ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PERKARA NO:325/PID. B/2007/PN.JAK.SEL TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK
Oleh: Adhiaksari Hendriawati (105043201317)
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PERKARA NO: 325/ PID. B/ 2007/ PN. JAK. SEL TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Adhiaksari Hendriawati NIM : 105043201317 Di Bawah Bimbingan, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.H.Muhammad Taufiki,M.Ag NIP : 150 290 159
Dedy Nursamsi,M.Hum NIP : 150 264 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M / 1430 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PUTUSAN PERKARA NO:325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum. Jakarta, 8 Juni 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Nip: 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM. (…………....….…………) Nip: 150 210 422 2. Sekretaris : Dr.H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (……….....………………) Nip: 150 290 159 3. Pembimbing I : H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (……….....………………) Nip: 150 290 159
4. Pembimbing II : Dedy Nursamsi,M.Hum (……………………….…) Nip: 150 264 001 5. Penguji I : Dr. H. A. Mukri Adji, MA. (………………………….) Nip: 150 220 544 6. Penguji II : Nahrowi,MH. (.…………………………) Nip: 150 293 227
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 26 Mei 2009
Adhiaksari Hendriawati
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., penulis panjatkan atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah membawa dari masa kegelapan kepada masa yang terang benderang. Skripsi yang berjudul: “Analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap Putusan Perkara No: 325/ Pid. B/ 2007/PN. JAK. SEL tentang Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari palung hati yang terdalam penulis menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan atas usaha penulis sendiri, namun juga begitu banyak pihak yang memberi dukungan, bantuan, kepercayaan dan motivasi. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada Yang Terhormat:
1. Bpk. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bpk. Dr.H.A. Mukri Adji, MA, selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum serta Bpk. Dr.H.Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum serta selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan motivasi yang berharga selama proses penulisan skripsi ini. 3. Bpk. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, perhatian dan motivasi yang berharga selama proses penulisan skripsi ini. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan penuh keikhlasan dan ketulusannya mencurahkan ilmu pengetahuan, bimbingan serta motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan. 5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yakni Ibu Lilik Istiqoriah,S.Ag.,SS., Bpk. Zuhri,S.IP., dan Bpk Romdani,SE. yang baik hati, serta Om Farhan,S.Ei., yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka. 6. PN Jakarta Selatan, khususnya Bpk. Roland Tunggul, SH, selaku Panitera Pengganti sekaligus karyawan arsip Putusan Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah memberikan waktu, tenaga dan ilmunya kepada penulis. Selain
itu juga, telah membantu penulis dalam mendapatkan data primer (Putusan) untuk penulisan skripsi ini. 7. Ayahanda tersayang Hendro Djoko Utomo, SH (Alm) yang telah memberikan penulis inspirasi dan motivasi untuk meneruskan perjuangannya sebagai praktisi hukum, serta Ibunda tersayang Endang Trisnowati yang telah memberikan dorongan, motivasi dan semangat baik materiil maupun moril. Serta satu-satunya saudara kandungku Meira Hendriawati, SHi, Eyang tercinta Hj. Insiyah Suyono, Tante tersayang Setya Herawati, SE beserta keluarga, dan teruntuk seluruh kelurga besarku. Serta teruntuk Adi Supriyadi dan keluarga besar Bpk.Hidayat atas cinta, kasih sayang, dukungan, motivasi, bantuan data wawancara dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis. 8. Rekan-rekan Mahasiswi dan Mahasiswa dari Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum angkatan 2005. Untuk kak. Oyok Tolisalim, SS., SHi, atas informasi dan bantuan yang diberikan selama proses penulisan skripsi ini. Untuk Genk sUity (Erli, Dj, Ima, Mba Yu, Mba Vi, Tante Zhu-zhu, Bunda Arin serta Mami Wina . Fren Forever! n I cant stop missing u), Genk Kita, Genk Akurr (untuk Rizal~thanks ya pak’ atas sharingnya), Genk cang’ ijo club, dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. “Jika Tua Nanti Kita kan Hidup Masing-masing, Ingatlah Hari Ini~disaat kita bersama.” Akhirnya atas bantuan dan jasa semua pihak, baik materiil maupun moril penulis panjatkan doa semoga Allah SWT., membalasnya dengan imbalan pahala
yang berlipat dan menjadikannya sebagai amal yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Jakarta: 3 Juni 2009 M 9 Jumadil Tsani 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Pembatasan Masalah ...................................................................
8
C. Perumusan Masalah ....................................................................
9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 10 E. Metode Penelitian ....................................................................... 11 F. Review Studi Terdahulu .............................................................. 12
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 15
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA KESUSILAAN A. Tindak Pidana ............................................................................ 18 1. Hukum Positif ...................................................................... 18 2. Hukum Islam ....................................................................... 25 B. Tindak Pidana Kesusilaan ........................................................... 30 1. Hukum Positif ...................................................................... 30 2. Hukum Islam ....................................................................... 37
BAB III TINDAK PIDANA PENCABULAN SEBAGAI BENTUK KEKERASAN TERHADAP ANAK A. Perlindungan terhadap anak ....................................................... 45 B. Kekerasan terhadap anak ........................................................... 53 1. Pengertian ............................................................................ 53 2. Bentuk ................................................................................. 55 3. Dampak ............................................................................... 58 C. Pencabulan sebagai kekerasan terhadap anak ............................. 58 D. Tindak pidana pencabulan terhadap anak ................................... 60 1. Pengertian ............................................................................ 60 2. Faktor-faktor penyebab ........................................................ 62
3. Sanksi menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ................ 66
BAB IV PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA NO: 325/ PID. B/2007/PN.JAKSEL
TENTANG
TINDAK
PIDANA
PENCABULAN OLEH GURU TERHADAP MURID DAN ANALISIS YURIDIS HUKUM POSITIF SERTA HUKUM ISLAM A. Putusan Hakim ........................................................................
73
1. Duduk perkara ...................................................................
73
2. Dakwaan ............................................................................
77
3. Tuntutan ……………………………………………………
78
4. Vonis Hakim ......................................................................
78
B. Analisis Hukum Positif ............................................................
78
C. Analisis Hukum Islam ..............................................................
96
D. Analisis Penulis ....................................................................... 103
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 108 B. Saran ......................................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 113 LAMPIRAN ................................................................................................ 119
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup merupakan makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah. Selain mempunyai akal, manusia juga dilengkapi oleh nafsu, salah satunya adalah nafsu seksual. Dengan nafsu seksual ini manusia dapat meneruskan keturunan. Selain itu merupakan kebutuhan yang sifatnya naluri (fitrah). Sebagaimana firman Allah SWT:
"#$ "%& '
! ,")-*-.0☺& () *+,!-.& '
678 9& ' 2 345
6"> 0☺& :;&<=& ' H -I G EF)-& ' 2?+@BCD ' N <BLM ,K<-& 0J+"C" )اال2U "V☺& ST PRM! O ' (١٤: ٣/ان Artinya: ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apaapa yang diingini, yaitu : wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) ”. (Q.S. Ali Imran/3: 14)
Nafsu seksual, biasanya hanya dapat dibahas sebagai medium ekspresi hubungan antara manusia yang sangat pribadi sifatnya.
Lebih dikenal hanya sebagai persoalan biologis ataupun dorongan psikologis semata yang bersifat alamiah, memberikan nikmat yang tertinggi dan dimiliki oleh setiap manusia, tanpa peduli kedudukan sosialnya. Namun tidak dapat dipungkiri, nafsu seksual ini pula yang terkadang
dapat
menjerumuskan
manusia
ke dalam jurang
kriminalitas. Seperti tindak pidana pemerkosaan, pencabulan, penyodomian dan tindak-tindak pidana lainnya yang terkait dengan kesusilaan. Tindak pidana pencabulan misalnya, sebagai sebuah masalah hingga kini masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Di masyarakat, setiap terjadi kasus pencabulan diakui atau tidak seringkali masih dijumpai pendapat yang beragam, terutama terkait dengan apakah suatu tindakan itu termasuk pencabulan atau bukan dan lebih beragam lagi ketika ditanya latar belakang tindakan tersebut. Pencabulan bukan hanya termasuk tindak pidana kejahatan tetapi juga merupakan tindak pidana kekerasan baik secara fisik maupun mental, sebab korban mengalami trauma yang hebat bahkan mengalami goncangan jiwa seumur hidup. Sementara biasanya pelaku pencabulan tersebut hanya menerima hukuman yang ringan, terlebih lagi apabila tindak pidana pencabulan itu dilakukan terhadap anak. Beban psikis yang akan ditanggung oleh korban akan
jauh lebih berat, jalan hidupnya masih panjang. Banyak cita-cita yang masih harus diraih. Sementara saat ini, kasus tindak pidana pencabulan terhadap anak justru semakin marak. Di wilayah Jakarta misalnya, telah terjadi lebih dari 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Diantaranya 25 kasus pencabulan, 9 kasus sodomi, serta kasus lainnya yang terkait dengan kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat 200% dibandingkan tahun sebelumnya yakni tahun 2005, yang tercatat 294 kasus pemerkosaan dan pencabulan.1 Di Jayapura, Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Jayapura sepanjang tahun 2006, kasus pidana perkosaan dan asusila menempati urutan kedua sebanyak 57 kasus. Kasus yang masuk umumnya terhadap anak di bawah umur, bahkan ada korban pencabulan terhadap bayi yang baru berusia 1 tahun.2 Di Bogor, dari 46 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang tahun 2005 sangat dominan, angkanya mencapai 80% sedangkan yang lainnya merupakan kasus penganiyaan.3 Hal ini menunjukkan bahwa tindak pidana pencabulan terhadap anak semakin marak. Dan itu bukan lah suatu hal yang biasa melainkan sesuatu yang harus kita cegah bersama.
1
http: //www.menegep.go.id, diakses 2 Juli 2008. 2 http: //www.fokerlsmpapua.org, diakses 2 Juli 2008. 3
http: //www.bogornews.com, diakses 2 Juli 2008.
Tindak pidana pencabulan terhadap anak ini diatur dalam Pasal 290 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun bagi barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin”. Serta terdapat juga pada Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangakaiaan kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (Enam Puluh Juta Rupiah)”. Selain itu, Konvensi tentang Hak-hak Anak (yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989) juga mengatur mengenai perlindungan anak dari penyalahgunaan seks (Pasal 19). Mengenai hal tersebut selanjutnya juga terdapat di dalam Pasal 58 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM), yang berbunyi: (1) ”Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk pelecehan seksual selama berada dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
(2) dalam hal orang tua atau pengasuh anak melakukan pelecehan seksual termasuk perkosaan maka harus dikenakan pemberatan hukuman”.
Selanjutnya di dalam Undang-undang yang sama, yakni di dalam Pasal 65, yang berbunyi: ”Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual”. Berbagai tindak pidana pencabulan yang terungkap selama ini, umumnya dilakukan oleh orang terdekat atau sudah kenal baik dengan korban, baik hubungan keluarga, tetangga, maupun hubungan profesi misalnya hubungan antara guru dengan murid. Hal tersebut tidak dapat dipandang dari satu sisi kacamata saja karena memang merupakan suatu permasalahan yang kompleks yang menyangkut berbagai segi antara lain: hukum, agama, sosial dan budaya. Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan kekerasan terhadap anak (penganiyaan, pencabulan, trafficking, phedofilia, dan lainlain) 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak.4 (Lihat Grafik 2.1 di bawah ini). Grafik 2.1 Karakteristik Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak
4
h.7.
Hadi Supeno, “Sekolah Bukan Tempat Aman bagi Anak”, Kompas, 23 Januari 2008,
60
Bapak Kandung
50
Ibu Kandung
40
Bapak Tiri/Asuh Teman
30
Tetangga Pria
20
Bapak Guru
10
Paman
0 Pelaku Kekerasan Seksual yang Dikenal
Sumber : Data Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi tahun 2005
Seperti tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh guru terhadap murid berkebutuhan khusus (luar biasa) yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL, di mana seorang guru SMP Budi Waluyo yang bernama Edi Murjono, SE., telah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap ketiga orang muridnya yakni Leni Diah Ayu Ekawati (17 tahun), Natasha Ruth Ivanka (13 tahun) dan Viona Andriani (14 tahun) sebanyak beberapa kali terhadap masingmasing korban. Pelaku didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) dengan dakwaan berbentuk subsidier, yakni dari hukuman yang terberat hingga teringan. Dengan dakwaan sebagai berikut: Primer: Terdakwa didakwa pasal 82 UU RI No.23/2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan paling singkat 3 (tiga) tahun penjara dan denda paling banyak Rp.300.000.000 (Tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000 (Enam puluh juta rupiah) jika perbuatan itu dilakukan dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
Subsidier: Terdakwa didakwa pasal 290 angka 2 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun jika dalam melakukan perbuatan tersebut terdakwa mengetahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya (korban) belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin. Pelaku dituntut oleh JPU dengan pasal 290 angka 2 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan 2 tahun penjara (dipotong masa tahanan) dan dibebankan biaya perkara sebanyak Rp.2000,- (Dua Ribu Rupiah). Dan dalam hal ini Hakim Ketua Majelis (Achmad Sobari, SH) mengabulkan tuntutan JPU. Menurut analisis penulis mengenai dakwaan dan tuntutan yang diberikan oleh JPU terdapat beberapa ketidaktepatan yakni mengenai pendakwaan dan penuntutan dengan Pasal 290 angka 2 KUHP, identifikasi kasus mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terhadap salah satu saksi korban yakni terhadap saksi korban Natasha Ruth Ivanka, analisis JPU mengenai unsur yang terdapat di dalam pasal 82 UU Perlindungan Anak, Pasal yang seharusnya didakwakan di dalam KUHP serta tuntutan tambahan yang seharusnya diberikan terhadap pelaku. Dan begitu juga mengenai putusan yang diberikan oleh Hakim Ketua Majelis, terdapat beberapa kejanggalan mengenai pasal yang divonis, kuantitas hukuman yang diberikan dan hal-hal yang memberatkan hukuman terdakwa. Selain itu sama halnya dengan profesi lainnya, guru juga memilki Kode Etik Keguruan yang salah satunya yakni membimbing peserta didik untuk
membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Dan guru juga memiliki Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disebut UU Guru dan dosen), di dalam Pasal 22 huruf d di katakan bahwa: ”guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika”. Selanjutnya di dalam Pasal 77 ayat (5) dikatakan bahwa: ”Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.” Berdasarkan Kode Etik Keguruan serta UU Guru dan Dosen, pelaku berhak mendapatkan pemberatan dan sanksi tan\mbahan oleh organisasi profesi. Ironis sekali memang, dimana seorang guru yang merupakan panutan masyarakat dan yang selalu dielu-elukan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu, telah mencoreng citranya sendiri dengan melakukan tindakan asusila yang benar-benar jauh dari citra guru yang selama ini melekat di masyarakat. Apabila dilihat, ketiga korban berusia di bawah 18 tahun, itu artinya berdasarkan UU Perlindungan Anak, Konvensi tentang Hak-hak Anak, UU HAM para korban berhak mendapatkan perlindungan. Selain itu, ketiga korban adalah anak (terlepas dari memiliki kebutuhan khusus maupun tidak) merupakan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap kelangsungan hidup, tumbuh, dan kembangnya berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan-tindakan yang bersifat
amoral apapun (kekerasan, diskriminasi, pelecehan seksual, pencabulan, atau perbuatan tidak senonoh). Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa perlu mengangkat kasus di atas dan mengadakan analisis surat dakwaan dan putusan mengenai kasus tersebut. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori pencabulan terhadap anak dan sanksinya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara tindak pidana
pencabulan
terhadap
anak
dalam
perkara
No:
325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL dan analisis Hukum Positif, Hukum Islam serta penulis terhadap perkara tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid dalam perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL, maka penulis memberi judul: ”ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PUTUSAN
PERKARA
NO:325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL
TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK” sebagai judul skripsi.
Pembatasan Masalah Mengingat interpretasi hukum merupakan sesuatu yang sangat luas dan kompleks, maka untuk mendapatkan pembahasan yang efektif dan objektif maka adanya pembatasan masalah, yang meliputi:
1. Tinjauan Hukum Positif yakni menurut KUHP, UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak-hak Anak, UU HAM, UU Guru dan Dosen,
Kode Etik
Keguruan, serta Hukum Islam (Al-Quran, Al-Hadis dan Fiqh/ Pendapat Imam Mazhab) mengenai sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan. 2. Analisis surat dakwaan, tuntutan dan putusan menurut Hukum Positif serta Hukum Islam terhadap putusan No:325/PID B/2007/PN JAK-SEL tentang tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan, dalam arti supaya tidak mengalami pembahasan yang meluas sehingga mengakibatkan ketidakfokusan dan kesimpangsiuran.
C. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang sekiranya dapat diangkat untuk dikaji secara lebih lanjut. Adapun rumusan masalah yang dimaksud ialah:
Perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori pencabulan terhadap anak dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam?; Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dalam perkara No:325/PID.B/ 2007/PN.JAK.SEL?; dan Bagaimana analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pidana pencabulan guru oleh murid dalam perkara No:325/PID.B/2007/ PN.JAK.SEL ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penulisan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori pencabulan terhadap anak, dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam; 2. Untuk mengetahui putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dalam perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL.; dan 3. Untuk mengetahui analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid dalam perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL. Selanjutnya manfaat dari penulisan penelitian ini adalah: 1. Kalangan pribadi, untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum khususnya kajian mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak. 2. Kalangan akademis, menambah perbendaharaan keilmuan dalam bidang hukum khususnya kajian mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak teoritis maupun praktis. 3. Kalangan umum, memberikan kontribusi positif kepada masyarakat tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak serta memberikan gambaran yang obyektif mengenai sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Adapun dalam penyusunan skripsi ini yakni menggunakan pendekatan normatif, di mana melakukan analisis yuridis terhadap putusan PN Jak-Sel dalam perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam. 2. Jenis Penelitian Pada prinsipnya, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.5 Dan mengambil data baik secara tertulis untuk diuraikan, sehingga memperoleh gambaran serta pemahaman yang menyeluruh. 3. Data Penelitian Sumber data yakni : a. Data Primer, data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara mengadakan penelusuran dokumen yang dilakukan di PN Jak-Sel, KUHP, UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, Al-Quran dan Hadits.
5
Ke-1, h.51.
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung, CV.Pusaka Setia, 2002), Cet.
b. Data Sekunder, data yang diperoleh dari buku-buku, artikel, majalah, dan bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian. 4. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data dilakukan secara kualitatif, dimulai dengan melakukan penelusuran naskah atau berbagai literatur yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang diteliti kemudian mengklasifikasikan datadata tersebut, dengan cara pengkodean data. Untuk selanjutnya dilakukan kategorisasi melalui lembar kertas bantu (short card). 5. Metode Analisis Data Analisis data pada penelitian ini adalah menggunakan metode pendekatan isi yakni menekankan pada pengambilan kesimpulan dan analisis yang bersifat deskriptif-deduktif. Seluruh data yang diperoleh diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum kemudian dikaji dan diteliti selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut. 6. Tehnik Penulisan Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayataullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1428 H / 2007 M.
