PAKET INFORMASI TERSELEKSI
BIDANG PERTANIAN Seri: Penyakit Tanaman
Paket Informasi Teknologi adalah salah satu layananan yang disediakan oleh PDII-LIPI bagi peminat informasi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mengenai topik tertentu. Paket Informasi Teknologi tentang “Perubahan Iklim” merupakan kumpulan informasi dari berbagai sumber, antara lain laporan penelitian, artikel makalah/jurnal ilmiah, makalah seminar/konferensi, paten dan dilengkapi pula dengan saran literatur yang dapat dipesan melalui PDII-LIPI apabila berminat memperoleh artikel lengkapnya. Berbagai informasi dalam paket ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mempelajari terumbu karang. Paket ini telah tersedia dalam bentuk digital atau CD ROM. Selain paket informasi, PDII-LIPI juga menyediakan jasa dokumentasi dan informasi lain, yaitu: (1) Penelusuran informasi dalam dan luar negeri, (2) Penyusunan indeks, abstrak dan tinjauan literatur, (3) Penggandaan dokumen, (4) Konsultasi bidang dokumentasi dan informasi, dan (5) Reprografi.
DAFTAR ISI BIOFUMIGAN UNTUK PENGENDALIAN PATOGEN TULAR TANAH PENYEBAB PENYAKIT TANAMAN YANG RAMAH LINGKUNGAN
Titiek Yulianti Pengembangan Inovasi Pertanian, Vol. 3, No. 2, 2010: 154-170 Abstrak:-
BIOPESTISIDA RAMAH LINGKUNGAN UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN HIAS DAN SAYURAN
Hanudin Iptek Hortikultura, No. 4, 2008: 18-24 Abstrak:-
EVEKTIFITAS SATELIT RNA YANG YANG BERASOSIASI DENGAN CUCUMBER MOSAIC VIRUS (CARNA-5) UNTUK MENGENDALIKAN VIRUS PADA TANAMAN TOMAT
Hasriadi Mat Akin; Muhammad Nudin Binsar Sisamora; Marlaba Sitorus Jurnal Hama Dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol. 12, No. 2, 2012: 177-184
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
IDENTIFIKASI PENYAKIT TANAMAN PULAI (Alstonia SPP.)
Arindra Julistyowatie Dharmapala: Jurnal Ilmiah Hasil Penelitian Dan Pengabdian, Vol. 3, No. 1, 2010: 19-22 Abstrak: Pulai (Alstonia spp.) merupakan tanaman indigenous spesies yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Kegunaan kayunya yang beragam menjadikan permintaan akan kayu pulai cukup tinggi. Hingga sekarang untuk memenuhi permintaan kayu pulai tersebut masih mengandalkan tegakan alami dan belum diimbangi dengan upaya budi daya yang memadai. Melihat kenyataan tersebut, pembangunan hutan tanaman yang diperuntukkan sebagai pemasok bahan baku kayu pertukangan jenis lokal yang komersial sudah selayaknya direalisasikan. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budi daya tanaman pulai adalah serangan penyakit tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis penyakit dan mengamati gejala, persentase dan intensitas serangan pada tanaman pulai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis penyakit yang menyerang daun pulai adalah penyakit karat merah yang disebabkan oleh cendawan Cephaleuros mycoidea. Persentase dan intensitas serangan menunjukkan nilai rata-rata 35,32% dan 28%. Angka tersebut masih dalam kategori ringan, tetapi harus secara dini dilakukan pengendalian sehingga tidak menimbulkan kerugian yang berarti.
Abstrak:-
IDENTIFKASI PENYAKIT TANAMAN JATI (Tectona Grandis L.) DI KABUPATEN BONE
Jafred Elsjoni Halawane; Hermin Tikupadang ; M. Yusril Mitra Hutan Tanaman, Vol. 4, No. 2, 2009: 81-87 Abstrak:-
INTERAKSI PATHOGEN DAN EKSPRESI GEN UNTUK KONTROL PENYAKIT TANAMAN
Istiyono Kirnoprasetyo Primordia: Media Informasi Dan Komunikasi Ilmiah Pertanian, Vol. 4, No. 1, 2008: 15-22 Abstrak:-
DAFTAR ISI ISOLASI DAN SELEKSI BAKTERI ENDOFIT UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DARAH PADA TANAMAN PISANG
Husda Marwan; Melty S Sinaga; Giyanto; Abjad Asih Nawangsih Jurnal Hama Dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol. 11, No. 2, 2011: 113-121 Abstrak:-
JENIS TANAMAN INANG DAN MASA INKUBASI PATOGEN Botryodiplodia theobromae Pat. PENYEBAB PENYAKIT KULIT DIPLODIA PADA JERUK
Salamiah; Badruzsaufari; Arsyad, Muhammad Jurnal Hama Dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol. 8, No. 2, 2008: 123-131 Abstract: Citrus is one of the impartant horticulture commodities in South Kalimantan. Citrus growers in the region encounter diplodia disease caused by a genus of Botryodiplodia. There is no single method practiced today proved to be effective control for the disease. Insufficien: information of the pathogen life cycle is considered to contribute in the failure of disease management. Information of the alternative hosts and incubation period of the pathogens is very crucial in the diseases management. The experiments were carried out at the Laboratory of Plant Diseases and at a Glass House of the Department of Plant Pests and Diseases of the Faculty of Agriculture, Lambung Mangkurat University in Banjarbaru from March - October 2006. The experiments were conducted in three phases, i.e. (1) identification of pathogen, (2) the study of alternative hosts, and (3) the study of incubation periods of the pathogen in the test plants. Results showed that the diplodia disease of citrus Siam Banjar was caused by a fungus of the genus Botryodiplodia theobromae. The pathogen can also infected chasew and avocado plants. The Incubation periods of the pathogen
in citrus chasew and avocado were 64 39 and 39 days respectively.
KEMAMPUAN EKSTRAK DAN BAKTERI INHABITAN MUCUNA PRURIENS DALAM MENEKAN PENYAKIT BERCAK DAUN CERCOSPORA DAN MENINGKATAN PERTUMBUHAN TANMAN KACANG
Endah Yulia Jurnal Agricultura, Vol. 19, No. 1, 2008: 50-59 Abstrak:-
KEMAMPUAN KOMPOS PLUS DALAM MENEKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT
Noor Istifadah Jurnal Agricultura, Vol. 19, No. 1, 2008: 60-66 Abstrak:-
MASALAH HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN BENIH SERTA PENGEMBANGAN PENANGKAR BENIH JAGUNG DI SULAWESI TENGAH
Amran Muis Jurnal Vegeta, Vol. 5, No. 3, 2011: 18-26 Abstrak:-
DAFTAR ISI PEMBIAKAN MASSAL JAMUR Trichoderma SP. PADA BEBERAPA MEDIA TUMBUH SEBAGAI AGEN HAYATI PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN
Insan Wijaya; Oktarina; Maringga Virdanuriza Agritrop: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 10, No. 1, 2012: 87-92
PENGARUH POLA HARI HUJAN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT GUGUR DAUN CORYNESPORA PADA TANAMAN KARET MENGHASILKAN
Nurhayat; Aron Situmorang J. HPT Tropika,Vol. 8, No. 1, 2008: 63-70 Abstrak:-
Abstrak:-
PENGARUH INFESTASI VERTICILLIUM LECANII TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT KARAT DAUN KOPI PADA TANAMAN DAN KETERJADIAN KOLONINYA PADA DAUN
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KAKAO
Zulkarnain Lubis Warta Dharmawangsa: Majalah Ilmiah, Edisi 23, 2010: 72-85 Abstrak:-
Cipta Ginting J. HPT Tropika, Vol. 8, No. 2, 2008: 132-137 Abstrak:-
PENGARUH KANDUNGAN PASIR HAWAR PELEPAH DAUN (Rhizoctonia solani) MENGGUNAKAN BEBERAPA AGENSIA HAYATI GOLONGAN CENDAWAN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays) Sri Mulyati Jurnal Agronomi, Vol. 13, No. 2, 2009: 37-43 Abstrak:-
PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT HAWAR DAUN TANAMAN KENTANG DENGAN AGENS HAYATI JAMURJAMUR ANTAGONIS ISOLAT LOKAL
Susiana Purwantisari; Rejeki Siti Ferniah; Budi Raharjo Bioma, Vol. 10, No. 2, 2008: 51-57 Abstrak:-
PENYAKIT KERING PELEPAH PADATANAMAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DAN SUMATERA UTARA
Donnarina Simanjuntak; Agus Susanto Jurnal Pitopatologi Indonesia, Vol. 9, No. 3, 2013: 95-98 Abstrak:-
DAFTAR ISI PENYULUHAN PEMANFAATAN CENDAWAN ANTAGONIS Trichoderma SP. UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN PADA PETANI DI DESA SUMBER JAYA KEC. KUMPEH ULU KAB. MUARO JAMBI
Husda Marwan; Weni Wilia Jurnal Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Jambi, No. 45, 2008: 19-23 Abstrak: Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang pestisida botani berupa agensia hayati atau mikroorganisme antagonis berupa cendawan Trichoderma sp. Metode yang digunakan berupa penyuluhan mengenai cara mendapatkan cendawan Trichoderma sp., manfaat dari cendawan antagonis Trichoderma sp. dan teknik perbanyakan jamur antagonis Trichoderma sp. serta cara aplikasinya pada tanaman sayuran. Setelah diadakan kegiatan penyuluhan, petani mempunyai pengetahuan tentang manfaat cendawan Trichoderma sp. sebagai pengganti pestisida sintetis untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).
POTENSI ERIONOTA THRAX SEBAGAI AGEN PENYEBAR PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN PISANG (BLOOD DISEASE BACTERIUM)
Suharjo, Radix; Martono, Edhi; Subandiyah, Siti Jurnal Hama Dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol. 6, No. 2, 2006: 100-106 Abstract: This study was conducted in Gerbosari, Samigaluh, Kulonprogo, Yogyakarta and in the Laboratory of Bacterialogy and Entomology, Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University, Yogyakarta
during December 2002 to June 2003. The aim of this study was to find out the potency of Erionota thrax to spread Blood Disease Bacterium the causal agent of banana blood disease in Indonesia. A field survey was conducted to record the existance of Blood Disease Bacterium in larvae and adult E. thrax. The results show that Blood Disease Bacterium was not found in the larval stage of E. thrax. In the adult of E. thrax, the pathogen was found on the legs, wings, body surface, head and head surface, but it was not found inside the body of E. thrax.
POTENSI RIZOBAKTERI PEMACU TUMBUH TANAMAN SEBAGAI AGEN PENGENDALI HAYATI PENYAKIT TANAMAN PERKEBUNAN YANG RAMAH LINGKUNGAN
Mesak Tombe Perspektif: Review Penelitian Tanaman Industri, Vol. 12, No. 2, 2013: 91-100 Abstrak:-
POTENSI Trigona SPP SEBAGAI AGEN PENYEBAR BAKTERI RALSTONIA SOLANACEARUM PHYLOTPE IV PENYEBAB PENYAKIT DARAH PADA TANAMAN PISANG
Mairawita; Trimurtri Hazabar; Ahsol Hasyim J. HPT Tropika, Vol. 12, No. 1, 2012: 92-101 Abstrak:-
DAFTAR ISI RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT TANAMAN PADI BERBASIS WEB DENGAN FORWARD DAN BACKWARD CHAINING
padi yang telah dibangun dapat digunakan sebagai alat bantu untuk diagnosa penyakit tanaman padi dan dapat diakses oleh petani di manapun juga untuk mengatasi persoalan keterbatasan jumlah pakar pertanian dalam membantu petani mendiagnosa penyakit tanaman padi.
Abstrak:-
SISTEM PAKAR HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI
Nur Azizah; Syarah ; Diah Setiawati Computer Science Research And Its Development Journal, Vol. 5, No. 1, 2013: 63-74
Didik Nugroho Sinus: Jurnal Ilmiah, Vol. 7, No. 1, 2009: 17-22
SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT TANAMAN PADI BERBASIS WEB DENGAN FORDWARD DAN BACKWARD CHAINING
Anton Setiawan Honggowibowo Telkomnika: Telekomunikasi Komputasi Elektronika Kendali, Vol. 7, No. 3, 2009: 187-194 Abstrak: Tanaman padi dapat diserang berbagai macam penyakit, penyakit tersebut dapat diketahui dari gejala-gejala yang ditimbulkannya, akan tetapi untuk mengetahui secara tepat jenis penyakit yang menyerang padi tersebut, memerlukan seorang pakar/ahli pertanian. Adapun jumlah pakar pertanian terbatas dan tidak dapat mengatasi permasalahan petani dalam waktu yang bersamaan sehingga diperlukan suatu sistem yang mempunyai kemampuan seperti seorang pakar yang mana di dalam sistem ini berisi pengetahuan keahlian seorang pakar pertanian mengenai penyakit dan gejala tanaman padi. Pada penelitian ini dirancang sistem pakar berbasis web menggunakan basis aturan (rule based reasoning) dengan metode interferensi forward chaining dan backward chaining yang dimaksudkan untuk membantu petani dalam mendiagnosa penyakit tanaman padi. Sistem pakar diagnosa penyakit tanaman padi berbasis web yang telah dikembangkan mempunyai keunggulan dalam kemudahan akses dan kemudahan pemakaian. Dengan fitur yang berbasis web yang dimiliki, sistem pakar untuk diagnosa penyakit tanaman
Abstrak:-
SISTEM PAKAR UNTUK MENDIAGNOSA PENYAKIT TANAMAN PERKEBUNAN BERBASIS MULTIMEDIA
Adil Pratama; Sri Winiarti Jurnal Sarjana Teknik Informatika, Vol. 1, No. 1, 2013: 305-316 Abstrak:-
DAFTAR ISI Trichoderma sp. dalam pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman tomat
Novita, Trias Biospecies, Vol. 4, No. 2, 2012: 27-29
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Trichoderma sp dalam pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman tomat. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Jambi, perlakuannya terdiri dari : t0 = tanpa Trichoderma sp; t1 = 25 gTrichoderma sp/8 kg media; t2 = 50 g Trichoderma sp/8 kg media; t3 = 75 g Trichoderma sp/8 kg media; dan t4 = 100 g Trichoderma sp /8 kg media. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Trichoderma sp berperan dalam mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat. TakaranTrichoderma sp yang paling baik dalam mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomatadalah pada perlakuan 50 g Trichoderma sp/8 kg media.
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
UJI EFEKTIVITAS BAKTERI ANTAGONIS Pseudomonas flourescens DAN P. putida UNTUK MENGENDALIKAN P. solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN MURBEI
Sitti Nuraeni; Abdul Fattah Jurnal Perennial, Vol. 3, No. 2, 2007: 44-48
Abstract: Pseudomonas solanacearum is a bacterial agent causing wilt disease on mulberry species and other woody plant in Indonesian. Biological control employing the antagonist bacteria such as P.fluorescens and P. Putida is a potential method. The aim of the research was to know the effectiveness of P. fluorescens and P. putida to suppress wilt diseases caused by P. solanacearum. The diseases control test with antagonist bacteria was conducted by immersion of root of seedlings in P. fluorescens and P. putida suspensions before planted in a growth medium inoculated by P. solanacearum with the all concentrations were 108 CFU/ml. The following parameters were observed: numbers of leaves, fresh and dry weights of leaves and severity of disease. The results of the effectiveness test showed that antagonist bacteria in the form of mixing of P. fluorescens and P. putida was the best, because they were capable to suppress wilt disease caused by P. solanacearum and increased productivity of mulberry leaves.
J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Akin et al. Vol. 12, No. 2: 177 – 184, September 2012
Efektivitas Satelit RNA yang Berasosiasi dengan CMV
177
EFEKTIVITAS SATELIT RNA YANG BERASOSIASI DENGAN CUCUMBER MOSAIC VIRUS (CARNA-5) UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN TOMAT Hasriadi Mat Akin, Muhammad Nurdin, Patrisius Binsar Simamora & Marlaba Sitorus Bidang Proteksi Tanaman Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Effectivity of Cucumber mosaic virus associated satellite RNA to control viral disease on tomato plants. Two strains of CMV associated satellite RNA (CARNA 5.1 and CARNA 5.2) were evaluated to control severe strain of Cucumber mosaic virus (CMV-G), Tobacco mosaic virus (TMV), and Potato virus Y (PVY) on tomato plants. Tomato plants were mechanically inoculated with CARNA 5.1 and CARNA 5.2 to protect the plants from super infection of CMV-G, TMV, and PVY. The result revealed that inoculation of CARNA 5.1 and CARNA 5.2 to tomato plants effectively controlled the plants from CMV-G super infection. The effectiveness of CARNA 5.1 and CARNA 5.2 to unrelated virus, TMV and PVY, was evaluated in this experiment. The result showed that CARNA 5.1 and CARNA 5.2 inhibited TMV and PVY infection. CMV-G super infection on protected tomato plants showed mild disease symptoms, significant redution of plant growth, height, and yield; however, nonprotected plants showed severe disease symptoms and significant inhibition of plant growth and tomato yield. Key words: cucumber mosaic virus, satelit RNA, CARNA 5, tomato
ABSTRAK Efektivitas satelit RNA yang berasosiasi dengan Cucumber mosaic virus (CARNA-5) untuk mengendalikan virus pada tanaman tomat. Dua strain CMV yang berasosiasi dengan satelit RNA (CARNA 5.1 dan CARNA 5.2) dievaluasi untuk mengendalikan strain ganas Cucumber mosaic virus (CMV-G), Tobacco mosaic virus (TMV), dan Potato virus Y (PVY) pada tanaman tomat. Tanaman tomat diinokulasi secara mekanik menggunakan CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 untuk melindungi tanaman dari superinfeksi CMV-G, TMV, dan PVY. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 pada tanaman tomat efektif melindungi tanaman dari superinfeksi CMV-G. Kefektivan CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 terhadap virus lainnya yaitu TMV dan PVY telah diuji pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 dapat menghambat infeksi TMV dan PVY. Superinfeksi CMV-G pada tomat yang telah divaksin CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 secara signifikan menunjukkan gejala penyakit yang lebih ringan dan tidak menghambat pertumbuhan serta tidak menurunkan tinggi tanaman dan hasil, sedangkan tanaman tomat yang tidak divaksin menunjukkan gelaja penyakit yang parah dan secara nyata menghambat dan menurunkan produksi tanaman tomat. Kata kunci: cucumber mosaic virus, satelit RNA, CARNA 5, tomat
PENDAHULUAN Salah satu hambatan dalam budidaya tanaman tomat adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Telah diketahui 18 jenis virus yang secara alamiah dapat menyerang tanaman tomat. Diantara virus-virus yang dapat menyerang tanaman tomat, Cucumber mosaic virus (CMV) merupakan virus yang paling merugikan (Crescenzi et al., 1993). Pada beberapa lokasi sentra produksi tomat di Indonesia atau di belahan dunia lain, penyakit yang ditimbulkan oleh CMV telah menimbulkan kerugian yang cukup besar (Alonso-Prados et al., 1997)
terutama oleh isolat-isolat nekrogenik yang dapat mengakibatkan bercak nekrotik pada buah dan kematian tanaman tomat (Crescenzi et al., 1993; Jorda et al., 1992). Di Indonesia, virus yang banyak menyerang tanaman tomat adalah Tobacco mosaic virus (TMV), Potato virus Y (PVY) dan Cucumber mosaic virus (CMV). TMV dan CMV secara bersama-sama dapat mengurangi produksi sampai 50% tergantung umur tanaman saat terjadi infeksi dan varietas tomat (Sutarya, 1989). Sampai saat ini beberapa usaha pengendalian telah dilakukan, namun belum ada metode yang dapat
178
J. HPT Tropika
memberikan hasil yang efektif untuk mengendalikan CMV di lapangan (Gallitelli, 1998; Jorda et al., 1992; Summers et al., 1995). Beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya mengendalian penyakit tanaman tomat yang disebabkan oleh CMV antara lain: (a) tanaman yang terlanjur terinfeksi CMV tidak dapat disembuhkan dan tanaman ini dapat menjadi sumber inokulum untuk tanaman di sekitarnya; (b) CMV mempunyai kisaran inang yang sangat luas termasuk beberapa tumbuhan liar (Gafny et al., 1996; Palukaitis et al., 1992) yang dapat menjadi inang perantara dan dapat menjadi sumber inokulum setiap saat; (c) CMV dapat ditularkan oleh banyak spesies kutu daun dengan efektivitas penularan tinggi (dapat ditularkan dengan hanya satu ekor serangga) (Gallitelli et al., 1995; Martin et al., 1997; Palukaitis et al., 1992; Perry et al., 1994; Perry et al., 1995); (d) sanitasi dengan memusnahkan tanaman sakit di lapang belum memberi jaminan karena sumber inokulum pada tanaman inang antara dan vektor berlimpah di luar pertanaman tomat; (e) pengendalian vektor sebagai serangga hama dengan senyawa kimia yang harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan belum dapat diharapkan menekan populasi vektor pada tingkat yang aman untuk tidak terjadi penularan (Herdt & Steiner, 1995); dan (f) sampai sekarang belum tersedia varietas tomat yang toleran atau tahan terhadap CMV. Berdasarkan permasalahan di atas maka pengendalian yang paling menjanjikan adalah pengendalian hayati dengan agen biokontrol menggunakan satelit RNA yang telah ada secara alami. Penggunaan CARNA-5 sebagai vaksin merupakan altenatif yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut. Vaksin CARNA-5 selain aman terhadap lingkungan dan konsumen juga murah dan mudah diaplikasikan pada tingkat petani. Satelit RNA adalah molekul RNA yang berukuran antara 300—1500 nukleotida merupakan parasit molekuler dari virus tumbuhan yang dapat menghambat proses replikasi virus dalam sel tanaman inang (Hu et al., 2009). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa strain CMV yang mengandung satelit RNA dan dapat digunakan sebagai vaksin penginduksi ketahanan tanaman cabai terhadap superinfeksi strain ganas CMV (Akin, 2005). Superinfeksi adalah infeksi virus pada tanaman yang sudah terinfeksi oleh virus lain. Strain lemah CMV-LW3 (CARNA-5.1) tidak menimbulkan reaksi sinergi ataupun antagonis dengan virus lain dan tidak menimbulkan penurunan hasil tanaman cabai (Zulistiyorini, 2005; Saputri, 2005; Akin, 2005; Wagiyanto, 2005). CARNA-5.1 ini diperoleh
Vol. 12, No. 2, 2012: 177-184
dengan cara melemahkan CMV isolat Liwa dari tanaman cabai petani yang dilakukan menggunakan metode penginokulasian CMV sebanyak 9 kali berturut-turut pada tanaman tembakau (N. tabaccum). CMV-2 (CARNA-5.2) merupakan CMV yang mengandung satelit RNA yang telah digunakan untuk mengendalikan CMV pada tanaman cabai. CARNA-5.2 dalam penelitian ini diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayur-sayuran Lembang. Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui efektivitas dua strain lemah CARNA-5.1 dan CARNA-5.2 untuk mengendalikan penyakit virus pada tanaman tomat yang disebabkan oleh strain ganas CMV-G, dan (2) mengetahui pengaruh vaksinasi CARNA-5.1 dan CARNA-5.2 terhadap virus lain yang menyerang tomat TMV dan PVY. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di rumah plastik kebun percobaan Universitas Lampung. Penelitian ini dilakukan mulai Juni 2008—Juni 2009. Penelitian terdiri atas dua percobaan dalam skala rumah plastik, yaitu (1) Efektivitas proteksi dua vaksin CARNA5.1 dan CARNA-5.2 dalam melindungi tanaman tomat dari infeksi strain ganas CMV; dan (2) Pengaruh vaksinasi CARNA-5.1 dan CARNA-5.2 terhadap infeksi virus lain yang menyerang tomat (TMV dan PVY). Efektivitas Proteksi Dua Vaksin CARNA-5.1 dan CARNA-5.2 dalam Melindungi Tanaman Tomat terhadap Infeksi Strain Ganas CMV. Perlakuan dalam percobaan ini disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Masing-masing perlakuan diatur sebagai berikut: (1) Tanaman tomat yang berumur 10 hari setelah tanam (hst) divaksinasi CARNA-5.1. Vaksinasi dilakukan dengan cara menginokulasikan CARNA-5.1 pada tanaman tomat, (2) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.2, (3) Tanaman tomat yang berumur 10 hst diinokulasi dengan strain ganas CMVG, (4) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.1, kemudian pada 30 hst diinokulasi dengan strain ganas CMV-G, (5) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.2, kemudian pada 30 hst diinokulasi dengan strain ganas CMV-G, (6) Tanaman tomat tidak diberi perlakuan sebagai kontrol. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah menggunakan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 0,05.
Akin et al.
Pengaruh Vaksinasi CARNA-5.1 dan CARNA-5.2 terhadap Infeksi Virus Lain yang Menyerang Tomat (TMV dan PVY) Perlakuan dalam percobaan ini disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 11 perlakuan dan 3 ulangan. Masing-masing perlakuan diatur sebagai berikut: (1) Tanaman tomat yang berumur 10 hari setelah tanam (hst) divaksinasi CARNA-5.1. Vaksinasi dilakukan dengan cara menginokulasikan CARNA-5.1 pada tanaman tomat, (2) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.2, (3) Tanaman tomat yang berumur 10 hst diinokulasi dengan PVY, (4) Tanaman tomat yang berumur 10 hst diinokulasi dengan TMV, (5) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.1, kemudian pada 30 hst diinokulasi dengan PVY, (6) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.2, kemudian pada 30 hst diinokulasi dengan TMV, (7) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.1, kemudian pada 30 hst diinokulasi dengan TMV, (8) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.2, kemudian pada 30 hst diinokulasi dengan PVY, (9) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.1, kemudian pada 30 hst diinokulasi dengan PVY dan TMV, (10) Tanaman tomat yang berumur 10 hst divaksinasi CARNA-5.2, kemudian pada 30 hst diinokulasi dengan PVY dan TMV, (11) Tanaman tomat tidak diberi perlakuan sebagai kontrol. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah menggunakan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 0,05. Penyiapan Tanaman. Benih tanaman tomat varietas Ratna disemai dalam nampan dan setelah berumur 2 minggu dipindahkan ke dalam polibeg yang berisi 10 kg media tumbuh yang terdiri atas campuran tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan perbandingan 2:1:1. Polibeg yang telah ditanami bibit tomat disusun sesuai dengan rancangan yang digunakan dalam rumah plastik kedap serangga. Masing-masing ulangan terdiri atas 5 polibeg dan setiap polibeg ditanami satu tanaman tomat. Inokulasi Mekanik. Metode inokulasi mekanik dilakukan sebagai berikut 1 gr daun tomat sumber isolat CMV digerus dalam nitrogen cair dengan mortar dan pestel steril sampai berbentuk tepung halus. Mortar diletakkan di atas es, kemudian ditambahkan 5 ml bufer potasium fosfat (100 mM, pH 7.2) yang mengandung 0,02% 2-mercaptoethanol. Suspensi yang diperoleh segera dioleskan dengan kapas steril pada permukaan daun tomat yang terlebih dahulu ditaburi karburondum.
Efektivitas Satelit RNA yang Berasosiasi dengan CMV
179
Pengamatan. Pengamatan dilakukan untuk peubah keparahan penyakit, jumlah dan bobot buah per tanaman, tinggi tanaman. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan setiap minggu dimulai dari dua minggu setelah inokulasi vaksin CARNA-5. Intensitas penyakit dihitung berdasarkan rumus:
KP
(n v) 100% N V
dengan: KP= keparahan penyakit; n = jumlah tanaman pada setiap kategori gejala; v = nilai skor pada setiap kategori gejala; N = jumlah total tanaman yang diamati; V = Nilai skor tertinggi dari kategori gejala. Skor v ditentukan dengan kategori sebagai berikut: 0 = tidak ada gejala; 1 = gejala mosaik atau belang ringan, lesio lokal atau tidak ada penyebaran sistemik; 2 = gejala mosaik atau belang sedang; 3 = gejala mosaik atau belang berat tanpa penciutan atau kelainan bentuk (malformation) daun; 4 = gejala mosaik atau belang sangat berat dengan penciutan atau kelainan bentuk; daun yang parah (shoestring), kerdil dan mati; 5 = gejala mosaik yang berat, nekrosis batang, dan tanaman mati. HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Proteksi Silang Dua Vaksin CARNA5.1 dan CARNA-5.2 terhadap Infeksi Strain Ganas CMV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan keparahan penyakit, vaksinasi CARNA 5.1 yang didapat secara alamiah dan CARNA 5.2 yang diperoleh secara buatan dengan metode inokulasi sebanyak 9 kali berturutturut pada tanaman tembakau (N. tabaccum) (CARNA 5.1) dapat melindungi tanaman dari superinfeksi strain ganas CMV (CMV-G). Proteksi tanaman tomat terhadap strain ganas dimulai pada pengamatan 2 msi dan 3 msi (Tabel 1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara CARNA 5.2 yang merupakan strain lemah alami yang diperoleh dari Balai Penelitian. Tanaman Sayur-sayuran Lembang dan CARNA 5.1 strain yang dilemahkan tidak berbeda efektivitasnya dalam melindungi tanaman tomat dari superinfeksi CMV-G. Proteksi tanaman tomat dari infeksi strain ganas juga ditunjukkan oleh tinggi tanaman tomat. Tanaman
180
J. HPT Tropika
Vol. 12, No. 2, 2012: 177-184
Tabel 1. Keparahan penyakit pada tanaman yang divaksinasi dengan CARNA 5.1 dan CARNA 5.2
Keparahan penyakit (%)
Perlakuan Kontrol Inokulasi dengan strain ganas CMV-G Vaksinasi CARNA-5.1 Vaksinasi CARNA-5.2 Vaksinasi CARNA-5.1, dilanjutkan dengan inokulasi strain ganas CMV-G pada 30 hst Vaksinasi CARNA-5.2 dilanjutkan dengan inokulasi strain ganas CMV-G pada 30 hst
1 msi
2 msi
3 msi
4,67a 35,00b 24,00ab 23,00ab
9,00a 43,00b 34,33ab 32,67ab
15,67a 53,00b 38,67ab 43,33ab
27,00b
28,33ab
39,00ab
27,67b
33,33ab
42,00ab
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ (P > 0,05) yang divaksinasi dengan CARNA 5.2 tidak mengalami hambatan pertumbuhan tinggi tanaman atau sama dengan tanaman kontrol. Hal itu juga ditunjukkan oleh tanaman yang divaksinasi CARNA 5.2 tanpa diikuti oleh inokulasi strain ganas CMV. Sebaliknya tanaman yang divaksinasi dengan CARNA 5.1 mengalami hambatan pertumbuhan tinggi tanaman (Gambar 1). Bobot buah tomat yang dihasilkan oleh tanaman yang telah diproteksi dengan CARNA 5.1 dan CARNA
5.2 juga relatif lebih besar bila dibandingkan dengan bobot buah tanaman yang tidak divaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 efektif memproteksi tanaman tomat dari infeksi strain ganas CMV (Gambar 2). Mekanisme fisiologi infeksi virus pada tanaman adalah terjadinya kompetisi penggunaan metabolit tanaman seperti asam nukleat dan asam amino yang berdapak kepada berkurangnya ketersediaan metabolit yang diperlukan untuk keperluan
Gambar 1. Rerata tinggi tanaman tomat dari masing-masing perlakuan.K0 = Kontrol (tanaman sehat), K1 = inokulasi starin ganas (CMV-G), K2 = tanaman divaksinasi dengan Carna 5.1, K3 = tanaman divaksinasi dengan Carna 5.2, K4 = tanaman divaksin dengan CARNA 5.1 sebelum inokulasi CMV-G, dan K5 = tanaman divaksin dengan CARNA 5.2 sebelum inokulasi CMV-G..
Akin et al.
Efektivitas Satelit RNA yang Berasosiasi dengan CMV
181
Gambar 2. Rerata bobot buah tomat per tanaman pada masing-masing perlakuan. K0 = Kontrol (tanaman sehat), K1 = inokulasi starin ganas (CMV-G), K2 = tanaman divaksinasi dengan Carna 5.1, K3 = tanaman divaksinasi dengan Carna 5.2, K4 = tanaman divaksin dengan CARNA 5.1 sebelum inokulasi CMV-G, dan K5 = tanaman divaksin dengan CARNA 5.2 sebelum inokulasi CMV-G). pertumbuhnan vegetatif dan generatif tanaman inang (Akin, 2006). Pemanfaatan satelit (sat) RNA CMV untuk mengendalikan CMV telah berhasil dilakukan untuk strain CMV yang menyerang tanaman cabai. Uhan dan Duriat (1995) melaporkan penggunaan vaksin CARNA5.2 (satRNA) yang dapat mempertahankan hasil cabai dua setengah kali tanaman cabai yang tidak divaksin. Akin (2005) melaporkan bahwa strain lemah CMV yang berasosiasi dengan satelit RNA (CARNA 5.1) dapat memproteksi tanaman cabai dari serangan strain ganas CMV. Ia juga melaporkan bahwa infeksi strain lemah CMV yang berasosiasi dengan satelit RNA tidak menurunkan kuantitas dan kualitas hasil tanaman cabai. Kedua vaksin CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 dapat memproteksi tanaman tomat dari superinfeksi strain ganas CMV-G. Hal itu terlihat pada produksi tomat pada tanaman yang divaksin lebih tinggi dari tanaman lain. Walaupun keparahan penyakit pada tanaman yang divaksin relatif tinggi, namun bobot buah yang dihasilkan lebih tinggi dari tanaman yang terinfeksi strain ganas. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa tipe ketahanan tanaman tomat yang telah divaksinasi tergolong ke dalam toleran.
Pengaruh Vaksinasi CARNA-5.1 dan 5.2 terhadap Infeksi Virus Lain yang Menyerang Tomat (TMV dan PVY). Hasil penelitian pada tahap ini menunjukkan bahwa berdasarkan keparahan penyakit pada 4 msi vaksinasi CARNA 5.1 maupun CARNA 5.2 tidak efektif melindungi tanaman tomat dari superinfeksi virus lain yang menyerang tanaman tomat, seperti PVY dan TMV baik infeksi tunggal maupun infeksi ganda yang ditunjukkan oleh keparahan penyakit yang relatif tinggi dan tidak berbeda antara tanaman yang divaksinasi dan tidak divaksinasi (Tabel 2). Hasil pengamatan bobot buah tanaman tomat yang divaksinasi menunjukkan bahwa tanaman yang divaksinasi menghasilkan buah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak divaksinasi walaupun keparahan penyakit tanaman yang divaksinasi lebih tinggi. Tanaman tomat yang divaksinasi dengan CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 menghasilkan bobot buah yang lebih tinggi dan memproteksi tanaman terhadap superinfeksi TMV dan PVY (Gambar 3). Berdasarkan bobot buah yang lebih tinggi walupun keparahan penyakitnya juga lebih tinggi maka tipe ketahanan yang dihasilkan oleh vaksinasi CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 terhadap PVY dan TMV adalah ketahanan interferens
182
J. HPT Tropika
Vol. 12, No. 2, 2012: 177-184
Tabel 2. Keparahan penyakit pada tanaman tomat yang divaksinasi CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 Keparahan penyakit (%)
Perlakuan Vaks inasi CARNA-5.1 Vaks inasi CARNA-5.2 Inokulasi dengan PVY, Inokulasi dengan TMV Vaks inasi CARNA-5.1 kemudian diinokulasi Vaks inasi CARNA-5.2 kemudian diinokulasi Vaks inasi CARNA-5.1 kemudian diinokulasi Vaks inasi CARNA-5.2 kemudian diinokulasi Vaks inasi CARNA-5.1 kemudian diinokulasi Vaks inasi CARNA-5.2 kemudian diinokulasi Kontrol
PVY (30hst) TMV(30hst) TMV(30hst) PVY (30hst) PVY dan TMV(30hst) PVY dan TMV (30hst)
2 msi
3 msi
4 msi
5 msi
4,99b 5,39b 7,55ef 7,79f 6,68d 7,02de 6,77d 6,06c 7,19def 7,25def 5,45b
5,43b 5,72bc 7,63ef 8,11f 6,94d 7,21de 7,05d 6,22c 7,30de 7,35de 5,92bc
6,35b 6,38b 7,90c 8,41d 7,58c 7,66c 7,71c 7,56c 7,73c 7,71c 6,46b
7,35b 7,16b 8,70c 8,59c 8,00bc 8,02bc 7,90bc 7,88bc 8,00bc 8,27c 7,38b
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ (P > 0,05)
Gambar 3. Rerata bobot buah pada masing-masing perlakuan. P1 = tanaman divaksinasi CARNA5.1, P2 = tanaman divaksinasi CARNA-5.2, P3 = tanaman diinokulasi dengan PVY, P4 = tanaman diinokulasi dengan TMV, P5 = tanaman divaksinasi dengan CARNA-5.1 sebelum diinokulasi PVY, P6 = tanaman divaksinasi dengan CARNA-5.2 sebelum diinokulasi TMV, P7 = tanaman divaksinasi dengan CARNA-5.1 sebelum diinokulasi TMV, P8 = tanaman divaksinasi dengan CARNA-5.2 sebelum diinokulasi PVY, P9 = tanaman divaksinasi dengan CARNA-5.1 kemudian diinokulasi dengan PVY dan TMV, P10 = tanaman divaksinasi dengan CARNA-5.1 kemudian diinokulasi dengan TMV dan PVY, dan P11 = tanaman tomat tidak diberi perlakuan inokulasi virus.
Akin et al.
Efektivitas Satelit RNA yang Berasosiasi dengan CMV
(interferon) yang dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap virus yang tidak sejenis. Ketahanan melalui mekanisme interferon terjadi akibat penghambatan translokasi virus dalam sel tanaman akibat reaksi tanaman terhadap infeksi virus. Senyawa spesifik yang dihasilkan tanaman dalam menghambat infeksi virus sampai saat ini belum diketahui. Fenomena reaksi interferensi antara vaksin (CARNA 5.1 dan CARNA 5.2) dan TMV maupun PVY merupakan informasi baru yang perlu mendapat perhatian. Adanya indikasi reaksi interferensi itu memberi harapan juga bahwa vaksin itu dapat menginduksi ketahanan tanaman tomat dari superinfeksi virus yang secara taksonomi berbeda dengan strain lemah CMV yang membawa CARNA 5. Hal itu membuktikan bahwa kedua vaksin itu memenuhi syarat untuk dijadikan biokontrol penyakit virus pada tanaman tomat karena tidak bersinergi dengan virus lain yang juga menyerang tanaman tomat. Fenomena proteksi silang yang ditunjukkan oleh vaksin (CARNA 5.1 dan CARNA 5.2) terhadap CMV strain ganas yang dominan di lapangan serta reaksi interferensi terhadap TMV dan PVY belum diketahui sehingga masih perlu dilakukan penelitian lanjutan di lapangan. SIMPULAN Vaksinasi CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 efektif memproteksi tanaman tomat dari superinfeksi strain ganas CMV yang ditunjukan oleh keparahan penyakit yang lebih rendah, tinggi tanaman yang sama dengan tanaman sehat, dan hasil tanaman yang tinggi. Vaksin CARNA 5.1 dan CARNA 5.2 menimbulkan reaksi interferens dengan TMV dan PVY yang ditunjukkan oleh gejala penyakit yang ringan dan produksi tomat yang tidak berbeda dengan tanaman sehat. SANWACANA Penelitian ini didanai oleh Hibah Kempetisi A2 Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Unila atas nama Penulis Utama. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pengelola PHK A2 yang telah memberi dana dan Wagianto yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Akin HM. 2005. Kepatogenan satelit RNA yang berasosiasi dengan Cucumber mosaic virus (CMV-SatRNA) pada tanaman cabai. J. HPT Tropika 5(1): 37-41.
183
Akin HM. 2006. Virologi Tumbuhan. Kanisius. Yogyakarta. Alonso-Prados JL, Fraile A & Garcia-Arenal F. 1997. Impact of cucumber mosaic virus and watermelon mosaic virus 2 infection on melon production in central Spain. J. Plant Pathol. 79: 131-134. Crescenzi A, Barbarossa L, Cillo F, Di Franco A, Vovlas N, & Gallitelli D. 1993. Role of Cucumber mosaic virus and its satellite RNA in the etiology of tomato fruit necrosis in Italy. Arch Virol 131: 321-333. Gafny R, Wexler A, Mawassi M, Israeli Y & Bar-Joseph M. 1996. Natural infection of banana by a satellite-containing strain of cucumber mosaic virus: nucleotide sequence of coat protein gene and the satellite RNA. Phytoparasitica 24:2956. Gallitelli D. 1998. Present status of controlling cucumber mosaic virus. In: Khetarpal RK, Kagonezawa H, Hadidi A, Ed. Control of Plant Virus Diseases. APS Press, St. Paul, MN, USA. Gallitelli D, Martelli GP, Gebre-Selassie & Marchoux G. 1995. Progress in the biological and molecular studies of some important viruses of solanaceae in the Mediterranean. Acta Hortic 412: 503-514. Herdt RW & Steiner RA. 1995. Agricultural sustainability: concepts and conundrums. In: Barnett V, Payne R, Steiner R, Ed. Agricultural Sustainability: Economic, Environmental and Statistical Considerations. Wiley, Chichester, UK. Hu, Chung-Chi, Hsu, Yau-Heiu & Na-Sheng Lin. 2009. Satellite RNAs and satellite viruses of plants. Viruses.1(3): 1325-1350. Jorda C, Alfaro A, Aranda MA, Moriones E & GarciaArenal F. 1992. Epidemic of cucumber mosaic virus plus satellite RNA in tomatoes in Eastern Spain. Plant Dis. 76: 363-366. Martin B, Collar JL, Tjallingii WF & Fereres A. 1997. Intracellular ingestion and salivation by aphids may cause the acquisition and inoculation of nonpersistently transmitted plant viruses. J. Gen Virol 78: 2701-2705. Palukaitis P, Roossink M, Dietzgen RG & Francki RIB. 1992. Cucumber mosaic virus. Adv. Virus. Res. 41: 281-348. Perry KL, Zhang L, Shintaku MH & Palukaitis P. 1994. Mapping determinants in cucumber mosaic virus
184
J. HPT Tropika
for transmission by Aphis gossypii. Virology 205: 591-595. Perry KL, Zhang L & Palukaitis P. 1995. Differential transmission of cucumber mosaic virus by two aphids: mutation in the coat protein restore transmission by Aphis gossypii but not by Myzus persicae. Phytopathology 85:1143. Summers CG, Stapleton JJ, Newton AS, Duncan RA & Hart D. 1995. Comparison of srayable and film muches in delaying the onset of aphid-transmitted virus diseases in zucchini squash. Plant Dis. 79: 1126-1131. Saputri A. 2005. Kepatogenan strain ganas CMV dan strain lemah CMV (Cucumber mosaic virus) yang berasosiasi dengan satelit RNA pada tanaman cabai merah. Skripsi. Fakultas Pertanian Unila, Bandar Lampung.
