PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT: SEBUAH PERBANDINGAN
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Rifqi Razaqi Rajab NIM : 1112048000016
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM
STUDI
ILMU
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438 H / 2016 M
ABSTRAK RIFQI RAZAQI RAJAB. NIM 1112048000016. PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT: SEBUAH PERBANDINGAN. PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. xi + 53 halaman + 4 halaman Daftar Pustaka+ 18 Lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana persamaan, perbedaan, kekurangan dan kelebihan mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat berdasarkan hak prerogatif presiden sistem presidensiil yang dianut kedua negara. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan komparatif (Comparative Approach). Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara, dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sumber hukum yang digunakan penulis ada dua yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Hasil dari analisis dan penelitian ini mengungkap bahwa dalam implementasi pengangkatan panglima tinggi militer di kedua negara memiliki persamaan dan perbedaan negara sama-sama membutuhkan persetujuan lembaga legislatif, Presiden Amerika Serikat meminta persetujuan Senat Amerika Serikat (Perwakilan Daerah), sedangkan Presiden Indonesia meminta persetujuan DPR (Perwakilan Rakyat), serta memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing seperti dalam masa jabatan, wakil panglima, dan penggiliran jabatan dari setiap angkatan, yang tercantum dalam Undang-Undang No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan The United States Code dalam hal mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara ilmiah yaitu dalam ranah kajian ilmu hukum, maupun secara praktis dan akademis. Kata Kunci: Panglima, Pengangkatan Panglima Tinggi Militer, Perbandingan di Indonesia dan Amerika Serikat.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT: SEBUAH PERBANDINGAN” dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kan pada baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat. Dan tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua tercinta ibunda Susilowati dan ayahanda Kuncoro,SH. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil maupun immaterial. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
2.
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.
Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. Selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan sabar kepada penulis selama ini sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
4.
Fitria., S.H., M.R. Selaku dosen pembimbing skripsi dan juga dosen pembimbing akademik yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.
5.
Segenap Dosen serta staff Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.
6.
Kakak terhormat Yosseano Kuncahyo, S.H., M.H. dan adik-adik tercinta Sandi Rahmat Saputra dan Rangga Kusuma Dewa yang telah memberikan dukungan dan semangatnya serta yang telah menemani penulis sejak kecil hingga selesainya penulisan skripsi ini.
7.
Kekasih tercinta Nur Fadhillah Ramadhani Laia atas dukungan moril, cinta dan kasih sayangnya kepada penulis selama ini dan tanpa lelah menemani penulis sejak penyusunan skripsi hingga selesai.
vi
8.
Teman-teman dan sahabat-sahabat tercinta dari Ilmu Hukum Angkatan 2012 Muhammad Yusuf, Said Agung Sedayu, Muchtar Ramadhan, Muhammad Ansyori, Muhammad Raziv, Agasti Prior, Putri Amalia dan teman-teman lainnya terima kasih atas kebersamaan dan keceriaan kalian selama ini.
9.
Rekan-rekan di Dota 2 Clinic Eko Pambudi, M Aditya Pratama, Alnovansi Wicaksono, Anthony Abednego, Taufan Syahputra, Mochammad Farzha, Muhammad Fahrul, Jeremia Tamunu, Moch Rialdy Permana dan rekan-rekan lainnya yang mensuport saya selama ini.
10.
Kelompok KKN GARUDA, Fajar Sugiarto, Hafizah Oktavia, Ayu Vera, Septidi Age, Via Syafiqa, Khairiah Fajrin dan lainnya yang telah memberikan kesan dan persahabatan kepada penulis.
11.
Sahabat-sahabat tercinta Ruwanto Syahputra, Muhammad Didi Majdi Saleh, Ridwan Setiadi, Randi Ranata, Ajib, Mochammad Farzha, Adiransyah Latief, Wandy Pangestu, Dwiki Maxi Rianto, Dwiko Maxi Rianto, Juli Argani, Rheza Wiguna, Ridho Abdul Majid dan yang lainnya terima kasih atas segala waktu, kebersamaan, dan pelajaran yang bisa penulis petik dari kalian semoga kita sukses bersama.
12.
Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT.
vii
Demikian penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, 28 September 2016 Penulis,
Rifqi Razaqi Rajab
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................
iii
ABSTRAK .........................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................
v
DAFTAR ISI ......................................................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B.
Identifikasi Masalah ................................................................
6
C.
Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah .........................
7
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
8
E.
Metode Penelitian ...................................................................
9
F.
Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ......................................
13
G.
Sistematika Penulisan ............................................................
15
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER A.
Landasan Teori Sistem Presidensiil ........................................
ix
17
B.
Landasan Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power).............................................................
21
C.
Landasan Teori Check and Balances ......................................
24
D.
Check and Balances dalam Pengangkatan Panglima Tinggi Militer .....................................................................................
BAB III
27
MEKANISME PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT A.
Tentara Nasional Indonesia ....................................................
B.
The Joint Chiefs of Staff United States (Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat) .....................................................................
C.
34
Mekanisme Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Amerika Serikat .....................................................................................
BAB IV
32
Mekanisme Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia .................................................................................
D.
29
37
ANALISIS PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT A.
Implementasi Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia dan Amerika Serikat ...............................................................
B.
40
Perbedaan dan Persamaan antara Kedua Negara dalam Hal Pengangkatan Panglima Tinggi Militer ..................................
x
42
C.
Kekurangan dan Kelebihan antara Kedua Negara dalam Hal Pengangkatan Panglima Tinggi Militer ..................................
BAB V
44
PENUTUP A.
Kesimpulan .............................................................................
51
B.
Saran .......................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan sejarahnya, di Indonesia dikenal adanya tiga lembaga yang menjalankan tiga kekuasaan yang berbeda sesuai dengan amanat konstitusi yakni; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Hal ini merupakan cerminan dari teori pemisahan kekuasaan antar lembaga negara yang dipelopori oleh Montesquieu. 1Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan penyelengaraan administrasi negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya sistem pemerintahan negara, yaitu: (i) Sistem pemerintahan presidensiil, (ii) Sistem pemerintahan parlementer atau sistem kabinet, dan (iii) sistem pemerintahan campuran.2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945) menyebutkan bahwa Negara Indonesia menganut sistem presidensil yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi
“Presiden
Republik
Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”. Dalam sistem presidensiil, 1
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, (Bandung: PT.Alumni, 2010), cet-ke 1, h. 3 2 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h.323
1
2
pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif di sini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu badan atau organ yang dalam menjalankan tugas eksekutif itu tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat. 3 Namun, di Indonesia terdapat asas Check and Balances antara Lembaga Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) yang membuat kedua lembaga tersebut saling mengawasi dan mengontrol. Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disebut TNI) merupakan pelaksana pertahanan negara dan keamanan negara sesuai dengan ketentuan mengenai pertahanan dan keamanan negara yang tertuang dalam Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi "TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara". TNI dipimpin oleh seorang panglima TNI sebagai panglima tinggi militer, sedangkan masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan. Sebagai salah satu bagian dari pertahanan dan keamanan negara, TNI mempunyai hubungan dengan presiden sebagai pemegang kekuasaan atas angkatan darat, laut dan udara yang diatur dalam Pasal 10 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”. Ketentuan mengenai keamanan negara 3
Ni'matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet-ke 4, h. 253
3
tersebut menunjukan jika presiden mempunyai peranan penting di dalamnya untuk mewujudkan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dari serangan luar.4 Menurut Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Selanjutnya disebut UU TNI), panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh presiden setelah mendapat persetujuan DPR.5 Dalam hal persetujuan ini, DPR yaitu melalui Komisi 1 berhak melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) guna menentukan layak atau tidaknya seorang jendral diangkat menjadi seorang panglima. Begitupun dengan negara demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial tertua, yakni Amerika Serikat (AS) memiliki lembaga negara yaitu, United States Senate6 (Selanjutnya disebut Senat Amerika Serikat) dan United States House of Representatives7 (Selanjutnya disebut DPR Amerika Serikat). Dalam Pasal 2 Ayat 2 Konstitusi Amerika Serikat (The Constitution of the United States Article 2 Section 2) menyebutkan bahwa “The President
4
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, (Bandung: PT.Alumni, 2010), cet-ke 1h. 141 5 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet-ke 1, h. 113 6 United States Senate (Senat Amerika Serikat) terdiri dari dua Senator dari setiap Negara Bagian, yang dipilih oleh Badan Legislatif Negara Bagian tersebut, untuk enam tahun; dan masing masing Senator akan memiliki satu suara. 7 United States House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat) terdiri dari para anggota yang dipilih setiap tahun kedua oleh rakyat di beberapa Negara Bagian, dan para pemilih di setiap Negara Bagian harus memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk menjadi pemilih bagi cabang dari Bagan Legislatif Negara Bagian yang terbanyak.
4
shall be Commander in Chief of the Army and Navy of the United States, and of the Militia of the several States” yang berarti Presiden Amerika Serikat adalah panglima tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika Serikat, Serta beberapa angkatan lainnya. Di Amerika Serikat, Undang-undang Amerika Serikat memberi fungsi unik kepada Senat Amerika Serikat dalam hal pengangkatan panglima tingginya, agar ada keseimbangan kekuasaan dengan setiap unsur di bawah pemerintah federal. Senat Amerika Serikat berfungsi meratifikasi setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah federal dan juga memberi “restu” (advice and consent) usulan presiden untuk pengangkatan anggota kabinet, pejabat militer, serta pejabat federal lainnya yang keputusannya berdampak bagi banyak orang dan kehidupan negara. Dalam hal pengangkatan panglima tinggi militer secara resmi didirikan di bawah judul II, bagian 211 dari Undang-Undang Keamanan Nasional 1947 (The National Security Act of 1947) sebelum bagian 209-214 dari judul II itu dicabut oleh hukum dan memberlakukan Bab 10 dan Bab 32, The United States Code (Act of August 10, 1956, 70A Stat. 676) pada tahun 1956 untuk menggantikan The National Security Act of 1947. Selanjutnya diatur lebih jauh dalam Undang-Undang Amerika Serikat atau yang disebut The Code of Laws of the United States of America (Disingkat Code of Laws of
5
the United States, United States Code, U.S. Code, or U.S.C.) 8. United States Code adalah kompilasi resmi dan kodifikasi umum dan juga tetap dari Federal Statutes of the United States (Undang-Undang Federal Amerika Serikat).9 Di dalam The United States Code Title 10 Section 152a(1) Chairman: appointment; grade and rank10 menyebutkan bahwa: There is a Chairman of the Joint Chiefs of Staff, appointed by the President, by and with the advice and consent of the Senate, from the officers of the regular components of the armed forces. The Chairman serves at the pleasure of the President for a term of two years, beginning on October 1 of odd-numbered years. Subject to paragraph (3), an officer serving as Chairman may be reappointed in the same manner for two additional terms. However, in time of war there is no limit on the number of reappointments. Terdapat Ketua Kepala Staf Gabungan, diangkat oleh Presiden, oleh dan dengan saran dan persetujuan dari Senat, berdasarkan perwira tetap dari anggota angkatan bersenjata. Ketua bertugas kepada Presiden untuk masa jabatan dua tahun, dimulai pada tanggal 1 Oktober tahun ganjil. Bergantung atas ayat (3), seorang petugas yang menjabat sebagai Ketua dapat diangkat kembali dengan cara yang sama dengan dua persyaratan tambahan. Namun, pada saat perang tidak ada batasan pada jumlah pengangkatan kembali.
