis dengan sosialis, tetapi lebih banyak menekankan pada aspek internal koperasi yang menekankan adanya persoalan kualitas sumber daya manusia yang mengelola koperasi. Pada dimensi ini, peran pemerintah atau pengaruh eksternal terhadap perkembangan koperasi tidak dilihat sebagai penyebab utama keterpurukan koperasi, tetapi lebih banyak ditentukan oleh kemampuan pengelola dalam memformulasi, mengadopsi keinginan-keinginan ataupun mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan anggota dan masyarakat lainnya dalam rangka mengembangkan usaha-usaha koperasi yang dapat memenuhi keinginan ataupun kebutuhankebutuhan tersebut. Kondisi ini tentunya menuntut adanya kualifikasi sumber daya manusia pengelola koperasi. Keberhasilan koperasi sangat ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk mengenali jenis-jenis kebutuhan dari segenap masyarakat dan kemampuan untuk
6
menjembataninya dengan sumber-sumber yang memungkinkan. Rekomendasi penting lainnya mengenai pentingnya kualitas sumber daya manusia pengelola koperasi, baik berdasarkan hasil kajian teoretis maupun empiris dapat dilihat, antara lain tulisan dari Tjakrawerdaja (1994) yang merekomendasikan perlunya KUD memperkerjakan manajer dan staf profesional, memiliki pengurus yang mempunyai jiwa kewirakoperasian, idealisme, dan dedikasi tanggung jawab. Soedjono (1994); Sukotjo (1994), juga merekomendasikan adanya pengurus yang memiliki kemampuan manajerial dalam menggerakkan dan mengorganisir kelompok serta mengarahkan kegiatan-kegiatan koperasi. Dari penelitian diperoleh karakteristik penting yang diperkirakan mewarnai kualitas pengelolaan koperasi dari responden pengurus koperasi yang dijadikan sebagai sampel adalah sebagai berikut: Selain pengalaman pada kegiatan perkoperasian, pengalaman menduduki jabatan pengurus merupakan suatu hal yang penting dalam menentukan keberhasilan seorang pengurus koperasi. Walaupun hampir setengah dari responden merupakan orang yang baru terpilih menduduki jabatan dalam kepengurusan koperasi unit desa, namun sebagian besar adalah orang-orang yang relatif telah lama menggeluti dunia perkoperasian. Tetapi, sebagian besar hanya terlibat sebagai anggota, dan sedikit yang sudah pernah terlibat menjadi pengurus koperasi sebelumnya. Faktor penting lainnya yang diperkirakan turut menentukan keberhasilan dalam mengelola koperasi adalah pendidikan formal, mengingat dalam praktek pengelolaan KUD, ternyata banyak peluang-peluang terutama yang berasal dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang memerlukan persyaratan teknis yang agak rumit untuk mendapatkannya. Misalnya, adanya penyusunan konsep dan program Koperasi Unit Desa yang mudah untuk diukur dan usulanusulan lainnya yang memerlukan kemampuan dan pemahaman yang agak rumit, sehingga mau tidak mau, para pengurus seyogianya harus memiliki basis pendidikan formal yang memadai, paling tidak mereka pernah menduduki pendidikan lanjutan atas. Dari penelitian diperoleh ternyata proporsi pendidikan formal yang diperlihatkan oleh para responden pengurus koperasi relatif telah memadai, yaitu sebagian
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
besar sudah berpendidikan formal SLTA, bahkan ada yang telah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi. Selain pendidikan, keberhasilan pengelolaan koperasi unit desa juga ditentukan oleh faktor perolehan pengetahuan dan keterampilan dari lembaga-lembaga pendidikan non formal seperti kursus keterampilan. Hasil penelitian memperlihatkan proporsi responden yang memperoleh pengetahuan mengenai perkoperasian secara informal lebih banyak melalui sarana penyuluhan, pelatihan, diskusi dan menonton/mendengar siaran radio/tv. Sedangkan proporsi responden yang mengikuti atau memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui jalur-jalur non formal, sebagian besar dari mereka tidak pernah mengikutinya. Dengan karakteristik responden tersebut di atas, maka upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola koperasi unit desa hanyalah dengan melalui program-program pelatihan, penyuluhan dan memperbanyak brosur-brosur sederhana yang mudah untuk dibaca dan dimengerti oleh para pengurus koperasi. Setelah melihat dari