NOTULENSI Diskusi Tematik Keberpihakan Media terhadap Kepentingan Masyarakat Rentan KONFERENSI REGIONAL MASYARAKAT SIPIL YOGYAKARTA: MASYARAKAT SIPIL DAN PENGUATAN DEMOKRASI INKLUSIF YOGYAKARTA, 25-26 FEBRUARI 2015
Hari Pertama: (Pukul 14.30 WIB dimulai perbincangan terkait Pendalaman Materi untuk besok) Jam 11.00 WIB disepakati untuk acara besok. Pertemuan dengan pihak pemerintah dan juga penyampaian rekomendasi bersama yang akan disampaikan oleh perwakilan kepada pihak pemerintah. Pembukaan Materi Diskusi Mbak Brita: Media menjadi salah satu topik dari diskusi ini karena media menjadi penting karena dengan media teman-teman difabel dapat menyampaikan aspirasinya, selain itu juga dapat menjadi corong suara untuk teman-teman sekalian. Fungsi media untuk komunitas temanteman akar rumput serta dapat merefleksikan bersama bagaimana fungsi media berjalan, kemudian apakah media menyuarakan kepentingan masayarakat atau tidak, membawa aspirasi komunitas akar rumput ataukah tidak, apakah media mainstream sudah bisa menangkap hal itu semua. Di sini sudah ada dua narasumber yang keren yaitu Mas Hendrawan Setiawan dan juga Mbak Dhyta.
PEMATERI/NARASUMBER 1: HENDRAWAN SETIAWAN dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen Jogjakarta) Selamat siang kawan-kawan, senang sekali saya diundang di sini. Terimakasih mbak Brita, terimakasih kawan-kawan. Teman-teman yang mengetahui dan melakoni dapur redaksi
1
yang memandang isu-isu yang berkembang. Di sini saya berharap kita akan lebih banyak sharing daripada berdialog satu arah. Bagaimana teman-teman melawan kekuatan media mainstream yang tidak berpihak pada kelompok rentan. Ada hal yang menarik untuk saya, saya tergelitik dengan TOR (Term Of Reference) yang dikirim oleh teman-teman dari SIGAB. Kalimat pertama yaitu “tidak ada media yang netral”. Pertanyaannya apakah media harus netral? Dalam UU Pers tahun 1999 dan juga dalam kode etik jurnalistik tidak ada aturan yang tertulis bahwa wartawan atau jurnalis Indonesia harus netral. Justru harus berpihak yaitu berpihak pada publik. Yang dimaksud masyarakat tentang netral adalah independen, bebas dari kepentingan kelompok tertentu. Kepentingan kelompok tertentu kecuali kepentingan ekonomi. Oleh karena itu media harus berpihak. Terdapat pernyataan yaitu Journalism’s firs loyalty is to citizens (Bill Kovach and Tom Rosenstiel). Jurnalisme yang mengadvokasi kepentingan-kepentingan yang menjadi concern publik. Media justru harus concern terhadap permasalahan lingkungan dan bukan menjadi corong atau propaganda kerusakan lingkungan. Kita lihat televisi swasta sekarang. Jujur saya pribadi bekerja di televisi yang terlibat oligopoli media. Saya bekerja di TV One Jogjakarta. Kondisi media pasca reformasi ditandai dengan hal-hal berikut, anatara lain: terdapat oligopoli media mainstream, publik menjadi pasif. Contohnya, munculnya twitter menjadi tamparan keras bagi media televisi. Komentar-komentar di twitter lebih cepat beredar dan berpengaruh terhadap media televise. Mungkin mbak Dhyta nanti bisa mengelaborasi lebih lagi. Contohnya media televisi, misalnya pihak kepolisian yang selalu berdalih dengan banyak hal padahal sebenarnya kasus yang sedang ditangai masih dalam proses. Pihak yang dibully kupingnya panas tetapi pihak yang dibully harus mengungkapkannya dengan pernyataan diplomatis. Kemudian terkait pula dengan adanya komunikasi satu arah. Isu terkait agama dan diskursus wacana. Contohnya, Kasus ahmadiyah: media ikut member label atau stereotype. Pembangunan tempat ibadah, pembubaran diskusi/bedah buku/menonton film korban 65. Kawan-kawan di AJI prihatin, pemain baru selalu melakukan aksi. Pembubaran film senyap, kemarin di Solo terjadi lagi. ISU LGBT Labelling dan stereotyping yang menjadi kontroversial, mereka para pendosa dianggap bertentangan dengan agama. Efek bagi LGBT sendiri antara lain: menutup diri dan
2
kehilangan hak sipil, politik dan juga sosial. Di televisi challenges nya lebih besar, waktu terbatas, serta berebut dengan isu lain. Kekecewaan kelompok masyarakat yang concern dengan isu lingkungan. ISU DIFABEL -
Kurangnya perspektif media sosial disabilitas, kami mengundang SIGAB yang kemudian membuka mata kami. Contohnya beberapa media menuliskan temanteman difabel dengan kata “cacat”, namun setelah ada diskusi terjadi discourse pada teman-teman AJI. Harapannya agar bisa mempengaruhi mereka (media-media lain) untuk menulis lebih baik.
