PENERAPAN SANKSI PIDANA ADAT TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DI BAWAH UMUR (Studi Kasus : Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman)
JURNAL Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana H ukum Oleh: NIA DANIATI NPM. 1110005600002
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TAMANSISWA PADANG 2015
1
PENERAPAN SANKSI PIDANA ADAT TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DI BAWAH UMUR DI NAGARI ULAKAN KABUPATEN PADANG PARIAMAN Nia Daniati NPM. 1110005600002 Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa 54 hal
ABSTRAK Pencabulan anak di Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman termasuk jenis perkara adat minang khususnya nagari ulakan yang di namakan sebagai sumbang (perbuatan yang dilarang oleh adat dan agama), pencabulan merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh adat ulakan yang tidak lazim dan suatu perbuatan yang sangat di benci oleh Allah SWT karena Nagari ulakan merupaka suatu daerah yang kental dengan adat dan ketentuan agam islam. Cabul dilakukan terhadap anak yang belum berusia 15 tahun dan tampa ikatan perkawinan. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana bentuk proses penerapan sanksi adat terhadap tindak pidana pencabulan di nagari ulakan kabupaten padang pariaman, (2) Bagai mana penerapan sanksi pidana adat terhadap pelaku tindak pidana pencabulan anak di bawah umur di nagari ulakan kabupaten padang pariaman.(3) Penelian yang sudah dilakukan merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis, menggunakan data primer dan sekunder, dengan lokasi penelitian di Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman. hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi adat terhadap pelaku tindak pidana pencabulan di wilayah ulakan kabupaten padang pariaman yaitu, dikucilkan dari masyarakat dalam jangka waktu tertentu kepada yang bersangkutan dan sampai diakui lagi sebagai warga kampung tersebut, membayar denda adat berupa memotong kerbau sebagai ritual yang sakral, denda semen dan pasir untuk alas kaki ninik mamak, jamuan untuk menandakan bahwa pelaku telah bertaubat dan kembali mempererat tali silaturahmi antara kedua keluarga dan masyarakat, dan di paksa untuk menikahi korban. Semua telah dilakukan jauh pada bebeberapa abad yang lalu yang berlandaskan pada Undang-Undang Adat Nan Duo Puluah.
i
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat yaitu tingkah laku yang ada dalam suatu masyarakat, juga dipandang sebagai kebiasaan normatif yang dipertahankan oleh masyarakat, walaupun tidak terus terulang tetapi disaat-saat tertentu akan berulang dan harus dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanankan maka masyarakat akan mengadakan reaksi, reaksi tersebut juga berupa sanksi yang telah di terapkan, adat juga merupakan suatu suatu aturan yang tidak tertulis yang mengatur tengtang kehidupan dalam masyarakat baik dalam kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. Minangkabau sebagai mana menurut suatu pandangan hidup masyarakat yang berpangkal pada budi. Budi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang nyata dalam alam, sebab alam adalah semata-mata budi yang bersifat memberi dengan tidak mengharapkan balasan. Masyarakat mengakui sanksi tersebut memiliki kekuatan berlaku yang sama dengan hukum pidana dalam KUHP, sebab sanksi tersebut merupakan kesepakatan yang telah di tetapkan oleh pemuka-pemuka adat sebelumnya. Pemuka adat tersebut tergabung dalam suatu lembaga adat baik bersifat formal seperi Kerapatan Adat Nagari (KAN), maupun yang non formal. Lembaga-lembaga adat tersebut memiliki kewenangan dalam masyarakat, baik dalam lapangan hukum privat, maupun dalam hukum lapangan hukum publik. Kewenangan tersebut sebagai penengah ( arbiter) dalam penyelesaian suatu sengketa adat dan juga memilikisuatu kewenangan istimewaan dalam proses penegakan hukum pidana, dimana dalam hal terjadi tindak pidana ringan, penyidik harus lebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pemuka adat (ninik mamak) sebelum melakukan penahanan terhadap pelaku. Salah satu delik yang mendapatkan sanksi pidana adat dalam masyarakat Minangkabau yaitu perbuatan cabul, perbuatan ini sangat sakral terhadap tindakan yang menodai nagari tersebut, Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan mengenai cabul mengutip buku “ Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin seperti cium-ciuman, meraba-raba buah dada, meraba-raba anggota kemaluan dan sebagainya. Sesuai dengan Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur ini memiliki berbagai proses dalam memberikan sanksi kepada pelaku, dan