PENERAPAN ETIKA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA MAHASISWA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ENDEN DARJATUL ULYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penerapan Etika Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Program Diploma IPB adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Enden Darjatul Ulya NIM I352130171
RINGKASAN ENDEN DARJATUL ULYA. Penerapan Etika Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Program Diploma IPB. Dibimbing oleh AMIRUDDIN SALEH dan WAHYU BUDI PRIATNA. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dilakukan salah satunya melalui pendidikan karakter. Salah satu parameter untuk menilai kualitas sumber daya manusia adalah dengan melihat daya sociological seseorang yaitu kemampuan yang berkaitan dengan interaksi sosial dan komunikasi (Susanto 2010). Kemampuan berinteraksi sosial dan komunikasi menjadi semakin penting untuk ditingkatkan dalam era globalisasi dewasa ini dimana kerjasama global makin marak dilakukan. Penelitian bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan dalam perumusan masalah, yaitu 1) Menganalisis penerapan etika komunikasi interpersonal pada mahasiswa Program Diploma Institut Pertanian Bogor (IPB); 2) Menganalisis hubungan antara penerapan etika komunikasi dengan karakteristik individu pada mahasiswa Program Diploma; 3) Menganalisis hubungan antara penerapan etika komunikasi interpersonal dengan karakteristik keluarga pada mahasiswa program Diploma; 4) Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi dengan penerapan etika komunikasi pada mahasiswa program Diploma IPB. Penelitian didesain sebagai penelitian eksplanasi untuk melihat hubungan atau korelasional. Lokasi penelitian dipilih dengan sengaja (purposive), yaitu kampus Program Diploma IPB. Lokasi dipilih sesuai dengan sampel yang akan diambil. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 dengan 6202 orang populasi dan 197 orang sampel. Sampel ditentukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel acak distratifikasi. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa butir pertanyaan yang telah disusun dalam bentuk kuesioner. Karakteristik individu responden sebagian besar adalah perempuan, dari suku campuran, dan beragama Islam. Sampel berasal dari 14 program keahlian yang ada pada program Diploma IPB, dan duduk di semester tiga. Sampel sebagian besar bertempat tinggal asal dari perkotaan, memiliki uang saku pada tingkat menengah, dan sebagian ikut serta dalam organisasi. Karakteristik keluarga responden adalah berasal dari tipe keluarga utuh dengan tingkat pendidikan orang tua tinggi, sebagian besar pekerjaan ayah adalah wiraswasta dan pekerjaan ibu sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Responden memiliki tingkat pendapatan keluarga yang tinggi. Responden memiliki tingkat penerapan etika komunikasi pada kategori cukup atau sedang. Melalui analisis korelasi menggunakan uji korelasi Khi kuadrat diperoleh hasil bahwa penerapan etika komunikasi berhubungan dengan karateristik responden pada peubah tempat tinggal asal responden. Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: 1) perlunya mengintegrasikan peningkatan kualitas komunikasi dengan intensif antara mahasiswa asal desa dan kota, salah satunya melalui keikutsertaan dalam organisai yang melibatkan mahasiswa dengan asal tempat tinggal yang heterogen; 2) untuk memahami hasil penelitian ini akan lebih menarik jika responden pada penelitian selanjutnya terdiri dari seluruh jenjang pendidikan yang ada I IPB yaitu Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana. Kata kunci: etika komunikasi, karakteristik individu dan keluarga, komunikasi interpersonal
SUMMARY ENDEN DARJATUL ULYA. Application of IPB Diploma Program Students’ Communication Ethics. Supervised by AMIRUDDIN SALEH and WAHYU BUDI PRIATNA. The quality of human resources can be improved through character education. One of the parameters to assess the quality human resources is to measure one’s sociological power which is the ability related to social interaction and communication (Susanto 2010). The ability to interact socially and to communicate become vital to be developed in recent globalisation era where global cooperations are becoming more common. The aims of this study were 1) to analyse the application of interpersonal communication ethics in students of Diploma Program at Bogor Agricultural University (IPB); 2) to analyse the relationship between the application of communication ethics with individual characteristics of Diploma Program students at IPB; 3) to analyse the relationship between the application of interpersonal communication ethics with family characteristics of Diploma Program students at IPB; 4) to analyse the relationship between the application of communication ethics with the level of knowledge and information source. The study was designed as explanatory research to find relationships or correlational. The research site was selected purposively, namely the Diploma Program Campus of IPB. The site was selected based on the sample. Research is conducted on December 2015 with population of 6202 and sample size of 197. Sampling was done through stratified random sampling technique. Sample size was calculated through Slovin formula. The instruments used in the research are questions arranged in the form of a questionnaire. Respondent individual characteristics were mostly female, from mixed ethnicity and Moslem. The sample was from 14 vocational programs in the Diploma Program of IPB and currently studying in the third semester. Most of the sample originated from urban areas, had mid-range allowance and a few were active in organisations. The family characteristics of respondents were from intact family with the parents having high level of education, the majority of fathers worked as entrepreneurs and the majority of mothers were stay-at-home mothers. The respondents had high level of family income. The respondents had low level of communication ethics knowledge and information sources about communication ethics were mostly from family. The application of respondents communication ethics category was medium. Through correlational analysis using Chi-square it is obtained that the application of communication ethics is correlated with the characteristics of respondents in the variable respondents’ residence of origin. Meanwhile, there is no correlation between communication ethics of respondents with the variable family characteristics, and no correlation between respondents’ communication ethics with the level of knowledge and communication ethics information source. Several points to recommend are 1) there is a need to intencively improve the quality of communication between students from rural and urban ares, such as trough participation in organizations which involves students from different backgrounds; 2) to understand the research results it would be beneficial if respondents in future research comprises of all levels of education in IPB namely Diploma, Bachelor and Post graduate. Keywords: communication ethics, individual and family characteristics, interpersonal communication
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENERAPAN ETIKA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA MAHASISWA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ENDEN DARJATUL ULYA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Krishnarini Matindas, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan pada Desember 2015 ini adalah etika komunikasi, dengan judul Penerapan Etika Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Program Diploma Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Amiruddin Saleh, MS dan Bapak Dr Ir Wahyu Budi Priatna, MSi selaku dosen pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016 Enden Darjatul Ulya
DAFTAR ISI
RINGKASAN SUMMARY DAFTAR,6, DAFTAR TABEL
iii v vi viii
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Interpersonal Etika Komunikasi Penerapan Etika Komunikasi Karakteristik Individu Karakteristik Keluarga Pengetahuan dan Sumber Informasi Penelitian terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitan METODE Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Populasi dan Sampel Penelitian Data dan Instrumen Penelitian Definisi Operasional Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pengumpulan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Program Diploma IPB Karakteristik Individu Karakteristik Keluarga Tingkat Pengetahuan Mengenai Etika Komunikasi Sumber Informasi Mengenai Etika Komunikasi Penerapan Etika Komunikasi
1 2 3
3 3 4 4 7 9 12 13 15 15 16 19 20 20 20 20 21 22 25 26 27 27 27 30 34 37 38 39
Tingkat Penerapan Etika Komunikasi pada Responden 56 Hubungan Penerapan Etika Komunikasi dengan Karakteristik Responden 56 Hubungan Penerapan Etika Komunikasi dengan Karakteristik Individu 57 Hubungan Penerapan Etika Komunikasi dengan Karakteristik Keluarga 58 Hubungan Penerapan Etika Komunikasi dengan Tingkat Pengetahuan dan Sumber Informasi Mengenai Etika Komunikasi 59 Perbedaan karakteristik Responden Terhadap Tingkat penerapan etika komunikasi 61 SIMPULAN DAN SARAN 61 Simpulan Saran
61 62
DAFTAR PUSTAKA
62
LAMPIRAN
68
RIWAYAT HIDUP
71
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Jumlah mahasiswa yang diambil sebagai sampel pada populasi Definisi operasional pada peubah karakteristik individu Definisi operasional pada peubah karakteristik keluarga Definisi operasional pada peubah tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi 5 Definisi operasional pada peubah penerapan etika komunikasi 6 Sebaran jumlah responden berdasarkan jenis kelamin 7 Sebaran jumlah responden berdasarkan suku 8 Sebaran jumlah responden berdasarka agama 9 Sebaran jumlah responden berdasarkan jumlah uang saku per bulan 10 Sebaran jumlah responden berdasarkan program keahlian 11 Sebaran jumlah responden berdasarkan masa studi 12 Sebaran jumlah responden berdasarkan tempat tinggal asal 13 Sebaran jumlah responden berdasarkan keikutsertaan dalam organisasi 14 Sebaran jumlah responden berdasarkan tipe keluarga 15 Sebaran jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan ayah 16 Sebaran jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu 17 Sebaran jumlah responden berdasarkan pekerjaan ayah 18 Sebaran jumlah responden berdasarkan pekerjaan ibu 19 Sebaran ju mlah responden berdasarkan tingkat pendapatan Keluarga 20 Sebaran jumlah responden berdasarkan tingkat pengetahuan mengenai etika komunikasi 21 Sebaran jumlah responden berdasarkan sumber informasi mengenai etika komunikasi 22 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “mendengarkan sebelum memberikan respon” 23 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menanggapi” 24 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan” 25 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak berbohong untuk menghindari hukuman” 26 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak berbohong unuutuk memanipulasi gambaran (image) diri 27 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak berbohong untuk mengambil keuntungan” 28 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menerima perbedaan pendapat” 29 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “memperhatikan perasaan orang lain” 30 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menyampaikan informasi yang sudah pasti kebenarannya” 31 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak bicara berlebihan” 32 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi
21 22 23 23 24 30 30 31 31 32 32 33 34 34 34 34 35 35 36 36 38 39 39 40 40 41 41 42 42 43 44
“tidak memotong pembicaraan” 33 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak mengalihkan topik pembicaraan” 34 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tinda mengganti subyek oembicaraan” 35 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menghargai teman sebaya” 36 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menghormati ide orang lain” 37 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menghormati keberadaan orang lain” 38 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak menganggap topic pembicaraan sendiri lebih penting” 39 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak mendominasi pembicaraan” 40 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak menggunakan kata-kata kasar” 41 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak menghina atau mengejek seseorang” 42 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak menggunakan kata-kata jorok” 43 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menunjukkan sikap komunikasi dengan sikap tubuh dan mimik wajah yang sesuai” 44 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menunjukkan sikap komunikasi dengan nada bicara yang sesuai” 45 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menunjukkan sikap komunikasi dengan volume suara yang sesuai” 46 Sebaran respondden berdasarkan tingkat penerapan etika komunikasi 47 Hasil uji korelasi khi kuadrat antara penerapan etika komunikasi dengan karakteristik individu 48 Hasil uji korelasi khi kuadrat antara penerapan etika komunikasi dengan karakteristik keluarga 49 Hasil uji korelasi khi kuadrat antara penerapan etika komunikasi dengan tingkat pengetahuan dan sumber informasi 50 Koefisien uji beda karakteristik responden terhadap tingkat penerapan etika komunikasi
44 45 45 46 46 47 47 48 49 53 54 54 55 56 56 58 59 60 61
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen
67
PENDAHULUAN Latar Belakang Pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu aspek penting dalam program pembangunan berkelanjutan. Pembangunan merupakan sebuah istilah yang merujuk pada usaha-usaha perubahan ke arah positif. Pembangunan juga melibatkan banyak aspek dalam kehidupan di masyarakat. Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu eco development yang tidak hanya berupa perubahan-perubahan ekonomi. Pembangunan juga mencakup dehumanisasi kultural dan perubahan mentalitas masyarakat dalam suatu struktur sosial tertentu (Mardikanto 2010). Berkaitan dengan mentalitas masyarakat, arah pendidikan bangsa Indonesia yang tertuang dalam UU RI no. 20 tahun 2003 BAB II pasal tiga yang menyatakan bahwa “fungsi pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Undangundang tersebut secara jelas menyatakan tujuan pendidikan yang luas, yang tidak menekankan pada wawasan akan pengetahuan dan teknologi semata. Melainkan sikap-sikap baik yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral atau dipegang teguhnya nilai dan norma-norma (etika). Menurut Megawangi (2009), sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Banyak pakar, filsuf, dan orang-orang bijak yang mengatakan bahwa faktor moral (akhlak) adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman, dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh para orang tua dan pendidik adalah melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral yang membentuk karakter (akhlak mulia) yang merupakan fondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka peningkatan kualitas sumberdaya manusia dilakukan salah satunya melalui pendidikan karakter. Salah satu parameter untuk menilai kualitas sumberdaya manusia adalah dengan melihat daya sociological seseorang yaitu kemampuan yang berkaitan dengan interaksi sosial dan komunikasi (Susanto 2010). Kemampuan berinteraksi sosial dan komunikasi menjadi kian penting untuk ditingkatkan dalam era globalisasi dewasa ini dimana kerjasama global makin marak dilakukan. Komunikasi merupakan keterampilan yang terus berkembang sepanjang rentang kehidupan manusia. Praktek komunikasi yang lekat dengan keseharian kita adalah komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal merupakan sebuah proses belajar. Manusia mengembangkan keterampilan komunikasinya sejak kecil, dari lingkungan terdekatnya terutama keluarga, hingga mereka dapat berkomunikasi dalam interaksi yang lebih luas dengan teman di sekolah, sahabat, rekan bekerja, dan sebagainya. Komunikasi interpersonal dalam prakteknya
2 mengandung aturan seperti dikemukakan oleh West dan Turner (2006) dalam prinsip komunikasi interpersonal. Aturan-aturan ini merupakan norma atau nilainilai yang memandu tindakan komunikasi untuk menunjukkan mana yang boleh dilakukan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang salah. Aturan-aturan ini sangat penting karena pada gilirannya, setiap kegiatan komunikasi yang kita lakukan, selalu memiliki dampak bagi orang lain. Jika komunikasi merupakan hasil belajar, demikian juga dengan aturanaturan tadi, tumbuh dan berkembang bersama dalam keterampilan komunikasi yang kita praktekkan. Nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri seseorang sebagai hasil belajar akan tampak dalam perilakunya berkomunikasi. Nilai-nilai atau norma-norma inilah yang kita kenal sebagai etika. Etika selalu bagaimana seharusnya, bukan apa adanya. Nilai etika berkembang karena pengaruh dari keyakinan agama, normanorma budaya, tradisi keluarga, maupun hukum setempat, namun demikian ada standar etis universal yang dapat diterima oleh masyarakat secara umum. Etika komunikasi membantu dalam pengembangan komunikasi insani yang sehat, bahkan keterampilan komunikasi yang beretika merupakan salah satu dari kompetensi komunikasi. Mempelajari bagaimana penerapan etika komunikasi pada mahasiswa dapat berguna untuk mengukur sejauh mana kesiapan mereka untuk terjun di masyarakat dan dunia kerja. Mahasiswa sebagai salah satu sumberdaya manusia yang unggul diharapkan mampu mempraktekkan komunikasi yang beretika sehingga senantiasa mampu menempatkan dirinya dengan baik di dunia kerja dan di masyarakat dalam mengaplikasikan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya di Perguruan Tinggi. Hal ini dikarenakan kesuksesan di dunia kerja maupun di masyarakat sangat menentukan bagaimana seseorang mampu menempatkan dirinya dengan baik. Pernyataan ini didukung oleh Ramlee (2002) yang menyatakan bahwa institusi pendidikan vokasi penting untuk menselaraskan kompetensi para lulusannya dengan kebutuhan pengguna (industri) melalui kemahiran “employability” yang salah satunya mencakup komunikasi, kemampuan interpersonal, dan etika. Keluarga sebagai tempat belajar pertama seseorang memiliki peran penting dalam menghantarkan generasi muda mencapai karakter yang baik. Bagaimana perilaku komunikasi beretika seseorang salah satunya ditentukan dengan “pelajaran” etika dari rumah, dari orang-orang terdekat di lingkungannya. Pada gilirannya, etika komunikasi berperan sebagai salah satu faktor penting bagi komunikasi pembangunan. Hal ini dikarenakan keterampilan etika komunikasi mahasiswa dapat diimplementasikan dalam komunikasi untuk perubahan dalam bentuk-bentuk yang beragam seperti negosiasi, komunikasi bisnis, dan sebagainya. Perumusan Masalah Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka penelitian ini dikembangkan untuk menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan etika komunikasi khususnya dalam konteks komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Penelitian ini berusaha melihat hubungan etika komunikasi
3 interpersonal dengan peubah yang berkenaan dengan karakteristik responden yang terbentuk dari karakteristik individu dan karakteristik keluarga. Selain itu, pentingnya sumber informasi dalam penerapan etika komunikasi juga menjadi hal lain yang dibahas dalam penelitian ini untuk melihat hubungannya dengan penerapan etika komunikasi. Secara spesifik, maka penelitian ini memiliki beberapa rumusan masalah, yang terdiri dari: 1) Bagaimana penerapan etika komunikasi interpersonal pada mahasiswa Program Diploma Institut Pertanian Bogor? 2) Bagaimana hubungan karakteristik individu mahasiswa Program Diploma Institut Pertanian Bogor dengan penerapan etika komunikasi interpersonal? 3) Bagaimana hubungan karakteristik keluarga pada mahasiswa Program diploma Institut Pertanian Bogor dengan penerapan etika komunikasi interpersonal? 4) Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi pada mahasiswa program Diploma Institut Pertanian Bogor dengan penerapan etika komunikasi interpersonal? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan dalam perumusan masalah di atas, yaitu 1) Menganalisis penerapan etika komunikasi interpersonal pada mahasiswa Program Diploma Institut Pertanian Bogor 2) Menganalisis hubungan karakteristik individu pada mahasiswa Program Diploma Institut Pertanian Bogor dengan penerapan etika komunikasi 3) Menganalisis hubungan karakteristik keluarga pada mahasiswa program Diploma Institut Pertanian Bogor dengan penerapan etika komunikasi interpersonal 4) Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi pada mahasiswa program Diploma Institut Pertanian Bogor dengan penerapan etika komunikasi interpersonal Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan atas keprihatinan terhadap menurunnya etika dalam praktek komunikasi interpersonal, terutama pada generasi muda. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dari sisi teori maupun praktis, yaitu: 1) Sebagai gambaran dan evaluasi bagi kondisi sebenarnya (realitas) terkait dengan penerapan etika komunikasi saat ini 2) Sebagai referensi bagi pentingnya penguatan fungsi institusi pendidikan dan keluarga dalam mengajarkan nilai-nilai etika terutama dalam berkomunikasi. 3) Sebagai dasar bagi pengembangan penelitian selanjutnya pada topik etika komunikasi Ruang Lingkup Penelitian Etika komunikasi dapat diterapkan pada keseluruhan konteks komunikasi agar tercapai komunikasi yang efektif. Penelitian ini akan melihat bagaimana penerapan etika komunikasi pada konteks komunikasi interpersonal. Identifikasi
4 kriteria etika komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui penelusuran pustaka dan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan. Penelitian ini berusaha menjelaskan penerapan etika komunikasi interpersonal pada responden, serta menjelaskan hubungan antara penerapan etika komunikasi interpersonal dengan beberapa faktor yang diduga terkait yang merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penilaian mengenai penerapan etika komunikasi dilakukan pada sudut pandang responden. Penelitian ini menganalisis penerapan praktek etika komunikasi interpersonal pada mahasiswa dan melihat hubungannya dengan karakteristik responden, yang mencakup karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden serta sumber informasi mengenai etika komunikasi. Penelitian ini dibatasi pada pengertian etika komunikasi yang bersifat universal, tidak pada pengertian etika komunikasi pada konteks budaya atau etika komunikasi yang berlaku pada komunitas atau suku bangsa tertentu. TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Interpesonal Tubbs dan Moss (2005) menyebut komunikasi interpersonal dengan istilah komunikasi dua orang. Menurutnya, komunikasi dua orang atau komunikasi diadik adalah satuan dasar komunikasi. Peristiwa komunikasi dua orang mencakup hampir semua komunikasi informal dan basa-basi, percakapan seharihari yang kita lakukan sejak saat kita bangun pagi sampai kembali ke tempat tidur. Komunikasi diadik juga merupakan komunikasi yang mencakup hubungan antar manusia yang paling erat, misalnya komunikasi dua orang yang saling menyayangi. Istilah lain dari komunikasi interpersonal adalah komunikasi antarpribadi. DeVito (2011) mendefinisikan komunikasi antar pribadi melalui tiga pendekatan, yaitu, 1) Definisi berdasarkan komponen (Componential). Definisi berdasarkan komponen menjelaskan komunikasi antarpribadi dengan mengamati komponenkomponen utamanya-dalam hal ini penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera; 2) Definisi berdasarkan hubungan diadik (Relational). Definisi ini menjelaskan komunikasi antarpribadi sebagai komunikasi yang berlangsung diantara dua orang yang memiliki hubungan yang mantap dan jelas. Definisi ini menjelaskan hampir tidak ada hubungan diadik yang bukan komunikasi antarpribadi. Hampir tidak terhindarkan, selalu ada hubungan tertentu antar dua orang; 3) Definisi berdasarkan pengembangan. Pendekatan pengembangan (developmental) menjelaskan komunikasi antar pribadi dilihat sebagai akhir dari perkembangan dari komunikasi yang bersifat tak-pribadi (impersonal) pada satu ekstrem menjadi komunikasi pribadi atau intim pada ekstrem yang lain. Perkembangan ini mengisyaratkan atau mendefinisikan pengembangan komunikasi antarpribadi. Selain melalui definisi, komunikasi interpersonal juga dapat dikenali melalui ciri-cirinya, seperti yang dikemukakan oleh Wood (2013), yaitu:
5 1) Selektif Kita tidak mungkin berkomunikasi secara akrab dengan semua orang yang kita kenal baik. Kita berusaha hanya membuka diri seutuhnya hanya dengan beberapa orang yang kita kenal dengan baik. 2) Sistemis Komunikasi interpersonal dicirikan dengan sifat sistemis karena ia terjadi dalam sistem yang bervariasi. Komunikasi terjadi dalam konteks yang memengaruhi peristiwa dan makna yang melekat terhadapnya. Komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh sistem, situasi, masyarakat, budaya, latar belakang personal, dan sebagainya. 3) Unik Pada tingkatan yang paling dalam, komunikasi interpersonal sangat unik. Pada interaksi yang melampaui peran sosial, setiap orang menjadi unik dan oleh karena itu menjadi tak tergantikan. Kita dapat mengganti seseorang dalam hubungan, tetapi tidak dapat mengganti keakraban. 4) Processual Komunikasi interpersonal adalah proses yang berkelanjutan. Hal ini berarti komunikasi senantiasa berkembang dan menjadi lebih personal dari masa ke masa. Hubungan persahabatan dan hubungan romantis dapat tumbuh lebih dalam atau lebih renggang dari waktu ke waktu. Pola komunikasi interpersonal yang berkelanjutan membuat kita tidak dapat menghentikan prosesnya atau menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan, sehingga dalam konteks situasi ini, komunikasi adalah sesuatu yang tidak dapat ditarik kembali. 5) Transaksional Pada dasarnya, komunikasi interpersonal adalah proses transaksi antara beberapa orang, dimana dalam hubungan sehari-hari, semua pihak berkomunikasi secara terus menerus dalam waktu yang bersamaan. 6) Individual Bagian terdalam dari komunikasi interpersonal melibatkan manusia sebagai individu ysng unik dan berbeda dengan orang lain. Ketika berbicara dalam konteks ini, kita tidak membahas peran sosial (guru-murid, atasan-bawahan, atau pelayan-pelanggan). 7) Pengetahuan personal Komunikasi interpersonal membantu perkembangan pengetahuan personal dan wawasan kita terhadap interaksi manusia. Pemahaman personal yang dibangun sepanjang waktu, mampu mendorong kita untuk memahami dan bersedia dipahami. 8) Menciptakan makna Inti dari komunikasi interpersonal adalah berbagi makna dan informasi antara dua belah pihak. Kita tidak hanya bertukar kalimat, tetapi juga saling berkomunikasi, kita menciptakan makna seperti kita memahami tujuan setiap kata dan perilaku yang ditampilkan orang lain. Hidayat (2012) menambahkan karakteristik komunikasi interpersonal dengan menambahkan penggunaan media. Menurutnya, beberapa karakteristik komunikasi antarpribadi adalah bersifat dialogis, melibatkan jumlah orang terbatas, terjadi secara spontan, dan menggunakan media dan nirmedia. Memahami bahwa komunikasi antarpribadi dengan menggunakan media, memang
6 masih diperdebatkan. Komunikasi itu sangat dinamis sehingga komunikasi antarpribadi juga berkembang, semula tidak menggunakan media (nirmedia) dan pada perkembangannya juga bisa menggunakan media. Media yang sering dipergunakan seperti telepon, internet, teleconference, dan sebagainya. West dan Turner (2006) mengemukakan prinsip-prinsip komunikasi interpersonal yang terdiri dari: 1) komunikasi interpersonal tidak dapat dihindari. Ini berarti bahwa sekeras apapun kita mencoba, kita tidak bisa mencegah seseorang memaknai perilaku kita. Tidak peduli “sedatar” apapun wajah yang kita tunjukkan, kita tetap mengirim pesan kepada orang lain, bahkan diamnya kita dan penghindaran kita terhadap kontak mata juga adalah komunikasi; 2) komunikasi interpersonal bersifat irreversible. Prinsip irreversible berarti bahwa apa yang kita katakan kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali. Sebuah permohonan maaf mungkin bisa membantu, akan tetapi permohonan maaf tidak dapat menghapus pesan yang sudah disampaikan; 3) komunikasi interpersonal melibatkan pertukaran simbol. Salah satu alasan penting terjadinya komunikasi interpersonal adalah karena simbol yang disepakati oleh partisipan dalam prosesnya. Simbol adalah label arbitra atau representasi untuk perasaan, konsep, obyek atau kejadian. Kata-kata merupakan simbol; 4) Komunikasi interpersonal mengandung aturan. Aturan merupakan unsur penting dalam hubungan. Aturan membantu memandu dan menyusun komunikasi interpersonal. Aturan pada dasarnya mengatakan bahwa individu dalam sebuah hubungan setuju bahwa terdapat cara-cara yang tepat untuk berinteraksi dalam hubungan; 5) komunikasi interpersonal dipelajari. Orang-orang dengan jelas percaya bahwa komunikasi interpersonal adalah sebuah proses belajar. Sejak lahir kita diajarkan bagaimana berkomunikasi interpersonal, sebagian besar oleh keluarga kita. Ketika kita tumbuh besar, kita menghaluskan keterampilan kita selama kita berinteraksi dengan kelompok orang yang lebih luas, seperti guru, teman bekerja, dan pasangan; 6) komunikasi interpersonal memiliki informasi isi dan hubungan. Setiap pesan yang dikomunikasikan kepada orang lain berisi informasi pada dua tingkat. Isi termasuk komponen verbal dan non verbal. Sebuah pesan juga berisi informasi hubungan, yaitu bagaimana anda ingin penerima menginterpretasikan pesan anda. Dimensi hubungan dari sebuah pesan memberi gambaran bagaimana perasaan pembicara dan pendengar satu sama lain. Perilaku komunikasi seseorang selalu didasari oleh motif tertentu, begitupun dalam komunikasi interpersonal. Menurut Step dan Finucane (2002), motif adalah aspek individual yang berbeda, yang dibawa orang ke dalam komunikasi. terdapat empat motif yang mendasari perilaku komunikasi interpersonal seseorang, yaitu motif kesenangan atau enjoyment (30%), motif inklusi (11%), motif pelarian atau escape (8,5%), motif kasih sayang (7,2%), dan motif pengendalian atau control (5,6%). Komunikasi interpersonal memiliki banyak peranan penting, hal ini karena jenis komunikasi ini dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia berhubung prosesnya yang dialogis (Hidayat 2012). Keunggulan yang dimiliki komunikasi interpersonal membuat komunikasi interpersonal menjadi cara interaksi yang dominan meskipun penggunaan internet saat ini tidak dapat terpisahkan (Baym et al. 2004). Komunikasi interpersonal memainkan peranan penting, termasuk diantaranya dalam keberhasilan organisasi bisnis. Putri dan Prambandari (2014) dan Aretha (2013) menyebutkan bahwa ada hubungan antara komunikasi
7 interpersonal dengan kepuasan konsumen, dimana cara berkomunikasi pegawai kepada konsumen akan mempengaruhi perilaku konsumen dan membentuk loyalitas pelanggan. Itu artinya, semakin tinggi kualitas komunikasi interpersonal pegawai, maka kepuasan pelanggan semakin tinggi. Hal ini terjadi karena melalui komunikasi yang efektif, pesan dan informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik pula oleh konsumen. Etika Komunikasi Etika
Etika bukanlah sebuah istilah yang baru. Etika seringkali dibahas sebagai subyek pembicaraan, diskusi, bahkan menjadi subyek penelitian, akan tetapi etika merupakan sebuah konsep yang sulit dan kontroversial (Yildiz et al. 2013). Hal ini terjadi karena seringkali istilah etika diperdebatkan dengan moral, dan dipertanyakan apakah etika merupakan sebuah kajian filosofis ataukah ilmiah. Etika sendiri merupakan hukum (aturan) pertama yang diciptakan Tuhan di muka bumi, sebelum manusia mengenal aturan-aturan tertulis, bahkan sebelum mengenal pendidikan di bangku sekolah karena etika selalu mengatakan bagaimana seharusnya, bukan apa adanya. Bertens (1993) menyatakan bahwa etika yang berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos,” diartikan sebagai nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Menurut Johannesen (1996), beberapa filsof membedakan antara etika dan moral sebagai konsep. Etika dinyatakan sebagai kajian umum dan sistematik tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip benar dan salah dari perilaku manusia. Sementara moral (atau moralitas) adalah standar benar dan salah yang praktis, spesifik, disepakati bersama, dan dialihkan secara kultural meskipun beberapa filsof lain menggunakan tema-tema etika dan moral dalam pengertian yang bisa saling dipertukarkan. Menurut Hoyer dan Roodin (2009) moralitas adalah mengenai perilaku, pemikiran, dan emosi dalam situasi yang merefleksikan nilai personal. Faktor personal individu, emosional, dan pengaruh budaya turut menentukan pandangan moral. Budaya dan adat kebiasaan membentuk komunitas moral dan konteks yang berbeda bagi pengembangan pandangan moral. Rismawaty (2008) mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan pengertian tentang etika. Awalnya, etika diartikan sebagai pengertian yang asli, yaitu yang dikatakan baik adalah apabila sesuai dengan masyarakat sesuai dengan asal katanya yaitu “ethicus” (bahasa Latin) dan “ethicos” (bahasa Yunani) yang berarti kebiasaan. Pengertian ini selanjutnya berubah, sehingga pengertian etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia. Mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik. Etika disebut juga ilmu normatif, yang dengan sendirinya berisi ketentuanketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Etika diaplikasikan pada banyak aspek dalam kehidupan, dan banyak bidang dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bidang pendidikan dan bisnis. Menurut Bergmark (2007), bagi seorang pengajar, mengajarkan sebuah pelajaran tidak bisa terlepas dari mengajarkan etika karena pengajaran etika tidak bisa lepas dari agenda pendidikan. Sebagai seorang professional, seorang pendidik berada pada posisi untuk melatih etika dan penilaian professional melalui karier dan
8 berbagai tanggung jawabnya. Etika profesionalisme di lembaga akademik diterapkan bagi pendidik, pemimpin sekolah, dewan sekolah, dan pembuat kebijakan (Gluchmanova, 2015). Yildiz et al. (2013) menyebutkan pihak yang lebih luas yang meliputi pendidik, peneliti, pegawai administrasi, konsultan, pekerja profesional, dan profesor. Penelitian etika dalam bidang akademik lainnya dilakukan oleh Jankalova et al. (2014) yang menyatakan bahwa lingkungan saat ini menuntut pada peningkatan terhadap kualitas dari pendidikan Perguruan Tinggi. Hal ini menyebabkan peningkatan pegawai di Perguran Tinggi semakin besar termasuk dalam peningkatannya pada aspek etika. Penelitian mengenai etika dalam dunia bisnis dan pelayanan publik juga telah banyak dilakukan. Haq (2011) menjelaskan pentingnya etika pada situasi kemerosotan etika di sistem administrasi publik melalui salah satu pendekatan, yaitu peningkatan leadership (kepemimpinan) yang telah terbukti secara efektif meningkatkan etika. Selain itu, mempelajari dan menguasai berbagai aspek teknis, konseptual dan keterampilan interpersonal dan keterampilan lainnya seperti emosional dan kecerdasan sosial memungkinkan pelayanan publik untuk menyebarkan dan menetapkan inti nilai etika pada organisasi. Kacetl (2014) mengungkapkan bisnis di era globalisasi menuntut pemahaman terhadap isu etika, dimana etika bisnis mengajarkan untuk memahami prinsip pengambilan keputusan yang etis yang tidak hanya mementingkan profit, akan tetapi berusaha bagi keseimbangan antara keuntungan dan tanggung jawab. Hubungan Antara Komunikasi dan Etika Selain diterapkan pada berbagai bidang organisasi di masyarakat, etika juga memiliki kaitan erat dengan komunikasi. Penerapan etika dalam berkomunikasi diharapkan mampu memberikan sejumlah manfaat seperti manfaat yang diperoleh organisasi melalui penerapan etika. Menurut Giles (2003) komunikasi melibatkan pilihan, mencerminkan nilainilai, dan memiliki konsekuensi yang merupakan elemen kunci dari komunikasi. Para ahli telah mengidentifikasi berbagai pendekatan untuk studi etika komunikasi. Beberapa pendekatan berfokus pada niat, pada cara, dan pada konsekuensi. Beberapa pendekatan untuk etika komunikasi terutama pada tugas, kewajiban, hak, dan tanggung jawab. Johannesen (1996) mengungkapkan pandangan tiga pakar komunikasi mengenai etika komunikasi, yaitu Dean Barnlund, Gerald R. Miller, dan W. Ross Winterowd. Menurut Barnlund, bahwa setiap teori/ filsafat komunikasi insani yang memuaskan harus memasukkan standar-moral tertentu “yang akan melindungi dan mengembangkan komunikasi insani yang sehat” yang meliputi tanggung jawab etis seorang komunikator terhadap khalayaknya, menentukan batas-batas moral, etika tujuan dan cara. “Tanggung jawab etis bagaimanapun, bukanlah masalah niat baik semata; tanggung jawab etis didasarkan pada penanganan pokok persoalan secara jujur dan penuh pengetahuan”. Apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan berpengaruh terhadap orang lain, dengan demikian orang yang bertanggung jawab selalu berhati-hati dengan etika dalam komunikasi (Wood 2013). Melalui penelitiannya, Martin dan Hammer (1989) menyebutkan bahwa etika termasuk ke dalam salah satu kompetensi komunikasi, dimana responden
9 yang diminta untuk menunjukkan perilaku kompetensi komunikasi dengan beberapa orang yang berbeda budaya menunjukkan sikap sopan, selain sikap bersahabat dan menunjukkan ketertarikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) mendefinisikan sopan sebagai sebuah tindakan hormat, beradab, baik kelakuan. Etika merupakan landasan dari komunikasi interpersonal (West & Turner 2006). Itu sebabnya etika komunikasi juga dapat ditinjau dari perspektif religius. Kitab suci seperti Al-Quran, Injil, dan Taurat dapat dipakai sebagai standar etika berkomunikasi. Kitab suci menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam berkomunikasi (Corry 2012). Penerapan Etika Komunikasi Definisi penerapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), yaitu 1) proses, cara, perbuatan menerapkan; 2) pemanfaatan, perihal mempraktekkan. Penerapan etika komunikasi berarti perbuatan, pemanfaatan atau praktek etika komunikasi, dengan kata lain dapat dikatakan juga sebagai keterampilan etika berkomunikasi. Berdasarkan sejumlah pendapat para pakar dan hasil penelitian empiris terkait dengan etika komunikasi, maka dapat dirumuskan kriteria etika komunikasi dalam suasana komunikasi antarpesona (interpersonal) yang sekaligus akan menjadi pedoman dalam penelitian ini. Kriteria etika komunikasi tersebut meliputi tanggung jawab, jujur dan terus terang, toleransi dan kepekaan (empati), menyampaikan informasi dengan tepat, tidak menghalangi proses komunikasi, menghormati dan menghargai orang lain, tidak memonopoli pembicaraan, tidak mengandung kekerasan, konsisten dalam petunjuk verbal dan non verbal. Kriteria etika komunikasi berikut ini selaras dengan beberapa sifat pendidikan karakter yang dikemukakan oleh Lucas (2009), yaitu rasa hormat, bertanggung jawab dapat dipercaya, peduli, kejujuran, dan kewarganegaraan. Tanggung Jawab Konsep etika komunikasi dirumuskan menjadi komunikasi yang bertanggung jawab yang ditunjukkan dengan kemampuan menanggapi (bersifat tanggap) setiap kebutuhan dan berkomunikasi dengan cara yang peka, cermat, dan tepat (Johanesen 1996). Sikap tanggung jawab yang lain dapat dilihat dari penggunaan kata yang menunjukkan perasaan. Komunikator yang efektif bertanggung jawab pada diri mereka sendiri dengan menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan. Proses mengatakan pada orang lain bahwa mereka membuat kita merasakan sesuatu berarti menyangkal tanggung jawab pada perasaan kita dan mendorong sikap defensif. Tanggung jawab ini ditunjukkan dengan menggunakan bahasa I (saya) daripada bahasa You (anda). Misalnya, katakan “Saat anda menonton pekerjaan ini, saya merasa gugup” daripada “anda membuat saya bekerja dengan gugup” atau gunakan “Saya merasa terluka saat anda mengabaikan perkataan saya” daripada “Anda menyakiti saya” (Wood 2013). Maxim (2014) menyebutkan bentuk tanggung jawab dalam komunikasi termasuk terhadap perasaan orang lain. Jujur dan Terus terang Menurut Morissan (2010), kebohongan adalah manipulasi disengaja terhadap informasi, perilaku, dan gambaran diri (image) dengan maksud untuk
10 mengarahkan orang lain pada kepercayaan atau kesimpulan yang salah. Human communication yang etis adalah tidak memiliki niat terselubung atau tidak menyembunyikan tujuannya, dengan kata lain tidak boleh ada manipulasi dalam berkomunikasi (Sutiu 2014). Tubbs dan Moss (2005) menyatakan bahwa berbohong merupakan pelanggaran paling nyata terhadap etika, sedangkan DeVito (2011) menganggap kebohongan atau penyembunyian kebenaran lain sebagai tindakan tidak etis karena mencegah orang lain mengetahui kemungkinankemungkinan pilihan dan kemungkinan-kemungkinan alasan untuk memilih. Wijaya (2013) menyebutkan bahwa perbuatan dalam proses komunikasi yang mengurangi hak khalayak dalam menerima pesan secara utuh dan benar sesuai fakta merupakan suatu tindakan korupsi komunikasi. Komunikasi yang koruptif senantiasa menggunakan kesempatan yang ada dengan memanfaatkan kekuasaan/ kekuatan/ kewenangan yang dimiliki komunikator, dan berlangsung dalam komunikasi yang bersifat persuasif dan pencitraan. Kebohongan atau kecurangan baik yang disengaja atau tidak disengaja bisa menyebabkan orang lain menderita perasaan yang menyakitkan sehingga akan melukai dan merusak hubungan (Johannesen 1996). Kejujuran juga merupakan salah satu prinsip etika komunikasi yang disebutkan oleh West dan Turner (2006). Menurutnya, menjalankan prinsip kejujuran adalah lebih penting daripada mengkhawatirkan konsekuensi jangka pendek dari kejujuran. Toleransi, Kepekaan (empati), dan Kepedulian Toleransi adalah kemampuan untuk mengharmoniskan pemikiran, tindakan, beragam pendapat, sikap dan pandangan hidup yang cenderung berbeda (Maxim 2014). DeVito (2011) mendefinisikan berempati yaitu merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, sikap mereka, serta harapan mereka untuk masa mendatang. Pengertian ini akan membuat seseorang lebih mampu menyesuaikan komunikasinya. Menurut West dan Turner (2006), mengembangkan etika kepedulian berarti memberikan perhatian kepada hubungan atau relasi. Bergmark (2007), dalam penelitiannya tentang etika akademisi, menyatakan bahwa etika merupakan dasar dalam kegiatan di sekolah: bertindak sesuai etika berarti para pengajar peduli terhadap kebutuhan siswa dan mereka berusaha untuk menyesuaikan dengan perbedaan keinginan, kemampuan, dan kebutuhan siswa. Berdasasrkan pendapat Bergmark (2007) ini, maka dapat disimpulkan bahwa peduli dalam konteks etika komunikasi adalah perilaku komunikasi dengan menyesuaikan terhadap keinginan, kemampuan, dan kebutuhan lawan komunikasi. Rismawaty (2008) memberikan contoh kepekaan dalam konteks organisasi. Individu dalam suatu organisasi harus memiliki kemampuan dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnyaa. Kepekaan tersebut meliputi kepekaan terhadap lingkungan di sekelilingnya, kebijakan, individu/ teman sejawat, dan sebagainya. Toleransi dalam etika diperlukan karena dengan adanya toleransi diharapkan akan timbul adanya saling pengertian, pemahaman, dan saling menghargai antara individu yang satu dengan yang lain.
11 Menyampaikan Informasi dengan Tepat West dan Turner (2006) menyebutkan istilah golden mean sebagai salah satu prinsip etika komunikasi dimana informasi yang disampaikan dalam komunikasi adalah informasi yang layak dengan jumlah yang cukup atau dengan kata lain memberikan perspektif yang masuk akal dan seimbang. Hal ini karena sifat transaksional pada komunikasi interpersonal berdampak pada tanggung jawab komunikator untuk menyampaikan pesan secara jelas (Wood 2013). Johannesen (1996) mengutip pendapat Grice menyebutkan tiga dimensi yang berfungsi sebagai pedoman etika antarpesona yaitu kuantitas, kualitas dan cara. Kuantitas artinya setiap kontribusi harus menyajikan banyak informasi, nasihat, atau argumen yang diperlukan oleh tujuan percakapan, namun hendaknya tidak menyajikan lebih dari yang diperlukan. Kualitas artinya usahakan kontribusi anda menjadi kenyataan; jangan mengatakan apa yang anda yakini salah dan jangan mengatakan hal yang tidak mempunyai dasar bukti cukup. Hubungan artinya bersifatlah relevan, perhatikan fakta bahwa partisipan komunikasi mungkin mempunyai standar relevansi yang berbeda dan bahwa topik sering berganti-ganti selama percakapan. Cara artinya berlaku jelas, singkat dan rapi; hindari kerancuan dan ketidakjelasan pengungkapan yang disengaja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2015) mengungkapkan pelanggaran atas tiga dimensi yang dikemukakan Grice. Pelanggaran tersebut adalah masih ditemukan penuturan yang berlebihan, penuturan tidak sesuai fakta, dan penuturan yang tidak relevan sehingga tidak memberikan manfaat. Tidak Menghalangi Proses Komunikasi Biasanya tidak etis bila dengan sengaja menghalangi proses komunikasi, seperti memotong pembicaraan seseorang sebelum ia selesai mengutarakan masalahnya, mengganti subjek ketika orang lain benar-benar masih mempunyai banyak hal untuk dikatakan, atau secara nonverbal mengalihkan orang lain dari subyek yang dimaksudkan (Condon dalam Johannesen 1996). Menurut DeVito (2011), memotong pembicaraan orang lain merupakan bentuk dari merendahkan orang lain. Tan (2013) mengungkapkan bahwa tidak memotong pembicaraan merupakan salah satu sikap komunikasi yang telah diterapkan organisasi bisnis dalam menjalankan program mempertahankan hubungan yang menguntungkan dengan pelanggan (Customer Relationship Management). Menghargai dan Menghormati Orang Lain Orang-orang dalam komunikasi antarpesona menurut Barret (dalam Johannesen 1996) harus berusaha keras agar efektif dan etis, setiap saat menunjukkan penghargaan terhadap “keberadaan” orang lain-penghargaan atas nilai intrinsik mereka sebagai manusia. Hal ini selaras dengan pendapat Nielsen (dalam Johannesen 1996) bahwa untuk mencapai etika komunikasi diperlukan sifat penghormatan terhadap seseorang sebagai person (individu) tanpa memandang umur, status atau hubungannya dengan si pembicara, juga penghormatan terhadap ide, perasaan, maksud dan integritas orang lain. Menghargai dan menghormati pikiran dan perasaan orang lain merupakan salah satu upaya dalam peningkatan modal sosial (Susanto 2010).
