PENGARUH EMPATI DAN SELF-CONTROL TERHADAP AGRESIVITAS REMAJA SMA NEGERI 3 KOTA TANGERANG SELATAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh: LAILATUL BADRIYAH NIM : 109070000137
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/ 2013 M
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak permasalahan serta kasus yang terjadi di negara Indonesia yang sangat membutuhkan “jalan keluar”, bukan hanya wacana perbincangan semata. Mulai dari kasus kriminal, pelecehan seksual, kekerasan dan kenakalan remaja. Contohnya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja yang sekarang marak dilakukan, tindakan agresi fisik maupun verbal bertujuan melukai orang lain. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Sekolah ini termasuk sekolah unggulan dengan prestasi yang tinggi serta lulusan terbaik. Akan tetapi, dengan prestasi yang tinggi tersebut peneliti melihat ada kecenderungan siswa-siswi untuk berperilaku agresi. Seperti kasus yang dilakukan siswa kelas X2 yang melakukan agresi verbal dengan mengolok-olok temannya yang mengalami obesitas. Kemudian kasus seorang siswi yang mengalami kecemasan dan impulsif yang selalu membuat kegaduhan di kelasnya sehingga teman-temannya merasa tidak nyaman dan melakukan tindakan bullying. Serta permasalahan siswa dengan gurunya yang sering terjadi, dimana gurunya sering menganggap (judge) siswanya dengan penilaian
yang
buruk,
padahal
belum
tentu
pada
kenyataannya.
(wawancara,13 Mei 2013). Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.
2
Di daerah lain khususnya kota Jakarta, perilaku agresi sering kali terjadi. Diantaranya kasus tawuran yang dilakukan oleh pelajar SMA 70 dan SMAN 6 Bulungan Jakarta yang terjadi pada tanggal 2 Oktober 2012 yang menewaskan 1 orang pelajar dan 2 pelajar lainnya luka-luka. Menurut informasi yang diperoleh bahwa data tawuran pelajar wilayah POLDA Metro Jaya dari tahun 2010 hingga 2012 mengalami kenaikan hingga 100%. Pada tahun 2010 terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar yang mengakibatkan banyak korban luka-luka, terjadi kenaikan yang sangat drastis pada tahun 2011 dimana terjadi 339 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar, dan tahun 2012 terjadi 139 kasus tawuran yang mengakibatkan 12 orang pelajar tewas. (Litbang tvOne, 2012) Dilihat dari psikologi perkembangan, remaja mengalami pergantian moralitas dari konsep-konsep moral khusus kekonsep moral individual. (Hartati dkk, 2005). Selama berada dalam keadaan tersebut, remaja mengalami ambiguitas dalam pola pemikiran kognitif dan afektif sebagai pengarah kepada perilaku yang akan ditampilkan. Salah satu contoh ambiguitas yang dialami remaja adalah mencari identitas diri. Menurut teori Psikososial Erikson (Santrock 1995), remaja berada di tahap 5 yaitu identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas), menurut erikson jika remaja menerima dukungan sosial yang memadai, maka akan muncul eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri, dan kontrol diri. Begitu juga sebaliknya remaja yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya ditambah lagi kalau remaja sering kali mendapatkan penolakan dari
3
orang tua, maka dapat dipastikan remaja akan terus mengalami kebingungan. Kebingungan-kebingungan inilah yang berimbas pada ketidak stabilan emosi. Menurut Carr (Hartati dkk, 2005) emosi itu timbul jika organism dihadapkan pada rintangan yang menghambat kebebasannya untuk bergerak, sehingga semua tenaga dan upaya dikerahkan untuk mengatasi rintangan tersebut dan merangsang
organism
tersebut
untuk
merugikan
lawannya
tanpa
pertimbangan terlebih dahulu. Ada beberapa hal lainnya yang menurut peneliti siswa lebih bertindak agresif diantaranya adalah peer group (teman sebaya). Dalam kelompok sebaya tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, masingmasing individu merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti di bidang usia, kebutuhan dan tujuan. Di dalam kelompok sebaya ini, individu merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Remaja yang sering mengalami penolakan seperti kurang perhatian dari orang terdekat, dan menginginkan penghargaan diri dari orang lain, mereka akan mencari kelompok yang sesuai dengan keinginannya, bisa saling berinteraksi satu sama lain dan merasa diterima dalam kelompok, dengan demikian ia akan merasakan kebersamaan atau kekompakkan dalam kelompok teman sebayanya tersebut. Kemudian satu lagi kenapa perilaku remaja sangat agresif, karena perilaku agresi itu merupakan suatu hal yang dipelajari. Menurut teori belajar Albert Bandura, tingkah laku manusia akibat reaksi yang timbul dari interaksi
4
lingkungan dengan skema kognitif individu atau kelompok itu sendiri. Sebagian besar apa yang dipelajari individu khususnya remaja adalah melalui proses peniruan (imitation) dan penyajian contoh (modeling), dan dalam hal ini seseorang belajar mengubah perilakunya sendiri melalui pengamatan terhadap cara orang lain merespon stimulus (Hartati dkk, 2005). Remaja yang salah meniru dan memodeling sesuatu akan bertentangan dengan norma masyarakat dan mereka akan mengalami kembali penolakan-penolakan dari masyarakat, sehingga mereka akan bertindak lebih agresif dari sebelumnya. Beberapa penelitian yang membahas tentang agresivitas, setidaknya penelitian tersebut meneliti tentang berbagai faktor orang melakukan tindakan agresi, seperti penelitiannya Bushman dan Cooper (1990) yang menemukan bahwa ada pengaruh alkohol terhadap tindakan agresif seseorang. Ada juga penelitian dari Bandura, Ross, & Ross, A. (1961) menyebutkan beberapa faktor orang bertindak agresif, karena bawaan biologis, pengulangan frustrasi, dan yang paling terpenting adalah tindakan agresi itu dipelajari. Beberapa penelitian seperti Milles dan Carey (1997) yang meneliti faktor gen dan lingkungan terhadap agresi manusia. Jurnal Sex Differences in physical, verbal, and indirect aggression penelitian dari Bjorkqvist (1994) yang membahas tentang perbedaan jenis kelamin terhadap perilaku agresi fisik, verbal dan agresi secara tidak langsung. Perilaku agresif sebenarnya bukan hanya masalah kekerasan seperti tawuran semata, tetapi banyak perilaku agresi yang dimulai dari agresi yang berupa perkataan (verbal), ataupun olok-olokan yang dirasa menyakitkan
5
individu dan berakhir pada tindakan agresi fisik berupa pemukulan, penusukan, dan lain-lain yang berujung pada tindakan kriminalitas. Setidaknya perilaku agresi ini dibagi dalam tiga klasifikasi yaitu, 1) fisik dan verbal, 2) aktif dan pasif, 3) langsung dan tidak langsung. Dari ketiga klasifikasi tersebut akhirnya ditarik delapan bentuk agresif yaitu, 1) Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya menusuk, menembak, memukul orang lain. 2) Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya membuat jebakan untuk orang lain. 3) Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak memberi jalan kepada orang lain. 4) Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk mengerjakan sesuatu, menolak untuk mengerjakan perintah orang lain. 5) Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya memaki-maki orang. 6) Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menyebar gosip tentang orang lain. 7) Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak setuju dengan pendapat orang lain, tetapi tidak mau mengatakan (memboikot), tidak mau menjawab pertanyaan orang lain. 8) Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak memberikan perhatian dalam suatu pembicaraan. Terdapat juga bentuk-bentuk agresivitas menurut Buss dan Perry (1992), yaitu agresi fisik, verbal, kemarahan (anger) dan kecurigaan (hostility). Agresi fisik dan verbal dapat dikontrol dengan kemampuan
6
mengontrol perilaku, sehingga individu dapat mengontrol dirinya dengan baik dan mengatur perilaku dengan kemampuan dirinya. Kemarahan dapat dikontrol dengan kemampuan mengantisipasi peristiwa, mengantisipasi keadaan dengan pertimbangan secara objektif. Sedangkan kecurigaan dapat dikontrol dengan menafsirkan peristiwa, karena kemampuan ini menilai dan menafsirkan peristiwa dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjetif. Penelitian ini mengambil sudut pandang baru dimana menempatkan empati sebagai variabel independen untuk diteliti apakah mempengaruhi agresivitas remaja. Empati dapat dilihat dari beberapa indikasi, diantaranya adalah hubungan diri yang hangat dengan orang lain diterjemahkan dengan sikap cinta dan keamanan emosional yang diterjemahkan lagi dengan menerima diri sehingga dapat menempatkan untuk diterima orang lain. Beberapa penelitian sebelumnya meneliti tentang hubungan antara empati dan efikasi diri dengan perilaku agresi pada guru sekolah dasar negeri inklusi di kecamatan lowokwaru kota Malang, menyatakan bahwa guru diharapkan dapat lebih berempati terhadap siswa terutama terhadap siswa yang berkebutuhan khusus, serta tetap mempertahankan efikasi dirinya yang tinggi terhadap perannya sebagai seorang pendidik serta menghindari berperilaku agresi. Ama Hastik (2012) Penelitian lainnya dari Sintha Meliyana (2009) mengenai Peran empati terhadap keterampilan sosial dan agresifitas pada anak sekolah dasar,
7
menunjukkan hasil nilai estimasi sebesar -0,711 dan nilai CR -4,038 (p= 0,000), yang berarti semakin tinggi kemampuan empati anak maka akan semakin rendah perilaku agresifnya. Kemudian jurnal penelitian dari Giancola (2003) mengenai The moderating effects of dispositional empathy on alcohol-related aggression in men and women, menunjukkan bahwa lakilaki dan perempuan yang meminum alkohol dan memiliki empati yang rendah akan lebih tinggi tingkat agresifnya, dari pada laki-laki dan perempuan yang memiliki empati yang tinggi akan turun tingkat agresifnya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengungkap konsep empati yang sesuai untuk mengatasi perilaku agresifitas pada remaja. Sampai saat ini, peneliti belum menemukan hasil penelitian mengenai empati yang berhubungan langsung dengan agresivitas seseorang. Konsep empati yang ditampilkan merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. Empati dapat berperan di kalangan remaja khususnya siswa, dengan sebuah tindakan positif baik dari dalam diri siswa maupun dari luar, misalnya dari dalam diri siswa tersebut dapat dibiasakan berinfaq ketika ada sumbangan amal untuk anak yatim piatu dan orang yang tidak mampu setiap jumat. Contoh lainnya yang beranjak dari luar diri siswa adalah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR) dan Pusat Informasi Konselor-Remaja (PIK-R) yang dilaksanakan di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan, dimana mereka
8
akan dididik untuk membantu teman-temannya yang mengalami kesulitan dengan bertindak sebagai konselor teman sebaya. Selanjutnya, ada faktor yang peneliti anggap penting untuk diteliti, yaitu factor self-control. Secara teori, terjadinya tindakan agresif karena seseorang tidak bisa mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya, sikap agresif yang dipicu karena rasa marah dan dendam akan sangat mudah muncul. Hal ini didukung oleh penelitian Finkenauer,dkk (2005) yang menyatakan bahwa tinggi self-control sangat berhubungan dengan penurunan resiko masalah psikososial diantaranya kenakalan dan sikap agresivitas pada remaja. Dalam penelitian lainnya dari DeWall, dkk (2011) tentang SelfControl Inhibits Aggression menyatakan bahwa mekanisme neural otak dalam meregulasi emosi dan kontrol kognitif pada self-control dapat mengurangi agresi seseorang. Maka dari itu dalam penelitian ini, peneliti menjadikan factor self-control menjadi independen variabel yang akan dicari tahu ada pengaruhkah terhadap agresivitas dan seberapa besar pengaruhnya terhadap mengatasi tindakan tersebut. Selain itu perbedaan jenis kelamin akan di teliti untuk menjadi perbandingan, sehingga tampak lebih jelas tindakan agresi tersebut. Hal ini didukung dalam jurnal penelitian oleh Bushman dan Anderson (1998) yang menunjukkan bahwa laki-laki 11x lebih agresif dari pada perempuan dan lebih cenderung melakukan agresi fisik daripada agresi verbal.
