Penerbit : Irib Indonesia Penulis : Ustaz Saleh Lapadin Sumber : Irib Indonesia
Mengenal Surat An Nisa Surat An-Nisaa’ memiliki 176 ayat dan diturunkan di Madinah. Dikarenakan, sebagian besar ayat surat ini berkaitan dengan persoalan-persoalan keluarga, hak wanita dalam keluarga, surat ini dinamakan Surat An-Nisaa’ yang artinya wanita. َّ َاحدَةٍ َو َخلَقَ ِم ْن َها زَ ْو َج َها َوب سا اء َواتَّقُوا ِ اس اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّذِي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف ٍس َو ث ِم ْن ُه َما ِر َج ااًل َكثِ ا ُ َّيَا أَيُّ َها الن َ ِيرا َون َّ ام ِإ َّن َّ (1)علَ ْي ُك ْم َرقِيباا َ َاَّللَ َكان َ َ اَّللَ الَّذِي ت َ سا َءلُونَ ِب ِه َو ْاْل َ ْر َح Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (4:1) Nama surat yang berkaitan dengan persoalan keluarga ini dimulai dengan anjuran takwa dan dalam ayat pertama anjuran ini, dinyatakan dua kali. Karena kelahiran dan pendidikan setiap individu terjadi di dalam keluarga. Bila fondasi urusan ini bukan perintah Tuhan, maka tidak ada jaminan untuk kesehatan ruhani dan mental individu dan sosial. Untuk menafikan segala bentuk keinginan untuk unggul sendiri, Allah Swt mengingatkan bahwa semua kalian diciptakan dari satu jenis, maka bertakwalah dan jangan berfikir bahwa keturunan, warna kulit dan bahasa dapat menjadi faktor keunggulan.
Bahkan wanita dan lelaki dengan semua perbedaan-perbedaan yang dimiliki baik dari segi jasmani dan ruhani, tetapi tidak satupun yang lebih unggul dari lainnya. Karena keduanya dari satu jenis dan akar semuanya adalah seorang ayah dan ibu. Pada ayat alQuran yang lain, Allah Swt menempatkan berbuat kebajikan kepada orang tua dari sisi ketaatan kepada-Nya dan dengan demikian, memandang posisi mereka begitu tinggi dan mulia. Namun dalam ayat ini, bukan hanya orang tua, melainkan setelah nama-Nya Allah Swt menyebut perlu pemeliharaan hak semua keluarga (famili) dan kerabat serta memperingatkan masyarakat agar menjauhi perilaku zalim terhadap mereka. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Islam adalah agama sosial. Oleh karenanya ia menaruh perhatian tentang hubungan manusia antara satu dengan lainnya dalam keluarga dan masyarakat. Kelaziman takwa dan tauhid adalah menjaga hak orang lain.
2. Manusia harus bersatu. Karena segala bentuk diskriminasi antara mereka berdasarkan warna, etnis, bahasa dan kawasan adalah dilarang Allah Swt. Allah menciptakan semua manusia dari satu jenis.
3. Semuan anak Adam adalah satu keluarga. Karena semua dari satu ayah dan satu ibu. Untuk itu semuanya harus saling menghormati seperti keluarga sendiri.
4. Tuhan mengetahui niat kita. Kita tidak patut mempraktikkan diskriminasi terhadap sesama manusia mekipun dalam hati. َّ يث ِب َ َِوآَتُوا ْاليَت َا َمى أ َ ْم َوالَ ُه ْم َو ًَل تَتَبَدَّلُوا ْال َخب (2)يرا ب َو ًَل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُه ْم إِلَى أ َ ْم َوا ِل ُك ْم إِنَّهُ َكانَ ُحوباا َكبِ ا ِ ِالطي Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (4: 2)
Ayat ini menyinggung salah satu topik yang menimpa semua masyarakat manusia yaitu anak-anak yatim. Anak-anak yang tak punya pengasuh dan tak mampu menjaga harta warisan. Oleh karenanya mereka diasuh oleh seorang pengasuh yang berpeluang menyalahgunakan harta anak yatim itu. Pesan penting ayat ini adalah anak-anak kecil yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya seringkali hak-hak mereka terabaikan. Harta waris yang semestinya milik mereka diambil oleh orang lain, atau diberi sesuka hati sang pengasuh, tidak seperti yang ditentukan oleh Allah dalam hukum warisan. Ayat ini melarang segala bentuk penyalahgunaan harta anak-anak yatim. Barang siapa melakukannya berarti ia telah jatuh ke dalam dosa besar. Karena tugas mengasuh anak yatim , adalah memegang amanah dan menyerahkannya kepada anak-anak itu ketika mereka sudah besar kelak, bukannya harta itu dibelanjakan untuk kepenntingan sendiri. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Harta anak-anak yatim harus diserahkan kepada mereka, meskipun mereka tidak tahu ataupun lupa. 2. Anak-anak juga pemilik harta, namun selagi mereka belum mencapai usia dewasa, mereka tidak berhak memegangnya. 3. Islam menaruh perhatian kepada orang-orang tertindas dan anak-anak yang tidak memiliki pengasuh dalam masyarakat dan membela mereka. ُ َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ًَّل ت ُ ْق ِس َ طوا فِي ْاليَت َا َمى فَا ْن ِك ُحوا َما احدَة ا َ اء َمثْنَى َوث ُ ََل ِ س ِ ع فَإ ِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ًَّل ت َ ْْع ِدلُوا فَ َو َ ث َو ُربَا َ ط َ ِاب لَ ُك ْم ِمنَ الن ْ أ َ ْو َما َملَ َك (3)ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ذَ ِل َك أ َ ْدنَى أ َ ًَّل تَْعُولُوا Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (4: 3) Ayat ini berkaitan dengan anak-anak gadis yatim yang selalu menjadi obyek kesewenangwenangan. Oleh karenanya, Allah Swt berbicara mengenai mereka secara tersendiri dan terpisah serta melarang keras tindakan zalim terhadap mereka ini.
Betapa banyak orang yang meminang anak-anak yatim dengan tujuan menguasasi harta gadis-gadis yatim tersebut. Untuk tujuan ini mereka menggunakan segala cara. Namun al-Quran menyatakan, bila kalian ingin mengawini gadis-gadis yatim dan berniat menzalimi mereka, maka urungkanlan niat tersebut. Dalam riwayat disebutkan, sebagian orang yang mengangkat anak dari gadis-gadis yatim, namun tidak berapa lama mereka mengawininya dengan niat menguasai hartanya. Bahkan yang lebih buruk lagi, mas kawinnya diberikan di bawah standar. Ayat ini dan ayat 127 turun dan melarang segala bentuk ketidakadilan terhadap mereka. Dikarenakan anak-anak gadis yatim tersebut pada umumnya dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat. Untuk memelihara kehormatana mereka, al-Quran menyatakan, jika kalian berniat kawin lagi, mengapa kalian memilih anak-anak gadis yatim? Carilah wanita lain atau paling tidak kalian mencukupkan diri dengan budakbudak wanita yang kalian miliki. Meskipun ayat ini mengizinkan kepada lelaki untuk menikah dengan empat wanita, namun perlu diketahui bahwa perkara ini bukan inisiatif Islam. Tapi ini sebuah solusi dari masalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Karena Islam selalu berusaha untuk memelihara kehormatan keluarga, menetapkan syarat yang berat baginya. Dengan kata lain, Islam tidak memerintahkan poligami, keduali setelah melihat kondisi realistis dari masyarakat. Untuk itu Islam mengontrolnya dan meletakkan undang-undang yang khas. Pada kenyataannya, kaum lelaki tidak lebih terjamin keselamatan nyawanya ketimbang kaum wanita. Dalam peperangan, kaum lelaki yang mati, sementara isteri mereka menjadi janda. Dalam kegiatan sehari-hari, kaum lelaki senantiasa menjadi obyek ancaman dan jumlah korban jauh yang jatuh lebih besar dari wanita. Oleh karena itulah, dalam semua masyarakat, usia pertengahan di kalangan wanita lebih banyak dari kaum lelaki. Pertanyaannya, apakah para janda dan wanita itu harus tetap dalam kondisnya hingga akhir usianya? Di sisi lain, apakah mudah memerintah para pemuda untuk mengawini para janda yang memiliki anak? Lebih buruk adalah kondisi yang berlku di Barat, dimana tidak ada batasan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak ingin mengingkari kebutuhan timbal balik ini. Untuk itu Islam menetapkan hukum yang khusus dan
membatasi jumlah isteri. Tapi yang terpenting dalam hubungan ini adalah menjaga keadilan antara isteri. Apakah ini bertentangan dengan hak wanita? Sementara di masyarakat yang tidak memberikan batasan bagi hubungan laki-laki dan wanita telah mengizinkan segala bentuk hubungan bahkan dengan isteri orang lain. Semua ini disosialisasikan dengan isuisu kebebasan yang menipu. Apakah hal yang seperti ini menghormati hak perempuan? Al-Quran dalam ayat ini dengan jelas mengatakan, jika kalian tidak dapat membagi keadilan terhadap isteri, maka kalian tidak berhak berpoligami! Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan anak-anak gadis yatim dan mencegah segala bentuk penyalahgunaan harta dan kehormatan mereka, Islam menjadikan keadilan sebagai tolak ukur bagaimana bersikap dengan mereka. 2. Salah satu dari syarat memilih isteri adalah cinta. Tidak boleh seseorang dikawinkan secara paksa. 3. Bila muslimin menyalahgunakan poligami, bukan berarti poligami itu sendiri yang buruk. Sebaliknya, masyarakat yang memerlukan poligami, tapi harus diatur undangundang yang jelas. (4)سا فَ ُكلُوهُ َهنِيئاا َم ِريئاا َ ع ْن ش ْيءٍ ِم ْنهُ نَ ْف ا َ صدُقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةا فَإ ِ ْن ِطبْنَ لَ ُك ْم َ َِوآَتُوا الن َ سا َء Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (4:4) Surat Nisaa’ menjelaskan banyak tentang hukum dan masalah keluarga. Satu persoalan yang dibahas terkait pembentukan sebuah keluarga adalah mahar. Tapi yang terjadi di kalangan bangsa Arab di masa Rasulullah Saw, pihak pria tidak bersedia membayar mahar, atau bila mereka membayarnya, mahar itu diambil kembali secara paksa.
Al-Quran dalam surat Nisaa’ ini berusaha membela kaum perempuan dengen memerintahkan kaum lelaku untuk membayar mahar. Pembayaran yang dilakukan harus dilakukan atas kehendak dan keinginan, bukan karena takut atau terpaksa. Selanjutnya, kaum lelaki diingatkan bahwa mereka tidak berhak mengambil seluruh atau sebagian dari mahar yang telah diberikan kepada wanita. Karena mahar itu milik isteri, bila ia menginginkan untuk mengembalikannya kepada kalian, di saat itu mahar itu menjadi halal bagi kalian. Beralih dalam penggunaan kata “Nihlah” dalam ayat ini. Oleh pakar bahasa Arab, Raghib Isfahani menyebut kata Nihlah berasal dari Nahl yang berarti lebah madu. Lebah memberikan madu kepada manusia tanpa pernah mengharapkan apapun dari manusia. Al-Quran menyerupakan mahar seperti lebah madu, dimana ia merupakan pemberian dari suami kepada isterinya dan menjadi pemanis kehidupan rumah tangganya. Oleh karenanya, suami tidak boleh berharap mahar yang telah diberikan untuk diminta kembali, sama seperti lebah madu yang tak pernah mengharap apapun dari manusia. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Mahar bukan berarti harga wanita, melainkan hadiah lelaki dan petanda ketulusan lelaki dalam merefleksikan cintanya. Kata “Shadaq” berarti mahar yang berasal dari kata shidq yang artinya kejujuran. Berarti mahar itu sendiri simbol dari kejujuran. 2. Mahar merupakan hak perempuan dan milik isteri yang harus diberikan oleh suami dan tidak boleh diambil darinya. 3. Kerelaan secara zahir saat memberi tidaklah cukup, tapi perlu kerelaan hati juga. Bila, wanita menghalalkan maharnya atas dasar terpaksa dan keberatan, maka pengembalian itu tidak sah sekalipun ia rela secara zahir. َّ سفَ َها َء أ َ ْم َوالَ ُك ُم الَّ ِتي َجْعَ َل (5)سو ُه ْم َوقُولُوا لَ ُه ْم قَ ْو اًل َم ْْع ُروفاا ُّ َو ًَل تُؤْ تُوا ال ُ ار ُزقُو ُه ْم فِي َها َوا ْك ْ اَّللُ لَ ُك ْم قِيَا اما َو Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (4: 5)
Dari ayat-ayat sebelumnya dan selanjutnya menjelaskan bahwa maksud ayat ini memerintahkan agar kalian jangan menyerahkan harta anak-anak yatim kepada mereka selagi belum dewasa dari segi akal dan ekonomi. Selain itu, apabila anak-anak yatim itu bodoh, maka jangan sekali- kali kalian serahkan hartanya kepada mereka. Harta anak yatim harus dijaga dan boleh diniagakan, kemudian keuntungan yang diperoleh dari harta anak-anak yatim itu dibelanjakan untuk keperluan hidup mereka, seperti makanan dan pakaian. Setelah itu Allah Swt menyinggung nilai etik yang sangat penting, “Bahkan berbicaralah dengan orang-orang yang bodoh dengan baik, bukannya perkataan buruk. Jika kalian tidak memberikan harta kalian kepada mereka, hendaknya kalian harus menghormati mereka dengan lisan dan perilaku”. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Harta dan kekayaan merupakan sarana dinamis masyarakat, dengan syarat diberikan kepada orang-orang yang bersih dan saleh. 2. Dalam masalah ekonomi, keluarga dan masyarakat hendaknya memperhatikan maslahat individu dan sosial. 3. Menurut Islam, harta dan kekayaan dunia bukan hanya tidak buruk dan tercela, melainkan penyebab kekokohan sistem ekonomi, dengan catatan tidak ada di tangan orang-orang yang bodoh. َوا ْبتَلُوا ْاليَت َا َمى َحتَّى ِإذَا بَلَغُوا النِ َكا َح فَإ ِ ْن آَنَ ْست ُ ْم ِم ْن ُه ْم ُر ْشداا فَا ْدفَْعُوا ِإلَ ْي ِه ْم أ َ ْم َوالَ ُه ْم َو ًَل ت َأ ْ ُكلُوهَا ِإس َْرافاا َو ِبدَا ارا أ َ ْن َ َيَ ْكبَ ُروا َو َم ْن َكان علَ ْي ِه ْم َو َكفَى ِ يرا فَ ْليَأ ْ ُك ْل ِب ْال َم ْْع ُر ْ غ ِنيًّا فَ ْليَ ْست َ ْْع ِف ف َو َم ْن َكانَ فَ ِق ا َ وف فَإِذَا دَفَ ْْعت ُ ْم ِإلَ ْي ِه ْم أ َ ْم َوالَ ُه ْم فَأ َ ْش ِهد ُوا َّ ِب (6)اَّللِ َحسِيباا Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (4: 6) Ayat ini menerangkan secara terperinci metode pemeliharaan harta anak-anak yatim, metode untuk membelanjakan harta itu untuk kepentingan mereka dan membuat rancangan kerja untuk melindungi orang lemah dalam masyarakat. Syarat penyerahan harta anak yatim kepada mereka adalah kedewasaan pemikiran yang dapati dibuktikan lewat pengamatan. Hal lain yang disebutkan dalam ayat ini, sebelum diserahkan kepada mereka, harta anak yatim harus dijaga oleh yang diberi amanat untuk itu, bukannya dibelanjakan sebelum mereka dewasa. Persoalan lainnya, orang yang mengasuh anak yatim, tidak boleh menggunakan harta anak yatim itu, kecuali bila ia sendiri hidup dalam kemiskinan. Ia hanya diperbolehkan menggunakan uang anak yatim sekadar upah dari jerih payahnya menjaga harta anak yatim itu, tidak lebih. Masalah penting lainnya, saat melakukan penyerahan harta anak yatim, hendaknya disertai dengan kesaksian orang yang dapat dipercayai. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari segala bentuk sengketa dan konflik yang bakal muncul di kemudian hari. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Untuk menggunakan harta, anak yatim disyaratkan sudah dewasa dalam berpikir. Itulah mengapa seorang remaja boleh menggunakan hartanya dengan syarat sudah dewasa secara ekonomi. 2. Perlu keseriusan dalam masalah keuangan dan ekonomi. Selain seseorang harus memperhatikan perintah Allah, ia harus menjaga kehormatannya di tengah masyarakat. َصيبٌ ِم َّما ت ََر َك ْال َوا ِلدَا ِن َو ْاْل َ ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أ َ ْو َكث ُ َر ِ س ِ اء ن ِ ِل ِلر َجا ِل ن َ ِان َو ْاْل َ ْق َربُونَ َو ِللن ِ ََصيبٌ ِم َّما ت ََر َك ْال َوا ِلد (7)ضا َصيباا َم ْف ُرو ا ِ ن Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (4:7)
Sebelumnya, telah disebutkan ayat-ayat pertama surat Nisaa’ menjelaskan banyak persoalan keluarga. Salah satu problem keluarga adalah anak-anak yang tidak memiliki pengasuh dan anak yatim. Dalam sebuah riwayat telah disebutkan, salah seorang dari sahabat Rasul Saw meninggal dunia. Sahabat tadi memiliki isteri dan anak, tapi keponakan yang meninggal justru membagi-bagi harta si mayit di antara mereka sendiri dan tidak menyisakan sedikitpun untuk isteri dan anak-anaknya. Karena di masa Jahiliah, hanya lelaki yang memiliki hak waris, bukan anak-anak si mayit atau isterinya. Ayat ke-7 surat Nisaa’ diturunkan untuk membela hak-hak kaum perempuan, terutama masalah warisan. Disebutkan, ”Sebagaimana kaum pria memiliki hak waris, kaum perempuan juga punya hak yang sama, sekalipun berbeda dalam jumlah. Karena jatah masing-masing telah ditentukan oleh Allah.” Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Islam tidak hanya memerintah shalat dan puasa, tapi memberikan perhatian ke seluruh aspek kehidupan manusia. Islam melihat upaya melindungi hak perempuan dan anak yatim sebagai kelaziman iman seseorang. 2. Pembagian warisan harus berlandaskan perintah Tuhan, bukan mengikuti tradisi sosial atau keinginan orang yang meninggal. 3. Poin penting dalam pembagian warisan bukan jumlah, tapi perlindungan hak para ahli waris. Bukan karena jumlahnya sedikit, lalu hak waris seseorang diabaikan. ُ سا ِك (8)ار ُزقُو ُه ْم ِم ْنهُ َوقُولُوا لَ ُه ْم قَ ْو اًل َم ْْع ُروفاا ْ َين ف َ َو ِإذَا َح َ ض َر ْال ِق ْس َمةَ أُولُو ْالقُ ْربَى َو ْاليَت َا َمى َو ْال َم Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (4:8) Demi mengokohkan dan memelihara hubungan keluarga, diperlukan perilaku dan etika yang sesuai. Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat ini membahas hukum warisan dan akhlak. Disebutkan dalam ayat bila ada kerabat miskin atau anak yatim yang ikut dalam proses pembagian harta warisan, maka bila disepakati oleh ahli waris hendaknya mereka juga
diberi bagian walaupun sedikit. Hal ini penting untuk mempererat jalinan keluarga dan mengokohkan hubungan yang ada, sekaligus tentu saja menghilangkan rasa dengki yang mungkin lahir dari kemiskinan mereka. Bila pihak ahli waris sepakat untuk memberikan sedikit bagian kepada kerabat miskin yang hadir, diupayakan agar tetap bersikap sopan dan santun ketika berbicara dengan mereka. Hal ini harus dilakukan agar menghapus kesan bahwa mereka tidak dipedulikan oleh kerabatnya lantaran miskin. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Hendaknya kita memperhatikan harapan orang miskin sebatas kewajaran dan membantu mereka di luar dari kewajiban yang ditetapkan agama. 2. Memberi hadiah dan perhatian dapat mengokohkan hubungan keluarga. Memberikan bantuan berupa materi dan bersikap sopan dapat mencegah munculnya dengki dan dendam di tengah keluarga. َّ علَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّقُوا (9)سدِيداا َ ضْعَافاا خَافُوا ِ ش الَّذِينَ لَ ْو ت ََر ُكوا ِم ْن خ َْل ِف ِه ْم ذ ُ ِريَّةا َ اَّللَ َو ْليَقُولُوا قَ ْو اًل َ َو ْليَ ْخ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (4: 9) Al-Quran memberikan gambaran dalam ayat ini untuk menumbuhkan empati masyarakat akan kondisi anak-anak yatim. Al-Quran mengajak umat Islam membayangkan bagaimana bila anak mereka sendiri hidup di bawah pengawasan orangorang yang kejam dan sewenang-wenang dalam membelanjakan harta mereka. Allah mengingatkan mereka bila mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya sepeninggal mereka, maka hal pertama yang dilakukan adalah takut kepada Allah, tidak menzalimi, berperilaku terpuji, mengasihi dan memenuhi kebutuhan material dan spiritual mereka. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Kita harus bersikap yang sama terhadap anak-anak yatim seperti yang kita lakukan terhadap anak kita.
2. Perilaku baik memiliki dampak di dunia, bukan hanya di akhirat. Perilaku baik atau buruk kita akan sampai kepada anak dan keturunan kita. 3. Kebutuhan anak yatim tidak terbatas pada hal-hal materi, tapi yang lebih penting adalah kebutuhan spiritual. ُ ُظ ْل اما ِإنَّ َما يَأ ْ ُكلُونَ فِي ب ُ ِإ َّن الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُونَ أ َ ْم َوا َل ْاليَت َا َمى (10)يرا ْ س َي س ِْع ا طونِ ِه ْم ن ا َ َصلَ ْون َ َارا َو Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (4: 10) Ayat ini menyinggung wajah batin di balik perbuatan kejam terhadap anak-anak yatim. Memakan harta anak yatim sama dengan menelan api dan hal ini akan terbukti dan menjelma pada Hari Kiamat. Perbuatan manusia di dunia memiliki wajah lahiriah yang kita lihat sehari-hari, tapi juga memilih wajah batin yang tersembunyi. Wajah batin perbuatan manusia akan muncul di Hari Kiamat. Pada hari itu perbuatan yang kita lakukan akan menjelma wajah aslinya. Bila memakan harta anak yatim terlihat betapa pelakunya gembira di dunia, tapi bila melihat dengan mata batin, maka apa yang dimakannya itu sejatinya berupa api. Pada Hari Kiamat yang dimakan itu bukan harta, tapi api yang akan membakar wajah dan tubuhnya. Dengan demikian, bila ayat sebelumnya menyinggung dampak lahiran dari berbuat zalim terhadap anak-anak yatim, maka dalam ayat ini dijelaskan mengenai dampak batin dari menyelewengkan harta anak yatim. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Memakan harta haram, khususnya milik anak yatim, sekalipun terlihat nikmat, tapi pada hakikatnya mengganggu jiwa manusia. 2. Api neraka sejatinya perbuatan buruk yang menjelma di Hari Kiamat. Karena Allah tidak suka menyiksa hamba-Nya, tapi kitalah yang menjebloskan diri ke api neraka.
ْ سا اء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََر َك َوإِ ْن َكان َّ ُوصي ُك ُم احدَة ا فَلَ َها ِ َت َو ِ ي َ ِاَّللُ ِفي أ َ ْو ًَل ِد ُك ْم ِللذَّ َك ِر ِمثْ ُل َح ِظ ْاْل ُ ْنثَيَي ِْن فَإ ِ ْن ُك َّن ن ُ ُّ َ َ ُ ُ ُس ِم َّما ت ََر َك ِإ ْن َكانَ لَهُ َولَد ٌ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َولَدٌ َو َو ِرثَهُ أبَ َواهُ فَ ِِ ِم ِه الثل ث فَإِ ْن ُّ اح ٍد ِم ْن ُه َما ال ِ ف َو ِْلبَ َو ْي ِه ِل ُك ِل َو ْ ِالن ُ سد ُ ص ب لَ ُك ْم نَ ْفْعاا ُّ َكانَ لَهُ ِإ ْخ َوة ٌ فَ ِِ ُ ِم ِه ال ُ ُوصي ِب َها أ َ ْو دَي ٍْن آَبَا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم ًَل تَد ُْرونَ أَيُّ ُه ْم أ َ ْق َر ُ سد ِ صيَّ ٍة ي ِ ُس ِم ْن بَ ْْع ِد َو َّ اَّللِ ِإ َّن َّ َضةا ِمن ٌ ف َما ت ََر َك أ َ ْز َوا ُج ُك ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه َّن َولَدٌ فَإِ ْن َكانَ لَ ُه َّن َولَد ْ ِ) َولَ ُك ْم ن11( ع ِلي اما َح ِكي اما ُ ص َ فَ ِري َ َاَّللَ َكان الربُ ُع ِم َّما ت ََر ْكت ُ ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَدٌ فَإ ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم ُّ ُوصينَ ِب َها أ َ ْو دَي ٍْن َولَ ُه َّن ُّ فَلَ ُك ُم ِ صيَّ ٍة ي ِ الربُ ُع ِم َّما ت ََر ْكنَ ِم ْن بَ ْْع ِد َو ُ ُور ث َك ََللَةا أ َ ِو ْام َرأَة ٌ َولَهُ أ َ ٌخ أ َ ْو ُ صيَّ ٍة تُو ِ َولَد ٌ فَلَ ُه َّن الث ُّ ُم ُن ِم َّما ت ََر ْكت ُ ْم ِم ْن بَ ْْع ِد َو َ صونَ بِ َها أ َ ْو دَي ٍْن َوإِ ْن َكانَ َر ُج ٌل ي ُ ُس فَإ ِ ْن َكانُوا أ َ ْكث َ َر ِم ْن ذَ ِل َك فَ ُه ْم صى ِب َها أ َ ْو دَي ٍْن ِ ُش َر َكا ُء فِي الثُّل ُّ اح ٍد ِم ْن ُه َما ال ِ أ ُ ْختٌ فَ ِل ُك ِل َو ُ سد ِ ث ِم ْن بَ ْْع ِد َو َ صيَّ ٍة يُو َّ اَّللِ َو َّ َصيَّةا ِمن َ (12)ع ِلي ٌم َح ِلي ٌم َ غي َْر ُم َ ُاَّلل ِ ار َو ٍ ض Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 11) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (4: 12) Allah Swt dengan kebijaksanaan-Nya menurunkan aturan dan hukum agama yang sesuai dengan kebutuhan alami dan fitrah manusia. Kematian menyebabkan terputusnya semua ikatan duniawi, kepemilikan dan dominasi manusia atas materi. Kematian juga merupakan jalan penghubung manusia untuk memasuki dunia lain. Tapi ada pertanyaan penting, apa nasib semua benda yang diperolehnya semasa hidup dan jatuh ke tangan siapa nantinya? Di sebagian masyarakat, harta orang yang meninggal dunia dibagikan kepada keluarga dan keturunannya yang laki-laki. Sementara isteri dan anak perempuan tidak mendapat bagian apapun dari harta yang ditinggalkan. Di sebagian tempat harta yang ditinggal mati oleh seseoragn menjadi milik umum, sementara keluarga dan keturunannya tidak berhak sedikitpun darinya. Ajaran Islam datang membawa perintah untuk mengatur masalah pembagian harta warisan yang dikenal dengan hukum waris. Menariknya, ternyata Islam memberikan wewenang untuk membelanjakan sepertiga dari hartanya sesuai keinginan yang meninggalkan harta warisan, sebelum meninggal dunia. Aturan yang ada dalam Islam membuat mereka yang kaya tetap berusaha mencari rezeki, sekalipun mendekati hari-hari terakhir dari kehidupannya. Karena mereka tahu bahwa sepeninggal mereka, harta yang ditinggal akan terjatuh ke tangan keturunannya yang melanjutkan namanya. Dengan dasar itulah, Islam pada tingkat pertama membagi warisan kepada anak dan selanjutnya kepada kerabat. Dalam pembagian ini anak lakilaki mendapat dua kali lebih banyak dari anak perempuan. Alasannya, kaum lelaki menanggung biaya kehidupan keluarganya, dan mereka lebih memerlukan uang dari wanita untuk membiaya anak isterinya. Meskipun ketetapan ini secara lahiriah merugikan perempuan, namun dengan memperhatikan ketetapan Islam lainnya, menjadi jelas bahwa ketetapan ini sebenarnya mengutungkan wanita.Karena dalam sistem keluarga Islam, perempuan tidak berkewajiban mengeluarkan uang dan semua keperluan,dari makanan, pakaian dan tempat tinggal ditanggung lelaki. Dalam kondisi yang demikian, perempuan dapat menyimpan semua bagian warisannya atau di belanjakan untuk keperluan pribadinya. Sementara, lelaki minimal harus membelanjakan separuh dari warisannya untuk kehidupan keluarganya, baik nafkah maupun mahar.
Sebenarnya, perempuan menjadi pemilik bagian warisannya dan juga bergabung di dalam separuh dari warisan suaminya. Sebaliknya suami tidak berhak memperoleh bagian warisan isterinya dan ia harus membelanjakan haknya untuk isterinya. Ayat 11 dan12 surah Nisaa’ yang menjelaskan ketetapan pembagian warisan antara anak anak, orang tua dan isteri yang meninggal, hanya menyentuh sebagian dari hukuman warisan. Oleh karenanya, untuk detilnya harus merujuk ke riwayat yang kuat yang menjelaskan detil masalah warisan. Perlu diketahui juga bahwa pembagian warisan baru boleh dilakukan setelah membayar utang yang dimiliki orang yang meninggal dan melaksanakan wasiatnya. Karena hak orang yang memberi utang dan yang dimaksud dalam wasiat harus didahulukan ketimbang hak para pewaris Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Karena anak merupakan pelanjut ayahnya, maka sudah semestinya ia juga menjadi pewaris ayahnya dan tidak boleh ada yang mencegahnya. 2. Sekalipun bagian warisan anak perempuan setengah dari bagian anak laki-laki, perbedaan itu kembali pada perbedaan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, karena itu merupakan ketetapan Allah, maka sudah selayaknya kita pasrah di hadapannya. 3. Menunaikan hak manusia dan peduli akan hak rakyat sangat penting, sehingga Allah menekankannya sebanyak 4 kali agar para pewaris tidak melupakan hak orang lain. َّ اَّلل َو َم ْن ي ُِط ِع ٍ سولَهُ يُد ِْخ ْلهُ َجنَّا ار خَا ِلدِينَ فِي َها َوذَ ِل َك ْالفَ ْو ُز ْالْعَ ِظي ُم ُ اَّللَ َو َر ُ ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِ َها ْاْل َ ْن َه ِ َّ ُ تِ ْل َك ُحد ُود ٌ عذَابٌ ُم ِه َّ ص (14)ين ُ اَّللَ َو َر سولَهُ َويَتَْعَدَّ ُحد ُودَهُ يُد ِْخ ْلهُ ن ا ِ ) َو َم ْن يَ ْْع11( َ َُارا خَا ِلداا فِي َها َولَه (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (4: 13) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuanketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (4: 14)
Setelah ayat ayat hukum warisan, ayat ini mewasiatkan orang mukmin agar taat terhadap perintah Tuhan dalam persoalan harta, khususnya warisan dan menghindari segala bentuk pelanggaran dan ketidakpatuhan. Karena, melanggar hak-hak ilahi termasuk dosa besar dan mendatangkan hukuman yang berat. Ayat ini menjelaskan bahwa taat kepada Tuhan bukan hanya beribadah, melainkan memelihara hak masyarakat dalam persoalan sosial dan ekonomi, merupakan syarat tauhid dan agama dan seorang individu dan keluarga. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Jalan untuk sampai kepada kebahagiaan dunawi dan akhirat adalah mengikuti hukum agama, bukannya mengikuti hawa nafsu. 2. Orang yang melanggar hak orang lain bakal mendapat siksaan yang hina di akhirat, sama dengan orang kafir. 3. Sekalipun orang yang meninggal sudah tidak tahu apakah utang-utangnya telah ditunaikan oleh anak-anaknya, tapi harus diketahui Allah ada. Allah akan menyiksa berat orang yang melanggar hak orang lain. َّ َو ت َحتَّى يَت ََوفَّا ُه َّن َ علَ ْي ِه َّن أ َ ْربَْعَةا ِم ْن ُك ْم فَإ ِ ْن َ اح ِ ش ِهد ُوا فَأ َ ْم ِس ُكو ُه َّن فِي ْالبُيُو ِ َالَلتِي يَأْتِينَ ْالف َ سائِ ُك ْم فَا ْست َ ْش ِهد ُوا َ شةَ ِم ْن ِن س ِب ا َّ ْال َم ْوتُ أ َ ْو يَجْ َْع َل (15)يَل َ اَّللُ لَ ُه َّن Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (4: 15) Ayat-ayat pertama surat Nisaa’ menjelaskan persoalan keluarga. Sementara ayat ini dan selanjutnya akan membicarakan soal hukuman yang akan dijatuhkan kepada laki-laki dan perempuan yang melanggar kesucian keluarga dan telah tercemar. Ayat 15 menyinggung soal hukuman terhadap wanita yang memiliki suami, tapi menjalin hubungan di luar syariat dengan pria lain. Tapi ada poin penting dalam Islam yang tidak memperbolehkan tindakan memata-matai, sekalipun dengan alasan ingin menjaga kehormatan keluarga. Islam juga tidak mendorong manusia untuk membuktikan pelanggaran orang lain.
Bila ada tiga orang adil memberikan kesaksian bahwa seorang perempuan melakukan zina, tapi orang keempat tidak membenarkan, maka kesaksian tiga orang itu tidak diterima. Tidak hanya itu, ketiga orang tersebut akan dihukum cambuk dengan alasan telah mencemarkan nama baik perempuan yang dituduh. Selain itu, hukum zina juga tidak dapat diterapkan kepada perempuan tadi. Hukum terhadap perempuan yang terbukti berzina di akhir ayat bagi perempuan yang berzina pada mulanya adalah ditahan ditahan di rumah suaminya. Hukum ini untuk menjaga kehormatan keluarga, sekaligus mencegah konsentrasi para penyeleweng dalam satu tempat dan penyebarannya ke orang lain atau perempuan ini justru belajar hal-hal buruk lainnya. Dewasa ini, penjara telah menjadi tempat pertukaran informasi bagi para penjahat. Hukum penjara perempuan bersuami di rumah itu berlaku sampai Allah memberlakukan hukum rajam terhadap mereka. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Memelihara kehormatan seorang mukmin, lebih penting bahkan dari darahnya. Pembunuh cukup dibuktikan dengan dua saksi, sementara zina diperlukan 4 saksi. 2. Islam memberlakukan hukuman berat demi melindungi keluarga dan masyarakat dari penyimpangan. 3. Penjara diperlukan untuk mensterilkan masyarakat. Dalam melaksanakan perintah ilahi, perasaan dan emosi harus dibelakangkan. َّ ع ْن ُه َما ِإ َّن (16)اَّللَ َكانَ ت ََّواباا َر ِحي اما ُ صلَ َحا فَأَع ِْر ْ َ ان َيأْتِيَا ِن َها ِم ْن ُك ْم فَآَذُو ُه َما فَإ ِ ْن ت َا َبا َوأ َ ضوا ِ ََواللَّذ Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (4:16) Sekalipun dalam ayat ini bersifat umum dan mencakup pria yang berbuat keji, baik dengan sejenis atau lawan jenis, tapi menurut sebagian besar ahli tafsir ayat ini khusus berbicara mengenai perempuan dan pria yang belum berumah tangga. Bila mereka berbuat zina, maka hukuman yang diterapkan ke atas mereka adalah cambuk.
Tetapi, selagi kesalahannya belum terbukti di pengadilan dan mereka yang tertuduh itu, baik pria maupun perempuan bertaubat dan berusaha memperbaiki diri, maka mereka harus diampunia. Sementara apakah mereka memang benar melakukannya atau tidak harus diserahkan kepada Allah. Karena Allah Maha Penyarang dan Pengampun akan menerima taubat mereka. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Siap saja yang bersalah dalam masyarakat Islam tidak boleh merasa aman dan harus dihukum setimpal dengan perbuatannya. 2. Jangan menutup pintu taubat dan berikan kesempatan kepada orang yang benarbenar menyesali perbuatannya untuk kembali ke pangkuan masyarakat. َّ َعلَ ْي ِه ْم َو َكان َّ وب ع ِلي اما ُّ اَّلل ِللَّذِينَ يَ ْْع َملُونَ ال ُ ُ ب فَأُولَئِ َك يَت ٍ سو َء بِ َج َهالَ ٍة ث ُ َّم يَتُوبُونَ ِم ْن قَ ِري ِ َّ علَى َ ُاَّلل َ ُاَّلل َ ُإِنَّ َما الت َّ ْوبَة َض َر أ َ َحدَ ُه ُم ْال َم ْوتُ قَا َل ِإنِي تُبْتُ ْاْلَنَ َو ًَل الَّذِين ِ س ِيئ َا ِ س َّ ت الت َّ ْوبَةُ ِللَّذِينَ يَ ْْع َملُونَ ال َ ت َحتَّى ِإذَا َح َ ) َولَ ْي17( َح ِكي اما (18)عذَاباا أ َ ِلي اما ٌ َّيَ ُموتُونَ َو ُه ْم ُكف َ ار أُولَئِ َك أ َ ْعت َ ْدنَا لَ ُه ْم Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 17) Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (4: 18) Menyusul ayat sebelumnya yang menjelaskan kemungkinan bertaubatnya orang-orang yang bersalah, ayat ini menjelaskan syarat dan waktunya bertaubat. Syarat terpenting taubat berawal dari perbuatan dosa itu berasal dari kelalaian, tidak tahu dampak buruknya dan akibat mengikuti hawa nafsu. Dengan kata lain, perbuatan dosa yang dilakukan itu bukan kebiasaan dan tidak atas niat menyepelekan dosa. Syarat kedua, taubat harus segera dilakukan setelah mengetahui buruknya dosa dan penyesalan.
Jangan menunda-nunda taubat, kemudian mengulangi dosa itu, hingga akhir ajal. Karena taubat yang dilakukan setelah mendekati ajal dengan kondisi seperti ini tidak akan diterima oleh Allah Swt. Karena syarat diterima taubat harus ada upaya memperbaiki diri, bila hal itu tidak dilakukan, maka taubat menjadi sia-sia. Menunda taubat bakal menjerumuskan manusia untuk mengulangi perbuatan dosanya, sehingga perbuatan dosa itu menyatu dan menjadi karakternya. Bila sudah demikian kondisinya, taubat yang dilakukannya hanya sekadar lisan, dan tidak benar-benar keluar dari hatinya. Jiwa manusia yang terbiasa melakukan dosa akan sangat sulit untuk kembali ke fitrahnya. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Allah Swt menerima taubat orang yang berdosa. Oleh karenanya, selagi hidupm mari kita gunakan kesempatan ini. 2. Orang yang tidak mampu melawan hawa nafsu sejatinya bodoh, sekalipun ia pandai 3. Kunci diterimanya taubat adalah segera melakukannya dan jangan menundanya 4. Taubat harus dilakukan dengan kehendak, bukan bahaya atau menjelang kematian. َض َما آَت َ ْيت ُ ُمو ُه َّن ِإ ًَّل أ َ ْن يَأْتِين ُ سا َء َك ْر اها َو ًَل ت َ ْْع ِ ضلُو ُه َّن ِلت َ ْذ َهبُوا ِببَ ْْع َ ِيَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ًَل يَ ِح ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن ت َِرثُوا الن َّ ش ْيئاا َويَجْ ْعَ َل (19)يرا َ سى أ َ ْن ت َ ْك َر ُهوا َ اح ِ عا ِش ُرو ُه َّن بِ ْال َم ْْع ُر ِ َبِف اَّللُ فِي ِه َخي اْرا َكثِ ا َ ش ٍة ُمبَيِنَ ٍة َو َ َوف فَإ ِ ْن َك ِر ْهت ُ ُمو ُه َّن فَْع Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (4: 19) Ayat ini diturunkan dalam rangka membela hak kaum wanita dalam persoalan keluarga. Guna mewujudkan hal ini, langkah pertama yang ditempuh al-Quran adalah mengeluarkan perintah larangan kaum pria melakukan tindakan tidak terpuji terhadap perempuan. Di akhir ayat ini dijelaskan satu prinsip umum bagaimana memelihara sistem keluarga.
