PAKET INFORMASI TERSELEKSI
BIDANG PERTANIAN Seri: Budidaya Kedelai
Paket Informasi Teknologi adalah salah satu layananan yang disediakan oleh PDII-LIPI bagi peminat informasi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mengenai topik tertentu. Paket Informasi Teknologi tentang “Perubahan Iklim” merupakan kumpulan informasi dari berbagai sumber, antara lain laporan penelitian, artikel makalah/jurnal ilmiah, makalah seminar/konferensi, paten dan dilengkapi pula dengan saran literatur yang dapat dipesan melalui PDII-LIPI apabila berminat memperoleh artikel lengkapnya. Berbagai informasi dalam paket ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mempelajari terumbu karang. Paket ini telah tersedia dalam bentuk digital atau CD ROM. Selain paket informasi, PDII-LIPI juga menyediakan jasa dokumentasi dan informasi lain, yaitu: (1) Penelusuran informasi dalam dan luar negeri, (2) Penyusunan indeks, abstrak dan tinjauan literatur, (3) Penggandaan dokumen, (4) Konsultasi bidang dokumentasi dan informasi, dan (5) Reprografi.
DAFTAR ISI ANALISIS DAYA SAINGUASAHATANI KEDELAI DI DAS BRANTAS
Siregar, Masdjidin; Sumaryanto Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 23, No.1, 2005:50-71 Abstrak: Tujuan utama makalah ini adalah untuk menganalisis daya saing komoditas kedelai di Daerah Aliran Sungai (OAS) Brantas, yang merupakan daerah utama penghasil kedelai di Indonesia.Hasil analisis memperlihatkan bahwa penerimaan bersih untuk pengelola (returns to management) adalah negatif.Ini berarti bahwa komoditas kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitIf yang dipertegas lagi oleh nilai PCR sekitar satu.Nilai ORC yang berada disekitar satu juga menunjukkan bahwa komoditas kedelai memiliki keunggulan komparatif yanglemah. Dari analisis titik impas diperoleh kesimpulan bahwa komoditas kedelai akan mempunyai daya saing finansial jika harga kedelai dunia naik paling sedikit 8,5 persen, atau nilai tukar dolar terhadap rupiah paling sedikit turun 9,2 persen atau produktivitas kedelai naik paling sedikit 27,4 persen, ceteris paribus. Dengan perkataan lain harus ada upaya peningkatan efisiensi tanaman kedelai melalui peningkatan produktivitas dengan penggunaan benih bermutu serta pupuk berimbang. Oisamping itu, dukungan terhadap penelitian pengembangan varietas kedelai juga harus diutamakan mulai sekarang. Kebijakan fiskal dan moneter tidak banyak yang dapat dilakukan dalam era perdagangan internasional yang semakin liberal ke depan.
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
BUDIDAYA VARIETIES KEDELAI HASIL LITBANG BATAN
Harry Is M;Harry Is M.; Marapada Hasibuan; Marapada Hasibuan; Agustiar;Agustiar Jurnal Teknoekonomi, Vol. 3, No. 1, 2008:149-156 Abstrak: Kedelai merupakan salah satu tanaman multi guna yang digunakan sebagai pangan, pakan ternak, dan bahan baku indnstri manufaktur dan olahan. Faktor utama yang berpengaruh dalam keberhasilan usaha tani adalah benih yang bermutu yaitu benih murni dan berdaya tumbuh baik, dalam pelaksanaan diatur dalam undang-undang budi daya tentang produksi, sertifikasi, dan peredaran benih.Tujuan kegiatan usaha tani kedelai adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, membangun model budi daya kedelai insentif dan mengaplikasikan teknologi hasil Litbang Departemen Pertanian, Batan, dan Agro Teknologi Park Kemitraan.Riset yang telah dilakukan di Wilayah Jonggol dan Cariu Kabupaten Bogor yang mempunyai lahan cukup luas dan potensial, dengan suhu udara berkisar 20-53 derajat C dengan ketinggian 200 pdl dan curah hujan 1500-3500 mm/tahun sangat cocok untuk tanaman kedelai. Hasil pertanian di bidang pangan umumnya dan khususnya di Indonesia produksinya tergolong rendah, hal ini dikarenakan petani belum menggunakan teknologi budi daya. Untuk mencapai swasembada kedelai perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini: penggunaan varietes unggul, pemberian pupuk sesuai kebutuhan, pengendalian hama yang baik, mekanikasi pertanian, pengelolaan pasca yang baik, infrastruktur dan sarana jalan dan transportasi masih kurang, teknologi belum tersebar dengan baik. Melalui budi daya variesitas kedelai hasil Litbang Batan dapat meningkatkan produksi kedelai Indonesia, setelah dilakukan studi analisis teknoekonomi budi daya kedelai terhadap 4 ha lahan yang menghasilkan panen 8 ton/panen menggunakan benih 50 kg/ha dengan perkiraan harga Rp6.000/kg.Disimpulkan bahwa budi daya kedelai varietes Batan ini cukup baik dan layak untuk dikembangkan.
DAFTAR ISI EFEK MULSA ALANG-ALANG, PUPUKDAN PENGOLAHAN TANAH PADA TANAMAN KEDELAl DAN GULMA
Yernelis Syawal J. Agrivigor, Vol. 6, No. 2, 2007:161-168
Abstract: An experimentto study the effect onof speargrass mulch, P fertilizer and soil tillage on.soybean plant and weeds wasconducted at Experimental Rim in Tanjung Seteko Indralaya of Ogan llii in South Sumatera from Januari to May 2005. It was arranged in a split-split plot (2x3x3) design. Main plot was soil tillage, consisted-ofwithout-, in row and conventionai tillage. Subplot was P fertilizer, consisted of 0, 100 and 200 kg P2O5 ha1 . Sub-subplot was spear-grass mulch application, consisted of 0 and 10 t ha-1.Results showed that highest dry weights were on 4 and6th week. Highest pod number and yield were reached by combination of in-row tillage, 200 kg P2O5 ha-1and 10t mulch ha-1, namely 1.20 t ha-1. Highest rootnodule number was reached by combination of in-row tillage P2O5 ha-1 and no-mulch, namely 5.75 stem-1. On combination of 200 kg P2O5 ha-1.10t mulch ha-1 and conventional tillage shifted weed composition before and afterexperiment. Highest SDR value was on no-tillage Digitaria sanguinalis (11.10%), in-row tillage in Ageratum conyzoides (16.05%), and conventional tillage in Ageratum conyzoides (25.90%).
HUBUNGAN KOMPONEN HASIL DENGAN HASIL KEDELAI [GLYCINE MAX (L.) MERR] YANG DITANAM PADA LAHAN DIOLAH BERBEDA SISTEM DAN BERASOSIASI DENGAN GULMA
Manurung, Janes P Jurnal Argivigor, Vol. 3, No. 2, 2003:179-188
Abstract: Tillage especially deep tillage, increases weed seed population by bringing buried weed seed to the surface soil. To achieve the objective of the study, one field experiment were carried out from March 1999 to July 1999. The treatments were factorially experimenttwo factor was arranged in a randomized complete block design with three replication. Two factor that is three kinds of tillage system consist of no-tillage, minimum tillage, and conventional tillage. Four levels of duration crop-weed association. The levels of duration crop-weed association application were 2 week after planting (WAP), 4 WAP, 6 WAP, and 8 WAP. Results of the experiments that no-tillage showed soybean yield higher average compare of conventional and minimum tillage system on duration crop-weed association. The yield soybean were 3.71,3.09,2.66 and 2.58 t ha-1 for duration weed-crop association 2,4 ,6 and 8 WAP respectively for notillage while yield soybean on conventional tillage were 3.1,3.32, 3.17 and 2.74 t ha-1 for duration weed-crop association 2,4,6 and 8 WAP respectively and that minimum tillage soybean yield were 3.33,2.35,1.43 nd 1.20 t ha-1 for duration weed-crop association 2,4,6 and 8 WAP respectively.
DAFTAR ISI IDENTIFIKASI KETAHANAN SUMBER DAYA GENETIK KEDELAI TERHADAP HAMA PENGISAP POLONG
Asadi Buletin Plasma Nutfah, Vol. 15, No. 1, 2009:27-31 Abstrak: Hama pengisap polong merupakan hama penting yang dapat mengakibatkan penurunan hasil kedelai secara signifikan. Ada tiga jenis hama pengisap polong yang sering ditemukan menyerang pertanaman kedelai, yaitu Riptortus linearis (F), Nezara viridula (L), dan Piezodorus rubrofasciatus. Hama tersebut menyerang pertanaman kedelai selama stadia pengisian biji hingga menjelang polong masak. Serangan hama pengisap polong dapat menurunkan hasil kedelai hingga 79%. Sumber daya genetik (plasma nufah) kedelai tahan hama pengisap polong sangat diperlukan sebagai bahan dasar pemuliaan. Sebanyak 100 aksesi plasma nutfah kedelai telah diuji ketahanannya di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, pada MH 2003. Setiap aksesi ditanam pada petakan berukuran 2 m x 3 m dengan jarak 40 cm x 15 cm. Mulai dari stadia pembungaan hingga polong masak tidak dilakukan penyemprotan hama.
IDENTIFIKASI VARIETAS KEDELAI TOLERAN TERHADAP GENANGAN
Ai Komariah J. Agrivigor, Vol. 8, No. 1, 2008:93-102
Abstract: The experiment to identification of soybean tolerance variety to flooding condition with indicator character alcohol dehydrogenase (ADH) activity, malate dehydrogenated (MDH) activity, shoot-root ratio and weight of seed per plant was conducted at agriculture experiment station of Faculty of Agriculture, Winaya Mukti University Tanjungsari, Sumedang, from May 2006 until August 2006. The altitude of experimental field was 824 meter above sea level. The experiment was arranged in two sets, normal planting and planting in flooding condition. Randomized Block Design was used as experimental design with 8 genotype as experimental treatment replicated 4 times. Result of the experiment showed that Anjasmoro varieties were tolerance to flooding condition with indicator selection characters ADH activity, MDH activity, shoot-root ratio ang weight of seed per plant.
DAFTAR ISI KESESUAIAN GENOTIPE KEDELAI UNTUK TANAMAN SELA DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
Titik Sundari, Purwantoro Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol. 33, No. 1 2014:44-53 Abstrak: Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi genotipe kedelai toleran naungan yang sesuai untuk tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet. Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi perkebunan karet rakyat, dengan umur karet 3-4 tahun, yaitu di Desa Gunungsari dan Gunungadi, Kecamatan Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah, serta Desa Tulangbalak, Kecamatan Batanghari Nuban, Kabupaten Lampung Timur, pada MK I 2011. Bahan yang digunakan adalah 30 genotipe kedelai yang terdiri atas 23 galur kedelai toleran naungan dan tujuh varietas pembanding (Pangrango, Burangrang, Malabar, Argomulyo, Grobogan, Ijen, dan Tanggamus). Setiap genotipe ditanam pada plot berukuran 4 m x 2,2 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun. Rancangan percobaan di masing-masing lokasi adalah acak kelompok, diulang empat kali. Sebelum tanam diaplikasikan dolomit sebanyak 1,5 t/ha. Pemupukan dilakukan pada saat tanam dengan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ ha.Pengamatan dilakukan terhadap karakter umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman pada saat panen, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi, bobot biji/tanaman, dan hasil biji. Intensitas cahaya di bawah kanopi tanaman karet diamati sejak tanaman kedelai berumur 30 hari setelah tanam (HST), dilakukan antara jam 11.00 hingga 12.00, dengan interval satu minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat naungan di tiga lokasi menunjukkan perbedaan, di Tulangbalak dan Gunungsari berkisar antara 20-40%, di Gunungadi 40-60%. Genotipe IBM22- 861-2-22-3-1 dan AI26-11148-28-1-2 konsisten toleran naungan di tiga lokasi masing-masing dengan produktivitas 1,40 t/ha dan 1,43 t/ha di Tulangbalak, 1,19 t/ha dan 1,18 t/ha di Gunungsari, dan 0,81 t/ha dan 0,78 t/ha di Gunungadi. IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26- 1114-
8-28-1-2 mempunyai hasil tertinggi, rata-rata 1,13 t/ha. IBM22- 861-2-22-3-1 dan AI26-1114-828-1-2 merupakan genotipe yang sesuai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet umur 3-4 tahun.
KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS KEDELAI TERHADAP SSV (SOYBEANSTUNT VIRUS
Hasriadi Mat kin, Maimun Barmawi Jurnal Agrotropika, Vol. 10, No. 1, 2005:15–19 Abstract: The objective of this research was to compare the resistance of several soybean varieties to SSV (soybean stunt virus) and effects of SSV infection on soybean growth and yield. This experiment was conducted in a green house at Lampung University during August-December 2004. The experiment was arranged in a split plot design. The main plots were SSV inoculation (i.e. inoculated and uninoculatedplants) and the subplots were seven soybean varieties (i.e. Taichung, Yellow Bean, Orba, Wilis, Slamet, B 3570, and Mlg2521). The results showed that based on disesase incubation period and severily, Taichung was more resistantto SSV compared to other varieties. SSV infection significantly reduced soybean growth indicated by reduction ofplant heigth 5.86% and numbers of n+1 steams 16,63%. SSV Infection also reduced soybean yield, soybean pods 19,75% and seeds 12,11%.
DAFTAR ISI KORELASI PEMUPUKAN FOSFAT DENGAN PERTUMBUHAN TANAMAN, BINTIL AKAR DAN HASIL DUA VARIETAS KEDELAI (GLYCINE MAX L.)
Amin Zuchri Embryo : Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 4, No. 1, 2007:11-15 Abstract: The research to analyze the correlation of phosphate fertilizer dosage with plant growth parameters,nodule characteristics and yield of soybean was carried out. The research consisted two factors was arranged in a complete randomized design with three replications. The first factor was soybean variety consisted of Galunggung and Lokon, which all were determinate type. The second factor was dosage of phosphate fertilizer, consisted of five levels which were 0, 2455 , 490,9 , 736,4 and 981,8 mg/container. The research revealed that there were significantly positive correlative between Phosphate fertilizer and (1) dry weight of aerial part of Galunggung and dry weight of of Lokon; (2) nodule number and dry weight/plant, nodule fresh weight/nodule of both Galunggung and Lokon (except nodule fresh weight/nodule of Lokon). The nodule proportion of Galunggung was higher than that of Lokon, (3) dry weight and seed number/plant,the percentage of full pods and fertile nodes on Galunggung. While significantly negative correlation seemed to happen on dry weight and plant seed number/ plant,the percentage of full pods and fertile nodes, seed weight/seed of Lokon.
KUALITAS BENIH KEDELAI (GLYCINE MAX (L.) MERILL.) PADA BERBAGAI UMUR PANEN SETELAH PENYIMPANAN
Amelia S. Sarungallo Jurnal Agrotek, Vol. 1, No. 9, 2010:33-38
Abstract: The aim of this research was to identify the quality of soybean seed from a variety ofharvesting time
after 5 months of storage duration. Randomized block design was used in five harvesting time (calculated from days after flowering, DAF) as a treatment, namely 34, 38, 42, 46, and 50 DAF. The result showed that 50 DAF treatment produced the highest quality seed which was indicated by germination energy, germination simultaneity, germination speed, cell membrane damaged (DHL), P-total level, and N-total ofwater soaked seed.
PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) PADA TANAH PODZOLIK MERAH KUNING (PMK) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELA
Elza Zuhry;Fifi Puspita Sagu : Agricultural Science And Technology Journal, Vol. 7, No. 2, 2008:25-29 Abstract: The objective of this research was to achieve the best CMA dosage for soybean growth and production in red yellow podzolie soil. This research was carried out experimentally by Completely Randomized Design (CRD) which consisted of 5 treatments (0g CMA/plant, 10g CMA/plant, 20g CMA/plant, 30g CMA/plant, and 40g CMA/plant) and 4 replications. Parameters observed were CMA infection percentage (%), the age of flower bloom (day), the age of harvesting time (day), amount of pods (pods), and seed dry weight (g). The analysis of Variance was followed by Duncans New Multiple Range Test at 5% level. The result of this research concluded that application of 40 g CMA/plant in red yellow podzolic soil will increase soybean growth and production.
DAFTAR ISI PENAMPILAN KEDELAI YANG MENGALAMI CEKAMAN AIR SETELAH DIINOKULASI CENDAWAN MIRORIZA ARBUSKULA DAN RHIZOBIUM
Suryaman, Maman Eugenia : Media Ilmu Pertanian, Vol. 9, No. 2, 2003:65-73 Abstract: Pot experiment was conducted to study the effect of water stress during pod filling period on yield of soybean inoculated by arbuscular mycorrhizal fungi and rhizobium. Experiment was carried out using a split-split plot design with water stress as main plot consisted of 3 levels (without water stress, moderate water stress. and severe water stress), arbuscular mycorrhizal fungi as sub plot consisted of 4 levels (0,15,30, and 45 g pot-1 ), and rhizobium as sub-sub plot (0,10,20, and 30 g kg-1 seed) with two replicates. The results showed that the decrease of seed yield could be reduced by inoculating arbuscular mycorrhizal fungi and rhizobium 28.7 g pot-1 and 26.1 g kg-1 seed under moderate water stress condition, and 25.9 g pot1 and 22 3 g kg-1 seed under severe water stress condition.
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
PENCIRI SIFAT AGRONOMIK KEDELAI YANG DAPAT BERADAPTASI DI LAHAN BASAH
Nurlianti, Wahju Qamara Mugnisjah, Muhammad Hasjim Bintoro Djoefrie, Endang Sjamsudin Bul. Agron, Vol. 31, No. 2, 2003:47 - 56 Abstract: Arable land-use conversion into activities of nonagriculturalproduction may encourage the use of wet region for soybean production. In this respect, a research on the adaptability of 25 soybean varieties to saturatedsoil has been conducted in the field. A randomized complete block design with 3 replicates was used in this experiment. Results of the experiment showed the adaptability differences among the 25 soybean varieties tested. Based on their yield, soybean adaptability to saturated soil condition was not related to plant growth type, but could be influenced by plant age. With an exception for Tidar (a high yielding variety belonging to the intermediate age), the late varieties produced higher yield than that of the intermediate ones. It was concluded that the varieties belonging to high yielding ones were characterized by the existence ofpositive correlation ofpod number with nodule number and relative growth rate and of nodule number with relative growth rate and leaves area index.
DAFTAR ISI PENGARUH FOSFAT ALAM DAN KOMBINASI BAKTERI PELARUT FOSFAT I DEUGAN PUPUK KANDANG TERHADAP P TERSEDIA DAN PERTUMBUHAN KEDELAI PADA ULTISOL
Aidi Noor Bul. Agron, Vol. 31, No. 3, 2003:100-106
Abstract: The aims of this experiment were to evaluate the effect of rock phosphate application and combination phosphatesolubilizing bacteria and farm yard manure on soil available P and growth of soybean on Ultisol from Kentrong village, Banten province. Factorial experiment design with two factors was used in randomized complete block design with three replications. The first factor was rockphosphate ie. : 0, 30, 60, and 90 kg P/ha, and the secondfactor was combination of phosphate solubilizing bacteria (PSB) and farm yard manure (FYW) i.e.: without PSB and FYM (control), PSB (Pseudomonas fluorescens), FYM 10 t/ha, and PSB+FYM. Results indicated that significant positive effect of rock phosphate and combination of PSB and FYM application occurred on soil available P, number and dry weight of nodule, dry weight of root and shoot. Rock phosphate application with rates of 30, 60, 90 kg P/ha increased soil available P 247%, 356% and 592% respectively compared to without P. Phosphate-solubilizing bacteria, farm yard manure and PSB+FYM increased 27%. 30% dan 48% respectively compared to control. Phosphate-solubilizing bacteria and farm yard manure combination with phosphate rock 30 kg P/ha dosage increased dry weight of soybean shoot 29% compared to control.
PENGARUH PENGAPURAN DAN PUPUK FOSFAT P ADA GAMBUT TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max Merr)
Ratna Shanti Magrobis Journal, Vol.9, No. 1, 2009:8-15
Abstract: The purpose of this experiment to find out the effict of liming and phosphate fertilizers on peat to the soybean production (Glycine max merr). The experiment was conducted on November 2007 until February 2007 at sheed house behind of Agriculture Faculty. The design of this research in completely randomized design consisted two treasments, first factor liming consist of four levels, namely: L0; L1; L2 ; and L3 (0, 1000, 2000 and 4000 kg line perhectar). Second factor phosphate fertilizers consist offour levels, namely P0, P1, P2, and P3 (0, 45, 90, and 180 kg P2O5 perhectar). The results of the experiment shown liming was highly significant difference to the pH, number of pod per plant and production. Phosphorus fertilizers was significant difference to the high of plant. Number of pod per plant and production of soybean. Intruaction between living and Phosphat fertilizers was significant difference to the production. Living at 1000 kg perhectar and Phosphat fertilizers at 45 kg P2O5 perhectar shown the best dosage end will be increased the production of soybean respectively until 42,5 and 38,5 persen.
DAFTAR ISI PENGARUH TAKARAN OPTIMAL PUPUK NPKS, DOLOMIT, DAN PUPUK KANDANG TERHADAP HASIL KEDELAI DI LAHAN PASANG SURUT
Abdullah Taufiq;Andy Wijanarko;Suyamto Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol.30, No. 1, 2011:52-57
iklim, musuh alami, tanaman inang, dan tanggap varietas), komponen pengendalian (sanitasi, tanam serempak, pergiliran tanaman, pola tanam, tanaman perangkap, pestisida nabati, varietas tahan, biologi, dan kimia), serta rekomendasi pengendalian penggerek polong secara terpadu (PHT).
Abstrak: -
PENGGEREK POLONG KEDELAI, ETIELLA ZINCKENELLA TREITSCHKE (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE), DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA DI INDONESIA
Yuliantoro Baliadi;W. Tengkano;Marwoto Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Vol. 27, No. 4, 2008:113-123 Abstrak: Penggerek polong kedelai (Etiella zinckenella Treitschke) merupakan hama penting dan dilaporkan terdapat pada semua sentra pertanaman kedelai di Indonesia. Selain E. zinckenella, ada empat spesies penggerek polong lain yang diidentifikasi di Indonesia, yaitu E. hubsoni Butler, E. chrysoporella Meyrick, E. grisea drososcia Meyrick Stat.n., dan E. behrii Zeller. E. zinckenella merupakan spesies yang paling dominan dan mengakibatkan kehilangan hasil panen kedelai hingga 80%.Kehilangan hasil tersebut merupakan dampak dari gerekan larva pada polong dan biji.Bintik coklat pada polong yang tertutupi oleh benang pintal merupakan jalan masuknya larva dan lubang besar pada polong sebagai jalan keluar larva dewasa untuk melanjutkan stadium pupa di dalam tanah. Polong yang terserang juga ditandai oleh butiran-butiran kotoran yang terikat satu sama lain oleh benang pintal berwarna coklat kekuningan dan adanya gerakan pada biji. Makalah ini menelaah kemajuan penelitian penggerek polong kedelai di Indonesia, meliputi bioekologi E. zinckenella (biologi, fluktuasi populasi, pola pembentukan polong,
PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK (COMPOST MILLENNIUM) PADA DUA VARIATES KEDELAI YANG DITANAM SETELAH PADI SAWAH M.P.Sirappa;M.Azis Bilang Jurnal Agrivigor, Vol. 3, No. 1, 2003:31-38
Abstract: The research was conducted on wetland rice irrigation at the village of Kajaolaliddong, Bone District, PS. 2002. The research location was 40 ha and the number farmers involved in the research was 63. Planting of soybean was done after wetland rice with tillage. Organic fertilizer used in this research was Compost Millennium. Two varieties of soybean namely Agromulio and Orba were used as indicator plant. Data analysis was carried out descriptively. The aim of this research was to understand the effect of organic fertilizer on growth and yield of two varieties soybean planted after wetland rice. The result showed that the use of compost millennium on soybean after wetland rice gave the highest growth and yield of soybean compared to control. The means of growth and yield of Agromulio variety was better than that of Orba’s. Plant height branch number weight of 100 seeds and yield of Agromulio and Orba varieties with organic fertilizer were 48.61 and 40.30 cm; 4.92 and 5.22 branches; 12.5 and 10.3 g; and 2.08 and 1.62 t ha-1 respectively. Meanwhile the similar values of varieties without organic fertilizer were 35.99 and 27.04 cm; 4.29 and 3.90 branches; 9.7 and 8.0 g; and 0.77 and 1.20 t ha-1 respectively.
DAFTAR ISI PERBAIKAN BUDI DAYA KEDELAI DI LAHAN KERING MASAM LAMPUNG
Taufiq, Marwoto; Heriyanto, Darman; M. Arsyad; Sri Hardaningsih Penelitian Pertanian Tanaman Pangan,Vol. 26, No. 1, 2007:38-45 Abstrak: Lahan kering masam di Lampung potensial untuk pengembangan kedelai, meskipun secara umum mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan tanah yang rendah.Dengan pengelolaan lahan dan penerapan teknologi budi daya yang tepat, hasil kedelai di lahan kering masam dapat ditingkatkan.Penelitian budi daya kedelai dilaksanakan pada lahan kering masam Lampung, di Kampung Bumi Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kab. Lampung Tengah pada MH I 2005/06 dan MH II 2006.Tujuan penelitian adalah untuk verifikasi teknik budi daya kedelai pada lahan kering masam.Paket teknologi budi daya kedelai yang diuji terutama adalah pemupukan (75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha) dan ameliorasi kemasaman tanah dengan 500 kg CaO/ ha yang berasal dari dolomit (1.500 kg/ha dolomit). Varietas kedelai yang digunakan adalah Sinabung, Kaba, Burangrang, dan Anjasmoro. Pada MH II tahun 2006 dilakukan percobaan superimpose untuk menguji pengaruh sisa dolomit, peningkatan takaran SP36 dan KCl. Hasil kedelai dengan teknik budi daya yang dianjurkan cukup tinggi, baik pada MH I (1,76-2,02 t/ha) maupun MH II (1,59-2,08 t/ha). Teknik budi daya tersebut memberikan keuntungan yang cukup tinggi berkisar antara Rp 2,1-3 juta/ha. Jika dolomit 1.500 kg/ha telah diberikan pada MH I maka tanaman kedelai pada MH II tidak perlu diberi dolomit. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha meningkatkan hasil kedelai 12% (dari 2,14 t menjadi 2,39 t/ ha), dan pendapatan meningkat Rp 750.000/ha. Peningkatan takaran KCl dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak meningkatkan hasil.
PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI YANG DIASOSIASIKAN DENGAN RHIZOBIUM PADA ZONA IKLIM KERING E (KLASIFIKASI OLDEMAN)
Chairani Hanum Bionatura : Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati Dan Fisik, Vol. 12, No. 3, 2010:170-176 Abstrak: -
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELEI PADA BERBAGAI KONSENTRASI DAN WAKTU PEMBERIAN ETHREL
Nurman; Badron Zakarial; Rusni J. Agrivigor, Vol. 7, No. 2, 2008:149-157 Abstract: One of many efforts to increase soybean yield is by applying synthetic hormone of plant growth regulator namely ethrel. Objective of this research was to study effect of concentration and time of application on growth and yield of soybean. Therefore, a field experiment was undertaken on dryland in Maroangin-Maiwa 300111 as1 with C2 climate iype (OldemanJ on alluvial soil type, in Enrekang South Sulawesi from December 2003 to March 2004. It was arranged in a split-plot design with three replications. Main plot was ethrel concentration, consisted of 75, 150 and 300ppm. Subplot was ethrel application time, consisted of 25 and 30 days after planting (dap). Result showed that ethrel concentration of 75ppm tended to give best effect on all observed growth components, namely plant height (92.67cm), number of leaf (35.77 leaves), number of pod (35.53 pods), pod dry-weight (2.98g), seed dry-weight per plant (8.53g), and seed dry-weight per hectare (1.40t). Ethrel applied at 30 dap significantly gave better effect on all observed growth components compared to those applied at 25 dap. Seed dryweight obtained at 30 dap was 1.42 t ha-1. There was no interaction observed between ethrel concentration and its application time.
DAFTAR ISI PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN MUTU BENIH KEDELAI DENGAN SIMULASI DERAAN CURAH HUJAN PADA FASE REPRODUKTIF
Syatrianty A. Syaiful; Jannes P. Manurung; Akmal J. Agrivigor, Vol. 7, No. 3, 2008:206-213 Abstract: This research aimed to study growth, production and seed quality of soybean under rainfall simulation during reproductive stage, as well as to determine tolerance level of different soybean varieties to rainfall impact It was arranged in 2-factor randomized complete block design. First factor was soybean variety, namely Wilis and Tampomas. The second one was duration of rainfall simulation, which consisted of seven levels, i.e. no simulation, and starting at 10. 20,30,40,50 and 60 days toward harvest, respectively. Results showed, that reproductive stage of soybean was a crirical period that was very susceptible to rainfall impact. Wilis variety was more resistant to rainfall impact during reproductive stage compared to Tampomas. Moreover, it was found, that rainfall simulation during reproductive stage delayed pollination and subsequently pod-filling and seed maturity.
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
POLA PEWARISAN ADAPTASI KEDELAI (GLICINE MAX L. MERRILL) TERHADAP CEKAMAN NAUNGAN BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN
Kisman; Trikoesoemaningtyas; Sobir; Nurul Khumaida; Didy Sopandie Buletin Agronomi, Vol. 36, No. 1, 2008:1-7 Abstract: The objective of this study was to analyze the inheritance pattern of soybean adaption to shade stress based on leaf morpho-physiological characters. Genetic materials used in this study consisted of 22 plants of low irradiance (LI)-tolerant genotype (Ceneng) and 22 plants of LI-sensitive genotype (Godek); 21 plants of F1 (Ceneng x Godek); and 114 plants of F2 populations(derived from F1). These populations were planted under shading of paranet 50 percent. The population was arranged in a Randomized Complete Block Design with two replicates. Analysis of inheritance of soybean adaption involved estimation of heritability (broad sense) and gene action. Results of this study showed that: adaption of soybean to low light stress based on characters of yield per plant was highly hertable (68 percent of broad sense) with partial dominant mode of action. Characters of leaf area and specific leaf weight were highly (68 percent of broad sense) and moderately (48 percent of broad sense) heritable, respectively, with additive mode of action. Soybean adaption based on leaf physicological characters (chlorophyll contents) was highly heritable (70 percent-86 percent of broad sense) in epistatic mode of action.
DAFTAR ISI POLA PEWARISAN KARAKTER BENTUK DAUN TANAMAN KEDELAI
Gatut Wahyu Anggoro Susanto; M. Muchlish Adie J. Agrivigor, Vol. 8, No. 1, 2008:10-14 Abstract: The leaf is the main organ for producing photosynthate. Leaf shape in soybean plant varies from lanceolate to ovoid, and has an important role in determining crop metabolism processes. The genetics of leaf shape need to be studied so that modification of inherited leaf shape can be done more efficiently. The aim of this research is to study the inheritance of leaf shape in soybean plant. The experiment was done in greenhouse of the ILETRI in Malang during May-August 2004, using P1( GT-P-U-1 with lanceolate shape), p2 ( Kaba with ovoid shape), F1, reciprocal and F2 populations. Observation of every plant from P1, p2, F1, F1 reciprocal and F2 generatiom was based on leaf shape 35 days after planting. Plants were divided into two classes according to leaf shape, that is ovoid and lanceolate. This segregation was analyzed using the Chi-square test. All F1 and reciprocal populations had ovoid leaf shape. Inheritance of leaf shape in soybean had no maternal effect. The ovoid leaf shape character was controlled by a single dominant gene since there was a 3 : 1 Mendel segregation in the F2generation.
REGENERASI KEDELAI MELALUI KULTUR EPIKOTIL DAN TEKNIK AKLIMATISASI
Slamet;Saptowo J. Pardal;M. Herman;Wartono Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol. 30, No. 1, 2011:38-42 Abstrak: -
RESPON BEBERAPA GENOTIPE KEDELAI TERHADAP INFEKSI CPMMV (COWPEA MILD MOTTLE VIRUS)
Hasriadi Mat Akin J. Hama Dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol. 3, No. 2:x-x, 2003:40-42 Abstrak: -
RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PADA SISTEM OLAH TANAH YANG BERBEDA
Zainuddin Ohorella J. Agronomika, Vol. 1, No.2, 2011: 92-98
Abstrak: Salah satu kegiatan budidaya penting dalam intensifikasi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan termasuk tanaman kedelai adalah pengolahan tanah.Sistem olah tanah yang sering digunakan oleh petani adalah olah tanah intensif, olah tanah minimum, dan tanpa olah tanah.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem olah tanah terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan sistem olah tanah yang terdiri dari 3 taraf yaitu olah tanah satu kali, olah tanah dua kali, dan olah tanah tiga kali, dan diulangan sebanyak 5 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem olah tanah sebanyak 3 kali merupakan yang terbaik dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang produktif, jumlah polong, bobot 100 biji kering dan berat segar brangkasan tanaman kedelai.
DAFTAR ISI STABILITAS HASIL GALUR KEDELAI TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN
Suhartina; Purwantoro; Novita Nugrahaeni; Abdullah Taufiq Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol. 33, No. 1 2014:54-60 Abstrak: Kedelai umumnya ditanam di lahan sawah pada musim kemarau dalam pola tanam padi-padikedelai atau padi-kedelai-kedelai.Dengan pola tanam tersebut, tanaman kedelai tercekam kekeringan pada sebagian atau selama fase generatif yang menyebabkan rendahnya hasil.Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah menanam varietas toleran kekeringan. Tujuan penelitian adalah menilai keragaan dan stabilitas hasil galur harapan kedelai toleran cekaman kekeringan selama fase reproduktif.Dua belas galur harapan kedelai toleran kekeringan selama fase reproduktif dan dua varietas pembanding toleran kekeringan (Wilis dan Tidar) diuji di delapan lokasi selama dua musim tanam pada MK 2009-2010.Rancangan percobaan adalah acak kelompok, diulang empat kali. Lokasi pengujian adalah Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, dan Jombang (Jawa Timur), Bantul dan Sleman (DI Yogyakarta), Mataram dan Lombok Barat (NTB). Selama fase reproduktif (fase pembentukan polong hingga masak fisiologis), tanaman tidak diairi. Kandungan lengas tanah pada lapisan 0-20 cm pada fase reproduktif setara dengan pF 3,04,2. Hasil analisis gabungan menunjukkan interaksi genotipe dengan lingkungan. Di antara galur yang diuji hanya DV/2984-330 yang stabil dan sekaligus berdaya hasil tinggi (rata-rata 1,95 t/ha dan potensi hasil 2,83 t/ha). Hal ini menunjukkan galur tersebut mampu beradaptasi dengan baik pada semua lingkungan pada kondisi kekeringan selama fase reproduktif dengan kisaran air tersedia 20-30% dari kapasitas lapang.Galur tersebut mempunyai ratarata hasil 14% lebih tinggi dibanding varietas Tidar dan 16% lebih tinggi dibanding varietas Wilis.Galur DV/2984-330 prospektif sebagai varietas unggul kedelai toleran kekeringan selama fase reproduktif.
UJI ADAPTASI GALUR-GALUR HARAPAN DAN VARIETAS UNGGUL BARU KEDELAI DI KAB. GOWA SULAWESI SELATAN.
Suriany Jurnal Agrivigor, Vol. 3, No.3, 2003:195-203
Abstract: Adaptation trial on prospect lines and on new superior soybean cultivars was conducted at Gowa Regency South Sulawesi, since April to October 2002. Randomized Block Design with three replications is used as a research design method. The trial was using 8 lines and 6 cultivars soybean. Research plot was 4,5 m x 2,4 m with spacing of plants 40 cm x 15 cm. Fertilizers such as Urea, SP36 and KC1 were given 15 days after planted with dose for each fertilizers is 50 kg ha1 , 100 kg ha-1 and 75 kg ha-1, respectively. Among 8 lines and 6 cultivars that were used in this research, only 1 cultivars and 4 lines show good performance on their growth and production. Kaba variety production is 1,3 tons ha-1, higher than Willis (variety that act as control), which is only 1,1 t ha-1 The other four are lines number 03578-4, MSC9502-IV-16-3, 03465-42-1 dan TGX1448 with their yield production are 1,1 t ha-1, 0,9 t ha-1, 0,9 t ha-1 dan 0,9 t ha-1 respectively. The lines and cultivar profitable is Rp. 1.667.500 to Rp. 2.267.500 with R C-1 ratio 2,0-2,4.
DAFTAR ISI UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN KEDELAI DI SULAWESI SELATAN
Abdul Fattah, Amin Nur, Darman M. Arsyad J. Agrivigor, Vol. 5, No. 1, 2005: 85-91 Abstract: Soybean (Glycine max(L.) Merrill) is very important in human life as source of vegetable protein and can be consumed in various processed products. In Indonesia, there are lots of industrial activies using soybean as main raw material. Unfortunately, soybean is still imported to meet this demand. In soybean farming system, variety is one of key factor to achieve high yield. Therefore, a research was conducted in Towalidah and Bontonompo districs in Gowa, South Sulawesi from May to December 2004, aiming to gain potential line with high yield. The experiment was arranged in randomized complete block design with 10 genotypes as treatments and three replications. Results showed that SEM-02-01 lines reached highest yield of 1.882.00 t ha-1, followed by SEM-02-02 lines with 1.421.80 t ha-1 and SEM-02-03 lines with 1.60-1.75 t ha1. On the other hand, lowest yield was reached by SLT-03 lines with yield of 0.98-1.30 t ha-1, followed by SEM-02-4 lines with 0.37-1.47 t ha-1 and willis with 0.71-1.40 t ha-1.
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
Identifikasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Kedelai terhadap Hama Pengisap Polong Asadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
ABSTRACT Pod sucking bugs are the main insects pest that affect both yield quality and quantity of soybean seriously. There are three kinds of insect pest ie: Riptortus linearis (F), Nezara viridula (L), and Piezodorus rubrofasciatus. The soybean plants were mainly attacked by insects during seed and pod development decreased yield up to 79%. To identify soybean germplasm resistant to pod sucking bugs for breeding base material, 100 accessions of soybean germplasm were tested in Bogor Experimental Station during the wet season 2003. Each accession was planted in 2 m x 3 m plot with 40 cm x 15 cm plant spacing. There was no pest control during flowering stage until pod maturing stage. Data collected were population of each pod suckers bugs, percentage of seed and pods damage. The accessions with 0-20% of seed damage (score 1) were selected as the resistant genotypes. The result showed that among three kinds pod suckers, population of Riptortus linearis was higher then others. It was found nearly in each plot with different insect incident (score 1-4). Based on seeds and pods damage symptom, there were identified 17 accessions resistant to pod suckers. The lowest seed and pod damage caused by the insect were found in TGM 131-1-1-1B and GM425 Si accessions. The selected accessions were suggested to be used as parent materials for future breeding program. Key words: Germplasm, soybean, pod sucking bugs.
ABSTRAK Hama pengisap polong merupakan hama penting yang dapat mengakibatkan penurunan hasil kedelai secara signifikan. Ada tiga jenis hama pengisap polong yang sering ditemukan menyerang pertanaman kedelai, yaitu Riptortus linearis (F), Nezara viridula (L), dan Piezodorus rubrofasciatus. Hama tersebut menyerang pertanaman kedelai selama stadia pengisian biji hingga menjelang polong masak. Serangan hama pengisap polong dapat menurunkan hasil kedelai hingga 79%. Sumber daya genetik (plasma nufah) kedelai tahan hama pengisap polong sangat diperlukan sebagai bahan dasar pemuliaan. Sebanyak 100 aksesi plasma nutfah kedelai telah diuji ketahanannya di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, pada MH 2003. Setiap aksesi ditanam pada petakan berukuran 2 m x 3 m dengan jarak 40 cm x 15 cm. Mulai dari stadia pembungaan hingga polong masak tidak dilakukan penyemprotan hama.
Buletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
Pengamatan dilakukan terhadap populasi ketiga jenis hama pengisap polong, skor ketahanan/persentase biji, dan polong terserang. Aksesi dengan persentase biji terserang (skor 1) digolongkan pada aksesi tahan. Hasil penelitian menunjukkan, dari ketiga jenis hama pengisap polong, R. linearis ditemukan paling banyak, hampir pada setiap petak pengujian dengan tingkat serangan yang berbeda. Berdasarkan skor gejala kerusakan pada biji dan polong telah diidentifikasi 17 aksesi plasma nutfah kedelai yang tergolong tahan terhadap hama pengisap polong. Persentase biji dan polong rusak terendah ditemukan pada aksesi TGM 131-1-1-1B dan GM425Si. Kedua aksesi tersebut dapat digunakan sebagai sumber tetua persilangan dalam program pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama pengisap polong. Kata kunci: Plasma nutfah, kedelai, hama pengisap polong.
PENDAHULUAN Kedelai merupakan komoditas pangan penting yang mendapat prioritas untuk dikembangkan setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai setiap tahun terus meningkat, tetapi produksi nasional masih rendah, bahkan cenderung turun. Produksi kedelai nasional rata-rata 800.000 t/tahun, dengan produktivitas 1,4 t/ha. Sementara itu permintaan telah mencapai 2,5 juta t/tahun, sehingga diperlukan impor rata-rata 1,5 juta t/tahun (Manurung 1999, Sumarno 1999, Deptan 2004). Produktivitas kedelai yang masih rendah dan beragam di antaranya disebabkan oleh masih tingginya serangan hama dan penyakit. Hama pengisap polong tergolong hama utama kedelai. Ada tiga spesies hama pengisap polong yang sering menyerang pertanaman kedelai, yaitu Riptortus linearis (F), Nezara viridula (L), dan Piezodorus rubrofasciatus. Di antara ketiga jenis hama tersebut, R. linearis mempunyai daerah penyebaran dan serangan yang paling luas. Hama ini menyerang pertanaman kedelai mulai saat pengisian polong sampai biji mulai masak (Naito 2008, Tengkano et al. 2003 dalam
27
Yusmani dan Suharsono 2005). Tanda serangan ketiga jenis pengisap polong sulit dibedakan. Imago datang ke pertanaman sejak pembungaan untuk meletakkan telur. Baik nimfa maupun imago merusak polong dan biji sejak pembentukan polong hingga kulit polong (Tengkano et al. 1988). Ketiga jenis serangga pengisap polong tersebut memiliki tipe mulut menusuk dan mengisap. Tanda serangan dapat dilihat dari bekas tusukan mulut pada kulit polong dan biji. Jika serangan terjadi pada saat polong masih dalam proses pengisian penuh, maka polong menjadi kempes dan mengering. Pada saat menyerang, mulutnya (stilet) ditusukkan ke permukaan polong sampai menembus ke dalam biji dan mengisap cairan biji. Serangan secara langsung menurunkan kualitas dan hasil biji (Tengkano et al. 1988, Tod 1982, Koswanudin dan Djuwarso 1997, Marwoto dan Hardaningsih 2007). Kehilangan hasil akibat serangan R. linearis mencapai 79% (Tengkano et al. 1988). Upaya pengendalian hama pengisap polong umumnya masih mengandalkan insektisida kimia. Penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menimbulkan resistensi, resurjensi, musnahnya serangga berguna, serta pencemaran terhadap kesehatan dan lingkungan. Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu pengendalian yang ramah lingkungan. Dari 55 varietas unggul kedelai yang telah dilepas dalam kurun waktu 1918-2002 belum ada yang tahan terhadap hama pengisap polong. Oleh sebab itu, perbaikan varietas untuk ketahanan terhadap hama pengisap polong perlu dilakukan. Untuk mendukung program pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama pengisap polong, ketersediaan sumber gen tahan sangat diperlukan. Sumber gen tahan diperoleh dengan cara mengevaluasi dan mengidentifikasi sejumlah plasma nutfah kedelai yang tersedia. Dari hasil evaluasi diharapkan akan teridentifikasi sumber gen tahan yang dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk program pemuliaan kedelai terhadap ketahanan hama pengisap polong. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketahanan plasma nutfah kedelai terhadap hama pengisap polong.
28
BAHAN DAN METODE Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, musim hujan 2003. Berdasarkan informasi dan pengalaman sebelumnya di lokasi ini, populasi hama pengisap polong tergolong tinggi hingga sangat tinggi, apalagi pada musim hujan, sehingga infestasi hama ini tidak diperlukan. Bahan yang digunakan adalah 100 aksesi plasma nutfah kedelai. Setiap aksesi ditanam dalam petakan berukuran 2 m x 3 m pada jarak 40 cm x 15 cm. Penyemprotan hama tidak dilakukan. Pengamatan populasi dan jenis hama pengisap dilakukan empat kali, pada umur 9, 10, 11, dan 12 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan terhadap tingkat serangan hama pengisap polong terhadap biji dan polong dilakukan setelah panen. Sebanyak 300 polong dari 10 sampel tanaman/aksesi diamati persentase polong dan biji terserang. Persentase biji terserang dikelompokkan ke dalam lima kategori (skor), skor 1 (tingkat serangan 0-20%) = tahan, skor 2 (serangan 21-40%) = agak tahan, skor 3 (serangan 41-60%) = agak rentan, skor 4 (serangan 61-80%) = rentan, dan skor 5 (serangan >80%) = sangat rentan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Hama Pengisap Polong Pada umur 9 MST telah ditemukan hama pengisap polong di pertanaman, yaitu R. linearis (F), N. viridula (L), dan P. rubrofasciatus, namun populasinya masih rendah dan belum merata pada setiap petak pengujian. Dari ketiga jenis hama pengisap polong tersebut, R. linearis paling banyak ditemukan, kemudiaan diikuti oleh N. viridula. Pada 10, 11, dan 12 MST terjadi peningkatan populasi hama. Populasi tertinggi ketiga hama pengisap polong ditemukan pada saat tanaman berumur 10 minggu (195 ekor imago) (Gambar 1). Pada 10, 11, dan 12 MST tanaman telah memasuki stadium pengisian polong hingga pengisian polong penuh (stadium R5, R6). Stadium R5 dan R6 merupakan stadium yang sangat disukai oleh hama pengisap polong, karena polong masih hijau dan lunak, kandungan selulosa kulit polong umumnya masih rendah, sehingga mudah untuk ditusuk oleh mulut haBuletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
ma pengisap. Di samping itu, biji juga masih lunak dan memudahkan bagi serangga untuk menusuk dan mengisap. Penyebaran serangga pengisap pada saat tanaman berumur 10 MST mulai merata, yakni hampir ditemui di setiap petak pengujian. Hal ini didukung oleh pengamatan terhadap tingkat kerusakan polong dan biji yang terserang. Semua aksesi terserang oleh hama pengisap polong, namun dengan tingkat serangan yang beragam, sesuai dengan tingkat ketahanan masing-masing aksesi (Gambar 2).
terserang cukup tinggi, berkisar antara 19-73% untuk polong dan 11-56% untuk biji. Dari 100 genotipe kedelai yang diuji telah diidentifikasi sebanyak 17 genotipe yang bereaksi tahan (skor 1), tiga di antaranya (B3570, TGM 13-1-1-1B, dan GM425 S1) dengan tingkat serangan paling rendah, berturut-turut 14, 14, dan 11%, dengan persentase polong terserang yang juga rendah masing-masing 29, 20, dan 19% (skor 1) (Tabel 1 dan Gambar 2). Dibandingkan dengan polong yang terserang, biji terserang secara langsung lebih berpengaruh terhadap hasil, baik kualitas maupun kuantitas. Sebagaimana ditemukan pada penelitian ini kendati polong terserang pada 17 genotipe terpilih adalah 23-33% (skor 2), namun biji terserang lebih rendah rata-rata 20% (skor 1). Untuk mendapatkan hasil yang konsisten, ke17 aksesi ini perlu diuji kembali ketahanannya ter-
Evaluasi Ketahanan Gejala serangan ketiga jenis hama pengisap, baik pada polong maupun biji, sulit dibedakan, sehingga pengamatan gejala serangan tidak dibedakan menurut jenis serangga. Keragaman polong dan biji N. viridula
Populasi hama
160 140 120 100 80 60 40 20 0
R. linearis
P. hybneri 134
141 106
57
55
36 8
9 9
17
14
12
4
10 11 Umur tanaman kedelai (minggu)
12
Gambar 1. Populasi hama pengisap polong pada umur 9, 10, 11, dan 12 MST. 80
Persentase biji terserang
Persentase polong terserang
70
Persentase
60 50 40 30 20 10 0 2
8
13
18
23
28
33
38
45
50 55 Aksesi
61
67
72
77
82
88 93
98
Gambar 2. Persentase polong dan biji terserang pada 100 aksesi plasma nutfah kedelai.
Buletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
29
Tabel 1. Genotipe kedelai yang teridentifikasi tahan hama pengisap polong (skor 1). Genotipe Otau B3576 B3570 B467 B3462 Bima Kuning Mlg2996 B1350 B4203 Gm609 TGM 131-1-1-1B Mlg3015 Genjah Slawi B3836 B3468 GM425 Si Tanggamus
Polong terserang (%)
Skor
Biji terserang (%)
Skor*
Populasi hama pengisap (ekor)**
33 29 28 30 33 31 23 25 33 24 20 31 30 28 32 19 27
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2
20 19 14 20 20 17 13 14 16 18 14 20 17 17 20 11 19
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4 0 8 8 11 1 7 4 5 10 0 1 4 7 11 10 9
*
Skor 1 (tingkat serangan 0-20%) = tahan, 2 (serangan 21-40%) = agak tahan, 3 (serangan 41-60%) = agak rentan, 4 (serangan 61-80%) = rentan, 5 (serangan >80%) = sangat rentan, **total ketiga jenis hama pengisap pada umur 9, 10, 11, dan 12 MST.
hadap hama pengisap polong. Dari hasil uji konfirmasi ini diharapkan akan diperoleh genotipe tahan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber gen dalam program pemuliaan kedelai untuk ketahanan terhadap hama pengisap polong. Di samping itu, juga perlu dipelajari mekanisme ketahanannya. Ada tiga mekanisme ketahanan terhadap hama menurut Smith (1989): (a) antixenosis, yaitu ketahanan yang berhubungan dengan kelakuan/tabiat serangga yang disebabkan oleh bentuk morfologi tanaman (panjang dan kerapatan bulu, lapisan lilin pada permukaan daun/tanaman, ketipisan jaringan tanaman) bahan kimia yang dikeluarkan tanaman (bau) yang mengakibatkan serangga tidak mau mendekat atau hinggap (repellent); (b) antibiosis, yaitu bentuk ketahanan yang berhubungan dengan biologi serangga, bahan kimia pada tanaman yang bersifat racun atau mengganggu pertumbuhan serangga yang memakannya; (c) toleran, yaitu ketahanan yang disebabkan oleh karakteristik pertumbuhan tanaman seperti bentuk perakaran yang lebat dan panjang pada genotipe tahan, kemampuan genotipe untuk sembuh kembali setelah terserang hama. Untuk mengetahui mekanisme ketahanan aksesi tahan seperti TGM 13-1-1-1B dan GM425 Si perlu telaah lebih jauh. Jika mengacu kepada bentuk serangannya pada biji, ketiga hama pengisap polong
30
tampaknya tidak menghindar untuk hinggap dan makan, tetapi serangga hinggap, menusuk polong, dan meghisap cairan biji. Namun serangan hama pengisap berdasarkan tingkat kerusakan polong dan biji pada semua aksesi yang diuji cukup tinggi (Gambar 2), dan jumlah serangga pengisap pada masing-masing aksesi juga cukup beragam. Pengamatan pada petak aksesi B3570 dan TGM131-1-11B tidak ditemui ketiga hama pengisap pada 9, 10, 11, dan 12 MST, namun biji terserang pada kedua aksesi tersebut ditemui meskipun tergolong rendah (skor 1 atau tahan). Kemungkinan pada saat pengamatan, serangga pengisap sudah terbang atau mati. Hal ini mengindikasikan adanya faktor ketahanan morfologis, seperti panjang dan kerapatan bulu, ketebalan kulit polong, atau kandungan selulosa kulit polong. Ketahanan yang disebabkan oleh bentuk morfologi tanaman perlu dipelajari lebih jauh. Bila tidak ditemukan ketahanan morfologis (non preferensi) maka kemungkinan bentuk ketahanan disebabkan oleh faktor antibiosis, atau repellent. Pada aksesi GM425 Si, ketiga hama pengisap ditemukan cukup banyak (10 ekor), tetapi kerusakan biji dan polong paling rendah (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan aksesi GM425 Si kemungkinan bukan disebabkan oleh faktor antibiosis atau Buletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
repellent. Ada indikasi ketahanan aksesi tersebut disebabkan oleh faktor morfologi (panjang dan kerapan bulu, kandungan lignin kulit polong). Penelaahan lebih jauh tentang mekanisme ketahanan kedelai terhadap hama pengisap polong perlu dilakukan, untuk menentukan strategi pemuliaan tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pengamatan pada umur 9, 10, 11, dan 12 MST terdapat tiga jenis populasi hama pengisap polong, yaitu R. linearis (F), N. viridula (L), dan P. rubrofasciatus. R. linearis paling banyak ditemukan, kemudian diikuti oleh N. viridula (L). Dari 100 genotipe kedelai yang diuji, terdapat 17 genotipe yang bereaksi tahan (skor 1), dua di antaranya (GM425 Si dan TGM 13-1-1-1B) memiliki persentase biji terserang paling rendah (11% dan 14%) dengan persentase polong terserang yang juga rendah (11 dan 20%). Aksesi-aksesi pilihan dapat digunakan sebagai calon sumber gen (tetua) tahan pengisap polong dalam program pemuliaan kedelai. Studi mekanisme bentuk ketahanan aksesi pilihan (tahan) secara khusus perlu dilakukan. Dengan mengetahui bentuk ketahanan terhadap hama pengisap polong, pemulia akan terbantu dalam menentukan metode pemuliaan yang akan dilakukan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Rachmat, Yusup, dan Jenab, teknisi hama tanaman yang telah membantu pengamatan hama pengisap polong, baik di lapang maupun laboratorium dan Bapak Ir. Harnoto, MS atas masukan yang telah diberikan untuk perbaikan.
Buletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
DAFTAR PUSTAKA Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian 2004. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Departemen Pertanian. Koswanudin, D. dan T. Djuwarso. 1997. Perkembangan pengisap polong kedelai Riptortus linearis pada beberapa jenis tanaman inang. Prosiding Seminar Nasional PEI. Tantangan Entomologi pada Abad XXI. Manurung, R.H. 1999. Program pencapaian swasembada kedelai 2001 (Gema Palagung). Strategi Pengembangan Produksi Kedelai. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Bogor, 16 Maret 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Marwoto dan S. Hardaningsih. 2007. Pengendalian hama terpadu pada tanaman kedelai. Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 296-318. Naito, A. 2008. Low cost technology for controlling soybean insect pest in Indonesia. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region. http//www.agnet.org./library/eb/468/. Smith, C.M. 1989. Plant Resistance to Insect. A fundamental Approach. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York. 286 p. Sumarno. 1999. Strategi pengembangan produksi kedelai nasional mendukung Gema Palagung 2001. Strategi Pengembangan Produksi Kedelai. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Bogor, 16 Maret 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Tod, J.W. 1982. Effect of stink bug damage on soybean quality in soybean seed quality and stand establishment. Insoy Series 22:46-51. Tengkano, W., Sugito, A.M. Tohir, dan T. Okada. 1988. Pengujian ketahanan varietas kedelai terhadap serangan pengisap polong (Riptortus linearis (F), Nezara viridula (L), dan Piezodorus rubrofasciatus (F). Seminar Balittan Bogor, 6 Desember 1988. Yusmani, P. dan Suharsono. 2005. Optimalisasi pengendalian hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis) dengan cendawan entomopatogen. Verticillium lecanni. Jurnal Litbang Pertanian 24(4):123-130.
31
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Kesesuaian Genotipe Kedelai untuk Tanaman Sela di Bawah Tegakan Pohon Karet Titik Sundari dan Purwantoro Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak Km 8, Kotak Pos 66, Malang 65101 Email:
[email protected] Naskah diterima 21 Desember 2012 dan disetujui diterbitkan 18 Februari 2014 ABSTRACT. Suitability of Soybean (Glycine max Meer) Genotypes for Planting under the Rubber Tree Plantation. This research was aimed to identify shade-tolerant soybean genotypes that was suitable for planting under rubber tree plantation. The research was conducted at three locations of rubber tree plantation in Central and East Lampung where the rubber tree were at age of 3 to 4 years, during dry season of 2011. The materials consisted of 30 soybean genotypes, where 23 lines were shadetolerant, and seven were as check varieties (Pangrango, Burangrang, Malabar, Argomulyo, Grobogan, Ijen, and Tanggamus). Each genotype was planted in plot of 4 m x 2.2 m, plant spacing was 40 cm x 15 cm, two plants /hill. The experiment used a randomized block design, repeated four times. Before planting, dolomite of 1.5 t/ha was applied, and 75 kg Urea / ha + 100 SP36 kg/ha + 100 kg KCl /ha was applied at planting time. Observations were done on flowering date, harvesting date, plant height, number of branches, number of reproductive nodes, number of pods, seed weight per plant and grain yield. The light intensity under the rubber tree canopy was observed every week after the soybean age was 30 days (DAP), at 11:00 to 12:00 pm. The levels of shade made by the rubber tree canopy at three locations were different; at Tulangbalak (East Lampung) and Gunungsari (Central Lampung) ranged between 20% to 40%, at Gunungadi (Central Lampung) between 40% to 60%. Genotypes IBM22-861-2-22-3-1 and AI26-1114-8-28-1-2 yielded consistently well in two locations, in East Lampung (1.40 t/ha and 1.43 t/ha), in Central Lampung (1.19 t/ha and 1.18 t/ha). Genotype IBM22-861-2-22-3-1 and AI261114-8-28-1-2 produced the highest average yield out of the three locations, i.e 1.13 t/ha. Genotype IBM22-861-2-22-3-1 and AI261114-8-28-1-2 were considered as suitable genotypes for planting under the rubber tree of 3 to 4 years of age. Keywords: Soybean, genotype, shade, rubber. ABSTRAK. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi genotipe kedelai toleran naungan yang sesuai untuk tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet. Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi perkebunan karet rakyat, dengan umur karet 3-4 tahun, yaitu di Desa Gunungsari dan Gunungadi, Kecamatan Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah, serta Desa Tulangbalak, Kecamatan Batanghari Nuban, Kabupaten Lampung Timur, pada MK I 2011. Bahan yang digunakan adalah 30 genotipe kedelai yang terdiri atas 23 galur kedelai toleran naungan dan tujuh varietas pembanding (Pangrango, Burangrang, Malabar, Argomulyo, Grobogan, Ijen, dan Tanggamus). Setiap genotipe ditanam pada plot berukuran 4 m x 2,2 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun. Rancangan percobaan di masing-masing lokasi adalah acak kelompok, diulang empat kali. Sebelum tanam diaplikasikan dolomit sebanyak 1,5 t/ha. Pemupukan dilakukan pada saat tanam dengan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha. Pengamatan dilakukan terhadap karakter umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman pada saat panen, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi, bobot biji/tanaman,
44
dan hasil biji. Intensitas cahaya di bawah kanopi tanaman karet diamati sejak tanaman kedelai berumur 30 hari setelah tanam (HST), dilakukan antara jam 11.00 hingga 12.00, dengan interval satu minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat naungan di tiga lokasi menunjukkan perbedaan, di Tulangbalak dan Gunungsari berkisar antara 20-40%, di Gunungadi 40-60%. Genotipe IBM22861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-28-1-2 konsisten toleran naungan di tiga lokasi masing-masing dengan produktivitas 1,40 t/ha dan 1,43 t/ha di Tulangbalak, 1,19 t/ha dan 1,18 t/ha di Gunungsari, dan 0,81 t/ha dan 0,78 t/ha di Gunungadi. IBM22-861-2-22-3-1 dan AI261114-8-28-1-2 mempunyai hasil tertinggi, rata-rata 1,13 t/ha. IBM22861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-28-1-2 merupakan genotipe yang sesuai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet umur 3-4 tahun. Kata kunci: Kedelai, genotipe, tanaman sela, karet.
P
eluang pengembangan kedelai di bawah tegakan tanaman karet muda cukup besar. Pada tahun pertama penanaman karet, 70% dari luas area adalah dapat ditanami dengan tanaman penutup tanah atau tanaman pangan. Sejalan dengan bertambahnya penutupan tanah oleh tajuk, area tersebut berkurang hingga 50% pada tahun ketiga. Hal ini berarti sampai tahun ketiga, 50-70% dari luas area tanaman karet yang diremajakan dapat ditanami dengan tanaman pangan (Gunawan 2005). Pada area perkebunan karet rakyat biasanya tidak menggunakan legume cover crop (LCC) sebagai penutup tanah karena manfaatnya tidak dapat langsung dirasakan dan membutuhkan biaya investasi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, area di antara tanaman karet ditumbuhi gulma. Upaya peningkatan produktivitas lahan perkebunan karet perlu terus digalakkan. Pengusahaan tanaman pangan, di antara tanaman karet dapat memberikan manfaat ganda, yaitu sebagai pengganti tanaman penutup tanah dan memberi hasil langsung kepada petani (Karyudi dan Siagian 2005). Pengusahaan tanaman sela dapat memberikan dampak positif maupun negatif, bergantung pada cara pengelolaannya. Penanaman tanaman seladi antara tanaman karet melalui pengelolaan ekologi yang tepat dengan mengoptimalkan pemanfaatan cahaya, hara,
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
dan air maka kompetisi dan adaptasi akan memberikan hasil optimum dan mencegah terjadinya dampak negatif. Pada kondisi demikian, penanaman kedelai toleran naungan sebagai tanaman sela merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas lahan dan memberikan hasil langsung kepada petani berupa hasil kedelai. Selain memberikan manfaat dalam peningkatan produktivitas lahan dan hasil langsung ke petani, penanaman kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet secara tidak langsung akan berdampak terhadap peningkatan produksi kedelai nasional melalui perluasan area tanam. Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan, lingkungan agroforestri, atau tumpangsari dengan tanaman pangan lain merupakan salah satu alternatif budi daya untuk meningkatkan produksi nasional. Namun dijumpai beberapa masalah dalam penanaman kedelai sebagai tanaman sela (Sopandie et al. 2007), diantaranya persaingan dalam mendapatkan hara, air, dan cahaya. Di antara ketiga masalah tersebut, rendahnya intensitas cahaya akibat naungan merupakan masalah utama. Intensitas cahaya di bawah tegakan tanaman karet umur 2-3 tahun rata-rata berkurang 25-50% (Chozin et al. 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengurangan intensitas cahaya di bawah naungan tanaman karet dapat mencapai 86% (Camargo et al. 2009). Perbedaan tingkat naungan mempengaruhi intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban udara di lingkungan tanaman, sehingga intensitas cahaya yang diterima tanaman berbeda. Perbedaan ini mempengaruhi ketersediaan energi cahaya yang akan diubah menjadi energi panas dan energi kimia (Pantilu et al. 2012). Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan genotipe kedelai yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) telah menghasilkan beberapa galur kedelai generasi lanjut yang teridentifikasi adaptif terhadap naungan, sebagai salah satu upaya pemecahan masalah rendahnya penerimaan cahaya akibat ternaungi oleh kanopi tanaman utama. Setiap galur kedelai mempunyai respons yang berbeda terhadap lingkungan naungan di bawah tegakan tanaman karet (Fikriati et al. 2009). Genotipe-genotipe tersebut perlu diuji lebih lanjut kesesuaiannya sebagai tanaman sela pada perkebunan karet. Hasil penelitian Kisman (2008) menunjukkan bahwa pertumbuhan awal kedelai pada kondisi cahaya penuh mengikuti pola fotomorfogenesis dengan kandungan klorofil a dan b yang lebih tinggi, kotiledon dan hipokotil berwana hijau, bulu akar yang lebih banyak, hipokotil lebih pendek dan kuat, posisi kotiledon tegak dan
berkembang dengan baik dan terbuka. Sebaliknya, perkembangan kecambah kedelai pada kondisi gelap total mengikuti pola skotomorfogenesis dengan ciri-ciri kandungan klorofil a dan b rendah, kotiledon dan hipokotil berwana pucat, bulu akar, tidak tumbuh, hipokotil lebih panjang dan ramping, posisi kotiledon merunduk dan tidak berkembang dengan baik. Pengaruh lain dari naungan terhadap morfologi tanaman adalah peningkatan luas daun (Tankou et al. 1990, Djukri dan Purwoko 2003, Kisman et al. 2007a). Peningkatan luas daun bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan cahaya, sehingga proses fotosintesis dapat berjalan normal (Djukri dan Purwoko 2003, Kisman et al. 2007b). Pada fase reproduktif beberapa varietas kedelai, cekaman naungan menyebabkan umur berbunga dan umur masak lebih pendek dibandingkan dengan lingkungan tidak ternaungi (Zaman 2003). Hasil penelitian Susanto dan Sundari (2011) juga menyatakan bahwa perlakuan naungan 50% mempercepat umur masak, meningkatkan tinggi tanaman, dan mengurangi jumlah polong isi dan bobot biji dibandingkan dengan perlakuan tanpa naungan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Kurosaki dan Yumoto (2003), Kakiuchi dan Kobata (2004 dan 2006), bahwa naungan menyebabkan pengurangan jumlah polong per tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi genotipe kedelai toleran naungan yang sesuai untuk tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi perkebunan karet rakyat, yaitu di Desa Gunungsari (karet umur >4 tahun) dan Gunungadi (karet umur 3 tahun), Kecamatan Gunung Sugih, Lampung Tengah, serta Desa Tulangbalak (karet umur > 4 tahun), Kecamatan Batanghari Nuban, Lampung Timur, pada MK I (Februari-Mei 2011). Bahan yang digunakan adalah 30 genotipe kedelai, yang terdiri atas 23 galur kedelai toleran naungan, dan tujuh varietas pembanding, yaitu Pangrango (varietas toleran naungan), Burangrang (tetua dengan karakter biji besar), Malabar, Argomulyo, dan Grobogan (tetua dengan karakter biji besar dan umur genjah), Ijen (tetua ukuran biji sedang), dan Tanggamus (tetua toleran lahan masam). Setiap galur ditanam pada plot yang berukuran 4 m x 2,2 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm dan dua tanaman/ rumpun. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, diulang empat kali. Sebelum tanam, diambil contoh tanah untuk mengetahui tingkat kesuburannya,
45
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
kemudian diaplikasikan dolomit sebanyak 1,5 t/ha dengan cara ditaburkan merata di atas permukaan tanah. Pemupukan dilakukan pada saat tanam dengan 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha. Pengamatan dilakukan terhadap umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi, bobot biji/ tanaman, dan hasil biji. Intensitas cahaya di bawah kanopi tanaman karet mulai diamati pada saat tanaman kedelai berumur 30 hari setelah tanam (HST), dilakukan antara jam 11.00 hingga 12.00 dengan interval satu minggu. Pengamatan intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan dua alat Lux meter, satu Lux meter ditempatkan di atas kanopi tanaman kedelai dan di bawah naungan kanopi tanaman karet, dan yang lainnya ditempatkan di bawah intensitas cahaya penuh (tanpa naungan). Pengukuran intensitas cahaya didasarkan pada periode kritis tanaman kedelai terhadap cekaman naungan, yaitu pada fase generatif. Hasil analisis contoh tanah percobaan disajikan pada Tabel 1. Di Tulangbalak tanah bereaksi agak masam, Gunungsari dan di Gunungadi bereaksi sangat masam, kandungan C organik Tulangbalak tergolong rendah (12%), di Gunungsari dan Gunungadi sangat rendah (< 1%), demikian juga kandungan N totalnya (Taufiq dan Sundari 2012). C/N rasio di tiga lokasi tergolong rendah (5-10), kandungan P di tiga lokasi sangat rendah (< 10 ppm), kandungan K sangat rendah (< 0,1/100 g). Kandungan Na tergolong rendah (0,1-0,3 me/100 g), kandungan Ca di Tulangbalak tergolong rendah (2-5 me/ 100 g), sedangkan di Gunungsari dan Gunungadi sangat rendah. Kandungan Mg di Tulangbalak dan Gunungadi tergolong rendah, dan di Gunungsari sangat rendah. Kandungan Al.dd di Gunungadi tergolong tinggi (0,30
me Al/100 g), sedangkan di Tulangbalak dan Gunungsari sangat rendah. Secara keseluruhan, tingkat kesuburan lahan di tiga lokasi pengujian tergolong sangat miskin.
HASIL DAN PEMBAHASAN Intensitas cahaya yang sampai di bawah kanopi tanaman karet di tiga lokasi menunjukkan perbedaan (Gambar 1). Penerimaan cahaya oleh tanaman kedelai di masingmasing lokasi berbeda, di Gunungsari lebih tinggi dibandingkan dengan Gunungadi dan Tulangbalak. Intensitas cahaya di bawah naungan tanaman karet umur 4 tahun di Tulangbalak dan Gunungsari berkisar antara 20-40%, sedangkan di bawah naungan karet umur 3 tahun di Gunungadi berkisar antara 40-60%. Perbedaan intensitas cahaya di masing-masing lokasi disebabkan oleh perbedaan umur tanaman dan tingkat pertumbuhan tanaman karet di masing-masing lokasi. Tanaman karet yang tumbuh subur mempunyai kanopi yang lebar dan rapat, sehingga cahaya yang diterima tanaman kedelai yang berada di bawahnya menjadi berkurang. Hasil analisis ragam gabungan tiga lokasi menunjukkan pengaruh interaksi antara genotipe dengan lokasi nyata untuk semua karakter yang diamati, seperti umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi, bobot biji per tanaman, dan hasil biji per satuan luas (Tabel 2). Umur berbunga dan umur masak genotipe kedelai yang diuji beragam antarlokasi. Secara umum, galur-
Tabel 1. Hasil analisis tanah di tiga lokasi percobaan, Lampung, 2011. Variabel pH H2O (KCl 1 N) C.organik (%) N total (%) C/N Bahan organik (%) P2O5 Bray 1 (ppm) K (me/100 g) Na (me/100 g) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) H.dd Al.dd (me Al/100 g) Kriteria
46
Tulangbalak
Gunungsari
Gunungadi
5,7 (4,8) 1,12 0,13 9 1,94 2,67 0,18 3,12 0,42 1,25 -
3,9 (3,7) 0,73 0,07 10 1,26 0,52 0,17 0,40 0,20 6,54 -
4,2 (3,6) 0,61 0,08 7 1,05 0,52 0,01 0,16 0,51 0,41 8,32 0,30
Sangat miskin
Sangat miskin
Sangat miskin
Gambar 1. Intensitas cahaya di bawah kanopi tanaman karet di masing-masing lokasi percobaan. Lampung, 2011. (ITB: intensitas cahaya di Tulangbalak, IGA: di Gunungadi, IGS: di Gunungsari, NTB: di Tulangbalak, NGA: di Gunungadi, NGS: di Gunungsari).
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
Tabel 2. Hasil analisis ragam gabungan tiga lokasi beberapa karakter kuantitatif galur-galur kedelai toleran naungan, 2011. Karakter
Kuadrat tengah Lokasi (L)
Umur berbunga 100,858** Umur masak 476,478** Tinggi tanaman 4777,953** Jumlah cabang 75,658** Jumlah buku 359,703** Jumlah polong isi 6231,158** Jumlah polong hampa 106,386** Bobot biji/tanaman 60,301** Hasil biji/ha 3,781**
Galur(G)
LxG
Tabel 3. Umur berbunga 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung, 2011. Genotipe
Galat
32,134** 18,160** 0,790 131,511** 86,584** 2,191 951,075** 143,134** 8,059 2,905** 1,670** 0,123 15,625** 8,599** 0,784 137,753** 77,161** 3,401 2,028** 2,067** 0,061 1,880** 2,309** 0,037 0,117** 0,144** 0,002
galur yang diuji di Tulangbalak mempunyai umur berbunga lebih lambat dibandingkan dengan di Gunungsari maupun Gunungadi (Tabel 3). Hal ini dikarenakan adanya pengurangan intensitas cahaya yang diterima tanaman kedelai akibat naungan kanopi tanaman karet. Intensitas cahaya matahari mempengaruhi kelembaban. Cahaya matahari juga menyebabkan peningkatan suhu atau temperatur udara. Dengan demikian, pengurangan intensitas cahaya berdampak pada pengurangan suhu dan kehilangan air, sehingga suhu menjadi lebih rendah dan kelembaban tinggi (Pezzopane et al. 2011). Di satu sisi, pembungaan dirangsang oleh suhu tinggi, kelembaban rendah, dan intensitas sinar matahari yang diterima tanaman lebih banyak (Irawan 2006). Oleh karenanya, pembungaan kedelai di lokasi Tulangbalak dan Gunungsari lebih lambat dibandingkan dengan di Gunungadi. Intensitas cahaya, panjang hari, dan suhu merupakan faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan dan waktu berbunga tanaman. Kondisi pertumbuhan yang suboptimal juga dapat menunda pembungaan dan memperpanjang fase vegetatif (Atwell et al. 1999). Galur MI21-845-2-1-3-3 cepat berbunga di Tulangbalak (36 HST). Varietas Grobogan lebih cepat berbunga di Gunungsari (28 HST) dan Gunungadi (30 HST) (Tabel 3). Umur tergenjah di Tulangbalak dicapai oleh galur IBM22-873-1-13-1-3 (80 HST), sementara di Gunungsari dan Gunungadi dicapai oleh varietas Grobogan (70 HST) (Tabel 4). Tinggi tanaman masing-masing genotipe menunjukkan keragaman di masing-masing lokasi (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa respons masingmasing genotipe terhadap naungan tanaman karet berbeda. Tanaman kedelai tertinggi di Tulangbalak dicapai oleh galur IAC100/Burangrang, varietas Grobogan, dan Ijen masing-masing 48 cm, di
Umur berbunga (HST) Tulangbalak
Gunung- Gunungadi sari
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1 IBK5-147-2-11-2-2 IBK5-173-5-37-1-1 KIB6-189-2-7-3-1 IIj9-299-1-4-1-1 IT15-582-1-17-3-3 MI21-845-2-1-3-3 IBM22-861-2-22-3-1 IBM22-862-4-1-1-3 IBM22-867-4-7-2-1 IA27-1048-13-20-2-3 IK3-45-5-5-1-2 IM20-824-19-17-2-2 IBK5-172-4-36-2-1 IBK5-172-4-36-3-1 IBK5-173-5-37-1-2 MI21-848-3-4-3-1 IBM22-861-2-22-3-2 IBM22-862-4-1-1-1 IBM22-873-1-13-1-3 IBIj11-431-2-20-3-1 AI26-1114-8-28-1-2 IAC100/Burangrang Pangrango Burangrang Malabar Argomulyo Grobogan Ijen Tanggamus
40 41 40 41 42 39 36 39 38 42 41 41 39 38 40 40 41 40 38 37 40 41 39 40 40 43 38 39 38 40
40 40 41 38 40 38 40 39 39 41 40 38 39 41 40 40 41 40 39 40 40 35 37 36 35 34 42 28 38 44
35 38 36 36 40 41 37 36 36 38 41 41 40 37 39 37 38 37 38 36 38 39 41 40 34 36 38 30 40 43
38 39 39 38 40 39 38 38 37 40 40 40 40 39 39 39 40 39 38 38 39 40 39 39 36 37 39 32 38 42
Rata-rata Koef. Keragaman (%) LSD 5%
40
39 2,30 1,23
38
39
Gunungsari dan Gunungadi dicapai galur varietas Pangrango, masing-masing 95 cm dan 74 cm. Tanaman kedelai di Gunungsari dan Gunungadi rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan di Tulangbalak. Perbedaan tinggi tanaman disebabkan oleh perbedaan tingkat naungan di masing-masing lokasi. Semakin tinggi tingkat naungan dari kanopi tanaman karet semakin rendah tingkat penerimaan cahaya oleh tanaman kedelai. Hal ini memacu terjadinya dominasi apikal, yang menyebabkan pemanjangan ruas dan memperkecil diameter batang. Selain itu, kekurangan cahaya saat perkembangan tanaman akan menimbulkan gejala etiolasi, yang disebabkan oleh kekurangan cahaya yang dapat memacu difusi auksin ke bagian tanaman yang tidak terkena cahaya. Hal serupa dilaporkan oleh Bakhshy et al. (2013) dan Haque et al. (2009), yang menyatakan bahwa tingkat pemanjangan 47
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014 Tabel 4. Umur masak 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung, 2011. Genotipe
Umur masak (HST) Tulangbalak
Gunung- Gunungadi sari
Ratarata
Tabel 5. Tinggi tanaman 30 genotipe kedelai di tiga lokasi, Lampung, 2011. Genotipe
Tinggi tanaman (cm) Tulangbalak
Gunung- Gunungadi sari
Ratarata
BK5-143-3-7-2-1 IBK5-147-2-11-2-2 IBK5-173-5-37-1-1 KIB6-189-2-7-3-1 IIj9-299-1-4-1-1 IT15-582-1-17-3-3 MI21-845-2-1-3-3 IBM22-861-2-22-3-1 IBM22-862-4-1-1-3 IBM22-867-4-7-2-1 IA27-1048-13-20-2-3 IK3-45-5-5-1-2 IM20-824-19-17-2-2 IBK5-172-4-36-2-1 IBK5-172-4-36-3-1 IBK5-173-5-37-1-2 MI21-848-3-4-3-1 IBM22-861-2-22-3-2 IBM22-862-4-1-1-1 IBM22-873-1-13-1-3 IBIj11-431-2-20-3-1 AI26-1114-8-28-1-2 IAC100/Burangrang Pangrango Burangrang Malabar Argomulyo Grobogan Ijen Tanggamus
84 89 91 83 83 86 84 90 84 85 90 84 94 93 95 85 90 85 83 80 95 94 94 93 85 86 86 88 95 93
82 92 82 92 88 94 89 90 87 87 92 94 93 89 88 86 84 84 82 83 90 72 87 89 88 79 92 70 83 93
87 84 85 87 88 88 82 83 83 82 91 90 88 84 83 86 86 88 81 87 86 80 85 82 75 77 87 70 84 88
84 88 86 87 86 89 85 88 84 85 91 89 92 88 88 86 86 86 82 83 90 82 89 86 83 81 88 78 87 91
