PAKET INFORMASI TERSELEKSI
PENDIDIKAN Seri: Pendidikan Kesehatan
Paket Informasi Teknologi adalah salah satu layananan yang disediakan oleh PDII-LIPI bagi peminat informasi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mengenai topik tertentu. Paket Informasi Teknologi tentang “Perubahan Iklim” merupakan kumpulan informasi dari berbagai sumber, antara lain laporan penelitian, artikel makalah/jurnal ilmiah, makalah seminar/konferensi, paten dan dilengkapi pula dengan saran literatur yang dapat dipesan melalui PDII-LIPI apabila berminat memperoleh artikel lengkapnya. Berbagai informasi dalam paket ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mempelajari terumbu karang. Paket ini telah tersedia dalam bentuk digital atau CD ROM. Selain paket informasi, PDII-LIPI juga menyediakan jasa dokumentasi dan informasi lain, yaitu: (1) Penelusuran informasi dalam dan luar negeri, (2) Penyusunan indeks, abstrak dan tinjauan literatur, (3) Penggandaan dokumen, (4) Konsultasi bidang dokumentasi dan informasi, dan (5) Reprografi.
DAFTAR ISI EFEK PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) LEPTOSPIROSIS DI KABUPATEN BANTUL TAHUN 2011
AryaniPujiyanti; WiwikTrapsilowati Balaba: Berita Dan Media Komunikasi Loka Litbang P2B2 Banjarnegara, Vol. 10, No. 2, 2014 : 65-70 Abstrak: -
EFEKTIVITAS METODE KOLABORATIF DAN KOOPERATIF DALAM PENDIDIKAN KESEHATAN BERBASIS KOMUNITAS
TitaHariyanti; Harsono; Yayi Suryo Prabandari Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia, Vol. 3, No. 1, 2014: 9-17 Abstrak: -
FAKTOR-FAKTOR PREDISPOSISI PRAKTIK PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Suharyo Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 5, No. 1, 2009: 1-10 Abstrak: -
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
getting stress during take care, the parent have stress too and the stress of parent will be increasing of level children stress. So the healthy education for the parent as in very important and cooperative between parent and nurse will be help process nursing of children. Know correlation practice healthy education with in hospitalization effect children of parent in RSUD Curup the children room in the year 2007. Take of technical sample using accidental sampling. Sample are parent of children by take care 36 person. Take of data using questioner. Analysis data by description and square test for looking factor of risk Ratio Prevalent (RP). The result of bivariat analysis, with P = 0.470 >alfa = 0.05, it is mean Ho rejection and Ha = failed rejection, so not correlation the practice healthy education with in hospitalization effect. And RP = 0.640 (95% CI = 0.2051998) the mean practice healthy education 0.640 have risk happen hospitalization effect with compare which it is not the healthy education. The practice healthy education must to do be good so can make understand of their children parent and cooperative with their children parent, prepare training about nursing of children.
HUBUNGAN PEMBERIAN PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG TUMBUH KEMBANG BALITADI DESA Lisnawati; Wilis Dwi Pangesti Abstrak: -
HUBUNGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP DAMPAK HOSPITALISASI ANAK PADA ORANG TUA DI RUANG ANAK RSUD CURUP TAHUN 2007
Yusniarita; Mulyadi; Noza Arizona Media Informasi Kesehatan Politeknik Kesehatan Bengkulu, Vol. 1, No. 4, 2007: 184-189 Abstrak : On the basic principle care of nursing children have to focus to children and families, because it of care protection and safety the parent as the best supporting to children during process hospitalization. If the children
HUBUNGAN PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN KECEMASAN ORANG TUA PADA ANAK HOSPITALISASI Asni Indrayani; Agus Santoso Jurnal Nursing Studies, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-168 Abstrak: -
DAFTAR ISI HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI IBU RUMAH TANGGA DI DESA Asiah M.D. Abstrak: -
PELATIHAN DAN PENDIDIKAN KESEHATAN MASYARAKAT TENTANG UPAYA PENCEGAHAN FLU BURUNG DI DESA TARO GIANYAR
Suariyani; M. Subrata; DPY Kurniati; MP Kardiwinata; MS Nopiyani Udayana Mengabdi, Vol. 11, No. 2, 2012 Abstrak: -
MODEL PEMBINAAN KESEHATAN MENTAL ANAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM Kholid Mawardi Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan Abstrak: -
PENDIDIKAN KESEHATAN DI SEKOLAH DASAR (SD) PERLU DIPRIORITASKAN
Suryanto Wuny: Wacana Universitas Negeri Yogyakarta: Majalah Ilmiah Popular, Vol. 14, No. 1, 2012: 3-8 Abstrak: -
NILAI PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM IBADAH PUASA
Muzakir Jurnal Edukasi: Media Komunikasi Pendidikan, Vol. 5, No. 1, 2009 : 52-67 Abstrak : Every ibadah and obligation that is commanded by Allah SWT has taabud (servant) high values to its performer. Likewise, fasting that is obligated by Allah SWT to His servants. This research describes about the educational healthy values in fasting. In the servant context, the fasting has high values because it shapes submissive and obedient attitude to Allah SWT. Besides, the performer enables to mold ideal personality and physic. The fasting can also become as non-material medicine to make performer in healthy. Even, fasting has become an alternative treatment/ therapy, and it has been practiced in Western Country.
PENDIDIKAN KESEHATAN MELALUI PEMBELAJARAN TEMATIK BERTEMA KESEHATAN DI SD
Desak Made Citrawathi; Putu Budi Adnyana; Siti Maryam Jurnal Pendidikan Dan Pengajaran, Vol. 43, No. 2, 2010: 159-166 Abstrak: -
PENDIDIKAN KESEHATAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MELAKUKAN PIJAT BAYI
Ferianto; Retno Mawarti Media Ilmu Kesehatan, Vol. 1, No. 2, 2012: 36-39 Abstrak: -
NILAI PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM IBADAH PUASA Muzakir Jurnal Edukasi, Vol. 5, No. 1, 2009 Abstrak: -
DAFTAR ISI PENDIDIKAN KESEHATAN MERUBAH PERILAKU PASIEN TBC DALAM PENCEGAHAN PENULARAN PENYAKITNYA
Bernadetta Bella; Wijar Prasetyo Jurnal Penelitian Kesehatan: JPK, Vol. 1, No. 1, 2011 : 26-31 Abstrak: -
PENGARUH PEMBERIAN PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN TENTANG PERILAKU SEKSUAL
Budi Widiyanto; Purnomo; Arum Muria Sari Jurnal Keperawatan Komunitas, Vol. 1, No. 2, 2013: 101-107 Abstrak: -
PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG HYGIENE BERPENGARUH TERHADAP PERILAKU ORANG TUA DALAM MELAKUKAN HYGIENE PADA ANAK DIARE I Made Budhi Mustika; AtikBadiah; Dwi Susanti Media Ilmu Kesehatan, Vol. 3, No. 2, 2014 : 34-40 Abstrak: -
PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP SUAMI TENTANG VASEKTOMI
Ratna Sri Hardiani; Mayang Anggun Pertiwi Jurnal Keperawatan Maternitas, Vol. 1, No. 2, 2013 Abstrak: -
PENDIDIKAN KESEHATAN UNSUR UTAMA DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Hadi Siswanto Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan, Vol. 31, No. 2, 2012 : 305-322 Abstrak: -
PENGARUH PEMBERIAN PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN PASIEN ASTHMA DALAM UPAYA PENCEGAHAN KAMBUH
Ekatrina Wijayanti; Heny Suseani P.; Sutono Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol. 3, No. 2, 2008: 91-97 Abstract: Asthma is an inflammation chronic disease of upper respiratory tract. Asthmatic attacks can make a sufferer experiences activity limits, reduced productivity with a high treatment cost. One of the efforts in preventing the relapses is by avoiding their impetus factors, controls of environment and medical treatment. Then it is needed a health education to improve knowledge thus sufferers can anticipate any asthmatic attacks happened. To knew any effects on giving the health education to compliance level of asthmatic patients in preventing the relapses. A quasi-experiment by using an approach of non-equivalent control group. Samples were 26 persons consisted of 14 persons in an experimental group and a control group were 12 taken in accidental sampling. Collecting data used observation sheets and interviews comprised 24 items. Data analyses used Mann-Whitney U test. Results of analyses used the Mann-Whitney U and it was obtained a Z value as big as - 3,994 with sig. (p) = 0,000; as the conclusion there was a significant difference on the increase of compliance levels on asthmatic patients between the experimental group and the control group. Seen from a mean rank, the experimental group obtained the mean rank as big as = 18,84 bigger than the mean rank for the control group = 7,25. This proved that the increase of obedient level of asthmatic patients in efforts to prevent their relapses for the experimental group was better than
DAFTAR ISI the control group. Giving of health education by presenting communicative talks on asthmatic patients can improve their compliance level in preventing the relapses.
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN PERSIAPAN PASIEN PULANG TERHADAP KEPUASAN PASIEN TENTANG PELAYANAN KEPERAWATAN DI RS ROMANI SEMARANG Vivi Yosafianti; Dera Alfiyanti Prosiding Seminar Nasional UNIMUS 2010 Abstrak: -
PENGETAHUAN KONJUNGTIVITIS PADA GURU KELAS DAN PEMBERIAN PENDIDIKAN KESEHATAN MENCUCI TANGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR
Anindya Hapsari; Isgiantoro Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 8, No. 8, 2014 : 366-372 Abstrak: -
PENTINGNYA PENDIDIKAN KESEHATAN BAGAI ANAK USIA DINI
M. Syarif Sumantri Jurnal Pendidikan Usia Dini, Vol. 5, No. 2, 2011 : 140148 Abstrak: -
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT TATANAN RUMAH TANGGA PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN IBU POST PARTUM TENTANG ASI EKSKLUSIF Chatarina Suryaningsih
Jurnal Keperawatan Soedirman, Vol. 8, No. 2, 2013: 69-78 Abstrak: -
PENGEMBANGAN BUKLET SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA TUNA NETRA
Pariawan Lutfi Ghazali Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Indonesia, Vol. 1, No. 1, 2009: 38-44 Abstrak: -
PERBEDAAN PERILAKU MENCUCI TANGAN SEBELUM DAN SESUDAH DIBERIKAN PENDIDIKAN KESEHATAN PADA ANAK USIA 4 - 5 TAHUN
Dyna Apriany Jurnal Keperawatan Soedirman, Vol. 7, No. 2, 2012: 60-66 Abstrak: -
PESANTREN DAN UPAYA PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Setia Pranata; Made Asri Budi suari; Zainul Hamdi; Khoirul Faizin
Buletin Penelitian System Kesehatan, Vol. 16, No. 3, 2013 : 313-320
Abstrak: -
an)
pat dan ang 7 ah. ang han rah gan cil ntas ian am
mis , 3 176 itas vei vei mis ota sar %) ten Mf ate dan
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 65-70
EFEK PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) LEPTOSPIROSIS DI KABUPATEN BANTUL TAHUN 2011 EFFECT OF HEALTH EDUCATION FOR CONTROLING LEPTOSPIROSIS OUTBREAKS IN BANTUL DISTRICT, 2011 Aryani Pujiyanti*, Wiwik Trapsilowati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Jl. Hasanudin No.123 Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia *E_mail:
[email protected] Received date: 26/8/2014, Revised date: 30/10/2014, Accepted date: 04/11/2014
ABSTRAK Salah satu strategi untuk penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis di Kabupaten Bantul tahun 2011 adalah dengan pendidikan masyarakat. Tujuan penelitian adalah untuk mengukur efektifitas pendidikan kesehatan dengan ceramah terhadap tingkat pengetahuan dan sikap responden dalam pencegahan leptospirosis. Penelitian ini merupakan penelitian intervensi dengan rancangan one group pre-post design. Lokasi penelitian di Desa Sedayu dan Desa Wukirsari, Kabupaten Bantul. Pengumpulan data dilakukan dengan instrumen angket pada Bulan Maret 2011. Angket diisi oleh responden sebanyak 2 kali yaitu sebelum dan sesudah penyuluhan. Sampel diambil secara purposif yaitu penduduk tinggal di wilayah Rukun Warga yang terdapat kasus leptospirosis pada tahun 2011, usia minimal 18 tahun dan bersedia mengikuti kegiatan penyuluhan. Jumlah responden sebanyak 61 orang. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada rerata pengetahuan responden sebelum dan sesudah intervensi, berarti ada peningkatan pengetahuan sesudah diberikan penyuluhan. Penerapan penyuluhan kesehatan efektif meningkatkan pengetahuan responden untuk pencegahan leptospirosis. Kata kunci : leptospirosis, pendidikan kesehatan, kejadian luar biasa ABSTRACT One of strategy for controlling leptospirosis outbreaks in Bantul District in 2011 was using public education. The purpose of the study was to measure effectiveness of health education with a combination of lectures for respondent knowledge and attitudes in leptospirosis prevention. This study was an intervention with one group pre-post design. The research location was Sedayu and Wukirsari Village, Bantul. Data was collected through questionnaire in March 2011. Questionnaire was filled in by respondents before and after participated in health education. Respondent were taken purposively which was residents living in the area with leptospirosis cases in 2011, at least 18 years old and willing to participate in research activities. Data were analyzed using Wilcoxon test. The respondents was 61 people. The results showed significant difference (p<0.05) in the average of knowledge before and after the intervention, there was an increase in knowledge after counseling. The implementation of effective health education increase knowledge of the respondent for the prevention of leptospirosis.
tan yak dah ssal bat kali aya gan am
Keywords: leptospirosis, health education, outbreak
pek sis, sial di ia. ara ran alui asil pek asis
PENDAHULUAN Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp. Penyakit ini dapat menimbulkan gejala (symptomatic) atau tidak menunjukan gejala sama sekali (asymptomatic). Leptospirosis memiliki gejala awal mirip dengan penyakit infeksi pada umumnya seperti demam tinggi, sakit kepala, menggigil, nyeri otot hingga munculnya tanda-tanda ikterus.1 Leptospirosis yang tidak tertangani atau terlambat diobati dapat berkembang menjadi komplikasi organ-organ dalam tubuh seperti kerusakan ginjal, kerusakan hati, gangguan pernafasan hingga kematian penderita.
Penularan leptospirosis pada manusia terjadi melalui kontak langsung ataupun tak langsung dengan urin, darah atau jaringan hewan yang terinfeksi bakteri 2 Leptospira patogen. Kasus leptospirosis di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mulai terlaporkan pada tahun 2009 dengan jumlah kasus 10 orang dan 1 penderita meninggal dunia (Case Fatality Rate/CFR 10%). Kasus leptospirosis meningkat menjadi 116 kasus dengan 19 kasus meninggal dunia (CFR 16,37%) pada tahun 2010. Hingga Bulan Januari 2011 ditemukan tambahan kasus leptospirosis sejumlah 14 orang. Berdasarkan
65
Efek Pendidikan .............(Aryani Pujiyanti, dkk.)
data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2010-2011, kasus leptospirosis terdapat di 15 kecamatan dari 17 kecamatan di Kabupaten Bantul. Kecamatan dengan jumlah kasus leptospirosis paling banyak adalah Kecamatan Sedayu (29 kasus dan 1 penderita meninggal) dan Kecamatan Imogiri (19 kasus dan 3 penderita meninggal). Sebagian besar penderita adalah kelompok usia produktif. Seluruh kasus adalah kasus baru bukan jenis kasus relaps. Faktor risiko leptospirosis di Kabupaten Bantul adalah pekerjaan sebagai petani, terpapar air sawah atau genangan air kotor dan peningkatan populasi tikus sebagai hewan reservoir 3 Leptospira sp. Peningkatan kasus leptospirosis di Kabupaten Bantul tahun 2010-2011 dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) pada Surat Keputusan Bupati Kabupaten Bantul No.31 tahun 2011 tanggal 24 Januari 2011.4 Studi ini merupakan bagian dari tindakan kedaruratan untuk penanggulangan KLB leptospirosis tahun 2011 di Kabupaten Bantul. Hasil studi diharapkan menjadi salah satu strategi untuk menanggulangi leptospirosis melalui pendekatan komperehensif dan salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui sosialisasi pencegahan leptospirosis pada kelompok masyarakat yang berisiko tertular leptospirosis. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat mengetahui dan dapat melakukan upaya pencegahan secara mandiri. Pendidikan kesehatan adalah metode diseminasi informasi yang bertujuan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan mampu melakukan suatu anjuran yang berhubungan dengan kesehatan. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan melalui metode ceramah, diskusi maupun demonstrasi. Metode ceramah memiliki keunggulan biaya rendah dan mampu menjangkau berbagai responden dengan perbedaan karakteristik demografi. Metode ceramah merupakan metode yang umum digunakan untuk kegiatan penyuluhan kesehatan pada masyarakat.4 Pelaksanaan metode ceramah dapat dikombinasikan dengan metode pendidikan kesehatan yang lain ataupun dengan menggunakan media/alat peraga.3 Pendidikan kesehatan dalam studi ini menggunakan teknik ceramah yang dikombinasikan dengan diskusi interaktif dan penggunaan alat peraga (demonstrasi). Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian adalah untuk mengukur efektifitas pendidikan kesehatan masyarakat dengan
66
BA
menggunakan metode ceramah terhadap tingkat pengetahuan dan sikap responden dalam pencegahan leptospirosis. Hasil penelitian dapat bermanfaat sebagai masukan bagi program promosi kesehatan nuntuk peningkatan upaya pencegahan leptospirosis. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen one group pre and post-test design.5 Variabel terikat adalah pengetahuan dan sikap responden, sedangkan variabel bebas adalah pendidikan kesehatan dengan metode ceramah. Populasi penelitian adalah penduduk di Desa Argosari, Kecamatan Sedayu dan Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Pemilihan sampel dilakukan secara purposif dengan kriteria inklusi penduduk yang tinggal di wilayah RW yang terdapat kasus leptospirosis pada tahun 2011, usia minimal 18 tahun dan bersedia mengikuti kegiatan penyuluhan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April tahun 2011. Nara sumber adalah tim peneliti bersama dinas kesehatan dan tim puskesmas. Penyuluhan menggunakan media slide presentasi dan alat peraga. Jenis alat peraga yang digunakan adalah alat untuk pengendalian tikus dan klorinasi badan air (chlorine diffuser). Materi penyuluhan berisi tentang etiologi dan bahaya leptospirosis, pencarian pengobatan, cara pencegahan leptospirosis, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), perlindungan diri dari kontak dengan bakteri Leptospira sp., serta teknik pengendalian tikus baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan persawahan. Pengumpulan data melalui pengisian angket kuesioner oleh peserta penyuluhan. Data dikumpulkan 2 kali yaitu sebelum penyuluhan (pretest) dan sesudah penyuluhan (post-test). Pengisian angket dimonitoring oleh tim peneliti untuk menjamin kesahihan data. Kuesioner berisi pertanyaan tentang karakteristik responden, pengetahuan dan sikap tentang leptospirosis, upaya pengendalian tikus, upaya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan penggunaan desinfektan. Bentuk pertanyaan untuk pengetahuan adalah jawaban dengan pilihan benar-salah, sedangkan untuk sikap berupa pernyataan dengan jawaban dalam skala likert. Manajemen data meliputi verifikasi data setelah pre/post-test untuk meminimalisasi jawaban
AB Pro pen pen ling tida stig ma
Kat
AB Hea tran sug ma clo cou
Key
PE
mem mer did emo sek ber dih kep difa ling dan
sua kes ind ma mem
Murni, dkk.)
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 201 : 65-70
yang kosong dari responden, skoring, entri data ke komputer dan analisis data. Skor pengetahuan diukur dengan kuesioner sebanyak 21 pertanyaan. Jawaban salah dinilai 0 dan benar dinilai 1. Skor minimal untuk pengetahuan adalah 0, sedangkan skor maksimal adalah 21. Skor sikap diukur dari 14 pernyataan, dengan bentuk jawaban dalam skala likert dengan 3 skala. Skor minimal untuk pernyataan sikap adalah 14 sedangkan skor maksimal adalah 42. Hasil uji normalitas data dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov menunjukkan bahwa pada variabel pengetahuan p<0,05 yang berarti data berdistribusi tidak normal, sedangkan variabel sikap p>0,05 berarti bahwa data berdistribusi normal. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan rerata variabel pada pengukuran sebelum dan sesudah intervensi.6
HASIL Desa Argosari merupakan salah satu desa di Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Kecamatan Sedayu berada di sebelah barat laut dari ibukota Kabupaten Bantul dan berbatasan dengan Kabupaten Sleman. Secara keseluruhan Kecamatan Sedayu berada di dataran rendah. Iklim di wilayah Kecamatan Sedayu tergolong panas. Desa Wukirsari terletak di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Luas wilayah lebih kurang 15 km2, dibagi menjadi 16 dusun dan 91 rumah tangga (RT). Mayoritas penduduk di kedua wilayah tersebut bekerja sebagai petani. 7 Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi disajikan pada Tabel 1. Jumlah responden yang bersedia mengikuti penyuluhan sebanyak 61 orang yaitu 33 orang di Desa Argosari dan 28 orang di Desa Wukirsari.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi Karakteristik Umur 20- 40 tahun
Jumlah (sampel=61)
%
39
63,9
22
36,1
Jenis kelamin Laki-laki
37
60,7
Perempuan
24
39,3
Rendah Menengah
47 13
77,1 21,3
> 40 tahun
Pendidikan
Tinggi
1
1,6
Pekerjaan Petani
16
26,2
Peternak
1
1,6
. Pedagang Karyawan
3 8
4,9 13,1
Buruh tani
21
34,5
Ibu rumah tangga
11
18,1
Tidak bekerja
1
1,6
Tabel 2. Perbandingan Rerata Skor Pretest dan Post Test Variabel
Pre-test
Post-test
Rerata selisih mean
p value
34,74 ± 3,79
35,89 ±4,09
0,36
0,002
35,84 ±3,43
36,20 ± 3,23
1,15
0,311
Pengetahuan Mean ±SD Sikap Mean ±SD
67
Efek Pendidikan .............(Aryani Pujiyanti, dkk.)
Sebagian besar responden berusia 20-40 tahun. Responden laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Pekerjaan responden paling banyak adalah buruh tani, petani, dan ibu rumah tangga. Sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan rendah. Dari hasil uji statistik diketahui bahwa ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada rerata pengetahuan responden sebelum dan sesudah intervensi. Hal ini berarti ada peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan. Pada variabel sikap diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) pada sikap responden baik sebelum maupun sesudah penyuluhan. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, metode penyuluhan berhasil meningkatkan pengetahuan responden. Hal tersebut diketahui dari analisis statistik yang menunjukan ada perbedaan nyata pada skor variabel pengetahuan sebelum dan sesudah mendapat penyuluhan. Hasil studi ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga menunjukan peningkatan pengetahuan responden setelah menerima informasi dari metode penyuluhan.8, 9 Pada analisis uji beda diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan pada variabel sikap sebelum dan sesudah responden mendapatkan metode penyuluhan dengan ceramah. Hasil tersebut berarti bahwa responden telah memiliki pengetahuan tentang tindakan pencegahan leptospirosis tetapi pengetahuan yang dimiliki belum mampu untuk mengubah sikap responden. Menurut teori taksonomi Bloom, ranah kognitif responden setelah mendapat penyuluhan masih berada dalam tahap dasar (lower order skills) yaitu tingkat mengetahui dan memahami informasi, belum sampai pada tingkat untuk menerapkan pengetahuan ke dalam praktek atau situasi yang baru.10 Berdasarkan survei pendahuluan, masyarakat di Desa Argosari dan Wukirsari baru mengenal penyakit leptospirosis setelah munculnya KLB sehingga upaya pencegahan leptospirosis dapat dianggap sebagai suatu inovasi untuk masyarakat di Desa Argosari dan Wukirsari. Pencegahan leptospirosis merupakan hal yang baru di masyarakat tersebut sehingga memerlukan peningkatan upaya promosi kesehatan agar
68
informasi yang disampaikan dapat berasimiliasi di masyarakat. Sikap terbentuk oleh pengaruh faktor 4 sosial budaya di masyarakat. Responden di lokasi penelitian adalah masyarakat perdesaan. Karakteristik masyarakat perdesaan adalah masyarakat tradisional yang memegang norma budaya leluhur, hubungan interpersonal kuat, butuh waktu untuk menerima hal baru, dan adanya tokoh 11 adat/agama yang menjadi panutan di masyarakat. Adopsi hal baru kepada masyarakat tradisional secara tidak langsung juga mengubah kebiasaan maupun pola pikir yang dilakukan secara turun temurun di lingkungan tempat tinggalnya. Hasil studi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Provinsi Banten yang menyebutkan bahwa penggunaan metode penyuluhan mampu meningkatkan pengetahuan responden namun belum dapat mengubah sikap maupun perilaku 9 responden. Pengetahuan adalah hasil proses penginderaan manusia (panca indera) terhadap objek tertentu yang dipengaruhi oleh intensitas pesan dan persepsi terhadap objek. Pengulangan pesan kesehatan diperlukan untuk memperkuat 3 informasi pada ranah kognitif responden. Keterbatasan penelitian ini adalah ceramah kesehatan yang diberikan oleh tim peneliti kepada responden hanya sebanyak satu kali sehingga sangat memungkinkan responden dapat melupakan informasi yang diberikan atau terjadi salah persepsi dari isi pesan penyuluhan di masa mendatang. Di wilayah penelitian, sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan rendah sehingga menyebabkan keterbatasan kemampuan responden dalam memahami informasi terutama tentang pencegahan leptospirosis yang dapat disebut sebagai hal baru di lokasi penelitian. Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan individu dalam memahami pesan kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih mudah 11 menerima suatu informasi. Tujuan awal kegiatan promosi kesehatan dalam penanganan KLB adalah untuk mengajak masyarakat agar lebih waspada terhadap bahaya penyakit dan melakukan tindakan pencegahan secara dini (early awareness). Studi di wilayah perdesaan di China menggunakan penyuluhan untuk menghilangkan salah persepsi masyarakat tentang pencegahan penyakit setelah terjadi peningkatan jumlah kasus yang cukup tinggi. Hasilnya terbukti mampu menarik perhatian masyarakat untuk ikut
BAL
2. H m D h
3. W t [ h
4. W r d f
5. S
p P
6. P
S d
7. K k d K
8. A t S h 2
, dkk.)
batan
aman lebih dari
epada ngan sana, Balai sulan epada imia, atas rjaan kami n dan kuler, nnya
nyakit arta:
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014 : 65-70
serta dalam upaya pencegahan yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan setempat.12 Penerimaan perilaku baru yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif, akan menjamin perilaku tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan. Perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.13 Peningkatan pengetahuan masyarakat diharapkan dapat menjadi domain untuk perubahan sikap maupun perilaku kesehatan.
7. Pemerintah Kabupaten Bantul. Profil Kabupaten Bantul tahun 2011.
KESIMPULAN Penerapan pendidikan kesehatan dengan metode ceramah kombinasi efektif meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan leptospirosis.
9.
SARAN Penyuluhan tentang pencegahan leptospirosis perlu dilaksanakan secara rutin di wilayah Desa Argosari dan Wukirsari untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pencegahan leptospirosis.
10. Utari R. Taksonomi Bloom: apa dan bagaimana menggunakannya. [Diakses 1 Oktober 2014]. Diunduh dari: http://www.bppk.depkeu.go.id/ webpkn/attachments/article/766/1Ta k s o n o m i % 2 0 B l o o m % 2 0 - % 2 0 R e t n o - o k mima+abstract. pdf.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga, Drs. Ristiyanto, M.Kes, Farida D. Handayani, M.Sc, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul beserta staf, Kepala Puskesmas Sedayu dan Imogiri II beserta staf, Kepala Desa Argosari dan Kepala Desa Wukirsari, tokoh masyarakat dan responden serta semua pihak yang telah berpartisipasi aktif terhadap pelaksanaan penelitian ini.
8. Handayani TE, Purwanti OS. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat tentang pencegahan tuberkulosis paru di Dusun Kayangan Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar. [Diakses 1 Oktober 2014]. Diunduh dari: http://publikasiilmiah.ums.ac.id/ bitstream/handle/123456789/3636/TRI%20ETIK% 20-%20OKTI%20Fix.pdf?sequence=1. Sungkar S, Rawina W, Agnes K. Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat dan kepadatan Aedes aegypti di Kecamatan Bayah,Provinsi Banten. Makara Kesehatan. 2010; 14 (2): 81-5.
11. Ircham M dan Eko S. Pendidikan kesehatan bagian dari promosi kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya; 2008. 12. Pai HH, Hong YJ and Hsu HL. Impact of a ShortTerm Community-Based Cleanliness Campaign on the Sources of Dengue Vectors: An Entomological and Human Behavior Study. Journal of Environmental Health. 2006; 68 (6): 35-8. 13. Green L and Kreuter M. Health promotion planning: an educational and ecological approach. Mountain
View CA: Mayfield; 2005.
DAFTAR PUSTAKA 1. Levett PN. Leptospirosis. Clin Micribiol Rev. 2001; 14 (2): 296-326.
2. Assimina Z and Fotoula B. Leptospirosis: epidemiologi and preventive measures. HSJ-Health Science Journal. 2008; 2 (1): 78-82. 3. Notoatmojo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2007. 4.
Azwar S. Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2011.
5.
Sugiyono. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta; 2008.
6.
Budiarto. Biostatistik untuk kedokteran dan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC; 2002.
69
Efek Pendidikan .............(Aryani Pujiyanti, dkk.)
BA
digu desi Uji
dila dike kad dise 150 past men dise digu men perl
mem Seti deng etan kete seba bert Kem kada sum sela desi akan
dipa uL deng dala kem deng bali (sli perm diin Sete men (imm (apu peng 100 mik dig peng
70
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
EFEKTIVITAS METODE KOLABORATIF DAN KOOPERATIF DALAM PENDIDIKAN KESEHATAN BERBASIS KOMUNITAS Tita Hariyanti*, Harsono**, Yayi S. Prabandari** * Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang ** Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT Background: The role of the learning methods is changing from teacher centered learning to student centered learning (SCL). One of the SCL methods is collaborative and cooperative learning. The past twenty years have seen an increase in collaborative and cooperative learning based pedagogies in colleges, but not in community based health education. The aim of this study is to identify the efectivity of collaborative and cooperative learning in community based health education Method: This research used quasi experimental non-randomized control group post test design. Respondent of the research are 111 geriatric cadres of Kecamatan Kepanjen and 72 geriatric cadres of Kecamatan Singosari. Results: Data shows that cadre’s knowledge in first training, 30 and 90 days after first training increased in both groups (p<0,001). There is no relationship between individual characteristic (age, education, occupation, time to work as a cadre, training) and increase of knowledge (p>0,05). Conclusion: Collaborative and cooperative method can increase cadre’s knowledge of stroke effectively and maintain memory retention longer than conventional method. Keywords: stroke, increase of knowledge, memory retention, collaborative and cooperative learning, cadre.
ABSTRAK Latar Belakang: Saat ini, proses pembelajaran lebih ditekankan pada proses belajar aktif dan mandiri (student centered learning). Metode pembelajaran yang sesuai dengan model ini adalah metode kolaboratif dan kooperatif (collaborative and cooperative learning). Metode kolaboratif dan kooperatif lazim digunakan pada pendidikan formal, namun masih jarang digunakan untuk pelatihan atau pendidikan kesehatan berbasis komunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektivitasan metode kolaboratif dan kooperatif pada pelatihan kader lansia tentang stroke di Kabupaten Malang. Metode: Penelitian ini menggunakan desain quasi experimental non-randomized control group pretest-postest. Responden adalah 111 orang kader lansia di Kecamatan Kepanjen dan 72 orang dari Kecamatan Singosari. Hasil: Data menunjukkan terjadi peningkatan pengetahuan antara kedua kelompok kader mulai dari pelatihan pertama, 30 dan 90 hari setelah pelatihan (p<0,001). Karakter kader yang meliputi usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama menjadi kader, dan pelatihan yang pernah diikuti, tidak berhubungan dengan peningkatan pengetahuan (p>0,5). Kesimpulan: Metode kolaboratif dan kooperatif efektif dalam meningkatkan pengetahuan, dan mempertahankan ingatan tentang pengetahuan tersebut lebih lama dibandingkan dengan metode konvensional. Kata kunci: stroke, peningkatan pengetahuan, retensi memori, metode belajar kolaboratif dan kooperatif, kader.
Korespondensi:
[email protected]
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
9
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
PENDAHULUAN Dalam satu dekade terakhir, stroke menempati urutan pertama dari 10 penyakit degeneratif terbanyak di Indonesia. 1 Selain angka mortalitas stroke menempati urutan tertinggi, angka kesakitan stroke juga menempati urutan ketiga di dunia, dan sebesar 55% penderita stroke mengalami kecacatan. 2 Penyakit stroke dengan gejala yang sangat bervariasi, sering sulit dikenali oleh kalangan petugas kesehatan sekalipun. Banyak terjadi keterlambatan penanganan kasus stroke yang disebabkan oleh pengetahuan yang kurang dari penderita, keluarganya, maupun petugas kesehatan yang menangani.3 Di Indonesia, yang menjadi ujung tombak upaya pencegahan primer pelayanan kesehatan adalah puskesmas dan aparatnya. Dokter, perawat, bidan, kader, bahkan pamong desa, bersama-sama berusaha mewujudkan kesehatan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1457/ MENKES/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota disebutkan bahwa setiap kabupaten atau kota diwajibkan menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayananminimal. Standar pelayanan minimal (SPM) ini salah satunya adalah pelayanan kesehatan pralansia dan lansia. SPM ini dilakukan mulai dari pemerintah kabupaten/kota ke bawah. 4 Intitusi pelayanan kesehatan yang berada di ujung tombak adalah pos pelayanan terpadu (posyandu). Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2011, penyelenggara posyandu adalah anggota masyarakat yang disebut dengan kader posyandu.5 Kader posyandu ini sering bekerja sama dengan petugas kesehatan (bidan, perawat, dokter) untuk menyampaikan informasi tentang kesehatan atau program kesehatan dari puskesmas. Oleh karena itu, pemerintah memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan kader. Berdasarkan wawancara tidak terstruktur, pemerintah daerah telah memberikan berbagai pelatihan kepada kader, terutama tentang permasalahan ibu dan balita. Kader belum pernah sama sekali mengikuti pelatihan tentang stroke. Metode yang digunakan untuk pelatihan selama ini adalah metode konvensional (one way traffic). Sementara saat ini, proses pembelajaran lebih ditekankan pada proses belajar aktif dan mandiri (student centered learning) dibandingkan dengan pembelajaran pasif atau
10
konvensional (teacher centered learning). Sistem pembelajaran konvensional yang selama ini dilakukan kental dengan suasana instruksional dan kurang sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat. Selain itu, jika tujuan pembelajaran ingin memasukkan nilai moral, budi pekerti luhur, kreativitas, kemandirian, dan kepemimpinan, sangat sulit dilakukan pada metode pembelajaran konvensional. Alasan ini yang menyebabkan sistem pembelajaran bergeser ke arah student centered learning.Salah satu metode pembelajaran model ini adalah dengan metode pembelajaran kolaboratif dan kooperatif (collaborative and cooperative learning). Pembelajaran kolaboratif adalah proses belajar kelompok yang setiap anggotanya menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota.6 Metode kolaboratif dan kooperatif lazim digunakan pada pendidikan formal7 dan merupakan keniscayaan bagi perguruan tinggi.8 Namun metode ini masih jarang digunakan untuk pelatihan atau pendidikan kesehatan berbasis komunitas. Penelitian ini bertujuan melihat efektivitas metode kolaboratif dan kooperatif dalam pendidikan kesehatan berbasis komunitas. Penulis melakukan pelatihan tentang stroke dengan membandingkan dua kelompok kader lansia di kecamatan yang berbeda. Kader lansia yang ada di Kecamatan Kepanjen akan dilatih tentang stroke dengan menggunakan metode kolaboratif dan kooperatif, sedangkan kader di Kecamatan Singosari akan dilatih dengan metode konvensional. Harapannya, kader yang dilatih dengan metode kolaboratif dan kooperatif ini dapat memahami gejala, faktor risiko, pencegahan, dan penanganan stroke lebih baik sehingga lebih mudah menyampaikan kepada masyarakat. Selain itu, peserta dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi agar terjadi proses transfer pengetahuan antar peserta sehingga menimbulkan retensi kuat tentang stroke. Metode ini juga merangsang kemandirian, kepemimpinan, kreativitas yang diperlukan saat menjalankan tugasnya. Kemampuan kader tersebut diperlukan untuk menjaga rantai keselamatan dan pemulihan stroke, karena sebagai pengelola posyandu kader dapat berperan aktif dalam memberikan pengetahuan tentang pengenalan tentang tanda dan gejala stroke (detection) serta mengaktivasi orang untuk segera memobilisasi pasien ke rumah sakit (dispatch).9 Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
METODE Rancangan penelitian yang digunakan pada adalah quasi experiment non-randomized control group pretest-postest. Kader dari dua kecamatan dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperiman dan kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi, kader diberi perlakuan dengan memberikan pelatihan metode kolaboratif dan kooperatif dan brosur serta poster sebagai alat penyuluhan sebagai kader lansia. Pelatihan juga diberikan pada kelompok kontrol, namun dengan metode konvensional. Pelatihan ini bertujuan meningkatkan pengetahuan kader tentang stroke sehingga dapat memberikan penyuluhan serta motivasi kepada masyarakat sehubungan dengan stroke. Kedua kecamatan terpilih oleh karena mempunyai karakteristik yang sama baik kota, masyarakat, maupun kadernya. Kedua kota kecamatan ini terletak di Kabupaten Malang, namun terpisah 40 km jauhnya. Singosari terletak 15 km di sebelah utara Kota Malang, sedangkan Kepanjen terletak 25 km sebelah selatan Kota Malang. Pada kelompok intervensi (kader Kecamatan Kepanjen), jumlah kader yang terlibat adalah 100 orang. Peserta tersebut mewakili 99 posyandu lansia yang tersebar di 18 desa di Kecamatan Kepanjen. Setiap posyandu, mengirimkan satu wakilnya untuk mengikuti pelatihan. Jumlah total kader lansia di Kecamatan Kepanjen pada akhir tahun 2012 adalah 545 kader. Seluruh peserta pelatihan ini terbagi rata ke dalam 3 gelombang. Pada saat pelatihan, setiap gelombang membutuhkan waktu
2 hari, hari pertama dan kedua berjarak 3 hari. Misalnya gelombang pertama, hari pertama dilaksanakan pada hari Senin, dan hari kedua pelatihan dilaksanakan pada hari Kamis. Peserta terbagi dalam 5 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 6 – 7 orang kader yang berasal dari desa yang berbeda, didampingi oleh satu orang fasilitator. Heterogenitas kelompok sengaja dibuat dengan tujuan agar terjadi pertukaran pengetahuan (transfer of knowledge) antar peserta.7,8 Dihari pertama pada kelompok intervensi, peserta diminta mengerjakan pretestsebelum memulai pelatihan. Pada saat memulai proses pelatihan, setiap kelompok diminta untukmemilih ketua dan sekretaris. Kemudian peserta diminta untuk membaca masing-masing skenario selama 10 menit. Setelah membaca skenario ini, peserta diminta menuliskan jawaban masing-masing dari semua pertanyaan pada kertas yang telah disediakan. Setelah selesai, ketua kelompok memimpin jalannya diskusi di setiap kelompok sampai dihasilkan keputusan kelompok. Terakhir, masing-masing kelompok diminta untuk membagikan hasil diskusi mereka kepada kelompok lain. Di akhir hari pertama, peserta diberi buku saku kader yang berisi materi tentang stroke, posyandu lansia, serta lansia dan permasalahannya. Hari kedua pelatihan diadakan 3 hari berikutnya. Setiap kelompok diminta mengulang proses yang sama dengan hari pertama, namun dengan pengetahuan (prior knowledge) yang berbeda. Di akhir sesi hari kedua, peserta diminta mengerjakan post test.
Salah satu skenario tentang stroke dengan judul: S A N T E T Di suatu pagi menjelang subuh, Marwati mengagetkan suaminya yang masih tidur di sebelahnya dengan erangannya. Suaminya kaget dan terbangun. “Ti, kowe kenopo Tiii..?” “Uhhhh…. Uhhhh…” Marwati tidak bisa bicara, dia hanya mengerang dan menangis. Marwati mendapati dirinya tidak bisa bergerak. Suaminya tergopoh-gopoh melihat keadaan Marwati, karena semalam ketika tidur Marwati masih baik-baik saja. Semua orang di rumah itu dibangunkan karena suaminya tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya tetangganya berdatangan mendengar ada keributan di rumah Marwati pada saat subuh. Para tetangga itu mencoba membantu Marwati yang mendadak tidak bisa bicara dan bergerak itu. Ada yang menyuruh merebus air sampai panas untuk mengompres tangan dan kakinya biar lemas, ada yang menyuruh memanggil tukang pijet, ada yang menyuruh banyak membaca istighfar, ada yang menawari kerokan untuk meringankan sakitnya. Dari sekian banyak saran, ada satu saran dari sesepuh yang dipertimbangkan oleh suami Marwati, yaitu saran Pak Karno, sesepuh di kampung itu. Pak Karno menyarankan agar Marwati dibawa ke paranormal. Beliau curiga sakit Marwati karena disantet orang karena terjadinya mendadak, dan santet biasanya datang pada malam hari. Maklum, Marwati adalah penyanyi dangdut terkenal dan laris di kampung itu. Walaupun berusia 43 tahun, Marwati
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
11
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
cantik, singset, dan mempunyai suara merdu, sehingga membuat dia sering dipanggil jika orang mempunyai hajat. Banyak orang yang tidak suka pada ketenaran Marwati tersebut. Sambil menunggu pagi, Marwati dikeroki dan dipijat oleh tetangganya. Setelah hari agak siang, Marwati dibawa ke rumah paranormal. Oleh sang paranormal diberi jampi-jampi sebagai penolak bala. Setelah seminggu di rumah dan meminum ramuan berisi jampi-jampi dari paranormal tersebut, Marwati merasa tidak ada perbaikan pada kesehatannya. Dia masih tetap pelat dan tangan serta kakinya tidak bisa digerakkan separuh. Setelah satu bulan dibawa ke paranormal lagi dan keadaan Marwati tidak berubah, suami Marwati memutuskan untuk membawa Marwati ke dokter. Bahan diskusi: 1. Apa yang dialami Marwati? 2. Apa alasan Anda? 3. Apa penyebab Marwati mengalami hal tersebut? 4. Apakah tindakan Marwati membawa ke paranormal tersebut tepat? Jika ya jelaskan alasannya! Jika tidak, bagaimana seharusnya?
Pada kelompok kontrol (kader Kecamatan Singosari), jumlah kader yang terlibat adalah 72 orang. Kader ini berasal dari 35 posyandu lansia yang tersebar di 9 desa. Kader diberi materi tentang stroke dengan metode konvensional atau klasikal. Di sesi akhir, peserta diminta mengerjakan post test. Setelah pelatihan pertama, kedua kelompok kader diminta berkumpul kembali 90 dan 120 hari setelahnya. Kegiatan utama ketika berkumpul adalah mengerjakan post test tentang stroke, dan diberikan materi tentang diabetes melitus dan hipertensi sebagai faktor risiko stroke. Materi diabetes melitus dan hipertensi ini diberikan dengan menggunakan metode konvensional. Pelatihan ini juga diselingi dengan kegiatan lomba dan beberapa permainan untuk memecah suasana (ice breaking).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan beberapa perbedaan karakteristik kader di kedua kelompok. Terdapat perbedaan signifikan (p<0.,01) pada usia di kedua kelompok. Para kader di kelompok intervensi rata-rata berusia lebih muda (43,3 tahun) dibandingkan kelompok kontrol (53,9 tahun). Karakter lain yang meliputi lama menjadi kader, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan pengalaman mengikuti pelatihan, tidak ada perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok kader. Jumlah kader di kedua kelompok merupakan jumlah keseluruhan kader yang mengikuti pelatihan dari awal hingga akhir. Terdapat beberapa orang kader yang mengikuti sebuah pelatihan, dan tidak mengikuti pelatihan yang lain. Perbedaan umur kader dan lama menjadi kader antar kedua kelompok diuji dengan independent t-test, sedang perbedaan tingkat pendidikan, status pekerjaan dan pengalaman mengikuti pelatihan, diuji dengan uji-chi kwadrat.
Tabel 1. Karakteristik kader kedua kelompok
12
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
Tabel 2 menunjukkan gambaran pengetahuan dari kedua kelompok. Post test yang diberikan ini terdiri dari dua kelompok pertanyaan, yaitu tentang stroke dan posyandu lansia.Terdapat perbedaan pengetahuan yang signifikan di kedua kelompok (p<0,001). Mulai dari pelatihan pertama hingga terakhir, tampak ada penurunan jumlah kader yang mengikuti pelatihan. Namun ternyata, terdapat peningkatan skor yang menggembirakan di kedua kelompok, dengan tingkat pengetahuan dan penguasaan materi tentang stroke dan posyandu lansia lebih baik pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol. Perbedaan tingkat pengetahuan ini diuji dengan menggunakan independent t-test. Potensi kader dalam menyuluh masyarakatnya dengan benar ditentukan oleh jumlah atau prosentase kader yang memiliki pengetahuan stroke yang benar 100%. Karena itu Tabel 3 ini dibuat untuk mengetahui seberapa
banyak jumlah kader yang potensial menjadi penyuluh yang baik dan benar dalam mensosialisasikan pengetahuan stroke. Terlihat bahwa kader kelompok intervensi memiliki tren retensi pengetahuan lebih tinggi dibanding kader kelompok kontrol. Sampai hari ke 120 (4 bulan pasca pelatihan), jumlah kader potensial (yang masih memiliki pengetahuan stroke 100% benar) masih diatas 85% di kelompok intervensi, dibanding 50% di kelompok kontrol. Tren persentase jumlah kader yang masih memiliki pengetahuan stroke dengan benar, terutama di kelompok intervensi, terlihat semakin meningkat dan relatif stabil setelah pengukuran hari ke-90. Dari 68,4% di pelatihan pertama, menjadi 86,4% dan 85% pada hari ke-90 dan hari ke-120. Sementara itu di kelompok kontrol, kenaikan persentase kader yang memiliki pengetahuan benar tentang stroke lebih rendah dari 25% di pelatihan pertama, meningkat pada hari ke-90 menjadi 60,6%dan kemudian menurun menjadi 50% pada hari ke-120.