Menjadikan tolok ukur harta dalam memilih pasangan adalah niat yang tidak terpuji dalam upaya membangun rumah tangga. Karena pada dasarnya, pria yang ingin menikah itu tidak cinta kepada perempuan, atau bila ada itupun tidak sebesar keinginannya untuk menguasai harta perempuan itu. Ayat ini menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pria itu merupakan kesalahan dan bagi orang yang beriman perbuatan ini tidak menunjukkan keimanan. Kebiasaan buruk di tengah kaum Jahiliah adalah menekan isteri agar menghalalkan sebagian atau keseluruhan dari maharnya. Hal ini sering terjadi ketika mahar yang diminta oleh pihak perempuan tinggi nilainya. Al-Quran mencegah kebiasaan tidak terpuji ini dan mewajibkan suami untuk menghormati hak dan kekayaan isteri. Mempersulit isteri itu hanya boleh dilakukan bila ia melakukan perbuatan keji, agar dapat menceraikan isteri tanpa harus membayar maharnya. Hal yang demikian menjadi balasan setimpal atas perilaku buruk isterinya. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan aturan umum agar setiap suami berperilaku baik terhadap isterinya. Bila terjadi suami sudah tidak senang lagi kepada isterinya, atau rasa cinta yang ada sudah semakin berkurang, Allah menekankan agar suami tetap tidak boleh berbuat buruk kepadanya. Karena sangat mungkin ada sejumlah persoalan yang tampaknya tidak menyenangkan suami, tapi Allah memberikan berkah dalam masalah itu. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Jangan menjadikan harta dan kekayaan sebagai tolok ukur dalam memilih isteri. Cinta adalah dasar utama dalam menikah. 2. Mahar adalah milik isteri dan suami tidak berhak memilikinya dengan cara apapun, kecuali dengan kerelaan isteri. 3. Suami bertanggung jawab memelihara institusi keluarga. Segala masalah yang muncul tidak boleh membuatnya bersikap buruk terhadap isteri yang berujung pada perceraian. َ ج َوآَت َ ْيت ُ ْم ِإحْ دَا ُه َّن قِ ْن )22( ش ْيئاا أَت َأ ْ ُخذُونَهُ بُ ْهت َاناا َوإِثْ اما ُمبِيناا َ ُارا فَ ََل ت َأ ْ ُخذُوا ِم ْنه ط ا ٍ ج َم َكانَ زَ ْو ٍ َوإِ ْن أ َ َر ْدت ُ ُم ا ْستِ ْبدَا َل زَ ْو غ ِلي ا َ ض َوأ َ َخ ْذنَ ِم ْن ُك ْم ِميثَاقاا (21)ظا ُ ضى َب ْْع ٍ ض ُك ْم ِإلَى بَ ْْع َ ْف ت َأ ْ ُخذُونَهُ َوقَ ْد أ َ ْف َ َو َكي
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (4: 20) Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (4: 21) Ada kebiasaan buruk di masa Jahiliah yang ditentang keras oleh Islam. Bila ada seorang suami ingin kawin lagi, dengan mudah ia menuduh isteri pertamanya dengan tuduhan yang bukan-bukan. Hal itu dilakukan guna menekan jiwa isterinya dan membebaskannya membayar mahar agar diceraikan oleh suaminya. Setelah menceraikan isteri pertamanya, kemudia ia menikah lagi dengan mahar isteri pertamanya. Dua ayat ini menentang keras tradisi buruk dan tidak terpuji ini dan mengingatkan kesan pertama saat awal pernikahan. Bukankah pada waktu itu sang suami telah berjanji untuk memberikan mahar kepada isterinya. Setelah hidup bersama bertahun-tahun, bagaimana mereka dengan mudah melanggar janji yang telah diucapkan dahulu. Lebih buruk dari itu, mengapa harus melontarkan tuduhan keji kepada isterinya yang bersih dan suci? Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Islam membela hak wanita dan perkawinan kedua suami tidak boleh mengorbankan hak isteri yang pertama. 2. Mengambil kembali mahar dilarang dalam Islam, apalagi hal itu dilakukan dengan alasan yang dibuat-buat, bahkan dengan tuduhan keji. 3. Akad nikah merupakan perjanjian kokoh, dimana berkat itu Allah menghalalkan seorang pria dan perempuan hidup bersama. Di sini memelihara janji dan berusaha saling memahami merupakan keharusan. س ِب ا ْ ) ُح ِر َم22( يَل علَ ْي ُك ْم َ اح ِ س ِ َف ِإنَّهُ َكانَ ف َ ت َ سا َء َ شةا َو َم ْقتاا َو َ اء ِإ ًَّل َما قَ ْد َ َِو ًَل ت َ ْن ِك ُحوا َما نَ َك َح آَبَا ُؤ ُك ْم ِمنَ الن َ َسل َّ ت َوأ ُ َّم َهات ُ ُك ُم َ ع َّمات ُ ُك ْم َوخ َض ْْعنَ ُك ْم َوأ َ َخ َوات ُ ُك ْم ِمن ِ خ َوبَنَاتُ ْاْل ُ ْخ َ الَل ِتي أ َ ْر َ أ ُ َّم َهات ُ ُك ْم َوبَنَات ُ ُك ْم َوأ َ َخ َوات ُ ُك ْم َو ِ َ َاًلت ُ ُك ْم َوبَنَاتُ ْاْل
َّ سائِ ُك ُم َّ سائِ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم الَلتِي دَخ َْلت ُ ْم بِ ِه َّن فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ُكونُوا دَخ َْلت ُ ْم بِ ِه َّن َّ َ الر َ ضا َ ِور ُك ْم ِم ْن ن َ ِع ِة َوأ ُ َّم َهاتُ ن ِ الَلتِي فِي ُح ُج ُ َّ َ َ َ ْ َّ ف ِإ َّن َ َاَّللَ َكان ورا ْ علَ ْي ُك ْم َو َح ََلئِ ُل أ ْبنَا ِئ ُك ُم الذِينَ ِم ْن أ غفُ ا َ فَ ََل ُجنَا َح َ ص ََل ِب ُك ْم َوأ ْن تَجْ َمْعُوا بَيْنَ اْل ْختَي ِْن ِإ ًَّل َما قَ ْد َ َسل (23)َر ِحي اما Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (4: 22) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 23) Dua ayat ini secara terperinci menyebutkan kelompok perempuan yang haram dinikahi. Alasan tidak boleh mengawini kelompok perempuan ini kembali pada sifatnya yang menentang fitrah manusia. Tapi secara keseluruhan, ada tiga hal penting yang menyebabkan haramnya pernikahan. Pertama, hubungan nasab atau keturunan yang menyebabkan haramnya menikahi ibu, saudara perempuan, anak perempuan, bibi dan anak perempuan dari saudara laki dan perempuan. Kedua, hubungan sababi (sebab), yang muncul karena perkawinan seorang lelaki dengan seorang perempuan. Setelah menikahi seorang perempuan maka ibu, saudara perempuan dan anak isteri diharamkan baginya. Ketiga, hubungan susuan. Apabila seorang wanita menyusui bayi dalam waktu tertentu, wanita itu dan anak-anak perempuannya yang minum susunya adalah tidak boleh dikawini. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Dilarang menikahi perempuan yang muhrim demi menjaga kehormatan keluarga.
2. Penetapan halal dan haram, seperti masalah pernikahan hanya wewenang Allah Swt. ْ اء إِ ًَّل َما َملَ َك َّ َاب َصنِين ِ س ِ ْاَّللِ َعلَ ْي ُك ْم َوأ ُ ِح َّل لَ ُك ْم َما َو َرا َء ذَ ِل ُك ْم أ َ ْن ت َ ْبتَغُوا بِأ َ ْم َوا ِل ُك ْم ُمح َ ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ِكت َ ِصنَاتُ ِمنَ الن َ َْو ْال ُمح َ ض ِة َ ض ْيت ُ ْم ِب ِه ِم ْن بَ ْْع ِد ْالفَ ِري َ علَ ْي ُك ْم فِي َما ت ََرا َ ور ُه َّن فَ ِري َ ضةا َو ًَل ُجنَا َح َ غي َْر ُم َ سافِ ِحينَ فَ َما ا ْست َْمت َ ْْعت ُ ْم ِب ِه ِم ْن ُه َّن فَآَتُو ُه َّن أ ُ ُج َّ إِ َّن (24)ع ِلي اما َح ِكي اما َ َاَّللَ َكان Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 24) Sebagai lanjutan ayat-ayat sebelumnya, ayat ini menyebut jenis perkawinan yang dihalalkan oleh syariat dan mewajibkan orang-orang mukmin memelihara batasanbatasan ilahi. Satu dari realitas pahit masyarakat manusia, dari dahulu hingga sekarang adalah munculnya perang dan konflik etnis dan agama yang mengakibatkan banyak korban terbunuh dan mengungsi dari kedua belah pihak yang berseteru. Dampak dari perang ini juga memunculkan banyak keluarga yang kehilangan orang tuanya. Sementara menurut perang di masa silam, tidak disediakan tempat khusus menampung para tawanan, sehingga tawanan pria dijadikan pekerja dan perempuan dijadikan budak. Ketika Islam datang, agama mulia ini menghapus tradisi ini secara prinsipal dengan mengusahakan secara gradual pembebasan budak. Islam bahkan membolehkan untuk mengawini para tawanan perempuan, bahkan perilaku ini terpuji dalam rangka mengangkat derajat perempuan dari tawanan menjadi isteri dan ibu. Masalah yang muncul bila tawanan perempuan itu dahulunya memiliki suami. Tapi Islam memberikan jalan keluar bahwa setiap perempuan yang ditawan dan menjadi budak itu secara otomatis telah diceraikan dari suaminya. Tapi, untuk kawin lagi, harus diberikan tenggat waktu untuk menjelaskan apakah ia sedang hamil atau tidak. Tentu saja program yang ditawarkan Islam ini lebih baik dan logis, ketimbang mengabaikan tuntutan-tuntutan biologis mereka.
Dalam kasus perang saudara, tidak sedikit kaum pria yang menjadi korban dan akhirnya banyak keluarga yang kehilangan pengayomnya Islam mengusulkan dua jalan sebagai solusi masalah ini. Pertama dengan poligami, dimana seorang pria dapat beristeri lebih dari satu. Artinya, seorang seorang pria yang memiliki satu isteri dapat mengawini perempuan lain lagi hingga empat dengan syarat semua diperlakukan sama dengan isteri pertama. Poligami telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sementara dalam ayat ini ada solusi lain yang disebut nikah Mut’ah atau kawin sementara. Pernikahan model ini tidak berbeda dengan nikah permanen, kedua-duanya dihalalkan oleh Allah Swt dengan perbedaan waktunya terbatas, tapi dapat diperpanjang. Sejumlah cendikiawan muslim pro-Barat menuding nikah Mut’ah sebagai bentuk penghinaan terhadap martabat perempuan. Padahal di negara-negara Barat justru tidak ada batasan dalam hubungan antara pria dan wanita. Di Barat, melakukan hubungan secara rahasia atau terang-terangan antara seorang wanita dengan beberapa lelaki tanpa aturan dan murni hawa nafsu malah dipandang tidak menyalahi peraturan. Ironisnya apabila hubungan ini diatur dalam kerangka yang jelas dan begitu transparan seperti perkawinan sementara malah dipandang menghina wanita.
Pandangan seperti ini juga berlaku di awal Islam. Perkawinan sementara dilarang sehingga tercipta sarana untuk menjalin hubungan secara rahasia dan perzinahan. Oleh karenanya dengan mencabut hukum perkawinan sementara bukan berarti kemudian kebutuhan biologis manusia berhenti, justru disalurkan melalui cara yang tidak benar. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Masalah sosial harus dilihat secara realistis, bukan mengikuti perasaan dan selera individu atau golongan. Solusi terbaik dengan menerima perintah Tuhan. Karena hanya Allah yang paling mengetahui tuntutan manusia, baik individu maupun sosial. 2. Perkawinan, baik permanen atau sementara merupakan benteng yang kokoh untuk menjaga kehormatan dan kesucian lelaki atau wanita. 3 Kerelaan kedua pihak harus ada dalam menentukan jumlah mahar, bukan hanya pria yang menentukan
َ َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع ِم ْن ُك ْم ْ ت فَ ِم ْن َما َملَ َك َّ ت َو اَّللُ أ َ ْعلَ ُم ِ ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ِم ْن فَتَيَاتِ ُك ُم ْال ُمؤْ ِمنَا ِ ت ْال ُمؤْ ِمنَا ِ صنَا َ ْط ْو اًل أ َ ْن يَ ْن ِك َح ْال ُمح ٍ سا ِف َحا ٍ صنَا َ ت ت َو ًَل ُ ِبإِي َمانِ ُك ْم بَ ْْع ِ ور ُه َّن ِب ْال َم ْْع ُر ٍ ض ُك ْم ِم ْن بَ ْْع َ غي َْر ُم َ ْوف ُمح َ ض فَا ْن ِك ُحو ُه َّن ِبإ ِ ْذ ِن أ َ ْه ِل ِه َّن َوآَتُو ُه َّن أ ُ ُج َت َ اح ِ صنَا ِ ُمت َّ ِخذَا َ ِي ْال َْعن ْ ش ٍة فَْعَلَ ْي ِه َّن ِن ِ َص َّن فَإ ِ ْن أَتَيْنَ ِبف ِ ت ِمنَ ْالْعَذَا ُ ص َ ف َما ِ ْان فَإِذَا أُح َ ْعلَى ْال ُمح ٍ َت أ َ ْخد َ ب ذَ ِل َك ِل َم ْن َخش َّ ص ِب ُروا َخي ٌْر لَ ُك ْم َو َ ُاَّلل (25)ور َر ِحي ٌم ْ َ ِم ْن ُك ْم َوأ َ ْن ت ٌ ُغف Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 25) Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan tentang bolehnya menikahi budak dan tawanan perang, dalam ayat ini mendorong para pria muslim yang tidan mampu mengawini perempuan bebas akibat mahalnya mahar, maka mereka dapat mengawini perempuan tawanan perang. Hal itu dilakukan agar mereka dapat menyalurkan kebutuhan seksualnya dan terjaga dari perbuatan keji. Di sisi lain, para perempuan tawanan itu juga diselamatkan dari kondisi terus menjanda. Poin penting yang patut mendapat perhatian di sini, al-Quran mensyaratkan keimanan dalam pernikahan, baik itu dilakukan dengan perempuan merdeka maupun tawanan. Syarat yang ditetapkan al-Quran menunjukkan bahwa sekalipun sebelum menikah kedua pasangan belum saling mengenal dan bahkan derajat sosial mereka berbeda, tapi keimanan dan ketaatan kepada perintah agama dapat menjadi sarana bagi keduanya untuk hidup bahagia. Sebaliknya, apabila keduanya tidak beriman, maka kekayaan dan kecantikan tidak dapat menjamin kehidupan dan rumah tangga mereka aman dan langgeng. Karena kedua tolok ukur ini akan hilang seiring waktu. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Anda dapat bersabar kawin dengan budak, namun tidak mungkin dapat bertahan dari siksa dosa. 2. Islam memberikan solusi bagi pria yang tidak mampu menikah dengan alasan biaya yang tinggi. 3. Kemuliaan dan kesucian serta jauh dari dosa merupakan syarat utama perkawinan dan kesuksesannya. 4. Orang yang berbuat keji tidak hanya dihukum di Hari Kiamat, tapi juga di dunia. Hal itu dilakukan agar orang lain mengambil pelajaran dan pelakunya tidak mengulangi lagi perbuatannya. َّ ) َو22( ع ِلي ٌم َح ِكي ٌم َّ علَ ْي ُك ْم َو َّ ُ ي ُِريد علَ ْي ُك ْم ُ اَّللُ ِليُبَ ِينَ لَ ُك ْم َويَ ْه ِديَ ُك ْم َ وب َ ُ اَّللُ ي ُِريد ُ أ َ ْن يَت َ ُاَّلل َ وب َ ُ سنَنَ الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم َويَت َّ َوي ُِريد ُ الَّذِينَ يَتَّبِْعُونَ ال ُ س َّ ُ ) ي ُِريد27( ع ِظي اما (28)ض ِْعيفاا ِ ش َه َوا َ ان َ ف َ ت أ َ ْن ت َِميلُوا َمي اَْل َ اْل ْن َ اَّللُ أ َ ْن يُخ َِف ِ ْ َع ْن ُك ْم َو ُخ ِلق Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 26) Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (4: 27) Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (4: 28) Bila ayat-ayat sebelumnya mendorong manusia untuk menikah dan menjelaskan hukum dan syarat-syaratnya, maka tiga ayat ini mengingatkan manusia bahwa apa yang diperintahkan Allah itu demi keuntungan manusia sendiri. Perintah Allah itu ingin mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dan menjauhkannya dari perbuatan nista. Karena kebijakan dan kasih sayang-Nya, Allah senantiasa memberi petunjuk dan mengarahkan manusia. Oleh karenanya, Allah Swt menurunkan nabi dan kitab. Sayangnya sebagian manusia lebih memilih kesesatan dan berupaya menyesatkan orang lain. Sebagian dari manusia berusaha memuaskan hawa nafsunya dan mengajak orang lain mengikuti tuntutan syahwatnya. Ayat ini menyatakan bahwa hukum-hukum yang
diturunkan Allah kepada manusia tidak sulit. Perintah yang diturunkan Allah bersumber dari ilmu dan kebijakan-Nya. Allah telah mempertimbangkan kebutuhan manusia dan masyarakat, lalu memudahkan keinginan manusia dengan menghalalkan dua bentuk pernikahan guna mengendalikan hawa nafsunya. Hal itu dilakukan agar manusia tidak tercemari oleh perbuatan dosa dan masyarakat terpelihara dari kebejatan sosial. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Hukum dan perintah-perintah agama merupakan rahmat dan anugerah Tuhan kepada manusia. Karena Dia memberi petunjuk manusia agar memilih jalan yang benar. 2. Hasrat seksual tidak berbeda dengan naluri lainnya merupakan perkara yang alami dan fitrawi. Namun kebebasan seksual menjalin hubungan di luar ikatan syariat menyebabkan hancurnya sendi keluarga dan masyarakat. 3. Islam adalah agama yang mudah. Prinsip agama memberikan perintah atau tanggung jawab sebatas kemampuan. َّ س ُك ْم ِإ َّن ِ َيَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ًَل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِب ْالب ٍ ع ْن ت ََر َ ارة ا َاَّلل َ ُاض ِم ْن ُك ْم َو ًَل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف َ اط ِل ِإ ًَّل أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج ُ عد َْواناا َو َّ علَى ِيرا ُ ) َو َم ْن يَ ْفْعَ ْل ذَ ِل َك22( ( َكانَ ِب ُك ْم َر ِحي اما12) ْ ُف ن اَّللِ يَس ا ص ِلي ِه ن ا َ َارا َو َكانَ ذَ ِل َك َ َظ ْل اما ف َ س ْو Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (4: 29) Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (4: 30) Bila ayat sebelumnya melarang bentuk pemerkosaan dan pelecehan seksual, sekaligus perintah memelihara kesucian keluarga dan masyarakat, ayat ini melarang umat Islam bersikap arogan, mengambil harta atau membunuh orang lain. Dua ayat ini menegaskan agar umat Islam menghargai harta dan jiwa orang lain, sama seperti mereka menghormati jiwa dan hartanya sendiri dan janganlah mereka berlaku keji dan zalim.
Segala bentuk pemerkosaan terhadap harta orang lain adalah perbuatan tercela, kecuali berazaskan transaksi yang sah serta pemiliknya melakukan transaksi ini dengan kerelaan yang penuh. Mélanggar harta orang lain adalah sinyalemen kezaliman jiwa pelakunya, dari itulah, perbuatan itu nanti mendatangkan hukuman dan siksaan yang berat, siksaan yang pada hari kiamat nanti berbentuk api yang panas dan membakar yang menelan si zalim. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Islam menghormati kepemilikan pribadi dan kerelaan pemilik merupakan syarat bertransaksi. 2. Sistem ekonomi yang tidak benar hanya akan melahirkan kesenjangan sosial yang akan melahirkan pelbagai masalah sosial. 3. Islam menilai jiwa manusia sebagai mulia. Oleh karenanya bunuh diri atau membunuh orang lain haram hukumnya. 4. Allah Swt mengasihi manusia, tapi bersikap tegas terhadap para pelaku kezaliman. Karena hak masyarakat sangat penting di sisi Allah. (31)سيِئ َاتِ ُك ْم َونُد ِْخ ْل ُك ْم ُم ْدخ اََل َك ِري اما َ ع ْنهُ نُ َك ِف ْر َ َإِ ْن تَجْ تَنِبُوا َكبَائِ َر َما ت ُ ْن َه ْون َ ع ْن ُك ْم Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (4: 31) Ayat ini menjelaskan bahwa dosa itu ada yang kecil dan besar. Tapi harus dicamkan bahwa dosa itu baik kecil atau besar tetap saja tercela di sisi Allah Swt. Pembagian dosa menjadi kecil dan besar kembali pada dampak dosa tersebut. Dalam riwayat telah disebutkan secara terperinci mana jenis dosa yang disebut kecil dan mana yang besar. Semakin luas lingkaran dosa itu, berarti akan semakin besar pula dampak merugikannya bagi orang yang melakukan juga keluarga dan masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, dosa yang dilakukan juga semakin tercela di sisi Allah. Dari sisi lain, sebuah perbuatan dosa kecil yang dilakukan oleh orang biasa tidak akan terhitung kecil bila dilakukan oleh seorang yang tidak biasa, seperti pejabat, ulama dan
lain-lain. Karena seorang pemuka masyarakat misalnya, hubungannya tidak terbatas dengan diri dan keluarganya saja, tapi lebih luas dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan sebagian orang memiliki hubungan dengan jutaan orang lain. Orang seperti ini, bila melakukan dosa yang terhitung kecil bagi orang biasa akan digolongkan dosa besar. Tapi Allah yang Maha Pengasih masih tetap menunjukkan kasih sayangnya dengan mengatakan, “Bila kalian menjauhi dosa besar, maka Aku akan memaafkan kalian dan memasukkan kalian ke surga.” Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Allah Swt mengampuni kesalahan kecil kita. Oleh karenanya, alangkah baik bila kita juga memaafkan kesalahan remeh orang lain dan tidak membesar-besarkannya. 2. Bila dasar pemikiran dan perbuatan seseorang itu bena, Allah pasti akan memaafkan dosa-dosa kecilnya, bahkan tanpa taubat sekalipun. َّ ض َل سبْنَ َوا ْسأَلُوا َّ ََو ًَل تَت َ َمنَّ ْوا َما ف ِ س ٍ علَى بَ ْْع َ اَّللُ بِ ِه بَ ْْع ِ اء ن ِ ض ِل ِلر َجا ِل ن َ ض ُك ْم َ َ َصيبٌ ِم َّما ا ْكت َ ِسبُوا َو ِللن َ َ َصيبٌ ِم َّما ا ْكت َّ ض ِل ِه ِإ َّن َّ (32)ع ِلي اما َ اَّللَ َكانَ ِب ُك ِل ْ َاَّللَ ِم ْن ف َ ٍش ْيء Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (4: 32) Allah Swt menciptakan makhluk berdasarkan perbedaan dan bukan pembedaan demi mengatur alam dengan sempurna. Sebagian diciptakan dalam bentuk benda mati, sebagian berupa tumbuhan dan yang lainnya diciptakan dalam bentuk hewan dan manusia. Dari jenis manusia juga diciptakan sebagian laki-laki dan sebagiannya perempuan. Yang lebih unik lagi, tidak ada dua manusia yang benar-benar sama dari segala sisi. Setiap manusia tidak hanya berbeda pada jasad, tapi juga ruh mereka. Perbedaan antara manusia berdasarkan hikmah dengan tujuan memenuhi pelbagai kebutuhan manusia. Bila kita menyaksikan sebuah kendaraan, untuk membuatnya diperlukan ban yang lentur serta baja yang kokoh untuk motornya, begitu juga kaca yang jernih untuk penglihatan pengemudi. Sebuah mobil juga memerlukan lampu sebagai penerang di malam hari. Artinya, dalam membuat sebuah kendaraan dibutuhkan ribuan
suku cadang yang masing-masing berbeda dari segi bentuk, jenis dan kinerjnya, tapi semua bersinergi secara harmonis membentuk sebuah mobil. Alam juga demikian. Alam dengan segala keagungannya terdiri dari miliaran makhluk hidup dan juga benda mati yang berbeda-beda. Setiap ciptaan Allah ini mengemban tugas dan peran yang berbeda, tapi diperlukan demi keberlangsungan alam ini. Dalam sistem sosial, manusia punya beragam bakat dan potensi yang bila disinergikan dapat menjadi kekuatan yang luar biasa. Potensi dan bakat ini bila diaktualkan dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Patut dicamkan bahwa perbedaan bukan pembedaan atau diskriminasi. Karena pertama, Allah tidak pernah berutang kepada makhluk yang akan diciptakan-Nya, sehingga dapat menuntut model penciptaannya sesuai dengan keinginannya. Kedua, perbedaan yang ada itu berdasarkan hikmah dan bukan atas dasar kezaliman, kedengkian dan kikir. Begitu juga, sekiranya Allah menuntut kewajiban yang sama dari semua manusia, maka perbuatan seperti ini tidak adil dan puncak dari kezaliman, sekalipun Allah memberikan fasilitas yang sama kepada mereka. Karena menurut ayat dan riwayat, Allah menghendaki tugas atau tanggung jawab dari manusia sesuai dengan kemampuan mereka. Allah dalam surat at-Thalaq ayat ke-7 menyatakan, “La Yukallifullahu nafsan illa ma ataha, Allah tidak memaksa siapapun, kecuali sesuai dengan apa yang telah diberikan kepadanya. Tapi ada poin lain bahwa antara manusia dan makhluk yang lain terdapat perbedaan yang inti. Manusia diberi akal dan kemampuan berpikir sehingga mampu memilih sesuai dengan kehendaknya. Kelebihan ini menjadi landasan bagi manusia untuk menciptakan kemajuan, atau sebaliknya kehancuran. Dengan kata lain, Allah memberikan kemampuan lain bagi manusia yang dapat diraihnya dengan usaha seperti ilmu, kekuasaan dan kekayaan. Manusia harus bekerja keras untuk meraih keberhasilan. Karena segala kemalasan itu sumbernya manusia sendiri, bukan Allah. Dengan demikian, ketika ayat ini menyinggung masalah nikmat Allah, maka yang pertama itu terkait dengan nikmat yang dianegerahkan oleh Allah dan tidak perlu dicari. Jadi kita tidak boleh dengki akan apa yang diberikan oleh Allah kepada sebagian yang lain dan jangan pula berharap sesuatu yang tidak pantas.
Sebagaimana dalam nikmat yang harus dicari dengan susah payah, setiap pria dan perempuan akan memperoleh bagiannya sesuai dengan usaha yang dilakukannya. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Mari melihat potensi yang kita miliki dan memanfaatkannya, ketimbang melihat milik orang lain. 2. sekalipun kita berusaha keras, tapi jangan menghapus peran Allah dalam menyampaikan rezeki. Bekerjalah sambil berdoa. 3. Harapan harus diletakkan pada tempatnya. penyebab kehinaan.
Karena harapan yang berlebihan
4. Perempuan berhak atas hartanya yang didapat dari warisan, mahar atau gaji. ْ َعقَد َّ َصيبَ ُه ْم إِ َّن َ علَى ُك ِل ٍش ْيء َ َاَّللَ َكان ِ ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم فَآَتُو ُه ْم ن َ َان َو ْاْل َ ْق َربُونَ َوالَّذِين ِ َي ِم َّما ت ََر َك ْال َوا ِلد َ َو ِل ُك ٍل َجْعَ ْلنَا َم َوا ِل (33)ش ِهيداا َ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (4: 33) Sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menyebut setiap perempuan dan pria pemilik harta yang diusahakannya, ayat ini menetapkan pria dan wanita berhak mewarisi harta ayah, ibu atau kerabat mereka. Ayat ini melanjutkan bahwa selain warisan dan hasil dari kerja yang diperoleh, segala bentuk perjanjian yang sah yang dilakukan dengan orang lain juga sah dan terhitung menjadi miliknya. Dalam sejarah disebutkan, sebelum Islam terdapat sejenis perjanjian di kalangan Arab dimana dua orang berjanji saling membantu. Bila satu dari mereka mengalami kerugian, maka yang lain wajib menggantikannya, bahkan setelah meninggalpun mereka saling mewarisi harta temannya. Agama Islam menerima perjanjian yang serupa dengan asuransi ini, tapi menolak masalah hak waris di antara keduanya. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Warisan dalam Islam merupakan aturan ilahi dan tidak seorangpun boleh mengubahnya. 2. Wajib menepati janji, khususnya perjanjian yang memiliki nilai uang yang menyebabkan kerugian pihak lain. Janji itu harus dihormati, sekalipun pihak lain telah meninggal.
َ صا ِل َحاتُ َقانِت َاتٌ َحا ِف ٌظات َّ ض َل َّ َاء ِب َما ف ِ س َّ ض َو ِب َما أ َ ْنفَقُوا ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم َفال ٍ علَى بَ ْْع َ اَّللُ بَ ْْع َ ض ُه ْم َ َالر َجا ُل قَ َّوا ُمون َ ِعلَى الن ِ ْ ُ َّ َ َ اج ِع َواض ِْربُو ُه َّن فَإ ِ ْن أ َ ُ ْ َّ َّ َ َّ ُ ُ ُ ُ ُ َ َّ َوز َ ط ْْعنَ ُك ْم فَ ََل ض م ال ي ف ن ه و ر ج ه ا و ن ه و ظ ْع ف ن ه ش ن ف َا خ ت ي ت الَل و اَّلل ظ ف ح ا م ب ب ي غ ْ َون ِ ِ ِ َ ُ ِ َ َ ِ ِ ِل ْل ُ ُ َ ِ َ َ سبِ ا َّ يَل ِإ َّن (34)يرا ع ِليًّا َكبِ ا َ َاَّللَ َكان َ ت َ ْبغُوا َ علَ ْي ِه َّن
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (4: 34)
Kaum lelaki merupakan pemimpin kaum perempuan. Allah melebihkan posisi kaum lelaki dengan alasan mereka menafkahi perempuan dengan hartanya sendiri. Dengan demikian, wajar bila perempuan menaati suaminya. Selain itu, bila suaminya telah meninggal, hendaknya ia menjaga rahasia suaminya. Karena Allah Swt adalah pemelihara rahasia.
Setelah menjelaskan posisi suami dan isteri dalam rumah tangga, Allah kemudian menjelaskan cara seorang suami dalam menghadapi isterinya yang dikhawatirkan melanggar atau tidak taat. Langkah pertama yang harus dilakukan seorang suami adalah menasihati isterinya. Bila cara ini tidak mempan, seorang suami dapat menerapkan langkah kedua dengan pisah ranjang dengan isteri. Bila masih tetap melakukan pelanggaran, maka suami dapat menjatuhkan hukuman kepada isterinya. Tapi ketika terjadi perubahan dalam sikapnya dan mereka sudah menaati suaminya, maka suami tidak boleh menyakitinya. Karena sesungguhnya Allah Maha Besar dan Tinggi. Ayat ini boleh disebut sebagai kunci al-Quran dalam memberikan solusi bila muncul masalah dalam sebuah keluarga. Tapi sayangnya ayat ini pula yang sering disalahtafsirkan oleh sekelompok orang baik yang beragama atau punya kepentingan tertentu. Dengan bersandar pada ayat ini mereka menganggap dirinya tuan dan isteri sebagai budak. Sebagaimana seorang budak harus menaati tuannya, maka isterinya harus menaati mutlak perintahnya. Padahal ayat ingin memberikan penjelasan lain terkait masalah lain.
Seorang suami yang ingin berlaku semena-mena menjadikan ayat ini sebagai justifikasi atas segala perbuatannya terhadap isterinya. Ia menganggap perintahnya sama seperti perintah Allah. Bila isterinya menentang, maka ia berhak memberikan hukuman yang paling berat. Pandangan yang salah terhadap ayat ini membuat sebagian orang jahil lalu mengolok-olok Islam dan menyebut Islam menentang hak-hak perempuan. Padahal, yang mereka saksikan adalah penerapan yang buruk yang
bersumber dari ketidakmengertian mereka akan tafsir ayat tersebut. Penjelasan masalah ini akan dibagi menjadi dua agar dapat dipahami dengan lebih baik.
Pertama, ayat ini memperkenalkan bahwa suami menjadi pelaksana urusan isteri. Ketika melihat keluarga sebagai institusi paling mendasar bagi pembentukan masyarakat, maka sudah barang tentu keluarga punya peran yang sangat penting. Sebuah keluarga dibentuk lewat sebuah perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan yang berujung pada lahirnya anak-anak mereka. Tentu saja sebuah keluarga memerlukan seorang penanggung jawab untuk mengurusi urusan mereka. Bila tidak ada seorang pengelola yang bertanggung jawab, maka institusi keluarga akan kacau balau.
Oleh karenanya, penentuan seorang sebagai pemimpin keluarga merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindari. Wajar bila anak kecil bukan pemimpin keluarga, adalah perkara yang lazim dan tidak dapat dihindari. Wajar bila pemimpin keluarga adalah suami. Al-Quran memperkenalkan suami sebagai pemimpin rumah tangga dengan dua alasan. Pertama, lelaki dari segi fisik lebih kuat dari perempuan. Dengan karakter semacam ini, seorang suami yang berkewajiban mencari penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya, perempuan menurut Islam tidak bertanggung jawab untuk mencari nafkah, bahkan bila ia memiliki mata pencaharian sendiri. Isteri tidak wajib untuk mengeluarkan hartanya untuk membelanjai keluarganya.
Artinya, tanggung jawab berat memenuhi kebutuhan keluarga berada di pundak suami. Ketika ia bertanggung jawab, maka wewenang seorang suami dalam keluarga juga besar, sesuai dengan tanggung jawabnya. Tapi itu tidak berarti seorang suami dapat berbuat sewenang-wenang terhadap isterinya dan memperlakukannya seperti seorang budak yang harus melakukan segala perintahnya. Oleh karenanya, bila seorang suami berbuat salah dan tidak memberi nafkah, misalnya, maka isteri dapat meminta kepada hakim syariat untuk mencampuri urusan rumah tangga mereka dan bila perlu suami harus berjanji di hadapan hakim untuk menjadi suami yang bertanggung jawab.
Satu hal lagi yang patut diperhatikan bahwa kepemimpinan suami di tengah keluarga bukan berarti laki-laki lebih mulia dari perempuan. Karena tolok ukur keutamaan seseorang terletak pada takwa dan iman. Kedua, ayat menjelaskan tentang dua model perempuan. Ada perempuan yang salehah, taat dan memegang teguh pada sistem keluarga. Ia tidak hanya taat kepada suami ketika ada, tapi juga saat suaminya tidak ada di rumah. Bahkan lebih dari itu, ketika suaminya meninggalpun ia tetap memelihara kepribadian, rahasia dan hak suaminya. Model isteri yang semacam ini mendapat pujian dari Allah Swt. Sementara model yang kedua, seorang isteri yang tidak taat kepada suaminya dalam urusan rumah tangga. Sekaitan dengan isteri yang seperti ini, al-Quran mengingatkan mereka sebaga isteri yang dikhawatirkan menyeleweng.
Bila seorang suami mulai mengkhawatirkan penyelewengan isterinya, maka metode pertama yang harus diterapkan adalah dengan menasihatinya. Bila tidak mempan, maka langkah kedua yang harus diambil adalah pisah ranjang agar isterinya mengetahui bahwa peringatan yang diberikan semakin serius. Tapi bila isteri tetap tidak patuh dengan cara ini, maka suami punya izin untuk menjatuhkan hukuman kepadanya, tapi diberi catatan bahwa hukuman tidak boleh terlampau berat agar isterinya menyadari akan kesalahannya. Pelanggaran atau penyelewengan isteri dalam al-Quran disebut dengan istilah Nusyuz. Al-Quran memberikan solusi sesuai tingkat penyelewengan yang dilakukan oleh isteri. Artinya, bila penyelewengan atau ketidakpatuhan isteri terhadap suami hanya pada tingkat lisan saja, maka cukup dinasehati dengan lisan. Tapi tidak jarang penentangan isteri sudah sampai pada tingkat perbuatan, maka suami harus meningkatkan cara nasihatnya dengan pisah ranjang. Tapi ketika penentangan isteri sudah mencapai tingkat yang berat, maka di sini ia harus diberi hukum badan.
Ketika seorang suami melakukan pelanggaran, maka yang akan mengadili kesalahannya adalah hakim syariat. Bila pelanggaran seorang suami sudah berat, maka hakim harus menjatuhkan hukuman terhadapnya. Sebagai contoh, ketika suami tidak memberikan
nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, maka isterinya dapat mengadukan perbuatan suaminya ke pengadilan. Namun mengingat masalah keluarga itu sifatnya sangat privasi, maka al-Quran menghimbau pasangan suami-isteri hendaknya dapat menyelesaikan masalahnya lewat cara kekeluargaan, sehingga tidak diketahui orang luar.
Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam sebuah komunitas yang terdiri dari dua orang, maka salah satunya harus dipilih sebagai ketua yang bertanggung jawab pada komunitasnya.
2. Amal saleh tidak terbatas pada shalat dan puasa, tapi juga melaksanakan tanggung jawaab keluarga.
3. Kepatuhan isteri terhadap suaminya bukan kelemahan, tapi kepada institusi keluarga.
penghormatan
4. Suami senantiasa memiliki niat baik dalam usahanya memperbaiki isterinya, bukan niat balas dendam atau lainnya.
5. Suami harus tahu bahwa Allah mengawasi mereka sebagai kepala rumah tangga dan meminta pertanggungjawabannya di Hari Kiamat.
َّ اَّللُ بَ ْينَ ُه َما إِ َّن َّ ق َاَّللَ َكان ْ َِوإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم ِشقَاقَ بَ ْينِ ِه َما فَا ْبْعَثُوا َح َك اما ِم ْن أ َ ْه ِل ِه َو َح َك اما ِم ْن أ َ ْه ِل َها إِ ْن ي ُِريدَا إ ِ ِص ََل احا ي َُوف (35)يرا ع ِلي اما َخ ِب ا َ
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (4: 35) Ayat ini menerangkan tentang solusi keluarga yang mengalami sengketa antara suami dan isteri. Disebutkan bahwa bila terjadi perselisihan antara suami dan isteri dan kondisinya semakin parah, maka keluarga kedua pihak diharapkan untuk ikut menyelesaikan perselisihan itu agar tidak berujung pada perceraian. Tentu saja tidak semua keluarga ikut campur, tapi dari setiap pihak mengusulkan wakilnya untuk bertemu dan mencari jalan keluar mencapai islah atau perdamaian. Kedua pihak ini yang akan menjadi hakam atau penengah untuk menengahi, bukan mengadili atau menyalahkan satu pihak. Terobosan Islam ini memiliki beberapa kelebihan. Pertama, masalah yang menimpa ini tidak menyebar dan diketahui orang lain. Dengan kata lain, hanya pihak keluarga suami dan isteri yang mengetahui perselisihan ini. Karena pada dasarnya, hanya keluarga suami dan isteri yang paling perhatian akan keutuhan keluarga ini. Di sisi lain, dalam masalah semacam ini, sebaiknya orang lain tidak perlu tahu. Kedua, motivasi adanya penengah dari keluarga kedua belah pihak adalah mendamaikan. Oleh karenanya, bila ada keputusan yang diambil, maka dari pihak suami dan isteri akan menerimanya dengan tulus. Hal ini akan berbeda bila keputusan diambil di pengadilan, dimana biasanya satu pihak tidak puas dan memrotes keputusan itu. Ketiga, upaya mencari solusi ini untuk menentukan kebenaran untuk diteladani, bukan ingin memvonis suami atau isteri. Karena vonis mana yang benar dan yang salah hanya akan memperparah perselisihan. Solusi yang ditawarkan Islam untuk mencari kesepahaman dan menyingkirkan perselisihan masa lalu.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Keluarga dan masyarakat tidak boleh mengabaikan perselisihan suami dan isteri, bahkan bertanggung jawab mencari solusinya.
2. Setiap perselisihan di tengah keluarga harus diantisipasi agar tidak mengarah pada perceraian.
3. Pihak suami dan isteri masing-masing mengusulkan seorang wakil.
4. Bila ada niat baik, niscaya Allah akan menganugerahkan taufik-Nya.
َّ َوا ْعبُد ُوا ار َ اَّللَ َو ًَل ت ُ ْش ِر ُكوا ِب ِه َ ساناا َوبِذِي ْالقُ ْربَى َو ْاليَت َا َمى َو ْال َم َ ْش ْيئاا َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِح ِ ار ذِي ْالقُ ْربَى َو ْال َج ِ ين َوا ْل َج ِ سا ِك ْ س ِبي ِل َو َما َملَ َك َّ ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ِإ َّن (36)ورا َّ ب َواب ِْن ال ِ ص َّ ب َوال اَّللَ ًَل ي ُِحبُّ َم ْن َكانَ ُم ْخت َ ااًل فَ ُخ ا ِ ب ِب ْال َج ْن ِ اح ِ ُْال ُجن
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (4: 36) Setelah ayat sebelumnya menjelaskan tanggung jawab suami, ayat ini dan sejumlah ayat selanjutnya membahas tentang tanggung jawab seorang mukmin di hadapan masyarakat. Ayat-ayat ini menjelaskan yang demikian agar tidak ada anggapan bahwa seorang suami hanya bertanggung jawab pada isteri dan anak-anaknya. Karena seorang mukmin sejati, selain beriman kepada Allah Swt dan menyembahnya, ia punya tanggung
jawab sosial di hadapan orang tua, keluarga, sahabat dan tetangganya. Tidak hanya itu ia harus memiliki empat terhadap anak-anak yatim dan orang miskin yang ada di sekelilingnya.
