1
DAFTAR ISI Pengantar dari Dekan Fakultas Isosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) 3 Pengantar dari Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyrakat (ELSAM) 4 Tentang Konperensi 5 Kerangka Acuan Umum Konperensi 6 Lembaga Penyelenggara dan Susunan Panitia 12 Pengantar Per-panel 15 Program Acara Konperensi 21 Kumpulan Abstrak Seputar Konperensi 29 Denah FISIP-UI 47
Kata Sambutan Dekan FISIP UI Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa kami menyambut dengan gembira pelaksanaan Konperensi dengan tema Demokratisasi dan Tirani Modal di kampus Universitas Indonesia, Depok, 5-7 Agustus 2008. Sesuai judulnya, konperensi ini mengetengahkan sisi yang mendasar dari proses sosial yang mempunyai dampak luas bagi masyarakat. Masyarakat yang demokratis adalah impian kita bersama. Namun, pahamkah kita akan berbagai faktor yang berpengaruh, khususnya pengaruh kekuatan modal, terhadap proses perwujudan demokrasi ? Ketika Elsam mendekati Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia di awal bulan Maret 2008 mengenai rencana kegiatan ini, kami langsung menanggapinya dengan positif. Ada sejumlah alasan sebagai berikut : Pertama, tema yang diangkat mewakili suatu kebutuhan yang nyata akan pentingnya tugas masyarakat sipil untuk mengawal proses demokrasi yang tengah bergulir saat ini. Kedua, sebagai unsur pendidikan tinggi, kami ingin menjangkau dan sekaligus menggugah kalangan ilmuwan sosial untuk terjun menyelami ragam fakta dan perspektif analisis yang memiliki relevansi terhadap persoalan bangsa Indonesia saat ini. Ketiga, sebagai wakil dari perguruan tinggi, kami berupaya mengkaitkan wacana perihal agenda demokrasi dengan kepemimpinan bangsa yang akan datang. Adalah harapan kita semua, bahwa kita akan menemukan ketokohan dan kepemimpinan yang peka akan suara rakyat yang berada dalam posisi marjinal. Ada suatu hal lain yang penting diingat. Kita semua perlu dibangun kesadarannya untuk membangun masa depan. untuk itulah, atmosfir yang ingin dibangun dalam konperensi ini adalah dialog konstruktif untuk mendorong agenda kerakyatan dalam kebijakan politik di masa yang akan datang. Melalui konperensi ini akan terbuka lebar kesempatan berdialog dan merumuskan resolusi yang patut diangkat dalam kebijakan dari berbagai sektor. Putaran pemilihan Presiden pada tahun 2009, kiranya tidak boleh dilewatkan begitu saja. Dengan luasnya latar belakang peserta serta pembicara dalam konperensi ini, saya yakin bahwa konperensi ini akan mampu merumuskan buah pikiran yang berbobot dan berpengaruh luas dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang aspiratif. Sekali lagi, mewakili Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, kami menyambut gembira konperensi ini dan mengucapkan selamat berdiskusi. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Depok, 5 Agustus 2008 Prof.Dr.Bambang Shergi Laksmono M.Sc Dekan FISIP UI
3
Kata Sambutan Direktur Eksekutif ELSAM Awalnya mungkin sebuah keragu-raguan akan gagasan yang tak mudah untuk direalisasikan. Poros halangnya bukanlah pada soal bagaimana menyelenggarakan sebuah konperensi. Akan tetapi, lebih pada bagaimana berpartisipasi di dalam sebuah konperensi bersama dengan organisasi-organisasi yang punya perhatian terhadap persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh Tirani Modal. Konperensi iru sendiri lebih sebagai sesuatu yang perlu selalu dipikirkan bersama. Bahkan lebih serupa kerja yang harus terus diperbaharui sampai detik terakhir. Alhasil, seluruh kerja dan upaya mewujudkan konperensi ini mendapatkan buahnya berupa panel-panel yang tertera dalam catalog ini. Semua panel ini berusaha menampilkan problem-problem yang diakibatkan oleh Tirani Modal dengan berbagai pembahasannya. Tujuannya untuk melihat bagaimana logika tirani modal ini mendapatkan tempat di setiap lini bidang kehidupan. Demikianlah, semoga catalog ini dapat menampilkan yang menjadi tujuan dari konperensi ini. Jakarta, 5 Agustus 2008 Agung Putri, MA Direktur Eksekutif Elsam
TENTANG KONPERENSI Proses demokrasi dan pembangunan ekonomi yang berjalan pasca reformasi di Indonesia ternyata belum bisa memberikan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Dengan persepsi dan kenyataan itu, pada November 2005 ELSAM, PusdepUniversitas Sanata Dharma dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) mengelar sebuah konperensi untuk mengenali permasalahan yang dihadapi demokrasi Indonesia dengan menelaah akar-akar otoritarian yang diwariskan oleh sistem otoriter Orde Baru. Ini dilakukan dengan pengandaian bahwa otoritarianisme Orde Baru adalah somber dari segala kemandegan proses demokrasi di masa reformasi. Namun setelah dua tahun dari konperensi itu, sepertinya warisan otoritarian tidak lagi memadai untuk menjelaskan loyonya perangkat politik dan pemerintah dalam menjalankan demokrasi. Cara pandang yang menilai tersendatnya demokrasi disebabkan oleh warisan otoritarian semata tidak mampu menjawab masalah-masalah kekinian yang tidak bisa langsung dilihat hubungannya dengan mas lalu. Rezim pasca orde baru pun hingga kini masih ditunggangi kekuatan tertentu di luar rezim. Kebijakan diambil bukan untuk kepentingan khalayak banyak (common good), melainkan kepentingan segelintir elite. Untuk bisa melihat adanya keterkaitan antara warisan otoritarian dan selubung demokrasi, konsep tirani adalah konsep yang paling tepat. Maka tema besar yang hendak diusung dalam konperensi kali ini adalah “Demokrasi dan Tirani Modal”. Persoalan Tirani Modal inilah yang absen dari perbincangan selama reformasi berjalan sedari 1998. Apa lagi mengeledah hubungan antar otoritarianisme, demokrasi, dan modal secara lebih rinci. Menjelang dasawarsa reformasi, aspek modal ini harus menjadi perhatian utama dalam menilai kualitas kehidupan demokrasi dan mutu dari perangkat politik dan negara di Indonesia. Kekuasaan Modal di sini tidak terbatas pada soal modal dalam pengertian ekonomi semata atau kekuasaan bisnis yang terlalu besar. Ini berkait juga dengan persoalan reproduksi kekerasan, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan hal lain yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Artinya, modal dalam pengertian relasi-relasi sosial yang membentuk struktur kekuatan dan kekuasaannya.
5
Kerangka Acuan: Konperensi Warisan Otoritarianisme : “Demokrasi dan Tirani Modal” Kehidupan ekonomi politik masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun ini terus merosot. Proses demokrasi dan pengembangan ekonomi yang berjalan selama 10 tahun reformasi ternyata berpadu ke arah yang gagal. Apakah itu karena masyarakat dan pemerintah tak mampu memberdayakan sumber yang ada, ataukah karena korelasi di muka memang belum dapat dibayangkan sebagai sebuah konsep politik pembangunan masyarakat, apapun itu belum dapat ditemukan sumber dan asal-muasalnya. Ada banyak pertanyaan lagi yang belum dapat dijawab. Dalam sistem demokrasi sekarang di mana politik dan propaganda berpendar terang di setiap kolektif demokratik dan separuh dari isi parlemen berpikir tentang kesejahteraan masyarakat, justru kecenderungan masyarakat untuk melakukan bunuh diri –sebagai jawaban atas persoalan tekanan ekonomi, sosial, politik, dan budaya—semakin menguat. Bahkan kesulitan hidup masyarakat semakin berlebih-lebihan ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar dan kebutuhan pokok. Apakah demokrasi yang sekarang sedang diupayakan ragam implementasinya di berbagai daerah di seluruh Indonesia oleh berbagai kekuatan politik dapat menjamin ketersediaan obat-obatan maupun layanan kesehatan yang murah bagi masyarakat? Apakah penswastaan/privatisasi berbagai fasilitas publik dapat dikembangkan menjadi fasilitas yang berpihak pada kebutuhan masyarakat pinggiran? Sebagian dari para intelektual dari berbagai perguruan tinggi manca negara berpendapat bahwa problematik ekonomi-politik yang dihadapi oleh Indonesia lebih disebabkan oleh karena kesejarahan masyarakat Indonesia yang belum pernah mencapai tingkat perkembangannya yang paling maksimal. Atau dengan kata lain, peradaban bangsa Indonesia belum sebanding dengan kebudayaan bangsa-bangsa di negeri berkembang. Walaupun belum dapat dibenarkan pendapat seperti itu, kesadaran politik masyarakat Indonesia di dalam banyak konflik ekonomi-politik seolah-olah dapat dijadikan pembuktian bagi pendapat di muka. Rangkaian kekerasan dan kesengsaraan yang berlangsung pada masa paska Orde Baru dijadikan argumen pembenar untuk melikuidasi demokrasi, dan digariskanlah kemudian patok-patok demokrasi menurut “logika – keberadaban”. Sementara di lain pihak, banyak intelektual juga berpendapat bahwa keperdulian terhadap kesengsaraan masyarakat Indonesia di dalam banyak hal juga dapat dianggap sebagai logika pasar yang berlaku tanpa perlu memperhatikan relasi relasi dan struktur sosial di Indonesia. Oleh karenanya logika peradaban yang berlaku lebih serupa proyek proyek demokrasi – berkelanjutan menurut standar tertentu. Di antara sekian rangkai argumen, persepsi dan kenyataan seperti itu, tentu pertanyaan terbesar yang harus dijawab saat ini adalah apa sesungguhnya yang menganjal dalam demokrasi Indonesia? Pada tahun 2005 dalam konperensi Warisan Otoritarianisme, ELSAM bersama PusDep-Universitas Sanata Dharma dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) meyakini bahwa warisan otoritarianlah yang memperlambat arus besar demokratisasi di Indonesia. Namun dua tahun setelah konperensi menjadi jelas bahwa warisan otoritarian tidak cukup untuk menjelaskan persoalan kekinian. Sudah tentu setelah seabad para pejuang terpelajar negeri ini membangunkan rakyat Indonesia dengan gagasan-gagasan yang progresif, tak selayaknya lah diri kita berlaku adab hanya pada saat saat yang dibutuhkan oleh siapapun itu para pembeli kebebasan rakyat negeri ini. Sejarahnya, kaum pejuang terpelajar di negeri ini lekat di hati banyak orang yang dipinggirkan, dan bukan sepantasnya
melampaui kerendahan budi dari mereka yang hanya berpikir tentang perluasan kuasa dan modal dengan berlaku diam dan selintat-selintut. Proses demokrasi yang sudah berjalan sekian tahun sejak 1998 harus lebih baik daripada yang sebelumnya, dan itu semua menuntut perhatian dan kerelaan hati kaum intelektual Indonesia dalam usahanya sebagai pencipta benderang bagi pikiran dan perasaan masyarakat. Benderang bagi kehidupan yang lebih maju, berkeadilan, dan bersejahtera bersama dalam semangat menuju kebangkitan Indonesia. Permasalahan Meskipun periode paska orde baru melahirkan kebebasan dan kesempatan tapi keterbatasan pun tak terhindarkan. Otoritarianisme yang dulu berkembang di masa Orde Baru belum lenyap sepenuhnya kendati retorika demokrasi lekat pada rejim di kemudian hari. Konsep otoritarian dan demokratis karenanya jadi membingungkan. Konsep “warisan” lalu lebih mendistorsi ketimbang memperjelas karena mudahnya menggunakan konsep ini sebagai ruang permakluman bagi kegagalan mengatasi persoalan sekarang di satu sisi, dan menjadi ruang pencarian kambing hitam di lain sisi. Bahkan, bukan tidak mungkin warisan otoritarianisme itu diproduksi ulang (living legacy). Keadaan baru dimana hubungan warisan otoritarian dan demokrasi masa kini perlu dijelaskan, tampaknya akan dimudahkan apabila menggunakan konsep Tirani. Kata tirani berasal dari bahasa Latin, Tiranus, dan bahasa Romawi “Tiranos”, yang kesemuanya berhubungan hubungannya dengan banalitas, kedangkalan, pengkhiantan, kekejaman. Tirani pada awalnya satu operasi keluarga yang bersifat kejam, yang menekankan kepemimpinan kelompok kecil oligarki di atas kepentingan umum, terkait dengan rezim-rezim diktator atau otoritarian. Tetapi setelah revolusi Perancis dan revolusi Amerika, ketika demokrasi berkembang, para pemikir demokrasi mengantisipasi bahwa kekejaman politik itu juga beroperasi pada rezim-rezim demokrasi. Karena itu muncul istilah “the tyranny of the majority (tirani mayoritas). Jika tirani minoritas beroperasi dalam rejim otoritarian, maka dalam demokrasi bisa tumbuh tirani mayoritas, yaitu suatu penindasan atas hak-hak kelompok-kelompok minoritas. Namun di Indonesia, demokrasi tidak melahirkan the tyranny of the majority, dan justru tetap melayani the tyranny of the minority. Tirani ini menyusup lewat pintu belakang prosedur demokrasi, menguasainya dan mengambil alih perangkat-perangkat demokrasi. Penelitian Demos telah memperlihatkan bagaimana di dalam lokal politik betapa demokrasi juga “dibajak” oleh kekuatan-kekuatan oligarkis. Yang tidak terelakan bahwa dalam setiap peralihan rejim baik itu dari Orde Lama ke Orde Baru, atau perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, ada kenyataan tetap berlangsungnya suatu operasi modal. Demikian pula sejarah Indonesia adalah juga sejarah pasar. Sejak berabad lampau wilayah yang kemudian disebut Indonesia merupakan lalu-lintas para pedagang. Penentuan jalur dagang terpenting melalui Tanjung Harapan menuju wilayah Indonesia oleh pedagang Portugis, sebelumnya juga telah dijajaki oleh pedagang Arab dan Cina. Penetrasi modal dan globalisasi sudah demikian intens ke Indonesia sehingga orang Belanda menyatakan bahwa “di pantai tanah Jawa ketua pantai berganti bak awan hanya satu berarah”. Penetrasi modal ini tidak bisa dicegah dalam perjuangan kemerdekaan sekalipun. Kekuatan politik apakah dia nasionalis, sosialis maupun Islam berorientasi pada suatu kemerdekaan politik. Dari perjanjian meja bundar Indonesia mewarisi hutang Belanda ribuan gulden. Sesungguhnya terdapat upaya politik dari pemimpin patriot Indonesia untuk mencegat tirani modal. Mereka melihat bagaimana kelemahan-kelemahan parlementarisme di Eropa, dan pada saat yang sama juga mulai melihat kelemahan presidensialisme Amerika. Mereka berpikir
7
kalau sistem presidentalisme atau demokrasi liberal ala Amerika diberlakukan di Indonesia maka akan ada sekelompok minoritas tersingkirkan. Para pendiri republik ini datang dengan konsep “negara kekeluargaan” yaitu negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Konsep ini untuk mengatasi paham-paham perseorangan dan paham golongan itu, yang memungkinkan minoritas agama, suku, budaya terwakili di parlemen. Pemikiran ini bukan semata pemikiran Soepomo. Soekarno memandang integralisme bukan dalam arti organik, melainkan bagaimana demokrasi atau ekonomi disusun secara gotong royong. Gagasan ini berkembang di desa-desa di Sumatera Barat yang kemudian diangkat di level pusat. Suatu model pengambilan keputusan untuk mengatasi penetrasi individual, rejim modal, dan kemungkinan dominasi kelompok mayoritas plus minoritas. Dalam era reformasi negara berdiri sebagai akibat demokrasi prosedural, yang berayun dari suatu situasi otoriter dengan situasi tanpa otoritas. Yang dimaksud dengan yang terakhir adalah bahwa negara tidak punya otoritas untuk melakukan tindakan memecahkan law problems. Globalisasi juga mengambil sebagian otoritas nation state dialihkan kepada otoritas internasional. Otentisitas negara terdistorsi atau terambil oleh kekuatan global. Kekuatan globalisasi yang berjejer dengan kekuatan pasar menyingkirkan masyarakat. Tema besar konperensi kali ini adalah “Demokrasi dan Tirani Modal”. Tirani modal yang dimaksud di sini berkait juga dengan persoalan reproduksi kekerasan, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan hal lain yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Konperensi ini akan menggali dan mengaitkan pemahaman mengenai Tirani serta ‘penampakan-penampakannya’ di balik kekuatan modal; konsekuensi yang ditimbulkan, watak, aktor dari berkelindannya antara kekuasaan modal dengan demokrasi sehingga menciptakan suatu bentuk tirani. Singkatnya persoalan yang hendak dibedah adalah aspek-aspek penting apa yang membuat tirani menjadi suatu keyakinan dalam demokrasi Indonesia dewasa ini. Tentu dimensi ontologi beserta supra struktur dan basis dari tirani modal ini perlu pula dibongkar untuk kita bisa melakukan semacam konstruksi baru bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Sejalan dengan itu, Demokrasi dan Tirani Modal akan diperbincangkan dalam beberapa sub-tema: 1.TIRANI MODAL DAN KEDAULATAN RAKYAT Kisah tentang korupsi dan penyalahgunaan jabatan sudah ribuan kali menempa gendang telinga kita. Namun masalahnya tidak cukup dijelaskan dengan adanya mental bangsa Indonesia yang memang korup. Betapapun sampai saat ini masih banyak meyakini bahwa sebuah pemerintahan hanya dapat berjalan apabila didukung oleh pembangunan industri, dan atau akumulasi modal. Sementara peran masyarakat di sini adalah bagian dari pelaksana pembangunan, atau mereka yang nantinya berkorban dan atau yang dikorbankan demi pembangunan. Jika demikian halnya tak mengherankan jika banyak orang bertanya: Apakah negeri kita benar-benar dikendalikan oleh mekanisme pasar? Masih adakah ke-
bebasan berpendapat dan berkumpul di ruang-ruang kelas perkuliahan yang semakin mahal dan sebagian ruang kelas itu sudah akan disewakan sebagai tempat waralaba junkfood? masih mungkinkah parlemen mendengar aspirasi tentang perbaikan status kerja buruh sementara agenda rapatnya sarat dengan pembicaraan tentang regulasi penanaman modal asing? 2.TIRANI MODAL DAN KETAHANAN EKONOMI Indonesia adalah negeri yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Namun perlahan-lahan semua yang kita miliki diambil alih oleh kekuatankekuatan modal yang berkuasa di bursa bursa saham dunia. Perusahaan minyak internasional mulai membangun pompa bensin di dalam kota Jakarta, setelah membeli konsesi pengeboran minyak di lepas pantai Indonesia. Banyak pulau kemudian mulai diperdagangkan menurut potensi sumber daya alamnya seperti Kalimantan yang tinggal sepertiga dari wilayahnya masih berhutan setelah dibagi bagi lahannya ke perusahaan multinasional. Entahlah, mungkin tak lama lagi anak anak bangsa sudah tak mampu memasak nasi sendiri lantaran pengetahuan mereka tentang makanan adalah sesuatu yang harus dibayar, bukan sesuatu yang diciptakan. Entahlah mungkin bangsa kita lebih suka menjadi buruh dan atau koeli dari segala bangsa, setelah semuanya dijual ke pasar internasional termasuk tubuh dan tenaga kerja manusia Indonesia. 3.TIRANI MODAL DAN DAYA KREATIF Estetika dan kreativitas adalah dua unsur penting proses peradaban manusia yang mengandaikan ruang-ruang kebebasan berekspresi. Dalam perkembangannya ruang-ruang tersebut semakin tidak tersedia. Sekolah-sekolah seni tidak cukup mengembangkan kebudayaan oleh tekanan komersialisasi. Relasi antara dunia seni dan kreativitas layaknya dipisah oleh jurang kebuntuan berpikir, kecuali manut pada hukum hukum pasar. Semangat perubahan pun dilepas dari esensi setiap nilai-nilai keagamaan, agar ketaatan terhadap standar kebudayaan modal melampaui segalanya. Dan ujungnya para pencipta kesenian tak lagi kenal dengan kulit kulit realitas seperti apa adanya, sedang masyarakat kian tak mampu menemukan cerita di balik imajinasi sang seniman. Begitulah, seumpama yang pandir menempa yang pandai, agar kesejatian manusia tak lebih dari gambaran opera sabun di layar televisi. 4. TIRANI MODAL DAN MODAL SOSIAL Kapasitas dan kualitas manusia Indonesia tak ayal ditentukan seberapa besar dia berdaulat. Dan ini hanya terjadi jika segala hak dasarnya diakui dan dilindungi. Standar hidup yang layak, kesehatan, perumahan dan pendidikan adalah hal fundamental yang menjadikannya manusia yang berkembang. Namun peran Negara untuk melindungi ini semakin lama semakin berkurang. Dalam ajakan untuk meningkatkan partisipasi dalam pembangunan, yang terjadi justru masyarakat diminta membiayai sendiri kehidupannya, dan langsung bertarung di arena pasar yang keras. Apakah yang masih dimiliki masyarakat untuk mempertahankan keberadaannya? Bagaimana modal masyarakat dikembangkan menjadi kekuatan alternatif dari mekanisme pasar?
