NOTULENSI Diskusi Tematik Aksesibilitas Layanan & Fasilitas Publik KONFERENSI REGIONAL MASYARAKAT SIPIL YOGYAKARTA: MASYARAKAT SIPIL DAN PENGUATAN DEMOKRASI INKLUSIF YOGYAKARTA, 25-26 FEBRUARI 2015
Hari Pertama: Ipung : kita mulai dulu, mari kita buka dengan doa. Silakan, siapa yang akan memimpin. Ust. Firman : mari kita doa dulu, menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai. Ipung : kita akan melanjutkan diskusi yang kemarin. Ini diskusi yang kemarin (dipaparkan lewat proyektor). Kita akan mengisi kolom yang belum terisi. Pakai wadah kondo ya, supaya makin merdu. Ada 4 kolom tentang identifikasi isu yang mengemuka dan masalah yang terjadi. Dari berbagai cerita yang disampaikan, coba dimasukkan dalam kolom tersebut: 1. Identifikasi isu yang mengemuka dan masalah yang terjadi 2. Pemetaan : penyebab dan yang terkena dampak, kelompok yang terkait siapa saja. Bicara aksesibilitas kan bukan saja yang difabel yang kena dampak, tapi juga kelompok lain, misalnya di Solo : difabel, pengemudi becak, PKL, semua dibenturkan satu sama lain. Dengan forum seperti ini, alhamdulilah dulu bisa selesai juga. 3. Posisi dan agenda masyarakat sipil. Merefleksikan yang dilakukan di Solo, waktu itu malah membuat organisasi masyarakat besar dikalangan difabel, parkir, pengemudi becak, bahkan pemulung dan pedagang asongan; semuanya kelompok marjinal. Di salah satu forum pemerintah, community development, dibangun kesepakatan bersama, konsensus sehingga bisa mempengaruhi pelaksanaan pembangunan kota. 4. Rekomendasi terkait dengan agenda yang akan dilakukan bersama-sama. Di identifikasi isu yang mengemuka dan masalah yang terjadi : ada usulan terkait kesadaran masyarakat yang menurun. Disebutkan, dulu angkat tongkat sudah bisa nyebrang, sekarang malah diklakson, konsentrasi jadi buyar. Ini hanya contoh, kasuistik, tetapi artinya kesadaran masyarakat mulai menurun. Dulu nyegat bis, mereka masih mau berhenti, sekarang ya
1
berhenti juga tapi trus didorong, makin nggak nyaman lagi karena yang didorong itu pantatnya. Jadi kapok, kalau saya harus naik transportasi umum. Peserta : yang agak manusiawi dikit itu Trans. Ipung : transportasi umum itu juga mahal untuk saya, harus mbecak dulu, trus sambung naik bis, daripada jalan, naik becak lagi.. lha kan dobel pengeluarannya. Pemerintah nggak melihat pengeluaran-pengeluaran seperti ini dalam indikator kemiskinan yang sudah dibuat selama ini. Lha ini malah bicara hal yang berbeda lagi. Kita sangat kuat mendorong agar ada perubahan indikator kemiskinan menurut standar BPS. Yang lain lagi, lampu merah untuk menyebrang jalan, yang dipencet. Ini saya tulis dengan dalam kurung, akan dipencet untuk menyebarang jalan. Lemahnya kebijakan terkait aksesibilitas. Tidak ada sistem monitoring dan upaya untuk mempertahankan aksesibilitas publik. Kemudian persoalan lagi, tim advokasi yang memperjuangkan aksesibilitas secara kontinyu, sustainable dan sistemik tidak ada. Kemudian pemasangan guiding block tidak tepat atau membahayakan keselamatan. Biasanya kasusnya menabrak pohon, pot. Kemudian pembangunan aksesibilitas yang tidak standar, tidak sesuai dengan Permen PU, sebenarnya ada UU bangunan gedung, tapi UU tersebut juga masih jauh dari perspektif difabilitas yang universal desain. Gedung yang harus ada lift kan hanya yang berlantai 5, padahal kebutuhannya bukan hanya yang ada di Lt. 5 ke atas. Di Solo, ada kasus lucu, gedung Solo Pos, lift itu hanya ada mulai lantai 3 dan 4 saja. Di lantai 1 malah nggak ada lift. Saya kan iseng, saya mau ke perpustakaan. Ternyata ada di lantai 4, trus naiknya gimana? Lha bisa naik lift tapi lewat lantai 3 dulu.. lha di lantai 1? Nggak ada liftnya. Lha lucu. Setelah 1 tahun, kepala redaktur kecelakaan dan jadi paraplegia, trus itu dasar yang dipakai Solo Pos untuk merubah, akhirnya sekarang dari lantai dasar sudah ada lift. Tapi nggak bisa semua orang pakai lift, harus dikawal, katanya ini lift khusus untuk Pak Mulyanto Utama (kepala redaktur yang kecelakaan). Bahkan di Pasar Gede Solo, sudah dibangun aksesible, guiding block. Ternyata guiding block ini ramai orang, jalan ramp ramai orang. Ketika kita iseng tanya pada yang lewat : kenapa kok lewat di sini? Nggak pakai jalur yang ada ramp dan guiding block? Jawabannya sederhana : mbak saya kan buruh gendong.. takut kepleset kalau nggak lewat jalan yang ada ramp dan guiding blocknya. Dulu saya kuliah di Uniba. Saya mengajukan permohonan agar kelas dipindah di bawah, setiap kali pergantian kelas : kelasnya di mana, di ruang pertemuan... di lantai 1, alhamdulilah, nggak naik naik tangga. Tangga sekarang itu juga aneh-aneh... hand rail kadang ada kadang nggak. Nah, pembangunan-pembangunan aksesibilitas yang nggak standar memang merepotkan. Kemudian nggak ada posko pengaduan terkait layanan fasilitas publik yang nggak aksesible. Kemudian ada diskriminasi terhadap masyarakat marjinal untuk mengakses masyarakat publik, contoh masyarakat Syiah tidak bisa mengakses KTP dan lainnya. Di komunitas difabel juga banyak diskriminasi. Ada kejadian lucu, kawan-kawan difabel yang besar tubuhnya, diusahakan supaya punya KTP, lalu orang dari Pemda datang ke rumah. Lha
2