9
Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti berasumsi bahwa ada 2 hal yang diduga dapat mengurangi atau mengatasi agresivitas remaja yaitu empati dan self-control. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti memilih judul “ Pengaruh Empati dan Self-control Terhadap Agresivitas Remaja SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan.” 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah Pada penelitian ini, permasalahan yang akan dikaji terbatas pada hal-hal berikut: 1.
Agresivitas dalam penelitian ini adalah suatu tindakan yang
dilakukan secara sadar baik fisik maupun verbal oleh individu kepada orang lain yang merugikan dan tidak menyenangkan, bertujuan untuk menyakiti orang tersebut. (Buss dan Perry, 1992) 2.
Empati yang dimaksud adalah merujuk pada kesadaran individu
untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. (Davis,1980) 3.
Self-control yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam
mengelola emosi untuk membuat keputusan dalam mengekspresikan perasaan-perasaan (Averill,1973) 4.
Jenis kelamin.
atau
tindakan
dalam
lingkungan
sosial.
10
1.2.2 Perumusan Masalah Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang diangkat adalah: 1. Apakah ada pengaruh empati terhadap agresivitas remaja? Dalam detail dapat dirumuskan lagi sebagai berikut: a. Apakah ada pengaruh aspek perspective taking terhadap agresivitas remaja? b. Apakah ada pengaruh aspek fantacy terhadap agresivitas remaja? c. Apakah ada pengaruh aspek empathic concern terhadap agresivitas remaja? d. Apakah ada pengaruh aspek personal distress terhadap agresivitas remaja? 2. Apakah ada pengaruh self-control terhadap agresivitas remaja? Dalam detail dapat dirumuskan lagi sebagai berikut: a. Apakah ada pengaruh behavior control terhadap agresivitas remaja? b. Apakah ada pengaruh aspek cognitive control terhadap agresivitas remaja? c. Apakah ada pengaruh decisional control terhadap agresivitas remaja? 3. Apakah ada pengaruh empati dan self-control secara bersama-sama terhadap agresivitas remaja?
11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh empati yang meliputi perspective taking, fantacy, empathic concern, dan personal distress terhadap agresivitas remaja. 2. Untuk mengetahui pengaruh self-control yang meliputi behavior control, cognitive control,
dan decisional control terhadap
agresivitas remaja. 3. Untuk mengetahui pengaruh empati dan self-control secara bersamasama terhadap agresivitas remaja. 1.3.2 Manfaat Penelitian Dari gambaran pendahuluan hingga tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara kolektif baik untuk keilmuan (teoritis) atau untuk peneliti dan subjek penelitian (praktis). Manfaat tersebut adalah: 1. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan untuk menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan bagi masyarakat umum serta pengembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya dibidang psikologi sosial dan perkembangan.
12
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu: a. Memberikan pengertian pentingnya pengaruh sikap empati dan self-control dalam mengatasi sikap agresivitas remaja yang dapat dikonsumsi oleh peneliti, mahasiswa psikologi dan civitas akademisi (akademisi umum dan akademisi muslim) serta masyarakat Indonesia pada umumnya. b. Memberikan wacana yang menguatkan mengenai konsep empati dan self-control dalam kajian psikologi sosial dan perkembangan pada tema mengenai agresivitas remaja. 1.4 Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan sistematika sebagai berikut: BAB 1
: Pendahuluan berupa latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB 2
: Kajian teori berisi uraian pendapat para ahli mengenai agresivitas, empati dan self-control, disertai dengan kerangka berpikir dan hipotesis.
13
BAB 3
: Populasi dan sampel, variabel penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik analisis statistik, prosedur penelitian.
BAB 4
:
Hasil
penelitian,
meliputi
gambaran
umum
responden,
pengkategorian skor masing-masing skala, persiapan penelitian, penyebaran skor hasil, instrumen penelitian, dan hasil analisis data penelitian. BAB 5
: Kesimpulan, diskusi, dan saran.
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Agresivitas 2.1.1 Pengertian agresivitas
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agresivitas berasal dari kata agresif yang berarti bersifat atau bernafsu menyerang, cenderung ingin menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengancam, menghalangi atau menghambat. Kemudian menambah akhiran itas,- yang bermakna sifat. Sehingga dapat didefinisikan menjadi suatu sifat yang cenderung memiliki keinginan untuk selalu menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengacau, menghalangi atau menghambat.
Menurut Baron (dalam Hoaken dan Stewart, 2003) , menyatakan bahwa “ Aggression is any form of behavior directed toward the goal of harming or injuring another living being who is motivated to avoid such treatment.” Menurut definisi tersebut menyatakan bahwa agresi adalah setiap bentuk perilaku yang diarahkan pada tujuan merugikan atau melukai makhluk hidup yang termotivasi untuk menghindari perlakuan tersebut."
Sigmund Freud (dikutip dari Taylor, 2009) mengemukakan bahwa perilaku agresi merupakan gambaran ekspresi sangat kuat dari
15
insting kematian (thanatos), karena dengan melakukan agresi maka secara mekanisme individu telah berhasil mengeluarkan energi destruktifnya dalam rangka menstabilkan keseimbangan mental antara insting mencintai (eros) dan insting kematian (thanatos). Meski demikian, walaupun agresi dapat dikontrol tetapi agresi tidak bisa dieliminasi, karena agresi adalah sifat alamiah manusia. Myers (2009) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang disengaja maupun tidak disengaja namun memiliki maksud untuk menyakiti, menghancurkan atau merugikan orang lain yang diniatkan untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi. Dan secara spesifik, Gelles dkk (1991) mendefinisikan agresi verbal adalah komunikasi yang dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan psikologi kepada orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Kamus Psikologi Chaplin (Terjemahan Kartini Kartono, 2008) Agresi adalah suatu tindakan permusuhan ditujukan pada seseorang atau benda. Sedangkan agresivitas merupakan kecenderungan habitual (yang dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan. Pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau pemaksaan diri, pengejaran dengan penuh semangat suatu cita-cita. Dominasi sosial, kekuasaan sosial, khususnya yang diterapkan secara ekstrim. Buss (dalam Bushman, 1998) mendefinisikan agresi sebagai respon yang memberikan rangsangan berbahaya keorganisme lain.
16
Sedangkan menurut Geen (dalam Bushman, 1998) agresi didefinisikan
kedalam dua klasifikasi yaitu agresor (penyerang) memberikan rangsangan berbahaya dengan maksud untuk menyakiti korban, dan penyerang mengharapkan rangsangan berbahaya
itu memiliki efek
sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Bandura (1961) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial yang diperoleh melalui mekanisme belajar pengamatan dalam dunia sosial. Berdasarkan beberapa definisi yang telah diungkapkan diatas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah kecenderungan yang dilakukan individu atau kelompok dengan niat/kesengajaan untuk menyakiti atau melukai orang lain atau merusak objek baik secara fisik maupun psikis.
2.1.2 Faktor-Faktor Agresivitas
Munculnya perilaku agresi berkaitan erat dengan rasa marah yang terjadi dalam diri seseorang. Menurut Taylor (2009) rasa marah dapat muncul dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1. Adanya serangan dari orang lain. Bayangkan ketika tiba-tiba seseorang menyerang dan mengejek anda dengan perkataan yang menyakitkan. Hal ini dapat secara refleks menimbulkan sikap agresi terhadap lawan. 2. Terjadinya frustrasi dalam diri seseorang. Frustrasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Salah satu prinsip dalam
17
psikologi, orang yang mengalami frustrasi akan cenderung membangkitkan perasaan agresifnya. 3. Ekspektasi pembalasan atau motivasi untuk balas dendam. Intinya jika seseorang yang marah mampu untuk melakukan balas dendam, maka rasa kemarahan itu akan semakin besar dan kemungkinan untuk melakukan agresi juga bertambah besar pula. 4. Kompetensi. Agresi yang tidak berkaitan dengan keadaan emosional, tetapi mungkin muncul secara tidak sengaja dari situasi yang melahirkan suatu kompetensi. Secara khusus merujuk pada situasi kompetitif yang sering memicu pola kemarahan, pembantahan dan agresi yang tidak jarang bersifat destruktif.
Menurut Myers (2009), faktor yang mempengaruhi agresi sebagai berikut:
1. Frustrasi 2. Pembelajaran agresi, dimana terdapat reward dan pembelajaran sosial. 3. Pengaruh lingkungan, maksudnya adalah situasi lingkungan saat itu misalnya insiden yang menyakitkan, suhu udara panas, serangan, kerumunan orang, dimana akan memicu tindakan agresi. 4. Sistem saraf otak. 5. Faktor gen atau keturunan.
18
6. Faktor kimia dalam darah (alkohol dan obat-obatan). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Bushman dan Cooper (1990) yang meneliti adanya pengaruh alkohol terhadap tindakan agresif seseorang.
Menurut Davidoff (1991), agresi dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Amarah. Marah merupakan emosi dasaar manusia yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah, kekecewaan, sakit fisik, penghinaan atau ancaman yang sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan, serta ancaman merupakan pemicu (anchor) yang jitu terhadap marah untuk mengarahkan pada perilaku agresi. 2. Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian Davidoff terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan lebih cepat marah dari pada hewan betina.
19
3. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Misalnya dengan merangsang sistem limbik (daerah kenikmatan pada manusia) sehingga muncul interaksi antara kenikamatan dan kekejaman. 4. Kimia darah khususnya hormon seks yang ditentukan oleh factor keturunan dapat mempengaruhi perilaku agresi. 5. Kesenjangan generasi, dapat dilihat dari hubungan komunikasi yang kurang
antara
anak
dan
orang
tua
yang
mengakibatkan
misunderstanding dan kegagalan komunikasi. 6. Kemiskinan.
Seseorang
yang
dibesarkan
dalam
lingkungan
kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami akan mengalami penguatan. Misalnya kerasnya hidup di ibukota akan melatih mental mereka untuk bagaimana bertahan hidup. 7. Anonimitas. Seseorang yang berusaha untuk cederung berusaha beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebih. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal secara baik. Bila seseorang merasa anonim, ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati dengan orang lain. 8. Suhu udara yang panas.
20
9. Peran belajar model kekerasan. Menurut Davidoff menyaksikan perkelahian
dan
pembunuhan
meskipun
sedikit
pasti
akan
menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. 10. Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon terhadap frustrasi. 11. Proses pendisiplinan yang keliru. Pendidikan disiplin yang otoriter dengan
penerapan
yang
keras
terutama
dilakukan
dengan
memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh bagi remaja. 12. Kebudayaan.
Lingkungan
geografis
seperti
pantai/pesisir
menunjukkan karakter lebih keras dari pada masyarakat yang hidup di pedalaman dan pegunungan. Nilai dan norma yang mendasari sikap dan tingkah laku masyarakat juga berpengaruh terhadap agresivitas satu kelompok. 2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas
Buss (dikutip oleh Nashori, 2010) mengklasifikasikan perilaku agresif secara lebih lengkap, yaitu: perilaku agresif secara fisik atau verbal, dan secara aktif atau pasif, serta langsung atau tidak langsung. Tiga klasifikasi ini masing-masing saling berinteraksi, sehingga akan menghasilkan 8 bentuk perilaku agresif, yaitu:
21
1. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya menusuk, menembak, memukul orang lain. 2. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya membuat jebakan untuk orang lain. 3. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak member jalan kepada orang lain. 4. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk mengerjakan sesuatu, menolak untuk mengerjakan perintah orang lain. 5. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya memaki-maki orang. 6. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menyebar gosip tentang orang lain. 7. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak setuju dengan pendapat orang lain, tetapi tidak mau mengatakan (memboikot), tidak mau menjawab pertanyaan orang lain. 8. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak memberikan perhatian dalam suatu pembicaraan.
