pEnEbare-news Nomor 4, Mei - 2004
Redaksi: Edi Cahyono, Maxim Napitupulu, Maulana Mahendra, Muhammad H.T., Hemasari Dharmabumi
Reformasi Moneter Di Indonesia* Syamsuddin Mahmud
Pada bab sebelumnya telah kita bahas masalah serius
inflasi yang dialami perekonomian Indonesia. Masalah tersebut telah merusak pondasi ekonomi akibat hancurnya produksi dan naiknya harga barang-barang konsumsi yang bermuara pada penurunan yang cukup serius standar hidup rakyat Diterbitkan oleh: Indonesia. Ekspansi uang beredar yang terjadi akibat Yayasan Penebar defisit belanja pemerintah, yang sangat tidak produktif, telah mengakibatkan kenaikan yang cukup besar pada harga-harga semua komoditas dan berlanjut pada penurunan daya beli uang. Dalam kondisi seperti ini, fungsi uang tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Reformasi moneter dianggap sebagai salah satu jalan pEnEbar e-news terbit sebagai media pertukaran dan perdebatan soal-soal perburuhan dan globalisasi. Kami mendukung gerak antiglobalisasi masyarakat Indonesia. Globalisasi dan perdagangan bebas merupakan jebakan negerinegeri imperialis untuk menjadikan negeri-negeri miskin terus menjadi koloni dan dihisap oleh negeri-negeri maju. Kami menerima tulisan-tulisan yang sejalan dengan misi kami untuk dimasukkan dan diedarkan melalui e-news ini.
ke luar dari kekacauan situasi moneter saat itu dan suatu langkah ke arah penyelesaian akhir yang lebih memuaskan. Reformasi moneter di Indonesia dilakukan karena naiknya jumlah uang yang harus dibelanjakan dibandingkan relatif dengan penawaran barang-barang yang harus dibeli. Namun bahkan ketika Indonesia telah berhasil melakukan kontraksi jumlah uang beredar, tetap saja inflasi tidak dapat diakhiri.
Bab ini akan membahas justifikasi ekonomi terhadap *
Diterjemahkan dari “Chapter VII: The Monetary Reforms in Indonesia” dalam Syamsuddin Mahmud, Monetary Developments and Policy in The Republic of Indonesia After World War II, State University of Ghent-Belgium, 1974, halaman 170204. Penerjemah: Edi Cahyono & Nur Rachmi.
Yayasan Penebar ~ Jl. Makmur, no. 15, Rt. 009/Rw.02, Kelurahan Susukan, Jakarta 13750, Indonesia • Tel./Facs. ~ (+ 62 21) 841 2546 • email ~
[email protected] • website ~ www.geocities.com/ypenebar
reformasi moneter di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengambil tiga tindakan yang berbeda dengan cara pembersihan moneter besar-besaran, pertama di bulan Maret 1950, kedua di bulan Agustus 1959, dan ketiga di bulan Desember 1965. Dengan demikian, bab ini dibagi ke dalam tiga bagian: 1) pembersihan moneter tahun 1950; 2) pembersihan moneter tahun 1959, dan 3) pembersihan moneter tahun 1965.
1. Pembersihan Moneter tahun 1950 a. Situasi perekonomian sebelum pembersihan. Komposisi persedian uang Indonesia telah dibahas dalam Bab III. Jenis-jenis unit moneter yang berbeda setelah revolusi telah dipelajari. Suasana yang umum terasa dalam sistem moneter waktu itu adalah kebingungan. Jumlah uang beredar perlahan naik untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Indeks harga 12 bahan pokok di daerah pedesaan adalah 1.476 pada tahun 1946 dan 1539 pada tahun 1950, atau naik sebesar 63% (1938 = 100).1 Biaya hidup di Jakarta adalah 18 pada tahun 1949 dan 21 pada tahun 1950 (1958 = 100).2
o. 4, mei 2004
Turunnya nilai mata uang juga tercermin pada kenaikan tingkat valuta asing. Devaluasi yang dilakukan pada 7 Maret 1946 berakibat naiknya nilai tukar resmi menjadi Rp 2,65 per dollar AS dibanding nilai tukar sebelumnya yakni Rp 1,80 per dollar AS (sama seperti yang terjadi di Belanda.)3 Akan tetapi di pasar bebas, nilai tukar dollar AS adalah Rp 19,50 pada bulan Januari 1948, Rp 21,50 pada bulan Desember 1948 dan Rp 25,00 pada bulan September 1949,4 atau lebih dari 9 kali lipat dari nilai tukar resmi. Lihat Tabel 1. Pada 20 September 1949 pemerintah kembali melakukan devaluasi terhadap rupiah, berakibat naiknya nilai dollar menjadi Rp 3,80.5 1
Biro Pusat Statistik, Statistik 1956, Jakarta.
2
IMF, International Financial Statistics, Suplemen pada edisi 1964/1965, hal. 113.
3
Pick, Currency Yearbook, Indonesian Rupiah, 1956, hal. 141.
4
Pick, Currency Yearbook, op.cit., hal 144.
5
Ibid., hal. 141. -2-
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
Tingkat devaluasi yang dilakukan terhadap dollar adalah 43,4%. Pada saat devaluasi tahun 1949, saldo perdagangan Indonesia sedang melewati fase sangat sangat tidak normal.6 Surplus saldo perdagangan yang secara konsisten terjadi selama sebelum perang telah digantikan oleh defisit yang terus menerus selama tahun 1946 - 1949, terutama karena produksi barang-barang ekspor sangat rendah akibat kondisi perang dan revolusi. Suatu sistem induksi ekspor telah diterapkan sejak 1946 namun tampaknya hal ini kecil pengaruhnya di hadapan rintangan yang jauh lebih besar yang menghambat ekspansi produksi. Orang Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang tinggi pula untuk melakukan impor, sehingga pengaruh devaluasi dalam mengurangi beban impor terhadap saldo perdagangan sangatlah kecil. Tabel 1 Pertumbuhan Penawaran Uang dan Nilai Pasar Gelap atau Pasar Bebas dari Uang kertas AS dan/atau Transfer tak-berijin ke New York Jumlah uang total Dalam Rupiah Indonesia tiap-tiap (dalam juta rupiah) Dollar AS pada akhir bulan 1949 1950 1948 1949 1950 Januari 3.885,4 19,50 21,00 30,50 Pebruari 3.954,1 20,00 21,50 28,50 Maret 3.078,0 3.820,0 22,00 21,00 29,00 April 3.194,7 23,50 22,00 30,00 Mei 3.183,4 24,00 23,00 28,00 Juni 3.208,9 3.325,0 23,00 22,50 26,00 Juli 3.583,0 22,50 24,00 23,00 Agustus 3.780,2 22,00 26,00 24,00 September 3.256,8 3.981,8 21,00 25,00 21,50 Oktober 4.230,2 21,50 27,00 19,50 Nopember 4.483,0 22,00 28,50 17,50 Desember 3.596,5 4.958,8 21,50 29,50 16,75 Sumber: De Javasche Bank, Jakarta. Pick’s Currency Yearbook, 1956.
Data menunjukkan bahwa jumlah penawaran uang pada bulan Maret 1949 adalah Rp 3.078,0 juta dan naik menjadi Rp 3.954,1 juta pada Pebruari 1950 atau naik sebesar 28,5%. Nilai tukar resmi adalah Rp 2,65 per dollar AS tetapi nilai tukar di pasar bebas adalah masing-masing Rp 21,50 dan Rp 29,50 di akhir tahun 1946 dan 1949, sementara pada akhir Pebruari 1950 nilai tukar tersebut menjadi Rp 28,50. 6
C. Budiardjo, “Devaluation in Indonesia: Its usefulness and limitations,” Economics and Finance in Indonesia, Volume XII, No. 7/9, Juli/September 1959, hal. 301. -3-
Penebar e-newS
b. Langkah pemotongan uang Kelebihan jumlah uang di tangan masyarakat merupakan alasan utama dilakukannya pembersihan moneter di tahun 1950 yang disebut “Gunting Sjafruddin.”7 Tindakan itu diambil pada 19 Maret 1950 berdasarkan surat keputusan Menteri Keuangan No. P.U.1. Tujuan dari pembersihan ini adalah untuk mensejajarkan tingkat harga internal dan tingkat harga eksternal sesuai nilai tukar yang berlaku.8 Pembersihan tersebut berbentuk pinjaman yang diwajibkan oleh pemerintah kepada seluruh masyarakat. Pada waktu itu jumlah surplus uang diperkirakan antara Rp 1,5 hingga Rp 1,8 milyar.9 Pembersihan moneter dijalankan dengan cara mengikuti langkahlangkah sebagai berikut:
o. 4, mei 2004
1. Semua uang merah atau uang Nica dan uang the Java Bank yang beredar dengan nilai lebih tinggi dari Rp 2,50 digunting menjadi dua bagian. Bagian sebelah kanan diharuskan untuk ditukarkan dengan Surat Jaminan Pemerintah (bonds) Republik Indonesia senilai 3% dan bagian sebelah kiri dipakai sebagai alat pembayaran resmi dengan nilai separuhnya hingga 9 April, 1950.10 Bagian sebelah kiri harus ditukarkan dengan uang Java Bank yang baru mulai 22 Maret hingga 16 April 1950. Pecahan uang kecil dan koin dengan nilai Rp 2,50 atau lebih kecil tidak diikutsertakan.11 Tetapi uang yang dimiliki oleh bank dan lembaga-lembaga yang dianggap sebagai bank dapat ditukarkan dengan nilai penuh.12 2. Separuh dari semua deposito berjangka dan giro di atas Rp 400 harus ditukarkan dengan Surat Jaminan Pemerintah (bonds) Republik Indonesia senilai 3% dan dapat ditukarkan kembali secara bertahap dalam jangka waktu 40 tahun.13 3. Obligasi/Surat Berharga yang dimiliki perorangan (non-bank) 7
Sjafruddin Prawiranegara adalah Menteri Keuangan pada saat itu.
8
Harold Karr Charlesworth, op.cit., hal. 7.
9
De Javasche Bank, Laporan Tahunan 1949 - 1950, Jakarta, hal. 37.
10
Surat Keputusan Mentri Keuangan No. P.U.1, pasal 3.
11
Ibid., pasal 1.
12
Ibid., pasal 6, angka 6.