setelah datang ke rumah, difoto, malah kamera rusak. Lhaa, kita lagi yang disalahkan : garagara datang ke rumah moto untuk KTP, kamera jadi rusak. Rezim diskriminatif dan tidak peduli. Banyak kebijakan yang diskriminatif dan dilahirkan penguasa yang sangat tidak peduli kawan-kawan difabel. Kadang jengah, ketika mengkomunikasikan persoalan difabel kemudian dibantah dengan : jangankan yang difabel, yang difabel saja.... Ini bikin jengah. Soal pekerjaan misalnya : jangankan yang difabel, yang nggak difabel aja rebutan kerjaan. Ini bikin jengah, kita kan nggak bisa nunggu yang non difabel sukses dulu trus baru mikir yang difabel. Lha, nggak ada yang bisa membuat keputusan. Coba, ketika pemilu atau pilihan walikota, presiden. Berapa sih yang punya perspektif tentang difabel? Paling kita dibagian hore-hore aja, bawa mesin jahit 50. Tetapi dari perspektifnya menempatkan orang difabel dari sisi humanis, masih jauh, masih belum. Menurut saya ini resim. Apakah ini lahir begitu saja? Kalau ditelisik, resim ini dilahirkan oleh kebijakan kita : misalnya kebijakan pendidikan inklusi, mana yang mendukung tentang difabel? Kesimpulannya difabel kan ada di pendidikan khusus SLB. Indikator pendidikan inklusi aja kan belum jelas to? Istilah ini aja kan munculnya dari seminar-seminar. Nyebut saja, solo kota inklusi, tapi nggak tahu maksudnya, nggak tahu indikatornya apa. Kemudian, isu partisipasi difabel tidak ada dalam pembuatan fasilitas publik, partisipasi difabel harusnya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan perbaikan. Persoalan difabel dalam aksesibilitas sangat kompleks, termasuk soal anggaran. Kemudian pembangunan fasilitas publik berdasarkan orientasi bisnis, bukan sosial. Kemarin disampaikan banyak tender. Halte juga tidak ada yang akses dan tidak ada perubahan. Trotoar tidak aksesible, sangat tinggi, dan ramp nya curam. Kemudian akses bangunan fasilitas publik tidak ada : DPRD tidak ada lift, kantor pos bertangga-tangga. Kayanya ini dibangun 2 kantor kecamatan di Kota dan satu lagi di mana, lupa; dan itu tidak aksesible. Kemudian portal trotoar untuk mencegah motor lewat trotoar. Dan ini serempak, di Jakarta, Solo juga begitu. Kemudian tidak ada mekanisme komplain untuk aksesibilitas publik, sekolah tidak ada juru bahasa isyarat, pengumuman hanya lewat audio, tidak ada running teks sampai di mana, tidak ada simbol atau petunjuk arah. Negara tidak memiliki daya dan kemampuan untuk memenuhi aksesibilitas publik. Peran negara juga tidak muncul di ruang publik. Kemarin juga muncul isu bahwa komunitas dihadapkan dengan komunitas lain, bahasa yang lain : ada adu domba antara yang difabel dengan tukang parkir atau komunitas marjinal yang lain. Pemetaan stakeholder, yang kena dampak. Muncul pemain-pemain lain misalnya PKL, kaki lima, parkir, dan lain-lain. .... melakukan akses survey secara periodik, kemudian mensosialisasikan hasilnya dan publikasi lewat media. Merumuskan gerakan advokasi bersama-sama, jejaring advokasi di antara berbagai pihak (pemerintah, akademik, dan lainnya). Melakukan aksi minoritas bersama-sama. Fasilitas publik tidak sistem lelang tetapi bersama-sama mempertimbangkan
3
aksesibilitas. Kemudian kerjasama pembuatan modul atau buku tentang bangunan yang aksesible. Pembangunan faslitas yang aksesible. Memberikan masukan kepada lembaga publik tentang memberikan layanan publik yang berbasis kebutuhan. Pengawasan lembaga masyarakat dan dewan. Pengawasan sarana prasarana lembaga publik dan membuat sistem pengaduan. Ini semua adalah usulan-usulan yang kemarin. Nah, bapak ibu dan kawan sekalian. Ini kan masih global, dan belum tertata. Saya usul, bagaimana kalau ini kita petakan. Artinya, kita mau melihat dari 2 sisi : dari sisi fisik (karena ada soal bangunan yang tidak aksesible) dan dari sisi aksesibilitas non fisik (terkait ketersediaan informasi, mekanisme komplain). Nanti, karena ini juga ada soal kesadaran, itu soal yang besar tetapi di luar ranah ini, karena soal paradigma, perspektif. Persoalan yang besar lagi terkait peran pemerintah dan kebijakan. Ini bisa jadi 1 kelompok. Jadi 1 terkait fasilitas bangunan, lalu non fisiknya, kemudian terkait persoalan besarnya : yang ada di dalam kebijakannya, paradigma, lalu diskriminasi resim. Ini ada di persoalan besar. Gimana kalau begitu? Atau ada yang punya gagasan lain? Silakan? Arif : ada yang belum ditulis : sistem informasi untuk teman-teman tuli. Misalnya pas berita, pas debat presiden. Ketutup running teks, malah ada juga nggak ada. Layanan untuk tuli memang sudah ada, tapi sulit melihat selain kecil, ketutup iklan. Harusnya ada pelayanan yang jelas kalau identitas kami yang tuli membutuhkan apa. Layanan ini hanya ada di debat capres saja. Ipung : berarti maksudnya aksesibilitas informasi di media. Arif : iya, kalau di berita sebaiknya ada. Terkadang susah melihat karena kotak penerjemah kan kecil, di debat presiden muncul tapi kecil tapi di berita-berita pada umumnya sama sekali nggak ada layanan penerjemah. Ipung : terutama di layanan berita ya. Gimana pengelompokkannya? Ibu.... : pengelompokkan yang diusulkan, sepakat. Hal yang utama memang ada di persoalan yang besar itu tadi. Kalau kebijakan belum berpihak, akan menyebabkan masalah akses baik fisik dan non fisik. Misalnya, hotel saja lah. Pemilik atau arsiteknya atau siapa yang jadi pengambil keputusan : mereka nggak tahu gimana gedung yang akses. Mereka dengan mudah menyatakan akses for wheel chair user. Padahal ternyata hanya punya ramp. Dari 31 hotel yang pernah masuk, selalu saja harus ada bantuan, nggak akses. Seandainya kita bisa dari akarnya, ada tim advokasi untuk aksesibilitas. Tim ini kemudian akan bisa menjadi tim yang kuat punya pengaruh ketika kita bisa masuk untuk advokasi misalnya di hotel-hotel : petugas hotelnya (gimana cara membantu), petugas parkir (karena nggak melihat apakah mereka paham bahwa pengguna kendaraan roda 3 atau bukan, di sini lumayan, Betesda juga sudah baik). Kalau ada tim aksesibilitas, maka sasarannya sekolah, hotel, rumah sakit dan gedung lain termasuk akses publik seperti halte bis yang ramp nya dibenturkan dengan pot, atau malah lubang, yang pasti kursi roda nggak bisa masuk ke situ. Pemangku
