Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA CV X DI SIDOARJO Andi Nurrokhmat
[email protected]
Dini Widyawati Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
ABSTRACT This research is meant to analyze the implementation of tax planning which is conducted by CV X with tax regulation. Tax is a compulsory contribution to the country which is owed by personals or entities which are forced by the legislation, by having no direct reward and it is entirely used for government needs to provide prosperity for the people. Tax, actually, can be managed and controlled by comprehending the prevailing tax regulation and its development correctly and by following its changes so the efficiency of tax payment can be achieved. Qualitative descriptive method and case study method are applied in this research. The description of the research object is company’s income tax which is imposed to the CV X by using the company’s profit and loss income statement in order to perform fiscal correction. So it will generate fiscal financial and profit fiscal report which will be used to arrange tax planning and it will be compared to the profit before and after tax planning. The result of the research indicates that the tax planning is implemented, tax which should be paid by the CV X is as much as Rp 293.146.003 while after the tax planning the tax which should be paid by the CV X is as much as Rp 285.124.838 in 2011. The tax which should be paid by CV X can be optimized by carrying out tax planning. Keywords: Tax Planning, Fiscal Correction, Tax Regulation, Owed Tax ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa penerapan perencanaan pajak yang dilakukan oleh CV X dengan undang-undang perpajakan. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak sesungguhnya dapat dikelola dan dikendalikan dengan cara memahami benar ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan dengan segala perkembangannya dan mengikuti perubahannya, sehingga tercapai efisiensi pembayaran pajak. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan metode studi kasus. Gambaran dari obyek penelitian adalah pajak penghasilan badan yang dikenakan terhadap perusahaan CV X dengan menggunakan laporan laba rugi perusahaan yang digunakan untuk melakukan koreksi fiskal, sehingga akan menghasilkan laporan keuangan fiskal dan laba fiskal yang akan digunakan untuk menyusun perencanaan pajak dan akan dibandingkan laba sebelum perencanaan dan laba setelah perencanaan pajak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diterapkan perencanaan pajak, pajak yang harus dibayar adalah Rp 293.146.003 sedangkan setelah perencanaan, pajak yang harus dibayar adalah Rp 285.124.838 pada tahun 2011. Dengan dilakukannya perencanaan pajak maka CV X dapat mengoptimalkan pajak yang harus dibayar. Kata kunci: Perencanaan Pajak, Koreksi Fiskal, Perundang – undangan perpajakan, Pajak yang harus dibayar.
PENDAHULUAN Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
2
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Undang – Undang Nomor 16,2009). Sehingga, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara Wajib Pajak dengan pemerintah. Wajib Pajak ingin membayar pajak sekecil mungkin sedangkan pemerintah memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan salah satu sumber dana tersebut adalah dari penerimaan pajak. Wajib Pajak menginginkan jumlah pembayaran pajak yang kecil sehingga Wajib Pajak cenderung mengurangi jumlah pembayaran pajak, baik dengan cara legal maupun ilegal. Hal ini mungkin bisa terjadi jika ada peluang yang dapat dimanfaatkan seperti kelemahan peraturan pajak dan sumber daya manusia (Fiskus). Pajak sesungguhnya dapat dikelola dan dikendalikan dengan cara memahami benar ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan dengan segala perkembangannya dan mengikuti perubahannya, sehingga tercapai efisiensi pembayaran pajak. Pengelolaan kewajiban pajak dengan cara legal dapat melalui manajemen pajak (Tax Management). Penerapan peraturan perpajakan secara benar dan efisiensi untuk memperoleh laba dan likuiditas yang seharusnya dapat diterapkan oleh manajemen pajak. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui fungsi manajemen pajak yaitu perencanaan pajak (Tax Planning). Perencanaan pajak meliputi mengumpulkan dan melakukan penelitian terhadap peraturan – peraturan perpajakan agar dapat memilih jenis tindakan penghematan pajak yang dapat dilakukan dan tetap sesuai dengan ketentuan dan perundang – undangan perpajakan. Pemborosan harus dihindari dalam pembayaran pajak oleh karena itu, pembayaran pajak harus direncanakan secara benar. Ketepatan waktu dan dana pembayaran pajak juga sangat penting untuk menghindari pemborosan pembayaran sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Sistem pemungutan pajak yang di anut di Indonesia adalah self assessment system, yaitu suatu sistem pemungutan yang Wajib Pajaknya boleh menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus di setor (Supramono dan Damayanti, 2010:4). Dengan kata lain, tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak untuk menghitung , menyetor, , dan melaporkan sendiri kewajibannya. Pajak penghasilan (PPh) yang dipungut menjadi beban atau biaya bagi perusahaan. Seperti beban atau biaya perusahaan lainnya perusahaan juga ingin menekan pajak penghasilan seminimal mungkin dengan penerapan manajemen pajak yang efektif melalui perencanaan pajak. Dari penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk menganalisa penerapan perencanaan pajak penghasilan badan pada CV X di Sidoarjo. Hal inilah yang menjadi latar belakang masalah dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menganalisa penerapan perencanaan pajak yang dilakukan oleh CV X dengan undang-undang perpajakan yang berlaku. TINJAUAN TEORETIS Pajak Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
3