13
Harold Karr Charlesworth, op.cit., hal. 8. -4-
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
harus diserahkan kepada the Java Bank untuk di-depresiasi dengan nilai yang lebih rendah hingga separuh dari nilai nominalnya. Semua Obligasi/Surat Berharga yang dimiliki yayasan dan lembaga karitas dikecualikan.14
Pembersihan moneter tersebut juga menyediakan kesempatan bagi pemerintah untuk menukar uang “U.R.I.” yang dikeluarkan pada masa revolusi dengan uang Java Bank yang baru.15 Nilai dan prosedur penukarannya telah dibahas di Bab III. Hasil bersih dari pembersihan moneter ini adalah bahwa pemerintah mampu mengurangi penawaran uang hingga Rp 1.615,2 juta,16 yakni sekitar 41% dari jumlah total penawaran uang pada bulan Pebruari 1950.
c. Situasi ekonomi setelah pembersihan moneter. Untuk sementara waktu, pembersihan moneter tersebut relatif berhasil memulihkan stabilitas mata uang rupiah Indonesia.17 Sayangnya, stabilitas tersebut tidak berlangsung lama. Ekspansi moneter dimulai kembali untuk menutupi defisit uang tunai pemerintah dan defisit fiskal yang terjadi dibiayai sekali lagi dengan cara menaikkan penawaran uang melalui pinjaman kepada pemerintah yang diberikan the Java Bank. Akibatnya, nilai rupiah terus turun. Pembersihan tersebut telah pula secara tajam menurunkan posisi uang tunai dunia usaha dan menimbulkan masalah likuiditas usaha yang menghambat upaya para pengusaha memenuhi kewajibankewajiban mereka saat itu. 18 Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menyediakan kredit agar usaha tetap dapat dijalankan secara normal. Pemberian kredit ini dimungkinkan sebab pembersihan moneter tidak diberlakukan pada uang tunai di bankbank. Di lain pihak, pembersihan tersebut telah mengurangi simpanan deposito, sehingga likuiditas meningkat. Dengan demikian jumlah uang beredar kembali meningkat. 14
Keputusan Menteri Keuangan, op.cit., pasal 10.
15
Harold Karr Charlesworth, loc. cit.
16
De Javasche Bank, Laporan Tahunan 1950 - 1951, Jakarta, tabel 14, hal. 32.
17
Harold Karr Charlesworth, Ibid., hal. 9.
18
Harold Karr Charlesworth, loc. cit. -5-
Penebar e-newS
Sehubungan dengan hal ini, tekanan inflasi menguat lagi serta diperburuk lagi oleh perang Korea yang mengakibatkan naiknya harga komoditi ekspor Indonesia, terutama karet.19 Menjelang akhir September 1950, enam bulan setelah diumumkannya pembersihan moneter, jumlah total penawaran uang telah melebihi jumlah uang beredar sebelum pembersihan. Seperti diperlihatkan pada Tabel 1, jumlah total penawaran uang adalah Rp 3.954,1 juta pada akhir Pebruari 1950, sementara di akhir September jumlahnya Rp 3.981,8 juta. Meningkatnya jumlah uang beredar ini juga didorong oleh Undang-Undang No. 8, 21 April 1953 (Lembar Negara No. 33/ 1953) yang menaikkan harga uang (koin) emas dan emas batangan Java Bank dari Rp 4.265,35 per kg menjadi Rp 12.796,05 per kg. 20 Sesungguhnya Presiden Java Bank tidak setuju dengan keputusan tersebut, sebab cenderung akan menaikkan jumlah penawaran uang.21 Langkah seperti ini menaikkan harga dasar emas yang pada akhirnya akan merangsang terjadinya ekspansi moneter. Situasi di atas mempengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintah, terutama dalam kaitan dengan kebijakan moneter dan fiskal yang diambilnya. Sikap masyarakat umumnya terhadap pembersihan moneter pada umumnya berupa sikap curiga dan takut.22 Rakyat takut pembersihan moneter akan terulang dan langsung meningkatkan kecepatan peredaran uang. Surat Jaminan Pemerintah Indonesia senilai 3% yang ditukarkan dengan separuh nilai uang kertas yang dibersihkan menjadi sesuatu yang bisa ditawar. Surat-Surat Jaminan tersebut tidak dapat mempertahankan nilai aslinya, melainkan kehilangan nilainya ketika berpindah tangan.23
o. 4, mei 2004
Keuntungan dari reformasi ekonomi tersebut adalah penghancuran berbagai jenis uang U.R.I. yang beredar yang telah memperumit struktur moneter dan telah ditarik dari peredaran pada bulan Mei 19
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1951 - 1952, Jakarta, hal. 21.
20
UU No. 8, 21 April 1953, pasal 1.
21
Menurut Menteri Keuangan Jusuf Wibisono, wawancara pribadi, Juni 1971.
22
Harold Karr Charlesworth, op.cit., hal. 9.
23
Loc.cit. -6-
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
1950. Uang federal lama telah pula ditarik dari peredaran pada 17 April 1950.
Pada 14 Maret 1950, kelangkaan dollar memaksa pemerintah untuk melakukan suatu devaluasi ‘de facto’, yang mengakibatkan naiknya nilai tukar dollar resmi menjadi Rp 11,40, dengan cara menciptakan apa yang disebut “Sertifikat Dollar.”24 Pada bulan Maret 1951, nilai tukar sertifikat dollar diperbesar dengan suatu premium sebesar 200% dari nilai resminya (Rp 3,880) yang menaikkannya menjadi Rp 19,00 per dollar. Langkah ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan, dan pada 4 Pebruari 1952, nilai awal sertifikat tersebut yakni Rp 11,40 per dollar dijadikan nilai dasar resmi melalui langkah devaluasi. Tingkat devaluasi yang dilakukan adalah sebesar 200%. Nilai ini masih belum cukup dan kalah oleh harga di pasar-pasar gelap yang banyak bermunculan. Pada tahun 1954 dan 1955 sistem mata uang Indonesia mengalami kepanikan pasar gelap yang sangat intens yang mendorong nilai dollar tak resmi masing-masing ke angka Rp 44,00 dan Rp 48,00.25 Suatu revisi baru sistem mata uang diumumkan pada bulan September 1955, ketika empat nilai impor dilahirkan.26 Langkah ini mirip dengan devaluasi parsial. Klasifikasi barang-barang impor yang diperkenalkan bervariasi mulai dari barang-barang pokok dengan nilai harga dasar 50% hingga barang-barang super mewah dengan nilai 400%. Aturan ini tidak bertahan lama. Pada September 1956, kategori impor ditingkatkan jumlahnya dari 4 ke 9 dan nilainya menjadi lebih bervariasi dari barang-barang paling pokok dengan harga dasar impor 0% hingga barang-barang super mewah dengan nilai 400%.27 Untuk menjamin retribusi impor kepada negara, pemerintah memperkenalkan suatu sistem sertifikat induksi ekspor yang disebut “Bukti Pendorong Ekspor (BPE).” Semua eksportir menerima sertifikat penukar pada saat mereka mengekspor barangbarangnya. Sertifikat tersebut diperdagangkan oleh para eksportir di pasar uang dan nilainya berkisar antara 2% dan 20% dari nilai 24
Pick, Currency Yearbook, op.cit., hal. 141.
25
Pick, Currency Yearbook, loc. cit.
26
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1955 - 1956, Jakarta, hal. 126.
27
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1956 - 1957, Jakarta, hal. 137. -7-
Penebar e-newS
f.o.b. barang yang diekspor.28 Bea-wajib dan beragam hingga maksimal 400 persen dan pengelompokan impor menjadi sembilan kategori tersebut kembali gagal kembali mengatasi turunnya persediaan nilai tukar. Kepemilikan mata-uang asing diakhir tahun 1955 berjumlah Rp 2.678 juta dan merosot hingga Rp. 1.566 juta pada akhir tahun 1956. Ini adalah jumlah terendah sejak 1950.29 Suatu reformasi mata-uang baru dicanangkan pada 20 Juni, 1957. Suatu sertifikat ekspor yang disebut “sistem Bukti Ekspor (B.E.)” diperkenalkan. Sistem ini mengakhiri sistem sertifikat perangsang ekspor (B.P.E.) sebelumnya. Tujuan regulasi baru ini adalah sebagai berikut:30 1. Menyeimbangkan ekspor dan impor; 2. Memperbesar pemilikan mata-uang asing melalui promosi ekspor; 3. Menyederhanakan regulasi mata-uang asing.
no. 4, mei 2004
Nilai resmi Rp 11,40 per dollar tetap tercantum dalam buku tetapi fungsinya tinggal menjadi fungsi nominal semata. Sistem baru ini mencakup nilai mata uang asing yang fluktuatif karena nilai B.E. dibiarkan menetapkan tingkat nilainya sendiri sesuai dengan faktor-faktor penawaran dan permintaan di pasar sertifikat ekspor.31 Dengan demikian ia mencakup suatu devaluasi rupiah yang sangat besar. Tingkat devaluasi tersebut dapat diukur dari kenaikan nilai-nilai perdagangan utama ekspor dan impor yang terjadi (lihat tabel 2). Suatu pungutan 20 persen yang disebut “Pembayaran Bukti Ekspor (P.B.E.)” dikenakan pada seluruh hasil ekspor,32 yang menciptakan kesenjangan antara nilai untuk impor dan nilai untuk ekspor. Di bawah sistem ini, klasifikasi impor dinaikkan dari empat hingga enam kelompok dengan tujuan memperoleh biaya wajib impor. Kisaran bea-wajib impor tersebut adalah mulai dari 0 persen untuk impor bahan-bahan pokok hingga 175 persen untuk barang-barang mewah.33 Diatur pula bahwa 28
Harold Karr Charlesworth, op.cit. hal. 50.
29
Bank Indonesia, op.cit., hal. 113.
30
Lihat “Government announcement,” dalam: Bank Indonesia, Annual Report 1957-1958, Jakarta, hal. 254-257.
31
C. Budiardjo, op.cit., hal. 310.
32
Bank Indonesia, op.cit., hal. 136. -8-
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
impor hanya boleh dilakukan bila importir telah membeli sertifikat B.E. dan membayar penuh bea-wajib impor.
Mekanisme pasar untuk harga sertifikat perdagangan hanya sah untuk waktu 10 bulan. Ekspansi sirkulasi moneter telah mendorong permintaan akan impor yang ditunjukkan dengan kenaikan terus menerus harga B.E. Pembelanjaan impor dengan menggunakan mata-uang dalam negeri bahkan lebih mungkin meningkat karena adanya elastisitas permintaan yang tentunya lebih sedikit daripada suatu kesatuan.34 Harga B.E. menanjak dari 220 persen dalam bulan Juni 1957 hingga 250 persen pada akhir Desember dan mencapai level 268, 298, dan 322 berturut-turut pada bulan Januari, Pebruari dan Maret 1958.35 Oleh sebab itu prinsip fleksibilitas rupiah tidak dapat dipertahankan. Pada bulan April 1958, Dewan Moneter menstabilkan nilai sertifikat perdagangan pada angka 332 persen dari nilai resmi.36 Hasilnya adalah suatu devaluasi baru senilai 322 persen terhadap impor (dengan nilai Rp. 37,90 per dollar) dan 265,6 persen terhadap ekspor (dengan nilai Rp. 37,30 per dollar). Dengan demikian periode dari Juni 1957 hingga April 1958 adalah suatu periode devaluasi terus menerus. Dampak dari sistem B.E. terhadap sisi pendapatan dari neraca pembayaran – hampir seluruhnya diperoleh dari hasil-hasil produk ekspor – sulit untuk dinilai secara tersendiri.37 Kenyataannya adalah bahwa hasil ekspor lebih rendah pada paruh kedua 1957 ketimbang paruh pertama tahun tersebut, sementara keseluruhan ekspor pada tahun 1957 lebih rendah daripada tahun sebelumnya (paruh pertama 1957 = Rp 3.497 juta; paruh kedua 1957 = Rp. 3.381 juta; keseluruhan 1956 = Rp. 7.381 juta).38
33
Government announcement, op.cit., hal. 254-257.
34
C. Budiardjo, op.cit., hal. 299.
35
Bank Indonesia, Annual Report 1958-1959, Jakarta, hal. 143.
36
Loc.cit.
37
Bank Indonesia, Annual Report 1958-1959, Jakarta, hal. 114.