12 Tidak Memonopoli Pembicaraan Raymond Ross dan Mark Ross dalam Johannesen (1996) mengatakan bahwa memonopoli pembicaraan merupakan salah satu taktik verbal yang tidak wajar dan tidak etis. Mills (2003) menyatakan bahwa memonopoli pembicaraan banyak dilakukan oleh para pembohong. Tidak memonopoli pembicaraan dapat digunakan sebagai salah satu taktik etis dalam mempertahankan hubungan. Hal ini juga dapat diterapkan pada organisasi bisnis dalam membina hubungan dengan publiknya, seperti pada program customer relationship management dan supplier relationship management (Damanik 2012). Tidak Mengandung Kekerasan Salah satu komunikasi etis menurut Nosek (2012) adalah komunikasi yang tidak mengandung kekerasan. Menurut Maxim (2014) hal ini sangat relevan dengan kondisi globalisasi saat ini, yaitu timbulnya kekerasan sebagai efek lain di balik efek positif globalisasi. Kekerasan dapat berbentuk kekerasan fisik maupun non fisik. Menururt Putri dan Santoso (2012), kekerasan verbal adalah kata-kata yang tidak selayaknya diucapkan karena menimbulkan dampak yang tidak kalah buruknya dengan kekerasan fisik, sedangkan Koswara (2014) mengungkapkan arti kekerasan verbal sebagai bentuk kekerasan yang halus dengan menggunakan kata-kata yang kasar, jorok, dan menghina dan dilakukan secara lisan. Menurut Teven et al. (2000), bentuk lain dari kekerasan verbal adalah katakata yang menyerang dan penggunaan kata-kata yang menyerang berhubungan negatif dengan kepuasan. Disiplin ilmu komunikasi perlu memberikan perhatian terhadap aggression verbal karena kata-kata yang menyerang merupakan bentuk yang sangat merusak dalam komunikasi (Infante 1995). Konsisten dalam Petunjuk Verbal dan Nonverbal Petunjuk verbal dan non verbal, kata-kata dan tindakan, harus konsisten dalam makna yang disampaikan (Condon dalam Johannesen, 1996). Menurut DeVito (2011), komunikasi nonverbal sangat dipercaya. Umumnya, bila pesan verbal dan non verbal saling bertentangan, kita mempercayai pesan nonverbal. Rakhmat (2002) menyebutkan enam klasifikasi pesan non verbal, yaitu kinesik atau gerak tubuh; paralinguistik atau suara, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, olfaksi atau penciuman, sensitivitas kulit, dan faktor artifaktual seperti pakaian dan kosmetik. Mulatsih (2014) menjelaskan pemahaman mengenai kapan penerapan penggunaan unsur paralinguistik (berkenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa) diperlukan untuk mewujudkan etika atau kesantunan. Karakteristik Individu Karakteristik merupakan ciri-ciri yang melekat pada individu. Menurut Lamb (2001), faktor pribadi merupakan cara mengumpulkan dan mengelompokkan kekonsistenan reaksi seseorang individu terhadap situasi yang sedang terjadi. Faktor pribadi menggabungkan antara tatanan psikologis dan pengaruh lingkungan. Karakteristik individu atau pribadi menurut Kotler dan
13 Amstrong (2008) terdiri atas usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri. Usia terkait dengan tahap siklus hidup yaitu tahap-tahap yang dilalui keluarga ketika mereka menjadi matang dengan berjalannya waktu. Pekerjaan dan situasi ekonomi terkait dengan pendapatan pribadi. Sementara gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam keadaan psikografis. Gaya hidup melibatkan pengukuran pada dimensi aktivitas, minat, dan pendapat. Berdasarkan pendapat Kotler dan Amstrong (2008) tersebut, maka karakteristik individu setiap orang dapat berbeda-beda sesuai dengan perbedaan hal-hal di atas. Misalnya, menurut Rakhmat (2002), peubah individual terdiri dari data demografis dan faktor-faktor psikologis komunikan. Data demografis yang dimaksud adalah usia, dan jenis kelamin. Elian et al (2014) menambahkan faktor penghasilan dan kepemilikan media selain umur dan pendidikan sebagai peubah individual. Okatini et al. (2007) dalam penelitiannya merumuskan karakteristik individu terdiri dari umur, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan perilaku. Karakteristik Keluarga Carvalhaes (2010) dalam penelitiannya merumuskan karakteristik keluarga menjadi beberapa faktor yaitu tingkat pendidikan tertinggi orang tua, tipe keluarga (two parents or single parents), jumlah anggota dalam rumah tangga, dan status sosial ekonomi. Pentingnya fungsi dan peranan keluarga dalam penerapan etika komunikasi didukung oleh pernyataan dari beberapa sumber pustaka, dimana telah disebutkan di atas bahwa etika komunikasi dipelajari dalam proses komunikasi interpersonal yang merupakan hasil dari proses belajar dalam keluarga. Haryanti (2014) menyatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan keluarga. Menurut Schaefer (2013), proses belajar sepanjang hayat dimulai segera setelah kelahiran. Sejak bayi baru lahir dapat melihat, mendengar, mencium, merasakan panas, dingin, dan sakit, mereka secara terus menerus menyesuaikan diri mereka terhadap dunia sekitarnya. Sebenarnya, keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas pada penerus keturunan. Fungsi lain keluarga dapat dilihat misalnya dalam bidang pendidikan, dimana keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganya sendiri (Gunarsa dan Gunarsa (2012). Fatimah (2006) mengutip pernyataan Piget menyatakan bahwa semakin tumbuh dan berkembang fisik dan psikis seorang anak, ia mulai diperkenalkan pada nilai-nilai, ditunjukkan hal yang boleh dan tidak boleh, yang harus dilakukan dan yang dilarang. Proses ini dikenal dengan dengan istilah sosialisasi nilai-nilai. Sejalan dengan perkembangan inteleknya, anak berangsur-angsur mulai mengikuti berbagai ketentuan yang berlaku dalam keluarga. Keluarga sebagai unit sosial terkecil terdiri dari anggota keluarga inti seperti ayah, ibu, dan anak-anak (Dariyo 2011). Menurut Ritzer dan Ryan (2011), umumnya struktur keluarga menyangkut pada beberapa pokok persoalan seperti
14 jumlah anggota dalam keluarga, distribusi kekuatan dan otoritas dalam keluarga, pola solidaritas dan kewajiban yang muncul diantara anggota keluarga yang berbeda, perbedaan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki anggota keluarga yang lain. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2012), keluarga masa kini berbeda dengan keluarga zaman dulu. Orang-orang mengalami pergolakan dan perubahan yang hebat, dalam ikatan keluarga khususnya mereka yang hidup di kota. Keluarga yang tinggal di daerah belum merasakan dan menikmati hasil pembangunan, sehingga gambaran mengenai ikatan dan fungsi keluarga jauh berbeda jika dibandingkan dengan keluarga yang berada di tengah kemewahan materi. Keluarga masa kini sudah banyak kehilangan fungsi dan artinya. Fungsi pendidikan sudah diserahkan pada lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, sehingga tugas orang tua dalam mengembangkan segi intelektual anak menjadi jauh lebih ringan. Pada pandangan masyarakat yang semakin individualis, akhirnya keluarga hanya dianggap sekedar performa. Hubungan antar pribadi menjadi jauh dan melemah sehingga arti pribadi mengalami perubahan. Karena itu bisa timbul frustasi, yaitu keadaan tidak tercapainya suatu keinginan atas kebutuhan dasar yang mendorong tingkah laku seseorang. Frustasi ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang sedemikian mendalamnya sehingga timbul peristiwa-peristiwa yang tidak terduga, nilai-nilai norma yang telah dibina akhirnya dianggap semata-mata sebagai lambang dari masa lampau. Menurut Ritzer dan Ryan (2011), karena dampak industrialisasi, terjadi pergeseran bentuk dari struktur extended family menuju nuclear family. Vangelisti (2003) mengidentifikasi beberapa tipe keluarga di Amerika yang terdiri dari A two parent biological family, a single parent family, the blended family, the extended family,the voluntaristic family, dan commited partners. A two parents biological family (keluarga dengan dua orang tua biologis) tediri dari orang tua dan anakanak yang berasal dari kedua orang tua ini, sehingga ikatan darah dan perkawinan merupakan ciri-ciri dari tipe keluarga ini. Tipe keluarga ini disebut tradisional, akan tetapi tipe keluarga seperti ini, tidak lagi mewakili bentuk keluarga secara umum. A single parent family (keluarga dengan orang tua tunggal) terdiri dari satu orang tua dan satu anak atau lebih. Tipe keluarga ini terbentuk dari laki-laki atau wanita yang tidak menikah, kematian, perceraian atau selingkuh atau anak yang berasal dari proses adopsi atau anak asuh. The blended family (keluarga campuran) terdiri dari orang dewasa (orang tua) dan anak-anak yang tidak berasal dari hubungan (perkawinan) mereka. Kebanyakan adalah melalui pernikahan kembali (remarriage). Sebuah situasi yang membawa dua sistem sebelumnya ke dalam ikatan keluarga yang baru yaitu keluarga dengan kedua orang tua biologis menjadi keluarga dengan orang tua tunggal untuk beberapa waktu yang mana beberapa anggota keluarga menjadi bagian dari keluarga tiri. Keluarga juga mungkin bercampur melalui tambahan anak angkat atau anak asuh. Extended family adalah sekumpulan sanak keluarga sedarah yang tinggal di lokasi yang berdekatan selain orang tua yang ada dalam kehidupan sehari-hari anak. Voluntaristic family (keluarga voluntaristis) melibatkan pasangan dari kelompok orang yang sebagian atau seluruhnya tidak terikat secara biologis atau secara legal yang berkomitmen bersama, hidup bersama, dan menganggap diri mereka sebagai keluarga. Commited partners (mitra berkomitmen) terdiri dari pasangan
15 yang menikah tanpa anak, pasangan heterosexual yang tinggal bersama sebagai suami istri. Pengetahuan dan Sumber Informasi Menurut Tim Penyusun Pusat Bahasa (2007) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Pengetahuan mengenai etika komunikasi berarti segala sesuatu yang diketahui mengenai etika komunikasi. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek (Soekidjo 2002). Informasi adalah hasil dari proses intelektual seseorang, proses intelektual adalah mengolah atau memproses stimulus, yang masuk ke dalam diri individu melalui panca indera kemudian diteruskan ke otak atau pusat syaraf untuk diolah, diproses dengan pengetahuan, pengalaman, selera dan iman yang dimiliki seseorang (Wiryanto 2004). Menurut Yusup (2009), informasi merupakan rekaman fenomena yang diamati dan mempunyai potensi untuk dimanfaatkan oleh seseorang. Berdasarkan dua pengertian tadi, maka informasi dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran maupun pengalaman. Salah satu sumber informasi tentang pengetahuan etika dapat diperoleh dari lingkungan, salah satunya adalah orang-orang yang paling dekat dengan responden. Menurut Rakhmat (2002), dalam kehidupan manusia terdapat orangorang yang berpengaruh, tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan kita yang disebut significant others dan affective others. Significant others adalah orang lain yang sangat penting yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita, yaitu orang tua, saudara dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Sementara affective others adalah orang lain yang memiliki ikatan emosional dengan kita, diantaranya teman dan tokoh idola/ panutan. Kehadiran significant others ini sangat penting bagi seseorang. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kedekatan emosional yang tinggi dengan significant others memiliki hubungan paling erat dengan harga diri anak dan stress (Burnett dan Demnar 1996, King et al. 2014), dimana seseorang yang memiliki kedekatan emosional dengan orang tua dan teman cenderung memiliki tingkat stress yang rendah. Penelitian yang dilakukan Onyishi et al. (2012) juga menunjukkan bahwa dukungan sosial dari keluarga dan teman merupakan salah satu prediktor kepuasan hidup. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian tentang etika dan etika komunikasi telah dilakukan sebelumnya. Ismaili et al. (2011) dan Jankalova et al. (2014) melakukan penelitian tentang etika di bidang akademik. Ismaili et al. (2014) meneliti mengenai persepsi tentang etika di tingkat Perguruan Tinggi yang melibatkan 500 responden. Hasil penelitiannya menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang etika di kalangan mahasiswa. Jankalova et al. (2014) dalam penelitiannya tentang etika yang juga dilakukan di Perguruan Tinggi mengemukakan bahwa dewasa ini di beberapa wilayah ditandai dengan ketidakhadiran aturan dasar kesopanan, dan perlu memberikan perhatian yang lebih besar terutama bagi pelajar Perguruan Tinggi (mahasiswa). Hal ini karena Perguruan Tinggi mewakili sebuah sumber
16 dari pemikiran terbaru, kemajuan dan inovasi yang dalam penyajiannya akan dihadapkan dengan etika. Jika kita ingin menerapkan pada mahasiswa aturan dasar berperilaku etis, kita harus memulainya tidak hanya dengan pendidikan etika sebagai sebuah pelajaran tapi juga dengan menginstitusionalkan etika dalam kehidupan (lingkungan) Perguruan Tinggi dalam bentuk kode etik. Penelitian Jankalaova et al. (2014) bertujuan untuk menilai kompetensi perilaku kepribadian dosen secara moral dan etis. Penelitian secara spesifik tentang etika komunikasi telah dilakukan dengan masing-masik aspek penekanan yang berbeda-beda oleh Kusumastuti (2004), Celen dan Seferoglu (2013), dan Sari (2015). Kusumastuti (2004) meneliti penerapan etika komunikasi dan hubungannya dengan faktor-fakor tertentu dalam konteks organisasi. Penerapan etika komunikasi yang terjadi berdasarkan etika yang berlaku dalam organisasi tersebut, yaitu penyampaian dan penerimaan pesan-pesan dengan cara yang bertanggung jawab dalam rapat-rapat organisasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi penerapan komunikasi etis antara lain adalah skill komunikasi, internalisasi nilai, dan motivasi menjadi anggota organisasi. Sari (2015) meneliti etika komunikasi interpersonal pada aspek pragmatik (berkaitan dengan bahasa) yang mengacu pada konsep etika komunikasi menurut Grice yang menekankan pada penyampaian informasi secara tepat. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya pelanggaran atas tiga dimensi mengenai penyampaian pesan yang tepat yang dikemukakan Grice yaitu kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara. Celen dan Seferoglu (2013) melakukan penelitian etika komunikasi terkait penggunaan teknologi informasi dan komunikasi atau information communication technology (ICT). Hasil penelitiannya mengungkapkan penyebab perilaku tidak etis dalam penggunaan ICT adalah tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang tanggung jawab ICT, faktor teman di lingkungan responden, keluarga, nilai moral, keyakinan bahwa orang lain akan terganggu, status keuangan dan keyakinan agama. Kerangka Pemikiran Penelitian bertujuan untuk menganalisis penerapan etika komunikasi interpersonal sekaligus hubungan dengan karakteristik responden dan tingkat pengetahuan dan sumber informasi. Peubah dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis peubah. Peubah yang dimaksud adalah peubah bebas (X) dan peubah terikat (Y). Peubah bebas terdiri dari karakteristik karakteristik individu (X1), karakteristik keluarga (X2), dan tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi (X3). Peubah terikat (Y) yaitu penerapan etika komunikasi interpersonal. Karakteristik individu dalam penelitian mencakup jenis kelamin, suku, agama, jumlah uang saku per bulan, tempat tinggal asal (desa atau kota), Program keahlian, masa studi (jumlah semester yang diikuti), dan keikutsertaan dalam organisasi. Jenis kelamin merupakan salah satu atribut atau karakteristik individu yang penting, digunakan untuk memberikan gambaran bagaimana penerapan etika komunikasi pada laki-laki dan perempuan. Suku bangsa (etnis) penting dimasukkan sebagai karakteristik individu karena telah disebutkan di atas bahwa etika berkembang atas pengaruh budaya dan agama. Karakteristik ini sesuai dengan pendapat Assauri (2012) yang menyebutkan bahwa peubah demografik
17 atau sosial ekonomi yang termasuk dalam karakteristik individu terdiri dari umur, jenis kelamin, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, kelas sosial, keturunan, dan agama. Faktor usia tidak dimasukkan dalam karakteristik individu karena usia responden pada penelitian ini adalah relatif homogen, diduga yaitu ada pada kisaran usia dewasa awal atau sekitar 18-25 tahun (Santroct, 2011). Sementara jumlah uang saku per bulan dikategorikan sebagai faktor individu untuk melihat apakah jumlah kepemilikan uang saku bisa mempengaruhi sikap seseorang, termasuk dalam sopan santun atau etika berkomunikasi. Tempat tinggal asal termasuk dalam karakteristik individu yang mencakup desa atau kota untuk melihat sejauh mana faktor geografis terkait dengan penerapan etika komunikasi. Menurut Soekanto (2012), warga pedesaan adalah suatu masyarakat yang memiliki hubungan yang erat dan mendalam dengan sistem kehidupan kekeluargaan dan umumnya hidup dari pertanian, sedangkan warga perkotaan dilihat dari ciri-cirinya yaitu kehidupan keagamaan yang kurang, lebih individual, perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata. Warga perkotaan dilihat dari ciri-cirinya yaitu kehidupan keagamaan yang kurang, lebih individual, perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata. Program Keahlian dan masa studi merupakan ciri lain yang melekat pada responden sebagai mahasiswa. Program studi menunjukkan bidang ilmu yang digeluti selama menjalankan studi di Program Diploma IPB. Masa studi menunjukkan periode atau jangka waktu mahasiswa mengikuti studi serta menunjukkan tingkat adaptasi mahasiswa dalam kehidupan kampus. Responden yang masih duduk di tingkat satu biasanya masih kental dengan logat bahasa daerah dan masih kental dengan norma-norma yang dibawa dalam budayanya. Mahasiswa pada tingkat akhir cenderung sudah lebih baik dalam memahami kehidupan kampus, termasuk daya adaptasi yang tinggi dan pergaulan dengan sesama mahasiswa yang lebih luas dan akrab. Sementara itu, keikutsertaan dalam organisasi merupakan karakteristik individu yang termasuk faktor lingkungan (Dewantary 2014) yang perlu diperhatikan karena kehidupan berorganisasi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mahasiswa di kampus. Banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan karakteristik keluarga sebagai salah satu peubah yang diamati. Karakteristik keluarga yang diamati dalam penelitian adalah tipe keluarga, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan tingkat pendapatan keluarga. Tipe keluarga dibagi menjadi keluarga utuh, keluarga dengan orang tua tunggal, keluarga besar, dan keluarga campuran. Tipe keluarga dapat sekaligus menunjukkan pengasuhan anak dalam kategori siapa yang mengasuh. Hal ini dibenarkan oleh Fajar dan Jatiningsih (2015), yang menyatakan bahwa kepribadian dan tingkah laku anak yang baik merupakan hasil dari pengasuhan dan penanganan yang baik pula dari orangtuanya, sehingga idealnya, anak diasuh langsung oleh keluarga. Ketika peran itu tidak dapat terpenuhi, maka ada semacam ketimpangan psikologis anak sehingga akan mempengaruhi perilaku anak. Hilangnya peran ini disebabkan karena kematian, perceraian, status perkawinan yang tidak jelas, bahkan kesibukan orang tua bekerja. Peubah berikutnya dalam karakteristik keluarga adalah tingkat pendidikan orang tua. Dewasa ini, kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi tidak lagi milik sebagian kelompok orang, sehingga akan semakin banyak orang
18 tua termasuk seorang ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang baik. Penelitian juga ingin menganalisis apakah jenis pekerjaan orang tua, termasuk diantaranya adalah ibu bekerja mempengaruhi keterampilan sosialnya dalam hal ini berkaitan dengan penerapan etika komunikasi, seperti yang diungkapkan oleh Puspitawati dan Setionigsih (2011) bahwa terdapat beberapa hal yang berhubungan antara ibu berkerja dan kondisi seorang anak. Diantara temuannya adalah semakin lama ibu bekerja, maka komunikasi dan ikatan emosi (emotional bonding) ibu dengan anak melemah sehingga menyebabkan keterampilan sosialnya menurun. Penelitian lain yang terkait menyebutkan bahwa Ibu bekerja cenderung melakukan tindakan kekerasan verbal terhadap anak (Maftukhah et al. 2013). Mengingat seseorang belajar dari keluarga, maka penelitian juga ingin melihat adakah pengalaman kekerasan verbal yang melanggar etika komunikasi juga dilakukan responden sebagai peniruan dari apa yang dialaminya. Peubah terakhir yang termasuk dalam karekteristik keluarga yang diteliti adalah pendapatan orang tua, yang meliputi pendapatan ayah dan Ibu. Peubah ini digunakan untuk melihat adakah hubungan penerapan etika komunikasi dengan pendapatan keluarga. Peubah X berikutnya adalah peubah pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi. Peubah ini dimasukkan untuk mengukur tingkat pengetahuan mengenai etika komunikasi responden. Peubah sumber informasi mengenai etika komunikasi dimasukkan untuk melihat apakah keluarga sebagai significant others responden menjadi sumber informasi etika komunikasi, juga untuk melihat adakah faktor lain yang menjadi sumber informasi responden mengenai etika komunikasi seperti orang lain, ataupun buku dan media massa (media cetak dan elektronik). Salah satu fungsi media massa adalah fungsi mendidik. Media massa banyak menyajikan hal-hal yang sifatnya mendidik. Salah satu cara mendidik yang dilakukan media massa adalah melalui pengajaran nilai, etika, serta aturan-aturan yang berlaku kepada pemirsa dan pembaca (Elvinaro et al. 2007). Perkembangan teknologi informasi (internet) kini telah mengubah bentuk masyarakat manusia, menjadi sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi yang memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya-budaya bersama (Bungin 2006). Peubah Y dalam penelitian adalah penerapan etika komunikasi yang ditentukan berdasarkan sembilan kriteria, yaitu 1) tanggung jawab; 2) jujur dan terus terang; 3) toleransi, kepekaan (empati) dan kepedulian; 4) menyampaikan informasi dengan tepat; 5) tidak menghalangi proses komunikasi; 6) menghargai dan menghormati orang lain; 7) tidak memonopoli pembicaraan, 8) tidak mengandung kekerasan, dan 9) konsisten dalam petunjuk verbal dan verbal. Berdasarkan pemaparan di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
19 Karakteristik Individu (X1) Jenis kelamin (X1.1) Suku (X1.2) Agama (X1.3) Jumlah uang saku perbulan (X1.4) Program keahlian (X1.5) Masa studi (X1.6) Tempat tinggal asal (X1.7) Keikutsertaan dalam organisasi (X1.8) Karakteristik Keluarga (X2) Tipe keluarga (X2.1) Tingkat Pendidikan orang tua (X2.2) Pekerjaan orang tua (X2.3) Tingkat pendapatan keluarga (X2.4)
Penerapan Etika Komunikasi Interpersonal (Y) Tanggung Jawab Jujur dan terus terang Toleransi dan kepekaan Menyampaikan informasi dengan tepat Tidak menghalangi proses komunikasi Menghargai dan menghormati Tidak memonopoli pembicaraan Tidak mengandung kekerasan Konsisten dalam petunjuk verbal dan non verbal
Tingkat pengetahuan dan sumber informasi (X3) mengenai etika komunikasi Tingkat Pengetahuan mengenai etika komunikasi (X3.1) Sumber informasi mengenai etika komunikasi (X3.2)
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, maka penelitian ini memiliki beberapa hipotesis sebagai jawaban sementara. Hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari beberapa hal, yaitu: 1) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu yaitu jenis kelamin, suku, agama, jumlah uang saku perbulan, program keahlian, tempat tinggal asal, keikutsertaan dalam organisasi dan sumber informasi tentang etika komunikasi dengan tingkat penerapan etika komunikasi interpersonal . 2) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik keluarga yaitu tipe keluarga, pendidikan terakhir orang tua, pekerjan orang tua, dan tingkat pendapatan keluarga dengan tingkat penerapan etika komunikasi interpersonal . 3) Terdapat hubungan nyata antara tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi dengan tingkat penerapan etika komunikasi interpersonal.
20
METODE Desain Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif eksplanasi yang ingin mendeskripsikan dan melihat hubungan-hubungan atau korelasional (Bungin 2005), yaitu penelitian yang bersifat menghubungkan dua peubah atau lebih. Peubah bebas dalam penelitian ini adalah karakteristik individu (X1), karakteristik keluarga (X2), dan tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi (X3). Peubah terikat adalah penerapan etika komunikasi interpersonal (Y). Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dipilih dengan sengaja (purposive), yaitu kampus Program Diploma IPB sebagai institusi pendidikan vokasi (keahlian) yang penting untuk menselaraskan kompetensi para lulusannya dengan kebutuhan pengguna (industri) melalui kemahiran “employability,” dalam hal ini adalah etika komunikasi interpersonal. Lokasi dipilih sesuai dengan responden yang diambil, yaitu mahasiswa. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa Program Diploma IPB yang berjumlah 6202 orang. Populasi terdiri dari tiga masa studi (tiga tingkat) dan 18 Program Keahlian (PK), yang terdiri dari Komunikasi (KMN), Teknologi dan Manajemen ternak (TNK), Manajemen Informatika (INF), Supervisor Jaminan Mutu Pangan (SJMP), Teknologi Industri benih (TIB), Manajemen Industri (MNI), Analisis Kimia (KIM), Akuntansi (AKN), Ekowisata (EKW), Teknik Komputer (TEK), Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi (GZI), Teknologi Produksi dan Manajemen Perikanan Budidaya (IKN), Manajemen Agribisnis (MAB), Teknologi dan Teknik Manajemen Perkebunan (TMP), Teknik dan Manajemen Lingkungan (LNK), Produksi dan Pengembangan Pertanian terpadu (PPP), dan Paramedik Veteriner (PVT). Sampel ditentukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel acak distratifikasi, yang termasuk dalam metode pengambilan sampel probabilitas yang mengandung pengertian bahwa setiap unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Mantra et al. 2012). Jumlah sampel diambil secara berimbang (proporsional) dari tiap-tiap stratum. Menurut Bungin (2005), teknik proporsional sampling dapat digunakan pada populasi berstrata, populasi area ataupun polpulasi cluster. Jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus Slovin (Sevila et al. 1993) sebagai berikut:
n=
N 1 + Ne2
Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel populasi).