Fungsi Pajak menurut Resmi (2009:2) menyebutkan bahwa fungsi pajak adalah “Terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengatur)”. Dan menurut Rahayu (2009:26) menyebutkan bahwa fungsi pajak “Umumnya dikenal dengan dua macam fungsi pajak yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend” 1. Fungsi Budgetair (sumber keuangan negara) yaitu, pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. 2. Fungsi Regulerend (mengatur) yaitu, pajak dijadikan sebagai alat untuk mengatur untuk melaksankan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contohnya seperti dibawah ini : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumen minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. Sistem perpajakan yang di anut di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa cara, dalam hal ini akan dikemukakan pengelompokan sebagai berikut : 1. Menurut Golongannya Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada pajak lain. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2. Menurut Sifatnya Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. 3. Menurut Pemungutnya Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan. b. Pajak Daerah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah dibedakan menjadi 2, yaitu: a) Pajak Propinsi Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. b) Pajak Kabupaten / Kota Contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak hiburan. Pajak Penghasilan Pajak penghasilan menurut Waluyo (2006) “pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak.” Menurut ketentuan pajak, pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainya.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
4
Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif yang penting. Dalam pajak penghasilan tarifnya dapat dibedakan menjadi beberapa tarif,sebagai berikut : 1. Tarif marginal Persentase tarif ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Sebagai contoh , tarif pajak penghasilan untuk tahun 2009 bagi wajib pajak orang (perhatikan contoh tarif progresif) bahwa tarif marginal untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak yang melebihi 0 sampai dengan Rp.50.000.000,00 sebesar 5% yang diikuti pula setiap tambahan penghasilan kena pajak diatas Rp.50.000.000,00 sampai dengan tarif marginal 15% dan seterusnya. 2. Tarif efektif Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu. Kutipan Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan 1. Yang termasuk subjek pajak penghasilan a. Orang pribadi adalah mereka yang tinggal atau (berdomisili) atau berada di Indonesia ataupun diluar indonesia tanpa melihat batas umur, jenjang sosial ekonomi dan kebangsaan dan kewarganegaraannya. b. Warisan yang belum belum terbagi satu kesatuan menggantikan yang berhak warisan merupakan subjek pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. c. Badan yaitu Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. d. Bentuk usaha tetap (BUT) Perusahaan luar negeri yang bergerak dalam kegiatan ekonomi suatu negara, dalam hal ini negara Indonesia. 2. Termasuk objek pajak penghasilan Yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat di pakai untuk dikonsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam undang-undang PPh. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta : 1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. 2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha. 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yg ditetapkan oleh menteri keuangan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
5
3.
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala contoh leasing. k. Keuntungan karena pembebasan utang kecuali yang diatur pada PP 130 Tahun 2000 (atas keuntungan karena pembebasan utang debitur kecil termasuk Kukesra, KUT, KPRSS, KUK dan kredit kecil dan hanya dapat dinikmati satu kali dalam satu tahun pajak sampai dengan jumlah Rp 350 Juta). l. Keuntungan karena selisih kurs dengan mata uang asing. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi Asuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Termasuk bukan objek pajak penghasilan a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. c. Warisan. d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus. f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
6
g. h. i.
j.
k. l.
2) Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1) Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Manajemen Pajak Menurut Lumbatoruan (dalam Suandy, 2009:6), manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang di bayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Upaya untuk melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Tujuan manajemen pajak terbagi dua yaitu : 1. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar. 2. Usaha efisien untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. Perencanaan Pajak Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam menajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Menurut Zain (2008:67) perencanaan pajak adalah merupakan tindakan struktural yang terkait dengan kondisi konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengadilan setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya, tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajaknya yang akan di transfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut penghindaran pajak (tax avoidance) yang merupakan perbuatan legal yang masih dalam ruang lingkup peraturan perundang-undangan pajak dan bukan penyelundupan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
7
pajak. Dan menurut Suandy (2009:6), perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Strategi Perencanaan Pajak 1. Tax saving Yaitu upaya wajib pajak mengelakkan hutang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk –produk yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar. 2. Tax avoidance Yaitu upaya wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang dikenakan pajak atau upaya-upaya yang masih dalam kerangka ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terhutang. 3. Mengindari Pelanggaran Atas Peraturan Perpajakan Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan yaitu : a. Sanksi administrasi berupa denda, bunga atau kenaikan b. Sanksi denda pidana atau kurungan 4. Menunda Pembayaran Kewajiban Pajak Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan. 5. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan Wajib pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya PPh Pasal 22 atau pembelian solar dan impor dan fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai. Setidak-tidaknya terdapat 3 hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak Upaya Legal Mengefisienkan beban pajak. 1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan. 2. Secara bisnis masuk akal, karena perencanaan pajak itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan menyeluruh perusahaan, baik jangka panjang maupun jangka pendek, dengan demikian perencanaan pajak yang tidak masuk akan memperlemah perencanaan itu sendiri. 3. Bukti-bukti pendukung memadai, misalnya dukungan perjanjian, faktur dan juga perlakuan akuntansinya (accounting treatment). Tarif Pajak Tarif Pasal 17 UU no. 36 tahun 2008 (tarif umum) Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (mulai 2009). a. WP orang pribadi Tarif lapisan penghasilan kena pajak, wajib pajak orang pribadi nampak pada tabel 1. b. WP Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 25 % Dengan disempurnakannya Undang-Undang Perpajakan, berarti kelemahankelemanahan didalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan perpajakan sudah dapat diatasi. Tetapi harus diingat bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam undangundang perpajakan di Indonesia yang berlaku, yang melarang Wajib Pajak melakukan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