IBK5-143-3-7-2-1 IBK5-147-2-11-2-2 IBK5-173-5-37-1-1 KIB6-189-2-7-3-1 IIj9-299-1-4-1-1 IT15-582-1-17-3-3 MI21-845-2-1-3-3 IBM22-861-2-22-3-1 IBM22-862-4-1-1-3 IBM22-867-4-7-2-1 IA27-1048-13-20-2-3 IK3-45-5-5-1-2 IM20-824-19-17-2-2 IBK5-172-4-36-2-1 IBK5-172-4-36-3-1 IBK5-173-5-37-1-2 MI21-848-3-4-3-1 IBM22-861-2-22-3-2 IBM22-862-4-1-1-1 IBM22-873-1-13-1-3 IBIj11-431-2-20-3-1 AI26-1114-8-28-1-2 IAC100/Burangrang Pangrango Burangrang Malabar Argomulyo Grobogan Ijen Tanggamus
33 31 28 27 40 30 31 30 46 29 45 39 36 30 31 32 31 32 30 34 42 47 48 37 32 38 36 48 48 44
40 40 38 40 49 43 36 40 37 42 54 38 47 43 39 43 43 45 47 43 53 63 54 95 59 60 46 55 62 52
34 35 34 38 48 42 32 37 34 37 58 39 45 34 38 34 40 34 37 43 57 60 61 74 51 56 53 58 58 52
36 35 33 35 45 38 33 36 39 36 52 39 43 36 36 36 38 37 38 40 51 57 54 69 47 52 45 54 56 50
Rata-rata Koef. Keragaman (%) LSD 5%
88
87 1,72 2,05
84
86
Rata-rata Koef. Keragaman (%) LSD 5%
36
48 6,59 3,93
45
43
ruas batang pada PAR 50% lebih tinggi dibandingkan dengan di bawah sinar matahari penuh. Jumlah cabang genotipe yang diuji beragam antarlokasi (Tabel 6). Jumlah cabang di Tulangbalak berkisar antara 1-2 cabang/tanaman, di Gunungsari 1-4 cabang/tanaman, dan di Gunungadi 2-5 cabang/ tanaman (Tabel 6). Naungan menyebabkan berkurangnya jumlah cabang yang terbentuk, berkaitan dengan berkurangnya fotosintat yang dialokasikan untuk pembentukan cabang akibat berkurangnya intensitas cahaya yang diterima tanaman. Cahaya merupakan sumber energi utama proses fotosintesis. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Zhang et al. (2011) dan Sundari et al. (2010). Jumlah buku subur/tanaman beragam di setiap lokasi, terbanyak di Tulangbalak dicapai oleh varietas Ijen dan genotipe IM20-824-19-17-2-2 (10 buku subur/ 48
tanaman), di Gunungsari diberikan oleh varietas Tanggamus (13 buku subur/tanaman), dan di Gunungadi oleh varietas Pangrango (16 buku subur/ tanaman) (Tabel 7). Berdasarkan hasil analisis korelasi diketahui bahwa jumlah buku subur berhubungan erat dengan tinggi tanaman (Tabel 8). Artinya, peningkatan jumlah buku subur berdampak terhadap peningkatan tinggi tanaman. Berdasarkan deskripsinya, ketiga varietas tersebut tergolong tanaman yang tinggi, > 50 cm. Ada kemungkinan respons morfologi galur-galur kedelai terhadap naungan dibatasi oleh berkurangnya fotosintat akibat rendahnya intensitas cahaya yang diterima tanaman kedelai di bawah naungan kanopi karet. Jumlah polong isi genotipe kedelai juga beragam di masing-masing lokasi (Tabel 9). Jumlah polong isi
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
Tabel 6. Jumlah cabang 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung, 2011. Genotipe
Jumlah cabang/tanaman Tulangbalak
Gunung- Gunungadi sari
Ratarata
Tabel 7. Jumlah buku subur 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung, 2011. Genotipe
Jumlah buku subur/tanaman Tulangbalak
Gunung- Gunungadi sari
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1 IBK5-147-2-11-2-2 IBK5-173-5-37-1-1 KIB6-189-2-7-3-1 IIj9-299-1-4-1-1 IT15-582-1-17-3-3 MI21-845-2-1-3-3 IBM22-861-2-22-3-1 IBM22-862-4-1-1-3 IBM22-867-4-7-2-1 IA27-1048-13-20-2-3 IK3-45-5-5-1-2 IM20-824-19-17-2-2 IBK5-172-4-36-2-1 IBK5-172-4-36-3-1 IBK5-173-5-37-1-2 MI21-848-3-4-3-1 IBM22-861-2-22-3-2 IBM22-862-4-1-1-1 IBM22-873-1-13-1-3 IBIj11-431-2-20-3-1 AI26-1114-8-28-1-2 IAC100/Burangrang Pangrango Burangrang Malabar Argomulyo Grobogan Ijen Tanggamus
2 2 2 2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 2 1 1 1 2 1 2 2
4 3 4 4 2 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 2 3 3 1 2 3 3 4 2 2 3 2 3 4
4 3 2 3 3 2 3 3 3 4 2 3 2 2 5 2 2 3 3 2 2 4 4 5 3 3 2 2 3 2
3,3 2,9 2,7 2,8 1,9 1,8 2,4 2,4 2,8 2,4 1,9 2,3 1,6 1,8 2,8 2,2 1,9 2,4 2,8 1,4 1,5 2,5 2,7 3,3 2,2 1,9 2,0 1,9 2,7 2,6
IBK5-143-3-7-2-1 IBK5-147-2-11-2-2 IBK5-173-5-37-1-1 KIB6-189-2-7-3-1 IIj9-299-1-4-1-1 IT15-582-1-17-3-3 MI21-845-2-1-3-3 IBM22-861-2-22-3-1 IBM22-862-4-1-1-3 IBM22-867-4-7-2-1 IA27-1048-13-20-2-3 IK3-45-5-5-1-2 IM20-824-19-17-2-2 IBK5-172-4-36-2-1 IBK5-172-4-36-3-1 IBK5-173-5-37-1-2 MI21-848-3-4-3-1 IBM22-861-2-22-3-2 IBM22-862-4-1-1-1 IBM22-873-1-13-1-3 IBIj11-431-2-20-3-1 AI26-1114-8-28-1-2 IAC100/Burangrang Pangrango Burangrang Malabar Argomulyo Grobogan Ijen Tanggamus
8 9 8 7 8 8 7 6 9 6 7 9 10 7 7 7 8 7 7 8 8 8 9 8 7 6 8 8 10 8
10 12 10 10 8 10 9 10 10 7 7 9 10 10 10 10 8 7 9 6 8 7 10 9 9 6 8 7 9 13
12 11 8 11 10 9 11 11 12 12 10 11 9 9 14 7 11 10 13 10 9 13 15 16 14 10 11 11 12 14
10,2 10,6 8,7 9,3 8,6 9,0 8,9 8,8 10,3 8,5 8,0 9,5 9,8 8,5 10,4 7,8 8,8 7,8 9,5 8,0 8,1 9,3 11,1 11,0 9,8 7,1 8,7 8,3 10,5 11,8
Rata-rata Koef. Keragaman (%) LSD 5%
1
3 15,13 0,49
3
2,3
Rata-rata Koef. Keragaman (%) LSD 5%
8
9 9,64 1,23
11
9,2
terbanyak di Tulangbalak terdapat pada genotipe KIB6189-2-7-3-1 (44 polong isi/tanaman), di Gunungsari diberikan oleh genotipe IBK5-147-2-11-2-2 (26 polong isi/tanaman), dan di Gunungadi oleh varietas Pangrango (27 polong/tanaman). Jumlah polong isi di Tulangbalak setara dengan naungan buatan 50%, sedangkan di Gunungsari dan Gunungadi setara dengan tumpangsari jagung-kedelai dan ubikayu-kedelai (Sundari et al. 2012). Menurut Polthanee et al. (2011), penurunan jumlah polong dipengaruhi oleh jenis kultivar dan naungan pada musim hujan maupun musim kering. Naungan 30% dan 50% menyebabkan pengurangan jumlah polong masing-masing 32% dan 14% pada musim hujan, 21% dan 17% pada musim kering. Pengurangan jumlah polong terjadi karena meningkatnya jumlah polong yang rontok, yang dipacu oleh kurangnya pasokan asimilat yang dialokasikan untuk perkembangan organ
reproduktif seperti polong, sebagai akibat berkurangnya aktivitas fotosintesis di bawah naungan (Liu et al. 2010). Bobot biji dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe dan lokasi. Adanya interaksi menunjukkan bahwa respons masing-masing genotipe terhadap lingkungan beragam di masing-masing lokasi. Bobot biji tertinggi di Tulangbalak dicapai oleh varietas Malabar (6,28 g/ tanaman) dan terendah pada genotipe MI21-845-2-1-33 (3,34 g/tanaman). Di Gunungsari, bobot biji tertinggi (5,45 g/tanaman) dicapai oleh varietas Pangrango, dan terendah (2,31 g/tanaman) pada genotipe IBK5-173-537-1-2. Di Gunungadi, bobot biji tertinggi dicapai oleh varietas Tanggamus (4,72 g/tanaman) dan terendah 1,8 pada genotipe IBM22-873-1-13-1-3 (Tabel 10). Hasil biji kedelai beragam di setiap lokasi. Hasil biji tertinggi di Tulangbalak dicapai oleh varietas Malabar
49
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Tabel 8. Koefisien korelasi (r) antarkarakter kuantitatif. Karakter Tinggi tanaman Jumlah cabang/tan Jumlah buku subur Jumlah polong isi Umur berbunga Umur masak Bobot biji/tan Hasil biji/ha
Tinggi tanaman
Jumlah cabang/tan
Jumlah buku subur
Jumlah polong isi
Umur berbunga
Umur masak
Bobot biji/tan
Hasil biji/ha
1 0,29** 0,28* -0,33** -0,16 -0,14 -0,08 -0,07
1 0,62** -0,2 -0,1 -0,16 -0,28* -0,26*
1 0,05 -0,04 -0,09 -0,33** -0,32**
1 0,19 0,06 0,07 0,06
1 0,55** 0,14 0,12
1 0,15 0,13
1 0,99**
1
* dan **: masing-masing menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%
Tabel 9. Jumlah polong isi 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung, 2011. Genotipe
Jumlah polong isi/tanaman Tulangbalak
Gunung- Gunungadi sari
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1 IBK5-147-2-11-2-2 IBK5-173-5-37-1-1 KIB6-189-2-7-3-1 IIj9-299-1-4-1-1 IT15-582-1-17-3-3 MI21-845-2-1-3-3 IBM22-861-2-22-3-1 IBM22-862-4-1-1-3 IBM22-867-4-7-2-1 IA27-1048-13-20-2-3 IK3-45-5-5-1-2 IM20-824-19-17-2-2 IBK5-172-4-36-2-1 IBK5-172-4-36-3-1 IBK5-173-5-37-1-2 MI21-848-3-4-3-1 IBM22-861-2-22-3-2 IBM22-862-4-1-1-1 IBM22-873-1-13-1-3 IBIj11-431-2-20-3-1 AI26-1114-8-28-1-2 IAC100/Burangrang Pangrango Burangrang Malabar Argomulyo Grobogan Ijen Tanggamus
29 38 32 44 40 21 22 25 36 23 24 25 23 14 22 27 33 20 31 30 32 19 27 29 15 23 26 21 25 32
16 26 16 15 13 11 13 13 15 9 13 10 12 15 15 13 10 11 11 8 11 12 13 14 11 8 11 9 10 16
21 21 13 20 18 16 21 23 19 24 15 19 18 14 21 12 22 18 19 16 16 20 22 27 20 14 23 17 21 24
22,2 28,3 20,3 26,4 23,6 15,9 18,7 20,4 23,5 18,6 17,4 17,9 17,9 14,2 19,0 17,3 21,4 16,3 20,4 17,9 19,5 16,9 20,3 23,0 15,2 15,0 20,0 15,6 19,0 23,9
Rata-rata Koef. Keragaman (%) LSD 5%
27
13 9,46 2,56
19
19,5
(1,58 t/ha), di Gunungsari pada varietas Pangrango (1,36 t/ha) dan di Gunungadi pada varietas Tanggamus (1,18 t/ha) (Tabel 11). Terpilih dua genotipe berdasarkan
50
kriteria hasil biji yang sama/lebih tinggi dari rata-rata hasil biji seluruh genotipe di tiga lokasi, yaitu IBM22-861-2-223-1 dan AI26-1114-8-28-1-2, masing-masing 1,40 t/ha di Tulangbalak, 1,19 t/ha di Gunungsari, dan 0,81 t/ha di Gunungadi untuk IBM22-861-2-22-3-1, dan untuk AI261114-8-28-1-2 adalah 1,43 t/ha di Tulangbalak, 1,18 t/ha di Gunungsari, dan 0,78 t/ha di Gunungadi. Dengan demikian, IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-28-1-2 merupakan genotipe yang sesuai untuk tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet umur 3-4 tahun di Lampung. Genotipe IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-11148-28-1-2 memiliki rata-rata hasil tertinggi di tiga lokasi, yaitu 1,13 t/ha. Secara keseluruhan, hasil biji tertinggi dicapai di Tulangbalak (1,13 t/ha), diikuti oleh Gunungsari (0,97 t/ ha), dan Gunungadi (0,78 t/ha) (Tabel 11). Perbedaan hasil ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan, baik lingkungan di atas tanah (intensitas cahaya), maupun di dalam tanah (kesuburan tanah) antarlokasi. Berdasarkan pengukuran cahaya di masing-masing lokasi diketahui bahwa intensitas cahaya yang diterima di Tulangbalak lebih rendah dibandingkan dengan di Gunungsari maupun Gunungadi. Rendahnya intensitas cahaya di Tulangbalak tidak menghambat tanaman untuk berproduksi lebih baik dibandingkan dengan di Gunungsari dan Gunungadi yang penerimaan cahayanya lebih tinggi. Produksi biji tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan agronomis, serta interaksi di antara faktor tersebut. Lingkungan tidak hanya lingkungan di atas tanah (cahaya), tetapi juga lingkungan di dalam tanah (kesuburan tanah). Kondisi kesuburan tanah di tiga lokasi tergolong sangat miskin (Tabel 1). Namun, kesuburan tanah di Tulangbalak relatif lebih baik dibandingkan dengan di Gunungsari dan Gunungadi. Perbedaan lingkungan tersebut tidak saja mempengaruhi bobot biji, tetapi juga komponen hasil lainnya.
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET Tabel 10. Bobot biji 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung, 2011. Genotipe
Bobot biji (g/tanaman) Tulangbalak
Gunung- Gunungadi sari
Tabel 11. Hasil biji 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung, 2011. Genotipe
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1 IBK5-147-2-11-2-2 IBK5-173-5-37-1-1 KIB6-189-2-7-3-1 IIj9-299-1-4-1-1 IT15-582-1-17-3-3 MI21-845-2-1-3-3 IBM22-861-2-22-3-1 IBM22-862-4-1-1-3 IBM22-867-4-7-2-1 IA27-1048-13-20-2-3 IK3-45-5-5-1-2 IM20-824-19-17-2-2 IBK5-172-4-36-2-1 IBK5-172-4-36-3-1 IBK5-173-5-37-1-2 MI21-848-3-4-3-1 IBM22-861-2-22-3-2 IBM22-862-4-1-1-1 IBM22-873-1-13-1-3 IBIj11-431-2-20-3-1 AI26-1114-8-28-1-2 IAC100/Burangrang Pangrango Burangrang Malabar Argomulyo Grobogan Ijen Tanggamus
3,63 3,92 3,69 4,29 4,06 4,80 3,45 5,57 4,63 4,96 4,84 3,66 4,06 5,16 5,67 4,11 4,92 4,84 3,75 3,95 4,52 5,71 4,04 3,23 6,20 6,28 4,99 5,10 3,87 3,84
4,72 3,90 2,84 4,09 3,15 3,07 4,10 4,76 4,58 4,24 3,52 3,34 4,07 3,32 3,64 2,31 4,54 3,16 3,59 3,50 3,57 4,72 3,58 5,45 3,63 3,41 4,38 4,71 4,28 3,51
3,67 4,54 3,68 4,05 2,95 3,33 2,99 3,23 3,09 2,47 3,42 2,16 2,67 3,17 3,84 3,87 2,12 2,82 2,61 1,80 2,90 3,10 3,18 2,97 2,36 2,41 3,47 3,30 2,32 4,72
4,0 4,1 3,4 4,1 3,4 3,7 3,5 4,5 4,1 3,9 3,9 3,1 3,6 3,9 4,4 3,4 3,9 3,6 3,3 3,1 3,7 4,5 3,6 3,9 4,1 4,0 4,3 4,4 3,5 4,0
Rata-rata Koef. Keragaman (%) LSD 5%
4,52
3,85 5,03 0,08
3,11
3,8
Hasil analisis korelasi antarkarakter (Tabel 8) menunjukkan bahwa tinggi tanaman berkorelasi nyata positif dengan jumlah cabang (r = 0,29**) dan buku subur (r = 0,28**), tetapi berkorelasi nyata negatif dengan polong isi (r = -0,33**). Artinya, peningkatan tinggi tanaman berhubungan dengan peningkatan jumlah cabang dan buku subur, tetapi mengurangi jumlah polong isi. Peningkatan tinggi tanaman terjadi karena tanaman mengalami etiolasi atau pemanjangan batang. Etiolasi merupakan mekanisme yang dikembangkan oleh tanaman untuk mencari cahaya pada kondisi tercekam naungan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman di Tulangbalak lebih baik dibandingkan dengan di Gunungsari dan Gunungadi. Hal ini dibuktikan oleh pertumbuhan tanaman (tinggi
Hasil biji (t/ha) Tulangbalak
Gunung- Gunungadi sari
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1 IBK5-147-2-11-2-2 IBK5-173-5-37-1-1 KIB6-189-2-7-3-1 IIj9-299-1-4-1-1 IT15-582-1-17-3-3 MI21-845-2-1-3-3 IBM22-861-2-22-3-1 IBM22-862-4-1-1-3 IBM22-867-4-7-2-1 IA27-1048-13-20-2-3 IK3-45-5-5-1-2 IM20-824-19-17-2-2 IBK5-172-4-36-2-1 IBK5-172-4-36-3-1 IBK5-173-5-37-1-2 MI21-848-3-4-3-1 IBM22-861-2-22-3-2 IBM22-862-4-1-1-1 IBM22-873-1-13-1-3 IBIj11-431-2-20-3-1 AI26-1114-8-28-1-2 IAC100/Burangrang Pangrango Burangrang Malabar Argomulyo Grobogan Ijen Tanggamus
0,91 0,98 0,93 1,08 1,02 1,20 0,86 1,40 1,16 1,24 1,21 0,92 1,02 1,29 1,42 1,03 1,23 1,21 0,94 0,99 1,13 1,43 1,01 0,81 1,55 1,58 1,25 1,28 0,97 0,96
1,18 0,98 0,71 1,02 0,79 0,77 1,03 1,19 1,15 1,06 0,88 0,84 1,02 0,83 0,91 0,58 1,14 0,79 0,90 0,88 0,89 1,18 0,90 1,36 0,91 0,86 1,10 1,18 1,07 0,88
0,92 1,14 0,92 1,01 0,74 0,83 0,75 0,81 0,77 0,62 0,86 0,54 0,67 0,80 0,96 0,97 0,53 0,71 0,65 0,45 0,73 0,78 0,80 0,74 0,59 0,60 0,87 0,83 0,58 1,18
1,0 1,0 0,9 1,0 0,9 0,9 0,9 1,1 1,0 1,0 1,0 0,8 0,9 1,0 1,1 0,9 1,0 0,9 0,8 0,8 0,9 1,1 0,9 1,0 1,0 1,0 1,1 1,1 0,9 1,0
Rata-rata Koef. Keragaman (%) LSD 5%
1,13
0,97 5,03 0,06
0,78
1,0
tanaman) di Tulangbalak yang normal (Tabel 5), tidak mengalami etiolasi seperti yang terjadi di Gunungsari maupun Gunungadi, umur masak normal (Tabel 4), jumlah polong lebih banyak (Tabel 9), dan bobot biji/ tanaman yang lebih tinggi (Tabel 10). Bobot biji/tanaman berkorelasi nyata positif dengan hasil biji (r=0,99**), tetapi berkoreasi nyata negatif dengan jumlah cabang (r =-0,26*) dan jumlah buku subur (r = -0,32**). Artinya, peningkatan jumlah cabang dan jumlah buku subur berhubungan erat dengan penurunan hasil biji, dan peningkatan bobot biji per tanaman berhubungan erat dengan peningkatan hasil biji. Peningkatan jumlah cabang pada kondisi tercekam naungan akan berdampak pada berkurangnya alokasi fotosintat ke organ penyimpanan (biji), karena sebagian besar fotosintat dialokasikan untuk pembentukan cabang.
51
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
KESIMPULAN 1. Toleransi genotipe kedelai yang diteliti terhadap naungan beragam dan memungkinkan untuk memilih genotipe yang relatif lebih toleran dibandingkan genotipe lain. 2. Genotipe IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-281-2 konsisten terpilih di tiga lokasi, baik di Tulangbalak (1,40 t/ha dan 1,43 t/ha), dan Gunungsari (1,19 t/ha dan 1,18 t/ha) maupun Gunungadi (0,81 t/ha dan 0,78 t/ha). 3. Genotipe IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-281-2 memberikan hasil tertinggi di tiga lokasi pengujian, rata-rata 1,13 t/ha. 4. IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-28-1-2 merupakan genotipe yang sesuai dikembangkan sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet umur 3-4 tahun.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Asian Food and Agriculture Cooperation Initative (AFACI) dan Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana untuk penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Atwell, B.J., P.E. Kriedemann, G.N., and C.G.N. Turnbull. 1999. Plants in action. adaptation in nature, performance in cultivation. Macmillan Education Australia Pty Ltd, Melbourne, Australia. http://plantsinaction.science.uq.edu.au/edition1/ ?q=content/8-3-1-time-flower Diakses 10 Juli 2013. Bakhshy, J., K. Ghassemi-Golezani, S. Zehtab-Salmasi, and M. Moghaddam. 2013. Effects of water deficit and shading on morphology and grain yield of soybean (Glycine max L.). Tech. J. Engin. & App. Sci. 3(1):39-43. http://tjeas.com/wpcontent/uploads/2013/01/39-43.pdf. Diakses tanggal 31 Juli 2013. Camargo, M.B.P., G.S. Rolim, P. Souza, and P.B. Gallo. 2009. Air temperature in Coffea arabica microclimate arborized with dwarf coconut palm and rubber tree in Mococa, SP, Brazil. Artigo em Hypertexto. Disponível em:
. Diakses 10 Juli 2013. Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo, dan Sumarno. 1999. Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade. Final Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project. Directorate General of Higher Education, Ministr y of Education and Culture. Djukri, B. dan S. Purwoko. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman talas. J. Ilmu Pertanian 10:17-25.
52
Fikriati, M., Trikoesoemaningtyas, dan D. Wirnas. 2009. Uji daya hasil lanjutan kedelai (Glycine max L.) toleran naungan di bawah tegakan karet rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Makalah Seminar. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/ handle/.... Diakses 21 Juni 2012. Gunawan, A. 2005. Rubber wood marketing in Indonesia. Paper presented at second Workshop on Rubber Wood, Cropping and Research, 25-27 May 2005, Bangkok, Thailand. Haque, M.M., M. Hasanuzzaman, and M.L. Rahman. 2009. Effect of light intensity on the morpho-physiology and yield of bottle gourd (Lagenaria vulgaris). Academic J. Plant Sci. 2:158161. http://idosi.org/ajps/2%283%2909/7.pdf Diakses 31 Juli 2013. Irawan, A.W. 2006. Budidaya tanaman kedelai (Glycin max (L.) Merill). Fak. Pertanian. Univ. Padjajaran. Jatinangor. Bandung. 43p. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/ budidaya_tanaman_ kedelai.pdf. Diakses 16 Juli 2013. Kakiuchi, J. and T. Kobata. 2004. Shading and thinning effects on seed and shoot dry matter increase in determi-nate soybean during the seed-filling period. Agronomy Journal. 96(2):398405. www.agronomy.org/publications/aj/abstracts/96/2/398. Diakses 1 November 2012. Kakiuchi, J. and T. Kobata. 2006. The relationship between dry matter increase of seed and shoot during the seed-filling period in three kinds of soybeans with different growth habits subjected to shading and thinning. Plant Prod. Sci. 9(1):2026. www.jstage.jst.go.jp/article/pps/9/1/9_1_20/_pdf. Diakses tanggal 1 Nopember 2012. K ar yudi dan N. Siagian. 2005. Peluang dan kendala dalam pengusahaan tanaman penutup tanah di perkebunan karet. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian K aret Sungei Putih. www. balitnak.litbang. deptan.go.id/index.php?option=com... Kisman. 2008. Pola pertumbuhan awal tanaman kedelai pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah dan pemberian inhibitor plastida (uji cepat toleransi kedelai terhadap cekaman naungan). Crop Agro. 1(2):85-91. http://fp.unram. ac.id/data/2012/05/2.Kisman_85-912.pdf. Diakses 19 Juli 2012. Kisman, M. Sarjan, dan D. Sopandie. 2007a. Mekanisme fisiomorfologi dan molekuler adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. Indonesian Science and Technology Digital Lybrary. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/ index.php/searchkatalog/byId/52727 Diakses 19 Juli 2012. Kisman, N. Khumaida, Trikoessoemaningtyas, Sobir, dan D.Sopandie. 2007b. Karakter morfofisiologi daun,penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Agron. 35:96-102. Kurosaki, H. and S. Yumoto. 2003. Effects of low temperature and shading during flowering on the yield com-ponents in soybeans. Plant Prod. Sci. 6(1):17-23. http://sciencelinks.jp/ j-east/article/200308/000020030803A0207648.php Diakses tanggal 1 Nopember 2012. Liu, B., X.B. Liu, C. Wang, Y.S. Li, J. Jin, and S.J. Herbert. 2010. Soybean yield and yield component distribution across the main axis in response to light enrichment and shading under different densities. Plant Soil Environ. 56(8):384-392. http:// www.agriculturejournals.cz/publicFiles/25245.pdf. Diakses 12 Agustus 2013. Pantilu, L.I., F.R. Mantiri, N. Song Ai, dan D.Pandiangan. 2012. Respons morfologi dan anatomi kecambah kacang kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap intensitas cahaya yang berbeda. Jurnal Bioslogos 2(2):79-87.
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
Pezzopane, J.R.M., P.S. de Souza, G. de Souza Rolim, and P. B. Gallo. 2011. Microclimate in coffee plantation grown under grevillea trees shading. Acta Scientiarum. Agronomy Maringá 33(2):201-206. http://www.scielo.br/pdf/asagr/v33n2/02.pdf. Diakses 10 Juli 2013. Polthanee, A., K. Promsaena, dan A. Laoken. 2011. Influence of low light intensity on growth and yield of four soybean cultivars during wet and dry seasons of Northeast Thailand. Agricultural Sciences 2 (2):61-67. http://www.scirp.org/ journal/AS/. Diakses 1 Nopember 2012. Sopandie, D., Kisman, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, dan Sobir. 2007. Karakter morfo-fisiologi daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Agron. 35(2):96-102. Sundari, T., G.W.A. Susanto, dan Purwantoro. 2010. Perakitan varietas unggul kedelai toleran naungan. Laporan Akhir Tahun. Balitkabi. 40 p. Sundari, T., G.W.A. Susanto, dan Purwantoro. 2012. Penampilan galur kedelai generasi F7 hasil persilangan tetua toleran naungan pada lingkungan naungan berbeda. Dalam: Adi Widjono et al. (eds). Prosiding Seminar Nasional. Inovasi
Teknologi dan Kajian Ekonomi Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian. Malang, 15 November 2011. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. p.45-60. Susanto, G.W.A . dan T. Sundari. 2011. Perubahan karakter agronomi aksesi plasma nutfah kedelai di lingkungan ternaungi. J. Agron. Indonesia 39(1): 1-6. Tankou, C.M., B. Schaffer, S.K. O’Hair, dan C.A. Sanchez.1990. Nitrogen, shading duration, gas exchange, and growth of cassava. Hort. Science 25:1293-1296. Taufiq, A. dan T. Sundari. 2012. Respon tanaman kedelai terhadap lingkungan tumbuh. Buletin Palawija 23:13-26. Zaman, M.Z. 2003. Respon pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai (Glycine max (L) Merrill) terhadap intensitas penaungan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Zhang, J., D.L. Smith, W. Liu, X. Chen, and W. Yang. 2011. Effects of shade and drought stress on soybean hormones and yield of main-stem and branch. African Journal of Biotechnology 10:14392-14398. http://www.academicjournals.org/AJB. Diakses 2 Agustus 2013.