38
Bank Indonesia, loc.cit. -9-
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
beredar mencapai Rp 18.913,4 juta pada akhir tahun 1957, sementara pada akhir tahun 1958 adalah Rp 29.366,2 juta atau telah terjadi suatu peningkatan kurang lebih 55%. 39 Utang pemerintah pada Bank Indonesia mencapai Rp 2,779 juta pada akhir tahun 1950. Pada akhir tahun 1957 utang tersebut mencapai Rp 15,425 juta dan pada akhir tahun 1958 Rp 24,835 (suatu peningkatan sebesar 61%).40 Defisit anggaran pada tahun 1950, 1957 dan 1958 berturut-turut adalah Rp 1,736 juta, Rp 5,040 juta dan Rp 12,040 juta. Biaya hidup di Jakarta pada tahun 1950, 1957 dan 1958 berturut-turut adalah 60, 159 dan 225 (1953 = 100). Nilai tukar mata uang asing di pasar gelap meningkat tajam, dan mencapai Rp 150.00 per dollar AS dalam bulan Juli 1959 (sekitar 13 kali lipat nilai tukar resmi).41 Produksi domestik menunjukkan suatu kecenderungan merosot. Indeks produksi perkebunan karet merosot dari 152 pada tahun 1956 menjadi 148 pada tahun 1957 dan 140 pada tahun 1958.42 Produksi usaha-kecil merosot dari 282 pada tahun 1956 menjadi 278 pada tahun 1957 dan 252 pada tahun 1958 (1938 = 100). Dan produksi beras (pangan utama) dapat dikatakan tetap konstan; yakni 7,424 ribu ton pada 1957 dan 7,553 ribu ton pada tahun 1958, atau merupakan suatu peningkatan sebesar hanya 1,7%. 43 Tingkat pertumbuhan rata-rata penawaran uang sejak tahun 1950 adalah 27,5% per tahun. Untuk tahun 1958 penawaran uang telah meningkat sekitar 55% dari angka tahun 1957. Data-data ini ditunjukkan dalam tabel 3.
Data-data tersebut mengacu pada kemerosotan perekonomian secara umum. Kenaikan rata-rata indeks biaya hidup di Jakarta dari tahun 1950 adalah sekitar 19% per tahun, sementara indeks harga (weighted) 12 jenis bahan pokok di pasar pedesaan meningkat sekitar 27% per tahun. 39
Bank Indonesia, Annual report 1959-1960, Jakarta, tabel 9, hal. 53.
40
Bank Indonesia, op.cit., tabel 15, hal. 67.
41
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1960, hal. 206.
42
Leon A. Mears, “Economic development in Indonesia through 1958,” Economic and Finance in Indonesia, Volume XIV, No. 1/2, January/February 1961, tabel 4, hal. 31. 43
Bank Indonesia, ibid., tabel 42 dan 43, hal. 132-133. - 11 -
Penebar e-newS
Pemerintah seharusnya memusatkan upaya-upayanya untuk mengatasi situasi tersebut. Namun sebaliknya pemerintah berusaha menyelamatkan muka dengan cara menyalahkan pihak lain. Presiden Sukarno mengumumkan demokrasi liberal sebagai wabah besar negeri ini. Oleh karena itu, pada 5 Juli 1959 suatu reorganisasi politik dilakukan dengan cara kembali ke UUD 1945. Dewan Konstituante dan Parlemen dibubarkan. Konsep yang digunakan adalah demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin dan dijalankan dengan cara “retooling” dan pengaturan kembali. Tahun 1958 dan 1959 merupakan masa-masa yang sangat sibuk bagi negeri ini. Pemberontakan yang meluas menentang pemerintah pusat semakin mempertegas melemahnya kondisi politik dan ekonomi yang memang sudah tidak stabil. Tabel 3 Prosentasi Peningkatan Jumlah Penawaran Uang dan tingkat kenaikan biaya hidup dan indeks harga (weighted) 12 jenis bahan pokok 1950-1958 Prosentase Prosentase peningkatan peningkatan jumlah penajumlah penawaran uang waran uang taTingkat Kenaikan tahun 1950 hun sebelumTahun nya Indeks Biaya Indeks behidup di Jakarta ban harga 12 jenis bahan-pangan 1950 1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958
0 3,5 35,5 51,0 121,0 157,7 170,0 281,4 492,2
37,9 3,5 30,9 11,4 46,4 16,6 4,8 41,2 55,3
41,7 8,2 8,7 3,0 23,3 12,0 12,0 41,5
79,5 33,0 - 14,5 - 3,0 30,9 19,7 5,3 52,5
o. 4, mei 2004
Sumber: Tabel VI.3 dan VI.4. [Syamsuddin Mahmud: Monetary Developments and Policy in The Republic of Indonesia After World War II]
b. Pembersihan moneter. Suatu reformasi moneter drastis dilakukan pada 25 Agustus 1959 dengan sebutan “Konsolidasi Juanda.” Tindakan-tindakan yang diambil adalah: 1. Pengurangan nilai mata-uang. Semua uang kertas Rp 500 (lima ratus rupiah) dan Rp 1.000 (seribu rupiah) berturut-turut - 12 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
dikurangi menjadi Rp 50 (limapuluh rupiah) dan Rp 100 (seratus rupiah).44 2. Pembekuan sebagian deposito di bank-bank. Seluruh deposito perbankan (deposito berjangka dan rekening koran) senilai lebih dari Rp 25.000 dibekukan hingga 90%. Deposito yang dibekukan tersebut diganti dengan suatu pinjaman jangkapanjang dari pemerintah kepada pemilik deposito.45 3. Devaluasi. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ditetapkan pada Rp 45 per dollar. 46 Pada saat reformasi dilakukan, gubernur bank sentral mengundurkan diri, sebab menurut berita “tidak puas” dengan prosedur tersebut.47 Tujuan pembersihan moneter ini adalah mengurangi jumlah uang beredar dengan maksud memperbaiki situasi perekonomian dan finansial Negara. Menurut Anspach, 48 reorganisasi ekonomi tersebut memiliki tujuan-tujuan jangka pendek dan jangkapanjang. Tujuan-tujuan jangka pendeknya adalah:
1. Menghentikan kemunduran standar hidup dengan cara menghentikan inflasi yang serius; 2. Memperbaiki standar subsistensi dengan cara: - peningkatan ekspor resmi, - pengawasan yang ketat terhadap impor dan peningkatan impor, dan - Pergeseran sumber-sumberdaya domestik kepada produksi sandang-pangan. Dan tujuan-tujuan jangka panjangnya adalah: 1. Mencapai dan mempertahankan stabilitas ekonomi yang layak sehingga memungkinkan penggunaan dana pemerintah secara lebih baik; 2. Melakukan kontrol yang efektif terhadap perusahaan swasta menuju gaya Indonesia jangka panjang. 44
Peraturan pemerintah pengganti UU no. 2 tahun 1959, pasal 1.
45
Peraturan pemerintah pengganti UU no. 2 tahun 1959, pasal 3.
46
Peraturan pemerintah no. 43 tahun 1959, pasal 1.
47
Pick, Currency Yearbook, op.cit., 1960, hal. 202.
48
Ralph Anspach, “Monetary Aspects of Indonesia’s Economic Reorganization in 1959,” Economics and Finance in Indonesia, Volume XIII, No. 1/2, January/ February 1960, hal. 4. - 13 -
Penebar e-newS
Devaluasi uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi hanya 10% dari nilainya jelas dimaksudkan sebagai langkah stabilisasi moneter – dirancang untuk menarik dari peredaran “jumlah uang panas yang berlebihan (yang menyebabkan) kebingungan dalam setiap upaya di bidang distribusi.”49 Anspach menyatakan bahwa “tidak pernah jelas apakah uang ini menyebabkan kekhawatiran karena beredar secara liar ataukah karena ia tidak beredar sama sekali tetapi mengancan akan membanjiri pasar pada saat yang tidak menguntungkan – atau karena ia mewakili pendapatan yang diperoleh secara tidak sah.”50 Apakah “uang hitam” ini teronggok dalam timbunan uang tunai atau ia beredar secara liar; atau, seperti dikatakan Prof. Blake, “apakah ini uang dingin atau uang panas”?51 Seringkali justru terlihat sebagai kedua-duanya pada saat yang bersamaan. Misalnya, dalam sebuah artikel-artikel yang sangat otoritatif dalam soal surat berharga, kita dapat menemukan pernyatan khas berikut ini tentang uang hitam: “dari sini bisa dilihat perlunya mengambil langkah-langkah menarik uang hitam ini dari peredaran untuk mengurangi tekanan inflasi internal. Setiap orang tahu bahwa karena berbagai lasan uang di lingkungan usaha ditimbun dalam jumlah jutaan, yang takut dibelanjakan orang karena takut akan diselidiki atau dikenai pajak.”52
o. 4, mei 2004
Presiden Sukarno dalam pidato penjelasannya mengatakan bahwa “pembersihan ekonomi tidak bisa lagi ditunda sebab ini merupakan tindakan yang perlu diambil untuk segera menyiapkan fondasi dasar yang kuat bagi perbaikan masa depan kondisi ekonomi negeri ini.”53 Lebih juah ia menyatakan: “Tindakan-tindakan ini hanyalah merupakan tindakan pendahuluan. Tindakan yang dimaksudkan untuk menghentikan peredaran uang yang tidak terkontrol, tindakan yang dimaksudkan untuk menghentikan kenaikan hargaharga barang yang luar biasa dan semena-mena, serta tindakan yang dimaksudkan untuk memperbaiki nilai Rupiah kita…”54 49
Ralph Anspach, op.cit. hal. 5.
50
Ibid., hal. 7.
51
Loc.cit.
52
S. Pamoengkas, “Pengeluaran Pinjaman Obligasi Tahun 1959”, dalam Madjallah Keuangan Negara, Juni 1959, hal. 4 dan 6, seperti dikutip oleh Ralph Anspach, op.cit., hal. 7.
53 Departemen Penerangan, Amanat Pendjelasan Presiden Republik Indonesia tentang Tindakan-Tindakan Pemerintah di bidang Keuangan dan Ekonomi, Terbitan Khusus, No. 63, Jakarta, 1959, hal. 5.
- 14 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
Akan tetapi pembersihan ini dipandang hanya sebagai langkah pendahuluan – dan hal ini masuk akal.
c. Situasi ekonomi setelah pembersihan moneter.
