Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Julianto Simanjuntak
Pendeta: Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya Copyright © Julianto Simanjuntak
Penulis Editor Penata letak Desain sampul
: Julianto Simanjuntak : Roswitha Ndraha : Tiyo W. Prasetyo : Tiyo W. Prasetyo
Cetakan pertama, 2014
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis/Penerbit sesuai dengan Undang-undang Hak Cipta dan moral kristiani.
Alamat : Ruko Paramount Centre blok D10 Gading Serpong, Tangerang 15333 Email :
[email protected] Web : www.PelikanIndonesia.com
i
Buku ini dipersembahkan untuk:
Dari:
Pada tanggal:
ii
daftar IsI Daftar Isi Pengantar
ii iii
1. Pendeta: Panggilan, Keluarga, dan Kepribadiannya
1
2. Masalah Kepribadian Dalam Pelayanan
9
3. Upah Hamba Tuhan
19
4. Motivasi Pelayanan
31
5. Cakap Bekerjasama
39
6. Kedewasaan Rohani
51
7. Kemalangan Pemimpin
59
Daftar Bacaan Tentang Penulis Testimonial Visi Pelikan
65 67 70 74
iii
Pengantar aya pernah memimpin jemaat selama kurang lebih 5 tahun. Itu adalah masa yang berat untuk saya. Tambahan
S
lagi, waktu itu saya baru menikah dan relasi dengan istri kurang baik. Saya tenggelam dalam pekerjaan yang berat, menyita waktu, emosi, dan tenaga saya. Ketika itu saya menganggap pelayanan di atas segala-galanya. Kalau saya melayani Tuhan dengan baik di gereja, maka Dia akan membereskan segala sesuatunya untuk saya. Belakangan saya baru menyadari, banyak pemahaman keliru yang saya adopsi di masa awal pelayanan adalah karena saya terlalu sibuk melayani serta kurang waktu untuk merenungkan maksud Bapa di surga untuk hidup saya.
iv Dalam pelayanan saya memenuhi undangan ke sejumlah gereja di tanah air, saya banyak berkomunikasi dengan kolega saya, para Pendeta, asisten Pendeta, Majelis, dan hamba Tuhan dengan berbagai jabatan gerejawi. Ternyata pergumulan mereka tidak berbeda jauh dengan saya dulu. Dari merekalah saya terinspirasi menulis buku ini. Saya sudah berhasil keluar dari jebakan pelayanan yang nyaris membuat keluarga saya menjadi korban. Maka saya menulis buku ini. Saya rindu agar Pembaca mewaspadai berbagai hal dalam pelayanan, yang nampaknya baik, tetapi sebenarnya berpotensi menjerumuskan kita. Selamat membaca. Kiranya buku ringkas ini bermanfaat dan menjadi berkat.
Julianto Simanjuntak
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
1
I Pendeta PanggIlan, KePrIbadIan, dan Keluarganya
P
endeta itu jabatan mulia. Dia adalah pemimpin umat yang posisinya terhormat. Pernah suatu ketika saya ber-
tanya pada seorang calon Pendeta yang masih kuliah, "Apa alasan Anda masuk sekolah Teologi?" Jawabnya, "Jadi Pendeta itu enak, semua tersedia dan terhormat pula." Mahasiswa ini begitu lugu dalam mengungkapkan keinginannya menjadi seorang Pendeta.
2
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Terlepas dari benar atau salah motivasi seseorang menjadi Pendeta, jabatan ini memang terhormat. Terutama dalam suku atau kebudayaan tertentu yang memberi tempat yang tinggi secara sosial pada seorang Pendeta. Misalnya, lihat saja dalam perayaan keagamaan dan kemasyarakatan misalnya, Pendeta biasanya mendapat tempat duduk istimewa.
Panggilan dan KelengKaPan diri Lepas dari pandangan sosial budaya apa pun, menjadi Pendeta adalah suatu panggilan mulia. Sangat khusus. Tidak semua orang mendapat panggilan ini. Yang dimaksud panggilan adalah paduan antara anugerah (talenta) dengan persiapan yang matang dari individu masuk dalam pelayanan penuh waktu di gereja. Saat dipanggil menjadi rasul, Paulus seorang yang sudah cukup matang, baik dalam pengetahuan maupun secara sosial dan mental. Artinya dia sadar, yang perlu dilakukannya setelah mendapat visi itu adalah melengkapi
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
3
diri secara rohani dan melatih kedekatan diri dengan Tuhan. Jika keduanya diintegrasikan maka hamba Tuhan menjadi matang. Bakat tidak bisa mengabaikan panggilan (visi yang jelas), dan panggilan tidak boleh mengabaikan pentingnya pembentukan. Pembentukan yang dimaksud adalah kelengkapan pengetahuan, skill, dan kematangan kepribadian. Mereka yang hanya mengandalkan panggilan, malas belajar (sekolah) cepat atau lambat akan ditinggalkan umat. Sebaliknya mereka yang hanya mengandalkan skill dan gelar, tanpa visi atau panggilan yang jelas, akan mudah bosan dan tergoda melakukan karir yang menghasilkan lebih banyak uang.