4
kepentingan harus bisa memahami persoalan kita tanpa merasa takut. Mereka itu kan takut dengan biaya yang tinggi. Padahal nggak begitu. Misalnya di hotel, kamar mandi khusus untuk difabel. Hotel Jambuluwuk kamar mandi untuk difabel, lux sekali, tapi kalau di lantai yang ada ruang pertemuan malah nggak ada kamar mandi difabelnya, jadi ya harus turun ke bawah. Sebenarnya nggak perlu lho biaya mahal. Di kamar-kamar, ukuran pintu selisih 1-2 cm saja, tapi kursi roda masih bisa masuk lho cuma nyangkut nggak bisa masuk ke bagian shower karena kepentok dengan posisi wastafel yang terlalu tinggi. Rekomendasi : bikin tim, masuk instansi, misalnya lewat training. Kita yang datang ke mereka. Kalau nunggu diundang, lama, belum tentu juga diundang. Ipung : untuk mempercepat proses, gimana kalau dibagi kelompok lalu mendiskusikan isuisu tersebut. Karena waktu terbatas. Kita bagi dalam 3 kelompok : 1. Aksesibilitas fisik 2. Aksesibilitas non fisik 3. Persoalan besar Apakah kita sepakat? Kita hitung 1 2 3. Hanif : kurang sepakat, kalau dibagi 3 karena melihat kenyataan di sini ada yang belum terlalu kuat di masing-masing posisi terkait isu yang diangkat. Kalau dijadikan 1 kelompok saja, nanti masing-masing bisa memberi masukan ke situ. Jadi cakupan bisa lebih luas lagi. Kalau dibagi nanti susah ngasih usulan ke poin lain. Ibu ... : iya, betul. Gimana kalau pembagian berdasarkan pengetahuan masing-masing? Pengetahuan non fisik ke kelompok non fisik? Lalu yang persoalan besar ya ke persoalan besar? Ipung : iya, begitu gimana? Dibagi berdasarkan minat dan ketertarikannya, lalu nanti kita diskusi bersama? Forum : diam. Ipung : diam berarti setuju ya. Oke, saya catat. 1. Fisik : Firman, Ali, Pak Ratno, Edo, Mbak Wiwin. Sudah 5, sudah dulu ya. 2. Non fisik (kok sepi peminat) ..... : Arief (pindah ke persoalan besar), Hanif, Anita, Ning, ada lagi? Rizka. Odin (pindah dari persoalan besar). 3. Persoalan besar : Mbak Retno (bercerai dengan Ratno), Fariz, Rifai, Odin, Mbak Tentrem (masuk ke yang masih 4 aja : persoalan besar), Arief. Maaf, unsur usia, jadi agak suda rungon. Jejernya mas Arief itu? Mbak Rizka, mau di non fisik atau persoalan besar? Sip. Masing-masing jadi ada 5 orang ya. Silakan diskusikan masing-masing berdasarkan hasil diskusi yang kemarin, bisa dimasukkan juga dari hasil rekomendasi. Selain memasukkan yang sudah ada, bisa juga ditambahkan kalau ada usulan baru. .. : yang didiskusikan berarti?
5
Ipung : termasuk identifikasi isu dan masalah, pemetaan stakeholder (penyebab dan yang terkena dampak – contoh trotoar terkait dg PU, penganggaran pembangunan, yang terkena dampak difabel, tukang parkir, pejalan kaki, pengguna sepeda onthel, begitu...), posisi dan agenda masyarakat sipil, ini bicara gagasan saja apa yang bisa kita lakukan. Kolom kedua ini, tidak harus mengisi di semua persoalan misalnya ada soal trotoar, lalu soal hotel, itu nanti bisa jadi rekomendasi atau aksi bersama. Jadi tidak harus semua kolom dijawab, karena agenda aksi bersama bisa jadi menjawab situasi-situasi secara umum. Apakah bisa dimengerti, ada pertanyaan lagi? Isu aksesibilitas itu sangat besar? Hanif : apakah nanti per arah diskusinya bisa fokus? Sebaiknya diidentifikasi dulu mana yang fisik dan non fisik? Usulan baru : apakah ini konsensus di forum ini, jangan dikelompokkelompok. Arah pembicaraan ketika diskusi nanti bisa melebar dan mengulur waktu. Ipung : iya betul. Oleh karena itu nanti sebelum keluar, kita akan plenokan dulu di sini. Nanti akan bisa memberikan tanggapan, jadi ketemu konsensusnya ketemu. Ada yang bawa laptop? Per kelompok ada? Kita bagi kelompok, tapi di sini saja supaya nggak jauh-jauh. Kita diskusi sekitar 20 menit. Sampai jam 10.15. Ibu Retno : breaknya kapan? Ipung : bagi kelompok dulu saja, nanti saya tanyakan. Khusus ya Fisik hanya bicara Fisik lalu yang non fisik ya non fisik. Diskusi 45 menit, termasuk coffee break. Presentasi kelompok. Ipung : presentasi kita mulai, mendengarkan dan melengkapi. Kelompok Fisik : Edo : Selamat siang. Dari kelompok fisik mengidentifikasi isu yang mengemuka. Identifikasi isu yang mengemuka dan masalah yang terjadi : 1. Gedung-gedung pemerintahan yang tidak aksesibel, termasuk kantor pos, DPRD, Puskesmas, Rumah Sakit, sekolah dan penyedia layanan publik; termasuk juga tempat rekreasi. Karena tidak menyediakan ramp, guiding block, tangganya nggak ada ramp, tidak ada lift, pintu-pintu terlalu kecil. 2. Jalan raya yang tidak aksesibel, misalnya polisi tidur yang tinggi-tinggi dan gemukgemuk, selokan-selokan yang dalam kan sebaiknya dikasih besi supaya kalau orang jalan nggak kecemplung, nggak njeglong. Dulu pernah waktu di kampus nyungsep. Trotoar yang tidak aksesibel. 3. Alat transportasi : halte tidak aksesible, bis tidak menyediakan ruang untuk kursi roda (desain transportasi tidak akses) tetapi seringkali malah dipakai untuk barang. “pintu masuk” ke halte Trans Jogja pakai pintu putar, jadi susah.