8
manajemen pajak sehingga usaha-usaha mengelola kewajiban perpajakan dalam manajemen keuangan dengan tepat untuk tujuan meminimalkan jumlah pajak terutang merupakan tindakan sah dan legal. Tabel 1 Tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp 50.000.00,00 Diatas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 250.000.000,00 Di atas Rp 250.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 Di atas Rp 500.000.000,00 Sumber Data : Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
Tarif Pajak 5% 15% 25% 30%
Koreksi Fiskal Dalam mempertimbangkan tentang materi penyusunan perencanaan pajak harus mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan koreksi fiskal. Pada dasarnya koreksi fiskal terjadi karena adanya penyesuaian terhadap Laporan Keuangan Nasional, penyesuaian tersebut didasarkan pada peraturan perpajakan sehingga dapat menghasilkan Laporan Keuangan Fiskal. Dalam hubungan ini koreksi fiskal dapat digolongkan dalam dua jenis perbedaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Perbedaan Waktu Perbedaan waktu adalah perbedaan yang disebabkan karena adanya perbedaan waktu yang berkenaan terhadap pendapatan atau biaya tertentu yang diatur menurut Standar Akuntansi Indonesia. 2. Perbedaan Tetap Perbedaan tetap adalah perbedaan yang disebabkan karena adanya perbedaan yang bersifat permanen yang berkenaan terhadap pendapatan atau biaya tertentu yang diatur menurut Standar Akuntansi keuangan. Pemberlakuan terhadap kedua perbedaan tersebut yang juga disebut koreksi fiskal akan mempengaruhi secara langsung terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP), dalam hal ini koreksi fiskal dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : 1. Koreksi Fiskal Positif Koreksi fiskal positif terjadinya perubahan penambahan terhadap pendapatan atau biaya yang terdapat dalam laporan keuangan komersil yang disusun untuk kepentingan laporan keuangan fiskal. 2. Koreksi Fiskal Negatif Koreksi fiskal negatif ialah terjadinnya perubahan pengurangan terhadap pendapatan atau biaya yang terdapat dalam laporan keuangan komersil yang disusun untuk kepentingan laporan keuangan fiskal. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian dan Gambaran Obyek Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dan metode studi kasus. Penelitian deskriptif merupakan penelitian terhadap masalah –masalah berupa fakta – fakta saat ini dari suatu populasi. Sedangkan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang tidak memasukkan angka – angka ke dalam rumus statistik.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
9
Gambaran dari obyek penelitian ini adalah pajak penghasilan badan yang dikenakan terhadap perusahaan CV. X yang bergerak di bidang industri pembuatan sepatu dan tas kulit dan berlokasi di Dusun Kludan Tangulangin Sidoarjo. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut : 1. Wawancara, yaitu teknik pengambilan data dengan cara melakukan tanya jawab dengan pejabat perusahaan yang berwenang. 2. Dokumentasi, yaitu tehnik pengambilan data dengan cara observasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan perpajakan perusahaan, struktur organisasi, perhitungan laba/rugi, dan bukti setoran pajak tahunan. Satuan Kajian
Satuan kajian (unit of analysis) merupakan satuan terkecil obyek penelitian yang diinginkan sebagai klasifikasi pengumpulan data. 1. 2.
Pendapatan yang berasal dari penjualan bahan jadi dan pendapatan lain-lain yang pembayarannya secara tunai dan secara kredit. Beban operasional merupakan beban yang berhubungan dengan beban perjalanan dinas yang meliputi beban bbm, tiket dan perjalanan dinas lainnya. Selain itu beban operasional juga berhubungan dengan beban kendaraan, komisi dan relasi. Sedangkan beban Administrasi dan umum merupakan beban yang berhubungan dengan beban pegawai, beban perjalanan dinas, beban gedung dan bangunan, beban komunikasi, beban kantor, beban kendaraan umum, beban asuransi dan keahlian pihak ke III dan beban penyusutan.
Metoda Analisis 1. Analisis Deskriptif, yaitu dengan menganalisis dan mengolah data-data laporan keuangan dan menjelaskan bagaimana cara menerapkan perencanaan pajak dalam upaya meminimalkan jumlah Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan. 2. Analisis Komparatif, dengan membandingkan hasil dari laporan keuangan yang telah disusun oleh perusahaan dengan laporan keuangan yang sudah diterapkan perencanaan pajak. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Laporan keuangan komersial CV. X berisikan tentang kondisi keuangan CV. X. pada tabel 2 merupakan laporan laba rugi komersial dan fiskal CV. X untuk tahun 2011. Tabel 2 Laporan Laba Rugi Komersial dan Fiskal Keterangan Penjualan Harga Pokok Penjualan Laba (Rugi) Kotor Beban Operasional Beban Perjalanan Dinas Beban Kendaraan Beban Komisi dan Relasi Jumlah Beban Operasional
Komersial
Koreksi Fiskal Beda Tetap Beda Waktu
6.791.377.750 3.238.210.520 3.553.167.230 18.072.550 13.634.500 43.055.000 74.762.050
Fiskal 6.791.377.750 3.238.210.520 3.553.167.230
422.500 4.497.200 4.919.700
17.650.050 9.137.300 43.055.000 69.842.350
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
10 Beban Administrasi dan umum Beban Gaji : Beban Gaji dan Staff Beban THR Beban Tunjangan Makan Beban Perjalanan Dinas: Tiket Beban Gedung & Bangunan: Beban Pemeliharaan Gedung Beban IPEDA, IREDA, PBB Beban Komunikasi Beban Telephone Beban Benda Pos Beban Kantor: Beban Air & Listrik Beban Barang Cetakan Beban Kebutuhan Fotocopy Beban alat-alat tulis Beban Inventaris Kecil Beban Pemeliharaan Inventaris Beban Kebutuhan Rumah Tangga Beban Pajak Beban Konsultan dan Keahlian Pihak Ke III Beban Penyusutan: Beban Penyusutan Bangunan Beban Penyusutan Kendaraan Beban Penyusutan Inventaris Jumlah Beban Administrasi & Umum Pendapatan (Beban) Lain-lain Pendapatan Jasa Giro Penjualan Barang Bekas Pendapatan lain-lain Beban lain-lain: Beban Adm dan Bunga Bank Beban Sumbangan Bunga Pihak Ketiga Beban Lain-lain Jumlah Pendapatan (beban) lainlain Laba (Rugi) Sebelum Pajak Sumber : CV X
1. 2. 3.
4.