penyelesaianyapun dilakukan dengan proses dari kepolisian, penyidikan dan berakhir di persidangan atau pengadilan, tetapi ternyata di Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman hal yang seperti ini dilakukan dengan proses persidangan adat, atau pemberian sanksi dengan proses adat yang berlau di wilayah tersebut, maka dari itu penulis tertarik untuk mengungkapnya melalalui penelitian ilmiah dalam bentuk Skripsi dengan judul “ Penerapan Sanksi Pidana Adat Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak dibawah umur Studi Kasus: Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman. B. METODE PENELITIAN Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis, yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai
1
proses terjadinya dan berlakunya ataupun efektivitas berlakunya hukum di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini adalah untuk efektivitasnya penerapan pidana adat. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data primer merupakan sumber utama yaitu data yang langsung penulis peroleh dari fenomena yang terjadi, observasi dan interview dari warga Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman berupa wawancara dengan para tokoh adat. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian perpustakaan dalam bentuk : a. Bahan Hukum Primer. Bahan yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan untuk mendapatkan data yang kongkret mengenai materi yang dibutuhkan dan diperoleh melalui wawancara yang dilakukan dengan ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari) Nagari Ulakan yang bernama Yusapri.Rangkayo.Dt.Bandaro. wawancara yang dilakukan dengan cara semi terstruktur, artinya sipeneliti mempersiapkan daftar pertanyaan tetapi tidak menutup kemungkinan muncul pertanyaan berdasarkan jawaban yang diberikan. b. Bahan Hukum Skunder. Bahan hukum sekunder berupa, literature (buku-buku ilmiah) hukum, jurnal dan dokumen. c. Bahan Hukum Tertier. bahan hukum yang dapat memberi informasi, petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus hukum, kamus bahasa indonesia, kamus bahasa inggris, ensiklopedia dan sebagainya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan dua cara, yaitu : a. Studi dokumen. Studi dokumen merupakan suatu teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen yang berkaitan erat dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. b. Wawancara. Wawancara dilakukan secara langsung dengan pemuka adat dan ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari) Nagari Ulakan yang bernama Yusapri.Rangkayo.Dt.Bandaro untuk mendapatkan informasi tentang permasalahan yang ada dalam penulisan ini. Untuk melakukan wawancara, penulis mengajukan beberapa pertanyaan kepada respoden secara semi terstruktur. TINJAUAN UMUM A. Definisi Adat Minangkabau Secara Umum 1. Pengertian Adat Minangkabau Adat yaitu tingkah laku yang ada dalam suatu masyarakat, juga dipandang sebagai kebiasaan normatif yang dipertahankan oleh masyarakat, walaupun tidak terus terulang tetapi disaat-saat tertentu akan berulang dan harus dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanankan maka masyarakat akan mengadakan reaksi, reaksi tersebut juga berupa sanksi yang telah di terapkan, adat juga merupakan suatu suatu aturan yang tidak tertulis yang mengatur tengtang kehidupan dalam masyarakat baik dalam kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. Adat Minangkabau juga sering dibaca (identik) dengan alam Minangkabau, yakni meliputi, alam gaib atau akhirat, sebagai
2
pedoman yang termasuk dalam Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah( ABS,SBK) yang bersumber dari alquran dan badis, syarak mangato adat mamakai ( adat dan syarak sejalan) yang dalam ungkapan masyarakat Minang hiduik baraka mati bariman, maknanya adalah dalam menjalani hidup ini mengamalkan kandungan isi alquran dan hadis dan bila sudah meninggal dunia akan menerima pembalasan di akhirat. Minangkabau juga merupakan daerah yang terkenal dengan adatnya yang kuat dari zaman dahulu sampai sekarang dengan semboyan adat” Adaik Basandi Syara’ Syara” Basandi Kitabullah”, semboyan ini juga memiliki tiga arti yaitu sebagai berikut: 1. Pengertian menurut bahasa dalam dialektika Minangkabau: Adaik yang berartikan adat, kultur/ budaya, Sandi yang berartikan asas atau landasan, Syara’ yang berarti agama islam dan Kitabullah yang berarti Alqur’an dan sunah Nabi Muhammad Saw. 2. Pengertian dalam implementasi keseharian: Bagi masyarakat Minangkabau dalam melaksanakan adaik basandi syara’syarak basandi kitabullah disimpulkan lagi dengan kalimat”syarak’ mangato adaik mamakai” yang artinya islam mengajarkan, memerintahkan dan menganjurkan sedangkan adat melaksanakannya. 