Pengantar Diskusi National ID‐IGF Dialogue 2014
Tata kelola internet Indonesia: akan menitikberatkan pada ‘garis batas’, multistakeholderism, atau mencari jalan ketiga? Oleh: Wahyudi Djafar1
“that a global era would require global engagement and that necessary actions in favor of humanity could not embark on the basis of the traditional sovereignty approach”. (Kofi Annan, 2003)
Semakin maraknya kejahatan lintas batas negara, terutama yang menggunakan sarana internet (cybercrime), telah menghangatkan kembali isu mengenai arti penting kedaulatan siber. Gagasan ini kian mendapat dukungan dengan masifnya praktik‐ praktik surveillance maupun intersepsi komunikasi yang dilakukan oleh sejumlah negara terhadap negara lainnya (cyberespionage), dalam beberapa waktu terakhir. Ide untuk kembali memperdebatkan pendekatan kedaulatan siber dalam pengaturan internet, terutama mengemuka dalam konferensi WCIT 2012, di Dubai. Dalam pertemuan tersebut, banyak negara mengklaim bahwa internet yang notabene dikelola oleh pihak swasta, telah mengganggu keamanan nasional mereka. Pendapat ini khususnya dikemukakan oleh negara‐negara seperti Rusia, Cina, Tajikistan dan Uzbekistan. Mereka mengatakan bahwa untuk kepentingan umum dan alasan keamanan, kontrol atas internet harus tetap dalam kompetensi pemerintah nasional, termasuk hak untuk mengatur kegiatan yang dilakukan di Internet, sejauh yang diakses oleh warga negara meraka di dalam negeri. Di lain pihak, berkembang pula usulan untuk mengembangkan konsep tata kelola yang berpangkal pada pendekatan multistakeholderism, tentunya dengan mempertahankan sifat internet yang borderless. Muncul pula gagasan‐gagasan kompromistis untuk melahirkan jalan ketiga, dengan menegosiasikan arti penting kedaulatan siber dengan tetap mempertahankan pondasi multistakeholderism.2 1
Peneliti dan Pengacara HAM pada Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)— http://elsam.or.id/. Lihat Rolf H. Weber, Visions of Political Power: Treaty Making and Multistakeholder Understanding, dalam Roxana Radu, Jean-Marie Chenou, dan Rolf H. Weber (eds.), The Evolution of GlobalInternet Governance:Principles and Policies in the Making, (Heidelberg: Springer, 2014). 2
pg. 1
Gagasan kedaulatan siber, mungkinkah? Bila kita lacak perkembangannya, gagasan mengenai kedaulatan siber telah bergeser secara dramatis dari waktu ke waktu. Pada mulanya dikatakan bahwa dunia siber merupakan sebuah ruang yang berada di luar kendali kekuasaan (zona bebas hukum). Konsep ini kemudian berkembang pada ruang yang lebih deskriptif dan normatif, yang memungkinkan munculnya sejumlah regulasi tentang siber, yang dikeluarkan oleh negara‐negara. Merujuk pada Kristen E. Eichensehr (2014), secara evolutif, gagasan kedaulatan siber dapat dibuat periodesasi dalam tiga babak berikut ini:3 a. Generasi siber sebagai kedaulatan itu sendiri Gagasan ini terutama mengemuka setelah John Perry Barlow pada 1996, mengeluarkan "Deklarasi Kemerdekaan Ruang Siber", yang menyatakan: "Governments of the Industrial World, you weary giants of flesh and steel, I come from Cyberspace, the new home of the Mind. On behalf of the future, I ask you of the past to leave us alone. You are not welcome among us. You have no sovereignty where we gather". Para penganut deklarasi ini percaya bahwa kedaulatan siber/internet adalah berada pada penggunanya, bukan di tangan negara sebagai pemegang kedaulatan teritorial. Oleh karena itu, internet haruslah berdaulat sendiri, tidak diatur oleh negara. Para pendukung pendekatan ini percaya bahwa mereka dapat menciptakan hukum dan lembaga hukum sendiri, sebagai contoh mereka menunjuk ke sistem nama domain. b. Generasi kedaulatan atas siber Seiring berjalannya waktu, sejumlah negara (pemerintah) dan akademisi kemudian menentang gagasan bahwa pemerintah teritorial tidak bisa memaksakan aturan tentang dunia maya. Mereka berpendapat bahwa internet pada kenyataannya merupakan ruang yang tidak terpisah dari wilayah tradisional. Pendapat ini ini didasari pandangan bahwa di balik keunikan karakteristik dari internet, terdapat serangkaian infrastruktur atau perangkat keras seperti kabel serat optik dan router yang dapat dijangkau secara kasat mata letak kewilayahannya. Oleh karena itu menurut kelompok ini pemerintah memiliki kemampuan dan otoritas untuk mengatur Internet. Selain itu, merujuk pada pandangan tradisional tentang kedaulatan, mereka berargumentasi bahwa hanya pemerintah yang 3
Lihat Kristen E. Eichensehr, The Cyber-Law of Nations (2014).