21 Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus Slovin, dengan nilai e sebesar 0,7 (Elen dalam Babbie 2010) maka diperoleh jumlah sampel yang diambil. Berikut ini adalah jumlah sampel yang diambil berdasarkan tingkat (angkatan/ jumlah semester yang sedang ditempuh) sebagai sub populasi atau stratum. Tabel 1 Jumlah mahasiswa yang diambil sebagai sampel pada populasi Tingkat
Jumlah Mahasiswa (orang)
Presentase (%)
I II III Jumlah
2191 2087 1924 6202
35.0 34.0 31.0 100.0
Jumlah Sampel yang Diambil (orang) 69 67 61 197
Sumber : Program Diploma IPB, November 2015
Data dan Instrumen Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berasal dari data karakteristik responden (karakteristik individu dan keluarga) dan data mengenai penerapan etika komunikasi responden. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari narasumber atau data langsung dari lapangan berupa data hasil wawancara atau pengamatan. Data primer dibagi menjadi dua bagian yaitu data mengenai karakteristik individu, dan karakteristik keluarga, dan data mengenai penerapan etika komunikasi interpersonal responden. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data dari pihak lain, yaitu berupa data jumlah mahasiswa Diploma IPB, kajian pustaka yang relevan dan data-data hasil penelitian sebelumnya. Instrumen merupakan alat ukur pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa butir pertanyaan yang telah disusun dalam bentuk kuesioner. Instrumen dibagi menjadi empat bagian, yaitu karakteristik individu, karakteristik keluarga, tingkat pengetahuan dan sumber informasi, dan penerapan etika komunikasi. Instrumen yang berisi jawaban singkat dalam penelitian ini digunakan untuk menggali informasi mengenai karakteristik karakteristik individu, karakteristik keluarga, dan tingkat pengetahuan dan sumber informasi. Sementara instrumen dengan jawaban skala digunakan untuk menggali informasi mengenai etika komunikasi interpersonal. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif berupa kata-kata sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Masing-masing jawaban ini akan diberikan skor tertentu. Pernyataan positif pada item instrumen diberi skor 5 untuk jawaban sangat setuju, skor 4 untuk jawaban setuju, skor 3 untuk jawaban ragu-ragu, skor 2 untuk jawaban tidak setuju dan skor 1 untuk jawaban sangat tidak setuju. Sementara itu, untuk pernyataan negatif diberikan skor secara terbalik.
22 Definisi Operasional Beberapa pengertian yang digunakan dalam lingkup penelitian ini dijabarkan dalam definisi operasional berikut. Definisi operasional ini dibuat agar tercapai kesamaan persepsi dan makna dalam memahami tesis ini. Peubah Karakteristik Individu Karakteristik individu diukur berdasarkan sifat atau ciri yang melekat pada diri responden. Karakteristik individu pada penelitian ini terdiri dari jenis kelamin, suku, agama, jumlah uang saku per bulan, program keahlian, masa studi, tempat tinggal asal, keikutsertaan dalam organisasi Tabel 2 Definisi operasional pada peubah karakteristik individu No 1
Indikator Jenis kelamin
2
Suku
3
Agama
4
Jumlah uang Diukur berdasarkan jumlah uang yang saku per bulan diterima responden dari orang tua atau sumber lain per bulan dalam satuan rupiah saat penelitian dilakukan dan dikategorikan menjadi tiga tingkat Program Diukur berdasarkan Program Keahlian Keahlian yang ada di Program Diploma IPB
5
6 7
Definisi Operasional Diukur berdasarkan perbedaan status responden secara biologis Diukur berdasarkan sekelompok manusia yang memiliki kesatuan budaya dan terikat oleh kesadaran dan identitas tersebut yang melekat pada diri responden Diukur berdasarkan keyakinan atau kepercayaan yang dianut responden
Parameter Laki-laki Perempuan Jawa Sunda Batak Minang Campuran Lainnya Islam Kristen Katholik Budha Rendah Sedang Tinggi
KMN, TNK, INF, SJMP, TIB, KIM, MNI, AKN, EKW, TEK, GZI, IKN, MAB, TMP, LNK, PPP, PVT Tempat tinggal Diukur berdasarkan daerah asal Desa asal responden secara geografis Kota Keikutsertaan Diukur berdasarkan keterlibatan Ya dalam mahasiswa dalam kegiatan organisasi Tidak organisasi baik di dalam ataupun di luar kampus.
Peubah Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga responden pada penelitian dikategorikan menjadi tipe keluarga, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan tingkat pendapatan keluarga yang dihimpun dari pendapatan ayah dan ibu. Secara terperinci, indikator pada peubah ini disampaikan pada tabel berikut.
23 Tabel 3 Definisi operasional pada peubah karakteristik keluarga No Indikator 1 Tipe keluarga
Definisi Operasional Parameter Diukur berdasarkan sifat atau ciri Keluarga utuh keluarga yang terdapat pada diri keluarga dengan orang responden tua tunggal keluarga besar keluarga campuran
2
Tingkat pendidikan orang tua
Diukur berdasarkan jenjang Di bawah SMA pendidikan terakhir yang ditempuh SMA/ sederajat ayah dan ibu responden Perguruan tinggi
3
Pekerjaan orang tua
4
Tingkat pendapatan keluarga
Diukur berdasarkan aktivitas utama Karyawan yang dilakukan untuk menghasilkan Guru/ dosen uang Wiraswasta Lainnya Diukur berdasarkan penghasilan Rendah (kurang atau ayah dan atau ibu, dari gaji atau sama dengan 3 juta per yang lainnya yang diterima setiap bulan bulan oleh keluarga, saat penelitian Sedang (3-5 juta per dilakukan bulan) Tinggi (lebih dari 5 juta per bulan)
Peubah Tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai Etika komunikasi Tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi menjadi sebuah peubah terpisah dari karakteristik individu maupun karakteristik keluarga. Peubah ini dimasukkan dalam kerangka berpikir penelitian untuk melihat apakah peubah ini memiliki hubungan nyata dengan tingkat penerapan etika komunikasi interpersonal pada responden. Tabel 4 Definisi operasional pada peubah tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi No 1
2
Indikator Definisi Operasional Tingkat Diukur berdasarkan sejauh mana pengetahuan responden mengetahui etika komunikasi, melalui banyaknya skor yang diperoleh responden dalam menjawab pertanyaan tentang kriteria etika komunikasi Sumber Diukur berdasarkan pihak-pihak informasi atau media yang digunakan responden dalam memperoleh pengetahuan tentang etika komunikasi
Parameter Tinggi Sedang Rendah
Keluarga Orang lain Buku/ media massa Keluarga, orang lain,&buku/ media massa.
24 Peubah Penerapan etika Komunikasi Etika komunikasi diukur berdasarkan ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang digunakan dalam berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Penelitian ini membatasi konsep etika komunikasi menjadi beberapa sikap dalam berkomunikasi yaitu tanggung jawab, jujur dan terus terang, toleransi dan kepekaan, menyampaikan informasi dengan tepat, tidak menghalangi proses komunikasi, menghargai dan menghormati orang lain, tidak memonopoli pembicaraan, tidak mengandung kekerasan, dan konsisten dalam petunjuk verbal dan non verbal. Tabel 5. Definisi operasional pada peubah penerapan etika komunikasi No 1
2
3
4
5
Indikator Tanggung jawab
Definisi Operasional Parameter Diukur berdasarkan Mendengarkan sebelum kemampuan menanggapi memberikan respons (bersifat tanggap) setiap Menanggapi pesan yang kebutuhan dan disampaikan orang lain berkomunikasi dengan Menggunakan bahasa cara yang peka, cermat, yang mengakui pikiran dan tepat. Selain itu, dan perasaan tanggung jawab ini ditunjukkan menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan. Jujur dan terus Diukur berdasarkan Tidak berbohong untuk terang komunikasi tanpa menghindari hukuman kebohongan, juga tanpa Tidak memanipulasi manipulasi (niat gambaran diri (image) terselubung atau Tidak berbohong untuk menyembunyikan mengambil keuntungan tujuannya). Toleransi, Diukur berdasarkan kepekaan kemampuan (empati), dan mengharmoniskan kepedulian perbedaan, dan merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya lain Menyampaikan Diukur berdasarkan informasi aspek kuantitas, dengan tepat kualitas dan hubungan dalam berkomunikasi
Tidak menghalangi proses komunikasi
Diukur berdasarkan perilaku sengaja menghalangi proses komunikasi
Menerima perbedaan pendapat Memperhatikan perasaan orang lain
Menyampaikan informasi yang belum tentu kebenarannya Berbicara berlebihan Tidak memotong pembicaraan Tidak mengalihkan pembicaraan & mengganti subyek pembicaraan
25 6
7
8
Menghargai dan Diukur berdasarkan menghormati penghormatan terhadap orang lain seseorang tanpa memandang umur, status dan hubungannya juga penghormatan terhadap ide, perasaan, maksud, dan integritas orang lain Tidak Diukur berdasarkan memonopoli sikap tidak mendominasi pembicaraan dalam pembicaraan
Tidak mengandung kekerasan
Diukur berdasarkan sikap komunikasi tanpa kekerasan fisik maupun verbal
9
Konsisten dalam Diukur berdasarkan petunjuk verbal kesesuaian antara katadan non verbal kata dan tindakan. Petunjuk non verbal diantaranya intonasi, volume suara
Menghargai teman sebaya Menghormati ide orang lain Menghargai keberadaan orang lain
Tidak menganggap topik pembicaraan sendiri lebih penting Tidak mengendalikan pembicaraan Tidak menggunakan katakata kasar Tidak menghina atau mengejek seseorang Tidak menggunakan katakata jorok Menunjukkan sikap komunikasi dengan sikap tubuh dan mimik wajah yang sesuai Menunjukkan sikap komunikasi dengan nada bicara yang sesuai Menunjukkan sikap komunikasi dengan volume suara yang sesuai
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Ancok (2012) menyebutkan validitas dan reliabilitas instrumen dalam penelitian sebagai suatu hal yang sangat penting sehingga informasi yang menyangkut validitas dan reliabilitas alat pengukur harus disampaikan. Menurutnya, validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Validitas alat pengumpul data digolongkan menjadi validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content validity), validitas prediktif (predictive validity), validitas eksternal (external validity), validitas rupa (face validity), dan validitas budaya (cross-cultural validity). Berbeda dengan validitas, reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Atau dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur suatu gejala yang sama. Pengujian validitas instrumen dalam penelitian dilakukan kepada 20 orang yang memiliki kesamaan karakteristik dengan responden yang diambil pada penelitian. Pengujian validitas instrumen dilakukan menggunakan validitas konstruk, dimana dalam validitas konstruk yang dilakukan pertama kali adalah menentukan kerangka konsep penelitian, kemudian melakukan uji coba instrumen, mempersiapkan tabulasi jawaban, dan langkah terakhir adalah menghitung
26 korelasi antara tiap pernyataan dengan skor total dengan menggunakan rumus koefisien validitas teknik korelasi product moment Pearson, dengan rumus sebagai berikut: n
(Xij - Xi)(tj - t) j 1
𝑟𝑖 = n
√ (Xij - Xi) j 1
2
n
(tj - t) j 1
2
Keterangan: Xij = skor responden ke-j pada butir pertanyaan i (Xi) = rata-rata skor butir pertanyaan i tj = total skor seluruh pertanyaan untuk responden ke – j t̅ = rata-rata total skor ri = korelasi antara butir pertanyaan ke-i dengan total skor
Uji validitas dilakukan dengan menggunakan program statistical package for social science (SPSS) for Windows versi 21.0. Hasil pengujian menunjukkan validitas instrumen sebagian besar adalah valid (19 butir instrumen) sementara tiga butir lainnya tidak valid. Butir pertanyaan yang tidak valid didrop (dihilangkan) dari instrumen atau tidak digunakan dalam pengambilan data. Penelitian ini menggunakan uji reliabilitas dengan metode Cronbach’s Alpha dan dikerjakan melalui program SPSS versi 21.0. Menurut Arikunto (2009) terdapat empat kategori yang menunjukkan hasil pengujian reliabilitas menggunakan Cronbach’a Alpha, yatu 1) nilai 0,00-0,20 berarti kurang reliabel; 2) nilai 0,21-0,40 berarti agak reliabel; 3) nilai 0,41-0,60 berarti cukup reliabel; 4) nilai 0,6-0,80 berarti reliabel, 5) nilai 0,81-1,00 berarti sangat reliabel. Uji reliabilitas dilakukan berdasarkan peubah dalam instrumen, yang terdiri dari dua peubah yaitu peubah tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi dan peubah penerapan etika komunikasi. Hasil pengujian yang telah dilakukan terhadap peubah tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi menunjukkan bahwa instrumen berada pada kategori reliabel, yaitu dengan nilai Cronbach’s Alpha = 0,663 > 0,6. Hasil uji reliabilitas pada peubah kedua memiliki nilai Cronbach’s Alpha = 0,828 > 0,6 yang menunjukkan bahwa peubah penerapan etika komunikasi adalah reliabel, dengan kategori sangat reliabel. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Daftar pertanyaan terdiri dari tiga bagian, bagian pertama merupakan daftar pertanyaan terkait karakteristik responden yang terdiri dari karakteristik individu dan karakteristik keluarga, bagian kedua merupakan pertanyaan terkait tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi, dan bagian ketiga merupakan pertanyaan terkait penerapan etika komunikasi interpersonal. Selain itu, pengumpulan data dilakukan melalui data mahasiswa berupa data jumlah mahasiswa berdasarkan jenis kelamin, program keahlian dan masa studi responden yang diperoleh dari bagian Data program Diploma IPB. Data lainnya yaitu data mengenai jumlah pelanggaran kedisiplinan mahasiswa yang terkait dengan etika berkomunikasi lainnya diperoleh dari komisi disiplin
27 mahasiswa program Diploma IPB. Sementara data mengenai profil Program Diploma IPB diperoleh melalui situs resmi Program Diploma IPB. Analisis Data Pengolahan hasil penelitian dengan statistik deskriptif digunakan pada penelitian kuantitatif deskriptif, yaitu penelitian kuantitatif yang bertujuan hanya menggambarkan gejala sosial apa adanya, tanpa melihat hubungan-hubungan yang ada. Sementara itu, penelitian eksplanasi yang ingin melihat hubunganhubungan menggunakan analisis statistik inferensial (Bungin 2005). Analisis data pada penelitian ini menggunakan dua teknik seperti di atas, yaitu: 1. Teknik analisis data deskriptif yang digunakan adalah frekuensi dan presentase untuk menganalisis data pada peubah karakteristik individu, karakteristik keluarga, tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi, dan penerapan etika komunikasi. 2. Teknik analisis statistik inferensial digunakan untuk menganalisis hubungan antara karaktristik individu, krakteristik keluarga, tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi dengan penerapan etika komunikasi. Pada penelitian ini digunakan teknik korelasi Khi Kuadrat. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut. Keterangan: ƒ0 – ƒℎ2 Χ2o=khi Kuadrat χ2o = ∑ ƒℎ ƒo = frekuensi observasi ƒℎ = frekuensi harapan Teknik analisis inferensial lainnya yang digunakan adalah uji beda yang digunakan untuk melihat perbedaan karakteristik responden terhadap tingkat penerapan etika komunikasi. Uji beda dilakukan menggunkan uji Kruskal Wallis dan uji Mann Whitnney. Analisis korelasi dan analisis uji beda dilakukan dengan menggunakan program Statistical package for social science (SPSS) for windows versi 21.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Program Diploma Institut Pertanian Bogor Sejarah Program Diploma IPB Program Diploma dibuka pertama kali oleh IPB pada tahun 1979. Pada tahun 1980 program tersebut berubah nama menjadi Fakultas Politeknik Pertanian. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Fakultas Politeknik Pertanian ditiadakan dan program-program diploma yang berada dibawahnya harus diintegrasikan dalam fakultas yang relevan. Selanjutnya sejak tahun 1992 Program Studi Pendidikan Diploma di IPB dikelola oleh jurusan atau fakultas yang ada di lingkungan IPB. Sampai dengan tahun 2004 terdapat 32 Program Studi Diploma yang bernaung di bawah tujuh fakultas yang berbeda. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan yang dinamis, IPB melalui Peraturan Pemerintah Nomor 154 Tahun 2000 telah ditetapkan sebagai Badan Hukum Milik Negara. Status tersebut memberi peluang pada IPB untuk terus mengembangkan diri untuk mendukung pengembangan bidang pertanian dalam arti luas termasuk mengembangkan program pendidikan diploma.
28 Pada tahun 2004 berdasarkan ketetapan Majelis Wali Amanat (MWA) IPB No. 17/MWA-IPB/2003 tentang Anggaran Rumah Tangga IPB yang mengamanatkan politeknik sebagai wadah yang mengelola pendidikan vokasi, maka IPB melakukan penataan dan restrukturisasi terhadap penyelenggaraan pendidikan program diploma di IPB. Berdasar Surat Keputusan Rektor No. 124/ I Pendahuluan Buku Panduan Tahun 2011/2012 3 K13/OT/2004 tanggal 13 Juli 2004 dibentuk Direktorat Program Diploma IPB sebagai unit kerja yang diberi mandat mengelola penyelenggaraan pendidikan program diploma di IPB pada masa transisi menuju pengelolaan yang mandiri. Pada awal dibuka tahun 2004 Program Diploma IPB menyelenggarakan 13 Program Keahlian sesuai dengan SK Rektor Nomor 073/K13/PP/2005 tanggal 17 Juni 2005. Pada tahun 2006 dibuka Program Keahlian Akuntansi (SK Rektor Nomor 176/K13/PP/2006 tanggal 29 Desember 2006). Pada tahun 2007 dibuka dua program keahlian lagi yang merupakan program taylor made yaitu Program Keahlian Perkebunan Kelapa Sawit (kerjasama dengan PT. Sinar Mas Agrotechnology) dan Program Keahlian Teknik Komputer Jaringan (kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional). Selanjutnya pada tahun 2009/2010 dibuka Program Keahlian Teknologi Produksi dan Pengembangan Masyarakat Pertanian yang merupakan program taylor made kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2010/2011 dibuka program keahlian ke-17 yaitu Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Produksi Perkebunan. Pada tahun 2011/2012 program diploma membuka Program Keahlian Paramedik Veteriner sebagai program keahlian ke-18. Program Diploma IPB pada tahun 2009 melakukan akreditasi terhadap 14 program keahlian oleh Badan Akreditasi Nasional – Perguruan Tinggi dalam rangka penjaminan mutu proses pendidikan dan pengajaran di lingkunganya. Upaya lain yang dilakukan Program Diploma IPB dalam penjaminan mutu eksternal yaitu dengan menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap seluruh proses pendidikan dan pengajaran pada seluruh program keahlian. Setelah menerapkan SMM ISO 9001:2008 sejak tanggal 7 Juli 2009, maka Program Diploma IPB memperoleh sertifikasi ISO 9001:2008 pada tanggal 2 Oktober 2009. Program Diploma IPB memiliki berbagai fasilitas dalam menunjang penyelenggaraan proses belajar mengajar berupa Lab Biologi, Lab Kulinari, Lab Fotografi, Lab Fisika, Lab Kimia, Lab Komputer, Lahan Percobaan, Lab Pengolahan, Lab Multimedia, Ruang Perkuliahan, Perpustakaan, dan Perkandangan. Fasilitas-fasilitas tersebut tersebar di beberapa lokasi kampus, yaitu kampus Cilibende, kampus Gunung Gede, kampus Baranang Siang, dan kampus Darmaga. Kampus IPB Cilibende Bogor (1.6 ha) sebagai kampus pusat Program Diploma IPB. Kampus Cilibende telah mengalami kemajuan yang pesat, saat ini memiliki tiga gedung baru dan modern dan beberapa kali mendapat penghargaan sebagai kampus paling bersih di IPB. Kampus ini berada di pusat kota Bogor dan dekat ke pusat wisata seperti Kebun Raya Bogor, Istana Negara, dan Puncak. Kampus IPB Gunung Gede Bogor (3.5 ha) sebagai tempat kuliah, praktikum dan praktek (kebun, kandang, kolam, pabrik pakan, dll). Kampus IPB Baranangsiang Bogor sebagai tempat kuliah. Kampus ini juga menjadi salah satu landmark kota Bogor. Kampus Darmaga Kampus IPB Darmaga (267 ha) sebagai kantor rektorat
29 dan pusat kegiatan belajar-mengajar S1, S2 dan S3 IPB. Mahasiswa Program Diploma IPB dapat menggunakan fasilitas yang ada di kampus Darmaga ini seperti perpustakaan pusat (LSI), perpustakaan fakultas, university farm, pusat pengembangan karir dan hubungan alumni. Profil Program Diploma IPB Jenis Pendidikan : Vokasi Status : Milik Institut Pertanian Bogor IPB-BHMN / Negeri Misi : Mencetak tenaga ahli menengah yang siap pakai, berkualitas dan berkualifikasi sesuai kebutuhan pasar Pengelolaan : Otonom, birokrasi pendek, efisien, transparan, profesional, kompetitif Sasaran : Lulusan SMA/SMK dan yang sederajat Citra : Muda, enerjik, disiplin, ramah Metode Pengajaran : Dialogis, partisipatif, bernilai tambah, menyenangkan, memudahkan, berbasis TI Kampus : Segar, asri, ceria, harmonis Pengajar : Demokratis, komunikatif, berjiwa muda, smart Suasana : Work - leissure - learning Komunikasi : Bersahabat, jemput bola, menyenangkan Target Lulusan : Memiliki kompetensi yang berkualitas,bekerja dibidangnya dan masa tunggu pendek Kebijakan Mutu Sebagai perguruan tinggi yang berkomitmen terhadap peningkatan mutu dalam seluruh aspek penyelenggaraan program akademik dan non-akademik, IPB memiliki pernyataan mutu (quality statement) sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Rektor No. 210/K13/OT/2004, yaitu: ”dengan komitmen yang tinggi terhadap mutu, IPB secara efisiens dan akuntabel menghasilkan lulusan yang kompeten dan IPTEKS yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.” Keunggulan Program Diploma IPB 1) Status Negeri/BHMN dan semua Program Keahlian telah terakreditasi oleh BAN-PT. 2) Fasilitas belajar lengkap dengan laboratorium lapang yang modern. 3) Kualitas lulusan diakui nasional dan internasional. 4) Memperoleh sertivikasi ISO 9001:2008 sebagai pengakuan jaminan kualitas manajemen pendidikan. 5) Kampus berada di tengah kota Bogor yang sejuk dan nyaman. Dekat dengan obyek wisata terkenal seperti Kebun Raya Bogor, Istana Bogor dan Puncak. 6) Memiliki gedung modern, bersih dan nyaman. Keamanan dilengkapi CCTV security. 7) Tenaga pengajar yang unggul dan profesional lulusan perguruan tinggi luar dan dalam negeri. Tenaga pengajar terdiri atas Dosen IPB, pakar dan praktisi yang ahli di bidangnya. 8) Jaringan alumni yang besar dan tersebar di berbagai profesi di seluruh nusantara dan luar negeri.