Pembersihan khusus yang dipilih pemerintah tersebut patut dihargai baik karena kesederhanaannya maupun kewajarannya.55 Kesederhaan sangat menguntungkan di suatu negeri yang aparat pemerintahnya belum terlalu berkembang. Kesederhanaan merupakan sesuatu yang baik dalam kaaitan dengan pembersihan moneter sebab alat yang sederhana dapat disusun hanya oleh sedikit orang, sehingga menambah kemungkinan bahwa pembersihan tersebut datang secara tiba-tiba. Benar bahwa kita bisa mencari cara pembersihan yang lebih baik dan lebih adil, tapi hal itu membutuhkan lebih banyak kerja-kerja persiapan, dan kerahasiaan dalam situasi seperti ini sulit dijaga. Dalam kaitan dengan kewajaran, hal ini dihasilkan dari kebijakan mendevaluasi hanya uang kertas dengan nilai besar. Asumsinya adalah bahwa mayoritas penduduk belum tentu memiliki uang kertas bernilai besar tersebut dalam neraca pendapatan-konsumsinya pada saat pembersihan dilakukan.56 Yang cukup mengejutkan, sering ada anggapan bahwa mayoritas penduduk, rakyat kecil, adalah yang paling terpukul keras oleh langkah tersebut. 57 Beberapa hari setelah pengurangan nilai tersebut, mayoritas rakyat miskin ini ternyata memegang jumlah uang tunai yang lebih besar dari Rp 500 dan Rp 1.000. Mungkin rakyat tersebut adalah para pemilik tanah yang tidak menabung banyak dalam arti produktif melainkan menimbun uang untuk keperluan pembelian tanah, perhiasan, naik haji, pesta, dsb. Atau yang lainnya adalah pengusaha di perkotaan. Mereka pun mungkin memegang jumlah uang tunai yang relatif besar sebab kebanyakan pasti telah menimbun jumlah uang secara spekulatif dengan pertimbangan iklim usaha yang penuh inflasi.58 Akibat dari pembersihan ekonomi moneter tersebut adalah bahwa 54
Loc.cit.
55
Ibid., hal. 16.
56
Loc.cit.
57
Loc.cit.
58
Ibid., hal. 17. - 15 -
Penebar e-newS
jumlah penawaran uang yang beredar berkurang dari Rp 33.987,6 juta di akhir bulan Juli 1959 menjadi Rp 20.998,7 di akhir Agustus, atau turun sebesar Rp 12.988,8 juta (kira-kira 38% daru jumlah penawaran uang pada bulan Juli). Jumlah yang menurun ini diakibatkan oleh pengurangan jumlah mata uang sebesar Rp 6.218,8 juta (dari Rp 24.246,5 juta pada akhir Juli 1959 menjadi Rp 18.027,7 juta pada akhir Agustus atau turun sebesar 25,6%).59 Jumlah deposito turun dari Rp 9.471,1 juta pada akhir Juli menjadi Rp 2.971,0 juta pada akhir Agustus, atau turun sebesar 69,5%. Pada dasarnya pembekuan 90% jumlah deposito di atas Rp 25.000 tidak dimaksudkan semata-mata sebagai langkah pengurangan uang. Penjelasan resmi menyatakan bahwa: “Dengan cara ini, investasi yang akan dibiayai dari modal yang terkonsolidasikan ini akan dilakukan sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang ekonomi terpimpin dalam kerangka pembanguna nasional universal”.60 Atau, seperti dikatakan Presiden Sukarno dalam pidato penjelasannya setelah pembersihan: … modal yang diperlukan untuk memulai perusahaan-perusahaan yang terpimpin dan terencana sekarang terpusat di tangan pemerintah.61 Perilaku pemerintah setelah reformasi moneter ini menyebabkan frustasi atau kegagalan tujuan dari pembersihan tersebut. Defisit anggaran tidak dapat dihentikan akibat adanya masalah-masalah politik dalam negeri, dan didanai melalui pinjaman dari Bank Indonesia. Defisit uang tunai pemerintah pada akhir tahun 1959 mencapai Rp 13.324,0 juta dan sejumlah Rp 8.522,0 juta didanai melalui devaluasi uang kertas atau 63,3% dari keseluruhan jumlah defisit uang tunai.62
no. 4, mei 2004
Jumlah total penawaran uang pelan-pelan meningkat dan empat bulan setelah reformasi moneter itu, pada akhir Desember 1959, mencapai Rp 34.882,8 juta, atau lebih besar dari jumlah aslinya sebelum dilakukan pembersihan.63 Jumlah total penawaran uang setelah pembersihan, yakni dari Rp 20.998,7 juta pada akhir 59
Bank Indonesia, Annual Report 1959 - 1960, Jakarta, Tabel 9, hal. 53.
60
Finec, Antara News, 26 Agustus 1959, hal. 4, dikutip oleh Ralph Anspach, op.cit., hal. 5.
61
Departemen Penerangan, op.cit., hal. 6.
62
Bank Indonesia, op.cit., hal. 63.
63
Ibid., Tabel 9, hal. 53. - 16 -
Penebar e-newS
Mata uang
Juni 22.834,6 Juli 24.246,5 Agustus 18.027,7 September 20.209,9 Oktober 21.566,0 Nopember 23.230,1 Desember 26.383,1 Sumber: Bank Indonesia, Jakarta
Akhir bulan
9.544,9 9.741,1 2.971,0 4.547,2 6.390,4 7.053,0 8.499,0
Uang deposito
Uang keseluruhan 32.379,5 33.987,6 20.998,7 24.757,1 27.956,4 30.283,1 34.882,8
659,1 1.608,1 12.988,9 3.758,4 3.199,3 2.326,7 4.599,7
Posisi
pergerakan
2,1 5,0 -38,0 17,9 12,9 8,3 15,2
%
70,5 71,3 85,9 81,6 77,1 76,7 75,6
% mata uang 29,5 28,7 14,1 18,4 22,9 23,3 24,4
% uang deposito
Tabel 4 Penawaran Uang dan Indeks sejumlah harga-harga pangan Juni - Desember 1959 Penawaran uang (Rp. Juta)
256 266 307
300 314 325
Indeks sejumlah harga-harga pangan 12 bahan 19 bahan pangan pangan (Jakarta) (1953 = (1953 = 100) 100) Pedesaan Jawa
no. 4, mei 2004
Agustus menjadi Rp 34.882,8 juta pada akhir Desember 1959. Pergerakan harga pun tidak dapat dihentikan. Angka indeks harga 12 bahan pokok di pedesaan naik dari 256 pada bulan Juni menjadi 307 pada bulan Desember 1959 (naik sebesar 51%). Angka indeks 19 bahan pokok di Jakarta naik dari 300 pada bulan Juni menjadi 325 pada bulan Desember 1959 (naik sebesar 25%. (1953 = 100). Pergerakan uang dan indeks harga ini diperlihatkan pada Tabel 4.
Penebar e-newS
- 17 -
Aset dollar juga mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada 1954, jumlahnya adalah 98 juta dan naik menjadi 172 pada 1955 dan menjadi 186 juta pada tahun 1956.64 Namun aset tersebut turun menjadi 149 juta dollar pada 1957 dan 106 juta dollar pada 1958. Untuk mengatasi kesulitan ini, pemerintah mengubah sistem ekspor dan impor, terutama untuk dapat mempengaruhi dorongan ekspor, yang akan menaikkan kapasitas impor barang-barang pokok sehinngga tercipta stabilitas harga.65 Tindakan tersebut dimaksudkan untuk merangsang ekspor dan mengurangi impor barang mewah daripada barang-barang pokok. Sejalan dengan maksud ini, nilai rupiah didevaluasi dari Rp 11,40 menjadi Rp 45,0 per dollar. Tingkat devaluasi terhadap dollar adalah 294,7%. Sistem sertifikat ekspor dihapus dan digantikan dengan pungutan impor ekspor baru yang disebut “pueks (pungutan ekspor)” untuk mendorong ekspor, dan “puim (pungutan impor)” sebagai upaya mengurangi impor.66 Dalam kerangka pensejajaran tersebut, suatu pajak umum ekspor sebesar 20% dikenakan dan impor dikelompokkan menjadi enam kategori, dengan bea masuk impor bervariasi antara 0 hingga 200%. Pengaturan di atas ternyata tidak secara signifikan mendukung upaya mendorong ekspor seperti yang diharapkan. Total volume ekspor pada tahun 1959 dan 1960 masih lebih rendah daripada tahun 1957. Pada tahun 1957, total volume ekspor ada;ah 17.9 94 ribu ton atau 2.379 ribu ton tidak termasuk BBM dan produk BBM. Angka ini turun lagi menjadi 14,669 ribu ton atau 2.244 ribu ton tidak termasuk BBM dan produk BBM, dan menjadi 16.074 ribu ton, atau 2.143 ribu ton tidak termasuk BBM dan produk BBM pada tahun 1959 dan 1960 berturut-turut.67
no. 4, mei 2004
Indonesia berada dalam keadaan kerusuhan terus menerus hampir sepanjang tahun 1959 dan akibat yang tidak menyenagkan dari tindakan-tindakan ini masih tampak jelas pada awal tahun 1960.68 64
I.M.F., International Financial Statistics, suplemen pada edisi 1964/1965.
65
Departemen Penerangan, op.cit., hal. 7.
66
Loc.cit.
67
Bank Indonesia, Annual Report 1959 - 1960, Jakarta, Tabel 36, hal. 117, dan 1960-1965, Tabel 22, hal. 93.
68
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., hal. 202. - 18 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
Kegiatan pasar gelap tetap belangsung dan akhirnya berakhir dengan praktis terhentinya semua transaksi. Nilai tukar di pasar gelap adalah Rp 93,75 per dollar pada akhir September 1959, naik menjadi Rp 250,0 per dollar menjelang akhir Desember 1959 dan naik tajam ke tingkat Rp 550,0 per dollar pada akhir Januari 1960.69
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa devaluasi tidak dapat mencegah terjadinya kesulitan-kesulitan tersebut. Bahkan permintaan luar negeri akan komoditas ekspor Indonesia tidak terlalu tergantung pada harga-harga melainkan lebih dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan ekonomi di negara-negara industri. Selama terjadinya boom, prmintaan akan bahan-bahan mentah meningkat, yang berakibat meningkatnya volume ekspor. Tampaknya penurunan harga sama sekali tidak menghasilkan rangsangan ekspor. Terkait dengan hal ini, Budihardjo menyimpulkan bahwa: “devaluasi bisa jadi tidak berarti bagi suatu ekonomi berorientasi ekspor yang berusaha keras menciptakan suatu transformasi dasar dalam struktur perekonomiannya, kecuali betul-betul sebagai suatu langkah sekali-untuk-selamanya dan disertai dengan pembatasan impor selektif untuk mencegah agar neraca eksternal tidak berjalan di luar kontrol lagi dan untuk memastikan bahwa semua mata uang asing yang diperlukan tersedia bagi proyek-proyek pembangunan yang dijalankan.”70 Devaluasi tersebut bisa saja berhasil apabila tekanan-tekanan inflasi dari sumber-sumber perekonomian lain selain sektor perdagangan luar negeri dapat dikendalikan.71 R. Prebisch menyatakan bahwa devaluasi penting dilakukan apabila biaya-biaya eksternal telah naik lebih dari harga internasional dari komoditas-komoditas, tetapi tidak boleh diterapkan untuk menciptakan perubahan pada struktur produksi dan komposisi impor kecuali lengkah-langkah lain juga diambil.72 Devaluasi diharapkan membawa hasil yang positif hanya dalam masa-masa kejayaan usaha di negara-negara industri. 69
Ibid., hal. 206.
70
C. Budiardjo, op.cit., hal. 282.
71
Ibid., hal. 286.
