Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 31-37
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CORE PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS X SMAN 9 PADANG Fadhilah Al Humaira1), Suherman2), Jazwinarti3) 1)
FMIPA UNP, email:
[email protected] 2,3) Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP Abstract
The research was motivated by the lack of student’s mathematical communication ability class X SMAN 9 Padang. This circumstances have an impact on student’s mathematics learning outcomes. Therefore, the research done by applying the Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) learning model that is expected to be oriented to student activity. This research aims to determine whether mathematical communication ability of students studying by applying CORE learning model better than mathematical communication ability of students who studied with conventional learning in class X SMAN 9 Padang. The design of the research was the randomized control group only design where the population was the students of class X SMAN 9 Padang academic years 2013/2014. The research instrument was the final test in the form of essays, while mathematical communication ability’s rubric used used as a reference valuation. Hypothesis testing using t-test of the parties, the value of t = 2.090 is greater than the table = 1.669. Because of the value of t > t table then H 0 is rejected and concluded that with the significant level of 0.05, mathematical communication ability of students who learned mathematics by applying CORE learning model better than mathematical communication ability of students who learned with conventional learning in class X SMAN 9 Padang. Keywords – mathematical communication ability, CORE learning model, conventional learning PENDAHULUAN Matematika merupakan pelajaran yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai disiplin ilmu. Oleh sebab itu, matematika dipelajari dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Walaupun matematika memiliki peranan penting dalam kehidupan, kenyataannya pelajaran matematika masih merupakan pelajaran yang kurang disukai oleh siswa, salah satu faktor penyebabnya adalah karena bahasa yang digunakan dalam matematika berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Matematika lebih banyak menggunakan simbol-simbol atau notasinotasi yang cukup rumit untuk dipahami sehingga siswa mengalami kesulitan dalam mengomunikasikannya. Melalui komunikasi dapat tercermin ide yang dimiliki siswa. Namun kenyataannya pada pembelajaran seharihari siswa jarang diminta untuk mengomunikasikan ideidenya sehingga siswa sulit memberikan penjelasan yang benar dan jelas terhadap konsep yang dimilikinya. Akibat dari jarangnya para siswa dituntut untuk memberikan penjelasan atas jawabannya, maka siswa agak sulit untuk mengomunikasikan ide-ide matematisnya. Hal ini terjadi di kelas X SMAN 9 Padang. Selain itu, dari observasi yang dilakukan pada tanggal 16-18 September 2013 juga terlihat bahwa guru telah berusaha membantu siswa dalam mengoneksikan materi pelajaran sebelumnya dengan pelajaran yang akan dipelajari. Kemudian siswa juga dibantu mengorganisasikan kembali materi tersebut. Walaupun demikian, hendaknya siswa bisa berperan aktif
dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Guru diharapkan menjadi fasilitator bagi siswa, tidak terkecuali dalam membantu siswa mengoneksikan pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang akan dipelajari. Akan tetapi, kenyataannya guru lebih berperan dominan dibandingkan siswa, termasuk pada saat mengkoneksikan pengetahuan baru siswa dengan materi yang telah dipelajari sebelumnya. Selain itu saat pengorganisasian materi pelajaran, sebaiknya siswa diminta untuk mengungkapkan ide terlebih dahulu dalam rangka melatih kemampuan komunikasi, tetapi hal ini belum tampak selama observasi dilakukan. Di akhir pelajaranpun tidak ada siswa yang bertanya terhadap materi yang baru saja dipelajari sehingga guru tidak bisa mengetahui apakah siswa benar-benar paham apa yang telah diajarkan sehingga terlihat bahwa refleksi di akhir pelajaran kurang berjalan dengan lancar. Berdasarkan observasi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung belum bisa membantu siswa untuk dapat mengemukakan idenya baik secara lisan ataupun tulisan. Sehingga apabila siswa dihadapkan kepada soal-soal yang berbeda dengan apa yang telah diajarkan guru, maka siswa akan mengalami kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis sangatlah penting. Referensi [1] menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan alat bantu dalam transmisi pengetahuan matematika atau sebagai fondasi dalam membangun pengetahuan matematika. Dengan demikian,
31
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 31-37
