ISSN 2085 - 2215
Pengaruh Globalisasi terhadap Kemiskinan dan Rendahnya Sumber Daya Manusia (study Kasus di Kaum Marjinal). oleh Ali Arif Setiawan Staff Pengajar Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Surakarta
ABSTRAK Pengamen dan pengemis adalah bagian dari anak jalanan yang timbul dari efek globalisasi. faktor kemiskinan dan rendahnya sumber daya manusia di lingkup kaum marjinal menjadi permasalahan dan tugas pokok pemerintah daerah serta dinas terkait. Penetapan serta penerapan Undang – undang dan kebijakan harus tepat. Dengan payung hukum yang kuat dinas kesejahteraan Sosial beserta Satpol PP melakukan razia di tiap jalan dan area publik yang menjadi tempat operasi anak jalanan. Pemerintah Kabupaten Sragen juga aktif melaksanakan sosialisasi yang intensif serta melaksanakan program rehabilitasi dengan sarana yang cukup memadai. Melalui metode diskriptif, peneliti memaparkan hasil penelitian bagaimana Pemerintah Kabupaten Sragen berhasil menetapkan dan menerapkan hukum dalam memengatasi permasalahan hingga menjadi rujukan studi banding dari kabupaten lain dalam keberhasilan mengatasi Pengamen dan pengemis jalanan. Kata kunci : Pengamen, anak jalanan, kebijakan daerah.
A. PENDAHULUAN Globalisasi yang melanda disegala lini berimbas pada degradasi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Menurut Wallerstein ( Roberstson,1992) globalisasi muncul sejak abad ke 15, namun percepatan arus globalisasi baru terlihat pada abad 21. Fenomena ini muncul karena dipicu oleh perkembangan teknologi informasi yang cukup pesat. Dampaknya cukup signifikan terhadap perubahan perilaku sosial masyarakat. Gaya hidup yang cenderung homogen, konsumtif adalah cermin budaya global yang dapat dilihat dimanapun. Rentetan dampak tidak hanya berhenti pada aspek perubahan sosial, Latar belakang kekuatan ekonomi sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku masyarakat itu sendiri. Berdasarkan hasil Survei Sosial ekonomi Nasional (SUSENAS) dapat diperoleh bagaimana presentase pengeluaran penduduk untuk pengeluaran kebutuhan makanan dari
47
ISSN 2085 - 2215
tahun ke tahun terjadi peningkatan yang signifikan. Sebagai gambaran pada tahun 1996 sebesar 55,34% kemudian di tahun 1999 adalah 62,94 % , lalu berapa kenaikan prosentase 10 tahun kemudian?, cukup signifikan tentunya bila kita melihat langsung fakta-fakta di lapangan. Celakanya, ketimpangan ekonomi tersebut berdampak pula pada biaya dan kesempatan pendidikan, kesehatan dan bermuara pada turunnya sumber daya manusia, sedangkan pertumbuhan penduduk dan pengangguran tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang seharusnya dapat menopang kehidupan rakyat secara layak. Akibatnya banyak anak usia sekolah (dibawah 19 tahun) meninggalkan bangku pendidikan karena harus bekerja dibidang informal. Sebuah fenomena sosial yang kemudian muncul adalah berkembangnya populasi pengemis dan pengamen. Fenomena ini sekilas tidak ada kaitanya dengan globalisaasi karena profesi tersebut sudah lahir dan dikenal berabad - abad silam. Namun perkembangan jumlah yang cukup signifikan teutama di wilayah perkotaan baik di kampung, pasar maupun perempatan lampu merah adalah bukti nyata. Hal tersebut juga terjadi di lingkup kota Sragen, sejak beberapa tahun silam banyak pengamen tiba - tiba bermunculan di perempatan lampu merah seperti yang jamak terjadi di kota-kota besar. Tentunya pihak terkait tidak bisa membiarkan hal ini berkembang sebelum membawa dampak lain yang lebih meluas misalnya kejahatan – kejahatan kecil. Upaya pemerintah untuk menuntun Kesadaran dari masyarakat terutama kaum marjinal agar memilih pekerjaan yang lebih layak diperlukan usaha serta strategi yang efektif terutama dalam menerapkan Undang-undang maupun payung hukum yang mengaturnya. Himbauan kepada pengguna jalan untuk tidak memberikan “atensi” kepada para pengamen dan pengemis bukanlah sebuah langkah efektif, hal tersebut berkaitan dengan kepentingan pribadi masing - masing, yang pasti sejauh ada peluang maka, pengemis dan pengamen akan tetap beroperasi. Dari sinilah penulis menilai Adanya peran penting pemerintah daerah dan dinas terkait dalam menganalisa penyebab, menyusun program 48
