TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK ( Studi Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan Pada Putusan Perkara Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt )
SKRIPSI
Disusun Oleh : SULISTIYANINGSIH E1A007183
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK ( Studi Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan Pada Putusan Perkara Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt ) Oleh : SULISTIYANINGSIH E1A007183 Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan Pada Tanggal Penguji I/ Pembimbing I
2012
Penguji II/ Pembimbing II
Haryanto Dwiatmodjo,S.H,M.Hum Sunaryo, S.H, M.Hum NIP.19570225 198702 1 001 NIP.19531224 198601 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. NIP. 19520603 198003 2 001
Penguji III
Dr.Setya Wahyudi, S.H, M.H NIP. 19610527 198702 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK ( Studi Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan Pada Putusan Perkara Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt ) Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Purwokerto,
Oktober 2012
Sulistiyaningsih E1A007183
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat, petunjuk, dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak (Studi Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan Pada Putusan Perkara Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt). Tujuan penulisan skripsi ini adalah guna memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Melalui skripsi ini penulis menyadari besarnya bantuan dari berbagai pihak dan penulis selayaknya menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada : 1. Allah SWT, atas segala rahmat dan kemudahan yang telah diberikan; 2. Hj. Rochani Urip Salami S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 3. Haryanto Dwiatmodjo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 4. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
5. Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan penilaian dan masukkan saran perbaikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 6. Supriyanto S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan nasehat kepada penulis dari awal perkuliahan hingga sekarang; 7. Sucipto dan Suciati Saminah, orang tua tercinta yang selalu memberikan restu dan dukungannya bagi penulis; 8. Dosen-dosen dan staf-staf Fakultas Hukum Unsoed; 9. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Hanya keikhlasan doa dan untaian kata terima kasih yang penulis dapat sampaikan, semoga kebaikan kalian semua akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat oleh Allah SWT. Tiada gading yang tak retak, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis sangat menghargai dan mengharapkan saran demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana. Purwokerto,
Oktober 2012
Sulistiyaningsih
HALAMAN PERSEMBAHAN
Thanks to...... KeLuaRgakuu : Sucipto dan Suciati Saminah Bapaak..Ibuu... aku kasih ucapan trima kasihku yang paliiing besaar.. berkat doa, dukungan, semangat dan dorongan bapak ibu yang tak terhingga, aku bisa bertahan sampe selesai.. betapa besar perjuangan bapak ibu buat aku hingga mengantarku pada saat-saat terindah ini... kupersembahkan skripsi ini untuk bapak ibuu.. akuu sayaank kaliaan...!!! (peluk cium dariku buat bapak ibu..) Esti Setyawati, S.H. Mba estiii.. tenkyuu udah nemenin aku berjuang di purwokerto..kitaa slalu berdua luntang lantung tanpa ortu.. makasih dah nungguin aku sampe lulusnya kelamaan juga..karna kita emank slalu bersama sejak TK..haha.. Luvyuuw my sistaa... Ado Hanif Saputro Adik kecilkuu.. makasih syaank.. ado juga adalah semangatku untuk terus berjalan.. rajin belajar donk do.. sekolah yang bener biar cpet bisa bkin skripsi kayak mba ulis jugaa..hee, semangat! jangan nakal terus yaa! Buat almarhum almarhumah mbah2kuu,, juga buat pakde.. budhe.. paklek.. bulek.. sepupu2ku.. keponakan2..semuanyaa.. makasiih.. My luvly : Ferry Ardianto Januar Wiratmono Putro Peinkkuu... mkasih syaank dah banyak bangett bantu aku dalam segala hal.. doa kamu..semangat dari kamu.. kasih sayangmuu..bawelanmuu..semuanya bener2 berarti buat aku hingga aku bisa sampai pada titik ini... Good job aiaank!! hee,, pokoknya my love is yours,, today..tomorrow..and alwayz..amiin (peyuuk tiuum)
Keluarga Barukuu Papah Eko.. mamah Tatii.. mbaah uti.. fandy.. fanny.. plus special buat cressa ma noel.. makasii yaa dah mau trima aku sebagai keluarga baru kaliian.. aku seneeng bisa ada di tengah keluarga inii.. semoga kita bisaa jadi keluargaa seterusnyaa.. muaaach.. Sahabat-sahabatku :
Bascooom... Mba es, bundokuu eek, mamiih ndutkuu, nophe uchuw.. kalian dihatiku selamanyaa.. teman malas2ankuu.. tenkz buat semuanya kawaan.. canda tawa kitaa sampe kesedihan semua gak akan terlupakaan.. Best Friend Foreveer.. kita jadi keluargaa yaa sampe tuaa.. Lophyuuuupuullll..... Ichaa.. Chairunnissa SN, S.H. walopun icha dah jauuh tapi tetap dekat di hatii nenk.. mkasih syaank.. icha adalah sahabat yang sangat memotivasi aku buat cepet nyelesein skripsii.. tunggu nenk di indramayu yaah.. peluuk tiuum buat ichaa.. Eyaang utiii... Ade Cahya NW.. Temenkuu yang suka banyak nanyaa..hee.. tapi tenkyuu ya yaang dah mau jadi temen enenk.. akhirnya kitaa lulus jugaa bareeng... semangaat truus kawaand.. Teman-temanku : Danny, latiep, ombow, ipink, sigit, cipluk, tiyo, bery, omtri, nik.. mksih yaa.. dah mau jd temen baruku di pwt ini.. gokil2an bareng2..bkin hidupku lebih berwarna.. Reza Septian Putra Nduutt.. tenkz yaah dah mau jd tmen akuu..temen yang narzis gilee.. yang tukang ngecee..yang kurang pengertian ma cwe..huhu.. tp tenkz yah dah mau bantuin akuu juga disaat aku butuuh..hee.. jangan lupain akuu ya nduut.. Shofii.. Shofia Nuradlia Adeekk barukuu di FH.. adek apa kakak yah?? (kan dah punya suami punya anak,hee).. tenkz ya fi dah mw jd temen aku walau perkenalan kita mala disaat2 terakhir kita di FH.. tapi semoga gak sampe disini aja kita temenan.. walopun kamu temen baru tapi aku ngrasa kmu orang deket buat akuu.. mkasii ya syaang.. keep contact yaah.. Waleeed mazbroo... akhirnya kita lulus mameen.. tmen saat di akhir perjuanganku meraih gelar SH.. bareng2 mondar mandir naik turun cari dosen tunggu dosen.. seminar dan pendadaran bersamaa.. mudah2an cepet dapet kerjanya bareng jugaa..hee.. semangaat teruus ya masbroo.. lanjutkan perjuangan kitaa!!! Temen2 KKN Terlaya
daniar, aulia, gina, eko, dede, aryo, kiki.. termasuk juga seluruh warga Terlaya.. tenkyu all.. tanpa kalian kkn-ku hampaa.. hidup terlaya! hee.. Temen2 kampus, temen2 SMA, dan temen2 lain anak-anak pidana, anak-anak’07, anak2 angkatan yg laen yg prnah mengenalku, anak2 ospek, anak2 PLKH, epink, rizkaa, titii, putri, pieta, babii (dewi), rindul, wendy dan semuanyaa.. maaf kalo gak bisa disebutin satu2.. trima kasih kawaan buat semuanya... Temen2 di Kosan Flamboyan 3 Semua anak-anak flam jaman2 aku ngekoss.. pak kirman, shiroo.. mkasih dah pernah hadir di hidupkuu..aku mengawali perjalanan pertamaku di pwt bersama kaliaan..
..Makassiih Semuuuaaa.. Akuu Sayaankk Kaliiaaan
ABSTRAK Pencabulan adalah semua perbuatan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual yang melanggar kesusilaan (kesopanan), termasuk pula persetubuhan di luar perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. Saat ini marak terjadi tindak pidana pencabulan yang korbannya adalah anak. Anak merupakan bagian generasi muda dan sumber daya manusia yang potensial, oleh karena itu terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak harus dikenakan pidana yang tepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak dan untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif normatif, jenis data yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan disajikan dalam bentuk uraian yang sistematis. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa penerapan unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak adalah sebagai berikut: 1. Unsur setiap orang/ barang siapa telah terpenuhi; 2. Unsur dengan sengaja telah terpenuhi; 3. Unsur membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain telah terpenuhi. Hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/PN.Pwt telah mempertimbangkan dasar mengadili, dasar memutus, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Mendasarkan pada pembuktian dengan alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yang berupa keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa; telah terpenuhinya unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, serta dengan telah terpenuhinya syarat-syarat pemidanaan baik pada orangnya atau pada perbuatannya. Oleh karena itu maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto berkeyakinan bahwa terdakwa M.Solihin Als.Samin Bin Sadiyo terbukti secara sah melakukan tindak pidana “membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya” dan menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), subsidair 3 (tiga) bulan penjara. Kata kunci : membujuk, anak, pencabulan
ABSTRACT Desecrate doing an injustice is any act relating to sexual life in violation of decency (civility), including also sexual intercourse outside of marriage. Book of Criminal Law (KUHP) classify the crime into a crime of abuse in decency. Currently rife that a crime sexual abuse victim is a child. Children are young and potencial human resources, therefore the perpetrators must be given the appropriate penalty. The purpose of this study was to determine the application of the elements of Article 81 Paragraph (2) of Law Number 23 of 2002 on The Protection of Children in desicion Number 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt of the desecrate doing an injustice to child, and to know the legal reasoning of judges in imposing penalty on the decision Number 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt. Juridical normative method, descriptive study with normative specification, the type of data used are secondary data obtained through the study of literature and presented in a systematic description. Based on this study obtained results that the application of the elements of Article 81 Paragraph (2) of Law Number 23 of 2002 of desecrate doing an injustice to child is as follows : 1. Element of “every people”/ “anyone” has been met; 2. Element of “knowingly” has been met; 3. Element “to persuade the chid to perform sexual intercourse with him or with others” has been met. Judge gives criminal in the decision Number 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt based on the evidence by valid evidence provided for in Article 184 Paragraph (1) of Law Number 8 of 1981 (KUHAP) in the form of witness statement, letters, statements of the defendant; has met the elements of Article 81 Paragraph (2) of Law Number 23 of 2002; with consider the aggravating and mitigating matters the defendant and to have met the terms of punishment whether the person or his actions. Therefore, the district court judge of Purwokerto believes that the defendant legitimately proven criminal offense “to persuade the child to perform sexual intercourse with him” and impose penalty of imprisonment for 5 (five) years, be reduced as long as the defendant in custody, and a fine of Rp 60.000.000,- (sixty million rupiahs), subsidiary 3 months in jail. Keywords : to persuade, child, desecrate doing an injustice
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN.................................................................................
iii
KATA PENGANTAR......................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................
vi
ABSTRAK.........................................................................................................
ix
ABSTRACT.........................................................................................................
x
DAFTAR ISI...................................................................................................... xi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.....................................................................