72
R. Prebisch, op.cit., hal. 375. - 19 -
Penebar e-newS
Budiardjo lebih jauh berargumentasi bahwa devaluasi merupakan suatu langkah menutup kesenjangan yang efektif untuk menangani disparitas antara tingkat harga dalam negeri dan dunia ketika hal ini menjadi hmabatan serius bagi ekspor dan menjadi insentif yang kuat bai impor. Akan tetapi, baik mengingat tekanan-tekanan inflasi yang kuat yang dialami negara-negara miskin serta memperhatikan sasaran pembangunan dan transformasi ekonomi, devaluasi bisa sama sekali tidak mebantu. Sebaliknya, ia bisa saja memiliki akibat yang serius dengan cara mengintensifkan tekanantekanan inflasi dan semakin memperkuat permintaan akan impor.73
3. Pembersihan Moneter tahun 1965. a. Situasi perekonomian periode 1960 - 1965. Pemerintah Indonesia sekali lagi melakukan reformasi moneter drastis pada 13 Desember 1965, yang disebut “Pengguntingan Chairul Saleh.” Suatu reformasi diperkenalkan dengan menciptakan rupiah keras, dengan membagi uang kertas lama dengan seribu. Periode 1960 - 1965 merupakan fase panik bagi sistem moneter Indonesia. Banyak “reformasi kecil-kecilan” telah dilakukan sebelum pembersihan moneter drastis yang lengkap. Kontrol negara yang meluas ternyata tidak dapat mencegah inflasi, kelangkaan komoditas, perlambatan impor, pengurangan produksi serta praktis terhentinya semua investasi asing.74 Ketidakstabilan politik dalam negeri bersama-sama dengan konfrontasi dengan Belanda serta hubungan dengan Malaysia diiringi oleh kenaikan tajam pada harga-harga di dalam negeri.
o. 4, mei 2004
Setelah konsolidasi moneter di tahun 1959, penawaran uang beredar secara perlahan meningkat dan hal itu sekali lagi disebabkan oleh defisit anggaran pemerintah yang dibiayai oleh pinjamanpinjaman dari Bank Indonesia. Pada akhir tahun 1960, total jumlah penawaran uang adalah Rp 47.842 juta, tetapi pada akhir tahun 1965 adalah Rp 2.572.000 juta,75 atau meningkat sebesar 5.485 73
C. Budiardjo, ibid., hal. 315.
74
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1961, hal 215.
75
Biro Pusat Statistik, Statistical Pocketbook of Indonesia, Jakarta, 1970 & 1971. - 20 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
persen selama lima tahun. Defisit anggaran pemerintah meningkat dari Rp 6.896 juta pada tahun 1960 menjadi Rp 1.565.554 juta pada tahun 1965. Defisit uang tunai pemerintah naik dari Rp 2.569 juta pada tahun 1960 menjadi Rp 1.763.956 juta pada 1965. Situasi ini diikuti oleh semakin besarnya jumlah hutang pemerintah ke Bank Indonesia, yang meningkat dari Rp 32.512 juta pada 1960 menjadi Rp 1.197.467 juta pada 1965.76
Bersamaan dengan situasi moneter ini, harga-harga konsumen juga membumbung dengan cepat. Biaya hidup kelompok-kelompok menengah di Jakarta naik dari 367 pada 1960 menjadi 24.715 pada 1965. Indeks harga 12 bahan-pangan di pasar pedesaan adalah 348 pada 1960 dan naik menjadi 25.140 pada 1965. Sementara indeks harga 19 bahan-pangan di Jakarta membumbung dari 384 pada 1960 menjadi 30.782 pada 1965 (1953 = 100).
Dalam periode ini, Indonesia memiliki suatu sistem moneter yang sangat kompleks, dengan dilakukannya sejumlah besar reformasi mata-uang dan elemen hiper-inflasi yang berbahaya. Oleh karena itu, bagian ini akan menyelidiki perkembangan langkah-langkah moneter dari tahun 1960 hingga Desember 1965. Sebagai telah dikatakan sebelumnya, inflasi yang terus menerus dan melemahnya secara umum sistem produksi dan distribusi menjadi ciri perekonomian Indonesia. Pada tahun 1960 untuk pertama kalinya diambil suatu langkah ke arah suatu kebijakan finansial yang efektif, di mana defisit pemerintah dikurangi dari Rp 13.789 juta pada 1959 menjadi Rp 6.986 juta pada 1960. Pada 24 Agustus 1960, pemerintah mengumumkan suatu reformasi mata-uang. Sistem bea ekspor dan impor yang ada – sistem pueks dan puim – dihapus, tetapi nilai dasar resmi mata uang asing (US $ 1 = Rp 45) tetap sama.77 Di bawah sistem ini, seluruh transaksi perdagangan dan finansial serta beberapa pembayaran non-perdagangan lainnya dilakukan dengan nilai tukar dasar resmi. Untuk menggantikan sistem pueks dan puim pemerintah menerapkan pajak-pajak “komponen harga” terhadap impor dan suatu “tarif cukai” terhadap ekspor. Untuk seluruh ekspor, diterapkan tarif cukai sebesar 10%. Enam kategori 76
Bank Indonesia, Annual report 1960-1965, Jakarta, hal. 113.
77
Bank Indonesia, Annual report 1960-1965, Jakarta, hal. 113. - 21 -
Penebar e-newS
impor dikurangi menjadi hanya dua. Kategori pertama (kelompok I) berlaku ubtuk impor barang esensial yang dihitung berdasarkan tingkat harga dasar resmi beserta pajak komponen harga Rp 45. Kategori kedua (kelompok II) berlaku untuk impor barang nonesensial dan mengandung komponen harga sebesar Rp 200 per dollar.78 Walaupun perbaikan telah dilakukan dan terjadi perbaikan kondisi, sebagian besar kesulitan-kesulitan lama tetap berlanjut dan hargaharga tetap tinggi. Masalah keamanan dalam negeri semakin menggerogoti anggaran pemerintah. Ketakutan akan perang menimbulkan praktek penimbunan pangan yang meluas, khususnya beras. Pemerintah mengancam kaum spekulan dengan hukuman mati.79 Meskipun demikian, sejak Agustus 1961 hingga Pebruari 1962, diperkirakan terjadi kenaikan harga secara umum sebesar 500% di ibu kota.80
no. 4, mei 2004
Di bawah tekanan ketidak-stabilan politik, merosotnya pemasukan devisa serta ancaman kehancuran total perekonomian, pemerintah terpaksa mengambil langkah pengawasan drastis terhadap perdagangan mata uang asing dan perdagangan barter. 81 Perdagangan barter dilakukan, terutama dengan negara-negara komunis, untuk impor barang-barang kebutuhan dasar. Pengawasan terhadap impor, yang telah dilonggarkan pada bulan Agustus 1960, diperketat kembali pada bulan September 1961. Langkah inipun tidak berhasil. Antara pertengahan 1960 dan pertengahan 1961, cadangan emas dan devisa merosot dari 371 juta menjadi 180 juta dollar,82 atau suatu kemerosotan sebesar 51,5%. Nilai keseluruhan ekspor pada tiga perempat pertama tahun 1961 berjumlah 569 juta dollar, merosot 10% dibandingkan dengan 631 juta dollar dalam periode yang sama tahun 1960.83 78
Bank Indonesia, loc.cit.
79
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1962, hal. 230.
80
Loc.cit.
81
Sukadji Ranuwihardjo, “Exchange Rate Experience and Policy in Indonesia Since World War II,” dalam Herbert G. Grubel dan Theodore Morgan (Ed.), Exchange Rate Policy in Souteast Asia, Lexington Books, Lexington, Massaxhusetts, Toronto, London, 1973, hal. 43.
82
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., hal. 231.
83
Loc.cit. - 22 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
Defisit anggaran pemerintah meningkat dari Rp 6.896 juta di tahun 1960 menjadi Rp 26.304 juta pada tahun 1961,84 atau suatu peningkatan sebesar sekitar 281%. Penawaran uang naik dari Rp 47.842 juta di tahun 1960 menjadi Rp 67.648 juta pada 1961 atau suatu peningkatan sebesar 41,4%. Nilai inflasi di Jakarta adalah 33%, sementara di daerah pedesaan adalah 62%.85 Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia terus menggunung sepanjang tahun 1962. Defisit anggaran meningkat dari Rp 26.304 juta pada 1961 menjadi Rp 48.058 juta pada 1962 atau suatu kenaikan sebesar 82,7%. Belanja pertahanan dan keamanan menyerap lebih dari 50% persen anggaran.86 Penawaran uang naik dari Rp 67.648 juta pada 1961 menjadi Rp 135.898 juta pada 1962 atau suatu kenaikan sebesar 104%. Nilai inflasi di Jakarta adalah 172% (indeks biaya hidup kelompok-kelompok berpendapatan menengah naik tajam dari 487 pada 1961 menjadi 1.324 pada 1962) (1953 = 100). Nilai rupiah terus terdepresiasi. Di pasar gelap, nilai tukar US dollar Rp 315,00 pada akhir Januari 1962 dan Rp 1.000 pada akhir Desember 1962.87
Satu langkah baru dilakukan untuk memerangi inflasi. Pada 5 Maret 1962, regulasi baru ekspor/impor dicanangkan. Para eksportir diperbolehkan menahan 15% dari total nilai ekspornya dalam mata-uang asing dan ini disebut “SIVA” (Surat Ijin Valuta Asing). Sertifikat SIVA dapat digunakan untuk impor atau untuk melakukan negosiasi hanya satu kali dengan eksportir-eksportir lain.88 Tetapi langkah ini tidak ada gunanya. Perekonomian Indonesia memburuk. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh prioritas pemerintah pada masalah keamanan dalam negeri, tetapi juga akibat program pemerintah menentang imperialisme dan kolonialisme. Perselisihan dengan Belanda berhasil diselesaikan pada bulan 84
Biro Pusat Statistik, Statistical Pocketbook of Indonesia, Jakarta, 1968 & 1969.
85
Loc.cit.
86
Bank Indonesia, loc.cit., hal. 32.
87
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1963, hal. 256.
88
Bank Indonesia, op.cit., hal. 114. - 23 -
Penebar e-newS
Agustus 1962. Peristiwa ini semestinya dapat menghapus satu beban finansial berat dari pemerintah. Tetapi pada tahun 1963, konfrontasi dengan Malaysia dimulai. Masalah baru ini kembali menyebabkan kenaikan angka defisit anggaran. Defisit anggaran pemerintah naik dari Rp 48.058 juta pada 1962 menjadi Rp 167.670 juta pada 1963 atau suatu peningkatan sebesar 249%. Defisit anggaran tersebut diperkirakan mencapai 51% dari total pengeluaran.89 Jumlah total penawaran uang meningkat dari Rp 135.898 juta pada 1962 menjadi Rp 263.361 juta pada 1963 atau suatu peningkatan sebesar sekitar 94%. Tingkat kenaikan biaya hidup di Jakarta adalah 46% (dari 1.076 pada 1962 menjadi 2.646 pada 1963 (1953 = 100). Nilai rupiah terus terdepresiasi dari Rp 1.000 per dollar pada akhir Desember 1962 menjadi Rp 1.300 per dollar pada akhir Januari 1963 dan menjadi Rp 1.900 per dollar pada akhir Desember 1963.90 Devaluasi dan reformasi mata uang yang seharusnya sudah sejak lama dilakukan baru terjadi pada 22 Mei 1963. Nilai tukar resmi Rp 45 per dollar dipertahankan hanya dalam pembukuan.91 Sistem perdagangan sertifikat SIVA dihentikan. Peraturan ekspor dan impor yang baru menentukan bahwa:92
no. 4, mei 2004
I. Dalam bidang ekspor: a. para eksportir diperbolehkan mengantongi 5 persen hasil ekspornya. Lima persen dalam bentuk mata uang asing yang disebut “perangsang ekspor tambahan” ini dapat digunakan oleh eksportir secara bebas. b. 95 persen dari hasil ekspornya harus diserahkan kepada Dana Devisa dengan nilai tukar Rp 315 per dollar, yaitu nilai resmi Rp 45 ditambah Rp 270 per dollar. Nilai tukar Rp 270 per dollar diberikan kepada para eksportir sebagai “perangsang ekspor”. c. Sebesar 10% kepada eksportir dan 15% kepada produseneksportir, yang disebut “perangsang ekspor istimewa”, secara otomatis dialokasikan. Alokasi deviss ini dapat digunakan untuk impor barang yang termasuk dalam kategori barang 89
Ibid., hal. 32.