Tabel 2. Beda pengetahuan kader di kedua kelompok pada post test pelatihan hari pertama, hari ke-90, dan hari ke-120
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
13
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
Tabel 3 Persentase kader yang memiliki skor nilai benar maksimal pada pelatihan pertama, hari ke-90 dan ke 120 pasca pelatihan
Tabel 4 menunjukkan hasil hubungan antara karakter kader dengan skor pengetahuan tentang stroke di kedua kelompok. Pada tabel ini, Umur kader dikategorikan ’dibawah’ dan ‘diatas’ umur rata-rata kader (43 tahun); Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi 3 (‘tamatan SD’, ‘tamatan SLTP’, dan ‘tamatan SLTA ke atas’); Status Bekerja dikategorikan ‘bekerja’ dan ‘tidak bekerja; Lama menjadi kader dikategorikan ‘dibawah’ dan ‘diatas’ nilai
rata-rata lama menjadi kader (5 tahun); Pernah mengikuti pelatihan kader posyandu lansia dikategorikan ‘pernah’ dan ‘tidak pernah’. Dari tabel 4 ini, dapat disimpulkan bahwa latar belakang karakteristik kader di kedua kelompok tidak berasosiasi dengan peningkatan pengetahuan kader tentang stroke, baik pada pengukuran pelatihan pertama, 90 hari pasca pelatihan, dan 120 hari pasca pelatihan.
Tabel 4. Asosiasi antara karakter kader dengan skor pengetahuan tentang stroke di kedua kelompok
Hubungan antara Karakteristik Kader dengan Peningkatan Pengetahuan Pada penelitian ini, ternyata tidak ada perbedaan karakter antara kader Kecamatan Kepanjen sebagai
14
sebagai kelompok intervensi dengan kader Kecamatan Singosari sebagai kelompok kontrol. Usia kader di Kecamatan Kepanjen relatif lebih muda dibandingkan kader Singosari. Pada wawancara tidak terstruktur,
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
penulis menjumpai sebuah kesepakatan di Singosari bahwa untuk menjadi kader posyandu lansia, sebaiknya orang yang berusia lansia agar dapat memahami karakter para lansia. Padahal syarat menjadi kader adalah (1) diutamakan penduduk daerah setempat, (2) bisa membaca dan menulis, (3) mempunyai jiwa pelopor, (4) bersedia bekerja secara sukarela, memiliki kemampuan dan waktu luang.5 Sebagian besar kader berpendidikan tamatan SMA dan lebih tinggi, serta tidak bekerja. Kedua karakter ini sangat mendukung profesi sebagai kader, karena kader kesehatan atau yang lebih umum disebut sebagai kader posyandu merupakan pembawa misi pembangunan kesehatan ditingkat paling bawah. Kader ini adalah kepanjangan tangan dari puskesmas atau Dinas Kesehatan kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Tenaga sukarelawan ini berasal dari masyarakat yang peduli terhadap kesehatan warga sekitarnya. Sampai saat ini kader kesehatan terkadang menjadi sumber rujukan bagi penanganan berbagai masalah kesehatan.10 Meskipun merancang sebuah metode yang akan digunakan dalam pelatihan itu dipengaruhi oleh karakteristik dan latar belakang pengetahuan yang dimiliki peserta,11 namun dalam penulisan ini tidak dijumpai hubungan antara karakteristik kader dengan peningkatan pengetahuan tentang stroke.Kader dengan berbagai latar belakang usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama menjadi kader, kepesertaan mengikuti pelatihan, tidak berhubungan dengan peningkatan pengetahuan tentang stroke dan pelayanan posyandu. Hubungan antara Metode Kolaboratif dan Kooperatif dengan Peningkatan Pengetahuan Beberapa pertanyaan diajukan kepada kader tentang metode yang digunakan untuk pelatihan yang telah diberikan selama ini. Sebagian besar menyatakan bahwa metode yang digunakan untuk pelatihan adalah ceramah dan tanya jawab, serta praktek. 10,12 Penelitian ini bertujuan melihat efektivitas metode kolaboratif dan kooperatif pada kader. Metode tersebut umum digunakan pada pendidikan tinggi. 13 Metode kolaboratif dan kooperatif merupakan pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik dengan berbagai macam latar belakang secara bersama-sama. Peserta diharapkan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya (prior knowledge) untuk melaksanakan metode ini secara aktif dan
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
interaktif, dan tidak seorang peserta pun yang diam atau dalam keadaan pasif. Di dalam kelompok diskusi, tiaptiap individu berperan aktif, saling memberi kontribusi, saling menerima pendapat kawan dengan prasangka baik, saling menghargai kemampuan orang lain. Pembelajaran kolaboratif ini lebih menekankan saling bagi pengalaman dan pendapat, dan bukan merupakan kompetisi di antara pembelajar. 7,14,15 Hari pertama pelatihan pada kelompok intervensi, kader diminta untuk mendiskusikan 3 skenario. Skenario yang digunakan berbeda di setiap gelombang, namun mempunyai tujuan yang sama. Skenario pertama bertujuan untuk memperkenalkan metode kolaboratif dan kooperatif, scenario kedua bertujuan untuk menggali pengetahuan tentang stroke, dan yang ketiga bertujuan untuk menggali pengetahuan tentang peran dan fungsi kader lansia. Proses diskusi ini dibiarkan mengalir tanpa intervensi dari fasilitator dan tanpa ada penjelasan dulu tentang skenario tersebut. Masing-masing peserta hanya diminta untuk membaca skenario, menjawabnya sendiri terlebih dahulu, dan kemudian berdiskusi sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Setiap kelompok menuliskan hasil diskusi di kertas lembar balik (flip chart). Hasil diskusi kelompok ini kemudian dipaparkan dan didiskusikan antar kelompok. Setiap kelompok diminta untuk mewakilkan orang yang berbeda dalam memaparkan hasil pada setiap skenario, sesuai dengan langkah langkah dalam metode kolaboratif dan kooperatif. 7,14,15 Di akhir sesi pelatihan hari pertama, penulis membagikan buku saku untuk kader lansia. Pada buku tersebut terdapat penjelasan tentang lanjut usia dan permasalahannya, kader dan posyandu, serta stroke. Seluruh peserta diminta membaca buku tersebut. Hari kedua pelatihan, yaitu 3 hari setelah pelatihan hari pertama, seluruh peserta diminta mendiskusikan skenario yang sama dengan hari pertama. Bedanya, pada hari kedua peserta memiliki latar belakang pengetahuan karena diharapkan telah membaca buku saku yang dibagikan. Diskusi yang terjadi pada hari ini membutuhkan waktu lebih singkat daripada sebelumnya. Setelah melakukan diskusi antar kelompok, penulis memberikan materi tentang stroke untuk menyamakan persepsi. Materi yang diberikan meliputi gejala, faktor risiko, pencegahan, dan penanganan awal stroke, lansia dan permasalahannya, serta peran kader pada posyandu
15
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
lansia. Metode ini merangsang partisipasi aktif dari setiap peserta, sesuai dengan tujuannya. Terdapat 5 pilar dalam metode kooperatif, yaitu (1) Anggota kelompok harus berbagi pengetahuan dalam saling ketergantungan secara positif (positive interdependence), (2) Setiap anggota kelompok harus saling kerjasama (promotive, face to face interaction), (3) Anggota kelompok harus mempunyai rasa tanggung jawab dan tanggung gugat (individual accountability), (4) Anggota kelompok harus trampil dalam kerjasama kelompok (social skills), (5) Kelompok harus mengevaluasi proses diskusinya (group processing).7 Kelima pilar ini dapat dilalui oleh kader yang berada dalam kelompok intervensi. Dari hasil penelitian, didapatkan peningkatan pengetahuan setelah pelatihan baik dengan metode kolaboratif dan kooperatif maupun pelatihan metode konvensional. Namun, kader Kepanjen yang dilatih menggunakan pendekatan kolaboratif dan kooperatif memiliki tren retensi pengetahuan lebih tinggi dibanding kader Singosari, bahkan setelah 120 hari setelah pelatihan pertama. Melihat bahwa karakteristik tidak berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan, maka besar dugaan penulis bahwa perbedaan peningkatan pengetahuan kader tentang stroke di kedua kelompok kemungkinan dipengaruhi oleh metode pendekatan pelatihan kader. Kader Kepanjen yang dilatih menggunakan metode kolaboratif dan kooperatif tampaknya dapat membuat para kader aktif belajar pengetahuan tentang stroke. Hal ini yang menyebabkan peningkatan pengetahuan dan retensi memori tentang stroke bertahan lebih lama dibandingkan dengan kader yang dilatih dengan metode konvensional.7 Proses pelatihan konvensional yang diterapkan di Singosari pun tidak dapat berjalan sesuai rencana. Seharusnya, kader diberikan pre dan post test pada saat pelatihan pertama. Namun sampai dengan acara pelatihan dimulai, kader yang datang baru setengah dari undangan, sehingga beberapa kader mengisi pre test saat penulis memberikan materi. Kejadian ini menjadikan keterbatasan penulisan, karena pre test di kelompok kontrol tidak dapat dilaksanakan sehingga tidak dapat dibandingkan dengan kelopok intervensi. Kader Singosari yang berada di kelompok kontrol tampak mengalami penurunan skor pengetahuan beberapa poin pada hari ke-120 setelah pelatihan. Gambaran ini
16
menunjukkan bahwa retensi memori pada kader Singosari yang dilatih denganmetode konvensional dan cenderung pasif saat pelatihan, tidak terlalu bagus. Penulis menyarankan perlunya upaya mempertahankan tingkat pengetahuan kader secara berkala agar para kader mampu mendiseminasikan permasalahan kesehatan dengan handal. KESIMPULAN Metode kolaboratif dan kooperatif ternyata tidak hanya efektif digunakan dalam pendidikan tinggi, namun juga untuk pendidikan kesehatan berbasis komunitas. Metode ini juga dapat meningkatkan pengetahuan kader tentang stroke, serta mempertahankan memori tersebut lebih lama dibandingkan dengan metode konvensional. Karakteristik kader, seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan jenis pelatihan yang pernah diikuti, tidak berhubungan terhadap efektivitas metode kolaboratif dan kooperatif. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3. 4.
5.
6.
7.
Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2009. Adams H, Adams R, Zoppo GD, Goldstein LB. Guidelines for the early management of patients with ischemic stroke. American Heart Association Journals, 2005; 36:91–923. Misbach J. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar PelayananMinimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Kementerian Dalam Negeri. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 tahun 2011 tentang pedoman pengintegrasian layanan sosial dasar di pos pelayanan terpadu. Sudarman. Penerapan metode collaborative learning untuk meningkatkan pemahaman materi mata kuliah metodologi penulisan. Jurnal Pendidikan Inovatif, 2008; 3(2): 94 – 100. Jones KA, Jones JL. Making cooperative learning worked in the college classroom: an application of ‘five pillars’ of cooperative learning to post-secondary instruction. The journal of effective teaching, 2008; 8(2): 61 – 76.
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
Tita Hariyanti, Efektivitas Metode Kolaboratif dan Kooperatif dalam Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
8.
Harsono. Student Centered Learning di perguruan tinggi. Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia, 2008; 3(1): 4 – 8. 9. Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Bruno A. Guidelines for the early management of patients with acute ischemic stroke: a guideline for healthcare professionals from the American Heart Association/ America Stroke Association. Stroke-AHA Journals, January 2013. 10. Kusumawati Y, Darnoto S. Pelatihan peningkatan kemampuan kader posyandu dalam penanggulangan demam berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Joyotakan Kecamatan Serengan Surakarta. Warta, September 2008; 11(2): 159 – 169. 11. Jamil R. Training Need Analysis (TNA) practices: a survey of the top 1000 companies in Malaysia. VOT No: 75171, 2006.
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2014 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia
12. Syafei M, Lazuardi L, Hasanbasri M. Pemberdayaan kader dalam revitalisasi posyandu di Kabupaten Batanghari. Jurnal KMPK, Working paper series, No. 14, April 2008, first draft. 13. Faust JL, Paulson DR. Active learning in the college classroom. Journal on excellence in college teaching, 2008; 9 (2): 3 – 24. 14. Jacobs G. Cooperative Learning: theory, principles, and techniques. JF New Paradigm Education; 2004. 15. Macpherson A. Cooperative learning group activities for college courses: a guide for instructor. Kwantlen University College; 2007.
17
KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
Jurnal Kesehatan Masyarakat http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas
FAKTOR-FAKTOR PREDISPOSISI PRAKTIK PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA Suharyo Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel: Diterima 16 Maret 2009 Disetujui 3 April 2009 Dipublikasikan Juli 2009
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) di sekolah diharapkan mampu meningkatkan derajat kesehatan anak didik dan kualitas sumber daya manusia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor predisposisi yang berhubungan dengan praktik pendidikan KRR oleh guru bimbingan konseling pada SMP di Kota Semarang. Pendekatan penelitian ini adalah study belah lintang. Populasi penelitian adalah guru BK SMP negeri dan swasta sebanyak 190. Dengan teknik pengambilan sampel acak didapatkan sampel 64 guru. Data dikumpulkan melalui wawancara. Uji statistik yang digunakan adalah chi square dan fisher’s exact, sedangkan regresi logistik digunakan untuk uji multivariat. Hasil penelitian menunjukkan proporsi praktik pendidikan KRR guru BK yang tergolong baik mencapai 53,1%. Variabel yang berhubungan dengan praktik pendidikan KRR guru BK secara bersama-sama adalah pengetahuan tentang pendidikan KRR (RP = 12,48), dan sikap terhadap pendidikan KRR (RP = 3,89). Jadi faktor terbesar menyumbang praktik adalah pengetahuan tentang pendidikan KRR.
Keywords: Predisposing factors Adolescent reproductive Health Counseling teacher
Abstract Adolescent reproductive health education in the school is expected to improve the health of students and the quality of human resources. The purpose of this study was to determine the predisposing factors associated with the practices of KRR by teacher in junior high school in the Semarang city. The approach of this study was cross-sectional. The study population were counseling teachers of public and private junior high school in the Semarang city as many as 190. With simple random sampling technique obtained 64 samples of teachers. Data collected using interviewing techniques. Statistical tests used were chi-square and fisher’s exact whereas logistic regression used for multivariate testing. The results showed the proportion of KRR practices that were good reaching 53.1%. Variables related to the practice of KRR was the knowledge of KRR education (RP = 12.48), and attitudes toward education KRR (RP = 3.89). So the biggest factor contribute to the knowledge is about educational practices KRR. © 2009 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Jalan Nakula No. 1, Semarang, 50131 Email:
[email protected]
ISSN 1858-1196
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
Pendahuluan Pendidikan kesehatan reproduksi remaja di sekolah merupakan salah satu upaya kesehatan institusi yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan anak didik dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Fjord et al., 2008). Program kesehatan reproduksi remaja merupakan upaya untuk membantu remaja agar memiliki pengetahuan, kesadaran, sikap, dan perilaku kehidupan reproduksi sehat dan bertanggung jawab, melalui advokasi, promosi, komunikasi informasi dan edukasi (KIE), konseling dan pelayanan kepada remaja yang memiliki permasalahan khusus serta dukungan pada kegiatan remaja yang bersifat positif (Mevsim et al., 2009; Fransen et al., 2009). Kesehatan reproduksi remaja (KRR) itu sendiri diartikan sebagai kondisi sehat, yang menyangkut sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki remaja. Pengertian sehat di sini tidak semata-mata berarti bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Depkes RI, 2007). Saat ini jumlah remaja di Indonesia yaitu mereka yang berusia 10-19 tahun adalah sekitar 30 % dari jumlah penduduk atau kurang lebih 65 juta jiwa. Perilaku kesehatan reproduksi remaja saat ini cenderung kurang mendukung terciptanya remaja berkualitas (Kulczycki et al., 2007). Angka aborsi di kalangan remaja saat ini misalnya diperkirakan sekitar 700 sampai 800 ribu kasus per tahun. Tingkat kelahiran di masa remaja (adolescence pregnancy) masih relatif tinggi yaitu sekitar 11 persen dari seluruh kelahiran yang terjadi. Berkaitan dengan perilaku seks berisiko di kalangan remaja maka persentase remaja yang terjangkit IMS serta HIV&AIDS cenderung meningkat (Utomo dan McDonald, 2009). Di samping itu tingkat anemia di kalangan remaja masih sekitar 40-45 persen, padahal anemia sangat berbahaya bagi kehamilan dan proses persalinan. Pengetahuan remaja mengenai masalah kesehatan reproduksi masih relatif rendah (BKKBN, 2007). Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah total penduduk propinsi Jawa Tengah selama tahun 2005 mencapai 31.896.114 jiwa. Dari jumlah tersebut ternyata remaja umur 10-14 tahun mencapai 5%, umur 15-19 tahun mencapai 8,9% dan remaja umur 20-24 tahun
2
mencapai 8%. Seperti daerah yang lain remaja di Jawa Tengah juga banyak yang sudah aktif secara seksual meski tidak selalu atas pilihan sendiri. Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi (Frost, 2008). Dari survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah 2004 di Semarang mengungkapkan bahwa dengan pertayaan-pertanyaan tentang proses terjadinya bayi, Keluarga Berencana, cara-cara pencegahan HIV/AIDS, anemia, cara-cara merawat organ reproduksi, dan pengetahuan fungsi organ reproduksi, diperoleh informasi bahwa 43,22 % pengetahuannya rendah, 37,28 % pengetahuan cukup sedangkan 19,50 % pengetahuan memadai (Husni, 2008). Masalah yang timbul akibat rendahnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi sangat kompleks mulai dari masalah kesehatan sampai masalah sosial-ekonomi (Orji, 2003). Pada tahun 2007 jumlah remaja (umur 10-19 tahun) di Kota Semarang sebesar 251.725 dan 27,9%nya merupakan anak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang menunjukkan bahwa pada tahun 2006 terdapat 123 masalah remaja yang dilayani oleh puskesmas yang terdiri dari 10,5% masalah narkoba, 4,1% aborsi, 59,3% KTD, dan 26% masalah IMS. Sedangkan pada tahun 2007 terdapat 112 masalah remaja yang terlayani meliputi 16,9% narkoba, 32,1% aborsi, 29,5% KTD, serta 21,4% menderita IMS. Hampir 40% diantara remaja-remaja yang mempunyai tersebut adalah anak usia SMP. Masalah tersebut tidak terlepas dari kondisi pengetahuan dan persepsi yang salah tentang kesehatan reproduksi (DKK, 2007). Berbagai penelitian mengenai remaja menunjukkan bahwa remaja membutuhkan informasi, terutama informasi tentang kesehatan reproduksi (Heikkila, 2006). Penelitian di Jakarta dan Banjarmasin menunjukkan sumber informasi kesehatan reproduksi yang paling banyak didapatkan oleh remaja adalah dari media kemudian disusul dari guru. Guru sebagai pendidik di sekolah diharapkan mampu memberikan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi remaja, terutama guru Bimbingan dan Konseling (BK). Salah satu tugas guru BK adalah membantu memberikan pemecahan
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
masalah bagi anak didiknya termasuk masalah kesehatan reproduksi remaja. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja berbasis sekolah merupakan salah satu cara yang efisien dalam menjangkau remaja (Sydsjo et al., 2006). Agar hasil pendidikan tercapai dengan baik maka sistem tersebut didukung dengan sumber daya pendidik yang berkompeten, kebijakan kurikulum sekolah, sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai (Rao et al., 2008). Oleh karena itu KIE kesehatan reproduksi seharusnya diperkenalkan di sekolah, bahkan dimasukkan ke dalam kurikulum (Notobroto, 2008). Salah satu program yang dilakukan BKKBN Kota Semarang adalah pelatihan Orientasi Kesehatan Reproduksi Remaja bagi guru Bimbingan dan Konseling SMP pada tahun 2007. Peserta yang mengikuti kegiatan tersebut berjumlah 25 guru BK dari 180 SMP yang ada di Kota Semarang. Hasil pre tes menunjukkan bahwa tidak lebih dari 50% peserta telah memberikan informasi mengenai KRR yang terbatas pada anatomi organ reproduksi selama 4 jam dalam setahun. Pengetahuan mereka tentang KRR tidak sepenuhnya baik, bahkan ada yang merasa kurang sependapat kalau materi KRR diberikan ke anak didik karena dianggap mengajari hal yang belum pantas yaitu tentang seks. Hampir semua peserta mengatakan mereka tidak mempunyai media pembelajaran untuk menyampaikan tentang KRR kepada anak didiknya dan mereka juga tidak tahu, siapa yang bertanggungjawab atas pendidikan KRR di sekolahnya karena ketidakjelasan kebijakan tentang materi tersebut. Kondisi atau masalah di atas perlu penjelasan yang lebih akurat dengan mengkajinya lebih mendalam sehingga ditemukan penyebab masalah tersebut sehingga upaya perbaikan dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang tepat (Obi et al., 2007). Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian dengan dasar teori perubahan perilaku seperti yang dikemukakan oleh Green. Teori tersebut menyebutkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor predisposisi, pemudah, dan penguat (Green and Kreuter, 1991. Oleh karena keterbatasan sumber daya pada peneliti maka pada penelitian ini dirumuskan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui faktor-faktor predisposisi yang berhubungan dengan praktik pendidikan ke-
sehatan reproduksi remaja oleh guru BK pada SMP di Kota Semarang.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian analitik, yaitu jenis penelitian yang mengamati dan menganalisis hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat melalui pengujian hipotesis yang telah dirumuskan. Desain penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang (Murti, 2003). Studi ini mempelajari hubungan antara faktor penyebab (paparan) dan akibat dengan cara mengamati status faktor penyebab (paparan) dan akibat secara serentak pada individu-individu dari populasi tunggal, pada satu saat atau satu periode. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru BK Sekolah Menengah Pertama di Kota Semarang baik yang negeri maupun swasta yang berjumlah 190. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel acak sebanyak 64 responden Data primer (variabel penelitian) tentang praktik pendidikan KRR oleh guru BK, frekuensi pelatihan, masa kerja, pengetahuan guru BK tentang pendidikan KRR, sikap guru BK terhadap pendidikan KRR, dan persepsi guru BK tentang pendidikan KRR didapatkan dengan teknik wawancara terpimpin. Data sekunder data-data pendukung seperti gambaran kebijakan yang telah dilakukan oleh dinas Pendidikan Kota Semarang berkaitan dengan pendidikan KRR. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini meliputi kuesioner terstruktur, dan lembar checklist. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square karena data yang digunakan berskala nominal (Sugiyono, 2004). Jika syarat uji chi-square tidak terpenuhi maka uji alternatifnya dalah fisher’s exact. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 95% dengan nilai kemaknaan 5%. Untuk mengetahui kontribusi masingmasing variabel bebas maka digunakan indikator rasio prevalensi (RP). RP adalah perbandingan antara prevalens efek pada kelompok dengan penyebab, dengan prevalens efek pada kelompok tanpa penyebab.
3
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
Analisis multivariat yang digunakan adalah analisis regresi ganda logistik karena data dari variabel berskala nominal. Tujuan dilakukan analisis regresi ganda logistik adalah: 1) Menemukan model regresi yang paling sesuai, paling irit, sekaligus masuk akal dan untuk menggambarkan hubungan antara variabel terikat dan beberapa variabel bebas dalam populasi. 2) Meramalkan terjadinya variabel terikat pada individu berdasarkan nilai-nilai variabel bebas yang diukur. Pemakaian analisis regresi mampu memperkirakan probabilitas individu untuk melakukan atau tidak suatu praktik berdasarkan nilai-nilai beberapa variabel bebas yang diukur.
Hasil dan Pembahasan Kota Semarang terbagi atas 16 wilayah kecamatan yang terdiri dari 177 kelurahan. Luas wilayah Kota Semarang adalah 373,7 km2,
yang terdiri dari 37,8 km2 (10,1%) tanah sawah dan 33,6 km2 (89,9%) bukan sawah. Jumlah penduduk Kota Semarang sampai akhir Desember 2007 sebesar 1.454.594 jiwa, terdiri dari 722.026 (49,6%) jiwa penduduk laki-laki dan 732.568 (50,4%) jiwa penduduk perempuan. Dengan jumlah itu, Kota Semarang termasuk dalam 5 besar kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penduduk terbesar di Jawa Tengah. Kepadatan penduduk pada tahun 2007 sebesar 3.892 jiwa per km2. Pada tahun 2007 jumlah remaja (umur 10-19 tahun) di Kota Semarang sebesar 251.725. Sasaran pembangunan kesehatan Kota Semarang salah satunya adalah meningkatnya derajat kesehatan ibu, ibu maternal, bayi, balita, anak prasekolah, remaja, usia lanjut serta meningkatnya status gizi masyarakat. Salah satu program kesehatan di sekolah adalah pelayanan kesehatan anak sekolah meliputi pemeriksaan kesehatan siswa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga ter-
Tabel 1. Distribusi Praktik Pendidikan berdasarkan Frekuensi Pelatihan Pendidikan KRR, Masa Kerja, Pengetahuan Pendidikan KRR, Persepsi Pendidikan KRR dan Sikap terhadap Pendidikan KRR Frekuensi Pelatihan Pendidikan KRR < 3 kali 29 52,7 26 47,3 55 100,0 3,8 0,029 ditolak 4,3 > 4 kali 1 11,1 8 88,9 9 100,0
4
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
latih (guru UKS/dokter kecil) melalui p enj ar ingan kesehatan, paling sedikit 1 kali. Penjaringan kesehatan pada anak sekolah meliputi pemeriksaan umum seperti: TB, BB, kulit, ketajaman mata, pendengaran, gigi dan mulut). Hasil cakupan pelayanan kesehatan pada anak sekolah (siswa TK, SLTP, dan SLTA) pada tahun 2007 di Kota Semarang mencapai 99.729 siswa (97,08%). Pencapaian tersebut disebabkan karena partisipasi dari guru UKS dan kader kesehatan (dokter kecil) sudah jauh lebih baik dalam pelayanan kesehatan di sekolah dan tenaga ke-sehatan yang ada juga telah berperan secara aktif dalam upaya pembina Usaha Kesehatan Sekolah. Selain itu keterlibatan dan kerja sama lintas sektor yang erat antara Dinas Kesehatan dengan Dinas Pendidikan serta Kantor Departemen Agama juga turut mendukung keberhasilan program tersebut. Khusus untuk remaja, Dinas Kesehatan Kota Semarang sudah melakukan beberapa program yaitu program puskesmas peduli remaja dan penyuluhan terhadap 100 remaja sekolah tentang materi KRR. Praktik pendidikan KRR oleh guru BK menunjukkan data bahwa 90,6% responden sudah pernah melakukan konseling mengenai KRR terhadap siswa. Diikuti dengan melakukan pendidikan KRR di dalam kelas sebanyak 82,8% responden. Hanya 10,9% yang pernah memberikan pendidikan KRR 2 jam per minggu. Kemudian baru seperlima responden (18,8%) melakukan pemberian informasi KRR di luar kelas 1 kali per minggu dan 15,6% yang sudah membentuk peer group. Materi KRR yang pernah diberikan oleh 93,8% responden kepada siswa SMP adalah tumbuh kembang remaja diikuti materi pacaran sehat (78,1%). Materi organ reproduksi dan risiko reproduksi masing-masing 67,2%. Sedangkan materi yang frekuensinya paling kecil disampaikan oleh guru BK, hanya 23,4% responden adalah materi hak-hak seksual dan reproduksi disusul materi menstruasi (31,3%). Metode yang paling banyak digunakan dalam pendidikan KRR oleh responden adalah metode ceramah sebesar 96,0% responden. Metode lainnya yang cukup banyak digunakan adalah diskusi dan tanya jawab, sebesar 76,6% dan 62,5% responden. Sedangkan metode karyawisata dan simulasi belum pernah ada responden yang menggunakannya dalam
pendidikan KRR untuk siswa SMP. Dramatisasi, kegiatan ekstrakurikuler, dan intrakurikuler juga tidak lebih dari 3,5% responden yang menggunakannya sebagai metode praktik pendidikan KRR untuk siswa SMP. Metode pemutaran film sangat minim digunakan dalam pendidikan KRR dengan persentase sebesar tidak lebih dari 4,9%. Hasil analisis statistik antara variabel predisposisi dengan praktik pendidikan KRR oleh guru BK djelaskan pada Tabel 1. Hampir duapertiga responden (64,1%) pernah mengikuti pelatihan KRR baik pelatihan yang terstruktur maupun berupa seminar atau lokakarya sehari. Frekuensi paling banyak mengikuti pelatihan mencapai 10 kali namun rerata frekuensi keikutsertaan dalam pelatihan baru mencapai 1,7 kali. Diantara yang pernah mengikuti pelatihan sebagian besar (78,0%) frekuensinya baru 1-3 kali. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pelatihan dengan praktik pendidikan KRR oleh guru BK. Hasil ini diperkuat dengan nilai RP sebesar 4,3 yang berarti guru BK yang frekuensi pelatihannya < 3 kali mempunyai risiko praktik pendidikan KRRnya kurang baik sebesar 4,3 kali lipat dibanding guru BK dengan frekuensi pelatihan KRR sebanyak > 4 kali. Frekuensi pelatihan pendidikan KRR bagi guru BK akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam menyampaikan materi pendidikan KRR bagi siswanya. Pelatihan merupakan salah satu wahana pendidikan dan menurut Green, pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Semakin baik tingkat pendidikan maka perilakunya pun akan baik. Hal ini menunjukkan hasil penelitian ini sesuai dengan teori Green. Dilihat dari masa kerja sebagai guru BK, sebagian besar responden (79,7%) mempunyai masa kerja lebih dari 6 tahun, rerata masa kerja responden 15,3 tahun, dan paling lama masa kerjanya ada yang mencapai 31 tahun. Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok guru BK dengan praktik pendidikan KRRnya kurang baik, proporsi masa kerja < 5 tahun lebih besar dibanding dengan masa kerja > 6 tahun. Hasil ini berarti bahwa semakin pendek masa kerja maka praktik pendidikan KRR-nya semakin kurang baik. Namun demikian secara statistik
5
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
hasil hubungan tersebut tidak bermakna (nilai p=0,8). Kondisi tersebut disebabkan karena masa kerja tidak menjamin pengalaman tentang pendidikan KRRnya semakin baik. Hal ini dipengaruhi banyak faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal disebabkan oleh faktor kemauan dan kemampuan guru BK tersebut di bidang pendidikan KRR. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh kebijakan pimpinan sekolah dan motivasi dari teman guru yang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan tentang pendidikan KRR dari guru BK sebagian besar tergolong kurang baik (64,1%). Besarnya masalah tersebut tidak berbeda jauh dari hasil pretest pada saat dilakukan pelatihan KRR untuk guru BK SMP yang dilakukan oleh BKKBN Kota Semarang pada tahun 2007. Ini berarti bahwa masih ada kesenjangan yang belum sesuai harapan, dimana guru BK sebagai pendidik dan seorang konselor dituntut memiliki pengetahuan yang baik untuk melaksanakan salah satu tugas pokoknya yaitu pemberian layanan informasi bagi siswa yang bertujuan membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi tentang diri khususnya masalah KRR yang mungkin terjadi pada diri siswa. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang pendidikan KRR dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh guru BK pada SMP. Kondisi ini sesuai dengan teori green yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mendahului perilaku dalam hal ini praktik pendidikan KRR oleh guru BK. Penjelasan ini diperkuat dengan data yang menunjukkan bahwa guru BK yang mempunyai pengetahuan pendidikan KRR kurang baik mempunyai risiko praktik pendidikan KRR kurang baik pula sebesar 7,9 kali dibanding yang berpengetahuan pendidikan KRR baik. Oleh karena itu untuk meningkatkan persentasi praktik pendidikan KRR oleh guru BK yang tergolong baik maka salah satu caranya adalah dengan meningkatkan pengetahuan guru BK tentang pendidikan KRR melalui suatu pelatihan atau workshop. Walaupun demikian dari data yang ada menunjukkan bahwa pemerintah Kota Semarang melalui BKKBN telah melakukan pelatihan bagi guru BK tetapi
6
kuantitasnya masih jauh dari kebutuhan yang ada. Ditinjau dari distribusi jawaban guru BK pada variabel pengetahuan dapat diketahui beberapa kondisi pengetahuan guru BK saat ini yaitu, pertama sebagian besar (lebih dari 75%) guru BK sudah mengetahui bahwa program pendidikan kesehatan untuk siswa khususnya pendidikan KRR dapat memberikan informasi dan meningkatkan pengetahuan siswa tentang masalah kesehatan kususnya KRR namun baru 26,6% guru BK yang mengetahui bahwa program pendidikan kesehatan dapat meningkatkan prestasi dan hanya 46,9% guru BK yang tahu bahwa pendidikan KRR dapat membantu mengatasi masalah KRR yang dialami siswa. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan karena sebagai seorang pendidik, guru BK, seharusnya mengetahui bahwa program pendidikan kesehatan khususnya pendidikan KRR merupakan salah satu program promosi kesehatan yang strategis dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat khususnya siswa. Kedua, ternyata guru BK yang mengetahui bahwa aborsi merupakan salah satu masalah KRR yang dapat menimpa siswa hanya mencapai 21%. Selanjutnya, hanya 51,6% guru BK yang tahu bahwa KTD dan penyakit IMS/HIV&AIDS juga merupakan masalah KRR yang menjadi ancaman bagi siswa. Sedangkan pada saat ini masalah pokok yang menimpa anak remaja, diantaranya adalah KTD yang menjurus aborsi tidak aman dan penularan IMS/HIV&AIDS. Ketidaktahuan guru BK tentang hal tersebut akan mempengaruhi kepedulian guru terhadap masalah KRR. Ketiga, masih sedikit guru BK yang mengetahui bahwa pendidikan KRR untuk siswa dapat dilakukan dengan metode pengajaran yang sangat bervariasi seperti dramatisasi, bermain peran, penugasan dan kegiatan ekstrakurikuler, serta dengan cara belajar perseorangan. Guru BK masih terbiasa dengan cara-cara yang konvensional yaitu ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Kondisi ini berbeda dengan Kabupaten Majalengka, penelitian Turaeni pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di kabupaten tersebut telah dilakukan program pendidikan KRR dengan menggunakan metode bermain peran dan penugasan selain metode-metode konvensional. Menurut Purnomo
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
Ananto, pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka melaksanakan pendidikan kesehatan di sekolah antara lain dengan pendekatan individual dan pendekatan kelompok sedangkan dalam proses belajar mengajar, guru dapat menggunakan metode belajar kelompok, penugasan, belajar perseorangan, bermain peran, demonstrasi, dan dramatisasi selain ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Hasil penelitian Tim Litbang PSS PKBI DIY juga menunjukkan bahwa siswa berharap adanya metode penyampaian materi KRR dengan metode yang variatif, pelajaran yang menyenangkan, tidak kaku dengan disertai berbagai metode pembelajaran seperti memerankan peran dan kegiatan pembelajaran di luar kelas. Keempat, hampir semua responden (95,3%) sudah mengetahui bahwa guru BK dapat memberikan pendidikan KRR pada siswa meskipun 82,5% masih ada yang berpendapat bahwa guru Biologi, bahkan guru penjaskes dan wali kelas pun dapat memberikan pendidikan KRR. Kondisi tersebut sesuai dengan pengetahuan responden tentang peran guru BK, bahwa 85,9% tahu bahwa guru BK berperan memberi layanan informasi dan konseling KRR. Namun demikian tidak lebih dari separuh responden (43,8%) yang mengetahui bahwa guru BK bertanggungjawab atas pengembangan diri siswa dan masalah yang terjadi pada siswa, bahkan tidak satupun guru BK yang tahu bahwa guru BK juga berperan dalam evaluasi dari semua proses pendidikan yang mereka lakukan. Menurut peraturan pemerintah, seorang guru BK seharusnya juga melakukan evaluasi terhadap proses pendidikannya selain bertanggungjawab sebagai pendidik dan konselor. Hal ini menunjukkan bahwa guru BK belum sepenuhnya tahu tentang perannya dalam pendidikan khususnya pendidikan KRR. Kelima, dari 10 materi pendidikan KRR untuk siswa, hanya 3 materi yang diketahui lebih dari 60% yaitu materi tumbuh kembang remaja, organ reproduksi, dan pacaran sehat. Materi-materi yang lain tidak lebih dari 30% guru BK yang mengetahuinya, misalnya hanya 9,4% guru BK yang tahu tentang materi hak-hak reproduksi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengetahuan guru BK tentang materi pendidikan KRR belum sesuai harapan dan tuntutan bahwa guru BK dapat menguasai masalah-masalah terkini dalam rangka pengembangan diri siswa untuk
mengatasi masalahnya yang berhubungan dengan KRR. Keenam, sedikit guru BK (26,6%) yang tahu bahwa pengelolaan kurikulum juga dibutuhkan dalam melaksanakan pendidikan KRR. Ini berarti sebagian besar guru BK belum tahu bahwa pemerintah telah menyediakan waktu tatap muka 2 jam per minggu dengan siswa di kelas. Masalah tersebut wajar terjadi karena menurut tim litbang PKBI DIY, pihak dinas pendidikan pun mengakui belum mampu menjamin akan mengakomodasi masuknya kesehatan dalam kurikulum, sehingga tidak ada sosialisasi tentang kesempatan pendidikan KRR masuk dalam kurikulum pembelajaran. Persepsi menurut Green merupakan salah satu faktor pemungkin yang menjadi determinan perilaku spesifik. Pada penelitian ini didapatkan hasil uji satatistik bahwa tidak ada hubungan antara persepsi terhadap pendidikan KRR dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh guru BK pada SMP. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan Green seperti disebut di atas. Hal ini terjadi karena pada Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi responden menurut persepsi kurang merata, sebagian besar responden yaitu 93,8% persepsinya tergolong baik sehingga nilai p-nya lebih dari 0,05 seperti terlihat dalam Tabel 1. Meskipun demikian jika kita lihat nilai RP-nya, persepsi masih menjadi risiko bagi praktik pendidikan KRR oleh guru BK. Nilai RP sebesar 1,7 menunjukkan bahwa guru BK yang mempunyai persepsi terhadap pendidikan KRR kurang baik mempunyai risiko praktik pendidikan KRR kurang baik pula sebesar 1,7 kali dibanding yang persepsinya terhadap pendidikan KRR baik. Menurut Rao et al., persepsi seseorang terhadap sesuatu didasarkan pada pengalaman masa lalu dan stimuli yang di-terima melalui pancaindera. Berdasarkan hal tersebut pada umumnya guru BK sudah baik dalam memaknai pendidikan KRR untuk siswa SMP. Hanya saja berdasarkan Tabel 1 masih ada (hampir 10%) responden memaknai pendidikan KRR hanya dilakukan dengan konseling pribadi, padahal tidak demikian yang seharusnya. 17,2% responden juga masih ada yang memaknai bahwa pendidikan KRR untuk siswa SMP merupakan hal yang tabu. Ini berarti budaya dan keyakinan guru-guru BK masih cukup ber-
7
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
pengaruh untuk memaknai pendidikan KRR. Ditambah lagi sebagian guru BK menganggap bahwa pendidikan KRR tidak cocok bagi siswa SMP yang usianya dianggap terlalu dini dan sebaliknya pendidikan KRR hanya sesuai untuk anak dewasa. Jika anggapan ini tidak segera diubah maka informasi yang dibutuhkan siswa SMP berkaitan dengan kesehatan reproduksinya tidak akan pernah terpenuhi secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu diambil langkahlangkah untuk lebih memahamkan para guru BK bahwa sudah saatnya pendidikan KRR diberikan kepada siswa SMP. Hasil analisis statitistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sikap terhadap pendidikan KRR dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh guru BK pada SMP. Kondisi ini sesuai dengan teori Green yang menyatakan bahwa sikap merupakan salah satu domain dari faktor pemungkin yang menjadi determinan perilaku spesifik. Sikap merupakan penilaian atau tanggapan seseorang terhadap objek dalam hal ini pendidikan KRR bagi siswa. Faktor sikap pada penelitian ini signifikan sebagai faktor risiko bagi praktik pendidikan KRR, hasil menunjukkan bahwa guru BK yang mempunyai sikap terhadap pendidikan KRR kurang baik mempunyai risiko praktik pendidikan KRR kurang baik pula sebesar 2,7 kali dibanding yang mempunyai sikap terhadap pendidikan KRR baik. Fakta menunjukkan bahwa lebih dari duaperlima (42,2%) guru BK mempunyai sikap yang kurang baik. Sikap yang negatif tersebut terutama terhadap pendidikan KRR diberikan di usia SMP, dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran, dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler, dilaksanakan 2 jam per minggu, serta salah satu materinya adalah proses pembuahan dan kehamilan termasuk dorongan seksual. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya agar sikap yang dimiliki oleh guru BK lebih baik. Menurut Allport, dalam membentuk sikap, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting agar seseorang (guru BK) lebih menerima, merespon, menghargai, dan bertanggungjawab atas pendidikan KRR untuk siswanya. Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui kontribusi masing-masing faktor penelitian terhadap praktik pendidikan setelah diana-
8
lisis secara bersama-sama. Hasil menunjukkan bahwa variabel pengetahuan guru BK tentang pendidikan KRR dan sikap terhadap pendidikan KRR, merupakan faktor predisposisi yang memberikan sumbangan secara signifikan terhadap praktik pendidikan KRR oleh guru BK dengan nilai probabilitas sebesar 98,6%. Artinya jika kita ingin memperbaiki ataupun meningkatkan praktik pendidikan KRR oleh guru BK maka akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan intervensi terhadap variabel-variabel tersebut. Kontribusi Variabel yang paling besar terhadap praktik pendidikan KRR oleh guru BK adalah pengetahuan tentang pendidikan KRR (RP = 12,48). Model persamaan regresi logistik untuk memprediksi (memperkirakan) peluang untuk terjadinya praktik pendidikan KRR oleh guru BK pada siswa SMP yang kurang baik adalah sebagai berikut: p=
1
(1)
1 + e- (a + b1Pengetahuan + b2Sikap) Hal tersebut berarti bahwa seorang guru BK yang mempunyai pengetahuan dan sikap yang kurang baik, maka probabilitas atau risiko praktik pendidikan KRRnya menjadi kurang baik sebesar 86,2%. Oleh karena itu program peningkatan pengetahuan tentang pendidikan KRR dari guru BK dan pengadaan sarana pembelajaran KRR merupakan hal yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu, diikuti program intervensi pada sikap dari guru BK. Hal ini diharapkan dapat menjadi daya ungkit bagi kebijakan kepala sekolah yang akan mendukung program pendidikan KRR bagi siswa. Di samping itu kepala sekolah sebagai kepala institusi sekolah juga bagian penting dalam peningkatan praktik pendidikan KRR oleh guru BK dengan kebijakan-kebijakannya.
Simpulan dan Saran Lebih dari separuh (53,1%) guru BK pada SMP di Kota Semarang telah melaksanakan pendidikan KRR dengan baik. Jumlah guru BK pada SMP di Kota Semarang telah mengikuti pelatihan pendidikan KRR kurang
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
Tabel 2. Hasil Analisis Multivariat Model Akhir Regresi Logistik Berganda dari 4 kali sebesar 85,9% dengan masa kerja > 6 tahun sebesar 79,7%. Duapertiga (64,1%) guru BK pada SMP Kota Semarang mempunyai pengetahuan tentang pendidikan KRR termasuk kate-gori kurang baik, sebagian besar (93,8%) guru BK mempunyai persepsi tergolong baik, dan lebih dari separuh responden (57,8%) mempunyai sikap yang baik terhadap pendidikan KRR. Hasil uji satatistik secara bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pelatihan, pengetahuan tentang pendidikan KRR pada SMP, dan sikap terhadap pendidikan KRR dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh guru BK. Sedangkan variabel masa kerja dan persepsi terhadap pendidikan KRR tidak berhubungan dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh guru BK pada SMP. Determinan yang terbukti berpengaruh terhadap praktik pendidikan KRR guru BK pada SMP secara bersama-sama adalah pengetahuan tentang pendidikan KRR dan sikap terhadap pendidikan. Kontribusi terbesar dari variabel bebas yang diteliti terhadap praktik pendidikan KRR oleh guru BK adalah variabel pengetahuan tentang pendidikan KRR. Berdasarkan hasil simpulan, maka peneliti mempunyai saran kepada: Dinas pendidikan untuk mengadakan kegiatan dalam rangka peningkatan pengetahuan guru BK tentang pendidikan KRR melalui pelatihan, seminar, atau workshop yang dapat diisi oleh tenaga ahli dari Dinas Kesehatan maupun BKKBN Kota Semarang. Sasaran kegiatan ini adalah guru BK yang belum pernah mengikuti kegiatan tersebut sehingga terjadi pemerataan kemampuan diantara guru BK pada SMP. Materi pelatihan, seminar atau workshop diutamakan tentang pentingnya program pendidikan KRR, jenis masalah KRR pada siswa, metode pendidikan KRR, peran guru BK sebagai pendidik, dan materi pendidikan KRR. Dinas Pendidikan merencanakan pengadaan dan melengkapi fasilitas pendidikan terutama penyediaan ba-
han ajar pendidikan KRR. Isi dan materi bahan ajar dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan dan BKKBN Kota Semarang serta mulai melakukan perencanaan pelaksanaan pendidikan KRR untuk siswa yang sinergi dengan program pendidikan lainnya. Pimpinan sekolah agar mengelola program pendidikan KRR untuk siswa oleh guru BK dengan lebih baik, terutama dengan melakukan perencanaan dan evaluasi pada program tesebut. Memberikan dukungan kepada guru BK untuk melakukan pendidikan KRR kepada siswa melalui kebijakan dan stimulus-stimulus baik materi maupun non materi. Peneliti lain agar melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang pendidikan KRR untuk siswa oleh guru BK, khususnya tentang model pendidikan dan bahan ajar yang sesuai.