8
The United States Code mengandung 52 judul, edisi utama diterbitkan setiap enam tahun dan tambahan kumulatif setiap tahunnya oleh The Office of the Law Revision Counsel (LRC) of the U.S. House of Representatives yang berfungsi mempersiapkan dan menerbitkan The United States Code yang merupakan konsolidasi dan kodifikasi oleh subjek hukum umum dan permanen di Amerika Serikat. 9 Undang-Undang Federal Amerika Serikat berasal dari Konstitusi Amerika Serikat yang memberikan Kongres (Congress) kekuasaan untuk memberlakukan undang-undang untuk beberapa tujuan tertentu seperti mengatur perdagangan antar negara bagian. 10 Dibaca Bab 10 Ayat 152 Pasal A Butir 1 Undang-Undang Amerika Serikat tentang Ketua: Pengangkatan, tingkat dan pangkat
6
Bahwa dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa panglima tinggi militer dipilih oleh presiden setiap 2 tahun sekali dengan persetujuan dan saran dari Senat Amerika Serikat dan mengemban tugas sejak 1 Oktober dan dapat di tunjuk untuk kedua kalinya. UUD 1945 Negara Republik Indonesia tidak memberikan fungsi unik ini, baik kepada Dewan Perwakilan Daerah (Selanjutnya disebut DPD) maupun DPR, untuk persetujuan pengangkatan dan pemberhentian pejabat eksekutif negara. Fungsi tersebut justru ada pada hukum di bawah konstitusi yang salah satunya UU No.34/2004 dan memberikan fungsi tersebut kepada DPR bukan DPD. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai perbedaan dan perbandingan antara kedua negara penganut sistem presidensiil Negara Indonesia dan Negara Amerika Serikat dalam hal pengangkatan Panglima TNI dengan mengangkat judul skripsi tentang "Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia dan Amerika Serikat: Sebuah Perbandingan." B. Identifikasi Masalah Dengan keterlibatan DPR dalam hal pengangkatan panglima TNI di Indonesia memiliki perbedaan dengan negara demokrasi yang menganut
7
sistem pemerintahan presidensial tertua, yakni Amerika Serikat (AS) yang memberikan fungsi tersebut kepada United States Senate atau DPD jika diIndonesia. Hal ini membuat banyaknya perbandingan yang dapat diteliti dan di kaji. Dengan ini penulis ingin melakukan penelitian tentang “Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia dan Amerika Serikat: Sebuah Perbandingan.” C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan masalah tentang pembahasan seputar hak dan kewenangan yang dimiliki oleh presiden dalam pengangkatan panglima tinggi militer dalam sistem presidensiil, maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini dibatasi hanya melihat dari aspek perbandingan antara kedua negara yang menganut sistem presidensiil yaitu di Indonesia dan di Amerika Serikat. Pembatasan ini dilakukan agar lebih fokus guna mempermudah penulis dalam penelitian, dan juga untuk menghindari perluasan pembahasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang akan diteliti.
8
2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang dan pembasatan masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang selanjutnya dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia & Amerika Serikat berdasarkan peraturan perundangundangan di Indonesia dan Amerika Serikat? b. Bagaimanakah implementasi pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat? c. Apakah persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Amerika Serikat dalam hal pengangkatan panglima tinggi militer.
9
b. Untuk mengetahui implementasi pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat. c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat 2. Manfaat Penelitian Penulis berharap supaya hasil penelitian ini tidak berhenti sampai disni, namun penulis menaruh harapan besar agar penelitian ini bermanfaat antara lain: a. Manfaat teoritis: 1) Untuk lebih memperkaya khazanah ilmu pengetahuan baik dibidang hukum pada umumnya maupun di bidang hukum kelembagaan negara pada khususnya. 2) Untuk dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum secara teoritis, khususnya bagi hukum tatanegara mengenai pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat.
10
3) Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin mengetahui dan mendalami tentang pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat. b. Manfaat Praktis Penulis mengharapkan agar memberikan sumbangan pemikiran mengenai aspek hukum tata negara, khususnya mengenai pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat. E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif dan penelitian kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan.11 Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Penelitian ini juga dapat disebut sebagai penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang menggunakan data sekunder. 12 Sedangkan, Penelitian kualitatif
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.23 12 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 10
11
bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Dengan juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian.13 Adapun dalam penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif (Comparative Approach) pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara, dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Selain itu, dapat juga
diperbandingkan
di
samping undang-undang
yaitu putusan
pengadilan di beberapa negara untuk kasus yang sama.14 2.
Sumber Data Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan sekunder, sedangkan yang dimaksud dengan bahan hukum primer adalah merupakan bahan yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Juga data primer yang diperoleh langsung dari sumber baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi.
13
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), cet-ke 5, h. 105 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2011), cet-ke 11, h. 95
14
12
Adapun bahan sekunder adalah berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.15 Adapun yang termasuk dalam sumber data primer dan sekunder dalam penelitian ini adalah: a.
Sumber Bahan Primer i.
Undang-Undang Dasar 1945
ii.
The Constitution of the United States
iii.
UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
iv.
The United States Code (Act of August 10, 1956, 70A Stat. 676)
b.
Sumber Bahan Sekunder Bahan sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku umum, buku-buku hukum, undang-undang dan literatur lainnya, serta wawancara secara langsung terhadap ahli atau pakar yang dapat dijadikan sebagai rujukan yang mengacu dan berhubungan
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2006), cet-ke 6,
h. 181
13
dengan bahasan yang sedang dikerjakan yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas oleh peneliti. 3.
Tehnik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data primer (data yang diperoleh langsung dari sumbernya) dan data sekunder (data yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya) adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data sekunder dari berbagai buku, dokumen dan tulisan yang relevan untuk menyusun konsep penelitian serta mengungkap objek penelitian. Studi kepustakaan dilakukan dengan banyak melakukan telaah dan pengutipan berbagai teori yang relevan utuk menyusun konsep penelitian. Studi kepustakaan juga dilakukan untuk menggali berbagai informasi dan data faktual yang terkait atau merepresentasikan masalah-masalah yang dijadikan obyek penelitian, yaitu Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia dan Amerika Serikat.
4.
Tehnik Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.
14
5.
Teknik Penulisan Ada pun teknik yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Berdasarkan masalah yang dibahas merupakan masalah baru dalam bidang hukum. Maka, dalam review kajian terdahulu ini akan memaparkan penelitian yang sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya yang pernah membahas seputar Hak Prerogatif yaitu: 1.
“Hak
Prerogatif
Presiden
Terhadap
Kementerian
Negara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara (Kajian Yuridis)”. Skripsi ini ditulis oleh Budi Nugraha dari Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Kelembagaan Negara. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang Hak Prerogatif Presiden dalam hal pengangkatan Menteri-menteri dibawah presiden. 2.
“Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisisan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian”. Skripsi ini ditulis oleh
15
Rizky Ramandhika dari Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Kelembagaan Negara. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang Peran Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pengangkatan Kepala Kepolisisan Republik Indonesia. 3.
“Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Budi Gunawan Sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia”. Skripsi ini ditulis oleh Fany Fatwati Putri dari Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Kelembagaan Negara. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang Kewenangan Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dangan persetujuan DPR.
4.
"Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju". Buku ini adalah karya dari Abdul Ghoffar, S.Pd.I., S.H., M.H. yang membahas tentang Kekuasaan Presiden melalui perbandingan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsiyang akan penulis sampaikan dalam proposal inimeliputi beberapa bagian, yaitu: BABI
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pematasan masalah, rumusan malasah, tinjauan
16
(Review) kajian terdahulu, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II
Bab ini berisikan tentang teori sistem presidensiil, teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power), teori Check and Balances, Check and Balances dalam Pengangkatan Panglima Tinggi Militer.
BAB III
Bab ini berisikan tentang Tentara Nasional Indonesia, The Joint Chiefs of Staff United States (Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat), mekanisme pengangkatan panglima TNI di Indonesia dan di Amerika Serikat.
BAB IV
Bab
ini
berisikan
tentang
analisis
dan
implementasi
pengangkatan panglima tinggi militer di kedua negara (Indonesia dan Amerika Serikat), perbedaan dan persamaan serta kelebihan dan kekurangan antara kedua negara terserbut. BAB V
Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER A. Landasan Teori Sistem Presidensiil Sistem pemerintahan sudah menjadi darah bagi suatu negara dalam menjalankan pemerintahannya yang berguna untuk mencapai cita-cita bangsa tersebut. Mahfud MD mengatakan bahwa di dalam studi ilmu negara dan ilmu politik dikenal adanya tiga sistem pemerintahan negara yaitu presidensiil, parlementer, dan refendum.1 Namun, kali ini penulis hanya membahas tentang sistem presidensiil dikarenakan menjadi landasan utama dari judul skripsi ini. Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan yang dikepalai oleh seorang presiden dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Menurut Jimly Asshiddiqie, keuntungan sistem presidensial adalah untuk menjamin stabilitas pemerintahan. Namun, sistem ini juga mempunyai kelemahan yaitu cenderung menempatkan eksekutif sebagai bagian kekuasaan yang sangat berpengaruh karena kekuasaannya besar. Untuk itu, diperlukan pengaturan konstitusional untuk mengurangi dampak negatif atau kelemahan yang di bawa sejak lahir oleh sistem presidensiil tersebut.2
1
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia; Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 74. 2 Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), cet-ke 3, h.75.
17
18
Kelebihan sistem presidensial menurut Arend Lijphart adalah sebagai berikut: 1.
Akan terjadi stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden. Stabilitas eksekutif ini berlawanan dengan instabilitas eksekutif yang biasanya melahirkan suatu sistem parlementer dari penggunaan kekuasaan legislaif untuk membentuk kabinet melalui mosi tidak percaya atau sebagai akibat dari hilangnya dukungan mayoritas terhadap cabinet di parelemen.
2.
Pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat dipandang lebih demokratis dari pemilihan tak langsung (formal atau informal) dalam sistem presidensiil. Memang dalam demokrasi tidak menuntut pemilihan semua pejabat pemerintah oleh rakyat secara langsung. Tetapi argumen bahwa kepala pemerintahan, yang merupakan pemegang jabatan paling penting dan berkuasa di dalam pemerintahan yang demokratis, harus dipilih secara langsung oleh rakyat mengandung validitas yang tinggi.
3.
Dalam sistem presidensiil telah terjadi pemisahan kekuasaan yang berarti pemerintahan yang dibatasi sehingga jaminan atas perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah akan terminimalisasi.3
3
Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Studi Konstitusional tentang Pemnisahan Kekuasaan Negara), (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003), h. 122-123.
19
Sementara itu, kelemahan dalam sistem presidensial menurut Arend Liphart adalah sebagai berikut:4 1.
Akan mudah terjadi kemandekan dalam hubungan eksekutif dan legislatif. Inilah yang merupakan konsekuensi pertama dari sistem presidensiil.