Vol. 12, No. 2, 2012: 177-184
Sutarya R. 1989. Beberapa virus penting pada tanaman tomat di Kecamatan Lembang (Kabupaten Bandung). Bul. Penel. Hort. 72-79. Uhan T.S & Duriat AS. 1995. Pengaruh penggunaan vaksin CARNA-5, mulsa jerami, dan penyeprotan pestisida terhadap serangan hama dan penyakit cabai. Prosiding Seminar Ilmiah Komoditas Sayuran, Balitsa. 405-411. Wagiyanto. 2005. Pengendalian cucumber mosaic virus pada cabai merah menggunakan strain lemah CMV yang berasosiasi dengan satelit RNA. Skripsi. Fakultas Pertanian.Universitas Lampung. Bandar Lampung. Zulistiyorini, Y. 2005. Pengaruh infeksi gabungan antara CMV (cucumber mocaic virus) yang mengandung Sat-RNA dengan PVY dan TMV pada tanaman cabai besar (Capsicum annum L.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Marwan et al. Vol. 11, No. 2: 113 – 121, September 2011
Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit
113
ISOLASI DAN SELEKSI BAKTERI ENDOFIT UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DARAH PADA TANAMAN PISANG Husda Marwan1, Meity S. Sinaga2, Giyanto2 dan Abdjad Asih Nawangsih2 Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor e mail :
[email protected] 2 Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Darmaga Bogor 16680 1
ABSTRACT Isolation and selection of endophytic bacteria to control blood disease on banana. Blood disease is one of the important diseases of banana in Indonesia. Endophytic bacteria have potencies as candidates of biocontrol agents to blood disease, because the bacteria colonized the same ecological niche with the plant pathogens. This research was conducted to isolate endophytic bacteria from banana root, and study their disease suppression ability to blood disease on banana. Ninety isolates of endophytic bacteria have been isolated from the root of banana. Average population densities of bacteria varied between 6,0 x 103 and 4,2 x 105 cfu/g fresh weight of root. Twenty seven isolates positively produced inhibition zone toward blood disease bacterium. Based on plant growth and disease suppression test, ten isolates promoted the growth of banana plant and four isolates suppressed the incidence of blood disease with ranged from 66,67 to 83,33%. Keywords : endophytic bacteria, blood disease, blood disease bacterium, banana
ABSTRAK Isolasi dan seleksi bakteri endofit untuk pengendalian penyakit darah pada tanaman pisang. Penyakit darah merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman pisang di Indonesia. Bakteri endofit berpotensi sebagai kandidat agensia pengendalian hayati penyakit darah, sebab bakteri endofit melakukan kolonisasi pada relung ekologi yang sama dengan patogen tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi bakteri endofit dari akar tanaman pisang, dan menganalisis kemampuan bakteri tersebut dalam penekanan penyakit darah pada tanaman pisang. Sebanyak 90 isolat bakteri endofit berhasil diisolasi dari akar tanaman pisang. Rata-rata kerapatan populasi bakteri endofit bervariasi antara 6,0 x 103 - 4,2 x 105 cfu/g berat basah akar. Sebanyak 27 isolat bakteri endofit mempunyai kemampuan antibiosis terhadap BDB secara in vitro. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dan penekanan terhadap penyakit darah, sebanyak 10 isolat mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan 4 isolat mampu menekan kejadian penyakit darah sebesar 66,67 – 83,33%. Kata kunci : bakteri endofit, penyakit darah, blood disease bacterium, pisang
PENDAHULUAN Penyakit darah (blood disease) yang disebabkan oleh Blood Disease Bacterium (BDB) merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman pisang di Indonesia (Supriadi, 2005). Infeksi BDB pada tanaman pisang dapat menyebabkan tanaman mati atau menghasilkan buah yang tidak dapat dikonsumsi. Daging buah pisang yang terinfeksi BDB menjadi berlendir yang mengandung massa bakteri. Salah satu upaya untuk mengendalikan penyakit darah pada tanaman pisang adalah dengan aplikasi bakteri endofit. Menurut Kado (1992), bakteri endofit merupakan bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman tanpa merugikan bahkan memberikan banyak manfaat bagi tanaman inangnya. Bakteri endofit melakukan kolonisasi pada relung ekologi yang sama dengan patogen tanaman (khususnya patogen layu pembuluh),
sehingga bakteri ini lebih cocok sebagai kandidat agensia pengendalian hayati (Hallmann et al., 1997). Bakteri endofit menimbulkan banyak pengaruh menguntungkan terhadap tanaman inangnya, antara lain menstimulasi pertumbuhan tanaman (Sturz et al., 1997; Sessitsch et al., 2004; Adeline et al., 2008; Olmar et al., 2007; Chandrashekhara et al., 2007), memfiksasi nitrogen (Reinhold-Hurek & Hurek, 1998; Bashan & de-Bashan, 2005), dan menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen tanaman (Chen et al., 1995; Kavino et al., 2007; Chandrashekhara et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian Hadiwiyono (2010), ditemukan perbedaan struktur komunitas bakteri endofit pada tanaman pisang terinfeksi BDB yang bergejala penyakit darah dengan pisang yang tidak bergejala. Dilaporkan ada bakteri endofit tertentu pada pisang yang tidak bergejala penyakit darah, tetapi bakteri endofit
114
J. HPT Tropika
tersebut tidak dijumpai pada pisang yang bergejala penyakit darah. Bakteri endofit ini diduga terlibat dalam menghambat infeksi BDB pada tanaman pisang. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi isolat bakteri endofit dari tanaman pisang, menganalisis kemampuan antibiosis isolat bakteri endofit terhadap BDB, menganalisis pengaruh bakteri endofit terhadap pertumbuhan tanaman pisang, dan menyeleksi bakteri endofit yang berpotensi untuk mengendalikan penyakit darah pada tanaman pisang. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB dan Rumah Kaca Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika (BB-BIOGEN) Bogor dari bulan Maret 2009 sampai September 2010. Isolasi Bakteri Endofit dari Akar Tanaman Pisang. Bakteri endofit diisolasi dari akar beberapa jenis tanaman pisang yang tumbuh sehat dari sekitar pertanaman pisang yang terserang BDB dan akar tanaman pisang yang terserang BDB di daerah Bogor. Isolasi bakteri endofit dilakukan dengan metode pencawanan (plating). Akar pisang dicuci dengan air mengalir untuk membersihkannya dari partikel lain yang menempel, dikeringkan dengan kertas tissue, dan ditimbang masingmasing sebanyak 5 gram. Akar pisang disterilisasi permukaannya berdasarkan metode Sessitsch et al. (2004) yang dimodifikasi. Sterilisasi permukaan dilakukan secara berurutan dengan merendam akar pisang dalam Natrium hipoklorit 5% + 0,25% Tween 20 selama 5 menit, dicuci sebanyak 4 kali dengan akuades steril dan dilewatkan (flaming) pada lampu bunsen. Akar yang sudah disterilkan dipotong kecil-kecil menggunakan pisau skalpel steril dan dihaluskan dalam lumpang menggunakan mortar steril. Akar yang sudah dihaluskan dimasukkan dalam erlenmeyer yang berisi 45 ml akuades steril, kemudian dilakukan pengenceran secara berseri sampai 10 -3 . Sebanyak 100 µl dari pengenceran 10 -1 dan 10 -3 dibiakkan dalam media Tryptic Soy Agar (TSA) 50% dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 - 96 jam. Pengujian keefektifan dari sterilisasi permukaan dilakukan dengan membiakkan sebanyak 100 µl akuades pencucian akar yang ke-4 pada media TSA dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 - 96 jam. Sampel akuades pencucian akar yang menunjukkan adanya
Vol. 11, No. 2, 2011: 113–121
pertumbuhan mikroorganisme tidak dapat digunakan sebagai sampel isolat bakteri endofit. Pengamatan terhadap pertumbuhan bakteri endofit dilakukan pada 24, 48, dan 96 jam setelah inkubasi. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah koloni bakteri yang tumbuh dan tipe morfologi koloni (Habazar & Rivai, 2004). Koloni tunggal dari masing-masing sampel akar tanaman pisang yang menunjukkan perbedaan tipe morfologi dimurnikan kembali dalam media TSA 100% dan disimpan sebagai isolat. Masingmasing isolat dilakukan pengujian reaksi hipersensitif pada daun tembakau. Uji Kemampuan Antibiosis Isolat Bakteri Endofit terhadap BDB. Pengujian dilakukan pada media Sukrosa Pepton Agar (SPA) dengan metode Difusi Kertas Cakram-Agar (Madigan et al., 1997). Masingmasing isolat bakteri endofit dibiakkan pada media TSA selama 48 jam, kemudian disuspensikan dalam 10 ml akuades steril dan dihitung populasinya sehingga mencapai 108 - 109 cfu/ml (OD600 = 0,16), sedangkan BDB dibiakkan pada media SPA selama 76 jam, kemudian disuspensikan dalam 10 ml akuades steril dan dihitung populasinya sehingga mencapai 108 - 109 cfu/ ml (OD600 = 0,1). Sebanyak 100 µl suspensi BDB disebarkan pada permukaan media SPA secara merata dan dikeringanginkan. Selanjutnya, 5 potongan kertas saring steril dengan diameter 5 mm diletakkan secara teratur pada permukaan media. Sebanyak 5 potongan kertas saring ditetesi dengan 7,5 µl suspensi bakteri endofit yang berbeda dan 1 potongan kertas saring ditetesi dengan 7,5 µl akuades steril sebagai kontrol. Pengamatan dilakukan terhadap adanya zone bening di sekitar ker tas sar ing yang merupakan reaksi penghambatan dari bakteri endofit terhadap BDB. Seleksi Bakteri Endofit Antagonis terhadap Penyakit Darah. Seleksi dilakukan terhadap 30 isolat bakteri endofit yang memperlihatkan kemampuan antibiosis terhadap BDB dan isolat bakteri endofit yang dominan dalam satu komunitas berdasarkan frekuensi kemunculan isolat. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan, tiap satuan perlakuan terdiri dari 4 bibit pisang. Inokulasi BDB pada tanaman yang telah diberi perlakuan dengan isolat bakteri endofit menggunakan dua metode (Rustam, 2007) yaitu: (1) Penginjeksian suspensi BDB pada bonggol tanaman pisang, (2) Pelukaan akar dan penyiraman suspensi BDB. Bibit pisang yang digunakan adalah jenis pisang cavendish hasil perbanyakan dengan kultur jaringan dari
Marwan et al.
BIOTROP Bogor yang telah diaklimatisasi selama 2 bulan. Bibit pisang diseleksi untuk mendapatkan bibit dengan ukuran tinggi dan jumlah daun tanaman yang seragam. Bibit dibersihkan perakarannya dari kotoran media pembibitan dengan air mengalir dan dikeringanginkan. Bakteri endofit yang digunakan dalam pengujian ini diperbanyak pada media TSA dalam cawan petri dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu ruang, kemudian ditambahkan 10 ml akuades steril. Suspensi bakteri dihitung populasinya dan diencerkan sehingga populasinya mencapai 108 - 109 cfu/ml. Bibit yang telah diseleksi direndam dalam 750 ml suspensi bakteri endofit selama 6 jam (modifikasi Kavino et al., 2007), sedangkan tanaman kontrol direndam dalam akuades steril. Bibit yang telah diinokulasi dengan bakteri endofit ditanam dalam pot plastik (diameter 17 cm) dengan media tanam berupa campuran tanah humus steril dan sekam bakar (perbandingan 2 : 1 v/v). Media tanam disiram dengan sisa suspensi bakteri endofit hasil perendaman. Bibit dipelihara selama 8 minggu untuk proses kolonisasi bakteri endofit pada bibit pisang. Selama proses kolonisasi bakteri endofit dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman (pertambahan tinggi dan jumlah daun tanaman) untuk mengetahui pengaruh perlakuan bakteri endofit terhadap pertumbuhan tanaman pisang. Inokulasi BDB dilakukan pada bibit pisang 8 minggu setelah introduksi bakteri endofit (Kasutjianingati, 2004). Metode inokulasi BDB pada bonggol pisang dilakukan dengan cara menginjeksikan 2 ml suspensi BDB 108- 109 cfu/ml menggunakan jarum injeksi steril (5 ml) ke bonggol tanaman pisang. Metode penyiraman suspensi BDB pada akar dilakukan dengan cara melukai akar tanaman pisang dengan pisau skalpel steril, kemudian 25 ml suspensi BDB 10 8 - 10 9 cfu/ml disiramkan ke tanah sekitar akar yang dilukai. Pengamatan dilakukan terhadap periode inkubasi penyakit darah dan persentase kejadian penyakit darah. Persentase kejadian penyakit dihitung menggunakan rumus KjP = (a/b)x100%, dengan KjP adalah kejadian penyakit layu (%), a adalah jumlah tanaman yang menunjukkan gejala penyakit darah pada satu perlakuan, dan b adalah jumlah tanaman yang diinokulasi dengan BDB pada perlakuan yang sama. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dan perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut Dunnett pada taraf 5%.
Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit
115
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Endofit dari Akar Tanaman Pisang. Hasil isolasi bakteri endofit dari akar tanaman pisang diperoleh 90 isolat bakteri endofit yang terdiri dari 33 isolat dari pisang kepok, 31 isolat dari pisang raja, dan 26 isolat dari pisang ambon. Kerapatan populasi bakteri masing-masing tanaman sampel berkisar antara 6,0 x 103 sampai 4,2 x 105 cfu/g berat basah akar (Tabel 1). Menurut Hallmann (2001) dan Zinniel et al. (2002), kerapatan populasi bakteri endofit tergantung pada jenis tanaman, umur tanaman, tipe jaringan (akar, batang, dan daun), habitat, dan faktor lingkungan. Pengaruh jenis tanaman pisang terhadap kerapatan populasi bakteri endofit dapat dilihat pada sampel tanaman pisang raja bulu dan ambon lumut yang berasal dari kebun PKBT IPB (Tabel 1). Kerapatan rata-rata populasi bakteri endofit dari sampel tanaman pisang raja bulu (RB1, RB2, dan RB3) lebih tinggi dibandingkan dengan ambon lumut (AL1, AL3, AL4, dan AL5). Berdasarkan jenis tanaman pisang, kerapatan populasi bakteri endofit pada pisang raja (1,09 x 105 cfu/ g berat basah akar) lebih tinggi dari pisang kepok kuning (5,15 x 104 cfu/g berat basah akar) dan pisang ambon (4,09 x 104 cfu/g berat basah akar). Hal ini sama dengan Harni (2010) yang melaporkan bahwa kerapatan populasi bakteri endofit pada tanaman nilam dipengaruhi varietas nilam. Selanjutnya Hung & Annapurna (2004) menemukan variasi bakteri endofit pada spesies tanaman kedelai Glycine max dan G. soja. Uji Kemampuan Antibiosis Isolat Bakteri Endofit terhadap BDB. Hasil pengujian antibiosis 90 isolat bakteri endofit terhadap BDB menunjukkan bahwa sebanyak 27 isolat (30%) mempunyai kemampuan antibiosis terhadap BDB dengan diameter penghambatan yang bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman pisang bersifat antagonis terhadap BDB. Hasil penelitian Long et al. (2004) menunjukkan bahwa 13 isolat bakteri endofit (35%) dari tanaman Solanum sp. bersifat antibiosis terhadap Ralstonia solanacearum pada pengujian in vitro. Berdasarkan hasil pengujian in vitro aktivitas antibakteri, beberapa isolat bakteri endofit dari tanaman kentang bersifat antibiosis terhadap Streptomyces sp. dan Xanthomonas sp. (Sessitsch et al., 2004). Nawangsih (2007) juga melaporkan bahwa isolat bakteri endofit CA8 (genus Bacillus) dan PK5 (genus Pseudomonas) yang diisolasi dari sampel tanaman pisang mampu menekan perkembangan BDB secara in vitro.
116
Vol. 11, No. 2, 2011: 113–121
J. HPT Tropika
Tabel 1. Data hasil isolasi bakteri e ndofit dari akar beberapa jenis tanaman pisang Ta nama n sa mp el Kep ok Ku ning-1 Kep ok Ku ning-2 Kep ok Ku ning-3 Kep ok Ku ning-4 Kep ok Ta njung R aja Bu lu-1 R aja Bu lu-2 R aja Bu lu-3 R aja Na ngka R aja Uli Am bon Lum ut-1 Am bon Lum ut-2 Am bon Lum ut-3 Am bon Lum ut-4 Am bon Lum ut-5 Ketera ngan : PKB T IPB
L oka si tana ma n sa mp el
Jum la h k olon i/gram akar
Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 1,06 x 10 4 3 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 8,60 x 10 5 Pa sir M u nca ng/Ke bun P eta ni 1,57 x 10 Pa sir M u nca ng/Ke bun P eta ni 6,06 x 10 4 4 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 2,07 x 10 5 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 4,20 x 10 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 1,53 x 10 4 4 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 1,40 x 10 Pa sir M u nca ng/Ke bun P eta ni 7,60 x 10 4 4 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 1,73 x 10 4 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 2,0 x 10 4 Pa sir M u nca ng/Ke bun P eta ni 2,66 x 10 3 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 6,0 x 10 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 6,5 x 10 4 4 Pa sir Kuda /Kebun PKB T IPB 8,73 x 10 (Pusat Kajia n Bu ah Tr op ika IPB Bogor) .
Senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh bakteri antagonis dapat berperan langsung sebagai bakterisida terhadap bakteri patogen dan agens penginduksi (elicitor) ketahanan tanaman terhadap penyakit (Lyon, 2007). Pada bakteri endofit, senyawa antibiotik yang dihasilkannya diduga lebih banyak berperan sebagai elicitor untuk menginduksi ketahanan tanaman dibandingkan berperan langsung sebagai bakterisida dimana bakteri endofit memerlukan kontak langsung dengan patogen tanaman. Hal ini disebabkan karena bakteri endofit yang berada dalam jaringan tanaman populasinya lebih sedikit dibandingkan dengan populasi patogen sehingga kemampuan dari bakteri endofit yang dapat melakukan kontak langsung dengan patogen lebih sedikit. Disamping itu, antibiotik yang dihasilkan oleh bakteri endofit dalam jumlah banyak pada jaringan tanaman dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman. Mourhofer et al. (1995) melaporkan bahwa antibiotik pyoluteorin dan 2,4diacetylphloroglucinol (DPAG) yang dihasilkan oleh Pseudomonas spp. bersifat fitotoksik pada konsentrasi tinggi. Pengaruh Bakteri Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman Pisang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi bakteri endofit berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan jumlah daun tanaman pisang cavendish (Tabel 2). Berdasarkan hasil analisis terhadap pertambahan tinggi dan jumlah daun tanaman pisang, diketahui bahwa sebanyak 11 isolat bakteri endofit
Jum la h iso lat ba kteri end ofit 10 6 6 6 5 7 7 5 5 7 6 6 4 4 6
(36,7%) mampu meningkatkan pertambahan tinggi tanaman dan 12 isolat (40%) mampu meningkatkan pertambahan jumlah daun. Sessitsch et al. (2004) melaporkan bahwa 40% bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman kentang mampu memacu pertumbuhan plantlet tanaman kentang. Hasil penelitian Adeline et al. (2007) menunjukkan bahwa bakteri endofit Serratia sp. yang diisolasi dari pisang liar mampu meningkatkan pertumbuhan plantlet pisang barangan kultivar Intan. Harni (2010) juga melaporkan bahwa 26 isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman nilam mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman nilam (berat tajuk tanaman dan berat akar). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 20 isolat bakteri endofit (66,7%) yang diinokulasikan pada tanaman pisang cavendish tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman pisang (bersifat netral). Menurut Bacon & Hinton (2007), interaksi antara tanaman inang dan bakteri endofit dapat bersifat netralisme (tidak ada pengaruh terhadap tanaman inang), mutualisme (menguntungkan terhadap tanaman inang dan bakteri endofit), atau komensalisme (menguntungkan terhadap tanaman inang atau bakteri endofit). Berdasarkan variabel pertambahan tinggi dan jumlah daun tanaman pisang, sebanyak 10 isolat bakteri endofit (EAL09, EAL11, EAL15, EAL20, EKK11, EKK15, EKK22, ERB05, ERB06, dan ERB16 berpotensi sebagai agensia pemacu pertumbuhan tanaman pisang, karena isolat-isolat tersebut secara
Marwan et al.
Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit
konsisten mampu meningkatkan pertambahan tinggi dan jumlah daun tanaman pisang cavendish. Hal ini diduga karena bakteri endofit dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara tertentu dan menghasilkan hormon pertumbuhan tanaman seperti auksin dan sitokinin. Menurut Bacon & Hinton (2007), bakteri endofit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan cara meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman seperti nitrogen, fosfat, dan mineral lainnya, serta merangsang
117
pertumbuhan tanaman dengan menghasilkan hormon pertumbuhan seperti etilen, auksin, dan sitokinin. Pengaruh Bakteri Endofit terhadap Penyakit Darah pada Tanaman Pisang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan bakteri endofit berpengaruh nyata terhadap periode inkubasi dan kejadian penyakit darah pada tanaman pisang dari kedua metode inokulasi (Tabel 3). Pada metode inokulasi BDB dengan penginjeksian
Tabel 2. Pengaruh bakteri endofit terhadap pertambahan tinggi dan ju mlah daun tanaman pisang cavendish pada 8 minggu setelah introduksi bakt eri endo fit
a b
Isolat bakter i end ofit a
Pertambahan tinggi tanaman (cm)
Per tambahan ju mlah daun tanaman (helai)
E fek bakter i endof it terhadap per tu mbu han b
E AL02 E AL09 E AL11 E AL14 E AL15 E AL20 E AL26 E KK04 E KK07 E KK08 E KK10 E KK11 E KK13 E KK15 E KK20 E KK22 E KK26 E KT0 2 E KT0 3 E KT0 4 E KT0 5 E RB04 E RB05 E RB06 E RB08 E RB10 E RB16 ER N01 ER N05 ER U0 6 Kontr ol
1 0,58 1 2,53 * 1 2,66 * 1 0,52 1 2,18 * 1 2,13 * 1 0,64 9,59 8,94 9,60 1 0,37 1 2,15 * 1 0,26 1 1,72 * 9,63 1 1,93 * 9,93 1 1,27 1 1,73 * 9,22 8,85 8,70 1 2,99 * 1 1,76 * 1 0,07 8,71 1 2,07 * 1 1,38 8,40 8,59 9,41
3,67* 3, 38* 3, 07* 2 ,07 3, 08* 3, 25* 2 ,05 2 ,48 2 ,40 2 ,00 2 ,62 3, 67* 2 ,27 4, 27* 2 ,13 3, 23* 2 ,28 4, 43* 2 ,53 2 ,40 2 ,57 2 ,60 3, 07* 3, 07* 2 ,53 2 ,47 3, 58* 2 ,32 2 ,07 1 ,98 1 ,53
+ + + + + + + + + + -
Isolat bakter i en dofit : E AL (E nd ofit Amb on Lu mut), E KK (E ndofit Kep ok Kuning), E KT ( End ofit Kepok T anjun g), ERB (End ofit Raja Bu lu), ER N (Endof it Raja Nang ka), ER U (End ofit Raja Uli). Efek pertu mbu han : + bakteri endo fit dapat m eningkatkan pertu mbu han b erdasarkan var iabel pertamb aha n tinggg i dan ju mlah daun tanaman, - perlakuan bakter i end ofit tidak ber pengaru h terhadap per tu mbu han tanam an dib and ingkan tanam an kontrol.
* Rataan selajur berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan uji Dunnett (p<0,05).
118
Vol. 11, No. 2, 2011: 113–121
J. HPT Tropika
Ta bel 3 . Penga ruh ba kteri e ndofit ter ha dap pe rio de in kubasi p en yak it, pe rsentase ke ja dia n pe nya kit, dan pe neka na n ke ja dia n penya kit da ra h pa da tana ma n p isa ng Ca ven dish Isola t B akter i Endof ita E AL 02 E AL 09 E AL 11 E AL 14 E AL 15 E AL 20 E AL 26 EKK04 EKK07 EKK08 EKK10 EKK11 EKK13 EKK15 EKK20 EKK22 EKK26 E KT 02 E KT 03 E KT 04 E KT 05 E RB0 4 E RB0 5 E RB0 6 E RB0 8 E RB1 0 E RB1 6 E RN01 E RN05 E RU06 Kontrol a
M e to de inoku la si: Penginje ksia n suspe nsi B DB pa da bongg ol
M etode in okulasi : Pe luka an aka r dan p enyira ma n suspensi BDB
Periode in ku ba si (hsi)
Kejadian pe nyak it (%)
Pen ekanan p enyakit (% )
Per io de inkuba si (hsi)
Ke ja dia n penya kit (% )
Pene kana n penya kit (%)
6, 83 6, 33 8, 00 7, 25 10, 50* 7, 00 6, 83 8,6 7* 9,5 0* 8,8 3* 10, 00* 6, 94 8,8 3* 7, 17 8, 33 6, 67 8,5 8* 6, 00 7, 58 8,4 2* 8,5 8* 8,6 7* 6, 78 8,6 7* 6, 67 8,6 7* 9,4 2* 10, 33* 9,6 7* 8, 33 6, 33
1 00,00 1 00,00 1 00,00 1 00,00 2 5,00* 1 00,00 1 00,00 1 00,00 1 00,00 1 00,00 1 00,00 91 ,67 1 00,00 1 00,00 6 6,67* 5 0,00* 1 00,00 1 00,00 1 00,00 7 5,00* 1 00,00 1 00,00 83 ,33 1 00,00 1 00,00 1 00,00 1 00,00 1 00,00 7 5,00* 1 00,00 1 00,00
0,00 0,00 0,00 0,00 75,0 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,33 0,00 0,00 33,3 3 50,0 0 0,00 0,00 0,00 25,0 0 0,00 0,00 16,6 7 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 25,0 0 0,00
1 1,97* 1 4,17* 1 4,00* 1 3,44* 1 1,00 1 1,11 1 1,78* 1 2,67* 1 3,10* 1 2,75* 1 2,00* 1 1,86* 1 3,33* 1 4,00* 1 2,40* 1 5,17* 1 3,28* 1 2,22* 1 2,22* 1 2,44* 1 3,81* 1 1,75* 1 1,80* 1 0,89 1 2,67* 1 3,33* 1 3,50* 1 4,17* 1 2,06* 1 2,50* 9,80
83, 33 66, 67 66, 67 66, 67 16, 67* 83, 33 75, 00 75, 00 83, 33 100 ,00 33, 33* 83, 33 66, 67 66, 67 33, 33* 25, 00* 83, 33 75, 00 75, 00 41, 67* 75, 00 100 ,00 66, 67 75, 00 75, 00 75, 00 66, 67 100 ,00 58, 33* 100 ,00 100 ,00
1 6,67 3 3,33 3 3,33 3 3,33 8 3,33 1 6,67 2 5,00 2 5,00 1 6,67 0,00 6 6,67 1 6,67 3 3,33 3 3,33 6 6,67 7 5,00 1 6,67 2 5,00 2 5,00 5 8,33 2 5,00 0,00 3 3,33 2 5,00 2 5,00 2 5,00 3 3,33 0,00 4 1,67 0,00
Isolat bakter i en dofit : E AL (E nd ofit Amb on Lu mut), E KK (E ndofit Kep ok Kuning), E KT ( End ofit Ke pok T anjun g), ERB (End ofit Raja Bu lu), ER N (Endof it Ra ja Nang ka), ER U (End ofit Raja Uli)
* Rataan selajur berbeda nyata dengan kontrol berdasarka n uji Dunnett (p<0,05). pada bonggol tanaman diketahui bahwa 15 isolat bakteri endofit mampu memperlambat munculnya gejala penyakit dan 7 isolat menekan kejadian penyakit dengan persentase penekanan 8,33 - 75,00%, sedangkan pada metode inokulasi BDB dengan pelukaan akar dan penyiraman suspensi BDB diketahui bahwa 27 isolat bakteri endofit mampu memperlambat munculnya gejala penyakit dan 26 solat menekan kejadian penyakit dengan persentase penekanan 16,67 - 83,33%.
Perbedaan pengaruh metode inokulasi BDB terhadap kemampuan antagonis bakteri endofit terjadi karena metode inokulasi BDB pada tanaman pisang mempengaruhi fase patogenesis yang dilalui patogen, sehingga berpengaruh terhadap kemampuan antagonis bakteri endofit dalam menekan munculnya gejala dan kejadian penyakit darah. Menurut Sinaga (2006), fase patogenesis dimulai dengan kontaknya inokulum pada permukaan jaringan inang (inokulasi), masuknya patogen
Marwan et al.
Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit
ke dalam jaringan inang (penetrasi), infeksi patogen dalam jaringan inang, kolonisasi patogen dalam jaringanjaringan inang, dan penyebaran (diseminasi) inokulum ke jaringan/tanaman lain. Metode inokulasi dengan penginjeksian suspensi BDB pada bonggol menyebabkan fase patogenesis BDB tidak berlangsung secara alami, karena patogen langsung melakukan infeksi dalam jaringan tanaman dan mengkolonisasi jaringan tersebut dengan populasi BDB yang diinjeksikan pada bonggol. Pada percobaan metode inokulasi ini, kemampuan bakteri endofit memperlambat munculnya gejala penyakit diduga disebabkan oleh adanya kemampuan antibiosis bakteri endofit terhadap BDB. Metode inokulasi dengan pelukaan akar dan penyiraman suspensi BDB menyebabkan fase patogenesis BDB berlangsung secara alami, karena patogen melalui fase patogenesis secara bertahap dan kontiniu sampai munculnya gejala penyakit. Hal ini memungkinkan bakteri endofit yang telah berada dalam jaringan tanaman dapat melakukan berbagai kemampuan antagonisnya (antibiosis, kompetisi, dan induksi ketahanan sistemik) terhadap BDB, dimulai dari tahap awal fase patogenesis BDB. Aktivitas antagonis bakteri endofit pada percobaan metode inokulasi ini dapat dilihat dari perbedaan periode inkubasi penyakit dan persentase kejadian penyakit darah dengan metode inokulasi sebelumnya. Berdasarkan kemampuan dalam menekan kejadian penyakit darah melalui metode inokulasi BDB yang telah dilakukan, diketahui bahwa isolat EAL15, EKK10, EKK20, EKK22 mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai agensia pengendalian hayati penyakit darah pada tanaman pisang dengan tingkat penekanan kejadian penyakit sebesar 66,67 – 83,33%. Harish et al. (2008) melaporkan bahwa perlakukan kombinasi isolat bakteri endofit dan PGPR pada plantlet tanaman pisang mampu menekan kejadian penyakit Banana Bunchy Top Virus sebesar 20 - 80%. SIMPULAN Bakteri endofit yang berhasil diisolasi dari akar tanaman pisang adalah 90 isolat, 33 isolat berasal dari pisang kepok, 31 isolat dari pisang raja, dan 26 isolat dari pisang ambon. Kerapatan populasi bakteri endofit berkisar antara 6,0 x 103 - 4,2 x 105 cfu/g berat basah akar. Sebanyak 27 isolat tersebut mempunyai kemampuan antibiosis terhadap BDB secara in vitro. Bakteri endofit mampu meningkatkan pertambahan tinggi dan jumlah daun bibit pisang
119
cavendish. Hasil seleksi bakteri endofit terhadap penyakit darah diperoleh 4 isolat bakteri endofit potensial untuk mengendalikan penyakit darah pada tanaman pisang yaitu : EAL15, EKK10, EKK20, dan EKK22 dengan tingkat penekanan kejadian penyakit sebesar 66,67 - 83,33%. SANWACANA Artikel ini merupakan bagian dari Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih kepada DP2M DIKTI yang membantu pendanaan penelitian ini melalui program Hibah Bersaing DIKTI tahun 2009-2010 dan Dr. Ir. Supriadi, M.Sc (Balittro Bogor) atas informasi dan sarannya dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adeline SYT, Sariah M, Jugah K, Son R & Gurmit S. 2008. Endophytic microorganisms as potential growth promoters of banana. Biocontrol 53 : 541-553. Bacon CW & Hinton DM. 2007. Bacterial endophytes: The endophitic niche, its occupants, and its utility. In: Gnanamanickam SS. Gnanamanicham (ed.). Plant-Associated Bacteria. Springer, Berlin. p. 155-194. Bashan Y & de-Bashan LE. 2005. Bacteria, plant growth-promoting. In: Ensyclopedia of Soil in The Environment. (Editor-in-chief) D. Hiller, Elsevier Oxford UK. Pp. 103-115. Candrashekhara, Sathyanarayana N, Saligrama AD, Kestur NA, Nandini PS & Hunthrike SS. 2007. Endophytic bacteria from different plant origin enhance growth and induce downy mildew resistance in pearl millet. Asian Journal of Plant Pathology 1:1-11. Chen C, Bauske EM, Musson G., Rodriguez-Kabana R & Kloepper JW. 1995. Biological control of Fusarium wilt on cotton by use of endophytic bacteria. Biol. Control 5: 83-91. Habazar T & Rivai F. 2004. Bakteri Patogenik Tumbuhan. Andalas University Press. Padang. Hadiwiyono. 2010. Penyakit darah pada tanaman pisang: Infeksi dan keanekaragaman genetika pathogen. [Disertasi]. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
120
J. HPT Tropika
Hallmannn J, Quadt-Hallmann A, Mahaffee WF & Kloepper JW. 1997. Bacterial endophytes in agricultural crops. Can. J. Microbiol. 43:895914. Hallmannn J. 2001. Plant Interaction with Endophytic Bacteria. In: Jeger MJ, Spence NJ. editor. Biotic Interaction in Plant-Pathogen Associations. CAB International. Harish S, Kavino M, Kumar N, Saravanakumar D, Soorianathasundaram K & Samiyappan R. 2008. Biohardening with plant gr owth promoting rhizosphere and endophytic bacteria induce systemic resistance against banana bunchy top virus. Appl. Soil Ecology 39:187 200. Harni R. 2010. Studi bakteri endofit untuk mengendalikan nematoda peluka akar (Pratylenchus brachyurus (Godfrey) Filipjev & Stekhoven) pada tanaman nilam. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hung PQ & Annapurna K. 2004. Isolation and characterization of endophyte bacteria in soybean (Glycine sp.). Omnonrice 12: 92-101. Kado CI. 1992. Plant Pathogenic Bacteria. p. 659– 674. In : Balows A, Truper HG, Dworkin M, Harder W, Schleifer KH. (ed.) The prokaryotes, vol. I. Springer-Verlag, New York. Kasutjianingati. 2004. Pembiakan mikro berbagai genotip pisang (Musa spp.) dan potensi bakteri endofitik terhadap layu Fusarium (Fusarium oxysporum f.sp. cubense. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kavino M, Harish S, Kumara N, Saravanakumar D, Damodaranc T, Soorianathasundarama K & Samiyappan S. 2007. Rhizosphere and endophytic bacteria for induction of systemic resistance of banana plantlets against bunchy top virus. Soil Biology & Biochemistry 39: 1087-1098. Long HH, Furuya N, Karose D, Yamamoto I, Takeshi M & Takanami Y. 2004. Identification of the endophytic bacterial isolate and their in vitro and in vivo antagonist against Ralstonia solanacearum. J. Fac. Agr. Kyushu Univ. 49 (2):233-241.
Vol. 11, No. 2, 2011: 113–121
Lyon G. 2007. Agents that can elicit induced resistance. In: Dale Walters, Adrian Newton, and Gary Lyon editor. Induced Resistance for Plant Defence: Sustainable Approach to Crop Protection. Blackwell Publishing. Madigan TM, Martinko JM & Parker J. 1997. Brock: Biology of Microorganisms. Eighth Edition. Prentice Hall International Inc. USA. Mourhofer M, Keel C, Haas D & Defago G. 1995. Influence of plant species on disease suppression by Pseudomonas fluorescens strain CHAO with enhanced antibiotic production. Plant Pathology 44: 40-50. Nawangsih AA. 2007. Pemanfaatan bakteri endofit pada pisang untuk pengendalian penyakit darah: Isolasi, uji penghambatan in vitro dan in planta. J. Ilmu Pertanian Indonesia 12 (1):43-49. Olmar BW, Celli RM, Ollin OV, Francisco COV & Valeria MO. 2007. Interaction of endophytic diazotrophic bacteria and Fusarium oxysporum f.sp. cubense on plantlets of banana ‘Maca’. Plant Soil 298:47-56. Reinhold-Hurek B & Hurek T. 1998. Interactions of gramineous plants with Azoarcus spp. and other diazotrophs: Identification, localization, and perspectives to study their function. Crit. Rev. Plant. Sci. 17:29-54. Rustam. 2007. Uji metode inokulasi dan kerapatan populasi blood disease bacterium pada tanaman pisang. J. Hortikultura 17 (4):387392. Sessitsch A, Reiter B & Berg G. 2004. Endophytic bacterial communities of field-grown potato plants and their plant-growth-promoting and antagonistic abilities. Can. J. Microbiol 50:239249. Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Cetakan ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta. Sturz AV, Christie BR & Matheson BG. 1997. Associations of bacterial endophyte populations from red clover and potato crops with potential for beneficial allelopathy. Can. J. Microbiol 44: 162-167.
Marwan et al.
Supriadi. 2005. Present Status of Blood Disease in Indonesia. In: Allen C, Prior P, Hayward AC editor. Bacterial wilt disease and the Ralstonia solanacearum complex. Minnesota: APS Press. Pp. 395-404.
Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit
121
Zinniel DK, Lambrecht P, Harris NB, Feng Z, Daniel K, Phyllis H, Carol AI, Alahari A, Raul GB & Anne KV. 2002. Isolation and characterization of endophytic colonizing bacteria from agronomic crops and prairie plants. App. Env. Microbiol. 68: 2198-2208.
123
J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 8, No. 2: 123 – 131, September 2008
JENIS TANAMAN INANG DAN MASA INKUBASI PATOGEN BOTRYODIPLODIA THEOBROMAE PAT. PENYEBAB PENYAKIT KULIT DIPLODIA PADA JERUK Salamiah1, Badruzsaufari2, dan Muhammad Arsyad2 ABSTRACT Alternative hosts and Incubation period of Botryodiplodia theobromae the causal of diplodia bark diseases on citrus. Citrus is one of the important horticulture commodities in South Kalimantan. Citrus growers in the region encounter diplodia disease caused by a genus of Botryodiplodia. There is no single method practiced today proved to be effective control for the disease. Insufficient information of the pathogen life cycle is considered to contribute in the failure of disease management. Information of the alternative hosts and incubation period of the pathogens is very crucial in the diseases management. The experiments were carried out at the Laboratory of Plant Diseases and at a Glass House of the Department of Plant Pests and Diseases of the Faculty of Agriculture, Lambung Mangkurat University in Banjarbaru from March – October 2006. The experiments were conducted in three phases, i.e. (1) identification of pathogen, (2) the study of alternative hosts, and (3) the study of incubation periods of the pathogen in the test plants. Results showed that the diplodia disease of citrus “Siam Banjar” was caused by a fungus of the genus Botryodiplodia theobromae. The pathogen can also infected chasew and avocado plants. The Incubation periods of the pathogen in citrus, chasew, and avocado were 64, 39 and 39 days, respectively. Key words : Citrus “Siam Banjar”, Botryodiplodia theobromae, diplodia bark diseases, alternative hosts, incubation period
PENDAHULUAN Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mendapat prioritas untuk dikembangkan di Kalimantan Selatan. Jeruk Sungai Madang merupakan cikal bakal perkembangan jeruk di Kalimanatan, yang sekarang telah menjadi varietas jeruk siam nasional yang diberi nama jeruk Siam Banjar. Jeruk Siam Banjar telah berhasil memperoleh juara I kontes jeruk siam di Ekspose Nasional Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut 2003, juara II Kontes Jeruk Siam Tingkat Nasional 2004 di Surabaya (Anonim, 2005). Luas pertanaman dan produksi jeruk di Kalimantan Selatan terus mengalami peningkatan, namun produktivitas mengalami penurunan. Rendahnya produktivitas dan terjadinya penurunan produktivitas jeruk ini antara lain disebabkan oleh teknik budidaya tanaman yang umumnya masih kurang memadai, sehingga mendorong timbulnya berbagai gangguan pertumbuhan tanaman. Salah satu gangguan yang mengakibatkan hasil cukup rendah pada pertanaman jeruk adalah serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). 1 2
Di antara penyakit tanaman pada tanaman jeruk di Kalimantan Selatan, penyakit kulit diplodia adalah penyakit yang paling ditakuti oleh petani jeruk (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kalimantan Selatan, 2003), karena serangannya dapat mengakibatkan kematian ranting, cabang, batang tanaman, bahkan menyebabkan kematian tanaman (Anonim, 2002; Setiawan, 1993). Jumlah tanaman jeruk terserang diplodia di Kalimantan Selatan sebanyak 825.318 pohon (53,9 % dari total tanaman jeruk) (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kalimantan Selatan, 2003). Penyakit diplodia disebabkan oleh cendawan Botryodiplodia theobromae Pat. B. theobromae adalah cendawan polifag, yang dapat menyerang bermacam-macam tumbuhan, sehingga sumber infeksi akan selalu ada (Semangun, 2000). Penyakit ini tersebar disentra-sentra pengembangan jeruk di Kalimantan Selatan, seperti Kabupaten Barito Kuala, Banjar, Banjarmasin, Banjarbaru, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Tabalong, Tanah Laut dan Kotabaru (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kalimantan Selatan, 2003).
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Jend. A. Yani Kotak Pos 1028, Banjarbaru, Tel & Fax. 0511-4777392, e-mail:
[email protected] Program Studi Biologi Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Jend. A. Yani, Banjarbaru
124
J. HPT Tropika, 8(2) September 2008
Pengendalian yang pernah dilakukan antara lain dengan menggunakan mikroorganisme antagonis seperti Trichoderma harzianum, namun tidak efektif menekan pertumbuhan B. theobromae penyebab penyakit kulit diplodia di lapangan (Salamiah dan Rahmah, 2004). Hasil yang sama diperoleh Salamiah dan Melanie (2004) bahwa pestisida botanis seperti bawang merah, bawang putih, dan daun mimba juga tidak efektif mengendalikan patogen tersebut. Hal ini diduga karena daur hidup patogen belum diketahui dengan pasti sehingga tindakan pengendalian masih kurang tepat sasaran. Pemahaman yang baik terhadap patogen terutama tentang jenis tanaman inang dan masa inkubasi patogen diharapkan dapat membantu mengendalikan penyakit ini. Keberhasilan pengendalian penyakit tanaman ini salah satunya ditentukan oleh pengetahuan tentang inang apa saja yang digunakan oleh patogen ini sebagai tempat bertahan karena pengendalian yang ditujukan kepada patogen di tanaman inang utama saja masih belum cukup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui inang alternatif dan masa inkubasi patogen B. theobromae (penyebab penyakit kulit diplodia) pada jeruk Siam Banjar (Citrus sinensis L. Osbeck). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat digunakan dalam pengendalian terpadu penyakit kulit diplodia pada jeruk. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Oktober 2006 di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Rumah Kaca Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Isolasi patogen dari tanaman sakit. Patogen diisolasi dengan cara memotong bagian tanaman yang terserang penyakit kulit diplodia, kemudian dicelupkan dalam NaClO 1% selama 10 menit. Potongan batang, cabang atau ranting kemudian dicuci dengan air steril sebanyak 3 kali lalu dikeringkan dengan kertas hisap steril dalam cawan petri. Setelah kering, kulit batang jeruk yang memperlihatkan gejala serangan patogen penyebab penyakit kulit diplodia dipotong kecil-kecil sebesar 1 ¯ 3 cm, potongan tersebut dimasukkan ke dalam moist chamber berisi kertas tissue steril yang telah
dibasahi. Potongan tanaman yang bergejala diletakkan di atas objek gelas atau pengganjal lainnya untuk menghindarkan kontak langsung dengan kertas tissue basah. Isolat patogen dalam chamber ini kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama satu minggu sampai terjadi sporulasi pada permukaan batang, cabang atau ranting tanaman. Kelembaban chamber harus selalu dipelihara dengan selalu menambahkan sejumlah air steril ke tissue di dalam chamber. Untuk uji patogenisitas, diperlukan isolat patogen dalam bentuk spora yang akan dijadikan suspensi spora. Untuk keperluan ini isolasi patogen dilakukan sebagai berikut: Isolasi patogen dari tanaman bergejala dengan menggunakan medium PDA (Potato Dextrose Agar) dilakukan dengan cara memotong bagian tanaman yang menunjukkan gejala awal dengan ukuran 0,5 ¯ 0,5 cm. Potongan tanaman ini dicelupkan ke dalam alkohol 70% atau NaClO 1% selama satu menit, dan dicuci dengan air steril sebanyak tiga kali. Bagian antara jaringan cabang pohon dan bagian jaringan yang terserang yang memperlihatkan gejala aktif dipotong. Potongan kecil tanaman tersebut diletakkan pada media PDA dalam cawan petri guna memperoleh isolat murni cendawan patogen. Koloni cendawan yang tumbuh pada media dimurnikan sehingga diperoleh kultur murni (pureculture) dan selanjutnya diremajakan dengan cara menumbuhkan pada media miring (slant agar) sehingga siap untuk dipergunakan sebagai sumber inokulum. Identifikasi patogen. Gejala penyakit kulit diplodia yang ditemukan di Kalimantan Selatan ada dua jenis yakni diplodia basah dan diplodia kering. Isolat yang dipergunakan dalam penelitian ini diidentifikasi terlebih dahulu untuk meyakinkan bahwa patogen yang dipergunakan adalah B. theobromae penyebab penyakit kulit diplodia pada jeruk. Identifikasi dilakukan dengan mempergunakan kunci identifikasi Illustrated Genera of Imperfect Fungi (Barnet & Hunter, 1972). Masa inkubasi patogen pada tanaman. Lamanya masa inkubasi patogen dalam tanaman inang diamati dengan jalan menginokulasikan patogen ke tanaman jeruk, kemudian mengamati waktu mulai munculnya gejala penyakit kulit diplodia. Inokulasi dilakukan dengan jalan penempelan. Batang bibit jeruk berumur
Salamiah et al. : Jenis Tanaman Inang dan Masa Inkubasi Patogen Botryodiplodia theobromae pat.
6 bulan dalam polybag terlebih dahulu dibersihkan dengan air bersih kemudian disemprot dengan alkohol 70 %. Setelah itu batang dilukai dengan pisau steril kemudian potongan batang yang berisi inokulum patogen diselipkan. Untuk menjamin potongan tersebut tidak lepas dari batang jeruk, potongan kulit batang yang berisi inokulum dilekatkan dengan memberi selotip pada kedua bagian ujungnya. Kelembaban di sekitar tempat inokulasi ini dipelihara dengan menyemprotkan air steril. Pemeliharaan ini dilakukan sampai timbul gejala penyakit. Untuk mengetahui jenis tanaman yang dapat menjadi inang alternatif maka dilakukan uji patogenisitas terhadap tanaman yang mewakili tanaman monokotil dan dikotil, yakni kelapa, nangka, jambu monyet, alpukat, belimbing, pepaya, dan karet. Tanaman tesebut dipilih dari tanaman yang selalu ada di sekitar sentra pertanaman jeruk yang menjadi lokasi pengambilan sampel tanaman sakit. Uji patogenisitas dilakukan dengan jalan menginokulasikan suspensi spora patogen ke tanaman yang diduga sebagai inang alternatif serta tanaman jeruk Siam Banjar. Suspensi spora dengan kerapatan 1¯ 107 spora/ml masingmasing sebanyak 1 ml, diinokulasikan dengan jalan mengoleskan suspensi spora ke bagian tanaman (daun dan batang/ranting atau pelepah daun yang telah dipilih) yang sebelumnya telah diberi goresan kecil untuk membantu proses masuknya patogen ke dalam bagian tanaman yang diuji. Untuk menjaga kelembaban, di sekitar tanaman diberi pengembunan dengan jalan menyemprotkan air steril dengan hand sprayer. Percobaan inkubasi ini diulang sebanyak 3 kali, masing-masing terdiri atas satu tanaman uji. Selain itu, kontrol perlakuan dilaksanakan terhadap tanaman yang diperlakukan serupa dengan tanaman uji tetapi tidak diinokulasi dengan isolat patogen. Pengamatan. Semua gejala yang menunjukkan penyakit diplodia dicatat sejak mulai teramatinya gejala tersebut. Bentuk gejala berbeda-beda pada setiap tanaman uji. Untuk tanaman jeruk gejala berupa retaknya bagian permukaan batang yang
125
diikuti dengan keluarnya gom/blendok berwarna coklat keemasan. Pada musim penghujan, pada permukaan batang yang retak keluar buih berwarna putih; pada jambu monyet berupa cairan yang mulamula lembek kemudian mengeras membentuk gum atau gumpalan yang berwarna coklat; sedangkan pada alpukat, gejala serangan mirip dengan gejala pada jeruk yakni batang yang mengeluarkan gom berwarna coklat keemasan. Masa inkubasi dihitung berdasarkan waktu hari antara saat inokulasi dengan pertamakali munculnya gejala penyakit pada masing-masing tanaman. Patogen diplodia diisolasi kembali (reisolasi) dari tanaman yang menunjukkan gejala. Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap patogen dengan menggunakan kunci determinsasi yang sama seperti sebelumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi patogen. Dari hasil identifikasi patogen yang diisolasi dari tanaman sakit yang diinokulasi dengan patogen B. theobromae, didapatkan bentukbentuk konidia yang sangat mirip seperti yang disajikan pada Gambar 2 untuk konidia B. theobromae pada tanaman Jeruk, Gambar 4 untuk konidia B. theobromae pada tanaman jambu monyet, dan Gambar 6 untuk konidia B. theobromae pada tanaman alpukat. Uji B. theobromae pada tanaman jeruk dan tanaman inang lainnya dan masa inkubasinya. Delapan tanaman yang diinokulasi dengan isolat B. theobromae memperlihatkan respon yang berbedabeda terhadap patogen tersebut (Tabel 1). Selama lima bulan pengamatan, hanya tiga tanaman yakni jeruk, jambu monyet, dan alpukat yang menunjukkan gejala terserang penyakit diplodia. Tanaman jambu monyet dan alpukat mulai menunjukkan gejala pada hari ke 39 setelah inokulasi sedangkan pada tanaman jeruk pada hari ke 64 setelah inokulasi.
126
J. HPT Tropika, 8(2) September 2008
Tabel 1. Uji Botryodiplodia theobromae pada tanaman jeruk dan tanaman inang lainnya dan masa inkubasinya Uji terhadap Masa Inkubasi B. theobromae Jeruk +++ 64 hari Kontrol --Kelapa Kontrol Nangka Kontrol Jambu monyet +++ 39 hari Kontrol --Alpukat ++ 39 hari Kontrol Belimbing Kontrol Pepaya Kontrol Karet Kontrol Keterangan : kontrol = tidak diinokulasi dengan patogen; - = Tidak ada gejala; + = Gejala penyakit diplodia teramati. Tanaman Uji
Gambar 1. Gejala Botryodiplodia theobromae pada tanaman jeruk. Gejala serangan penyakit Diplodia dan isolasi Botryodiplodia theobromae pada tanaman jeruk yang diinokulasi dengan isolat B. Theobromae. Tanaman jeruk yang diinokulasi dengan isolat B. theobromae yang diperoleh dari lapangan memperlihatkan adanya luka-luka atau jalur-jalur yang sempit sehingga pada kulit terjadi luka-luka yang tidak teratur yang luas tapi dangkal dan batang yang terserang berwarna hitam (Gambar 1). Ciri-ciri
tadi teramati pada ketiga tanaman uji dan menunjukkan bahwa isolat yang diberikan mampu menimbulkan penyakit diplodia. Spora yang diisolasi dari bagian tanaman jeruk yang menunjukkan gejala penyakit diplodia disajikan pada Gambar 2. Hasil serupa juga diperoleh dari dua tanaman jeruk yang terserang penyakit itu. Spora tersebut mempunyai bentuk bulat lonjong dan bersekat. Bentuk spora ini merupakan ciri khas dari patogen tersebut.