3. Pengertian yang sebenarnya: Adat Minangkabau harus sesuai dengan ajaran agama islam secara sempurna (Kaffah), tidak boleh ada praktek adat yang bertentangan dengan ajaran islam, karena apabila ada praktek adat oleh masyarakat Minangkabau yang melanggar ajaran islam maka ia boleh disebut sebagai orang yang tidak beradat (dalam ungkapan adat Minangkabau). Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan adat Minangkabau adalah ragam budaya dan prilaku kehidupan masyarakat Minangkabau yang dilandasi asas minkin dan patut sesuai dengan syari’at islam. 2. Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat a. Hukum Adat Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang lain dalam proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-istiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu dengan lainnya pasti tidak sama. Adat selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu tetap kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat dan kehendak zaman. Adat-istiadat yang hidup dalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat. Hukum adat juga merupakan setiap Undang-Undang dan peraturan tertentu sangat di perlukan adanya sanksi hukum untuk menjaga Undang-Undang agar di taati oleh semua pihak, tidak terkecuali adat minangkabau yang mengurus dan menjaga seluruh masyarakat hukum adat, yang sangat di perlukan peraturan perundang-Undangan yang sifatnya dapat memaksa dan mengawasi masyarakat hukum adat, hukum dan sanksi adat bukan merupakan hukuman badan tetapi melaikan hukuman jiwa. Selain hukuman jiwa, hukuman adat juga bertujuan sebagai berikut:
3
1. Menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh terhukum, 2. Memberi pendidikan moral baik pada terhukum maupun untuk masyarakat banya, 3. Menegakan keadilan bagi seluruh masyarakat hukum adat. b. Hukum Pidana Adat Mengenai pengertian pidana adat, Teer Haar memberikan pernyataan bahwa setiap perbuatan dalam sistem adat dinilai dan dipertimbangkan berdasarkan tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Pelanggaran yang terjadi didalam hukum adat atau juga disebut pidana adat menurutnya adalah setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap gangguan terhadap barang-barang materiil dan imateriil milik seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan reaksi adat. 3. Hukum Adat Menurut Para Ahli Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat- istiadat dan hukum adat. Suatu adat istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (Hukum Adat). Tentang bagaimana perubahan itu sehingga menimbulkan hukum adat dapat dikemukakan beberapa pendapat sarjana, antara lain : a) Van Vollenhoven Dikatakan olehnya bahwa suatu peraturan adat, tindakan tindakan (tingkah laku) yang oleh masyarakat hukum adat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para Kepala Adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan adat itu bersifat hukum. b) Ter Haar Dikatakan olehnya bahwa hukum adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari penetapan-penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat,hakim, rapat desa dan lain sebagainya yang dinyatakan di dalam atau di luar persengketaan. Saat penetapan itu adalah eksistensial momen saat lahirnya hukum adat tersebut. c) Prof.Soepomo Mengatakan bahwa suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia (“rule of behavior”) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan -peraturan itu. B. Sanksi Pidana Adat Dalam hukum pidana adat, berat atau ringannya pidana tergantung dari hukum adat yang berlaku dilingkungan adat masing-masing. Sanksi atau reaksi adat merupakan suatu perilaku untuk memberikan klasifikasi tertentu pada perilaku tertentu, sedangkan koreksi merupakan usaha untuk memulihkan perimbangan antara dunia lahir dengan gaib. Dengan demikian, apabila suatu tindak pidana yang dilakukan oleh salah seorang masyarakat mengakibatkan reaksi negatif, maka masyarakat menghendaki adanya pemulihan keadaan yang dianggap telah rusak. Adapun tindakan reaksi atau koreksi terhadap kejahatan dalam lingkungan masyarakat adat Indonesia menurut Soepomo sebagai berikut :
4