9
5. TIRANI MODAL DAN KEAMANAN MANUSIA Oleh banyak dari kalangan intelektual, kesejahteraan dianggap sebagai prioritas reformasi. Sebagian besar kaum perempuan sedar di negeri ini berusaha membuka lingkup kekerasan domestik. Namun semua gagasan besar tentang kemajuan harus berhadapan dengan dampak pembangunan Orde Baru. Bencana alam susul menyusul akibat perusakan lingkungan; sentimen etnis menguat yang kemudian berubah rupa menjadi konflik antar etnis. Hidup di Indonesia semakin berbiaya tinggi, beresiko tinggi, dan pelahan tiap insan terseret dalam pusaran hutang. Kaum perempuan dipaksa berjibaku dengan kehidupan agar anak anak mereka dapat makan setiap hari. Mereka tetap direndahkan dan dihalangi untuk menjadi subyek atas dirinya. Dalam kondisi yang demikian ini, sepertinya sudah tak ada lagi gambar tentang identitas bangsa Indonesia, apalagi solidaritas sosial masyarakat. Tentunya dibutuhkan sebuah dasar untuk dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dari segala macam bentuk kekerasan dan kemiskinan dengan melibatkan berbagai unsur di dalam negeri. Pendeknya diperlukan sebuah strategi pertahanan lintas sektoral yang dapat menahan laju gerak liberalisme gaya baru ataupun kekuatan global. Metode Konperensi ini akan mendekati atau memahami tirani modal melalui metode genealogis, yaitu melihat masa lalu secara strategis untuk menjelaskan masa sekarang. Ketimbang mengurai soal secara kronologis historis, metode genealogis juga menguji apakah masa sekarang memang berkaitan dengan masa lalu (sinkronis) dan apakah/bagaimanakah hubungan antara produk satu dan lainnya di masa sekarang (diakronis). Dengan cara ini akan terlihat keberlanjutan maupun patahannya (rupture). Sementara itu metode dialektika basis dan suprastruktur tetap dipandang penting untuk mengkaji perkembangan kesadaran masyarakat dan reproduksi gagasan: bagaimana warisan otoritarian diproduksi dan direproduksi di dalam kesadaran masyarakat. Untuk mendapatkan bayangan tentang Indonesia masa depan, metode retrospektif digunakan dengan cara menggali ingatan maupun kenangan masyarakat akan kejadian di masa lalu agar dapat membangun pengetahuan baru tentang Indonesia. Pertanyaan besar yang patut dijawab adalah: mengapa setelah reformasi demokrasi yang berkeadilan tetap tidak bisa berjalan? Apa ide yang dikandung oleh demokrasi itu sendiri di Indonesia saat ini? Bagaimana proses kerja demokrasi pada saat ini? Apakah demokrasi bisa terlaksana di tengah budaya politik yang tidak berubah dari masa lalu? Apakah Indonesia dapat berkembang sebagai sebuah negeri yang demokratis dan berkeadilan sosial di dalam alam fundamentalisme pasar?
Tujuan Konperensi Adapun yang menjadi tujuan konperensi ini adalah: 1. Terdapatnya gambaran lengkap tentang kerja modal dalam berbagai bidang kehidupan dan atau mekanisme kerja modal sebagai suatu kekuatan politik 2. Berkembangnya gagasan bersama baik secara akademis maupun praktis tentang demokrasi berkeadilan sebagai prasyarat pembangunan komunitas yang terorganisasi 3. Terdapatnya suatu ancangan pemikiran bagi perumusan kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat. Partisipan Konperensi mengharapkan partisipasi kelompok-kelompok intelektual atau kaum muda di berbagai bidang, baik mereka yang aktif dalam lembaga kemasyarakatan, pemerintah, parlemen maupun universitas. Di samping itu partisipasi juga diharapkan dari pekerja budaya, pegiat seni dalam komunitas seni maupun mandiri.
11
Kepanitiaan Penanggung Jawab: Agung Putri, MA Panitia Pengarah: Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono Dr. Yudi Latief Binny Buchori, MA Ayi Bunyamin Dr. Francisia Erry Seda Drs. Andrinof Chaniago, Msi Sri Budi Eko Wardani, M. Si Riaty Rafiuddin, MA Don K. Marut Agung Putri, MA Koordinator Pelaksana: E. Rini Pratsnawati Wakil Koordinator: I Gusti Agung Anom Astika Koordinator Antar Panel: Andi K. Yuwono Koordintor Acara: Atnike Nova Sigiro Keuangan: Otto Adi Yulianto, Siti Sumarni Publikasi dan Humas: Yulia Siswaningsih, Triyana Dyah Sekretaris: Yuniarti Penanggungjawab Panel: Reformasi Politik dan Penggerusan Kedaulatan Rakyat –Kelly Ramadhanti Demokrasi Dari Bawah – Hilmar Farid Tirani Modal dan Ketatanegaraan – Herlambang Perdana dan Wahyudi Djafar HAM dan Perburuhan –Erick Christoffel Hukum dan Ekonomi –Wahyu Wagiman Perlawanan Lokal Perempuan – Ruth Indiah Rahayu Privatisati Pendidikan – Darmaningtyas Media Massa dan Reproduksi Ideologi – Panitia Bersama. Kebudayaan dan Pengekangan Daya Kretif – Ade Darmawan Fundamentalisme Agama dan Fundamentalisme Pasar - Panitia Bersama Reformasi Sektor Pertahanan/Keamanan –Djarot Program Pameran – Ardi Yunanto Program Film – Dimas Jayasrana
Liaison Officer (LO): Jerry Nafsul Donny Diantika Ari Rizky Fitri Nova Dita Gisela Dian F. Hasbi Rodik Yando Lindatin Terry Informasi: Maya Arum Sekretariat: Dwi Dian Registrasi:
Media Center: Mulyani Hasan. Sadikin. Agus Rakasiwi Ahmad Yunus Adi Tea Afualdi Arif Arianto Ari Widodo Arya Fajar Herry Sutresna Setiaji Pernasatmoko Utche Felagouna Wida Waridah Yusuf Ismanto Ulfa Ilyas
Rapporteur: BI. Purwantari Th. Erlijna M Fauzi Pitono Adi Raymondo Syaldi Sahudi Grace Leksana Rinto Tri Harworo Suep Khudori Sito Muniroh Anton Aim Melly
Dokumentasi: Ign. Taat Ujianto Paijo Perlengkapan: Khumaedy Kosim Konsumsi: Atoen Mariatul Qiptiyah. Etty
Akomodasi: Adyani Hapsari Widowati Suryani Logistik: Mundo Bazar: Triana Dyah Pujiastuti Kesehatan: Yudi Edwin Toto
Penyelenggara: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Folitik Universitas Indonesia (FISIP-UI) Reform Institute Perkumpulan Praxis Jaringan Kerja Budaya (JKB) Puskapol-FISIP UI TURC Pusdep Sanata Dharma INFID
13
Kegiatan ini didukung dan melibatkan organisasi masyarakat sipil antara lain: Kalyanamitra Konsorsium Reformasi Hukum Nasional-KRHN Aliansi Jurnalis Indonesia – AJI Lembaga Studi dan pengkajian Pers – LSPP Institute for Defense Security and Peace Studies – IDSPS Konsorsium Pembaruan Agraria - KPA Walhi Huma Sawit Watch Ruang Rupa Respublica HRLS Fakultas Hukum Universitas Airlangga Koalisi Rakyat untuk Hak Air – KRUHA Indonesian Centre for Environmental Law - ICEL Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – YLBHI ICW Sanggar Anak AKAR Serrum Forum Lenteng Sakit Kuning Akademi Samali Video Babes Media Legal KOLAPS
Pengantar Per Panel 1. Panel Reformasi Politik dan Pemulihan Kedaulatan Rakyat Sepuluh tahun Reformasi di Indonesia ternyata belum berhasil membawa perbaikan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan rakyat. Dari segi politik, hal ini ditunjukkan dengan kualitas sistem perwakilan yang buruk. Praktek dan prosedur yang disyaratkan dalam sebuah konsepsi demokrasi pada kenyataannya seringkali tidak dilakoni konsisten sesuai dengan syarat utama dalam demokrasi sendiri antara lain akuntabilitas dan transparansi. Penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) seringkali didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu sehingga menghasilkan praktek-praktek demokrasi yang manipulatif dan tidak jarang memunculkan konflik-konflik sosial dalam masayrakat. Lembaga perwakilan dan partai politik juga menunjukkan buruknya kinerja dan komitmen terhadap kepentigan rakyat, dan cenderung mementingkan agenda politik kelompoknya masing-masing. Sementara itu, lembaga eksekutif seringkali tidak responsif terhadap kepentingan rakyat. Para anggota partai yang duduk di jajaran kabinet dipilih sebagai bentuk kompromi politik sehingga seringkali berdampak pada terjadinya tarik menarik kepentingan partai politik. Ini tentunya berdampak pada buruknya kualitas produk dari proses-proses politik tersebut, termasuk elit politik dan kebijakan yang seringkali tidak memihak pada kepentingan rakyat. 2. Panel Demokrasi dari Bawah Perubahan politik di Indonesia sejak 1998 menunjukkan keterbatasan dari tesis “transisi menuju demokrasi”, yang membayangkan bahwa kejatuhan pemerintah otoriter niscaya akan diikuti oleh bentuk pemerintahan dan kekuasaan yang lebih demokratis. Electoral democracy bagaimana pun untuk waktu cukup lama menawan imajinasi politik dari gerakan pro-demokrasi, sehingga perlombaan membentuk partai, menjadi anggota atau terlibat dalam partai politik peserta pemilu, atau mengamati jalannya pemilu, menyedot sumberdaya yang luar biasa. Pikiran kritis yang menawarkan alternatif di luar kerangka electoral
15
democracy dianggap usang, jika bukan kekanak-kanakan (infantile). Sejauh ini kita belum melihat kekuatan masif yang menawarkan alternatif terhadap electoral democracy yang neoliberal di Indonesia. Di tingkat lokal memang dapat ditemukan praktek-praktek ekonomi dan politik alternatif yang bertujuan memperkuat dan membela komunitas yang tidak diuntungkan oleh sistem. Tapi skala dan intensitasnya belum lagi sanggup menandingi cengkeraman electoral democracy. Dalam banyak kasus justru banyak inisiatif lokal yang padam atau mengalami masalah ketika berhadapan dengan gelombang pemilu dan pilkada. 3. Panel Tirani Modal dan Ketatanegaraan Dengan mudah kita menyaksikan atau mendengar dari dekat bahasa santun nan elok ‘good governance’, tetapi dengan sangat gampang pula di sekitar kita terlihat centang perenang terjadi korupsi sistematik, legalisasi suap antar lembaga kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan imperial lainnya. Sepertinya, beda tipis antara apa yang disebut dengan ’good’ (baik) dengan ’bad’ (buruk) atau ‘poor’ (miskin) dalam tata kelola pemerintahan, karena keduanya berjalan seiring bak lintasan rel kereta yang didisain kuat menancap dengan ‘bantalan’ teori dan mistifikasi kekuasaan, yang keluar masuk stasiun mengangkut (baca: memperdagangkan) penumpang sebanyak-banyaknya. Persis seperti ‘good governance’ yang diinjeksikan dari negara satu ke negara lain yang menebarkan pengaruh tentang kebenaran absolut pengelolaan urusan negara (ketatanegaraan). 4. Panel HAM dan Perburuhan Menyusul berakhirnya rejim Soeharto pada 1998, ada banyak harapan tentang terwujudnya proses demokrasi yang substansial di Indonesia. Namun, dalam kenyataannya walau era demokrasi sudah berlangsung lebih dari 5 tahun, namun sulit untuk mengatakan telah terjadi perubahan substansial dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Pemilu 2004 memang berlangsung dengan aman dan tertib, tak ada pertumpahan darah dan relatif terorganisir dengan baik. Institusi-institusi formal demokrasi memang terbangun, namun relatif tidak berfungsi dengan baik ketika demokrasi cenderung hanya terjadi di tingkat formal tanpa makna bagi publik. Di ujung segala kekacauan politik ini, rakyat pula yang menjadi korban; angka pengangguran yang terus meningkat, kemiskinan yang makin parah, kondisi kesehatan yang makin merosot, adalah beberapa dari sederet bukti impotennya proses demokrasi. Situasi yang sama terjadi juga dalam isu perburuhan. Diberlakukannya labour market flexibility secara blakblakan menimbulkan berbagai masalah dalam penegakan HAM dalam isu perburuhan; sempitnya lapangan pekerjaan dan melimpahnya tenaga kerja, degra-
dasi kualitas hak-hak bekerja (kondisi kerja yg aman dan sehat, upah, dll), dan terancamnya kebebasan berserikat. 5. Panel Hukum dan Ekonomi Lengsernya Soeharto pada tahun 1998 menandai satu babak baru dalam perbincangan mengenai hukum dan regim hukum. Gagasan mengenai kepastian hukum, negara hukum, jaminan perlindungan hukum adalah diksi yang konsisten dilekatkan dalam gagasan reformasi hukum dan dipersepsikan sebagai bagian tak terpisah dalam pembentukan demokrasi dalam masa transisi. Gagasan ini, terutama diusung berbagai kelompok masyarakat dan NGOs. Supremasi hukum dipercaya merupakan salah satu pilar penting untuk mengakhiri regim orde baru, dan menata struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Dalam konteks ini, pembaharuan hukum ditempatkan dalam suatu oposisi diametral dengan kesewenangan (arbitrariness) di masa lampau. Hukum dipercaya dapat menyelamatkan individu dari kesewenangan penguasa sebagaimana lazim dilakukan pada masa orde baru. Dalam proses pembuatan produk hukum ini pula, semakin dirasakan munculnya kekuatan yang sebenarnya telah ada sejak lama tapi hampir tidak pernah muncul dipermukaan secara terbuka, yakni agensi-agensi internasional yang mengusung agenda integrasi ekonomi global. Berbagai kecenderungan dapat dilihat dari masifnya peraturan yang memberikan peluang eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan sustainabilitasnya. Selain itu, peran negara semakin disingkirkan dari berbagai wilayah yang melalui produk hukum ditetapkan sebagai ranah usaha (baca privat). 6. Panel Perlawanan Lokal Perempuan dalam Krisis Ekonomi Krisis yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup masyarakat, yang penyelenggaraannya terukur dalam rumah tangga, dapat dinyatakan bagian dari krisis reproduksi sosial. Krisis di bidang ini menjadi khas, karena ditanggung bebannya oleh kaum ibu (perempuan) yang secara sosial “ditugaskan” sebagai penanggungjawab urusan kerumahtanggaan. Krisis ini juga berkorelasi dengan kekerasan dalam rumah tangga, bunuh diri, perceraian, migrasi pekerjaan bahkan ke luar negeri, penjualan tanah, migrasi ke pekerjaan yang tidak tetap (buruh), konsumen hutang dengan pola kredit, dan berbagai gejala sosial lainnya. Kaum perempuan menanggapi krisis ini dengan sikap dalam antara ketidakberdayaan (yang ekstrem adalah bunuh diri) dan survive (melakukan migrasi kerja atau pun hutang dengan pola kredit), akibat besarnya krisis itu ditanggung perseorangan atau secara individual. Adanya organisasi sosial ataupun yang khusus memperhatikan persoalan perempuan, tampaknya, secara kuantitatif sungguh kecil untuk menjawab (atau luput menjawab) persoalan krissis tersebut. Situasi ini juga menjadi indikator lumpuhnya modal sosial guna melaku-
17
kan perlawanan terhadap struktur eksploitasi di dalam cara produksi masyarakat yang berdialektika dengan krisis reproduksi sosial. 7. Panel Privatisasi Pendidikan Tirani modal atas dunia pendidikan yang ternyata sudah lama berlangsung sampai sekarang tak hanya dalam bentuk utang dan kepemilikan saham saja dalam institusi pendidikan yang sekarang bisa sampai 49 persen, tapi juga mengintervensi secara ideologis arah dunia pendidikan sampai pada imbas negatif dalam dunia pendidikan sendiri maupun ranah lain yang terkait erat dengan pendidikan. Pendidikan didikte untuk menuruti kemauan dan kebutuhan modal saja, yakni ketika peserta didik dan institusi pendidikan mesti mencetak tenaga kerja sesuai kebutuhan pasar yang justru menghilangkan otentisitas kedirian siswa, di mana mestinya ia memiliki hak untuk menjadi dirinya sendiri tanpa mesti menuruti kemauan pasar, dimensi humanisme hilang di sini. Pada akhirnya yang “dicetak” dunia pendidikan adalah manusia-manusia mekanistis yang seakan kehilangan sisi sosial dan humanisnya. Pun siswa kian kehilangan national interest-nya dengan semangat nasionalisme yang mulai diragukan, termasuk dalam penghayatan atas tata nilai budaya bangsa sendiri. 8. Panel Media dan Reproduksi Ideologi Media massa kerap dilihat sebagai salah satu bentuk sukses dari hasil Reformasi tahun 1998. Media tumbuh bersemi berkali-kali lipat dari sisi jumlah, dibanding pada masa akhir Orde Baru, namun betulkah Media kemudian tumbuh bebas dari represi-represi yang selama ini menyelimutinya? Betul bahwa kuasa Negara telah dilawan habis-habis sejak tahun-tahun terakhir massa Orde Baru, tetapi pada masa yang kurang lebih sama, kekuatan Modal luput diperhatikan, dan untuk itu Modal inilah yang kemudian mengemuka sebagai kontrol baru atas dunia Media. Industri media yang demikian terkonsentrasi adalah industri yang anti para serikat buruh media, para pemilik industri media besar adalah aktor-aktor yang menyimpan kepentingan ekonomi dan politik tersendiri, serta bukan mustahil banyak media yang bergelimang iklan itu, sebenarnya tengah membela kekuatan-kekuatan lama untuk tampil kembali dalam panggung dalam wajah yang lain. 9. Panel Kebudayaan Alur kehidupan kebudayaan di dalam periode reformasi di Indonesia dapat dianggap belum mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Problemnya mungkin bukan pada kesadaran berkesenian, yang kini tampak lebih maju dalam bentang perkembangan teknologi audio visual. Seperti yang berlangsung di dalam banyak perhelatan pemutaran film yang selalu sarat dengan pembuat-
pembuat film muda yang berbakat. Begitu juga dengan ajang festival seni pertunjukan yang muncul di berbagai media televisi, semuanya tak pernah sepi dari peserta yang hendak unjuk kebolehannya dalam berkesenian. Sekalipun demikian, kesadaran itu bukanlah sesuatu yang berasal dari negeri antah berantah dan relatif lalu diterima sebagai bakat terpendam. Ia lahir dari sebuah situasi demokratik dalam bangunan kebudayaan yang lebih dapat mewadahi relasirelasi di antara pekerja seni dan masyarakat. Sehingga seni itu sendiri adalah produk demokrasi, dan esnsi seni adalah demokrasi. Ini yang memungkinkan lahirnya berbagai macam bentuk kesadaran berkesenian maupun daya kreativitas. Tetapi persoalannya kemudian kreativitas ataupun kesadaran berkesenian yang tampak marak itu tidak dimiliki oleh semua orang, dan ia bahkan lalu dikendalikan oleh regulasi semu pasar karya seni, yang mampu menentukan tinggi rendahnya nilai dari sebuah karya seni. 10. Panel Fundamentalisme Agama dan Fundamentalisme Pasar Dalam konteks globalisasi, jika banyak orang dihantui ketakutan akan globalisasi dan masa depan, maka kita dapat melihat bahwa ketidakpastian dan kekhawatiran menjadi komoditas sosial-politik. Konteks inilah yang kemudian dapat dilihat dalam berbagai gejala utama dalam fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama berkembang seiring dengan tidak tersedianya jawaban atas globalisasi dan masa depan –tidak tersedianya jawaban yang dapat mempromosikan semangat kebersamaan. Dari sisi lain, setelah sekian lama Rejim Orde Baru melakukan represi terhadap pertukaran pendapat, maka pemahaman mengenai dialog agama turut mengalami kemampatan. Dialog agama yang semestinya menjadi kekuatan kreatif menjadi sebuah proses bertemunya kepentingan politik jangka pendek dengan kekuatan unilateralisme masyarakat. Dialog agama dibelokkan menjadi proses jual-beli pengaruh. 11. Panel Tirani Modal dan Keamanan Manusia Salah satu indikator tentara profesional adalah yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang pertahanan, terlatih, tangguh, tidak terlibat politik praktis, tunduk pada otoritas sipil dan tidak berbisinis. Meski meski indikator ditetapkan dalam UU TNI tersebut menjadi tolok ukur pengembangan profesionalitas TNI, namun secara kasat mata bisa dilihat bahwa implementasinya masih jauh dari harapan. Militer masih menjadi penghambat utama pengusutan dan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Militer masih berbisnis dan terlibat berbagai agraria. Kemudian di lapangan politik, kendati secara formal Fraksi TNI/POLRI sudah hilang dalam parlemen, namun proporsi tentara dalam parlemen masih sangat signifikan.
