NOTULENSI Diskusi Tematik “ Refleksi Pelaksanaan Pemilu 2014” KONFERENSI REGIONAL MASYARAKAT SIPIL YOGYAKARTA: MASYARAKAT SIPIL DAN PENGUATAN DEMOKRASI INKLUSIF YOGYAKARTA, 25-26 FEBRUARI 2015
Hari Pertama :
Fasilitator Narasumber
: Nuning Suryatiningsih : Hamdan Kurniawan (KPU DIY), Masduki (KPK),dan Suharto
Nuning Terima kasih teman-teman semua. Pada sore hari ini kita di ruang ini akan bicara refleksi pemilu 2014. Ada beberapa hal kenapa ini perlu dilakukan. Diskusi dari pagi sampai sore ini, kita mengupas banyak pemilu. Pra pemilu, saat pemilu dan pasca pemilu. Sore hari ini kita akan mencoba memfokuskan beberapa hal lagi. Sebelumnya kita perkenalkan lebih dahulu. Ada tiga narasumber bersama kita. Pertama, Pak Hamdan kurniawan, KPU DIY. Pada kesempatan ini apakah pemenuhan sebagai penyelenggara pemilu sudah sebagaimana mestinya. Kebutuhan pemilih difable apakah sudah dipenuhi. Silakan pak hamdan memperkenalkan diri. Hamdan Ass.wr.wb. Nama saya hamdan kurniawan. Anggota KPU DIY. Saya tidak asing dengan teman-teman di sini. Sering ketemu dengan berbagai forum. Termasuk ketika pemilu, teman-teman rajin datang. Ini membantu kami menyelenggarakan pemilu lebih baik. Saya di KPU DIY sejak 2013. Saya tinggal di jalan Kaliurang km 13. Nuning Untuk kedua, silakan pak masduki dari KPK. Masduki Ass.wr.wb. Terima kasih mbak Nuning. Saya mewakili dari KPK. Ini nama tentatif semacam paguyuban 21 NGO yang 2014 sampai 2015 memposisikan sebagai organ pendorong pemilu yang bersih. KPK = koalisi pemilih kritis. Posisinya pemilih yang kritis. Saya mengajar di UII komunikasi. Mengelola media wacht. Pemantau media. Masyarakat peduli media. Juga
1
lembaga yang fokus ke penyiaran publik. Rumah perubahan penyiaran publik. Saya di lempong sari. Monjali. Nuning Selanjutnya silakan mas Harto. Harto Ass.wr.wb. Saya tadi ditodong mas rohmanu mengganti mas ishaq. Ini temanya dejavu, waktu desa inklusi sudah ada. Saya hanya mengikuti pemilu dari media. Waktu desa inklusi saya memfasilitasi isu ini, jadi tahu. Saya terlibat di pendidikan politik. Saya SuHarto, saya sedang cuti dari Sigab. Sedang riset di solo selama 8 bulan. Nuning Baik. Pertama silakan mas hamdan sebagai penyelenggara pemilu. Pada kesempatan ini saya mintakan judul ke pak hamdan. Pemenuhan hak difable dalam pemilu. Ternyata apa yang menjadi kepentingan yang harus dipenuhi untuk difable itu ada beberapa hal. UU ada, tapi belum bisa dipenuhi sebagaimana mestinya. Apakah penyelenggara pemilu hanya memberikan kewajiban saja. Silakan. Hamdan Saya merasa terhormat di forum ini bertemu orang hebat. Ini istimewa buat saya. Terkait dengan pemilu. Lebih khusus lagi terkait aksesibilitas difable dalam pemilu, saya terngiang, sebuah pasal di 29 A angka 2. Mengenai hak penyandang disabilitas. Dipilih dalam jabatan publik. Punya hak masuk dalam seluruh posisi publik di pemerintahan. Itu dijamin dalam CRPD yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Dengan begitu, harus ada jaminan negara bahwa hak politik difable. Dalam demokrasi elektoral, negara diidentikkan dengan KPU. Ada kewajiban di KPU untuk memberikan pelayanan lebih baik untuk seluruh disabilitas, baik untuk pemilih maupun dipilih. Itu sama. Di UUD juga demikian. KPU itu setidaknya punya kewajiban yang berkait dengan pemilu, terhadap disabilitas. Pertama menjamin