Ironis bila menyaksikan seorang pria dan perempuan yang mengikat diri dalam sebuah institusi keluarga, tapi setelah menjadi suami dan isteri mereka justru melupakan kedua orang tua dan memutuskan hubungan dengan keluarga juga sahabatnya. Namun poin penting dari ayat ini, berbuat kebaikan yang diungkapkan dengan istilah ihsan, maknanya lebih luas dari berinfak. Benar, istilah ihsan biasa dipakai untuk membantu orang miskin, tapi sejatinya kata ihsan maknanya sangat luas mencakup setiap perbuatan baik manusia untuk orang lain. Di akhir ayat ini juga dijelaskan betapa orang-orang yang tidak berbuat baik kepada orang tua, sahabat dan tetangga dikategorikan sebagai orangorang yang sombong. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ayat ini menyebut kewajiban manusia untuk menyembah Allah dan berbuat baik kepada sesama. 2. Shalat dan ibadah saja tidak cukup. Karena dalam urusan kehidupan manusua harus meraih kerelaan Allah. 3. Orang tua berperan besar dalam proses penciptaan kita setelah Allah. Oleh karenanya setiap anak harus menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. 4. Sahabat, tetangga dan bahkan bawahan memiliki hak atas orang lain yang harus ditunaikan.
َّ اس ِب ْالب ُْخ ِل َويَ ْكت ُ ُمونَ َما آَت َا ُه ُم عذَاباا ُم ِهيناا ْ َاَّللُ ِم ْن ف َ َض ِل ِه َوأ َ ْعت َ ْدنَا ِل ْل َكا ِف ِرين َ َّ( الَّذِينَ يَ ْب َخلُونَ َويَأ ْ ُم ُرونَ الن17)
(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (4: 37) Ayat ini mengingatkan perilaku sebagian orang kaya. Mereka bukan hanya tidak menginfakkan sebagian hartanya, tapi juga tidak senang bila ada orang lain yang membantu orang miskin. Sedemikian kikirnya mereka sehingga sifat ini telah membelenggu hati dan jiwanya, sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan fasilitas yang ada dengan baik. Mereka begitu khawatir ada orang miskin yang melihat kekayaan mereka lalu mendatanginya untuk meminta bantuan. Oleh karenanya, mereka berusaha sebisa mungkin menyembunyikan hartanya dari orang lain. Di sini, al-Quran memandang kebakhilan seperti ini bertentangan dengan iman dan menyebut orang seperti ini sebagai kafir yang layak merasakan siksaan pedih dan kehinaan. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Sebagian penyakit hati seperti kikir dapat menular, sama seperti penyakit jasmani. 2.Salah satu cara mensyukuri nikmat dengan menceritakan dan memanfaatkannya. Karena menyembunyikan nikmat merupakan sejenis kufur nikmat. 3. Segala nikmat harus dilihat sebagai anugerah Allah, bukan hasil upaya kita, sehingga dapat terjauhkan dari sifat kikir. َ ش ْي َّ اَّللِ َو ًَل ِب ْاليَ ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر َو َم ْن يَ ُك ِن ال ُ ط َّ اس َو ًَل يُؤْ ِمنُونَ ِب سا َء قَ ِريناا ِ ََّوالَّذِينَ يُ ْن ِفقُونَ أ َ ْم َوالَ ُه ْم ِرئ َا َء الن َ َان لَهُ قَ ِريناا ف (38) Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. (4: 38) Sebagai pelengkap ayat-ayat yang lalu, ayat ini menyebut hati yang kikir dapat menyebabkan manusia melepaskan keimanannya kepada Allah dan Hari Kiamat. Karena
kelaziman dari iman itu termasuk membayar zakat dan sedekah. Mereka yang tidak melaksanakan kewajiban ini, pada dasarnya ia tidak menerima hukum Allah dan lebih mementingkan hartanya ketimbang Allah. Wajar bila orang yang seperti ini lebih menjaga kehormatan diri dan status sosialnya daripada Allah. Orang yang seperti ini tidak akan mendapat pahala sedikitpun. Betapa meruginya mereka ketika telah berkorban sedemikian rupa, tapi tidak ada yang tersisa di Hari Kiamat. Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik: 1. Berinfak tapi diikuti riya sama dengan kekikiran itu sendiri. Di Hari Kiamat, orang yang riya, selain perbuatannya tidak mendapat pahala, malah mendapat dosa riya. 2. Riya berarti tidak punya iman sejati. Karena orang yang melakukannya, tidak mengharapkan pahala dari Allah, tapi dari manusia lain. 3. Tujuan infak bukan hanya mengenyangkan perut orang miskin. Perbuatan ini juga dapat dilakukan dengan riya. Tapi berinfak punya tujuan meningkatkan kualitas keimanan dan spiritual. 4. Infak tidak terbatas dengan harta dan kekayaan, tapi dapat dilakukan dengan apa saja yang dianugerahkan Allah kepada kita untuk membantu orang miskin. َّ َاَّللُ َو َكان َّ اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر َوأ َ ْنفَقُوا ِم َّما َرزَ قَ ُه ُم َّ علَ ْي ِه ْم لَ ْو آ َ َمنُوا ِب (39)ع ِلي اما َ اَّللُ ِب ِه ْم َ َو َماذَا Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka. (4: 39) Sebagai pelengkap ayat-ayat yang lalu, ayat ini menyatakan bahwa jiwa yang kikir menyebabkan hilangnya atau terkikisnya keimanan kepada Allah Swt dan Hari Kiamat dalam diri manusia. Karena membayar zakat dan sedekah merupakan kelaziman iman. Orang muslim yang tidak melakukan ini berarti ia lebih mengutamakan hartanya, ketimbang Allah. Orang yang lebih mementingkan harta selain Allah Swt menjadi kewajaran bila ia juga enggan mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Bila orang seperti ini mengeluarkan hartanya untuk kepentingan sosial, maka sudah barang tentu niatnya bukan karena Allah, tapi demi status sosial yang bakal diraihnya
dengan perbuatan itu. Tapi orang yang seperti ini bakal merugi di Hari Kiamat, ketika mendapatkan perbuatannya yang disanka bakal mendapat pahala dari Allah, ternyata sia-sia. Lebih buruk dari itu, ia diperintahkan untuk meminta balasan kepada mereka yang menjadi niatan dari perbuatannya itu. Inilah tipu daya setan yang dilakukan terhadap manusia. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Berinfak dan amal saleh lainnya harus bersih dari riya, bila ingin diterima oleh Allah. 2. Berinfak dan sedekah bukan berarti kita menjadi miskin, tapi menjadi bekal di Hari Kiamat nanti. 3. Allah mengetahui segala niat perbuatan kita. 4. Infak dapat dilakukan dengan banyak cara dan tidak terbatas pada harta. ْ اَّللَ ًَل َي َّ ِإ َّن (40)ع ِظي اما ِ ْضا ِع ْف َها َويُؤ َ ُسنَةا ي َ ت ِم ْن لَد ُ ْنهُ أَجْ ارا َ ظ ِل ُم ِمثْقَا َل ذَ َّر ٍة َو ِإ ْن ت َكُ َح Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (4: 40) Sebelumnya telah dijelaskan bahwa orang yang kikir terhadap orang miskin telah mengkufuri nikmat ilahi. Orang seperti ini bakal mendapat siksaan yang pedih. Sementara dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa siksaan itu bukan kezaliman Tuhan terhadap manusia, tapi hasil dari perbuatan mreka sendiri. Terlebih lagi, akar dari kezaliman tidak terlepas dari dua hal; kebodohan atau kesombongan. Padahal Allah suci dari segala kekurangan. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk menuduh Allah berbuat zalim kepada makhluk-Nya, tapi yang terjadi manusia sendirilah yang menzalimi dirinya dengan perbuatan buruk. Selanjutnya Allah mengajak manusia agar berbuat kebajikan kepada sesama. Barang siapa yang menerima seruan ini, Allah pasti memberikan pahala beberapa kali lipat baginya di dunia dan di akhirat. Dalam ayat lain Allah menyebutkan akan memberi ganjaran orang yang berinfak dengan tulus hingga 700 kali lipat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Bencana jangan dipandang sebagai kezaliman Tuhan, tapi hal itu berawal dari sifat kikir dan kekufuran kita. 2. Hukuman yang diterapkan Allah setara dengan perbuatan buruk yang dilakukan manusia. Allah tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun. سو َل لَ ْو َ علَى َهؤ ًَُل ِء َ ْف ِإذَا ِجئْنَا ِم ْن ُك ِل أ ُ َّم ٍة ِب ُ الر َّ ص ُوا َ ) َي ْو َم ِئ ٍذ يَ َودُّ الَّذِينَ َكفَ ُروا َو11( ش ِهيداا َ ش ِهي ٍد َو ِجئْنَا ِب َك َ ع َ فَ َكي َّ َض َو ًَل يَ ْكت ُ ُمون (42)اَّللَ َحدِيثاا ُ س َّوى ِب ِه ُم ْاْل َ ْر َ ُت
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (4: 41) Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun. (4: 42) Salah satu dalil terbaik yang membuktikan bahwa Allah tidak berbuat zalim kepada seorangpun adalah pengadilan di Hari Kiamat yang mengetengahkan banyak saksi. Dalam pengadilan itu yang akan bersaksi adalah anggota tubuh manusia sendiri, kesaksian para malaikat dan yang terakhir adalah kesaksian dari setiap nabi atas kelakuan umatnya. Dengan demikian, pengadilan Hari Kiamat akan mengetengahkan paling sedikit tiga saksi atas setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Dihadirkannya Rasulullah Saw sebagai saksi menyebabkan orang-orang kafir dan para penentang beliau berharap tidak pernah dilahirkan di dunia. Bila telah dilahirkan mereka berharap tetap tinggal dalam tanah kuburan dan tidak dibangkitkan bersama manusia yang lain untuk diadili. Namun harapan dan penyesalan ini sudah tidak berguna lagi. Dengan adanya tiga saksi yang akan dihadirkan dalam pengadilan Hari Kiamat, maka tidak ada lagi celah untuk menyembunyikan perbuatan buruk. Lebih dari itu, tidak ada ucapan dan pikiran yang tersembunyi dari Allah Swt.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Para Nabi adalah bukti bagi manusia dan juga bagi diri mereka sendiri. Allah Swt pada Hari Kiamat akan menjatuhkan hukuman sesuai dengan perintah nabi mereka. 2. Sejatinya, Allah Swt tidak memerlukan saksi. Tapi saksi dipersiapkan agar manusia tahu selain Allah ada juga yang mengetahui perbuatan mereka. 3. Membangkang perintah Nabi dan sunnahnya sama dengan kekafiran terhadap Allah. 4. Hari Kiamat adalah hari penyesalan, tapi itu sudah terlambat.
س ِبي ٍل َحتَّى ت َ ْغت َ ِسلُوا ُ ص ََلة َ َوأ َ ْنت ُ ْم َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ًَل ت َ ْق َربُوا ال َ ارى َحتَّى ت َ ْْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َو ًَل ُجنُباا ِإ ًَّل َ عا ِب ِري َ س َك َ ص ِْعيداا ط ِيباا َ َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم َم ْر َ ضى أ َ ْو َ ِسفَ ٍر أ َ ْو َجا َء أ َ َحد ٌ ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أ َ ْو ًَل َم ْست ُ ُم الن َ علَى َ سا َء فَلَ ْم ت َِجد ُوا َما اء فَتَيَ َّم ُموا َّ س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َوأ َ ْيدِي ُك ْم ِإ َّن َ عفُ ًّوا (43)ورا ْ َف غفُ ا َ َاَّللَ َكان َ ام Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (4: 43) Ayat ini menjelaskan sejumlah hukum fiqih. Pertama, menjelaskan tentang inti shalat, yaitu perhatian kepada Allah swt. Kedua, mengenai masalah mandi dan tayammum. Pada prinsipnya, tujuan dari shalat dan ibadah lainnya agar dapat mengarahkan perhatian manusia kepada Tuhan secara terus menerus dan bertawakal kepada-Nya. Manusia yang menjadikan Allah sebagai sandarannya akan terbebaskan dari segala keterikatan duniawi. Sementara bila ibadah yang dilakukan dipenuhi dengan makrifah akan berdampak positif pada dirinya. Ia akan meninggalkan segala hal yang membuat manusia tidak khusyu. Dalam ayat ini ini seorang yang akan melakukan shalat hendaknya meninggalkan minuman keras. Karena hal itu dapat menyebabkan dirinya mabuk dan tidak mengerti
apa yang dilakukannya. Dalam ayat lain juga dilarang melakukan shalat dengan kondisi mengantuk atau malas. Di sini, manusia yang ingin melakukan shalat harus tahu sedang berhadapan dengan siapa, serta memahami apa yang diucapkannya. Selain perhatian manusia harus fokus kepada Allah, masalah jasmani manusia juga harus bersih dari segala kekotoran. Oleh karena itu, orang yang melakukan hubungan badan terhitung junub. Ia bukan saja dilarang melakukan shalat dalam kondisi demikian, tapi juga tidak boleh berada di dalam masjid. Ketika disebutkan bahwa orang junub tidak boleh melakukan shalat, lalu apa yang harus dilakukannya? Orang tersebut harus melakukan mandi junub agar terbebas dari hadas besar ini. Bila ia tidak menemukan air, karena berada di dalam perjalanan atau penggunaan air membahayakan kesehatannya, maka Allah memperbolehkannya melakukan tayammum sebagai pengganti mandi. Dalam buku-buku fiqih dijelaskan lebih terperinci mengenai masalah junub, mandi junub dan tayammum.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Shalat bukan hanya lafad dan gerakan. Karena inti shalat adalah konsentrasi kepada Tuhan dan ini membutuhkan kesadaran penuh. 2. Masjid dan tempat peribadatan memilki kesucian dan kesakralan tersendiri. Tidak boleh memasukiny adalam kondisi junub. 3. Kesucian jasmani dan ruh merupakan pendahuluan shalat. 4. Dalam keadaan sakit sekalipun, shalat tetap wajib sekalipun lebih mudah kewajibannya.
َّ ) َو11( س ِبي َل اَّللُ أ َ ْعلَ ُم ِبأ َ ْعدَائِ ُك ْم َّ َضلُّوا ال ِ َصيباا ِمنَ ْال ِكت َا ِ ب يَ ْشت َُرونَ الض َََّللَةَ َوي ُِريد ُونَ أ َ ْن ت ِ أَلَ ْم ت ََر ِإلَى الَّذِينَ أُوتُوا ن َّ اَّللِ َو ِليًّا َو َكفَى ِب َّ َِو َكفَى ب (45)يرا َص ا ِ اَّللِ ن
Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bahagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar). (4: 44) Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu). (4: 45) Ayat ini diturunkan berkaitan dengan para cendikiawan yahudi yang tinggal di kota Madinah ketika datangnya Islam. Sepatutnya mereka itu mengimani Rasul dan al-Quran, namun ironisnya, sejak awal mereka mencoba memusuhi dan menentang Rasul, bahkan mereka bekerjasama dengan kaum musyrik Mekah. Ayat ini mengingatkan bahwa para cendekiawan Ahlul Kitab bahwa mereka mengetahui firman Allah, tapi tidak menjadikan Kitab sebagai jalan petunjuk kebenaran bagi diri mereka sendiri. Tidak cukup itu, mereka malah menyesatkan orang lain yang ingin beriman kepada Allah Swt. Allah menegaskan kepada umat Islam agar mereka tidak takut terhadap permusuhan kaum musyrik. Karena kaum kafir tidak terlepas dari kekuasaan ilahi dan kalian juga pasti mendapatkan bantuan Allah. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Mengenali Kitab Allah dan hukum-hukum ilahi dengan sendirinya tidak menjadi penyebab kebahagiaan dan keselamatan. 2. Musuh utama masyarakat Islam adalah musuh agama dan ideologi, baik di dalam maupun di luar negeri. 3.Allah hanya akan melindungi orang yang berpegang teguh pada-Nya.
َ ص ْينَا َوا ْس َم ْع غي َْر ُم ْس َم ٍع َو َرا ِعنَا لَيًّا ِبأ َ ْل ِسنَ ِت ِه ْم َ س ِم ْْعنَا َو ِ ع ْن َم َو َ ِمنَ الَّذِينَ هَادُوا يُ َح ِرفُونَ ْال َك ِل َم َ َاض ِْع ِه َويَقُولُون َ ع ُ ط ْْعنَا َوا ْس َم ْع َوا ْن َ َ س ِم ْْعنَا َوأ َ َو َّ ظ ْرنَا لَ َكانَ َخي اْرا لَ ُه ْم َوأ َ ْق َو َم َولَ ِك ْن لَْعَنَ ُه ُم اَّللُ بِ ُك ْف ِر ِه ْم فَ ََل َ ِين َولَ ْو أَنَّ ُه ْم قَالُوا ِ ط ْْعناا فِي الد يُؤْ ِمنُونَ ِإ ًَّل قَ ِل ا (46)يَل Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka
mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (4: 46) Salah satu cara penentang Islam mengganggu adalah dengan menghina dan mengolokolok. Al-Quran banyak mengutip sikap dan gangguan para penentang Islam ini. Jelas, mereka memilih cara ini karena tidak punya kemampuan melawan logika Islam. Mereka hendak mempertunjukkan kedengkian dan dendam mereka terhadap Islam. Dalam ayat ini disebutkan, beberapa orang Yahudi menyalahgunakan penggunaan kalimat serta menyindir Rasul dengan mengatakan, “Engkau yang berkata, sementara kami yang tidak mendengarkan dan kami juga berkata, engkau tidak mendengar, karena apa yang engkau katakan adalah untuk membodohi kami. Inilah yang menyebabkan kami tidak mentaatimu.” Mereka bahkan menyalahgunakan kata yang mirip. Ketika Rasul Saw membacakan ayatayat al-Quran, kaum Muslimin berkata , “Wahai Rasul! Raa’ina!” Artinya, bertenggangrasalah kepada kami, dan berikan kepada kami kesempatan untuk dapat mendengarkan perkataanmu dengan lebih baik dan kami simpan di dalam ingatan kami. Adapun kaum yahudi menggunakan kalimat ini di depan Rasul, dan yang dimaksudkan adalah arti lainnya yaitu membodohkan. Oleh itulah, Allah berfirman ditujukan kepada mereka dan juga kaum Muslimin agar mereka menggunakan kata “Undzurna” sebagai ganti kalimat “Raa’ina” yang memiliki arti memberikan peluang dan tidak memiliki makna buruk tadi. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Kita harus bersikap obyektif, sekalipun di hadapan para musuh. Ayat ini tidak mencela semua orang Yahudi, tapi hanya kepada mereka yang benar-benar mencemooh. 2. Tidak boleh menodai kesucian agama, baik terkait pemimpin maupun hukumnya. 3. Keselamatan manusia terletak pada kepatuhannya kepada Nabi dan Allah.
ْ ص ِدقاا ِل َما َمْعَ ُك ْم ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن ن ارهَا أ َ ْو َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت َ َاب آ َ ِمنُوا بِ َما ن ََّز ْلنَا ُم ِ َس ُو ُجو اها فَن َُردَّهَا َعلَى أ َ ْدب َ َط ِم اَّللِ َم ْفْعُ ا َّ ت َو َكانَ أ َ ْم ُر (48)وًل ِ س ْب َّ اب ال ْ َ ن َْلْعَنَ ُه ْم َك َما لَْعَنَّا أ َ ص َح
Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. (4: 47) Sebagai kelanjutan ayat-ayat sebelumnya yang ditujukan kepada Ahlul Kitab, ayat ini mengatakan kepada mereka, “Kalian telah mengenal Kitab Allah dan semestinya kalian lebih punya kecenderungan kepada Islam. Sebenarnya kalian tidak dapat dibandingkan dengan orang-orang Musyrik yang sama sekali tidak memiliki latar belakang keimanan kepada Allah. Terlebih lagi Islam sejalan dengan Kitab kalian yang mengesakan Allah. Ayat ini kemudian menjelaskan sebuah prinsip penting bahwa bila kalian memungkiri kebenaran atas sifat kebencian dan mengolok-olokinya, sebenanya kalian telah menghapus fitrah kalian sendiri. Bila hal ini terus berlanjut, berarti kalian telah menghapus fitrah kalian dan secara perlahan-lahan sifat kemanusiaan kalian akan sirna. Ayat ini berbicara tentang perubahan wajah manusia yang mengisyaratkan bahwa alat pemahaman manusia berada di kepalanya. Al-Quran menyebut ketidakberdayaan manusia memperoleh hakikat dan kebenaran dengan terhapusnya wajah mereka. Demikianlah adanya ketika lidah tidak mau mengkaui kebenaran, maka mata, telinga dan akal lambat laut menyeleweng dan melihat kebenaran terbalik menjadi kebatilan. Sama halnya ketika manusia melihat alam sekitarnya dari balik kaca mata hitam. Semua yang dilihatnya di siang hari terlihat gelap seperti di malam hari. Ayat ini menyinggung peristiwa penyelewengan beberapa orang Yahudi dari hukum Tuhan, tentang libur di hari Sabtu. Dalam ayat ini Allah mewanti-wanti orang Yahudi bahwa bila sebelumnya mereka yang melanggar larangan hari Sabtu dijatuhi sanksi dengan mengubah wajah mereka seperti kera, maka kalian juga akan binas bila mempermainkan ayat-ayat al-Quran. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Saat mengajak orang lain kepada Islam, kita juga harus mengakui kebaikan orang lain. 2. Prinsip universal semua agama itu sama. 3. Islam menyeru para pemeluk Yahudi untuk meningkatkan iman dan menerima Islam. 4. Salah satu penyebab turunnya siksa dunia adalah mempermainkan kesucian agama.
َّ اَّللَ ًَل يَ ْغ ِف ُر أ َ ْن يُ ْش َر َك ِب ِه َويَ ْغ ِف ُر َما د ُونَ ذَ ِل َك ِل َم ْن يَشَا ُء َو َم ْن يُ ْش ِر ْك ِب َّ ِإ َّن (48)اَّللِ فَقَ ِد ا ْفت ََرى ِإثْ اما َع ِظي اما Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (4: 48) Melanjutkan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang Ahlul Kitab; Yahudi dan Kristen, ayat ini melarang segala bentuk akidah dan perbuatan yang berujung pada kesyirikan kepada Allah Swt. Ayat ini juga menyebut perbuatan syirik bahkan menjauhkan manusia dari tauhid dan berbuat dengan dasar ikhlas. Selain itu, meskipun Allah Maha Pengasih dan Penyayang, namun Dia tidak akan memaafkan dosa syirik. Karena syirik dengan sendirinya menghapus keimanan dalam diri manusia. Sebagai catatan, ampunan Allah yang dimaksud dalam ayat ini adalah ampunan tanpa taubat. Artinya, Allah Swt mengampuni dosa siapa saja yang dipandangnya layak sekalipun ia tidak bertaubat. Namun untuk dosa syirik tidaklah demikian. Selagi seseorang melakukan dosa syirik tidak bertaubat, maka ia tidak akan mendapatkan ampunan Allah Swt. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling memberikan harapan kepada Mukminin. Karena ayat ini tidak membiarkan orang-orang yang berbuat dosa, sebesar apapun dosanya itu, merasa berputus asa dari rahmat Tuhan. Ayat ini memberikan harapan akan datangnya ampunan ilahi kepada mereka. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Syirik mencegah seseorang memperoleh rahmat ilahi. Orang musyrik membuat dirinya sendiri jauh dari rahmat ilahi.
2. Kebohongan yang paling besar adalah menisbatkan syirik kepada Tuhan. ْ اَّللُ يُزَ ِكي َم ْن يَشَا ُء َو ًَل ي ُ ) ا ْن12( يَل ُظلَ ُمونَ فَتِ ا َّ علَى َّ س ُه ْم بَ ِل ِب َ اَّللِ ْال َكذ َ َْف يَ ْفت َُرون َ ُأَلَ ْم ت ََر ِإلَى الَّذِينَ يُزَ ُّكونَ أ َ ْنف َ ظ ْر َكي (50)َو َكفَى بِ ِه إِثْ اما ُمبِيناا Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun. (4: 49) Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). (4: 50) Ayat ini melarang Ahlul Kitab dan Muslimin merasa dilebihkan dan menang sendiri. Menurut al-Quran, setiap Ahlul Kitab dan Muslimin memandang orang lain berbuat salah, dan pada saat yang sama kalian memuji diri sendiri dan merasa jauh dari kesalahan dan dosa? Padahal hanya Tuhan lah yang mengetahui isi hati kalian. Hanya Dia yang mengetahui siapa di antara kalian yang layak dipuji. Dia lah yang membersihkan mereka dari kekotoran dan kekejian sesuai dengan perbuatan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, keutamaan sejati adalah keutamaan yang memang dipandang mulia oleh Tuhan, bukannya apa yang dipandang oleh orang-orang sombong dan egois sebagai suatu keutamaan dan kelebihan dari orang lain, kemudian dinisbatkan kepada Tuhan. Karena hal yang demikian tidak lebih dari satu kebohongan. Bahkan rasa sombong yang lahir karena merasa paling taat beragama pada jiwa orang-orang mukmin merupakan suatu bahaya dan penyakit yang mengancam para pengikut agama. Karena ayat ini dan ayat lain al-Quran mengangkat persoalan bahaya kesombongan agamis dan memberi peringatan kepada orang-orang Mukmin. Imam Ali as dalam khotbah Hammam menjelaskan, “Di antara petanda orang-orang bertakwa adalah setiap kali dipuji mereka takut dan khawatir. Jenis mereka ini adalah bukannya tidak suka memuji diri sendiri, tapi bila ada orang lain memuji mereka, mereka cemas jangan sampai terjerumus ke sifat sombong. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Nilai pujian ada pada pujian Allah kepada hamba-Nya, bukan pujian manusia kepada dirinya sendiri. 2. Memuji diri sendiri bersumber pada kesombongan seseorang. Sifat ini berseberangan dengan jiwa seorang hamba Tuhan. 3. Merasa dekat dengan Tuhan, tanpa ada buktinya merupakan penipuan kepada Tuhan dan mendatangkan siksaan yang besar. َّ ت َو ُ الطا َت َويَقُولُونَ ِللَّذِينَ َكفَ ُروا َهؤ ًَُل ِء أ َ ْهدَى ِمنَ الَّذِين ِ غو ِ ب يُؤْ ِمنُونَ بِ ْال ِج ْب ِ َصيباا ِمنَ ْال ِكت َا ِ أَلَ ْم ت ََر إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا ن س ِب ا َّ اَّللُ َو َم ْن يَ ْلْعَ ِن َّ ) أُولَئِ َك الَّذِينَ لَْعَنَ ُه ُم11( يَل (52)يرا َص ا ِ اَّللُ فَلَ ْن ت َِجدَ لَهُ ن َ آ َ َمنُوا Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. (4: 51) Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (4: 52) Dalam riwayat yang dinukil oleh buku-buku sejarah, setelah perang Uhud ada sekelompok orang Yahudi Madinah yang mendatangi kaum Musyrikin Mekah untuk mengajak mereka bersama-sama memerangi kaum Muslimin. Guna menarik hati orangorang Musyrikin, kaum Yahudi bersujud di depan berhala mereka dan berkata, “Menyembah berhala milik kalian lebih baik dari keimanan Muslimin.” Padahal orangorang Yahudi masih terikat janji untuk tidak melakukan makar terhadap kaum Muslimin. Apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi ini berarti telah melanggar janji mereka dan berbaiat dengan para pemuka Quraisy untuk melawan kaum Muslimin demi meraih citacita kejinya. Aneh melihat sikap orang-orang Yahudi yang tergolong Ahlul Kitab ini. Untuk merealisasikan tujuan buruknya, mereka harus mengakui akidah khurafat penyembah berhala masih lebih baik dari akidah Islam. Lebih buruk lagi, mereka bahkan menyanggupi akan menyerang umat Islam bersam-sama kaum Musyrikin. Sikap dan perbuatan mereka ini merupakan dosa besar yang menyebabkan mereka dikutuk oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tujuan yang buruk membuat orang Yahudi siap bersama para penyembah berhala untuk memerangi Islam. 2. Sikap membangkang akan menutup mata, telinga dan lisan manusia dari kebenaran. Orang Yahudi menentang Islam, bukan karena benci Islam, tapi Islam menjadi kendala mereka meraih kepentingan duniawinya. 3. Pembela sejati manusia adalah Tuhan. Setiap orang yang menjauhkan dirinya dari rahmat Tuhan berarti telah kehilangan penolongnya. َّ علَى َما آَت َا ُه ُم ض ِل ِه فَقَ ْد آَت َ ْينَا ْ َاَّللُ ِم ْن ف ُ ْ) أ َ ْم يَح11( يرا اس نَ ِق ا َ اس ِ أ َ ْم لَ ُه ْم ن َ َّسد ُونَ الن َ ََّصيبٌ ِمنَ ْال ُم ْل ِك فَإِذاا ًَل يُؤْ تُونَ الن يرا س ِْع ا َ َّصد َ َاب َو ْال ِح ْك َمةَ َوآَت َ ْينَا ُه ْم ُم ْل اكا َ يم ْال ِكت َ ع ْنهُ َو َكفَى ِب َج َهنَّ َم َ ) فَ ِم ْن ُه ْم َم ْن آ َ َمنَ بِ ِه َو ِم ْن ُه ْم َم ْن11( ع ِظي اما َ آ َ َل ِإب َْرا ِه (55) Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia. (4: 53) Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (4: 54) Maka di antara mereka (orang-orang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) dari beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang menyala-nyala apinya. (4: 55) Dalam ayat sebelumnya telah disebutkan bagaimana kaum Yahudi meminta bantuan kaum Musyrikin Mekah guna mengalahkan kaum Muslimin di Madinah. Ayat ini ditujukan kepada mereka dan menanyakan apakah kalian melakukan perbuatan ini dengan harapan mendapatkan kekuasaan dan pemerintahan? Padahal kalian tidak memiliki kelayakan itu. Karena jiwa monopoli telah begitu kuat membelenggu, maka kalian tidak akan memberikan hak kepada orang lain. Kalian mengambil semua hak orang lain untuk diri sendiri.
Selain itu, mengapa kalian tidak tahan menyaksikan kaum Muslimin yang berkuasa dan menyimpan dendam terhadap mereka? Bukankah Tuhan telah menganugerahkan kekuasaan kepada para nabi terdahulu dari keturunan Nabi Ibrahim as? Lalu mengapa kalian heran? Bukankah Tuhan telah memberikan kitab samawi dan kekuasaan kepada Musa as, Sulaiman, Dawud? Lalu mengapa kalian dengki terhadap Muhammad lantaran kitab dan kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya? Bahkan tidak hanya itu, kalian memandang kaum Musyrikin lebih baik daripada Muslimin. Ketika itu, al-Quran mengatakan kepada kaum muslimin, walaupun masyarakat di era itu sebagian ada yang beriman dan sebagian lagi menentang, tapi kalian tidak boleh berputus asa meyaksikan kaum Yahudi tidak mau beriman kepada Islam. Jangan juga berputus asa menyaksikan kedengkian mereka terhadap kalian. Karena hal ini telah terjadi sepanjang sejarah.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Kenalilah musuh dan mantapkanlah keyakinan agama kalian. Karena ketahuilah bila suatu hari kaum Yahudi itu mendapatkan kekuasaan, maka mereka pasti akan mengabaikan kalian. 2. Sifat kikir, berpikiran sempit dan menilai sesuatu tidak adil merupakan tanda-tanda orang yang cinta materi dan kekuasaan. 3. Apa yang dimiliki orang lain adalah dari rahmat dan karunia Tuhan. Sementara orang yang dengki pada hakikatnya ia memprotes tindakan Tuhan. Daripada mendengki nikmat Tuhan yang diberikan kepada orang lain, sebaiknya manusia selalu optimis akan karunia dan rahmat-Nya yang tiada terbatas. 4. Mengharapkan semua manusia beriman adalah harapan yang sia-sia. Allah Swt menghendaki semua manusia bebas memilih jalan masing-masing. ْ َض َج َّ اب ِإ َّن َ ت ُجلُود ُ ُه ْم بَد َّْلنَا ُه ْم ُجلُوداا َاَّللَ َكان ْ ُف ن ص ِلي ِه ْم ن ا َ َغي َْر َها ِليَذُوقُوا ْالْعَذ ِ َارا ُكلَّ َما ن َ ِإ َّن الَّذِينَ َكفَ ُروا ِبآَيَاتِنَا َ س ْو ع ِز ا (56)يزا َح ِكي اما َ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (4: 56) Setelah ayat-ayat sebelumnya menceritakan kedengkian dan kebencian segolongan manusia kepada para nabi dan ajarah ilahi. Sementara ayat ini memberitahukan tentang adanya siksaan pedih yang akan menimpa mereka kelak di Hari Kiamat. Siksaan tersebut setimpal dengan perbuatan mereka. Karena orang yang disepanjang usianya menentang kebenaran dan semakin lama penentangannya itu semakin besar, maka mereka pantas mendapatkan siksaan yang abadi. Jadi ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menentang Islam janganlah mengira bahwa mereka akan dibakar hanya sekali pada Hari Kiamat dam todal ada siksaan berikutnya. Ketika kulit mereka sudah terbakar, Allah Swt akan membuat kulit baru buat mereka menggantikan yang lama dan begitulah seterusnya. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Berbeda dengan di dunia, siksaan akhirat tidak pernah berkurang rasa pedihnya. 2. Siksaan di akhirat tidak terbatas pada siksaan mental saja, tapi juga badan, seperti kulit yang dibakar. 3. Siksaan ilahi adalah balasan dari perbuatan manusia. Siksaan itu bukan kezaliman Tuhan kepada hamba-Nya. Allah menghukum hamba-Nya berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan.
َ ار خَا ِلدِينَ ِفي َها أَبَداا لَ ُه ْم ِفي َها أ َ ْز َوا ٌج ُم ٌ ط َّه َرة ٍ سنُد ِْخلُ ُه ْم َجنَّا ِ صا ِل َحا َّ ع ِملُوا ال ُ ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ ِت َها ْاْل َ ْن َه َ َوالَّذِينَ آ َ َمنُوا َو َ ت ظ ِل ا َ َونُد ِْخلُ ُه ْم ِظ ًَّل (57) يَل Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. (4: 57)
Setelah menjelaskan siksaan orang-orang Kafir pada Hari Kiamat, ayat ini menjelaskan soal pahala besar orang-orang Mukmin. Disebutkan, apabila iman dan keyakinan kepada Tuhan disertai dengan melakukan perbuatan baik, maka ia akan mendapat ganjaran yang baik pada Hari Kiamat. Allah Swt menempatkan orangorang semacam ini di surga yang hijau dengan pepohonan yang rindang dan lebat. Mereka di Hari Kiamat tidak sendirian. Karena mereka bersama isteriya yang bersih dan suci. Berkumpul kembali dengan isterinya merupakan kenikmatan yang lengkap, setelah di dunia mereka meninggalkan kelezatan duniawi dan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Tuhan. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Manusia dalam berbuat memiliki kebebasan untuk memilih jalan. Oleh karenanya, siapa yang memilih jalan yang sesat, maka ia pasti mendapatkan siksa. Sementara iman mendatangkan kesucian dan ketenangan. 2. Kesucian bagi wanita dan laki-laki adalah suatu nilai. Oleh karenanya, saat menyifati isteri di surga, lebih menekankan kesucian dari pada kecantikan. ُ اَّللَ نِ ِْع َّما يَ ِْع َّ اس أ َ ْن تَحْ ُك ُموا ِب ْالْعَ ْد ِل ِإ َّن َّ ِإ َّن ظ ُك ْم ِب ِه ِإ َّن ِ اَّللَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْل َ َمانَا ِ َّت ِإلَى أ َ ْه ِل َها َو ِإذَا َح َك ْمت ُ ْم بَيْنَ الن َّ (58)يرا ص ا ِ َس ِميْعاا ب َ َاَّللَ َكان Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (4: 58) Berbeda dengan gambaran sejumlah masyarakat yang memandang agama sebagai perkara individu dan hubungan antara dirinya dan pencipta, agama samawi, khususnya Islam, ajarannya diperuntukkan bagi individu dan sosial. Islam bahkan melihat iman dan agama memiliki kelaziman untuk memelihara keadilan dan amanah dalam masyarakat Dalam beberapa riwayat disebutkan, “Jangan kalian melihat lamanya ruku dan sujud seseorang, tetapi lihatlah kejujuran dan amanahnya. Karena khianat dalam amanah
menunjukkan kemunafikan dan sifat bermuka dua. Makna amanah sangat luas mencakup amanah harta, ilmu dan keluarga. Bahkan dalam beberapa riwayat, kepemimpinan sosial dikategorikan sebagai amanah ilahi yang besar, dimana masyarakat harus berhati-hati dan menyerahkannya kepada seorang yang saleh dan layak. Bahkan kunci kebahagiaan masyarakat terletak pada kepemimpinan yang saleh dan professional. Sebaliknya, sumber dari kesulitan sosial adalah para pemimpin yang tidak saleh dan korup. Amanah yang ada di pundak manusia ada tiga. Pertama, antara manusia dan Tuhan. Artinya, memelihara hukum dan batas-batas ilahi sendiri merupakan amanah yang ada di pundak manusia. Kedua, antara manusia dengan manusia. Seseorang yang diberikan amanah harus mengembalikannya kepada sang pemilik tanpa ditambah dan dikurangi. Ketiga, amanah yang ada pada diri manusia itu sendiri seperti usia, kekuasaan, kemampuan jasmani dan mental. Dari sisi agama, semua itu adalah amanah Tuhan yang ada di tangan kita. Bahkan kita manusia bukan pemilik diri kita sendiri melainkan hanya mengemban amanah. Anggota badan kita harus dimanfaatkan dengan baik di jalan keridhaan Tuhan. Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Setiap amanah memiliki pemiliknya yang harus diserahkan kepadanya. Penyerahan amanah sosial seperti pemerintahan dan pengadilan kepada orang orang yang bukan ahlinya adalah tidak sejalan dengan iman. 2. Amanah harus diserahkan kepada pemiliknya, baik ia itu Kafir ataupun Musyrik. Dalam menunaikan amanah kemukminan si pemilik tidaklah disyaratkan. 3. Bukan hanya hakim yang harus adil, tapi semua orang mukmin haruslah memelihara keadilan dalam segala bentuk penanganan masalah keluarga dan sosial. 4. Dalam memelihara amanah dan menjaga keadilan, haruslah kita tahu bahwa Tuhan sebagai pengawas. Karena Dia Maha Mendengar dan Melihat. 5. Manusia memerlukan nasehat dan penasehat yang terbaik adalah Tuhan yang Maha Esa.
َّ ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا أ َ ِطيْعُوا سو ِل َ سو َل َوأُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ُ الر ُ الر َّ اَّللِ َو َّ اَّللَ َوأ َ ِطيْعُوا س ُن ت َأ ْ ِو ا َّ ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ِب (59)يَل َ ْاَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر ذَ ِل َك َخي ٌْر َوأَح Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (4: 59) Dalam ayat sebelumnya telah disebutkan bahwa dianjurkan menyerahkan urusan pemerintahan dan keadilan kepada orang yang layak dan adil. Ayat ini mengatakan kepada kaum Mukmin, selain taat kepada Tuhan dan Rasulnya, maka haruslah kalian taat kepada para pemimpin yang adil. Karena ketaatan itu merupakan kelaziman iman kepada Tuhan dan Hari Kiamat. Dalam riwayat sejarah disebutkan, bahwa Rasul Saw ketika berangkat ke perang Tabuk beliau melantik Imam Ali aw sebagai penggantinya di Madinah. Beliau berkata, ”Wahai Ali! Engkau di sisiku, seperti Harun untuk Musa.” Selanjutnya ayat ini turun dan masyarakat diperintah untuk menaatinya. Berangkat dari ada kemungkinan masyarakat akan berselisih menentukan Ulil Amri, kelanjutan ayat menyatakan, “Dalam keadaan seperti ini, rujuklah kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul yang merupakan sebaik-baik hakim dan sebaik-baik kesudahan bagi kalian. Namun yang jelas, ketaatan kepada Ulil Amri dan Rasul Saw adalah dalam rangka ketaatan kepada Tuhan. Perkara ini tidak bertentangan dengan tauhid. Karena kita menaati Nabi dan Ulil Amri atas perintah Tuhan juga. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Ketaatan kepada Rasul dan Ulil Amri dalam ayat ini bersifat mutlak, tanpa ada syarat yang ditaati harus tidak memiliki kekurangan. 2. Rasul memiliki dua kedudukan. Pertama, menjelaskan hukum-hukum Tuhan dan menunaikan risalahNya. Kedua, mengelola urusan masyarakat dan menjelaskan peraturan-praturan pemerintahan berdasarkan kebutuhan.
