pEnEbare-news Nomor 3, Januari - 2004
Redaksi: Edi Cahyono, Maxim Napitupulu, Maulana Mahendra, Muhammad H.T., Hemasari Dharmabumi Photo: koleksi keluarga Oey Hay Djoen Diterbitkan oleh:
Sekapur Sirih Membaca tulisan dari Oey Hay Djoen berkaitan dengan keadaan perekonomian Indonesia menjelang
Yayasan Penebar dibatalkannya KMB (Konferensi Meja Bundar) pada
pEnEbar e-news terbit sebagai media pertukaran dan perdebatan soal-soal perburuhan dan globalisasi. Kami mendukung gerak antiglobalisasi masyarakat Indonesia. Globalisasi dan perdagangan bebas merupakan jebakan negeri-negeri imperialis untuk menjadikan negeri-negeri miskin terus menjadi koloni dan dihisap oleh negeri-negeri maju. Kami menerima tulisan-tulisan yang sejalan dengan misi kami untuk dimasukkan dan diedarkan melalui e-news ini.
1950-an itu mengingatkan kita akan keadaan sulit yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Bisa dikatakan keadaan di antara kedua masa sulit ini “serupa tapi tak sama” karena beberapa indikator perekonomian pada masa itu sangat mirip dengan keadaan sekarang. Ada empat persoalan mendasar yang dihadapi perekomomian Indonesia menjelang dibatalkannya perjanjian KMB, yaitu dijadikannya Indonesia sebagai semata-mata (1) daerah sumber bahan mentah yang murah, (2) daerah penanaman modal yang hanya menguntungkan segelintir pemodal Belanda, (3) daerah pemasaran bagi barang jadi, terutama barangbarang konsumtif dan (4) daerah sumber tenaga buruh yang murah. Keempat persoalan tersbut merupakan karakteristik perekonomian kolonial yang hendak dipertahankan oleh Belanda di Indonesia melalui perjanjian KMB. Bila dibandingan perekonomian Indonesia dewasa ini pun masih memperlihatkan keempat indikasi tersebut.
Untuk persoalan pertama, dijadikannya Indonesia semata-mata sebagai daerah sumber bahan baku yang murah, tentu saja masih berlaku sampai saat ini. Indonesia masih mengandalkan perekonomiannya dari hasil-hasil alam, baik yang dapat diperbarui maupun
Yayasan Penebar ~ Jl. Makmur, no. 15, Rt. 009/Rw.02, Kelurahan Susukan, Jakarta 13750, Indonesia • Tel./Facs. ~ (+ 62 21) 841 2546 • email ~
[email protected] • website ~ www.geocities.com/ypenebar
no-3
yang tidak. Hasil migas dan pertambangan lainnya, hasil perkebunan serta kehutanan masih menjadi andalan ekspor Indonesia, dengan harga yang masih banyak ditentukan para produsen di luar negeri.
Hasil-hasil manufaktur ternyata masih belum bisa mendongkrak pendapatan ekspor Indonesia secara berarti. Walau sampai pada 1997, Indonesia pernah mengalami petumbuhan ekspor manufaktur yang cukup mengesankan, namun apabila dibandingkan negara-negara tetangga yang lain seperti Malaysia dan Singapura misalnya, apa yang dicapai Indonesia masih tertinggal jauh.
EnEbar e-news, januari 2004
Persoalan kedua, dijadikannya Indonesia semata-mata sebagai daerah penanaman modal yang hanya menguntungkan segelintir pemodal Belanda, juga masih berlaku sampai detik ini. Hanya saja, sekarang bukan Belanda lagi pemodal yang mendominasi Indonesia melainkan beberapa pemodal dari negara-negara industri besar seperti Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan dan sejumlah negara Eropa lainnya. Bagaimana hal ini terjadi, sebetulnya bisa dilihat angka-angka ekspor yang luar biasa besar dari beberapa industri asing yang beroperasi di Indonesia namun tidak membawa perubahan dalam kehidupan rakyat Indonesia pada umumnya. Sebagai contoh, PT. Freeport Indonesia yang beroperasi di Timika, Papua, menghasilkan keuntungan ratusan juta dollar per tahunnya, namun daerah tempatnya beroperasi tetap saja miskin dan terbelakang. Pemerintah Indonesia pun hanya mendapat pembagian keuntungan yang sangat kecil. Alih-alih mendapat keuntungan daripadanya, kehadiran perusahaan asal Lousiana, Amerika Serikat ini hanya mendatangkan pelanggaran HAM dan kerusakan lingungan hidup bagi penduduk Timika. Pada industri manufaktur juga berlaku hal yang sama. Sektor industri sepatu, nilai ekspornya mencapai milaran dollar per tahunnya, namun apakah negeri ini menikmatinya? Yang disisakan di negeri ini hanyalah secuil bagian untuk upah para buruhnya yang dibayar sangat rendah. Selanjutnya Indonesia sampai saat ini juga masih dijadikan sasaran perluasan pasar dari barang-barang konsumsi negara-negara industri maju. Namun bedanya, sekarang negeri ini dipaksa membuka pasarnya atas nama rezim perdagangan bebas yang dilembagakan melalui WTO dan syarat-syarat untuk mendapatkan pinjaman yang ditetapkan IMF dan Bank Dunia. Kalau kita perhatikan, mulai dari sembako sampai minuman keras, telah didominasi barang-barang impor. Tentu saja hal ini sangat membahayakan para produsen lokal yang secara tidak adil diharuskan bersaing dengan barang-barang impor yang adakalanya diproduksi dengan subsidi dan proteksi dari
2
Dalam bidang perburuhan, kondisinya, sama buruknya. Sejak masa Orde Baru, upah buruh yang rendah selalu dijadikan keunggulan Indonesia untuk menarik investor asing. Pemerintah tidak peduli apabila upah para buruhnya hanya kurang dari satu dollar sehari, termasuk yang terendah di Asia, asalkan para investor berduyunduyun datang ke Indonesia. Maka tidaklah berlebihan apabila sastrawan Multatuli dulu mengatakan bahwa orang Indonesia bisa hidup hanya dengan segobang sehari.
pEnEbar e-news, januari 2004
pemerintahnya masing-masing.
Salah satu hal yang menarik dari perjanjian KMB ini adalah kewajiban Indonesia untuk membayar utang milik negeri Belanda. Kewajiban ini tersurat dalam pasal-pasal KMB dan tentu harus dilaksanakan. Mungkin pemerintah Indonesia memang sudah ‘ditakdirkan’ untuk selalu membayari utang yang bukan miliknya. Betapa tidak, bila dibandingkan antara KMB dan LoL (Letter of Intent) antara pemerintah RI dengan IMF yang terutama menyaratkan restrukturisasi perbankan dan utang perusahaan-perusahaan swasta, bukankan isinya sama saja? Pemerintah diwajibkan menanggung kerugian perbankan dan utang perusahaan swasta, sesuatu yang bukan hasil kerja dan miliknya? Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa berbagai bentuk perjanjian dalam bidang ekonomi yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama ini seringkali menimbulkan dampak negatif bagi mayoritas rakyat Indonesia. Penanggungan utang milik Belanda pada masa KMB; dan utang swasta pada masa IMF dan World Bank haruslah dilihat dalam konteks tersebut.
Redaksi
3
no-3
Masalah Ekonomi Indonesia*]
D
Oey Hay Djoen
engan disahkannya Undang-Undang Pembatalan Perjanjian K.M.B. terbuka lebarlah jalan raya menuju pembangunan Indonesia; jalan raya yang kecuali mendekatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi Rakyat Indonesia, juga menghadapkan kita pada bermacam-bahaya, kesulitan dan kemungkinan serta tak terpenuhinya harapanharapan karena penghalang-penghalang yang melintang-rintangi perjalanan pada hari depan yang lebih baik itu.
Pembatalan perjanjian K.M.B. itu, –sekalipun di segi yuridis
pEnEbar e-news, januari 2004
(hukum) mempunyai arti vital,– tak akan mempunyai kekuatan apapun apabila pembatalan itu hanya bersifat yuridis. Pembatalan secara yuridis itu harus disertai tindakan-tindakan yang nyata di lapangan ekonomi, karena perjanjian K.M.B. pertama-tama adalah masalah ekonomi.
Masalah ekonomi Indonesia adalah masalah/soal pertentangan antara kekuasaan ekonomi kolonial dan ekonomi nasional; masalah pembatalan K.M.B. terutama adalah masalah/soal likuidasi kekuasaan ekonomi kolonial itu dan pembangunan ekonomi nasional.
Dari sebab itu, membicarakan masalah ekonomi Indonesia tidak bisa terlepas dari pada membicarakan watak-watak dan ciri-ciri kekuasaan ekonomi kolonial atas Indonesia; membicarakan arti sebenarnya dari-pada perjanjian K.M.B. dan dari analisa ini merintis jalan ke arah pembangunan ekonomi nasional Indonesia. + ++ +
Ciri-ciri pokok daripada politik dan kekuasaan ekonomi kolonial adalah dijadikannya daerah jajahan sebagai: a. daerah sumber bahan mentah,
*]
Ceramah 27 Mei 1956, Lembaga Pengetahuan Progresif – Semarang.
4
pEnEbar e-news, januari 2004
b. daerah penanaman modal, c. daerah pemasaran bagi barang jadi, d. daerah tenaga buruh yang murah. Dengan menganalisa keadaan pada sebelum perang dunia ke II, dapatlah kita temukan dengan segera ciri-ciri pokok daripada politik dan kekuasaan ekonomi kolonial itu di Indonesia.
I. Indonesia sebagai daerah sumber bahan mentah
Indonesia yang kaya raya akan hasil-hasil bumi, yang mempunyai
sumber-sumber kekayaan alam yang seolah-olah tiada batasnya ini merupakan makanan yang empuk bagi kolonialisme Belanda. Pengedukan yang dilakukan oleh kolonialisme atas kekayaan alam Indonesia telah membawa dan menghasilkan kejayaan bagi kuasakuasanya di negeri Belanda. Seluruh politik ekonomi dan kekuasaan serta susunan ekonomi di Indonesia diselaraskan dengan kepentingan eksploitasi Indonesia dan kekayaan alamnya. Segala usaha di lapang pembangunan: jalan raya, pelabuhan dan lain-lain komunikasi, pendidikan, perumahan dan sebagainya ditujukan pada kepentingan eksploitasi kekayaan alam Indonesia itu.