2.
Dalam sistem ini terjadi kekakuan temporal. Kini terlihat dari masa jabatan presiden yang pasti menguraikan periode-periode yang dibatasi secara kaku dan tidak berkelanjutan, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian yang dikehendaki oleh keadaan.
3.
Sistem presidensiil dipandang mempunyai cacat bawaan karena sistem ini berjalan atas dasar aturan "pemenang menguasai semuanya". Sehingga politik demokrasi akan menjadi sebuah permainan dengan semua potensi konfliknya. Sistem presidensiil telah dianut oleh beberapa negara didunia ini
termasuk Amerika Serikat dan Indonesia. Amerika Serikat dianggap sebagai negara penganut sistem presidensiil tertua didunia. Ciri-ciri model sistem presidensiil Amerika Serikat yang disebut sebagai pencerminan sistem pemerintahan presidensiil murni, menurut Bagir Manan adalah sebagai berikut:
4
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), cet-ke 1, h. 52.
20
1.
Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal.
2.
Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang bertanggung jawab, selain berbagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif dan biasanya melekat ada jabatan kepala negara (head of state).
3.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan (conggress), karena itu tidak dapat dikenai mosi tidak percaya oleh conggress.
4.
Presiden tidak dipilih dan tidak diangkat oleh conggress. Dalam praktiknya langsung dipilih oleh rakyat, walaupun secara formal dipilih oleh badan pemilih (electoral college).
5.
Presiden memangku jabatan empat tahun (fixed), dan hanya dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan berturut-turut (8 tahun). Dalam hal mengganti jabatan yang berhalangan tetap, jabatan tersebut paling lama 10 tahun berturut-turut.
6.
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatan melalui “impeachment” karena melakukan pengkhianatan, menerima suap, melakukan kejahatan berat, dan pelanggaran lainnya.5
5
49.
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2003), cet-ke 2, h. 48-
21
B. Landasan Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power) Teori pemisahan kekuasaan, yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai doktrin "Trias Politika" dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya L'esprit des Loi. Dasar pemikiran doktrin Trias Politika sudah pernah dikemukakan oleh Aristoteles dan kemudian juga pernah dikembangkan oleh John Locke. Dengan begitu, ajaran ini bukan ajaran yang baru bagi Montesquieu.6 Montesquieu, dalam bukunya L'esprit des Loi (1748), membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu: (1) kekuasaan legislatif sebagai pembuat
undang-undang,
(2)
kekuasaan
eksekutif
yang
bertugas
melaksanakan undang-undang, dan (3) kekuasan yudikatif sebagai pengawas undang-undang. Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function) dan yudisial (the yudcial function). 7 Sebaliknya oleh Montesquieu, kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut oleh John Locke "federatif" dimasukan ke dalam kekuasaan eksekutif.8 Filsuf Inggris, yakni John Locke, menjabarkan pemikirannya mengenai seperations of power atau dikenal juga sebagai teori pemisahan 6
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), cet-ke 1, h. 11 7 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cetke 1, h. 283. 8 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), cet-ke 2, h. 6
22
kekuasaan pada bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government yang diterbitkan tahun 1690 yang ditulis sebagai kritik pada kekuasaan absolute raja Stuart dan membenarkan The Glorious Revolution yang dimenangkan oleh parlemen Inggris.9 John Locke menyebutkan tiga lembaga pemerintahan berdasarkan teori pemisahan kekuasaannya, yakni: 1.
Lembaga eksekutif, yang berfungsi sebagai lembaga yang menangani pembuatan peraturan dan perundang-undangan,
2.
Lembaga legislatif, yang berfungsi sebagai lembaga yang menjalankan peraturan dan perundang-undangan, termasuk lembaga yang
bekerja
untuk
mengadili
pelanggaran
peraturan
dan
perundang-undangan, dan 3.
Lembaga federatif, yang menjalankan fungsi dalam hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti mengumumkan perang dan perdamaian
terhadap
negara-negara
lain
dan
mengadakan
perjanjian. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada
9
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h.
151.
23
koordinasi atau kerjasama. 10 Pendapat tersebut membuka celah bagi antara cabang-cabang kekuasaan untuk menerapkan prinsip check and balances yang berbeda dengan Toeri Trias Politica milik Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan secara tegas tanpa adanya hubungan kerjasama dan koordinasi. Jimly Asshiddiqie mengatakan, kalaupun istilah pemisahan kekuasaan tadinya hendak dihindari, namun kita dapat saja menggunakan istilah pemisahan kekuasaan (division of power) seperti yang dipakai oleh Athur Mass, yaitu capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifat vertikal.11 Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:12 1.
Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya
pembagian
kekuasaan
antara
beberapa
tingkat
pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
10
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta : Pusat Studi Tata Negara, Fakultas hukum Universitas Indonesia, 1981), h. 140. 11 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet-ke 1, h. 292. 12 Akhmad Rustandi dan Zul Afdi Ardian, Tata negara : kurikulum 1984/GBPP 1987, (Bandung : Armico, 1992), h. 62.
24
Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya.
2.
Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif. C. Landasan Teori Check and Balances Di dalam pemerintahan Negara Indonesia di kenal dengan adanya sistem check and balances antara lembaga tinggi negara satu dengan lembaga tinggi negara yang lainnya. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak lagi menganut paham Trias Politica Montesquieu secara mutlak, yang memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara tegas tanpa adanya hubungan-hubungan saling mengawasi ataupun mengendalikan satu dengan yang lain. Istilah checks and balances menurut Black's Law Dictionary, diartikan sebagai: arrangement of governmental power whereby power of one govermental branch check or balance those of other brance.1314 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan dalam buku Black's Law Dictionary dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa check and balances merupakan suatu prinsip yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan serta tindakan antara satu kekuasaan dengan kekuasaan yang lainnya, seperti halnya kekuasaan legislatif dan eksekutif di Indonesia yang sama-sama saling mengawasi setiap kebijakan yang dibuatnya. 13
Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing), h. 238. Terjemahan: “Susunan pemerintahan yang kuat berdasarkan kekuatan suatu cabang pemerintahan yang memeriksa dan menyeimbangkan cabang pemerintahan lainnya.” 14
25
Di Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system, dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan eksekutif terhadap legislatif, Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima oleh Congress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative (semacam DPR) dan Senate (semacam lembaga utusan negara bagian).15 Berdasarkan pola hubungan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, operasionalisasi dari teori checks and balances dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut : 1.
Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya kewenangan pembuatan undang-undang yang diberikan kepada pemerintah dan parlemen sekaligus. Jadi terjadi overlapping yang dilegalkan terhadap kewenangan pejabat negara antara satu cabang pemerintahan dengan cabang pemerintahan lainnya.
2.
Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Banyak pejabat tinggi negara dimana dalam proses pengangkatannya melibatkan lebih dari satu
15
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 69.
26
cabang pemerintahan, misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif. 3.
Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu terhadap cabang pemerintahan yang lainnya.
4.
Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang eksekutif oleh cabang legislatif dalam hal penggunaan budget negara.
5.
Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata terakhir (the last word) jika ada pertikaian kewenangan antara badan eksekutif dengan legislatif.16 Penerapan teori checks and balances seperti tersebut di atas, telah
dipraktekkan oleh Amerika Serikat yang mengaku sebagai kiblat negara demokrasi. Dalam UUD NRI 1945, pola hubungan yang menerapkan prinsip checks and balances melibatkan lembaga-lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembagalembaga tinggi negara tersebut yakni DPR, DPD, Presiden, MA dan MK, serta Komisi Yudisial (KY).
16
124-125.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung : PT Refika Aditama, 2009), h.
27
D. Check and Balances dalam Pengangkatan Panglima Tinggi Militer Prinsip check and balances antara lembaga eksekutif yakni presiden dan lembaga legislatif yaitu Senat Amerika Serikat dalam pengangkatan pejabat-pejabat eksekutif jelas tertulis dalam Konstitusi Amerika Serikat Pasal 2 Ayat 2 yang berbunyi: He shall have Power, by and with the Advice and Consent of the Senate, to make Treaties, provided two thirds of the Senators present concur; and he shall nominate, and by and with the Advice and Consent of the Senate, shall appoint Ambassadors, other public Ministers and Consuls, Judges of the supreme Court, and all other Officers of the United States, whose Appointments are not herein otherwise provided for, and which shall be established by Law. Dia akan memiliki Wewenang, oleh dan dengan Nasihat dan Persetujuan Senat, untuk membuat Perjanjian, dibutuhkan dua pertiga persetujuan Senator yang hadir; dan ia akan mencalonkan, dan oleh dan dengan Nasihat dan Persetujuan Senat, akan menunjuk Duta, Menteri lain dan Konsul, Hakim Mahkamah Agung, dan semua petugas lainnya dari Amerika Serikat, yang Jabatannya tidak ada dalam dokumen ini sebaliknya disediakan, dan yang harus ditetapkan dengan Undang-Undang. Yang artinya Presiden Amerika Serikat akan mempunyai Wewenang, oleh dan dengan Nasihat dan Persetujuan Senat, untuk membuat Perjanjian, asal dua pertiga anggota Senat yang hadir setuju; dan ia akan mencalonkan, atas dan dengan Nasihat dan Persetujuan Senat, mengangkat Duta Besar, Duta-Duta lain dan Konsul, Hakim Makamah Agung, dan semua pejabat lain Amerika Serikat, yang pengangkatannya belum disebut didalam ayat tersebut, yang akan
28
ditentukan dengan Undang-Undang. Seperti pengangkatan panglima tinggi militernya yaang dimuat dalam United States Code Bab 10 Ayat 152 butir a poin 1 tentang Ketua: Pengangkatan, Tingkat dan Pangkat. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya persetujan maka bertujuan untuk membatasi kekuasaan serta tindakan presiden agar tidak terjadi abuse of power. Seperti halnya di Indonesia yang samasama menerapkan prinsip check and balances dalam hal pengangkatan panglima tinggi militernya. Di Indonesia sendiri, prinsip ini tidak dituangkan secara eksplisit dalam konstitusi, namun dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya yaitu pada pasal 13 ayat 2 UU TNI.17
17
Pasal 13 Ayat 2 UU TNI berbunyi “Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
BAB III MEKANISME PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT A. Tentara Nasional Indonesia TNI adalah angkatan bersenjata milik Negara Indonesia. TNI terdiri dari tiga angkatan bersenjata, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara. TNI dipimpin oleh seorang Panglima TNI, sedangkan masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan. Perubahan UUD 1945 mengenai TNI, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30. Dalam pasal ini ditentukan dengan jelas mengenai perbedaan tugas dan kewenangan masing-masing untuk menjamin perwujudan demokrasi dan tegaknya rule of law. Pasal ini berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Adapun Pasal 30 ayat (2) menentukan bahwa “Usaha pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. 1 Sementara itu, dalam ayat (3) Pasal 30 berbunyi, “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
1
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), h. 120.