ISSN 2085 - 2215
sosialisasi dan penanganannya terhadap diberlakukannya aturan tersebut. Adalah sebuah hal yang layak untuk diteliti bagaimana mengimplementasikannya di lapangan. Terlebih bila dikaitkan dengan usaha pemerintah dalam mengentaskan angka kemiskian dan membuka lapangan pekerjaan. Salah satu pangkal dari permasalahan ini adalah bagaimana mengatasi kemiskinan secara efektif dan bertahap. Artinya diperlukan sarana dan prasarana yang memadai dalam menindak lanjuti pelaksanaan kebijakan yang diberlakukan. Orientasi utamanya bukan pada penerapan sanksi, namun pada pembekalan ketrampilan kerja dan permodalan kepada anak jalanan yang terjaring razia agar kembali keligkungan sosial masyarakat yang normal. Dalam rangka penetapan dan pelaksanaan Undang-undang, Perda yang dijadikan payung hukum tersebut, sedikitnya ada tiga komponen yang terlibat, yaitu pemerintah daerah, Dinas sosial, dan Satuan Polisi Pamong Praja serta aparat kepolisian yang bertindak langsung terhadap pelanggaran hukum yang berkaitan. Konteks dari penelitian ini adalah implementasi suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah yang menyangkut kepentingan masyarakat dalam memenuhi hajat hidup. Mereka yang merumuskan kebijakan adalah yang memiliki kewenangan politik dan pemerintahan, maka yang sesuai adalah komunikasi politik. Perumusan kebijakan menurut berbagai macam teori sebaiknya melibatkan masyarakat sebagai komponen utama. James Madisson (1998) menyatakan mensyaratkan penyediaan informasi yang layak bagi rakyat, bagi system sistem sosial dan politik yang demokratis. Pengertian kebijakan diantaranya dikemukakan oleh Randall B Ripley dan Grace A Franklin (Lane 1989) bahwa kebijakan adalah apa yang dikatakan dan dikerjakan oleh pemerintah tentang suatu masalah. Sedangkan Lane (1986) Mengemukakan bahwa sistem politik suatu negara adalah juga suatu sistem kebijakannya.
49
ISSN 2085 - 2215
Terdapat berbagai tipe model kebijakan yang biasa digunakan pengambil kebijakan dalam mengatasi suatu permasalahan publik. Dunn (2000:231-241) melihat bahwa model kebijakan (Policy models) merupakan representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah (masses) dengan membantu mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan. Beberapa model kebijakan yang biasa digunakan ; model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolis, model prosedural dan model sebagai pengganti dan perspektif. Sementara itu Twikromo (1990) melihat bahwa setidaknya ada dua pendekatan yang lazim digunakan dalam menanggulangi masalah anak jalanan yaitu : Pertama, Penanggulangan preventif. Biasanya dibawa ke situasi formal, cara semacam ini cenderung dilaksanakan di dalam kelas dengan jumlah peserta yang cukup besar, seperti situasi formal yang mana bimbingan, latihan dan pendekatan bisa diselenggarakan secar individual di jalan-jalan, dan Kedua, Penanggulangan represif. Dilakukan secara terorganisir dan instansi pemerintah untuk mengurangi atau mencegah meluasnya pengaruh masalah anak jalanan seperti razia. Upaya penanggulangan secara represif biasanya dilaksanakan oleh pemerintah kota ketika melihat aktivitas anak jalanan telah mengganggu ketertiban umum/perkotaan. Pendekatan yang dilaksanakan sebagai upaya mengurai persoalan anak jalanan (pengamen maupun pengemis ) di perkotaan tentunya memerlukan perhatian pemerintah kota dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang sejalan dengan tujuan pembangunan perkotaan itu sendiri tanpa harus mengorbankan aspek pembangunan lainnya. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sragen tentang larangan mengamen dan berjualan di jalan protokol dan fasilitas umum melalui Pasal 25 UU No 14 tahun 1992, serta ditindak lanjuti dengan diterbitkannya SK Bupati No.300/153/03/2004 tanggal 20-10-2004 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan Penyakit Sosial Masyarakat Kabupaten Sragen adalah 50
ISSN 2085 - 2215