pg. 2
dapat mengeluarkan aturan yang dibutuhkan untuk menangani masalah seperti virus, penipuan, dan spam. Pendekatan ini menekankan, bahaya terbesar bagi masa depan internet adalah bukan pada saat pemerintah bereaksi berlebihan terhadap internet, tetapi justru ketika pemerintah tidak bereaksi sama sekali. c. Generasi tata kelola global atas dunia siber Pada perkembangan berikutnya, para pendukung pendekatan kedaulatan siber mengakui banyaknya aspek dari internet yang mengharuskan diatur dalam skala global, tidak bisa diserahkan secara parsial pada masing‐masing pemerintah, yang terganjal garis batas teritorial. Transformasi yang terjadi dengan sangat cepat dalam pemanfaatan teknologi internet telah melahirkan banyak perselisihan di antara bangsa‐ bangsa. Persoalan yang mengemuka tidak lagi sebatas masalah pemerintah dengan individu warga negaranya, tetapi juga masalah pemerintah dengan pemerintah lain.4 Kebuntuan untuk menyelesaikan permasalahan‐permasalahan aktual dari pemanfaatan teknologi internet ini bermuara pada upaya untuk memperebutkan pengaruh, antara Amerika Serikat, Cina, dan Eropa. Perebutan pengaruh ini khususnya terkait dengan bangunan visi yang mungkin dilakkukan terhadap internet. Pilihannya, model yang relatif bebas dan terbuka seperti dianjurkan Amerika Serikat atau model kontrol politik yang dikampanyekan China. Kebuntuan ini pula yang melahirkan harapan tentang perlunya penciptaan hukum publik bagi dunia maya, yang prosesnya tidak bisa diselesaikan dalam satu negara dengan batas teritorial, melainkan memerlukan koordinasi internasional. Menegaskan konsep multi‐pihak atau meninjau kembali? Para pengamat khususnya yang pro terhadap kebebasan dalam berinternet menilai hasil dari WCIT Dubai adalah suatu langkah mundur dari gagasan multistakeholderism yang tengah dikembangkan. Akibatnya, gagasan tata kelola multipihak yang mulai dikembangkan dalam pertemuan WSIS 2005, termasuk dengan pelibatan masyarakat sipil di dalamnya, terancam gagal di masa depan. Perluasan dari debat politik seperti yang diperkenalkan oleh WSIS dipersempit kembali ruangnya menjadi negosiasi antara negara‐bangsa. Situasi ini tentunya akan mengancam kebebasan dalam berinternet, 4
Lawrence Lessig, Code and Other Laws of Cyberspace version 2.0, (New York: Basic Books, 2006).
pg. 3
termasuk dalam konteks perlindungan privasi, sebagai bagian dari pengintegrasian hak asasi dalam tata kelola. Dalam upaya menguatkan kembali ide dari pendekatan multistakeholderism, penting kemudian untuk membuka isu‐isu substantif dari inisiatif ini, yaitu: (i) Keterbukaan: Akses ke dialog egaliter, negosiasi dan keputusan harus terbuka bagi orang‐orang yang tertarik dan peduli; (ii) Transparansi: Prosedur harus transparan dalam hal formal dan substantif yang memungkinkan untuk membuat deskripsi yang tepat dari situasi; (iii) Aksesibilitas: Sumber‐sumber informasi harus dapat diakses bagipihak‐pihak yang tertarik dan peduli; (iv) Akuntabilitas: Para pengambil keputusan harus bertanggung jawab kepada mereka yang terkena keputusan; (v) Kredibilitas: Para pengambil keputusan harus berusaha untuk mendapatkan pengakuan kredibilitas dari pemangku kepentingan yang terkait; (vi) Sumberdaya yang terjangkau: keterlibatan multipihak dan partisipasi membutuhkan sumberdaya yang memadai untuk memungkinkan berjalannya proses; (vii) Berbasis konsensus: Penerimaan keputusan yang diambil akan meningkat jika dicapai melalui konsensus dari semua pihak yang berkepentingan, bukan tirani mayoritas; (viii) Peluang banding/pengujian: entitas apapun harus memberikan kemungkinan untuk mengajukan komplain terhadap keputusan yang diberikan kepada panel independen atau pengadilan; dan (ix) Kemampuan untuk melawan perangkap: badan pengambilan keputusan harus mampu menghindari perangkap dari kelompok kepentingan tertentu.5 Menjalankan hak asasi atau menandaskan garis batas teritorial? Dikatakan Anthony Giddens, bahwa globalisasi telah mengakibatkan hancurnya ruang dan waktu, sebagai akibat dari peningkatan modalitas komunikasi. Situasi berimplikasi pada batas‐batas negara yang makin terbuka dan perubahan radikal atas kedaulatan teritorial. Inovasi teknologi yang berjalan dengan sangat cepat memfasilitasi transformasi ini, dunia menjadi saling terkoneksi, sehingga berdampak pula pada mudahnya suatu negara mengalami guncangan.6 Bahkan dalam perkembangannya internet telah menyebabkan hilangnya kedaulatan negara bangsa. Dalam artian, batas kedaulatan menjadi kurang signifikan, 5 Lihat Avri Doria, Use [and Abuse] of Multistakeholderism in the Internet, dalam Roxana Radu, Jean-Marie Chenou, dan Rolf H. Weber (eds.), The Evolution of Global Internet Governance:Principles and Policies in the Making, (Heidelberg: Springer, 2014). 6 Lihat Anthony J. Giddens, Runaway world: How globalization is reshaping our lives. (New York: Routledge, 2003).