seluruh pemilih secara luber. Terutama langsung. Kunci awalnya di proses pendaftaran. Apa yang sudah dilakukan KPU. Dari sisi penyelenggara pemilu, KPU sudah berusaha mendata seluruh pemilih. Pemilih difable, ada kolom keterangan yang sesungguhnya melalui juklak KPU mewajibkan untuk di isi petugas pemilih. Itu disesuaikan dengan jenis disabilitasnya, agar nanti bisa difasilitasi. Jenis layanan menjadi tepat. Kedua, akses informasi. Kepada teman-teman disabilitas dan sebagainya. Hak atas informasi terkait pemilu, salah satu kewajiban KPU adalah sosialisasi terkait info dasar. Ini menjadi lahan KPU. Ketiga, pemenuhan terhadap aksesibilitas dalam TPS. Misalnya TPS harus akses. Tidak berundag. Bisa untuk kursi roda, disediakan template dsb. ketiganya menjadi kewajiban KPU. Apa yang sudah dilakukan oleh KPU, tentu daya upaya keras berhadapan dengan realitas di lapangan yang banyak kendala. Seperti pendataan pemilih yang sampai ke unsur RT RW. Pada faktanya harus diakui banyak yang tidak mencantumkan jenis disabilitas. mestinya ada upaya yang sistematis dan terintegrasi untuk hal ini. supaya perspektif disabilitas bisa masuk.
2
Hak informasi, ada upaya yang lebih baik. Program relawan dalam upaya demokrasi. Untuk pemilih perempuan, marginal, disabilitas. rekruetmen relawan demokrasi yang berlatar belakang hal itu. Dan menjalankan program elektoral sistem di masyarakat. hanya memang cakupan itu sangat terbatas. Satu kabupaten hanya ada 25 orang. Untuk menjangkau wilayah besar masih kurang. Program pemberian layanan fisik harus diakui. Pilpres itu oke. Catataannya untuk DPR RI dan DPRD propinsi, masih kurang. Mohon dipahami, saya menangkap ada kesulitan. Ada ribuan dapil. Dan kandidatnya juga banyak. Kesulitan dalam membuat template. KPUD DIY ada program lokal untuk itu. Tapi masih banyak yang belum dilakukan. Saya berharap, catatan kritisnya tadi diberikan ke kami untuk kami jadikan bahan perbaikan. Isu disabilitas harus dibawa di pilkada. Karena ini lokal, anggaran dari APBD. Kalau nasional itu terbatas. KPU DIY, ketika membuat template, kita bertentangan dengan kebijakan KPU nasional. Kami membuat template dengan anggaran APBD. Pembuatan template untuk DPR itu bisa diberikan ke kewenangan lokal. Saya kira itu saja. Nuning Memang yang disampaikan pak Hamdan sudah banyak masukan. Upaya dari KPU ketika di lapangan ada banyak hal yang menjadi kendala. Ketika pemantau dilakukan, hasil pemantauan itu ada beberapa pelanggaran. Ada TPS yang masih eblum menjalankan itu. Bahkan ada petugas KPPS yang tidak tahu, sudah ada template tapi ketika ada tuna netra datang, itu tidak digunakan. Pemilu ke depan perlu ada perbaikan. Kami siap untuk di ajak bicara. Kedua dari pak masduki, tentang pemilih kritis. Kemarin ada pemilih, dari difable yang tidak diakui sebagai pemilih. Dalam menggandeng saja, tidak ada etika dari petugas KPPS. Menurut pak masduk sendiri, apakah pemenuhan teman-teman difable ini, hanya akan diberikan hak saja. Masduki Ini satu kehormatan bagi saya. Satu tahun terlibat secara apa adanya tentang bagaimana masyarakat sipil berkontribusi di Yogya. Fokus dari KPK ini mencoba melihat kemungkinankemungkinan pileg dan pilpres berlangsung bersih. Kategori ebrsih ini mengerucut ke anti korupsi. Meskipun ada teman-teman dari Sigab. Tapi keselurhan KPK fokus ke