30 Karakteristik Individu Karakteristik individu mencakup jenis kelamin, suku, agama, jumlah uang saku per bulan, program keahlian, masa studi, tempat tinggal asal, dan keikutsertaan dalam organisasi. Karakteristik Responden yang pertama dianalisis adalah jenis kelamin. Jenis kelamin responden sebagian besar merupakan perempuan, yaitu sebesar 62,4 persen dan laki-laki berjumlah 74 orang atau sebesar 37.6 persen. Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin, 2016 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah (orang) 74 123 197
Persentase (%) 37.6 62.4 100.0
l Suku dalam penelitian dikategorikan menurut sebaran suku responden, yaitu suku Jawa, Sunda, Campuran, Minang, Batak, Betawi, dan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data bahwa suku responden paling banyak merupakan suku campuran, yaitu responden dengan orang tua yang berasal dari suku yang berbeda sebesar 57 orang responden atau sebesar 28.9 persen (Tabel 6). Suku campuran tersebut didominasi oleh suku Jawa-Sunda yang berjumlah 23 orang dari keseluruhan responden yang bersuku campuran. Selain suku campuran, banyak responden yang berasal dari suku Sunda (25.4%) dan Jawa (23.9%). Banyaknya mahasiswa Diploma IPB yang berasal dari Suku Sunda dan Jawa dikarenakan letak geografis kampus Diploma IPB yang berada di kota Bogor yang termasuk dalam wilayah Jawa Barat, dimana suku Sunda merupakan penduduk asli masyarakat Jawa Barat, dan langsung berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Tengah yang penduduk aslinya bersuku Jawa. Kategori Suku “lainnya” terdiri dari suku yang beragam selain yang telah disebutkan di atas yaitu Kalimantan Barat, Betawi, Muna (Sulawesi Tenggara), Melayu, Bengkulu, Palembang, dan Lampung. Keanekaragaman suku responden, terutama suku campuran adalah sesuai dengan apa yang dikemukakan Raharjo (2004) bahwa pola kebudayaan masyarakat Indonesia umumnya ternyata berasal dari tempat dan suku bangsa yang bereda-beda. Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan suku, 2016 Suku Jawa Sunda Batak Minang Campuran Lainnya Total
Jumlah (orang) 47 50 15 14 57 14 197
Persentase (%) 23.9 25.4 7.6 7.1 28.9 7.1 100.0
31 Agama responden sebagian besar adalah Islam yaitu sebesar 90.4% (Tabel 8). Agama menunjukkan keyakinan yang dianut oleh responden. Indonesia mengakui lima agama sebagai agama resmi, termasuk aliran kepercayaan yang ada. Agama Islam yang dianut responden memberi gambaran bahwa Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Selain Islam, responden merupakan pemeluk agama Kristen, Katholik, dan Budha. Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan agama yang dianut, 2016 Agama Islam Kristen Katholik Budha
Total
Jumlah (orang) 178 16 2 1 197
Persentase (%) 90.4 8.1 1.0 0.5 100.0
Pemenuhan kebutuhan responden terutama mereka yang tinggal di rumah kost dilakukan melalui uang saku yang diperoleh responden. Tabel 9 menunjukkan bahwa berdasarkan periode bulan, responden sebagian besar dapat dikategorikan memiliki jumlah uang saku pada tingkat sedang atau menengah, yaitu dengan jumlah satu sampai satu setengah juta rupiah per bulan (sebesar 49.7 %), berikutnya adalah memiliki uang saku rendah (kurang dari satu juta rupiah per bulan), dan paling sedikit memiliki jumlah uang saku tinggi (lebih dari satu setengah juta rupiah per bulan). Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan jumlah uang saku per bulan, 2016 Jumlah uang saku per bulan Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 75 98 24 197
Persentase (%) 38.1 49.7 12.2 100.0
Responden terdiri dari mahasiswa yang berasal dari 14 program keahlian dari keseluruhan program keahlian yang ada di program diploma IPB yaitu sebanyak 16 program keahlian (Tabel 10). Program Keahlian yang terpilih adalah Akuntansi, Analisis Kimia, Ekowisata, Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Manajemen Informatika, Komunikasi, Teknik Manajemen lingkungan, Manajemen Agribisnis, Manajemen Industri, Teknologi dan Manajemen Ternak, Teknologi Produksi dan Pengembangan Masyarakat Pertanian, Supervisor jaminan Mutu pangan, Teknik Komputer, dan Teknologi Industri Benih. Responden paling banyak berasal dari program keahlian Komunikasi, yaitu sebesar 16,2 persen.
32 Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan Program Keahlian, 2016 Program Keahlian Komunikasi Teknologi dan Manajemen Ternak Manajemen Informatika Supervisor jaminan Mutu pangan Teknologi Industri benih Manajemen Industri Analisis Kimia Akuntansi Teknik Komputer Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi Manajemen Agribisnis Teknologi produksi dan Pengembangan Masyarakat Pertanian Teknik Manajemen lingkungan Ekowisata Total
Jumlah Responden (orang)
Persentase (%)
32 15 16 12 9 13 22 23 7 10
16.2 7.6 8.1 6.1 4.6 6.6 11.2 11.7 3.5 5.1
18 9
9.1 4.6
4 7 197
2.0 3.5 100.0
Keseluruhan mahasiswa yang berasal dari 14 program keahlian tersebut, tersebar dalam tiga angkatan, yang berada pada pada tingkat yang berbeda, yaitu duduk di semester satu, semester tiga, dan semester lima. Jumlah mahasiswa pada tiga semester ini berada pada proporsi yang seimbang sesuai dengan jumlah keseluruhan mahasiswa Program Diploma IPB (populasi) penelitian. Proporsi tersebut adalah 35.0 persen mahasiswa semester satu, 34.0 persen mahasiswa semester tiga, dan 31.0 persen mahasiswa semester satu (Tabel 11). Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan masa studi (jumlah semester yang diikuti), 2016 Jumlah semester yang diikuti Satu Tiga Lima Total
Jumlah Responden (orang) 69 67 61 197
Persentase (%) 35.0 34.0 31.0
100.0
Program Diploma IPB setiap tahun menerima mahasiswa baru yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Penerimaan mahasiswa baru diselenggarakan melalui jalur reguler, undangan seleksi masuk IPB (USMI), jalur prestasi, dan utusan daerah. Kesempatan menjadi mahasiswa IPB terbuka bagi seluruh lulusan SMU atau sederajat di seluruh Indonesia, hal ini dapat dilihat dari responden yang berasal baik dari perkotaan maupun dari pedesaan. Responden yang bertempat tinggal asal dari kota mendominasi, yaitu sebesar 65.5 persen atau sebanyak 129 orang (Tabel 12).
33 Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan tempat tinggal asal, 2016 Tempat tinggal asal Desa Kota Total
Jumlah Responden (orang) 68 129 197
Persentase (%) 34.5 65.5
100.0
Kegiatan berorganisasi merupakan salah satu kegiatan yang umum dilakukan mahasiswa disamping kegiatan akademis. Kegiatan dalam organisasi dijadikan sebagai ajang aktualisasi diri bagi mahasiswa dalam menyalurkan kreativitas dan aspirasi. Keikutsertaan mahasiswa dalam organisasi dapat memberikan manfaat antara lain dalam melatih keterampilan komunikasi interpersonal, tanggung jawab, berfikir kritis, dan pengembangan jaringan yang bermanfaat bagi karir. Atas dasar itu, Program Diploma menyediakan fasilitas atau wadah organisasi agar mahasiswa dapat mengembangkan keahlian non akademis, meskipun keberadaan organisasi- organisasi tersebut tidak diikuti oleh seluruh mahasiswa. Berdasarkan keikutsertaan dalam organisasi dapat diketahui bahwa proporsi responden yang ikut serta dalam organisasi kemahasiswaan dan yang tidak adalah hampir seimbang, yaitu 49.7 persen ikut serta dalam organisasi dan 50.3 persen tidak ikut serta dalam organisasi (Tabel 13). Responden mengikuti organisasi kemahasiswaan yang terdapat di lingkungan Diploma IPB yang terdiri dari Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Mahasiswa (BEM), Minat profesi (MIPRO), dan Klub olahraga dan seni, dan forum kerohanian. Umumnya organisasi yang diikuti responden terkait dengan program keahlian atau yang bertujuan menambah keahlian dan pengembangan minat yang diwadahi dalam Minat Profesi. Responden mengikuti organisasi minat profesi berdasarkan rumpun keilmuan program keahlian, yaitu rumpun pertanian (MAPERTA) terdiri dari mahasiswa yang berasal dari PK , rumpun pangan dan gizi (MAPAGI), rumpun informasi dan teknologi (MICRO), rumpun lingkungan dan kimia (LIKISTA), dan rumpun manajemen (AKMAPESA). Responden juga mengikuti organisasi kemahasiswaan yang bertujuan pengembangan minat dan bakat bidang seni, olahraga serta kerohanian yang disebut klub atau forum, seperti paduan suara De Voice, teater jendela, klub fotografi Obscura, Forum Rohani Islam (Rohis), Forum Mahasiswa Kristen (FMK), Pervomad (organisasi untuk mengembangkan minat dan bakat olahrga bola volley), PSD (organisasi untuk mengembangkan minat dan bakat olahraga sepak bola). Selain itu, mahasiswa juga mengikuti organisasi mahasiswa daerah (OMD) seperti Ikatan Mahasiswa Simalungun, dan Keluarga Mahasiswa Banten. Organisasi lainnya yang diikuti adalah Genus, Action Cam Go Pro, Agrimovie, Tax Centre, Aromatic, organisasi di asrama, IMKN, Max, dan resimen mahasiswa (MENWA).
34 Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan keikutsertaan dalam organisasi, 2016 Keikutsertaan dalam organisasi Ya Tidak Total
Jumlah Responden (orang) 98 99
Persentase (%) 49.7 50.3
197
100.0
Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga mencakup tipe keluarga, tingkat pendidikan orang tua (ayah dan ibu), pekerjaan orang tua (ayah dan ibu), dan tingkat pendapatan orang tua (ayah dan ibu). Peubah pertama yang termasuk dalam karakteristik keluarga adalah tipe keluarga. Umumnya responden hidup dalam tipe keluarga utuh yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak yaitu sebesar 72.6 persen atau sebanyak 143 orang. Hal ini relevan dengan asal tempat tinggal responden yang sebagian besar adalah berasal dari kota. Karena dalam kehidupan sosial yang modern, sudah jarang ditemui keluarga yang tinggal bersama dengan kerabat lain, seperti nenek, kekek, ataupun sanak keluarga yang lain (keluarga besar). Responden dengan keluarga besar terdiri dari 23 orang. Keluarga dengan orang tua tunggal adalah sebuah kondisi dimana orang tua tidak lagi lengkap karena adanya perpisahan akibat kematian ataupun perceraian. Responden dengan orang tua tunggal cukup banyak, melebihi responden yang berasal dari keluarga besar, yaitu berjumlah 29 orang. Sementara keluarga campuran adalah keluarga yang terdiri dari ayah/ ibu tiri termasuk anak/ saudara tiri, hanya berjumlah dua orang atau sebesar 1.0 persen. Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan tipe keluarga, 2016 Tipe keluarga Keluarga utuh Keluarga besar
Keluarga dengan orang tua tunggal Keluarga campuran
Total
Jumlah Responden (orang) 143 23
Persentase (%)
2 197
1.0 100.0
29
72.6 11.7
14.7
Faktor penting lain dalam karakteristik keluarga yang dianalisis adalah tingkat pendidikan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua meliputi tingkat pendidikan ayah dan tingkat pendidikan ibu. Tingkat pendidikan keluarga diukur dalam kategori rendah, sedang dan tinggi. Menururt Setiawan dan Woyanti (2010) kondisi keluarga dengan pendidikan tinggi umum terjadi di perkotaan. Tingkat pendidikan ayah responden berada pada kategori tinggi, dimana hampir sebagian besar pendidikan terakhir ayah adalah lulusan dari Perguruan Tinggi yaitu sebesar 46,2 persen (Tabel 15). Sementara responden dengan tingkat pendidikan ayah sedang (lulusan SMA/ sederajat) berjumlah 73 orang, dan
35 sisanya atau 33 orang responden memiliki ayah dengan tingkat pendidikan rendah (di bawah SMA). Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ayah, 2016 Tingkat pendidikan ayah Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah Responden (orang) 33 73 91 197
Persentase (%) 16.7 37.1 46.2 100.0
Tingkat pendidikan ibu dalam penelitian ini juga termasuk tinggi, walaupun persentasenya berbeda dengan tingkat pendidikan ayah. Dewasa ini, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi tidak terbuka hanya bagi lakilaki, sehingga pada akhirnya tingkat pendidikan perempuan menjadi setara dengan laki-laki. Responden dengan tingkat pendidikan ibu berjumlah 81 orang atau sebesar 41.1 persen, disusul dengan tingkat pendidikan sedang sebanyak 77 orang, dan sebagian kecil dengan tingkat pendidikan rendah. Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu, 2016 Tingkat pendidikan ibu Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah Responden (orang) 39 77 81 197
Persentase (%) 19.8 39.1 41.1 100.0
Guitian (2009) mengemukakan bahwa pekerjaan dan keluarga adalah dua area dimana manusia menghabiskan sebagian besar waktunya. Pekerjaan dan keluarga memiliki ketergantungan satu sama lain sebagaimana keduanya berkaitan dengan pemenuhan hidup seseorang. Melalui pekerjaan, seseorang mengubah tidak hanya lingkungan namun juga dirinya, memperkaya dan menumbuhkan hidup dan semangatnya. Sementara itu, keluarga dipandang sebagai hal yang pertama dan paling penting dalam human society. Keluarga juga dikaitkan dengan kasih sayang dimana seseorang dapat mengembangkan diri dan memperoleh pemenuhan dirinya, serta merupakan tempat yang penting bagi sebuah kebahagiaan dan harapan. Berbeda dengan keluarga, pekerjaan adalah kondisi dan kebutuhan dasar bagi kehidupan keluarga, dan pada sisi lain merupakan sekolah pertama bagi pekerjaan untuk setiap orang. Jadi pekerjaan ditujukan bagi seseorang dan keluarga. Pekerjaan orang tua merupakan salah satu peubah penting dalam karakteristik keluarga untuk dianalisis. Pekerjaan ayah responden paling banyak merupakan wiraswasta yaitu sebesar 34 persen (Tabel 17) selain karyawan (23.4%), dosen/ guru (13.37 %), dan wiraswasta, pekerjaan lainnya dari ayah responden adalah PNS, pensiunan, anggota TNI, buruh, dokter gigi, petani, dan
36 polisi. Keseluruhan pekerjaan dalam kategori lainnya ini adalah sebesar 28.9 persen. Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan ayah, 2016 Pekerjaan Ayah Karyawan Guru/ dosen Wiraswasta Lainnya Total
Jumlah (orang) 46 27 67 57 197
Persentase (%) 23.4 13.7 34.0 28.9 100.0
Pekerjaan ibu dari responden paling banyak adalah ibu rumah tangga yaitu sebesar 43,6 persen. Kondisi ini kontras sekali dengan tingkat pendidikan ibu yang termasuk dalam kategori tinggi (Tabel 18). Kondisi ini sesuai dengan yang digambarkan Christine et al. (2011) yang mengemukakan bahwa pembagian peran pekerjaan dan tugas dalam rata-rata keluarga responden sangat jelas, seperti di masa lalu, dimana suami adalah pencari nafkah melalui pekerjaannya sedangkan istri merawat keluarga dan anak-anak, namun demikian, dewasa ini, kesempatan untuk bekerja tidak hanya terbuka bagi laki-laki. Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan ibu, 2016 Pekerjaan ibu Karyawan Guru/ dosen Wiraswasta Ibu rumah tangga Lainnya Total
Jumlah Responden (orang) 20 53 27 86 11 197
Persentase (%) 10.2 26.9 13.7 43.6 5.6
100.0
Hal ini dapat dilihat dari beragamnya pekerjaan ibu responden selain sebagai ibu rumah tangga, yaitu guru/ dosen (26.9%), diikuti karyawan (10.2%), dan wiraswasta (13.7%). Pekerjaan ibu responden selain yang telah disebutkan di atas adalah PNS, dokter gigi, petani, dan pensiunan. Bellante dan Jackson (1990) dalam Setiawan dan Woyanti (2010) mengatakan rata-rata tamatan perguruan tinggi mempunyai karakteristik individu yang unggul sehingga ia mempunyai penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata mereka yang berpendapatan rendah. Tingkat pendapatan keluarga diukur dari pendapatan yang masuk dalam suatu keluarga per bulan yang merupakan gabungan dari pendapatan ayah dan ibu. Berdasarkan Tabel 19, dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan orang tua responden termasuk dalam kategori tinggi, yaitu sebanyak 127 responden atau sebesar 64.5 persen. Tingkat pendapatan keluarga tinggi dikategorikan berada pada jumlah pendapatan lebih dari atau sama dengan lima juta rupiah per bulan. Pendapatan tingkat sedang adalah pendapatan
37 tiga sampai lima juta per bulan yaitu sebanyak 46 orang, dan sebagian kecil responden berada pada tingkat pendapatan kategori rendah yaitu kurang dari atau sama dengan tiga juta rupiah per bulan. Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan keluarga, 2016 Tingkat pendapatan orang tua Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 25 45 127 197
Persentase (%) 12.7 22.8 64.5 100.0
Tingkat Pengetahuan Mengenai Etika Komunikasi Pengetahuan mengenai etika komunikasi responden berada pada kondisi yang memprihatinkan, yaitu pada kategori rendah, sebesar 59.9 persen dari keseluruhan responden. Pengetahuan responden dikatakan kurang jika memperoleh skor sembilan sampai 12, dikatakan sedang jika memiliki skor 12 sampai 15, dan dikatakan tinggi jika memperoleh skor 15 sampai 18. Fenomena ini disebabkan karena mahasiswa sebagai responden kurang mengenal atau tidak akrab dengan istilah “etika komunikasi”. Responden mengetahui nilai-nilai yang baik dan buruk dalam perilaku komunikasi secara praktis, tetapi kurang memahami bahwa hal tersebut termasuk dalam istilah atau konsep “etika komunikasi” seperti yang ditanyakan dalam kuesioner. Pengetahuan yang rendah tentang etika komunikasi tentu perlu ditingkatkan, agar terjadi komunikasi yang berjalan dengan efektif dan memuaskan pihak pengirim dan penerima pesan. Perbawaningsih (1999) menelaah tentang fenomena etis dan tidak etis yang kian merebak. Misal saja, dari tataran hubungan di lingkungan organisasi kerja, komunikasi antar personal, bahkan komunikasi massa, tak jarang ditemui konflik yang terjadi akibat ketidaktahuan atau bahkan mungkin pengabaian akan nilai-nilai normatif. Pada banyak perilaku komunikasi, etika tidak banyak dijadikan sebagai pedoman dalam bertindak. Pengetahuan memiliki peranan yang sangat penting sebagai bekal bagi penerapan sebuah keterampilan. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan rendahnya pengetahuan mengenai etika. Penelitian yang dilakukan oleh Ismaili et al. (2011) menunjukkan kurangnya pengetahuan mengenai etika di kalangan mahasiswa. Penelitian lain yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Celen dan Seferoglu (2013) yang mengungkapkan bahwa terjadinya perilaku tidak etis dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi juga disebabkan karena tidak memiliki pengetahuan tentang tanggung jawab penggunaannya.