29
BAB III MEKANISME PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT A. Tentara Nasional Indonesia TNI adalah angkatan bersenjata milik Negara Indonesia. TNI terdiri dari tiga angkatan bersenjata, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara. TNI dipimpin oleh seorang Panglima TNI, sedangkan masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan. Perubahan UUD 1945 mengenai TNI, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30. Dalam pasal ini ditentukan dengan jelas mengenai perbedaan tugas dan kewenangan masing-masing untuk menjamin perwujudan demokrasi dan tegaknya rule of law. Pasal ini berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Adapun Pasal 30 ayat (2) menentukan bahwa “Usaha pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. 1 Sementara itu, dalam ayat (3) Pasal 30 berbunyi, “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
1
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), h. 120.
29
30
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.”.2 Sesudah reformasi nasional, diadakan pemisahan yang tegas antara kedudukan dan peran TNI dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) sebagai bagian dari ABRI ditiadakan. Pemisahan tersebut ditetapkan dengan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI, serta Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI. Berdasarkan hal itu, pada tahun 2002 diundangkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan juga UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Selanjutnya, pada tahun 2004 dibentuk pula UU TNI (UU No.34 Tahun 2004). Rancangan UU TNI itu disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dan pada rapat paripurna DPR 30 September 2004. Berdasarkan UU TNI ini, jelas ditentukan bahwa TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan. Sesuai ketentuan Pasal 2 UU TNI tersebut, TNI adalah : 1. 2.
2
Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara indonesia; Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya;
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), h. 252.
31
3.
4.
Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan indonesia yang bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama; Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya. serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.3
Menurut UU TNI, dalam pengarahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden. Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI dibawah koordinasi Departemen Pertahanan. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Tugas pokok TNI sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.4
3
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), h. 122. 4 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), h. 254.
32
B. The Joint Chiefs of Staff United States (Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat) The Joint Chiefs of Staff (Gabungan Kepala Staf) atau biasa disingkat JCS adalah badan pimpinan perwira militer senior di Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang menjadi penasihat Menteri Pertahanan, Dewan Keamanan Dalam Negeri, Dewan Keamanan Nasional dan Presiden Amerika Serikat pada masalah-masalah militer. Komposisi Gabungan Kepala Staf ini diatur oleh Bab 10 Ayat 151 tentang Gabungan Kepala Staf: Komposisi dan Fungsi yang terdiri dari Ketua Gabungan Kepala Staf5, Wakil Ketua Gabungan Kepala Staf 6 , Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Komandan Korps Marinir, dan Kepala Biro Garda Nasional. Semua anggota tersebut ditunjuk oleh Presiden setelah mendapat konfirmasi dari Senat Amerika Serikat. Komandan Penjaga Pantai tidak termasuk kedalam Gabungan Kepala Staf karena Penjaga Pantai normalnya berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri, sementara empat cabang angkatan yang lain berada di bawah Departemen Pertahanan. Namun penjaga pantai adalah salah satu kecabangan militer dari Angkatan Bersenjata Amerika dan dapat beroperasi di bawah Departemen Angkatan Laut selama masa perang.
5
Ketua Gabungan Kepala Staf biasa disebut The Chairman of the Joint Chiefs of Staff (CJCS) atau disingkat The Chairman. 6 Wakil Ketua Gabungan Kepala Staf biasa disebut The Vice Chairman of the Joint Chiefs of Staff (VJCS)
33
Namun Komandan Penjaga Pantai kadang-kadang diundang oleh ketua untuk menghadiri pertemuan Gabungan Kepala Staf.7 Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat memiliki tugas berdasarkan The National Security Act of 1947 Ayat 211 Pasal 2, yaitu: 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
Untuk mempersiapkan rencana strategis dan menyediakan arahan strategis untuk pasukan militer; Untuk mempersiapkan rencana logistik dan menentukan tanggung jawab logistik sesuai dengan rencana tersebut kepada pasukan militer; Untuk membangun komando terpadu di daerah yang strategis ketika dibutuhkan dalam kepentingan keamanan nasional; Merumuskan kebijakan untuk pelatihan bersama pasukan militer; Merumuskan kebijakan untuk mengkoordinasikan pendidikan anggota pasukan militer; Untuk meninjau kebutuhan materi dan personil dari pasukan militer, sesuai dengan rencana strategis dan logistik; dan Untuk memberikan Amerika Serikat representasi dari Komite Staf Militer PBB sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat dipimpin oleh seorang Ketua
Gabungan Kepala Staf yang merupakan perwira militer tertinggi di Angkatan Bersenjata Amerika. Ketua Gabungan Kepala Staf merupakan penasihat militer utama Presiden Amerika Serikat, Dewan Keamanan Nasional, Dewan Keamanan dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan.8 Walaupun Ketua Kepala Staf Gabungan secara hirarki berada di atas semua perwira lainnya, dia tidak memiliki kewenangan komando operasional 7
Dikutip dari Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Ketua_Kepala_Staf_Gabungan_Amerika_Serikat) yang diakses pada tanggal 7 September 2016 8 Dikutip dari Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Ketua_Kepala_Staf_Gabungan_Amerika_Serikat) yang diakses pada tanggal 7 September 2016.
34
atas angkatan bersenjata. Namun ketua gabungan dapat membantu Presiden dan Menteri Pertahanan dalam melaksanakan fungsi komando mereka. 9 Ketua
Gabungan
Kepala
Staf
memimpin
pertemuan
dan
mengkoordinasikan upaya Kepala Staf Gabungan, yang terdiri dari ketua, Wakil Ketua Kepala Staf Gabungan, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Komandan Korps Marinir, dan Kepala Biro Garda Nasional. Gabungan Kepala Staf memiliki kantor di Pentagon. Semua cabang angkatan bekerja sama dalam operasi dan misi gabungan, di bawah sebuah Komando Tempur Terpadu (Unified Combatant Command), di bawah otoritas Menteri Pertahanan dengan pengecualian Penjaga Pantai (The United States Coast Guard), yang berada di bawah administrasi Departemen Keamanan Dalam Negeri dan menerima perintah operasional dari Menteri Keamanan Dalam Negeri.10 C. Mekanisme Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia Proses pengangkatan suatu jabatan dalam sebuah pemerintahan tidak terlepas dari adanya mekanisme yang harus dijalani. Pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia yang lebih dikenal dengan Panglima TNI memiliki
9
Dikutip dari Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Ketua_Kepala_Staf_Gabungan_Amerika_Serikat) yang diakses pada tanggal 7 September 2016. 10 Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7 September 2016.
35
alur yang sedikit rumit. Sesuai dengan pasal 13 ayat 2 UU TNI11, DPR berhak ikut andil dalam pengangkatan Panglima TNI sesuai dengan prinsip Check and Balances yang di tuangkan dalam Pasal 71 Ayat b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-Undang Susduk) yaitu memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang. Sebelum mengangkat seorang panglima, presiden terlebih dahulu mengusulkan satu orang calon panglima untuk mendapat persetujuan DPR. Beni Sukadis menambahkan bahwa presiden memilih beberapa calon dari setiap angkatan berdasarkan rekomendasi Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) TNI yang dipertimbangkan sesuai kemampuan dan kepentingan presiden. 12 Calon panglima tinggi aktif adalah perwira tinggi berbintang empat dengan pangkat Jenderal, Laksamana atau Marsekal yang pernah atau sedang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Untuk lebih mudahnya kita dapat melihat diagram dibawah:
11
Pasal 13 Ayat 2 UU TNI berbunyi “Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” 12 Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB dikantor LESPERSSI.
36
Persetujuan DPR terhadap calon panglima yang dipilih oleh presiden, disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari tidak termasuk masa reses, yang terhitung sejak permohonan persetujuan calon panglima diterima oleh DPR. Selanjutnya Komisi I DPR mengadakan fit and proper test kepada calon panglima yang diusulkan oleh presiden, setelah itu akan dibawa kedalam sidang paripurna DPR, melalui aklamasi terhadap anggota sidang dan jika disetujui maka akan diserahkan kembali ke presiden untuk dilantik. Namun, jika DPR tidak menyetujui calon panglima yang diusulkan oleh presiden, maka presiden mengusulkan satu orang calon lain sebagai pengganti. Apabila DPR tidak menyetujui calon panglima yang diusulkan oleh presiden,
DPR memberikan alasan tertulis
yang menjelaskan
ketidaksetujuannya. Jika dalam hal ini DPR tidak memberikan jawaban mengenai ketidaksetujuannya atas calon usulan presiden, maka DPR dianggap telah menyetujui, selanjutnya Presiden berwenang mengangkat panglima baru dan memberhentikan panglima lama. Mengenai hal tersebut Beni Sukadis,
37
Koordinator LESPERSSI berpendapat hingga saat ini tidak ada penolakan terhadap usulan calon dari presiden oleh DPR, karena menurutnya fit and proper test hanya sebatas formalitas dari DPR yang artinya pasti disetujui oleh DPR.13 D. Mekanisme Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Amerika Serikat Dalam mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di Amerika Serikat, di atur dalam United States Code Bab 10 Ayat 152 butir a poin 1 tentang Ketua: Pengangkatan, Tingkat dan Pangkat yang berbunyi: There is a Chairman of the Joint Chiefs of Staff, appointed by the President, by and with the advice and consent of the Senate, from the officers of the regular components of the armed forces. The Chairman serves at the pleasure of the President for a term of two years, beginning on October 1 of odd-numbered years. Terdapat Ketua Kepala Staf Gabungan, diangkat oleh Presiden, oleh dan dengan saran dan persetujuan dari Senat, berdasarkan perwira tetap dari anggota angkatan bersenjata. Ketua bertugas kepada Presiden untuk masa jabatan dua tahun, dimulai pada tanggal 1 Oktober tahun ganjil. Bahwa dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa seorang panglima tinggi militer dipilih oleh presiden setiap 2 tahun sekali dengan persetujuan dan saran dari Senat Amerika Serikat dan mengemban tugas sejak 1 Oktober dan dapat di tunjuk untuk kedua kalinya.
13
Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB dikantor LESPERSSI.
38
Berbeda dengan Indonesia yang menyerahkan wewenang kepada “wakil rakyat”, di Amerika Serikat seorang panglima tinggi militer atau biasa disebut Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat (Chairman of the Joint Chiefs of Staff) ditunjuk oleh presiden yang selanjutnya kepada “wakil daerah” yaitu Senat Amerika Serikat (The United States Senate) untuk memberikan saran dan persetujuan. Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat resmi menjabat sebagai panglima tinggi militer ketika diangkat pada 1 Oktober tahun ganjil pada periode Presiden menjabat. Seorang Ketua Kepala Staf Gabungan dapat menjabat selama 6 tahun dan dapat diperpanjang selama 8 tahun serta dapat diangkat kembali untuk kedua kalinya oleh presiden jika untuk kepentingan nasional serta tidak ada batas periode ketika dalam keadaan perang.14 Jika seorang Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat meninggal, pensiun, mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya, maka seorang yang menggantikan posisinya melanjutkan sisa masa jabatannya sesuai dengan United States Code Bab 10 Ayat 152 butir a poin 2 tentang Ketua: Pengangkatan, Tingkat dan Pangkat. Di Amerika Serikat, dalam memilih calon Ketua Kepala Staf Gabungan, Presiden harus melihat beberapa kriteria-kriteria yang diatur dalam
14
Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7 September 2016.