Salamiah et al. : Jenis Tanaman Inang dan Masa Inkubasi Patogen Botryodiplodia theobromae pat.
127
Gambar 2. Konidia Botryodiplodia theobromae pada tanaman Jeruk.
Gambar 3. Gejala Botryodiplodia theobromae pada tanaman jambu monyet Gejala serangan penyakit Diplodia dan isolasi B. theobromae pada tanaman jambu monyet yang diinokulasi dengan isolat B. theobromae. Penyakit kulit diplodia pada tanaman jambu monyet yang diinokulasi dengan isolat B. theobromae yang diperoleh dari lapangan memperlihatkan gejala berupa cairan yang mula-mula lembek kemudian mengeras membentuk gom/gumpalan yang berwarna coklat (Gambar 3). Ciri-ciri tadi teramati pada ketiga tanaman uji. Spora yang diisolasi dari bagian tanaman jambu monyet yang menunjukkan gejala penyakit kulit diplodia disajikan pada Gambar 4. Hasil serupa juga diperoleh dari dua tanaman jambu monyet yang terserang penyakit tersebut.
Gejala serangan penyakit Diplodia dan isolasi B. theobromae pada tanaman alpukat yang diinokulasi dengan isolat B. theobromae. Tanaman alpukat yang diinokulasi dengan isolat B. theobromae yang diperoleh dari lapangan menunjukkan gejala berupa bintik-bintik hitam pada batangnya dan rusaknya batang di dekat titik inokulasi (Gambar 5). Ciri-ciri tadi hanya teramati pada dua ulangan, satu ulangan lainnya tidak memperlihatkan gejala sakit. Spora yang diisolasi dari bagian tanaman alpukat yang menunjukkan gejala penyakit diplodia disajikan pada Gambar 6. Hasil serupa juga diperoleh dari tanaman uji yang terserang penyakit diplodia.
128
J. HPT Tropika, 8(2) September 2008
Gambar 4. Konidia Botryodiplodia theobromae pada tanaman jambu monyet.
Gambar 5. Gejala Botryodiplodia theobromae pada tanaman alpukat.
Gambar 6. Konidia Botryodiplodia theobromae pada tanaman alpukat.
Salamiah et al. : Jenis Tanaman Inang dan Masa Inkubasi Patogen Botryodiplodia theobromae pat.
Diantara delapan jenis tanaman yang digunakan dalam penelitian ini, ada tiga tanaman yang dapat diserang oleh B. theobromae yaitu jeruk, jambu monyet dan alpukat, sedangkan kelapa, karet, nangka, belimbing dan pepaya tidak diserang patogen tersebut. Ketiga tanaman yang terkena diplodia ini, menunjukkan gejala yang berbeda-beda. Pada jeruk gejala yang tampak berupa adanya jalur-jalur yang sempit dan terus berkembang sehingga pada kulit terjadi luka yang tidak teratur, luas tapi dangkal dan batang yang terserang berwarna kehitam-hitaman. Gejala tersebut terdapat pada ketiga tanaman uji. Gejala penyakit diplodia pada jambu monyet berupa cairan yang mula-mula lembek kemudian mengeras membentuk gum atau gumpalan yang berwarna coklat. Seperti pada tanaman jeruk, gejala pada jambu monyet ini juga terdapat pada ketiga tanaman uji lainnya sedangkan tanaman kontrol (tidak diberi isolat B. theobromae) baik jeruk maupun jambu monyet, pada batangnya tidak menunjukkan gejala apa-apa. Dalam penelitian ini, dilakukan isolasi kembali dan identifikasi terhadap patogen pada kedelapan tanaman uji, termasuk kontrol. B. theobromae tidak ditemukan pada semua tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa semua tanaman kontrol tidak terserang B. theobromae sehingga gejala tidak ada. Dilihat dari masa inkubasinya, terdapat perbedaan antara tanaman jeruk dengan tanaman jambu monyet, yaitu masing-masing 64 hari dan 39 hari. Diplodia menyerang jambu monyet di Brazil (Ohler, 1979), India, Malaysia, dan Senegal, Nigeria (Olunloyo & Esuruoso, 1975). Di Nigeria, gejala diplodia juga ditemukan pada buah dan tangkai bunga jambu monyet (Olunloyo & Esuruoso, 1975). Patogen ini juga menyerang jambu monyet di Indonesia seperti di Cikampek dan Bali. Gejala penyakit diplodia pada tanaman jambu monyet yang sudah berproduksi di lapangan dapat ditemukan pada pangkal batang, cabang, ranting, pucuk dan tangkai bunga (Sitepu & Adhi, 1990). Gejala berupa keluarnya cairan yang mula-mula lembek, kemudian mengeras membentuk gum yang berwarna coklat, hitam atau putih. Bagian pucuk atau daun bibit jambu monyet yang diinokulasi dengan cendawan B. theobromae, mulai menunjukkan gejala penyakit pada dua hari setelah inokulasi, yaitu berupa bercak hitam pada daerah inokulasi. Bercak kemudian meluas ke bagian tangkai dan helai daun yang terdekat sehingga tulang
129
daun menjadi hitam, layu dan kadang-kadang rontok. Penyebaran infeksi pada pucuk dan batang utama mengakibatkan seluruh tanaman yang diinokulasi menghitam dan mati sampai pada pangkal batang. Hasil pengujian patogenisitas menunjukkan bahwa isolat B. theobromae Pat. secara konsisten menyebabkan gejala penyakit pada bibit jambu monyet (Supriadi et al., 1994). Secara umum gejala yang teramati pada penelitian ini adalah kulit tanaman yang terserang mengering dan terkelupas. Sering terjadi penyakit berkembang terus hingga pada kulit terjadi luka yang tidak teratur, tetapi kadang-kadang serangan terbatas pada jalur yang sempit dan memanjang. Pada serangan lebih lanjut, gejala melingkari batang/cabang dan dapat menyebabkan kematian tanaman. Cendawan berkembang diantara kulit dan kayu, dan merusak kambium tanaman. Kayu yang mati berwarna hijau kebiruan sampai hitam. Telah dilaporkan bahwa diplodia juga menyerang alpukat di Thailand dan Filipina (Benigno & Quebral, 1977). Gejala penyakit diplodia pada tanaman alpukat tampak pada batangnya namun yang muncul hanya pada dua tanaman saja. Diduga hal yang mungkin terjadi karena inokulum cendawan ini sudah mati sebelum masuk dan berkembang lebih lanjut kedalam jaringan tanaman. Lima tanaman lain yang diuji dalam penelitian ini tidak menunjukkan gejala diplodia yakni tanamana nangka, pepaya, belimbing, karet dan kelapa. Dari hasil isolasi dan identifikasi pada ke lima tanaman ini, tidak ditemukan adanya cendawan B. theobromae. Hal ini menunjukkan bahwa kelima tanaman tersebut tidak dapat diserang oleh B. theobromae. Pada sebuah literatur menyebutkan bahwa diplodia juga menyerang tanaman pepaya dan kelapa (Aicaf, 1995), tetapi pada penelitian ini tidak ditemukan adanya gejala diplodia setelah dilakukan isolasi dan identifikasi. Ada beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan hal tersebut, yaitu B. theobromae menyerang pada tanaman itu, tetapi tidak menimbulkan gejala pada batangnya, mungkin saja pada buah, daun atau bunganya. Pada tanaman pepaya, B. theobromae ini merupakan penyakit pascapanen yang menyebabkan busuknya buah dalam pengangkutan dan penyimpanan (Aicaf, 1995). Hal tersebut di atas juga kemungkinan terjadi pada kelapa. Kemungkinan lain adalah inokulum patogen ada dan masuk ke dalam jaringan tanaman, tetapi perlu masa
130
J. HPT Tropika, 8(2) September 2008
inkubasi yang panjang untuk menimbulkan penyakit karena menurut Assuah et al. (2001) di Ghana, gejala diplodia baru muncul 18 bulan setelah inokulasi pada “rough lemon”. Kemungkinan lain adalah ke lima tanaman itu bukan inangnya sehingga patogen tidak dapat menyerang ke lima tanaman tersebut. Gejala awal tanaman dan perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya, unsur hara dan tanah. Faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap kerentanan dan ketahanan inang terhadap perkembangbiakan dan aktivitas patogen serta terhadap interaksi antara inang dan patogen, yang selanjutnya akan sangat berpengaruh terhadap munculnya gejala penyakit (Agrios, 1997). Dengan diketahuinya jenis-jenis tanaman inang lain dari patogen penyebab penyakit kulit diplodia, maka dalam melakukan pengendalian disarankan untuk memperhatikan tanaman lain di sekitar pertanaman jeruk yang dapat menjadi inang alternatif bagi patogen. SIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Terdapat persamaan masa inkubasi patogen pada tanaman jambu monyet dan alpukat. 2. Disamping menyerang tanaman jeruk, B. theobromae juga dapat menyerang tanaman lain seperti jambu monyet dan alpukat, sehingga sumber infeksi selalu ada. 3. Gejala penyakit tidak muncul pada tanaman kelapa, nangka, belimbing, pepaya dan karet yang diuji kemungkinan besar dipengaruhi oleh masa inkubasi patogen yang panjang atau mungkin memang bukan inangnya. SANWACANA Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Fundamental. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Dirjen Dikti, atas dukungan dananya.
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology. Press.New York.
Academic
Aicaf. 1995. Diseases of Tropical Fruit Trees Association for International Cooperation of Agriculture and Forestry. Japan Anonim, 2002. Proposal Kegiatan Penanggulangan Penyakit Diplodia sp Pada Tanaman Jeruk di KALSEL.(tidak dipublikasikan). Anonim, 2005. Batola Jadi Lumbung Pangan Kalsel. Banjarmasin post. Senin 3 Januari 2005. http://www.indomedia.com/bpost/112004/21/bo rneo/trans7.htm. Diakses tanggal 7 Maret 2006. Assuah, K.M; K.A. Oduro & K.G. Ofoso. 2001. Diplodia natalensis Pole evans. The causal agent of citrus gummosis disease in ghana. Departemen of crop Science University of Ghana Legon. Ghana K.G.O.B. University of Ghana Agricultural Research Station Kade, Ghana. http://www. Inasp. Info/ajol/journal/gjas/vol. 32 no. I abs. Diakses tanggal 23 Oktober 2004. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Selatan. 2003. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2002/2003. Barnett, H. L. & B.B. Hunter. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Mineapolis: Burgress Publishing Co. Benigno, D. R. A & F. C. Quebral. 1977. Host Index of Plant Diseases In the Philippines. Coll. Agric., Univ Philippines, Los Banos. Ohler, J.G. 1979. Cashew Cummunication 71 Departement of Agricultural Reseach. Amsterdam. 158-163.
Salamiah et al. : Jenis Tanaman Inang dan Masa Inkubasi Patogen Botryodiplodia theobromae pat.
Olunloyo, O.A. & O.F Esuruoso. 1975. Lastodiplodia theobromae floral shoot dieback disease of cashew in Nigeria. Plant Disease Reporter 59. 176-179. Salamiah & M. Melanie. 2004. Pengujian Kemampuan Tiga Macam Pestisida Botanis dalam Mengendalikan Penyakit kulit Diplodia Pada Jeruk. Unpublish. Salamiah & N. Rahmah. 2004. Pemanfaatan agens antagonis Trichoderma spp. dan Gliocladium untuk mengendalikan penyakiy kulit diplodia pada jeruk. Unpublish.
131
Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Setiawan, A. I. 1993. Usaha Pembudidayaan Jeruk Besar. Penebar Swadaya. Yogyakarta. Sitepu, D. & E.M. Adhi. 1990. Penyakit jambu monyet di Indonesia. Edisis Khusus LITTRO VI (2). 34-39. Supriadi, E.M. Adhi, D. Sitepu, D. Febriyanti, & N. Karyani. 1994. Identifikasi penyebab penyakit gumosis pada jambu monyet. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat IX (1): 1-4.
132
J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 8, No. 2: 132 – 137, September 2008
PENGARUH INFESTASI VERTICILLIUM LECANII TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT KARAT DAUN KOPI PADA TANAMAN DAN KETERJADIAN KOLONINYA PADA DAUN Cipta Ginting1 ABSTRAK Effect of infestation of Verticillium lecanii on the severity of coffee leaf rust on plants and the incidence of its colony on coffee leaves. V. lecanii often antagonizes H. vastatrix on lesions caused by the pathogen on coffee leaves in the field. The objectives of this study were to evaluate the efficacy of V. lecanii to control disease severity on coffee plants in a green house and to compare the incidence of V. lecanii colonies on coffee leaves naturally infested by V. lecanii in the field and that in the leaves with additional infestation in the laboratory. For efficacy test and additional infestation in the laboratory, conidia were harvested from YMPD medium. Suspension with 107 conidia ml-1 was sprayed into coffee foliage until both surfaces of the leaves were saturated with the suspension. After the leaves were air dried, they were sprayed with urediospores (104 ml-1). The results show that disease severity in plants treated with V. lecanii and control plants was not significantly different (P < 0.05), except that obtained at the fourth week when disease severity on the treated plants was significantly lower that that in control plants. The number of V. lecanii colonies on coffee leaves naturally infested with the biocontrol agent was not increased by additional infestation with V. lecanii conidia in the laboratory. Key words: Verticillium lecanii, Hemileia vastatrix, coffee leaf rust, mycoparasitism
PENDAHULUAN Permasalahan utama dalam perkopian nasional ialah rendahnya mutu kopi secara umum sehingga kurang bersaing di pasaran internasional. Penyebab utamanya ialah bahwa jenis yang diproduksi didominasi oleh kopi robusta (Coffea canephora Pierre var. robusta Cheval.), sedangkan yang lebih disukai ialah arabika (Coffea arabica L.) karena citarasanya lebih baik. Untuk meningkatkan mutu kopi, telah diperluas penanaman kopi arabika di Indonesia termasuk di Provinsi Lampung. Salah satu kendala pokok program ini ialah penyakit karat daun yang disebabkan oleh Hemileia vastatrix B. Br. Pengendalian penyakit secara kimia dengan berbagai fungisida mahal dan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan serta kadang-kadang tidak efektif jika lingkungan mendukung perkembangan penyakit. Oleh karena itu, perlu ditemukan cara pengendalian yang efektif sekaligus efisien dan aman seperti pemanfaatan jamur antagonis Verticillium. Beberapa laporan (a.l., Mawardi, 1996; Ginting & Mujim, 2005) menunjukkan bahwa Verticillium sering memarasiti H. vastatrix. Verticillium hidup dari uredospora dan uredium patogen (Mawardi, 1996; Ginting et al., 2002; Yun et al., 1991). Dengan demikian, 1
Verticillium berpotensi untuk mengurangi potensi inokulum. Hal ini diharapkan mengurangi keterjadian penyakit (disease incidence) karena telah diketahui bahwa kepadatan uredospora mempengaruhi keterjadian penyakit (Semangun, 2000). Dalam patosistem penyakit karat daun kopi, uredospora sebagai inokulum sekunder merupakan penyebab parahnya penyakit. Infeksi primer biasanya kurang berpengaruh, namun akan menghasilkan inokulum sekunder berupa uredospora tersebut. Jika populasi antagonis Verticillium tinggi pada daun dan memarasiti uredia dan uredospora, maka kepadatan uredospora (inkulum sekunder) akan menurun sehingga infeksi sekunder juga akan menurun secara drastis (Agrios, 2005; Semangun, 2000). Dengan demikian, fungisida tidak akan perlu diaplikasikan untuk mengendalikan penyakit karat daun pada kopi. Ginting et al. (2005) telah mengisolasi dan mengidentifikasi Verticillium dari kebun kopi di Lampung Barat sebagai V. lecanii. Sebagian data hasil uji efikasi V. lecanii untuk mengendalikan keterjadian penyakit di laboratorium menunjukkan bahwa V. lecanii secara nyata menurunkan keterjadian penyakit pada cakram daun kopi, namun terdapat juga data yang menunjukkan bahwa pengaruhnya tidak nyata (Ginting & Mujim, 2007). Data yang menunjukkan keefektifan V. lecanii ini sejalan dengan
Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145
Ginting : Pengaruh Infestasi Verticillium lecanii terhadap Keparahan Penyakit Karat Daun Kopi
laporan sebelumnya (Askary et al., 1997; Kiss, 2003; Mujim et al., 2005; Benhamou & Brodeur, 2000) tentang potensi V. lecanii sebagai agensia hayati untuk mengendalikan penyakit tanaman. Pada penelitian sebelumnya (Ginting & Mujim, 2007), uji efikasi dilakukan pada bagian tanaman yaitu cakram daun kopi. Mengingat bahwa sebagian percobaan sebelumnya (Ginting & Mujim, 2007) menunjukkan keefektifan V. lecanii untuk mengendalikan penyakit karat daun kopi di laboratorium, penelitian perlu dilanjutkan dengan menguji efikasi agensia hayati ini pada tanaman utuh di rumah kaca. Jika uji efikasi di rumah kaca berhasil, tahapan kegiatan selanjutnya ialah uji efikasi di lapangan. Sebelum pengujian di lapangan, perlu diketahui apakah di laboratorium terjadi peningkatan penekanan patogen oleh agensia hayati dengan melakukan infestasi buatan di laboratorium dibandingkan dengan infestasi alami saja. Untuk itu, perlu dibandingkan antara keterjadian koloni V. lecanii pada daun kopi yang terjadi secara alami di lapangan dan keterjadian koloni pada daun kopi yang diinfestasikan dengan V. lecanii secara buatan di laboratorium sebagai tambahan dari infestasi alami di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi efikasi V. lecanii yang diinfesikan secara bautan untuk mengendalikan penyakit karat daun kopi di rumah dan (2) membandingkan keterjadian koloni V. lecanii pada daun sakit yang diinfestasi V. lecanii secara alami dan keterjadian koloni V. lecanii pada daun sakit yang sama tapi menerima infestasi buatan dengan antagonis di laboratorium. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca dan laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung, pada bulan Oktober 2005 sampai Januari 2006. Penyiapan suspensi konidia V. lecanii. Untuk mendapatkan isolat H. vastatrix pribumi (native), sampel daun kopi yang menunjukkan bilur dan mengandung uredospora H. vastatrix dan koloni berwarna putih (V. lecanii) dipetik pada tanaman kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. Daun yang dipilih ialah yang semuda mungkin yang telah mengandung bilur dan miselium V. lecanii agar tidak banyak terdapat mikroorganisme lain untuk memudahkan
133
dalam isolasi V. lecanii. Masing-masing daun ditaruh dalam kantung plastik dan disimpan dalam termos berisi es selama transportasi ke laboratorium. Isolasi V. lecanii dilakukan dari sampel tersebut secara nirseptik dengan mengambil miselium berwarna putih tersebut dan menstransfernya ke cawan petri yang mengandung PDA-L (PDA yang ditambahkan 1.4 ml 80% asam laktat per L media). Inkubasi dilakukan pada suhu ruangan dengan periode cahaya 12:12 jam. Kultur murni dibuat dengan teknik ujung hifa (hyphal tips) dan disimpan pada agar miring yang mengandung media PDA. Uji efikasi pada tanaman kopi di rumah kaca. Pada percobaan ini terdapat dua perlakuan, yaitu aplikasi suspensi konidia V. lecanii dan aquades steril sebagai kontrol masing-masing diulang enam kali. Unit percobaan berupa satu tanaman dalam pot. Konidia jamur H. vastatrix diproduksi dalam media nutrisi YMPD seperti yang dilaporkan Askary et al. (1997) dengan bahan-bahan per L media sebagai berikut: 3 g ekstrak ragi, 3 g malt, 5 g peptone-water, dan 10 g dekstrosa. Media cair ini digunakan untuk menumbuhkan jamur pada shaker pada kecepatan 120 rpm selama 7 hari. Pada akhir inkubasi kultur disaring dengan tiga lapis kain kasa steril untuk memperoleh suspensi konidia. Konsentrasi disesuaikan menjadi 107 konidia per ml dengan aquades steril dengan menggunakan haemocytometer di bawah mikroskop. Infestasi dengan agensia hayati dan inokulasi dengan patogen dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. Tanaman kopi arabika setinggi kira-kira 70 cm disiapkan dalam pot berisi 5 kg tanah-kompospasir (2:1:1) pada meja semen (bench) di rumah kaca. Suspensi konidia agensia hayati (107 ml-1) yang sudah disiapkan disemprotkan dengan handsprayer sampai kedua permukaan daun basah. Setelah daun kopi kering udara (air dried), suspensi uredospora (4 x 105 ml-1) disemprotkan secara merata pada permukaan bawah daun kopi sampai daun tersebut basah. Perlakuan kontrol ialah tanaman yang disemprot dengan aquades steril kemudian diinokulasi dengan suspensi uredospora. Sebagai peubah diamati keparahan penyakit (disease severity) dengan menggunakan skor seperti pada Gambar 1 (Eskes, 1988 dalam Mawardi, 1996). Data diolah secara statistika dengan uji t.
134
J. HPT Tropika, 8(2) September 2008
Gambar 1. Diagram penyakit karat daun sebagai dasar penentuan skor penyakit pada daun (Eskes, 1988 dalam Mawardi, 1996). Bergantung jumlah bilur (lesion), daun diberi skor 0 (tidak ada bilur) sampai 9 (jumlah bilur terbanyak). Aplikasi V. lecanii pada daun yang terinfestasi secara alami. Sepuluh pasang daun sakit diambil dari kebun kopi di Sumberjaya, Lampung Barat dan dibawa ke laboratorium dalam termos es. Satu bagian dari setiap pasang (10 lembar daun) diinkubasikan segera di laboratorium dan 10 yang lain diinfestasi dengan suspensi konidia V. lecanii terlebih dahulu baru diinkubasikan. Infestasi dilakukan dengan menyemprotkan suspensi konidia (107 ml-1) sampai semua permukaan bawah daun menjadi basah oleh suspensi tersebut. Peubah ialah keterjadian koloni V. lecanii pada bilur yang disebabkan oleh H. vastatrix pada daun kopi yang ditandai dengan adanya miselium yang berwarna putih pada bilur tersebut. Percobaan dilakukan dua kali, yaitu pada daun dengan keparahan penyakit yang relatif tinggi dan pada daun dengan keparahan penyakit yang relatif rendah. Pengamatan dilakukan 2 dan 4 hari setelah infestasi. Data keterjadian koloni V. lecanii pada bilur karat pada daun kopi dian alisis dengan uji t.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji efikasi pada tanaman kopi di rumah kaca. Data hasil uji efikasi pada tanaman utuh di rumah kaca menunjukkan bahwa V. lecanii tidak menurunkan keparahan penyakit secara nyata kecuali data yang diperoleh pada minggu keempat (Tabel 1). Dilihat dari angka keparahan penyakit (Tabel 1), aplikasi suspensi konidia V. lecanii cenderung menurunkan keparahan penyakit kecuali pada minggu ke-3. Akan tetapi, uji statistika menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak nyata kecuali pada minggu ke-4 pada saat keparahan penyakit pada tanaman yang diperlakukan dengan V. lecanii secara nyata lebih rendah (P < 0,05) jika dibandingkan dengan yang terjadi pada tanaman kontrol. Data ini menunjukkan adanya penurunan keparahan penyakit meskipun tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini diduga terkait dengan dua hal, yaitu jangka waktu pengamatan dan faktor lingkungan. Jangka waktu pengamatan terkait dengan daur penyakit karat daun kopi. Aplikasi
Ginting : Pengaruh Infestasi Verticillium lecanii terhadap Keparahan Penyakit Karat Daun Kopi
135
Tabel 1. Keparahan penyakit pada tanaman kopi yang diperlakukan dengan suspensi konidia V. lecanii dan tanaman kontrol di rumah kaca Perlakuan V. lecanii Kontrol T hitung 1)
1 4,89 5,59 0,24tn
Keparahan Penyakit (%) 1 – 5 Minggu setelah Inokulasi 2 3 41) 4,77 9,73 11,31 a 5,32 9,42 12,83 b 0,25 tn 0,10 tn 0,41*
5 17,36 20,63 0,83 tn
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan secara nyata (P<0,05).
suspensi konidia V. lecanii tidak diharapkan untuk mencegah infeksi oleh inokulum yang telah memenetrasi daun, tetapi diharapkan menurunkan potensi inokulum H. vastatrix sehingga inokulasi dan infeksi pada daur penyakit berikutnya menurun sehingga keparahan penyakit yang terjadi akan menurun. Dampak penurunan potensi inokulum yang mungkin terjadi terhadap daur penyakit berikutnya tidak diamati karena pendeknya jangka waktu pengamatan yaitu 5 minggu. Faktor lingkungan yang dimaksud terutama suhu yang relatif tinggi di rumah kaca karena penelitian berlangsung pada musim kemarau dan rumah kaca tidak dilengkapi dengan kipas angin. Suhu di rumah kaca pada siang hari mencapai 30 – 40 0C, yang lebih tinggi dari suhu optimum untuk pertumbuhan H. vastatrix yakni 21 – 150C (Semangun, 2000). Hal ini mungkin menyebabkan rendahnya keparahan penyakit termasuk pada tanaman kontrol (Tabel 1). Keparahan penyakit yang rendah diduga menyebabkan kurang maksimalnya daya kontrol agensia hayati. Dengan demikian, penelitian serupa perlu dilakukan lagi dengan waktu pengamatan yang lebih lama dan upaya mengatur faktor lingkungan agar lebih mendukung perkembangan penyakit. Aplikasi V. lecanii pada daun yang terinfestasi secara alami. Dua percobaan dilakukan untuk membandingkan keterjadian V. lecanii pada dua kelompok daun, yaitu daun yang terinfestasi antagonis secara alami tanpa infestasi buatan dan daun yang terinfestasi secara alami dengan infestasi buatan yaitu disemprot dengan suspensi konidia V. lecanii di laboratorium. Pada kedua percobaan tersebut, perlakuan tidak berpengaruh terhadap keterjadian V. lecanii (Tabel 2 dan 3). Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa V. lecanii secara alami berperan sebagai antagonis terhadap
H. vastatrix. Keterjadian koloni V. lecanii pada daun kopi dengan keparahan tinggi sebesar 49,63 dan 75,88% masing-masing pada 2 dan 4 hari setelah infestasi (Tabel 2). Selain itu, keterjadian koloni V. lecanii pada daun kopi dengan keparahan rendah sebesar 14,17 dan 30,28% masing-masing pada 2 dan 4 hari setelah infestasi (Tabel 3). Keberadaan antagonis tersebut pada bilur yang disebabkan oleh patogen pada daun kopi mengindikasikan bahwa antagonis ini berperan dalam pengurangan potensi inokulum di lapangan (Tabel 2 dan 3). Hal ini sejalan dengan keterangan pada Campbell (1989) bahwa secara umum antagonis pada permukaan daun menekan penyakit termasuk penyakit KDK. Lebih daripada itu, aplikasi fungisida khususnya yang berspektrum luas dapat mengurangi keefektifan antagonisme tersebut. Hal ini justru dapat meningkatkan intensitas penyakit. Campbell (1989) menunjukkan contoh kasus yaitu antagonisme V. lecanii terhadap H. vastatrix yang didasarkan atas laporan Mulinge and Griffits. Tanaman kopi yang disemprot tembaga, kaptafol, atau benomil pada tahun 1969 menurunkan penyakit pada tahun itu. Akan tetapi, jika tidak disemprot pada tahun berikutnya, tanaman itu terserang lebih berat jika dibandingkan dengan tanaman yang tidak disemprot pada 1969. Tanaman yang disemprot pada tahun 1969 harus disemprot lagi pada tahun 1970 agar penyakit karat daun kopi tetap terkendali. Hal ini menunjukkan dua hal: (1) terjadi penekanan penyakit oleh antagonis secara alami di lapangan dan (2) penyemprotan tanaman dengan fungsida menekan antagonis, selain mengendalikan penyakit, sehingga pada tahun berikutnya patogen berkembang tanpa hambatan oleh antagonis. Temuan tersebut menunjukkan pentingnya upaya untuk memelihara antagonis pada tanaman kopi. Melihat keberadaan V. lecanii pada bilur daun kopi dengan infenstasi secara alami, perlu diupayakan
136
J. HPT Tropika, 8(2) September 2008
Tabel 2. Keterjadian koloni V. lecanii pada bilur daun kopi dengan keparahan karat daun relatif tinggi yang disemprot dengan suspensi konidia V. lecanii dan daun kontrol di laboratorium Keterjadian V. lecanii (%) pada 2-4 hari setelah investasi 2 4 V. lecanii 50,80 81,18 Kontrol 49,63 75,88 0,11 tn T hitung 0,13tn 1) Perlakuan V. lecanii ialah infestasi buatan di laboratorium di samping infestasi V. lecanii secara alami di lapangan, sedangkan perlakuan kontrol ialah infestasi alami tanpa infestasi buatan. Perlakuan1)
Tabel 3. Keterjadian koloni V. lecanii pada bilur daun kopi dengan keparahan karat daun relatif rendah yang disemprot dengan suspensi konidia V. lecanii dan daun kontrol di laboratorium Keterjadian V. lecanii (%) pada 2-4 hari setelah investasi 2 4 V. lecanii 17,00 58,67 Kontrol 14,17 30,28 T hitung 0,07tn 0,06 tn 1) Perlakuan V. lecanii ialah infestasi buatan di laboratorium di samping infestasi V. lecanii secara alami di lapangan, sedangkan perlakuan kontrol ialah infestasi alami tanpa infestasi buatan. Perlakuan
untuk tidak menggunakan fungsida yang dapat menekan V. lecanii. Jika fungisida harus diaplikasikan, perlu dilakukan studi untuk memilih fungisida yang tidak merugikan peran agensia hayati ini di lapangan. SIMPULAN Aplikasi suspensi konidia V. lecanii cenderung menurunkan keparahan penyakit kecuali pada minggu ke-3. Uji statistika menunjukkan bahwa penurunan keparahan tersebut tidak nyata kecuali pada minggu ke-4. Jumlah koloni V. lecanii pada bilur daun kopi akibat infestasi secara alami tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan koloni V. lecanii pada daun yang sama tapi menerima infestasi buatan dengan antagonis di laboratorium. SANWACANA Atas ketersediaan dana penelitian dari Proyek RUT XI, penulis menyampaikan terima kasih. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Subli Mujim atas masukan dalam pelaksanaan penelitian di rumah kaca, kepada Rusdi Evizal atas masukan di
lapangan, kepada Bapak Haji Wiyadi (alm.) dan keluarga yang mengizinkan penulis untuk memanfaatkan kebun kopinya di Sumberjaya Lampung Barat menjadi tempat penelitian, serta kepada Rizka Firdaus, Agus Ferdhinand, Tri Maryono, dan Farida Ariani atas bantuan teknis di laboratorium dan di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th Ed. Alsevier Academic Press, Burlington, MA. 922 pp. Askary, H., N. Benhamou, & J. Brodeur. 1997. Ultrastructural and cytochemical investigations of the antagonistic effect of V. lecanii on cucumber powdery mildew. Phytopathology 87:359–368. Benhamou, N. & J. Brodeur. 2000. Evidence for antibiosis and induced host reactions in the interaction between Verticillium lecanii and Penicillium digitatum, the causal agent of the causal agent of green mold. Phytopathology 90:932–943.
Ginting : Pengaruh Infestasi Verticillium lecanii terhadap Keparahan Penyakit Karat Daun Kopi
Campbell, R. 1989. Biological Control of Microbial Plant Pathogens. Cambridge Univ. Press, Cambridge. 218 pp. Ginting, C. & S. Mujim. 2007. Efikasi Verticillium lecanii untuk Mengendalikan Penyakit Karat pada Cakram Daun Kopi di Laboratorium. J. HPT Trop. 7: 125 – 129. Ginting, C., S. Mujim, & A.H. Dianto. 2005. Isolasi spesies Verticillium yang berasosiasi dengan Hemileia vastatrix pada daun kopi. J. Natur Indonesia 8 (2): 114 –117. Ginting, C., A. Gafur, & R. Evizal. 2002. Beberapa hasil inokulasi pada cakram daun kopi dengan Hemileia vastatrix di laboratorium. J. HPT Trop. 2: 26 – 31. Kiss, L. 2003. A review of fungal antagonists of powdery mildews and their potential as biocontrol agents. Pest Manag. Sci. 59:475 – 483.
137
Mawardi, S. 1996. Kajian Genetika Ketahanan Tak Lengkap Kopi Arabika terhadap Penyakit Karat Daun (Hemileia vastatrix B. et Br.) di Indonesia. Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mujim, S., R. Ruswandi, C. Ginting, & R. Evizal. 2005. Asosiasi keterjadian koloni Verticillium dan intensitas naungan serta letak daun kopi. J. HPT Tropika 5:32–36. Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 835 hlm. Yun, Y., P.D. Bridge, & H.C. Evans. 1991. An integrated approach to the taxonomy of the genus Verticillium. J. Gen. Microbiol. 137:1437–1444.
ISSN 1410-1939
PENGENDALIAN PENYAKIT HAWAR PELEPAH DAUN (Rhizoctonia solani) MENGGUNAKAN BEBERAPA AGENSIA HAYATI GOLONGAN CENDAWAN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays) Sri Mulyati Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat – Jambi 36361 Telp./Fax: 0741-583051 Abstrak Penelitian bertujuan untuk mendapatkan agensia hayati yang lebih efektif dalam mengendalikan penyakit hawar pelepah daun (R. Solani) pada tanaman jagung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai Februari 2010 di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan yaitu R0 adalah Tanah Steril, R1 adalah Tanah tanpa agensia hayati, R2 adalah Tanah yang diberi biakan Trichoderma sp sebanyak 25 g/10 kg tanah, R3 adalah Tanah yang diberi biakan Gliocladium sp sebanyak 25 g/10 kg tanah, R4 adalah Tanah yang diberi biakan Aspergillus sp sebanyak 25 g/10 kg tanah, R5 adalah Tanah yang diberi biakan Trichoderma sp dan Gliocladium sp sebanyak 25 g/10 kg tanah, R6 adalah Tanah yang diberi biakan Trichoderma sp dan Aspergillus sp sebanyak 25 g/10 kg tanah, R7 adalah Tanah yang diberi biakan Gliocladium sp dan Aspergillus sp sebanyak 25 g/10 kg tanah. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian agensia hayati Trichoderma sp dan Gliocladium sp secara tunggal tidak berbeda nyata dengan pemberian agensia hayati Trichoderma sp dengan Gliocladium sp secara gabungan yang mampu menekan intensitas penyakit sampai 90%.
PENDAHULUAN Penyakit merupakan faktor pembatas produksi pada tanaman jagung, salah satu penyakit penting pada tanaman jagung adalah penyakit hawar pelepah daun yang disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani. Bila serangan tinggi, penyakit ini mengakibatkan kehilangan hasil pada tanaman jagung hingga 100 %. R. solani merupakan cendawan patogen tanaman yang penting karena mempunyai kisaran tanaman inang yang cukup luas. Cendawan ini merupakan patogen tular tanah karean diketahui menetap dan bertahan hidup didalam tanah (Agrios, 1997 dan Semangun, 2000). Patogen tular tanah masih merupakan masalah dalam budidaya tanaman dan sampai saat ini masih belum dapat terpecahkan tentang cara pengendalian yang tepat. Usaha-usaha yang telah dilakukan dalam pengendalian patogen ini diantaranya penggunaan varietas tahan, sterilisasi media tanam dan penggunaan fungisida. Cara-cara tersebut belum memperoleh hasil yang optimal, sedangkan penggunaan fungisida dapat menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran lingkungan dan patogen menjadi resisten sehingga diperlukan alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan dan akhir-akhir ini banyak
dikembangkan yaitu pengendalian secara hayati (Agrios , 1997). Pengendalian hayati terhadap patogen tular tanah mempunyai prospek yang bagus, tetapi menurut Soesanto (2008) sebelum penerapan pemakaian jasad antagonis sebaiknya perlu diketahui dulu jenis jasad antagonis tersebut beserta habitatnya misalnya golongan cendawan. Aplikasi cendawan antagonis ke dalam tanah memerlukan tambahan substrat berupa bahan organik sebagai sumber karbon (sebagai makanan dasar) untuk mempercepat pertumbuhan dan pemantapan daya antagonis dalam tanah. Menurut Basuki dan Situmorang (1994), pengendalian secara hayati mempunyai banyak keuntungan dibandingkan cara pengendalian yang lain. Keuntungan tersebut antara lain agen hayati mudah ditemukan pada tanah, berkembang biak dengan cepat, mempunyai daya antagonis terhadap mikroorganisme lain, selalu ada dalam tanah selama bahan organik masih tersedia, aman bagi lingkungan, murah, tidak mengeluarkan toksin dan efektifitasnya dapat bertahan cukup lama. Habazar dan Yaherwandi, (2006) menyatakan bahwa ada beberapa cendawan patogen tular tanah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, yaitu : Fusarium sp., Phytium sp., Sclerotium rolfsii., Phytopthora sp. dan R. solani. Cendawan patogen tular tanah tersebut dapat dikendalikan
37
Jurnal Agronomi Vol. 13 No. 2, Juli - Desember 2009
dengan pemanfaatan agen hayati berupa cendawan antagonis seperti Trichoderma sp., Gliocladium sp Hasil penelitian Gholib dan Kusumaningtias, (2006) bahwa Trichoderma viridae dapat menghambat pertumbuhan Fusarium moniliforme pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) dengan metode tabur sebanyak 1 ml suspensi yang memiliki daya hambat 90% pada hari ke 14. Kuswinanti (2006) menyatakan bahwa penggunaan Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens dapat menekan pertumbuhan S. rolfsii pada tanaman kacang tanah dengan daya hambat tertinggi 19,13 % (T. harzianum) dan 26,17 % (G. virens) pada konsentrasi 10-7 ml suspensi yang dilakukan dengan perendaman 20 sklerotia selama 30 menit lalu di inkubasikan ke dalam media tanam ukuran 1 kg. Menurut Soesanto (2008) G. virens dalam penerapan sebagai agensia hayati di lapangan dengan pengendalian yang lainnya, Perpaduan pengendalian cendawan Corticium rolfsii pada tomat antara G. virens dan penyinaran tanah dengan sinar matahari menunjukkan hasil penekanan yang lebih besar di banding dengan perlakuan tunggal. Hasil penelitian Winarsih dan Syafrudin (1986) bahwa pemberian T. viridae dengan menggunakan sekam padi yang disuspensikan dari medai PDA 10-7 dengan waktu inokulasi 1 minggu sebelum tanam pada persemaian tanaman cabai kurang menguntungkan karena hanya dapat menurunkan persentase serangan F. oxyporum 8,7 %. Yusriadi (1998) menyatakan bahwa penggunaan T. harzianum pada media serbuk gergaji, dedak dan beras (Trigger) sebanyak 25 g/lubang tanam mampu menekan bakteri Ralstonia solanacerum pada tanaman kacang tanah. Dari hasil penelitian Winarsih (1998), Gliocladium sp, Trichoderma sp dan Aspergillus sp dengan 50 ml suspensi/tanaman dapat menghambat pertumbuhan R. solani. Pemanfataan Aspergillus sp sebagai agen hayati belum banyak dikenal, akan tetapi potensinya untuk dapat digunakan sebagai agensia hayati masih perlu digali menginggat Aspergillus sp merupakan cendawan yang selalu dominan tumbuh diberbagai substrat. Sebagai cendawan kontaminan Aspergillus sp mempunyai kecepatan tumbuh yang tinggi dibanding dengan beberapa cendawan kontaminan yang lain. oleh karena itu potensinya sebagai agensia hayati masih perlu diteliti
38
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan agen hayati yang lebih efektif dalam mengendalikan penyakit hawar pelepah daun (R. solani) pada tanaman jagung. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam pemanfaatan agen hayati untuk menekan pertumbuhan cendawan R. solani penyebab penyakit hawar pelepah daun pada tanaman jagung (Zea mays). BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Univeritas Jambi, dimulai dari bulan oktober 2009 sampai bulan februari 2010. Bahan Dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman jagung varietas Sweet Corn, sumber inokulum cendawan (Trichoderma sp, Gliocladium sp, Aspergillus sp, R. solani), pupuk kandang, pasir, tanah, alkohol, spiritus, beras, media Potatos Dekstrosa Agar (PDA), media beras dan media Corn Meal Send (CMS) . Alat yang digunakan adalah pinset, kaca benda, kaca penutup, luv, mikroskop, cawan petri, erlemeyer, tabung reaksi, shaker, pipet tetes, lampu spiritus, kelambu, Inkubator, Autoclave, kukusan, dan Kamera. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan, yaitu agen hayati dalam media beras. Perlakuannya adalah sebagai berikut : R0 : Tanah Steril (kontrol) R1 : Tanah tanpa agensia hayati R2 : Tanah yang diberi biakan Trichoderma sp sebanyak 25g/10 kg tanah R3 : Tanah yang diberi biakan Gliocladium sp sebanyak 25g/10 kg tanah R4: Tanah yang diberi biakan Aspergillus sp sebanyak 25g/10 kg tanah R5 : Tanah yang diberi biakan Trichoderma sp dan Gliocladium sp sebanyak 25 g/10 kg tanah R6 : Tanah yang diberi biakan Trichoderma sp dan Aspergillus sp sebanyak 25 g/10 kg tanah R7 : Tanah yang diberi biakan Gliocladium sp dan Aspergillus sp sebanyak 25 g/10 kg tanah
Sri Mulyati : Pengendalian Penyakit Hawar Pelepah Daun (Rhizoctonia solani) Menggunakan Beberapa Agensia Hayati Golongan Cendawan pada Tanaman Jagung (Zea mays)
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 24 unit percobaan dan setiap unit percobaan terdiri dari 3 polybag. Penempatan unit percobaan dilakukan secara acak. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 2. Pelaksanaan Penelitian Persiapan inokulum (cendawan R. solani) Sumber inokulum diambil dari tanah yang didekat tanaman terinfeksi, dengan cara tanah yang diduga sumber inokulum cendawan R. solani di kering anginkan, lalu tanah tersebut diambil sebanyak 10 g dan ditambahkan aquades 90 ml ditaruh dalam tabung erlemeyer. Tabung erlemeyer tersebut di goncang dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit, lalu diamkan sampai tanah tersebut mengendap lagi dan diatasnya terdapat air yang jernih. Air jernih yang diatas permukaan tanah tersebut diencerkan dengan menggunakan metode pengenceran sampai 10-7 setelah itu ditumbuhkan ke dalam media PDA dengan metode tabur dan diinkubasi selama 1 minggu lalu diidentifikasi secara mikroskopis untuk memastikan apakah cendawan yang tumbuh tersebut adalah benar R. solani selanjutnya cendawan tersebut diisolasi ke dalam media PDA untuk dimurnikan dan menjadi stok inokulum patogen (Yusriadi, 1998). Berdasarkan standart Laboratorium LIPI, Bogor, Bagian Mikroorganisme, cendawan R. solani diperbanyak dengan menggunakan media CMS dengan perbandingan 98 % pasir, 2 % tepung jagung dan ditambahkan 20 ml aquades dari berat substrat untuk melembabkan media. Media CMS tersebut selanjutnya di masukkan ke dalam kantong plastik tahan panas lalu dipasang cincin paralon pada mulut plastik dan diikat dengan benang kemudian ditutup dengan kapas. Berikutnya disterilkan dalam autoclave pada tekanan 1 atm dan temperatur 121 0C selama 20 menit. Setelah media tersebut dingin diinokulasikan koloni R. solani yang berumur 7 hari secara aseptik dengan memotong koloni menggunakan bor gabus yang berdiameter 0,5 cm, selanjutnya setiap kantong dimasukkan 3 potong koloni patogen, lalu diinkubasikan selama 10 hari pada suhu kamar. Persiapan inokulum cendawan agen antagonis Sumber inokulum Trichoderma sp, Gliocladium sp dan Aspergillus sp diperoleh dari Laboratorium Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jambi. Cendawan ini kemudian diperbanyak dengan cara mengambil satu potong koloni cendawan yang berdiameter 0,5
cm dan dibiakkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan petri, kemudian diinkubasikan selama 1 minggu. Untuk pengaplikasian isolat ini diperbanyak dengan cara mengambil satu potogen biakan murni cendawan yang berdiameter ±1 cm kemudian diinkubasikan ke dalam kantong plastik 1/4 kg yang berisi media beras sebanyak 25 g dan diinkubasikan selama 7-10 hari dan siap untuk diinokulasikan. Penyiapan media tanam Media tanam yang digunakan adalah tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1. tanah tersebut terlebih dahulu diayak kemudian dicampur dengan pasir dan pupuk kandang, lalu disterilkan dengan cara Tyndalisasi. Inokulasi cendawan Rhizoctonia solani R. solani diinokulasikan ke media tanam yang telah disterilkan. Aplikasi cendawan R. solani dilakukan 14 hari sebelum tanam sebanyak 50 g dengan cara diaduk secara merata pada kedalaman 10 cm media tanam tiap-tiap polybag yang berukuran 10 kg tanah dan selanjutnya diinkubasi selama 1 minggu. Inokulasi cendawan agen antasgonis Setelah 1 minggu aplikasi R. solani ke dalam media tanam, dilaku kan aplikasi cendawan agen antagonis. Pengaplikasian agen antagonis dilakukan 4 hari sebelum tanam sebanyak 25 g dengan cara diaduk secara merata pada media tanam tiap-tiap polybag yang berukuran 10 kg tanah (50 cm x 50 cm). Pengamatan Masa inkubasi penyakit Masa inkubasi penyakit diamati setiap hari dihitung sejak benih ditanam sampai gejala penyakit muncul. Intensitas Penyakit Pengamatan intensitas penyakit dilakukan setiap minggu, mulai tanaman berumur 2 minggu sampai tanaman berproduksi. Intensitas penyakit menurut Sri Winarsih (1998) dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : (vxn) I = ------------ x 100% ZN Keterangan : I = intensitas serangan
39
Jurnal Agronomi Vol. 13 No. 2, Juli - Desember 2009
N
= jumlah tanaman dalam nilai kategori tertentu = nilai kategori serangan = nilai kategori serangan tertinggi = jumlah tanaman yang diamati.
Persentase tanaman mati Pengamatan tanaman mati dilakukan setiap minggu setelah tanaman berumur 2 minggu sampai tanaman berproduksi. Persentase tanaman mati dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Nilai kategori serangan : 0 = tidak ada gejala pada pelepah daun 1 = 0 – 20% pelepah daun bergejala penyakit hawar. 2 = > 20 – 40% pelepah daun bergejala penyakit hawar. 3 = > 40 – 60% pelepah daun bergejala penyakit hawar. 4 = >60% pelepah daun bergejala penyakit hawar
Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, maka data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5 %.
v Z N
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Masa Inkubasi Tabel 1. Masa inkubasi penyakit hawar pelepah daun pada tanaman jagung (hst) Masa Inkubasi (hst) Ulangan PERLAKUAN 1 2 3 abc abc abc RO (Tanah Steril) 000 000 000 R1 (Tanpa Agen Hayati) 465 735 634 R2 (Trichoderma sp) 10 8 9 888 8 9 10 R3 (Gliocladium sp) 678 795 7 6 10 R4 (Aspergillus sp) 465 675 756 R5 (Trichoderma sp + Gliocladium sp) 10 11 9 11 13 14 12 11 14 R6 (Trichoderma sp + Aspergillus sp) 9 10 11 9 8 10 8 10 9 R7 (Gliocladium sp + Aspergillus sp) 987 687 687
Range 0 3-7 8-10 5-10 4-7 9-14 8-11 6-9
3.1.2. Intensitas penyakit Tabel 2. Intensitas penyakit hawar pelepah daun pada tanaman jagung PERLAKUAN
Intensitas Penyakit
R1 (Tanpa Agen Hayati)
78,71
a
R4 (Aspergillus sp) R7 (Gliocladium sp + Aspergillus sp) R6 (Trichoderma sp + Aspergillus sp) R3 (Gliocladium sp) R2 (Trichoderma sp) R5 (Trichoderma sp + Gliocladium sp)
42,59 22,22 18,52 14,82 12,03 9,24
b c c cd cd d
RO (Tanah Steril)
0
e
Ket : Angka- angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan yang tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5 %.