38 Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan mengenai etika Komunikasi, 2016 Tingkat pengetahuan responden Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
11 68 118 197
5.6 34.5 59.9 100.0
Sumber Informasi Mengenai Etika Komunikasi Sumber informasi mengenai etika komunikasi yang diperoleh responden paling banyak berasal dari keluarga, selain dari orang lain, buku/ media massa dan gabungan dari ketiga kategori tersebut. Responden yang memiliki sumber informasi mengenai etika komunikasi dari keluarga sebesar 30.5 persen (Tabel 21). Data ini menguatkan teori mengenai prinsip etika komunikasi interpersonal yang dikemukakan West dan Turner (2009) bahwa komunikasi itu dipelajari, sebagai sebuah proses belajar, termasuk mempelajari aturan di dalamnya. Sejak lahir kita diajarkan bagaimana berkomunikasi interpersonal, dan sebagian kita peroleh itu dari keluarga kita. Data ini juga menguatkan pandangan bahwa keluarga sebagai significant others yaitu orang lain yang sangat penting yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. West dan Turner (2009) juga menyebutkan bahwa ketika kita tumbuh besar, kita menghaluskan keterampilan kita selama kita berinteraksi dengan kelompok orang yang lebih luas, seperti guru, teman bekerja, dan pasangan (orang lain). Responden memperoleh informasi dari orang lain yaitu dari teman, guru di sekolah, guru spiritual, dan dosen. Penelitian ini tidak membuktikan teori tersebut secara signifikan, karena hanya sebagian saja responden yaitu sebesar dua persen yang menjadikan orang lain (affective others) sebagai sumber informasi mengenai etika komunikasi. Arus informasi dan komunikasi yang kian intens menerpa kita juga menjadikan informasi melalui buku dan media massa diantaranya media sosial sebagai salah satu sumber informasi mengenai etika komunikasi bagi responden. Sebesar 12.2 persen responden menjadikan buku/ media massa sebagai sumber informasi mereka mengenai etika komunikasi. Di era informasi yang semakin modern ini, ternyata peran keluarga, orang lain (teman, guru di sekolah, guru spiritual, dosen) dan buku/ media massa secara bersamaan memiliki kekuatan yang cukup signifikan dalam memainkan peran sebagai sumber informasi mengenai etika komunikasi. Penelitian ini menunjukkan terdapat 24.9 persen responden yang menjadikan keluarga, orang lain, dan buku/ media massa sebagai sumber informasi mereka mengenai etika komunikasi. Atau peringkat kedua dari jawaban responden yang paling banyak. Selain itu, terdapat sebagian kecil responden yang mengaku bahwa lingkungan, pengalaman, dan inspirasinya menjadi sumber informasi mereka
39 tentang etika komunikasi. Jawaban responden tersebut terangkum dalam jawaban pada kategori “lainnya.” Berdasarkan jawaban responden tersebut, maka dapat dikatakan bahwa selain significant others (keluarga) dan affective others (teman, guru), buku/ media massa, berperan sebagai sumber informasi yang sama pentingnya tentang etika komunikasi. Meskipun keluarga merupakan sumber informasi utama mengenai etika komunikasi, akan tetapi, keluarga tidak terbukti sebagai satusatunya sumber informasi mengenai etika komunikasi melainkan dilengkapi dari sumber lainnya. Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan sumber informasi mengenai Etika Komunikasi, 2016 Sumber informasi Keluarga Orang lain Buku/ media massa Keluarga, orang lain, buku/ media massa Keluarga, orang lain Keluarga, buku/ media massa Orang lain, buku/ media massa Lainnya Total
Jumlah (orang) 60 3 24 49
Persentase (%) 30.5 1.5 12.2 24.9
28 18
14.2 9.1
1
0.5
14
7.1
197
100.0
Penerapan Etika Komunikasi Penerapan etika komunikasi diukur berdasarkan beberapa kriteria yang telah dirumuskan dalam konsep penelitian. Kriteria tersebut yaitu tanggung jawab, jujur dan terus terang, toleransi dan kepekaan, menyampaikan informasi dengan tepat, tidak menghalangi proses komunikasi, menghargai dan menghormati, tidak memonopoli pembicaraan, tidak mengandung kekerasan, dan konsisten dalam petunjuk verbal dan non verbal. Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui kriteria-kriteria etika komunikasi yang telah diterapkan oleh responden dan kriteria etika komunikasi yang belum diterapkan oleh responden. Pembahasan akan menjelaskan penerapan etika komunikasi interpersonal mahasiswa pada setiap kriteria. Tanggung Jawab Berdasarkan definisi operasional yang telah disebutkan, bahwa kriteria tanggung jawab diukur berdasarkan kemampuan menanggapi (bersifat tanggap) terhadap setiap kebutuhan komunikasi dengan cara yang peka, cermat, dan tepat. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa parameter yaitu mendengarkan sebelum
40 memberikan respon, menanggapi pesan yang disampaikan orang lain, dan menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan. 1)
Mendengarkan sebelum memberikan respon. Berdasarkan hasil jawaban responden (Tabel 22) diketahui bahwa responden menyatakan setuju (52.8%) dan sangat setuju (19.3%) terhadap pernyataan ini. Responden mendengarkan kata-kata lawan bicara sampai dengan selesai sebelum menjawab atau memberikan respon. Mendengarkan dengan cermat dilakukan karena memiliki beberapa manfaat yaitu menghindari kesalahfahaman karena mengambil kesimpulan sebelum kalimat selesai diucapkan oleh lawan bicara dan mencegah dari memberikan respon yang keliru. Selain alasan tersebut, mendengarkan sebelum memberikan respon juga dilakukan agar mendapatkan informasi yang jelas, dan sebagai bentuk menghargai orang lain. Sebagian kecil responden yang mengatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju mengaggap tidak perlu mendengarkan dengan cermat sebelum memberikan respon jika kita sudah mengerti maksud pembicaraan lawan komunikasi. Hal ini bukanlah masalah terlebih jika lawan komunikasi adalah teman baik. Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “mendengarkan sebelum memberikan respon”, 2016 Mendengarkan sebelum memberikan respon Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
2)
Jumlah (orang) 38 104 21 23 11 197
Presentasi (%) 19.3 52.8 10.6 11.7 5.6 100.0
Menanggapi pesan yang disampaikan orang lain Pada indikator menanggapi, yaitu pada pernyataan negatif “responden diam saja jika merasa tidak berkenan menjawab pertanyaan seseorang”, responden lebih banyak menjawab tidak setuju (33%) walaupun jumlah tersebut tidak terlalu signifikan karena jumlah responden yang ragu-ragu (25.9%) dan yang menjawab setuju (24.4%) memiliki selisih angka yang tidak besar dengan responden yang menjawab setuju (Tabel 23). Responden yang tidak setuju beranggapan bahwa mereka tetap perlu memberikan tanggapan terhadap pertanyaan seseorang, sebagai bentuk menghargai sesama, dan sikap empati yaitu jika responden berada pada posisi lawan bicara yang perkataannya tidak ditanggapi pasti merasa tidak diperlakukan dengan baik. Bentuk menanggapi tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap yang bermacam-macam, mulai dari sekedar mengangguk, memberikan saran atau bahkan sekedar menunjukkan ketertarikan. Responden yang menjawab ragu-ragu beranggapan bahwa tidak selalu kita perlu menanggapi perkataan lawan bicara karena adakalanya lawan bicara memang tidak minta ditanggapi, tetapi hanya minta
41 perkataannya didengarkan saja. Salah satu contohnya adalah ketika seorang teman datang untuk menceritakan perasaan yang dialaminya saat beradaptasi dengan lingkungan barunya sebagai mahasiswa di kota Bogor. Berbuat acuh tak acuh terhadap pesan yang ditujukan kepada kita adalah sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan etika. Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menanggapi pesan yang disampaikan orang lain”, 2016 Menanggapi pesan yang disampaikan orang lain Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total 3)
Jumlah (orang) 12 48 51 65 21 197
Presentasi (%) 6.1 24.4 25.9 33.0 10.6 100.0
Menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan Tanggung jawab juga dapat ditunjukkan melalui penggunaan bahasa I (saya) daripada bahasa You (anda). Misalnya mengatakan “saat anda menonton pekerjaan ini, saya merasa gugup” daripada “anda membuat saya bekerja dengan gugup”. Responden belum menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan, sebagai bagian dari indikator tanggung jawab dalam etika komunikasi. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian besar responden yang menjawab tidak setuju (Tabel 24). Responden berpendapat, penggunaan bahasa You wajar dilakukan sebagai bentuk keterusterangan, terutama terhadap teman yang sudah akrab. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Wood (2013) bahwa mayoritas dari kita sering kali menggunakan bahasa You. Responden yang menggunakan bahasa I berpendapat bahwa penggunaan bahasa I dilakukan sebagai sebuah bentuk interopeksi diri, bahwa apa yang terjadi pada diri ataupun perasaan responden adalah berasal dari diri sendiri. Selain itu, penggunaan bahasa I adalah terdengar lebih sopan dan dilakukan agar lawan bicara tidak merasa tersinggung dengan kata-kata yang diucapkan. Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menggunakan bahasa yang mengakui pikiran & perasaan”, 2016 Menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 11 57 55 65 9 197
Presentasi (%) 5.6 28.9 27.9 33.0 4.6 100.0
42 Jujur dan terus terang Jujur dan terus terang merupakan indikator berikutnya dalam kriteria etika komunikasi. Sikap tidak jujur umumnya diidentifikasi dengan perilaku berbohong dengan berbagai tujuan. Indikator jujur dan terus terang dalam penilaian kriteria etika komunikasi dibagi menjadi tiga parameter, yaitu tidak berbohong untuk menghindari hukuman, tidak memanipulasi gambaran (image) diri, tidak berbohong untuk mengambil keuntungan. 1)
Tidak berbohong untuk menghindari hukuman Sebagian besar responden menyatakan setuju dengan pernyataan ini yaitu sebesar 35.0 persen (Tabel 25). Responden tidak berbohong untuk menghindari hukuman dari dosen. Menurut pengakuan responden, lebih baik berkata jujur walaupun mendapatkan hukuman, karena jika berbohong, pada akhirnya akan ketahuan juga. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh West dan Turner (2006) bahwa menjalankan prinsip kejujuran adalah lebih penting daripada menghawatirkan konsekuensi jangka pendek dari kejujuran. Jawaban responden yang lain adalah ragu-ragu sebesar 28.4 persen yang berarti responden melakukannya kadang-kadang atau secara situasional yaitu hanya jika dalam kondisi memaksa. Responden yang menjawab tidak setuju adalah 20.8 persen, sedangkan yang menjawab sangat tidak setuju adalah sebesar 4.1 persen. Responden yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju berpendapat bahwa tindakan berbohong untuk menghindari hukuman dari dosen adalah sebuah tindakan yang wajar, yang bertujuan untuk menyelamatkan diri, dan agar tidak mengundang konflik atau masalah yang bertambah besar. Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak berbohong untuk menghindari hukuman”, 2016 Tidak berbohong untuk menghindari hukuman Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
2)
Jumlah (orang) 23 69 56 41 8 197
Presentasi (%) 11.7 35.0 28.4 20.8 4.1 100.0
Tidak berbohong untuk memanipulasi gambaran (image) diri Sebagian besar responden menyatakan setuju dengan pernyataan ini (44.2%) artinya sebagian besar responden tidak berbohong untuk memanipulasi gambaran (image) diri (Tabel 26). Responden menyatakan perlu untuk bersikap apa adanya, tanpa harus memanipulasi gambaran (image) diri karena pada akhirnya karakter asli kita akan diketahui juga oleh orang lain. Responden yang menjawab ragu-ragu (21.3%) mengemukakan bahwa tindakan berbohong untuk memanipulasi gambaran (image) diri sewaktu-waktu perlu dilakukan misalnya saat bertemu dengan orang baru, atau bersifat situasional. Sementara responden menganggap
43 tindakan berbohong untuk memanipulasi gambaran (image) diri dilakukan sebagai “panggung depan” dalam hidup seseorang, yaitu tindakan-tindakan yang memang sengaja dilakukan agar dapat diterima orang lain, sekaligus menutupi tindakan atau karakter diri yang tidak disukai orang lain. Menurut Wijaya (2012), dalam konteks komunikasi antar pribadi, kebohongan untuk memanipulasi gambaran (image) diri disebut tindakan komunikasi koruptif. Kebohongan seperti ini dilakukan dengan cara memanipulasi diri sedemikian rupa dalam bentuk sikap, penampilan, dan informasi-informasi pada setiap kata yang diucapkan sehingga membentuk kesan dan persepsi tertentu sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak berbohong untuk memanipulasi gambaran (image) diri”, 2016 Tidak berbohong untuk memanipulasi gambaran (image) diri Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total 3)
Jumlah (orang) 35 87 42 30 3 197
Presentase (%) 17.8 44.2 21.3 15.2 1.5 100.0
Tidak berbohong untuk mengambil keuntungan Sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap pernyataan ini (48.2%) diikuti sangat setuju sebesar 35.6 persen (Tabel 27). Responden tidak bersedia menyampaikan informasi yang tidak benar meskipun menguntungkan. Responden tidak berbohong untuk mengambil keuntungan karena alasan moral, responden meyakini bahwa berbohong akan memicu datangnya masalah yang lain, misalkan akan mendapatkan hukuman jika ketahuan, dan keuntungan yang diperoleh melalui berbohong juga dianggap tidak akan mendatangkan kebaikan (tidak berkah). Jawaban responden yang lainnya adalah ragu-ragu (8.6%), artinya responden melakukan tindakan berbohong untuk mendapatkan keuntungan secara situasional, yaitu hanya jika terpaksa, misalkan mengemukakan sebuah alasan keterlambatan agar diizinkan masuk terlambat ke dalam kelas, atau hanya untuk menjaga nama baik. Responden yang melakukan tindakan berbohong untuk mengambil keuntungan (7.6%) biasanya melalukannya untuk menyembunyikan hal-hal yang bersifat pribadi (privacy). Menyembunyikan tujuan yang sebenarnya dalam proses komunikasi disebut sebagai sebuah manipulasi. Ada batas yang jelas antara manipulasi dan persuasi, dan pada situasi seperti ini sulit bagi orang kebanyakan untuk membedakannya. Manipulasi tampak seperti proses persuasif dan menyembunyikan tujuan sebenarnya (Sutiu 2014).
44 Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak berbohong untuk mengambil keuntungan” , 2016 Tidak berbohong untuk mengambil keuntungan Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Total
Jumlah (orang) 70 95 17 15 197
Presentase (%) 35.6 48.2 8.6 7.6 100.0
Toleransi dan kepekaan Toleransi dan kepekaan merupakan kriteria penting yang harus diterapkan dalam dalam mewujudkan etika komunikasi. Toleransi dan kepekaan mencakup dua parameter yaitu menerima perbedaan pendapat dan memperhatikan perasaan orang lain. 1) Menerima perbedaan pendapat Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian responden menjawab setuju yaitu sebesar 48.8% persen dan diikuti jawaban sangat setuju 18.3 persen (Tabel 28). Hal ini menunjukkan bahwa responden sebagian besar dapat menerima perbedaan pendapat dalam diskusi dengan teman. Menerima perbedaan pendapat dari teman merasa perlu dilakukan oleh reponden karena menurut penuturan responden, manusia tidak selamanya benar sehingga memerlukan koreksi dari orang lain, salah satunya melalui pendapat yang berbeda dari teman. Hal ini menunjukkan bahwa responden mampu mengharmoniskan perbedaan pendapat, pemikiran, tindakan, sikap dan pandangan hidup seperti dikemukakan oleh Maxim (2014). Sikap terbuka bagi adanya perbedaan pendapat berimplikasi positif bagi pengambilan keputusan yang lebih baik. Sebanyak 14.7 persen responden mengaku tidak selalu menerima perbedaan pendapat atau kadang-kadang. Hal ini dilakukan tergantung pada siapa yang memberikan pendapat. Responden menerima perbedaan pendapat jika yang memberikan pendapat adalah orang yang dapat dipercaya dan orang yang seringkali pendapatnya benar. Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menerima perbedaan pendapat”, 2016 Menerima perbedaan Pendapat Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 36 96 29 30 6 197
Presentase (%) 18.3 48.8 14.7 15.2 3.0 100.0
45 2) Memperhatikan perasaan orang lain. Responden berkomunikasi dengan memperhatikan perasaan orang lain yaitu tidak membicarkan masalah yang membuat lawan bicaranya menjadi sedih. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang menjawab setuju mendominasi yaitu sebesar 56.3%. Responden berpendapat tidak membuat lawan bicaranya merasa sedih dilakukan untuk mengantisipasi jikalau lawan bicaranya adalah seorang yang sensitif. Jawaban responden terbanyak kedua adalah ragu-ragu yang bermakna kadang-kadang masih melakukan yaitu sebesar 21.3% (Tabel 29). Hal ini menunjukkan bahwa responden sudah dapat menerapkan sikap empati yaitu mampu merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya (DeVito 2011). Responden membicarakan masalah yang membuat sedih lawan bicaranya hanya pada kondisi-kondisi tertentu seperti yang bersifat menegur untuk kebaikan, atau agar lawan bicaranya tidak mengulangi lagi perbuatan yang dianggap tidak baik. Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “memperhatikan perasaan orang lain”, 2016 Memperhatikan perasaan orang lain Sangat setuju Setuju Tidak setuju Ragu-ragu Total
Jumlah (orang) 38 111 6 42 197
Persentase (%) 19.3 56.3 3.1 21.3 100.0
Menyampaikan informasi dengan tepat Menyampaikan informasi dengan tepat merupakan salah satu kriteria etika dalam penelitian yang mengacu pada tiga dimensi yang berfungsi sebagai pedoman etika antarpesona menurut Grice (1975) yang dikutip oleh Johannesen (1996) yang mencakup dua hal yaitu menyampaikan informasi yang sudah pasti kebenarannya dan tidak berbicara secara berlebihan. 1) Menyampaikan informasi yang sudah pasti kebenarannya Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 30 pada jawaban setuju sebesar 48.2 persen atau sebagian besar responden menyampaikan informasi yang sudah pasti kebenarannya. Hal ini berlaku untuk pembicaraan yang serius. Responden yang melakukannya kadang-kadang (sebesar 22.8%) dan tidak setuju hanya sekedar sebagai variasi dalam pembicaraan, dan untuk pembicaraan ringan (tidak serius) seperti membicarakan rumor atau pembicaraan yang terkait dengan keluarga, dan permasalahan pribadi. Menyampaikan informasi dengan benar termasuk dalam maksim (dimensi) kualitas dalam berkomuniksi. Seseorang yang melanggar maksim (dimensi) kualitas dapat diidentifikasi pada perilakunya. Menurut Sari (2015), pelanggaran terhadap maksim kualitas salah satunya dengan menjawab asal asalan.
46 Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menyampaikan informasi yang sudah pasti kebenarannya”, 2016 Menyampaikan informasi yang sudah pasti kebenarannya Sangat setuju Setuju Tidak setuju Ragu-ragu Sangat tidak setuju Total 2)
Jumlah (orang) 31 95 21 45 5 197
Presentase (%) 15.7 48.2 10.7 22.8 2.6 100.0
Tidak berbicara berlebihan Responden tidak berkomunikasi dengan tepat secara kuantitas, atau masih berbicara secara berlebihan, yaitu dengan menambahkan pendapatnya selain fakta yang disampaikan. Hal ini ditunjukkan dengan jawaban reponden tidak setuju sebesar 35.6 persen dan ragu-ragu sebesar 29.4 persen (Tabel 31). Responden menyampaikan informasi yang ditambahkan dengan pendapatnya untuk memperkuat fakta, atau pada topik pembicaraan yang tidak serius, dan sebagai tanggapan pada informasi yang dirasa masih kurang jelas oleh lawan bicara. Menurut Grice (1975) dalam Johannesen (1996) bahwa agar terwujud prinsip kerjasama dalam komunikasi, setiap pihak yang berkomunikasi perlu memenuhi maksim percakapan diantaranya adalah maksim kuantitas dimana sebaiknya seseorang memberikan informasi atau kontribusi secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh lawan bicaranya. Bicara seperlunya saja dan relevan dengan masalah yang dibicarakan. Tindakan komunikasi yang bertentangan dengan hal ini merupakan pelanggaran terhadap etika komunikasi. Sari (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa penyimpangan atas maksim kuantitas mencakup memberi informasi yang tidak perlu atau dapat dikatakan berlebihan. Tabel 31 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak bicara berlebihan”, 2016 Tidak bicara berlebihan Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 4 52 58 70 13 197
Presentase (%) 2.0 26.4 29.4 35.6 6.6 100.0
Tidak menghalangi proses komunikasi Menghalangi proses komunikasi adalah sebuah tindakan tidak etis. Seharusnya, tindakan menghalangi proses komunikasi tidak terjadi. Analisis etika
47 komunikasi pada parameter ini diukur melalui tiga indikator yaitu tidak memotong pembicaraan, tidak mengalihkan topik pembicaraan, dan tidak mengganti subyek pembicaraan. 1) Tidak memotong pembicaraan Memotong pembicaraan orang lain adalah bentuk dari merendahkan orang lain. Responden tidak memotong pembicaraan orang lain sekalipun harus menyampaikan informasi yang penting. Responden sebagaian besar menjawab setuju yaitu sebesar 42.6 persen (Tabel 32), menurut responden, tidak memotong pembicaraan sekalipun harus menyampaikan informasi yang penting adalah salah satu bentuk menghargai orang lain, karena tindakan memotong pembicaraan orang lain adalah sangat menggaggu, tidak sopan, dan membuat orang lain merasa kesal. Jawaban responden yang lain adalah raguragu dan tidak setuju dengan presentasi yang hampir sama yaitu 23.9 persen ragu-ragu dan 23.3 persen tidak setuju. Responden memotong pembicaraan orang lain hanya jika terpaksa harus melakukan hal tersebut misalkan untuk meluruskan pendapat yang salah. Sebuah diskusi di kelas yang dipandu oleh moderator memungkinkan terjadinya kesempatan berbicara secara teratur dan bergantian bagi para pesertanya sehingga tidak perlu berebut untuk menyampaikan pendapat yang penting. Begitu pula dengan diskusi yang dipimpin oleh dosen. Tabel 32 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak memotong pembicaraan”, 2016 Tidak memotong pembicaraan Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 8 84 47 46 12 197
Presentase (%) 4.1 42.6 23.9 23.3 6.1 100.0
2) Tidak mengalihkan topik pembicaraan Mengalihkan topik pembicaraan ketika orang lain benar-benar masih mempunyai banyak hal untuk dikatakan, adalah suatu tindakan tidak etis. Sebagian besar responden menjawab setuju yaitu sebesar 52.3 persen (tabel 33). Responden sebagian besar tidak mengalihkan topik pembicaraan saat teman mengobrolnya masih asyik dengan ceritanya. Hal ini relevan dengan yang dinyatakan oleh Corry (2012) bahwa ada kebebasan dalam menyampaikan pendapat, keinginan atau aspirasi tetapi semua itu harus dilakukan dengan aturan atau etika komunikasi. Seseorang tidak boleh sembarangan dalam menyampaikan pendapat dan tuntutan tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Menurut penuturan responden tindakan mengalihkan topik pembicaraan saat orang lain masih punya banyak hal unutuk dibicarakan merupakan sebuah tindakan tidak menghargai orang lain, dan akan menimbulkan masalah. Responden yang menjawab ragu-ragu sebanyak ragu-ragu sebesar 23.4 persen. Responden mengalihkan topik
48 pembicaraan jika topik pembicaraan lawan bicaranya membosankan, diulangulang, atau bahkan informasi tersebut tidak seharusnya disampaikan, misalkan pembicaraan mengenai keburukan atau masalah pribadi seseorang. Tabel 33 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “Tidak mengalihkan topik pembicaraan”, 2016 Tidak mengalihkan topik pembicaraan Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total 3)
Jumlah (orang) 27 103 46 17 4 197
Presentase (%) 13.7 52.3 23.4 8.6 2.0 100.0
Tidak mengganti subyek pembicaraan Sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap pernyataan “tidak mengganti subyek pembicaraan” dengan persentase sebesar 35.0 persen (Tabel 34). Responden tidak menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain untuk mengalihkan subyek pembicaraan. Responden menganggap tidak mengganti subyek pembicaraan dilakukan agar komunikasi dapat berjalan efektif yaitu pesan tersampaikan dengan baik, dan agar pembicaraan berjalan dengan fokus. Responden menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain untuk mengalihkan subyek pembicaraan jika dalam pembicaraan tiba-tiba teringat hal lain yang dinilai lebih penting. Misalkan ketika seorang teman bertanya tentang sesuatu hal kepada responden, maka responden menjawab dengan pertanyaan tentang tugas kuliah untuk menggalihkan subyek pembicaraan. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap suka memperbolehkan, keobyektifan, dan keterbukaan fikiran yang mendorong kebebasan berekspresi seseorang (Corry 2012). Mengganti subyek pembicaraan dengan sengaja secara seenaknya berarti membatasi ekspresi seseorang untuk menyampaikan pesan. Tabel 34 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak mengganti subyek pembicaraan”, 2016 Tidak mengganti subyek pembicaraan Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 8 69 50 60 10 197
Presentase (%) 4.1 35.0 25.4 30.4 5.1 100.0
49 Menghormati dan menghargai orang lain Menghormati dan menghargai orang lain meliputi penghormatan terhadap seseorang tanpa memandang umur, status dan hubungannya juga penghormatan terhadap ide, perasaan, maksud, dan integritas orang lain. Hal ini dapat diaplikasikan pada beberapa tindakan, yaitu menghargai teman sebaya, menghormati ide orang lain dan menghormati keberadaan orang lain 1) Menghargai teman sebaya Sebagian besar responden (60.9%) mengaku tidak setuju dengan pernyataan ini, artinya responden belum menerapkan sikap menghargai kepada orang lain dengan usia yang sama (Tabel 35). Responden yang menyatakan raguragu (12.2%), menyapa terlebih dahulu kepada teman secara situasional misalnya tidak akan menyapa lebih dahulu kepada teman yang ketus, atau ketika seseorang/ teman tidak melihat. Tidak menyapa lebih dahulu jika sedang tidak berkenan atau tidak mood, jika sedang punya masalah, takut tidak ditanggapi, tidak kenal dekat, atau sedang terburu-buru/ tidak punya waktu. Sebagian kecil responden menyatakan setuju (9.1%) atau menghargai teman sebaya dengan beberapa alasan yaitu untuk terlihat memberikan kesan baik dan ramah, dan tidak sombong. Seringkali responden menganggap bahwa etika berkomunikasi hanya berlaku bagi orang yang lebih tua dari mereka, seperti orang tua dan dosen sehingga mereka bersikap dengan lebih santai kepada teman sebayanya. Hal ini tidak sesuai dengan dengan yang dikatakan oleh Nielsen dalam Johannesen (1996) bahwa untuk mencapai etika komunikasi diperlukan sikap penghormatan tanpa memandang umur. Tabel 35 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menghargai teman sebaya”, 2016 Menghargai teman sebaya Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total 2)
Jumlah (orang) 6 18 24 120 29 197
Presentase (%) 3.1 9.1 12.2 60.9 14.7 100.0
Menghormati ide orang lain Responden sebagian besar (70.6%) tidak setuju pada pernyataan menghormati orang lain (Tabel 36). Responden tidak mempertimbangkan ide dari teman sebelum mengambil keputusan bersama. Hal ini dikarenakan responden merasa idenya lebih baik dan paling benar. Hal ini bertentangan dengan sikap responden yang mampu menerima perbedaan pendapat. Responden cenderung mengambil keputusan berdasarkan ide/ pendapatnya sendiri. Responden cenderung menerima ide orang lain jika ide tersebut berasal dari orang yang memiliki kredibilitas seperti teman yang berkarakter baik dan pintar.