6
4. Tempat penyeberangan yang tidak aksesibel, zebra cross yang tidak dilengkapi lampu penyeberangan. Penyediaan alat untuk membantu penyeberangan di depan gedung-gedung layanan publik misalnya sekolah, rumah sakit. 5. Tidak disediakannya tanda-tanda atau rambu-rambu untuk membantu difabel. Di luar negeri pakai aroma terapi atau malah pakai tulisan braile (tekstur di dinding), itu jadi salah satu alternatif yang bisa jadi lebih murah. Saya sekolah arsitek. Diskusi dengan dosen dan dia cerita kalau infrastruktur di sana terbentur biaya, lha aromaterapi bisa meminimalisir permasalahan biaya. Ada usul juga seperti yang sudah disebutkan sebelumnya yang diharapkan bisa membantu kawan-kawan tuna netra, misalnya dengan hand-rail. Pemetaan stakeholder (penyebab dan yang terkena dampak atas permasalahan) 1. Difabel 2. Lansia 3. Anak-anak 4. Ibu hamil Semua membutuhkan aksesilitas yang perlu diperhatikan untuk perencanaan tata kota ke depan nantinya. Posisi dan agenda masyarakat sipil 1. Sosialisasi pada masyarakat umum, ke pemerintah (pemegang kebijakan), ke mahasiswa calon arsitek (seperti usulan Pak Wijan), ke sekolah. 2. Memberikan masukan pada pihak terkait, misalnya dinas-dinas, Rumah Sakit. 3. Berkas lamaran PNS seharusnya menyebutkan komitmen : peduli difabel. Seperti pakta integritas bahwa masyarakat yang dilayani termasuk juga kelompok difabel. 4. Pelatihan atau penataran untuk PNS termasuk juga mengenai isu difabilitas (kesadaran menurun terhadap difabilitas sedangkan difabilitas naik/karena bencana alam). Waktu cari data di BPJS Sleman, ternyata data 2006 dan 2010 banyak sekali penyandang disabilitas dan difabel bukan bawaan lahir tapi karena gempa. Jadi manajemen resiko dan mitigasi bencana diperlukan sebagai bentuk kepedulian. Rekomendasi 1. Pembangunan infrastruktur harus memperhatikan material yang bisa meminimalisir resiko dan tetap menunjang kawan-kawan difabel untuk beraktivitas, misalnya dengan bangunan bambu (meminimalisir resiko kecelakaan karena bencana alam). Pembangunan infrastruktur yang akses untuk difabel misalnya guiding block yang tepat dan aman (materialnya), sejajar atau landai (tidak curam sekali), tangga tidak terlalu tinggi dan diberi ramp yang tepat dan aman (bisa juga diberi karpet supaya tidak licin-pakai tekstur sebagai guiding block, sebagai penanda), atau tidak memakai
7
2.
3. 4. 5.
keramik halus yang licin). Ini berkaitan dengan informasi naiknya jumlah difabilitas pasca bencana alam. Praktek riil mengakses fasilitas publik dengan syarat harus berprilaku sebagai difabel. (mengikuti usulan Pak Wijan kemarin). Sebelum membuat kebijakan untuk difabel, mereka harus praktek dulu kebutuhannya apa. Selama ini kan belajar dari literatur saja atau teori tapi tidak memposisikan dirinya. Mungkin itu yang harus dilakukan oleh pembuat kebijakan. Sosialisasi ke kampus (kampanye publik). Pembangunan bangunan publik tidak sistem lelang tetapi menyusun secara bersama-sama terutama difabilitas dan aksesibilitas. Partisipasi seharusnya mulai dari perencanaan, pembuatan, evaluasi dan perbaikan. Poin partisipasi penting. Saya sebagai arsitek atau perencana teknologi bangunan selama ini banyak teori dan pelajaran yang didapat melalui metode teknis tapi untuk memfasilitasi kawan-kawan penyandang difabilitas sangat minim, kecuali ada kemauan dari diri sendiri untuk belajar karena tidak diajarkan di kampus (sangat minim).
Ipung : terima kasih kelompok fisik. Ada masukan? Atau tambahan dari kelompok yang lain? Bukan pertanyaan. Arief : Presentasi Mas Edo bagus, uda cocok. Tentang arsitek kalau di Indonesia, pendidikan arsitek untuk difabel belum ada. Bagaimana kalau (usulan) : diadakan pendidikan arsitek untuk difabel? Misalnya mata kuliah arsitektur yang aksesibel untuk difabel. Mata kuliah arsitektur yang berbasis aksesibilitas, harus masuk ke kurikulum dan bukan mata kuliah pilihan. Sampai hari ini juga belum ada kawan-kawan difabel masuk ke fakultas arsitektur (belum diijinkan ambil mata kuliah teknik arsitektur). Ipung : di SIGAB yang ngecek ramp itu Pak Joni, di rumah yang bikin desain juga Pak Joni sendiri. Lagi-lagi pada resim. Kenapa kalau kuliah selalu di PLB? Mestinya difabel diberikan peluang ... bahasanya yang penak piye ya... universitas memberikan kesempatan bagi difabel untuk mengakses pendidikan di fakultas arsitektur. Ipung : tidak mendebat tapi menambah usulan ya. Hanif : Terkait mata kuliah arsitektur, sudah ada mata kuliah arsitektur universal. Yang ambil cuma dikit karena itu mata kuliah pilihan, harusnya jadi mata kuliah wajib. Jadi kita dorong begitu karena bicara soal HAM. Di UGM jurusan arsitektur sudah terbuka pada difabel. Sudah ada mahasiswa arsitektur penyandang skoliosis. Jadi kalau ada yang mau masuk ke sana, bisa saya fasilitasi, peluangnya sama, tapi hanya ada kuota khusus. Ipung : jadi tambahannya universitas harus memberikan kuota khusus? Atau terlalu eksklusif?