bagaimana pemilu bersih. Isu money politik, calon tidak korupsi ini menjadi isu serius. Tapi sejak koordinasi, sampling dari TPS sampai juga apa yang dilihat mbak nuning. Bagaimana prosedur penyelenggaraan pemilu. Belum ke substansinya. Persoalannya prosedur itu sendiri belum berjalan baik. Kita belum sampai ke substansi, yang menghasilkan outcome budaya yang baik. Ditingkat prosedur saja ada persoalannya. Ada tiga hal yang harus dilihat, kelompok perempuan, disabilitas, caleg yang relatif bersih tapi tidak mendapat tempat. Jadi sempurnalah, kalau teman disabilitas, perempuan dan bersih, karena pemilu kita adalah pasar bebas, yang punya modal, termasuk dengan pimpinan partai itu beruntun prosesnya. Money politik tidak hanya dilihat di seminggu ketika akan pencoblosan. Tapi sejak dari awal pencalonan. Melihat tiga kelompok itu kita pesimistik. Keterwakilan perempuan itu sangat formalistik. Penentuan di partai sangat mrepresentasikan itu. Nomer urut sekian saja.
3
Pada akhirnya kita menemukan, di KPU misalnya, di kota, jumlah caleg perempuan hanya 25% yang berhasil. Angka 30 tidak tercapai. Dari sekian anggota legislatif, berapa prosentasi yang dianggap bersih. Lima tahun lalu kami membuat newsletter politisi busuk. Tahun kemarin kita membuat tracking berbasis administratif sampai tracking berbasis substansif. Dari dokumen pengadilan. Last minute sebelum pemilu, kami umumkan caleg terlibat korupsi. Ini juga gagal. Akhirnya kita tahu, walaupun tersangka tetap saja terpilih. Yang perempuan kita gagal mendorong tercapai 30%. Yang bersih juga begitu. 3-5 koruptor tetap terpilih. Disabilitas juga begitu. Tidak semua punya kenyamanan saat memilih. Yang kita terima adalah template. Belum memadai. Tanggungjawab negara harusnya dijelaskan lewat tanggungjawab yang lebih rinci. Ini sudah disahkan UU pilkada. Apakah ini akan lebih baik penyediaan fasilitas untuk disabilitas. kemudian ruang-ruang untuk, katakan pasar bebas ini repot. Parpol mainsetnya harus semua orang punya hak sama untuk mencalonkan dan didukung. Pertama refleksi kegagalan dari agenda keterwakilan perempuan dan anti korupsi. Juga disabilitas. upaya masyarakat sipil di Yogya belum fokus terkait pemilu ini. Kalau saya boleh saya otokritik, kita punya program sendiri-sendiri, tapi dalam wadah KPK isu itu harus mengerucut. Kekuatannya baru di opini saja. Belum bisa memastikan secara konkrit. Mempromosikan caleg misalnya, belum bisa dilakukan. Harusnya bisa dilakukan sepanjang caleg itu bersih. Ada beberapa catatan kritis Pertama teman masayrakat sipil masih sporadis gerakannya. Ego sektoral masih kuat. Kelihatannya belum menjadi isu kolektif. Tantangannya desember 2015 ini KPK harus bangkit lagi. Formulasi belum tahu karena belum terkumpul. Issu pemilu ini permanen sebenarnya. KPK ini bisa menjadi model dalam kerja tracking politik. Karena bisa dimonitor dalam pelaksanaan. Dan yang akan maju bisa ditracking terus. Ini bisa dilakukan terus di lingkungan teman-teman. Secara khusus, pengawalan di KPU dan bawaslu oleh masyarakat sipil eprlu dilakukan. Kemarin tidak sempat dilakukan. Hanya sempat marah-marah terhadap data caleg yang perlu lebih jauh lagi validasinya. Untuk 2019, masih ada peluang untuk kita bersepakat, kaitannya dengan kewajiban negara itu perlu ada hal yang lebih rinci, tata kelola pemilu