1
PENERAPAN LEAN SIX SIGMA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PRODUKSI DENGAN MEMPERHATIKAN FAKTOR LINGKUNGAN STUDI KASUS : PT LOKA REFRACTORIES WIRA JATIM Aditya Yanuar Dwi Pradita, Hari Supriyanto Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email:
[email protected];
Abstrak— Permasalahan yang terjadi pada PT Loka Refractories Wira Jatim adalah persentase defect yang dihasilkan masih tinggi sehingga berpengaruh terhadap biaya rework yang dikeluarkan dan permasalahan lain terkait dengan lingkungan adalah dihasilkannya limbah hasil aktivitas produksi yaitu limbah emisi dan debu. Penelitian ini menggabungkan metode lean six sigma dengan memperhatikan faktor lingkungan. Lean six sigma digunakan untuk memperbaiki kualitas produksi di perusahaan dengan memperhatikan waste dan non-value adding activity untuk meminimasi sumber daya dalam meningkatkan kualitas produksi, dimana konsep lean akan mampu memunculkan E-DOWNTIME waste di perusahaan. Untuk metode pengukuran kinerja lingkungan dilakukan untuk menampilkan permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan, sehingga alternatif perbaikan yang ditentukan bisa mempertimbangkan dampak lingkungan yang mungkin dimunculkan. Tahapan pengukuran aspek lingkungan dilakukan pada besarnya emisi karbon yang dihasilkan oleh perusahaan dengan menggunakan satuan konversi karbon. Sehingga penggabungan kedua metode ini mampu menunjukkan aktivitas produksi yang paling signifikan menimbulkan dampak lingkungan dan nantinya dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun perbaikan dalam masalah kualitas produksi di perusahaan.
Kata Kunci— Lean Six Sigma; waste; improvement; emisi karbon.
A. PENDAHULUAN
P
T. Loka Refractories merupakan salah satu UKM (Usaha Kecil Menengah) milik daerah Jawa Timur yang mengelola bahan galian non-logam. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 1919 dan saat ini telah memiliki 119 karyawan. PT. Loka Refractories merupakan anak perusahaan dari Wira Jatim Group. Dimana produksi utama perusahaan ini adalah bahan tahan api (panas) yang terdiri dari dua jenis produk yaitu formed refractories dan unformed refractories. Saat ini PT. Loka Refractories tengah fokus dalam melakukanimprovement guna menjaga daya saing perusahaan, karena saat ini banyak bermunculan perusahaanperusahaan sejenis di Indonesia. Dari identifikasi ditemukan adanya permasalahan di dalam sistem produks pada PT Loka Refractories Wira Jatim terutama pada produksi formed refractories. Dimana proses produksi untuk jenis produk formed refractories (BTA) ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Proses Produksi Batu Tahan Api Secara umum proses produksi batu tahan api terdiri dari lima tahapan yaitu persiapan bahan, pembuatan masse, pembentukan, pengeringan dan pembakaran. Dari sistem produksi tersebut perusahaan mampu memproduksi batu tahan api sebanyak 234.472 unit per tahun. Jumlah produksi perusahaan terus meningkat selama tiga periode terakhir. Gambar 2 di bawah ini merupakan grafik output produksi perusahaan selama tahun 2011 hingga 2013. Peningkatan jumlah produksi masih diikuti dengan peningkatan produk defect yang dihasilkan. Tingginya jumlah produk defect akan berpengaruh terhadap besarnya cost (biaya) yang harus ditanggung oleh perusahaan untuk melakukan rework.. Adanya produk defect yang masih relative tinggi mengindikasikan bahwa kualitas produksi perusahaan dinilai masih kurang