bagian dari upaya yang nyata mewujudkan “SRAGEN KOTAKU BEBAS PENGAMEN JALANAN”. B. RUMUSAN MASALAH Berdasaran uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang tentang pengamen dan pengemis dan berbagai pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sragen dalam menanggulagi bahkan menghapus anak jalanan di wilayah perkotaan khususnya Kota Sragen, maka dalam penelitian adalah ini dirumuskan masalah bagaimana pola pendekatan dan pelaksanaan Pasal 25 UU No 14 tahun 1992. Adapun tujuan penelitian yang akan dicapai adalah untuk mengetahui pola koordinasi yang dilaksanakan dari berbagai komponen yang terlibat dalam penerapan kebijakan tersebut ,serta tindak lanjut kedepan yang berkaitan dengan Kabupaten Sragen menjadi rujukan studi banding sebagai kota bebas pengamen jalanan. C. METODOLOGI PENELITIAN Guna menjawab rumusan masalah dalam mencapai tujuan penelitian untuk dapat mendapatkan gambaran menyeluruh tentang pola pendekatan pemerintah Kabupaten Sragen terhadap Pengamen dan pengemis, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Harapan penulis adalah agar didapatkan uraian serta gambaran yang realistis terhadap fakta – fakta di lapangan atas fenomena penelitian yang dihadapi. Adapaun lokasi penelitian yang terkait langsung dalam hal ini adalah ; Kantor Dinas Sosial serta kantor satuan Pamong Praja yakni dua lembaga yang secara langsung berkaitan dengan upaya penanggulangan dan penertiban pengamen dan pengemis di jalanan lingkup Pemerintah Daerah kabupaten Sragen.
51
ISSN 2085 - 2215
Sumber data penelitian dikelompokkan dalam dua sumber yaitu data Primer yang didapat langsung dari sumber penelitian , serta data sekunder yaitu dengan cara penelusuran kepustakaan serta kajian –kajian serta hasil penelitian dan dokumen terkait. Adapun tehnik pengumpulan data dilalukan melalui observasi, pengamatan, studi kepustakaan maupun wawancara langsung dengan key informan maupun informan penelitian yang ditentukan menggunakan metode purposive sampling. Adapun key informan dalam penelitian ini ditentukan 2 orang yaitu ; Kepala bidang Penanggulangan anak jalanan, dan Ka Sie Operasi Pengendalian Satpol Pamong Praja Kabupaten Sragen.
Selanjutnya penulis menarik
informan penelitian sebayak 6 orang baik dari anak binaan dinas Sosial maupun para penguna jalan di Kabupaten Sragen. Dari data-data dan temuan penelitian tersebut selanjutnya akan dirumuskan menjadi suatu laporan hasil penelitian dengan analisis kualitatif dimana data – data yang diperoleh akan diinterpetasikan secara logis dan komprehensif sehingga akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang pendekatan pemerintah Kabupaten Sragen khususnya pada pelaksanaan dari UU No 14 Pasal 25 tahun 1992 dan SK Bupati No.300/153/03/2004 tanggal 20-10-2004 tentang pembentukan tim Penanggulangan Penanggulangan Penyakit Sosial Masyarakat di Kabupaten Sragen. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Pengamen dan Pengemis di Kota Sragen. Munculnya Pengamen dan pengemis sangat erat kaitannya dengan latar belakang himpitan ekonomi dan sosial keluarga mereka, kemiskinan struktural yang dialami oleh keluarga dianggap sebagai faktor
utama
mereka dalam mencari nafkah di sektor
informal yaitu turun ke jalan. Dengan alasan membantu menopang perekonomian keluarga ataupun keterpaksaan mereka terus beroperasi di setiap perempatan maupun
52
ISSN 2085 - 2215
tempat –tempat yang dianggap strategis. Disekitar awal tahun 2004 fenomena tersebut sempat akrab di mata pengguna jalan di perempatan-perempatan jantung kota, dan fasilitas – fasilitas umum seperti pasar( pasar bunder, shooping), terminal ( Pilangsari), Stasiun maupun alun-alun kota Sragen. Karakteristik yang berbeda dengan anak seumuran serta kegiatan mengamen dan mengemis membuat mereka sering disebut anak jalanan. Keberadaannya pun tak ayal dipandang orang sebelah mata termasuk sebagai kaum yang dekat dengan pergaulan bebas hingga tindak kriminal. Mereka turun kejalan demi mendapatkan penghasilan ekonomi atau bahkan sekedar belas kasihan dari pengguna tempat-tempat umum. Sangat beragam modus yang mereka gunakan mulai dari menjual koran, pedagang asongan, tukang semir sepatu. Namun yang cukup