Untuk memperoleh gambaran yang agak jelas daripada pengedukan kekayaan alam Indonesia, –dijadikannya Indonesia sebagai sumber bahan mentah,– ini baiklah dan memang paling tepat bila kita biarkan angka-angka berbicara. Dengan menggunakan angka-angka yang terdapat dari tahun 1938 maka terjumpailah, bahwa pada tahun itu berat bahan-bahan mentah yang diangkut ke luar negeri–diekspor–dari Indonesia adalah sebesar: 10.994,43 ribu ton seharga (nilai ekspor) 687, juta gulden (rupiah sebelum perang). Kalau kita teliti lagi dari jumlah berat barang di atas ini, maka tahulah kita, bahwa jumlah itu praktis merupakan jumlah mutlak daripada produksi Indonesia pada tahun 1938 itu pula. Sebagai misal baiklah disebutkan beberapa angka sebagai berikut: jenisnya
Produksi
gula (tanaman seluas 84.829 ha.) 1.400.340 ton karet perkebunan 175.066 ton teh 80.538 ton
ekspor 1.175.300 ton 156.758 ton 71.921 ton
5
kopi perkebunan kopi rakyat kina (kulit kering) minyak sawit biji sawit timah minyak tanah bauksit batubara serat keras
45.572 ton 68.690 ton 10.955 ton
68.962 ton
no-3
6.957 ton (kulit kering) 182 ton (kenini) 226.668 ton 220.702 ton 48.036 ton 47.439 ton 29.728 long ton 13.699 long ton (biji timah) 7.207 long ton (logam timah) 7.398.000 ton 6.067.000 ton 245.000 ton 274.000 ton 1.456.000 ton 368.000 ton + 95.000 ton 90.079 ton
Atau kalau kita perinci macam-macam terpenting daripada hasil bumi yang diekspor itu dalam persentase (%)-nja dari nilai ekspor– yaitu seharga 687 juta gulden–maka tampaklah angka-angka seperti berikut ini: (1938)
EnEbar e-news, januari 2004
karet minyak gula minyak sawit timah
22,6% 23,8% 6,5% 2,8% 5,0%
tembakau kopra teh lain-lain
3,9% 5,7% 8,5% 24,8%
Seperti telah disebutkan di atas: membiarkan angka-angka berbicara agaknya sudah cukup membuktikan betapa pengedukan yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial atas kekayaan alam Indonesia guna kepentingan kolonialisme itu.
II. Indonesia sebagai daerah penanaman modal
S udah
tentu juga dalam hal ini politik ekonomi kolonial menyelaraskan segala sesuatunya dengan kepentingan eksploitasi kolonialnya. Menurut catatan W. de Cook Buning, jumlah modal milik Belanda yang ditanam di Indonesia pada tahun 1923 adalah sebesar ..... f. 1,9 milyar. Sedangkan menurut Prof. G. Gongrijp, modal Belanda pada dekat sebelum perang dunia ke II adalah sebesar ..... f. 4,0 milyar, atau dalam perinciannya sebagai berikut:
perkebunan-perkebunan gula f. perkebunan-perkebunan karet “ perkebunan-perkebunan lain-lain“ bank-bank pertanian besar “
6
400.000.000,450.000.000,350.000.000,274.000.000,-
pEnEbar e-news, januari 2004
perusahaan timah “ 10.000.000,perusahaan minyak tanah “ 500.000.000,Pelayaran “ 100.000.000,jalan-jalan kereta api “ 150.000.000,perusahaan-perusahaan negara “ 100.000.000,Industri “ 50.000.000,lain-lain “ 250.000.000,- f. 2.634.000.000,jumlah hutang-hutang hamintehaminte [kota-praja] kepada orang-orang Belanda f. 1.200.000.000,modal yang ditanam secara tidak langsung “ 200.000.000,- f.1.400.000.000,f. 4.034.000.000,-
Angka-angka di atas ini ternyata diperkuat juga oleh Prof. Dr. J.D.N. Versluys dalam bukunya (tulisannya) Het Unistatuut de financieleen en economische overeenkomst yang kini dijadikan dokumen oleh Seksi Perekonomian D.P.R. Republik Indonesia. Di dalam memperhatikan angka-angka di atas ini adalah menarik sekali untuk memperhatikan dan secara wajar haruslah disebutkan, bahwa sifat modal Belanda yang ditanam di Indonesia itu sifatnya amat monopoli. Modal Belanda itu menguasai kehidupan ekonomi Indonesia sebagai suatu octopus raksasa yang mempunyai tangannya mencengkeram kehidupan ekonomi. Baikah disebutkan, betapa modal Belanda itu berpusat pada beberapa golongan monopoli sebagai berikut: Keluarga van Eeghen: menguasai: Nederlands-Indishe Handelsbank Incassobank Nederlandse Handel Maatschappij 15 onderneming (cultuur-ondernemingen) Stoomvaartmaatschappij Nederland dan juga dalam perusahaan minyak tanah. Keluarga Mees-Hintzen: menguasai: Rotterdamsche Lloyd K.P.M. dll. Menarik sekali adalah: 10 anggota keluarga Mees-Hintzen ini mempunyai 55 fungsi dalam 52 N.V., yaitu 20 bank besar, 5 perusahaan asuransi dan 5 onderneming dagang.
7
no-3
Kemudian baiklah juga disebutkan kekuasaan modal monopoli Belanda yang biasa disebut BIG FIVE di Indonesia sebagai berikut:
EnEbar e-news, januari 2004
BORSUMIJ a. mempunyai cabang di seluruh Indonesia b. usaha: menjalankan dagang impor-ekspor dan dagang komisi, menjalankan perusahaan kasir, bankir, perindustrian dan perkebunan mengadakan eksploitasi atas barang-barang yang tidak bergerak, Mengeksploitasi konsesi-konsesi perkebunan, tambang-tambang dll. c. mengeksploitasi pabrik pers, pabrik HIMA di Surabaya, pabrik kulit “Djakarta” di Pasuruan, Mempunyai andil 50% dalam “Oranje Brouwerij” di Jakarta, dan Pabrik tekstil “Nebritex” di Plered. Mempunyai andil besar dalam N.V. Maatschappij tot Exploitatie van Book-, Blik- en Offset Drukkerij “FUHRY” di Surabaya, N.V. Lak-Verf Fabriek “Djakarta” di Jakarta dan dalam “Distributie Mij voor Phillipe artikelen” di Indonesia, Selanjutnya BORSUMIJ ini menguasai saham-saham seluruhnya daripada perusahaan sabut kelapa (vezelonderneming) “Kota Blater” di Ambulu. N.V. GEO WEHRY: tersusun sebagai berikut: N.V. Adm. Mij GEO WEHRY yang memiliki perusahaan-perusahaan lokal di bawah pimpinan konsern tersebut. N.V. GEO WEHRY dilapangan impor dan merupakan direksi dan menjadi serta bertindak sebagai gedelegeerde dari 15 perkebunan. N.V. Internationaal dsb.
Untuk lengkapnya perlulah disebutkan juga modal-modal raksasa monopoli BIG FIVE lain seperti N.V. INTERNATIO, N.V. LINDETEVES dan JACOBSON v.d. BERG N.V. yang dengan tak perlu disebut lagi dapatlah dikenal daerah dan langan operasinya di berbagai lapangan ekonomi vital di Indonesia.
III. Indonesia sebagai daerah pasaran bagi barang jadi
Dilihat secara strukturil dan dengan angka-angka pembukti, yang menunjukkan kedudukan yang diberikan kepada Indonesia sebagai tanah jajahan oleh kolonialisme Belanda: sebagai daerah sumber
8
pEnEbar e-news, januari 2004
bahan mentah dan lebih-lebih lagi dari lapangan-lapangan penanaman modal sebetulnya sudah cukup terlihat politik ekonomi kolonial di Indonesia. Dengan memperhatikan lapangan-lapangan penanaman modal, yaitu perkebunan-perkebunan, pertambangan, pelayaran, bank dsb. itu jelaslah bahwa penanaman modal itu bersifat pelayanan kepentingan kolonialisme dalam pengedukan kekayaan bumi Indonesia. Di lain pihak kenyataan ini secara keras terbukti dari keterbelakangan Indonesia di dalam industri-industri dalam negeri. Industri dalam negeri pada waktu sebelum perang, dan yang jumlahnya atau yang menurut kedudukannya tidak berarti itu tidak lain dan praktis adalah merupakan industri-industri pelayan kepentingan modal Belanda sendiri.