baik. Metode yang cocok untuk meningkatkan kualitas produksi pada PT Loka Refractories ini adalah lean six sigma. Leansix sigma adalah metode yang dikembangkan untuk meningkatkan kualitas produksi berdasarkan metodologi six sigma dengan memperhatikan prinsip-prinsip lean manufacturing. Melalui penggunaan metode ini, perusahaan dapat mengurangi biaya yang disebabkan oleh permasalahan kualitas. Sedangkan konsep lean bertujuan memaksimalkan customervalue dengan meminimalkan penggunaan sumber daya yang ada. Salah satu atribut penyusun customer value adalah kualitas produk. Sehingga konsep lean sangat sesuai jika diintegrasikan dengan metodologi six sigma. Permasalahan lain yang sedang dihadapi PT Loka Refractories adalah munculnya limbah dari aktivitas produksi. Dari brainstorming yang dilakukan, didapatkan bahwa limbah yang muncul adalah limbah emisi dan debu. Berdasarkan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan, maka diperlukan sebuah metode yang bisa menyelesaikan semua permasalahan tersebut. Penggabungan metode lean dan six sigma yang biasa disebut metode lean six sigma sangat cocok
2 diterapkan untuk melakukan process improvement dalam menanggulangi permasalahan kualitas di perusahaan. Namun metode ini sangat sedikit memperhatikan permasalah lingkungan yang dihadapi sebuah perusahaan. Sehingga pada penelitian ini, akan dilakukan aplikasi quality improvement yang memperhatikan aspek lingkungan dengan menggunakan metode lean six sigma dan pengukuran kinerja lingkungan. Pengukuran kinerja lingkungansendiri diperlukan untuk melakukan analisa terhadap dampak lingkungan yang dihasilkan oleh setiap aktifitas produksi di perusahaan. B. FASE DEFINE 1) Identifikasi Waste Environtmental Healthy and Safety Identifikasi waste dilakukan terhadap 9 jenis waste, yaitu E-DOWNTIME waste. Berikut ini merupakan identifikasi terhadap peluang terjadinya waste pada proses produksi di perusahaan. Limbah Debu Limbah debu merupakan salah satu jenis pencemaran udara, dimana bahan yang mencemari udara adalah partikel debu. Pada PT Loka Refractories debu yang dihasilkan merupakan jenis debu silika. Dimana debu ini dihasilkan oleh penghancuran material clay tuban (fire clay) yang mengandung 50-70% silika oksida. Silika oksida memang bukan bahan berbahaya B3, namun debu silika cukup berbahaya untuk pernafasan manusia. Debu silika dapat menyebabkan timbulnya penyakit silikosis. Penyakit ini merupakan penyakit yang merusak jaringan tubuh karena adanya pengendapan silika di dalam paru-paru. Emisi Karbon Emisi karbon merupakan salah satu jenis emisi gas rumah kaca, dimana emisi yang dihasilkan merupakan gas karbon dioksida (CO2). Emisi jenis ini biasanya dihasilkan oleh industri manufaktur terhadap proses pembakaran pada aktivitas produksinya. Proses pembakaran untuk produksi SK32 di PT Loka Refractories ini utamanya adalah proses pembakaran batu tahan api pada mesin Shuttle Kiln. Dalam satu kali pembakaran batu tahap api pada Shuttle Kiln kapasitas 12 ton, perusahaan menetapkan waktu pembakaran selama 3 hari dengan konsumsi solar sebanyak ± 1900 liter solar. Konsumsi solar ini terbilang cukup besar sehingga berpotensi menghasilkan emisi carbon yang tinggi. Kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan bahan bakar ini bukan hanya diterima oleh lingkungan saja. Perusahaan juga menerima dampak yang besar terhadap besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pembelian solar.