40
Sri Mulyati : Pengendalian Penyakit Hawar Pelepah Daun (Rhizoctonia solani) Menggunakan Beberapa Agensia Hayati Golongan Cendawan pada Tanaman Jagung (Zea mays)
Persentase tanaman mati Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak terdapat tanaman yang mati oleh cendawan R. solani. Pada penggunaan cendawan agen hayati, tanaman tidak mengalami kematian karena cendawan agen hayati dapat menekan perkembangan penyakit hawar pelepah daun. Perlakuan R1 tanpa pemberian agen hayati, tanaman juga tidak mengalami kematian karena patogen R. solani jarang/tidak menyebabkan kematian tanaman. Akan tetapi, hanya dapat menurunkan produksi tanaman jagung dengan tidak dapat menghasilkan tongkol jagung (Muis, 2007). Pembahasan Masa inkubasi penyakit hawar pelepah daun bervariasi untuk perlakuan yang diinokulasikan R. solani yang tercepat pada R1 yaitu 3-7 hari dan yang terlama pada R5. Cepat timbulnya gejala pada R1 karena pada media tanam tersebut tidak diinfestasi dengan agensia hayati sehingga aktifitas R. solani tanpa hambatan sedangkan pada R5 yaitu 9-14 hari. Hal ini terjadi karena pada perlakuan R5 media tanam di infestasi dengan agensia hayati Trichoderma sp dan Gliocladium sp diduga ke 2 cendawan ini bersinergi mengantagonis R. solani. Papavizas (1985) dan Soesanto (2008) menyatakan bahwa cendawan Trichoderma sp dan Gliocladium sp merupakan cendawan antagonis yang mempunyai mekanisme antagonis yang lengkap yaitu kompetisi, parasitisme dan antibiotic bahkan dapat menimbulkan ketahanan terimbas pada tanaman, akibatnya pertumbuhan cendawan patogen menjadi seperti tertekan menyebabkan infeksi patogen terhambat sehingga masa inkubasi menjadi tertunda. Cendawan Trichoderma sp dapat mengimbaskan ketahanan pada tanaman karena cendawan ini dapat mengkolonisasi akar dengan cepat dan dapat melapisi akar tanaman dengan semacam karbohidrat sehingga akar terlindungi dari serangan patogen tular tanah, tetapi akar tetap bisa membentuk sel gabus dan melakukan penyerapan unsur hara (Howell, 1989 diacu dalam Ariani, 2001). Hasil pengamatan terhadap intensitas penyakit didapatkan bahwa pada perlakuan R2, R3, R6 dan R7 berbeda nyata dengan R4 tetapi R2 dan R3 tidak berbeda nyat dengan R5. Tetapi diduga lebih dikarenakan aktifitas antagonis Trichoderma sp dan Gliocladium sp karena aktifitas Aspergillus sp secara sendiri (R4) berbeda nyata dengan aktifitas Aspergillus sp yang digabung dengan Trichoderma sp (R6) dan Gliocladium sp (R7). Sebaliknya
aktifitas Gliocladium sp (R3) dan Trichoderma sp (R2) tidak berbeda nyata perlakuan yang digabung dengan Aspergillus sp (R6 dan R7) tetapi jika Trichoderma sp digabung dengan Gliocladium sp (R5) berbeda nyata dengan perlakuan yang digabung dengan Aspergillus sp (R6 dan R7). Aspergillus sp walaupun diyakini dapat berperan sebagai cendawan antagonis patogen yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi tetap sampai saat ini mekanisme antagonisnya belum diketahui kecualisecara kompetisi sedangkan Trichoderma sp dan Gliocladium sp diketahui mempunyai mekanisme antagonis secara kompetisi, parasitisme dan antibiotic. Mekanisme antagonis Trichoderma sp dan Gliocladium sp secara kompetisi terjadi karena kedua cendawan ini mempunyai kecepatan tumbuh yang tinggi. Mekanisme antagonis secara parasitisme karena kedua cendawan ini dapat tumbuh pada hypa cendawan patogen, melilit hypa cendawan patogen sehingga hypa cendawan patogen menjadi putus atau kedua cendawan ini mengeluarkan enzym sellulase dan khitinase sehingga sel patogen menjadi lysis selain itu cendawan Trichoderma sp dan Gliocladium sp menghasilkan antibiotik yaitu antara lain: viridin, paraceltin, alamethicine dan gliotoksin dan cendawan Gliocladium sp menghasilkan gliovirin dsan viridin yang sangat beracun terhadap cendawan patogen (papavizas, 1985). Cendawan Trichoderma sp dan Gliocladium sp juga mempunyai kemampuan untuk mengimbaskan ketahanan tanaman yaitu dengan cara mengkolonisasi akar tanaman sehingga terlindung dari serangan patogen tular tanah. Selain itu juga meningkatkan aktifitas khitinase tanaman, sehingga tanaman dapat menahan serangan R. solani (Soesanto, 2008). Menurut Landecker (2000), cendawan R. solani termasuk cendawan sejati, karena dinding sel cendawan ini mengandung khitin oleh karena itu sel cendawan ini akan lysis karena aktifitas khitinase. Tidak berhasilnya cendawan Aspergillus sp menekan R. solani karena diduga cendawan ini tidak memiliki enzym khitinase, seperti yang diungkapkan oleh Irawan (2007) dalam Soesanto (2008) bahwa Aspergillus sp diketahui mempunyai aktifitas sellulase yang tinggi padahal sebagai cendawan yang termasuk dalam kingdom fungi sejati dinding sel R. solani mengandung khitin bukan sellulosa. Uji antagonis antara cendawan pada media PDA, terlihat bahwa pada uji antara cendawan Trichoderma sp dengan Aspergillus atau
41
Jurnal Agronomi Vol. 13 No. 2, Juli - Desember 2009
Gliocladium sp lawan Aspergillus sp pada awalnya cendawan Aspergillus sp tumbuh lebih cepat dibanding Trichoderma sp atau Gliocladium sp tetapi akhirnya justru kedua cendawan ini tumbuh lebih baik dsan menutup koloni Aspergillus sp. Hal ini diduga karena adanya pengaruh bahan kimia tertentu yang dikeluarkan oleh cendawan Trichoderma sp dan Gliocladium sp sesuai dengan pendapat Soesanto (2008) tertekannya pertumbuhan cendawan Aspergillus niger oleh Trichoderma harzianum karena adanya CO2 dan etanol yang diproduksi oleh Trichoderma harzianum. Pada pengamatan tentang tanaman mati pada penelitian ini tidak terdapat tanaman yang mati begitu juga pada tanaman pada perlakuan R1 (tanpa pemberian agensia hayati) tidak ada tanaman jagung yang mati. Hal ini karena R. solani patogen busuk pelepah daun jarang menyebabkan kematian tanaman akan tetapi hanya dapat menurunkan produksi tanaman jagung sesuai dengan pendapat Muis (2007), R. solani yang menyerang jagung menyebabkan tanaman jagung tidak dapat menghasilkan tongkol dengan baik karena pelapah daun tempat munculnya tongkol mengalami nekrosa yang luas.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemberian agensia hayati Trichoderma sp dan Gliocladium sp secara tunggal tidak berbeda nyata dengan pemberian agensia hayati Trichoderma sp dengan Gliocladium sp secara gabungan yang mampu menekan intensitas penyakit sampai 90 %. 2. Aspergillus sp dapat dipakai sebagai agensia hayati tetapi efektifitasnya rendah. Saran Penggunaan cendawan Trichoderma sp atau Gliocladium sp di sarankan pengaplikasian dilapangan dalam menekan pertumbuhan penyakit hawar pelepah daun (R. solani) pada tanaman jagung.
DAFTAR PUSTAKA Agrios, GN. 1997. Plant Pathology Fourt Edition Academmic Press.New York. Alexopoulus, C. J., and Mims, C. W. 1979. Introductory Mycology. Eds 3 th. John Wiley and Sons.Inc. New York. 632p.
42
Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2004. Data luas serangan OPT pada tanaman padi di Provinsi Jambi. BPTPH. Jambi. Basuki dan Situmorang. 1994. Trichoderma koningii dan pemanfaatannya dalam pengendalian penyakit akar putih (Rigdioporus microporus) pada tanaman karet. Warta perkaretan Vol. 598. Hal 9-20. Cook, R. J. and K. F. Baker, 1989. The Nature on Practice of Biological Control of Plant Patogens. ABS press, The American Phytopathological Society, St. Paul, Minesota 539 p. Djafaruddin. 1984. Dasar-dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang. Gholib, D. Dan Kusumaningtias, E. 2006. Penghambatan pertumbuhan Fusarium moniliforme oleh Trichoderma viridae. Balai penelitian veteriner. Bogor Habazar, T dan Yaherwandi, 2006. Pengendalian hayati hama dan penyakit tumbuhan. Universitas Andalas Press. Padang. Irawati, A.F.C. 2004. Spesies mikoriza Rhizoctonia (Mycorrhizal rhizoctonia spesies). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kep. Bangka Belitung. Kuswinanti, T. 2006. Efektifitas Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens dalam menekan pertumbuhan Sclerotium rolfsii penyebab penyakit busuk pangkal batang tanaman kacang tanah. Lab. Bioteknologi, Pusat Kegiatan Penelitian, Universitas Hasanuddin. Makasar. Landecker, E. M. 2000. Fundamental of Fungi. Academmic Press. John Wiley and Sons.Inc. New York. Loekas Soesanto. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT. Raja Gravindo Persada. Jakarta. Muis, A. 2007. Pengelolaan Penyakit Busuk Pelepah (Rhizoctonia solani Kuhn) Pada Tanaman Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Jalan Lasoso 62, Biromaru, Palu. Nurbailis. 1992. Pengendalian Hayati Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab Busuk Batang Kacang Tanah (Arachis hypogaea) Dengan Kompos Dan Cendawan Antagonis. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Papavizas, G. C. 1985. Trichoderma and Gliocladium Biology, Ecology and Potential For Biocontrol. Ann. Rev. Phytopathology. Vol. 23 : 23-54. US. Dept of Agriculture. Maryland. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Rajawali Press. Jakarta.
Sri Mulyati : Pengendalian Penyakit Hawar Pelepah Daun (Rhizoctonia solani) Menggunakan Beberapa Agensia Hayati Golongan Cendawan pada Tanaman Jagung (Zea mays)
Winarsih, S. 1998. Seleksi Agen Pengendali Hayati Untuk Mengendalikan Penyakit Hawar Pelepah Daun Jagung Yang Ditanam Di Tanah Gambut. Program Studi HPT.
Winarsih, S. Dan Syafrudin. 1986. Pengaruh pemberian Trichoderma viridae dan sekam padi terhadap penyakit rebah kecambah di persemaian cabai. Program studi IHPT Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.
43
63
J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 8, No. 1: 63 – 70, Maret 2008
PENGARUH POLA HARI HUJAN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT GUGUR DAUN CORYNESPORA PADA TANAMAN KARET MENGHASILKAN Nurhayati 1) dan Aron Situmorang2) ABSTRACT Effect of weather on the development of leaf fall disease in the yielding rubber estate. This research was conducted in PTP VII Bergen Lampung from July to August for 2005 and 2006 (new leaves period). This research was carried out using survey and experiment methods. Parameters observed in the research were persentages of leaf stage, the number of leaf fall per m2 caused by Corynespora cassiicola and amount of spore distributed in air, daily rainfall amount and number of rain days. Results of the study showed that the pattern of rainfall and number of raindays affected the development of plant’s new leaves and leaf fall disease caused by Corynespora. The amount of spores distributed in the air was relatively higher in 2005 observation period compared to 2006 one. The pattern of rainfall and number of rain days also affected the disease severity which was higher in 2005 compared to 2006. Epidemy was occurred when lower rainfall amount taking place intermittently with sunny days in the period of new leave formation. Key words : Corynespora leaf fall disease, rubber, rainfall, numbers of raindays
PENDAHULUAN Penyakit gugur daun Corynespora (PGDC) yang disebabkan oleh Corynespora cassiicola merupakan salah satu penyakit karet yang sangat penting, karena penyakit ini dapat mengakibatkan peranggasan tanaman karet sepanjang tahun sehingga pertumbuhan terhambat, penyadapan tidak dapat dilakukan dan bahkan menyebabkan kematian tanaman. Selain menyerang tanaman di lapangan penyakit ini juga menjangkiti tanaman karet yang ada di pembibitan, sehingga dapat mengakibatkan kerugian yang besar. Penyakit ini dapat menyerang daun karet baik yang masih muda maupun yang telah tua (Situmorang & Budiman, 1984). Tanaman karet sangat rentan terhadap penyakit gugur daun corynespora pada saat pembentukan daun muda. Stadia daun yang berwarna coklat atau pada saat umur daun sampai 18 hari sejak muncul merupakan stadia daun yang sangat rentan, sehingga apabila pada kondisi ini tanaman terserang C. cassiicola dapat mengakibatkan keparahan penyakit sampai 80 persen (Nurhayati et al, 2004). Menurut Soepena (1986) dan Pawirosoemardjo (2004) serangan Corynespora sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman muda sehingga masa matang sadap terhambat atau diperpanjang 3 sampai 5 tahun atau lebih, atau sama sekali gagal untuk matang 1 2
sadap. Pada klon GT 1 yang terserang gugur daun selama dua bulan dapat menurunkan produksi getah lebih dari 40 persen dari produksi normal. Serangan berat gugur daun pada tanaman karet klon PPN 2058 dan PPN 2447 di Jawa Tengah mengakibatkan penurunan produksi lateks antara 24 hingga 62 persen (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa, 1988). Penurunan produktivitas juga terjadi pada klon RRIM 600 yang terserang C. cassiicola. Penurunan produktivitas tersebut berkisar antara 30 sampai 40 persen dengan kerugian mencapai ratusan milyar rupiah per tahun (Anwar et al., 2000). Informasi yang disebutkan sebelumnya merupakan bukti bahwa penyakit gugur daun yang disebabkan oleh jamur tersebut merupakan salah satu penyakit terpenting pada tanaman karet dan bersifat endemis di Indonesia, apabila faktor lingkungan seperti cuaca kondusif dapat berubah menjadi epidemi (Darmono, 2006). Timbulnya epidemi penyakit gugur daun dapat disebabkan oleh tiga hal utama yaitu klon karet yang rentan, ras patogen yang lebih virulen dan faktor lingkungan/cuaca yang sangat membantu perkembangan penyakit tersebut (Situmorang, 1998). Indonesia memiliki kondisi iklim yang sangat sesuai bagi perkembangan penyakit gugur daun corynespora. Faktor cuaca seperti suhu, kelembaban atau kebasahan
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Kampus Inderalaya Ogan Ilir Inderalaya 30662 Balai Penelitian Perkebunan Sembawa
64
J. HPT Tropika, 8(1) Maret 2008
daun serta hujan merupakan faktor yang paling membantu terjadinya epidemi penyakit tersebut Situmorang & Budiman (1984) melaporkan bahwa di daerah yang mempunyai curah hujan merata sepanjang tahun atau daerah dengan batas musim hujan dan kemarau yang tidak begitu jelas, patogen ini mengakibatkan kerusakan berat sehingga tanaman meranggas sepanjang tahun. Sebaliknya di daerah yang mempunyai musim kemarau yang lebih panjang dari tiga bulan serangan patogen tersebut tidak mengakibatkan peranggasan sepanjang tahun. Perubahan iklim global yang berdampak kepada perubahan iklim lokal diyakini memicu perkembangan penyakit gugur daun. Musim hujan atau musim kemarau yang berkepanjangan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan perkembangan penyakit. Musim hujan yang berkepanjangan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya epidemi penyakit gugur daun Corynespora (Situmorang, 1998). Penelitian ini ditujukan untuk mempelajari seberapa jauh pengaruh pola hari hujan terhadap perkembangan penyakit gugur daun Corynespora pada tanaman karet yang sudah menghasilkan. METODE PENELITIAN Penelitian telah dilaksanakan di Kebun karet yang sudah menghasilkan di lahan perkebunan PTP VII Bergen provinsi Lampung,, Pertanaman yang diamati adalah klon RRIM umur 6-7 tahun dengan jarak tanam 7x3 meter di lahan seluas 70 hektar (Gambar 1). Penelitian dilakukan selama periode
pembentukan daun baru tahun 2005 dan 2006 (selama bulan Juli dan awal Agustus). Dalam penelitian ini digunakan dua metode yakni metode survei dan metode eksperimen. Metode survei dilakukan dalam rangka memperoleh data tentang stadia daun, jumlah daun gugur dan data iklim. Metode ekperimen dilakukan untuk memperoleh data distribusi spora di udara. Parameter pengamatan dalam penelitian ini adalah persentase stadia daun, jumlah daun gugur/m2, distribusi spora serta pola curah hujan dan hari hujan. Penghitungan jumlah spora dilakukan untuk mengetahui distribusi spora C. cassiicola di udara selama percobaan berlangsung. Gelas objek yang telah diolesi dengan gliserin jeli (40 g gelatin+ 130 ml gliserin + 150 ml air) diletakan pada sangkar yang telah terdiri dari plat seng bulat dengan diameter 30 cm. Plat seng tersebut disangga pada bagian tengahnya oleh kayu dengan ketinggian sampai di bawah tajuk pohon. Diletakkan sebanyak 4 sangkar di setiap hektar pada areal perkebunan sesuai mata angin. Adapun luas areal yang digunakan seluas 10 ha yang ditentukan secara acak dari 70 ha hamparan yang ada. Penangkapan spora dilakukan dengan menempatkan sebanyak 4 gelas objek/ sangkar pada setiap hari pada pukul 07.00 WIB dan diambil pukul 07.00 WIB keesokan harinya. Jumlah konidia patogen yang tertangkap pada gelas objek dihitung dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10 dengan luas pengamatan 1 cm2. Pengamatan dan penghitungan jumlah spora tersebut dilakukan setiap hari pada periode Juli dan Agustus tahun 2005 dan 2006 (pada
Gambar 1. Lokasi perkebunan tempat penelitian dan alat penampung daun gugur
Nurhayati & Situmorang : Pengaruh Pola Hari Hujan terhadap Perkembangan Penyakit Gugur Daun Corynespora
saat terbentuknya daun baru). Data kondisi cuaca dikumpulkan dari Stasiun Klimatologi terdekat meliputi curah hujan dan hari hujan selama bulan-bulan Juli dan Agustus 2004, 2005 dan 2006. Selain itu kondisi cuaca secara kualitatif seperti kondisi cerah atau panas, mendung, berkabut, gerimis dan hujan juga dipantau setiap hari. Kondisi cuaca tahun 2004 diamati sebagai pembanding karena pada tahun ini pada areal tersebut terjadi epidemi penyakit gugur daun corynespora. Data yang diperoleh dalam dalam penelitian ini, ditata dan dianalisis secara tabulasi serta dilakukan interpretasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pola pembentukan daun muda dan kerentanan daun tajuk terhadap PGDC. Pola stadia daun yang diteliti beragam selama tahun 2005 dan 2006 (Gambar 2). Selama periode pengamatan tahun 2005 dapat dilihat bahwa pada minggu ke tiga Juli 2005 jumlah pucuk dan daun cokelat berturut-turut 15 dan 30 persen dari sampel yang diamati. Pengamatan pertama tahun 2005 ( 9 juli) dimana daun baru mulai muncul. Pada periode pengamatan selanjutnya (minggu ke empat Juli 2005) persentase pucuk
Periode pembentukan daun baru tahun 2005 100
Stadia daun (%)
80
Gugur
60
Pucuk Cokelat
40
Hijau
20 0 9Juli
23 Juli
30 Juli
9 Ags t
Periode pembentukan daun baru tahun 2006
100
Persentase stadia daun
16 Juli
80 60
Gugur Pucuk
40
Cokelat Hijau
20 0 4 Juli
11 Juli
18 Juli
65
24 Juli
01 Agst
Gambar 2. Keragaman stadia daun selama tahun 2005 dan 2006
66
J. HPT Tropika, 8(1) Maret 2008
penelitian ini dihitung mulai daun baru muncul sampai daun umur 18 hari dimana daun dalam kondisi rentan terhadap patogen sedangkan umur 19 hari daun sudah hijau. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada bulan Juli 2004 jumlah hari hujan 10 hari dengan curah hujan sebesar 178 mm terjadi pada 18 hari pertama di bulan tersebut yang merupakan periode pembentukan daun karet muda. Pada bulan Juli tahun berikutnya (2005) terjadi perubahan jumlah hujan hanya 7 hari dengan jumlah curah hujan 87 mm, yang mengalami pergeseran waktu turun hujan selama 6 hari. Pada periode pembentukan daun muda tahun 2006 (Juli) kembali terjadi pergeseran pola hari hujan dari curah hujan, di mana hujan mulai terjadi pada hari ke 16 dan hanya ada tiga hari hujan pada saat daun karet masih dalam kondisi kritis ( umur daun kritis sampai 18 hari setelah muncul) dengan jumlah curah hujan hanya 33 mm. Pola pergeseran curah hujan dan hari hujan tersebut sangat berpengaruh terhadap infeksi C. cassiicola, karena selama periode tersebut pada satu sisi daun berada pada stadium rentan sedangkan pada sisi lain perkembangan jamur berlangsung optimal, dimana pada kondisi tersebut terdapat hujan dengan curah hujan harian yang tidak terlalu tinggi serta suhu berkisar 28-30 C sangat sesuai untuk perkembangan penyakit ini.
menurun dan daun coklat meningkat. Pada periode ini kebanyakan daun sudah memasuki stadia daun hijau (83 persen dari jumlah pengamatan), sedangkan pucuk hanya tinggal 1 persen, 10 hari kemudian 100 persen daun sudah menjadi hijau. Pola stadia daun selama periode pengamatan 2006 ternyata sangat berbeda dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pada awal Juli 2006 stadia daun yang tertinggi persentasenya adalah pucuk yakni sekitar 71 persen dari jumlah daun yang diamati. Pada periode pengamatan ini hanya 10 persen daun yang berwarna hijau, sedangkan yang berwarna cokelat hanya 2 persen dari jumlah daun yang diamati. Pada pengamatan selanjutnya persentase stadia daun yang masih dalam bentuk pucuk menurun drastis yakni menjadi 28 persen pada minggu ke tiga Juli 2006 dan hanya tinggal 2,5 persen pada minggu keempat. Persentase ini relatif tinggi dibandingkan dengan periode pengamatan tahun 2005. Pada periode minggu ke tiga Juli 2005 persentase daun pucuk hanya 15 persen dari jumlah daun yang diamati (lebih rendah 20 persen dibandingkan angka pada periode pengamatan yang sama dalam tahun 2006). Perkembangan penyakit gugur daun Corynespora sangat berhubungan erat dengan periode pembentukan daun muda dan keadaan cuaca terutama hari hujan dan curah hujan. Hari hujan dalam
Curah hujan dan hari hujan Juli 2004-2006 di Bergen
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Juli 2004 Juli 2005 Juli 2006
1 62
2
3
4
5
6
9
4
6
7
8
9
10
3
24
2 7
4
11
12
13
73 24
14
15
16
13
2
26
1 3
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
31
13
30
31
3 2 14
16
4 35
18 6
Gambar 3. Pola hari hujan dan curah hujan pada Juli 2004-2006 di PTP VII Bergen
Nurhayati & Situmorang : Pengaruh Pola Hari Hujan terhadap Perkembangan Penyakit Gugur Daun Corynespora
Pola distribusi spora. Perkembangan penyakit gugur daun selama periode pengamatan ditelusuri melalui pengkajian penyebaran spora di udara pada periode yang sama (Gambar 4). Selama tahun 2005 jumlah spora yang terdistribusi di udara relatif tidak berubah selama paruh awal Juli dibandingkan dengan paruh ke dua bulan yang sama. Pada paruh awal jumlah spora di udara sekitar 5,5 spora/cm2, sedangkan pada paruh kedua di bulan itu adalah 4,6 spora/ cm2. Pada periode pengamatan minggu pertama Agustus 2005 jumlah spora di udara naik secara drastis dari 4,6 menjadi 7,6 spora / cm2, dan bahkan pada minggu ke dua hingga
awal minggu ketiga Agustus 2005 jumlah spora di udara meningkat hampir 200 persen yakni menjadi 20 spora/ cm2. Rata-rata jumlah spora pada tahun 2006 ternyata sangat berbeda bila dibandingkan dengan kebanyakan hasil pengamatan selama periode tahun sebelumnya, kecuali pada periode pengamatan paruh kedua Juli 2006 (sama angkanya dibanding periode yang sama tahun 2005). Pada pengamatan awal jumlah spora di udara hanya 0,6 spora/ cm2, jauh lebih rendah dengan angka hasil pengamatan dalam periode yang sama tahun sebelumnya yakni 5,5 spora/ cm2. Pada periode
Disribusi spora 2005 20
Jumlah spora/cm2
16 12 8 4 0 7-16 Juli
17-29 Juli
30 Juli-8 Agst
9-15 Agst
Distribusi spora 2006
Jumlah spora/cm2
20 16 12 8 4 0 4-17 Juli
67
18-31 Juli
1-14 Agust
Gambar 4. Rata-rata jumlah spora yang terdistribusi di udara selama tahun 2005 dan 2006
68
J. HPT Tropika, 8(1) Maret 2008
Agustus 2006 jumlah spora di udara rata-rata adalah 8 spora/c cm2. Pola pengguguran daun oleh C. cassiicola. Pada pengamatan ini daun yang dihitung adalah hanya daun yang terserang C. cassiicola secara dominan. Keparahan penyakit gugur daun di areal penelitian selama periode pengamatan tahun 2005 dan 2006 sangat berbeda (Gambar 5). Pada periode pengamatan tahun 2005 jumlah daun yang gugur relatif tinggi dan berlangsung pada waktu selama pengamatan. Pada pengamatan pertama yakni minggu kedua Juli 2005 jumlah daun yang gugur adalah 65 pada areal seluas 1 m2. Jumlah ini
meningkat secara linear pada minggu-minggu selanjutnya hinggá mencapai angka tertinggi yakni 160 daun per m2 pada awal Agustus 2005, jumlah daun yang gugur tetap tinggi (> 100 daun/m2) hingga pertengahan Agustus 2005. Selama periode pengamatan tahun 2006 daun yang gugur akibat terserang cendawan C. cassiicola jauh lebih sedikit. Tidak ada daun yang gugur selama periode Juli 2006. Jumlah yang yang gugur selama Agustus 2006 relatif rendah yakni dibawah 20 daun/m2. Pembahasan Pertumbuhan
tajuk
tanaman
Gugur daun oleh C. cassiicola tahun 2005
Jumlah daun gugur/m2
140 120 100 80 60 40 20 0 12 Juli
22 Juli
28 Juli
3 Agust
10 Agust 16 Agust
Gugur daun oleh C. cassiicola tahun 2006
Jumlah daun gugur/m2
140 120 100 80 60 40 20 0 20 Juli
Gambar 5.
26 Juli
1 Agust
8-8-06
14-8-06
Jumlah daun yang gugur selama kurun waktu pengamatan tahun 2005 dan 2006
dan
Nurhayati & Situmorang : Pengaruh Pola Hari Hujan terhadap Perkembangan Penyakit Gugur Daun Corynespora
perkembangan penyakit gugur daun yang disebabkan oleh C. cassiicola diyakini berkaitan erat dengan kondisi cuaca selama Juli dan Agustus 2005 atau 2006. Selama paruh pertama Juli 2005 terjadi hujan dengan curah hujan relatif sedikit dengan selang waktu terjadinya hujan berikutnya sekitar dua hingga tiga hari. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya kelembaban udara pada satu sisi dan temperatur juga tinggi. Pada saat ini daun karet basah dan kelembaban berkisar 97-98 persen dengan suhu antara 29 o C - 31 o C. Kondisi ini merupakan kondisi yang optimal bagi spora untuk berkecambah. Jumlah spora pada keadaan ini berada pada kategori sedang yakni 5,5 spora/cm2. Kondisi di mana ada hujan yang tidak begitu lebat yang diikuti oleh periode tanpa hujan dalam waktu yang relatif lama menjadikan kondisi udara menjadi sangat optimal bagi perkecambahan spora terjadi pada paruh pertama Agustus 2005. Pada periode ini ternyata hujan jatuh setelah mengalami periode tanpa hujan sekitar 8 hari sejak jatuh hujan dengan curah hujan yang kecil yakni hanya 4 mm/hari. Pada keadaan ini terjadi jumlah spora yang terdistribusi relatif tinggi yakni mencapai angka 19,5 spora/cm2 dibandingkan dengan paruh kedua Juli 2005. Situmorang (1998) melaporkan hal serupa dengan yang ditemukan dalam penelitian ini. Kondisi cuaca selama periode pangamatan tahun 2006 yakni Juli dan Agustus relatif berbeda bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2005. Selama paruh pertama Juli 2006 tidak ada hujan sama sekali. Udara tergolong cerah atau temperatur udara tergolong tinggi (33oC) dengan kelembaban relatif (RH) lebih rendah (< 89 %) Kondisi ini menjadi tidak cocok bagi percambahan spora. Konsekuensi dari kondisi cuaca demikian adalah sangat rendahnya jumlah spora di udara yakni kurang dari 1 spora/cm2. Adanya hujan yang terjadi relatif lebat setiap hari selama empat hari pada paruh kedua Juli 2006 menjadikan udara, walaupun relatif lembab dan temperatur udara relatif tinggi, tidak begitu ideal untuk perkecambahan spora. Ini dibuktikan jumlah spora di udara selama paruh kedua Juli dan paruh pertama Agustus 2006 tidak tinggi dan tidak begitu berbeda satu sama lain.,. Rata jumlah spora di udara di kedua periode pengamatan itu berturut-turut 5,5 mm/cm2 dan 8 mm/cm2. Pola curah hujan dan jumlah hari hujan ini tidak saja mempengaruhi keragaman jumlah spora di udara dalam kurun waktu pengamatan yakni Juli dan
69
Agustus 2005 dan 2006 tetapi juga berpengaruh terhadap jumlah daun yang terinfeksi C. cassiicola. Tajuk tanaman dalam bulan-bulan Juli hingga Agustus 2005 dan 2006 relatif sama, di mana pada pertengahan Juli hanya sekitar 40 persen daun yang termasuk stadia hijau. Jumlah daun kategori ini meningkat secara linear hingga minggu pertama Agustus. Meskipun pola curah hujan dan jumlah hari hujan tidak mempengaruhi secara nyata tajuk tanaman tetapi yang terpenting di sini adalah pengaruh keduanya terhadap keragaman jumlah spora di udara. Nurhayati (2004) melaporkan hasil penelitiannya pada tanaman di kebun Entres bahwa jumlah spora di udara berkorelasi positif dengan tingkat serangan C. cassiicola. Dalam penelitian ini ternyata ditemukan keadaan yang agak mirip. Selama periode pengamatan Juli dan Agustus 2005 jumlah daun yang gugur relatif tinggi yakni mulai dari sekitar 65 daun/m2 pada pertengahan Juli hingga tetap berada di atas 100 daun per m2 pada tiga periode pengamatan di bulan Agustus 2005. Kontras dengan ini terjadi selama periode pengamatan Juli dan Agustus 2006 di mana daun gugur hanya bulan Agustus 2006 dengan jumlah daun gugur di bawah 20 per m2. Rendahnya jumlah daun yang gugur selama periode ini sangat berakitan erat dengan rendahnya jumlah spora di udara selama periode pengamatan Juli dan Agustus 2006. Suatu hal yang penting untuk dinyatakan di sini adalah bahwa selama periode pembentukan daun muda tahun 2006 terjadi hujan yang relatif tinggi dan berlangsung dalam jumlah hari hujan lebih dari 6 hari dalam periode 15 hari. Kondisi ini menurut sejumlah peneliti memungkinkan intensifnya pencucian spora, sehingga patogen gagal menginfeksi inangnya. Hujan apabila tidak terlalu lebat dapat membantu pembebasan atau penyebaran patogen., namun hujan yang terlalu lebat akan mengakibatkan pencucian spora patogen dari permukaan tanaman dan tanah. Hujan yang terus menerus sehingga tanah menjadi terlalu lembab dapat mematikan atau menekan perkembangan patogen demikian juga pada saat musim kemarau yang panjang dapat mengakibatkan tanah menjadi kering sehingga patogen menjadi mati (Situmorang, 1998; Agrios, 1997).
70
J. HPT Tropika, 8(1) Maret 2008
SIMPULAN 1. Pola curah hujan dan hari hujan yang sedikit dan berseling dengan cuaca panas mempengaruhi keparahan penyakit gugur daun Corynespora. Jumlah spora di udara relatif lebih tinggi dalam periode pengamatan tahun 2005 dibandingkan dalam periode yang sama tahun 2006, keparahan penyakit gugur daun Corynespora, lebih tinggi pada tahun 2005 dibandingkan dengan 2006 2. Terjadinya epidemi disebabkan oleh pergeseran pola pembentukan daun muda dan pola pergeseran curah hujan. Apabila terjadi hujan dengan intensitas rendah dan berselang-seling dengan hari hujan 6 hari, selama pembentukan daun muda, maka tanaman menghasilkan RRIM 600 akan mengakibatkan terjadinya epidemi. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G. N. 1997. Plant Pathology. Academic Press. , California USA.
4th
ed..
Anwar, R, Aidi-Daslin, Suhendry, I and Wulan, S. 2000. Quantifying genetical and environmental factors in determining rubber crop productivity. Hlm. 143-149 dalam: Rasidin Azwar et al , ed. Proc. Indonesian Rubber Conf. and IRRDB Symposium. 2000. Indonesia Rubber Res. Inst.. Darmono, T.W. 2006. Molecular variability on Corynespora cassicola Www.rothamted.ac.uk/res/corporate/fellows/pro jects/tindonesia. Diakses tanggal 19 maret 2006. Nurhayati, A. Situmorang., Z.R. Djafar dan Suparman. 2004. Faktor lingkungan dan model peramalan penyakit gugur daun karet Corynespora. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan. PP-SML. UI 24(4):243-253.
Nurhayati, A. Situmorang., Z.R. Djafar dan Suparman. 2004. Uji kerentanan daun karet terhadap infeksi Corynespora cassiicola. Dalam: Aron Situmorang et al, ed. Proc. Pertemuan teknis. Pusat Penelitian Karet Balai Penelitian Sembawa Pawirosoemardjo, S., Purwantara, A. 1987. Sporulation and spore germination of Corynespora cassiicola. Paper pada IRRDB Symposium Pathology of Hevea brasiliensis, November 2-3, 1987. Chiangmai Thailand. Pawirosoemardjo, S. 2004 Manajemen pengendalian penyakit penting dalam upaya mengamankan target produksi karet nasional tahun 2020. dalam: Aron Situmorang et al, ed. Proc. Pertemuan Teknis. Pusat Penelitian Karet Balai Penelitian Sembawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM). 1988. Forum Komunikasi Perkebunan. Balai Penelitian.PT Perkebunan Wilayah II. Sungai karang 25 januari 1988. Situmorang, A., A. Budiman. 1984. Corynespora cassiicola (Berk & Curt) Wei penyebab penyakit gugur daun pada karet. Kumpulan makalah lokakarya karet 1984, PN/PT Perkebunan Wilayah-1 dan P4TM. 14-16 Nopember 1984 di Medan. P4TM. 10 hal. Situmorang, A. 1998. Model hubungan iklim mikro dan epidemiologi penyakit gugur tanaman. Program studi Entomologi dan Fitopatologi Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. 15 hal. Soepena, H. 1986. Penyakit gugur daun Corynespora pada tanaman karet. Pertemuan Karet dan Kelapa. Semarang 6-7 Februari 1986. Research Centre Getas. PN/PT Perkebunan Salatiga.
PENGENDAUANHAMADANPENYAICITTANAMANKAKAO
Prmdisa ma1allah ini bertujuan 1111tuk mengetahui bagailnantz pengendalianhtana dan penyakit � kalalo Mdode � men� Jam metode library research. Dari hasil pembRlsan dilpat disimpullam balrroa masalah utmna yang diluulapi perkakaoan di Indonesia adaWi senmgan penggerd buah kalalo (PB� Conopomorphli a� SnelL) dan perryakil busuk buah (BB� Phytophthora palmiuom). Kedutl OPT tersebut smmz langsung daptd mmurunlam kuantitas dan kualiflls biji kakao. Stmtegi pengendalian OPT utamo kakao di Indmeesia berpedoman poda lronstp pengendalian hllma terpadu (PHT). Komponen pengendalian PBK melipufi panglcaslm tlljllk. pam sering, Sllllitasi hlUt '1llllhdtm plasenta, pengaultl&n hayali dengrm St!llalt hiltzm dim bioinselctisUJaB. pmyebdnmgaa""'4 dan penymqnvllln �� pitdtoid billl pm.. Komponen pengen4olitar penyllkit BBK llldiputi sanifllsi buah busuk. ntellllJ1llllmn lrd:mldw ,,.,_ dengan pengrdlna ,.,.g1msan dan pohon pe111111g, ntenlllll ,.,,,,,,.,. """"'· dan pengpnMllJimgisilla. .
"""' baa:,.,,_dllnpmyalcit, 1cakao dan sl"*gi pen�
LPenclalmlaan 1.1. Uitar &Wamg Produbi kakao dunia pada saat ini ± 3 juta ton per tahun. Lebih dari 70% dari � tersebut dihasi1kan oleh tiga negara penghasil utama, yaitu Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia. Indonesia sebagai produsen bkao ketiga di dunia mempunyaikontribusi ± 12% � produbi dunia. Kakao merupakan salah satu komoditasekspor anda1an penyumhang devisa bagi negara di sektor non-migasdan sebagai sumber pendapatan utama bagi banyak petani, � sejak tetjadinya bisis �
72
73 Luas areal tanaman kakao di Indonesiapada tahan 2000mencapai 588.311 ha. Dari total areal lei'.� "7.812 ha (76,In) wl•hh areal perkebunan rakyat, 81.994 ha (13,9'%) adalah mad pes\ef411wu. besar � dan 58.505 ha (9,94%) adalah areal pedebmlan bear negara. Produbi nasional pada tahun 2fD) clipedirabn m.336 °'* dengan rincian 391.124 ton (82,98%) berasal dari per\el••MO rakyat, 35.609 ton (7,55%) berasal dari perkebunanbesar swasta. dan 44.lm ton (9,46%) berasal dari perkebunanbesar negara (Ditjeoban2DIJ). Masalah yang dihadapi oleh negara produsen bbo adaJah penyakit busuk buah kakao di Afrika � penyakit lllifdirs broom di Brazil, penggerek buah kakao (Conopnor,,,. aw1dlll Snell) dan penyakit busuk buah (Plrytophthonl prilnrironl) di � dan ftuktuasi iklim yang sangat ekstrim di Ecuador. ffama penggerekbuah kabo (PBK}, C OJlllltldlllSnell� hama yang sangat merugikan kaft!Da dapat mecuunbnprodubi lebih dari 80% dan sulit dikenda1ibn.Sebagian besar petri elm perkebunan pertama besar masih menggunakan insektisida kimia ..bagai untuk ��PBK. Penggunaan eecara tems-menerus dikhawatirkan akan menimbuibnnranlah Jain yang lebih berat antara lain terjadinya resistensihama, pencemaranlingkmagan, dm ditolaknya produk akibat residu pestisida yang mdebibi amtwag toleransi. Mengingat semakin luasnya penyebaran hama PBK clan �ya kerugian yang di� maka perlu dicari melode ��gan hama PBK yang efektif dan efisien serta ramah 1ing1cungan. Penyakit busuk buah kabo merupabn penyakil utama pada tanaman kakao terutama di daerah beriktim basah. Keragimt yang diabbatbn dapat �pai SO pemen. a.a pengewlatian yang ��saat ini yaitu dengan sanjtae dan menggunalanfw'IPsida sintetis. �� sangat dipedubn untak meng;zl:llwi ftuktuasi intensitas penyakit berkaitan dengan iklim sepanjang 11+wim. Tanpa dasar epidemiologi, Jangkah pengendalian kma11g abrat clan sering mengaJamikegaga1an. Untuk mendabmg progaam1echd, .;ak tahun 1995 Pusat Penelitian .Kopi dan Kabo bekelja sama deop• Direktorat Protebi Tanaman � Balai Pengbjian Telnailogi Pertanian
74
(BPl'P), Dims Pedebanan, dan PerusahaanPerkebtman Besar Negara/ Swam telah melabbn berbagai petaelitian pengendaJian PBI<. Penetitian yang telah ctUalrnbn meliputi �� �� alami PBK clan pengujianpatogenesitasnya di �tmium maupun di lapingan, ebplorasi gerlOtipe kakao yang mempunyai ketahanan � PBK dan ��yang � pengujian insektisida, serta � tindabn kultm t2knik yang bertujuan untuk meningkatbn kes>iwt••tclan ��� kakao Diharapbn dari hasil-hasil �� �t dapat disusun sbategi pengendalian hama dan penyalit di Indonesia yang �oman pada konsep pengenda1ian hama terpadu (PHT). .
1.2 Ts;- Pnadism
Penntisan mabJah
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana p:oge..w;.nbama dan penyakit tanaman kakao. 2. Uaim Tawil•
a.- .. Pnryldcil u,.,,."""""di lndonesill
tidak pemah terlepas dari masalah organisme peieggwaggu1anaman (OPT} yaitu masalah � penyakit, clan gu1ma. basil akibat � OPT di perkebunan kakao dirasabn men'h cabp tinggi. Hal ini dapat dilihat dari besamya biaya pmga..talimhama clan penyakit, yaitu sekitar 40% dari biaya � � ulama budi daya bkao di Indonesia saat ini adalah serangan hama PBf( dan penyakit busuk buah kakao karena .keduanya ��� � penurunan� dan mutu biji Hama PBK adalah hama yang khusus menyerang buah kakao. Hama ini dapat menyerang mu1ai buah muda sampai dengan buah masak, abn telapi lebih menyubi buah bbo yang panjangnya lebih dari 9 cm. � PBK yang la:jadi pada saat buah masih muda abn menga'letbnlerusakan yang cabp berat karena biji saling lengket dan lmat pada 1mlit baah,sehingga abn berpengaruhtprbadap bw14i'• dim kuatilas hiji bbo. Hasil peneJitianmel'.WJ.11kbnbabwa ser•v• PBJC dengw• kaileiia serangan ringau swtah mengakibatkan Peftel•110t11an bbo
.
,
15
kerugianyang besar, yaitu menaikkan barkat buah. menanmkan berat biji basah_ menurunkan rendemen, dan menunmkan llllllD • anlara lain biji berukurankeciL kadar lrulit ari meningkat,biji sating menempel, biji keriputdan berwama hitam (Sulistyowati dan�� E., 1993 : 15-35). PBK saat ini telah menyerang hampir di seluruh propimi penghasil kakao utama di Indonesia. Luas �gan sampai dengan balan Mei 2001 kurang lebih �pai 70.000hadengan .kerugian � � Pada tahun 2000, tercatat luas serangan PBK � 60.007 ha dengan kehilangan basil Rp. 405.643.680.000,-/tahun (Diljenbun 2000). Mengingat yang sulit PBKadalah hama pentingpada usaha pertanaman kakao dideteksi dan sulit �� maka untuk menanggulanginy perlu dilakukan berbagai cara yang merupakan satu paket �� � dan keadaan tingbt yang tuannyadidasarkan pada � tanaman kakao. Penyaldtbusuk buah kakao yang disehahbn oleh jamur �� palmirora men yebabbn kerugian yang cukup berarti terutama di daerah yang beriklim basah. Kemgian basil di beberapa kebun dapat �paidi atas40 persen. Di JawaTengah � dapat � � (Soemomarto �pai 49,8%, JawaTimur 46,43%, Jawa 1972; Juniantoet al 1993; Pawirosoemardjo dan Pmwantara 1992). Pengendalian � busuk buahkakao yang banyak chlabkan adalah dengancara sanitasi kebun dan penggunaan fmtgisida sintetik. busukbuah sangat dilmtukanoleh Keberhasilan pengendalianpenyakit epidemiologi penyebab penyakit di daerah lelteutu. Perbedaan lo.kasi berdasar tipe ildim/curah hujan sangat berpengarah terhadap penyakit. epidem iologi SeJain kedua masalah utama tersebut,, di pertao•mankakao masih banyak kendala karena OPf utama yang - yaitu kepik pengisap buah/pucuk Helopeltis spp., penggerek batang/cabang hMzm roffeae, penyakit Voscular Stmlk Diebad (VSD), penyakit antraknosa jamur abr. Da1am mablah ini pokok Colletotrid,rum danpenyakit bahasannya dibatasi padadua di Indonesia*yait u masalah utama kakao PBK dan penyakit busuk buahkakao.
2.2. L»imiuid .Miiii�"""� Aiml ped••11wnbkao di Indonesiadidominasioleh pedel•n•n l3kyat deng,tn .._ 447.812 ha atau 76,12!» dari total area bkao di Dari total lam areal � 27'J, merupakan areal laleman hehnnmenglwsilbn(IBM), 67% merupabn areal tanaman �� .bn (IM), clan 4 penen sisanya merupabn areal tanmmn tua. ptoponi 81&11 TB� dapat diambil gambaran bahwa minat DWjM•ht UDlllk mengembangkan komoditas kakao hingga saat ini masila cubp besar. Hal ini disebabbnmasih tersedianya somber daya lahm, kemadahart .,.....alan produk kabo, produksi yang dapat dipemleh sepaojangwaldu sehinggamerupakan somber CJISh injlDol yang ratin, clan harga pmduk yang cukup � Pada UllMllDUJB fanaman kakao diusahabn oleh petani secanl JllOll[lbltm, telapi ada ju.ga yang ditumpang sarikan dengan tanaman abal Calm••t.,sepetti nanas, �pi.sang, dan tmaunan baahba ahJiiin yang digm•bn sebagai � Di daerah � � clan Salawesi Tenggar�tanaman bbo merupabn somber pendapatan a••• � bear petanL hanya sebagian kecil petani yang ....... bkaonya sebagai tanaman sampingan. Hal ini dad -- lmlaman bbo yang berbuah sepai;aug � dapat ��bbo rakyat di Indonesia ada1ah 873 kg/ha/tahun. Hal ini mew•11+•kbnbabwa ��kakao rakyat telah mengaJami pn•aglalan dilawling waktu-waktu yang lalu. Produktivilas ini seh-waamyamasilldapat ditingkatbn lagi mengingat saat ini peilauaman bbo rakyat 1111101•111jamasih menggunakanbibit kakao asal biji bibrida Fl. Hasil Aeasa dan Phang (1972, dikutip dalam Shamsadinet al 19IJI) menu1;.Jlianbahwa 60% basil biji bkao diperoJeh hanya dari � popa1asi lanlman asal � berarti 70% � tanaman sisanya mew•ileribndaya basil yang rendah. Dengan telah ditemubnnyabahan tanam bbo anggul seperti potensi produbi yang � bedadar Jeaak tinggi,, alma tahmJ. terhadap hama dan penyakit u«ama, mab bbo rakyat dapat diperbaiki potensi baban lana11u1ya kJonaJ, hlik melabri program per1uasan maapan rehabilitasi
n
tanaman dengan teknik sambung sampiog alau. wubung pucak. Teknik ini dapat memperbaiki potensi baban lanpl ...._ � investasi ulang. 23.