50 Tabel 36 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menghormati ide orang lain”, 2016 Menghormati ide orang lain Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total 3)
Jumlah (orang) 2 22 139 34 197
Presentase (%) 1.0 11.2 70.6 17.2 100.0
Menghormati keberadaan orang lain Responden sebagian besar setuju (56.4%) pada pernyataan ini, walaupun 19.3 persen menjawab ragu-ragu (Tabel 37). Responden tidak hanya menyapa orang yang “penting” ketika berkumpul. Artinya responden telah memiliki kesadaran untuk menghormati orang lain tanpa membedakan status. Selain itu, menurut DeVito (2011) bentuk penghormatan ini juga dapat dilakukan dengan melibatkan orang lain yang sedang bersama kita dalam pembicaraan kita dengan teman (komunikasi inklusi) atau tidak berbicara menggunakan bahasa daerah dengan teman saat kita bersama seseorang yang tidak mengerti bahasa daerah tersebut. Responden dengan jawaban ragu-ragu (19.3%) menyatakan kadang-kadang ketika berkumpul hanya menyapa orang yang dituju saja. Tabel 37 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “Menghormati keberadaan orang lain, 2016 Menghormati keberadaan orang lain Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 31 111 38 15 2 197
Presentase (%) 15.7 56.4 19.3 7.6 0.1 100.0
Tidak memonopoli pembicaraan Tidak memonopoli pembicaraan adalah suatu sikap etis untuk mempertahankan hubungan (Damanik 2012). Untuk menghindari memonopoli pembicaraan, sebaiknya kita tidak menganggap topik pembicaraan kita lebih penting dan tidak mendominasi pembicaran. 1)
Tidak menganggap topik pembicaraan sendiri lebih penting Responden sebagian besar setuju (60.4%) dan sebesar 25.9 persen (Tabel 38) sangat setuju terhadap pernyataan ini. Responden tidak menganggap bahwa bahan pembicaraannya lebih penting dari orang lain. Memonopoli
51 pembicaraan akan membuat komunikasi berjalan satu arah atau linier. Ekspresi ketenangan dan kesabaran kita dalam berkomunikasi akan menghasilkan komunikasi dua arah yang bercirikan penghargaan, perhatian, dan dukungan secara timbal balik dari pihak-pihak yang berkomunikasi (Corry 2012). Responden menganggap topik pembicaraan sendiri lebih penting pada saat-saat tertentu misalkan ketika mengikuti forum debat, pada situasi rapat, dan saat berbagi pengalaman. Tabel 38 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak menganggap topik pembicaraan sendiri lebih penting”, 2016 Tidak Menganggap topik pembicaraan sendiri lebih penting Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total 2)
Jumlah (orang) 51 119 15 10 2 197
Presentase (%) 25.9 60.4 7.6 5.1 1.0 100.0
Tidak mendominasi pembicaraan Responden memberikan jawaban dengan proporsi yang relatif seimbang antara setuju dan ragu-ragu. Responden menyatakan setuju pada pernyatan ini sebesar 3.,6 persen (Tabel 39) yang berarti responden sebagian besar tidak berada pada posisi mengendalikan saat mengobrol dengan teman, walaupun kadang-kadang sebagian responden melakukannya (jawaban ragu-ragu). Menjauhkan diri dari sikap mendominasi pembicaraan dapat membantu para pihak yang berkomunikasi dalam menjaga hubungan tetap baik (Dominik 2012). Responden mengendalikan pembicaraan hanya pada situasi yang menuntut demikian, misalnya pada saat harus menyampikan sebuah informasi, dan saat bertindak sebagai moderator dalam sebuah diskusi. Tabel 39 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak mendominasi pembicaraan”, 2016 Tidak mendominasi Pembicaraan Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 13 76 66 35 7 197
Presentase (%) 6.6 38.6 33.5 17.8 3.5 100.0
Tidak mengandung kekerasan Komunikasi yang tidak mengandung kekerasan adalah salah satu ciri komunikasi etis (Nosek 2012). Kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan dalam
52 bentuk halus (secara verbal). Penelitian menganalisis apakah responden menerapkan kriteria etika dalam bentuk tidak menggunakan kata-kata kasar, tidak menghina atau mengejek seseorang, dan tidak menggunakan kata-kata jorok. 1) Tidak menggunakan kata-kata kasar Sebagian besar responden menyatakan setuju sebesar 47.7 persen disusul dengan jawaban ragu-ragu sebesar 19.3 persen (Tabel 40). Responden tidak berkata kasar kepada orang tua meskipun dalam kondisi tidak nyaman, seperti melaksanakan perintah orang tua dengan terpaksa. Hal ini menunjukkan responden memiliki sikap yang baik dari segi tutur bahasa kepada orang tua. Menururt Fajar dan Jatiningsih (2015), kepribadian dan tingkah laku anak yang baik merupakan hasil dari pengasuhan dan penanganan yang baik pula dari orang tuanya. Cara berkomunikasi yang baik terhadap orang yang lebih tua salah satunya dapat dilakukan melalui penggunaan ungkapan penghalus yaitu eufimisme untuk menghindari kesan negatif dari suatu kata dan penggunaan kata honorifik yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan (Mulatsih 2014). Responden yang menggunakan kata-kata kasar kepada orang tua melakukannya dengan tidak sengaja, atau saat emosi. Tabel 40 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak menggunakan kata-kata kasar”, 2016 Tidak menggunakan kata-kata kasar Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 9 94 38 19 37 197
Presentase (%) 4.6 47.7 19.3 9.6 18.8 100.0
2) Tidak menghina atau mengejek seseorang Sebagian besar responden menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan ini yang ditunjukkan dengan presentase sebesar 40.6 persen (Tabel 41). Responden biasa melakukan tindakan saling mengejek dalam obrolan bersama teman. Responden terbiasa mengungkapkan kata-kata hinaan dan ejekan dalam komunikasi sehari-hari bersama teman. Responden menganggap kata-kata hinaan dan ejekan merupakan kata-kata yang bernada gurauan. Menurut responden, ungkapan-ungkapan ejekan disampaikan sebagai wujud keakraban, sarana mempererat hubungan, dan menurut responden, kata-kata hinaan atau ejekan yang diucapkan tidak menyinggung perasaan baik bagi responden, maupun lawan bicara terutama dalam hubungan teman akrab. Salah satu penyebab akrabnya kata-kata yang bersifat menghina dan mengejek bagi reponden adalah pengaruh tayangan media televisi. Kata-kata yang bernada mengejek dan menghina banyak disajikan secara vulgar oleh televisi sebagai sajian yang menghibur seperti program
53 komedi, film dan sinetron sehingga tidak disadari tayangan-tayangan seperti ini menjadi sarana sosialisasi kekerasan verbal atau verbal violence (Soedarsono 2012). Kata-kata ejekan yang biasa disampaikan misalnya katakata julukan. Responden yang tidak setuju dengan pernyataan ini mengungkapkan, ungkapan ejekan tidak bisa diterima saat perasaan hati sedang tidak baik, sedang sedih, atau saat sedang membicarakan pembicaraan serius. Responden yang menghina dan mengejek teman secara kadangkadang (jawaban ragu-ragu sebesar 28.9%) berpendapat, ungkapan ejekan disampaikan dengan menyesuaikan siapa lawan bicaranya, ungkapan ejekan disampaikan hanya pada lawan bicara yang dianggap bisa menerima ejekan tersebut. Tabel 41 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak menghina atau mengejek seseorang”, 2016 Tidak menghina atau mengejek seseorang Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 9 38 57 80 13 197
Presentase (%) 4.6 19.3 28.9 40.6 6.6 100.0
3) Tidak menggunakan kata-kata jorok Responden telah cukup baik menerapkan kriteria etika komunikasi pada parameter tidak menggunakan kata-kata jorok, meskipun pada teman sebaya. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar dari responden menyatakan setuju untuk tidak menggunakan kata-kata jorok, yaitu sebesar 43.7 persen (Tabel 42). Responden tidak menggunakan kata-kata jorok dalam mengobrol. Responden berpendapat, kata-kata jorok tidak boleh disampaikan karena dilarang secara moral (dosa). Responden juga tidak berkata jorok karena tidak terbiasa (tidak ada dalam kebiasaan atau budaya responden). Hal ini sesuai dengan pendapat Mulatsih (2014) bahwa prinsip kesantunan dalam berkomunikasi sebaiknya menghindari kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organorgan tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada suatu benda yang menjijikan dan kata-kata kotor atau kasar tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari kecuali untuk tujuan tertentu. Sebagian kecil responden atau yang menjawab tidak setuju (15.2%) dan sangat tidak setuju (9.6%) menganggap penggunaan kata-kata jorok dilakukan karena merupakan hal biasa, digunakan untuk mempererat hubungan, dan karena terbawa lingkungan.
54 Tabel 42 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “tidak menggunakan kata-kata jorok’, 2016 Tidak menggunakan kata-kata jorok Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 30 86 32 30 19 197
Presentase (%) 15.2 43.7 16.2 15.2 9.7 100.0
Konsisten dalam petunjuk verbal dan non verbal Pesan non verbal merupakan salah satu unsur penting dalam proses komunikasi. Pesan non verbal dalam parameter penelitian terdiri dari ekspresi atau mimik wajah, dan paralinguistik. Konsisten dalam petunjuk verbal dan non verbal terdiri dari menunjukkan sikap komunikasi dengan mimik wajah yang sesuai, menunjukkan sikap komunikasi dengan nada bicara yang sesuai, dan menunjukkan sikap komunikasi dengan volume suara yang sesuai. 1) Menunjukkan sikap komunikasi dengan sikap tubuh dan mimik wajah yang sesuai Pesan non verbal dalam proses komunikasi dinilai lebih jujur dibandingkan pesan verbal, sehingga komunikasi non verbal lebih dapat dipercaya dibandingkan kata-kata (DeVito 2011). Responden sebagian besar tidak setuju (34.5%) dengan pernyataan ini. Responden bersikap seperti ini jika menganggap topik yang dibicarakan tidak terlalu serius, atau topik tidak terlalu penting. Jawaban responden yang paling banyak berikutnya adalah ragu-ragu sebesar 33.5 persen (Tabel 43). Responden bersikap tidak konsisten dalam menunjukkan sikap tubuh dan mimik wajah yang sesuai dengan pesan verbal yang diucapkan. Responden memperhatikan perkataan teman dengan sikap tubuh yang santai dan kontak mata yang tidak fokus. Seharusnya sikap memperhatikan apa yang dibicarakan teman didukung dengan sikap tubuh yang tegak dan menjaga kontak mata. Tabel 43 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menunjukkan sikap komunikasi dengan sikap tubuh dan mimik wajah yang sesuai”, 2016 Menunjukkan sikap komunikasi dengan sikap tubuh dan mimik wajah yang sesuai Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 5 49 66 68 9 197
Presentase (%) 2.5 24.9 33.5 34.5 4.6 100.0
55 2) Menunjukkan sikap komunikasi dengan nada bicara yang sesuai Untuk mewujudkan etika, penggunaan unsur paralinguistik pada saat yang sesuai perlu diperhatikan (Mulatsih 2004). Salah satu unsur paralinguistik adalah nada atau intonasi. Salah satu contoh menunjukkan sikap komunikasi dengan nada bicara yang sesuai yaitu menyatakan persetujuan dengan intonasi yang sesuai meskipun pendapatnya tidak diterima saat berdiskusi. Responden sebagian besar menyatakan ragu-ragu pada pernyataan ini yaitu sebesar 61.4 persen dan menyatakan setuju sebesar 17.3 persen (Tabel 44). Responden dengan jawaban ragu-ragu berarti menunjukkan sikap komunikasi dengan nada bicara yang sesuai secara situasional (kadang-kadang). Sikap ini ditunjukkan saat merasa terpaksa menyatakan persetujuan terhadap pendapat yang dinilai tidak lebih baik dari pendapat pribadinya. Responden menilai perlu menyatakan persetujuan dengan intonasi yang sesuai meskipun pendapatnya tidak diterima saat berdiskusi dengan tujuan untuk menjaga hubungan baik dengan lawan berbicara. Sementara responden yang menyatakan persetujuan dengan nada bicara yang tidak sesuai lebih dikarenakan faktor kebiasaan. Tabel 44 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menunjukkan sikap komunikasi dengan nada bicara yang sesuai”, 2016 Menunjukkan sikap komunikasi dengan nada bicara yang sesuai Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 10 34 121 28 4 197
Presentase (%) 5.1 17.3 61.4 14.2 2.0 100.0
3) Menunjukkan sikap komunikasi dengan volume suara yang sesuai Responden menyatakan setuju terhadap pernyatan ini yaitu sebesar 47.2 persen, diikuti sangat setuju sebesar 27.4 persen (Tabel 45). Responden dapat menempatkan diri kapan saatnya berbicara dengan suara keras dan kapan harus berbicara dengan suara pelan bahkan berbisik. Misalnya berbicara keras ketika menjawab pertanyaan dosen di dalam kelas dan berbisik jika bertanya pada teman saat perkuliahan tengah berlangsung di dalam kelas. Responden biasanya bersuara keras karena faktor kebiasaan, dan situasi seperti saat sedang ramai, saat melakukan presentasi, dan saat ingin didengar. Responden bersuara keras untuk menunjukkan emosi seperti saat sedang marah.
56 Tabel 45 Sebaran responden berdasarkan penerapan etika komunikasi “menunjukkan sikap komunikasi dengan volume suara yang sesuai”, 2016 Menunjukkan volume suara yang sesuai Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
Jumlah (orang) 54 93 27 19 4 197
Presentase (%) 27.4 47.2 13.8 9.6 2.0 100.0
Tingkat Penerapan Etika Komunikasi Interpersonal pada Responden Evaluasi penerapan etika komunikasi seperti dijabarkan di atas dapat juga kita ukur berdasarkan tingkat, yaitu baik, cukup, ataupun kurang. Pengukuran ini dilakukan melalui skoring pada jawaban dari setiap butir pertanyaan dalam kuesioner. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa responden berada pada tingkat penerapan etika komunikasi dengan kategori cukup, yaitu sebesar 81.7 persen (Tabel 46). Jumlah skor dalam mengukur penerapan etika adalah skor lebih dari 89 sampai dengan 120 adalah baik, skor 57 sampai dengan 89 adalah cukup, dan skor 24 sampai dengan 56 adalah kurang. Responden yang memperoleh skor lebih dari 89 sampai dengan 120 adalah 36 orang (18.3%), yang memperoleh skor 57 sampai dengan 89 adalah 161 orang, sedangkan tidak satupun responden yang memperoleh skor 24 sampai dengan 56. Tabel 46 Sebaran responden berdasarkan tingkat penerapan etika komunikasi, 2016 Penerapan etika komunikasi Baik Cukup
Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
197
100.0
36 161
18.3 81.7
Hubungan Penerapan Etika Komunikasi dengan Karakteristik Responden Analisis hubungan atau korelasional untuk melihat hubungan penerapan etika komunikasi dengan karakteristik responden (karakteristik individu dan karakteristik keluarga) dilakukan menggunakan analisis Khi Kuadrat. Hasil dari analisis Khi Kuadrat menunjukkan ada atau tidaknya diantara peubah-peubah individu dan peubah-peubah keluarga yang berhubungan dengan penerapan etika komunikasi. Selain itu, analisis Khi Kuadrat juga dilakukan untuk melihat hubungan antara penerapan etika komunikasi dengan peubah tingkat pengetahuan responden dan sumber informasi mengenai etika komunikasi
57 Hubungan penerapan Etika komunikasi dengan Karakteristik Individu Berdasarkan hasil analisis korelasi dengan menggunakan Khi Kuadrat diperoleh hasil bahwa hanya ada satu peubah dalam peubah karakteristik individu yang terdapat hubungan dengan penerpan etika komunikasi (Tabel 47). Secara jelas, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara penerapan etika komunikasi dengan jenis kelamin. Tidak ada perbedaan penerapan etika komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Faktor suku responden juga tidak berhubungan dengan penerapan etika komunikasi. Tidak ada perbedaan penerapan etika komunikasi pada suku yang berbeda, baik itu suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, maupun suku campuran, dan lainnya. Demikian juga dengan agama, tidak memiliki hubungan dengan penerapan etika komunikasi responden. Varibel karakteristik individu yang berhubungan adalah tempat tinggal asal responden dengan nilai koefisien korelasi Khi Kuadrat (X2) sebesar 4.671. Faktor karakteristik ini dikatakan berhubungan karena berdasarkan data pada kolom Asymp. Sig (2-tailed) atau Asymptotic significance untuk dua sisi sebesar 0.031, yaitu signifikansi lebih kecil dari nilai alpha (α) 0.05 maka diputuskan untuk terima H1, yaitu terdapat hubungan nyata (signifikan) antara penerapan etika komunikasi dengan jenis tempat tinggal asal responden (Tabel 47). Berbeda dengan peubah karakteristik individu yang telah disebutkan di atas, peubah karakteristik individu berikutnya, yaitu tempat tinggal asal responden memiliki hubungan dengan penerapan etika komunikasi. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa responden yang berasal dari desa memiliki tingkat penerapan etika yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang berasal dari kota. Adanya hubungan ini, relevan dengan apa yang diungkapkan oleh Raharjo (2004) megenai pola kebudayaan pedesaan dari suatu kelompok masyarakat yang tidak terlepas dari cara hidup atau system mata pencaharian masyarakat itu, dimana agama atau kepercayaan sering merupakan elemen pokok yang menjadi cultural focus pola kebudayaan suatu masyarakat, lebih-lebih untuk masyarakat yang masih bersahaja. Bersumber pada agama/ kepercayaan ini terciptalah adat istiadat atau bentuk tradisi yang mengatur seluruh kehidupan masyarakat yang mencakup sistem nilai, norma, sistem kepercayaan, sistem ekonomi, dan lainnya. Berdasarkan pendapat Raharjo (2004) di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat pedesaan yang relatif masih memegang norma agama memiliki penerapan etika komunikasi yang lebih baik dibandingkan masyarakat yang berasal dari perkotaan, yang dalam hal ini diwakili oleh responden. Dimana norma-norma atau etika komunikasi salah satunya berkembang dari norma agama. Selain itu, masyarakat desa masih memiliki kesempatan yang minim dalam berinteraksi dengan para pendatang yang membawa norma-norma baru dibandingkan masyarakat perkotaan, sehingga masih lebih kuat dalam memegang norma-norma yang dianutnya. Di wilayah perkotaan yang materialistik, masyarakatnya juga cenderung individualistik, sehingga banyak perilakunya yang tidak memikirkan dampaknya pada orang lain. Berdasarkan studi etnosains, situasi ini juga terjadi sebagai sebuah strategi adaptasi terhadap lingkungan bagi responden. Menurut Haviland yang dikutip Elfira (2013) bahwa manusia beradaptasi melalui medium kebudayaan ketika mereka mengembangkan cara-cara untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan
58 sumber daya yang dimiliki dan juga dalam batas-batas lingkungan tempat mereka hidup. Responden asal desa bersikap lebih hati-hati yang ditunjukkan dengan penerapan etika dalam komunikasi dibandingkan responden asal kota sebagai strategi adaptasinya memasuki lingkungan baru, agar dapat diterima di lingkungan barunya. Jumlah uang saku responden, program keahlian dan masa studi responden juga tidak memiliki hubungan dengan penerapan etika komunikasi. Tidak ada perbedaan dalam penerapan etika komunikasi pada responden dengan jumlah kepemilikan uang saku rendah, sedang ataupun tinggi. Program keahlian yang berbeda juga tidak menunjukkan adanya penerapan etika komunikasi. Masa studi atau jumlah semester yang sedang diikuti juga tidak menunjukkan penerapan etika komunikasi yang berbeda. Responden dengan masa studi yang lebih lama tidak menunjukkan penerapan etika komunikasi yang lebih baik dari responden dengan masa studi yang lebih sebentar. Peubah karakteristik individu berikutnya yang tidak berhubungan dengan penerapan etika komunikasi adalah keikutsertaan dalam organisasi. Keikutsertaan dalam organisai tidak menunjukkan adanya penerapan etika komunikasi yang berbeda dengan mereka yang tidak mengikuti organisasi. Tabel 47 Hasil Uji Korelasi Khi Kuadrat antara penerapan etika komunikasi dengan karakteristik individu Karakteristik Individu Jenis Kelamin Suku Agama Jumlah uang saku/ bulan Program Keahlian Masa studi (Jumlah semester yang diikuti) Tempat tinggal asal Keikutsertaan dalam organisasi Keterangan: *signifikan pada P < 0.05
Koefisien Korelasi Khi Kuadrat (X2) 0.040 8.842 1.937 0.504
Asymp. Sig. (2-sided) 0.842 0.116 0.586 0.777
17.648 2.209
0.171 0.331
4.671 3.276
0.031* 0.070
Hubungan Penerapan Etika Komunikasi dengan Karakteristik Keluarga Berdasarkan data pada kolom Asymp.Sig. (2-sided) dengan signifikansi lebih besar daripada 0.05 maka diputuskan untuk menerima H0 yaitu tidak terdapat hubungan nyata (signifikan) antara peubah karakteristik keluarga dengan penerapan etika komunikasi. Hasil uji korelasi ini dapat dilihat pada tabel 48. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan penerapan etika komunikasi pada responden dengan tipe keluarga yang berbeda, baik itu keluarga utuh, keluarga besar, keluarga dengan orang tua tunggal, maupun keluarga campuran. Begitu pula dengan tingkat pendidikan orang tua.