3. Identifikasi Overproduction Berdasarkan pengamatan serta brainstorming dengan pihak perusahaan, di ketahui bahwa kapasitas produksi perusahaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas yang diperlukan untuk memenuhi permintaan pelanggan. Meskipun banyak terjadi idle pada proses produksi, overproduction yang terjadi di PT Loka Refractories cukup tinggi jumlahnya. Hal itu dipengaruhi oleh demand yang tidak stabil, ketika demand berada pada posisi yang cukup rendah maka perusahaan cenderung mengambil kebijakan untuk menambah jumlah produksi bulanan agar tenaga kerja dan fasilitas produksi tetap beroperasi. 4. Identifikasi Waiting Pada penelitian ini besarnya waiting ditemukan karena adanya downtime pada mesin. Downtime terbagi menjadi dua, yaitu unplanned downtime dan planned downtime. Kedua jenis downtime ini pernah terjadi di perusahaan, dimana planned downtime terdiri dari aktivitas preventive maintenance seperti pelumasan mesin-mesin pada proses persiapan bahan, set up stampel dan mould pada mesin press, dan set up inner pada mesin press. Sedangkan unplanned downtime terjadi karena aktivitas-aktivitas yang tidak direncanakan. Pada PT Loka Refractoriesbesarnya unplanned downtime hanya terjadi karena kerusakan (breakdown) pada mesin. 5. Identifikasi Excess Processing Waste jenis ini berkaitan erat dengan adanya aktivitas rework terhadap produk-produk reject. Aktivitas rework diperusahaan dilakukan terhadap batu-batu yang mengalami kerusakan saat proses pembentukan dan pembakaran (produk afkir dan afal). Untuk jenis waste lain yang tidak ditemukan pada perusahaan, antaa lain: 1) waste not utilizing employee knowledge, skills and abilities, 2) transportasi, 3) inventory,dan 4) motion. C. FASE MEASURE 1. Waste Environtmental Healthy and Safety Pengukuran yang dilakukan untuk waste jenis ini terkait dengan perhitungan besarnya emisi karbon yang dihasilkan oleh perusahaan dan kerugian biaya yang ditimbulkan. Gambar 3 akan menunjukkan total emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksi PT Loka Refractories Wira Jatim.
2. Identifikasi Defect Defect yang ditemukan pada produk yang diproduksi PT Loka Refractories Wira Jatim terdiri dari dua jenis yaitu defect afkir dan afal. Defect afkir terjadi pada produk ketika berbentuk setengah jadi lebih tepatnya terjadi pada proses pembentukan, sedangkan defect afal terjadi pada produk ketika sudah berada pada proses terakhir yaitu proses pembakaran. Gambar 3. Grafik Emisi Karbon Yang Dihasilkan Perusahaan Bulan Januari – Mei 2014
3 Total emisi karbon (CO2) yang dilepaskan perusahaan selama lima bulan terakhir adalah sebesar 55048,4 kg-CO2e. Nilai tersebut dijadikan input untuk menghitung besarnya kehilangan biaya yang dialami oleh perusahaan. Berikut ini merupakan hasil perhitungan kehilangan biaya yang dialami perusahaan.
Proses 2 (Pembakaran) Setelah diketahui nilai sigma masing-masing proses maka selanjutnya dilakukan perhitungan kerugian biaya yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total kerugian biaya sebesar Rp 3.116.250,00 dengan asumsi biaya holding cost sebesar 5% dari biaya produksinya.
Financial waste = Rp 133.245,-/ton-CO2e x 55,05 ton-CO2e = Rp 7.334.968
4. Waiting Waiting terjadi pada proses produksi persiapan bahan dan pembentukan. Berdasarkan hasil identifikasi CTQ diketahui mesin yang kritis pada masing-masing proses tersebut. Hasil dari pareto chart pada proses persiapan bahan ditemukan 4 mesin kritis (Koll 6A, Koll 8, HM A dan Mixer A), sedangkan untuk proses pembentukan ditemukan 2 mesin kritis (FP-1 dan FP-2). Tabel 3 akan menunjukkan nilai sigma dari masingmasing proses tersebut.
2. Defect Berdasarkan hasil identifikasi Critical To Quality (CTQ) diperoleh hasil terdapat dua bentuk defect afkir yang kritis, yaitu laminasi dan pecah/cuwil pengepresan. Sedangkan untuk defect afal juga dihasilkan dua bentuk yaitu flek hitam dan pecah/cuwil pembakaran. Tabel 1 akan menunjukkan hasil perhitungan Defect Per Million Opprotunity (DPMO) dan nilai sigma level dari kedua jenis defect.