komunikasi dapat membantu siswa mengembangkan pemahaman. Oleh karena komunikasi matematis dikatakan sebagai fondasi dalam membangun pengetahuan, maka terlihat bahwa kemampuan komunikasi matematis tentu juga akan berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar siswa. Oleh sebab itu, guru perlu mengupayakan agar siswa dapat terbantu dalam melatih kemampuan komunikasi matematisnya selama proses pembelajaran matematika berlangsung. Mengacu pada permasalahan tersebut, maka dilakukan suatu penelitian yang dapat memberi siswa kesempatan mengonstruksi pengetahuannya serta melatih kemampuan komunikasi matematis. Salah satu solusi yang bisa digunakan adalah dengan menerapkan model pembelajaran CORE. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan menyatakan dan menafsirkan ide matematis dari suatu persoalan ke dalam model matematis, seperti: gambar, diagram, tabel, grafik, dan persamaan atau sebaliknya. Referensi [2] menyatakan bahwa agar siswa bisa terlatih kemampuan komunikasi matematisnya, maka dalam pembelajaran siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi lebih bermakna baginya. Menurut [3], indikator yang menunjukkan kemampuan komunikasi matematis adalah: 1). menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram; 2). mengajukan dugaan; 3). manipulasi matematika; 4). menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi; 5). menarik kesimpulan dari pernyataan; 6). memeriksa kesahihan suatu argumen; 7). menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi. Model pembelajaran CORE adalah model pembelajaran alternatif yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri [4]. CORE sebagai model pembelajaran merupakan singkatan dari empat kata yang memiliki kesatuan fungsi dalam proses pembelajaran, yaitu connecting, organizing, reflecting, dan extending. Model CORE ini menggabungkan empat unsur penting konstruktivis, yaitu terhubung ke pengetahuan siswa, mengatur konten (pengetahuan) baru siswa, memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksikannya, dan memberi kesempatan siswa untuk memperluas pengetahuan [5]. Pada tahap connecting, informasi baru yang diterima oleh siswa dihubungkan dengan apa yang diketahui sebelumnya. Referensi [3] menyatakan bahwa pada tahap connecting, guru mengidentifikasi apa yang siswa ketahui tentang pelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan pelajaran yang akan dipelajari. Guru mengaktifkan kembali pengetahuan sebelumnya dengan mengondisikan siswa berbagi dengan orang lain, dan menulis pengetahuan dan pengalaman mereka karena berlaku untuk topik yang akan dipelajari. Selama tahap
organizing, siswa mengambil kembali ide-ide mereka. Siswa secara aktif mengatur atau mengorganisasikan kembali pengetahuan mereka. Pada tahap reflecting, siswa dengan bimbingan guru bersama-sama meluruskan kekeliruan siswa dalam mengorganisasikan pengetahuannya tadi. Sedangkan tahap extending yaitu tahap yang bertujuan untuk berpikir, mencari, menemukan, dan menggunakan konsep yang telah pelajari pada permasalahan-permasalahan dengan materi yang telah dipelajari, seperti permasalahan dalam kehidupan nyata (sehari-hari). Tahap extending meliputi kegiatan dimana siswa menunjukkan bahwa mereka dapat menerapkan belajar untuk masalah yang signifikan dalam pengaturan yang baru. Rumusan masalah pada penelitian adalah apakah kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X SMAN 9 Padang tahun pelajaran 2013/2014 yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran CORE lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Sejalan dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X SMAN 9 Padang tahun pelajaran 2013/2014 yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran CORE lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Hipotesis penelitian adalah kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X SMAN 9 Padang tahun pelajaran 2013/2014 yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran CORE lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Artikel ini diharapkan bermanfaat bagi siswa, yaitu dengan diterapkannya model pembelajaran CORE ini, siswa dapat melatih kemampuan komunikasi matematisnya. Selain itu, model CORE ini dapat menjadi alternatif pilihan model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu, karena jenis penelitian eksperimen sebenarnya tidak dapat dilakukan disebabkan tidak memungkinkan untuk mengontrol semua variabel yang relevan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Control Group Only Design. Pada rancangan penelitian ini sampel dipilih secara acak untuk diambil sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kedua kelas diberikan instrumen berupa tes hasil belajar matematika yang penilaiannya dianalisis dengan berpedoman pada rubrik penskoran komunikasi matematis. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMAN 9 Padang tahun pelajaran 2013/2014. Sampelnya adalah kelas X.3 sebagai kelas eksperimen dan kelas X.1 sebagai kelas kontrol.