53
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Perbaikan Budi Daya Kedelai di Lahan Kering Masam Lampung A. Taufiq, Marwoto, Heriyanto, Darman M. Arsyad, dan Sri Hardaningsih Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Jl. Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang, Jawa Timur
ABSTRACT. Improved Soybean Cultural Practices in Acid Upland in Lampung. Acid soil upland in Lampung has a potential for soybean production. Soil in this area has high acidity and low fertility, but soybean productivity could be improved with appropriate soil management. Experiment was carried out on farmers fields in Bumi Nabung, Central Lampung District during early rainy season of 2005/2006 and late rainy season of 2006. The objective was to verify an improved soybean cultural practices in acid soil upland ecology. The improved cultural practice consisted of fertilization package (75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha) and soil amelioration using dolomite at rate of 500 kg CaO/ha (equivalent to 1500 kg/ha of dolomite). Soybean cultivars consisted of Sinabung, Kaba, Burangrang, and Anjasmoro. Superimpose trial was also conducted during the late rainy season. The objective of the superimpose trial was to examine the effect of residual dolomite, increasing SP36, and KCl fertilizer dosage. Results showed that soybean yield obtained from improved cultural practices was high both in the early rainy season (1.76-2.02 t/ha) and in the late one (1.59-2.08 t/ha). By practicing the recommended cultural practices, farmer received profit between Rp 2.1 to Rp 3.0 millions/ha. When 1500 kg/ha of dolomite was applied to soybean in the early rainy season, the soybean planted in the late rainy season did not need dolomite application. Increasing SP36 fertilizer rate from 100 kg/ha to 150 kg/ha increased soybean yield of about 12% (from 2.14 to 2.39 t/ha), and farmers’ income about Rp 750.000/ha. Increasing KCl fertilizer rate from 100 kg/ha to 150 kg/ha did not increase yield. The application of dolomite at rate of 1500 kg/ha increased soil pH, Ca and Mg availability, and decreased exchangeable Al. Keywords: Glycine max, acid land, fertilization, dolomite ABSTRAK. Lahan kering masam di Lampung potensial untuk pengembangan kedelai, meskipun secara umum mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Dengan pengelolaan lahan dan penerapan teknologi budi daya yang tepat, hasil kedelai di lahan kering masam dapat ditingkatkan. Penelitian budi daya kedelai dilaksanakan pada lahan kering masam Lampung, di Kampung Bumi Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kab. Lampung Tengah pada MH I 2005/06 dan MH II 2006. Tujuan penelitian adalah untuk verifikasi teknik budi daya kedelai pada lahan kering masam. Paket teknologi budi daya kedelai yang diuji terutama adalah pemupukan (75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha) dan ameliorasi kemasaman tanah dengan 500 kg CaO/ha yang berasal dari dolomit (1.500 kg/ha dolomit). Varietas kedelai yang digunakan adalah Sinabung, Kaba, Burangrang, dan Anjasmoro. Pada MH II tahun 2006 dilakukan percobaan superimpose untuk menguji pengaruh sisa dolomit, peningkatan takaran SP36 dan KCl. Hasil kedelai dengan teknik budi daya yang dianjurkan cukup tinggi, baik pada MH I (1,76-2,02 t/ha) maupun MH II (1,59-2,08 t/ha). Teknik budi daya tersebut memberikan keuntungan yang cukup tinggi berkisar antara Rp 2,1-3 juta/ha. Jika dolomit 1.500 kg/ha telah diberikan pada MH I maka tanaman kedelai pada MH II tidak perlu diberi dolomit. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha meningkatkan hasil kedelai 12% (dari 2,14 t menjadi 2,39 t/ ha), dan pendapatan meningkat Rp 750.000/ha. Peningkatan takaran KCl dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak meningkatkan hasil.
38
Pemberian dolomit 1.500 kg/ha meningkatkan pH tanah, ketersediaan Ca dan Mg, serta menurunkan Al-dd. Kata kunci: Glycine max, lahan masam, pemupukan, dolomit
L
ahan kering masam di Lampung cukup luas dan potensial untuk pengembangan kedelai. Di Sumatera terdapat sekitar 5 juta ha lahan kering dan 2,5 juta ha lahan terlantar. Luas panen kedelai di Sumatera sekitar 217.000 ha (BPS 2000). Sebagian besar lahan pertanian di Sumatera berada di wilayah beriklim basah dengan masa bertanam (growing period) >9 bulan (Las et al. 1991). Menurut zona agroekologi yang disusun oleh BPTP Lampung (Sudaryanto et al. 2002), luas lahan kering yang sesuai untuk pengembangan pertanian 639.518 ha yang tersebar di enam kabupaten yaitu Lampung Selatan (69.828 ha), Tanggamus (8.959 ha), Lampung Barat (16.059 ha), Lampung Utara (170.430 ha), Tulang Bawang (159.356 ha), dan Lampung Tengah (214.886 ha). Kabupaten Lampung Tengah merupakan salah satu kawasan program “Bangkit Kedelai” di Lampung, yang pada tahun 2006 ditargetkan seluas 1.200 ha. Di Kecamatan Buminabung dan Rumbia pada tahun 2006, pengembangan program Bangkit Kedelai ditargetkan seluas 300 ha. Keberhasilan budi daya kedelai di lahan masam Lampung Tengah sangat mendukung program Bangkit Kedelai yang telah dicanangkan secara nasional. Jenis tanah di Lampung terutama adalah Ultisol dan Oksisol, yang didominasi oleh mineral liat kaolinit dan >90% fraksi pasir didominasi oleh kwarsa, pH 4,3 dan kemasaman tertukar 57,2 cmol+/kg (Setiawan 1997; Prasetyo dan Ritung 1998). Hambatan biofisik utama pengembangan kedelai pada lahan masam adalah kesuburan tanah yang rendah (Abdurrachman et al. 1999), kadar P dan K potensial dan P tersedia sangat rendah, jumlah basa-basa sangat rendah, dan kandungan bahan organik rendah (Prasetyo dan Ritung 1997). Tanah tersebut memerlukan penambahan bahan organik, peningkatan KTK dan hara, serta penurunan unsur meracun (Al, Mn dan Fe), selain diperlukan pula penggunaan varietas toleran lahan masam (Rachim et al. 1997). Menurut Hairiah et al. (1998), bentuk Al yang meracuni tanaman adalah Al monomerik. Pada pH antara 5,0-5,5 sebanyak 1% Al yang ada dalam larutan tanah Ultisol Lampung berada dalam bentuk Al
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
monomerik. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tanah Ultisol Lampung mengandung Al monomerik 1,89 mM pada lapisan 0-15 cm dan 2,29 mM pada lapisan 1545 cm (Van der Heide et al. 1992). Lahan kering di Lampung Tengah dan Tulang Bawang tergolong masam (pH 5) dengan kejenuhan Al 24,5-30,2%. Masalah utama pengembangan tanaman kedelai pada lahan kering Lampung Tengah dan Tulang Bawang adalah rendahnya pH, tingginya kejenuhan Al, tingginya kadar Fe dan Mn, serta rendahnya ketersediaan hara P dan K (Taufiq et al. 2004). Penelitian menunjukkan bahwa perbaikan kesuburan lahan kering masam Lampung menggunakan 1 t/ha dolomit dan 5 t pupuk kandang/ha meningkatkan hasil kedelai sebesar 27% untuk varietas Tanggamus dan 97% untuk varietas Slamet (Sudaryono et al. 2002). Penambahan kapur dolomit setara ½ x Al-dd (setara 518 kg CaO/ha) disertai pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha mampu meningkatkan hasil kedelai hingga mencapai 1,5 t/ha (Taufiq et al. 2004). Hasil percobaan sebelumnya di Lampung Tengah, hasil kedelai varietas Tanggamus di tingkat petani dengan pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1500 kg dolomit/ha (setara 500 kg CaO/ha) adalah berkisar antara 0,81-2,35 t/ha (rata-rata 1,45±0,34 t/ha). Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 200 kg/ ha dan dolomit dari 1.500 kg menjadi 3.000 kg/ha tidak berdampak positif terhadap peningkatan hasil (Rumbaina et al. 2004). Paket teknologi budi daya tersebut diteliti pula dalam pra PTT pada MK II (MeiSeptember) 2004 di lahan petani di Desa Lorok, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pH 4,6-5,1 dan Al-dd 5,33-6,82 me/100 g, dengan tingkat hasil sekitar 1 t/ha pada lahan bukaan baru dan 1,5-2,0 t/ha pada lahan lama. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun terdapat beberapa masalah kondisi tanah, namun produktivitas kedelai dapat ditingkatkan dengan masukan pupuk, bahan ameliorasi, dan varietas yang adaptif. Untuk lebih memantapkan teknik budi daya yang telah diuji dalam pra PTT perlu dilakukan pengujian di lahan petani dalam skala yang lebih luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan verifikasi terhadap teknik budi daya kedelai di lahan kering masam yang secara teknis dapat diadopsi petani dan secara ekonomi menguntungkan.
BAHAN DAN METODE Pengujian Teknik Budi Daya Kedelai Pengujian teknik budi daya kedelai dilaksanakan selama dua musim tanam berturut-turut di Kampung Bumi
Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah, yaitu pada MH I 2005/06 (Nopember 2005Februari 2006) dan MH II 2006 (Maret-Juni). Kegiatan ini dilaksanakan pada lahan petani yang tergabung dalam kelompok tani MAWAR, dengan melibatkan 26 petani pada musim tanam (MT) I dengan luas areal 5,47 ha dan 20 petani pada MT II dengan luas areal 8 ha. Varietas kedelai yang ditanam pada MT I adalah Sinabung, Kaba (berbiji sedang), dan Burangrang (berbiji besar), sedangkan pada MT II adalah Kaba, Sinabung, Anjasmoro (berbiji besar), dan Kipas Putih (berbiji sedang). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi model Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT) untuk padi (Las at al. 2002). Sebagai pembanding diikutkan petani sekitar yang mengusahakan kedelai di lahan kering. Paket teknologi budi daya kedelai yang diuji adalah (1) tanah diolah sesuai kebiasaan petani, dibajak dua kali dan diratakan menggunakan ternak, tanpa saluran drainase, (2) varietas unggul nasional; (3) tanam tugal dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/ lubang; (4) pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha pada saat tanaman berumur 15 hari, diberikan di sekitar barisan tanaman; (5) dolomit 1.500 kg/ha diberikan sebelum tanam dengan cara disebar rata, jika menggunakan pupuk kandang 2,5 t/ha maka dolomit diberikan 750 kg/ha; (6) pupuk kandang 2,5 t/ha, diberikan bersamaan dengan pemberian pupuk NPK dengan cara tugal atau larikan di sebelah baris tanaman; (7) pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) menggunakan pestisida dan pengaplikasian berdasarkan hasil pemantauan; (8) penyiangan pada umur 15 dan 35-40 hari secara manual; (9) panen pada saat polong sudah berwarna coklat, brangkasan kedelai dikeringkan pada lantai jemur dan dirontok dengan mesin perontok. Data yang dikumpulkan meliputi hasil biji dan komponen hasil (jumlah polong isi dan hampa, bobot 100 biji, jumlah cabang), tinggi tanaman. Hasil ditentukan berdasarkan panen ubinan 10 m 2, tiga ubinan untuk masing-masing petani. Analisis ekonomi dilakukan untuk mengetahui keuntungan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis ragam menggunakan oneway AOV (one-way analysis of variance), dan untuk mengetahui perbedaan antar- perlakuan digunakan uji BNT. Percobaan Superimpose Percobaan superimpose dilaksanakan pada lahan petani koperator seluas 0,5 ha pada MH II 2006, menggunakan varietas Anjasmoro. Lahan yang digunakan adalah bekas pertanaman kedelai dari kegiatan peng-
39
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Tabel 1. Perlakuan percobaan superimpose budi daya kedelai pada lahan kering masam. No.
1 2 3 4 1)
Urea (kg/ha) 75 75 75 75
SP36 (kg/ha)
KCl (kg/ha)
100 100 150 100
100 100 100 150
Dolomit (kg/ha) 1)
0 1500 1500 1500
dolomit 1.500 kg/ha diberikan pada percobaan MH I 2005/06.
ujian pada MH I 2005/06. Topografi lahan datar, seragam dari segi fisik tanah dan keragaan pertanaman sebelumnya, dan dalam satu hamparan. Rancangan percobaan adalah acak lengkap dengan tiga ulangan. Perlakuan percobaan superimpose disajikan pada Tabel 1. Tanah diolah sesuai kebiasaan petani, dibajak dua kali dan diratakan sekali dengan tenaga ternak. Petak antarperlakuan dipisah dengan saluran drainase. Varietas yang digunakan adalah Anjasmoro, ditanam dengan cara tugal, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/lubang. Pengendalian OPT menggunakan pestisida berdasarkan hasil pemantauan. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 15 dan 35-40 hari secara manual. Panen dilakukan pada saat polong sudah berwarna coklat. Data meliputi hasil dan komponen hasil (jumlah polong isi dan hampa, bobot 100 biji, jumlah cabang), dan tinggi tanaman. Hasil dihitung berdasarkan panen ubinan 10 m2. Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan menggunakan orthogonal kontras: perlakuan 1 vs 2 untuk membandingkan pengaruh sisa dolomit, perlakuan 2 vs 3 dan 2 vs 4 masing-masing untuk menguji pengaruh peningkatan takaran pupuk SP36 dan KCl.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Analisis tanah menunjukkan bahwa tekstur tanah didominasi oleh pasir dengan kandungan bahan organik rendah sehingga secara alami mempunyai potensi kesuburan yang rendah. Tanah tergolong masam, kandungan Ca-dd, Mg-dd, dan K-dd tergolong rendah (Tabel 2). Dengan demikian, selain rendahnya pH, tanah juga berpotensi kahat Ca, Mg, dan K. P tersedia termasuk tinggi, namun karena tanah bereaksi masam maka penyerapan P oleh tanaman terganggu. Peningkatan pH tidak cukup untuk meningkatkan ketersediaan P tanah karena P total tergolong rendah, sehingga harus ada
40
Tabel 2. Karakteristik tanah lapisan atas (0-40 cm) di Kampung Bumi Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kab. Lampung Tengah, MH I tahun 2005/06. Uraian Tekstur
Nilai 2)
Klasifikasi
1)
Lempung liat
Metode Pipet
berpasir (sandy clay loam) Pasir (%)
63
Debu (%) Liat (%)
16 20
pH-H2O
4,3
pH-KCl
4,1
C-organik (%) N-total (%)
1,58 0,05
Nisbah C/N P-tersedia (ppm P2O5)
26,1
Masam
1:2,5 1:2,5
Rendah Sangat rendah
Walky-Black Kjeldahl
31,6 Tinggi
Bray –I
10 7
Sedang Rendah
HCl 25% HCl 25%
Ca-dd (me/100 g )
0,87
Rendah
NH-4 asetat 1N pH 7
Mg-dd (me/100 g )
0,41
Rendah
NH-4 asetat 1N pH 7
K-dd (me/100 g ) KTK (me/100 g )
0,08 8,7
Sangat rendah Rendah
NH-4 asetat 1N pH 7 NH-4 asetat 1N pH 7
Kejenuhan basa Al –dd (me/100 g )
15,6 0,91
Rendah Sangat rendah
I N KCl
H –dd (me/100 g ) KTKE (me/100 g )
0,34 2,61
Kejenuhan Al (%)
34,9
Total - P2O5 (mg/100 g)2) Total - K2O (mg/100 g)2)
1)
2)
klasifikasi berdasar kriteria yang dikeluarkan oleh Puslittanah; kejenuhan Al dihitung berdasar KTKE (jumlah kation basa + Al + H). Data dari BPTP Lampung, 2005.
pasokan P melalui pupuk. Meskipun pH tanah rendah tetapi Al-dd tergolong sangat rendah, jadi ada kemungkinan rendahnya pH dipicu oleh rendahnya kation-kation basa tanah. Oleh karena itu, penambahan dolomit selain ditujukan untuk meningkatkan pH tanah, juga berguna untuk meningkatkan ketersediaan hara Ca dan Mg. Tekstur tanah didominasi oleh fraksi pasir (63%) tetapi petani masih melakukan pengolahan tanah dengan cara dibajak sebanyak dua kali. Kandungan pasir yang tinggi menjadikan tanah mempunyai drainase cukup baik. Hal ini terlihat dari pengamatan secara visual, meskipun terjadi hujan lebat, tetapi tidak terjadi genangan air yang lama, sehingga petani tidak membuat saluran drainase untuk melakukan pencegahan erosi. Pada pertanaman MH I, sebagian besar petani menggunakan pupuk kandang kotoran ayam dan sebagian lainnya menggunakan kotoran sapi takaran 800-1000 kg/ha. Pada MH II petani tidak menggunakan pupuk kandang karena selain mahal juga tidak tersedia akibat adanya larangan pemerintah daerah untuk mendatangkan kotoran ayam dari luar daerah.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Keragaan Kedelai dengan Teknik Budi Daya yang Diperbaiki Keragaan pertanaman kedelai dengan teknik budi daya petani yang diperbaiki pada MH I dan MH II dengan pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1500 kg dolomit/ha cukup baik (Tabel 3 dan 4). Populasi tanaman yang dianjurkan sekitar 333.000 tanaman/ha, namun kenyataannya populasi tanaman saat panen lebih rendah. Populasi tanaman pada saat panen pada MH I untuk varietas Sinabung adalah 201.000 atau 61%, Burangrang 187.000 atau 57%, dan Kaba 155.000 atau 47% dari populasi anjuran (Tabel 3). Populasi tanaman pada MH II untuk varietas Sinabung adalah 156.000 atau 46,8%, Anjasmoro 185.000 atau 55,5%, Kaba 191.000 atau 57,3%, dan Kipas Putih 185.000 atau 55,5% dari populasi anjuran. Keragaman populasi tanaman antarpetani cukup besar, yang tercermin dari nilai standar deviasi yang cukup besar (Tabel 3 dan 4). Rendahnya populasi tanaman dan besarnya keragaman tersebut disebabkan oleh: (1) adanya variasi jarak tanam yang dipakai antarpetani dalam menanam kedelai dan petani cenderung menanam dengan jarak yang lebih jarang dari yang dianjurkan; (2) adanya perbedaan waktu tanam, karena berkaitan dengan keadaan curah hujan. Pada pertanaman MH I, pada saat tanam hingga periode awal pertumbuhan tanaman, sering terjadi kekurangan air. Pada pertanaman MH II, pada saat tanam hingga periode pertumbuhan awal terlalu banyak air. Keadaan tersebut
berpengaruh terhadap perkecambahan benih. Kondisi curah hujan di wilayah kegiatan PTT kedelai disajikan pada (Gambar 1). Jumlah polong isi per batang pada MH I tergolong tinggi, rata-rata 54, 59, dan 69 polong isi/batang masingmasing untuk varietas Sinabung, Burangrang dan Kaba (Tabel 3). Jumlah polong isi pada pertanaman MH II juga tergolong baik, yaitu 56, 47, 56 dan 71 polong/tanaman masing-masing untuk varietas Sinabung, Anjasmoro, Kaba, dan Kipas Putih (Tabel 4). Jumlah polong hampa tergolong rendah, berkisar antara 2-8% dari total polong yang terbentuk, baik pada pertanaman MH I maupun MH II (Tabel 3 dan 4). Ini menunjukkan bahwa dengan teknik budi daya baik, pembentukan dan pengisian polong berada pada kondisi normal. Jumlah polong varietas Kipas Putih lebih banyak dibandingkan dengan varietas lainnya meskipun jumlah cabang relatif sama. Varietas Kipas Putih lebih tinggi dibanding varietas lainnya (Tabel 4). Varietas ini banyak diminati petani di Lampung karena bijinya besar, hasil tinggi, dan umur genjah. Varietas Burangrang kurang disukai petani, terutama karena kulit bijinya yang retak-retak menjadikan kenampakan biji kurang menarik, tetapi dari segi umur sangat disukai karena dapat dipanen pada umur 75 hari. Rata-rata hasil biji (standar kadar air dibuat 12% karena kadar air biji beragam antarpetani) tergolong tinggi pada MH I dan MH II. Hasil biji dari ketiga varietas yang ditanam pada MH I tidak nyata berbeda, yaitu 1,95 t/ha dari varietas Sinabung, 1,76 t/ha dari varietas Burangrang, dan 2,02 t/ha dari varietas Kaba (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil biji dan komponen hasil kedelai. Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I 2005/06. Varietas
Sinabung Burangrang Kaba
Jumlah petani
Populasi tanaman/ha (‘000)
Hasil biji (t/ha)
Jumlah polong isi/tanaman
Jumlah polong hampa/tanaman
11 7 8
201 (±43) a 187 (±74) a 155 (±29) a
1,95 (±0,54) a 1,76 (±0,32) a 2,02 (±0,33) a
54 (±13) a 59 (±12) ab 69 (±10) b
3 (±2) a 5 (±2) a 4 (±1) a
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf sama tidak berbeda menurut uji BNT 5%. KA= kadar air,angka dalam kurung pada masing-masing kolom menunjukkan nilai standar deviasi (SD).
Tabel 4. Hasil biji dan komponen hasil kedelai. Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH II 2006.
Varietas
Sinabung Anjasmoro Kaba Kipas Putih
Jumlah petani
Populasi tanaman/ha (‘000)
Hasil biji (t/ha)
Bobot 100 biji (g)
Jumlah polong isi/ tanaman
Jumlah polong hampa/ tanaman
Jumlah cabang/ tanaman
7 12 3 1
156 (±35) a 185 (±41) a 191 (±20) a 185
1,59 (±0,20) a 1,96 (±0,32) b 2,08 (±0,16) b 1,65
10,51 (±0,56) a 15,03 (±1,92) b 10,32 (±0,46) a 12,98
56 (±10) b 47 (±13) a 56 (±8) b 71
2 (±1) ab 1 (±1) a 5 (±2) b 3
4 (±1) b 3 (±1) a 4 (±1) b 3
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda menurut uji BNT 5%. KA= kadar air, angka dalam kurung pada masing-masing angka dalam kolom menunjukkan nilai standar deviasi (SD). Varietas Kipas Putih tidak diikutkan dalam analisis karena hanya satu ulangan.
41
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
550
3,5
500
Sinabung
Tahun 2005
3,0
450
Hasil biji KA 12% (t/ha)
Tahun 2006 (s/d Mei) 400
Curah hujan (mm)
350 300 250 200 150
Burangrang
2,5
Kaba
2,0 1,5 1,0 0,5
100 50
0,0
0 Jan.
Peb.
Mar.
Apr.
Mei
Jun.
Jul.
Ags.
Sep.
Okt.
Nop.
1
Des.
2
3
4
5
6
Pada MH II, hasil varietas Sinabung (1,59 t/ha) nyata lebih rendah dibanding Anjasmoro (1,96 t/ha) dan Kaba (2,03 t/ha) (Tabel 4). Produktivitas varietas Kipas Putih (1,65 t/ha) juga lebih rendah dari Anjasmoro dan Kaba (Tabel 3). Potensi hasil varietas Sinabung, Burangrang, Kaba, Anjasmoro, dan Kipas Putih masing-masing adalah 2,16 t/ha, 1,60-2,50 t/ha, 2,13 t/ha, 2,03-2,25 t/ha, dan 1,69 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata hasil yang diperoleh dengan teknik budi daya yang diperbaiki sudah sesuai dengan potensi hasil masing-masing varietas. Teknik budi daya tersebut mampu mengubah kondisi lahan masam dari kurang optimal menjadi optimal sehingga varietas-varietas tersebut dapat mencapai hasil yang optimal pula. Hasil kedelai pada MH I dan MH II umumnya >1,5 t/ ha (82% pada MH I dan 73% pada MH II), dan bahkan beberapa petani memperoleh hasil lebih dari 2 t/ha (Gambar 2 dan 3). Hasil pengujian paket teknologi tersebut pada pra PTT di lahan kering masam pada bulan Mei-Agustus 2004 di Desa Watu Agung, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah yang mempunyai pH 4,2-4,6 dengan Al-dd 0,08-0,25 me/100 g menunjukkan tingkat hasil kedelai rata-rata 1,45±0,34 t/ha, hasil tertinggi mencapai 2,45 t/ha (Rumbaina et al. 2004). Pengujian pada lahan petani di Desa Lorok, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan pada MK II (Mei-September) 2004, dengan pH 4,6-5,1 dan Aldd 5,33-6,82 me/100 g memberikan hasil sekitar 1 t/ha pada lahan bukaan baru dan 1,5-2,0 t/ha pada lahan yang sudah lama digarap (Zakiah at el. 2005). Ini menunjukkan bahwa dengan teknik budi daya kedelai yang diperbaiki cukup prospektif untuk meningkatkan produktivitas kedelai dalam rangka mendukung program “Bangkit Kedelai” di lahan masam. Hama yang umum ditemui di pertanaman kedelai pada periode tanam MH I 2005/06 dan MH II 2006 adalah ulat grayak (Spodoptera litura), penggerek polong (Helicoverpa armigera), pengisap polong (Riptortus 42
8
9
10
11
12
Gambar 2. Hasil kedelai petani koperator pada pengujian teknik budi daya di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah. MH I 2005/06.
Kaba
Anjasmoro
Sinabung
Kipas Putih
2,5 Hasil biji KA 12% (t/ha)
Gambar 1. Distribusi curah hujan bulanan tahun 2005 dan 2006 di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah.
7
Petani
Bulan
2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
10
Petani
Gambar 3. Hasil kedelai petani koperator pada pengujian teknik budi daya di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah. MH II 2006.
linearis), dan ulat jengkal (Plusia calcites), tetapi pada intensitas yang rendah (1-10%) dan dapat dikendalikan. Penyakit yang banyak merusak tanaman adalah bakteri pustul (Xanthomonas campestris) dengan intensitas bervariasi antarpetani, yaitu dari ringan hingga sedang (1-50%). Analisis Finansial Usahatani kedelai dengan teknik budi daya yang diperbaiki pada lahan kering masam di Bumi Nabung Ilir, Lampung Tengah pada MH I 2005/06 memerlukan tenaga kerja sebanyak 225 HOK/ha. Petani mampu menyediakan tenaga kerja dalam keluarga rata-rata 183,6 HOK/ha atau 82% (Tabel 5). Total biaya yang diperlukan untuk usahatani kedelai adalah Rp 4.006.760/ha. Dari total biaya tersebut, biaya untuk tenaga kerja adalah tertinggi (50,5%), diikuti oleh prosesing hasil yang mencapai 13,4% dan untuk pembelian dolomit 12,4%. Hasil kedelai di lahan kering masam adalah 1.950 kg/ha untuk varietas Sinabung; 1.760 kg/ha untuk varietas Burangrang, dan
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Tabel 5. Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani kedelai dengan teknik budi daya yang diperbaiki pada lahan kering masam di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I 2005/06.
