PAKET INFORMASI TERSELEKSI
BIDANG HUKUM
Seri: Kekerasan Terhadap Anak
Paket Informasi Teknologi adalah salah satu layananan yang disediakan oleh PDII-LIPI bagi peminat informasi berbagai bidang ilmu pengetahuan mengenai topik tertentu. Paket Informasi Terseleksi “Bidang Hukum” merupakan kumpulan informasi dari berbagai sumber, antara lain laporan penelitian, artikel makalah/ jurnal ilmiah, makalah seminar/konferensi, paten dan dilengkapi pula dengan saran literatur yang dapat dipesan melalui PDII-LIPI apabila berminat memperoleh artikel lengkapnya. Berbagai informasi dalam paket ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mempelajari terumbu karang. Paket ini telah tersedia dalam bentuk digital atau CD ROM. Selain paket informasi, PDII-LIPI juga menyediakan jasa dokumentasi dan informasi lain, yaitu: (1) Penelusuran informasi dalam dan luar negeri, (2) Penyusunan indeks, abstrak dan tinjauan literatur, (3) Penggandaan dokumen, (4) Konsultasi bidang dokumentasi dan informasi, dan (5) Reprografi.
Untuk memperoleh terbitan Info Baru Wanita dan dokumen lengkap artikel silakan menghubungi: Pusat Dokumetasi Dan Informasi Ilmiah Jalan Jendral Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan Telp. : (021) 5733465 Fax : (021) 5733467 e-mail :
[email protected]
2015 Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
i
DAFTAR ISI
HUBUNGAN POLA ASUH DENGAN KEJADIAN KEKERASAN TERHADAP ANAK USIA SEKOLAH (6-18 TAHUN) DI KELURAHAN DUFA-DUFA KECAMATAN TERNATE UTARA Fataruba, R ( Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta) ; Purwatiningsih, S ( Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta) ; Wardani, Y ( Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta) Jurnal Kesehatan Masyarakat (Journal of Public Health) Vol 3, No 3 (2009): Jurnal Kes Mas FKM UAD September 2009 page. 168-173 Publisher: Universitas Ahmad Dahlan Abstract: Background : Parents are the first and best teachers in the process of the human beings behavior, parenting if properly understood by parents so children grow and develop into a good figure but if the parents upbringing of children is wrong will impact on bad boy behavior. In the village Dufa-dufa Northern Distict of Ternate in North Maluku LPA survey Januari-Desember 2008 cases of child violence in the form violence physical (70 cases), sexual violence (3 cases), psychological violence (76 cases), economic exploitation/child labor (17 cases), sexual exploitation of children (1 cases), the child victims of conflict areas (15 cases), sexual abuse (4 cases), neglect of children (20 cases), murder (3 cases), the care and guardianship (12 cases). Purpose of this research is to determine whether there is a relationship parenting and violence against children at school age (6-18 years) in Dufa-dufa village Ternate northern districts. Methods: This study was a quantitative non experimental by using cross-sectional design in data collection, research using the questionnaire ad a data collection instrument, respondents in this study were parents who have children of school age, the number of 187 samples sample. Results: From the results of the statistic is obtained asymp sig number 0,000. Results of these tests showed P < ? (0,000 < 0,05) so that H0 is reject can in inflict that there was a significant association between parenting style and the incidents of violence against children, because the amount of views from C (coefficient contingency) is 28,8 percent for the contributed to variable parenting parents while the rest of the other variables not examined in this study Conclusion: There was a significant relationship between parenting style and the incidents of violence against children in Dufa-dufa village Ternate Northern districts. Keywords: Parenting, Genesis, Violence Against Children, School Age (6-18 Years).
HALAMAN AWAL
Pilih/klik judul untuk melihat full text
KAJIAN YURIDIS PIDANA DENDA TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI BAWAH UMUR Amalia Pratiwi, Nisha; Sudantra, I Ketut Kertha Wicara Vol. 02, No. 02, April 2013 Publisher: Kertha Wicara Abstract: Penalty of fines is a payment of some amount of money from the convicted person based on the decision of the court. In history, penalty of fines has been used in the criminal law for centuries. At first, Anglo Saxons used financial punishment for the criminal systematically. Money payment as the indemnity is given to the victim. Setting and the way of application of the penalty of fines may vary according to conditions and development of society. And nowadays we know that all the penalty of fines payment that has been settled by the judge will be conferred to state cash. It is therefore this writing will discuss about how far is the concern of this country in protecting children from the sexual abasement and how is the utilization of the fine that is regulated in the law of children protection. PEMBENTUKAN KELOMPOK ANTI KEKERASAN SEKSUAL ANAK (KAKSA) PADA KOMUNITAS KADER DI DESA SANUR KAJA DENPASAR N. K., Ekawati.; Dwipayanti, N.M. Utami; Wulandari, L.P Lila Jurnal Udayana Mengabdi Vol 10, No 2 (2011): Volume 10 No.2 – September 2011 Publisher: Jurnal Udayana Mengabdi Abstract: This Community Service was conducted in Desa Sanur Kaja on 16-17 July 2010, in the form of training and supervision on the KAKSA group members. Before the training was done, the participants were given pre-test and at the end, they were evaluated by post-test. The result showed that there is improvement of knowledge about 11.84% . Most participants felt satisfactorily toward the aspects of knowledge, skill and condition which are improved. Improvement. The evaluation result suggested that most participants stated that the training is adequate to widen the insight of KSA, KSA prevention, raising the sensitivity and curiosity to actively participate to prevent KSA. It can be suggested that the training to form the new KAKSAs can be continually done in every sub-village.
DAFTAR ISI
i
DAFTAR ISI
HUBUNGAN PERILAKU KEKERASAN FISIK IBU PADA ANAKNYA TERHADAP MUNCULNYA PERILAKU AGRESIF ANAK SMP Hidayatno, dkk, SHERLY Jurnal PROVITAE Vol 1, No 1 (2004) Publisher: Jurnal PROVITAE Abstract: One of the biggest impact of physical abuse by mothers to her children is the development of aggressive behavior among adolescents. Children learn by imitating their mothers, and the learning process continues until adolescence. This study aims at examining the relationship between physical abuse by mothers to her children and the development of aggressive behavior. Junior High Schools students in West Jakarta (N=439, age 12-15 years) who are and had been abused by their mothers participated in this research. Data were collected by using questionnaires and the results indicate a positive correlation (r = 0,414) between physical abuse by mothers to her children and the development of aggressive behavior.
Pilih/klik judul untuk melihat full text
bahwa subjek telahmengalami beberapa bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya.Kekerasan yang dialami subjek berupa pengabaian pemenuhan kebutuhan anak,kekerasan verbal-emosional, dan juga kekerasan fisik. Perilaku avoidance pada subjekdisebabkan karena adanya faktor kekerasan/penolakan dari orangtua dan temansebayanya (peer group). Perilaku avoidancenya dapat dilihat dari beberapa dimensiseperti tingkah laku subjek yang kelihatan (behavioral appearance), perilakuinterpersonalnya (Interpersonal conduct), persepsi dirinya (self-perception), ekspresiafektifnya (affective expression), model kognitifnya (cognitive style), serta mekanismepertahanan dasarnya (primary defense mechanism). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI WILAYAH KOTA PONTIANAK TEMMMANGNGANRO MACHMUD, Jurnal Mahasiswa S2 Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 2, No 2 (2012): Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN Publisher: Jurnal NESTOR Magister Hukum
KECENDERUNGAN PERILAKU AVOIDANCE PADA ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Suardy, Misbawaty Susy ( Universitas Gunadarma) ; Sedjo, Praesti ( Universitas Gunadarma) Jurnal Ilmiah Psikologi Vol 3, No 1 (2009) Publisher: Universitas Gunadarma Abstrak: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasandalam rumah tangga yang dialami subjek, bagaimana perilaku avoidance pada subjek yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan faktor penyebab perilakuavoidance pada subjek. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatifdengan pendekatan penelitian studi kasus. Subjek yang digunakan dalam penelitian iniadalah seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang mengalami kekerasan dalamrumah tangga. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakanmetode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukan
HALAMAN AWAL
Abstrak: Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan contoh kerentanan posisi anak tersebut, utamanya terhadap kepentingan seksual. Citra anak yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual, berimplikasi jauh pada kehidupan anak, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan secara fisik serta psikis. Permasalahan dan tujuan penelitian yang diambil antara lain: Untuk mengungkapkan bagaimana penanganan dalam sistem peradilan pidana terpadu terhadap anak korban kekerasan seksual di wilayah Kota Pontianak Untuk mengetahui dan mengungkapkan perlindungan hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di wilayah Kota Pontianak dan Memberikan jalan keluar untuk mengantisipasi kendala-kendala dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak di wilayah Kota Pontianak di masa yang akan datang.Kata kunci : Korban, Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Perlindungan Hukum.
DAFTAR ISI
i
DAFTAR ISI
PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM HUKUM PIDANA Raka Palguna, Ida Bagus Putu; A. Martana, Nyoman Kertha Wicara Vol. 01, No. 03, Juli 2013 Publisher: Kertha Wicara Abstract: Children is an object that become a target of domestic violence. In constitution article 34 give a big attention for children in this country but it can’t give a guarantee children is protected from violence. This paper use normatif analysis method. This paper will be explain the step of anticipation which can minimalized the violence to children and law protection for children if become domestic violence victim.
Pilih/klik judul untuk melihat full text
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan yang dimaksud perlindungan hukum yaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dan bagi anak yang menjadi korban penculikan, korban kekerasan baik fisik maupun mental, anak yang cacat dan juga bagi anak-anak yang diterlantarkan. Kata kunci: Kekerasan, anak. MENGHINDARI KEKERASAN TERHADAP ANAK MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEKERASAN ANAK OLEH IBUNYA SENDIRI
Sugianto, Sugianto ( Fakultas Syariah IAIN Syeh Nurjati Cirebon)
Talot, Grace Chintya
DE JURE De Jure (Vol. 4, No. 1 page. 2012)
LEX CRIMEN Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen
Publisher: syariah
Publisher: LEX CRIMEN
Abstrak:
Abstrak:
Bentuk kekerasan sering dialami oleh seorang anak baik secara fisik maupun non fisik. Pasca pemberlakuan UU No. 23 tahun 2002 terntang perlindungan anak, pemerintah senantiasa dituntut untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari bahaya kekerasan. Bentuk perlindungan anak selain diwujudkan dalam bentuk pencegahan melalui pemberlakuan sanksi, juga diwujudkan dalam bentuk pembinaan yang perlu melibatkan berbagai pihak. Meskipun demikian, ternyata bentuk kekerasan terhadap anak masih sering terjadi, sehingga anak yang seharusnya mendapatkan hak-haknya secara patut masih sering terabaikan. Apapun yang menjadi penyebab, tentu tidak lepas dari implementasi undang- undang yang belum terjalan secara baik. Violence is mostly experienced by a child physically and non-physically. After the implementation of regulation Number 23 year 2002 on children protection, government is demanded to give the protection for the children from the danger of violence. The form of protection can be a prevention through the implementation of sanction and education which invites the participation from all parties. However, violence is still experienced by children that their rights are still ignored mostly. That is due to the implementation of regulation Number 23 year 2002 has not run well.
Pasal 1 butir 2 Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, yang bertujuan melindungi anak dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Kedudukan anak di Indonesia sangat rentan dengan keadaan ekonomi yang terpuruk, banyak anak-anak terpaksa dan dipaksa untuk bekerja dalam membantu mencukupi kebutuhan ekonomi orang tuanya dalam mencukupi makan untuk menyambung hidup sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normatif dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Kekerasan terhadap anak adalah “diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. 2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
i
DAFTAR ISI
EFEKTIVITAS PENGATURAN SANKSI PIDANA TAMBAHAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus Di Pengadilan Negri Pontianak) BRANADATA SEMBIRING, S.H. Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
A.21211067,
Jurnal
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 5 (2013): Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN Publisher: Jurnal NESTOR Magister Hukum Abstract: This thesis discusses the problem Effectiveness of Criminal Sanctions Additional Settings In Law Number 23, 2004 on the Elimination of Domestic Kekersan (Case Study In State Court Pontianak). From the results of research using normative legal research methods and sociological conclusion that: 1. Setting additional criminal sanctions under Article 50 of Law Number 23, 2004 on the Elimination of Domestic Violence, judged not effective enough to sustain the effectiveness of the application of criminal sanctions in the underlying criminal acts of violence in the household. Thats because only a limited range, which is to give freedom to the judge dropped criminal trial for the purpose of supervision to offenders and keep the integrity of the household. In other words, it is not intended to provide additional criminal sanctions against the principal who is weighting, as stipulated in Article 10 of the Book of Law Criminal Law and laws governing criminal sanctions outside the Criminal Code. Consequently, additional criminal sanctions can not be applied to mengefktifkan sanction of imprisonment or fines for criminal acts of domestic violence that cause severe injuries or death of the victim. 2. Additional Criminal Sanctions settings so that a more effective way to provide legal protection for victims of crime to domestic violence in the future, it is necessary to extend the norms of Article 50 of Law Number 23, 2004: a. Not just limited to giving freedom to the judge in imposing a criminal trial for the purpose of supervision to offenders and keep the integrity of the household: but expanded as the support of the principal criminal sense of security and protection to victims of both material and immateriel. b. Additional types of criminal sanctions should be formulated, other than as provided for in Article 50 of Law Number 23, 2004 are: 1) Change the material and immaterial losses for victims of domestic violence, both against: a, husband, wife, and children; b. people who have a family relationship with a person to whom a letter by blood, marriage, dairy, care, and guardianship, living
HALAMAN AWAL
Pilih/klik judul untuk melihat full text
within the household, and / or c people who work to help the household and living in the household. d. People who work as intended letter c is viewed as a member of the family in the long term is in the household. 2) The dismissal of the civil service of the offenders status as civil servants (central and local), military, police, and civil servants in the military and police institutions; 3) dismissal from the post of state: legislative, executive and judicial branches. 4) The revocation of the rights, such as: child care, custody and / or guardianship. Further expansion of the arrangement and recommended that additional criminal sanctions mentioned above, can only be imposed on offenders who violated: Article 44 paragraph (1), paragraph (2) and paragraph (3), Article 46, Article 47, Article 48, and Article 49 of Law Number 23, 2004 on the Elimination of Domestic Violence:Keyword: Elimination of Domestic Violence3ABSTRAKTesis ini membahas masalah Efektivitas Pengaturan Sanksi Pidana Tambahan Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekersan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Pontianak). Dari hasil penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif dan sosiologis diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Pengaturan sanksi pidana tambahan berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dinilai tidak cukup efektif untuk menopang efektivitas penerapan sanksi pidana pokok dalam tindak pidana kekerasan di rumah tangga. Hal itu dikarenakan jangkauannya hanya terbatas, yaitu untuk memberikan kebebasan kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan kata lain, tidak dimaksudkan untuk memberikan tambahan sanksi terhadap pidana pokok yang bersifat pemberatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan undang-undang yang mengatur sanksi pidana di luar KUHP. Konsekuensinya, sanksi pidana tambahan tersebut tidak dapat diterapkan untuk mengefktifkan penerapan sanksi pidana penjara atau denda terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat luka berat atau matinya korban. 2. Agar Pengaturan Sanksi Pidana Tambahan yang lebih efektif untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban dalam tindak pidana kekerasan di rumah tangga ke masa depan, maka perlu memperluas norma Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004: a. Tidak hanya dibatasi untuk memberikan kebebasan kepada hakim dalam menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga; tetapi diperluas sebagai penopang pidana pokok dan perlindungan rasa aman
DAFTAR ISI
i
DAFTAR ISI
kepada korban baik secara materiel maupun immateriel. b. Jenis sanksi pidana tambahan yang seharusnya dapat diformulasikan, selain sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah: 1) Ganti kerugian materiel maupun immaterial terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap : a, suami, isteri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. d. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. 2) Pemecatan sebagai pegawai negeri terhadap pelaku yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (Pusat dan Daerah), TNI, Polri, dan pegawai negeri di lingkungan institusi TNI dan Polri; 3) Pemecatan dari jabatan kenegaraan : legislatif, eksekutif dan yudikatif. 4) Pencabutan terhadap hak-hak tertentu, seperti : pengasuhan anak, perwalian dan/atau pengampuan. Selanjutnya direkomendasikan agar perluasan pengaturan dan penerapan sanksi pidana tambahan tersebut di atas, hanya dapat dikenakan terhadap pelaku yang melanggar : Pasal 44 ayat (1); ayat (2) dan ayat (3); Pasal 46; Pasal 47; Pasal 48; dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Kata Kunci: Kekersan Dalam Rumah Tangga PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PENGUNJUK RASA (Studi Kasus di Polresta Pontianak Kota) HENDRAWAN SULISTYO. A.21211011, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 5 (2013): Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN Publisher: Jurnal NESTOR Magister Hukum Abstract: In the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 Article 28 states that “freedom of association and assembly, issued a mind with oral and written and as defined in the legislation, passed by the birth of Law No 9 of 1998 on Freedom of Opinion General Upfront.The rally, which is one of personal freedom in expression was regulated in Law No. 9 of 1998 on the submission of opinion in public, which also regulates the procedures for
HALAMAN AWAL
Pilih/klik judul untuk melihat full text
implementation, the actions that can be done, and what should not be done in the implementation of delivery in public opinion. State Police as a tool given duties and responsibilities in order to secure the implementation of the rallies, which also provided for in Act No. 2 of 2002 on the Police of the Republic of Indonesia. But the existence of these regulations will not necessarily make the implementation of demonstration runs safely, we can actually see and hear activity demonstrations often ended with clashes between the protesters apparatus. Clashes occur frequently causing casualties especially among protesters. Because the Police who have shields, batons, and other equipment in the anarchic mass dispel. Thus providing an indication that members of the police in carrying forward the mandatory safety procedures, rules, and commands from superiors in securing the movement of security forces rally.Police officers who are convicted of violent acts against protesters will be given disciplinary sanction, the code of ethics and even prosecuted criminally to the General Court for committing acts that are not in accordance with the procedures and legal. However, there are several factors that cause has not to application of the law and criminal sanctions against members of the police who commit violence against protesters, among other things are mental factors law enforcement, legal factorsthemselves and thecommunityfactors that do not want to report. Therefore the police are expected to do the steps taken by nature impose criminal sanctions against members of the police who commit violent acts of violence against protesters among other things are maximize them mentality in law enforcement, understand the legislation and have the initiative in enforcing the law.Keywords: criminal responsibility, demonstration, and police officersABSTRAKDalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 menyatakan bahwa “kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, yang disahkan oleh lahirnya UU No 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat Umum dimuka.Rally, yang merupakan salah satu kebebasan pribadi dalam ekspresi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum, yang juga mengatur prosedur pelaksanaan, tindakan yang bisa dilakukan, dan apa yang tidak harus dilakukan dalam pelaksanaan pengiriman opini publik. Kepolisian Negara sebagai alat yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mengamankan pelaksanaan aksi unjuk rasa, yang juga diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun keberadaan peraturan ini tidak selalu membuat
DAFTAR ISI
i
DAFTAR ISI
pelaksanaan demonstrasi berjalan dengan aman, kita sebenarnya bisa melihat dan mendengar demonstrasi aktivitas sering berakhir dengan bentrokan antara aparat demonstran.Bentrokan terjadi sering menimbulkan korban terutama di kalangan demonstran. Karena Polisi yang memiliki tameng, tongkat, dan peralatan lainnya dalam menghalau massa anarkis. Sehingga memberikan indikasi bahwa anggota polisi dalam menjalankan maju prosedur wajib keselamatan, peraturan, dan perintah dari atasan dalam mengamankan pergerakan pasukan keamanan reli.Petugas polisi yang terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa akan diberikan sanksi disiplin, kode etik dan bahkan dituntut pidana ke Pengadilan Umum karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan hukum. Namun, ada beberapa faktor yang menyebabkan belum untuk penerapan hukum dan sanksi pidana terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa, antara lain adalah faktor mental penegak hukum, faktor hukum itu sendiri dan faktor-faktor masyarakat yang tidak ingin laporan. Oleh karena itu polisi diharapkan untuk melakukan langkah-langkah yang diambil oleh alam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anggota polisi yang melakukan tindak kekerasan kekerasan terhadap pengunjuk rasa antara lain adalah memaksimalkan mereka mentalitas dalam penegakan hukum, memahami undang-undang dan memiliki inisiatif dalam menegakkan hukum.
Pilih/klik judul untuk melihat full text
Undang Hukum Pidana (KUHP), juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 59, Pasal 64, Pasal 69, Pasal 80-82. 2. Upaya yang dilakukan terhadap pemulihan pada Anak Korban Kekerasan Fisik, dapat berupa tindakan langsung yang membawa korban kepada instansi kesehatan yang terkait. Juga untuk menjaga dampak trauma si anak sebagai korban anak bias dibawa ke tempat rehabilitasi dan dilindungi secara khusus. Pemulihan yang dilakukan sering kali datang dari organisasi-organisasi masyarakat atau lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang kemanusiaan. Dalam prakteknya, penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Pelaksanaan model pertolongan terhadap kasus kekerasan terhadap anak dapat dilakukan melalui prosedur atau proses Identifikasi, Investigasi, Intervensi dan Terminasi. Kata kunci: Kekerasan fisik, Hakhak anak. DAMPAK TAYANGAN KEKERASAN TERHADAP PERILAKU ANAK DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGIS DAN YURIDIS Sambas, Nandang ( Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (S1 â Akreditasi A/2015)) Syiar Hukum Vol 8, No 3 (2006): Syiar Madani page. 210324 Publisher: LPPM Unisba
KEKERASAN FISIK TERHADAP ANAK DIITNJAU DARI ASPEK PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK Tombeng, Yanti LEX CRIMEN Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Publisher: LEX CRIMEN Abstract: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan fisik di Indonesia dan apa efek kekerasan pada anak serta upaya pemulihan pada korban tindak kekerasan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Menyangkut kekerasan fisik dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351-355, Pasal 338-341, Pasal 229, Pasal 347, Pasal 269, Pasal 297, Pasal 330-332 dan Pasal 301. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dapat dilihat melalui beberapa perundang-undangan selain yang telah disebutkan di dalam Kitab Undang
HALAMAN AWAL
Abstract: Keterbukaan dan kebebasan berpendapat dalam era reformasi telah mempengaruhi program televisi di Indonesia. Pada saat yang sama juga ikut mempengaruhi perilaku anak. Hal ini dapat dilihat dalam kasus anak yang melakukan kekerasan terhadap temannya setelah menonton tayangan Smack Down di televisi. Jika dikaitkan dengan sudut pandang kriminologi terdapat tiga pendekatan yang dapat menjelaskan perilaku menyimpang, yaitu.Pendekatan biologis (jasmani), perilaku menyimpang dikarenakan adanya kelemahan secara psikisPendekatan psikologis, perilaku menyimpang karena gangguan kejiwaan dimana pelaku tidak meyadari apa yang dilakukan.Pendekatan sosiologis, perilaku menyimpang disebabkan karena lingkungan yang buruk. Perilaku menyimpang pada anak biasaynya dipengaruhi kondisi jasmani dan lingkungan. Perilaku menyimpang anak iasanya dilakukan dengan melakukan imitasi dari luar.Dalam aspek yuridis normatif, hukum telah memberikan perlindungan yang adil kepada anak namun terdapat kelemahan dalam penegakannya.
DAFTAR ISI
i
DAFTAR ISI
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM) Siboro, Swanti Novitasari; Hamdan, Muhammad; Khair, abul
Pilih/klik judul untuk melihat full text
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN KEKERASAN FISIK ORANGTUA KANDUNG DI KECAMATAN EMPANG-TARANO Restuwati, Lita ( Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 1 (2014)
Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2014
Publisher: Jurnal Mahupiki
Publisher: Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum
Abstrak:
Abstract
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM) Abstrak *) Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH **) Abul Khair, SH, M.Hum ***) Swanti Novitasari Siboro Anak merupakan objek lemah secara sosial dan hukum yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Belakangan ini, kasus child abuse semakin marak terjadi di Indonesia. Orang dewasa yang seharusnya memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak malah kerap menjadi pelaku tindak penganiayaan terhadap anak.. Semakin banyaknya tindakan kekerasan yang berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak. Skripsi ini diangkat dari permasalahan perlindungan anak korban tindak kekerasan dalam hukum pidana Indonesia serta bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian pada anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM. Metode yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan metode pengumpulan data Library Research dan Field Research, data diperoleh dari sumber ilmiah tertulis dan dibantu dengan hasil wawancara dengan Majelis Hakim yang menangani perkara Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/ Pid.B/2011/PN.SIM. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan dalam hukum pidana dapaat dikaji dari KUHP, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga. Majelis hakim terhadap perkara ini mengambil putusan di luar tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan menjatuhkan hukuman berdasalkan Pasal 338 KUHP yang telah terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana pembunuhan dengan putusan 15 (lima belas) tahun penjara. Padahal secara hukum hakim tidak boleh mengambil putusan di luar dakwaan Jaksa. Namun pada akhirnya putusan tersebut diterima oleh kedua belah pihak, dibuktikan dengan tidak adanya upaya banding setelah adanya putsan dari Pengadilan Negeri Simalungun
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM) Abstrak *) Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH **) Abul Khair, SH, M.Hum ***) Swanti Novitasari Siboro Anak merupakan objek lemah secara sosial dan hukum yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Belakangan ini, kasus child abuse semakin marak terjadi di Indonesia. Orang dewasa yang seharusnya memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak malah kerap menjadi pelaku tindak penganiayaan terhadap anak.. Semakin banyaknya tindakan kekerasan yang berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak. Skripsi ini diangkat dari permasalahan perlindungan anak korban tindak kekerasan dalam hukum pidana Indonesia serta bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian pada anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM. Metode yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan metode pengumpulan data Library Research dan Field Research, data diperoleh dari sumber ilmiah tertulis dan dibantu dengan hasil wawancara dengan Majelis Hakim yang menangani perkara Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/ Pid.B/2011/PN.SIM. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan dalam hukum pidana dapaat dikaji dari KUHP, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga. Majelis hakim terhadap perkara ini mengambil putusan di luar tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan menjatuhkan hukuman berdasalkan Pasal 338 KUHP yang telah terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana pembunuhan dengan putusan 15 (lima belas) tahun penjara. Padahal secara hukum hakim tidak boleh mengambil putusan di luar dakwaan Jaksa. Namun pada akhirnya putusan tersebut diterima oleh kedua belah pihak, dibuktikan dengan tidak adanya upaya banding setelah adanya putsan dari Pengadilan Negeri Simalungun
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
KES MAS
ISSN : 1978-0575
168
HUBUNGAN POLA ASUH DENGAN KEJADIAN KEKERASAN TERHADAP ANAK USIA SEKOLAH (6-18 TAHUN) DI KELURAHAN DUFA-DUFA KECAMATAN TERNATE UTARA Fataruba R., Purwatiningsih S., Wardani Y Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Abstract Background : Parents are the first and best teachers in the process of the human being’s behavior, parenting if properly understood by parents so children grow and develop into a good figure but if the parent’s upbringing of children is wrong will impact on bad boy behavior. In the village Dufa-dufa Northern Distict of Ternate in North Maluku LPA survey Januari-Desember 2008 cases of child violence in the form violence physical (70 cases), sexual violence (3 cases), psychological violence (76 cases), economic exploitation/child labor (17 cases), sexual exploitation of children (1 cases), the child victims of conflict areas (15 cases), sexual abuse (4 cases), neglect of children (20 cases), murder (3 cases), the care and guardianship (12 cases). Purpose of this research is to determine whether there is a relationship parenting and violence against children at school age (6-18 years) in Dufa-dufa village Ternate northern districts. Methods: This study was a quantitative non experimental by using cross-sectional design in data collection, research using the questionnaire ad a data collection instrument, respondents in this study were parents who have children of school age, the number of 187 samples sample. Results: From the results of the statistic is obtained asymp sig number 0,000. Results of these tests showed P < α (0,000 < 0,05) so that H 0 is reject can in inflict that there was a significant association between parenting style and the incidents of violence against children, because the amount of views from C (coefficient contingency) is 28,8 percent for the contributed to variable parenting parents while the rest of the other variables not examined in this study Conclusion: There was a significant relationship between parenting style and the incidents of violence against children in Dufa-dufa village Ternate Northern districts. Keywords: Parenting, Genesis, Violence Against Children, School Age (6-18 Years).
1. PENDAHULUAN UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 10 ayat 4 dinyatakan bahwa: pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Peralihan bentuk pendidikan jalur luar sekolah ke jalur pendidikan sekolah (formal) memerlukan ”kerja sama” antara orang tua dan sekolah. Orang tua dapat menanamkan benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri ke dalam jiwa anak-anaknya. Hak orang tua yang utama dan tidak dapat dibatalkan oleh orang lain 1. Orang tua beranggapan bahwa melarang anak dengan cara memukul, merupakan cara yang paling ampuh. Pukulan akan memberikan suatu perasaan tidak enak pada anak. Hukuman-hukuman fisik seberapapun ringannya, akan memberikan akibat buruk bagi perkembangan anak. 2 Anak di Indonesia usia 6-12 tahun paling sering mengalami kekerasan seksual (33%) dan emosional (28,8%), dibandingkan dengan kekerasan yang bersifat fisik (24,1%). Ruang kekerasan terhadap anak sebagian besar terjadi di rumah (129 kasus), selanjutnya di jalanan (79), sekolah (10), lembaga keagamaan (2), sektor perekonomian (21), kekerasan seksual juga terjadi tidak hanya di rumah (48,7%), di tempat umum (6,1%), sekolah (4,1%), tempat kerja (3,0%), lain-lain (0,4%). 3 Page 7
Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian Kekerasan Terhadap…….(Fataruba R.)
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
ISSN : 1978-0575
169
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah yaitu orang tua yang memiliki anak yang berusia 6-18 tahun. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 187 yang berasal dari dari orang tua yang tinggal di kelurahan Dufa-dufa Kecamatan Ternate Utara. Cara pengambilan sampel secara probability sampling dengan teknik Stratified random sampling. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Analisis bivariat menggunakan uji X 2. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian 1) Distribusi Responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden di Kelurahan Dufa-dufa Kecamatan Ternate Utara Karakteristik
Jumlah
Presentase (%)
57 69 61
30,5 36,4 33,2
95 92
50,8 49,2
7 11 60 109
3,7 5,9 32,1 58,1
16 11 95 65
6,8 5,9 50,8 34,8
21 32 134
11,2 17,1 71,7
105 71 11
56,1 38,0 5,9
64 22 101
34,2 11,8 54,0
187
100 %
Umur anak : - 6-12 tahun - 13-15 tahun - 16-18 tahun Jenis kelamin anak : - Laki-laki - Perempuan Pendidikan terakhir ayah: - SD - SMP - SMA - Perguruan Tinggi Pendidikan terakhir ibu: - SD - SMP - SMA - Perguruan Tinggi Pendapatan keluarga : - < 700.000 - 500.000-1.000.000 - > 1.000.000 Pekerjaan ayah : - PNS - Wiraswasta - Nelayan Pekerjaan ibu : - PNS - Wiraswasta - Ibu Rumah Tangga Total
Berdasarkan tabel 1 dapat dijelaskan distribusi responden berdasarkan umur anak didominasi oleh yang berusia 13-15 tahun sebanyak 69 orang (36,4 persen) dan yang terendah yang berusia 6-12 tahun sebanyak 57 orang (30,5 Page p8ersen). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin anak laki-laki sebanyak
KES MAS Vol. 3, No. 3, September 2009 : 162-232
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
KES MAS
ISSN : 1978-0575
170
95 orang (50,8 persen) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 92 orang (49,2 persen). Distribusi responden berdasarkan pendidikan terakhir ayah didominasi oleh responden yang lulusan Perguruan Tinggi sebanyak 109 orang (58,1 persen) dan yang terendah yang lulusan Sekolah Dasar sebanyak 7 orang (3,7 persen). Distribusi responden berdasarkan pendidikan terakhir ibu didominasi oleh responden yang lulusan Sekolah Menengah Atas sebanyak 95 orang (50,8 persen) dan yang terendah yang lulusan Sekolah Menengah Pertama sebanyak 11 orang (5,9 persen). Distribusi responden berdasarkan pendapatan keluarga didominasi oleh responden yang berpendapatan keluarga >1.000.000 sebanyak 134 keluarga (71,7 persen) dan yang terendah yang berperndapatan keluarga <700.000 sebanyak 21 keluarga (11,2 persen). Distribusi responden berdasarkan pekerjaan ayah didominasi oleh responden yang pekerjaan sebagai PNS sebanyak 105 orang (56,1 persen) dan yang terendah yang pekerjaan sebagai nelayan sebanyak 11 orang (5,9 persen). Distribusi responden berdasarkan pekerjaan ibu didominasi oleh responden yang pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sebanyak 101 orang (54,0 persen) dan yang terendah yang pekerjaan sebagai wiraswasta sebanyak 22 orang (11,8 persen). 2) Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian Analisis distribusi frekuensi pola asuh dan kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah di Kelurahan Dufa-Dufa Kecamatan Ternate Utara dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Analisis Univariat Responden Pola Asuh dan Kejadian Kekerasan Terhadap Anak Usia Sekolah (6-18 tahun) di Kelurahan Dufa-dufa Kecamatan Ternate Utara Karakteristik
Jumlah
Presentase (%)
72 13 102
38,5 7,0 54,5
91 96
48,7 51,3
187
100%
Pola asuh : - Permisif - Otoriter - Demokratis Kekerasan terhadap anak : - Mengalami kekerasan - Tidak mengalami kekerasan Total
Dari tabel 2 diatas didapatkan pola asuh demokratis 102 keluarga (54,5 persen) dan yang paling rendah menerapkan pola asuh otoriter sebanyak 13 keluarga (7,0 persen), Berdasarkan kekerasan terhadap anak yang mengalami kekerasan sebanyak 91 anak (48,7 persen) dan anak yang tidak mengalami kekerasan sebanyak 96 anak (51,3 persen). 3) Hubungan Antara Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat Hasil analisis bivariat hubungan pola asuh dengan kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6-18 tahun) di Kelurahan Dufa-dufa Kecamatan Ternate Utara adalah sebagai berikut:
Page 9
Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian Kekerasan Terhadap…….(Fataruba R.)
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
KES MAS
ISSN : 1978-0575
10
Tabel 3. Hasil Tabulasi Silang Variabel Penelitian Pearson Chi-Square N of Valid Cases
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
Contingency Coefficient
16,855 (a)
,000
,288
187
187
Hasil pada tabel 3 hasil uji statistik didapatkan nilai chi-square (X²) hitung > dari X² tabel dengan rincian 16,855 > 3,481, dan angka P value dengan α (0,05%) dengan rincian P < α (0,000 < 0,05). Ini berarti H 0 ditolak yang dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua denga kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6-18 tahun), dilihat dari C (coefisien contingency) berarti sebesar 28,8 persen yang disumbangkan untuk variabel pola asuh orang tua terhadap kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6-18 tahun) sedangkan sisa variabel lain tidak diteliti dalam penelitian ini. b. Pembahasan 1) Deskripsi Pola Asuh Responden Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak usia sekolah (6-18 tahun) yang tinggal di Kelurahan Dufa-dufa yang berjumlah 351 orang. Sampel diambil dengan menggunakan pemilihan acak dan didapatkan hasil akhir sebanyak 187 orang. Di pengaruhi dari karakteristik responden yaitu pendidikan terakhir ayah yang sebagian besar perguruan tinggi sebanyak 109 orang (58,1 persen), dan pendapatan keluarga yang sebagian besar responden memiliki pendapatan >1.000.000 sebanyak 134 keluarga (71,7 persen). Jadi dapat disimpulkan bahwa dari 187 orang tua sudah menyadari pola asuh yang baik. 2) Kejadian Kekerasan Terhadap Anak Usia Sekolah (6-18 Tahun) Kekerasan terhadap anak usia sekolah Kelurahan Dufa-dufa didominasi oleh anak yang tidak mengalami kekerasan 96 anak (51,3 persen), tetapi jumlah anak yang mengalami kekerasan cukup memprihatinkan yaitu sebanyak 91 anak (48,7 persen). Kekerasan yang dialami oleh anak usia sekolah di Kelurahan Dufa-dufa dipengaruhi oleh karakteristik responden yaitu pendidikan terakhir ibu sebagian besar lulusan SMA sebanyak 95 orang (50,8 persen). Responden ibu di Kelurahan Dufa-dufa dengan lulusan SMA, pendidikan ibu tidak seimbang dengan pendidikan ayah yaitu perguruan tinggi ditunjang lagi saat wawancara terbatas sebagian besar ibu berusia muda, secara psikologis belum siap dalam membina keluarga. Ibu belum memiliki kesiapan dalam merawat anak, dikarenakan usia dan pendidikan ibu. Selain pendidikan dan usia ibu yang menyebabkan kasus kekerasan anak juga latar belakang budaya yang keras di daerah Dufa-dufa, selama penelitian ditemukan anak yang menangis kesakitan karena dipukul oleh orang tua dan anak yang kurang percaya diri saat orang tua mengomeli di depan umum. Anak usia sekolah masih mencari jati diri dan masih labil dalam bersikap, sehingga anak usia sekolah masih sering melakukan kesalahan yang dapat memicu orang tua menjadi marah, sehingga orang tua menghukum anak tanpa mempertimbangkan dampak dari hukuman yang diberikan kepada anak. Sebaiknya orang tua menyadari masih banyak cara penyelesaian dalam Page 10
KES MAS Vol. 3, No. 3, September 2009 : 162-232
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
KES MAS
ISSN : 1978-0575
172
menangani kesalahan yang diperbuat anak agar tidak melakukan kesalahan yag sama. 3) Hubungan Pola Asuh Dengan Kejadian Kekerasan Terhadap Anak Usia Sekolah (6-18 Tahun) Hasil penelitian pola asuh dan kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6-18 tahun) diperoleh hasil ada hubungan yang signifikan dilihat dari nilai chisquare (X²) hitung > dari X² tabel dengan rincian 16,855 > 3,481, dan angka P value dengan α (0,05%) dengan rincian P < α (0,000 < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna pola asuh dengan kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6-18 tahun) Peranan orang tua dalam pembentukan karakter anak sangat penting, setiap anak memiliki karakter yang berbeda hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Banyak faktor yang memicu terjadinya kekerasan pada anak, orang tua memiliki alasan dalam menyelesaikan masalah anak dengan kekerasan misalnya kenakalan anak dan keadaan internal keluarga. 4. SIMPULAN DAN SARAN a. Simpulan 1) Orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis dalam keluarga yaitu 102 keluarga (54,5 persen), orang tua yang menerapkan pola asuh permisif dalam keluarga 72 keluarga (38,5 persen), dan orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter dalam keluarga 13 keluarg (7,0 persen). 2) Anak yang mengalami kekerasan usia sekolah yaitu sebanyak 91 anak (48,7 persen), dan anak yang tidak mengalami kekerasan yaitu sebanyak 96 anak (51,3 persen). 3) Dari hasil penelitian mengenai hubungan pola asuh dan kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6-18 tahun) Kelurahan Dufa-dufa Kecamatan Ternate Utara dapat dismpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh dan kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6-18 tahun). b. Saran 1) Bagi orang tua yaitu : a) Membuka pengetahuan ibu di Kelurahan Dufa-dufa dengan mengadakan penyuluhan dan pengenalan mengenai kekerasan lewat radio, talk show dll sehingga wawasan ibu terbuka mengenai pola asuh dan kekerasan anak. b) Kelurahan Dufa-dufa kebanyakan ibu berusia muda maka perlu perhatian pemerintah setempat untuk meningkatkan usia pernikahan yaitu > 20 tahun. 2) Untuk penelitian selanjutnya di harapkan meneliti variabel yang belum diteliti yaitu variabel informasi, budaya, dan pengalaman dari orang tua. DAFTAR PUSTAKA 1. Lask, Bryan., Memahami dan Mengatasi Masalah Anak Anda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.1991 2. Rinestaelsa, at all, Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Prestasi Belajar Siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.2008 3. Shochib, Moh., Pola Asuh Orang Tua dalam Membantu Anak Mengembangkan Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian Kekerasan Terhadap…….(Fataruba R.)