tidak hanya normatif, tapi kita sampai ke rumusan UU. Kalau ada bunyinya di UU, maka anggarannya keluar. Blue print tentang teman-teman disabilitas, Sigab pasti sudah punya. Mohon di sosialisasikan ke kelompok yang lain. Regulasi ini penting. Untuk bulan agustus, pilkada Yogya sudah mulai ya. Mulai april malah. Nanti teman-teman KPK akan melakukan konsolidasi lagi. Nuning Walau UU pilkada sudah diketok, mungkin dari komunitas disabilitas bisa memberikan masukan ke regulasi KPU di masing-masing wilayah. Seperti mas hamdan sendiri sudah mengatakan CRPD. Dan kita juga punya perda disabilitas. kebijakan itu sudah ada. Tinggal kita memfasilitasi dari pemilih disabilitas, jangan sampai terabaikan. Kalau tadi mas hamdan, berani mengatakan tidak ada anggaran dari pusat, tapi bisa dianggarkan. Masduki
4
Saya terbalik. Bagaimana bisa direvisi dan di adopsi sampai ke anggarannya. Nuning Ya sampai anggaran. Tapi saya tidak tahu, karena sudah diketok. Bisa perbaikan ke depan. Karena yang punya hajat adalah kabupaten kota. Masduki Daripada yang kita saksikan, KPPS memakai seragam. Apakah bisa dialihkan untuk kepentingan kelompok rentan. Nuning Masuk ke mas Harto. Ada beberapa hal yang dikeluarkan. Harto Menarik kalau bicara pemilu. Terjebak ke prosedural, tapi substansial perlu jelas juga. Bagaimana ketika kita memilih, suara kita selama lima tahun ke depan terwakili. Ini menjadi media diskusi menarik. Bagaimana difable ini, hak pilihnya terjamin. Kerja keras teman ini sangat penting. Persoalan pertama adalah soal data. Ada kesalahan dalam proses pendataan. KPU sudah membuat pedoman pendataan disabilitas, tapi tidak dilakukan. Seolah-olah pendataan itu hanya menjadi hajatan lima tahunan saja. Tidak menjadi rekam penduduk setiap saat. Jadi model data itu hidup dan publish secara online. Kita punya dukcapil misalnya. Dukcapil ini dari kelurahan, ke level tinggi, ketika anak lahir ada laporannya. Ketika ada orang meninggal, ada laporan kematian. Data otomatis terhapus di situ untuk orang meninggal. Tapi yang kita temukan kemarin, orang sudah meninggal masih ada di data pemilih sementara. Semua institusi punya data sendiri-sendiri. Padahal kalau kita menggunakan data dukcapil, yang harus benar juga, KPU tidak akan repot lagi. Data online bisa dilihat langsung dengan jenis disabilitas yang ada. Penganggarannya juga akan gampang. KPU Daerah merekam, jenis disabilitas tertentu itu sekian. KPU pusat bisa menganggarkan. Saya kemarin diskusi dengan KPU karanganyar ada data hidupnya. Kedua, saya tidak melihat di UU pemilu, alat kelengkapan pemilihan suara ada template, ada bilik yang akses. Jadi kalau KPU tidak menganggarkan template ya tidak melanggar UU. Teman-teman KPK kalau advokasi epraturan, ini perlu dimasukkan. Yang menjadi issu seksi, tapi kita tidak berani untuk mengadvokasikan, perempuan sudah berani advokasi kuota 30%. Difable belum berani untuk itu. Padahal jumlahnya besar. Kalau kita jumlahnya besar dan kita tidak punya kesempatan dipilih, pemilu hanya mengeksploitasi difable. Keterwakilan difable itu belum menjadi isu seksi. Di kampung saya sendiri, untuk menjadi calon tidak hanya perlu modal alat kampanye. Tapi juga harus memberi uang ke calon pemilih. Kalau difable yang rentan kemiskinan, kalau disuruh begitu, ya tidak boleh. Bagaimana hal ini bisa diluruhkan. Nuning Wakil, dari disabilitas perlu ada yang bisa masuk dewan. Tapi disabilitas masuk di kriteria kemiskinan. Tapi masuk di situ juga ada kendala ketika akan mengakses bantuan untuk