22
Myers (2009) membagi agresi kedalam 2 bentuk:
1. Agresif rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression). Agresi ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri, jadi agresi sebagai agresi itu sendiri. Contohnya seseorang mencaci orang lain, karena sebelumnya orang tersebut telah dicaci maki sebelumnya dengan kata-kata kasar yang membuatnya sakit. 2. Agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression). Agresi ini pada umumnya tidak disertai emosi. Bahkan antara pelaku dan korban kadang-kadang tidak ada hubungan pribadi, agresi ini bertujuan untuk
mencapai tujuan. Contohnya, seseorang yang
terobsesi untuk menjadi pemimpin dan merebut kekuasaan, menyingkirkan lawannnya dengan cara kekerasan dan tindakan yang tidak fair.
Kemudian menurut Buss dan Perry (1992) mengelompokkan agresivitas kedalam 4 bentuk agresi, yaitu:
1. Agresi fisik Merupakan komponen perilaku motorik, seperti melukai dan menyakiti orang secara fisik. Contohnya terjadinya perkelahian antar pelajar yang mengakibatkan beberapa orang terluka parah. 2. Agresi verbal
23
Merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang lain dengan menggunakan verbal/perkataan. Misalnya seperti mencaci maki, berkata kasar, berdebat, menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan, menyebarkan gossip, dan lain-lain. Contohnya, beberapa siswa yang saling mengejek satu sama lainnya dengan ejekan yang menyakitkan. 3. Agresi marah Merupakan emosi atau afektif, seperti munculnya kesiapan psikologis untuk bertindak agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran dan tidak mampu mengontrol rasa marah. Contohnya, seseorang akan kesal kalau dituduh melakukan kejahatan yang tidak pernah dilakukannya. 4. Sikap permusuhan Meliputi komponen kognitif, seperti benci dan curiga pada orang lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam kehidupan. Contohnya, seseorang sering merasa curiga terhadap orang lain, yang dikiranya menaruh dendam pada dirinya, padahal orang lain tersebut tidak dendam terhadapnya. 2.1.4 Jenis-jenis agresi Erich Fromm (terjemahan Imam Muttaqin, 2010) menggunakan istilah Agresi Lunak dalam menjelaskan jenis-jenis agresi, diantaranya sebagai berikut: 1. Agresi semu
24
Agresi semu adalah tindakan-tindakan yang dapat dilakukan, tetapi tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Contohnya agresi mendadak. 2. Agresi aksidental Agresi aksidental adalah tindakan agresif yang melukai orang lain, namun tidak sengaja dilakukan, contohnya peluru nyasar. 3. Agresi permainan Agresi permainan bertujuan untuk mempraktikkan kemahiran. Ia tidak bertujuan untuk menghancurkan atau melukai, serta tidak menimbulkan kebencian. Contohnya permainan anggar, memanah, pertarungan pedang dan seni-seni lainnya. 4. Agresi penegasan diri Agresi penegasan diri tidak terbatas pada perilaku seksual semata, ia merupakan sifat dasar yang diperlukan dalam banyak situasi kehidupan, contohnya pada perilaku ahli bedah, pendaki gunung, perilaku-perilaku dalam olahraga, serta sidat yang diperlukan bagi seorang pemburu. Namun harus dibedakan antara agresi yang bertujuan merusak dengan agresi penegasan diri yang hanya untuk membantu mencapai tujuan, baik dengan cara merusak secara langsung maupun dengan cara yang berpotensi menimbulkan kerusakan.
25
5. Agresi defensif Agresi defensif sebenarnya bertujuan untuk menghilangkan bahaya, hal ini dapat dilakukan dengan cara menyelamatkan diri, dan jika upaya penyelamatan diri itu tidak dapat dilakukan, maka dapat ditempuh
dengan
cara
lain,
yaitu
dengan
melawan
atau
memperlihatkan tampang paling menyeramkan. Tujuan agresi defensif bukanlah untuk menghancurkan, melainkan untuk menjaga kelangsungan hidup. Bila tujuan telah tercapai, maka agresi tersebut beserta emosinya akan lenyap. 6. Agresi dan kebebasan Asumsinya adalah bahwa kebebasan merupakan syarat untuk berkembangnya seseorang secara penuh, untuk kesehatan mental, dan kesejahteraan. Contohnya kelompok-kelompok masyarakat yang memerangi penindasan. 7. Agresi dan narsisme Orang yang narsistik seringkali mendapatkan perasaan aman melalui keyakinan subjektifnya mengenai kesempurnaan dirinya, keunggulan atas orang lain, dan sifat-sifat luar biasanya. Jika narsismenya terancam, dia akan merasakan ancaman terhadap kepentingan vitalnya.
Jika
orang
lain
melukai
narsistiknya,
dengan
meremehkannya, mengkritik, meralat ucapannya yang salah, atau mengalahkannya dalam sebuah permainan, maka ia akan bereaksi dengan kemarahan yang sangat marah. Intensitas reaksi agresif
26
seringkali diperlihatkan dari sikap seseorang yang tidak mau memaafkan orang yang telah melukai perasaan narsisitiknya. Dia juga sering merasakan dendam yang jauh lebih intens dibanding dengan dendam yang ditimbulkan oleh tindakan orang lain secara fisik. 8. Agresi dan perlawanan Agresi sebagai reaksi terhadap segala upaya untuk memunculkan perlawanan dan cita-cita terpendam kedalam kesadaran. Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang memendam keinginan tertentu disepanjang hidupnya, mungkin karena takut akan hukuman, tidak lagi dicintai, atau takut direndahkan apabila keinginan terpendam tersebut diketahui orang lain. 9. Agresi kompromis Agresi kompromis dapat digolongkan sebagai agresi semu. Kepatuhan sebagai konsekuensi kebutuhan untuk mematuhi perintah. Dalam beberapa kasus dorongan agresi itu tidak akan terjadi jika perintah itu tidak dipatuhi. Akan tetapi ada pula yang mengancam diri pelaku, dan cara menghindari ancaman tersebut adalah dengan melakukan tindakan agresif sesuai yang diperintahkan. Contohnya ketika Nabi Ibrahim AS bersedia menyembelih putranya Nabi Ismail AS karena kepatuhan. 10. Agresi instrumental
27
Agresi instrumental bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan, tetapi yang menjadi tujuan bukanlah penghancuran, karena penghancuran itu sendiri hanya berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang sebenarnya. Dari teori-teori diatas peneliti menggunakan teori Buss dan Perry (1992) yang mengklasifikasikan agresi kedalam 4 bentuk agresi, yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi marah, dan sikap permusuhan, sebagai dasar untuk pengukuran agresivitas. 2.1.5 Pengukuran agresivitas
Banyak skala yang digunakan untuk mengukur agresivitas individu, diantaranya:
1. Skala pengukuran agresivitas dari Buss dan Perry dalam jurnal penelitian The Aggression Questionnaire yang menggunakan 4 faktor yaitu, agresi fisik, verbal, marah, dan permusuhan, dan terangkum ke dalam 29 item baku. 2. Penelitian Orpinas dan Frankowski dalam jurnal The Aggression Scale yang mengadopsi teori Buss dan Perry merumuskan 3 faktor yaitu, agresi fisik verbal, dan marah, yang terangkum dalam 11 item baku. 3. Peneliti akan menggunakan faktor skala Buss dan Perry, dengan mengadopsi item-item yang telah dibakukan, sebanyak 29 item baku.
28
2.2 Empati 2.2.1 Pengertian empati Konsep empati berasal dari kata “einfϋhlung” yang popular pada abad ke-19. Istilah ini berasal dari filsafat estetika Jerman yang mengkaji tentang abstrak formal, hingga fokus pada isi, simbol dan emosi. Sehingga paa akhirnya salah satu ilmuwan pada masa itu Johan Friedrich Herbart (dalam Taufik, 2012), merekonstruksikan konsep einfϋhlung dalam makna yang mengantarkan kepada pemahaman konsep tentang empati. Hoffman (2000) menyatakan bahwa“Empaty defined as an affective response more appropriate to another’s situation than one’s own.” Pernyataan tersebut menyatakan bahwa empati didefinisikan sebagai respon afektif (perasaan) terhadap situasi orang lain dari pada situasi diri sendiri.” Menurut Decety dan Jackson (dikutip dari Andreasson, 2010) mendefinisikan empati sebagai: Empathy accounts for the naturally occurring subjective experience of similarity between the feelings expressed by self and others without losing sight of whose feelings belong to whom. Empathy involves not only the affective experience of the other person’s actual or inferred emotional state but also some minimal recognition and understanding of another’s emotional state. “ Empati secara alami merupakan pengalaman subjektif yang memiliki kesamaan antara perasaan yang diekpresikan oleh diri sendiri dan orang lain tanpa mengabaikan perasaan yang lainnya. Empati tidak hanya
29
melibatkan pengalaman afektif keadaan emosi atau penafsiran orang lain, tetapi juga sedikit pemikiran dalam memahami kondisi emosional orang lain.” Sedangkan menurut Chaplin (terjemahkan Kartini Kartono, 2008), empati adalah memproyeksikan perasaan sendiri pada satu kejadian, satu objek alami, atau satu karya estetis. Sebagai contoh, bagi para penumpang, sebuah mobil tampak seperti menjadi tegang ketika mobil tersebut mendaki bukit, dan mereka tampaknya seperti dapat “menolong” ( mengurangi ketegangan ) dengan mencondongkan tubuh kedepan. Realisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan, dan penderitaan pribadi lain. Menurut Stein (dikutip dari Davis, 1990) empati adalah sepenuhnya keunikan dan perbedaan yang mencolok dari proses hubungan intersubjektif yang didalamnya ditemukan tahapan yang bertingkat dan memberikan kita sesuatu yang telah dilakukan, agak seperti realisasi setelah kejadian. Tiga tahapan tesebut adalah simpati, perasaan belas kasih, identifikasi, perubahan diri. Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif (emosional), kognitif, pengalaman, atau keduanya. Ada kesepakatan bahwa ada dua komponen yang diperlukan: empati menyiratkan kemampuan perspektif tertentu dalam berbicara dan juga berperilaku
30
prososial, yaitu berbagi dan memberikan bantuan. Dalam kata lain, adalah kesadaran sosial dan kepekaan sosial. Keduanya menyiratkan perilaku prososial, kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan, kebutuhan dan persepsi dari orang lain (Garton & Gringart, 2005). Cotton (dikutip dari Garton & Gringat , 2005) empati biasanya didefinisikan sebagai kemampuan afektif untuk berbagi dalam perasaan orang lain dan kemampuan kognitif untuk memahami perasaan orang lain dalam perspektif dan kemampuan untuk berkomunikasi terhadap empati seseorang serta perasaan dan pemahaman yang lain dengan cara lisan verbal dan atau nonverbal. Dari berbagai macam pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa empati adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat menempatkan dirinya kedalam pikiran dan perasaan orang lain yang dilakukan secara sadar. 2.2.2 Aspek – Aspek Empati Menurut Davis (1980) terdapat 4 aspek empati: 1. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut Galinsky & Ku (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan perspective taking sebagai “putting oneself in the shoes of another” atau menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain. Perspective
31
taking secara psikologis dan sosial penting bagi keharmonisan interaksi antar individu. Menurut Galinsky (dalam Taufik, 2012) bahwa perspective taking dapat menurunkan stereotype dan pandangan buruk terhadap kelompok lain secara lebih efektif dibandingkan dengan melakukan penekanan terhadap stereotype. Apabila konsep perspective taking ini dikaitkan dengan theory of mind, dimana seseorang dapat menyimpulkan kondisi mental orang lain,
memahami
dari
perspektif
mereka,
dan
dapat
pula
menginterpretasikan serta memprediksi perilaku selanjutnya dari orang lain. Kunci pokoknya adalah dimana seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Karena berkaitan erat dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012) perspective taking terbagi dalam 2 bentuk: Membayangkan
bagaimana
seseorang
akan
berpikir
dan
merasakan apabila ia berada pada situasi anggota kelompok lain. Membayangkan bagaimana seseorang anggota kelompok lain berpikir dan merasakan. 2. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajenatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari
32
karakter khayal dalam buku, film, sandiwara yang dibaca atau yang ditontonnya. 3. Empathic Concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain. 4. Personal distress, yaitu kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal distress bisa disebut sebagai empati negatif. Selanjutnya sebagai tambahan, terdapat aspek yang penting untuk dilihat yang dikutip dari buku Taufik yaitu aspek komunikatif. Munculnya aspek komunikatif ini didasarkan pada asumsi bahwa masing-masing aspek akan tetap berpisah apabila tidak terjalinnya komunikasi. Bierhoff (dalam Taufik, 2012) juga mengatakan bahwa yang dimaksud komunikatif ialah perilaku yang mengekspresikan perasaan-perasaan empatik. Wang et.al (dalam Taufik, 2012) ada 2 komponen lain dari aspek komunikatif: Intellectual empathy ( ekspresi dari pikiran-pikiran empatik) Empathic emotions ( perasaan-perasaan terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan.)