32
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 31-37
Terdapat dua variabel dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah pembelajaran dengan model CORE, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X SMAN 9 Padang tahun pelajaran 2013/2014. Data pada penelitian ini juga terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data kemampuan komunikasi matematis siswa yang dilihat dari tes yang diberikan di akhir penelitian pada kedua kelas sampel yang penilaiannya berpedoman pada rubrik penskoran komunikasi matematis. Data sekunder yaitu data nilai ujian Mid Semester I mata pelajaran matematika dan jumlah siswa kelas X SMAN 9 Padang tahun pelajaran 2013/2014. Prosedur penelitian terdiri atas tiga tahap yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan komunikasi matematis. Pada tes kemampuan komunikasi matematis, digunakan soal berbentuk essay yang berjumlah 7 butir soal. Materi yang diujikan dalam tes tersebut adalah materi yang diberikan selama berlangsungnya penelitian yaitu Sistem Persamaan Linear dan Kuadrat. Sebelum tes diberikan kepada kelas sampel, dilakukan uji coba soal tes untuk mengetahui soal layak digunakan atau tidak. Perhitungan indeks kesukaran dan daya pembeda butir soal menunjukkan bahwa semua soal dapat dipakai dan diperoleh reliabilitas tes sebesar 0,54 dengan kriteria sedang. Pengujian hipotesis dilakukan dengan taraf signifikan α = 0,05. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu diuji persyaratan yaitu uji normalitas dan uji homogenitas variansi. Uji normalitas dan homogenitas variansi pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan software minitab. Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji-t, karena diperoleh bahwa data tes kedua kelas sampel berdistribusi normal dan homogen. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan tes yang dilaksanakan di akhir penelitian diperoleh gambaran kemampuan komunikasi matematis siswa seperti pada Tabel I dan dapat dilihat bahwa siswa kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata lebih tinggi daripada kelas kontrol. Simpangan baku kelas kontrol lebih tinggi daripada kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi kelas kontrol lebih beragam daripada kelas eksperimen. TABEL I DATA TES KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS SAMPEL
Kelas Eksperimen Kontrol
N 33 33
Xmaks 100 97,9
Xmin 41,7 33,3
76,84 67,49
S 17,47 18,81
Kemudian dilakukan pengujian hipotesis dari data tersebut. Sebelum menguji hipotesis, dilakukan uji normalitas dan homogenitas variansi terlebih dahulu, dan
diperoleh bahwa data tes kemampuan komunikasi matematis kedua kelas sampel berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, digunakan uji-t untuk menguji hipotesis dengan taraf signifikan α = 0,05 dengan kriteria pengujiannya, terima H0 jika thitung < ttabel dan tolak H0 jika sebaliknya. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan uji-t diperoleh thitung = 2,090 dengan df = 64 dan ttabel = 1,669. Berarti H0 ditolak dan H1 diterima, dengan kata lain kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Berdasarkan uji hipotesis terbukti bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan model pembelajaran CORE lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Dari data tes kemampuan komunikasi matematis juga dapat dihitung skala rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa untuk setiap indikator. Dalam tes tersebut terdapat empat indikator kemampuan komunikasi matematis, yaitu, 1). menyajikan pernyataan matematika secara tertulis atau gambar; 2). manipulasi matematika; 3). memberikan alasan/bukti terhadap solusi; dan 4). memeriksa kesahihan suatu argumen. Berdasarkan hasil tes diperoleh hasil perhitungan pada Tabel II sebagai berikut. TABEL II SKALA RATA-RATA KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS UNTUK SETIAP INDIKATOR
