PENERAPAN SILA KETIGA DALAM KEHIDUPAN GOLONGAN MINORITAS DI DAERAH “X”
Disusun oleh : Nama
: Odilo Petra Irawan
NIM
: 11.11.5148
Dosen
: Tahajudin Sudibyo, Drs
Kelompok
:D
Kelas
: 11-S1TI-08
Untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Pendidikan Pancasila
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2010
1
ABSTRAK
Setiap manusia memiliki hak-hak dan derajat yang sama. Dan hak-hak tersebut telah tercantum dan dilindungi oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Masyarakat adalah satu kesatuan hidup manusia/individu yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Golongan mayoritas adalah kelompok yang mempunyai kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan golongan minoritas. Kelompok minoritas adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka atau diskriminasi.
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun penjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatNya, penyusun dapat menyelesaikan Tugas Ahir Pendidikan Pancasila ini dengan judul “PENERAPAN SILA KE-3 DALAM KEHIDUPAN GOLONGAN MINORITAS DI DAERAH “X”’. Serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan Tugas Akhir Pendidikan Pancasila ini. Akhirnya penyusun berharap semoga Tuhan memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk memenuhi persyaratan mata kuliah Pendidikan Pancasila di STMIK Amikom Yogyakarta. Dalam penulisan makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penyusun. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Yogyakarta, 26 Oktober 2011
Penyusun
3
BAB I
A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia seharusnya memiliki derajat yang sama dan hak-hak pribadi dalam hidup. Hak-hak tersebut tercantum dan dilindungi dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai warga Negara yang baik, kita harus menghargai hak-hak manusia tersebut. Selain itu, kita juga harus menghargai perbedaan satu sama lain, baik perbedaan pendapat, hak pribadi, ras, suku, agama, dan kebudayaan. Namun, tidak sedikit konflik-konflik yang terjadi karena perbedaanperbedaan tersebut. Kita sendiri pasti tahu apa itu golongan mayoritas maupun golongan minoritas. Penggolongan tersebut terjadi karena perbedaan-perbedaan satu sama lain. Oleh sebab itu penyusun tertarik mengulas permasalahan-permasalahan tersebut sebagai bahan dalam menyusun tugas akhir Pendidikan Pancasila ini. Dalam hal ini penyusun akan membahas tentang masalah-masalah dalam kehidupan golongan minoritas di suatu daerah.
B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan masyarakat ? 2. Apa yang dimaksud dengan diskriminasi ? 3. Apa yang dimaksud dengan golongan mayoritas ? 4. Apa yang dimaksud dengan golongan minoritas ? 5. Apa hubungannya dengan sila ke 3 ? 6. Bagaimana seharusnya agar masalah tersebut terselesaikan ?
4
BAB II
A. Pendekatan Historis 1. Masyarakat Majemuk Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang tergolong sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara legal dan formal, seperti yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum direformasi atau pada jaman penjaajhan Belanda dan penjaajhan Jepang di Indonesia. Dan, ada yang didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
2. Masyarakat Majemuk Indonesia Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakatmasyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan masyrakat suku bangsa, dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Dalam perspektif hubungan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan masyarakat-masyarakat suku bangsa adalah minoritas. Hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia Belanda dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk 5
kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang didukung oleh para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau primitif.
Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaanperbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai kekutan militer dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalam penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah mengenal peradaban dan mereka yang belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan
dominan-minoritas
yang
bervariasi
sesuai
konteks-konteks
hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah penjajahan Jepang yang merupakan pemerintahan militer telah memposisikan diri sebagai kekuatan memaksa yang maha besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat suku bangsa yang dijajahnya. Dengan kerakusannya yang luar
6
biasa, seluruh wilayah jajahan Jepang di Indonesia dieksploitasi secara habis habisan baik yang berupa sumber daya alam fisik maupun sumber daya manusianya, yang merupakan kelompok minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan mereka, kemerdekaan diri pada tanggal 17 agustus tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Pada tahun-tahun penguasaan dan pemantapan kekuasaan pemerintah nasional barulah
muncul
sejumlah
pemberontakan
kesukubangsaan-keyakinan
keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah pusat, seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di jawa Barat, DI/TII di Sulawesi Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, dan berbagai pemberontakan dan upaya memisahkan diri dari Republik Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, di Riau, dan di Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah antar suku bangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Kesemuanya ini menunjukkan adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat suku bangsa dan konflik di antara masyarakat-masyarakat suku bangsa dan keyakinan keagamaan yang berbeda di Indonesia.