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
KES MAS
ISSN : 1978-0575
12
Disiplin Diri,Rineka Cipta, Jakarta.2000
Page 11
Page 12
KES MAS Vol. 3, No. 3, September 2009 : 162-232
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
KAJIAN YURIDIS PIDANA DENDA TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DIBAWAH UMUR Oleh : Nisha Amalia Pratiwi I Ketut Sudantra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK : Pidana denda adalah pembayaran sejumlah uang oleh terpidana berdasarkan putusan dari pengadilan. Dalam sejarahnya, pidana denda telah digunakan dalam hukum pidana selama berabad-abad. Anglo Saxon mula-mula secara sistematis menggunakan hukuman finansial bagi pelaku kejahatan. Pembayaran uang sebagai ganti kerugian diberikan kepada korban. Pengaturan dan cara penerapan pidana denda tersebut bervariasi sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Dan dewasa ini kita mengetahui bahwa seluruh pembayaran pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim, masuk ke dalam khas negara. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimanakah keseriusan negara dalam melindungi anak sebagai korban kekerasan seksual dan bagaimanakah pemanfaatan denda yang diatur dalam undang-undang perlindungan anak. Kata Kunci : Pidana Denda, Finansial, Kekerasan Seksual, Perlindungan Anak ABSTRACT : Penalty of fines is a payment of some amount of money from the convicted person based on the decision of the court. In history, penalty of fines has been used in the criminal law for centuries. At first, Anglo Saxons used financial punishment for the criminal systematically. Money payment as the indemnity is given to the victim. Setting and the way of application of the penalty of fines may vary according to conditions and development of society. And nowadays we know that all the penalty of fines payment that has been settled by the judge will be conferred to state cash. It is therefore this writing will discuss about how far is the concern of this country in protecting children from the sexual abasement and how is the utilization of the fine that is regulated in the law of children protection. Keyword : Pinalty of Fince, Financial, Seexual Abuse, Children Protection I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
1
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Menurut Prof Simons, kekerasan adalah setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu tidak berarti atau setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan1.
Tindakan kekerasan seksual atau persetubuhan yaitu
memasukkan kemaluan si pria ke dalam kemaluan si wanita sedemikian rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan2. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku, terdiri dari 3: a. Familial Abuse Familial Abuse merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. b. Extrafamilial Abuse, Extrafamilial Abuse adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pengertian anak dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No 23 Tahun 2002 tentang Peradilan anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sedangkan pengertian perlindungan anak menurut Pasal 1 Ayat 2 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. 1.2 Tujuan Sejalan dengan perumusan masalah yang ditulis diatas, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap anak yang mengalami tindak pidana persetubuhan dan pemanfaatan denda yang diatur dalam undang-undang perlindungan anak. 1
P.A.F Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 130 2 S.R Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHAM, Jakarta, h.230 3 Dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22787/4/Chapter%20II.pdf yang diakses pada tanggal 21 Februari 2013
2
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
II. ISI MAKALAH 2.1 Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian normatif. Soerjono Soekamto berpendapat bahwa penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum4. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan5. Penelitian hukum normatif menggunakan sumber data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier6. Jenis pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum dan pendekatan fakta. Teknik analisisis bahan hukum yang digunakan yaitu teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. 2.2 Hasil dan Pembahasan 2.2.1 Keseriusan Negara dalam Melindungi Anak sebagai Korban Kekerasan Seksual Tingginya angka kejahatan kekerasan seksual dibawah umur saat ini sangat memprihatinkan. Seperti baru-baru ini terjadi kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur hingga menyebabkan anak tersebut meninggal dunia. Dalam hal ini pemerintah harus segera melakukan tindakan pencegahan agar kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak meningkat. Sebenarnya perangkat perundang-undangan di Indonesia yang mengatur sudah lebih maju dibanding negara-negara lain namun sosialisasi dan implementasi masih jauh dari harapan. Tindakan dari kepolisian pun terkesan lambat dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak.. Walau UU Perlindungan Anak sudah disahkan pada tahun 2002 lalu, namun pelaksanaannya dinilai masih setengah hati. Kepolisian belum menjadikan UU Perlindungan Anak sebagai acuan dalam menangani kasus kekerasan 4
41
Bambang Sunggono, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.
5
Amirudin, dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 118 6 ibid
3
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
terhadap anak. Kepolisian nyatanya masih menggunakan KUHP sebagai acuan, sementara KUHP tidak mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual terhadap anak. Sementara itu, pasal dalam KUHP yang sering dipakai polisi untuk menjerat pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yakni Pasal 287, masih dianggap belum memadai dan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Seperti pada kasus anak yang diperkosa oleh geng sakau di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, pada Juli, September, dan Oktober 2011. Sementara ini pasal yang dijatuhkan kepada para pelaku adalah Pasal 287 KUHP juncto Pasal 81 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Saat berhadapan dengan korban pun, aparat kesehatan kerap tidak sigap melakukan deteksi dini atas tindakan kekerasan seksual. Hal ini bukan hanya karena kurangnya sumber daya manusia yang sudah terlatih, tetapi juga tidak adanya ruang pelayanan khusus penanganan korban kekerasan seksual sampai di tingkat puskesmas. Lembaga Pendidikan juga belum memiliki mekanisme deteksi dini dan penanganan kasus di lingkungannya, serta masih enggan menanamkan pentingnya pendidikan anti kekerasan seksual melalui kurikulum kesehatan reproduksi sebagai bahan ajar wajib di sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi sebagai upaya pencegahan tindakan kekerasan seksual. 2.2.2 Pemanfaatan Denda Yang Diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Dalam peraturan perundang-undangan sudah diatur mengenai pidana yang dikenakan bagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak. Dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah dijelaskan mengenai hukuman pidana badan yaitu maksimal 15 tahun penjara dan pidana denda maksimal Rp. 300.000.000; Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Jaksa Penuntut Umum sebagai eksekutor harus menyetorkan segala pidana denda yang dijatuhkan dalam proses peradilan baik dalam perkara perlindungan anak maupun perkara lainnya. Pidana denda tersebut dimasukkan kedalam rekening negara bukan pajak. Dalam hal ini tidak ada pembedaan apakah denda yang berasal dari putusan pengadilan dalam perkara perlindungan terhadap anak dibawah
4
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
umur akan dimanfaatkan untuk kepentingan rehabilitasi dari anak tersebut atau dikelola khusus untuk perlindungan terhadap anak. Semua denda yang diperoleh dianggap sebagai jenis pemasukan negara yakni penerimaan negara bukan pajak (PNPB) yang nantinya digunakan untuk menambah APBN. Dalam hal ini, kesan yang didapat adalah negara di satu sisi melakukan perlindungan terhadap anak dibawah umur dengan memberikan hukuman yang cukup berat kepada pelaku namun di sisi lain negara seakan-akan mengeksploitasi anak dengan mencari pendapatan dengan adanya kasus kekerasan seksual atau kasus perlindungan anak lainnya. III. Kesimpulan Dari pemaparan tulisan diatas, maka dapat diambil kesimpulan : a. Dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur, pemerintah terkesan lambat dan tidak serius dalam menangani perkara tersebut. Pemerintah masih menggunakan KUHP padahal sudah ada peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan anak. b. Pemanfaatan pidana denda dalam perkara kekerasan seksual terhadap anak pun dirasa tidak jelas. Karena pidana denda yang dikenakan kepada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak disetorkan kepada negara yang tidak jelas pemanfaatnnya untuk rehabilitasi anak atau dikelola khusus untuk lembaga perlindungan anak. DAFTAR PUSTAKA Amirudin, dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Bambang Sunggono, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. P.A.F Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta. S.R Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHMPTHAM, Jakarta. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22787/4/Chapter%20II.pdf Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.
5
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Udayana Mengabdi 10 (2): 86 - 89
ISSN : 1412-0925
PEMBENTUKAN KELOMPOK ANTI KEKERASAN SEKSUAL ANAK (KAKSA) PADA KOMUNITAS KADER DI DESA SANUR KAJA DENPASAR eKawatI. n. K., n.M. utaMI DwIPayantI dan L.P LILa wuLanDarI
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ABSTRACT This Community Service was conducted in Desa Sanur Kaja on 16-17 July 2010, in the form of training and supervision on the KAKSA group members. Before the training was done, the participants were given pre-test and at the end, they were evaluated by post-test. The result showed that there is improvement of knowledge about 11.84% . Most participants felt satisfactorily toward the aspects of knowledge, skill and condition which are improved. Improvement. The evaluation result suggested that most participants stated that the training is adequate to widen the insight of KSA, KSA prevention, raising the sensitivity and curiosity to actively participate to prevent KSA. It can be suggested that the training to form the new KAKSAs can be continually done in every sub-village. Keywords : KAKSA, KSA PENDAHULUAN Anak merupakan aset bangsa yang mempunyai peran sangat strategis dalam menentukan keadaan suatu bangsa di waktu yang akan datang. Keberadaan anak yang berkualitas, akan menjadi generasi yang berkualitas, yang pada akhirnya akan menghantarkan pada kemajuan dan kejayaan suatu bangsa. Akan tetapi di sisi yang lain, anak karena kondisi alaminya mempunyai posisi yang lemah secara fisik dan psikis, sehingga rentan terhadap masalah-masalah yang dapat menghambat bagi peran strategisnya tadi. Fenomena ini disadari oleh masyarakat internasional, yang kemudian melahirkan sebuah konvensi yang menegaskan tentang perlunya perlindungan hak-hak yang dimiliki anak. Deklarasi hak azasi anak dirumuskan di Geneva tahun 1924. Mengacu pada deklarasi tersebut, dan komitmen Bangsa Indonesia maka dikeluarkannya UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Idealnya anak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Namun, kenyataan di masyarakat banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek kesewenangan. Memasuki era global saat ini, hampir tidak bisa dibatasi, arus informasi begitu mudah dan cepat dapat diakses oleh siapapun. Keadaan ini menimbulkan dampak tersendiri bagi kelangsungan pertumbuhan anak, baik fisik maupun psikis. Intensitas keterpaparan dengan masalah-masalah yang bersifat pornografi, kekerasan dan lain-lain pada anak semakin tinggi, akan menimbulkan perilaku yang menyimpang. Mereka umumnya tidak tahu dampak negatif dari paparan pornografi dan kekerasan lain terhadap kerusakan
otak anak. Dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Nasional Perlindungan Anak, terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar di Indonesia tahun 2007, menunjukkan, sebanyak 97% dari responden pernah menonton film porno, sebanyak 93,7% pernah berciuman, petting, dan oral seks, serta 62,7% remaja yang duduk di bangku sekolah menengah pertama pernah berhubungan intim, dan 21,2% siswi sekolah menengah umum pernah menggugurkan kandungan. Kondisi ini yang kemudian menjadi salah satu pencetus kejadian kekerasan seksual pada anak (KSA), baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun oleh sesama anak. Lembaga nasional perlindungan anak melaporkan, sepanjang tahun 2008 tidak kurang dari 70.000 kejadian kekerasan seksual pada anak (KSA). Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan. Kekerasan seksual pada anak mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa, eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism).
86
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Pembentukan Kelompok Anti Kekerasan Seksual Anak (KAKSA) pada Komunitas Kader di Desa Sanur Kaja Denpasar [Ekawati. N. K., N.M. Utami Dwipayanti dan L.P Lila Wulandari]
Di Bali kasus pelecehan seksual yang menimpa anakanak sangat tinggi dan menghawatirkan (Wahyuni 2009). Pada tahun 2008 mulai bulan Januari hingga Oktober tercatat 45 kasus kekerasan seksual di bagian forensik Rumah Sakit Sanglah dengan umur termuda lima tahun dan umur tertua 43 tahun. Sementara jenis kekerasan seksual sebagian besar berupa kasus perzinahan 18 persen, pemerkosaan 16 persen, persetubuhan 5 persen, dan pelecehan seksual 6 persen (dalam Rudiatha 2008). Resiko kejadian kekerasan seksual anak berada di setiap waktu, tempat dan oleh siapapun. Di sekolah, tempat main, tempat umum, bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Mengingat hal tersebut, maka semua pihak harus peduli, perhatian dan melakukan upaya perlindungan terhadap hak-hak anak. Indonesia dalam menjamin perlindungan hak anak, telah mengeluarkan undang-undang nomor 23 tahun 2002, tentang perlindungan anak. Hanya dalam implementasinya kurang optimal, sehingga masih sering kita saksikan kejadian-kejadian kekerasan seksual pada anak (KSA), bahkan mungkin di sekitar kita. Pembentukan kelompok anti kekerasan seksual anak (KAKSA) pada berbagai komunitas merupakan upaya untuk menanggulangi kejadian KSA. Kader kesehatan merupakan komponen dari masyarakat yang selama ini telah berkiprah dalam setiap kegiatan sosial di masyarakat. Sehingga mempunyai peran yang sangat strategis, apabila diberdayakan sebagai kelompok anti kekerasan seksual pada anak (KAKSA). Wilayah Sanur merupakan salah satu desa yang termasuk di kawasan perkotaan dan daerah wisata yang rentan dengan eksploitasi seks anak. Penduduknya yang padat dengan mobilitas tinggi, serta kemudahan akses pada media informasi oleh siapapun, mempunyai resiko bagi terjadinya kekerasan seksual pada anak (KSA). Oleh karena itu pada kegiatan ini, akan dibentuk kelompok anti kekerasan seksual anak (KAKSA) pada komunitas kader kesehatan di wilayah Sanur. METODE PEMECAHAN MASALAH Metode yang dipakai dalam kegiatan ini adalah dengan metode Training of Trainer (TOT) dengan dua track yaitu track 1 peneliti memilih peserta KAKSA dari kader dengan kriteria peserta berminat, komunikatif, aktif dan mempunyai komitmen yang tinggi. peserta kader yang terpilih dari perwakilan masing-masing banjar diberi pelatihan oleh peneliti tentang pengertian, pencegahan serta penanggulangan kekerasan seksual anak (KSA), hak-hak anak dalam undang-undang dan pendidikan seksual anak. Metode yang dipakai adalah dengan curah pendapat, analisis kasus dan presentasi kasus. Kemudian hari kedua track 1, peserta berlatih menjadi fasilitator KAKSA dengan materi yang sama dengan hari pertama. Kemudian kelompok KAKSA yang
sudah dilatih oleh fasilitator dari staf dosen nantinya akan membentuk lagi kelompok KAKSA-KAKSA baru yang dilatih oleh kader yang sudah mengikuti pelatihan. Sehingga pembentukan kelompok anti kekerasan seksual anak terus berlanjut dan berkembang membentuk KAKSA-KAKSA di tingkat Banjar dan RT. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi dari kegiatan dalam melatih ibuibu kader sebagai KAKSA yaitu ketrampilan KAKSA dari kader sebagai fasilitator sudah baik, hal ini dapat dilihat dari kemampuan KAKSA untuk mendengar aktif, bertanya, merangkum pendapat peserta dan memberi umpan balik. KAKSA juga menguasai metode pembelajaran, materi dan menyampaikannnya dengan bahasa yang lugas dan sederhana sehingga mudah dimengerti oleh peserta. Dilihat dari hasil pengisian lembar evaluasi harian sebagian besar peserta menyatakan puas terhadap peningkatan pengetahuan, peningkatan keterampilan, suasana pelatihan, dukungan sekretariat, konsumsi dan kenang-kenangan berupa mug. Setelah mendapatkan pelatihan selama dua hari berturut-turut, KAKSA Kader yang dibentuk melakukan evaluasi terhadap program prevensi primer. Hasilnya adalah sebagian besar peserta menyatakan sangat sesuai untuk aspek: memperluas wawasan tentang KSA dan pencegahan KSA, meningkatkan kepekaan tentang hak anak, meningkatkan keinginan untuk aktif mencegah KSA dan mensosialisasikan pencegahan KSA, dapat mencegah meluasnya kasus KSA, materi jelas dan mudah dipahami, mencerminkan pencegahan terhadap KSA, program dilakukan di sekolah dan luar sekolah. Sebagian besar peserta menyatakan sesuai untuk aspek: meningkatkan kemampuan sebagai fasilitator, membuat semua peserta antusias, program dilakukan setiap 3 bulan, supervisi dilakukan setiap ada permintaan dari KAKSA, penambahan KAKSA berdasarkan kesepakatan, desiminasi di setiap SD. Pada evaluasi output sebagian peserta menyatakan sangat sesuai dan sebagian lagi menyatakan sesuai untuk aspek :semua peserta ikut aktif, materi mencerminkan KSA, tepat waktu, tepat rencana. Hasil selengkapnya dapat di lihat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel di atas dari 12 orang peserta pelatihan KAKSA pada track 1 terdapat 2 orang yang mengalami penurunan nilai dari pre test ke post test sebesar -2,63% dan -15,78%, tetapi secara keluruhan peserta kader yang terlibat dalam pelatihan KAKSA sebelum diberi pemaparan materi rata-rata sudah dapat menjawab 26 soal dengan benar atau dengan nilai 68,42. Setelah diberi paparan materi, peserta ratarata dapat menjawab 31,33 soal dengan benar atau dengan nilai sebesar 82,45. Terjadinya peningkatan rata-rata pengetahuan peserta kader dari 68,42 ke
87
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Udayana Mengabdi Volume 10 Nomor 2 TahuN 2011 Tabel 1. Skor Tes Pengetahuan Kelompok KAKSA kaderTrack 1 No. 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 Jumlah Rata2
Pre Test 31 24 28 32 28 33 34 0 30 23 37 12 312 26
Post Test 33 29 32 31 28 33 35 26 32 34 31 32 376 31,33
% kenaikan 5,26 1316 10,53 -2,63 0 0 2,63 68,42 5,26 2,63 -15,78 52,63 142,11 11,84 %
82,45 disebabkan karena adanya pemaparan materi sehingga persentase pengetahuan peserta mengalami peningkatan sebesar 11,84%. Hasil deskripsi pengetahuan peserta kader sebelum pemaparan materi terdapat 8 orang dari 12 orang peserta yang telah memahami tentang definisi dari kekerasan seks pada anak, bentuk-bentuk kekerasan seks, dan bagian tubuh yang rentan mendapat tindakan kekerasan seks. Selain itu, terdapat 9 orang dari 12 orang peserta kader telah memahami tentang akibat psikis pada anak yang mengalami kekerasan seks, dan siapa-siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan seks pada anak. Sebagian besar (91,66%) atau 11 orang dari 12 orang peserta telah memahami dampak akibat terjadinya kekerasan pada anak. Dengan melihat gambaran dari hasil pre test, peserta kader sebenarnya sudah pernah mendengar informasi dan mengetahui tentang kekerasan seks pada anak. Hasil deskripsi pengetahuan dari pre test dapat diartikan bahwa 50% peserta pelatihan KAKSA telah memahami sebagian kecil materi tentang kekerasan seks dan pendidikan seks. Setelah pemaparan materi kemudian dilakukan post test pada hari ke-2 dengan item-item pertanyaan yang sama, dari Tabel 3 dapat dilihat sebagian besar dari peserta pelatihan KAKSA mengalami peningkatan pengetahuan. Semua peserta pelatihan setelah mendapat intervensi dapat menjawab dengan benar item pertanyaan tentang jenis-jenis kekerasan seks pada anak, dampak kekerasan seks pada anak, akibat psikis pada korban kekerasan seks, yang bertanggung jawab memberikan pendidikan seks pada anak, usia anak yang rentan menjadi korban kekerasan seks, dan bagian tubuh yang rentan mendapat kekerasan seks. Intervensi yang diberikan meningkatkan pengetahuan peserta tentang kekerasan seks, dan pendidikan seks. Item-item pertanyaan post test setelah intervensi, >50% peserta pelatihan KAKSA tract 1 dapat menjawab dengan benar pada pertanyaan tentang definisi
kekerasan seks, perubahan perilaku pada anak korban kekerasan seks, hak anak sesuai UUPA, ciri-ciri pelaku kekerasan seks, usia anak mulai mengingat trauma, usia anak mulai mendapat pendidikan seks, strategi perlindungan anak, tindakan yang dilakukan bila anak mengalami kekerasan, ciri-ciri korban kekerasan seks, penyebab terjadinya kekerasan, dan kesalahan orang tua terhadap terjadinya kekerasan seks. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Peserta setelah di beri pelatihan KAKSA oleh fasilitator dari staf dosen menujukan peningkatan pengetahuan sebesar 11, 84%. Sebagian besar peserta pelatihan KAKSA merasa puas terhadap aspek peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan suasana pelatihan. Hasil evaluasi program menunjukkan sebagaian besar perserta menyatakan program pelatihan sangat sesuai untuk memperluas wawasan tentang KSA, pencegahan KSA, meningkatkan kepekaan dan keinginan untuk berperan aktif mencegah KSA. Saran Saran yang dapat diberikan adalah agar kegiatan pelatihan pembentukan KAKSA-KAKSA baru dapat dilaksanakan secara berkesinambungan di setiap banjar. Sebaiknya Jumlah peserta pelatihan KAKSA tidak lebih dari 12 orang. Materi pelatihan dikemas dengan singkat dan padat sehingga tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk pelatihan KAKSA UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kami sampaikan kepada LPPM Unud atas dukungan dana yang diberikan, Kepala Desa Sanur Kaja, Kelurahan Sanur, Denpasar Selatan yang telah banyak membantu terlaksananya kegiatan ini, ibuibu kader sebagai peserta dalam pelatihan yang telah bersedia berpartisipasi dalam kegiatan ini dan teman sejawat yang telah membantu pelaksanaan kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda http:// 64.203.71.11/kesehatan/news/0307/21/103523.htm. Diakses 26 April 2009. Maria, (2008). Hadapi Kekerasan Seksual Pada Anak Hendaknya Tetap Mempertimbangkan FaktorPsikologis. http:// apindonesia.com/new/index.php?option=com_content& task=view&id=1656&Itemid=62. Diakses 26 April 2009. Minangsari, D. (2007) Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual!.http://www.kesrepro.info/?q=node/194. Diakses 26 April 2009. Mulyadi. S. (2009). Kekerasan terhadap Anak meningkat. Berita seputar HAM. http://www.ham.go.id/index.
88
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Pembentukan Kelompok Anti Kekerasan Seksual Anak (KAKSA) pada Komunitas Kader di Desa Sanur Kaja Denpasar [Ekawati. N. K., N.M. Utami Dwipayanti dan L.P Lila Wulandari]
php?option=com_content&view=section&layout=blog&i d=1&Itemid=152&limitstart=1044. Diakses 12 September 2009. Rudiartha.I.G.L.M. (2008). Mengupas Masalah Dampak Psikologis Kekerasan Anak. Seminar. http://trimartono. com/2008/seragam-sekolah-bergaya-sinetron-undangkekerasan-seksual/. Diakses 12 September 2009. Ruskin . N dan Paramastri . I. (2009). Pendidikan Seksual untuk Anak Sekolah Dasar: Lindungi Anak dari Kekerasan Seksual. Buklet. Program Pascasarjana.UGM. Yogyakarta. Suda. I.K, (2006). Topik Interaktif: “Membedah Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak” Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak. http://www.dradio1034fm.or.id/ detail.php?id=4269. Diakses 26 April 2009. Wahyuni A.A.S. (2009). Pelecehan Seksual Anak di Bali Cukup Tinggi. Kompas.com. http://regional.kompas.com/read/ xml/2009/11/30/1600511/pelecehan.seksual.anak.di.bali. cukup.tinggi. Diakses 12 September 2009.
89
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
KECENDERUNGAN PERILAKU AVOIDANCE PADA ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Misbawaty Susy Suardy1 Praesti Sedjo2 1,2
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya No. 100, Depok 16424, Jawa Barat 2
[email protected]
Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami subjek, bagaimana perilaku avoidance pada subjek yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan faktor penyebab perilaku avoidance pada subjek. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa subjek telah mengalami beberapa bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya. Kekerasan yang dialami subjek berupa pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan verbal-emosional, dan juga kekerasan fisik. Perilaku avoidance pada subjek disebabkan karena adanya faktor kekerasan/penolakan dari orangtua dan teman sebayanya (peer group). Perilaku avoidancenya dapat dilihat dari beberapa dimensi seperti tingkah laku subjek yang kelihatan (behavioral appearance), perilaku interpersonalnya (Interpersonal conduct), persepsi dirinya (self-perception), ekspresi afektifnya (affective expression), model kognitifnya (cognitive style), serta mekanisme pertahanan dasarnya (primary defense mechanism). Kata Kunci: Avoidance, Kekerasan dalam rumah tangga, Anak
TENDENCY OF AVOIDANCE BEHAVIOR IN CHILDREN WITH DOMESTIC VIOLENCE Abstract The purpose of this study is to determine the forms of domestic violence experienced by the subjects, avoidance behavior subjects who experience domestic violence and the causes avoidance behavior. In this study, the authors use qualitative methods with case study research approach. The subjects in this study was a 7-year-old girl who experienced domestic violence. Researcher use interview and observation method. The results showed that the subjects had experiencing some form of violence by parents. Violence experienced subjects in the form of neglect needs of children, verbal abuse, emotional, and physical violence. Avoidance behavior on the subject due to the violence factor and rejection from parents and peers (peer group). Avoidance behavior subjects can be viewed from several dimensions, such as behavioral appearance, interpersonal conduct, self-perception, affective expression, cognitive style, and the primary defense mechanism Key Words: Avoidance, Domestic violence, Child
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI WILAYAH KOTA PONTIANAK Oleh Temmangnganro Machmud Abstract Sexual hardness crime to child who is example of susceptance position of the child, mainly to importance of sexual. Child image who has been placed as sexual object, simply far implication at child life, so that him cannot help always faces hardness, enforcing and persecution in physical of and psychical. Problems and purpose of research taken by inter alia: knows protection base idea to Sexual hardness crime to child victim; knows treatment to victim during criminal justice process at hardness crime to child case, knows efforts which can be done to give protection to hardness crime to child victim. Key words: victim, Sexual hardness crime to child, protection of law Abstrak Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan contoh kerentanan posisi anak tersebut, utamanya terhadap kepentingan seksual. Citra anak yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual, berimplikasi jauh pada kehidupan anak, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan secara fisik serta psikis. Permasalahan dan tujuan penelitian yang diambil antara lain: Untuk mengungkapkan bagaimana penanganan dalam sistem peradilan pidana terpadu terhadap anak korban kekerasan seksual di wilayah Kota Pontianak Untuk mengetahui dan mengungkapkan perlindungan hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di wilayah Kota Pontianak dan Memberikan jalan keluar untuk mengantisipasi kendala-kendala dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak di wilayah Kota Pontianak di masa yang akan datang. Kata kunci : Korban, Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Perlindungan Hukum Pendahuluan Saat ini kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi kekerasan seksual. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam perkembangan sosial
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
dewasa ini, banyak terjadi kejahatan perkosaan terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Contohnya, baru-baru ini terjadi kekerasan seksual di wilayah hukum Polresta Pontianak Kota dimana sebut saja Mawar (16 tahun) dalam satu hari digilir hingga 18 pria sehingga trauma berkepanjangan, lalu Melati (15 tahun) disetubuhi bapak kandungnya hingga setahun lamanya dan terakhir Anggrek (16 tahun) disetubuhi oleh bapak angkatnya. Masyarakat perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan. Perlu disadari bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, baik itu orang dewasa maupun anak di bawah umur. Maraknya kejahatan kesusilaan dewasa ini berkenaan dengan “Behaviour in relation sexual matter” biasanya berbentuk pencabulan baik yang dilakukan oleh sepasang orang dewasa atau sesama orang dewasa maupun dengan anak dibawah umur. Pelaku kejahatan tersebut merasa bahwa anak-anak dapat menjadi salah satu sasaran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Hal ini dipengaruhi oleh pendapat bahwa anak-anak tidak cukup mampu untuk mengerti bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana atau anak-anak tidak mempunyai keberanian untuk menolak keinginan pelaku.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. 1 Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak di bawah umur tentunya akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut. Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pencabulan tersebut. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan kesusilaan sangat diperlukan.
Untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik criminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.2
1
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hal. 81 2 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hal 1-2
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Alasan kasus-kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya. Konsep sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ialah suatu keadaan dimana terjalinnya hubungan yang bersifat fungsional dan instansional yaitu koordinasi di antara subsistem satu dengan lainnya menurut fungsi dan kewenangannya masing-masing sebagaimana fungsi dan kewenangan yang diatur dalam hukum acara pidana dalam rangka menegakkan hukum pidana yang berlaku. Berarti, sistem peradilan pidana meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga pada pelaksanaan putusan hakim. Berdasarkan hukum positif, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam: 3 1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Secara implisit, ketentuan Pasal 14 c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi: “Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
3
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta, Djambatan, 2004, hal. 135-144
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. 2. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101, Korban dapat mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah dialaminya sekaligus kerugian yang dideritanya. Dalam dimensi sistem peradilan pidana, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu: a. Aspek Positif KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan perlindungan kepada korban dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan manifestasi bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum. KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu: Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang dilihat sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Kedua, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa. Karena itu, saksi korban dalam kapasitasnya, member keterangan bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di depan persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, member keterangan mengenai peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri Tetapi, dalam kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian. b. Aspek Negatif Sebagaimana diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada optic KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mandapat perhatian secara proporsional, 4 atau perlindungan
4
J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 39
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung. 5 3. Menurut Ketentuan Hukum Pidana di Luar KUHP dan KUHAP Perlindungan korban kejahatan dapat dilihat pula pada Undang-Undang di luar KUHP dan KUHAP. Hanya, orientasi perlindungan tersebut juga bersifat implisit dan abstrak. Tegasnya, perlindungan itu bukan imperatif, nyata, dan langsung. Undang-Undang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang merupakan contoh kerentanan posisi anak, utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual anak perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan anak, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis. Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana kekerasan seksual baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan kebijakan sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada. Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas dan wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik lebih terkait dengan subsistem Kepolisian. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu Polisi dan Jaksa (pada tahap prajudisial) dan Pengadilan (pada tahap judisial). Hubungan Polisi dan Jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana.
5
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Cipta Aditya Bakti, 1998, hal. 58
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Polresta Pontianak Kota yang memiliki wilayah hukum mencakup seluruh Kotamadya Pontianak dan separuh Kabupaten Kubu Raya telah menangani banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak dimana tercatat pada tahun 2011 saja ada 38 kasus dan dari Januari 2012 hingga April 2012 sudah terjadi 15 kasus sehingga perlu di telaah fenomena ini. Permasalahan Bertitik tolak dari uraian latar beakang tersebut, masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Bagaimana perlindungan hukum atas kasus kekerasan seksual terhadap anak ?
b.
Bagaimana sistem peradilan pidana terpadu di masa yang akan datang dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak di wilayah Kota Pontianak?
c.
Bagaimana penanganan dalam sistem peradilan pidana terpadu terhadap anak korban kekerasan seksual di wilayah Kota Pontianak?