3. Jalan yang terbaik menyelesaikan perselisihan mazhab Islam adalah merujuk kepada al-Quran dan Sunnah Rasul yang diterima oleh semua orang. 4. Masyarakat haruslah menerima pemerintahan Islam dan mendukung para pimpinan yang adil. َّ ع ُمونَ أَنَّ ُه ْم آ َ َمنُوا ِب َما أ ُ ْن ِز َل ِإلَي َْك َو َما أ ُ ْن ِز َل ِم ْن قَ ْب ِل َك ي ُِريد ُونَ أ َ ْن يَت َ َحا َك ُموا ِإلَى ُ الطا ت َوقَ ْد ِ غو ُ أَلَ ْم ت ََر ِإلَى الَّذِينَ يَ ْز َ ش ْي َّ أ ُ ِم ُروا أ َ ْن يَ ْكفُ ُروا بِ ِه َوي ُِريد ُ ال ُ ط (60)ض ََل اًل بَ ِْعيداا َ ُضلَّ ُه ْم ِ ان أ َ ْن ي Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (4: 60) Ayat 59 surat an-Nisaa’ yang telah dibahas sebelum ini menyebut kunci penyelesaian semua perselisihan terletak pada al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. Ayat di atas mengkritisi orang-orang yang tidak saleh dan juga penguasa tirani yang anti kebenaran. Mereka itu disifati oleh al-Quran sebagai manusia yang sesat lagi menyesatkan. Sejarah menyebutkan bahwa suatu saat di Kota Madinah, seorang muslim terlibat konflik dengan seorang Yahudi. Si Yahudi mengusulkan agar merujuk kepada Rasulullah Saw untuk menyelesaikan konflik itu. Rasulullah Saw dijadikan juri untuk menentukan siapa yang salah dan benar. Ironisnya, si muslim yang tidak setuju dengan gagasan itu. Mengapa demikian? Karena ia khawatir, keputusan Rasul Saw berseberangan dengan kepentingan pribadinya yang tidak benar. Ia akhirnya mengusulkan agar Rahib Yahudi saja yang menjadi hakim. Sebab ia yakin rahib itu dapat disogok dan pasti memenangkannya dalam kasus sengketa dengan si Yahudi. Ayat ini diturunkan untuk mencela perilaku buruk orang muslim tersebut. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Iman tanpa menjauhi kebatilan dan membenci thaghut bukanlah iman yang sejati. 2. Siapa saja yang mengaku beriman tapi dalam perbuatan selalu berpaling dari Tuhan adalah orang yang memusuhi Tuhan dan berada di barisan thaghut.
3- Menerima pemerintahan thaghut sama saja dengan menyiapkan sarana bagi kegiatan setan di tengah masyarakat. َّ َوإِذَا قِي َل لَ ُه ْم تَْعَالَ ْوا إِلَى َما أ َ ْنزَ َل (61)صد ُوداا َ سو ِل َرأَي ُ الر َّ اَّللُ َوإِلَى ُ ع ْن َك ُ َْت ْال ُمنَا ِفقِينَ ي َ َصدُّون Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (4: 61) Ayat ini menyebutkan bahwa menjadikan orang non muslim sebagai hakim merupakan pertanda kemunafikan. Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang munafik menjauhi alQuran dan Sunnah Rasul Saw dan menyuarakan aspirasi orang-orang kafir. Mereka ini bukan hanya tidak menerima hukum dan perintah ilahi, bahkan mengajak orang lain supaya bersikap seperti mereka sehingga tidak ada orang yang menentang mereka.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tugas seorang mukmin adalah menyeru manusia untuk menyembah Tuhan. Adapun yang diajak itu menerima atau tidak, adalah di luar tanggung jawabnya. 2. Menentang kepeminpinan haq merupakan tanda kemunafikan yang paling nyata. ْ صيبَةٌ ِب َما قَدَّ َم َّ وك َيحْ ِلفُونَ ِب َ) أُولَ ِئ َك الَّذِين22( ساناا َوت َْو ِفيقاا َ ت أ َ ْيدِي ِه ْم ث ُ َّم َجا ُء ِ صابَتْ ُه ْم ُم َ ْاَّللِ ِإ ْن أ َ َر ْدنَا ِإ ًَّل ِإح َ َ ْف ِإذَا أ َ فَ َكي ْ ع ْن ُه ْم َو ِع َّ يَ ْْعلَ ُم (63)ظ ُه ْم َوقُ ْل لَ ُه ْم فِي أ َ ْنفُ ِس ِه ْم قَ ْو اًل بَ ِليغاا ْ اَّللُ َما فِي قُلُو ِب ِه ْم فَأَع ِْر َ ض Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". (4: 62) Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (4: 63)
Sebagai lanjutan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan perbuatan buruk orang-orang munafik yang mengutamakan orang-orang non muslim ketimbang al-Quran dan Sunnah Nabi, ayat ini menghimbau kaum muslimin sedapat mungkin agar menghindari konfrontasi fisik secara langsung dengan mereka. Cukuplah dengan dialog dan nasehat serta peringatan akan akibat perbuatan mereka kelak. Karena merupakan urusan Tuhan bagaimana nantinya menghukum mereka. Salah satu alasan orang-orang munafik tidak suka menunjuk Rasul sebagai hakim, karena mereka yakin Rasul akan bersikap adil dalam menghakimi. Mereka beranggapan bahwa cara ini akan menyebabkan salah seorang dari yang berselisih akan dikecewakan. Oleh kerenanya, mereka tidak ingin kemuliaan dan popularitas Rasul menurun. Itulah mengapa mereka tidak membawa masalah ini kepada Rasul Saw. Jelas sekali di sini, bahwa alasan-alasan seperti ini adalah untuk lari dari tanggung jawab. Karena bila popularitas Rasul Saw itu harus dipelihara dengan cara seperti itu, maka pasti Tuhan lebih tahu dari mereka. Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik: 1. Sumber penyelesaian masalah individu dan sosial kembali kepada perbuatan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, manusia tidak boleh menyalahkan Allah, ketika ditimpa musibah. 2. Berbelit-belit adalah petanda kemunafikan. Sama seperti sikap munafikin yang ingin melemahkan Rasulullah Saw dengan alasan ingin memuliakan beliau. 3. Orang munafik bersumpah demi menutupi perbuatan kotor mereka. 4. Biasanya orang yang berbuat keji menutupi perbuatannya dengan menyebutnya sebagai upaya untuk memperbaiki. 5. Dalam menghadapi orang munafik, terkadang perlu menjauhinya, tapi adakalanya menasihati atau memperingatkannya.
َ اَّللِ َولَ ْو أَنَّ ُه ْم ِإ ْذ َ ُسو ٍل ِإ ًَّل ِلي َّ وك فَا ْست َ ْغفَ ُروا َّ ع ِبإ ِ ْذ ِن سو ُل َ س ُه ْم َجا ُء ُ الر ُ س ْلنَا ِم ْن َر َّ اَّللَ َوا ْست َ ْغفَ َر لَ ُه ُم َ طا َ ُظلَ ُموا أ َ ْنف َ َو َما أ َ ْر َّ ( لَ َو َجد ُوا21) اَّللَ ت ََّواباا َر ِحي اما
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (4: 64)
Bila ayat-ayat sebelumnya mengajak umat Islam untuk tidak meladeni orang-orang munafik yang tidak ingin menjadikan Rasulullah Saw sebagai hakim mereka saat berselisih, maka ayat ini menjelaskan sebuah masyarakat Islam yang ideal. Di mana dalam masyarakat ideal ini, rakyatnya beriman kepada Allah Swt dan ketaatan mereka kepada pemimpinnya begitu kuat dan kokoh . Sementara mereka yang terlanjur jatuh ke jurang kesesatan dan penyimpangan menyesali perbuatannya dan memohon ampun kepada Allah Swt lewat pemimpinnya. Rasulullah Saw sebagai pemimpin menerima taubat dan istighfar mereka.
Ketika mereka memohon ampun kepada Allah Swt lewat Rasulullah Saw, maka sudah barang tentu Allah pasti mengabulkan doa Nabi-Nya. Bila Allah mengabulkan doa beliau, dengan sendirinya permohonan ampun mereka juga diterima oleh-Nya. Tidak hanya Rasulullah Saw saja yang mendoakan mereka, tapi para malaikat juga mendoakan mereka. Dalam al-Quran ada dua tempat yang menyebutkan tentang permintaan istighfar dan mendoakan manusia. Pertama, dalam surat as-Syuura ayat 5 disebutkan tentang permintaan istighfar yang dilakukan oleh para malaikat kepada masyarakat, “... dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi...” dan permintaan ampunan khusus untuk orang-orang mukmin seperti yang disebutkan pada surat al-Mu’min ayat 7, “(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman...”.
Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tujuan dari pengutusan para nabi adalah menuntun masyarakat lewat cara menaati mereka. 2. Ketaatan hanya khusus untuk Allah, bahkan ketaatan kepada para nabi juga harus mendapat izin Allah, bila tidak ada izin, maka ketaatan itu menjadi perbuatan syirik. 3. Taubat akibat meninggalkan pemimpin adalah kembali kepadanya. 4. Meninggalkan para nabi dan menaati taghut merupakan kezaliman terhadap derajat kemanusiaan dari manusia itu sendiri. 5. Hubungan manusia dengan para nabi harus kokoh, baik itu orang mukmin atau fasik. Seorang mukmin untuk mendapatkan hidayah, sementara orang fasik untuk mendapatkan syafaat.
س ِل ُموا ت َ ْس ِلي اما َ وك فِي َما َ ضي َ فَ ََل َو َربِ َك ًَل يُؤْ ِمنُونَ َحتَّى يُ َح ِك ُم َ َش َج َر بَ ْينَ ُه ْم ث ُ َّم ًَل يَ ِجد ُوا ِفي أ َ ْنفُ ِس ِه ْم َح َر اجا ِم َّما ق َ ُْت َوي (65) Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (4: 65) Ayat ini diturunkan mengenai perselisihan Zubair bin Awwam dan seorang Anshar soal penyiraman pohon-pohon kurma. Nabi Muhammad Saw kemudian memutuskan karena bagian atas dari kebun kurma itu milik Zubair bin Awwam, maka yang pertama menyiram pohon-pohon kurma itu adalah dirinya. Pria Anshar itu tidak puas dengan keputusan Nabi dan mengatakan beliau membela Zubair yang masih merupakan keponakannya. Wajah Nabi berubah mendengar ucapan itu dan pada waktu itu ayat ini diturunkan yang heran melihat sikap pria Anshar itu. Karena kedua-duanya pada awalnya setuju bila Nabi yang menjadi pengadil di antara mereka, tapi ketika diputuskan, mereka menolak menerima keputusan beliau.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tanda-tanda keimanan ada tiga; pertama, menjadi Nabi sebagai hakim, bukan taghut. Kedua, tidak boleh berburuk sangka dengan keputusan Nabi dan ketiga, harus menerima keputusan Nabi dengan lapang dada. 2. Selain pasrah lahiriah, Islam juga sangat memperhatikan kepasrahan batin. 3. Kehakiman merupakan salah satu wewenang kenabian dan kepemimpinan. 4. Pasrah di hadapan keputusan Nabi menunjukkan ishmah beliau (kemaksuman). ُ ع ْ س ُك ْم أ َ ِو ظونَ بِ ِه َ ار ُك ْم َما فَْعَلُوهُ إِ ًَّل قَ ِلي ٌل ِم ْن ُه ْم َولَ ْو أَنَّ ُه ْم فَْعَلُوا َما يُو َ َولَ ْو أَنَّا َكت َ ْبنَا َ ُعلَ ْي ِه ْم أ َ ِن ا ْقتُلُوا أ َ ْنف ِ َاخ ُر ُجوا ِم ْن ِدي (66)شدَّ ت َثْ ِبيتاا َ َ لَ َكانَ َخي اْرا لَ ُه ْم َوأ Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali
sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). (4: 66) Ayat ini pada hakikatnya penyempurna kewajiban umat-umat terdahulu yang dirasakan sulit. Sebagai contoh, Bani Israil yang menyembah sapi meminta ampun atas kesalahan mereka ini dan agar dosa mereka dapat diampuni, Allah memerintahkan mereka untuk saling membunuh. Karena menyembah selain Allah terhitung dosa besar, maka untuk menghapus dosa semacam ini mereka diperintah untuk saling membunuh dan diusir dari kota. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Orang mukmin harus mengukur dirinya, bila ada perintah yang sulit dari Allah, maka apa yang harus dilakukannya? 2. Hanya sedikit orang yang berhasil lulus dari ujian ilahi. 3. Kebaikan dan kebahagiaan manusia ada pada perbuatannya. 4. Hukum ilahi yang berupa perintah dan larangan pada dasarnya nasihat Allah.
ص َرا ا (68)طا ُم ْست َ ِقي اما ِ ) َولَ َهدَ ْينَا ُه ْم27( َو ِإذاا َْلَت َ ْينَا ُه ْم ِم ْن لَدُنَّا أَجْ ارا َع ِظي اما
Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami. (4: 67) Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (4: 68) Dua ayat ini melanjutkan ayat sebelumnya. Bila ayat sebelumnya menjelaskan tentang kewajiban sulit yang dibebankan Allah kepada manusia, dua ayat ini memberikan kabar gembira kepada mereka yang melakukan kewajiban sulit itu. Allah menjanjikan pahala yang besar kepada siapa saja yang melakukan kewajiban yang sulit dan tidak cukup itu saja, karena Allah juga akan menunjukinya ke jalan yang lurus.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Untuk sampai kepada kebaikan, manusia harus tegar, istiqamah sambil tetap beramal. 2. Melangkah di jalan kebaikan akan mengantarkan manusia kepada kebaikan yang lebih baik dan sempurna. ُّ الصدِيقِينَ َوال َّ سو َل فَأُولَئِ َك َم َع الَّذِينَ أ َ ْنْعَ َم َّ َو َم ْن ي ُِط ِع َسن ُ صا ِل ِحينَ َو َح َّ ش َهدَ ِاء َوال ُ الر َّ اَّللَ َو ِ علَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِينَ َو َ ُاَّلل َّ اَّللِ َو َكفَى ِب َّ َض ُل ِمن (70)ع ِلي اما ْ َ) ذَ ِل َك ْالف22( أُولَئِ َك َرفِيقاا َ ِاَّلل Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (4: 69) Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (4: 70) Menurut ayat-ayat sebelumnya, mereka yang menjalankan perintah ilahi di dunia ini, akan memperoleh berkah dalam kehidupan dunia, serta senantiasa mendapat hidayah khusus ilahi. Semenetara ayat ini menyatakan, orang-orang seperti inilah yang nantinya duduk di samping Rasul serta orang-orang saleh serta memperoleh manfaat dari keberadaan mereka di sana. Dalam surah al-Fatihah yang sering diulangi pada setiap shalat, kita memohon dari Tuhan agar memelihara kita tetap di jalan yang benar. Jalan orang yang telah diberikan kepada mereka nikmat khusus. Dalam ayat ini, kita diberitahu bahwa orang-orang yang terbaik adalah para nabi, syuhada dan orang-orang suci. Oleh karenanya, dalam setiap shalat, kita mohon dari Tuhan supaya kita dikumpulkan dengan orang-orang terbaik ini. Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Cara mendapatkan sahabat yang baik di dunia dan akhirat adalah dengan mentaati perintah Tuhan dan Nabi. 2. Dalam memilih teman, iman dan kesucian adalah syarat yang paling mendasar.
3. Iman bahwa Tuhan mengetahui perbuatan-perbuatan kita merupakan dorongan terbaik untuk melaksanakan perbuatan baik. ٍ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ُخذُوا ِح ْذ َر ُك ْم فَا ْن ِف ُروا ثُبَا (71)ت أ َ ِو ا ْن ِف ُروا َج ِميْعاا
Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! (4: 71)
Islam sebagai agama kehidupan membuatnya memiliki dimensi individu dan sosial. Oleh karenanya, perintah-perintah al-Quran selain pelaksanaan ibadah dan tugas personal, juga mencakup juga berbagai urusan sosial. Di antaranya persoalan-pesoalan penting sosial adalah cara menghadapi musuh dari dalam dan luar. Al-Quran di dalam banyak ayatnya mengajak orang-orang mukmin agar bersiap siaga untuk membela teritorial Islam dan ajaran Islam. Al-Quran juga menyebutkan bahwa segala bentuk kerugian dan musibah yang dialami manusia di jalan ini memiliki nilai dan kesakralan yang tinggi. Sebagaimana dalam ayat sebelumnya, kedudukan para syuhada disejajarkan dengan para nabi dan orang-orang saleh, di sini orang-orang mukmin diminta agar meningkatkan kemampuan militernya, sehingga dapat menghalau segala bentuk ekspansi musuh. Kata “Hidzr” berarti media untuk mempertahankan diri. Dengan kata lain, kalian janganlah menyerang musuh terlebih dahulu. Namun bila musuh menyerang kalian, maka kalian harus memiliki kesiapan membela diri sehingga kemuliaan dan kekuatan kalian terpelihara.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kaum Muslimin haruslah mengetahui metode dan fasilitas militer musuh agar mereka dapat menyediakan peralatan pertahanan dan siap untuk membela diri.
2. Semua masyarakat harus dibekali latihan militer untuk membela tanah air dan agamanya bila musuh menyerang.
َّ صي َبةٌ قَا َل قَ ْد أ َ ْنْعَ َم ض ٌل َ ي ِإ ْذ لَ ْم أ َ ُك ْن َمْعَ ُه ْم ْ َصابَ ُك ْم ف َ ُاَّلل ِ صابَتْ ُك ْم ُم َ َ ) َولَ ِئ ْن أ72( ش ِهيداا َ َ َو ِإ َّن ِم ْن ُك ْم لَ َم ْن لَيُبَ ِطئ ََّن فَإ ِ ْن أ َّ َعل َّ َِمن (73)ع ِظي اما َ اَّللِ لَيَقُولَ َّن َكأ َ ْن لَ ْم ت َ ُك ْن بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَهُ َم َودَّة ٌ يَا لَ ْيت َ ِني ُك ْنتُ َمْعَ ُه ْم فَأَفُوزَ فَ ْو ازا Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata: "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka. (4: 72) Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula)". (4: 73) Ayat sebelumnya menyinggung soal kesiapan muslimin di hadapan musuh asing. Ayat ini memperingatkan soal keberadaan munafikin dan musuh-nusuh dari dalam. Orang-orang oportunis yang mengejar kepentingan pribadi dan bukan hanya enggan mengorbankan jiwa di jalan Allah Swt, bahkan mereka menghalangi orang lain dari berjihad dengan tujuan mereka tidak dikenali dan mencolok mata. Ayat ini memperkenalkan ciri-ciri orang orang semacam ini dengan mengatakan bahwa dalam kesulitan masyarakat Islam, mereka menjauhkan diri dan bersyukur kepada Tuhan karena keluar dari bahaya dengan selamat dan ketika muslimin dalam kesenangan dan kemenangan, mereka meratap dan menyesali karena tidak memperoleh rampasan perang.
Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Medan perang dan jihad adalah medan ujian yang terbaik untuk mengenali mukminin dan munafikin. 2. Kehadirin munafikin di medan pertempuran, melemahkan semangat para pejuang. Oleh karenanya, mereka harus dikenali dan janganlah kalian kirim mereka ke medan laga. 3. Lari dari perang dan medan kesulitan masyarakat Islam, di kemunafikan.
antara tanda
4. Kesejahteraan akan bernilai apabila lapisan lain masyarakat juga sejahtera, bukannya seseorang bergelimang kesejahteraan, sementara kelompok lain terjepit kesusahan. 5. Dalam kacamata munafikin kesejahteraan dan kebahagiaan terletak pada kekayaan duniawi kita harus waspada janganlah sampai seperti mereka. َّ س ِبي ِل َّ سبِي ِل ف نُؤْ تِي ِه أَجْ ارا َ َاَّللِ فَيُ ْقت َْل أ َ ْو يَ ْغلِبْ ف َ اَّللِ الَّذِينَ يَ ْش ُرونَ ْال َحيَاة َ الدُّ ْنيَا بِ ْاْلَ ِخ َرةِ َو َم ْن يُقَاتِ ْل فِي َ فَ ْليُقَاتِ ْل فِي َ س ْو (74)ع ِظي اما َ Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. (4:74) Telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu ciri orang munafik ialah umumnya mereka mengelak berjihad di jalan Allah, bahkan mencegah orang lain ikut serta berjihad. Ayat ini menegaskan bahwa orang yang lari dari perang, tandanya ia tidak beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Jika seseorang meyakini adanya pahala akhirat, niscaya kehidupan dunia dipandangnya sebagai ladang untuk kehidupan abadi dan tentu orang semacam ini akan ringan berjuang di jalan Allah. Karena, manusia mukmin mengetahui tugasnya yaitu membela kehormatan agama di depan musuh dan berupaya menunaikan tugasnya semaksimal mungkin. Sementara mereka tidak pernah berpikir tentang hasilnya, karena semuanya di tangan Tuhan. Kesudahan perang apapun yang
terjadi; menang atau kalah, tidak ada beda di sisi Allah. Targetnya adalah menunaikan kewajiban dan bekerja untuk keridhaan Allah, bukan semata-mata mengalahkan musuh.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tujuan jihad dalam Islam adalah menjaga kemuliaan agama, bukannya untuk ekspansi, balas dendam atau kolonialisasi. 2. Salah satu medan menguji keimanan adalah saat berada di medan tempur. Di situlah seorang mukmin sejati dipisahkan dari yang munafik. 3. Dalam front kebenaran tidak ada istilah lari dan kalah, melainkan syahid atau menang.
َّ س ِبي ِل ان الَّذِينَ يَقُولُونَ َربَّنَا أ َ ْخ ِرجْ نَا ِم ْن َه ِذ ِه ْ َ اَّللِ َو ْال ُم ْست ِ س َ ِالر َجا ِل َوالن َ َو َما لَ ُك ْم ًَل تُقَا ِتلُونَ فِي ِ َض َْعفِينَ ِمن ِ َاء َو ْال ِو ْلد َّ ْالقَ ْريَ ِة (75)يرا َص ا ِ الظا ِل ِم أ َ ْهلُ َها َواجْ ْعَل لَنَا ِم ْن لَد ُ ْن َك َو ِليًّا َواجْ ْعَل لَنَا ِم ْن لَد ُ ْن َك ن Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (4: 75)
Ayat-ayat al-Quran seringkali menganjurkan orang-orang mukmin agar menjadikan iman kepada Hari Kiamat sebagai pegangan dan ayat-ayat al-Quran juga acapkali membuat perbandingan antara kehidupan dunia dan akhirat. Di samping itu, al-Quran juga mengajak mukminin agar berjihad di jalan Allah. Ayat ini menggugah emosi manusia dan menghendaki dari mereka agar bangkit berjuang dan berupaya menyelamatkan mereka yang dianiaya orang-orang zalim. Ayat ini dengan jelas menegaskan bahwa menyelamatkan dan membebaskan orang-orang yang teraniaya dari dominasi orang-orang keji, merupakan tujuan jihad dan itulah yang dikatakan jihad fisabilillah. Seorang mukmin sejati memiliki tanggung jawab di depan agama dan manusia setanah air dan tidaklah sepantasnya mereka mengabaikan kesulitan orang lain dan hanya memikirkan kesejahteraan dan keluarganya sendiri.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jihad dalam Islam di samping bersifat ilahi, juga manusiawi. Perjuangan untuk pembebasan manusia, adalah perjuangan ilahi. 2. Ketidakacuhan di depan penderitaan dan permintaan bantuan orang-orang teraniaya adalah dosa. Haruslah bangkit dengan seluruh kekuatan untuk membela mereka. 3. Untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman orang-orang zalim, haruslah meminta pertolongan dari Tuhan dan para aulia-Nya, bukannya dari setiap orang dan dengan segala bentuk.
َّ س ِبي ِل َ ش ْي َ ش ْي َّ ان ِإ َّن َك ْيدَ ال َّ ت فَقَا ِتلُوا أ َ ْو ِليَا َء ال ُ الطا َّ س ِبي ِل ان ِ غو َ اَّللِ َوالَّذِينَ َكفَ ُروا يُقَا ِتلُونَ ِفي َ الَّذِينَ آ َ َمنُوا يُقَا ِتلُونَ ِفي ِ ط ِ ط (76)ض ِْعيفاا َ ََكان Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (4: 76)
Untuk memperjelas tujuan jihad, ayat ini menjelaskan tujuan kaum Mukminin dan kaum Kafir dalam melakukan perang. Disebutkan, ahli iman berperang bukan hanya untuk memelihara dan memperkokoh agama Tuhan, dan untuk sampai kepada kekuatan dan kedudukan untuk dirinya, melainkan tujuan mereka adalah keridhaan Tuhan. Sementara orang-orang kafir berperang guna memperkokoh pemerintahan orang-orang zalim dan tiran. Tujuan mereka adalah untuk menguasai orang lain dan menjajah mereka. Selanjutnya ayat ini bahwa orang-orang mukminin distimulasi untuk berperang melawan kelompok dominan ini. Jangan kalian pikir mereka itu kuat, sementara kalian lemah. Tapi sebaliknya, dengan memiliki iman pada Tuhan, kalian memiliki kekuatan yang paling tinggi dan lantaran mereka mengikuti syaitan mereka itu sangat lemah. Janganlah kalian takut menentang pasukan kafir dan tiran serta perangilah mereka dengan semua kekuatan dan ketahuilah kalian lebih mulia. Sebab mereka pengikut setan, sementara setan adalah lemah di hadapan kehendak Tuhan. Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Fi sabilillah artinya keridhaan Allah dijadikan sebagai simbol dan tujuan semua urusan dalam masyarakat Islam. 2. Ketidakpedulian pada urusan sosial dan menghindari jihad tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang mukmin. Di antara tanda iman adalah melawan hawa nafsu. 3. Kufur, thagut dan setan merupakan tiga serangkai yang saling bergantung untuk melanjutkan kehidupan. Dari itulah, masing-masing berusaha untuk menguatkan yang lain. 4.Kesudahan atau akibat mengikuti setan adalah kegagalan. Karena pembelaan setan untuk para pengikutnya adalah sangat lemah. َّ ص ََلة َ َوآَتُوا ٌ علَ ْي ِه ُم ْال ِقت َا ُل إِذَا فَ ِر َيق ِم ْن ُه ْم يَ ْخش َْون َّ أَلَ ْم ت ََر إِلَى الَّذِينَ قِي َل لَ ُه ْم ُكفُّوا أ َ ْي ِديَ ُك ْم َوأَقِي ُموا ال َ ب َ ِالز َكاة َ فَلَ َّما ُكت َّ اس َك َخ ْشيَ ِة ع الدُّ ْنيَا قَ ِلي ٌل َ َ اَّللِ أ َ ْو أ ُ ب قُ ْل َمت َا َ شدَّ َخ ْشيَةا َوقَالُوا َربَّنَا ِل َم َكتَب ٍ علَ ْينَا ْال ِقت َا َل لَ ْو ًَل أ َ َّخ ْرتَنَا إِلَى أ َ َج ٍل قَ ِري َ ْت َ َّالن ْ ُ َو ْاْلَ ِخ َرة ُ َخي ٌْر ِل َم ِن اتَّقَى َو ًَل ت ظلَ ُمونَ فَ ِت ا (77)يَل Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah
diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (4: 77) Riwayat sejarah menjelaskan, manakala muslimin berada di Mekah, mereka berada di bawah tekanan dan gangguan orang-orang musyrik. Tekanan ini membuat mereka menghadap Rasul. Mereka mengatakan, “Wahai Rasul! Sebelum kami masuk Islam, kami aman, namun kini kami tidak aman lagi dan senantiasa mendapat siksaan dan gangguan musuh. Izinkanlah kami memerangi mereka agar kami peroleh lagi keamanan dan kemuliaan kami”. Rasulullah Saw menjawab, “Untuk sementara ini, kita tidak diperintahkan untuk berperang. Jadi, kalian tunaikan kewajiban-kewajiban pribadi dan sosial kalian semisal shalat dan zakat!” Ketika Rasul Saw dan sahabat diperintahkan untuk berjihad, mereka yang sebelumnya ingin berperang justru mencari-cari alasan untuk tidak berjihad. Ayat ini turun dan mengkritisi sikap ganda ini. Kendati sebab turunya ayat ini berkenaan dengan kelompok muslimin di awal Islam, namun substansi ayat ini dapat dijumpai pada setiap zaman. Senantiasa ada manusia yang bersikap ifrat (berlebihan) dan tafrit (pengurangan) dalam perilaku sosial. Adakalanya mereka melangkah lebih ekstrim dari pemimpin sosial mereka dan ada juga yang lebih lambat dari masyarakat umum. Sebenarnya tipe manusia seperti ini tidak ingin tahu apa tugas dan kewajibannya. Suatu saat mereka bersemangat bagaikan ombak laut yang menggelegar, namun ketika ombak itu tiba di tepi pantai, berubah menjadi busa yang tidak dapat bertahan lama. Manusia seperti ini bagaikan tong kosong nyaring bunyinya, dari luar begitu ramai namun dari dalam mereka tidak berani apa apa.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hukum-hukum agama diturunkan secara bertahan. Orang yang memiliki kemampuan jihad adalah orang-orang yang sebelumnya telah terdidik dengan shalat dan zakat serta telah memerangi hawa nafsu dan seetan dari batin. 2. Kesulitan dan problema sosial tidak boleh disikapi dengan emosional, melainkan harus mengikuti pandangan para pemuka yang adil dan berpikiran jauh ke depan. َّ سنَةٌ يَقُولُوا َه ِذ ِه ِم ْن ِع ْن ِد اَّللِ َوإِ ْن َ وج ُم ِ ُ شيَّدَةٍ َوإِ ْن ت َ ص ْب ُه ْم َح ٍ أ َ ْينَ َما أ َ ْينَ َما ت َ ُكونُوا يُد ِْر ُك ُك ُم ْال َم ْوتُ َولَ ْو ُك ْنت ُ ْم فِي ب ُُر َّ ِك قُ ْل ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد صا َب َك َ س ِيئ َةٌ يَقُولُوا َه ِذ ِه ِم ْن ِع ْند ِ ُت َ ص ْب ُه ْم َ َ ) َما أ77( اَّللِ فَ َما ِل َهؤ ًَُل ِء ْالقَ ْو ِم ًَل يَ َكاد ُونَ يَ ْفقَ ُهونَ َحدِيثاا س ا َّ ِوًل َو َكفَى ب َّ َسنَ ٍة فَ ِمن (79)ش ِهيداا َ ِاَّلل َ س ْلن َ سيِئ َ ٍة فَ ِم ْن نَ ْفس ُ اس َر ِ ََّاك ِللن َ ِك َوأ َ ْر َ صابَ َك ِم ْن َ ِم ْن َح َ َ اَّللِ َو َما أ Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (4: 78) Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (4: 79) Pada ayat sebelumnya, telah dijelaskan bahwa sekelompok muslimin yang imannya lemah dan penakut melakukan protes dan meminta penundaan ketika diperintah untuk jihad. Hal itu dilakukan dengan tujuan menyelamatkan diri dari kematian. Ayat ini menyebutkan bahwa ketahuilah jika kalian tinggal di tempat yang paling kokoh sekalipun kematian akan menyongsong kalian. Beruntunglah orang yang berjalan di atas jalan yang benar lagi bernilai seperti jihad. Mereka ini mengasuransikan kesehjahteraan kehidupan akhirat dengan cara berjihad dan syahid di jalan Allah ketika berada di dunia. Ayat ini kemudian mengungkap sikap buruk munafikin yang biadap terhadap Nabi Muhammad Saw. Setiap kali mereka menang dalam perang, mereka melihat kemenangan itu dari anugerah dan karunia Tuhan, namun apabila dalam perang itu, mereka kalah, maka mereka menyalahkan Rasul, sebagai sosok yang tidak tidak tahu manajamen.
Ayat ini menyanggah hal ini. Semua yang ada di alam ini adalah atas kehendak Tuhan dan tanpa kehendakNya tidak akan ada sesuatu terjadi, baik itu kemenangan atau kekalahan. Namun kehendak Tuhan bukanlah tanpa alasan dan perhitungan. Jika kalian melaksanakan tugas kalian, maka Tuhan menakdirkan kebaikan dan kemenangan bagi kalian. Sebaliknya, bila kalian malas dan ingkar seperti dalam perang Uhud maka Allah Swt menakdirkan kekalahan buat kalian. Hubungan manusia dengan Tuhan bagaikan hubungan bumi dengan matahari. Bumi mengelilingi matahari dan setiap kali menghadap dengan matahari, maka ia memperoleh cahaya dan panasnya matahari dan setiap kali membelakangi matahari, bumi menjadi dingin dan gelap. Dari itulah, dapat dikatakan bahwa cahaya bumi dari matahari, sementara kegelapannya berasal dari dirinya sendiri. Manusia juga demikian, di mana saja ia menghadap Tuhan, maka ia akan memperoleh karunia dan rahmat-Nya. Apabila ia membelakangi Tuhan, maka ia akan terjauhkan dari karunia Tuhan. Walaupun hakikat ini hanya dimengerti oleh manusia-manusia berjiwa bersih, sementara orangorang yang berjiwa sakit tidak dapat mengerti atau sengaja tidak mau menerima. Karena mereka menganggap dirinya sebagai sentral, bukannya Tuhan. Padahal kriteria kebenaran dan kebatilan adalah Tuhan bukannya mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik: 1. Kematian sudah ditentukan oleh Tuhan, lalu apa gunanya lari dari perang dan jihad? 2. Janganlah kita meletakkan dosa di pundak orang lain dan jangan kita suka membuat alasan untuk lari dari tanggung jawab. 3. Kematian dan kehidupan, kepahitan dan manisnya kehidupan, semuanya adalah ketetapan Tuhan yang Maha Bijaksana. 4.Dalam perspektif ilahi, setiap keindahan dan kesempurnaan adalah dari Tuhan dan apa saja kekurangan adalah dari diri kita sendiri.
5. Risalah Nabi bersifat mendunia dan tidak dikhususkan kepada etnis atau kawasan tertentu.
علَ ْي ِه ْم َح ِفي ا َ َ سو َل فَقَ ْد أ َّ ع (80)ظا َ س ْلن ُ الر َّ َم ْن ي ُِط ِع َ طا َ َاك َ اَّللَ َو َم ْن ت ََولَّى فَ َما أ َ ْر Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (4:80) Manajemen yang baik dalam mengelola masyarakat perlu menetapkan peraturan pemerintah yang baik dan ditaati oleh rakyat. Perlu diingat juga bahwa agama Islam tidak diturunkan oleh Allah Swt kepada manusia hanya untuk mengatur masalah pribadi manusia, tapi juga masalah sosialnya. Islam melihat kebahagiaan manusia berada di balik kebahagiaan sosial dan perannya di berbagai pentas sosial. Kewajiban seperti zakat, haji, jihad adalah contoh jelas perintah-perintah sosial dan menindaklanjuti hukum ini memerlukan jaminan pelaksanaan dan tiada lain jaminan itu adalah pembetukan pemerintahan Islam. Menurut al-Quran, Rasul Saw bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan perintahperintah ilahi, tetapi beliau juga menjadi hakim dan pemimpin masyarakat Islam. Menaati Rasulullah Saw sejajar dengan mengikuti perintah Tuhan. Sebaliknya, melanggar beliau sama artinya melanggar perintah Allah. Poin penting yang patut diperhatikan, ayat ini menyatakan bahwa Rasul Saw di depan masyarakat tidak bertugas memaksa masyarakat menerima kebenaran dan melaksanakannya, sekalipun beliau merupakan pemimpin masyarakat. Tanggung jawab beliau hanya mengarahkan dan memimpin masyarakat, bukan memaksa mereka melaksanakan perintah-perintah ilahi.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Taat kepada Tuhan bukanlah berarti melaksanakan shalat dan puasa saja, tapi juga termasuk taat kepada para pimpinan sosial ilahi dan penanggung jawab agama. 2. Tugas para nabi adalah menyebarkan agama bukan memaksakannya dan manusia harus memilih agama lewat kehendaknya.
َ َّت َ ََويَقُولُون َّ غي َْر الَّذِي تَقُو ُل َو َ طائِفَةٌ ِم ْن ُه ْم ع ْن ُه ْم َوت ََو َّك ْل َ ِك بَي َ عةٌ فَإِذَا بَ َر ُزوا ِم ْن ِع ْند ْ ب َما يُ َب ِيتُونَ فَأَع ِْر ُ ُ اَّللُ يَ ْكت َ ض َ طا اَّللِ َو ِك ا َّ ِاَّللِ َو َكفَى ب َّ علَى (81)يَل َ Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami hanyalah) taat". Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung. (4: 81) Ayat ini kembali memperingatkan bahaya orang-orang munafik yang ditujukan kepada Nabi Saw dan muslimin. Waspadailah bahwa di antara kalian terdapat kelompok yang lemah imannya atau munafik yang pada lahiriahnya seakan-akan bersama muslimin. Karena dalam pertemuan rahasia di malam hari mereka mengambil keputusan lain dan berupaya melakukan konspirasi terhadap umat Islam. Cara menghadapi orang-orang seperti ini adalah dengan mengenali mereka dan tidak boleh cemas terhadap konspirasi mereka. Karena Tuhan memantau ucapan dan keputusan mereka dan harus dipatahkan tepat waktunya. Oleh karenanya sudah sepatutnya muslimin bertawakal dan meminta bantuan dari-Nya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Janganlah kita lalai terhadap konspirasi musuh dalam negeri. Jangan juga bepikir musuh hanya ada di luar perbatasan. 2. Janganlah cepat percaya semua pernyataan persahabatan. Ingat, bila lisan semakin manis dan suka memuji, maka semakin besar kemungkinan kemunafikannya.
3. Allah Swt adalah pelindung sejati mukminin. Allah membantu umat Islam dengan bantuan lahiriah dan gaib.
ْ اَّللِ لَ َو َجد ُوا فِي ِه َّ غي ِْر َ أَفَ ََل يَتَدَب َُّرونَ ْالقُ ْرآَنَ َولَ ْو َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد (82)يرا اختِ ََلفاا َكثِ ا Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (4: 82) Para penentang Islam yang tidak memiliki alasan di depan logika dan argumentasi gamblang Rasul Saw, mereka melontarkan berbagai tudingan. Di antaranya mereka mengatakan, al-Quran adalah hasil pikiran Muhammad dan Allah Swt. Dalam ayat ini menyatakan, mengapa kalian tidak tadabbur atau merenung mengenai ayat-ayat alQuran? Padahal al-Quran sepanjang lebih dari 20 tahun era risalah Nabi, diturunkan dalam kondisi yang berbeda-beda, baik itu kondisi damai dan perang. Sekiranya hasil dari pikiran manusia sudah sewajarnya akan dijumpai banyak perselisihan, baik dari sisi kandungan maupun dari sisi bentuk dan keindahan pengungkapan. Pada prinsipnya, salah satu dari mukjizat al-Quran adalah kekuatan dan kebernilaian ayat-ayat al-Quran di sepanjang sejarah manusia. Karena, para penulis yang paling hebat sekalipun tidak dapat membandingkan tulisannya saat ini dengan hasil karyanya 20 tahun yang akan datang. Dalam rentang waktu ini akan terjadi perubahan dan perkembangan.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Berbeda dengan mereka yang mendefinisikan agama bertentangan dengan pikiran dan ilmu pengetahuan, ayat ini secara gamblang mengajak semua manusia merenungkan ayat-ayat ilahi agar dapat sampai kepada kebenaran Islam. 2. Al-Quran dapat dimengerti oleh semua zaman dan generasi dan semua mukminin diwajibkan merenungkannya.
3. Apabila masyarakat kembali kepada al-Quran, perselisihan dan pertikaian akan sirna. Karena dalam al-Quran tidak ada sesuatu yang menyebabkan perselisihan.