1
B. Perumusan Masalah............................................................................
3
C. Tujuan Penelitian................................................................................
4
D. Kegunaan Penelitian...........................................................................
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana.....................................................................................
5
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana............................................
5
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana..........................................................
7
B. Tindak Pidana Kesusilaan.................................................................. 10 1. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan............................................ 10 2. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak................. 13 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak............. 16
C. Pidana dan Pemidanaan...................................................................... 19 1. Istilah dan Pengertian Pidana......................................................... 19 2. Pengertian dan Tujuan Pemidanaan............................................... 21 3. Teori-Teori Pemidanaan................................................................. 23 4. Jenis-Jenis Pidana........................................................................... 26 BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan............................................................................ 33 B. Spesifikasi Penelitian.......................................................................... 33 C. Lokasi Penelitian................................................................................. 34 D. Jenis Data............................................................................................ 34 E. Teknik Pengumpulan Data................................................................. 34 F. Teknik Penyajian Data....................................................................... 34 G. Teknik Analisis Data.......................................................................... 35 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian.................................................................................... 36 B. Pembahasan......................................................................................... 51 BAB V. PENUTUP A. Simpulan.............................................................................................. 77 B. Saran.................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hukum. Hukum adalah kekuasaan yang mengatur dan memaksa serta mempunyai sanksi yang tegas bagi siapa yang melanggarnya. Pada hakekatnya tujuan diciptakan hukum agar tercipta kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup masyarakat. Namun pada kenyataannya dalam masyarakat masih bermunculan berbagai tindak pidana. Ini menunjukkan bahwa tujuan hukum itu belum terwujud sepenuhnya. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu. Perbuatan pidana dapat pula dikatakan tindak pidana, yaitu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangannya ditujukan pada perbuatan yaitu suatu keadaan atau suatu kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang menimbulkan kejadian itu. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang.1 Adapun hukum yang pada khususnya mengatur dan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang boleh dilakukan dan perbuatan mana yang dilarang,
1
mengatur
keadaan-keadaan
yang
memungkinkan
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. halaman 54.
adanya
pemidanaan kepada orang yang telah melanggar larangan, bentuk pidana, ancaman pidana serta cara pengenaan pidana ialah hukum pidana. Salah satu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana adalah pencabulan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud dari pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampuradukkan pengertiannya dengan perkosaan atau persetubuhan. Pencabulan merupakan salah satu dari kejahatan seksual yang diakibatkan dari adanya perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat kita. Pencabulan adalah jenis kejahatan yang berdampak sangat buruk terutama pada korbannya, sebab pencabulan akan melanggar hak asasi manusia serta dapat merusak martabat kemanusiaan, khususnya terhadap jiwa, akal dan keturunan. Kasus-kasus tindak pidana pencabulan saat ini marak terdengar terjadi di Indonesia. Korban dalam kejahatan ini seringkali adalah anak-anak. Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang memerlukan
pembinaan
dan
perlindungan
dalam
rangka
menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, selaras, serasi dan seimbang. Terjadinya tindak pidana pencabulan yang kerap terjadi pada anak-anak ini tentu sangat meresahkan masyarakat, terutama bagi orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur. Mereka tentu
membayangkan tentang akibat tindak pidana tersebut yang dapat merusak harapan anak-anak mereka. Oleh karena itu, terhadap pelakunya harus diberikan pidana yang sesuai hukum dan rasa keadilan. Kaitannya dengan tindak pidana pencabulan terhadap anak terdapat Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt, dalam perkara tersebut terjadi perbuatan pencabulan yang berakhir pada persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa M.Solihin Als.Samin yang membujuk korbannya yaitu seorang anak perempuan bernama Atik Munfaridah dengan alasan akan menikahi dan mencarikan pekerjaan, oleh karenanya perbuatan terdakwa terbukti memenuhi dakwaan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), subsidair 3 (tiga) bulan penjara. Hal tersebut mendorong penulis untuk meneliti Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/
PN.Pwt
dalam
skripsi
yang
berjudul
“TINDAK
PIDANA
PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan Pada Putusan Perkara Nomor 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt.)” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak ? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu Hukum Pidana pada khususnya. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan atau bahan masukan bagi para aparat penegak hukum dalam menangani masalah tindak pidana pencabulan terhadap anak.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaarfeit” tersebut. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeit”, pengertian “strafbaarfeit” menurut Vos yang dikutip dalam bukunya Bambang Poernomo adalah suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.2 Menurut
Soedarto,
terhadap
istilah
“strafbaarfeit”
dalam
perundang-undangan kita, dapat dijumpai berbagai istilah lain yang maksudnya sama dengan “strafbaarfeit”, antara lain seperti : peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum serta tindak pidana.3
2
Bambang Poernomo. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. halaman
91. 3
Soedarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang. Yayasan Sudarto (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro). halaman 38.
Soedarto merumuskan tindak pidana sebagai perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan pemberian pidana.4 Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.5 Moeljatno menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan
ancaman
pidananya
ditujukan
kepada
orang
yang
menimbulkannya kejadian itu.6 Menurut Simons yang dikutip dalam bukunya Soedarto , strafbaarfeit
adalah
kelakuan
(handeling)
yang
diancam
dengan
pidana,yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan
dan
yang
dilakukan
bertanggungjawab.7
4
Ibid, halaman 40. Ibid, halaman 42. 6 Moeljatno. 1993. Op.cit, halaman 54. 7 Soedarto. Op.cit, halaman 40-41. 5
oleh
orang
yang
mampu
Van Hamel merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) orang yang dirumuskan dalam wet,yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.8 Mengenai pengertian dari tindak pidana diantara para sarjana hukum belum ada kesatuan pendapat. Oleh karena itu para sarjana memberikan pengertian yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua pandangan (aliran), yaitu pandangan monoistis dan pandangan dualistis. Mengenai pengertian strafbaarfeit, Soedarto membagi menjadi dua pandangan sebagai berikut9 : a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidanaitu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan pengertian “perbuatan pidana” (criminal act) dan “pertanggungjawaban pidana” (criminal responsibility). 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Seseorang dapat dijatuhi pidana apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada umumnya pasal-pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana. Lamintang menjelaskan tentang unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut10 :
8
Ibid, halaman 41. Ibid, halaman 40. 10 P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. PT Citra Aditya Bakti. halaman 193. 9
a. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. b. Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan–tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:11 a. Kesengajaan atau ketidak jujuran ( dolus/culpa ); b. Maksud atau vornemen pada suatu percobaan atau poging; c. Macam-macam maksud atau oogmerk, misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad, misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:12 a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh D.Simons , ahli hukum dalam pandangan monistis, yang dikutip dalam bukunya Soedarto yaitu13 : a. Perbuatan manusia ( positif dan negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan ); b. Diancam dengan pidana ( strafbaar gesteld); 11
Ibid, halaman 193-194. Ibid, halaman 194. 13 Soedarto. 1990. Op.cit, halaman 41. 12
c. Melawan hukum ( onrechtmatig ); d. Dilakukan dengan kesalahan ( met schuld in verband stand ); e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (teorekeningsvatbaar persoon). Menurut Van Hamel, unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut14 : a. b. c. d.
Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; Bersifat melawan hukum; Dilakukan dengan kesalahan; Patut dipidana.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut golongan yang mempunyai pandangan dualistis adalah sebagai berikut15 : a. Vos Menurut Vos, strafbaarfeit hanya berunsurkan: 1) Kelakuan manusia; 2) Diancam pidana dalam undang-undang. b. Pompe Tindak pidana ada beberapa unsur, yaitu : 1) Perbuatan manusia yang bersifat melawan hukum; 2) Dilakukan dengan kesalahan. c. Moeljatno Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : 1) Perbuatan ( manusia ): 2) Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (syarat formil); 3) Bersifat melawan hukum ( syarat materiil ). Menurut Soedarto, untuk adanya pemidanaan terhadap seseorang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat pemidanaan sebagai berikut:16 a. Adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang; b. Perbuatan bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar); 14
Ibid, halaman 41. Ibid, halaman 42-43. 16 Ibid, halaman 50. 15
c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan; d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggung jawab; e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf). B. Tindak Pidana Kesusilaan 1. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan Kesusilaan dalam bahasa Belanda berarti zeden, sedangkan dalam bahasa Inggris berarti morals. Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diartikan sebagai : a. Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib; b. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban; c. Pengetahuan tentang adat. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kesusilaan merupakan suatu aspek daripada moral yang memuat anasir-anasir seks seorang manusia. Kesusilaan mengenai juga adat kebiasaan yang baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seorang manusia. Sedangkan kesopanan pada umumnya menyangkut adat kebiasaan yang baik dalam hubungan berbagai anggota masyarakat.17 Soesilo memberikan istilah kesopanan dalam arti kata kesusilaan (zeden, eerbaarheid) yaitu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin.18
17 Wirdjono Prodjodikoro.1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung. PT Eresco. halaman 110-111. 18 R.Soesilo. 1994. Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan). Bandung. Politeia. halaman 204.
Menurut Simons yang dikutip dalam bukunya Lamintang, pengertian
mengenai
perbuatan
melanggar
kesusilaan
(schenneis
dereerbaarheid) adalah suatu perbuatan yang termasuk dalam pengertian hubungan seksual antara pria dengan wanita. Apabila dilakukan untuk membangkitkan atau memuaskan nafsu birahi, yakni karena telah dilakukan di depan umum, oleh umum dipandang sebagai suatu perbuatan yang keterlaluan dan telah membuat orang lain yang melihatnya menjadi mempunyai perasaan malu atau mempunyai perasaan tidak senang.19 Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya ternyata tidaklah mudah, karena pengertian dan batasbatas kesusilaaan itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal. Dengan demikian sebenarnya tidaklah mudah untuk menetapkan batas-batas atau ruang lingkup delik kesusilaan.20 Delik kesusilaan yang diatur dalam KUHP terdiri dari dua kelompok tindak pidana,yaitu kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Buku
19 P.A.F Lamintang. 1990. Delik-Delik Khusus: Tindak-Tindak Pidana Melanggar Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan. Bandung. Mandar Maju. halaman 1. 20 Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti. halaman 291.
II KUHP dan pelanggaran kesusilaan yang diatur dalam Bab VI Buku III KUHP. Kejahatan kesusilaan dalam Bab XIV Buku II KUHP diatur dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 KUHP. Tetapi, khusus terhadap kejahatan yang ada kaitannya dengan hubungan seks yang dikategorikan dalam hukum pidana sebagai kejahatan. Menurut Leden Marpaung tindak pidana terhadap kesusilaan yang berkaitan dengan “behaviour in relation to sexual matter” , antara lain21: 1. Pasal 281 KUHP, yaitu tentang merusak kesusilaan di depan umum. 2. Pasal 282 KUHP, yaitu mengatur tentang pornografi. 3. Pasal 284 KUHP, yaitu mengatur tentang zina. 4. Pasal 285 KUHP, yaitu mengatur tentang perkosaan. 5. Pasal 286 KUHP, yaitu tentang persetubuhan dengan wanita pingsan, di luar perkawinan. 6. Pasal 287 KUHP, yaitu bersetubuh dengan wanita yang belum dewasa. 7. Pasal 288 KUHP, yaitu larangan bersetubuh dengan wanita di dalam perkawinan. 8. Pasal 289 KUHP, yaitu mengatur tentang perbuatan cabul dengan kekerasan/ancaman kekerasan.