Pembahasan Penerapan Perlindungan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Wilayah Kota Pontianak Perlakuan yang diterima korban selama proses peradilan pidana adalah merupakan salah satu wujud perlindungan hokum terhadap korban (tindak pidana perkosaan). Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kota Pontianak mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, terdapat jumlah kekerasan seksual terhadap anak yang ada di beberapa wilayah kecamatan di Kota Pontianak, relasi antara pelaku dengan korban, usia pelaku dan korban, penyelesaian kasus, tuntutan Jaksa dan vonis Pengadilan terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota Pontianak, bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan seksual secara kekeluargaan oleh masyarakat, bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak secara kedinasan, dan modus kasuskasus kekerasan seksual yang dapat dilihat pada data dari Unit PPA Sat Reskrim Polresta Pontianak kota. Pada waktu melapor, korban ditempatkan di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dimana seharusnya anggota-anggota didalamnya didominasi oleh polisi wanita (polwan) sehingga korban tidak malu dan lebih terbuka dalam memberikan keterangan dan menceritakan kronologis peristiwa perkosaan yang telah dialaminya. Dalam memberikan pertanyaan, sebisa mungkin penyidik tidak menyinggung perasaan korban apalagi memojokkan korban. Namun kenyataannya jumlah anggota Polwan di unit PPA Polresta Pontianak Kota amat terbatas
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
sehingga pemeriksaan dilakukan oleh laki-laki namun korban didampingi orangtuanya. Untuk kepentingan visum at repertum, RPK seharusnya menyediakan ruangan khusus sehingga sedikit banyak dapat membantu meringankan penderitaan korban dalam proses penyidikan. Namun kenyataannya korban dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara. Bagi korban yang mengalami trauma atau gangguan psikis akibat kekerasan seksual yang telah dialaminya, Unit PPA Polresta Pontianak Kota menjalin kerjasama dengan Dinas Sosial Kota Pontianak yang menyediakan psikiater yang bertujuan untuk memulihkan kondisi kejiwaan dari korban kekerasan seksual tersebut. Dalam hal setelah mengalami kekerasan seksual korban tidak diterima kembali oleh keluarganya, atau sudah tidak ada lagi yang bersedia menampung korban, maka Unit PPA Polresta Pontianak Kota juga menjalin kerjasama dengan Dinas Sosial Kota Pontianak dan YNDN yang menyediakan fasilitas berupa SHELTER (Rumah Aman) yang memberikan perlindungan agar korban terhindar dari kekerasan serta mampu menyelesaikan masalahnya. 6 B.2.2. Kejaksaan: Jaksa merupakan partner korban, yang dengan kata lain berpihak pada korban. Dalam hal penuntutan, jaksa tidak diperbolehkan memanggil saksi/korban. Jika memang diperlukan, korban diminta datang ke Kejaksaan dengan menggunakan surat pemanggilan untuk kembali dimintai keterangan yang kurang jelas dalam berkas dari penyidik. Terkadang korban datang ke Kejaksaan atas inisiatif sendiri dalam rangka meminta kepada jaksa supaya pelaku dituntut dengan hukuman yang berat. Jaksa hanya berwenang menuntut pelaku dengan ancaman pidana. Jadi dalam kasus kekerasan seksual jaksa hanya bisa menjerat pelaku dengan ancaman hukuman pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak berwenang terhadap ganti kerugian terhadap korban. Korban tindak pidana kekerasan seksual tidak pernah mendapatkan ganti rugi. 7 B.2.3. Pengadilan: Hakim dalam persidangan kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak adalah perempuan dengan tujuan agar korban lebih leluasa dan tidak merasa canggung dalam memberikan kesaksian. Memang tidak selalu hakim perempuan, namun yang paling sering menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di pengadilan adalah hakim perempuan. Hakim dalam memberikan pertanyaan di persidangan tidak bertujuan untuk memojokkan korban, hanya diminta untuk menceritakan kronologis peristiwa perkosaan yang 6
Hasil Wawancara dengan Bapak Aiptu Ecep Maman.H,SH, PS. Kanit PPA Satreskrim Polresta Pontianak Kota pada tanggal 2 Juni 2012 7 Hasil Wawancara dengan Bapak Deddy Koerniawan, SH Kasi Pidum, Kejaksaan Negeri Pontianak pada tanggal 12 Juni 2012
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
telah dialaminya. Apabila saksi korban dalam persidangan tidak mau bertemu dengan pelaku, maka hakim mempunyai kebijaksanaan untuk meminta pelaku untuk keluar agar saksi korban dapat memberikan keterangan tanpa merasa ada tekanan. Bagi korban anak hakim dapat meminta keterangan saksi korban di luar persidangan. Hal ini dimaksudkan agar korban anak perkosaan tersebut tidak merasa tertekan karena takut dengan pelaku dan suasana sidang yang menurutnya terasa asing.8 Berdasarkan keterangan di atas, terdapat adanya perlakuan dan perlindungan yang sangat baik dari aparat penegak hukum. Namun pernyataan di atas tidak sesuai dengan keterangan yang penulis peroleh dari anggota LSM maupun dari lembaga bantuan hukum. Aparat penegak hukum dinilai kurang berperspektif terhadap korban sehingga menimbulkan hambatan dalam menangani kasus tindak pidana perkosaan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: Ditingkat Kepolisian: 1. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dirasa memojokkan korban. 2. Menghalangi pendamping korban pada waktu melapor. 3. Penyidik bersikap pasif, artinya korban dibebani untuk mengumpulkan bukti sendiri. 4. Kasus dibuat mengambang dan bahkan di peti-es kan. 9 Ditingkat Kejaksaan: 1. Tidak menjalin komunikasi yang baik dengan korban atau pendamping. 2. Menghalang-halangi korban untuk didampingi. 3. Akses informasi perkembangan kasus ditutup. 4. Meminta uang untuk melancarkan kasus. 5. Tidak mau menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian pada kasus perkosaan. 10 Ditingkat Pengadilan: 1. Hakim dalam memberikan pertanyaan memojokkan korban (asumsi subyektif/bias jender yang blaming the victim) dan dianggap ikut andil dalam peristiwa itu. 2. Tidak jarang hakim membentak korban pada saat memberikan kesaksian. 3. Menghalangi pendamping untuk mendampingi korban ketika memberikan kesaksian. 4. Tidak menjadikan trauma atau gangguan psikis yang dialami korban akibat kekerasan seksual yang dialaminya sebagai pertimbangan untuk memberatkan pelaku. 8
Hasil Wawancara dengan Bapak Edi Hasmi, SH., M.Hum, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Pontianak pada tanggal 15 Juni 2012 9 Hasil Wawancara dengan Ibu Dewi Puspita, SH, Anggota LBH Anak PUSPA Pontianak pada tanggal 13 Juni 2012 10 Hasil Wawancara dengan Hendri Damanik,SH, Bagian Hukum KPAID Kalbar pada tanggal 19 Juni 2012
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
5. Adanya pungutan-pungutan tidak jelas (tanpa mau memberikan kwitansi/bukti lain). 11 Dalam memperlakukan korban selama proses peradilan pidana, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih memperlakukan korban kekerasan seksual sebagai obyek, bukan subjek yang harus didengarkan dan dihormati hak-hak hukumnya. Mereka kebanyakan masih menjadikan korban menjadi korban kedua kalinya (revictimisasi) atas kasus yang dialaminya. Korban masih sering dipersalahkan dan tidak diberi perlindungan seperti apa yang dibutuhkannya. Penanganan kasus kekerasan terhadap anak harus bersifat holistik, terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi internal penghayatan individu, aspek hokum yang masih banyak mengandung kelemahan, dukungan sosial, dukungan ekonomis, maupun langkah-langkah politis dan advokasi. 12 Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk perbaikan dan penyempurnaan penanganan antara lain: 13 1. Kekerasan seksual dan/atau perkosaan merupakan tindakan pseudoseksual yang sering dilandasi keinginan mendominasi, menaklukkan dan merendahkan daripada mendorong seksual sebagai pemicu utama. Karena itu, kekerasan seksual tidak selalu ditampilkan dalam bentuk perkosaan (dalam arti penetrasi penis ke vagina) melainkan dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk lain. Upaya perkosaan pun tidak selalu dapat berlangsung sempurna. Meskipun demikian, dampak psikologisnya pada korban seringkali sama beratnya. Penggunaan istilah perkosaan dapat menjebak dan mengandung banyak kelemahan, mengingat perkosaan dalam arti (upaya) pemaksaan hubungan seksual hanya merupakan satu dari banyak bentuk kekerasan seksual terhadap anak. 2. Pengalaman klinis menunjukkan cukup banyak penganiayaan atau penyalahgunaan seksual masa kanak yang dilakukan oleh orang-orang dekat korban, yang berdampak psikologis untuk jangka panjang. Isu incest atau penganiayaan seksual ini belum mendapatkan perhatian sama besar dengan isu kekerasan dalam rumah tangga yang lebih umum. Perhatian perlu diberikan oleh semua pihak pada isu penganiayaan seksual masa kanak, karena dengan sifatnya yang khusus, penanganan terhadap kasus demikian tidak sama dengan penanganan terhadap kasus kekerasan lain. 3. Kampanye atau berbagai bentuk advokasi anti kekerasan terhadap anak akan banyak membantu counsciousness raising dan pemberdayaan korban (dalam arti membuka keberanian untuk membahas masalah kekerasan, meninggalkan rasa malu dan tabu), 11
Hasil Wawancara dengan Devi. S, Perwakilan dari YNDN Kalbar pada tanggal 20 Juni 2012 Achie Sudiarti Luhulima (Penyunting), Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta, PT. Alumni, 2000, hal 43 13 Ibid Hal 44 12
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
tetapi diperkirakan tidak banyak berdampak langsung dalam mengubah tingkah laku pelaku. Menurunnya kesewenangan melakukan kekerasan diperkirakan dapat terjadi bila produk dan proses hukum sungguh-sungguh dapat menjerat pelaku dengan hukuman setimpal, dan masyarakat menunjukkan pemihakannya pada korban dengan menyediakan berbagai bentuk dukungan sosial yang nyata. 4. Dengan kompleksnya permasalahan di seputar kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, penanganan atau tindakan legal terhadap korban tidak dapat dilakukan secara sepenuhnya sama seperti terhadap korban tindak kriminal lain. Perlu dipikirkan kemungkinannya kehadiran saksi ahli menggantikan kehadiran korban dalam sidang pengadilan, ataupun bentuk-bentuk lain untuk memungkinkan dilakukannya tindakan hukum. Dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak khususnya tindak pidana perkosaan, aparat penegak hukum masih mengalami hambatan. Secara umum, hambatan yang dihadapi adalah berupa hambatan internal dan eksternal. 14 1. Hambatan Internal Hambatan pertama yang dihadapi dari segi inetrnal, yaitu banyaknya kegiatan, luasnya cakupan kegiatan yang meliputi seluruh institusi penegak hukum serta mitra kerja. Banyaknya pihak yang terlibat dari berbagai institusi serta jangkauan dari kegiatan menimbulkan kesulitan dalam melakukan monitoring dari pelaksanaan masing-masing kegiatan. Oleh karena itu, diambil langkah-langkah solusi dalam mengatasi masalah ini. Misalnya, melakukan konsolidasi serta mengefektifkan alur komunikasi dan informasi. Tim kerja memerlukan konsolidasi ke dalam dan evalusi kegiatan yang tepat guna dan terus menerus. Tim kerja dari masing-masing kegiatan dan Koordinator Program perlu membangun persepsi yang setara, komunikasi dinamis dan tim yang kompak. Koordinator Program perlu memahami persoalan-persoalan yang dihadapi mitra, yang berhadapan dengan kelompok peserta misalnya aparat penegak hukum, akademisi dan masyarakat luas. Contoh permasalahan adalah lobi-lobi informal dan strategi pendekatan yang berbeda-beda, yang masih harus terus dilaukan terhadap instansi penegak hukum. Ini untuk menembus dinding birokrasi dan meraih partisipasi dan umpan balik dari mereka, bahkan untuk memasukkan hasil kegiatan dalam struktur lembaganya masing-masing. Hambatan internal kedua, adalah hambatan teknis, yaitu kebutuhan penyediaan sistem informasi digital dan intrnet yang 14
Komnas Perempuan, LBH APIK Jakarta, LBPP DERAP-Warapsari, Convention Watch, PKWJ UI dalam Penegakan Hukum yang Berkeadilan Jender: Setahun Program Penguatan Penegak Hukum, CV Kurnia Sejati , 2005, hal. 37-38
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
memadai dan merata. Namun, hal ini berhasil diatasi dengan baik. Hambatan internal yang ketiga, yaitu kapasitas. Terdapat perbedaan dan kesenjangan kapasitas kerja pada masingmasing lembaga tim kerja, penegak hukum dan peserta lainnya, sehingga kerap menimbulkan hambatan dalam menjalankan program. Upaya konsolidasi dalam tim kerja dapat menunjukkan secara dimana kekurangan kapasitas ini, dan bagaimana tim kerja dapat mengatasinya. 2. Hambatan Eksternal Hambatan eksternal terdiri dari beberapa macam, yang pertama adalah adanya perbedaan pemahaman. Hal ini sudah diperkirakan sejak awal mendesain Program. Mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang berperspektif keadilan, sadari awal disadari tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Solusi yang diambil, melakukan pendekatan yang bersifat partisipatoris dalam seluruh program dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Kedua, menyusun strategi untuk menyamakan persepsi dan assessment terhadap program-program yang telah dilakukan oleh institusi penegak hukum. Ketiga, mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang berkeadilan dengan menggali pengalaman para pihak yang terlibat dalam Program dalam menangani kekerasan terhadap anak. Dalam prosesnya, pengalaman kemudian dibahas secara bersama-sama. Pengenalan konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu- Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak secara perlahan-lahan dilakukan dan didiskusikan bersama pula hingga mencapai satu persepsi dan pemahaman yang sama. Hambatan lain adalah hambatan birokrasi yang berkaitan dengan belum menjadi prioritas dikalangan pengambil kebijakan. Hal ini juga berkaitan dengan dinamika lapangan hukum dalam konteks sosial, ekonomi, politik. Keterangan dari aparat penegak hukum yang penulis wawancarai dengan fakta yang terjadi di lapangan memang jauh berbeda. Namun tidak bijak jika kemudian muncul stigma atau anggapan bahwa kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah seperti yang tertulis di atas karena tidak semua aparat penegak hukum bersikap demikian. Hanya saja memang diharapkan bahwa aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, adalah aparat penegak hukum yang berperspektif anak agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga dapat menjerat pelaku sesuai dengan perbuatannya. Dengan demikian penegakan hukum akan tercapai, korban akan merasa dilindungi dan dapat menjawab rasa keadilan dalam masyarakat.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap anak Berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu: 1. compassion, respect and recognition; 2. receive information and explanation about the progress of the case; 3. provide information; 4. providing proper assistance; 5. protection of privacy and physical safety; 6. restitution and compensation; 7. to access to the mechanism of justice system. Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, bukan berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain: 15 1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan); 2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana; 3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang; 4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku; 5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya; 6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan; 7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. Upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual tidak sematamata merupakan tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan kewajiban masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya perlindungan kepada korban perkosaan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: a. Perlindungan Oleh Hukum 15
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007 hal 54-55
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum juga bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Berdasarkan ilmu hukum, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam:16 1) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi: “Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.” Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. 2) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap korban. Jadi selain pelaku telah mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Namun selama ini jaksa belum pernah mengajukan gugatan ganti kerugian dalam perkara kekerasan seksual yang ditanganinya. Gugatan ganti kerugian hanya ada dalam tulisan peraturan perundang-undangan saja. Dari dimensi sistem peradilan pidana maka kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu: a) Aspek Positif KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan korban perlindungan dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya 16
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta, Djambatan, 2004, hal 91
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
kontrol ini merupakan manifestasi bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum. KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu: Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang didengar sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Kedua, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa. Karena itu, saksi korban dalam kapasitasnya, member keterangan bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di depan persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, memberi keterangan mengenai peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi, dalam kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian. b) Aspek Negatif Sebagaimana diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada optic KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mandapat perhatian secara proporsional 17, atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung 18. 3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan Korban disahkan sebagai Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006. Undang-Undang ini merupakan sebuah terobosan hukum karena memberikan jaminan hokum dan mengakui tanggung jawab negara untuk menyediakan layanan perlindungan bagi korban, saksi dan pelapor. Bagi korban, Undang-Undang ini juga merupakan alat baru untuk mengakses keadilan karena ia memuat: a) Jaminan hukum tentang perlindungan bagi saksi, korban dan pelapor dari tuntutan secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Walaupun masih terbatas, jaminan bagi pelapor adalah penting, 17
J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal 49 Barda Nawawi Arief Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998, Hal 39
18
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
terutama karena masih banyak korban yang tidak berani secara sendiri melaporkan kejahatan yang menimpanya. b) Adanya perluasan cakupan perlindungan yang dapat diperoleh oleh para saksi dan korban tindak pidana-tindak pidana yang menempatkan korban dalam situasi rentan dan berada dalam ancaman terus-menerus seperti korban-korban atau saksi pada situasi konflik, situasi perdagangan orang, situasi birokrasi dan lain sebagainya. c) Adanya ketegasan asas-asas yang menjadi acuan implementasi dan operasional penyediaan perlindungan saksi dan korban, yaitu asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. d) Adanya penjabaran yang cukup rinci tentang hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan, yaitu:
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapatkan penerjemah; bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; ix. mendapat identitas baru; x. mendapatkan tempat kediaman baru; xi. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; xii. mendapat nasihat hukum; dan atau xiii. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (Pasal 5 ayat 1)
4) Termaktubnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai jenis kasus yang berhak atas perlindungan saksi dan korban. 5) Adanya perhatian pada bantuan medis, rehabilitasi psikososial, kompensasi dan restitusi lainnya pada pelanggaran HAM berat. Bantuan ini sangat penting bagi perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dalam situasi konflik dan berbagai situasi yang timbul sebagai akibat kejahatan terhadap kemanusiaan. 6) Diperkenankannya pemberian kesaksian oleh saksi dan korban tanpa kehadiran langsung di persidangan, baik melalui tulisan maupun rekaman suara. Terobosan ini sangat penting bagi korban kekerasan seksual yang seringkali masih trauma, merasa takut mengalami reviktimisasi dan juga malu yang tak tertanggungkan pada saat memberikan kesaksian.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
b. Perlindungan Oleh Masyarakat 1) Keluarga Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa kejadian yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan lain-lain. Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban, karena pada dasarnya korban merupakan korban ganda yang selain mengalami kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang telah diterima pelaku dan ganti rugi yang didapatkan oleh korban tidak lantas membuat kondisi kejiwaannya menjadi kembali seperti semula. Jadi keluarga sangat berperan penting dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya. 2) Masyarakat Tidak jauh berbeda dengan peran keluarga, masyarakat juga mempunyai peran penting untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban, dan lain-lain. Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Selain itu, perlindungan hukum terhadap korban juga dilakukan selama proses peradilan yang dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut: 1. Sebelum Sidang Pengadilan Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban, pertama kali diberikan oleh polisi pada waktu korban melapor. Saat ini Polri telah membentuk suatu Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang diawaki oleh Polwan yang terwadahi dalam satu Unit Khusus yang berdiri sendiri untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah sebuah ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh pengertian dan profesional. Adapun visi dan misi dari RPK adalah sebagai berikut:
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
a. Visi: Perempuan dan anak korban kekerasan mendapat perlindungan dan bantuan baik medis, psikologis maupun hukum sehingga masalahnya terselesaikan dengan adil. b. Misi: 1) Memberikan rasa aman dan nyaman kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. 2) Memberikan pelayanan secara cepat, profesional, penuh empati dan rasa asih kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. 3) Membangun jaringan kerjasama antar instansi atau badan atau lembaga untuk menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari uraian di atas dan dari permasalahan yang ke-2 tentang bagaimana korban diperlakukan selama proses peradilan pidana, masih ada beberapa aparat hukum yang dalam memperlakukan korban pada kasus ini belum berspektif perempuan. Penanganan kasus kekerasan seksual juga terlampau panjang karena harus mengikuti prosedur hukum yang membuat korban menjadi enggan berhadapan dengan hukum yang prosesnya sangat melelahkan. Oleh karena itu, perlu adanya reformasi hukum dan kebijakan, terutama sistem penegakan hukum yang berkeadilan. Perubahan/reformasi ini diharapkan mampu membawa pemahaman mengenai kepekaan bagi aparat penegak hukum agar bersikap tanggap terhadap kepentingan anak-anak korban kekerasan seksual yang dialaminya. Bicara mengenai reformasi penegakan hukum yang berkeadilan, menyangkut bagaimana sistem penegakan hukum yang ada mampu mengeluarkan kebijakan yang menjamin perlindungan terhadap kepentingan dan hak asasi. Perlindungan dalam proses penegakan hukum, mulai dari proses pelaporan, pemeriksaan, penyidikan, hingga persidangan berakhir. Dengan berpijak pada ketiga elemen dalam sistem hukum, maka disusunlah parameter yang merupakan prasyarat bagi perbaikan serta upaya yang dapat dilakukan. Dari perubahan sistem penegakan hukum, diharapkan aparat penegak hukum dapat menangani kasus kekerasan terhadap anak-anak dengan berperspektif keadilan sehingga tercipta keharmonisan antara aparat penegak hukum korban. Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan (P2TP2A) telah didirikan di Kalimantan Barat pada tahuhn 2005 namun badan ini belum menyentuh para korban anak yang mengalami kekerasan seksual di Kota Pontianak. Perlindungan terhadap korban amat diperlukan, sehingga korban berhak mendapatkan ganti kerugian dari negara (kompensasi). Di Indonesia aturan mengenai ganti rugi memang telah tertuang dalam KUHAP Pasal 98 s/d 101 Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian. Namun kenyataannya ketentuan Pasal tersebut jarang diimplementasikan bahkan berdasarkan
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
penelitian yang dilakukan penulis, Penggabungan Perkara Ganti Kerugian belum pernah ada di Pontianak. Hal ini tentu saja sangat disayangkan mengingat ada upaya perlindungan terhadap korban belum direalisasikan. Menurut hemat penulis, ketentuan mengenai ganti rugi kepada korban seyogyanya juga dituangkan dalam Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sehingga dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual, hakim tidak hanya menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku, tetapi juga memutus ganti rugi yang didapat oleh korban. Ganti rugi yang diberikan kepada korban tidak hanya untuk mengganti kerugian yang dialaminya tetapi juga sebagai perwujudan cita hukum tertinggi di Indonesia yaitu Pancasila sila ke-5 yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, karena ganti kerugian selain sebagai perlindungan terhadap korban juga merupakan jawaban yang memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Penutup Korban tindak pidana kekerasan seksual selain mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tidak ringan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban yang diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun
pemerintah
(melalui
aparat
penegak
hukumnya),
seperti
pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih memperlakukan Anak korban kekerasan seksual sebagai obyek, bukan subjek yang harus didengarkan dan dihormati hakhak hukumnya. Mereka kebanyakan masih menjadikan anak korban Kekerasan seksual menjadi korban kedua kalinya (revictimisasi) atas kasus yang dialaminya. Korban masih sering dipersalahkan dan tidak diberi perlindungan seperti apa yang dibutuhkannya. Aparat (polisi, hakim, jaksa) tidak mempunyai perspektif terhadap anak korban kekerasasn seksual. Daftar Pustaka
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
A Hamid S Attamimi, , Perananan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaran Pemerintah Negara, Disertasi pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990; Abdul Fadl Mohsin Ebrahim, Isu-isu Biomedis dalam Perspekti Islam,Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan (TerjemahanSari Meutia), Bandung, Mizan, 1998; Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Perempuan, Bandung, Refika Aditama, 2001; Abu Huraerah. Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta: Nuansa, 2006; Achie Sudiarti Luhulima (Penyunting), Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta, PT. Alumni, 2000; Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986; Arif Gosita, Victimisasi Kriminal Kekerasan, edisi II, Jakarta, Akademika presindo,1985; Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Strukutur Ilmu Hukum, Mandar Maju, 1999 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Cetakan Pertama, Bina Cipta, Jakarta, 1983; Candra Gautama, Konvensi Hak Anak, Jakarta: Lembaga Studi Pers, 2000; Chainur Arrasyid. Psykologi Kriminil. Medan: FH USU. 1980; Darwan Prinst, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cet.ke-1 Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1996; Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT.RadjaGrafindo Persada, 2007; Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Ce Ke II, Jakarta: Djembatan, 2005;
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM HUKUM PIDANA Oleh Ida Bagus Putu Raka Palguna Nyoman A.Martana Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Children is an object that become a target of domestic violence. In constitution article 34 give a big attention for children in this country but it can’t give a guarantee children is protected from violence. This paper use normatif analysis method. This paper will be explain the step of anticipation which can minimalized the violence to children and law protection for children if become domestic violence victim. Keywords: Children, Victim, Violence ABSTRAK Anak merupakan objek yang menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 memberikan dasar perhatian yang besar pada keberadaan anak dalam negara namun tetap saja tidak menjamin anak benar-benar terlindungi dari kekerasan. Paper ini menggunakan metode bersifat normatif. Paper ini akan menjelaskan langkah antisipatif agar kekerasan pada anak dapat diminimalisir dan perlindungan hukum terhadap anak jika menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kata Kunci:Anak, Korban, Kekerasan I.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Berbicara mengenai anak adalah hal yang sangat penting karena anak merupakan potensi nasib suatu generasi atau bangsa di masa mendatang. Anak merupakan cerminan sikap hidup bangsa dan penentu perkembangan bangsa tersebut.1 Hal ini tentunya menjadi suatu perhatian luas bagi setiap orang untuk meletakkan posisi anak sebagai suatu insan yang perlu untuk diperhatikan dan mendapat segala kebutuhan yang sesuai kebutuhan anak itu sendiri. Namun dewasa ini terjadi begitu banyak anak yang mengalami tindak kekerasan dalam kehidupannya, bahkan hal tersebut dimulai dari lingkungan terdekatnya yakni oleh keluarganya sendiri. Kekerasan seksual merupakan hal yang sangat sering terjadi. Situasi ini semakin diperparah dengan ideologi jaga praja 1
Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, Cetakan Ketiga, PT.Refika Aditama, Bandung, 2010, h. 5
1
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
atau menjaga ketat ideologi keluarga, khususnya dalam budaya Jawa “membuka aib keluarga berarti membuka aib sendiri”, situasi demikian menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan menyebabkan tingginya the “dark number” karena tidak dilaporkan.2Hal seperti ini tentunya semakin memberi keleluasaan dan ruang bagi pelaku untuk bertindak semakin buruk. Ini yang menjadi penting untuk memberi solusi antisipatif bagi korban kekerasan terutama anak sehingga mengetahui hak-hak yang seharusnya didapatkan dan perlindungan bagi anak itu sendiri. 1.2 TUJUAN Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk memenuhi kewajiban sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) serta untuk mengetahui bagaimana langkah antisipatif
bagi anak korban kekerasan dalam rumah tangga, serta untuk
mengetahui perlindungannya di Indonesia. II ISI MAKALAH 2.1 METODE PENELITIAN Metode yang digunakan untuk membahas masalah dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menguraikan terhadap permasalahanpermasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.3 Analisis terhadap bahan hukum yang diperoleh adalah secara deskriptif, analisis dan argumentatif. 4 Karena menggunakan penelitian normatif maka sumber datanya adalah sumber data sekunder yang berupa bahan hukum baik bahan hukum primer maupun sekunder.5
2
Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog, Edisi I Cetakan ke-2, PT Alumni, Bandung, , h.2. 3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Huum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,edisi I Cetakan V, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, , h.13-14. 4
Amirudin dan H Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, h.131 5
Ibid h. 118
2
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1 Langkah dan Solusi Antisipatif
Bagi Anak Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Korban (victims) menurut Muladi adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.6 Terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak ini hendaknya perlu dipahami begitu banyak faktor yang memicu terjadinya kekerasan pada anak ini, contohnya tidak adanya kontrol sosial pada pelaku kekerasan pada anak meskipun pelaku merupakan orang tua atau kerabat dekat sekalipun, hubungan antara anak dan orang tua dianggap sebagai suatu bidang hierarki dalam hal ini dimaksudkan ada batasan komunikasi karena anak dianggap mahluk kecil yang suaranya dianggap tidak penting untuk orang dewasa, hal terakhir adalah kemiskinan yang merupakan faktor dominan yang dianggap sebagai pusat masalah sehingga anak menjadi pelampiasan amarah, ketidakpuasaan, luapan kesedihan karena kemiskinan tersebut sehingga kekerasan tertuju pada anak karena tidak dapat melakukan perlawanan. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 34 menjelaskan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Ini menjadi tendensi positif dalam usaha negara untuk memberi perlindungan penuh terhadap hak-hak anak. C. De Rover menyatakan penegakan kejahatan merupakan tujuan mendasar dari penegakan hukum dan merupakan bidang kegiatan dengan nilai spesifik bagi hak-hak anak (termasuk didalamnya perempuan). 7 Namun cara berfikir masyarakat yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga bukan sebagai tindak pidana yang melanggar kaidah hukum namun lebih merupakan masalah keluarga ataupun masalah perempuan saja membuat hal ini menjadi sepele di mata aparat hukum.
6 7
Muladi, 2005, HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, h. 108 C. De Rover, 2000, To Serve & To Protect, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, h.350.
3
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Langkah solusi antisipatif agar anak tidak menjadi korban adalah dengan terlebih dahulu menganggap permasalahan ini adalah suatu tindak pidana dan merupakan kejahatan yang serius, tentunya apabila hal itu sudah ada dalam pola pikir masyarakat akan serta merta membentuk prilaku untuk melindungi perempuan dan anak. Ini yang perlu mendapat langkah aktif dan berusaha menyingkap kejahatan ini sampai tuntas agar efek jera bagi pelaku itu ada dan menjadi preseden bagi oknum yang akan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk memikirkan perbuatan itu. Selain itu saya melihat dari segi legislasi, dalam rangka pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hendaknya hukuman untuk pelaku-pelaku diperberat dan terkait hal ganti rugi bagi korban harus mendapat perhatian agar lebih efektif dan diperoleh secara konkrit oleh korban tanpa melewati proses yang berbelit-belit. 2.2 Perlindungan Hukum Bagi Anak Begitu banyaknya fenomena kekerasan dan tindak pidana terhadap anak menjadi suatu sorotan keras dari berbagai kalangan. Hal ini dianggap sebagai suatu indikator buruknya instrumen hukum dan perlindungan anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang perlindungan anak, bahwa yang berkewajiban dan bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Pasal 21 dan 25 dalam UU ini juga mengatur lebih jauh terkait perlindungan dan tanggung jawab terhadap anak. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pada pasal 2 terkait ruang lingkup pada pasal ini juga mencakup keberadaan anak untuk dilindungi dari kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap anak juga ditampilkan implisit dalam undang-undang perlindungan saksi dan korban. UU Nomor 13 tahun 2006 pada pasal 5 ayat 1 butir a yakni “seorang saksi atau korban berhak: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya “. Dalam ketentuan umum pasal ini menjelaskan tentang keluarga tersebut dan anak menjadi satu anggotanya. Instrumen hukum diatas menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia memberi perhatian terhadap keberadaan anak. Adapun hal yang harus dipahami lagi untuk mencegah kekerasan terhadap anak ialah prinsip perlindungan terhadap anak. Prinsip nondiskriminasi, prinsip yang terbaik bagi anak
4
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
(the best interest of the child), prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, dan prinsip menghargai pandangan anak. 8
III KESIMPULAN 1. Berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 34,anak merupakan salah satu hal yang menjadi fokus negara untuk dilindungi sehingga wajib jika secara konstitusional telah diatur maka pemerintah dan masyarakat pada umumnya harus dapat merubah mainset dan ikut berperan serta dalam usaha antisipatif untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan. 2. Keberadaan UU No 23 Tahun 2002, UU No 23 Tahun 2004, serta UU No 13 Tahun 2006 sebagai instrumen hukum saja tidak cukup untuk menjadi suatu batasan bagi setiap pelaku kekerasan terhadap anak untuk mengurangi dan meniadakan kekerasan terhadap anak, dibutuhkan pengertian dan pemahaman posisi anak yang juga memiliki hak yang pada dasarnya sama satu sama lain agar keberadaan anak lebih terlindungi . DAFTAR PUSTAKA Amirudin, dan H Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT Radja Grafindo Persada Jakarta C. De Rover, 2000, To Serve & To Protect, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta. Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Cetakan Pertama, Edisi pertama, PT Raja Grafindo Utama, Jakarta. Muladi, 2005, HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung. Rukmini, Mien, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Edisi I PT Alumni, Bandung.
Cetakan ke-2,
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I, Cetakan V, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta. Sutedjo, Wagiati, 2010, Aditama,Bandung.
Hukum
Pidana
Anak,
Cetakan:Ketiga.
8
PT.Refika
Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Cetakan Pertama, Edisi pertama, PT Raja Grafindo Utama, Jakarta, h. 122.
5
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEKERASAN ANAK OLEH IBUNYA SENDIRI1 Oleh: Grace Chintya Talot 2 ABSTRAK Pasal 1 butir 2 Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, yang bertujuan melindungi anak dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Kedudukan anak di Indonesia sangat rentan dengan keadaan ekonomi yang terpuruk, banyak anak-anak terpaksa dan dipaksa untuk bekerja dalam membantu mencukupi kebutuhan ekonomi orang tuanya dalam mencukupi makan untuk menyambung hidup sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normatif dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Kekerasan terhadap anak adalah “diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. 2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan yang dimaksud 1 2
Artikel Skripsi NIP 090711174
perlindungan hukum yaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dan bagi anak yang menjadi korban penculikan, korban kekerasan baik fisik maupun mental, anak yang cacat dan juga bagi anak-anak yang diterlantarkan. Kata kunci: Kekerasan, anak. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Kedudukan anak di Indonesia sangat rentan dengan keadaan ekonomi yang terpuruk, banyak anak-anak terpaksa dan dipaksa untuk bekerja dalam membantu mencukupi kebutuhan ekonomi orang tuanya dalam mencukupi makan untuk menyambung hidup sehari-hari, sampai saat ini jumlah pekerja anak masih belum terdata secara pasti. Pekerja anak tersebut baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja anak didaerah pedesaan lebih banyak melakukan pekerjaan bidang pertanian, perkebunan perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan keluarga. Pekerja anak di daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan, rumah tangga (sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja industri rumahan atau industri keluarga) maupun dijalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu, pengamen dan pengemis, pemulung bahkan sebagai pelacur dan pengedar narkoba. Beberapa diantara pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Banyak alasan yang dikemukakan sebagai pembenaran terhadap keberadaan pekerja anak tersebut. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, faktor kemiskinan dan kondisi ekonomi dianggap sebagai faktor
14
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013
utama yang mendorong keberadaan pekerja anak. Hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum baik Hukum Internasional maupun Hukum Nasional. Secara universal dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR). Bahkan hak asasi anak harus diperlakukan berbeda dengan orang dewasa, yang diatur secara khusus dalam konvensi-konvensi Internasional khusus. Hak asasi anak diperlakukan berbeda dari orang dewasa tersebut, karena anak sejak masih dalam kandung, melahirkan, tumbuh dan berkembang sampai menjadi orang dewasa, masih dalam keadaan tergantung, belum mandiri dan memerlukan perlakuan khusus baik dalam gizi, kesehatan, pendidikan, pengetahuan, agama dan ketrampilan, pekerjaan, keamanan, bebas dari rasa ketakutan, bebas dari rasa kekhawatiran maupun kesejahteraannya. Perlakuan khusus tersebut berupa mendapatkan perlindungan hukum dalam mendapatkan hak sipil, hak politik hak ekonomi, hak sosial maupun hak budaya yang lebih baik. Sehingga begitu anak tersebut meningkat menjadi dewasa akan lebih mengerti dan memahami hak-hak yang dimilikinya, maka begitu anak tersebut sudah tumbuh menjadi dewasa tidak akan ragu-ragu lagi dalam mengaplikasikan dan menerapkan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya yang bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan. Dengan demikian anak yang sudah meningkat dewasa tersebut sebagai generasi penerus masa depan akan menjadi tiang dan fondasi yang sangat kuat baik bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan
terhadap anak? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak jika dilakukan oleh ibunya sendiri? C. METODE PENELITIAN Penulis menggunakan beberapa metode penelitian dan teknik pengolahan data dalam penulisan skripsi ini. Misalnya studi dokumen atau bahan pustaka, observasi, wawancara atau interview.3 Lingkup penelitian adalah disiplin ilmu hukum, maka penelitian ini difokuskan pada penelitian hukum kepustakaan (penelitian hukum normatif). 4 PEMBAHASAN 1. Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Anak Tindakan kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak tersebutdapat terwujud setidaknya dalam empat bentuk.5 Pertama, kekerasan fisik. Bentuk ini paling mudah dikenali. Terkategorisasi sebagai kekerasan jenis ini adalah; menampar, menendang, memukul/meninju, mencekik mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti; luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat. Kedua, kekerasan psikis. Kekerasan jenis ini, tidak begitu mudah untuk dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunkan harga diri serta martabat korban. Wujud konkrit kekerasan atau 3
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hal. 66. 4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 14. 5 Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto dan Achie Sudiarti Luhulima, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000, hal. 87.
15
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013 pelanggaran jenis ini adalah; penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengankata-kata dan sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan (decision making). Ketiga, jenis kekerasan seksual. Termasuk dalam kategori ini adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukanhubungan seksual (sexual intercourse)melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang, termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah melakukan hubungan seksualitas. Segala perilaku yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun dilingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak jenis ini. Kasus pemerkosaan anak, pencabulan yang dilakukan oleh guru, orang lain bahkan orang tua tiri yang sering terekspos dalam pemberitaan berbagai media massa merupakan contoh konkrit kekerasan bentuk ini. Keempat, jenis kekerasan ekonomi. Kekerasan jenis ini sangat sering terjadi di lingkungan keluarga. Perilaku melarang pasangan untuk bekerja atau mencampuri pekerjaan pasangan, menolak memberikan uang atau mengambil uang, serta mengurangi jatah belanja bulanan merupakan contoh konkrit bentuk kekerasan ekonomi. Pada anak-anak, kekerasan jenis ini sering terjadi ketika Unicef meneliti keumuman bentuk kekerasan yang terjadi pada anak sesuai tingkatan usianya.
Bentuk-Bentuk Kekerasan Pada Setiap Fase Anak Bentuk Kekerasan. Pralahir Aborsi dan risiko janin ketika mengalami pemukulan fisik. Bayi Pembunuhan anak, kekerasan fisik, psikologis dan seksual. Anak Pernikahan dini, kekerasan alat genital, inses, kekerasan fisik, psikologis dan seksual.6 Remaja Pemerkosaan, inses, pelecehan seksual di lingkungan sosial, dijadikan wanita penghibur, kehamilan paksa, perdagangan remaja, pembunuhan, pelecehan psikologis. Tindakan kekerasan terhadap anak, mulai dari pengabaian anak sampai pada pemerkosaan dan pembunuhan anak terutama di lingkungan keluarga mempunyai beberapa klasifikasi menurut beberapa ahli. Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian kepada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika, Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong, Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah disembarang tempat, memecahkan barang berharga. Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata- kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar atau film pornografi pada anak. 6
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Rajawali Press, Jakarta, 2007, hal. 165.
16
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013
Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu orang lain. Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenangwenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya 2.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Kekerasan Yang Dilakukan Orangtuanya Sendiri Dalam Mukadimah Deklarasi PBB tersirat bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Semua pihak menyetujui peran anak (role of the child) merupakan harapan masa depan, anakku adalah yang paling berharga bagiku (GBHN) dan anakku adalah semangat hidupku. Ketentuan Undangundang tentang perlindungan hukum dimuat dalam pasal 34 UUD 1945, ketentuan ini ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkannya UU No. 4
Tahun1979 dan kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Kesejahteraan Anak.7 Anak mempunyai eksistensi sebagai anak manusia yang merupakan totalitas kehidupan dan kemanusiaan. Benarkah hak-hak anak sudah menjadi realitas dunia, masih banyak bentuk-bentuk eksploitasi, kekerasan, diskriminasi baik secara nyata maupun terselubung. Sampai saat ini problematika anak belum menarik masyarakat dan pemerintah. Pada sektor ekonomi masih banyak anak-anak yang bekerja di luar rumah disebabkan tekanan ekonomi. Secara kuantitas jumlahnya meningkat terus karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia terutama di sektor informal. Bermacam bentuk eksploitasi terhadap pekerja anak di sektor formal dan informal telah menyebabkan anak-anak tidak memperoleh hak-haknya di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, menikmati masa kanak-kanak untuk belajar dan bermain. Secara garis besar Deklarasi Mukadimah PBB memuat 10 asas tentang hak-hak anak, yaitu: hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat, memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir, mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat, tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin di bawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri mendapat pendidikan, dan dalam hal terjadi kecelakaan/malapetaka, mereka termasuk yang pertama memperoleh perlindungan terhadap segala bentuk yang 7
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Kesejahteraan Anak.
17
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013 menyia-nyiakan anak, kekejaman dan penindasan serta perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi. Pengertian perlindungan anak (Ps. ay. 2 UU No. 23 th. 2002) adalah8 segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Secara singkat ditegaskan bahwa anakanak harus dibesarkan dalam semangat/jiwa yang penuh pengertian, toleransi, persahabatan antar bangsa, perdamaian dan persaudaraan yang bersifat universal. Secara garis besar perlindungan anak dapatdibedakandalam2 pengertian, yaitu: I. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi: 1) bidang hukum publik; dan 2) bidang hukum keperdataan II. Perlindungan yang bersifat non yuridis: 1) bidang sosial; 2) bidang kesehatan; dan 3) bidang pendidikan9 Hukum perlindungan anak sebagai hukum tertulis maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Pada tahun 1979 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 2 UU No. 4/1979 merumuskan hak anak: a. anak berhak atas kesejahteraan, perawatan asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. b. anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian. Dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia 10 menyebutkan setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara (pasal 52 ayat (1)). Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (ayat (2)). Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya (pasal 53 ayat (1)). Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Dengan penjelasan, yang dimaksud dengan suatu nama adalah nama sendiri, dan nama orangtua kandung dan atau nama keluarga dan atau nama marga(ayat (2)). Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan penjelasan, pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mau (pasal 54). Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya dibawah bimbingan orang tua dan atau wali (pasal 55). Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (pasal 56 ayat (1)). Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undangundang ini, maka anak tersebut
8
10
9
Emeliana Krisnawati, Op-cit, hal. 2. Ibid, hal. 2, 3
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
18
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013
bolehdiasuh atau diangkat anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan Undangundang (ayat (2)). Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan Undang-undang (pasal 57 ayat (1)). Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua (ayat (2)). Orang tua angkat atau wali, harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya (ayat (3)). Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut(pasal58 ayat (1)). Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman (ayat (2)). Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dan orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 59 ayat (1)). Dalam keadaan hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Dengan penjelasan, berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah seorang dari orang tuanya atau dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut atau bila anak
disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya, mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti (pasal 60 ayat (1)). Setiap anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan (ayat (2)). Setiap anak berhak beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya (pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya (pasal 62). Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan didalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan (pasal 63). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat menggangu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya (pasal 64). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya. Dengan penjelasan, berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produktif, peredaran dan perdagangan sampaidengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 65). Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau 19
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013 penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (pasal 66 ayat (1)). Hukum mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak (ayat (2)).Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum (ayat (3)). Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ayat (4)). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan diri dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya (ayat(5)). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku (ayat (6)). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum (ayat (7)). Dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak meliputi (Pasal 2):11 a. Non diskriminasi. b. Kepentingan yang terbaik bagi anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak asasi 11
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. D Penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera (pasal 3). Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4). Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (pasal 5). Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua. Dalam hal ini dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Pengembangan tersebut masih tetap harus berada dalam bimbingan orang tuanya (pasal 6). Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya dalam arti asal-usulnya (termasuk itu susunya). Dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya,
20
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013
dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya (pasal 7 ayat (1)). Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengasuhan dari pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan norma-norma hukum, adat istiadat yang berlaku dan agama yang dianut anak (ayat (2)). Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual dan sosial (pasal 8). Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal9 ayat (1)). Selain hak anak, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (ayat (2)). Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilainilai kesusilaan dan kepatuhan (Pasal 10). Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri (pasal 11). Menurut buku Kitab Undang-Udang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,12KUHP memang tidak mendefinisikan 12
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, hal. 245.
apa yang dimaksud dengan penganiayaan dan penganiayaan ringan. Namun, menurut yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Contoh “rasa sakit” tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya. PENUTUP A. Kesimpulan 1. UU Perlindungan Anak yang dimaksud kekerasan terhadap anak adalah “diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Kekerasan yang dialami anak dapat berakibat langsung pada diri sang anak, bila seorang anak mengalami kekerasan secara fisik, dampak langsung yang akan dialaminya diantaranya dapat mengakibatkan kematian, patah tulang/luka-luka, dan pertumbuhan fisiknya pun berbeda dengan teman sebayanya. Sedangkan dampak jangka panjang yang dapat dialami anak yang mendapat kekerasan adalah akan munculnya perasaan malu/menyalahkan diri sendiri, cemas/depresi, kehilangan minat untuk bersekolah, stres pascatrauma seperti terus-menerus memikirkan peristiwa traumatis yang dialaminya, dan dapat pula tumbuh sebagai anak yang mengisolasi diri sendiri dan lingkungan di sekitarnya. 2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 21
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013 Sementara yang dimaksud perlindungan hukum yaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagnagkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dan bagi anak yang menjadi korban penculikan, korban kekerasan baik fisik maupun mental, anak yang cacat dan juga bagi anak-anak yang diterlantarkan. B. Saran 1. Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak perlu dibentuk komisi perlindungan anak Indonesia yang bersifat independen. Untuk menjaga tegaknya dan keutuhan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, maka diperlukan kepedulian baik orangtua, keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara terhadap anak karena anak adalah asset negara untuk memimpin masa depan yang lebih baik. 2. Perlindungan Kejahatan terhadap anak dalam sistem perundangundangan nasional tampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat masih sedikitnya aturan dalam perundang-undangan mengenai hak-hak atas anak. Ada beberapa perundang-undangan tetapi masih bersifat parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban terutama anak-anak yang dilakukan orangtuanya sendiri. DAFTAR PUSTAKA Gosita Arif, Masalah Perlindungan Anak, CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1984.
Ihromi Tapi Omas, Sulistyowati Irianto dan Achie Sudiarti Luhulima, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000. Joni Muhammad, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1999. Krisnawati Emeliana, Aspek Perlindungan Hukum Anak, CV. Utomo, Bandung, 2008. KuncoroWahyu, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Raih Asas Sukses, Jakarta, 2019. Mansur Arief Dikdik M. dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Rajawali Press, Jakarta, 2007. Mulyadi Lilik, Pengadilan Anak di Indonesia. Teori, Praktek dan Pemrasalahannya, Mandar Maju, Bandung, 2005. Saraswati Rika, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2007. Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982. __________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985. Soesilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Subekti R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1989. Suyanto Bagong dan Sri Sanituti, Krisis & Child Abuse, Airlangga University, Surabaya, 2002. Wahid Abdul dan Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Azasi Perempuan, Refika Aditama, Bandung, 2001.