1. Penggantian kerugian materiel dalam berbagai rupa seperti paksaan untuk menikahi gadis yang telah dicemarkan. 2. Pembayaran uang adat kepada yang terkena, berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian rohani. 3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib. 4. Penutup malu atau permintaan maaf. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum 1. Teori – Teori Dalam Hukum Adat. a. Reception In Complexu Teori Reception In Complexu dikemukan oleh Mr.LCW Van Der Berg. Menurut teori Reception In Complexu : “Kalau suatu masyarakat itu memeluk agama tertentu maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya. Kalau adanya hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.” b. Receptie Theori Teori resepsi ini berawal dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Teori ini dapat dipahami bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat. Oleh karena itu, hukum Islam yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya bukanlah hukum islam melainkan hukum adat. c. Receptio a Contrario Teori ini merupakan teori pematah yang dikemukakan oleh Hazairin dan Sajuti Thalib. Dikatakan sebagai teori pematah karena teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali berlawan arah dengan teori yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (repceptie theorie). Pada teori ini justru hukum adatlah yang berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan lain, hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam. 2. Undang- Undang Yang Mengatur Dalam Adat Minangkabau Dalam sejarah adat Minagkabau kata adat berasal dari bahasa sengsekerta, berbeda dengan a’dat dari bahasa arab, sehingga sulit mengenalnya sejak awal tetapi, ditinjau dari penuturan para pemuka adat dapat disimpulkan bahwa adanya Undang-Undang adat sebelum adanya adat yang diadatkan yang telah dirancang oleh Dt. Parpatiah nansabatang dan Dt. Katumangguangan yakni: a) Undang adat yang bernama simumbang jatuh yaitu hukum tidak boleh dibandingkan. b) Undang adat yang bernama sigamak- gamak yaitu basicapek nan dahulu ( bergegas cepat untuk dahulu). c) Undang adat yang bernama silamo-lamo yaitu babana ka pangka langan ( be-benar ke pangkal lengan). d) Undang adat yang bernama tariak baleh yaitu utang ameh baie jo ameh ( hutang emas dibayar dengan emas). Dari empat macam undang adat ini masih terdapat dua pembagian undang-undang yang telah di susun oleh Dt.parpatiah nansabatang yang bersifat undang-undang alam minangkabau yakni Undang-Undang Nan Duo Puluah, Undang-Undang nan duo puluah merupakan Undang-Undang yang mengatur persoalan hukum pidana, mengenai berbagai bentuk kejahatan dengan sanksi
5
tertentu dan bukti kejadian dari kejahatan tersebut yaitu dengan cara pembuktian dari masyarakat dan kaum. Dalam Undang-Undang Nan Duo Puluah ini tidak disebutkan ancaman hukum badan, karena ancaman hukuman terhadap pribadi yang melakukan pelanggaran hukum, tidak sesuai dengan sistem masyarakat komunal yang berasaskan kolektivisme. Dalam hukum adat kesalahan yang kecil boleh habis dengan bermaaf-maafan dan pelaku kejahatan yang tidak bisa diampuni lagi karena membangkang atau sudah berulang kali maka dijatuhi hukuman terkurung diluar. Kerapatan penghulu sebagai pengadilan adat berwenang “ membuang” anak kemenakan yang terbukti bersalah menurut hukum adat. Membuang artinya menyingkirkan dari masyarakat adat atau tidak dibawa sehilir semudik, baik indak bahimbauan, tibo dikarajo buruak indak bahambauan, buruk baik yang terjadi, baik di kampung, suku atau di nagari tidak lagi di beritahukan. Proses membuang ini bertingkat melai dibuang dari kampung, suku dan jika perlu dibuang dari nagari. C. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Adat. Setiap aturan adat yang timbul dan berkembang kemudian bisa lenyap dengan adanya peraturan yang baru dan sesuai dengan hati nurani masyarakat. Segala aturan yang mengatur dalam hukum adat, telah memiliki dasar hukum dan landasan yang menjadi panduan untuk penerapan sanksi, dasar hukum yang terdapat dalam berlakunya hukum adat yaitu sebagai berikut1. 1. Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951, peradilan pribumi danperadilan swapraja telah dihapuskan sehingga tugas menyelesaikan perkara hukum beralih kepada peradilan umum. Sementara peradilan desa tetap berjalan sebagaimana biasa menurut hukum adat masing-masing daerah. 2. Yurisprudensi / Putusan Mahkamah Agung tentang delik adat kesusilaan yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K / Pid / 1988 tanggal 15 mei 1991 yang menegaskan bahwa sanksi adat yang telah dijatuhkan oleh kepala adat terhadap pelaku delik adat kesusilaan diakui dan tidak dapat lagi dikenakan pidana apabila sanksi adat tidak dilasanakan. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dimana hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. a. Tindak Pidana Pencabulan. 1. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Pengertian perbuatan cabul(ontuchtige handellngen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun yang dilakukan pada orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainya yang dapat merangsang nafsu seksual. KUHP menjelaskan perbuatan cabul sebagai berikut: “Segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin minsalnya,: ciumciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dansebagainya. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian cabul”