Indikator 1 2 3 4
Rata-rata Kelas Kelas Kontrol Eksperimen 3,27 2,88 3,10 2,76 2,71 2,26 2,91 2,55
Keterangan: 1 : Menyajikan pernyataan matematika secara tertulis atau gambar 2 : Melakukan manipulasi matematika 3 : Memberikan alasan/bukti terhadap solusi 4 : Memeriksa kesahihan suatu argumen Pada Tabel II terlihat bahwa skala rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen untuk setiap indikator siswa lebih baik daripada kelas kontrol. Berikut disajikan grafik dari data pada tabel II. kelas eksperimen
kelas kontrol
4 3 2 1 0
Gambar 1. Grafik Skala Rata-rata Kemampuan Komunikasi Matematis untuk Setiap Indikator
33
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 31-37
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Hal ini dapat juga dilihat dari data pada Tabel III. Berdasarkan Tabel III dapat dilihat bahwa jumlah siswa kelas eksperimen yang memperoleh skala 4 berkisar antara 45,46% sampai dengan 72,73%, untuk skala 3 berkisar antara 6,06% sampai dengan 30,30%, untuk skala 2 berkisar antara 6,06% sampai dengan 18,18%, untuk skala 1 berkisar antara 1,52% sampai 6,06%, dan untuk skala 0 berkisar antara 10,60% sampai dengan 19,69%. Sedangkan jumlah siswa kelas kontrol yang memperoleh skala 4 berkisar antara 33,33% sampai dengan 64,40%, untuk skala 3 berkisar antara 2,27% sampai dengan 25,76%, untuk skala 2 berkisar antara 3,03% sampai dengan 9,09%, untuk skala 1 berkisar antara 0,00% sampai 6,82%, dan untuk skala 0 berkisar antara 18,18% sampai dengan 33,33%. TABEL III PERSENTASE JUMLAH SISWA UNTUK SETIAP SKALA PER INDIKATOR KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS
Persentase Jumlah Siswa Sesuai Skala (%) Ind 1. 2. 3. 4.
Skala 4 E K 72,73 63,64 51,52 45,46
Skala 3 E K
Skala 2 E K
64,40 6,06 2,27 6,82 52,73 10,91 13,94 8,48 33,33 9,09 25,76 18,18 45,46 30,30 21,21 6,06
8,33 9,09 7,58 3,03
Skala 1 E K 3,79 5,45 1,52 6,06
6,82 5,45 0,00 3,03
Skala 0 E K 10,60 11,52 19,69 12,12
18,18 18,79 33,33 27,27
Keterangan: Ind : Indikator 1 : Menyajikan pernyataan matematika secara tertulis atau gambar 2 : Melakukan manipulasi matematika 3 : Memberikan alasan/bukti terhadap solusi 4 : Memeriksa kesahihan suatu argumen E : Kelas Eksperimen K : Kelas Kontrol Jumlah siswa yang memperoleh skala 4 dan skala 3 pada kelas eksperimen lebih banyak daripada kelas kontrol, sementara jumlah siswa yang memperoleh hasil skala 1 dan skala 0 pada kelas kontrol lebih banyak daripada kelas eksperimen. Jadi, dapat disimpulkan bahwa secara umum kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Pada indikator 1, siswa diharapkan dapat menyajikan pernyataan matematika secara tertulis atau gambar. Untuk dapat menyajikan pernyataan matematika secara tertulis, siswa terlebih dahulu harus menyajikan pernyataan matematika dengan membuat model matematika yang benar sesuai dengan situasi soal. Walaupun siswa kedua kelas mampu membuat model dengan benar, jika dilihat dari keefektifan jawaban, siswa kelas eksperimen lebih baik dibandingkan kelas kontrol, seperti contoh jawaban siswa untuk soal nomor 7 seperti pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2. Contoh Jawaban Siswa a untuk Indikator 1 pada Kelas Eksperimen
Gambar 3. Contoh Jawaban Siswa b untuk Indikator 1 pada Kelas Kontrol
Pada setiap pertemuan, siswa kelas eksperimen dilatih untuk dapat memperluas pengetahuannya. Seperti pada pertemuan pertama dan kedua, pada fase extending siswa telah dilatih untuk mengerjakan soal berkaitan permasalahan sehari-hari. Siswa belajar mengkonstruksi pengetahuan sendiri untuk membuat model matematika dari sebuah permasalahan. Sedangkan untuk menyajikan pernyataan matematika dalam bentuk gambar dapat dilihat pada soal nomor 2. Siswa diminta untuk menentukan himpunan penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel dengan metode grafik. Untuk dapat mengerjakan soal dengan benar, siswa harus memiliki kemampuan komunikasi matematis yang baik, khususnya dalam menyajikan pernyataan matematika dalam bentuk gambar. Berikut disajikan jawaban siswa yang paling dominan seperti pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 4. Contoh Jawaban Siswa c untuk Indikator 1 pada Kelas Eksperimen