19
12. Seminar Pusaran Modal Internasional dan Ancaman terhadap Kedaulatan Perempuan Ada yang luput dari janji reformasi: bahwa perempuan tak lagi harus dipaksa jadi tumbal atau penyokong pokok kebebasan negara untuk menyejahterakan segelintir penyamun. Ironis, karena rezim pembaharuan lahir di tengah puing hangus ribuan kaum miskin kota, sebagian adalah perempuan dan anak-anak, dan jerit terpendam lebih dari seratus perempuan yang dianggap layak diserang karena mereka Tionghoa. Derap reformasi memang sudah mendobrak pintupintu yang terpalang pasal-pasal karet dan undang-undang anti makar, tapi sebagian besar pasal-pasal baru ternyata sudah pula batasi gerak perempuan. Ketika perempuan baru saja belajar melangkah keluar dari rumah untuk berkumpul dan berorganisasi dengan sesama perempuan, mengungkapkan pendapat sebagai perempuan, mereka sudah harus berhadapan dengan timbunan hutang warisan para penyamun. Ketika belum lagi tuntas pemahaman mereka akan hak-hak mereka sebagai perempuan dan sebagai warga negara, mereka sudah harus berhitung apakah satu telur hari ini akan dibagi empat atau delapan untuk makan siang dan malam sekeluarga. Dan, ketika mereka manfaatkan celah malam untuk cari tambahan uang belanja dan uang sekolah anak-anak mereka, segerombolan pemuda putus sekolah, tapi berjubah putih, berteriak, “Maksiat!” 13. Seminar Pembaruan Agraria Sepanjang Orde Baru, setidaknya terdapat beberapa warisan utama dari berlakunya Politik Hukum agraria yang berlaku di masa lalu: pertama, Ketimpangan struktur kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah. Kedua, Tingginya Konflik Agraria dan Pelanggaran HAM yang menyertai konflik tersebut. Ketiga, Hilangnya Reforma Agraria sebagai dasar bagi strategi pembangunan nasional. Warisan ini terus saja bertahan bahkan kembali bermunculan dengan derajat yang lebih keras. Meski demikian, bersanding dengan situasi keterbukaan politik reformasi, agenda Reforma Agraria dapat dinaikkan kembali menjadi agenda negara melalui TAP MPR-RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sesungguhnya perkembangan itu tidak dapat dipisahkan dari didominasi agenda kapital global. Sebab, setelah reformasi perubahan kebijakan politik hukum di bidang agraria yang terjadi selalu mengikuti arahan Bank Dunia. Sehingga lahirlah kebijakan UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, dan Rencangan UU Pertanahan. Kebijakan tersebut telah mendorong lahir dan beroperasinya korporasi perkebunan, air dan pertanian besar di Indonesia yang mempercepat proses de-agrarianisasi.
selasa, 5 agustus 2008 | PUSAT STUDI JEPANG FIB-UI PEMBUKAAN 08:30 - 09:00
Registrasi
09:00 - 09:30
PIDATO PENGANTAR Agung Putri, MA. (Direktur Eksekutif ELSAM/ Penanggungjawab Konperensi) PIDATO PEMBUKAAN Prof. Dr. Gumilar Rusliwa Somantri (Rektor Universitas Indonesia)
09:30 - 10:00
PIDATO POLITIK DAN KEBUDAYAAN Prof. Dr. A Syafi’i Maarif (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta) Prof. Dr. Sri Edi Swasono (Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia)
10:00 - 10:15
Rehat
10:15- 13:00
SEMINAR PEMBUKAAN KONPERENSI Moderator: Riaty Raffiudin SESI I: Abdul Hakim Garuda Nusantara (Pakar Hukum) drs. Andrinof Chaniago, Msi. (Dosen FISIP-UI) Firman Jaya Daeli, SH. (Pakar Hukum) SESI II: Prof. Hermanto Siregar, PhD. (Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor) Binny Buchori (Perkumpulan Prakarsa) SESI III: Prof. Dr. Melani Budianta, MA. (Guru Besar FIB-UI) Hersri Setiawan (Seniman)
13:00 - 14:00
Makan Siang 21
14:00 - 17:00
SEMINAR “PEMBARUAN AGRARIA DAN TIRANI MODAL” Kuliah Umum: Dr. Joyowinoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional) Diskusi Panel: Noer Fauzi (Kandidat Doktor University of California, Berkeley) Hedar Laudjeng (Perkumpulan Bantaya, Palu) Hendry Saragih (Federasi Serikat Petani Indonesia) Hendro Sangkoyo (School of Democratic Economics)
GEDUNG F FISIP-UI Ruang AJB Bumiputera
selasa, 5 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI SESI I 14:00 - 16:00
PANEL
REFORMASI POLITIK DAN PEMULIHAN KEDAULATAN RAKYAT
RUANG H502
Diskursus Reformasi Politik dan Pelembagaan Demokrasi. Pengaruh Ideologi Neoliberalisme dalam Membentuk Wacana Diskursus Demokrasi di Indonesia (Airlangga Pribadi - UNAIR) Identifikasi Masalah dalam Reformasi Politik dan Pelembagaan Demokrasi (PUSKAPOL FISIP UI) Format Baru Relasi DPR-Presiden dalam Demokrasi Presidensial Pasca Amandemen (Syamsudin Harris – LIPI) Hukum Adat untuk kedaulatan Rakyat : Pengalaman Masyarakat Hnitetu-Nudua Siwa, Maluku
DEMOKRASI DARI BAWAH Republik Tenganan, Bali.
RUANG H501
TIRANI MODAL DAN KETATANEGARAAN
RUANG H503 HAM DAN PERBURUHAN
RUANG H404
HUKUM DAN EKONOMI
RUANG H401
PERLAWAN LOKAL PEREMPUAN DALAM KRISIS EKONOMI
RUANG H504
PRIVATISASI PENDIDIKAN
RUANG H402
KEBUDAYAAN
RUANG H403
SESI II 16:00 - 18:00
Pembahas : George Junus Aditjondro
Gerakan Rakyat Memasuki Gelanggang Politik Elektoral, Pengalaman Bengkulu. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Politik Elektoral, Pengalaman kalimantan Barat. Pembahas: Samuel Gultom ( Yayasan TIFA/ Dosen FISIP-UI)
Penetrasi Modal dalam Proses dan Subtansi Amandemen Konstitusi Pembicara: Zainal Arifin Mochtar, SH. LLM Bivitri Susanti, SH, LLM Moderator: Wahyudi Djafar (KRHN)
Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Keberpihakan pada Siapa ? Pembicara: Firmansyah Arifin, SH. Yance Arzona, SH Moderator: HRLS - FH UNAIR
Hak Berserikat, Berunding, Mogok Pembicara: Johannes Sarmin (LPPKI) FX Supiarso (PSI) Indrasari Tjandraningsih (AK3) Mirisnu Vidiana (SB Bank Mandiri)
Isu Aktual Buruh Pembicara: Surya Tjandra (TURC) Rudi Daman (GSBI) Darmawan Tri Wibowo (Prakarsa) Saepul Tavip (OPSI)
Dalam Konteks Bagaimana Tirani Modal Bisa Hidup dan Berkembang Pembicara: Bonnie Setiawan (IGJ) Patra M Zen (YLBHI) Erman Rajagukguk Moderator: Zainal Abidin
Mencermati Perkembangan Hukum dalam BidangBidang Strategis Pembicara: Chalid Mohammad Abet Nego Tarigan Wahyu Susilo Riza Damanik Asep Yunan Firdaus Moderator: Wahyu Wagiman
Perempuan dan Kedaulatan Tanah Pembicara: Eri Andriani: “Perempuan di Garis Merah: Sebuah Catatan Tentang Konflik Perkebunan dan Agraria di eks Karesidenan Besuki” Aida Milasari “Perlawanan Perempuan di Perkebunan Sawit di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat” Moderator: Dwi Astuti
Perlawanan Buruh Perempuan dan Kebijakan Perburuhan Pembicara: Desmiwati: “Protes Buruh Perempuan: Menakar Perlawanan dari Kantung-kantung Industri di Indonesia” Anis Hidayah : “Perlawanan Sunyi Buruh Migran Nirmala Bonat” Moderator: Elizabet Kusrini
Hegemoni Ideologi Neoliberalisme dan Mekanisme Kerja Modal dalam Dunia Pendidikan Pembicara: Darmaningtyas: “Hegemoni Ideologi Neoliberalisme dan Mekanisme Kerja Modal dalam Dunia Pendidikan” Ade Irawan (ICW): “Menuntut tanggungjawab negara dalam pendidikan” M. Fajar: Intelektual, Modal dan Negara: Diskursus Peran Intelektual Indonesia dalam Era Reformasi Pembicara: Dr. R. Diyah Larasati (University of Minnesota/ Theatre Arts & Dance/ Institute of the Arts Yogyakarta):“Performance of Killing: Capital Space of Dance” Yoshi Fajar Kresno Murti (Yayasan Pondok Rakyat, Yogyakarta): “Panggung dan Mitos dalam Praktek Hidup Berkomunitas :Sharing Pengalaman dari Kampung-kampung Yogyakarta” Nur Zain Hae (Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta) Rita Dharani (Koperasi Indonesia Lestari-KINDLE): “Seni Kerajinan di Bawah Tirani Modal” Moderator: Alit Ambara
selasa, 5 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI SESI I 14:00 - 16:00
PANEL
FUNDAMENTALISME AGAMA DAN FUNDAMENTALISME PASAR
SESI II 16:00 - 18:00
Pembicara: Dr. Ivan A . Hadar KH. Masdar F. Mas’udi Degung Santikarma
RUANG H301 REFORMASI SEKTOR Aktor Keamanan dan Kepentingan Investasi (Sekjen atau PERTAHANAN/ Dirjen Strahan) KEAMANAN
RUANG H305
Profesionalisme TNI dan Keberpihakan (Ikrar Nusa Bakti – LIPI dan Don K. Marut – INFID)
MEDIA MASSA DAN Media Lokal di Tengah Konglomerasi Media REPRODUKSI Pembicara: IDEOLOGI Serambi Indonesia
RUANG H405
Rahmaida Moderator: Ezky
rabu, 6 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI
REFORMASI POLITIK DAN PEMULIHAN KEDAULATAN RAKYAT
RUANG H502
DEMOKRASI DARI BAWAH
SESI III 09:00 - 11:00
SESI IV 11:00 - 13:00
13:00 - 14:00
Dinamika Reformasi Pelembagaan Politik dan Akses Terhadap Demokrasi : Persoalan Kekuatan Modal dan Representasi Politik Pembicara: Arbi Sanit (FISIP-UI) “Kedaulatan Rakyat vs Kekuatan Kapital dalam Dinamika Reformasi Politik dan Akses Terhadap Lembaga Demokrasi Indonesia” Willy Purnasamadhi (DEMOS) “Satu Dekade Reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia” Sri Lestari Wahyuningrum (FISIP-UI) “Kuasa Modal, Demokrasi dan Representasi Politik Perempuan”
Dinamika Reformasi Pelembagaa Politik dan Akses Terhadap Demokrasi: Persoalan Kekuatan Modal dan Artikulasi Politik Pembicara: Arif Susanto “Perluasan Akses Publik Menuju Politik yang Deliberatif” Yudi Fajar (FISIP-UI) “Pencarian Terhadap Kemungkinan Melakukan Kombinasi Demokrasi Langsung dan Demokrasi Perwakilan di Indonesia dalam Menghadapi 'Negara-Kelompok BisnisKelompok Komunal” Bachtiar (KASPATTIRO) ”Deepening Democracy, Pengembangan Demokrasi Partisipatif Melalui Forum Warga”
MAKAN SIANG
PANEL
Advokasi Kasus Lumpur Lapindo (GM. Sukamto – UN Malang) Pembahas: UI, Praxis/ ISSI
Yusuf Henuk: “MoU 1974 (Indonesia-Australia: Warisan Otoritarianisme di Laut Timor yang Merugikan Orang Timor dan Orang Rote di Prov. NTT” Pembahas: UI, Praxis/ ISSI
Akomodasi Kepentingan Modal dalam Proses Pembaruan Undangundangan Pembicara: Herlambang Perdana, SH, LLM (Unair) Kholid Syaerozi, S Fil, MA Moderator: Wahyudi Djafar (KRHN)
Membaca Kepentingan Modal dalam Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pembicara: Hasrul Hanif, SIP Moderator: Dimas Prasidi
RUANG H501
TIRANI MODAL DAN KETATANEGARAAN
RUANG H503
SESI V 14:00 - 16:00
SESI VI 16:00 - 18:00
23
Pembaruan Hukum dan Institusi Negara Pasca Otoritarianisme Pembicara: Indriaswati Saptaningrum, SH, LLM (ELSAM) Dian Rosita. SH, LLM (LEIP) Moderator: HRLS FH UNAIR
rabu, 6 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI PANEL
HAM DAN PERBURUHAN
RUANG H404
HUKUM DAN EKONOMI
PERLAWAN LOKAL PEREMPUAN DALAM KRISIS EKONOMI
RUANG H504
RUANG H305
RUANG H402
Indeks Daya Beli dan Persepsi Buruh Pembicara: Yanuar Rizky (OPSI) Gibson Sihombing (Dewan Pengupahan) Lumban Gaol (Dirjamsos & Pengupahan Depnaker) Hari Nugroho (Labsosio UI)
Dampak Penguasaan Bidang-bidang Strategis Terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup Pembicara: Abdon Nababan Kusnadi Nur Hidayati Moderator: Nurhanudin Ahmad (Sawit Watch)
Pilihan-pilihan apa yang dapat digunakan untuk mengembalikan kondisi “local” yang berkeadilan Pembicara: Hendri Saparini Gunawan Wiradi AH Semendawai Rhino Subagyo Moderator: Supriyadi WE
Daya Upaya Perempuan Mengatasi Keterbatasan Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan Pembicara: Sulastri: “Bila Perempuan Bergerak: Ceritera Paguyuban Perempuan Sido Rukun di Desa Joho, Kecamatan Semen, Kediri” Heru Suprapto: “Perempuan Miskin Kota di Hadapan Kebijakan Neoliberalisme” Moderator: Esrom Aritonang
Daya Upaya Perempuan Mengubah Kesetaraan Peran dan Kerja Pembicara: Noviana Ermanita: “Merebut Alat Produksi Menegakkan Kesetaraan: Perlawanan Perempuan dari Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung Selatan” Endang Rohdiyani: “Keadaan Pekerja Rumah Tangga dari Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul” Moderator: Hegel Terome
SEMINAR SESI I 11:00 - 13:00 | GEDUNG H FISIP-UI Kebijakan Pro Pasar Bebas dan Dampaknya bagi Kesejahteraan Perempuan Pembicara: Arimbi Heroepoetri (Debt Watch Indonesia) Eva K. Sundari (Anggota Komisi III DPR-RI) Siti Mutmainah (Koordinator Jaringan Advokasi Tambang) Moderator: Maria Hartiningsih (Jurnalis KOMPAS) Peluang Pendidikan Alternatif dan Problem Pengakuan oleh Masyarakat, Pemerintah, dan Dunia Kerja Pembicara: Bahrudin (Qaryah Toyibah): “Peluang Pendidikan Alternatif dan Problem Pengakuan” Thantien Hidayati: “Dehumanisasi Peserta Didik melalui Sistem Penilaian Pendidikan yang Berlandaskan Semangat Neoliberalisme”
SESI V 14:00 - 16:00
SESI VI 16:00 - 18:00
Penyelesaian Hubungan Pleno Panel Industrial Perburuhan Pembicara: Juanda Pangaribuan (Ad hoc Buruh) Widodo (Pengajar UI) Pelikson Silitonga (LPBHFAS)
MAKAN SIANG
PRIVATISASI PENDIDIKAN
Buruh dan Politik Pembicara: Fauzi Abdullah (LIPS) Bambang Wirahyoso (SPN) Ahmad Basori (Partai Buruh Demokrat) Dita Indah Sari (Papernas)
13:00 - 14:00
MAKAN SIANG
SEMINAR “PUSARAN MODAL INTERNASIONAL DAN ANCAMAN THP. KEDAULATAN PEREMPUAN”
SESI IV 11:00 - 13:00
MAKAN SIANG
RUANG H401
SESI III 09:00 - 11:00
SEMINAR SESI II 14:00 - 16:00 | GEDUNG H FISIP-UI Pemiskinan, Fundamentalisme, Militerisme dan Kekerasan terhadap Perempuan Pembicara: Andy Yentriyani (Komnas Perempuan) Th. J. Erlijna (Institut Sejarah Sosial Indonesia) Nani Zulminarni (PEKKA) Moderator: Agung Ayu Ratih (ISSI)
rabu, 6 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI SESI III 09:00 - 11:00
PANEL
KEBUDAYAAN
RUANG H403
RUANG H405
13:00 - 14:00
Pembicara: Marco Kusumawijaya (Ketua Dewan Kesenian Jakarta, arsitek dan pengamat kota) Agus Mediarta (Komunitas Film Independen) Moelyono (Seniman, aktivis) Aminudin TH Siregar ( Kritikus, Pengamat Sejarah Senirupa Indonesia, Kurator Galeri Senirupa SoemardjaBandung): “Seni Rupa di Tengah Komodifikasi Pasar” Moderator: Ade Darmawan Bisnis Media dan Pengaruhnya terhadap Politik Nasional Pembicara: Endy Bayuni (The Jakarta Post) Bambang Harimurti (Tempo) Leo Batubara (Dewan Pers) Iskandar Siahaan (SCTV) Moderator: Ezky
SESI V 14:00 - 16:00
SESI VI 16:00 - 18:00
MAKAN SIANG
MEDIA MASSA DAN REPRODUKSI IDEOLOGI
SESI IV 11:00 - 13:00
rabu, 6 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI ACARA
14:00 - 18:00
REVIEW DAN PERUMUSAN CLUSTER HASIL KONPERENSI
PERUMUSAN CLUSTER POLITIK Reviewer: Vedi Hadiz (National University of Singapore) Romo Baskara T Wardaya (Universitas Sanata Dharma)
RUANG H502
PERUMUSAN CLUSTER EKONOMI DAN KEBUDAYAAN Reviewer Ekonomi: Ratna Saptari (Leiden University) Ery Seda (FISIP UI) Prasetyantoko (Universitas Atmajaya)
RUANG H405 19:00 - 21:00
PSJ FIB-UI
PERUMUSAN CLUSTER KEBUDAYAAN Reviewer Kebudayaan: St Sunardi (Institut Religi dan Budaya – Universitas Sanata Dharma)
RUANG H404
MALAM KEBUDAYAAN DAN KEKERABATAN Acara: Makan Malam Ramah Tamah Pementasan Monolog oleh PM TOH
kamis, 7 agustus 2008 | GEDUNG F, AJB BUMIPUTERA 09:00 - 13:00
PLENO ACARA SIDANG KONPERENSI *) tentative
13:00 - 14:00
MAKAN SIANG
14:00 - 15:00
PRESENTASI HASIL KONPERENSI oleh: Yudi Latif * KONPERENSI PERS
15:00 - 18:00 DISKUSI PUBLIK HASIL KONPERENSI DENGAN POLITISI PIDATO PENUTUPAN KONPERENSI: Prof. Dr Bambang Shergi Laksmono – Dekan FISIP UI
>>SEKRETARIAT KONPERENSI: GEDUNG H RUANG H204 >>MEDIA CENTER: GEDUNG H RUANG H205 >>KESEHATAN: GEDUNG H RUANG H103
25
selasa, 5 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI 14:00 - 15:30
DARWIN’S NIGHTMARE Hubert Sauper Dokumenter|107’|2004 Darwin’s Nightmare adalah sebuah cerita tentang manusia yang berhadapan dengan globalisasi; bagaimana ikan ditukar dengan Kalashnikovs dan amunisi.
15:30 - 16:00
Rehat CHENG CHENG PO B. W. Purba Negara Fiksi |17|LimaEnam Films|2007 Semacam cara jenaka untuk memaknai Bhineka Tunggal Ika. Film ini berkisah tentang Markus dan kulit hitamnya. Tyara dengan batik parang garuda, dan Tohir dengan inspirasi teka-teki silang untuk membantu sahabat mereka. Han, seorang anak lelaki Tionghoa yang hampir kehilangan mimpinya. Bagi anak-anak itu, memahami perbedaan dalam persoalan yang sederhana, sesederhana Cheng Cheng Po.