5
warga miskin. Karena sudah punya motor roda tiga, kita tidak bisa akses bantuan warga miskin. Evaluasi ke depan, karena banyak pemantau juga, dan juga dari penyelenggara juga, KPU sleman, bantul, DIY, kendala untuk melakukan itu apa. Kemudian data itu yang punya sebenarnya siapa. Yang punya kewajiban melakukan pendataan itu siapa. Data yang kita miliki itu di DPO ya klien yang kita dampingi. Data yang secara keseluruhan kita tidak punya. Itu kewajiban negara. Data yang update itu milik siapa. Walaupun kolom pendataan itu ada jenis disabilitasnya, tapi itu sering kosong. Karena tidak semua petugas mendengarnya. Itu menjadi kendala juga. Widi Pemilu 2014 ini aturannya lebih baik yang tertulis. Ada asasnya. Selain luber juga ada asas aksesibilitas. Tapi itu hanya dipakai sebagai yem yem saja. Supaya nanti bisa mengakses TPS secara mudah. Tapi secara layanan itu justru mengalami kemunduran dalam layanan di TPS. 2004 saya terlibat di pemantau. Kami melakukan pendataan di masing-masing kelurahan. Data ini bisa untuk perbaikan data yang ada di kelurahan. Ini membantu TPS ketika itu kita komunikasikan. Kebetulan saya menjadi pemantau pemilu dan agak cerewet di PPK saya. Data disabilitas malah bertanya ke saya. 2004 kami bisa memberikan masukan supaya diselenggarakan TPS akses dan itu terwujud. Ada bilik untuk yang berkursi roda. Ini karena ada komunikasi. DIY tahun 2004 menjadi proyeknya pemilu akses. Tahun 2009 itu kemunduran. Tahun 2014 ada satu kemajuan lagi, KPU merekrut relawan demokrasi, termasuk disabilitas. tapi ini terbatas, dalam hal penyampaian. Karena dibatasi sebagai pendorong pemilih supaya tidak golput. Tapi dalam hal teknis, itu disampaikan PPK. Ketika di lapangan, dan saya sosialisasi, saya membawa interpreter sendiri ketika ke tuna rungu. Bagaimana teman yang tidak paham dengan hal itu. Ini satu hambatan. Hambatan lain adalah alat peraga ke tuna netra. Saya tidak mungkin mengatakan misalnya warna-warna kertas suara. Karena tidak ada huruf braile yang menunjang. Ini hambatan relawan demokrasi. Ke tuna graita. Ketika kita sosialisasikan, bukan gambar sesungguhnya. Ini satu masalah. Pembodohan terhadap disabilitas graita. Yang di angankan hanya gambar yang kita contohkan saja. Mestinya kebutuhan itu ada perbedaan yang harus dicermati pihak penyelenggara. Masalah TPS yang tidak akses, saya memberikan masukan ke KPPS. Disitu ada kursi rodanya. Tapi dibilang sudah biasa diunggahke dan digotong. Itu sangat tidak nyaman. Di dalam melayani penyandang disabilitas netra. KPPS tidak tahu caranya menuntun. Itu memberikan kebingungan ke netra, ketika akan membuka kertas suara. Saya tidak menyalahkan KPPS karena petunjuk melayani disabilitas itu belum ada. Di dapil satu, di KPPK saya memberikan contoh cara menuntun disabilitas netra, memanggil ruwi pada saat sudah akan mencoblos. Rekomendasi saya, ketika nanti ada pilkada, di dalam pendataan seYogyanya bisa melibatkan penyandang disabilitas. dan alat epraga dibedakan antara jenis disabilitas. di dalam briefing dan bintek, lebih banyak diberikan ke KPPS daripada ke PPK. Karena yang langsung menghandel disabilitas itu KPPS. Busrodin kulonprogo Saya punya pengalaman waktu jadi pemantau. Itu memagn belum akses. Licin karena hujan. Yang pakai kruk cilin. Untuk tuna graita, dia sudah datang, tapi KPPSnya mendiamkan saja,