8
Peserta : kesempatan yang sama aja, nggak harus kuota khusus tapi tetap memberikan kesempatan saja. Yang penting tadi yang jadi mata kuliah pilihan jadi mata kuliah wajib saja. Ipung : oke. Sistem ujian juga nggak aksesible. Jadi mata kuliah wajib atau jadi disiplin ilmu? Peserta : gitu aja, jadi mata kuliah wajib. Peserta : nambah, seandainya ada kesempatan masuk kampus untuk kawan-kawan difabel, sekarang sebaiknya ada rekomendasi ujian masuk yang aksesible bagi semua. Ini kan bicara soal layanan. Ipung : itu kan di ujian to? Peserta : ujiannya aja, kalau syarat-syarat kan tergantung fakultas masing-masing. Kemarin ada tes buta warna, ya perlu sih, karena sains kan perlu kepekaan warna. Usulan ini tergantung dari fakultasnya, intinya nggak perlu maksa-maksain. Peserta lain : difabel juga sadar sih. Ipung : pernah membayangkan nggak Pak ... mereparasi kulkasnya? Peserta : ya, itu bisa, tetapi beda. Ipung : kawan-kawan tuna netra, kenapa pakai baju selalu matching? Padahal kan kadangkadang menikahnya kan juga dengan sesama kawan tuna netra? Kadang itu diluar penalaran kita, padahal bisa. Lha kalau kita lihat diri sendiri juga sadar diri kok bisanya di mana. jadi masalah ketika sudah ada pembatasan yang diberikan oleh negara. Misalnya, tes uji komisioner Komnasham, kalau tingkat depresi tinggi (tes psikologi) jadi nggak bisa masuk. Itu nilai diskriminasi. Penolakan. Itu nggak bisa dibenarkan oleh UU HAM di manapun. Padahal kalau kita lihat Marshanda kan bipolar, masih bisa jadi artis, jadi ibu yang baik. Ada teman saya yang shisopren, nyewa barang-barang karena dikira mau ada panggung. Padahal kalau kebutuhan obat terpenuhi, lha wong TK nya aja jadi TK teladan. Ada teman lain, sadar kalau mau kambuh, langsung ke RS sendiri, bawa kartu Jamkesnas, jalan sendiri. Sampai pernah SMS sendiri, mbak aku di Gracia nih, kambuh. Artinya, ketika menjadi difabel, tidak semua hal lalu jadi hilang. Banyak to penyakit yang nggak bisa disembuhkan, misalnya diabetes. Lha kalau sudah ada pembatasan, itu sudah diskriminasi. Thomas Alfa Edison itu tuna rungu wicara kan, tapi bisa menciptakan lampu pijar to? Tapi gimana kalau pendidikan tinggi tidak dibuka? Lha kan susah : harus sehat jasmani rohani, tidak buta. Syarat pensiun dini : mengalami kecatatan. Masih banyak lagi UU lain yang kalau bahasa saya nylekete. Tambahannya : SNMPTN aksesibel bagi semua, tidak mendiskriminasikan pada difabel, ujian yang aksesible. Ada tambahan lagi? Cukup? Sudah banyak ya. Lupa, soal toilet belum disebutkan, ketinggalan ya, kita masukkan di bagian infrastruktur. Lanjut, kelompok non fisik. Kelompok non fisik. Hanif, Anita, Ning, Rizka, Odin.
9
Odin : tadi belum memilah mana yang fisik dan non fisik, jadi kalau ada yang mengulang mohon maaf ya. Ini otokritik untuk kelompok. Odin : kesadaran masyarakat yang menurun. SIGAB saya baru kenal ketika ikut acara ini. Padahal di situ banyak info mengenai difabel. Melalui institusi lain sejak mulai TK, bagaimana menghormati sesama menghormati hak orang lain. Misalnya juga melalui media, seperti TV atau baliho untuk menyelipkan informasi mengenai difabel. Rekomendasi : acara seperti ini harusnya makin banyak dan makin konsisten. UKM difabel itu juga harusnya makin banyak. Kalau ada tambahan lain nanti bisa juga. Tambahan lain, lemahnya implementasi kebijakan tentang aksesibilitas. Di sini siapa sih yang tanggungjawab? Mestinya semua warga punya tanggungjawab. Untuk posisi agenda : ada advokasi misalnya terkait standar bangunan yang bisa diterima semua warga negara. Bisa diwujudkan dengan survey secara periodik dan publikasi survey lewat media. Hasilnya disampaikan ke kelompok peneliti supaya nanti trus bisa jadi mata kuliah wajib sehingga lingkungan yang akses bisa diwujudkan. Sistem monitoring dan mempertahankan fasilitas publik juga nggak ada. Penting terlibat penyedia dana dan kelompok difabel. Nggak bisa kita melihat bahwa masyarakat saja, tapi kebutuhan dari berbagai pihak; tenggang rasa yang sudah ada dirawat bersama, yang nggak akses ya diperbaiki. Karena itu harus ada rumusan gerakan advokasi bersama-sama. Awalnya pasti butuh inisiator dari berbagai organisasi misalnya dari petani, organisasi wanita, mahasiswa, juga pemerintah diajak. Di sini kita melek, dari sini berbagi ke yang lain-lain. Sebagai orang baru, hadir di sini, dapat banyak pengetahuan. Dulu diajari guru saya, jalan di jalan raya kalau ada batu kecil, singkirkan saja, itu nanti pahala. Lha apalagi kalau kita menyediakan jalan raya yang akses. Odin : kemudian tim advokasi untuk mempertahankan aksesibilitas, kita mengadakan penyelidikan kebutuhan : pemerintah turun cari tahu, blusukan kalau Jokowi bilang. Tapi kita juga bisa memberikan kajian, rekomendasi, tapi setelah diberikan juga bukan berarti lepas tangan tapi kita bersama pemerintah bersama-sama mewujudkan apa yang jadi rekomendasi kita. Contoh di Malioboro sudah ada yang mengadvokasi meski hanya 100m, tapi kan ya dirawat, digunakan, sehingga nanti dirawat bersama. Nggak bisa lah kalau disudutkan ke satu pihak tapi ya bersama. Untuk posko pengaduan fasilitas publik yang nggak akses, semua punya peran. Ikut terlibat dalam komite pengaduan : tapi gimana caranya lha nggak tahu tempatnya di mana. lha semua informasi harus bisa diakses, misalnya pengaduan melalui nomor ini, misalnya polisi ada 911, lha kalau ini lewat mana nomor berapa, website apa, twitter atau apa yang lain? Kalau sudah ada laporan lalu gimana, apakah ditampung-tampung aja atau ditanggapi? Trans Jogja itu dulu hanya ada yang permanen, lha sekarang sudah ada yang kecil-kecil tapi tangga.. mestinya juga ditambah ramp.