1
. Soepomo,1967, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya.Praramitha, hal 5, Jakarta
6
Menurut R.Soesilo(1996:209), yang dimaksud dengan persetubuhan ialah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani. Perbuatan cabul, merupakan suatu perbuatan persetubuhan seorang wanita yang belum berusia lima belas tahun dengan seorang lelaki di luar perkawinan, dengan cara bujuk rayuan dan ancaman untuk melakukan hubungan seks, seperti meraba, mencium dan berhubungan badan. Pencabulan menurut masyarakat Nagari Ulakan dipercaya dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan serta diyakini bakal mendatangkan bencana atau malapetaka terhadap kampung tempat tinggal yang bersangkutan. Pada zaman dahulu di wilayah hukum adat Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman, apabila sebuah perbuatan sumbang yaitu perbuatan yang mencoreng muka keluarga dan ninik mamak dan masyarakat sekitar. Maka keduanya akan di beri sanksi seperti di tampar, di bunuh dan tidak dianggap sebagai anggota keluarga serta di kucilkan dari pergaulan masyarakat. 2. Unsur-unsur Perbuatan Tindak Pidana Pencabulan Untuk mengetahui unsur-unsur dari perbuatan cabul, penulis akan menjabarkan dari Pasal-Pasal yang menyangkut dengan perbuatan cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun” Adapun yang dikatakan dengan kekerasan adalah merupakan setiap perbuatan yang ditunjukaan pada orang lain dengan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar dimana kekuatan itu mengakibatkan orang lain tidak berdaya. Mengenai ancaman kekerasan, Adami Chazawi mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan ancaman kekerasan merupakan ancaman berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk melakuakan perbuatan fisik yang besar berupa kekerasan, mungkin dilakukan atau diwujudkan kemudian bila ancaman itu tidak membuat hasil sebagai yang di inginkan pelaku. Sedangkan bunyi Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 memperjelas dengan bunyi sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan, tipu muslihat, serangakaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan atau membiarkan untuk melakuakan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas )tahun dan paling singkat tiga (3) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,-( tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,-(enam puluh juta rupiah).”2 Apapun unsur-unsur dari Pasal 80 dan Pasal 82 tersebut adalah sebagai berikut: 1. Unsur Objektif :
2
. Ibid
7
a. Perbuatan yang memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk. b. Objeknya seseorang yang melakukan atau membiarkan melakukan perbuatan cabul. 2. Unsur-unsur Subjektif yaitu Adanya tipu muslihat, serangkaian kebohongan dan membujuk. Membujuk itu sendiri adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang lain itu menurutinya berbuat sesuatu yang bila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian. 3. Pengertian Tindak Pidana pencabulan Dalam Undang-Undang Hukum Pidana. Pengertian tindak pidana dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaarfelt, stratbaarfeit istilah ini memiliki tiga suku kata yaitu Sraf, baar dan feit yang masing-masing memiliki arti: 1) Straf yaitu pidana dan hukum 2) Baar yaitu dapat dan boleh 3) Feit yaitu tindak, peristiwa,pelanggaran dan perbuatan. Jadi dari istilah-istilah tersebut dapat diartikan, srafbaarfeit yaitu suatu peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering menggunakan istilah delik, istilah delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana atau hukuman, sedangkan pembuat Undang-Undang merumuskan bahwa dalam undangundang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan suatu hal tertentu pada peristiwa hukum pidana. b. Pengertian Anak di bawah umur 1. Pengertian Anak secara umum Secara umum dapat diartikan bahwa anak adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang perlu di jaga, dididik dan lindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan bekembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya, sebagai bekal sumber daya. Anak merupakan harta yang tidak ternilai hargany, seorang anak hadir sebagai amanah yang dititipkan Tuhan untuk dirawat, di jaga dan dididik yang kelak setiap orang tua akan diminta pertanggung jawaban atassifat dan perilaku anak semasa di dunia. oleh karena itu segala bentuk pelaku yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan, harus segera dihentikan tampa kecuali. 2. Pengertian Anak Menurut Para Ahli Anak memiliki arti yang luas, untuk lebih jelas maka para ahli memberikan definisi dan arti tersendiri, pengertian anak yang dikemukakan oleh para ahli yaitu: Ketika anak lahir orang tua wajib memberikan pendidikan baik agama maupun dunia kepadanya anak dini, hal ini merupakan bekal anak ketika dewasa kelak telah memiliki pegangan hidup dari arahan orang tuanya. Menurut pengertian anak baik