َسو ِل َو ِإلَى أُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُه ْم لَْعَ ِل َمهُ الَّذِين ُ ف أَذَا ِ َوإِذَا َجا َء ُه ْم أ َ ْم ٌر ِمنَ ْاْل َ ْم ِن أ َ ِو ْالخ َْو ُ الر َّ عوا بِ ِه َولَ ْو َردُّوهُ ِإلَى ُ يَ ْست َ ْن ِب طانَ ِإ ًَّل قَ ِل ا َ ش ْي َّ علَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهُ ًَلتَّبَ ْْعت ُ ُم ال َّ ض ُل (83)يَل ْ َطونَهُ ِم ْن ُه ْم َولَ ْو ًَل ف َ ِاَّلل Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (4: 83) Melanjutkan ayat sebelumnya yang menjelaskan sikap tidak sewajarnya yang dilakukan kaum munafikin terhadap Rasul dan muslimin di era permulaan Islam, ayat ini menyebutkan salah satu bentuk dari sikap munafikin. Menurut alQuran, orang-orang munafik biasa menyebarluaskan berita-berita bohong khususnya mengenai perang. Rumor-rumor seperti ini membangkitkan rasa takut di tengah masyarakat dan tidak jarang juga memberikan rasa aman yang tidak pada tempatnya di tengah mereka. Selanjutnya, ayat ini menyampaikan satu perintah umum kepada masyarakat muslim terhadap Ulil Amri (Penguasa Islam). Ayat ini menjelaskan bahwa kaum muslimin harus merujuk kepada para pimpinan mereka terkait tatanan sosial, agar Ulil Amri dapat menganalisa dengan benar serta menyampaikan hal yang sebenarnya kepada masyarakat. Lanjutan ayat ini menyentuh poin penting yaitu sikap orang-orang munafik yang menyeret manusia kepada kekufuran dan mengikuti setan. Seandainya tidak ada rahmat Tuhan dan petunjuk Rasul serta para pemuka agama, niscaya sebagian masyarakat akan sesat dan terjerumus dalam tipuan dan bisikan setan saat menghadapi problem sosial. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di antara kebiasaan orang-orang munafik adalah menyebarluaskan isu di tengah masyarakat. Semua itu harus diwaspadai oleh muslimin. 2. Informasi militer muslimin harus dirahasiakan dan hanya boleh diketahui oleh para pimpinan masyarakat. 3. Hanya mereka yang punya kemampuan mengambil istinbat (menyimpulkan hukum) yang akan mendapatkan kebenaran dan lapisan masyarakat lain harus merujuk kepada mereka. َّ س الَّ ِذينَ َكفَ ُروا َو َّ سى َّ س ِبي ِل ُّشد َ َ سا َوأ َ َ اَّللُ أ شدُّ بَأ ْ ا َّ اَّللُ أ َ ْن َي ُك ِ س َك َو َح ِر ُ َّاَّللِ ًَل ت ُ َكل َ َض ْال ُمؤْ ِمنِين َ ع َ ف ِإ ًَّل نَ ْف َ فَقَا ِت ْل ِفي َ ْ ف بَأ ت َ ْن ِك ا (84)يَل Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (4: 84) Sejarah menyebutkan bahwa setelah kekalahan kaum muslimin di Uhud, Abu Sufyan telah menentukan waktu untuk melakukan serangan berikutnya. Pada waktu yang telah ditentukan juga, Rasul Saw memanggil dan mengundang muslimin untuk membicarakan masalah ini. Namun kenangan pahit mereka di Uhud telah menyebabkan banyak sekali yang enggan datang. Sekaitan dengan hal ini, ayat ini diturunkan dan diperintahkan kepada Rasul Saw, sekiranya tidak ada satu orangpun yang datang, engkau berkewajiban berperang dan berangkat ke medan tempur. Hal ini harus dilakukan sekalipun engkau berkewajiban mengajak muslimin untuk berjihad. Rasul Saw melakukan perintah Allah ini dan sedikit orang menyertai Rasul Saw. Tapi musuh ternyata tidak hadir di tempat yang telah dijanjikan dan tidak terjadi perang. Di sinilah janji Allah untuk mencegah orang-orang kafir memukul muslimin terbukti.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Seorang pemimpin haruslah senantiasa di barisan terdepan saat menghadapi bahaya dan ancaman. Bahkan bila tinggal seorang diri, tetap ia tidak boleh meninggal medan tempu. Bila perintah ini ditaati, niscaya bantuan Tuhan akan datang kepadanya. 2. Tugas para nabi mengajak warga kepada agama, bukan mendesak dan memaksa mereka. 3. Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, tidak terkecuali para nabi. 4. Kekuatan ilahi adalah kekuatan yang paling unggul dengan syarat masyarakat menjalankan tugas masing-masing.
َّ َس ِيئَةا َي ُك ْن لَهُ ِك ْف ٌل ِم ْن َها َو َكان َ علَى ُك ِل َ َصيبٌ ِم ْن َها َو َم ْن يَ ْشفَ ْع َ َم ْن يَ ْشفَ ْع ٍش ْيء َ ُاَّلل َ شفَا ِ سنَةا يَ ُك ْن لَهُ ن َ شفَا َ عةا َ عةا َح (85)ُم ِقيتاا Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (4: 85) Melanjutkan ayat sebelumnya yang memperkenalkan Rasul sebagai yang bertanggung jawab menyeru mukminin untuk berjihad, ayat ini menjelaskan sebuah kaidah umum. Menurut ayat ini, bukan hanya Nabi tapi setiap orang bertanggung jawab menyeru dan mengajak orang lain untuk buat kebajikan, dengan syarat dilakukan lewat cara yang baik. Kendatipun setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, tapi bukan berarti seorang muslim tidak peduli dengan orang lain, bahkan baik buruknya masyarakat. Sekali lagi, Islam buan agama yang hanya mengurusi masalah pribadi dan peribadatan murni, tapi juga memiliki aspek sosial. Amar Makruf dan Nahi Munkar salah satu dari tugas setiap muslim yang harus dilakukannya dalam lingkup kehidupannya termasuk pribadi, keluarga, tempat tinggal, tempat kerja dan di lingkungannya. Manusia tidak hanya menerima pahala dan hukuman perbuatannya sendiri, tapi juga mendapat pahala akibat perbuatan sosialnya. Bila seseorang menjadi penyebab orang
lain melakukan kebaikan, maka ia akan menerima sebagian dari pahala perbuatan itu. Sebaliknya, bila ia menjadi penyebab orang lain melakukan keburukan, maka ia juga akan mendapatkan sebagian dari hukuman itu.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Mendamaikan dua muslim, bekerjasama melakukan kebaikan di tengah masyarakat, membantu orang lain dan ikut perang melawan musuh merupakan inti kebaikan dan kewajiban setiap muslim. 2. Manusia tidak dapat melakukan setiap kebaikan karena keterbatasan tempat dan waktu. Tapi ia dapat memperoleh pahala dengan menjadi penyebab orang lain melakukan kebaikan.
َّ سنَ ِم ْن َها أ َ ْو ُردُّوهَا ِإ َّن (86)ش ْيءٍ َحسِيباا َ علَى ُك ِل َ َاَّللَ َكان َ َْو ِإذَا ُح ِييت ُ ْم ِبت َِحيَّ ٍة فَ َحيُّوا ِبأَح Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (4: 86) Ayat ini menyinggung soal sikap antara sesama umat Islam dan menyatakan dalam interaksi dengan orang lain fondasinya harus kasih sayang dan penghormatan. Dalam istilah al-Quran disebut mahabbah dan tahiyyah baik itu berbentuk ucapan atau perbuatan. Saling mengucapkan salam saat bertemu dengan orang lain serta memberikan hadiah dalam pertemuan keluarga dan sahabat merupakan hal yang dianjurkan oleh Islam. Ayat ini melihat salam dan hadiah sebagai perkara yang disepakati dan menghimbau kepada umat Islam untuk melakukannya setiap kali bertemu. Umat Islam memerintahkan umat Islam agar menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik, atau sama. Dengan ungkapan lain, berikanlah jawaban salam orang lain dengan lebih baik dan hangat serta balaslah hadiah mereka dengan hadiah yang lebih baik. Dalam sejarah disebutkan, salah seorang dari budak Imam Hasan
Mujtaba as menghadiahkan sekuntum bunga kepada beliau. Menjawab kebaikan budaknya, Imam Hasan as memerdekakannya dan menjelaskan alasan dari perbuatannya itu lewat ayat ini.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Segala bentuk kasih sayang dari orang lain kita balas dengan bentuk yang terbaik dan tidak lama. 2. Menolak kebaikan orang lain adalah perbuatan yang tidak benar. Hadiah harus diterima dan haruslah dibalas dengan lebih baik. 3. Mengabaikan salam dan penghormatan orang lain berdampak negatif yang akan dirasakan oleh manusia di dunia dan akhirat.
َّ َصدَ ُق ِمن َّ (87)اَّللِ َح ِديثاا ْ َ ْب فِي ِه َو َم ْن أ َ اَّللُ ًَل إِلَهَ إِ ًَّل ُه َو لَيَجْ َمْعَنَّ ُك ْم ِإلَى يَ ْو ِم ْال ِقيَا َم ِة ًَل َري Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah? (4: 87) Sebagai pelengkap ayat 86, Allah Swt menyatakan akan memperhitungkan semua amalan manusia dan tidak ada perbuatan baik atau buruk yang tersembunyi dari penglihatan-Nya. Lanjutan ayat 86 ini menyebutkan, Dia lah Tuhan yang Maha Esa yang awal penciptaan ada di tangan-Nya. Akhir dunia juga di tangan-Nya dan Dia mengumpulkan kalian setelah kalian mati dalam satu hari dan satu tempat serta setiap orang akan menyaksikan ganjaran dan balasan perbuatannya. Pertanyaan, lalu mengapa sebagian dari kalian meragukan kedatangan Hari Kiamat? Adakah kalian menemui yang lebih jujur dari Tuhan? Tuhan tidak perlu berbohong. Bohong biasanya bersumber dari rasa takut, memerlukan atau kebodohan. Sementara
Tuhan Maha Kaya dan Mengetahui. Apa gunanya Dia bebohong dan menjanjikan kedatangan Hari Kiamat bagi kalian?
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Mulai sekarang, marilah kita memikirkan soal Hari Kiamat dan berupaya di jalan keridhaan Tuhan dan janganlah kita sembah selain-Nya. 2. Dengan adanya berbagai argumentasi yang membenarkan kedatangan Hari Kiamat seperti janji Tuhan dan keadilan-Nya, maka tidak tersisa keraguan. Dia menciptakan manusia dari tiada bagaimana mungkin ia tidak mampu menciptakan untuk kedua kalinya?
َّ ض ِل ِل َّ ض َّل َّ فَ َما لَ ُك ْم فِي ْال ُمنَافِقِينَ فِئَتَي ِْن َو ُاَّللُ فَلَ ْن ت َ ِجدَ لَه ْ ُاَّللُ َو َم ْن ي َ َ سبُوا أَت ُ ِريدُونَ أ َ ْن ت َ ْهد ُوا َم ْن أ َ س ُه ْم ِب َما َك َ اَّللُ أ َ ْر َك سبِ ا (88)يَل َ Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (4: 88) Ayat ini sebagai lanjutan ayat-ayat sebelumnya, yang menjelaskan pikiran dan amalan munafikin, menyentuh soal cara sikap kaum Mukmin terhadap mereka. Ayat ini menyebutkan, mengapa sekelompok dari kalian cepat percaya dan kalian pikir bahwa kaum Munafikin adalah dari kalian dan bersama kalian? Mereka sama sekali tidak bersama dengan kalian dan sama sekali jiwa dan pikirannya tidak beriman. Iman yang mereka nyatakan itu tidak lebih dari sekadar lisan.
Tanda iman adalah ketaatan praktis atas perintah-perintah Tuhan serta Rasul-Nya bukannya cukup dengan menyatakan kebersamaan lisan. Sementara orang munafik dan
berwajah dua mengalami siksaan ilahi akibat perbuatan mereka dan tidak akan mendapatkan hidayah dan kebahagiaan. Mereka berpikir telah menipu umat Islam, padahal mereka menipu dirinya sendiri.
Ayat ini dengan jelas menunjukkan, setiap orang yang ingin menipu orang lain dengan cara menampakkan diri sebagai mukmin, padahal batinnya tidak beriman, tidak ada yang dapat memberi petunjuk mereka, bahkan Rasulullah Saw. Meskipun dalam ayat ini disebutkan dua kali tentang penyesatan Allah, tapi harus diketahui bahwa di awal ayat ini telah diperingatkan bahwa semua itu akibat perbuatan mereka sendiri. Allah Swt menyiapkan sarana yang sama bagi setiap orang, tapi sebagian orang menolak petunjuk tersebit dan memainkan hukum Allah.
Orang yang seperti ini jelas tidak akan mendapat petunjuk, yang diungkapkan dalam alQuran bahwa Allah menyesatkan mereka. Padahal kesesatan itu berasal dari mereka sendiri yang menolak hidayah yang diturunkan Allah. Dengan penjelasan seperti ini, menjadi sangat mudah kita pahami betapa Allah tidak pernah menginginkan manusia tersesat. Karena bila hal ini benar, maka tidak pernah ada orang non-muslim yang akan beriman kepada Allah. Adanya orang non-muslim yang kemudian beriman menunjukkan betapa Allah tidak menginginkan kesesatan manusia. Orang sesat dalam ayat ini dikarenakan hatinya penuh kemunafikan yang tidak ingin menerima hidayah barang sedikitpun.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Kebinasaan manusia bergantung pada perbuatannya sendiri. Allah tidak menyesatkan seseorang tanpa alasan. 2. Dalam menyikapi munafikin, janganlah kita cepat percaya dan jangan cepat merasa kasihan kepada mereka. Lebih penting lagi kita jangan mencari kasih sayang mereka.
اَّلل فَإ ِ ْن ت ََولَّ ْوا فَ ُخذُو ُه ْم ِ َّ سبِي ِل َ اج ُروا فِي َ ََودُّوا لَ ْو ت َ ْكفُ ُرونَ َك َما َكفَ ُروا فَت َ ُكونُون ِ س َوا اء فَ ََل تَت َّ ِخذُوا ِم ْن ُه ْم أ َ ْو ِليَا َء َحتَّى يُ َه ُ َوا ْقتُلُو ُه ْم َحي (89)يرا َص ا ِ ْث َو َج ْدت ُ ُمو ُه ْم َو ًَل تَت َّ ِخذُوا ِم ْن ُه ْم َو ِليًّا َو ًَل ن Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong. (4: 89)
Ayat-ayat sebelumnya telah membicarakan banyak hal mengenai adanya kelompok Muslimin yang berpikiran lugu dan malah membantu kaum Munafikin. Ayat ini menegaskan bahwa kaum Munafik berperangai sedemikian buruknya, sehingga mereka bukannya puas menjadi kafir, melainkan juga menginginkan kalian ikut bergabung dengan mereka. Orangorang semacam ini tidak layak bersahabat dengan kalian dan janganlah kalian anggap mereka itu sebagai teman, kecuali bila mereka meninggalkan cara-cara buruk dan benar-benar memilih Islam dengan tulus. Karena bila mereka masih tetap berperangai buruk, maka ketahuilah mereka itu masih kafir. Karena mereka masih menyalahgunakan nama Islam, maka dimanapun kalian menjumpai mereka, maka tawanlah dan bila perlu bunuh mereka. Menurut al-Quran, orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup di bawah naungan pemerintahan Islam, harus dilindungi dan dihormati. Tidak seorangpun berhak melanggar kehormatan mereka. Sebaliknya, orang munafik yang berupaya merugikan Islam dan merusak citra Islam harus dijatuhi hukuman yang paling berat.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Jangan kalian lalai akan bahaya orang-orang munafik dan jangan menerima persahabatan mereka. Karena mereka itu lebih buruk dari orang kafir.
2. Tanda iman yang sejati adalah siap berhijrah di jalan Allah. Orang yang tidak mau berhijrah di jalan agama artinya ia bukan seorang mukmin sejati. 3. Definisi taubat atau menyesali setiap dosa adalah dengan tidak mengulangi dan menyesali perbuatan dosa itu. Taubat tidak melakukan hijrah dengan melakukan hijrah di jalan Allah.
ٌ َ صلُونَ إِلَى قَ ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم ِميث ْ ص َر ُور ُه ْم أ َ ْن يُقَا ِتلُو ُك ْم أ َ ْو يُقَا ِتلُوا قَ ْو َم ُه ْم َولَ ْو ُ ت ُ صد ِ اق أ َ ْو َجا ُءو ُك ْم َح ِ َإِ ًَّل الَّذِينَ ي س ِب ا َ َّسل َّ سلَ َم فَ َما َجْعَ َل َّ شَا َء (90)يَل َّ علَ ْي ُك ْم فَلَقَاتَلُو ُك ْم فَإ ِ ِن ا ْعت َزَ لُو ُك ْم فَلَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم َوأ َ ْلقَ ْوا ِإلَ ْي ُك ُم ال َ اَّللُ لَ ُك ْم َ ط ُه ْم َ علَ ْي ِه ْم َ َاَّللُ ل
Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka. (4: 90) Ayat ini menyebut dua kelompok orang munafik yang dapat dikecualikan dalam menyikapi orang munafik. Pertama, orang munafik yang meminta perlindungan kepada orang-orang yang tidak menginginkan perang dan kedua, orang-orang munafik yang punya inisiatif untuk berdamai. Kelompok pertama dikecualikan, karena mereka mengikat perjanjian. Sementara kelompok kedua dikarenakan mereka menyatakan bersikap netral. Oleh karenanya, melanggar hak mereka adalah berseberangan dengan keadilan dan kesatriaan.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Perjanjian politik atau militer yang dilakukan harus dihormati, sekalipun itu dengan orang kafir.
2. Jihad dan perjuangan dalam Islam bukan untuk membalas dendam atau mendominasi. Oleh karenanya tidak seorangpun berhak melanggar hak orang lain.
سوا ِفي َها فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْْعت َِزلُو ُك ْم َوي ُْلقُوا ُ ست َِجد ُونَ آَخ َِرينَ ي ُِريد ُونَ أ َ ْن يَأ ْ َمنُو ُك ْم َويَأ ْ َمنُوا قَ ْو َم ُه ْم ُك َّل َما ُردُّوا إِلَى ْال ِفتْنَ ِة أ ُ ْر ِك َ ُ ْ ْ َ ُ ْ ُ َ سل ُ سلَ َم َويَ ُكفُّوا أ ْي ِديَ ُه ْم فَ ُخذو ُه ْم َواقتُلو ُه ْم َحي (91)طاناا ُم ِبيناا َّ ِإلَ ْي ُك ُم ال ُ علَ ْي ِه ْم َ ْث ث َ ِق ْفت ُ ُمو ُه ْم َوأولَئِ ُك ْم َجْعَلنَا لَ ُك ْم
Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. (4: 91) Sejumlah warga Mekah setiap kali mendatangi Rasulullah Saw selalu berpura-pura menunjukkan dirinya sebagai orang Islam. Namun, ketika mereka kembali ke Mekah, mereka menyembah berhala dan mengikuti orang-orang kafir agar terhindar dari gangguan orang-orang kafir. Dengan cara ini, mereka mendapat keuntungan dari dua kelompok dan selamat juga dari ancamannya. Kecenderungan hati mereka lebih kepada kaum Kafir dan bahkan mengikuti makar kaum Kafir terhadap kaum Muslimin.
Kemudian ayat ini diturunkan yang menyatakan bahwa kelompok ini harus ditindak tegas. Karena orang-orang ini merupakan pasukan musuh yang menyusup di front muslim dan ancaman mereka lebih besar dari orang-orang kafir yang jelas-jelas menyatakan perang. Kelompok ini bukanlah kelompok yang diperintahkan agar kaum Muslimin berdamai dengan mereka. Mereka ini licik dan suka berbuat makar dan tidak bersikap netral dalam perang. Bahkan mereka inilah yang mengobarkan api peperangan. Oleh karenanya, hukuman yang dijatuhkan atas mereka berbeda dengan hukuman terhadap orang lain. Setiap kali umat Islam
menemukan orang yang seperti ini, maka harus ditawan dan bila mereka melakukan perlawanan, maka harus dibunuh.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Umat Islam harus mengetahui berbagai model musuhnya dan menyikapi mereka sesuai dengan sikapnya. 2. Mereka yang bermaksud menggulingkan pemerintah Islam harus ditindak dengan tegas. 3. Tanda orang munafik adalah mereka hanya mencari kesejahteraan dan kesenangan hidup, sama sekali tidak ada upaya untuk menjaga keimanan dan akidah.
َ طأ ا َو َم ْن قَت َ َل ُمؤْ ِمناا َخ َ َو َما َكانَ ِل ُمؤْ ِم ٍن أ َ ْن يَ ْقت ُ َل ُمؤْ ِمناا ِإ ًَّل َخ سلَّ َمةٌ ِإلَى أ َ ْه ِل ِه ِإ ًَّل أ َ ْن ُ طأ ا فَتَحْ ِر َ ير َرقَبَ ٍة ُمؤْ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم ٌاق فَ ِديَة ٌ َ ير َرقَبَ ٍة ُمؤْ ِمنَ ٍة َو ِإ ْن َكانَ ِم ْن قَ ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم ِميث َّ َي ُ عد ٍُو لَ ُك ْم َو ُه َو ُمؤْ ِم ٌن فَتَحْ ِر َ صدَّقُوا فَإ ِ ْن َكانَ ِم ْن قَ ْو ٍم َّ َاَّللِ َو َكان َّ َش ْه َري ِْن ُمتَت َابِْعَي ِْن ت َْوبَةا ِمن ع ِلي اما َح ِكي اما َ صيَا ُم ُ سلَّ َمةٌ إِلَى أ َ ْه ِل ِه َوتَحْ ِر َ ُاَّلل ِ َير َرقَبَ ٍة ُمؤْ ِمنَ ٍة فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف َ ُم (92) Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 92)
Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa salah seorang muslim selama beberapa tahun di Mekah telah disiksa oleh sebagian orang kafir. Setelah ia berhijrah ke Madinah ia bertemu dengan orang yang menyiksa dirinya. Orang ini membunuhnya dengan keyakinan bahwa orang itu adalah kafir dan zalim tanpa mengetahui bahwa bekas penyiksanya itu telah menjadi seorang muslim. Berita mengenai peristiwa ini sampai pada Nabi Saw, dan turunlah ayat ini. Sebagaimana telah disebutkan dahulu bahwa hukuman orang-orang kafir dan zalim adalah penjara dan jika perlu hukaman mati. Tetapi sudah barang tentu bahwa hukuman ini dijatuhkan setelah dilakukannya penelitian dan penyelidikan di bawah pengawasan hakim di dalam masyarakat Islam. Bukannya setiap orang boleh melampiaskan selera dan keyakinannya serta melakukan pembunuhan dan pertumpahan darah. Dengan demikian, perbuatan orang muslim ini juga salah. Oleh karenanya, ia harus mendapatkan balasan dengan membayar diyah (denda) dengan sempurna. Hal ini menjadi hukumannya dengan syarat-syarat khusus sebagaimana yang dijelaskan di dalam ayat ini. Point yang menarik dan perlu diperhatikan adalah bahwa apabila keluarga orang yang terbunuh itu adalah musuh Islam, maka ganti rugi atau diyah tersebut tidak akan diberikan kepada mereka. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah agar keuangan pihak musuh tidak menjadi semakin kuat. Kecuali bila musuh tersebut telah mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dalam hal ini diyah tersebut dapat diberikan dan diterima oleh anggota keluarga korban. Pembayaran diyah dan ganti rugi kepada keluarga orang yang terbunuh memberikan pengaruh yang positif. Di antaranya sebagian dari kesulitan ekonomi yang timbul akibat pembunuhan tersebut dapat tertutupi. Selain itu, adanya diyah merupakan jalan untuk mencegah kesewenang-wenangan masyarakat. Sehingga setiap orang tidak bisa beralasan dengan mengatakan,” Pembunuhan yang saya lakukan adalah tidak sengaja.” Selain itu, masalah ini menunjukkan adanya penghormatan terhadap jiwa manusia dan keamanan masyarakat.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Membunuh manusia tidak sesuai dengan iman kepada Allah. Apabila seseorang melakukannya karena keliru, maka ia harus mendapat hukuman yang berat. 2. Islam tidak saja menentang perbudakan, bahkan memberikan banyak jalan untuk membebaskan mereka. Seperti bila seorang muslim melakukan kasus pembunuhan maka dendanya juga termasuk membebaskan budak. 3. Agama Islam bukan hanya berisi perintah ibadah saja. Tetapi Islam juga memiliki ajaran untuk mengatur masyarakat secara benar, menciptakan keadilan dan keamanan.
َّ ب (93) ع ِظي اما َ عذَاباا َ ُعدَّ لَه َ َ علَ ْي ِه َولَْعَنَهُ َوأ َ ُاَّلل َ َض ِ َو َم ْن يَ ْقت ُ ْل ُمؤْ ِمناا ُمتَْعَ ِمداا فَ َجزَ ا ُؤهُ َج َهنَّ ُم خَا ِلداا فِي َها َوغ
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (4: 93) Sebagaimana disebutkan dalam buku-buku sejarah, ketika sedang terjadi perang Uhud, salah seorang muslim membunuh muslim yang lain dengan alasan permusuhan pribadi. Nabi Muhammad Saw mengetahui hal tersebut melalui wahyu. Dalam perjalanan kembali dari Uhud, beliau memerintahkan agar pembunuh tersebut dijatuhi hukum qishas. Permohonan maaf pembunuh tersebut tidak diterima oleh Rasul Allah Saw. Sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan hukum membunuh sesama muslim dengan keliru, ayat ini menjelaskan hukuman membunuh sesama muslim yang dilakukan dengan sengaja. Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang membunuh
dengan sengaja ini mendapat murka Allah Swt, dan memperoleh balasan api neraka. Dalam hal ini, hukuman duniawi pembunuhan jenis ini, yaitu qishas, telah dijelaskan di dalam ayat lain.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Hukuman bagi pelaku kejahatan sengaja dibedakan dengan pelaku kejahatan tanpa disengaja. 2. Hukuman berat merupakan salah satu solusi mencegah kejahatan dan ketidakamanan dalam masyarakat.
َّ سبِي ِل ض َ س ََل َم لَس َّ اَّللِ فَتَبَيَّنُوا َو ًَل تَقُولُوا ِل َم ْن أ َ ْلقَى ِإلَ ْي ُك ُم ال َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا إِذَا َ َْت ُمؤْ ِمناا ت َ ْبتَغُون َ ض َر ْبت ُ ْم فِي َ ع َر َّ علَ ْي ُك ْم فَتَبَيَّنُوا ِإ َّن َّ يرة ٌ َكذَ ِل َك ُك ْنت ُ ْم ِم ْن قَ ْب ُل فَ َم َّن َّ َْال َح َياةِ الدُّ ْنيَا فَ ِْع ْند (94)يرا اَّللَ َكانَ ِب َما ت َ ْْع َملُونَ َخ ِب ا َ ُاَّلل َ ِاَّللِ َمغَانِ ُم َكث Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4: 94) Berdasarkan riwayat yang dinukil buku-buku sejarah, setelah perang Khaibar yang terjadi antara Muslimin dan Yahudi di sekitar Madinah, Rasul Allah Saw mengutus sekelompok Muslimin ke sebuah desa guna mengajak mereka kepada Islam atau menerima Pemerintahan Islam. Salah seorang Yahudi ketika mengetahui kedatangan tentara Islam tersebut segera menyelamatkan harta dan keluarganya dengan menyembunyikan mereka ke sebuah gunung. Setelah itu ia muncul menyambut kedatangan Muslimin seraya menyatakan kesaksiannya atas keesaan Allah dan kebenaran Risalah Muhammad Saw.
Salah seorang muslim yang meyakini bahwa orang Yahudi tersebut menunjukkan keislamannya karena takut, membunuh dan mengambil hartanya sebagai rampasan perang. Ayat ini turun dan mengecam perbuatan yang tidak benar tersebut, seraya menjelaskan bahwa tujuan Islam mengerahkan pasukan dan tentara, bukan untuk mengumpulkan harta duniawi. Tetapi tujuannya untuk menyeru kepada Islam dan menciptakan perdamaian serta keamanan di antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir.
Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik: 1. Perang dan jihad harus berdasarkan informasi-informasi dan pengetahuan yang mendetail mengenai tujuan dan kondisi musuh. Bukan berdasarkan perasaan atau keinginan mencari harta dunia dan rampasan perang. 2. Seseorang yang menampakkan keislaman harus diterima dengan tangan terbuka. Kecuali bila ada kepastian bahwa ia hanya berbohong. 3. Saat berkuasa, kita tidak boleh menyelewengkan kekuasaan, merampas harta atau membunuh para penentang tanpa alasan yang jelas. 4. Bahaya cinta dunia juga mengancam para tentara di medan tempur yang tengah menghadapi musuh. Oleh karenanya niat sangat penting. 5. Jangan berpikiran jelek, berpikiran sederhana, menjadi pendendam dan jangan pula cepat percaya. Hendaklah kita tetap menjaga sikap moderat, sekalipun menghadapi musuh.
َّ ض َل َ ًََل يَ ْست َ ِوي ْالقَا ِعد ُونَ ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِين َّ َاَّلل ِبأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم ف ُاَّلل ِ َّ س ِبي ِل َ غي ُْر أُو ِلي الض ََّر ِر َو ْال ُم َجا ِهد ُونَ ِفي َّ ض َل َّ َعد َعلَى ْالقَا ِعدِين َّ َاَّللُ ْال ُح ْسنَى َوف َ َاَّللُ ْال ُم َجا ِهدِين َ علَى ْالقَا ِعدِينَ دَ َر َجةا َو ُك ًَّل َو َ ْال ُم َجا ِهدِينَ بِأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم َّ َت ِم ْنهُ َو َم ْغ ِف َرة ا َو َرحْ َمةا َو َكان ٍ ) دَ َر َجا21( ع ِظي اما َ ُاَّلل (96)ورا َر ِحي اما غفُ ا َ أَجْ ارا Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka
dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (4: 95) (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 96) Sebagai lanjutan keterangan sebelumnya dimana Allah Swt menegaskan kepada kaum Mukminin agar tidak tergesa-gesa dalam menentukan perkara musuh, ayat ini menyeru mereka untuk pro aktif di medan jihad melawan musuh. Demi membangkitkan semangat kaum Mukminin yang takut atau cinta dunia, Allah mengingatkan kedudukan para mujahidin yang maju ke medan perang tidak dengan kaum Mukminin yang hanya berdoa dan shalat serta tinggal di rumah. Dalam ayat ini Allah berfirman, “Para mujahidin memiliki derajat yang lebih mulia.” Sedangkan di akhir ayat ini disebutkan, “Bukan saja derajat, tetapi pahala yang sangat besar juga menunggu mereka. Pahala dan balasan yang disertai dengan rahmat serta kecintaan ilahi.” Tentu saja Allah Swt tidak membebankan taklif atau kewajiban yang berat kepada manusia. Karena itu, siapa saja yang memiliki tubuh yang lemah dan sakit, maka ketidakhadiran mereka di medan perang dapat dimaklumi dan dimaafkan. Apabila mereka membantu para mujahidin, baik secara materil maupun moril, maka mereka juga akan memperoleh pahala. Sekalipun dalam ayat ini ditekankan sebanyak tiga kali tentang keutamaan para mujahidin dibanding orang-orang yang duduk dan tinggal di rumah, tetapi hal ini bukan berarti tidak mempedulikan pengabdian dan jerih payah orang lain. Karena itu, ayat ini menekankan, Allah Swt menjanjikan pahala dan balasan bagi seluruh kaum Mukminin. Keutamaan para mujahidin memang benar, tetapi hal itu sama sekali bukan berarti mengesampingkan orang lain.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Keadilan di dalam masyarakat Islam bukan berarti menyamakan kedudukan semua mukmin. Ikut dalam berjihad dengan sendiri menjadi keistimewaan yang harus
diperhatikan umat Islam. Tapi para mujahidin tidak boleh memiliki harapan yang tidak pada tempatnya. 2. Syarat memperoleh rahmat ilahi adalah pembersihan dan penyucian diri yang dimulai dengan permohonan ampun. 3 Sekalipun Allah Swt adalah Maha Pengampun dan Maha Pengasih, namun peluang untuk memperoleh ampunan dan rahmat-Nya berada di tangan manusia sendiri. َ ُإِ َّن الَّذِينَ ت ََوفَّا ُه ُم ْال َم ََلئِ َكة َّ ض ْ َ يم ُك ْنت ُ ْم قَالُوا ُكنَّا ُم ْست ُ ض قَالُوا أَلَ ْم ت َ ُك ْن أ َ ْر ِ ضْعَفِينَ ِفي ْاْل َ ْر ِاَّلل َ ِظا ِل ِمي أ َ ْنفُ ِس ِه ْم قَالُوا ف ْ سا َء (97)يرا ص ا ِ ت َم َ اج ُروا فِي َها فَأُولَئِ َك َمأ ْ َوا ُه ْم َج َهنَّ ُم َو ِ َوا ِسْعَةا فَت ُ َه Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (4: 97) Berdasarkan riwayat-riwayat yang tercatat dalam buku-buku sejarah, sebagian muslimin yang tinggal di Mekah, terkadang akibat kekhawatiran atas atas keselamatan jiwanya, mereka bersedia bekerjasama dengan orang-orang kafir. Sebagian dari mereka bahkan ikut di dalam kelompok orang-orang kafir ketika memerangi muslimin serta terbunuh di dalam peperangan tersebut. Ayat ini turun dan menyebut mereka ini sebagai orang yang telah melakukan dosa dan kesalahan. Cinta tanah air dan kampung halaman merupakan alasan yang tidak bisa diterima untuk menjalin kerjasama dengan musuh. Ayat ini menegaskan bahwa yang penting adalah penjagaan agama, sekalipun untuk itu seseorang harus melakukan hijrah dari satu tempat ke kekawasan lain. Hal yang patut dicermati berdasarkan ayat ini ada pada saat ajal datang menjemput. Karena manusia bertemu dengan malaikat Allah dan mereka berbicara dengan manusia tersebut, serta menegur dan mengungkapkan kesalahan manusia itu.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Bukan hanya Allah Swt tetapi para malaikat juga mengetahui amal perbuatan manusia. 2. Berhijrah dari lingkungan kafir dan dosa adalah wajib. Sebagaimana menjadi anggota pasukan kafir adalah haram. 3. Dasar dalam kehidupan adalah penyembahan Allah Swt bukan memuja tanah air. Seseorang harus mengubah lingkungannya atau berpindah dari tempat tersebut.
س ِب ا َّ سى اَّللُ أ َ ْن ْ َ ِإ ًَّل ْال ُم ْست ِ س َ ) فَأُولَئِ َك27( يَل َ ع َ َان ًَل يَ ْست َِطيْعُونَ ِحيلَةا َو ًَل يَ ْهتَد ُون َ ِالر َجا ِل َوالن ِ َض َْعفِينَ ِمن ِ َاء َو ْال ِو ْلد َّ َع ْن ُه ْم َو َكان (99)ورا عفُ ًّوا َغفُ ا َ ُاَّلل َ يَ ْْعفُ َو Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). (4: 98) Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (4: 99) Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, dimana berhijrah untuk menjaga agama dinyatakan sebagai suatu kewajiban, ayat ini mengecualikan orang-orang mukmin yang tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah. Artinya, mereka yang lemah untuk berhijrah tidak dituntut untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya. Pada dasarnya di dalam Islam kemampuan merupakan syarat taklif (kewajiban). Orang yang tidak memiliki kemampuan berpikir atau jasmani, maka ia tidak akan masuk dalam lingkar kewajiban ilahi. Sebagaimana di dalam ayat ini, orang laki-laki dan perempuan yang lemah disejajarkan dalam hal ini dengan anak-anak dan dianggap sebagai mustadhaf (lemah).
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hijrah yang dibicarakan oleh ayat ini tidak hanya wajib atas laki-laki dewasa, tetapi juga atas seluruh anggota keluarga, baik wanita maupun anak-anak, kecuali jika mereka tidak memiliki kemampuan. 2. Allah hanya akan menerima alasan yang sebenarnya dan bukan yang dibuat-buat.
َّ اج ارا ِإلَى َّ س ِبي ِل َ ض ُم َرا سو ِل ِه ث ُ َّم ُ اَّللِ َو َر غ اما َكثِ ا ِ اَّللِ يَ ِج ْد فِي ْاْل َ ْر َ يرا َو َ اج ْر ِفي ِ سْعَةا َو َم ْن يَ ْخ ُرجْ ِم ْن بَ ْيتِ ِه ُم َه ِ َو َم ْن يُ َه َّ َاَّللِ َو َكان َّ علَى َ ُاَّلل (100)ورا َر ِحي اما غفُ ا َ ُيُد ِْر ْكهُ ْال َم ْوتُ فَقَ ْد َوقَ َع أَجْ ُره Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 100) Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa orang-orang mukmin tidak terikat dengan kota dan negerinya. Karena yang utama bagi mereka adalah menyembah Allah Swt dan bukan menghambakan diri kepada negerinya. Oleh sebab itu, apabila mereka tidak bisa menjaga agama dan ibadahnya di negerinya sendiri, maka mereka harus berhijrah. Ayat ini mengatakan, bahwa jangan menyangka bahwa bumi ini hanya berakhir di kota dan negeri kalian saja. Bumi Allah sungguh sangat luas. Barangsiapa keluar dari rumahnya dan berhijrah karena Allah, maka Allah akan membukakan kepadanya pintu keberhasilan. Ia akan memperoleh kelapangan hidup yang lebih banyak di dunia ini. Disamping itu, bila maut menjemputnya dalam perjalanan hijrah tersebut, maka pahalanya telah tersedia di sisi Allah. Meskipun dalam ayat ini, hijrah yang disebutkan adalah hijrah dalam rangka menjaga agama, namun seluruh hijrah yang bermotivasi ilahi tercakup di dalamnya. Sebagaimana berhijrah untuk menuntut ilmu atau berdakwah. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Kita dituntut untuk melaksanakan tugas dan kewajiban kita, bukan memikirkan hasil. Dengan kata lain, kita harus berhijrah terlebih dahulu demi menyelamatkan diri dan agama, ketimbang diam yang membahayakan diri dan agama.
2. Dengan berpangku tangan dirumah, seseorang tidak akan mencapai apa pun. Ia berusaha dan berjuang menggapai cita-cita dan itu berarti ia telah bergerak dan berhijrah. 3. Bila sudah pasti, maka lakukan langkah yang telah dipilih. Bila meninggal atau dibunuh di tengah jalan, pahalanya adalah syahid di jalan Allah. َص ََلةِ ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ْن يَ ْف ِتنَ ُك ُم الَّذِينَ َكفَ ُروا إِ َّن ْال َكافِ ِرين َّ ص ُروا ِمنَ ال ُ علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أ َ ْن ت َ ْق ِ ض َر ْبت ُ ْم ِفي ْاْل َ ْر َ َوإِذَا َ ْس َ ض فَلَي (101)عد ًُّوا ُم ِبيناا َ َكانُوا لَ ُك ْم Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orangorang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (4: 101) Ayat ini menjelaskan hukum shalat bagi orang yang bepergian. Kaum Muslimin di awal munculnya Islam begitu memperhatikan shalat, sehingga mereka melakukannya dengan sempurna, terutama jumlah rakaatnya, seperti yang diperintahkan Allah Swt. Dalam ayat ini, Allah Swt menurunkan ayat ini dengan hukum baru. Disebutkan bahwa bila dalam keadaan jihad dan berada dalam perjalanan hijrah, dimana bahaya musuh mengancam, maka mereka diperintahkan untuk memperpendek rakaat shalat agar tidak memberi peluang musuh menyerang mereka. Sejak saat itu hingga kini, hukum yang terkandung dalam ayat ini diberlakukan secara umum. Yaitu, mencakup segala bentuk perjalanan. Dengan demikian, maka setiap musafir yang berada dalam perjalanan, harus memperpendek rakaat shalatnya, bila telah memenuhi syarat seorang musafir seperti yang dijelaskan dalam buku-buku fiqih. Shalat yang pada mulanya empat rakaat menjadi dua rakaaat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Sekalipun tengah melakukan shalat, seorang muslim tidak boleh lengah menghadapi musuh. Sebuah lembaga, bahkan negara termasuk dalam hukum ini. Bila negara Islam
dalam bahaya, maka untuk mempertahankannya, maka seorang muslim harus memperpendek shalatnya. 2. Kewajiban shalat atas manusia tidak pernah gugur dalam keadaan apapun. Bahaya yang mengancam tidak menggugurkan shalat, tapi shalat diringkas atau qashar.
َ ص ََلة َ فَ ْلتَقُ ْم س َجد ُوا فَ ْليَ ُكونُوا ِم ْن َو َرائِ ُك ْم َ ت فِي ِه ْم فَأَقَ ْم َ َو ِإذَا ُك ْن َّ ت لَ ُه ُم ال َ طائِفَةٌ ِم ْن ُه ْم َمْعَ َك َو ْليَأ ْ ُخذُوا أ َ ْس ِل َحت َ ُه ْم فَإِذَا َ ت ع ْن أ َ ْس ِل َحتِ ُك ْم ِ ْ َو ْلت َأ َ َصلُّوا َمْعَ َك َو ْليَأ ْ ُخذُوا ِح ْذ َر ُه ْم َوأ َ ْس ِل َحت َ ُه ْم َودَّ الَّذِينَ َكفَ ُروا لَ ْو ت َ ْغفُلُون َ ُصلُّوا فَ ْلي َ ُطا ِئفَةٌ أ ُ ْخ َرى لَ ْم ي َ علَ ْي ُك ْم ِإ ْن َكانَ بِ ُك ْم أَذاى ِم ْن َم ضْعُوا ِ علَ ْي ُك ْم َم ْيلَةا َو َ َ ضى أ َ ْن ت َ ط ٍر أ َ ْو ُك ْنت ُ ْم َم ْر َ احدَة ا َو ًَل ُجنَا َح َ ََوأ َ ْمتِْعَتِ ُك ْم فَيَ ِميلُون َّ ص ََلة َ فَا ْذ ُك ُروا َّ أ َ ْس ِل َحت َ ُك ْم َو ُخذُوا ِح ْذ َر ُك ْم ِإ َّن اَّللَ ِقيَا اما َوقُْعُوداا َّ ض ْيت ُ ُم ال َ َ) فَإِذَا ق122( عذَاباا ُم ِهيناا َ َعدَّ ِل ْل َكا ِف ِرين َ َ اَّللَ أ ْ علَى ُجنُو ِب ُك ْم فَإِذَا ْ ص ََلة َ َكان (103)علَى ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِكت َاباا َم ْوقُوتاا َّ ص ََلة َ ِإ َّن ال َّ اط َمأْنَ ْنت ُ ْم فَأَقِي ُموا ال َ َت َ َو Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. (4: 102) Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (4: 103) Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang kewajiban memperpendek shalat ketika berada dalam keadaan berjihad, ayat ini menjelaskan bagaimana melakukan shalat berjamaah dalam situasi perang. Shalat berjamaah dalam kondisi perang ini disebut dengan shalat “Khouf” yang berarti takut. Tata cara
pelaksanaannya dilakukan dengan membuat dua kelompok. Satu kelompok bersama Imam jamaah berdiri melakukan shalat dengan senjata tetap bersama mereka. Setelah mereka melakukan sujud kedua dalam rakaat pertama, maka rakaat kedua dilakukan secara munfarid. Shalat mereka dilakukan dua rakaat, tidak lebih dan segera disempurnakan. Setelah kelompok pertama ini selesai dengan dua rakaat mereka, maka kelompok kedua datang menjadi makmum untuk melakukan shalat dua rakaat bersama Imam, sebagai mana kelompok pertama. Sementara itu kelompok pertama yang sudah selesai, menggantikan kelompok kedua berjaga-berjaja dengan senjata siap di tangan. Dengan cara ini, mereka tetap melaksanakan shalat, tanpa memberi kesempatan kepada musuh untuk menyerang. Di sini, shalat tetap dilaksanakan dengan berjamaah selama hal itu memungkinkan.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Sedemikian pentingnya nilai shalat berjamaah, sampai-sampai di medan perang-pun tetap dilaksanakan. 2. Dalam keadaan apa pun senantiasa harus waspada, sampai dalam shalat pun kaum Muslimin tidak boleh lengah dari bahaya musuh. 3. Penentuan waktu khusus untuk shalat sudah ditetapkan di dalam syariat. Umat Islam diminta untuk menjaga dan berpegang teguh dengannya.