mendominasi adalah mengamen dan pengemis. Hal tersebut akan jauh lebih memprihatinkan bila dikaitkan dengan usia mereka yang seharusnya msih di bangku pendidikan. Data mengenai jumlah anak jalanan di kota Sragen masih belum seragam namun beberapa tahun silam keberadaannya sempat mengkhawatirkan karena pertumbuhan jumlahnya begitu pesat. Persoalan pendataan yang membuat rumit adalah sebaran dan asal yang tidak menentu, mengingat kota sragen adalah perlintasan jalur tengah antara Surabaya , Jogjakarta, Jakarta maupun kota-kota besar di pulau Jawa. Peningkatan jumlah populasi anak jalanan pada masa itu membuat Pemerintah Daerah Sragen harus mengambil sikap dan kebijakan untuk menangani fenomena buruk ini. Harus disadari inilah fakta dari dampak perkembangan jaman yang tidak seimbang. Sekali lagi alasan untuk memenuhi hajat hidup adalah logis. Pemerintah Daerah Sragen dituntut bijak di tengah upaya pemerintah mengurangi/membatasi dan bahkan menghapuskan anak jalanan di Kota Sragen sebagaimana diamanatkan undang-undang perlindungan anak. Anak jalanan sudah selayaknya dibina oleh DinasKesejahteraan 53
ISSN 2085 - 2215
Sosial. Sementara itu tingkat pendidikan anak jalanan yang ada di Kota Sragen rata-rata berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan bahkan terdapat beberapa di antara mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal karena kondisi keuangan keluarga. Profesi sebagai anak jalanan yang disandang oleh anak-anak ini menjadi suatu beban psikologis yang harus dihadapi, apalagi dalam posisi mereka yang masih dalam masa pertumbuhan. Berbagai kemungkinan untuk mendapatkan perlakuan kasar, penyiksaan atau pelecehan seksual menjadi suatu masalah klasik yang sewaktu-waktu dapat menimpa anak jalanan ini. Hasil wawancara menyebutkan, sejauh ini pemantauan dari Dinas kesejahteraan Sosial maupun Satpol PP memang belum mengarah ditemukannya indikasi pengamen maupun pengemis yang terorganisir. Namun bila dibiarkan berlarut – larut tidak menutup kemungkinan itu bisa saja terjadi. ( Hasil wawancancara, Agustus 2009). 2. Arah Kebijakan Pemerintah Kota Dalam Menangani Anak Jalanan. Faktor kemiskinan serta minimnya pendidikan sebagaimana diurakan diatas penyebabnya lebih mengacu pada kemiskinan yang struktural. Kondisi ini bisa saja dialami masyarakat yang tidak mampu mengikuti arah dan kompetisi globalisasi dan dinamikanya. Kebutuhan sandang pangan, akan tetapi lebih jauh dari itu yang terkait dengan kebutuhan untuk bisa eksis dalam kerasnya roda kehidupan perkotaan. Semua anggota keluarga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk secara bersama-sama meningkatkan status ekonomi keluarga dengan kegiatan produktif guna menghasilkan tambahan demi ekonomi keluarga. Celakanya hal tersebut tidak hanya terjadi di kota – kota besar
namun juga di kota-kota kecil. Selain faktor tersebut, penyebab lain
munculnya anak jalanan di perkotaan adalah: sikap mental yang tidak mendukung berupa sikap malas bekerja keras ataupun implementasi yang kurang tepat dari nasehat orang tua
54
ISSN 2085 - 2215
akan makna “berbakti pada orang tua”. Dalam tataran ini anak dipandang sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga, sehingga seorang anak dinilai memiliki potensi untuk menghasilkan sumber dana demi membantu ekonomi keluarga. 3. Penanggulangan Anak Jalanan Melalui Implementasi PP No 31 / 1980 dan SK Bupati Sragen No 300 / 153 /03/2004 Upaya mencegah atau menangani anak jalanan di beberapa kota mengalami kendala aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak atau belum tersedianya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mekanisme penanggulangan anak jalanan beserta implikasinya menjadi alasan klasik ketika pemerintah daerah akan mengurus anak jalanan tersebut. Undang-undang tentang perlindungan anak belum secara spesifik memberikan arah penanganan dan penanggulangan permasalahan anak jalanan yang dihadapi. Sebagai salah satu bentuk keseriusan pemerintah kota dalam menangani masalah anak jalanan di kota ini, maka pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sragen membuat suatu aturan