39
United States Code Bab 10 Ayat 152 butir b poin 2 tentang Ketua: Pengangkatan, Tingkat dan Pangkat, yaitu: 1.
Diangkat karena sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat (Vice Chairman of the Joint Chiefs of Staff), atau
2.
Menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Operasi Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Komandan Korps Marinir atau Komandan Tempur Khusus.
3.
Memiliki pangkat bintang 4 atau biasa disebut Jenderal15
4.
Ketua dan Wakil Ketua Staf Gabungan Amerika Serikat bukan dari cabang angkatan bersenjata yang sama.16
15
Di Amerika Serikat penyebutan Jenderal di bagi 2 yaitu, General untuk United States Army, United States Marine Corps, United States Air Force dan Admiral untuk United States Navy 16 Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7 September 2016.
BAB IV ANALISIS PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT A. Implementasi Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia dan Amerika Serikat Sesuai dengan apa yang dipaparkan pada Bab III tentang mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat, prosedur pengangkatan panglima tinggi militer dikedua negara sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-undang dimasing-masing negara. Begitupun menurut Beni Sukadis selaku Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) berdasarkan wawancara pada tanggal 8 September 2016, yaitu: “Jika dilihat UU TNI pasal 13 tentang pengangkatan panglima TNI, menurut saya sesuai dengan apa yang diundang-undang, masih berjalan secara normal. Saya lihat belum melihat kekurangan, masalah yang sebenarnya menurut saya di fit and proper test itu hanya sebatas formalitas karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke calon panglima belum ada yang kritis. Kalau bicara soal pemutaran panglima TNI disetiap angkatan itu kembali lagi ke hak prerogatif presiden. Menurut saya yang perlu dijelaskan secara eksplisit di dalam undangundang adalah mengenai pengalaman calon panglima TNI.” Meskipun dalam beberapa hal, Implementasi pengangkatan panglima tinggi militer di kedua negara dipengaruhi oleh hak prerogatif presiden yang membuat mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer keluar dari prosedur yang tertulis diundang-undang, contohnya di Indonesia, pada tahun
40
41
2015 Presiden Jokowi Dodo memilih Jenderal TNI Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI yang menggantikan Jendral Moeldoko. Pada saat itu seharusnya adalah „jatah‟ Angkatan Udara. Dengan diangkatnya Jendral Nurmantyo, Angkatan Udara sudah dua kali kehilangan jatahnya menjadi Panglima TNI. Pertama ketika Panglima TNI Jendral Djoko Santoso pensiun. Namun pada saat itu Presiden Yudhoyono memilih KASAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Jendral Moeldoko dari pada KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) Marsekal Ida Bagus Putu Dunia untuk memimpin TNI pada tahun 2013.1 Jika ditelisik berdasarkan Pasal 13 Ayat 4 UU TNI menyebutkan bahwa “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.”, Menurut penulis presiden mengabaikan pasal tersebut dan bertentangan dengan pasal tersebut. Namun, menurut Beni Sukadis hal ini tidak bertentangan dengan undang-undang karena adanya kepentingan subyektif dari seorang presiden.2
1
Dikutip dari Indoprogress (http://indoprogress.com/2015/07/jokowi-dan-jenderaljenderalnya/) yang diakses pada tanggal 20 September 2016. 2 Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB dikantor LESPERSSI.
42
Hal ini juga pernah beberapa kali diabaikan oleh Presiden Amerika Serikat dalam memilih The Chairman of the Joint Chiefs of Staff (Ketua Kepala Staf Gabungan) pada pengangkatan Jenderal Hugh Shelton yang menggantikan Jenderal John Shalikashvili pada tahun 1997 di kepemimpinan Bill Clinton, dimana saat itu Bill Clinton memilih dua kali Ketua Kepala Staf Gabungan dari angkatan yang sama.3 Namun, di kedua negara belum pernah terjadi abuse of power dari seorang presiden dalam hal pengangkatan panglima tinggi militernya dikarenakan adanya prinsip check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, membuat presiden kedua negara tersebut harus meminta persetujuan kepada badan legislatif. B. Persamaan
dan
Perbedaan
antara
Kedua
Negara
dalam
Hal
Pengangkatan Panglima Tinggi Militer Indonesia dan Amerika Serikat merupakan negara dengan bentuk pemerintahan republik yang sama-sama mengedepankan prinsip demokrasi, namun dalam hal pengangkatan panglima tingginya memiliki masing-masing cara dan mekanisme. Setelah pembahasan di Bab III tentang mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di kedua negara, Penulis melihat adanya kesamaan 3
Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7 September 2016.
43
dalam hal pengangkatan panglima tinggi militer antara Amerika Serikat dan Indonesia, tapi memiliki juga beberapa aspek yang membedakan mekanisme diantara kedua negara tersebut. Untuk memudahkan pembaca mengetahui persamaan dan perbedaan sekaligus, maka dari itu penulis menuangkan kedalam satu tabel, sebagai berikut:
Persamaan
Presiden kedua negara sama-sama membutuhkan persetujuan lembaga legislatif
Panglima tinggi militer kedua negara dipilih karena pernah atau sedang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan
Perbedaan Presiden Amerika Serikat meminta persetujuan Senat Amerika Serikat (Perwakilan Daerah), Sedangkan Presiden Indonesia meminta persetujuan DPR (Perwakilan Rakyat) Masa jabatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia 3 tahun, sedangkan di Amerika Serikat 1 Periode (2 Tahun) Dapat diperpanjang sampai 6 tahun
Panglima tinggi militer kedua negara merupakan perwira bintang 4 (Jendral)
Panglima tinggi militer Amerika Serikat memiliki Wakil namun tidak dengan Panglima tinggi militer Indonesia
Panglima tinggi militer kedua negara diangkat bergilir dari setiap Angkatan Bersenjata4
Panglima tinggi militer Di Amerika serikat dipillih berdasarkan 5 cabang Angkatan Bersenjata, di Indonesia hanya dari 3 cabang Angkatan Bersenjata
Dari persamaan dan perbedaan yang telah dipaparkan diatas, jika dilihat lebih kedalam berdasarkan masing-masing peraturan yang berlaku di
4
Hal ini bisa diabaikan karena alasan hak prerogatif presiden dalam memilih panglimanya.
44
kedua negara, Amerika Serikat lebih menjelaskan secara eksplisit mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer dalam United States Code dari pada Indonesia
yang
menjelaskan
secara
singkat
tentang
pengangkatan
panglimanya dalam UU TNI. Hal ini terbukti pada tidak tercantumnya masa jabatan dan kriteria Panglima TNI dalam UU TNI. C. Kelebihan dan Kekurangan antara Kedua Negara Dalam Hal Pengangkatan Panglima Tinggi Militer. Berbicara kelebihan dan kekurangan antara kedua negara haruslah menganalisis perbedaan mekanisme pengangkatan di dalam dua negara tersebut berdasarkan perbedaan yang telah penulis paparkan di Bab IV poin A. Melihat bentuk negara Amerika Serikat yang merupakan negara serikat (federasi) membuat perbedaan yang cukup jauh dengan Indonesia yang merupakan bentuk negara kesatuan dari segi “check and balances”, dimana Amerika Serikat dalam konstitusinya memberikan fungsi unik kepada Senat Amerika Serikat (United States Senate) agar ada kesetimbangan kekuasaan dengan setiap unsur di bawah pemerintah federal. Berdasarkan Pasal 2 Ayat 2 Konstitusi Amerika Serikat, Senat berfungsi meratifikasi setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah federal dan juga memberi “restu” (advice and consent) usulan presiden untuk pengangkatan anggota kabinet, pejabat militer, serta pejabat
45
federal lainnya yang keputusannya berdampak bagi banyak orang dan kehidupan negara. Konstitusi AS tidak memberi fungsi unik ini kepada DPR Amerika Serikat (The House of Representatives). Alasannya adalah untuk menjaga kewibawaan sistem presidensiil. Senat Amerika Serikat beranggota 100 orang dari 50 negara bagian. Setiap negara bagian diwakili oleh dua orang senator berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Konstitusi Amerika Serikat yang berbunyi “Senat Amerika Serikat akan terdiri dari dua Senator dari setiap Negara Bagian, yang dipilih oleh Badan Legislatif Negara Bagian tersebut, untuk enam tahun; dan masing masing Senator akan memiliki satu suara.”. Sementara itu DPR beranggotakan 435 orang yang mewakili distrikdistrik di wilayah AS. 5 Berdasarkan hal tersebut Beni Sukadis berpendapat bahwa, Di Amerika Serikat kewenangan Senat Amerika Serikat lebih kuat dibandingkan kewenangan DPR Amerika Serikat dikarenakan Senat Amerika Serikat merupakan Majelis Tinggi sedangkan DPR Amerika Serikat adalah Majelis Rendah.6 Menurut kacamata penulis perwakilan distrik (yang merupakan wakil dari partai politik) “hanya” dipilih berdasarkan popularitas. Berbeda dari
5
Dikutip dari Kompasiana (http://www.kompasiana.com/efrondp/pengangkatan-panglimatni-perlukah-persetujuan-dpr_54f903b8a33311ce308b4a63) yang diakses pada tanggal 20 September 2016. 6 Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB dikantor LESPERSSI.
46
senator yang ditentukan dan dipilih hanya dua orang dengan cakupan wilayah yang sangat luas, yakni negara bagian, yang membuat kompetisi para calon senator sangat ketat, sehingga pemilihan anggota Senat Amerika Serikat dan DPR Amerika Serikat sangat berbeda, perbedaan tersebutlah yang nantinya mempengaruhi kualitas calon panglima militer yang terpilih. Berbeda dengan Indonesia, yang menyerahkan fungsi tersebut ke DPR bukan ke DPD, berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 yaitu “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”. Jika di Amerika Serikat yang lebih kuat adalah Senat Amerika Serikat dibandingkan DPR Amerika Serikat, justru di Indonesia sebaliknya. DPR merupakan majelis tinggi yang sudah ada sejak 1950-an sedangkan DPD baru lahir pada tahun 2004, hal itulah yang membuat kewenangan DPR yang begitu besar dibandingkan DPD. Seorang calon panglima tinggi militer menjalani fit and proper test di DPR melalui Komisi I yang hanya berjumlah 52 orang. 7 Namun begitu, proses fit and proper test yang dilakukan di DPR berjalan sangat singkat, contohnya pada saat pengujian Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berlangsung 5 jam pada pertengahan tahun 2015 berdasarkan berita Tempo8
7
Dikutip dari Website DPR (http://www.dpr.go.id/akd/index/id/Tentang-Komisi-I) yang diakses pada tanggal 20 September 2016. 8 Sumber berita dari Tempo (https://m.tempo.co/read/news/2015/07/01/078680206/dprsetujui-jenderal-gatot-jadi-panglima-tni).