22
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013
Wojowasito S. dan W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia, Shinta Darma, Bandung, 1975. Sumber-sumber Lain : http://wwwkadnet.info/wen/index.plp?opt ion=com Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
23
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
MENGHINDARI KEKERASAN TERHADAP ANAK MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK Sugianto Fakultas Syariah IAIN Syeh Nurjati Cirebon Email:
[email protected]
Abstrak Bentuk kekerasan sering dialami oleh seorang anak baik secara fisik maupun non fisik. Pasca pemberlakuan UU No. 23 tahun 2002 terntang perlindungan anak, pemerintah senantiasa dituntut untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari bahaya kekerasan. Bentuk perlindungan anak selain diwujudkan dalam bentuk pencegahan melalui pemberlakuan sanksi, juga diwujudkan dalam bentuk pembinaan yang perlu melibatkan berbagai pihak. Meskipun demikian, ternyata bentuk kekerasan terhadap anak masih sering terjadi, sehingga anak yang seharusnya mendapatkan hak-haknya secara patut masih sering terabaikan. Apapun yang menjadi penyebab, tentu tidak lepas dari implementasi undangundang yang belum terjalan secara baik. Violence is mostly experienced by a child physically and non-physically. After the implementation of regulation Number 23 year 2002 on children protection, government is demanded to give the protection for the children from the danger of violence. The form of protection can be a prevention through the implementation of sanction and education which invites the participation from all parties. However, violence is still experienced by children that their rights are still ignored mostly. That is due to the implementation of regulation Number 23 year 2002 has not run well. Kata Kunci: Perlindungan, Kekerasan, Anak Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.1 Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.2 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.3 Setiap anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangan memerlukan peerawatan, pendidikan, pembinaan, dan perhatian dari orang tua, keluarga atau pendidik (guru) di sekolah agar dapat memahami dan melakukan sesuatu yang dianggap baik dan menghindari yang tidak baik ”demi masa depan anak”. Prinsip demi masa depan tersebut penting untuk diperhatikan oleh siapapun, karena anaka akan menghadapi masa depan yang berbeda dibanding dialami oleh orang
1 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2 Ibid., Pasal 1 angka 2
Ibid., Pasal 3
3
62
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Sugianto, Menghindari Kekerasan Terhadap Anak... |
tuanya. Setiap anak itu berhak mendapat pengasuhan dan bimbingan dengan penuh kasih sayang dalam proses pembinaan agar anak dapat tumbuh optimal sesuai dengan minat, bakat dan potensi yang dimiliki baik fisik, intelektuial, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam pernyataannya sering terjai tindakan saebaliknya, bahkan tindakan kekerasan dilakukan oeh orang terdekat (orang tua atau keluarga, pengasuh) dan guru di sekolah. Dampak tindakan tersebut dapat menimbulkan kesakitan fisik atau trauma psikoogi jangka panjang yang berpengaruh terhadap kepribadian anak. Banyak tindakan yang tujuannya baik tetapi tidak dilakukan dengan cara yang tepat sehingga tanpa sengaja telah menimbulkan pengaruh buruk terhadap jiwa perkembangan anak. Karena itu, konsep peningkatan kesejahteraan dalam perlindungan anak harus mendahulukan ”demi kepentingan terbaik bagi anak” di atas kepentingan lain, termasuk kepentingan orang tua atau keluarga. Dengan kata lain baik orang rua atau guru harus melihat tindakan itu akan memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan anak maka harus segera dihindari. Setiap anak memiliki keunikan sifat dan karakter yang berbeda, walaupun anak kembar sekalipun. Karena itu ada ungkapan lebih mudah menjadi orang tua biologis dari pada membesarkan anak-anaknya. Pandangan itu sejalan dengan menempatkan anak sebagai amanah Tuhan dari pada modal (aset) keluarga.4 Kekerasan Terhadap Anak Ada beberapa bentuk tindakan kekerasan dari orang tua atau keluarga terdekat dan guru di sekolah yang menyalahi prinsip bagi kepentingan anak yang kurang disadari oleh keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Bentuk kekerasan dan eksploitasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi: Pertama, Bentuk kekerasan fisik dan psikologi terhadap anak. Bentuk tindakan tersebut 4 Ibnu Ansori, Kekerasan terhadap anak. (Jakarta: Media Pustaka 2004), h. 28
HALAMAN AWAL
63
paling banyak terjadi dan dapat dilihat secara mudah, ketika orang tua atau keluarga terdekat melakukan pemukulan, mencubit, membentak atau menghukum anak secara tidak bijaksana sehingga anak menderita kesakitan fisik dan mental psikologis jangka panjang tanpa disadari oleh orang tua. Tindakan tersebut dapat terjadi karena kenakalan dan kerewelan anak, orang tua yang tidak mengharap kehadiran anak cemburu terhadap keberadaan anak, orang tua stres menghadapi masalah kehidupan atau faktor lain yang menempatkan anak sebagai obyek tindak kekerasan. Kedua, Bentuk lain adalah tindakan pemaksaan terhadap anak adalah berupa pemaksaan kehendak pada anak pada usia balita demi kepentingan popularitas orang tua atau keluarga. Pernah terjadi di Bandung, anak disuruh menghapal nama-nama negara di dunia dan nama-nama kabinet. Setelah tidak hapal anak tersebut ditekan oleh orang tuanya sampai hapal, Menghapal kalikalian dari 1 sampai 9 di usia balita sehingga dipublikasikan oleh media masa sebagai anak jenius (anak luar biasa). Padahal anak tersebut mengalami kejenuhan yang luar biasa bahkan dapat menimbulkan kelelahan pada usia yang sangat muda. Perdagangan Anak. Perdangan anak merupakan bagian dari tindak pidana perdagangan orang (trafficking), yaitu tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.5 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 21 Tahun
5
DAFTAR ISI
64
| de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 4 Nomor 1, Juli 2012, hlm. 62-69
Praktik perdagangan anak banyak terjadi karena faktor keterbelakangan ekonomi suatu keluarga. Kasus anak jalanan atau pengemis, anak yang menjadi jaminan hutang terutama perempuan yang kemudian dijadikan istri muda dari pemberi hutang atau anak terpaksa dilacurkan untuk membantu ekonomi keluarga. Di samping itu salah satu contoh di Cirebon masih banyak anak-anak dijalanan dengan dalih untuk membantu perekonomian orang tua, padahal anak pada usia tersebut seharusnya memperoleh pendidikan yang layak sebagai wujud tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Realitas ini merupakan bentuk eksploitasi anak6 yang sesunggunya bertentangan dengan undang-undang.7 Bahkan dalam kasus lain ada orang tua yang memperjualbelikan bayi atau balitanya dengan dalih adopsi ilegal ke luar negeri. Kesejahteraan tersebut telah melibatkan sindikat internasional yang disebut dengan ”Trans National Krime” yang dikategorikan oleh PBB sebagai bentuk perbudakan (Modern Slavery). Bentuk perdagangan orang (trafficking) telah banyak terjadi diberbagai belahan dunia dengan pengiriman tenaga kerja anak perempuan di bawah umur, istri pesanan (Mail Order Bridge) atau dilacurkan (Sex Commercial).8
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tindakan tersebut masih terjadi dan cenderung meningkat sejalan dengan tuntunan kebutuhan hidup dan pola pikir masyarakat yang semakin materialistis dan konsumeristis pada satu sisi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah atau kepedulian orang mampu terhadap rakyat miskin juga semakin menipis pada sisi lain. Nilai-nilai luhur Pancasila dengan inti gotong royong semakin dilupakan oleh penyelenggara negara dan orang mampu di republik tercinta ini. Pemikiran yang sempit, individualistis, dan segmentatif semakin kental dalam kehidupan bangsa dan bernegara terutama di era reformasi dan desentralisasi sekarang ini. Corporal Punishment
Semua bentuk tindakan di atas termasuk kategori tindakan kekerasan yang sadar atau tidak sadar melanggar ketentuan dalam konvensi hak anak (CRC)9 dan UU
Banyak bentuk kekerasan yang dialami oleh seorang anak, diantaranya dikenal dengan istilah Corporal Punishment. Salah satu definisi Corporal Punishment yang ditulis oleh Hymen10 yaitu: “Corporal of physicological punishment an action taken by parent, teacher or caregiver that is intended to cause physical pain or discomfort to a child. It is the application of punishment to the body” (tindakan hukuman badan/fisik sebagai suatu perbuatan yang dilakukan orang tua, guru, atau pengasuh anak yang dapat menimbulkan kesakitan atau tidak menyenangkan bagi anak. Tindakan tersebut umumnya terjadi dalam bentuk hukuman badan).
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan Orang. 6 Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Ibid., Pasal 1 angka 7 7 Lihat Pasal 77 - 90 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 8 Lihat berbagai pemberitaan di media masa terkait kasus kekerasan terhadap anak melalui eksploitasi. 9 ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No.
182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) 10 Hymen, Reading, Writing, and the Hikkory Stick; The appaling story of physical and physicological abuse in American Schools, ...1990.
HALAMAN AWAL
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Corporal Punishment adalah hukuman fisik atau badan dalam rangka pembinaan disiplin anak dari orang tua terdekat baik di rumah atau di sekolah. Tindakan tersebut berbeda dengan tindakan kekerasan yang dilakukan orang dewasa lain diluar rumah dilihat dari tujuan yang ingin dicapai, meskipun modusnya sering tidak jauh berbeda. Tin-
DAFTAR ISI
Sugianto, Menghindari Kekerasan Terhadap Anak... |
dak kekerasan untuk pembiasaan yang sesuai dengan perkembangan anak adalah pelanggaran terhadap hak anak, seperti tercantum dalam Convention on the Rights of the Child/ CRC dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Mendisiplinkan anak terhadap sesuatu yang dianggap baik tidak perlu menggunakan hukuman kekerasan fisik atau psikologi sehingga akan berbekas dalam jiwa dan berperilaku sampai anak dewasa. Berbagai bentuk tindakan yang yang dapat dikategorikan sebagai Corporal Punishment (penyiksaan fisik) yang beredampak pada tubuh tahu kejiwaan dalam rangka membina pendisiplinan anak antara lain sebagai berikut: a. Kekerasan fisik tanpa alat berupa tamparan, tempeleng, pelintiran, tarikan jambakan, atau ubitan tanpa menggunakan alat seperti smacking (tamparan), spanking (pukul pantat), slapping (cubitan), Pulling (tarikan jambakan) dan sebagainya yang mengakibatkan kesakitan fisik atau rasa malu dihapan orang lain yang berdampak secara psikologis terhadap kejiwaan anak. b. Kekerasan fisik dengan alat, berupa pukulan, pecutan atau jepitan yang menggunakan alat seperti padding or wipping (peut/ cemeti), canning (rotan), chaining (rantai), cuffing (borgol), dan sebagainya yang dapat menimbulkan rasa sakit dan takut (trauma) apabila melihat alat-alat tersebut. c. Kekerasan fisik dan psikologi dengan mengerjakan sesuatu, misalnya hukuman disuruh berbuat atau berperilaku sesuatu yang tidak menyenangkan seperti striking (mengerjakan sesuatu), licking (menjilat sesuatu), giving a hidding (menyekap), kneeling (berjongkok atau berlutut), dan sebagainya yang akan terus diingat oleh anak sepanjang hayat. Alat atau media yang dipergunakan dapat berbentuk penggaris, ikat pinggang, sendok kayu, sandal, sikat rambut, peniti, tongkat, ceemeti/cambuk, selang karet,
HALAMAN AWAL
65
pemukul lalat, batu, dayung/pentungan dan sebagainya. Dari tindakan tersebut terjadi penyiksaan fisik/ badan yang akhirnya dapat menimbulkan: (a) Beban fisik yang lama bagi anak walaupun tanpa berbekas luka/sakit; (b) Rasa sakit fisik (luka, biru dan sebagainya); (c) Beban psikologis yang mempengaruhi emosi. Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap anak terus berlangsung baik di negara kaya maupun di negara miskin, di keluarga terdidik apalagi tidak terdidik, masyarakat kota ataupun pedesaan, masyarakat modern ataupun tradisional. Kecendrungan ini terjadi karena anak sering diposisikan sebagai manusia di bawah kendali orang dewasa yang memiliki hak dan kebebasan untuk menyampaikan harapan dan keinginannya. Dalam pandangan masyarakat, anak harus dibentuk sejak kecil agar berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara sesuai dengan harapan dan persepsi orang tua. Sikap anak yang serba ingin tahu, ingin mencoba, dan ingin mendapat perhatian seiring membuat orang tua, anggota keluarga, guru, pengasuh, pengelola dan penegak hukum cenderung memperlakukan anak sama dengan orang dewasa. Penolakan perintah merupakan perlawanan yang dianggap melawan ketentuan tanpa memberi kesempatan apa argumentasinya. Karena itu, tindak kekerasan terhadap anak terus berlangsung baik dilingkup domestik, maupun publik, di dalam gedung anak anak yang dianggap melanggar hak konvensi Hak Anak (PBB) dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. 11
11 Erna Sofwan, Segi-segi hukum Perlindungan anak, (Leiden: Rijks Universitette, 1990)
DAFTAR ISI
66
| de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 4 Nomor 1, Juli 2012, hlm. 62-69
KEKERASAN TERHADAP ANAK12 TEMPAT KEJADIAN
NO
PELAKU
PENYEBAB
SOLUSI
1.
Dalam rumah tangga
Orang tua (Ayah/Ibu) Ayah/Ibu tiri Saudara, Kakek/Nenek Bibi, paman, anggota keluarga lain Pembantu/perawat
Ketidaktahuan terhadap anak. Kemiskinan dan pengangguran. Konflik rumah tangga. Kecemburuan. Bukan anak kandung. Dan lain-lain.
Penyuluahn dan penyadaran. Pemberian sanksi hukuman
2.
Di Sekolah dan tempat pendidikan
Administrator sekolah (Kepsek & staff, penjaga sekolah). Guru Teman/senior
Ketidaktahuan terhadap hak anak sistem pendidikan masyarakat tidak perduli
penyuluhan dan penyadaran pemberian sanksio dan hukuman orientasi tenaga pendidik
3.
Di lembaga sosial / panti asuhan anak
pemimpin dan pengelola panti teman sesama penghuni panti penduduk sekitar panti
kekurangpahaman pemimpin dan pengelola panti akan hak anak pengawasan tergadap panti yang kurang
penyuluhan seara berkala pengawasan ooleh instansi yang berwenang dan masyarakat
4.
Anak temat kerja anak
Polisi Jaksa Hakim Pengelola lapas anak
Belum semua aparat tahu hak anak Keterbatasan dana dan fasilitas
Pelatihan terhadap aparat penegak hukum Penembahan ruang dan fasilitas pengadilan, penahanan dan lapas anak.
5.
Di tempat kerja anak
Pimpinan perusahaan belum menerapkan ketentuan hukum Pengawasan dari instansi (fungsional belum efektif).
Belum semua pihak menerpakan aturan dan undang-undang Masih banyak terjadi pelanggaran hukum. Anak dari keluarga miskin tidak setimpal
Penyuluhan hak anak diintensifkan Penegakan hukum ditingkatkan Keluarga miskin dikurangi.
6.
Di masyarakat dan jalalan
Orang dewasa Teman sebaya Preman, dll.
Keamanan dan kenyamanan dalam masyarakat danligkungan Penegakan hukum tidak konsisten Kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak kurang.
Penegakan hukum tegas bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Penertiban preman Penyandaraan aparat keamanan.
7.
Di interaktif komunikatif
Pengelola internet
Pengendalian dari orang tua rendah Pengawasan isi internet kurang Kebebasan mendapat informasi tidak terkendali
Pengendalian dari pemerintah terhadap komunikasi internet Penyanderaan dari orang tua atau guru akan dampak positif negatif internet
Ibnu Ansori, Kekerasan terhadap anak, (Jakarta Media Pustaka, 2004), h.35-38
12
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Sugianto, Menghindari Kekerasan Terhadap Anak... |
Membangun Kedisiplinan Tanpa Kekerasan Kedisiplinan merupakan indikator penting suatu kedewasaan yang melekat pada diri seorang anak. Kedewasaan seorang anak diharapkan mampu mencegah prilaku kekerasan yang mengancam dirinya. Tujuh prinsip dalam membina dan membangun disiplin anak meliputi: (a) Hormati Martabat/ harga diri anak (respect the child dighnity). Dighnity refer to the state of being worthy, honoredor esreemed-Britanica). Martabat/harga diri adalah hak dasar setiap orang yang harus diperhatikan dan dihormati sebagai wujud menghormati ciptaan Tuhan. Karena itu setiap orang tua atau pembimbing untuk mewujudkan keinginan anak bukan sebagai pemberi hukuman atau sanksi. Hal itu perlu dilakukan demi kebaikan masa depan anak dalam rangka perlindungan terhadap hak-haknya.13 (b) Bangun jiwa Pro-sosial, disiplin diri, dan kepribadian (Develop prosocial, self discipline and charater).discipline is defined as the training of mind and characterwebaters dictionary.14 Karakter adalah sumber dan totalitas kemampuan perilaku seseorang yang tumbuh dari kebiasaan untuk menyampaikan perasaan, sikap dan keinginan dalam kehidupan diri dan bersama orang lain. Dengan demikian disiplin berkaitan erat dengan kesadaran diri dan kepribadian yang tumbuh dan berkembang dari dalam karena ada pengaruh rangsangan dari luar. Dengan mengacu pada semangat undangundang perlindungan anak, pembinaan anak diarahkan kepada: (a) Sikap dan perilaku percaya diri dan disiplin diri dalam upaya pembentukan kepribadian termasuk mematuhi adat/tata nilai sosial kebebasan memilih dan sebagainya wujud jati diri yang diperlukan dan diinginkan anak; (b) Sikap dan perilaku percaya diri dalam upaya pembentukan kepribadian termasuk 13 Article 228;2,23;1,37 Convention on the Rights of the Child. Sebagai perbandingan terkait hak dan kewajiban anak lihat Pasal 4-19 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 14 Sebagai perbandingan lihat bagian hak dan kewajiban anak Pasal 4-19 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
HALAMAN AWAL
67
mematuhi adat/tata nilai sosial kebebasan memilih dan sebagainya wujud jati diri yang diperlukan dan diinginkan anak; (c) Sikap dan perilaku suka memberi penghargaan dan memperluas kemampuan dalam memilih, memutuskan rasa empati dan keadilan terhadap anak; (d) Oleh karena itu dukungan terhadap pendidikan untuk anti kekerasan, pemecahan masalah saling menguntungkan rasa empati terhadap sesama lingkungan dalam rangka menyiapkan diri menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab;15 (e) Tingktan partisipasi aktif anak (maximize the child’s active participation); (f) Participation having your view consided and influencing condition affebcting yourself and those persons and thing you value is essential to human dighnity and democratic citizenship. Dengan demikian perlu dipahami perbedaan budaya dan keinginan dalam peningkatan kedisiplinan seseorang dalam menggunakan pendekatan yang sesuai dengan keinginan atau kebutuhan anak. Melalui undang-undang pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terhadap upaya perlindungan anak. Tindak lanjut dari kebijakan tersebut diantara dengan membentuk komisi nasional perlindungan anak. Banyaknya kasus kekerasan yang menimpa pada anak, terutama kekerasan non fisik, seperti penyimpangan moral, menunjukkan bahwa komisi ini belum berfungsi secara optimal. Selama ini ada kecendrungan bahwa kekerasan hanya dimaknai dari aspek fisik dan psikis, belum sampai pada aspek moral. Apapun yang menjadi penyebab, tentu tidak lepas dari kurangnya perhatian pihak terkait terhadap kemungkinan adanya dekadensi moral bagi anak-anak. Terkait pemenuhan hak-hak anak, ada dua konsep kebijakan yang perlu dikembangkan oleh pemerintah dalam pembangunan yang berpihak terhadap kepentingan anak. Pertama, kebijakan pembangunan yang memberikan perhatian penting terhadap 15 \ Article 29;1,(a) Convention on the Rights of the Child
DAFTAR ISI
68
| de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 4 Nomor 1, Juli 2012, hlm. 62-69
kesejahteraan16 dan perlindungan anak atau disebut ”Child Meanstreaming Policy”. Kedua, kebijakan pembangunan yang bersahabat dengan anak atau disebut ”Child Friendly Policy” demi keutuhan tumbuh kembang anak dalam menghadapi masa depan bangsa dan negara. Karena apa yang kita lakukan terhadap anak sekarang ini akan kita lihat hasilnya dalam jangka waktu 20-30 tahun yang akan datang. Ketika pendidikan moral dan budi pekerti dihilangkan dari kehidupan keluarga dan pendidikan di sekolah, sekarang kita melihat orang terdidik dan berkuasa melakuka tindakan melanggar hukum untuk memuaskan nafsu diri sendiri atau kelompoknya. Sebaliknya penghargaan yang lebih pada harta benda dan uang telah membentuk manusia berjiwa kapitalis, materealistis, Konsumeristik. Semua diukur dengan materi dan kebebasan tanpa rasa empati dan kepedulian pada yang kurang beruntung. Hasilnya banyak manusia Indonesia yang berpendidikan tetapi memiliki mental ”miskin”.17 Tipe manusia mental miskin dapat dikelompokkkan menjadi tiga, yaitu : (1). Orang miskin yang pasrah terhadap kemiskinan sehingga kurang merubah diri menjadi orang mampu. (2). Orang kaya dan berkecukupan tetapi selalu merasa kekurangan sehingga setiap menerima kesempatan senang menerima dari pada memberi kepada pihak lain apakah dari rekanan, bawahan, atau mitra kerja lain. (3). Orang kaya dan berkecukupan tetapi tidak perduli dengan orang miskin disekitarnya adalah bentuk lain dari mental miskin. Dengan demikian, kebijakan untuk menghapus kemiskinan tidak cukup hanya ditujukan kepada orang yang hidup dibawah garis kemiskinan, tetapi juga harus menyentuh orang kaya dan mampu agar tidak menggunakan orang miskin untuk 16 Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Lihat Pasal 1 angka 1 huruf a Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 17 Giwo Rubiyanto. Perlindungan anak dalam perspektif hukum. (Jakarta: Media Jakarta, 2006), h. 87
HALAMAN AWAL
menghimpun kekayaan, atau orang kaya dan mampu tidak peduli terhadap orang miskin. Bantuan kepada orang miskin tidak hanya untuk kepentingan konsumtif tetapi lebih diutamakan kepada pemberdayaan agar mereka dapat mengatasi kemiskinannya dengan bantuan dan fasilitas dari orang kaya. Kesimpulan Disadari atau tidak kekeraan terhadap anak nampaknya akan terus berlangsung dan dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggungjawab terhadap perawatan pengasuhan, pembinaan terhadap perkembangan anak. Tindakan yang dilakukan ada yang berfikir demi kepentingan masa depan anak walaupun langkah tersebut dapat mencederai tumbuh kembang anak dalam menghadapi masa depannya. Namun tidak jarang tindakan kekerasan tersebut dilakukan karena tekanan ekonomi, psikologis, kecemburuan, kejengkelan atau kekesalan terhadap tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua atau keluarga. Pada sisi lain kekerasaan terhadap anak memang dilakukan oleh orang dewasa karena ingin mendapat keuntungan dari keberadaan anak seperti eksploitasi ekonomi, eksploitasi fisik, pelacuran, penjualan bayi dan anak untuk keuntungan ekonomi. Terhadap pelaku tindak kekerasan yang didasari pertimbangan demi kepentingan masa depan anak, perlu dilakukan secara persuasif melalui penyuluhan dan penyadaran bahwa tindakan tersebut telah melanggar hukum atau mengabaikan hak-hak yang diamanati oleh konvensi Hak Anak PBB dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap pelaku pelanggaran hak anak. Model kedua harus diberi tindaklan hukum yang tegas agar pelaku tidak mengulangi tindakan yang melanggar hak asasi manusia, apalagi terhadap bayi dan anak yang harus diberikan hukum pemberatan di banding kejahatan kemanusiaan biasa mengingat anak yang masih belum dewasa untuk melindungi dirinya sendiri.
DAFTAR ISI
Sugianto, Menghindari Kekerasan Terhadap Anak... |
69
DAFTAR PUSTAKA Ansori, Ibnu, SH., MA. Kekerasan terhadap anak. Media Pustaka, Jakarta, 2000 ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) Rubiyanto, Giwo. Perlindungan anak dalam perspektif hukum. Jakarta : Media Jakarta. 2006. Sofwan, Erna, Segi-segi hukum Perlindungan
HALAMAN AWAL
anak. Rijks Universitette Leiden, 1990 Tim KPAI Pusat. Restorasi Perlindungan anak. Media Restorasi, Jakarta Republik Indonesia. Undang-Undang No. 23 tahun 2002. Tentang Perlindungan anak. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 21 tahun 2007. Tentang pemberantassan tindak pidana perdagangan orang. Jakarta: Citra Umbara, tth Republik Indonesia. Undang-Undang No. 39 tahun 1999. Tentang hak asasi manusia. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
DAFTAR ISI
EFEKTIVITAS PENGATURAN SANKSI PIDANA TAMBAHAN DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Pontianak) BRANADATA SEMBIRING, S.H. A. 21211067
1
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
ABSTRACT This thesis discusses the problem Effectiveness of Criminal Sanctions Additional Settings In Law Number 23, 2004 on the Elimination of Domestic Kekersan (Case Study In State Court Pontianak). From the results of research using normative legal research methods and sociological conclusion that: 1. Setting additional criminal sanctions under Article 50 of Law Number 23, 2004 on the Elimination of Domestic Violence, judged not effective enough to sustain the effectiveness of the application of criminal sanctions in the underlying criminal acts of violence in the household. That's because only a limited range, which is to give freedom to the judge dropped criminal trial for the purpose of supervision to offenders and keep the integrity of the household. In other words, it is not intended to provide additional criminal sanctions against the principal who is weighting, as stipulated in Article 10 of the Book of Law Criminal Law and laws governing criminal sanctions outside the Criminal Code. Consequently, additional criminal sanctions can not be applied to mengefktifkan sanction of imprisonment or fines for criminal acts of domestic violence that cause severe injuries or death of the victim. 2. Additional Criminal Sanctions settings so that a more effective way to provide legal protection for victims of crime to domestic violence in the future, it is necessary to extend the norms of Article 50 of Law Number 23, 2004: a. Not just limited to giving freedom to the judge in imposing a criminal trial for the purpose of supervision to offenders and keep the integrity of the household: but expanded as the support of the principal criminal sense of security and protection to victims of both material and immateriel. b. Additional types of criminal sanctions should be formulated, other than as provided for in Article 50 of Law Number 23, 2004 are: 1) Change the material and immaterial losses for victims of domestic violence, both against: a, husband, wife, and children; b. people who have a family relationship with a person to whom a letter by blood, marriage, dairy, care, and guardianship, living within the household, and / or c people who work to help the household and living in the household. d. People who work as intended letter c is viewed as a member of the family in the long term is in the household. 2) The dismissal of the civil service of the offender's status as civil servants (central and local), military, police, and civil servants in the military and police institutions; 3) dismissal from the post of state: legislative, executive and judicial branches. 4) The revocation of the rights, such as: child care, custody and / or guardianship. Further expansion of the arrangement and recommended that additional criminal sanctions mentioned above, can only be imposed on offenders who violated: Article 44 paragraph (1), paragraph (2) and paragraph (3), Article 46, Article 47, Article 48, and Article 49 of Law Number 23, 2004 on the Elimination of Domestic Violence: Keyword: Elimination of Domestic Violence
2
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
ABSTRAK Tesis ini membahas masalah Efektivitas Pengaturan Sanksi Pidana Tambahan Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekersan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Pontianak). Dari hasil penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif dan sosiologis diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Pengaturan sanksi pidana tambahan berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dinilai tidak cukup efektif untuk menopang efektivitas penerapan sanksi pidana pokok dalam tindak pidana kekerasan di rumah tangga. Hal itu dikarenakan jangkauannya hanya terbatas, yaitu untuk memberikan kebebasan kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan kata lain, tidak dimaksudkan untuk memberikan tambahan sanksi terhadap pidana pokok yang bersifat pemberatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undangundang yang mengatur sanksi pidana di luar KUHP. Konsekuensinya, sanksi pidana tambahan tersebut tidak dapat diterapkan untuk mengefktifkan penerapan sanksi pidana penjara atau denda terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat luka berat atau matinya korban. 2. Agar Pengaturan Sanksi Pidana Tambahan yang lebih efektif untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban dalam tindak pidana kekerasan di rumah tangga ke masa depan, maka perlu memperluas norma Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004: a. Tidak hanya dibatasi untuk memberikan kebebasan kepada hakim dalam menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga; tetapi diperluas sebagai penopang pidana pokok dan perlindungan rasa aman kepada korban baik secara materiel maupun immateriel. b. Jenis sanksi pidana tambahan yang seharusnya dapat diformulasikan, selain sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah: 1) Ganti kerugian materiel maupun immaterial terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap : a, suami, isteri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. d. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. 2) Pemecatan sebagai pegawai negeri terhadap pelaku yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (Pusat dan Daerah), TNI, Polri, dan pegawai negeri di lingkungan institusi TNI dan Polri; 3) Pemecatan dari jabatan kenegaraan : legislatif, eksekutif dan yudikatif. 4) Pencabutan terhadap hak-hak tertentu, seperti : pengasuhan anak, perwalian dan/atau pengampuan. Selanjutnya direkomendasikan agar perluasan pengaturan dan penerapan sanksi pidana tambahan tersebut di atas, hanya dapat dikenakan terhadap pelaku yang melanggar : Pasal 44 ayat (1); ayat (2) dan ayat (3); Pasal 46; Pasal 47; Pasal 48; dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kata Kunci: Kekersan Dalam Rumah Tangga
3
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Latar Belakang
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Pasal 28 dan Pasal 28A sampai Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan tegas memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia .
Berdasarkan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Kemudian Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Selanjutnya Pasal 29, menormatifkan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Karena itu, perkawinan yang dilandasi hukum agama dan nilai-nilai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang pada gilirannya akan membentuk bangunan keluarga
rumah tangga perlu dilindungi keutuhannya oleh setiap
anggota keluarga, warga masyakat dan Negara. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut di atas, telah diwujudkan dengan membentuk dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sebab, dalam perkembangan tata kehidupan berkeluarga dewasa ini menunjukkan terjadinya tindak
4
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga . Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Namun selama hampir delapan tahun berlakunya Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tetap marak terjadi di berbagai daerah dan kota di Indonesia. Padahal, berdasarkan Pasal 44 sampai Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah ditentukan sanksi pidana penjara dan sanksi denda yang cukup berat, namun menurut parktiknya, penerapan sanksi penjara tersebut lebih rendah dari ketentuan normatifnya. Penerapan sanksi pidana penjara yang lebih ringan dari ketentuan undang-undang dan tuntutan jaksa penuntut umum oleh Majelis Hakim, pada gilirannya dapat menimbulkan kurang efektifnya penerapan sanksi pidana untuk menimbulkan effek jera kepada pelaku maupun pencegahan terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi tanpa diikuti dengan penerapan sanksi pidana tambahan yang memadai, sebagaimana dimaksud Pasal 50 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004, yang menentukan : “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu
5
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu”.1 Karena itu, ke depan menurut hemat penulis perlu diformulasi sanksi pidana tambahan yang lebih memadai, antara lain berupa : “pembayaran uang pengganti atas kerugian materiil dan immaterial yang diderita korban” atau “pemecatan dari pengawai negeri sipil” terhadap pelaku yang berstatus Pegawai Negeri Sipil”. Tegasnya, Putusan Pengadilan diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan.2. Permasalahan Bagaimana seharusnya pengaturan sanksi pidana tambahan yang lebih efektif untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban dalam tindak pidana kekerasan di rumah tangga ke masa depan. Pembahasan Pengaturan Sanksi Pidana Tambahan yang lebih efektif untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban dalam tindak pidana kekerasan di rumah tangga ke masa depan 1. Fungsi sanksi dalam peraturan perundang-undangan Norma sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undngan, hakikatnya berfungsi sebagai norma penegak dari suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa norma sanksi, maka pelaksanaan peraturan perundang-undangan tidak akan efektif. Norma sanksi diformulasikan ke dalam peraturan perundang-undangan karena adanya perbuatan yang dilarang, diperintahkan, diwajibkan, atau diharuskan. Jika norma larangan, perintah, kewajiban, dan keharusan tidak ditopang oleh norma sanksi, maka peraturan perundang-undangan tidak memiliki daya paksa untuk dipatuhi oleh subyek hukum yang diikatnya dan ditegakkan oleh lembaga/aparatur penegak hukum yang berwenang. Karena itu, tujuan umum diaturnya norma sanksi, adalah untuk: 1
Menurut penjelasannya, ketentuan sanksi pidana tambahan di atas, hanya dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga. 2 Mitra Perempuan, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan & Layanan Women’s Crisis Centre: Laporan 2007, Hlm. 2
6
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
a. Mencegah terjadinya perbuatan melawan hukum terhadap peraturan perundang-undangan; b. Menindak setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan; c. Menghukum setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan; d. Memberikan efek jera kepada pelaku yang melanggar peraturan perundang-undangan; e. Memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat untuk mematuhi ketentuan hukum yang berlaku agar diperoleh ketertiban, rasa aman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam tata kehidupan berpribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terdapat tiga jenis sanksi utama yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan, yaitu : sanksi administrasi, sanksi pidana dan sanksi perdata. Ketiga jenis sanksi ini masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, sebagai berikut: 1.1. Sanksi Pidana Menurut Barda Nawawi Arief, istilah pidana hakikatnya mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri pokok :3 a. merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. b. diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang). c. dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Demikian pula menurut pandangan Andi Hamzah,4 bahwa hukuman merupakan sanksi yang menderitakan atau memberi nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang karena bersalah melakukan tindak pidana, sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengandung asas ”nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Berkenaan dengan diaturnya tuntutan ganti rugi dalam hukum pidana, Oemar Seno Adji, 5 menyatakan terdapat tiga macam ganti rugi dalam perkara pidana, yaitu : a. Ganti rugi setelah herziening, b. Ganti rugi karena terdapat penahanan yang bertentangan dengan undang-undang, c. Ganti rugi yang diberikan kepada mereka yang termasuk ataupun menjadi korban kejahatan.
3
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Korupsi di Indonesia (beberapa catatan terhadap RUU tentang perubahan UU No. 31/1999), Makalah Seminar Nasional Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi dengan Sistem Pembuktian Terbalik, 10 Juli 2001, Surakarta : Fakultas Hukum UNS, Hlm. 4. 4 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, Hlm. 3. 5 Oemar Senoadji, Herziening, Ganti Rugi dan Suap dan Perkembangan Delik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1984, Hlm. 7-9.
7
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Kemudian Sahetapy berpendapat bahwa pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan, ada kaitannya dengan disiplin ilmu viktimologi, yaitu yang membahas permasalahan korban dari segala aspeknya. 6 Karena itu, bila dihubungkan dengan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga, maka setiap oarang dalam lingkup rumah tangga yang menjadi korban kekerasan dapat diberikan ganti kerugian secara materiel, baik terhadap: a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, ataupun; d. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga
dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief, 7 perlindungan korban dalam proses pidana tentunya tidak lepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif yang berlaku. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan
abstrak
atau
perlindungan
tidak
langsung.
Artinya,
sistem
sanksi
dan
pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Barda Nawawi Arief juga menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan kongkret, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi/individual. Perlindungan korban secara tidak langsung itu dapat dicermati pada pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, antara lain : a. Pasal 349 KUHP : Pencabutan hak menjalankan pencaharian sebagai dokter/bidan dalam kasus pengguguran. b. Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 7 Drt Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi Penutupan seluruh/sebagian perusahaan si terhukum. c. Pencabutan ijin usaha industri berdasarkan Pasal 26 Jo.19 UU No.5 tahun 1984 tentang perindustrian yang bermaksud melindungi standar bahan baku dan barang hasil industri.
6
JE Sahetapy,Viktimologie Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, Hlm. 43. Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi VoL I, 1998, Hlm. 16-17. 7
8
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
d. Pencabutan surat ijin mengemudi/SIM berdasarkan Pasal 70 UU No.14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Dalam hal-hal tertentu, hukum pidana positif (materiil dan formil) memberi perhatian juga kepada korban secara langsung. Antara lain terlihat dari ketentuan : a. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat, yang menurut Pasal 14 c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana "untuk mengganti" kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana. Jadi ganti rugi disini seolah-olah berfungsi sebagai pengganti pidana pokok. b. Pasal 8 sub d UU No.7 Drt. 1955 memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi "tindakan tata tertib" berupa "kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak", "meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak", dan "melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat", yang semuanya atas biaya terhutang. c. Bab XIII (Pasal 98 — 101) KUHAP memberi kemungkinan penggabungan perkara gugatan kerugian dalam perkara pidana. Muladi berpendapat bahwa dewasa ini pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan belum menampakkan pola yang jelas. Dari segi hukum materiil dapat dilihat antara ketentuan yang berkaitan dengan pidana bersyarat, sebagaimana diatur Pasal 14 c KUHP. Dalam Pasal tersebut disebutkan adanya syarat khusus yang harus dipenuhi selama masa percobaan, yaitu kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh pihak pidana dalam waktu tertentu.8 Selain itu, juga ada beberapa istilah mengenai ganti rugi yaitu uang ganti rugi dan uang pengganti, hal ini bisa diketahui dalam beberapa ketentuan sebagai berikut : a. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 disebut dengan istilah ”pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”. b. Pasal 14 c (1) KUHP : dalam perintah yang tersebut Pasal 14 a, kecuali dalam hal dijatuhkan hukuman denda, maka bersama-sama dengan perjanjian umum bahwa si terhukum tidak akan melakukan perbuatan yang dapat dihukum, maka Hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa bahwa si terhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena perbuatan yang dapat dihukum, semuanya atau sebagian saja yang ditentukan atas klaim tempo yang akan ditetapkan, yang kurang lamanya dari tempo percobaan. c. Pasal 95 KUHAP :
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukwn Pidana, Alumni, Bandung, 1992, Hlm.. 87.
9
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. (4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. (5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan. d. Pasal 98 KUHAP: (1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri, menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka Hakim ketua sidang atas permintaan itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Demikian juga berdasakan Pasal-Pasal 99 s.d. 101 KUHAP tentang penggabungan perkara gugatan ganti rugi juga ditemui istilah ganti kerugian, antara lain sebagai berikut : Pasal 99 : (1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatarmya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. (2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang telah dirugikan. (3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Pasal 100 : (1). Apabila terjadi penggabungan perkara antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. (2). Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Pasal 101 : Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur
10
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Terkait perbedaan antara pembayaran uang pengganti dengan ganti rusi, Joko Sumaryanto berpendapat, bahwa :9 1. Pidana pembayaran uang pengganti ádalah pidana tambahan yang khsusus ditentukan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Istilah pidana pembayaran uang pengganti atau disingkat pidana uang pengganti. Istilah ini harus dibedakan dengan istilah ganti rugi dalam hukum perdata. Sebagai pidana tambahan, maka pidana pembayaran uang pengganti tidak dapat berdiri sendiri, tetapi dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Suatu putusan hakim, berupa pidana pembayaran uang pengganti mengikuti pidana pokok (Pidana Penjara, Pidana penjara dan Denda), pidana pembayaran uang pengganti biasanya diikuti dengan pidana tambahan yang lain yaitu perampasan barang-barang (apabila ada barang-barang yang masih dapat disita/dirampas). 2. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti harus dibedakan dengan ganti kerugian dalam lapangan hukum perdata dan ganti kerugian dalam KUHAP. Ganti kerugian/ganti rugi dalam hukum perdata berkaitan dengan Pasal 1365 BW. Ganti kerugian berdasar ketentuan KUHAP disatukan dengan rehabilitasi. 3. Pidana tambahan perampasan barang-barang ádalah merupakan pidana perampasan kekayaan seperti halnya dengan pidana denda. Perampasan sebagai pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim, artinya mencabut hak milik atau barang yang dipunyainya dan barang itu dijadikan milik pemerintah (untuk tindak pidana korupsi / kasus korupsi dilelang untuk negara), sedangkan Penyitaan (Pem-beslahan) bukan pidana, tetapi suatu tindakan kepolisian/penyidik yang artinya menahan sementara barang itu untuk dijadikan barang bukti. 4. Dari ketentuan Pasal 18 UU 31/1999 dan Pasal 67 RUU KUHP tahun 2007 memiliki perbedaan istilah tentang pidana tambahan terutama berkenaan dengan pidana uang pengganti. 5. Pasal 18 UU 31/1999 menggunakan istilah pidana uang pengganti, sedangkan Pasal 67 RUU KUHP tahun 2007 menggunakan istilah pembayaran ganti kerugian. Kedua istilah tersebut memiliki perbedaan makna, dalam hukum pidana tidak dikenal istilah ganti kerugian yang ada ádalah uang pengganti walaupun maknanya sama yaitu bagaimana uang hasil tindak pidana korupsi dapat kembali kepada negara. 6. Sedangkan
dalam
RUU
Tipikor
Versi
Pemerintah
juga
diatur
mengenai
pengembalian/pemulihan kerugian keuangan negara, yang secara rinci terdapat pada Pasal 59, yaitu bahwa : 9
Joko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Korupsi (Bagian X), Artikel, Surabaya, 19 Maret 2009.