-
Kurangnya akses difabel ke media.
-
Muncul dikotomi “normal” dan “tidak normal”. Dalam hal ini seharusnya media bisa berperan. Yang paling mudah ketika sudah paham dengan istilah-istilah tersebut seharusnya dapat mengubah tulisan yang tidak sensitif dengan kawan-kawan difabel menjadi sensitif pada mereka.
ISU PEREMPUAN DAN ANAK -
Media melakukan eksploitasi
-
Untuk tujuan bisnis untuk menarik perhatian
REKOMENDASI -
Membangun perspektif yang benar tentang isu-isu kelompok rentan terhadap jurnalis
-
Intervensi industri media mainstream untuk voicing the voiceless (menyuarakan apa yang tidak bersuara)
-
Hapus labelling dan stereotyping
Supaya media bisa diintervensi secara komprehensip perlu suatu effort pada golongan middle agar dapat dipengaruhi, mereka harus dipengaruhi agar mereka tersesat ke jalan yang benar. Menyuarakan yang tidak punya suara. Saya kerja di TV One mencoba sharing membuat berita kriminal mudah dipahami tanpa menyebutkan inisial. Tidak perlu menyalahkan bunga-bungaan dan sebagainya. STRATEGI
3
-
Lawan oligopoli media mainstream dengan kekuatan sipil lewat internet dan media sosial
-
Pahami kerja UU pers (media)
-
Advokasi isu kelompok rentan ke media dan publik
-
Hentikan konsumsi konten-konten sampah
Advokasi dengan cara mereka. Bahwa media hanya satu arah. Masyarakat ada yang senang dan tidak senang. Konten tidak layak untuk ditayangkan. Pemirsa tidak semua cerdas. Konten tidak mendidik. Hentikan menonton satu program acara. Rating anjlok, tidak ada iklan, kemudian berhenti produksi. Memandang media memiliki banyak peluang dan juga menarik karena kita punya akses besar terhadap internet, agar terbuka kanal-kanal besar melalui pemanfaatan media sosial. Mari kita bersama-sama mengkonsumsi konten yang layak. Contact Person:
[email protected] [email protected] 08164260603 @hnedarawn
DHYTA CATURANI Dhyta caturani aktif mengurusi media yang menyuarakan hak dan aspirasi temanteman Papua yang mendapat diskriminasi. Selamat siang, terimakasih banyak sudah hadir. Saya bukan expert, saya pelaku media karena kita semua pelaku media. Saya kebetulan penggagas OBR tahun 2013. Berita media mainstream seperti Tempo, terkait perayaan OBR di Jogja. Mendapat kritikan, judulnya sudah diubah. Reporter yang menulis dia sangat marah karena itu pekerjaan editor. Tidak adil selalu menyalahkan jurnalis arus utama. Banyak jurnalis-jurnalis yang sangat baik saya kenal. Namun perihal selalu mentok di atas. Sekali melempar sesuatu di internet akan terekam selamanya. MEDIA ALTERNATIF Media ini tidak diproduksi oleh media besar dan memiliki karakter-karakter tertentu, berusaha menyuguhkan informasi, gagasan yang tidak diangkat oleh media-media besar.