Industri–kalau bisa dinamakan demikian dalam arti sebenarnya– yang ada di Indonesia pada sebelum perang dunia ke II pada garis besarnya ialah: a. Industri-industri perkebunan dan pertanian berat yang menghasilkan bahan-bahan ekspor, b. Industri-industri pembantu atau bengkel-bengkel yang bekerja untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang kecil di berbagai pabrik besar dalam sub a di atas ini, c. Industri barang-barang kebutuhan penduduk bangsa asing dan golongan atasan lainnya terutama seperti pabrik-pabrik susu, mentega, es, roti, limun, bir, sabun-wangi, sigaret, radio, pirlampu, sepatu, ban-mobil, dsb. semacam itu. Dengan lain perkataan, industri dalam negeri yang melayani kebutuhan rakyat banyak praktis tidak ada atau tidak berarti sama sekali sehingga bergantunglah pada pemasukkan barang-barang kebutuhan itu dari luar negeri, yaitu barang jadi hasil pengolahan kekayaan alam Indonesia sendiri yang telah diangkut ke luar negeri dan dikerjakan oleh pabrik-pabrik di sana, ataupun yang memang merupakan barang-barang jadi sisa kelebihan produksi (overproduksi) yang mencari dan dibanjirkan pada pasaran-pasaran daerah jajahan. Sebagai bukti dapatlah hal ini dilihat dari angka-angka impor pada sebelum perang dunia ke II (tahun 1938) yang menunjukkan
9
no-3
seperti berikut: impor 1938: barang-barang konsumsi barang (bahan) baku/ penolong barang-barang modal jumlah:
banyaknya 779,2 ribu ton
harga f. 206,7 juta
1056,9 ribu ton 166,7 ribu ton 2.002.8 ribu ton
f. 154,4 juta f. 117,9 juta f.478,5 juta
Atau kalau dihitung menurut persentasenya dari seluruh nilai impornya berarti: untuk barang konsumsi untuk bahan baku/penolong untuk barang modal
43,3% 32,2% 24,5%
IV. Indonesia sebagai daerah tenaga buruh yang murah
Dengan tidak usah terlalu jauh mencari-cari bahan kenyataan
EnEbar e-news, januari 2004
eksploitasi atas rakyat Indonesia sebagai tenaga buruh yang murah adalah cukup dengan menunjukkan pada sejarah koeli-kontrak, pemerasan yang tiada terhingga kejamnya seperti dengan dakwaan yang sekeras-kerasnya merebut tempat dalam dunia kesusasteraan: buku Multatuli Max Havelaar atau pada ejekan kurang ajar yang berbunyi: “Orang Indonesia bisa hidup dengan segobang sehari ......” Juga sejarah telah membuktikan, bahwa kaum buruh Indonesia– baik di perkebunan, pertanian maupun perusahaan–sadar akan pemerasan dan penindasan penjajahan itu. Adalah sebagai perlawanan yang sadar apabila pada tahun 1926 terjadi pemberontakan yang revolusioner dari rakyat Indonesia melawan penjajahan itu. Dari sebab itu pula adalah khianat jika kejadian bersejarah pada tahun 1926 itu disebut dalam ejekan–seperti juga kaum kolonialis mengartikan kejadian bersejarah itu–sebagai “huru-hara.” + ++ +
Adalah tidak lengkap, apabila dalam menganalisa susunan dan kekuasaan politik ekonomi kolonial itu kita hanya tinggal pada penyebutan ciri-ciri pokoknya saja. Untuk melengkapi analisa ini mau tidak mau dan secara tidak dapat dipisah-pisahkan harus pula
10
pEnEbar e-news, januari 2004
diterangkan betapa eksploitasi kolonial itu menguntungkan pihak penjajah. Menyebutkan pengedukan kekayaan berupa keuntungankeuntungan bagi penjajah akan menenangkan pula secara lebih jelas keuletan dan perlawanan yang sengit yang dilakukan oleh penjajah terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Sebagai hasil daripada pengurasan kekayaan alam Indonesia, penanaman modal dan eksploitasinya atas rakyat Indonesia, keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya diangkut oleh penjajah ke negerinya. Menurut angka-angka yang dikumpulkan dan diumumkan oleh Tinbergen dan Derksen, maka keuntungan di tahun 1938 yang diperoleh penjajah Belanda merupakan tidak kurang daripada kurang lebih 15% daripada pendapatan nasional negeri Belanda pada tahun itu pula, yaitu yang sebesar tidak kurang dari f. 5.100.000.000,- sehingga berartilah bahwa keuntungan penjajah pada tahun 1938 itu adalah kurang lebih f. 700.000.000,- setahun. Keuntungan sebesar 700 juta gulden itu dapat dibagi dalam dua kategori: a. Pendapat-primer yang diperoleh dari ondernemingonderneming seperti gula, karet, kelapa-sawit, timah, minyaktanah, perusahaan-perusahaan dagang dsb. yang meliputi jumlah f. 400.000.000,- kurang lebih. b. Pendapat-sekunder yang diperoleh oleh orang-orang Belanda yang berada di negeri Belanda dan orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia yang berada dalam hubungan yang timbul karena pekerjaan-pekerjaan dalam penanaman modal di Indonesia, yang meliputi jumlah .... f. 300.000.000,- kurang lebih. Suatu contoh yang amat menyolok telah diberikan oleh Henriete Roland Holst dalam bukunya Kapitaal en Arbeid in Nederland yang membuktikan, bahwa pada tahun 1925 perusahaan-perusahaan/ pabrik gula sebanyak 27 buah dengan modal f. 85.000.000,- yang bekerja di Indonesia telah mencapai keuntungan sebanyak tidak kurang dari f. 34.500.000,-! Lain contoh lagi menyatakan, bahwa menurut angka-angka resmi, selama 20 tahun sebelum perang dunia ke II Belanda mengalami kekurangan dalam neraca perdagangannya dengan Amerika Serikat. Menurut angka-angka itu dari tahun 1921 sampai dengan tahun
11
no-3
1940 negeri Belanda telah mengumpulkan kekurangan pada neraca perdagangan dengan A.S. itu sejumlah seluruhnya 900 juta dollar. Sebaliknya, dari tahun 1921 sampai dengan 1940 Indonesia telah mengumpulkan kelebihan dollar pada neraca perdagangannya dengan Amerika Serikat sejumlah seluruhnya 955 juta dollar. Dari sini dapatlah dilihat dengan sejelas-jelasnya, bahwa kekurangan dollar yang selama 20 tahun diderita oleh negeri Belanda itu telah diperkecil, bahkan telah ditutup dengan pendapatan (kelebihan) dari tanah jajahannya! Untuk melihat contoh yang agak lebih menyolok lagi dapatlah disebutkan pula di sini, bahwa rakyat Indonesia yang merupakan 98% dari penduduk kepulauan Indonesia pada tahun 1936 hanya menerima 20% kurang lebih dari pendapatan nasional Indonesia sedangkan penduduk Eropa di Indonesia yang merupakan hanya 0,5% dari penduduk kepulauan Indonesia menerima tidak kurang dari 60% dari pendapatan nasional Indonesia itu!!
pEnEbar e-news, januari 2004
Keadaan-keadaan seperti diuraikan di atas ini tidak bisa lagi ditolak sebagai bukti-bukti yang senyata-nyatanya daripada pemerasan, penindasan dan kemelaratan yang dialami oleh Rakyat Indonesia di bawah cengkeraman kolonialisme Belanda itu. + ++ + Kekuasaan kolonialisme seperti diuraikan di atas itulah–yang merupakan pertentangan pokok antara kolonialisme dan aspirasi nasional Rakyat Indonesia–menjadikan perjuangan Rakyat Indonesia yang paling pokok ialah melenyapkan kekuasaan yang mencengkeram kehidupan Rakyat Indonesia. Perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan ekonomi kolonial atas kehidupan Rakyat ini tercermin dengan tegas dalam U.U.D. proklamasi 1945, pasal 33 yang–secara langsung berhadap-hadapan dengan kenyataan kekuasaan monopoli kolonial–menetapkan, bahwa perekonomian nasional akan: 1) diorganisir sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan, 2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hayat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, 3) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
12
pEnEbar e-news, januari 2004
Dengan lain perkataan, perjuangan kemerdekaan dari Rakyat Indonesia bertujuan melikuidasi kekuasaan kolonialisme atas ekonomi dan kehidupan Rakyat banyak dan menciptakan suatu ekonomi nasional yang terpimpin, yang sekalipun memungkinkan adanya dan hidupnya modal perseorangan atau kapitalisme, namun dalam batas-batas agar tidaklah ia berkembang menjadi monopoli.
Jadi suatu ekonomi nasional yang bertujuan mencapai dan meningkatkan derajat hidup dan kemakmuran rakyat secara maksimal.
Tetapi tujuan perjuangan Rakyat Indonesia ini belum tercapai disebabkan kekalahan revolusi Agustus 1945. Kekalahan berturutturut dan secara pasti telah menjadi kenyataan dengan dibuatnya Perjanjian K.M.B. Perjanjian K.M.B. tidak lain ialah restorasi kekuasaan kolonialisme sekalipun dalam bentuk-bentuk yang agak berlainan daripada sebelum perang. Betapa K.M.B. berarti pengembalian kekuasaan kolonialisme bisa secara segera ditemukan pada kenyataan, bahwa di dalam perundingan K.M.B. tidaklah dapat dimasukkan pasal-pasal yang jiwanya termaksud dalam pasal 33 U.U.D. Proklamasi 1945 itu di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (R.I.S.) Terutama bab mengenai pencegahan adanya organisasi-organisasi yang bersifat monopoli di lapangan ekonomi. Baru dengan diproklamasikannya Republik Indonesia Kesatuan pada 17 Agustus 1945 dan di dalam konstitusi sementara (U.U.D.– Sementara) yang berlaku hingga sekarang dapatlah dicantumkan bab-bab yang dimaksudkan itu sebagaimana terbukti dengan pasalpasal 37 dan 38 U.U.D.–Sementara. Tetapi bagaimanakah kenyataannya yang sebenarnya? Adakah ia sesuai dengan ketentuan yuridis yang sebenarna paling kuasa karena ia tercantum di dalam konstitusi (sekalipun sementara)??
Kenyataan daripada K.M.B. dan segala konsekuensi yang harus ditanggung karena K.M.B. itu sebenarnya menertawakan bab-bab tersebut sekalipun sudah tercantum dalam U.U.D.–sementara. Seperti sudah disebut di atas, perjanjian K.M.B. tidak lain daripada restorasi kolonialisme atas Indonesia. Dengan K.M.B. itu Indonesia
13
tetap daerah jajahan.
no-3
Baiklah untuk membuktikan ini diberikan beberapa fakta yang langsung tercantum di dalam perjanjian K.M.B. itu. Antara lain ditentukan, bahwa Indonesia harus mengambil oper segala hutanhutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan sedianya dibebankan kepada “Nederlands Indie,” yaitu: Jumlah hutang yang harus dibayar pada negeri Belanda f. 1.138.237.000,Hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan harus dibayar kepada Amerika Serikat f. 420.424.000,Lain-lain hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan harus dibayar pada luar negeri f. 2.800.000.000,Jumlah ........................ f. 4.358.661.000,-
Selanjutnya bisalah juga disebut beberapa pasal daripada perjanjian K.M.B. bagian FINEC (keuangan dan ekonomi), yang secara langsung bertentangan juga dengan pasal-pasal 37 dan 38 U.U.D.– sementara kita, antara lain:
EnEbar e-news, januari 2004
Pasal 16: “Tentang perubahan perbandingan harga (wisselkoors) mata uang R.I. dan Nederland lebih jauh akan diadakan permusyawaratan” Pasal 17: “Selama keadaan luar atau dalam negeri memerlukan “deviezen regiem” maka baik Republik Indonesia maupun Nederland akan mempermusyawaratkan pasal-pasal kebijaksanaan devisennya yang penting benar bagi pihak yang lain”
Akibat langsung daripada pasal-pasal di atas ini dapatlah kita lihat pada waktu gunting uang Sjafruddin [Prawiranegara] yang disiarkan seolah-olah bocor, karena ternyata pengusaha-pengusaha monopoli asing berhasil menyelamatkan diri dari gunting Sjafruddin itu, tetapi sebenarnya kebocoran itu adalah sesuai dengan pasal-pasal di atas, yaitu “dibocorkan” oleh pemerintah sendiri. Atau baiklah diambil contoh-contoh lain daripada perjanjian picang itu, yaitu
Pasal 3: “Tindakan mencabut hak, menasionalisir, menghapuskan, menyuruh melepaskan atau memindahkan secara paksa benda atau hak, hanya akan dijalankan untuk keperluan umum menurut acara yang ditetapkan dengan peraturan undangundang dan–jika tidak dapat persetujuan antara pihak-pihak
14
pEnEbar e-news, januari 2004
yang berkepentingan – dengan mengganti kerugian yang diterimakan atau dijamin lebih dahulu dan yang ditetapkan hakim menurut harga sebenarnya benda atau hak yang diambil itu, segala-galanya itu menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Syarat bahwa pengganti kerugian itu harus diterimakan atau dijamin lebih dahulu tidaklah berlaku jika benda atau hak itu perlu diambil dengan sesegeranya, karena keadaan perang, bahaya perang, pemberontakan, kebakaran, banjir, gempa bumi, gunung meletus atau lain-lain kejadian yang mendesak.”