Dalam era diberlakukannya otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak atas sumber daya alam, fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan
7
oleh pemerintahan lokal, yang dikuasai dan didominasi administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau mereka yang secara suku bangsa adalah suku bangsa yang asli setempat. Ini berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah administrasinya. Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan mayoritas dan golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kesukubangsaan yang bersangkutan. Lalu apakah itu dinamakan minoritas dan mayoritas? B. Pembahasan
1. Masyarakat Konsep tentang masyarakat pasti sering kita dengar, seperti: masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat Betawi, masyarakat Jawa, dll. Meskipun secara mudah bsia diartikan bahwa masyarakat itu berarti warga namun pada dasarnya konsep masyarakat itu sendiri sangatlah abstrak dan sulit ditangkap. Masyarakat adalah satu kesatuan hidup manusia/individu yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Berikut ini adalah pengertian dan definisi tentang masyarakat menurut beberapa ahli : a. PETER L. BERGER Definisi masyarakat adalah suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan yang kompleks sendiri berarti bahwa keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan.
8
b. MARX Masyarakat ialah keseluruhan hubungan - hubungan ekonomis, baik produksi maupun konsumsi, yang berasal dari kekuatan-kekuatan produksi ekonomis, yakni teknik dan karya. c. GILLIn & GILLIN Masyarakat adalah kelompok manusia yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. d. HAROLD J. LASKI Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. e. ROBERT MACIVER Masyarakat adalah suatu sistim hubungan-hubungan yang ditertibkan (society means a system of ordered relations). f. SELO SOEMARDJAN Masyarakat
adalah
orang-orang
yang
hidup
bersama
dan
menghasilkan kebudayaan. g. HORTON & HUNT Masyarakat adalah suatu organisasi manusai yang saling berhubungan. h. MANSUR FAKIH Masyarakat adalah sesuah sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni.
2. Diskriminasi Menurut Theodorson (1979 : 115-116) diskriminasi adalah perlakuan yang
tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan
sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti
9
berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat aktif atau aspek yang dapat terlihat dari prasangka yang bersifat negatif terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip diskriminasi.
3. Contoh kasus diskriminasi a. Masa lalu Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap "Pri" [Pribumi]atau bahkan“Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma "Non Pri" tersebut kedudukan mereka yang bukan
“pribumi”,
terutama
keturunan
Tionghoa
terasa
sekali
pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan
10
beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis. Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu, oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan
Presiden
seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan
Presiden No.240/1967
mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No.
37/U/IN/6/1967
tentang
kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4). Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif
terhadap etnis Tionghoa, seperti
yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata
SA. Penghargaan ini
memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA. Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16 September 1998, dan ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen, para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, dan para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya, Kepala Daerah Tingkat II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi
11
dalam
semua perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan;
Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras
maupun asal usul.
menyesuaikan program,
Ketiga meninjau kembali, dan
seluruh peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan,
dan
kegiatan
yang
selama
ini telah ditetapkan dan
dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain, sesuai dengan instruksi Presiden ini; dan sebagainya. Alasan yang merupakan
rasionalisasi
bagi
mereka
yang mendukung politik
pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada “masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang Tionghoa di Indonesia harus masuk Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah
dia orang terulangnya
terjadi pembunuh missal terhadap mereka di Indonesia, seperti pada permulaan Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15 Mei 1998. Salah seorang eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik kandung Dr. Arief Budiman), waktu ditanya mengapa ia tidak tukar nama? Jawabnya adalah "Pak politik asimilasi
12
ini
sudah
diselewengkan
oleh
para
Jenderal, sehingga akan
menyusahkan orang keturunan Tionghoa!". Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang
keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih
didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap "Cina". Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi, seperti kantor-kantor
diperas,
pemerintah.