33
2.2.3 Pengukuran Empati Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah skala pengukuran empati dari Mark H. Davis (1980) dengan melihat empati dari beberapa aspek, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, dan personal distress. Davis merangkumnya kedalam 28 item baku. Model skala yang digunakan adalah skala likert. 2.3 Self Control (Pengendalian Diri) 2.3.1 Pengertian self-control Self control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif (Chaplin, terjemahan Kartini Kartono, 2002). Menurut Hurlock (1980) mengatakan bahwa kontrol diri muncul karena adanya perbedaaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, tinggi rendahnya motivasi, dan kemampuan mengelola potensi dan pengembangan kompetensinya. Kontrol diri sendiri berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya. Menurut Rothbaum (dalam Tangney et.all, 2004) menyatakan bahwa “Self-control is widely regarded as a capacity to change and adapt the self so as to produce a better, more optimal fit between self and world.” Maksud dari pernyataan tersebut adalah kontrol diri secara luas dianggap sebagai kapasitas untuk berubah dan beradaptasi dengan
34
diri sehingga menghasilkan sesuatu lebih baik secara optimal antara diri dan dunia.” Menurut Tangney, dkk (2004) menyatakan bahwa “ Central to our concept of self control is the ability to override or change one’s inner responses, as well as to interrupt undesired behavioral tendencies and refrain from acting on them.” Pernyataan tersebut menyatakan bahwa pusat dari konsep pengendalian diri kita adalah kemampuan untuk mengesampingkan atau mengubah tanggapan batin seseorang, serta untuk menekan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan dan menahan diri dari tindakan tersebut.” Kontrol diri untuk situasi dimana orang terlibat dalam perilaku yang dirancang untuk melawan atau mengesampingkan respon yang melebihi (kecenderungan perilaku, emosi, atau motivasi), seperti seseorang yang marah menyerang mereka, beristirahat setelah seharian bekerja keras, atau membolos bukannya pergi ke sekolah. Kontrol diri demikian konsep yang lebih spesifik dari pada self regulation (Mccullough & Willoughby, 2009). Kontrol diri mengacu pada sumber daya internal yang tersedia untuk menghambat, menimpa, atau mengubah tanggapan yang mungkin timbul sebagai akibat dari proses fisiologis, kebiasaan, pembelajaran, atau situasi. Schmeichel dan Baumeister (dikutip dari Mccullough dan Willoughby, 2009).
35
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self control adalah kemampuan untuk mengendalikan dorongan-dorongan emosi sehingga dapat menekan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan. 2.3.2 Aspek-Aspek Self-Control Berdasarkan konsep Averill (1973), terdapat 3 aspek dalam kemampuan mengontrol diri, yaitu: 1. Behavior Control (Mengontrol perilaku) Merupakan suatu tindakan langsung terhadap lingkungan. Aspek ini terdiri dari 2 komponen, yaitu: mengatur pelaksanaan (regulated administration), dan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang akan mengendalikan situasi atau keadaan dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang mempunyai kemampuan mengontrol diri dengan baik akan mampu perilakunya sendiri, dan jika individu tersebut tidak mampu, maka akan menggunakan sumber eksternal dari luar dirinya. Kemampuan mengatur stimulus adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki datang (Nur, 2006).
36
2. Cognitive Control (Mengontrol Kognisi) Merupakan kemampuan individu untuk mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasikan, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologi untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri dari 2 komponen, yaitu: memperoleh informasi ( information gain) dan melakukan penilaian (apparsial). Informasi yang dimiliki individu atas suatu kejadian yang tidak menyenangkan dapat diantisipasi dengan berbagai pertimbangan, serta individu akan melakukan penilaian dan berusaha untuk menafsirkannya melalui segi-segi positif secara subjektif (Nur, 2006). 3. Decisional Control (Mengontrol Keputusan) Kemampuan untuk memilih hasil yang diyakini individu, dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari 2 komponen juga, yaitu: mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, dimana individu dapat menahan dirinya (Nur, 2006). Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek di atas, kontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh aspek itu mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol diri.
37
2.3.3 Pengukuran self control Ada beberapa pengukuran self control, diantaranya: 1. Skala pengukuran Self-Control Rating Scale (SCRS) yang ditulis oleh Dickerson, yang terangkum kedalam 33 item baku. 2. Self Control Behavior Inventory Fagen (dalam Tangney, 2004) pada dasarnya adalah sebuah checklist untuk peringkat pengamatan perilaku. 3. Self-Control Questionnaire oleh Brandon, dkk sebagai skala sifat kontrol diri. Brandon menekankan pada perilaku kesehatan, dan memiliki cakupan item yang luas. 4. Self-Control Schedule oleh Rosenbaum, ditujukan khusus untuk sampel klinis dan berfokus pada penggunaan strategi seperti gangguan diri dan kognitif untuk memecahkan masalah perilaku tersebut. 5. Peneliti menggunakan skala pengukuran teori dari Averill (1973) yaitu, mengontrol perilaku, kognisi, keputusan, dan terangkum ke dalam 20 item yang valid. 2.4 Kerangka Berpikir Agresivitas adalah suatu sifat yang cenderung memiliki keinginan untuk selalu menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengacau,
menghalangi
atau
menghambat.
Beberapa
faktor
yang
melatarbelakangi terjadinya agresi ialah frustrasi, marah, suhu, gen, lingkungan sosial, pengaruh alkohol, hal ini sejalan dengan penelitian dari
38
Bandura, dkk (1961) menyebutkan beberapa faktor orang bertindak agresif, karena bawaan biologis, pengulangan frustrasi, dan yang paling terpenting adalah tindakan agresi itu dipelajari. Tidak hanya itu, beberapa jurnal penelitian melihat indikasi lain yang membuat seseorang bertindak agresif, seperti dalam jurnal penelitian dari Giancola (2003) yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan yang meminum alkohol dan memiliki empati yang rendah akan lebih tinggi tingkat agresifnya, dari pada laki-laki dan perempuan yang memiliki empati yang tinggi akan turun tingkat agresifnya. Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif (emosional), kognitif, pengalaman, atau keduanya. Penelitian ini juga menyajikan konsep tentang self-control yang berkaitan langsung dengan agresivitas, seperti yang terdapat dalam jurnal penelitian Finkenauer, dkk (2005) yang menyatakan bahwa tinggi self-control sangat
berhubungan
dengan
penurunan
resiko
masalah
psikososial
diantaranya kenakalan dan sikap agresivitas pada remaja. Agar kedua hal tersebut dapat dilihat lebih jelas lagi pengaruhnya, maka sesuai dengan pengertian masing-masing variabel di atas, peneliti pun mengembangkan kedua variabel itu menjadi masing-masing variabel, variabel empati dikembangkan menjadi empat aspek, yaitu perspective taking, fantasy, empathic
concern,
dan
personal
distress.
Sedangkan
self-control
dikembangkan menjadi tiga aspek, yaitu behavior control, cognitive control,
39
dan decisional control. Jenis kelamin menjadi variabel lainnya yang akan diteliti bersama dengan empati dan self-control. Berikut ini adalah skema dari kerangka berpikir: KERANGKA BERPIKIR
EMPATI Perspektive Taking 1. (PT) 2.
Fantasy (FS)
3. 4. 5.
Empatic Concern (EC)
6. Personal Distress (PD) 8. Self-esteem 7.
SELF-CONTROL 9. Behavior control 10. 11. Cognitive control 12. 13. Decisional control 14. 15.
Jenis Kelamin
Gambar 2.1. Kerangka berpikir
Agresivitas
40
2.5 Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh IV yang diketahui terhadap DV. IV dalam penelitian ini adalah empati dengan aspek-aspeknya yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress. serta self-control dengan aspek-aspeknya yaitu behavior control, cognitive control, dan decisional control. Sedangkan DV nya adalah agresivitas remaja. Dalam hal ini, IV dari faktor demografis yang bersifat kategorik seperti jenis kelamin dan usia dianalisis secara terpisah dan hanya dimasukkan ke dalam hipotesis minor. Hipotesis Alternatif Hipotesis Mayor Ada pengaruh yang signifikan antara empati
dan self-control terhadap
agresivitas remaja. Hipotesis Minor Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan antara perspective taking terhadap agresivitas remaja. Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan antara fantasy terhadap agresivitas remaja. Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan antara empathic concern terhadap agresivitas remaja. Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan antara personal distress terhadap agresivitas remaja. Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan antara behavior control terhadap agresivitas remaja. Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan antara cognitive control terhadap agresivitas remaja.
41
Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan antara decisional control terhadap agresivitas remaja. Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap agresivitas remaja.
42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini membahas mengenai metode penelitan, dan dalam hal ini akan dibatasi secara sistematis sebagai berikut: variabel penelitian, subjek penelitian, metode dan instrument pengumpulan data, prosedur penelitian, validitas dan reliabilitas alat ukur dan teknik analisa data.
3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.1.1 Variabel penelitian Identifikasi Variabel Dependent Variabel (DV)
: Agresivitas pada remaja
Independent Variabel (IV 1)
: Empati
Independent Variabel (IV 2)
: Self-Control
3.1.2 Definisi operasional 3.1.2.1 Definisi operasional agresivitas. Agresi adalah respon yang memberikan rangsangan berbahaya ke organisme lain, yang diukur
melalui
empat
bentuk
perilaku
agresif
yang
dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) yaitu agresi fisik, agresi verbal, rasa marah, dan sikap permusuhan. 3.1.2.2 Definisi operasional empati. Empati adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat menempatkan dirinya kedalam pikiran dan perasaan orang lain secara tulus, yang diukur melalui empat aspek empati yang dikembangkan oleh Mark H Davis (1980)
43
yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, dan personal distress. 3.1.2.3 Definisi
operasional
self-control.