tentang penertiban dan
penanggulangan anak jalanan. Berdasarkan UU No 14/25/1992 tentang lalu lintas dan Angkutan Jalan Raya dan PP No 31/1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen kemudian memperkuat turunnya SK Bupati
Sragen No 300 / 153 /03/2004 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan
Pemberantasan Penyakit Sosial Masyarakat Kabupaten Sragen. Dengan adanya payung hukum tersebut menjadi acuan bertindak bagi instansi terkait yang secara langsung berurusan dengan anak jalanan tersebut. Di dalam payung hukum tersebut juga dengan jelas memberikan aturang tentang cara penanggulangan, mekanisme pembinaan maupun sanksi yang jelas bagi mereka 55
ISSN 2085 - 2215
yang mengakibatkan munculnya anak jalanan. Hasil wawancara dengan seksi pelayanan dan bantuan sosial diperoleh bahwa: Dengan adanya perda menjadi modal berharga bagi lembaganya untuk menyusun suatu rencana kegiatan dalam rangka penanggulangan dan penertiban anak jalanan. Selain itu keberadaan peraturan daerah juga secara otomatis membuat instansi terkait seperti Satpol PP untuk turut berperan dalam rangka pencegahan dan penanganan terhadap anak jalanan tersebut. (Hasil wawancara, Agustus 2009). 4. Strategi Penanggulangan Anak Jalanan Melalui Identifikasi dan Pengembangan Kelompok Sasaran Pandangan yang berkembang
dalam masyarakat tentang posisi anak dalam
keluarga tentunya menjadi masalah bagi pemerintah yang berkomitmen untuk mengahpus keberadaan anak jalanan. Guna mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah Kabupaten Sragen melalui instansi terkait (Dinas Kesejahteraan Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Koperasi, dan Satpol PP) mengembangkan tiga strategi pengembang yang diharapkan mampu mengkoordinir berbagai segmen usia yang ada dalam anak jalanan. Ketiga strategi yang dilakukan adalah : Pengembangan pendidikan formal/non formal, Pengembangan kemampuan permodalan, Pengembangan kelembagaan ekonomi kerakyatan. Strategi pertama berupa pengembangan pendidikan formal/non formal lebih diajukan pada anak-anak jalanan usia sekolah (5-9 tahun dan 10-14 tahun) yaitu agar mereka tetap dapat melanjutkan sekolahnya dan berada dalam lingkungan sekolah dan keluarga. Dalam tahap ini instansi terkait sengaja belum menggandeng pihak ketiga seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. Namun pada jangka kedepan
Dinas
Kesejahteraan Sosial akan melibatkan LSM . Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan 56
ISSN 2085 - 2215
partisipasi masyarakat sipil dalam membantu pemerintah untuk secara bersama-sama membina dan menjaga ketentraman dan ketertiban umum di lingkup Kabupaten Sragen. Bahkan Pemerintah Belanda sudah mulai tertarik terlibat dalam program ini. Hasil wawancara dengan Kasie Pelayanan dan bantuan sosial diperoleh bahwa: rehabilitasi terhadap anak jalanan yang terjaring dalam razia yang dilaksanakan oleh aparat sejauh ini sudah bisa terlaksana dengan baik, dikarenakan pemerintah Kabupaten Sragen telah mengalokasikan dana khusus serta sarana dan prasarana rehabilitasi anak-anak jalanan yang cukup memadai. Hal ini diupayakan agar mereka merasakan mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak-anak pada umumnya. Sementara sampai saat ini Kantor Kesos yang memiliki tanggung jawab utama terhadap anak jalanan tetap fokus mengembangkan program rehabilitasi yang lebih baik, termasuk sistem jemput bola kepada anak dari keluarga yang tidak mampu. Kondisi ini menunjukkan keseriusan upaya pemerintah daerah dalam rangka mengembalikan anak jalanan ke sekolah (baik formal maupun informal) dan lingkungan masyarakat. (Hasil wawancara, Agustus 2009). Penanganan serius terhadap anak jalanan sudah dilakukan sejak dilakukannya razia di lapangan. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan Kasie Operasi dan Pengendalian Satpol PP Kabupaten Sragen yang menyebutkan : Anak jalanan yang terjaring dalam razia yang dilaksanakan oleh Satpol PP dan instansi terkait akan langsung dipilah. Bila yang terjaring adalah anak dari luar kota, maka saat itu pula langsung diarahkan untuk kembali ke daerah asal. Kemudian bila yang terjaring dari daerah kabupaten Sragen maka akan didata dan dipilah menurut usia dan latar belakang mereka. Satpol PP sengaja menyita peralatan yang mereka gunakan di jalan untuk membrikan efek jera agar tidak lagi turun ke jalan. ( Hasil wawancara, Agustus 2009)