Kinnjtldim Darpa1 PmerrzptmPHT Ham PBK. m Pe-plil BBK. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang
sudah cfilalmbn selama tujuh � Pusat Penelitian Kopi Dan ICakao Indonesiallll!laltgkmn hasil-hasil penelitian yang � �, dan ramah lingkungalt menjadi suatu rakitan teknologi pengendalian lerpadu mduk hama PBK dan penyakit BBK. Diharapkan teknoJogi llelBebut dapat diterima dan diterapkan oleh petani sebagai pe1aku agribimiskakao. 3.Pemh.h•m 3.1. Tebdogi PmgadlllitmTerptllblPBK
Dengan kondisi luas � yang hampir meqla di aetiap propinsi penghasil bkao, maka sball!gi pet.,-lo'nn Imm PBK yang paling tepat adalah dengan pengendalianbama terpada (PHI). �� kan perkembangan basil penelitian �, mab teknologiPHI" hama PBK yang disarankan yaitu dengan memadubn cara b11m tekrUk melalui pangkasan� dan panen sering yang dnlrnti dmgaw1 sanitasi (Sulistyowati et al 1995a), pengendalian hayati denpt memanfaatkan semut hitam dan B. IJossimuz, penyelubungan buah (Mmsam•lnnn dan Wardojo 1984) dan secara kimiawi mengganabn imektisida piretroid hanya jib penentase (Sulistyowati et al 19'J5b). Penggunaan � sudah melampaui nilai ambmg kerusabi l. Teknik-teknik ��PBK y ang dapat diterapbn sec:ara terpada adalah sebagai berikut 3.1.1. � bentuk Pangkasan bentuk bertujuan 1lldDk mnnhatM tinggi tajuk tanaman bkao agar tidak lebih dari 4 m. Hal ini untuk memudahkan peJaksanaan panen dan �� �� Pengaturan ketinggian tajuk ini ..tw&nya � aejak awal pertumbuhanbkao dan dua ka1i setiap lahmwtya.,yaila dilakukanpada
11
lmjan; aedangkan pangkasan pemeliharaan ctilakubnlebih sering, misa1nya dua balan sebli.
awal dan akbir
1nusim
3.1.2 Metode J*lll!Dsering Panen sering pada saat buah masak awal yang diikuti � dapat menebn � PB.I<. Hal ini brena pada buah yang masak awaL ulat P8K belum keluar sehingga jib kulit buah dan plasenta langsung dibenam.. maka ulat yang ada di dalamnya akan mati. Hasil pengamatan Mumford (1980, dikutip dalam Shah 1987) terhadap buah buah yang terserang PB� lubang keluar PBI< yang paling banyak dijumpai adaJah pada buah yang masak �, yaitu sebesar 55%, sedangkan pada buah bijau sebesar 1041> dan 35% pada buah agak menguniog (masak awal). Rotasi panen paling lama satu minggu dan diaqttrbnagar buah segera dipecah pada hari itu juga untuk � keluamya u1at dari dalmn buah un1Dk �� KuJit � buah � plalenta dan semua sisa-sisapanen aegera dibenam dan ditimbun dengan tanah eellebal20 cm. 3.1.3. � hayati bayati P8K dapat dilalrnbn dengan memanfaatbn semut hitam,,Dmdlodmls tllOrauicMsclan jamur entomopa� &auvnia ,__,._ t hitam ini sadah banyak dikembangbn untuk pengendalianIMopdtis spp. P� se111Ut hitam yang berlimpah di pertanamm bkao dapat menurunbn persentase �gan PBK di Malaysia (Khoo1998, komunikasipribach). Peningkatan populasi semut hitam dapat dilakukan dengan cara menyediakan sarang yang terbuat dari lipatan daun ke1apa atau daun kakao dan koloni kutu putih sebagai somber mabnan bagi semutnya. Pengmdalian hayati PBK juga dapat dilakukan dengan penyempotan bioinsektisida berbahan aktif Bemroeria bassiaml dengan dosis 100 g spora per - menggunabnlatqstd sprayer dengan volume semprot 250 rrd/ph atau 250 lfha. Hasil penelitian Junianto dan Salistyowali(DIJ) memqukkanbahwa ��B. bassilmaisolat Bb 725 pada ba ahbkao nmda clan cai.ng horimntal dengan dosis 50-
79
100 g spora/ha sebanyak lima kali mampu melindungibaahl&Bebut dari � PBK antara 54-00,5%. Selain dapat me11wu•+bn persentase � PB� penggunaanB. bassitlnlltidak berbahayabegi lingkungan. Hasil penelitian penggunaan B. famimr �715 8E!IDlla �� pada pertanaman kakao tidak berpengaruh buruk }*la amsuh alami maupun seranggaberguna Jainnya. Bahbn di amd bbo yang tadinya selalu �� pestisida kimia, populasi mpmh alami seperti semut hi� Jaba-Jaba, dan serangga penyerbuk yang awalnya rendah bahlcan tidak ada sama sekali, sete1ah aplikasi B. ,...._ ��ya menjadi meningkat (Bagian Proyek Penelitian PHf Tanaman Perkebunan 2001).
3.1.4. Aplikasi insektisida Aplikasi insektisida kimia hanya dilalrnbn jib persentase � PBK dengan kategori serangan berat sudah 4Mt. Jenis insektisida yang dianjurkanadaJah dari golongan sjnlptik piletroid, a.l deltameb:iu (Deds 2,5 EC), siha1olrin � 25 IQ. belmiflutrin (Buldok 25 EC), esfenfalerat (SwniaJpha25 F.c), alla (Bestox 50 F.C). Konsentrasi formulasi yang digunakan aesaai anjw� yaitu antara 0,()6 % - 0,1% (Sulistyowati et al 19951>) dengan mepggu•wbnalat � � �, volume semprot 250 ml/pnhnnalaa 250 I per hektar. Penyenaprotan sebaiknya dilakukan pada mt buah kalcao sebagian besar berulcuran panjang antara �10 cm. Penyemprotan diarahkan hanya pada buah-buah kakao dan ��horizontal. Hasil penelitian � penyemprotan insektisida fiptooil (Regent 50 SC) k�trasi 0,2%-0,4% dapat menekan persenla8e se1a11gan PBK sebesar 40,72% sampai 66,82%, sedang penyempolan insektisida deltametrin tablet (Decis Tablet) dapat menekan penentaaeserangan PBK sebesar 43,94% sampai 5Z93% (Sulistyowati et al 200'1). 3.1.5. Penyelubungan buah Selain yang teJah � masih ada cara pewwcgulmganyang bertujuanuntuk menyelamatkan sebagian baahdari aemngaaPB� yaitu penyelubunganbuah dengan kanlDng plastik. Cara l!a&eliUlcakup efektif
��baahdari 9el&Dg&il� akan tetapi memedubn biaya clan tmaga kaja yang besar. ��gan dilabkan mulai baah bbo � pqang anlara 8-10 cm sampai dengan buah dipanm (MmMM•-h1o dan Wardojo 1984). Kanlong plastik yang digunakan berukman 30 x 15 cm tl!hal o,m mm dan kedua ujongnya terbuka. Cara menyelubangi buah adalah dengan mengikat bagian atas plastik pada tangbi baahsettangbagUm bawah �
PaiJmdelirrTerpadil Paytllit Busulc Buah � Penyakit busuk buah bkao merupakan penyakit yang secara meluas llmapat di kebun-kebun kakao. � semakin meningkat pada ""®"' bujan � di daerah beriklim basah. Dari hasil-basil penelilian yang telah dilakukan diperoleh beberapa kompmen penge.Jatimbusuk buah .bkao yang dapat � secara � 3.2
yaita cJerp+
aua
�
SN+ilwzj, menmunbn kelembaban ketJlm dengan
clan pohon penaung, menanaDl tanaman taban,,
dan paaggwww Cara-cara teisebut dapat dilabanabnseaua lelpada anlak � �t serangan. 3.2.L S-ii'W s-•·- bertujuanunlak menekan sumber infebi sekecil mungtin.
sakit yang ada di pohon merupabn somber infebi yang 9elala menyebarbnpenyakit secara luas ke buah-buahsehat. Oleh karena ilD.. � � mutlak dipedukan sebelum melalmbn tindabn pengendalian yang lain. Sanitasi buah busuk terbukti dapat meoanmbn somber inokulum.. sehingga sangat membantu dalatn � samtgan dan 1aju infeksi peoyakit. lnlleusiaas BBK pada pedakuan sanitasi sebesar 11,95% dengan 1aja Debi 0$21B unitfbari (Bagian Proyek Penelitian PHT Tanaman Baah-baah bbo
PeiY••wn2001).
dengan cara membuang sp1n11a buah yang ��goejala �busuk yang ada di pohon. Baab lasd»ut pada saala lempat untuk dibenam da1aJn taoah. ch1akubn dmgan timbanan tanah minimal aetebal 30 an �
81 dari atas permukaan tanah, agar somber penyakit tidak leipercikoleh air hujan. Air hujan merupakan agms penyebaran spora patogen yang sangat efektif, baik antar buah sakit dengan buah sebat di atas pohon maupun dari somber infeksi yang ada di tanah. Mengingat jamur P. palmioora dapat � di daJam tanah .Jama bertalnm-Cah11nr maka untuk membunuh janwr tersebutw pada saat pemhenaman buah-buah busuk dicampur terlebih dahulu dengan kotoran ayam, hijauan daun. dan ditambah dengan EM 4 atau urea kemuilian ditutup dan dimampat kan dengan tanah (Guess2002,komunikasipribadi).
3.22 Mengurangi kelembaban Perkembangan penyakit basuk buah akan smwkin cepat pada keadaan kelembaban yang tinggi.. Kelembaban kebun dapat disebab.kan oleh curah hujan yang tin� pohon bbo dan peoaung yang terJalu rimbun, atau � yang kurang baik sehinggasering tll!rjadigenangan air di keban. Agar keJembaban keban tidak ti:nggi mab dilab.Jkan pengaturan pangkasan tanaman bbo dengan pengatman pohon penaung. Pada saat � 1mWm hujan dilakulam pangkasanberat pada tanaman kakao dan pohm penaungnya dilwarlgi intensitas penaungannya. Di lokasi yang sering ll?lgenang air dibuat saluran drainase. Pada kebun yang curah bujarmya tinggi pengmdalian secara sanitasi yang dipadu dengan � � � akan sangat men� intensitasserangan dan 1aju � 3.2.3. Menanam jenis tanaman bkao yang tahan Pada daerah yang curah hujaaatya tinggi � untuk menanam jenis kakao yang lahan penyakit busak baah. Untuk kakao muJia.. klon DRC 16 merupakan bbo yang mkup taban. � untuk kakao lindak, ada beberapa haailpersilanganyang memmjuk.kan ketahananyang cukup � antar Jain Sea 6, Sea 12. dan hibrida Sea 6 x DRC 16, Sea 89 x DRC 16, ICS tiO x DRC 16.
12
3.2.4..Penggamm� � yang disebabkan oleh jamur P. � ini su1it dikendalibn secna kmatif. Oleh karena itu, tindabn preventif sangat � agar �� penyakit tidak meluas. Salah satu � � adalah dengan penggunaanfungisi.da. Fungisiday ang � anluk �� penyakit BBK ini an1ara lain yang berbahan aktif tembaga (Copper Sandoz, Cupravit, Vitigran Blue, Cobox, Nordox 56 WP) dengan konsentrasi formulasi 0,3% dengan interva1 2 minggu.SeJain fungisida kimia juga telah dihasilkan biofungisida yaitu jamur antagtmis Tridiodenna spp. Hasil penelitian diketahui bahwa �� T. harzianum dengan konsentrasi spora t()lo dapat menebn i1111::t:llSilas �gan penyakit BBK sampai 6,68% dengan nilai keefektifan9:1,9 btegori baik (Bagian Proyek Penelitian I
4.Pa.atap
4..1. MasaJah qla11w yang dihadapi perkaboan di Indonesia adalah serattgaa penggetek buah kakao � � arrmemlll Snell) clan penyakit busuk buah (BBi<, �� ��)� . Katoa OPT lersebut secara langsung dapat memmmkan kuanti1as dan kuatilas biji kabo. 4.2 Strategi pengenda1ianOPT utama kakao di Indonesia �oman pada kmmep pengenda1ian hama terpadu (PH'l1. Komponen pmgendaU.0PBK meliputi pangkasantajuk, panen sering, sanitasi lculit baahdan pJasenta,pengendalianhayati dengan semut hitam dan bic••••Wla B. bassiluui, penyelubungan � clan penyem piretroid biJa perlu. l
83
4.3. Penerapan PHI' PBK terbukti dapat menekan serangan PBK dan meningkatbn produksi biji kering/ha, sehingga secara � dapat �� pendapatan petani. Penerapan PHf di perkebunan rakyat perlu segera disebarluaskan. Daftar Pmtab
1988. A field evaluation of an EC formulation of chlorpyrifos + �� for the control of rocoa pod borer, � crr11ntrella..MARDI Res J 16: 181-186. Bagian Proyek Penelitian PHI' Tanaman Perbbunan. 1997. I..aporrua krg.,_,, pmdilillll Tabn Anggwmm 199(;/1997. }ember: Pusat penelitianKopi dan Kabo. p132-133 Bagian Proyek Penelitian PHI' Tanaman Perkebunan. 1999. I..aporrua � pmdilillll Tabn Angpnm 1998/1999. }ember: Pusat penelitianKopi dan I
Sabudin MA.
.
.
84
Junianlo YD, ��E. 1996. I..aponmakhir metode pengembtmgbialam
musuh
,,,._ ,._
penggad buah Woo. Kerjasama antara Direklorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan dan Pusat Penelitian Kopi dan I
Jember. lSh. Junianlo YD, �� E. 1997. I..aponmalchir metode pengembtmgbiakan
musuh oJanri """"'penggerek buah kakao (lanjutan). Ketjasama antara Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan dan Pusat Penelitian I
Jember. 12 h.
Moersamdono, Wardojo S. 1984. Knnajuan da1am percobaan perlindungan blUlh meJat dmgan Jumtung plastik dari senmgan Acrocercops �lhi. Menara Perkebunan 52: 93-96. Pa�� 5, Purwantara A. 1992. Ulju infeksi dan intensitas sminga Plrytapldllorrl palmivora pada buah dan batang � 'Nlidas Wm. Menara Perkebunan 60 (2): 62-72 Shah 5. 1987. Gdbmll lllld physiall control of the mm pod borer, � awrella (Snell.) (Lepidoptera: Gracillarida i e). In: Ooi PAC et al., editors. Management of the cocoa pod borer. p 4351.
1971.. Sflldies om chemiad control of mm pod rot in Central )Im. In: Southeast Asia Reg Symp Pl Dis Tropics. Yogyakarta (Indonesia) SuJistyowatL �� E. 199'3. Pmgaruh Hama Penggerek BUllh Kakao (PBK) ,.. Miltu Biji Kalcao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan I
Sulistyowati E, Wardani S, Wiryadiputra S. W-nwrno a Atmawinata 0. 1995b. K«Jdctijm "'*'"P' ;ems inn•iti+ tr•....,,,_ peagge1ti bullh 1cllbo Omopomorpha crtnandlll (Snell). Pelita Perbbunan 11(2):�1(1;. Sulistyowati E, Yohanes DJ, Mu&ihati E. 2001 'Klljiadabiologitla raelode pengmdalilm jllSlul penggrmggu u,,,,_ 1111"'1 lllt1lduhmg PHI' paJa tammum lcllbo. Laporan Proyek Penelitian PHr Perbbunan Rakyat TA 2001. 24h. Sulistyowati E, Mufrihati E, Wahab A 2001 Pmgujia �jm inselctisida Regent 60 SC dan Deas ""*t lnWdap pa1ggod blUlh lcak.oo, Omopomorphac111�U.. Jember: Pusat PenelitianKopi dan I
.
BIOMA, Desember 2008 Vol. 10, No. 2, Hal. 51-57
ISSN: 1410-8801
Pengendalian Hayati Penyakit Hawar Daun Tanaman Kentang Dengan Agens Hayati Jamur-jamur Antagonis Isolat Lokal Susiana Purwantisari, Rejeki Siti Ferniah, Budi Raharjo Lab. Mikrobiogenetika Jurusan Biologi FMIPA Undip
Abstrak Penyakit hawar daun tanaman kentang atau yang oleh petani di Kedu, Wonosobo disebut Lodoh merupakan penyakit yang paling serius di antara penyakit dan hama yang menyerang tanaman kentang di Indonesia. Penyakit lodoh ini disebabkan oleh serangan jamur patogen ganas Phytophthora infestans yang dapat menurunkan produksi kentang hingga 90% dari total produksi kentang dalam waktu yang amat singkat. Sampai saat ini kapang patogen penyebab penyakit busuk batang dan daun tanaman kentang tersebut masih merupakan masalah krusial dan belum ada fungisida yang benar-benar efektif terhadap penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan mengoleksi dan mengidentifikasi jamur-jamur tanah isolat lokal yang bersifat antagonis terhadap patogen penyebab penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang di daerah sentra pembibitan tanaman kentang di Kedu Temanggung Jawa Tengah adalah Phytophthora infestans. Terdapat 17 isolat jamur isolat lokal yang dapat diisolasi dari tanah di sentra pembibitan tanaman kentang tersebut. Dari 17 isolat jamur ini dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok isolat yang berbeda morfologi koloninya. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa dari 4 kelompok jamur tanah tersebut adalah dari marga Trichoderma spp, Aspergillus sp, Penicillium sp dan Phytophthora infestans. Kata Kunci: Jamur antagonis, kentang, busuk daun, Phytophthora infestans.
PENDAHULUAN Kentang adalah salah satu komoditi andalan sektor pertanian di Indonesia dan semakin meningkat permintaannya akhir-akhir ini. Peningkatan ini untuk mencukupi kebutuhan bahan pengganti makanan pokok (beras) maupun sebagai bahan baku industri, selain itu untuk mengatasi harga beras yang semakin tinggi serta mengurangi impor bahan pangan beras yang telah menghabiskan devisa negara dalam jumlah besar (Anonim, 2002). Salah satu prioritas pengembangan agribisnis kentang di Indonesia adalah di Jawa Tengah (Wonosobo), namun produksinya masih rendah oleh serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya kapang patogen Phytophthora infestans penyebab busuk daun dan umbi tanaman kentang (Rukmana, 1997). Secara bertahap dan berkesinambungan penelitian intensif terhadap komoditas kentang mendapat perhatian dan prioritas. Pengembangan agribisnis kentang diprioritaskan antara lain di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan
Penyakit merupakan salah satu faktor pembatas penting pada budidaya tanaman kentang. Penyakit busuk daun tanaman kentang atau yang oleh petani di Wonosobo dan Dieng disebut Lodoh merupakan penyakit yang paling serius di antara penyakit dan hama yang menyerang tanaman kentang di Indonesia (Katayama & Teramoto, 1997; Zazali, 2004). Penyakit lodoh disebabkan oleh serangan jamur patogen ganas Phytophthora infestans ini dapat menurunkan produksi kentang hingga 90% dari total produksi kentang dalam waktu yang amat singkat. Sampai saat ini kapang patogen penyebab penyakit busuk batang dan daun tanaman kentang tersebut masih merupakan masalah krusial dan belum ada varietas kentang yang benar-benar tahan terhadap penyakit tersebut (Cholil, 1991). Menurut Djafaruddin, (2000), penyakit busuk daun/batang (late blight) tanaman kentang sangat berpotensi terjadi pada daerah dingin dan lembab karena kapang patogen yang menyebabkannya mudah tumbuh dan berkembang baik pada kondisi dingin. Penyebab penyakit busuk daun ini adalah kapang patogen
Susiana Purwantisari
Phytophthora infestans. Kapang dapat menyerang daun, batang, juga umbi di dalam tanah. Kapang patogen Phytophthora infestans bukan merupakan kapang asli tanah, namun biasa menyerang organorgan tanaman kentang di dalam tanah dan di atas tanah (daun, batang, cabang, akar dan umbi). Penyebaran spora patogen kapang melalui angin, air atau serangga. Jika spora sampai ke daun basah, ia akan berkecambah dengan mengeluarkan zoospora atau langsung membentuk tabung kecambah, kemudian masuk ke bagian tanaman, dan akhirnya terjadi infeksi. Spora yang jatuh ke tanah akan menginfeksi umbi, dan pembusukannya bisa terjadi di dalam tanah atau di tempat penyimpanan. Kasus penyakit busuk daun biasanya sering terjadi di daerah dataran tinggi yang bersuhu rendah dengan kelembaban tinggi (Alexopoulos, et al., 1996 ). Selain itu penyebaran spora patogen Phytophthora infestans dipicu oleh keadaan lingkungan udara yang relatif lembab (di atas 80% seperti keadaan lingkungan di Wonosobo). Patogen tersebut juga dapat bertahan hidup di dalam umbi dan batang tanaman kentang sehingga infeksi pada umbi dapat terbawa sampai ke gudang penyimpanan (Adijaya, 2001). Gejala pada daun berupa hawar (blight) atau bercak berwarna abu-abu yang berukuran besar dengan bagian tengahnya agak gelap dan agak basah. Gejala serangan pada leher akar dan akar berupa busuk berwarna hitam. Serangan pada umbi berupa busuk basah umbi yang berwarna abu-abu atau hitam. Apabila umbi diinkubasikan dalam temperatur 15 - 20oC, akan muncul konidia yang dibentuk dalam jumlah banyak, berupa tepung berwarna keabuan (Cholil, 1991). Pengendalian penyakit busuk daun, busuk batang atau busuk umbi (late blight) oleh jamur patogen Phytophthora infestans, selama ini dilakukan dengan menyemprotkan fungisida sintetik Sandofan MZ 10/56 WP dengan konsentrasi yang dianjurkan, Benlate dengan konsentrasi yang dianjurkan dan Kocide 54. Kebiasaan para petani menyemprot pestisida secara serampangan menyebabkan timbulnya strain baru dari kapang-kapang patogen tersebut yang ditunjukkan adanya kekebalan kapang itu terhadap fungisida sintetis tertentu atau dosis efektif, fungisida sintetis dapat mencapai dua kali dosis anjuran. Untuk menghindari kondisi yang
lebih parah, tindakan yang perlu dilakukan adalah mengganti fungisida yang biasa dipakai dengan fungisida yang berbeda bahan aktif dan cara kerjanya (mode of action). Pemakaian fungisida alternatif yang berisi kultur campuran kapang antagonis belum pernah dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pendahuluan tentang efektivitas dan potensi kapang antagonis Pseudomonas fluorescense untuk mengendalikan kapang patogen Phytophthora infestans secara in vitro. Pengendalian penyakit tanaman dengan fungisida dan bakterisida sintetis oleh para petani kentang selama ini tidak efektif, timbul banyak masalah yang merugikan bagi kehidupan manusia secara langsung atau tidak langsung diantaranya menimbulkan residu yang melekat pada hasil tanaman yang akan mengganggu kesehatan konsumen, pencemaran lingkungan serta membunuh organisme lainnya yang bukan sasaran. Penggunaan agen hayati berbahan baku biofungisida sehingga menjadi alternatif yang tepat untuk mengendalikan mikroba patogen penyebab penyakit pada tanaman budidaya. (Arwiyanto, 2003). Agensia hayati meliputi organisme dan substansi yang dihasilkan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu yang merugikan (Anonim, 1996 dalam Marwoto, 2001). Salah satu jenis biopestisida adalah biofungisida berbahan aktif mikroorganisma sel jamur antagonis Trichoderma spp, yaitu fungisida penghambat pertumbuhan kapang patogen penyebab penyakit tanaman budidaya yang diharapkan efektif mengendalikan serangan kapang patogen Phytophthora infestans tanaman kentang serta aman bagi tanaman budidaya sebagai tanaman bukan sasaran. Jamur antagonis Trichoderma spp dapat diisolasi dari tanah lokal, termasuk jamur selulolitik sejati karena mampu menghasilkan komponen selulase secara lengkap. Jamur tanah ini terdiri dari sembilan jenis yaitu T. piluliferum, T. polysporum, T. koningii, T. auroviride, T. amantum, T. harzianum, T. longibrachiatum, T. pseudokoningii, dan T. viride (Rifai, 1969 dalam Salma & Gunarto, 1999). Jamur-jamur antagonis tanah isolat lokal seperti Trichoderma spp dilaporkan mempunyai aktivitas antagonisme yang
Pengendalian Hayati Penyakit Hawar Daun
kuat terhadap jamur patogen dengan mekanisme hiperparasitismenya dan antibiosisnya sehingga efektif menghambat pertumbuhan kapang patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya. Dinding sel kapang patogen menjadi rusak kemudian mati melalui aktivitas enzim kitinasenya. Beberapa enzim kitinolitiknya hanya toksik pada kapang patogen penyebab penyakit tanaman budidaya tetapi tidak pada mikroorganisma lain dalam tanah dan tumbuhan inang (Kloepper et al., 1989). Menurut Salma dan Gunarto (1999), Trichoderma spp mempunyai kemampuan menghasilkan enzim selulase sehingga dapat merusak dinding sel kapang patogen pada kelompok jamur famili Pythiaceae seperti Phytophthora infestans. Selain itu kapang tanah Trichoderma spp mempunyai kemampuan melakukan pelilitan dan penetrasi hifa patogen serta menghasilkan antibiotik yang bersifat toksin bagi patogen lawannya (Dennis & Webster, 1971 dalam Salma dan Gunarto, 1999). Mekanisme antibiosis dilakukan dengan menghasilkan antibiotik yang bersifat toksin untuk membunuh P. infestans. Mekanisme antibiosis tergantung dari jenis dan sifat tanah sebagai substrat tumbuhnya. T. viride lebih suka pada kondisi tanah yang asam, apabila T. viride ini terdapat pada tanah yang asam kemungkinannya untuk memproduksi antibiotik lebih tinggi (Djafarudin, 2000). T. viride umum digunakan untuk pengendalian patogen dalam bentuk tepung yang diaplikasikan dengan dosis 100 kg/ha (Anonim, 2001). Keunggulannya yang lain adalah sebagai bioprotektan bagi tanaman muda HTI serta perkebunan. Beberapa keuntungan dari penggunaan biofungisida tersebut adalah mudah dimonitor dan berkembang biak, sehingga keberadaannya di lingkungan dapat bertahan lama serta aman bagi lingkungan, hewan dan manusia karena tidak menimbulkan residu kimia berbahaya yang persisten di dalam tanah atau terakumulasi di dalam makanan hasil budidaya pertanian (Yuliani, 2002). Penelitian bertujuan untuk untuk mengetahui kemampuan jamur-jamur antagonis tanah isolat lokal dalam menghambat pertumbuhan kapang patogen Phytophthora infestans secara in vitro. Selain itu, penelitian dilanjutkan dengan uji
antagonisme antara jamur patogen dan jamur antagonis isolat lokal yang telah ditemukan. Penelitian tentang efektifitas pengaruh inokulasi jamur antagonis isolat lokal tsb terhadap pencegahan thd infeksi oleh kapang patogen Phytophthora infestans pada tanaman kentang yang ditanam di rumah kaca juga penting dilakukan. Diversifikasi bahan aktif biofungisida perlu dilakukan, mengingat Indonesia sebagai negara tropis mempunyai potensi menghasilkan jenis agen hayati yang tinggi keanekaragamannya. Biofungisida yang berisi mikroorganisma jamur antagonis isolat lokal sebagai bahan aktif utamanya, secara ekonomi penggunaannya lebih murah dan efektif dibandingkan dengan fungisida kimiawi, karena sekali diintroduksikan ke dalam tanah atau medium pembawa yang tepat akan dapat bertahan dalam periode yang cukup lama. Selain itu aplikasinyapun dapat dilakukan seperti aplikasi pada fungisida kimiawi. (Yuliani 2002). BAHAN DAN METODE Penelitian in vivo dilakukan di rumah kaca Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Kedu, Temanggung dan penelitian in vitro dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Diponegoro. 1. Isolasi dan identifikasi jamur-jamur antagonis tanah lokal Isolat jamur-jamur antagonis isolat lokal diisolasi dari tanah tempat tanaman kentang tumbuh baik yang teridentifikasi sakit ataupun yang tidak oleh patogen Phytophthora infestans. Isolasi dilakukan pada lahan pertanaman kentang yang sakit dan yang tidak terinfeksi Phytophthora infestans. Isolasi dilakukan dengan cara isolasi langsung (direct plating), yaitu : tanah lokal diambil dan diletakkan pada cawan petri yang berisi medium TEA steril yang telah ditambahkan chloramfenikol 50 ppm, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Koloni jamur yang menunjukkan morfologi koloni yang berbeda kemudian masing-masing dipisahkan ke dalam medium PDA kemudian diidentifikasi menurut buku Barnett dan Hunter, 1972.
Susiana Purwantisari
2.Isolasi dan identifikasi jamur Phytophthora infestans. Isolat Phytophthora infestans diisolasi dari daun kentang yang positif terinfeksi Phytophthora infestans. Isolasi dilakukan dengan cara isolasi langsung (direct plating), yaitu : daun kentang diambil dan diletakkan pada cawan petri yang berisi TEA steril yang telah ditambahkan chloramfenikol 50 ppm, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Koloni kapang yang menunjukkan ciri-ciri Phytophthora infestans dipindahkan dalam medium PDA lainnya dalam cawan petri secara aseptik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Identifikasi menurut Barnett dan Hunter, (1972) untuk memperoleh isolat murni Phytophthora infestans. 3. Uji Antagonisme jamur antagonis isolat lokal terhadap kapang patogen Phytophthora infestans secara In vitro Isolat Phytophthora infestans dibiakkan pada media PDA (Potao Dekstrose Agar) di dalam cawan petri dan diinkubasi selama 5 x 24 jam pada suhu 30oC, kemudian dibuat cetakan potongan miselium berbentuk bulat dengan diameter 0,5 cm. Satu potongan miselium ini kemudian diletakkan berdampingan dengan cetakan miselium koloni jamur antagonis isolat lokal (dual plating). Sebagai kontrol, kapang patogen Phytophthora infestans ditumbuhkan pada medium PDA yang tidak diinokulasikan terlebih dahulu dengan biakan sel jamur antagonis isolate lokal. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Isolasi patogen penyebab busuk daun dan umbi tanaman kentang Kapang patogen Phytophthora infestans berhasil diisolasi dari beberapa lembar daun kentang yang telah positif terinfeksi kapang patogen tersebut yang diambil dari lokasi perkebunan (pembibitan) kentang di Kledung, Kedu Temanggung Jawa Tengah (Gambar 1 dan 2 ). Metode isolasi menggunakan metode isolasi secara langsung (direct method). Beberepa kapang antagonis (3 buah) juga telah berhasil diisolasi dan positif menghambat pertumbuhan kapang patogen Phytophthora infestans. Penghambatan yang kuat terjadi pada pertumbuhan koloni jamur Trichoderma sp yang ditumbuhkan pada koloni
kapang patogen Phytophthora infestans (Gambar 2).
Gambar 1: Busuk daun (late blight) pada daun tanaman kentang oleh Kapang patogen Phytophthora infestans
Gambar 2: Isolasi langsung daun tanaman kentang yang terinfeksi kapang patogen Phytophthora infestans pada medium PDA dan TEA Koloni kapang patogen Phytophthora infestans pada medium PDA berwarna putih dengan tekstur permuakaan berwarna wolly. Sporangia berbentuk pyriform mempunyai papila berwarna hialin serta permukaannya halus. Sporangiofor bercabang-cabang simpodial, berwarna hialin (Gambar 3).
Pengendalian Hayati Penyakit Hawar Daun
Gambar 3: Koloni dan gambar mikroskopi kapang patogen Phytophthora infestans pada medium PDA 2. Isolasi kapang –kapang tanah isolat lokal pada pertanaman kentang Dari hasil isolasi jamur tanah pada medium PDA diperoleh 3 isolat kapang antagonis, baik yang diisolasi dari pertanaman kentang yang sakit atau yang tidak. Pemilihan isolat didasarkan pada perbedaan morfologi koloni (warna dan bentuk koloni) isolat jamur pada kedua medium tersebut untuk tiap-tiap sampel tanah. Dengan demikian tidak menutupi kemungkinan terdapat isolat-isolat jamur yang sama yang berasal dari beberapa sampel tanah tersebut (Gambar 4).
konidium terbentuk secara bergerombol pada permukaan sel konidiofornya (Gambar 5). Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme ini adalah hiperparasit yang dapat diamati dengan pertumbuhan miselium Trichoderma spp. yang menutupi seluruh permukaan medium termasuk koloni Phytophthora infestans. Pada hari keenam uji penghambatan jamur Trichoderma sp terhadap pertumbuhan kapang patogen Phytophthora infestans secara in vitro mengalami penghambatan yang paling kuat yang ditandai dengan penutupan koloni kapang Trichoderma sp pada hari keenam umur pertumbuhan Phytophthora infestans (Gambar 6).
Gambar 5: Koloni dan mikroskopi kapang antagonis isolat lokal Trichoderma sp pada medium PDA
Gambar 4: Koloni-koloni kapang antagonis yang dapat diisolasi dari tanah pertanaman kentang pada medium PDA. 3. Uji antagonisme secara in vitro Dari 7 isolat jamur yang diperoleh pada medium PDA, 3 isolat di antaranya bersifat antagonis terhadap kapang patogen Phytophthora infestans dan berdasarkan pada persamaan sifat morfologi koloninya (warna dan bentuk koloni), maka dari 7 isolat jamur ini dapat dikelompokkan menjadi 3 isolat jamur antagonis yang sama. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa dari 1 kelompok jamur antagonis ini kelompok 1 merupakan kelompok/ marga Trichoderma spp. yang dicirikan dengan adanya banyak percabangan konidiofor dan
Gambar 6: Penutupan koloni kapang patogen Phytophthora infestans oleh kapang antagonis Trichoderma sp. Pada hari keenam uji antagonisme Pada isolasi jamur tanah dengan medium PDA ini selain marga Trichoderma spp., juga didapatkan 2 kelompok jamur antagonis yang lain yang berbeda sifat morfologi koloninya. (Tabel 1). Isolat jamur antagonis kelompok 2 merupakan marga Aspergillus. Hal ini dapat dilihat dari morfologi jamur yang khas yaitu adanya vesikel yang berbentuk bulat hingga lonjong, fialid yang
Susiana Purwantisari
terbentuk di seluruh permukaan vesikel dan konidium yang terbentuk secara berantai pada fialid. Koloni pada medium PDA berwarna hitam yang permukaannya kasar (Gambar 7).
Gambar 7: Koloni dan mikroskopi kapang antagonis isolat lokal Aspergillus sp pada medium PDA Adapun kelompok 3 masih merupakan kelompok jamur yang belum teridentifikasi dengan ciri morfologi yang sama dengan gambar 9. Pada pengamatan secara mikroskopis pada jamur yang belum bisa teridentifikasi hanya dijumpai adanya hifa yang bersekat dan tidak ditemukan adanya konidium atau organ-organ lain yang yang merupakan ciri khas dari jamur.
Gambar 8: Uji antagonisme koloni kapang patogen Phytophthora infestans oleh kapang antagonis Aspergillus sp. Pada hari keenam pada medium PDA
Gambar 9: Uji antagonisme koloni kapang patogen Phytophthora infestans oleh kapang antagonis yang belum diketahui jenisnya.
Mekanisme penghambatan yang terjadi kelompok jamur 2 dan 3 (Aspergillus dan jamur yang belum bisa diidentifikasi) pada uji antagonisme ini adalah antibiosis. Hal ini dapat diketahui dengan terbentuknya zone penghambatan di sekitar koloni jamur antagonis (Gambar 8). Zona penghambatan ini hanya bersifat sementara karena jika waktu inkubasi diperpanjang maka koloni Phytophthora infestans mampu tumbuh terus melewati zona penghambatan tersebut. Sedangkan pada kelompok 1 (Trichoderma sp), mekanisme penghambatannya diduga adalah hiperparasit dimana koloni jamur antagonis tumbuh menutupi seluruh permukaan medium termasuk koloni Phytophthora infestans. Gambar uji antagonisme tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. KESIMPULAN Kapang antagonis isolat lokal Trichoderma lignorum dapat menghambat pertumbuhan kapang patogen Phytophthora infestans secara in vitro. DAFTAR PUSTAKA Adijaya S. Dian. 2001. Kentang Tak Harus Kulit Kering. Trubus . 376: 50. Alexopolous C.J., Mims, C.W., Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. John Wiley & Sons, Inc. Canada America. Anonimous.2002. Pedoman Penerapan Agen Hayati Dalam Pengendalian OPT Tanaman Sayuran. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura Direktoratv Perlindungan Hortikultura. Jakarta. 49hal. Bertha Hapsari, 2003. Stop Fusarium dengan Trichoderma. Trubus 404- XXX. Hal. 42-43). Cholil, A dan Latief Abadi. 1991. Penyakitpenyakit penting tanaman pangan. Pendidikan Program Diploma Satu Pengendalian Hama Terpadu. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Cook, R. J. & K.F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. APS Press, Am. Phyt. Soc., Minnesota. 539 p. De La Cruz, J., J.A. Pintor-Toro, T. Benitez & A. Liobell. 1995. Purification and Characterization o fan Endo-1,6-
Pengendalian Hayati Penyakit Hawar Daun
Glucanase from Trichoderma harzianum that is related to its Mycoparasitism. J. Bacteriol. 177: 1864- 1871. Domsch, K. H., W, Gams, & T. Anderson. 1980. Compendium of Soil Fungi. Academic Press. London. Djafarudin. 2000. Dasar-dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta. Harman, G.E., C.K. Hayes, M. Lorito, R.M Broadway, A. Di Pietro, C. Peterbauer & Tronsmo. 1993. Chitinolytic Enzymes of Trichoderma harzianum: Purification of Chitobiosidase and Endochitinase. Phytopathology 83: 313-318. Hartree, E.F. 1972. Determination of Protein: A Modification of the Lowry Method that Gives a Linier Photometric Response. Anal. Biochem. 48: 422- 427. Lorito, M. 1998. Chitinolitic Enzymes and Their Genes, p. 73-99. In Harman, G.E., and C.P. Kubicek. Trichoderma and Gliocladium Vol. 2. Enzymes, Biological Control and Commercial Application. Taylor and Francis, London. Katayama, Katsumi, dan Teramoto, Takeshi. 1997. Seed Potato Production and Control of Insect Pest and Diseases in Indonesia, dalam
Agrochemicals Japan Journal. Japan-Plant Protection. Panda, F.T. 1999. Regulation and cloning of microbial chitinase genes. Appl.Microbiol. Biotechnol. 51: 141-151. Rukmana, Rachmad. 1997. Kentang: Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta: Kanisius. Tokuyasu, K., M.O. Kameyama and K. Hiyasi. 1996. Purification and characterization of extracelular chitin deacetylase from Collletotrichum lindemuthianum. Biosci. Biotech. Biochem. 60: 1598-1603. Ueda, M., M. Shiro, T. Kawaguchi and M. Aray. 1996. Expression of chitinase III gen of Aeromonas 10S-24 in E. coly. Biosci. Biotech. Biochem. 60: 1195-1197. Vessey, J.C. & G.F. Pegg. 1973. Autolysis and Chitinase Production in Cultures of Verticillium alboatrum. Trans. Br. Mycol. Soc. 60: 133-143. Wibowo, Arif dan Suryanti. 2003. Isolasi dan Identifikasi Jamur-jamur Antagonis terhadap Patogen Penyebab Penyakit Busuk Akar dan Pangkal Batang Pepaya. Jurnal Fitopatologi Indonesia (Vol 7) No. 2: 38-44 pp.
Volume 9, Nomor 3, Juni 2013 Halaman 95–98 DOI: 10.14692/jfi.9.3.95
ISSN: 2339-2479
KOMUNIKASI SINGKAT Penyakit Kering Pelepah pada Tanaman Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Timur dan Sumatera Utara Dry Frond Disease of Oil Palm in East Kalimantan and North Sumatera Provinces Donnarina Simanjuntak*, Agus Susanto Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan 20158 ABSTRAK Perkembangan industri kelapa sawit yang pesat ditandai dengan penanaman monokultur secara terus-menerus. Hal tersebut mengakibatkan banyak masalah di perkebunan, seperti timbulnya penyakit busuk pangkal batang, busuk pucuk, bercak daun, antraknosa, dan busuk buah. Dewasa ini ada laporan dari beberapa perusahaan mengenai gejala penyakit baru, yaitu kering pelepah. Penyakit ini dilaporkan telah menyebar di Provinsi Kalimantan Timur dan Sumatera Utara. Eksplorasi penyakit dilakukan di kebun Muara Wahau, Kalimantan Timur dan Kota Pinang (Labuhan Batu), Sumatera Utara. Gejala khas yang ditemukan ialah busuk di ujung pelepah kemudian menyebar ke bagian tengah pelepah, busuk berwarna cokelat hingga kehitaman, dan saat busuk sudah sampai di tengah maka pelepah tersebut menjadi kering, dan akhirnya patah. Hasil isolasi serta identifikasi menunjukkan bahwa cendawan yang ditemukan pada bagian tanaman yang bergejala adalah Thielaviopsis sp., namun perlu pengujian Postulat Koch yang dapat membuktikan bahwa penyakit pelepah kering kelapa sawit disebabkan oleh infeksi Thielaviopsis sp. Kata kunci: pola tanam monokultur, postulat Koch, Thielaviopsis sp. ABSTRACT The rapid development of oil palm industry is indicated by wide monoculture plantation. This condition causes the development of many diseases such as basal stem rot, bud rot, leaf spot, anthracnose, and fruit rot diseases. Recently, a new disease causing dry frond symptom was reported from plantations in 2 provinces, i.e. East Kalimantan and North Sumatera. Disease exploration was conducted in Muara Wahau estate, East Kalimantan and Kota Pinang (Labuhan Batu) estate, North Sumatera. Typical symptoms involved decaying which started from the tip of frond that spread into the middle, rotting brown to blackish; when rot had reached the middle, the frond becomes dry, and finally broken. Isolation and identification of the fungi from the infected plant showed the association of Thielaviopsis sp., although Koch Postulate–based assay was unable to prove that the disease was caused by infection of Thielaviopsis sp. Key words: Koch postulate, monoculture, Thielaviopsis sp.