90
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1964/1965, hal. 265.
91
Ibid., 1963, hal. 253.
92
Bank Indonesia, op.cit., hal. 114. - 24 -
Penebar e-newS
Impor diklasifikasikan ke dalam 3 kategori:
no. 4, mei 2004
esensial. II. Dalam lapangan impor:
a. Kelompok I atau barang-barang sangat esensial. Nilai efektif untuk kelompok I adalah nilai dasar resmi Rp 45 per dollar ditambah Rp 270 untuk setiap dollar tambahan impor atau “hasil perdagangan negara” (HPN). b. Kelompok Impor II. Nilai tukar dollar untuk kelompok ini adalah nilai dasar resmi ditambah nilai tambahan (HPN) atau Rp 270 dan bea-bea tambahan (tambahan HPN) atau Rp 225 ditambah pajak 50%, sehingga tercipta suatu nilai tukar efektif Rp 810 per dollar. c. Kelompok Impor III. Nilai tukar dollar adalah nilai dasar ditambah nilai tambahan (HPN) atau Rp 270 dan pungutanpungutan tambahan (tambahan HPN) atau Rp 495 ditambah pajak 100%, sehingga tercipta suatu nilai tukar efektif Rp 1.620 per dollar. Memburuknya ekonomi terus berlangsung sepanjang tahun 1964. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan selama tahun 1963 hanya efektif untuk suatu kurun waktu yang singkat. Setelah kegagalan langkah-langkah anti-inflasi pendukung, penawaran uang dan harga-harga naik secara tajam.93 Defisit anggaran pada tahun 1964 adalah Rp 397.477 juta atau 58,4% dari total pengeluaran. Belanja pemerintah untuk “proyek dwikora,” yakni konfrontasi dengan Malaysia, naik dengan cepat dari Rp 5.581 juta pada 1963 menjadi Rp 80.454 juta pada 1964 atau sejumlah kira-kira 12% dari total pengeluaran. Penawaran uang naik dari Rp 263.361 juta pada 1963 menjadi Rp 725.000 juta pada 1964 atau suatu peningkatan sebesar 175,3%. Tingkat kenaikan indeks biaya hidup adalah 108,6%. Perkembangan situasi ekonomi ini juga diaktifkan oleh suatu perbaikan moneter yang lebih radikal pada 17 April 1964.94 Suatu aturan baru perdagangan luar-negeri diterbitkan, sebagai berikut: a. nilai tukar baru rupiah terhadap valuta asing ditetapkan pada 93
S. Kanesa Thasan, “Multiple Exchange Rates: The Indonesian Experience,” dalam International Monetary Fund, Staff Papers, Washington, Volume XIII, 1966, hal. 363.
94
Bank Indonesia, op.cit., hal. 115. - 25 -
Penebar e-newS
Januari 32,75 48,40 93,75 550,00 200,00 315,00 1.300 2.000 Pebruari 32,75 50,00 93,75 310.00 185,00 345,00 1.200 2.250 Maret 41,25 54,50 96,75 310,00 190,00 350,00 1.350 2.000 April 38,50 57,75 100,00 315,00 195,00 400,00 1.650 2.000 Mei 44,50 60,00 107,50 312,00 200,00 575,00 1.700 2.500 Juni 48,00 66,50 125,00 220,00 200,00 1.200,00 1.100 2.750 Juli 43,75 68,00 150,00 240,00 167,00 1.250,00 1.375 2.500 Agustus 54,75 85,50 260,00 165,00 900,00 1.100 3.250 September 50,50 100,00 93,75 270,00 163,50 1.100,00 1.750 3.700 Oktober 46,50 91,00 150,00 225,00 170,00 715,00 1.850 3.350 Nopember 43,50 88,25 187,50 200,00 175,00 975,00 1.200 4.500 Desember 47,00 91,00 250,00 210,00 230,00 1.000,00 1.900 4.700 Sumber: Pick’s Currency Yearbook, 1966. (1) Praktis tidak beroperasi sejak 20 Juni. (2) Devaluasi 25 Agustus. (3) Devaluasi 31 Desember tetapi nilai tukar 45,000 per dollar masih tercatat dalam pembukuan meskipun gunanya. (4) Digunakan sebagai dasar untuk menghitung semua nilai tukar lainnya.
Tabel 6 Nilai tukar resmi dan nilai tukar bebas atau pasar gelap uang kertas AS 1957-1965. (dalam Rupiah Indonesia per Dollar AS) 1957 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964 Nilai tukar 11,42 45,00(2) 45,00 45,00 45,00 45,00 250,00(3) resmi 11,42(1) Nilai tukar di pasar gelap
no. 4, mei 2004
Penebar e-newS
- 26 -
tidak ada
9.000 8.500 9.000 10.000 10.000 9.000 11.000 13.000 12.000 14.500 28.000 35.000
250,00(4)
1965
no. 4, mei 2004
Rp 250 per dollar AS, yang disebut “nilai tukar transaksi.” b. Para eksportir dan produsen-eksportir menerima 20% dari total ekspor mereka dalam valuta asing. Sertifikat alokasi valuta asing sebesar 20% ini disebut “Surat Pendorong Produksi” (SPP). Para produsen-eksportir diperbolehkan mengambil tambahan 5% dari hasil ekspornya untuk mengimpor dalam jumlah terbatas barang-barang untuk digunakan sendiri.95 c. Lima kategori impor, menurut tingkat esensialitasnya, ditetapkan dengan nilai tambahan pajak mulai dari 0, 50, 100, 300 dan 800%. Perbaikan-perbaikan moneter yang berulang-ulang ini hanya mencerminkan lambannya pengakuan resmi terhadap perkembangan pasar gelap dan dengan cara yang bersifat setengahhati dan agak kurang memadai.96 Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa nilai tukar dollar di pasar gelap adalah Rp 2.000 pada akhir Januari 1964 dan mencapai Rp 4.700 pada akhir Desember 1964.
Peristiwa-peristiwa yang kemudian terjadi sangat berakibat negatif bagi perekonomian Indonesia sepanjang 1965. Perolehanperolehan dari aturan perdagangan luar-negeri dengan cepat terkikis oleh inflasi dalam negeri yang langsung terjadi lagi. Belanja pemerintah untuk pembangunan “Gedung Conefo (Gedung Konperensi Kekuatan-Kekuatan Baru),” sebesar Rp 119.897 juta, melambungkan jumlah total belanja pemerintah.97 Pembelanjaan untuk kebijakan konfrontasi Malaysia (proyek dwikora) naik dari Rp 80.454 juta pada 1964 menjadi Rp 487.177 juta pada 1965 atau 19,3% dari total belanja pemerintah. Dengan demikian, belanja pemerintah untuk pertahanan/keamanan adalah Rp 1.009.088 juta atau sekitar 40% dari total pengeluaran.98 Pada 1965 defisit anggaran adalah Rp 1.565.554 juta atau 62% dari total pengeluaran. Penawaran uang beredar meningkat dari Rp 725.000 juta pada 1964 menjadi Rp 2.572.000 juta pada 1965, atau suatu kenaikan sebesar 254,8%. Tingkat kenaikan indeks biaya hidup di Jakarta diperkirakan sebesar 305%. 95
S. Kanesa Thasan, op.cit., hal. 364.
96
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1964/1965, hal. 260.
97
Bank Indonesia, op.cit., hal. 34.
98
Ibid., tabel 6a, hal. 34. - 27 -
Penebar e-newS
Seperti diperlihatkan dalam tabel 5, tingkat pertumbuhan ratarata penawaran uang sejak 1959 hingga 1965 setiap tahunnya adalah 120,4%. Sementara tingkat kenaikan rata-rata indeks biaya hidup di Jakarta adalah 166% dan indeks harga weighted 12 bahanpangan setiap tahunnya adalah 125,6%. Data tersebut menunjukkan kemerosotan umum perekonomian Indonesia. Semakin suramnya perekonomian juga diperlihatkan oleh indeks-indeks perkembangan GDP, produksi padi dan jumlah penduduk. Peningkatan GDP hanya 10,2% dalam lima tahun, sementara pertambahan penduduk dalam periode yang sama lebih dari 12. Produksi padi (pangan utama) dapat dikatakan konstan. Ketidakpuasan dan frustasi terhadap kondisi ekonomi, yang diperburuk oleh kebijakan pemerintah yang tidak menentu, meningkat tajam sampai pada tingkat yang berbahaya dan meledak menjadi suatu ketegangan sosial yang sangat keras. Masalah politik tersebut memiliki dampak lanjutan yang merugikan terhadap pendapatan devisa. Harga-harga di dalam negeri membumbung sejalan dengan berlanjutnya defisit anggaran.99
no. 4, mei 2004
Sistem nilai tukar yang digunakan kemudian menjadi sistem yang paling tidak pasti di dunia, sejalan dengan berbagai laporan sporadis tentang terjadinya perubahan nilai tukar yang terfragmentasi dan tidak pasti. 100 Aktifitas pasar gelap di Indonesia semakin berkembang. Seperti diperlihatkan dalam tabel 6, setelah didaftar pada Rp 230,00 per dollar pada akhir tahun 1961, rupiah bergerak merosot secara progresif, jatuh hingga Rp 1.000 per dollar di akhir tahun 1962, menjadi Rp 1.900 per dollar pada akhir tahun 1963 dan Rp 4.700 per dollar pada akhir tahun 1964. Keruntuhan tersebut berakibat pada nilai tukar Rp 35.000 per dollar pada akhir Desember 1965 atau 14.000% dari nilai tukar transaksi resmi.
99
Sukadji Ranuwihardjo, op.cit., hal. 42.
100
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1966, hal. 246. - 28 -
Penebar e-newS
Kenaikan rata-rata produk domestik bruto 1960 - 1965 = 1,7%. Kenaikan rata-rata jumlah penduduk 1960 - 1965 = 2,5%.