Tabel 6. Analisis usahatani kedelai dengan teknik budi daya yang diperbaiki pada lahan kering masam di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I 2005/06. Komponen
Aktivitas
Tenaga kerja total (HOK/ha)1)
Pengolahan tanah Tanam Pemupukan Penyiangan Penyemprotan Panen Prosesing Jumlah Nisbah tenaga kerja dalam keluarga terhadap tenaga kerja total (%) 1)
Jumlah (satuan fisik/ha)
Tenaga kerja dalam keluarga (HOK/ha)
21,1 31,5 12,0 38,0 34,5 30,7 57,2 225,0
15,9 9,1 12,0 30,0 34,5 24,9 57,2 183,6
81,6
1 HOK = 4,5 jam kerja setara pria
2.020 kg/ha untuk varietas Kaba. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 2.678.240, Rp 2.153.240, dan Rp 3.063.240/ha, masing-masing dengan menggunakan varietas Sinabung, Burangrang, dan Kaba. Nilai nisbah manfaat terhadap biaya total untuk masing-masing varietas berturut-turut adalah 0,70; 0,54; dan 0,76 (Tabel 4). Meskipun keuntungan relatif tinggi, namun nilai nisbah manfaat terhadap biaya total (B/C ratio) masih <1 (Tabel 6). Makna dari kondisi ini adalah usahatani kedelai di lahan kering masam pada MH I kurang ekonomis, terutama karena tingginya biaya tenaga kerja, dan pascapanen. Dolomit diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi. Oleh karena itu perlu dievaluasi takaran penggunaan dolomit atau residu pemberian dolomit pada pertanaman kedelai musim berikutnya. Petani di lokasi penelitian biasanya menanam kedelai dua kali berturut-turut yang dimulai pada awal musim hujan (sekitar Nopember atau Desember). Tingkat Kesuburan Tanah Untuk mengevaluasi pengaruh pemberian input, khususnya dolomit dilakukan analisis contoh tanah yang diambil dari sembilan lahan petani koperator (lahan mendapat input dolomit) dan tujuh lahan petani yang lahannya tidak mendapat masukan dolomit. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah yang mendapat tambahan dolomit 1.500 kg/ha mempunyai pH dan Mgdd yang lebih tinggi, dan Al-dd lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang tidak diberi dolomit. Kandungan Corganik, P tersedia, Ca-dd, dan K-dd tidak berbeda meskipun ada kecendungan pemberian dolomit meningkatkan kandungan P tersedia dan Ca-dd (Tabel 7).
Saprodi dan tenaga Benih (kg) Pupuk (kg) Urea SP36 KCl Dolomit (ton) Pestisida Tenaga kerja (HOK) Perontokan biji
Persentase
40
160.000
4,0
75 100 100 1,5
90.000 160.000 270.000 495.000 270.000 2.025.000 536.760
2,2 4,0 6,7 12,4 6,7 50,5 13,4
4.006.760
100,0
225
Total Produksi Hasil biji k.a 12% (ton) Var. Sinabung Var. Burangrang Var. Kaba
Nilai (Rp/ha)
1,95 1,76 2,02
Keuntungan Var. Sinabung Var. Burangrang Var. Kaba
6.825.000 6.160.000 7.070.000
2.678.240 2.153.240 3.063.240
Nisbah manfaat terhadap biaya total (B/C ratio) Var. Sinabung 0,70 Var. Burangrang 0,54 Var. Kaba 0,76
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dolomit meningkatkan pH tanah dan ketersediaan Mg, serta menurunkan Al-dd tanah. Setijono (1996) melaporkan bahwa dolomit sama efektifnya dengan kalsit dan silikat dalam menurunkan Al-dd dan meningkatkan pH tanah masam. Percobaan Superimpose Analisis usahatani kedelai pada tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya pembelian dolomit adalah 12,4% dari total biaya usahatani. Salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan petani adalah memanfaatkan pengaruh sisa dolomit yang telah diberikan pada musim tanam sebelumnya. Tanaman kedelai tanpa dolomit pada MH II (dolomit 1.500 kg/ha diberikan pada MH I) nyata lebih pendek, jumlah polong isi berkurang dari 52 menjadi 43 polong/ tanaman, dibandingkan dengan yang diberi dolomit dengan takaran 1.500 kg/ha, namun tidak berpengaruh terhadap ukuran biji dan jumlah polong hampa. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah polong 43
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Tabel 7. Karakteristik tanah pada lapisan olah akibat pemberian dolomit. Bumi Nabung, Lampung Tengah, 2005. Perlakuan
1 2
Dolomit (kg/ha)
pH-H2O
C-organik (%)
P-Bray I (ppm P2O5)
K-dd (me/100 g)
Ca-dd (me/100 g)
Mg-dd (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
0 1500
4,6 a 5,2 b
1,83 a 1,72 a
75,4 a 77,4 a
0,10 a 0,09 a
1,19 a 1,42 a
0,52 a 0,64 b
0,77 b 0,34 a
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda dengan uji t 5%.
Tabel 8. Pengaruh pemupukan dan pemberian dolomit terhadap keragaan tanaman kedelai varietas Anjasmoro pada lahan kering masam Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH II 2006.
Perlakuan1)
1 2 3 4 1)
Bobot 100 biji (g)
Jumlah polong hampa/ tanaman
Jumlah polong isi/ tanaman
Tinggi tanaman panen (cm)
Hasil biji (t/ha)
15,59 16,38 17,11 16,31
1 1 1 1
43 52 51 40
54,7 60,5 61,6 54,9
1,89 2,14 2,39 2,23
Persentase kenaikan/ penurunan hasil (%) – 13,22 26,46 17,99
– 11,68 4,21
Perlakuan 1 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit 0 kg/ha (dosis dolomit pada MH I adalah 1500 kg/ha). Perlakuan 2 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha. Perlakuan 3 = 75 kg urea/ha + 150 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha. Perlakuan 4 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +150 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha.
Tabel 9. Nilai probabilitas pada uji orthogonal kontras antarperlakuan yang diuji. Perlakuan
1 vs 2 2 vs 3 2 vs 4
Bobot 100 biji
Jumlah polong hampa/tanaman
Jumlah polong isi/tanaman
Tinggi tanaman panen
Hasil biji
tn tn tn
tn tn tn
0,04 tn 0,02
0,03 tn 0,04
0,09 0,08 0,47
1 vs 2 = menguji pengaruh sisa dolomit yang diberikan musim tanam sebelumnya; 2 vs 3 = menguji pengaruh peningkatan pupuk SP36; 2 vs 4 = menguji pengaruh peningkatan pupuk KCl; tn= tidak nyata
isi dan jumlah polong hampa. Bobot 100 biji meningkat dari 16,4 g menjadi 17,1 g namun peningkatannya tidak nyata. Peningkatan takaran KCl dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak berpengaruh terhadap bobot 100 biji dan jumlah polong hampa/tanaman, bahkan tanaman lebih pendek dan jumlah polong isi berkurang dari 52 menjadi 40 polong/tanaman (Tabel 7 dan 9). Penambahan dolomit 1.500 kg/ha pada pertanaman kedelai pada MH II (dolomit 1.500 kg/ha juga diberikan pada MH I), selain memperbaiki pertumbuhan tanaman juga meningkatkan hasil sebesar 13% (Tabel 8 dan 9). Jika dihitung antara biaya yang dikeluarkan untuk membeli dolomit 1.500 kg (Rp 495.000) dengan peningkatan hasil (Rp 875.000, harga kedelai Rp 3.500/kg), maka terdapat tambahan pendapatan sebesar Rp 380.000/ha. Hasil kedelai tanpa pemberian dolomit pada musim tanam ke-2 (MH II) termasuk tinggi (1,89 t/ha). Apabila modal terbatas maka dolomit 1.500 kg/ha cukup 44
diberikan pada tanaman MH I, sedangkan MH II tidak perlu diberi dolomit, sehingga ada penghematan sebesar Rp 495.000/ha. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha meningkatkan hasil kedelai sekitar 12% (Tabel 8 dan 9). Jika dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli 50 kg SP36 (Rp 80.000/ha) dengan peningkatan hasil (Rp 875.000, harga kedelai Rp 3.500/kg), maka masih terdapat tambahan pendapatan sebesar Rp 795.000/ha. Artinya, jika pertanaman kedelai pada MH II diberi dolomit kembali dengan takaran 1.500 kg/ha dan takaran pupuk SP36 ditingkatkan dari 100 kg menjadi 150 kg/ha, maka akan diperoleh tambahan pendapatan kumulatif sebesar Rp 1.175.000/ha. Peningkatan takaran pupuk KCl dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak nyata meningkatkan hasil (Tabel 8 dan 9). Dengan demikian pupuk KCl cukup diberikan 100 kg/ha.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
KESIMPULAN 1. Produktivitas kedelai di lahan kering masam pada musim hujan sebesar 1,5-2 t/ha dapat dicapai dengan penggunaan varietas unggul Sinabung, Kaba, Burangrang, dan Anjasmoro. Tanaman dipupuk dengan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1.500 kg dolomit/ha.Paket teknologi budi daya tersebut memberikan keuntungan sebesar Rp 2 juta/ ha. Dengan pola tanam kedelai-kedelai, dolomit dengan takaran 1.500 kg/ha cukup diberikan sekali (pada MH I) pada kedua musim tanam. 2. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha meningkatkan hasil kedelai 12%, dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 750.000/ha. Pupuk KCl cukup diberikan 100 kg/ha. 3. Pemberian dolomit 1.500 kg/ha meningkatkan pH tanah dan Mg tersedia, serta menurunkan Al-dd.
et al. (eds). Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998 (Buku 2). Rachim, D.A., Astiana, R. Sutanto, N. Suharta, A. Hidayat, D. Subardja dan M. Arifin. 1997. Tanah merah terlapuk lanjut serta pengelolaannya di Indonesia. p. 97-115. Dalam I. Las et al. (eds). Prosiding Seminar Sumber daya Lahan (Buku I). Puslitanak, Bogor. Rumbaina, D., Amrizal N., Widiyantoro, Marwoto, A. Taufiq, H. Kuntyastuti, D.M. Arsyad, dan Heriyanto. 2004. Pengembangan kedelai melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di lahan masam. p. 61-72. Dalam Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Lahan Masam. Balitkabi-BPTP Lampung. Setiawan, D. 1997. Keragaman susunan mineral liat beberapa tanah Sumatra Selatan (Buku II). Prosiding Kongres Nasional VI HITI. p. 33-40. Setijono, S. 1996. Effect of crop residues and lime materials on soil aluminium and phosphorus availability on high activity clay (HAC) acid mineral soil. Agrivita 19(4):153-157.
DAFTAR PUSTAKA
Sudar yanto, T., I. W. Rusastra, E. Jamal, dan A. Syam. 2002. Pengembangan Teknologi Pertanian Berbasis Agrobisnis, p. 7-17. Dalam M. O. Adnyana et al. (eds.). Prosiding Teknologi Pertanian Berbasis Sumberdaya Lokal Ramah Lingkungan dalam Menunjang Otonomi Daerah. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. 523p.
Abdurrachman, A., K. Nugroho, dan Sumarno. 1999. Pengembangan lahan kering untuk menunjang ketahanan pangan nasional. p. 21-22. Dalam Irsal L. et al. (eds). Prosiding Seminar Sumber Daya Lahan (Buku I). Puslitanak, Bogor.
Sudaryono, H. Kuntyastuti, dan B. S. Radjit. 2002. Dinamika hara makro, mikro, perbaikan dan koservasi sifat fisik lahan kering untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kedelai. Laporan Teknis Penelitian. Balitkabi. Malang.
BPS (Biro Pusat Statistik). 2000. Statistik Indonesia 1999. Jakarta. Hairiah, K., S. Ismunandar, dan E. Handayanto, 1998. Pengelolaan tanah secara biologi pada lahan kering beriklim basah melalui pendekatan holistik dan spesifik lokasi menuju sistem pertanian berkelanjutan. p. 12-28. Dalam Sudaryono et al. (eds). Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998 (Buku 1). Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin K., dan I. Manwan. 1991. Peta agroekologi utama tanaman pangan di Indonesia. Lap. Khusus Pus/05/90. Puslitbangtan. Bogor. 24p. Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdurrachman. 2002. Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu padi sawah irigasi. Departemen Pertanian. 37p. Prasetyo, B.H. dan S. Ritung. 1998. Beberapa kendala pengembangan lahan kering di Indonesia. p. 267-275. Dalam Sudaryono
Taufiq, A., H. Kuntyastuti, dan A.G. Manshuri, 2004. Pemupukan dan ameliorasi lahan kering masam untuk peningkatan produktivitas kedelai. p. 21-40. Dalam Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di L ahan Masam. Balitkabi – BPTP Lampung. Van der Heide, J., S. Setijono, M.S. Syekhfani, E. N. Flach, K. Hairiah, S.M. Sitompul, and M. van Noordwijk. 1992. Can low external input cropping system on acid upland soils in the humid tropics be sustainable? Agrivita 15:1-10. Zakiah, E. Canto, Subowo G., Darman, M.A., Marwoto, H. Kuntyastuti, dan A. Taufiq. 2005. Potensi usahatani kedelai di lahan kering Sumatera Selatan: Pra Litkaji kedelai di Sumatera Selatan. Hlm. 60-69. Dalam Marwoto, Subowo G., dan A. Taufiq (eds). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Lahan Kering Masam. Puslitbang. Sosek Pertanian, Jakarta.
45
ISSN 2088-8066
J. Agronomika (2011) Vol 1 No.2, 92-98
RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PADA SISTEM OLAH TANAH YANG BERBEDA Growth and Yield Response of Soybean on Different Tillage Systems Zainuddin Ohorella Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Al Amin Muhammadiyah Sorong Papua Barat Email : [email protected]
Abstract One of the important farming activity in the intensification of agriculture to increase food production including Soybean plant is land preparation. Tillage systems are often used by farmers is intensive tillage, minimum tillage and no tillage. This study aims to determine the effect of tillage systems on growth and yield of soybean. Research using randomized block design with tillage treatment system consisting of three level of one-time tillage, if the ground two times, and though the ground three times, and repeated 5 times The results showed that tillage system 3 times is to increase plant height, leaf number, number of productive branches, number of pods, weight of 100 seeds dry and fresh weight of soybean stover. Keywords : Tillage Systems, Growth, Yield, Soybean, Stover
Abstrak Salah satu kegiatan budidaya penting dalam intensifikasi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan termasuk tanaman kedelai adalah pengolahan tanah. Sistem olah tanah yang sering digunakan oleh petani adalah olah tanah intensif, olah tanah minimum, dan tanpa olah tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem olah tanah terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan sistem olah tanah yang terdiri dari 3 taraf yaitu olah tanah satu kali, olah tanah dua kali, dan olah tanah tiga kali, dan diulangan sebanyak 5 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem olah tanah sebanyak 3 kali merupakan yang terbaik dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang produktif, jumlah polong, bobot 100 biji kering dan berat segar brangkasan tanaman kedelai. Kata Kunci : Sistem Olah Tanah, Pertumbuhan, Produksi, Kedelai, Brangkasan.
PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max.L) merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Sampai saat ini kedelai masih menjadi salah satu komoditas pangan yang sangat penting di Indonesia. Dalam rangka ___________________________________ • Diterima Tanggal 2 Juli 2011 • Disetujui Tanggal 29 November 2011
meningkatkan ketahanan pangan di tingkat nasional khususnya ketersediaan bahan pangan kedelai, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan produksinya dan tentunya harus diprogramkan secara teliti, terencana, berjangka panjang dan tepat sasaran. Dirjen pertanian tanaman pangan, melalui departemen pertanian memprediksikan bahwa konsumsi kedelai di Indonesia pada tahun 2010 mancapai 2,8 juta ton. Sementara itu, pada saat
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai dengan Berbagai sistim Olah Tanah
yang sama produksi kedelai nasional hanya mencapai 1,2 juta ton (Rukmi, 2009). Kebutuhan kedelai dari tahun ketahun selalu meningkat, selain sebagai bahan makanan seperti pada industri tahu, tempe, serta sebagai bahan pakan ternak, dengan demikian komoditi ini merupakan komoditas unggulan. Kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang penting di Kabupaten Sorong sebagai sumber protein nabati yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat. Namun produksi kedelai di Kabupaten Sorong masih rendah sedangkan minat petani menanam kedelai masih sedikit dikarenakan beberapa faktor antara lain benih unggul masih di datangkan dari luar Propinsi Papua Barat, pengetahuan teknik budidaya kedelai yang dimiliki oleh petani masih rendah dan situasi iklim yang tidak menentu. Laporan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Sorong (2011), bahwa produksi kedelai di Kabupaten Sorong pada tahun 2009 mencapai 153 ton dari luas panen 122 ha, sedangkan pada tahun 2010 mencapai 25 ton dari luas panen 269 ha. Untuk meningkatkan produksi dan produktifitas kedelai perlu berbagai upaya, antara lain perluasan areal tanam dengan memanfaatkan potensi lahan kering dan lahan tidur, perbaikan cara bercocok tanam yaitu pengolahan tanah yang baik, penggunaan varietas unggul, pengendalian gulma, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit (Panggabean, 2007). Pemanfaatan potensi lahan kering untuk pengembangan tanaman kedelai di Kabupaten Sorong belum maksimal, hal ini terjadi karena pengolahan lahan kering masih bersifat konvensional. Menurut Foth (1984), pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan dimulai dari teknologi persiapan lahan yang bertumpu pada pendaurulangan sumberdaya internal tanpa mengusik tanah secara berlebihan. Teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan kesuburan produktivitas tanah, mengurangi kebutuhan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani dan yang tidak kalah pentingnya adalah mengurangi kerusakan lingkungan. Pengolahan tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman karena dapat menciptakan struktur tanah yang remah, aerase tanah yang baik dan menghambat pertumbuhan tanaman pengganggu. Selanjutnya Mahmud at al
(2002), mengatakan bahwa pengolahan tanah pada tanaman kedelai pada prinsipnya bertujuan untuk memperbaiki aerase dan drainase tanah, mengendalikan gulma, menggemburkan tanah sehingga kecambah mudah tumbuh, dan perakaran dapat berkembang sempurna. Menurut Panggabean (2007), untuk mencegah pengaruh buruk dari pengolahan tanah intensif, maka dikembangkan konsepsi sistim pengolahan tanah konservasi yaitu pengolahan tanah minimum. Selanjutnya menurut Adisarwanto (2000), dalam bercocok tanam kedelai persiapan lahan pertanaman dapat dilakukan dengan pengolahan tanah sebelum tanam (Maksimum Tillage) dan tanpa olah tanah (Zero Tillage) atau olah tanah minimum (Minimum Tillage). Perbedaan cara pengolahan tanah akan mempengaruhi kesuburan tanah sehingga akan berpengaruh juga terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai. Perlu tidaknya tanah diolah dapat dipengaruhi oleh tingkat kepadatan dan aerasi. Pada tingkat kepadatan yang tinggi akibat tidak pernah diolah mengakibatkan pertumbuhan akar terbatas, sehingga zona serapan akar menjadi sempit. METODE Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Malawili Distrik Aimas Kabupaten Sorong, dengan ketinggian tempat 60 meter dpl, berlangsung dari bulan Maret sampai Juni 2011. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sistem olah tanah sebagai perlakuan, yang terdiri atas (A) olah tanah satu kali, (B) olah tanah dua kali dan (C) olah tanah tiga kali. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali sehingga terdapat 15 petak percobaan yang berukuran 2 m x 1 m. Persiapan lahan disesuaikan dengan perlakuan sistem olah tanah yaitu, Olah Tanah Satu Kali (A), Olah Tanah Dua Kali (B) dan Olah Tanah Tiga Kali (C). Setelah lahan siap maka benih kedelai ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik (Urea, TSP, dan KCL) dilakukan dalam 2 tahap yaitu pemupukan pertama pada saat penanaman dengan dosis pupuk Urea 2,5 gr/lubang tanam, pupuk TSP 5 gr/lubang tanam dan pupuk KCL 5 gr/lubang tanam. Pemupukan tahap kedua dilaksanakan setelah tanaman berumur 42 setelah tanam, dengan dosis 93
Zainuddin O.
pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea 5 gr/lubang tanam, pupuk TSP 10 gr/lubang tanam dan pupuk KCL 10 gr/lubang tanam. Cara pemupukan yang dlakukan adalah dengan memasukkan pupuk ke dalam lubang tugal, dengan jarak lubang tugal 10 cm dari tanaman/lubang tanam. Komponen pertumbuhan dan produksi yang diamati dan diukur adalah, tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai), jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, berat 100 biji kering, dan bobot segar brangkasan. HASIL DAN PEMBASAN Hasil analisis ragam menunjukan bahwa sistem olah tanah berpengaruh sangat nyata terhadap peubah pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang produktif, jumlah polong, berat 100 biji kering dan berat segar brangkasan. Hasil uji BNT0.05 pada Tabel 1, menunjukan bahwa pengolahan tanah sebanyak tiga kali memberikan hasil yang terbaik terhadap komponen pertumbuhan tinggi tanaman , jumlah daun, serta jumlah cabang produktif dan berbeda nyata dengan pengolahan tanah sebanyak dua kali dan pengolahan tanah sebanyak satu kali. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa setiap penambahan sistem olah tanah akan menaikkan pertumbuhan tinggi tanaman kedelai, jumlah daun dan jumlah cabang produktif tanaman kedelai. Pengolahan tanah sebanyak 2 kali dapat menaikkan rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 0.5 cm dari pengolahan tanah sebanyak 1 kali. Pengolahan tanah sebanyak 3 kali menaikkan pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai sebesar 6.6 cm dari pengolahan tanah sebanyak 1 kali dan pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman sebesar 6.2 cm dari pengolahan tanah sebanyak 2 kali. Hal ini disebabkan karena dengan pengolahan tanah sebanyak tiga kali menjadikan tanah semakin gembur sehingga akar tanaman lebih mudah masuk kedalam tanah dan lebih mudah menyerap unsur hara yang terdapat didalam tanah yang dipergunakan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suwardjono dan Dariah (1995), yang menyatakan bahwa struktur tanah yang baik menjadikan perakaran berkembang dengan baik sehingga semakin luas
94
bidang serapan terhadap unsur hara. Selanjutnya menurut Rafiuddin et al (2006), menyatakan bahwa pengerjaan tanah untuk mendapatkan keadaan olah tanah yang baik mempunyai tujuan memberantas gulma, memasukkan dan mencampurkan sisa tanaman kedalam tanah dan menggemburkan tanah sehingga terdapat keadaan olah tanah sempurna yang diperlukan oleh akar tanaman dan akhirnya akan meningkatkan peredaran udara, infiltrasi air, pertumbuhan akar dan pengambilan unsur hara oleh akar. Menurut Situmpul dan Guritno (1995), tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat Setiap penambahan sistem olah tanah akan menaikkan pertumbuhan jumlah daun tanaman kedelai. Pengolahan tanah sebanyak 3 kali akan menambah rata-rata jumlah pertumbuhan daun sebesar 5 helai dari sistem pengolahan tanah sebanyak 1 kali dan 3 helai daun dari sistem pengolahan tanah sebanyak 2 kali. Sistem olah tanah sebanyak 2 kali akan menaikkan jumlah pertumbuhan daun sebesar 1.3 helai dari sistem olah tanah sebanyak 1 kali. Perlakuan sistem olah tanah mempengaruhi banyak sedikitnya jumlah daun dari setiap tanaman kedelai. Keadaan tanah yang gembur menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak dari pada keadaan tanah yang padat. Menurut Ma’sumah (2002), sistem olah tanah sempurna akan memberikan jumlah daun yang lebih banyak pada tanaman dari pada sistem tanpa olah tanah. Daun memegang peranan yang sangat penting bagi poduktivitas suatu tanaman. Jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah faktor tanah, air, cahaya dan unsur hara. Dwidjoseputro (1994), menyatakan bahwa daun merupakan bagian tanaman yang mempunyai fungsi sangat penting, karena semua fungsi yang lain tergantung pada daun secara langsung atau tidak langsung. Dari proses fotosintesis pada daun akan dihasilkan energi yang dapat
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai dengan Berbagai sistim Olah Tanah
Tabel 1. Rata – Rata Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, dan Jumlah Cabang Produktif Tanaman Kedelai Dari Pengaruh Sistem Olah Tanah. Tinggi Tanaman Jumlah Daun Jumlah Cabang (cm) Produktif b Olah Tanah Satu Kali 23.0b 2.9c 17.2 b b b Olah Tanah Dua Kali 18.1 25.0 3.2 a a a Olah Tanah Tiga Kali 28.0 4.4 25.1 NPBNT 0,05 1.8 2.1 0.1 Keterangan : Nilai rata-rata selajur yang di ikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf nyata 0.05 %. Sistem Olah Tanah
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan daun. Banyaknya daun akan mempengaruhi jumlah asimilat yang dihasilkan yang pada akhirnya berpengaruh pula pada pembentukkan daun dan organ tanaman yang lain. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), tanaman yang mempunyai daun yang lebih banyak pada awal pertumbuhannya, tanaman akan lebih cepat tumbuh karena kemampuan menghasilkan fotosintesa yang lebih tinggi dari tanaman dengan jumlah daun yang lebih rendah. Jumlah daun tanaman akan mempengaruhi pertumbuhan jaringan tanaman yang lain. Dwidjoseputro (1994), mengemukakan bahwa daun merupakan bagian tanaman yang mempunyai fungsi sangat penting, karena semua fungsi yang lain tergantung pada daun secara langsung atau tidak langsung. Dari proses fotosintesis pada daun akan dihasilkan energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan daun. Banyaknya daun akan mempengaruhi jumlah asimilat yang dihasilkan yang pada akhirnya berpengaruh pula pada pembentukkan daun dan organ tanaman yang lain. Besar kecilnya jumlah cabang produktif dari tanaman kedelai akibat pengaruh berbagai sistem olah tanah, menunjukan bahwa adanya perbedaan rata-rata dalam pertambahan jumlah cabang produktif. Sistem olah tanah sebanyak 3 kali menghasilkan jumlah cabang produktif sebesar 1.5 cabang lebih banyak dari sistem olah tanah sebanyak 1 kali dan 1.2 cabang dari sistem olah tanah sebanyak 2 kali. Pertambahan rata-rata jumlah cabang produktif dari sistem olah tanah sebanyak 2 kali terhadap sistem olah tanah sebanyak 1 kali yaitu sebesar 0.3 cabang. Pertumbuhan organ vegetatif akan mempengaruhi hasil tanaman. Semakin besar pertumbuhan organ vegetatif yang berfungsi sebagai penghasil asimilat (source) akan meningkatkan
pertumbuhan organ pemakai (sink) yang akhirnya akan memberikan hasil yang semakin besar pula. Perbedaan kondisi tanah pada sistem olah tanah dapat mengakibatkan perbedaan ketersediaan air dan unsur hara yang dapat diserap tanaman sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Menurut Nurjen et al (2000), menyatakan bahwa kelancaran proses penyerapan unsur hara oleh tanaman terutama difusi tergantung dari persediaan air tanah yang berhubungan erat dengan kapasitas menahan air oleh tanah, seluruh komponen tersebut mampu memacu proses fotosintesis secara optimal. Berdasarkan hasil uji BNT0.05 terhadap peubah pengamatan jumlah polong, bobot 100 biji kering dan berat segar brangkasan tanaman kedelai, memperlihatkan sistem olah tanah sebanyak tiga kali berbeda nyata dengan sistem olah tanah dua kali dan berbeda sangat nyata dengan sistem olah sebanyak satu kali (Tabel 2). Perbedaan jumlah polong dari setiap tanaman kedelai ini menunjukan bahwa sistem olah tanah berpengaruh terhadap jumlah polong yang dihasilkan. Perbedaan jumlah polong dari sistem olah tanah sebanyak 3 kali dengan sistem olah tanah sebanyak 1 kali yaitu 6.9 polong, dan 4,6 polong dengan sistem olah tanah sebanyak 2 kali. Perbedaan jumlah polong dari pengolahan tanah sebanyak 2 kali dengan sistem olah tanah sebanyak 1 kali yaitu sebesar 2.3 polong. Pengolahan tanah sebanayak tiga kali menghasilkan jumlah polong yang lebih banyak yaitu 33.7 polong, dari system olah tanah yang lain. Hal ini diduga bahwa kondisi tanah pada system olah tanah sebanyak tiga kali, cenderung lebih mampu merangsang pembentukkan polong dengan struktur tanahnya yang gembur. Jumlah polong per tanaman merupakan komponen hasil yang pokok bagi tanaman kedelai. Jumlah polong 95
Zainuddin O.