Fungsi Pendeta Ada tiga fungsi Pendeta yang khusus dan membuatnya menjadi penting dalam jemaat. Pertama, ia menyampaikan Firman Tuhan atau berkotbah. Ia mengajarkan kebenaran Firman Tuhan dalam berbagai komisi dan acara. Dalam hal ini Pendeta berfungsi layaknya seorang Nabi, menjadi perantara antara Tuhan
4
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
dan manusia, serta menyampaikan kebenaran Firman Tuhan. Kedua, Pendeta menjadi tempat curhat (konseling) dan meminta doa. Kadang, Pendeta juga menjadi tempat jemaat mengadukan kegagalannya dan minta didoakan. Ketiga, dalam sistem pemerintahan gereja tertentu, ada di antara Pendeta menjadi Ketua Majelis Jemaat. Ini berarti bertugas juga sebagai organisator, pemimpin umum dari seluruh organisasi gereja. Tak jarang pula dalam sistem Sinode gereja tertentu Pendeta dipercaya mengelola keuangan gereja, layaknya sebagai owner atau pendiri. Dalam kondisi seperti ini kematangan dan integritas hamba Tuhan diperlukan. Kalau tidak, dia terjebak ke dalam dosa memperkaya diri sendiri secara tidak halal.
Mitos tentang Pendeta Tanpa disadari, sebagian umat menghormati Pendeta dilatarbelakangi unsur magis. Ini bisa dimengerti karena sebagian orang Kristen berasal dari agama suku. Mereka menganggap
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
5
Pendeta bisa memberi doa berkat hingga doa pengusiran setan. Doa Pendeta dianggap lebih berkhasiat daripada doa majelis apalagi jemaat biasa. Ini adalah hasil pendidikan Teologi yang salah, tapi masih banyak dihidupi jemat. Tak heran, jemaat senang bisa memberi persembahan uang atau barang. Konsepnya, dengan memberi uang pada hamba Tuhan nanti mereka akan mendapat berkat berlipat ganda. Tapi ada juga yang memberi dengan konsep yang benar. Dia memberi kepada Tuhan, salah satunya adalah dengan menyejahterakan Pendeta. Bukan supaya diberkati Tuhan, tapi karena merasa sudah diberkati dan ingin menjadi berkat bagi hamba Tuhan. Kadang Pendeta menjadi obyek belas kasihan umat. Karena mereka melihat Pendeta itu terhormat, tapi gajinya tak seberapa. Akibatnya saat belanja di toko atau berobat di Rumah Sakit mereka digratiskan. Apakah ini bijak atau tidak, masing-masing individu punya alasan. Ada yang suka tapi ada juga yang merasa tidak nyaman. Jadi tetap memilih membayar, atau setidaknya cukup nyaman
6
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
mendapat keringanan harga. Dalam kondisi seperti ini Pendeta perlu mengajarkan umatnya pemahaman teologi yang benar tentang bagaimana memandang Pendeta. Bahwa setiap orang itu adalah hamba Tuhan karena penebusan Kristus. Perbedaan posisi tidak membuat Pendeta lebih tinggi dari lainnya. Tetapi setiap orang diberi talenta yang digunakan bersama untuk membangun jemaat.