pg. 4
karena tiadanya lagi hambatan dalam hubungan sosial maupun perniagaan, antara warga negara di suatu wilayah teritorial dengan warga negara di teritorial lain. Hal ini menunjukkan bahwa logika geografis yang didefinisikan terbatas pada aturan dan sistem hukum, berdasarkan prinsip teritorial, menjadi kehilangan urgensinya. Oleh karenanya dibutuhkan pemikiran yang lebih serius untuk mengisi kekosongan (kedaulatan) tersebut, yang memiliki kekuatan untuk menciptakan norma atau sistem hukum bagi internet. Menguatkan kebutuhan ini, Kofi Annan pernah mengatakan, sebagaimana tertulis pada bagian awal paparan ini, bahwa dalam era global untuk mendukung kemajuan manusia atau kemanusiaan, akan membutuhkan keterlibatan global dan tidak bisa lagi mendasarkan pada pendekatan kedaulatan tradisional. Dalam konteks ini, pendekatan multi‐pemangku kepentingan dalam pengelolaan Internet, yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, akademisi, badan teknis khusus, dan masyarakat sipil menjadi pilihan yang paling rasional dan feasible untuk dikembangkan, daripada berupaya untuk kembali menandaskan garis‐garis batas teritorial dalam kacamata kedaulatan tradisional. Pendekatan multipihak juga kian mendapatkan legitimasi menyusul keluarnya Resolusi Dewan HAM PBB untuk pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di Internet. Dalam perkembangannya pula, pendekatan multipihak mulai bisa mengakomodasi kepentingan para pendukung kedaulatan siber, dengan munculnya sejumlah prinsip dalam pengelolaan internet, yang meliputi: (i) Nilai: prosedur tidak hanya menggambarkan aturan, tetapi juga etika; (ii) Reputasi: eksternalitas negatif bisa menyebabkan masalah serius sehingga dianjurkanuntuk mempromosikan kewargaan yang lebih besar; (iii) Menghormati: upaya untuk mendorong saling menghormati dengan masyarakat dan para pemangku kepentingan perlu direalisasikan; (iv) Integritas: perlunya evaluasi atas dampak positif dan negatif dari perilaku tertentu pada masyarakat pada umumnya, kesehatan, dan lingkungan sosial khususnya; dan (v) Keunggulan: dorongan untuk mencapai keunggulan dalam tindakan dan keputusan menjadi sangat penting.7 Inisiatif‐inisiatif di atas tentunya bisa memandu kita dalam merumuskan arah tata kelola internet Indonesia ke depan. Akan menekankan pada pendekatan kedaulatan siber, yang berarti memperkuat kontrol atas internet, atau mengembangkan model 7
Rolf H. Weber, Visions of Political Power: Treaty Making and Multistakeholder Understanding, dalamOp. Cit.
pg. 5
multi‐pemangku kepentingan dengan beberapa perkembangannya, termasuk dengan ekstensi pada penerimaan seperangkat nilai hak asasi manusia, serta pengadopsian sejumlah prinsip baru: nilai/etika, reputasi, penghormatan, integritas, dan keunggulan. Bahan Bacaan Anthony J. Giddens, Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. (New York: Routledge, 2003). Eric Brousseau, Meryem Marzouki, Ce´cile Me´adel (eds.), Governance, Regulations and Powers on the Internet, (Cambridge: Cambridge University Press, 2012). Hent Kalmo dan Quentin Skinner, Sovereignty in Fragments: The Past, Present and Future of a Contested Concept, (Cambridge: Cambridge University Press, 2010). Jan‐Frederik Kremer dan Benedikt Müller (eds), Cyberspace and International Relations: Theory, Prospects and Challenges, (Heidelberg: Springer, 2014). Joanna Kulesza, International Internet Law, (London: Routledge, 2012). Kristen E. Eichensehr, The Cyber‐Law of Nations (2014). Lawrence Lessig, Code and Other Laws of Cyberspace version 2.0, (New York: Basic Books, 2006). Simona Tutuianu, Towards Global Justice: Sovereignty in an Interdependent World, (Heidelberg: Springer, 2013). Roxana Radu, Jean‐Marie Chenou, dan Rolf H. Weber (eds.), The Evolution of Global Internet Governance: Principles and Policies in the Making, (Heidelberg: Springer, 2014). Wolff Heintschel von Heinegg, Legal Implications of Territorial Sovereignty in Cyberspace (2012).
pg. 6