Tabel 2. Rata – Rata Jumlah Polong, Bobot 100 Biji Kering, dan Berat Segar Brangkasan Tanaman Kedelai Dari Pengaruh Berbagai Sistem Olah Tanah. Perlakuan
Jumlah Polong/Tanaman
Olah Tanah Satu Kali) Olah Tanah Dua Kali) Olah Tanah Tiga Kali) NPBNT 0,05 Keterangan : Nilai rata-rata selajur uji BNT pada taraf nyata 0.05 %.
Berat Segar Brangkasan (gr)
26.8c 10.48c 448c b b b 29.1 11.85 536 a a a 33.7 13.72 631 0.7 0.2 45.38 yang di ikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
menunjukkan kemampuan tanaman kedelai menyerap unsur hara yang tersedia dalam tanah. Gardner et al., (1991) menyatakan bahwa pada saat pengisian polong, maka polong akan menjadi daerah penyaluran asimilasi. Sebagian besar asimilasi akan digunakan untuk meningkatkan bobot biji. Pembentukkan polong tergantung pada tingkat kelembaban tanah dan penyediaan unsur hara terutama fosfor dan kalsium untuk proses pembuahan dan pemasakan biji. Hal ini sesuai dengan pendapat Stewart at al, (1994), yaitu untuk pembentukkan polong diperlukan kadar kelembaban yang cukup tinggi selama beberapa waktu dan cukup unsur hara, akan tetapi terlampau banyak air didalam tanah juga akan dapat mengganggu proses pembentukkan polong. Pembentukkan polong muda juga berhubungan dengan pembungaan. Jika pembungaan terlalu awal, maka polong yang terbentukpun akan cepat menjadi masak, tapi jika pembungaan berjalan lambat maka akan terbentuk polong muda yang relatif banyak karena pembungaan yang lambat dapat menyebabkan tingkat serapan hara dari dalam tanah semakin baik. Menurut pendapat Mimbar (1991), bahwa bunga yang terbentuk awal menghasilkan sedikit polong karena disebabkan 75 % dari bunga pada suatu tanaman banyak yang gugur. Pengaruh system olah tanah terhadap bobot 100 biji kering kedelai berdasarkan hasil uji BNT0.05 menunjukan berat 100 biji dari pengolahan sebanyak tiga kali berbeda nyata dengan sistem olah tanah dua kali dan berbeda sangat nyata dengan system olah tanah sebanyak sayu kali (Tabel 2). Perbedaan bobot 100 biji kering tanaman kedelai yang dihasilkan oleh system olah tanah sebanyak tiga kali dengan system olah tanah dua kali yaitu sebesar 1.87 gram dan 3,24 gram untuk system olah tanah satu kali. Perlakuan pengolahan tanah dapat menaikkan berat
96
Bobot 100 Biji (gr)
100 biji kering pada tanaman kedelai. Hal ini diduga peranan pengolahan tanah sebanyak tiga kali cenderung lebih mempengaruhi berat 100 biji selain faktor genetik tanaman itu sendiri. Menurut Situmpul dan Guritno (1995), menyatakan bahwa berat 100 biji merupakan salah satu parameter pengamatan yang erat hubungannya dengan produksi yang dicapai. Bila berat 100 biji tinggi maka semakin banyak pula hasil yang akan diperoleh. Namun semua itu sebagian masih dipengaruhi oleh sistem budidaya, genotip dan varietas tanaman itu sendiri. Salah satu faktor yang menentukan kualitas bahan tanaman seperti biji adalah jumlah substrat seperti karbohidrat yang tersedia bagi metabolisme yang mendukung pertumbuhan awal tanaman. Hal ini menjadikan ukuran atau bobot biji sering digunakan sebagai tolak ukur untuk mendapatkan bahan tanam yang seragam. Berat 100 biji merupakan salah satu parameter pengamatan yang erat hubungannya dengan produksi yang dicapai. Bila berat 100 biji tinggi maka semakin banyak pula hasil yang akan diperoleh. Hapsoh et al. (2005), melaporkan cekaman kekeringan mengurangi berat kering biji oleh karena ukuran biji dan jumlah biji berkurang. Penurunan ukuran dan jumlah biji tersebut berhubungan dengan penurunan cabang produktif. Selanjutnya menurut Mimbar (1991), jumlah dan ukuran biji maksimal ditentukan oleh faktor genetik serta kondisi yang dialami selama pengisian biji. Pada saat pengisian polong, maka polong akan menjadi daerah penyaluran asimilasi. Sebagian besar asimilasi akan digunakan untuk meningkatkan bobot biji. Hasil uji BNT0.05 pada Tabel 2, menunjukan bahwa pengolahan tanah sebanyak tiga menghasilkan berat segar brangkasan yang lebih baik dan berbeda nyata dengan pengolahan tanah sebanyak dua kali serta berbeda sangat nyata dengan system olah tanah satu kali.
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai dengan Berbagai sistim Olah Tanah
Perbedaan berat brangkasan segar yang dihasilkan dari system olah tanah tiga kali dengan sistem olah tanah duakali adalah sebesar 95 gram dan 183 gram dari system olah tanah satu kali. Perbedaan berat segar brangkasan ini sangat dipengaruhi oleh system olah tanah yang digunakan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Mahmud et al (2002), bahwa perbedaan kondisi tanah pada sistem olah tanah sempurna dapat mengakibatkan perbedaan ketersediaan air dan unsur hara yang dapat diserap tanaman sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Perkembangan akar akan berjalan dengan baik jika ditunjang dengan struktur tanah yang baik sehingga penyerapan air dan unsur hara mampu memenuhi kebutuhan tanaman untuk proses pertumbuhan. Berat segar brangkasan merupakan peubah yang penting untuk mengetahui akumulasi biomassa serta imbangan fotosintesis pada masing-masing organ tanaman. Dwidjoseputro (1994), berpendapat bahwa pertumbuhan tanaman ditunjukkan oleh bertambahnya ukuran dan berat brangkasan yang dicerminkan dengan bertambahnya protoplasma yang terjadi karena bertambahnya ukuran sel. Sedangkan menurut Suwardjono dan Dariah (1995) yaitu bahwa struktur tanah yang baik menjadikan perakaran berkembang dengan baik sehingga semakin luas bidang serapan terhadap unsur hara. Kelancaran proses penyerapan unsur hara oleh tanaman terutama difusi tergantung dari persediaan air tanah yang berhubungan dengan kapasitas menahan air oleh tanah. Komponen-komponen tersebut mampu memacu proses fotosintesis secara optimal sehingga dapat mempengaruhi berat segar tanaman. Mimbar (1991), menyatakan bahwa kelancaran proses penyerapan unsur hara oleh tanaman terutama difusi tergantung dari persediaan air tanah yang berhubungan erat dengan kapasitas menahan air oleh tanah, seluruh komponen tersebut mampu memacu proses fotosintesis secara optimal. Situmpul dan Guritno (1995), mengemukakan bahwa jumlah dan ukuran tajuk akan mempengaruhi berat brangkasan. Semakin banyak jumlah daun dan semakin tinggi tanaman, maka berat segar brangkasan akan semakin besar. Berat segar brangkasan juga dipengaruhi pengambilan air oleh tanaman. Selanjutnya menurut Salisbury dan Ross
(1995), mengatakan bahwa untuk mengukur produktivitas tanaman akan lebih relevan menggunakan berat bagian tanaman sebagai ukuran pertumbuhan. Pengerjaan tanah untuk mendapatkan keadaan olah tanah yang baik mempunyai tujuan, memberantas gulma, memasukkan dan mencampurkan sisa tanaman kedalam tanah dan menggemburkan tanah sehingga terdapat keadaan olah yang diperlukan akar dan akhirnya akan meningkatkan peredaran udara, infiltrasi air, pertumbuhan akar dan pengambilan unsur hara oleh akar. Menurut Annisa dkk (2004), lahan kering di Indonesia didominasi oleh jenis tanah Podsolik yang dicirikan oleh kemasaman tanah yang tinggi, kesuburan tanah yang rendah dan kahat unsur hara N, P, K dan Ca serta kandungan bahan organiknya rendah sehingga seringkali lahan kering dikategorikan sebagai lahan marginal. Oleh sebab itu dalam pengelolaannya diupayakan tatacara yang dapat meningkatkan produktivitas lahan tetapi tetap memperhatikan konservasinya. Pengolahan tanah menjadikan kondisi tanah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman, sehingga pada dasarnya kegiatan tujuan pengolahan tanah yaitu untuk menyiapkan tempat pesemaian (seed bed), memberantas gulma, memperbaiki kondisi tanah untuk penetrasi akar, infiltrasi air dan peredaran atau aerasi dan atau menyiapkan tanah untuk irigasi permukaan. Hal ini disebabkan karena dengan mengolah lahan secara sempurna akan menyebabkan media tumbuh tanaman menjadi lebih baik karena tanah menjadi gembur akibat aerase dan draenase semakin baik serta lahan akan terbebas dari gulma sehingga tanaman terbebas dari persaingan. Pengolahan tanah berpengaruh terhadap bahan organik karena pada saat pengolahan tanah akan terjadi pembenaman rumput kedalam tanah, sehingga tanah yang diolah akan bertambah bahan organiknya yang akhirnya tanah akan mengikat air lebih banyak. Menurut Sutanto (2002), tanah yang cukup mengandung bahan organik akan mampu mengikat air air untuk dimanfaatkan tanaman. Olah tanah intensif adalah suatu tindakan mekanik dalam mempersiapkan media tumbuh yang sesuai bagi perkecambahan dan pertumbuhan tanaman. Tujuan utamanya yaitu menyiapkan tempat pesemaian, memberantas gulma, memperbaiki kondisi tanah untuk penetrasi akar, infiltrasi air 97
Zainuddin O.
dan peredaran udara (aerasi) dan menyiapkan tanah untuk irigasi permukaan. KESIMPULAN 1. Perlakuan sistem olah tanah yang terbaik dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang produktif, jumlah polong, bobot 100 biji kering dan berat segar brangkasan tanaman kedelai adalah sistem pengolahan tanah sebanyak 3 kali. 2. Berdasarkan hasil uji, sistem olah tanah sebanyak 3 kali menunjukan hasil yang berbeda nyata sampai berbeda sangat nyata dengan sistem pengolahan tanah sebanyak 2 kali dan sistem olah tanah sebanyak 1 kali untuk semua peubah pengamatan. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2000. Budidaya Dengan Pemupukan Yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Penerbit. Penebar Swadaya. Jakarta. Annisa, Y.W., A. Jumberi, A. Haris dan R.S. Simatupang. 2004. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Fototoksitas Al Pada Tanah Masam. J. Tanah Tropika IX (18): p109-115. Dwidjoseputro. 1994. Pengetahuan Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta. p232. Foth, H.D. 1984. Foundamental of Soil Science. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (terjemahan). Universitas Indonesia Press. Jakarta. 428 hal. Hapsoh, S. Yahya, B.S. Purwoko, dan A.S. Hanafiah, 2005. Hasil Beberapa Genotip Kedelai Yang Diinokulasi MVA Pada Berbagai Tingkat Cekaman Kekeringan Tanah Ultisol. http://repository.usu.ac.id/bitstream/1 23456789/19924/1/HAPSOH.PDF. Diunduh tanggal 22 mei 2011. Mimbar, S.M. 1991. Pengaruh Kerapatan Terhadap Keguguran Organ-Organ Reproduksi Retensi Polong Dan Hasil Kedelai. (Skripsi) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. p59. Ma’sumah. 2002. Pengaruh Macam Media Tanam Dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan
98
Dan Hasil Buah Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) Secara Hidroponik. (Skripsi). Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Mahmud, A., B. Guritno dan Sudiarso. 2002. Pengaruh Pupuk Organik Kascing Dan Tingkat Air Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max L.). http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 3203155164.pdf. Diunduh tanggal 24 mei 2011. Mimbar, S.M. 1991. Pengaruh Kerapatan Terhadap Keguguran Organ-Organ Reproduksi Retensi Polong Dan Hasil Kedelai. (Skripsi) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. p59. Nurjen, M., Sudiarso dan A. Nugroho. 2000. Peranan Pupuk Kotoran Ayam Dan Pupuk N (urea) Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai http://ejournal.unud.ac.id/287%29%2 0soca-mewa%20 komoditas%20 kacang2 an.pdf. Diunduh tanggal 22 mei 2011 Panggabean, R. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. http://www.litbang.deptan.go.id/speci al/publikasi/doc_tanaman pangan/ kedelai/kedelai-bagian-b.pdf.Diunduh 22 mei 2011 Rafiuddin, Rusnadi Padjung dan Marten Tandi, 2006. Efek Sistem Olah Tanah Dan Super Mikro Hayati Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Jagung. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 5306239246.pdf. Rukmi, 2009. Pengaruh Pemupukan Kalium Dan Fosfat Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai. http://www.umk.ac.id/jurnal/jurnal/201 0/sains%20juni%202010/ Pengaruh %20PEMUPUKAN%20KALIUM%20 DAN%20FOSFAT.pdf. Diunduh 24 mei 2011. Salisbury, F.B., dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 (terjemahan). Institut Teknologi Bandung Press. Bandung. p343.. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. p412. Suwardjo, H dan A. Dariah. 1995. Teknik Olah Tanah Konservasi Untuk Menunjang Pengembangan Pertanian Lahan Kering Yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional V : 8 – 13. Bandar Lampung.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Stabilitas Hasil Galur Kedelai Toleran Cekaman Kekeringan Suhartina, Purwantoro, Novita Nugrahaeni, dan Abdullah Taufiq Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak km 8, Kotak Pos 66 Malang 65101 Email: [email protected] Naskah diterima 26 Desember 2012 dan disetujui diterbitkan 18 Februari 2014
ABSTRACT. Yield Stability of Drought Stress Tolerance Soybean Lines. Soybean in Indonesia mostly is planted on the lowland during dry season. During the season, soybean crops face drought stress at generative phase, that reduces grain yield. Planting of drought tolerance variety is an alternative means to overcome this problem. The objective of this research was to evaluate the adaptability and yield stability of soybean lines tolerant to drought stress. Twelve soybean lines and two check varieties (Wilis and Tidar) were evaluated at eight locations during dry season of 2009 and 2010, planted two times in each location. The treatments were laid out in a randomized complete block design with four replications. These sites were Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, and Jombang (East Java), Bantul and Sleman (Yogyakarta), Mataram and Lombok Barat (NTB). No irrigation was added during reproductive phase of the crop. Soil moisture content at 0-20 cm soil layer during the generative phase was equivalent to pF value of 3.0-4.2. Analysis of variance over locations and planting seasons showed that there was significant interaction between genotypes and environments. Among the tested-lines, DV/2984-330 was the only line that showed average stability with high grain yield, averaging of 1.95 t/ha out of its yield potential of 2.83 t/ha. This line showed good adaptability over locations with water shortage (20-30% field capacity) during generative phase. Grain yield of this promising line was 14% higher compared to that of Tidar and 16% higher to that of Wilis. This line is prospective to be released as new variety, possessing drought stress during generative phase. Keywords: Soybean, drought stress, stability, promising line. ABSTRAK. Kedelai umumnya ditanam di lahan sawah pada musim kemarau dalam pola tanam padi-padi-kedelai atau padi-kedelaikedelai. Dengan pola tanam tersebut, tanaman kedelai tercekam kekeringan pada sebagian atau selama fase generatif yang menyebabkan rendahnya hasil. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah menanam varietas toleran kekeringan. Tujuan penelitian adalah menilai keragaan dan stabilitas hasil galur harapan kedelai toleran cekaman kekeringan selama fase reproduktif. Dua belas galur harapan kedelai toleran kekeringan selama fase reproduktif dan dua varietas pembanding toleran kekeringan (Wilis dan Tidar) diuji di delapan lokasi selama dua musim tanam pada MK 2009-2010. Rancangan percobaan adalah acak kelompok, diulang empat kali. Lokasi pengujian adalah Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, dan Jombang (Jawa Timur), Bantul dan Sleman (DI Yogyakarta), Mataram dan Lombok Barat (NTB). Selama fase reproduktif (fase pembentukan polong hingga masak fisiologis), tanaman tidak diairi. Kandungan lengas tanah pada lapisan 0-20 cm pada fase reproduktif setara dengan pF 3,0-4,2. Hasil analisis gabungan menunjukkan interaksi genotipe dengan lingkungan. Di antara galur yang diuji hanya DV/2984-330 yang stabil dan sekaligus berdaya hasil tinggi (rata-rata 1,95 t/ha dan potensi hasil 2,83 t/ha). Hal ini menunjukkan galur tersebut mampu beradaptasi dengan baik pada semua lingkungan pada kondisi kekeringan selama fase reproduktif dengan kisaran air tersedia 20-30% dari kapasitas
54
lapang. Galur tersebut mempunyai rata-rata hasil 14% lebih tinggi dibanding varietas Tidar dan 16% lebih tinggi dibanding varietas Wilis. Galur DV/2984-330 prospektif sebagai varietas unggul kedelai toleran kekeringan selama fase reproduktif. Kata kunci: Kedelai, toleran kekeringan, stabilitas, galur harapan.
D
i Indonesia, sekitar 60% areal kedelai diusahakan pada lahan sawah pada musim kemarau (MK) II mengikuti rotasi tanam padi-padi-kedelai, atau pada MK I dalam pola padi-kedelai-kedelai (Subandi et al. 2007). Tanaman kedelai pada MK I sering tercekam kekeringan pada fase reproduktif, sedangkan pada MK II seluruh fase pertumbuhan kedelai tercekam kekeringan. Pada kondisi demikian, kedelai menghadapi risiko gagal panen. Cekaman kekeringan pada tanaman kedelai akan semakin meningkat pada kondisi perubahan iklim. Fase reproduktif, terutama stadia pengisian polong, merupakan periode kritis tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan yang dapat menyebabkan penurunan hasil lebih dari 40% (Suhartina et al. 2002). Kebutuhan air tanaman kedelai, dengan umur panen 80-90 hari berkisar antara 360-405 mm, setara dengan curah hujan 120-135 mm per bulan (Sumarno dan Ghozi 2007). Jumlah air yang dibutuhkan dipengaruhi oleh kemampuan tanah menyimpan air, besar penguapan, dan kedalaman lapisan olah tanah. Penyerapan air terbanyak oleh tanaman kedelai terjadi pada fase reproduktif (R1 hingga R6, atau dari sejak timbul bunga pertama hingga polong mengisi penuh), bersamaan dengan tanaman telah berkembang penuh (Van Doren and Reicosky 1987 dalam Sumarno dan Ghozi 2007). Apabila kelembaban tanah tidak mencukupi kebutuhan tanaman untuk evapotranspirasi, air dalam sel-sel tanaman akan terpakai untuk evapotranspirasi, yang akan berdampak negatif terhadap pengisian biji dan produktivitas. Fase tanaman kedelai yang kritis terhadap kekurangan air berturut-turut adalah pada fase R3 sampai R5 (pembentukan dan pengisian polong)-fase R1-R2 (mulai berbunga sampai selesai pembungaan)fase V1-V6 (vegetatif), dengan indeks kepekaan berturutturut 0,35; 0,24; 0,13; dan 0,12 (Van Doren and Reicosky 1987 dalam Sumarno dan Ghozi 2007).
SUHARTINA ET AL.: GALUR KEDELAI TOLERAN KEKERINGAN
Kekurangan air selama fase pembungaan berakibat pada berkurangnya jumlah polong, jumlah biji per polong, dan ukuran biji (Desclaux et al. 2000). Cekaman kekeringan menghambat distribusi karbohidrat dari daun ke polong sehingga jumlah dan ukuran biji menurun (Liu et al. 2004). Cekaman kekeringan selama fase R3, R5 dan R6 menurunkan hasil masing-masing 33%, 31%, dan 50% (Dogan et al. 2007). Risiko penurunan hasil tersebut dapat dikurangi melalui pendekatan manipulasi lingkungan dan menanam varietas toleran kekeringan. Hasil biji dan stabilitas hasil sebagai dasar penilaian toleransi terhadap kekeringan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa seleksi toleransi tanaman terhadap kekeringan lebih efisien apabila dilakukan pada periode reproduksi (Hura et al. 2007). Penurunan hasil akibat kekeringan pada stadia generatif beragam, bergantung pada varietas dan tingkat cekaman. Cekaman kekeringan pada kondisi 50% air tersedia menurunkan hasil varietas Cikuray, Panderman, Burangrang, Tidar, dan Wilis masing-masing sebesar 62,6%, 52,8%, 41,7%, 64,0%, dan 47,6% (Suhartina 2007). Cekaman kekeringan dengan cara pengairan tanaman setiap 14 hari sekali menurunkan hasil varietas Tidar, Pangrango, Krakatau, Burangrang, dan Panderman masing-masing 28,8%, 33,9%, 28,9%, 13,9%, dan 50,7% dibandingkan dengan pengairan optimal (Hamim et al. 2008). Stabilitas diartikan sebagai ragam hasil di suatu lokasi sepanjang waktu, sedangkan adaptasi merupakan ragam hasil lintas lokasi sepanjang waktu (Evenson et al. 1978). Mekanisme stabilitas dikelompokkan ke dalam empat hal, yaitu heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, toleransi terhadap deraan (stress tolerance), dan daya pemulihan yang cepat terhadap penderaan. Dalam
kaitan ini stabilitas diartikan sebagai kemampuan galur untuk menghindari perubahan hasil yang besar di berbagai lingkungan. Dengan demikian, hasil pengujian di banyak lokasi dapat digunakan sebagai patokan untuk menilai kestabilan dan produktivitas genotipe kedelai toleran kekeringan, sehingga varietas unggul yang dilepas dapat diperuntukkan bagi lingkungan produksi yang terwakili oleh lokasi uji adaptasi. Fenomena interaksi genotipe x lingkungan (G x L) umum terjadi pada tanaman semusim, termasuk kedelai. Fenomena tersebut dapat digunakan untuk menilai daya adaptasi suatu galur, beradaptasi luas atau spesifik lokasi/ekologi (Baihaki dan Wicaksono 2007). Interaksi G x L yang nyata mengisyaratkan perlunya penilaian stabilitas hasil galur-galur yang diuji dan menilai tanggap galur terhadap lingkungan (adaptabilitas). Kasno dan Jusuf (1994) melaporkan bahwa beberapa aksesi plasma nutfah kedelai (di antaranya MLG 2984) di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) diketahui toleran terhadap kekeringan dapat digunakan sebagai sumber gen dalam pengembangan varietas kedelai toleran kekeringan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi stabilitas hasil galur harapan kedelai toleran kekeringan selama fase reproduktif.
BAHAN DAN METODE Uji adaptasi 12 galur kedelai dilakukan di delapan sentra produksi kedelai (Tabel 1). Pada setiap lokasi dilakukan penanaman pada MK I dan MK II tahun 2009-2010. Galur yang diuji adalah DV/2984-330, ARG/GCP-335, ARG/GCP-
Tabel 1. Deskripsi lokasi uji adaptasi galur kedelai toleran kekeringan, tahun 2009-2010. Kode
Lokasi
Musim tanam
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L 10 L 11 L 12 L 13 L 14 L 15 L 16
Peterongan, Bangsal, Mojokerto, Jatim Sidomulyo, Bangsal, Mojokerto, Jatim Blambangan, Muncar, Banyuwangi, Jatim Tapanrejo, Muncar, Banyuwangi, Jatim Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul, DIY Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul, DIY Jogotirto, Brebah, Sleman, DIY Sumberharjo, Prambanan, Sleman, DIY Sesela, Gunungsari, Lombok Barat, NTB Sesela, Gunungsari, Lombok Barat, NTB Pejarakan karya, Ampenan, Mataram, NTB Rembiga, Selaparang, Mataram, NTB Kademungan, Wonorejo, Pasuruan, Jatim Kademungan, Wonorejo, Pasuruan, Jatim Kedunglho, Mojowarno, Jombang, Jatim Kedunglho, Mojowarno, Jombang, Jatim
MK I 2009 MK II 2009 MK I 2009 MK II 2009 MK I 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK I 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK II 2010 MK II 2009 MK II 2010
1)
Tinggi tempat (m dpl) 72 72 168 168 76 76 127 127 93 93 18 18 124 124 44 44
Jenis tanah Vertisol Kelabu Tua Vertisol Kelabu Tua Ultisol Ultisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Kelabu Ultisol Inceptisol Coklat-kuning Inceptisol Coklat-kuning Inceptisol Inceptisol Alfisol Coklat Alfisol Coklat Alfisol Coklat Alfisol Coklat
Tipe iklim1) C3 C3 D2 D2 B B B B C C C C E E D D
Tanggal tanam 22-3-2009 26-8-2009 31-3-2009 17-7-2009 03-4-2009 13-7-2009 20-6-2009 20-6-2009 29-3-2009 18-7-2009 29-6-2009 19-7-2009 09-7-2009 13-7-2010 26-7-2009 29-7-2010
Klasifikasi Iklim Oldeman (1975); MK I = musim kemarau I, MK II = musim kemarau II.