Daftar Pustaka Ananto, P. 2006. UKS Usaha Kesehatan Sekolah. Bandung: Yrama Widya BKKBN. 2007. Rencana Aksi Nasional Program Kesehatan Reproduksi Remaja, http://hqweb01. bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/ pkrencanaaksinasionalprogramkrr.html, diunduh 10 Maret 2007 Depkes RI. 2007. Interaksi Majalah Informasi & Referensi Promosi Kesehatan. Jakarta No. 3 tahun XI. DKK. 2007. Laporan Program Seksi Remaja Subdin Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kota Semarang. Semarang Fjord, L. and Ames, G. 2009. Reproductive Health in Eight Navies: A Comparative Report on Education, Prevention Services, and Policies on Pregnancy, Maternity/Paternity Leaves, and Chiidcare. Military Medicine, 174 (3): 278 Fransen, R. and Santosa, D. 2009. Young People, Sexual and Reproductive Health and HIV. Bull World Health Organ, 87: 877–879 Frost, J.J. 2008. Trends in US Women’s Use of Sexual and Reproductive Health Care Services, 1995-2002. American Journal of Public Health, 98 (10) Green, L. and Kreuter, M.W. 1991. Health Promotion
9
Suharyo / KEMAS 5 (1) (2009) 1-10
Planning, an Educational and Environmental Approach Ed 2. Amerika: Mayfield Publishing Company Husni, F. 2008. Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja,http://www.suaramerdeka.com/ harian/0503/14/opi04.html Senin, 14 Maret 2005, diunduh Pebruari 2008 Heikkila, K., Nsimies, E.L., Inen, M.H. and Heinonen, S. 2006. Assessment of Attitudes Towards Assisted Reproduction: A Survey Among Medical Students and Parous Women. Gynecological Endocrinology, 22(11): 613–619 Kulczycki, A. 2007. Ethics, Ideology, and Reproductive Health Policy in the United States. Studies In Family Planning, 38 (4) Mevsim, V., Guldal, D., Gunvar, T., Saygin, O. and Kuruoglu, E. 2009. Young People Benefit from Comprehensive Education on Reproductive Health. The European Journal of Contraception and Reproductive Health Care, 14(2): 144–152 Murti, B. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi Jilid I. Yogyakarta: UGM Press Notobroto, B.H. 2008. Pengetahuan dan Sikap Siswa SMU dan Guru Bimbingan Konseling di Jawa Timur terhadap Penyakit Menular Seksual dan AIDS, http://digilib.litbang.depkes. go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-1999-notobroto2c-1817-konseling&q=responden,di unduh September 2008 Obi, S.N. and Ozumba, B.C. 2007. The Impact Of Health Education on Reproductive Health Knowledge Among Adolescents in A Rural
10
Nigerian Community. Journal of Obstetrics and Gynaecology, 27(5): 513 – 517 Orji, E.O and Esimai, S.O. 2003. Gynaecology Introduction Of Sex Education Into Nigerian School:The Paren’s,Teacher’s, And Student’s Perspective. Journal of Obstetrics and Gynaecology, 23(2): 185-188 Rao, R.S.P., Lena, A., Nair, N.S., Kamath, V. and Kamath, A. 2008. Effectiveness Of Reproductive Health Education Among Rural Adolescent Girls: A School Based Intervention Study In Udupi Taluk, Karnataka. Indian J Med Sci, 62 (11) Sugiyono. 2004. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sydsjo, G., Selling, K.E., Karin Nystro¨m, Oscarsson, C. and Kjellberg, S. 2006. Knowledge of Reproduction in Teenagers and Young Adults in Sweden. The European Journal of Contraception and Reproductive Health Care, 11(2): 117–125 Turaeni, T. 2008. Pelaksanaan Pengajaran Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR) Sekolah Menengah atas Negeri (SMAN) Binaan Puskesmas Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) di Kabupaten Majalengka Tahun 2005. http://digilib.litbang. depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res2007-tjutjutura-2323&q=pascasarjana, diunduh 23 Maret 2008 Utomo, I.D. and McDonald, P. 2009. Adolescent Reproductive Health in Indonesia: Contested Values and Policy Inaction. Studies In Family Planning, 40(2): 133–146
HUBUNGAN PEMBERIAN PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG TUMBUH KEMBANG BALITADI DESA KEDUNGRANDU KEC. PATIKRAJA TAHUN 2012 1
Lisnawati , Wilis Dwi Pangesti
2
Kebidanan DIII, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto E- mail :
[email protected] ABSTRACT Background: The infant and under-five mortality rate in Indonesia is the highest in ASEAN, the main cause is the delay in accessing health services due to lack of parental attention or lack of facilities or human resources (HR). Mother as a nearest caretaker should be more aware of children's growth process and the factors that influence the process, through the public health education, group or individual are expected to gain their knowledge about good health and can affect their behavior of monitoring growth and development, especially in babies. Research objectives: RELATIONSHIP BETWEEN GIVING HEALTH EDUCATION AND MOTHERS’ KNOWLEDGE ABOUT GROWTH AND DEVELOPMENT OF CHILDREN IN KEDUNGRANDU KEC. PATIKRAJA YEAR 2012 Research methods: descriptive correlation using the cross-sectional approach (Cross Sectional) to determine the relationship between two variables. The study location is in Kedungrandu, Patikraja. The study samples are mothers who have toddler (85 respondents) by quota sampling technique; measuring tool used was a questionnaire. Results: Most respondents aged around 20-35 years as many as 58 people (68.2%), parity> 2 children by 55 people (64.7%) with low levels of education as many as 66 people (77.6%) whereas for Employment most respondents did not work as many as 67 people (78.8%) and have an income of less than Rp.795.000, - or as many as 68 people (80%). In addition, based on the results of calculations using the chi-squer formula x2 value of 41.203 and p_value (sig) 0.000. While the degree of correlation between two variables can be seen from the coefficient of contingency that is equal to 0.571. This shows there are positive and significant correlation between the provision of health education with the increase in Knowledge About Baby Growth Capital Village District Kedungrandu Patikraja, even though the correlation is quite enough. Suggestion: It is recommended further research to further refine by examining all possible variables that can affect growth and development of the knowledge capital of a toddler. Keywords: Health Education, Knowledge and Growth Development of Toddlers
PENDAHULUAN
0.6 per 1000 kelahiran hidup. Seorang anak balita
dalam proses tumbuh kembangnya sangat
indonesia adalah tertinggi di negara ASEAN
tergantung terhadap keberadaan ibu, Dan
lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan
pendidikan kesehatan itu sendiri pada
kematian
hakekatnya adalah suatu kegiatan atau
Angka
kematian
anak
ini,
bayi
namun
dan
beberapa
penyebab utama adalah keterlambatan
usaha
mengakses
kesehatan.
kesehatan kepada masyarakat, kelompok
Keterlambatan ini dapat disebabkan karena
atau individu. Dengan harapan bahwa
kurang
pelayanan
untuk
menyampaikan
pesan
orangtua
atau
dengan adanya pesan tersebut, masyarakat,
sumber
daya
kelompok atau individu dapat memperoleh
manusia (SDM). Angka kematian bayi di
pengetahuan tentang kesehatan yang baik.
Banyumas pada tahun 2010 sebesar 1,56
Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan
per
menurun
dapat berpengaruh terhadap perilakunya
dibandingkan tahun 2009 sebesar 8,07 per
dalam pola asih,asuh dan asah sehingga
1000 kelahiran hidup dan angka kematian
dapat menurunkan angka kematian balita
balita 1.13 per 1000 kelahiran hidup,
ataupun permasalahan tumbuh kembang
mengalami peningkatan dibanding AKABA
balita.
perhatiannya
kurangnya
1000
sarana
atau
kelahiran
hidup
(Angka Kematian Balita) tahun 2009 sebesar
34
METODE PENELITIAN
kuesioner
dikumpulkan
kembali
pada
peneliti
Penelitian ini menggunakan desain diskriptif korelasi, dengan menggunakan pendekatan potong lintang (Cross Sectional) Besar
sampel
yang
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA Instrumen
diambil
yang
digunakan
dalam
data
yaitu
dengan
menggunakan sampling kuota dengan besar
pengumpulan
populasi
balita
menggunakan kuesioner.
sebanyak
560
di
Desa
balita.
Kedungrandu Besar
sampel TEKNIK ANALISA DATA
ditentukan dengan rumus Slovin sebagai
Data yang terkumpul , terlebih dahulu
berikut :
diteliti melalui proses Editing. Bila ada data
n= N 2
yang kurang lengkap, segera dilakukan
1 + (N.e ) Keterangan :
pembetulan dengan mendatangi kembali
n : jumlah sampel
responden
yang
bersangkutan
N : Jumlah Populasi
melengkapi
data
kemudian
e : Standar eror ( 10 % )
melalui proses Coding, Scoring, Tabulating
Penghitungan besar sampel :
dan Analizing (Arikunto, 2010; h. 278-280)
n =
selanjunya
Analisis data dalam penelitian ini
560 2
=
untuk
1 + ( 560 × 0,1 )
dilakukan dua tahap, yaitu :
560
1.
Penyajian data secara deskriptif dalam
6,6
bentuk table distribusi frekuensi dari
= 84,8, dibulatkan
masing-masing
=
melengkapi hasil penelitian
85, jadi jumlah sampel 2.
minimal 85 ibu yang mempunyai balita ini sebanyak
mempunyai
balita
di
mencari
hubungan
untuk antara
pemberian pendidikan kesehatan dan
Jadi jumlah sampel yang diambil dalam penelitian
Untuk
variable
85 ibu
yang
pengetahuan ibu dengan menggunkan
wilayah
Desa
Chi
Square,
kemudian
untuk
mengetahui kuat lemahnya hubungan
Kedungrandu
dengan Corelation Spearman. Adapun jika syarat uji Chi Square tidak
TEKNIK PENGUMPULAN DATA Data yang dikumpulkan meliputi data
terpenuhi maka dipakai uji alternatif
primer yang meliputi data-data mengenai
yaitu alternatif uji Chi Square untuk
variable penelitian diperoleh dengan cara
tabel 2x2 adalah uji Fisher’s exact test.
memberikan
kuesioner
pada
setiap
responden, kemudian responden diberi waktu
mengisi
kuesioner
selanjutnya
HASIL DAN PEMBAHASAN
35
Tabel 1 Karakteristik Responden Karaktristik Umur < 20 tahun dan > 35 tahun 20-35 tahun Paritas < 2 anak > 2 anak Pendidikan Rendah Tinggi
Frekuensi (n)
Prosentase (%)
27 58
31,8 68,2
30 55
35.3 64.7
66
77,6
19
22,4
Pekerjaan Bekerja
18
21.2
Tidak Bekerja
67
78.8
> Rp.795.000,-
17
20
< Rp.795.000,-
68
80
53
62,4
32
37,6
Pendapatan
Pendidikan Kesehatan Ya Tidak Sumber : Data Primer tahun 2012
responden berpendidikan rendah sebanyak
Usia responden diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu < 20 tahun dan
55 orang (62,4%), kemudian untuk
> 35 tahun dan 20-35 tahun. Untuk
pekerjaan sebagian besar responden tidak
responden yang terbanyak berumur 20-35
bekerja yaitu sebanyak 67 orang (78,8%)
tahun yaitu 62 orang atau sebesar 76,5%.
dan untuk penghasilan terbanyak responden adalah per bulan < Rp.795.000
Paritas Ibu di Desa Kedungrandu
sebanyak 68 orang (80%) selain itu terdapat
Kecamata Patikraja terbanyak adalah
53 orang atau sebesar (62,4%) yang pernah
memiliki > 2 anak yaitu 55 orang (64,7%).
mendapatkan pendidikan kesehatan
Sedangkan untuk pendidikan sebagian besar Tabel 2
tumbuh kembang balita.
Distribusi Frekuensi Pemberian Pendidikan Kesehatan Tentang Tumbuh Kembang Balita Di Desa Kedungrandu Kecamatan Patikraja tahun 2012 Pendidika Kesehatan Ya
Frekuensi 53
(%) 62,3
Tidak
32
37,6
Jumlah
85
100
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat
kembang balita dan terdapat 32 responden
dijelaskan bahwa terdapat 53 responden
(37,6%) yang tidak pernah mendapatkan
(62,3%)
pendidikan kesehatan tentang tumbuh
yang
pernah
mendapatkan
pendidikan kesehatan tentang tumbuh
36
kembang balita di Desa Kedungrandu
tersebut dilaksanakan. (Notoatmodjo, 2003;
Kecamatan Patikraja.
h. 12)
Dalam
mengubah
Dengan
perilaku
demikian
dapat
kesehatan melalui pendekatan edukasi
disimpulkan bahwa gambaran pemberian
(pendidikan kesehatan) dapat menimbulkan
pendidikan kesehatan di Desa Kedungrandu
dampak perubahan perilaku yang lebih
cukup baik dilihat dari hasil penelitian
lamat dari pada dengan pendekatan melalui
bahwa sebagian besar responden 62,3%
tekanan (enforcement) tetapi akan lebih
telah mendapatakan pendidikan kesehatan
langgeng (sutainable) karena didasari atas
oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan
kesadaran
atau perawat.
terhadap
Tabel 3
tujuan
perilaku
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Tentang tumbuh Kembang Balita Di Desa Kedungrandu kecamatan Patikraja tahun 2012.
Pengetahuan
Frekuensi
(%)
Baik
59
69,4
Tidak Baik
26
30,5
Jumlah
85
100
pendidikan
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat
kesehatan
itu
dijelaskan bahwa terdapat 59 responden
(Notoatmodjo,2003;
(69,4%) yang memiliki pengetahuan baik
pengetahuan seseorang terhadap sesuatu
dan terdapat 26 responden (30,5%) yang
diperoleh dari berbagai informasi dan
memiliki pengetahuan tidak baik.
sumber. secara
yang sangat penting dalam perubahan
baik
melalui
pelatihan
dan
yaitu melalui pembicaraan teman dan
pengetahuan dimana pengetahuan tersebut
keluarga, membaca majalah atau surat
akan menimbulkan kesadaran (Awaresess)
kabar, mendengarkan radio, melihat televisi
akan suatu stimulus dan seseorang mulai
dan diperoleh berdasarkan pengalaman
tertarik serta mulai mempertimbangkan
sendiri (Muslikhudin, 2009).
baik buruknya stimulus tersebut bagi dirinya
Dengan
selanjutnya orang tersebut mulai mencoba akhirnya
dari
informasi yang tidak tersusun secara baik
kesehatan diharapkan dapat meningkatkan
dan
diperoleh
Dan
pendidikan formal, dapat juga berasal dari
perilaku seseorang, melalui pendidikan
baru
pengetahuan
121).
pendidikan yang direncanakan dan tersusun
Pengetahuan merupakan domain
perilaku
h.
sendiri
demikian
dapat
disimpulkan bahwa gambaran pengetahuan
dapat
ibu
berperilaku sehat sesuai tujuan pemberian
37
yang mempunyai
balita
di Desa
Kedungrandu cukup baik dilihat dari hasil
(69,6%) memiliki pengetahuan yang baik.
penelitian bahwa sebagian besar responden
Tabel 4
Tabulasi silang antara Pemberian Pendidikan Kesehatan dengan Pengetahua Ibu Tentang Tumbuh Kembang Balita Di Desa Kedungrandu Kecamatan Patikraja tahun 2012
Pendidikan
Pengetahuan
Kesehatan
Baik n 50 9 59
Ya Tidak Jumlah
Tidak Baik
(%) 94,3 28,1 69,4
n 3 23 26
(%) 5,7 1,9 0,5
Total n (%) 53 100 32 100 85 100
X2
p value
41,203
0,000
Desa Kedungrandu Kecamatan Patikraja.
Berdasarkan tabel 4 di atas dapat
(Syarifudin, 2010).
dijelaskan bahwa terdapat 50 responden (94,3%) yang memiliki pengetahuan baik dari 53 responden
Hasil Penelitian sesuai dengan hasil
yang mendapatkan
penelitian
pendidikan kesehatan dan terdapat 23 (71,9%)
responden
yang
tidak
kesehatan.
mendapatkan
dengan
Chi
Square
menggunakan
uji
statistik
oleh
Herni
yang bermakna antara pemberian informasi dengan tingkat pengetahuan menstruasi
pendidikan
Hasil penghitungan
dilakukan
Rachmawati (2010), bahwa ada hubungan
memiliki
pengetahuan tidak baik dari 32 responden yang
yang
siswi SD N 1 Babakan Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalinga dengan (p=0,015). Dan penelitian lain yang pernah dilakukan
menghasilkan nilai = 41,203 dan p = 0,000.
dalam hal pendidikan kesehatan adalah
Sedangkan tingkat korelasi antara kedua
oleh sukesi (2011) yang menyatakan ada
variabel dapat dilihat dari nilai besarnya
pengaruh yang bermakna antara pendidikan
hubungan korelasi (Contingency Coefficient)
kesehatan dengan pengetahuan responden
yaitu sebesar 0,571.
terhadap praktek perawatan kaki diabetik di
Sesuai hasil pengolahan data nilai
rawat inap RSUD banyumas, bahwa dengan
x hitung sebesar 41,203 lebih besar dari
nilai t=-12.030 dan nilai p=0,000 dan
nilai Chi Square tabel (df =1) sebesar 3,841
didukung dengan penelitian
dan
< α = 0,05. Hal ini
Mega (2011) yang menyimpulkan bahwa
menunjukan bahwa hipotesis nol (Ho)
adanya pengaruh pendidikan kesehatan
ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian
terhadap perilaku mencuci tangan pada
dapat
terdapat
siswa SDN 01 Gonilan dengan Hasil analisis
hubungan yang cukup antara Pemberian
uji paired t-test pada kelompok eksperimen
Pendidikan Kesehatan dengan Pengetahuan
diperoleh hasil nilai ρ = 0,000 dan perilaku ρ
Ibu tentang Tumbuh Kembang Balita di
= 0,000.
2
p = 0,000
disimpulkan
bahwa
38
Hadiatma,
Pendidikan
KESIMPULAN
kesehatan
adalah
menyampaikan
pesan
Berdasarkan pada hasil penelitian
kesehatan kepada masyarakat, kelompok
dan pembahasan di peroleh kesimpulan
atau individu, dengan harapan masyarakat,
bahwa sebagian besar responden memiliki
kelompok atau individu dapat memperoleh
pengetahuan baik dan telah mendapatkan
pengetahuan tentang kesehatan yang baik.
pendidikan
kesehatan
Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan
hubungan
yang
dapat berpengaruh terhadap perilakunya
pemberian pendidikan kesehatan dengan
(Notoatmodjo, 2007; h. 116).
peningkatan
usaha
untuk
Dan
pengetahuan
tumbuh
seseorang
serta
terdapat
bermakna
pengetahuan
kembang
antara
ibu
balita
tentang di
desa
terhadap sesuatu diperoleh dari berbagai
kedungrandu kecamatan patikraja tahun
sumber informasi dan sumber baik melalui
2012.
pelatihan dan pendidikan formal, maupun
Dalam Upaya Peningkatan derajat
berasal dari informasi yang tidak tersusun
kesehatan masyarakat khususnya tentang
secara baik yaitu melalui pembicaraan
pertumbuhan dan perkembangan Balita,
teman dan keluarga, membaca majalah
Petugas kesehatan diharapkan lebih aktif
atau surat kabar, mendengarkan radio,
dalam pemberian pendidikan kesehatan
melihat televisi dan diperoleh berdasarkan
dalam upaya meningkatakan pengetahuan
pengalaman sendiri (Muslikhudin, 2009). Dengan
demikian
masyarakat berkaiatan tumbuh kembang
dapat
Balita sehingga tumbuh kembang balita
disimpulkan bahwa ada hubungan yang
dapat lebih optimal.
bermakna secara statistik antara Pemberian Pendidikan Kesehatan dengan Pengetahuan Ibu Tentang Tumbuh Kembang Balita di
DAFTAR PUSTAKA
Desa Kedungrandu Kecamatan Patikraja
Anonim,
dengan tingkat kekuaatan hubungan cukup.
(PWS-KIA)
tentang tumbuh kembang balita telah menimbulkan
Wilayah
Puskesmas
Patikraja
tahun 2010. Purwokerto.
mempengaruhi pengetahauan ibu yang akan
Pemantauan
Setempat, Kesehatan Ibu Dan Anak
Melalui pemberian pendidikan kesehatan
selanjutnya
2010.
respon
Anonim, 2010. Profil Kesehatan Kabupaten
dalam bentuk sikap terhadap objek yang
Banyumas tahun 2010. Purwoketo
diketahuinya
: Depkes.
dan
akhirnya
akan
menimbulkan tindakan (action) terhadap Anonim, 2011. Profil Desa Kedungrandu
atau sehubungan dengan pola asuh, asah
Kecamatan Patikraja Kabupaten
dan asih dalam upaya mengoptimalkan
Banyumas. Purwokerto
pertumbuhan dan perkembangan balita.
39
Machfoedz,I.,2008,Teknik Membuat Alat Ukur
Arikunto, S., 2010, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta
Penelitian,Yogyakarta
:
Fitramaya
: Rineka Cipta Ilmu
Maryunani,2010,
anak
dalam Kebidanan, Jakarta : Trans
Cahyaningsih,2011,Pertumbuhan Perkembangan
Kesehatan
Anak
dan
Info Media
Remaja,Jakarta : Trans Info Media Moersintowati B. Narendra, Titi S. Sularyo, Depkes RI,2010, Pedoman Pelaksanaan Stimulasi,Deteksi Dini
Tumbuh
dan
Soetjaningsih, Hariyanto Suyitno, Ranuh, 2010. Tumbuh Kembang
Intervensi
Kembang
Anak dan Remaja, Jakarta : Sagung
Anak,
Seto
Jakarta : Depkes RI Dinkes
Kesehatan
Mulyadi, 2011, UMR/UMK Propinsi Jawa
Kabupaten Bayumas Tahun 2010,
Tengah, Non Sektor pada tahun
Banyuams : Dinkes Banyuams
2012.
Banyumas,2010,Profil
mr/jawa_tengah/kabupaten_bany Herni Rachmawati, 2010. Hubungan Tingkat
umas/non_sektor/2012> ,di akses
Pendidikan Orang Tua, Pemberian
tanggal 9 Maret 2012.
Informasi Dan Pola Asuh Dengan
Muslikhudin,2009.Hubungan antara Tingkat
Tingkat Pengetahuan Menstruasi
Pengetahuan Ibu Tentang Tumbuh
Siswi SD N 1 Babakan Kecamatan
Kembang Anak Dengan Reaksi
Kalimanah Kabupatn Purbalinga,
Sibling Rivalry Di TK Pertiwi Maos
Purwokerto: Fikes. UMP
Cilacap,Cilacap
:
Nuha
Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan
Medika
Perilaku Kesehatan , Jakarta : Rineka Cipta
Machfoedz, 2009, Metode Penelitian Bidang Kesehatan,
AKPER
Serulingmas Cilacap
Hikmawati,2011.Promosi Kesehatan Untuk Kebidanan,Yogyakarta
:
Keperawatan,
Notoatmodjo,
Kebidanan, Kedokteran, Yogyakarta
S.,2005,
Metodologi
Penelitian Kesehatan, Jakarta :
: Fitramaya
Rineka Cipta
40
Notoatmodjo,
Metodologi
S.,2010,
Sopiyudin, dahlan, 2011, Statistik Untuk
Penelitian Kesehatan, Jakarta :
Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta
Rineka Cipta
: Salemba Medika Notoatmodjo,S.,2007,Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni,Jakarta :
Sugiyono,
2011,
Metobologi
Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R & D,
Rineka Cipta
Bandung : Cv.Alfabeta Kesehatan
Nurhayati,2011.Pendidikan Dalam
Meningkatakan
Pengetahuan,
Sikap,
Sukesi,
2011,
Pengaruh
Pendidikan
Kesehatan Tentang Perawatan Kaki
Perilaku
Terhadap Merokok Pada Remaja Di
Terhadap
SMP
Praktek Perawatan Kaki Pasien
Negeri
Banda
Pengetahuan
dan
Diabetik Di Rawat Inap RSUD
Aceh,Yogyakarta : FK.UGM
Banyumas, Purwokerto : Fikes. UMP Sara
Herlina,
2009,
Karakteristik
Hubungan
dengan
Tingkat
Syarifudin, 2010, Panduan TA Keperawatan
Pengetahuan
dan
Kebidanan
Dengan
SPSS,
Yogyakarta : Grafindo Litera Media Setiawan,
Saryono,
2010,
Metodologi
Penelitian Kebidanan DIII,S1 dan
Yuliandari, 2009. Hubungan Pengetahuan
S2, Yogyakarta : Nuha Medika
dengan Sikap Tentang Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Pada Guru
Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar,
TK Di Kecamatan Banguntapan
Jakarta : PT rajaGrafindo Persada.
Kabupaten Bantul, Yogyakarta : FK.UGM
Soetjiningsih,1995,Tumbuh
Kemabang
anak,Jakarta : EGC
41
JURNAL NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 163 – 168
Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnursing
HUBUNGAN PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN KECEMASAN ORANG TUA PADA ANAK HOSPITALISASI Asni Indrayani1), Agus Santoso2) 1) 2)
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (email:
[email protected]) Staf pengajar Departemen Dasar Keperawatan Keperawatan Dasar Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro (email:
[email protected]) Abstract
Hospitalization is defined as a process for a reason or an emergency plan that requires the child to stay in the hospital undergoing treatment and care to return back home. During the hospitalization of children, not only the stress experienced by children who are treated but also their parents. Lack of parent knowledge is lead to new stressors in the elderly, which can cause anxiety. The purpose of this study was to determine the relationship between health education and anxiety of parents whose children were hospitalized (hospitalization). This study design is descriptive correlation. Samples were taken by using accidental sampling technique, total of 34 respondents. The results of statistical calculation shows p-value = 0.028. The p-value is < 0.05 indicating a significant relationship between health education and parental anxiety. The study found a significant relationship between health education with parental anxiety, the researchers gave the advice nurse at the hospital in order to provide comprehensive health education to patients and families to cope with anxiety. Keywords
: Health Education, Parent Anxiety, Hospitalization Abstrak
Hospitalisasi diartikan sebagai suatu proses karena suatu alasan darurat atau berencana yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali kerumah. Selama proses hospitalisasi anak, stress tidak hanya dialami oleh anak yang dirawat tetapi juga orang tua. Kurangnya pengetahuan orang tua memicu timbulnya stressor baru pada orang tua, yang dapat menimbulkan kecemasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pendidikan kesehatan dengan tingkat kecemasan orang tua yang anaknya dirawat di rumah sakit (hospitalisasi). Desain penelitian ini yaitu deskriptif korelasi. Sampel diambil dengan menggunakan teknik accidental sampling, sebanyak 34 responden. Hasil perhitungan statistik menunjukkan p-value = 0,028. Nilai p-value < 0,05 yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dengan kecemasan orang tua. Hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dengan kecemasan orang tua, maka peneliti memberikan saran perawat di rumah sakit agar dapat memberikan pendidikan kesehatan yang lengkap pada pasien dan keluarga untuk mengatasi kecemasan. Kata kunci : Pendidikan Kesehatan, Kecemasan orang tua, Hospitalisasi
JURNAL NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 164
Pendahuluan Hospitalisasi diartikan sebagai suatu proses karena suatu alasan darurat atau berencana yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali kerumah. Selama proses hospitalisasi anak, stress tidak hanya dialami oleh anak yang dirawat tetapi juga orang tua anak sehingga asuhan keperawatan tidak hanya terfokus pada anak tetapi juga pada orang tuanya. Orang tua dihadapkan pada keadaan dimana dia diharuskan untuk secara bersamaan menerima dua peran apakah dia harus menunggui anaknya di rumah sakit ataukah berada di rumah. Orang tua dengan anak hospitalisasi akan mudah mengalami kecemasan dan rasa bersalah terutama ketika anaknya menderita sakit yang dianggap cukup berbahaya. Selama hospitalisasi orang tua akan merasa cemas dan takut terhadap kondisi anaknya. Kecemasan ini dapat meningkat apabila orang tua merasa kurang informasi terhadap penyakit anaknya dari rumah sakit terkait sehingga menimbulkan reaksi tidak percaya apabila mengetahui tiba-tiba penyakit anaknya serius. Kurangnya pengetahuan orang tua memicu timbulnya stressor baru pada orang tua, yang dapat menimbulkan kecemasan (Supartini, 2004). Cemas bisa terjadi pada siapa saja, termasuk juga pada orang tua dalam menjalankan perannya. Hal itu bisa terjadi terutama saat ada anggota keluarga yang sakit, khususnya anak. Ansietas atau kecemasan dapat meningkatkan atau menurunkan kemampuan seseorang untuk memberikan perhatian. Ketika dihadapkan pada kondisi perasaan yang tidak menentu dan tidak jelas sumbernya yang berasal dari antisipasi terhadap adanya bahaya atau suatu ancaman, ketika dihadapkan pada perubahan dan kebutuhan untuk melakukan tindakan yang berbeda, cemas akan dialami seseorang (Potter, 2005). Adanya pemahaman pada orang tua sangat penting dilakukan oleh petugas kesehatan. Hal ini berkaitan dengan kenyamanan selama tindakan. Informasi yang diberikan menggunakan metode pendidikan kesehatan ada banyak, yang paling utama adalah pemberian pengetahuan tentang penyakit anak dan jenis tindakan medis. Pendidikan kesehatan diperlukan untuk memperoleh pengetahuan ketrampilan yang dibutuhkan klien atau keluarga sebelum, selama dan setelah tindakan dilakukan (Bani, 2001). Tujuan dari pendidikan kesehatan tergambar dalam makna dari pendidikan kesehatan itu sendiri. Pendidikan kesehatan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan atau usaha individu untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok individu, dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut masyarakat, kelompok atau individu dapat menumbuhkan pengetahuan tentang kesehatan. Pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya, dengan kata lain pendidikan tersebut dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari pelayanan keperawatan. Pendidikan kesehatan bagi klien adalah satu dari peran yang paling penting bagi perawat yang bekerja di berbagai lahan asuhan kesehatan. Klien dan anggota keluarga berhak untuk mendapat pendidikan kesehatan, sehingga mereka memiliki kepandaian dan mampu membuat keputusan yang berkaitan dengan kesehatan dan gaya hidupnya. Pendidikan kesehatan penting bagi klien karena klien berhak untuk mengetahui dan mendapat informasi tentang diagnosis, prognosis, pengobatan dan resiko yang dihadapinya (Potter, 2005). Observasi dan wawancara memperlihatkan bahwa orang tua mengalami kecemasan yang dimanifestasikan dengan adanya gangguan tidur, gangguan
JURNAL NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 165
dalam makan, berdebar-debar, sulit untuk berkonsentrasi, bingung, sedih, mudah menangis, mengkhawatirkan anak dan merasa gagal dalam menjaga anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pendidikan kesehatan dengan tingkat kecemasan orang tua pada anak hospitalisasi. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perawat untuk dapat memberikan asuhan keperawatan tidak hanya kepada pasien tetapi juga keluarga pasien dalam mengatasi kecemasan akibat dari hospitalisasi pada anggota keluarganya serta mampu menemukan solusi untuk mengatasi kecemasan orang tua melalui pendidikan kesehatan yang bermutu. Metode Jenis penelitian adalah kuantitatif non eksperimental. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi, dengan pendekatan cross sectional. Cara penetapan responden menggunakan teknik accidental sampling dengan besar sampel yang diperoleh dalam waktu 1 bulan pada 10 April-15 Mei 2012 sebanyak 34 sampel. Instrument penelitian yang digunakan berupa kuesioner pendidikan kesehatan untuk mengukur lengkap tidaknya pendidikan kesehatan diberikan yang memodifikasi dari Standar Prosedur Operasional, dokumen Pemberlakuan Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Perawat/ Bidan di Rumah Sakit, dan dokumen Asuhan Keperawatan dan kuesioner tingkat kecemasan orang tua berdasarkan kuesioner kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Kuesioner pendidikan kesehatan terdiri dari 20 item pernyataan yang telah dinyatakan valid dan reliabel dengan melalui uji content validity pada dua orang ahli, pilot study pada 20 responden yang memenuhi kriteria inklusi penelitian, dan dianalisa dengan rumus teknik korelasi Pearson Product Moment. Uji validitas menghasilkan 20 item pernyataan dengan rentang nilai r 0,463-0,878. Uji reliabilitas menggunakan rumus Alfa Cronbach dan didapatkan 20 item pernyataan reliable dengan nilai alfa > 0,6. Kuesioner diberikan pada orang tua dengan anak hospitalisasi yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji statistik Chi Kuadrat (χ²) dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil Penelitian
Tabel 1 Distribusi frekuensi kelengkapan pendidikan kesehatan dan tingkat kecemasan orang tua di rumah sakit pada 10 April-15 Mei 2012 n = 34
Kecemasan orang tua Total Prosentase Tidak Kecemasan cemas ringan Lengkap 15 8 23 67, 6% Pendidikan kesehatan Tidak lengkap 2 9 11 32, 4% Total 17 17 34 100% Prosentase 50% 50% 100% 100% Berdasarkan tabel 1, pendidikan kesehatan diberikan secara lengkap sebanyak 23 responden (67, 6%). Sebanyak 11 responden (32, 4%) pendidikan kesehatan diberikan dengan tidak lengkap. Kecemasan orang tua pada anak hospitalisasi yaitu kecemasan ringan sebanyak 17 responden (50%) dan tidak cemas sebanyak 17 responden (50%).
JURNAL NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 166
Tabel 2 Hubungan pendidikan kesehatan dengan kecemasan orang tua di rumah sakit pada 10 April-15 Mei 2012 n = 34 Kecemasan orang tua Total p-value X2 Tidak Kecemasan cemas ringan Lengkap 15 8 23 44, 1% 23, 5% 67, 6% Pendidikan kesehatan Tidak 2 9 11 0, 028 4, 838 lengkap 5, 9% 26, 5% 32, 4% 17 17 34 Total 50% 50% 100% Berdasarkan tabel 2, hasil perhitungan statistik menunjukkan p-value = 0,028. Nilai p-value < α (0,05). Sedangkan nilai X2 hitung = 4.838 dimana X2 hitung > X2 tabel (3, 481) yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dengan kecemasan orang tua. Pembahasan Sebanyak 23 responden (67,6%) mendapatkan pendidikan kesehatan dengan lengkap, dan 11 responden (32, 4%) mendapatkan pendidikan kesehatan dengan tidak lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan kesehatan diberikan dengan lengkap, tetapi masih ada sebagian kecil yaitu 32, 4% yang diberikan dengan tidak lengkap, dimana ketidaklengkapan pemberian pendidikan kesehatan sebagian besar terletak pada pemberian pendidikan kesehatan yang tidak menggunakan alat peraga untuk memudahkan klien dalam memahaminya. Sebanyak 14 responden tidak mendapatkan pendidikan kesehatan yang disertai dengan alat peraga. Kelengkapan informasi yang diberikan selama pendidikan kesehatan pada orang tua anak diperlukan agar orang tua dapat memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang dibutuhkan sebelum, selama dan setelah tindakan dilakukan, termasuk segala bentuk pelayanan yang diberikan di Rumah Sakit karena pendidikan kesehatan adalah bagian dari pelayanan kesehatan. Pendidikan kesehatan diperlukan untuk memperoleh pengetahuan keterampilan yang dibutuhkan klien atau keluarga sebelum, selama, dan setelah tindakan dilakukan (Bani, 2001). Pendidikan kesehatan terutama pendidikan pasien menjadi salah satu hal yang penting yang menjadi standar dalam akreditasi Standar Akreditasi Rumah Sakit yang baru versi 2012 dari KARS yaitu Standar Pelayanan Berfokus Pada Pasien. Dalam standar ini, bab 7 mengupas tentang Pendidikan Pasien dan Keluarga (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2012). Akan sangat baik jika setiap pendidikan kesehatan diberikan secara lengkap pada setiap klien karena kebutuhan informasi adalah hak bagi klien dalam pelayanan kesehatan. Informasi yang lengkap dan jelas akan memberikan kepercayaan klien terhadap pemberi pelayanan dan mencegah adanya kesalahpahaman serta kejadian mal praktik dalam pelayanan keperawatan. Sebanyak 17 responden (50%) mengalami kecemasan ringan dan 17 responden (50%) lainnya tidak cemas. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa sebagian dari orang tua tidak mengalami kecemasan. Adapun kecemasan yang dialami oleh sebagian orang tua lain berada pada
JURNAL NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 167
rentang kecemasan ringan. Kecemasan orang tua sebagian besar ditunjukkan dengan perasaan cemas, berfirasat buruk, mudah tersinggung, gangguan dalam berkonsentrasi dan juga gangguan tidur. Hal tersebut terlihat dari skor total pada gejala perasaan cemas yang menduduki peringkat tertinggi. Orang tua juga mengeluhkan gejala ringan pada lambung. Total skor pada gejala gangguan pencernaan mencapai 34. Beberapa orang tua tampak gelisah, namun masih dapat menyelesaikan masalah dengan efisien. Orang tua masih mampu menerima rangsangan yang komplek. Respon kecemasan ringan yang meliputi respon fisiologis, kognitif, maupun perilaku dan emosional (Semiun, 2006). Perkembangan kondisi anak yang membaik dan pengalaman yang sudah dirasakan ikut menyebabkan penurunan kecemasan orang tua bahkan sampai pada level tidak cemas atau hanya sedikit mengalami gejala kecemasan namun tidak masuk dalam kategori cemas berdasarkan skala kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) karena kecemasan adalah suatu respon. Kecemasan sebagai suatu respon merupakan reaksi terhadap pengalaman tertentu, suatu keadaan pada seseorang yang diketahui dari yang dia katakan, bagaimana dia bertindak, atau dari perubahan fisiologis yang dihubungkan dengan reaksi terhadap pengalaman ini (Kaplan, 1998). Hasil perhitungan statistik menunjukkan p-value = 0, 028. Nilai p-value < 0, 05 yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dengan kecemasan orang tua. Semakin baik dan semakin lengkap pendidikan kesehatan diberikan maka kecemasan orang tua akan semakin berkurang seiring bertambahnya informasi pada orang tua. Informasi yang jelas sangat penting bagi klien atau keluarga untuk mengatasi kecemasan akibat kurangnya informasi. Kurangnya pengetahuan orang tua memicu timbulnya stressor baru pada orang tua yang dapat menimbulkan kecemasan (Long, 1997). Tingkat kecemasan berkurang bila diberikan pendidikan kesehatan ketimbang tidak diberikan (Herliana, 2010). Kecemasan yang terjadi karena kurangnya informasi mengalami penurunan setelah pemberian informasi dan pelayanan keperawatan yang diberikan dari Rumah Sakit. Segala bentuk informasi yang diberikan, pengetahuan yang diberikan, diharapkan dapat berpengaruh pada perubahan dalam tingkat kecemasan orang tua. Pengetahuan tentang kesehatan diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya, dengan kata lain pendidikan tersebut dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran (Notoatmodjo, 2003). Karakteristik individu dari orang tua dan kondisi klien juga berpengaruh pada tingkat kecemasan orang tua. Usia mempengaruhi kecemasan yang dialami orang tua, dimana hasil dari uji statistik antara usia dengan kecemasan menunjukkan p-value = 0, 034. Nilai p-value < α (0,05). Sedangkan nilai X2 hitung = 4.484 dimana X2 hitung > X2 tabel (3, 481) yang menunjukkan hubungan signifikan antara antara usia dan kecemasan. Semakin dewasa usia seseorang, semakin baik, makin konstruktif dalam menggunakan koping dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam hidupnya. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih mudah percaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaanya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya (Hawari, 2001). Namun faktor usia tidak mutlak mempengaruhi kecemasan. Faktor-faktor lain bisa mempengaruhi kecemasan orang tua misalnya dalam hal pendidikan maupun pekerjaan, sosial ekonomi dan budaya dan faktor lain.
JURNAL NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 168
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini adalah: ada hubungan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dengan kecemasan orang tua dimana nilai p-value = 0, 028. Nilai p-value < 0, 05. Perawat diharapkan selalu memberikan pendidikan kesehatan yang lengkap bagi semua orang tua untuk mengatasi kecemasan. Akan sangat baik jika setiap pendidikan kesehatan diberikan secara lengkap pada setiap klien karena kebutuhan informasi adalah hak bagi klien dalam pelayanan kesehatan. Institusi pendidikan keperawatan diharapkan dapat menjadikan pendidikan kesehatan sebagai salah satu kompetensi dalam praktik klinik bagi mahasiswa guna menunjang terwujudnya pelayanan keperawatan yang bermutu dan profesional. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sinwani dan Ibu Musringah atas dukungan dan doa yang telah diberikan. Terima kasih kepada Bapak Agus Santoso S.Kp., M.Kep atas bimbingan dan arahan yang diberikan. penulis juga mengucapkan terima kasih kepada reviewer Ibu Rita Hadi W., S.Kep., M.Kep., Sp.Kom, dan Ns. M. Rofi’i, S.Kp., M.Kep, atas masukan dan saran yang diberikan, tidak lupa pula responden yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Bani S. et al. (2001). Pelayanan Kesehatan Kesehatan Maternal dan Noenatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Barbara, C. Long. (1997). Perawatan Medical Bedah. Bandung: Yayasan Alumni Pendidikan Keperawatan. Hawari, D. (2001). Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Edisi 11. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Herliana. (2010). Hubungan pendidikan kesehatan dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi seksio caesarea di ruang bersalin RS. Zahirah Jakarta Selatan. Diakses dari http://library.upnvj.ac.id/index.php?p=show_detail&id=5606 pada 8 Juni 2012. Kaplan, HI, Sadoch BJ. (1998). Ilmu Keperawatan Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika. Komisi Akreditasi Rumah Sakit. (2012). Standar Pelayanan Berfokus pada Pasien. Diakses dari http://akreditasi-kars.net/spp.php pada 21 Mei 2012. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan ke-2. Jakarta: Rineka Cipta. Potter, Patricia A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC. Semiun, Yustinus. (2006). Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius. Supartini Yupi. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI IBU RUMAH TANGGA DI DESA RUKOH KECAMATAN SYIAH KUALA BANDA ACEH (The relationship between education level and housewives’ health reproduction knowledge) Asiah M.D. Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah Darussalam Banda Aceh E-mail:
[email protected] Abstract A research in the relationship between education level and housewives’ health reproduction knowledge had been conducted. Data was colected from 27 February to 5 March 2009 at Desa Rukoh Syiah Kuala Banda Aceh. The aim of this study is to determine the relationship between education level and housewives’ health reproduction knowledge. The population in the research was 409 housewives in the productive ages at Desa Rukoh. Purposive sampling was applied to gain 35% of sample from the population (144 housewives). Parameters of this study were knowledge, understanding, and awareness towards health reproduction. Data was gained from questionaires. Product-moment correlation was used to analyse the data. The result shows r= 0,533 > rtable = 0,159 (N=144) at 5% significant level. This value indicated that there is a relationship between education level and housewives health reproduction knowledge at desa Rukoh Syiah Kuala Banda Aceh. Key words: Education level and health reproduction PENDAHULUAN Penggunaan istilah Kesehatan Reproduksi menjadi sangat populer sejak pelaksanaan ICPD (International Conference on Population and Development) atau Pertemuan Internasional Kependudukan yang diadakan di Kairo pada tahun 1994. Hak atas kesehatan reproduksi dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, menyebutkan bahwa kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia. Hak atas kesehatan reproduksi termasuk hak mendapat informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi, hak atas kebebasan dan keamanan individu untuk mengatur kehidupan reproduksinya, termasuk untuk hamil dan tidak hamil. Selain itu, juga dijamin hak untuk hidup yaitu dibebaskan dari resiko kematian karena kehamilan, hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas keterjangkauan informasi (Anonymous, 2005). Angka kematian ibu hamil dan melahirkan di Indonesia masih tergolong tinggi. Setiap tahun, 307 orang per 100.000 kelahiran atau 15.700 ibu melahirkan meninggal. Kasus kematian ibu hamil dan
melahirkan banyak terjadi di daerah yang kekurangan tenaga bidan dan akses informasi mengenai kesehatan dan reproduksi sehat kurang memadai (Junaedi, 2005). Banyak faktor yang mempengaruhi peranan wanita sebagai objek maupun subjek pembangunan kesehatan. Beberapa di antaranya adalah tingkat pendidikan wanita, status ekonomi, dan keterjangkauan serta mutu pelayanan kesehatan. Entjang (1985) mengemukakan bahwa, “Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola berpikir seseorang. Apabila tingkat pendidikan seseorang tinggi, maka cara berpikir seseorang lebih luas, hal ini ditunjukkan oleh berbagai kegiatan yang dilakukan sehari-hari.” Dengan pendidikan seseorang dapat meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat memberikan keputusan yang tepat dalam bertindak dan memilih pelayanan kesehatan yang tepat untuk dirinya. Wanita khususnya ibu rumah tangga seharusnya sangat memperhatikan kesehatannya termasuk kesehatan reproduksi karena wanita nantinya akan mengalami kehamilan. Bila kesehatan reproduksi diperhatikan tentu saja resiko-resiko yang mungkin terjadi saat kehamilan dapat diperkecil. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dilakukan penelitian untuk
1
mengetahui hubungan tingkat pendidikan wanita khususnya ibu rumah tangga dengan pengetahuan kesehatan reproduksi yang berjudul: Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Ibu Rumah Tangga di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Pemilihan Desa Rukoh dilatar belakangi oleh letak Desa Rukoh yang berdekatan dengan banyak sarana pendidikan, dimulai dari tingkat dasar, menengah sampai perguruan tinggi bahkan pendidikan program pasca sarjana. Hal ini memungkinkan masyarakat yang tinggal di Desa Rukoh untuk memiliki tingkat pendidikan yang lebih beragam. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu rumah tangga yang masih usia produktif di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Populasi berjumlah 409 orang. Sampel diambil sebanyak 35% dari total populasi dengan berbagai tingkat pendidikan yang berjumlah 144 orang. Instrumen pengumpulan data berupa angket atau kuesioner bersifat tertutup, yaitu pertanyaan dan alternatif jawaban sudah tersedia. Parameter yang digunakan adalah tingkat pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran Ibu rumah tangga di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh terhadap kesehatan reproduksi. Data dianalisis dengan korelasi product moment oleh Arikunto (2006). Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan ibu rumah tangga dengan pengetahuan kesehatan reproduksi maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menghitung harga koefisien kontigensi (C) dengan rumus sebagai berikut:
C
x2 x2 n
Dimana : C = Koefisien kontigensi
x 2 = Chi-kuadrat =
( fo fh) 2 fh
n = Jumlah total item jawaban
Agar nilai C yang diperoleh dapat dipakai untuk menilai derajat asosiasi antara tingkat pendidikan ibu rumah tangga dengan
pengetahuan kesehatan reproduksi di wilayah penelitian maka harga C tersebut perlu dibandingkan dengan rumus sebagai berikut :
Cmaks
m 1 m
Dimana : Cmaks= koefisien kontingensi maksimum M = Harga minimum antara banyaknya baris dan banyaknya kolom Semakin dekat harga Cmaks dengan koefisien kontigensi (C), maka hubungannya semakin kuat (Sudjana, 2005). Kemudian untuk menentukan dugaan nilai regresi yang diperoleh linier atau tidak, maka dapat dibuktikan dengan menggunakan persamaan linier dengan rumus sebagai berikut:
Y a bx a y bx b
n xy x y
n x 2 x
2
Dari data yang diperoleh, dapat dibuat diagram pencar dan dapat dilihat bahwa titik-titik ada pada sekitar garis lurus yang menyatakan bahwa antara kedua variabel terdapat hubungan (Sudjana, 2005). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data perhitungan dari variabel X (tingkat pendidikan) dan variabel Y (pengetahuan kesehatan reproduksi Ibu rumah tangga) diperoleh nilai r untuk kedua variabel tersebut yaitu nilai rhitung = 0,533 dan nilai rtabel pada taraf signifikan 0,05 = 0,159. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan Ibu rumah tangga berpengaruh positif terhadap pengetahuan kesehatan reproduksi. Hasil analisis koefisien kontingensi (C) diketahui bahwa perbandingan harga C=0,95 dekat dengan harga Cmaks=0,82. Dengan demikian hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan kesehatan reproduksi Ibu rumah tangga di Desa Rukoh mempunyai tingkat korelasi yang tinggi. Hasil uji linearitas diperoleh grafik yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara tingkat pendidikan Ibu rumah tangga dengan nilai rata-rata pengetahuan kesehatan reproduksi (Gambar 1). Hal ini
2
membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh Ibu rumah tangga, maka semakin tinggi pula pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan reproduksinya.