493.620.000 41.135.000 20.554.450
9.701.423
483.918.577 41.135.000 -
20.554.450
25.372.500
25.372.500
53.741.625
53.741.625
28.735.550
28.735.550
497.900 2.672.125 1.836.700 11.599.500 34.506.150 6.152.500
497.900 2.672.125 1.836.700 11.599.500 34.506.150 -
6.152.500
17.300.000 396.812.496 4.961.664 5.248.752 1.144.746.912
17.300.000
36.408.373
758.054 758.054
2.651.000
396.812.496 5.719.718 5.248.752 1.109.096.593
2.651.000
(419.617.240) (2.400.000) (133.523.100 )
2.400.000
(419.617.240) (133.523.100 )
(552.889.340)
2.400.000
(550.489.340)
1.780.768.928
43.728.073
758.054
1.823.738.947
Pendapatan CV. X berasal dari penjualan bahan jadi dan pendapatan lain-lain yang pembayarannya secara tunai dan secara kredit. Pihak manajemen CV. X mengklasifikasikan beban usaha menjadi 2 (dua) yaitu beban operasional dan beban administrasi dan umum. Beban operasional CV. X merupakan beban yang berhubungan dengan beban perjalanan dinas yang meliputi beban bbm, tiket dan perjalanan dinas lainnya. Selain itu beban operasional juga berhubungan dengan beban kendaraan, komisi dan relasi. Sedangkan beban Administrasi dan umum merupakan beban yang berhubungan dengan beban pegawai, beban perjalanan dinas, beban gedung dan bangunan, beban komunikasi, beban kantor, beban kendaraan umum, beban asuransi dan keahlian pihak ke III dan beban penyusutan. Beban bbm, parkir, tol perjalanan dinas merupakan beban ongkos kendaraan seperti bbm, parkir dan pembayaran masuk tol untuk kepentingan perusahaan.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
11
5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12.
13. 14.
15. 16. 17.
18.
19.
Beban pengiriman merupakan beban ongkos kendaran, uang makan sopir serta tambahan bahan bakar selama perjalanan pengiriman barang ke customer. Beban tiket merupakan pembayaran tiket kereta api untuk keperluan pameran. Beban perjalanan dinas dikeluarkan untuk kebutuhan di saat perjalanan dinas seperti uang makan saat pameran. Beban kendaraan merupakan beban untuk pemeliharaan kendaraan seperti service, penggantian sparepart dan pajak kendaraan. Beban komisi dan relasi untuk pembayaran guide. Beban pemeliharaan gedung merupakan beban yang dikeluarkan untuk pemeliharaan atau perbaikan bangunan meliputi pengecatan, penggantian lampu, perbaikan instalasi listrik, pembelian material untuk perbaikan dan beban lainnya. Beban komunikasi adalah beban yang dikeluarkan untuk pembayaran telepon, beban benda pos, iuran bulanan internet, voucher hp dan biaya lainnya yang sejenis. Beban keperluan kantor yang meliputi beban alat tulis kantor yang merupakan beban yang dikeluarkan untuk pembelian barang keperluan kantor yang meliputi pembelian kertas, bollpoin, serta kebutuhan fotocopy dan barang cetakan lainnya. Beban air dan listrik merupakan beban yang dikeluarkan untuk pembayaran rekening listrik dan rekening air setiap bulan, dan untuk kegiatan lain yang sejenis. Beban pemeliharaan inventaris merupakan beban yang dikeluarkan untuk pemeliharaan semua inventaris kantor berupa meja, kursi, lemari, komputer, dan inventaris kantor lainya termasuk pembelian spare part untuk perbaikan inventaris tersebut. Beban asuransi merupakan seluruh dana yang dikeluarkan untuk pembayaran asuransi kebakaran dan kendaraan setiap tahunnya. Beban konsultan dan keahlian pihak ke III digunakan untuk pembayaran penyusunan laporan pajak dan penyusunan laporan keuangan. Beban penyusutan aset tetap pada CV. X menggunakan metode garis lurus (straight line method), metode yang sesuai dan diperbolehkan dalam perpajakan. Selain itu kebijakan CV. X mengenai masa manfaat dari aset sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam ketentuan perpajakan yaitu dalam Undang-undang PPh No. 36 tahun 2008 pasal 11 ayat 6. Pendapatan lain-lain adalah pendapatan sehubungan dengan pihak-pihak atas penempatan dana perusahaan meliputi pendapatan jasa giro, penjualan barang bekas dan pendapatan yang sejenis. Beban lain merupakan beban perusahaan yang belum termasuk ke dalam akun beban yang telah ada.
Analisis Atas koreksi Fiskal dan Perhitungan PPh Yang Dilakukan CV. X Berikut akan dijelaskan akun-akun yang ada didalam laporan laba rugi fiskal beserta penjelasan koreksi fiskalnya. 1. Penjualan CV. X tahun 2011 yaitu sebesar Rp. 6.791.377.750 yang diperoleh diakui dengan metode akrual basis yang sesuai dengan ketentuan pajak sehingga tidak perlu dilakukan koreksi fiskal. 2. Beban perjalanan dinas sejumlah Rp. 18.072.550,- harus dikoreksi fiscal sebesar Rp. 422.500,- Beban tersebut menurut Undang-undang Pajak Nomor 9 ayat 1 tidak dapat dijadikan sebagai pengurang bruto, rincian beban yang dikoreksi antara lain: a. Pembayaran bensin Honda jazz sebesar Rp 125.000,b. Pembayaran bensin inova dan bmw sebesar Rp. 297.500.-
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
12
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12. 13.
14. 15. 16.
17.