Atau
Pasal 18: “Pada pencabutan hak, nasionalisasi dan lain-lainnya c.q. “naasting” Pemerintah Republik Indonesia mengijinkan pemindahan uang pengganti kerugian c.q. harga “naasting” itu dipindahkan di dalam tempo tiga tahun, maka wajiblah Republik Indonesia menyatakan sedemikian sebelum menjalankan pencabutan hak, nasionalisasi dan lain-lainnya itu. Sebuah panitia arbitrase yang anggotanya ialah seorang wakil Republik Indonesia, seorang wakil yang berhak dan seorang anggota lagi yang ditunjuk sesudah bermusyawarat oleh kedua wakil teresbut tadi, akan memberikan keputusan sesudah ikat tentang soal apakah dan sampai dimanakah ketentuan tempo 3 tahun itu boleh dilaini - Jika pemindahan uang tidak dijalankan segera, maka uang mengganti kerugian c.q. “naasting” yang ditetapkan dengan uang Indonesia akan dikreditir dengan valuta negara modal itu berasal daripadanya menurut perbandingan uang (wisselkoers) pada hari pencabutan hak itu terjadi.”
Jelaslah, bahwa untuk mencabut hak milik ataupun hak mengusahakan perusahaan dari perusahaan modal Belanda tidaklah cukup dengan peraturan pemerintah, melainkan pada pokoknya haruslah dengan undang-undang yang menyebutkan jumlah pengganti kerugian, serta yang boleh segera ditransfer ke negeri asal modal (negeri Belanda) dengan ketentuan pula mengenai nilai tukar uang pengganti kerugian tersebut. Lebih jauh baiklah juga disebut di sini mengenai hak-hak yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang disebutkan di dalam perjanjian-perjanjian kolonial dulu dan yang harus diteruskan/diterima sebagai warisan oleh Republik Indonesia, yaitu apa yang disebut “Let Alone Agreement.” Perjanjian itu menentukan,
15
no-3
bahwa kongsi-kongsi minyak diberikan kekuasaan untuk menguasai devisen hasil ekspor minyak tanah dari Indonesia. Hal ini akan diuraikan lebih jauh.
Sebagai gambaran tambahan baiklah juga disebut tentang eksploitasi jalan-jalan kereta api di Indonesia. Perjanjian K.M.B. menentukan, bahwa semua perusahaan kereta api di Jawa, Madura dan Sumatera harus dikembalikan kepada maatschappjmaatschappij kereta api (Belanda) partikelir.
EnEbar e-news, januari 2004
Pada tahun 1946 pemerintah Belanda di daerah-daerah federal mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan kereta api partikelir, yaitu dengan “Overeenkomst A” perusahaan-perusahaan kereta api partikelir itu disatukan dengan S.S. (Staats Spoorwegen) dan diberi nama SS/VS. Pada tahun 1949 dengan adanya apa yang dinamakan penyerahan kedaulatan, SS/VS disatukan dengan D.K.A., tetapi perjanjian K.M.B. menentukan lebih jauh, bahwa pemerintah R.I. wajib: a. membayar uang sewa setiap tahun kepada maatschappij sebagai berikut: kepadaN.I.S. S.C.S. S.J.S. O.J.S. S.D.S. Madura Stoomtram Malang Stoomtram Kediri Stoomtram Modjokerto Stoomtram Pasuruan Stoomtram Probolinggo Stoomtram jumlah
f. “ “ “ “ “ “ “ “ “ “ f.
3.111.300,1.063.800,429.100,253.000,184.500,208.200,153.200,75.800,55.800,279.090,47.500,5.640.000,-
b. semua pegawai maatschappij digaji dan diberi hak-hak seperti pegawai pemerintah c. Pemerintah R.I. memberi sokongan pada fonds tunjangan maatschappij setiap tahunnya sebesar f. 160.000,-. Ondersteuningsfonds ini berada di negeri Belanda. d. Pemerintah R.I. memberikan sokongan sebesar 25% dari gajiaji (jumlah) ambtenar-ambtenar kepada Fonds Pensiun yang berada di negeri Belanda. Wajarlah bila diperhatikan juga, bahwa dari maatschappij-
16
pEnEbar e-news, januari 2004
maatschappij itu yang terbesar modalnya ialah N.I.S., gabungan maatschappij-maatschappij (SJS, CJS, SDS) dan Malang Stoomtram sebesar masing-masing f. 40 juta, f. 6 juta dan f. 5 juta. Dihitung dengan sewa yang sudah dibayar oleh pemerintah sejak tahun 1949 maka nampak keganjilan daripada “kerjasama” di atas ini. Sekalipun sudah dibentuk panitia nasionalisasi pada tahun 1952, tetapi sampai kini perusahaan-perusahaan tersebut di atas masih tetap milik maatschappij-maatschappij itu.
Demikian inilah secara sekedarnya beberapa contoh tentang konsekuensi-konsekuensi langsung sebagaimana ditetapkan oleh K.M.B. Adalah masalah ini terbatas sampai demikian ini saja?
Dalam uraian ini sudah disebutkan, bahwa perjanjian K.M.B. adalah berarti restorasi daripada kekuasaan modal kolonial. Betapa tidak!
Ciri-ciri pokok yang kita temukan sebagai pembukti daripada berlakunya ekonomi dan dikuasainya Indonesia oleh politik ekonomi kolonial bukanlah semata-mata identik, sama dengan keadaan pada sebelum perang dunia ke II. Dalam kenyataannya penguasaan Indonesia oleh kolonialisme sebenarnya adalah lebih intensif, lebih keras. Dengan lain perkataan: penghisapan kolonial yang berlaku dengan perjanjian K.M.B. itu mencapai bentukbentuk ekstrim. Untuk bergerak pada sistematik penguraian masalah-masalahnya,– bahwa Indonesia tetap daerah jajahan,– baiklah disebutkan kedudukan Indonesia dengan K.M.B. itu sebagai daerah sumber bahan mentah, tempat pengurasan bahan mentah untuk kepentingan penjajahan, untuk kepentingan imperialisme. Menurut Kantor Pusat Statistik, angka-angka ekspor (sesudah K.M.B.) adalah sebagai berikut: tahun 1950 1951 1952 1953 1954
beratnya ekspor 8.518.972 ribu ton 9.734.650 ribu ton 9.847.979 ribu ton 12.192.656 ribu ton 12.744.377 ribu ton
nilai ekspor 2.953,79 juta rupiah 4.779,52 juta rupiah –$1 = Rp 3,80 10.386,75 juta rupiah –$1 = Rp 11,40 9.343,00 juta rupiah 9.759,00 juta rupiah
17
no-3
Seperti juga halnya pada waktu sebelum perang, jumlah di atas ini boleh disebutkan sebagai jumlah mutlak daripada penghasilan terpenting Indonesia, seperti terbukti dengan angka-angka sebagai berikut:
“ “ “ “ “ “ “
Jenisnya gula (luas tanaman 49.256 ha.) minyak sawit biji sawit serat keras teh kopi perkebunan kopi rakyat kina
717.742 ton 168.636 ton 43.319 ton 30.733 ton 46.900 ton 14.196 ton 42.800 ton 1.770 ton
“
timah dalam biji
35.862 long ton
“ “ 1950
karet perkebunan karet rakyat minyak mentah & hasil -”-”-”-”-
287.551 ton -tak tercatat-
pEnEbar e-news, januari 2004
tahun 1954
1951 1952 1953 1954
produksi
6.816.000 ton 8.093.000 ton 8.523.000 ton 10.225.000 ton 10.775.000 ton
ekspor 219.441 ton 140.062 ton 42.407 ton 23.723 ton 40.228 ton 37.336 ton 617 ton (kulit kering) 1 ton (kenini) 33.941 long ton (dalam biji) 994 long ton (logam) 237.975 ton 471.639 ton 6.160.000 ton 6.798.000 ton 7.883.000 ton 9.599.000 ton 9.887.000 ton
Dengan mengambil perbandingan pada keadaan sebelum perang maka nampak juga, bahwa ekspor (baca: pengurasan) hasil-hasil/ kekayaan alam Indonesia yang terpenting telah meningkat sekali, sebagaimana terlihat dari hitungan persentase daripada beberapa hasil terpenting itu dalam nilai ekspornya dari nilai-ekspor seluruhnya. Dengan menggunakan angka tahun 1954 sebagai dasar, maka terlihatlah, bahwa dari jumlah nilai ekspor yang sebesar 9.759 juta rupiah itu: nilai ekspor: karet = 30,9% nilai ekspor: minyak = 26,4% gula = 2,6% minyak sawit = 3,6% –
timah = 7,2% tembakau = 3,8% kopra = 6,7% teh = 4,6% lain-lain = 14,2%
Kalau kedudukan Indonesia dengan K.M.B. ternyata tidak berubah
18
pEnEbar e-news, januari 2004
dari keadaan sebelum perang dunia ke II, yaitu sebagai daerah bahan mentah, maka keadaan serupa kita temukan juga dalam keadaan modal dan kekuasaan modal kolonial di Indonesia sesudah K.M.B. ini. Memang, seperti sudah diuraikan di atas, justru K.M.B. inilah yang memberikan jaminan-jaminan agar modal dan kekuasaan modal kolonial tetap dapat menguasai perekonomian Indonesia, tetap dapat bergerak dan menjalankan peranannya untuk pengurasan dan pengedukan bahan mentah, eksploitasi dan keuntungan.
Menurut perkiraan, maka modal Belanda sebagai akibat perang dan selama revolusi, telah mengalami kerusakan kurang lebih 25%, yang berarti, bahwa dari modal sebelum perang yang sebesar f. 4 milyar lebih itu masih utuh sebesar f. 3 milyar. Pihak resmi Belanda sendiri telah menaksir, bahwa nilai modal yang ditanam di Indonesia adalah kira-kira f. 5 sampai f. 6 milyar (nilai gulden sebelum perang = kurang lebih 2 kali nilai gulden sesudah perang). Dan dengan kenyataan, bahwa nilai riil daripada f. 1,- sesudah perang adalah kira-kira Rp. 8,= sampai Rp. 9,- maka modal monopoli Belanda yang masih menguasai perekonomian Indonesia berjumlahlah kira-kira Rp. 40 milyar sampai Rp. 50 milyar, bahkan disebut Rp. 64 milyar. Untuk bahan perbandingan baiklah disebutkan di sini, bahwa kekuasaan modal kolonial yang bercokol di bumi Indonesia ini sungguh-sungguh bersifat menguasai perekonomian Indonesia. Tidak kurang daripada 70% daripada modal asing yang ditanam di Indonesia adalah milik kolonialis Belanda. Sebagai misal baiklah diambil, bahwa 7 bank asing di Indonesia pada permulaan tahun 1955 mempunyai Rp. 2,8 milyar deposito, sedangkan 20 bank nasional hanya mempunyai Rp. 75 juta. Di lapangan pelayaran antar-pulau jelas kekuasaan dipegang oleh K.P.M. dan serekannya sedangkan perhubungan laut dengan luar negeri praktis seluruhnya dipegang oleh kongsi-kongsi asing dalam mana modal Belanda menguasai 95%. Demikian juga halnya dengan kade-kade di Indonesia yang untuk 85% dikuasai oleh kongsi-kongsi Belanda, sedang instalasi-instalasi pelabuhan praktis diurus pula oleh kongsi-kongsi Belanda.