10
Partisipasi difabel nggak ada, ini bisa kembali ke mata kuliah wajib tadi. Tapi partisipasi ini juga dalam arti tidak dilibatkan dalam pembangunan ruang publik. Arsitek sebaiknya juga menjadi “seperti menjadi” jadi kita bisa merasakan sehingga bisa lebih baik untuk bangunannya. Mekanisme komplain, sama seperti advokasi tadi. Sekolah tidak ada juru isyarat dalam simbol, audio atau yang lain. Sama juga waktu kita menginginkan informasi, TV visual dan audio tapi belum tentu memberikan informasi untuk kawan-kawan yang rungu. Jadi diperlukan penerjemah isyarat, sudah ada sih di TVRI tapi perlu lebih besar. Di bangunan umum sebaiknya juga ada simbol, audio dan lainnya. Demikian. Kurang lebihnya mohon maaf jika menyinggung. Ipung : apakah ada masukan? Mbak Wiwin : dari semua itu ada penyadaran dari beberapa elemen, ada hal kecil : sosialisasi ke masyarakat kecil karena dari masyarakat kecil itu kalau belum sadar siapa itu difabel, masyarakat luar akan susah. Ada cerita, ketika kita bikin training untuk mengusulkan Perda. Teman-teman diminta turun ke lapangan dan menanyakan apa itu difabel, guiding block. Waktu itu kita tanya ke PKL, ini fungsinya apa guiding block? Ada yang nggak tahu, ada yang bilang hiasan biar bagus. Tanya ke tukang becak : difabel itu apa dan harus bagaimana? Lha tukang becaknya nggak tahu difabel itu apa. Lalu dikasih tahu kalau penyandang cacat, dan katanya ya sudah di rumah saja, nrimo saja. Ada masyarakat lain yang ditanya : konblok untuk pejalan kaki atau untuk apa? Jawabnya : untuk apa aja. Lha kalau ada yang pakai kursi roda dan perlu lewat gimana? Ya, lewat jalan raya aja. Artinya masih belum ada pemahaman dan kesadaran. Di sini penting sosialisasi ke masyarakat kecil. Ipung : artinya harus ada survey pemahaman aksesibilitas lalu nanti bikin sosialisasi ya. Ning : agak rancu sih ya antara masalah besar atau non fisik. Masalah besar memang mengampu fisik dan non fisik. Keprihatinan saya sejak kemarin, disampaikan Mbak Ipung sendiri, kenapa dalam pengisian formulir selalu ada pernyataan “tidak ada catat fisik”. Ketika di sini bersama teman-teman rasanya miris, kenapa harus dicantumkan seperti itu di dalam formulir. Mbok dihapuskan saja, pemerintah juga harus mengajarkan dengan cantuman seperti itu, itu nggak manusiawi. Saya yang normal aja sakit hati, apalagi temanteman yang mengalami. Usulan saya seperti itu : gimana mudah-mudahan dengan konferensi ini nanti ada penyampaian supaya hal-hal seperti itu bisa dihapuskan. Ipung : kenapa rancu fisik dan non fisik dengan persoalan besar? Hal ini berkait dengan akses informasi dan aksesibilitas. Makanya jadi bias antara yang fisik dan non fisik. Tapi tadi sudah disampaikan bahasa isyarat, simbol, penyampaian lewat audio itu kan aksesibilitas non fisik. Pelayanan juga ada kode etiknya untuk petugas-petugas, misalnya di kepolisian : tidak boleh menolak laporan-laporan. Yang kedua, terkait disabilitas, di luar negeri sangat penting. Difabilitasnya apa, tapi nggak berhenti di situ, lalu dilanjutnya dengan kebutuhannya apa. Lha kalau di kita, difabilitasnya apa lalu itu jadi agenda untuk menolak. Di luar negeri, di pengadilan selalu ditanya : difabilitasnya apa? Apakah butuh penerjemah,
11
asisten, informasi dalam bentuk braile atau audio. Ini sebenarnya dalam kerangka analisa kebutuhan itu. Problemnya ketika tidak teridentifikasi difabilitasnya maka tidak dipenuhi kebutuhannya. Ini masuk kategori pelanggaran HAM. Jadi non fisik berkait dengan kesempatan, layanan dan penyedia informasi yang aksesible. Maksudnya penyediaan informasi yang bisa diakses oleh kawan-kawan difabel : netra dengan braile. Ini yang bikin bias. Hanif : berdasarkan pengalaman di UGM, sejak semester pertama memperjuangkan isu difabel, melihat isu yang ada pengarusutamaan antara aksesibilitas yang fisik dan non fisik. Di UGM ada 19 fakultas dan 1 sekolah vokasi. Hampir sekitar 80% gedungnya belum aksesibilitas terhadap difabel. Masalahnya karena gedung tua. Jadi ketika bicara aksesibilitas katanya mahal, karena harus bangun lift. Mereka belum paham bahwa aksesibilitas yang sifatnya non fisik jauh lebih penting : harus naik turun tangga sampai lantai 3. Ipung : poinnya harus terkait dengan aksesibilitas fisik, terhubung juga dengan penganggaran. Hanif : karena kita sadar untuk memperbarui