57
ISSN 2085 - 2215
Sebagai tindak lanjut dari data yang diperoleh dari Satpol PP akan keberadaan anak jalanan selanjutnya menjadi bahan bagi Kantor Kesos , serta Dinas Pendidikan untuk mengembangkan strategi pertama dalam rangka mendorong anak jalanan usia sekolah untuk kembali ke sekolah baik melalui pendidikan formal maupun informal. Setelah menjalani penyidikan anak jalanan yang terjaring dalam razia dititipkan di Panti asuhan dan sekolah yang dikelola oleh Pemda (bagi yang berusia sekolah termasuk melalui Paket A maupun Paket B). Ada juga yang diarahkan untuk mendapatkan pendidikan ketrampilan kerja di Balai Latihan Kerja. (Hasil wawancara, Agustus,2009). Strategi kedua terkait dengan kemampuan permodalan ditujukan pada anak-anak jalanan yang sudah drop out dari sekolah dan usia sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah. Melalui strategi ini anak-anak jalanan diberi latihan keterampilan dan permodalan baik secara kelompok maupun perorangan. Upaya pengembangan strategi ini dilaksanakan dengan pola kemitraan dengan lembaga-lembaga terkait yang memiliki kompetensi dalam bidang usaha tertentu. Usia anak jalanan yang mendapatkan program ini terutama bagi mereka yang berusia antara 16-19 tahun. Hal ini dilaksanakan dengan asumsi bahwa mereka akan segera memasuki masa remaja yang berarti pola pikir mereka diharapkan dapat berkembang untuk berwirausaha dan tidak lagi berada di jalanan. Implementasi strategi pengembangan kemampuan permodalan dilaksanakan melalui suatu pelatihan dan bimbingan pengembangan bakat dan keterampilan bagi anak jalanan. Materi yang diberikan dalam kegiatan tersebut diantaranya: Kebijakan Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial, Kesuksesan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, hubungan antar manusia, manajemen wirausaha, keterampilan perbengkelan, menjahit dan cara pembudidayaan tanaman, peternakan maupun perikanan. Materi yang diberikan dimaksudkan untuk memberikan bekal dari awal 58
ISSN 2085 - 2215
kepada anak jalanan tata cara berinteraksi dalam masyarakat yang beretika, dan sesuai dengan norma kesopansantunan yang jauh berbeda dengan pola kehidupan yang mereka dapatkan di jalanan. Sementara materi keterampilan disesuaikan dengan lingkungan dan bakat minat dari anak jalanan tersebut. Pendekatan yang dilaksanakan terhadap anak jalanan ini lebih diprioritaskan pada cara-cara persuasif sehingga secara sadar merasakan perlunya keterampilan bagi mereka supaya tidak kembali lagi ke jalanan. Bagi mereka yang telah memiliki keterampilan yang memadai dan berkomitmen untuk meninggalkan kehidupan jalanan, pemerintah kota berupaya memfasilitasi dalam penyaluran ke lapangan pekerjaan seperti perbengkelan maupun usaha mandiri lainnya dengan jaminan Kantor Kesos dan Dinas Perindustrian dan Koperasi. Sementara bagi mereka yang memiliki keluarga dan mempunyai potensi untuk mengembangkan keterampilannya dalam lingkungan keluarga, maka pemerintah Daerah Kabupaten Sragen berupaya untuk memberikan bantuan berupa permodalan usaha kecil dengan pengawasan ketat dan tetap dalam pantauan Kantor Kesejahteraan Sosial dan Deartemen Industri dan Koperasi. Strategi ketiga adalah pengembangan kelembagaan ekonomi kerakyatan. Anakanak jalanan yang semula berusaha secara individu didorong agar mau berusaha secara berkelompok maupun perorangan. Pembentukan kelompok maupun jenis usaha yang akan dilaksanakan hendaknya muncul dari aspirasi mereka sendiri. Peran institusi pemerintah maupun lembaga-lembaga pemberdayaan dilaksanakan terbatas pada upaya pendampingan dan monitoring saja. Hal ini dimaksudkan untuk tidak memberikan penekanan kepada anak bimbingan sehingga keterlibatan mereka dalam kelompok murni karena kesamaan visi dan sehingga terjalin suasana kondusif dalam melaksanakan usahausahanya.