19
no-3
Di lapang pertambangan dan perkebunan kiranya keadaan yang serupa dengan di atas itu sudah cukup jelas. Demikan juga di lapangan impor dan ekspor dsb.
Dan memang semuanya itu secara langsung dapat dilihat pada keseretan dan tidak mungkinnya dicapainya perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat. Keterbelakangan di lapangan pembangunan ekonomi nasional, bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang dibangun dengan susah payah sejak revolusi, semuanya itu menjadi gambaran umum daripada ekonomi negeri. Seperti halnya pada waktu sebelum perang juga pada Indonesia dengan K.M.B. ini ditemukan ciri pokok daripada negeri jajahan: menjadi daerah pasaran bagi barang jadi. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya praktis Indonesia harus bergantung pada luar negeri. Pada impor barang-barang yang sekaligus menggantungkan Indonesia pada sumber penghasilan devisen yang keadaannya seninkemis.
EnEbar e-news, januari 2004
Angka-angka impor menunjukkan, bahwa titik beratnya tetap terletak pada pemasukan barang-barang konsumsi (barang jadi) dan barang-barang/bahan-bahan baku penolong sedangkan untuk pembangunan industri persentase impor barang modal tetap kecil, sebagai berikut: Jumlah impor
Nilai (dalam jutaan Rp.)
jenis 1951 1952 1953 barang-barang pemakaian 1.701 5.377 3.740 bahan-bahan baku/ penolong 1.148 3.440 3.232 barang-barang modal 469 1.989 1.612
1954 2.699
Persentase dari jumlah nilai impor 1951 1952 1953 1954 51,3 49,8 43,6 37,6
3.048 1.425
34,6 14,1
31,8 18,4
37,6 42,5 18,8 19,9
Ketergantungan Indonesia pada impor barang-barang konsumsi dan terapung-apungnya nasibnya pada hasil ekspor bahan-bahan mentahnya itu mendudukkan Indonesia pada tempat yang amat tidak enak dan berada di bawah pengaruh langsung daripada pasaran dunia. Ini lebih-lebih lagi hebatnya karena dengan adanya ikatan K.M.B. yang berarti dikuasakannya Indonesia pada Belanda berartilah pula bahwa Indonesia masuk ke daerah pengaruh–ini paling sedikitnya–dan kekuasaan modal imperialis Amerika Serikat, pada siapa negeri Belanda menggantungkan nasibnya.
20
pEnEbar e-news, januari 2004
Juga disebabkan oleh politik yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia setelah perjanjian K.M.B. itu makin terjerumuslah Indonesia ke dalam lumpur permainan imperialisme dunia. Indonesia terseret masuk juga ke dalam perangkap yang dipasang oleh imperialisme Amerika: dalam wujud embargo yang tidak sah terhadap R.R.T. Indonesia ternyata tunduk pada paksaan imperialisme untuk meletakkan orientasi ekonomi dan pembangunan ekonominya kepada hanya dunia barat dengan benteng imperialismenya: Amerika Serikat.
Betapa langsung kedudukan itu mempengaruhi Indonesia dapatlah dilihat pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai negeri yang hampir-hampir dikatakan nyawanya tergantung pada gerak ekspor bahan-bahan mentahnya telah menjadi korban daripada politik imperialis. Contoh yang amat nyata sebagai akibat ketergantungan pada pasaran barat, pada orientasi ke barat; sebagai akibat embargo, dapatlah dibuktikan dari angka-angka harga bahan ekspor terutama dari Indonesia pada waktu sebelum, selama perang di Korea dan embargo terhadap R.R.T. sebagai berikut: Pasar NEW YORK – dalam dollar sen per pon KARET TIMAH 1951 –Maret 72,00 nom. 1951 –Maret 1952 –Sept. 28,24 1952 –Maret 1953 –Maret 26,625 1953 –Juni Nop. 20,425 Des. 1954 –Maret 20,25 1954 –Jan.
157,875 121,50 93,25 84,25 85,25
Dengan segera terbuktilah, bahwa harga karet pada bulan September 1952 (28,24 $sen) tidaklah lebih daripada hanya 39% dari harga karet pada bulan Maret 1951 (72,00 $sen) untuk setiap pon-nya. Betapa besar kerugian yang diderita oleh Indonesia karena kejatuhan harga itu sudahlah mudah untuk dibayangkan. Padahal keadaan kejatuhan harga itu berjalan terus pada tahun-tahun berikutnya dan sampai kini tercapai kembali harga tahun 1951 itu. Baiklah dicoba memberikan angka-angka daripada kerugian yang
21
diderita oleh Indonesia pada tahun 1952 itu saja.
no-3
Pada tahun 1951 diekspor sebanyak 755.000.000 kg. karet dengan nilai ekspor sebesar Rp. 2.483.000.000,- Sedang pada tahun 1952 diekspor sebanyak 745.000.000 kg. karet dengan nilai ekspor sebesar Rp. 4.778.000.000,Melihat angka-angka di atas ini orang biasa untuk segera bergembira, karena nampak bahwa untuk ekspor yang hampir sama besarnya telah dihasilkan hampir 2 kali dalam harga. Tetapi kegembiraan–kalau orang bergembira–adalah terburu-buru. Keadaan sebenarnya ialah, bahwa pada tahun 1951 nilai tukar dollar dan rupiah adalah $.1,- adalah Rp. 3,80. Sedangkan pada tahun 1952 nilai tukar itu berubah (penilaian kembali rupiah) menjadi $.1,- adalah Rp. 11,40.
EnEbar e-news, januari 2004
Jadi kalau Rp 2.483 juta hasil ekspor karet tahun 1951 itu berarti $. 656 juta maka Rp. 4.778 juta hasil ekspor karet tahun 1952 hanyalah berarti $. 419 juta kurang lebih. Jadi untuk jumlah kg. yang hampir sama besarnya Indonesia telah mengalami kejatuhan harga sebesar kurang lebih $. 230 juta. Atau dalam rupiah Indonesia berartilah kerugian sebesar 230.000.000 x Rp. 11,40 = Rp. 2.622.000.000,Kalau kita periksa, bahwa pada pertengahan tahun 1954 harga karet bahkan telah turun menjadi hanya 20,25 $sen per pon, maka bisalah secara kasar dikatakan, bahwa selama tahun-tahun 19521953-1954 saja Indonesia telah mengalami kerugian paling sedikitnya 3 x Rp. 2,5 milyar. Ini hanya dalam ekspor karet. Untuk lebih menegaskan lagi betapa Indonesia dieksploitasi sebagai sumber/daerah bahan mentah dan daerah pasaran belaka: tanpa kemungkinan untuk membangun tingkat hidup yang lebih tinggi haruslah diberikan gambaran tentang kepincangan dalam tingkat harga barang-barang yang diimpor ke dan barang-barang yang diekspor dari Indonesia.
22
Ekspor (harga-harga f.o.b.)
pEnEbar e-news, januari 2004
ANGKA-ANGKA INDEKS HARGA BARANG-BARANG EKSPOR DAN IMPOR (1938 = 100)
Impor (harga-harga perdagang besar) Angka-angka indeks tertimbang Angka-angka indeks tertimbang Diantaranya: Diantaranya: 18 hasil 4 hasil 10 hasil 3 hasil 44 ba- 6 bahan 10 macam 13 baekspor perke- pertani- hutan rang makanan tekstil han bunan an impor kimia & timah 1952-Desember 1.605 1.522 1.668 3.332 2.245 2.555 2.503 2.095 1953-Desember 1.208 1.195 1.188 3.391 2.402 3.157 2.574 2.265 1954-Desember 1.528 1.558 1.479 2.818 2.956 3.414 3.843 2.783 sumber: Kantor Pusat Statistik
Apakah yang kita dapati dari angka-angka di atas ini? Ternyata, bahwa dibanding dengan tahun 1938 (memakai tahun 1938 sebagai ukuran 100) maka harga dari 18 hasil ekspor (terpenting) dari Indonesia telah naik dengan 15 kali lebih pada tahun 1954. Tetapi sebaliknya, harga dari 44 barang yang diimpor ke Indonesia telah naik dengan hampir 30 kali. Jadi, kalau pada tahun 1938 harga dari 18 hasil ekspor dan harga dari 44 barang yang diimpor ke Indonesia perbandingannya adalah 1 : 1, maka pada tahun 1954 perbandingan itu telah berubah menjadi 15 : 30 atau 1 : 2. Dengan lain perkataan: untuk dapat mengimpor jumlah yang sama dari 44 macam barang yang dibutuhkan oleh Indonesia, maka Indonesia harus menghasilkan dua kali barang yang harus diekspor.
Jadi, untuk dapat memenuhi kebutuhannya akan barang-barang impor seperti di tahun 1938 maka rakyat Indonesia harus bekerja duakali lipat dalam menghasilkan barang untuk diekspor. Dengan demikian tidaklah mungkin tercapai peningkatan taraf hidup, bahkan sebaliknya rakyat hidup harus memeras keringatnya lebih hebat lagi. Dan dengan demikian tidak mungkin juga tercapai neraca yang menguntungkan secara riil. Dan sampai di sini mengertilah juga kita, bahwa memang Indonesia tetap merupakan daerah tenaga buruh yang murah. Sebagai contoh baiklah sekedar disebutkan di sini, bahwa–misalnya saja–kaum buruh di lapangan industri minyak sehari menerima upah kira-kira Rp. 6,- atau setengah dollar Amerika Serikat.
23
no-3
Jauh melebihi itu adalah, bahwa seorang buruh Amerika yang bekerja di lapangan yang sama (buruh minyak) menerima upah $. 8 (delapan dollar) sehari, atau sama dengan Rp 96,- sehari, yang berarti: 16 kali lipat dari yang diterima oleh seorang buruh Indonesia.