Beban kendaraan harus dikoreksi fiskal sebesar Rp. 4.497.300 ,- Beban tersebut menurut Undang-undang Pajak Nomor 9 ayat 1 tidak dapat dijadikan sebagai pengurang bruto, rincian beban yang dikoreksi antara lain: a. Pembayaran servis dan suku cadang honda jazz sebesar Rp. 3.672.700.b. Pembayaran servis dan suku cadang inova sebesar Rp. 824.500.Beban komisi dan relasi sejumlah Rp 43.055.000,- tidak dikoreksi fiskal karena menurut ketentuan dapat dikurangkan dengan penghasilan bruto karena beban berhubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan (3M). Beban Gaji sebesar harus dikoreksi fiskal sebesar Rp 9.701.423,- yang digunakan untuk menanggung PPh Pasal 21 karyawan karena tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan menurut ketentuan perpajakan. Untuk THR termasuk kriteria tunjangan yang diberikan kepada karyawan dalam bentuk tunai dan tidak perlu dikoreksi fiskal karena dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan dan menjadi pendapatan yang masuk dalam unsur gaji bagi karyawan. Beban tunjangan makan harus dikoreksi fiskal sebesar Rp. 20.554.450,- Beban tersebut menurut Undang-undang Pajak Nomor 9 ayat 1 tidak dapat dijadikan sebagai pengurang bruto. Beban perjalanan dinas merupakan beban yang dikeluarkan untuk perjalanan dinas karyawan terdiri dari uang makan dan tiket sejumlah Rp 25.372.500,- tidak dilakukan koreksi fiskal karena telah didukung bukti yang ada dan memiliki hubungan dengan 3M penghasilan perusahaan. Beban pemeliharaan gedung sejumlah Rp 53.741.625,- tidak dikoreksi fiskal karena beban tersebut berhubungan langsung untuk operasional perusahaan dan tidak melampaui batas kewajaran. Beban telekomunikasi sejumlah Rp 28.735.550,- tidak mengalami koreksi fiskal karena telah didukung bukti yang ada dan memiliki hubungan dengan 3M penghasilan perusahaan. Beban kebutuhan fotocopy tidak dikoreksi fiskal, beban ini sangat diperlukan untuk operasional perusahaan. Beban alat tulis kantor merupakan pengeluaran untuk pembelian keperluan kantor CV. X yang digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan meliputi bollpoint, pensil, map serta biaya sejenisnya. Seluruh biaya ini dapat dibiayakan sesuai dengan ketentuan pajak pasal 6 ayat (1) huruf a. Beban inventaris kecil tidak dikoreksi fiskal karena beban ini sangat dibutuhkan untukoperasional perusahaan. Beban pemeliharaan inventaris sejumlah tidak dikoreksi fiskal karena beban tersebut berhubungan langsung untuk operasional perusahaan dan tidak melampaui batas kewajaran. Beban kebutuhan rumah tangga yaitu berupa kopi, teh, gula, tisu kamar mandi sejumlah Rp 34.506.150 (tidak dikoreksi). Beban pajak sejumlah Rp 6.152.500 harus dikoreksi fiskal karena beban ini merupakan beban pembuatan spt tahunan pemilik. Beban konsultan dan keahlian pihak ketiga sejumlah Rp 17.300.000,- boleh menjadi pengurang penghasilan seluruhnya karena digunakan untuk kepentingan perusahaan dalam usaha untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan (3M). Beban penyusutan aset tetap CV. X harus dikoreksi fiskal karena terdapat beban penyusutan kendaraan yang tidak sesuai dengan pasal 11 UU Nomor 36 Tahun 2008 yang mengatur masa manfaat harta berwujud dan tarif penyusutan, baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
13
18. 19. 20.
21.
CV. X membeli sepeda motor vario pada tahun 2007 dengan nilai perolehan Rp 21.500.000, sepeda motor revo pada tahun 2007 dengan nilai perolehan Rp. 18.193.300 dan sepeda motor Honda NF 100S X pada tahun 2000 dengan nilai perolehan Rp 12.700.000,-. CV X mengakui ketiga kendaraan tersebut termasuk kelompok II dengan masa manfaat 8 tahun, tetapi sesuai dengan pasal 11 UU nomer 36 Tahun 2008 bahwa kendaraan bermotor roda 2 termasuk kelompok 1 bukan bangunan. Sehingga beban penyusutan kendaraan sejumlah Rp 4.961.663,- perlu dikoreksi fiskal sebesar Rp 758.054,- (Rp 5.719.717 – Rp 4.961.663). Pendapatan lain - lain sejumlah Rp 2.651.000,- tidak dikoreksi. Beban administrasi dan bunga bank merupakan beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 pasal 6 (1). Beban sumbangan sejumlah Rp 2.400.000,- harus dikoreksi fiskal karena beban yang dikeluarkan tersebut menurut ketentuan Undang-Undang Pajak No. 9 ayat 1 tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto. Beban bunga pihak ketiga merupakan beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 pasal 6 (1). Setelah dilakukan rekonsiliasi fiskal maka perhitungan pph tampak pada tabel 3. Tabel 3 Perhitungan PPh Terutang 2011 Laba Komersial Koreksi Fiskal - Beda Tetap - Beda Waktu Jumlah Koreksi Fiskal Penghasilan Kena Pajak PPh Terutang : 25% x Rp 1.823.738.947
Rp 1.780.768.928 Rp 43.728.073 Rp (758.054)
Rp 42.970.019 Rp 1.823.738.947 Rp 455.934.737
Jumlah PPh Terutang Kredit Pajak: PPh Pasal 25
Rp 455.934.737 Rp 162.788.734
Jumlah Kredit Pajak PPh kurang bayar
Rp 162.788.734 Rp 293.146.003
Sumber : CV X
Strategi Perencanaan Pajak Sesuai Dengan Undang-Undang Perpajakan Dalam Meminimalkan Pajak Berdasarkan dari hasil koreksi pada tabel 3 diketahui bahwa CV. X belum melakukan perencanaan pajak dengan maksimal sehingga besarnya pajak yang terutang cukup material walaupun CV. X telah mengambil beberapa kebijakan yang tepat dalam menjalankan usahanya. Strategi yang dapat membantu untuk mengurangi pajak CV. X antara lain. 1.