Gambar 5. Contoh Jawaban Siswa d untuk Indikator 1 pada Kelas Kontrol
34
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 31-37
Pada Gambar 4, siswa tepat dalam menentukan dimana letak titik koordinat yang diperolehnya pada bidang cartesius dan tepat dalam menghubungkan titiktitik tersebut, sehingga siswa juga tepat dalam menemukan himpunan penyelesaian dari soal yang merupakan titik potong dari kedua garis tersebut. Adapun kesalahan paling dominan dilakukan siswa adalah kurang mampu menentukan dimana letak pasangan koordinat pada bidang cartesius secara tepat, seperti contoh jawaban siswa pada Gambar 5. Untuk indikator 2, siswa diharapkan memiliki kemampuan dalam mengerjakan suatu persoalan dengan menggunakan suatu cara agar tercapai tujuan yang dikehendakinya karena manipulasi matematika meliputi pemahaman konsep siswa serta pengetahuan prosedural. Indikator ini dapat dilihat pada soal nomor 4. Soal inilah yang menunjukkan perbedaan kemampuan komunikasi matematis yang paling besar antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, karena pada pembelajaran di kelas eksperimen siswa lebih terlatih untuk melakukan manipulasi matematika, khususnya dalam memanipulasi aljabar seperti memfaktorkan persamaan kuadrat. Hal ini karena pada pertemuan yang membahas materi tentang sistem persamaan linear dan kuadrat, siswa juga diminta membandingkan hasil penyelesaian Sistem Persamaan Linear dan Kuadrat yang diperoleh pada metode substitusi dengan penyelesaian apabila digambarkan dengan grafik, yaitu merupakan soal yang diberikan pada fase extending. Walaupun kemampuan manipulasi siswa kelas eksperimen untuk soal ini juga belum terlalu memuaskan, tetapi kemampuan siswa kelas kontrol tetap lebih rendah daripada kelas eksperimen. Siswa kelas eksperimen lebih banyak yang memperoleh skala 4 dibandingkan kelas kontrol, salah satu sebabnya adalah siswa dapat memfaktorkan persamaan kuadrat dengan baik sehingga bisa memperoleh titik koordinat dengan tepat seperti tampak pada salah satu contoh jawaban siswa seperti Gambar 6.
Gambar 6. Contoh Jawaban Siswa c untuk Indikator 2 pada Kelas Eksperimen
Gambar 7. Contoh Jawaban Siswa d untuk Indikator 2 pada Kelas Kontrol
Sedangkan sebagian besar siswa kelas kontrol tidak mampu memfaktorkan persamaan kuadrat seperti terlihat pada Gambar 7. Untuk indikator 3, siswa akan mampu memberikan alasan atau bukti dari hasil jawabannya apabila siswa mampu menunjukkan lewat suatu penyelidikan. Indikator ini terdapat pada soal nomor 1 dan 7. Pada soal ini, siswa diminta untuk mengemukakan alasan/bukti terhadap jawabannya. Secara umum jawaban dari kedua kelas hampir sama, namun lebih banyak siswa kelas eksperimen memberikan alasan yang tepat atas jawabannya. Selain itu, seperti dapat dilihat sebelumnya pada Tabel II bahwa untuk indikator ini terdapat 33,33% siswa memperoleh skala 0, dengan kata lain sepertiga jumlah siswa kelas kontrol tidak menjawab soal untuk indikator ini. Jadi jika dibandingkan dengan siswa kelas kontrol, siswa kelas eksperimen lebih baik dalam memberi alasan/bukti terhadap solusi. Sebagian besar siswa mampu melakukan perhitungan dengan benar dan alasan yang diberikan juga tepat. Hal ini disebabkan karena siswa kelas eksperimen lebih terlatih untuk mengemukakan alasan. Seperti pada fase extending, siswa memperluas pengetahuan dengan mengerjakan soal mencakup permasalahan yang salah satunya juga mengandung indikator memberikan alasan/bukti ini. Berikut disajikan salah satu contoh jawaban siswa yang paling dominan untuk indikator 3 pada soal nomor 7 seperti berikut.