Gambar 1. Grafik Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Pengetahuan Reproduksi Ibu Rumah Tangga di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh Sebagian besar Ibu rumah tangga sudah memiliki pengetahuan yang baik terhadap kesehatan reproduksi , tetapi kesadaran untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya masih kurang. Meskipun demikian, Ibu-ibu rumah tangga di Desa Rukoh sudah sadar akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi dan mengetahui apa yang harus dilakukan apabila mengalami gangguan pada kesehatan reproduksinya. Menurut hasil survei dan wawancara dengan Ibu-ibu rumah tangga ada yang belum mengetahui tentang kesehatan reproduksi dan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi. Fenomena demikian disebabkan jarangnya dilakukan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh sehingga para ibu rumah tangga kekurangan informasi tentang kesehatan reproduksi. Informasi tentang kesehatan reproduksi hanya akan diperoleh jika Ibu-ibu tersebut memeriksakan kesehatannya ke Rumah Sakit
Kesehatan
atau Puskesmas. Di samping itu juga terdapat Ibu rumah tangga yang memperoleh informasi melalui media cetak atau media elektronik. Kesehatan reproduksi sangat penting untuk dijaga dan diperhatikan karena hal ini berhubungan dengan sehat atau tidaknya sistem, fungsi, serta proses reproduksi. Wanita mempunyai kebutuhan khusus dibandingkan dengan pria karena kodratnya. Secara alamiah wanita mengalami haid, melahirkan, menyusui, dan akan mengalami menopause sehingga memerlukan pemeliharaan kesehatan yang lebih intensif. Wanita, khususnya Ibu rumah tangga seharusnya sangat memperhatikan kesehatan reproduksinya agar kesuburan (fertilitas) tetap terjaga sehingga dapat menghasilkan keturunan yang baik dan sehat. Reproduksi sehat berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang berkaitan dengan alat reproduksi dan fungsi-fungsinya serta gangguan-gangguan yang mungkin timbul.
3
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpukan bahwa tingkat pendidikan sangat berhubungan dengan pengetahuan kesehatan reproduksi Ibu rumah tangga di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuan dan kesadaran Ibu rumah tangga terhadap reproduksi yang sehat, serta kesadaran untuk mencari informasi yang lebih banyak untuk menambah pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Anonymous. 2005. Menagih Janji Atas Reproduksi Perempuan, (Online), (http://www.kompas.com/kompascetak/0504/25/swara/1705359.htm, diakses 20 Oktober 2008).
UCAPAN TERIMAKASIH
Fauzi, Ahmad. 2009. Informasi Kesehatan (Online), Reproduksi, (http://situs.kesrepro.info/pmshiva ids/referens.htm, diakses 10 Februari 2009).
Terimakasih disampaikan kepada Novida Ana, S.Pd. atas partisipasinya dalam kontribusi data untuk tulisan ini.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bina Aksara. Entjang,
I. 2000. Masyarakat. Aditya Bakti.
Ilmu Kesehatan Bandung. Citra
Junaedi. 2005. 15.700 Ibu Melahirkan Meninggal, (Online), (http://www.bkkbn.go.id/article, diakses 20 oktober 2008). Sudjana. 2005. Metode Statistika Edisi keenam. Bandung: Tarsito
4
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Model Pembinaan Kesehatan Mental Anak dalam Pendidikan Islam Kholid Mawardi
*)
*) Penulis adalah Magister Humaniora (M.Hum.) alumnus Program Studi Sejarah, Jurusan Humaniora, Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Dia dosen tetap di Jurusan Pendidikan (Tarbiyah) STAIN Purwokerto. Bukunya yang telah terbit, Mazhab Sosial Keagamaan NU (Grafindo bekerjasama dengan STAIN Purwokerto Press, 2006).
Abstract: Mental health construction of the child has vital importance to receive attention. Islamic education offers the solution of the child’s health mental construction conception. Islamic education instructs the student to conduct the construction and development of fitrah with all its potency and eliminate the expanding of negative potency. Construction and development of child’s fitrah with all its potency is believed will make healthy to child’s soul, while model that Islamic education give in this case is with the introduction of values of tauhid and behavior. The introduction of these values can bring about harmonious order in child self as one of the characteristic of mental health. Keywords: mental health, child, student, fitrah.
Pendahuluan etiap hari melalui media informasi baik cetak ataupun elektronik, selalu muncul berita kriminalitas, tragedi kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan seksual, prostitusi, dan beragam bentuk kejahatan yang lain. Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat kita sedang sakit. Masyarakat mengalami krisis identitas yang bermuara pada krisis moral dan spiritual. Lebih menyesakkan lagi, fenomena krisis moral dan spiritual yang marak akhir-akhir ini ternyata tidak hanya menimpa orang dewasa, tetapi telah melibatkan anak-anak. Kecenderungan krisis moral dan spiritual secara kongkrit termanifestasikan dalam beragam bentuk. Hal ini merupakan ongkos mahal yang harus dibayarkan oleh perubahan sosial menyeluruh dalam masyarakat Indonesia sebagai akibat pembangunan dan modernisasi yang cepat di tengah globalisasi kehidupan yang semakin terbuka. Globalisasi telah menghilangkan sekat-sekat antarnegara dan kultur budaya yang ada melalui kecanggihan teknologi komunikasi dan teknologi informasi. Serbuan informasi dari berbagai negara dan kultur budaya yang berbeda ke negeri ini telah menjadikan adanya proses dialektika antara budaya baru dengan budaya lokal yang kadang berhadapan secara diametral. Proses dialektika budaya yang terjadi berpotensi memunculkan terjadinya krisis moral spiritual yang berujung kepada kegagapan generasi muda dalam melakukan adaptasi dengan budaya baru. Keadaan semacam ini cenderung menjurus terjadinya degradasi moral di kalangan mereka. Jiwa atau mental mereka menjadi tidak sehat, sedangkan mental adalah pusat kontrol dari semua gerak, sikap, dan tindakan seseorang. Krisis moral dan spiritual dalam apapun kemunculannya merupakan masalah mendasar dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu, semua potensi dan komponen masyarakat harus mengambil
S
INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
1
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
peran yang optimal sebagai usaha untuk mengatasi krisis yang terjadi. Potensi besar yang dimiliki oleh bangsa kita dalam masalah ini adalah masyarakat yang religius, masyarakat yang menyandarkan diri pada nilai-nilai agama. Agama seharusnya mampu memberikan alternatif untuk munculnya spiritualitas baru, maka apabila agama mampu menyandang peran ini, agama tidak saja menjadi alat terapi penyakit kemanusiaan, tetapi lebih dari itu, agama mampu membentuk masyarakat yang lebih humanis. Fenomena tersebut melatarbelakangi perlunya sebuah konstruk pemikiran baru untuk mengatasi krisis moral spiritual, terutama dalam rangka melakukan pembinaan kesehatan mental bagi anak didik. Oleh karena, konstruk pemikiran mutlak diperlukan dalam mengawali langkah. Apabila pendidikan Islam sebagai alternatif penawaran, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauhmana kemampuan pendidikan Islam menjadi paradigma pembinaan kesehatan mental anak?
Konsep Pembinaan Kesehatan Mental Anak Dalam hal ini, konsep pembinaan kesehatan mental anak yang akan dipaparkan merupakan rumusan secara umum dari berbagai pendapat. Pembinaan kesehatan mental anak dapat dilakukan melalui pendidikan yang mengarahkan bagi terbentuknya karakter dan internalisasi nilai moral, budi pekerti, dan pencerdasan perasaan. Dengan demikian, ada tiga faktor pokok dalam pembinaan kesehatan mental anak, yaitu pembentukan karakter dan internalisasi nilai moral, pembentukan budi pekerti, serta pencerdasan perasaan. Pertama, pembentukan karakter dan internalisasi nilai moral. Pembentukan karakter pribadi anak dan wataknya serta keberhasilannya setelah besar dan dewasa dipengaruhi oleh pola pendidikan dalam keluarga sejak dini, bahkan sebelum menginjak bangku sekolah. Cara yang dapat ditempuh dalam pembentukan karakter dan internalisasi nilai moral anak adalah dengan metode dongeng dan metode antikalah. Dongeng dalam kontek historis telah begitu dikenal dalam masyarakat kita. Dahulu banyak orangtua yang memberikan dongeng kepada anak-anaknya menjelang tidur. Dongeng cukup berpengaruh positif terhadap perkembangan jiwa, watak, dan moral anak. Dongeng adalah sarana komunikasi yang berfungsi sosial dan hiburan. Dengan dongeng anak-anak dapat berkumpul dan mengadakan interaksi, serta keseluruhan anak bisa terhibur dengan isi ceritanya. Secara paedagogik, dongeng dapat sebagai sarana pembentukan karakter atau moral anak, membentuk imajinasi dan membina kasih-sayang. Dengan mencerna dongeng yang berisi nasihat ini akan membuat anak berpikir lebih panjang tentang perilaku dalam dongeng. Secara psikologis kondisi anak masih labil sehingga dengan dongeng mereka dapat terbina emosinya dan moral anak dapat dibentuk dengan penyajian cerita yang mengandung kebenaran.1 Metode antikalah, konsep ini memaparkan bahwa perilaku anak yang menyimpang karena terganggunya kesehatan mental. Anak bandel, manja, dan kurang kreatif ini diakibatkan kondisi buruk dalam keluarga yang mengabaikan pendidikan anak. Akan tetapi, dalam mendidik anak hendaknya tidak selalu memaksakan kemauannya pada anak karena apabila hal ini dilakukan justru anak merasa INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
2
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
tertekan yang pada akhirnya anak melakukan penentangan, bahkan lebih buruk, yaitu perlawanan. Pendekatan yang seharusnya digunakan adalah dengan jalan orangtua mengalah, rendah hati, sopan, dan menghargai anak sehingga dapat lebih menumbuhkan kreativitas dan penghargaan anak terhadap orangtua. Dengan demikian, metode yang digunakan adalah metode antikalah, di mana mencegah anak merasa kalah atau dimenangkan. Segala permasalahan yang muncul selalu didialogkan dan didiskusikan sehingga semua tidak ada yang merasa disepelekan. Hal ini dapat membina kesadaran anak terhadap hak dan kewajibannya sehingga akan membentuk karakter anak dengan baik dan wajar.2 Kedua, pembentukan budi pekerti. Budi pekerti dalam format kebudayaan adalah bagian dari sistem nilai, yaitu struktur nilai etik dan moralitas. Dalam posisi sebagai sistem etik dan moral, maka budi pekerti bersifat membatasi (determinisme) terhadap perilaku masyarakat dan juga mendorong masyarakat untuk melakukan sesuatu pada batasan yang ada (kanalisasi) untuk mencapai kesempurnaan hidup. Budi pekerti merupakan wawasan dan semangat yang mempengaruhi pembentukan dan kecenderungan perilaku dasar masyarakat. Dengan demikian, persoalan budi pekerti adalah persoalan yang berhubungan dengan pranata budaya, sebagai moral, membentuk wawasan, perangai, dan kecenderungan konsep psikologis yang cukup luas.3 Pentingnya budi pekerti dengan kaitan integral dari berbagai sistem nilai akan mampu mengarahkan kehidupan manusia ke arah kesempurnaan hidup, yang dalam hal ini mutlak diberikan dalam pendidikan kita. Menukil pendapat Mencius seorang filosuf Cina, “Budi pekerti merupakan pandangan optimistic bagi tumbuhnya pribadi agung. Pandangan optimistic ini mengatakan bahwa setiap insan selalu merangkum khazanah potensi kebaikan”. Pandangan ini menjadi penting karena berkonsekuensi edukasional mendasar. Dengan demikian, proses pendidikan terutama moral etis dalam penerapan pengaruh-pengaruh secara konsisten pada nantinya akan memunculkan insan-insan muda sebagai pribadi agung (the great person).4 Pendidikan estetika sangat penting bagi perkembangan anak. Kekurangan pendidikan estetika sama dengan kekurangan mendapatkan kasih-sayang. Estetika mengandung hal yang halus, budi bahasa, bertutur kata, dan tingkah-laku. Semua serba halus sehingga kekurangan pendidikan estetika akan menimbulkan dampak mengerikan. Unsur rasa kasih-sayang dan cinta adalah kebutuhan dasar naluriah manusia yang pencurahannya memerlukan estetika tersendiri. Metode pendidikan estetika pada anak adalah dengan pemanfaatan seni yang diminati anak. Esensi dari pendidikan estetika ini adalah adanya rasa penghargaan kepada hasil karya orang lain sehingga nilai kepercayaan akan timbul terhadap kreativitas dan kreasi orang lain.5 Dengan demikian, pendidikan estetika diperlukan bagi tumbuhnya secara wajar (naluriah) terhadap rasa kasih-sayang, perilaku yang halus juga saling menghargai sesama sehingga akan mampu membentuk pribadi yang utuh. Ketiga, pencerdasan perasaan. Pada diri manusia yang memegang peranan penting dalam setiap tindakannya, selain penalaran adalah perasaan. Proses pendidikan yang utuh idealnya mencakup competence, conscience, dan compassion sehingga jangan sampai terjebak dalam pencapaian keunggulan akademik saja. Pendidikan yang tidak utuh cenderung mengabaikan tumbuhnya unsurINSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
3
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
unsur emosi, kreativitas, dan estetika. Sementara kecerdasan perasaan tidak dapat diraih dengan keterampilan penalaran. Untuk mengasah perasaan dan kepedulian, yang diberikan kepada anak adalah dengan refleksi. Anak diajak memanfaatkan daya ingat, pemahaman, khayalan, dan perasaannya untuk menangkap arti dan nilai yang dipelajari. Dengan demikian, anak diajak untuk menemukan hubungannya dengan segi-segi lain dari pengetahuan dan memahami implikasi-implikasinya dalam rangka mencari kebenaran dan kebebasan.6 Senada dengan hal tersebut, Daniel Goleman berpendapat tentang perlunya kiat-kiat khusus membesarkan anak, yaitu dengan pencerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini menyangkut kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati, dan kecakapan sosial. Kerugian pribadi akibat rendahnya kecerdasan emosional adalah terganggunya kesehatan mental seseorang dan kecenderungan berbuat destruktif, seperti depresi, gampang marah, agresif, serta tindakan destruktif, seperti tindakan perkosaan, vandalisme, dan lain sebagainya. Kecerdasan emosional ini dilakukan dengan jalan pelatihan emosi, yaitu orangtua yang terlibat dalam emosi anak. Orangtua tidak mudah marah menghadapi emosi, kesedihan atau rasa takut. Mereka mampu menerima emosi-emosi negatif itu sebagai fakta kehidupan dan menggunakan saat-saat emosional itu sebagai peluang untuk mendidik anak-anak mereka tentang kehidupan yang penting serta membina hubungan yang lebih erat dengan mereka.7 Sangat mendesak untuk dikedepankan dalam upaya mendidik anak, yaitu pencerdasan perasaan daripada hanya terfokus pada pencerdasan akal. Pencerdasan akal hanya sibuk dengan pengetahuan kehidupan, sedangkan pencerdasan perasaan justru menjawab kehidupan secara tepat dan manusiawi.
Pendidikan Islam sebagai Konstruksi Pemikiran Pembinaan Kesehatan Mental Anak Pertama, manusia sempurna sebagai tujuan paripurna pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah proses aktualisasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam dengan penyeimbangan potensi fitrah sehingga terjaga derajat kemanusiaannya. Dalam hal ini, pendidikan Islam berupaya untuk melakukan pengaktualan dan internalisasi nilai transenden Ilahiah (kalimat tauhid) karena ketauhidan adalah esensi pokok dari ajaran Islam. Dengan dijiwai nilai-nilai ketauhidan, maka segala aktivitas dapat lebih bermakna karena adanya fungsi sebagai kontrol dan landasan aktivitas tersebut. Aktualisasi, internalisasi nilai-nilai transenden Ilahiah akan berhasil secara maksimal tanpa pengetahuan tentang hakikat manusia. Pengetahuan tentang hakikat manusia dijadikan sebagai titik pijak bagi proses internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai ketauhidan. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam diri manusia terdapat potensi. Ahli pendidikan Islam menyebut potensi ini dengan fitrah. Dengan demikian, proses internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai transenden Ilahiah ini melalui pembinaan dan pengembangan potensinya. Perkembangan potensi manusia yang bercorak dan bernuansa nilai-nilai ketauhidan dapat
INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
4
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
membawa terjaganya derajat kemanusiaannya. Terjaga derajat kemanusiaan dalam arti terbentuknya insan kamil. Melalui pemahaman terhadap eksistensi manusia, seharusnya rumusan tujuan pendidikan Islam dioerientasikan.8 Maka dari itu, tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembangunan ideologi dan kebudayaan masyarakat.9 Secara spesifik Abdur Rasyid Ibnu Abdil Azis berkesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah adanya taqarub kepada Allah melalui pendidikan akhlak dan menciptakan individu untuk memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang paripurna, yaitu pribadi yang dapat mengintegrasikan antara agama, ilmu, serta amal saleh untuk memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi kehidupan.10 Dari uraian tujuan pendidikan tersebut, bahwa insan kamil itu berdimensi dua, yaitu dimensi ketauhidan (taqarub kepada Allah) dan dimensi pengembangan potensi-potensi (pola pikir ilmiah dan integrasi ilmu serta amal). Ciri insan kamil adalah jasmani sehat dan kuat, mempunyai keterampilan, akal yang cerdas, serta pandai dan hatinya penuh iman kepada Allah (ruhaniah tinggi).11 Berdasarkan ciri manusia sempurna, yang terpenting dalam pengembangan pribadi tidak hanya berdimensi jasmaniah, tetapi juga ruhaniah. Dalam pendidikan dinyatakan perlunya pengembangan pribadi untuk meraih kualitas insan pripurna yang penuh dengan ilmu-ilmu dalam otaknya dan bersemayam dalam hatinya iman dan takwa. Sikap dan perilakunya adalah realisasi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terbentuk watak yang terpuji, kemandirian, kedamaian, dan kasih-sayang. Insan yang demikian bisa dipastikan bahwa jiwanya sehat, hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya. Dalam arti kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by-product) dari kondisi yang matang secara emosional, intelektual, sosial, dan terutama matang keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.12 Hal ini sesuai pula dengan indikator sehatnya mental seseorang bahwa secara operasional tolok-ukur dari kondisi mental yang sehat adalah bebas dari gangguan penyakit kejiwaan, mampu secara luwes menyesuaikan diri, mengembangkan potensi-potensi pribadi, beriman bertakwa kepada Tuhan, serta berupaya menerapkan tuntunan agama dalam realitas kehidupan. Kedua, implikasi konsep fitrah dalam kesehatan mental. Untuk mengetahui keterkaitan antara konsep fitrah dengan kesehatan mental adalah dengan memaparkan tentang konsep fitrah yang membicarakan seputar hakikat manusia dengan segala potensi dan keterkaitannya dengan lingkungan. Manusia lahir dengan membawa fitrah, yang mencakup fitrah agama, fitrah intelek, fitrah sosial, fitrah ekonomi, fitrah individu, fitrah seni, dan yang lain. Fitrah-fitrah tersebut haruslah mendapat tempat dan perhatian, serta pengaruh dari faktor di luar dirinya sendiri atau lingkungan untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal dari kelestarian potensi-potensi negatif (an-nafsu ammarah bis suu’).13 Dengan demikian, manusia dapat hidup searah dengan tujuan Allah akan penciptaan. Dalam fitrah agama, manusia adalah makhluk etik religius. Sejak dilahirkan manusia adalah suci, maka Tuhan akan senantiasa membimbingnya dengan agama fitrah, yaitu agama yang sesuai dengan INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
5
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
manusia supaya kesucian yang disandangnya sejak lahir akan tetap sampai akhir hayat. Dalam surat ArRum ayat 30 mengandung pengertian bahwa fitrah adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Oleh karena itu, jika manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu dianggap tidak wajar, walaupun mungkin hal itu terjadi lantaran pengaruh lingkungan.14 Islam sebagai agama fitrah bukan hanya selaras dengan naluri keberagamaan manusia, tetapi juga sesuai, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya sehingga akan membawa keutuhan dan kesempurnaan pribadinya.15 Manusia adalah makhluk individu dan sosial. Individu secara etimologi berasal dari bahasa latin yang berarti tidak terbagi. Menurut istilah sosiologi adalah manusia perorangan yang dibedakan dari orang lain, sedang dalam istilah lain dikenal dengan pribadi. Individu adalah seorang yang belum diketahui predikatnya, sedang pribadi sudah menggambarkan predikat seseorang, baik mengenai sikap mental maupun perilakunya yang membedakan dengan orang lain.16 Dalam garis besar al-Qur’an menjelaskan perbedaan masing-masing individu dengan menunjukkan adanya kelebihan yang satu dengan yang lain. Paling ditekankan dalam hal ini adalah adanya tanggungjawab individu, baik terhadap Tuhan dan lingkungan, maupun dirinya.17 Dengan demikian, hak dan kewajiban dalam Islam sangat diperhatikan sehingga pendidikan Islam dalam persoalan individu diarahkan untuk mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya insaninya untuk dipertanggungjawabkan atas perbuatannya sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di bumi. Manusia sebagai makhluk sosial berarti tidak ada individu yang tidak bisa hidup sewajarnya tanpa terkait dengan komunitas manusia yang lainnya.18 Sesuai konsep ta’aruf, peran individu dalam masyarakatnya terletak kepada tanggungjawabnya untuk menciptakan kehidupan komunal yang harmonis demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dalam ampunan dan naungan Ilahi. Dalam persoalan potensi-potensi dasar yang dimiliki manusia, Islam memandang bahwa manusia memiliki potensi-potensi positif dan negatif.19 Potensi positif adalah adanya sifat-sifat mahmudah dan potensi negatif adalah adanya sifat-sifat mazmumah, sedangkan sifat-sifat mazmumah adalah sifat syaithoniyah.20 Termasuk kategori sifat-sifat mazmumah adalah bakhil, aniaya, dengki, ujub, nifak, ghadab, dan yang lainnya, sedangkan yang termasuk sifat mahmudah adalah sabar, amal salih, santun, dan yang lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam memang diarahkan untuk mengembangkan potensi positif yang berupa sifat-sifat mahmudah dan meminimalisasi sifat-sifat mazmumah dalam pribadi manusia sehingga keseimbangan jiwa akan tercapai serta terjaga dari gangguan dan penyakit jiwa. Islam menegaskan bahwa manusia memiliki fitrah dan daya insani, serta bakat-bakat bawaan atau faktor keturunan, meskipun semua itu masih merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan. Akan tetapi, karena masih merupakan potensi, maka fitrah itu belum berarti apa-apa bagi kehidupan sebelum dikembangkan, didayagunakan, dan diaktualisasikan.21 Dengan demikian, berarti bahwa fitrah dengan segala potensinya tidak akan berfungsi apabila tidak ada campur-tangan lingkungan yang membina dan mengembangkannya sehingga bisa teraktualkan. INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
6
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Aktualisasi dari fitrah dengan segala potensinya adalah mempunyai ketergantungan dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Rasulullah bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, ayahnyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi.22 Dalam Hadis tersebut faktor ayah diartikan sebagai lingkungan, dalam hal ini lebih spesifik dapat dimaksudkan sebagai pendidikan. Berangkat dari asumsi bahwa manusia dengan fitrah dan segala potensinya tidak akan berarti apa-apa tanpa peran lingkungan, maka dalam pengembangan dan pembinaan fitrah dengan segala potensinya diperlukan pendidikan. Jelaslah bahwa pendidikan Islam diorientasikan kepada aktualisasi fitrah manusia yang masih perlu pemolesan dan pembentukan. Terbentuknya manusia sempurna atau insan kamil adalah tujuan pendidikan Islam. Insan kamil adalah insan yang berdimensi ketauhidan dan berdimensi pengembangan potensi. Dalam tujuan pendidikan Islam dan indikator tentang mental yang sehat sebagaimana telah diuraikan terjadi adanya perjumpaan. Dengan konsep fitrah dan segala potensi-potensinya dalam pendidikan Islam bisa diimplementasikan dalam kesehatan mental karena dengan konsep fitrah itu pendidikan Islam diarahkan. Dengan kata lain, pendidikan Islam relevan dijadikan konstruk pemikiran dan bentuk atau model bagi pembinaan kesehatan mental anak. Pendidikan Islam dalam responnya terhadap fitrah beragama, menempatkan manusia sebagai makhluk etik religius yang mengarahkan bagi terbinanya fitrah tersebut dalam agama yang lurus dengan jalan internalisasi nilai-nilai ketauhidan. Hal ini menunjukkan adanya pembinaan kesehatan mental, yaitu internalisasi iman dan takwa. Menurut fitrahnya manusia adalah makhluk individu dan sosial. Dalam hal ini, pendidikan Islam diarahkan untuk menciptakan tata keharmonisan antara manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Kemampuan adaptasi diri hendak dibentuk, sedangkan kemampuan ini merupakan indikator kesehatan mental karena kemampuan adaptasi diri merupakan keluwesan dalam pergaulan. Potensi yang dimiliki manusia, baik potensi positif ataupun potensi negatif digarap secara arif dalam pendidikan Islam dengan jalan mengembangkan potensi positif dan meminimalisasi potensi negatif sehingga perkembangan anak akan berjalan wajar. Wajar dalam hal ini adalah terhindarnya manusia dari dominasi potensi negatif sehingga terjadi goyahnya keseimbangan yang mengakibatkan gangguan kejiwaan. Terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan adalah indikator sehatnya mental seseorang. Dengan demikian, pendidikan Islam secara langsung atau tidak langsung merupakan pembinaan terhadap kesehatan mental anak. Ketiga, jiwa pendidikan Islam adalah budi pekerti. Islam sebagai agama wahyu menuntun umat manusia yang berakal sehat untuk berusaha keras mendapatkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan petunjuk wahyu. Agama Islam yang ajarannya berorientasi pada kesejahteraan hidup dunia dan akhirat sebagai kesinambungan tujuan hidup manusia meletakkan iman dan takwa kepada Allah sebagai landasan kehidupan manusia dalam perjuangannya menuju cita-cita tersebut.23 Oleh karena orientasi kehidupan manusia adalah dunia dan akhirat, maka pendidikan Islam pun berlandaskan dengan hal ini. Dengan demikian, pendidikan Islam diarahkan kepada pencapaian kebahagiaan dunia INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
7
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
dan akhirat. Berdasarkan kepada pandangan tersebut, maka pendidikan Islam tidak hanya dilakukan untuk memenuhi akal dengan segala ilmu pengetahuan, tetapi juga kepada pengasahan rasa yang lebih spesifik, yaitu budi pekerti yang berlandaskan kepada nilai transenden. Pendidikan budi pekerti dan akhlak mulia berdasarkan nilai transenden adalah menjiwai pola tingkah-laku berdasar rasio sehingga aktivitas yang dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah. Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam. Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.24 Dengan demikian, akhlak yang sempurna adalah salah satu yang hendak dituju oleh aktivitas pendidikan Islam. Dalam hal ini, Islam tidak menafikan pendidikan jasmani karena antara jasmani dan ruhani ada keterkaitan. Anak membutuhkan kekuatan dalam jasmani, akal, ilmu, dan juga pendidikan dalam jiwanya, yaitu budi pekerti, perasaan, kemauan, estetika, dan kepribadian (pembentukan karakter). Pakar pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran Islam tidak hanya menjejali otak dengan berbagai ilmu, tetapi lebih dari itu, yaitu mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan keutamaan, membiasakan mereka dengan kesopanan, untuk mempersiapkan mereka demi kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur.25 Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam dengan konsep pembinaan kesehatan mental pada umumnya terjadi perjumpaan. Dalam pendidikan Islam, pendidikan budi pekerti, pembentukan watak atau karakter, serta pencerdasan perasaan melalui pendidikan akhlak sangat dipentingkan senada dengan konsep pembinaan kesehatan mental secara umum. Perbedaan yang terjadi di antara keduanya adalah pada landasan yang mendasarinya. Bila pendidikan Islam berlandaskan pada nilai transenden ketauhidan (theosentris), sedangkan konsep pembinaan kesehatan mental secara umum berlandaskan pada pandangan tentang manusia itu sendiri (anthroposentris).
Model Pembinaan Kesehatan Mental Anak dalam Pendidikan Islam Pertama, penanaman nilai keimanan (aqidah). Diperlukannya penanaman nilai keimanan ini berlandaskan pada asumsi bahwa hakikat fungsi manusia adalah beribadah kepada Allah atau dengan kata lain, hakikat fungsi manusia adalah hamba Allah. Setiap hamba harus selalu tunduk kepada Penciptanya. Ia tidak dapat dioperasikan dengan cara berbeda, apalagi bertentangan dengan kehendak Allah sebagai Khaliqnya. Sementara itu, maksud diciptakannya manusia antara lain agar dia mengabdi kepada Allah. Maka dari itu, fungsi manusia adalah hamba Allah.26 Berlandaskan maksud penciptaan manusia inilah nilai keimanan harus ditanamkan karena tanpa keimanan ibadah yang dilakukan menjadi tanpa makna. Di sisi lain, fitrah agama yang dimiliki manusia juga melandasi perlunya penanaman nilai keimanan ini. Dalam fitrah agama ini manusia adalah makhluk etik religius sehingga sebagai rangkaian wujudnya yang suci pada saat lahir Tuhan akan selalu memberi bimbingan dengan agama fitrah, agama yang sesuai dengan fitrah manusia adalah agama tauhid.27 Dengan demikian, penanaman nilai keimanan atau INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
8
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
mempercayai keesaan Allah harus diutamakan karena perasaan ketuhanan yang sempurna hadir dalam jiwa anak dan akan berperan sebagai dasar dalam berbagai aspek kehidupannya.28 Nilai keimanan yang tertanam kokoh dalam jiwa anak akan memberikan warna dan corak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini dikarenakan adanya pengakuan dalam dirinya tentang kekuatan yang menguasai dan melindunginya, yaitu Allah. Pengakuan ini diharapkan mampu mendorong anak untuk berbuat sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Maka dari itu, semakin matang perasaan ketuhanannya akan semakin baik perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahap selanjutnya, anak selalu diarahkan untuk menaati hukum-hukum Allah serta diimbangi pengetahuan tentang ibadah yang dalam sistem etika Islam termasuk akhlak terhadap Allah. Anak juga senantiasa dingatkan bahwa iman selalu diformulasikan dalam amal salih.29 Iman yang dipegang teguh haruslah direalisasikan dalam realitas kehidupan dengan amal salih. Orang yang mampu merealisasikan nilai-nilai keimanannya dalam kehidupan sehari-hari berarti menunjukan sehatnya mental dari orang tersebut. Penanaman keimanan mempunyai nilai penting untuk diberikan sebab dengan nilai itulah pembinaan kesehatan mental didasarkan sehingga dapat terwujud pribadi yang sehat mentalnya. Kedua, penanaman nilai akhlak. Pembentukan moral tertinggi adalah tujuan utama pendidikan Islam. Dengan demikian, harus diusahakan terhadap penanaman akhlak mulia, meresapkan fadhilah di dalam jiwa para siswa, membiasakan berpegang kepada moral yang tinggi, menghindari hal-hal tercela, berpikir secara ruhaniah dan insaniah, serta mempergunakan waktu untuk belajar ilmu keduniaan dan agama dengan tanpa memandang keuntungan materi.30 Rentetan dari iman, islam, dan ihsan adalah tiga unsur pokok yang harus terintegrasikan dalam diri, inilah yang dimaksud berakhlak mulia. Islam bersumber kepada norma-norma pokok yang terdapat dalam al-Qur’an, sedangkan Rasulullah sebagai suri tauladan yang baik, memberi contoh realisasi alQur’an yang menjelaskan dalam realitas kehidupan sebagai Sunnah Rasul.31 Akhlak manusia ideal kemungkinan dapat dicapai dengan proses pendidikan dan pembinaan yang sungguh-sungguh, yaitu terwujudnya keseimbangan dan iffah. Namun demikian, tak ada manusia yang dapat mencapai keseimbangan yang sempurna dalam akhlaknya kecuali Rasulullah karena beliaulah yang ditugaskan oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia dan secara logis beliau telah sempurna lebih dahulu.32 Salah satu bagian yang terpenting dalam masalah akhlak adalah tentang hak dan kewajiban.33 Upaya penanaman akhlak ini meliputi pembahasan tentang kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah (akhlak kepada Allah), kewajiban terhadap diri sendiri dan sesamanya (akhlak individual dan sosial), serta kewajiban terhadap alam (akhlak terhadap alam). Dalam masa anak-anak dan menginjak remaja, hal terpenting bagi penanaman akhlak adalah dengan pembatasan terhadap kewajiban-kewajibannya sebagai manusia sehingga akan sampai kepada pemahaman eksistensi dirinya sebagai hamba Allah dan sebagai pribadi yang tak mungkin tercerabut dari akar komunitasnya. Oleh karena dalam fase ini anak telah mampu menggunakan logika untuk merenungkan segala persoalan. Kesadaran akan eksistensi INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
9
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
dirinya inilah yang akan membuat keseimbangan yang harmonis bagi kehidupannya. Keharmonisan merupakan syarat bagi ketenangan jiwa dan ketenteraman hati. Bila keharmonisan ini terguncang, maka yang terjadi adalah gangguan kejiwaan. Pendidikan akhlak terbagi dalam dua kategori, yaitu akhlak kepada Allah dan akhlak individual, sosial, serta alam. Akhlak kepada Allah, seperti telah disebutkan sebelumnya ahklak kepada Allah antara lain berisikan tentang kewajiban-kewajiban manusia kepada Allah. Kewajiban manusia kepada Allah merupakan rangkaian hak dan kewajiban manusia dalam hidupnya sebagai sesuatu yang eksistensial. Dalam kehidupannya, manusia mempunyai pola hubungan dan ketergantungan yang memunculkan hak dan kewajiban. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan antara Khaliq dengan makhluknya, dalam kehidupan ketergantungan paling pokok manusia adalah kepada Allah Tuhan semesta alam.34 Esensi dari kehidupan beragama adalah meyakini dan mempercayai adanya dzat yang Mahakuasa, yang maha segala-galanya, di sanalah semua mempunyai pola ketergantungan. Maka dari itu, hanya kepada Allah manusia menyembah dan memohon pertolongan.35 Mentauhidkan Allah adalah meyakinkan dengan iman tentang keesaan Allah serta beraktivitas karena dan untuk Allah. Meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah itu Maha Esa, Esa dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan segala perbuatan-Nya.36 Kewajiban mentauhidkan Allah ini harus ditanamkan kepada diri anak, sebagai akhlak yang mulia dan pada akhirnya dapat membentuk karakter pribadinya. Oleh karena dengan pemahaman terhadap nilai tauhid akan menimbulkan kesadaran pada keberhambaan yang ikhlas dan kepasrahan total terhadap Allah. Dengan nilai tauhid ini akan membuat jiwa anak menjadi tenang. Ketenangan jiwa terwujud karena tertanam dalam kalbunya bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Hal ini merupakan sesuatu yang penting karena nilai-nilai tauhid ini diharapkan akan mampu menjiwai, memberi corak, dan nuansa dalam setiap aktivitas pribadi anak. Kewajiban setelah mentauhidkan Allah adalah beribadah kepada-Nya. Sudah seharusnya karena beribadah kepada Allah adalah konsekuensi logis dari beriman kepada-Nya. Pengakuan akan keesaan, keperkasaan, dan segala kesempurnaan-Nya sebagai tempat bergantung dan meminta pertolongan, maka akan muncul kesadaran apa yang harus diberikan kepada Allah. Secara logis suatu aktivitas yang harus dibangun dari keimanan adalah beribadah dan menyembah Allah.37 Dari uraian di atas, dapat dipahami akan pentingnya penanaman nilai akhlak kepada Allah yang berupa pelaksanaan kewajiban-kewajiban terhadap-Nya. Dalam penanaman nilai tauhid akan membuat anak menjadi takwa dan mampu merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai amal salih. Ibadah selain merupakan realisasi nilai-nilai tauhid, juga untuk menguatkan nilai-nilai tauhid itu sendiri dalam diri anak. Ibadah yang mensyaratkan keikhlasan dan prosedural akan mengarahkan anak untuk bertindak sesuai jalan yang dikehendaki Allah sehingga akan memunculkan dalam jiwa anak rasa INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
10
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
ketenangan dan kebahagiaan. Iman dan takwa yang teguh dan mampu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu ciri mental yang sehat. Akhlak individual yang dimaksudkan adalah kewajiban terhadap diri sendiri. Akhlak sosial adalah kewajiban terhadap sesama manusia, sedangkan akhlak terhadap alam adalah kewajiban manusia terhadap alam sekitarnya. Secara spesifik, kewajiban terhadap diri sendiri adalah pengembangan dan pemeliharaan seluruh potensi yang dimiliki manusia baik jasmani atau ruhani. Setiap unsur mempunyai hak, yang satu dengan yang lain mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan bagi pemenuhan hak masing-masing. Keseluruhan manusia mempunyai kewajiban terhadap keseluruhan kemanusiaannya.38 Dengan demikian, unsur jasmani dan ruhani merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai kewajiban terhadap kemanusiaannya sendiri. Kewajiban manusia terhadap diri sendiri secara fisik adalah pemenuhan kebutuhan primer, seperti sandang, pangan, dan papan.39 Kewajiban terhadap kebutuhan ruhani adalah dengan pembinaan rasio, rasa, dan karsa.40 Akhlak sosial berisikan tentang kewajiban manusia sebagai pribadi dengan manusia lain. Kewajiban sosial antara lain tolong-menolong dalam kebaikan,41 adanya saling pengertian dan saling menghormati.42 Dengan demikian, pendidikan akhlak sosial ini diharapkan membuat anak menjadi peka perasaannya atau dengan kata lain mempunyai kecerdasan perasaan. Akhlak manusia terhadap alam adalah pendayagunaan alam semesta secara bijak dengan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia sudah seharusnya mampu menjaga amanat Allah, yaitu pemanfaatan alam secara proporsional. Pemanfaatan alam tidak hanya bersifat eksploitatif, namun juga dimanfaatkan sebagai bahan pengambilan pelajaran untuk mendekati Allah dalam rangka membina keserasian antarmakhluk. Dengan demikian, hubungan manusia dengan alam harus disertai sikap rendah hati. Pendidikan akhlak individual berdampak kepada sampainya pemahaman anak terhadap dirinya dan potensi-potensi yang dimilikinya sehingga mempunyai rasa tanggungjawab untuk mengembangkannya. Pendidikan akhlak sosial dalam diri anak akan mampu mengasah perasaan (roso pangroso) dengan memahami hak dan kewajibannya terhadap lingkungan komunalnya, serta mampu beradaptasi dalam rangka mewujudkan eksistensi dirinya dalam pola pergaulan yang menyenangkan dan bermanfaat. Kemampuan memahami diri sendiri dengan mengembangkan potensi serta pengetahuan tentang lingkungan komunalnya menciptkana pola kehidupan bersama yang harmonis adalah sebagai tanda sehatnya mental anak. Penanaman akhlak individual dan sosial ini mampu membuka kalbu akan pentingnya keharmonisan hidup, baik mikro kosmos ataupun makro kosmos. Internalisasi nilai-nilai akhlak terhadap alam sekitar berdampak pada kesadaran anak akan pentingnya menjaga keharmonisan alam demi kesejahteraan seluruh makhluk. Melalui internalisasi akhlak terhadap alam ini diharapkan juga dapat menghantarkan anak kepada penguasa tunggal alam semesta, yaitu Allah. INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
11
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Penutup Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep pembinaan kesehatan mental anak dalam pendidikan Islam adalah tertuang dalam bentuk penanaman nilai-nilai tauhid dan akhlak. Dengan nilai keimanan, anak akan menjadi takwa dengan kesadarannya pada Allah adalah asal dan segala tujuan. Akhlak terhadap Allah dengan mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya merupakan konsekuensi logis yang harus disadari oleh anak karena keimanan mereka. Akhlak individual dan sosial menjadikan anak mampu membentuk pola hubungan dari dan antarpribadi, serta lingkungan komunalnya secara harmonis. Dengan nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai akhlak akan membentuk pribadi yang berkarakter, berbudi pekerti, serta cerdas secara emosional yang semua itu dilandaskan kepada satu nilai transenden, yaitu Allah Tuhan semesta alam.
Endnote Suranto, Kebudayaan Industrial dan Kualitas Moral Anak (Bernas, Minggu, 13 Juli 1997). Ibid. 3 Haryani Nuniek, Mempersoalkan Pendidikan Budi Pekerti (Kedaulatan Rakyat, 8 November 1996). 4 Sutanto Limas, Pendidikan Budi Pekerti dan Tumbuhnya Pribadi Agung (Kedaulatan Rakyat, 25 Juni 1997). 5 Hikmah, Ketika Anak-anak Lepas dari Harapan (Minggu IV, Juli 1997). 6 St. Kartono, Perasaan Anak-anak Kita Perlu Dicerdaskan (Kedaulatan Rakyat, 18 Februari 1997). 7 Anonim, Strategi Mengasuh Anak yang Cerdas (Kompas, 27 Agustus 1997). 8 Muhaimin Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 154. 9 Ahmad Khursyd, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992), hal. 29. 10 Muhaimin, Pemikiran, hal. 160. 11 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosda Karya, 1994), hal. 46. 12 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 150. 13 Muhaimin, Pemikiran, hal. 25. 14 Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hal. 34. 15 Ibid., hal. 35. 16 Ibid., hal. 36. 17 Ibid., hal. 37. 18 Q.S. al-Hujarat ayat 13. 19 Muhaimin, Pemikiran, hal. 25. 20 Ibid., hal. 152. 21 Achmadi, Islam, hal. 53. 22 H.R. Bukhori Muslim. 23 Arifin H.M., Kapita Selecta Pendidikan Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 73. 24 M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 1. 25 Ibid. 26 Muhaimin, Pemikiran, hal. 58. 27 Achmadi, Islam, hal. 34. 28 Q.S. Luqman ayat 13. 29 Q.S. al-Bayyinah ayat 7. 1 2
INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
12
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN Al-Abrasyi, Dasar-dasar, hal. 11. Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), hal. 21. 32 Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 106. 33 Djatnika, Sistem, hal. 118. 34 Q.S. al-Ikhlas, ayat 2. 35 Q.S. al-Fatihah, ayat 5. 36 Djatnika, Sistem, hal. 180. 37 Q.S. Adz-Dzariyat, ayat 56. 38 Djatnika, Sistem, hal. 127. 39 Q.S. Thoha, ayat 118-119. 40 Rahmat Djatnika, Sistem, hal. 136. 41 Q.S. al-Maidah, ayat 2. 42 H.R. Bukhori Muslim, Riyadhus Shalihin (TT: TP, 1987), hal. 528. 30 31
Daftar Pustaka Al-Abrasy, M. Athiyah. 1993. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. A.W., Suranto. 1997. Kebudayaan Industrial dan Kualitas Moral Anak (Bernas, 23 Juli 1997). Achmadi. 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media. Ahmad, Khursyd. 1992. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka Progresif. Anonim. 1997. Strategi Mengasuh Anak Yang Cerdas Emosional (Kompas, Rabu, 27 Agustus). Bastaman, Hanna Djumhana. 1995. Integrasi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Agama RI. 1983. al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an. Djatnika, Rachmat. 1992. Sistem Ethika Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. H.M., Arifin. 1991. Kapita Selecta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara. Hikmah. 1997. Ketika Anak-anak Lepas dari Harapan (Edisi Minggu. IV, Juli). Kartono. 1997. Perasaan Anak-anak Kita Perlu Dicerdaskan (Kedaulatan Rakyat, 18 Februari 1997). Mujib, Abdul Muhaimin. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Trigenda Karya. Mulyadi, Kresno. 1997. Anak Representasi Hari Nanti (Kompas, 24 Juli 1997). Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam. TT: al-Ikhlas. Nuniek, Haryani. 1996. Mempersoalkan Pendidikan Budi Pekerti (Kedaulatan Rakyat, 8 November 1996). Seto. 1997. Metode Anti Kalah Metode Baru Mendidik Anak (Bernas, 13 Juli 1997). Sutanto, Limas. 1997. Pendidikan Budi Pekerti dan Tumbuhnya Pribadi Agung (Kedaulatan Rakyat, 25 Juni 1997). Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya. Tujasura. 1997. Pentingnya Dongeng Bagi Pendidikan Anak (Bernas, 13 Juli 1997). Zainudin. 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.