47
dan Suara9. Berdasarkan penjelasan Koordinator LESPERSSI, bahwa dalam fit and proper test berlangsung 2-3 jam yang diisi dengan tanya jwab visi dan misi calon Panglima TNI, menurutnya proses fit and proper test hanya sebatas formalitas dari DPR saja, dan belum ada sejarahnya calon Panglima TNI ditolak DPR.10 Jadi, menurut penulis dengan penempatan kewenangan dalam persetujuan pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia kurang tepat jika dilakukan oleh DPR. Selanjutnya, di Indonesia seorang panglima tinggi militer tidak memiliki wakil panglima yang nantinya berimbas ketika seorang panglima meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan secara tidak hormat jika melakukan tindak pidana berat maka tidak ada wakil yang menggantikan masa jabatannya dan hal ini lah yang menjadi kekurangan dalam mekanisme pengangkatan panglima TNI yang tidak diatur dalam UU TNI. Di sisi lain, Indonesia hanya memiliki tiga angkatan bersenjata sesuai dengan Pasal 4 Ayat 1 UU TNI yang berbunyi “TNI terdiri atas TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara yang melaksanakan tugasnya secara matra atau gabungan di bawah pimpinan Panglima.”. Berbeda dengan Amerika Serikat yang pemilihan Ketua
9
Sumber berita dari Suara (http://www.suara.com/news/2015/07/01/223056/diuji-5-jamcalon-panglima-tni-pertanyaan-komisi-i-menggigit). 10 Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB dikantor LESPERSSI.
48
Gabungan Kepala Staf berdasarkan lima cabang angkatan bersenjata yaitu Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Komandan Korps Marinir, dan Kepala Biro Garda Nasional berdasarkan United States Code Bab 10 Ayat 151 tentang Gabungan Kepala Staf: Komposisi dan Fungsi. Menurut penulis, ini sebuah kelebihan untuk Indonesia karena panglima tinggi militer dipilih hanya dari tiga jenis cabang yang memudahkan presiden dalam menentukan calon panglimanya. Dalam sejarah The Joint Chiefs of Staff (Gabungan Kepala Staf), seorang Ketua Gabungan Kepala Staf memiliki masa jabatan paling sedikit 2 tahun dan paling lama 6 tahun.11 Sedangkan di Indonesia pada era reformasi sudah melantik 7 kali jendral bintang 4 untuk menjadi Panglima TNI, selama itu juga seorang Panglima TNI memiliki masa jabatan rata-rata 3 tahun. Berikut tabel daftar Panglima TNI era reformasi: Daftar Panglima TNI era reformasi 12
Nama
Mulai Menjabat
Berhenti Menjabat
Angkatan
Masa Jabatan
Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto
26 Oktober 1999
7 Juni 2002
TNI Angkatan Laut
±3 Tahun
11
Berdasarkan data yang diperoleh dari Website resmi The Joint Chiefs of Staff (http://www.jcs.mil/About/The-Joint-Staff/Chairman/) 12 Dikutip dari Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Panglima_Tentara_Nasional_Indonesia) yang diakses pada tanggal 20 September 2016.
49
13 Februari 2006
TNI Angkatan Darat
Seharusnya pensiun tahun 2002 lalu mendapat perpanjangan dinas mulai 1 Mei2002 hingga 30 April 2007 berdasarkan surat keputusan nomor 1999/II/2002
13 Februari 2006
28 Desember 2007
TNI Angkatan Udara
±2 Tahun
Jenderal TNI Djoko Santoso
28 Desember 2007
28 September 2010
TNI Angkatan Darat
±3 Tahun
Laksamana TNI Agus Suhartono
28 September 2010
30 Agustus 2013
TNI Angkatan Laut
±3 Tahun
Jenderal TNI Moeldoko
30 Agustus 2013
8 Juli 2015
TNI Angkatan Darat
±2 Tahun
Jenderal TNI Gatot Nurmantyo
8 Juli 2015
Sekarang
TNI Angkatan Darat
Masih Menjabat
Jenderal TNI Endriartono Sutarto
7 Juni 2002
Marsekal TNI Djoko Suyanto
Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa Indonesia memberikan Panglima TNI masa jabatan selama 3 tahun. Penulis melihat adanya kekurangan dalam mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dalam hal masa jabatan yang yang lagi-lagi tidak diatur secara eksplisit dalam UU TNI. Seperti yang sudah dijelaskan di Bab III bahwa di Amerika Serikat, seorang panglima tinggi militer dapat menjabat selama 6 tahun dan dapat
50
diperpanjang selama 8 tahun serta dapat diangkat kembali untuk kedua kalinya oleh presiden jika untuk kepentingan nasional serta tidak ada batas periode ketika dalam keadaan perang.13 Dalam UU TNI tidak ada penjelasan antisipasi bagi Indonesia untuk situasi saat perang atau kepentingan nasional. Sehingga, membuat Panglima TNI tidak efektif bekerja karena masa jabatan yang sangat singkat dan juga memasung kesempatan tentara hebat untuk memimpin TNI.
13
Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7 September 2016.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Pengangkatan panglima tinggi militer dikedua negara merupakan hak prerogatif presiden dalam sistem presidensiil yang sama-sama mengedepankan prinsip demokrasi. Dalam hal pengangkatan panglima tinggi militernya, kedua negara tersebut mengaturnya dalam undangundang dibawah konstitusi. Mekanisme pengangkatan Panglima TNI yang diterapkan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, begitu juga dengan mekanisme pengangkatan Ketua Gabungan Kepala Staf di Amerika Serikat yang tertuang dalam The United States Code (Act of August 10, 1956, 70A Stat. 676).
2.
Implementasi pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesiadan Amerika Serikat sudah sesuai sebagaimana prosedur yang tersirat dalam undang-undang di kedua negara tersebut, meskipun terlihat masih ada kekurangan-kekurangan seperti dalam perintah undangundang di kedua negara bahwa setiap tahun harus menggilir panglima dari setiap angkatan bersenjata, namun kenyataannya hal ini masih
51
52
dapat diabaikan oleh presiden di kedua negara berdasarkan hak prerogatifnya. Berdasarkan doktrin "Trias Politika" di kedua negara, belum pernah terjadi abuse of power dari seorang presiden dalam hal pengangkatan panglima tinggi militernya dikarenakan adanya prinsip check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, membuat presiden kedua negara tersebut harus meminta persetujuan kepada badan legislatif. 3.
Pengangkatan panglima tinggi militer, kedua negara memiliki persamaan dan perbedaan seperti presiden kedua negara sama-sama membutuhkan persetujuan lembaga legislatif, Presiden Amerika Serikat meminta persetujuan Senat Amerika Serikat (Perwakilan Daerah), sedangkan Presiden Indonesia meminta persetujuan DPR (Perwakilan Rakyat). Begitupun memiliki kelebihan dan kekurangan di beberapa aspek seperti di Amerika Serikat memiliki kelebihan, seorang panglima tinggi militer menjabat selama 2 tahun dapat diperpanjang jabatannya selama 6 tahun, dibandingkan dengan di Indonesia yang memiliki jabatan pasti 3 tahun, dan kekurangan seperti di Indonesia seorang panglima TNI tidak memiliki wakil panglima, dimana Amerika Serikat Ketua Gabungan Kepala Staf memiliki seorang wakil.
53
B. Saran Berdasarkan pembahasan yang sudah dipaparkan di Bab-bab sebelumnya, bahwa kedua negara tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan atas sistem dan mekansime dalam hal pengangkatan panglima militer yang mereka anut. Kekurangan tersebutlah yang menjadi landasan penulis untuk menyarankan: 1. UU TNI harus direvisi dengan mempertegas pengangkatan Panglima TNI dimana disana tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai masa jabatan, hal yang dapat memberhentikan jabatan panglima, kriteria calon panglima, dan juga fit and proper test yang dilaksanakan oleh DPR. 2. Penguatan kewenangan dan keikutsertaan dalam pengangkatan panglima tinggi militer di DPR Amerika Serikat dan DPD di Indonesia dimana mereka dimasing-masing negaranya menjadi majelis rendah yang tidak ada andil dalam hal pengangkatan panglima tinggi militernya.
DAFTAR PUSTAKA Buku Adyanto, Oksep. “Eksistensi Hak Prerogatif Presiden Pasca Amandemen UUD 1945".Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No.2, 2011. Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014. Asshiddiqie, Jimly.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2011. __________ . Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta, Konstitusi Press, 2006. Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Campbell Black, Henry. Black's Law Dictionary, St. Paul Minn: West Publishing Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern, Bandung : PT Refika Aditama, 2009. Ghoffar, Abdul.Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009. Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi.Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia. Bandung: PT.Alumni, 2010. Hanitijo Soemitro, Ronny.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.
Huda, Ni'matul. Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005. __________ . Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar hukum tata negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Tata Negara, Fakultas hukum Universitas Indonesia, 1981. Mahfud MD, Moh. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH-UII Press, 2003. Marzuki, Peter Mahmud.Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana, 2006. __________. Penelitian Hukum.Jakarta : Kencana. 2011. Rustandi, Akhmad dan Zul Afdi Ardian. Tata negara : kurikulum 1984/GBPP 1987, Bandung : Armico, 1992. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Suny, Ismail. Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1978. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 The Constitution of the United States The National Security Act of 1947 The United States Code Tesis Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Studi Konstitusional tentang Pemnisahan Kekuasaan Negara), (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003) Website https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff https://id.wikipedia.org/wiki/Ketua_Kepala_Staf_Gabungan_Amerika_Serikat https://en.wikipedia.org/wiki/Joint_Chiefs_of_Staff http://indoprogress.com/2015/07/jokowi-dan-jenderal-jenderalnya/ http://www.kompasiana.com/efrondp/pengangkatan-panglima-tni-perlukahpersetujuan-dpr_54f903b8a33311ce308b4a63 http://www.dpr.go.id/akd/index/id/Tentang-Komisi-I https://m.tempo.co/read/news/2015/07/01/078680206/dpr-setujui-jenderal-gatot-jadipanglima-tni
http://www.suara.com/news/2015/07/01/223056/diuji-5-jam-calon-panglima-tnipertanyaan-komisi-i-menggigit https://id.wikipedia.org/wiki/Panglima_Tentara_Nasional_Indonesia http://www.jcs.mil/About/The-Joint-Staff/Chairman/
LAMPIRAN TRANSKIP WAWANCARA Q: Bagaimanakan mekanisme pengangkatan panglima TNI di Indonesia? A: Di TNI ada Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) terdiri 10 perwira tinggi yang mengadakan rapat koordinasi diantara mereka, dan disana setiap angkatan memberikan usulan calon panglima yang sebelumnya sudah menjadi Kepala Staf Angkatan. Setelah itu diajukan ke presiden yang digodok sendiri oleh presiden berdasarkan Pengalaman Territorial (Lapangan), Pengalaman Manajemen dan Pengalaman Pendidikan. Selanjutnya dipilih oleh presiden, namun pilihan presiden selalu subjektif menurut kepentingan presiden. Setelah presiden mendapatkan nama tersebut, presiden menyerahkan kepada DPR (Komisi I). Komisi I harus membahas itu dalam waktu 20 hari dan dilakukan fit and proper test yang menurut saya hanya sebatas formalitas yang sampai saat ini belum ada penolakan dari Komisi I terhadap calon yang diusulkan presiden. Pengambilan keputusan terhadap panglima diambil secara aklamasi. Selanjutnya dari Komisi I DPR dan setuju lalu dibawa ke sidang paripurna dan disahkan hasil rapat dan fit and proper test Komisi I. Tidak ada pengulangan pembahasan pada sidang paripurna DPR karena pada fit and proper test yang dilakukan Komisi I, seorang panglima ditanyajawab dan membeberkan visi dan misinya selama 2-3 jam. Setelah disetujui oleh DPR, dikembalikan ke presiden untuk dilantik. Q: Apakah pengangkatan Panglima TNI di Indonesia sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku?Apakah peraturan tentang mekanisme tersebut perlu diperbaiki mengingat masih adanya kekurangan? A: Jika dilihat UU TNI pasal 13 tentang pengangkatan panglima TNI, menurut saya sesuai dengan apa yang diundang-undang, masih berjalan secara normal. Saya lihat belum melihat kekurangan, masalah yang sebenarnya menurut saya di fit and proper
test itu hanya sebatas formalitas karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke calon panglima belum ada yang kritis. Kalau bicara soal pemutaran panglima TNI disetiap angkatan itu kembali lagi ke hak prerogatif presiden. Menurut saya yang perlu dijelaskan secara eksplisit di dalam undang-undang adalah mengenai pengalaman calon panglima TNI. Q: Mengapa hak prerogatif presiden mutlak masih dibatasi dengan adanya persetujuan dari DPR? A: Persetujuan dari DPR mutlak dalam Undang-Undang TNI, selama tidak ada penolakan dari DPR maka tidak ada masalah. Ini adalah pembagian otoritas antara eksekutif dan legislatif yaitu check and balances. Q: Menurut yang saya pelajari bahwa di Amerika Serikat seorang presiden meminta persetujuan kepada Senat yang mirip DPD di Indonesia. Mengapa di Indonesia tidak meminta persetujuan kepada DPD dalam hal pengangkatan panglima TNI? Kenapa ke DPR? A: Senator memiliki wewenang yang lebih besar dibandingkan DPR (House of Representatives) karena senator merupakan majelis tinggi dan DPR merupakan majelis rendah. Sedangkan DPD di Indonesia tidak memiliki kewenangan apa-apa hanya memberikan masukan. Dalam UUD 1945 jelas tertulis bahwa DPR lebih kuat dibandingkan DPD Q: Apakah dengan adanya ikut campur DPR sudah sesuai dengan prinsip check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif? A: Secara normatif sudah cukup baik, namun saya melihat lemahnya dalam fungsi pengawasan yang dilakukan DPR setelah terpilihnya panglima TNI
BUKTI WAWANCARA
Foto Penulis dengan Bapak Beni Sukadis selaku Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB dikantor LESPERSSI Jl. Petogogan I/30, Blok A, Kebayoran Baru, Jakarta.