4
Media yang kritis yang men-challenge baik kekuasaan korporat maupun kekuasaan pemerintah. Aku sendiri jarang menggunakan kata kelompok rentan tetapi lebih ke kelompok marginal. LGBT sebenarnya powerfull. Media alternatif tidak berorientasi profit. Menurut Michael Trubber media laternatif terbagi menjadi dua yaitu media advokasi dan media grassroot. Adapun media Advokasi diproduksi oleh orang-orang profesional. Sedangkan media Grassroot diproduksi oleh kelompok tertentu untuk menyuarakan kepentingan mereka sendiri. Adapun kategori media alternatif yaitu media perlawanan atau radikal yang isinya sering mengandung propaganda. Macam-macam media yaitu media komunitas, media pelajar, media sub kultur, media seni eksperimental dan lain-lain. Media sangat terkait dengan keberpihakan. Begitu juga dengan media arus utama yang berpihak. Secara ideal semua media berpihak pada publik. Sayangnya media-media arus utama menjadi hipokrit atau berbohong. Di negaranegara besar media besar secara terang-terangan meng-endorse calon Presiden. Tetapi di Indonesia sendiri, contohnya saat Jakarta Post meng-endorse Jokowi dan kemudian media tersebut dihujat habis-habisan. Media tidak selalu berdalih netral. Perbedaan konten namun sama isu. Isu difabel, LGBT, perempuan, yang hanya berbeda framing, angle, dan modal produksinya. Media besar sangat profit (profit oriented). Mode distribusi. Media besar menjangkau ke pelosok-pelosok. Media alternatif dari tangan ke tangan seperti selebaran salah satunya dan dibatasi situasi politik, sehingga sifatnya terbatas. Relasi dengan audience juga terbatas. Media alternatif menjadikan audience sebagai subjek dan bukan objek. Kapan muncul media alternatif? Tahun 1990-an kebanyakan mereka menyebutkan. Indie media juga muncul di seluruh dunia. Tahun 1900-an di Amerika Utara yang isinya jurnalis-jurnalis yang membongkar korupsi-korupsi, korporat, dan lain-lain. Selebaran termasuk media alternatif. Pirate radio awalnya dari Inggris, mereka tidak mau mengikuti aturan pemerintah. Radio di sebuah kapal, berlayar jauh, dari Inggris ke Amerika hingga akhirnya di crack down. Adapun bentuk-bentuk media alternatif: Radio, video, media lakon (seperti teater,dan lain-lain), TV, lagu, gambar, internet. Teknologi digital, media sosial, internet sebagai new media. Untuk tahun 2015 bukan lagi new media tetapi this is the media sekarang. Media arus utama dan media alternatif semua masuk internet. Berfungsi alat penyebaran dan perluasan pelaku. Keterbatasan media di
5
masa lalu sudah tidak ada. Masih 28% pengguna media sosial dari 210 juta penduduk. Mobile connectivity. Bahkan 350 juta lebih. Karena saya yakin banyak orang punya handphone lebih dari 1. Contoh, SMS Gateway. Gampang sekali. Dengan 1 laptop sudah jadi. Aplikasi dan interface lebih gampang. Semua keterbatasan di masa lalu sudah dibongkar habis. Karakter real internet memperluas informasi dan gagasan. Media grassroot yang tampil sendiri di depan. Kita tinggal tulis dan tinggal kirim. Dan bagaimana kelompok minoritas untuk menyampaikan propaganda dan fakta. Media digital menjadi surga baru yang membuat kita malas. Mampu menggunakan untuk mengajak orang untuk bersolidaritas. Dari online ke offline. Menggunakan internet untuk mengajak orang lain beraksi.
Apa yang dibutuhkan? -
Kemampuan dalam memproduksi konten. Kita harus jadi content produser.
-
Kemampuan menentukan target audience.
-
Kemampuan strategi penyebaran. Twitter ada jam-jam yang bagus untuk posting. Di Jakarta di jam-jam macet, jam makan siang, serta jam pulang kantor.