*Alamat penulis Korespondensi: Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jalan Brigjen Katamso No 51, Medan 20158 Tel: 061-7862477, Faks: 061-7862488, Surel: [email protected]
95
J Fitopatol Indones
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu tanaman budi daya penting di dunia karena menghasilkan minyak yang berguna sebagai bahan baku minyak nabati dan bahan bakar biodisel. Sebagai tanaman pendatang dari Benua Afrika, sampai saat ini kelapa sawit masih merupakan salah satu tanaman perkebunan andalan sumber devisa negara bagi Indonesia (Adiwiganda 2007). Prospek cerah yang dimiliki industri kelapa sawit membuat banyak pengusaha beralih mengonversi lahan penanaman komoditas lain menjadi perkebunan kelapa sawit secara monokultur. Sejalan dengan perluasan monokultur kelapa sawit yang dilakukan secara terusmenerus mengakibatkan masalah penyakit tanaman cenderung meningkat dan semakin beragam. Pola tanam monokultur dapat mempengaruhi tekanan seleksi terhadap patogen tertentu karena patogen akan berusaha untuk tetap bertahan, sedangkan tanaman akan menjadi rentan terhadap serangan patogen baru yang gennya lebih kuat. Contoh kasus dampak pola tanam monokultur di kebun kelapa sawit ialah timbulnya epidemik penyakit busuk pangkal batang Ganoderma boninense (Susanto et al. 2013), busuk pucuk, bercak daun, antraknosa, dan busuk buah yang masih terjadi hingga saat ini (Susanto et al. 2010; Martinez dan Arango 2013). Penanaman monokultur kelapa sawit juga berpotensi menyebabkan munculnya penyakit baru. Dewasa ini ada laporan mengenai gejala penyakit baru di perkebunan kelapa sawit, yaitu gejala kering pelepah. Gejala tersebut pertama kali ditemukan di kebun Muara Wahau, Kalimantan Timur dan Kota Pinang (Labuhan Batu), Sumatera Utara. Beberapa ahli beranggapan, kering pelepah dapat terjadi karena beberapa penyebab di antaranya serangan rayap, ulat kantung, dan Ganoderma. Tanaman yang terserang rayap menunjukkan gejala kering pelepah, namun biasanya pada batang yang terserang terdapat lorong-lorong cokelat yang merupakan jalan masuk rayap (Purba et al. 2005; Susanto et al. 2010). Pelepah kering yang disebabkan 96
Simanjuntak dan Susanto ulat kantung, terlihat seperti gejala gosong dan terbakar (Purba et al. 2005; Susanto et al. 2006). Infeksi Ganoderma juga menyebabkan gejala pelepah kering, akan tetapi hanya tampak pada satu atau beberapa pokok saja dan tidak merata pada seluruh pokok yang ada dalam satu hamparan. Penelitian yang dilakukan oleh Mathews dan Clarence (2004) menjelaskan bahwa kering pelepah juga dapat terjadi sebagai akibat respons tanaman kelapa sawit terhadap kekurangan air, terutama di lahan gambut, atau kekurangan unsur hara tertentu. Tanaman yang mengalami defisiensi Cu pada ujung daunnya terjadi nekrosis dan kering, tepi daun menggulung, dan biasanya tanaman tumbuh kerdil (Adiwiganda 2007; Ginting et al. 2007), sedangkan tanaman yang mengalami defisiensi kalium pada daun ditandai dengan munculnya bintik, bercak, garis-garis berwarna jingga kemerahan (Anwar 2000). Drainase yang berlebihan atau kekurangan air dapat menyebabkan gejala pelepah kering, akan tetapi pada tanaman yang mengalami cekaman air dan saat musim kemarau yang panjang, pengeringan dini dimulai dari pelepah daun yang terbawah (Pamin et al. 1997; Siregar et al. 2005) dan gejala kekeringan akan nampak merata pada semua tanaman. Gejala kering pelepah yang ditemukan di Kalimantan Timur dan Sumatera Utara, ditandai dengan gejala yang khas, yaitu pembusukan terdapat di ujung pelepah kemudian menyebar hingga ke bagian tengah pelepah, ketika busuk sudah sampai di tengah, pelepah menjadi kering, dan akhirnya patah. Apabila pelepah sakit dibelah melintang terlihat area yang membusuk berwarna cokelat hingga kehitaman disertai dengan bercak memanjang lebar berwarna cokelat yang ditumbuhi dengan sedikit miselium berwarna putih (Gambar 1). Identifikasi cendawan yang ditemukan pada bagian tanaman bergejala diawali dengan tahap isolasi. Pelepah daun yang menunjukkan gejala kering dipotong dengan ukuran 2 cm × 2 cm, kemudian diletakkan pada medium potato dextrose agar (PDA) di cawan petri. Miselium cendawan yang muncul selanjutnya diisolasi kembali sampai diperoleh biakan
Simanjuntak dan Susanto
J Fitopatol Indones
a
b
c
Gambar 1 Gejala eksternal penyakit kering pelepah a, asal Provinsi Kalimantan Timur; b dan c, asal Provinsi Sumatera Utara. murni. Setelah biakan cendawan berumur 10 hari, diamati secara mikroskopis untuk melihat bentuk spora atau konidium yang tumbuh. Pengamatan mikroskopi juga dilakukan dengan mengorek langsung jaringan pelepah yang kering. Pewarna yang digunakan adalah methylene blue dan konidium yang ditemukan selanjutnya diidentifikasi (Barnett 1960). Diperoleh satu jenis cendawan dari hasil isolasi dan hasil identifikasi menunjukkan ciri-ciri spesifik satu spesies cendawan, yaitu Thielaviopsis sp. Patogen ini diidentifikasi berdasarkan morfologi spora, yaitu memiliki ciri-ciri letak konidiofor pada miselium cabang lateral yang pendek, spora berwarna subhialin gelap, spora berbentuk agak oval melonjong, tersusun dalam bentuk massa (kumpulan rantai yang panjang), dan memiliki klamidospora yang berdinding tebal (Gambar 2). Tahap identifikasi selanjutnya ialah melakukan Postulat Koch pada bibit kelapa sawit sehat berumur 14 bulan. Pengujian ini dilakukan dengan tujuan memastikan kembali patogen yang ditemukan dengan gejala kering pelepah yang disebabkannya. Namun Postulat Koch yang dilakukan belum berhasil mendapatkan gejala yang sama seperti di lapangan sehingga belum dapat dipastikan bahwa penyebab penyakit kering pelepah ialah cendawan Thielaviopsis sp. Gejala kering pelepah yang ditemukan di kebun kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Timur dan Sumatera Utara terjadi karena jarak tanam kelapa sawit yang terlalu rapat sehingga menyebabkan kelembapan menjadi tinggi dan dapat memicu berkembangnya
Gambar 2 Morfologi spora Thielaviopsis sp. mikroorganisme di area tersebut. Kegiatan prunning (penunasan pelepah) yang tidak tepat juga dapat membuat tanaman menjadi terluka sehingga patogen dengan leluasa dapat masuk ke dalam jaringan pelepah. Upaya pengendalian yang telah disarankan ialah melalui aplikasi fungisida dengan waktu rotasi yang tepat, serta memperhatikan tingkat kelembapan tanah, terutama jika sedang musim hujan. DAFTAR PUSTAKA Adiwiganda R. 2007. Manajemen tanah dan pemupukan perkebunan kelapa sawit. Di dalam: Mangoensoekarjo S, editor. Manajemen Tanah dan Pemupukan Budi daya Perkebunan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Pr. hlm 19–118. Anwar S. 2000. Fungsi, gejala, dan penyebab terjadinya defisiensi unsur mikro pada 97
J Fitopatol Indones
kelapa sawit. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 8(2):89–97. Barnett HL. 1960. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-2. West Virginia (US): Burgess Publ. Ginting, EN, Sutarta ES, Rahutomo S. 2007. Gejala defisiensi Cu pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) di tanah mineral. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 15(1):27–33. Martinez G, Arango M. 2013. Detection of basal stem rot in infected oil palms using a picus sonic tomograph. Di dalam: Proceedings of the 5th MPOB-IOPRI International Seminar: Sustainable Management of Pests and Diseases in Oil Palm-The Way Forward; 2013 Nov 22–23; Kuala Lumpur (MY): Malaysian Palm Oil Board, Kuala Lumpur and Indonesian Oil Palm Research Institute, Indonesia. Mathews J, Clarence PJ. 2004. Some observations on premature frond desiccation of oil palm trees planted in very deep peat. J Planter. 80(936):143–156. Pamin K, Hutomo T, Syamsuddin E, Adiwiganda YT. 1997. Upaya penanggulangan dampak kekeringan dan kebakaran pada tanaman kelapa sawit. Di dalam: Prosiding Seminar Sehari Penanggulangan Kekeringan dan
98
Simanjuntak dan Susanto Kebakaran Tanaman Kelapa Sawit; 1997 Nov 19; Medan (ID): GAPKI dan PPKS. hlm: 1–21 Purba RY, Susanto A, Akiyat. 2005. Penyakitpenyakit Non-Infeksi pada kelapa sawit. Seri Buku Saku. Medan (ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Siregar HH, Harahap IY, Darmosarkoro W, Sutarta ES, Syamsuddin E. 2005. Antisipasi dan Penanggulangan Pengaruh Kekeringan pada Kelapa Sawit. Seri Buku Saku. Medan (ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Susanto A, Priwiratama H, Dja’far. 2013. Program replanting dipercepat pada kebun kelapa sawit terserang Ganoderma. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 21(1):10–19. Susanto A, Purba RY, Prasetyo AE. 2010. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit. Volume ke-1. Medan (ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Susanto A, Purba RY, Purba SM, Prasetyo AE. 2006. The development of basal stem rot disease (Ganoderma boninense) in hole-in-hole planting system in oil palm plantation. Di dalam: Proceedings of Int’l Oil Palm Confrence: 2006 Jun 19–23; Bali (ID). hlm 376–384.
100
J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 6, No. 2 : 100 – 106, September 2006
POTENSI ERIONOTA THRAX SEBAGAI AGEN PENYEBAR PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN PISANG (BLOOD DISEASE BACTERIUM) Radix Suharjo1, Edhi Martono2, dan Siti Subandiyah2 ABSTRACT Potential of Erionota thrax to spread the causal agen of banana bacterial wilt (Blood Disease Bacterium). This study was conducted in Gerbosari, Samigaluh, Kulonprogo, Yogyakarta and in the Laboratory of Bacteriology and Entomology, Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University, Yogyakarta during December 2002 to June 2003. The aim of this study was to find out the potency of Erionota thrax to spread Blood Disease Bacterium the causal agent of banana blood disease in Indonesia. A field survey was conducted to record the existance of Blood Disease Bacterium in larvae and adult E. thrax. The results show that Blood Disease Bacterium was not found in the larval stage of E. thrax. In the adult of E. thrax, the pathogen was found on the legs, wings, body surface, head and head surface, but it was not found inside the body of E. thrax. Key words : Erionota thrax, Banana, Blood Disease Bacterium
PENDAHULUAN Tanaman pisang mempunyai potensi ekonomi yang tinggi apabila dikelola secara intensif yang berorientasi agribisnis. Dewasa ini pisang telah menjadi mata dagang ekspor dan impor di pasar internasional (Rukmana, 1999). Walaupun begitu, di Indonesia tanaman pisang ditanam dengan input produksi dan perhatian yang minim. Kondisi inilah yang menyebabkan usaha untuk meningkatkan produksi tanaman pisang menjadi lebih sulit. Padahal tanaman ini dapat tumbuh di setiap tempat, baik di pekarangan sekitar rumah dan di lahan-lahan sawah (Subandiyah et al., 2005). Di samping cara budidayanya yang kurang baik tersebut, permasalahan hama dan penyakit tanaman juga menjadi kendala tersendiri dalam usaha meningkatkan produksi tanaman pisang. Penyakit layu bakteri merupakan salah satu penyakit yang menyerang pertanaman pisang disamping penyakit layu Fusarium dan Sigatoka. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi melalui bibit (anakan pisang), tanah, alat-alat pertanian dan serangga (Suspendy, 2001). Anonimous (1971) melaporkan bahwa serangga-serangga yang mengunjungi bunga pisang menjadi agen utama dalam penyebaran patogen penyebab layu bakteri. Ada beberapa jenis serangga yang berpotensi sebagai agen penyebar penyakit layu bakteri antara lain serangga dari ordo Hymenoptera (Apidae), Diptera (Chloropidae, Scaaridae, Sarchopagidae, 1 2
Antomyidae, Platyzidae, Tephritidae, Drosophilidae, Muscidae, Syrphidae, Culicidae), Lepidoptera (Coleophoridae), Blattaria, (Blattidae) (Suspendy, 2001; Supriadi, 2005). Subandiyah, et al. (2005) melaporkan ada dua spesies serangga dominan di daerah pertanaman pisang di Yogyakarta yang mempunyai intensitas penyakit darah pisang yang tinggi. Serangga tersebut adalah Erionota thrax (Lepidoptera) dan Cosmopolites sordidus (Coleoptera). Penelitian tentang peranan dua serangga tersebut, khususnya Erionota thrax dalam penyebaran penyakit darah pisang belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian tentang kemampuan E. thrax sebagai agen penyebar bakteri penyebab penyakit darah pisang. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2002 sampai Juni 2003. Pengambilan sampel larva dan imago Erionota thrax dilakukan di Desa Gerbosari, Samigaluh, Kulon Progo Yogyakarta yang merupakan daerah endemik penyakit layu bakteri tanaman pisang. Identifikasi E. thrax dilakukan di Laboratorium Entomologi. Sedangkan isolasi dan identifikasi Blood Disease Bacterium (BDB) dilakukan di laboratorium Bakteriologi, Jurusan Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dosen Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, email : [email protected] Dosen Jurusan Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Suharjo et al. : Potensi E. thrax sebagai Agen Penyebar Patogen Penyebab Penyakit Layu Bakteri pada Pisang
Penangkapan Erionota thrax Penangkapan E. thrax dilakukan dengan menggunakan jala (jaring serangga) yang dilakukan pada awal pagi hari (pukul 05.00 WIB – 06.30 WIB) ataupun senja hari (pukul 17.30 WIB – 18.30 WIB) pada tanaman pisang yang berbunga. Identifikasi E. thrax mengacu pada Borror et al. (1981), Anonimous (1991) dan Kalshoven (1981). Isolasi Fase Larva E. thrax Isolasi bagian luar tubuh. Isolasi dilakukan dengan cara mencuci larva dengan larutan PBS 0,02 M, pH 7,2 dengan cara 1 gr berat tubuh dicuci dengan 9 ml PBS dan kemudian air hasil cuciannya digoreskan pada media Casamino Acid Pepton Glucose (CPG) dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam. Isolasi bagian dalam tubuh. Tubuh larva E. thrax yang diperoleh dari lapang didisinfeksi dengan larutan Natrium Hipoklorit 1% selama 1 jam. Setelah itu dicuci dengan air steril 3-4 kali kemudian ditiriskan dan digerus sampai hancur, lalu ditambahkan PBS 0,02 M, pH 7,2 dengan cara seperti pada isolasi bagian tubuh luar larva. Setelah itu, ekstraknya digoreskan pada media CPG dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam. Isolasi Fase Imago E. thrax Isolasi BDB dari imago E. thrax dilakukan pada bagian kepala (luar dan dalam kepala), sayap, kaki dan tubuh (dalam tubuh dan luar tubuh) imago termasuk bagian torak.
Isolasi bagian kepala
Isolasi bagian luar kepala. Isolasi dilakukan dengan cara memotong bagian kepala imago, kemudian mencuci bagian kepala dengan larutan PBS 0,02 M, pH 7,2 dengan cara 1 gr berat dicuci dengan 9 ml PBS. Setelah itu air hasil cuciannya digoreskan pada media CPG dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam. Isolasi bagian dalam kepala. Kepala E. thrax yang diperoleh didisinfeksi dengan larutan Natrium
101
Hipoklorit 1% selama 1 jam. Setelah itu dicuci dengan air steril 3-4 kali kemudian ditiriskan dan digerus sampai hancur, lalu ditambahkan PBS 0,02 M, pH 7,2 dengan cara seperti pada isolasi bagian luar kepala serangga. Setelah itu ekstraknya digoreskan pada media CPG dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam. Isolasi bagian sayap Bagian sayap imago yang diperoleh dipotong, kemudian dicuci dengan larutan PBS 0,02 M, pH 7,2 dengan cara 1 gr berat dicuci dengan 9 ml PBS dan kemudian air hasil cuciannya digoreskan pada media CPG dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam. Isolasi dari kaki Bagian kaki imago dipotong, kemudian dicuci dengan larutan PBS 0,02 M, pH 7,2 dengan cara 1 gr berat dicuci dengan 9 ml PBS dan kemudian air hasil cuciannya digoreskan pada media CPG dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan terhadap ciriciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam. Isolasi bagian tubuh Isolasi bagian luar tubuh. Tubuh E. thrax (tanpa kepala, sayap dan kaki) dicuci dengan larutan PBS 0,02 M, pH 7,2 dengan cara 1 gr berat dicuci dengan 9 ml PBS dan kemudian air hasil cuciannya digoreskan pada media CPG dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam. Isolasi bagian dalam tubuh. Tubuh E. thrax (tanpa kepala, sayap dan kaki) yang ada didisinfeksi dengan larutan Natrium Hipoklorit 1% selama 1 jam. Setelah itu dicuci dengan air steril 3-4 kali kemudian ditiriskan dan digerus sampai hancur, lalu ditambahkan PBS 0,02 M, pH 7,2 dengan cara seperti pada isolasi bagian luar kepala serangga. Setelah itu ekstraknya digoreskan pada media CPG dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan terhadap ciriciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 48-72 jam.
102
J. HPT Tropika, 6(2) September 2006
Uji Reaksi Hipersensitif Uji reaksi hipersensitif dilakukan dengan menyuntikkan 300 mikroliter suspensi koloni bakteri yang diduga sebagai koloni BDB pada permukaan bawah daun tanaman tembakau. Hasil negatif pada uji gram dan hasil yang positif pada uji reaksi hipersensitif menunjukkan bahwa bakteri tersebut merupakan patogen tumbuhan dan dapat diduga bakteri tersebut merupakan BDB. Uji Patogenesitas Untuk lebih meyakinkan bahwa koloni bakteri tersebut merupakan BDB, maka koloni yang menunjukkan hasil positif pada uji reaksi hipersensitif dilakukan uji patogenesitas pada tanaman pisang. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode pelukaan akar yang mengacu pada metode Fahy & Hayward (1983) dan Schaad et al. (2001) yang telah dimodifikasi. Bibit tanaman pisang varietas kepok yang berumur 4 bulan akarnya dilukai (dipotong secukupnya) kemudian direndam dalam suspensi bakteri selama 30 menit. Setelah itu ditanam dalam polibag dan sebanyak 10 ml suspensi bakteri disiramkan di sekitar tanaman pisang segera setelah ditanam. Pengamatan dilakukan terhadap gejala kelayuan yang muncul. HASIL DAN PEMBAHASAN Penangkapan E. thrax Penangkapan E. thrax yang dilakukan dengan
menggunakan jaring serangga berhasil memperoleh 15 ekor imago E. thrax. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa E. thrax aktif mengunjungi bunga pisang hanya pada jam 05.30 – 06.00 WIB (pagi hari) dan jam 17.30 – 18.00 WIB (senja hari). Isolasi Blood Disease Bacterium (BDB) dari E. thrax Isolasi sebagai usaha untuk menemukan BDB dilakukan pada dua fase hidup E. thrax, yaitu fase larva dan Imago. Hasil isolasi BDB dari kedua fase hidup E. thrax tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Isolasi pada fase larva Isolasi dilakukan pada dua bagian tubuh larva, yaitu bagian permukaan tubuh dan dalam tubuh. Larva E. thrax (banana skipper, banana leaf roller) menyerang tanaman pisang dengan cara membuat gulungan pada daun pisang dan memakan daun tersebut dari dalam gulungan (Sunarjono et al., 1989; Kalshoven, 1981; Mau & Kessing, 2003). Berdasarkan hal tersebut tersebut, ada kemungkinan bahwa BDB mampu berpindah dan bertahan hidup pada tubuh larva. Isolasi dilakukan pada 20 ekor larva yang diambil dari daerah penelitian. Isolasi bagian permukaan tubuh larva. Hasil isolasi pada bagian permukaan tubuh larva menunjukkan hasil yang negatif. Pada daerah tersebut ternyata tidak ditemukan adanya BDB. Hal itu ditunjukkan dengan hasil negatif pada uji reaksi hipersensitif. Sedangkan, koloni BDB akan menunjukkan reaksi positif pada uji
Tabel 1. Hasil isolasi Blood Disease Bacterium dari fase larva dan imago Erionota thrax Sumber isolasi
Bagian yang diisolasi
Larva E. thrax
Permukaan Tubuh Dalam tubuh
Keberadaan Blood Disease Bacterium (BDB) -
Imago E. thrax
Permukaan kepala Dalam Kepala Sayap Kaki Permukaan tubuh Dalam tubuh
+ + + + + -
Ket : - Tidak ditemukan BDB. + Ditemukan BDB.
Suharjo et al. : Potensi E. thrax sebagai Agen Penyebar Patogen Penyebab Penyakit Layu Bakteri pada Pisang
reaksi hipersensitif pada daun tanaman tembakau (Schaad et al., 2001). Isolasi bagian dalam tubuh larva. Sama seperti pada bagian permukaan tubuh larva, pada bagian ini juga tidak ditemukan adanya BDB, yang ditunjukkan dengan hasil yang negatif pada uji reaksi hipersensitif. Tidak ditemukannya BDB pada kedua bagian tubuh larva tersebut diduga terkait dengan cara menginfeksi bakteri tersebut. BDB merupakan bakteri yang menyerang pembuluh xylem tanaman pisang yang terletak pada batang pisang (true stem). Gejala layu pada tanaman pisang yang terserang BDB tampak karena adanya penyumbatan aliran air oleh Extracellular Polysaccharide (EPS) bakteri yang berada pada saluran xylem tanaman. Gejala layu yang tampak, itu terjadi karena minimnya suplai air dan nutrisi ke daun (Buddenhagen & Kelman, 1964). Ketidakberadaan BDB pada larva E. thrax tersebut diduga karena aliran bakteri ini tidak sampai ke daerah helaian daun pisang. Namun begitu, masih perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang adanya dugaan ini. Isolasi fase Imago Isolasi pada fase imago dibagi menjadi empat bagian tubuh, yaitu bagian kepala (permukaan dan dalam kepala), kaki, sayap dan tubuh (permukaan dan dalam tubuh) termasuk bagian torak. Isolasi dilakukan pada 15 ekor imago E. thrax yang berhasil ditangkap
103
di daerah penelitian. Dari 15 ekor yang tertangkap ternyata 9 diantaranya terbukti membawa bakteri penyebab penyakit darah pisang. Dalam mencari nektar, E. thrax akan mengunjungi bunga pisang yang seludangnya sudah mulai terbuka, ataupun pada bunga pisang yang seludangnya sudah terbuka, namun masih terdapat bunga pisang jantan yang menempel pada buah pisang. Untuk mendapatkan nektar, E. thrax akan masuk ke dalam seludang yang sudah membuka dan akan hinggap pada bunga pisang. Hal ini akan membuka peluang bagi BDB untuk dapat berpindah ke seluruh permukaan tubuh E. thrax dan selanjutnya berpindah dari permukaan tubuh ke bunga pisang yang lain. Isolasi bagian kepala Permukaan kepala. Hasil isolasi menunjukkan terdapat koloni bakteri yang memiliki ciri-ciri koloni seperti BDB (Gambar 1). Untuk lebih meyakinkan bahwa koloni tersebut merupakan koloni BDB , maka dilakukan uji gram (KOH 3%), uji reaksi hipersensitif dan uji patogenesitas. Uji gram menunjukkan bahwa bakteri tersebut bersifat gram negatif. Uji reaksi hipersensitif dan uji patogenesitas menunjukkan hasil yang positif (Gambar 2 dan Tabel 2). Hal itu membuktikan bahwa koloni bakteri tersebut merupakan koloni BDB, bakteri penyebab penyakit darah pisang.
Gambar 1. Koloni bakteri yang diisolasi dari imago E. thrax pada bagian kaki (A), Dalam Kepala (B), Permukaan Tubuh (C), Permukaan Kepala (D) dan Sayap (E) setelah inkubasi selama 48 jam.
104
J. HPT Tropika, 6(2) September 2006
a
b
Gambar 2. Hasil uji reaksi hipersensitif dan patogenesitas koloni bakteri yang diisolasi dari imago E. thrax . a. Hasil uji reaksi hipersensitif; bagian kaki (KK), dalam kepala (DK), permukaan tubuh (PT), permukaan kepala (PK) dan sayap (SYP) pada daun tanaman tembakau 4 – 5 hari setelah inokulasi. b. Hasil uji patogenesitas; kontrol (KTR), bagian kaki (KK), dalam kepala (DK), permukaan tubuh (PT), permukaan kepala (PK) dan sayap (SYP) pada bibit tanaman pisang varietas kepok hasil kultur jaringan umur 4 bulan 5 – 10 hari setelah inokulasi. Tabel 2. Hasil uji gram, uji reaksi hipersensitif dan uji patogenesitas koloni bakteri pada imago Bagian Tubuh Permukaan Kepala Dalam Kepala Sayap Kaki Permukaan Tubuh Dalam Tubuh
Uji gram (sifat gram) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Reaksi Hipersensitif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif
Uji Patogenesitas Positif Positif Positif Positif Positif -
Suharjo et al. : Potensi E. thrax sebagai Agen Penyebar Patogen Penyebab Penyakit Layu Bakteri pada Pisang
Dalam kepala. Isolasi dilakukan untuk mengetahui apakah BDB dapat masuk dan bertahan pada saluran ludah E. thrax. Hasil isolasi menunjukkan bahwa pada daerah ini juga ditemukan koloni bakteri tersebut. Kenyataan ini membuktikan bahwa BDB mampu masuk dan bertahan di dalam saluran ludah E. thrax. Walaupun demikian masih perlu adanya penelitian lebih lanjut, sejauh manakah BDB dapat bertahan di saluran ludah E. thrax tersebut. Masuknya bakteri ke dalam saluran ludah E. thrax diduga terhisap pada waktu serangga ini mencari nektar. Bakteri yang terhisap tersebut secara otomatis akan bercampur dengan air liur E. thrax. Bercampurnya bakteri dengan air liur ini merupakan media efektif bagi bakteri tersebut untuk dapat berpindah ke inang berikutnya, karena air liur ini akan selalu dikeluarkan oleh E. thrax setiap kali serangga ini menghisap nektar. Isolasi bagian sayap. Hasil isolasi pada bagian sayap menunjukkan hasil yang sama dengan hasil isolasi pada bagian permukaan dan dalam kepala E. thrax. Pada bagian ini juga ditemukan adanya koloni BDB. Isolasi bagian kaki. Sama halnya seperti hasil isolasi pada bagian sayap dan kepala, pada bagian kaki ini juga ditemukan adanya koloni BDB. Isolasi bagian tubuh E. thrax Permukaan tubuh. Isolasi pada bagian permukaan tubuh menunjukkan hasil yang sama dengan hasil isolasi pada beberapa bagian tubuh E. thrax yang lain. Pada bagian ini juga ditemukan adanya koloni BDB. Dalam tubuh. Pada bagian dalam tubuh E. thrax ternyata tidak ditemukan adanya koloni BDB. Hal ini dibuktikan dengan hasil yang negatif pada uji reaksi hipersensitif. Kenyataan ini membuktikan bahwa bakteri tersebut bersifat non persisten (Maryam et al, 1997) pada imago serangga E. thrax. Namun demikian, perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang sebab-sebab ketidak beradaan bakteri ini di dalam tubuh E. thrax. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa E. thrax mempunyai potensi untuk menyebarkan bakteri penyebab penyakit darah pisang (Blood Disease Bacterium) yang dibuktikan dengan ditemukannya bakteri ini pada bagian kaki, sayap, permukaan
105
kepala, dalam kepala dan permukaan tubuh serangga tersebut. Namun, Blood Disease Bacterium (BDB) ternyata tidak ditemukan di bagian dalam tubuh imago E. thrax (termasuk torak) dan larva E. thrax (baik di permukaan tubuh ataupun dalam tubuh larva). SANWACANA Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.. Eddy Mahrub, M.Sc. (alm), Suputa, S.P., M.P., Bpk Winarno, Bpk. Sarjiman, Rina Ediati, S.P atas semua saran dan bantuan yang telah diberikan. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius. Yogyakarta. .1971.Pests Control In Banana (Pans manual no 1).PANS 56 Gray’s Inn road.London WCIX 8 LU. England. Borror, D.J, D.M De-Long & C.A Triplehorn. 1981. An Introduction To The Study Of Insects. Sounders College Publishing. Buddenhagen I & A. Kelman. 1964. Biological and Physiological Aspects of Bacterial Wilt Coused by Pseudomonas solanacearum. Annual Review of Phytophatology vol 2. Annual Review Inc. Palo Alto California p 203 – 226. Fahy, P.C & A.C. Hayward. 1983. Media and Methods for Isolation and Diagnostic Tests in : P.C. Fahy & G.J. Persley. Bacterial Disease A Diagnostic Guide. Academic Press. Australia. Kalshoven, L.G.E.1981. The Pests Of Crops In Indonesia.PT Ichtiar Baru-Van Hoove.Jakarta. Maryam, A.B.N, T. Rasta, W. Handayati & D. Sihombing. Akuisisi dan Persistensi Bakteri Layu Pada Tanaman Pisang Oleh Serangga. 1997. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI). 8 Januari 1997. Bogor p154-161. Mau,R.F.L & J.L.M Kessing. 1993. Pelopidas thrax (Linnaeus). http//:www. extento. hawaii. edu/
106
J. HPT Tropika, 6(2) September 2006
kbase/ crop/ Type/ Pelopida.htm tanggal 5 Desember 2005.
diakses
Rukmana, R. 1999. Usaha Tani Pisang. Kanisius. Yogyakarta.
Sunarjono, H, Ismiyati, S. Kusumo & Wardah.1989. Produksi Pisang Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura .Jakarta.
Schaad, N.W, J.B Jones & W. Chun. 2001.. Laboratory Guide For Identification of Plant Pathogenic Bacteria.APS Press.Minnesota.
Supriadi. 2005. Present Status of Blood disease In Indonesia. In : C. Allen, P. Prior, A.C. Hayward. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia Solanacearum Species Complex. APS Press. St. Paul. Minnesota U.S.A.
Subandiyah,S, S. Indarti, T Harjaka, S.N.H Utami, C. Sumardiyono, & Mulyadi. 2005. Bacterial Wilt Disease Complex Of Banana In Indonesia. In : C. Allen, P. Prior, A.C. Hayward. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia Solanacearum Species Complex. APS Press. St. Paul. Minnesota U.S.A.
Suspendy, R.2001.Potensi Beberapa Jenis Serangga Dalam Penyebaran Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia Solanacearum) Pada Tanaman Pisang.Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan (Buku II). Pusat Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
96
Vol. 12, No. 1, 2012: 91–101
J. HPT Tropika
(10,14 ± 5,00) ekor, sedang pada bunga pisang sehat jumlah serangga ditemukan lebih rendah. Terjadi peningkatan kunjungan sebesar 29,02 % pada bunga jantan pisang sakit (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena imago tertarik bau cairan bakteri (oose) yang menetes dari patahan kelompok bunga jantan atau seludang. Oose ini mengandung propagul bakteri dalam jumlah tinggi. Tingginya populasi Trigona spp. yang mengunjungi bunga pisang sakit sangat menentukan cepatnya perkembangan dan penyebaran penyakit darah di dataran tinggi Tabek Panjang. Dalam periode satu kali masa berbunga pisang terserang BDB dikunjungi lebih banyak imago Trigona spp. (140,70 ± 68,75) ekor dibanding pada bunga sehat (109,05 ± 33,15) ekor. Pada bunga pisang kultivar Kayinja (pisang Awak) yang terserang BXW di distrik Mukono, Luwero dan Mpigi, Uganda ditemukan serangga pengunjung bunga dalam jumlah tinggi dari famili Apidae (Plebeina denoiti (Vachal) stingless bee, lalat buah (Drosophilidae) dan grass flies (Chloropidae). Ketiga jenis serangga tersebut
jumlahnya 4 kali lebih banyak pada bunga jantan tanaman yang terserang (Shimelash et al., 2008). Tingginya kepadatan Trigona spp. yang mengunjungi bunga pisang Kepok pada pagi hari disebabkan karena berbagai faktor diantaranya kesesuaian dengan sumber makanan dan kualitas makanan. Kadar gula bunga pisang Kepok tergolong lebih tinggi (26.37 (24.81-27.93) %) dari kadar gula jenis pisang lainnya (Setyobudi & Hermanto, 1999). Konsentrasi gula nektar yang dihasilkan pagi hari lebih disukai Trigona spp. Menur ut Yuniana (2002) konsentrasi gula nektar tanaman jeruk manis (Citrus sinensis (L.) Osbeck) yang dihasilkan pagi hari lebih tinggi (38%-39%) dan lebih disukai oleh T. minangkabau, T. itama dan T. moorei. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Widjaja (1991) bahwa kunjungan lebah pekerja lapangan pada jenis-jenis tumbuhan bergantung pada letak bunga dari lokasi sarang, kadar gula nektar, letak nektar, warna dan aroma bunga. Disamping itu seringnya kunjungan Trigona spp. pada bunga pisang Kepok juga disebabkan karena jarak sarang ke sumber makanan yang relatif dekat. Di sekitar
Tabel 1. Skala penilaian gejala layu Skala
Deskripsi
0 1 2 3 4 5
Tidak ada gejala kelayuan 1 daun layu 2-3 daun layu Semua daun layu, kecuali 2 atau 3 daun pucuk Semua daun layu Tanaman mati
Tabel 2. Penelitian virulensi bakteri penyebab layu Sifat
Deskripsi
Sangat virulen Virulen moderat Kurang virulen Sangat kurang virulen Avirulen
Tanaman menunjukkan gejala layu < 20 hari setelah inokulasi (hsi) Tanaman menunjukkan gejala layu 20-30 hsi Tanaman menunjukkan gejala layu >30 hsi Tanaman menunjukkan gejala nekrosis pada tepi daun dan kerdil Tanaman tidak menunjukkan gejala layu
Tabel 3. Rerata populasi Trigona spp. (± SD) yang mengunjungi bunga pisang Kepok sehat dan sakit Frekuens i kedatangan (ekor/pengamatan) Populasi Peningkatan Tanaman pisang (ekor/hari) (%) 09.00-10.00 wib 15.00-16.00 wib Tanaman sehat Tanaman sakit a
13,00 ± 2,64 (11) 18,00 ± 8,75 (7)
a
8,81 ± 3,99 10,14 ± 5,00
21,81 ± 6,63 28,14 ± 13,75
Jumlah tanaman pisang yang berbunga tempat pengambilan sampel Trigona spp.
29,02
97
Mairawita et al.
Potensi Trigona Spp. sebagai Agen Penyebar Bakteri
daerah penelitian ditemukan banyak sarang koloni Trigona spp. seperti pada pondok-pondok kebun, rongga pohon, tiang-tiang bambu, celah-celah dinding rumah. Hampir 50% rumah penduduk sekitar daerah penelitian terbuat dari kayu terutama rumah Gadang. Pada satu rumah Gadang ditemukan 3-4 koloni Trigona spp. Hasil penelitian Salmah (1992) menunjukkan bahwa Trigona spp. membuat sarang pada rongga-rongga batang pohon dan cabang pohon, tiang-tiang bambu, celah-celah dinding rumah dan rongga pada paku tiang.
tanaman pisang yang terserang BDB. Jumlah koloni BDB ditemukan lebih tinggi pada Trigona spp. yang mengunjungi bunga pisang sakit dibanding pada bunga pisang sehat. Jumlah koloni BDB pada permukaan kepala dan abdomen Trigona spp. dari bunga pisang sakit masing-masing (923 ± 670 upk/ml) dan (1423 ± 853 upk/ml) dan bagian dalam kepala (15,95 ± 18,58) x104 upk/ml dan (22,71 ± 21,15) x104 upk/ml. Jumlah koloni bakteri dari bagian permukaan kepala dan abdomen Trigona spp. bunga pisang sehat masingmasing (703 ± 687 upk/ml) dan (893 ± 905 upk/ml). Pada bagian dalam kepala dan abdomen jumlah koloni yang diisolasi (5,91 ± 9,81) 104 upk/ml dan (14,18 ± 17,60) 104 upk/ml (Tabel 4). Hasil penelitian Gold et al. (2005) menunjukkan bahwa , jumlah koloni Xcm penyebab layu Xanthomonas dapat diisolasi dari bagian tubuh Plebeina denotii yang merupakan serangga vektor banana Xanthomonas Wilt (BXW) di pertanaman pisang Uganda. Tingginya jumlah inokulum bakteri di bagian dalam abdomen diduga bahwa bakteri memakan polen, nektar dan oose bunga jantan yang terkontaminasi BDB dari tanaman pisang yang terserang BDB. Hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa populasi BDB 3,5 x 10 11 upk ml-1 pada bunga jantan dan seludang 2,3 x 10 11 dengan gejala serangan tanaman layu, daun menguning, buah mengalami kebocoran. Dalam aktivitasnya BDB mengeluarkan enzim pektinase yang menyebabkan jaringan terserang mengalami maserasi dan mengeluarkan bau yang menar ik serangga pengunjung bunga. Menurut Taneja & Guerin (1997), Rhagoletis pomonella dan banyak spesies serangga tertarik pada materi jaringan tanaman yang mengalami pembusukan. Protein yang terkandung di dalam buah mengalami penguraian menjadi ammonia yang mengeluarkan bau khas yang menarik serangga buah (Drew & Faye, 1988). Menurut Eden-Green (2004) populasi bakteri Xanthomonas wilt (BXW) ditemukan dalam jumlah tinggi pada nektar pisang, cairan eksudat patahan seludang dan oose tanaman pisang kultivar Kayinja
Isolasi BDB pada Fase Imago Trigona spp. yang Mengunjungi Bunga Pisang. Isolasi BDB dari Trigona spp. dilakukan terhadap bagian caput dan abdomen (bagian permukaan dan dalam). Pada permukaan tubuh/bagian dalam tubuh serangga yang tertangkap pada bunga pisang sakit ditemukan 100% positif membawa bakteri BDB dan 90,91% (30 ekor) pada serangga yang tertangkap dari bunga pisang sehat. Hal ini disebabkan karena aktivitas serangga mengunjungi bunga pisang sakit ataupun sehat sangat tinggi. Dalam pengamatan di lapang ditemukan bahwa imago Trigona spp. berpindah dari bunga pisang sehat ke bunga pisang sakit atau sebaliknya mencari polen dan nektar. Menurut Molina (1999), serangga sangat berperan dalam mentransmisi penyakit Moko yang disebabkan oleh R. solanacearum dari satu tanaman ke tanaman lain dalam kebun. Di samping itu seringkali tanaman yang terinfeksi masih tampak normal dari luar, daun-daun masih hijau dan buah kelihatan berkembang normal. Menurut Hermanto et al. (1998), kondisi ini memperbesar peluang penyebaran penyakit melalui aktivitas serangga pengujung bunga. Isolasi BDB dari Bagian Kepala dan Abdomen, Imago Trigona spp. yang Mengunjungi Bunga Pisang. Hasil isolasi menunjukkan bahwa pada bagian permukaan dan bagian dalam kepala ditemukan koloni bakteri. Masuknya bakteri ke dalam saluran ludah dan pencernaan Trigona spp. diduga terbawa pada waktu serangga ini mencari nektar dan oose dari bunga
Tabel 4. Rerata jumlah koloni BDB (± SD) dari bagian tubuh Trigona spp. pada bunga Kepok sehat dan sakit di dataran tinggi Tabek Panjang Bagian tubuh serangga Permukaan kepala Permukaan abdomen Bagian dalam kepala Bagian dalam abdomen
Rerata jumlah koloni per serangga (upk/ml) Tanaman s ehat 703 ± 687 893 ± 905 (5,91 ± 9,81) x104 (14,18 ± 17,60) x104
Tanaman terserang BDB 923 ± 670 1423 ± 853 (15,95 ± 18,58) x104 (22,71 ± 21,15) x104
98
Vol. 12, No. 1, 2012: 91–101
J. HPT Tropika
(pisang Awak) yang terserang banana Xanthomonas wilt (BXW) di distrik Mukono, Luwero dan Mpigi, Uganda. Dalam nektar bunga jantan ditemukan 1,891 x 104 upk/ml, pada eksudat segar patahan seludang 3,625 x 105 upk/ml dan pada oose 1,896 x 1011 upk/ml Xcm. Sewaktu bunga jantan tanaman sakit, rontok atau seludangnya patah maka oose bakteri keluar berupa tetesan berwarna putih susu. Serangga tertarik pada bau dan mendatangi oose bakteri kemudian hinggap pada bekas bunga jantan yang baru rontok, patahan seludang atau rengkahan buah yang sakit. Bagian tubuh serangga akan terkontaminasi dan bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan serangga, karena serangga menghisap cairan oose bakteri dan nektar bunga pisang yang terserang Xcm. Menurut Huffaker & Rabb (1984), propagul Pseudomonas savastanoi penyebab Olive knot di daer ah Mediterrania ditemukan dalam sistem pencernaan lalat Olive (Dacus oleae) yang diketahui melalui hasil sekresi dan telur yang sudah terkontaminasi dan Xanthomonas stewartii, penyebab hawar daun Stewart pada jagung, bertahan di dalam usus (gut) kumbang flea (Chaetocnema sp) sampai akhir musim dingin dan selanjutnya akan menginfeksi pada awal musim semi ketika imago menyerang tanaman inang. Isolasi BDB dari Semua Fase Perkembangan Trigona spp. yang Berasal dari Koloni Trigona spp. Propagul BDB ditemukan pada semua fase perkembangan Trigona spp., nektar dan polen kecuali pada telur (Tabel 5). Terkontaminasinya semua fase perkembangan Trigona spp. kecuali fase telur oleh BDB kemungkinan disebabkan karena imago pekerja telah terkontaminasi BDB pada saat mencari nektar, polen dan sumber makanan (oose, polen, dan nektar) yang dikumpulkan berasal dari bunga pisang yang terinfeksi BDB. Oleh lebah pekerja, oose, polen dan nektar yang terkontaminasi bakteri tersebut diberi makan
kepada larva, pupa dan imago. Pada penelitian awal ditemukan adanya propagul BDB dalam polen dan nektar bunga pisang Kepok yang terinfeksi BDB di lahan endemik dataran tinggi Tabek Panjang dan dataran rendah Pasar Usang. Menurut Atkins (1978), sel-sel bakteri melekat pada permukaan tubuh serangga sebagai kontaminan maupun masuk ke dalam saluran pencernaan serangga. Sel-sel ini akan terbawa pada saat serangga makan, mengisap nektar bunga atau meletakkan telurnya (oviposisi). Sumber inokulum bakteri yang disebarkan oleh serangga berasal dari bunga jantan dan oose bakteri dapat bertahan selama 3 tahun. Sewaktu bunga jantan rontok maka oose bakteri keluar dari rengkahan pedunkel berupa tetesan berwarna putih susu. Serangga tertarik akan bau dan mendatangi oose bakteri kemudian hinggap pada bekas bunga jantan yang baru rontok, patahan seludang atau rengkahan bunga yang sakit. Bagian tubuh serangga akan terkontaminasi dan bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan serangga, karena serangga menghisap cairan oose bakteri dan nektar bunga pisang yang terserang Xcm (Eden-Green, 2004; Tinzaara et al., 2006). Isolasi dan Identifikasi Bakteri. Hasil isolasi bakteri dari imago T. minangkabau di lapangan dan dalam koloni ditemukan propagul bakteri dengan ciri-ciri berwarna merah muda, koloni bakteri berukuran 0,5 – 4,5 mm, tidak beraturan, cembung dan non-fluidal dengan atau tanpa pusat formasi merah muda (Gambar 3). Ciri-ciri tersebut sesuai dengan ciri-ciri koloni R. solanacearum Phylotipe IV yang didiskripsikan oleh Eden-Green (1994); Soguilon et al. (1995); Schaad et al. (2001); Baharuddin (1994). Hasil pengujian terhadap sifat-sifat fisiologi R. solanacearum Phylotipe IV diperoleh bahwa bakteri tersebut merupakan kelompok gram negatif (Gambar 4a), menghidrolisis pektin (Gambar 4b), uji reaksi
Tabel 5. Hasil isolasi BDB dari koloni Trigona spp. Sumber isolasi
Bagian yang diisolasi
Imago
permukaan tubuh dalam tubuh permukaan tubuh dalam tubuh permukaan tubuh dalam tubuh permukaan
Pupa Larva Telur Polen Nektar
Keberadaan BDB ++ +++ ++ +++ ++ +++ +++ +
- : tidak ditemukan koloni BDB, +: jumlah koloni rendah, ++: jumlah koloni sedang, +++: jumlah koloni tinggi.
99
Mairawita et al.
Potensi Trigona Spp. sebagai Agen Penyebar Bakteri
hipersensitif menunjukkan hasil yang positif yang ditunjukkan dengan adanya nekrotik pada daerah yang disuntik dengan suspensi bakteri (Gambar 4c). Hasil uji patogenesitas menunjukkan bahwa bakteri tersebut bersifat patogen terhadap tanaman pisang dengan masa inkubasi 3-4 hari dengan skala 4 (semua daun layu) dan
tingkat virulensi tinggi (skala 5). Gejala tipikal penyakit darah berupa layu keseluruhan daun terjadi pada 3-4 hari setelah inokulasi (hsi) (Gambar 5). Sifat-sifat fisiologi yang ditemukan (Tabel 6) merupakan tipikal R. solanacearum Phylotipe IV penyebab penyakit darah bakteri.
Gambar 3. Koloni bakteri yang berasal dari T. minangkabau dalam medium TTC, 48 jam setelah inkubasi.
C
A
B
Gambar 4. Hasil uji Gram, reaksi hipersensitive, uji pektinase, dan uji patogenisitas koloni bakteri yang diisolasi dari T. minangkabau. (A) Hasil uji Gram koloni R. solanacearum Phylotipe IV, (B) reaksi hypersensitif pada daun tanaman M. jalapa pada 48 jam setelah inokulasi (K1, koloni bakteri dari permukaan kepala; K2, koloni bakteri dalam kepala; K3, koloni bakteri permukaan abdomen; K4, koloni bakteri bagian dalam abdomen; dan K5, air steril), dan (C) uji pektinase pada potongan umbi kentang.
H
G A
B
I C
J D
E
F
Gambar 5. Uji patogenisitas beberapa isolat R. solanacearum Phylotipe IV pada tanaman pisang Kepok umur 4 bulan setelah aklimatisasi. (A) Aplikasi suspensi R. solanacearum Phylotipe IV yang diisolasi dari permukaan caput T. minangkabau, (B) isolat R. solanacearum Phylotipe IV dari dalam caput, (C) isolat R.solanacearum Phylotipe IV dari permukaan abdomen, (D) isolat R. solanacearum Phylotipe IV dari dalam abdomen, (E) isolat R. solanacearum Phylotipe IVdari telur, (F) kontrol, (G) isolat R. solanacearum Phylotipe IV dari larva, (H) isolat R. solanacearum Phylotipe IV dari pupa, (I) isolat R. solanacearum Phylotipe IV dari polen, dan (J) isolat R. solanacearum Phylotipe IV dari nektar.
100
Vol. 12, No. 1, 2012: 91–101
J. HPT Tropika
Tabel 6. Hasil uji Gram, uji reaksi hipersensitif dan uji patogenisitas koloni bakteri yang diisolasi dari bagian tubuh Trigona spp. Fase Perkembangan/ bagian tubuh/makanan Permukaan kepala Dalam kepala Permukaan abdomen Dalam abdomen Telur Larva Pupa Polen Nektar
Uji Gram
Uji Pektinase
Reaks i Hipersensitif
Uji P atogenisitas
-
+ + + + + + + + +
+ + + + + + + + +
+ + + + + + + + +
Menurut Buddenhagen & Elasser (1962), koloni bakteri yang ditularkan oleh serangga merupakan galur yang sangat virulen dan diistilahkan galur SFR (small, fluidal and round). Menurut Leiwakabessy (1999), strain R. solanacearum yang diisolasi dari famili Apidae (Hymenoptera) di pertanaman pisang yang terserang BDB di Lampung memiliki tingkat virulensi sangat tinggi pada tanaman pisang Barangan dengan masa inkubasi 7 hsi. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa T. minangkabau memiliki potensi yang sangat besar untuk menyebarkan R. solanacearum Phylotipe IV. Populasi serangga tersebut ditemukan dalam jumlah tinggi pada bunga pisang sehat dan sakit. Sel-sel bakteri ditemukan dalam jumlah tinggi pada permukaan dalam semua fase perkembangan serangga kecuali pada telur. Propagul R. solanacearum Phylotipe IV juga ditemukan dalam nektar dan polen koloni T. minangkabau. Isolat R. solanacearum Phylotipe IV yang ditularkan oleh T. minangkabau tergolong strain virulen.
Drew RAI & Faye HA. 1988. Elucidation of the roles of ammonia and bacteria in the attraction of Dacus tryoni (Froggat) (Queensland fruit fly) to proteinaceous suspensions. J. Plant Prot. Trop. 5: 127-130 Eden-Green SJ. 1992. Characteristics of Pseudomonas solanacearum and related bacteria from banana and plantain in South East Asia. Pp.51-57. In : M. lemattre, S. Freigoun, K. Rudolph and J.G Swings (Eds): Plant Phatogenic Bacteria. IRNA. Eden-Green SJ. 1994. Banana blood disease. Musa Disease Fact Sheet No.3. 2p. Eden-Green SJ. 2004. How can the advance of banana Xanthomonas wilt be halted? InfoMusa 13(2): 38-41. Fahy PC & Hayward AC. 1983. Media and Methods for Isolation and Diagnostic Test In: PC Fahy and GJ Persley. Bacterial Disease A Diagnostic Guide. Academic Press. Australia
Atkins MD. 1978. Insects in Perspective. Macmillan Publishing Company.
Gold CS, Bandyopadhyay R, Tinzaara W, Ssewiko F, Eden-Green SJ. 2006. Identifying Insect Vectors and Transmission Mechanisms for Banana Xanthomonas Wilt. International Institute Of Tropical Agriculture Oyo Road, PMB 5320, Ibadan, Nigeria.
Baharuddin B. 1994. Pathological, Biochemical and Serological Characterization of the Blood Disease Bacterium Affecting Banana and Plantain (Musa spp.) in Indonesia. Cuvillier Verlag Gottingen. 129p.
Hermanto C, Setyawati T & Santoso PJ. 1998. Konfirmasi: Daerah endemik baru penyakit layu bakteri pisang di Sumatera Barat. Disampaikan pada seminar sehari PFI Komca Sumbar, Riau dan Jambi, Padang. 4 November 1998.
Buddenhagen ZW & Elasser TA. 1962. An insect spread wild epiphytotic of bluggoe bananas. Nature 194: 146-165.
Huffaker CB & Rabb RL. 1984. Ecological Entomology. John Willey and Sons.
DAFTAR PUSTAKA
Mairawita et al.