Tabel 3. DPMO dan sigma level masing-masing proses Keterangan Jumlah output Jumlah waiting Kegagalan per Unit Jumlah CTQ Peluang tingkat kegagalan per karakteristik CTQ DPMO Nilai Sigma
Tabel 1. DPMO dan Sigma Level Masing-Masing Defect Keterangan
Afkir
Afal
Jumlah output produksi
30.042
29.627
Jumlah defect
231
577
Defect per Unit
0,0077
0,0195
Jumlah CTQ
2
2
Peluang tingkat defect per karakteristik CTQ
0,0038
0,0097
DPMO
3845
9738
Nilai Sigma
4,16
3,84
3. Over production Over production untuk produk setengah jadi dan produk jadi terjadi pada proses pembentukan dan pembakaran dengan jumlah yang cukup besar. Tabel 2 akan menunjukkan nilai sigma yang dihasilkan dari masing-masing proses yang menyebabkan terjadinya over production. Tabel 2. Nilai DPMO Dan Sigma Over Poduction MasingMasing Proses
Jumlah output Jumlah overproduction Kegagalan per Unit Jumlah CTQ Peluang tingkat overproduction per karakteristik CTQ DPMO Nilai Sigma
Keterangan : Proses 1 (Pembentukan)
Proses 2
27816 155 0,0056 4
29.000 975 0,0336 2
0,0014
0,0168
1397 4,49
16810 3,63
Keterangan : Proses 1 (Persiapan Bahan) Proses 2 (Pembentukan
Sehingga diperoleh nilai sigma perusahaan terhadap adanya defect waste adalah 4,00 dengan total kerugian biaya sebesar Rp 8.080.000,00.
Keterangan
Proses 1
Proses 1 34.908 4.866 0,1394 1
Proses 2 31.686 2.059 0,0650 1
0,1394
0,0650
139395 2,59
64981 3,02
Dengan nilai sigma yang dimiliki masing-masing proses maka total kerugian biaya yang ditimbulkan dari kedua proses sebesar Rp 8.000.000,00. Dengan rata-rata harga batu tahan api SK-32 per unit sebesar Rp 10.000,00. 5.
Excess Processing Excess processing ini berhubungan dengan aktivitas rework. Aktivitas rework dilakukan pada keseluruhan produk defect baik jenis afkir maupun afal. Tabel 4 akan menunjukkan perhitungan sigma level untuk aktivitas rework. Tabel 4. Perhitungan DPMO dan Sigma Level Excess Processing Keterangan Nilai 13.878, Jumlah output 3 Jumlah excess processing 172,2 Kegagalan per Unit 0,0124 Jumlah CTQ 1 Peluang tingkat kegagalan per 0,0124 karakteristik CTQ DPMO 12408 Nilai Sigma 3,74
4 Dengan nilai sigma yang dimiliki sebesar 3,74 maka total kerugian biaya yang ditimbulkan dari waste ini sebesar Rp 6.978.144,00. D. PEMILIHAN WASTE KRITIS Penentuan tingkat kepentingan dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Kuisioner AHP tersebut diisi dengan cara melakukan group discussion antara peneliti dengan lima orang pihak dari perusahaan, yang terdiri dari seorang manajer produksi, seorang supervisor PPC dan tiga orang staff produksi. Sedangkan untuk proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software expert choice. Tabel 5 akan menampilkan hasil rangking tingkat kepentingan masingmasing waste. Tabel 5. Ranking Waste Berdasarkan AHP Ranking
Waste
1
Defect
Bobot 0,376
2
Waiting
0,247
3
EHS
0,118
4
Excess processing
0,113
5
Overproduction
0,047
6
Inventory
0,045
7
Transportation
0,021
Motion Not utilizing employee talent
0,019
8 9
0,013
Rangking waste hasil informasi dari perusahaan tersebut dibandingkan dengan rangking waste hasil perhitungan penelitian yang dilihat berdasarkan kerugian biaya yang dimunculkan masing-masing waste. Tabel 6. Ranking Waste Berdasarkan AHP Ranking Waste Biaya 1
Defect
Rp 8.080.000
2
Waiting
Rp 8.000.000
3 4
EHS
Rp 7.334.968
Excess processing
Rp 6.978.144
5
Overproduction
Rp 3.116.250
6
Inventory
-
7
Transportation
-
8
Motion Not utilizing employee talent
-
9
-
Berdasarkan Tabel 5 dan 6 didapatkan bahwa tidak ada perbedaan ranking waste hasil pembobotan berdasar informasi perusahaan dan berdasarkan perhitungan penelelitian. Dimana hal tersebut bisa dilihat dari tiga waste yang diberi warna kuning. Kedua hasil menunjukkan tiga waste teratas adalah sama, yaitu dengan urutan defect waste, waiting waste dan EHS waste.