pendidikan dan perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui jalur pendidikan non formal dan informal, maka dapat diketahui kualitas sumber daya manusia responden yang dibagi dalam tiga kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Pembagian kategori kualitas sumber daya manusia tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden tergolong pada kualitas sumber daya manusia yang rendah yaitu sekitar 60 persen, sedangkan kategori sedang dan tinggi masing-masing sebesar 20 persen. Proporsi di atas menunjukkan bahwa secara teoretis dari aspek kualitas sumber daya manusia para responden belum kondusif untuk mengelola koperasi unit desa secara profesional, sehingga secara teoretis diperkirakan mewarnai derajat atau kemampuan mereka untuk melakukan inovasi, kreativitas maupun prakarsa melakukan tindakan-tindakan yang lebih cerdas dalam memajukan kegiatan-kegiatan koperasi juga akan mengalami hambatan yang berarti, seperti kurang dapat memanfaatkan peluang-peluang dari instansi pemerintah, swasta maupun pribadi. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian, sebagian besar responden mengaku pernah melakukan atau memprakarsai kegiatan kerjasama dengan instansi pemerintah, swasta,
pribadi dan para anggota koperasi. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, terutama menyangkut realisasi dari prakarsa yang pernah dilakukan, diperoleh gambaran bahwa upaya yang telah dilakukan belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini terlihat dari masih kecilnya proporsi kerjasama yang dilakukan koperasi unit desa dengan berbagai instansi pemerintah, swasta, maupun pribadi, baik dibidang permodalan, manajemen, maupun dibidang peningkatan produksi. Pada saat pengumpulan data/wawancara terhadap para pengurus koperasi, diperoleh jawaban yang berbeda dari masing-masing pengurus mengenai pernah tidaknya koperasi unit desa mereka melakukan kerjasama dengan instansi lain. Hal ini menjelaskan bahwa pengurus koperasi unit desa yang dijadikan sampel responden tidak memiliki sikap dan pendapat yang sama mengenai koperasinya. Sebagian responden yang menjabat sebagai ketua dianggap paling banyak mengetahui aktivitas koperasi, sementara pengurus lainnya dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini terekam pada saat dilakukan penelusuran dokumen yang dapat membuktikan koperasikoperasi unit desa telah melakukan kerjasama dengan pihak lain. Seluruh koperasi unit desa yang dijadikan sampel tidak dapat menunjukkan satu lembar dokumen yang dimaksud. Hal ini merupakan pertanda bahwa sistem administrasi yang dimiliki oleh masing-masing koperasi belum memadai. Namun, dengan keterbatasan data atau informasi yang hanya dapat diperoleh secara lisan, upaya untuk meningkatkan validitas data tidak dapat dilakukan, sehingga satu-satunya sumber informasi yang dapat dianalisa lebih jauh hanyalah berdasarkan pengetahuan dan ingatan para pengurus, terutama yang menyangkut kerjasama dengan pihak lain. Tanggapan responden mengenai dukungan pemerintah terhadap koperasi unit desa sebagian besar berada pada kategori sedang, namun cukup banyak juga yang berada pada kategori tinggi. Proporsi ini sebenarnya belum optimal, karena seharusnya dukungan dari pemerintahlah yang diharapkan oleh koperasi-koperasi unit desa, terutama untuk daerah-daerah yang masih terbelakang seperti di daerah penelitian. Masih kecilnya proporsi dukungan institusi pemerintah terhadap koperasi unit desa, tampaknya juga diikuti oleh institusi swasta dan perusahaan pribadi, yang menunjukkan proporsi
7
Daeli, dkk., Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia…