13 September 16:00 - 17:00
RUANG H102
Shalahuddin Siregar Dokumenter|20:00|2005 Tori, gadis 14 tahun yang terpisah dengan orangtuanya di kamp pengungsian di Betun, NTT karena harus tinggal di asrama di Wonosari untuk mendapat pendidikan yang lebih baik. Ini adalah perjalanan pertama Tori kembali ke pengungsian untuk menemui orangtuanya dan mengantarkan surat untuk teman-temannya.
Aku Sayang Markus Danial Rifki Fiksi|10’|2007 Markus terkena virus HIV sejak lahir. Teman serta sekolah menjauhinya. Hanya Ajeng teman kelasnya yang dapat menerimanya.
rabu, 6 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI MY SNEAKERS Michael Blum Dokumenter|37’30”|2001 Michael Blum membeli sebuah sepatu Nike di Paris pada tahun 1999. Dua tahun kemudian ia datang ke Indonesia untuk menelusuri asal sepatunya dibuat. Film ini merekam perjalanan dari pencarian tersebut.
NO CLEAR! 14:00 - 15:00
K. Ardi Dokumenter|16:50|LKiS|2007 Tentang sikap kritis dan keresahan masyarakat setempat yang daerahnya akan menjadi daerah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.
MATAAIRMATA Shalahuddin Siregar Dokumenter|15’|DuriDalamDaging|2008 Pada masa pemerintahan Suharto, hutan di wilayah gunung Merbabu ditebang lalu diganti dengan pinus. Sejak itu warga desa Genikan, yang tinggal bersebelahan dengan hutan kehilangan sumber mata air.
15:00 - 15:30
Rehat
RUANG H102
rabu, 6 agustus 2008 | GEDDUNG H FISIP-UI 15:30 - 17:00
9808
RUANG H102
(Sejumlah Film Pendek untuk Memperingati 10 tahun Reformasi) SEDANG APA SAYA SAAT ITU? ( 2008 ) Producer, Sutradara, Penulis: Anggun Priambodo Ada di mana diri Anda pada bulan Mei sepuluh tahun silam (1998)? Melalui “Sedang apa saya saat itu”, Anggun Priambodo menelusuri kisah sejumlah ‘orang biasa’ setelah satu dekade reformasi berlalu melalui foto-foto mereka saat sedang berada dalam beragam kegiatan saat itu.
SUGIHARTI HALIM ( 2008 ) Sutradara :Ariani Darmawan Apa artinya sebuah nama? Bagi Sugiharti Halim, ternyata nama berarti sejumlah pertanyaan panjang. Kadang kocak, kerap menjengkelkan, dan yang jelas penuh kontradiksi: Apa benar seseorang perlu nama ‘asli’? Apa betul nama bisa dijual? Apa iya identitas bisa disamarkan di balik sebuah nama? Sugiharti Halim menawarkan sebuah cara pandang yang jenaka, ‘nyelekit’, sekaligus kontekstual untuk ditilik lagi hari ini. *) Keppres nomor 127/U/Kep/12/1966 mewajibkan WNI etnis Cina untuk mengadopsi nama bernada Indonesia (contoh: Liem menjadi Halim, Lo/Loe/Liok menjadi Lukito dll).
TRIP TO THE WOUND ( 2007 ) Sutradara : Edwin Suatu malam, saat menaiki sebuah bus, Shilla berjumpa dengan Carlo. Shilla adalah seorang kolektor. Ia mengoleksi kisah-kisah di balik bekas luka. Carlo tak akan bisa melupakan perjalanan itu.
BERTEMU JEN ( 2008 ) Sutradara : Hafiz “Hidup telah memberikan banyak waktu, tapi gue tidak pernah memanfaatkan waktu itu untuk hidup gue.” Jen adalah orang biasa yang punya mimpi dan cita-cita. Tapi waktu telah banyak menggerus diri Jen. Banyak yang terlewatkan. Namun, apa yang sebenarnya dilakukan Jen dalam sepuluh tahun terakhir? Perubahan rezim tak banyak mengubah hidupnya. Peristiwa sepuluh tahun silam hanyalah kenang-kenangan visual seperti saat dia hadir di hadapan Jen. Kenangan itu hanya menjadi ‘film’ ingatan tentang sebuah peristiwa
HUAN CHEN GUANG ( 2008 ) Sutradara : Ifa Isfansyah Chen Guang adalah perempuan China berusia 21 tahun dan tinggal di Beijing. Ibunya yang orang Indonesia meninggal pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Lalu Chen Guang pergi ke Korea, tujuannya adalah ingin menutup kenangan buruk yang selalu ada di dirinya dengan sebuah kenangan yang indah.
A LETTER OF UNPROTECTED MEMORIES ( 2008 ) Sutradara : Lucky Kuswandi Lucky Kuswandi mengajak kita serta ke dalam sebuah perjalanan personal yang dialaminya ketika Imlek kini menjadi ‘tanggalan merah’. Perayaan hari istimewa itu senantiasa membawanya kembali ke masa kecilnya saat perayaan Imlek masih dilarang, dan beragam keunikan perayaan Imlek di kalangan terdekatnya, baik dulu maupun sekarang, serta pertanyaan besar yang terus diajukannya tiap kali Imlek tiba. *) Selama 33 tahun, perayaan Imlek dilarang di Indonesia berdasarkan Inpres No. 14/1967, yang baru dicabut melalui Keppres No.6/2000 di masa kepresidenan Gus Dur dan diperkuat dengan Keppres No. 19/2002 di masa kepresidenan Megawati yang meresmikan perayaan Imlek sebagai salah satu hari libur nasional.
KEMARIN ( 2008 ) Sutradara : Otty Widasari Masa muda, perkawinan kematian, kelahiran, tumbuh dan berproses serta ‘makan dan mencari makan’, merupakan siklus alamiah kehidupan di bumi. Jangka waktu sepuluh tahun ditarik dan dimasifkan menjadi satu bingkai sebuah autobiografi 27
YANG BELUM USAI ( 2008 ) Sutradara : Ucu Agustin Ibu Sumarsih adalah ibu dari Wawan, salah seorang mahasiswa yang menjadi korban Tragedi Semanggi 1. Sejak tewasnya Wawan, Ibu Sumarsih tak henti menuntut keadilan hingga kini. Ibu Sumarsih sudah bertekad untuk melanjutkan perjuangan putranya demi tegaknya supremasi hukum di negeri ini. Akankah ia berhenti?
rabu, 6 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI SEKOLAH KAMI, HIDUP KAMI ( 2008 ) 9808 (Sejumlah Film Pendek untuk Memperingati 10 tahun Reformasi)
15:30 - 17:00
Sutradara : Steven Pillar Setiabudi Pembuat film dokumenter Steven Pillar Setiabudi (Pilar) awalnya hendak menguji kadar kesadaran politik para subjeknya yang masih belia, murid-murid kelas tiga SMA yang akan segera menapak ke Perguruan Tinggi juga menjadi para pemilih di PEMILU 2009. Dalam perkembangannya, para murid kelas tiga di sebuah SMA di Solo ternyata tak hanya bermimpi di siang hari tanpa melakukan apa-apa untuk mewujudkan perubahan, mereka dengan cara yang matang dan sistimatis berhasil mengumpulkan sejumlah bukti praktik korupsi yang selama ini berlangsung di sekolah mereka. Dan inilah titik balik bagi para remaja itu dalam memahami di mana letakknya masa depan yang lebih baik bila bukan di tangan mereka sendiri.
RUANG H102
KUCING 9808, CATATAN SEORANG (MANTAN) DEMONSTRAN ( 2008 ) Sutradara : Wisnu Suryapratama Wisnu ‘Kucing’ Suryapratama dikenal sebagai salah satu aktivis KA KBUI (Kesatuan Aksi Keluarga Besar UI). Dia adalah koordinator acara Posko KA KBUI yang mengatur jalannya hampir semua aksi demonstrasi KBUI dari awal sampai akhir. April 2008 – Seorang Wisnu sekarang telah menjadi bapak, pekerja film freelance, suami dengan segala kesibukan pribadinya. Masih adakah sisi demonstran dalam dirinya?
kamis, 7 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI JUSTICE 14:00 - 15:00
Olivier Ballande Dokumenter|58’|1998 Apa itu keadilan? Film ini bercerita ironi dari sebuah sistem hukum yang menimpa anak-anak.
15:00 - 15:30
REHAT
15:30 - 17:00
SUNRISE JIVE
RONIN
LAYAR SASTRA FORUM LENTENG
Mahardika Yudha 7 menit |2005 Senam pagi di sebuah pabrik. Rutinitas yang membosankan namun harus dilakukan.
Dokumenter|13’|2003 Tukang sayur keliling yang merekam obrolan kesehraian para ibu yang belanja kepadanya.
PEMANDANGAN PIKNIK TEMBANG PAGI DIAWAL MEI Mahardika Yudha 12 Menit|2006-2007
Dokumenter|7’ 2003 Kereta Api Listrik Jabotabek, seperti apa bila dilihat dari atap?
BILAL
ANDANG DAN SARJO
Bagasworo Aryaningtyas 4 menit|2006 Ketika citraan seorang muadzin dipertanyakan.
Dokumenter|8’|2003 Kisah Andanf dengan seorang pemotong rambut keliling.
ANDY BERTANYA
DISKO PLASTIK
Dokumenter|14 menit|2003 Iklan liar di Jakarta, menyimpan banyak cerita.
Gelar Agryano Soemantri & Mirza Jaka Suryana Fiksi|24’|2008
RUANG H102
RUANG H102
selasa - kamis, 5-7 agustus 2008 | GEDUNG H FISIP-UI Program Pameran mengundang organisasi/ komunitas/kelompok yang bekerja dalam basis komunitas lokal, mengangkat isu-isu perkotaan dan pengembangan masyarakat, serta memajukan disiplin seni dalam bidangnya masing-masing
Peserta: Sanggar Anak AKAR (Jakarta) Serrum (organisasi pendidikan seni rupa, Jakarta) ruangrupa (organisasi seni rupa, Jakarta) Forum Lenteng (organisasi sosial-urban berbasis film-video, Jakarta) Sakit Kuning (komunitas seni performans, Jakarta) Akademi Samali (organisasi dan studio komik, Jakarta) Video Babes (kelompok video, Bandung) Media Legal (komunitas sosial-budaya pengembangan kreativitas anak) KOLAPS (Komunitas Komik Lapas Anak Tanggerang)
RUANG H102
ABSTRAK SEPUTAR KONPERENSI Panel REFORMASI POLITIK DAN PEMULIHAN KEDAULATAN RAKYAT PENGARUH IDEOLOGI NEOLIBERALISME DALAM MEMBENTUK WACANA DISKURSUS DEMOKRASI DI INDONESIA Airlangga Pribadi (FISIP Unair) eiring dengan proses transisi menuju demokrasi dibawah pengaturan rezime demokrasi liberal proseduralis dan ekonomi pasar bebas, arus utama kajian dan literatur akademik di Indonesia akhir-akhir memberikan penilaian dan analisis terhadap proses transisi demokratisasi di Indonesia dalam perspektif pengetahuan demokrasi-pasar bebas, terutama dalam bingkai penghampiran diskursif good governance maupun demokrasi transitologis (wacana yang menempatkan penguatan pelembagaan dan aturan main demokrasi sebagai fokus utama). Ditengah proses rekonstruksi tatanan ekonomi politik dalam bingkai demokrasi-pasar bebas tersebut, berbagai diskursus-diskursus alternatif yang menawarkan model-model demokrasi yang lebih berkarakter partisipatoris dan membuka ruang-ruang pelibatan warganegara yang lebih inklusif dalam proses-proses politik demokratik yang berlangsung menjadi diskursus subaltern (pinggiran) di Indonesia. Dengan melihat tampilnya pandangan demokrasi liberal proseduralis dan free market demokrasi sebagai wacana hegemonik dalam arus utama ruang publik intelektual di Indonesia setelah sepuluh tahun reformasi inilah, makalah ini ingin melihat pertautan pengetahuan demokrasi liberal proseduralis dan ekonomi pasar bebas, bukan saja sematamata sebagai perspektif pengetahuan utama di Indonesia namun lebih jauh dari itu ia telah bekerja secara spesifik sebagai sebuah mesin ideologi yang khas dengan menawarkan perspektif “demokrasi neoliberal” dengan gagasan yang terkait dengan kepentingan dan efek kuasanya tersendiri. Melalui pemebentukan klaim-klaim pengetahuan yang khas ideologi demokrasi neoliberal beroperasi dalam ruang publik intelektual di Indonesia dan tampil sebagai sebuah gagasan hegemonik dan berkontstasi dalam publik sebagai pengetahuan arus utama dalam bursa gagasan intelektual di Indonesia. Selanjutnya tulisan ini melalui penghampiran analisis critical Discourse analisys (CDA) dari Norman Fairclough (1999) dan analisis ideologis yang diutarakan oleh Manfred B. Steger (2003) akan menganalisis dilevel macro text : yaitu terkait dengan bagaimana proses difusi ideologi neoliberal dalam ruang publik intelektual Indonesia berlangsung, bagaimana gagasan ini menyebar dan di reproduksi oleh komunitas epistemik intelektual dan institusi-institusi pengetahuan di Indonesia dan bagaimana mereka berkontestasi dengan gagasan-gagasan alternatif demokrasi yang lain. Di level micro-text, makalah ini akan menganalisis bagaimana teks-teks ilmiah yang diproduksi oleh intelektual proponen demokrasi neo-liberal membangun klaim-klaim ideologis melakukan manipulasi dan konsensus integratif
S
29
untuk membentuk persetujuan (manufacturing consent) publik di Indonesia terhadap gagasan hegemonik tersebut. Melalui pembongkaran diskursus pengetahuan demokrasi neoliberal, tulisan ini kemudian akan berusaha memetakan jalan-jalan untuk membangun counter- discursus hegemonik guna menampilkan pengetahuan demokratik yang lebih partisipatoris dalam ruang publik intelektual di Indonesia, setelah terlebih dahulu membongkar paraktek ideologis hegemonik demokrasi neoliberal di Indonesia.
IDENTIFIKASI MASALAH DALAM REFORMASI POLITIK DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI PUSKAPOL UI eformasi politikyang telah bergulir selama sepuluh tahun telah menghadirkan aspek-aspek baru dalam sistem politik Indonesia yang berkaitan erat dengan proses pelembagaan demokrasi. Salah satu indikator pelembagaan demokrasi adalah pembuatan aturan-aturan yang mendasari berlangsungnya proses proses politik di negeri ini. Dalam kerangka itu, makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasikan beberapa masalah penting yang muncul khususnya dalam hal pelembagaan demokrasi. Paling tidak terdapat dua masalah yang akan diangkat dalam makalah ini yaitu perdebatan tentang sistem pemilu manakah yang paling tepat untuk kondisi transisi demokrasi di Indonesia serta masalah kemandirian partai politik dari nepotisme serta klik-klik politik dan bisnis. Hasil penelitian PUSKAPOL terhadap UU Pemilu dan Partai Politik pada masa Reformasi (sejak tahun 1999 hingga 2008) serta pengaplikasian kedua undang-undang ini oleh partai politik dan dalam pemilihan umum serta respon civil society mengindikasikan bahwa pelembagaan demokrasi yang telah dilakukan selama ini masih belum mampu memberikan solusi terhadap substansi demokrasi; bahkan dapat dikatakan pelembagaan tersebut justru menjadi bagian dari masalah yang lebih besar.
R
MENIMBANG SATU DEKADE DEMOKRATISASI DI INDONESIA PASCASOEHARTO Syamsuddin Haris mpat orang Presiden, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, berturutturut telah menggantikan Soeharto yang lengser pada 21 Mei 2008. Namun tuntutan reformasi bagi tegaknya pemerintahan yang adil, demokratis, serta bebas dari korupsi cenderung masih terhenti di persimpangan kepentingan para elite politik. Semangat memberantas korupsi saling berkejaran dengan temuan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di semua tingkat dan cabang pemerintahan, eksekutif, legislative, dan lembaga yudikatif. Meningkatnya jumlah partai seolah-olah berbanding lurus dengan membengkaknya tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Lalu apa yang salah pada Republik ini? Pertama, para elite partai-partai yang menjamur pasca-Soeharto tidak memiliki proposal yang genuine mengenai reformasi itu sendiri, termasuk bagaimana seharusnya bangsa ini ditata ulang dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan. Agenda reformasi pada dasarnya adalah milik para mahasiswa demonstran dan aktivis gerakan prodemokrasi. Kedua, tidak ada konsistensi dalam pelembagaan demokrasi konstitusioanal, sebagaimana tercermin dalam amandemen konstitusi dan perundang-undangan bidang politik. Di satu pihak ada obsesi memperkuat presidensialisme, tetapi di lain pihak sistem kepartaian, sistem pemilu, dan sistem perewakilan tidak didesain dalam kerangka yang sama. Ketiga, absennya kepemimpinan yang berkarakter sekaligus bertanggung jawab pada semua tingkat negara dan masyarakat, serta pusat dan daerah, sehingga pemilu hanya mewadahi pergantian kesempatan bagi para elite politik. Dan keempat, berbagai elemen civil society gagal mengkonsolidasikan sebagai alternatif bagi kekuatan political society. Lalu masih adakah harapan serta ruang bagi optimisme? Sebenarnya cukup banyak. Pertama, secara historis bangsa ini pernah melahirkan para pemimpin politik yang benar-benar memiliki komitmen untuk mengabdi, bukan sekadar “mengambil” seperti para politisi partai dewasa ini. Kedua, dalam situasi konflik komunal, konflik pilkada, bencana bertubi-tubi, dan korupsi yang tidak berkurang, harus diakui ada pertumbuhan ekonomi di atas enam persen pertahun. Ketiga, meskipun demokrasi yang dihasilkan Pemilu 1999 dan 2004 masih bersifat prosedural, beberapa studi menggarisbawahi bahwa institusionalisasi demokrasi di Indonesia masih lebih menjanjikan ketimbang misalnya Filipina dan Thailand. Keempat, konflik-konflik komunal seperti di Sambas, Kalteng, Maluku, dan Poso relatif tidak bersumber pada perbedaan pada pandangan politik atau ideologi tertentu. Dan kelima, kendati gagal mengkonsolidasikan diri, berbagai elemen civil society memiliki komitmen yang luar biasa bagi tegaknya demokrasi substansial yang terkonsolidasi.
E
KEDAULATAN RAKYAT VS KEKUATAN KAPITAL DALAM DINAMIKA REFORMASI POLITIK DAN AKSES TERHADAP LEMBAGA DEMOKRASI INDONESIA Arbi Sanit elama satu dekade reformasi, rakyat Indonesia hidup dalam kontroversi di antara SDA yang melimpah dan kehidupan sosial-ekonomi yang meprihatinkan. Salah kelola negara oleh otoritas yang berganti dengan mengabaikan kesinambungan, adalah pokok masalahnya. Akibatnya ialah Indonesia tergolong sebagai negara gagal. Salah kelola negara yang berkepanjangan itu merupakan produk dari kesenjangan cita-cita dengan realita dalam proses pembaharuan (reformasi) politik dan proses pelembagaan demokrasi sebagai konsekuensinya. Diduga bahwa kesenjangan idialisme dengan praktek politik dan demokrasi itu, disebabkan oleh dominasi kekuatan kapital atas kedaulatan rakyat. Kebenaran dugaan itu diuji melalui telaah keberlakuan konsep negara gagal di Indonesia dan pertarungan kekuatan kapital dengan kedaulatan rakyat dalam reformasi politik dan pelembagaan demokrasi serta di dalam penentuan design sistem politik dan pemerintahan Indonesia di dalam proses penyusunan RUU dan pembahasan serta pemutusan peraturan perundangan tentang Pemilu, partai poliyik, dan susduk. Pengamatan terhadap keseluruhan proses reformasi politik dan pelembagaan demokrasi beserta akses terhadapnya menunjukkan bahwa kegagalan rakyat Indonesia memperoleh manfaat dari SDA adalah karena sistem politik dan pemerintahan yang sedang didemokratisasikan didominasi oleh kaum elit dan penguasa yang pro dan atau berinisiatif bertindak atas dasar kepentingannya terhadap kapital. Apalagi, bila diingat bahwa sejak pemilu tahun 2004, bukan saja pemerintahan melainkan juga politik dan masyarakat semakin dikuasai oleh golongan pengusaha.