U.S. Codes 10 U.S. Code § 151 composition; functions
-
Joint
Chiefs
of
Staff:
(a)COMPOSITION.—There are in the Department of Defense the Joint Chiefs of Staff, headed by the Chairman of the Joint Chiefs of Staff. The Joint Chiefs of Staff consist of the following: (1) The Chairman. (2) The Vice Chairman. (3) The Chief of Staff of the Army. (4) The Chief of Naval Operations. (5) The Chief of Staff of the Air Force. (6) The Commandant of the Marine Corps. (7) The Chief of the National Guard Bureau. (b)FUNCTION AS MILITARY ADVISERS.— (1) The Chairman of the Joint Chiefs of Staff is the principal military adviser to the President, the National Security Council, the Homeland Security Council, and the Secretary of Defense. (2) The other members of the Joint Chiefs of Staff are military advisers to the President, the National Security Council, the Homeland Security Council, and the Secretary of Defense as specified in subsections (d) and (e). (c)CONSULTATION BY CHAIRMAN.— (1)In carrying out his functions, duties, and responsibilities, the Chairman shall, as he considers appropriate, consult with and seek the advice of— (A) the other members of the Joint Chiefs of Staff; and (B) the commanders of the unified and specified combatant commands. (2)Subject to subsection (d), in presenting advice with respect to any matter to the President, the National Security Council, the Homeland Security Council, or the Secretary of Defense, the Chairman shall, as he considers appropriate, inform the President, the National Security Council, the Homeland Security
Council, or the Secretary of Defense, as the case may be, of the range of military advice and opinion with respect to that matter. (d)ADVICE AND OPINIONS OF MEMBERS OTHER THAN CHAIRMAN.— (1)A member of the Joint Chiefs of Staff (other than the Chairman) may submit to the Chairman advice or an opinion in disagreement with, or advice or an opinion in addition to, the advice presented by the Chairman to the President, the National Security Council, the Homeland Security Council, or the Secretary of Defense. If a member submits such advice or opinion, the Chairman shall present the advice or opinion of such member at the same time he presents his own advice to the President, the National Security Council, the Homeland Security Council, or the Secretary of Defense, as the case may be. (2)The Chairman shall establish procedures to ensure that the presentation of his own advice to the President, the National Security Council, the Homeland Security Council, or the Secretary of Defense is not unduly delayed by reason of the submission of the individual advice or opinion of another member of the Joint Chiefs of Staff. (e)ADVICE ON REQUEST.— The members of the Joint Chiefs of Staff, individually or collectively, in their capacity as military advisers, shall provide advice to the President, the National Security Council, the Homeland Security Council, or the Secretary of Defense on a particular matter when the President, the National Security Council, the Homeland Security Council, or the Secretary requests such advice. (f)RECOMMENDATIONS TO CONGRESS.— After first informing the Secretary of Defense, a member of the Joint Chiefs of Staff may make such recommendations to Congress relating to the Department of Defense as he considers appropriate. (g)MEETINGS OF JCS.— (1)The Chairman shall convene regular meetings of the Joint Chiefs of Staff. (2)Subject to the authority, direction, and control of the President and the Secretary of Defense, the Chairman shall— (A) preside over the Joint Chiefs of Staff; (B) provide agenda for the meetings of the Joint Chiefs of Staff (including, as the Chairman considers appropriate, any subject for the agenda recommended by any other member of the Joint Chiefs of Staff);
(C) assist the Joint Chiefs of Staff in carrying on their business as promptly as practicable; and (D) determine when issues under consideration by the Joint Chiefs of Staff shall be decided.
10 U.S. Code § 152 - Chairman: appointment; grade and rank (a)APPOINTMENT; TERM OF OFFICE.— (1)There is a Chairman of the Joint Chiefs of Staff, appointed by the President, by and with the advice and consent of the Senate, from the officers of the regular components of the armed forces. The Chairman serves at the pleasure of the President for a term of two years, beginning on October 1 of odd-numbered years. Subject to paragraph (3), an officer serving as Chairman may be reappointed in the same manner for two additional terms. However, in time of war there is no limit on the number of reappointments. (2)In the event of the death, retirement, resignation, or reassignment of the officer serving as Chairman before the end of the term for which the officer was appointed, an officer appointed to fill the vacancy shall serve as Chairman only for the remainder of the original term, but may be reappointed as provided in paragraph (1). (3)An officer may not serve as Chairman or Vice Chairman of the Joint Chiefs of Staff if the combined period of service of such officer in such positions exceeds six years. However, the President may extend to eight years the combined period of service an officer may serve in such positions if he determines such action is in the national interest. The limitations of this paragraph do not apply in time of war. (b)REQUIREMENT FOR APPOINTMENT.— (1)The President may appoint an officer as Chairman of the Joint Chiefs of Staff only if the officer has served as— (A) the Vice Chairman of the Joint Chiefs of Staff; (B) the Chief of Staff of the Army, the Chief of Naval Operations, the Chief of Staff of the Air Force, or the Commandant of the Marine Corps; or (C) the commander of a unified or specified combatant command. (2)The President may waive paragraph (1) in the case of an officer if the President determines such action is necessary in the national interest.
(c)GRADE AND RANK.— The Chairman, while so serving, holds the grade of general or, in the case of an officer of the Navy, admiral and outranks all other officers of the armed forces. However, he may not exercise military command over the Joint Chiefs of Staff or any of the armed forces.
10 U.S. Code § 153 - Chairman: functions (a)PLANNING; ADVICE; POLICY FORMULATION.—Subject to the authority, direction, and control of the President and the Secretary of Defense, the Chairman of the Joint Chiefs of Staff shall be responsible for the following: (1)STRATEGIC DIRECTION.— Assisting the President and the Secretary of Defense in providing for the strategic direction of the armed forces. (2)STRATEGIC PLANNING.— (A) Preparing strategic plans, including plans which conform with resource levels projected by the Secretary of Defense to be available for the period of time for which the plans are to be effective. (B) Preparing joint logistic and mobility plans to support those strategic plans and recommending the assignment of logistic and mobility responsibilities to the armed forces in accordance with those logistic and mobility plans. (C) Performing net assessments to determine the capabilities of the armed forces of the United States and its allies as compared with those of their potential adversaries. (3)CONTINGENCY PLANNING; PREPAREDNESS.— (A) Providing for the preparation and review of contingency plans which conform to policy guidance from the President and the Secretary of Defense. (B) Preparing joint logistic and mobility plans to support those contingency plans and recommending the assignment of logistic and mobility responsibilities to the armed forces in accordance with those logistic and mobility plans.
(C) Identifying the support functions that are likely to require contractor performance under those contingency plans, and the risks associated with the assignment of such functions to contractors. (D) Advising the Secretary on critical deficiencies and strengths in force capabilities (including manpower, logistic, and mobility support) identified during the preparation and review of contingency plans and assessing the effect of such deficiencies and strengths on meeting national security objectives and policy and on strategic plans. (E) Establishing and maintaining, after consultation with the commanders of the unified and specified combatant commands, a uniform system of evaluating the preparedness of each such command to carry out missions assigned to the command. (F) In coordination with the Under Secretary of Defense for Acquisition, Technology, and Logistics, the Secretaries of the military departments, the heads of the Defense Agencies, and the commanders of the combatant commands, determining the operational contract support requirements of the armed forces and recommending the resources required to improve and enhance operational contract support for the armed forces and planning for such operational contract support. (4)ADVICE ON REQUIREMENTS, PROGRAMS, AND BUDGET.— (A) Advising the Secretary, under section 163(b)(2) of this title, on the priorities of the requirements identified by the commanders of the unified and specified combatant commands. (B) Advising the Secretary on the extent to which the program recommendations and budget proposals of the military departments and other components of the Department of Defense for a fiscal year conform with the priorities established in strategic plans and with the priorities established for the requirements of the unified and specified combatant commands. (C) Submitting to the Secretary alternative program recommendations and budget proposals, within projected resource levels and guidance provided by the Secretary, in order to achieve greater conformance with the priorities referred to in clause (B). (D) Recommending to the Secretary, in accordance with section 166 of this title, a budget proposal for activities of each unified and specified combatant command. (E) Advising the Secretary on the extent to which the major programs and policies of the armed forces in the area of manpower and contractor support conform with strategic plans.