Gambar 8. Contoh Jawaban Siswa a untuk Indikator 3 pada Kelas Eksperimen
Tampak siswa mampu mengungkapkan alasan atas jawabannya. Terlebih dahulu siswa menyelidiki situasi
35
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 31-37
yang diberikan pada soal. Siswa melakukan perhitungan dengan benar untuk mengetahui harga tiap pasang sandal dan sepatu. Setelah itu, barulah siswa dapat menyelidiki apakah sepasang sepatu dan dua pasang sandal dapat dibeli dengan uang sebesar Rp. 100.000,00 atau tidak. Akan tetapi masih ada siswa yang salah dalam memberi alasan atas jawabannya. Kesalahan yang dilakukan siswa paling dominan adalah kurang teliti dalam membaca soal sehingga menyebabkan salah dalam mengemukakan alasan/bukti, seperti pada Gambar 9.
Pada gambar 10, siswa memanfaatkan materi sistem persamaan linear dua variabel dengan terlebih dahulu menyatakan situasi soal ke dalam model matematika, yaitu dengan memisalkan meja = x dan rak = y. Kemudian mencari penyelesaian dari model tersebut dengan salah satu metode penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel. Setelah melakukan perhitungan dengan benar, maka siswa dapat memeriksa kedua pendapat yang terdapat pada soal dan menjelaskan alasan dari jawabannya. Namun pada indikator ini masih ada beberapa siswa yang belum memperoleh nilai sempurna, Hal ini terjadi karena siswa tidak memberikan penjelasan atas jawabannya. Sebagian besar siswa mampu melakukan perhitungan dengan benar, tetapi masih ada beberapa siswa yang enggan mengemukakan alasan atas jawabannya, seperti contoh jawaban siswa pada Gambar 11.
Gambar 9. Contoh Jawaban Siswa b untuk Indikator 3 pada Kelas Kontrol
Sedangkan untuk indikator 4, siswa dikehendaki untuk mampu menyelidiki kebenaran dari pernyataan yang diberikan pada soal. Siswa diharapkan untuk mampu untuk menyusun bukti dan memberikan penjelasan terhadap jawabannya. Indikator ini terdapat pada soal nomor 6. Pada soal tersebut, siswa diminta memeriksa argumen yang tercantum pada soal tentang ukuran papan kayu yang digunakan untuk membuat meja dan rak. Sebelum memeriksa apakah argumen tersebut benar atau tidak, maka siswa terlebih dahulu harus mencari ukuran papan kayu yang digunakan untuk membuat masing-masing meja dan rak. Siswa kedua kelas sampel rata-rata memiliki prosedur yang sama untuk mengerjakan soal ini. Walaupun persentase jumlah siswa kedua kelas sampel yang memperoleh skala 4 adalah sama (dapat dilihat pada Tabel III), tetapi jumlah siswa kelas kontrol yang tidak menjawab soal untuk indikator ini juga lebih banyak dibandingkan siswa kelas eksperimen. Disajikan contoh jawaban siswa pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Gambar 10. Contoh Jawaban Siswa a untuk Indikator 4 pada Kelas Eksperimen
Gambar 11. Contoh Jawaban Siswa b untuk Indikator 4 pada Kelas Kontrol
Pada gambar 11 terlihat bahwa siswa mampu menyatakan bahwa tidak ada pendapat yang benar dari situasi yang terdapat pada soal. Akan tetapi, siswa hanya menjawab sampai disitu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait jawabannya. Sehingga tidak terlihat keterkaitan antara tujuan siswa menghitung luas meja dan rak dengan soal yang diberikan dengan argumen yang diperiksa siswa. Seharusnya siswa memberi penjelasan atas jawabannya. Secara keseluruhan, pembelajaran dengan model pembelajaran CORE ini dapat membantu siswa melatih kemampuan komunikasi matematis siswa, namun hasilnya belum optimal. Salah satu penyebabnya adalah pembelajaran yang berlangsung hanya dalam waktu yang singkat yaitu sebanyak lima kali pertemuan belumlah cukup untuk melatih kemampuan komunikasi matematis siswa. Oleh karena itu, dalam pembelajaran diharapkan guru dapat tetap memberi kesempatan pada siswa agar lebih banyak melatih kemampuan komunikasi matematisnya. Akan tetapi secara umum dengan diterapkannya model pembelajaran CORE, siswa dapat terbantu dalam melatih komunikasi matematis siswa. Hal ini karena dalam pembelajaran guru berusaha membuat siswa untuk memikirkan ide-idenya terlebih dahulu sebelum