S
DEMOKRATISASI YANG GOYAH Willy Purna Samadhi (Deputi Direktur Demos - Lembaga Kajian HAM dan Demokrasi, Jakarta) etelah sepuluh tahun reformasi dan demokratisasi, bagaimana kondisi demokrasi saat ini? Survei Demos tahun 2007 memperlihatkan adanya perbaikan dalam berbagai peraturan dan regulasi yang diperlukan untuk mendorong demokrasi di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perangkat operasional pemerintahan. Instrumen-instrumen demokrasi yang berkait dengan hal itu, misalnya independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat dan adanya kapasitas untuk menghapuskan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan, kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law), serta kesetaraan di depan hukum, memperlihatkan perkembangan positif yang cukup signifikan. Lebih lanjut, kerangka kerja politik demokrasi juga telah cukup berfungsi dan diterima secara luas. Demokrasi diterima sebagai acuan utama (major game in town) dalam praktek politik. Yang lebih mengesankan, upaya-upaya otoritarian yang dijalankan selama Orde Baru tidak lantas berbalik menjadi aksi-aksi separatisme atau menimbulkan konflik-konflik agama dan etnis secara meluas. Sekarang ini kita justru bisa melihat berkembangnya komunitas politik lokal yang demokratis di seluruh daerah. Akan tetapi, gejala-gejala positif itu tidak serta-merta menandakan wajah demokrasi sudah sempurna. Data-data lain dari survei itu justru menimbulkan kekhawatiran. Pertama, hampir semua aspek kebebasan fundamental justru mengalami kemerosotan. Kedua, kualitas lembaga-lembaga dan proses representasi tak kunjung membaik. Ketiga, demokrasi belum cukup mampu menjamin pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Ada dua faktor yang menyebabkan situasi itu tercipta. Pertama, praktek politik didominasi dan dimonopoli oleh elit. Politisasi isu dan kepentingan, pengorganisasian dan mobilisasi politik masih berjalan satu arah dari atas dan sangat kuat dicirikan oleh klientelisme dan populisme. Kedua, kelompok-kelompok pro-demokrasi yang mulai mencoba menjadi kekuatan politik alternatif malah terjebak pada cara-cara jalan-pintas, misalnya melalui pilkada atau masuk partai politik, dengan meninggalkan basis masyarakat sipil. Cara ini menjadi tidak efektif untuk memperbaiki representasi. Setelah sepuluh tahun, demokrasi dibangun ”di atas pasir”, fondasinya rapuh.
S
KUASA MODAL, DEMOKRASI DAN REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN Sri Lestari Wahyuningroem apitalisme dan demokrasi, keduanya dipercaya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan perempuan. Beberapa studi memperlihatkan bahwa reformasi institusi ekonomi yang berbasis pada kepentingan pasar memiliki pengaruh positif yang lebih besar terhadap kesejahteraan perempuan daripada reformasi politik yang berimplikasi pada peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Benarkah demikian? Untuk konteks Indonesia, tesis demikian ternyata tidak terbukti. Kuasa modal dan pasar ternyata tidak membawa peningkatan kesejaheraan bagi perempuan, sebaliknya justru berakibat pada semakin tersubordinasinya perempuan sebagai warga negara kelas buntut. Namun reformasi politik yang berlangsung sepuluh tahun terakhir juga tidak secara signifikan membawa perubahan situasi bagi perempuan. Di tengah optimisme implementasi kuota 30% untuk perempuan, agaknya layak untuk melihat kondisi dan prospek peningkatan keterwakilan perempuan yang
K
31
berimplikasi lebih efektif pada peningkatan kesejahteraan perempuan dan masyarakat luas. Ini sekaligus juga untuk mencermati peran kuasa modal dalam upaya meningkatkan keterwakilan politik perempuan.
LANGSUNG DAN DEMOKRASI PERWAKILAN DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI NEGARA KELOMPOK BISNIS KELOMPOK KOMUNAL Yudi Fajar eningkatan proses demokratisasi di Indonesia pasca Soeharto dapat dilihat sebagai perlunya mengkaji ulang mengenai bentuk representasi populer dalam menghadapi Negara- Kelompok Bisnis- Kelompok Komunal. Usaha yang dilakukan dapat berfokus pada perlunya melakukan kombinasi antara nilai-nilai demokrasi yang mempromosikan kontrol populer (orang banyak) terhadap urusan publik yang berbasis pada kesamaan politik, dengan kebutuhan lokalitas yang mendasari pada kekuatan masyarakat sipil (ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik). Kombinasi yang dilakukan adalah kebutuhan aktor-aktor demokrasi untuk masuk ke dalam arena politik dan menemukan berbagai bentuk perannya sebagai mediator.
P
MEMBACA KEMUNGKINAN EXIT DARI ELEKTORAL DEMOCRAZY: PENGUATAN DEMOKRASI PARTISIPATIF MELALUI FORUM WARGA Bachtiar (KAS - PATTIRO) lectoral Democracy secara langsung dan tidak langsung merupakan mantra politik yang digunakan sebagai sebuah mekanisme penataan dan penguatan aras baru kehidupan demokrasi di Indonesia pasca Reformasi Politik 1998. Dalam kehidupan politik kenegaraan, electoral demokrasi mengalami internalisasi secara massif tidak hanya dengan merebaknya argument secara akademik namun juga dikarenakan kuatnya dukungan secara finansial lembaga donor (funding) serta kuatnya memory attachment dari kelompok-kelompok masyarakat sipil (NGOs, kelompok-kelompok sosial dan agama). Seperti halnya ideology pembangunanisme (developmentalisme), electoral democracy seakan tumbuh sebagai sebuah berhala yang dipandang dapat menyelesaikan semua persoalan yang timbul. Namun demikian, internalisasi electoral democracy yang tercermin berbagai perangkat tata aturan perundang-undangan ( Undang-Undang Pemilu , Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemda, dll) secara substansial gagal untuk mencapai tujuan dasarnya yaitu memberdayakan (empowering) warga Negara (citizen) sebagai pemilih (voters) dan pemberi mandat kedaulatan (mandate delivery). Secara general, penjelasan yang muncul seringkali merujuk pada fenomena ‘pembajakan oleh elite politik’ seperti hasil penelitian yang dilansir oleh Lembaga Demos. Electoral democracy telah menjadi alat bagi kelompok oportunis untuk menaiki tangga mobilisasi politik serta mekanisme bertahan bagi elite politik lawas. Pada titik ini, demokrasi partisipatif (participatory democracy) muncul sebagai gagasan alternative dalam kerangka mengembalikan makna substansi demokrasi bagi warga Negara. Menilik dari segi landansan epistimologis, demokrasi partisipatif tidak hanya dipandang mampu memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam electoral democracy sebagai wujud dari demokrasi formal, namun juga secara kultural maupun institutional lebih bersifat responsif terhadap muatan tradisi lokal (local content). Hingga tahapan tertentu, identitas-identitas sosio-kultural masyarakat yang mengimplikasikan munculnya kebutuhan-kebutuhan sosio-budaya yan berbeda dapat mendapatkan tempat yang sewajarnya tidak hanya sebatas pembelahan garis ideologi primordialisme dalam partai-partai politik. Pada sisi yang lain, secara gradasi, keberadaan demokrasi partisipatif mengandaikan keberadaan pendekatan yang bersifat bottom-up (dari bawah ke atas) sebagai counter-agenda dari electoral democracy yang memiliki kecenderungan top-down (dari atas ke bawah). Dengan demikian keharusan adanya kelompok-kelompok komunitas masyarakat yang kuat (strong communities groups) merupakan sebuah keniscayaan sebagai sebuah prasyarat agar demokrasi partisipatif dapat berjalan secara kontinyu. Dengan demikian ia secara langsung berfungsi sebagai sarana agregrasi dan artikulasi kepentingan publik alih-alih masyarakat menyerahkan kepada partai-partai politik yang secara empiris terbukti gagal dalam menjalankan fungsi politiknya tersebut. Makalah ini merupakan sebuah refleksi terhadap keberadaan dan kinerja electoral democracy pasca reformasi 1998 dengan membuka kemungkinan munculnya gagasan demokrasi partisipatif sebagai alternative gagasan yang mungkin. Secara empirik, makalah ini akan mencoba memaparkan kerja-kerja yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok forum warga (citizen forum) dalam mengorganisir komunitas, mengartikulasikan berbagai kepentingan warga serta melakukan tekanan-tekanan terhadap berbagai pihak terkait dengan tujuan memperoleh respon terhadap issue tertentu atau kebutuhan-kebutuhan spesifik komunitas tersebut. Data-data yang tersaji dalam makalah ini merupakan hasil pengamatan terhadap eksistensi dan kinerja berbagai forum warga dalam konteks lokal di beberapa kabupaten/ kota di Pulau Jawa. Dengan demikian, diharapkan dapat diperoleh lesson learn mengenai variasi pengorganisasian komunitas lokal dalam kerangka memberikan makna bagi demokrasi partipatoris.
E
Panel DEMOKRASI DARI BAWAH HUKUM ADAT UNTUK KEDAULATAN RAKYAT: PENGALAMAN MASYARAKAT HONITETUNUDUA SIWA, MALUKU. FBB Prakakarsa Rakyat - Simpul Maluku roses yang dialami oleh masyarakat adat Honitetu – Nudua Siwa terhadap masalah dan mekanisme penyelesaian yang mereka lakukan, dapat memberikan pembelajaran bahwa sebenarnya hukum adat suatu komunitas itu masih efektif dan memiliki kekuatan untuk dipergunakan guna menyelesaikan berbagai persoalan dilingkungan masyarakat adat. Apa yang dilakukan oleh masyarakat adat Honitetu – Nudua Siwa adalah contoh kongkrit bagaimana sebuah hukum adat dapat dilaksanakan. Di Honitetu diperlihatkan bahwa masyarakat dapat menjadi alat perlawanan untuk pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT. Djayanti Group dengan perlindungan dari birokrasi dan TNI dari kesatuan Yonif 731 Kabaresi. Masyarakat Honitetu menggunakan konsepsi, nilai-nilai dan organisasi adat sebagai wadah bersama untuk menghadapi ‘musuh bersama’ dan mengembalikan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, ekonomi dan politik. Untuk memperkuat pengorganisiran dan pemberdayaan rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya masyarakat berkumpul untuk membuat semacam analisa sosial atas problem yang dihadapi serta memperkuat kapasitas serta menemukan orang lokal yang potensial menjadi inisiator dan organisatoris. Setelah itu dilakukan diskusi terorganisir yang melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, perempuan, pemuda, anak serta berbagai komponen lainnya. Hasil siskusi menyimpulkan bahwa solusi atas probelem mereka ditemukan dalam tradisi masyarakat Honitetu dengan jalan. “Mengembalikan lagi sistem pemerintahan Desa Honitetu – Nudua Siwa ke sistem pemerintah adat”. Setelah itu diadakan semacam lokakarya (demokrasi langsung) pada tingkat Desa Honitetu dengan mengundang berbagai tokoh adat (anggota Saniri yang pernah ada, Kepala Soa, kepala tuan tanah), tokoh masyarakat, tokoh agama, perempuan, pemuda, anak dan seluruh perwakilan masyarakat untuk membahas persoalan secara detail. Dari hasil lokakarya rakyat inilah kemudian disimpulkan jalan keluar dan sikap rakyat atas soal yang sedang dihadapi dengan kesepakatan sbb: (1)Pengembalian Sistem, Norma dan Pranata Adat di Wilayah Adat Nudua Siwa, (2)Penebangan pada areal hutan Honitetu segera dihentikan dan tidak ada lagi pengurusan ijin baru untuk hal yang sama sebelum poin satu terealisasi, (3)Pembentukan tim kerja yang mewakili setiap kampung dalam desa Honitetu – Nudua Siwa dan dibagi dalam lima kelompok
P
HUKUM ADAT UNTUK KEDAULATAN RAKYAT: “THE REPUBLIK OF TENGANAN” FBB Prakakarsa Rakyat - Simpul Bali enganan adalah sebuah wilayah dengan luas 917,2 hektar yang secara administratif merupakan bagian dari Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Wilayah ini menjadi unik sebab sebuah ‘otonomi politik’ telah diberlakukan oleh kawasan ini selama ratusan tahun. Otonomi politik ini telah memberikan kekuasaan kepada ‘rakyat Tenganan’ untuk menguasai dan mengontrol sumber daya alam (alat poduksi) dan sistem politik egaliter. Otonomi ini menyebabkan tenganan mirip sebagai sebuah ‘negara kecil’ yang terus berdiri tanpa dirusak oleh dominasi adminsitrasi pemerintahan dan politik di luar wilayah Tenganan. Karena itu oleh seorang peneliti Korn (1930) memberi judul “The Republic of Tenganan” untuk hasil penelitiannya tentang Tenganan. Di Tenganan ini pembagian sosial berdasarkan kasta tidak berlaku. Di Tenganan hak antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Pusat kekuasaan politik yang mengatur kehidupan rakyat Tenganan bukanlah diatur oleh pemerintahan administratif resmi, tapi melalui mekanisme demokrasi partisipatoris yang disebut dengan Keliang desa. Dalam forum Keliang desa seluruh laki-laki diwajibkan berkumpul setiap malam di Bale Agung untuk membicarakan segala hal yang terjadi. Ketika ada salah satu laki-laki anggota keliang desa tidak bisa hadir, kehadirannya bisa diwakili oleh istrinya. Ketika ‘diskusi’ dilakukan, kesempatan pertama diberikan kepada luanan, kemudian bahan roras tebenan dilanjutkan oleh pengluduan. Semua pendapat akan ditampung, dibicarakan lagi dan diputuskan oleh keliang desa. Jika mereka belum bisa mengambil keputusan, sangkep akan diulang dengan mengundang keliang gumi. Jika keliang desa belum juga bisa memutuskan, maka pengambilan keputusan dilakukan melalui suara terbanyak. Sangkep ini harus dihadiri oleh pasangan suami istri yang kesemuanya mempunyai hak yang sama untuk menyatakan pendapatnya.Sistem pemerintahan ini bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokrasi.
T
GERAKAN RAKYAT MEMASUKI GELANGGANG POLITIK ELEKTORAL, PENGALAMAN BENGKULU FBB Prakakarsa Rakyat - Simpul Bengkulu. alam tulisan ini dapat ditemui bagaimana ‘cara rakyat’ merespon momentum politik lokal, baik pemilihan anggota DPD maupun Pemilihan Kepala Daerah langsung dengan caranya sendiri untuk menghadapi berbagai kekuatan politik utama, elit politik dan praktek politik kelas menengah dalam konteks Bengkulu.
D
33
Tulisan ini menunjukan bagaimana kelihaian rakyat memainkan peran politisi dalam Pilkada 2005 di Bengkulu. Peran ini dimainkan untuk memanfaatkan momentum Pilkada sebagai ajang “balas dendam” dan perlawanan diamdiam. rakyat mendayagunakan hak pilihnya sebagai kekuatan tawar dengan para politisi. Secara implisit, rakyat telah mengubah penampakannya sebagai politisi, yang mampu melakukan tekanan dan tawar menawar dengan rival politiknya. Pengalaman dalam beberapa kali Pemilu telah mendidik rakyat menjadi “peserta” pendidikan politik, bukan pendidikan pemilih. Rakyat tidak bisa lagi dibeli dengan janji, atau semacam kontrak politik di atas kertas. Rakyat ingin mendapat keuntungan langsung dan dapat dirasakan secara bersama dalam Pilkada 2005. Dengan kasus Bengkulu ini anggapan-anggapan bahwa rakyat tidak sadar politik patut dipertanyakan, karena bisa jadi ‘cara berpolitik’ rakyat jauh lebih canggih dan ampuh dari gaya politik formal kelas menengah. PEMBERYAAN EKONOMI MASYARAKAT DAN POLITIK ELEKTORAL, PENGALAMAN KALIMANTAN BARAT FBB Prakakarsa Rakyat - Simpul Kalimantan Barat erakan pemberdayaan ekonomi kerakyatan melalui CU kini semakin besar. Gerakan pembebasan diri dari jeratan kemiskinan ini merupakan program bersama masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan. Melalui CU masyarakat miskin mendapat akses pinjaman modal bagi usahanya. Kalimantan Barat sebagai wilayah pelopor CU di Indonesia kini telah memfasilitasi puluhan CU di Kalbar maupun di luar Kalbar. Bagi masyarakat CU merupakan lembaga yang terbuka, transparan dan mudah dicapai dari pada bank. Keanggotaan CU yang heterogen dan universal turut berperan dalam upaya rekonsiliasi dan komunikasi antar suku, agama dan bahasa serta adat-istiadat yang berbeda. Dalam proses politik, CU telah mampu menghantarkan dua orang akvtivis Pancur Kasih menjadi anggota DPDRI, sementara dua anggota lainnya Masiun dan AR Mecer gagal dalam proses politik ini. Dari evaluasi kegagalan disimpulkan bahwa CU tidak cocok sebagai sebagai kendaraan politik bagi anggotanya. Karena itu direkomendasikan bahwa untuk perjuangan politik harus menggunakan wadah politik yang terpisah. Dalam konteks ini alat politik SegeraK akan lebih diberdayakan, lebih terbuka dan dapat dimiliki oleh siapa saja sebagai wadah sharing politik dan wadah bagi kepentingan politik para aktivis.
G
PAGAR REKONTRAK SEBAGAI WADAH DAN SIMBOL PERLAWANAN KORBAN LUMPUR LAPINDO GM.Sukamto, Dn (Sejarah FS Universitas Negeri Malang) Peristiwa semburan Lumpur Panas Lapindo di Porong Sidoarjo merupakan bencana yang luar biasa walau pada awalnya ditangani secara biasa-biasa. Bukan bencana nasional namun realitasnya menjadi bencana negara yang mesti menyedot APBN. Peristiwa itu muncul tepat pada tanggal 29 Mei 2006 dini hari yang dipicu oleh eksplorasi. Perdebatan panjang telah berlangsung antara mereka yang berpendapat bahwa semburan Lumpur Panas Lapindo adalah Mud Volcano dan mereka yang mengatakan bahwa Semburan Lumpur Panas itu adalah human error sebagai akibat dari pengeboran Migas Panjar Panji 1 yang berlokasi di desa Renokenongo, kecamatan Porong. Puluhan ribu manusia menjadi korban, berhektar-hektar lahan pertanian tenggelam, berpuluh-puluh pabrik terendam, beratusratus rumah hancur, ribuan orang kehilangan pekerjaan. Di antara para korban kini masih ada yang tinggal di pengungsiaan Pasar Porong baru sebagai pilihan yang terpaksa. Jumlah mereka sekitar 670 kepala keluarga dan kurang lebih 2400 jiwa. Semburan lumpur panas menerjang dan menghancurkan intalasi listrik, aliran tilpun, pipa-pipa air minum dan meledakkan pipa saluran gas milik Pertamina. Korban semburat menyebar ke berbagai pelosok Sidoarjo dan sekitarnya. Mereka mendirikan paguyuban yang bernama Pagar Rekontrak. Pagar dapat diartikan sebagai pengaman dan perlindungan sedangkan Rekontrak berasal dari pertama Re kependekan dari nama desa Renokenongo yang menjadi korban dan kedua berarti mengembalikan uang kontrak. Dengan demikian Rekontrak berarti Renokenongo menolak kontrak sekaligus juga sebagai pengembalian kontrak. Kontrak memang tidak tertuang di dalam Perpres 14/2007, yang salah satunya berisi tentang Badan Pelaksana BPLS namun kontrak merupakan satu paket dengan ketentuan ganti rugi yang kemudian dirubah menjadi jual beli tanah dan bangunan rumah yang tenggelam oleh lumpur panas. Melalui paguyuban “Pagar Rekontrak” inilah para korban berjuang untuk menuntut hak-hak mereka dan melakukan pembangkangan dan perlawanan baik kepada pihak Lapindo maupun pada pihak pemerintah. Paguyuban menuntut ganti rugi imateriil berupa tanah seluas 30 hektar. Tatkala para korban tidak mau menerima uang kontrak ini pula mereka diminta un tuk meninggalkan Pasar Baru Porong, namun mereka tidak mau dan bahkan menyiapkan bambu runcing guna mempertahankan diri sekaligus sebagai simbol perjuangan. Terakhir para korbn tetap tidak mau menerima kontrak dan rencana tanggal 1 Mei 2008 jatah makan dihentikan, mereka juga berencana tetap tinggal di pengungsian.