11
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
(1) Pengembalian aset yang berada di luar wilayah negara RI yang merupakan hasil tindak pidana korupsi dilakukan dengan kerja sama secara khusus antara Indonesia dengan negara lain tempat aset tersebut berada ; (2) Kerja sama secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral ; (3) Pengembalian aset dari negara tempat aset tersebut berada dilakukan secara transparan dengan memperhatikan kepentingan nasional Indonesia ditinjau dari aspek politik, sosial, dan ekonomi ; (4) Pengembalian aset
sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1)
dilakukan dengan
mempertimbangkan efisiensi, biaya, dan nilai aset yang diharapkan ; (5) Tanpa mengurangi arti Undang-undang tentang Pencucian Uang perlu kerja sama antar instansi terkait dalam rangka pelacakan dan pengalihan aset hasil tindak pidana korupsi untuk memverifiasi identitas para nasabah dan melakukan penelitian terhadap rekening nasabah dari orang-orang tertentu di lingkungan baik pejabat publik maupun anggota keluarganya 7. Konsep kerugian keuangan Negara dalam perspektif hukum pidana adalah merupakan konsep kerugian keuangan menurut UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pertanggungjawaban dan pengelolaan keuangan negara, sedangkan menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi kerugian keuangan Negara adalah merupakan unsur tindak pidana korupsi sesuai dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Daad-Dader Strafrecht). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ada persamaan dan perbedaan antara pengertian uang pengganti dan uang ganti rugi. Perbedaannya bahwa : a. Bila yang menyebabkan kerugian itu adalah seseorang dan ditujukan kepada kerugian negara, maka disebut membayar uang pengganti dan bukan membayar uang rugi (Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999). b. Bila yang menyebabkan kerugian adalah Negara/Pejabat/Petugas karena lalai memenuhi ketentuan KUHP, maka disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar ganti rugi (Pasal 95 KUHAP). c. Seseorang pada orang lain, yang sebenarnya merupakan proses dan tuntutan perdata, tetapi oleh KUHAP diperkenankan melakukan penggabungan dengan proses dan tuntutan pidana, maka disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal 95 KUHP). Sebagai catatan, bahwa baik kepada orang maupun pada negara, pembayaran yang dilakukan karena syarat khusus yang diperjanjikan dalam putusan hakim, bila tidak dipenuhi disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal 14 c : 1 KUHP). 12
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Sedangkan persamaannya adalah baik uang pengganti maupun uang ganti rugi dilihat dari tujuan dan fungsinya adalah sama, yaitu: a. Tujuannya : sebagai suatu pergantian, yaitu memberikan pergantian terhadap suatu kerugian yang telah terjadi, untuk mencapai keseimbangan seperti semula. b. Fungsinya : Dari segi fungsinya adalah sama yaitu sama-sama berfungsi sebagai suatu penghukuman yaitu uang pengganti merupakan suatu hukuman tambahan sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999, uang ganti rugi sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 KUHAP adalah sebagai hukuman terhadap pejabat/petugas negara yang dalam tugasnya lalai memenuhi ketentuan perundangan, kekeliruan tentang orangnya rnaupun tentang penerapan hukumnya. Demikian pula dengan uang ganti rugi berdasarkan Pasal 98 KUHAP adalah sebagai hukuman yang dijatuhkan Pengadilan di samping hukuman pidana, demikian pula uang ganti rugi menurut Pasal 14 c : 1 KUHP adalah juga merupakan suatu hukuman karena lalai memenuhi syarat khusus dalam suatu. putusan Pengadilan. Pengaturan Jenis Sanksi Pidana Tambahan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan DiRumah Tangga ke depan Mengacu pada fungsi sanksi dalam peraturan perundang-undangan di atas, maka menurut pendapat penulis, akan lebih efektif dan fungsional apabila norma sanksi pidana tambahan berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 diperluas cakupannya, sebagai berikut: a. Tidak hanya dibatasi untuk memberikan kebebasan kepada hakim dalam menjatuhkan pidana
percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga; tetapi diperluas sebagai penopang pidana pokok dan perlindungan rasa aman kepada korban baik secara materiel maupun immateriel. b. Jenis sanksi pidana tambahan yang seharusnya dapat diformulasikan, selain sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah: 1) Ganti kerugian materiel maupun immaterial terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap :10 a. suami, isteri, dan anak;
10
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
13
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut . d. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga
dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. 2) Pemecatan sebagai pegawai negeri terhadap pelaku yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (Pusat dan Daerah), TNI, Polri, dan pegawai negeri di lingkungan institusi TNI dan Polri; 3) Pemecatan dari jabatan kenegaraan : legislatif, eksekutif dan yudikatif. 4) Pencabutan terhadap hak-hak tertentu, seperti : pengasuhan anak, perwalian dan/atau pengampuan. Perlu ditegaskan perluasan pengaturan dan penerapan sanksi pidana tambahan tersebut di atas, hanya dapat dikenakan terhadap pelaku yang melanggar : Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) (3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Pasal 46 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 47 Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48 14
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-ku rang nya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Alasan perlunya perluasan pengaturan dan penerapan sanksi pidana tambahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah karena pengaturan sanksi pidana dan denda dalam undang-undang tersebut formulasinya bersifat alternatif, bukan kumulatif. Sehingga, bagi para pejabat Negara atau Pegawai Negeri yang memiliki jabatan tinggi dan banyak uang, tentunya akan memilih “pembayaran uang denda” daripada dihukum penjara. Jika ini yang terjadi, maka fungsi pidana penjara untuk membuat effek jera menjadi tidak ada gunanya. Kesimpulan Pengaturan sanksi pidana tambahan berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dinilai tidak cukup efektif untuk menopang efektivitas penerapan sanksi pidana pokok dalam tindak pidana kekerasan di rumah tangga. Hal itu dikarenakan jangkauannya hanya terbatas, yaitu untuk memberikan kebebasan kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan kata lain, tidak dimaksudkan untuk memberikan tambahan sanksi terhadap pidana pokok yang bersifat pemberatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang yang mengatur sanksi pidana di luar KUHP. Konsekuensinya, sanksi pidana tambahan tersebut tidak dapat diterapkan untuk mengefktifkan penerapan sanksi pidana penjara atau denda terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat luka berat atau matinya korban. Agar Pengaturan Sanksi Pidana Tambahan yang lebih efektif untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban dalam tindak pidana kekerasan di rumah tangga ke masa depan, maka perlu memperluas norma Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004: Tidak hanya dibatasi untuk memberikan kebebasan kepada hakim dalam menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga 15
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
keutuhan rumah tangga; tetapi diperluas sebagai penopang pidana pokok dan perlindungan rasa aman kepada korban baik secara materiel maupun immateriel. Jenis sanksi pidana tambahan yang seharusnya dapat diformulasikan, selain sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah: Ganti kerugian materiel maupun immaterial terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap :
suami, isteri, dan anak;
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Pemecatan sebagai pegawai negeri terhadap pelaku yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (Pusat dan Daerah), TNI, Polri, dan pegawai negeri di lingkungan institusi TNI dan Polri; Pemecatan dari jabatan kenegaraan : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pencabutan terhadap hak-hak tertentu, seperti : pengasuhan anak, perwalian dan/atau pengampuan.
16
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Daftar Pustaka A.Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV, Disertasi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1992. Andi hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986. Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993. Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia.1985. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. __________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. __________, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. __________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. __________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 2005. __________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007. __________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008. __________, Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka Magister Semarang, 2008. Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Ghalia Press, Jakarta, 2004. Chairul Huda, Dari Tiada pidana tanap Kesalahan‟ menuju kepada „Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Pranada Media. 2006. Chamelin, Neil C. et.al., Introduction to Criminal Justice, Prentice-Hall, New Jersey, 1975. Daniel D. Polsby, Suppressing Domestic Violence with Law Reforms, Northwestern University School of Law, USA, 1992. Edi Setiadi, Hukum Pidana dan Perkembangannya, Bandung, Fakultas Hukum Unisba, 1999. ELSAM, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 3, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP 2005, Jakarta, 2005. 17
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,Semarang, 2005. Fathul Djannah, Kekerasan terhadap Istri, LKIS, Yogyakarta, 2002. Friedman, Lawrence W. American Law An Introduction, Second Edition, diterjemahkan Wishnu Basuki, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001. Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum pidanaBelanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. JE Sahetapy,Viktimologie Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Jakarta,1988. Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, PT. Jambatan, Jakarta, 2004. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994. Micahel Tonry, Sentencing Matters, Oxford University Press, New York, 1996. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Cet. I, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. Molly Cheang, Disparity of Sentencing, Singapore Malaya Law Journal, PTE Ltd. 1977. Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009. Muladi, HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2005. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1992. __________, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992. Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung, 1984. Niken Savitri, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung, 2008.
18
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Nyoman Serikat Putra Jaya, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Buku pegangan kuliah Sistem Peradilan Pidana Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2006. Oemar Senoadji, Herziening, Ganti Rugi dan Suap dan Perkembangan Delik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1984. P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Packer, Herbert L. The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press, California, 1968. Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000. Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004. Ratna Batara Munti, Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LBH APIK, Jakarta, 2000.
Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
PT.
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, 1988. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. R. Susilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1984.
19
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP PENGUNJUK RASA (Studi Kasus di Polresta Pontianak Kota) HENDRAWAN SULISTYO A.21211011
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
ABSTRACT In the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 Article 28 states that "freedom of association and assembly, issued a mind with oral and written and as defined in the legislation, passed by the birth of Law No 9 of 1998 on Freedom of Opinion General Upfront. The rally, which is one of personal freedom in expression was regulated in Law No. 9 of 1998 on the submission of opinion in public, which also regulates the procedures for implementation, the actions that can be done, and what should not be done in the implementation of delivery in public opinion. State Police as a tool given duties and responsibilities in order to secure the implementation of the rallies, which also provided for in Act No. 2 of 2002 on the Police of the Republic of Indonesia. But the existence of these regulations will not necessarily make the implementation of demonstration runs safely, we can actually see and hear activity demonstrations often ended with clashes between the protesters apparatus. Clashes occur frequently causing casualties especially among protesters. Because the Police who have shields, batons, and other equipment in the anarchic mass dispel. Thus providing an indication that members of the police in carrying forward the mandatory safety procedures, rules, and commands from superiors in securing the movement of security forces rally. Police officers who are convicted of violent acts against protesters will be given disciplinary sanction, the code of ethics and even prosecuted criminally to the General Court for committing acts that are not in accordance with the procedures and legal. However, there are several factors that cause has not to application of the law and criminal sanctions against members of the police who commit violence against protesters, among other things are mental factors law enforcement, legal factorsthemselves and thecommunityfactors that do not want to report. Therefore the police are expected to do the steps taken by nature impose criminal sanctions against members of the police who commit violent acts of violence against protesters among other things are maximize them mentality in law enforcement, understand the legislation and have the initiative in enforcing the law. Keywords: criminal responsibility, demonstration, and police officers
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
ABSTRAK Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 menyatakan bahwa "kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, yang disahkan oleh lahirnya UU No 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat Umum dimuka. Rally, yang merupakan salah satu kebebasan pribadi dalam ekspresi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum, yang juga mengatur prosedur pelaksanaan, tindakan yang bisa dilakukan, dan apa yang tidak harus dilakukan dalam pelaksanaan pengiriman opini publik. Kepolisian Negara sebagai alat yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mengamankan pelaksanaan aksi unjuk rasa, yang juga diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun keberadaan peraturan ini tidak selalu membuat pelaksanaan demonstrasi berjalan dengan aman, kita sebenarnya bisa melihat dan mendengar demonstrasi aktivitas sering berakhir dengan bentrokan antara aparat demonstran. Bentrokan terjadi sering menimbulkan korban terutama di kalangan demonstran. Karena Polisi yang memiliki tameng, tongkat, dan peralatan lainnya dalam menghalau massa anarkis. Sehingga memberikan indikasi bahwa anggota polisi dalam menjalankan maju prosedur wajib keselamatan, peraturan, dan perintah dari atasan dalam mengamankan pergerakan pasukan keamanan reli. Petugas polisi yang terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa akan diberikan sanksi disiplin, kode etik dan bahkan dituntut pidana ke Pengadilan Umum karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan hukum. Namun, ada beberapa faktor yang menyebabkan belum untuk penerapan hukum dan sanksi pidana terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa, antara lain adalah faktor mental penegak hukum, faktor hukum itu sendiri dan faktor-faktor masyarakat yang tidak ingin laporan. Oleh karena itu polisi diharapkan untuk melakukan langkah-langkah yang diambil oleh alam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anggota polisi yang melakukan tindak kekerasan kekerasan terhadap pengunjuk rasa antara lain adalah memaksimalkan mereka mentalitas dalam penegakan hukum, memahami undang-undang dan memiliki inisiatif dalam menegakkan hukum .
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
BAB. I Pendahuluan Kegiatan Unjuk rasa pada dasarnya kegiatan unjuk rasa telah diatur dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. yang menyebutkan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang”.1 Pada masa Orde Baru, dimana berpendapat dimuka umum atau berunjuk rasa menjadi hal tabu, dan sering mendapat perlakuan kasar yang diperlihatkan aparat kepolisian untuk menanggapi aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan. Namun Seiring bergulirnya rezim orde baru kerena krisis moneter yang tidak dapat diatasi secara sehingga menciptakan krisis kredibilitas yang mendorong munculnya keadaan yang semakin represif. 2 Tindakan represif berupa perlawanan-perlawanan yang ditunjukkan oleh kalangan mahasiswa dengan kondisi rezim yang sudah sedemikian stagnan ini menjadi sangat dimaklumi serta bahkan perlawanan itu sendiri menjadi suatu hak. Hak perlawanan yang dilakukan mahasiswa itu sendiri, tampaknya, dapat dibenarkan dengan melihat dua kondisi obyektif yang mengitarinya, yaitu: Pertama, bahwa tindakan-tindakan penguasa secara kasar bertentangan dengan keadilan; serta kedua, semua sarana dan jalan hukum yang tersedia untuk menentang ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil, termasuk protes-protes politik yang bersifat biasa. 3 Lahirnya Undang-undang No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Berpendapat Dimuka Umum.Hal itu untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia.Masyarakat diberikan kebebasan dan keleluasaan dalam penyampaian pendapat dimuka umum. Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan
salah
satu
bagian
dari
kehidupan
demokrasi
yang
merupakan
perwujudantatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Kehidupan berdemokrasi yang semakin berkembang menjadikan rakyat lebih berani dan terbuka
1
Pasal 28 Undang-undang Dasar RI 1945. (Sekretariat Jendral MPR RI. Jakarta. 2011). hal 154 Triyanto Lukmantoro. Kekerasan Negara dan Perlawanan Mahasiswa Di Tengah Krisis.Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang. 1997. Hal 1 3 Franz Magnis-Suseno Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, Jakarta. Gramedia. 1994 . hal. 146 2
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
dalam penyampaian aspirasi.Polri diberi amanah oleh undang-undang untuk menjaga keamanan dan ketertiban khususnya saat melakukan pengamanan pelaksanaan aksi Demonstrasi atau unjuk rasa. Pengunjuk rasa pada pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. 4Reformasi dalam tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)dituntut bukan hanya memberikan rasa aman pada semua elemen masyarakat namun, melalui perubahan struktural dan mental dalam memperkuat efektivitas Polri sehingga terwujud anggota Polri dengan dedikasi tinggi dan disiplin dari para anggota Polri itu sendiri untuk berusaha melaksanakan tugas-tugasnya. Dan Perpolisian masyarakat yang juga telah dilaksanakan guna mengembangkan profesionalisme polisi dan akuntabilitas kepada masyarakat.5 Tuntutan masyarakat terhadap revitalisasi tugas-tugas Polri semakin meningkat seiring masih terdapat sisi negatif dari penyelenggaraan tugas pokok Polri berupa penyimpangan perilaku anggota Polri seperti penyalahgunaan kekuasaan / wewenang, kualitas pelayanan yang buruk terhadap masyarakat, serta bertindak arogan akibat dari karakter militer yang telah mendasar dan terbawa dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Salah satu pelaksanaan tugas Kepolisian yakni melakukan pengamanan terhadap aksi unjuk rasa. Dalam pelaksanaan tugas tersebut kepolisian memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian. 6 Aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang marak akhir-akhir ini terkadang disertai juga dengan tindakan yang tidak bertanggungjawab yaitu dengan melakukan gerakan yang cenderung agresif dan anarkis oleh pengujuk rasa ketika berlangsungnya aksi tersebut,sehingga tidak jarang terjadi tindakan represif balasan dari kepolisian kepada pengunjuk rasa. Pengunjuk rasa yang diberikan hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum oleh undang-undang, terkadang melakukan tindakan pasif. Tindakan pasif yakni tindakan seseorang atau kelompok orang yang tidak mencoba menyerang, tetapi tindakan mereka mengganggu atau dapat mengganggu ketertiban masyarakat 4
Undang-undang No 9 Tahun 1998 Kemerdekaan Berpendapat Dimuka Umum. Pasal 13 ayat (2) Almanac on Indonesian Security Sector Reform – 2007” oleh The Geneva. . Centre for the Democratic Control of Armed Forces and Indonesian Institute for Strategic and Defence Studies (LESPERSSI), Juga bacalah Institute for Defence Security and Peace Studies (IDSPS), Backgrounders on Security Sector Reform Tautan web: http://www.idsps.org/index.php/lang=en, diakses 21 November 2012 6 Undang-undang No 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI. Hal 11 5
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
atau keselamatan masyarakat, dan tidak mengindahkan perintah anggota Polri untuk menghentikan perilaku tersebut”.7Tindakan kekerasan seperti hasutan, dorongan, dan bahkan pemukulan kepada pengunjuk rasa sangat bertentangan terhadap HAM dan merupakan suatu tindak pidana. Pada dasarnya Polri Sebagai aparatur aparatur pemerintah juga berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) saat rnenyelenggarakan pengamanan. Meningkatnya komitmen terhadap perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih baik pada tingkat nasional. Hal itu diwujudkan dengan lahirnya Undang Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. sebagaimana ditetapkan dalam hukum dan standar HAM internasional, polisi memiliki hak-hak, tetapi juga ada batasan terhadap kekuasaan polisi. 8Personel kepolisian juga memiliki tugas untuk menghormati ketetapan HAM dalam perundang-undangan nasional. 9 Namun Polri juga dibenarkan untuk melakukan tindakan kepolisan yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan anarki atau pelaku kejahatan lainnya yang mengancamkeselamatan atau membahayakan harta, jiwa, atau kesusilaan. Penggunaan kekuatan merupakan segala upaya, daya, potensi, atau kemampuan anggota Polri dalam rangka melaksanakan tindakan kepolisian untuk menanggulangi anarki. 10 Terlepas benar atau tidaknya tindakan Polri tersebut, di dalam institusi Polri apabila terjadi penyimpangan, Pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kewenangan, maka anggota Polri akan diproses berdasarkan aturan yang berlaku. Tindakan yang dilakukan Polri dalam melakukan kekerasan. Kekerasan berupa pemukulan dan tendangan oleh aparat kepada massa pengunjuk rasa yang tidak sesuai dengan prosedur, sangat tidak dibenarkan. Menurut Pasal 351 KUHP Kitab U(ndang-undang Hukum Pidana, menyatakan bahwa : Pasal 351
7
Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pasal 1 butir 5. 8 Pasal 29 Deklarasi Universal HAM (UDHR).”Apakah Perpolisian Berbasis Ham Itu?”, hal 15 9 Undang-undang Dasar 1945 dan amendemen keempatnya, Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU No39/1999), Undang-undang tentang Pengadilan Ham (UU No 26/2000) dan KUHP. 10 Protap Kapolri No: Protap/ 1 / X / 2010 tanggal 8 Oktober 2010 tentang Penaggulangan Anarki. Hal 1
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 11 Tindakan penganiayaan oleh anggota Polri terhadap pengunjuk rasa merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum. Selain itu dalam Pasal 6 huruf q Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri juga dilarang untuk: “menyalahgunakan wewenang” 12 dalam tugasnya sebagai anggota Kepolisian. Oleh karena itu apabila seorang anggota Polri melakukan kekerasan herus dilakukan proses peradilan, dan mempertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Pertanggungjawaban anggota Polri yang melakukan pelanggaran akan menjalani proses Sidang disiplin Polri, Sidang Kode Etik Polri, atau bahkan Peradilan Umum Di wilayah Polresta Pontianak Kota dari tahun jumlah kegiatan unjuk rasa dari tahun ke tahun terus meningkat. Jumlah kegiatan unjuk rasa dari tahun 2009 berjumlah 40 aksi unjuk rasa, tahun 2010 berjumlah 58 aksi unjuk rasa, tahun 2011 berjumlah tercatat 76 aksi unjuk rasa, dan pada tahun 2012 sampai bulan Juni berjumlah 27 aksi unjuk rasa. Untuk unjuk rasa sendiri diwilayah Kota Pontianak yang dilakukan oleh Mahasiswa, Buruh, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat, serta beberapa Kelompok Masyarakat. Dampak dari aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan yang terjadi di Kota Pontianak, seperti yang dikutip pada harian Equator13 : “Demo Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Pengemban Aspirasi Rakyat (Solmadapar) yang meminta penanganan kasus korupsi dana Bansos KONI Kalbar berujung ricuh, Senin (12/12) pagi di Bundaran Tugu Digulis Untan. Sebanyak tujuh demonstran mengalami luka-luka setelah bentrok dengan polisi. Tindakan kekerasan yang dilakukan anggota Polri tersebut sering dianggap sebagai tindakan menyimpang.” 11
Pasal 351. Solahuddin.KUHP, KUHAP. KUHPerdata. Visi Media. 2012. Jakarta. Pasal 6 huruf q. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 13 http://equator-news.com/utama/201112t3/demo-bentrok-7-orang-terluka.tanggal.13 Desember 2011 12
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Permasalahan 1. Apakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota Polri yang melakukan tindakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa sudah terlaksana sebagaimana mestinya? 2. Faktor – faktor yang Penyebab Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota Polri yang melakukan Kekerasan terhadap pengunjuk rasa Belum terlaksana sebagaimana mestinya? 3. Langkah-langkah apa yang seharusnya ditempuh oleh Propam Polresta Pontianak Kota Agar Proses Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota Polri yang melakukan Kekerasan Terlaksana Sebagaimana mestinya?
Pembahasan 1. Belum terlaksananyaPertanggungjawaban PidanaterhadapAnggota PolriYang Melakukan Kekerasan terhadap Pengunjuk Rasa Reformasi
birokrasi
Polri,
dalam
mewujudkan
pemerintahan
dan
organisasiyang bersih (clean government and organitation), Polri terus melaksanakan program dan bertanggung jawab atas program reformasi dibidang penegakan hukum. Hal tersebut merupakan sebagai tindak lanjut, dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.28 Tahun 1998 tentang pembentukan Tim Reformasi Hukum,penegakan hukum merupakan ujung tombak dalam upaya memerangi suatu pelanggaran dan tindak pidana. Tidak terkecuali Kepolisian yang merupakan alat negara yang diberikan kewenangan dalam menagkkan hukum. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dapat dilepaskan dari kepolisian. Tugas Pokok Polri itu sendiri sendiri menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.14
14
Op Cit. Pasal 13 Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang Undang-undang Kepolisian RI.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Penerapan sanksi Polri yang telah berubah dari penerapan proses peradilan Militer menjadi peradilan umum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institsional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian RI. Tindakan anggota Polri yang dianggap melakukan kekerasan dapat dituntut KUHP. Tindakan yang dilakukan Polri dalam melakukan kekerasan diantaranyaberupa pemukulan dan tendangan oleh aparat kepada massa pengunjuk rasa yang tidak sesuai dengan prosedur, sangat tidak dibenarkan. Dalam Pasal 351 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), menyatakan bahwa : Pasal 351 (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 15 Penerapan hukum pidana digunakan untuk mengaktualisasikan hukum kepada aparat yang sinergi dengan yang diharapkan masyarakat belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Aparat penegak hukum sering mengalami problematika, baik yang sifatnya internal (faktor aparat itu sendiri), maupun eksternal (faktor masyarakat) sehingga berujung kepada ketidakefektifan penegakanhukum.Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur Negara tersebut disebabkan
para
penegak
hukum
telah
mempermainkan
moralitas.Pertanggungjawaban tindak pidana sebagai penegakan hukum,mencakup pengertian mengenai subjek dan objek dalam proses tegaknya hukum itu sendiri. Sehingga dalam prosesnya terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi antara lain:“ 1. 2.
Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan
15
Pasal 351. Solahuddin.KUHP, dan KUHPerdata. Visi Media. 2012. Jakarta.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
3.
Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya”. 16 Anggota Polri yang melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa pada
dasarnya tunduk pada Peradilan umum. Dalam pertanggungjawaban pidana Polri tunduk pada Peradilan Umum, hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi: 1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum Dalam pengakan hukum terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, Polri melalui Propam (Profesi dan Pengamanan) memiliki tanggungjawab dan tugas dalam. Propam didalam struktur organisasi di Polres merupakan unsur pengawas dan pembantu pimpinan yang berada dibawah Kapolres. 17pembinaan dan pemeliharaan disiplin, pengamanan internal, pelayanan pengaduan masyarakat yang diduga dilakukan oleh anggota Polri dan/atau PNS Polri, melaksanakan sidang disiplin dan/atau kode etik profesi Polri, serta rehabilitasi personel. Dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang: a. melakukan pemanggilan dan pemeriksaan; b. membantu pimpinanmenyelenggarakan pembinaan dan penegakandisiplin, serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. menyelenggarakan sidang disiplin atas perintah Ankum; d. melaksanakan putusan Ankum Selanjutnya dalam pelaksanaan tugasnya Sipropam dalam melaksanakan tugas dibantu oleh: 1.
16 17
Unit Provos, bertugas melakukan pelayanan pengaduan masyarakat tentang penyimpangan perilaku dan tindakan personel Polri, penegakan disiplin dan ketertiban personel Polres, pelaksanaan sidang disiplin dan/atau kode etik
Jimly Asshiddiqie Penegakan Hukum. Jakarta. Hal 3 http://www.docudesk.com. Pasal 28 Peraturan Kapolri No 23 tahun 2010 tentang susunan organisasi dan tata kerja pada tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
2.
profesi, serta pelaksanaan pengawasan dan penilaian terhadap personel Polres yang sedang dan telah menjalankan hukuman disiplin dan/atau kode etik profesi; dan Unit Pengamanan Internal (Unitpaminal), Bertugas melakukan pengamanan internal dalam rangka penegakan disiplin dan pemuliaan profesi, penyiapan proses dan keputusan rehabilitasi personel Polres yang telah melaksanakan hukuman dan yang tidak terbukti melakukan pelanggaran disiplin dan/atau kode etik profesi. 18 Upaya penegakan disiplin dan proses Peradilan pada anggota Kepolisian
sangat dibutuhkan guna terwujudnya pelaksanaan tugas yang dibebankan dan tercapainya profesionalisme Polri. Sangat tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, apabila penegak hukumnya sendiri (Polri) tidak disiplin dan tidak profesional. Ketidakdisiplinan dan ketidakprofesionalan Polri akan sangat berdampak dalam hal penegakan hukum atau pengungkapan laporan dan pengaduan yang terjadi di masyarakat. Penegakan hukum yang terkesan tidak transparanpada anggota Kepolisian itu sendiri, seharusnya dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyamanan.faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi.Soerjono Soekanto menjelaskan beberapa unsur atau faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi dari faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor hukumnya sendiri. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 19 Seorang penegak hukum,sebagaimana halnya dengan warga masyarakat
lainnya, 18
lazimnya
mempunyai
beberapa
kedudukan
dan
peranan
I b I d. Pasal 28. Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 3
19
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
sekaligus.Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara sebagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of role).Jika dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distace).20 Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan proses perwujudan ide-ide (ide keadilan, ide kepastian hukum, dan ide kemanfaatan sosial) yang bersifat abstrak menjadi kenyataan21.Tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu 22 : 1. Kepastian hukum Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharap adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. 2. Kemanfaatan Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai timbul keresahan di dalam masyarakat karena pelaksanaan atau penegak hukum. 3. Keadilan Hukum itu tidak identik dengan keadilan.Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. Tidak adanya penegakan hukum terhadap anggota Polri, membuat adanya tindak kekerasan yang dilakukan tidak memberikan efek jera kepada oknum anggota Polri. Banyaknya tindakan-tindakan yang mengotori hukum yang kemudian timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Negara ini.Roscou Pound yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia (law as tool of social engineering)23.
20
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm 21 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru , hal. 15 22 Op. Cit. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999, hal 145 23 H. Salim, HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 41 21
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
2.
Faktor–faktor PenyebabBelumTerlaksananyaPertanggungjawaban
Pidana
TerhadapAnggota Polri yang Melakukan Kekerasan Terhadap Pengunjuk Rasa A. Faktor Mentalitas Penegak hukum Mental petugas dalam menegakkan hukum sering menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum. Penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Secara sosiologis, maka setiap penegakan hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).Permasalahan yang timbul dari faktor penegakan hukum yaitu penerapan peran penegakan hukum24.Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan proses perwujudan ide-ide (ide keadilan, ide kepastian hukum, dan ide kemanfaatan sosial) yang bersifat abstrak menjadi kenyataan.25 Upaya penegakan hukum memberikan arti adanya upaya untuk menjaga agar keberadaan hukum yang diakui di dalam suatu masyarakat dapat tetap ditegakkan. Mental anggota Polri yang tidak seperti yang diharapkan, Dapat melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum di Negara ini berada pada kondisiyang
tidak
menggembirakan.Masyarakat
mempertanyakan
kinerja aparat penegak hukum.26 Kurang berperannya Propam dalam penegakan hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi (pertimbangan) Kepolisian. Diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana
24
Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal 30 25 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru , hal. 15 26 Bahkan menurut Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.penegakan hukum di negeri ini sedang terancam memasuki kondisi darurat alias zona merah . http://www.saldiisra.web. Diunduh 19 September 2013
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum, pentingnya suatu deskresi, dibebabkan karena 27: a. b. c. d.
tidak ada peraturan perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia. adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundangundangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian. kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang, dan adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor
yang
mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak
hukum
memainkan
peran
penting
dalam
memfungsikan
28
hukum. Peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.29 B. Faktor Hukumnya Itu Sendiri Ketentuan hukum kurang jelas dan tidak tersedianya penjelasan yang memadai bahkan tidak adanya penjelasan sama sekali, akan membuat adanya multi tafsir pada masing-masing pihak akan memiliki penafsiran berbeda. Sehingga dapat membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penegakan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
27
Op. Chit. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,(Cet. Ke-10), PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011. Hal 21 28 Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hlm. 52 29 Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, cet. Ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm.17
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Anggota Polri yang melakukan tindak pidana diadukan/dilaporkan oleh masyarakat,
anggota
Polri
atausumber
lain
yang
dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan anggota Polri. Adanya beberapa Implementasi hukum dalam tubuh Polri sering menjadikan penegakan hukum ditubuh Polri menjadi tidak memiliki kejelasan. Hukuman Tindakan Disiplin, Kode Etik, dan Peradilan Umum. Adanya beberapa jenis proses peradilan dan hukuman dapat menjadi celah dalam memberikan tindakan dan sanksi bagi anggota Kepolisian yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana. Kualitas penyajian layanan yang tercela dari sudut moral dan hukum antara lain diskriminasi, permintaan layanan / penegakan hukum alasan kepentingan pribadi, diskresi melampaui batas, mempersulit, arogan, lamban, tidak sopan manusiawi dan perilaku negatif.akan diberikan Hukuman disiplin. Hukuman disiplin dapat berupa30: a. teguran tertulis; b. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun; c. penundaan kenaikan gaji berkala; d. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun; e. mutasi yang bersifat demosi; f. pembebasan dari jabatan; g. penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari. Hukuman bagi anggota Polri yang melanggar Kode Etik diantaranya Etika Kenegaraan, Etika Kelambagaan, Etika Kemasyarakatan atau Etika kepribadian tercantum dalam Dalam pasal 21 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2011 Tentang kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menjelaskan bahwa 31: (1) Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar dikenakan sanksi Pelanggaran Komisi Kode Etik Polri, berupa: a. perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela
30 Op Cit. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 31 I b I d. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
b. kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan. c. kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan. d. Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurange. kurangnya 1 (satu) tahun. f. Dipindahtugaskanke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun. g. Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau h. PTDH sebagai anggota Polri. Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum.Kegagalan penegakan
hukum
secara
keseluruhan
dapat
dilihat
dari
kondisi
ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri. 32 Permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya. 33 Dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menjelaskan bahwa : “penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana”. Hal ini berarti Penjatuhan hukuman oleh Ankum secara subyektif kepda terperiksa yang melakukan pelanggaran pada persiadangan disiplin akan diproses secara Peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri yang belum menuntaskan perkaranya. Penjatuhkan sanksi hukuman disiplin yan ringan bahkan berat belum membebaskan terperiksa dari sanksi
32
Amir Syamsuddin (Salah seorang Praktisi Hukum di Jakarta), dalam http://www.unisosdem.org diunduh 19 September 2013 33 Op.Cit.Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum…., hlm. 20
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
pelanggaran disiplin, karena harus melalui lagi proses Penyidikan pda Peradilan umum. Jika hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. penegakan hukum terhadap peraturan baik disiplin, kode etik dan pidana terhadap anggota Polri saat ini dirasakan masih jauh dari harapan dan belum mampu secara maksimal memberikan dampak negatif bagi perilaku anggota Polri baik dikarenakan proses dari penegakan hukumnya maupun hasil dari penegakan hukum peraturan disiplin, kode etik, atau tindak pidana masih terjadi perbedaan persepsi tentang pelaksanaan hukuman yang diberikan dalam melakukan pelanggaran. C. FaktorMasyarakat / KorbanYang TidakMelaporkan Adanya Tindak Kekerasan Yang Dilakukan Anggota Polri Kepada Propam Masyarakat menjadi korban kekerasan dalam Unjuk rasa yang dilakukan oleh anggota Polri, terkadang enggan untuk melaporkan ke Pihak propam Polri. Keengganan ini dapat dijadikan salah satu penyebab pihak Propam yang merupakan penegak hukum di Kepolisian tidak memproses laporan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian. Masyarakat yang tidak melaporkan padahal hukum tersebut telah berlaku dan diterapkan.Pendapat masyarakat mengenai hukum ikut mempengaruhi penegakan hukum dengan kepatuhan hukum.Salah satu pendapat masyarakat yaitu mengenai arti hukum yang dianggap identik dengan petugas (penegak sebagai pribadi).34 Korban kekerasan dalam berunjuk rasa dapat melaporkan kepada Propam. Provos adalah satuan fungsi pada
Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang bertugas membantu pimpinan untuk
membina dan
menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Beberapa pengunjuk rasa yang
mendapatkan kekerasan, cenderung tidak mau melaporkan adanya tindakan 34
Op Chit. Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal 24
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
kekerasan kepada Kepolisian. Pengunjuk rasa yang terlibat bentrok dengan Kepoilisian, harus ke Kantor Kepolisan kembali untuk melaporkan adanya kekerasan. Hal itu dianggap akan menimbulkan permasalahan baru, karena korban akan memicu melaporkan anggota Kepolisian yang melakukan kekerasan. Budaya dalam organisasi Polri seperti yang ada saat ini belum terlalu efektif secara operasional dalam kehidupan Polisi sehari-hari, pengembangan budaya yang kurang secara terarah dan mengakar kepada kehidupan organsasi. Dan menyebabkan Polisi tidak dapat diharapkan bersikap dan berperilaku yang konsisiten dengan visi, misi, kode etik yang dibangun oleh Polri.Propam yang merupakan Penegak Hukum Polisi dianggap pengunjuk rasa akan berat sebelah dan kurang kompeten dalam menegakkan hukum.Peraturan sudah baik, namun kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.35 Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku. 3.
Langkah Yang Seharusnya Ditempuh Propam Polri Terhadap Anggota Polri Yang Melakukan Kekerasan Kepada Pengunjuk Rasa A. MemaksimalkanMentalitasKinerja Propam Polri Dalam Penegakan Hukum Anggota Polri Yang Melakukan Pelanggaran Fungsi Seksi Propam dengan yang bertugas langsung melaksanakan pengawasan dan
penindakan dapa dijalankan secara maksimal terhadap
anggota Polri yang bermasalah. Oleh karena itu apabila Tugas dan 35
Op Cit. Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, cet. Ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm.17
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
tanggungjawab Propam Polri ingin dapat berjalan secara maksimal dan sesuai harapan, maka harus dilaksanakan dan dipedomani berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang telah ada yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 1 tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 2 tahun 2003 tentang peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 3 tahun 2003 tentang pelaksanaan tehnis institusional peradilan umum bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan Kapolri No.Pol.: KEP/42/IX/2004 tentang atasan yang berhak menjatuhkan hukuman disiplin dilingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan Kapolri No.Pol.: KEP/43/IX/2004 tentang tata cara penyelesaian pelanggaran disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan Kapolri No.Pol.: KEP/44/IX/2004 tentang tata carasidang disilpin bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kapolri No.Pol.: 7 tahun 2006 tentang Kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kapolri No.Pol.: 8 tahun 2006 tentang organisasi dan tata kerja komisi kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penegakan
hukum
secara
konsepsional
terletak
pada
kegiatan
menyerasikan hubungan nilai - nilai yang terjabarkan dalam kaidah – kaidah hukum. Sedangkan untuk penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Provos Polri sebagai satuan fungsi yang bertugas membantu Pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Polri serta Pimpinan / Ankum atau atasan yang berhak menghukum adalah atasan yang karena jabatannya diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya. Aparat yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum disiplin anggota Polri adalah 1) Aparat yang menguasasi hukum, 2) Memiliki keterampilan teknis yuridis, 3) Berintegritas, 4) Profesional, 5) Bersih, memiliki komitmen pada keadilan, serta berani dan disipilin.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Dengan demikian maka dalam rangka tegaknya hukum disiplin bagi anggota Polri dapat dilakukan usaha atau kegiatan berupa : 1) Penjatuhan hukuman disiplin haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan sehingga hukuman disiplin itu dapat diterima oleh rasa keadilan. 2) Peningkatan pemahaman anggota Polri terhadap peraturan hukum disiplin anggota Polri. 3) Pemberian teladan ketaatan terhadap hukum. 4) Pembinaan kesadaran hukum. 5) Pembinaan tanggung jawab sosial sebagai warga negara. 6) Tradisi penegakan hukum disiplin yang benar dan konsekuen untuk menghindari kekecewaan masyarakat. 7) Komitmen seluruh anggota Polri terhadap pembentukan disiplinnya dengan titik berat pada keberhasilan pelaksanaan tugas sesuai amanat dan harapan warga masyarakat.36 Di kalangan Kepolisian di berbagai negara telah mencoba membangun empat lapisan kultur polisi, yaitu 37: 1. 2. 3. 4.
Membangun mentalitas dasar bahwa masyarakat dengan polisi adalah mitra, namun tetap tegas dalam menegakkan hukum Sistem keyakinan dasar yang mengatur perilaku hubungan dengan masyarakat,baik dengan orang yang melakukan kejahatan maupun orang yang bukanperilaku kejahatan. Mempelajari ethos keda atau semangat polisi dalam lingkungan kerjanyasehingga menjadi motivasi sebagai polisi yang baik. Memiliki pedoman pola berpikir dan berperilaku yang membentuk profil polisidalam tugas di lapangan. Polisi dan masyarakat yang demokratis, pada prinsipnya berdasarkan atas
supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, transparan,
bertanggung
jawab
kepada
publik,
berorientasi
kepada
masyarakat, serta adanya pembatasan dan pengawasan kewenangan polisi. Untuk itu komitmen kebersamaan seluruh personel polisi untuk menegakan supremasi hukum melalui38 : a)
Keteladanan seluruh pemimpin dalam organisasi Kepolisian secara berjenjang.
36
A. Kadarmanta “Membangun Kultur Kepolisian”, (PT. Forum Media Utama, Jakarta : 2007), Hal. 42. I b I d.Hal 43. 38 Wawancara dengan Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan Polresta Pontianak Kota. 37
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
b) Membangun rasa kebanggaan sebagai anggota Kepolisian secara terusmenerus sehingga tumbuh kasadaran akan pentingya kebanggaan terhadap profesi Kepolisian. c) Membangun kemitraan dengan masyarakat. d) Sosialisasi kepada masyarakat tentang sistem pengawasan Internal Polri diantaranya implementasi penegakan hukum disiplin anggota Polri sehingga masyarakat diharapkan ikut secara aktif memonitor, mengawasi bahkan melaporkan bila ada pelanggaran disiplin anggota Polri. Proses Peradilan Pidana bagi anggota
Kepolisian Negara Republik
Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku dilingkungan Peradilan Umum. Hukum dibuat bagi setiap negara bertujuan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan normatif warga negaranya atas kerugian dari setiap bentuk tindakan kejahatan dan menetapkan bentuk hukuman.bahwa ketika seseorang melanggar hukum dan melanggar peraturan, ada suatu ketidakseimbangan sosial dan moral dalam keadilan yang hanya bisa dipulihkan dengan memberikan hukuman kepada pelaku Pelanggaran.39 B. Memahami Produk hukum dan perundang-undangan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Yang Profesional Dan Akuntabel Penyidik Propam memilki banyak refrensi produk hukum dan perundang-undangan baik yang berlaku umum maupun yang berlaku khusus di internal Polri. Sehingga pada saat melakukan penyidikan penyidik Propam dapat menerapkan pasal sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan anggota Polri. Menurut Jimly Asshiddiqie “para penegak hukum dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing.Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendirisendiri”. 40 39
Pembahasan Umum. Kelvin Carlsmith, John Darley, dan Paul Robinson.Why Do We Punish? Deterrence and just Desserts as Motives of Punishment. Journal of Personality And Psycology. 2002. Hal 284 40 Jimly Asshiddiqie.makalah Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.17 Februari 2006, hlm. 14
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Aparat penegak hukum memiliki fungsi yang sangat strategis dan signifikan dalam menegakan hukum. Hal ini tercermin dari para aparat penegak hukum itu merupakan salah satu unsur yang paling berpengaruh dalam penegakan hukum41 1. 2.
C.
Melakukan pelatihan teknis pelaksanaan penyidikan perkara Pelanggaran Disiplin, kegiatan rapat kerja teknis Internal propam dan kegiatan pelaksanaan supervise Internal Propam Melaksanakan kegiatan pelatihan teknis pelaksanaan Penyidikanperkara pelanggaran disiplin dengan materi pelatihan: (1) Pembuatan laporan / pengaduan, teknik penyelidikan. (2) Teknik pemeriksaan saksi dan terperiksa. (3) Penerapan pasal, pembuatan resume dan pemberkasan perkara pelanggaran disiplin. (4) Pembuatan persangkaan dan tuntutan perkara pelanggaran disiplin. (5) KUH Pidana dan KUHAP. (6) Juklak dan Juknis penyidikan tindak pidana. (7) Peraturan Pemerintah Rl NO.1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, Peraturan Pemerintah RI NO.2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polda, Peraturan pemerintah RI NO.3. Tahun 2003 tentang pelaksanaan teknis Institusional peradilan umum bagi anggota Polda dan (8) Peraturan Kapolri No.7 dan No.14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri.