F. Review Studi Terdahulu Dalam review studi terdahulu ini, penulis berusaha mendata dan membaca beberapa hasil penelitian yang ada hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu berupa skripsi. Ada beberapa skripsi yang penulis temukan di antaranya ialah: 1. Judul: ”Penyimpangan Seksual terhadap Anak-anak (Pedophilia) dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” , penulis Ithriah Royhan / 33 / PMH / 2005 Skripsi ini membahas mengenai pedophilia dalam perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam, yang mencakup pengertian pedophilia, tindakan dan pengelompokan kaum pedophilia, faktor penyebab terjadinya pedophilia. Selain itu, membahas juga mengenai pemidanaan dalam hukum positif dan hukum Islam tentang pedophilia sebagai kejahatan seksual terhadap anak-anak. Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah pada skripsi ini tidak disertai dengan kasus. Sedangkan judul yang penulis angkat disertai dengan adanya kasus dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
2. Judul: “Pelecehan Seksual sebagai Kejahatan Kesusilaan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif”, penulis Nur Hamzah / 83 / JS / 2004. Skripsi ini membahas mengenai pelecehan seksual dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif yang meliputi tinjauan umum mengenai kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual yang terdiri dari pengertian kejahatan kesusilaan, bentuk-bentuk kejahatan kesusilaan, pengertian dan batas-batas pelecehan seksual. Selanjutnya mengenai pelecehan
seksual dalam perspektif hukum Islam
diantaranya:
seksualitas dalam konteks Islam, hukum pelecehan seksual, sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual. Pelecehan seksual dalam hukum positif diantaranya: seks dan kesusilaan dalam hukum positif, hukum pelecehan seksual, sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual. Selanjutnya menggunakan analisa perbandingan hukum Islam dan hukum positif tentang kejahatan pelecehan seksual yang terdiri dari persamaan dan perbedaan, analisis tentang kejahatan pelecehan seksual menurut hukum islam dan hukum positif. Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah pada skripsi ini tidak disertai dengan kasus yang berkaitan dengan judul. Dan hanya menekankan pada analisa perbandingannya saja. Sedangkan
judul yang penulis angkat disertai dengan adanya kasus dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 3. Judul: ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Kejahatan Seksual (Studi Kasus Narapidana LP Cipinang Jakarta)”, penulis: Novi / 41 / JS / 2005. Skripsi ini membahas mengenai tinjauan umum mengenai kejahatan seksual, yang terdiri dari pengertian kejahatan seksual, macam-macam kejahatan seksual dan sanksi-sanksi kejahatan seksual. Selain itu, dibahas juga mengenai kejahatan seksual narapidana di LP Cipinang Jakarta yang terdiri dari gambaran umum LP Cipinang Jakarta, kasus-kasus kejahatan LP Cipinang Jakarta dan kasus-kasus kejahatan seksual LP Cipinang Jakarta. Selain itu dibahas juga mengenai tinjauan hukum Islam mengenai kejahatan seksual yang terdiri dari seksualitas dalam hukum Islam, tinjauan hukum Islam terhadap berbagai kasus kejahatan seksual di LP Cipinang Jakarta. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang penulis angkat ialah pada skripsi ini yang menjadi objek penelitian adalah kejahatan seksual yang terjadi di LP Cipinang Jakarta. Sedangkan judul yang penulis angkat yang menjadi objek penelitian adalah perkara dan putusan yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam penulisan skripsi yang berjudul “ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO:325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL
TENTANG
TINDAK
PERKARA PIDANA
PENCABULAN TERHADAP ANAK”, penulis menjelaskan mengenai pencabulan yang mencakup perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori pencabulan terhadap anak dan sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dalam perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL, analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pidana pencabulan oleh
guru
terhadap
murid
dalam
perkara
No:
325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL.
G. Sistematika Penulisan Dalam upaya memudahkan penyusunan skripsi ini dan agar lebih sistematis, maka disusun sistematika sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab II
Tinjauan Umum Hukum Positif dan Hukum Islam Mengenai Tindak Pidana Kesusilaan meliputi: Tindak Pidana (pengertian, unsurunsur dan klasifikasi) menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Tindak Pidana Kesusilaan menurut Hukum Positif dan Hukum Islam.
Bab III
Tindak Pidana Pencabulan Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Anak meliputi: Perlindungan terhadap anak, Kekerasan terhadap anak (pengertian, bentuk dan dampak), Pencabulan sebagai kekerasan terhadap anak, Tindak pidana pencabulan terhadap anak (pengertian, faktor dan sanksi).
BAB IV Putusan Hakim Terhadap Perkara No: 325/Pid.B/2007/PN Jaksel Tentang Tindak Pidana Pencabulan oleh Guru terhadap Murid dan Analisis Hukum Positif Serta Hukum Islam meliputi: Putusan Hakim (duduk perkara, dakwaan dan tuntutan JPU terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Edi Murjono,SE, vonis Hakim yang diberikan kepada Edi Murjono,SE), analisis Hukum Positif, analisis Hukum Islam, dan analisis penulis. Bab V
Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA KESUSILAAN
Dapat diyakini bahwa semakin tinggi peradaban manusia, setan semakin memainkan peranannnya, sehingga orang menjadi “Zhalim” (aniaya) dan “Jahl” (bodoh). Sebagaimana firman Allah SWT :
ZR" -6"B "CD ,!XY")" WB. ]SFLCD '
+\ d'e `$"a'b-c 2^ "%2_& '
6fg &.⌧9X4'e' 6f-gc ☺&"-h PWB. N 0+ Bkl R j⌧' (٧٢ :٣٣/ )ا ابn0o !@ -0 "d5⌧m Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat6kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S.: al-Ahzab/33: 72). Bukannya terus mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Sang Pencipta melalui Rasul dan Nabi-Nya sepanjang masa. Tak peduli betapapun murni dan barunya suatu masyarakat tertentu, tindak pidana akan tetap dilakukan meskipun ada
6
Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.
tingkat perbedaannya.7 Tindak pidana kesusilaan misalnya, bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur (anakanak). Tindak pidana kesusilaan ini tidak hanya berlangsung di tempat-tempat tertentu yang
memberikan peluang
manusia berlainan jenis dapat
saling
berkomunikasi, di lingkungan keluarga, namun juga dapat terjadi di lingkungan sekolah.8 A. Tindak Pidana Menurut Dr. Harkristuti Harkrisnowo tindak pidana, secara sederhana merupakan suatu bentuk perilaku yang dirumuskan sebagai suatu tindakan yang membawa konsekuensi sanksi hukum pidana pada siapa pun yang melakukannya. Oleh karena itu, tidak sulit dipahami bahwa tindak-tindak semacam ini layaknya dikaitkan dengan nilai-nilai mendasar yang dipercaya dan dianut oleh suatu kelompok masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Tidak mengherankan bahwa perbedaan ruang tempat dan waktu juga akan memberikan perbedaan pada perumusan sejumlah tindak pidana.9 Seperti yang terjadi antara Hukum Positif dan Hukum Islam, walaupun terdapat beberapa persamaan tetapi juga memiliki perbedaan yang mendasar mengenai sudut pandangannya tentang
7
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h. 1. 8
Abd.Wahid, Perlindungan Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak-hak Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001), h. 7. 9
Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Muhammad Amin Suma,dkk, Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 179.
hukum pidana itu sendiri. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai tindak pidana menurut: 1. Hukum Positif Istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda, strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undangundang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada Istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.10 Delict menurut Kamus Hukum mengandung pengertian tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman.11 Menurut Dr.Hakristuti Hakrisnowo tindak pidana yakni suatu perilaku dikenakan ancaman pidana hanya apabila perilaku itu dipandang dapat mengancam keseimbangan dalam masyarakat. Dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang “tidak baik” atau “bahkan buruk” dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.12
10
Wirjono Projodikoro. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), h. 59. 11
Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972), h. 35.
12
Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h. 180.
Sementara Simons, memberikan definisi mengenai tindak pidana yakni suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu.13 Unsur-unsur dalam tindak pidana, yakni: a. Subjek Tindak Pidana Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Selain itu, suatu perkumpulan atau korporasi dapat juga menjadi sebagai subjek tindak pidana.14 b. Perbuatan dari Tindak Pidana. Unsur perbuatan dirumuskan dalam suatu tindak pidana formil, seperti pencurian (Pasal 362 KUHP). Perbuatannya dirumuskan sebagai “Mengambil barang”.15 c. Hubungan Sebab-Akibat (Causaal Vervand). Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab-akibat (causaal vervand) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu. Terdapat dua teori mengenai sebab-akibat ini yakni:
13
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (Penerapan Syari’at Islam dalam Konteks Modernitas), (Bandung: Asy-Syaamil Press & Grafika, 2001), h. 132. 14 15
Ibid., h. 134. Ibid..
Pertama dari Von Buri (1869) yang disebut teori conditio sine que non (teori syarat mutlak) yang mengatakan, suatu hal adalah sebab dari suatu akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan demikian, teori ini mengenal banyak sebab dari suatu akibat. Kedua dari Von Bar (1870) yang kemudian diteruskan oleh Van Kriese yang disebut teori adequate veroorzaking (penyebaban yang bersifat dapat dikira-kirakan), dan yang mengajarkan bahwa suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut pengalaman manusia dapat dikira-kirakan bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.16 d. Sifat Melawan Hukum (Onrechtmatigheid). Sebenarnya dalam setiap tindak pidana ada unsur melawan hukum, namun tidak semua tindak pidana memuatnya dalam rumusan. Ada beberapa tindak pidana yang unsur melawan hukumnya disebutkan secara tegas, misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian, disebutkan bahwa pencurian adalah mengambil barang yang sebagian atau sepenuhnya kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilki secara melawan hukum.17 e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana. 18
16 17 18
Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, h.61&62. Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134. Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, h. 65.
Unsur kesalahan ini bisa berupa kesengajaan, atau kealpaan. Kesengajaan tersebut dapat mengenai unsur perbuatan yang dilarang, akibat yang dilarang atau sifat melawan hukumnya.19 Selanjutnya, tindak pidana di dalam KUHP dibagi kedalam dua jenis yakni kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Menurut M.v.T. (Smidt I h. 63 dan seterunya) pembagian atas dua jenis ini didasarkan atas perbedaan prinsipil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undangundang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdelikntern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet20 yang menentukan demikian.21 Tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, dibedakan juga berdasarkan: a. Cara Perumusannya 1) Delik Formil, pada delik ini yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu.
19
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134. Undang-undang. Lihat Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972), h. 102. 20
21
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 71.
2) Delik Material, yakni selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid).22 b. Cara Melakukan Tindak Pidana.23 1) Delik Komisi, yakni delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. 2) Delik Omisi, yakni delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya delik yang dirumuskan dalam Pasal 164, mengetahui suatu permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam Pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena. 3) Delikta
Commissionis Peromissionem,
yakni
delik-delik
yang
umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang hendak membunuh anaknya dengan jalan tidak memberi makan pada anak itu.24 c. Ada/Tidaknya Pengulangan atau Kelanjutannya.
22
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 237. 23 24
Ibid. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 76.
1) Delik Mandiri adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu kali saja, untuk mana petindak pidana. 2) Delik Berlanjut adalah bilamana tindakan yang sama berulang dilakukan, dan merupakan atau dapat dianggap sebagai pelanjutan dari tindakan semula. 25 d. Berakhir atau Berkesinambungannya suatu Delik. 1) Delik Berakhir 2) Delik Berkesinambungan e. Keadaan Memberatkan dan Meringankan26 1) Delik Biasa 2) Delik dikwalifisir (diperberat), yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan. Misalnya Pasal 363. 3) Delik diprivisilir (diperingan), yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur meringankan. Misalnya dalam Pasal 341 lebih ringan daripada Pasal 342. 27 f. Bentuk Kesalahan Pelaku 1) Delik Sengaja (Dolus), yakni suatu tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja. Misalnya pembunuhan berencana (Pasal 338 KUHP).
25
Kanter, Asas-asas Hukum Pidana, h. 238.
26
Ibid., h. 238 dan 239. Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1978),
27
h. 97.
2) Delik Alpa (Culpa), yakni tindak pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang. Contoh: Pasal 359 KUHP. 28 g. Cara Penuntutan 1) Delik Aduan, yakni suatu tindak pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik. Contoh: penghinaan. 2) Delik Biasa (bukan delik aduan), yakni semua tindak pidana yang penuntutannya tidak perlu menunggu adanya pengaduan dari korban yang dirugikan atau dari keluarganya. Contoh: pembunuhan dan penganiyaan.29 2. Hukum Islam Dalam hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak pidana ini yaitu jinâyah dan jarîmah. Dapat dikatakan bahwa kata ‘jinâyah’ yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah ‘jarîmah’.30 Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinâyah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian para fuqaha menggunakan
28
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Prenhallindo, 2001), h. 94.
29
Ibid. Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h.132.
30
istilah
tersebut
hanya
untuk
perbuatan-perbuatan
yang
mengancam
keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudǔd dan qishash tidak termasuk perbuatanperbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zîr. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarîmah, yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.31 Jarimah didefinisikan oleh Imam al-Mawardi sebagai segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. 32 Ada pula golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan qishash saja. Dengan mengeyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah di kalangan fuqaha sama dengan kata-kata jarimah. 33 Jarimah memiliki dua unsur yaitu: a. Unsur Umum Yakni unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah.34 Yang termasuk dalam unsur umum ini yaitu:
31
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), h.1. 32 33 34
Ibid., h.11. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h.1. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 12.
1) Al-Rukn al-Syar’iy (Unsur Hukum), yakni adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal”. 2) Al-Rukn al-Mâdi (Unsur Materiil), yakni adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. 3) Al-Rukn al-Adabiy (Unsur Budaya), yakni adanya pelaku kejahatan (orang yang dapat menerima taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan).35 b. Unsur Khusus Yakni unsur yang terdapat pada suatu jarimah namun tidak terdapat pada jarimah lainnya. Contoh : mengambil harta orang lain secara diamdiam dari tempatnya dalam jarimah pencurian, atau menghilangkan nyawa manusia oleh manusia lainnya dalam jarimah pembunuhan. 36 Jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara meninjauanya yakni dilihat dari : a. Segi berat ringannya hukuman
35 36
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h.1-3 Ibid., h. 12.
1) Jarimah hudǔd, ialah jarimah yang diancamkan hukuman hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan37 jenis dan jumlahnya serta menjadi hak Allah SWT.38 Yang termasuk jarimah hudud yaitu: zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), meminum minuman keras, mencuri, merampok, murtad, dan memberontak. 2) Jarimah qishas dan diyat, ialah perbuatan yang diancam hukuman qishas atau hukuman diyat. Keduanya merupakan hak individu39 yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan minimal ataupun maksimal. Yang termasuk jarimah qishas dan diyat yakni: pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena ketidaksengajaan, penganiyaan sengaja, dan penganiyaan tidak sengaja. 3) Jarimah ta’zîr, ialah jarimah yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman ta’zir. 40 Jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedang pada jarimah hudud dan qishash serta diyat sudah ditentukan. Yang termasuk jarimah ta’zir yakni: riba, suap, pencabulan, illegal logging, human trafficking dan sebagainya.
37
Maksud hukuman yang telah ditentukan adalah bahwa hukuman had tidak memiliki batasan minimal (terendah) ataupun batasan maksimal (tertinggi). Lihat Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ alJinâî al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qânŭn al-Wâdi’î, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992), juz I, h. 79. 38
Maksud hak Allah ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (individu) atau masyarakat. Ibid. 39
Maksud hak individu adalah sang korban boleh membatalkan hukuman tersebut dengan memaafkan si pelaku jika ia menghendakinya. Ibid., h.100. 40 Ibid., h.100.
b. Niat si pembuat/pelaku jarimah 1) Jarimah sengaja, si pembuat/pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang (salah). 2) Jarimah tidak sengaja, si pembuat/pelaku tidak sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut sebagai akibat kekeliruannya. Kekeliruan ada dua macam, yakni: a) Pembuat (pelaku) dengan sengaja melakukan perbuatan jarimah tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya. b) Pembuat (pelaku) tidak sengaja berbuat dan jarimah yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali. 41 c. Segi mengerjakannya 1) Jarimah ijâbiyyah/positif terjadi karena mengerjakan sesuatu perbuatan yang dilarang. Seperti mencuri, zina, pembunuhan, memukul dan sebagainya. Jarimah ijabiyyah ini disebut
juga delicta-
commisionis. 2) Jarimah salabiyyah/negatif terjadi karena tidak mengerjakan sesuatu perbuatan yang diperintahkan. Seperti mengeluarkan zakat. disebut juga delicta ommisionis.
41
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h.11 dan 12.
3) Jarimah commisionis per ommisionem commisa, contohnya yakni petugas LP sengaja tidak memberikan makan kepada narapidana yang selanjutnya menyebabkan kematian pada narapidana tersebut.42 d. Segi waktu terungkapnya jarimah 1) Jarimah yang tertangkap basah, yaitu jarimah yang terungkap pada saat jarimah itu dilakukan atau beberapa saat setelah jarimah tersebut dilakukan. 2) Jarimah yang tidak tertangkap basah, yaitu jarimah yang tidak tertangkap pada saat jarimah tersebut dilakukan atau terungkapnya pelaku jarimah itu dalam waktu yang lama. 43 e. Segi cara melakukan jarimah 1) Jarimah tunggal (al-Jarîmah al-Basîtah), yakni jarimah yang dilakukan dengan satu perbuatan, seperti pencurian, meminum minuman keras, baik tindak pidana ini terjadi seketika (tindak pidana temporal atau jarîmah muaqqatah) maupun yang dilakukan secara terus-menerus (jarîmah mustamirah). Jarimah hudud, qishas dan diyat termasuk ke dalam kategori jarimah tunggal. 2) Jarimah berangkai, yakni jarimah yang dilakukan berulang-ulang (berangkai). Jarimah itu sendiri tidak termasuk dalam kategori jarimah, tetapi berulang-ulangnya jarimah tersebut yang menjadikan42
Ibid., h.12-14.
43
Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî, h. 84.
nya sebagai suatu jarimah. Bentuk jarimah ini banyak terdapat dalam jarimah ta’zir, dimana petunjuknya diperoleh dari nas yang mengharamkan perbuatan tersebut.44 f. Orang yang menjadi korban (yang terkena) jarimah 1) Jarimah masyarakat/haq Allah/hak jamaah, ialah suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai perseorangan atau mengenai ketentuan masyarakat dan keamanannya. 2) Jarimah perseorangan/haq al-afrâd, ialah suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang menyinggung perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat.45 B. Tindak Pidana Kesusilaan 1.