َّ َاَّللِ َما ًَل َي ْر ُجونَ َو َكان َّ ََاء ْالقَ ْو ِم ِإ ْن ت َ ُكونُوا ت َأْلَ ُمونَ فَإِنَّ ُه ْم يَأْلَ ُمونَ َك َما ت َأْلَ ُمونَ َوت َْر ُجونَ ِمن ِ َو ًَل ت َ ِهنُوا ِفي ا ْب ِتغ ُاَّلل ع ِلي اما َح ِكي اما َ (121)
Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 104)
Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, setelah kekalahan kaum Muslimin dalam peperangan Uhud, orang-orang kafir Mekah memutuskan untuk menyerang kota Madinah, untuk membunuh kaum Muslimin yang tersisa, sekaligus membasmi agama Islam. Tetapi dengan turunnya ayat ini Nabi Muhammad Saw langsung memerintahkan mobilisasi kaum Muslimin, bahkan mereka yang terluka di dalam perang sebelumnya juga ikut siap siaga untuk membela dan mempertahankan Islam. Kekompakan dan kesiapan umum ini telah menyebabkan pasukan kafir Mekah berubah pikiran dan mengurungkan rencana penyerangan tersebut.
Point penting yang disinggung oleh ayat ini, dalam setiap pertempuran kedua belah pihak pasti akan mengalami luka atau tertawan dan pada puncaknya terbunuh. Tetapi yang penting adalah tujuan yang akan dicapai. Pasukan Islam memiliki harapan kepada pertolongan Allah Swt dan turunnya pertolongan ilahi kepada mereka. Sedangkan pasukan kuffar tidak memiliki tempat pelarian dan perlindungan. Orang-orang mukmin yang luka dan tewas di dalam pertempuran akan mendapatkan pahala yang besar yaitu surga. Tetapi orang-orang kafir yang tewas yang tidak memiliki keyakinan
akan Hari Kiamat, mereka tidak akan memperoleh apa pun kecuali siksa yang lebih pedih di akhirat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagian kekalahan menghadapi musuh tidak boleh berdampak pada kelemahan mental dalam menghadapi mereka. Kaum muslimin memiliki mental yang kokoh dengan bertawakal kepada Allah Swt.
2. Harapan kepada rahmat Allah Swt merupakan modal yang paling besar bagi tentara Islam. Oleh karenanya, baik gugur sebagai syahid atau menang, semua menjanjikan kebahagiaan bagi mereka.
3. Berbagai kesulitan yang kita tanggung dalam melaksanakan tugas agama, tidak akan dilupakan begitu saja. Allah Swt mengetahui semua itu dan akan memberikan pahala sesuai dengan hikmah-Nya.
َّ اَّللَ ِإ َّن َّ ) َوا ْست َ ْغ ِف ِر121( َصي اما َّ اك َ اس ِب َما أ َ َر ِ َّق ِلتَحْ ُك َم بَيْنَ الن ِ اَّللُ َو ًَل ت َ ُك ْن ِل ْلخَا ِئنِينَ خ َ ِإنَّا أ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَي َْك ْال ِكت َاَّلل ِ َاب ِب ْال َح َ َ( َكان122) ورا َر ِحي اما غفُ ا
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (4: 105)
Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 106)
Berdasarkan beberapa riwayat, seorang muslim telah mencuri sebuah baju besi. Ketika perbuatannya itu hampir ketahuan, ia menjatuhkan barang curian tersebut ke rumah seorang Yahudi. Kemudian ia meminta kepada teman-temannya agar menjadi saksi bahwa orang Yahudi itulah yang mencuri. Rasulullah Saw membebaskan muslim itu berdasarkan kesaksian mereka dan menuduh orang Yahudi itu yang mencuri. Saat itu ayat ini turun memberitahukan kepada Nabi Saw duduk perkara yang sebenarnya.
Dalam perkara pengadilan seorang hakim dituntut untuk memperoleh bukti-bukti yang kuat dari kedua belah pihak dan harus mencari jalan untuk mencegah penyalahgunaan undang-undang oleh para penjahat. Dalam peristiwa ini jalan penyelesaian diperoleh melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Saw dan bantuan ilahi yang sekaligus merupakan bukti kebenaran kenabian Muhammad Saw. Hal ini juga menunjukkan hubungan beliau dengan Allah Swt, sekaligus mencegah pemberian hukuman kepada orang yang tidak bersalah, sekalipun ia hanya seorang Yahudi.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran diturunkan berdasarkan hak dan sebagai dasar bagi seluruh hakikat bagi manusia. Oleh sebab itu, seharusnya al-Quran dijadikan sebagai dasar dalam proses pengadilan dan hakim harus menjadikan al-Quran sebagai dasar pijakannya dalam mengadili siapapun.
2. Tuduhan orang lain tidak bisa dijadikan sebagai bukti kesalahan seorang tertuduh. Asas praduga tak bersalah juga sangat sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan jika seorang kafir sekalipun mendapat tuduhan dari seorang muslim, maka ia harus dibela, apalagi bila ternyata memang ia tidak bersalah.
َّ س ُه ْم إِ َّن َاس َو ًَل يَ ْست َْخفُون ِ َّ) يَ ْست َْخفُونَ ِمنَ الن127( اَّللَ ًَل ي ُِحبُّ َم ْن َكانَ خ ََّواناا أَثِي اما َ َو ًَل ت ُ َجاد ِْل َ ُع ِن الَّذِينَ يَ ْخت َانُونَ أ َ ْنف اَّللُ ِب َما يَ ْْع َملُونَ ُم ِحي ا َّ َضى ِمنَ ْالقَ ْو ِل َو َكان َّ َِمن ) هَا أ َ ْنت ُ ْم َهؤ ًَُل ِء َجادَ ْلت ُ ْم127( طا َ اَّللِ َو ُه َو َمْعَ ُه ْم ِإ ْذ يُبَ ِيتُونَ َما ًَل يَ ْر علَ ْي ِه ْم َو ِك ا ُ ع ْن ُه ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة أ َ ْم َم ْن يَ ُك َّ ع ْن ُه ْم فِي ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا فَ َم ْن يُ َجا ِد ُل يَل َ ون َ َاَّلل َ (122) Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa. (4: 107)
Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)? (4: 109) Allah Swt dalam tiga ayat ini memberikan peringatan kepada dua kelompok. Pertama kepada kepada hakim. Ayat ini mengatakan, dalam melaksanakan pengadilan hendaknya jangan membela pengkhianat dan tidak melanggar rambu-rambu kebenaran. Jangan menyangka bahwa tidak ada orang yang mengawasi perbuatan kita. Karena Allah Sw) Maha Mengetahui semua pekerjaan Anda. Kedua kepada orang membela pengkhianat dan jahat. Allah Swt berfirman, “Sekalipaun usaha kalian berhasil di dunia, tapi itu tidak akan berguna di akhirat kelak.” Point yang menarik dalam hal ini, dalam ayat 107, Allah berfirman, “Orang yang berkhianat sebelum mengkhianati orang lain, ia telah berkhianat dan menzalimi dirinya sendiri. Karena, mula-mula ia kehilangan kebersihan fitrah ilahi dan terjauh dari ketulusan serta semangat keadilan. Dengan perbuatannya itu ia telah membuka peluang bagi orang lain untuk menzalimi dan berkhianat juga kepadanya. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Dalam budaya al-Quran, anggota masyarakat diserupakan dengan bagian anggota tubuh. Bila anggotanya berkhianat, berarti telah mengkhianati dirinya sendiri. 2. Keyakinan bahwa Allah Swt mengetahui seluruh pikiran, ucapan dan perbuatan kita sebagai unsur takwa paling penting.
3. Seandainya hakim membebaskan pengkhianat di dunia, tapi di Hari Kiamat Allah Swt akan memberikan balasan yang setimpal. Orang yang dizalimi di dunia tidak boleh berputus asa. Karena di akhirat Allah akan menjadi pembelanya.
ْ سو اءا أ َ ْو َي َّ اَّللَ يَ ِج ِد َّ سهُ ث ُ َّم يَ ْست َ ْغ ِف ِر َ َاَّلل (110)ورا َر ِحي اما ُ َو َم ْن يَ ْْع َم ْل غفُ ا َ ظ ِل ْم نَ ْف Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 110)
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Allah Swt telah memperingatkan kepada orangorang mukmin dari segala bentuk pengkhianatan, penyembunyian kebenaran dan dukungan kepada para pengkhianat. Allah juga mengingatkan mereka akan balasan siksa yang sangat pedih di Hari Kiamat. Ayat ini memberitakan tentang terbukanya pintu taubat dan mengatakan, “Barangsiapa berbuat jahat kepada orang lain atau melakukan perbuatan dosa dan menzalimi diri sendiri, lalu ia meminta ampun kepada Allah Swt, maka Allah akan mengampuninya dan mencurahkan rahmat-Nya kepada hamba tersebut.
Dalam hal ini tidak ada bedanya antara dosa kecil ataupun dosa besar. Karena di sisi Allah Swt yang penting adalah taubat dan permintaan ampun dari dosa yang dapat menarik ampunan Allah dan mengembalikan rahmat-Nya. Yang pasti, jelas bahwa bila suatu dosa menyebabkan kerugian harta atau nyawa orang lain, maka kerugian tersebut harus ditebus dan yang demikian itu merupakan syarat diterimanya taubat tersebut. Tanpa penebusan itu taubat tidak akan diterima.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Dosa pada hakikatnya adalah kezaliman pada diri sendiri. Sementara manusia tidak berhak menganiaya bahkan dirinya sendiri. 2. Allah Swt tidak hanya mengampuni perbuatan jahat, tetapi menyukai orang yang berbuat taubat. Allah mengasihi orang-orang yang bertaubat.
َّ َعلَى نَ ْف ِس ِه َو َكان َطيئَةا أ َ ْو إِثْ اما ث ُ َّم يَ ْر ِم بِ ِه بَ ِريئاا ِ ) َو َم ْن يَ ْكسِبْ خ111( ع ِلي اما َح ِكي اما َ ُاَّلل َ َُو َم ْن يَ ْكسِبْ إِثْ اما فَإِنَّ َما يَ ْك ِسبُه (112)فَقَ ِد احْ ت َ َم َل بُ ْهت َاناا َو ِإثْ اما ُم ِبيناا Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 111) Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. (4: 112) Dua ayat ini, selain menekankan dampak negatif dosa juga mengingatkan bahwa pelaku dosa sebelum menimpakan kerugian kepada orang lain dan masyarakat, sesungguhnya ia telah menimpakan kerugian pada dirinya sendiri. Karena dengan berbuat dosa itu maka fitrah suci dan ilahinya akan tercemari. Ia akan kehilangan kebersihan hati serta kesucian jiwanya dan ini adalah kerugian yang terbesar. Selain itu, berdasarkan sunnah ilahi yang berlaku di dalam tatanan sosial, segala bentuk kezaliman dan kejahatan terhadap masyarakat, lambat atau cepat dampaknya akan kembali kepada pelakunya. Pelaku kejahatan itu akan mengalami kesulitan di dunia karena perbuatan jahatnya itu. Poin yang lebih penting dalam ayat ini, menuduh orang lain oleh al-Quran disebut sebagai serangan dan aksi kejahatan terhadap orang lain yang merusak nama baik orang itu.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Dosa bukan sesuatu yang sudah dilakukan dan lalu selesai. Dosa berdampak pada mental dan jiwa pelaku dosa. 2. Orang yang menuduh orang lain memikul dosa berat di pundaknya. Karena ia telah menjatuhkan kehormatan orang lain di depan khalayak ramai.
َ ت ْ علَي َْك َو َرحْ َمتُهُ لَ َه َّم َّ ض ُل َ ض ُّرون ََك ِم ْن ْ ََولَ ْو ًَل ف ٍش ْيء َ ُُّضل ُ َس ُه ْم َو َما ي ِ وك َو َما ي ِ طا ِئفَةٌ ِم ْن ُه ْم أ َ ْن ي َ ِاَّلل َ ُُضلُّونَ ِإ ًَّل أ َ ْنف َّ ض ُل َّ َوأ َ ْنزَ َل (113)ع ِظي اما ْ َعلَّ َم َك َما لَ ْم ت َ ُك ْن ت َ ْْعلَ ُم َو َكانَ ف َ علَي َْك َ ِاَّلل َ َاب َو ْال ِح ْك َمةَ َو َ علَي َْك ْال ِكت َ ُاَّلل Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. (4: 113)
Dalam riwayat-riwayat yang dinukil oleh buku sejarah disebutkan ada sekelompok orang musyrik yang mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, “Kami siap berbait dan memeluk agama anda dengan dua syarat ! Pertama, patung-patung yang ada di tangan kami tidak perlu kami pecahkan. Kedua, untuk setahun kedepan, izinkan kami untuk tetap menyembah Uzza”.
Sebagai jawaban atas permintaan mereka dengan dua syarat itu, ayat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw, “Mereka tidak berniat mendapat petunjuk, tapi berniat menyesatkanmu. Sedangkan Allah Swt mengajarkan kepadamu al-Kitab dan Hikmah. Dengan rahmat-Nya Dia menjagamu dari segala bentuk penyelewengan”.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Allah Swt senantiasa menjaga Nabi Muhammad Saw dari segala bentuk kesalahan dan penyelewengan. Inilah yang dimaksud dengan maksum atau keterjagaan yang dianugerahkan Allah khusus kepada para nabi. 2. Allah Swt memberikan pelajaran kepada Nabi Saw. Sudah barang tentu pelajaran ini tidak akan pernah salah sedikitpun.
ضا ِة ْ صدَقَ ٍة أ َ ْو َم ْْع ُروفٍ أ َ ْو ِإ ِ َّح بَيْنَ الن َ اس َو َم ْن يَ ْفْعَ ْل ذَ ِل َك ا ْبتِغَا َء َم ْر ٍ ًَِل َخي َْر فِي َكث َ ير ِم ْن نَجْ َوا ُه ْم ِإ ًَّل َم ْن أ َ َم َر ِب ٍ ص ََل َّ (114)ف نُؤْ ِتي ِه أَجْ ارا َع ِظي اما َ َاَّللِ ف َ س ْو Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (4: 114) Selain menyinggung satu kasus akhlak yang tidak baik, yaitu berbicara dengan berbisikbisik dan sembunyi-sembunyi, ayat ini berkata, berbicara dengan bisik-bisik bukan perbuatan terpuji, kecuali yang menuntut harus disembunyikan seperti pembicaraan rahasia. Dalam ayat ini dibolehkan melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi seperti berinfak kepada orang miskin. Bahkan dalam ayat-ayat lain ditekankan kepada pelaku infak agar melakukannya secara rahasia dan tidak diketahui oleh orang lain. Begitu juga dengan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar. Karena seseorang yang melakukan kewajiban ini secara sembunyi-sembunyi, hasil dan dampaknya lebih besar. Tapi yang lebih penting lagi, cara ini dapat menciptakan ketenangan dan kedamaian di tengah masyarakat serta keluarga dan juga dapat melindungi kehormatan orang lain.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di dalam pergaulan sosial, memlihara nama baik orang lain merupakan pokok yang harus diperhatikan dengan baik. 2. Nilai mulia suatu pekerjaan kembali pada keikhlasan pelakunya. Merahasiakan perbuatan baik akan semakin mendekatkannya kepada keikhlasan.
ْ سا َء ت ْ ُس ِبي ِل ْال ُمؤْ ِمنِينَ نُ َو ِل ِه َما ت َ َولَّى َون ُ الر َّ ق َ ص ِل ِه َج َهنَّ َم َو َ سو َل ِم ْن بَ ْْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْال ُهدَى َويَت َّ ِب ْع َغي َْر ِ َو َم ْن يُشَا ِق (115)يرا ص ا ِ َم Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (4: 115) Salah satu dari bahaya yang mengancam seorang mukmin adalah keluar dari agama dan melakukan penentangan secara sadar kepada pemimpin ilahi dan petunjuk mereka yang hak. Meskipun pada zaman kita sudah tidak ada lagi nabi, sehingga seseorang tidak dapat lagi menentang pribadi beliau langsung, tetapi penentangan terhadap jamaah muslimin akan menyebabkan perpecahan dan perselisihan di kalangan mereka. Perbuatan ini termasuk yang dilarang dalam ayat ini dan dikategorikan sebagai sikap permusuhan terhadap Rasulullah Saw. Jika seseorang melakukan permusuhan terhadap muslimin, maka dapat dipastikan ia akan menerima pemerintahan zalim di dunia dan di akhirat akan mendapat siksa yang amat pedih.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Adanya anggota masyarakat Islam yang melawan dan tidak menaati lagi pemimpinnya yang hak akan dihukumi sebagai penentangan terhadap Nabi Saw. 2. Allah Swt tidak akan menyiksa seseorang tanpa menyempurnakan hujjah. Mula-mula Allah menyediakan segala petunjuk-Nya. Ketika seseorang menyimpang dari petunjuk tersebut barulah akan menurunkan azab.
َّ اَّللَ ًَل يَ ْغ ِف ُر أ َ ْن يُ ْش َر َك ِب ِه َويَ ْغ ِف ُر َما دُونَ ذَ ِل َك ِل َم ْن يَشَا ُء َو َم ْن يُ ْش ِر ْك ِب َّ ِإ َّن ) إِ ْن112( ض ََل اًل بَ ِْعيداا َ ض َّل َ اَّللِ فَقَ ْد َ ش ْي (117)طاناا َم ِريداا َ يَ ْدعُونَ ِم ْن د ُونِ ِه إِ ًَّل إِنَاثاا َو ِإ ْن يَ ْدعُونَ إِ ًَّل Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (4: 116) Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka. (4: 117) Ketika Islam muncul di Mekah, warga Mekah masih menyembah patung yang memiliki nama perempuan seperti Lata, Manat dan Uzza. Mereka juga berkeyakinan bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Tuhan dan segala macam urusan kehidupan berada di tangan mereka. Karena itulah mereka menyembah malaikat-malaikat itu. Ayatayat ini dengan tegas menolak segala bentuk keyakinan khurafat seperti ini dan mengatakan, “Mereka sebenarnya mengikuti pemikiran setan yang batil. Keyakinan syirik semacam ini hanya akan menggiring manusia kepada kesesatan dan penyelewengan. Jelas, bahwa setiap orang musyrik tidak mau meninggalkan kemusyrikannya dan tidak menyembah Allah yang Maha Esa, maka Allah Swt tidak akan mengampuninya. Di satu sisi, seorang mukmin yang memiliki pemikiran dan keyakinan yang benar bila suatu waktu tergelincir dan jatuh dalam perbuatan dosa, maka masih ada kesempatan baginya untuk memperoleh kelembutan & rahmat Allah Swt. Pengampunan Allah berdasarkan kesalehan dan kelayakan seseorang yang ditimbang oleh hikmah dan maslahat ilahi.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Dosa terbesar adalah syirik atau menyekutukan Allah. Perbuatan ini akan menutup pintu rahmat ilahi.
2. Setiap jalan penyelewengan akan berakhir pada sebuah jalan setan. Orang yang menjauhkan diri dari kebenaran tidak memiliki pelindung kecuali setan. 3. Penyembahan kepada selain Allah hakikatnya adalah penyembahaan kepada setan.
َّ ُلَْعَنَه ضلَّنَّ ُه ْم َو َْل ُ َمنِيَنَّ ُه ْم َو َْلَ ُم َرنَّ ُه ْم فَلَيُبَتِ ُك َّن آَذَانَ ْاْل َ ْنْعَ ِام َ اَّللُ َوقَا َل َْلَت َّ ِخذَ َّن ِم ْن ِعبَاد َصيباا َم ْف ُرو ا ِ ُ ) َو َْل117( ضا ِ ِك ن َ ش ْي َّ اَّللِ َو َم ْن يَت َّ ِخ ِذ ال َّ ُون َّ ََو َْلَ ُم َرنَّ ُه ْم فَلَيُغَيِ ُر َّن خ َْلق (119)اَّللِ فَقَ ْد َخس َِر ُخس َْراناا ُمبِيناا ِ طانَ َو ِليًّا ِم ْن د Yang dilaknati Allah dan syaitan itu mengatakan: "Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya) (4: 118) Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan anganangan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (4: 119) Orang-orang musyrik tidak hanya menyembah patung dan berhala lalu menyebutnya sebagai perantara antara dirinya dan Tuhan. Tidak hanya menganggap mereka sebagai pembantu Allah di bumi, tapi mereka juga mengorbankan sebagian hasil peternakan dan pertanian merela sebagai nadzar untuk patung-patung itu. Mereka membagi-bagi binatang sembelihan mereka dan menentukan bagian tertentu untuk patung-patung sesembahan mereka dengan memberinya tanda. Dengan memberi tanda diketahui bahwa bagian itu khusus untuk berhala-berhala. Mereka juga melarang siapapun untuk memanfaatkan daging tersebut. Dalam ayat tersebut, Allah Swt menyebut keyakinan dan perbuatan semacam itu sebagai ajaran setan dan berfirman, “Setan telah bersumpah akan menyesatkan hamba-hamba Alah dan membuka peluang bagi kesesatan mereka. Oleh sebab itu, mereka dan para penngikut mereka terjauh dari rahmat Allah Swt.
Di antara ajaran-ajaran setan untuk menyimpangkan manusia, yang disinggung dalam ayat ini, mengaharapkan sesuatu yang tidak pada tempatnya serta mengubah ciptaan Allah Swt. Jelas bahwa khurafat dan berharap keselamatan dari berhala akan menciptakan harapan-harapan kosong yang membawa manusia kepada kesesatan. Begitu juga tentang mengubah ciptaan Allah Swt dan undang-undang ilahi termasuk di antara jalan setan yang menjauhkan manusia dari fitrah sucinya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Setan adalah musuh bebuyutan manusia. Oleh karenanya, manusia harus selalu sadar agar tidak terperosok ke dalam jurang yang diciptakannya. 2. Mengharamkan hal-hal yang halal termasuk di antara ajaran sesat setan. Demikian pula menghalalkan yang haram. 3. Setan akan menyesatkan siapa saja dengan cara tertentu. Ada dengan cara memberikan harapan kosong dan ada juga yang lewat upaya mengubah ciptaan Allah dan begitulah seterusnya.
َ ش ْي َّ يَ ِْعد ُ ُه ْم َويُ َمنِي ِه ْم َو َما يَ ِْعد ُ ُه ُم ال ُ ان ِإ ًَّل ُ ط (121)صا ع ْن َها َم ِحي ا غ ُر ا َ َ) أُولَئِ َك َمأ ْ َوا ُه ْم َج َهنَّ ُم َو ًَل يَ ِجد ُون122( ورا
Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (4: 120) Mereka itu tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari dari padanya. (4: 121) Dua ayat ini masih juga melanjutkan pembahasan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang cara-cara setan menyesatkan manusia. Dalam ayat-ayat ini dijelaskan metode lain lagi seperti memberikan janji bohong dan setelah itu menjerumuskan manusia ke
dalam angan-angan panjang dan kosong. Janji-janji bohong ini sering dipakai oleh setan dalam menyesatkan manusia. Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa Iblis mengumpulkan bala tentaranya, ketika ayat-ayat al-Quran mengenai pengampunan Allah Swt terhadap orang-orang yang berdosa telah diturunkan. Kepada mereka Iblis berkata, “Bila manusia bertaubat, maka seluruh jerih payah dan kerja keras kita akan sia-sia.” Salah satu dari bala tentaranya bertaka, “Setiap kali seseorang memutuskan untuk bertaubat, maka kita harus menyibukkannya dengan angan-angan kosong. Karena hal itu dapat membuatnya menunda-nunda keinginannya bertaubat. Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk bertaubat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Terbiasa memiliki angan-angan yang jauh tanpa realisasi dapat menyebabkan seseorang terjatuh dalam perangkap setan. 2. Janji bohong kepada orang lain, sekalipun kepada anak kecil tetap merupakan perbuatan setan.
َّ َار خَا ِلدِينَ ِفي َها أ َبَداا َو ْعد ٍ سنُد ِْخلُ ُه ْم َجنَّا اَّللِ َحقًّا َو َم ْن ِ صا ِل َحا َّ ع ِملُوا ال ُ ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ ِت َها ْاْل َ ْن َه َ َوالَّذِينَ آ َ َمنُوا َو َ ت اَّلل قِ ا (122)يَل ْ َأ ِ َّ َصدَ ُق ِمن
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah? (4: 122)
Bila ayat sebelumnya berbicara tentang janji-janji bohong setan kepada manusia, maka dalam ayat ini disebutkan bahwa janji yang diberikan Allah Swt semuanya benar. Allah menjanjikan kepada manusia akan surga dan pasti ditepatinya. Allah Swt tidak meminta manusia berangan-angan, tapi Dia meminta manusia agar beramal dan berusaha. Amal dan usaha itu juga harus baik dan mendatangkan kebaikan kepada orang lain. Sebuah amalan baik dengan niat yang bersih dan mulia yang dapat menjadi sumber perkembangan kesempurnaan orang yang bersangkutan.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Iman dan amal saleh senantiasa saling berkaitan erat dan tidak akan berpisah. Seorang tidak akan menjadi seorang mukmin tanpa amal saleh. 2. Kita harus percaya sepenuh hati kepada janji-janji Allah Swt. Janji akan adanya surga abadi yang tidak ada sedikitpun keraguan akan kebenarannya.
َّ ُون (123)يرا ُ ب َم ْن يَ ْْع َم ْل َص ا ِ ْس ِبأ َ َمانِ ِي ُك ْم َو ًَل أ َ َمانِي ِ أ َ ْه ِل ْال ِكت َا ِ اَّللِ َو ِليًّا َو ًَل ن َ لَي ِ سو اءا يُجْ زَ ِب ِه َو ًَل َي ِج ْد لَهُ ِم ْن د
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (4: 123) Dalam ayat ini setan memberikan angan-angan kosong kepada manusia yang melakukan perbuatan dosa agar tetap tersesat dan tidak punya keinginan untuk bertaubat. Ayat ini menyebutkan, “Karena kalian adalah orang beragama, baik Islam atau Kristen, maka Allah Swt tidak akan menyiksa kalian. Allah hanya menimpakan siksaan-Nya kepada pemeluk agama yang lain. Dengan pemikiran seperti ini, setan tetap berusaha menyiapkan lahan bagi para pelaku dosa untuk tetap berbuat dosa. Dengan demikian, dari satu sisi mereka tetap bergelimangan dalam perbuatan dosa dan dari sisi lain, mereka telah menutup jalannya sendiri untuk bertaubat.”
Oleh karenanya, ayat ini mengatakan, “Janganlah kalian bersenang dan berpuas hati dengan angan-angan dan cita-citanya kosong ini. Jangan pula kalian menyangka bahwa Allah Swt akan melakukan perhitungan secara khusus kepada kalian. Perlakuan khusus itu membuat kalian tidak disiksa! Tidak! Tidak demikian. Karena setiap orang yang berbuat dosa dari pemeluk keyakinan apapun atau dari etnis manapun pasti akan mendapat balasan dari setiap perbuatannya. Mereka yang berbuat dosa pasti akan mendapat siksa yang pedih.” Dalan sejarah disebutkan ada sebagian muslimin berharap Nabi Muhammad Saw akan berpihak kepada muslimin ketika mereka berselisih dengan orang-orang Ahli Kitab. Padahal dasar segala sesuatu adalah keadilan, bukan dukungan kepada sesama muslim. Tolok ukurnya adalah sifat dan keadaan dimana seseorang itu berada dan tidak ada hubungannya dengan pertalian hubungan etnis, keluarga atau yang lainnya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tuntutan untuk diperlakukan secara khusus, adanya perasaan lebih baik dari orang lain dan pengharapan tidak pada tempatnya merupakan cara-cara setan untuk menyesatkan hamba-hamba Allah. 2. Ajaran Islam dan perintah-perintahnya bertumpu di atas kenyataan, bukan di atas khayalan dan kecenderungan pribadi. 3. Setiap orang sama di hadapan undang-undang ilahi adalah sama. Islam melarang penyalahgunaan nama dan ajaran agama.
ْ ت ِم ْن ذَ َك ٍر أ َ ْو أ ُ ْنثَى َو ُه َو ُمؤْ ِم ٌن فَأُولَ ِئ َك يَ ْد ُخلُونَ ْال َجنَّةَ َو ًَل ي (124)يرا ِ صا ِل َحا َّ َو َم ْن يَ ْْع َم ْل ِمنَ ال ُظلَ ُمونَ نَ ِق ا Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (4: 124)
Sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya, ayat ini menjelaskan kriteria umum ancaman hukuman ilahi. Ayat ini menjelaskan kriteria umum pemberian pahala di Hari Kiamat sebagai berikut; setiap orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, baik lakilaki maupun perempuan, yang melaksanakan perbuatan baik apapun, maka ia akan menikmati surga Allah. Pahala mereka tidak akan dikurangi sedikitpun. Hal penting lainnya dalam ayat ini, syarat diterimanya perbuatan baik seseorang dalam ayat ini dan juga ayat-ayat lainnya al-Quran adalah adanya keimananya kepada Allah Swt Bila keimanan kepada Allah Swt menjadi syarat diterimanya perbuatan baik seseorang, maka dengan sendirinya menjadi jelas mengapa orang yang tidak beriman tidak diterima perbuatan baiknya oleh Allah Swt. Karena seseorang yang tidak beriman kepada Hari Kiamat dan pahala-pahala di hari itu, maka sudah barang tentu ia tidak akan mengharapkan balasan apapun dari Allah Swt. Namun bukan berarti tempatnya adalah di neraka. Karena boleh jadi Allah dengan rahmat dan karunia-Nya yang Maha Luas akan memasukkan orang yang melakukan kebaikan tanpa iman ini ke dalam surgaNya pula. Akan tetapi yang demikian itu berbeda dengan pengharapan kepada pahala dan hak menerima ganjaran yang baik di akhirat kelak.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Imam kepada Allah penyebab dimasukkannya manusia ke dalam surga, bukan harapan kosong. Semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh rahmat Allah. 2. Perempuan dan lelaki sama dalam kemampuan mencapai kesempurnaan maknawi. Tidak ada suatu pembatasan apa pun bagi mereka dalam rangka memperoleh tahaptahap kesempurnaan. 3. Iman adalah syarat diterimanya amal perbuatan, sedangkan perbuatan-perbuatan baik manusia-manusia yang tidak beriman akan mendapatkan balasan di dunia saja. يم َخ ِل ا ٌ س ُن دِيناا ِم َّم ْن أ َ ْسلَ َم َوجْ َههُ ِ ََّّللِ َو ُه َو ُمحْ س َّ َيم َحنِيفاا َوات َّ َخذ ) َو ِ ََّّللِ َما121( يَل َ َْو َم ْن أَح َ اَّللُ إِب َْرا ِه َ ِن َواتَّبَ َع ِملَّةَ إِب َْرا ِه ش ْيءٍ ُم ِحي ا َّ َض َو َكان (126)طا َ اَّللُ ِب ُك ِل ِ س َم َاوا َّ ِفي ال ِ ت َو َما ِفي ْاْل َ ْر
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama I brahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (4: 125) Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (4: 126) Telah disebutkan sebelumnya bahwa ada keimanan kepada Allah dan Hari Kiamat serta beramal saleh menjadi syarat diterimanya amal perbuatan manusia dan mendapat pahala dari Allah Swt. Dua ayat ini menyinggung motivasi yang ada dalam diri manusia mukmin dan mengatakan, “Iman akan dianggap berharga dan sempurna, bila ia berdasarkan pada sikap pasrah dan ikhlas kepada Allah Swt. Iman tidak cukup hanya sekadar lisan yang mengakui wujud Allah, sedangkan hati manusia tidak tunduk dan menyerah di hadapan Allah. Perbuatan manusia juga akan diterima oleh Allah Swt, bila orang yang melakukannya memiliki motivasi dan niat yang bersih serta ikhlas. Ia melakukan perbuatan tersebut hanya dengan tujuan kebaikan, bukan untuk menipu dan riya serta tidak untuk memperoleh manfaat materi. Dalam hai ini, al-Quran membawakan kisah Nabi Ibrahim as sebagai contoh sempurna manusia yang demikian. Al-Quran mengajak manusia untuk mengambil contoh dari manusia teladan ini. Karena al-Quran menyebut Nabi Ibrahim as sebagai manusia yang telah mencapai kedudukan “khalilullah” (kekasih Allah). Nabi Ibrahim as telah mencapai kedudukan yang sedemikian tinggi, sehingga Rasulullah Saw juga diperintahkan untuk mengikuti ajaran-ajarannya yang benar. Itulah mengapa agama Islam sering pula disebut sebagai agama Ibrahimi, yang disebut dalam ayat-ayat ini sebagai agama terbaik.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Inti agama samawi adalah bersikap pasrah kepada Allah dan berbuat baik kepada orang lain.
2. Iman dan amal adalah dua hal yang saling berkaitan. Keduanya baru lengkap dan efektif bila berkumpul. 3. Sekalipun Allah Swt menyeru manusia kepada iman dan amal, namun Allah sama sekali tidak memerlukan semua itu. Karena Allah adalah Penguasa semua langit dan bumi dengan segala isinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
َّ اء َّ اء قُ ِل ب ِ س ِ س ِ علَ ْي ُك ْم فِي ْال ِكت َا َ الَلتِي ًَل تُؤْ تُونَ ُه َّن َما ُك ِت َ اَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ِه َّن َو َما يُتْلَى َ ِب فِي يَت َا َمى الن َ َِويَ ْست َ ْفتُون ََك فِي الن َّ ْط َو َما ت َ ْفْعَلُوا ِم ْن َخي ٍْر فَإ ِ َّن َ لَ ُه َّن َوت َْر ْ َ غبُونَ أ َ ْن ت َ ْن ِك ُحو ُه َّن َو ْال ُم ْست ِ ان َوأ َ ْن تَقُو ُموا ِل ْليَت َا َمى ِب ْال ِقس َاَّلل ِ َضْعَفِينَ ِمنَ ْال ِو ْلد (127)ع ِلي اما َ َكانَ بِ ِه Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya. (4: 127) Bila ayat-ayat pertama surat an-Nisaa’ berbicara tentang hukum nikah dan warisan bagi para wanita, ayat ini mengatakan, ”Katakanlah kepada kaum lelaki, semua hukum yang telah diterangkan tentang hak-hak kaum wanita, semuanya berasal dari Allah Swt dan aku yang ditunjuk sebagai Nabi oleh Allah sama sekali tidak memiliki peran dalam menentukan hal ini. Bukan hanya hukum-hukum kaum wanita pada umumnya, dari segi warisan dan mahar, tetapi juga hukum yang berkenaan dengan para janda dan anakanak yatim perempuan dan lelaki yang tidak memiliki pelindung. Semua itu diturunkan dari sisi Allah dan telah diterangkan di berbagai ayat al-Quran.” Ayat ini menjelaskan bahwa keadilan merupakan tolok ukur dalam setiap perlakuan terutama terhadap anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Karena keadilan meniscayakan penunaian hak-hak finansial dan kekeluargaan kaum perempuan serta anak-anak. Bukan hanya memberikan hak-hak mereka yang bersifat wajib, namun berbuat baik kepada mereka juga sangat ditekankan oleh Allah Swt. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pada masa dimana kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak di dalam keluarga dan masyarakat, Islam datang membela hak-hak kaum perempuan, anak-anak dan para yatim. 2. Hukum-hukum Islam datang dari sisi Allah Swt. Sedangkan para nabi hanya bertugas menyampaikan serta menjelaskannya kepada masyarakat luas.
ش ا ُ ُت ِم ْن بَ ْْع ِل َها ن ْ ََوإِ ِن ْام َرأَة ٌ خَاف ت ِ ض َر وزا أ َ ْو إِع َْرا ا ْ ُعلَ ْي ِه َما أ َ ْن ي ُّ ص ْل احا َوال ُ ص ِل َحا بَ ْينَ ُه َما ِ ْص ْل ُح َخي ٌْر َوأُح َ ضا فَ ََل ُجنَا َح ُّ س ال َّ ش َّح َو ِإ ْن تُحْ ِسنُوا َوتَتَّقُوا فَإ ِ َّن (128)يرا اَّللَ َكانَ ِب َما ت َ ْْع َملُونَ َخ ِب ا ُ ُْاْل َ ْنف Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4: 128) Sebagai lanjutan ayat sebelumnya yang memesankan kepada kaum lelaki agar meperhatikan dan melindungi hak-hak kaum wanita, ayat ini berbicara kepada kaum wanita dengan mengatakan, ”Sekalipun hukum-hukum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan hak-hak kekeluargaan harus dijunjung tinggi, namun pemeliharaan pokok keluarga itu sendiri merupakan hal yang terpenting. Seandainya pemberian perhatian terhadap masalah tersebut akan menyebabkan kehancuran sistem keluarga, maka lebih baik kedua belah pihak, yaitu suami dan istri, memperlihatkan sikap toleran demi memelihara keutuhan keluarga. Ayat ini mengingatkan segalanya harus dicegah sebelum masalah keluarga berakhir dengan perceraian. Hendaknya perselisihan keluarga diselesaikan dengan damai dan lapang dada. Jangan sampai keinginan-keinginan hawa nafsu, sikap kikir dan pandangan sempit menciptakan perpecahan di antara suami dan istri. Bahkan keduanya harus berusaha agar ikatan keluarga semakin kuat daripada sebelumnya dengan saling berbuat kebaikan.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Suami dan isteri harus memperkuat sifat pemaaf guna menjaga fondasi rumah tangga tetap kokoh. 2. Islam menekankan agar sedapat mungkin masalah rumah tangga diselesaikan tanpa campur tangan pihak lain. 3. Sistem undang-undang Islam selalu seiring dengan norma-norma akhlak. Terkait rumah tangga, Islam berbicara tentang “islah” untuk menyelesaikan masalah dengan damai, sementara untuk berbuat baik kepada sesama, Islam berbicara tentang “ihsan”. ص ِل ُحوا َوتَتَّقُوا فَإ ِ َّن ِ س ْ ُ صت ُ ْم فَ ََل ت َِميلُوا ُك َّل ْال َم ْي ِل فَتَذَ ُروهَا َك ْال ُمْعَلَّقَ ِة َوإِ ْن ت ْ اء َولَ ْو َح َر َ َِولَ ْن ت َ ْست َِطيْعُوا أ َ ْن ت َ ْْع ِدلُوا بَيْنَ الن َّ َ َاَّللَ َكان (129)ورا َر ِحي اما غفُ ا Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 129) Ayat ini ditujukan kepada orang laki-laki yang memiliki beberapa isteri. Sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya yang mewasiatkan kepada seluruh kaum lelaki agar berbuat baik dan memperbaiki kehidupan suami isteri, ayat ini memesankan kepada kaum lelaki supaya berbuat adil. Tetapi sebelum menjelaskan poin-poin yang ada di dalam ayat ini ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi 1. Islam tidak pernah memerintahkan kepada kaum lelaki agar memiliki beberapa isteri. Tetapi Islam membolehkan hal itu dalam kondisi dan keadaan tertentu. 2. Adanya bencana alam dan perang ditambah beragamnya sistem sosial manusia memberikan peluang kepada lelaki untuk berpoligami. Bila masalah ini tidak ditangani dengan baik, akan memunculkan hubungan ilegal di tengah masyarakat. Bila menyaksikan kondisi negara-negara Barat yang melarang poligami, ternyata para prianya justru dengan mudah melakukan hubungan di luar nikah dengan pelbagai wanita, baik itu secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Di sini, Islam tidak melarang dan juga tidak mendorong umat Islam untuk berpoligami. Karena pada dasarnya poligami itu tuntutan masyarakat sendiri, maka Islam kemudian meletakkan batasan-batasan dalam melakukan poligami. Islam menetapkan keadilan seorang suami sebagai dasar dalam berpoligami. Itulah mengapa di ayat ketiga surat anNisaa’ al-Quran menyebutkan, “...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...” 3. Penyalahgunaan undang-undang dapat dilakukan di mana saja dan dalam kasus apa saja. Betapa banyak lelaki yang melangggar hukum Allah ini. Tanpa memiliki kelayakan dan keadilan mereka menikahi beberapa orang isteri. Tapi jelas, sebuah hukum dan undang-undang tidak akan dicabut hanya dikarenakan ada sejumlah orang yang melanggar. Kembali pada ayat ini yang mengingatkan bahwa seorang suami harus bersikap adil dan memenuhi hak-hak para isterinya. Hal ini harus dilakukannya agar tidak ada seorangpun dari isteri-isteri yang dimilikinya terzalimi atau diperlakukan tidak adil. Terutama sekali seorang suami harus bersikap adil dalam masalah materi. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Suami tidak boleh membiarkan kondisi isterinya tanpa kejelasan. Selama masih menjadi isterinya, maka suami berkewajiban memenuhi haknya, hingga resmi diceraikan. 2. Kehidupan yang damai, saling mencintai antara suami dan isteri serta menjaga nilainilai takwa ilahi merupakan sumber keutuhan sebuah rumah tangga. Kondisi ini akan menurunkan anugerah ilahi dalam kehidupan mereka.