Pemilihan Alternatif Dasar Pembukuan dan Tata Cara Pembukuan Dasar pembukuan CV. X selama ini menggunakan metode accrual basis dalam penyusunan keuangan komersial maupun fiskal dimana pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat timbul transaksi atau pengalihan hak dan kewajiban, meskipun uang belum diterima atau dibayar. CV. X telah tepat dalam menentukan penggunaan metode pembukuan accrual basis sehingga biaya tersebut sudah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meskipun pembayaran belum dilakukan, dengan begitu pajak yang terutang akan menjadi kecil.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
14
2.
Pemilihan Metode Penyusutan Aset Tetap Metode penyusutan yang diperbolehkan oleh pajak adalah metode penyusutan saldo menurun (double declining) dan garis lurus (straight line). Metode garis lurus akan menghasilkan beban penyusutan yang selalu sama setiap tahun sedangkan metode saldo menurun akan menghasilkan beban penyusutan yang lebih besar pada awal tahun perolehan aset dan akan menurun pada tahun-tahun berikutnya pada akhir umur ekonomis aset akan menghasilkan jumlah beban penyusutan yang sama. Perbandingan metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun pada kendaraan kelompok 1 dengan harga perolehan Rp 21.500.000 pada tahun 2007 dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini: Tabel 4 Perbandingan Garis Lurus dan Saldo Menurun Tahun Garis Lurus 1 5.375.00 2 5.375.00 3 5.375.00 4 5.375.00 Jumlah 21.500.000 Sumber : Lampiran 1 diolah
3.
Saldo Menurun 10.750.000 5.375.000 2.687.500 2.687.500 21.500.000
Dapat dilihat bahwa besarnya beban penyusutan pertahun berbeda-beda tetapi pada akhir masa manfaat (tahun ke-4) jumlah akumulasi penyusutan adalah sama. Sehingga dalam perpajakan perbedaan besarnya beban penyusutan ini dikenal dengan istilah beda waktu atau beda sementara (timming different). Berdasarkan data pada lampiran 1 (satu) dan 2 (dua), CV. X menggunakan metode garis lurus untuk penyusutan aset tetap dan diketahui bahwa pada tahun 2011 biaya penyusutan aset tetap dengan menggunakan garis lurus sejumlah Rp 412.801.038,- . Setelah dilakukan koreksi fiskal biaya penyusutan menjadi Rp 413.559.092,-. Perbedaan pengakuan biaya sebesar Rp 758.054,- dapat memberikan peluang untuk mengoptimalkan biaya penyusutan asset tetap yang membantu agar laba kena pajak menjadi lebih kecil. Laba Kena Pajak kecil maka pajak yang terutang juga kecil begitu pula sebaliknya. Pengoptimalan Pengeluaran Perusahaan Agar Dapat Diakui Sebagai Pengurang PKP Salah satu bentuk pengoptimalan beban perusahaan yaitu meminimalkan pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan operasional perusahaan, mengupayakan seluruh beban yang dikeluarkan didukung oleh bukti-bukti karena kedua hal tersebut menimbulkan koreksi fiskal, dan mencegah beban yang hanya diperbolehkan 50% yang diakui. Dari laporan keuangan CV. X, perusahaan masih dapat menerapkan perencanaan pajak untuk meminimalkan pembayaran pajak, dengan cara: a. Beban perjalanan dinas mengalami koreksi fiskal karena penggunaan beban tersebut menurut Undang-undang Pajak Nomor 9 ayat 1 tidak dapat dijadikan sebagai pengurang bruto. Berikut langkah yang dapat diambil dalam perencanaan pajak, yaitu: a) Atas pembayaran bensin Honda jazz sebesar Rp 125.000,- merupakan beban yang tidak dapat dikurangkan dari pendapatan bruto. Salah satu cara dengan memantau pengeluaran perusahaan oleh manajemen perusahaan tidak terjadi, karena pengeluaran yang tidak berhubungan dengan kegiatan 3M perusahaan, secara pajak tidak dapat ditoleransi sehingga harus dikoreksi. b) pembayaran bensin inova dan bmw sebesar Rp. 297.500.- merupakan beban yang tidak berhubungan dengan kegiatan 3M perusahaan, maka harus tetap dikoreksi. b. Beban kendaraan mengalami koreksi fiskal karena penggunaan beban tersebut menurut Undang-undang Pajak Nomor 9 ayat 1 tidak dapat dijadikan sebagai
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
15
pengurang bruto. Berikut langkah yang dapat diambil dalam perencanaan pajak, yaitu: a) Pembayaran servis dan suku cadang honda jazz sebesar Rp. 3.672.700.- merupakan beban yang tidak berhubungan dengan kegiatan 3M perusahaan, maka harus tetap dikoreksi. b) Pembayaran servis dan suku cadang inova sebesar Rp. 824.500.- merupakan beban yang tidak berhubungan dengan kegiatan 3M perusahaan, maka harus tetap dikoreksi. c. Beban tunjangan makan harus dikoreksi fiskal sebesar Rp. 20.554.450,- beban ini harus dikoreksi fiskal karena beban yang dikeluarkan tersebut menurut ketentuan Undang-Undang Pajak No. 9 ayat 1 tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto. Agar dapat dibiayakan tunjangan makan harus diberikan dalam bentuk natura kepada seluruh karyawan. d. Beban lain-lain terdapat beban sumbangan sejumlah Rp 2.400.000,- yang diberikan pada saat ada kegiatan desa dan jika ada karyawan yang mendapat musibah, beban ini harus dikoreksi fiskal karena beban yang dikeluarkan tersebut menurut ketentuan Undang-Undang Pajak No. 9 ayat 1 tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto. Agar dapat dibiayakan pihak manajemen perusahaan hendaknya mengalokasikan ke badan yayasan amil zakat yang telah disahkan oleh pemerintah. e. Beban pajak sejumlah Rp 6.152.500 untuk pembuatan spt pribadi pemilik merupakan beban yang tidak berhubungan dengan kegiatan 3M perusahaan, maka harus tetap dikoreksi. 