Hukum Positif
Mengenai pengertian tindak pidana itu sendiri pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan, disini hanya akan disinggung sedikit. Yang dimaksud dengan tindak pidana (delict) yakni perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan Undang-undang yang
44
Ibid., h. 110.
45
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 14.
dilakukan
dengan
kesalahan
oleh
orang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.46 Kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan oleh Balai Pustaka 1989, dimuat artinya “perihal susila”. Selanjutnya kata “susila” dimuat artinya sebagai berikut: a. Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib; b. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban; c. Pengetahuan tentang adat.47 Kesusilaan (zeden, earbaarheid) mengandung pengertian perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya. 48 Jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari,
persepsi
masyarakat
tentang
arti
“kesusilaan” lebih condong pada: “Behavior as to right or wrong, esp in relation to sexual matter”49
46
R.Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana: Delik-delik Khusus, (Jakarta: Politea, 1974), h. 26.
47
Leden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 2. 48
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politea, 1996), h. 204. 49
Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, h. 3.
P. A. F. Lamintang, SH., dalam bukunya mengatakan bahwa tindak pidana kesusilaan/kejahatan-kejahatan kesusilaan yakni tindakan asusila atau ontuchte handelingen dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk katakata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutankepatutan di bidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat di mana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.50 Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa tindak pidana kesusilaan pada dasarnya, dapat dirumuskan sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan perilaku seksual. Mengingat perilaku seksual merupakan bentuk perilaku manusia yang sangat pribadi. Maka mudah dipahami jika perumusan tentang perilaku ini dalam kaitannya dengan hukum pidana tidaklah mudah dibandingkan dengan perilaku-perilaku melanggar hukum pidana lainnya. Misalnya tindak pidana terhadap nyawa atau harta benda, terutama dikaitkan dengan nilai-nilai setempat.51
50
Lihat P.A.F.Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak Pidana-Tindak Pidana Melangaar Norma-norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.1. 51
Harkristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h.180-181.
Tindak pidana kesusilaan umumnya tidak begitu mengejutkan seperti tindak pidana terhadap nyawa, dan frekuensinya lebih kurang daripada tindak pidana harta kekayaan.52 Dalam hal tindak pidana kesusilaan apa yang akan menjadi ukuran suatu tindakan dapat dipidana terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengemukakan bahwa moral sebagai ukuran dan ada yang mengemukakan hukum sebagai ukurannya. Apabila dua hal ini yang menjadi ukuran maka sebenarnya hukum yang bermoral atau moral yang seirama dengan hukumlah yang lebih tepat sebagai ukuran. Masalah kesusilaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban bangsa dan peradaban bangsa-bangsa. Namun yang paling berperan adalah peradaban bangsa yang bersangkutan. Di Indonesia dikenal berbagai peradaban suku bangsa sebagai kenyataan sambil menuju kepada kesatuan dan persatuan peradaban itu, maka kenyataan masa kini harus dihadapi dan menegakkan keadilan dan kebenaran.53 Sebagai perilaku yang berhubungan dengan masalah seksual, tindak pidana kesusilaan dalam konstruksi hukum pidana, sebagaimana dirumuskan
52
J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana 3 (Bagian Khusus Delik-delik Khusus), (Bandung: Bina Cipta, 1986), h. 172. 53 S. R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHMPTHAM, 1983), h. 222-223.
dalam Bab XVI KUHP, terdiri atas beberapa jenis. Hal ini pokoknya mencakup:54 a. Merusak kesopanan di muka umum (Pasal 281 KUHP) b. Pornografi (Pasal 282&283 KUHP) Maria Ulfah mendefinisikan pornografi sebagai segala sesuatu yang mengakibatkan seseorang cenderung melakukan perbuatan asusila. Di dalam Ensiklopedi Feminisme pornografi diartikan sebagai penggambaran material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan.55 Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, pornografi didefinisikan sebagai berikut: “Pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, foto, tulisan, film, atau yang dipersamakan dengan film, video, terawang, tayangan, atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis, yang menunjukkan sensualitas dan atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain”. 56 Yang diancam hukuman dalam Pasal 282 KUHP ialah orang yang menawarkan, memberikan, menyerahkan atau memperlihatkan; tulisan,
54
Harkristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h. 181-182. Maria Ulfah Anshor, “Pornografi Haruskah disikapi dengan Undang-undang?”, Kompas, (Jakarta), 26 Mei 2003. 55
56
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah, (Jakarta: RM. Books, 2007), h.80.
gambar atau benda yang menyinggung rasa susila atau alat untuk menggugurkan kandungan, kepada orang di bawah umur tujuh belas tahun.57 c. Perzinaan (Pasal 284 KUHP) Menurut pengertian umum, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat perkawinan. Tetapi menurut Pasal 284 KUHP, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. 58 Dalam Pasal tersebut supaya dapat dituntut, persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun. d. Perkosaan (Pasal 285-288 KUHP), meliputi: 1) Perkosaan dengan menggunakan ancaman dan kekerasan; 2) Perkosaan dengan wanita pingsan; 3) Perkosaan dengan anak dibawah umur (lima belas tahun ke bawah); 4) Perkosaan dengan seseorang yang belum patut untuk dikawin, yang selanjutnya menimbulkan luka-luka, kematian. e. Perbuatan cabul/Pencabulan (Pasal 290-296 KUHP), meliputi: 1) Perbuatan cabul dengan orang pingsan;
57
R. Sughandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), h. 298.
58
Ibid., h. 300.
2) Perbuatan cabul dengan anak dibawah umur/belum pantas untuk dikawin; 3) Perbuatan cabul dengan bujukan; 4) Perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa dengan orang lain sesama kelamin; 5) Perbuatan cabul yang dilakukan dengan menyalahgunakan wibawa; 6) Perbuatan cabul dengan anak (kandung, tiri, angkat, dibawah pengawasannya); 7) Perbuatan cabul yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada bawahannya (karena jabatan); 8) Perbuatan cabul yang dilakukan oleh pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, pesuruh dalam penjara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, kepada orang yang dimasukkan ke dalamnya; f. Perdagangan perempuan59 dan anak laki-laki (Pasal 297 KUHP) g. Persundalan (298 KUHP) h. Pengguguran kandungan (Pasal 299 KUHP) Dari bentuk-bentuk yang diatur dalam Bab XVI KUHP tersebut, beberapa prinsip mendasar yang dapat dijumpai, antara lain: a. Tindakan seksual adalah perbuatan manusia yang sangat pribadi; 59
Menurut Noyon-Langemeyer, perdagangan perempuan harus diartikan sebagai: semua perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan bergantung kepada kemauan orang lain yang ingin menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga (prostitusi). Lihat Wirjono Projodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), h. 124.
b. Sebagai tindakan yang pribadi, ia harus dilakukan secara pribadi atau tertutup; c. Sebagai tindakan pribadi yang konsensual (yang hanya melibatkan dua orang), apabila merugikan orang ketiga, maka tindakan ini hanya dapat dituntut atas keinginan orang ketiga tersebut. Karena hal itu menyangkut kehormatannya; d. Anak-anak atau orang di bawah umur harus dilindungi dari segala bentuk tindakan yng berkenaan dengan seksualitas; e. Wanita harus dilindungi dari tindak seksual yang dilakukan melalui kekerasan/ancaman kekerasan; f. Wanita dan laki-laki harus dilindungi dari tindak perdagangan manusia (human trafficing); g. Orang-orang yang menyalahgunakan hubungan kekuasaan terhadap orang lain dengan melakukan perbuatan cabul; atau memudahkan perbuatan cabul antara orang lain dengan anak yang ada dibawah kekuasaannya tersebut, yang harus diperberat ancaman pidananya.60 2. Hukum Islam Mengenai
tindak
pidana/kejahatan
kesusilaan
Hukum
Islam
menentukan dengan sangat sederhana bahwa kejahatan kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, sehingga kalau memang terbukti dan diajukan di
60
Harkristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h.182-183.
muka Hakim, hukumannya tegas dan jelas. Karena dalam hal ini, kejahatan kesusilaan menyangkut harkat dan harga diri serta kehormatan manusia. 61 Dan pada dasarnya kejahatan terhadap kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, dikarenakan menyangkut harkat dan harga diri kehormatan manusia.62 Sebagaimana telah dikemukakan pada sub-bab sebelumnya bahwa secara garis besar jarimah/tindak pidana didalam hukum pidana Islam (fiqh jinayah) dibedakan menjadi tiga, yakni: jarimah hudud (had), jarimah qishash, dan jarimah tazir. Yang mengandung delik-delik kesusilaan didalamnya adalah pada jarimah hudud dan jarimah tazir, sebagai berikut: a. Jarimah hudud Jarimah hudud yakni jarimah yang ditentukan oleh Allah, baik bentuk jarimahnya maupun hukumannya. Tindak pidana kesusilaaan yang termasuk jarimah hudud yaitu: 1) Zina Zina secara harfiah berarti fahîsyah yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seseorang laki-laki dengan perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam
61
Bismar Siregar, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Barat, dalam Muhammad Amin Suma.dkk, Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 204. 62
Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2001), h. 204.
hubungan perkawinan. Para fuqaha mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, tetapi atas dasar syahwat.63 Dasar hukum dari jarimah zina yakni:
Zq p ' @6< B p sM R' ;m N'r Xo
-c N v," co -6-uN
☺tfg
☺fy am<@Dcb- wn' d. V :#{ | Z# 6-cceL V
a "d -@ }~m N )C
F<& '
☺tfy⌧<" XM6fX|&' 6⌧9 - (٢ :٢٣/" )ار#$ -0☺& Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orangorang yang beriman”.(Q.S.: an-Nur/24: 2)
N Z,q
p Na")&.- wn' ' 6"-+-c "d5⌧m PWB. (٣٢ :١٧/<⌧ )اء% Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S.Al Israa’/17:32) Unsur-unsur pada jarimah zina yakni: a) Persetubuhan yang diharamkan dan dianggap zina, yakni meliputi: persetubuhan dalam farji (vagina), persetubuhan dalam dubur, 63
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 35.
menyetubuhi
istri
melalui
dubur,
menyetubuhi
binatang,
menyetubuhi mahram, bersetubuh karena dipaksa, dan sebagainya. b) Adanya kesengajaan atau niat bersetubuh. 64 Pelaku jarimah zina dapat dikenai hukuman had apabila perbuatannya telah dapat dibuktikan. Untuk jarimah zina ada tiga macam cara pembuktian, yaitu: saksi, ikrar (pengakuan) dan Qarinah (petunjuk/indikasi).65 Hukuman jarimah zina ada dua macam, tergantung pada keadaan pelaku apakah sudah berkeluarga (muhsan) atau belum (ghair muhsan). a) Zina muhsan Bagi pezina muhsan (sudah berkeluarga) adalah dirajam sampai meninggal, sesuai dengan sabda Nabi SAW:
*) ا.'() %& $"! ا# وا وا وا 5# وا./+ ﻡ-# 3(4+ ﺏ3(4 وا. 1 وﻥ./+ ﻡ-# *)+ﺏ 66 (<ﻡ+= ا%دة ﺏ+) % 5-: ﻡ9رة )روا+78+ﺏ Artinya: “Terimalah dariku! terimalah dariku! terimalah dariku! Allah telah memberi jalan kepada mereka (yang berzina). Bujangan yang berzina dengan bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan janda (orang yang telah kawin) yang berzina dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu.” ( HR. Muslim dari Ubadah bin Shamit).67
64
Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî, juz II, h. 349.
65
Ibid., h. 395. Muslim Ibnu al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî al-Nîsâburî, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th.), juz III, h. 1316 hadits nomor 12 (1690). 66
67
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), h. 42.
Namun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa si pezina itu langsung dirajam sampai mati tanpa perlu terlebih dahulu dihukum cambuk seratus kali, seperti yang telah dikerjakan Nabi dengan merajam dua orang pezina Yahudi tanpa mencambuk mereka terlebih dahulu. Sebelum dijatuhi hukuman rajam sampai mati, maka harus dipenuhi beberapa persyaratan yaitu si pezina dalam keadaan sehat pikiran, seorang muslim, telah atau pernah menikah, telah mencapai usia baligh dan telah merdeka.68 b) Zina ghair muhsan Adapun tahapan terakhir pelarangan zina adalah dengan pemberian hukuman bagi pelaku ghair muhsan (belum menikah). Bagi pelaku ghoiru mukhson, hukumannya adalah 100 kali cambuk dan diasingkan selama 1 tahun.69 Ketentuan ini berdasarkan firman Allah SWT:
Zq p ' @6< B p sM R' ;m N'r Xo
-c v," co -6-uN
☺tfg
☺fy am<@Dcb- wn' N d. V :#{ | Z# 6-cceL V
a "d -@ }~m N )C
F<& '
☺tfy⌧<" XM6fX|&' 6⌧9 - (٢ :٢٤/" )ار#$ -0☺& 68
Abdur Rahman l Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, h.36. Fauzan al-Anshari, Hukuman Bagi Pezina dan Penuduhnya, (Jakarta: Khairul Bayan, 2002), h. 21. 69
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (QS. an-Nuur/24: 2). Mengenai ketentuan sangsi tambahan (hukuman pengasingan 1 tahun), diatur dalam Hadis Rasulullah SAW:
5- وC(- $ اD- "< ا) ﺹ:ل+? &7 ا+ % زی ﺏ% (ري+K) ا9م )روا+ 3یGH و./+ ﻡ-# %=8 ی5 وD زﻥ%( ﻡIی 70
Artinya: “Dari Zaid bin Khaliq berkata: bahwa saya telah mendengar dari Nabi SAW, beliau memerintahkan dalam perkara orang yang berzina tidak mukhson agar diberi sanksi hukuman seratus kali dera dan pengasingan satu tahun”. (H.R. Bukhari). Terdapat beberapa pendapat mengenai sanksi hukuman tambahan ini (hukuman pengasingan), yaitu: 71 1) Menurut Imam Malik, hukuman pengasingan hanya dikenakan
kepada pezina laki-laki sedangkan perempuan tidak ditimpakan hukuman tersebut. 2) Menurut Imam Ahmad bin Hambal menyetujui hukuman
pengasingan selama 1 tahun sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera.
70
Muhammad bin Ismâîl Abu Abdullâh al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1987), juz VI, h. 2507 hadits nomor 6443. 71
Asyahari Abd Ghafar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Grafindo Utama, 1987), h. 28-29.
3) Menurut Imam Abu Hanifah, hukuman pengasingan dapat
diterapkan
setelah
adanya
pertimbangan
hakim
atau
kebijaksanaan yang menangani perkara. 4) Menurut kebanyakan ulama (Imam Syafi’i, al-Qurtubi, Atho’,
Thowus dan Khulafaur Rasyidin) perlunya diberikan hukuman dera dan pengasingan bagi para pezina ghoiru mukhson. 2) Qadzaf Qadzaf secara harfiah melemparkan sesuatu. Istilah qadzaf dalam hukum Islam adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan zina.72 Dasar hukum pada jarimah ini adalah:
"dF)" "#{ 54 ' T?- >@?
k+,!T-0☺&
6@"aFL'ba N@cb" T?@3'0M Xo
-c M6fr wn' ," co "#$ +\'? ,M+6f Fv N@ "s&.- @3 sW+-b'e' K !M"a'e (٤ :24/" )ارdr. +⌧9& Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baikbaik73(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.(Q.S: an-Nur/24: 4).
F)" N @ 72 73
"#{ 54 d.
k+T-\&
k+R 9+"T&
k+,! -0☺&
Ali, Hukum Pidana Islam, h. 53.
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah.
,")C ' <BLM Z# :٢٤/ )ار}J r" U⌧<" Fv'
(٢٣ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baikbaik, yang lengah74 lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”. (Q.S.An Nur/24: 23) Unsur-unsur pada jarimah qadzaf, yakni: a) Menuduh berbuat zina atau menafikan nasab; b) Orang yang dituduh adalah orang muhsan (baik); dan c) Berniat melawan hukum75 Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan tiga macam alat bukti, yaitu adanya saksi, pengakuan dan sumpah. Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu hukuman pokok berupa delapan puluh kali jilid dan hukuman tambahan berupa tidak diterima persaksiannya. 76 b. Jarimah ta’zir Ta’zir berasal dari kata رyang artinya: 1) menolak, mencegah kejahatan; 2) menguatkan; 3) hukuman yang memberi penjelasan.77 Hukuman ta’zir boleh dan harus diterapkan sesuai dengan kemaslahatan, dalam kaitan ini ada sebuah kaidah:
.8-= اO" ی یور ﻡNا 74
Yang dimaksud dengan wanita-wanita yang lengah ialah wanita-wanita yang tidak pernah sekali juga teringat oleh mereka akan melakukan perbuatan yang keji itu. 75
Abdul Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî, juz II, h. 462.
76
Ibid., h. 488-490.
77
Masyrofah, Jarimah Tazir, dalam materi perkuliahan Fiqh Jinayah, 4 Juni 2008, Semester VI (Prodi Perbandingan Hukum).
Artinya: “Ta’zir itu sangat bergantung pada tuntutan kemaslahatan”.78 Ruang lingkup jarimah ta’zir, yakni: 1) Jarimah hudud, qishas dan diyat yang terdapat syubhat yaitu jarimah yang tidak memenuhi syarat-syarat atau unsur-unsurnya 2) Percobaan pada jarimah 3) Jarimah yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi tidak disertai ketentuan mengenai sanksi hukumannya.79 Adapun tujuan hukuman ta’zir yaitu: 1) Preventif, yakni bersifat mencegah sebelum terjadinya perbuatan. Dalam hal ini hukuman ta’zir bersifat mencegah terjadinya jarimah. 2) Represif, yakni bersifat setelah terjadinya perbuatan. Dalam hal ini hukuman ta’zir bersifat menimbulkan efek jera terhadap pelaku jarimah tersebut. 3) Edukatif, yakni bersifat mendidik, bukan hanya mendidik pelaku tetapi mendidik masyarakat untuk tidak melakukan jarimah tersebut. 4) Kuratif, merupakan tujuan hukuman yang bersifat eksklusif karena efek kuratif hanya ada pada sanksi ta’zir saja. Kuratif yakni efek yang dapat mengubah pelaku menjadi lebih baik. Karena dalam hal ini hukuman ta’zir merupakan hukuman yang bersifat personal. 80 Macam-macam sanksi ta’zir terdiri dari: 78
Djazuli, Fiqh Jinayah, h.166.
79
Ibid. Ibid., h.190.
80
1) Hukuman mati, dikenakan terhadap jarimah ta’zir yang berkaitan dengan badan. Misalnya, pembunuhan. 2) Hukuman jilid, dikenakan terhadap jarimah ta’zir yang berkaitan dengan badan dan kehormatan (kerusakan akhlak). 3) Hukuman penjara, dikenakan terhadap jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan. 4) Pengasingan 5) Sanksi-sanksi ta’zir lainnya yakni: peringatan keras dan dihadirkan di hadapan sidang, dicela, dikucilkan, dinasehati, dipecat dari jabatannya dan dumumkan kesalahannya. 81 Pembagian jarimah ta’zir, yakni: 1) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan 2) Jarimah ta’zir berkenaan dengan pelukaan 3) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak 4) Jarimah ta’zir yang berkenaan dengan harta 5) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu 6) Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan dan kestabilan pemerintahan.