8
secara umum maupun menurut pendapat para ahli, ketika anak beranjak dewasa, dan orang tua tidak mampu maka anak merupakan harapan orang tua untuk bertumpu. c. Prinsip-prinsip perlindungan anak Adapun prinsip terhadap perlindungan anak yang penulis terakan dalam hal ini yaitu sebagai berikut: 1. Anak tidak dapat berjuang sendiri Prinsip ini merupakan suatu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah anak merupakan modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa, dan keluarga, untuk itu hak anak harus di lindungi, anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri baik itu dari segi hak-haknya. 2. Kepentingan terbaik untuk anak Perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik dengan menyatakan bahwa kepentingan anak harus dipandang sebagai of paramount importence (memperoleh pioritas tertinggi) dalam setiap kebutuhanya dan terlindung dari ancaman dari kehidupan yang mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan anak harus dimulai sejak dini dan terus menerus baik itu yang lahir maupun yamg masih dalam kandungan yang perlu di lindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium. d. Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan Segala perbuatan tindak pidana tidak terlepas dari berbagai faktor yang menyebabkan perbuatan itu terjadi, Faktor tersebut terbagi atas dua yaitu faktor eksternal ( pendidikan, teknologi, lingkungan) dan faktor internal ( biologis, jiwa, dan kepribadian) hal ini dapat diihat lebih jelas sebagai berikut: 1. Faktor Eksternal Yaitu faktor yang terdapat diluar dari seseorang pelaku pencabulan, adapun faktor eksternal tersebut antara lain : a. Pendidikan Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam penentuan sikap dan tingkah laku seseorang. Biasanya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula cara pandang, pola pikir dan wawasan orang tersebut apalagi pendidikan tersebut diiringi dengan agama, adat istiadat dan akhlak yang baik. b. Teknologi Perubahan zaman dan kemajuan di bidang teknologi merupakan suatu faktor yang sangat menunjang untuk terjadinya tindak pidana pencabulan ini, karena orang dengan gampang dan mudah mendapat sarana dan prasarana untuk pemuasan nafsu. c. Lingkungan Dalam membicarakan penyebab terjadinya tindak pidana kita tidak terlepas dari masalah lingkungan, faktor lingkungan merupakan faktor utama terjadinya dari suatu krjahatan yang kebanyakan timbul dari lingkungan keluarga kemudian menyebar pada lingkungan masyarakat. 2. Faktor Internal Yaitu faktor yang terdapat pada dalam diri seseorang pelaku pencabulan, faktor internal tersebut antara lain dorongan dari dalam diri pelaku pencabulan dan peran korban itu sendiri. Kejahatan ini hanya bersifat pemuasan emosi dan nafsu sementara, selain itu faktor agama juga berperan, kurangnya keimanan dan kepercayaa agama seseorang memudahkan dia untuk melakukan suatu perbuatan kejahatan susila
9
seperti pencabulan, dan persetubuhan, memenuhi kebutuhan nafsu seksual tersebut orang sering melakukan hal yang dilarang oleh Hukum dan Agama. D. Dampak Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Pencabulan itu adalah suatu perbutan seorang lelaki terhadap seorang perempuan untuk melakukan hubungan seksual dengan adanya unsur paksaan, bujukan dan kekerasan kepada seorang perempuan yang sipelaku mengetahui bahwa si korban belum waktu untuk kawin atau belum berusia lima belas tahun. Jadi korban pencabulan adalah seorang perempuan yang dengan ancaman kekerasan dipaksa atau di bujuk untuk melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan atau bersetubuh dengan orang yang lain di luar perkawinan. Bentuk Proses Penerapan Sanksi Pidana Adat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Anak di Bawah Umur di Nagari Ulakan. 