Janimar. 2005. Survei Penyebaran Serangan OPT Tanaman Pisang Di Sumatera Barat Tahun 2005. Dinas pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura Balai Perlindungan Tanaman Pangan Dan Hortikultura Sumatera Barat. Leiwakabessy C. 1999. Potensi Beberapa Jenis Serangga dalam Penyebaran Penyakit Layu Bakteri Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum Yabuuchi et al. pada Pisang di Lampung. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Maryam Abn, Tata Rasta O, Handayani W & Sihombing D. 1994. Beberapa jenis serangga pengunjung bunga pisang yang diduga sebagai penular penyakit layu bakter i (Pseudomonas solanacearum E.F.Smith) Disampaikan dalam Prosiding Rapat Kerja Penyusunan Prioritas dan Desain Penelitian Hortikultura, Solok 1719 Nopember. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Salmah S. 1992. Lebah: Pengembangan dan Pelestariannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Biologi. Universitas Andalas. Padang. Schaad NW, Jones JB & Chun W. 2001. Laboratory Guide For Identification of Plant Pathogenic Bacteria. APS Press.Minnesota. Setyobudi & Hermanto. 1999. Rehabilitation of cooking banana farms; Base line status of Banana
Potensi Trigona Spp. sebagai Agen Penyebar Bakteri
101
Disease Bacterium (Darah) distribution in Sumatera, Pp. 117-120. In: A.B. Molina and V.N Roa (eds) Advancing Banana and Plantain R&D in Asia and The Pasific. Proc of the 9 th INIBAP-ASPNET Regional Advisory Committee Meeting, Guangchou. Soguilon CE, Magnave LV & Natural MP. 1995. Bugtok disease of banana. Musa fact sheet No.5 INIBAP. Taneja J & Guerin PM. 1997. Ammonia attracts the haematophagus but Triatoma infestans : behavioural and neurophysiological data on nymphs. J. Comp. Physiol. A 181: 21-34. Tushemereirwe WK, Kangire A, Smith J, Nakyanzi M, Karyeija R, Kataama D & Musiitwa C. 2001. An out break of Banana bacterial wilt in Mukono and Kayunga districts: A new and devastating disease. NARO/KARI. Tushemereirwe WK, Kangire A, Smith J, Ssekiwoko F, Nakyanzi M, Kataama D, Musiitwa C & Karyeija R. 2003. An outbreak of bacterial wilt on banana in Uganda. Infomusa 12:6-8 Wardlaw CW. 1972. Banana Disease. Including Plantains and Abaca. Logman. Yuniana B. 2002. Komposisi dan Struktur Komunitas Apidae dan Aktivitas Kunjungannnya pada jeruk Manis (Citrus sinensis (L.) Osbeck). Tesis Program Studi Biologi Pascasarjana Universitas Andalas. Padang.
Nur, Rancang Bangwz Aplikasi Sistem Pakar ... 63
RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PAK.AR DIAGNOSA PENYAKIT TANAMAN PADI BERBASIS WEB
Nur Azizah1, Syarah2, Pepy Diah Setiawati' ormasi STIIIIKRaliarja 1Dosen Jurusmz Sistem bif 2Dose11 Jurusan Teknik lnformatika STMIK Raftarja 3Mahasinva Jurusa11 Sislem bzfomuzsi STIIIlKRalwrja 1'2'1 STMIK Rahmja, JI. Je1Idral S11dirma11 No. 40 Cikokol-T1mgerm10 Email : izaz_ 79@J'a/zoo.co. itl1, [email protected], Pepy_virgo@yalw .com3
"o
ABSTRACT
Rice plants can be attacked by various kinds of diseases which are possible to be determinedfrom their symptoms. However, ii is to recog11ize that tofind out the exact type of disease, an agricultural expert's opinion is needed, meanwhile the numbers of agricultural experts are limited and there are too many problems to be solved at the same time. This makes a system with a capability as an expert is required This system must contain the knowledge ofthe diseases and symptom ofrice plants as all agricultural expert has to have. This research designs a web-based expert system using rule-based reasoning. The rule are modified from the method offorward chaining iliference and backward chaining in order to to help farmers in the rice plant disease diagnosis. The web-based rice plants disease diagnosis expert system has the advantages to access mu/ use easily. With web-basedfeatures inside, it is expected that farmer can accesse the expert system everywhere to overcome the problem lo diagnose rice diseases. Keywords: Backward Chaining, Forward Chaining, Rice Plant. Rule Based Reasoning
ABSTRAK
Tanaman padi dapat diserang berbagai macam penyakit. penyakit tersebut dapm diketahui dari gejala-gejala yang ditimbulkannya, akan tetapi untuk mengetahui secara tepat jenis penyakit yang menyerang padi tersebut, memerlukan seorang pakarlah/i pertanian Sedangkan jumlah pakar pertanian terbatas dan tidak dapat mengatasi permasalahan petani dalam waktu ya11g bersamaan, sehingga diperlukan suatu sistem yang mempunyai kemampuan seperti seorang pakar, yang mana didalam sistem ini berisi pengetahuan keah/ian seorang pakar pertanian mengenai penyakit dan gejala tanaman padi. Pada penelitian ini dirancang sis/em pakar berbasis web menggunakan basis aturan (rule based reasoning) dengan metode inferensiforward chaini11g dan backward chaining yang dimaksudkan untuk membantu.pelani da/am mendiagnosa penyakit tanaman padi. Sis/em pakar diagnosa penyakit tanaman padi berbasis web yang le/ah dikembangkan mempunyai keunggulan dalam kemudahan akses dan kemudahan pemakaian. Dengan fitur yang berbasis web yang dimi/iki, sistem pakar untuk diagnosa penyakit tanaman padi yang telah dibangun dapal digunakan sebagai a/at bantu untuk diagnosa penyakit tanaman padi dan dapat diakses oleh petani dimanapun juga untuk mengatasi persoa/an keterbatasan )um/ah pakar pertanian dalam membantu petani 111endiag11osa penyakit tana1nan 11adi. Kata Kunci: Backv»a1yf ('hainin,f!;, Padi
1'�orirarc! (�'haining, J�ule !Jase(/ Reasoning, ](111c1111aJJ
64. CSIUD Journal, Vol.5 No.I Februari 20 1 3 , Hal. 63 - 73
PENDAHULUAN Pertanian mempunyai arti yang penting bagi kehidupan manusia, selama manusia hidup, selama itu juga pertanian tetap akan ada. Hal itu disebabkan karena makanan merupakan kebutuhan ma11usia paling pokok selain t1Clara dan air. Makanan merupakan hasil dari pertanian yang mana setiap tahun kebutuhan akan makanan semakin meningkat karena populasi manusia terns bertambah. Secara khusus beras merupakan hasil dari tanaman padi yang digunakan sebagai makanan pokok manus1a. Hal yang sering terjadi, banyak kemgian yang diakibatkan karena adanya penyakit tanaman yang terlambat untuk didiagnosis dan sudah mencapai tahap yang parah dan menyebabkan terjadinya gaga! panen. Sebenamya setiap penyakit tanaman tersebul sebelum mencapai lahap yang lebih parah dan meluas umumnya menunjukkan gejala-gejala penyakit yang diderita tetapi masih dalam tahap yang ringan dan masih sedikit. Tetapi petani sering mengabaikan ha! ini karena ketidaktahuannya dan menganggap gejala tersebut sudah biasa terjadi pada masa tanam, sampai suatu
saat timbul gejala yang sangat parah dan meluas,
sehingga sudah terlambat untuk
dikendalikan. Ahli pertanian dalam hat ini mempunyai kemampuan untuk menganalisa gej ala-gejala penyakit tanaman tersebut, tetapi untuk mengatasi semua persoalan yang dihadapi petani terkendala oleh waktu dan banyaknya petani yang mempunyai masalah dengan tanamannya. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dibuat suatu aplikasi sistem pakar yang memberikan informasi mengenai hama penyakit tanaman dan dapat mendiagnosa gejala-gejala penyakit tanaman, khususnya tanaman padi, sekaligus memberikan solusi penanggulangannya, yang nantinya dapat digunakan untuk mengurangi atau memperkecil resiko kerusakan tanaman. Implementasi sistem pakar ini dibuat dengan berbasis Web agar dapat diakses dan dimanfaatkan masyarakat secara luas. Pada penelitian terdahulu dengan judul "A WebGIS Expert System for Rice Brown Planthopper Disaster Early-Warning in China's Shanghai" ( I ] telah membahas sistem pakar yang berkaitan dengan hama wereng yang menyerang tanaman padi di daerah Shanghai Cina. Sistem pakar WebGIS digunakan untuk membantu mengevaluasi bencana akibat hama wereng tersebut. Penerapan sistem pakar WebGIS ini menggunakan metode inferensi backward chaining, dan simpulannya akan ditampilkan dalam peta WebGIS. Penelitian yang lain tentang aplikasi sistem
pakar berbasis web telah dilakukan oleh Handayani [2] dengan memanfaatkan shell e2gLite yang
dimaksudkan untuk rnembantu (bukan menggantikan) tugas-tugas para dokter serta melengkapi
kemampuan para dokter tersebut dalam membuat keputusan yang optimal melalui pengolahan komputer. Mesin inferensi pada applet e2gLite digunakan untuk melakukan penelusuran aturan [3]. Hal yang berbeda pada penelitian ini dengan dua penelitian terdahulu adalah digunakannya dua metode inferensi yaitu forward chaining dan backward chaining, sedangkan persoalan yang dibahas mengenai penyakit tanaman padi dan gejala-gejala yang menyertainya. Sistem pakar ini dibuat berbasis web dengan menggunakan PHP dan database Mysql yang sangat ringan dan mudah diakses tanpa perlu menginstall aplikasi java seperti penggunaan applet pada [2]. Basil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh petani untuk mendiagnosa penyakit tanaman padinya, sehingga petani tidak harus menunggu kehadiran seorang pakar pertanian untuk mendiagnosa penyakit tanaman padi.
Sistcm Pakar Sistem pakar adalah suatu program komputer yang dirancang untuk mengambil keputusan seperti keputusan yang diambil oleh seorang atau beberapa orang pakar. Menurut Marimin ( 1 992), s.istem pakar adalah sistem perangkat lunak komputer yang menggunakan ilmu, fakta, dan teknik berpikir dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang biasanya hanya dapat diselesaikan oleh tenaga ahli dalam bidang yang bersangkutan.
ka i d ah-ka i dah penarikan kesimpulan tcrtcntu yang diberikan oleh satu atau lebih pakar dalam hidang tertentu. Kor11binasi clari kcclua ha\ terscbut di si 1np an dala1n k.nrnputer, yang selanjutnya digunakan dalain pros�s pen ga rnb i l an kcputusan untuk penyelesaian n1as:litlh tcrtcntu. l\'l odul Pcnyu�un Sb;ten1 Pakar Suatu siste1n paka r disusun olch tiga 1nodu l utan1 a ( S t augaard , I 987). yaitu : Dalam pcnyusunannya, sistem pakar mengkombinasikan
( i nference rules) dc!1gan basis pe ngetahuan
Nur, Rancang Bangun Aplikasi Sistem Pakar . 65 .
1.
2.
3.
.
Modu! Penerimaan Pengetahuan Knowledge Acquisition Mode) : Sistem berada pada rnodul ini, pada saat ia menerima pengetahuan dari pakar. Proses mengumpulkan pengetahuan pengetahuan yang akan d igunakan untuk pengembangan sistem, dilakukan de ;gan bantuan knowledge engineer. Peran knowledge engineer adalah sebagai penghubung antara suatu sistem pakar dengan pakarnya ModulKonsultasi(ConsultationMode) : Pada saat sistern berada pada posisi rnernberikan jawaban atas permasalahan yang diajukan o!eh user, sistern pakar berada dalam modul konsultasi. Pada modul ini, user berinteraksi dengan sistem dengan menjawab pertanyaan pertanyaan yang d iajukan oleh sistem. Modul Peqjelasan(Explanation Mode) : Modul ini menjelaskan proses pengambilan keputusan oleh sistem (bagaimana suatu keputusan dapat diperoleh).
Struktur Sistem Pakar Komponen utama pada struktur sistem pakar (Hu et al, 1 987) rneliputi: Basis Pengetahuan (Knowledge Base) Basis pengetahuan merupakan inti dari suatu sistem pakar, yaitu berupa representasi pengetahuan dari pakar. Basis pengetahuan tersusun atas fakta dan kaidah. Fakta adalah informasi tentang objek. peristiwa, atau situasi. Kaidah adalah cara untuk membangkitkan suatu fakta baru dari fakta yang sudah diketahui. Menurut Gondran ( l 986) dalam Utami (2002), basis pengetahuan merupakan representasi dari seorang pakar, yang kemudian dapat d imasukkan kedalam bahasa pemrograman khusus untuk kecerdasan buatan (misa!nya PROLOG atau LISP) atau shell sistem pakar (misa!nya EXSYS, PC-PLUS, CRYSTAL, dsb.)
Fonvard Dan Backward Chaining Sistem pakar adalah sistem yang menggunakan pengetahuan manusia yang terekam dalam komputer untuk memecahkan persoalan yang biasanya memer!ukan keahlian rnanusia [2-3]. Sistem pakar yang baik dirancang agar dapat menyelesaikan suatu permasalahan tertentu dengan meniru kerja dari para ahli. Sistem pakar dapat ditampilkan dalam dua l ingkungan, yaitu: pengembangan dan konsultasi. Lingkungan pengembangan digunakan oleh pembangun sistem pakar untuk komponen dan mernasukkan pengetahuan ke dalam basis pengetahuan Lingkungan konsultasi digunakan oleh orang yang bukan ahli untuk memperoleh pengetahuan dan berkonsultasi. Komponen-komponen yang ada pada sistem pakar dapat dilihat pada Gambar I , yaitu : I. Basis pengetahuan (Knowledge base). Berisi pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami, memforn1ulasikan dan memecabkan persoalan. 2. Motor inferensi (inference engine). Ada 2 cara yang dapat dikerjakan dalam rne!akukan inferensi, yaitu: a. Forward chaining merupakan grup dari multiple inferensi yang melakukan pencarian dari suatu masalah kepada solusinya. Forward chaining adalah data-driven karena inferensi dimulai dengan informasi yang tersedia dan baru konklusi diperoleh. b. Backward chaining menggunakan pendekatan goal-driven, dimulai dari ekspektasi apa yang diinginkan terjadi (hipotesis), kemudian mencari bukti yang rnendukung (atau kontradiktif) dari ekspektasi tersebut. 3. Blackboard. Merupakan area kerja memori yang disimpan sebagai database untuk deskripsi persoalan terbaru yang ditetapkan oleh data input dan digunakan juga untuk perekaman h ipotesis dan keputusan sementara. 4. Subsistem akuisisi pengetahuan. Akuisisi pengetahuan adalah akumulasi, transfer dan
5.
6. 7.
transfonnasi keahlian pemecahan masalah dari pakar atau surnber pengetahuan terdokumentasi ke program komputer untuk membangun atau memper!uas basis pengetahuan. Antarmuka pcngguna. Digunakan untuk media komunikasi antara user dan program. Subsistcn1 peqjelasan. D igunakan untuk rnelacak respon dan mcrnberikan penjelasan tentang kelakuan sistem pakar secara internktif melalui pertanyaan. S istern penyaring pengetahuan
Pcndckatan Forvv<�·rd Oan lla�kward (]1ah�ing
Suatu perkalian in fCrcnsi yang n1cr1ghubungkan sualu pcn11asalahan dcngan solusinya disebut dengan rantai (chain). Suatu rantai yang d i cari atau di l e\vati I d i l i ntas i dari suatu pcrn 1 asa l ah an untuk
66.
CSR!D Journal, Vol.5 No.I Februari 2013, Hal. 63 - 73
mernperoleh solusinya disebut dengan forward chaining. Cara lain menggambarkan forward chaining ini adalah dengan penalaran dari fakta menuju konklusi yang terdapat dari fakta Suatu rantai yang dilintasi dari suatu hipotesa kembali ke fakta yang mendukung hipotesa tersebut adalah backward chaining. Cara lain menggambarkan backwkard chaining adalah dalam hal tujuan yang dapat dipenuhi dengan pemenuhan sub tujuannya. Contoh sederhana dari forward dan backward chaining seperti berikut ini : misalkan anda sedang mengemudi dan tiba-tiba anda melihat mobil polisi dengan cahaya kelap-kelip dan bunyi sirine. Dengan forward chaining mungkin anda akan berkesimpulan bahwa polisi ingin anda atau seseorang untuk berhenti. !tu adalah fakta awal yang mendukung dua kemungkinan konklusi. Jika mobil polisi membuntuti di belakang anda atau polisi melambaikan tangan memberhentikan anda, maka kesimpulan lebih lanjut adalah polisi ingin anda yang berhenti. Dengan mengadopsi ini sebagai suatu kerja hipotesis, maka anda dapat menggunakan backward chaining untuk alasan "mengapa?". Karakteristik forward dan backward chaining : . · ·· . ...... . ... . fb�ck\�a;:- ch �in Fo�a�� h inf�g · · d ai g � a_
...•. .•
.
--
·
,
:.�
.
.
�:
. \
,
. . . . : Disaj ikan untuk masa depan untuk masa lalu i·1 konsekuen ke antecedent Antecedent ke konsekuen oa"ia .illeffiafi
-··- --- ----·
,
___
---�--- - ·------ --·-··--- ---- -- - ...... ....______
·
.
-· -
------ -..
- - - - - _______, . . "
'
----·
- ·----·-·
_ ·
. ..... .. ..
_,_ ,____ ______
··
-
...... . .
----- ··-
___
. . .. .. .
·
,;
a
-·---·-·-···-·- '·- ·--·- -
...
.___,_____,_______._,. ____
.___,
··
·----·-·
--·-- ·---·-------
··-···
. . . . . ·---···-·J
·
·
=
··
-- - ·····
-
:. . .. . J ···
-
· ··
Kekurangan dari pendekatan ini adalah efisiensi. System backward chaining memudahkan pencarian depth first, sementara itu forward chaining memudahkan pencarian breadth first. Walaupun anda dapat menuliskan aplikasi backward chaining ke system forward chaining dan sebaliknya, system tersebut tidak akan efisien dalam hal pencarian penyelesaiannya. Kesulitan yang keclua ada!ah konseptual. Pengetahuan diperoleh dari pakar yang harus diubah untuk mengimbangi pennintaan dari mesin inferensi. Forward chaining merupakan grup dari multipel inferensi yang melakukan pencarian dari suatu masalah kepada solusinya. Jika klausa premis sesuai dengan situasi (bemilai TRUE), maka proses akan meng-assert konklusi Forward Chaining adalah data driven karena inferensi dimulai dengan informasi yg tersedia clan baru konklusi diperoleh Jika suatu aplikasi menghasilkan tree yang lebar dan tidak dalam, maka gunakan forward chaining .
Sifat Forward Chaining Good for monitoring, planning, and control Looks from present to fiiture. Works from antecedent to consequent. Is data-driven, bottom-up reasoning. Works fonvard to find what solutions follow from the facts. It facilitates a breadthjirst search. The antecedents determine the search. It does not facilitate explanation.
Contoh Kasus Sistem Pakar : Penasihat Keuangan Kasus : Seorang user ingin berkonsultasi apakah tepat jika dia berinvestasi pada stock IBM? Variabel-variabel yang digunakan: A = memiliki uang $ l 0.000 untuk investasi B berusia < 30 tahun C = tingkat pendidikan pada level college D = pendapatan minimum pertahun $40.000 E = investasi pada bidang Sekuritas (Asuransi) F investasi pada saham pertumbuhan ( growth stock) G = investasi pada saham IBM Setiap variabel dapat bern ilai TRUE atau FALSE FAKTA YANG ADA: Diasumsikan si user (investor) memiliki data: Memiliki uang $ 1 0.000 (A TRUE) Berusia 25 !alum (B TRUE) Dia ingin meminta nasihat apakah tepat jika berinvestasi =
=
pada I B M stock?; R \ 1 1 .ES R I : I F scseorang memiliki uang $ 1 0.0\\0 untul- bcrinvestasi AND dia berpendidikan pada level col lege THEN dia harus berinvestasi pacla hiclang sckuritas R2 : I F seseorn ng memiliki
Nur, Rancang Bangun Aplikasi Sistem Pakar . .. 67
pendapatan per tahun min $40.000 AND dia berpendidikan pada level college THEN dia harus berinvestasi pada saham pertumbuhan ( growth stocks) R3 : IF seseorang berusia < 30 tahun AND dia berinvestasi pada bidang sekuritas THEN dia sebaiknya berinvestasi pada saham pertumbuhan R4 : IF seseorang berusia < 30 tahun dan > 22 tahun THEN dia berpendidikan college R5 : IF seseorang ingin berinvestasi pada saham pertumbuhan THEN saham yang dipilih adalah saham IBM. Backward Chaining Pendekatan goal-driven , dimulai dari ekspektasi apa yang diinginkan terjadi (hipotesis), kemudian mengecek pada sebab-sebab yang mendukung (ataupun kontradikti1) dari ekspektasi tersebut. Jika suatu aplikasi menghasilkan tree yang sempit dan cukup dalarn, maka gunakan backward chaining . Sifat dari backward chaining Good for Diagnosis. Looks from present to past. Works from consequent to antecedent. ls goal-driven, top-down reasoning. Works backward to find facts that support the hypothesis. It facilitates a depth-first search. The consequents determine the search. It does faci litate explanation. Program dimulai dengan tujuan ( goal ) yang diverifikasi apakah bemi!ai TRUE atau FALSE Kemudian melihat rule yang mempunyai GOAL tersebut pada bagian konklusinya. Mengecek pada premis dari rule tersebut untuk menguji apakah rule tersebut terpenuhi (bernilai TRUE) Pertama dicek apakah ada assertion-nya Jika pencarian disitu gaga!, maka ES akan rnencari rule lain yang memiliki konklusi yang sarna dengan rule pertama tadi Tujuannya adalah membuat rule kedua terpenuhi ( satisfy ) Proses tersebut ber!ajut sampai semua kemungkinan yang ada te!ah diperiksa atau sampai rule inisial yang diperiksa (dg GOAL) telah terpenuhi Jika GOAL terbukti FALSE, maka GOAL berikut yang dicoba. \
Fakta -fakta
fakta
!
, husus
\
Antarmuka
'---·-----·-!
j
Basis
: Apa yang diketahui
rtu�an: ioglco! reference
r-----------,
:
l!
r----------,
tentang kejadi<;n
F.;:sllitcs
tentang area domoin
i
L2�1�!�.�-��-J
.J\'l otor inferensf: c.inrerpre!er 6.Scheduier
�.Consistency
\ Enforce:
. ,
�encana
'
Agenda �
Penvaring
pengetahuan
� - - - - - --- - - - - - --- - - - - - - - - - - - - - - - - -- -- - - - -- - - - - - - - � - - - - - -- -- -- - - - - _ ,
Garn bar J . Struktur sistem pakar [3]
METODE PENELITIAN
Diagram Alir Data (DAD) merupakan suatu model logika data atau proses yang dibuat untuk 1nen ggarnbarkan dari n1ana asal data, kc 111ana tujuan data yang keluar dari siste1n, din1ana data disimpan, proses apa yang menghasilkan data terscbut, interaksi antara data yang tersimpan dan proses yang di kenakan pada data tcrsebut. Sehingga dengan DAD ini bisa diketahui dimana data disi1npan dan bagaiJnana transforrnasi datanya . Diagra111 konteks 1nerupakan gan1baran peutncangan secnra global dari sisteni. . [J:-idn Garnbar 2, tcrl i hat 2 pcngguna. sisten1 pakar, yaitu user yang dalarn hal ini adalah petan t alau rnasyarakat un1un1 dan ad1nin yang dapat n1c!akukan update datc1, dalan1 ha! ini achn in adalah pakar
68. CSRID Journal, Vol.5 No. l Februari 2013, Hal. 63 - 73
bidang pe1tanian atau dinas pertanian. Pada diagram level 0, tampak keseluruhan proses sistem pakar dengan 2 model konsultasi yaitu forward chaining dan backward chaining. Secara lebih jelas diagaram level 0 dapat dilihat pada Gambar 3 . 0
lt'\put
terpn111
Gejela-GeJilla
02
k.Ofl:;u!ta;J
' tl.fiSI"
Dl
di�D!a
GeJafa
D> Penyakft
1nput
terpnih
Penyaltft
h
lDe)n
- �-
d:rt;.1. �- usdan:
Gnmbar 2. Oiagran1 Konteks
forv.'Orri thalnlf!g
l!.prtcrte data
""" Backward
Konsultasl dingoosa
chafnliJg
upcfam Di.iii penyaldt
tipdal"6 Daia gej.islfl
updtKe D«t..ba:sis �etdlUAn
G:1n1b:1r 3. Diagnun Level 0
Metodc penclusuran diperlukan untuk menarik simpulan dari data-data yang telah di isikan old1 user. Mct9de yang d igunakan adalah forward chaining dan backward. chaining. Mctode f(.)r\vard chaining adalah 1netode d in1ana penelusuran d i 1nulai dari rnenga1nbil fakta - H1kta tcrlcbih dallulu baru ken1udian d igunakan untuk 1ncnarik si1npulan. Scbaliknya 1netode back\vard chaining adalah rnct0de yang di1nulai dari suntu sirnpulan unt11k rnencari fakta-f..1kta pendukung . l)ala111 hal
Nur, Rancang Bangun Aplikasi Sistem Pakar .. . 69 ini gejala digunakan sebagai fakta, setelah semua data gejala terpenuhi dapat d igunakan untuk menarik simpulan mengenai suatu penyakit. Adapun basis pengetahuan yang digunakan adalah penalaran berbasis aturan (Rule-Based Reasoning) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel I .
Tabel I. Basis Pengeta huao N<
IF Ta�.amar:,
At urar. ,· =�iikit AND Dai.n mer.guning :a.mpa.i jir;g'da d.ari pi.cuk ke n-H.·ia 1t::rlit.a.1 .s:�-:;:rti m01tfe AMO Oaur:- tu� s.e�rti bir..t ik-birtik cokJ=:t baka:; ditt.'Ei.k THE�J
ker·:}il .l..ND Arakar.
pan·;kal.L.ND Dai. r. TL'r:·;ro .....
bark urar:.·�
i::i-:r.J:.\o:
·Jar, s-ernpit AN D Dain� ter.i1arna l"�ijau pi;.:::al � keki:rtmg�kunil'l·;fafl: AN D 8-:r.:-..ak menyer.ang oami AND .l-.r,;,kar 1"mboh t;eiak THEN K:r
I F Daur: m:lingkar seperti.terpiliri AND
Tepi .h..elai daun bi:!rg-eri;ri AND Oaun b=r.&=ra robek-ro�k i b:rombak·
ombak sepa r.jar,g pembul"h AN D Darn ber.vama nijau tuaAND &ball yan,g di .ila5ilkan l>am P5J k05ong AND 1.t;Jai k:h.-ar ·se:l:i.a:Jian THEN Kar!iil Ham pa
IF Bercak berb=r.tuk oval atao elip; AND E"rcak m;;nl'i;rang daun AND Bercal:. bernama k;;labu l kepctihan A N D 8-er{;ak ·l·ilil'!•d kari ·11.arn..a ..::ok�1 i merah kt:-coklatar. AND Pan·;kal l=t,er malai ber11arr..a<:okl.5.t kaabL.abu.ar. ANO Da.::rah ·J:kat er�r p.inik-:l ber•,arr..a. .::oklat TH EN Bra:st
0 7
E!er
pa
P�ep.ah
menyeran.g \laun
If Berc.ak beruarna abu-abu / hijau k:abu-.a.buan AND Tepi dal.Hl .Iuka Mrupa g..a.ris b9rca.k �:et�=a.har. ,<\N D Dal..'._r. kt:ripi..1 aar. la)• i.. .s.::i:-=rtft=rsiram air pan..a-s AND D.aur; m'2r.ggulur..g aa.r. men-�.:nr·; ANO Daun bernarr,.; abt.. "-abu ke.ptitih-pu1iha.n AND Dali:r, tua r.-0rmal, daur.: m i.:da pwat !dorttsis 11-IEN Ha:nar Bakteri
IF Anaka.n berku:ranig l s.e-:iik.it AND
Daun me.r�iil11r..g. dan me.�rin-� AND D.a:un t-e.rv1ama ji117;rga AND Akar
tarraman lebih se-likft THEN Oaun Jin-;g.a
IF Tar?..5:.rnar. k:rdil AND Anakar: bertam baf-, banyak AND D.a.rn: b::!r11;;.rr:.;;: P.i.iall paca1 atau kur.irg pu
Penerapan Sistem Pakar ke Web Dari sisi client, halaman web dapat dibuka menggunakan berbagai macam browser seperti internet explorer, opera, mozilla firofox, dan lain sebagainya. Sedangkan dari sisi server, biasanya dengan meletakkan file-file ke web hosting yang mendukung bahasa PHP dan MySql. Hampir semua penyedia web hosting sekarang ini sudah mendukung bahasa PHP dan database MySql.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Implementasi
Hasil implementasi sistem pakar diagnosa penyaki t tanaman padi dengan metode inferensi forward chaining dan backward chaining berbasis web mempermudah untuk diakses siapa saja
(khususnya petani) dan dimana saja (asalkan tersediajaringan internet). Pada Gambar 4 dibawah ini menampilkan data gejala pada penyakit padi yang dapat dipilih oleh user. User, secara spesifik petani akan memilih gejala tersebut sesuai dengan gejala-gejaya yang sedang dialami d i tanarnan padi m i l iknya. Cara memilih adalah dengan klik pada kotak didepan kalimat tersebut, sampai muncul tanda V. Gejala yang dipilih bisa Jebih dari satu disesuaikan dengan kondisi tanaman padi
Sedangkan Ga1nbar 5 n1e nan1 p i lka n hasil inferensi untuk tana1nan padi sesuai dengan gejala
yang telah dipilih sebelumnya. Hasil diagnosa dari sistem pakar berbasis web dengan metode i n ferensi for\vard c.h aining dan back\vard chaining akan dapat n1cnatnpilkan na1na penya k i t, gejala � geja la yang tne nanda i pe nyak i t tersebul, penjelasan 1n e ngen a i penyakit. dan langknh- langkah pe ng en dal ian leknis lerhadap penyakit tersebul. Perscntasc yang nan1pak pa da (J;unhar 5 n1e11u1\jukkan bahv,:a dl:ngan pil ihan dua gejala,
70. CSR!D Journal, Vol.5 No.I Febrnari 2013, Hal. 63 - 73
yaitu anakan tumbuh tegak dan daun menguning sampat Jmgga dari pucuk ke pangkal, menghasilkan simpulan bahwa mungkin tanaman padi tersebut menderita penyakit tungro dengan derajat kepastian 50% saja. Hal ini te�jadi. karena gejala yang di pilih tadijuga merupakan gejala p ada penyakit tanaman padi yang lain. ·
!Jlejsls P e nyakit CJ ,l...kar t a n a m a n l ebih s e d1&ot
c:J CJ CJ
An:akan berku rang I s e d.ikil
..-'!o.n akan berta rnbah b a nyak An:akan turn b u h � e m a s
[ ;.;,.r Anakan tum bc1h te g a k LJ
LJ c:J LJ Cl
t:l
LJ Cl LJ
Cl LJ C::J LJ Cl LJ Cl LJ � LJ
B e � a k berbe ntuk oval I :elips
se.-c a k-berc a k berwarna coklat
ee.-c a k bervv a r n a :aibu-abu kehijauan I hij:aiu keabu- a bu i;iin
B e r c a k bervv a r n a k.e l a b.u I k e p u:tiha n
Berc a k ditin&,tkarf warn a coklat I me r a h kec okl at�n
Bercak hitam I c.oklat pada ku/it gab a h
Sercak pada p e l epah daun b a g ian b a wah Bes-cal< menyerang d a u n
Daun b endera robek-robek I b erom b a k s e p a njang p e r:nb u l u h
Oaerah dekat le'her p a nikel b e rv.rar-na coklat
D.aun b e rwa rna hijau p ucat I kek:Un l n g - klu n i n g a n Oaun b e rwa r n a abu- a b u ke p utih-puti han
uaun benNarna htJ a u p ue:at 1 Kun•ng p u cat Daun b e r wa r n a hij a u tua
Daun · b e nva r n a Jiing g a
Daun keripOt d a n aayu sepe rtl tef'"s lram air p a n as
Oaun rneng g u l ung d a n m e n g e ring Daun meUn:gkar sep e rtl ter-p i l i n
D:o1uri
r r 1 t=1'1y-u r 1 ir ry1 =:::;.:.:1 r r 1 µ.ai
jir1yy<:ot
d<::1r i
oaun m u d a terl l.hat :s e p e11• m o tu e
r...ruit.:ok k.l::! p:ar 1 y k<:::1�
GHmbar 4 , 1'ampilan Gejala Penyakit Padi
Gejata Penyakltyang �i pllini
1 Ana kao tumbuh tegak 2 Daun menguning eaffipai jingga daJl pucukke pangka. Hasil Analisa
Nama P"1nvakit
OefiOiSI
Persentase
Penyebab
_
Tun gro 50,00 %
Tun!)tO m e rupakan penyakiL Pad I yang d lbawa oleh wereng hiJau dan wereng lore ng
Virus
Gejala P'enyaktt Yanirmendukung : 1 oaun m engunlng sempai jingga dari pucuk ks panJl
Penoe1tdati.:-in T�lmis 1
2
Rotasl / p e rglllran tanaman
Pe nan am an varietas unggul /tahsn.
3 Pengolahan Tanah secara optimal
·Gan1bar 5. Ta1npilan h.asil uji coba infercnsi tanaman padi
Analisa sistcm
Sistem yang dibangun ini dianalisa agar penerapail teori ke dalam praktik program d apat scjalan. Sehing-ga jika dicck baik secara 1nanual dengan progra1nnya 1ncnghasilkan diagnosa dan P1�nghitungan prosenta:;e ken1ungkinan jcnis pi.:nyakit yang ticlak jauh bccla. Sisten1 prrknr untuk 111endiagnosa jenls penyakit pada tanan1an padi ini 1ne1nberikan solusi bcrupa hasil diagn o sa dan prosentase ketnungkinan j c nis pcnyakit dengan 111etodc tOr\vard chaining 1naupun info penyakit
Hur, Rancang Bangun Aplikasi Sistem Pakar . . 71 .
dengan metode backward chaining. Analisa Hasil Konsultasi
I.
Diambil contoh pada proses konsultasi, memilih gejala dim1tara gejala-gejala yang ditampilkan sebagai input: a.
Gejala yang terpilih: anakan tumbuh tegak dan daun menguning sampai jingga dari
b.
pucuk ke pangkal Langkah diagnosa:
I ) Mencari jenis penyakit yang memiliki gejala terpilih sesuai basis pengetahuan. 2) Mencari jumlah gejala yang terpenuhi oleh gejala terpilih pada basis pengetahuan 3)
Mencari jumlah gejala yang harus terpenuhi pada basis pengetahuan.
4) Melakukan perhitungan prosen kemungkinan hasil diagnosa. 5)
Melakukan
perhitungan
prosentase
kemungkinan
hasil
diagnosa
terhadap
keseluruhan kemungkinan terdiagnosa ·
c.
Penyelesaian:
I ) Mencari jenis penyakit yang memiliki gejala terpilih pada basis pengetahuan, sebagaimana dituajukkan pada Tabel
2) 3)
2.
Diagnosa awal seperti ditunjukkan pada Tabel 3 .
Hasil diagnosis seperti ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 2. Aturan Konsultasi Nam.a.
Ar.aka�
Tanaman kerdil
/ s:-:±ikit Da"n meogunir'9 sampaijir.gga dari
Tur:.'Yr':.
.se.�rt1
tua sepert1
anaman
K:r-:lil R"m pk1
da!i sem
Daun
tieruarna
menyerarvg
pueat :
p!>Cuk ke pan,:;kal
.
An.aka� tumbuh
Tabet 3 Tabel Hasil Diagnosa Awai a
ur:��ro
um
Keterangan:
pro:tentas-e
;
(-::·:<,\
Prosen= (Jumlah gejala terpenuhi I Jumlah gejala harus terpenuhi) x I 00%
Prosen= Besamya prosentase kemungkinan penyakit berdasarkan gejala yang terpenuhi
Tabel
4 . Hasil Diagnosa Ko:i'.e
Keterangan: Prosentase= Prosentase=
_n aklt
(prosen I jum lah prosen) x I 00% Besarnya prosentase kemungkinan penyakit berdasarknn kese/uruhan kemungkinan
penyakit 2.
A nal isa l·iasil Info Penyak i t
Diarn bil c.:011toh pn da proses info pcnyakit, 111cn1 i l ihjenis pcnyak1i scbagai input a. Penvakit yang dipilih: Tungro
72 CSRID Journal, Vol.5 No.I Februari 2013, Hal. 63 - 73 b.
c.
Langkah diagnosa: I ) Mencari gejala dari jenis penyakit terpilih dari aturan gejala yang ada. 2) Mencari keterangan detail tentang penyakit terpilih Penyelesaian: I) Mencari gejala dari jenis penyakit terpilih dari aturan gejala yang ada pada Tabel 5.
Tabel 5 . Aturan Info Penyakit Narna
Ar..ikar. b=rkurar... i :s=-lik[t Tar,,amar:. k-er·::fH
Geia�:i
Daun m�r,.g ur.in9 :sampaijir,-;.ga dari pocuk k: par:gkal m i..�.a tu.5: 5�pert1
Ti:�·;ro
2) Mencari keterangan detail tentang penyakit terpilih: Definisi
: Tungro merupakan penyakit Padi yang dibawa oleh wereng hijau dan wereng loreng Penyebab : Virus Pengendalian Teknis : Rotasi I pergiliran tanaman Penanaman varietas unggul I tahan, Pengolahan Tanah secara optimal, Pengaturan jarak tanam, Penanaman serempak Pengendalian Kimia : Dharmachin SOWP, Baycarb SOOEC, Mipcin 50Wp. Petrofur 3GR
Pada penelitian ini menerapkan 2 metode inferensi forward chaining dan backward chaining sehingga memudahkan proses diagnosa penyakit padi. Proses diagnosa dapat berupa konsultasi yang dimulai dari menanyakan gejala-gejala pada tanaman padi, dan yang kedua proses diagnosa dapat dengan memilih daftar penyakit sehingga akan memunculkan infomasi tentang penyebab dan langkah-langkah penanganan penyakit tersebut. Sistem pakar diagnosa penyakit tanaman padi berbasis web yang telah dikembangkan mempunyai keunggulan dalam kemudahan akses dan kemudahan pemakaian. Aplikasi mudah diakses dari berbagai tempat dan di pihak pengguna tidak perlu menyediakan aplikasi khusus, hanya perlu memiliki aplikasi browser saja, yang biasanya aplikasi browser terssebut sudah ada pada waktu install sistem operasi (Windows/Linux).
KESIMPULAN
Sistem pakar untuk mendiagnosa jenis penyakit pada tanaman padi dapat membantu petani mcndiagnosa jenis pcnyakit dan memberikan pengetahuan tentangjenis penyakit tersebut. Sistem ini dibangun untuk menyimpan pengetahuan keahlian seorang pakar pertanian khususnya tanaman padi, sehingga sistem dapat dijadikan asisten pandai di bidangnya scbagai sumber pengetahuan oleh user. Pembangunan sistem dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengadopsi perkembangan penyakit penalaran yang digunakan berbasis aturan (Rule Based Reasoning) dengan metode inforensi forward chaining dan backward chaining. Implementasi sistem pakar dalam bentuk web sangat membantu memberikan kemudahan bagi user dalam mengaksesnya. ·
DAFTAR PUSTAKA
Q., J i ang Y., L v Z., and Wu S., "A WebGrS Expert System for Rice Brown Planthoppc,;r · Disaster Early-Warning in Chi 1 w ' s Shanghai", Bioin formatics and B iomedical Engi nccri11g, ICBBE, Tlw 2nd International Con ference on, pp 2485-2488 , May 2008. I l;tndayani. L., S u t i kno , 1�., S i stc 1n Pakar Dcrbasis \\'eh Dcngan Shell e2glitc untuk Diagnos is l\:nyakit I lmi'', Jurnal Tclkomnika, Vol.2 No. I . pp 63-70. April 2004.
Chen X., Luo
"
Nur, Rancang Bangun Aplikasi Sistem Pakar . 73 ..
"Pedoman Deteksi Dini Serangan OPT (Penyakit Tanaman Padi )", Dirjend. Tanaman Pangan, D irektorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta, 2007. "Pengenalan dan Pengendalian OPT Padi", Dirjend. Tanarnan Pangan dan Holtikultura, Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jakarta, 1994. Syarif, [wan dan Badriyah, Tessy. 2002. Pembuatan Alat Bantu Ajar Sistem Pakar dengan Teknik Inferensi Backward Chaining. Surabaya. Rusdi Maslim. Maharani, V. T. (2007). Keterbelakangan Mental. Blog Tanaya Maharani. Turban, E. ( 1 995). Decision Support and Expert System; Management Support System . Turban, Efram, Jay E. Aronson, and Ting Peng Liang, 2005, Decision Support Systems and Intelligent Systems (Sistem Pendukung Keputusan dan Sistem Cerdas), Edisi 7 Jilid l , Andi, Yogyakarta. Turban E., Aronson J.E., Liang T.P., "Decision Support Systems and Intelligent Systems Sistem Pendukung Keputusan dan Sistem Cerdas)", Edisi 7, Jilid 2, CV.Andi Offset, Yogyakarta, 2005.
74. CSR!D Journal, Vol.5 No.I Februari 2013, Hal. 63 - 73
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
SISTEM PAKAR UNTUK MENDIAGNOSA PENYAKIT TANAMAN PERKEBUNAN BERBASIS MULTIMEDIA 1
Adil Pratama (07018317), 2Sri Winiarti (0516127501) 1,2
Program Studi Teknik Informatika Universitas Ahmad Dahlan Prof. Dr. Soepomo, S.H., Janturan, Umbulharjo, Yogyakarta 55164 1 Email: 2 Email: [email protected] ABSTRAK Rendahnya produktivitas tanaman terutama Perkebunan rakyat antara lain disebabkan oleh petani perkebunan yang belum memperhatikan budidaya tanaman, agroekosistem dan penerapan Pengendalian Hama Terpadu ( PHT ) pada areal perkebunannya, sehingga kerugian hasil akibat serangan OPT terutama hama dan penyakit tanaman cukup besar. Pengetahuan petani perkebunan tentang jenis penyakit dan pencegahan juga pengendalian tanaman yang terserang penyakit atau hama masih sangat kurang, penggunaan Pestisida sintetis yang kurang bijaksana dalam pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan ( OPT ) masih banyak digunakan oleh petani perkebunan, Hal ini mengakibatkan timbulnya beberapa masalah yang kurang menguntungkan, diantaranya timbul resistensi OPT terhadap Pestisida sintetis, residu pestisida, mengakibatkan pencemaran lingkungan dan lain-lain. Sehubungan dengan hal tersebut diatas Dinas Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Balai Proteksi Tanaman Perkebunan membimbing petani perkebunan mampu mencegah serta mengendalikan tanaman perkebunan ketika terserangan penyakit dan cara penanganannya. Penelitian mengenai pendiagnosaan penyakit tanaman perkebunan ini dilakukan dengan metode penelusuran Forward Chaining dan metode kepastian Certain Factor. Tahap pengembangan aplikasi diawali dengan tahap analisis dan definisi persyaratan yang menghasilkan rekayasa pengetahuan, kebutuhan data dan kebutuhan sistem. Tahap kedua yaitu perancangan sistem dan perangkat lunak yang menghasilkan perancangan proses yaitu Data flow Diagram, Entity Relationship Diagram, Rancangan tabel, perancangan menu dan antarmuka. Tahap ketiga yaitu implementasi dan pengujian unit, kode program yang digunakan menggunakan bahasa pemrograman basic 6.0. Tahap selanjutnya adalah integrasi dan pengujian sistem menggunakan Blackbox Test dan Alpha Test. Dari penelitian yang dilakukan menghasilkan Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman Perkebunan Berbasis Multimedia yang dapat bekerja seperti layaknya manusia (pakar tanaman). Aplikasi ini dapat mendiagnosa 45 penyakit berdasarkan 230 gejala, 48 penyebab, 82 Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
305
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
penanganan dan 45 keterangan penyakit. Unsur multimedia yang diterapkan berupa ditampilkannya gambar berformat .jpg, audio berformat .wav dan video berformat flv dan wmv. Hasil uji coba menunjukan bahwa aplikasi layak dan dapat digunakan. Kata Kunci : Sistem Pakar, Penyakit Tanaman Perkebunan, Multimedia
1. PENDAHULUAN Rendahnya produktivitas tanaman terutama Perkebunan rakyat antara lain disebabkan oleh petani perkebunan yang belum memperhatikan budidaya tanaman, agroekosistem dan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada areal perkebunannya, sehingga kerugian hasil akibat serangan OPT terutama hama dan penyakit tanaman cukup besar. Pengetahuan petani perkebunan tentang jenis penyakit dan pencegahan juga pengendalian tanaman yang terserang penyakit atau hama masih sangat kurang, penggunaan Pestisida sintetis yang kurang bijaksana dalam pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) masih banyak digunakan oleh petani perkebunan, hal ini mengakibatkan timbulnya beberapa masalah yang kurang menguntungkan, diantaranya timbul resistensi OPT terhadap Pestisida sintetis, residu pestisida, mengakibatkan pencemaran lingkungan dan lain-lain[8]. Sehubungan dengan hal tersebut diatas Dinas Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Balai Proteksi Tanaman Perkebunan membimbing petani perkebunan mampu mencegah serta mengendalikan tanaman perkebunan ketika terserangan penyakit dan cara penanganannya. Berdasarkan wawancara dengan bapak Salam, pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta pengetahuan masyarakat di beberapa daerah, seperti para petani perkebunan di daerah Gunung Kidul sangat minim tentang jenis penyakit pada tanaman perkebunan seperti, penyakit karena jamur, penyakit karat daun, penyakit akar hitam, penyakit akar coklat, penyakit bercak coklat pada daun, penyakit mati ujung pada ranting, busuk tunas atau pucuk yang disebabkan oleh jamur (Phytophthora palmivora), penyakit busuk buah (Phytopthora palmivora), jamur upas, penyakit mati bujang (bakteri Xylemlimited bacterium), penyakit busuk akar (Pytium rhizoctonia dan Phytopthora), dan masih kurang baiknya para petani perkebunan dalam penyediaan bibit unggul serta sulitnya air di daerah Gunung Kidul juga menjadi faktor tanaman terserang penyakit seperti tanaman mudah layu yang ditandai dengan daun menguning, kemudian coklat dan akhirnya tanaman yang mengalami gejala tersebut mati[17]. Bapak Salam dan Ibu Annas juga menambahkan karena terbatasnya para peneliti dan ahli perkebunan yang ada di daerah atau Departemen yang bersangkutan, balai-balai yang di dirikan untuk melakukan penelitian penyakit tanaman tersebut dalam membantu para petani perkebunan di tiap-tiap daerah menjadi tidak jelas kedudukannya, petugas pusat (Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) akan turun ke lapangan jika ada laporan telah terjadi serangan Organisme Pengganggung Tanaman (OPT) di tiap - tiap daerah di Yogyakarta seperti Bantul, Sleman, Kulonprogo, dan Gunung Kidul. Adapaun faktor lain yang mempengaruhi yaitu kurangnya informasi yang didapat oleh para penyuluh perkebunan dan pertanian untuk memberikan pengarahan pada para petani perkebunan, sehingga timbul masalah bagaimana supaya petani perkebunan dapat Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
306
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
mengetahui penyakit yang menyerang tanaman dan mengambil tindakan serta melakukan penanganan yang maksimal tanpa adanya seorang ahli. Untuk mengatasi pemecahan masalah tersebut ditawarkan pemanfaatan teknologi canggih. Seperti diketahui, saat ini telah berkembang bidang studi Artificial Intelegence (AI) yaitu suatu ilmu komputer yang membuat agar mesin (komputer) dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik yang dilakukan manusia (pakar)[4]. Salah satu cakupan AI adalah sistem pakar (Expert System) yang diperuntukkan seorang pakar guna membantu masyarakat awam. Sistem pakar akan bertindak layaknya seperti seorang pakar. Sistem akan memberikan daftar gejala-gejala sampai bisa mengidentifikasi suatu objek berdasarkan jawaban yang diterimanya. Sistem pakar merupakan program komputer yang meniru proses dan pengetahuan pakar dalam menyelesaikan masalah tertentu. Implementasi sistem pakar banyak digunakan untuk kepentingan komersil, karena sistem pakar dipandang sebagai cara penyimpanan pengetahuan pakar pada bidang tertentu yang disimpan dalam program komputer, sehingga keputusan dapat diberikan dalam melakukan penalaran secara cerdas. Umumnya pengetahuan yang ada diambil dari seorang manusia yang mempunyai keahlian (pakar) dalam bidang tersebut [4]. Pakar juga memiliki beberapa kelemahan, basis kemampuan sistem hanya terfokus pada data yang dimasukkan tanpa adanya faktor pengalaman seperti yang dimiliki oleh ahli. Sistem tersebut hanya mendiagnosa dari gejala yang dimasukkan dan akan menimbulkan masalah baru bila pada gejala-gejala yang dimasukkan terdapat gejala yang tidak sesuai dengan suatu jenis penyakit. Hal ini akan mengakibatkan hasil diagnosa sementara yang telah diperoleh menjadi salah. Kesalahan ini terjadi karena kemampuan sistem dalam mendiagnosa suatu gejala masih terdapat ketidakpastian (uncertainly) yang dapat menyebabkan kemungkinan kesalahan diagnosa dan kesalahan treatment action. Sistem pakar juga harus dapat mengatasi ketidakpastian ini dan menggambarkan konklusi yang valid sehingga menghasilkan keputusan yang benar layaknya seorang pakar. Karena masih jarangnya pengembangan yang ada dan minimnya ahli tanaman untuk menanggulangi penyakit dan hama ketika tanaman yang ditanam menderita suatu penyakit tidak dapat langsung ditangani dan dapat mengakibatkan kerugian pada petani perkebunan karena kurangnya ahli pada tanaman tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, maka diusulkan sebuah penelitian dengan judul “Aplikasi Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Pada Tanaman Perkebunan Berbasis Multimedia”. Aplikasi ini dibangun berdasarkan dari penelitian terdahulu yang masih jarang menggunakan multimedia seperti menyertakan gambar, sound dan movie. Adapun salah satu Aplikasi Sistem Pakar sebelumnya yang dianggkat oleh Sistri Chuwatno dengan judul “ Aplikasi Sistem Pakar untuk Diagnosa Penyakit Tanaman Cengkeh Di Sertai Gambar Gejala”. Namun dalam penelitian ini tidak disertai dengan penjelasan berupa audio/suara[3]. Oleh karena itu sistem ini dibuat berbasis multimedia, yaitu suatu konsep dan teknologi baru bidang teknologi informasi, dimana informasi dalam bentuk teks, gambar, suara, animasi, dan video disatukan dalam komputer untuk disimpan, diproses, dan disajikan baik secara linier maupun interaktif. Penyajian dengan menggabungkan seluruh elemen multimedia tersebut menjadikan informasi dalam bentuk multimedia yang dapat diterima oleh indera penglihatan dan pendengaran, lebih mendekati bentuk aslinya dalam dunia sebenarnya, karena melihat realita yang ada masih terdapat beberapa petani perkebunan dimasyarakat yang tidak bisa membaca. Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
307
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
Sistem pakar ini diharapkan bisa membantu petani perkebunan dalam mendapatkan informasi mengenai jenis penyakit tanaman perkebunan, gejala penyakit, bagaimana cara penanganannya disertai dengan gambar dan sound. Dengan memberikan basis pengetahuan yang dimiliki oleh pakar pada sebuah sistem komputer, maka sistem tersebut dapat bekerja dengan baik untuk mendignosa penyakit pada tanaman perkebunan dengan mengidentifikasi gejala yang menyerang pada setiap tanaman. Masyarakat umumnya yang kurang memahami penyakit dan hama ini karena : 1. 2.