dukungan yang hampir sama, yakni sama-sama masih relatif rendah. Tidak jauh dari kondisi ini, dukungan yang tinggi dari para anggota koperasi tampaknya belum terwujud dalam upaya untuk mengembangkan kegiatan koperasi. Hal ini terlihat jelas dari sebagian besar responden yang menyatakan dukungan para anggota koperasi pada kategori sedang, bahkan masih terdapat responden yang memberikan dukungan pada kategori rendah. Walaupun demikian, proporsi responden yang memberikan tanggapan terhadap dukungan anggota pada kategori yang tinggi cukup banyak. Karakteristik penting untuk melihat perkembangan koperasi unit desa adalah dati jumlah anggota, volume ysaha dan sisa hasil usaha. Artinya, semakun besar jumlah anggota, volume usaha dan sisa hasil usaha, maka koperasi tersebut dapat dikatakan semakin berkembang. Dari 7 koperasi unit desa yang dijadikan sampel, ternyata hanya satu KUD yang memiliki jumlah anggota di atas 500 orang, yakni KUD Temani. Tiga KUD yakni, KUD Serasih, Swadaya dan Masa Karya memiliki jumlah anggota antara 100 hingga 150 orang. Jumlah anggota yang dibawah 100 orang terdapat pada KUD Sinar Pagi, Sarunehe dan Harapan. Dalam tiga tahun terakhir, yakni 2001 sampai 2003, sebagian besar KUD tersebut mengalami perkembangan yang relatif lamban. Selain itu, terdapat perubahan jumlah anggota yang hanya terjadi pada satu KUD, yakni KUD Temani yang mengalami pengurangan jumlah anggota. Sedangkan enam KUD lainnya tidak mengalami perubahan jumlah anggota. Dalam kurun waktu tersebut, hanya KUD Temani yang mengalami perkembangan yang dilihat dari volume usahanya dan sisa hasil usahanya, sedangkan KUD lainnya tampaknya tidak mengalami perkembangan yang berarti. Perbedaan perkembangan KUD Temani dibandingkan dengan KUD lainnya, kemungkinan berhubungan dengan faktor-faktor yang dalam penelitian ini diduga berasal dari faktor sumber daya manusia pengelolanya. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya faktor-faktor lainnya. Proporsi responden pada kategori tingkat perkembangan KUD semakin besar sejalan dengan semakin naiknya kategori kualitas sumber daya manusia responden. Hal ini dapat dibuktikan dengan responden yang memiliki kualitas sumber daya manusia pada kategori
8
rendah menunjukkan proporsi yang besar pada kategori perkembangan koperasi yang rendah. Sedangkan pada kategori responden yang memiliki kualitas sumber daya manusia pada kategori tinggi yang sudah menunjukkan adanya peningkatan proporsi hingga 50 persen pada kategori perkembangan koperasi yang tinggi. Namun demikian, perbedaan proporsi responden pada kattegori perkembangan koperasi unit desa berdasarkan kualitas sumber daya manusia tidak terbukti signifikan berdasarkan analisa uji ChiSquare yang dilakukan dalam penelitian ini. Hasil ini membuktikan bahwa asumsi kualitas sumber daya manusia dapat memberikan variasi terhadap perkembangan koperasi unit desa tidak terbukti. Dengan kata lain faktor sumber daya manusia pengurus koperasi tidak terbukti sebagai faktor yang dapat menentukan terjadinya variasi pada tingkat perkembangan koperasi unit desa. Dari analisa dalam penelitian juga ditemukan bahwa terdapat perbedaan proporsi yang merupakan suatu bukti kasar adanya pengaruh dari dukungan pemerintah terhadap perkembangan koperasi unit desa responden. Dalam hal ini perbedaan yang terjadi atau perbedaan perkembangan koperasi unit desa berdasarkan tingkat dukungan pemerintah terbukti signifikan. Perbedaan proporsi perkembangan KUD berdasarkan tingkat dukungan instansi swasta juga terbukti signifikan. Hasil tes statistik tersebut di atas membuktikan bahwa variabel dukungan pemerintah dan dukungan instansi swasta merupakan salah satu faktor dari tingkat perkembangan koperasi unit desa. Sebaliknya, dari uji statistik didapatkan bahwa perbedaan yang terjadi pada tingkat perkembangan KUD berdasarkan tingkat dukungan perusahaan pribadi tidak signifikan. Dengan kata lain, variabel dukungan perusahaan pribadi bukan sebagai salah satu faktor dari variabel perkembangan KUD. Begitu juga dengan tingkat dukungan anggota yang bukan merupakan salah satu faktor dari variabel perkembangan KUD, hal ini terbukti dari pengujian statistik yang hasilnya tidak signifikan. Penjelasan yang logis dari temuan di atas adalah kualitas sumber daya manusia para pengurus KUD berhubungan dengan kemampuan para pengurus untuk meneruskan dan melanggengkan hubungan baik antara koperasi dengan pihak pemerintah maupun institusi swasta. Hal itu merupakan suatu realitas yang
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