yang fisik mahal, maka pakai prioritas yang non fisik saja. Daripada bangun lift, ya kelas kuliah pindah saja ke lt. 1. Pengarusutamaannya aksesibilitas non fisik saja. Ipung : artinya afirmatif action. Kalau semua di lt. 2, 3, dan seterusnya mbok ya dipindah ke lantai dasar. Itu saya sebut afirmatif action ya. Karena itu juga cagar budaya, di kraton juga nggak bisa mengubah bangunan. Tapi kraton membuat ramp portabel. Hanif : nambah, terkait bangunan cagar budaya. Sama seperti di rektorat UGM meskipun sudah ada desakan untuk membangun ramp dan lift. Sekarang sudah ada, dulu hanya kurang tekanan saja ke pemangku kebijakan. Sebelum ada lift dan ramp, kami waktu audiensi ke rektorat dengan kawan-kawan mahasiswa difabel yang pakai kursi roda, ada juga yang malah harus digendong untuk naik ke lantai 3. Harus praktek, kalau cuma teori nggak cukup. Ipung : penyediaan informasi yang aksesible itu yang belum masuk. Apakah mau dimasukkan? OK, dimasukkan : penyediaan layanan dan informasi yang aksesible. Bisa didetailkan? Kalau yang tuna netra dalam bentuk apa? Peserta : dalam bentuk audio, perabaan, braile, simbol timbul, lift ada braile-nya, peta timbul. Audio rekaman juga bisa membantu. Sekarang kan banyak juga yang uda pegang smartphone. Peserta : smartphone sudah memberikan layanan yang canggih juga. Mau ke gedung apa, lewat smartphone bisa juga. Ada teknologi aksesible misalnya GPS audio. Ipung : ada lagi? Untuk tuna rungu? Informasi aksesible bagaimana? Arief : running teks, apapun dalam bentuk visual. Ipung : penerjemah gimana? Arief : biasa ada juga ketika ada pendaftaran, misalnya di rumah sakit dan di tempat umum. Penyedia penerjemah bahasa isyarat untuk memberikan informasi kalau harus mencari
12
informasi, kebutuhan komunikasi. Di kampus kurang inklusif, dosen bicara banyak tapi nggak ada yang membantu menerjemahkan. Memang harus ada komunitas khusus penerjemah yang bisa digunakan untuk membantu. Masalah telpon di luar negeri ada web cam atau video kalau di sini belum ada. Misalnya, Arief mau nelpon Mbak Ipung, sudah ada aplikasi penerjemah : dari bahasa isyarat ke audio dan sebaliknya; jadi komunikasi tidak terhambat. Ipung : kelompok expert semua... Arief : kalau lewat SMS, kadang ada informasi yang tertinggal. Dibandingkan kalau pakai fasilitas telpon video, tapi ya memang fasilitasnya belum ada di sini. Ipung : sudah? Hanif : kalau klasifikasi difabel rungu kan beda-beda, ada yang rendah, sedang dan total. Kebutuhannya juga beda-beda. Tidak melulu butuh bahasa isyarat, pengeras suara juga bisa. Saya belum bisa bahasa isyarat, belum mahir. Media tertulis atau pengeras suara bisa membantu. Ning : meluruskan saja, maksud saya tadi : formulir tertentu saja yang menyebutkan itu. Kecuali untuk memberikan layanan seperti yang dijelaskan Mbak Ipung. Ipung : yang penting formulirnya atau assesmentnya? Yang penting kan assesmentnya. Lha ngisi formulir tapi ternyata baru ketahuan kalau difabel. Lha di luar negeri pertama di formulir adalah untuk membantu. Oleh karena itu berkait dengan assesment. Di sini akan ditambahkan (non fisik) : aksesibilitas. Kita bungkus dulu, lanjut kelompok 3. Kelompok 3 masalah besar Faris : Apa yang menyebabakan semua ini terjadi ada fsilitas besar yang perlu diakses. Kelompok terpinggirkan adalah kelompok marjinal Identifikasi isu: Resim yang berkuasa merupakan resim yang diskriminasi. Ada juga kelompok marjinal lainnya. Ada juga masalah stigma. Dampaknya bisa kena 2 kelompok marjinal dan non marjinal. Kalau sudah terpapar stigma nanti bisa diskriminatif. Sementara bagi kelompok marjinal akan makin meminggirkan dan tidak memberdayakan mereka. Empati juga tidak akan ada. Stakeholder yang dimaksud di sini pusat dan daerah : pengusaha dan pebisnis. Arsitek adalah pihak yang sangat berurusan dengan kita. Kalau kita nggak intervensi kurikulum atau cetak biru rancangan bangunan, sangat sulit kebutuhan kita akan diakomodir oleh mereka. Dalam sistem politik, kita kenal wakil rakyat di lembaga legistlatif. Apakah mereka sudah menjalankan legislasi yang baik ketika pemerintah membuat kebijakan yang tidak memihak pada masyarakat marjinal? Apakah fungsi pengawasan sudah dilakukan dengan baik? Masyarakat difable, kelompok minoritas yang mengalami berbagai situasi belum terawasi oleh pengawas dan dibela haknya.