3.
Pengetahuan petani perkebunan tentang jenis penyakit masih sangat kurang. Banyaknya jenis – jenis penyakit yang hampir sama misal daun menguning dikarenakan jamur ataupun media tanaman yang jelek pertumbuhan lambat dan kerdil hal ini bisa disebabkan virus. Ada banyak jenis tanaman perkebunan di Yogyakarta diantaranya Teh, Kopi, Kelapa, Kakao, Cengkeh, Jambu Mete, Lada, Tembakau, Tebu, Vanili, Mendong, Jarak Pagar. Kurangnya penyediaan bibit unggul mengakibatkan penurunan kualitas dan perkembangan terhambat hal ini dikarenakan cara pengendalian terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) kurang efektif.
2. KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini mengacu pada masalah yang diangkat oleh Dian Karunia Krisna[1]. “ Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Pada Tanaman Kakao Berbasis Web “.Kelemahan dalam penelitian ini sistem belum dilengkapi dengan visualisasi penyakit. Referensi lain penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Abragus Sabra[2]. “ Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit pada Tanaman Kopi “. Kelemahan dalam penelitian ini sistem yang dibuat belum dilengkapi dengan visualisasi penyakit, gejala penyakit dan suara . Referensi lain penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sistri Chuwatno [3]. “Aplikasi Sistem Pakar untuk Diagnosa Penyakit Tanaman Cengkeh Di Sertai Gambar Gejala “. Kelemahan dalam penelitian ini yaitu tidak disertakan suara penyakit pada hasil diagnosa dan suara gejala penyakit pada konsultasi. Berdasarkan penelitian di atas, akan dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Pada Tanaman Perkebunan Berbasis Multimedia”. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kelapa, kopi, cengkeh, tembakau dan jambu mete. Metode penelusuran fakta menggunakan forward chaining dan metode kepastian menggunakan Certainty Factor. Output yang dihasilkan berupa hasil diagnosa yang dilengkapi dengan suara dan visualisasi penyakit tanaman perkebunan. 2.1 Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligent) Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) merupakan satu bagian ilmu komputer yang membuat agar mesin (komputer) dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik yang dilakukan manusia [4]. 2.2 Sistem Pakar Menurut Giarratano dan Riley sistem pakar adalah suatu sistem komputer yang bisa menyamai atau meniru kemampuan seorang pakar. Dengan sistem pakar ini orang Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
308
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
awam pun dapat menyelesaikan masalah yang cukup rumit yang sebenarnya hanya dapat diselesaikan dengan bantuan para ahli. Bagi para ahli, sistem pakar ini juga akan membantu aktivitasnya sebagai asisten yang sangat berpengalaman [4]. 2.3 Multimedia Kombinasi dari paling sedikit dua media input atau output. Media ini dapat berupa audio (suara, musik), animasi, video, teks, grafik dan gambar (Turban dan kawankawan, 2002) [13] Tujuan multimedia yaitu untuk membuat komunikasi semakin baik. Komunikasi antara pemakai dan komputer yaitu : manusia dan manusia (lewat komputer), manusia dan komputer, komputer dan manusia, komputer dan komputer [14]. 2.4 Faktor Kepastian ( Certainly Factor) 2.1.1 Faktor Kepastian ( Certainly Factor) Faktor kepastian merupakan cara dari penggabungan kepercayaan (belief) dan ketidapercayaan (unbelief) dalam bilangan yang tunggal Dalam certainty theory, datadata kualitatif direpresentasikan sebagai derajat keyakinan (degree of belief). Certainty Factor (CF) menunjukkan ukuran kepastian terhadap suatu fakta atau aturan[4]. Notasi Faktor Kepastian adalah sebagai berikut[4]: CF[h,e] dengan: CF[h,e] MB[h,e] diberikan
= MB[h,e] - MD[h,e] = faktor kepastian = ukuran kepercayaan terhadap hipotesis h, jika
MD[h,e] 2.5 Model Proses Waterfall
evidence e (antara 0 dan 1). = ukuran ketidakpercayaan terhadap evidence h, jika diberikan evidence e (antara 0 dan 1).
Model waterfall merupakan model pertama yang diterbitkan untuk proses pengembangan perangkat lunak diambil dari proses rekayasa lain (Royce, 1970) [10]. Pada model ini tiap tahapnya digambarkan seperti layaknya air terjun yang jatuh di tiap undakan [16]. Model waterfall digambarkan seperti pada Gambar 1[15]. Analisis dan definisi persyaratan Perancangan sistem dan perangkat lunak Implementasi dan pengujian unit Integrasi dan pengujian sistem Operasi dan pemeliharaan
Gambar 1. Model Waterfall Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
309
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
2.6 Sekilas Tentang Penyakit Tanaman Perkebunan Penyakit Tanaman Perekebunan yang dijadikan objek penelitian dalam tugas akhir ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penyakit Tanaman Perkebunan Nama Tanaman
Kelapa
Kopi
Cengkeh
Tembakau
Nama Penyakit Penyakit lethal yellowing Penyakit cadang-cadang Penyakit gugur buah Penyakit batang berdarah Penyakit busuk tunas marasmius Penyakit layu natuna Penyakit busuk tunas kering Penyakit busuk janur Penyakit bercak cokelat Penyakit bercak kelabu Penyakit busuk umbut Penyakit Kanker belah Penyakit Jamur upas Penyakit Bercak daun cercospora Penyakit Akar cokelat Penyakit Nematode akar kopi Penyakit Mati pucuk Penyakit Karat daun Penyakit Akar hitam Penyakit Cacar daun cengkeh Penyakit Embun jelaga Penyakit Antraknos Penyakit Hawar daun tunas Penyakit Bercak daun besar Penyakit Coreng Penyakit Betok Penyakit Mosaik Penyakit Lanas Penyakit Karat hitam Penyakit Busuk Tangkai Penyakit Nematoda paru akar Penyakit Layu Penyakit Bercak karat Penyakit Rizhoctonia Penyakit Krupuk dan Keriting Penyakit Cacar Tembakau Penyakit Simpanan Penyakit Patik Penyakit Mosaik Ketimun
Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
310
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
Jambu Mete
e-ISSN: 2338-5197
Penyakit Embun tepung Akar putih Busuk akar dan batang Antraksona Belendok ( gummosis ) Bercak daun pestalotia
3. METODE PENELITIAN Subyek penelitian pada tugas akhir ini adalah sistem pakar untuk mendiagnosa penyakit pada tanaman perkebunan berbasis multimedia. Sistem akan dibuat menggunakan pemrograman basic dengan menggunakan proses model waterfall. Sistem yang dibuat ini diharapkan dapat membantu masyarakat dan pakar (kasi pengamatan dan peramalan penyakit tanaman perkebunan) dalam mendiagnosa penyakit tanaman perkebunan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis dan Definisi Persyaratan
4.1.1 Kebutuhan Data 1. Data Pengguna: Pakar, Pengguna (bukan pakar) dan Administrator. 2. Data Masukan (input) meliputi: data tanaman, penyakit, gejala, penyebab, penanganan, keterangan penyakit, aturan penyakit, aturan gejala, aturan penyebab, aturan penanganan dan aturan keterangan dari penyakit. 3. Proses meliputi: pelacakan penyakit, menampilkan hasil diagnosa penyakit. 4. Data Keluaran (output): diagnosa penyakit tanaman perekebunan yang disertai dengan gambar dan suara. 4.1.2
Kebutuhan Sistem 1. 2.
Pengumpulan kebutuhan sistem dilakukan dengan mewawancarai pakar tanaman perkebunan Ir. Subintoro, M.Si dan refrensi lain yang bersumber dari buku dan internet[5][8][9][20[21][22]. Rekayasa Pengetahuan.
4.2 Deskripsi Sistem 4.2.1 Pemodelan Proses Pemodelan proses disajikan dalam bentuk Data Flow Diagram (DFD). Data Flow Diagram (DFD) dimulai dari bentuk yang paling umum yaitu diagram konteks (context diagram), kemudian dari diagram konteks ini diturunkan menjadi bentuk yang lebih detail. Data Flow Diagram dapat dilihat pada Gambar 2.
Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
311
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
Gambar 2. Diagram Konteks 4.2.2
Pemodelan Data
Pemodelan data disajikan dengan Entity Relationship Diagram (ERD). Relationship Diagram (ERD) adalah sarana untuk menggambarkan hubungan antar data di dalam sebuah sistem, ERD menggunakan sejumlah notasi dan simbol untuk menggambarkan struktur dan hubungan antar data. Entity Relationship Diagram (ERD) Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Pada Tanaman Perkebunan Berbasis Multimedia dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Entity Relationship Diagram Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Pada Tanaman Perkebunan Berbasis Multimedia 4.3 Multimedia dalam Sistem Pakar Sistem pakar diagnosa penyakit tanaman perekebunan dibuat berbasis multimedia agar dapat memperjelas informasi sehingga lebih mudah untuk difahami oleh para pengguna. Multimedia yang dipakai dalam sistem ini berupa penyajian audio, gambar, teks dan video. Penggunaan gambar dalam sistem pakar ini dimaksudkan untuk lebih memberikan gambaran/visualisasi kepada pengguna terhadap berbagai gejala yang dialami dan kemungkinan penyakit yang dideritaa. Gambar yang digunakan dalam sistem ini berformat .JPG. Penggunaan audio diharapkan dapat membantu pemakai yang mempunyai keterbatasan untuk dapat menggunakan program ini dengan baik. Audio Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
312
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
dalam sistem pakar ini memakai format .WAV. Video berformat .FLV dan WMV teks digunakan dalam penyampaian informasi yang terdapat pada menu informasi. Sistem ini hanya melakukan pemanggilan file, proses pembuatan file audio dan video dilakukan diluar sistem. Pemanggilan gambar dan audio oleh sistem yaitu dengan memanggil lokasi file tersebut sehingga agar sistem dapat berjalan dengan baik, file gambar dan audio harus terlebih dahulu dimasukkan ke dalam folder yang telah disediakan. Konsep multimedia sudah mulai diterapkan pada saat program mulai dijalankan. Suara penjelasan diputar ketika proses gejala dilakukan pada proses konsultasi. Pada hasil diagnosa konsep multimedia diterapkan dengan ditampilkannya gambar penyakit beserta suara penyakit secara otiomatis, sedangkan suara gejala, penyebab, penanganan, dan keterangan dimainkan secara berganti-ganti, dimainkannya suara penjelasan berdasarkan hasil konsultasi. 4.4 Implementasi dan Pengujian 4.4.1 Implementasi Menu utama sistem dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Menu Utama Menu konsultasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Hasil Diagnosa Gejala Umum Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
313
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
Hasil konsultasi (diagnose) dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil Diagnosa 4.4.2
Pengujian Sistem ini menggunakan dua jenis pengujian yaitu:
a. Black Box Test Pengujian ini melibatkan seorang pakar kasi pengamatan dan peramalan BSPMBPTKP yaitu Ir. Subintoro, M.Si, pengujian ditekankan pada pemasukan data, penentuan aturan diagnosa penyakit tanaman perkebunan, serta informasi yang dihasilkan. Berdasarkan hasil diatas didapat presentasi penilaian terhadap sistem aplikasi yaitu, Ya: 7/7 x 100% = 100%, Tidak = 0/7 x 100% = 0%. Dari hasil uji presentase tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa data dan informasi yang disampaikan sudah sesuai dengan ilmu pengetahuan dibidang penyakit tanaman perkebunan khususnya dalam mendiagnosa penyakit tanaman, kelapa, kopi, cengkeh, tembakau dan jambu mete. b. Alpha Test Untuk pengujian sistem menggunakan Alpha test dilakukan oleh 10 orang mengetahui tentang penyakit tanaman perkebunan. Berdasarkan hasil diatas, dapat diperoleh prosentase penilaian terhadap sistem yaitu: jawaban SS = 31/70 x 100%= 44,29 %, jawaban S = 39/70 x 100% = 55,72%, jawaban KS = 0/70 x 100 = 0 %, jawaban TS = 0/70 x 100% = 0 %. Dari hasil penilaian terhadap sistem, maka dapat disimpulkan bahwa sistem layak dipergunakan untuk mendiagnosa penyakit tanaman perkebunan serta bisa memberikan solusinya.
5. SIMPULAN 1. Dari penelitian yang telah dilakukan, dihasilkan sebuah perangkat lunak (software) baru tentang Aplikasi pakar dalam mendiagnosa penyakit tanaman perkebunan berbasis multimedia sebanyak 45 jenis penyakit, jumlah gejala Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
314
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
2. 3. 4. 5.
e-ISSN: 2338-5197
sebanyak 230 gejala, jumlah penyebab sebanyak 48 jenis penyebab, dan jumlah solusi sebanyak 82 penanganan, dan jumlah keterangan penyakit sebanyak 45 jenis keterangan, infrensi perhitungan menggunakan faktor kepastian (Certainty Factor) Aplikasi yang dihasilkan berupa sistem pakar yang terintegrasi dengan multimedia yang mampu menampilkan gambar berformat .jpg, memainkan audio berformat .wav dan video berformat .flv dan wmv. Perangkat lunak yang dihasilkan mampu mengidentifikasi penyakit tanaman perkebunan berdasarkan gejala yang dimasukkan serta memberikan penanganan ( solusi ) seperti layaknya seorang pakar. Informasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai alternatif pakar dalam berkonsultasi tentang penyakit tanaman perkebunan yang meliputi nama penyakit, gejala, penyebab, probabilitas, dan cara penanganannya
6. DAFTAR PUSTAKA [ 1 ]. Dian Karunia Krisna “ Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Pada Tanaman Kakao “. Universitas Negeri Yogyakarta [ 2 ]. Abragus Sabra “ Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit pada Tanaman Kopi “. Universitas Sumatera Utara http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26967/7/Abstract.pdf [ 3 ]. Sistri Chuwatno “Aplikasi Sistem Pakar untuk Diagnosa Penyakit Tanaman Cengkeh Di Sertai Gambar Gejala “. Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. [ 4 ]. Sri Kusumadewi, Artificial Intelligence Teknik dan Aplikasinya, Graha Ilmu Yogyakarta [ 5 ]. Mangunan, H, 2000, Penyakit Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. [ 6 ]. Kusrini, 2006. Sistem Pakar Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Andi Offset. [ 7 ]. Fatansyah, Ir., Basis Data, 2007, Bandung, Informatika. [ 8 ]. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=penyakitpenyakit% %20tanaman%20perkebunan&source=web&cd=37&ved=0CEoQFjAGOB 4&url=http%3A%2F%2Fwww.disbun.jabarprov.go.id%2Fassets%2Fdata%2Far sip%2FAgens%2520Selatan%252007.doc&ei=6_ICTjCHoTXrQe3_czwDw&us g=AFQjCNFMr1r5OyyVaLqatTSZjvhDrJqWA&cad=rja [ 9 ]. Trubus Info Kit Vol. 9, Hama dan Penyakit Tanaman Deteksi Dini Dan Penanggulangan. [10]. Sommerville, Ian, Software Engineering, Edisi 6, 2003, Erlangga, Jakarta [11]. Efrani Turban, Jay E. Aronson, Ting Peng Liang, 2005, Decision Suport System and Intelligent System, Andi, Yogyakarta [12]. Roger S Pressman, Rekayasa Perangkat Lunak, 2002, Andi and McGraw-Hill Book Co, Yogyakarta [13]. http://www.smkn1ktb.forumotion.com/t49-pengertian-multimedia [14]. http://kostanprotonema.site88.net/Materi/MULTIMEDIA.doc, [15]. http://setiasetia.multiply.com/journal-artcle/item.doc, [16]. Tarmuji, Ali, S.T., Diktat Kuliah Rekayasa Perangkat Lunak, 2009, UAD, Yogyakarta [17]. Dinas Kehutanan dan Perkebunan [ DISHUTBUN ] Balai Sertifikasi Pengawsan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan [BSPMBPTKP] Yogyakarta. Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
315
Jurnal Sarjana Teknik Informatika Volume 1 Nomor 1, Juni 2013
e-ISSN: 2338-5197
[18]. http://www.opete.info/detail2.php?idp=820 [19]. http://bp4ktaput.com/2011/05/12/hama-dan-penyakit-tanaman-kopi/ [20]. http://uminoty.wordpress.com/2010/07/23/pengendalian-hama-dan-penyakittanaman-cengkeh/ Diakses pada 20 mei 2012 [21]. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan -hama-dan-penyakit-tanaman-tembakau, [22]. http://ditjenbun.deptan.go.id/perlindungan/index.php ?option=com_content&view=article&id=88:penyakit -pada-tanaman-jambumete-&catid=15:home
Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Tanaman …
316
Trichoderma sp. dalam Pengendalian Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Tomat (Trichoderma sp. in Controlling Tomato Fusarium Wilt Disease) 1)
Trias NOVITA 1)
Fakultas Pertanian Universitas Jambi Email: [email protected]
ABSTRACT. This study aims to determine the role of Trichoderma sp. in the control of Fusarium wilt disease on tomato plants. Research conducted at the Greenhouse School of Agriculture, University of Jambi. The treatment consists of: t0 = without Trichoderma sp; t1 = 25 g Trichoderma sp / 8 kg media; t2 = 50 g Trichoderma sp / 8 kg media; t3 = 75 g Trichoderma sp / 8 kg of media, and t4 = 100 g Trichoderma sp / 8 kg of media. The results showed that Trichoderma sp plays a role in controlling the Fusarium wilt disease on tomato plants. The best Trichoderma sp dose to control the Fusarium wilt disease on tomato plants is 50 g Trichoderma sp / 8 kg of media. Keywords: Fusarium, Trichoderma, tomatoes ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Trichoderma sp dalam pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman tomat. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Jambi, perlakuannya terdiri dari : t0 = tanpa Trichoderma sp; t1 = 25 g Trichoderma sp/8 kg media; t2 = 50 g Trichoderma sp/8 kg media; t3 = 75 g Trichoderma sp/8 kg media; dan t4 = 100 g Trichoderma sp /8 kg media. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Trichoderma sp berperan dalam mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat. Takaran Trichoderma sp yang paling baik dalam mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat adalah pada perlakuan 50 g Trichoderma sp/8 kg media. Kata Kunci: Fusarium, Trichoderma, tomat PENDAHULUAN
negatif bagi lingkungan seperti resistensi patogen, pencemaran lingkungan, dan matinya organisme non target (Oka, 1995). Menurut Novizan (2002), teknik pengendalian lain dapat dilakukan dengan memanfaatkan agen hayati yang bersifat antagonis seperti Trichoderma sp. Selain bersifat hiperparasit terhadap cendawan patogen tular tanah, cendawan antagonis ini juga bersifat dekomposer yang dapat mempercepat proses pembuatan kompos. Penambahan Trichoderma sp dan fermentor biomassnya seberat 200 g dan 250 g/5 kg tanah media semai sangat mampu menekan pertumbuhan dan perkembangan jamur S. Rollfsii patogen rebah kecambah pada tanaman cabai di persemaian (Mulyati, Yunita dan Novita, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Trichoderma sp dalam pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman tomat.
Produksi rata–rata tanaman tomat di Provinsi Jambi rendah dibandingkan daerah lain, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Serangan OPT dapat disebabkan oleh serangga maupun patogen. Dari berbagai penyakit tanaman tomat, penyakit layu fusarium merupakan penyakit yang dominan. Menurut Semangun (1996), patogen layu fusarium pada tanaman tomat adalah cendawan Fusarium oxysporum. Cendawan ini merupakan cendawan patogen tular tanah yang dapat menyerang tanaman tomat. Menurut Endah dan Novizan (2002), cendawan patogen tular tanah dapat dikendalikan dengan cara menanam varietas tomat yang tahan, penggunaan mulsa plastik, dan perlakuan benih. Cara ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Teknik pengendalian yang paling banyak diterapkan adalah aplikasi fungisida sintetik. Tetapi, fungisida ini harganya cukup mahal, selain itu pemakaian fungisida secara terus-menerus dapat menimbulkan dampak
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Bahan yang digunakan adalah benih tanaman tomat varietas 27
Ratna, isolat F. oxysporum, isolat Trichoderma sp, pupuk kandang, dan media PDA. Sedangkan alat yang digunakan adalah autoklaf, inkubator, open, dan mikroskop.
Masing-masing Inokulasi Trichoderma sp. Trichoderma sp. sesuai takaran diinokulasi pada pupuk kandang yang berbeda. Inokulasi dilakukan 2 minggu sebelum penyiapan media. Setelah itu dicampur dengan media tanam lainnya pada saat tanam.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan yang terdiri dari : t0 = tanpa Trichoderma sp; t1 = 25 g Trichoderma sp/8 kg media; t2 = 50 g Trichoderma sp/8 kg media; t3 = 75 g Trichoderma sp/8 kg media; dan t4 = 100 g Trichoderma sp /8 kg media.
Penanaman dilakukan dalam Penanaman. polybag setelah bibit berumur 4 minggu. Setiap polybag ditanam 1 bibit. Pemeliharaan. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman dan penyiangan. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari, sedangkan penyiangan dilakukan bila sudah terdapat gulma.
Pelaksanaan Penelitian Perbanyakan Trichoderma sp. Perbanyakan isolat murni dilakukan dengan menggunakan media beras steril dan diinkubasi.
Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap (1) Masa Inkubasi; (2) Persentase Tanaman Sakit; dan (3) Persentase Tanaman Mati
Perbanyakan Fusarium oxysporum. Perbanyakan F. oxysporum dilakukan dengan menggunakan isolat murni yang diambil ± sebesar bor gabus yang kemudian dibiakkan pada media PDA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyiapan Media Tanam. Media tanam yang digunakan tanah, pasir dan pupuk kandang (3:1: 1). Tanah yang digunakan dibersihkan dan disterilisasi dengan metode Tyndalisasi. Setelah itu media dimasukkan ke dalam polybag. Penyiapan media ini dilakukan 3 minggu sebelum tanam.
Hasil penelitian terhadap masa inkubasi yang tercepat adalah pada t0 yaitu 8,5 hari setelah tanam (hst) kemudian t1 yaitu 14 hst, sedangkan tanaman dengan perlakuan t2, t3 dan t4 tidak menunjukkan gejala terserang patogen layu fusarium. Persentase tanaman sakit yang terbesar adalah pada t0 yaitu 100% kemudian t1 yaitu 50%, sedangkan t2, t3 dan t4 yaitu 0% Hasil pengamatan terhadap persentase tanaman mati menunjukkan bahwa semua perlakuan adalah 0% atau tidak ada tanaman yang mati (Tabel 1).
Inokulasi ini Inokulasi Fusarium oxysporum. dilakukan pada media saat 2 minggu sebelum tanam.
Tabel 1. Masa inkubasi dan persentase tanaman sakit Perlakuan t0 = tanpa Trichoderma sp t1 = 25 g Trichoderma sp/8 kg media t2 = 50 g Trichoderma sp/8 kg media t3 = 75 g Trichoderma sp/8 kg media t4 = 100 g Trichoderma sp/8 kg media
Masa Inkubasi (hst) 8,5 14,0 -
Persentase Tanaman Sakit 100 50 0 0 0
Persentase Tanaman Mati 0 0 0 0 0
sebesar 100% dan aplikasi 25 g Trichoderma sp/8 kg media (t1) sebesar 50%. Hal ini disebabkan karena pada t0 (tanpa Trichoderma sp) tidak mengandung jasad antagonis di dalam media tanam. Sedangkan pada perlakuan berbagai takaran Trichoderma sp, kandungan Trichoderma sp yang diaplikasikan dalam media tanam dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan cendawan patogen. Oka (1995)
Berdasarkan hasil penelitian dari masa inkubasi, persentase tanaman sakit, dan persentase tanaman mati dapat diketahui bahwa aplikasi Trichoderma sp pada media tanam berperan untuk mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat. Hasil pengamatan menunjukkan hanya pada media tanam yang tidak diaplikasi Trichoderma sp (t0) yang terserang patogen layu fusarium yaitu 28
DAFTAR PUSTAKA
pemberian jasad antagonis terhadap patogen ke dalam tanah menyebabkan bertambahnya populasi antagonis di dalam tanah sehingga terjadi penekanan dan penurunan populasi patogen yang juga menyebabkan kemampuan patogen untuk menginfeksi juga berkurang.
Basuki dan Situmorang A. 1994. Trichoderma koningi dan manfaatnya dalam pengendalian penyakit akar putih (Rigidoporus microporus) pada tanaman karet. Warta Perkaretan 13(1).
Mekanisme penghambatan pertumbuhan dan perkembangan cendawan Fusarium sp oleh cendawan Trichoderma sp adalah melalui kompetisi, parasitisme dan antibiosis (Papavizas, 1985). Cook dan Baker (1974) dalam Basuki dan Situmorang (1994) cendawan Trichoderma sp dapat memparasiti misellium cendawan patogen dengan cara menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel untuk mengambil zat makanan, sehingga cendawan patogen akan mati.
Endah J dan Novizan. 2002. Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Agromedia. Jakarta Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia Pustaka. Jakarta. Mulyati, Yunita W dan Novita T. 2002. Efektivitas penekanan jamur antagonis Trichoderma sp. terhadap penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh jamur Scklerotium rolfsii Sacc. pada tanaman cabai.
Cendawan Trichoderma sp dapat mengeluarkan enzim dan toksin yang bersifat racun terhadap cendawan Fusarium sp. Cendawan Trichoderma sp dapat menghasilkan antibiotik viridin, glotoxin dan paraceltin yang dapat mengahancurkan sel cendawan dan enzim : ß (1,3) glukanase serta chitinase yang dapat mengakibatkan lisisnya dinding sel cendawan patogen.
Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Papavizas GC. 1985. Trichoderma and Gliocladium, Ecology and Potential for Biocontrol. Ann.Rev.Phytopatology. Vol.23:23-54. US Departement of Agriculture. Maryland.
Trichoderma sp yang diaplikasikan ke dalam media tanam akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan Fusarium sp sehingga kemampuannya untuk menginfeksi menjadi berkurang. Kemampuan infeksi yang berkurang atau tidak adanya infeksi akan menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya gangguan terhadap pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan baik.
Semangun H. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
KESIMPULAN Trichoderma sp berperan dalam mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat. Takaran Trichoderma sp yang paling baik dalam mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat adalah pada perlakuan 50 g Trichoderma sp/8 kg media. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberi dana dalam penelitian ini melalui hibah penelitian.
29
44
UJI EFEKTIVITAS BAKTERI ANTAGONIS Pseudomonas flourescens DAN P. putida UNTUK MENGENDALIKAN P. solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN MURBEI The effectively test of antagonist bacteria Pseudomonas flourescens and P. putida to control wilt disease caused by P. solanacearum on the mulberry Sitti Nuraeni dan Abdul Fattah ABSTRACT Pseudomonas solanacearum is a bacterial agent causing wilt disease on mulberry species and other woody plant in Indonesian. Biological control employing the antagonist bacteria such as P. fluorescens and P. Putida is a potential method. The aim of the research was to know the effectiveness of P. fluorescens and P. putida to suppress wilt diseases caused by P. solanacearum. The diseases control test with antagonist bacteria was conducted by immersion of root of seedlings in P. fluorescens and P. putida suspensions before planted in a growth medium inoculated by P. solanacearum with the all concentrations were 108 CFU/ml. The following parameters were observed: numbers of leaves, fresh and dry weights of leaves and severity of disease. The results of the effectiveness test showed that antagonist bacteria in the form of mixing of P. fluorescens and P. putida was the best, because they were capable to suppress wilt disease caused by P. solanacearum and increased productivity of mulberry leaves. keywords : antagonist bacteria, biological control, wilt disease PENDAHULUAN Murbei (Morus spp.) adalah salah satu jenis perdu yang merupakan hasil hutan bukan kayu dalam bidang kehutanan Indonesia yang telah lama dibudidayakan. Daun murbei dimanfaatkan sebagai pakan utama ulat sutera (Bombyx mori L). Pemanfaatan lahan pertanaman murbei yang belum optimal khusus di daerah Sulawesi Selatan disebabkan oleh produktivits daun murbei per pohon yang masih rendah. Produktivitas daun murbei yang masih rendah tersebut disebabkan selain karena penanaman jenis tanaman murbei bukan dari jenis yang unggul, kultur teknis pemeliharaan tanaman belum dilakukan sebagaimana mestinya, juga disebabkan adanya serangan berbagai jenis hama dan patogen. Penyakit penting yang menyerang pertanaman murbei di Sulawesi Selatan antara lain adalah penyakit kanker oleh Erwinia amylovora, penyakit hawar daun oleh P. syringae pv mori, penyakit embun tepung oleh Phyllactinia corylea dan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh P. solanacearum. Pada tiga sentra pertanaman murbei di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Gowa, Soppeng dan Enrekang ditemukan penyakit
Jurnal Perennial, 3(2) : 44-48
layu bakteri intensitas serangannya berkisar 3– 30% (Laike, 1996). Selain tanaman murbei, penyakit layu yang disebabkan oleh P. solanacearum juga dilaporkan menyerang tanaman beberapa tanaman sayursayuran dan beberapa tanaman kehutanan seperti jati (Tectona grandis), cemara laut (Causarina equisetifolia), cemara gunung (C. junghuhniana) dan tusam (Pinus merkusii). Pada uji laboratorium, P. solanacearum dapat menyerang semua jenis murbei dengan intesitas serangannya mencapai 100 % (Nuraeni dan Fattah, 2005). Penyakit layu bakteri yang menyerang tanaman pertanian dan kehutanan hingga kini masih sulit dikendalikan, selain karena bakteri tersebut mempunyai jenis inang yang luas, juga karena belum banyaknya penelitian yang menyangkut pengendaliannya. Upaya pengendalian penyakit ini pada tanaman murbei belum pernah dilakukan, dikarenakan informasi keberadaan penyakit ini belum lengkap, sedangkan upaya pengendalian pada beberapa jenis tanaman pertanian lain telah banyak dilakukan. Pengendalian secara konvensional berupa sanitasi dan pemakaian bahan kimia seperti antibiotik atau bakterisida belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
45
Tindakan yang lebih efektif untuk pengendalian penyakit layu bakteri adalah tindakan preventif atau pencegahan penyebaran patogen ini melalui tanah (soil borne), yaitu penggunaan agensia pengendali biotik yang berpotensi tinggi menghambat serangan bakteri patogen, mampu beradaptasi dan berkolonisasi pada perakaran tanaman. Salah satu agensia pengendali biotik adalah penggunaan bakteri antagonis yang nonpatogen seperti P. fluorescens and P. putida. Menurut Rahman (1997), kedua bakteri antagonis ini merupakan bakteri kelompok fluorescent yang juga dapat berfungsi sebagai PGPR (Plant GrowthPromoting Rhizobacteria). Penggunaan kedua bakteri ini dilaporkan telah memberikan hasil yang positif terhadap pertumbuhan dan produksi pada tanaman pertanian. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit murbei (Morus canya) provenan India, Bakteri Pseudomonas solanacearum, P. fluorescens, P. putida, media (NGA, TTC, King’s B, mineral, SPA) dan antibiotik (streptomycin dan tetrasiklin). Prosedur pelaksanaan penelitian ini adalah bibit murbei yang telah tumbuh 65 hari dikeluarkan dari polybag, langsung direndam selama 1 jam dalam gelas ukur yang berisi bakteri antagonis atau antibiotik dengan konsentrasi 3 %. Kemudian bibit tersebut ditanam kembali di dalam polybag yang tanahnya telah ditulari bakteri patogen. Jumlah bibit yang dipakai setiap ulangan adalah sebanyak 3 bibit. Jumlah perlakuan adalah sebanyak sembilan yang diulang empat kali disusun dalam rancangan acal lengkap (RAL). Perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut : T0 : tanaman tanpa perlakuan, T1 : P. solanacearum, T2 : P. solanacearum + P. fluorescens, T3 : P. solanacearum + P. putida, T4 : P. solanacearum + P. fluorescens + P. pituda, T5 : P. fluorescens, T6 : P.putida, T7 : P. fluorescens + P. putida dan T8 : P. solanacearum + antibiotik Parameter untuk intensitas serangan penyakit layu adalah menghitung jumlah daun yang layu, diamati pada setiap interval delapan hari dengan cara melihat gejala yang timbul dan kemudian ditentukan skornya seperti terlihat pada Tabel 1. Untuk produktivitas tanaman murbei diamati adalah jumlah daun, berat basah dan kering daunnya.
Table1. By the way of value/scorings of seedling mulberry condition seedling mulberry condition No symptoms 1 – 2 leaves wilts or yellowing More than two leaves wilts or yellowing All the leaves wilt or yellowing Seedling die
scorings 0 1 2 3 4
Intensitas serangan dihitung dengan menggunakan rumus (Kelman, 1952 dalam Hutagalung, 1980) sebagai berikut: ∑ (n x v) I = ------------- x 100 % NxZ where,
I = n= v = N= Z=
severity of wilt disease number of the leaves wilting value/scoring of each seedling all the leaves investigation highest value/scoring to used
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Penyakit Layu Bakteri Penilaian perkembangan penyakit layu bakteri pada tanaman murbei dilihat pada intensitas serangan penyakit pada 8 – 56 hari setelah diinokulasi dengan P. solanacearum dan bakteri antagonisnya yaitu P. fluorescens dan P. putida disajikan pada Tabel 2. Data menunjukkan bahwa, pemberian bakteri antagonis P. fluorescens dan P. putida pada tanaman murbei, baik secara tunggal maupun kombinasi keduanya mampu menekan perkembangan penyakit layu yang disebabkan oleh P. solanacearum. Penggunaan bakteri antagonis mampu menekan penyakit layu pada tanaman murbei, yaitu P. fluorescens hingga 43 %, P. putida 57 % dan kombinasi keduanya hingga 67 %. Kemampuan kedua bakteri antagonis ini juga telah dibuktikan pada percobaan pada tanaman pertanian lain, seperti pada hasil penelitian Shekhawat et al (1992), bahwa secara tunggal P. fluorescens dapat menekan P. solanacearum pada tanaman kentang sampai 43 % di rumah kaca dan 66 % di lapangan. Begitu pula Rahman (1997) melaporkan, bahwa P. fluorescens mampu menekan penyakit layu ini sampai 75 % dan P. putida 65 % serta kombinasi keduanya 80 % di rumah kaca.
Jurnal Perennial, 3(2) : 44-48
46
Tablel 2. Tukey’s test of severity of disease by P. solanacearum after inoculation and to control with P. flourescens and P. putida at 8 – 56 days after inoculatin Severity of disease days after inoculation (%) 16 24 32 40 48 56 T0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00c T1:Ps 15.63 40.63 50.00 59.34 59.38 59.38 65.63a T2:Ps+Pf 12.50 25.00 31.25 37.50 37.50 37.50 37.50b T3:Ps+Pp 0.00 0.00 15.63 18.75 18.75 25.00 28.13b T4:Ps+Pf+Pp 0.00 12.50 12.50 18.75 21,88 21.75 21.88bc T5:Pf 0.00 0.00 0.00 0.00 3.13 3.13 3.13c T6:Pp 0.00 0.00 12.50 12.50 15.63 15.63 15.63c T7:Pf+Pp 6.25 6.25 15.63 18.75 18.75 18.75 18.75c T8:Ps+antibiotic 15.63 21.88 28..13 31.25 40.63 46.88 46.88ab Remarks : The value in the same column that followed by the same letter is not significantly different at α 0.05. Treatments
8
Data Tabel 2 juga memperlihatkan bahwa penggunaan antibiotik dapat pula menekan penyakit layu pada tanaman murbei walaupun kemampuannya menekan hanya 29 % saja. Di Indonesia penggunaan antibiotik streptomycin sulfat dan tetrasiklin dilakukan sejak tahun 1977. untuk mengendalikan penyakit layu oleh bakteri pada tanaman pertanian, namun hasilnya belum memuaskan dan tidak ekonomis (Setiawati dan Hutagalung, 1984 dalam Mahmud, 1985). Perkembangan penyakit layu pada tanaman murbei pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1. Perkembangan penyakit layu sampai pada hari ke-56 setelah inokulasi menunjukkan rata-rata di bawah 40 % dengan penggunaan bakteri antagonis sebagai tindakan preventif dan cenderung penyakit tersebut tidak berkembang lagi. Munculnya gejala penyakit layu pada perlakuan T5, T6 dan T7 atau perlakuan tanpa
70
inokulasi P. solanacearum diduga karena patogen tersebut lebih dahulu telah berada dalam jaringan tanaman akibat terbawa melalui stek. Menurut Sinha (1985), salah satu sumber inokulum untuk untuk penyebaran P. solanacearum adalah melalui bibit atau bahan tanaman. Persley (1985) menambahkan pula, bahwa sumber infeksi yang paling sulit dikontrol adalah melalui bahan tanaman secara vegetatif karena penyebarannya dapat lebih luas dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu musim ke musim berikutnya dengan infeksi laten (symptomless carier). Produktivitas daun murbei Produktivitas daun murbei yang diuji dapat dinilai dari jumlah helaian daun yang dihasilkan, berat basah dan berat kering daunnya yang disajikan pada Gambar 2. Pemberian bakteri antagonis dapat meningkatkan produktivitas tanaman murbei baik dari jumlah daun yang
(%) To
60
T1 : Ps
50
T2 : Ps+Pf T3 : Ps+Pp
40
T4 : Ps+Pf+Pp
30
T5 : Pf
20
T6 : Pp T7 : Pf+Pp
10
T8 : Ps+antibiotic
0 8
16
24
32
40
48
56
days after inoculation
Figure 1. Growth of bacteria wilt disease on mulberry after inoculation. Jurnal Perennial, 3(2) : 44-48
47
dihasilkan, juga berat basah dan kering daunnya. Penggunaan dengan mengkombinasikan keduanya (T7/P. fluorescens dan P. putida) dapat meningkatkan jumlah daun sebesar 28 % dibandingkan dengan murbei tanpa perlakuan (T0), sedangkan untuk berat basah dan kering daun meningkat masing-masing 6 % dan 30 %. Menurut Aspiras dan Cruz (1985), penggunaan bakteri antagonis P. fluorescens dan P. putida dapat meningkatkan hasil panen 5 – 33 %. Peranan bakteri antagonis selain dapat menekan penyakit tanaman juga berperan dalam memacu pertumbuhan tanaman karena bakteri ini termasuk dalam kelompok PGPR (Plant GrowthPromoting Rhizobacteria). PGPR membantu meningkatkan hasil panen tanaman karena aktivitasnya membantu melarutkan bahan anorganik dalam tanah yang dapat digunakan tanaman untuk pertumbuhanya. Sejumlah bakteri PGPR termasuk P. fluorescens dan P. putida dapat memacu pertumbuhan tanaman dengan cara melarutkan fosfat (Defago, 1992; Stefania, 1998). Selain itu bakteri antagonis tersebut dapat mengikat N2 dalam kondisi tanpa simbiosis, memproduksi hormon tumbuh IAA (3-indol acetid acid) dan efektivitasnya dapat ditingkatkan dengan pencampuran PGPR ini dengan PGPR lainnya atau mikroorganisme yang bermanfaat lainnya (Defago, 1992). Menurut Kwong dan Huang (1977), sifat yang dapat melarutkan fosfat yang dimiliki oleh P. fluorescens dan P. putida sangat
bermanfaat terutama pada tanah-tanah masam, karena pada tanah tersebut P terikat oleh Al, Fe atau Mn sehingga sukar larut. KESIMPULAN Hasil yang terbaik pada uji efektivitas bakteri antagonis pada tanaman murbei adalah dengan cara pencampuran P. fluorescens dan P. putida karena dapat menekan penyakit layu P. solanacearum sampai 67 % dan meningkatkan produktivitas daun murbei sampai 30 %. DAFTAR PUSTAKA Aspiras, R.B. and A.R. de la Cruz. 1985. Potential biological control of bacterial wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 and Pseudomonas fluorescens. In: Bacterial wilt disease in Asian and South Pasific. Proc. Int. Workshop at PCARRD [Persley, G.J. (ed.)]. Australian Centre International Agricultural Research (ACIAR), Los Banos. No. 13: 89-92. Defago, G. 1992. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria, current status. In: ‘Plant pathogenic bacteria” [M. Lemmattre, S. Freigoun, K. Rudolph and J.G. Swings (eds.)] h 891-894. INRA Route de st Cyr, Versailles, France.
35
gram ; sheed
30 25 20 15 10
Number of leaves
Fresh weigth of leavas
T8:Ps+antibiotic
T7:Pf+Pp
T6:Pp
T5:Pf
T4:Ps+Pf+Pp
T3:Ps+Pp
T2:Ps+Pf
T1:Ps
0
To
5
Dry weight of leaves
Figure 2. Productivity of mulberry with the number of leaves, fresh and dry weight of leaves. Jurnal Perennial, 3(2) : 44-48
48
Hutagalung, L. 1980. Beberapa aspek penularan bakteri layu Pseudomonas solanacearum E.F. Smith. melalui umbi kentang dan kemungkinan penanggulangannya. Tesis Magister Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kwong, K.F. and P.M. Huang. 1977. Surface reactivity of aluminium hydroxides precipitated in the presence of low molecular weight organic acid soil. Sci. Sos. Am. J. 43: 1107-1113. Laike. 1996. Inventarisasi dan identifikasi penyakit pada tanaman murbei (Morus spp) di Sulawesi Selatan. Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. 71 h. Mahmud, M. 1985. Bacterial wilt in Indonesia. In: Bacterial wilt disease in Asian and South Pasific”. Proc. Int. Workshop at PCARRD [Persley, G.J. (ed.)]. Australian Centre International Agricultural Research (ACIAR), Los Banos. No. 13: 126-143. Nuraeni, S dan A. Fattah. 2005. Karakteristik Pseudomonas solanacearum E.F. Smith Bakteri Penyakit Layu pada Tanama Murbei (Morus Spp.). Majalah Ilmiah Agriplus (terakreditasi) Vol. 15. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari. Hal 117-180. Persley. G.J. 1985. Ecology of Pseudomonas solanacearum, the causal agent of bacterial wilt. In: Bacterial wilt disease in Asian and South Pasific”. Proc. Int. Workshop at Diterima : 22 April 2007 Sitti Nuraeni Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo Kampus Bumi Tri Dharma, Kendari, Indonesia e_mail: [email protected] Abdul Fattah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17. Sudiang, Indonesia
Jurnal Perennial, 3(2) : 44-48
PCARRD [Persley, G.J. (ed.)]. Australian Centre International Agricultural Research (ACIAR), Los Banos. No. 13: 126-143. Rahman, R. 1997. Uji efektivitas bakteri rhizofer (Group Fluorescent Pseudomonads) sebagai Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan penekanannya terhadap penyakit layu (Pseudomonas solanacearum) pada tanaman kentang (Solanum tuberosum). Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. 56p. Shekhawat, G.S; S.K. Chakrabarti; V. Kishore; V. Sunaina and A.V. Gadewar. 1992. Possibilities of biological management of potato bacterial wilt with strain of Bacillus sp, B. subtilis, Pseudomonas fluorescens and Actinomycetes. Australian Centre of International Agricultural Research (ACIAR) Proc., Los Banos. No. 126-143. Sinha, S.K. 1985. Bacterial wilt in India. In: Bacterial wilt disease in Asian and South Pasific”. Proc. Int. Workshop at PCARRD [Persley, G.J. (ed.)]. Australian Centre International Agricultural Research (ACIAR), Los Banos. No. 13: 144-153. Stefania, K. 1998. Identifikasi bakteri rhizosphere kelompok fluorescens dan uji efektivitas dalam menekan penyakit layu (Fusarium oxysforum f. sp. vasintectum) pada tanaman kapas. Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. 77p.