Self
control
adalah
kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, yang diukur melalui tiga aspek self-control yang dikembangkan oleh Averill (1973) yaitu behavior control (kontrol perilaku), cognitive control (kontrol kognitif) dan decisional control (kontrol keputusan). 3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa/siswi SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Jumlah siswa kelas X sebanyak 228 siswa, dan kelas XI sebanyak 259 siswa,. Jumlah total dari populasi sebanyak 487 siswa.
3.2.2 Sampel Sampel yang digunakan sebanyak 150 siswa/siswi SMAN 3 Tangerang Selatan, yang terdiri dari siswa/siswi kelas X dan XI. Kelas X terdiri dari 7 kelas, dan kelas XI terdiri dari 8 kelas. Jumlah seluruhnya 15 kelas. Teknik Pengambilan Sampel menggunakan probability sampling, teknik dimana peluang dipilihnya sampel diketahui.
44
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode skala likert yaitu dengan menyebarkan angket. Untuk alat ukur agresivitas, peneliti menggunakan skala agresivitas Buss dan Perry (1992) sebanyak 27 item, skala pengukuran empati dengan mengadopsi Empathy Questionnaire dari Mark H. Davis (1980) sebanyak 28 item, dan skala pengukuran self-control menggunakan teori Averill (1973) sebanyak 20 item.
Untuk pemberian skor dari skala ini, jawaban antara pernyataan yang bersifat favorabel dengan yang bersifat unfavorabel berbeda, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.1. Skoring Instrumen Pilihan Jawaban Sangat Setuju (SS) Setuju (S) Tidak Setuju (TS) Sangat Tidak Setuju (STS)
Favorabel 4 3 2 1
Unfavorabel 1 2 3 4
Adapun alasan penulisan menggunakan empat alternatif jawaban adalah untuk melihat kecenderungan kearah setuju atau tidak setuju serta untuk menghindari adanya kecenderungan responden menjawab netral.
3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen
pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini
dengan
menggunakan skala. Skala yang dipergunakan untuk mengumpulkan
45
data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu skala agresivitas, empati, dan skala pengendalian diri (self-control).
1. Skala pengukuran pertama dalam penelitian ini adalah skala agresivitas remaja. Skala ini disusun berdasarkan teori Buss dan Perry dalam jurnal The Aggression Questionnaire (1992) yang menyatakan bahwa ada 4 bentuk agresi yaitu: agresi fisik, verbal, marah, sikap permusuhan. Menurut hasil penelitian, reliabilitas agresi fisik sebesar 0.80, agresi verbal 0.76, marah 0.72, dan sikap permusuhan 0.72. Adapun tabel blue print penyebaran skala agresivitas adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2 Blue Print Skala Agresivitas
Aspek Agresi Fisik
Indikator Menyerang Memukul Agresi Verbal Berdebat Menyebarkan gossip Bersikap Sarkastis Agresi Marah Kesal Mudah marah Sikap Benci permusuhan Curiga Iri hati Jumlah pernyataan
No. Item Favorabel Unfavorabel 5 4
Jumlah Item 9
3
2
5
4
3
7
5
3
8
17
12
29
46
2. Skala Empati yang digunakan mengacu pada aspek-aspek empati menurut Davis dalam jurnal A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy (1980) yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress dengan menggunakan skala model likert. Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan empati individu yang dikategorikan menurut jenis kelamin. Hasil penelitiannya menunjukkan reliabilitas dilihat dari konsistensi internal perspective taking (0.75, 0.78), fantasy (0.78, 0.75), empathic concern (0.72, 0.70), personal distress (0.78, 0.78) Adapun tabel blue print penyebaran item skala empati adalah sebagai berikut:
Tabel 3.3 Blue Print Skala Empati
Aspek
Indikator
Perspective Taking
Berpikir dan Merasakan berdasarkan keadaan orang lain Mengimajinasikan diri dalam situasi fiktif Merasakan pengalaman orang lain Merasakan perasaaan cemas dari pengalaman negative
Fantasy
Empathic Concern
Personal Distress
No. Item Favorabel Unfavorabel
Jumlah Item
5
2
7
5
2
7
4
3
7
5
2
7
47
Jumlah Pernyataan
19
9
28
1. Skala pengendalian diri (self-control) yang digunakan mengacu pada aspek-aspek pengendalian diri (self-control) menurut Averil (1973) yaitu behavior control, cognitive control, dan decisional control, dengan menggunakan model skala likert. Adapun tabel blue print penyebaran item skala pengendalian diri (self-control) adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4 Blue Print Skala Self Control
Aspek Behavior control
Indikator Mengatur pelaksanaan Memodifikasi stimulus Cognitive Memperoleh control informasi Melakukan penilaian Decisional Mengantisipasi control peristiwa Menafsirkan peristiwa Jumlah Pernyataan
No. Item Jumlah Favorabel Unfavorabel Item 2, 17 11 3 13, 15 16
2 1
10, 12, 20
1, 3, 18
6
5, 8
4, 7, 19
5
14
6, 9
3
9
11
20
3.4 Uji Validitas Konstruk
Untuk menguji validitas konstruk setiap item, maka peneliti melakukan uji validitas dengan menggunakan Confirmatory Factor Analiysis (CFA) dengan
48
software LISREL 8.7 . Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan uji CFA dengan model unidimensional (satu faktor) dan dilihat nilai Chi-Square yang dihasilkan. Jika nilai Chi-Square tidak signifikan (p>0.05) berarti semua item telah mengukur sesuai dengan yang diteorikan, yaitu hanya mengukut satu faktor saja. Jika ini terjadi maka analisis dilanjutkan pada tahap selanjutnya, yaitu melihat muatan faktor pada masing-masing item. Namun jika Chi-Square signifikan (p<0.05), maka diperlukan modifikasi terhadap model pengukuran tersebut. 2. Jika nilai Chi-Square signifikan, maka dilakukan modifikasi model pengukuran
dengan
cara
mengestimasi
korelasi
antar
kesalahan
pengukuran pada beberapa item yang mungkin bersifat multidimensional. Ini berarti bahwa selain suatu item mengukur konstruk yang seharusnya diukur, juga dapat dilihat apakah item tersebut mengukur hal yang lain (mengukur lebih dari satu hal). Jika setelah beberapa kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi dan diperoleh model fit, maka model terkahir inilah yang akan digunakan pada langkah selanjutnya. 3. Setelah diperoleh model fit (unidimensional) maka dilihat apakah ada item yang muatan faktornya negatif. Melihat signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktornya dilihat dari nilai t bagi koefisien muatan faktor item. Perbandingannya adalah (t>1,96) maka item tersebut signifikan. Jika ada
49
yang tidak signifikan dimana (t<1,96) maka item tersebut harus didrop atau tidak diikutsertakan dalam analisis perhitungan faktor skor. 4. Dengan menggunakan SPSS dan model unidimensional (satu faktor) kemudian dihitung (destimasi) nilai skor faktor (true score) bagi setiap orang untuk variabel yang bersangkutan. 3.4.1 Validitas konstruk agresivitas remaja Dalam subbab ini peneliti menguji apakah 29 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur agresivitas remaja. Dari hasil CFA yang
dilakukan,
model
satu
faktor
tidak
fit,
dengan
Chi-
Square=1189,19 df=377 P-value=0,00000 RMSEA=0,120. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square=322,83 df=289 P-value=0,08328 RMSEA=0,028. Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu agresivitas remaja. Hanya saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji
50
adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.5 dibawah ini: Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Agresivitas Remaja No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Koefisien 0,51 -0,08 0,54 -0,01 0,60 -0,13 0,59 -0,32 -0,35 0,30 0,75 -0,14 -0,35 0,36 0,50 0,53 0,25 0,53 0,43 0,30 0,24 0,53 0,30 0,69 0,20 0,47 0,34 0,55 0,43
Standar Error 0,08 0,09 0,08 0,09 0,08 0,09 0,08 0,09 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08
Nilai t 6,38 -0,88 7,01 -0,11 7,31 -1,45 7,58 -3,81 -4,37 3,68 9,98 -1,66 -4,23 4,37 5,95 6,63 3,06 6,70 5,36 3,68 2,85 6,28 3,61 9,15 2,35 5,57 4,01 7,01 5,18
Signifikan V X V X V X V X X V V X X V V V V V V V V V V V V V V V V
Keterangan: tanda (V)=signifikan (t>1,96), (X)=tidak signifikan.
51
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa 7 item tidak signifikan karena (t<1,96) dan koefisien bermuatan negatif. Artinya, item tersebut akan didrop dan tidak akan diikutsertakan dalam analisis uji hipotesis. Namun demikian, walaupun item-item tersebut saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel agresivitas remaja yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya.
3.4.2 Validitas konstruk perspective taking Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur perspective taking. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan ChiSquare=40,24 df=14 P-value=0,00023 RMSEA=0,112. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan ChiSquare=17,16 df=12 P-value=0,14360 RMSEA=0,054. Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu perspective taking. Hanya
52
saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.6 dibawah ini: Tabel 3.6 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item perspective taking. 1 1
1 2 3 4 5 6 7
2
3
4
5
6
7
1 1
V 1 1
V 1 1
Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item lainnya. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi ada empat yaitu item 3, 5, 6 dan 7 yang bersifat multidimensional. Namun demikian item lainnya yaitu item 1, 2 dan 4 dapat dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya. Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.
53
Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.7 dibawah ini:
Tabel 3.7 : Muatan faktor item untuk perspective taking No 1 2 3 4 5 6 7
Koefisien 0,60 0,08 0,49 0,80 0,14 0,68 0,14
Standar Error 0,08 0,09 0,09 0,08 0,09 0,09 0,09
Nilai t 7,32 0,89 5,38 9,79 1,56 7,88 1,57
Signifikan V X V V X V X
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa tiga item tidak signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Walaupun terdapat empat item yang saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun, terdapat tiga item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 2, 5 dan 7 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel perspective taking yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya.
54
3.4.3 Validitas Konstruk Fantasy Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur fantasy. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square=66,58 df=14 P-value=0,00000 RMSEA=0,159. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model
fit
dengan
Chi-Square=13,04
df=10
P-
value=0,22147 RMSEA=0,045. Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu fantasy. Hanya saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.8 dibawah ini:
55
Tabel 3.8 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada butir item fantasy.
1 2 3 4 5 6 7
1 1
2
3
1
V 1
4
5
6
7 V
V 1 1
V 1 1
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi ada lima yaitu item 2, 3, 5, 6 dan 7 yang bersifat multidimensional. Namun demikian item lainnya yaitu item 1 dan 4 dapat dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya. Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.9 dibawah ini:
56
Tabel 3.9 Muatan faktor item untuk fantasy No 1 2 3 4 5 6 7
Koefisien 0,68 0,84 0,40 0,65 0,39 0,67 0,16
Standar Error 0,08 0,07 0,09 0,08 0,09 0,08 0,09
Nilai t 8,93 11,33 4,31 8,48 4,58 8,61 1,74
Signifikan V V V V V V X
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa ada satu item tidak signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Walaupun terdapat lima item yang saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun, terdapat satu item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 7 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel fantasy yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya. 3.4.4 Validitas konstruk empathic concern Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur empathic concern. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan ChiSquare=53,36 df=14 P-value=0,00000 RMSEA=0,137. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi
57
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan ChiSquare=18,91 df=12 P-value=0,09084 RMSEA=0,062. Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu empathic concern. Hanya saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.10 dibawah ini: Tabel 3.10 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item empathic concern.