jika
hendak
mengurus
surat
di
Mereka didiskriminasi jika mau masuk ke
sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifat- sifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabat- pejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negara yang menjunjung tinggi HAM. Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI). b. Sekarang Dalam kehidupan sehari-hari di daerah “X” yang mempunyai beragam suku, agama, ras, dll, banyak ditemukan contoh kasus diskriminasi. Walaupun kasus diskriminasi yang terjadi di daerah “X” saat ini tidaklah se ”ekstrim” yang terjadi pada zaman dahulu, tetapi deskriminasi tetaplah
13
bukan merupakan tindakan yang baik untuk tetap diberlakukan. Sebagai contoh kasus deskriminasi yang sering terjadi ialah disingkirkannya golongan minoritas agama, suku, dan lain-lain yang bersifat minoritas.
4. Golongan Mayoritas Golongan mayoritas adalah kelompok yang mempunyai kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan golongan minoritas. Digambarkan dalam tindakan penjajahan (expansion). Dimana kaum mayoritas yang lebih tangguh , lebih depresif , lebih expansif bisa untuk menundukan kaum mayoritas. Golongan tersebut terdapat dalam berbagai aspek, antara lain: suku, ras, budaya, agama, dll.
5. Golongan Minoritas Menurut Theodorson (1979 : 258-259), kelompok minoritas adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat
prasangka atau
diskriminasi. I stilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya
14
ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi.
6. Pengertian Sila Persatuan Indonesia 1. Nasionalisme. 2. Cinta bangsa dan tanah air. 3. Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia. 4. Menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit. 5. Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan. 6. Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan yang Maha Esa 7. Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya. 8. Tidak memaksa warga negara untuk beragama. 9. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama. 10. Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya masing-masing. 11. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama. 7. Solusi Masalah Sebagai warga masyarakat yang baik, seharusnya kita tidak mendeskriminasi golongan minoritas di daerah kita. Kita semua tinggal di daerah yang sama, Negara yang sama, nasib yang sama, lalu kenapa kita harus mengasingkan golongan yang minoritas di daerah kita. Bukankah akan lebih baik jika kita bersatu membangun negeri ini. Untuk itu diperlukan rasa kebersamaan, persaudaraan, toleransi, dan kekeluargaan dalam diri kita masing-masing. Tugas kita adalah bagaimana menciptakan rasa tersebut serta menjaganya dan mewariskannya kepada generasi-generasi selanjutnya.
15
BAB III
Kesimpulan Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas, khususnya suku bangsa Tionghoa masih aktual, dalam arti masih berlangsung terus. Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena "fulus", yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat, baik sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah Indonesia
Tionghoa,
yang
berkat
peraturan-peraturan
hukum
orang yang
dikeluarkan Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.
16
REFERENSI
Suparlan, Parsudi, 1999 “Masyarakat Majemuk dan Hubungan antar Suku Bangsa,” Masalah Cina (I. Wibowo ed.). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, bekerja sama dengan Pusat Studi Cina. Hlm, 149- 173.
Tempo, 1986 Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Jakarta: Percetakan PT Temprint.
Theodorson, George A, and Achilles G. Theodorson, 1979 A Modern Dictionary of Sociology. New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books.
Thung
Ju
Lan,
1999,
“Tinjauan
Kepustakaan
tentang
Etnis
Cina
di
Indonesia,” Retrospeksi dan Rekonteskstualisasi Masalah Cina (I. Wibowo, ed.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, bekerjasama dengan Pusat Studi Cina. Hlm. 3-23.
17