-
Kemampuan mengemas promosi konten
-
Kemampuan membangun jaringan
-
Kemampuan verifikasi. Meskipun media alternatif tidak punya keterikatan dengan model tetapi tetap harus bertanggung jawab terhadap publik. Justru tanggungjawab media alternatif adalah kepada publik.
-
Pemantauan dan menghadapi bahaya new media. Kekerasan berbasis teknologi. Perempuan maupun LGBT rentan mendapatkan ancaman maupun teror. Kebanyakan ancaman perkosaan. Saya sebagai aktivis perempuan, seranganserangan selalu ditujukan ke saya sebagai perempuan. Serangan setiap hari. Twitter, facebook, meupun email yang kadang bisa diretas. Saya secara pribadi ingin mendorong isu ini/ topik ini menjadi perhatian kita semua.
Mbak Brita:
6
Semua orang adalah pelaku media, kita sebenarnya reporter. Apakah yang kita ketik menyuarakan pada banyak orang dan tersampaikan dengan baik itu yang menjadi PR kita. Tantangan untuk kita. Mungkin ada teman-teman ingin berbagi saya persilakan. Mbak Dhyta: Banyak media arus utama mengandalkan orang-orang biasa seperti kita untuk membuat berita. Media alternatif harus memainkan peran itu. DISKUSI: 1. Mbak Rani: terima kasih, saya dari JPY. Ketika memasukkan perspektif perempuan/gender. Kasus OBR kami tidak bisa menyalahkan wartawan di lapangan. Tantangan teman-teman di lapangan adalah mendeskripsikan berita di lapangan. AJI cukup terbuka harapannya diikuti teman-teman media lain juga. Saya mau curhat saya di KPU Kota. Banyak teman mengalami terkait Pemilu banyak berita yang disampaikan membuat masyarakat bingung. Berita harus proporsional dan butuh klarifikasi. Kota belum pernah “diserang” sehingga berita menjadi kontraproduktif. Bicara media punya siapa. Kami dibenturkan dengan penyelenggara pemilu seperti panwas, publik, teman-teman difabel. Dan juga dirasakan banyak kawan lainnya. Kami berharap beritanya benar dan mendidik. Di kasus-kasus Pemilukada ramai sekali. Penyelenggara pemilu harus dikritisi dan harus berpihak pada publik tidak berpihak pada siapa yang membayar/yang mempunyai uang banyak. Meskipun ketika kami tanya teman-teman sudah menyerahkan proposal dari partai-partai karena hanya beberapa yg tembus sehingga iklannya itu terus. Problem perspektif difabel, perempuan menjadi tanggung jawab kita bersama. Mbak Dhyta: Tuntutan ke media arus utama sudah dari jaman dulu dilakukan tetapi selalu mental. Ikatan orang hilang, kami muter dan melakukan brifing. Editor dan ke atasnya yang susah. Debat-debat sedikit. Setelah keluar tetap tidak ada tindak lanjutnya. Saya sempat berfikir melakukan roadshow media. Saya menjadi skeptis dan tidak menggunakan media arus utama. Usaha yang dilakukan teman-teman, banyak dari mereka yang menulis bagus, blogger-blogger yang bagus. Perang konten di internet sangat wajar. Untuk memenangkan perspektif.
7
Mbak Rani: Kebebasan berekspresi di media. UU ITE menghambat proses demokrasi di media. Mbak Dhyta: Dari kelompok masyarakat sipil dan saya terlibat melakukan revisi UU itu. Sedang dikerjakan draftnya. Isu ini perhatiannya kecil dari masyarakat. 70 lebih yang dikriminalisasi. Seorang istri mengalami KDRT, suami meretas FB kemudian menunjukkan chat istri dengan pria lain. Chat seksual tidak ada. Curhat dengan pria lain. 200 halaman print outnya. Suami memberikan 800 print out dan diterima polisi. Kasus tersebut di Bandung. Suami melaporkan KDRT yang dilakukan istri karena membuat dia depresi dan butuh psikiater. Dan di BAP polisi, kasus istri diacuhkan. Untuk kasus-kasus seperti ini kita harus melawan.