1 2 3 4 5 6 7
1 1
2
3
4
1
5
6
7
V 1 1 1
V 1 1
Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item lainnya. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi ada tiga yaitu item 2, 5 dan 6 yang bersifat multidimensional. Namun
58
demikian item lainnya yaitu item 1, 3, 4 dan 7 dapat dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya. Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.11 dibawah ini:
Tabel 3.11 Muatan faktor item untuk empathic concern No 1 2 3 4 5 6 7
Koefisien 0,69 0,18 0,55 0,15 0,48 0,22 0,65
Standar Error 0,09 0,10 0,09 0,10 0,09 0,10 0,09
Nilai t 7,41 1,86 5,96 1,54 5,18 2,24 7,03
Signifikan V X V X V V V
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa dua item tidak signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Walaupun terdapat tiga item yang saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun, terdapat dua item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 2
59
dan 4 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel empathic concern yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya.
3.4.5 Validitas Konstruk Personal Distress Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur personal distress. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan ChiSquare=38,33 df=14 P-value=0,00046 RMSEA=0,108. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan ChiSquare=20,34 df=12 P-value=0,06084 RMSEA=0,068. Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu personal distress. Hanya saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.12 dibawah ini:
60
Tabel 3.12 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item personal distress.
1 2 3 4 5 6 7
1 1
2
3
4
5
1
6
7
v 1 1
v 1 1 1
Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item lainnya. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi ada tiga yaitu item 2, 4 dan 6 yang bersifat multidimensional. Namun demikian item lainnya yaitu item 1, 3, 5 dan 7 dapat dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya. Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.13 dibawah ini:
61
Tabel 3.13 Muatan faktor item untuk personal distress No 1 2 3 4 5 6 7
Koefisien 0,33 0,60 0,68 0,16 0,43 0,44 0,17
Standar Error 0,09 0,10 0,10 0,10 0,09 0,11 0,10
Nilai t 3,51 5,80 6,99 1,56 4,63 4,14 1,76
Signifikan V V V X V V X
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa dua item tidak signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Walaupun terdapat tiga item yang saling berkorelasi, Peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun, terdapat dua item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 4 dan 7 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel personal distress yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya. 3.4.6 Validitas Konstruk Behavior Control Dalam hal ini peneliti menguji apakah 5 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur behavior control. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan ChiSquare=13,25 df=5 P-value=0,02112 RMSEA=0,105. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
62
pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan ChiSquare=7,01 df=4 P-value=0,13553 RMSEA=0,071. Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu behavior control. Hanya saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.14 dibawah ini: Tabel 3.14 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item behavior control.
1 2 3 4 5
1 1
2
3
4
5
1 1 1
V 1
Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item lainnya. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi
63
ada dua yaitu item 4 dan 5 yang bersifat multidimensional. Namun demikian item lainnya yaitu item 1, 2 dan 3 dapat dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya. Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.15 dibawah ini:
Tabel 3.15 Muatan faktor item untuk behavior control No 1 2 3 4 5
Koefisien 0,45 0,80 0,42 0,19 0,34
Standar Error 0,10 0,13 0,10 0,10 0,10
Nilai t 4,37 6,07 4,13 1,89 3,37
Signifikan V V V X V
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa satu item tidak signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Walaupun terdapat dua item yang saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun, terdapat satu item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 4
64
harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel behavior control yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya. 3.4.7 Validitas Konstruk Cognitive Control Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur cognitive control. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan ChiSquare=25,55 df=14 P-value=0,02949 RMSEA=0,074. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan ChiSquare=15,33 df=13 P-value=0,28695 RMSEA=0,035. Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu cognitive control. Hanya saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.16 dibawah ini:
65
Tabel 3.16 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item cognitive control.
1 2 3 4 5 6 7
1 1
2
3
1
4
5
6
7
v 1 1 1 1 1
Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item lainnya. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi ada dua yaitu item 2 dan 4 yang bersifat multidimensional. Namun demikian item lainnya yaitu item 1, 3, 5, 6 dan 7 dapat dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya. Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.17 dibawah ini:
66
Tabel 3.17 Muatan faktor item untuk cognitive control No 1 2 3 4 5 6 7
Koefisien 0,35 -0,24 0,59 0,59 0,30 0,37 0,68
Standar Error 0,09 0,10 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09
Nilai t 3,68 -2,41 6,57 6,38 3,12 3,94 7,55
Signifikan V X V V V V V
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa satu item tidak signifikan karena (t<1,96) dan ada satu koefisien bermuatan negatif. Walaupun terdapat dua item yang saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun, terdapat satu item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 2 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel cognitive control yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya. 3.4.8 Validitas Konstruk Decisional Control Dalam hal ini peneliti menguji apakah 8 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur decisional control. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan ChiSquare=63,89 df=20 P-value=0,00000 RMSEA=0,121. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
67
pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan ChiSquare=26,76 df=18 P-value=0,08358 RMSEA=0,057. Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu decisional control. Hanya saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan
bahwa
beberapa
item
sebenarnya
bersifat
multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.18 dibawah ini: Tabel 3.18 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item decisional control.
1 2 3 4 5 6 7 8
1 1
2
3
4
5
6
7
8
1 1
V 1
V 1 1 1 1
Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item lainnya.
68
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi ada empat yaitu item 3, 4, 6 dan 8 yang bersifat multidimensional. Namun demikian item lainnya yaitu item 1, 2, 5 dan 7 dapat dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya. Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.19 dibawah ini:
Tabel 3.19 Muatan faktor item untuk decisional control No 1 2 3 4 5 6 7 8
Koefisien 0,68 0,66 0,06 0,61 0,65 0,49 0,06 0,15
Standar Error 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09
Nilai t 7,94 7,66 0,65 7,04 7,59 5,36 0,64 1,55
Signifikan V V X V V V X X
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa tiga item tidak signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif.
69
Walaupun terdapat empat item yang saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun, terdapat tiga item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 3, 7 dan 8 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel decisional control yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya. 3.5 Metode Analisa Data 3.6.1. Teknik Analisa Data Analisis data adalah proses pengolahan data sehingga dapat ditafsirkan. Pengolahan data dilakukan dengan analisis data statistik sebagai cara untuk mengetahui pengaruh independen variabel, yaitu empati dan self control terhadap dependen variabel yaitu agresivitas remaja. Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan teknik analisis regresi berganda. Teknik analisis berganda ini digunakan untuk menentukan ketepatan prediksi dan ditujukan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari independen variabel dan dependen variabel. Regresi berganda merupakan metode statistika yang digunakan untuk membentuk model pengaruh antara satu dependen variabel dengan
70
lebih dari satu independen variabel. Analisis statistik dilakukan dengan bantuan software Lisrel dan SPSS 18.0. Untuk menilai apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang paling sesuai atau tidak, dibutuhkan beberapa pengujian dan analisis sebagai berikut: 1. R² (koefisien determinasi berganda) R² menunjukkan variasi atau perubahan dependen variabel (Y) yang disebabkan independen variabel (X) atau digunakan untuk mengetahui besarnya hubungan independen variabel (X) dengan dependen variabel (Y). untuk mendapatkan nilai R² digunakan rumus sebagai berikut:
2. Uji F Untuk membuktikan apakah regresi Y pada X signifikan atau tidak, maka digunakan uji F untuk membuktikan hal tersebut. Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya, dapat dilihat apakah beberapa variabel independen yang diujikan memiliki hubungan dengan dependen variabel. Untuk membuktikan hal tersebut menggunakan rumus sebagai berikut:
71
Pembagian disini adalah
itu sendiri dengan df nya yaitu (k),
ialah jumlah independen variabel yang dianalisis, sedangkan penyebutan
dibagi dengan
dimana N adalah
jumlah sampel. Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya dapat dilihat apakah variabel independen yang diujikan memiliki pengaruh terhadap dependen variabel. 3. Uji t Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh independen variabel terhadap dependen variabel. Hasil uji t ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan peneliti lakukan. uji t yang dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana (b) adalah koefisien regresi dan (Sb) adalah standar deviasi sampling dari koefisien (b). selain uji t, peneliti akan menulis
signifikan tidaknya dilakukan dengan menggunakan
rumus yang telah dijelaskan sebelumnya. Penghitungan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS 18.0.
3.6 Prosedur Penelitian 3.6.1 Tahap Persiapan Persiapan yang dilakukan adalah: 1. Melakukan perumusan masalah dan menentukan variabel yang akan diteliti, serta menentukan subjek penelitian.
72
2. Melakukan observasi terlebih dahulu terhadap siswa siswi SMA Negeri 3 Tangerang Selatan. 3. Melakukan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan teori yang kuat mengenai variabel penelitian, serta subjek penelitian. 4. Persiapan yang menyangkut alat pengumpul data adalah dengan membuat item-item yang mengacu pada aspek dan indikator dari setiap variabel penelitian yang diajukan. 3.6.2 Tahap pelaksanaan Pelaksanaan pengumpulan data: 1. Menentukan subjek penelitian dengan teknik probability sampling, dimana semua anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel berdasarkan tingkatan kelas yang telah ditentukan. 2. Melakukan penyembaran skala uji bentuk likert. 3.6.3 Tahap analisa data Pelaksanaan menganalisa data: 1. Melakukan scoring data hasil penyebaran skala likert 2. Menghitung dan membuat tabulasi data yang diperoleh, kemudian membuat tabel data. 3. Melakukan analisis data dengan
menggunakan metode statistik
untuk menguji hipotesis penelitian dan korelasi antar variabel. Dianalisis secara validitas dan reliabilitasnya, analisis uji beda, serta teknik analisis statistik dengan menggunakan SPSS 18.0.
73
4. Membuat laporan hasil dari analisis tersebut, berupa gambaran umum, kategorisasi dari setiap variabel, hasil korelasi regresi, serta menghitung uji beda sebagai data tambahan, dan yang terakhir membuat kesimpulan.
74
BAB IV HASIL PENELITIAN Pada bab ini peneliti membahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu analisis deskriptif serta uji hipotesis penelitian yaitu analisis regresi variabel penelitian dan pengujian proporsi varian masing-masing variabel independen. 4.1 Analisis Deskriptif Sampel dalam penelitian ini adalah 150 siswa-siswi kelas X dan XI SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai gambaran sampel berdasarkan jenis kelamin. Gambaran sampel penelitian dapat dilihat pada table 4.1. berikut ini: Table 4.1 Karakteristik sampel penelitian Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Usia 13-15 16-17 Kelas X XI IPA XI IPS
Sampel = 150 n (%) 63 (42,0) 87 (58,0) 47 (31,3) 103 (68,7) 70 (46,7) 60 (40,0) 20 (13,3)
75
1. Responden laki-laki jumlahnya lebih sedikit daripada perempuan yaitu 63 sampel (42%), sedangkan responden perempuan berjumlah 87 sampel (58%). 2. Responden yang berumur 13-15 tahun berjumlah lebih sedikit dari pada responden yang berumur 16-17 tahun yaitu 47 sampel (31,3%), sedangkan responden yang berumur 16-17 tahun berjumlah 103 sampel (68,7%). 3. Responden dari kelas X sebanyak 70 sampel (46,7%), responden dari kelas XI IPA sebanyak 60 sampel (40%), dan responden dari kelas XI IPS sebanyak 20 sampel (13,3%). 4.2 Kategorisasi Skor Variabel Pada penelitian ini, peneliti membagi klasifikasi skor agresivitas remaja, perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress, behavior control, cognitive control, dan decisional control menjadi tiga skor, yaitu skor rendah, sedang dan tinggi. Kategorisasi didapat berdasarkan rumus pada tabel 4.2 berikut ini: Tabel 4.2 Kategorisasi skor variabel Variabel Agresivitas Perspective Taking Fantasy Empathic Concern Personal Distress Behavior Control Cognitive Control Decisional Control
Rendah n(%) 27(18,0) 25(16,7) 28(18,7) 19(12,7) 22(14,7) 26(17,3) 28(18,7) 27(18,0)
Sedang n(%) 102(68,0) 95(63,3) 98(65,3) 107(71,3) 101(67,3) 100(66,7) 95(63,3) 94(62,7)
Tinggi n(%) 21(14,0) 30(20,0) 24(16,0) 24(16,0) 27(18,0) 24(16,0) 27(18,0) 29(19,3)
76
1. Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor agresivitas rendah sebanyak 27 sampel (18%), skor sedang 102 sampel (68%), dan skor tertinggi sebanyak 21 sampel (14%). 2. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor perspective taking rendah sebanyak 25 sampel (16,7%), skor sedang 95 sampel (63,3%), dan skor tertinggi sebanyak 30 sampel (20%). 3. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor fantasy rendah sebanyak 28 sampel (18,7%), skor sedang 98 sampel (65,3%), dan skor tertinggi sebanyak 24 sampel (16%). 4. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor empathic concern rendah sebanyak 19 sampel (12,7%), skor sedang 107 sampel (71,3%), dan skor tertinggi sebanyak 24 sampel (16%). 5. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor personal distress rendah sebanyak 22 sampel (14,7%), skor sedang 101 sampel (67,3%), dan skor tertinggi sebanyak 27 sampel (18%). 6. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor behavior control rendah sebanyak 26 sampel (17,3%), skor sedang 100 sampel (66,7%), dan skor tertinggi sebanyak 24 sampel (16%). 7. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor cognitive control rendah sebanyak 28 sampel (18,7%), skor sedang 95 sampel (63,3%), dan skor tertinggi sebanyak 27 sampel (18%). 8. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor decisional control rendah sebanyak 27 sampel (18%), skor sedang 94 sampel (62,7%), dan skor tertinggi sebanyak 29 sampel (19,3%). 4.3 Uji Hipotesis Penelitian 4.3.1 Pengujian hipotesis mayor dan minor Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software SPSS 18.0.