Dengan sekedar contoh ini saja kiranya sudah cukup tergambar betapa keras berlakunya pemerasan dan penghisapan terhadap kaum buruh Indonesia. Dan dari sini pula dapatlah dimengerti betapa khianat orang-orang yang mengoper anjuran Dr. Her Schacht–itu fasis Jerman–yang menggambarkan “mehr arbeit,” “mehr arbeit” itu. Adalah juga dengan sekedar contoh tadi itu kiranya cukup untuk setiap orang mengerti betapa adil tuntutan dan perjuangan kaum buruh yang menuntut hapusnya Undang-Undang Darurat Tedjasukmana, yang membelenggu kaum buruh dan mempenjarakan setiap penuntut yang menggunakan senjatanya yang satu-satunya: mogok.
EnEbar e-news, januari 2004
Di satu pihak kaum buruh Indonesia ditindas dalam perjuangannya untuk menuntut penghidupan yang layak sebagai manusia di tanah airnya sendiri, di lain pihak dengan K.M.B. itu kaum penjajah diberi hak untuk menguras kekayaan dari penidasan itu. Dari kesengsaraan dan penderitaan rakyat Indonesia itu, kaum penjajah mengangkut keuntungan ke luar Indonesia yang berjumlah bermilyar-milyar besarnya. Prof. Romme dalam suatu Kongres Katholieke Volks Partij beberapa tahun yang lalu menyatakan, bahwa jumlah uang berupa keuntungan, bunga, pensiun, premi dll. yang ditransfer dari Indonesia ke negeri Belanda pada tahun 1951 adalah sebesar kurang lebih f. 500.000.000,Angka di atas ini jauh daripada kebenarannya. Sebab, menurut laporan Bank Indonesia 1954-1955, uang yang ditransfer ke negeri Belanda adalah sebagai berikut: 1952: Defisit neraca perdagangan: Asuransi: Keuntungan investasi modal: Rupa-rupa:
24
Rp. 1.035.000.000,Rp. 139.000.000,Rp. 1.042.000.000,Rp. 357.000.000,- Rp. 2.286.000.000,-
1953: Asuransi: Keuntungan investasi modal: Rupa-rupa: 1954: Asuransi: Keuntungan investasi modal: Rupa-rupa:
pEnEbar e-news, januari 2004
3
Rp. 148.000.000,Rp. 1.249.000.000,Rp. 592.000.000,- Rp. 1.989.000.000,Rp. 111.000.000,Rp. 1.460.000.000,Rp. 715.000.000,- Rp. 2.573.000.000,-
Angka-angka di atas ini pun masih harus diragukan, karena belumlah meliputi seluruhnya secara sebenarnya. Uang bunga daripada hutang-hutang yang harus dibayar oleh Indonesia menurut Laporan Bank Indonesia juga adalah: Tahun 1952 : Rp. 115.000.000,Tahun 1953 : Rp. 132.600.000,Kalau kita ambil bagian kecil saja daripada keuntungankeuntungan yang diperoleh oleh kaum penjajah, baiklah disebutkan sebagai misal, bahwa perusahaan-perusahaan perkapalan seperti K.P.M. – S.M.N. – K.R.L. – K.J.C.P.L. pada tahun 1952 saja telah memperoleh keuntungan tidak kurang dari f. 250.000.000,- (gulden!) Pada tahun 1953, K.P.M. memperoleh untung f. 23.500.000,-; K.J.C.P.L. f. 2.450.000,- sedangkan K.R.L. sebesar f. 35.000.000,Angka-angka resmi tetap harus diragukan dan seperti di dalam parlemen sudah pernah disebut, maka keuntungan Belanda setiap tahunnya meliputi jumlah tidak kurang dari Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar). Baiklah secara agak terperinci diterangkan salah satu segi daripada cara yang berlaku dalam pengedukan kekayaan dan keuntungan oleh kaum penjajah. Seperti telah disebut, dengan perjanjian K.M.B. telah dilangsungkan apa yang dinamakan “let alone agreement” bagi perusahaan-perusahaan minyak tanah di Indonesia. Yang diartikan dengan perjanjian ini ialah, bahwa perusahaan-perusahaan itu berhak menguasai sebagian besar devisen dari hasil ekspor minyak tanah, dan sebagaimana sudah dapat ditangkap dari nama perjanjian itu, berhak pula dalam lain-lain hal. Menurut angka-angkanya, berat dan nilai minyak yang didapat pada tahun-tahun yang lalu adalah sebagai berikut: tahun 1952 – 7.883.000.000 kg. – Rp. 2.181.000.000,-
25
tahun 1953 – 9.599.000.000 kg. – Rp. 2.292.000.000,tahun 1954 – 9.887.000.000 kg. – Rp. 2.579.000.000,-
no-3
Dari hasil-hasil ekspor tersebut di atas ini, yang langsung diterima oleh pemerintah sebagai penyetoran pada dana devisen dan bagian keuangan pemerintah dalam NIAM adalah antara lain sebagai berikut: Tahun 1952 Penyetoran devisen kongsi minyak pada Dana Devisen Bagian keuntungan Pemerintah
Tahun 1953
Rp. 470.380.000,- Rp. 579.234.000,Rp. 57.900.000,- Rp. 39.600.000,Rp. 528.280.000,- Rp. 618.834.000,-
Dihitung dari seluruh nilai ekspornya, maka penerimaan langsung oleh pemerintah tidak lebih dari 25% pada tahun 1952 dan 27% kurang lebih pada tahun 1953. Bagian terbesar–kurang lebih 75%–dikuasai langsung oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa asing, yaitu dalam perincian sebagai berikut:
pEnEbar e-news, januari 2004
Penggunaan devisen oleh maskapaimaskapai asing sendiri: 1952 a. untuk impor barang modal Rp. 432.000.000,b. untuk impor barang konsumsi Rp. 38.400.000,c. yang diangkut ke luar negeri Rp. 1.070.320.000,Rp. 1.540.720.000,-
1953 Rp. 295.000.000,Rp. 23.600.000,Rp. 1.354.566.000,Rp. 1.673.166.000,-
Dari angka-angka di atas ini sudah jelas betapa pincangnya kedudukan pemerintah terhadap maskapai-maskapai minyak itu. Namun, angka-angka di atas ini pun belum mewakili seluruh keuntungan yang digondol oleh maskapai-maskapai minyak itu setiap tahunnya. Kalau kita cocokkan angka-angka berat ekspor dan nilai ekspor minyak tanah pada tahun 1953, maka terlihatlah, bahwa harga minyak tanah itu dinilai + Rp. 0,25 per kg. (yaitu: Rp. 2.292.000.000,- : 9.599.000.000 (kg.) -) padahal, menurut catatan harga minyak internasional pada tahun 1953 adalah US.$. 4,45 per barrel (160 liter) atau kurang lebih Rp. 0,40 per kg. Dengan ini ternyata, bahwa perbedaan penilaian harga (Rp. 0,25 per kg) dan harga sesungguhnya di pasar dunia (Rp. 0,40 per kg) memungkinkan maskapai-maskapai raksasa itu pada tahun 1953 itu saja memperoleh keuntungan lagi sebanyak 9.599.000.000 (kg) kali Rp. 0,15 (Rp. 0,40 - Rp. 0,25) = Rp. 1.439.850.000,-......!!!
26
pEnEbar e-news, januari 2004
Melihat angka-angka di atas ini tidaklah mengherankan, bahwa menurut perhitungan, maskapai-maskapai raksasa itu dalam tahun 1954 juga ternyata berhasil memperoleh keuntungan secara di atas ini sampai berjumlah seluruhnya kurang lebih Rp. 6.600.000.000,!! (berita ANTARA tanggal 16 Nopember 1954)
Betapa pincangnya keadaan di atas ini makin nampak kalau kita ketahui, bahwa dalam keadaan kongsi-kongsi raksasa penjajah itu bisa mengangkut keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya itu, pemerintah Indonesia selalu mengalami ketekoran anggaran. Ketekoran pada anggaran belanja yang dialami oleh pemerintah ternyata pada tahun 1953 adalah sebesar Rp. 2.240 juta dan pada tahun 1954 sebesar Rp. 3.602 juta. Sedang menurut taksiran, defisit tahun 1955 adalah kira-kira Rp. 2.500 juta.
Memang ternyata, bahwa pembiayaan anggaran sebenarnya banyak digantungkan pada hutang-hutang/pinjaman-pinjaman. Beberapa angka di bawah ini menunjukkan perkembangan dan meningkatnya jumlah hutang pemerintah; yaitu hutang jangkapanjang dalam dan luar negeri serta hutang jangka-pendek dalam negeri: 1949: Rp. 6.894.000.000,1950: Rp. 8.634.000.000,1951: Rp. 7.646.000.000,1952: Rp. 11.876.000.000,1953: Rp. 13.385.000.000,1954: Rp. 16.834.000.000,-
Dari angka-angka di atas ini terlihatlah, bahwa dibandingkan dengan jumlah hutang tahun 1949 jumlah hutang itu telah naik dengan + 245% pada tahun 1954. Dalam keadaan seperti itu, dan sebagai akibat langsung daripada ketergantungannya maka Indonesia makin lama makin terjerumus dalam lumpur hutang dan ketekoran anggaran. Keadaan ini ternyata oleh pemerintah-pemerintah sesudah K.M.B. tidak diselesaikan secara pokok, melainkan dalam prakteknya memang susunan ekonomi kolonial yang berlangsung di Indonesia. Yaitu, bahwa pemerintah-pemerintah sesudah K.M.B. meneruskan pula sistem perekonomian kolonial itu dalam usaha mengatasi kesulitan-kesulitan ketekoran dan sebagainya itu.
27
no-3
Hal ini dengan segera dapat kita temukan pada sumber-sumber penghasilan negara yang tidak lepas dari sistem kolonial. Pemerintah negara buat sebagian terbesar digantungkan pada penerimaan pajak-pajak-langsung dan tidak-langsung sebagai berikut: 1952 1.a. Pajak langsung Rp. 1.832 juta b. Pajak taklangsung Rp. 5.132 juta 2.- Saldo-saldo perusahaan negara Rp. 293 juta 3.- Berbagai penerimaan (TPI/TPT) Rp. 2.082 juta 4.-Lain-lain Rp. 354 juta Rp. 9.684 juta
1953 Rp. 2.027 juta Rp. 4.474 juta
1954 Rp. 2.439 juta Rp. 3.957 juta
Rp. 205 juta
Rp.