INSANIA|Vol. 11|No. 1|Jan-Apr 2006|87-105
13
P3M STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi
Udayana Mengabdi 11 (2): 90 - 92
ISSN : 1412-0925
PELATIHAN DAN PENDIDIKAN KESEHATAN MASYARAKAT TENTANG UPAYA PENCEGAHAN FLU BURUNG DI DESA TARO GIANYAR suAriyAni, nLP., M.subrAtA, i M .sutArgA, DPy, kurniAti, MP. kArDiwinAtA dan Ms.noPiyAni. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ABSTRACT Bali as the world tourism destination will face huge impacts (economic, health and social) if there was avian influence outbreak, because tourism is a sensitive sector to the public health problems. It is therefore, an action that could increase the knowledge of community in order to prevent from the disease especially avian influences is badly in need. Taro village, Tegallalang is one of tourism destinations in Bali. In order to maintain other countries feel comfortable and secure for their citizens to visit Bali, Taro’s community in preventing diseases especially at avian influences is very crucial. Cooperation with other sectors such as education, health and others to conduct such health education is important to be able to produce good quality of program. The health education was conducted for students (SMPKerta Wisata) on 18 September 2010. The responds toward the health education program was very good, while many students ask questions about avian influences, they also could answer the entire questions already asked to the students after the programs. The questions were not asked only from the students but also from the teachers. It showed that the program was interesting for the audience. This program would improve the knowledge of community and in the future, it could be conducted in other cities in Bali. Keywords: avian influences, health education, knowledge PENDAHULUAN Penyakit flu burung atau avian influenza adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang menyebar antar unggas. Virus ini ditemukan juga pada spesies lainnya seperti babi, kucing, anjing, harimau dan manusia. Virus influence tipe A memiliki beberapa subtipe yang ditandai dengan Hemagglutinin (H) dan Neuramidase (N). Ada 9 varian H dan 14 varian N. Virus flu burung yang berjangkit saat ini adalah subtipe H5N1 dengan masa inkubasi 3-5 hari. WHO melaporkan hingga 6 Juni 2007 tercatat 310 kasus dengan 189 kasus kematian pada manusia yang disebabkan virus flu burung. Dari jumlah kasus tersebut Indonesia adalah negara yang terbanyak jumlah kasus dan angka kematiannya dengan 99 kasus dan 79 kematian. Bahkan data terakhir dari Departemen Kesehatan per 30 Januari 2008 jumlah kasus flu burung mencapai 124 kasus dengan 101 meninggal. Di Provinsi Bali sendiri melaporkan terjadi 2 kasus dan 2 kematian. Provinsi Bali rawan terhadap penyebaran virus flu burung bahkan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi, kesehatan dan sosial masyarakat. Dalam upaya pencegahannya akan dilakukan pemusnahan ternak dimana para peternak akan dirugikan. Diperkirakan penyakit flu burung berpotensi untuk menghancurkan lebih dari sembilan juta ternak ayam dan satu juta ternak babi di Bali. Jumlah ayam yang menjadi korban wabah flu burung pada tahun 2003 - 2004 yaitu 930.029.4 Jika diasumsikan bahwa satu ekor ayam nilainya
90
Rp 20.000,00, maka kerugian langsung wabah flu burung di Bali sampai saat ini kira-kira sebesar Rp 18,6 milyar (Nirmala, 2006). Sebagai daerah pariwisata dunia yang sebagian besar masyarakatnya tergantung pada sektor pariwisata. Bali juga dapat mengalami kerugian yang besar apabila terjadi wabah flu burung. Industri pariwisata umumnya sensitif terhadap masalah yang terjadi khususnya masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2004 saja, Bali kedatangan hampir 1,5 juta wisatawan asing. Menurut survey Dinas Pariwisata Bali, wisatawan asing tersebut rata-rata tinggal selama 11 hari dengan pengeluaran per wisatawan setiap harinya sebesar Rp. 550.000,00. Berarti pada tahun 2004, jumlah uang yang masuk dari para wisatawan asing yang berlibur di Bali diperkirakan sebesar Rp. 9.075 trilyun (Rp. 550.000,00 kali 11 hari, kali 1,5 juta orang). Itu artinya dampak tidak langsung yang ditimbulkan cukup besar dimana akan dirasakan juga oleh pelaku pariwisata dimana terdapat perhotelan, agen perjalanan wisata, transportasi, restoran, objek wisata, kerajinan tangan atau cinderamata, dan pelaku bisnis. Untuk itulah diperlukan upaya melakukan pencegahan terhadap kasus flu burung agar tidak sampai kasus itu terjadi. Peranan pemerintah selaku pembuat kebijakan (policy maker) dibutuhkan dalam membuat regulasi terkait dalam penanganan virus flu burung. Upaya pencegahan kejadian flu burung khususnya di Bali perlu dilakukan karena akibat yang ditimbulkan dapat merugikan semua pihak. Salah satunya dengan melakukan pendidikan kesehatan masyarakat.
Pelatihan dan Pendidikan Kesehatan Masyarakat Tentang Upaya Pencegahan Flu Burung di Desa Taro Gianyar [Suariyani, NLP., Dkk]
Mengingat Desa Taro merupakan salah satu daerah pariwisata dan daerah binaan Universitas Udayana, maka keamanan dan kenyamanan agar terhindar dari penyakit merupakan nilai tersendiri bagi wiatawan internasional maupun domestik. Beberapa negara telah melarang warganya untuk berkunjung ke negara atau tujuan wisata yang mengalami kejadian luar biasa penyakit menular seperti flu burung, flu babi, disentri dan yang terakhir kejadian rabies yang sedang mewabah di Bali. Untuk meningkatkan kunjungan wisata ke Bali umumnya dan ke Taro khususnya, Desa Taro harus segara melakukan upaya pencegahan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kesehatan masyarakat bagaimana cara penanggulangan penyakit khususnya flu burung dengan kerjasama dengan sektor lainnya. Sebagai daerah pariwisata masyarakat Desa Taro perlu mengetahui tentang upaya pencegahan virus flu burung yang dapat menyebabkan kematian pada manusia. Di samping itu apabila terjadi wabah dapat membahayakan sektor pariwisata dan perternakan. Perlunya pendidikan kesehatan masyarakat tentang pencegahan virus flu burung untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam melakukan upaya preventif. METODE PEMEMECAHAN MASALAH Pendidikan kesehatan ini dilakukan dengan metode penyuluhan ke siswa SMP Kerta Wisata, Taro, Tegallalang, aadapun tahap pelaksanaannya: 1. Melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan petugas kesehatan di desa Taro, Tegallalang. Pendekatan ini lakukan secara personalagar lebih mudah dalam menyampaikan tujuan dari kegiatan ini. Pada pendekatan ini akhirnya disepakati yang menjadi sasaran pendidikan kesehatan adalah siswa SMP. 2. Melakukan pendekatan ke sekolah sasaran yaitu SMP Kerta Wisata, pendekatan dilakukan pada kepala sekolah dan guru sekolah yang bersangkutan agar menyediakan waktu luang dan siswanya untuk mendengarkan penyuluhan atau pendidikan kesehatan tentang penyakit flu burung. 3. Pendidikan kesehatan melalui penyuluhan dilaksanakan pada tanggal 18 September 2010 pada pagi hari di sekolah bersangkutan. HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN Penyakit flu burung atau avian influenza adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang menyebar antar unggas. Virus ini kemudian ditemukan juga pada spesies lainnya seperti babi, kucing, anjing, harimau dan manusia. Dalam hal ini hampir sebagian besar masyarakt Bali hidup dengan binatang seperti burung, babi, anjing dan lain-lain. Binatang-
binatang tersebut mempunyai potensi dalam penyebaran penyakit terutama flu burung. Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyebaran penyakit antara binatang dan manusia perlu adanya pembekalan pengetahuan yang cukup pada pada masyarakat. Pengabdian ini dilakukan pada masyarakat desa Taro terutama siswa SMP, karena diharapkan para siswa lebih bisa memberikan pengertian pada orang tua mereka akan pentingnya pencegahan terhadap penyakit flu burung serta cara-cara pencegahannya. Kegiatan pengabdian ini dilaksanakan pada satu lokasi yakni SMP Kerta Wisata pada siswa kelas tiga pada tanggal 18 September 2010. Sebelum kegiatan ini terlaksana dilakukan pendekatan dengan aparat desa dan sekolah yang nantinya menentukan sekolah dan waktu pelaksanaannya. Dalam pelaksanaannya dihadiri oleh 57 siswa kelas tiga. Kegiatann ini diawali dengan tanya jawab pada siswa tentang pemahaman awal mereka tentang penyakit flu burung. Pada tahap awal kegiatan ini dari 57 siswa hanya 10 (17,5%) siswa mampu menjawab pertanyaan yang diajukan secara lisan. Namun, dari jawaban tersebut masih sangat sederhana tanpa dibekali pengetahuan yang cukup. Kegiatan ini dilanjutkan dengan penyuluhan yang dilakukan dengan menarik karena dilengkapi gambar dan lelucon yang memudahkan siswa untuk memahami isi penyuluhan tersebut. Selama penyuluhan berlangsung siswa siswa mendengarkan dengan tertib dan ada beberapa pertanyaan yang diajukan seperti ditampilkan pada Tabel 1. Tabel1. Daftar Pertanyaan dari Para Siswa No Petanyaan 1 Apakah burung yang mereka pelihara dan sudah dikandangkan dapat menularkan penyakit flu burung? 2 Namannya penyakit flu burung tapi kenapa babi juga bias menularkan? 3 Apakah penyakit flu burung bias diobati? 4 Apakah aman mengkonsumsi daging atau telur ayam?
Penyuluhan ini berlangsung kurang lebih 45 menit, pada akhir dari penyuluhan ini diisi dengan tanya jawab secara lisan. Saat itu dilontarkan sekitar lima pertanyaan dan hampir setiap pertanyaan yang dilontarkan sekitar 30 siswa (52%) atau lebih siswa menaikkan tangannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diantaranya ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2: Daftar Pertanyaan untuk Para Siswa No 1 2 3 4 5
Pertanyaan Hewan jenis apa saja yang dapat menularkan penyakit flu burung? Bagaimanakah cara pencegahan penyakit flu burung? Kemanakah melaporkan apabila terjadi kematian ayam yang banyak? Apakah ciri-ciri unggas yang sakit? Bagaimanakah caranya mengkonsumsi daging unggas yang aman?
Hampir setiap siswa yang ditunjuk untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat menjawab dengan benar.
91
Udayana Mengabdi Volume 11 Nomor 2 TahuN 2012 Ini menunjukkan bahwa siswa tidak hanya sekedar duduk berada dalam ruangan tapi juga menyimak isi dari penyuluhan. Selama kegiatan ini berlangsung tidak ada siswa yang meninggalkan ruangan kelas atau 100% (57) siswa mengikuti kegiatan ini sampai selesai walaupun dalam kegiatan ini para guru tidak berada di dalam ruangan. Kegiatan ini tidak hanya berakhir pada siswa saja namun juga dilanjutkan dengan tatap muka pada para guruguru. Di ruangan guru di damping oleh kepala sekolah melakukan tanya jawab seputar penyakit flu burung. Ternyata para guru tertarik dengan topik ini, hal ini terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang muncul dari para guru tersebut diantaranya ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3: Daftar Pertanyaan dari Para Guru No Pertanyaan 1 Apakah penyakit flu burung ini sangat berbahaya seperti yang diberitakan di televisi? 2 Apakah penyakit flu burung ini hampir sama dengan penyakit “gerubug” yang kita kenal di Bali? 3 Pencegahan yang paling utama perlu kita lakukan dalam menanggulangi penyakit flu burung ini apa? 4 Apakah penyakit ini dapat menularkan antar manusia? 5 Tindakan apakah yang perlu kita lakukan terhadap unggas peliharan kita? Terutama di Bali unggas berkeliaran di sekitar rumah penduduk
Melihat begitu antusiasnya peserta penyuluhan baik dari para siswa dan guru diharapkan materi yang diberikan dapat diterima dan dimengerti dengan baik. Pendidikan terhadap masyarakat ini nantinya dapat memberikan pengertian yang mendalam kepada masyarakat setempat tentang permasalahan kesehatan di masyarakat. Pendidikan terhadap masyarakat ini di mulai di sekolah karena sekolah dikenal sebagai tempat pendidikan serta mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dengan memberikan pendidikan kesehatan yang cukup kepada para siswa dan guru dapat menyebarkan pengetahuan mereka ke masyarakat terutama keluarga dari para siswa dan guru-guru itu sendiri. Pendidikan kesehatan tidak hanya cukup diberikan sekali saja tetapi perlu diberikan secara rutin dan dengan metode yang berbeda untuk memudahkan dalam penyerapan informasi. Selain itu perlu juga ada keterlibatan sektor lain terutama dalam hal penyakit flu burung ini. Penyakit flu burung ini bukan hanya masalah kesehatan semata tetapi juga peternakan, dan pengolahan makanan. Keterlibatan sektor lain akan membantu dalam penanggulangan masalah kesehatan yang lebih komperehensive atau menyeluruh serta program yang diterapkan dapat lebih sustainable atau berkesinambungan.
92
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil test menunjukkan ada peningkatan pengetahuan pada semua responden di SMP Kerta Wisata di desa Taro, Tegallalang. Peningkatan tersebut dalam hal pengetahuan tentang hewan penular, ciri-ciri hewan yang sakit dan cara pencegahannya. Masyarakat menyadari bahwa penyakit flu burung sangat berbahaya bagi kehiduan mereka, untuk itu perlu dicegah dan diberantas. Saran Saran yang dapat diberikan adalah pendidikan kesehatan perlu diberikan beberapa waktu atau hari dan tidak bisa diberikan singkat hanya 1 kali saja. Pembinaan yang selama ini sudah pernah diberikan oleh pihak puskesmas adalah sangat baik dan bisa dilakukan kerja sama antara pihak akademisi dengan tenaga kesehatan serta sektor lain yang terkait . UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada: masyarakat Desa Taro, Tegallalang terutama keluarga besar SMP Kerta Wisata yang telah banyak membantu terlaksananya kegiatan ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman sejawat staf dosen dan mahasiswa di PS. Ilmu Kesehatan Masyarakat, atas bantuan dan partisipasi aktifnya selama kegiatan pengabdian kepada masyarakat berlangsung. Terakhir kepada Rektor Universitas Udayana melalui Ketua LPPM, atas dukungan dana yang diberikan sehingga kegiatan pengabdian ini dapat berlangsung. DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik. 2008. Diambil dari URL: http:// www.bps. go.id. Diakses 1 September 2008 Dinas Pariwisata Bali. 2004. Statistik Pariwisata Bali 2003. Dinas Pariwisata Bali. Denpasar. World Health Organization. Prevention and control of influenza due to avian influenza virus A (H5N1) (A compilation of technical information as of January 30, 2004). World Health Organization Regional Office for South-East Asia. New Delhi. 2004.
Media Ilmu Kesehatan Vol. 1, No. 2, Agustus 2012
36
PENDIDIKAN KESEHATAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MELAKUKAN PIJAT BAYI 1
Ferianto , Retno Mawarti 1 2
2
STIKES Jenderal A. Yani Yogyakarta RSUP DR. Sardjito Yogyakarta
ABSTRACT Background: Baby massage is a massage performed with smooth palpation on the surface of a baby's skin, which aims to produce effects on nerves, muscles, respiratory system and blood circulation and lymph. When doing a preliminary study in Trimurti Village of Srandakan sub District, Bantul District, many parents of babies still did not know the benefits of baby massage and did not understand how to apply the correct massage independently. Objektive: The aim of this research is to determine the effect of health education about baby massage on the maternal behavior to massage her baby in Trimurti Village of Srandakan, Bantul, Yogyakarta 2011. Method: This was a quasi experimental study with a one group pretest-posttest study design. The study site was in Trimurti Village of Srandakan Bantul, Yogyakarta done in 2011. The sampling technique used purposive sampling with 32 respondents. Data analysis technique used McNemar Test with standard error (α) 0.05. Results: Maternal behavior to baby massage at the time of pretest was in majority not suitable with the technique with a score < 65 in 32 respondents, while the maternal behavior to baby massage at the time of posttest was in majority suitable with the technique with a score > 65 in 32 respondents. It was proven with McNemar Test showing the p-value = 0.000 (p<0.05). Conclusion: Health education about baby massage can increase on the maternal behavior in Trimurti Village, Srandakan, Bantul, Yogyakarta 2011.Mothers should broaden their insights about baby massage to enhance maternal behavior in applying baby massage techniques correctly to increase the baby’s growth and development. Keywords: Health education, Baby Massage, Bahavior
PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan, perilaku, dan rangsangan atau stimulasi yang berguna. Salah satu bentuk stimulasi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat adalah dengan pijat bayi atau terapi sentuh. Pijat bayi adalah pemijatan yang dilakukan dengan usapan-usapan halus pada permukaan kulit bayi, dilakukan dengan menggunakan tangan yang bertujuan untuk menghasilkan efek terhadap syaraf, otot, sistem pernafasan serta sirkulasi darah dan limpha. (1) Sentuhan alamiah pada bayi sama artinya dengan tindakan memijat atau mengurut. Tindakan ini bisa menjadi terapi dan
mem-berikan banyak manfaat buat bayi dan ibu jika tindakan ini dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan tata cara dan teknik pemijatan bayi. (2) Banyak penelitian menunjukkan, penerapan dari terapi sentuhan yang diwujudkan dalam bentuk pemijatan bayi memberikan manfaat yang sangat besar pada perkembangan bayi, baik secara fisik maupun emosional. Hasil penelitian Field & Scafidi menunjukkan bahwa pemijatan pada bayi dapat meningkatkan kenaikan berat badan lebih cepat. (3-4) Dalam melaksanakan asuhan keperawatan anak, perawat mempunyai berbagai peran dan fungsi. Dalam memenuhi kebutuhan asah anak, perawat berperan memberikan stimulus untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Salah satu stimulus
37
Media Ilmu Kesehatan Vol. 1, No. 2, Agustus 2012
yang diberikan adalah stimulus taktil atau sentuhan, misalnya dengan pijat bayi.(5-6) Selain itu, perawat juga mempunyai peran sebagai edukator yaitu membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatannya, misalnya dengan memberi penyuluhan kesehatan mengenai permasalahan kesehatan yang ada di daerah tersebut sehingga terjadi perubahan perilaku setelah diberikan pendidikan kesehatan. (7) Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada 10 responden di desa Trimurti, Srandakan, Bantul, Yogyakarta diketahui sebagian besar ibu belum mengetahui dengan jelas pengaruh positif pijat bayi terhadap ibu dan bayinya, serta belum mengetahui cara melakukan pijat bayi yang baik dan benar sesuai pedoman pijat bayi. Mereka mengatakan di desanya dukun masih memegang peranan penting dalam pemijatan bayi. Masyarakat menganggap bahwa pijat bayi hanya dilakukan jika bayi mereka sakit atau rewel, ada juga yang menganggap pijat bayi sebagai rutinitas perawatan bayi setelah bayi lahir. Kebiasa-an melakukan pemijatan pada bayi oleh dukun bayi masih dilakukan oleh hampir semua orang tua yang memiliki bayi dan balita. Hasil wawancara dengan Bidan Desa di Puskesmas didapatkan data bahwa selama ini puskesmas sudah pernah memberkan pelatihan tentang pijat bayi terhadap dukun bayi di Desa Trimurti, namun belum pernah memberikan pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap ibu-ibu di Desa Trimurti. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Pijat Bayi Terhadap Perilaku Ibu Melakukan Pijat Bayi Di Desa Trimurti Srandakan Bantul Yogyakarta“.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian Quasi Experiment dengan menggunakan one group pretest-posttest design. Penelitian ini dilakukan di desa Trimurti Srandakan Bantul Yogyakarta. Populasi yang digunakan adalah ibu yang memiliki bayi berjumlah 89 orang ditentukan secara purposive. Sampel sebanyak 32 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi sampel adalah ibu yang memiliki bayi usia 36 bulan, belum pernah pernah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang pijat bayi, tingkat pendidikan minimal SD dan ibu primipara. Kriteria eksklusi adalah bekerja sebagai tenaga kesehatan. Analisis data menggunakan uji McNemar Test yaitu uji statistik nonparametrik untuk menguji hipotesis dua sampel berhubungan yang berkorelasi bila datanya berbentuk nominal. (8) HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden dalam penelitian ini meliputi umur ibu, umur bayi responden, tingkat pendidikan dan pekerjaan ibu. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Karakteristik
Umur ibu (th) 20-30 > 30 Umur bayi (bln) 3 4 5 6 Pendidikan SD SMP SMA Pekerjaan Ibu rumah tangga Pegawai Swasta
f
%
28 4
87,5 12,5
7 8 8 9
21,9 25,0 25,0 29,1
2 5 25
6,2 15,6 78,1
18 14
56,2 43,8
Distribusi frekuensi yang tergambar dalam tabel di atas menunjukkan bahwa seba-
Media Ilmu Kesehatan Vol. 1, No. 2, Agustus 2012
gian besar responden mempunyai umur 2030 tahun, mempunyai bayi berumur 6 bulan, dengan tingkat pendidikan SMA dan mempunyai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan, usia dan pekerjaan ibu mempengaruhi perilaku ibu melakukan pijat bayi, namun perilaku ibu melakukan pijat bayi juga dipengaruhi oleh peran petugas kesehatan. Menurut Green (1980), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain 1) faktor predisposisi meliputi pendidikan, ekonomi atau pendapatan, hubungan sosial, 2) faktor pendukung meliputi lingku-ngan fisik, fasilitas kesehatan, 3) faktor penguat meliputi petugas kesehatan dan tokoh masyarakat. Tabel 2. Praktik Pijat Bayi yang Dilakukan Ibu Variabel
Tehnik pijat bayi Sesuai Tidak Sesuai
Sebelum f %
0 100
0 100
Sesudah f %
100 0
100 0
p
0,00
Pada tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa praktik pijat bayi yang dilakukan ibu sesudah diberikan pendidikan kesehatan, semua pengukuran responden masuk dalam kategori “Sesuai”. Uji McNemar menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara pendidikan kesehatan terhadap peningkatan kemampuan ibu dalam melakukan pijat bayi dengan nilai p=0,00 (p<0,05). Peningkatan signifikan terjadi setelah reponden diberikan pendidikan kesehatan tentang pijat bayi oleh penelti secara individual dengan metode bimbingan dan demonstrasi serta penyuluhan menggunakan alat bantu sederhana yaitu leaflet dan alat pandang dengar dengan pemutaran VCD di rumah responden, sehingga memberi keleluasaan pada responden secara pribadi bertanya dan mendemonstrasikan pijat bayi. Semua ibu sudah dapat melakukan pijat bayi
38
sesuai dengan teknik, dengan memperhatikan materi yang diberikan, menanyakan kepada petugas kesehatan jika ada kesalahan dan mengulang terus materi pijat bayi melaui pemutaran VCD menggunakan media TV/komputer dan leaflet serta mempraktikan sehingga ibu dapat memahami dengan baik tentang materi dan praktik pijat bayi sesuai teknik. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (9) yaitu kemampuan ibu yang diajarkan cara pijat bayi secara signifikan mengalami peningkatan. Perubahan kemampuan ibu dalam melakukan pijat bayi ini sesuai dengan teori proses perubahan perilaku “unfreezing to refreezing” menurut Lewin (1951) yang berlansung dalam 5 tahap, yaitu: fase pencarian, fase diagnosa masalah, fase penentuan tujuan, fase tingkah laku baru dan fase pembekuan ulang. (10) Pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan perilaku secara terencana pada diri individu, kelompok, atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai hidup sehat. Pendidikan kesehatan merupakan proses belajar pada individu, kelompok, atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai kesehatan menjadi tahu, dan dari tidak mampu mengatasi masalah kesehatan sendiri menjadi mandiri. (11) KESIMPULAN DAN SARAN Pemberian pendidikan kesehatan tentang pijat bayi dapat meningkatkan perilaku ibu melakukan pijat bayi. Petugas kesehatan (perawat) diharapkan memberikan pendidikan kesehatan tentang pijat bayi supaya ibu dapat melakukan stimulasi tumbuh kembang anak secara mandiri dirumah.
Media Ilmu Kesehatan Vol. 1, No. 2, Agustus 2012
KEPUSTAKAAN 1. Subakti dan Anggraini. (2008) Keajaiban Pijat Bayi dan Balita. Jakarta: Wahyu Media. 2. Anindyawati, Y. (2007) Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Teknik Pijat Bayi Terhadap Pengetahuan dan Ketrampilan Ibu Melakukan Pijat Bayi. Skripsi Sarjana Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta. Tidak diterbitkan 3. Roesli. (2008). Pedoman Pijat Bayi. Edisi Revisi, Jakarta: Trubus Agriwidya. 4. Maharani, S. (2009). Pijat dan Senam Sehat Untuk Bayi. Jogjakarta: Katahati. 5. Nursalam. (2008) Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Cetakan kedua. Jakarta: Salemba Medika. 6. Hidayat, A.A. (2005) Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika. 7. Potter dan Perry. (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC 8. Dahlan, Muhamad Sopiyudin. (2008) Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Edisi 3. Jakarta. Salemba Medika. 9. Ningsih, A.W. (2009) Perbandingan Peningkatan Pengetahuan Ibu Tentang Pijat Bayi Pada Balita Setelah Mendapat Penyuluhan dan Pemutaran VCD di Kelurahan Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Skripsi Sarjana Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan. 10. Suliha. (2002). Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. 11. Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Renika Cipta
39
34
Media Ilmu Kesehatan Vol. 3, No. 2, Agustus 2014
PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG HYGIENE BERPENGARUH TERHADAP PERILAKU ORANG TUA DALAM MELAKUKAN HYGIENE PADA ANAK DIARE 1
2
1
I Made Budhi Mustika , Atik Badi’ah , Dwi Susanti 1
Stikes A.Yani Yogyakarta
2
POLTEKKES KEMENKES Yogyakarta ABSTRACT
Background: The occurrence of diarrhea in children is correlated with parents’ practices on hygiene (handwashing) behavior. The results of preliminary studies at Pediatric Ward Wonosari General Hospital indicated that most parents have lack of knowledge on the correct procedure of hand washing. Objectives: The aim of this research was to determine the effect of health education about hygiene on parents' behavior in performing hygiene in children with diarrhea in Pediatric Ward Wonosari General Hospital. Methods: This research was quasi experimental with one group pre-test and post-test design. Research was conducted at Pediatric Ward in Wonosari General Hospitalin 2012. Fifty-six respondents were recruited through saturated sampling. Data were analyse during apaired t-test with significance level of α<0.05. Results: Parents’ behavior in performing hygiene at the time of pretest was in majority was less (with a score of≤ 56%) of 51 respondents (91.1%), this score increased with majority was good (with a score of 75-100%) of 50 respondents (89.3%) in post-test. Paired t-test resulted in p-value=0.000 (p <0.05). Conclusion: There was a significant effect of health education about hygiene on parents’ behavior in performing hygiene in child with diarrhea in Pediatric Ward Wonosari General Hospital. Keywords: Behavior, Health Education, Hygiene
PENDAHULUAN
kehidupan, memberikan susu formula dalam
Di Indonesia diare masih merupakan
botol bayi, penyimpanan makanan masak
salah satu masalah kesehatan masyarakat
pada suhu kamar, menggunakan air minum
utama. Hal ini disebabkan masih tingginya
tercemar,
angka kesakitan dan menimbulkan banyak
memasak, makan atau sebelum menyuapi
kematian terutama pada bayi dan balita, serta
anak atau sesudah buang air besar dan
(1)
sering menimbulkan kejadian luar biasa. Terjadinya
diare
pada
anak
tidak
tidak mencuci tangan pada saat
sesudah membuang tinja anak, dan tidak membuang
tinja
dengan
benar.
Faktor
terlepas dari peran faktor perilaku yang
lingkungan yaitu sarana air bersih dan
menyebabkan penyebaran kuman enterik
pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan
terutama
berinteraksi dengan perilaku manusia.(2)
berhubungan
dengan
interaksi
perilaku ibu dalam mengasuh anak dan faktor
Salah satu bentuk perawatan diri atau
lingkungan dimana anak tinggal. Faktor
kebersihan diri (personal hygiene) adalah
perilaku menyebabkan penyebaran kuman
kebersihan tangan yang dilakukan dengan
enterik dan meningkatkan resiko terjadinya
mencuci
diare yaitu tidak memberikan ASI ekslusif
mengetahui
secara
menggunakan
penuh
pada
bulan
pertama
tangan.
Sebagian
masyarakat
pentingnya
mencuci
tangan
sabun,
namun
dalam
35
Media Ilmu Kesehatan Vol. 3, No. 2, Agustus 2014
kenyataanya masih sangat sedikit (5%) yang
dominan pada kesehatan masyarakat kita.
tahu bagaimana cara melakukan dengan
Banyak keputusan pribadi yang dibuat tiap
benar. Di dalam praktiknya sebagian besar
hari yang membentuk gaya hidup dan
masyarakat menganggap mencuci tangan
lingkungan sosial dan fisik.(4)
dengan
air
saja
sudah
cukup
untuk
Dalam melakukan asuhan keperawatan
mencegah penyakit, padahal mencuci tangan
anak, perawat mempunyai berbagai peran
dengan air saja tidak cukup. Mencuci tangan
dan fungsi. Salah satunya adalah perawat
dengan sabun secara tepat harus dilakukan
berperan sebagai pemberi perawatan. Dalam
sebelum makan, sebelum menyusui, sebelum
hal
menyiapkan makanan, setelah buang air
memberikan pelayanan keperawatan anak,
besar, setelah menceboki anak-anak, setelah
sebagai perawat anak, pemberian pelayanan
membuang
kotoran
anak-anak,
keperawatan
menyentuh
binatang
dan
setelah
setelah
ini
peran
utama
dapat
perawat
dilakukan
adalah
dengan
habis
memenuhi kebutuhan dasar anak seperti
bermain dan memegang uang. Mencuci
kebutuhan asah atau stimulasi, asih, dan
tangan menggunakan sabun yang tepat
asuh. (5)
mengurangi resiko terjadinya penyakit seperti
Dalam
memenuhi
kebutuhan
asuh
diare dan dapat mengurangi resiko diare
anak, perawat mempunyai peran sebagai
diantara anak-anak usia lima tahun kebawah
edukator. Peran perawat sebagai edukator
hingga 45%.
(3)
dapat dilakukan dengan membantu klien
Pengetahuan tentang hygiene akan
dalam meningkatkan tingkat pengetahuan
mempengaruhi praktik hygiene. Namun, hal
kesehatanya, misalnya dengan memberikan
ini
penyuluhan
saja
tidak
cukup,
karena
motivasi
merupakan kunci penting dalam pelaksanaan Kesulitan
hygiene.
internal
yang
mempengaruhi akses praktik hygiene adalah ketiadaan
motivasi
mengenai
permasalahan kesehatan yang ada di daerah tersebut sehingga terjadi perubahan perilaku setelah diberikan pendidikan kesehatan.(6)
kurangnya
Hasil studi pendahuluan Di RSUD
pengetahuan. Hal ini bisa diatasi dengan
Wonosari yang telah dilakukan oleh peneliti
mengetahui kebutuhan klien dan memberikan
pada tanggal 26 Januari 2012 didapatkan
informasi yang tepat. Berikan materi yang
data jumlah pasien rawat inap dengan
mendiskusikan kesehatan sesuai dengan
penyakit diare dari tanggal 01 Januari sampai
perilaku
termasuk
31 Desember 2011 dengan umur 0-28 hari
konsekuensi jangka panjang dan pendek bagi
sebanyak 2 kasus, umur 28 hari- 1 tahun
klien.
sebanyak
yang Klien
karena
kesehatan
ingin
dicapai,
berperan
penting
dalam
kesehatan
dirinya
karena
sebanyak 176 kasus dan umur 5-14 tahun
perawatan diri merupakan hal yang paling
sebanyak 59 kasus dengan total 320 kasus
menentukan
93
kasus,
umur
1-4
tahun
36
Media Ilmu Kesehatan Vol. 3, No. 2, Agustus 2014
per tahun dengan rata-rata 28 kasus per
dalam
bulan.
nonprobability
Hasil wawancara pada 5 orang tua
penelitian
diambil
sampling
menggunakan
dengan
metode
yang memiliki anak diare di Bangsal Anak
accidental sampling, dengan teknik “total
RSUD
sampling” atau sampel jenuh sebanyak 56
Wonosari
didapatkan
bahwa
5
responden (100%) belum mengetahui cara
responden.
melakukan cuci tangan yang baik dan benar,
Bangsal Anak RSUD Wonosari Yogyakarta
sebagian besar orang tua tidak mencuci
pada Bulan Juni-Juli 2012.
tangan menggunakan sabun sebelum makan,
Alat
Penelitian
yang
ini
dilakukan
digunakan
di
untuk
sebelum menyusui, sebelum menyuapi anak,
mengumpulkan data adalah lembar observasi
setelah buang air besar, setelah menceboki
(check list). Lembar observasi (chek-list)
anak, setelah membuang kotoran anak.
dalam penelitian ini terdiri dari 2 butir aspek
Mereka mengatakan bahwa mencuci tangan
yang dinilai yang terbagi dalam 12 butir
menggunakan air saja sudah cukup untuk
pernyataan yang bersifat positif dengan nilai
menghilangkan kuman penyebab penyakit
“0” ,”1”. Chek-list ini diambil dari buku
dan mereka mencuci tangan dengan sabun
“Pendidikan Anak Usia Dini” Siswanto Hadi
jika tangan mereka dianggap masih bau atau
tahun 2010 yang sudah baku.
kotor. Sebagian besar dari mereka juga
Data pemberian pendidikan kesehatan
pendidikan
tentang hygiene terhadap perilaku orang tua
kesehatan tentang kebersihan diri khususnya
melakukan hygiene dapat dilihat dari skor
cuci tangan.
pretest dan posttest sesuai dengan kategori.
belum
pernah
mendapatkan
Untuk BAHAN DAN CARA PENELITIAN
mengetahui
pengaruh
pendidikan
kesehatan tentang hygiene terhadap perilaku
Penelitian ini menggunakan metode
orang tua melakukan hygiene digunakan uji
Quasi Experiment, yaitu penelitian untuk
paired t test. Pengolahan data dibantu
menguji hipotesis sebab akibat dengan cara
menggunakan program komputer.
memberikan
intervensi
(percobaan
atau
perlakuan) terhadap terjadi perubahan atau
HASIL DAN PEMBAHASAN
pengaruh
Karakteristik Responden
dengan
terhadap
variabel
menggunakan
yang
rancangan
lain, “One
Dari
hasil
penelitian
didapatkan
Group Pretest-Posttest” dan menggunakan
beberapa data tentang karakteristik data
populasi penelitian yaitu seluruh seluruh
subyek
orang tua yang memiliki anak diare di
pendidikan
Bangsal
Karakteristik secara lengkap dapat dilihat
Anak
RSUD
Wonosari
yang
berjumlah 330 per tahun dengan rata-rata populasi sebanyak 28 per bulan. Sampel
penelitian
pada tabel 1.
dan
seperti pekerjaan
umur,
tingkat
Orang
tua.
37
Media Ilmu Kesehatan Vol. 3, No. 2, Agustus 2014
Tabel 1 Sebaran Karakteristik Responden Kategori
Umur <30 tahun 30-40 tahun >40 tahun Pendidikan SD SMP SMA Pekerjaan Tani Buruh Pedagang IRT Jumlah
Frekuensi
Persentase (%)
42 13 1
75.0 23.2 1.8
0 18 38
0 32,1 67,9
6 7 9 34 56
10,7 12,5 16,1 60,7 100
Hasil analisa univariat bertujuan untuk perilaku
responden
sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan, seperti yang disajikan pada tabel 3 dan tabel 4. Table 3 Perilaku Orang Tua Sebelum Diberikan Pendidikan Kesehatan (Pre-test) Pada Bulan Juni-Juli 2012 Perilaku Orang Tua Kurang (≤ 56%) Cukup (56-75%) Baik (75-100%) Total
Frekuensi 51 5 0 56
Persentase (%) 91,1 8,9 0 100,0
Tabel 4 Berdasarkan Perilaku Orang Tua Setelah Diberikan Pendidikan Kesehatan (Post-test) Pada Bulan Juni-Juli 2012 Perilaku Orang
Tabel 4 Uji Paired t-test Perilaku Orang Tua Melakukan Hygiene Sebelum Dan Sesudah Diberikan Pendidikan Kesehatan Tentang Hygiene Paired t-test
Mean
Std. Deviation
Perilaku orang tua melakukan hygiene (setelah) Perilaku orang tua melakukan hygiene (sebelum)
5.30357
1.23465
t
df
p
32.145 55 0.000
Karakteristik Responden
Analisa Univariat mendeskripsikan
Analisa Bivariat
Frekuensi
Tua
Persentase (%)
Kurang (≤ 56%)
0
0
Cukup (56-75%)
6
10,7
Baik (75-100%)
50
89,3
Total
56
100,0
Dalam penelitian ini sebagian besar umur responden berusia kurang dari 30 tahun yaitu 42 orang (75%). Usia seseorang dapat mempengaruhi perilaku melakukan hygiene, semakin bertambah usia tentunya akan memiliki
pengalaman
yang
lebih
dibandingkan dengan yang memiliki usia muda.
Semakin
bertambah
usia
akan
semakin berkembang pola pikirnya. Sehingga perilaku praktik hygiene yang dilakukan semakin
membaik.
Pendidikan
respoden
dalam penelitian ini mayoritas berpendidikan SMA yaitu 38 respoden (67,9%). Pendidikan membentuk pola pikir hingga memberikan kemudahan dalam atau
pemberian
penerimaan informasi pendidikan
kesehatan
tentang hygiene oleh petugas kesehatan. (4) Dalam penelitian ini sebagian besar responden tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga yaitu 34 responden (60,7%). Mayoritas
ibu
yang
tidak
bekerja
atau
sebagai ibu rumah tangga lebih banyak
38
Media Ilmu Kesehatan Vol. 3, No. 2, Agustus 2014
waktu luangnya untuk mencari informasi
“Baik” (75-100%) sebanyak 50 responden
kesehatan sehingga bisa berperilaku baik.
(89,3%), hanya sebagian kecil responden yang masuk dalam kategori “Cukup” (56-
Perilaku Orang Tua Melakukan Hygiene
75%) sebanyak 6 responden (10,7%) dan
Sebelum Diberikan Pendidikan Kesehatan
tidak
Perilaku responden melakukan hygiene sebelum
diberikan pendidikan kesehatan
ada
responden
yang
mempunyai
perilaku melakukan hygiene dalam kategori “Kurang” (≥56%). Perilaku orang tua melakukan hygiene
tentang hygiene sebagian besar responden masuk dalam kategori “Kurang” (≤56%)
setelah
sebanyak 51 responden (91,1%) dan tidak
sebagian besar sudah dapat melakukan
ada responden yang mempunyai perilaku
hygiene
melakukan hygiene dalam kategori “Baik (75-
memperhatikan
100%)”. Hasil menunjukkan sebagian besar
menanyakan kepada petugas kesehatan jika
perilaku
ada kesalahan dan mengulang terus materi
sebelum
hygiene
pendidikan
kesehatan
dilakukan
dengan
kategori
Perilaku melakukan hygiene sebelum pendidikan
dipengaruhi
sesuai
pendidikan dengan
materi
melalui
hygiene
kesehatan
teknik, yang
media
dengan diberikan,
leaflet
serta
mempraktikan sehingga orang tua dapat
“Kurang” (≤56%). diberikan
diberikan
kesehatan
pengetahuan
dan
dapat
memahami dengan baik tentang materi dan melakukan hygiene sesuai teknik. Perilaku
informasi
perorangan
hubunganya
informasi-informasi
pada dasarnya adalah respon seseorang
cara-cara
masalah
erat
seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh dari tentang
dengan
yang
kesehatan
cara
terhadap stimulus yang berkaitan dengan
pemeliharaan, cara menghindari penyakit,
sakit, pelayanan kesehatan, makanan serta
dan
dengan
lingkungan.(6)
tersebut
kesehatan tentang hygiene sangat diperlukan
mencapai
pola
hidup
sebagainya.
sehat,
Selanjutnya
pengetahuan-pengetahuan
menimbulkan kesadaran dan akhirnya akan
untuk
menyebabkan
seseorang
orang
berperilaku
dengan pengetahuan yang dimilikinya.
sesuai (6)
Pemberian
pemberian
pendidikan
pengetahuan
termotivasi
agar
meningkatkan
kebersihan dengan melakukan cuci tangan menggunakan sabun dengan teknik yang
Perilaku Orang Tua Melakukan Hygiene
sesuai dan menjaga kesehatannya dengan
Setelah Diberikan Pendidikan Kesehatan
tindakan preventif sejak dini.
Perilaku hygiene
setelah
responden diberikan
melakukan pendidikan
kesehatan tentang hygiene adalah sebagian besar responden masuk dalam kategori
39
Media Ilmu Kesehatan Vol. 3, No. 2, Agustus 2014
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Terhadap Perilaku Orang Tua
Hygiene
Melakukan Hygiene Perilaku mencuci
responden
tangan
melakukan
menggunakan
sabun
diberikan pendidikan kesehatan
tentang
hygiene
adalah
4,893
responden tangan
setelah
diberikan
tentang
hygiene
melakukan
menggunakan
sabun. Mencuci tangan menggunakan sabun
menggunakan pendidikan adalah
perbedaan
menjadi sumber infeksi terhadap diri sendiri atau lingkungan.
10,196
KESIMPULAN Ada pengaruh yang signifikan antara
sabun,
pemberian pendidikan kesehatan tentang
kesehatan
perilaku
karena tangan merupakan faktor utama yang
hygiene
dengan
standar deviasi 0,818. Hal ini menunjukkan adanya
tangan
dengan
standar deviasi 1,275, sedangkan rata-rata mencuci
mencuci
adalah suatu tindakan yang harus dilakukan
sebelum
perilaku
dengan
responden
terhadap
hygiene
perilaku
orang
tua
melakukan hygiene. Petugas kesehatan agar lebih berperan dalam
memberikan
penyuluhan
atau
tangan
informasi kesehatan terhadap orang tua yang
menggunakan sabun, sebelum dan setelah
memiliki anak diare terkait dengan perilaku
diberikan
tentang
orang tua melakukan hygiene, serta diadakan
hygiene. Hal ini juga menunjukkan adanya
tindak lanjut seperti evaluasi, agar tujuan dari
peningkatan perilaku orang tua melakukan
hygiene itu benar-benar tercapai.
melakukan
mencuci
hygiene pendidikan
kesehatan
hygiene di Bangsal Anak RSUD Wonosari sebesar 5,304 dengan standar deviasi 0,456.
KEPUSTAKAAN
Uji Paired t test menggambarkan hal
1. Adisasmito, Wiku. (2007) Faktor Resiko
yang sama. Hal ini dapat dilihat dari nilai
Diare Pada Bayi Dan Balita Di Indonesia:
signifikan kurang dari 0,05, maka dapat
Systematic Review Penelitian Akademik
disimpulkan
Bidang
pendidikan terhadap
bahwa
terdapat
kesehatan perilaku
pengaruh
tentang
orang
tua
hygiene dalam
melakukan hygiene Di Bangsal Anak RSUD
Kesehatan
Masyarakat.Jurnal
Makara Kesehatan Vol.11, No. 1. Depok: Universitas Indonesia. 2. Nasili, Thaha M. Ridwan , Seweng Arifin. (2011). Perilaku Pencegahan Diare Anak
Wonosari Yogyakarta. tua
dalam
Balita Di Wilayah Bantaran Kali Kelurahan
berkaitan
dengan
Bataraguru Kecamatan Wolio Kota Bau-
hygiene dapat meningkatkan perilaku orang
bau. Jurnal Makara Kesehatan Vol.15, No.
tua
1. Depok: Universitas Indonesia.
Keikutsertaan pendidikan
orang
kesehatan
melakukan
hygiene
sesuai
teknik
sehingga meningkatkan kebersihan anak khususnya penularan kuman melalui tangan
40
Media Ilmu Kesehatan Vol. 3, No. 2, Agustus 2014
3. Siswanto
Hadi.
(2010).
Pendidikan
Kesehatan Anak Usia Dini. Yogyakarta : Pustaka Rihana 4. Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan:
Konsep,
Proses, dan praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC 5. Hidayat, Aziz Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika. 6. Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan:
Konsep,
Proses, dan praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC.
PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP SUAMI TENTANG VASEKTOMI (The health education towards attitudes of husband on vasectomy) Ratna Sari Hardiani1, Mayang Anggun Pertiwi2 1,2
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember
ABSTRACT Introduction: Contraceptive user are dominated by wife, especially hormonal contraceptive, but there are many women not obey towards the usage rule of it. Finally, it can cause population explosion. Husband's envolvement in vasectomy can be a good solution, it can be defined by attitude of husband. Method: The study used quasy experimental design. There were 92 respondents that take from 120 populations in Krajan Village, Sub-district Arjasa, Jember Regency by purposive sampling. Data analysis used Mann Whitney U Test. Result: The result showed that majority of husbands in experiment group had a good attitude after intervention of health education (82,6%). While a few husbands had a good attitude in control group in post test (50%). P-value was 0,001 (0.001 < α=0.05). Conclution: It can be concluded that there is an influence of health education of vasectomy towards attitudes of husband about vasectomy, it is suggested for the health workers to use and improve health education program of vasectomy to husband. Key words: Health education, Attitudes of husband, Vasectomy
ABSTRAK Introduction: Pengguna kontrasepsi banyak didominasi oleh istri, terutama kontrasepsi hormonal, padahal banyak dari mereka yang tidak patuh terhadap aturan penggunaan kontrasepsi ini. Pada akhirnya, hal ini dapat memicu terjadinya ledakan penduduk. Keterlibatan suami dalam vasektomi dapat menjadi solusi yang baik, hal ini dapat dibangun dan ditentukan oleh sikap suami. Method: Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental. Sebanyak 92 responden yang terlibat dari 120 populasi di Dusun Krajan,Kecamatan Arjasa,Kabupaten Jember, dengan teknik purposive sampling. Data dianalisa dengan menggunakan uji Mann Whitney U Test. Result: Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas suami pada kelompok eksperimen memiliki sikap positif setelah pemberian intervensi pendidikan kesehatan tentang vasektomi (82,6%), sedangkan pada kelompok kontrol hanya sebagian suami yang mempunyai sikap positif (50%). Nilai P-value sebesar 0,001 (0.001 < α=0.05). Conclution: Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan terhadap sikap suami tentang vasektomi. Dari hasil penelitian ini disarankan agar petugas kesehatan menerapkan dan mengembangkan program pendidikan kesehatan tentang vasektomi bagi suami. Kata Kunci: Pendidikan Kesehatan, Sikap suami, Vasektomi.