َّ َسْعَتِ ِه َو َكان َّ َو ِإ ْن يَتَفَ َّرقَا يُ ْغ ِن (130)اَّللُ َوا ِسْعاا َح ِكي اما َ اَّللُ ُك ًَّل ِم ْن Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. (4: 130)
Kelebihan Islam dibandingkan agama-agama yang lain ada pada kemampuannya memberikan solusi atas kenyataan yang terjadi dalam keluarga atau masyarakat. Lebih jauh lagi, solusi yang disampaikan oleh Islam tidak kaku dan kering yang menyampaikan manusia kepada sebuah jalan buntu. Islam memberikan jalan keluar dengan baik, fleksibel dan bertahap agar dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemeluknya. Satu masalah yang sering dihadapi oleh masyarakat adalah perceraian. Benar, Islam mendorong para pemuda untuk menikah, tapi pada saat yang sama melarang (makruh) untuk melakukan perceraian. Tapi dalam kehidupan manusia, terkadang muncul yang namanya perceraian, ketika kedua pihak tidak mampu lagi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Dalam kondisi yang demikian, memaksa keduanya untuk tetap bersama merupakan keputusan yang salah, bahkan dampaknya justru lebih merugikan, tidak hanya bagi keduanya, tapi yang lebih buruk lagi adalah dampak yang diterima oleh anak-anak mereka. Islam memberikan peluang untuk bercerai kepada suami dan isteri yang sudah tidak mampu lagi mempertahankan kehidupan rumah tangga mereka dengan beberapa syarat. Selain itu, Islam mengingatkan mereka akan kegagalan dalam pernikahan tidak boleh membuat mereka berputus asa. Mereka harus senantiasa meminta petunjuk dan harapan kepada Allah Swt. Dengan pengertian, mereka tetap berusaha untuk membentuk kembali keluarga baru, baik dengan menikah lagi, atau kembali rujuk dengan mantan isterinya. Karena rahmat Allah tidak terbatas hanya pada kehidupan masa lalu. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tidak ada jalan buntu dalam kehidupan seorang muslim. Bila pemberian maaf, berdamai dan takwa sudah tidak dapat mempertahankan keutuhan keluarga, maka Islam memberikan penyelesaian akhir dengan perceraian. 2. Tidak semua perceraian itu buruk. Betapa banyak terjadi suami membunuh isteri dan sebaliknya disebabkan masing-masing sudah tidak sanggup hidup bersama. َّ َاب ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم َو ِإيَّا ُك ْم أ َ ِن اتَّقُوا اَّللَ َو ِإ ْن ت َ ْكفُ ُروا ِ س َم َاوا َّ َو ِ ََّّللِ َما فِي ال َّ ض َولَقَ ْد َو ِ ت َو َما ِفي ْاْل َ ْر َ ص ْينَا الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت َّ َض َو َكان َ ُاَّلل ض َو َكفَى ِ س َم َاوا ِ س َم َاوا َّ ) َو ِ ََّّللِ َما فِي ال111( غنِيًّا َح ِميداا َّ فَإ ِ َّن ِ ََّّللِ َما فِي ال ِ ت َو َما فِي ْاْل َ ْر ِ ت َو َما فِي ْاْل َ ْر اَّللِ َو ِك ا َّ ( ِب112) يَل
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. (4: 131) Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara. (4: 132) Sebagai lanjutan ayat-ayat sebelumnya yang memberi pesan kepada pasangan suamiisteri agar tetap menjaga takwa dalam urusan kehidupannya, terutama urusan rumah tangganya, ayat ini menjelaskan hal yang lebih luas lagi. Dalam ayat ini ditekankan bahwa ajaran ini tidak khusus hanya kepada umat Islam, tapi semua ajaran agama yang lain juga memiliki ajaran yang sama seperti ini. Ayat ini juga menegaskan bahwa jangan sampai kita menyangka bahwa ajaran ini menguntungkan Allah Swt. Karena Allah tidak memerlukan apapun dari kita. Dia adalah pemilik seluruh langit dan bumi beserta isinya. Bahkan Allah tidak memerlukan keberadaan kita, apa lagi ketakwaan kita. Oleh karenanya, bila seluruh penduduk dunia ini kafir dan mengingkari Allah Swt, maka hal itu tidak akan pernah mendatangkan kerugian sedikitpun kepada-Nya. Ada yang menarik dalam ayat ini. Masalah kepemilikan dan kekuasaan mutlak Allah Swt diulangi sebanyak tiga kali. Hal itu sengaja dilakukan agar segala keraguan manusia akan ketidakbutuhan Allah menjadi sirna dalam benaknya. Pengulangan itu ingin menghapus keragu-raguan dalam diri seorang muslim dan membuktikan hanya Allah yang Maha Kaya. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Agama yang diturunkan Allah tidak saling bertentangan. Karena semua berasal dari satu sumber. Semua menekankan penjagaan dan pelaksanaan perintah-perintah Allah Swt. 2. Manusia hanya takut kepada Allah Swt, bukan selain-Nya. 3. Manusia harus bertawakal kepada Allah, penguasa langit dan bumi serta isinya.
َّ َت ِبآَخ َِرينَ َو َكان (133)ِيرا ِ ْ اس َويَأ علَى ذَ ِل َك قَد ا ُ َِّإ ْن يَشَأ ْ يُ ْذ ِه ْب ُك ْم أَيُّ َها الن َ ُاَّلل Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian. (4: 133) Ayat ini menegaskan agar manusia jangan sampai menyangkan Allah Swt memerlukan sesuatu terkait apa yang diperintahkan-Nya. Karena pada dasarnya Allah tidak membutuhkan manusia sama sekali. Bukankah ketika manusia belum diciptakan, Allah Swt juga tidak menemui kesulitan sedikitpun. Lalu mengapa ada pemikiran bahwa Allah menghadapi masalah setelah penciptaan manusia? Oleh karenanya, jangan berbangga diri dan sombong di hadapan-Nya. Karena bila Allah Swt menghendaki, maka Dia mampu melenyapkan manusia durhaka dan menggantikan mereka dengan orang-orang yang taat dan patuh.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Allah memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir bukan berarti lemah, tapi itu bersumber dari rahmat dan kebijakan Allah Swt. 2. Segala sesuatu yang kita miliki datang dari Allah. Oleh karenanya, jangan menyangka kekayaan yang dimiliki itu akan kekal agar tidak sampai terkena penyakit sombong di hadapan Allah Swt.
َّ َاب الدُّ ْنيَا َو ْاْلَ ِخ َرةِ َو َكان َّ َاب الدُّ ْنيَا فَ ِْع ْند (134)يرا ُ اَّللِ ث َ َو ص ا ِ َس ِميْعاا ب َ َم ْن َكانَ ي ُِريد ُ ث َ َو َ ُاَّلل Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (4: 134)
Ayat ini berbicara tentang orang mukmin yang berpandangan sempit. Mereka beriman kepada Allah, tapi hanya memikirkan kesejahteraan duniawi semata. Seperti orang mukmin yang ikut dalam peperangan, tapi pikiran mereka terpusat pada rampasan perang. Tentang kelompok ini, Allah Swt menyatakan, “Mengapa kalian hanya menginginkan harta dunia, padahal kalian beriman kepada Allah? Padahal dunia dan akhirat kedua-duanya berada di sisi Allah Swt. Apakah kalian menyangka dengan memikirkan akhirat, maka kalian akan kehilangan dunia? Padahal Allah Swt menginginkan agar kaum Mukminin memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karena meninggalkan salah satu untuk memperoleh yang lainnya hanya akan mendatangkan kerugian bagi manusia. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Manusia akan merugi bila tujuan dari perbuatan baiknya hanya untuk hal-hal duniawi saja. 2. Islam adalah Agama yang lengkap dan realistis. Islam mendorong para pengikutnya agar berusaha memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. ُ ْط َ علَى أ َ ْنفُ ِس ُك ْم أ َ ِو ْال َوا ِلدَ ْي ِن َو ْاْل َ ْق َربِينَ إِ ْن يَ ُك ْن يرا ِ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِامينَ بِ ْال ِقس غنِيًّا أ َ ْو فَ ِق ا َ ش َهدَا َء ِ ََّّللِ َولَ ْو َّ ضوا فَإ ِ َّن َّ َف (135)يرا ُ اَّللُ أ َ ْولَى ِب ِه َما فَ ََل تَت َّ ِبْعُوا ْال َه َوى أ َ ْن ت َ ْْع ِدلُوا َو ِإ ْن ت َْل ُووا أ َ ْو ت ُ ْْع ِر اَّللَ َكانَ ِب َما ت َ ْْع َملُونَ َخ ِب ا Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (4: 135) Setelah al-Quran memberikan beberapa pesan dalam ayat-ayat yang lalu untuk bersikap adil terhadap anak-anak yatim dan isteri, ayat ini berbicara secara umum kepada orangorang mukmin. Kepada mukminin, ayat ini memerintahkan mereka untuk tetap bersikap adil dalam kepada setiap orang dan dalam kondisi bagaimanapun. Al-Quran menekankan masalah bersikap adil ini bahkan kepada diri sendiri, apalagi terhadap kerabat dan orang-orang dekatnya.
Manusia pada umumnya ketika mengambil keputusan selalu dipengaruhi oleh pemihakan kepada keluarga atau status mereka. Sebagai contoh, seseorang akan memberikan kesaksikan yang menguntungkan saudaranya, sekalipun ia bersalah. Orang akan membela siapa saja yang kaya karena tergiur oleh kekayaan yang bakal didapatnya. Ada juga yang membela orang lain karena kasihan, seperti membela orang miskin hanya karena belas kasihan, sekalipun orang tersebut berbuat salah. Mencermati kondisi dan kenyataan yang sering terjadi seperti ini, ayat ini mengatakan, “Saat mengambil keputusan atau memberikan kesaksian, hendaknya seorang mukmin hanya menjadikan Allah sebagai sandarannya. Jangan sekali-kali memasukkann unsur keluarga, status, ekonomi dan sebagainya dalam mengambil keputusan. Perintah alQuran ini menunjukkan betapa Islam begitu menaruh perhatian akan masalah duniawi manusia dan menyeru mukminin untuk memperhatikan keadilan sosial dalam segala hal.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Allah mengutus para nabi untuk menerapkan keadilan, sekaligus menjadikannya kelaziman iman para pengikut mereka. 2. Keadilan harus dilaksanakan di seluruh aspek kehidupan manusia, bahkan non muslim sekalipun.
dan bagi seluruh
3. Setiap orang sama di hadapan hukum, baik kaya ataupun miskin dan baik menguntungkan ataupun merugikan mereka. 4. Jaminan pelaksanaan keadilan adalah iman kepada Allah dan ilmu Allah akan perbuatan kita.
َّ ب الَّذِي أ َ ْنزَ َل ِم ْن قَ ْب ُل َو َم ْن يَ ْكفُ ْر ِب َّ ِيَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا آ َ ِمنُوا ب ُ علَى َر ُ اَّللِ َو َر ِاَّلل ِ سو ِل ِه َو ْال ِكت َا ِ سو ِل ِه َو ْال ِكت َا َ ب الَّذِي ن ََّز َل (136)ض ََل اًل بَ ِْعيداا ُ َو َم ََلئِ َكتِ ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر َ ض َّل َ س ِل ِه َو ْاليَ ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر فَقَ ْد
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (4: 136) Ayat ini menyeru orang-orang mukmin agar menumbuhkan dan memperdalam iman mereka. Disebutkan dalam ayat ini, melangkahlah ke depan dan capailah derajat yang lebih tinggi. Berpegang teguhlah pada iman kalian dan jangan beranjak sedikitpun darinya. Tak dapat dipungkiri bahwa iman memiliki berbagai tingkat dan derajat, sama seperti sebagaimana pengetahuan manusia juga bertingkat-tingkat. Itulah mengapa pendidikan juga berjenjang. Ketika seorang mukmin menyempurnakan imannya dalam setiap kondisi, maka keimanan yang sempurna itu akan melahirkan pengamalan atas perintah Allah yang lebih baik dan banyak. Selanjutnya, ayat ini menyinggung salah satu bahaya yang mengancam orang-orang mukmin. Ayat ini menyebutkan, jika seorang mukmin mengalami kelemahan iman secara bertahap, maka ia akan sampai pada tahapan dimana ia mulai meragukan apa yang diimani selama ini. Tidak hanya itu, ia akan terjerumus dalam kesesatan yang sangat berat, dimana sangat sulit baginya untuk keluar dari kubangan kesesatan itu. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Agama-agama samawi seperti kelas di sebuah sekolah dan para nabi adalah gurunya yang punya satu tujuan. Oleh karena itu, iman kepada semua nabi dan kitab suci mereka merupakan kelaziman dari iman kepada Allah. 2. Imam perlu diperkuat agar terus tumbuh dan menyempurna. Seorang mukmin harus mencapai derajat keimanan yang paling tinggi.
س ِب ا ْ إِ َّن الَّذِينَ آ َ َمنُوا ث ُ َّم َكفَ ُروا ث ُ َّم آ َ َمنُوا ث ُ َّم َكفَ ُروا ث ُ َّم َّ ازدَاد ُوا ُك ْف ارا لَ ْم يَ ُك ِن (137) يَل َ اَّللُ ِليَ ْغ ِف َر لَ ُه ْم َو ًَل ِليَ ْه ِديَ ُه ْم
Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (4: 137) Setelah ayat-ayat sebelumnya menjelaskan nasib orang-orang Mukmin dan Kafir, ayat ini mengisyaratkan nasib sekelompok orang yang keputusannya selalu berubahubah. Suatu hari mereka bersikap seperti orang mukmin, namun pada hari lainnya menjadi orang kafir. Ayat in i menekankan bahwa orang yang akidah senantiasa berubah seperti tidak punya keinginan jelas untuk mencari kebenaran, tapi muncul dari sifat munafik. Tujuan mereka adalah manfaat materi. Di mana ada keuntungan materi di sana, mereka akan memosisikan dirinya di sana dan membelanya. Sudah barang tentu orang semacam ini tidak akan mendapat ramyat dan ampunan Allah. Kesempatan mendapat hidayah untuk orang semacam ini sudah tertutup.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Murtad bisa menimpa siapa saja, termasuk orang mukmin. Oleh karenanya, jangan membanggakan diri dengan iman yang ada, tapi harus dipertahankan dan dikembangkan. 2. Lemahnya akidah dapat menyesatkan manusia dari petunjuk dan rahmat Allah. َ ُون ْال ُمؤْ ِمنِينَ أَيَ ْبتَغُونَ ِع ْندَ ُه ُم ْال ِْع َّزة َ بَش ِِر ْال ُمنَافِقِينَ ِبأ َ َّن لَ ُه ْم ِ ) الَّذِينَ يَت َّ ِخذُونَ ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِليَا َء ِم ْن د117( عذَاباا أ َ ِلي اما (139)فَإ ِ َّن ْال ِْع َّزة َ ِ ََّّللِ َج ِميْعاا Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (4: 138) (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (4: 139)
Ciri penting orang munafik adalah sering menyebut orang kafir dan lebih dekat dengan mereka untuk memperoleh tujuannya. Mereka membayangkan hidup bersama orang mukmin menyebabkan mereka terjatuh dalam kehinaan. Untuk itu mereka tidak ingin dan malu disebut sebagai bagian dari orang mukmin. Mereka tidak menyadari bahwa kemuliaan itu adalah sikap komitmen kepada ajaran Allah, bukan kekayaan. Bersandar pada Allah Swt yang Maha Kuasa memberikan kemuliaan dan kekuatan luar biasa kepada manusia.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Orang mukmin yang merasa mulia ketika bersama orang kafir berarti ia munafik. 2. Dalam politik luar negeri kita harus memikirkan hubungan dengan negara-negara Islam, ketimbang meningkatkan hubungan dengan negara-negara kafir. َّ ت ٍ ضوا ِفي َحدِي ث ِ س ِم ْْعت ُ ْم آ َ َيا ُ اَّللِ يُ ْكفَ ُر ِب َها َويُ ْست َ ْهزَ أ ُ ِب َها فَ ََل ت َ ْقْعُد ُوا َمْعَ ُه ْم َحتَّى َي ُخو ِ علَ ْي ُك ْم ِفي ْال ِكت َا َ َوقَ ْد ن ََّز َل َ ب أ َ ْن ِإذَا َّ غي ِْر ِه إِنَّ ُك ْم إِذاا ِمثْلُ ُه ْم إِ َّن َ (140)ام ُع ْال ُمنَافِقِينَ َو ْال َكافِ ِرينَ ِفي َج َهنَّ َم َج ِميْعاا ِ اَّللَ َج Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orangorang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orangorang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (4: 140) Ayat ini menyinggung tanda-tanda lain dari orang munafik. Pertama, ketika ada pertemuan orang-orang yang menentang Islam, mereka pasti hadir dan menjelekjelekkan agama. Kedua, mereka diam saat agama diejek dan dinistakan. Padahal orang tugas orang mukmin harus mencegah kejadian ini, atau setidak-tidaknya meninggal tempat itu. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Mengikuti pertemuan yang ada perbuatan dosanya berarti ikut dalam perbuatan dosa itu, bila diam dan menyetujuinya.
2. Duduk bersama orang kafir tidak dilarang, selama mereka tidak mencaci kesucian agama. 3. Jangan biarkan orang menistakan kesucian agama, sekalipun dengan alasan kebebasan berbicara dan toleransi.
َّ َصونَ ِب ُك ْم فَإ ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم فَتْ ٌح ِمن َصيبٌ قَالُوا أَلَ ْم نَ ْستَحْ ِو ْذ ُ َّالَّذِينَ يَت ََرب ِ اَّللِ قَالُوا أَلَ ْم نَ ُك ْن َمْعَ ُك ْم َو ِإ ْن َكانَ ِل ْل َكافِ ِرينَ ن سبِ ا َّ اَّللُ يَحْ ُك ُم بَ ْينَ ُك ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َولَ ْن يَجْ ْعَ َل َّ َعلَ ْي ُك ْم َون َْمنَ ْْع ُك ْم ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِينَ ف (141)يَل َ َاَّللُ ِل ْل َكافِ ِرين َ َ َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (4: 141) Satu lagi dari ciri orang munafik adalah memanfaatkan setiap kesempatan untuk kepentingan dirinya. Ketika orang mukmin memperoleh kemenangan dan keberuntungan, mereka mengatakan, “Kami juga ikut andil bersama kalian. Oleh karenanya, kami juga memiliki bagian dari rampasan perang itu.” Sebaliknya, bila musuh yang memperoleh kemenangan, mereka mengatakan, “Kami juga berperan dalam kemenangan ini, sehingga musuh berhasil mengalahkan umat Islam.” Ayat ini mengingatkan bahwa orang yang seperti ini adalah munafik. Tapi di akhir ayat ini al-Quran memberikan penghargaan kepada orang-orang mukmin. Karena dengan keimanannya mereka tidak pernah mengikuti ke mana angin bertiup. Mereka tidak mencari kepentingan pribadi, tapi kemuliaan agama yang pada gilirannya membuat mereka juga mulia. Terlebih lagi Allah telah berjanji tidak akan mengizinkan orang-orang kafir untuk menguasai orang mukmin. Lalu bagaimana dengan kondisi saat ini, dimana orang kafir berkuasa di sebagian besar dunia? Sebenarnya itu dikarenakan umat Islam tidak memiliki iman yang sebenarnya dan tidak melakukan tanggung jawab agamanya dengan benar. Umat Islam hendaknya
punya hubungan yang kuat dengan Allah, tidak hanya terkait urusan pribadi, tapi juga di bidang sosial seperti menciptakan rasa solidaritas di antara umat Islam dan persatuan. Dengan begitu mereka tidak akan dikuasai oleh orang kafir. Karena sudah menjadi janji Allah bila orang-orang beriman melaksanakan ajaran agamanya dengan benar, mereka tidak akan dikuasai oleh orang-orang kafir.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tanda orang munafik adalah mencari kesempatan untuk kepentingan pribadi. Kita diperintahkan untuk berhati-hati menjaga hak, bukan mencari kesempatan. 2. Negara Islam tidak boleh menerima dijajah orang kafir. Hubungan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan hanya boleh dilakukan dengan negara kafir dengan syarat tidak membuat mereka berkuasa dan menghina umat Islam. 3. Harus ada upaya agar orang kafir tidak dapat menerapkan keinginannya menjajah negara-negara Islam.
سبِ ا ْ ( إِ َّن الَّذِينَ آ َ َمنُوا ث ُ َّم َكفَ ُروا ث ُ َّم آ َ َمنُوا ث ُ َّم َكفَ ُروا ث ُ َّم117) َّ ازدَاد ُوا ُك ْف ارا لَ ْم يَ ُك ِن يَل َ اَّللُ ِليَ ْغ ِف َر لَ ُه ْم َو ًَل ِليَ ْه ِديَ ُه ْم
Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (4: 137)
Setelah ayat-ayat sebelumnya menjelaskan nasib orang-orang Mukmin dan Kafir, ayat ini mengisyaratkan nasib sekelompok orang yang keputusannya selalu berubahubah. Suatu hari mereka bersikap seperti orang mukmin, namun pada hari lainnya menjadi orang kafir. Ayat in i menekankan bahwa orang yang akidah senantiasa berubah seperti tidak punya keinginan jelas untuk mencari kebenaran, tapi muncul dari sifat munafik. Tujuan mereka adalah manfaat materi. Di mana ada keuntungan materi di sana, mereka akan memosisikan dirinya di sana dan membelanya. Sudah barang tentu orang semacam ini tidak akan mendapat ramyat dan ampunan Allah. Kesempatan mendapat hidayah untuk orang semacam ini sudah tertutup.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Murtad bisa menimpa siapa saja, termasuk orang mukmin. Oleh karenanya, jangan membanggakan diri dengan iman yang ada, tapi harus dipertahankan dan dikembangkan.
2. Lemahnya akidah dapat menyesatkan manusia dari petunjuk dan rahmat Allah.
َ ُون ْال ُمؤْ ِمنِينَ أَيَ ْبتَغُونَ ِع ْندَ ُه ُم ْال ِْع َّزة َ بَش ِِر ْال ُمنَافِقِينَ ِبأ َ َّن لَ ُه ْم ِ ) الَّذِينَ يَت َّ ِخذُونَ ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِليَا َء ِم ْن د117( عذَاباا أ َ ِلي اما ( فَإ ِ َّن ْال ِْع َّزة َ ِ ََّّللِ َج ِميْعاا112)
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (4: 138)
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (4: 139)
Ciri penting orang munafik adalah sering menyebut orang kafir dan lebih dekat dengan mereka untuk memperoleh tujuannya. Mereka membayangkan hidup bersama orang mukmin menyebabkan mereka terjatuh dalam kehinaan. Untuk itu mereka tidak ingin dan malu disebut sebagai bagian dari orang mukmin. Mereka tidak menyadari bahwa kemuliaan itu adalah sikap komitmen kepada ajaran Allah, bukan kekayaan. Bersandar pada Allah Swt yang Maha Kuasa memberikan kemuliaan dan kekuatan luar biasa kepada manusia.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang mukmin yang merasa mulia ketika bersama orang kafir berarti ia munafik.
2. Dalam politik luar negeri kita harus memikirkan hubungan dengan negara-negara Islam, ketimbang meningkatkan hubungan dengan negara-negara kafir.
َّ ت ٍ ضوا ِفي َحدِي ث ِ س ِم ْْعت ُ ْم آ َ َيا ُ اَّللِ يُ ْكفَ ُر ِب َها َويُ ْست َ ْهزَ أ ُ ِب َها فَ ََل ت َ ْقْعُد ُوا َمْعَ ُه ْم َحتَّى َي ُخو ِ علَ ْي ُك ْم فِي ْال ِكت َا َ َوقَ ْد ن ََّز َل َ ب أ َ ْن ِإذَا َّ غي ِْر ِه إِنَّ ُك ْم إِذاا ِمثْلُ ُه ْم إِ َّن َ (112) ام ُع ْال ُمنَافِقِينَ َو ْال َكافِ ِرينَ ِفي َج َهنَّ َم َج ِميْعاا ِ اَّللَ َج Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orangorang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orangorang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (4: 140) Ayat ini menyinggung tanda-tanda lain dari orang munafik. Pertama, ketika ada pertemuan orang-orang yang menentang Islam, mereka pasti hadir dan menjelekjelekkan agama. Kedua, mereka diam saat agama diejek dan dinistakan. Padahal orang tugas orang mukmin harus mencegah kejadian ini, atau setidak-tidaknya meninggal tempat itu. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mengikuti pertemuan yang ada perbuatan dosanya berarti ikut dalam perbuatan dosa itu, bila diam dan menyetujuinya. 2. Duduk bersama orang kafir tidak dilarang, selama mereka tidak mencaci kesucian agama. 3. Jangan biarkan orang menistakan kesucian agama, sekalipun dengan alasan kebebasan berbicara dan toleransi. َّ َصونَ بِ ُك ْم فَإ ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم فَتْ ٌح ِمن َصيبٌ قَالُوا أَلَ ْم نَ ْستَحْ ِو ْذ ُ َّالَّذِينَ يَت ََرب ِ اَّللِ قَالُوا أَلَ ْم نَ ُك ْن َمْعَ ُك ْم َوإِ ْن َكانَ ِل ْل َكافِ ِرينَ ن س ِب ا َّ اَّللُ َيحْ ُك ُم بَ ْينَ ُك ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َولَ ْن َيجْ ْعَ َل َّ َعلَ ْي ُك ْم َون َْمنَ ْْع ُك ْم ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِينَ ف (141)يَل َ َاَّللُ ِل ْل َكافِ ِرين َ َ َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين
(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (4: 141) Satu lagi dari ciri orang munafik adalah memanfaatkan setiap kesempatan untuk kepentingan dirinya. Ketika orang mukmin memperoleh kemenangan dan keberuntungan, mereka mengatakan, “Kami juga ikut andil bersama kalian. Oleh karenanya, kami juga memiliki bagian dari rampasan perang itu.” Sebaliknya, bila musuh yang memperoleh kemenangan, mereka mengatakan, “Kami juga berperan dalam kemenangan ini, sehingga musuh berhasil mengalahkan umat Islam.” Ayat ini mengingatkan bahwa orang yang seperti ini adalah munafik. Tapi di akhir ayat ini al-Quran memberikan penghargaan kepada orang-orang mukmin. Karena dengan keimanannya mereka tidak pernah mengikuti ke mana angin bertiup. Mereka tidak mencari kepentingan pribadi, tapi kemuliaan agama yang pada gilirannya membuat mereka juga mulia. Terlebih lagi Allah telah berjanji tidak akan mengizinkan orang-orang kafir untuk menguasai orang mukmin. Lalu bagaimana dengan kondisi saat ini, dimana orang kafir berkuasa di sebagian besar dunia? Sebenarnya itu dikarenakan umat Islam tidak memiliki iman yang sebenarnya
dan tidak melakukan tanggung jawab agamanya dengan benar. Umat Islam hendaknya punya hubungan yang kuat dengan Allah, tidak hanya terkait urusan pribadi, tapi juga di bidang sosial seperti menciptakan rasa solidaritas di antara umat Islam dan persatuan. Dengan begitu mereka tidak akan dikuasai oleh orang kafir. Karena sudah menjadi janji Allah bila orang-orang beriman melaksanakan ajaran agamanya dengan benar, mereka tidak akan dikuasai oleh orang-orang kafir.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tanda orang munafik adalah mencari kesempatan untuk kepentingan pribadi. Kita diperintahkan untuk berhati-hati menjaga hak, bukan mencari kesempatan. 2. Negara Islam tidak boleh menerima dijajah orang kafir. Hubungan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan hanya boleh dilakukan dengan negara kafir dengan syarat tidak membuat mereka berkuasa dan menghina umat Islam. 3. Harus ada upaya agar orang kafir tidak dapat menerapkan keinginannya menjajah negara-negara Islam. َّ َاس َو ًَل يَ ْذ ُك ُرون َّ َإِ َّن ْال ُمنَافِقِينَ يُخَا ِدعُون اَّللَ إِ ًَّل ُ اَّللَ َو ُه َو خَا ِد َّ ع ُه ْم َوإِذَا قَا ُموا ِإلَى ال َ ص ََلةِ قَا ُموا ُك َ َّسالَى ي َُرا ُءونَ الن قَ ِل ا (142)يَل Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (4: 142) Setelah ayat sebelumnya dimana kami telah menyebut ciri-ciri khusus orang-orang munafiq, ayat ini juga menyinggung tanda-tanda lain dari mereka dengan firmanNya, “Mereka yang imannya tidak meresap ke dalam sanubarinya menunjukkan sikap malas saat tiba waktu shalat. Mereka menunda shalat hingga akhir waktunya, itupun dilakukan dengan tergesa-gesa. Lebih buruk dari itu, ketika shalat mereka menyebut hal lain lebih banyak, ketimbang menyebut nama Allah. Selain itu, mereka melakukan shalat secara riya dan menunjukkan shalatnya kepada orang lain.
Di awal ayat ini menyebutkan bahwa orang-orang munafik berpikiran dapat menipu Allah dan menyamakan-Nya seperti orang-orang mukmin yang mereka tipu selama ini. Allah menyatakan mengetahui tipuan mereka dan akan membalas tipuan mereka. Tidak hanya itu, Allah yang Maha Mengetahui, mengamati sepak terjang mereka. Tapi tetap saja mereka harus diperlakukan sama seperti muslim lainnya. Akan tetap segalanya menjadi lain di Hari Kiamat. Karena di sana mereka terhitung kafir dan akan dijatuhkan azab yang sangat pedih. Karena mereka berlaku riya dalam menyembah Allah dan itu berarti syirik. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Bermalas-masalan saat melakukan shalat, lupa menyebut nama Allah, berbuat riya merupakan tanda-tanda orang munafik. Kita perlu waspada agar tidak terjerumus seperti mereka. 2. Allah memberikan balasan sesuai dengan perbuatan kita. Di dunia kita masih bisa berbohong, tapi tidak akan bisa melakkannya di hadapan Allah Swt.
س ِب ا َّ ض ِل ِل (143)يَل ْ ُُمذَ ْبذَ ِبينَ بَيْنَ ذَ ِل َك ًَل ِإلَى َهؤ ًَُل ِء َو ًَل ِإلَى َهؤ ًَُل ِء َو َم ْن ي َ ُاَّللُ فَلَ ْن ت َِجدَ لَه Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orangorang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya. (4: 143) Ayat ini masih juga menyinggung tentang tanda-tanda orang munafik. Dalam ayat ini disebutkan mereka adalah orang peragu. Dengan kata lain, akidah yang mereka miliki tidak kokoh. Mereka tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok Mukminin, dan juga tidak termasuk kelompok Kafir. Bahkan mereka tidak punya nyali sedikitpun untuk menampakkan kekafirannya. Kondisi ini yang membuat mereka digolongkan dengan orang-orang Kafir. Mereka setiap harinya mengikuti ke arah mana angin bertiup. Siapa saja yang berjalan mengikuti arah angin dan tidak memiliki tujuan yang jelas merupakan orang-orang yang
tersesat. Siapa saja yang bersikap demikian tidak akan berhasil dalam kehidupannya. Ini adalah balasan Allah bagi mereka di dunia. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Sifat munafik merampas kebebasan berpikir setiap orang dan senantiasa dalam kondisi bingung. 2. Orang munafik membuat Allah marah. Orang seperti ini tidak dapat memanfaatkan hidayah yang diturunkan Allah. Oleh karenanya, ia senantiasa berada di jalan buntu.
َ س ْل (144)طاناا ُم ِبيناا ُ علَ ْي ُك ْم َ ُِون ْال ُمؤْ ِمنِينَ أَت ُ ِريد ُونَ أ َ ْن تَجْ ْعَلُوا ِ ََّّلل ِ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ًَل تَت َّ ِخذُوا ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِليَا َء ِم ْن د Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (4: 144) Setelah menjelaskan ciri-ciri khusus orang-orang Munafik dalam ayat-ayat yang lalu, ayat ini memberikan peringatan kepada orang-orang Mukmin agar tidak menjadi munafik. Ayat ini mengingatkan orang mukmin agar tidak bersahabat dengan orangorang kafir, karena hal itu akan membuat mereka seperti orang munafik. Karena hanya orang mukmin yang memiliki kelayakan, sahabat dan menjadi panutan kalian. Bila kalian menyingkirkan orang mukmin dan menjalin hubungan dengan orang kafir, maka ini menunjukkan lemahnya iman. Di Hari Kiamat orang mukmin seperti ini tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Muslimin dilarang melakukan perbuatan yang memberikan kesempatan orang kafir mendominasi umat Islam. Mereka juga harus menjauhi segala perjanjian yang memberikan kekuasaan kepada orang orang kafir.
2. Salah tanda keimanan adalah berteman dengan orang mukmin dan menjauhkan diri dari orang kafir. َّ ص ُموا ِب ْ َ ) إِ ًَّل الَّذِينَ ت َابُوا َوأ111( يرا َص ا ِاَّلل ِ ار َولَ ْن ت َِجدَ لَ ُه ْم ن َ َ صلَ ُحوا َوا ْعت ِ َّإِ َّن ْال ُمنَافِقِينَ ِفي الد َّْر ِك ْاْل َ ْسفَ ِل ِمنَ الن َّ ت (146)اَّللُ ْال ُمؤْ ِمنِينَ أَجْ ارا َع ِظي اما ِ ْف يُؤ ُ ََوأ َ ْخل َ صوا دِينَ ُه ْم ِ ََّّللِ فَأُولَ ِئ َك َم َع ْال ُمؤْ ِمنِينَ َو َ س ْو Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (4: 145) Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (4: 146) Ayat ini menjadi bukti bahwa orang munafik lebih buruk dari orang kafir dengan ditempatkannya mereka di negara paling bawah yang mengindikasikan siksaannya paling pedih. Menurut ayat ini, orang munafik juga merupakan orang yang paling jauh dari Allah Swt. Karena dengan tampak lahiriah, mereka menunjukkan dirinya orang beriman, tapi pada hakikatnya mereka adalah musuh kaum Mukminin yang paling berbahaya. Orang munafik seperti kata pepatah menikam dari belakang. Ketika umat Islam menganggap mereka sebagai saudara sendiri, ternyata dalam hatinya mereka menyembunyikan permusuhan mendalam. Sekalipun demikian, Allah yang Maha Dermawan tidak pernah menutup pintu rahmat dan kemurahan-Nya kepada siapapun. Bila orang munafik bertaubat dan menghilangkan kebiasaan jelek masa lalunya, Allah pasti menerima mereka kembali pada pangkuan umat Islam. Terkait dengan Allah, mereka harus memperbaiki akidahnya dan yang paling penting tidak bersikap riya dalam beramal. Bila hal itu dilakukan, Allah pasti akan memberikan mereka pahala atas segala perbuatan baiknya. Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik: 1. Hari Kiamat adalah tempat perhitungan amal perbuatan. Bila ingin berbuat baik, maka tempatnya di dunia.
2. Jalan untuk taubat senantiasa terbuka bagi siapapun. Di sisi Allah tidak berlaku makna putus asa. 3. Taubat semata-mata merupakan ungkapan lisan penyesalan, peninjauan dan perbaikan kembali segala yang buruk menjadi lebih baik. 4. Orang-orang Mukmin selalu membentangkan tangannya untuk menyambut orangorang yang bertaubat dan melupakan masa lalu mereka.
َّ َش َك ْرت ُ ْم َوآ َ َم ْنت ُ ْم َو َكان َّ َما يَ ْفْعَ ُل (147)ع ِلي اما َ اَّللُ ِب َْعذَا ِب ُك ْم ِإ ْن َ اَّللُ شَا ِك ارا Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (4: 147) Ayat-ayat sebelumnya telah menjelaskan betapa pedihnya siksaan kepada orang-orang munafik. Sementara ayat ini ingin mengingatkan bahwa ketika Allah menyiksa orangorang munafik, itu dilakukan bukan dengan alasan balas dendam atau ada permusuhan dengan mereka. Allah juga menyiksa mereka tidak untuk menunjukkan kekuasaan-Nya. Allah mengingatkan bahwa siksaan yang diberikan itu sesuai dengan perbuatan manusia sendiri selama hidupnya. Karena Allah tidak berkepentingan untuk menyiksa manusia. Akhir ayat ini menyebutkan bahwa sebagaimana Allah membalas kebaikan kalian dengan pahala yang berlimpah, hendaknya manusia mau mensyukuri nikmat-Nya. Manusia harus memanfaatkan nikmat yang dianugerahkan Allah di jalan yang diridhainya. Karena bila manusia mensyukuri nikmat Allah disertai iman dan amal saleh, maka Allah tidak akan pernah menimpakan azabnya kepada manusia.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Iman kepada Allah ditandai dengan mensyukuri nikmat-Nya dan mengingkari-Nya dengan mengingkari nikmat-Nya. 2. Mensyukuri nikmat Allah akan menyelamatkan manusia dari kemurkaan Allah.
ُ وء ِمنَ ْالقَ ْو ِل ِإ ًَّل َم ْن َّ َظ ِل َم َو َكان َّ ًَُّل ي ُِحب ) ِإ ْن ت ُ ْبد ُوا َخي اْرا أ َ ْو ت ُ ْخفُوهُ أ َ ْو ت َ ْْعفُوا117( ع ِلي اما ُّ اَّللُ ْال َج ْه َر ِبال ِ س َ س ِميْعاا َ ُاَّلل َّ سوءٍ فَإ ِ َّن (149)ِيرا ُ ع ْن عفُ ًّوا قَد ا َ َاَّللَ َكان َ
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (4: 148) Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. (4: 149) Ayat-ayat ini menyinggung tentang sebuah prinsip kehidupan sosial yang sangat penting. Al-Quran menyebutkan, daripada kalian mencari-cari kesalahan dan aib orang lain dalam masyarakat, lebih baik kalian berusaha untukmemaafkan kejelekan orang lain. Akan lebih baik bila kalian mengucapkan hal-hal yang baik saja. Karena Allah Swt menutupi aib dan keburukan manusia. Sudah semestinya kita juga mengkuti akhlak Allah yang menutupi keburukan manusia. Bila seseorang dizalimi tanpa dapat membela dirinya, sementara pada saat yang sama ia tidak dapat menuntut haknya atas orang yang menzaliminya, maka Allah yang Maha Adil akan memberikannya kesempatan di Hari Kiamat untuk menuntut hak-haknya kepada orang yang menzaliminya.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Dilarang membuka keburukan orang lain, kecuali perbuatan zalim dan membela hak orang yang dizalimi. 2. Lapang dada dan memaafkan orang yang berbuat salah sangat bernilai di hadapan Allah. Karena sekalipun Maha Kuasa, Allah ternyata juga Maha Pemaaf.
َّ َس ِل ِه َوي ُِريد ُونَ أ َ ْن يُفَ ِرقُوا بَيْن َّ ِإِ َّن الَّذِينَ يَ ْكفُ ُرونَ ب َض َوي ُِريد ُون ٍ ض َونَ ْكفُ ُر بِبَ ْْع ٍ س ِل ِه َويَقُولُونَ نُؤْ ِم ُن بِبَ ْْع ُ اَّللِ َو ُر ُ اَّللِ َو ُر س ِب ا (151)عذَاباا ُم ِهيناا َ َ) أُولَئِ َك ُه ُم ْال َكافِ ُرونَ َحقًّا َوأ َ ْعت َ ْدنَا ِل ْل َكا ِف ِرين112( يَل َ أ َ ْن يَت َّ ِخذُوا بَيْنَ ذَ ِل َك Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). (4: 150) Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (4: 151) Ayat ini menyinggung adanya upaya yang mengancam para pemeluk agama ilahi. Ayat ini mengatakan, ada sekelompok pemeluk agama yang menyebut hanya nabi mereka yang benar, sedang nabi yang lain adalah batil. Oleh karenanya, mereka menolak nabi-nabi yang lain. Allah menyatakan bahwa para nabi itu semua merupakan utusan Allah. Mereka tidak berbeda dari sisi kebenaran. Manusia harus beriman kepada nabi terakhir dan harus melaksanakan ajaran-ajarannya. Ayat ini pada mulanya ditujukan kepada orang-orang yahudi yang tidak mau beriman ketika diutusnya Nabi Isa as. Begitu juga dengan orang-orang Yahudi dan Kristen yang tidak mau beriman dengan risalah Nabi Muhammad Saw. Padahal mereka mestinya beriman dan menerima serta mengamalkan ajaran-ajaraan agama yang dibawah oleh Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir. Pada perinsipnya iman seseorang akan menuntutnya untuk menjadi penyembah Allah, bukan menyembah hawa nafsu. Orang yang mau menerima sebagian hakikat agama dan menolak hakikat yang lain sesungguhnya adalah orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya, bukan ajaran dan perintah Allah Swt.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Wajib mengimani kebenaran semua nabi dan kitab suci yang bersamanya. 2. Agama merupakan kumpulan ajaran yang menyatu dan tak terpisahkan. Seseorang tidak boleh menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain.