6
sehingga dia pulang. Tuna netra, ketika akan memasukkan kertas suara ke kotak suara, langsung diminta petugas. Ada slogan, pemilih difable, dipertamakan. Waktu itu saya antri termasuk awal. Tapi diselani teman-teman lain. Petugas KPPS belum menyadari hal ini. Untuk saksi, petugas dari KPPS, pengertian saksi itu kebanyakan yang diterima mereka itu dari partai. Ketika difable akan memilih, saksi yang dipanggil dari partai. Bukan dari petugas. Untuk relawan demokrasi, KPU semakin memperhatikan. Ada relawan demokrasi yang diperuntukkan difable. Ada tiga orang difable se kulonprogo, ini jelas menyulitkan. Yang gunung-gunung belum terjangkau, karena kesulitan ke sana. Saya menghimbau, petugas KPPS di briefing lagi. Tempat TPS lebih akses. Adi gerkatin Yogya Teman-teman sudah banyak menyampaikan. Tapi masih sedikit yang menyinggung tuna wicara. Bagaimana teman-teman mengakses informasi tetnang pendidikan pemilu. Temanteman tuna daksa, netra lebih lengkap mendapatkan. Jumlah tuna rungu di Indonesia banyak dan mereka punya hak sama dalam memilih. Jumlah suara teman tuna rungu itu banyak. Waktu pemilu, kalau tidak ada informasi lengkap, suara yang dimasukan hanya ngawur saja. Banyak sekali masalah yang dialami untuk teman tuna rungu. Penerjemah hanya sedikit jumlahnya. Untuk informasi caleg bisa lebih diinformasikan lebih jelas. Sehingga bisa memilih sesuai hati nurani mereka. Teman tuli hanya seperti disuruh saja. Kandidat ini saja yang dipilih. Tapi tidak tahu seperti apa mereka. Tidak tahu visi misinya apa. Hanya disuruh saja. Banyak tuna rungu yang masih terpengaruh masa lalu, dulu hanya empat partai besar. PPP itu islam banget. PDI itu keren. Memilihnya hanya karena itu saja. Teman-teman ada yang diajak ikut kampanye. Maunya hanya dengan teman yang ada di daerahnya saja. Mereka tidak membandingkan calon yang di usung karena informasinya tidak lengkap. Contohnya adalah melalui tivi. Mereka bisa melihat tapi tidak ada teks di tivi yang lengkap. KPU sebelum pemilu membuat pertemuan teman-teman tuli dan memberikan informasi yang sedang terjadi. Disediakan juga penterjemah. Disediakan sebuah forum yang bisa menjelaskan ke teman-teman tuli. Sehingga dia bisa betul betul memiliki hak memilih secara penuh. Didik Ada tiga hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, saya kira terkait isu disabilitas dan pemilu, harus ada terobosan luar biasa. Saya kebetulan ikut di forum desa inklusi juga. Harus ada terobosan dari warga. Dari kami, kebetulan bantul salah satu yang akan melaksanakan pilkada. Kami mendorong perspektif disabilitas yang akan dibangun, mulai dari proses sampai outputnya. Pak hamdan tadi benar, ditingkat regulasi kita tidak hentinya memberikan perintah ke PPK dan KPPS untuk memperhatikan disabilitas. tapi memang fakta di lapangan berbeda. Nanti kita akan mencoba memberikan tutorial. Kita memang berjenjang. Dan kita harus memastikan pemahaman utuh. Ini yang menjadi kendala. KPPS ini jabatan warisan. Turun temurun. Bintek itu adalah apalan. Ini yang harus dipangkas. Kita harus membuat satu terobosan efektif. Kedua, kita jangan juga, terkait membangun perspektif disabilitas, pemilu ini satu bagian saja. Proses pemilu sudah ada lima kali epmilihan. Mulai dari kepala dusun, kepala desa