Inisiatif Propam Polri Dalam Melakukan Penyidikan Dan Menerima Laporan Pengaduan Dari Korban Kekerasan Pengunjuk Rasa Berawal dari adanya laporan dan pengaduan yang masuk tentang terjadinya pelanggaran disiplin, khususnya tindak kekerasan kepada pengunjuk rasa oleh anggota Polri dilakukan kegiatan penyidikan dengan kegiatan pemeriksaan dan penyelidikan kepada anggota Polri dan korban pelapor. Penegakan hukum secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai - nilai yang terjabarkan dalam kaidah - kaidah hukum dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan, memelihara dan menjunjung tinggi keadailan. Oleh karena itu untuk menghasilkan tegaknya hukum termasuk dalam hal ini tegaknya hukum disiplin anggota Polri, maka
41
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Kedua belas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 101
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
penegakan hukum secara konsepsional dalam upaya penegakan
hukum
berkeadilan. Propam melakukan Pemanggilan untuk pemeriksaan saksi anggota Polri. Dalam kasus pelanggaran disiplin yang dilaporkan masyarakat dan berdampak pada citra Polri yang memerlukan percepatan pemeriksaan dan laporan kepada pimpinan atas kasus yang terjadi dengan Penerapan pasal atas pelanggaran disiplin secara tepat. Inisatif Pihak Propam dalam penegak hukum adalah menerapkan hukum disiplin anggota Pori dalam hal ini Provos Polri sebagai satuan fungsi yang bertugas membantu Pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Polri. Seksi propam yang merupakan penegakan hukumnya Polri bertugas untuk menyelenggarakan fungsinya sebagai: 1. pelayanan pengaduan masyarakat tentang penyimpangan perilaku dan tindakan personel Polri; 2. penegakan disiplin, ketertiban dan pengamanan internal personel Polres; 3. pelaksanaan sidang disiplin dan/atau kode etik profesi serta pemuliaan profesi personel; 4. pengawasan dan penilaian terhadap personel Polres yang sedang dan telah menjalankan hukuman disiplin dan/atau kode etik profesi; dan 5. penerbitan rehabilitasi personel Polres yang telah melaksanakan hukuman dan yang tidak terbukti melakukan pelanggaran disiplin dan/atau kode etik profesi. 42 Propam Polri yang memiliki banyak referensi hukum dan perundangundangan, baik yang berlaku umum maupun yang berlaku khusus di internal Polri.
Sehingga
dalam
perkembangan
proses
penyidikan
perkara
pelanggaran disiplin, anggota Polri dipublikasikan secara luas kepada masyarakat terutama kepada pihak pelapor yang menjadi korban, disampaikan penjelasan secara tertulis oleh pihak penyidik Propam Polri. Mengimplementasikan nilai-nilai paradigma baru Polri sebagai polisi yang berwatak sipil dan nilai-nilai reformasi Polri dalam proses penegakkan hukum disiplin anggota Polda seperti :
42
Sadjijono, Etika Hukum, Laksilang Medialanta, Yogyakarta, 2008, hal 79
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
a) Dalam melakukan penyidikan pelanggaran disiplin hendaknya didasarkan pada keunggulan yang berorientasi prestasi, dedikasi maupun kejujuran bukan karena kepentingan pribadi ataupun golongan. b) Dalam penyidikan sampai dengan penjatuhan sanksi hukuman disiplin didasari oleh komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral. c) Pelaksanaan penyidikan pelanggaran disiplin sampai dengan penjatuhan hukuman disiplin harus dapat dipertanggung jawabkan, transparan, tidak diskriminuatif dan berkelanjutan yang berorientasi pada menitikberatkan secara terus-menerus disiplin anggota Polri. 43 Dengan kondisi penegakan hukum yang memiliki insiatif disiplin anggota Polri yang sesuai harapan niscaya akan menjadikan tegaknya disiplin anggota signifikan seiring dengan paradigma baru Polri sebagai polisi yang profesional, obyektif, transparan dan akuntabel. Penutup Berdasarkan analisis masalah, maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Bahwapertanggungjawaban pidana terhadap anggota Polri yang melakukan tindakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa belum terlaksana sebagaimana mestinya terbukti tidak adanya proses Peradilan dan pemberian sanksi, baik sanksi Disiplin, sanksi Kode etik maupun sanksi Pidana oleh Propam Polresta Pontianak Kota.
2.
Beberapa Faktor-faktor Penyebab Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota Polri yang melakukan Kekerasan terhadap pengunjuk rasa Belum terlaksana sebagaimana mestinya, diantaranya : a. Faktor Mentalitas Penegak hukum Seksi propam yang merupakan penegakan hukumnya Polri dinilai kurang dapat melaksanakan fungsinya.Lemahnya mentalitas dan tidak adanya inisiatif aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena peraturan yang sudah baik, namun dengan kualitas penegak hukum yang masih rendah akan menimbulkan banyak masalah. b. Faktor Hukumnya Itu Sendiri Adanya beberapa Peraturan Perundang-undangan di tubuh Polri membuat Penegakan hukum di Internal Polri menjadi kurang jelas adanya multi tafsir
43
Op Chit. hal 136
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
pada masing-masing pihak akan memiliki penafsiran berbeda, pada akhirnya akan berpengaruh pada Implementasi hukum itu sendiri, apakah akan diproses secara Disiplin, Kode Etik, dan/atau Peradilan Umum. c. Faktor Masyarakat/Korban Yang Tidak Melapor ke Propam Korban kekerasan yang dilakukan anggota Polri dalam berunjuk rasa kebanyakan enggan melaporkan ke Propam, masyarakat masih menganggap proses Hukum Polisi akan berat sebelah dan kurang kompeten dalam menegakkan hukum. 3.
Langkah yang Seharusnya ditempuh Propam Polri terhadap anggota polri yang melakukan kekerasan kepada pengunjuk rasayakni dengan cara :Memaksimalkan Mentalitas
Kinerja Propam Polri Dalam Penegakan Hukum Disiplin Anggota
Polri, Memahami Produk Hukum Dan Perundang-undangan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Yang Profesional dan Akuntabel, Dan Inisiatif Propam Polri Dalam MelakukanPenyidikan Dan menerima Laporan Pengadauan Dari Korban Kekerasan Pengunjuk Rasa.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Daftar Pustaka A. Kadarmanta “Membangun Kultur Kepolisian”, PT. Forum Media Utama, Jakarta. 2007 H. Salim, HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum,: RajaGrafindo Persada, Jakarta 2010. Franz Magnis-Suseno Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, Jakarta. Gramedia. 1994. Sadjijono, Etika Hukum, Laksilang Medialanta, Yogyakarta, 2008, Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis,: Sinar Baru Bandung Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat,: Penerbit Alumni, Bandung. 1977 Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, cet. Ketiga,: Rajawali Press, Jakarta 1987 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Kedua belas, PT RajaGrafindo Persada,Jakarta. 2002. Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998. Solahuddin.KUHP, KUHAP. KUHPerdata. Visi Media. Jakarta. 2012. Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 3 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. 1999 Triyanto Lukmantoro. Kekerasan Negara dan Perlawanan Mahasiswa Di Tengah Krisis. Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang. 1997. Undang-undang Dasar RI 1945. Sekretariat Jendral MPR RI. Jakarta. 2011 Undang-undang RI No 9 Tahun 1998 Kemerdekaan Berpendapat Dimuka Umum. Undang-undang RI No 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI. Undang-undang No 39 tahun tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Peraturan Pemerintah RI No 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian RI Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Pemerintah RI No 3 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Polri. Peraturan Kapolri No 23 tahun 2010 tentang susunan organisasi dan tata kerja pada tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor. Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Protap Kapolri No: Protap/ 1 / X / 2010 tanggal 8 Oktober 2010 tentang Penaggulangan Anarki. http://www.eprints.com http://equator-news.com
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 KEKERASAN FISIK TERHADAP ANAK DITINJAU DARI ASPEK PERLINDUNGAN HAK–HAK ANAK1 Oleh : Yanti Tombeng 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan fisik di Indonesia dan apa efek kekerasan pada anak serta upaya pemulihan pada korban tindak kekerasan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Menyangkut kekerasan fisik dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351-355, Pasal 338-341, Pasal 229, Pasal 347, Pasal 269, Pasal 297, Pasal 330332 dan Pasal 301. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dapat dilihat melalui beberapa perundangundangan selain yang telah disebutkan di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), juga dapat dilihat dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 59, Pasal 64, Pasal 69, Pasal 80-82. 2. Upaya yang dilakukan terhadap pemulihan pada Anak Korban Kekerasan Fisik, dapat berupa tindakan langsung yang membawa korban kepada instansi kesehatan yang terkait. Juga untuk menjaga dampak trauma si anak sebagai korban anak bias dibawa ke tempat rehabilitasi dan dilindungi secara khusus. Pemulihan yang dilakukan sering kali datang dari organisasi-organisasi masyarakat atau lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang kemanusiaan. Dalam prakteknya, penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut 1
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Ceacilia J.J. Waha, SH, MH., Fernando J.M.M. Karisoh, SH, MH., Dr. Donna O. Setiabudhi, SH, MH 2 NIM 100711061. Mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat Manado.
aktif dalam menangani permasalahan anak. Pelaksanaan model pertolongan terhadap kasus kekerasan terhadap anak dapat dilakukan melalui prosedur atau proses Identifikasi, Investigasi, Intervensi dan Terminasi. Kata kunci: Kekerasan fisik, Hak-hak anak. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bab X-A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD RI) tentang Hak Asasi Manusia, antara lain menyebutkan setiap orang berhak untuk hidup, berhak untuk tidak disiksa dan berhak bebas dari perlakuan yang bersifat deskriminatif.3 Kekerasan yang terjadi pada anak sering dilakukan didalam keluarga atau oleh orang tua si anak. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam bearbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Orang lain dalam hal ini adalah lingkup sosial terkecil si anak, yaitu keluarga. Anak perlu mendapat perlindungan dari penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/ yuridis. Perlu juga dipahami bahwa keberhasilan pelaksanaan upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak secara luas, sangat dipengaruhi oleh sikap dan partisipasi masyarakat, terutama keluarga dimana anak tumbuh dan kembang. Sementara itu pola-pola yang berkembang di masyarakat dalam mensikapi isu-isu anak turut dipengaruhi oleh kecakapan dan kecukupan informasi tentang pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Dan sebagai 3
Yasir Arafat, Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Perubahannya, Permata Press, Jakarta, 2010, hal. 27.
32
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 subjek, anak-anak dapat berpartisipasi dan mengambil bagian dalam berbagai upaya pemenuhan dan perlindungan anak melalui berbagai proses pendidikan dan pembelajaran yang tersedia di masyarakat.4 Menurut Terry E. Lawson, yang adalah psikiater anak mengklasifikasikan kekerasan pada anak dalam empat bentuk, yaitu:5 1. Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik, atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. 2. Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghadirkan penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain. 3. Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). 4. Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang 4
http://kongresanak.komnaspa.or.id/node/5, diunduh tanggal 7 November 2013. 5 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa Cendekia, Bandung, 2012, hal. 47.
anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjukan pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrikpabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dan upah rendah dan peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya. Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah meratifikasi Konvensi tentang Hak Anak (KHA) dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990, yang kemudian diikuti dengan disahkannya Undang-Undang tentang Perlindungan Anak (UUPA) pada tanggal 23 September 2002. Kehadiran Undang-undang ini (UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) merupakan landasan dan jaminan bagi terpenuhinya empat Hak Dasar Anak yaitu:6 1. Hak atas kelangsungan hidup (survival), 2. Hak untuk berkembang (development), 3. Hak atas perlindungan (protection), untuk berpartisipasi 4. Hak (participation). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, secara tesurat menegaskan bahwa negara harus melakukan langkah-langkah strategis dalam melindungi hak-hak anak tanpa diskriminasi di seluruh wilayah hukum Republik 6
Lihat Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 33
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 Indonesia. Sementara itu dalam pelaksanaannya adalah merupakan tanggung jawab semua lapisan masyarakat, mulai dari keluarga, lingkungan sekitar, sekolah, masyarakat luas, pemerintah dan anak yang merupakan subjek dari undangundang tersebut.7 Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekeasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) Pasal 1 butir 1, ruang lingkup rumah tangga dalam hal ini adalah:8 a. Suami, istri dan anak b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, baik karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang mentap dalam rumah tangga dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga yang bersangkutan. Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi terhadap anak dan perempuan rawan. Disebut rawan adalah karena kedudukan anak dan perempuan yang kurang menguntungkan. Anak dan perempuan rawan mempunyai resiko besar mengalami gangguan atau masalah dalam perkembangannya, baik secara psikologis, sosial, maupun fisik.9 Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (UUKA) secara umum dikatakan, pemeliharaan, jaminan dan pengamanan kepentingan ini selayaknya dilakukan oleh pihak-pihak yang mengasuhnya dibawah pengawasan dan bimbingan negara, dan bilamana perlu oleh negara sendiri. Asuhan anak, pertama-tama
dan terutama menjadi tanggung jawab orang tua dilingkungan keluarga.10 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Kekerasan Fisik di Indonesia ? 2. Apa Efek Kekerasan Pada Anak Serta Upaya Pemulihan Pada Korban Tindak Kekerasan ? C. Metode Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin Ilmu Hukum, maka metode yang di gunakan dalam penulisan Skripsi ini dengan cara meneliti bahan pustaka yuridis normatif, Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang ada.11 PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Kekerasan Fisik di Indonesia Perlindungan anak sebagai korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga khususnya orang tua si anak hanyalah berupa pemberatan sanksi. Hal ini dapat dilihat dalam pasl 356 ayat (1) KUHP, yang menentukan: “Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya jika si tersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya (suaminya) atau anaknya”.12
10
7
Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak 8 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Permpuan, Refika Aditama, Bandung, 2012, hal. 14. 9 Ibid, hal. 15.
Mohammad Taufikmakaro, Wenny Bukamo,Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Rineka Cipta, jakarta, 2013, hal. 12. 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 14. 12 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Op-Cit, hal. 109.
34
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 Hal yang sama diatur dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menentukan: 13 1) Setiap anak dalam masa pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan: a. Diskriminasi b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan e. Ketidakadilan dan f. Perilaku salah lainnya 2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukum Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dapat dilihat melalui beberapa perundang-undangan selain yang telah disebutkan di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:14 1. Pasal 59 menentukan: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberkan perlindungan khusus kepada anak, korban kekerasan baik fisik maupun mental. 2. Pasal 64 menentukan: Akan tetapi jika kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 364, 373, 379 dan ayat pertama dari Pasal 407, dilakukan sebagai perbuatan yang diteruskan dan jumlah dari harga kerugian atas kepunyaan orang lantaran perbuatan terus-menerus itu semua lebih dari Rp. 25,- (dua puluh lima rupiah) maka masing-masing dihukum 13
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Permpuan, Op-Cit, hal. 9. 14 Ibid, hal. 10.
3.
4.
5.
6.
menurut ketentuan pidana dalam Pasal 362, 372, 378 dan 406. Pasal 69 menentukan: 1) Perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan oleh susunan dalam Pasal 10 2) Dalam hal hakim boleh memilih antara beberapa hukuman pokok maka pada perbandingan hanya hukuman yang terberat saja yang boleh dipilihnya 3) Perbandingan beratnya hukuman pokok yang sejenis, ditentukan oleh maksimumnya 4) Perbandingan lamanya hukuman pokok yang tidak sejenis, begitupun hukumna pokok yang sejenis ditentukan oleh maksimumnya Pasal 80 menentukan: 1) Tiap-tiap perbuatan penuntutan mencegah daluwarsa (lihat waktu) asal saja perbuatan itu diketahui oleh yang dituntut atau diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang umum 2) Sesudah cegahan itu maka mulailah tempo daluwarsa yang baru Pasal 81 menentukan: Mempertangguhkan penuntutan untuk sementara karena ada perselisihan tentang hukum yang harus diputuskan lebih dulu oleh satu mahkamah lain, mempertangguhkan penuntutan untuk sementara. Pasal 82 menentukan: 1) Hak menuntut hukuman karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari pada denda, tiada berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara, jika penuntutan telah dilakaukan dengan izin amtenar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya
35
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 2) Jika perbuatan itu terancam selainnya denda juga rampasan, maka harus diserahkan juga benda yang patut dirampaas itu atau dibayar harganya, yang ditaksir oleh amtenar yang tersebut dalam ayat (1) 3) Dalam hal hukuman itu ditambah disebabkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu dikenakan, jika hak menuntut hukuman sebab pelanggaran yang dilakukan dahulu telah gugur menurut ayat pertama dan kedua dari pasal itu 4) Peraturan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang umumnya sebelum melakukan perbuatan itu cukup 16 (enam belas) tahun. Dalam Konvensi Hak Anak, pasal-pasal yang memberikan perlindungan hukum terdapat anak korban tindak kekerasan yaitu:15 1. Pasal 19 menentukan: 1) Orang yang dihukum kurung wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya, sesuai dengan peraturan untuk menjagakan Pasal 29 2) Kepadanya diwajibkan pekerjaan yang lebih ringan daripada yang diwajibkan kepada orang yang dihukum penjara 2. Pasal 34 menentukan: Kalau si terhukum melarikan diri sedang ia menjalani hukumannya, maka lamanya ia lari dari tempat ia harus menjalani hukumannya itu, tidak dikurangkan dari lamanya hukuman (KUHP Pasal 85 ayat (2)).
Ketentuan pidana dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan:16 1. Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau penelantaran pada anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Pasal 78 Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 3. Pasal 80 1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,(tujuhpuluh dua juta rupiah) 16
15
Muhammad Taufik, Wenny Bukamo, Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Op-Cit, hal. 167.
Ibid, hal. 11.
36
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 (lima tahun) dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah) 3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, mka pelaku dan dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) 4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan adalah orang tuanya. 4. Pasal 90 1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88 dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya 2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). B. Efek Kekerasan Pada Anak Serta Upaya Pemulihan Korban Tindak Kekerasan Efek tindakan kekerasan pada anak, juga bisa dilihat dalam penjelasan Moore dalam Fentini Nugroho, yang mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik. Diungkapkannya bahwa efek tindak kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori, yaitu:17 1. Ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi 17
Ibid
2. Ada yang menjadi sangat pasif dan apatis 3. Ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri 4. Apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang tuanya (parental extension) 5. Mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri 6. Sulit menjalani relasi dengan individu lain 7. Timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya, karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya. Upaya pelayanan terhadap anak sesungguhnya ada pada orang tua si anak. Namun apabila anak menjadi korban kekerasan oleh orang tuanya, maka anak butuh tempat untuk berlindung selain dalam keluarganya. Sekarang ini banyak sekali bermunculan kelompok-kelompok organisasi yang bergerak dalam aksi sosial dan kemanusiaan. Salah satu tujuan mereka yaitu untuk merangkul anak-anak pasca kekerasan yang anak alami. Agar anak tidak terlantar atau menjadi anak jalanan, dan masih bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Mereka sebagai pekerja sosial tidak digaji oleh pemerintah namun mereka tidak tutup mata dengan apa yang terjadi di sekitar mereka. Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok keluarga dan masyarakat. Profesi pekerjaan sosial, sejak awal keberadaannya sekian abad yang lalu, telah memamsukan pelayanan perlindungan anak (child protective services) sebagai salah satu bidang pelayanannya, demikian penjelasan Zastrow dan Huttman. Pekerjaan sosial adalah profesi yang senantiasa menempatkan sasaran pelayanan (klien) dalam konteks situasi dan lingkungannya 37
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 (person-in-situationdan person-inenvironment). Oleh karena itu, model pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak secara secara umum meliputi tiga asas, yaitu:18 1. Model Pelayanan Mikro Anak dijadikan sasaran utama pelayanan. Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik akibat kekerasan yang diterimanya serta psikis, segera diberikan pertolongan yang bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau dalam keadaan yang sangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluarga khususnya orang tua si anak dan lingkungan yang mengancam kehidupannya. 2. Model Pelayanan Messo Fokus utama pelayanan ini adalah keluarga (orang tua, sibilings), kelompok (kelompok bermain, peer groups) significant others. Strategi programnya yaitu konseling keluarga dan perkawinannya, terapi kelompok dan bantuan ekonomis produktif. 3. Model Pelayanan Makro Fokus utama pelayanan ini adalah komunitas lokal, pemerintah daerah dan negara. Untuk strategi programnya dilakukan pemberdayaan masyarakat, terapi sosial, kampanye, aksi sosial dan advokasi kebijakan. Sistem pelayanan model mikro, messo dan makro dapat berbentuk pelayanan kelembagaan, dimana anak mengalami masalah di tempatkan dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau rehabilitasi sosial diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu. Jika pelayanan non-kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan diberikan di kelurga yang bukan orang tuanya atau komunitas dimana anak menetap. Pelaksanaan model pertolongan terhadap kasus kekerasan terhadap anak
dapat dilakukan melalui prosedur atau proses sebagai berikut:19 1. Identifikasi Penelaahan terhadap masalah mengenai adanya tindakan kekerasan terhadap anak. Laporan dari masyarakat atau dari profesi lain, seperti polisi, dokter dan ahli hukum dapat dijadikan masukan pada tahap ini. 2. Investigasi Penyelidikan terhadap kasus yang dilaporkan. Pekerja sosial dapat melakukan kunjungan rumah, wawancara dengan anak atau orang yang diduga sebagai pelaku mengenai tuduhan yang dilaporkan, pengamatan terhadap perilaku anak dan orang yang diduga sebaagai pelaku dan penelaahan terhadap kehidupan keluarga. 3. Intervensi Pemberian pertolongan terhadap anak dan atau keluarganya yang dapat berupa bantuan kongkrit (uang, barang dan perumahan), bantuan penunjang (penitipan anak, pelatihan manajemen stres dan perawatan medis) atau penyembuhan (konseling, terapi kelompok dan rehabilitasi sosial). 4. Terminasi Pengakhiran atau penutupan kasus yang dapat disebabkan oleh beberap faktor, yaitu: 1) Keluarga membaik, anak tidak lagi dalan bahaya 2) Keluarga memburuk, sehingga anak harus dipisahkan dari keluarganya dan ditempatkan dalam asuhan diluar keluarganya sendiri (foster care) 3) Tidak ada kemajuan dalam penanganan kasus 4) Lembaga kehabisan dana 5) Keluarga menolak kerja sama 6) Tidak ada pihak yang membawa kasus ini ke pengadilan.20 19
18
20
Ibid, hal. 131.
Ibid, hal. 134. Ibid
38
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak, yaitu sebagai berikut :21 1. Child Based Services Strategi ini menempatkan anak sebagai basis penerima pelayanan. Anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis perlu segera diberikan pertolongan yang seharusnya, baik perawatan medis, konseling atau dalam keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang mengancam dan membahayakan kehidupannya. 2. Institutional Based Services Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga/panti. Pelayanan yang diberikan meliputi fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan keterampilan serta program rehabilitasi sosial lainnya. 3. Family Based Services Keluarga dijadikan sasaran dan media utama pelayanan. Pelayanan ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki kemampuan ekonomi, psikologis dan sosial dalam menumbuh kembangkan anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan anak. Keluarga sebagai kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memenuhi kebutuhan anak, misalnya program Usaha Ekonomi Produktif (UEP), diterapkan pada kluarga yang mengalami masalah keuangan, terapi perkawinan diberikan pada keluarga yang mengalami permasalahan emosional dan sosial. 4. Community Based Srvices Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Para pekerja sosial dengan secara 21
periodik ke masyarakat untuk merancang dan melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi sosial, serta penyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang. 5. Location Based Services Pelayanan yang diberikan dilokasi anak mengalami masalah. Strategi ini biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja dijalan dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik atau ditempat-tempat dimana anak berada, dan memanfaatkan sarana yang ada disekitarnya sebagai fasilitas dan media pertolongan. Untuk anak jalanan dan anak yang bekerja dijalan, strategi ini sering disebut sebagai Street Based Services (pelayanan berbasiskan jalanan). 6. Half-way House Services Strategi ini disebut juga strategi semipanti yang lebih terbuka dan tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai aktivitas, rumah bealajar, rumah persinggahan anak dengan keluarganya, rumah keluarga pengganti, atau tempat anak yang mengembangkan subkultur tertentu. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah. 7. State Based Services Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung (macro and indirect services). Para pekerja sosial mengusahakan situasi dan kodisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan sosial dan perangat hukum untuk perlindungan merupakan bentuk program dalam strategi ini. PENUTUP Kesimpulan
Ibid, hal. 135 39
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 1. Menyangkut kekerasan fisik dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351-355, Pasal 338341, Pasal 229, Pasal 347, Pasal 269, Pasal 297, Pasal 330-332 dan Pasal 301. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dapat dilihat melalui beberapa perundang-undangan selain yang telah disebutkan di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 59, Pasal 64, Pasal 69, Pasal 80-82. 2. Upaya yang dilakukan terhadap pemulihan pada Anak Korban Kekerasan Fisik, dapat berupa tindakan langsung yang membawa korban kepada instansi kesehatan yang terkait. Juga untuk menjaga dampak trauma si anak sebagai korban anak bias dibawa ke tempat rehabilitasi dan dilindungi secara khusus. Pemulihan yang dilakukan sering kali datang dari organisasi-organisasi masyarakat atau lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang kemanusiaan. Dalam prakteknya, penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Pelaksanaan model pertolongan terhadap kasus kekerasan terhadap anak dapat dilakukan melalui prosedur atau proses Identifikasi, Investigasi, Intervensi dan Terminasi. Saran Untuk menciptakan kondisi yang nyaman bagi tumbuh kembang si anak harus lebih diperhatikan lagi oleh negara, agar tercipta anak Indonesia yang cerdas, sehat secara jasmani dan rohani dan benarbenar terlindungi. Harus segera dilakukan penataan program oleh pemerintah, agar hukum bisa
berjalan sebagaimana mestinya, tidak ada lagi yang buta hukum dan lebih bijak dalam menanggulangi masalah seperti ini. DAFTAR PUSTAKA Alot,Philips.,The Concept of International Law, 10 European Journal of International Law, 1999. Gultom, Maidin., Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Permpuan, Refika Aditama, Bandung, 2012. Huraerah, Abu., Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa Cendekia, Bandung, 2012. Kordi, Ghufran., HAM tentang Kewarganegaraan Pengungsi Keluarga dan Permpuan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013. Marzuki, Peter, Mahmud., Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009. Mohammad, Taufikmakaro., Wenny, Bukamo., dan Syaiful, Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Rineka Cipta, jakarta, 2013. Soekanto, Soerjono., dan Mamudji, Sri., Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Lainnya: Arafat, Yasir., Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Perubahannya, Permata Press, Jakarta, 2010. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Hak Anak menurut ratifikasi konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Nusantara Publisher, Jakarta, 2009. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana, Citra Umbara, Bandung 2010.
40
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Bagi Anak. Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dilengkapi dengan Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, UndangUndang KesejahteraanAnak, Konvensi Hak-Hak Anak, Traficking dan Sistem Peradilan Pidana Anak, Permata Press, Jakarta, 2013. Sumber Lain Dari Internet: Chie Noyori-Corbett dan Sung Seek Moon, 2010, “Multifaceted Reality of Juvenile Delinquency: An Empirical Analysis of Structural Theories and Literature”, Springer Science+Business Media, LLC, hlm.247-250. (diunduhdari http://www.library.usyd.edu.au pada 8 desember 2013). http://kongresanak.komnaspa.or.id/node/5 , diunduh tanggal 7 November 2013. Komisi Nasional Anak, Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak. Diunduh dari www.komnasanak.com pada 29 Desember 2012. Muhammad Joni. Hak-Hak Anak Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga. Dipublikasikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, dapat diakses di www.joni-tanamas.com, diunduh pada 10 Desember 2013. Santosa, Bagus., “Setiap Hari 9 Anak Alami Kekerasan” http://news.okezone.com/read/2013/11 /20/337/899925/setiap-hari-9-anakalami-kekerasan, Okezone, diunduh pada 10 Desember 2013.
41
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
DAMPAK TAYANGAN KEKERASAN TERHADAP PERILAKU ANAK DALAM PRESPEKTIF KRIMINOLOGIS DAN YURIDIS oleh : nandang sambas1
Kata Kunci : Tayangan kekerasan dan perilaku anak
Abstrak Transparancy and fredom of expression in ferorm era have influenced the Indonesian televisions programs and at the same time, influence the behavior of the child. In can be seen to the children who did the violation to his friend after seeing the smackdown program. Regarding with criminology point of view there ara three approaches that explain the cause of the deviant behaviours. (1) Regarding with the biological approach, one has the deviance behavior because he had the psychological weakness. (2) Regarding with the psycological approach, the cause is the psychological disturbance, so as he did not realize his action. (3) Regarding with the sociological approach, the cause is the bad environment. The child deviant behaviour, basically is affected by the biological condition and the environment. Especially the child carried out the deviant behavior because of beingaffected by the imitation behavior. Actualli in juridical normative aspect, the laws give adequate protection for the children but there is weakness in law enforcement. Key word: Child”s television program, violation, deviant behavior. I. Pendahuluan Memasuki penghujung tahun 2006 kalangan orang tua dikejutkan oleh berita tentang banyaknya korban yang dialami anak-anak sebagai akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sesama teman sepermainan. Korban yang dialami anak-anak tersebut, bukan saja telah mengakibatkan cidera atau luka memar melainkan ada yang pula yang sampai meninggal dunia. Masyarakat berasumsi bahwa munculnya perilaku “agresif” yang melanda kalangan anak-anak tersebut sebagai akibat semakin merebaknya acara stasiun televisi yang menyajikan adegan kekerasan. Dan tayangan acara gulat bebas atau “smackdown” dianggap sebagai tayangan yang paling bertanggungjawab. Reaksi muncul dari semua kalangan, bukan saja para orang tua, pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komnas Perlindungan Anak, termasuk kalangan Mentri pun mendesak agar tayangan televisi yang berisi adegan-adegan kekerasan segera diberhentikan. Bahkan pihak KPI akan mengajukan tuntutan pidana terhadap pengelola stasiun televisi yang tidak 1
. Dosen tetap Fakultas Hukum Unisba.
310
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
mengindahkan teguran yang telah diberikan sebagaimana diatur dalam undangundang nomor.32 tahun 2002 tentang Penyiaran2. Pemerintah Propinsi Jawa Barat sangat responsif, hal tersebut nampak dengan munculnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor. 5 tahun 2006 tentang Perlindungan Anak. Dikeluarkannya Perda tersebut sebagai wujud kepedulian untuk menjawab persoalan perlindungan anak di Jawa Barat . Berbicara
masalah
kekerasan
terhadap
anak,
pada
umumnya
masyarakat
berpandangan secara sempit. Telah terjadi kekerasan apabila si anak nampak dalam keadaan luka atau sakit pada bagian anggota tubuhnya. Dengan demikian, mengartikan kekerasan lebih kepada kekerasan fisik belaka.
Sesungguhnya
kekerasan bukan hanya tindakan yang nampak secara fisik, melainkan termasuk pula tindakan-tindakan secara psikis. Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ditegaskan bahwa Kekerasan adalah : “ Setiap perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum” .3 Sedangkan kekerasan terhadap anak diartikan sebagai: “Perbuatan yang disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional”.4 Atas dasar hal tersebut, secara umum kekerasan dapat berupa : 1. Kekerasan fisik 2. Kekerasan seksual 3. Penelantaran 4. Kekerasan emosional 5. Kekerasan ekonomi/ eksploitasi komersial. Sedangkan dampak psikologis akibat dari kekerasan dapat berupa : 1. Rasa takut yang berlebihan 2. Perasaan curiga /paranoid 3. Anti sosial 4. Hilangnya kepercayaan diri 2
. Kompas, 14 Desember 2006. hal.12. . Pasal 5 UU nomor.23 tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumahtangga. 4 . Gelles dalam Syamsul Yusuf L.N “ Melindungi dan Memahami Dampak Psikologis Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat”. Makalah, 2006. 3
311
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
5. Stress berat/depresi 6. Rendah diri/inferior5
Betulkan perilaku kekerasan yang saat ini melanda kalangan anak-anak merupakan dampak dari seringnya anak-anak menonton tayangan-tayangan yang memuat adegan kekerasan semacam smack down ? Pakar hukum dan Komunikasi mengatakan, media massa merupakan salah satu saluran komunikasi yang sangat efektif (mudah mempengaruhi perilaku khalayak).6 Menurut beliau maraknya media massa (termasuk media elektronik) menyajikan informasi-informasi yang sarat dengan kekerasan, terutama terjadi menjelang runtuhnya kekuasaan orde baru (orba). Sekitar tiga tahun sebelum pemerintahan orba terguling, kerusuhan politik dan kerusuhan sosial mulai merebak di beberapa daerah. Sejak saat itu pula media massa mulai ”membudayakan” informasi tentang kekerasan, yang berimplikasi kekerasan informasi. Artinya, informasi yang bersifat keras, mengerikan bagi audience. Informasi mencangkup berita, ulasan, tajuk, karikatur, pojok, tulisan wartawan, dll. Mengkaji masalah kekerasan kaitannya dengan masalah anak, maka anak bisa dalam posisi sebagai obyek maupun sebagai subyek dari kekerasan. Namun demikian, tindak kekerasan apapun bentuknya merupakan suatu perilaku menyimpang (deviance). Bahkan termasuk tindakan pelanggaran hukum, yang sudah barangtentu merupakan perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh anakanak. Dalam pandangan hukum pidana kekerasan dikualifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahataan. Secara yuridis, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengartikan kekerasan sebagai perbuatan yang dapat membuat orang pinsan atau tidak berdaya7. KUHP mengatur tindak kekerasan sebagaimana tercantum dalam Bab XX dengan title Penganiayaan, diatur mulai Pasal 351 sampai dengan Pasal 358. Ancaman sanksi pidana bagi pelaku, antara tiga bulan sampai tujuh tahun penjara. Dalam Pasal 351 ditegaskan bahwa : (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika perbauatan mengakibatkan luka-lika berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. 5
. idem . A. Muis. Informasi Kekerasan, Kekerasan Informasi. Hukum online. 7 . lihat pasal 89 KUHP. 6
312
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
(3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja msrusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Dengan melihat rumusan di atas, maka perbuatan seorang anak yang memenuhi kualifikasi sebagaimana diatur dalam pasal tersebut, otomatis dapat diadili di muka sidang pengadilan. Dalam Pasal 21 UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ditegaskan bahwa : “ sidang Anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara Anak Nakal”. Bila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 huruf b, dari UU tersebut tentang definisi anak nakal, bahwa pengertian Anak nakal adalah “ Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”. Namun perlu disadari bahwa seorang anak yang melakukan tindak kekerasan, sesungguhnya dia sendiri tidak sepenuhnya menginsyafi makna dari perbuatan yang dilakukanya. Sesungguhnya dia adalah korban dari kondisi lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan jiwa anak. Atas dasar hal tersebut, baik KUHP maupun Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur kekhususan-kekhususan dalam menangani seoranag anak yang melakukan pelanggaran hukum. Hal tersebut dimaksudkan agar dalam rangka penegakkan hukum, para penegak hukum tetap dalam koridor mengedepankan serta memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak.
II.
Permasalahan
1. Adakah pengaruh tayangan media elektronik (termasuk tayangan kekerasan) terhadap perilaku menyimpangan seorang anak ? 2. Sejauhmana hukum positif memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasan ?
III. Pembahasan III.1. Faktor-faktor penyebab seorang anak berperilaku menyimpang.
313
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Perilaku menyimpang (deviance), pada dasarnya adalah merujuk kepada perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan tata susila yang tentukan oleh masyarakat. Menurut pandangan para ahli sosiologi, suatu perbuatan dianggap menyimpang tergantung pada penilaian yang dibuat oleh individu atau masyarakat. Robert Merthon, mengartikan deviance sebagai kelakuan yang menyimpang secara signifikan
daripada
norma-norma
yang
dianggap
oleh
masyarakat
sebagai
munasabah dan morally binding bagi orang-orang yang menduduki status berlainan. Albert Cohen, menyatakan bahwa perilaku deviance ialah kelakuan yang melanggar norma-norma dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam pengertian yang luas, deviance bisa diartikan sebagai setiap tingkah laku yang tidak mematuhi norma sosial suatu masyarakat. Dan dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa dan buruk. Tingkah laku tersebut dapat menimbulkan perasaan marah dari masyarakat, sehingga bisa dilakukan tindakan pencegahan/larangan termasuk menjatuhkan sanksi atau hukuman.8 Sebagaimana telah disinggung pada uraian terdahulu bahwa tindak kekerasan sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang, pada umumnya merupakan tindakan yang diketegorikan sebagai perbuatan melanggar hukum.9 Oleh karena itu tindak kekerasan merupakan perbuatan yang tidak patut untuk dilakukan oleh siapapun, termasuk anak-anak. Pada hakikatnya tindakan kekerasan sebagai perilaku menyimpang, merupakan tindakan yang dapat merugikan siapapun. Walaupun demikian, para ahli psikologi mengenal perbedaan istilah yang dipakai terhadap subyek atau pelaku dari tindak kekerasan. Bagi seorang anak yang melakukan tindak kekerasan, walaupun hakikat serta akibat yang ditimbulkan sama dengan yang dilakukan orang dewasa, mereka memberikan julukan yang berbeda dibandingkan dengan pelaku orang dewasa. Untuk pelaku anak, sering memberi istilah “Juvenile Delinuency” atau anak nakal. Tujuannya untuk menghilangkan image serta stigma pada diri si anak. Dari berbagai teori kriminologi yang berkembang, usaha menjelaskan tentang perilaku menyimpang dapat diketegorikan kedalam tiga pendekatan.
8 9
. Kartini Kartono. Patologi Sosial 2. Kenakalan Remaja. Rajawali Press. 1992. . Dilihat dari pandangan sosio-antropologis, tidak semua tindak kekerasan dapat dikategorikan perbuatan menyimpang dan melanggar hukum karena tindakan yang dilakukan bukan dengan sengaja ditujukan untuk menimbulkan kerugian atau membahayakan. Hal tersebut terutama tindakan-tindakan yang erat kaitannya dengan unsur kebudayaan masyarakat tertentu. ( lihat makalah “Tindak Kekerasan dalam orespektif kriminologis” Madani tahun 2002.
314
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
1. pendekatan Biologi 2. pendekatan Psikologi 3. pendekatan Sosiologi
Pendekatan Biologi. Menurut pendekatan biologi, tingkah laku seseorang didasarkan pada ciri-ciri biologinya, seperti gens, keturunan darah dan sebagainya. Teori ini juga berpandangan bahwa seseorang berperilaku menyimpang karena terdapat suatu kelainan
dan
kelemahan
dalam
pembentukan
fisiknya
yang
menyebabkan
tingkahlakunya luar biasa atau kearah perilaku menyimpang. Berdasarkan teori yang diungkapkan Cesare Lombroso10, bahwa penentu utama gejala penyimpangan adalah faktor biologi, yaitu ciri-ciri fisik seseorang yang dibawa sejak lahir ( born criminal type ). Seorang yang berperilaku menyimpang biasanya mempunyai ciri fisik tertentu seperti, muka bengis, rambut panjang tidak beraturan, mata cekung, dahi lebar, dlsb. Menurut William H. Sheldon, tingkah laku seseorang ada kaitannya dengan bentuk badannya. Misalnya, orang gemuk dan pendek / tipe endomorph adalah manusia suka bersosial, gemar makan dan mempunyai falsafah hidup yang mudah. Tipe ektomorph yaitu orang yang kurus dan lemah lembut, bersifat sensitif, mudah tersinggung dan tidak begitu sosial. Tipe mesomorph, yaitu jenis badan tegap dan kuat, biasanya orang yang mudah resah dan besar tenaga dan tidak sensitif. Dari ketiga tipe tersebut, jenis mesomorph besar kemungkinan memiliki sifat perilaku menyimpang. Tiangkah laku penyimpang atau delinkuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian tersebut berlangsung : a. melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen. Dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial. b. Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa/ abnormal, sehingga membuahkan tingkah laku delinkuen. 10
. W.A. Bonger. Pengantar Tentang Kriminologi.W.A. Bonger. PT.Pembangunan Ghalia Indonesia. 1981.