13
Menyambung pengalaman mas Arief, dokter itu otoriter. Ketika bertemu pasien yang tidak bisa mendengar seringkali ‘memaksa’ pakai implan yang diletakkan di telinga, bukannya menyediakan penerjemah. Ada pengalaman bahwa pasang implan justru berdampak makin menyakiti. Sarana transportasi sebagai alat mobilitas harus bisa diakses oleh difable, apalagi sampai dampaknya kurang piknik. Transportasi kan sarana menambah pertemanan. Kalau kegiatan di ruang publik jadi makin terbatas artinya kita nggak bisa nambah wawasan dan lingkup pertemanan. Di level terkecil, keluarga, unit sosial sebelum kehidupan masyarakat. Adanya kurang kesadaran kebutuhan anak difabel, jadi cenderung disembunyikan dan tidak diberi pendidikan yang layak sesuai kebutuhan mereka. Stakeholder dibedakan 3 : negara, pemerintah pusat dan daerah, DPRD yang diharapkan mengawasi pembangunan yang tidak diskriminatif, pemerintah berbagai dinas (birokrasi, dinas pendidikan, PU, kesehatan). Kelompok masyarakat juga bisa kita lihat sebagai yang marjinal dan non marjinal. Tadi ada cerita, di trotoar ada gejala negara nggak hadir karena kita dihadapkan pada PKL, tukang parkir akhirnya mereka memanfaatkan apapun ruang yang ada. Di Depok, biasa yang jaga parkir adalah orang yang pengangguran, ditambah dengan kehadiran preman untuk bisa dapat lahan, jadi saling menguntungkan. Di ruang publik, kita diadu domba. Negara nggak hadir untuk memberdayakan berbagai kelompok difabel dan ekonomi lemah. Kelompok marjinal harus selalu bersuara, jangan sampai ruang publik kosong dari keberadaan kita. Kita harus bersuara untuk menunjukkan eksistensi dan kebutuhan kita ada. Terakhir, demokrasi tanpa kesetaraan akses artinya demokrasi yang cacat karena nggak ada kesetaraan akses untuk semua warga negaranya. Kira-kira ini hasil diskusi kelompok besar. Sifatnya abstrak dan makro. Untuk rekomendasi sangat baik sudah disediakan oleh 2 panel lain yang lebih spesifik. Ipung : ada masukan? Atau sudah waktu makan siang? Hanif : masalah besar lain kesadaran yang terbangun di masyarakat baik pemerintah atau swasta belum terbangun sistemik dan menyeluruh. Misalnya pembuatan SIM D untuk tuna rungu mudah tapi di kampung halaman saya masih belum bisa. Perlu ada penyeragaman terhadap aksesibilitas terhadap difabel. Lebih spesifik jadi otonomi daerah. Daerah percontohan di DIY seharusnya bisa membagikan pengalaman ke daerah lain. Ipung : harusnya mengacu UU harusnya ke SIM C (Hanif), karena SIM D untuk motor modifikasi. Waktu itu janji, kalau pakai SIM D dengan roda 3, tapi kalau kalau ganti motor langsung ganti SIM C. SIM D bukan merujuk ke difabel tapi ke motor roda 3. Nah, malah ada informasi kalau penyandang difabel nggak bisa klaim ke Jasa Raharja. Jadi kalau mau amandemen UU, semua bisa diamandemen kalau dikaitkan dengan hak difabel. Harusnya pajak motor untuk difabel mestinya dikurangi, lha kan nggak dapat layanan Jasa Raharja. Kemarin agak tersentil, perlu cross cutting isu atau nggak. Karena kalau ada sesuatu, kita selalu dikembalikan ke Dinas Sosial, padahal situasinya tidak selalu berkait dengan sosial, tapi juga pendidikan, kesehatan. Dinsos mestinya jadi fasilitator untuk isu difabilitas jadi isu
14
lintas sektoral. Perjalanan panjang, berliku dan bikin keki. Difabilitas masih perlu perjuangan besar untuk jadi cross cutting isu. Ipung : saya sangat optimis dan bersemangat karena dalam kerangka aksesibilitas ini mencakup berbagai stakeholder, dan ternyata nggak hanya berkait dengan difabel tapi juga cross cutting isu lintas stakeholder. Sekarang waktu makan siang, saya akan rangkaian jadi satu untuk forum pleno di ruangan besar. Silakan makan siang. Di jadwal masuk forum pleno jam 1, langsung di ruang besar.
15
Kelompok Fisik Firman, Ali, Pak Ratno, Edo, Mbak Wiwin.
Identifikasi isu yang mengemuka dan masalah yang terjadi : 6. Gedung-gedung pemerintahan yang tidak aksesibel, termasuk kantor pos, DPRD, Puskesmas, Rumah Sakit, sekolah dan penyedia layanan publik; termasuk juga tempat rekreasi. Karena tidak menyediakan ramp, guiding block, tangganya nggak ada ramp, tidak ada lift, pintu-pintu terlalu kecil. 7. Jalan raya yang tidak aksesibel, misalnya polisi tidur yang tinggi-tinggi dan gemukgemuk, selokan-selokan yang dalam kan sebaiknya dikasih besi supaya kalau orang jalan nggak kecemplung, nggak njeglong. Dulu pernah waktu di kampus nyungsep. Trotoar yang tidak aksesibel. 8. Alat transportasi : halte tidak aksesible, bis tidak menyediakan ruang untuk kursi roda (desain transportasi tidak akses) tetapi seringkali malah dipakai untuk barang. “pintu masuk” ke halte Trans Jogja pakai pintu putar, jadi susah. 9. Tempat penyeberangan yang tidak aksesibel, zebra cross yang tidak dilengkapi lampu penyeberangan. Penyediaan alat untuk membantu penyeberangan di depan gedung-gedung layanan publik misalnya sekolah, rumah sakit. 10. Tidak disediakannya tanda-tanda atau rambu-rambu untuk membantu difabel. Di luar negeri pakai aroma terapi atau malah pakai tulisan braile (tekstur di dinding), itu jadi salah satu alternatif yang bisa jadi lebih murah. Pemetaan stakeholder (penyebab dan yang terkena dampak atas permasalahan) 1. Difabel 2. Lansia 3. Anak-anak 4. Ibu hamil Posisi dan agenda masyarakat sipil 1. Sosialisasi pada masyarakat umum, ke pemerintah (pemegang kebijakan), ke mahasiswa calon arsitek (seperti usulan Pak Wijan), ke sekolah. 2. Memberikan masukan pada pihak terkait, misalnya dinas-dinas, Rumah Sakit. 3. Berkas lamaran PNS seharusnya menyebutkan komitmen : peduli difabel. Seperti pakta integritas bahwa masyarakat yang dilayani termasuk juga kelompok difabel. 4. Pelatihan atau penataran untuk PNS termasuk juga mengenai isu difabilitas (kesadaran menurun sedangkan difabilitas naik/karena bencana alam).
16
Rekomendasi 1. Pembangunan infrastruktur harus memperhatikan material yang bisa meminimalisir resiko dan tetap menunjang kawan-kawan difabel untuk beraktivitas, misalnya dengan bangunan bambu. Pembangunan infrastruktur yang akses untuk difabel misalnya guiding block yang tepat dan aman (materialnya), sejajar atau landai (tidak curam sekali), tangga tidak terlalu tinggi dan diberi ramp yang tepat dan aman (bisa juga diberi karpet supaya tidak licin, atau tidak memakai keramik halus yang licin). 2. Praktek riil mengakses fasilitas publik dengan syarat harus berprilaku sebagai difabel. (mengikuti usulan Pak Wijan kemarin). 3. Sosialisasi ke kampus (kampanye publik). 4. Pembangunan bangunan publik tidak sistem lelang tetapi menyusun secara bersama-sama terutama difabilitas dan aksesibilitas. 5. Partisipasi seharusnya mulai dari perencanaan, pembuatan, evaluasi dan perbaikan.
17