4. Memberikan tunjangan PPh 21 dengan menggunakan metode Gross Up Setiap karyawan yang penghasilannya melebihi PTKP memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Kewajiban ini berasal dari seluruh penghasilan yang diterima dari pemberi kerja CV. X antara lain gaji pokok dan THR dimana jumlah penghasilan tersebut harus dikurangi dengan biaya jabatan dan PTKP. Hasil dari pengurangan tersebut akan menghasilkan PKP yang akan menjadi dasar perhitungan PPh 21 menggunakan tariff pasal 17 ayat 1 (a) Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Mengenai PPh 21 ini, perusahaan memiliki alternatif kebijakan, antara lain: a. PPh ditanggung karyawan dalam artian pajak dipotong langsung dari penghasilan karyawan . b. PPh ditanggung perusahaan dimana perusahaan akan membayar sepenuhnya pajak yang terutang karyawan tanpa memotong dari penghasilan karyawan, dan pajak yang ditanggung tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan. c. Tunjangan yang diberikan berupa tunjangan PPh Pasal 21. Tunjangn PPh tersebut merupakan unsur penambah penghasilan karyawan sehingga jumlah tunjangan PPh Pasal 21 sama besarnya dengan PPh Pasal yang terutang. Metode ini dinamakan Gross Up. Metode yang dipakai oleh CV. X adalah poin kedua dimana CV. X menanggung pajak yang terutang oleh karyawan. Langkah tersebut dapat merugikan perusahaan karena menurut pajak, biaya tersebut tidak boleh dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto. Perencanaan pajak yang sangat membantu adalah dengan menggunakan metode Gross Up, dimana perusahaan memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh Pasal yang terutang. Perbandingan dan perhitungan sebelum dan sesudah menggunakan metode Gross Up dapat dilihat pada tabel 5. Jika Penghasilan Kena Pajak Kecil maka Pajak yang terutang juga kecil begitu pula sebaliknya. Perhitungan PPh terutang setelah perencanaan pajak terlihat pada tabel 6.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
16
Perbandingan dan perhitungan PPh terutang sebelum dan setelah perencanaan pajak nampak pada tabel 7. Tabel 5 Laporan Laba Rugi Fiskal Setelah Perencanaan Pajak Koreksi Fiskal Beda Tetap Beda Waktu
Keterangan
Komersial
Penjualan Harga Pokok Penjualan Laba (Rugi) Kotor Beban Operasional Beban Perjalanan Dinas Beban Kendaraan Beban Komisi dan Relasi Jumlah Beban Operasional Beban Administrasi dan umum Beban Gaji : Beban Gaji dan Staff Beban Tunjangan Pajak Beban THR Beban Tunjangan Makan Beban Perjalanan Dinas Tiket Beban Gedung & Bangunan: Beban Pemeliharaan Gedung Beban IPEDA, IREDA, PBB Beban Komunikasi Beban Telephone Beban Benda Pos Beban Kantor: Beban Air & Listrik Beban Barang Cetakan Beban Kebutuhan Fotocopy Beban alat-alat tulis Beban Inventaris Kecil Beban Pemeliharaan Inventaris Beban Kebutuhan Rumah Tangga Beban Pajak Beban Konsultan dan Keahlian Pihak Ke III Beban Penyusutan: Beban Penyusutan Bangunan Beban Penyusutan Kendaraan Beban Penyusutan Inventaris Jumlah Beban Administrasi & Umum Pendapatan (Beban) Lain-lain Pendapatan Jasa Giro Penjualan Barang Bekas Pendapatan lain-lain Beban lain-lain: Beban Adm dan Bunga Bank Beban Sumbangan Bunga Pihak Ketiga Beban Lain-lain Jumlah Pendapatan (beban) lain-lain
6.791.377.750 3.238.210.520 3.553.167.230
6.791.377.750 3.238.210.520 3.553.167.230
17.650.050 9.137.300 43.055.000 69.842.350
17.650.050 9.137.300 43.055.000 69.842.350
483.918.577 9.130.211 41.135.000 20.554.450
483.918.577 9.130.211 41.135.000 20.554.450
25.372.500
25.372.500
53.741.625
53.741.625
28.735.550
28.735.550
497.900 2.672.125 1.836.700 11.599.500 34.506.150 -
497.900 2.672.125 1.836.700 11.599.500 34.506.150 -
17.300.000
17.300.000
Laba (Rugi) Sebelum Pajak Sumber : Tabel 2 diolah
1.792.412.340
396.812.496 4.961.664 5.248.752 1.138.023.200
758.054 758.054
Fiskal
396.812.496 5.719.718 5.248.752 1.138.781.254
2.651.000
2.651.000
(419.617.240) (2.400.000) (133.523.100 )
(419.617.240) (2.400.000) (133.523.100 )
(550.489.340)
(550.489.340) 758.054
1.791.654.286
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
17 Tabel 6 Perhitungan PPh Terutang 2011 Setelah Perencanaan Pajak Laba Komersial Koreksi Fiskal Beda Tetap Beda Waktu Jumlah Koreksi Fiskal Penghasilan Kena Pajak PPh Terutang : 25% x Rp 1.791.654.286 Jumlah PPh Terutang Kredit Pajak: PPh Pasal 25
-
Rp 1.792.412.340 (Rp 758.054)
(Rp 758.054) Rp 1.791.654.286 Rp 447.913.572 Rp 447.913.572 Rp 162.788.734
Jumlah Kredit Pajak PPh kurang bayar Sumber : Tabel 5 Diolah
Rp 162.788.734 Rp 285.124.838