77
Seperti yang telah disebutkan pada bab 3, dalam regresi ada 3 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R square untuk mengetahui seberapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV. Kedua ialah apakah secara keseluruhan IV berpengaruh signifikan terhadap DV. Ketiga ialah melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing IV. Langkah pertama peneliti melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh DV. Selanjutnya untuk tabel R square dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut: Tabel 4.3 R square Model
R
R Square
Adjusted R Square
1
,407
,166
,118
Std. Error of the Estimate 13,04531
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa perolehan R square sebesar 0,166 atau 16,6%. Artinya proporsi varians dari agresivitas remaja yang dijelaskan oleh semua independen variabel adalah sebesar 16,6%, sedangkan 83,4% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian. Langkah kedua peneliti menganalisis dampak dari seluruh independen variabel terhadap agresivitas remaja. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut:
78
Tabel 4.4 Analisis Regresi ANOVAb Model
Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 4761,411 8 595,176 3,497 ,001a Residual 23995,386 141 170,180 Total 28756,797 149 a. Predictors: (Constant), J.KELAMIN, BEHAVIOR, E.CONCERN, FANTASY, P.TAKING, P.DISTRESS, DECISIONAL, COGNITIVE b. Dependent Variable: AGRESIVITAS Jika dilihat dari kolom ke 6 dari kiri diketahui bahwa nilai signifikan lebih kecil (p<0,05). Maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh independen variabel terhadap dependen variabel, yaitu agresivitas remaja ditolak. Artinya ada pengaruh yang signifikan dari empati (perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress), self control (behavior control, cognitive control, decisional control) dan jenis kelamin. 4.3.2 Uji hipotesis minor Uji hipotesis ini merupakan uji hipotesis untuk menjawab hipotesis minor. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut:
79
Tabel 4.5 Koefisien regresi Coefficientsa Model Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 1 (Constant) 81,198 7,834 P.TAKING ,080 ,099 ,073 FANTASY -,058 ,091 -,055 E.CONCERN -,059 ,107 -,050 P.DISTRESS ,004 ,108 ,004 BEHAVIOR -,287 ,122 -,235 COGNITIVE ,062 ,126 ,052 DECISIONAL -,242 ,111 -,218 J.KELAMIN -3,930 2,365 -,140 a. Dependent Variable: AGRESIVITAS
T Sig. 10,364 ,000 ,802 ,424 -,633 ,528 -,555 ,580 ,040 ,968 -2,353 ,020* ,497 ,620 -2,185 ,031* -1,662 ,099
Berdasarkan hasil di atas, hanya koefisien regresi Behavior control dan Decisional control yang signifikan sedangkan sisa lainnya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dari 8 hipotesis minor hanya terdapat 2 yang signifikan. Koefisien regresi di atas dapat dijelaskan dengan persamaan regresi sebagai berikut: Agresivitas remaja = 81,198 + (0,080) perspective taking + (-0,058) fantasy + (-0,059) empathic concern + (0,004) personal distress + (-0,287) behavior control* +
(0,062)
cognitive
control
+
(-0,242)
decisional control* + (-3,930) Jenis Kelamin.
Begitu juga dengan hasil uji hipotesis minor dapat dilihat berdasarkan tabel rinciannya yaitu sebagai berikut: 1. Variabel jenis kelamin
80
Diperoleh nilai koefisien regresi variabel jenis kelamin sebesar 3,930
dengan
signifakansi
0,099
(sig>0,05).
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin secara signifikan tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif. 2. Variabel perspective taking Diperoleh nilai koefisien regresi variabel perspective taking sebesar 0,080
dengan
signifakansi
0,424
(sig>0,05).
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa variabel perspective taking secara signifikan tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan positif. 3. Variabel fantasy Diperoleh nilai koefisien regresi variabel fantasy sebesar -0,058 dengan signifakansi 0,528 (sig>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel fantasy secara signifikan tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif. 4. Variabel empathic concern Diperoleh nilai koefisien regresi variabel empathic concern sebesar -0,059 dengan signifakansi 0,580 (sig>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel empathic concern secara signifikan tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif.
81
5. Variabel personal distress Diperoleh nilai koefisien regresi variabel personal distress sebesar 0,004
dengan
signifakansi
0,968
(sig>0,05).
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa variabel personal distress secara signifikan tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan positif. 6. Variabel behavior control Diperoleh nilai koefisien regresi variabel behavior control sebesar 0,287
dengan
signifakansi
0,020
(sig<0,05).
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa variabel behavior control secara signifikan mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif. Jadi semakin tinggi behavior control maka semakin rendah agresivitas remaja di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. 7. Variabel cognitive control Diperoleh nilai koefisien regresi variabel cognitive control sebesar 0,062
dengan
signifakansi
0,620
(sig>0,05).
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa variabel cognitive control secara signifikan tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan positif. 8. Variabel decisional control Diperoleh nilai koefisien regresi variabel decisional control sebesar -0,242 dengan signifakansi 0,031 (sig<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel decisional control secara signifikan
82
mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif. Jadi semakin tinggi decisional control maka semakin rendah agresivitas remaja di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. 4.4
Analisis proporsi varians pada masing-masing independen variabel Pengujian pada tahap ini bertujuan untuk melihat apakah signifikan tidaknya penambahan (incremented) proporsi varian dari tiap independen variabel, yang mana independen varibel tersebut dianalisis satu per satu. Pada tabel kolom pertama adalah independen variabel yang dianalisis satu per satu, kolom kedua merupakan total penambahan varians dependen variabel dari tiap independen variabel yang dianalisis satu per satu tersebut, kolom ketiga merupakan nilai murni varians dependen variabel dari tiap independen variabel yang dimasukkan secara satu per satu, kolom keempat adalah nilai F hitung bagi independen variabel yang bersangkutan, kolom df adalah derajat bebas bagi independen variabel yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan denumerator. Jika signifikan artinya bahwa penambahan (incremented) proporsi varians dari independen variabel yang bersangkutan, dampaknya signifikan. Besarnya proporsi varians pada agresivitas remaja dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut:
83
Tabel 4.6 : Proporsi varians Model Summary Model
1 2 3 4 5 6 7 8
R Adjusted Square R Square ,008 ,001 ,018 ,005 ,034 ,015 ,034 ,008 ,118 ,087 ,118 ,081 ,149 ,107 ,166 ,118
R Square Change ,008 ,010 ,016 ,000 ,084 ,000 ,031 ,016
Change Statistics F Sig. F Change df1 df2 Change 1,168 1 148 ,282 1,506 1 147 ,222 2,494 1 146 ,116 ,011 1 145 ,918 13,636 1 144 ,000 ,012 1 143 ,911 5,203 1 142 ,024 2,762 1 141 ,099
a. Predictors: (Constant), P.TAKING b. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY c. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN d. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS e. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS, BEHAVIOUR f. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS, BEHAVIOUR, COGNITIVE g. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS, BEHAVIOUR, COGNITIVE, DECISIONAL h. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS, BEHAVIOUR, COGNITIVE, DECISIONAL,JK
Dari tabel 4.6 diatas didapatkan informasi sebagai berikut: 1. Variabel perspective taking dengan agresivitas remaja diperoleh change sebesar 0,008
variabel perspective taking memberikan
sumbangan atau pengaruh 0,8% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,080 F = 1,168 dan df=1,148. 2. Variabel fantasy dengan agresivitas remaja diperoleh
change sebesar
0,010 variabel fantasy memberikan sumbangan atau pengaruh 1% bagi
84
bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,058 F = 1,506 dan df=1,147. 3. Variabel empathic concern dengan agresivitas remaja diperoleh change
sebesar
0,016
variabel
empathic
concern
memberikan
sumbangan atau pengaruh 1,6% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar -0,059 F = 2,494 dan df=1,146. 4. Variabel personal distress dengan agresivitas remaja diperoleh change sebesar 0,000 variabel personal distress memberikan sumbangan atau pengaruh 0% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,004 F = 0,011 dan df=1,145. 5. Variabel behavior control dengan agresivitas remaja diperoleh change sebesar 0,084 variabel behavior control memberikan sumbangan atau pengaruh 8,4% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar -0,287 F = 13,636 dan df=1,144. 6. Variabel cognitive control dengan agresivitas remaja diperoleh change sebesar 0,000 variabel cognitive control memberikan sumbangan atau pengaruh 0% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,062 F = 0,012 dan df=1,143. 7. Variabel decisional control dengan agresivitas remaja diperoleh change sebesar 0,031 variabel decisional control memberikan sumbangan atau pengaruh 3,1% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar -0,242 F = 5,203 dan df=1,142.