81
Ibid., h. 215.
Yang akan di bahas dalam penelitian skripsi ini adalah jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak. Berkenaan dengan jarimah ini yang terpenting adalah zina, menuduh zina, dan menghina orang, dalam hal ini yang tidak memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi hukuman had, atau terdapat syubhat dalam pelakunya, perbuatannya atau tempatnya atau menzinai orang yang telah meninggal.82 Termasuk dalam hal ini perbuatan mendekati zina83 (seperti mencium dan meraba-raba) meskipun dilakukan dengan tidak ada paksaan. 84 Dalam hal ini meraba-raba (atau lebih dikenal sebagai perbuatan cabul) termasuk didalamnya, dan dapat dikenai hukuman jilid sebagai hukuman pokoknya.
82
Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 179.
83
Perbutan mendekati zina yakni melakukan sesuatu perbuatan yang merangsang untuk berbuat zina atau melakukan suatu perbuatan pra-zina. Lihat Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003), h. 9. 84
Karena hukum Islam tidak memandangnya sebagai pelanggaran terhadap perorangan. Akan tetapi juga, hal itu dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakat, jelasnya bukan delik aduan, melainkan delik biasa. Lihat Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 181.
BAB III TINDAK PIDANA PENCABULAN SEBAGAI BENTUK KEKERASAN TERHADAP ANAK
Dalam praktek, korban kekerasan paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa. 85 Walaupun dalam hal ini, telah adanya UU Perlindungan Anak yang memuat mengenai hak-hak anak dan juga adanya peraturan perundang-undangan lainnya yang juga memberikan proteksi terhadap anak. Tetapi kekerasan terhadap anak semakin tahun semakin meningkat. A. Perlindungan terhadap Anak Didalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, perlindungan mengandung pengertian “Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
85
Hadi Supeno, “Sekolah Bukan Tempat Aman bagi Anak”, Kompas, 23 Januari 2008, h. 7.
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.86 Sebagaimana terdapat pada Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Anak, perlindungan anak mengandung pengertian “Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”87 Selanjutnya, dalam Konvensi Hak-hak Anak 1959 dinyatakan bahwa karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, anak memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahiran.88 Hadirnya UU Perlindungan Anak, sebagai hukum positif yang memberi jaminan perlindungan anak, semestinya cukup membuat lega bagi orang tua dan kelompok masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah anak di Indonesia. Namun realitasnya, jaminan pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, masih "sebatas idealitas".89
86
UU RI No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: CV Eko Jaya, 2004), h. 5. 87 UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 4. 88 89
Salimin A, Hak Asasi Anak, h. 507
Suryadi, “Upaya Perlindungan Anak dari Kekerasan”, artikel ini diakses pada 13 Desember 2008 dari http://www.radarbanjar.com
Dengan memberikan peluang kepada anak untuk mengemukakan pendapat, dapat memberikan manfaat kepada generasi yang lebih tua. Kepolosan mereka dalam mengemukakan pandangan bisa memberikan gambaran yang mungkin tak pernah terpikirkan selama ini. Sejarah sudah sering memberikan bukti tentang kebenaran pendapat mereka, juga dalam sejarah pertumbuhan Indonesia. 90 Mengenai hak-hak anak termuat dalam Konvensi Hak Anak91 dan UU Perlindungan Anak. Menurut Chandra Gautama hak anak yang termuat dalam Konvensi Hak Anak, yang meliputi: 1)
Hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang, mendapatkan nama, kewarganegaraan, identitas, standar hidup yang layak dan kesehatan yang paling tinggi;
2)
Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam konflik bersenja, jika mengalami konflik hukum, eksploitasi sebagai pekerja anak, eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan;
3)
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika mengalami eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual;
4)
Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan, dan perdagangan anak-anak dan jika mengalami eksploitasi sebagai anggota kelompok minoritas atau masyarakat adat;
90
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1986),
91
Yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November
h. xi. 1989.
5)
Hak untuk hidup dengan orang tua dan tetap berhubungan dengan orang tua bila dipisahkan dari salah satu orang tua;
6)
Hak untuk mendapatkan pelatihan keterampilan, berekreasi, bermain, dan berpartisipasi dalam kegiatan seni dan kebudayaan;
7)
Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam situasi yang genting dan perlindungan khusus sebagai pengungsi;
8)
Hak untuk bebas beragama, berserikat dan berkumpul secara damai;
9)
Hak untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber, mendapatkan perlindungan pribadi, perlindungan dari siksaan, perlakuan yang kejam, hukuman, perlakuan yang tidak manusiawi, penangkapan sewenang-wenang, perampasan kebebasan; dan
10) Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma.92 Meskipun Konvensi Hak Anak telah diratifikasi, kondisi anak-anak di Indonesia masih memprihatinkan, seperti anak-anak di pedesaan, anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan, anak perempuan, pekerja anak (anak yang bekerja dini), pelacuran anak, anak cacat, anak-anak eksodus (pengungsi dalam negeri/IDPs), anak-anak dalam penjara dan anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga.93 Selanjutnya hak-hak anak juga diatur didalam UU Perlindungan Anak yakni dari Pasal 4-18. Hak-hak anak tersebut, yaitu: 92
Chandra Gautama, Konvensi Hak Anak: Panduan Bagi Jurnalis, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2000), h. 69-70. 93
Salimin A, Hak Asasi Anak, h. 517.
a. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; b. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; c. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua; d. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh orang tua sendiri; e. Hak untuk diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain jika orang tuanya tidak menjamin tumbuh kembang anak atau anak terlantar; f. Hak atas pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial; g. Hak atas pendidikan dan pengajaran untuk mengembangkan pribadinya, dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya; h. Bagi anak penyandang cacat, berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan bagi anak yang memiliki keunggulan berhak mendapat pendidikan khusus; i.
Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesaui tingkat kecerdasan dan usianya;
j.
Hak untuk beristirahat, dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya;
k. Hak untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat; l.
Selama diasuh orang tua, wali, atau pihak lain yang bertanggung jawab, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (ekonomi maupun seksual) penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya;
m. Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir; n. Hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan peperangan; o. Hak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; p. Hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; q. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: 1) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, 2) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, 3) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum;
r. Hak untuk dirahasiakan bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum; dan s. Hak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya bagi anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana. 94 Mencermati keberadaan anak-anak di Indonesia saat ini, sudah waktunya diperlukan suatu upaya sistematis untuk melindungi dan memenuhi hak-hak anak sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18 tahun. Negara (pemerintah) dan masyarakat domestik maupun masyarakat internasional, terutama Komnas Anak serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terkait, berkewajiban dan bertanggungjawab dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik atau mentalnya. Beranjak dari konsepsi perlindungan dan pemenuhan hak anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, dibutuhkan partisipasi orang dewasa dari berbagai profesi untuk memberikan perlindungan kepada anak berdasakan asasasas non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.95
B. Kekerasan terhadap Anak 1. Pengertian
94 95
Ibid., h. 519-520. Lihat Salimin A, Hak Asasi Anak, h. 519-520.
Kata kekerasan berasal dari bahasa latin yaitu violentia, yang berarti kekerasan; keganasan; kehebatan; kesengitan; kedasyatan; kegarangan; dan aniaya.96 Dalam Kamus Webster kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai atau menganiaya, perlakuan atau prosedur yang kasar serta keras, dilukai oleh atau terluka dikarenakan menyimpangan, pelanggaran atau perkataan tidak senonoh, kejam, sesuatu yang kuat, bergejolak, atau hebat dan cenderung menghancurkan atau memaksa perasaan atau ekspresi yang berapi-api, juga termaksud hal-hal yang timbul dari aksi atau perasaan tersebut, suatu bentrokan atau kerusuhan. 97 Dalam kamus bahasa Indonesia, kekerasan diartikan dengan perihal yang bersifat dan berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain atau ada paksaan. 98 Menurut penjelasan ini, kekerasan itu merupakan wujud yang bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai.99
96
K.Prent.X.C., dkk., Kamus Latin-Indonesia, (Yogyakarta: KANISIUS, 1969), h. 930. Philip Babcock Gove, The Merriem-Webster (Webster New International Dictionary), (Springfield, USA: G&C Meriam Company,1996), h. 2554. 97
98
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
h. 488. 99
Wahid, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), h. 30.
Secara umum kekerasan menunjuk pada semua tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-undang, baik berupa ancaman saja
maupun
sudah merupakan suatu tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian pada seseorang.100 Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus kekerasaan itu merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat niscaya berakibat bagi kerugian orang lain. Kerugian yang menimpa sesama secara fisik maupun non-fisik (psikis dan seksual) inilah yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia. 101 Dari uraian di atas, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, luka berat, ketakutan, rasa tak berdaya, atau penderitaan psikis terhadap seseorang yang usianya belum 18 (delapan belas) tahun dan termasuk di dalamnya anak dalam kandungan. 2. Bentuk Kekerasan terhadap Anak Berbagai bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anakanak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiyaan, trafficking, aborsi, pedhofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang
100
Al Fitrah, Kejahatan Kekerasan dalam Perspektif Kriminologis, dalam materi perkuliahan Kriminologi, 1 Des 2008, Semester VII (Prodi Pidana Islam). 101 Yayah Khisbiyah, dkk , Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, 2000), h.13.
pekerjaan, penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan dan sebagainya.102 Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak meliputi: 1) Kekerasan fisik, kekerasan ini meliputi pemukulan dengan benda keras, menjewer, menampar, menendang, menyundut dengan api rokok, menempelkan sterika pada tubuh bahkan membenturkan kepala pada tembok, lantai dan tempat tidur; 2) Kekerasan dalam bentuk penelantaran. Bentuk ini pada umumnya dilakukan dengan cara membiarkan anak dalam situasi kurang gizi, tidak mendapat perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis, mendorong dan memaksa anak menjadi anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pemulung dan jenis-jenis pekerjaan lain yang dapat membahayakan tumbuh kembang anak; 3) Kekerasan emosional atau yang kita sering kenal dengan sebutan kekerasan verbal. Kekerasan ini umumnya dilakukan dalam bentuk membentak, memarahi dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendakan martabat anak; dan 4) Kekerasan seksual yang meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak (sale children) untuk tujuan prostitusi (child prostitution) dan pornografy (child phornografy). Selain dapat juga terjadi dalam
102
Supeno, “Sekolah Bukan Tempat Aman bagi Anak”, h. 7.
bentuk perkosaan, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani, pelecehan seksual , dicium bahkan perbuatan incest.103 Menurut Pusat Data dan Informasi Komnas Perlindungan Anak bahwa selama tahun 2005 dilaporkan telah terjadi sebanyak 736 kasus pada anak. Dari kasus tersebut 327 kasus kekerasan seksual, 233 kasus kekerasan fisik, 176 secara psikis. Sedangkan kasus penelantaran anak sebanyak 130 kasus.104 Bahkan menurut Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi, kekerasan terhadap anak yang terjadi ditahun 2004 belum dapat ditekan dan bahkan semakin meningkat di tahun 2005. dari 140 kasus kekerasan fisik terhadap anak di tahun 2004 meningkat ditahun 2005 yakni sebesar 233 kasus atau meningkat 60.09%. Untuk kekerasan seksualpun mengalami peningkatan, tercatat 221 kasus kekerasan seksual terhadap anak pada tahun 2004 meningkat menjadi 327 kasus atau meningkat 67.58% di tahun 2005. Begitu juga pada kasus kekerasan psikis, meningkat menjadi 176 kasus di tahun 2005 dibanding 80 kasus yang sama ditahun 2004 atau meningkat 45.45%.105 (Lihat Grafik 2.2 di bawah ini). Grafik 2.2 Perbandingan Jumlah Kekerasan pada Anak Tahun 2004-2005
103
Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi, Refleksi Akhir Tahun 2005 Hentikan kekerasan terhadap anak Sekarang dan selamanya…!!! (Catatan Permasalahan Anak di Indonesia Sepanjang Tahun 2005), www.komnaspa.or.id, diakses pada 13 Desember 200 104 105
www.rakyatmerdeka.co.id, diakses pada 13 Desember 2008.
Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi, Refleksi Akhir Tahun 2005, www.komnaspa.or.id, diakses pada 13 Desember 2008.
350 300 250
Kekerasan Fisik
200
Kekerasan Psikis
150
Kekerasan Seksual
100 50 Tahun 2004
Tahun 2005
Sumber : Data Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi tahun 2005
Grafik di atas menunjukan bahwa perhatian terhadap perlindungan anak di Indonesia sangat minim dan memprihatinkan, karenanya dibutuhkan perhatian yang tepat dan bersifat holistik di dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tentang perlindungan anak di Indonesia.
3. Dampak Kekerasan terhadap Anak Menurut Ma’ruf Mustafa Zuraya, kekerasan terhadap anak akan berdampak: a. Melukai kepribadian anak dan mengurangi kepercayaan dirinya, apalagi dilakukan di hadapan teman-temannya b. Mengakibatkan kerugian fisik yang membahayakan masa depan anak, misalnya kekerasan yang dilakukan mengakibatkan cacat fisik pada anak seperti patah tulang dan lain-lain;
c. Kekerasan terhadap anak biasanya akan membuat anak merasa kecewa dan kabur dari rumah, bahkan terkadang melakukan perbuatan kriminal. 106 Selanjutnya Farha Ciciek di dalam bukunya mengatakan bahwa terdapat dampak tertentu terhadap anak yang mengalami kekerasan, yakni: sering gugup, suka menyendiri, cemas, sering ngompol, gelisah, gagap, sering menderita gangguan perut, kejam pada binatang, ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam serta suka memukul teman. 107
C. Pencabulan sebagai Kekerasan terhadap Anak Kekerasan terhadap anak memang merupakan tindak penistaan harkat kemanusiaan. Akan tetapi ada di antara manusia yang menganggap itu sebagai konsekuensi logis dari kehidupan ini, yakni anak dianggap pantas untuk dikorbankan atau diperlakukan dengan kasar dan tidak senonoh. Seto Mulyadi dan Arist Merdeka Sirait juga mengingatkan, angka kekerasan terhadap anak setiap tahun terus meningkat. Pada periode Januari-Juni 2007 terdapat 456 kasus kekerasan terhadap anak, 52% diantaranya merupakan kasus pencabulan terhadap anak.108 (Lihat Tabel 1.2 di bawah ini). Tabel 1.1 Jenis Tindak Kekerasan dan Jenis Kelamin Korban No 1. 2.
Jenis Tindak Kekerasan Pembunuhan Penganiayaan
Perempuan 35 30
Laki-laki 37 29
Frekuensi 72 59
106
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, t..th.), h. 36-37. 107
Ibid. 1,5 Juta Pekerja Anak di Jakarta (Mereka Seharusnya Diperlakukan sebagai Saudara), diakses pada tanggal 13 Desember 2008 dari www.hellis.org. 108
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Perdagangan Anak Penculikan Pencabulan Perkosaan Kekerasan Psikis Bunuh Diri Penelantaran Phedhofilia Melarikan Anak Penyanderaan Jumlah
34 29 75 79 4 4 6 1 4 301
4 18 47 3 1 11 5 155
38 47 122 79 7 5 17 5 1 4 456
Sumber : Data KPAI tahun 2007
Pencabulan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak, yakni bentuk kekerasan seksual. Data Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi menunjukkan bahwa dari 327 kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang tahun 2005, pencabulan merupakan kekerasan seksual tertinggi yang yakni sebanyak 182 kasus atau 55.66%, selanjutnya perkosaan menempati urutan kedua yakni sebesar 135 kasus atau 42,8%, dan yang terakhir adalah incest109 yakni sebanyak 10 kasus atau 3,06%. (Lihat Grafik 2.3 di bawah ini). Grafik 2.3 Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak Sepanjang Tahun 2005
200 150 Incest 100
Perkosaan
50
Pencabulan
0 Kekerasan Seksual terhadap Anak Sepanjang tahun 2005
Sumber : Data Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi tahun 2005 109
Incest yakni hubungan seksual dengan orang yang sedarah/hubungan keluarga.
Apapun bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh anak merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang kejam dan penghacuran generasi bangsa (lost generation). Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap kelangsungan hidup, tumbuh, dan kembangnya berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan yang bersifat amoral (kekerasan, diskriminasi, pelecehan seksual, pencabulan, atau perbuatan tidak senonoh). D. Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak 1. Pengertian Tindak pidana pencabulan terhadap anak ini diatur di dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak dan Pasal 290 angka 2 KUHP. Di dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak, tindak pidana ini diartikan sebagai perbuatan yang dengan sengaja yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangakaiaan kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Tetapi Pasal tersebut tidak menyebutkan pengertian cabul secara jelas. Sementara di dalam Pasal 290 angka 2 KUHP tindak pidana ini diartikan perbuatan cabul yang dilakukan dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin.
Kedua peraturan tersebut tidak memberikan definisi yang jelas. Untuk pengertian perbuatan cabul itu sendiri yang ada hanya berupa penafsiran dari beberapa pakar hukum saja, seperti R. Soesilo didalam bukunya mengartikan perbuatan cabul sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, seperti: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, buah dada, dan sebagainya. 110 Pencabulan berasal dari kata cabul, selanjutnya mendapat penambahan pe-an. Kata cabul itu sendiri memiliki arti keji dan kotor (seperti melanggar kesopanan, dan sebagainya); perbuatan yang buruk (melanggar kesusilaan). Sedangkan arti pencabulan itu sendiri menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yakni perkara cabul (pelanggaran kesopanan, sebagainya). 111 Dalam Van Dale, Groot wordenbook, der Nederlandsse taal, cabul ditafsirkan dengan definisi yang tidak jelas. Cabul ditafsirkan sebagai “dukana (suka sahwat), hal yang bertentangan dengan kesusilaan, sifat jangak (tidak senonoh tingkah lakunya; cabul)”.112 Mengenai definisi anak sendiri juga terdapat variasi, yakni: a. Anak Menurut UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak masih dalam kandungan.
110
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), h. 212. 111 112
W.J.S.Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 58.