tidak dapat dipungkiri, karena hingga saat ini koperasi-koperasi di Kabupaten Nias masih dominan tergantung pada program-program yang dibangun oleh pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah, terutama yang berkaitan dengan programprogram yang bersifat penguatan modal atau tujuan-tujuan ekonomi. Oleh karena itu, orientasi aktivitas KUD lebih banyak diarahkan pada perpanjangan tangan pemerintah yang menuntut kemampuan dan kehandalan dalam melakukan negosiasi dan pendekatan-pendekatan secara interpersonal maupun formal seperti penyusunan proposal, penyediaan data-data dan dokumen yang dapat memenuhi kriteria pihak pemerintah dalam rangka melakukan evaluasi dan monitoring, seperti yang diutarakan oleh salah satu seorang key informan berikut: “Agar dapat tetap terlibat dalam programprogram pembinaan pemerintah yang senantiasa mengadakan pembinaan melalui instansi-instansi terkait, seperti penyusunan program pembinaan, evaluasi dan monitoring, maka kami para pengurus harus dapat mengikuti arahan-arahan dan perubahan-perubahan maupun format-format laporan yang diminta oleh para petugas yang bersangkutan. Di samping itu, kami para pengurus harus menunjukkan kemampuan dan keseriusan dalam menjalankan setiap program. Sebab kalau tidak demikian, maka untuk bantuan berikutnya besar kemungkinan koperasi kami tidak dilibatkan. Menurut saya tidaklah terlalu sulit untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang memang kadang-kadang harus menyontoh dari teman-teman pengurus KUD lainnya, dan sering pula kami secara langsung menanyakan kepada petugas yang bersangkutan apa-apa saja yang harus kami lakukan.” Kualitas sumber daya manusia para pengurus koperasi dalam hal ini adalah berfungsi sebagai distributor, bukan sebagai produsen. Dengan demikian posisi kualitas sumber daya manusia para pengelola berorientasi pada kemampuan untuk memperoleh dukungan dari institusi pemerintah maupun swasta dan bukan berorientasi pada bagaimana koperasi dapat lebih produktif, sesuai dengan aktivitas dan jenis usahanya. Hal ini terlihat dari data sebelumnya yang menunjukkan bahwa seluruh KUD yang dijadikan sampel mengalami peningkatan volume usaha dan sisa hasil usaha yang relatif mengalami
stagnasi. Adanya peningkatan volume usaha dari tahun 2001 hingga tahun 2003, seperti yang ditunjukkan oleh KUD Temani, terjadi karena adanya program pemerintah pusat yang disebut dengan Program Subsidi BBM yang dijabarkan oleh Pemerintah Daerah Nias yang disebut dengan Program Pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil Melalui Perkuatan Dengan Pola Simpan Pinjam KSP/USP dan LKM. Dalam hal ini KUD Temani memperoleh dana sebesar Rp 446.100.000,- sedangkan KUD sampel lainnya sama sekali tidak memperoleh dana tersebut. Di samping program tersebut di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten Nias meluncurkan Proyek Pembinaan Koperasi dan UKM, dan KUD Temani merupakan salah satu pesertanya. Kasus KUD Temani di atas, kemungkinan dapat menjelaskan mengapa variabel dukungan pemerintah merupakan salah satu faktor dari variabel perkembangan KUD. Penjelasan yang sama juga berlaku untuk menjelaskan dukungan instansi swasta terhadap perkembangan KUD, karena ternyata dalam realisasi program-program pemerintah, baik yang bersifat bantuan modal usaha, bantuan pembinaan manajemen dan sebagainya, semuanya melibatkan peran instansi swasta. Sebagai contoh adanya fasilitas “DO” pupuk yang ditujukan pada KUD, dalam prakteknya disubkontrakkan pada perusahaanperusahaan swasta dengan pola bagi hasil. Jelas pola usaha seperti ini menuntut adanya kualitas sumber daya manusia yang memadai, sebab jika tidak, maka dapat dipastikan koperasi unit desa tidak akan mampu menjalin hubungan kerjasama atau kemitraan dengan institusi-institusi lain, baik pemerintah maupun swasta. KESIMPULAN Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan beberapa hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Di antaranya adalah adanya beberapa temuan mengenai faktor-faktor yang terbukti secara signifikan sebagai faktor dari perkembangan koperasi unit desa, yaitu dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dari hasil analisis tabel silang dibuktikan bahwa variabel yang terbukti secara signifikan memberikan variasi terhadap perkembangan koperasi unit desa di Kabupaten Nias adalah variabel dukungan pemerintah terhadap KUD, dan variabel dukungan institusi swasta terhadap KUD.