315
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
c. Melalui pewarisan kelemahan konstitiusional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkahlaku delinkuen atau sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydactilisme (berjari-jari pendek) dan diabetes insipidius (sejenis penyakit gula) erat berkorelasi dengan sifat kriminal serta penyakit mental. Pendekatan Psikologi. Menurut teori psikologi, tingkah laku menyimpang adalah hasil daripada pikiran tidak sadar atau terganggu. Pengalaman pahit yang dialami pada saat awal akan memberi kesan buruk pada perkembangan personaliti. Toeri ini menekankan sebab-sebab kejiwaan sebagai faktor pendorong seseorang melakukan perilaku menyimpang. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi rationalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik bathin, emosi yang kontroversal, kecenderungan psikopatologis, dll. Delinkuensi merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal/sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis. Sebagian besar dari jumlah anak-anak delinkuen berasal dari keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung jelas membuahkan masalah psikologis personal dan penyesuaian diri yang terganggu pada diri anak-anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen. 11 Pendekatan Sosiologis. Para sosiolog berpendapat, penyebab tingkah laku menyimpang pada anak-anak adalah murni sosiologis atau sosio-psikoilogis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu ditengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian diri atau konsep dirinya. Healy dan Bronner12 sarjana ilmu sosial dari Universitas Chicago, banyak mendalami tentang sebab-sebab sosio-genis kemunculan delinkuensi anak. Ia terkesan oleh kekuatan kultural dan disorganisosi sosial di kota-kota yang
11 12
. Kartini Kartono. Op.cit. . idem
316
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
berkembang pesat, dan menumbuhkan banyak tingkah laku delinkuen pada anak remaja serta pola kriminal pada orang dewasa. Cepatnya pertambahan penduduk, daerah-daerah perkotaan menjadi cepat pula berubah. Sebagian besar daerah dipakai untuk mendirikan bangunan-bangunan, industri dan perdagangan, perumahan penduduk, kantor pemerintah dan militer. Semua itu mempunyai dampak sampingan berupa disrupsi sosial (kebelahan dan kekacauan sosial) antara lain kenakalan anak dan remaja. Karier kejahatan anak sesungguhnya dipupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat. Dari ketiga pendekatan tersebut di atas, nampak bahwa walaupun masing-masing teori memiliki kelemahan, namun kesemuanya dapat dijadikan sebagai rujukan dalam kontek memahami perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak. Namun demikian tidak bisa dianggap bahwa teori yang satu lebih tepat dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam perkembangan kriminologi modern diakui bahwa usaha menemukan causa kejahatan tidak lagi didasarkan kepada satu faaktor saja/faktor tunggal (sigle factor), malinkan multi faktor (multy factor). Walaupun ada satu faktor yang dominan untuk terjadinya kejahatan. Para ahli psikologi anak mengakui bahwa motivasi seorang anak melakukan perilaku menyimpang sangat berbeda dengan orang dewasa. Kalau orang dewasa melakukan kejahatan lebih didasarkan karena adanya dorongan yang datang dari dirinya sendiri/pilihannya,
sedangkan
seorang
anak
pada
umumnya
melakukan
penyimpangan karena dua hal. Pertama karena dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik yang sejalan dengan perkembangan jiwa, kedua sangat besar pula dipengaruhi oleh kondisi sosio-cultural. Menurut pemikiran aliran positive bahwa manusia dan pemikirannya
berkembang
secara
perlahan-lahan
(teori
evolusi).
prilakunya
dipengaruhi oleh determinisme biologi dan determinisme cultural (pengaruh sosial, budaya dan lingkungan dimana seseorang hidup). Kaitannya dengan pengaruh sosio kultural, Gabrile Tarde mengungkapkan bahwa seorang melakukan perilaku menyimpang karena dipengaruhi oleh hukum peniruan (imitasi).
Teori inipun dikembangkan oleh Sutherland dengan teori Asosiasi
Deferential. Sutherland menyatakan bahwa anak dan remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial, yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin lama anak bergaul dan semakin intensif relasinya dengan
perilaku
menyimpang,
akan
menjadi
semakin
lama
pula
proses 317
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
berlangsungnya assosiasi deferential tersebut. Dan semakin besar kemungkinan anak-anak remaja benar-benar menjadi kriminal. Sedangkan menurut teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory), bahwa perilaku delinkuen dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagaimana semua perilaku nondelinkuen. Beberapa jalan mempelajari tingkah laku antara lain, melalui observasi (observation), pengalaman langsung (direct exposure), dan penguatan yang berbeda (differential reinforcement). Menurut Albert Bandura, sebagai tokoh utama social learning theory bahwa individuindividu mempelajari kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling : seorang anak belajar bagaimana bertingkah laku secara ditransmisikan melalui contoh-contoh yang terutama datang dari keluarga, sub-budaya, dan media massa.13 Dari teori-teori yang diungkapkan oleh para ahli tersebut nampaknya dapat kita terima, bahkan memperkuat keyakinan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan pengaruh media massa dengan perilaku anak. Sebagaimana juga diungkapkan A.Muis bahwa media massa memang merupakan sarana komunikasi yang sangat efektif (mudah mempengaruhi perilaku khalayak). Manakala media dengan gencar-gencarnya menyajikan berbagai tayangan yang penuh dengan adegan kekerasan atau kekejaman sosial, dihadapkan kepada kondisi seorang anak dengan berbagai kelemahannya, maka melalui proses transformasi budaya kekerasan akan melembaga pada diri seorang anak. Terjadinya kondisi demikian dipengaruhi pula oleh kondisi sosio-politik yang terjadi sebagai akibat adanya perubahan pasca reformasi. Era reformasi telah membawa peningkatan kekerasan atau kekejaman sosial. Media Massa pun terlibat didalamnya dengan pemberitaan yang kian bernuansa kekerasan dan sensasi yang berlebihan. Kekerasan menjadi begitu permisif dalam kehidupan keluarga. Setiap hari kita disuguhi dengan berbagai tayangan yang penuh dengan adegan kekerasan, sehingga tidak ada lagi ibu-ibu yang menjerit ketika melihat suatu tayangan yang penuh luka dan ceceran darah di sekujur tubuhnya. Anak-anakpun sudah terlalu akrab dan terbiasa mengkonsumsi tayangan-tayangan seperti itu. Padahal ada ungkapan bahwa “Apa yang anda tonton, itulah cermin watak anda kelak “. Dalam kondisi demikian, para pelaku mediapun tidak mau disalahkan. Dengan dalih kebebasan pers, demokrasi, keterbukaan, HAM dan lain-lain, seolah-olah bisa 13
. Topo Santoso. Kriminologi. Radjawali Press, Jakarta, 2001.
318
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
menghalalkan segala cara.
Hal tersebut diperkuat dengan legalitas formal yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Peraruran perundang-undangan yang yang dibuat dalam suasana euphoria reformasi secara tidak langsung telah memberikan keleluasaan kepada “para pelaku usaha” dibidang media massa. Pasal 4 Undang-Undang Nomor.40 tahun 1999 tentang
Pers secara tegas
dinyatakan bahwa : (1) kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberendelan atau pelarangan penyiaran. (3) untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
Sedangkan dalam Pasal 18 ditegaskan bahwa : (1) Setiap orang yang secara malawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah).
III.2. Aspek Hukum Perlindungan terhadap Anak. Dari prespektif hukum, upaya perlindungan terhadap anak dirasakan sudah cukup memadai. Hal tersebut nampak dari begitu banyaknya peraturan perundangundangan yang secara substansial mengatur masalah kepentingan anak. Peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain : 1. Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Undang-Undang Nomor. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 3. Undang-Undang Nomor. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan 4. Undang-Undang Nomor.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 5. Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 6. Undaung-Undang Nomor. 25 tahun 1997 tentang Ketenaga Kerjaan 7. Undang-Undang Nomor. 39 tangu 1999 tentang Hak Azasi mausia 8. Undang-Undang Nomor. 23 tanuh 2002 tentang Perlindungan Anak 9. Undang-Undang Nomor. 32 tahuin 2002 tentang Penyiaran. 10. Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2003 Tentang Pendidikan 319
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
11. Undang-Undang Nomor.23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Secara konstitusional, UUD 1945 secara tegas telah memberikan landasan konstitusional dalam hal perlindungan terhadap anak. Dalam Pasal 34, dengan tegas menyatakan bahwa ”Pakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal tersebut menunjukan bahwa negara bertanggungjawab atas kondisi anak dari keterlantaran. Adanya kewajiban bagi setiap orang tua untuk memberi perhatian terhadap anak, dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam pasal 45. Ditegaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak kawin atau berdiri sendiri, walaupun perkawinan putus. Sedangan UU No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, ketentuan yang secara prinsip mengataur masalah perlindungan anak antara lain : , Adanya prinsip dasar dari perlindungan terhadap hak-hak anak meliputi: nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak sebagaimana diatur dalam Pasal 2.
Hak setiap anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4),.
Hak Setiap anak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 9).
Hak setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun
yang
bertanggungjawab
atas
pengasuhan,
untuk
mendapat
perlindungan dari perlakuan : a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. (Pasal 13)
Hak bagi setiap anak untuk memperoleh perlindungan dari : 320
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan (pasal 15).
Begitu juga dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, secara khusus mengatur tentang perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam perkara pidana. Atas dasar pertimbangan bahwa anak sebagai sumber daya yang memiliki ciri dan sifat khusus, maka perlu pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Penjabaran dari tujuan tersebut, maka anak yang dihadapkan dalam proses peradilan perlu ditangai dengan arif dan bijaksana, serta selalu melibatkan orang tua dan para pekerja sosial (social worker), termasuk psikolog . Dalam Pasal 5 diatur tentang pertimbangan penyidik untuk mengembalikan anak yang berusia dibawah 8 tahun, kepada orang tuanya apabila masih dapat dibina oleh orang tuanya. Adanya larangan menggunakan atribut atau pakaian kedinasan bagi para penegak hukum dalam melakukan memeriksa seorang anak yang terlibat tindak pidana sebagaiman diatur dalam Pasal 6. Ketentuan tentang Persidangan yang harus dilalakukan dalam sidang yang tertutup sebagaimana diatur dalam pasal 8. Sedangan Pasal 26 mengatur tentang larangan untuk tidak menjatuhkan ancaman pidana
lebih dari ½ dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Dan
setinggi-tingginya selama 10 tahun bagi tindak pidana yang diancam pidana mati. Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur paya khusus terhadap anak binaan. Seperti Penempatan anak binaan baik anak pidana, anak negara, maupun anak sipil di tempatkan di LAPAS Anak. Adanya program-program pembinaan yang sejalan dengan tingkat pendidikan anak binaan, termasuk mengikuti pendidikan formal. Dalam undang undang tentang Penyiaran diatur tentang pedoman perilaku penyiaran, bahwa dalam menyiarkan suatu tayangan selain harus memperharikan nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundng-undangan yang berlaku, juga harus memperhatikan norma-norma lain yang berlaku di masyarakat. Secara 321
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
khusus isi siaran hal-hal yang harus dijadikan pedoman dalam penyiaran antara lain hormat terhadap pandangan keagamaan;
kesopanan dan kesusilaan;
pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme; dll14. Berbagai ketentuan yang berupa kesepakatan internasional sudah banyak pula mengatur tentang masalah anak. Ketentuan tersebut antara lain : 1. Deklarasi Genewa tentang Declaration of The Right on The Child, tahun 1924. 2. U.N. General Asembly Declaration On The Right Of The Child, tahun 1959. 3. International Covenant On Civil And Political Rihgt, tahun 1966. 4. International Covenant On Economic, Social and Cultural, tahun 1966. 5. U.N. Standard Minimum Rule Juvenile Justice ( Beijing Rule) tahun 1985. 6. U.N. Convention On The Right Of The Child ( CRC ), tahun 1989. 7. dll.
III. Penutup 1. Simpulan Dari apa yang telah dipaparkan dalam uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa : 1. Dengan melihat berbagai kelemahan baik kondisi biologismaupun secara psikologis, perilaku seorang anak sangat renta dari pengaruh yang ada disekilingnya. Terutama besar kemungkinan dipengaruhi oleh apa yang sering ia lihat, termasuk tayangan-tayangan dalam bentuk visual. Selain karena sifat-sifat kejiwaan yang dimiliki anak, diakui pula bahwa media memiliki daya tarik yang sangat kuat untuk mempengaruhi perilaku seseorang. Teori yang dikemukakan Gabrile Tarade dengan hukum peniruanya/Teori Imitasi serta teori belajarnya yang dikembangkan oleh Sutherland sangat relevan untuk diterapkan dalam kasus anak pelaku kekerasan. Dengan demikian nampak bahwa ada hubungan yang sangat erat antara maraknya tayangan kekerasan dengan munculnya penomena tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak. 2. Secara yuridis upaya perlindungan hukum terhadap anak dari berbagai perlakuan yang dapat merugikan masa depan anak dirasakan sudah cukup memadai. Hal tersebut nampak dari begitu banyaknya peraturan perundang-undangan yang secara substansial mengatur tentang hak-hak anak. Dalam lingkup yang lebih luas, kesepakatan-kesepakatan 14
internasional
telah
banyak
pula
reomendasi-
. Pasal 48 Undang-Undang Nomor. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
322
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
rekomendasi yang secara khusus mengatur masalah hak-hak anak. Persoalannya adalah banyaknya ketentuan yang melandasi upaya perlindungan hukum terhadap hak-hak anak, namun secara umum masih sebatas dalam tataran normative.
2. Saran-saran. 1. Mengingat kondisi seorang anak memiliki banyak kelemahan dan kekurangan, sudah seharusnya semua pihak mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi masa depan anak (the best interest of the child) 2. Karena begitu besarnya pengaruh tayangan audio visual terhadap perilaku seseorang, terutama bagi anak-anak, maka pemerintah sudah seharusnya melakukan tindakan pembinaan bagi para pengelola stasiun televisi. Khusus kepada instansi yang terkait pembinaan dimaksud terutama dalam hal menseleksi tayangan-tayangan yang dapat membahayakan masa depan anak. 3. Sebaiknya pasal-pasal UU tentang penyiaran yang dirasakan berlebihan dan lebih mengedepankan kebebasan dikaji kembali. Sehingga ada keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan masyarakat. 4. Adanya Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) benar-benar dapat berjalan sesuai dengan pungsi dan perananya, sehingga dapat menjadi penegak hukum bagi penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. 5. Adanya berbagai UU yang memberikan perlindungan terhadap anak, sudah selayaknya diimplementasikan dengan baik. Agar pihak-pihak yang mempunyai potensi melakukan tindakan atau kebijakan yang dapat merugikan masa depan anak lebih berhati- hati.
323
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Sumber Bacaan
Buku dan Makalah.
Bonger. Pengantar Tentang Kriminologi.W.A. Bonger. PT.Pembangunan Ghalia Indonesia. 1981.
Frank P William III. Criminological Theory, Prentice Hall, Englewood Cliffs,New Jersey,1988.
G.W. Bawengan. Pengantar Psikologi Kriminal, Pramadya Pharamita, 1991.
Kartini Kartono. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Rajawali Press. 1992.
Momon Martasaputra. Azas-Azas Kriminologi, 1969.
Romli Armasasmita. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. PT. Eresco, 1992.
Syamsul Yusuf L.N “ Melindungi dan Memahami Dampak Psikologis Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat” . Makalah, 2006.
Topo Santoso. Kriminologi. Radjawali Press, Jakarta, 2001.
Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor. 23 tanuh 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor. 32 tanuh 2002 tentang Penyiaran.
Undang-Undang Nomor. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Lain-lain WWW// Hukum online.com. Kompas,14 Desember 2006.
324
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM) JURNAL Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Helar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh SWANTI NOVITASARI SIBORO NIM : 100200103 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM) JURNAL KARYA ILMIAH Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Helar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh SWANTI NOVITA SARI SIBORO NIM : 100200103 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui : Penanggung Jawab
Dr. M. Hamdan, SH., MH. NIP : 195703261986011001 Editor
Dr. M. Hamdan, SH., MH. NIP. : 195703261986011001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM) Abstrak
*) Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH **) Abul Khair, SH, M.Hum ***) Swanti Novitasari Siboro
Anak merupakan objek lemah secara sosial dan hukum yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Belakangan ini, kasus child abuse semakin marak terjadi di Indonesia. Orang dewasa yang seharusnya memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak malah kerap menjadi pelaku tindak penganiayaan terhadap anak.. Semakin banyaknya tindakan kekerasan yang berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak. Skripsi ini diangkat dari permasalahan perlindungan anak korban tindak kekerasan dalam hukum pidana Indonesia serta bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian pada anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM. Metode yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan metode pengumpulan data Library Research dan Field Research, data diperoleh dari sumber ilmiah tertulis dan dibantu dengan hasil wawancara dengan Majelis Hakim yang menangani perkara Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan dalam hukum pidana dapaat dikaji dari KUHP, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga. Majelis hakim terhadap perkara ini mengambil putusan di luar tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan menjatuhkan hukuman berdasalkan Pasal 338 KUHP yang telah terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana pembunuhan dengan putusan 15 (lima belas) tahun penjara. Padahal secara hukum hakim tidak boleh mengambil putusan di luar dakwaan Jaksa. Namun pada akhirnya putusan tersebut diterima oleh kedua belah pihak, dibuktikan dengan tidak adanya upaya banding setelah adanya putsan dari Pengadilan Negeri Simalungun. *) **) ***)
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Mahasiswa Fakultas Hukum
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan Anak merupakan pihak yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Hal ini karena anak merupakan objek yang lemah secara sosial dan hukum, sehingga anak sering dijadikan bahan eksploitasi dan pelampiasan tindak pidana karena lemahnya perlindungan yang diberikan baik oleh lingkungan sosial maupun negara terhadap anak. Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan berbagai variannya diterima anak-anak
Indonesia,
seperti
pembunuhan,
pemerkosaan,
pencabulan,
penganiayaan, trafficking, aborsi, pedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan, penelentaran, penculikan, pelarian anak, dan penyanderaan.1 Perlindungan
terhadap
hak-hak
anak
sebenarnya
sudah
dijamin
permerintah Indonesia dalam perundang-undangan. Pemerintah Indonesia saat ini sudah memiliki sederet instrumen hukum, baik yang berasal dari hasil ratifikasi instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum dalam negeri. Beberapa peraturan pemerintah yang telah mengatur tentang hak-hak anak Indonesia, diantaranya:2 -
Undang-Undang Dasar 1945
-
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
-
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA
-
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
1
Merry Magdalena. Melindungi Anak dari Seks Bebas (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hal. 40 2 RM Ksatria Bhumi Persada, “Kekerasan Personal Terhadap Anak Jalanan Sebagai Individu dalam Ruang Publik : Studi Kasus Terhadap Tiga Anak Jalan Laki-Laki Binaan Rumah Singgah Dilts Foundation,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012), hal. 16.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
-
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pengaturan hukum tertulis yang jelas tentang perlindungan anak sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah, namun tindak kekerasan terhadap anak masih terus terjadi. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan angka kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat setiap tahunnya. Sekjen Komnas PA Samsul Ridwan memaparkan, dari 1.424 kasus kekerasan anak selama Januari-Oktober 2013, 452 merupakan kasus kekerasan fisik, 730 kasus kekerasan seksual, dan 242 kekerasan psikis.3 Melihat fakta-fakta dilapangan dimana tindak kekerasan terhadap anak ini menjadi suatu kasus yang harus ditanggapi dengan serius, maka untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak pidana secara khusus dibentuk Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dibentuk. Mengenai pengaturan pidana terhadap tindakan kekerasan terhadap anak secara khusus telah diatur dalam Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
3
Isnaini, “Kekerasan Pada Anak Terus Meningkat”, (http://news.okezone.com/read/2013/07/19/337/839343/kekerasan-seksual-pada-anak-terusmeningkat), diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 , jam 19.20
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. B. Permasalahan 1. Bagaimana Perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan dalam hukum Pidana Indonesia? 2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian
pada anak
(Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM)? C. Metode penelitian Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan dibantu dengan hasil wawancara dengan Majelis Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan dalam perkara tersebut. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Perlindungan Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana Indonesia a. Bentuk Kekerasan terhadap Anak Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (Child Abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak—yang mana itu semua diindikasikan dengan
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. 4 Suharto mengelompokkan child abuse menjadi : physichal abuse (kekerasan fisik), Psychological abuse (kekerasan secara psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial). Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut:5 1) Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak.. 2) Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. 3) Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontak seksual maupun perlakuan kontak seksual secara langsung. 4) Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. b. Faktor Penyebab terjadinya Kekerasan terhadap Anak Ada lima faktor secara internal dan eksternal yang merupakan penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, yaitu: kurang harmonisnya
hubungan
kekeluargaan
dalam
rumah
tangga,
masyarakat/lingkungan tempat bergaul dan mengabaikan segi keimanan, kesulitan ekonomi akibat krisis ekonomi, sanksi/hukuman yang masih dianggap ringan, serta sarana dan prasarana hiburan yang sangat menonjolkan unsur kekerasan atau topik negatif lainnya. 6 Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya kekerasan dan 4
Suyanto, hal. 28-29 Abu Huraerah, Op.cit, hal.. 47-49, mengutip Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung:Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah tinggi Kesejahteraan Sosial), hal.365-366. 6 Manik, op.cit, hal. 35 5
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: faktor orang tua/keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor anak sendiri. 7 c.
Perlindungan terhadap Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Hukum Pidana di Indonesia Perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan di Indonesia
secara garis besar diatur dalam KUHP, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan juga aturan pidananya baik yang secara langsung disebutkan objeknya adalah anak, maupun secara tidak langsung. Beberapa pasal dalam KUHP yang mengaturnya adalah:8 1) Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278); 2) Bab XV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 283, 285, 287, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 297,300, 301 dan 305 KUHP; 3) Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang belum cukup umum dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain (Pasal 330), menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331), melarikan wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu (Pasal 332); 4) Kejahatan terhadap nyawa, seperti seperti pembunuhan (338), pembunuhan dengan pemberatan (339), pembunuhan berencana (340), merampas nyawa (pembunuhan) anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342); 5) Kejahatan penganiayaan. (Pasal 351-356).
7
Abu Huraerah, hal. 51, mengutip Kusnadi Rusmil, “Penganiayaan dan Kekerasan terhadap Anak” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Penanganan Korban Kekerasan pada Wanita dan Anak”, tanggal 19 Juni di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. 8 Sumarwani, loc.cit.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Dalam UU Perlindungan Anak, kebijakan penangulangan kekerasan pada anak, dapat diidentifikasi pada bagian upaya perlindungan anak, yaitu mencakup:
(1)
Diwajibkannya
ijin
penelitian
kesehatan
yang
menggunakan anak sebagai objek penelitian (Pasal 47); (2) Diwajibkannya bagi pihak sekolah (lembaga pendidikan) untuk memberikan perlindungan terhadap anak di dalam dan di lingkungan sekolah dari tindakan kekerasan (Pasal 54); (3) Diwajibkannya bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga (Pasal 55); (4) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, (Pasal 66); (5) penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan (Pasal 69).9 Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bagaimana pelaksanaan hukum terhadap pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Hal tersebut diatur dalam Pasal 80, yang berbunyi : (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Sumarwani, Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan, http://sumarwani.blog.unissula.ac.id/2011/10/07/kekerasan-pada-anakbentuk-penanggulangan-dan-perlindungan-pada-anak-korban-kekerasan/ diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 07.32 9
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. Perlindungan anak dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (UU KDRT), terbagi dalam beberapa bab. Mengenai perlindungan korban KDRT, ditetapkan dalam Bab IV tentang “Hak-hak Korban”, Bab VI tentang “Perlindungan” dan Bab VII tentang “Pemulihan Korban”. Hak-hak, perlindungan maupun pemulihan korban, dalam UU KDRT, dimaksudkan untuk semua korban KDRT, tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban KDRT. 2. PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PADA ANAK (KAJIAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIMALUNGUN NO. 791/PID.B/2011/PN.SIM) a. Sanksi Pidana terhadap Pelaku tindak Kekerasan Terhadap Anak yang Menyebabkan Kematian Indonesia mengadopsi sejumlah undang-undang untuk menangani kekerasan terhadap anak, termasuk UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara khusus, dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah terdapat pasal yang mengatur tentang
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
penjatuhan pidana bagi pelaku tindak kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian, yaitu Pasal 80 ayat (3) yang berbunyi : Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 80 ayat (3) secara khusus berbicara tentang pengaturan pidana
terhadap
pelaku
tindak
kekerasan
terhadap
anak
yang
mengakibatkan kematian pada anak tersebut. 1) Setiap orang; 2) Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiyaan ; 3) Terhadap Anak ; 4) Mengakibatkan mati ; Berdasar poin-poin di atas, maka dapat diuraikan unsur-unsur Pasal 80 ayat (3) tersebut. Pertama adalah unsur “setiap orang”. Dalam doktrin hukum pidana adalah bagian dari bentuk Pertanggungjawaban pidana yang dalam doktrin hukum pidana dikenal dengan istilah “cakap” yang mana dapat dinilai berdasarkan kemampuan jiwa serta usia seseorang. Kedua adalah unsur “melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan”. Pada penjelasan pasal 89 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa: Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan kekerasan menurut pasal ini
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.10 Sedangkan menurut Yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.11 Unsur ketiga yaitu “terhadap anak”. Pengertian anak secara jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat(1) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Keempat, yaitu
“mengakibatkan mati”. Dalam
hal
ini mati artinya
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Selain itu, hukuman pidana yang dijatuhkan juga telah diatur yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Namun demikian, undang-undang ini sebenarnya masih memiliki beberapa kekurangan dari segi pengertian kekerasan sampai sejauh mana, tidak adanya batas minimal penjatuhan pidana, ataupun pelaku yang beragam (seperti bagaimana jika pelaku adalah aparatur negara). b.
Putusan Pengadilan 791/PID.B/2011/PN/SIM Putusan
Pengadilan
Negeri Negeri
Simalungun Simalungun
No. No.
791/PID.B/2011/PN/SIM tanggal 2 Januari 2012; telah dengan memutus perkara diluar dakwaan Jaksa berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU RI No. 23 10
Ray Pratama Siadari. “Tindak Pidana Kekerasan dan Jenisnya” (http://raypratama.blogspot.com/2012/02/tindak-pidana-kekerasan-dan-jenis.html), diakses tanggal 8 April 2014, pukul 19. 45 11 Adi Condro Bawono, ”Pasal untuk Menjerat Pelaku Penganiayaan Anak”, (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f12a3f7630d1/pasal-untuk-menjerat-pelakupenganiayaan-anak), diakses tanggal 10 April 2014, jam 20.00
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan dijatuhkan dengan Putusan dari Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan. 1.
Kronologi Kasus BUDI, 26 tahun, seorang wiraswasta, bertempat di Jalan Handayani
Nagori Karang Anyer Kec. Gunung Maligas Kabupaten Simalungun, pada hari Sabtu tanggal 20 Agustus 2011 sekira pukul 10.00 Wib, hendak menjemput anak terdakwa dari sekolahnya di Jalan Handayani Huta VII Nagori Karang Anyer Kec. Gunung Maligas Kab. Simalungun. Pada saat anak terdakwa hendak menyeberang jalan untuk menemui terdakwa, secara tiba—tiba datang sepeda motor yang dikendarai oleh korban RIFKY AZUARDI BATUBARA dan saksi WAHYU ANDIKA (berboncengan) dari arah belakang dan menabrak anak terdakwa sehingga anak terdakwa dan korban bersama sepeda motornya terjatuh. Melihat hal tersebut terdakwa langsung menampar pipi korban sebanyak 2 (dua) kali, kemudian terdakwa menolongi anaknya dengan mendirikannya. Kemudian korban pun mendirikan sepeda motornya dan duduk di atas sepeda motornya, lalu terdakwa BUDI menumbuk wajah korban sebanyak 1 (satu) kali dengan menggunakan tangannya. Kemudian oleh korban meminta maaf kepada terdakwa, namun terdakwa mencekiknya dan menumbuknya lagi hingga korban terjatuh. Dan pada saat posisi korban tertidur, terdakwa langsung menendangi bagian kepala korban secara berulang-ulang dengan kuat atau keras dan mengenai bagian lehernya hingga korban tidak berdaya
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
dan tergeletak di tempat tersebut. Lalu korban dibawa ke rumah sakit dan tidak lama kemudian korban meninggal dunia. 2.
Fakta Hukum
Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dipersidangan secara berturut-turut berupa keterangan saksi-saksi, barang bukti/petunjuk dan keterangan para terdakwa 3.
Tuntutan
Dalam hal ini Terdakwa Budi telah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum, tuntutan mana pada pokoknya sebagai berikut: a) Menyatakan ia terdakwa BUDI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan anak meninggal dunia” sebagaimana dalam Dakwaan Tunggal yakni Pasal 80 ayat (3) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; b) Menjatuhkan Pidana terhadap ia terdakwa berupa pidana penjara selama 10 tahun penjara dikurangkan selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan; c) Menyatakan bukti berupa: 1) 1 (satu) potong celana ponggol lea warna hitam; 2) 1 (satu) potong baju kaos warna coklat bertuliskan get stone Agar dirampas untuk dimusnahkan
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
d) Menetapkan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah). 4.
Pertimbangan Hakim Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah dipaparkan di atas, maka
Majelis Hakim pun memberikan beberpa pertimbangan, yaitu :12 Menimbang bahwa terdakwa diajukan kepersidangan dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun dalam hal ini majelis hakim tidak sependapat dengan Dakwaan yang berbentuk surat dakwaan tersebut, seharusnya terdakwa didakwa dengan dakwaan yang berbentuk alternative, yaitu pertama dipersalahkan melanggar pasal 338 KUHP atau Kedua melanggar pasal 80 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Menimbang, bahwa dari fakta tersebut, maka majelis Hakim berkesimpulan berdasarkan azas keadilan dan kepatutan, maka terhadap terdakwa juga seharusnya didakwakan Pasal 338 KUHP, dan walaupun tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 818K/Pid/1984, tertanggal 15 Mei 1985, majelis hakim dapat membuktikan dakwaan yang tidak ikut didakwakan asalkan sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan; Menimbang bahwa dalam penjatuhan pidana, makan menurut MACKENZIE dalam buku karangan Ahmad Rifai, SH, MH, yang berjudul
12
Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.Sim.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Penemuan Hukum Oleh Hakim terbitan Sinar Grafika Jakarta tahun 2010 halaman 105 menyebutkan: bahwa dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana, maka dikenal beberapa teori atau pendekatan, diantaranya adalah teori
keseimbangan
yang
artinya
keseimbangan
disini
adalah
keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang kepentingan pihak-pihak yang tersangkut paut atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan pihak korban; Menimbang, bahwa oleh karena itu berdasarkan azas keadilan dan kepatutan dan juga berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dengan demikian, maka majelis hakim akan mempertimbangkan Pasal 338 KUHP yang unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut: 1) Barang Siapa; 2) Dengan Sengaja; 3) Menghilangkan Jiwa Orang Lain; Menimbang, bahwa karena terdakwa dalam perkara ini adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan selama dipersidangan tidak ditemukan alasan-alasan pemaaf atau pembenar yang dapat
menghapuskan
kesalahan
HALAMAN AWAL
terdakwa,
maka
DAFTAR ISI
terdakwa
harus
dinyatakan bersalah sehingga harus dijatuhi pidana setimpal dengan perbuatannya dan selanjutnya dibebani untuk membayar ongkos perkara; Menimbang, bahwa tentang barang bukti dalam perkara ini yaitu : 1 (satu) potong celana ponggol lea warna hitam; 1(satu) potong baju kaos warna coklat bertuliskan get stone, yang sudah sepatutnya dikembalikan keda Ahli Waris korban RIFKY AZUARDI BATU BARA; Sedangkan 1 (satu) unit sepeda motor roda dua merek VIAR BK 5812 WQ warna hitam dikembalikan kepada yang berhak; 5.
Putusan 1) Menyatakan terdakwa : BUDI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan”. 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa B U D I tersebut dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun; 3) Menetapkan masa penahanan
yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4) Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan; 5) Menetapkan bawang bukti berupa: a) 1 (satu) potong celana ponggol lea warna hitam; b) 1 (satu) potong baju kaos warna coklat bertuliskan get stone; 6) Mebebankan biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah), 6.
Analisis Kasus Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan
tunggal berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002, sedangkan
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdaksarkan dakwaan Jaksa Penuntut umum tersebut. Majelis Hakim menimbang bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, yaitu : 1) Unsur Barang Siapa; 2) Unsur Dengan Sengaja; 3) Unsur Menghilangkan Jiwa Orang Lain: Berdasarkan Pertimbangan hakim di atas maka terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan” dan hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa BUDI tersebut dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun, sesuai dengan pasal 338 KUHP. Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan terhadap diri terdakwa perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Hal-Hal yang Memberatkan : - Perbuatan terdakwa membuat trauma dan penderitaan bagi keluarga korban; - Perbuatan terdakwa termasuk perbuatan sangat sadis ; - Perbuatan terdakwa sangat tidak berkeprimanusiaan; Hal-Hal yang Meringankan - Tidak ditemukan selam pemeriksaan dipersidangan;
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Memperhatikan
segala
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku dan berkaitan dengan perkara ini khususnya Pasal 338 KUHP dan pasal-pasal lain yang bersangkutan. Setelah dilakukan study lapangan yang bersifat empiris dengan metode wawancara terhadap Hakim Ketua yang menangani perkara no. No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM pada tanggal 18 Maret 2014 (telah pidah tugas ke Banjarmasin), tersebut menerangkan sebagai berikut: 13 Perkara kasus Penganiayaan terhadap Anak yang Mengakibatkan Anak Meninggal Dunia dengan No. Reg.791/Pid.B/2011/PN.SIM. dengan terdakwa BUDI, dalam perkara ini Abdul Siboro, SH, MH bertindak sebagai Hakim Ketua Majelis dalam memutuskan perkara didampingi oleh Silvianingsih, SH dan Irwansyah P. Sitorus, SH, MH sebagai Hakim Anggota dan Sarudin Purba sebagai Panitera Pengganti. Dalam Perkara No. Reg. No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM, beliau mengatakan bahwa Jaksa Penuntut umum hanya mengajukan dakwaan tunggal yaitu berdasarkan Pasal 80 ayat 3 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan tidak ada mendakwakan Pasal 338 KUHP. Hakim merasa perlu untuk membuat terobosan hukum karena hakim melihat dari segi asas keadilan dari pihak korban. Dimana perbuatan terdawa itu tergolong sangat sadis dilakukan terhadap anak bahkan menyebabkan anak tersebut mati lemas dan berujung dengan kematian dari korban. 13
Hasil wawancara dengan Abdul Siboro, SH, MH., hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin yang sebelumnya menangani perkara dalam Putusan No. 791/Pid.B/2011/PN.Sim.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Dalam perkara tersebut juga Majelis Hakim menilai beberapa hal dari sikap terdakwa yang menurut mengakibatkan hakim mengambil putusan yang paling berat, yaitu : 1) Tidak ada niat baik dari pelaku atau keluarga untuk memberikan semacam permohonan maaf ataupun kompensansi, uang duka atau santunan kepada korban; 2) Terdakwa sempat melarikan diri; dan 3) Tidak ada sikap terdakwa sikap menyesal di Persidangan. Menurut beliau, hukuman yang diberikan terhadap terdakwa sudah adil. Dilihat dari sisi keluarga korban dimana korban masih anak yang duduk dibangku Sekolah Menegah Pertama dan juga dilihat dari terdakwa ataupun penasehat hukumnya yang tidak mengajukan banding. Hukuman 15 (lima belas) tahun dirasa beliau setimpal dengan perbuatannya. Terakhir, beliau menambahkan sarannya untuk adanya perbaikan terhadap peraturan untuk perlindungan anak, terutama UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, terkhusus Pasal 80 ayat (3) dimana korbannya meninggal dunia. Berdasarkan poin-poin pertimbangan hakim dan putusan di atas, penulis pada dasarnya setuju dengan adanya pemberatan hukuman terhadap terdakwa yaitu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun atas dasar keadilan bagi pihak korban. Berdasarkan teori Kausalitas (hubungan sebab-akibat), anak tersebut mati karena akibat tindakan
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori Generalisasi dalam teori Kausalitas melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstraacto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (aw-aequare aritnya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, ada quanzttheorie).14 Berdasarkan kasus tersebut dapat dikatakan bahwa terdakwa sebenarnya sadar bahwa tindakan penganiayaan berat yang dilakukannya terhadap anak tersebut dapat mengakibatkan kematian pada anak tersebut. Hal inilah menjadi dasar tuntutan dari jaksa penuntut umum yang menuntut berdasarkan pasal 80 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu pidana penjara selama 10 tahun penjara dikurangkan selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan. Namun majelis hakim tidak sependapat dengan dakwaan yang berbentuk surat dakwaan tunggal tersebut, seharusnya terdakwa didakwa dengan dakwaan yang berbentuk alternative, yaitu pertama dipersalahkan melanggar pasal 338 KUHP atau kedua melanggar pasal 80 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sehingga pada putusannya majelis hakim menjatuhkan putusan berdasarkan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan 14
http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/hubungan-sebab-akibat.html, diakses pada tanggal 28 april 2014, jam 11.00
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun. Namun, pada dasarnya majelis hakim tidak dapat menjatuhkan putusan di luar dakwaan jaksa penuntut umum. mengingat dalam KUHAP, khususnya pasal 182 ayat 4 disebutkan “Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.” Ketentuan ini mengandung arti pengadilan terikat oleh surat dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum. Secara a contrario ketentuan ini mengandung arti bahwa pengadilan tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan Penuntut Umum. Selain pasal 182 ayat 4 KUHAP tersebut yurisprudensi Mahkamah Agung juga menegaskan hal yang demikian. 15 Dengan kata lain, maka berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP di atas, Majelis Hakim akan bermusyawarah dalam membuat suatu putusan, dengan memperhatikan 2 (dua) hal berikut ini:16 1. Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum 2. Segala yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan (apabila ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang meyakinkan hakim atas suatu tindak pidana dan pelaku tindak pidana tersebut, vide Pasal 183 KUHAP) Pada dasarnya penulis setuju dengan pendapat majelis hakim bahwa perlu adanya hukuman yang berat yang dikenakan pada pelaku tindak kekerasan pada anak untuk memberikan efek jera, sekaligus juga menghindari terulangnya kembali tindak kekerasan terhadap anak lainnya. Namun, niat hakim mengambil putusan yang diluar dakwaan Penuntut 15
http://krupukulit.wordpress.com/2012/07/30/terobosan-yang-nanggung-darimahkamah-agung/, diakses pada tanggal 28 april 2014, Jam 11.30 16 Albert Aries, “Surat Dakwaan Sebagai Dasar Putusan Hakim, (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4315/surat-dakwaan-sebagai-dasar-putusan-hakim) diakses pada 28 April 2014, Jam 12.20
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
umum yang berasaskan rasa adil dan kepatutan juga tidak dapat dibenarkan. Karena tujuan awal terdakwa bukanlah untuk membunuh korban namun menganiaya, walaupun terdakwa sadar tindakannya dapat mengakibatkan kemungkinan matinya anak tersebut. Selain itu juga, Yurisprudensi yang digunakan oleh hakim, yaitu berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 818K/Pid/1984, tertanggal 15 Mei 1985, majelis hakim dapat membuktikan dakwaan yang tidak ikut didakwakan asalkan sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan sebenarnya tidak sesuai, karena kasus yang ditangani tidaklah serupa. Menurut Kansil, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. 17 Namun melihat pada akhirnya putusan ini diterima dengan baik dengan tidak adanya keberatan atau pun banding baik dari pihak terdakwa ataupun kuasa hukumnya maupun dari pihak Jaksa Penuntut Umum. Artinya, hal tersebut dalam prakteknya di Pengadilan sudah dirasakan adil dan diterima dengan baik oleh kedua belah pihak dengan tidak adanya upaya banding oleh salah satu pihak setelah adanya putusan di tingkat pengadilan negeri, walaupun secara teori, putusan hakim ini sebenarnya tidak diperbolehkan.