7
sampai pilpres. Masyarakat sudah terbangun seperti itu. Yang harus diupayakan adalah bagaimana masyarakat dan stakeholder bersama. Di beberapa tempat sedang marak penyusunan raperda pemilihan kepala desa. Ini perspektif disabilitasnya belum disinggung. Ini harus kita upayakan juga. Masyarakat terbiasa membangun seperti itu. Dikatakan tidak ada anggaran. Ini upaya yang harus dibangun. Tidak hanya pemilu, tapi piludes, pilbup dsb. Terakhir data kita itu lima tahun sekali. ada peluang, yang saya lihat kita bersama advokasi. Teman-teman di desa sedang hangat membahas sistem informasi desa. Pemutakhiran data pemilih saya kira inlight. Sistem informasi desa mengcover pemutakhiran data penduduk. Nuning Tadi mbak widi mengatakan pemilu 2009 ada kemunduran. Harusnya sudah menjadi perspektif, tapi apa yang menjadi pilot proyek tidak dipahami KPU. Data, ada blunder. Itu kewajiban siapa. Teman-teman disabilitas, audiensi dengan teman KPU DIY. Ada masukan, dari KPU sampai KPPS, selama ini mengatakan bagaimana sebagai penyelenggara belum menyediakan kebutuhan pemilih yang kritis. Disabilitas sebenarnya siap untuk memberikan masukan dan mendampingi petugas pendataan. Apa yang harus dilakukan ke depan. Template itu sudah ada sejak dulu. standar atau bentuk surat suara itu apakah di salah satu sisi ada tanda. Sosialisasi di lapangan bisa dilakukan. Misalnya semua surat suara bisa ada tandanya. Sebetulnya hampir semua sama. Hasil pemantauan juga. Silakan tiga pembicara menyampaikan tanggapannya. Hamdan Saya kira ini menambah pemahaman baru. Saya mencatat memang ada gap antara penyelenggara pemilu yang berusaha memenuhi disabilitas, dan di sisi lain dorongan dari disabilitas yang merasa belum dilayani dengan baik. Gap ini menjadi konsentrasi kami untuk kita hilangkan. Kita selesaikan. Dari pendataan yang kita lakukan. Ada hal-hal yang kurang kita lakukan. Kami mengambil langkah instan. Dengan menggandeng teman-teman disabilitas. bukan berarti kami tidak bertanggungjawab. Ini bagian dari kemitraan kita agar data lebih baik. Termasuk dengan bu widi. Untuk menyempurnakan data. Semata-mata agar kita punya data real. Kita memahami fakta bahwa perspektif disabilitas belum sampai ke bawah. Untuk bintek, beberapa mengeluhkan pelayanan teman-teman KPPS. Ini satu tekad bagi kita. Kita ingin ada masukan untuk itu. Buku panduan pilpres kemarin sudah memberikan tata cara perlakukan petugas KPPS dalam melayani jenis disabilitas. sebetulnya ini ada di pilpres. Persoalannya gap itu perlu dilakukan bintek kepada petugas penyelenggara di level KPPS. Ditingkat kabupaten saya sudah menyampaikan itu. Pak didik tadi juga sudah menyampaikan. Kami minta bantuan ke teman-teman semua nanti. Dan teman-teman juga sudah terbuka untuk kita mintai tolong. Mengimplementasi dalam program-program yang ada. Baik memberikan informasi, bintek kepada petugas. Tidak hanya saat pemilu, kami juga menerbitkan jurnal, salah satu topiknya pemilu akses. Juga ada proyek ToT mendidik para KPU untuk tahu cara melayani disabilitas. memang sejauh kemampuan kami, kami mendorong teman KPU kabupaten kota untuk melayani disabilitas. dari teman tuna rungu ada masukan masih lemah perhatian ke mereka. Ada satu tuna rungu DIY yang datang ke