J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana 3 (Bagian Khusus Delik-delik Khusus), (Bandung: Bina Cipta, 1986)h.181.
b. Anak menurut KUHP adalah setiap manusia yang belum berusia 15 (lima belas) tahun dan belum waktunya untuk menikah. Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan tindak pidana pencabulan terhadap anak yakni perbuatan yang melanggar kesusilaan (dalam hal ini cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya) dan ketentuan peraturan serta norma yang berlaku yang dilakukan terhadap setiap manusia (yang usianya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah). 2. Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Pencabulan Faktor-faktor
yang
melatarbelakangi
timbulnya
tindak
pidana
pencabulan antara lain: a. Faktor Intern, yakni faktor yang berasal dari dalam diri pelaku itu sendiri, meliputi: 1) Menyangkut keimanan dalam beragama pada dirinya Salah satu faktor keimanan dalam beragama ini sangat mempengaruhi seorang pelaku pembuat kejahatan. Biasanya seorang manusia yang tidak beriman akan mudah sekali terjerumus ke dalam limbah kemaksiatan. Berbeda jika seseorang mempunyai keimanan pada dirinya, ini sesuai yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, bahwa seseorang yang keimanannya telah menguasainya, walau
apapun
yang
terjadi
tidak
akan
mengganggu
atau
mempengaruhinya. Ia yakin bahwa keimanan itu akan membawanya kepada ketentraman dan ketenangan batin. 113 Dengan demikian seseorang yang tidak mempunyai keyakinan (keimanan) pada dirinya akan dapat membahayakan dirinya. Sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. Zakiah Daradjat di dalam bukunya bahwa dengan longgarnya pegangan seseorang terhadap ajaran agama, maka hilanglah kekuatan, pengontrolan yang ada dalam dirinya.114 Dengan keimanan seseorang dapat menjaga dirinya, sesuai dengan firman Allah SWT : NL8T" `$ -0☺c ;@5 Xk 3)+Fa'e X K T?0o')@c Nr⌧9&"-h' d. G Fv KZ-&'e s -I "d@,!T" ☺a s()s 4 (٣٠ :٢٤/)ار Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (Q.S.: an-Nur/24: 30) 2) Menyangkut kepribadiannya Kepribadian
seorang
akan
mempengaruhi segala
tindak
tanduknya, di mana pribadinya ini biasanya menyangkut pada kejiwaan seseorang, jika terdapat kekacauan pada kejiwaan seseorang maka tidak heran apabila timbul keinginan orang tersebut untuk
113 114
Zakiyah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), h. 14.
Zakiyah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), h. 65.
melakukan kejahatan-kejahatan karena diakibatkan oleh apa saja yang menimpa dirinya itu.115 b. Faktor Ekstern, yakni faktor yang berasal dari luar diri pelaku. Faktor ekstern ini meliputi: 1) Faktor sosial Dr. Anwar Haryono mengemukakan beberapa kondisi sosial yang menyebabkan timbulnya kasus kejahatan seksual, yaitu: a) Dalam masyarakat telah tumbuh kebudayaan yang bertentangan dengan norma kesucian tentang hubungan seks. b) Kontrol sosial terhadap penyelewengan seks tidak ada.116 Dalam hal ini pengaruh Westernisasi juga sangat berpengaruh dimana apabila kita lihat nilai budaya Indonesia mengalami pergeseran, yakni cendrung kebarat-baratan. Seks sudah dianggap menjadi suatu hal yang tidak tabu untuk dibicarakan, atau bahkan dijadikan ajang sebagai tunjuk kehebatan atau kedewasaan. 117 Dalam
115
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
h. 49. 116
Anwar Haryono, Samen Leven (Nasehat Perkawinan dan Keluarga), (Oktober, 1997), h. 6. Ingin menunjukkan bahwa dirinya telah dewasa merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang. Al-Fitrah, Kejahatan dan Penyimpangan Primer dan Sekunder Pada Masyarakat Kelas Bawah, dalam materi perkuliahan Kriminologi, 15 Des 2008, Semester VII (Prodi Pidana Islam). 117
hal ini kebudayaan Indonesia mengalami dinamika budaya (bukan suatu kemajuan melainkan suatu kemunduran budaya).118 2) Faktor ilmu pengetahuan dan teknologi a) Media Masa Melalui media masa seks disebarluaskan secara bebas, seperti majalah porno, DVD (digital audio/video player) dan situs porno yang dapat diakses kapan saja. Chairil A. Adjis dan Dudi Akasyah di dalam bukunya mengatakan bahwa tak syak lagi pornografi adalah provokator seks seseorang yang gemar melihat pornografi maka libiditas seksnya akan naik.119 b) Simbol-simbol seks Penggunaan simbol seks yang dijadikan alat perangsang seperti papan reklame yang menonjolkan tubuh wanita, foto model, gambar-gambar di kalender, yang menonjolkan tubuh wanita sehingga dapat merangsang nafsu laki-laki. 3) Faktor yuridis Di Indonesia, tindak pidana pencabulan sepertinya masih dianggap perbuatan kejahatan ringan. Dan dalam hal tindak pidana pencabulan
118
Perubahan (dinamika) yang terjadi di dalam masyarakat tidaklah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress), namun dapat pula berarti suatu kemunduran dari masyarakat yang bersangkutan. Lihat Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: CV Rajawali, 1980), h.97. 119
h.89-92.
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syaria’ah, (Jakarta: RM. Books, 2007),
ini juga mengalami kesulitan dalam hal pembuktian. Sehingga sering kali pelaku tindak pidana ini dihukum dengan hukuman yang ringan, yang tidak sesuai dengan dampak yang dialami dan diderita oleh korban. 3. Sanksi Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Didalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak mengenai tindak pidana ini diatur dalam Pasal 82, yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangakaiaan kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (Enam Puluh Juta Rupiah)”. Menurut ketentuan Pasal diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur tindak pidana pencabulan yang dapat dikenakan sanksi yakni: a. Setiap orang Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. b. Sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, sengaja mengandung pengertian “memang dimaksudkan (diniatkan, dikehendaki); memang
dengan
niat
(maksud)
lebih
dahulu”. 120
Kekerasan
artinya
mempergunakan tenaga fisik atau jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul, menendang, menyepak dengan tenaga atau senjata dari segala macam
dan sebagainya termasuk pula mengikat orang atau
menyekap dalam kamar.121 Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau
perlawanan
atau
kekerasan
yang
belum
diwujudkan
tapi
menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan. 122 Seperti diancam akan ditembak, dibunuh, ditusuk dan sebagainya.123 c. Memaksa Memaksa mengandung pengertian memperlakukan dengan paksa; melakukan (mendesak, menekan, dan sebagainya) dengan kekerasan (dengan kekuatan); mengharuskan (dengan tidak boleh tidak atau harus).124 d. Melakukan tipu muslihat
120 121
W.J.S Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 913. R.Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana: Delik-delik Khusus, (Jakarta: Politea, 1974),
h. 122-123. 122
Wahid, Perlindungan Terhadap Korban, h. 111.
123
P.A.F.Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak Pidana-Tindak Pidana Melangaar Normanorma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 113. 124
W.J.S Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 697.
Tipu muslihat mengandung pengertian bermacam tipu, berbagai daya upaya yang buruk. Sedangkan tipu mengandung pengertian perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong atau palsu) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung; kecoh.125 e. Serangkaian kebohongan f. Membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul Dan didalam KUHP juga mengatur mengenai tindak pidana ini yakni terdapat pada Pasal 290 angka 2, yang berbunyi : “Diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun bagi barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin”. Rumusan pada Pasal diatas, memiliki unsur-unsur sebagai berikut:126 a. Unsur-unsur Objektif: 1) Perbuatan, yaitu menyebabkan perbuatan cabul dan memudahkan perbuatan cabul; 2) Oleh orang yang belum dewasa; b. Unsur Subjektif: 1) Dengan sengaja; 2) Yang diketahuinya belum dewasa; dan 125 126
Ibid., h. 1079.
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), h. 111.
3) Yang sepatutnya harus diduga belum dewasa; Dalam Hukum Islam tindak pidana pencabulan merupakan jarimah ta’zir, karena dalam hal ini jarimah pencabulan tidak diatur didalam al-Quran dan al-Hadis sebagaimana jarimah had. Dalam hal ini jarimah pencabulan merupakan jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak. Mengenai tindak pidana ini hukum Islam tidak mengaturnya secara spesifik, tindak pidana pencabulan dianalogikan dengan perbuatan yang mendekati zina. 127 Dalam hal ini, mendekati zina pun dihukumi haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
N Z,q
p Na")&.- n' ' 6"-+-c "d5⌧m PWB. (٣٢ :١٧/<⌧ )ااء% Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S.: al-Isra’a/17: 32) Disamping itu Rasulullah bersabda:
ري+K) ا9ن )روا+R(S ا+&4-ن ﺙU م8 ﺏC <:( ﻡأة+ ﺏ5ن ا آ-K ی 128 (س+) % اﺏ% 5-:وﻡ Artinya: “Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu bersepi-sepi dengan seorang perempuan (yang bukan mahram), karena ketiga adalah setan”. (HR Bukhari dan Muslim dari Ibn Abas). Prinsip keharaman ini sesuai dengan suatu kaidah yang berbunyi:
127
Perbuatan mendekati zina di sini yakni perbuatan seperti mencium dan meraba-raba, meskipun dilakukan dengan tidak ada paksaan. Lihat A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), h. 181. 128
Muhammad bin Ismâîl Abu Abdullâh al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1987), juz III, h. 1093 hadits nomor 2844 dan.Muslim Ibnu al-Hujâj Abŭ al-Husaini alQusyairî al-Nîsâburî, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th.), juz II, h. 978 hadits nomor 424 (1341).
129
ام8ام & ا8 اD أدى إ+ﻡ
Artinya: “Setiap sesuatu yang mendatangkan hal yang haram adalah haram” Pelaku jarimah pencabulan ini dapat dikenai hukuman ta’zir berupa jilid.130 Mengenai jumlah maksimal hukuman jilid dalam jarimah ta’zir ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yakni: 1. Dalam mazhab Hanafi hukuman ta’zir tidak boleh melebihi batas hukuman had. Hal ini berdasarkan hadis: 131
% یN" ا% [( & ﻡD \ ا- ﺏ%ﻡ
Artinya: “Barang siapa memberi hukuman mencapai batas had pada selain jarimah hudud, maka ia termasuk orang yang melampaui batas” (HR. al-Baihaqi dari Nu’am bin Basyir dan al-Dhahak). Meskipun dalam penerapannya mereka berbeda pendapat. Abu Hanifah (misalnya) berpendapat tidak boleh lebih dari 39 kali jilid, mengingat bahwa jilid bagi peminum khamr adalah 40 kali jilid. sedangkan Abu Yusuf berpendapat bahwa maksimal jumlah jilid dalam ta’zir adalah 79 kali, mengingat jumlah jilid bagi penuduh zina adalah 80 kali jilid.132 2. Di kalangan mazhab Syafi’iyah hukuman ta’zir dengan jilid juga harus kurang dari jilid dalam had. Di samping itu, ada juga sebagian ulama
129
Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 38.
130
Ibid., h. 179.
131
Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Mŭsâ Abŭ Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, (Makkah al-Mukaramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1993), juz VIII, h. 327, hadits nomor 17362 dan 17363 132
Ibn al-Humam, Fath al-Qadir, (tkp: ttp, tt), jilid IV, h.113. Lihat juga Djazuli, Fiqh Jinayah, h.197 dan 198.
Syafi’iyah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa jumlah jilid dalam ta’zir tidak boleh lebih dari sepuluh kali, berdasarkan hadis: 133
(5-:رى وﻡ+K) ا9 )روا$ ود ا% ﻡD ات إ-# S ق-7 ی
Artimnya: “Seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali cambuk kecuali dalam salah satu dari had Allah SWT.”(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Burdah). 3. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa sanksi ta’zir yang berupa jilid boleh melebihi had selama mengandung maslahat. Alasan mereka karena Umar ibn Khathab telah menjilid Mu’in Za’idah yang memalsukan stempel baitul mal dengan 100 kali jilid.134 Selanjutnya mengenai batas terendah hukuman jilid pada jarimah ta’zir juga mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama, yakni: 1) Ulama Hanafiyah berpendapat jilid sebagai sanksi ta’zir memiliki batas terendahnya harus mampu memberi dampak yang preventif dan yang represif bagi umat; 2) Ulama lain menyatakan batas terendah bagi jilid ta’zir adalah satu kali;dan 3) Ibn Qudamah menyebutkan bahwa batas terendah tidak dapat ditentukan, melainkan diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai dengan tindak pidananya, pelakunya, waktunya, dan pelaksanaannya. Tampaknya pendapat Ibn Qudamah ini lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan Ulil
133
al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh Bukhâri, juz VI, h. 2512 hadits nomor 6452 dan al-Nîsâburî, Shahih Muslim, juz 8, h. 327 hadits nomor 17366. 134
Djazuli, Fiqh Jinayah, h..197 dan 198.
Amri sebagai pegangan semua hakim. Bila telah ada ketetapan hakim, maka tidak ada lagi perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah:135
' فK اO ی5 آ+8 ا5* Artinya: “Keputusan hakim itu meniadakan perbedaan pendapat” Selain hukuman pokok berupa hukuman jilid, pelaku jarimah ta’zir dapat dikenai hukuman tambahan yakni berupa: peringatan keras dan dihadirkan di hadapan sidang, dicela, dikucilkan, dinasehati, dipecat dari jabatannya dan diumumkan kesalahannya. 136
135
Ibid., h. 199.
136
Ibid., h.. 215.
BAB IV PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA NO:325/PID.B/2007/PN JAKSEL TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DAN ANALISIS HUKUM POSITIF SERTA HUKUM ISLAM
Setelah penulis memaparkan tentang tinjauan umum hukum positif dan hukum Islam mengenai tindak pidana kesusilaan, serta tindak pidana pencabulan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak pada Bab II dan Bab III, selanjutnya pada Bab IV ini penulis akan melakukan analisis terhadap surat dakwaan, tuntutan dan putusan perkara No:325/PID.B/2007/PN JAKSEL tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak.
A. Putusan Hakim 1. Duduk Perkara Duduk perkara yang penulis sebutkan berikut ini adalah salinan dari Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terhadap Surat Tuntutan No.Reg.Perkara:PDM-273/JKTSTL/Ep.1/02/2007.
Penulis
salin
sesuai
dengan apa adanya, dengan maksud agar posisi kasus tersebut tidak ada
penambahan ataupun pengurangan. Kutipan kasus tersebut adalah sebagai berikut: Bahwa terdakwa Edi Murjono,SE pada hari Selasa tanggal 04 April 2006, tanggal 11 April 2006, tanggal 18 April 2006 dan pada tanggal yang sudah tidak dapat diingat lagi pada bulan September 2006 atau setidaktidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2006 bertempat di SMP Budi Waluyo Jl.Cisanggiri II No.15 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan, dengan seseorang yang diketahuinya atau secara patut harus diduganya, bahwa orang tersebut belum mencapai usia lima belas tahun, atau jika tidak dapat diketahui dari usianya, orang itu belum dapat dikawini, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut: - Bahwa terdakwa Edi Murjono, SE adalah sebagai guru komputer dan guru ekonomi di sekolahan SMP Budi Waluyo di Jl.Cisanggiri III No.15 Kebayoran Baru Jakarta Selatan yang mempunyai murid-murid perempuan diantaranya: 1. Saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati, yaitu siswa kelas VII dan berumur 17 tahun; 2. Saksi korban Fiona Andriani, yaitu siswa kelas VII berumur 14 tahun; 3. Saksi korban Natasha Ruth Ivanka, yaitu siswa kelas VII dan berumur 13 tahun.
- Bahwa para saksi korban tersebut masing-masing termasuk dalam kategori anak-anak yang berkebutuhan khusus (ABK) dan terdakwa mengetahui bahwa para saksi korban tersebut belum berumur 18 (delapan belas) tahun; - Adapun perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa terhadap 3 (tiga) orang saksi korban dimaksud dengan rincian sebagai berikut: 1. Terhadap saksi Leni Diah Ayu Ekawati: - Bahwa pada tanggal 4 April 2006, ketika terdakwa memberikan pelajaran komputer, terdakwa telah mengelus-elus pipi kanan saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati dengan menggunakan tangan kanannya, kemudian dari arah belakang terdakwa memeluk saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati sambil kedua tangannya memegang payudara saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati dan terdakwa juga mengelus-elus paha saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati secara berulang-ulang. - Pada tanggal 11 April 2006, terdakwa ketika memberikan pelajaran komputer, terdakwa telah meraba-raba payudara saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati dari arah bawah menggunakan tangan kanannya; - Pada tanggal 18 April 2006 terdakwa mengelus-elus dada bagian atas saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati menggunakan tangan kanannya sambil mengancam saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati sambil mengatakan “awas ya jangan bilang siapa-siapa” dan “udah ga pa-pa cuma dipegang payudaranya doang”, kemudian saksi korban Leni
Diah Ayu Ekawati menceritakan kejadian tersebut kepada saksi Nida Sururi lalu saksi Nida Sururi melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati. 2. Terhadap saksi Fiona Andriani: - Pada tanggal yang tidak dapat diingat lagi bulan September 2006 ketika terdakwa memberikan pelajaran ekonomi, terdakwa telah membuka kancing baju atas saksi korban Fiona Andrini yang saat itu sedang mencatat pelajaran ekonomi, kemudian tangan kiri terdakwa memegang bahu sebelah kiri saksi korban Fiona Andriani sedangkan tangan kanannya memegang payudara sebelah kiri saksi korban Fiona Andriani, kemudian pada saat pelajaran ekonomi selesai terdakwa mengancam saksi korban Fiona
Andriani dengan
mengatakan “gue bunuh lo kalau bilang-bilang”, kemudian terdakwa mengulangi lagi perbuatannya tersebut pada saat memberikan pelajaran komputer dengan cara meremas-remas payudara sebelah kiri saksi korban Fiona Andriani menggunakan tangannya setelah itu terdakwa pergi tanpa mengancingkan kembali baju seragam saksi korban Fiona Andrini. 3. Terhadap saksi Natasha Ruth Ivanka: - Bahwa pada tanggal yang tidak dapat diingat lagi bulan September 2006, terdakwa meletakkan tangan kanannya ke arah payudara saksi korban Natasha Ruth Ivanka, karena saksi korban Natasha Ruth
Ivanka kaget sehingga langsung menangkis tangan kanan terdakwa, kemudian saksi korban Natasha Ruth Ivanka menceritakan kejadian tersebut kepada kakak kelasnya, yang kemudian disarankan agar melaporkan kejadian tersebut ke guru BP sehingga saksi korban Natasha Ruth Ivanka melaporkan kepada Petugas Polres Jakarta Selatan. 2. Dakwaan Dalam surat dakwaan yang dibuat oleh JPU disebutkan bahwa: Nama lengkap Tempat Lahir Umur/Tgl lahir Jenis Kelamin Kebangsaan Tempat tinggal
Agama Pekerjaan Pendidikan
: Edi Murjono,SE : Banyumas : 35 Tahun/ 09 Oktober 1971 : Laki-laki : Indonesia : Jln.Swadaya Gg.Sawo Rt.014/003 Bambu Apus Kec.Cipayung Jaktim atau Jl.Waru Rt.08/03 Bambu Apus Kec.Cipayung Jakarta Timur : Islam : Guru : Sarjana
Bahwa terdakwa Edi Murjono,SE didakwa dengan dakwaan: Primer: Terdakwa didakwa Pasal 82 UU RI No.23/2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan paling singkat 3 (tiga) tahun penjara dan denda paling banyak Rp.300.000.000 (Tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000 (Enam puluh juta rupiah) jika perbuatan itu dilakukan dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul Subsidier:
Terdakwa didakwa Pasal 290 angka 2 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun jika dalam melakukan perbuatan tersebut terdakwa mengetahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya (korban) belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin. 3. Tuntutan JPU menuntut terdakwa dengan dakwaan subsidier yakni Pasal 290 angka 2 KUHP dengan 2 tahun penjara (dipotong masa tahanan) dan dibebankan biaya perkara sebesar Rp.2000,- (Dua Ribu Rupiah). 4. Vonis Hakim Vonis Hakim dalam petikan putusan No:325/PID.B/2007/PN JAKSEL Hakim Ketua Majelis Achmad Sobari, S.H, Hakim Anggota Eddy Joenarso dan Syafrullah Sumar, S.H, setelah membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan-keterangan saksi dan terdakwa, menimbang dan sebagainya, Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa Edi Murjono, SE, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Kesusilaan terhadap anak di bawah umur” dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar onkos perkara sebesar Rp.2.000,- (Dua ribu rupiah).