17
Muhammad Riza, “Syarat-syarat dan Prosedur (http://muhammadriza23.blogspot.com/2013/12/syarat-syarat-dan-proseduryurisprudensi.html), diakses pada tanggal 28 April 2014, jam 12.22
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Yurisprudensi”,
E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni : a. Perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan diatur dalam beberapa peraturan hukum pidana di Indonesia, yaitu diantaranya: 1) Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam KUHP Dalam KUHP, penjatuhan hukuman bagi tersangka pelaku tindak pidana bagi anak tidak diatur secara khusus. Tidak ada lagi mengatur secara khusus terhadap anak-anak yang menjadi korban tindak pidana, hanya ada pengaturan hukuman ketika anak sebagai pelaku, bukan anak sebagai korban. 2) Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam UU No 23 Tahun 2002 (tentang Perlindungan Anak)Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bagaimana pelaksanaan hukum terhadap pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Hal tersebut diatur dalam Pasal 80 dan 90 UU No. 23 Tahun 2002. Selain itu juga diatur mengenai bagaimana penyelenggaraan perlindungan terhadap anak, pihak yang bertanggung jawab atas anak dan juga ketentuan mengenai Komisi Perlindungan Anak.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
3) Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam UU No. 23 Tahun 2004 (tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (UU KDRT), mengenai perlindungan korban KDRT, ditetapkan dalam Bab IV tentang “Hak-hak Korban”, Bab VI tentang “Perlindungan” dan Bab VII tentang “Pemulihan
Korban”.
Hak-hak,
perlindungan
maupun
pemulihan korban, dalam UU KDRT, dimaksudkan untuk semua korban KDRT., tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban KDRT. b. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian
pada anak dalam
Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 338 KUHP, dimana terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan. Walaupun hal tersebut diluar tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU RI No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, hal tersebut telah diputuskan oleh Majelis Hakim dengan musyawarah berdasarkan asas keadilan. Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi tersebut dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dimana 5 (lima) tahun lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Umum, yang menurut penulis putusan tersebut sudah mencerminkan keadilan, karena pada kasus ini korban adalah anak-anak yang sesuai dengan pandangan sarjana dan pandangan majelis hakim seharusnya mendapatkan perlindungan oleh orang-orang disekitarnya khususnya yang sudah dewasa. Namun, secara teori berdasarkan pasal 182 ayat (4) KUHAP sebenarnya putusan yang diambil di luar dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut tidak diperbolehkan. Hakim harus mengambil putusan sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Namun, dalam prakteknya putusan tersebut diterima dengan baik oleh kedua belah pihak dibuktikan dengan tidak adanya upaya banding dari para pihak setelah adanya putusan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Simalungun. 2. Saran a. Pemerintah diharapkan lebih memberikan perhatian dan perlindungan khusus yang lebih terhadap anak. Selain itu, penulis juga mengharapakan pemerintah
melakukan
pengawasan
yang
lebih
ketat
terhadap
perkembangan tekhnologi, khususnya tayangan televisi dan juga akses internet yang dewasa ini semakin tidak terkontrol dan secara eksplisit menampilkan adegan-adegan kekerasan dan adegan yang tidak patut dipertontonkan secara umum. b. Harus ada juga partisipasi dari masyarakat untuk menghindari semakin bertambahnya tindak kekerasan terhadap anak dengan cara melakukan pengawasan.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA BUKU Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana I.Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002. Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. Ke 3), Jakarta:Balai Pustaka, 2001. Gunadi, Ismu. Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2).Surabaya: PT.Prestasi Pustakaraya, 2011. Hamzah, Jur. Andi. Asas-Asas Hukum Pidana Perkembangannya. Jakarta: PT. Sofmedia. 2012.
di
Indonesia
dan
Huraerah, Abu. Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak). Bandung: Nuansa, 2007. Ikatan Dokter Indonesia, Departemen Kesehatan dan UNICEF, “Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini & Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect Bagi Tenaga Profesional Kesehatan”, 2003, hal. 10, diunduh dari (http://www.scribd.com/document_downloads/direct/124345490?extensio n=pdf&ft=1396531890<=1396535500&user_id=19287513&uahk=D7Q MAFRZq5kwCz13UqX5ZpvYwQU), diakses tangal 1 April 2014, jam 13.00 Kansil,C.S.T, Engelien R. Palendeng dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Perundang-undangan Indonesia. Jakarta : Jala Permata Aksara, 2009. Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Magdalena, Merry. Melindungi Anak dari Seks Bebas. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010. Manik, Sulaiman Zuhdi. Kekerasan Terhadap Anak dalam Wancana dan Realita/Editor. Medan : Pusat Kajian dan Pelindungan Anak, 1999 Mulyadi, Mahmud. Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan NonPenal Policy dalam penanggulangan Kejahatan Kekerasan. Medan : Pustaka bangsa Press, 2008. Persada, RM Ksatria Bhumi. “Kekerasan Personal Terhadap Anak Jalanan Sebagai Individu dalam Ruang Publik : Studi Kasus Terhadap Tiga Anak Jalan Laki-Laki Binaan Rumah Singgah Dilts Foundation.” Skripsi Sarjana, Fakultas Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. ed. Prof.dr.IG.N. DSAK .Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995.
Gde
Ranuh,
Suyanto, Bagong, Masalah Sosial Anak. Jakarta : Kencana, 2010. UNICEF (United Nations Children’s Fund), A Focussed Study on Child Abuse in Six Selected Province in Indonesia, lokasi : Medan . Centre for Tourism Research and Develompment Gadjah Mada University. Hal. 13, mengutip UNICEF Digest, the Innocenti Digest nr.2 (1991), hal. 2. Weiner, Neil Alan. et. Al. (Ed.) Violence: Pattern, Causes, Public Policy. USA: Harcourt Brace Jovanovich (HBJ) Publisher, Winarta, Frans H. Suara Rakyat Hukum Tertinggi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009. Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: CV Lubuk Agung, 2011. UNDANG-UNDANG -
Undang-Undang Dasar 1945
-
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
-
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
-
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
-
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA
-
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
-
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
-
Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
INTERNET Aries,
Albert, “Surat Dakwaan Sebagai Dasar Putusan Hakim, (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4315/surat-dakwaansebagai-dasar-putusan-hakim) diakses pada 28 April 2014, Jam 12.20
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Claus, Michael dan Nuraini Razak (ed.) Stop Kekerasan terhadap Anak Merupakan Urusan Semua Orang, http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21861.html, diakses tanggal 18 Februari 2014, pukul 11.25 Denico Doly, Tindak Pidana Pembunuhan dan Premanisme, Info Hukum Singkat, 2012, hal. 3, (http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV4-II-P3DI-Februari-2012-39.pdf) , tanggal 9 desember 2013 pukul 11.37 Dwijayadi, Adi. “Inilah 8 Sebab Kekejaman terhadap Anak”.2010, (http://nasional.kompas.com/read/2010/12/21/11575989/Inilah.8.Sebab.Ke kejaman.terhadap.Anak), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.47 http://dhitamenulis.blogspot.com/2011/03/hubungan-sebab-akibat-teorikausalitas.htmlhttp://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/hubungan-sebabakibat.html, diakses pada tanggal 28 april 2014, jam 11.00 http://journal.unikal.ac.id/index.php/hukum/article/download/176/112, tanggal 4 april 2014 jam 10.20 http://www.kpai.go.id/kanal/hukum/ http://www.kpai.go.id/aksi/sidang-ham-ke-2-membongkar-kekerasan/, pada tanggal 16 Februari 2014, jam 09.51
diakses
http://krupukulit.wordpress.com/2012/07/30/terobosan-yang-nanggung-darimahkamah-agung/, diakses pada tanggal 28 april 2014, Jam 11.30 Huda, Nurul. “Kekerasan Terhadap Anak dan Masalah Sosial yang Kronis,” Jurnal Unikal : Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008, hal. 8, diunduh http://www.irf.or.id/berita/9-irf-uu-perlindungan-anak-banyakkelemahan.html Indah Mutiara Kami, “Hingga Oktober 2013 Separuh Kekerasan Pada Anak Adalah Kejahatan Seksual”, 2013, http://news.detik.com/read/2013/11/20/124846/2418224/10/hinggaoktober-2013-separuh-kekerasan-pada-anak-adalah-kejahatan-seksual/, Diakses pada tanggal 29 November 2013 , jam 10.15 Irwanto, Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma jaya Jakarta dalam esainya yang berjudul, “Perilaku Kekerasan Pada Anak: Apakah Hukuman Saja Cukup?” (http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article &id=280:perilaku-kekerasan-pada-anak-apakah-hukuman-sajacukup&catid=45:psikologi&Itemid=93,), diakses 17 Februari 2014, jam 09.29
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Isnaini. “Kekerasan Pada Anak Terus Meningkat”. (http://news.okezone.com/read/2013/07/19/337/839343/kekerasan-seksualpada-anak-terus-meningkat),diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 , jam 19.20 Tobing, Letezia. Perbuatan-Perbuatan yang termasuk Penganiayaan, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt515867216deba/perbuatanperbuatan-yang-termasuk-penganiayaan, Perbuatan-Perbuatan yang termasuk Penganiayaan, diakses tanggal 14 februari 2014, pukul 22.59 Mawalu, “Rezza Eka Wardana (16), Korban Pemukulan Helm Oleh Polisi, Meninggal Dunia”, 2012, (http://metro.kompasiana.com/2012/11/04/rezaeka-wardana-16-korban-pemukulan-helm-oleh-polisi-meninggal-dunia500454.html), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.43 Parwito, “Perampok Pembunuh 2 Balita di Semarang Terlacak Berkat HP.”, (http://www.merdeka.com/peristiwa/perampok-pembunuh-2-balita-disemarang-terlacak-berkat-hp.html), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.30 Pratama, Ray. “Tindak Pidana Kekerasan dan Jenis-Jenisnya”. http://raypratama.blogspot.com/2012/02/tindak-pidana-kekerasan-danjenis.html “Puskesmas Mampu Tata Laksana Kekerasan terhadap Anak”, (http://www.kesehatananak.depkes.go.id/index.php?option=com_content& view=article&id=58:puskesmas-mampu-tatalaksana-kekerasan-terhadapanak&catid=40:subdit-5&Itemid=83), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.43 Riza, Muhammad, “Syarat-syarat dan Prosedur Yurisprudensi”, (http://muhammadriza23.blogspot.com/2013/12/syarat-syarat-danprosedur-yurisprudensi.html), diakses pada tanggal 28 April 2014, jam 12.22 Sumarwani. Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan. http://sumarwani.blog.unissula.ac.id/2011/10/07/kekerasan-pada-anakbentuk-penanggulangan-dan-perlindungan-pada-anak-korban-kekerasan/ diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 07.32
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Jurnal Ilmiah PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN FISIK ORANGTUA KANDUNG DI KECAMATAN EMPANG-TARANO Lita Restuwati, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang Email:
[email protected] atau
[email protected] Abstrak Semakin meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua kandungnya di kecamatan Empang dan Tarano dari tahun ke tahun dan belum terlaksananya perlindungan hukum kepada anak menjadi permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis dengan menganalisis data yang diperoleh dengan cara menjabarkan hasil dari penelitian berdasarkan permasalahan yang diangkat. Urgensi dari perlindungan hukum terhadap anak disebabkan masih adanya ketimpangan antara peraturan perundang-undangan yang ada dengan fakta yang ada dilapangan. Bahwasanya penyelesaian terhadap kasus yang selama ini ada, tidak memberikan perlindungan hukum kepada anak dalam rangka memenuhi hak-hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak. maka bentuk perlindungan hukum yang nyata dari pihak yang berwenang diharapkan mampu untuk memberikan perlindungan yang terbaik terhadap anak. (Kata kunci: Perlindungan Hukum, Kekerasan Fisik, Anak, Orangtua Kandung) Abstract The increases ammount of child violence in Empang and Tarano district who did by their parents and protection for the children which haven’t done yet, became a main problems for this research. This research used a sociological yuridist metode with analysis data that collected from describing the result of research based on the fit problem. The urgency from the child law protecting still caused by the unbalancing between norm and the reality in life. And also problem solving that already did for this case, doesn’t give a law protecting to fulfil children’s right like what Undang-Undang Perlindungan Anak arranged, so the real form of this law protecting which came from the side who have the authority,be expected to give the best law protection for the children. (Key Word: Law Protection, Physical Violence, Child, Parents)
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara hukum.1 Hal ini juga tertuang dalam pasal 3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berarti bahwa setiap masyarakat yang hidup, yang menjalankan kehidupannya dan tinggal di Indonesia serta menjadi warga negara Indonesia, ia harus tunduk dan patuh kepada semua peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Karena telah menjadi konsekuensi bahwasanya Indonesia menganut negara hukum sebagai dasar negara sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat harus sesuai dengan konstitusi dan tidak bertentangan dengannya. Tujuannya adalah agar masyarakat menjadi tertib dan tidak berlaku sewenang- wenang. Perlindungan hukum merupakan salah satu cara negara Indonesia untuk mengakui hak asasi warga negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Pasal 28 sampai dengan Pasal 28 j. Hal tersebut membuktikan bahwa negara menjamin perlindungan terhadap warganya agar dapat mencapai tujuan yang dikehendaki yakni kesejahteraan. Warga negara yang termaksud di dalamnya adalah anak. Pasal 28 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak untuk terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi”. Hak untuk mendapat kelangsungan hidup dan tumbuh kembang yang baik serta terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi merupakan hak asasi anak yang dilindungi oleh UUD NRI 1945. Bentuk perlindungan terhadap anak diatur pula pada Konvensi dan Deklarasi Internasional. Sidang PBB tanggal 20 Nopember tahun 1959 menghasilkan diproklamirkannya Deklarasi Hak-hak Anak ( Declaration of Child Rights) dimana ada 10 prinsip dari hak-hak anak di dunia ini yang wajib untuk dilindungi . Adalah prinsip ke-9 mengatakan bahwa setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran, tindakan kekerasan dan eksploitasi. Selanjutnya, diatur dalam Konvensi Hak Anak (Convention of the Right of The Child) yang 1
Menurut Emanuel Kant dan Julius Stahl, negara hukum mengandung 4 (empat) unsur yaitu (1) adanya pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) ; (2) adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut; (3) pemeritahan berdasarkan peraturan-peraturan dan (4) adanya peradilan tata usaha negara dalam buku; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1999, hal 22.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 20 November 1989, yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1990 (selanjutnya disebut Keppres 39/1990). Diratifikasinya Konvensi Hak Anak tersebut, terdapat kewajibankewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia yakni salah satunya adalah memberikan jaminan perlindungan kepada anak terhadap segala jenis kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan kekuasaan, penelantaran atau perlakuan salah (eksploitasi) serta penyalahgunaan/pelecehan seksual. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai hukum, memiliki banyak peraturan berkaitan dengan perlindungan anak terhadap kekerasan yang telah diundangkan berdasarkan amanat pasal 28 B ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 dan konvensi PBB pada tahun 1990 yaitu pertama, Pasal 52 ayat 1 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Undang-undang HAM)
menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas
perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara” , kemudian pasal 66 ayat 1 menegaskan bahwa “setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi” Kedua, Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Anak) mengatur lebih spesifik tentang perlindungan hukum terhadap anak. Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 butir (2) Undang-undang Perlindungan Anak, menjelaskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, orang tua dan keluarga wajib memberikan perlindungan terhadap anak. Perlindungan anak meliputi perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, penganiayaan, penyiksaan, ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya. Tujuannya supaya anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Anak juga menyebutkan “setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”. Pasal 13 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Perlindungan Anak yaitu “setiap anak selama dalam pengasuhan
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, dan seterusnya. Selain itu, pasal 16 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak tersebut menyebutkan bahwa: “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.” Dari sisi pengaturan di atas, sudah baik namun berdasarkan fakta yang ada dilokasi, kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menurut data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NTB yaitu pada periode Januari sampai dengan Desember tahun 2011 sebanyak 86 kasus, periode Januari sampai dengan Desember tahun 2012 sebanyak 54 kasus dan periode Januari sampai dengan September 2013 sebanyak 29 kasus2. Data dari Kantor Unit Perlindungan Anak SUBDIT IV Kepolisian Daerah NTB menyebutkan pada periode Januari sampai dengan Desember 2012 terdapat 121 kasus dan periode Januari sampai dengan Desember 2013 terdapat 109 kasus.3 Dari semua data tersebut, kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah kekerasan fisik oleh orang tua kandung terhadap anaknya sendiri. Berdasarkan hasil survey peneliti, data yang diperoleh dari Kepolisian Resort Kabupaten Sumbawa pada periode Januari sampai dengan Desember 2012 terdapat 39 kasus dan periode Januari sampai dengan Desember 2013 terdapat 40 kasus.4 Sedangkan hasil survey data dari kepolisian Sektoral (Polsek) Kecamatan Empang-Tarano diuraiakan tabel di bawah ini:
2 Hasil Survey Data yang dilakukan pada tanggal 3 Maret 2014 di kantor LPA NTB pukul 14.0015.30 WITA Jalan Kesehatan 1 no.8 Pajang, Mataram NTB 3 Hasil Survey Data yang dilakukan pada tanggal 4 Maret 2014 di kantor Unit Perlindungan Anak SUBDIT IV Polda NTB Jalan Langko no.77, Mataram NTB 4 Hasil Survey Data yang dilakukan pada tanggal 1 Maret 2014 di kantor Unit Perlindungan Anak Kepolisian Resort Kabupaten Sumbawa pukul 09.00-10.00 WITA jalan Garuda Kabupaten Sumbawa, NTB
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
Tabel 1.1 Jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Polsek Empang-Tarano No. Tahun
Jumlah (kasus)
1.
2011
7
2.
2012
15
3.
2013
25
Jumlah
47
Sumber data: data Sekunder, diolah, 2014. Keterangan Bagan: Pada periode Januari sampai dengan Desember tahun 2011 terdapat 7 kasus pelaporan, pada periode Januari sampai dengan Desember tahun 2012 terdapat 15 kasus pelaporan terkait kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri dengan rincian kekerasan fisik sebanyak 14 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 1 kasus. Sedangkan pada periode Januari sampai dengan Desember tahun 2013 telah terdapat 25 kasus pelaporan terkait kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya sendiri. Dengan rincian sebagai berikut kekerasan fisik sebanyak 21 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 4 kasus.5 Dari berbagai macam peraturan yang ada, maka secara yuridis, Indonesia telah berupaya secara maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Permasalahan yang terjadi adalah adanya pertentangan antara das sollen dan das sein, yakni berbagai peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur tentang perlindungan terhadap anak yang peneliti jabarkan di atas, belum mampu untuk memberikan perlindungan secara maksimal sebab fakta yang ada di masyarakat kasus-kasus kekerasan terhadap anak masih banyak dilakukan. B. RUMUSAN MASALAH Maka dari itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1. Apa urgensi perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kekerasan fisik orangtua kandung? 5
Berdasarkan Pra Survey yang peneliti lakukan pada tanggal 15 Agustus 2013 pukul 09.00-11.00 WITA di Polisi Sektorat Kecamatan Empang Tarano Kabupaten Sumbawa Provinsi NTB
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kekerasan fisik orang kandung di Kecamatan Empang-Tarano, Kabupaten Sumbawa, Provinsi NTB ? C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris dengan metode pendekatan yuridis sosiologis yakni dengan terjun langsung ke masyarakat untuk mendapatkan hasil dari penelitian yang diinginkan. Data primer diperoleh dari hasil wawancara narasumber yang telah ditentukan yakni pihakpihak yang berwenang melakukan perlindungan hukum terhadap anak di wilayah hukum Kecamatan Empang-Tarano, Kabupaten Sumbawa, Propinsi NTB yakni pihak kecamatan Empang Tarano, Kepala Polsek Empang Tarano, Kepala Unit PPA Polres Kabupaten Sumbawa, Kepala Unit PPA Polda NTB, Ketua Lembaga Perlindungan Anak NTB, tetua adat Samawa. Data sekunder diperoleh dari penelusuran dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Data primer dan sekunder yang telah diperoleh diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif yakni menjabarkan katakata secara sistematis hasil dari wawancara dan dokumen-dokumen yang ada tentang perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kekerasan orangtuanya. D. PEMBAHASAN Perlindungan
hukum
bagi
anak
dapat
diartikan
sebagai
upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights dan freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.6 Berangkat dari pembatasan tersebut maka perlindungan hukum bagi anak-anak mencakup : (1) Perlindungan terhadap kebebasan anak; (2) Perlindungan terhadap hak asasi anak dan ; (3) Perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan. Selama ini permasalahan dan penanganan kasus yang dilakukan dua kecamatan tersebut masih berdasar pada penyelesaian secara adat dan kekeluargaan. Salah satunya penanganan kasus yang melibatkan anak-anak, seperti kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan orang tuanya sendiri hanya diselesaikan secara musyawarah. Anak tidak mendapatkan perlindungan yang 6
Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 hal 153.
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
nyata, kepala desa atau camat hanya memanggil orangtuanya saja dan memusyawarahkan apa yang terbaik buat keluarga tersebut. Tetapi anak tidak dilibatkan sama sekali dalam musyawarah, sehingga pada akhirnya anak tetap menjadi korban orang tuanya. Kebijakan yang ada pun yakni Undang-undang Perlindungan Anak tidak pernah digunakan sebagai dasar untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Menurut pengamatan peneliti dari hasil wawancara dengan Camat Tarano7 mengatakan bahwa apabila ada laporan ke pihak kecamatan terkait kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan anak sebagai korbannya, pihak kecamatan tidak pernah melakukan perlindungan hukum kepada anak,
tetapi hanya
memanggil pelaku (orangtua) untuk menghadap dan menyelesaikan, apabila tidak bisa diselesaikan secara musyawarah maka pihak kecamatan akan menyerahkan kepada pihak kepolisian. Korban diserahkan sepenuhnya kepada pihak keluarganya, dengan kata lain keluarganya lah yang berhak memberikan perlindungan kepada anak mereka. Menurut peneliti, pihak kecamatan tidak merasa bertanggung jawab terhadap perlindungan hukum terhadap anak. Padahal seharusnya sebagai pihak kecamatan wajib untuk memberikan perlindungan terhadap warganya termasuk anak-anak korban kekerasan orangtuanya. Sebab sangat dikhawatirkan orangtua akan senantiasa melakukan kekerasan terhadap anak secara terus menerus. Anak yang menjadi korban ini akan terus merasa menderita, tetapi bagi orangtua melakukan kekerasan terhadap anak adalah sebuah kewajaran sebab anak sendiri merupakan miliknya. Ketimpangan yang ada di masyarakat kecamatan Empang dan Tarano adalah realita yang ada dimasyarakat tentang kekerasan terhadap anak dalam penanganannya tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum yang sedemikian rupa telah mengatur perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban, tidak mampu untuk mencegah perbuatan kekerasan terhadap anak. Selama ini penanganan kasus seperti yang peneliti utarakan di atas, hanya mementingkan masalah keutuhan keluarga tidak mementingkan perlindungan anak sebagai korban. Padahal anak seharusnya yang diutamakan dalam perlindungan. Pihak 7
Hasil wawancara dengan Camat Tarano Bapak Haris S,sos pada tanggal 17 Februari 2014 pukul 09.00 WITA di kantor Kecamatan Tarano Jalan Raya Sumbawa-Bima KM 25
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
kecamatan
seharusnya
memberikan
perlindungan
terhadap
anak
sesuai
kapasitasnya sebagai pejabat yang berwenang memberikan perlindungan terhadap semua warganya dari bentuk kekerasan termasuk anak-anak juga. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Perlindungan Anak dimana kepastian hukum tentang perlindungan anak diatur di dalamnya. Seharusnya dengan munculnya peraturan-peraturan yang telah peneliti kemukakan di atas, tidak ada lagi kasus kekerasan terhadap anak. Pada faktanya peraturan-peraturan tersebut masih belum bisa meng-cover masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan kekerasan terhadap anak-anak. Ketimpangan ini yang membuat ada pertentangan antara peraturan-peraturan yang ada dengan fakta yang ada di lapangan. Ketidak mampuan peraturan tersebut untuk mengatur masyarakat memunculkan spekulasi bahwa tujuan hukum yakni kepastian hukum, keadilan serta kemanfaatan tidak dapat tercapai. Penyelesaian secara hukum terkendala oleh Faktor-faktor sulitnya penyelesaian secara hukum kasus kekerasan terhadap anak di kecamatan Empang dan Tarano yakni: 1. Penyelesaian secara hukum memberatkan orangtua sebagai pelaku karena sanksi hukum yang berat 2. Kurangnya partisipasi korban dan masyarakat untuk melaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang Ad (1) Tujuan dibentuknya Undang-undang Perlindungan Anak yakni memberikan sanksi yang lebih berat terhadap orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak di lingkup rumah tangga. Sanksi tersebut tertuang pada pasal 80 ayat (4) Undang-undang Perlindungan Anak yaitu : (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksusd dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya. Ad (2) faktor lain yang menjadi sulit dalam penyelesaian secara hukum adalah kurangnya partisipasi korban atau masyarakat, yang tidak melaporkan tindak kekerasan dalam keluarganya kepada pihak yang berwenang. Disebabkan oleh beberapa hal berikut ini: 1. Adanya rasa takut yang timbul karena adanya ancaman dari orangtuanya 2. Tidak ingin diketahui oleh orang lain atau pihak berwajib karena sifatnya pribadi dalam lingkup keluarga 3. Masyarakat cenderung tidak mau tahu urusan keluarga orang lain8 Pada poin (3) di atas, seharusnya peran serta masyarakat untuk dapat mencegah tindak kekerasan terhadap anak sangat dibutuhkan. Sebab telah diatur dalam undang-undang perlindungan anak mengenai sanksi apabila masyarakat mengetahui, mendengar dan melihat sendiri perbuatan kekerasan tersebut namun tidak melaporkannya kepada pihak yang berwajib, yakni pasal 78 Undang-undang Perlindungan Anak bahwa setiap orang yang mengetahui adanya tindak kekerasan terhadap anak dan sengaja membiarkan adanya tindak kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, maka seseorang tersebut dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Berdasar hal tersebut setiap orang yang mengetahui adanya kekerasan terhadap anak, wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak yang berwenang. Pihak yang berwenang dalam hal ini akan di bahas pada sub bab 3 skripsi ini tentang pihak-pihak yang wajib memberikan perlindungan hukum kepada anak dan bentuk perlindungan dari masing-masing pihak. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh pihak-pihak berikut ini di kecamatan Empang-Tarano: 8
Moerti Hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 , hal 137
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
1. Alur perlindungan hukum di Kecamatan Empang-Tarano Seorang anak yang mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh seseorang hendaknya langsung melaporkan kekerasan tersebut kepada orangtuanya, dalam hal orang tuanya sendiri yang melakukan, maka anak dapat melaporkan peristiwa tersebut kepada kerabat dekat atau tetangga. Orangtua ataupun kerabat/tetangga yang menerima laporan anak hendaknya langsung melaporkan langsung kepada tetua adat/ kepala dusun/kepala desa untuk menyelesaikan peristiwa tersebut secara musyawarah bersama-sama dengan pihak kecamatan yang diwakili oleh Kamtibmas. Apabila dianggap tidak layak diselesaikan secara hukum, maka penyelesaiannya secara kekeluargaan dan kasus tersebut dihentikan. Namun, apabila dipandang layak, maka pihak-pihak tadi menyerahkan kasus tersebut kepada pihak Polsek untuk diselesaikan secara hukum yang berlaku. Bagan
alur
diatas
merupakan
bentuk
penyelesaian
dan
bentuk
perlindungan hukum yang selama ini dilakukan di kecamatan Empang dan Tarano. Namun seperti yang sudah peneliti kemukakan di atas, penyelesaian ini tidak melindungi anak secara maksimal, karena tidak ada bentuk-bentuk perlakuan perlindungan korban hanya terfokus pada pelaku kekerasan terhadap anak saja. 2. Koordinasi Pihak Polsek Empang Tarano dan Kecamatan Empang-Tarano Bentuk perlindungan hukum terhadap masyarakat oleh pihak kecamatan Empang- Tarano dengan cara menerapkan program polisi masuk desa, artinya setiap desa di suatu kecamatan dilindungi oleh satu anggota polisi yang bertanggung jawab di suatu desa. Nama programnya adalah “sopo polisi sopo desa darat.” Cara kerja program “sopo polisi sopo desa darat” ini dengan cara koordinasi antara polisi dan kecamatan bagian keamanan dan ketertiban masyarakat (selanjutnya disebut Kamtibmas). Polisi yang ditentukan atas suatu desa
atau
yang
ditempatkan
pada
masing-masing
desa
tadi
hanya
bertanggungjawab atas desa yang dipegangnya. Koordinasi yang dilakukan dengan cara memberikan ruang seluas-luasnya bagi pihak kepolisian untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat desa tersebut dan menegakkan hukum untuk masyarakat. Ketika di desa ada suatu kejadian
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
pelanggaran hukum maka polisi tadi bersama Kamtibmas kecamatan mengadakan penelusuran ke masyarakat, mencari kebenaran atas suatu perkara tersebut, kemudian bila memang ada perkara hukum maka pelaku akan di bawa ke kecamatan untuk di interogasi dan diselidiki. Penyelesaian atas perkara tersebut, ada dua cara penyelesaian yakni berdasarkan kasusnya dan kemauan korban. Pertama, berdasarkan kasusnya yaitu perkara yang telah di atur oleh peraturan perundang-undangan yang wajib untuk diperkarakan sampai pada proses pengadilan dan sifatnya pelaporan misalnya pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya. Kedua, berdasarkan kemauan korban yaitu perkara yang sifatnya pengaduan atau perkara yang sifatnya privat. Misalnya masalah pengambilan lahan atau penyerobotan tanaman oleh petani. Selanjutnya, korban (pihak yang dirugikan) yang akan menentukan apakah penyelesaian perkaranya akan melalui proses pengadilan atau diselesaikan bersama pihak Kamtibmas dan polisi yang bertanggung jawab di desa tersebut sampai perkara benar-benar selesai. Biasanya penyelesaian ini dilakukan dengan cara ADR (Alternative Dispute Resolution) seperti mediasi. 3. Alur perlindungan hukum oleh Unit PPA Polres Kabupaten Sumbawa Korban/saksi melaporkan kepada personel Unit PPA kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku apabila terbukti maka unit PPA menjerat pelaku sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yakni Undang-undang Perlindungan Anak dan menyerahkan pada proses pengadilan ssedangkan untuk korban diteruskan kepada Dinas sosial Pemda/ Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten/ Pusat Pelayanan Terpadu untuk pemulihan fisik dan psikis anak (korban). 4. Alur perlindungan hukum oleh Unit PPA Polda NTB Sesuai ketentuan pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana maka alurnya sebagai berikut: 1) Penerimaan Laporan a. Korban diterima oleh personel Unit PPA;
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
b. Proses pembuatan laporan polisi didahului dengan interview/wawancara dan pengamatan serta penilaian penyidik/petugas terhadap keadaan saksi korban; c. Apabila saksi korban dalam keadaan dalam kondisi trauma/stres, penyidik melakukan tindakan penyelematan dengan mengirim saksi korban ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Rumah Sakit Bhayangkara untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau perkembangannya; d. Saksi dan/atau korban yang memerlukan istirahat, petugas mengantar ke ruang istirahat atau rumah Aman atau shelter; e. Apabila korban dalam kondisi sehat dan baik, penyidik dapat melaksanakan interviu/wawancara guna pembuatan laporan polisi; f. Pembuatan laporan polisi oleh petugas unit PPA dan bila perlu mendatangi TKP untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti; g. Register penomoran laporan laporan polisi ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK); h. Saksi dan/atau korban yang perlu dirujuk ke PPT atau tempat lainnya, petugas wajib mengantarkan sampai ke tujuan rujukan dan menyerahkan kepada petugas yang bersangkutan disertai dengan penjelasan masalahnya; i. Saksi dan/atau korban yang selesai dibuatkan Laporan Polisi dan perlu visum maka, petugas mengantarkan saksi dan/atau korban ke PPT untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan visum; j. Kasus yang tidak memenuhi unsur pidana, dilakukan upaya bantuan melalui konseling dan pendekatan psikologis 2) Penyidikan a. Penyidik membuat surat permohonan pemeriksaan kesehatan dan visum kepada Kepala RS Bhayangkara atau rumah sakit lainnya yang secara hukum dapat mengeluarkan visum sehubungan dengan laporan polisi yang dilaporkan oleh korban; b. Penyidik menyiapkan administrasi penyidikan; c. Apabila korban siap diperiksan dan bersedia memberikan keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan korban, penyidik dapat
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
melaksanakan kegiatan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap korban; d. Apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan satu korban, dan satu tersangka saja, maka laporan polisi tersebut dapat ditindaklanjuti oleh seorang penyidik saja; e. Apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan banyak korban, tersangka, kurun waktu, barang bukti maupun tempat kejadian maka kejadian maka tugas penyidikan dilaksanakan dalam bentuk tim yang telah ditentukan oleh Kanit PPA dan saksi/korban tetap diperiksa oleh Polwan Unit PPA, sedangkan pengembangannya dapat dilaksanakan oleh Penyidik Polri pria; f. Apabila saksi korban berasal dari luar kota, maka untuk kepentingan penyidikan korban dapat dititipkan di shelter milik Departemen Sosial Republik Indonesia (Depsos) atau pihak lain yang dinilai dapat memberikan perlindungan dan pelayanan hingga korban siap dipulangkan ke daerah asalnya. 3) Tahap Akhir Penyidikan a. Koordinasi dengan instansi terkait sebagai ahli dalam rangka memperkuat pembuktian kasus yang sedang ditangani; b. Menyelenggarakan gelar perkara kasus yang disidik; c. Penelitian terhadap berkas perkara kasus yang disidik; d. Menitipkan korban pada rumah perlindungan milik Depsos RI atau pihak lain yang dinilai dapat memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban apabila korban diperlukan kehadirannya di pengadilan; e. Melakukan koordinasi dengan instansi dan LSM yang peduli terhadap perempuan dan anak korban tindak pidana pada sidang pengadilan, agar proses peradilan dan putusannya benar-benar memenuhi rasa keadilan 5. Alur Perlindungan Hukum oleh Lembaga Perlindungan Anak NTB Tahap 1 : tahap pemulihan awal. Meliputi tahap pemulihan fisik apabila anak mengalami kekerasan fisik yang cukup serius dan membutuhkan penanganan yang cepat, dengan merujuk ke rumah sakit terdekat dengan mendampingi korban untuk proses administrasi rumah sakit tersebut sampai perawatan yang
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
membutuhkan rawat inap. Segala biaya untuk perawatan diserahkan kepada LPA NTB sepenuhnya. Tahap pemulihan psikis apabila anak mengalami trauma hebat atau gangguan psikis yang membutuhkan pertolongan cepat, dengan menyediakan ahli psikologi atau dokter psikiater dengan mendampingi korban selama proses menormalkan keadaan psikisnya. Tahap 2 : tahap pendampingan hukum, apabila di butuhkan keterangan korban oleh penyidik dari Unit PPA maka anak-anak selama proses penyidikan didampingi oleh LPA NTB agar hak-hak dari korban tidak dilanggar. Pendampingan hukum ini juga dilakukan sampai proses pengadilan apabila pihak kejaksaan membutuhkan keterangan saksi di pengadilan. LPA NTB berperan memberikan pengetahuan hukum terhadap korban mengenai hak-haknya dalam proses hukum yang sedang berlangsung. Tahap 3 : tahap pendampingan lanjutan yaitu program kesejahteraan bagi anak pasca terjadinya kekerasan dan proses hukum. Meliputi penempatan sementara di rumah Aman (shelter) yang disediakan oleh Dinas Sosial Propinsi NTB dengan diberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan seperti pendidikan non-formal layaknya pendidikan formal yang dijalankan oleh anak sebelum terjadinya kekerasan, agar anak tidak ketinggalan dalam materi pelajaran di sekolah formal. Kemudian dalam hal psikis anak masih terganggu, di rumah Aman tadi disediakan Psikolog untuk pemulihan psikis anak, dan memberikan permainan-permainan yang menghibur anak supaya melupakan kasus yang terjadi pada anak tersebut. Tahap 4 : pengawasan terhadap anak ketika anak telah siap dikembalikan kepada orangtuanya. Meliputi pengawasan berkala sebulan 2 sampai 3 kali kerumah korban untuk sekedar melihat dan menengok kondisi fisik dan psikis anak serta memberikan pengetahuan-pengetahuan kepada orangtuanya agar tidak terjadi kasus kekerasan terhadap anak sehingga tidak terualng kejadian yang tidak diharapkan oleh korban dan masyarakat. E. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1. Urgensi perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kekerasaran fisik orang tua kandung
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
a. Kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua kandung di kecamatan Empang-Tarano semakin meningkat setelah dibuktikan dengan data-data yang diperoleh langsung dari pihak kepolisian sektoral EmpangTarano. b. Ketimpangan yang terjadi di lokasi penelitian yaitu kecamatan Empang dan Tarano adalah perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan orangtuanya belum terlaksana dengan baik. Padahal ketentuan Undangundang Perlindungan Anak telah mengatur sedemikian rupa terkait perlindungan terhadap anak. Maka ada pertentangan antara norma yang ada dengan fakta yang terjadi di lapangan. Peran dari pihak-pihak yang seharusnya memberikan perlindungan belum bekerja secara optimal, cenderung acuh terhadap permasalahan kekerasan terhadap anak ini. c. Penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak yang selama ini dilakukan adalah menggunakan penyelesaian adat dan kekeluargaan dengan tidak memberikan perlindungan apapun terhadap anak yang seharusnya diberikan. Artinya ketika ada kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga maka pihak tetua adat/kepala dusun/kepala desa hanya memanggil pelaku untuk bermusyawarah dalam rangka penyelesaian kasus tersebut, sedangkan anak tidak mendapatkan perlindungan untuk memulihkan kondisinya setelah mengalami kekerasan. 2. Bentuk perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kekerasan fisik orangtua kandung a. Bentuk perlindungan hukum di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat sudah baik dan memenuhi standar pelayanan perlindungan hukum yang diatur
dalam
Undang-undang Perlindungan
Anak.
namun
masih
banyaknya kendala yang dihadapi pihak-pihak yang berwenang dalam rangka memberikan perlindungan, yakni laporan adanya kekerasan. Masyarakat belum berani untuk melaporkan kekerasan yang dialami dengan dalih untuk menutup aib keluarga. Kendala lainnya adalah: 1) Takut diancam oleh orang tuanya atau pelaku kekerasan 2) Sanksi yang terlalu berat yang dijeratkan kepada orangtua sehingga dikhawatirkan kelangsungan hidup keluarganya menjadi terabaikan
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
3) Orang lain yang mengetahui adanya kekerasan terhadap anak tidak melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang karena merasa bukan urusannya, padahal ada sanksi apabila orang tersebut tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan. b. Setiap instansi mulai dari pihak kecamatan, Polsek, Polres, Polda dan LPA memiliki bentuk perlindungan sesuai ketentuan yang berlaku di instansi masing-masing . Namun hal yang sama adalah koordinasi yang dijalin dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap anak berjalan dengan baik meskipun belum mencakup semua karena terkendala beberapa hal seperti biaya dan ketidak aktifan suatu instansi. Khusus di lokasi penelitian, koordinasi oleh pihak Polsek Empang-Tarano dengan pihak kecamatan Empang-Tarano telah berupaya menuju ke arah yang baik dengan hadirnya program “sopo polisi sopo desa darat” atau satu polisi untuk satu desa. Memberikan harapan yang baik dalam perlindungan kepada masyarakat khususnya anak-anak yang wajib dilindungi dan dipenuhi hak-haknya. Saran dalam penelitian ini: 1. Dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara maksimal kepada anak, pihak-pihak yang berwenang yakni pihak kepolisian, kementerian, pemerintah daerah, pihak kecamatan, dinas sosial, lembaga perlindungan anak, orangtua dan masyarakat umum harus meningkatkan kualitas kinerja dan saling bekerja sama yang baik agar dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Pihak Pemerintah daerah menyediakan sarana konsultasi hukum atau pendampingan hukum di setiap kecamatan atau desa-desa. Terutama desa yang aksesnya sulit dijangkau. 2. Pihak kepolisian harus lebih intensif dalam rangka memberikan sosialisasi hukum kepada seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk penyuluhan hukum, mulai masyarakat menengah ke bawah sampai masyarakat menengah ke atas, mulai orangtua sampai anak-anak. Memberikan akses informasi terkait permasalahan yang sedang dihadapi serta memberikan solusinya baik secara manual dengan turun langsung ke lapangan ataupun akses teknologi seperti
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI
internet sehingga siapapun dapat mengakses dengan mudah segala informasi tentang hukum yang diinginkan DAFTAR PUSTAKA Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 Moerti Hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif YuridisViktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1999. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, 2010, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 1999,Citra Umbaran, Bandung. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, 2002, Bhakti Karya, Jakarta. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1990 ratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention Rights of Child), 1990. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 2 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pencegahan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan, 2013, (online) ntbprov.go.id Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2013. Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 tentan Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, 2013
HALAMAN AWAL
DAFTAR ISI