8
kami. Dia rajin sekali mencari informasi ke kami. Sekali lagi kemitraannya kami mohonkan. Pasca pertemuan ini, mohon ditindaklanjuti dengan kemitraan yang ada. Masduki Saya menanggapi ide tentang kuota disabilitas. ini belum dicoba diwacanakan. Harus paralel. Substansinya. Tidak hanya ke penyaluran suara di TPS. Tapi ada keterwakilan mereka di parlemen. Dulu juga perempuan seperti itu. Informasi selama sekian puluh tahun di dominasi laki-laki. Persoalannya lebih ke struktural. Bukan kultural. Kami dari KPK ingin bergabung. Kalau kembali ke konteks Yogya, KPK punya beban di pendidikan pemilihnya. Modal utama dari itu adalah informasi yang komprehensif. Teknis mekanisme diseminasi informasi yang tersedia. Pada level ini beban KPU besar. Kalau ini bisa dibuka lebih jauh, bisa bersinergi untuk membuat modul pendidikan pemilih. Ini bisa menjadi modal untuk akselerasi. Step harus dari mereka pendataan. Itu butuh relawan demokrasi. Harus dapat informasi komprehensif tidak hanya yang normatif. Syarat pentingnya itu. Kalau informasi sudah bias, hak mereka akan terdistorsi. Kalau informasi disetting, bisa memilih yang tidak akomodatif untuk mereka. Soal media, karena konsent saya di media penyiaran, perlu bertemu lagi. KPID, KPUD, membicarakan hal ini. tivi lokal dan media penyiaran lokal perlu menyediakan informasi yang aksesible. Rencananya banyak tivi lokal yang akan hadir juga. Ini peluang. Ada efektifitas yang belum baik daripada door to door. Banyak agenda yang harus dilakukan segera. Harto Ketika memilih tidak adareferensi jelas, sehingga ikut-ikutan. Memang yang masuk ke pemilih hanya jajaran nama saja. Trake recordnya tidak jelas. Ketika kita mulai DPD, memilih nama, perbincangan di masyarakat macam-macam. Yang laki-laki memilih yang ganteng. Dan yang perempuan memilih yang cantik. Ini pemilihan DPD atau memilih ratu kecantikan. Informasi ini penting. 2004, kita juga punya program pendidikan pemilih. Kita sampai menyewa televisi untuk melakukan debat calon. Ini upaya sosialisasi calon yang punya visi misi baik. Mas didik tadi punya gagasan cemerlang, sistem informasi desa. Kalau ini bisa dimanfaatkan KPU untuk menyampaikan tracke record kandidat, ini menarik. Pemilih tidak perlu jauh-jauh mencarinya. Cukup ke kantor kelurahan. Saya menemukan cv calon itu di pemilu kemarin. Tapi sejauhmana cv itu tersosialisasi ke pemilih, itu masih dipertanyakan. Belum lagi masalah, apakah semua pemilih bisa mengakses internet. Untuk teman tuna netra yang tidak bisa akses internet, bagaimana bisa mengakses informasi kandidat itu. Satu-satunya adalah adanya template itu. Ketika tidak ada template dan didampingi petugas dengan partai dan calon sekian banyak. Untuk mendampingi satu tuna netra butuh waktu lima menit. Apakah mereka dibacakan ketika didampingi itu. Nuning Di sisi penyelenggara sendiri, perlu ada perbaikan semua informasi untuk semua. Di sleman saya pernah membuatkan daftar calon dalam bentuk braile. Memang agak mahal. Makanya saya hanya memberikan per organisasi itu satu buku. Dua kali periode kita membuatkan daftar calon. Biar langsung membaca sendiri calonnya.
9
Saya rasa karena waktu sudah melebihi, saya kira untuk sementara masih kita cukupkan sekian. Kita lanjutkan besok pagi. Terima kasih. Selesai jam 17.45 WIB
10