B. Analisis Hukum Positif Analisis hukum positif disini meliputi analisis dakwaan dan putusan hakim, yakni sebagai berikut:
1. Dakwaan dan Tuntutan Dalam Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang diajukan oleh JPU, terdakwa Edi Murjono, SE., didakwa telah melakukan melakukan tindak pidana kesusilaan terhadap anak yang usianya belum mencapai 15 tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 290 angka 2 KUHP. Dalam surat tuntutan tersebut dinyatakan bahwa: Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka sampailah kami kepada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu Pasal 290 angka 2 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut: - Unsur Barangsiapa Kata barangsiapa dalam perundang-undangan pidana adalah kepada subjek hukum atau pelaku tindak pidana dengan pengertian siapa saja yaitu orang yang mempunyai hak dan kewajiban yang tidak cacat mental dan mampu bertanggung jawab di hadapan hukum serta tidak masuk sebagai orang-orang yang dalam perbuatannya dikenakan alasan penghapusan penuntutan seperti tersebut pada Buku I Titel ke-3 KUHP, bahwa dalam persidangan terdakwa telah menunjukkan jati dirinya dimana terdakwa telah mampu menjawab secara jelas dan tegas serta lancar atas segala pertanyaan Majelis Hakim maupun Penuntut Umum. Sehingga unsur barang siapa telah mnunjukkan orang yang melakukan perbuatan tersebut dalam hal ini dalah terdakwa Edi Murjono, SE. Dengan demikian unsur ini telah terbukti secara sah menurut hukum. - Unsur melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan Yang dimaksud unsur “melanggar kesusilaan” adalah setiap perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya ciumciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb. Bahwa pada sekitar bulan April 2006 dan bulan September 2006 atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam tahun 2006 bertempat di SMP Budi Waluyo Jl.Cisanggiri II No.15 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, terdakwa telah melakukan perbuatan berupa memeluk, memegang, mengelus-elus dan meraba-raba payudara serta paha saksi Leni Diah Ayu Ekawati, terdakwa juga telah membuka kancing baju atas seragam sekolah saksi Fiona Andriani lalu memegang payudara saksi Natasha Ruth Ivanka namun tidak berhasilkarena dapat ditangkis oleh saksi Natasha Ruth Ivanka. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa
Edi Murjono,SE pada saat mengajar atau memberikan materi pelajaran komputer di ruang lab komputer dan juga saat mengajar atau memberikan pelajaran ekonomi di ruang kelas. Unsur ini terbukti secara sah menurut hukum. - Unsur dengan seseorang yang diketahuinya atau secara patut harus dapat diduganya, bahwa orang tersebut belum mencapai usia lima belas tahun, atau jika tidak dapat diketahui dari usianya, orang itu belum dapat dikawini. Perbuatan cabul atau perbuatan asusila yang dilakukan terdakwa Edi Murjono, SE terhadap saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati, Fiona Andriani dan Natasha Ruth Ivanka pada sekitar bulan April 2006 dan bulan September 2006 atau setidak-tidaknya pada tahun 2006 tersebut, secara patut diketahui atau dapat diduga oleh terdakwa bahwa usia para saksi korban saat itu belum mencapai usia 18 tahun atau belum masanya untuk dikawin yaitu bahwa saksi korban Fiona Andriani berusia sekitar 13 tahun sedangkan saksi korban Natasha Ruth Ivanka baru berusia sekitar 12 tahun. Unsur ini terbukti secara sah menurut hukum. - Unsur melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan-perbuatan yang berdiri sendiri. Terdakwa telah melakukan tindak pidana terhadap saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati pada tanggal 4 April 2006, 11 April 2006 dan tanggal 18 April 2006, sedangkan terhadap saksi korban Fiona Andriani dan saksi korban Natasha Ruth Ivanka dilakukan sekitar bulan September 2006 sehingga dengan demikian patut dipandang sebagai satu perbuatan yang berdiri sendiri. Dengan demikian unsur ini terbukti secara sah menurut hukum. Selanjutnya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan terdakwa juga didakwa Pasal 82 UU No.23/2003 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat 1 KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut: - Unsur Barangsiapa Unsur ini telah dijelaskan pada dakwaan sebelumnya, dan terbukti. -
Unsur Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Dikarenakan unsur ini bersifat alternativ, apabila salah satu unsur telah terbukti maka tidak perlu dibuktikan seluruhnya. Bahwa yang dimaksud unsur “kekerasan” adalah setiap perbuatan yang mempergunakan tenaga badan yang tidak ringan yang ditujukan terhadap orang, sedangkan yang dimaksud dengan unsur “perbuatan cabul” adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang dilakukan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Bahwa pada sekitar bulan April 2006 dan bulan September 2006 atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam tahun 2006 bertempat di SMP Budi Waluyo Jl.Cisanggiri II No.15 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, terdakwa telah melakukan perbuatan berupa memeluk, memegang, mengelus-elus dan meraba-raba payudara serta paha saksi Leni Diah Ayu Ekawati, terdakwa juga telah membuka kancing baju atas seragam sekolah saksi Fiona Andriani lalu memegang payudara saksi Natasha Ruth Ivanka namun tidak berhasilkarena dapat ditangkis oleh saksi Natasha Ruth Ivanka. Bahwa adanya pengakuan dari saksi korban Fiona Andriani yang menyatakan dirinya pernah diancam oleh terdakwa menggunakan pisau sambil mengatakan “gue bunuh loe kalau bilang-bilang”, ternyata selama dalam proses persidangan hal tersebut hanya merupakan keterangan saksi dan tidak didukung oleh adanya alat bukti lainnya sehingga pernyataan saksi korban Fiona Andriani tersebut tidak terbukti. Unsur ini tidak terbukti secara sah menurut hukum.137 Dan terdakwa dituntut dengan Pasal 290 angka 2 KUHP, dengan 2 tahun penjara (dipotong masa tahanan) dan dibebankan biaya perkara sebesar Rp.2000,- (Dua Ribu Rupiah). Menarik untuk dianalisis, karena seharusnya JPU dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan pendahuluan, di lain pihak surat dakwaan tersebut harus
137
Surat Tuntutan No.Reg.Perkara:PDM-273/JKTSTL/Ep.1/02/2007 selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.
dibuktikan berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan. 138 Dalam hal ini, menurut penulis terdapat ketidaktepatan JPU dalam melakukan pendakwaan dan penuntutan terhadap terdakwa Edi Murjono, SE. Adapun alasan-alasan yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut: Pertama, apabila dilihat dari segi umur salah satu saksi korban yakni Leni Diah Ayu Ekawati (17 tahun), pendakwaan dan penuntutan dengan Pasal 290 angka 2 adalah tidak tepat. Karena berdasarkan bukti di persidangan yakni berupa akta kelahiran usia salah satu saksi korban 17 tahun, sedangkan bunyi Pasal 290 angka 2 KUHP yakni: “Diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun bagi barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin ”. Pasal tersebut menyebutkan dengan jelas bahwa umurnya belum lima belas tahun atau paling tidak belum waktunya untuk dikawin. Apabila merujuk pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”139 Dalam hal ini berarti saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati telah patut untuk dinikahi (pantas untuk menikah),
138
Hari Sasangka, dkk., Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya: Dharma Surya Berlian, 1996), h.76. 139 R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), h.540.
karena umurnya yang telah mencapai 17 tahun. Dalam hal ini sudah jelas bahwa mendakwa dan menuntut dengan Pasal ini adalah tidak tepat. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap Jaksa Penuntut Umum (untuk selanjutnya disebut JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, yakni Ibu Henny.H,SH. katakan bahwa pendakwaan dan penuntutan dengan Pasal 290 angka 2 KUHP hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap seseorang yang usianya belum mencapai 15 tahun atau paling tidak belum patut untuk menikah (belum mencapai 16 tahun). Dan apabila umur salah satu saksi korban telah lebih dari 16 tahun (dalam hal ini artinya saksi korban telah patut menikah) maka pendakwaan dan penuntutan dengan pasal ini tidak dilakukan karena unsur didalam Pasal 290 angka 2 KUHP tersebut tidak terpenuhi. 140 Selain itu, sebagaimana yang terdapat pada analisis yuridis JPU,141 dalam melakukan analisis yuridis JPU mengenai Pasal 290 angka 2, entah terdapat unsur kesengajaan atau tidak, dalam hal ini JPU tidak mencantumkan umur saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati untuk dianalisis, sehingga menyebabkan penuntutan dengan Pasal ini adalah terbukti. Apakah suatu perbuatan yang wajar JPU lalai terhadap umur saksi korban, padahal dalam kasus tersebut saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati yang paling sering
140
Lihat Lampiran, Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 29 Juni 2009 terhadap Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Ibu Henny.H,SH.), h.143. 141
Lihat lampiran, Ad.3 h. 137.
diperlakukan asusila oleh terdakwa Edi Murjono, SE., di sini penilis melihat terdapat adanya sedikit keganjilan. Kedua, dalam kasus tersebut apabila dicermati mengenai Surat Dakwaan dan Keterangan Saksi korban Natasha Ruth Ivanka, apa yang diperlakukan oleh terdakwa Edi Murjono, SE., terhadap saksi korban Natasha Ruth Ivanka merupakan tindakan percobaan. Dalam hal ini JPU lagi-lagi tidak cermat dalam menerapkan Pasal dan mengindentifikasi kasus. Hal ini dikarenakan bahwa pada tanggal yang tidak dapat diingat lagi bulan September 2006, terdakwa meletakkan tangan kanannya ke arah payudara saksi korban Natasha Ruth Ivanka, karena saksi korban Natasha Ruth Ivanka kaget
sehingga
langsung
menangkis
tangan
kanan
terdakwa.142
Selanjutnya menurut keterangan saksi korban Natasha Ruth Ivanka bahwa benar tindak pidana tersebut dilakukan terdakwa pada saat pelajaran komputer, tiba-tiba terdakwa sudah berada di belakang saksi kemudian tangan kanannya tiba-tiba sudah berada di depan payudara kiri saksi, namun karena kaget sehingga saksi langsung menangkis tangan terdakwa menggunakan tangan kanan sehingga terdakwa belum sempat memegang payudara saksi. 143 Sebagaimana yang diatur di dalam KUHP mengenai percobaan yakni terdapat pada Pasal 53 dalam hal ini ayat (1) dan (2), yang berbunyi:
142
Lihat lampiran..
143
Untuk selengkapnya dapat dilihat di lampiran.
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendak sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.” Dalam hal ini tindakan percobaan memiliki tiga unsur yakni: a) Niat atau kehendak petindak untuk melakukan kejahatan. Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan.144 Dalam hal ini terdakwa Edi Murjono, SE., telah dengan sengaja melakukan perbuatan cabul padahal telah diketahuinya bahwa umur saksi korban Natasha Ruth Ivanka belum mencapai 15 (lima belas) tahun atau belum waktunya untuk dikawin (Pasal 290 angka 2 KUHP). Hal tersebut menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa terdapat unsur niat didalamnya. b) Ada permulaan pelaksanaan tindakan (begin van uitvoering). Apabila menggunakan penafsirkan secara tatabahasa (taalkundige interpretatie) maka kata-kata permulaan pelaksanaan tindakan harus dihubungkan dengan kata-kata niat yang mendahuluinya yang terdapat dalam pokok kalimat perumusan tersebut, jadi yang dimaksud ialah: permulaan pelaksanaan tindakan dari niat (petindak). Dalam hal ini
144
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 317.
percobaan adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah dimulai tetapi tidak selesai.145 Pada kasus diatas terdakwa Edi Murjono, SE., telah meletakkan tangan kanannya ke arah payudara saksi korban Natasha Ruth Ivanka, ini merupakan tindakan pelaksanaan. c) Pelaksanaan itu tidak selesai hanyalah karena keadaan di luar kehendak petindak. Pada unsur ketiga ini ada 3 macam hal yang dapat menjadi perhatian yaitu: 1) Tidak selesai Yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya. 2) Hanyalah Penggunaan istilah hanyalah, perlu mendapat perhatian pula. Berarti, kendati pengurungan niat atau tidak meneruskan pelaksanaan tindakan tersebut secara sukarela dan karena penyesalan, tetapi disertai dengan perasaan takut tetap masih dapat dipidana karena percobaan. 3) Keadaan-keadaan di luar kehendak petindak Yang dimaksud dengan kehendak keadaan di luar petindak adalah setiap keadaan baik badaniah (fisik) maupun rohaniah (psychis) yang 145
Ibid., h. 317 dan 318.
datangnya dari luar yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu.146 Dalam hal ini terdakwa Edi Murjono, SE., telah meletakkan tangan kanannya ke arah payudara saksi korban Natasha Ruth Ivanka, karena saksi korban Natasha Ruth Ivanka kaget sehingga langsung menangkis tangan kanan terdakwa. Keadaan tersebut terjadi di luar kehendak terdakwa. Berdasarkan keterangan saksi dan Surat Dakwaan unsur-unsur tindakan percobaan telah terbukti. Jadi khusus terhadap saksi korban Natsha Ruth Ivanka terdakwa seharusnya dikenakan Pasal 82 UU No. 23/2003 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Ketiga, dalam analisis yuridis Pasal 82 UU Perlindungan Anak JPU mengatakan bahwa unsur “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul” merupakan unsur yang bersifat alternatif, yakni apabila salah satu unsur telah terbukti maka tidak perlu dibuktikan seluruhnya.147 Tetapi dalam analisis tersebut JPU hanya membuktikan mengenai unsur kekerasan, yang telah dibuktikan di dalam persidangan bahwa unsur tersebut tidak terbukti. Padahal selain unsur kekerasan pada Pasal 82 UU Perlindungan 146 147
Ibid., h. 324-325. Lihat lampiran, h. 136
Anak tersebut juga terdapat unsur memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, yakni Ibu Henny.H,SH. katakan bahwa unsur-unsur didalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak merupakan unsur yang bersifat alternatif, jadi semua unsur tidak perlu dibuktikan apabila salah satu unsur telah terbukti, begitu juga sebaliknya.148 Oleh karena itu dalam hal ini penulis ingin membuktikan mengenai unsur lainnya, yakni mengenai unsure tipu muslihat. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia tipu muslihat mengandung pengertian bermacam-macam tipu, berbagai daya upaya yang buruk. Sedangkan tipu mengandung pengertian perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong atau palsu) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung; atau kecoh.149 Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dari keterangan saksi-saksi yang didengar keterangannya yaitu saksi Leni Diah Ayu Ekawati dan Nida Sururi, yang saling bersesuaian satu sama lainnya dan didukung oleh adanya petunjuk dan barang bukti juga dari keterangan
148
Lihat Lampiran, Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 29 Juni 2009 terhadap Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Ibu Henny.H,SH.), h.143. 149
h.1079.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
terdakwa Edi Murjono, SE., yang menyatakan bahwa benar pada hari selasa tanggal 18 April 2006 pada saat selesai pelajaran komputer terdakwa menyuruh saksi Leni untuk kembali ke ruang komputer karena ada pekerjaan yang salah, dan pada saat itu saksi Nida Sururi memperingatkan saksi Leni untuk berhati-hati karena takut dikerjai lagi oleh terdakwa lalu saksi Leni menjawab “iya nih aku takut kalau dikerjai lagi” lalu terdakwa menyuruh saksi Nida Sururi untuk keluar dari lab komputer, lalu saksi keluar kemudian bersembunyi di balik ruang kelas SD, pada saat itu saksi melihat terdakwa sedang memegang-megang payudara saksi Leni menggunakan tangan kanannya sedangkan saksi Leni hanya diam karena ketakutan. Yang patut dicermati dari keterangan dua saksi tersebut yakni saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati dan saksi Nida Sururi adalah bahwa pemanggilan kembali saksi Leni oleh terdakwa ke ruang komputer untuk memperbaiki tugasnya yang salah adalah berupa tipu muslihat yang dilakukan oleh terdakwa. Karena apabila benar bahwa tugas komputer saksi korban Leni perlu diperbaiki terdakwa tidak perlu menyuruh saksi Nida Sururi untuk keluar. Dari sini penulis dapat melihat bahwa terdakwa sengaja melakukan tipu muslihat terhadap saksi Leni untuk memperlancar tindak kejahatannya. Hal tersebut terbukti di persidangan karena selain adanya keterangan dari saksi-saksi juga terdapat petunjuk mengenai adanya unsur tipu muslihat tersebut.
Dan sebagaimana yang terdapat pada Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Menurut penulis dalam hal ini unsur-unsur Pasal 82 UU Perlindungan Anak ini terbukti. Keempat, apabila JPU ingin tetap menggunakan Pasal yang terdapat dalam KUHP maka Pasal yang lebih tepat dituntut terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono, SE., adalah Pasal 294 ayat (2) angka 2 yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas aatau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.” Kejahatan dalam ayat (2) angka 2 Pasal 294 ini, kualitas subjek hukum atau si pembuat ada enam, berikut tujuh unsur keadaan yang menyertai kualitas pembuat tersebut, sesuai yang telah dirinci di atas. Sudah barang tentu setiap unsur keadaan yang menyertai akan melekat pada kualitas si pembuat yang sesuai. Dalam hal ini unsur keadaan yang menyertai tempat pendidikan pastilah melekat pada kualitas seorang guru, dan tidak mungkin melekat pada kualitas seorang dokter.