21
Leden Marpaung. 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Jakarta. Sinar Grafika. halaman 7.
9. Pasal 290 KUHP : a) Pasal 290 ke-1 KUHP, yaitu tindak pidana perbuatan cabul dengan orang pingsan. b) Pasal 290 ke-2 KUHP, yaitu mengenai perbuatan cabul dengan orang yang belum 15 tahun. c) Pasal 290 ke-3 KUHP, yaitu tindak pidana membujuk orang yang belum 15 tahun untuk dicabuli. 10. Pasal 292 KUHP, yaitu perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis (homoseksual). 11. Pasal 293 KUHP, yaitu mengenai tindak pidana dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa berbuat cabul. 12. Pasal 294 KUHP, yaitu tindak pidana mengenai perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan orang tua atau yang mempunyai hubungan. 13. Pasal 295 KUHP, yaitu mengenai tindak pidana memudahkan anak di bawah umur untuk berbuat cabul. 2. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Pencabulan berasal dari kata cabul dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dalam kamus hukum berarti : “keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan).
Menurut Simons22 yang dikutip dalam bukunya Lamintang, “ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksudmaksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan. Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri, maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan. Perbuatan cabul merupakan nama kelompok berbagai jenis perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, juga termasuk perbuatan persetubuhan di luar perkawinan.23 R.Soesilo berpendapat bahwa perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi, misalnya : ciumciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya, masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul adalah persetubuhan.24 Ketentuan yang mengatur tindak pidana pencabulan yang dilakukan terhadap anak terdapat dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
22
P.A.F Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Sinar Baru. halaman 174. 23 Mochamad Anwar. 1982. Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid 2. Bandung. Alumni. halaman 231. 24 R.Soesilo. 1974. KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor. Politeia. halaman 183.
Salah satu pengaturan mengenai tindak pidana yang ada kaitannya dengan pencabulan anak dalam KUHP terdapat pada Pasal 290 Ayat (2) KUHP yang merumuskan : “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.” Lebih khusus diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 terdapat dalam Pasal 81 Ayat (2) yang menyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt pelaku yang seorang pria dewasa melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak dengan serangkaian kebohongan dan tipu muslihat, oleh karena itu penerapan pasal yang lebih tepat menggunakan Pasal 81 Ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang khusus melindungi hak-hak anak korban kejahatan, mengingat pula azas perundang-undangan “lex specialis derogat lege generalis” yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum.
Adapun pengertian anak menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merumuskan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana pencabulan terhadap anak dari perumusan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah : a. Unsur Subyektif 1) Setiap orang; Unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (natuurlijke personen). Selain manusia, ada pula badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi subyek tindak pidana, apabila secara khusus ditentukan dalam undang-undang untuk delik tertentu.25 Setiap orang selalu diartikan sebagai orang atau subyek hukum yang diajukan ke persidangan sebagai terdakwa yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya apabila perbuatannya memenuhi semua unsur dalam pasal yang bersangkutan. Sehingga
25
Soedarto. Op.cit, halaman 63.
unsur setiap orang yang dimaksud dalam perkara tersebut akan terpenuhi. 2) Dengan sengaja Memorie van Toelichting (MvT) mengartikan kesengajaan sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Soedarto mengatakan sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu.26 Jadi yang dimaksud dengan sengaja adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan terlebih dahulu adanya niat dari si pelaku dengan mengerti akibat perbuatan tersebut. Terdapat dua teori kesengajaan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, yaitu :27 a) Teori kehendak (willstheorie) yang diajarkan oleh Von Hippel, menerangkan bahwa inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang; b) Teori Pengetahuan atau membayangkan (voorstellings-theorie) dianut oleh Frank, menerangkan bahwa sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh si pembuat ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.
26 27
Ibid, halaman 102. Ibid, halaman 102.
Seseorang yang melakukan sesuatu dengan sengaja didalamya dapat dibedakan 3 (tiga) corak sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu, yaitu :28 a) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan; b) Kesengajaan dengan sadar kepastian; c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan. b. Unsur Obyektif Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Tipu muslihat dijelaskan oleh Anwar adalah perbuatanperbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga perbuatanperbuatan itu menimbulkan percaya atau yakin atas kebenaran, dari sesuatu kepada orang lain, sehingga tidak terdiri atas ucapan saja tetapi ada perbuatan.29 Membujuk dijelaskan sebagai suatu perbuatan yang dapat mempengaruhi orang lain agar kehendak orang yang dipengaruhi tersebut sama dengan kehendak yang membujuk. Membujuk dalam hal ini dilakukan dengan mengiming-imingi, lebih tepat lagi jika berhubungan dengan orang yang mudah dibujuk yaitu anak-anak yang lugu dan polos sehingga mudah mempengaruhinya.30
28
Ibid, halaman 103. Moh. Anwar. Op.cit, halaman 41-42. 30 Adami Chazawi. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. halaman 85. 29
Pasal 55 Ayat 1 ke-2 KUHP merumuskan : “Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.” Unsur membujuk pada pasal di atas, pengertiannya lebih luas jika dibandingkan dengan unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak dalam Pasal 81 Ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, hal ini dikarenakan Pasal 55 Ayat 1 ke2 KUHP ditujukan untuk semua jenis tindak pidana, sedangkan Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 hanya untuk tindak pidana pencabulan terhadap anak. C. Pidana dan Pemidanaan 1. Istilah dan Pengertian Pidana Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari “wordt gestraf” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Menurut Moeljatno, jika kata
“straf” diartikan “hukuman”, maka “strafrecht” seharusnya diartikan sebagai “hukum hukuman”.31 Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah seharihari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya.32 Oleh karena “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatsifatnya yang khas. Soedarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.33 Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu.34 Menurut Simons yang dikutip dalam bukunya Lamintang, pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.35
31
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung. Alumni. halaman 1. 32 Ibid, halaman 2. 33 Soedarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Alumni. halaman 109-110. 34 Roeslan Saleh. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta. Aksara Baru. 35 P.A.F Lamintang, 1984. Op cit, halaman 48.
Algra Janssen mengemukakan bahwa pidana adalah alat yang digunakan oleh penguasa atau hakim untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana.36 Berdasarkan pengertian pidana di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu:37 a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang; d. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum. 2. Pengertian dan Tujuan Pemidanaan Lamintang secara tegas memisahkan antara pengertian pidana dengan pemidanaan. Dapat diketahui bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau alat belaka, bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Hal itu perlu dijelaskan agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka itu sering kali menyebut dan mencampuradukkan tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana.38
36
Ibid. Mahrus Ali. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. halaman 186. 38 Soedarto. 1986. Op.cit, halaman 71. 37
Mengenai pengertian pemidanaan itu sendiri, Sudarto menjelaskan bahwa kata tersebut sinonim dengan kata penghukuman. Beliau menyatakan bahwa:39 Penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus dipersempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian pidana atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling. Pemidanaan merupakan upaya terakhir dalam proses penegakan hukum (pidana), juga merupakan akhir atau puncak dari keseluruhan sistem upaya-upaya yang menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan masyarakat.40 Selain pengertian pemidanaan, hal yang tidak kalah penting adalah tujuan pemidanaan. Di Indonesia sendiri hukum pidana positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Namun sebagai bahan kajian, Konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Pasal 54, yaitu:41 a. Pemidanaan bertujuan: 1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
39
Ibid. Roeslan Saleh. 1983. Perubahan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta. Aksara Baru. halaman 5. 41 Konsep KUHP Edisi 2005. 40
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan 4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Lamintang mengemukakan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:42 a. Untuk memperbaiki diri penjahat itu sendiri; b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan; c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat dengan cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. 3. Teori-Teori Pemidanaan Hukum pidana mengenal teori-teori pemidanaan yang pada dasarnya merupakan perumusan dasar-dasar pembenaran adanya pemidanaan dan tujuan adanya pidana, yaitu : a. Teori Absolut atau Teori Retrebutif atau Teori Pembalasan Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Pendekatan teori absolut meletakkan gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya, sudah seharusnya dia menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya.43 Dari sini terlihat bahwa dasar utama teori ini adalah balas dendam terhadap pelaku, atau dengan kata
42
P.A.F Lamintang. Op. cit, halaman 23. Herbert L.Packer. 1968. The Limit of Criminal Sanction. California. Stanford University Press. halaman 37. 43
lain, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.44 Menurut Johannes Andenaes tujuan (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”, sedangkan
pengaruh-pengaruhnya
yang
menguntungkan
adalah
sekunder.45 Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan, karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita-cita susila.46 Neger Walker menuturkan penganut teori absolut ini dapat dibagi dalam47: 1) Penganut retrebutif yang murni (the part of retrebutivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan pembuat. 2) Penganut teori retrebutif yang tidak murni (dengan modifikasi) yang terbagi pula menjadi: a) Penganut retrebutif yang terbatas (the limiting retrebutif) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok atau sepadan dengan kesalahan terdakwa. b) Penganut retrebutif yang distributif (retribution in distribution), berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah tetapi pidana juga tidak harus cocok atau sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa 44
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op.cit, halaman 11. Ibid, halaman 11. 46 Ibid, halaman 12. 47 Ibid, halaman 12-13. 45
kesalahan” dihormati tetapi dimungkinkan adanya pengecualian, misalnya dalam hal strict liability. b. Teori Relatif atau Teori Tujuan Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun yang lainnya. Semua orientasi pemidanaan tersebut adalah dalam rangka menciptakan dan mempertahankan tata tertib hukum dalam kehidupan masyarakat.48 Menurut Walker, teori ini lebih tepat disebut teori atas aliran reductive (the reductive poin of review) karena dasar pembenaran pidana adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan, oleh karena itu penganut teori ini disebut “reducers”.49 Berkaitan dengan teori relatif, menurut Karl O Cristiansen ciriciri pokok atau karakteristik teori ini sebagai berikut:50 1) Tujuan pidana adalah pencegahan; 2) Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; 3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; 4) Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; 5) Pidana melihat ke depan (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun 48
E. Utrecht. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya. Pustaka Tinta Mas. halaman 185. Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op. cit. halaman 12. 50 Ibid, halaman 17. 49
unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. c. Teori Gabungan Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Disamping mengakui bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat. Munculnya teori gabungan pada dasarnya merupakan respon terhadap kritik teori absolut maupun teori relatif. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang merugikan dan meresahkan masyarakat.51 4. Jenis-Jenis Pidana Terdapat jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan, sebagai berikut : a. Pidana Pokok : 1) Pidana Mati Menurut Undang-Undang Nomor 20 Pnps Tahun 1964, tata cara pelaksanaan pidana mati adalah dengan cara ditembak sampai mati. Paling tidak delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP ada 9 buah, sebagai berikut : 51
Mahrus Ali. Op.cit, halaman 191-192.
a) Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden dan wakil presiden). b) Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau berperang). c) Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu perang). d) Pasal 124bis KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan huru hara). e) Pasal 140 ayat (3) KUHP (makar terhadap raja atau presiden atau kepala negara sahabat yang direncanakan atau berakibat maut). f) Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana). g) Pasal 365 ayat (4) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati). h) Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang mengakibatkan kematian). i) Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2) KUHP (kejahatan penerbangan
dan
kejahatan
terhadap
sarana/prasarana
penerbangan). 2) Pidana Penjara Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut
di
dalam
sebuah
Lembaga
Pemasyarakatan
yang
menyebabkan orang tersebut harus mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar.52 Pidana penjara adalah jenis pidana yang dikenal juga dengan istilah pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana pemasyarakatan. Dapat dikatakan bahwa pidana penjara dewasa ini merupakan jenis utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dalam KUHP bervariasi dari pidana penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun). 3) Pidana Kurungan Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama, sebagai custodia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti pada Pasal 182 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang pailit sederhana. Kedua pasal tersebut diancam dengan pidana penjara. Kedua,
sebagai
custodia
simplex,
yaitu
suatu
perampasan
kemerdekaan untuk delik pelanggaran.53 Pidana kurungan tidak dijatuhkan terhadap delik dolus, kecuali dalam Pasal 483 dan Pasal 484 KUHP tentang unsur sengaja dan culpa. Sebaliknya terdapat pidana penjara pada delik culpa, alternatif 52 53
P.A.F Lamintang. 1986. Hukum Panitensir Indonesia. Bandung. Aremico. halaman 58. Andi Hamzah. 1991. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. halaman 183.
dari pidana kurungan yang dalam satu pasal juga terdapat unsur sengaja dan culpa, seperti dalam Pasal 293 KUHP.54 Terdapat dua perbedaan antara pidana kurungan dengan pidana penjara. Pertama, dalam hal pelaksanaan pidana. Terpidana yang dijatuhi pidana kurungan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain di luar tempat ia berdiam pada waktu menjalankan pidana, kecuali jika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas permintaan terpidana membolehkan menjalani pidananya di daerah lain (Pasal 21 KUHP). Pada pidana penjara terpidana dapat dipindahkan ke tempat (LP) lain di luar tempat tinggal atau tempat kediamannya. Kedua, pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana yang dijatuhi pidana kurungan lebih ringan daripada terpidana yang dijatuhi pidana penjara ( Pasal 19 ayat (2) KUHP ). 4) Pidana Denda Pidana denda dalam KUHP diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 31. Pasal 30 menyatakan: a) Denda paling sedikit adalah dua puluh lima sen; b) Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan; c) Lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling lama adalah enam bulan; d) Dalam putusan hakim lamanya kurungan pengganti ditetapkan demikian: jika dendanya lima puluh sen atau kurang, dihitung
54
Ibid.
satu hari: jika lebih dari lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup lima puluh sen; e) Jika ada pemberatan denda, disebabkan karena ada perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 dan 52 a, maka kurungan pengganti paling lama dapat menjadi delapan bulan; f) Kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan. Pasal 31 KUHP menyatakan: a) Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan sebagai pengganti dengan tidak usah menunggu sampai waktu harus membayar denda itu; b) Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika membayar dendanya; c) Pembayaran sebagian dari denda, baik sebelum maupun sesudah dan
mulai
menjalani
kurungan
pengganti,
membebaskan
terpidana dari sebagian kurungan bagian denda yang telah dibayar. b. Pidana Tambahan 1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu Pencabutan
tersebut
tidak
meliputi
pencabutan
hak-hak
kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak ketatanegaraan. Pencabutan hak-hak tertentu itu adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara, yaitu (1) tidak bersifat
otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim; dan (2) tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.55 Pasal 35 KUHP menyatakan hak-hak tertentu yang dapat dicabut, yaitu: a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata; c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum; d) Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang-orang yang bukan anak sendiri; e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau pengampuan atas anak sendiri; f) Hak menjalankan pencaharian tertentu. 2) Perampasan Barang-Barang Tertentu Pidana tambahan ini merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya pidana denda. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang-barang yang didapat karena kejahatan, dan barangbarang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal ini berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali terhadap kejahatan mata uang, dimana pidana
55
Ibid, halaman 192.
perampasan menjadi imperatif. Pidana tambahan ini diatur dalam Pasal 39 KUHP. 3) Pengumuman Putusan Hakim Pada Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya diumumkan berdasarkan kitab undangundang ini atau aturan umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Menurut Andi Hamzah, kalau diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar masyarakat
waspada
terhadap
kejahatan-kejahatan
seperti
penggelapan, perbuatan curang dan lainnya.56
56
Andi Hamzah. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi. Jakarta. Pradnya Paramita. halaman 53.
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu dengan pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivistis . Berdasarkan konsepsi ini hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat oleh pejabat atau lembaga yang berwenang sebagai hukum positif dan melihat hukum sebagai suatu sistem normatif otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.57 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif normatif
yaitu
menggambarkan
secara
jelas
objek
yang
menjadi
permasalahannya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku secara umum. Dengan menggunakan penelitian deskriptif di bidang hukum, maka penelitian ini berusaha menggambarkan peristiwa inconcreto untuk dikonsultasikan dengan seperangkat norma hukum positif yang berlaku, yang ada kaitannya dengan masalah yang menjadi objek penelitian.58
57
Ronny Hanitidjo Soemitro. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta. Ghalia Indonesia. halaman 13. 58 Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. Universitas Indonesia. halaman 7.
C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto, Unit Pelayanan Teknis Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, dan Pusat Informasi dan Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. D. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang bersumber pada peraturan perundang-undangan pidana yang berhubungan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, doktrindoktrin hukum pidana, yurisprudensi serta buku-buku literatur yang berkaitan dengan objek penelitian serta Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt.59 E. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundangundangan, buku-buku, literatur, dokumen dan arsip atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan objek penelitian serta Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt. F. Teknik Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya bahwa seluruh bahan yang diperoleh akan
59
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. Grafindo Persada.
dihubungkan antara satu dengan yang lainya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga tercipta suatu kesatuan yang utuh tentang masalah yang diteliti. G. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data hasil penelitian yang diperoleh secara sistematis dengan didasarkan pada norma-norma hukum, khususnya dalam hukum acara pidana yang relevan dengan pokok-pokok masalah yang diteliti.60
60
Ronny Hanitidjo Soemitro. Op cit, halaman 107.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto dalam perkara pidana Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak adalah sebagai berikut: 1. Identitas Terdakwa Nama lengkap
: M. Solihin Als. Samin Bin Sadiyo
Tempat lahir
: Grobogan
Umur/ tanggal lahir
: 33 Tahun/ 15 Oktober 1978
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Desa Babakan RT 02/ RW 08, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Buruh
Pendidikan
: SD
2. Duduk Perkara Bermula pada hari Selasa, 13 September 2011 sekitar pukul 18.00 WIB Terdakwa M. Solihin als. Samin bin Sadiyo menghubungi saksi korban Atik Munfaridah binti Asimudin yang masih berumur 15 tahun lebih 8 bulan melalui telepon dan mengajaknya untuk pergi dari rumah, dengan alasan terdakwa akan menikahi saksi korban dan mencarikan pekerjaan. Selanjutnya
saksi korban menyetujui ajakan terdakwa dan pergi pada hari Rabu, 14 September 2011 sekitar pukul 06.00 WIB pada saat saksi korban Atik Munfaridah seharusnya pergi sekolah. Setelah mereka bertemu, terdakwa mengajak saksi korban Atik Munfaridah menuju ke Semarang ke rumah saksi Tarno di Jalan Mustoko Weni Tengah IV RT 02/ RW 03 Kelurahan Plombokan Kecamatan Semarang Utara Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Keesokannya pada hari Kamis, 15 September 2011, sekitar pukul 22.00 WIB, bertempat di rumah saksi Tarno di Jalan Mustoko Weni Tengah IV RT 02/ RW 03 Kelurahan Plombokan Kecamatan Semarang Utara Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terdakwa M. Solihin als. Samin bin Sadiyo dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut: Saat saksi korban Atik Munfaridah akan tidur, terdakwa menggandeng tangan saksi korban Atik Munfaridah masuk ke dalam kamar, dan setelah berada dalam kamar terdakwa mengatakan “Ayo sayang, nanti apabila ada apa-apa/ hamil saya bertanggung jawab” lalu terdakwa membuka pakaiannya, kemudian terdakwa membuka celana jeans dan celana dalam saksi korban Atik Munfaridah yang sudah dalam keadaan berbaring di atas kasur, lalu terdakwa mencium leher sambil tangan terdakwa meraba-raba atau meremasremas payudara saksi korban, kemudian terdakwa menindih tubuh saksi korban dan memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban Atik Munfaridah hingga mengeluarkan sperma.
Keesokan harinya, Jumat 16 September 2011 sekitar pukul 22.00 WIB terdakwa menyuruh saksi korban Atik Munfaridah minum pil KB, lalu terdakwa menyetubuhi kembali saksi korban di dalam kamar rumah saksi Tarno. Berdasarkan hasil Visum et Repertum Nomor 009/ IX/ VER/ RSIP/ 2011/R, tanggal 21 September 2011 yang ditandatangani oleh dr. Miko Ferin, dari hasil pemeriksaan terdapat pintu vagina tampak sempit dengan luka lecet pada permukaan dasar depan selaput dara pada bagian belakang (lingkar bagian belakang, lingkar bagian depan tidak dapat diperiksa karena sempitnya pintu vagina), didapatkan erosi dan robekan selaput dara pada jam 5-7. 3. Dakwaan Berdasarkan surat dakwaan Penuntut Umum No.Reg.Perkara No : PDM-117/PKRTO
03.14/Ep.1/09/2011,
terdakwa
didakwa
melanggar
perbuatan sebagai berikut: Kesatu, “dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”, yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; atau Kedua, “melarikan perempuan yang belum dewasa tidak dengan kemauan orang tuanya atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah maupun tidak dengan nikah”, yang diatur dan dincam pidana dalam Pasal 332 Ayat (1) ke-1 KUHP.