59 Pendidikan ayah dan ibu responden termasuk tinggi, akan tetapi tidak adanya hubungan tingkat penerapan etika komunikasi responden dengan tingkat pendidikan orang tua, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang tinggi tidak menjamin adanya penerapan etika komunikasi yang baik. Ketiadaan hubungan antara tingkat penerapan etika komunikasi dan tingkat pendidikan orang tua juga tidak sesuai dengan pendapat Carvalhaes (2001) dalam hasil penelitiannya yaitu terdapat kecenderungan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang semakin baik menunjukkan keterlibatan yang lebih besar dalam keterlibatan pengasuhan pada proses belajar anak, sehingga diharapkan perilaku anak menjadi lebih baik. Padahal pendidikan formal merupakan suatu investasi masa depan dan seharusnya dapat mendukung pendapat Brata (2012) yang mengemukakan bahwa makin tinggi pendidikan perempuan akan makin positif manfaatnya bagi pembangunan manusia. Peubah pekerjaan orang tua responden, baik pekerjaan ayah ataupun ibu juga tidak memberikan perbedaan pada penerapan etika komunikasi responden, sekalipun banyak diantara responden yang memiliki ayah dan ibu yang berprofesi sebagai pendidik (guru/ dosen). Kondisi ini menunjukkan orang tua sibuk dengan aktivitas di luar rumah. Ibu rumah tangga sebagai pekerjaan dominan dari ibu responden juga tidak menunjukkan adanya penerapan etika komunikasi yang lebih baik pada responden. Tingkat pendapatan keluarga responden juga tidak menunjukkan adanya hubungan dengan penerapan etika komunikasi responden. Tidak ada perbedaan penerapan etika komunikasi pada responden dengan tingkat pendapatan keluarga yang berbeda. Tabel 48 Hasil uji korelasi Khi Kuadrat antara penerapan etika komunikasi dengan karakteristik keluarga Karakteristik keluarga Tipe keluarga Tingkat Pendidikan Ayah Tingkat pendidikan ibu Pekerjaan Ayah Pekerjaan Ibu Tingkat pendapatan keluarga
Koefisien Korelasi Khi Kuadrat (X2)
Asymp.Sig. (2-sided)
1.489 0.230
0.685 0.891
0.474 4.393 6.146 3.210
0.789 0.222 0.189 0.201
Hubungan Penerapan Etika Komunikasi Dengan Tingkat Pengetahuan dan Sumber Informasi Mengenai Etika Komunikasi Sebagai peubah terikat, maka dilakukan juga uji korelasi antara penerapan etika komunikasi dengan pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi. Hasil uji korelasi dengan menggunakan Khi Kuadrat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penerapan etika komunikasi dengan pengetahuan maupun sumber informasi mengenai etika komunikasi (Tabel 49).
60 Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi pada kolom Asymp.Sig. (2-sided) yang lebih besar daripada nilai alpha (α) 0.05 pada koefisien korelasi (X2) yang diperoleh sehingga terima H0. Tidak adanya hubungan penerapan etika komunikasi dengan pengetahuan mengenai etika komunikasi menunjukkan adanya kecenderungan pengajaran etika komunikasi dalam bentuk praktek langsung dan pembiasaan. Hal ini disebabkan meskipun pengetahuan responden tentang etika komunikasi adalah rendah, tetapi tingkat penerapan etika komunikasi responden berada pada kategori cukup. Hal ini relevan dengan penelitian yang dilakukan Idrus (2004) dalam Idrus dan Rosmiyati (2008) bahwa hal ini seperti yang terjadi pada pola asuh budaya Jawa yang mengajarkan kepatuhan dengan mulai mengenalkan nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak-anak sejak dini dan mengajarkan mereka untuk berlaku sopan baik terhadap orang tua, orang yang lebih tua, ataupun orang lain. Kebiasaan ini bisa jadi ikut mempengaruhi kebiasaan anak-anak dari suku Jawa dalam berkomunikasi dan berinteraksi setiap hari. Tabel 49 Hasil uji korelasi Khi Kuadrat antara penerapan etika komunikasi dengan pengetahuan mengenai dan sumber informasi mengenai etika komunikasi Peubah Pengetahuan mengenai Etika komunikasi Sumber informasi mengenai etika komunikasi
Koefisien Korelasi khi Kuadrat (X2) 0.234
Asymp.Sig. (2-sided)
3.107
0.875
0.890
Sumber informasi mengenai etika komunikasi responden yang beragam ternyata tidak memilki hubungan dengan penerapan etika komunikasi. Hal ini berarti peran keluarga, orang lain, dan buku/ media massa memiliki peran yang sama penting dalam memberikan informasi mengenai keterampilan etika komunikasi. Salah satu bentuk media massa yang banyak digunakan saat ini adalah internet. Penelitian yang dilakukan Novianto (2012) tentang penggunaan internet di kalangan mahasiswa menunjukkan bahwa motif penggunaan internet diantaranya dilatarbelakangi oleh motif kognitif, menghabiskan waktu, dan interaksi sosial melalui media jejaring sosial. Beberapa tujuan mahasiswa menggunakan internet adalah untuk kegiatan pencarian informasi untuk tugas akademis dan memperkaya sumber belajar. Fitur media sosial saat ini juga memudahkan penggunanya mendapatkan informasi tanpa harus sengaja mencari tahu yaitu melalui fasilitas artikel tautan. Peningkatan pengetahuan tentang etika komunikasi pada kalangan mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda sangat penting untuk diperhatikan. Peningkatan pengetahuan ini diharapkan mampu meningkatkan penerapan atau keterampilan etika komunikasi secara signifikan. Sumber pengetahuan yang dapat diupayakan salah satunya adalah melalui media informasi untuk mensosialisasikan
61 nilai-nilai etika, baik secara formal di bangku pendidikan maupun melalui media sosial yang marak sekarang ini. Perbedaan Karakteristik Responden Terhadap Tingkat Penerapan Etika Komunikasi Uji beda dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan tingkat penerapan etika komunikasi pada peubah jenis kelamin, suku, jumlah uang saku, tempat tinggal asal, keikutsertaan dalam organisasi, tingkat pendidikan orang tua (ayah dan ibu), tingkat pendapatan orang tua (ayah dan ibu). Tingkat penerapan etika komunikasi terbagi menjadi dua kategori yaitu baik dan cukup. Berdasarkan uji beda, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik responden terhadap tingkat penerapan etika komunikasi yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi pada kolom Asymp.Sig. (2-tailed) yang lebih besar daripada alpha (α) 0.05. Hal ini mengandung pengertian bahwa penerapan etika komunikasi interpersonal responden tidak dipengaruhi oleh karakteristik (baik itu karakteristik individu maupun karakteristik keluarga). Hasil uji beda karakteristik responden terhadap tingkat penerapan etika komunikasi disajikan pada Tabel 50 berikut. Tabel 50 Koefisien uji beda karakteristik responden terhadap tingkat penerapan etika komunikasi Karakteristik responden Jenis kelamin Suku Jumlah uang saku Tempat tinggal asal Keikutsertaan dalam organisasi Tingkat pendidikan ayah Tingkat pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Tingkat pendapatan ayah Tingkat pendapatan ibu
Koefisien Uji Beda
Asymp. Sig. (2-tailed)
-1.449 8.656 1.302 -1.384 -0.589
0.147 0.124 0.522 0.166 0.556
0.471 1.359 0.751 3.925 7.739 1.031
0.790 0.507 0.861 0.416 0.052 0.794
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik beberapa hal sebagai simpulan yang merupakan jawaban dari perumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Beberapa hal yang dapat ditarik sebagai simpulan adalah sebagai berikut.
62 1.
2.
3. 4.
Penerapan etika komunikasi responden berada pada kategori cukup atau sedang. Beberapa kriteria etika komunikasi interpersonal yang penerapannya perlu ditingkatkan oleh responden terutama adalah menghormati ide orang lain dan menghargai teman sebaya, disamping menanggapi, menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan, tidak bicara berlebihan, tidak menghina atau mengejek seseorang, dan menunjukkan sikap komunikasi dengan sikap tubuh dan mimik wajah yang sesuai. Penerapan etika komunikasi pada responden berhubungan dengan karakteristik individu pada peubah tempat tinggal asal responden, dimana responden yang berasal dari desa memiliki penerapan etika komunikasi yang lebih baik dibandingkan responden yang berasal dari kota. Penerapan etika komunikasi responden tidak memiliki hubungan dengan karakteristik keluarga responden. Penerapan etika komunikasi responden tidak memiliki hubungan dengan tingkat pengetahuan dan sumber informasi mengenai etika komunikasi.
Saran Penerapan etika komunikasi interpersonal pada responden mendorong penulis untuk merekomendasikan beberapa hal terkait penerapan etika komunikasi yang diharapkan pada responden. Beberapa saran yang diberikan adalah sebagai berikut. 1. Perlunya mengintegrasikan peningkatan kualitas komunikasi dengan intensif antara mahasiswa asal desa dan kota, salah satunya melalui keikutsertaan dalam organisasi intra kampus yang melibatkan mahasiswa dengan asal tempat tinggal yang heterogen. 2. Untuk memahami hasil penelitian ini akan lebih menarik jika responden pada penelitian selanjutnya terdiri dari seluruh jenjang pendidikan yang ada di IPB yaitu Diploma, Sarjana, dan pascasarjana. DAFTAR PUSTAKA Ancok D. 2012. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian. Di dalam: Effendi S. & Tukiran. Metode Penelitian Survey. Jakarta (ID): LP3ES. Aretha N. 2013. Pengaruh Kualitas Komunikasi Interpersoal Terhadap Tingkat Loyalitas Pelanggan (Studi Pada Pelanggan Kedai Kopi Ekspreso Baru, Yogyakarta). [disertasi]. Yogyakarta (ID): Universitas Atmajaya Yogyakarta. Arikunto. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Assauri S. 2012. Manajemen Pemasaran: Dasar, Konsep, dan Strategi. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Babbie E. 2010. The Practice of Social Research. Belmont (US): Wadsworth Engage Learning. Baym NK, Zhang YB, Lin MC. 2004. Social interactions across media interpersonal communication on the internet, telephone and face-to-face. New Media & Society. 6(3):299-318. Bergmark U. 2007. Ethical learning through meetings with other. The International Journal of Learning. 14(5):105-112. Bertens K. 1993. Etika. Jakarta (ID): Gramedia Jakarta Utama.
63 Brata A. G. 2002. Pembangunan manusia dan kinerja ekonomi regional di Indonesia. Economic Journal of Emerging Markets, 7(2). Bungin B. 2005. Metode penelitian Kuantitatif. Edisi ke-2. Jakarta (ID): Kencana. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus. Jakarta (ID): Kencana. Burnett P. C., & Demnar, W. J. 1996. The relationship between closeness to significant others and self-esteem. J of Fam Stud, 2(2):121-129. Carvalhaes. 2010. Innovations in Child and Family Policy.: Multidiciplinary Research and Perspective on Strengthening Children and Their Families. Di dalam: Douglas, Emily M, editor. Maryland (GB): Lexington Books. Celen FK, Seferoglu SS. 2013. Investigation of elementary school student’s opinions related to unethical behavior in the use of information and communication technologies. Proced Soc and Behavior Scienc. 83 (2013):417421. Christine WS, Oktarina M, Mula I. 2011. Pengaruh konflik pekerjaan dan konflik keluarga terhadap kinerja dengan konflik pekerjaan keluarga sebagai intervening peubah (studi pada dual career couple di jabodetabek). Jurnal manajemen dan kewirausahaan. 12(2):121-132. Corry A. 2012. Etika berkomunikasi dalam penyampaian aspirasi. J Komunik. 1(1):14-18. Damanik NP. 2012. Analisis Management Hubungan Pemasok dan pelanggan Pedagang Perantara (Studi Deskripsi Tentang Aktivitas Bisnis Pengepul Sayuran di dusun Sowanan, kelurahan Ngablak, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang). [internet] diakses tanggal 18 November. 2015. Tersedia pada Repositori.uksw.edu. Dariyo A. 2011. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung (ID): Refika Aditama. DeVito JA. 2011. Komunikasi Antar Manusia: Kuliah Dasar. Jakarta (ID): Professional Books. Dewantary AP. 2014. Pengaruh Terpaan Media Online Wolipop.com Terhadap Pengetahuan tentang Gaya dan Dunia Kecantikan Pada Member Facebook Alumni Stella Duce I Angkatan 2009. [Tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Atmajaya Yogyakarta. Elfira D. 2013. Strategi Adaptasi Transmigran Jawa di sungai Berenas: studi etnosains sistem pengetahuan bertahan hidup. Jurnal sosiologi 1(01):1-9. Elian N, Lubis DP, Rangkuti PA. 2014. Internet Ussage and Agricultural Information Utilization by Agricultural Extension Staff in Bogor District. J Komunikasi Pembangunan 12(2):104-109. Elvinaro A, Komala L, Karlinah S. 2007. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Edisi Revisi. Bandung (ID): Penerbit Simbiosa Rekatama Media. Fajar HN, Jatiningsih O. 2015. Starategi pengasuhan anak oleh ibu tunggal dan bapak tunggal dalam mengembangkan perilaku etis pergaulan. Kajian Moral dan Kewarganegaraan 3 (2):407-420. Fatimah E. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung (ID): Pustaka Setia. Ghoni A, Bodroastuti T. 2012. Pengaruh Faktor Budaya, Sosial, Pribadi Dan Psikologi Terhadap Perilaku Konsumen (Studi Pada Pembelian Rumah di
64 Perumahan Griya Utama Banjardowo Semarang). Jurnal Kajian Akuntansi dan Bisnis. 1(1):1-23. Giles D. 2003. Media Psychology. London (GB): Lawrence Erlbum Associates. Gluchmanova M. 2015. The importance of ethics in the teaching profession. Procedia. Soc and Behavior Scien 176:509-513. Guitian Gregorio. 2009. Conciliating work and family: a catholic social teaching perspective. Journal of Bussiness Ethic. 88:513-524. Gunarsa YSD, Gunarsa SD.. 2012. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta (ID): Penerbit Libri. Haq S. 2011. Ethics and leadership skills in the public service. Procedia Soc and Behavior Science 15:2792-2796. Hakiem L, Sugihen Ginting B. 2007. Pemberdayaan petani sayuran: kasus petani sayuran di Sulawesi Selatan. Jurnal penyuluhan. 3 (1). Haryanti S. 2014. Pemahaman kompetensi parenting terhadap perkembangan sosial anak (Studi Kasus Pada Kelompok Bermain di Pakem, Sleman). Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat. 1 (1):42-39. Hermawati T. 2007. Budaya Jawa dan kesetaraan gender. Jurnal Komunikasi Massa, 1(1):18-24. Hidayat D. 2012. Komunikasi Antar Pribadi dan Medianya: Fakta Penelitian Fenomologi Orang Tua Karir dan Anak Remaja. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Hoyer, William J, Roodin, Paul A. 2009. Adult Development and Aging. “6th ed”. New York (US): Mc-Graw Company Idrus M, & Rosmiati, A. 2008. Hubungan kepercayaan diri remaja dengan pola asuh orang tua etnis Jawa. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. :1-19 Infante DA. 1995. Teaching students to understand and control verbal aggression. Communication Education Vol 44 (1):51-63. Ismaili M, Imeri D, Ismaili M, Hamiti M. 2011. Perceptions of ethics at education in university level. Prosedia Soc and Behavior Scien. 15:1125-1129. Jankalová M, Jankal R, Blašková M, Blaško R. 2014. Academic ethics in conditions of the university of Zilina. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 110:568-576. Johannesen RL. 1996. Etika Komunikasi. Bandung (ID). Remaja Rosdakarya. Kacetl, Jaroslaf. 2014. Business ethics for student of management. Soc and behavior Scienc 109:875-879. King KA, Vidourek RA, Merianous AL, Singh M. 2014. A study of stress, social support, and perceived happiness among college students. J of Happin & Wellbe, 2(2):132-144. Koswara RB. 2014. Penerimaan penonton usia dewasa terhadap kekerasan verbal dalam lawakan Stand Up comedy Metro TV. Jurnal e-komunikasi. 2 (3):1-10. Kotler P, Amstrong G. 2008. Prinsip-prinsip Pemasaran. Edisi ke 12. Jakarta (ID): Erlangga. Kusumastuti F. 2004. Penerapan Etika Organisasi dan Komunikasi Etis di Organisasi DPRD. [Repocitory IPB]. [diunduh tanggal 18 November 2015]. Lamb CW, Hair JF, Mc Daniel C. 2001. Pemasaran. Buku I Edisi Pertama.. Jakarta (ID): Salemba Empat
65 Lucas LD. 2009. Character education as perceived and implemented by selected middle school teachers of one rural country in west Virginia. [Dissertation]. Virginia (US): University of Virginia. Maftukhah H, Surjani, Setyowati H. 2013. Gambaran kecenderungan verbal abuse terhadap Anak usia 3-5 tahun dalam komunikasi interpersonal ibu pekerja industry di desa keji Kecamatan Ungaran barat Kabupaten Ungaran. Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Ungaran. [internet] diakses tanggal 18 Oktober. 2015. Tersedia pada perpusnwu.web.id. Mantra IB, Kasto, Tukiran. 2012. Penentuan Sampel. Di dalam: Effendi S. & Tukiran. Metode Penelitian Survey. Jakarta (ID): LP3ES Martin NJ, Hammer MR. 1989. Behavioral categories of intercultural competence: everyday communicator’s perception. Internation J of Intercultur Relation. 13(3):303-332. Mardikanto T. 2010. Komunikasi Pembangunan. Acuan bagi akademisi, praktisi, dan peminat komunikasi pembangunan. Surakarta (ID):UNS Press. Maxim ST. 2014. Ethics: philosofi or science? Proced Soc and Behavior Scien 149:553-557. Megawangi R. 2009. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Cimanggis (ID):Indonesia Heritage Foundation. Mills C. 2003. Bragging, boasting, and crowing: The ethics of sharing one's glad tidings with others. Philosophy & Public Policy Quarterly, 23(4):7-12. Morissan. 2010. Psikologi Komunikasi. Bogor. [ID]:Penerbit Ghalia Indonesia Mulatsih S. 2014. Ketidaksantunan Berbahasa pada Pesan Singkat (SMS) Mahasiswa ke Dosen. [Prosiding Seminar Nasional “Ketidaksantunan berbahasa dan Dampaknya dalam Pembentukan karakter”]. Diakses tanggal 28 Desember 2015. Tersedia pada Publikasi Ilmiah.ums.ac.id Nosek M. 2012. Non violent communication: a dialogical retrieval of the ethic of authenticity. Nursing Ethics 19(6):829-837. Novianto I. 2012. Perilaku Penggunaan Internet di Kalangan Mahasiswa. [internet] diakses tanggal 18 Oktober 2015. Tersedia pada Journal. Unair. ac.id. Okatini M. 2007. Hubungan faktor lingkungan dan karakteristik individu terhadap kejadian penyakit leptospirosis di Jakarta 2003-2005. Makara Kesehatan 11(1):17-24. Onyishi IE, Okongwu OE, Ugwu FO. 2012. Personality and social support as predictors of life satisfaction of Nigerian prisons officers. J Europe Scient. 8(20):110 Perbawaningsih, Y. 1999. Membangun Ilmu Komunikasi dan Sosiologi. Yogyakarta (ID): Universitas Atmajaya Puspitawati H, Setioningsih SS. 2011. Fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga tenaga kerja wanita (TKW). JIKK. 4(1):11-20. Putri AM, Santoso A. 2012. Persepsi orang tua tentang kekerasan verbal pada anak. Jurnal Keperawatan Diponegoro. 1(1): 22-29. Putri LASE, Prabandari SP. 2014. Pengaruh servicescape dan kemampuan komunikasi interpersonal karyawan terhadap kepuasan konsumen pada wisata Eco Green Park Batu. J Ilm mahasis FEB. 2(1):1-10 Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta (ID): Gajah mada University Press.
66 Rakhmat. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung (ID):Remaja Rosdakarya. Ramlee. 2002. The role of Vacational and Technical Education in the Industrialization of Malaysia as Perceived by Educators and Employers. [Disertasi]. Indiana (US): Purdue University. Rismawaty. 2008. Kepribadian dan Etika Profesi. Yogyakarta (ID):Graha Ilmu. Ritzer G, Ryan JM. 2011. The Concise Encicloppedya of Sociology. United Kingdom (UK):Wiley-Blackwell. Santroct JW. 2011. Life-Span Development, fouthteenth edition. USA (US):McGraw Hill Companies, Inc. Sari IR. 2015. Analisis pragmatik pelanggaran tindak tutur guru di SMA Lentera. Jurnal Pena. 4 (1):37-50 Schaefer RT. 2013. Sociology: A Brief Introduction. New York (US):McGrawHill Companies, Inc. Setiawan SA, Woyanti N. 2010. Pengaruh umur, pendidikan, pendapatan, pengalaman kerja dan jenis kelamin terhadap lama mencari kerja bagi tenaga kerja terdidik di kota Magelang. [disertasi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Sevilla CG, Ochave JA, Punsalan TG, Regala BP, Uriarte GG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia Press. Silalahi U. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung (ID): Refika Aditama. Soedarsono DK. 2012. Pesan komunikasi pendidikan di media televisi. 2012. J Uniss. 2 (2):49-57. Soekanto S. 2012. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta (ID):Rajawali Pers. Soekidjo N. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta (ID). PT Rineka Cipta Step MM, Finucane MO. 2002. Interpersonal communication motives in everyday interactions. Communicat Quarter 50(1):93-109. Susanto D. 2010. Strategi peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas sumber daya manusia pendamping pengembangan masyarakat. Jurnal Komunikasi Pembangunan. 08 (1):77-89. Sutiu CL. 2014. Human nature: Between persuasion and manipulation. Agathos. 5(2):99-111 Tan LE. 2013. Sikap Pelanggan Mengenai Program CRM “RETURN GUEST PROGRAM” di Surabaya Plaza Hotel. J e-Komunik. 1(2). Teven JJ, Martin MM, Neupauer NC. 2000. Sibling relationships: Verbally aggressive messages and their effect on relational satisfaction. Communicat Repor, 11(2):79-186. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi tiga. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Tubbs LS, Moss S. 2005. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Vangelisti. 2003. Handbook of Family Communication. USA (US): Lawrence Elbaum Associates. West R, Turner LH. 2006. Understanding Interpersonal Communication: Making Choices in Changing Times. Belmont (US) Thomson Wadsworth.
67 Wijaya. 2013. Korupsi komunikasi dalam dimensi pesan, media, konteks, dan perilaku: sebuah proposisi teoritis untuk riset. J Communicat Spectr. 3 (1):1-13. Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta (ID). PT Gramedia Widya Sarana. Wood. 2013. Komunikasi Interpersonal: Interaksi Keseharian. Edisi 6. Jakarta (ID): Penerbit Salemba Humanika. Profil Program Diploma IPB. [Internet]. Diakses tanggal 7 Januari 2016. Tersedia di www.diploma.ipb.ac.id. Yildiz ML, Icli GE, Gegez AE. 2013. Perceived academic code of ethics: a research turkish academics. Proced Soc and Behavior Scien. 99:382-293. Yusup PM. 2009. Ilmu informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
68
LAMPIRAN
69 Lampiran 1 Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen Hasil uji validitas No X3.1 X3.2 X4.1 X4.2 X4.3 X5.1 X5.2 X5.3 X6.1 X6.2 X6.3 X7.1 X7.2 X7.3 X8.1 X8.2 X8.3 X9.1 X9.2 X9.3 X10.1 X10.2 X10.3 X11.1 X11.2 X11.3 X12.1 X12.2 X12.3 α = 0.05
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) 0.463* 0.970** 0.775** 0.786** 0.754** 0.817** 0.747** 0.811* 0.187 0.764** 0.401 0.641** 0.870** 0.693** 0.701* 0.801** 0.800** 0.738** 0.124 0.705** 0.806** 0.525* 0.708* 0.621** 0.822** 0.811** 0.853** 0.479* 0.820**
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
70 Hasil uji Reliabilitas
71
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor pada tanggal 3 Agustus 1982, putri ke 5 dari pasangan H. Ahmad Sirojudin dan Hj. Siti Aisyah. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Program Studi Sosial Ekonomi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000. Pada tahun 2013 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di program Pascasarjana penulis tergabung dalam himpunan profesi yaitu Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI). Penulis aktif mengajar di program Diploma IPB pada Program Keahlian Komunikasi sejak tahun 2009, dan beberapa kali terlibat dalam proses penulisan buku sebagai editor.