1. Penerapan Sanksi Hukum Adat di Nagari Ulakan. Minangkabau merupak suatu tempat yang sangat sangat menjunjung tinggi nilai adat dalam masyarakatnya, apa lagi di Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman, setiap masyarakat yang melanggar Norma-norma adat dan aturan yang berlaku dalam sebuah nagari tersebut akan dikenakan sanksi adat yang telah diatur oleh pemuka adat sebelumnya, dalam penerapan sanksi pidana adat dalam delik pencabulan di dalam suatu nagari ulakan yaitu sebagai berikut: i. Dikenakan denda dengan membayar beberapa sak semen dan beberapa truk pasir sebagai alas kaki ninik mamak yang telah tercoreng harkat dan martabatnya dalam satu kampung, denda tersebut disesuaikan dengan tingkat perbuatan yang dilakukan oleh sipelaku. ii. Menyembelih kerbau dan sejenisnya, untuk membersihkan kampung dari bencana atau disebut dengan bala. iii. Apa bila kedua pihak dalam keadaan sendiri atau dengan status belum ada ikatan perkawinan dengan yang lain atau masih gadis dan lajang maka keduanya akan di nikahi, sesuai dengan musyawarah antara ke dua belah pihak. iv. Sipelaku akan diminta pertanggung jawabanya dengan membawa pergi korban ke rantau atau kekampung yang lain dari tempat asal mereka. v. Apabila salah satunya sudah terikat dengan tali pernikahan maka pelaku harus bertanggung jawab dengan menjadikan korban sebagai istri, dengan membawa jauh dari kampung halam atau disebut juga di ungsikan kekempung lain. 2. Prosedur Dalam Penjatuhan Sanksi Adat di Nagari Ulakan terhadap Pencabulan. Pemufakatan yang dilakukan oleh ninik mamak, alim ulama, dan masyarakat dalam nagari.. Segala aturan yang telah berlaku kepada masyarakat dilakukan dengan langkah-langkah dan jalur yang telah di tentukan sesuai dengan prosedur yang telah di atur oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) yaitu melalui: i. Segala denda-denda yang sudah diterapkan akan diproses melalui wali jorong dengan cara pengumpulan ninik mamak dan masyarakat yang ada di nagari tersebut. ii. Setelah di proses oleh wali korong kasus tersebut di laporkan ke pada wali nagari, dengan peninjauan kembali kasus yang telah terkuak di tengah masyarakat. iii. Setelah semua jelas maka wali nagari akan melaporkan sesuai dengan data yang sudah ada dan jelas ke kantor KAN.
10
iv. Ketua KAN akan menjatuhkan sanksi yang akan di kenakan kepada sipelaku dengan melakukan sidang di aula adat bersama sanak famili dari kedua belah pihak baik tersangka maupun si korban. v. Sesui dengan kata mufakat maka segala denda-denda akan di serahkan kepada wali korong untuk pembangunan sarana dan prasarana di dalan nagari. Penerapan Sanksi Pidana Adat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Anak Di Bawah Umur di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman Setiap sanksi yang akan dijatuhkan pada pelaku sesuai dengan pertimbangan ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai dan masyarakat, pertimbangan tersebut mengingat bahwa : 1. Bahwa pelaku melakukan pencabulan sudah berulang kali. 2. Bahwa pelaku tertangkap basah sedang dalam melakukan pencabulan. 3. Adanya bukti-bukti dari pelaku dan korban dan di perkuat oleh saksi. Maka dari hasil pertimbangan tersebut maka pelaku pencabulan dapat di jatuhkan sanksi sebagai berikut: a. Membayar denda dengan bentuk beberapa sak semen dan beberapa truk pasir sebagai alas kaki ninik mamak yang telah tercoreng harkat dan martabatnya dalam satu kampung, dan denda tersebut disesuaikan dengan tingkat perbuatanya yang di lakukan oleh sipelaku. b. Menyembelih kerbau dan sejenisnya, untuk membersihkan kampung dari bencana atau disebut dengan bala. c. Pelaku di paksa untuk bertanggung jawab dan menikahi korban apabila korban sudah hamil atau belum hamil. d. Pelaku sumbang yang telah menjalani hukuman adat dapat diakui kembali sebagai penduduk biasa, setelah pelaku melaksanakan : 1) Menyediakan dan menyiapkan bahan makanan secukupnya serta menyelenggarakan jamuan makan terhadap warga kampung. 2) Memohon ampun atau tobat kepada Allah SWT dan mita maaf kepada masyarakat dalam suatu upacara adat. 3) Dan berjanji tidak akan mengulangi kembali perbuatanya tersebut. PENUTUP Kesimpulan 1. Bentuk-bentuk sanksi adat yang di terapkan pada pelaku tindak pidana pencabulan dengan hukuman yang diberikan berupa : penggantian kerugian material yaitu paksaan untuk menikahi gadis yang telah dicemarkan, hukum denda dengan membayar denda berupa semen dan pasir, memotong kerbau, jamuan terhadap masyarakat dan meminta maaf serta berjanji tidak akan mengulanginya, dan apa bila janji di ingkari maka sanksi yang akan di berikan akan lebih berat lagi. 2. Penerapan sanksi adat terhadap perbuatan pencabulan tersebut dilaksanakan semenjak abad ke-15 sesuai dengan Undang-Undang Nan Duo Puluah dan Undang-Undang Darurat No 1 tahun 1951, dengan menyebutkan bahwa hukum adat yang di berikan pada pelaku tidak memandang status dan jabatan dalam korong dan di sebut dengan pepatah bahwa kampuang bapaga buek, adat bapaga jo nagari.