Tabel 7 Perbandingan dan Perhitungan PPh Terutang Perhitungan PPh Terutang 2011 Sebelum Perencanaan Pajak Laba Komersial
-
Koreksi Fiskal Rp 43.728.073 Beda Tetap Rp (758.054) Beda Waktu Jumlah Koreksi Fiskal Penghasilan Kena Pajak PPh Terutang : 25% xRp1.823.738.947
Perhitungan PPh Terutang 2011 Setelah Perencanaan Pajak Laba Komersial
Rp 1.780.768.928 Rp 42.970.019
Koreksi Fiskal Beda Tetap Beda Waktu Jumlah Koreksi Fiskal
Rp1.792.412.340
(Rp758.054)
(Rp 758.054) Rp1.791.654.286
Rp 455.934.737
Penghasilan Kena Pajak PPh Terutang : 25% x Rp 1.791.654.286
Rp 447.913.572
Rp 455.934.737
Jumlah PPh Terutang
Rp 447.913.572
Kredit Pajak: PPh Pasal 25
Rp 162.788.734
Rp 1.823.738.947
Jumlah PPh Terutang Kredit Pajak: PPh Pasal 25
Rp 162.788.734
Jumlah Kredit Pajak PPh kurang bayar
Rp 162.788.734 Rp 293.146.003
Jumlah Kredit Pajak PPh kurang bayar
Rp 162.788.734 Rp 285.124.838
Sumber : Tabel 3 dan Tabel 6 Diolah
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan data yang telah diolah, diteliti, dan hasil analisa serta pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan pajak CV. X, yaitu: 1. Laporan Laba Rugi yang disusun CV X pada Tahun 2011 telah sesuai dengan SAK yang telah menghasilkan laba komersial sebesar Rp 1.780.768.928,-. Sebelum perencanaan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
18
2.
pajak laporan Laba Rugi CV X terdapat koreksi fiskal positif yang mengakibatkan laba fiskal menjadi lebih besar daripada laba komersial yaitu Rp 1.823.738.947. Setelah diterapkannya perencanaan pajak, laba fiskal menjadi lebih kecil sehingga laba kena pajak juga kecil yaitu sebesar Rp 1.792.412.340 menjadi Rp 1.791.654.286. Laba kena pajak menjadi dasar dalam menghitung besarnya pajak terutang. Sebelum diterapkan perencanaan pajak, pajak yang harus dibayar adalah Rp 293.146.003 sedangkan setelah perencanaan, pajak yang harus dibayar adalah Rp 285.124.838 pada tahun 2011. Adapun analisis koreksi fiskal meliputi : a. CV X menanggung pajak PPh Pasal 21 yang terutang oleh karyawan, sehingga PPh Pasal 21 tersebut tidak dapat dibebankan menjadi pengurang penghasilan bruto. b. CV. X memberi tunjangan makan berupa uang sehingga tidak dapat dibebankan menjadi pengurang penghasilan bruto. c. CV. X mengakui beban yang tidak berhubungan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehingga harus dikoreksi. d. CV. X menggunakan metode garis lurus dalam penyusutan aktiva tetap.
Saran Timbulnya permasalahan dan kesimpulan yang telah dikemukakan diatas dapat diketahui bahwa CV. X belum memahami secara dalam mengenai peraturan perundangundangan perpajakan sehingga belum dapat menerapkan perencanaan pajak atau dengan kata lain belum memanfaatkan peluang pengurang penghasilan kena pajak yang diperbolehkan oleh undang-undang. Berikut ini adalah bebarapa saran yang dapat diberikan untuk perusahaan: 1. Memberikan karyawan pemahaman dan informasi akan pajak yang diterapkan sehingga dapat memberikan strategi perencanaan perpajakan untuk membantu perusahaan dalam mencapai visi perusahaan. 2. Beban perjalanan dinas berupa pembayaran bensin dan servis mobil pribadi pemilik dan beban pajak berupa pembayaran pembuatan spt tahunan pemilik seharusnya tidak dibebankan karena tidak berhubungan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehingga harus dikoreksi. 3. Beban sumbangan yang diberikan kepada karyawan dan kegiatan desa tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto. Perencanaan pajak yang dapat dilakukan adalah dengan mengalokasikan ke badan yayasan amil zakat yang telah disahkan oleh pemerintah. 4. Memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 kepada karyawan, sehingga dapat dibebankan menjadi pengurang penghasilan bruto. 5. Pemberian tunjangan makan berupa uang tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto. Agar dapat menjadi pengurang pemberian tunjangan makan harus dalam berupa natura dan diberikan kepada seluruh karyawan. DAFTAR PUSTAKA Diana, A. dan L. Setiawati. 2009. Perpajakan Indonesia. Andi. Yogyakarta. Muljono. D. 2009. Tax Planning – Menyiasati Pajak dengan Bijak. ANDI. Yogyakarta. Mardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi 2011. Andi. Yogyakarta. Pohan, C. A. 2011. Optimazing Corporate Tax Management. Bumi Aksara. Jakarta Resmi, S. 2009. Perpajakan : Teori dan Kasus. Jakarta : Salemba Empat. Rahayu, S. K. 2009. Perpajakan Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 3 (2013)
19
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Jakarta _______. 2007. Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta Suandy, E. 2009. Perencanaan Pajak. Edisi Empat. Salemba Empat. Jakarta. Supramono. dan T. W. Damayanti. 2010. Perpajakan Indonesia – Mekanisme dan Perhitungan. Edisi Satu. Andi. Yogyakarta Waluyo. 2006. Perpajakan Indonesia : Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru jakarta : Salemba Empat. Zain, M. 2008. Manajemen Perpajakan. Edisi Ketiga. Salemba Empat. Jakarta ●●●