MOU 1974 INDONESIAAUSTRALIA: WARISAN OTORITARIANISME INDONESIA DI LAUT TIMOR YANG MERUGIKAN ORANG TIMOR DAN ORANG ROTE DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Y.L. Henuk, M.A. Noach, F. Tanoni, S.H. Ardani, Alemina dan A.N.P. Lango (Kelompok Pencari Keadilan bagi Orang Timor dan Orang Rote di Laut Timor) aut Timor yang berbatasan langsung dengan Australia memiliki dua masalah pokok yang sangat merugikan Orang Timor dan Orang Rote di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu: (1) Celah Timor (Timor Gap) dan (2) Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef ) dengan “MoU Box”. Kedua masalah ini timbul sebagai akibat adanya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme Indonesia (Orde Baru) dengan Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974. Lahirnya MoU ini memperkuat Australia mengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu jauh memasuki bibir pantai Pulau Timor sehingga menyebabkan 70% kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia. Akibatnya, merugikan semua Orang Timor dan Orang Rote yang mendiami enam kabupaten di Provinsi NTT yang berbatasan langsung dengan Laut Timor, yaitu: (1) Kupang, (2) Kota Kupang, (3) Timor Tengah Selatan, (4) Timor Tengah Utara, (5) Belu, dan (6) Rote Ndao. Kini masalah Celah Timor sudah menjadi milik Timor Leste setelah lepas dari Indonesia tahun 1999 dan Pemerintah Indonesia telah mengakui batas laut antara Indonesia dan Australia sudah selesai sejak ditandatanganinya Perjanjian Timor Gap yang dibuat oleh Indonesia dan Australia pada tanggal 11 Desember 1989. Namun perjanjian ini belum sah karena belum diratifikasi sehingga tidak menutup kemungkinan dilakukan perundingan ulang batas negara di Laut Timor mengingat kini sudah ada tiga negara kawasan ini. Akibatnya, garis batas Laut Timor tidak adil yang lebih menguntungkan Australia masih bisa diperjuangkan oleh Indonesia menggunakan Garis Tengah (Median Line) sesuai ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil mengingat Timor Leste yang baru ‘merdeka kemarin’ telah menggunakannya dengan Australia, sedang Indonesia telah lama merdeka tidak menggunakannya dengan Australia. Terkait masalah Gugusan Pulau Pasir, nelayan Indonesia Timur terutama dari Pulau Rote lebih banyak diberitakan menderita dan dirugikan sebagai akibat adanya MoU ini. Kebun (garden) tempat mereka mencari nafkah di halaman belakang rumah (backyard) mereka di Pulau Pasir yang sudah lama mereka lakukan turun-temurun sejak ratusan tahun silam telah hilang. Bahkan mereka dicap telah melakukan “illegal fishing” di Laut Timor setelah MoU 1974 ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dan “MoU Box” berlaku efektif tanggal 1 Pebruari 1975. Banyak nelayan asal Pulau Rote gugur di Laut Timor sebagai akibat adanya MoU 1974 melarang mereka menggunakan alat penangkapan ikan modern, tetapi harus tetap menggunakan alat penangkapan ikan tradisional di era serba modern ini. Konsekuensinya ada desa di Rote Timur yang dijuluki “Desa Janda” karena kebanyakaan laki-lakinya gugur di Laut Timor. Sejak tahun 1974 sampai sekarang, banyak nelayan miskin dari Indonesia Timur asal “Kabupaten Busung Lapar” (Rote Ndao) selalu ditangkap, dipukul, perahu mereka diseret ke dalam wilayah perairan Australia lalu ditangkap. Kemudian kapal mereka dimusnahkan, lalu mereka diadili dan dihukum di Australia. Namun para nelayan ini tidak akan pernah berhenti pergi ke sana karena Pulau Pasir sudah merupakan kebun tempat mereka mencari nafkah turun-temuurn yang terletak persis di halaman belakang rumah mereka yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka dengan jarak Pulau Pasir dari Pulau Rote hanya sekitar 140 km (± 60 mil), sedang jarak Pulau Pasir dari daratan Australia cukup jauh sekitar 300 km (± 300 mil). Selain itu, tidak ada tembok pembatas di Laut Timor yang berdiri kokoh seperti tembok pembatas antara Jerman Timur dan Jerman Barat yang sudah runtuh pada tanggal 10 November 1989 sehingga banyak nelayan Rote seringkali ditangkap karena perahu mereka tidak dibolehkan menggunakan alat pelayaran modern yang memudahkan mereka mengetahui posisi mereka mencari nafkah di Laut Timor. Oleh karena itu, “MoU Box” yang dibuat untuk nelayan Indonesia dengan hanya membolehkan mereka menggunakan alat tradisional selama melaut di Laut Timor harus ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan umum yang berlaku dalam dunia pelayaran sekarang ini yang sudah serba modern. Deklarasi PBB tentang Hak Penduduk Asli (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People) yang telah berlaku sejak 13 September 2007 yang telah berlaku pada penduduk asli Australia seharusnya diberlakukan juga bagi nelayan tradisional Rote yang telah lama mencari nafkah tidak untuk tujuan komersial tetapi semata-mata untuk menghidupi keluarga mereka (subsisten) di Laut Timor Gugusan Pulau Pasir. Tulisan ini akan membahas (1) Celah Timor (Timor Gap) dan (2) Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef ) dengan “MoU Box” dari MoU 1974 yang telah banyak merugikan semua warga negara Indonesia yang mendiami enam kabupaten di daratan Timor Barat dan Rote Ndao dalam wilayah Provinsi NTT yang berbatasan langsung dengan Laut Timor.
L
35
Panel TIRANI MODAL DAN KETATANEGARAAN KONSTITUSIONALITAS PENGUASAAN NEGARA ATAS SUMBERDAYA ALAM: TINJAUAN TERHADAP BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Yance Arizona alah satu ciri pokok UUD 1945, disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution). Hal ini karena UUD 1945 secara tegas mengatur corak sistem perekonomian negara yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Perubahan rezim dari otoritarianisme menuju pemerintahan demokratis sejak tahun 1998 yang berlandaskan The Rule of Law berimplikasi pada perubahan corak konstitusi ekonomi Indonesia. Paket empat kali amandemen UUD 1945 menambahkan dua ayat di dalam Pasal 33 UUD sehingga menambahkan nilai-nilai dasar dimana konstitusi dipengaruhi dan mempengaruhi. Pada masa transisi, beberapa UU di bidang sumberdaya alam diperbarui, diantaranya UU Kehutanan (UU No. 41/1999 jo UU No. 19/2004), UU Ketenagalistirkan (UU No. 20/2002), UU Migas (UU No. 22/2001), UU Sumberdaya Air (UU No. 7/2004), UU Perkebunan (UU No. 18/2004) dan UU Penanaman Modal (UU No. 25/2007). Berbagai UU yang berkaitan dengan penguasaan negara atas sumberdaya alam yang lahir pada masa transisi Indonesia segaris dengan cita-cita neoliberalisme yang tercantum dalam Washington Consensus. Beberapa nilai dari neoliberalisme yang ditularkan itu antara lain: privatisasi, deregulasi, hak kepemilikan dan komersialisasi sumberdaya alam yang memungkinkannya secara leluasa dipertukarkan dalam mekanisme pasar bebas. Kelahiran MK sebagai salah satu hasil reformasi ketatanegaraan telah memungkinkan pengujian suatu UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dan HAM. MK kemudian diharapkan sebagai filter konstitusional menghadapi penetrasi neoliberalisme yang menyusupi pembaharuan hukum sumberdaya alam. Dalam lima tahun berdirinya MK, setidaknya sudah ada 5 (lima) UU yang berkaitan dengan penguasaan negara atas sumberdaya alam yang diuji kepada MK. Namun, MK menghadirkan simtom dalam beberapa putusannya. Tulisan ini memetakan penafsiran-penafsiran MK dalam pertimbangan hukum putusannya dengan menggunakan metode-metode penafsiran hukum yang berkembang dalam ilmu hukum serta melihat penafsiran MK tersebut dalam pendekatan teori pilihan rasional yang berkembang dalam studi ekonomi politik. Untuk itu, tulisan ini menggunakan pendekatan antardisiplin (interdiciplinary approach) Tulisan ini menunjukkan bahwa konstitusionalitas bukanlah ide yang tunggal. Pluralisasi nilai-nilai di dalam konstitusi menimbulkan pilihan-pilihan konstitusionalitas dalam tafsir MK. Dalam konstelasi seperti ini, putusan MK bukanlah putusan hukum yang murni, melainkan putusan-putusan politis (das politische) yang dipengaruhi dan mempengaruhi konteks.
S
KETATANEGARAAN INDONESIA: GOOD GOVERNANCE ATAU GOOD FOR GOVERNING NEOLIBERAL PERFORMANCE R. Herlambang Perdana Wiratraman (Dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya) engan mudah kita menyaksikan atau mendengar dari dekat pembahasaan rapi ‘good governance’, tetapi dengan sangat gampang pula di sekitar kita terlihat centang perenang terjadi korupsi sistematik, legalisasi suap antar lembaga kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan imperial lainnya. Sepertinya, beda tipis antara apa yang disebut dengan ’good’ (baik) dengan ’bad’ (buruk) atau ‘poor’ (miskin) dalam tata kelola pemerintahan, karena keduanya berjalan seiring bak lintasan rel kereta yang didisain kuat menancap dengan ‘bantalan’ teori dan mistifikasi kekuasaan, yang keluar masuk stasiun mengangkut (baca: memperdagangkan) penumpang sebanyak-banyaknya. Persis seperti ‘good governance’ yang diinjeksikan dari negara satu ke negara lain yang menebarkan pengaruh tentang kebenaran absolut pengelolaan urusan negara (ketatanegaraan). Uniknya, tak lama berselang, pengkarakteran ‘good’ (dan ‘bad’-nya) kian beranak-pinak dalam sejumlah pendisiplinan lainnya yang membuat teori-teori yang menopang di bawahnya sangatlah absurd, latah dan menggelikan karena telah jauh meninggalkan substansi serta paradigma ketatanegaraan. Lihat saja, ‘good sustainable development governance’ (Partnership Initiatives 2002), ‘good financial governance’ (Soekarwo 2005), ‘good environmental governance’ (Wijoyo 2005: 44), ‘good coastal governance’, dan lain sebagainya. Ramainya bursa pembahasaan ‘good’ dalam ketatanegaraan Indonesia, terjadi sebagai konsekuensi tekanan kuat liberalisasi ekonomi yang mensyaratkan politik ketatapemerintahan yang ramah terhadapnya. Dalam konteks demikianlah, analisis atas bagaimana hukum dan kebijakan yang menfasilitasi proses-proses percepatan transplantasi ide good governance dilakukan, khususnya untuk memproposisi alternatif pilihan di tengah dominasi neoliberalisme dalam diskursus ketatanegaraan.
D
DEVOLUSI DAN DAULAT PASAR: NEO LIBERALISME DALAM REPRODUKSI WACANA DAN INSTITUTIONALISASI OTONOMI DAERAH DI INDONESIA Hasrul Hanif ebijakan desentralisasi politik (devolusi), yang diimplementasikan sejak awal tahun 2000 seiring dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi oleh UU No. 32 tahun 2004, dianggap menjadi sebagai salah satu jalan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia oleh para penganjurnya. Devolusi politik diyakini akan mendorong proses politik yang demokratis karena semakin mendekatkan berbagai proses kebijakan yang ada sesuai dengan prefensi dan kepentingan warga. Idealnya, berbagai output dan outcome kebijakan yang muncul kemudian akan sesuai dengan public goods. Yang menarik, proses institusionalisasi desentralisasi di Indonesia juga didorong oleh lembaga-lembaga donor-donor internasional yang selama ini dikenal kuat mempromosikan ideologi Kanan, seperti Bank Dunia, UNDP, dsb. Secara global, lembaga-lembaga donor tersebut sangat kuat mendorong diskursus dan institusionalisasi ide-ide desentralisasi dan good governance di berbagai negara sejak 1990-an meskipun sebenarnya ide desentralisasi itu sendiri sudah mengemuka sejak awal tahun 1980-an seiring dengan kegagalan beberapa rejim developmentalis yang sentralistik dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan publik. Setidaknya ada beberapa alasan normatif kuat dibalik menguatnya dukungan lembaga-lembaga donor tersebut terhadap institusionalisasi desentralisasi dan good governance tersebut: (1) economics of size. Para penyanjung mekanisme pasar meyakini desentralisasi sebagai salah satu jalan untuk memastikan mekanisme pasar dan proses akumulasi kapital berjalan secara optimal. Desentralisasi lebih merupakan mekanisme untuk menata ulang ‘arena’ pasar sehingga mekanisme pasar sempuran bisa berjalan. Tentu saja di lebih dikedepankan dibandingkan menata ‘arena’ bagi optimalisasi proses dan mekanisme demokrasi agar berjalan optimal. Contohnya hampir seluruh laporanlaporan lembaga donor internasional atau lembaga-lembaga pendukung kalangan pebisnis seperti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), SMERU Institute, INDOPOV selalu menempatkan desentralisasi dalam konteks seberapa jauh gagasan tersebut mampu menciptkan iklim yang kondusif bagi investasi dan mekanisme pasar (2) Pluralitas aktor. Demokrasi dalam nalar Kanan identik dengan perayaan pluralitas aktor yang diharapkan bisa mematuhi mekanisme demokrasi sebagai ‘the only one games in town’. Desentralisasi merupakan salah satu mekanisme untuk memendarkan kekuasaan secara wilayah yang pada akhirnya berujung pada penciptaan aktor politik yang semakin plural. Pertanyaan mendasar adalah apa implikasi dari nalar Kanan tersebut terhadap proses institusionalisasi desentralisasi di Indonesia dalam kenyataan? Mungkinkah dengan nalar tersebut desentralisasi mampu memberikan harapan baru bagi penguatan peran demos (rakyat) dalam setiap proses-proses politik yang ada di aras lokal?
K
Panel HUKUM DAN EKONOMI KONDISIONALITAS BANTUAN DAN PRODUK LEGISLASI Wahyu Susilo alam sejarah perjalanan Republik Indonesia, kaitan antara pengaruh eksternal dan produksi legislasi sudah berlangsung sejak negara ini sedang dalam tahap konsolidasi menjadi negara modern. Pada awalnya merupakan bagian dari proses diplomasi dalam tata pergaulan internasional. Namun dalam perkembangannya, pengaruh eksternal untuk produksi legislasi di Indonesia berlangsung dalam posisi yang tidak setara. Sejak kuasa modal internasional menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan ekonomi Indonesia, produksi legislasi tidak lagi merupakan legalisasi aspirasi dan kehendak rakyat namun telah menjadi instrumen pelumas beroperasinya modal internasional. Memeriksa “kerjasama pembangunan” Indonesia dengan lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara donor, ditemukan instrumen yang efektif yang mampu memaksa Indonesia menyediakan produk-produk legislasi sesuai keinginan mereka. Instrumen tersebut adalah “aid conditionality”.
D
PanelPERLAWANAN LOKAL PEREMPUAN DALAM KRISIS EKONOMI PEREMPUAN DI GARIS MERAH: SEBUAH CATATAN TENTANG KONFLIK PERKEBUNAN DAN AGRARIA DI EKS KARESIDENAN BESUKI Eri Andriani (Petani Mahardika) ejarah perkebunan di eks Karesidenan Besuki, Jawa Timur bagian Timur (seringkali dijuluki “Tapal Kuda”) bermula dari pembukaan perkebunan tembakau di Jember pada 1859. Pemerintahan Hindia Belanda melarang rakyat setempat untuk membuka dan mengelola pertanian di tanahnya sendiri, atas dalih tanah tersebut milik Kerajaan Belanda. Sebaliknya, warga Eropa baik perorangan maupun perusahaan, diperkenankan mengelola tanah
S
37
di situ untuk usaha perkebunan. Ketika Jepang menguasai Indonesia, rakyat setempat dipaksa membabat hutan untuk memperluas perkebunan milik pengusaha Belanda, dan di sekitarnya dibuatkan pemukiman bagi mereka yang dipekerjakan. Di dalam areal pemukinan itu tersisa tanah kosong yang dapat digunakan buruh tersebut untuk bercocok tanam. Sepanjang 1945-1949 beberapa perkebunan diambil alih oleh buruh perkebunan, terutama perkebunan yang terlantar dan yang pembabatannya pernah dilakukan oleh rakyat setempat. Setelah Gestok pada Oktober 1965, tanah telah mereka miliki dan kelola itu direbut oleh pejabat/pemerintah Orde Baru atas dalih petani tidak memiliki dasar hukum pengelolaan. Bagi petani yang melawan selalu dituduh sebagai PKI, yang tentu saja membuat petani itu takut. Sebab, mereka masih menyimpan kengerian adanya pembantaian terhadap pengurus, anggota bahkan simpatisan PKI di wilayahnya itu. Beralihnya kepemilikan tanah perkebunan ke pejabat/pemerintah Orde Baru menyebabkan petani kehilangan alat produksinya, dan akhirnya mereka menjadi buruh di perkebunan itu atau buruh di perkotaan. Pada era Reformasi, tumbuh keberanian mereka untuk mengambil kembali tanah yang dirampas pejabat/pemerintah Orde Baru. Tetapi, lagi-lagi, mereka ditumpas oleh aparat militer, dan aktivis-aktivis buruh perkebunan/petani itu ditangkap atas tuduhan bertindak kriminal. Aktivis buruh perkebunan di Kecamatan Curah Nongko, Kabupaten Jember; di Kecamatan Cepoko, Kabupaten Lumajang, dan di Kecamatan Malangsari, Kabupaten Banyuwangi, pada akhirnya diseret ke pengadilan dan berhadapan dengan pemilik perkebunan. Bahkan penangkapan aktivis organisasi buruh perkebunan dan petani masih berlangsung hingga saat ini, dari Malang Selatan sampai dengan Banyuwangi. Kebijakan nasional untuk pembaharuan Agraria, ternyata memperparah timbulnya konflik agraria di eks Karesidenan Besuki tersebut. Pihak perkebunan kemudian berkolaborasi dengan penguasa politik lokal melalui Pilkades, untuk menghambat organisasi rakyat (serikat petani/buruh perkebunan) yang melakukan perlawanan untuk mengakses kebijakan di desa. Selama konflik itu terjadi, para perempuan harus menanggung pemenuhan kehidupan sehari-hari rumah tangganya. Mereka lalu bekerja sebagai buruh tani sekaligus buruh perkebunan atau buruh migran. Penulisan paper ini akan memfokuskan pada kehidupan perempuan yang menjadi buruh tani dan perkebunan yang selama konflik perkebunan/agraria berlangsung. Terdapat fenomena bahwa: 1. Pertanian adalah wilayah resistensi perempuan, di mana mereka mampu menjadi survivors yang subsisten di pedesaan 2. Perkebunan adalah wilayah kerja yang paling banyak mempekerjakan perempuan sebagai buruh lepas dan buruh kontrak Perempuan menjadi buruh perkebunan adalah bagian dari sebab-akibat perampasan tanah rakyat oleh pengusaha kolonial sampai Orde Baru.
PERLAWANAN PEREMPUAN ADAT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SUMATERA UTARA, RIAU, DAN KALIMANTAN BARAT Aida Milasari (Sawit Watch) orest Watch Indonesia memperkirakan bahwa sejak 1950-an lebih kurang 70 persen hutan di Indonesia telah mengalami kehancuran akibat dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini lebih kurang 7,600,000 hektar-are, dan pemerintah mentargetkan akan memperluasnya menjadi 24,407,200 hektar-are. Pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit ini telah mengambil-alih wilayah dan tanah masyarakat, dan menyingkirkan kehidupan ekonomi-sosial-kulturalnya sebagai masyarakat adat. Pengambilalihan tanah adat untuk industri kelapa sawit itu menciptakan persoalan baru bagi kaum perempuan masyarakat adat dalam hal pemenuhan kelangsungan hidup keluarganya. Mereka kehilangan wilayah adat dan tanah tempat bergantung hidup. Mereka kesulitan mendapatkan bambu untuk memasak lemang, kesulitan mendapatkan kayu bakar, juga kesulitan memperoleh akar dan daun untuk obat. Sungai mereka menjadi kotor akibat pencemaran sehingga para perempuan harus mengambil air di sumur bor yang jaraknya cukup jauh. Para perempuan yang berupaya mengelola lahan yang masih ada padanya untuk menanam sayuran ditangkap aparat polisi, termasuk yang menolak menyerahkan tanahnya untuk perluasan pekebunan kelapa sawit. Para laki-laki masyarakat adat menjadi pemabuk, yang berakibat pada pemukulan isterinya. Paper ini akan mengupas keadaan perempuan adat dalam konflik perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat adat di Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Riau. Selain itu juga akan mengangkat strategi perlawanan mereka (sebagai komunitas adat) demi memperoleh hak-haknya sebagai anggota masyarakat adat, sebagai ibu dan buruh perkebunan.
F
PROTES BURUH PEREMPUAN: MENAKAR PERLAWANAN DARI KANTONG KANTONG INDUSTRI DI INDONESIA Desmiwati engorganisasian demonstrasi politik buruh perempuan dengan tuntutan kenaikan upah, kesejahteraan buruh dan keselamatan kerja telah dilakukan gerakan perempuan sejak masa pergerakan nasional. Salah satu aksi yang paling mencolok terjadi pada tahun 1926 di Semarang yang menuntut perbaikan kondisi kerja bagi buruh perempuan, dengan memakai caping kropak. Pada dasawarsa 1980-an, dengan berakhirnya masa kejayaan minyak (oil boom), pemerintahan Orde Baru mulai melancarkan strategi baru untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui industrialisasi berorientasi ekspor. Promosi murahnya upah buruh, kestabilan politik, dan melimpahnya sumber daya alam terlah berhasil menarik investor secara besar-besaran membangun berbagai industri di Indonesia. Akan tetapi harga yang dibayar terlalu mahal. Perempuan yang mempunyai peran gender mengatur dan mengelola rumah tangga adalah korban pertama dan utama dari sistem yang dikembangkan. Perkembangan industri dan pembangunan yang tidak berimbang antara desa dan kota telah menarik angkatan kerja di desa-desa untuk berurnbanisasi ke kota, meninggalkan beban pekerjaan di pedesaan pada kaum perempuan dan anak-anak. Selain itu upah minimum yang diterima para buruh industri, yang sebetulnya hanya bisa memenuhi sekitar 50% dari kebutuhan fisik minimumnya, memaksa perempuan dan anak-anak bekerja guna memenuhi kebutuhan seluruh keluarga. Perlawanan Serikat buruh yang mengorganisir pemogokan massal di pabrik awal 1990-di Jabotabek dan Jawa Timur, juga diikuti oleh buruh perempuan. Selama melakukan pemogokan massal, buruh perempuan melakukan cara survival, sebagai contoh, dengan ngamen di jalan dan bentuk lainnya. Paper ini menyoroti hubungan represi industrialisasi terhadap buruh perempuan dan pola perlawanannya.