11
Saran 1. Demi terwujudnya pembangunan hukum adat di Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman khususnya pidana adat, penerapan sanksi terhadap kasus pidana khususnya tindak pidana pencabulan yang diselesaikan melalui jalur peradilan adat agar diberikan sanksi yang lebih berat seperti pemberian sanksi hokum di buang sepanjang adat ( buang bidal ) kepada setiap pelaku tindak pidana pencabulan. Agar setiap masyarakat khususnya kehidupan remaja di daerah Ulakan Kabupaten Padang Pariaman pada saat ini begitu memprihatin akibat perkembang zaman dan tidak mengindahkan nilai-nilai adat yang islami yang ada di Nagari Ulakan 2. Untuk terciptanya pelaksanaan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, penulis menyarankan juga agar dalam penerapan sanksi adat terhadap tindak pidana pencabulan terus dijaga eksistensinya, karena pada setiap penerapan sanksi adat tidak mengenal status dan jabatan seseorang atau keluarga pelaku tersebut.
12
DAFTAR PUSTAKA A. Fahri, 1986, Perkawinan Seks dan Hukum Bahagia, Pekalongan. Arif Gasita, 1993, Masalah Korban Kejahatan (kumpulan karangan), ed, ke-2, Jakarta, akademika Pressetido. Bambang Sunggono, 2007 , Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Raja Grafindo Persada. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika. Bambang Poernomo, 1992, Azas-azas Hhokum Pidana Ghalia Indonesia, Yogyakarta. Bushar Muhammad, 1985, Pokok Hukum Adat, Jakarta, Pernebit: Pradya paramitha. Chairul Anwar, 1997, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Jakarta, Penerbit: Rineka cipta. D. Soedjono, 1969, Doktrin-doktrin Kriminologi, Alumni Bandung. ------------------,1977, Ilmu Jiwa dan Kejahata, Karya Nusantara, Bandung. Hassan Shadily, 1984, Sosiologi untuk masyarakat, cet ke-10, Jakarta, PT. Bina Aksara. Musyair Zainuddin, 2010, Pelestarian Dinamis Minangkabau, Yogyakarta, Penerbit: Ombak. Noach/ Simanjuntak.B/ Pasaribu.I.I, 1984, Kriminologi, Tersito, Bandung. Soepomo, 1967, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Penerbit: Paradya Paramitha. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana Indonesia, I Cet Ke-I Sinar Grafika, Jakarta Kitab-kitab dan Undang-Undang Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) Keputusan Ninik Mamak di Nagari Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman Kitap Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Terjemah Moelyanto. Kitap Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Terjemah R.Soesilo. Tambo adat Minangkabau Sumber lain http://www.afrijonponggok, katikbasabatuah, adat istiadat minangkabau. http://www.boyyendratamin.com/2013/2, aturan-adat-minang-dan hukum-adat html. http://www.Cimbuak.net/adat minangkabau. http://www.hukumsumberhukum. Com/ sumber hukum material dan formil. http://www.skripsi ekatanti.pdf, hukum pidana adat dan sanksi http://www.repository.unan.ac.id/17025, penerapan sanksi-pidana-adat-dan pidana KUHP pdf. http://www. Unjalu.blogspot.com/2011/3, metode penelitian hukum dan penulisan.
13