85
8. Variabel jenis kelamin dengan agresivitas remaja diperoleh
change
sebesar 0,016 variabel decisional control memberikan sumbangan atau pengaruh 1,6% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar -3,930 F = 2,762 dan df=1,141. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dari delapan IV terdapat dua IV yang signifikan sumbangannya terhadap agresivitas, yaitu behavior control dan decisional control. Berikut urutan IV yang memberikan sumbangan terhadap dependen variabel agresivitas. Tabel 4.7 Urutan sumbangan IV terhadap DV No 1 2 3 4 5 6 7 8
Variabel Perspective taking Fantasy Empathic concern Personal distress Behavior control Cognitive control Decisional control Jenis kelamin
R² change 0,008 0,010 0,016 0,000 0,084 0,000 0,031 0,016
Persentase 0,8% 1% 1,6% 0% 8,4% 0% 3,1% 1,6%
86
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini peneliti akan memaparkan lebih lanjut mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi tiga bagian yaitu kesimpulan, diskusi dan saran yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil penelitian ini. 5.1 Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh bersama yang signifikan dari empati dan self control terhadap agresivitas remaja SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Dari delapan variabel yang diujikan, terdapat dua variabel yang berpengaruh signifikan secara negatif, yaitu behavior control dan decisional control. Penelitian ini juga menemukan bahwa fantasy, empathic concern dan jenis kelamin berpengaruh negatif namun tidak signifikan. Di sisi lain, perspective taking, personal distress dan cognitive control berpengaruh positif, namun tidak signifikan. 5.2 Diskusi Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh empati dan self-control secara bersama-sama terhadap agresivitas. Secara spesifik, penelitian ini menemukan bahwa behavior control dan decisional control dari aspek self control berpengaruh negatif secara signifikan terhadap agresivitas remaja. Variabel behavior control berarah negatif memberikan pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas remaja. Artinya, semakin rendah skor aspek
87
behavior control maka semakin tinggi agresivitas seseorang. Hal ini didukung oleh penelitian Dewall, dkk (2011) yang menyatakan bahwa self control dapat mencegah tindakan agresi. Menurutnya, kegagalan seseorang dalam pengendalian diri merupakan prediktor penting dari agresi terhadap orang lain. Semakin rendah kontrol perilaku (behavior control) seorang remaja, maka kecenderungan untuk bertindak agresif terhadap seseorang semakin tinggi. Dengan kontrol perilaku (behavior control) yang rendah, seseorang akan susah mengendalikan perilakunya untuk bertindak agresif baik itu terhadap diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya, jika seseorang memiliki kontrol
perilaku yang tinggi, maka ia akan mudah mengendalikan
perilakunya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa decisional control berpengaruh signifikan dan berarah negatif. Artinya, semakin rendah skor aspek decisional control maka semakin tinggi agresivitas seseorang. Seseorang yang memiliki kontrol keputusan (decisional control) yang tinggi, cenderung lebih berhati-hati dan lebih bijak dalam bertindak. Sebaliknya, jika seseorang memiliki kontrol keputusan yang rendah, maka ia akan mudah bertindak ceroboh, bahkan salah dalam mengambil keputusannya dan akhirnya penimbulkan penyesalan dalam diri. Peneliti berasumsi bahwa siswa akan bertindak agresi ketika mereka harus memilih keputusan apa yang akan mereka ambil, seperti mencemooh guru mereka karena diberi tugas yang banyak, atau mereka harus tetap mengerjakannya walaupun “terpaksa”. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa akan tetap mengerjakan
88
tugas yang telah diberikan kepada mereka, karena mereka merasa lebih bermanfaat dari pada menghabiskan waktu untuk mencemooh guru. Di sisi lain, penelitian ini menemukan beberapa aspek lain yang berpengaruh negatif terhadap agresivitas remaja, namun tidak signifikan, yaitu fantasy, empathic concern dan jenis kelamin. Artinya, semakin tinggi seseorang membayangkan (fantasy), dan berusaha untuk lebih bersimpati (empathic concern) terhadap orang lain, maka semakin rendah agresivitasnya. Hal ini didukung oleh penelitian Miller & Eisenberg, (1988) dan Lovett dan Sheffield (2007) (dalam Elfrie van Heerebeek) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara empati terhadap agresi dan anti sosial yang berarah negatif. Penelitian ini juga menemukan bahwa perspective taking, personal distress dan cognitive control berpengaruh positif dan tidak signifikan. Artinya, semakin tinggi pemikiran seseorang serta pemahamannya terhadap pikiran dan perasaan orang lain, maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk bertindak agresif. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Elfrie van Heerebeek (InPress) yang menyatakan bahwa empati kognitif dan afektif berhubungan negatif terhadap agresi baik secara langsung maupun tidak langsung. 5.3 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran teoritis dan saran praktis sebagai berikut:
89
1.3.1. Saran Teoritis 1. Penelitian-penelitian selanjutnya agar meneliti mengenai variabelvariabel lain yang mempengaruhi agresivitas remaja seperti tipe kepribadian, budaya, dukungan sosial, dan pola asuh orang tua sehingga mampu mendapatkan hasil yang lebih komprehensif. 2. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk membuat item setiap variabel yang lebih baik lagi, sesuai dengan pemahaman siswa khususnya kelas X dan XI SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan sehingga benar-benar mengukur apa yang sedang diteliti dan meminimalisir item yang harus didrop karena saling berkorelasi antar item. 3. Dalam penelitian selanjutnya, lebih baik mengambil sampel dalam jumlah yang lebih banyak. Tidak hanya siswa kelas X dan XI saja, tetapi siswa kelas XII juga diikutsertakan dalam penelitian. 1.3.2. Saran praktis 1. Pihak sekolah SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan Menyelenggarakan training self control pada siswa guna meningkatkan
kontrol
diri
yang
terkait
dengan
cara
menurunkan tingkat agresivitas siswa. Mempertegas aturan di sekolah untuk mendisiplinkan siswa yang sering melanggar peraturan, sebagai upaya meningkatkan behavior dan decisional control pada siswa.
90
2. Saran bagi siswa Diperlukan peningkatan bagaimana cara mengontrol perilaku ketika sedang menghadapi impuls-impuls kemarahan, serta mampu mengantisipasi keadaan yang sedang dihadapi secara objektif. Siswa dianjurkan untuk mengikuti berbagai ekstrakurikuler seperti bela diri, paskibra, rohis, untuk menunjang peningkatan self control dalam dirinya. 3. Saran bagi guru BK Peningkatan self-control siswa dapat dilakukan melalui kegiatan konseling, seperti grup-grup terapi dan terapi teman sebaya. Mendeteksi siswa-siswi yang berpotensi untuk berperilaku agresi sedini mungkin. 4. Saran bagi guru Mencegah terjadinya stress dan frustrasi yang menjadi faktor pemicu tindakan agresi, dianjurkan untuk menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif. Disarankan lebih mengawasi, mendampingi, memberikan arahan dan perilaku yang positif terhadap siswanya. Guru diharapkan memberikan evaluasi dan saran yang tepat kepada siswa terhadap tindakan yang telah ia lakukan.
91
DAFTAR PUSTAKA Andreasson, P. (2010). Emotional Empathy, Facial Reactions, and Facial Feedback. Acta Universitatis Upsaliensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Social Sciences 58. 52 pp. Uppsala. ISBN 978-91-554-7840-7. Averill. J.R. (19730. Personal control over aversive stimuli and its relationship to stress. Psychology Bull. 80. 286-303. Bandura, A., Ross,D., & Ross, S.A. (1961). Transmission of aggression trough imitation of aggressive models. Journal of Abnormal and Social Psychology. 63. 575-582. Bjorkqvist, K. (1994). Sex Differences in physical, verbal, and indirect aggression: Review of Recent Research. Sex Roles. 30 (3/4). 177-188. Browne, E. (2010). The relationship between empathy in children and their parents. California: Psychology and Child Development Department College of Liberal Arts. Bushman, B.J., & Anderson, C.A. (1998). Chapter two: Methodology in the study of aggression: integrating experimental an nonexperimental findings. Dalam Russell, G.G & Edward, D (ed). Human Aggression: Theories, Research, and Implications for Social Policy (24-45). New York: Academic Press. Bushman, B.J. ,& Copper. H.M., (1990). Effect of alcohol on human aggression: An integrative research review. Psychological Bulletin. 107(3), 341-354. Buss, A.H., & Perry, M. (1992). The Aggression Questionare. Journal of Personality and Social Psychology. 63 (3). 452-459. Chaplin, J.P. Dictionary of Psychology. Kamus Lengkap Psikologi. Kartini Kartono (terj). 2008. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Davis, C.M. (1990). What Is Empathy, and Can Empathy Be Taught. Physical Therapy. Journal of the American Physical Therapy Association. 70, 707711. Retrieved from http://ptjournal.apta.org/content/70/11/707 Davis, M.H. (1980). A Multidimentional Approach to Individual Differences in Empathy. JSAS Catalog of Selected Document in Psychology. DeWall, C.N., Finkel, E.J., & Denson, T.F. (2011). Self-Control Inhibits Aggression. Social and Personality Psychology Compass 5/7. 458-472. 10.1111/j.1751-9004.2011.00363.x.
92
Finkenauer, C., Engels, Rutger.C.M.E., & Baumeister, R.F. (2005). Parenting behavior and adolescent behavioral and emotional problems: The role of self-control. International Journal of Behavioral Development. 29 (1), 5869. Fromm, E. The Anatomy of Human Destructiveness. Akar Kekerasan. Imam Muttaqin (terj). 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Garton, A.F., & Gringart, E. (2005). The Development of a Scale to Measure Empathy in 8- and 9-year old Children. Australian Journal Of Education and Developmental Psychology. 5. 17-25. Gelles, R.J., Harrop, J.W., Vissing, Y.M., & Straus, M.A. (1991). Verbal aggression by parents and psychosocial problems of children. Child Abuse and Neglect. 15. 223-238. Giancola, P.R. (2003). The moderating effects of dispositional empathy on alcohol-related aggression in men and women. Journal of Abnormal Psychology. 112(2), 275-281. Hartati, N., Nihayah, Z., Shaleh, A.R., Mujib, A. (2005). Islam dan Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hastik, Ama. 2012. Hubungan Antara Empati dan Efikasi Diri dengan Perilaku Agresi guru. Skripsi, Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (1) Dra. Endang Prastuti, M.Si., (II) Indah Y. Suhanti, S.Psi, M. Psi. Heerebeek. E.V. (InPress)The Relationship Between Cognitive and Affective Empathy and Indirect and Direct Aggression in Dutch Adolescents. Running head: Empathy and Aggression Subtypes in Adolescents. Hurlock, E.B. (1980). Developmental Psychology: A Life-Span Approach Fifth Edition. New York: McGraw-Hill Book Company. Hoaken, P.N.S., & Stewart, S.H. ( 2003). Drugs of abuse and the elicitation of human aggressive behavior. Addictive Behaviors. 28. 1533-1554. Hoffman, M.L. (2000). Empathy and Moral Development: Implications for Caring and Justice. New York: Cambridge University Press. Srigunting. (2012). Fenomena Tawuran Pelajar Berdasarkan Perspektif Differential Association Theory. Diunduh tanggal 16 Januari 2013 dari Http://www. Jurnal Srigunting.co.id
93
Lopez, E.E., Perez, S.M., Ochoa, G.M., & Ruiz, D.M. (2008). Adolescent Aggression: Effects of Gender and Family and School Enviroments. Journal of Adolescence 31. 433-450. doi: 10.1016/j.adolescence. 2007.09.007 McCullough, M.E., Willoughby, B.L.B. (2009). Religion, Self-Regulation, and Sel-Control: Associations, Explanations, and Implications. Psychological Bulletin. 135(1), 69-93. Meliyana, Shinta. 2009. Peran empati terhadap ketrampilan sosial dan agresivitas pada anak sekolah dasar. Tesis, Magister Sains Psikologi Universitas Gajah Mada. Pembimbing Supra Wimbarti Ph.D. Miles, D.R.,& Carey, G. (1997). Genetic and environmental Architecture of Human Aggression. Journal of Personality and Social Psychology. 72 (1). 207-217. Myers, D.G. (2009). Exploring Social Psychology – 6th. New York : The McGraw-Hall Companies. Nashori, F. (2008). Psikologi Sosial Islam. Bandung: Refika Aditama. Nurfaujiyanti. (2006). Skripsi hubungan pengendalian diri (self-control) terhadap agresivitas pada anak jalanan. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tangney, J.P., Baumeister, R.F., & Boone, A.L. (2004). High Self-Control Predict Good Adjustment, Less Pathology, Better Grades, and Interpersonal Success. Journal of Personality. 72(2). 271-282. Taufik. (2012). Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. Social Psychology 12 th Edition. Psikologi sosial edisi kedua belas. Tri Wibowo B.S (terj). 2009. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. TvOneNews. (2012). Data Tawuran Pelajar Selama 2010-2012. Diunduh tanggal 16 Januari 2013 dari http://video.tvonenews. tv/ arsip/ view/ 62132/ 2012/ 09/27/data tawuran pelajar selama 20102012.tvOne