P
NIRMALA BONAT, A HERO IN AGAINST TRAFFICKING, BERHADAPAN DENGAN HEGEMONI KEKUASAAN Anis Hidayah irmala Bonat, mantan pekerja rumah tangga (PRT) migran asal Nusa Tenggara Timur pernah membawa kabar duka bagi masyarakat Indonesia pada medio Mei 2004 silam. Nirmala merupakan korban kekejian dan kebiadaban majikannya di Malaysia. Dengan tubuh penuh luka dan sisa semangat bahwa dia juga manusia, Nirmala melarikan diri dari rumah majikannya setelah 2 tahun teraniaya dan tanpa menerima hak atas gajinya. Selama ini perlindungan bagi PRT migran tidak datang dari negara, seperti yang banyak diharapkan, tapi lebih karena kecakapan individu untuk melawan sebuah keadaan. Seperti yang telah ditunjukkan Nirmala Bonat dan juga Ceriyati ( dengan seutas tali dari potongan kain bergelantungan berusaha untuk menyelamatkan diri). Otoritas birokrasi tidak dapat diandalkan untuk melindungi warga negaranya, terutama yang lemah seperti PRT migran. Praktek eksploitasi ekonomi dan yang berbasis gender sudah lazim menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Kebijakan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, terbukti tidak memberi ruang bagi PRT migran Indonesia untuk menuntut akses keadilan. Terutama kebijakan yang memberi hak para majikan di Malaysia untuk memegang passport pekerja semakin mengekang kebebasan PRT migran Indonesia. Berbeda misalnya dengan PRT migran di Hongkong, yang relatif dapat menikmati hak-haknya sebagai pekerja dan bahkan bebas untuk berserikat. Dengan berserikat, mereka dapat lebih leluasa memperjuangkan nasibnya sebagai PRT migran. Beberapa serikat PRT Migran Indonesia di Hongkong, seperti ATKI, IMWU, Kotkiho, dan lain-lain telah membuktikan keberhasilan perjuangannya pada akhir tahun 2007 dengan melakukan serangkaian lobby dan demonstransi secara massal dan berturut-turut untuk mendesak penghapusan SE (Surat Edaran) Konjen RI untuk Hongkong yang secara substantif sangat merugikan PRT migran Indonesia di Hongkong dan SE itu akhirnya dihapuskan. Saat ini, setelah empat tahun berlalu, proses hukum yang diharapkan memberi keadilan kepada Nirmala juga tak kunjung tiba. Proses persidangan di Malaysia yang tidak mudah dipahamai oleh orang awam, dengan sabar diikuti Nirmala untuk mendapatkan keadilan dan hak-haknya sebagai pekerja migrant yang teraniaya. Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak melakukan upaya diplomatik untuk menekan pemerintah Malaysia untuk lebih menghormati hak-hak buruh migrant Indonesia. Sementara pemerintah lain, dengan segala rasa empati dan simpati mengapresiasi perjuangan yang telah dilakukan Nirmala Bonat dengan memberi predikat sebagai “Hero in Againts Trafficking” pahlawan yang dapat menginspirasi PRT migran lainnya, meskipun sesungguhnya perjuangan Nirmala Bonat belum selesai.
N
39
PENEGUHAN KEDAULATAN RAKYAT OLEH KELOMPOK PEREMPUAN DI DUSUN DASUN, DESA JOHO, KECAMATAN SEMEN, KABUPATEN KEDIRI Sulastri (Paguyuban Perempuan Sido Rukun) eneguhan kedaulatan rakyat Dusun Dasun, Desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur dimulai dari berhimpunnya beberapa orang perempuan dalam kelompok kecil beranggotakan 20 orang. Sebagian besar anggotanya tidak sempat mengenyam pendidikan SMP. Dalam situasi yang termarginalisasi, kelompok perempuan ini berupaya melakukan kegiatan kongkrit sehari-hari untuk meningkatkan kesejahteraan anggota kelompoknya. Kelompok kecil perempuan ini memulai kegiatannya pada 2002, berupa kegiatan arisan yang kemudian berkembang pada kegiatan yang diperuntukkan bagi komunitas, seperti pendirian kembali TPQ (Taman Pendidikan Quran), yang sebelumnya macet aktivitas. Selain itu juga dikembangkan produksi makanan kecil, seperti keripik pisang, singkong, dll, yang bahannya diperoleh dari lingkungan komunitas sendiri; penanaman teh rosella secara bersama-sama untuk diproduksi sebagai minuman suplemen. Kelompok perempuan ini juga membentuk koperasi untuk memenuhi kebutuhan permodalan dalam usaha, biaya pendidikan dan juga kesehatan. Karena kegiatannya ini, keanggotaan dalam kelompok itu berkembang, dan pada akhirnya membutuhkan format kelembagaan yang baru. Akhirnya mereka mendeklarasikan suatu organisasi baru yakni Paguyuban Perempuan Sido Rukun. Setelah ber-Paguyuban inilah mereka semakin di kenal di luar. Bahkan pimpinan Paguyuban ini terpilih sebagai pemuda pelopor di propinsi Jawa Timur. Kegiatan dan gagasan-gagasan baru menuju kedaulatan terus dijalankan secara realistis oleh paguyuban ini. Salah satu yang menjadi perhatian dari paguyuban ini adalah pemikiran bahwa Kedaultan akan bisa diwujudkan dan terjamin apabila masyarakat memiliki kekuatan kontrol terhadap pemerintah desanya. Demikianlah, bertepatan dengan kebutuhkan Kepala Desa Baru di Joho. Paguyuban bermusyawarah dan memutuskan untuk memberi mandat kepada salah satu anggotanya untuk ”maju” bertarung dalam pemilihan kepala desa. Sudah barang tentu, seluruh prosesnya kader-kader paguyuban bahu membahu menjalankan kegiatan untuk memenangkan anggotanya. Mulai dari pembahasan-pembahasan strategi pemenangan sampai pada keperluan-keperluan logistiknya. Hasil kerja Paguyuban yang kompak dan konsisten ini akhirnya mampu memangkan pemilihan. Jadilah, salah satu anggota Paguyuban (Sulastri) sebagai Kepala Desa. Paguyuban menyadari bahwa setelah anggotanya menjadi Kepala Desa, tidak berarti kedulatan rakyat di desa otomatis terwujud. Saat ini mereka sedang terus mencari bentuk hubungan yang tepat dengan anggotanya yang sudah menjadi kepala desa tersebut, serta. menjalankan pendidikan demi memahami dinamika dalam institusi pemerintahan. Gerak Paguyuban ini menjadin inspirasi bagi kelompok-kelompok lain di Serikat Rakyat Kediri Berdaulat (SRKB) Kediri, dimana Paguyuban ini menjadi salah satu anggotanya. Tidak saja bagi kelompok-kelompok yang tergabung di SRKB tetapi juga menginspirasi kelompok-kelompok lain di Jombang, Mojokerto dan Caruban-Madiun yang saat ini juga terus melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka menjawab persoalan kongkrit
P
PEREMPUAN MISKIN KOTA DI HADAPAN NEOLIBERALISME Heru Suprapto (Jakarta Centre for Street Children dan Aliansi Rakyat Miskin) akta subordinasi pada perempuan menunjukkan adanya kelas. Pada posisi ini, perempuan mengalami marjinalisasi dalam pola dan hubungan sosial, ekonomi, dan politik dari kultur patiarki dan struktur kapitalistik yang keduanya saling memberi keuntungan dan menguatkan. Kultur patiarki berkepentingan menyubordinasi perempuan untuk mendominasi peran dan struktur sosial secara pragmatis. Sementara itu, struktur (eksploitasi) kapitalistik berkepentingan melanggengkan subordinasi perempuan dimana peran perempuan dipindahkan dari wilayah produksi komoditas ke wilayah reproduksi sosial sebagai penghasil tenaga kerja sekaligus konsumen untuk meningkatkan akumulasi nilai lebih. Konteks ini menunjukkan perempuan dimiskinkan dan dipenjara ke dalam wilayah domestik. Di dalam tatanan masyarakat perkotaan, iklim dan struktur kapitalistik begitu digdaya. Kota yang seharusnya menjadi ruang urban dengan relasi-relasi ekonomi, politik, ideologis, sosial, dan kultural dalam rangka sivilisasi kini menjadi imperium kapital. Konsekuensinya kualitas relasi-relasi tersebut tidak mendapatkan peluang tumbuh. Sejalan dengan itu, libido ekonomi neoliberal semakin menguat, menggilas kelokalan yang hetereogen, kolektif, dan tradisional. Privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi menjadi resep satu-satunya yang ditawarkan pemodal beserta korporasi kepada penguasa dengan dukungan manipulatif lembaga-lembaga donor internasional. Resep ini ternyata terbukti menguras sumber daya nasional dan memiskinkan rakyat sejak tahun 1965. Hingga kini, kemiskinan menjadi fenomen sentimentil bagi penguasa dan pemodal. Perempuan miskin kota sangat merasakan dampak subordinasi ketika kota menjadi medan jual magnetik bagi para pemodal yang ingin menanamkan modalnya. Bukan hanya pemodal, para penduduk desa yang mengalami ketidakmerataan sumber daya di desa, pun pergi ke Jakarta untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya. Namun, kota sudah menjadi milik pemodal yang tidak akan pernah berpihak kepada orang-orang miskin ketika arus privatisasi
F
dan liberalisasi semakin merambah banyak sektor dan didukung oleh regulasi-regulasi untuk mengamankan agendaagenda neoliberal. Pada masyarakat epos berkelas, penguasa menciptakan institusi-institusi dan alat-alat ideologi (negara, militer, hukum, sistem kepercayaan) melalui regulasi-regulasi yang didikte pemodal. Berbagai regulasi yang dibuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersifat membatasi ruang penghidupan rakyat miskin. Mereka dianggap entitas yang dapat menggangu agenda-agenda investasi pemodal. Penangkapan dan pengusiran rakyat miskin yang berada di Jakarta menjadi agenda rutin. Banyak di antara mereka adalah perempuan-perempuan miskin yang tertangkap ketika berjualan di trotoar, memungut barang bekas, mengamen, mengelap mobil, buruh cuci, dll; sebagai cara-cara kreatif untuk melawan arus pemiskinan struktural yang meminggirkan mereka dari haknya untuk tinggal dan hidup di Jakarta. Perempuanperempuan ini banyak yang terdiri dari ibu (55%). Sisanya perempuan muda yang belum berkeluarga (45%). Ibu-ibu miskin ini terdesak mencari uang sambil mengurus anaknya yang juga terpaksa mencari uang. Suaminya juga mencari uang di tempat yang sama atau berlainan. Perlawanan politis juga dilakukan beberapa kelompok perempuan miskin kota bersama kelompok miskin lainnya. Perlawanan lokal muncul spontan dan masih dalam aksi-aksi sporadis sejak tahun 1998 dimana terjadi beberapa kali penggusuran. Sejak tahun 2000, penggusuran kampung-kampung, pedagang kaki lima, penangkapan pengamen dan anak jalanan semakin meningkat sejalan dengan banyaknya pembangunan infrastruktur yang digunakan untuk pemukiman, niaga, dan industri. Pada tahun 2001, terjadi penggusuran dan pembakaran paksa di Teluk Gong, Jakarta Utara, yang mendapat perlawanan intensif dan dukungan dari Komnas HAM. Pada tahun-tahun berikutnya, aksi-aksi penolakan perda-perda diskriminatif yang semakin banyak dikeluarkan pemerintah daerah dilakukan oleh rakyat miskin bersama lembaga-lembaga yang memiliki perhatian terhadap kemiskinan kota. Aksi-aksi politis dan agenda-agenda pengorganisiran yang dilakukan oleh rakyat miskin kota rata-rata dihadiri oleh 65% perempuan, selebihnya bapak-bapak, pemuda, dan anak-anak. Kesadaran perlawanan perempuan miskin tumbuh berasal dari kepentingan ekonomi dan kebutuhan terdekat dimana basis produksi dan reproduksi sosial terancam oleh arogansi penguasa yang menghamba kapital, selain juga beban tanggung jawab domestik. Dari sini dapat dilihat bahwa peran perempuan di hadapan neoliberalisme begitu strategis dan taktis.
MEREBUT ALAT PRODUKSI, MENEGAKKAN KESETARAAN: PERJUANGAN PETANI PEREMPUAN DARI KECAMATAN PENGALENGAN, KABUPATEN BANDUNG SELATAN Novi Anita (Seruni) etani perempuan di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung Selatan, pada umumnya tidak berpendidikan, menikah muda, memiliki tanah sempit, bahkan tidak mempunyai tanah dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya semata menggandalkan tenaganya sebagai buruh di lahan petani lainnya. Demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari hidup keluarganya itu, setiap pukul 04.00 WIB mereka bangun tidur, mengurus rumah tangga dan kemudian pergi ke lahan-lahan di mana mereka bekerja seharian dengan upah murah, dan setiba di rumah pada sore harinya mereka pun masih harus mengerjakan semua urusan rumah tangganya. Terdesak oleh hidup yang kian menghimpit, para petani perempuan itu bergabung bersama suami dan anakanaknya melakukan perlawanan guna merebut kembali tanah mereka yang dikuasai perkebunan swasta (reklaiming). Perjuangan mereka berhasil. Tetapi para perempuan tani ini juga dihadapkan pada keadaan di mana mereka harus mendobrak budaya patriarki yang selama ini membelenggu potensinya sebagai pemimpin massa di dalam Serikat Tani. Upaya pendobrakan ini berhasil menjadikan mereka dipilih sebagai pimpinan di dalam Serikat Tani yang sebelumnya didominasi petani laki-laki. Para petani perempuan ini juga berupaya untuk terjadinya perubahan dalam hal pembagian kerja secara gender di dalam rumah tangga petani, agar petani laki-laki juga menyangga beban mengurus rumah tangga yang selama ini dipandang hanya menjadi tugas perempuan.