E. ANALISIS Pada tahap analisis ini dilakukan aktivitas pencarian akar penyebab permasalahan, lalu selanjutnya mencari akar penyebab permasalahan yang paling kritis menggunakan metode FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). Metode ini menggunakan tiga parameter pengukuran yaitu severity (besarnya dampak), occurrence (frekuensi terjadinya kegagalan) dan detection (tingkat kesulitan mendeteksi kegagalan). Berdasarkan nilai perkalian ketiga factor tersebut didapatkan root causes yang paling kritis untuk disusun alternative perbaikan. Pada penelitian ini disusun tiga alternative sebagai berikut : 1. Membuat perbaikan dan pengawasan Standar Operational Procedure (SOP) 2. Membuat rencana operasional mesin Rotary Kiln pada produksi BTA 3. Membuat rencana perbaikan waste rework dan excess processing Dari tiga alternative tersebut dipilih menggunakan metode value engineering sebagai berikut : Tabel 7 Value Management Bobot A
B
C
Performansi (P)
0,6
0,3
0,1
1444340,6
0
35
35
34
1
41
39
2
38
3
Cost (C)
Value
34,9
50468148
1,000
35
40,1
51843148
1,116
39
40
38,4
56700747
0,978
37
35
41
36,6
50054837
1,057
1,2
42
40
40
41,3
58075747
1,027
1,3
42
43
37
42,0
51429837
1,180
2,3
39
41
41
39,7
56287436
1,019
1,2,3
45
45
43
44,9
57662436
1,124
Alt.
Berdasarkan tabel value engineering tesebut maka dapat diketahui bahwa alternative terpilih adalah kombinasi alternatif 1 dan 3.
Daftar Pustaka [1] Arifin, M. (2012). Aplikasi Metode Lean Six Sigma Untuk Usulan Improvisasi Lini Produksi Dengan Mempertimbangkan Faktor Lingkungan. Studi Kasus: Departemen GLS (General Lighting Services) PT. Philips Lighting Surabaya. Jurnal Teknik ITS, 1(1), A477-A481. [2] Besterfield, D. H. (1986). Quality Control, 2nd edition, Prentice-Hall Internasional. [3] Dell'Isola, A. J. (1966). Value Engineering in Construction. Civil Engineering.
5
[4] Hines, P., & Taylor, D. (2000). Going lean. Cardiff, UK: [5] [6]
[7] [8]
Lean Enterprise Research Centre Cardiff Business School. Jing, G. (2008). Digging for the Root Cause. ASQ Six Sigma Forum Magazine, 7, 19-24. Pande, S. (2002). The Six Sigma Way, Bagaimana GE, Motorola, Dan Perusahaan Terkenal Lainnya, Mengasah Kinerja Mereka. Six Sigma. Wedgwood, I. (2006). Lean Sigma: A Practitioner's Guide:Prentice Hall New Jersey. Yang, K., & El-Haik, B. (2003). Design for six sigma: McGraw-Hill New York.