61 juta
Rp. 1.914 juta Rp. 1.179 juta Rp. 1.087 juta Rp. 815 juta Rp. 9.707 juta Rp. 8.451 juta
EnEbar e-news, januari 2004
Ternyatalah, bahwa penerimaan negara pada hakekatnya digantungkan pada pajak-pajak langsung dan tidak langsung sebagai berikut: tahun: 1952 = + 75% 1953 = + 70% 1954 = + 76% Lebih jauh haruslah pula diperhatikan, bahwa penerimaan berupa hasil TPI/TPT - sertifikat devisen pada hakekatnya berarti juga pajak tidak langsung, sehingga dengan demikian penerimaan negara yang didasarkan pada penerimaan pajak langsung dan tidak langsung adalah sebesar kurang lebih 95%. Dengan politik fiskal seperti di atas ini sudahlah terang, bahwa yang terutama harus menderita adalah rakyat banyak. Lebih-lebih lagi dengan segala macam sertifikat devisen, maupun segala macam bentuk T.P.I. (seperti B.I.T., B.I.S. dsb.), karena semuanya ini merupakan pajak-pajak tidak langsung juga yang harus ditanggung—pada akhirnya oleh konsumen pula. Yaitu, sekalipun secara formal yang membayar T.P.I. itu adalah kaum importir, namun ini berarti pula beban secara tidak langsung bagi golongan-golongan rakyat miskin. Dengan T.P.I. dan semacamnya itu timbullah keadaan-keadaan yang makin menjerumuskan perekonomian Indonesia ke dalam keadaan bergantung. Dengan T.P.I. itu kecuali membebankan tanggungan yang lebih berat pada rakyat dan konsumen, juga mengakibatkan:
28
pEnEbar e-news, januari 2004
1) kian merosotnya kurs riil (nilai tukar sesungguhnya) daripada mata-uang kita (rupiah), 2) kian merosotnya daya beli rakyat banyak, yang berarti bertambah hebatnya kesengsaraan rakyat banyak itu, 3) naiknya harga bahan-bahan untuk industri yang dikerjakan di dalam negeri, –ini terutama dalam hubungannya dengan usaha kaum pengusaha nasional–; dan dengan naiknya bahanbahan itu memaksa naiknya ongkos-ongkos pengusaha (kostprijs) hasil-hasil industri dalam negeri itu, 4) beratnya persaingan yang–oleh karenanya–harus dihadapi oleh pengusaha-pengusaha nasional terhadap barang-barang impor, terutama juga barang-barang konsumsi yang membanjiri pasaran Indonesia dari luar negeri itu, 5) bangkrutnya perusahaan-perusahaan dalam negeri karena tak berdaya terhadap arus pemasukan barang-barang konsumsi, dan dengan kian bergantungnya pengusaha-pengusaha nasional dan dapatnya dilakukan impor secara leluasa itu diperkuat sekaligus peranan bank-bank asing yang menurut catatan masih melayani 70% dari kegiatan impor Indonesia (bank-bank nasional tidak mampu melayani kebutuhan impor yang karena T.P.I. membutuhkan modal besar. Bahkan menurut Tuan Suprapto, Anggota Fraksi Masjumi dalam D.P.R., kapasitas daripada kaum importir nasional hanya merupakan 6% kurang lebih dari pada kapasitas importir asing!!) Dengan fakta-fakta di atas, maka selama politik fiskal dan politik di lapangan impor seperti T.P.I. dan sebagainya itu terus dijalankan, tidak akan dapat diatasi keseretan dan bahkan kehancuran yang kian menjadi-jadi yang harus dihadapi oleh ekonomi Indonesia dewasa ini. Politik itu hanya menguntungkan modal raksasa asing dan menguasakan hari depan perekonomian serta kehidupan rakyat secara mentah-mentah pada penghisapan dan kesewenangan modal raksasa asing.
Dari uraian di atas tadi, amatlah jelasnya, bahwa memang kekuasaan kaum monopoli asing masih sepenuhnya dan dimungkinkan mencengkeram semua lapangan perekonomian dan keuangan. Dan kenyataan masih berkuasanya kolonialisme itu mendakwa pada kita, bahwa tidaklah mungkin untuk merubah susunan perekonomian kolonial itu menjadi perekonomian
29
no-3
nasional: untuk kesejahteraan rakyat dan tanah-air, tanpa langkahlangkah yang riil dan tegas untuk melikuidasi atau sedikitnya lebih mengeraskan pembatasan terhadap kekuasaan modal asing.
Dari pengertian di atas inilah–yang disandarkan pada keadaankeadaan yang sebenarnya dan sekerasnya yang kita hadapi– pembatalan perjanjian K.M.B. secara seluruhnya, mempunyai arti yang bukan tambal sulam, melainkan harus dilaksanakan dengan konsekuen dan tidak separuh-separuh. Dalam hubungan ini baiklah disebutkan, bahwa Statement of Policy dari pemerintah Burhanuddin Harahap mengenai investasi modal asing di Indonesia, yang pada pokoknya menentukan, bahwa modal asing diperbolehkan bergerak leluasa di segala lapangan perekonomian, kecuali di lapangan perekonomian yang bersifat sosial dan merupakan “public utilities” (karena ini hanya disediakan untuk pemerintah) adalah contoh daripada tindakan tidak konsekuen dan separuh-separuh.
EnEbar e-news, januari 2004
Sebabnya ialah, karena dengan hanya pembatasan pada lapanganlapangan yang bersifat sosial dan merupakan “public utilities” itu, modal asing masih secara leluasa boleh bergerak di lapangan pertambangan, perindustrian, pertanian, perkebunan yang berteknik modern, bank, impor dan ekspor serta perkapalan, dsb. yang memang sejak dulu menjadi terutama lapangan gerak modal monopoli asing. Pembatalan perjanjian K.M.B. secara yuridis haruslah segera disusul dengan langkah-langkah tegas untuk melumpuhkan dan kemudian melikuidasi kekuasaan kolonial atas perekonomian dan kehidupan rakyat Indonesia. Langkah-langkah itu terutama haruslah berupa nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang sekarang dikuasai oleh modal monopoli asing–terutama Belanda–, yang terpenting diantaranya ialah nasionalisasi impor dan ekspor, komunikasi–daratan, lautan maupun udara–, bank-bank serta di berbagai lapangan perkebunan, pertambangan dan pertanian. Dalam menjalankan nasionalisasi itu, bukanlah ditentukan caracara dan prosedur seperti telah ditentukan dalam perjanjian K.M.B. atau yang senyawa dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian K.M.B. itu, melainkan haruslah disandarkan pada perhitungan
30
pEnEbar e-news, januari 2004
dan kepentingan rakyat banyak, baik mengenai penggantian, jangka waktu maupun syarat-syarat menghadapi pelaksanaan nasionalisasi.
Nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan vital yang masih dikuasai oleh modal monopoli asing itu bukan hanya berarti langkah penting dalam melikuidasi kekuasaan kolonialisme atas lapangan ekonomi Indonesia, melainkan ia berarti pula merebut kembali kekuasaan itu untuk dijadikan kekuatan diri sendiri dalam membangun perekonomian nasional.
Selanjutnya langkah-langkah yang ditujukan untuk melemahkan kedudukan kaum monopoli kolonial, dengan jalan antara lain sangat membatasi keuntungan-keuntungan kaum modal monopoli/asing dan bentuk-bentuk invisible seperti uang jasa dsb. itu yang biasa ditransfer ke luar negeri, sedangkan terhadap perusahaan-perusahaan minyak haruslah diambil tindakan mencabut hak-hak istimewa atas devisen hasil ekspor minyak tanah seperti atau yang senyawa dengan persetujuan-persetujuan “let alone agreement.”
Juga terhadap konsesi-konsesi–baik perusahaan industri, perkebunan atau pertambangan dan komunikasi–yang tidak dikerjakan lagi haruslah ditarik kembali ke bawah kekuasaan pemerintah, sedangkan pemindahan konsesi maupun perusahaanperusahaan monopoli Belanda kepada modal asing lainnya haruslah dilarang. Terhadap perusahaan-perusahaan lainnya dari modal asing harus berlaku peraturan-peraturan yang menentukan adanya kekuasaan pemerintah untuk melakukan kontrol atas jalannya perusahaan, administrasi dsb. dan langkah-langkah ini harus diteruskan pada penentuan politik produksi dan penjualan hasil-hasil perusahaanperusahaan tersebut. Semua langkah-langkah di atas ini harus pula dilengkapi oleh politik impor dan ekspor: politik perdagangan dengan luar negeri yang tegas. Orientasi yang berat sebelah, yaitu yang menundukkan diri hanya pada kekuasaan dollar Amerika atau Poundsterling Inggris tidak mungkin memberikan kesempatan-kesempatan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang riil daripada pembangunan ekonomi nasional Indonesia. politik perdagangan luar negeri harus
31
no-3
sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi Indonesia itu: yaitu pasaran yang seluas-luasnya yang menghapuskan ketergantungan pada hanya satu negeri sebagai seolah-olah pembeli tunggal bahan-bahan hasil negeri dan di pihak lain menggunakan sebaik mungkin penawaran-penawaran barangbarang yang dibutuhkan oleh Indonesia oleh negeri mana pun. Dengan sikap tegas di dalam politik perdagangan luar negeri seperti di atas ini terjaminlah kebebasan sepenuhnya bagi Indonesia untuk menjalankan prinsip perhubungan luar negeri–terutama di lapangan perekonomian dan keuangan–yang disandarkan pada kebebasan, saling menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan yang riil.
pEnEbar e-news, januari 2004
Sebab memang, membangun perekonomian nasional yang akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia dan meningkatkan secara terus menerus taraf hidup rakyat Indonesia berarti pertamatama membangun, memperlengkapi dan memperluas industriindustri untuk produksi bahan makanan, pakaian dan lain-lain kebutuhan sehari-hari rakyat banyak. Dan untuk ini dibutuhkanlah barang-barang modal dan alat-alat perlengkapan yang pada taraf sekarang harus didatangkan dari luar negeri secara bebas dari ketergantungan dan ikatan-ikatan politik maupun ekonomis yang hanya menjerat dan mengakibatkan bahwa Indonesia harus membayarnya kembali dengan pelayanan kepentingankepentingan pihak yang bersangkutan itu. Dengan lain perkataan, pihak yang menentukan pada tingkat terakhir dan tertinggi haruslah pihak Indonesia. Selanjutnya, perlu ditegaskan pula, bahwa hari depan Indonesia bukanlah terletak pada penitik-beratan usaha di lapangan ekspor seperti keadaannya dewasa ini. Hari depan Indonesia terletak pada kekuatan diri sendiri di dalam perindustrian dan lain-lain lapangan usaha yang secara langsung melayani keperluan rakyat Indonesia. Dan ke luar dari pendirian ini, maka harus dikurangi intensivitas kerja yang hanya ditujukan pada pengurasan dan penggunaan tanah-tanah dan sumber-sumber alam untuk keperluan produksi bahan mentah untuk diekspor. Sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, maka yang harus dipergiat adalah penanaman dan perluasan tanaman-tanaman
32
pEnEbar e-news, januari 2004
bahan-bahan yang secara langsung memenuhi keperluan hidup sehari-hari rakyat banyak dan keperluan industri-industri yang memproduksi hasil-hasil yang diperlukan oleh rakyat banyak.