Pendidikan Kesehatan Terhadap Sikap Suami Tentang Vasektomi Ratna Sari Hardiani, Mayang Anggun Pertiwi
109
PENDAHULUAN Ledakan penduduk adalah bertambahnya jumlah penduduk yang sangat pesat, dihitung dalam kurun waktu tertentu (Winarno, 2008). Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki angka pertambahan penduduk terbesar nomor empat di dunia, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah penduduk antara lain; kelahiran, kematian, migrasi atau perpindahan. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai angka 237,6 juta orang. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 Dibanding hasil Sensus Penduduk tahun 2000 terjadi pertambahan jumlah penduduk sebanyak 32,5 juta orang atau meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49 persen pertahun (BPS, 2010). Di wilayah Jawa timur, Kabupaten Jember merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar nomor dua dengan jumlah penduduk sebanyak 2.329.929 jiwa (BPS Jember, 2010). Ledakan penduduk yang terus terjadi akan menimbulkan dampak secara sosial, ekonomi dan juga kesehatan. Dampak dari segi kesehatan antara lain tidak terpenuhinya status kesehatan anak yang diikuti dengan kekurangan gizi atau gizi buruk serta BGM (Bawah Garis Merah), meningkatnya jumlah penyakit menular dan tidak menular, kesiapan ibu dalam melakukan pola asuh anak dengan jarak kelahiran yang dekat dan jumlah anak lebih dari dua, kemiskinan penduduk yang meningkat yang dapat memicu ketidakmampuan mengakses pelayanan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan gizi dan kalori (Manuaba, dkk, 2009). Pertambahan penduduk nampak pada terjadinya fenomena baby booming. Baby booming terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat khususnya pasangan suami istri dalam keikutsertaan program keluarga berencana (KB). Pasangan suami istri tidak mengikuti program KB berhubungan erat dengan kurangnya pengetahuan serta pemahaman tentang reproduksi, juga masih adanya suatu kepercayaan bahwa banyak anak akan lebih banyak rejeki sebagai dampak aspek budaya nenek moyang, hukum agama yang
110
masih belum jelas dalam melakukan KB, ada pula anggapan di masyarakat apabila seseorang telah dilakukan vasektomi, dan tubektomi maka akan di anggap di kebiri dan tidak sesuai kodrat manusia (Manuaba, dkk, 2009). Perubahan perilaku dari seseorang dapat diubah secara perlahan melalui tahapan perubahan pengetahuan, sikap, dan diikuti oleh perilaku. Sikap adalah suatu tindakan terhadap suatu obyek yang telah distimulasikan kepada orang tersebut, yang menunjukkan tanda senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju pada objek tersebut (Notoadmodjo, 2005). Pendidikan kesehatan vasektomi adalah suatu upaya pemberian materi tentang vasektomi kepada sasaran yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap dan motivasi juga mengubah tingkah laku seseorang, dalam hal ini suami terhadap vasektomi (Notoadmodjo, 2005). Vasektomi adalah suatu metode kontrasepsi yang dilakukan secara operatif minor yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif, waktu operasi yang sangat singkat dan tidak memerlukan anestesi umum (Hartanto, 2004). Vasektomi dapat menjadi salah satu alternatif kontrasepsi yang tepat apabila wanita atau istri tidak dapat menggunakan kontrasepsi hormonal, intra uterine devices, atau tubektomi. Wanita memilih tidak menggunakan atau berhenti memakai alat kontrasepsi dengan alasan antara lain takut efek samping seperti gemuk atau bercak bercak di kulit, mengalami ketidakcocokan dengan alat kontrasepsi sebelumnya, atau riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes, migrain, depresi, penyakit jantung (Hartanto, 2004). Ada manfaat yang menonjol dari metode KB MOP atau Vasektomi ini adalah : lebih efektif, aman, sederhana, waktu operasi cepat hanya memerlukan waktu 5-10 menit, menggunakan anestesi lokal, biaya rendah, secara budaya sangat dianjurkan untuk negara yang penduduk wanitanya malu ditangani tenaga medis pria (Hartanto, 2004). Dari data yang diambil dari Badan Pusat Statistik Jember tahun 2010 didapatkan terjadi kenaikan rata rata
Jurnal Keperawatan Maternitas . Volume 1, No. 2, November 2013; 109-117
pria berusia 30 tahun keatas yang sudah berkeluarga dan belum menggunakan kontrasepsi vasektomi yang tinggal di Dusun Krajan Kemuning Lor Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember sebanyak 120 orang. Peneliti menggunakan teknik sampling yaitu purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 92 pria dengan perhitungan rumus dan disesuaikan dengan kriteria eksklusi. Lokasi penelitian berada di Dusun Krajan Kemuning Lor Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012. Sumber data didapat dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari hasil penilaian kuesioner skala sikap.
anggota rumah tangga untuk vasektomi sebesar 0,93%. Dari data yang didapat dari BKKBN Jember, angka drop out peserta KB aktif di Kecamatan Arjasa adalah 0,59 %. Peserta KB baru di Desa Kemuning Lor pada tahun 2011 adalah 0 peserta dan untuk peserta aktif menggunakan kontrasepsi vasektomi adalah 5 orang namun istri dari akseptor telah menopause. Menurut hasil wawancara yang dilakukan di Dusun Krajan bahwa selama 6 tahun terakhir tidak ada informasi kesehatan tentang vasektomi di dusun tersebut. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian Pendidikan Kesehatan Vasektomi terhadap sikap suami tentang vasektomi di Dusun Krajan Kemuning Lor Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.
HASIL DAN BAHASAN Analisis univariat menggambarkan karakteristik responden penelitian, yang meliputi umur suami, umur istri, pekerjaan, pendidikan terakhir, status KB istri, Jumlah anak, penghasilan perbulan, serta sikap suami pada kelompok eksperimen dan Kontrol.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian quasy eksperimental design dengan menggunakan pendekatan non randomized control group pretest postest design. Pada penelitian ini populasi yang digunakan oleh peneliti adalah seluruh
Tabel 1 Karakteristik Umum Responden di Dusun Krajan Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Eksperimen Kontrol Data umum Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (orang) (%) (orang) (%) a. Umur suami 1. 30-40 tahun 20 43,5 23 50,0 2. 41-51 tahun 23 50,0 21 47,5 3. Diatas 51 tahun 3 6,5 2 4,3 Total b. Umur istri 1. Dibawah 25 tahun 2. 25-35 tahun 3. Diatas 35 tahun Total c. Pekerjaan 1. PNS 2. Pedagang 3. Swasta 4. Petani 5. Tidak bekerja Total
46
100
46
100
4 37 5 46
8,7 80,0 10,9 100
6 37 3 46
13,0 80,4 6,5 100
2 15 17 11 1
4,3 32,6 37,0 23,9 2,2
2 11 21 12 0
4,3 23,9 45,7 26,1 0,0
46
100
46
100
Pendidikan Kesehatan Terhadap Sikap Suami Tentang Vasektomi Ratna Sari Hardiani, Mayang Anggun Pertiwi
111
d. Pendidikan terakhir 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. Tidak sekolah Total e. Status KB istri 1. KB hormonal 2. Tidak menggunakan KB Total f. Jumlah anak 1. 2 anak 2. 3-5 anak 3. Lebih dari 5 anak Total g. Penghasilan per bulan 1. <500.000 2. 500.000-1.000.000 3. >1.000.000 Total
Data tabel 1 diatas menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen mayoritas umur suami adalah 41-51 tahun, umur istri 25-35 tahun, pekerjaan suami adalah swasta, pendidikan terakhir SMA, istri menggunakan KB hormonal, jumlah anak 3-5 tahun, penghasilan per bulan Rp 500.000-1.000.000,00. Sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan mayoritas umur suami adalah 30-40 tahun, umur istri 25-35 tahun, pekerjaan suami adalah swasta, pendidikan terakhir SMA, istri menggunakan KB hormonal, jumlah anak 3-5 tahun, penghasilan per bulan Rp 500.000-1.000.000,00. Notoadmodjo (2005) menyatakan bahwa umur sangat menentukan tingkat pemahaman dan pola pikir untuk pengambilan keputusan Umur berpengaruh dalam meningkatkan pengetahuan, karena kemampuan mental yang diperlukan untuk mempelajari dan menyesuaikan dari pada situasi-situasi baru, seperti mengingat halhal yang dulu pernah dipelajari, penalaran analog dan berfikir kreatif dan matang. Menurut Notoatmodjo (2007), semakin tinggi pendidikan seseorang, juga semakin
112
1 10 35 0 46
2,2 21,7 76,1 0,0 100
3 20 23 0 46
6,5 43,5 50,0 0,0 100
36 10 46
78,3 21,7 100
42 4 46
91,3 8,7 100
11 31 4 46
23,9 67,4 8,7 100
12 32 2 46
26,1 69,6 4,3 100
11 29 6
23,9 63,0 13,0
15 29 2
32,6 63,0 4,3
46
100
46
100
mudah menerima informasi sehingga makin banyak pengetahuan yang dimiliki. Nampak juga bahwa istri banyak menggunakan KB hormonal, namun jumlah anak mayoritas lebih dari 2. Keluarga yang masih muda namun memiliki banyak anak akan mengalami akibat negatif umum antara lain orang tua yang akan mengkhawatirkan anaknya terutama kesehatan, perilaku, dan kesehatan, orang tua harus selalu mencukupi kebutuhan anak-anaknya, orang tua akan merasa lelah untuk mengasuh anak-anak yang banyak, pengorbanan kehidupan pribadi suami istri yang tidak dapat menikmati kesenangan berdua (Siregar, 2003). Jumlah anak yang semakin banyak namun tidak disesuaikan dengan pendapatan dan kemapanan akan menimbulkan banyak dampak yang merugikan bagi individu, sosial, dan ekonomi. Tingkat pendapatan yang rendah dapat memicu beragam permasalahan, seperti masalah gizi pada keluarga, keadaan psikologis dan emosional yang yang berdampak pada timbulnya kejahatan dan eksploitasi lingkungan hidup.
Jurnal Keperawatan Maternitas . Volume 1, No. 2, November 2013; 109-117
Tabel 2 Hasil Pre-test dan Post-test Sikap suami pada kelompok eksperimen dan control
Sikap tentang vasektomi a. Negatif b. Positif Total
Kelompok Eksperimen Pre-test Post-test Jumlah Persentase Jumlah Persentase (orang) (%) (orang) (%) 35 76,1 8 17,4 11 23,9 38 82,6 46
100,0
46
Berdasarkan tabel diatas, sikap suami pada kelompok eksperimen dinilai negatif sebelum diberikan perlakuan pendidikan kesehatan vasektomi dengan jumlah 35 orang dan 11 orang memiliki sikap positif. Kelompok kontrol 26 orang memiliki sikap negatif dan 20 orang memiliki sikap positif. Sikap negatif yang muncul ini disebabkan oleh beberapa hal seperti kurangnya informasi tentang vasektomi di Dusun Krajan hampir 6 tahun terakhir, istri yang telah menggunakan kontrasepsi hormonal sehingga suami telah merasa aman, di dusun Krajan sendiri tidak ada laki-laki yang melakukan vasektomi sehingga tidak ada role mode bagi pria yang lain. Aspek kurangnya informasi menjadi masalah yang perlu ditinjau kembali. Setelah diberikan perlakuan pendidikan kesehatan vasektomi, sikap suami pada kelompok eksperimen dinilai negatif dengan jumlah 8 dan 38 orang dengan memiliki sikap positif. Kelompok kontrol 23 orang memiliki sikap negatif dan 23 orang memiliki sikap positif. Perubahan sikap yang terjadi dikarenakan perlakuan pendidikan kesehatan vasektomi. Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep di dalam bidang kesehatan (Notoadmodjo, 2005). Tujuan dari pendidikan kesehatan adalah mengubah sikap dan persepsi, dari sikap yang mayoritas negatif menjadi sikap positif. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam proses belajar dalam rangka untuk terbentuknya sikap seseorang. Setelah dilakukan pendidikan kesehatan ternyata sikap dari suami dapat terlihat perubahannya, yang sebelum perlakuan pada kelompok eksperimen bersikap negatif, setelah perlakuan bersikap positif.
100,0
Kelompok Kontrol Pre-test Post-test Jumlah Persentase Jumlah Presentase (orang) (%) (orang) (%) 26 56,5 23 50,0 20 43,5 23 50,0 46
100,0
46
100,0
Kelompok eksperimen 8 responden tidak mengalami perubahan sikap, tetap memiliki sikap negatif. 8 responden tersebut apabila dilihat dari karakteristik respondennya yaitu pendidikan 7 orang lulusan SMP dan 1 orang lulusan SD, yaitu dalam hal ini tingkat pendidikan yang rendah memicu kurang efektifnya penerimaan pendidikan kesehatan yang diberikan oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi, 2011 menyatakan bahwa pengetahuan tentang metode vasektomi pada pria dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pria tersebut. pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap sesuatu objek tertentu. Perubahan pengetahuan memiliki tingkat yang harus dicapai yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi dan salah satu faktor penting perubahan pengetahuan adalah latar belakang pendidikan. Kelompok kontrol tidak diberi perlakuan sehingga tidak ada perubahan sikap yang signifikan, hanya perubahan 6,5% atau 3 orang bersikap positif hal ini mungkin terjadi karena tingkat pendidikan ketiga orang tersebut yang semuanya SMA, tetapi bila dilihat dari jumlah skoring ketiga responden yaitu 91, 87, 88 dengan nilai tengah ≤ 87 ini tidak terjadi kenaikan signifikan seperti kelompok eksperimen yang diberi perlakuan. Menurut teori stimulus-organisme-respons (SOR) Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme, yaitu kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok
Pendidikan Kesehatan Terhadap Sikap Suami Tentang Vasektomi Ratna Sari Hardiani, Mayang Anggun Pertiwi
113
individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif (Notoadmodjo, 2003).
atau masyarakat. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak, apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian
Tabel 3 Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Sikap Suami tentang Vasektomi Sikap suami tentang vasektomi a. Negatif b.
Positif
Kelompok Eksperimen Pretest Postest 35 8 (76,1%) (17,4%) 11 (23,9%)
Hasil
Berdasarkan hasil uji statistik dengan Mann Whitney U Test terdapat perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dimana p = 0,001 apabila p ≤ 0,05 berarti Ho ditolak. Adanya perbedaan yang signifikan atau bermakna, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan kesehatan vasektomi berpengaruh terhadap sikap suami tentang vasektomi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lasmito, dkk tahun 2009 menyatakan bahwa pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk klien akan meningkatkan pengetahuan dan kenyamanan, untuk tenaga kesehatan dapat digunakan sebagai kepuasan dan nilai moral. Pendidikan sendiri diberikan oleh seorang pendidik untuk untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan, sekaligus terjadi suatu proses meningkatkan pengetahuan, perubahan sikap serta perubahan perilaku pada individu tersebut. Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Menurut teori Blum tahun 1974 dalam Lubis (2009) menyatakan bahwa status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh
114
38 (82,6%)
Kelompok Kontrol Pretest Postest 26 23 (56,5%) (50,0%) 20 (43,5%)
23 (50,0%)
Mann Whitney U Test Z = -3,291 P = 0,001
empat hal yaitu lingkungan (fisik, sosial, budaya), perilaku, pelayanan kesehatan, herediter. Pendidikan kesehatan sendiri Menurut Kok, dkk (1990) dalam Maulana (2007) menyatakan bahwa pendidikan kesehatan dilandasi oleh motivasi dengan mengubah tiga faktor penentu perilaku, yaitu sikap, pengaruh sosial, dan kemampuan lewat komunikasi. Wood (1926 dalam Suliha et al, 2002) menyatakan bahwa pendidikan kesehatan sebagai sekumpulan pengalaman yang mendukung kebiasaan, sikap, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kesehatan individu, masyarakat, dan ras. Pendidikan kesehatan bukan seperangkat prosedur yang harus dilaksanakan atau suatu produk yang harus dicapai, tetapi sesungguhnya merupakan suatu proses perkembangan yang selalu bergerak secara dinamis, yang didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun praktik baru, yang bertujuan dengan hidup sehat. pendidikan kesehatan akan menghubungkan kesenjangan antara informasi kesehatan dan praktik kesehatan, yang memotivasi seseorang untuk memperoleh informasi dan berbuat sesuatu sehingga dapat menjaga dirinya menjadi lebih sehat dengan menghindari kebiasaan yang buruk dan membentuk kebiasaan yang baik (Notoadmodjo, 2003). Pendidikan
Jurnal Keperawatan Maternitas . Volume 1, No. 2, November 2013; 109-117
kesehatan merupakan tugas perawat educator dengan memberikan pengetahuan kesehatan untuk meningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui kegiatan pembelajaran khususnya tentang pendidikan kesehatan vasektomi sehingga dari yang tidak tahu tentang vasektomi menjadi tahu tentang vasektomi dan dapat berubah sikap diikuti dengan tindakan dalam mempertahankan kesehatannya. Pendidikan yang telah dilakukan telah sesuai dengan komponen penting dalam pendidikan kesehatan yaitu adanya input berupa pendidik dan peserta didik, proses yaitu materi dan video tentang vasektomi dan output berupa sikap yang positif. Proses pendidikan kesehatan yang dilakukan menggunakan proses belajar kelompok besar dengan jumlah 23 peserta tiap pertemuan, dalam kelompok dilakukan juga proses ceramah, diskusi dengan menitik beratkan pada proses timbal balik dalam penyampaian materi dan melihat video vasektomi serta pengalaman bervasektomi. Dalam pelaksanaan setelah pendidik memberi materi selalu memberi pertanyaan atau penekanan supaya responden lebih bisa memahami lagi materi yang diberikan. Proses pembelajaran yang menggunakan video efektif dapat meningkatkan ketertarikan pada materi sehingga stimulus yang diberikan dapat lebih efektif. Proses pembelajaran kelompok besar memiliki keunggulan antara lain dapat mengemukakan pendapat, dapat bertukar pendapat, belajar menghargai pendapat dan tanggapan orang lain, selain itu dilakukan juga pembelajaran menggunakan alat bantu yaitu video yang bertujuan untuk menimbulkan minat dan ketertarikan, Mempermudah penyampaian materi pendidikan kesehatan, mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan kesehatan. Sikap positif pada kontrasepsi mantap vasektomi adalah tujuan dari penelitian dan lewat pendidikan kesehatan yang sistematis tujuan yang diharapkan bisa tercapai. Setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang vasektomi maka suami di dusun Krajan telah mengubah tingkatan sikap tentang vasektomi yang terdiri dari menerima (receiving), merespon
(responding), menghargai (valuing) dan bertanggung jawab (responsible), sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya dari negatif menjadi positif. Teori stimulus organisasi respon yaitu suatu stimulus dapat mengubah perhatian, pengertian, dan penerimaan yang nantinya akan menghasilkan respon tertutup yaitu perubahan sikap (Notoadmodjo, 2003). SIMPULAN DAN SARAN Sikap suami pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol sebelum diberikan pendidikan kesehatan, sebagian besar menunjukkan sikap yang negatif terhadap vasektomi. Hasil post test yaitu setelah pemberian pendidikan kesehatan tentang vasektomi pada kelompok eksperimen menunjukkan, sebagian besar sikap suami pada kelompok eksperimen adalah positif, sedangkan kelompok kontrol hanya sebagian menunjukkan sikap positif terhadap vasektomi. Terdapat pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap suami tentang vasektomi antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dimana, dibuktikan dengan p value (0,001) < α (0,05). Hasil penelitian memberikan rekomendasi perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efektifitas pendidikan kesehatan tentang vasektomi dengan menerapkan dan mengembangkan berbagai metode yang bervariasi dengan sampel yang lebih besar, jenis dan rancangan penelitian yang berbeda. Intervensi lain seperti pemberian pendampingan dan konseling, atau pendekatan kualitatif untuk mengeksplor dan menggali lebih dalam sikap dan perilaku suami atau tokoh masyarakat terkait vasektomi juga perlu dilakukan. Keluarga, masyarakat dan tokoh masyarakat setempat diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai pendamping dan pemberi stimulasi secara dini dan maksimal, agar dapat mengoptimalkan keterlibatan suami dalam mendukung program keluarga berencana, khususnya vasektomi.
Pendidikan Kesehatan Terhadap Sikap Suami Tentang Vasektomi Ratna Sari Hardiani, Mayang Anggun Pertiwi
115
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi. Cetakan 14. Jakarta: Rineka Cipta. Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC Angio, dkk. 2012. Faktor- faktor yang berhubungan dengan pemilihan alat kontrasepsi hormonal di wilayah kerja puskesmas manyaran semarang. http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id /index.php/ilmukeperawatan/article /viewFile/65/62. [18 september 2012] Badan Pusat Statistik. 2010. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi http://dds.bps.go.id/download_file/I P_Maret_2011.pdf. [08 Februari 2012] Badan Pusat Statistik Jember. 2010. Hasil Sensus Penduduk Data Agregat Per Kecamatan Kabupaten Jember . http :// www. bps. go. id/ hasilSP2010/ jatim/3509. pdf . [10 November 2011] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Beacher, Jeanne. 2004. Perempuan, Agama & Seksualitas. Jakarta: Gunung Mulia. Benenson, dkk. 2004. Effects of Hormonal Contraception on Bone Mineral Density After 24 Months of Use. http://journals.lww.com/greenjourn al/Abstract/2004/05000/Effects_of_ Hormonal_Contraception_on_Bone _Mineral.13.aspx. [03 Mei 2012]. BKKBN Jatim Online. 2010. Peningkatan Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. http://jatim.bkkbn.go.id/ [10 November 2011]
116
Departemen Kesehatan RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dewi, Riska Asri Puspita. Gambaran Tingkat Pengetahuan Suami Tentang Kontrasepsi Vasektomi Di Rt 01/Rw 03 Karang Rejo Timur Kelurahan Wonokromo Surabaya. http://share.stikesyarsis.ac.id/elib/m ain/dok/00038/ [18 September 2012] Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2010. Jumlah Penduduk Jawa Timur 2010. http://dinkes.jatimprov.go.id/. [diakses sabtu, 7 januari 2012] Engineer, Asghar Ali. 2003. Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta. Godsland, dkk. 1990. The Effects of Different Formulations Of Oral Contraceptive Agents on Lipid and Carbohydrate Carbolism. http://www.nejm.org/doi/pdf/10.10 56/NEJM199011153232003. [03 Mei 2012] Hartanto, Hanafi. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka sinar harapan. Lasminto, dkk. 2009. Motivasi Perawat Melakukan Pendidikan Kesehatan Di Ruang Anggrek RS Tugurejo Semarang. http://eprints.undip.ac.id/9539/1/Ar tikel.pdf. [27 September 2012] Lubis, Ade Fatma. 2009. Ekonomi Kesehatan. Medan: USU press. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1999. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan & Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan . Jakarta: EGC. Manuaba, Ida Bagus Gde. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB . Jakarta: EGC. Manuaba, dkk. 2009. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC Manuaba, dkk. 2007. Pengantar kuliah obstetri. Jakarta: EGC Maulana, Heri. D. J. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC Messwati, Elok Dyah. 2008. Baby Booming Ancam Indonesia.
Jurnal Keperawatan Maternitas . Volume 1, No. 2, November 2013; 109-117
http://megapolitan.kompas.com/rea d/2008/07/21/21005079/Baby.Boo ming. Ancam.Indonesia [12 Februari 2012] Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka cipta. Notoadmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka cipta. Notoadmodjo, Soekidjo. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi offset. Nuraisyah, 2010. Gambaran Pengetahuan Pria Tentang Metode Operatif Pria (MOP) Di Wilayah Kerja Puskesmas Sambas Kota Sibolga tahun 2010. http://id.scribd.com/doc/36280605/ GAMBARAN-PENGETAHUANPRIA-TENTANG-METODEOPERATIF-PRIA. [28 September 12] Nursalam. 2008. Konsep&Penerapan metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Paeru, Rudi. 2007. Kuliah Kelar Bisnis Lancar. Jakarta: Penebar Plus. Pemerintah Daerah Kabupaten Jember. 2011. Profil Kabupaten Jember
2010. Jember: Pemerintah Daerah Kabupaten Jember. Rahardjo, Djoko,1996. Panduan Pelayanan Vasektomi Tanpa Pisau. Jakarta: Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI). Rogers,John. 2003. Etika Medis: Suatu Perspektif Kristen.Jakarta: Gunung Mulia. Rofiuddin, 2012. MUI Bolehkan Vasektomi. http://www.tempo.co/read/news/20 12/07/04/173414681/MUIBolehkan-Vasektomi. [26 September 2012]. Woman Deliver, 2007. Fokus on 5, Women,s Health And MDGs. http://www.womendeliver.org/asset s/Focus-on-5.pdf. [08 Februari 2012] Winarno Budi, 2008. Globalisasi Peluang Atau Ancaman Bagi Indonesia. Jakarta: Erlangga. Zulfa .2011. Pengaruh Peer Education Terhadap Sikap Manajemen Higiene Menstruasi Pada Santriwati Remaja Awal Di Pondok Pesantren Al Qodiri Kabupaten Jember .Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.
Pendidikan Kesehatan Terhadap Sikap Suami Tentang Vasektomi Ratna Sari Hardiani, Mayang Anggun Pertiwi
117
PENGARUH PEMBERIAN PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN TENTANG PERILAKU SEKSUAL
Budi Widiyanto*, Purnomo**, Arum Muria Sari*** 1. Jurusan Keperawatan – Poltekkes Kemenkes Semarang, Indonesia 2. Jurusan Keperawatan – Poltekkes Kemenkes Semarang, Indonesia 3. Prodi Keperawatan – Stikes Cendekia Utama Kudus, Indonesia Email :
[email protected]
ABSTRACT Adolescents experience emotional and physical changes along their growth and development. Furthermore adolescents need information in order to adapt to these changes. As a result of the lack of information about everything that happens allows teens to fall into things that harm themselves, other people, and their families. The results of a preliminary survey on sexual behavior in Cepogo Village, Jepara indicates that 26.6% of adolescents knowledgeable good, 26.6% of adolescents were knowledgeable, and 46.6% are less knowledgeable. The purpose of this study was to determine the effect of adolescent reproductive health education toward adolescent knowledge of sexual behavior in Cepogo village, Jepara. The method used in this study was the quasy experimental which seeks to discover causal relationships in a way involving a control group and experimental group. As for the sampling technique is the multistage sampling. This study using t-test analysis in finding the influence of adolescent reproductive health education toward adolescents’ knowledge about sexual behavior. Results of this study indicate that there is an effect of adolescent reproductive health education on knowledge about sexual behavior demonstrated by t count (8.037) is greater than the t table 1.668. The conclusion of this study is there is an effect of adolescent reproductive health education for adolescent knowledge of sexual behavior in Cepogo. Keywords : Healthy Education, Knowledge, Sexual Behavior, Adolescent.
Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Terhadap Pengetahuan Tentang Perilaku Seksual Budi Widiyanto, Purnomo, Arum Muria Sari
101
sedang dan 7 (46,6%) orang berpengetahuan kurang. Hasil survey pendahuluan tersebut menunjukkan pengetahuan remaja di Desa Cepogo, Jepara tentang reproduksi dan seputar masalah yang timbul pada perilaku seksual masih kurang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurangnya kewaspadaan remaja terhadap masalah perilaku seksual dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja. Sebagai resiko dari hal tersebut, maka memungkinkan remaja akan mengalami masalah perilaku seksual yang menyimpang.
Pendahuluan Perubahan emosi selama pubertas dan masa remaja sama dramatisnya seperti perubahan fisik. Masa ini adalah periode yang ditandai oleh mulainya tanggung jawab dan asimilasi pengharapan masyarakat. Dari hasil pengamatan terhadap remaja di Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara pada bulan Januari didapatkan bahwa masih banyak remaja yang belum mengerti tentang seksualitas termasuk masalah dalam perilaku seksual, hal ini ditunjukkan melalui hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa remaja yaitu terdapat beberapa remaja hamil di luar nikah,dari wawancara sejumlah remaja mereka cenderung membicarakan tentang pengalaman nonton film porno,masturbasi ataupun onani. Pengamatan dari beberapa telfon selular yang memiliki media pemutar film (real-one) kebanyakan terdapat koleksi film-film porno berdurasi singkat serta koleksi gambar-gambar porno. Melalui bincang-bincang dengan beberapa remaja, sebagian menceritakan berpacaran dengan berbagai perilaku seksual ringan seperti sentuhan, pegangan tangan, sampai berciuman. Dan dari hasil survei pendahuluan dengan memberikan kuesioner tentang kesehatan reproduksi dan masalah dalam perilaku seksual pada remaja di Desa Cepogo, Jepara didapat hasil dari 15 remaja, 4 (26.6%) orang berpengetahuan baik, 4 (26,6%) orang berpengetahuan
69 x70 451 68 x70 RW 7 451 82 RW 9 x70 451 91 x70 RW 10 451 60 RW 11 x70 451 81 x70 RW 12 451 RW 6
=
10,7
atau
11 sampel
=
10,5
atau
10 sampel
=
12,7
atau
13 sampel
=
14,1
atau
14 sampel
=
9,3
atau
9 sampel
=
12,6
atau
13 sampel +
Kemudian dibagi menjadi : - Kelompok eksperimen = 35 sampel - Kelompok kontrol = 35 sampel
102
Metode Jenis penelitian ini adalah kuantitatif, desain eksperimental dengan rancangan penelitian quasy-experiment. Populasi target dari penelitian ini adalah remaja di Desa Cepogo, Jepara yang berjumlah 961. Sedangkan populasi survey dari penelitian ini adalah remaja di RW 6, 7, 9, 10, 11, 12 di Desa Cepogo berjumlah 451. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah random sampling dengan metode multistage sampling. Dengan di hitung secara proposional sampling maka dapat ditentukan jumlah remaja yang diambil sebagai sampel dari masing-masing RW yaitu:
70 sampel
Jurnal Keperawatan Komunitas . Volume 1, No. 2, November 2013; 101-107
Hasil Analisa univariat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengetahuan tentang perilaku seksual pada kelompok kontrol tanpa diberi pendidikan kesehatan Pengetahuan responden pada kelompok kontrol tentang perilaku seksual ditunjukkan dari hasil pretes dan posttest yaitu : Tabel 4.4 Tabel Distribusi frekuensi Nilai Pretest dan Post Test Pengetahuan tentang Perilaku Seksual pada Kelompok Kontrol
a. Nilai Pretest Nilai Frekuensi 3.50 3 4.00 2 4.50 6 5.00 8 5.50 6 6.00 8 6.50 1 7.50 1 Total 35
Persentase % 8.6 5.7 17.1 22.9 17.1 22.9 2.9 2.9 100
Dari 35 remaja yang menjadi responden nilai pretest maksimum dari kelompok kontrol adalah 75, nilai minimumnya adalah 35 dan nilai ratarata dari kelompok control adalah 5,15. b. Nilai Posttest Nilai Frekuensi Persentase % 3.50 1 2.9 4.00 4 11.4 4.50 2 5.7 5.00 11 31.4 5.50 5 14.3 6.00 10 28.6 6.50 1 2.9 7.00 1 2.9 Total 35 100
Nilai posttest maksimum dari kelompok kontrol adalah 70, nilai minimumnya adalah 35 dan nilai rata-
rata dari kelompok kontrol adalah 5.27. 2. Pengetahuan tentang perilaku seksual pada kelompok eksperimen dengan diberi pendidikan kesehatan Pengetahuan responden pada kelompok eksperimen tentang perilaku seksual ditunjukkan dari hasil pretes dan posttest yaitu : Tabel 4.5 Tabel Distribusi frekwensi Nilai Pretest dan Post Test Pengetahuan tentang Perilaku Seksual pada Kelompok Eksperimen a. Nilai Pretest Nilai Frekuensi Persentase % 3.50 1 2.9 4.00 1 2.9 4.50 12 34.3 5.00 8 22.9 5.50 4 11.4 6.00 5 14.3 6.50 2 5.7 7.00 1 2.9 7.50 1 2.9 Total 35 100
Nilai pretest maksimum dari kelompok eksperimen adalah 7.5, nilai minimum adalah 3.5 dan nilai rata-rata dari kelompok eksperimen adalah 5.17. b. Nilai Post Test Nilai 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 Total
Frekuensi 2 2 4 5 8 8 2 4 35
Persentase % 5.7 5.7 11.4 14.3 22.9 22.9 5.7 11.4 100
Nilai maksimum dari kelompok eksperimen adalah 8.5, nilai minimum adalah 5.0 dan nilai rata-rata dari kelompok eksperimen adalah 6.95.
Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Terhadap Pengetahuan Tentang Perilaku Seksual Budi Widiyanto, Purnomo, Arum Muria Sari
103
Analisa bivariat terhadap pengaruh pemberian pendidikan kesehatan reproduksi remaja terhadap pengetahuan tentang perilaku seksual ditunjukan dengan menganalisa hasil nilai posttest antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, analisa tersebut dapat diketahui melalui uji t (menggunakan independent sample ttest) sehingga didapatkan data sebagai berikut: Tabel 4.6 Pengaruh pemberian pendidikan kesehatan reproduksi remaja terhadap pengetahuan tentang perilku seksual di Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara Kelompok
Mean
Eksperimen Kontrol df=68
6,9571 5,2714
Uji varian F p 0,512 0,477 α=0,05
t-test t p 8,037 0
t tabel=1,668
Pada tabel 4.6 (independent sample test) dapat disimpulkan pengaruh tentang pemberian pendididikan kesehatan reproduksi remaja terhadap pengetahuan tentang perilku seksual di Desa Cepogo Jepara yaitu : Analisis menggunakan F test untuk menguji apakah ada kesamaan Varian pada data Kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Terlihat bahwa nilai F hitung tentang pengetahuan perilaku seksual dengan Equal variance assumed adalah 0.512, oleh karena probabilitas >0,05 yaitu 0,477 maka kedua varian sama. Dalam membandingkan rata-rata nilai post test antara 2 kelompok dengan t-test menggunakan dasar Equal variance assumed. t hitung untuk nilai pengetahuan tentang perilaku seksual dengan Equal variance assumed adalah 8.037 dengan probabilitas 0. Oleh kerena probabilitas <0.05, maka Ho ditolak atau kedua rata-rata nilai pengtahuan tentang perilaku seksual pada kelompok eksperimen berbeda, dalam artian kelompok eksperimen mempunyai rata-rata nilai lebih tinggi dari kelompok kontrol.
104
Selain menggunakan cara tersebut, untuk mengetahui pengaruh pemberian pendidikan kesehatan reproduksi remaja terhadap pengetahuan tentang perilaku seksual dengan membandingkan t-hitung dengan t-tabel Berdasarkan table di atas, analisis statistic ttest independent sample diperoleh nilai thitung adalah 8.037 yaitu lebih besar dari ttabel dengan df 68 dan tingkat signifikasi 5% yaitu 1,668. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak, hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan pengetahuan tentang perilaku seksual antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Dengan demikian ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan reproduksi remaja terhadap pengetahuan tentang perilaku seksual di Desa Cepogo, Jepara. Diskusi A. Pengetahuan tentang perilaku seksual pada kelompok kontrol tanpa diberi pendidikan kesehatan Dari hasil penelitian didapatkan bahwa nilai rata-rata pretest dan posttes pada kelompok kontrol tanpa diberi pendidikan kesehatan reproduksi yaitu rata-rata nilai pretest adalah 5,15 sedangkan rata-rata nilai posttes adalah 5,27. Dilihat dari rata-rata nilai pretest dan posttest tersebut terdapat perubahan atau kenaikan rata-rata nilai pretets ke rata-rata nilai posttest pada kelompok kontrol namun tidak begitu signifikan. Hal tersebut dikarenakan pada kelompok kontrol tidak mendapat informasi tentang perilaku seksual melalui pendidikan kesehatan reproduksi sehingga tidak mempengaruhi pengetahuan pada kelompok kontrol tentang perilaku seksual. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Suliha dkk (2001:3) bahwa pendidikan kesehatan merupakan upaya untuk memberikan informasi untuk meningkatkan kemampuan baik pengetahuan, sikap dan perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi atau mengajak orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat agar melaksanakan perilaku hidup sehat (Notoatmodjo, 2003:17).
Jurnal Keperawatan Komunitas . Volume 1, No. 2, November 2013; 101-107
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bersifat lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo 2003:122). Mengacu teori di atas pada kelompok kontrol ini tidak diberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, maka upaya untuk mempengaruhi/mengajak individu, kelompok, ataupun masyarakat tidak terjadi pada kelompok kontrol ini. Sehingga pengetahuan pada kelompok ini akan rendah dan pengetahunanya bersifat tidak langgeng karena tidak mendapatkan pendidikan kesehatan ataupun informasi yang dapat mempengaruhi mereka. B. Pengetahuan tentang perilaku seksual pada kelompok eksperimen dengan diberi pendidikan kesehatan Dari hasil penelitian didapatkan bahwa nilai rata-rata pretest dan posttes pada kelompok eksperimen dengan diberi pendidikan kesehatan reproduksi yaitu ratarata nilai pretest adalah 5,17 sedangkan rata-rata nilai posttes adalah 6,95. dilihat dari rata-rata nilai pretest dan posttest tersebut terdapat perubahan atau kenaikan rata-rata nilai pretest ke rata-rata nilai posttest pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari kelompok kontrol. Peningkatan pengetahuan pada kelompok eksperimen dikarenakan kelompok eksperimen telah menerima informasi tentang perilaku seksual melalui proses pendidikan kesehatan reproduksi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003:121) yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Roger dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru dalam diri seseorang terjadi proses sebagai berikut : a) awareness ; subyek menyadari atau mengetahui stimulus terlebih dahulu, b) interest ; subyek mulai tertarik pada stimilus, c) evaluation ; subyek
menumbang baik&tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, d) trial ; subyek telah menimbang perilaku yang baru, e) adaption ; subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Dari hasil penelitian, pemberian pendididkan kesehatan reproduksi remaja terhadap pengetahuan tentang perilaku seksual pada remaja di Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara mengalami peningkatan pengetahuan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Dengan adanya pemberian pendidikan kesehatan reproduksi remaja diharapakan dapat membawa pengaruh terhadap perubahan perilakunya. Sehingga sesuai dengan teori diatas yaitu tahap adaption dimana subyek berperilaku sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, diperoleh t hitung adalah 8.037 yaitu lebih besar dari pada t table 1,668 Hal ini menunjukan bahwa ada pengaruh pemberian pendididkan kesehatan reproduksi remaja terhadap pengetahuan tentang perilaku seksual di Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara yang ditunjukan dengan adanya perbedaan/perubahan pengetahuan tentang perilaku seksual antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen. Setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi remaja diharapkan mampu menentukan peran dan fungsi seksualnya yang adekuat dalam kebudayaan setempat, mencapai kedewasaan dengan kemandirian, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk menghadapi kehidupan , serta mengembangkan nilai-nialai yang sesuai dengan lingkungan dan kebudayaan.
Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Terhadap Pengetahuan Tentang Perilaku Seksual Budi Widiyanto, Purnomo, Arum Muria Sari
105
Daftar Pustaka Admin. (2007). ”Pendidikan seksual remaja” http://www.skripsitesis.com/seksualitas.html
Mu’tadin. (2002). Pendidikan Seksual Pada Remaja. http://www.kespro_info.co.id/pendidik an_seks/
Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan medikal bedah Vol 1. Jakarta : EGC
Notoatmodjo. S. (2003). Ilmu kesehatan masyarakat prinsip-prinsip dasar. Jakarta : Rineka Cipta.
Danim. (2004). Metode penelitian untuk ilmu-ilmu perilaku. Jakarta:Bumi Aksara
Notoatmodjo. S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Darvill, W. and Powel .K. (2002). The puberty book. Jakarta : SUN.
Notoatmodjo. S. (2005). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2001). Kumpulan materi kesehatan reproduksi remaja. Jakarta : DepKes RI DirJen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Keluarga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). KIE kesehatan reproduksi untuk petugas kesehatan di tingkat pelayanan dasar. Bandung : Dinas Kesehatan Propinsi Jawa barat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003). Buku saku kesehatan reproduksi remaja. Jepara : Dinas Kesehatan Kabupaten.
Nursalam. (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu kesehatan. Jakarta : Salemba Medika. Perry. A.G & Potter. P. A. (2005). Foundamental keperawatan vol 1. Jakarta : EGC Prawirohardjo. (1999). Ilmu Kebidanan ed.3 cetakan 5. Jakarta : YBPPH Santrock, J.W. (2003). Jakarta : Erlangga
Addolescence.
Sarwono, S. W. (2005). Psikologi remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Dianawati, A. (2003). Pendidikan seks untuk remaja. Tangerang : Kawan Pustaka.
Saringendyanti. (2003). Pendidikan seks untuk anak. Tangerang : Kawan Pustaka.
Etikariena, A. (1998). ”Hubungan antara mitostentang seksualitasdengan keserba bolehan perilaku seksual pranikah pada remaja ABG di Jakarta” http://www.hqweb01.bkkbn.go.id/ceria /ma6.seksualitas.html
Sugiyono. (2005). Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta.
Hamilton. (2000). Keperawatan maternitas. Jakarta : EGC. Manuaba, I.B.G. (1999). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan
106
Suliha, U, Herawani, Sumiati, & Resnayati. (2001). Pendidikan kesehatan dalam keperawatan. Jakarta : EGC. Syartika. (1998). ”Masalah seksual remaja”. http://www.hqweb01.bkkbn.go.id/ceria /ma7.seksualitas.html Taufik. (2005). ”Perilaku seksual remaja SMU di Surakarta”.