9
Daeli, dkk., Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia…
Sedangkan variabel yang sebelumnya diperkirakan sebagai salah satu faktor yang paling dominan, yakni kualitas sumber daya manusia pengelola, melalui analisis tabel silang tidak terbukti secara signifikan. Variabel lainnya juga tidak terbukti secara signifikan adalah dukungan perusahaan pribadi dan dukungan anggota koperasi. Sedangkan dari analisis korelasi bivariat terbukti ada tiga variabel yang secara signifikan memiliki hubungan yang positif dengan perkembangan koperasi unit desa, yaitu variabel kualitas sumber daya manusia, variabel dukungan pemerintah, variabel dukungan swasta. 2. Dari analisa korelasi parsial, terbukti bahwa masing-masing variabel yang sebelumnya secara bivariat memiliki hubungan positif yang signifikan, setelah dikontrol oleh variabel lainnya derajat hubungan dan signifikansinya jauh berkurang. Artinya tidak ada satu variabel pun yang memiliki hubungan langsung dengan variabel perkembangan koperasi unit desa. Dalam hal ini model hubungan teoretis yang telah diajukan sebelumnya yang menempatkan variabel kualitas sumber daya manusia pengelola sebagai variabel bebas dan variabel dukungan pemerintah, dukungan institusi swasta, dukungan perusahaan pribadi dan dukungan anggota sebagai variabel antara terhadap variabel perkembangan koperasi unit desa menjadi jelas atau terbukti. Namun, dari empat variabel antara, hanya dua variabel yang terbukti sebagai variabel antara, yakni dukungan pemerintah dan dukungan institusi swasta. 3. Secara teoretis temuan penelitian ini semakin memperkuat dukungan terhadap masih kuatnya peran pemerintah dan institusi non pemerintah dalam menentukan perkembangan koperasi, khususnya koperasi unit desa. Temuan penelitian ini, sekaligus pula memberikan kesimpulan bahwa kondisi yang diinginkan oleh Mohammad Hatta agar koperasi dapat berkembang dengan kemandiriannya masih jauh dari harapan, karena terbukti kualitas sumber daya manusia pengelola koperasi hanya mampu sebagai alat untuk mempermudah menangkap peluang-peluang yang memang disediakan oleh pemerintah melalui berbagai program bantuan dan pembinaan.
10
SARAN Ada dua hal yang dapat diberikan atau menjadi kontribusi dalam penelitian ini, yaitu secara praktis dan teoretis/metodologis. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pelaku/ stakeholder bagi upaya pengembangan dan kemajuan koperasi, seperti misalnya: 1. Dalam upaya meningkatkan perkembangan KUD sangat perlu pemerintah membuat model pembinaan kepada masyarakat koperasi guna memberikan nasihat, petunjuk dan bantuan tentang pemecahan masalah dan pengembangan potensi koperasi dengan target pemantapan, pembukuan, kelembagaan, bidang usaha, permodalan, pemasaran, dan peningkatan sumber daya manusia menuju kemandirian koperasi yang maju. 2. Menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah melalui pendidikan dan latihan dibidang manajemen, kewirausahaan, permodalan, dan bidang usaha lainnya untuk meningkatkan perkembangan KUD. 3. Menjalin kerjasama dengan perusahaan besar dibidang pendidikan dan latihan, bidang permodalan dan pemasaran untuk meningkatkan perkembangan KUD menuju kemandirian koperasi itu sendiri. 4. Mengembangkan manajemen yang profesional dengan menempatkan orang-orang yang bekerja paruh waktu membangun koperasi dengan pemberian insentif yang sepadan bagi pengelolanya.
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, Pandji, Djoko Sudantoko, Koperasi, Kewirausahaan dan Usaha Kecil, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Djohan, Djabarudin, Setengah Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia: 12 Juli 1947 – 12 Juli 1997, Diterbitkan Oleh Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Jakarta, 1997. . Soedjono, Ibnoe, Kata Pengantar dalam Djohan, Djabarudin, Setengah Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia: 12 Juli 1947 – 12 Juli 1997, Diterbitkan oleh Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Jakarta, 1997. Sukotjo, Wahyu, KUD Model Semua Kita ini Berkepentingan Koperasi, dalam Hendrojogi dan Salim Siagian (ed), “Koperasi Masalah, Pengembangan dan Pembinaannya,” Pusat Latihan Koperasi dan Pengusaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Jakarta, 1994, Hal. 11-20. Tjakrawerdadaja, Subiakto, Wajah Baru Pembinaan Koperasi Dalam Pelita III, dalam Hendrojogi dan Salim Siagian (ed), “Koperasi Masalah, Pengembangan dan Pembinaannya,” Pusat Latihan Koperasi dan Pengusaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Jakarta, 1994, Hal. 1-10.
11