- 29 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
Tabel 5 Kecenderungan beberapa indikator ekonomi 1960-1965 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1. Prosentase peningkatan jumlah total penawaran uang tahun 1960 0 41,4 195,7 365,4 1.323,4 5.294,9 2. Prosentase peningkatan jumlah total penawaran uang tahun sebelumnya 37,1 41,4 100,9 93,8 175,3 254,8 3. Tingkat kenaikan indeks biaya hidup di Jakarta (1953 = 100) 31 33 172 146 108,6 305 4. Tingkat kenaikan indeks harga weighted 12 bahan pangan (1953 = 100) 28,4 64,4 206,6 105,2 108,4 240,7 5. Produk domestik Bruto pada saat harga konstan tahun 1960 (1960 = 100) 100 105,7 107,7 105,3 109,0 110,2 6. Ekspor barangbarang dan jasajasa non-faktor (1960 = 100) 100 109,1 99,5 93,8 104,8 108,0 7. Impor barangbarang dan jasajasa non-faktor (1960 = 100) 100 134,6 132,1 97,0 105,0 96,9 8. Pembentukan Modal Domestik Bruto (1960 = 100) 100 143,6 130,6 99,7 113,3 117,9 9. Indeks produksi padi (1960 = 100) 100 94,3 101,5 90,6 96 101,3 10. Indeks jumlah penduduk (1960 = 100) 100 102,2 104,5 107,0 109,5 112,3 Sumber: Biro Pusat Statistik, Jakarta.
b. Pembersihan moneter. Reformasi moneter yang dilakukan pada 13 Desember 1965, yang disebut “Pengguntingan Chairul Saleh,” dilaksanakan melalui Keputusan Presiden nomor 27/1965 (Lembaran Negara 1965 nomor 102). Keputusan Presiden ini menetapkan suatu pengurangan mata-uang berdasarkan prinsip-prinsip berikut: 1. nilai rasio uang-kertas adalah: Rp 1.000 lama = Rp 1 baru Rp 500 lama = Rp 0,50 baru 2. penukaran uang-kertas harus dilakukan dalam tempo: a. Sebulan untuk uang-kertas Rp 10.000 dan Rp 5.000. b. Tiga bulan untuk uang-kertas Rp 2.500, Rp 1.000 dan Rp 500. c. Enam bulan untuk uang-kertas, uang-kertas dan uang-logam pemerintah Rp 100 ke bawah (uang receh). 3. Seluruh uang-kertas, uang-kertas pemerintah dan uang-logam pemerintah tersebut dapat ditukarkan dengan rupiah baru yang diterbitkan oleh Bank Negara Indonesia, dipotong sejumlah “iuran revolusi.”
no. 4, mei 2004
Keputusan Presiden nomor 28/1965 (Lembaran Negara 1965 nomor 107) dan Instruksi Presiden nomor 20/1965 (Lembaran Negara 1065 nomor 109) menetapkan suatu langkah devaluasi. Menurut peraturan-peraturan tersebut, nilai tukar transaksi resmi Rp 250 (lama) atau Rp 0,25 (baru) per dollar masih sah. Tidak ada transaksi yang terjadi dengan menggunakan nilai tukar resmi ini.101 Nilai tukar efektif yang dihasilkan setelah dikenakan “iuran impor dan premi ekspor” atau Rp 9.750 lama atau Rp 9,75 baru per dollar telah menciptakan suatu nilai tukar resmi aktual Rp 10.000 lama atau Rp 10 baru per dollar. Sistem pendorong ekspor yang ada dalam bentuk SPP dan alokasi devisa ditiadakan.102 Ketika pengguntingan moneter diumumkan pada 13 Desember 1965, penawaran uang beredar diperkirakan sekitar Rp 2.200 milyar, di mana Rp 550 milyar adalah rekening giro dan Rp 1.650 101
Lihat: Bank Indonesia, op.cit., hal. 117.
102
Bank Indonesia, loc.cit. - 30 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
milyar adalah mata-uang yang beredar. Dari jumlah mata-uang ini, 76% di antaranya terdiri dari uang kertas Rp 5.000 ke atas, sementara hanya 24% terdiri uang-kertas Rp 2.500 ke bawah.103 Sehubungan dengan fakta ini, dapat dikatakan bahwa pengguntingan moneter tidak memiliki efek yang signifikan terhadap pengurangan penawaran uang. Penawaran uang sangat terpusat di Jakarta, sementara daerah lain menghadapi masalah daya beli. Dan persiapan uang tidak memperhitungkan kebutuhan uang kecil bagi rakyat biasa.104
c. Situasi ekonomi setelah pembersihan moneter. Ciri khusus situasi moneter Indonesia selama tiga tahun terakhir (1964-1966) adalah ciri paradoks hiper-inflasi total: kekurangan uang.105 Dengan harga-harga yang naik lebih cepat dari kenaikan jumlah penawaran uang dan diikuti oleh hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mata-uang dalam-negeri, nilai uang merosot lebih cepat lagi, sehingga selalu ada kesenjangan atau ketertinggalan antara jumlah uang beredar yang sesungguhnya dengan kebutuhan akan alat tukar atau volume riil daya beli. Tabel 7 dengan jelas menunjukkan kapan penawaran uang menciut menurut indeks harga 19 bahan-pangan. Hal ini memperlihatkan bahwa jumlah uang pada saat harga-harga konstan pada tahun 1953 mencapai tingkat puncaknya pada tahun 1961 yakni sejumlah Rp 12,93 milyar dan turun menjadi Rp 8,36 milyar dan Rp 6,78 milyar berturut-turut pada tahun 1965 dan 1966. Data menunjukkan bahwa jumlah uang pada saat harga-harga konstan pada tahun 1966 adalah lebih rendah daripada tahun 1952. Di lain sisi, sementara pada tahun 1951 dan 1952 jumlah uang pada saat harga-harga konstan masih lebih tinggi daripada jumlahnya pada saat harga pasar yang berlaku saat itu, tahun 1954 adalah saat dimulainya suatu periode di mana jumlah uang riil pada saat harga-harga konstan akhirnya mulai jatuh jauh di bawah jumlahnya pada saat harga pasar yang berlaku saat itu.
103
Emil Salim, op.cit., hal. 2.
104
Loc.cit.
105
Heinz Arndt, op.cit., hal. 39. - 31 -
Penebar e-newS
Tabel 7 Penawaran uang pada tingkat harga tahun 1953 Penawaran uang Akhir Indeks Harga Pada saat tahun 19 jenis saat itu harga konstan bahan pangan (dalam milyar Rp) tahun 1953 (1953 = 100) (dalam milyar Rp) 1950 4,96 1951 89 5,13 5,65 1952 94 6,72 7,15 1953 100 7,49 7,49 1954 106 10,96 10,34 1955 141 12,78 9,06 1956 161 13,39 8,32 1957 177 18,91 10,68 1958 258 29,37 11,38 1959 311 34,88 11,21 1960 384 47,84 12,46 1961 523 67,65 12,93 1962 1.453 135,90 9,35 1963 3.264 263,36 8,07 1964 7.037 725,00 10,30 1965 30.782 2.572,00 8,36 1966 327.053 22,21106 6,78 Sumber: Dihitung dari tabel VI.1 dan VI.3. [Syamsuddin Mahmud: Monetary Developments and Policy in The Republic of Indonesia After World War II]
Tindakan moneter pada bulan Desember 1965 jelas merupakan langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi ketidakmampuan perusahaan pencetak uang memasok sejumlah besar uang bagi pemerintah. Dengan adanya reformasi moneter ini, pemerintah dapat menerbitkan uang-kertas Rp 50 dan Rp 100. Sebetulnya uang-kertas tersebut telah dicetak pada tahun 1960, namun tidak dapat diedarkan karena nilainya merosot sangat tajam.107
no. 4, mei 2004
Kelangkaan uang-kertas mengganggu pula aktifitas bank-bank dan perusahaan-perusahaan pada tahun 1965. Bank-bank didorong untuk membatasi pembayaran dengan cek.108 Karena kesulitan ini, orang ragu untuk menerima pembayaran dalam bentuk cek. Konsekuensinya, cek terkadang diberi nilai di bawah nilai tunainya. Meskipun tidak ada satupun lembaga di Indonesia yang 106
Rupiah baru.
107
Heinz Arndt, op.cit., hal. 40.
108
Loc.cit. - 32 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
menerbitkan uang darurat, seperti di Jerman pada tahun 1923 misalnya, ada beberapa pengusaha swasta di Jakarta yang menciptakan semacam lembaran giro versi mereka sendiri untuk kelompok-kelompok terbatasnya.109
Pengguntingan moneter yang dilakukan untuk menciptakan rupiah keras benar-benar merupakan suatu langkah khayalan. Hal itu ternyata tidak efektif dan tidak realistis. Pengeluaran keputusan rupiah keras menyebabkan terjadinya kepanikan belanja bahanpangan dan barang-barang lain yang berada di bawah pengawasan pemerintah yang lebih ketat. Suatu defisit anggaran yang besar, tempat penyimpanan uang Bendahara yang kosong serta meningkatnya jumlah mata-uang yang beredar, yang tampak seperti industri pertumbuhan yang terbaik di Indonesia, meskpun dilakukan perbaikan mata-uang, menjadi ciri perekonomian menjelang akhir tahun.110 Keputusan pemerintah nomor Aa/D/144/1965 yang menetapkan iuran revolusi sebesar 10% terhadap uang-kertas bank lama, uang kertas dan uang logam pemerintah 111 telah mempercepat perputaran uang, karena rakyat berupaya keras menghindari pajak penyimpanan uang. Keputusan Presiden nomor 1/1966 (Lembaran Negara 1966 nomor 4) menghapus iuran revolusi 10% terhadap uang kertas bank Rp 2.500 ke bawah dan mempertahankan fungsinya sebagai alat penawaran sah, sementara uang kertas Rp 10.000 dan Rp 5.000 dinyatakan tidak berlaku sejak 25 Pebruari 1966. 112 Pertukaran uang kertas diatas jumlah Rp 500.000 dianggap sebagai “panas” atau spekulatif dan disimpan dalam sebuah “rekening khusus” bagi pemilik deposito.113 Pada akhir Desember 1965, dua minggu setelah pengguntingan moneter, jumlah total penawaran uang beredar telah melebihi jumlah uang beredar sebelum pengguntingan. Pada akhir 109
Ibid., hal. 41.
110
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1966, hal. 248.
111
Bank Indonesia, op.cit., hal. 295.
112
Bank Indonesia, Annual report 1966-1967, Jakarta, hal. 316.
113
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., hal. 246. - 33 -
Penebar e-newS
Desember 1965 total jumlah penawaran uang adalah Rp 2.572 milyar.114 Jumlah penawaran uang naik menjadi Rp 3.000 milyar pada akhir Januari 1966 dan Rp 5.771 milyar pada akhir Maret 1966. Tabel 8 menampilkan perkembangan penawaran uang dan biaya hidup selama periode 1965-1970. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa tingkat kenaikan rata-rata penawaran uang mulai tahun 1965 hingga 1970 adalah 227%. Sementara tingkat pertumbuhan rata-rata biaya hidup selama periode yang sama adalah 269,3%.
no. 4, mei 2004
Tabel 8 Perkembangan Total Penawaran Uang dan Indeks Biaya Hidup 1965-1970. Indeks biaya hidup Akhir Total Pergerakan Prosentase September Prosentase tahun Penawar- (milyar Rp) perubahan 1966 = 100 kenaikan an uang (milyar Rp) 1965 2,572 + 1,847 255 7 20,304 1966 Maret 5,771 + 3,199 124 Juni 10,672 + 4,901 85 September 15,338 + 4,666 44 Desember 22,208 + 6,870 45 Total 1966 + 19,636 763 76 986 1967 Maret 24,160 + 1,952 9 Juni 32,429 + 8,269 34 September 38,972 + 6,543 20 Desember 51,471 + 12,499 32 Total 1967 + 29,263 132 463 125 1968 Maret 62,832 + 11,361 22 Juni 85,884 + 23,052 36 September 94,824 + 8,940 10 Desember 113,894 + 19,070 20 Total 1968 + 62,423 121 463 125 1969 Maret 130,850 + 16,956 15 Juni 146,402 + 15,552 12 September 169,549 + 23,147 16 Desember 179,973 + 10,424 6 Total 1969 + 66,079 58 545 18 1970 Maret 210,739 + 30,766 17 Juni 216,413 + 5,674 3 September 226,913 + 10,500 5 - 34 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
Desember 241,053 + 14,140 6 Total 1970 + 61,080 34 612 12 Sumber: Bank Indonesia, Annual Report. Bank Indonesia, Indonesian Financial Statistics, Buletin bulanan, Agustus 1973.