Jurnal Keperawatan Komunitas . Volume 1, No. 2, November 2013; 101-107
http://www.hqweb01.bkkbn.go.id/hqw eb/ceria/mbrt_page78.htm
Usman & Akbar. (2003) “Pengantar statistika”. Jakarta : Bumi Aksara
Utamadi, G dan Tito. (2007). ”Kesehatan seksual” http://www.geocities.com/guntoroutam adi/artikel-kesehatan-seksual.html
Yayasan Harapan Permata Hati. (2007). “Aspek seksual normal dan abnormal”. http://www.yakita.or.id/seks_abnormal .htm
Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Terhadap Pengetahuan Tentang Perilaku Seksual Budi Widiyanto, Purnomo, Arum Muria Sari
107
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN PERSIAPAN PASIEN PULANG TERHADAP KEPUASAN PASIEN TENTANG PELAYANAN KEPERAWATAN DI RS ROMANI SEMARANG Vivi Yosafianti1), Dera Alfiyanti2) Program Studi Keperawatan Universitas Muhammadyah Semarang (UNIMUS)
Abstrak Kepuasan pasien merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dengan harapan yang dimilikinya. Hal ini berarti kepuasan pasien diperoleh setelah pasien menerima pelayanan kesehatan dari rumah sakit tempat mereka dirawat dan dibandingkan dengan pelayanan kesehatan yang mereka harapkan. Kepuasan pasien dipengaruhi oleh faktor internal yaitu karakteristik individual pasien dan faktor ekternal yaitu pelayanan kesehatan yang berasal dari rumah sakit termasuk pelayanan keperawatan. Penelitian ini menjelaskan pelayanan keperawatan yang dimaksud adalah pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kepuasan pasien setelah dilakukan pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang nutrisi sebesar 94,77%, sedangkan yang tidak diberikan pendidikan kesehatan sebesar 69,04% dengan nilai p = 0,0001. Dengan demikian pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang nutrisi berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kepuasan pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang aktivitas sebesar 93,09%, dan pada kelompok yang tidak diberikan pendidikan kesehatan sebesar 66,41% dengan nilai p = 0,0001. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang terhadap kepuasan pasien tentang dalam pelayanan keperawatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kepuasan pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang obat-obatan sebesar 93,43% dan pada kelompok yang tidak diberikan pendidikan kesehatan sebesar 73,45% dengan nilai p = 0,0001. Hal ini berarti terdapat pengaruh pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang terhadap kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan. Kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yaitu pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang nutrisi lebih tinggi secara bermakna daripada kepuasan pasien yang tidak diberikan pendidikan kesehatan, dimana program ini diharapkan pasien dan keluarga memiliki persepsi yang baik. Kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yaitu pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang aktivitas lebih tinggi secara bermakna daripada kepuasan pasien yang tidak diberikan pendidikan kesehatan, dimana program ini tidak diharapkan dan pasien memiliki persepsi yang tidak baik Kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yaitu pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang obat-obatan lebih tinggi secara bermakna daripada kepuasan pasien yang tidak diberikan pendidikan kesehatan, dimana program ini diharapkan pasien dan pasien memiliki persepsi yang baik. Kata kunci: pendidikan kesehatan, persiapan pasien pulang, kepuasan pasien
PENDAHULUAN Salah satu aspek dari tujuh dimensi pelayanan keperawatan yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan dan kepuasan pasien adalah pemberian informasi yang jelas, komunikasi efektif dan pendidikan kesehatan yang diperlukan oleh pasien ( Potter dan Perry, 2005). Menurut Suryawati dkk. (2006), pada tiga rumah sakit di Jawa Tengah menjelaskan bahwa indikator kepuasan pasien yang berhubungan dengan pelayanan keperawatan adalah penjelasan perawat terhadap tindakan yang akan dilakukan, pemberian dan penjelasan obat, respon perawat terhadap keluhan pasien serta sikap dan ketrampilan perawat. Asumsi peneliti bahwa komunikasi dan pemberian pendidikan kesehatan oleh perawat kepada pasien merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam memenuhi kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan. WHO menjelaskan bahwa perawat memiliki peran kunci untuk melaksanakan pendidikan kesehatan. Perawat perlu melakukan peran ini pada semua tatanan pelayanan, baik pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Perawat juga perlu melaksanakan peran ini pada semua tingkat pencegahan, mulai dari tingkat pencegahan primer sampai dengan tersier. Pendapat peneliti bahwa pasien yang berada dirumah
sakit harus mendapatkan pendidikan kesehatan sebagai wujud peran perawat pada tingkat pencegahan sekunder maupun tersier. Pendidikan kesehatan harus dilaksanakan secara terprogram dan sesuai dengan kebutuhan pengetahuan yang mereka perlukan saat dirawat maupun ketika pulang. Discharge planning/ perencanaan pemulangan pasien adalah proses sistematis yang bertujuan menyiapkan pasien meninggalkan rumah sakit untuk melanjutkan program perawatan yang berkelanjutan dirumah atau diunit perawatan komunitas (Taylor, dkk. 1989). Program perencanaan pemulangan pada dasarnya merupakan program pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien yang meliputi nutrisi, aktifitas/ latihan, obat-obatan dan instruksi khusus yaitu tanda dan gejala penyakit pasien (Potter & Perry, 2005). Pasien yang akan pulang jika dipersiapkan dengan baik, maka tidak akan mengalami hambatan dalam melanjutkan program pengobatan dan rehabilitasi, serta akan mencapai tingkat kesehatan yang lebih baik. Konsumen pelayanan kesehatan/ pasien menginginkan kepuasan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pada dasarnya konsep pelayanan berkualitas sebagai penilaian baik buruknya rumah sakit dapat dilihat dari empat komponen yang mempengaruhinya yaitu: 1) aspek klinik yang meliputi pelayanan dokter, perawat, dan teknis medis, 2) efisiensi dan efektifitas, yaitu pelayanan yang murah dan tepat guna, 3) keselamatan pasien, yaitu upaya perlindungan pasien dari hal yang membahayakan keselamatan pasien, serta 4) kepuasan pasien, yaitu tentang kenyamanan, keramahan, dan kecepatan pelayanan (Lusa, 2007). Kepuasan pasien sebagai salah satu indikator pelayanan berkualitas harus menjadi perhatian karena berhubungan langsung dengan pengguna pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Roemani merupakan rumah sakit yang sedang berkembang dan selalu ingin melakukan inovatif-inovatif dengan cara pembenahan-pembenahan demi mencapai tujuan sesuai visi misi. Selain itu dengan banyaknya rumah sakit swasta di Jawa Tengah juga merupakan alasan yang kuat untuk bersaing dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pelayanan keperawatan dilakukan dengan menggunakan proses keperawatan meskipun belum berjalan dengan baik. Pemberian pendidikan kesehatan pada pasien belum dilakukan secara terprogram terutama program pendidikan untuk pasien yang akan pulang. Pemberian informasi dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan keperawatan, tetapi belum mencakup keseluruhan hal-hal yang seharusnya diketahui oleh pasien ketika pulang. Peneliti ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang terhadap kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan. Kepuasan pasien merupakan reaksi afeksi dan dinamis yang berhubungan dengan perasaan kenyamanan,keramahan, kecepatan pelayanan serta pemberian informasi tentang kesehatan yang dibutuhkan. Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan utama pada suatu rumah sakit, dimana salah satu aspek pelayanan keperawatan yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan dan kepuasan pasien adalah pemberian pendidikan kesehatan pada pasien. Berdasarkan uraian diatas ingin diketahui adakah pengaruh pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang terhadap tingkat kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan METODE PENELITIAN a.Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan pre experimental design ( quasi experiment ) dengan desain posttest only with control group design atau static group comparison, yaitu pengambilan data satu kali untuk dua kelompok, setelah kelompok intervensi diintervensi dan kelompok lain tidak
diintervensi dimana kelompok intervensi pada ruang rawat inap dewasa ( Ruang Usman) dan kelompok yang tidak diintervensi adalah ruang Umar. Lokasi penelitian adalah pada dua ruang rawat inap di Rumah Sakit Roemani Semarang. b. Cara penelitian Menjelaskan pada pasien tentang tujuan penelitian, kemudian meminta persetujuan untuk menjadi responden. Mengisi kuesioner penelitian dengan didampingi peneliti kemudian menjelaskan tentang cara mengisi dan menjelaskan jika ada yang kurang jelas. Kemudian mengambil kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di rumah sakit Roemani Semarang pada ruangan rawat inap pasien dewasa yaitu ruang Usman sebagai kelompok Intervensi dimana peneliti melakukan intervensi pendidikan kesehatan dan ruang Umar sebagai kelompok yang tidak dilakukan intervensi sebagai kelompok kontrol. Peneliti mengukur kepuasan pasien pada kelompok intervensi dan kontrol setelah pasien dinyatakan boleh pulang oleh dokter. Rumah Sakit Roemani merupakan rumah sakit milik organisasi Muhamadiyah yang sedang melakukan pembenahan mutu pelayanan keperawatan serta belum maksimalnya program pendidikan kesehatan oleh perawat. Rumah Sakit Roemani terletak dipusat kota Semarang, dimana pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan/keperawatan memiliki karakteristik tersendiri serta menginginkan pelayanan kesehatan yang diterimanya selama dirawat dapat memuaskannya. B. Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Keperawatan Kepuasan pasien merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dengan harapan yang dimilikinya. Hal ini berarti kepuasan pasien diperoleh setelah pasien menerima pelayanan kesehatan dari rumah sakit tempat mereka dirawat dan dibandingkan dengan pelayanan kesehatan yang mereka harapkan. Kepuasan pasien dipengaruhi oleh faktor internal yaitu karakteristik individual pasien dan faktor ekternal yaitu pelayanan kesehatan yang berasal dari rumah sakit termasuk pelayanan keperawatan. Penelitian ini menjelaskan pelayanan keperawatan yang dimaksud adalah pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang C. Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Keperawatan/ Pendidikan Kesehatan Persiapan Pasien Pulang tentang Nutrisi Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kepuasan pasien setelah dilakukan pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang nutrisi sebesar 94,77%, sedangkan yang tidak diberikan pendidikan kesehatan sebesar 69,04% dengan nilai p = 0,0001. Dengan demikian pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang nutrisi berpengaruh terhadap kepuasan pasien. D. Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Keperawatan/ Pendidikan Kesehatan Persiapan Pasien Pulang tentang Aktivitas Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kepuasan pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang aktivitas sebesar 93,09%, dan pada kelompok yang tidak diberikan pendidikan kesehatan sebesar 66,41% dengan nilai p = 0,0001. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pemberian pendidikan
kesehatan persiapan pasien pulang terhadap kepuasan pasien tentang dalam pelayanan keperawatan.
E. Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Keperawatan/ Pendidikan Kesehatan Persiapan Pasien Pulang tentang Obat-obatan Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kepuasan pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang obat-obatan sebesar 93,43% dan pada kelompok yang tidak diberikan pendidikan kesehatan sebesar 73,45% dengan nilai p = 0,0001. Hal ini berarti terdapat pengaruh pemberian pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang terhadap kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan. Pemberian pendidikan kesehatan dapat dilaksanakan sewaktu-waktu ketika pasien membutuhkan informasi, tetapi pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang harus dilaksanakan secara terprogram sehingga sesuai dengan kebutuhan pasien dan dapat meningkatkan kepuasan pasien. SIMPULAN 1. Kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yaitu pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang nutrisi lebih tinggi secara bermakna daripada kepuasan pasien yang tidak diberikan pendidikan kesehatan, dimana program ini diharapkan pasien dan keluarga memiliki persepsi yang baik. 2. Kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yaitu pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang aktivitas lebih tinggi secara bermakna daripada kepuasan pasien yang tidak diberikan pendidikan kesehatan, dimana program ini tidak diharapkan dan pasien memiliki persepsi yang tidak baik. 3. Kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yaitu pendidikan kesehatan persiapan pasien pulang tentang obat-obatan lebih tinggi secara bermakna daripada kepuasan pasien yang tidak diberikan pendidikan kesehatan, dimana program ini diharapkan pasien dan pasien memiliki persepsi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian. Cetakan Keduabelas. Jakarta : PT Rineka Cipta. Brockopp, D.Y. & Marie, T.H.T. (2000). Fundamental of nursing research (Dasardasar riset keperawatan). Boston: Jones & Barlett Publishers. Burns, N. & Grove, S.K. (1991). The practice of nursing research: conduct, critiques and utilisation. 2nd. Philadelphia: WB Sounders C.O. Creswell, John.W. (1994). Research design, quantitative & qualitative approaches (Desain penelitian, pendekatan kualitatif & kuantitatif). Sage Publications Danim, S. (2003). Riset Keperawatan : Sejarah dan Metodologi. Jakarta : EGC Depkes, RI (1998). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta : Direktorat Rumah Sakit Umum dan Pendidikan, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Gibson, J.L. (1999). Organisasi : perilaku, struktur, proses. Jakarta : Erlangga Handoko, T.H.(2001). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. (Edisi Kedua). Yogyakarta : BPFE ----------- (2003). Manajemen.(Edisi Kedua). Yogyakarya : BPFE Harahap, S.S.(1998). Manajemen kontemporer. Cetakan kedua. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Hastono, S.P. (2007). Analisis Data, Depok: FKM-UI.
James.AF Stoner (1997), Management , edisi kedua, Prentice/ Hall International, Inc. Englewood Cliffs, New York Ilyas ,Y. (2004). Kinerja : Teori, penilaian dan penelitian. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ---------- (2004). Perencanaan SDM Rumah Sakit : teori, metode dan formula. Jakarta : Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI Loveridge, and Cumming. (1996). Nursing management in the new paradigm. Maryland : An Aspen Publication.
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT TATANAN RUMAH TANGGA TERHADAP PENGETAHUAN IBU RUMAH TANGGA DI DESA SURODADI KECAMATAN CANDIMULYO TAHUN 2012 Rizka Artanti INTISARI Kesehatan sebagai hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab setiap orang. Upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat perlu diadakannya promosi kesehatan. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga terhadap pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Surodadi Kecamatan Candimulyo. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan pendekatan Pretest-Posttest design. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2012. Sampel penelitian ini adalah ibu rumah tangga Desa Surodadi yaitu 91 orang. Responden diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan secara langsung dari responden melalui penyebaran kuesioner. Variabel bebas penelitian ini adalah pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga dan variabel terikatnya adalah pengetahuan ibu rumah tangga. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas kolmogorov-smirnov dan uji statistik Wilcoxon dengan program SPSS 16 for Windows. Uji statistik menunjukkan ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga terhadap pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Surodadi Kecamatan Candimulyo yaitu (p) = 0,0001. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijaksanaan bagi instansi terkait juga bagi tenaga kesehatan. Kata Kunci : Pendidikan Kesehatan, Pengetahuan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat perlu diadakannya promosi kesehatan yaitu upaya meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Salah satu upaya promosi kesehatan yaitu dengan upaya penyuluhan. Upaya penyuluhan adalah semua usaha secara sadar dan berencana yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia sesuai
PENDAHULUAN Kesehatan sebagai hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab setiap orang, keluarga dan masyarakat serta didukung oleh pemerintah. Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan Pembangunan Kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. 1
pelayanan kesehatan masyarakat merupakan sarana kesehatan yang penting dalam meningkatkan derajat kesehatan. Kabupaten Magelang terdapat 29 Puskesmas. Berdasarkan data yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang tahun 2010, rumah tangga dengan strata paling rendah yaitu strata pratama, paling banyak terdapat di wilayah Puskesmas Candimulyo yakni 39,2%. Strata pratama paling banyak kedua terdapat di wilayah Puskesmas Dukun yaitu 22,9%, ketiga di wilayah Puskesmas Salam 16.4% dan Puskesmas Kajoran I 16,2%.
prinsip-prinsip pendidikan dalam bidang kesehatan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2009) Berdasarkan data yang masuk pada tahun 2009 di wilayah Provinsi Jawa Tengah, jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan berjumlah 381.857 kegiatan, terbagi menjadi penyuluhan kelompok sebanyak 339.399 kegiatan dan penyuluhan massa sebanyak 42.458 kegiatan. Pemberdayaan masyarakat dapat dimulai dari rumah tangga, karena anggota rumah tangga merupakan asset atau modal pembangunan yang perlu dijaga, ditingkatkan, dan dilindungi kesehatannya. Beberapa anggota rumah tangga mempunyai masa rawan terkena penyakit, oleh karena itu rumah tangga perlu diberdayakan agar berperilaku hidup bersih dan sehat. Menurut Khrisna Jaya yang mewakili Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dalam pidatonya di acara “Gerakan 21 Hari Lifebuoy Aksi Nyata Gerakan Indonesia untuk Hidup Bersih dan Sehat” di Plaza Bapindo, Jakarta, Kamis 22 Desember 2011, bahwa evaluasi tahun 2010 cakupan rumah tangga yang melakukan PHBS hanya 40% dari target 50%. Ini berarti cakupan rumah tangga yang melakukan PHBS masih belum mencapai target yang diinginkan. (www.liputan6.com)
Puskesmas Candimulyo merupakan salah satu Puskesmas dengan jumlah PHBS strata pratama terbanyak. Wilayah Puskesmas Candimulyo terdapat 39,2% strata pratama, 29,3% strata madya, 22,8% strata utama dan 8,7% strata paripurna. Puskesmas Candimulyo meliputi 19 desa. Berdasarkan hasil survey terakhir tahun 2010, Desa yang mempunyai jumlah rumah tangga dengan strata terbaik paling sedikit adalah Desa Surodadi yaitu 38 KK (4,01%) dari 947 KK. Data tersebut dapat disimpulkan bahwa masih banyak rumah tangga yang belum memiliki perilaku hidup bersih dan sehat yang baik, dalam artian masih dapat berubah, yaitu 95,99% (909 KK). Jumlah ibu rumah tangga di desa tersebut berjumlah 909 orang. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang memiliki strata PHBS yang masih kurang baik yaitu strata pratama, strata madya dan strata utama dengan jumlah 909 ibu rumah tangga. Desa Surodadi terbagi menjadi 15 dusun. Data terakhir menunjukkan bahwa Desa Surodadi mempunyai penduduk berjumlah 5200 jiwa.
Menurut profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2009, dibandingkan dengan target pencapaian Renstra tahun 2008-2013 yaitu Kabupaten/Kota mencapai rumah tangga sehat 75%, pencapaian Jawa Tengah belum berhasil, karena baru mencapai 63,68 %, hal tersebut dapat terjadi karena perubahan perilaku tidak dapat terjadi dalam waktu singkat, tetapi memerlukan proses yang sangat panjang termasuk didalamnya perlu upaya pemberdayaan masyarakat yang berkesinambungan. Pusat (Puskesmas)
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dari 5 ibu rumah tangga secara acak di Desa Surodadi terdapat 4 ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan kurang, dan 1 ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan sedang.
Kesehatan Masyarakat sebagai ujung tombak 2
Penelitian dimulai sejak Maret 2012 sampai Agustus 2012. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Surodadi Kecamatan Candimulyo. Data primer diperoleh dari pemberian kusioner. Kuesioner ini meliputi indikator PHBS tatanan rumah tangga. Data sekunder meliputi data tentang jumlah KK, jumlah KK yang memiliki strata PHBS pratama, madya, dan utama yang berasal dari rekapan kader di Desa Surodadi dan bidan desa Surodadi.
Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa upaya kesehatan harus ditingkatkan secara terus menerus untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, lingkungan yang sehat dan informasi serta edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Setiap orang juga berkewajiban berperilaku Hidup Bersih dan Sehat serta menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga penulis tertarik untuk memberikan pendidikan kesehatan dan diharpkan dapat meningkatkan pengetahuan bahkan perilaku hidup bersih dan sehat. Apabila perilaku masyarakat sehat, diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan suatu penyakit dan angka kematian ibu dan anak akibat kurangnya kesadaran tentang perilaku hidup bersih dan sehat.
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga di Desa Surodadi Kecamatan Candimulyo yang memiliki strata pratama, madya dan utama yaitu 909 orang. Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2011). Penentuan sampel menggunakan purposive sampling, dengan tujuan mengambil dusun secara acak berdasarkan pemetaan. Desa Surodadi bagian timur diwakili dusun Tepus Wetan, bagian tengah dusun Giyombong, dan bagian barat diwakili dusun Posong, dengan masing-masing jumlah sampel sebagai berikut :
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini terdapat 2 variabel, meliputi variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi yaitu pendidikan kesehatan dan variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi yaitu pengetahuan ibu rumah tangga tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga. Penelitian ini menggunakan pre experiment design. Pre experiment design merupakan rancangan penelitian eksperiment yang paling lemah serta tidak untuk membuktikan kasual, yang terdiri atas one shot case study, pretest-pos test, dan static group comparison. Metode yang digunakan adalah Rancangan Pretest-Posttest design. Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan pretest (pengamatan awal) terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi. Setelah itu diberikan intervensi, kemudian dilakukan posttest (pengamatan akhir) (Hidayat, 2009).
Tepus Wetan 85 IRT dibulatkan menjadi 37 IRT Giyombong 46 IRT dibulatkan menjadi 20 IRT Posong 77 IRT dibulatkan menjadi 34 IRT Definisi operasional merupakan batasan untuk membatasi ruang lingkup dan pengertian variabel-variabel yang diteliti. Definisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument (Notoatmodjo, 2010). 3
dalam kuesioner. Kurang baik, apabila bisa menjawab < 56% dari seluruh pernyataan dalam kuesioner (Nursalam, 2011).
a. Pengetahuan ibu rumah tangga tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga adalah hasil menjawab jawaban benar oleh ibu rumah tangga tentang PHBS tatanan rumah tangga meliputi KIA dan gizi, Kesehatan lingkungan, gaya hidup, serta kesehatan masyarakat baik sebelum maupun sesudah dilakukan pendidikan kesehatan. Skala : Ordinal Alat ukur : Kuesioner dengan pertanyaan tertutup. Jika benar sesuai kunci jawaban diberi skor 1. Jika salah, diberi skor 0. Parameter : Kriteria penilaian dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Nursalam (2011). a. Berpengetahuan rendah (kurang) Jika jawaban benar < 56 %. b. Berpengetahuan sedang (cukup) Jika jawaban benar 56-75 %. c. Berpengetahuan tinggi (baik) Jika jawaban benar 76-100 %. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan angket. Angket tentang pengetahuan PHBS tatanan rumah tangga yang dimaksud adalah pengetahuan meliputi KIA/Gizi, kesehatan lingkungan, gaya hidup dan kesehatan masyarakat. Sebelum dilakukan penelitian intrimen terlebih dahulu dilakukan Uji Validitas dan Uji Reliabilitas. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan uji validitas konstruk dengan menggunakan judgement expert dosen mata kuliah promosi kesehatan D4 Kebidanan Komunitas Magelang, bagian kesehatan masyarakat Puskesmas Candimulyo dan Kepala Puskesmas Candimulyo. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
2) Analisis Bivariat Untuk menguji apakah sebaran dari data berdistribusi normal atau tidak menggunakan uji kolmogorov-smirnov, dengan hasil nilai signifikan pretest yaitu 0,002 dan hasil nilai signifikan posttest 0,0001. Data tersebut dapat disimpulkan bahwa distribusi data tidak normal. Berdasarkan uji normalitas, uji statistiknya yang digunakan adalah Wilcoxon. Nilai signifikan dari uji Wilcoxon yaitu p = 0,0001. Berdasarkan uji statistik wilcoxon, dapat disimpulkan terdapat perbedaan bila diperoleh nilai p-value < 0,05 (berarti menerima Ha, menolak Ho). HASIL PENELITIAN A. HASIL PENELITIAN 1. Analisis Univariat Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Rumah Tangga tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga Sebelum dilakukan Pendidikan Kesehatan (Pretest) No.
1 2 3
Pengetahuan tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga (Pretest)
f
%
Baik
45
58,4 %
Cukup
29
37,7 %
Kurang
3
3,9 %
77
100 %
Jumlah
1) Analisis Univariat Penelitian ini, apabila responden bisa menjawab > 75% dari seluruh pernyataan dalam kuesioner berarti baik. Cukup, apabila bisa menjawab 56%-75% dari seluruh pernyataan
Tabel 1 menunjukkan bahwa pengetahuan ibu rumah tangga paling banyak terdapat pada kategori berpengetahuan baik yaitu terdapat 45 ibu rumah tangga atau sebesar 58,4%, kemudian yang berpengetahuan cukup 4
terdapat 29 ibu rumah tangga (37,7 %) dan berpengetahuan kurang yaitu terdapat 3 ibu rumah tangga (3,9 %). Tabel 2
No.
1. 2. 3.
derajat kesalahan (α) adalah 5% atau 0,05, Ha diterima jika nilai signifikan (p) < α, maka ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga terhadap pengetahuan ibu rumah tangga, yang berarti hipotesis yang diajukan diterima.
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Rumah Tangga tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga Sesudah dilakukan Pendidikan Kesehatan (Posttest)
Pengetahuan tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga (Posttest) Baik Cukup Kurang Jumlah
f
%
72 5 0
93,5 % 6,5 % 0%
77
100 %
PEMBAHASAN Pembahasan ini akan disajikan berdasarkan analisis univariat dari variabel bebas dan terikat, kemudian dilanjutkan dengan analisa bivariat untuk mencari pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat, mengenai hasil penelitian yang terkait dengan pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga terhadap pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Surodadi Kecamatan Candimulyo.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pengetahuan ibu rumah tangga paling banyak terdapat pada kategori berpengetahuan baik yaitu 72 ibu rumah tangga (93,5 %), kemudian yang mempunyai pengetahuan cukup yaitu 5 ibu rumah tangga (6,5 %) dan tidak ada yang mempunyai pengetahuan kurang.
1. Analisa Univariat a. Pengetahuan Tentang Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Tatanan Rumah Tangga Sebelum Di Lakukan Pendidikan Kesehatan (Pretest) Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga didapatkan 45 ibu rumah tangga (58,4%) mempunyai pengetahuan baik. Kategori terendah adalah pada kategori berpengetahuan kurang yaitu 3 responden (3,9%). Responden yang berpengetahuan cukup sebanyak 29 responden (37,7%).
2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan perbedaan pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat antara pretest dan post-test menggunakan uji statistik Wilcoxon karena setelah dilakukan uji normalitas data didapatkan data yang berdistribusi tidak normal. Uji normalitas data didapatkan hasil data pretest dan posttest berdistribusi tidak normal, maka uji statistik yang digunakan adalah uji Wilcoxon. Berdasarkan uji signifikansi Wilcoxon melalui program SPSS for windows versi 16 didapatkan bahwa nilai signifikansi (p) dari olah SPSS for windows versi 16 yaitu 0,0001. Menggunakan ketentuan bahwa
Berdasarkan fakta diatas, pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Surodadi paling banyak adalah baik. Baiknya pengetahuan responden karena sumber informasi yang mereka dapatkan sudah banyak. Soekanto (2002) berpendapat bahwa Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal. Berdasarkan studi 5
tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan pendidikan kesehatan sebagian besar responden mempunyai pengetahuan baik. Sesuai dengan hasil penelitian, pendidikan kesehatan ternyata sangat berperan dalam perubahan pengetahuan seseorang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suliha (2002) bahwa pendidikan kesehatan merupakan proses belajar pada individu, kelompok, atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai kesehatan menjadi tahu , sehingga mampu meningkatkan pengetahuan seseorang.
pendahuluan mayoritas penduduknya berpendidikan rendah, namun informasi didapatkan dari pendidikan non formal. Menurut salah satu kader mengatakan sudah pernah diadakan pelatihan di Bapelkes Salaman tentang program PHBS. Kader sudah pernah menginformasikan kepada masyarakat melalui posyandu yang diadakan sebulan sekali maupun kegiatan PKK. Hal-hal tersebut ditegaskan dengan pendapat Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan seseorang terhadap sesuatu diperoleh dari berbagai sumber. Pendidikan, pengalaman, informasi, lingkungan budaya dan sosial ekonomi ikut serta dalam mempengaruhi pengetahuan yang mereka miliki. Pengetahuan yang baik juga dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Misalnya pengetahuan tentang KIA dan gizi, dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa persalinan oleh tenaga kesehatan. Di desa tersebut persalinan sebagian besar oleh tenaga kesehatan, karena sudah jarang sekali dukun yang menolong persalinan walaupun mungkin masih ada beberapa yang bersalin di dukun. Dahulu mungkin masih banyak ibu hamil yang melahirkan di dukun karena budaya yang turun temurun, namun saat ini budaya tersebut sudah semakin hilang.
Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pendidikan merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan. Jadi, dengan pendidikan kesehatan, pengetahuan seseorang mampu berubah mejadi lebih baik. 2.Analisa Bivariat Berdasarkan uji signifikansi Wilcoxon melalui program SPSS for windows versi 16 didapatkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga terhadap pengetahuan ibu rumah tangga, yang berarti hipotesis yang diajukan diterima. Berdasarkan analisa tersebut diuraikan bahwa adanya pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan seseorang. Pendidikan kesehatan sangat diperlukan tidak hanya terhindar dari penyakit tetapi juga untuk peningkatan pengetahuan dan kualitas hidup. Menurut Notoatmodjo (2005), pendidikan kesehatan merupakan penambah pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau intruksi secara individu untuk meningkatkan kesadaran akan nilai kesehatan sehingga sadar mau
b. Pengetahuan Tentang Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Tatanan Rumah Tangga Sebelum Dilakukan Pendidikan Kesehatan (Posttest) Berdasarkan hasil penelitian, setelah dilakukan pendidikan kesehatan sebagian besar responden mempunyai pengetahuan baik yaitu terdapat 72 responden (93,5%), sisanya 5 responden mempunyai pengetahuan cukup. Dari hasil 6
meningkatkan pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga pada ibu rumah tangga, sehingga dalam penelitian ini terdapat pengaruh pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga terhadap pengetahuan ibu rumah tangga.
mengubah perilakunya menjadi perilaku sehat. Hal ini ditegaskan menurut batasan WHO (1954) dalam Machfoedz (2009) tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku orang atau masyarakat dari perilaku tidak sehat menjadi perilaku sehat. Menurut Notoatmodjo (2003) ada enam tingkatan pengetahuan. Peneliti mengambil tiga tingkatan dari ke-enam tingkatan pengetahuan yaitu tahu, memahami, dan aplikasi. Perilaku termasuk tingkat pengetahuan aplikasi yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Sehingga pendidikan kesehatan mampu mengubah tingkat pengetahuan yang buruk (tidak sehat) menjadi baik (sehat).
SIMPULAN 1. Tingkat pengetahuan ibu rumah tangga tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga sebelum dilakukan pendidikan kesehatan (pretest) termasuk baik, yaitu 45 responden (58,4%). 2. Tingkat pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga sebelum dilakukan pendidikan kesehatan (posttest) sebagian besar mempunyai pengetahuan baik yaitu 72 responden (93,5%). 3. Ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga terhadap pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Surodadi. Hasil didapatkan dari analisa Wilcoxon nilai signifikansi (p) adalah 0,0001 maka Ha diterima (p < 0,005). SARAN
Metode yang digunakan dalam pendidikan kesehatan ini yaitu ceramah dan tanya jawab. Media yang digunakan adalah leaflet. Menurut Notoatmodjo (2007), leaflet merupakan salah satu contoh alat peraga sederhana. Alat peraga ini merupakan salah satu pendukung dalam pendidikan kesehatan. Perubahan pengetahuan seseorang tergantung dari media dan metode yang digunakan dalam menyampaikan pesan, karena alat bantu berfungsi untuk membantu dan memperagakan sesuatau didalam proses pendidikan / pengajaran sehingga memperjelas pesan yang disampaikan (Notoatmodjo, 2007). Pada saat diberikan pendidikan kesehatan, responden mendengarkan dan memperhatikan dengan seksama materi yang disampaikan, sehingga pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat ini dapat meningkatkan pengetahuan ibu rumah tangga. Hal ini bisa dilihat dari hasil penilitian diatas yang menunjukkan peningkatan pengetahuan antara pretest dengan posttest. Hasil tersebut membuktikan bahwa metode ceramah dengan media leaflet mampu digunakan untuk
1. Bagi Peneliti Peneliti diharapkan mampu menguasai materi dalam pemberian pendidikan kesehatan sehingga responden dapat memahami materi secara maksimal. Metode yang digunakan sebaiknya dengan media yang lebih menarik seperti film maupun alat peraga tiga dimensi. Bagi peneliti yang akan datang diharapkan lebih mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan variabel dan metode penelitian yang berbeda 2. Bagi Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat 7
agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tidak hanya meningkatkan pengetahuan saja namun juga mampu mengubah perilaku kesehatan yaitu dengan kerjasama lintas sektoral contohnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dalam pembangunan sarana rumah tangga yang mendukung kesehatan.
sehat, misalnya setiap ada kegiatan PKK, serta mampu sebagai contoh dalam penerapan perilaku hidup bersih dan sehat. 4. Bagi Masyarakat Masyarakat diharapkan mencari sumber informasi terkait dengan perilaku hidup bersih dan sehat misalnya aktif bertanya kepada petugas kesehatan maupun kader agar senantiasa meningkatkan pengetahuannya. Pengetahuan yang baik diharapkan mampu mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat.
3. Bagi Kader Kader sebagai tangan panjang tenaga kesehatan sebaiknya mampu memberikan penyuluhan kesehatan terkait dengan perilaku hidup bersih dan
DAFTAR PUSTAKA Adam,
Rizki. (2011). Program PHBS Jadi Indikator Utama Kemenkes. httpkesehatan.liputan6.comread368659program-phbs-jadi-indikator-utama-kemenkes. Tanggal 30 Maret 2012
Arikunto, Suharsimi (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi VI. Jakarta : Rineka Cipta Depkes RI. (2009). Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009. Jakarta : Depkes RI Dinkesprovjateng. (2009). Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2009. Semarang : Dinkesprovjateng Dinkesprovjateng. (2010). Pedoman Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga. Semarang : Dinkesprovjateng Ghozali, Imam. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang : BP Undip Hidayat, A.A (2009). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika Machfoedz. (2009). Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta --------------------. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta --------------------. (2005). Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta --------------------. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta 8
Nursalam .(2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Proverawati, Atikah. (2012). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Yogyakarta : Nuha Medika Rimawati, Bunga (2011). Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Sindroma Premenstruasi terhadap Pengetahuan Siswi Kelas 1 tentang Sindroma Premenstruasi di SMK Yayasan Pendidikan 17 Magelang. Tidak diterbitkan Riwidikdo,Handoko .(2009). Statistik Kesehatan. Jogyakarta: Mitra Cendekia. Soekanto, S. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiyono. (2007). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV.Alfabeta. Suliha, U.( 2002). Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. Utari, Titik (2005). Hubungan Periläku Hidup Bersih dan Sehat Dengan Kejadian Diare Di Wilayah Kerja Puskesmas Delanggu. Tidak diterbitkan
9
Artikel Penelitian
Pengetahuan Konjungtivitis pada Guru Kelas dan Pemberian Pendidikan Kesehatan Mencuci Tangan pada Siswa Sekolah Dasar Konjunctivitis Knowledge Classrooms’ Teachers and the Granting of Health Education About Hand Washing in Elementary Schools’ Students
Anindya Hapsari* Isgiantoro**
*Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Jurusan Ilmu Kesehatan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang, **Bagian Kesehatan Lingkungan dan Penyuluhan Kesehatan Puskesmas Trowulan Mojokerto
Abstrak Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva karena mikroorganisme, alergi, atau bahan kimia. Total kasus konjungtivitis dan gangguan konjungtiva di Indonesia (2009) sekitar 73%. Konjungtivitis terjadi karena infeksi mikroorganisme merupakan penyakit menular yang terjadi lewat kontak langsung atau barang penderita. Sebagian besar penderita konjungtivitis adalah anak-anak yang umumnya tertular dari teman di sekolah, tempat bermain, atau bimbingan belajar. Data Puskesmas Trowulan Mojokerto menunjukkan kenaikan jumlah siswa sekolah dasar penderita konjungtivitis meliputi 3% (2009), 4% (2010), 7% (2011), dan 9% (2012). Cara termudah mencegah penularan konjungtivitis adalah mencuci tangan dengan sabun. Guru sebagai wakil orang tua di sekolah dan idola anak diharapkan berperan dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik. Desain penelitian adalah potong lintang, penarikan sampel dengan purposive sampling. Sampel penelitian adalah seluruh guru kelas sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Trowulan. Penelitian menemukan 80 responden (59,7%) berpengetahuan kurang dan berperilaku negatif atau tidak memberikan pendidikan kesehatan terhadap peserta didiknya. Ditemukan hubungan yang bermakna pengetahuan konjungtivitis pada guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik. Kata kunci: Cuci tangan, guru, konjungtivitis Abstract Conjunctivitis is conjunctiva’s inflammation by microorganisms, allergy, or chemicals. Total conjunctivitis and conjunctiva disorders’ cases in Indonesia (2009) is 73%. Conjunctivitis caused by infection is infectious that transmitted through direct contact or contaminated goods. Most conjunctivitis patients are children. They mostly caught from friends at school, playground, 366
or tutoring. Trowulan Public Health Center’s data indicates increasing number of conjunctivitis at elementary school’s students, namely 3% (2009), 4% (2010), 7% (2011), and 9% (2012). The easiest way preventing spreading is washing hands with soap. Teachers as representatives of parents and students’ idols are expected to give health education about hand washing with soap. This study aimed to analyze the relationship of conjunctivitis knowledge of elementary schools’ classrooms’ teachers with the granting of health education about hand washing with soap on students. Study design was cross sectional with purposive sampling technique. Sample used are all elementary schools’ classrooms’ teachers at Trowulan Public Health Service’s district. Research finds 80 respondents (59,7%) less knowledgeable and behave negatively or not provide health education to their students. The conclusion is there is a meaningful relationship between conjunctivitis knowledge of elementary schools classrooms’ teachers with the granting of health education about hand washing with soap on students. Keywords: Washing hands, teachers, conjunctivitis
Pendahuluan Mencuci tangan merupakan pondasi awal untuk mengontrol penyebaran penyakit infeksi. Telah lama diketahui bahwa cara ini efektif dan paling murah untuk mengontrol penyakit.1 Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan.2 Dengan mencuci tangan dengan air dan sabun dapat lebih efektif menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan secara bermakna mengurangi jumlah mikroorganisme penyebab penyakit seperti virus, Alamat Korespondensi: Anindya Hapsari, Prodi Ilmu Kesmas Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang, Jl. Veteran No. 1 Malang 65145, Hp. 085649999005, e-mail:
[email protected]
Hapsari & Isgiantoro, Pengetahuan Konjungtivitis pada Guru Kelas
bakteri, dan parasit lainnya pada kedua tangan.3 Di China, beberapa penelitian dilakukan untuk menunjukkan kepentingan mencuci tangan. Salah satu penelitian tersebut dilakukan dengan cara menyosialisasikan program pembelajaran kesehatan tentang kebersihan tangan pada 87 sekolah di Provinsi Fujian. Program ini secara signifikan berhasil menurunkan jumlah ketidakhadiran murid di sekolah karena gejala penyakit infeksi.1 Di Indonesia, telah banyak penelitian yang mengkaji hubungan antara kebiasaan cuci tangan dengan kejadian diare. Sedangkan, penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kebiasaan cuci tangan dengan kejadian penyakit lain masih jarang dilakukan. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, ternyata dapat mengurangi insiden diare sampai 50% atau sama dengan menyelamatkan sekitar 1 juta anak di dunia dari penyakit tersebut setiap tahunnya.4 Oleh sebab itu, kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas yang tinggi, walaupun hal tersebut sering disepelekan.5 Mencuci tangan dengan sabun harus mulai dibiasakan pada diri dan lingkungan sekitar. Mencuci tangan dengan sabun dapat dilakukan kapan saja, tetapi ditekankan untuk dilakukan pada keadaan tertentu, seperti sebelum, selama, dan setelah menyiapkan makanan; sebelum makan; sebelum dan setelah merawat orang sakit; sebelum dan setelah merawat luka atau menyentuh bagian tubuh kita yang sakit; setelah dari toilet; setelah mengganti popok atau membersihkan anak-anak setelah dari toilet; setelah menyentuh ingus, kotoran mata, batuk, atau bersin; setelah menyentuh hewan, makanan hewan, atau kotoran hewan; dan setelah membuang sampah.6 Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir merupakan cara terbaik untuk mengurangi jumlah mikroba pada tangan. Apabila sabun dan air tidak tersedia, gunakanlah hand sanitizer dengan kandungan alkohol minimal 60%. Cara ini dapat dengan cepat mengurangi jumlah mikroba di tangan pada situasi tertentu, tetapi tidak dapat menghilangkan semua jenis mikroba. Hand sanitizer juga tidak dapat berfungsi efektif pada tangan yang kotor. Hand sanitizer digunakan dengan cara menggosok kedua telapak tangan secara bersamaan pada seluruh permukaan tangan dan jari hingga tangan kering.6 Konjungtiva berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi peradangan.7 Lokasi konjungtiva berisiko tinggi untuk terpajan banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain.8 Lapisan yang terus dibentuk dan diperbaharui membentuk lingkungan yang tidak mendukung perkembangan bakteri secara fisik dan imunologis.9 Bersama epitel kornea dan tear film, epitel konjungtiva membentuk barrier pelindung terhadap infeksi mata.10 Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva oleh mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, klamidia), alergi, atau iritasi bahan-bahan kimia.7 Di negara
maju seperti Amerika, insidensi konjungtivitis bakteri mencapai 135 per 10.000 penderita. Sementara di Indonesia, pada tahun 2009, dari 135.749 kunjungan ke poli mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva didapatkan hasil sebesar 73%. Konjungtivitis juga termasuk dalam 10 penyakit terbesar yang dialami pasien rawat jalan pada tahun 2009.11 Sebuah penelitian di poliklinik infeksi Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung tahun 2010 dilakukan untuk mengidentifikasi adanya hubungan antara perilaku pasien dengan kejadian konjungtivitis. Penelitian ini didasari karena peningkatan kejadian konjungtivitis dari 7.176 orang pasien pada tahun 2008 meningkat menjadi 7.228 pasien pada taun 2009. Penelitian ini melibatkan 225 pasien sebagai responden. Perilaku pasien yang diteliti meliputi kebiasaan cuci tangan, penggunaan handuk secara bersama-sama, penggunaan sapu tangan secara bergantian, dan penggunaan bantal/sarung bantal secara bersama-sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku pasien dengan kejadian konjungtivitis. Hal ini dapat diartikan bahwa responden yang memiliki perilaku memiliki kemungkinan menderita konjungtivitis lebih tinggi dari responden yang tidak memiliki perilaku berisiko. Berkaitan dengan hal ini, perlu upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi makin meluasnya penularan konjungtivitis.12 Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengubah perilaku yang mempercepat penularan konjungtivitis, antara lain dengan membiasakan mencuci tangan. Sebagian besar penderita konjungtivitis adalah anakanak. Sumber penularan konjungtivitis terbesar pada anak-anak adalah teman-temannya sendiri. Mereka umumnya tertular di sekolah, taman bermain, atau tempat bimbingan belajar. Anak-anak pada usia ini belum sadar akan pentingnya menjaga kebersihan diri agar terhindar dari agen penyakit. Mereka juga belum sadar pentingnya mencuci tangan dengan sabun untuk mencegah penyebaran penyakit. Di wilayah kerja Puskesmas Trowulan Mojokerto, jumlah penderita konjungtivitis dari kalangan siswa sekolah dasar dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. Data menunjukkan jumlah siswa sekolah dasar penderita konjungtivitis sebesar 3% pada tahun 2009, 4% pada 2010, 7% pada 2011, dan 9% pada tahun 2012. Guru sebagai wakil orang tua anak di sekolah sangat diharapkan perannya, terutama dalam upaya memberikan pendidikan kesehatan kepada anak untuk mencuci tangan dengan menggunakan sabun.13 Atas dasar uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis adanya hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas 367
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014
sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Trowulan, Mojokerto. Metode Penelitian dengan desain penelitian potong lintang ini mengukur variabel independen dan dependen pada saat yang bersamaan.13 Populasi penelitian ini adalah seluruh guru kelas sekolah dasar, sampel adalah seluruh guru kelas 1 sampai dengan kelas 6 di wilayah kerja Puskesmas Trowulan Kabupaten Mojokerto yang berjumlah 134 orang. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yang menyertakan seluruh populasi subjek penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2013 menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari hasil pengisian kuesioner dan checklist oleh guru kelas sekolah dasar yang menjadi subjek penelitian. Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Trowulan tentang jumlah kejadian penyakit konjungtivitis atau penyakit mata. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner untuk menilai tingkat pengetahuan guru kelas sekolah dasar tentang penyakit konjungtivitis dan checklist untuk menilai perilaku pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik. Checklist yang digunakan dalam penelitian ini menggunakakan skala Likert berupa suatu pernyataan dengan pilihan jawaban berupa perilaku subjek penelitian terhadap pernyataan tersebut. Pilihan jawaban subjek penelitian adalah tidak pernah, kadang-kadang, sering, atau selalu. Kuesioner dan checklist ini diberikan kepada subjek penelitian dalam waktu yang bersamaan. Data yang diperoleh dari hasil kuesioner diolah secara manual dengan proses editing, coding, scoring dan tabulating. Hasil Guru kelas sekolah dasar sebagian besar memperlihatkan pengetahuan kurang tentang penyakit konjungtivitis sekitar 80 (59,7%) (Tabel 1). Responden menjawab pertanyaan pengetahuan dan mempunyai kategori baik pada pertanyaan tentang pengertian konjungtivitis yang meliputi pertanyaan, konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata; semua jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tanpa memerlukan pengobatan; konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang etiologi konjungtivitis yang meliputi pertanyaan, konjungtivitis dapat disebabkan oleh infeksi oleh virus atau bakteri; pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang dapat mengobati penyakit konjungtivitis; dan 368
kadang konjungtivitis bisa berlangsung selama berbulanbulan atau bertahun-tahun. Responden yang menjawab pertanyaan pengetahuan dan mempunyai kategori kurang baik pada pertanyaan tentang tanda dan gejala konjungtivitis yang meliputi, mata berwarna merah (hiperemi) dan membengkak; produksi air mata berkurang; kelopak mata akan menggelantung (pseudoptosis) seolah akan menutup akibat pembengkakan konjungtiva dan peradangan konjungtiva bagian atas. Pertanyaan lain tentang cara penularan konjungtivitis yang meliputi penularan konjungtivitis ini terjadi lewat kontak langsung atau menggunakan barang penderita; penyakit konjungtivitis tidak akan menular melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain; selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum mengusap wajah atau mata dapat menghindarkan dari penularan penyakit konjungtivitis. Pertanyaan lain adalah tentang pencegahan dan pengobatan konjungtivitis, yang meliputi tidak menyentuh mata yang sehat sesudah mengenai mata yang sakit dapat mencegah penularan konjungtivitis; menggunakan handuk dan lap secara bersama-sama dengan orang lain tetap boleh dilakukan penderita konjungtivitis dan penanganan konjungtivitis dapat dimulai dengan edukasi pasien untuk memperbaiki higiene kelopak mata (Tabel 2). Hasil penelitian perilaku pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun sebagian besar adalah negatif, yaitu sekitar 80 responden (59,7%) (Tabel 3). Responden menjawab pernyataan sikap dan mempunyai kategori baik (berperilaku positif) pada pernyataan tentang menyuruh anak untuk melakukan cuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan serta setelah bermain, menyuruh anak untuk meratakan sabun dengan kedua telapak tangan saat mencuci tangan, menyuruh anak untuk menggosok kedua telapak dan sela-sela jari tangan dan tidak menyuruh siswa untuk mengeringkan dengan lap tangan yang kering dan bersih atau menggunakan tisu. Responden menjawab pernyataan sikap dan mempunyai kategori kurang baik (berperilaku negatif) pada pernyataan tentang menyuruh anak untuk melakukan cuci tangan setelah bersin atau setelah menyentuh mata yang sakit, menyuruh anak menggosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan, tidak menyuruh anak untuk membasuh jari-jari sisi dalam kedua Tabel 1. Distribusi Pengetahuan Penyakit Konjungtivitis pada Guru Kelas Sekolah Dasar Variabel
Kategori
n
%
Pengetahuan
Kurang Cukup Baik
80 30 24
59,7 22,4 17,9
Hapsari & Isgiantoro, Pengetahuan Konjungtivitis pada Guru Kelas
Tabel 2. Perincian Hasil Kuesioner Pengetahuan Responden Variabel Konjungtivitis Pengertian
Etiologi
Tanda dan gejala
Cara penularan
Pencegahan dan pengobatan
Keterangan Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Semua jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tanpa memerlukan pengobatan. Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh infeksi oleh virus atau bakteri. Pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang dapat mengobati penyakit konjungtivitis. Kadang konjungtivitis bisa berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Konjungtivis ditandai mata berwarna merah (hiperemi) dan membengkak. Produksi air mata berkurang adalah salah satu tanda penyakit konjungtivitis. Kelopak mata akan menggelantung (pseudoptosis) seolah akan menutup akibat pembengkakan konjungtiva dan peradangan konjungtiva bagian atas. Penularan konjungtivitis terjadi lewat kontak langsung atau menggunakan barang penderita konjungtivitis. Penyakit konjungtivitis tidak akan menular melalui alat- alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan, dan lain-lain. Selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum mengusap wajah atau mata dapat terhindar dari penularan penyakit konjungtivitis. Tidak menyentuh mata yang sehat sesudah mengenai mata yang sakit dapat mencegah penularan konjungtivitis. Menggunakan handuk dan lap secara bersama-sama dengan orang lain tetap boleh dilakukan oleh penderita konjungtivitis. Penanganan konjungtivitis dapat dimulai dengan edukasi pasien untuk memperbaiki higiene kelopak mata.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Perilaku Pemberian Pendidikan Kesehatan Tentang Mencuci Tangan Dengan Sabun Variabel
Kategori
n
%
Perilaku
Negatif Positif
80 54
59,7 40,3
tangan dengan saling mengunci, tidak menyuruh anak untuk menggosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan sebaliknya, menyuruh anak untuk menggosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan kiri dan sebaliknya, menyuruh anak untuk menggosokkan pergelangan tangan kiri dengan menggunakan tangan kanan dan sebaliknya, dan menyuruh anak membilas kedua tangan dengan air yang mengalir (Tabel 4). Hasil tabulasi silang hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Trowulan Mojokerto yang terbanyak adalah berpengetahuan kurang dan berperilaku negatif yaitu sebanyak 80 responden (59,7%). Hasil analisis dengan uji statistik Spearman rho didapatkan nilai p = 0,000 < α (0,05). Dengan demikian, H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya ada hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik (Tabel 5).