(F) Identifying, assessing, and approving military requirements (including existing systems and equipment) to meet the National Military Strategy. (G) Recommending to the Secretary appropriate trade-offs among lifecycle cost, schedule, and performance objectives, and procurement quantity objectives, to ensure that such trade-offs are made in the acquisition of materiel and equipment to support the strategic and contingency plans required by this subsection in the most effective and efficient manner. (5)JOINT FORCE DEVELOPMENT ACTIVITIES.— (A) Developing doctrine for the joint employment of the armed forces. (B) Formulating policies and technical standards, and executing actions, for the joint training of the armed forces. (C) Formulating policies for coordinating the military education of members of the armed forces. (D) Formulating policies for concept development and experimentation for the joint employment of the armed forces. (E) Formulating policies for gathering, developing, and disseminating joint lessons learned for the armed forces. (F) Advising the Secretary on development of joint command, control, communications, and cyber capability, including integration and interoperability of such capability, through requirements, integrated architectures, data standards, and assessments. (6)OTHER MATTERS.— (A) Providing for representation of the United States on the Military Staff Committee of the United Nations in accordance with the Charter of the United Nations. (B) Performing such other duties as may be prescribed by law or by the President or the Secretary of Defense. (b)NATIONAL MILITARY STRATEGY.— (1)NATIONAL MILITARY STRATEGY.— (A) The Chairman shall determine each even-numbered year whether to prepare a new National Military Strategy in accordance with this subparagraph or to update a strategy previously prepared in accordance with this subsection. The Chairman shall complete preparation of the National Military Strategy or update in time for transmittal to Congress
pursuant to paragraph (3), including in time for inclusion of the report of the Secretary of Defense, if any, under paragraph (4). (B) Each National Military Strategy (or update) under this paragraph shall be based on a comprehensive review conducted by the Chairman in conjunction with the other members of the Joint Chiefs of Staff and the commanders of the unified and specified combatant commands. (C) Each National Military Strategy (or update) submitted under this paragraph shall describe how the military will achieve the objectives of the United States as articulated in— (i) the most recent National Security Strategy prescribed by the President pursuant to section 108 of the National Security Act of 1947 (50 U.S.C. 3043); (ii) the most recent annual report of the Secretary of Defense submitted to the President and Congress pursuant to section 113 of this title; (iii) the most recent Quadrennial Defense Review conducted by the Secretary of Defense pursuant tosection 118 of this title; and (iv) any other national security or defense strategic guidance issued by the President or the Secretary of Defense. (D) Each National Military Strategy (or update) submitted under this paragraph shall identify— (i) the United States military objectives and the relationship of those objectives to the strategic environment and to the threats required to be described under subparagraph (E); (ii) the operational concepts, missions, tasks, or activities necessary to support the achievement of the objectives identified under clause (i); (iii) the fiscal, budgetary, and resource environments and conditions that, in the assessment of the Chairman, affect the strategy; and (iv) the assumptions made with respect to each of clauses (i) through (iii). (E) Each National Military Strategy (or update) submitted under this paragraph shall also include a description of— (i) the strategic environment and the opportunities and challenges that affect United States national interests and United States national security;
(ii) the threats, such as international, regional, transnational, hybrid, terrorism, cyber attack, weapons of mass destruction, asymmetric challenges, and any other categories of threats identified by the Chairman, to the United States national security; (iii) the implications of current force planning and sizing constructs for the strategy; (iv) the capacity, capabilities, and availability of United States forces (including both the active and reserve components) to support the execution of missions required by the strategy; (v) areas in which the armed forces intends to engage and synchronize with other departments and agencies of the United States Government contributing to the execution of missions required by the strategy; (vi) areas in which the armed forces could be augmented by contributions from alliances (such as the North Atlantic Treaty Organization), international allies, or other friendly nations in the execution of missions required by the strategy; (vii) the requirements for operational contractor support to the armed forces for conducting security force assistance training, peacekeeping, overseas contingency operations, and other major combat operations under the strategy; and (viii) the assumptions made with respect to each of clauses (i) through (vii). (F) Each update to a National Military Strategy under this paragraph shall address only those parts of the most recent National Military Strategy for which the Chairman determines, on the basis of a comprehensive review conducted in conjunction with the other members of the Joint Chiefs of Staff and the commanders of the combatant commands, that a modification is needed. (2)RISK ASSESSMENT.— (A) The Chairman shall prepare each year an assessment of the risks associated with the most current National Military Strategy (or update) under paragraph (1). The risk assessment shall be known as the “Risk Assessment of the Chairman of the Joint Chiefs of Staff”. The Chairman shall complete preparation of the Risk Assessment in time for transmittal to Congress pursuant to paragraph (3), including in time for inclusion of the report of the Secretary of Defense, if any, under paragraph (4). (B) The Risk Assessment shall do the following:
(i) As the Chairman considers appropriate, update any changes to the strategic environment, threats, objectives, force planning and sizing constructs, assessments, and assumptions that informed the National Military Strategy required by this section. (ii) Identify and define the strategic risks to United States interests and the military risks in executing the missions of the National Military Strategy. (iii) Identify and define levels of risk distinguishing between the concepts of probability and consequences, including an identification of what constitutes “significant” risk in the judgment of the Chairman. (iv) (I) Identify and assess risk in the National Military Strategy by category and level and the ways in which risk might manifest itself, including how risk is projected to increase, decrease, or remain stable over time; and (II) for each category of risk, assess the extent to which current or future risk increases, decreases, or is stable as a result of budgetary priorities, tradeoffs, or fiscal constraints or limitations as currently estimated and applied in the most current future-years defense program under section 221 of this title. (v)Identify and assess risk associated with the assumptions or plans of the National Military Strategy about the contributions or support of— (I) other departments and agencies of the United States Government (including their capabilities and availability); (II) alliances, allies, and other friendly nations (including their capabilities, availability, and interoperability); and (III) contractors. (vi) Identify and assess the critical deficiencies and strengths in force capabilities (including manpower, logistics, intelligence, and mobility support) identified during the preparation and review of the contingency plans of each unified combatant command, and identify and assess the effect of such deficiencies and strengths for the National Military Strategy. (3)SUBMITTAL OF NATIONAL MILITARY STRATEGY AND RISK ASSESSMENT TO CONGRESS.—
(A) Not later than February 15 of each even-numbered year, the Chairman shall, through the Secretary of Defense, submit to the Committees on Armed Services of the Senate and the House of Representatives the National Military Strategy or update, if any, prepared under paragraph (1) in such year. (B) Not later than February 15 each year, the Chairman shall, through the Secretary of Defense, submit to the Committees on Armed Services of the Senate and the House of Representatives the Risk Assessment prepared under paragraph (2) in such year. (4)SECRETARY OF DEFENSE REPORTS TO CONGRESS.— (A) In transmitting a National Military Strategy (or update) or Risk Assessment to Congress pursuant to paragraph (3), the Secretary of Defense shall include in the transmittal such comments of the Secretary thereon, if any, as the Secretary considers appropriate. (B) If the Risk Assessment transmitted under paragraph (3) in a year includes an assessment that a risk or risks associated with the National Military Strategy (or update) are significant, or that critical deficiencies in force capabilities exist for a contingency plan described in paragraph (2)(B)(vi), the Secretary shall include in the transmittal of the Risk Assessment the plan of the Secretary for mitigating such risk or deficiency. A plan for mitigating risk of deficiency under this subparagraph shall— (i) address the risk assumed in the National Military Strategy (or update) concerned, and the additional actions taken or planned to be taken to address such risk using only current technology and force structure capabilities; and (ii) specify, for each risk addressed, the extent of, and a schedule for expected mitigation of, such risk, and an assessment of the potential for residual risk, if any, after mitigation. (c)ANNUAL REPORT ON COMBATANT COMMAND REQUIREMENTS.— (1) At or about the time that the budget is submitted to Congress for a fiscal year under section 1105(a) of title 31, the Chairman shall submit to the congressional defense committees a report on the requirements of the combatant commands established under section 161 of this title. (2) Each report under paragraph (1) shall contain the following: (A) A consolidation of the integrated priority lists of requirements of the combatant commands. (B) The Chairman’s views on the consolidated lists.
(C) A description of the extent to which the most recent future-years defense program (under section 221 of this title) addresses the requirements on the consolidated lists. (D) A description of the funding proposed in the President’s budget for the next fiscal year, and for the subsequent fiscal years covered by the most recent future-years defense program, to address each deficiency in readiness identified during the joint readiness review conducted under section 117 of this titlefor the first quarter of the current fiscal year.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bagian Kedua Organisasi Pasal 12 (1) Organisasi TNI terdiri atas Markas Besar TNI yang membawahkan Markas Besar TNI Angkatan Darat, Markas Besar TNI Angkatan Laut, dan Markas Besar TNI Angkatan Udara. (2) Markas Besar TNI terdiri atas unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan, unsur pelayanan, badan pelaksana pusat, dan Komando Utama Operasi. (3) Markas Besar Angkatan terdiri atas unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan, unsur pelayanan, badan pelaksana pusat, dan Komando Utama Pembinaan. (4) Susunan organisasi TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 13 (1) TNI dipimpin oleh seorang Panglima. (2) Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Pengangkatan dan pemberhentian Panglima dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI. (4) Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. (5) Untuk mengangkat Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden mengusulkan satu orang calon Panglima untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (6) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap calon Panglima yang dipilih oleh Presiden, disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan persetujuan calon Panglima diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (7) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Presiden mengusulkan satu orang calon lain sebagai pengganti. (8) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan alasan tertulis yang menjelaskan ketidaksetujuannya. (9) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dianggap telah menyetujui, selanjutnya Presiden berwenang mengangkat Panglima baru dan memberhentikan Panglima lama.
(10) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), diatur lebih lanjut dengan keputusan Presiden. Pasal 14 (1) Angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan dan berkedudukan di bawah Panglima serta bertanggung jawab kepada Panglima. (2) Kepala Staf Angkatan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Panglima. (3) Kepala Staf Angkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dari Perwira Tinggi aktif dari angkatan yang bersangkutan dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier. (4) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Staf Angkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan keputusan Presiden. Pasal 15 Tugas dan kewajiban Panglima adalah: 1. memimpin TNI; 2. melaksanakan kebijakan pertahanan negara; 3. menyelenggarakan strategi militer dan melaksanakan operasi militer; 4. mengembangkan doktrin TNI; 5. menyelenggarakan penggunaan kekuatan TNI bagi kepentingan operasi militer; 6. menyelenggarakan pembinaan kekuatan TNI serta memelihara kesiagaan operasional; 7. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam hal penetapan kebijakan pertahanan negara; 8. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam hal penetapan kebijakan pemenuhan kebutuhan TNI dan komponen pertahanan lainnya; 9. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara; 10. menggunakan komponen cadangan setelah dimobilisasi bagi kepentingan operasi militer; 11. menggunakan komponen pendukung yang telah disiapkan bagi kepentingan operasi militer; serta 12. melaksanakan tugas dan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 16 Tugas dan kewajiban Kepala Staf Angkatan adalah: 1. memimpin Angkatan dalam pembinaan kekuatan dan kesiapan operasional Angkatan; 2. membantu Panglima dalam menyusun kebijakan tentang pengembangan postur, doktrin, dan strategi serta operasi militer sesuai dengan matra masing-masing;
3. membantu Panglima dalam penggunaan komponen pertahanan negara sesuai dengan kebutuhan Angkatan; serta 4. melaksanakan tugas lain sesuai dengan matra masing-masing yang diberikan oleh Panglima.