55
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
334, SU-17-1011, LK/3474-407, LK/3474-403, LK/3474404, SU-17-1014, SU-17-1012, MLG 3072-994, MLG 2805962, MLG 3474-991, dan dua varietas pembanding toleran kekeringan (Tidar dan Wilis). Rancangan percobaan adalah acak kelompok, dengan empat ulangan. Setiap genotipe ditanam pada petak berukuran 3,2 m x 4,5 m dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua benih per lubang. Tanaman dipupuk setara dengan 100 kg urea + 75 kg SP36 + 75 kg KCl/ha, diberikan secara sebar merata pada saat tanam. Kondisi kelembaban tanah sejak tanam hingga 50% berbunga diupayakan optimal dengan cara pengairan dan selama fase reproduktif tanaman tidak diairi. Pengamatan meliputi (1) kadar lengas tanah pada pF 0, 2, 2,5, 3, dan 4,2 dengan metode suction and pressure plate, 2) kadar lengas tanah lapisan 0-20 cm mulai saat tanaman berbunga hingga umur 70 hari dengan interval 10 hari dengan metode gravimetri; (3) tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi, umur berbunga, umur masak, bobot 100 biji, dan hasil biji. Pengendalian gulma dilakukan pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam (MST). Pengendalian hama dilakukan secara intensif dengan insektisida berbahan aktif prenofos, lamda sihalotrin, deltametrin, imidalkloprid, atau metomil secara bergantian setiap 7-10 hari, disesuaikan dengan kondisi hama di lapang. Pengendalian penyakit dilakukan pada umur 50 dan 60 hari menggunakan fungisida berbahan aktif dikofol dan benomil.
Analisis ragam gabungan dilakukan untuk mengetahui pengaruh interaksi genotipe x lingkungan. Uji homogenitas ragam menggunakan uji Barlett dilakukan sebelum analisis gabungan. Analisis stabilitas dan adaptabilitas hasil mengikuti metode Eberhart dan Russel (1966). Model linear yang digunakan dalam analisis stabilitas adalah: Yij = μi + biIj + dij , i = 1,2,...........,14; j = 1,2,......,16 Yij = rata-rata hasil galur ke-i pada lokasi uji ke-j μi = rata-rata galur ke-i untuk semua lokasi bi = koefisien regresi sebagai respon hasil galur ke-i terhadap indeks lingkungan Ij = indeks lokasi ke-j dengan besaran sebagai berikut: Ij = Σ Yj/g - ΣΣ Yij/gl dij = simpangan dari regresi galur ke-i pada lokasi ke-j Menurut Eberhart dan Russell (1966), suatu genotipe dinyatakan stabil apabila koefisien regresinya tidak berbeda dengan satu (bi=1) dan simpangan regresi tidak berbeda dengan nol (s2d=0).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Lengas Tanah Kandungan lengas tanah pada pF yang sama di berbagai lokasi beragam (Tabel 2). Hal ini kemungkinan
Tabel 2. Kandungan lengas tanah pada berbagai nilai pF, air tersedia, dan kandungan lengas tanah pada berbagai umur tanaman pada lapisan 0-20 cm di 14 lokasi pengujian pada tahun 2009-2010. Lokasi
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10 L11 L12 L13 L15 1) 2)
Mojokerto-1 Mojokerto-2 Banyuwangi-1 Banyuwangi-2 Bantul-1 Bantul-2 Sleman-1 Sleman-2 Lombok Barat-1 Lombok Barat-2 Mataram-1 Mataram-2 Pasuruan-1 Jombang-1
0,0
2,0
2,5
3,0
Kadar lengas tanah Potensi aktual (%) pada saat air tanaman berumur tersedia (hari) (%) 1) 4,2 40 50 60 70
48 55 58 55 45 39 44 40 55 55 59 55 54 47
42 51 56 54 41 35 40 33 46 50 51 52 52 43
39 38 55 44 37 35 34 28 40 50 46 49 50 37
26 27 34 32 20 23 26 14 19 29 23 26 38 31
19 16 27 25 10 16 16 11 14 21 19 21 30 24
Musim tanam
MK I MK II MK I MK II MK I MK II MK II MK II MK I MK II MK II MK II MK II MK II
Kadar lengas tanah (%) pada pF
20 22 28 19 27 19 18 17 26 29 27 28 20 13
43 35 42 24 21 19 23 19 28 32 32 28 40 24
27 25 41 29 19 16 20 20 28 23 32 28 34 21
26 24 40 29 17 13 19 22 21 17 31 28 30 15
24 19 35 33 16 12 15 13 16 23 31 31 21 15
dihitung dari Kadar lengas tanah pada pF 2,5 dikurangi Kadar lengas tanah pada pF 4,2 dihitung dari Kadar lengas tanah aktual dikurangi Kadar lengas tanah pada pF 4,2
56
Air tersedia aktual (%)2) pada umur (hari)
Persentase air tersedia aktual terhadap air tersedia potensial (%) pada umur (hari)
40
50
60
70
40
50
60
70
24 19 15 -1 11 3 7 8 14 11 13 7 10 0
8 9 14 4 9 0 4 9 14 2 13 7 4 -3
7 8 13 4 7 -3 3 11 7 -4 12 7 0 -9
5 3 8 8 6 -4 -2 2 2 2 12 10 -9 -9
121 95 73 -3 57 17 34 40 71 55 64 35 50 0
41 46 68 18 47 -2 21 46 68 11 64 35 18 -16
35 40 63 22 36 -13 13 54 37 -21 62 35 0 -44
24 14 41 41 30 -21 -8 8 9 9 60 48 -47 -44
SUHARTINA ET AL.: GALUR KEDELAI TOLERAN KEKERINGAN
berhubungan dengan keragaman tekstur, struktur, dan bahan organik tanah. Kadar lengas tanah mulai fase berbunga hingga panen menunjukkan penurunan, kecuali di Banyuwangi-2 dan Mataram-2 pada MK II karena terjadi rembesan air dari lahan di sekitarnya (Tabel 2). Kadar lengas tanah aktual sejak tanaman berumur 50 hari (mulai pengisian polong) hingga umur 70 hari setara dengan pF 3,0 dan bahkan mendekati pF 4,2 (Tabel 2). Air tersedia aktual selama periode tersebut adalah <50% dari air tersedia potensial dan bahkan 0% (ditunjukkan oleh angka negatif pada Tabel 2), kecuali di Banyuwangi2 dan Mataram-2 akibat rembesan air dari lahan sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak fase pengisian polong hingga menjelang pemasakan polong, tanaman mengalami cekaman kekeringan. Kandungan lengas tanah aktual pada umur 40 hari hingga 70 hari berkorelasi positif dengan hasil biji (Tabel 3). Artinya, hasil biji kedelai meningkat dengan meningkatnya kandungan lengas tanah atau penurunan kandungan lengas tanah akan diikuti oleh penurunan hasil biji kedelai. Hasil Biji dan Analisis Stabilitas Sidik ragam untuk karakter hasil biji kering pada masingmasing lokasi menunjukkan adanya keragaman produktivitas galur-galur yang diuji di semua lokasi
Tabel 3. Kadar lengas tanah aktual lapisan 0-20 cm pada umur tanaman kedelai 40 hari hingga 70 hari dan rata-rata hasil biji di 14 lokasi pengujian pada tahun 2009-2010. Lokasi
Mojokerto-1 Mojokerto-2 Banyuwangi-1 Banyuwangi-2 Bantul-1 Bantul-2 Sleman-1 Sleman-2 Lombok Barat-1 Lombok Barat-2 Mataram-1 Mataram-2 Pasuruan-1 Jombang-1 Korelasi rata-rata hasil dengan Kadar lengas tanah aktual
Kadar lengas tanah aktual (%) pada saat tanaman berumur (hari) 40
50
60
70
43 35 42 24 21 19 23 19 28 32 32 28 40 24
27 25 41 29 19 16 20 20 28 23 32 28 34 21
26 24 40 29 17 13 19 22 21 17 31 28 30 15
24 19 35 33 16 12 15 13 16 23 31 31 21 15
0,10
0,52
0,59
0,78
Rata-rata hasil biji (t/ha) 1,48 0,99 1,86 2,24 1,50 1,56 1,33 1,17 1,51 1,34 1,98 2,03 1,48 0,93
pengujian, kecuali di Pasuruan-2 (Tabel 4). Hasil biji galur DV/2984-330 lebih tinggi dari Tidar dan Wilis di enam lokasi dan setara dengan Tidar dan Wilis di 10 lokasi. Galur DV/2984-330 memberikan hasil biji tertinggi di sembilan lokasi pengujian (Tabel 5). Rata-rata hasil biji dari masing-masing galur di 16 lokasi pengujian berkisar antara 1,38-1,95 t/ha. Galur DV/ 2984-330 memberikan hasil biji tertinggi (1,95 t/ha), yang tidak berbeda nyata dibanding varietas Tidar (1,71 t/ha) dan berbeda nyata dibanding varietas Wilis (1,68 t/ha). Terdapat empat galur yang memberikan hasil biji setara dengan varietas Tidar dan Wilis, yaitu ARG/GCP-335 (1,66 t/ha), SU-17-1011 (1,76 t/ha), SU-17-1014 (1,75 t/ha), dan SU-17-1012 (1,66 t/ha). Galur DV/2984-330 memberikan hasil biji 14% dan 16% lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Tidar dan Wilis (Tabel 7). Sidik ragam gabungan dari 14 genotipe pada 16 lokasi menunjukkan interaksi nyata antara genotipe dengan lingkungan untuk peubah hasil biji (Tabel 6). Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan tanggap antargenotipe yang diuji terhadap lingkungan. Meskipun lingkungan yang digunakan diberi perlakuan cekaman yang sama (cekaman kekeringan selama fase reproduktif), tetapi mempunyai keragaman jenis tanah, ketinggian tempat, dan tipe iklim. Nilai koefisien regresi berkisar antara 0,71-1,29 dengan rentang simpangan regresi 0,000-0,012 (Tabel 7). Sebelas dari 14 genotipe yang diuji menunjukkan stabilitas rata-rata, yaitu genotipe dengan koefisien
Tabel 4. Sidik ragam karakter hasil biji genotipe kedelai di lokasi pengujian pada MK I dan MK II tahun 2009-2010. Lokasi 1)
Musim
Mojokerto-1 Mojokerto-2 Banyuwangi-1 Banyuwangi-2 Bantul-1 Bantul-2 Sleman-1 Sleman-2 Lombok Barat-1 Lombok Barat-2 Mataram-1 Mataram-2 Pasuruan-1 Pasuruan-2 Jombang-1 Jombang-2
MK I 2009 MK II 2009 MK I 2009 MK II 2009 MK I 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK I 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK II 2009 MK II 2010 MK II 2009 MK II 2010
1) 2)
Kuadrat tengah hasil biji2) 0,175 0,043 0,125 0,657 0,186 0,217 0,043 0,401 0,053 0,018 0,277 0,524 0,106 0,016 0,133 0,211
** ** ** ** ** ** ** ** ** * ** ** ** tn ** **
Deskripsi lokasi lihat pada Tabel 1. * dan ** berturut-turut nyata pada p = 0,05 dan p=0,01; tn = tidak nyata
57
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Tabel 5. Hasil biji 14 genotipe kedelai toleran kekeringan di delapan lokasi, MK I dan MK II tahun 2009-2010. Genotipe
Hasil biji (t/ha) L1
DV/2984-330 ARG/GCP-335 ARG/GCP-334 SU-17-1011 LK/3474-407 LK/3474-403 LK/3474-404 SU-17-1014 SU-17-1012 MLG 3072-994 MLG 2805-962 MLG 3474-991 Tidar Wilis
1,78 1,47 1,18 1,92 1,31 1,39 1,45 1,62 1,65 1,36 1,53 1,30 1,51 1,23
Rata-rata KK(%) Ij
1,48 14,8 -0,04
Genotipe
L3
L2 1) ab bcdef f a def cdef cdef abcd abcd cdef bcde ef bcde ef
1,38 1,32 0,76 0,96 1,18 0,97 0,97 1,08 1,22 0,81 0,86 0,71 1,14 0,87
a ab f cdef abc cdef cdef bcde abc ef ef f abcd def
1,02 9,05 -0,25
2,27 1,83 1,92 1,89 1,64 1,72 1,64 1,91 1,92 1,91 1,88 1,77 1,66 2,10
L4 a cde bc bcd e cde e bc bc bc bcde cde de ab
1,86 9,1 0,12
L5
2,61 2,13 1,08 2,63 2,09 1,99 2,12 2,54 2,59 2,38 2,26 1,99 2,39 2,50
ab ef g a ef f ef abc abc cd de f bcd abc
2,24 6,9 0,24
1,72 1,64 1,28 1,67 1,63 1,38 1,62 1,58 1,51 1,46 1,15 1,38 1,57 1,61
L6 a ab de ab ab cd ab abc bc bcd e cd abc ab
1,51 9,51 -0,02
1,82 1,58 1,33 1,78 1,21 1,33 1,22 1,83 1,73 1,69 1,35 1,45 1,72 1,78
L7 1) a bc de ab e de e a ab ab de cd ab ab
1,60 1,46 0,99 1,60 1,01 1,19 1,09 1,67 1,39 1,42 1,34 1,26 1,71 1,46
L8 ab abc e ab e cde de ab abcd abcd bcd cde a abc
1,67 1,41 1,09 1,40 0,78 0,75 0,82 1,49 1,44 1,10 1,02 0,86 1,54 1,43
a b c b de e de ab ab c cd cde ab ab
1,56 9,26 0,00
1,37 8,67 -0,06
1,20 14,7 -0,16
L14 1)
L15
L16
1,26 1,18 1,13 1,05 0,90 0,88 0,77 0,89 0,83 0,85 0,79 0,60 1,04 0,80
2,32 a 1,99 ab 1,71 b 1,83 ab 1,99 ab 2,12 ab 1,94 ab 2,28 a 2,05 ab 2,22 a 1,97 ab 2,11 ab 2,01 ab 2,22 a
2,39 2,22 1,89 1,99 1,76 1,54 2,00 1,98 1,89 1,61 1,99 1,75 1,93 2,17
2,05 12,5 0,18
1,94 14,1 0,35
Hasil biji (t/ha) L9 1)
DV/2984-330 ARG/GCP-335 ARG/GCP-334 SU-17-1011 LK/3474-407 LK/3474-403 LK/3474-404 SU-17-1014 SU-17-1012 MLG 3072-994 MLG 2805-962 MLG 3474-991 Tidar Wilis
1,79 1,61 1,24 1,69 1,25 1,29 1,36 1,96 1,66 1,40 1,12 1,16 1,94 1,63
ab abcd de abc de cde cde a abc bcde e e a abcd
Rata-rata KK(%) Ij
1,51 9,5 -0,03
L10 1)
L11
1,50 1,28 1,35 1,55 1,08 1,27 1,17 1,53 1,30 1,29 1,50 1,49 1,47 1,19
2,64 2,13 1,74 2,02 1,71 1,60 1,72 2,02 1,80 2,09 2,01 1,93 2,09 2,17
ab abcd abcd a d bcd d ab abcd abcd ab ab abc cd
1,35 7,92 -0,09
L12 a b cd bc cd d cd bc bcd bc bc bcd bc b
1,98 13,8 0,09
2,83 2,06 2,03 2,58 1,77 1,65 1,39 2,13 2,05 2,05 2,06 1,73 1,94 2,18 2,03 12,6 0,17
L13 a bcd bcd a cde ef f bc bcd bcd bcd def bcde b
1,65 1,26 1,28 1,64 1,38 1,27 1,26 1,57 1,49 1,54 1,60 1,65 1,65 1,60 1,49 12,2 0,17
a d cd a bcd d d ab abcd abc ab a a ab
a ab ab bc cde de e cde e e e f bcd e
0,93 8,7 -0,29
a ab bcd bc cd d bc bc bcd cd bc cd bcd ab
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5%; Deskripsi lokasi lihat pada Tabel 1; KK = Koefisien keragaman; Ij = indeks lingkungan; 1)analisis ragam dengan data ditransformasi √x
Tabel 6. Sidik ragam gabungan untuk hasil biji 14 genotipe kedelai di 16 lokasi pengujian tahun 2009-2010. Sumber Keragaman Lokasi (L) Ulangan | L Genotipe (G) GxL Galat Total Koefisien keragaman (%)
db
Kuadrat tengah
F hitung
15 48 13 195 624 895
1,36604 0,02529 0,30950 0,02132 0,00877
64,07 ** 14,52 ** 2,43 **
6,97
db=derajat bebas; ** = nyata p=0,01; Data ditransformasi √x
58
regresi tidak berbeda dengan satu (b=1). Jika suatu genotipe memiliki stabilitas rata-rata dan hasil rataratanya tinggi, maka genotipe tersebut mempunyai adaptasi umum yang baik. Sebaliknya, genotipe yang mempunyai stabilitas rata-rata diikuti oleh rata-rata hasil biji rendah menunjukkan adaptasi buruk di semua lingkungan pengujian (Eberhart and Russell 1966). Dengan demikian hanya galur DV/2984-330 yang mempunyai adaptasi umum yang baik karena mempunyai koefisien regresi sama dengan 1,0 dan ratarata hasil biji tinggi (Tabel 5 dan 7). Galur tersebut mampu beradaptasi pada semua lingkungan pengujian dengan
SUHARTINA ET AL.: GALUR KEDELAI TOLERAN KEKERINGAN
kondisi cekaman kekeringan selama fase reproduktif pada kisaran air tersedia 20-30% dari kapasitas lapang pada lapisan tanah 0-20 cm (Tabel 3). Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa galur DV/2984-330 toleran terhadap kekeringan hingga kadar air 30% dari kapasitas lapang, dan toleransi tersebut berkaitan dengan perakaran yang banyak dan kemampuan menyerap air yang tinggi (Taufiq et al. 2012).
Varietas pembanding Tidar menunjukkan stabilitas di atas rata-rata, atau beradaptasi khusus di lingkungan marginal, sedangkan varietas Wilis menunjukkan stabilitas di bawah rata-rata yang berarti peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus di lingkungan produktif (Tabel 7). Galur-galur harapan yang diuji mempunyai habitus yang lebih rendah dibanding varietas Tidar dan Wilis. Hanya galur LK/3474-407, LK/3474-403, dan LK/3474-404 yang memiliki tinggi tanaman yang setara dengan varietas Wilis. Galur LK/3474-404 mempunyai jumlah buku subur dan polong isi tertinggi, namun berumur paling dalam (Tabel 8). Umur masak genotipe yang diuji tergolong sedang, kecuali galur ARG/GCP-334 dan varietas Tidar. Umur masak galur DV/2984-330 adalah 81 hari, lebih genjah dua hari dibanding varietas Wilis, ukuran biji lebih besar dibanding varietas Tidar. Galur DV/2984-330 memiliki warna biji kuning, sedangkan varietas pembanding toleran kekeringan (Tidar) berwarna biji kuning kehijauan.
Tabel 7. Rata-rata hasil biji, koefisien regresi, dan simpangan regresi 14 genotipe kedelai, MK 2009-2010. Genotipe DV/2984-330 ARG/GCP-335 ARG/GCP-334 SU-17-1011 LK/3474-407 LK/3474-403 LK/3474-404 SU-17-1014 SU-17-1012 MLG 3072-994 MLG 2805-962 MLG 3474-991 Tidar Wilis
Rata-rata hasil 1,95 1,66 1,38 1,76 1,42 1,40 1,41 1,75 1,66 1,57 1,53 1,45 1,71 1,68
a bc d ab d d d ab bc bcd bcd cd ab bc
Koefisien regresi1) 1,07 0,80 0,71 1,06 0,96 0,93 0,91 1,02 1,00 1,17 1,14 1,14 0,79 1,29
tn tn * tn tn tn tn tn tn tn tn tn * *
Simpangan regresi1) 0,002 0,001 0,012 0,009 0,002 0,002 0,005 0,000 0,001 0,000 0,001 0,003 0,001 0,002
tn tn ** tn tn tn * tn tn tn tn tn tn tn
KESIMPULAN 1. Galur DV/2984-330 mempunyai daya adaptasi umum baik atau mampu beradaptasi pada semua lingkungan pengujian.
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5%; 1) * dan ** = nyata pada p = 0,05 dan p = 0,01, tn = tidak nyata.
2. Galur DV/2984-330 prospektif dilepas sebagai varietas unggul baru toleran kekeringan selama fase
Tabel 8. Keragaan agronomis dan warna biji 14 genotipe kedelai di 16 lokasi pengujian pada tahun 2009-2010. Genotipe
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah cabang/ tanaman
Jumlah buku/ tanaman
Jumlah polong isi/ tanaman
Umur berbunga (hari)
Umur masak (hari)
Bobot 100 biji (g)
DV/2984-330 ARG/GCP-335 ARG/GCP-334 SU-17-1011 LK/3474-407 LK/3474-403 LK/3474-404 SU-17-1014 SU-17-1012 MLG 3072-994 MLG 2805-962 MLG 3474-991 Tidar Wilis
57 de 58 cde 48 i 56 efg 62 a 62 ab 60 bcd 55 efgh 53 h 53 gh 54 fgh 57 ef 58 cde 60 abc
3 bc 4a 3e 2 fg 3 bc 3 cd 3 abc 2 fg 2 fg 3 de 2f 2g 3 ab 3 cd
19 bc 19 ab 16 de 15 e 19 ab 19 ab 21 a 15 e 15 e 17 cd 15 e 14 e 20 a 18 bc
38 cd 36 de 33 e 40 bc 43 b 41 bc 44 b 41 bc 43 b 38 cd 34 e 29 f 50 a 42 b
35 h 34 i 34 j 37 d 39 b 39 a 39 a 38 c 38 b 36 f 36 g 37 e 36 gh 36 f
81 ef 81 fg 79 h 81 fg 85 a 85 a 84 b 80 g 81 ef 82 d 82 de 81 ef 78 i 83 c
10,7 de 11,7 b 12,2 a 8,6 h 9,9 fg 10,1 fg 9,9 g 8,4 h 8,4 h 10,7 de 11,0 cd 11,2 bc 6,8 i 10,4 ef
Rata-rata BNT
57 2,7
3 0,3
17 1,6
40 3,5
37 0,3
82 0,8
10,0 0,5
Warna biji1) K K K K K K K K K K KH KH KH K
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 1%. 1) K = kuning, KH = kuning kehijauan
59
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
reproduktif pada kisaran air tersedia 20-30% dari kapasitas lapang, stabil, dan produktivitas tinggi. 3. Toleransi terhadap kekeringan berkaitan dengan perakaran yang banyak dan kemampuan tanaman menyerap air yang tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Kebun Percobaan dan teknisi KP Jambegede, KP Kendalpayak, dan KP Genteng serta Arifin, SP, Ir. Ali Sadikin, dan Ir. Johariah yang telah membantu pelaksanaan percobaan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Baihaki dan Wicaksono. 2007. Interaksi genotipe x lingkungan, adaptabilitas, dan stabilitas, hasil dalam pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia. Zuriat 16(1) : 1-8.
Hura, T., S. Grzesiak, K. Hura, E. Thiemt, K. Tokarz, and M. Wedzony. 2007. Physiologycal and biochemical tools useful in drought tolerance detection in genotypes of winter Triticale: Accumulation of ferulic acid correlates with drought tolerance. Annals of Botany. 100(4):767-775. Kasno, A. dan M. Jusuf. 1994. Evaluasi plasma nutfah kedelai untuk daya adaptasi terhadap kekeringan. J. Ilmu Pertanian Indonesia 4:12-15. Liu, F., C.R. Jensen, and M.N. Anderson. 2004. Drought stress effect on carbohydrate concentration in soybean leaves and pods during early reproductive development: its implication in altering pod set. Field Crops Research 86:1-13. Oldeman, L.R. 1975. An Agro-climatic map of Java. Cont. Cent. Res. Inst. Agric. No. 17. Bogor. 22 p. Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastuti. 2007. Areal pertanaman dan sistem produksi kedelai di Indonesia. Hlm.104-129. Dalam Sumarno et al. (penyunting). Kedelai: Teknik Produksi dan pengembangan. Puslitbangtan, Bogor. Suhartina. 2007. Evaluasi galur harapan kedelai hitam toleran kekeringan dan berdaya hasil tinggi. p.153-161. Dalam D. Harnowo et al. (penyunting). Prosiding Seminar Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Puslitbangtan, Bogor. 628 p.
Desclaux, D., T.T. Huynh, and P. Roumet. 2000. Identification of soybean plant characteristics that indicate the timing of drought stress. Crop Sci. 40:716-722.
Suhartina, Sri Kuntjiyati H., dan Tohari. 2002. Toleransi beberapa galur F7 kedelai terhadap cekaman kekeringan pada fase generatif. Prosiding Seminar Nasional: Teknologi Inovatif Tanaman kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbang Tanaman Pangan. p. 335-438.
Dogan, E., H. Kirnak, O. Copur. 2007. Deficit irrigations during reproductive stages and CROPGRO-soybean simulations under semi-arid climatic conditions. Field Crop Research 103:154-159.
Sumarno dan A.G. Manshuri. 2007. Persyaratan tumbuh dan wilayah produksi kedelai di Indonesia. In. Kedelai. Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman pangan. Bogor. p.74-103.
Eberhart, S.A. and W.A. Russell. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci. 6 : 36-40.
Taufiq, Abdullah, Suhartina, dan N. Nugrahaeni. 2012. Evaluation of promissing drought tolerant soybean lines to induced soil moisture stress in green house. In. Variety development and improvement of production technologies of the tropical soybean. Progress Report of AFACI Project. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, Ministr y of Agriculture Republik of Indonesia. Belum dipublikasi.
Evenson, R.E., J.C. O’Tole, R.W. Herdt, W.R. Coffman, and H.E. Kauffman. 1978. Risk and uncertainty as factors in crop improvement research. IRRI 15, Manila, Philippines. Hamim, Khairul Ashri, Miftahudin, dan Triadiati. 2008. Analisis status air, prolin dan aktivitas enzim antioksidan beberapa kedelai toleran dan peka kekeringan serta kedelai liar. Agrivita 30(3):201-210.
60