Mbak Brita: Misalnya new media digunakan oleh orang-orang fasis, punya media dan banyak dikutip orang. Contoh PKS piyungan. Bagaimana cara menyiasati orang yang punya jamaah yang banyak seperti itu? Mas Hendrawan: Banjir informasi di media. Nama piyungan jadi ikut tercemar. Berita-berita hoax muncul dalam kondisi-kondisi kritis sebagai alat propaganda. Beredar berbagai macam jenis informasi. Wartawan punya kewajiban untuk mem-verifikasi. Dengan adanya media sosial jadi lebih sibuk dari biasanya. Tetap bersandar pada sumber-sumber resmi. Mudah untuk saling mem-bully. Ketika seseorang melakukan berita yang tidak pas kita langsung meng-counter. Begitulah hukum yang terjadi di media sosial. Ketika berita/media salah bully saja. Meskipun judul sudah berubah judul pertama masih tetap ada. Di Jogja sekelompok pengacara malah mendukung UU ITE ini. Kasus-kasus lain terjadi tetapi saya tidak tahu. Contohnya, istri masuk penjara karena mengganti status. Istri dekat dengan pria lain. Istri masuk Wirogunan. Informasi jangan jadi tidak jelas, jangan dengan mudah broadcast. Mbak Dhyta:
8
Konsekuensi logis, koin selalu mempunyai dua sisi. Perang konten, kontestasi konten mana yang benar, mana faktanya. Mereka selalu memanipulasi (contohnya PKS Piyungan). Barusan saya dapat email dari Jakarta Post terkait perempuan-perempuan dari HTI yang ingin menulis di Jakarta Post, mereka berikan data-data. Contohnya OBR mulai tahun 2013. Kasus kekerasan seksual di amerika dan eropa utara. Kebanyakan informasi itu salah, saya heran apakah mereka tidak googling. Oleh karena itu, otoritas kalian untuk mengkontestasi konten. Orang akan lebih melihat mana tulisan yang menggunakan akal sehat mana yang tidak. Sangat mudah untuk mematahkan mereka. Tetapi kadang ada orang-orang yang tidak peduli. Perang yang tidak harus diperangkan. Mas Hendrawan: Kita negara demokrasi bebas berpikir, misalnya saya menulis buku yang menyerang mbak Dhyta, mbak Dhyta lawan balik dengan menulis buku juga. Tetapi yang terjadi sekarang ini justru kekerasan. Perang yang benar ya perang konten. Untuk the lost war/battle seharusnya ditinggalkan saja yang seperti itu. Waktunya terbatas, karena ini forum. Kelompok rentan harus sedikit kita bahas. Saya aktif di radio, streaming juga. Semua orang pelaku media. Perang media selalu ada. Sekarang media entah itu media/informasi terus menerus menyerbu masing-masing orang. Saking banyaknya tahu hingga lupa. Kami juga kebingungan. Radio porsinya sangat kecil sekali. Sudah waktunya menambah job/porsi kita, tidak hanya menjadi jurnalis saja. Kita menggerakkan media diselaraskan dengan keadaan yang ada. Kita menyuarakan, kita gerak (secara offline). Menggerakkan dua-duanya. Masyarakat bingung karena salah kita juga banyak menyuarakan. Langkah kita seperti apa dengan keadaan sekarang? Mbak Brita: ada tambahan dari teman-teman lain? Membicarakan media tidak akan ada habisnya. Persoalannya bagaimana kita bisa memahami media. Orang akan lebih cenderung media televisi dibandingkan dengan media-media lain. Apakah kepedulian kita terhadap setiap konten apa kita bisa menyaring atau justru menelannya mentah-mentah? Konten yang akurat bukan hanya benar. Karena benar belum tentu akurat. Yang dilakukan hanya copy paste saja. Kadangkadang pihak pengusaha, pihak redaksi menargetkan banyaknya info yang kita
9