36
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 31-37
menyepakati sebagai keputusan bersama. Pada tahap connecting, guru meminta siswa terlebih dahulu memikirkan dan mengingat pelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari pada hari itu. Pada tahap organizing pun demikian, siswa diminta terlebih dahulu untuk mengemukakan idenya sebelum guru bersama siswa mengorganisasikan ide-ide tersebut menjadi terstruktur dan benar. Pada tahap reflecting, siswa diminta untuk mengungkapkan kembali apa yang dipelajarinya, bagian mana yang belum dipahami, serta kesimpulan dari materi yang telah dibahas. Pada tahap extending, siswa mengerjakan sebuah soal yang diberikan guru tentang suatu permasalahan berkaitan dengan materi yang dipelajari. Kegunaannya adalah untuk memperluas pengetahuan siswa. Dalam hal ini, siswa lebih berkesempatan untuk melatih kemampuan komunikasi matematisnya. Penerapan model pembelajaran CORE pada kelas eksperimen berpengaruh terhadap kemampuan matematis siswa, dimana dapat dilihat secara umum dari rata-rata tes yang diberikan, terlihat bahwa kemampuan komunikasi matematis siwa kelas eksperimen lebih baik dibandingkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas kontrol walaupun perbedaannya tidaklah signifikan. Dalam penelitian ini, kendala yang dirasakan adalah ketika siswa diminta berdiskusi dengan teman sebangkunya, ada beberapa siswa yang tidak melaksanakan dengan baik. Hal ini karena siswa tersebut duduk dengan teman sebangku yang juga sama-sama kurang berminat untuk belajar dan berdiskusi. Sehingga pada pertemuan berikutnya sebelum meminta siswa berdiskusi, peneliti terlebih dahulu menukar beberapa pasangan teman sebangku siswa. Hal ini sedikit merubah kondisi jalannya diskusi menjadi lebih baik, tetapi tetap saja masih ada beberapa siswa yang kurang serius dalam berdiskusi.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X SMAN 9 Padang tahun pelajaran 2013/2014 yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran CORE lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Hal ini juga dapat dilihat dari skala rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa setiap indikator serta nilai rata-rata tes hasil belajar matematika siswa yang belajar matematika dengan model CORE lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Model pembelajaran CORE hendaknya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran matematika karena dapat membantu melatih kemampuan komunikasi matematis siswa. REFERENSI [1]
[2]
[3] [4]
[5]
Izzati, Nur. 2010. Mengembangkan Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Qohar, Abd. 2011. Asosiasi antara Koneksi Matematis dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP. Peran ICT untuk Mendukung Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika. ISSN 978979-17763-3-2. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Sekolah Menengah Atas. Jakarta. Azizah, L. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model CORE Bernuansa Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis. Unnes Journal of Mathematics Education Research (ISSN 2252-6455). Universitas Negeri Semarang. Calfee. 2010. Increasing Teachers’ Metacognition Develops Students’ Higher Learning during Content Area Literacy Instruction: Findings from the Read-Write Cycle Project. California: Chapman University
37