59
ISSN 2085 - 2215
Jenis kelompok usaha bersama yang didorong untuk dikembangkan bagi anak jalanan diantaranya: kelompok usaha jualan sembako, menjahit, asesoris tubuh, jualan rokok, minuman dan makanan ringan, pertanian , servis sepeda motor, aksesoris HP/jual pulsa. Kelompok usaha yang dikembangkan ini diupayakan tumbuh dan mampu dikelola dengan baik meskipun dengan modal usaha yang seadanya. Selain strategi pengembangan yang secara langsung diarahkan pada anak jalanan maka pemerintah juga mengembangkan enam tahapan lebih lanjut dalam mengatasi anak jalanan. Adapun tahapan tersebut adalah: Tahap sosialisasi program penanggulangan kemiskinan kepada masyarakat. Pada tahap ini berbagai cara diupayakan mulai dari sosialisasi tingkat RT, penyebaran brosur, Penyiaran melalui Radio Siaran Daerah. Bahkan saat Bupati melaksanakan kunjungan dan pementasan kesenian wayang di tiap daerah. Melaksanakan razia terhadap anak jalanan, dalam melaksanakan kegiatan ini pemerintah melaksanakan secara periodik dan intensif. Melakukan Assesment(penelusuran). Pada tahap ini para relawan melakukan pengidentifikadian terhadap anak-anak jalanan untuk memperoleh data yang selengkaplengkapnya tentang anak jalanan. Tahap inisiasi. dimana anak jalanan diberi pengertian, diberi motivasi, dan diberikan penyadaran bahwa pilihan hidup menjadi anak jalanan itu sangat tidak baik dan berbahaya serta meyakinkan bahwa kondisi mereka bisa diperbaiki. Tahap inisiasi dapat dilakukan di rumah singgah atau tempat lain yang dapat difungsikan. Penyaluran. Dalam tahapan ini pemerintah kota melaksankannya melalui beberapa cara yakni:
60
ISSN 2085 - 2215
Anak-anak jalanan usia 5-9 tahun dan 10-14 tahun yang masih memiliki tempat tinggal dan orang tua dikembalikan orang tuanya dan untuk kelanjutan pendidikannya dicarikan orang tua asuh. Bagi anak-anak jalanan yang berasal dari keluarga yang benar-benar tidak mampu/yatim piatu/berasal dari luar daerah dan beruasia 5-9 tahun dan 10-11 tahun disalurkan ke panti-panti asuhan/yayasan dan tetap melanjutkan sekolah yang biayanya diperoleh dari subsidi pendidikan pemerintah kota maupun propinsi. Anak-anak jalanan usia 10-14 tahun dan 15-19 tahun yang telah drop out dari sekolah disalurkan ke lembaga keterampilan swasta atau BLKI untuk memperoleh keterampilan berusaha. Tahapan pemberdayaan Anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pedangang asongan dan penjual loper Koran digabung dalam suatu kelompok usaha berupa kios yang dikelola secara bersama dengan modal-modal kecil dari mereka dan dibantu tambahan dari pengusaha dan pemerintah Pemerintah kota menyediakan suatu Kelompok Usaha Bersama (Kube) dimana anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen dapat berkarya dan melanjutkan hobi bermusik tanpa turun ke jalan. Pemerintah daerah bekerjasama dengan pengelola tempat pencucian mobil, lapangan tenis, mempekerjakan anak-anak jalanan sebagai pencuci kendaraan,maupu pengantar koran dari distributor pada para pelanggan. Bentuk pendekatan dan pengembangan anak jalanan bersama stakeholders tersebut dilaksanakan dengan asumsi bahwa permasalahan anak jalanan merupakan suatu 61
ISSN 2085 - 2215
realitas perkotaan yang memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak. Penaganan anak jalanan dengan mekanisme pengembangan dan strategi identifikasi secara dini pada akhirnya diharapkan mampu menemukan akar dan solusi tepat dalam mengatasi anak jalanan.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Upaya Pemerintah Dalam Mengatasi Anak Jalanan di Kabupaten Sragen Upaya pemerintah dalam mengatasi anak jalanan di lingkup Kabupaten Sragen harus berhadapan dengan lingkungan masyarakat dengan berbagai unsur penopangnya. Dukungan peraturan perundang-undangan serta kebijakan penanggulangan maupun pemberdayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah masih harus disinergikan dengan kondisi sosial kemasyarakatan di daerah ini. Berbagai faktor yang selama ini dianggap sebagai persoalan klasik yang memunculkan anak jalanan memerlukan perhatian serius sehingga efektifitas dari kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah kota dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan demi mewujudkan “ SRAGEN KOTAKU BEBAS PENGAMEN JALANAN” Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi upaya pemerintah kota dalam menanggulangi permasalahan anak jalanan diantaranya: a. Faktor lingkungan sosial. Lingkungan sosial merupakan salah satu aspek yang dapat mendorong seorang anak untuk menjadi anak jalanan. Hal-hal yang terkait dengan lingkungan sosial masyarakat tersebut adalah:
62
ISSN 2085 - 2215
Anak jalanan yang turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua yang menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan ekonomi keluarga. Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga perumahan yang kumuh menjadi salah satu faktor pendorong anak turun ke jalan. Rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui peran dan fungsi sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak. Sehingga eksploitasi anak bisa saja muncul kapan saja termasuk dengan mengarahkan anak untuk menjadi anak jalanan. Peran lembaga sosial kemasyarakatan belum maksimal berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat untuk menangani masalah anak jalanan. b. Budaya Masyarakat Upaya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan anak jalanan harus berbenturan dengan suatu kebiasaan masyarakat yang telah membudaya yakni kerelaan memberikan sejumlah uang kepada anak yang ada di jalanan. Kondisi ini kemudian menjadi alasan mengapa anak betah untuk tinggal dan mencari nafkah di jalanan. c. Faktor tehnologi informasi Ketertarikan sebagian masyarakat untuk mencari penghidupan yang lebih layak, kepemilikian barang- barang tertentu dan hedonisme seperti di yang mereka tonton di televisi maupun dengan jalan pintas menyebabkan perubahan perilaku penduduk dengan kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai. Beberapa 63
ISSN 2085 - 2215
kelompok keluarga yang gagal dalam berkompetisi akhirnya berpikir untuk memaksimalkan semua potensi sumber daya yang mereka miliki termasuk dengan mendorong anak mereka untuk menjadi anak jalanan.
Ketiga faktor tersebur menjadi suatu realita yang tidak dapat dihindari oleh pemerintah ketika akan mengatasi anak jalanan. Berbagai strategi pedekatan yang dilaksanakan perlu untuk diupayakan sehingga kebijakan yang diambil tidak hanya pada anak jalanannya, akan tetapi akan menyangkut semua aspek yang melatarbelakangi munculnya anak jalanan.
E. KESIMPULAN DAN PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: Upaya mengatasi anak jalanan di Kabupaten Sragen dilaksanakan melalui beberapa pendekatan diantaranaya : ketersediaan peraturan daerah dan pendekatan kebijakan mulai dari tahap identifikasi sampai penanganan masalah anak jalanan secara serius. Pola pendekatan yang dilaksanakan terhadap anak jalanan berupa pendekatan persuasif melalui mekanisme pengembangan kemampuan diri dan pendekatan preventif yakni dengan melaksanakan razia anak jalanan sebagai upaya langsung dalam mengurangi atau bahkan menghapuskan keberadaan anak jalanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan anak jalanan meliputi faktor lingkungan sosial, budaya masyarakat dan migrasi masyarakat dari suatu daerah dengan tujuan akhir Keberadaan anak jalanan sebagai suatu permasalahan perkotaan perlu untuk mendapatkan
64
ISSN 2085 - 2215
perhatian serius dari semua pihak, terutama bagi instansi/dinas pemerintahan yang terkait dalam pengambilan kebijakan mengenai anak jalanan. Hal ini perlu dikembangkan dengan tetap mengacu pada pola kemitraan dan kerjasama antar lembaga.
65
ISSN 2085 - 2215
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1992. UU No 14 Pasal 25 tahun 1992, Tentang Ketertiban angkutan Jalan Raya.
Anonim,2004.SK Bupati No.300/153/03/2004 tanggal 20-10-2004 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan Penanggulangan Penyakit Sosial Masyarakat Kabupaten Sragen.
Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebikjaka Publik.Edisi Kedua. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Lane Fredrick S. 1986. Current Issues in Public Administration. New York. St Martin S Press.
Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Ronald, Roberstson,. 1992. Globalization,Social theory and Global Culture., London, Sage Publications.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta LP3ES.
66