masukkan. Teman-teman difabel kan medianya sudah banyak. Tidak ada lagi alasan mengatakan difabel ditinggalkan. Yang terjadi saat ini semua kelompok masyarakat ingin menjadi sibuk, terkenal, ingin diketahui. Kita menyusun batas-batas yang mempunyai kontrol. Siapa yang melakukan sebuah koreksi terhadap media yang sudah muncul, contohnya KPI, dan lain-lain. Tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendidik. Kita adalah pasar. Bagaimana masyarakat melindungi dirinya sendiri. Ketika kita tidak suka maka matikan saja. Konten sampah menjadi nikmat dan dicari. Ini yang menjadi problem karena lepas kontrol. Mana sampah mana yang tidak. Kita hanya bisa gelisah, melontarkan, diskusi dan apa akibatnya seperti lingkaran setan yang tidak ada habisnya. Masyarakat kita sakit benar dan menyadarkan tidaklah mudah. Semuanya menjadi ego. Penikmat/pelaku/sampah media. Anda bisa menerima, menikmati maka ambil saja. Konten bisa menjadi sebuah kampanye bagi teman-teman difabel. Apalagi jika sudah menjadi konten yang bagus dan massive pasti akan dicari dan dapat dibanggakan. Kampanye dilakukan untuk mendorong seluas-luasnya. Mbak Brita: Masyarakat tidak mau berliterasi media karena sudah menjadi bagian dari sampah. Teman-teman disuguhi informasi yang banyak dan tidak bisa berbuat banyak. Difabel sebenarnya punya bank content yang banyak. Wacana perlawanan perlu di setiap komunitas-komunitas yang ingin menyuarakan aspirasinya. Keakuratan berita kurang, tidak mendidik. Masyarakat di setiap komunitas seperti dijual dan menjadi bangga. Ini problemnya. Mbak Dhyta: Aku sepakat bahwa masih banyak orang di Indonesia seperti dilem ke TV dengan suguhan atau konten. Mengapa masyarakat Indonesia masih adiktif dengan TV. Asumsi personal karena tidak ada hiburan lain selain TV terutama di pelosok. Video kills the radio stars. Youtube kills the video stars. TV masih bersifat tunggal. 28% pengguna internet adalah masyarakat urban. Penetrasi internet kaum urban. Kalau saya, daripada nonton film seri di TV mending download karena tidak harus lihat iklannya. Kelompok marginal sudah saatnya menjadi content producer untuk komunitas sendiri dan publik. Saya pernah travelling projector dari Jakarta – malang, di daerah mereka antusias. Di
10
kota sepi. Isinya film-film dokumenter. Kita harus menjadi kreatif pertama, mengemas dengan baik dan menyebarkan. Aku optimis akan perubahan yang terjadi. Orang kelas menengah lebih sedikit menonton TV karena banyak pilihan. Semua ada di kita. Teknologi kita manfaatkan. Memproduksi konten bermutu sebanyak mungkin. Banyak media alternatif yang tidak jujur. Jujur kepada publik yang menjadi target audience. Mas Hendrawan: Saya setuju kalo problemnya disitu. Kita sebagai aktivis, kita harus menyelesaikan masalah tersebut. Saya pulang saya tidak mau menonton acara ecek-ecek tidak bermutu. Industi harus punya akal sehat, faktanya semua belum bisa. Lihat daftar yang ditegur KPI, lebih banyak acara yang banyak pemirsanya. Meskipun tidak memiliki efek apa-apa. Teguran KPI kurang punya efek jera. Ketika dapat surat cinta dari KPI redaksi “kebakaran jenggot”. UU penyiaran disebutkan kata netral, ruhnya adalah ketidakindependensi-an media. Jurnalis ada istilah khusus. MoJo (mobile Journalist). Temanteman difabel harus membuka cakrawala, tidak hanya bergabung dengan teman-teman difabel agar khasanah lebih luas dan memperkaya kita. Mbak Brita: Kita sadar bahwa kita sudah tidak nyaman dengan media terutama penggunaan media baru. Sharing kali ini apa sih masalah dengan media. Ingin mengubah konferensi yang hanya ngomong, tetapi apa yang seharusnya kita lakukan. Mungkin kita bisa melakukan sedikit aksi kecil, inginnya ada rekomendasi. Besok akan ada stakeholder. Saya tutup sesi hari ini dengan riang gembira, sebenarnya kita sudah mempunyai banyak jawaban dan akan kita bahas besok. Moderator: Berakhir pula acara ini, kurang lebihnya mohon maaf. Terimakasih banyak atas kehadiran. Selamat sore dan sampai jumpa besok.
11