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Penuntut Umum memohon supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1) Menyatakan terdakwa M. SOLIHIN Als. SAMIN Bin SADIYO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya atau Dengan Orang Lain” sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan dan denda Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), subsidair: 6 (enam) bulan penjara; 3) Menyatakan barang bukti berupa : - 1 (satu) buah kaos warna hitam bertuliskan PUNK NOT DEAT; - 1 (satu) buah celana jeans panjang warna biru merek LEA No.31; - 1 (satu) buah handphone merek Cross warna hitam dengan nomor kartu 085641093758; - 1 (satu) buah kaos pendek warna biru; - 1 (satu) buah kain sarung kotak-kotak berwarna dasar putih garis coklat; Dikembalikan kepada yang berhak yaitu Terdakwa; - 1 (satu) buah kaos lengan pendek warna kuning merek DARBOST MANIA bertulisan IF SEEING DIRECT TO SMILE;
- 1 (satu) buah rok jeans warna biru merek YENEL; - 1 (satu) buah celana dalam kain warna biru muda bercorak bintik-bintik; - 1 (satu) buah BH dasar putih bergambar bintang berwarna orange; - 1 (satu) buah kaos lengan panjang warna hijau merek DARBOST bertuliskan AIR WALK; - 1 (satu) buah celana jeans warna biru merek COCO; -1
(satu)
buah
handphone
merek Cross dengan
nomor
kartu
085726061255; - 1 (satu) blister tablet salut selaput ( pil KB ) PLANOTAB berisi 28 (dua puluh delapan) tablet salut selaput dan telah dipakai 3 (tiga) butir; Dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi korban Atik Munfaridah Binti Asimudin; 4) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). 5. Pemeriksaan Pembuktian a. Keterangan Saksi Pada persidangan telah didengar keterangan saksi-saksi di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut: 1) Saksi Atik Munfaridah Binti Asimudin - Pada hari Selasa 13 September 2011 sekitar jam 18.00 WIB Terdakwa menghubungi saksi via telepon, mengajak saksi pergi dari rumah orang tuanya, dengan alasan Terdakwa akan menikahi dan mencarikan pekerjaan, selanjutnya saksi menyetujui, kemudian pada hari Rabu 14
September 2011 sekitar jam 06.00 WIB pada waktu saksi seharusnya sekolah, namun digunakan untuk bertemu Terdakwa di pertigaan Ketapang Desa Pasir Kulon, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas; - Setelah bertemu, Terdakwa mengajak saksi naik mikro bus menuju terminal Purwokerto, lalu mengajak naik bus Dedy Jaya menuju Jakarta dan sampai Bekasi turun naik angkutan umum menuju terminal Kampung Rambutan Jakarta, sesampainya disana Terdakwa mengajak saksi naik Bus Sinar Jaya menuju Pekalongan, lalu sampai di Pekalongan Terdakwa mengajak saksi naik travel menuju ke rumah saksi Tarno di Jalan Mustoko Weni Tengah IV RT 02/03 Kelurahan Plombokan Kecamatan Semarang Utara, Semarang; - Pada hari Kamis 15 September 2011 sekitar jam 18.30 WIB Terdakwa dan saksi sampai di rumah saksi Tarno, lalu Terdakwa kepada saksi Tarno memperkenalkan saksi Atik Munfaridah sebagai keponakannya, kemudian saksi Tarno mengijinkan untuk tinggal di rumahnya; - Sekitar jam 22.00 WIB hari Kamis 15 September 2011, ketika saksi Atik Munfaridah mau tidur, lalu Terdakwa menggandeng tangan saksi masuk ke kamar yang telah disediakan saksi Tarno, lalu di dalam kamar tersebut Terdakwa menyetubuhi saksi Atik Munfaridah; - Pada hari Jumat 16 September 2011 sekitar jam 22.00 WIB, Terdakwa menyetubuhi saksi Atik Munfaridah kembali di dalam kamar rumah
saksi Tarno tersebut dan sebelum saksi Atik Munfaridah disetubuhi oleh Terdakwa, ia diperintah untuk minum pil KB supaya tidak hamil; - Untuk kedua kalinya Terdakwa melakukan setubuh layaknya suami isteri dengan saksi Atik Munfaridah telah mengeluarkan air mani yang dikeluarkan di dalam kemaluan saksi; - Terdakwa membawa saksi tanpa izin orang tua saksi yakni saksi Asimudin; - Saksi Atik Munfaridah berpacaran dengan Terdakwa sudah 6 (enam) bulan lamanya; - Keterangan saksi Atik Munfaridah telah dibenarkan oleh terdakwa. 2) Saksi Asimudin - Saksi kenal, tetapi tidak ada hubungan keluarga dengan terdakwa; ia sehat jasmani rohani, dan pernah diperiksa di hadapan penyidik dan membenarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi tersebut; - Pada hari Rabu, 14 September 2011 sekitar jam 06.00 WIB saksi Atik Munfaridah pamitan kepada saksi atau orang tua pergi berangkat sekolah; - Sore hari saksi melihat Atik Munfaridah belum pulang sekolah, lalu saksi mencari ke sekolahan dan menanyakan kepada teman-teman ternyata tidak masuk sekolah, kemudian saksi pulang ke rumah dan sekitar jam 18.30 WIB saksi masuk kamar Atik Munfaridah dan di dalam kamar tersebut ditemukan selembar surat berisi pamitan untuk pergi meninggalkan rumah serta minta maaf kepada orang tua;
- Selanjutnya saksi mencari informasi kepada tetangga-tetangga, lalu saksi mendapat informasi bahwa Atik Munfaridah sedang di berpacaran dengan Terdakwa, kemudian saksi mendapat nomor handphone Terdakwa; - Kemudian saksi menyuruh Umayah (isterinya) untuk menghubungi nomor handphone Terdakwa dan yang mengangkat adalah Atik Munfaridah, lalu Umayah menanyakan keberadaan Atik Munfaridah, dan dijawab sedang berada di Semarang; - Saksi Asimudin setelah mengetahui keberadaan anaknya Atik Munfaridah di Semarang, lalu melaporkan kejadian kepada Polsek Karanglewas; - Kemudian Umayah dan Kamsir beserta pihak Kepolisian mendatangi Terdakwa di Semarang, lalu Terdakwa bersama Atik Munfaridah dibawa pulang ke Purwokerto, dan selanjutnya Terdakwa diproses sesuai hukum yang berlaku; - Terdakwa selama membawa Atik Munfaridah tidak pernah minta izin dari saksi atau orang tuanya; - Terdakwa membenarkan keterangan saksi Asimudin tersebut. b. Keterangan Terdakwa - Terdakwa dalam keadaan sehat baik jasmani maupun rohani; - Terdakwa pernah diperiksa di hadapan penyidik dan membenarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi tersebut;
- Pada hari Selasa 13 September 2011 sekitar jam 18.00 WIB Terdakwa menghubungi saksi Atik Munfaridah berumur 15 tahun atau belum dewasa melalui handphone, mengajak untuk pergi dari rumah orang tuanya Asimudin, dengan alasan Terdakwa akan menikahi dan akan mencarikan pekerjaan. - Sebelum Terdakwa berkencan dengan Atik Munfaridah telah melakukan hubungan pacaran selama 6 (enam) bulan, namun orang tua Atik Munfaridah tidak tahu anaknya berpacaran dengan Terdakwa; - Atik Munfaridah menyetujui ajakan Terdakwa, dan pada hari Rabu 14 September 2011 sekitar jam 06.00 WIB waktu bersamaan Atik Munfaridah berangkat ke sekolah, namun bukan untuk pergi ke sekolah tetapi langsung pergi menuju ke pertigaan Ketapang Desa Pasir Kulon, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas; - Benar dari pertigaan Ketapang tersebut, Terdakwa mengajak Atik Munfaridah naik mikro bus menuju terminal Purwokerto, lalu mengajak naik bus Dedy Jaya menuju Jakarta dan sampai Bekasi turun naik mobil angkutan menuju terminal Kampung Rambutan Jakarta; kemudian Terdakwa mengajak Atik Munfaridah naik Bus Sinar Jaya menuju Pekalongan, lalu sampai di terminal Pekalongan Terdakwa mengajak saksi naik travel menuju ke Semarang ke rumah saksi Tarno di Jalan Mustoko Weni Tengah IV RT 02/03 Kelurahan Plombokan Kecamatan Semarang Utara, Semarang;
- Sampai di rumah saksi Tarno pada hari Kamis 15 September 2011 sekitar jam 18.30 WIB, Terdakwa memperkenalkan Atik Munfaridah kepada saksi Tarno sebagai keponakannya, yang akan mencari pekerjaan, sehingga saksi Tarno mengijinkan untuk tinggal di rumah saksi Tarno; - Selanjutnya sekitar jam 22.00 WIB pada hari dan tanggal seperti tersebut, ketika Atik Munfaridah akan tidur di kamar rumah saksi Tarno, Terdakwa menggandeng Atik Munfaridah masuk ke kamar tidur lalu di dalam kamar tersebut Terdakwa menyetubuhi Atik Munfaridah; - Keesokannya hari Jumat 16 September 2011 Terdakwa menyetubuhi kembali Atik Munfaridah di dalam kamar tersebut; - Pada hari Sabtu 17 September 2011 sekitar jam 07.30 WIB saksi Umayah bersama saksi Kamsir, saksi Jamingan, dan 2 (dua) orang anggota Polsek Karanglewas datang di rumah saksi Tarno di Semarang menjemput Atik Munfaridah dan Terdakwa dibawa ke Purwokerto; - Benar Terdakwa membawa pergi Atik Munfaridah tidak seijin orang tua Asimudin; - Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya; f. Barang Bukti Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan dan memperlihatkan barang bukti di muka persidangan, berupa:
- 1 (satu) buah kaos warna hitam bertuliskan PUNK NOT DEAT; - 1 (satu) buah celana jeans panjang warna biru merek LEA No.31; - 1 (satu) buah handphone merek Cross warna hitam dengan nomor kartu 085641093758; - 1 (satu) buah kaos pendek warna biru; - 1 (satu) buah kain sarung kotak-kotak berwarna dasar putih garis coklat; - 1 (satu) buah kaos lengan pendek warna kuning merek DARBOST MANIA bertulisan IF SEEING DIRECT TO SMILE; - 1 (satu) buah rok jeans warna biru merek YENEL; - 1 (satu) buah celana dalam kain warna biru muda bercorak bintik-bintik; - 1 (satu) buah BH dasar putih bergambar bintang berwarna orange; - 1 (satu) buah kaos lengan panjang warna hijau merek DARBOST bertuliskan AIR WALK; - 1 (satu) buah celana jeans warna biru merek COCO; -1
(satu)
buah
handphone
merek Cross dengan
nomor
kartu
085726061255; - 1 (satu) blister tablet salut selaput ( pil KB ) PLANOTAB berisi 28 (dua puluh delapan) tablet salut selaput dan telah dipakai 3 (tiga) butir; Barang bukti tersebut telah dibenarkan oleh para saksi dan diakui oleh terdakwa dan telah disita secara sah menurut hukum, sehingga barang bukti tersebut dapat dipakai sebagai barang bukti yang sah menurut hukum.