Dan guna memenuhi ini semua sudah tentu dibutuhkan aparataparat yang mengorganisir produksi (baik bahan mentah maupun barang jadi yang langsung dibutuhkan oleh rakyat), bimbingan, pimpinan dan perkreditan untuk usaha-usaha itu, serta aparataparat distribusi yang menjamin peredaran yang sempurna dan seimbang antara kota dan desa.
Pelaksanaan segala sesuatu ini haruslah pula digenangi oleh suatu pikiran pokok, suatu arah yang tertentu pula dalam membangun perekonomian nasional kita. Pikiran pokok atau arah tertentu tadi ialah, bahwa secara setapak demi setapak, sebagai rencana jangka panjangnya, haruslah segala sesuatu pelaksanaan itu menyertakan dirinya pada pembangunan industri basis, yaitu pembangunan industri berat, industri baja, pengolahan logam, bahan bakar, tenaga listrik, kimia, pengangkutan dan semacamnya. Yaitu industri basis untuk perindustrian kita selanjutnya, baik sebagai pelayanan akan keperluan mesin-mesin, alat maupun perbengkelan, sehingga dengan demikian dicapailah keadaan dalam mana Indonesia sungguh-sungguh bisa mendasarkan perekonomiannya atas kekuatan dan kemampuannya sendiri.
Dengan lain perkataan jelaslah, bahwa pembangunan perekonomian nasional yang dimaksudkan ialah perekonomian nasional yang berencana serta meliputi seluruh lapangan dan cabang perekonomian dalam satu keseluruhan, bukan pecah-pecah atau satu-satu. Adalah hal yang semestinya, bahwa melaksanakan pembangunan ekonomi berencana itu membutuhkan pimpinan yang demokratis; pimpinan yang kecuali menjauhkan diri dari segala bentuk birokrasi dan korupsi–yang harus dicapai dengan jalan aparat kontrol yang sekuat-kuatnya–, juga konsekuen menarik garis dalam melindungi usaha-usaha nasional dan mempunyai sikap tegas tidak menyerah terhadap segala bentuk usaha-usaha berkedok, yang pada hakekatnya hanya ekor daripada modal asing. Kecuali memberikan arah yang benar dalam usaha membangun ekonomi nasional seperti telah dicoba dirumuskan di atas tadi,
33
no-3
usaha pembangunan ekonomi nasional kita ini harus juga menggunakan dan menempatkan bentuk-bentuk perekonomian yang sewajarnya dan pada tempatnya.
Yang terang adalah, bahwa perusahaan-perusahaan negara, yaitu bentuk perekonomian negara–yang menguasai lapangan-lapangan perekonomian yang pokok dan basis–harus dalam arti yang sesungguhnya menjadi pimpinan dalam pembangunan ekonomi kita. Kemudian bentuk-bentuk perekonomian lainnya, seperti usaha campuran antara modal pemerintah dan modal partikelir nasional, usaha koperasi sebagai bentuk perekonomian bersama dari segenap rakyat, dan usaha modal partikelir menempati tempat dan lapangan masing-masing, sehingga dalam keseluruhannya bentuk-bentuk perekonomian itu merupakan usaha-usaha yang saling mengisi dan menjalankan fungsinya masing-masing secara merata-seimbang (harmonis).
EnEbar e-news, januari 2004
Dengan adanya bentuk perekonomian negara sebagai tenaga pimpinan dan basis pembangunan perekonomian nasional itu, bukan saja membawa pada pembebasan pada bentuk-bentuk penghisapan dan penindasan secara lambat laum, melainkan juga amat penting artinya untuk mencegah menjadinya modal dan usaha partikelir warganegara berubah dan berkembang ke arah bentuk-bentuk dan sifat-sifat monopoli. Karena sekalipun menurut keadaan obyektif dan sesuai dengan kebutuhannya masih harus dikembangkan modal partikelir atau dengan lain sebutan: kapitalisme, namun sesuai pula dengan tujuan yang tercermin dalam U.U.D. Republik Indonesia Agustus 1945, perkembangan modal kapitalis nasional itu harus dibatasi agar tidak menjadi monopoli. Kalau kita sudah berbicara tentang arah dan tenaga-tenaga/bentukbentuk perekonomian yang mendukung dan melaksanakan pembangunan ekonomi nasional itu, –dalam arti sebagaimana sudah diuraikan di atas ini,– maka teranglah, bahwa semuanya itu bukan saja bergantung pada kekuatan dan kebijaksanaan politik keuangan dan ekonomi pemerintah saja. Untuk bisa menjadikan pembangunan perekonomian itu suatu realitas maka segenap potensi rakyat haruslah dikerahkan. Bagi
34
pEnEbar e-news, januari 2004
setiap warganegara ada tempat dan kewajiban untuk mencurahkan tenaga, kekuatan materiil maupun pengalamannya di dalam usaha besar ini. Bukan saja ini, melainkan keadaan obyektif menuntut, bahwa segenap kekuatan nasional yang ada harus dikerahkan untuk memungkinkan dan mempercepat pelaksanaan pembangunan itu.
Dan dalam hubungan ini tidak ada tempat bagi bentuk diskriminasi apa pun juga. Untuk bisa merealisir likuidasi kekuasaan modal monopoli asing dan untuk mencapai pembangunan ekonomi nasional itu, seluruh warganegara dikerahkan. Membeda-bedakan sesama warganegara, menjadikan segolongan warganegara anak-emas dan segolongan lainnya kambing-hitam; membeda-bedakan sesama warganegara berdasarkan “keaslian” dan bukan “keaslian” keturunannya, adalah bentuk-bentuk diskriminasi berdasar asal keturunan (rasial) yang akan mengebiri kekuatan/ potensi nasional dalam membangun perekonomian hari depan kita.
Sebab, adanya pembeda-bedaan antara sesama warganegara; adanya hak-hak istimewa bagi segolongan warganegara secara praktis memungkinkan dan membangkitkan timbulnya segala macam bentuk birokrasi dan korupsi, yang pasti tidak akan disia-siakan oleh modal monopoli asing. Sistem semacam itu bukan saja mengisolasi kekuatan–sebagian kekuatan–yang ada pada warganegara Indonesia dari kesertaan membangun perekonomian nasional, melainkan membuka kemungkinan untuk digunakan oleh modal monopoli asing untuk menginfiltrasi usaha pembangunan ekonomi nasional kita dengan jalan usaha-usaha berkedok di belakang “keaslian” untuk memperoleh juga prioritas-prioritas di lapangan perekonomian.
Apalagi kalau diingat, bahwa pada masa peralihan ini–di mana secara yuridis sudah dibatalkan perjanjian-perjanjian perekonomian dan keuangan berdasarkan K.M.B.–modal monopoli asing akan menggunakan segala jalan dan kesempatan untuk memecah belah potensi nasional kita, agar gagallah usaha melikuidasi kekuasaan modal raksasa asing itu secara riil. Segala jalan dan cara akan dilakukan oleh kekuasaan kolonial itu untuk menyabotir pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional kita.
35
pEnEbar e-news, januari 2004
3
menginvestasikan (menanam) modal negara sebesar Rp. 11,5 milyar dalam waktu lima tahun–atau berarti rata-rata Rp. 2,3 milyar setiap tahunnya–dalam usaha-usaha dan lapangan-lapangan perekonomian menurut perincian sebagai berikut:
a. untuk perindustrian dan pertambangan sebesar ............................. 25% b. untuk pembangunan tenaga listrik, irigasi dan proyek-proyek gabungan ....................................................................................... 25% c. untuk pembangunan transpor dan perhubungan (komunikasi) .... 25% d. untuk keperluan pertanian, transmigrasi dan pembangunan masyarakat desa.............................................................................. 13% e. untuk keperluan sosial, kesehatan dan perumahan ........................ 12%
Jika kita meneliti lebih jauh–dengan tidak membicarakan pembagian-pembagian dan perincian-perincian lebih jauh daripada persentase-persentase dan proyek-proyeknya di atas, karena untuk ini belum cukup bahan-bahan yang tersedia–maka nyatalah, bahwa secara segera amat menyolok adanya kenyataan, - bahwa modal monopoli asing yang tertanam di Indonesia–seperti diuraikan duluan–menurut taksiran adalah tidak kurang dari kurang lebih Rp. 50 milyar. Sehingga rencana penanaman yang sebesar hanya Rp. 2,3 milyar itu dalam arti sebenarnya akan tenggelam dalam perbandingan kekuatannya, karena dalam persentase hanya merupakan 4,6% saja dari modal monopoli yang sudah tertanam dan berakar itu. Juga dari sinilah nampak jelas, bahwa seluruh potensi nasional harus dikerahkan, harus diberi jalan untuk ikut serta melaksanakan Rencana Lima Tahun itu. + ++ +
Dengan uraian-uraian di atas tadi dalam mana tidak diusahakan untuk mencari suatu resep baru melainkan dicoba untuk mengumpulkan fakta-fakta secara agak historis, dan dari situ menempuh jalan ke arah hari-depan yang gemilang bagi rakyat dan tanah-air, karena betapapun juga, jalan ke luar bagi Indonesia– bagi dan untuk menghadapi masalah ekonomi Indonesia, tidaklah mungkin kita terlepas dari kenyataan-kenyataan yang berkembang secara historis itu. Hanya dengan mengetahui dan terus mencari fakta-fakta tentang keadaan yang sebenarnya, tentang susunan, imbangan dan tenagatenaga yang terkandung dalam masyarakat sendiri, barulah bisa
37
no-3
disusun kekuatan dan dilaksanakan pekerjaan untuk melikuidasi secara riil kekuasaan kolonialisme atas Indonesia dan untuk membangun perekonomian nasional yang mengabdi kepada tanahair dan rakyat Indonesia. +++++ +++ +
Catatan:
Bahan-bahan perbandingan, tabel dan angka-angka lain dikutip dari: Laporan Tahunan BANK INDONESIA 1953-1954 dan 1954-1955,
[2]
“Ruangan Ekonomi” HARIAN RAKJAT,
[3]
Pidato Ir. Sakirman dalam D.P.R.
[4]
Berita-berita ekonomi dari berbagai suratkabar.
EnEbar e-news, januari 2004
[1]
+++++ +++ +
Yayasan Penebar adalah institusi nir-laba independen. Kami berharap saudara/i (individu) maupun organisasi bersedia mendukung aktivitas kami. Kami menerima donasi, hibah dan dukungan tak mengikat dalam bentuk apapun. Bila saudara/i bermaksud mendukung kami dengan mendonasikan uang, rekening bank kami adalah: BCA (Cabang Cimanggis), rekening Tahapan BCA, nomor account: 166 1746276.
38