Situasi tersebut memburuk pada awal 1966 ketika harga-harga membumbung dan cadangan devisa praktis tidak ada. Dalam periode 1965-1968 tingkat pertumbuhan rata-rata biaya hidup adalah sekitar 370%, sementara dalam periode 1969-1970 tingkat kenaikan tersebut hanyalah 15%. Cadangan emas dan devisa berkurang dari US$ 280 juta pada 1961 menjadi – US$ 3 juta pada akhir tahun 1965 dan menjadi – US$ 48 juta pada Maret 1966.115
Guna mempromosikan ekspor, pemerintah mencanangkan satu sistem nilai tukar baru pada 11 Pebruari 1966. Komoditaskomoditas ekspor dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok I, II dan III.116 Sistem baru ini memperkenalkan suatu bonus ekspor atau BE. Para eksportir diperbolehkan menyimpan 10, 20 dan 50% berturut-turut dari hasil ekspornya sebagai BE. Sisanya harus diserahkan kepada Dana Devisa dengan nilai tukar Rp 10.000 lama atau Rp 10 baru per dollar.117 Valuta asing dalam bentuk BE digunakan untuk impor yang termasuk dalam kategori esensial dan semi-esensial. Suatu promosi ekspor lanjutan diberlakukan pada 24 Mei 1966, ketika prosentase BE berturutturut dinaikkan menjadi 20, 60 dan 100% untuk kelompok ekspor I, II dan III. Situasi di bidang politik pun tidak lebih baik, sebab suatu kabinet baru dibentuk dalam bulan Juli 1966. Meskipun demikian, tandatanda perbaikan mulai muncul pada saat itu ketika semacam program stabilisasi disusun. Sebuah konsesi lain digunakan pada bulan Oktober 1966 untuk mendorong ekspor, ketika bonusbonus atau sertifikat B.E. dikenakan revisi prosentase, kali ini 50, 114
Bank Indonesia, op.cit., tabel 1, hal. 4.
115
Bank Indonesia, Annual report 1966-1967, Jakarta, tabel 32, hal. 103.
116
Bank Indonesia, Annual report 1966-1967, Jakarta, hal. 117.
117
Kelompok I termasuk: karet, kopra, tembakau. Kelompok II termasuk: binatang peliharaan, benda yang bersifat hiburan/mahal, bahan-pangan. Kelompok III termasuk: produk-produk hutan, produk industri-rumahan dan industri. - 35 -
Penebar e-newS
75 dann 90% dibanding angka prosentase sebelumnya yakni 20, 60 dan 100% untuk kelompok I, II dan III. Para eksportir diwajibkan menyerahkan 50, 25 dan 10% dari hasil ekspor mereka dan bebas untuk membuang sertifikat B.E. mereka. Hasil ekspor yang melampaui harga yang ditetapkan tidak perlu diserahkan dan dapat dengan bebas dibuang sebagai D.P. (Devisa Pelengkap). Pada awal tahun 1967, upaya stabilisasi yang terus berlanjut berhasil sedikit membantu posisi rupiah. Modal dan bantuan tehnis luar negeri perlahan mulai menetes masuk akibat adanya penilaian yang lebih optimis terhadap kebijakan baru pemerintah. Hampir sema kontrol terhadap harga telah dihilangkan, subsidi kepada perusahaan-perusahaan negara dipotong dan harga-harga produk minyak dan jasa kebutuhan dasar dinaikkan ke tingkat yang lebih realistis.118 Suatu revisi besar terhadap sistem nilai tukar terjadi pada 8 Mei 1967. Nilai tukar resmi Rp 0,25 dan nilai tukar transaksi Rp 10 per dolar dihilangkan. Nilai impor utama adalah nilai tukar B.E. dan hal ini diberlakukan bagi perdagangan dan pengalihan modal. Suatu nilai tukar B.E. khusus diciptakan untuk “membantu impor” yang diberlakukan bagi impor dan jasa yang dibayar dengan dana bantuan.
o. 4, mei 2004
Pada bulan Juli 1967, suatu struktur nilai tukar lagi-lagi direvisi untuk menambah insentif ekspor. Ekspor kemudian dibagi ke dalam kelompok A dan B.119 Untuk ekspor kelompok A, para eksportir diperbolehkan menyimpan 75% sebagai sertifikat B.E., 15% harus diserahkan kepada Dana Devisa dan 10% kepada pihak pemerintah propinsi sebagai suatu alokasi valuta asing otomatis tingkat propoinsi, yang dikenal dengan sebutan devisa A.D.O. Dan para eksportir produk kelompok B menerima 980% sebagai sertifikat B.E. dan 10% diserahkan kepada pemerintah propinsi sebagai devisa A.D.O. Impor dikelompokkan kembali agar dapat didanai oleh kredit B.E. umum atau B.E. khusus yang dikeluarkan untuk impor barangbarang bantuan atau oleh Devisa Pelengkap (D.P.)120 Namun 118
Bank Indonesia, op.cit. hal. 292.
119
Kelompok A mencakup: karet, kopra, kopi, minyak kelapa sawit, bijih timah dan lain-lain; Kelompok B mencakup: teh, kayu dan lain-lain. - 36 -
Penebar e-newS
no. 4, mei 2004
sistem ini tidak dapat berjalan lama. Pada 27 Mei 1968, pemerintah kembali melakukan perubahan nilai tukar. Sejak hari itu terdapat suatu nilai tukar yang seragam yang diberlakukan bagi impor yang dibiayai oleh hasil ekspor serta bagi impor yang dibiayai oleh bantuan asing. Tingkat perdagangan ekspor utama adalah tingkat nilai tukar B.E. efektif minus 15% pajak pertukaran dan 10% A.D.O. Suatu dorongan ekspor lanjutan diperkenalkan dengan cara mengubah prosentase hasil ekspor. Pada 19 September 1968 semua eksportir kelompok A diperbolehkan menyimpan 85% hasil ekspor mereka sebagai sertifikat B.E.; 5% harus diserahkan kepada Dana Devisa (pajak ekspor) dan 10% adalah devisa A.D.O. Posisi para eksportir kelompok B tetap tidak berubah.121 Tabel 9 menunjukkan perkembangan nilai tukar resmi dan nilai tukar di pasar bebas sejak 1966 hingga 1970.
Tabel 9 Nilai tukar resmi dan bebas dan di pasar bebas atau gelap uang-kertas AS 1966-1970. (dalam Rupiah Indonesia per Dollar AS) 1966 1967 1968 1969 1970 Nilai resmi Nilai transaksi 101) 10 Nilai B.E. yang fluktuatif 852) 2353) 326 327 Nilai D.P. yang fluktuatif 1052) 2603) 414 378 Nilai tukar kredit fleksibel mata uang asing (D.K.) 3264) Nilai tukar umum fleksibel mata uang asing (D.U.) 3784) Nilai di pasar gelap Januari 48.000 160 290 460 386 Pebruari 63.000 130 280 450 385 Maret 68.000 122 265 440 380 April 71.000 112 325 420 380 360 400 390 Mei 120x) 165 Juni 135 168 350 395 390 Juli 125 165 425 400 395 Agustus 115 175 405 390 392 September 108 205 470 390 393 Oktober 115 195 500 389 393 Nopember 140 230 495 380 392 Desember 160 240 475 387 387 Sumber: Pick’s Currency Yearbook, 1971. 1) Nilai tukar transaksi yang dasarnya direvisi, tidak berlaku sejak 1968. 2) Diperkenalkan pada 11 Pebruari, diubah pada 3 Oktober. 3) Direvisi dan ditetapkan sebagai nilai dasar pada 28 Juli. 4) Devaluasi 17 April, menggabungkan nilai tukar B.E. dan D.P. ke dalam nilai tukar valuta asing (DU) dan nilai tukar kredit subsider valuta asing (DK); Penyatuan struktur nilau tukar pada 10Desember dengan menghapus nilai kredit valuta asing. x) Selanjutnya dihitung dalam rupiah baru. - 37 -
Penebar e-newS
Untuk mempertahankan stabilitas rupiah dan menyederhanakan sistem pertukaran, struktur nilai tukar mengalami devaluasi pada 17 April 1970. Nilai tukar B.E. dan D.P. digabungkan ke dalam suatu “nilai tukar devisa umum (DU) yang fleksibel”, yang ditetapkan sebesar Rp 378 per dollar.122 Lebih jauh lagi, kewajiban menyerahkan 10% devisa A.D.O. dihapus. Sejak saat itu, eksportir akan dapat menyimpan 90% pendapatan mereka, dan hanya menyerahkan 10% kepada pemerintah pusat. Dua jenis nilai tukar valuta asing diperkenalkan, yakni (1) nilai tukar devisa umum sebesar Rp 378 per dollar dan (2) nilai tukar bantuan asing, yang disebut sebagai nilai tukar B.E. Kredit sebesar Rp 326 per dollar.123 Namun mekanisme struktur nilai tukar ini hanya bertahan hidup selama 8 bulan. Pada 10 Desember 1970, suatu devaluasi parsial terhadap rupiah menghapus nilai tukar kredit devisa Rp 326 per dollar dan menggabungkannya dengan nilai tukar devisa umum sebesar Rp 378 per dollar.124 Dengan demikian tercipta suatu nilai tukar yang seragam untuk semua transaksi. Sejak April 1970 akhirnya rupiah sepenuhnya dapat dipertukarkan. Ciri utama reformasi perdagangan dan valuta asing yang dilakukan pada bulan April 1970 adalah suatu devaluasi formal terhadap rupiah ke tingkat nilai tukar di pasar bebas. Selama periode 1968 - 1970 nilai ekspor tahunan (kecuali minyak) berubah sebanyak 2, 4, 8 dan 48% berturut-turut.125 120
Pick’s Currency Yearbook, op.cit., 1968, hal 271.
121
Bank Indonesia, Annual Report 1968, Jakarta, hal. 97.
122
Bank Indonesia, Annual Report 1970/1971, Jakarta, hal. 40.
123
Ibid., hal 39.
124 Pemerintah melakukan devaluasi sebesar 10% terhadap rupiah pada bulan Agustus 1971 dan menciptakan suatu nilai tukar Rp 415 per dollar. Devaluasi ini jelas berada di luar periode yang dibahas dalam thesis ini.
no. 4, mei 2004
125
Sukadji Ranuwihardjo, op.cit. hal. 49.
Yayasan Penebar adalah institusi nir-laba independen. Kami berharap saudara/i (individu) maupun organisasi bersedia mendukung aktivitas kami. Kami menerima donasi, hibah dan dukungan tak mengikat dalam bentuk apapun. Bila saudara/i bermaksud mendukung kami dengan mendonasikan uang, rekening bank kami adalah: BCA (Cabang Cimanggis), rekening Tahapan BCA, nomor account: 166 1746276. - 38 -
Penebar e-newS