Kategori Baik Baik Baik Baik Baik Baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik
Pembahasan Pengetahuan pada dasarnya mencakup sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang memecahkan masalah yang dihadapi. Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengalaman langsung dan pengalaman orang lain. Sejak ada kehidupan manusia, berusaha mengumpulkan fakta untuk selanjutnya disusun dan disimpulkan menjadi berbagai teori, sesuai dengan fakta yang dikumpulkan.14 Pengetahuan adalah kegiatan ingin tahu manusia tentang segala sesuatu melalui metode dan instrumen tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpengetahuan kurang (80; 59,7%) dan sebagian kecil berpengetahuan baik (24; 17,9%). Pengetahuan kurang responden tentang penyakit konjungtivitis, seperti pengetahuan tentang tanda dan gejala konjungtivitis yang meliputi konjungtivitis ditandai mata berwarna merah (hiperemi) dan membengkak, produksi air mata berkurang adalah salah satu tanda penyakit konjungtivitis, kelopak mata akan menggelantung (pseudoptosis) seolah akan menutup akibat pembengkakan konjungtiva dan peradangan konjungtiva bagian atas; cara penularan konjungtivitis yang meliputi penularan konjungtivitis ini terjadi lewat kontak langsung atau menggunakan barang penderita konjungtivitis, penyakit konjungtivitis tidak akan menular melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain; selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum mengusap wajah atau mata dapat menghindarkan 369
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014
Tabel 4. Perincian Hasil Kuesioner Sikap Responden Keterangan
Kategori
Menyuruh anak untuk melakukan cuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan serta setelah bermain. Menyuruh anak untuk meratakan sabun dengan kedua telapak tangan saat mencuci tangan. Menyuruh anak untuk melakukan cuci tangan setelah bersin atau setelah menyentuh mata yang sakit. Menyuruh anak untuk menggosok kedua telapak dan sela - sela jari tangan. Menyuruh anak menggosok punggung tangan dan sela - sela jari tangan kiri dan tangan kanan. Tidak menyuruh anak untuk membasuh jari-jari sisi dalam kedua tangan dengan saling mengunci dan tidak menyuruh anak untuk menggosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan sebaliknya. Menyuruh anak untuk menggosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan kiri dan sebaliknya. Menyuruh anak untuk menggosokkan pergelangan tangan kiri dengan menggunakan tangan kanan dan sebaliknya. Menyuruh anak membilas kedua tangan dengan air yang mengalir. Tidak menyuruh siswa untuk mengeringkan dengan lap tangan yang kering dan bersih atau menggunakan tisu.
Tabel 5. Tabulasi Silang Hubungan Pengetahuan Konjungtivitis Guru Kelas Sekolah Dasar dengan Pemberian Pendidikan Kesehatan tentang Mencuci Tangan dengan Sabun pada Peserta Didik Perilaku Pengetahuan
Negatif
Positif
Total
n
%
n
%
n
%
Kurang Cukup Baik
80 0 0
59,7 0 0
0 30 24
0 22,4 17,9
80 30 24
59,7 22,4 17,9
Total
80
59,7
54
40,3
134
100
dari penularan penyakit konjungtivitis; pencegahan dan pengobatan konjungtivitis yang meliputi tidak menyentuh mata yang sehat sesudah mengenai mata yang sakit dapat mencegah penularan konjungtivitis, menggunakan handuk dan lap secara bersama-sama dengan orang lain tetap boleh dilakukan penderita konjungtivitis dan penanganan konjungtivitis dapat dimulai dengan edukasi pasien untuk memperbaiki higiene kelopak mata. Pengetahuan baik tentang penyakit konjungtivitis yang dimiliki responden yaitu pengetahuan yang meliputi pengertian konjungtivitis yang meliputi pertanyaan konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata, semua jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tanpa memerlukan pengobatan, konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak; etiologi konjungtivitis yang meliputi pertanyaan konjungtivitis dapat disebabkan oleh infeksi oleh virus atau bakteri, pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang dapat menyebabkan penyakit konjungtivitis, dan kadang konjungtivitis bisa berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang 370
Baik Baik Kurang baik Baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Baik
terhadap stimulus rangsangan dari luar. Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, kemudian respons, sehingga teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” (stimulus-organisme-respons). Perilaku adalah keseluruhan pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Perilaku seseorang sangat kompleks dan terbentangan sangat luas.15 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berperilaku negatif (80; 59,7%), hanya sebagian kecil yang berperilaku positif (54; 40,3%). Perilaku pendidikan kesehatan yang dilakukan responden tentang mencuci tangan dengan sabun yang mempunyai kategori baik terdapat pada pernyataan tentang menyuruh anak untuk melakukan cuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan serta setelah bermain, menyuruh anak untuk meratakan sabun dengan kedua telapak tangan saat mencuci tangan, menyuruh anak untuk menggosok kedua telapak dan sela-sela jari tangan, dan tidak menyuruh siswa untuk mengeringkan dengan lap tangan yang kering dan bersih atau menggunakan tisu. Perilaku pendidikan kesehatan yang dilakukan responden tentang cuci tangan menggunakan sabun yang mempunyai kategori kurang baik terdapat pada pernyataan tentang menyuruh anak untuk melakukan cuci tangan setelah bersin atau setelah menyentuh mata yang sakit, menyuruh anak menggosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan, tidak menyuruh anak untuk membasuh jari-jari sisi dalam kedua tangan dengan saling mengunci, tidak menyuruh anak untuk menggosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan sebaliknya, menyuruh anak untuk menggosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan kiri dan sebaliknya, menyuruh anak untuk menggosokkan pergelangan tangan kiri dengan menggunakan tangan kanan dan sebaliknya, dan
Hapsari & Isgiantoro, Pengetahuan Konjungtivitis pada Guru Kelas
menyuruh anak membilas kedua tangan dengan air yang mengalir. Hasil tabulasi silang hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Trowulan Mojokerto yang terbanyak adalah berpengetahuan kurang dan berperilaku negatif yaitu sebanyak 80 responden (59,7%). Hasil analisis dengan uji statistik Spearman rho didapatkan nilai p = 0.000 < α (0,05). dengan demikian H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya ada hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik. Konjungtivitis merupakan penyakit peradangan pada lapisan konjungtiva mata. Secara umum, penyakit ini dapat disebabkan karena alergi, iritasi, ataupun infeksi.7 Sebagian besar sumber penularan konjungtivitis pada anak-anak ini adalah teman-temannya sendiri. Mereka umumnya tertular di sekolah, taman bermain, atau tempat bimbingan belajar. Anak-anak pada usia ini belum sadar akan pentingnya menjaga kebersihan diri agar terhindar dari agen penyakit terutama penyakit konjungtivitis. Bentuk anak belum sadar akan pentingnya menjaga kebersihan diri adalah kurang membiasakan cuci tangan dengan menggunakan sabun. Kebiasaan inilah yang menyebabkan mereka rentan tertular penyakit konjungtivitis. Hal ini dikarenakan tangan merupakan inang dari bakteri dan virus yang dapat menyebabkan penyakit menular dan salah satunya adalah penyakit konjungtivitis.3 Guru sebagai wakil orang tua anak disekolah sangat diharapkan perannya. Peran tersebut terutama dalam upaya memberikan pendidikan kesehatan kepada anak untuk mencuci tangan dengan menggunakan sabun.13 Dengan demikian, pengetahuan guru tentang penyakit konjungtivitis dan cara mencuci tangan yang benar dengan menggunakan sabun sangat dibutuhkan. Hal ini diperlukan sebagai salah satu upaya mendidik anak agar bisa menjaga kebersihan diri khususnya dan upaya mencegah agar tidak tertular penyakit konjungtivitis. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik. Dengan demikian, pengetahuan guru kelas sekolah dasar yang kurang tentang penyakit konjungtivitis akan menyebabkan jarangnya guru memberikan pendidikan kesehatan pada peserta didik, terutama tentang tata cara mencuci tangan yang benar dengan sabun. Hal ini menyebabkan penyakit konjungtivitis mudah menular pada siswa lain. Konjungtivitis dapat sembuh dengan sendirinya, tetapi pada beberapa kasus juga dapat menjadi kronis bahkan mengakibatkan kebutaan.7
Kesimpulan Sebagian besar responden guru sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Trowulan Mojokerto berpengetahuan kurang tentang penyakit konjungtivitis dan sebagian besar responden berperilaku negatif, yaitu kurang memberikan pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didiknya. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada peserta didik di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Trowulan Mojokerto. Saran Para guru disarankan lebih meningkatkan pengetahuan tentang penyakit konjungtivitis sehingga termotivasi memberikan pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan sabun pada anak didik. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah penularan penyakit konjungtivitis dan membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat. Pihak sekolah hendaknya mengadakan penyuluhan atau pelatihan bagi guru tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Tenaga kesehatan lebih memacu dalam memberikan penyuluhan kepada guru kelas sekolah dasar tentang penyakit konjungtivitis dan pentingnya memberikan pendidikan kesehatan mencuci tangan dengan sabun kepada siswa. Daftar Pustaka 1. Tao SY, Cheng YL, Lu Y, Hu YH, Chen DF. Handwashing behaviour among Chinese adults: a cross-sectional study in five provinces. Public Health [serial on internet]. 2013 March [cited 2013 Jun 19]; 127: 6208. Available from: www.sciencedirect.com. 2. Fatonah S. Hygiene dan sanitasi makanan. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press; 2005. 3. Rachmayanti RD. Penggunaan media panggung boneka dalam pendidikan personal hygiene cuci tangan menggunakan sabun di air mengalir. Jurnal Promosi dan Pendidikan Kesehatan Indonesia. 2013; 1 (1): 1-8. 4. Rosidi A, Handarsari E, Mahmudah M. Hubungan kebiasaan cuci tangan dan sanitasi makanan dengan kejadian diare pada anak SD Negeri Podo 2 Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2010; 6 (1): 76-9. 5. Krianto T. Perilaku hidup bersih sehat dengan pendekatan partisipatif. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2009; 3 (6): 254-5. 6. Centers for Disease Control And Prevention [homepage on the Internet]. Handwashing: clean and save lives [online]. 2013 [cited 2013 Dec 11]. Available from: http://www.cdc.gov/handwashing/. 7. Ilyas S. Penuntun ilmu penyakit mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1998. 8. Minarni, Ariani DN. Perancangan perangkat lunak diagnosa penyakit mata khusus gangguan konjungtiva dengan metode forward chaining berbasis web. Jurnal Teknologi Informasi dan Pendidikan. 2013; 6 (1): 36-44.
371
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014 9. Tarabishy AB, Jeng BH. Bacterial conjunctivitis: a review for internists. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2008; 75 (7): 507-12.
gan kejadian konjungtivitis di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes. 2013; 4 (2): 95-100.
10. Dong Q, Brulc JM, Iovieno A, Bates B, Garoutte A, Miller D, et al.
13. Saleh M. Peran guru dalam menanamkan pendidikan karakter anak usia
Diversity of bacteria at healthy human conjunctiva. Investigate
dini di PAUD se-Kecamatan Limboto. PEDAGOGIKA Jurnal Ilmu
Ophtalmology & Visual Science Journal. 2011; 52 (8): 5408-13. 11. Lolowang M, Porotu’o J, Rares F. Pola bakteri aerob penyebab konjungtivitis pada penderita rawat jalan di balai kesehatan mata masyarakat kota Manado. Jurnal eBiomedik eBM. 2014; 2 (1): 279-86. 12. Nurhayati S, Hamzah A, Tika A. Hubungan antara perilaku pasien den-
372
Pendidikan. 2012; 3 (4): 65-72. 14. Nursalam. Konsep dan penerapan metodologi penelitian imu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2008. 15. Wawan A. Teori & pengukuran pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.
PESANTREN DAN UPAYA PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (Pesantren and Adolescent Reproductive Health Education Effort) Setia Pranata1, Made Asri Budisuari1, Zainul Hamdi2, dan Khoirul Faizin3 Naskah Masuk: 20 Mei 2013, Review 1:25 Mei 2013, Review 2: 25 Mei 2013, Naskah layak terbit: 2 Agustus 2013
ABSTRAK Latar belakang: Di bidang kesehatan, pesantren belum berfungsi secara maksimal. Meskipun sudah ada Pos Kesehatan Pesantren, tapi kegiatan promosi dan edukasi kesehatan reproduksi belum berjalan dengan baik. Problem seksualitas dan reproduksi remaja bisa menjadi ancaman serius terhadap potensi pesantren yang didominasi oleh remaja. Studi ini berusaha untuk mengungkap pendidikan kesehatan reproduksi pada komunitas pesantren, khususnya sistem pengajaran, materi, faktor-faktor pendukung dan penghambat pendidikan kesehatan reproduksi. Metode: Penelitian kualitatif yang dilakukan di enam pesantren. Mengambil dua pondok pesantren di setiap daerah studi di Kabupaten Sampang, Balikpapan dan Lombok Barat secara purposif. Wawancara mendalam dilakukan kepada pengelola, pengajar dan santri. Hasil: Pendidikan reproduksi telah dilakukan di pesantren. Materi kesehatan reproduksi banyak merujuk pada kitab-kitab keislaman klasik (kitab kuning). Metode pengajaran yang digunakan adalah bandongan (pengajian bersama), bersifat monolog, dan tidak ada sesi tanya jawab. Faktor pendukung pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren adalah ketersediaan santri dalam jumlah besar, tingginya komitmen dan tanggung jawab pengasuh pesantren serta tidak terbatasnya waktu pendampingan kepada para santri. Faktor penghambat keterbatasan pemahaman terhadap masalah kesehatan reproduksi, minimnya keterbukaan masyarakat pesantren (tabu) dan keterbatasan sarana prasarana penunjang, serta kurangnya dukungan pihak luar pesantren terkait persoalan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Rekomendasi: Perlu pengayaan materi, variasi metode, penguatan pengetahuan dan keterampilan pendidik. Perlu ditata kelembagaan dan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait agar semuanya bisa berperan aktif. Evaluasi berkelanjutan dan pihak yang bertanggung jawab dibutuhkan untuk kesinambungan program. Kata kunci: pemberdayaan, remaja, metode pengajaran ABSTRACT Background: Although there was Pesantren Health Post, but the promotion and education of reproductive health did not proceed well. Students at the Pesantren are mostly teenagers, therefore sexuality and reproduction problems in pesantren had become potential threats. This study described there productive health education in pesantren, that focused on the education system, material, and factors supporting and inhibiting reproductive health education efforts. Methods: This was a qualitative study. The data were collected by means of purposive sampling. The study was conducted at two pesantrens in Sampang, Balikpapan and West Lombok regencies. Data were collected by indepth interviews to managers, teachers and students. Results: This study indicated that reproductive education was not something new to the pesantren. The Classic Buku Kuning had been the reference of reproductive education among santri. The kyai used bandongan teaching methods which tend to be monologue. Further more this method did not employ evaluation system. The large number of santri, the high commitment and responsibility of the manager of pesantren, and the availibility of 24 hours assistance were factors that supported reproductive health education in pesantren. The inhibiting factors were limited understanding of reproductive health issues, lack of transparency of the pesantren community regarding issues that were considered taboo, and limitations of supporting infrastructure. Another aspect was the lack of external support that were relevance to the issue of adolescent reproductive health services. Recomendations: It is recommended to enrich the materials on reproductive health education in pesantren, Key words: empowerment, teenager, teaching methods. 1 2 3
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, Jl. Indrapura 17 Surabaya. Alamat E-mail :
[email protected];
[email protected] Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Jember
313
This PDF was created using Adolix PDF Converter PRO Demo . Register to remove this watermark!
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 3 Juli 2013: 313–320
PENDAHULUAN
METODE
Selain jumlah yang relatif besar, kemampuan m e n j a d i p e n g g e r a k m a sy a r a k a t d i b i d a n g politik, ekonomi, sosial dan budaya merupakan kenyataan bahwa pondok pesantren adalah potensi pembangunan nasional. Sebagai potensi pembangunan, pondok pesantren idealnya mampu menjadi agen pembangunan di bidang kesehatan. Saat ini, sebagian pondok pesantren sudah peduli dengan kondisi kesehatan walau ada juga yang kurang memperhatikan aspek kesehatan sebagaimana studi yang dilakukan Herryanto (2004) di Tangerang. Mengingat sebagian besar warga pondok pesantren adalah remaja, mereka akan dihadapkan pada masalah terkait dengan keremajaannya. Permasalahan yang sering muncul antara lain kehamilan remaja dengan segala akibatnya, penyakit menular seksual dan abortus. BKKBN (2003) mengemukakan bahwa kondisi tersebut antara lain kurangnya pengetahuan dan keterampilan remaja, kurangnya kepedulian orang tua, masyarakat dan pemerintah serta belum optimalnya pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas. Budisuari dan Arifin (2005) mencatat bahwa masalah kesehatan reproduksi pada remaja terjadi karena kurang adanya kebijakan dan program yang efektif. Menyikapi kondisi tersebut, Departemen Kesehatan mencanangkan program pemberdayaan pesantren di bidang kesehatan yang berbentuk Pos Kesehatan Pesantren (poskestren). Salah satu kegiatan poskestren adalah penyuluhan materi kesehatan termasuk penyuluhan kesehatan reproduksi remaja (Depkes, 2006). Walau sudah ada Poskestren, tapi kegiatan promosi dan edukasi kesehatan reproduksi remaja belum berjalan dengan baik. Hafidzoh (2011) menemukan banyak problem seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja di lingkungan pesantren, seper ti berkembangnya mitos dan kurangnya informasi yang benar tentang seksualitas atau kesehatan reproduksi remaja. Masalah lain adalah pergaulan bebas “mairil” dan pernikahan dini. Permasalahan yang akan dibahas dalam studi ini akan difokuskan pada bagaimana pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren dan apa yang menjadi factor pendukung dan penghambat pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan kerangka pikir mengacu pada pemikiran tentang pemberdayaan. Dalam rangka mendorong, meningkatkan kesadaran dan menciptakan suasana untuk berkembang, menurut Terry Wilson (Sumaryadi: 2005) keberadaan struktur, kelembagaan, sistem nilai, dan peranan masyarakat didalamnya, perlu dilengkapi dengan mekanisme capacity-building. Pulau Madura dan Lombok merupakan daerah “ortodok” pondok pesantren. Karena itu, studi ini dilakukan di kabupaten Sampang Madura dan kabupaten Lombok Barat. Untuk melihat warna lain, studi ini juga dilakukan di daerah “moderat” kota Balikpapan propinsi Kalimantan Timur. Di setiap daerah, semula akan dipilih secara purposivedua pondok pesantren, modern dan tradisional. Karena sukar menemukan pesantren yang dijalankan secara tradisional, bersama dengan Dinas Kesehatan, dilakukan pemilihan 2 pondok pesantren dengan mempertimbangkan sasaran program kesehatan reproduksi yang dikembangkan daerah, adanya Poskestren dan kesediaan untuk terlibat dalam studi ini. Sebagai sasaran dalam penelitian ini adalah masyarakat pesantren antara lain pengelola, staf pengajar dan para santri serta staf dari Dinas Kesehatan yang menangani Poskestren. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam kepada para sasaran penelitian. Dalam rangka melengkapi studi, dilakukan pula sarasehan beberapa lembaga yang mempunyai keperdulian terhadap kesehatan reproduksi remaja. HASIL DAN PEMBAHASAN Sekilas Pondok Pesantren Pondok pesantren secara harafiah dapat diartikan sebagai tempat tinggal untuk para santri yang sedang menempuh pendidikan agama Islam di pesantren. Menurut Walsh (2002) pusat pendidikan Islam pada awalnya adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid duduk di lantai, menghadap sang guru, dan belajar mengaji pada waktu malam hari. Bermacam tempat seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren (Zuhairini, 1997).
314
This PDF was created using Adolix PDF Converter PRO Demo . Register to remove this watermark!
Pesantren dan Upaya Pendidikan Kesehatan Reproduksi (Setia Pranata, Made Asri, Zainul Hamdi, Khoirul Faizin)
Dalam menjalankan proses pembelajaran, pesantren mengenal sistem sorogan, di mana santri belajar secara “face to face” kepada kyai dan bandongan, belajar bersama di mana sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan berbagai buku Islam. Kelompok dalam bandongan ini disebut halaqah, sekelompok siswa belajar di bawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Berbicara tentang pesantren, paling tidak ada 5 unsur yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya. Walsh (2002: 8) mengemukakan bahwa unsur tersebut antara lain: kyai, masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik. Kyai merupakan unsur esensial karena berperan penting dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren. Keberadaan masjid hukumnya “wajib” karena merupakan pusat kegiatan dan pendidikan para santri. Santri adalah unsur utama karena tanpa santri tidak mungkin ada pesantren. Pondok adalah sekumpulan bangunan yang digunakan santri sebagai tempat tinggal. Elemen kelima adalah kitab Islam klasik, karya ulama tentang pengetahuan agama yang sering disebut sebagai kitab kuning. Pesantren di katagorikan menjadi pesantren tradisional dan pesantren modern. Pesantren tradisional (salaf) mencerminkan kesederhanaan, sedangkan yang modern mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Pesantren mulai akrab dengan metodologi ilmiah, lebih terbuka dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999: 155). Pondok pesantren yang menjadi tempat studi ini, yang pertama “DU” terletak di kecamatan Omben, sekitar 15 km dari kota Sampang, Madura. Didirikan pada tahun 1954 dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk warga sekitar sebagai sarana pendidikan. Pondok pesantren kedua “TI”, masih berlokasi di Sampang, tepatnya di desa Tanggumong, kecamatan Kota Sampang. Menyadari pentingnya pendidikan buat generasi muda, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu keIslaman saja, namun dilengkapi dengan pendidikan umum Ibtida’yah sampai Aliyah sebagai pelengkap. Dua pesantren berikut, terdapat di pulau Lombok, NTB. Pertama, “NH” berlokasi di Kecamatan Kediri,
Kabupaten Lombok Barat, yang berdiri sejak tahun 1948. Pada perkembangannya, Pesantren ini mulai menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat berupa ilmu pengetahuan umum dan teknologi tanpa meninggalkan sistim pendidikan yang sudah dijalankan sebelumnya. Kedua, “DN” terdapat di kecamatan Gerung, Lombok Barat yang berdiri pada tahun 1989–2004, sistim pengajaran difokuskan pada pengajian kitab kuning saja. Seiring waktu, pesantren mulai mengakomodir harapan orang tua santri agar pesantren tidak hanya mengajarkan kitab kuning saja, tetapi juga menyelenggarakan pendidikan umum. Pesantren berikut terdapat di kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Pesantren “SC” yang berdiri tahun 1993 di daerah Sepinggan, dilatarbelakangi kepedulian terhadap masyarakat rentan secara sosial dan ekonomi. Mengapresiasi keinginan masyarakat, Pesantren menyelenggarakan pembelajaran formal mulai dari tingkat ibtida’yah sampai Sekolah Tinggi Agama Islam. Terakhir adalah Pesantren “NK” yang mengidentifikasi diri sebagai pesantren modern dan baru dibuka tahun 2007. Bertujuan meningkatkan kualitas manusia menjadi lebih berguna dan bertaqwa, sistem pendidikan di pesantren ini menerapkan pola terpadu antara pendidikan agama dan pendidikan umum yang disertai praktek di lapangan. Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Pesantren Menyangkut pendidikan terkait kesehatan reproduksi, sebenarnya beberapa materi menyangkut hal itu terdapat dalam kitab kuning. Materi yang terdapat dalam kitab klasik tersebut, selama ini masih diajarkan dan menjadi sumber rujukan di kebanyakan pesantren di Indonesia. Berikut sedikit gambaran tentang kitab kuning dan materi yang diulas di dalamnya. Apabila kita cermati, tampak sebuah gambaran bahwa kitab-kitab kuning yang diajarkan telah banyak mengulas hal-hal yang bersangkut paut dengan masalah-masalah kesehatan reproduksi. Hanya saja, saat ini, pembahasan yang dimunculkan dalam kitab kuning tersebut perlu dikaji relevansinya dengan situasi saat ini. Hal ini tidak lain karena hanya sebagian kecil persoalan kesehatan reproduksi yang dikupasnya. Kitab kuning dinilai sangat bias gender, memposisikan perempuan sebagai sub-ordinasi laki-laki. Persoalan yang dikaji lebih banyak menguntungkan laki-laki dibandingkan perempuan. Oleh karena itu, dinilai perlu dilakukan upaya mendekonstruksi agar tidak 315
This PDF was created using Adolix PDF Converter PRO Demo . Register to remove this watermark!
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 3 Juli 2013: 313–320
bias gender dan memposisikan perempuan sebagai pihak yang setara dengan laki-laki. Di lingkungan Pondok Pesantren “DN”, acuan utama untuk memberi pembekalan pengetahuan reproduksi kepada para santrinya adalah kitab Bulughul Marom. Dengan metode “bandongan” para Kyai/Nyai atau yang mewakili menyampaikan materi tentang mimpi basah, menstruasi, pubertas dan perkawinan. Selain itu, ada literatur tentang perilaku seks, risiko seks bebas, aorsi dan Keluarga Berencana. Keadaan serupa juga kita dapatkan dari Pondok pesantren “SC” di Balikpapan. MS, seorang pengasuh pesantren mengemukakan bahwa kitab Mabadi Fiqih banyak digunakan sebagai dasar pengetahuan tentang menstruasi, nifas, perkembangan remaja dan konsekwensi pergaulan bebas. Fikih dan Hilkah Fiqih untuk memberikan adab dan tata cara pergaulan suami isteri. Guna menambah pengetahuan santri, digunakan pula majalah populer. Kebanyakan metode penyampaian informasi tentang kesehatan reproduksi adalah ceramah dalam kelas, walau sering “moment” tidak formal juga digunakan untuk mendiskusikan materi yang dinilai cukup menarik buat para santri. Sebagai perbandingan, secara umum materi kesehatan reproduksi yang diajarkan di Pesantren “TI” dan “DU”, di Sampang, juga metodenya, tidak berbeda. Ada tentang menstruasi/ mimpi basah,
pubertas, perkawinan, perilaku seks dan juga KB. Adapun materi mereka bersumber dari kitab seperti Fathul Mu’in, Fathul Qorib, Buluqul Maram, Quratul Uyyun dan sumber pengetahuan umum lainnya. Melihat pondok pesantren di atas, dapat dikatakan bahwa pemberian wawasan dan pemahaman kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat serius. Mu, 43 tahun, pengasuh pondok “DN” di Lombok Barat, mengatakan, “....itu penting sekali ya, terlebih bagi santri putri. Mereka sudah harus tahu tentang kesehatan reproduksi itu sejak dini dan mendapatkan pelayanan. Mereka itu kan sedang menuju usia remaja ya”. Senada dengan pernyataan diatas, mengenai metode yang dipergunakan agar materi dapat benarbenar diterima dan dipahami oleh santri, LS, 35 tahun, pengasuh dan sekaligus putri pendiri pondok pesantren “NH” di Lombok Barat, memandang pentingnya keberadaan lembaga khusus yang menangani masalah persoalan kesehatan reproduksi tersebut. “...makanya kami membentuk PIK-KRR itu. Pengurusnya kita bina secara rutin. Setiap tahun kita bina, apa namanya, kita rekrut, ee.. kadernya. Kenapa harus ada kader, jika nanti yang inti sudah keluar dari pondok, programnya tidak mati....”.
Tabel 1. Kitab Kuning dan Materi Bahasannya No Nama Kitab 1. Uqud al-Lujain Fi Bayan Huquq al-Zaujain 2. Qurrat al-‘Uyun 3. Fath al-Qorib 4. Fath al-Mu’in Fath al-Wahab Nihayat al-Zain 5. Ihya’ Ulum al-Din 6. Riyadl al-Shalihin dan Bulugh al-Marom
7. Ash-Shilah Fi Bayan- Nikah 8. Adab al-Mar’ah 9. Tafsir Jalalain
Materi yang Dibahas Pesan tentang hak dan kewajiban suami-istri (pola relasi antara laki-laki dengan perempuan) Adab berhubungan suami-istri, seperti waktu-waktu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, ragam posisi yang boleh dan tidak boleh, serta tahapan-tahapan dalam berhubungan seks. Mambahas tentang bersuci dari hadats dan nikah Membahas tentang perkawinan, bagaimana relasi suami-istri, hak dan kewajiban masing-masing, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan persoalan itu Dalam bab nikah membahas tentang adab berhubungan suami-istri, hak dan kewajiban suami terhadap istri Keduanya merupakan kitab hadits yang membahas antara lain tentang tata cara bersuci, adab buang air besar, mandi janabat, masalah haid, masalah nikah, masalah talak, rujuk, nafkah, dan pengasuhan anak Membahas persoalan seputar perkawinan Membahas seputar persoalan posisi, sikap, serta hak dan kewajiban perempuan terhadap laki-laki. Membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang bersangkut paut dengan persoalan pernikahan, hak dan kewajiban suami-istri
Sumber: Subahar, 2002.
316
This PDF was created using Adolix PDF Converter PRO Demo . Register to remove this watermark!
Pesantren dan Upaya Pendidikan Kesehatan Reproduksi (Setia Pranata, Made Asri, Zainul Hamdi, Khoirul Faizin)
Sementara menyangkut pola atau metode pengajaran yang digunakan, dapat dikatakan “tidak lazim” jika dikaitkan dengan waktu pelaksanaannya. Waktu kegiatan di lembaga pendidikan formal ditandai dengan pembatasan waktu dalam pelaksanaan proses belajar-mengajarnya. Tidak demikian dengan pondok pesantren. Pembelajaran dilakukan selama 24 jam, karena lebih didasari dan dinilai sebagai amanah bagi pengasuh di lingkungan pesantren bersangkutan. Karena itu, pesantren mewajibkan para santrinya tinggal di asrama pesantren agar pendampingan dan pengawasan dapat dilakukan setiap saat, baik menyangkut kesehatan fisik, psikis dan akhlaknya. PIK-KRR, suatu Gambaran Pendidikan Kespro di Pesantren Untuk memberikan gambaran tentang penerimaan, pengembangan dan pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi di lingkungan Pondok Pesantren, berikut ini tentang Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) yang ada di pesantren “NH” di Lombok Barat. PIK-KRR yang bernama Al-Hikmah itu didirikan pada tahun 2006. Program yang awalnya difasilitasi BKKBN adalah wadah yang dikelola oleh dan untuk remaja dalam memperoleh informasi dan pelayanan konseling tentang kesehatan reproduksi remaja. Menyangkut sumber materi yang disampaikan, LS pengelola pondok “NH” mengatakan bahwa selain diperoleh dari kitab-kitab yang sudah menjadi acuan pokok, materi juga diperoleh dari pihak di luar pesantren sebagai bahan pengayaan. Misalnya dari BKKBN, Dinas Kesehatan, dan LSM yang memiliki perhatian terhadap pemberdayaan perempuan. Tentang teknik atau metode yang digunakan untuk menyampaikan materi agar mudah diterima dan dipahami oleh para santri, berikut pendapat LS, “...biasanya diawali dengan penjelasan tentang macam-macam alat reproduksi... bagaimana cara menjaganya ...cara kami menyampaikan materi, bisa melalui ceramah, bahkan juga drama... biasanya kalau dengan drama, materi lebih mudah masuk”. Dalam menyampaikan informasi kesehatan reproduksi dilakukan dengan menerbitkan buletin Fiqh Ummat, menempel pamflet di sekitar pesantren, penyuluhan di radio dakwah serta pemutaran VCD.
Dilakukan juga diskusi tentang fiqh wanita dalam kitab-kitab seperti Bulughul Maram, Tafsir Jalalain, Uqudullujain, Ta’limul Muta’allim dan Fathul Qarib. Respons santri terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, baik dalam bentuk penyuluhan, ceramah, workshop, maupun drama, menurut LS sebagai pengelola pondok pesantren adalah sangat baik. Lebih lanjut dikemukakan bahwa respons positif ini dapat dilihat dari antusias para santri mengikuti kegiatankegiatan terkait pelayanan kesehatan reproduksi yang diselenggarakan. Faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan Kesehatan Reproduksi Keterbatasan fasilitas atau ketersediaan sarana prasarana pelayanan kesehatan secara umum dianggap sebagai faktor utama penghambat upaya pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren. Tidak tersedianya pelaksana yang menangani persoalan kesehatan reproduksi juga menjadi faktor penghambat tersendiri. Hambatan ini dikemukakan Mu, pengelola pesantren “DN”. “...dulu pondok ini memiliki orang yang menangani masalah itu. Jadi dapat menjelaskan tentang persoalan kesehatan reproduksi itu kepada para santri... Ibu ini mendapatkan pelatihan tentang kesehatan reproduksi itu dari dinas ( Dinas Kesehatan, Pen). Tapi sekarang sudah menjadi pegawai negeri... kantornya tidak mengizinkan lagi dia di sini... kami benar-benar kehilangan karena tidak ada lagi yang menangani masalah itu lagi...” Ketiadaan pihak yang menangani persoalan tersebut, menjadikan santri tidak punya tempat untuk mencurahkan keluhannya. Ketiadaan tempat “curhat” dan penanganan keluhan dapat membuat remaja mencari tempat lain. Kalau tempat itu benar, tidak masalah. Tetapi kalau tidak benar, akibatnya, keluhan santri tetap tidak terjawab dan bahkan bisa makin tersesat, seperti dikatakan Ma (25 tahun), pengurus pondok pesantren “TI” Sampang ini. “...para santri biasanya curhat kepada teman dekat, teman sekamar yang sebaya, yang kadang pengetahuan mereka juga sama nggak tahunya. Kadang mereka mendapat pengetahuan dari pergaulan yang tidak benar, takutnya informasi yang sesat, jadi harusnya ada saringan untuk
317
This PDF was created using Adolix PDF Converter PRO Demo . Register to remove this watermark!
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 3 Juli 2013: 313–320
informasi-informasi yang bisa diakses anak-anak dengan mudah baik dengan bacaan maupun media TV dan internet. Kita mengantisipasinya dengan menutup informasi yang berakibat negatif...” Bentuk hambatan lainnya adalah ketidakterbukaan santri dalam menyampaikan hal yang ingin diketahui jawabannya. Menurut AM, ustadz di “TI”dan Im ustadz di “DU” Sampang, santri lebih suka bercerita tentang masalahnya kepada teman dekatnya dibandingkan kepada para ustadz. Ketidakterbukaan itu lebih karena santri merasa malu karena hal tersebut “berkonotasi” pribadi, tidak boleh dijamah orang lain. Di samping memiliki kelemahan yang sangat kasat mata, pesantren ternyata juga menyimpan potensi yang luar biasa. Sebut saja misalnya, sumber daya manusia (santri) yang dikelola yang kebanyakan adalah remaja. Dari segi waktu pendampingan yang dilakukan selama 24 jam, pesantren bisa menata jadwal kegiatan yang akan dilakukan tanpa dibatasi waktu. Untuk materi pengajaran yang diberikan kepada para santri, sudah ada kitab-kitab klasik yang menjadi acuan para santri sebagaimana dikemukakan oleh Mah, 23 tahun dari pesantren “DN” “..... memberikan penyuluhan mengenai kesehatan... hampir setiap hari. Kan materi pelajaran agamanya juga ada yang membahas tentang itu... pengajian tentang Fiqh... kan juga membahas persoalan haid, darah kotor, nifas, bersuci, mimpi basah. Kan juga mengenai kesehatan reproduksi itu. Sementara...materi Ushul Fiqh....sebenarnya sudah dijelaskan tentang kesehatan reproduksi itu”. Persoalan tanggung jawab kelembagaan juga tidak kalah pentingnya untuk dikategorikan sebagai potensi tersendiri yang dimiliki oleh pesantren. Menyoal hal ini, LS sebagai pengelola pesantren “NH” mengatakan, “...pesantren juga harus membuat kurilukum mengenai persoalan kesehatan reproduksi, membuat atau menyediakan klinik atau layanan kesehatan. Harus ada...! Juga membentuk pengurus... yang menangani masalah narkoba, yang menangani masalah PMS, masalah kesehatan reproduksi, dan seterusnya... Kita bina mereka... banyak generasi yang bisa kita selamatkan dan tidak terkontaminasi perkembangan dunia yang luar biasa ini...”
Diakui atau tidak, hal yang disampaikan oleh pengelola pesantren itu nyata-nyata merupakan sebuah potensi besar yang dimiliki oleh lembaga pendidikan tradisional ini. Sebuah bentuk kepedulian dan tanggung jawab secara utuh terhadap kebaikan SDM yang dikelolanya, baik dari sisi jasmani juga rohaninya. Hanya saja, sekali lagi untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan pemahaman yang baik dan sinergis oleh seluruh masyarakat pesantren, baik pihak pengelola, ustadz/ustadzah, santri, masyarakat sekitar pesantren, maupun pihak-pihak lain di luar pesantren yang berkaitan secara langsung maupun tidak namun memiliki kepedulian terhadap masalah kesehatan reproduksi, khususnya remaja ini. Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Pesantren, suatu pilihan wajib Menjejak pada deskripsi tentang temuan lapangan, diskusi dalam sarasehan yang difasilitasi dinas kesehatan dengan mengundang pihak pesantren dan sektor terkait, membuahkan kesepakatan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi di pondok pesantren merupakan hal yang penting. Mengacu pada pemikiran tentang pemberdayaan sebagaimana dikemukakan Wilson (Sumaryadi: 2005) bahwa dalam rangka mendorong dan menciptakan suasana untuk berkembang, keberadaan struktur, kelembagaan, sistem nilai, dan peranan masyarakat didalamnya, perlu dilengkapi dengan mekanisme capacitybuilding. Bahwa untuk memberdayakan masyarakat pesantren terkait dengan upaya pendidikan kesehatan reproduksi, perlu diciptakan iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi dan melakukan penguatan terhadap potensi yang dimiliki. Dua hal pertama yang perlu diperhatikan adalah penerimaan pondok pesantren terhadap kebijakan kesehatan reproduksi dan pengembangan struktur. Terkait kebijakan, masyarakat pesantren sudah bisa menerima bahwa masalah kesehatan reproduksi remaja sebagai sesuatu yang penting. Potensi besar yang mereka miliki dalam merealisasikan pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi. Kedua, karena kesehatan reproduksi banyak berkaitan dengan perilaku keseharian, perlu ada wadah yang bisa menjadi tempat “curhat” dan pemberian solusi masalah. Membentuk lembaga semacam PIK-KRR di dalam pesantren dan memanfaatkan keberadaan Poskestren
318
This PDF was created using Adolix PDF Converter PRO Demo . Register to remove this watermark!
Pesantren dan Upaya Pendidikan Kesehatan Reproduksi (Setia Pranata, Made Asri, Zainul Hamdi, Khoirul Faizin)
yang sudah di inisiasi Depkes pada tahun 2006, bisa menjadi pilihan dalam menangani dan memberikan pelayanan kesehatan reproduksi kepada masyarakat pesantren. Syarat lain untuk menc ipt akan suasana berkembang adalah adanya suatu sistem nilai yang dianut secara kolektif oleh masyarakat pesantren. Memperhatikan materi dan metode pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren pengajarannya, serta kuatnya dukungan dari pihak pesantren sendiri, tampak bahwa pendidikan kesehatan reproduksi di lingkungan pesantren bukan lagi “mubah” apalagi “haram” untuk dilakukan. Di kalangan pesantren, dianut sistem nilai “al-Muhafadhah ‘ala al-Qodimi as-Shalihwa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah”yang mempunyai penger tian bahwa memelihara / mempertahankan tradisi yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Sistem nilai ini secara jelas menunjukkan bahwa untuk sesuatu yang lebih baik, diamanahkan untuk melakukan perbaikan. Kondisi yang tidak bisa diingkari dari dipeliharanya tradisi yang baik dan kebijaksanaannya dalam menerima sesuatu yang baru, yang dinilai baik, terlihat dari terbukanya penerimaan pesantren terhadap informasi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dari sudut pandang medis, psikologis dan sosial. Substansi tentang reproduksi bukan hal asing bagi masyarakat pesantren. Bahwa masih dipergunakannya kitab kuning sebagai buku acuan yang terkait dengan masalah reproduksi, ini perlu dilakukan agar terjadi sinergitas materi yang telah terdapat di dalam kitab-kitab kuning dengan persoalan-persoalan menyangkut masalah kesehatan reproduksi kekinian, baik mencakup pokok kajian dan kontekstualisasinya. Berbeda dengan Wilson (Sumaryadi: 2005) yang hanya menyertakan peran masyarakat sebagai faktor pendorong, Kabeer (2000) yang melihat pemberdayaan dari dimensi “resources”, “agency” dan “achievements” menyebutkan bahwa “agency” merupakan inti dari semua proses pemberdayaan. Walaupun sudah ada struktur, wadah kelembagaan dan sistem nilainya, tanpa adanya peran aktor masyarakat pesantren, mustahil kegiatan pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi dapat terlaksana. Hanya saja, apakah keberadaan aktor yang menjadi masyarakat pesantren ini dapat dimaksimalkan kemampuannya? Bila tidak, maka di sinilah letak pentingnya capacity building
kepada seluruh masyarakat pesantren, khususnya kepada pengelola, kader, dan konselor agar memiliki pemahaman yang baik, terampil, berkompeten dan mampu berperan sebagai teman dalam menangani dan memberikan pelayanan masalah kesehatan reproduksi. Namun sebagaimana menjadi kendala, disadari oleh pengurus pesantren bahwa program tersebut sulit bila dilaksanakan sendiri tanpa bantuan dari luar. Ini yang menyadarkan perlunya kerangka konsep yang oleh Suparmanto (2004) disebut sebagai koeksistensi, di mana salah satu pilihannya adalah dikembangkannya kemitraan yang menurut Pusat Promosi Kesehatan (2002) hendaknya dilandasi oleh nilai-nilai kesetaraan, keterbukaan dan kemanfaatan bersama. Agar proses ini berjalan secara berkelanjutan maka kemitraan dan pendampingan merupakan metode yang bisa digunakan. Diakhir proses ini, diharapkan dapat dihasilkan suatu model pendidikan kesehatan reproduksi yang senantiasa mengacu pada nilai-nilai ajaran Islam. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasar pada analisis yang telah dilakukan terhadap data-data lapangan yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa Materi pengajaran kesehatan reproduksi kurang komprehensif karena hanya merujuk dari kitab-kitab kuning. Metode pengajaran bandongan untuk mengintrodusir materi kurang memiliki daya dukung terhadap upaya pemahaman materi yang diajarkan karena cenderung monolog dan tidak terdapat sistim evaluasi. Pendukung upaya perealisasian pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja di pesantren adalah ketersediaan santri dalam jumlah besar, komitmen dan tanggung jawab pengelola pesantren, dan faktor waktu pendampingan dan pengawasan oleh pengelola yang maksimal. Faktor penghambatnya antara lain minimnya keterbukaan yang dimiliki oleh masyarakat pesantren, keterbatasan sarana prasarana penunjang, kurangnya pemahaman menyangkut teknis kerja sama dalam upaya merealisasikan pelayanan kesehatan reproduksi dan kurangnya dukungan lembaga yang memiliki keterkaitan dengan pelayanan kesehatan reproduksi. 319
This PDF was created using Adolix PDF Converter PRO Demo . Register to remove this watermark!
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 3 Juli 2013: 313–320
Saran Penelitian ini menyarankan perlu tambahan pengetahuan modern tentang kesehatan reproduksi untuk melengkapi Kitab-kitab kuning sebagai rujukan pengetahuan para santri. Sebagai upaya menciptakan alternatif pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja di pesantren, maka materi perlu dipadukan materi tentang kesehatan reproduksi yang terdapat di dalam kitab kuning dengan materi di luar kitab kuning. Hasil akhirnya adalah tersedianya silabus Kespro. Metode pengajaran dapat dilakukan berdasarkan pilihan sebagai mata pelajaran sendiri, mata pelajaran yang diajarkan di luar jam sekolah atau membuka kelas-kelas khusus yang bersifat optional bagi siswa. Pengajar perlu memahami materi Kespro sehingga dapat menyampaikan secara maksimal kepada peserta didik dan mekanisme evaluasi atas implementasi. Dibutuhkan secara eksplisit pihak yang bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan/ program tersebut agar berkesinambungan DAFTAR PUSTAKA BKKBN, 2003. Keluarga Berencana, Gender dan Pembangunan Kependudukan, Jakarta. Budisuari, Made A dan Arifin A, 2005. Pengembangan model kesehatan reproduksi remaja (KRR) (model development adolescent reproductive health), Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 8, No. 1.
Departemen Kesehatan RI, 2006. Pedoman Umum Pos Kesehatan Pesantren (poskestren), Jakarta. Dhofier, Zamakhsyari, 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. LP3ES, Jakarta. Hadzah Almawaliy, ”Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR): Perhatian Besar Bagi Islam”. Tersedia pada: http:// www.rahima.or.id [Diakses 09 Maret 2011]. Hasbullah, 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Raja Grando Persada, Jakarta. Herryanto, Model Peningkatan Higiene Sanitasi Pondok Pesantren di Kabupaten Tangerang. Tersedia pada: http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id [Diakses 18 Mei 2011]. Kabeer, N, 2000. Reflections on the Measurement of Empowerment: Theory and Practice in Discussing Women’s Empowerment: Theory and Practice. Sida Studies No. 3, SIDA. Nurul Hakim, 2008. Prol Kegiatan PIK-KRR “Al-Hikmah” Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri, Lombok Barat, NTB (tidak diterbitkan). Subahar, Abd. Halim, 2002. “Pesantren Gender: Konstruksi Baru Basis Pemberdayaan Perempuan” dalam Jurnal Al-Adalah STAIN Jember, Vol. 5 No. 2. Sumaryadi, I Nyoman, 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat, Citra Utama, Jakarta. Walsh, Mayra, 2002. Pondok pesantren dan ajaran golongan Islam ekstrim (studi kasus di pondok pesantren modern putri “darur ridwan” parangharjo, Banyuwangi), ACICIS Program, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Malang. Zuhairini, Dra., 1997. Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
320
This PDF was created using Adolix PDF Converter PRO Demo . Register to remove this watermark!