g. Surat Pasal 184 KUHAP merupakan pasal yang menyebutkan tentang adanya pembuktian berupa alat bukti surat yaitu Visum et Repertum. Dalam persidangan telah dibacakan hasil Visum et Repertum dengan Nomor 009/IX/VER/RSIP/2011/R,
tanggal
21
September
2011
yang
ditandatangani oleh dr. Miko Ferin, dari hasil pemeriksaan disimpulkan bahwa pintu vagina tampak sempit dengan luka lecet pada permukaan dasar depan selaput dara pada bagian belakang (lingkar bagian belakang, lingkar bagian depan tidak dapat diperiksa karena sempitnya pintu vagina), didapatkan erosi dan robekan selaput dara pada jam 5-7. 6. Pertimbangan Hakim Terdakwa diajukan di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif. Berdasarkan hal tersebut, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan surat dakwaan yang pembuktiannya lebih mengarah kepada fakta di persidangan, yaitu dakwaan Kesatu, Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1) Barang siapa; 2) Dengan sengaja; 3) Membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaannya, sehingga
Majelis Hakim berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Oleh karena Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan/ atau alasan pemaaf, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya, sehingga terdakwa harus dijatuhi pidana. Untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Majelis Hakim perlu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: - Perbuatan terdakwa telah merusak masa depan saksi korban Atik Munfaridah Binti Asimudin; - Perbuatan terdakwa telah melanggar norma-norma agama dan kesusilaan; Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa berterus terang, menyesali perbuatannya, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi; - Terdakwa belum pernah dihukum; - Terdakwa berlaku sopan dan tidak mempersulit jalannya persidangan;
7. Putusan Hakim Mengingat ketentuan Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini, maka Majelis Hakim memutuskan: 1) Menyatakan terdakwa M. SOLIHIN Als. SAMIN Bin SADIYO terbukti secara
sah
dan
meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya”; 2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa M. SOLIHIN Als. SAMIN Bin SADIYO dengan pidana penjara selama:
5 (lima) tahun dan denda
sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, diganti dengan pidana penjara selama: 3 (tiga) bulan; 3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4) Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5) Memerintahkan barang bukti berupa : - 1 (satu) buah kaos warna hitam bertuliskan PUNK NOT DEAT; - 1 (satu) buah celana jeans panjang warna biru merek LEA No.31; - 1 (satu) buah handphone merek Cross warna hitam dengan nomor kartu 085641093758; - 1 (satu) buah kaos pendek warna biru;
- 1 (satu) buah kain sarung kotak-kotak berwarna dasar putih garis coklat; Dikembalikan kepada yang berhak yaitu Terdakwa; - 1 (satu) buah kaos lengan pendek warna kuning merek DARBOST MANIA bertulisan IF SEEING DIRECT TO SMILE; - 1 (satu) buah rok jeans warna biru merek YENEL; - 1 (satu) buah celana dalam kain warna biru muda bercorak bintik-bintik; - 1 (satu) buah BH dasar putih bergambar bintang berwarna orange; - 1 (satu) buah kaos lengan panjang warna hijau merek DARBOST bertuliskan AIR WALK; - 1 (satu) buah celana jeans warna biru merek COCO; -1
(satu)
buah
handphone
merek Cross dengan
nomor
kartu
085726061255; - 1 (satu) blister tablet salut selaput ( pil KB ) PLANOTAB berisi 28 (dua puluh delapan) tablet salut selaput dan telah dipakai 3 (tiga) butir; Dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi korban Atik Munfaridah Binti Asimudin; 6) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B. Pembahasan Untuk adanya suatu pemidanaan terhadap seseorang maka terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat pemidanaan. Menurut Soedarto, syarat-syarat pemidanaan adalah sebagai berikut61: a. Perbuatan: 1) Memenuhi rumusan delik dalam undang-undang sebagai tindak pidana; 2) Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar); b. Orang/Pelaku: Orang tersebut harus mempunyai kesalahan, unsur kesalahan yaitu: 1) Harus ada kemampuan bertanggung jawab; 2) Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf). Berdasarkan pendapat di atas dan dihubungkan dengan data sekunder hasil penelitian, maka analisis terhadap syarat pemidanaan terdakwa pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt adalah sebagai berikut: a. Perbuatan 1) Memenuhi rumusan undang-undang Syarat pertama yang memungkinkan adanya pemidanaan yaitu suatu perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Arti pentingnya sebagai prinsip kepastian, maka undang-undang pada
61
Soedarto, 1990. Op.cit, halaman 50.
prinsipnya harus pasti, isinya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan.62 Maksud memenuhi rumusan undang-undang menurut Soedarto adalah perbuatan konkrit dari si pembuat itu harus mempunyai sifatsifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang.63 Terdakwa diajukan di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, maka menurut teori hukum pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, dakwaan yang berbentuk alternatif pembuktiannya tidak perlu secara hierarkis, melainkan secara langsung ditujukan pada dakwaan yang menurut pandangan dan penilaian yuridis memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan. Berdasarkan mempertimbangkan
alasan surat
tersebut, dakwaan
maka yang
Majelis
pembuktiannya
Hakim lebih
mengarah kepada fakta di persidangan, yaitu dakwaan Kesatu, Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang merumuskan sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” 62 63
Ibid, halaman 51. Ibid, halaman 52.
Setelah melalui proses pembuktian, perbuatan terdakwa dinyatakan telah memenuhi seluruh unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 di atas, dengan demikian perbuatan terdakwa “membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya” telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang sebagai tindak pidana. 2) Perbuatan bersifat melawan hukum Soedarto mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka itu merupakan tanda/indikasi bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, tetapi hal tersebut dapat dihapus jika ada suatu alasan pembenar.64 Hukum pidana Indonesia mengenal dua sifat melawan hukum, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Menurut teori sifat melawan hukum formil bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, jika perbuatan ini diancam dengan pidana dan telah dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang. Sedangkan menurut teori sifat melawan hukum materiil, perbuatan itu dikatakan melawan hukum atau tidak, tidak hanya jika dirumuskan dalam undangundang (yang tertulis) saja, tetapi harus dilihat asas-asas hukum yang tidak tertulis, misalnya norma-norma atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.65 Pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt perbuatan terdakwa M.Solihin Als.Samin Bin Sadiyo dinyatakan sebagai 64 65
Ibid, halaman 80. Ibid, halaman 78.
perbuatan melawan hukum berdasarkan teori sifat melawan hukum formil, karena perbuatan itu diancam dengan pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3) Tidak adanya alasan pembenar Alasan pembenar dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang, tetapi jika perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 49 Ayat (1) tentang pembelaan terpaksa, Pasal 50 tentang peraturan Undang-Undang, dan Pasal 51 Ayat (1) tentang perintah jabatan yang sah.66 Pada perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dengan Terdakwa M.Solihin Als.Samin bin Sadiyo, di persidangan tidak terbukti fakta hukum yang dapat dipergunakan sebagai alasan pembenar. Perbuatan pencabulan yang dilakukan terdakwa bukan karena terpaksa membela dirinya atau orang lain, bukan pula karena melaksanakan perintah undang-undang dan perintah jabatan yang sah. Sehingga Majelis Hakim berpendapat terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana sebab tidak ada alasan-alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan pidananya.
66
Ibid, halaman 139.
b. Orang ( Pelaku ) Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Sedangkan penjatuhan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana telah diatur dan diancamkan, tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan itu ia (pelaku) mempunyai kesalahan. Hal ini dikarenakan berlaku asas pertanggungjawaban pada hukum pidana adalah: “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld: actus non facit reum nisi mens sit rea).67 Menurut Simons kesalahan adalah keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.68 Kesalahan diartikan sebagai : 1) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya; 2) Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) yang berupa: a) Kesengajaan (dolus,opzet,vorsatz,atau intention) atau b) Kealpaan (culpa,nelatigheid,negligence); 3) Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa). Adapun unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya) adalah sebagai berikut:
67 68
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Bina Aksara. halaman 157. Ibid, halaman 158.
a) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat; Menurut Moeljatno bahwa untuk menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin yang normal, yang sehat. Dalam KUHP tidak ditentukan batasan
rumusan
mengenai
seseorang
dikatakan
mampu
bertanggungjawab. Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada :69 1) kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum; 2) kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap mampu bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya seperti yang dirumuskan dalam Pasal 44 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit; tidak dipidana”. Pada perkara pencabulan terhadap anak ini, dalam diri Terdakwa M.Solihin Als. Samin tidak ditemukan tanda-tanda jiwa cacat atau terganggu karena penyakit, jadi seharusnya ia mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya melawan hukum dan dapat menentukan kehendak serta menghindari sesuai kesadaran tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ia dianggap mampu bertanggungjawab dan oleh karena itu terdapat kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya. 69
Ibid, halaman 166.
b) Adanya Dolus atau Culpa Unsur
ke
dua
dari
kesalahan
dalam
arti
seluas-luasnya
(pertanggungjawaban pidana) adalah adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin pembuat dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan yang berupa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut penjelasan dalam Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda tahun 1986, istilah dolus atau sengaja (opzet) berarti “de (bewuste) van den wil op een bepaald misdrif” ( kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Menurut penjelasan ini “sengaja” (dolus/opzet) sama dengan willens en wettens (dikehendaki dan diketahui).70 Hal ini dibantah oleh Van Hattum yang mengatakan bahwa willen tidak sama dengan weten. Jadi “dengan sengaja” dan willens dan wetens tidak sama. Seseorang yang willen (hendak) berbuat sesuatu belum tentu menghendaki juga akibat yang pada akhirnya sungguh-sungguh terjadi karena perbuatan tersebut.71 Undang-undang juga tidak memberi definisi apakah kelalaian itu. Memori Penjelasan (Memorie van Toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, sehingga diadakan pengurangan pidana. Dalam Memori Jawaban 70 71
Andi Hamzah. 1994. Op.cit, halaman 106. Ibid.
Pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan
sengaja
berarti
mempergunakan
salah
kemampuannya
sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan.72 Pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa M.Solihin Als.Samin Bin Sadiyo termasuk dolus (kesengajaan), bukan culpa, karena perbuatan pencabulan terhadap anak yang dilakukan terdakwa dikehendaki, diketahui dan disadari olehnya. Dari semula telah ada niat dari terdakwa untuk menyetubuhi korban, jadi bukan karena terdakwa sembrono, teledor, atau kurang hati-hati. c) Tidak adanya alasan pemaaf Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi perbuatan itu tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. Pelaku tidak dapat dicela menurut hukum, dengan kata lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan.73 Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 44 tentang tidak mampu bertanggungjawab, Pasal 49 Ayat (2) (noodweer exces), Pasal 51 Ayat (2) tentang itikad baik melaksanakan perintah jabatan 72 73
Ibid, halaman 125. Soedarto. Op.cit, halaman 139.
yang tidak sah. Adapun mengenai Pasal 48 (daya paksa), ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf. Berdasarkan fakta yang diperoleh di persidangan tidak didapatkan fakta hukum yang dapat dipergunakan sebagai alasan pemaaf. Terdakwa mampu bertanggung jawab, tidak melampaui batas pembelaan darurat, dan tidak sedang melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. Maka Majelis Hakim berpendapat bahwa secara sah dan meyakinkan Terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana sebab tidak ada alasan-alasan yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa. Dengan demikian perbuatan terdakwa telah memenuhi syarat pemidanaan seperti yang dikemukakan Soedarto, perbuatannya memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar), terdakwa mampu bertanggung jawab, melakukan perbuatan dengan kesengajaan (dolus) dan tidak ada alasan pemaaf. 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak Berdasarkan Putusan Nomor 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menyatakan dengan tegas bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya” sesuai dengan Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang merumuskan sebagai berikut : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Berdasarkan fakta hukum perkara yang dihubungkan dengan pasal di atas, maka dapat diketahui perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai berikut: a. Unsur setiap orang; Yang dimaksud setiap orang adalah setiap orang atau subyek hukum yang didakwa telah melakukan perbuatan pidana yang mampu mempertanggungjawabkannya di muka umum. Unsur ini merupakan unsur pertama dalam tindak pidana karena pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang atau manusia. Hal ini didasarkan pada:74 - Rumusan delik dalam undang-undang biasanya dimulai dengan katakata “barangsiapa yang...”, hal ini tidak dapt diartikan lain daripada “orang”. - Adanya penggolongan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan tindak pidana yaitu adanya pidana pokok dan pidana tambahan, sehingga sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa maka hanya dapat dikenakan pada manusia. - Dalam pemeriksaan perkara dan sifat hukum pidana yang dapat dilihat ada atau tidaknya kesalahan terdakwa. Menunjukkan bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
74
Soedarto. 1990. Op.cit, halaman 60.
Berdasarkan Berita Acara Penyidikan yang berhubungan dengan surat dakwaan penuntut umum sebagaimana terlampir dalam berkas perkara, dalam pemeriksaan persidangan setelah dinyatakan identitas Terdakwa, ternyata identitas yang disebutkan oleh Terdakwa adalah cocok dengan identitas yang tercantum dalam Berita Acara Penyidikan maupun surat dakwaan Penuntut Umum. Berdasarkan keterangan saksi-saksi maupun keterangan Terdakwa, ternyata keseluruhannya menunjuk pada diri Terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dalam perkara ini, tidak ada kekeliruan orang (error in persona). Terdakwa berusia 33 tahun dianggap cakap dan mampu bertanggungjawab. Jadi yang dimaksud dengan setiap orang dalam perkara ini adalah Terdakwa M.Solihin Als. Samin Bin Sadiyo, yang selama ini dalam persidangan telah memberikan keterangan sehingga Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena sesuai dengan identitas di atas, maka dengan demikian unsur setiap orang telah terpenuhi. b. Unsur dengan sengaja; Menurut Soedarto, sengaja adalah menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Dimana orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan maka ia dengan sengaja menghendaki perbuatan itu, selain itu ia mengetahui dan menyadari apa yang dilakukannya.75
75
Ibid, halaman 16.
Terdapat dua teori kesengajaan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, yaitu :76 1) Teori kehendak (willstheorie) yang diajarkan oleh Von Hippel, menerangkan bahwa inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang; 2) Teori Pengetahuan atau membayangkan (voorstellings-theorie) dianut oleh Frank, menerangkan bahwa sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh si pembuat ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. Perbuatan pencabulan terhadap anak yang dilakukan Terdakwa dalam Putusan
Nomor
65/PID.SUS/2011/PN.Pwt
adalah
perbuatan
yang
disengaja menurut teori kehendak, sebab terdakwa berkehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Seseorang yang melakukan sesuatu dengan sengaja didalamya dapat dibedakan 3 (tiga) corak sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu, yaitu :77 1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan; 2) Kesengajaan dengan sadar kepastian; 3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan. Kesengajaan sebagai maksud merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Ia menghendaki perbuatan beserta akibatnya. Kesengajaan dengan sadar kepastian, dalam hal ini perbuatan mempunyai dua akibat yaitu akibat yang memang dituju si pembuat dan
76 77
Ibid, halaman 102. Ibid, halaman 103.
akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai akibat yang dituju tadi. Akibat ini pasti timbul atau terjadi. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan didalamnya ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi. Menurut corak kesengajaannya, perbuatan terdakwa M.Solihin Als.Samin termasuk kesengajaan sebagai maksud, terdakwa bermaksud membujuk korban untuk melakukan persetubuhan dengannya, akibatnya korban terbujuk dan mau menuruti kehendak terdakwa untuk melakukan persetubuhan. Maka terdakwa menghendaki perbuatan beserta akibatnya. Fakta yuridis yang terungkap di persidangan menyatakan bahwa Terdakwa sengaja mengajak pergi saksi korban ke Semarang tanpa seizin orang tua saksi korban. Selanjutnya Terdakwa membujuk saksi korban untuk melakukan hubungan intim selayaknya suami isteri dengannya, hal ini adalah suatu niat, kehendak, keinginan atau kemauan dari terdakwa untuk menyetubuhi korban, padahal terdakwa sadar atau mengetahui akan akibatnya. Dengan demikian unsur dengan sengaja telah terpenuhi. c. Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain Tipu muslihat dijelaskan oleh Anwar adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga perbuatan-perbuatan itu
menimbulkan percaya atau yakin atas kebenaran, dari sesuatu kepada orang lain, sehingga tidak terdiri atas ucapan saja tetapi ada perbuatan.78 Membujuk
dijelaskan
sebagai
suatu
perbuatan
yang
dapat
mempengaruhi orang lain agar kehendak orang yang dipengaruhi tersebut sama dengan kehendak yang membujuk. Membujuk dalam hal ini dilakukan dengan mengiming-imingi, lebih tepat lagi jika berhubungan dengan orang yang mudah dibujuk yaitu anak-anak yang lugu dan polos sehingga mudah mempengaruhinya.79 Pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt, perbuatan yang dilakukan Terdakwa lebih ke arah perbuatan membujuk. Terdakwa mengajak pergi saksi korban Atik Munfaridah dengan dalih akan menikahi dan mencarikan pekerjaan, serta pada saat di dalam kamar sebelum menyetubuhi saksi korban Terdakwa merayunya dengan mengatakan “Ayo sayang nanti apabila ada apa-apa atau hamil saya bertanggungjawab”, sehingga pada akhirnya saksi korban terpengaruh bujukannya. Dengan demikian unsur membujuk telah terpenuhi. Penjelasan mengenai melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dijelaskan oleh Moh Anwar yaitu : Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri, maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan. Perbuatan cabul merupakan nama kelompok berbagai jenis perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, juga termasuk perbuatan persetubuhan di luar perkawinan.80 78
Moh. Anwar. Op.cit, halaman 41-42. Adami Chazawi. 2005. Op.cit. halaman 85. 80 Mochamad Anwar. 1982. Op. cit. halaman 231. 79
R.Soesilo berpendapat bahwa perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya, masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul adalah persetubuhan.81 Berdasarkan fakta hukum berupa keterangan saksi korban Atik Munfaridah serta keterangan Terdakwa M.Sadiyo Als. Samin sendiri, ia membenarkan telah melakukan persetubuhan terhadap Atik Munfaridah sebanyak dua kali pada hari Kamis, 15 September 2011 dan Jumat, 16 September 2011 sekitar pukul 22.00 WIB di rumah saksi Tarno Jalan Mustoko Weni Tengah IV RT 02/03, Kelurahan Plombokan, Kecamatan Semarang Utara, Semarang. Hal ini telah dibuktikan pula dengan hasil pemeriksaan Visum et Repertum dengan Nomor 009/IX/VER/RSIP/2011/R yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah di persidangan dalam membuktikan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan persetubuhan. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pintu vagina tampak sempit dengan luka lecet, didapatkan erosi dan robekan selaput dara pada jam 5-7. Perbuatan terdakwa dilakukan terhadap korban Atik Munfaridah yang berusia 15 tahun 8 bulan, maka termasuk dalam kategori anak, sebab berdasarkan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pengertian anak adalah seseorang yang
81
R.Soesilo. 1974. Op. cit, halaman 183.
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka unsur ketiga membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya telah terpenuhi. 2. Dasar Pertimbangan Hukum Bagi Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt. Suatu putusan pengadilan harus memuat dasar mengadili, dasar memutus serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, seperti yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut : “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” a. Dasar mengadili Berkaitan dengan dasar mengadili suatu perkara tindak pidana, maka dalam hal ini meninjau Pasal 84 KUHAP tentang kewenangan Pengadilan Negeri. Pada ayat (1) dirumuskan bahwa : “Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Ayat (2) merumuskan : “Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
Pada perkara Nomor 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt, tempat terjadinya tindak pidana pencabulan adalah di rumah saksi Tarno (Semarang), maka dimungkinkan saksi Tarnolah yang lebih mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut. Namun saksi yang tempat kediamannya lebih dekat dengan Pengadilan Negeri Purwokerto jumlahnya lebih banyak, yaitu saksi korban Atik Munfaridah, saksi Asimudin, saksi Umayah, saksi Jamingan dan saksi Kamsir. Oleh karena itu maka pengadilan negeri yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah Pengadilan Negeri Purwokerto, sebab tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat dengan Pengadilan Negeri Purwokerto, daripada Pengadilan Negeri Semarang tempat terjadinya tindak pidana pencabulan tersebut. Hal ini berarti telah sesuai dengan Pasal 84 Ayat (2) KUHAP di atas. b. Dasar memutus Suatu putusan hakim didasarkan pada hubungan antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Berkaitan dengan hukum pidana materiilnya, hakim dalam menjatuhkan putusan memperhatikan syaratsyarat pemidanaan antara lain: 1) Perbuatan : - memenuhi rumusan undang-undang; - bersifat melawan hukum ( tidak ada alasan pembenar ); 2) Orang/pelaku : harus mempunyai kesalahan : - adanya kemampuan bertanggung jawab; - dolus atau culpa ( tidak adanya alasan pemaaf ).
1) Perbuatan : Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindak seseorang. Perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana.82 a) Perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan delik dalam undangundang sebagai tindak pidana. Perbuatan Terdakwa M.Solihin Als. Samin Bin Sadiyo membujuk
anak
melakukan
persetubuhan
dengannya
telah
memenuhi rumusan delik dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai tindak pidana. Perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal tersebut. b) Perbuatan terdakwa bersifat melawan hukum. Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian objektif terhadap suatu perbuatan, dan bukan terhadap diri si pembuat. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang.83 Pada perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh Terdakwa M.Solihin Als. Samin Bin Sadiyo, perbuatan Terdakwa adalah bersifat melawan hukum, sebab menurut teori sifat melawan hukum formil perbuatan tersebut telah diancam 82 83
Soedarto. 1991. Op.cit, halaman 64. Ibid, halaman 76.
dan dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Disebut sifat melawan hukum formil yaitu apabila perbuatan tersebut diancam dan dirumuskan sebagai delik dalam UndangUndang, bertentangan dengan hukum tertulis. c) Tidak adanya alasan pembenar Perbuatan yang memenuhi rumusan delik itu tidak senantiasa bersifat
melawan
menghilangkan
hukum,
sebab
sifat melawan
mungkin
hukumnya
ada
hal
perbuatan.
yang Seperti
dirumuskan dalam Pasal 49 Ayat (1), Pasal 50, dan Pasal 51 Ayat (1) KUHP. Pada perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dengan Terdakwa M.Solihin Als.Samin bin Sadiyo, terdakwa melakukan perbuatan tersebut bukan karena pembelaan terpaksa, bukan pula karena melaksanakan perintah undang-undang dan perintah jabatan yang sah. Maka di persidangan tidak terbukti fakta hukum yang dapat dipergunakan sebagai alasan pembenar. 2) Orang (pelaku) Seseorang dapat dipidana tidak hanya jika perbuatan yang dilakukannya bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, dan tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum cukup untuk memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk menjatuhkan
pidana, masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan. Disini berlaku apa yang disebut “tiada pidana tanpa kesalahan”. Kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan. Hal mana perbuatan dapat dicelakan kepadanya, yaitu apabila : a) Mampu Bertanggungjawab Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya.