P
PERLAWANAN PEKERJA RUMAH TANGGA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Endang Rohiyani (Rumpun Tjoet Nyak Dien) ekerja Rumat Tangga ( PRT ) atau sering di sebut sebagai Pembantu Rumah Tangga adalah potret buram perempuan saat ini. Dia adalah bagian dari masyarakat yang tidak berdaya ditengah modernisasi dan kapitalisme. Kemunculan PRT ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, dari mulai mereka di sebut sebagai budak, bedinde, babu, abdi, pembantu dan sekarang Pekerja Rumah Tangga. Masing – masing sebutan tersebut memiliki sejarah perbudakan tersendiri yang saat ini masih terus terlanggengkan oleh system, budaya feodal dan kapitalisme. Latar belakang PRT yang sebagian besar perempuan, dikarenakan kerja – kerja rumah tangga yang melekat pada perempuan dan juga tuntutan globalisasi, dimana suami istri harus bekerja ke ranah public. Dari sinilah muncul kebutuhan majikan akan adanya PRT untuk membantu kerja – kerja domestic yang terabaikan. Namun karena relasi yang terbangun tidak seimbang sehingga memunculkan berbagai permasalahan baru, terkait
P
41
dengan hubungan kerja antara PRT dan majikan. Relasi yang tidak simbang ini disebabkan ketidaktahuan PRT dalam memahami hubungan kerja yang di bangun. Tingkat pendidikan PRT yang kebanyakan SD – SMP bahkan drop out serta tidak adanya bekal ketrampilan dari calon PRT ini yang menjadikan PRT seringkali kena tipu dan mengalami berbagai tindak kekerasan. Berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh PRT diantaranya kekerasan psikis seperti di maki – maki dll. Kekerasan fisik, di pukul, dianiaya, di siksa, kekerasan ekonomi, dengan pemotongan gaji, gaji tidak di bayarkan, bahkan pelecehan seksual yang seringkali dilakukan oleh majikan laki-laki
Panel PRIVATISASI PENDIDIKAN INTELEKTUAL, MODAL DAN NEGARA: DISKURSUS PERAN INTELEKTUAL INDONESIA DALAM ERA REFORMASI M. Fajar (Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi - KID) eiring reformasi berjalan, konfigurasi kekuatan sosial-politik Indonesia berada di persimpangan. Satu arah menarik kuat ke jalan perubahan, sedangkan yang lainnya mengarah kepada repetisi (dan sekaligus reproduksi) struktur kekuasaan lama. Salah satu bentuk pengulangan terjadi pada kelompok intelektual. Tulisan ini berupaya menelisik kasus-kasus yang menguatkan argumen bahwa bentuk relasi lama intelektual-modal masih bertahan saat ini. Penulis berargumen: pola tersebut berulang di masa ini akibat akar historis-struktural sebagai pengkondisian relasi tersebut belumlah hilang, bahkan cenderung bertambah kuat. Determinan itu mencakup variabel negara, modal dan intelektual itu sendiri. Dua kasus coba ditelaah, yaitu: kasus Freedom Institute (FI) dan perdebatan dalam kasus Asian Agri, lembaga penelitian kampus dan Tempo. Dua narasi besar tadi ditambah dengan kasus-kasus ”kecil” keterjebakan intelektual seperti dalam kasus akademisi di KPU. Argumen dalam tulisan ini didasari model relasi struktur-agensi yang dikembangkan oleh Margaret Archer. Menurutnya, struktur dan agen berada di tengah persilangan ruang (spasial) dan waktu (historis) yang perlu dianalisis dalam tiga momen utama (structural conditioning, socio cultural interaction, structural elaboration). Selain itu, penulis juga memperkuatnya dengan penjelasan Arbecrombie yang menyatakan bahwa setiap kelompok intelektual merupakan representasi dari kepentingan dalam mode produksi tertentu
S
DEHUMANISASI PESERTA DIDIK MELALUI SISTEM PENILAIAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN SEMANGAT NEOLIBERALISME Thantitn Hidayati (Mahasiswa Program Magister Universitas Muhammadiyah Malang) “Education makes people easy to lead but difficult to drive, easy to govern but impossible to enslave.” --Henry Peter-okok bahasan mengenai carut marut sistem pendidikan nasional selalu tidak pernah terlepas dari kuantifikasi hasil evaluasi peserta didik. Padahal proses pendidikan itu sendiri intangible sehingga dengan adanya kuantifikasi tersebut, peserta didik telah direifikasi, yang digambarkan oleh Paulo Freire sebagai proses dehumanisasi. Dan pendidikan yang seharusnya menjadi alat untuk menyadarkan pendidik dan peserta didik terhadap konstruk realitas sosial yang ada di sekelilingnya telah dinodai oleh semangat neoliberalisme yang begitu kompetitif. Keberhasilan proses pendidikan hanya diukur pada hasil akhir dan bukan pada prosesnya. Tidak sedikit jumlah peserta didik pada lembaga pendidikan yang pada akhirnya menghalalkan segala cara untuk memperoleh ‘nilai yang (dianggap) baik’ agar citra dirinya sebagai individu yang berhasil dapat diraih. Lembaga pendidikan pun juga tidak mau kalah saing dalam hal pencitraan tersebut, sehingga tidak jarang ditemui kasus kebocoran soal ujian maupun manipulasi nilai dalam dunia pendidikan. Kompetisi peserta didik semakin individualistis, sehingga tidak ada yang disebut dengan ‘pengetahuan untuk dibagi’ melainkan menjadi milik pribadi yang tidak bisa dibagi-bagi jika tidak mau tersaingi. Moralitas diabaikan dalam persaingan tersebut, dan terjadilah apa yang disebut oleh Daniel Goleman dengan korosi sosial akibat social intelligence yang tidak terasah dan masih terdikotomi dengan ‘aku-kamu-mereka’ dan menimbulkan bystander apathy. Sebabnya jelas, karena sistem persekolahan formal hari ini hanya menyediakan tempat bagi para ‘pemenang’ atau peserta didik yang kepintarannya dapat dikuantitatifkan begitu pula dengan lembaga pendidikannya yang terklasifikasi dengan level favorit dan tidak favorit. Sebagaimana ciri neoliberalisme yang tidak memberi ruang bagi orang-orang yang (dianggap) kalah, maka peserta didik yang (dianggap) kurang intelektualitasnya secara kuantitatif menjadi warga kelas dua. Secara psikologis hal tersebut akan terus membekas pada peserta didik selama hidupnya dimana hal tersebut sangatlah dehumanis, padahal ‘kekalahan’ mereka tersebut terjadi secara struktural sebagaimana ‘kemiskinan secara struktural’ yang terjadi pada sebagian besar rakyat di negeri ini. Pendidikan yang memanusiakan manusia tentunya tidak akan menggunakan sistem penilaian secara kuantitatif hanya untuk sekedar mengukur kemampuan peserta didik secara kognitif. Sebab ‘education is not schooling’ sehingga pendidikan terjadi sepanjang hayat dan ‘kehidupanlah’ yang berhak menilai peserta didik atau individu tersebut. Tidak sedikit kasus peserta didik yang mengalami depresi karena adanya proses penilaian dalam lembaga pendidikan
P
mereka yang jelas sekali merugikan mereka secara psikologis. Melongok pada sistem pendidikan Finlandia yang sering disebut-sebut sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia, peserta didik malah menjadi sangat berkembang. Evaluasi yang mereka lakukan pada peserta didik, hasilnya digunakan untuk menilai keberhasilan tenaga pendidik dan lembaga pendidikan dalam proses pendidikan dan bukan digunakan untuk menilai keberhasilan siswa menghapal ilmu pengetahuan yang ditransfer dari tenaga pendidik dan buku teks pelajaran seperti di Indonesia, yang tentu saja mengabaikan maksim moral Immanuel Kant. Jelas sekali bahwa sistem pendidikan di Finlandia sangatlah memahami definisi ‘assesment in education’ secara filosofis, yaitu untuk mengevaluasi keberhasilan lembaga pendidikan, seperti apa yang diungkapkan oleh Alexander W. Astin. Sehingga sekolah tidak berfungsi sebagai produsen angka-angka yang sangat merendahkan peserta didik dan mempersempit makna proses pendidikan. Bila di negeri ini fungsi lembaga pendidikan formal menjadi sedemikian terbatas, sebagai tempat jual-beli ijazah, kondisi tersebut diperparah dengan konsepsi yang telah dengan sengaja diakarkan pada masyarakat awam bahwa pendidikan adalah sebuah investasi. Dengan mengeluarkan modal sejumlah rupiah untuk proses pemerolehan ijazah hingga pada jenjang pendidikan tertentu, orang tua yang diibaratkan sebagai ‘pemodal’ bagi anak-anaknya, berharap agar anaknya bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang jauh lebih tinggi sehingga minimal modalnya dapat kembali. Semakin tinggi modal yang dikeluarkan, atau bahasa lainnya adalah semakin mahal biaya pendidikan yang diikuti, maka mereka beranggapan bahwa modal akan kembali jauh lebih banyak dan lebih cepat, atau bahasa lainnya adalah semakin tinggi level pekerjaan dan gaji yang akan didapat. Dan ketika segala sesuatu yang terjadi dalam hidup manusia tersebut dipandang dengan kacamata untung rugi, maka manusia tersebut telah dikuasai oleh logika fundamentalisme pasar atau liberalisme gaya baru (neoliberalisme). Tanpa sadar akan kedzaliman logika neoliberalisme, kebanyakan manusia-manusia Indonesia telah dicekoki dengan –isme ini. Jenis-jenis manusia seperti itu direproduksi melalui lembaga yang (seharusnya menjadi) sangat sakral – karena fungsinya yang amat fundamental yaitu membentuk fondasi kemanusiaan yang kuat bagi individu – dan didukung penuh dengan keberadaan media yang dikuasai oleh kaum kapitalis. Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang selalu berpihak pada para pemodal dan hanya seolah-olah berpihak pada rakyatnya sendiri. Apa yang telah terjadi pada masa ini tidak akan dapat dikaji dengan mengabaikan konteks sejarah bila tidak ingin mengalami akronisme. Seperti dipaparkan oleh sejarawan Ong Hok Ham, para pejuang kemerdekaan Indonesia tidaklah mendirikan negara baru dari bawah dengan unsur-unsur revolusioner melainkan mewarisi suatu negara beserta aparatus-aparatusnya. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang lahir saat ini akibat politisasi pendidikan yang menjadi bagian dari agenda pemerintah untuk terus menghegemoni rakyat (sebagaimana tesis Antonio Gramsci), dan tentunya hal tersebut tidak terlepas dari sistem pendidikan yang terus mereproduksi pemimpin yang tirani dan sistem tersebut semakin lestari karena budaya feodal dan paternalistik bisu yang terus ‘dibudayakan’. Sehingga sempurna lah sudah carut marut sistem pendidikan nasional di negeri ini. Pembahasan tidak akan hanya berhenti ketika ‘dalang dari kejahatan intelektual’ tersebut ditemukan, tetapi harus berlanjut pada tindakan praksis. Dengan pendidikan yang mengacu pada kerangka teori kritis dan proses pembelajaran yang memanusiakan manusia, tentunya pemimpin-pemimpin yang moralis akan dapat dilahirkan. Bila merombak total sistem pendidikan nasional melalui perubahan kebijakan menjadi sesuatu yang utopis karena sifatnya yang top-down, maka ‘pemerdekaan dari penjajahan’ ini dapat dilakukan dari tingkatan komunitas yang terkecil sekalipun, dengan beragam alternatif cara tentunya. Dan lebih baik lagi bila pada akhirnya dapat memunculkan proses perumusan kebijakan yang deliberatif ala Jurgen Habermas, sehingga rakyat sebagai objek kebijakan dapat menentukan sendiri apa yang dapat atau tidak dapat terjadi pada diri mereka, sebab seluruh manusia di muka bumi ini dilahirkan dengan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Panel KEBUDAYAAN DEMOKRASI DI BAWAH TIRANI MODAL: PENGALAMAN DEWAN KESENIAN JAKARTA DALAM MENGELOLA KESENIAN Marco Kusumawijaya (Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Arsitek dan Pengamat Kota) ewan Kesenian Jakarta didirikan oleh para seniman dan intelektual dengan dukungan penuh dari Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1968. Di bawah “naungan” negara, melalui pemerintah daerah dan kepemimpinan yang menghargai seni, DKJ “bebas” dari tirani modal, yang memang pada waktu itu tidak agresif seperti sekarang. Hingga masa berakhirnya kepemimpinan Ali Sadikin, DKJ kebutuhannya relatif senantiasa tercukupi. Sesudahnya, dukungan pemerintah menjadi bersyarat (politis) atau tidak ikhlas, karena bagaimana pun juga para seniman senantiasa kritis terhadap Orde Baru. Di masa Gubernur Sutyoso dukungan dana ditingkatkan lagi. Bagaimana sekarang? Kebutuhan meningkat. Dukungan pemerintah menurun dan menerapkan syarat-syarat dan prosedur baru. Dukungan korporasi senantiasa bersyarat imbalan. Apakah di antara korporasi yang makin agresif dan penuh perhitungan dan negara yang makin rumit dan terbatas, ada jalan keluar? Paparan tentang pengalaman DKJ dalam mengelola
D
43
kesenian dapat membantu analisis tentang bagaimana seni senantiasa harus berkelit di antara kuasa politik dan kuasa modal.
PANGGUNG DAN MITOS DALAM PRAKTEK HIDUP BERKOMUNITAS : SHARING PENGALAMAN DARI KAMPUNGKAMPUNG YOGYAKARTA Yoshi Fajar Kresno Murti (Yayasan Pondok Rakyat, Yogyakarta) pa yang dapat dikisahkan dari sebuah praktek sosial melalui media dan bahasa “kesenian” dalam konteks transformasi hidup berkomunitas? Sesungguhnya berbagai macam “media” kultural yang biasa kita kenal dengan istilah “kesenian” tidak bisa lepas dari komunitasnya. Kethoprak, wayang, jathilan, reyog, srandul, coke’an, kerawitan,... atau jenis “kesenian” lain yang marak di era sekarang seperti: ndangdut, campursari, dan lain-lain – berikut segala jenis dan variannya, merupakan macam-macam “media” kultural (bukan semata-mata hiburan) yang tumbuh dan berkembang di berbagai masyarakat Jawa. Keragaman bentuk dan kehidupan “kesenian” tersebut bertalian erat dan bergerak seiring dengan transformasi hidup berkomunitas dari masyarakat yang menghidupinya. Permasalahannya terjadi ketika pe(me)radaban kota – tidak saja dalam pengertian fisik-spasial tapi juga budaya-global – telah membuat transformasi yang luar biasa terhadap berbagai-bagai segi dalam hidup berkomunitas. Sejak dibangunnya jalan raya pos, kota ditata melalui ilmu perencanaan modern, wilayah-wilayah dibagi dalam teritorial serta dijaga melalui wacana keamanan dan ketertiban, berbagai komunitas dan kelompok permukiman di Nusantara telah memasuki modernisasi massa(l). Di saat yang bersamaan, hidup berkomunitas mulai diimajinasikan dan diterjemahkan sebagai “diri” (self ) yang telah menjadi bagian warga(negara) sebuah bangsa. Proses ini semakin kompleks dan terus bergerak hingga sekarang, yang ditengarai dengan fenomena serbuan berbagai revolusi konsumsi teknologi yang sangat cepat, seperti; radio, televisi, recorder, media digital, teknologi informasi dan lain sebagainya – merupakan serentetan bentuk teknologi modern – yang hampir selalu menjadi bagian dalam hidup berkomunitas. Sebagian dari konteks transformasi komunitas dan perjumpaan melalui barang-barang teknik-komoditas tersebut, telah melahirkan nalar “kesenian” sebagai tontonan. Peristiwa kesenian menjadi pertunjukkan (komersial). Menjadi hiburan, lalu hilang, ditelan pasar. Meskipun begitu, sebagian realitas yang lain menunjukkan bagaimana “kesenian” yang telah menjadi produk massa(l), di sisi yang lain, justru telah menjadi sarana yang diimajinasikan bagi sebagian besar orang kebanyakan untuk ‘tetap tegak mengatasi pesona dan ancaman modernisasi’ melalui hidup sehari-hari dan membangun audiences yang kompleks, khas, dan spesifik. Ia tak lain sebuah perayaan (perjumpaan) antarorang, antarkomunitas. Bahasa. Konteks perkembangan “kesenian” dalam kehidupan urban lahir ketika yang disebut “panggung” dan “mitos” mulai hilang dari hidup berkomunitas. Panggung adalah manifestasi dari cara berinteraksi dan berkomunikasi yang menjadi dasar-dasar hidup bersama (kepublikan - publicness), sedangkan mitos adalah sistem simbolik yang menjadi semacam “nilai” bersama untuk menjalani realitas sehari-hari dalam hidup berkomunitas. Kenyataan selalu memperlihatkan bagaimana dasar-dasar hidup bersama terus-menerus dipertanyakan dan realitas hidup terus-menerus ditolak dan dilarikan. Hilangnya panggung dan mitos juga telah sepenuhnya men-transformasikan-kan pengertian mengenai ruang, waktu, benda, dan tempat. Ruang menjadi teritori dan padat, waktu menjadi linear, benda menjadi komoditas, dan tempat menjadi arena. Semua bentuk transformasi tersebut seringkali hampir mustahil ada dan jarang bisa dijumpai tanpa semangat komersialisasi dan privatisasi. Berbagai macam “media kultural” dalam hidup berkomunitas – bisa mempunyai kemungkinan berada dalam keadaan ‘tanpa sejarah’, karena telah menjadi komoditas dan bergerak di dalam pasar yang dilandasi spirit persaingan dan pertarungan. Dengan kata lain, konteks kehidupan urban merupakan konteks bagi “kesenian” di jaman sekarang untuk terus hidup dan dihidupi. Di tengah pasar, panggung dalam dunia “kesenian” (hanya) menyisakan materialisasinya dalam bentuk ruang pamer, etalase, dan stage yang akan selalu dilandasi nalar berjarak dan obyektif terhadap “realitas”, sedangkan mitos menandaskan hadirnya sebuah sistem citrawi yang selalu membentuk repetisi dan halusinasi massa. Namun, di sisi yang lain, ternyata kita juga diajari terus-menerus bahwa yang disebut panggung dan mitos tersebut tidaklah sepenuhnya hilang. Melalui praktek perjumpaan yang dilandasi semangat interaksi dan komunikasi antarpersonal, antarpihak, dalam kehidupan sehari-hari, selalu ditemukan ruang dan waktu bagi kebanyakan orang untuk mengendapkan, berdamai dan bersiasat melalui pengalaman hidupnya. Berbagai “kesenian” – baik sebagai ujaran maupun gambaran ekspresinya – telah menjadi ruang dan momen tidak saja sebagai bentuk mekanisme pengungkapan ekspresi serta pelepasan ketegangan di berbagai masyarakat, tetapi lebih dari itu, ia menampilkan realitas yang sesungguhnya. Ia ‘tidaklah mengharuskan orang untuk menganggap bahwa pikiran, kata-kata dan kenyataan adalah tiga hal yang berbeda-beda’. Tulisan ini hadir sebagai bentuk refleksi praktek bekerja bersama orang-orang yang tinggal di beberapa wilayah kampung di Kota Yogyakarta. [Tentu saja, dalam hal ini yang disebut kampung-kampung Kota di Yogyakarta mempunyai sejarah yang khas dan unik di banding pengertiannya pada kota-kota yang lain, terutama terkait dengan
A
transformasi berbagai komunitas yang berjalan sebagai bagian dari kerajaan hingga negara NKRI]. Dalam ‘kerja praktek’ ini kami secara sadar betul telah menggunakan kata-kata seperti “kesenian”, “seni”, “seniman” sebagai bahasa untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Kata-kata tersebut telah memiliki konteks “yang lain” dan berkembang terusmenerus sejalan kerja praktek yang telah kami lakukan. Sekali lagi kami harus mengakui, bahwa apa yang hidup di dalam benak kepala dan gestur seluruh badan sesekali perlu diperiksa ulang, tidak saja untuk memahami jejakjejaknya, tetapi juga untuk terkaget-kaget ternyata ada benak kepala dan gerak hidup yang selalu lolos dari tekanan dan himpitan hidup yang semakin berat.
PERFORMANCE OF KILLING: CAPITAL SPACE OF DANCE Dr. R. Diyah Larasati (University of Minnesota/ Theatre Arts & Dance/ Institute of the Arts Yogyakarta) n this presentation I will focused on the cultural transformation in Post Suharto era in Indonesia. By looking at the use a performance space that function as a community gathering in comparison with tourism performance space, I will extend to the analysis of changing and how the socio political nature of dancing body in post Suharto is different with the era of Suharto’s new order. How far those changing it have impact and how that reflects cultural policy as infrastructure of control in Indonesia. For this paper, I am exploring a theoretical framework about staging of dancing body in connection to the reconstruction of political economy of culture and nation state as provoke by Savigliano, Spivak, and Arief Dirlik. I also expand the analysis with Ann Stoler’s idea of race and colonial history to mediate how the nation state construction in post Suharto is continuation of reconfiguring identity in global capital and how the function of infrastructure as a systematization of control (Anna Tsing) spread to the social network and government system. For this presentation I will use the example of performance spaces for tourist in Bali where the extensive labor of dancing body and the tourist worker mediate the capitalistic production of cultural transformation in comparion to independent community gathering who make effort to requestion the unjustice that has been done during Suharto that still never discuss during the era in post Suharto. The recent trend on distribution of arts funding by the loan system from foreign government is the other example that I would like to use for this paper to look how Bambang Yudoyono administration have some different approach while at the same time provoke continuation of control that established before, where cultural activities became a control system through funding in arts institute.
I
SENI KERAJINAN DI BAWAH TIRANI MODAL Rita Dharani (Anggota Koperasi Indonesia Lestari - KINDLE) ndustri kerajinan, yang dalam terminologi pemerintah digolongkan dalam sektor Usaha Kecil Menengah (UKM), adalah salah satu sektor penggerak perekonomian daerah melalui perolehan devisa ekspor. Sebanding dengan itu, ketergantungan perajin terhadap bahan baku produksi dan barang modal mesin imporpun volumenya terus meningkat (DisPerinDagKop. DIY, Mei 2008). Paper ini ingin memotret bagaimana pergulatan perajin yang berhadapan dengan pasar dan kekuasaan modal di setiap lini kerja kesehariannya. Akhir-akhir ini dunia keperajinan semakin populer dibicarakan. Pameran produk kerajinan kerap diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, demikian juga perhatian pemerintah dan swasta terhadap perajin terus meningkat melalui bantuan modal, perkreditan atau pelatihan. Perajin tak urung tetap masih banyak yang belum mendapatkan keadilan ekonomi. Perajin adalah salah satu pihak yang memberi andil dalam usaha mengatasi problem penganggur, terutama penganggur tidak berpendidikan atau berpendidikan setinggi-tingginya SLTP. Di Provinsi DIY, pada periode 2006-2007, jumlah penganggur yang berpendidikan paling tinggi SLTP sekitar 60,78% dari jumlah angkatan kerja (BPS DIY, 2007). Di Indonesia, tenaga mereka hanya bisa dipakai sebagai tenaga kerja kasar berupah rendah. Industri kerajinanlah salah satu sektor yang kemudian memanfaatkan tenaga kerja mereka. Korporasi Multi Nasional, BUMN, perbankan, dinas-dinas pemerintah, dan lembaga-lembaga filantropi, adalah pihak-pihak yang terus berlomba mencoba berperan dalam menggerakkan industri ini. Baru-baru ini, sering ditemukan semacam perayaan kompetisi korporasi-korporasi besar untuk mendapatkan “CSR (Corporate Social Responsibility) Award.” CSR, terminologi untuk sebuah program binaan, adalah salah satu contoh proyek yang “booming” akhir-akhir ini. Ketika kehadiran korporasi besar dianggap merebut apa yang seharusnya dikelola oleh rakyat, ditambah dengan kerusakan lingkungan yang mereka sisakan di negeri ini, konon program ini dirancang sebagai bentuk usaha korporasi dalam mempertanggungjawabkan kapital besar yang dia jalankan di tengah penderitaan masyarakat. Karena dalam TOR besar konferensi ini, aspek-aspek yang menjadikan tirani modal dipandang sebagai “way of life” ingin dibongkar, maka dalam paper ini kiranya saya perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana mekanisme politik distribusi produk industri kerajinan selama ini berjalan (bagaimana sebuah produk di tangan perajin sampai ke tangan end user/konsumen terakhir). Juga perlu pengkajian lebih jauh tentang relasi buruh, perajin, konsumen, negara, agen-agen modal, dan pasar.
I
45
KOMUNITAS FILM DAN STRATEGI KEBUDAYAANNYA Agus Mediarta (Asisten Pengembangan Program Yayasan Konfiden) asca 1998, peluang transisi Indonesia menuju alam demokrasi dan membesarnya akses publik atas perangkat berkesenian (film) akibat kemajuan teknologi ternyata bertentangan dengan realitas politik, sosial, dan juga dunia perfilman. Masih bercokolnya kekuatan politik lama di seluruh aspek pemerintahan dan kegagapan penguasa politik beradaptasi dengan gagasan demokrasi berakibat pada terbentuk hegemoni-hegemoni baru yang lambat laun memandegkan dunia kebudayaan termasuk dunia perfilman Indonesia. Paling tidak, terdapat dua pemegang kontrol hegemoni , kekuatan modal atau kapital dan kekuatan donor asing. Sementara, menguatnya kontrol negara lewat berbagai regulasi berkesenian menjadi bentuk paranoia baru negara pada arus demokratisasi dan wacana budaya tanding. Atas nama pasar, globalisasi dan stabilitas, kontrol negara dan Kekuasaan hegemonik dari modal dan asing melahirkan keseragaman dan mematikan dunia kebudayaan Indonesia. Komunitas film muncul dan tumbuh subur akibat terjadinya perubahan politik pada 1998 dan melesatnya perkembangan teknologi audio visual. Komunitas film memposisikan diri sebagai entitas yang berada di tepian dunia film komersil. Muncul dan tumbuh dari partisipasi publik, komunitas film (disadari atau tidak) telah melawan kontrol negara dan berupaya memecah kekuatan hegemoni modal dan asing dalam dunia perfilman. Tumbuh selama 10 tahun, komunitas film tidak saja menjalankan aktivitasnya untuk menolak bentuk-bentuk penyeragaman melainkan juga menyusun strategi bersama. Sebuah strategi yang di antaranya berupaya untuk mengembangkan “pasar baru” karya film alternatif di luar pasar yang terkooptasi oleh hegemoni modal; mengembangkan wacana keragaman film yang melibatkan unsur lokal dengan kacamata kekinian dan kesadaran akan akar (atau representasi atas nilai-nilai/ realitas sosial); serta membuka akses ke pasar global. Walaupun demikian, keberhasilan strategi bersama jaringan komunitas film bertumpu pada adanya sebuah strategi jangka panjang berupa bentuk kebijakan-kebijakan baru yang sadar strategi budaya (lepas dari pemahaman strategi budaya yang muncul pada masa Orde Baru).
P
47