Pasal 294 ini juga mengandung unsur paksaan psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka sama suka karena dilakukan dengan seseorang yang lebih rendah tingkatannya dari segi strata sosial kekeluargaan dan strata sosial hubungan kerja di mana si pria memiliki kekuasaan dan wewenang untuk memaksa si wanita secara psikis agar menuruti kemauan dan kehendaknya. 150 Drs.Adami Chazawi,SH di dalam bukunya menjelaskan bahwa: “Pasal ini adalah tepat diperuntukkan apabila seorang guru mencabuli salah seorang siswa tempat guru tersebut mengajar, demikian seterusnya. Pencabulan itu tidak harus dilakukan di sekolah, bisa saja pencabulan itu di tempat lain, misalnya murid dibawa oleh guru ke losmen, lalu di salah satu kamar losmen tersebut, murid itu dicabuli.”151 Karena dalam hal ini profesi terdakwa Edi Murjono, SE., yakni seorang guru ekonomi dan komputer di SMP Budi Waluyo Jakarta Selatan, dan terdakwa melakukan semua tindak pidana tersebut di lingkungan sekolah, yakni di lab komputer dan di kelas pada saat mengajar. Berarti unsur Pasal ini terbukti dan terpenuhi. Seharusnya JPU dapat lebih cermat dalam hal ini. 152 Kelima, mengingat profesi terdakwa adalah seorang guru seharusnya terdakwa dikenakan sanksi tambahan. Dalam hal ini JPU tidak menuntut sanksi tambahan terhadap tedakwa.
150
Muhammad Abduh Malik,. Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP).( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2003), h.183. 151 Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), h. 105-106. 152
Lihat juga pada lampiran, Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 29 Juni 2009 terhadap Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Ibu Henny.H,SH.), h.144.
Seperti halnya dengan profesi lainnya, guru juga memiliki kode etik profesi keguruan yang mana didalamnya mengatur sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dam di luar kedinasan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Basuni sebagai Ketua Umum PGRI dalam pembukaan Kongres PGRI XII tahun 1973 menyatakan bahwa: “Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru”.153 Jelas bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Salah satu Kode Etik Guru Indonesia yakni membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Untuk menunjang hal ini guru memiliki Undang-undang tersendiri yakni UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 20 huruf d yang berbunyi: “Guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika”. Pasal selanjutnya yakni Pasal 77 ayat (5) yang berbunyi: “Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi. Selain itu, di dalam KUHP sendiri mengatur mengenai pidana tambahan yakni di dalam Pasal 10 huruf b yang menyatakan bahwa pidana tambahan dapat berupa pencabutan hak-hak tertentu”.
153
Soetjipto dan Raflis Kasasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2007), h.30
Jadi, berdasarkan Kode Etik Profesi Keguruan, UU No.14/2005 Guru dan Dosen dan juga KUHP terdakwa dapat dikenai sanksi tambahan yakni berupa pencabutan hak-hak tertentu dalam hal ini mengenai ijin kerjanya sebagai seorang guru.154
2. Putusan Hakim dalam memutus perkara berdasarkan fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang dapat diketahui Hakim dari alat-alat bukti yang ada di persidangan. Meskipun demikian, Hakim bukanlah malaikat yang bebas dari berbagai kekhilafan atau bahkan justru kesalahan sehingga terkadang putusan tersebut belum memuaskan.155 Sebagaimana putusan yang dijatuhkan oleh Ketua Majelis Achmad Sobari, SH., Hakim Anggota Eddy Joenarso dan Syafrullah Sumar, SH., setelah membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan-keterangan saksi dan terdakwa, menimbang dan sebagainya memutuskan bahwa terdakwa Edi Murjono, SE., telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Kesusilaan terhadap anak di bawah umur” dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, dan membebankan kepada terdakwa untuk
154
Lihat juga lampiran, Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 29 Juni 2009 terhadap Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Ibu Henny.H,SH.), h.144. 155 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h.172.
membayar onkos perkara sebesar Rp. 2.000,- (Dua ribu rupiah). Dalam putusan ini juga terdapat kejanggalan yakni: Pertama, dalam hal ini Ketua Majelis memvonis terdakwa dengan Pasal 290 angka 2 KUHP (dakwaan subsidier), dan tidak mengabulkan dakwaan primer yakni Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Padahal berdasarkan faktafakta yang terungkap dalam persidangan yakni dari keterangan saksi-saksi, keterangan-keterangan ahli dan petunjuk-petunjuk156 yang saling bersesuaian di persidangan Pasal 82 UU Perlindungan Anak terbukti. Dimana salah satu unsur di dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak yakni unsur melakukan tipu muslihat adalah terbukti. Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 183 KUHAP bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Jadi dalam hal ini Pasal 82 UU Perlindungan Anak terbukti karena terdapat dua alat bukti yakni alat bukti keterangan saksi dan petunjuk. Kedua, , dalam hal ini Ketua Majelis memvonis terdakwa 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan penjara, dan membebankan membayar onkos perkara sebesar Rp. 2000,- (Dua Ribu Rupiah) adalah hal yang tidak tepat karena ancaman
156
Petunjuk hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat 2 KUHAP). Jadi petunjuk merupakan kesimpulan yang diambil dari alat bukti yang sah. Lihat Hari Sasangka, dkk., Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya: Dharma Surya Berlian, 1996), h. 151.
hukuman dalam Pasal 290 angka 2 tersebut maksimal 7 (tujuh) tahun penjara, dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana gabungan perbuatan (meerdaadsche samenloop) yakni gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana (Pasal 65 ayat 1). Dalam ayat selanjutnya diatur mengenai maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Jadi dapat diperkirakan bahwa hukuman yang seharusnya divonis terhadap terdakwa adalah Pasal 82 UU Perlindungan anak dengan ancaman hukuman maksimum 20 tahun, atau minimal 4 tahun disertai dengan sanksi tambahan yaitu berupa pemecatan secara tidak terhormat. Ketiga, dalam hal penjelasan tentang keadaan-keadaan yang dapat memberatkan hukuman bagi terdakwa, Ketua Majelis tidak melakukannya dengan maksimal. Ketua Majelis hanya menyebutkan tiga point, yakni: terdakwa dalam memberikan keterangan sering berbelit-belit sehingga menghambat jalannya persidangan, akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menimbulkan trauma dan rasa takut pada diri para saksi korban serta perbuatan terdakwa juga menimbulkan keresahan pada diri orang tua saksi. Sedangkan apabila melihat pada Pasal 13 UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a.Diskriminasi; b.Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c.Penelantaran; d.Kekejaman, kekerasan, dan penganiyaan; e.Ketidakadilan;dan f. Perlakuan salah lainnya.157 (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Selain itu, di dalam Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU HAM), yang berbunyi: (3) ”Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk pelecehan seksual selama berada dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. (4) dalam hal orang tua atau pengasuh anak melakukan pelecehan seksual termasuk perkosaan maka harus dikenakan pemberatan hukuman”. Selanjutnya di dalam Undang-undang yang sama, yakni di dalam Pasal 65, yang berbunyi: ”Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual”. Didalam Konvensi Hak-hak Anak juga diatur yakni terdapat didalam
Pasal
19
yakni
mengenai
perlindungan
anak
dari
penyalahgunaan seks. Seharusnya dalam hal pemberatan hukuman Ketua Majelis mempertimbangkan hal ini, agar dalam vonis hukuman dapat sesuai dengan peraturan yang ada. Terlebih lagi mengingat para saksi korban adalah anak, yang patut dilindungi dari kejahatan apapun, termasuk
157
Perlakuan salah lainnya yakni pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak. Lihat penjelasan Pasal 13 UU No.23/2003 tentang Perlindungan Anak.h.52.
kejahatan seksual. Yang memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi para saksi korban.
C. Analisis Hukum Islam Jika dilihat dari segi hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono, SE., merupakan tindak pidana yang dikenai hukuman ta’zir, karena dalam hal ini hukuman had dan qishash tidak mengatur. Menurut A. Djazuli ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membutnya jera.158 Selain itu apabila dilihat, tindak pidana yang dilakukan oleh Edi Murjono, SE., merupakan tindak pidana berangkai (al-Jarîmah al-I’tiyad) yakni jarimah yang dilakukan berulang-ulang (berangkai). Jarimah itu sendiri tidak termasuk dalam kategori jarimah, tetapi berulang-ulangnya jarimah tersebut yang menjadikannya sebagai suatu jarimah. Bentuk jarimah ini banyak terdapat dalam jarimah ta’zir, di mana petunjuknya diperoleh dari nas yang mengharamkan perbuatan tersebut.159
158
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), h.165. 159
Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qânŭn al-Wâdi’î, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992), juz I, h. 104.
Tindak pidana pencabulan merupakan jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kehormatan (kerusakan akal). Mengenai tindak pidana ini hukum Islam tidak mengaturnya secara spesifik, tindak pidana pencabulan dianalogikan dengan perbuatan yang mendekati zina.160 Sebagaimana firman Allah SWT :
N Z,q
p Na")&.- n' ' 6"-+-c "d5⌧m PWB. (٣٢ :١٧/<⌧ )ااء% Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S.: alIsra’a/17: 32) Kata mendekati zina bukan berarti melakukan perbuatan zina itu sendiri. Ulama Malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wathi-nya seorang laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja. Sedangkan ulama Syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu.161 Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu tindak pidana (jarimah) dikatakan perbuatan sebagai zina apabila memasukkan alat kelamin pria dalam alat kelamin wanita dan ini dilakukan untuk memuaskan hawa nafsu. Sedangakan jarimah pencabulan itu sendiri tidak sampai pada konteks persetubuhan, jarimah pencabulan yakni segala perbautan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang dilakukan dalam lingkungan
160
Perbuatan mendekati zina di sini yakni perbuatan seperti mencium dan meraba-raba, meskipun dilakukan dengan tidak ada paksaan. Lihat Djazuli, Fiqh Jinayah, h.181. 161 Ibid., h. 35.
nafsu birahi kelamin. Seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb.162 Oleh karena itu dalam hal ini jarimah pencabulan dianalogikan sebagai perbuatan mendekati zina163. Hukuman ta’zir bagi pelaku jarimah pencabulan ini yakni berupa hukuman jilid (sebagai hukuman pokok). Mengenai jumlah maksimal hukuman jilid dalam jarimah ta’zir ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yakni: 4. Dalam mazhab Hanafiyah hukuman ta’zir tidak boleh melebihi batas hukuman had. Hal ini berdasarkan hadis: 164
% یN" ا% [( & ﻡD \ ا- ﺏ%ﻡ
Artinya: “Barang siapa memberi hukuman mencapai batas had pada selain jarimah hudud, maka ia termasuk orang yang melampaui batas” (HR. al-Baihaqi dari Nu’am bin Basyir dan al-Dhahak). Meskipun dalam penerapannya mereka berbeda pendapat. Abu Hanifah (misalnya) berpendapat tidak boleh lebih dari 39 kali jilid, mengingat bahwa jilid bagi peminum khamr adalah 40 kali jilid. sedangkan Abu Yusuf berpendapat bahwa maksimal jumlah jilid dalam ta’zir adalah 79 kali, mengingat jumlah jilid bagi penuduh zina adalah 80 kali jilid.165
162
Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terhadap Surat Tuntutan No.Reg.Perkara : PDM-273/JKTSTL/Ep.1/02/2007 163
Perbutan mendekati zina yakni melakukan sesuatu perbuatan yang merangsang untuk berbuat zina atau melakukan suatu perbuatan pra-zina. Lihat Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), h. 9. 164
Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Mŭsâ Abŭ Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, (Makkah al-Mukaramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1993), juz VIII, h. 327, hadits nomor 17362 dan 17363 165 Ibn al-Humam, Fath al-Qadir, (tkp: ttp, tt), jilid IV, h.113. Lihat juga Djazuli, Fiqh Jinayah, h.197 dan 198.
5. Di kalangan mazhab Syafi’iyah hukuman ta’zir dengan jilid juga harus kurang dari jilid dalam had. Di samping itu, ada juga sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa jumlah jilid dalam ta’zir tidak boleh lebih dari sepuluh kali, berdasarkan hadis: 166
(5-:رى وﻡ+K) ا9 )روا$ ود ا% ﻡD ات إ-# S ق-7 ی
Artimnya: “Seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali cambuk kecuali dalam salah satu dari had Allah SWT.”(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Burdah). 6. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa sanksi ta’zir yang berupa jilid boleh melebihi had selama mengandung maslahat. Alasan mereka karena Umar ibn Khathab telah menjilid Mu’in Za’idah yang memalsukan stempel baitul mal dengan 100 kali jilid.167 Selanjutnya mengenai batas terendah hukuman jilid pada jarimah ta’zir juga mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama, yakni: 1) Ulama Hanafiyah berpendapat jilid sebagai sanksi ta’zir memiliki batas terendahnya harus mampu memberi dampak yang preventif dan ayng represif bagi umat. 2) Ulama lain menyatakan batas terendah bagi jilid ta’zir adalah satu kali jilid. 3) Ulama lain lagi menyatakan tiga kali jilid. 4) Ibn Qudamah menyebutkan bahwa batas terendah tidak dapat ditentukan, melainkan diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai dengan tindak pidananya, pelakunya, waktunya, dan pelaksanaannya. Dan tampaknya pendapat Ibn 166
al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh Bukhâri, juz VI, h. 2512 hadits nomor 6452 dan al-Nîsâburî, Shahih Muslim, juz 8, h. 327 hadits nomor 17366. 167
Djazuli, Fiqh Jinayah, h..197-198.
Qudamah ini lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan Ulil Amri sebagai pegangan semua hakim. Dan bila telah ada ketetapan hakim, maka tidak ada lagi perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah:168
' فK اO 5 آ+8 ا5* Artinya: “Keputusan hakim itu meniadakan perbedaan pendapat” Sanksi jilid dalam hal ini memiliki segi eksklusifitas tersendiri dalam hukuman ta’zir, yakni: 1. Lebih menjerakan atau represif, yakni pelaku merasakan perih. 2. Hukuman jilid pada jarimah ta’zir ini bukan suatu sanksi yang kaku, jilid dalam konteks ini bersifat fleksibel dimana jumlahnya jilidnya disesuaikan, masing-masing berbdea pada tiap-tiap jarimahnya. 3. Low cost, jika dibandingkan hukuman kurungan maupun penjara. 4. Lebih murni karena dikenakan langsung kepada pelakunya. 169 Selain hukuman pokok berupa hukuman jilid, pelaku jarimah ta’zir dapat dikenai hukuman tambahan yakni berupa: 1. Peringatan keras dan dihadirkan di hadapan sidang. 2. Dicela 3. Dikucilkan 4. Dinasehati 5. Dipecat dari jabatannya
168
Ibid., h.199. Masyrofah, Jarimah Ta’zir, dalam materi perkuliahan Fiqh Jinayah, 4 Juni 2008, Semester VI (Prodi Perbandingan Hukum). 169
6. Diumumkan kesalahannya170 Apabila melihat dari kasus yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono, SE., terhadap ketiga orang muridnya yakni Leni Diah Ayu Ekawati, Viona Indriani dan Natasha Ruth Ivanka maka hukuman tambahan yang tepat dikenakan kepada pelaku yakni dipecat dari jabatannya. 171 Karena sanksi ta’zir berupa pemberhentian (pemecatan dari jabatan) ini biasa diberlakukan terhadap setiap pegawai yang melakukan jarimah, baik berkaitan dengan yang lainnya, seperti melakukan kezaliman terhadap bawahannya172 (dalam hal ini dapat dikiaskan dengan hubungan antara guru dan murid). Tindak pidana yang dilakukan oleh Edi Murjono,SE merupakan tindak pidana berangkai (al-Jarimah al-I’tiyad), maka termasuk ke dalam kategori gabungan hukuman yang benar-benar nyata (Ta’addud al-Jarâim al-Haqiqiy), yakni apabila terjadi beberapa perbuatan dari pelaku sehingga masing-masing perbuatan bisa dianggap sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. 173 Dalam hal ini hukuman yang dijatuhkan yang dijatuhkan menggunakan teori saling melengkapi (Nazariyyat al-Tadâkhul) yakni ketika terjadi gabungan perbuatan, hukumannya saling melengkapi sehingga semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti halnya melakukan satu perbuatan.
170
Djazuli, Fiqh Jinayah, h..215.
171
Pemecatan disini yakni melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau menurunkan atau memberhentikan dari suatu tugas atau jabatan tertentu. Lihat Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 219-220. 172 173
Ibid., h. 220. Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî, juz. II, h. 250.
Meskipun perbuatan tindak pidana itu berganda, sedangkan jenis semuanya itu satu macam, hukuman atas perbuatan itu saling melengkapi. Artinya hanya dikenai satu macam hukuman selama belum ada keputusan hakim karena jika pelaku melakukan suatu perbuatan yang sama setelah ada keputusan hakim, si pelaku tetap harus dijatuhi hukuman yang lain. Dalam hal ini bukan penjatuhan hukuman yang dipertimbangkan, melainkan pelaksanaan hukuman. Karena itu, setiap tindak pidana yang terjadi sebelum pelaksanaan hukuman maka hukumanhukumannya saling melengkapi pada tindak pidana yang hukumannya belum dilaksanakan. Menurut pandangan yang unggul (kuat), beberapa perbuatan dianggap satu macam perbuatan selama objeknya adalah satu meskipun berbeda-beda unsur serta hukumannya, seperti kasus diatas, yakni tindak pidana pencabulan dengan percoban tindak pidana pencabulan, keduanya dikategorikan pencabulan (perbuatan mendekati zina). Dalam keadaan seperti ini, hanya hukuman yang paling berat yang harus dilaksanakan. Alasan prinsip penjatuhan satu hukuman saja adalah karena pada dasarnya suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan pendidikan/pengajaran (ta’dib) dan pencegahan (zajr) terhadap orang lain. 174 Selain itu, tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono,SE. terhadap salah satu saksi korban yakni Natasha Ruth Ivanka merupakan jarimah percobaan yang dapat dikenai hukuman/ sanksi karena dalam hal ini tindak pidana
174
Ibid., h.143.
yang dilakukan oleh terdakwa telah mencapai pada fase pelaksanaan (Marhalah al-Tanfidz) karena perbuatan tersebut merupakan suatu maksiat meskipun belum selesai.175 Berarti atas tindak pidana yang dilakukan olehnya, Edi Murjono,SE dikenai satu macam hukuman yakni jilid dan disertai hukuman tambahan yakni berupa pemberhentian/pemecatan dari jabatannya. D. Analisis Penulis Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yakni dari keterangan saksi-saksi, keterangan-keterangan ahli, keterangan terdakwa dan petunjuk-petunjuk yang saling bersesuaian di persidangan, menurut hemat penulis, Surat Dakwaannya berbentuk dakwaan subsidier yakni dengan urutan Pasal yang terberat lebih dahulu baru Pasal yang ringan ancaman hukumannya.176 Dakwaan yang tepat untuk terdakwa Edi Murjono, SE., yakni: $ Dakwaan Primer: Pasal 82 UU Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, karena dalam hal ini terdakwa terbukti melakukan tipu muslihat dalam mempermudah melakukan tindak pidananya dan perbuatan terdakwa merupakan gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dijatuhkan satu pidana saja maksimum pidana yang dijatuhkan yakni jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu dan
175 176
Djazuli, Fiqh Jinayah, h..22. Lihat Hari Sasangka, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan , h.100.
ditambah sepertiga., yakni dengan hukuman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00
(Tiga
Ratus
Juta
Rupiah)
dan
paling
sedikit
Rp.60.000.000,00 (Enam Puluh Juta Rupiah), jadi dalam hal ini hukuman terdakwa maksimal 16 tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 320.000.000.00 (Empat Ratus Juta Rupiah) dan hukuman minimal 4 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp. 80.000.000.00 (Delapan Puluh Juta Rupiah). $ Dakwaan Sudsidier: Pasal 82 UU Perlindungan Anak juncto Pasal 53 KUHP jo Pasal 65 KUHP,177 karena tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono,SE terhadap saksi korban Natasha Ruth Ivanka merupakan tindakan percobaan, dimana adanya niat dari terdakwa Edi Murjono, SE., untuk melakukan tindak pidana tersebut dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendak sendiri, dan perbuatan terdakwa merupakan gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dijatuhkan satu pidana saja maksimum pidana yang dijatuhkan yakni jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu dan ditambah sepertiga, dan karena dalam hal ini tindakan terdakwa berupa tindakan percobaan, maka 177
Walaupun perbuatan terdakwa merupakan tindakan percobaan, dalam Surat Dakwaan dapat digabungkan dengan pokok perkara. Lihat Hari Sasangka, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, h.84-85.
hukumanan terdakwa dikurangi sepertiga (Pasal 53 ayat 2), jadi dalam hal ini hukuman terdakwa maksimal 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (Enam Puluh Juta Rupiah). $ Dakwaan Lebih Subsidier: Pasal 294 ayat (2) angka 2 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, karena dalam hal ini terdakwa berprofesi sebagai guru yang telah melakukan perbuatan cabul terhadap ketiga orang muridnya pada saat mengajar dan hal tersebut dilakukan berkali-kali (gabungan tindak pidana/meerdadsche samenloop), hukuman penjara 9 (sembilan) tahun penjara. Menurut hukum positif dalam hal ini apabila dicermati tindak pidana yang dilakukan oleh Edi Murjono,SE terhadap ketiga orang muridnya merupakan tindak pidana pendidikan. Sebagaimana yang dikatakan Ridwan Halin,SH didalam bukunya: “Tindak pidana pendidikan yakni sebagai suatu sikap tindak yang: a) dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan dengan yang ada di dalamnya; b) berupa kejahatan ataupun pelanggaran dengan segala tujuannya; c) baik sengaja maupun tidak sengaja; d) pelakunya dapat siapa saja, baik itu seorang pengajar baik di dalam ataupun di luar lembaga pendidikan formal, ataupun seorang murid, ataupun pihak orang/wali murid ataupun mungkin juga orang lain lagi yang sikap tindaknya baik secara langsung maupun tidak langsung mendatangkan pengaruh buruk melalui niatnya terhadap kelangsungan suatu pendidikan; e) berwujud sebagai suatu kesalahan baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur secara yuridis dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku.”178
178
A.Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.105-106.
Tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono,SE dalam hal ini termasuk tindak pidana pendidikan yakni berupa pelaksanaan pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari kebenaran umum179 yang berakibat buruk bagi murid.180 Dan dalam hal ini pelaku dapat dikenakan hukuman yang mungkin cukup radikal, seperti pemecatan secara tidak terhormat181 karena tindak pidana yang telah diperbuatnya tersebut. Dalam hukum Islam sendiri mengenai tindak pidana yang bersifat pendidikan ini tidak dibedakan sebagaimana yang terdapat dalam hukum konvensional182 Jadi tindak pidana pencabulan dalam hal ini baik dilakukan oleh guru maupun siapa saja tidak memiliki perbedaan yang signifikan, perbedaan hanya terletak pada hukuman tambahannya saja, pelaku tindak pidana pencabulan menurut hukum Islam mendapat hukuman jilid dan demi kemaslahatan dapat dikenakan pemecatan dari jabatannya sebagai hukuman tambahannya. Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang mendasar antara Hukum Positif maupun Hukum Islam dalam penerapan hukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dalam hal ini vonis hukuman sama-sama diserahkan kepada Hakim, tujuan penerapan hukuman sama-sama untuk memberikan efek jera terhadap pelaku, sama-sama terdapat sanksi tambahan 179
Yakni penyimpangan terhadap nilai-nilai kebenaran mutlak dan universal yang diakui sebagai pedoman bagi umum atau sebanyak mungkin orang untuk berpendapat dan bersikap tidak secara seyogyanya. Lihat Halim, Tindak Pidana Pendidikan, h. 121. 180
Ibid.
181
Ibid., h. 76.
182
Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî, juz I, h. 95.
yakni pemecatan dari jabatannya, dan yang terakhir di dalam Hukum Positif adanya denda183, begitu juga Hukum Islam adanya denda/diyat184.
183
Denda yakni hukuman (pidana) yang berupa membayar uang. Setiap hukuman denda, apabila tidak dibayar, diganti dengan hukuman badan (kurungan), yang dinamakan hukuman subsidier. Lihat Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972), h.35. Seperti dalam kasus Edi Murjono,SE., ini, didalam Pasal 82 UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak selain mendapatkan hukuman penjara pelaku tindak pidana ini juga dikenakan hukuman denda. 184
Diyat yakni hukuman pokok bagi pembunuhan dan penganiyaan semi-sengaja dan tidak sengaja. Ketentuan ini sebagaimana yang terdapat didalam Q.S.An-Nissa/4:92. Lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h.211.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penafsiran dan analisis putusan perkara No: 325/PID.B/ 2007/PN JAKSEL mengenai tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid, maka penulis dapat mengambil kesimpulan, sebagai berikut: 1. Perbuatan yang termasuk dalam kategori pencabulan terhadap anak yakni perbuatan berupa perbuatan yang melanggar kesusilaan (dalam hal ini ciumciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb) yang melanggar ketentuan peraturan dan norma yang berlaku yang dillakukan terhadap setiap manusia (yang usianya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. Didalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak diatur mengenai tinsdak pidana ini, yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (Enam Puluh Juta Rupiah), dan didalam KUHP juga mengatur mengenai tindak pidana ini yakni terdapat pada Pasal 290 angka 2, yakni diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun. Dan di dalam hukum Islam
pencabulan merupakan perbuatan mendekati zina yang dapat dihukum ta’zir yakni berupa jilid. 2. Putusan yang dijatuhkan oleh Ketua Majelis Achmad Sobari,SH, Hakim Anggota Eddy Joenarso dan Syafrullah Sumar, SH., setelah membaca suratsurat perkara, mendengar keterangan-keterangan saksi dan terdakwa, menimbang dan sebagainya memutuskan bahwa terdakwa Edi Murjono, SE., telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Kesusilaan terhadap anak di bawah umur” (pasal 290 angka 2 KUHP) dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 2.000,- (Dua ribu rupiah). Putusan Ketua Majelis ini terdapat kejanggalan, yakni: a) Dalam hal pasal yang divonis oleh hakim terhadap terdakwa. b) Kuantitas hukuman. c) Hal-hal yang memberatkan terdakwa. 3. Analisis hukum positif terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono,SE terhadap ketiga orang muridnya yakni Leni Diah Ayu Ekawati, Viona Indriani dan Natasha Ruth Ivanka yakni hukuman penjara 16 tahun, atau minimal 4 tahun dan denda maksimal Rp.320.000.000,- (Tiga Ratus Dua Puluh Juta Rupiah) denda minimal Rp.80.000.000,- (Delapan Puluh Juta Rupiah) serta ditambah dengan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dalam hal ini mengenai ijin kerjanya sebagai
seorang guru. Sedangkan menurut hukum Islam hukuman dikenakan kepada pelaku yakni hukuman ta’zir berupa hukuman jilid dengan sanksi tambahan berupa dipecat dari jabatannya. Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hukum positif dan hukum Islam mengenai hukuman terhadap kasus terdakwa Edi Murjono,SE ini. B. Saran-saran Berdasarkan hal-hal yang penulis tulis dalam skripsi dan analisis putusan perkara No:325/PID.B/2007/PN JAKSEL mengenai tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid, maka penulis mencoba menyampaikan beberapa saran terhadap pihak-pihak terkait, yakni: 1. Bagi Hakim pada umumnya dan bagi Hakim PN Jakarta Selatan yang telah memutus perkara terdakwa Edi Murjono, SE., khususnya, menyadari akan tanggung jawab yang besar yang diemban oleh seorang Hakim di sini penulis memaklumi bahwa seorang Hakim pun juga seorang manusia yang tidak luput dari salah dan khilaf, tetapi alangkah baiknya apabila dalam memutus suatu perkara hal tersebut tidak dijadikan alasan ataupun tameng karena mengingat lingkup hukum pidana yakni meyangkut mengenai suatu perbuatan yang melanggar peraturan yang tentu saja merugikan korban baik itu segi material maupun non material. Sehingga perlu dilakukannya penegakkan hukum yang adil bagi pelaku, dengan menerapkan hukum seadil-adilnya dan memberikan
sanksi yang tegas, yang sesuai dengan perbuatan pelaku tindak pidana pencabulan pada umumnya dan tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid pada khususnya. Sehingga sanksi yang diberikan tersebut benar-benar menimbulkan efek jera (represif) bagi pelaku dan dapat membuat takut bagi oarng yang belum melakukan tindak pidana tersebut (preventif), mengingat dampak dari pelaku tindak pidana pencabulan pada umumnya dan tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid pada khususnya yang dapat menimbulkan trauma yang besar terhadap anak-anak ataupun murid-murid itu sendiri. 2. Bagi Jaksa Penuntut Umum pada umumnya dan bagi Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa perkara terdakwa Edi Murjono, SE khususnya, lebih teliti dan jeli dalam membuat surat dakwaan merupakan suatu langkah yang bijak mengingat kedudukan Jaksa di dalam pengadilan adalah sebagai pihak yang melakukan penuntutan terhadap terdakwa dan dalam hal ini memperjuangkan hak korban. 3. Bagi Akademisi Hukum, yakni memberikan solusi yang jelas dan spesifik mengenai
pengertian
tindak
pidana
pencabulan,
mengingat
banyak
masyarakat yang masih awam mengenai pembatasan tindak pidana pencabulan itu sendiri, sehingga seringkali terjadi sebuah tindakan cabul dan mereka tidak menyadarinya bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan cabul yang patut dilakukan penuntutan. Ini menunjukkan bahwa masih awamnya masyarakat kita tentang hukum.
4. Bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yakni meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, sehingga kekerasan terhadap anak dalam hal seksual khususnya, dapat diminimalisir mengingat hakikat anak itu sendiri yakni merupakan tunas dan generasi bangsa yang patut dilindungi hakhaknya. 5. Bagi Guru dan pihak-pihak terkait di sekolah pada umumnya, dan bagi pihak sekolah SMP Budi Waluyo khususnya, yakni meningkatkan pengawasan terhadap murid khususnya bagi murid yang memiliki keterbatasan (Anak Berkebutuhan Khusus) agar tindak pidana ini tidak terulang lagi. Mengingat dampaknya yang begitu luas dan dalam. Dan memang sudah seharusnya pihak-pihak terkait sekolah melakukan hal ini, karena sekolah merupakan ruang lingkup anak kedua setelah rumah. 6. Bagi Orang Tua, yakni: a. Menegakkan prinsip perlindungan anak sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak-hak Anak dan UU No.23/2003 tentang Perlindungan Anak, b. Tidak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitu saja kepada sekolah karena merasa sudah membayar berbagai pungutan dan menganggap segalanya telah beres. c. Bagi orang tua korban khususnya, yakni memberikan support terhadap anak-anaknya, bahwa keadaan yang mereka alami bukan berarti hidup mereka berakhir, masih banyak hal-hal indah yang akan mereka raih. Dan terus memberikan motivasi, sehingga mereka dapat memulihkan
kepercayaan diri mereka dan dapat tumbuh seperti layaknya anak normal lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Al-Karim A Adjis, Chairil dan Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta: RM Books, 2007. Abd Ghafar,Asyahari. Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil. Jakarta: Grafindo Utama, 1987. Abduh Malik,Muhammad. Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP). Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003. Adji, Oemar Seno. Perkembangan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana : Sekarang dan Dimasa Yang akan Datang. CV. Pantjura Tudjuh. al-Anshari, Fauzan. Hukuman Bagi Pezina dan Penuduhnya. Jakarta: Khairul Bayan, 2002. Anwar, Moch. Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP. Bandung : Alumni, 1981. Audah, Abdul Qâdir, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qânŭn alWâdi’î, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992, juz I dan II. Baihaqi, al, Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Mŭsâ Abŭ Bakar, Sunan al-Baihaqi alKubra, (Makkah al-Mukaramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1993), juz VIII, hadits nomor 17362 dan 17363 Bemmelen, J.M.Van. Hukum Pidana 3: Bagian Khusus Delik-delik Khusus. Bandung : Binacipta, 1986. Chazawi, Adami. Tindak Pidana mengenai Kesopanan. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005. Ciciek, Farha. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender. Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV.Pusaka Setia, 2002. Daradjat, Zakiyah. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung, 1996.
--------------. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1997. --------------. Peranan Agama dalam Kesehatan Menta., Jakarta: Gunung Agung, 1995. Departemen Agama : DirektoratJendral Kelembagaan Agama Islam. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UU SISDIKNAS. Jakarta : DePag, 2003. --------------. Wawasan : Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan. Jakarta : DePag, 2005. Djazuli. Fiqh Jinayah : Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997. Gautama, Chandra. Konvensi Hak Anak:Panduan Bagi Jurnalis. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2000. Gove, Philip Babcock, The Merriem-Webster (Webster New International Dictionary). Springfield, USA: G&C Meriam Company,1996. Halim, A,Ridwan. Tindak Pidana Pendidikan (Suatu Pengantar Filosofis-Edukatif). Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP. Jakarta : Rieneka Cipta, 2005. Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang, 2005. I Doi, Abdur Rahman. Tindak Pidana dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Ibn al-Humam, Fath al-Qadir, tkp: ttp, jilid IV, tt. Ja’fi, al, Muhammad bin Ismâîl Abu Abdullâh al-Bukhâri, Shahîh Bukhâri, Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1987, juz III J.B.Daliyo. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT Prehallindo, 2001. K.Prent.X.C.,MJ.Adi Subrata dan WJS Purwadarminta. Kamus Latin-Indonesia. Yogyakarta: KANISIUS, 1969. Kanter,EY dan S.R.Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002.
Khisbiyah, Yayah, dkk. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, 2000. Makhrus, Munajat. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Logung Pustaka, 2004. Marpaung, Leden. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1985. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Rieneka Cipta, 2002 Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2007. Nîsâburî, al, Muslim Ibnu al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî, Shahih Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th., juz II P.A.F.Lamintang. Delik-delik Khusus : Tindak Pidana-pidana Melanggar Normanorma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan. Bandung : CV Mandar Maju, 1990. Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1978. Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta: Eresco, 1974. --------------. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta : PT Refika Aditama, 2003. R.Sughandi. KUHP dan Penjelasanny. Surabaya: Usaha Nasional, 1980. R.Soesilo. Pokok-pokok Hukum Pidana : Delik-delik Khusus. Jakarta: Politea, 1974. --------------. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politea, 1996. Saherodji, Hari. Pokok-pokok Kriminologi. Jakarta : Aksara Baru, 1980. Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam : Penerapan Syari’at Islam dalam Konteks Modernitas. Bandung : Asy Syaamil Press & Grafika, 2001.
Sasangka,Hari, dkk. Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan. Surabaya: Dharma Surya Berlian, 1996. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHMPTHAM, 1983. Soebekti dan Tjitrosoedibio. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1972. Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Huku., Jakarta: CV Rajawali, 1980. Soetjipto dan Raflis Kasasi. Profesi Keguruan. Jakarta: Rieneka Cipta, 2007. Suma, Muhammad Amin, .dkk. Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan). Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. S.Nasution. SosiologiPendidikan. Bumi Aksara. Jakarta: 1995. Wahid, Abdul. Perlindungan korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan. Bandung: Refika Aditama, 2001. Wiratmo Soekito, Sri Widoyati. Anak dan Wanita dalam Hukum. Jakarta: LP3ES, 1986. W.J.S.Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Zuraya, Ma’ruf Mustafa. Sukses Mendidik Anak. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Sumber dari Perundang-undangan dan Sejenisnya : UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta : Visimedisa..2007 UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia UU No.44//2008 tentang Pornografi UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: CV Eko Jaya, 2004. Kode Etik Keguruan Keppres No.36/1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak Surat Tuntutan No.Reg.Perkara:PDM-273/JKTSTL/Ep.1/02/2007 Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terhadap Surat Tuntutan No.Reg.Perkara : PDM-273/JKTSTL/Ep.1/02/2007
Sumber dari wawancara: Wawancara pribadi dengan Henny.H,SH. (Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan). Jakarta, 29 Juni 2009.
Sumber dari Materi Perkuliahan: Al Fitrah. Kejahatan Kekerasan dalam Perspektif Kriminologis. dalam materi perkuliahan Kriminologi, 1 Des 2008, Semester VII (Prodi Pidana Islam). --------------. Kejahatan dan Penyimpangan primer dan sekunder pada masyarakat kelas bawah. dalam materi perkuliahan Kriminologi, 15 Des 2008, Semester VII (Prodi Pidana Islam). Masyrofah. Jarimah Tazir. dalam materi perkuliahan Fiqh Jinayah, 4 Juni 2008, Semester VI (Prodi Perbandingan Hukum).
Sumber dari Artikel: Anwar Haryono. Samen Leven (Nasehat Perkawinan dan Keluarga), (Oktober, 1997). Hadi Supeno. “Sekolah Bukan Tempat Aman bagi Anak”, Kompas, (Jakarta, 23 Januari, 2008). Maria Ulfah Anshor. “Pornografi Haruskah disikapi dengan Undang-undang?”. Kompas, (Jakarta, 26 Mei, 2003). M.A.Budhy Prabowo. Trend Kekerasan pada Anak, (Jakarta, Sekretariat Komisi Perlindungan Anak, 2008).
Sumber dari Internet: Fitri. Bentuk-bentuk Kekerasan Anak (Child Abuse), artikel ini diakses pada 13 Desember 2008 dari harian-pikiran.rakyat.com. Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi, Refleksi Akhir Tahun 2005 Hentikan kekerasan terhadap anak Sekarang dan selamanya…!!! (Catatan Permasalahan Anak di Indonesia Sepanjang Tahun 2005), diakses pada 13 Desember 2008.dari www.komnaspa.or.id Suryadi. “Upaya Perlindungan Anak dari Kekerasan”, artikel ini diakses pada 13 Desember 2008 dari http://www.radarbanjar.com. www.rakyatmerdeka.co.id, diakses pada 13 Desember 2008. http : //www.menegep.go.id, diakses 2 Juli 2008. http : //www.fokerlsmpapua.org, diakses 2 Juli 2008. http : //www.bogornews.com, diakses 2 Juli 2008. 1,5 Juta Pekerja Anak di Jakarta (mereka seharusnya diperlakukan sebagai saudara), diakses pada tanggal 13 Desember 2008 dari www.hellis.org.