3. Pengingkaran ajaraan agama meskipun kekufuran dan penolakan agama.
hanya sebagian merupakan sumber
َّ َور ُه ْم َو َكان َّ ( َوالَّذِينَ آ َ َمنُوا ِب112) َ ُاَّلل ورا َر ِحي اما ُ اَّللِ َو ُر غفُ ا َ س ِل ِه َولَ ْم يُفَ ِرقُوا بَيْنَ أ َ َح ٍد ِم ْن ُه ْم أُولَ ِئ َك َ ف يُؤْ تِي ِه ْم أ ُ ُج َ س ْو Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membedabedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 152) Ayat ini berbicara tentang ciri-ciri orang mukmin yang sesungguhnya dan menyebutkan, Mukmin yang sesungguhnya adalah orang yang menyakini kebenaran semua nabi dan utusan Allah, bukan orang yang meyakini sebagian tetapi menolak sebagian yang lain. Ia tidak memiliki fanatisme sesat yang menganggap hanya dirinyalah Mukmin dan pengikuti agama lain adalah kafir. Jelas sekali bahwa hanya Mukmin sejati seperti inilah yang akan mendapat rahmat dan inayah ilahi di dunia dan di akhirat.
َّ سى أ َ ْكبَ َر ِم ْن ذَ ِل َك فَقَالُوا أ َ ِرنَا اَّللَ َج ْه َرة ا فَأ َ َخذَتْ ُه ُم َّ علَ ْي ِه ْم ِكت َاباا ِمنَ ال ِ س َم ِ يَ ْسأَلُ َك أ َ ْه ُل ْال ِكت َا َ ب أ َ ْن تُن َِز َل َ سأَلُوا ُمو َ اء فَقَ ْد ُ صا ِعقَةُ ِب َ س ْل (153)طاناا ُم ِبيناا ُ سى َّ ال َ ظ ْل ِم ِه ْم ث ُ َّم ات َّ َخذُوا ْالْعِجْ َل ِم ْن بَ ْْع ِد َما َجا َءتْ ُه ُم ْالبَ ِينَاتُ فَْعَفَ ْونَا َ ع ْن ذَ ِل َك َوآَت َ ْينَا ُمو Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata. (12: 153) Dalam ayat-ayat sebelumnya, al-Quran mengkritik Ahlul Kitab yang membeda-bedakan para nabi dengan menerima yang ini dan menolak yang itu. Ayat ini menyinggung salah satu syarat yang diberikan oleh kaum Yahudi Madinah untuk menerima Islam dan mengatakan, “Mereka meminta kepada Nabi Muhammad Saw bahwa al-Quran, sebagaimana Taurat, hendaknya diturunkan dari langit secara sekaligus. Padahal penurunan wahyu adalah hak Allah, bukan hak nabi. Selain itu diturunkan sekaligus
atau bertahap wahyu ilahi tersebut, tidak memiliki pengaruh tentang hak dan bathilnya wahyu, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat al-An’am ayat 7, “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan diatas kertas, yang dapat mereka pegang dengan tangan, tentulah orang-orang yang kafir itu berkata : ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” Waktu itu al-Quran sebagai pendorong semangat Nabi Muhammad Saw, mengatakan, “Janganlah engkau wahai Muhammad merasa sedih karena orang-orang Yahudi itu mengajukan sayarat atau alasan seperti itu. Karena sebelum ini pun, nenek moyang mereka pernah meminta kepada Musa as untuk dpat melihat Allah dengan mata kepala mereka. Sifat keras kepala itulah yang telah mengakibatkan turunnya azab ilahi terhadap mereka. Meskipun hujjah dan bukti-bukti yang dibawa oleh Musa as sudah sempurna, namun mereka masih saja mau menjadikan patung anak sapi sebagai sesembahan seraya melupakan Allah Swt. Namun dikarenakan mereka bertaubat dan kembali ke jalan lurus, Allah pun mengampuni mereka. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Mencari kebenaran berbeda dengan mencari-cari alasan. Orang yang benar-benar mencari hak dan hakikat, akan merasa puas, ketika dalil dan hujjah sudah jelas baginya. Tetapi orang yang hanya mencari-cari alasan, setiap hari akan mengajukan permintaanpermintaan baru. 2. Sifat keras kepala, dan ingkar mendatangkan kemarahan ilahi di dunia ini. Jangan sekali-kali kita mengambil sikap memerangi agama samawi parra Nabi.
ُّ َو َرفَ ْْعنَا فَ ْوقَ ُه ُم غ ِلي ا َ ت َوأ َ َخ ْذنَا ِم ْن ُه ْم ِميثَاقاا ظا ِ س ْب َّ س َّجداا َوقُ ْلنَا لَ ُه ْم ًَل ت َ ْْعد ُوا فِي ال ُ اب َ َور بِ ِميثَاقِ ِه ْم َوقُ ْلنَا لَ ُه ُم ا ْد ُخلُوا ْالب َ الط (154) Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh. (12: 154)
Ayat ini mirip dengan ayat 63 dan 93 Surat al-Baqarah, berbicara mengenai cara-cara perjanjian Tuhan dengan Bani Israel, mengatakan, “Dengan kehendak Allah Gunung Thur terangkat dari tempatnya dan berada diatas kepala mereka. Waktu itu Nabi Musa as menjelaskan perjanjian-perjanjian Allah dan kaum ini pun menerimanya; yang di antaranya ialah menyembah kepada Tuhan yang Esa, berbuat baik kepada kedua orang tua, membantu orang-orang miskin, mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat.” Perjanjian-perjanjian ini secara terperinci disebutkan di dalam surat al-Baqarah ayat 40 dan ayat 83. Ayat ini juga menyinggung dua hal; pertama, sewaktu memasuki Baitul Maqdis untuk bertaubat dari dosa-dosa, mereka harus melakukannya dalam keadaan khusyu dan merendah diri seraya bersujud. Kedua, pada hari Sabtu mereka harus menghentikan segala bentuk usaha dan kerja. Mereka harus menghormati hukum Allah yang melarang penangkapan ikan pada hari itu. Tetapi mereka melanggar hukum-hukum Allah ini dan tidak mentaatinya, meskipun Allah Swt telah mengambil sumpah yang berat terhadap mereka. Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Menerima suatu agama, tidak hanya dengan akal dan hati, tetapi perjanjian dan hukum-hukum Ilahi pun harus ditaati secara nyata. 2. Tempat-tempat suci khususnya masjid-masjid memiliki tatakrama khusus yang harus dijaga guna menghormati kemuliaannya. 3. Sibuk bekerja di waktu yang dikhususkan untuk melakukan ibadah, merupakan sejenis pelanggaran terhadap hukum-hukum Ilahi.
َ ف بَ ْل ُ ق َوقَ ْو ِل ِه ْم قُلُوبُنَا َّ طبَ َع َّ ت اَّللُ َعلَ ْي َها بِ ُك ْف ِر ِه ْم ِ ض ِه ْم ِميثَاقَ ُه ْم َو ُك ْف ِر ِه ْم بِآَيَا ٌ غ ْل ِ فَبِ َما نَ ْق ٍ اَّللِ َوقَتْ ِل ِه ُم ْاْل َ ْنبِيَا َء بِغَي ِْر َح ( فَ ََل يُؤْ ِمنُونَ ِإ ًَّل قَ ِل ا111) يَل Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa (alasan) yang benar dan mengatakan: "Hati kami tertutup". Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena
kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka. (12: 155) Sebagai lanjutan ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang perjanjian Allah sementara Gunung Thur diangkat di atas kepala Bani Israel, ayat ini mengatakan, meski mereka telah menyaksikan semua tanda-tanda atau ayat-ayat Allah ini, namun mereka kembali mengabaikan perjanjian itu. Mereka bukan bukan hanya melanggar perintahperintah Allah, tetapi juga mengingkari mukjizat. Lebih buruk lagi, mereka sampai tega membunuh nabi-nabi Allah. Dalam rangka membela sikapnya, mereka seraya mengatakan bahwa hati kami telah terikat kepada perbuatan-perbuatan ini. Kalaupun kami melakukan penyimpangan, maka yyang demikian itu bukan atas kehendak kami. Al-Quran dalam menjawab pernyataan mereka, mengatakan, kekafiran, sifat keras kepala kalian itulah yang telah menyebabkan hati kalian tertutup. Akhirnya, kalian tidak dapat lagi menemukan jalan keselamatan dan kebahagiaan. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Kufur nikmat kadang-kadang membuat mereka yang sesungguhnya telah mendapatkan kemerdekaan berkat perjuangan para nabi mereka, menjadi pembunuh nabi mereka itu. 2. Balasan Allah merupakan hasil dari pemikiran dan perbuatan kita sendiri. Perbuatanperbuatan maksiat yang dilakukan dengan ikhtiar dan keinginan sendiri, mendatangkan balasan-balasan yang bersifat paksaan dan tak dapat ditolak.
َّ سو َل ُ سى ابْنَ َم ْريَ َم َر ُاَّللِ َو َما قَتَلُوه َ علَى َم ْريَ َم بُ ْهت َاناا َ َو ِب ُك ْف ِر ِه ْم َوقَ ْو ِل ِه ْم َ ) َوقَ ْو ِل ِه ْم ِإنَّا قَت َْلنَا ْال َمسِي َح ِعي112( ع ِظي اما َّ ع ْ َشبِهَ لَ ُه ْم َوإِ َّن الَّذِين ُ صلَبُوهُ َولَ ِك ْن الظ ِن َو َما قَتَلُوهُ يَ ِقيناا َ اختَلَفُوا فِي ِه لَ ِفي ش ٍَك ِم ْنهُ َما لَ ُه ْم بِ ِه ِم ْن ِع ْل ٍم إِ ًَّل اتِبَا َ َو َما ع ِز ا َّ َاَّللُ ِإلَ ْي ِه َو َكان َّ ُ) بَ ْل َرفَْعَه117( (117) يزا َح ِكي اما َ ُاَّلل
Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa) dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina). (12: 156)
Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. (12: 157)
Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (12: 158)
Pada pembahasan yang lalu telah disebutkan beberapa ayat yang menjadi penyebab turunnya kemurkaan dan azab Allah kepada Bani Israel. Ayat-ayat ini menjadi kelanjutan
pembahasan sebelumnya yang menyebutkan, orang-orang Yahudi telah menuduh Maryam yang berjiwa suci dengan tuduhan keji, yaitu melakukan perzinaan, dan dengan kemukjizatan Isa as segala ketidaklurusan dan ketidakberesan dapat diatasi. Karena tidak sepantasnya beliau yang diutus untuk memberi hidayah dan menyampaikan risalah dituduh dengan tuduhan ini. Di sini, Nabi Isa as sebagai argumentasi jawaban atas tuduhan mereka.
Mereka tidak saja menjelaskan pembicaraan yang tak senonoh semacam itu, tetapi mereka juga melakukan konspirasi untuk membunuh Nabi Isa as. Mereka menyangka bahwa yang mereka salib adalah Nabi Isa as. Oleh karenanya dengan nada sombong mereka berkata, “Kami yang membunuh Isa.” Tapi al-Quran mengatakan, “Salah seorang diserupakan dengan Isa, lalu mereka salib dan perkara ini menjadi samar bagi mereka. Karena itu Allah Swt mengangkat Isa as ke langit, sehingga terselamatkan dari konspirasi mereka.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Terkadang orang mengejek manusia paling suci, seperti yang dilakukan terhadap Sayidah Maryam as.
2. Sedemikian rendahnya akhlak sehingga manusia sampai hati membunuh utusan Allah Swt dan merasa bangga dengan perbuatan itu.
3. Sebagaimana kelahirannya tidak biasa, kepergian Nabi Isa as juga tidak seperti biasa. Beliau diangkat ke langit oleh Allah Swt. ُ ب إِ ًَّل لَيُؤْ ِمن ََّن بِ ِه قَ ْب َل َم ْوتِ ِه َويَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة يَ ُك (59)ش ِهيداا َ علَ ْي ِه ْم ِ َوإِ ْن ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا َ ون Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (12: 159) Berdasarkan riwayat-riwayat Islam, Nabi Isa as yang naik ke langit dengan kekuasaan Allah, pada akhir zaman nanti akan turun dari Langit, dan berada dibelakang Imam Mahdi fa. Beliau merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw, yang muncul di dunia untuk memerangi dan memberantas kezaliman yang merajalela, dan menegakkan keadilan dan keamanan di atas bumi. Nabi Isa as akan melakukan shalat di belakangnya sehingga waktu itu seluruh orang-orang Kristen akan beriman kepadanya. Tetapi iman yang benar tidak menyebut Nabi Isa as sebagai putra Tuhan, bahkan orangorang Yahudi juga memberikan persaksian tentang kenabian Isa as.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Kematian adalah sebuah sunnah yang bersifat pasti bagi semua manusia, bahkan bagi semua nabi-nabi Allah. Nabi Isa as yang hidup berabad-abad di langit, akan turun kepermukaan bumi dan akan mengalami kematian. 2. Nabi-nabi akan menjadi saksi terhadap amal perbuatan umatnya dan pada Hari Kiamat kesaksian mereka akan jelas.
ُ ِفَب َ علَ ْي ِه ْم ْ َّت أ ُ ِحل َّ سبِي ِل ٍ طيِبَا (160)يرا اَّللِ َكثِ ا َ ص ِد ِه ْم َ ظ ْل ٍم ِمنَ الَّذِينَ هَاد ُوا َح َّر ْمنَا َ ع ْن َ ِت لَ ُه ْم َوب Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (12: 160) Kendatipun dalam Taurat yang ada saat ini juga disebutkan bahwa Allah dalam rangka memberikan sanksi kepada kaum Yahudi yang telah mengharamkan sebagian yang halal, dengan kedatangan Nabi Isa as hal-hal yang diharamkan tersebut dihapuskan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi dan perbuatan-perbuatan sementara orang serta masyarakat memiliki pengaruh dalam memanfaatkan nikmat-nikmat ilahi. Dalam sebagian ayat-ayat al-Quran lainnya yang kita baca, alasan pengharaman terhadap nikmat-nikmat ilahi, tidak memperhatikan pada kemiskinan dan anak-anak yatim dalam masyarakat, meskipun mereka beriman kepada Tuhan dan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik, bahkan langit tetap menurunkan berkahnya.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Pengharaman Allah terkadang untuk memberikan sanksi, bukan sebagai sumber bahaya dan malapetaka atau sumber kekotoran. 2. Mencaci kepada orang lain merupakan unsur yang menjadikan tercegahnya kelembutan dan nikmat-nikmat Allah.
(161)عذَاباا أ َ ِلي اما ِ َاس ِب ْالب ِ َّع ْنهُ َوأ َ ْك ِل ِه ْم أ َ ْم َوا َل الن َ اط ِل َوأ َ ْعت َ ْدنَا ِل ْل َكا ِف ِرينَ ِم ْن ُه ْم َ الربَا َوقَ ْد نُ ُهوا ِ َوأ َ ْخ ِذ ِه ُم Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (12: 161) Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan saat-saat turunnya kemurkaan dan azab Allah Swt terhadap Bani Israi. Ayat ini menyebutkan,
“Padahal mereka melarang mengambil riba, tetapi apabila mereka tidak mengindahkan hukum Allah, dan memakan harta masyarakat dengan cara yang tidak hak, maka Allah akan memberikan sanksi di dunia atas pengharaman terhadap sebagian hal-hal yang dihalalkan. Tapi sebenarnya sanksi dan siksaan yang utama besok pada Hari Kiamat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Memakan riba diharamkan oleh semua agama ilahi. Semua ajaran samawi sangat sensitif terhadap penjagaan hak-hak manusia dalam hubungan dengan harta kekayaan. 2. Memakan riba sekalipun dalam kenyataannya merupakan sumber pendapatan, tetapi pada kenyataannya akan menjadi sanksi dan azab.
َص ََلة َ َوا ْل ُمؤْ تُون ِ الرا ِس ُخونَ فِي ْال ِْع ْل ِم ِم ْن ُه ْم َو ْال ُمؤْ ِمنُونَ يُؤْ ِمنُونَ بِ َما أ ُ ْن ِز َل إِلَي َْك َو َما أ ُ ْن ِز َل ِم ْن قَ ْب ِل َك َو ْال ُم ِق َّ يمينَ ال َّ لَ ِك ِن َّ َّ الز َكاة َ َو ْال ُمؤْ ِمنُونَ ِب (162)ع ِظي اما َ سنُؤْ ِتي ِه ْم أَجْ ارا َ اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر أُولَ ِئ َك Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar. (12: 162) Dalam sejumlah pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai sikap penentangan serta dosa para pembangkang kaum Yahudi. Tetapi di tengah-tengah kaum ini juga masih terdapat beberapa orang yang saleh, bahkan orang-orang Mukmin yang sebenarnya dan taat sepenuhnya kepada Tuhan. Al-Quran menerangkan kondisi beberapa kaum terdahulu yang senantiasa menjaga kejujuran yang sempurna, juga menyinggung kelompok ini.
Al-Quran mengatakan, “Mereka yang telah meresapkan keimanan kepada Allah di dalam hatinya, kepada sesuatu yang telah diturunkan dari sisi Allah baik mereka Yahudi maupun Mukmin, dan dalam amal perbuatan mereka juga ahli shalat dan ibadah. Mereka bahkan mengeluarkan zakat kepada orang-orang miskin. Oleh karenanya, Allah Swt menyempurnakan balasan mereka dengan memberikan kemuliaan dan kehormatan secara sempurna.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Iman kepada Allah dan hakikat tidak mengenal batas teritorial. Setiap orang yang beriman kepada Allah dari ras dan golongan manapun, pasti akan mendapatkan anugerah dan bantuan Allah yang khusus. 2. Shalat dan zakat terdapat di seluruh agama ilahi. Tetapi ibadah tanpa berkhidmat tidak ada artinya. Karena khidmat tanpa ibadah juga akan mendatangkan sifat sombong dan bangga diri.
اط ِ َوب َو ْاْل َ ْسب َ ُيم َوإِ ْس َما ِعي َل َوإِ ْس َحاقَ َويَ ْْعق َ وح َوالنَّبِيِينَ ِم ْن بَ ْْع ِد ِه َوأ َ ْو َح ْينَا إِلَى إِب َْرا ِه ٍ ُإِنَّا أ َ ْو َح ْينَا ِإلَي َْك َك َما أ َ ْو َح ْينَا ِإلَى ن (163)ُورا ُ َارونَ َو سلَ ْي َمانَ َوآَت َ ْينَا دَ ُاوودَ زَ ب ا ُ س َوه َ سى َوأَي َ َو ِعي َ ُُّوب َويُون Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (12: 163) Ayat ini menyinggung proses pengutusan dan risalah para nabi sepanjang sejarah. Disebutkan, “Mengapa orang-orang Yahudi dan Kristen sebagai Ahli Kitab merasa heran bahwa al-Quran telah diturunkan kepadamu. Apakah mereka tidak tahu dan paham bahwa Allah Swt sepanjang sejarah telah memilih berbagai manusia sebagai nabi. Di antara para nabi itu adalah Musa dan Isa yang diberikan kepada mereka al-Kitab. Lalu kenapa mereka tidak bersedia menerima kebenaran wahyu dan beriman kepada risalah-mu?!
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Tujuan seluruh Agama Samawi adalah satu, karena semua itu datang dari satu sumber, yaitu Allah swt. 2. Perhatian kepada perjalanan Nabi-nabi sepanjang sejarah, akan membantu menciptakan peluang bagi seseorang menerima kebenaran risalah Nabi Islam saaw.
َّ علَي َْك َو َكلَّ َم َس اَل ُمبَش ِِرين ْ ص ْ ص ُ ) ُر121( سى ت َ ْك ِلي اما ُ علَي َْك ِم ْن قَ ْب ُل َو ُر ُ َو ُر ُ س اَل لَ ْم نَ ْق َ ص ُه ْم َ صنَا ُه ْم َ اَّللُ ُمو َ َس اَل قَ ْد ق ع ِز ا َّ َس ِل َو َكان َّ اس َعلَى (165)يزا َح ِكي اما ُ الر ُّ َاَّللِ ُح َّجةٌ بَ ْْعد ِ ََّو ُم ْنذ ِِرينَ ِلئ َََّل يَ ُكونَ ِللن َ ُاَّلل
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (12: 164)
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasulrasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (12: 165) Setelah menyebut nama beberapa nmabi dalam ayat yang lalu, dalam ayat ini disebutkan, “Jangan menyangka nabi-nabi hanya terbatas pada nama-nama yang telah Kami sebutkan tadi! Tetapi masih ada beberapa nabi yang nama mereka tidak disebutkan di dalam al-Quran. Penyebutan mereka hanya lewat peristiwa yang berhubungan dengan mereka.” Setelah itu, ayat ini menyinggung risalah dan tugas para nabi dan mengatakan, “Tugas utama para rasul ialah menyampaikan berita gembira dan ancaman. Risalah yang disampaikan oleh para nabi ini, tak lain merupakan hujjah bagi Allah atas semua hamba-Nya. Sehingga di hari perhitungan kelak, manusia tidak akan dapat lagi menyampaikan alasan dengan mengatakan, saya tidak mengetahui baik dan buruk, sehingga saya tidak dapat beramal sesuai dengannya.”
Alasan mereka yang demikian ini tidak akan diterima. Karena pada kenyataannya para rasul Allah telah menjelaskan kepada mereka semua perintah dan larangan Allah Swt. Tentu saja akal manusia pun merupakan hujjah Allah. Akan tetapi, kekuatan pemahamannya hanya terbatas pada sebagian masalah-masalah duniawi. Oleh karenanya di Hari Kiamat, Allah akan mengazab mereka yang telah mendengar seruan para nabi, tetapi menolaknya dengan kesadaran. Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Umur manusia tidak cukup untuk mendengarkan seluruh kejadian-kejadian sejarah dan tidak pula memerlukan untuk mendengar seluruh peristiwa sejarah. Jika seseorang memiliki kesadaran untuk menerima kebenaran, maka satu saja peristiwa sejarah yang mengandung pelajaran akan cukup baginya. Karena itu al-Quran menjelaskan hanya sebagian yang mengandung contoh dari sejarah para nabi, bukannya menukil sejarah seluruh nabi. 2. Hakikat adalah sesuatu yang pada dasarnya sudah jelas. Tugas para nabi hanya memberikan peringatan dengan cara memberikan berita gembira dan ancaman. 3. Sekalipun seluruh nabi mendapatkan wahyu dan menjadi lawan bicara Allah, tetapi Nabi Musa as, termasuk nabi yang paling banyak berbicara langsung dengan Allah Swt. Hal itu dikarenakan risalah yang diembannya lebih sulit. Hal itu membuat beliau disebut sebagai Kalimullah.
َّ لَ ِك ِن (166)ش ِهيداا َ اَّلل ِ َّ ِاَّللُ يَ ْش َهد ُ بِ َما أ َ ْنزَ َل إِلَي َْك أ َ ْنزَ لَهُ بِ ِْع ْل ِم ِه َو ْال َم ََلئِ َكةُ يَ ْش َهدُونَ َو َكفَى ب
(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al Quran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya. (12: 166)
Bila ayat-ayat sebelumnya menyinggung orang kafir dan Ahli Kitab yang menentang dan tidak mau menerima agama Islam, ayat ini justru memberikan semangat kepada Nabi
Muhammad Saw untuk mendakwahkan Islam. Ayat ini menyebutkan, “Apabila masyarakat mengingkari risalah yang kamu emban dan meremehkannya malah menjadi bukti kuat akan kebenaran al-Quran berasal dari Allah Swt. Karena kandungan ilmiah alQuran bak lautan tak bertepi. Isinya merupakan bukti-bukti gamblang yang menunjukkan kitab ini bukan hasil pemikiran manusia.
Pada dasarnya, bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah belajar, dan tinggal di kawasan yang penuh dengan kesyirikan, kebodohan dan khurafat dapat memberikan pelajaran kepada masyarakat. Belum lagi manusia dewasa ini masih dapat menikmati nilai dan pentingnya ajaran itu setelah melewati 14 abad? Ajaran Islam mampu mengubah masyarakat dari umat yang tercerai berai menjadi umat yang satu, dari syirik menjadi tauhid, dari bodoh menjadi pandai, dari hina menjadi terhormat dan begitulah seterusnya hingga menjadi sebuat umat Islam yang besar.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Wahyu merupakan sumber ilmu pengetahuan ilahi yang tak terbatas. Karena itu, dengan majunya ilmu pengetahuan, banyak hal yang terungkap.
2. Dalam agama Islam, sandara yang kokoh itu sendiri adalah Allah Swt. Pengingkaran manusia tidak akan mempengaruhi Allah Swt.
َ ) إِ َّن الَّذِينَ َكفَ ُروا َو127( ض ََل اًل بَ ِْعيداا َّ ظلَ ُموا لَ ْم يَ ُك ِن َّ س ِبي ِل اَّللُ ِليَ ْغ ِف َر لَ ُه ْم َ ضلُّوا َ اَّللِ قَ ْد َ صدُّوا َ ع ْن َ ِإ َّن الَّذِينَ َكفَ ُروا َو َ ) ِإ ًَّل127( ط ِريقاا َ َو ًَل ِليَ ْه ِديَ ُه ْم َّ علَى (169)ِيرا اَّللِ يَس ا َ ط ِريقَ َج َهنَّ َم خَا ِلدِينَ فِي َها أَبَداا َو َكانَ ذَ ِل َك
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya. (12: 167) Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka. (12: 168) Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (12: 169) Pada ayat-ayat sebelumnya telah disinggung sejumlah poin mengenai orang-orang yang tidak beriman, serta sikap mereka terhadap Islam. Dalam ayat-ayat ini juga diterangkan mengenai satu kelompok orang-orang kafir yang tidak hanya tersesat, tapi juga berusaha membuat orang lain tersesat sama seperti mereka. Mereka menganiaya diri mereka sendiri dan juga terhadap orang lain. Mereka tersesat dan juga menyebabkan kesesatan orang-orang di sepanjang sejarah. Dengan alasan inilah nampaknya sangat jauh sekali bila mereka dapat sadar atas kesalahan jalan yang mereka ditempuh. Oleh sebab itu tidak ada harapan bagi mereka untuk mendapat rahmat dan pengampunan Allah Swt, bahkan jalan penyelamatan merekapun telah terutup. Karena mereka sendiri telah menggali jalan masuk ke neraka. Pada hakikatnya, banyak orang kafir telah menganggap remeh ancaman-ancaman Allah tersebut. Mereka tidak memandang penting dan serius, padahal pada Hari Kiamat nanti mereka bakal menyaksikan betapa pedihnya siksaan ini yang bagi Allah hal itu sangat mudah. Dari tiga ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Siksaan merupakan balasan atas kezaliman terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Kezaliman di sini lebih umum dari pemikiran, budaya, dan lain-lain. 2. Segala bentuk kejahatan dan kezaliman merupakan penyebab dijauhkannya pengampunan dan hidayah Allah Swt serta merupakan penyebab terjerumusnya kedalam api neraka.
ض ِ س َم َاوا َّ َّلل َما فِي ال ُ الر َّ اس قَ ْد َجا َء ُك ُم ِ ت َو ْاْل َ ْر ِ َّ ِ ق ِم ْن َربِ ُك ْم فَآ َ ِمنُوا َخي اْرا لَ ُك ْم َوإِ ْن ت َ ْكفُ ُروا فَإ ِ َّن ُ َّيَا أَيُّ َها الن ِ سو ُل بِ ْال َح َّ ََو َكان (170)ع ِلي اما َح ِكي اما َ ُاَّلل Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (12: 170) Berdasarkan data-data sejarah, para Ahli Kitab khususnya orang Yahudi menanti kemunculan nabi dari keturunan Arab, berdasarkan berita-berita gembira yang terdapat didalam Kitab Suci mereka. Demi menyambut kemunculannya, mereka kemudian berhijrah ke Madinah. Orang-orang Musyrik pun telah mendengar berita ini dan mereka juga menunggu kehadiran beliau. Oleh karena itu al-Quran dalam ayat ini menyatakan, “Justru nabi yang kalian tunggu telah datang kepada kalian dengan kalimat yang hak dan berdasarkan hak pula. Ketahuilah, apabila kalian beriman kepada nabi tersebut dan melaksanakan kata-kata beliau, hal ini bermanfaat bagi kalian. Tetapi bila kalian mengingkarinya, maka hal itu tidak berbahaya sedikitpun bagi Allah. Karena Allah Swt pemilik seluruh yang ada di langit dan bumi. Allah Swt tidak membutuhkan shalat dan ibadah kalian. Segala perintah yang diberikan kepada kalian, semuanya berdasarkan ilmu pengatahuan dan hikmah-Nya yang tidak terbatas, yang justru memperhatikan kemaslahatan kalian.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik: 1. Keistimewaan ajaran-ajaran para nabi kembali pada kebenaran yang dibawanya. 2. Orang-orang Mukmin seharusnya memanfaatkan ajaran para nabi dengan keimanan yang dimilikinya. 3. Pengingkaran terhadap Allah tidak akan mendatangkan bahaya kepada-Nya. Sementara keimanan kepada akan memberi manfaat kepada pemiliknya.
َّ سو ُل َّ علَى ُاَّللِ َو َك ِل َمتُه ُ سى اب ُْن َم ْريَ َم َر ِ يَا أ َ ْه َل ْال ِكت َا َ ب ًَل ت َ ْغلُوا فِي دِينِ ُك ْم َو ًَل تَقُولُوا َ اَّللِ ِإ ًَّل ْال َح َّق ِإنَّ َما ْال َمسِي ُح ِعي َّ س ِل ِه َو ًَل تَقُولُوا ث َ ََلثَةٌ ا ْنت َ ُهوا َخي اْرا لَ ُك ْم ِإنَّ َما َّ أ َ ْلقَاهَا ِإلَى َم ْر َي َم َو ُرو ٌح ِم ْنهُ فَآ َ ِمنُوا ِب َس ْب َحانَهُ أ َ ْن يَ ُكون ِ اَّللُ ِإلَهٌ َو ُ ٌ احد ُ اَّللِ َو ُر اَّلل َو ِك ا (171)يَل ِ س َم َاوا َّ لَهُ َولَد ٌ لَهُ َما ِفي ال ِ ت َو َما فِي ْاْل َ ْر ِ َّ ض َو َكفَى ِب Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara. (12: 171) Doktrin Trinitas hingga kini masih dipegang sebagai keyakinan para pemeluk Kristen. Doktrin ini meniscayakan adanya Tuhan Bapak, Anak dan Ruhul Qudus. Dalam pandangan Islam, keyakinan ini dikategorikan syirik. Karena Tuhan anak yang dikenal juga dalam Islam sebagai Nabi Isa as adalah sama seperti ciptaan Allah Swt yang lain. Nabi Isa as adalah makhluk dan hamba Allah Swt. Sudah jelas bahwa seorang hamba tidak akan pernah mencapai derajat Tuhan, sekalipun penciptaannya berbeda dari manusia-manusia lainnya.
Jika kelahiran Isa as yang hanya melalui ibunya Maryam, yang mengandungnya tanpa memiliki seorang suami, dianggap sebagai tanda ketuhanannya, maka Nabi Adam as, yang lahir kedunia tanpa Ayah dan Ibu, tentu lebih dekat kepada kedudukan ketuhanan. Selain itu, Tuhan tidak memiliki isteri dan sekutu, sehingga Nabi Isa as dapat dianggap sebagai anak-Nya. Kelahiran Nabi Isa melalui seorang perawan suci, yang tidak pernah tersentuh seorang lelaki pun, tak lain merupakan tanda dan bukti kekuasaan Allah. Dengan kehendak-Nya Allah menciptakan Nabi Isa dalam perut ibunya, Sayidah Maryam, lalu lahir ke dunia.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Berlebih-lebihan dalam urusan Agama akan membuat manusia tergelincir dari jalan lurus dan tersesat. 2. Semua nabi adalah manusia, sama dengan manusia yang lain, sekalipun kita meyakini mereka memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah.
ُ ْسيَح ش ُر ُه ْم ِإلَ ْي ِه ْ ع ْبداا ِ ََّّللِ َو ًَل ْال َم ََلئِ َكةُ ْال ُمقَ َّربُونَ َو َم ْن يَ ْست َ ْن ِك َ ف َ َف ْال َمسِي ُح أ َ ْن يَ ُكون َ َع ْن ِعبَادَتِ ِه َويَ ْست َ ْك ِب ْر ف َ لَ ْن يَ ْست َ ْن ِك (172)َج ِميْعاا Al Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya, dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. (12: 172) Ayat ini berbicara kepada orang-orang Kristen dengan mengatakan, “Mengapa kalian membawa Isa as pada kedudukan yang tinggi sebagai Tuhan! Padahal Isa sendiri tidak pernah merasa hina dengan menjadi hamba Allah. Sebagaimana para malaikat, meskipun memiliki kedudukan yang amat dekat di sisi Allah, mereka tidak pernah menolak bahkan merasa bangga dalam kedudukan sebagai hamba. Pada dasarnya, siapakah yang mampu menunjukkan kebesaran dirinya di hadapan keagungan Allah dan menolak kedudukan sebagai hamba-Nya?! Dalam riwayat-riwayat sejarah disebutkan bahwa Imam Ali Ridha as berkata kepada pemimpin orang-orang Kristen pada waktu itu, “Nabi Isa as memang sempurna dalam segala hal. Tetapi ia bukan ahli ibadah.” Mendengar ucapan beliau ini pemimpin Kristen itu marah dan mengatakan, ”Isa lebih banyak beribadah dibanding dengan siapa pun.” Imam Ridza as berkata kepadanya, ”Beribadah kepada siapa dan siapakah yang disembah olehnya?” Pemimpin Kristen itu tertegun karena memahami tujuan pertanyaan Imam Ridha yaitu, bahwa seorang abid (hamba yang beribadah) tidak mungkin menjadi ma’bud (sesuatu yang disembah).
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Dalam urusan agama tidak boleh ekstrim. Nabi Isa as sendiri mengaku bahwa ia adalah seorang hamba Allah. Lalu mengapa kita menyebutnya sebagai anak Tuhan? 2. Akar penyebab utama seseorang meninggalkan ibadah dan penghambaan diri kepada Allah ialah watak takabur yang membuat manusia akan terjauh dari seluruh berkah maknawi.
ض ِل ِه َوأ َ َّما الَّذِينَ ا ْست َ ْن َكفُوا َوا ْست َ ْكبَ ُروا فَيُْعَ ِذبُ ُه ْم ْ َور ُه ْم َويَ ِزيد ُ ُه ْم ِم ْن ف ِ صا ِل َحا َّ ع ِملُوا ال َ فَأ َ َّما الَّذِينَ آ َ َمنُوا َو َ ت فَي َُو ِفي ِه ْم أ ُ ُج َّ ُون (173)يرا َص ا ِ اَّللِ َو ِليًّا َو ًَل ن َ ِ عذَاباا أ َ ِلي اما َو ًَل يَ ِجد ُونَ لَ ُه ْم ِم ْن د Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karuniaNya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah. (12: 173) Ayat ini melanjutkan penjelasan tentang sesatnya keyakinan orang-orang Kristen mengenai Nabi Isa as. Disebutkan, ”Orang Yahudi dan Kristen yang tetap beriman dan beramal saleh tetap mendapat pahal dari Allah. Tetapi barangsiapa yang enggan menerima kebenaran dan menyombong diri di hadapan Allah, maka kelak pada Hari Kiamat Allah akan memberi azab dan siksaan yang pedih. Karena pada hari itu hanya iman dan amal saleh yang diterima dan dapat menyelamatkan. Sedang sekadar mengaku beragama atau menerima seorang nabi tanpa iman dan amal saleh tidak akan menolong manusia dari azab Allah Swt.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1.Iman yang benar harus diaktualisasikan dengan amal. Sementara amal tanpa iman tidak akan diterima Allah.
2.Tanpa iman dan amal perbuatan, kita tidak dapat mengharapkan syafaat, sekalipun para nabi memiliki kemampuan untuk memberikan syafaat.
ٌ اس قَ ْد َجا َء ُك ْم ب ُْره َّ ِ) فَأ َ َّما الَّذِينَ آ َ َمنُوا ب171( ورا ُمبِيناا ص ُموا بِ ِه َان ِم ْن َربِ ُك ْم َوأ َ ْنزَ ْلنَا إِلَ ْي ُك ْم نُ ا ُ َّيَا أَيُّ َها الن َ َ اَّللِ َوا ْعت ص َرا ا (175)طا ُم ْست َ ِقي اما ْ َسيُد ِْخلُ ُه ْم ِفي َرحْ َم ٍة ِم ْنهُ َوف ِ ض ٍل َويَ ْهدِي ِه ْم ِإلَ ْي ِه َ َف Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran). (12: 174) Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (12: 175) Ayat ini masih berbicara secara khusus kepata orang-orang Ahli Kitab dan mengatakan, “Allah Swt dengan mengutus Nabi Muhammad Saw telah menyempurnakan hujjah-nya atas kalian semua. Karena pengetahuan-pengetahuan yang tinggi dan mulia semacam ini, yang keluar dari seorang yang tidak pernah belajar, bahkan lahir dan hidup di tengah masyarakat yang amat terkebelakang, merupakan sebaik-baik bukti bahwa kitab suci yang ia sampaikan itu benar-benar firman ilahi. Suatu kitab yang menjadi pencerah jalan kalian, juga petunjuk bagi kalian yang sekaligus menjadi bukti yang jelas bahwa ia datang dari sisi-Nya. Barangsiapa yang memanfaatkan ajaran kitab ini dan mengamalkan semua perintah Allah, maka kitab ini akan menghantarkannya kepada kebahagiaan yang merupakan rahmat dan anugerah Allah. Dengan mengikutinya manusia di dunia dan di akhirat akan senantiasa di arahkan kepada Allah.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Pesan-pesan Islam bersifat universal. Ia berbicara kepada seluruh umat manusia di setiap zaman dan setiap generasi.
2. Pahala ilahi merupakan kemuliaan dan rahmat Allah, bukan hak dan permintaan kita kepada Allah. Sebagaimana dasar hidayah, juga merupakan rahmat dari Allah Swt.
َّ يَ ْست َ ْفتُون ََك قُ ِل ف َما ت ََر َك َو ُه َو يَ ِرث ُ َها إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن ْ ِْس لَهُ َولَد ٌ َولَهُ أ ُ ْختٌ فَلَ َها ن ُ ص َ اَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْال َك ََللَ ِة إِ ِن ْام ُر ٌؤ َهلَ َك لَي َّ سا اء فَ ِللذَّ َك ِر ِمثْ ُل َح ِظ ْاْل ُ ْنثَيَي ِْن يُبَيِ ُن اَّللُ لَ ُك ْم َ ان ِم َّما ت ََر َك َوإِ ْن َكانُوا ِإ ْخ َوة ا ِر َج ااًل َو ِن ِ َ لَ َها َولَد ٌ فَإ ِ ْن َكانَت َا اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َما الثُّلُث َّ َضلُّوا َو (176)ع ِلي ٌم َ اَّللُ ِب ُك ِل َ ٍش ْيء ِ أ َ ْن ت
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (12: 176) Surat an-Nisaa’ ini diakhiri dengan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum warisan bagi kaum perempuan. Yaitu warisan saudara perempuan dari saudara lelaki, dimana cara pembagiannya akan berbeda, jika terdapat saudara-saudara perempuan dan lelaki lain. Sebagaimana yang telah dijelaskan berkenaan dengan ayat 11 surat ini, Allah Swt sangat menekankan pemberian hak-hak ahli waris, baik anak perempuan maupun lelaki. Allah meminta kepada mukminin agar berhati-hati dan teliti dalam melaksanakan hukum-hukum warisan dan wasiat. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Agama bukan semata-mata untuk kebahagiaan ukhrawi, tetapi ia juga memiliki program untuk kebahagian hidup manusia di dunia. Masalah warisan, dari satu sisi merupakan masalah ekonomi, dan dari sisi lain merupakan masalah kekeluargaan dan Islam telah menjelaskan hukum-hukum berkenaan dengan semuanya itu.
2. Saham warisan saudara lelaki dua kali lipat dari saham saudara perempuan dan itu ditentukan berdasarkanilmu Allah. Penentuan ini bukan karena kondisi khusus pada zaman Nabi Muhammad Saw, dimana kaum perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah. Karena itu kita harus menerima ketetapan hukum-hukum Allah.