Dikatakan
selanjutnya
bahwa
seseorang
mampu
bertanggung jawab jika jiwanya sehat yakni apabila ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum, serta ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.84 Pasal 44 KUHP memuat ketentuan orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yaitu orang yang sakit jiwa. Pada perkara pencabulan anak ini, Terdakwa M. Solihin Als. Samin Bin Sadiyo dinyatakan tidak cacat jiwanya, ia bukanlah orang yang dikecualikan dari tanggung jawab pidana, maka terdakwa harus dihukum sesuai perbuatannya.
84
Ibid, halaman 93.
b) Adanya dolus atau culpa Kesengajaan
atau
dolus
oleh
MvT
(
Memorie
Van
Toechlichting) diartikan sebagai menghendaki dan mengetahui. Jadi kesengajaan itu ada apabila si pembuat menghendaki perbuatan yang dilarang itu atau mengetahui, dan membayangkan akibat perbuatan yang dilarang itu. Sedangkan kealpaan atau culpa terjadi apabila ia ceroboh, teledor, berbuat kurang hati-hati atau kurang mendugaduga. Pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/PN.Pwt, tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa M. Solihin Als. Samin Bin Sadiyo merupakan dolus. Unsur sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi, karena terdakwa memang berkehendak melakukan perbuatan tersebut. c) Tidak adanya alasan pemaaf Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela menurut hukum dengan kata lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan.
Menurut fakta yang diperoleh di persidangan, terdakwa mampu bertanggung jawab, tidak melampaui batas pembelaan darurat, dan tidak sedang melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. Maka tidak didapatkan fakta hukum yang dapat dipergunakan sebagai alasan pemaaf. Berdasarkan analisis mengenai syarat-syarat pemidanaan di atas, baik dari sisi perbuatan maupun pelaku, kesemuanya telah terpenuhi. Berarti menurut hukum pidana materiil, terhadap terdakwa telah dapat dijatuhi pidana. Namun, dikaitkan lagi dengan hukum pidana formilnya, maka setelah syarat-syarat pemidanaan terpenuhi, harus didukung pula oleh alat bukti minimum yang sah. Alat bukti minimum itu juga harus dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa. Hal itu sesuai rumusan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang benar-benar melakukannya”. Maksud sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut adalah minimal terdapat dua alat bukti dari lima alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal 184 Ayat (1) KUHAP menyebutkan : Alat bukti yang sah ialah : (a)Keterangan saksi; (b)Keterangan ahli; (c)Surat; (d)Petunjuk; (e)Keterangan terdakwa;
Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak oleh Terdakwa M.Solihin Als. Samin Bin Sadiyo yaitu Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt, Pengadilan Negeri tersebut: (1) Telah memperhatikan alat bukti sah yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP; (2) Telah mendengarkan keterangan saksi-saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 185 KUHAP; (3) Telah melihat bukti surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat (1) huruf (c) KUHAP; (4) Telah mendengar keterangan dari Terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 189 KUHAP; (5) Telah melihat barang bukti sebagai petunjuk. Pada Putusan Perkara Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.PWT, Majelis Hakim telah memperhatikan pula hal-hal yang meringankan dan yang memberatkan terdakwa, yang diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf (f) KUHAP yang merumuskan : “Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa”. Faktor yang meringankan merupakan pencerminan sifat yang baik dari terdakwa, sedangkan faktor yang memberatkan merupakan pencerminan sifat jahat dari terdakwa. Keadaan pribadi dalam diri terdakwa ini perlu
diperhatikan untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, agar pidana yang diberikan dapat setimpal dan seadil-adilnya.85 Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa dalam perkara ini adalah: 1) Hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa telah merusak masa depan korban dan perbuatan terdakwa telah melanggar norma-norma agama dan kesusilaan; 2) Hal yang meringankan yaitu terdakwa berterus terang, menyesali perbuatannya, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi; terdakwa belum pernah dihukum, berlaku sopan serta tidak mempersulit jalannya persidangan. Selain itu dalam menjatuhkan pidana hakim juga mempertimbangkan Pasal 33 KUHP. Adapun bunyi Pasal 33 Ayat (1) KUHP sebagai berikut : “Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu selama terpidana ada dalam tahanan sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian dipotong dari pidana penjara selama waktu tertentu dari pidana kurungan atau dari pidana denda yang dijatuhkan kepadanya; dalam pidana denda dengan memakai ukuran menurut Pasal 31 ayat 3”. Pada Putusan Perkara Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.PWT, hakim telah menimbang bahwa dalam perkara ini terhadap terdakwa telah dikenakan penahanan yang sah, maka masa penahanan tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
85
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta. Sinar Grafika. halaman 90.
Setelah melihat penjelasan di atas, maka dilihat dari segi hukum pidana materiil dan hukum pidana formilnya, segala syarat untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa telah terpenuhi. c. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, jadi bukan hanya sekedar balas dendam atau bersifat formalitas. Oleh karena itu hakim dalam menjatuhkan putusan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ( Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ). Mengenai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hal ini merupakan suatu keyakinan hakim. Hakim berkeyakinan bahwa pencabulan terhadap anak yang dilakukan Terdakwa M.Solihin Als. Samin adalah perbuatan yang sangat dicela oleh masyarakat. Perbuatan ini sangat bertentangan dengan hukum dan kesusilaan serta tidak sepantasnya dilakukan oleh terdakwa, apalagi mengingat korbannya adalah seorang anak yang masih di bawah umur yang masih panjang masa depannya. Berdasarkan analisis di atas, penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan pidana terhadap Terdakwa dalam Putusan Nomor 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt telah sesuai, yaitu telah memperhatikan dasar mengadili, dasar memutus, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
maka
Majelis
Hakim
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
berkeyakinan bahwa Terdakwa M.Solihin Als.Samin Bin Sadiyo terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak (Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya)” sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan menjatuhkan pidana selama 5 (lima) tahun dikurangi selama Terdakwa dalam tahanan dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair tiga bulan penjara.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil uraian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/ PN.Pwt tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak : Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Perkara Nomor 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt telah menerapkan unsur-unsur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu : Unsur setiap orang dalam perkara ini adalah M.Solihin Als. Samin Bin Sadiyo sebagai Terdakwa, identitasnya sesuai yang termuat dalam surat dakwaan, dengan demikian unsur “setiap orang” dalam perkara ini telah terpenuhi. Unsur dengan sengaja, sesuai fakta hukum Terdakwa membujuk saksi korban untuk melakukan hubungan intim selayaknya suami isteri dengannya , hal ini adalah suatu niat, keinginan atau kemauan terdakwa untuk menyetubuhi korban demi melayani nafsu biologis terdakwa. Dengan demikian unsur “dengan sengaja” telah terpenuhi.
Unsur membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya, sesuai fakta hukum terdakwa membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul (persetubuhan) dengan menggunakan kata-kata janji akan menikahi dan bertanggungjawab apabila saksi korban hamil, ia juga membenarkan telah melakukan persetubuhan terhadap saksi korban sebanyak dua kali, sehingga unsur “membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya” telah terpenuhi. 2. Dasar pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Nomor 65/ PID.SUS/ 2011/PN.Pwt : Pada Putusan Perkara Nomor 65/PID.SUS/2011/PN.Pwt, Majelis Hakim telah mempertimbangkan dasar mengadili, dasar memutus, serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana telah terpenuhi, yaitu terpenuhinya unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, terpenuhinya syarat-syarat pemidanaan baik pada orangnya atau pada perbuatannya, mendasarkan pada sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP dengan alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa yang diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf (f) KUHAP. Berdasarkan hal di atas, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan pidana kepada Terdakwa M.Solihin Als.Samin berupa pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi selama terdakwa
berada dalam tahanan, dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), subsidair 3 (tiga) bulan penjara. B. Saran Berdasarkan keadaan yang ada pada saat ini, maka diberikan saran sebagai berikut : 1. Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana maksimal dengan memperhatikan tujuan pemidanaan yaitu pemidanaan tidak hanya ditujukan pada diri pelaku, tetapi juga memberikan perlindungan secara optimal terhadap anak sebagai korban yang dirugikan, salah satu cara yaitu dengan memperbarui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang ternyata belum mengatur tentang ganti rugi yang dapat diajukan oleh korban. Mengenai ganti rugi ini, korban yang mengalami kerugian immateriil akibat tindak pidana yang dilakukan terdakwa dapat mengajukan gugatan perdata setelah terdakwa betul-betul dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana ini. 2. Menjadi tanggung jawab bersama bagi pemerintah, aparat penegak hukum, orang tua dan masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak, maka hal yang penting dilakukan adalah meningkatkan pendidikan moral dan agama yang kuat pada masingmasing individu, menjaga hubungan harmonis dan menjauhkan anak dari pengaruh kehidupan yang tidak baik, serta perlunya sosialisasi yang matang mengenai peraturan-peraturan yang mengatur tindak pidana pencabulan terhadap anak agar lebih ditaati penegakkannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. LITERATUR Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Anwar, Mochamad. 1982. Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid II. Bandung: Alumni. Chazawi, Adami. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. E. Utrecht. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Hamzah, Andi. 1991. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. . Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi. Jakarta: Pradnya Paramita. Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru. . 1986. Hukum Panitensir Indonesia. Bandung: Aremico. . 1990. Delik-Delik Khusus: Tindak-Tindak Pidana Melanggar Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan. Bandung: Mandar Maju. . 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Marpaung, Leden. 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-Teori Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni. Nawawi Arief, Barda. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Packer, Herbert L. 1968. The Limit of Criminal Sanction. California: Stanford University Press. Poernomo, Bambang. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT Eresco. Saleh, Roeslan. 1983. Perubahan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru. . Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. Soedarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. . 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Soedarto (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro). Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Soemitro, H.R. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Grafindo Persada. Soesilo, R. 1974. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. .1994. Kriminologi ( Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan ). Bandung: Politeia. Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Republik Perlindungan Anak.
Indonesia
Nomor
23
Tahun
2002
Tentang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.