disorot Namun di sisi lain, Pendeta, apalagi Gembala, mendapat banyak sorotan dan tuntutan dari jemaat. Setiap perilaku dan tutur kata Pendeta diperhatikan. Sebagian jemaat yang kurang dewasa kadang tersandung melihat kekurangan Pendeta atau keluarganya. Mereka ini adalah kelompok yang menuntut kehidupan Pendeta tidak boleh salah. Kekurangan mereka akan menjadi bahan pembicaraan di antara jemaat. Tetapi yang matang secara emosi dan rohani tidak
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
7
akan terjebak pada gosip demikian. Mereka lebih memilih saluran yang benar seperti membicarakan dalam rapat majelis. Intinya, kehidupan Pendeta seperti etalase toko yang dilihat secara jernih dan terang benderang oleh jemaat. Atau seperti ikan yang hidup dalam aquarium yang ditonton banyak orang. Akibatnya, mau tidak mau, dari Gembala dituntut kematangan dan kesiapan seluruh anggota keluarga menjadi teladan bagi jemaat. Sebab kritik dan rasa tidak suka akan selalu ada dari anggota jemaat. Kedewasaan Pendeta dan sistem keluarga yang sehat akan tetap membuat si Pendeta dan keluarganya kuat. Penulis sendiri merasa beruntung (baca: bersyukur) dipanggil menjadi Pendeta. Kebahagiaan itu selalu saya ungkapkan kepada anak-anak dan banyak orang. Itu hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada orang-orang tertentu. Meskipun banyak tantangan, unsur panggilan ini bisa menjadi stabilizer atau penyeimbang, agar tetap bertahan dalam pelayanan di jemaat.*
8
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
9
II Masalah KePrIbadIan dalaM Pelayanan
K
eberhasilan seseorang dalam pelayanan tidak melulu karena faktor spiritualitas. Juga tidak hanya ber-
gantung pada iman atau kerohanian individu semata. Tapi berkaitan erat juga dengan kepribadiannya. Ini adalah unsur penting yang menentukan keberhasilan dalam teamwork. Jika kepribadian Anda tidak matang, Anda bisa mengganggu rekan kerja lainnya, atau menjadi penghambat berkat Tuhan dalam kelompok saudara atau menghalangi semangat orang yang melayani dengan baik di kelompok
10
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Anda. Dalam Mazmur 133 ditegaskan, dalam komunitas yang rukun berkat turun. Ingat, saat seseorang bekerja di komunitas sosial atau keagamaan, ia tidak selalu (mampu) hanya melihat Tuhan. Ia juga memandang manusia dengan siapa dia bekerja sama. Setiap orang dalam kelompok punya persepsi, cara berpikir, perasaan, dan keyakinan berbeda. Jika kesalahpahaman atau perbedaan pendapat tidak dikelola dengan baik, maka seseorang bisa merasa terganggu dan merasa tidak nyaman. Bila situasi demikian berlangsung lama dan berulangulang dapat menghilangkan semangat bagi individu tertentu melayani di komunitas. Apalagi jika ini berkaitan dengan pelayanaan sosial yang semuanya bekerja secara sukarela. Orang tersebut dapat mundur teratur, dengan segala alasannya. Bahkan bisa menghilang begitu saja tanpa pamit. Bagi individu tertentu, memberi waktu melayani Tuhan dan sesama di lembaga keagamaan tanpa dibayar sudah merupakan satu pengorbanan. Dia memberi diri secara sukarela. Tapi jika ia
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
11
kemudian merasa "dikorbankan" seseorang yang kepribadiannya tidak matang, peristiwa ini bisa mementahkan motivasinya. Tidak semua orang cakap mengelola konflik. Tidak semua individu yang bersama kita matang secara emosi. Hal inilah membuat individu tertentu sensitif dengan konflik. Sebut saja contoh, mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang broken home, terbiasa melihat orang tuanya bertengkar. Individu ini akan sensitif berada di satu lembaga atau organisasi yang sarat konflik. Terutama konflik antar pemimpin yang ia hormati. Ia akan mudah teringat pada orang tuanya yang sering ribut. Ini membuatnya menjadi tidak nyaman. Lalu kepribadian apa saja yang dapat menjadi penghambat dalam pelayanan bersama? 1. Kaku, merasa paling benar sendiri. Orang seperti ini biasanya sangat doktrinal, berpikiran sempit, dan berwawasan kurang luas. Jika ada perdebatan, dia suka menyerang pendapat teman, maunya menang sendiri dan cenderung keras kepala. 2. Curigaan, suka berprasangka buruk.
12
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Individu yang curigaan sensitif jika tidak dilibatkan dalam berbagai aktifitas, mudah merasa disingkirkan. Dia juga suka menuduh seseorang tanpa dasar yang jelas. 3. Minder. Pribadi yang inferior biasanya mudah tersinggung dan enggan menyelesaikan masalah. Dia pendendam dan lama memaafkan teman. 4. Pribadi yang kasar dan pemarah. Ini adalah seseorang yang penuh luka di masa lalu tapi tak pernah selesai. Emosi yang penuh kemarahan tersembunyi ini mudah meledak sewaktu-waktu. Apalagi jika disertai self esteem yang rendah, membuat kemarahan makin parah. Kalau marah ia suka mengeluarkan katakata kasar dan menyakitkan, termasuk memaki. 5. Sindrom "anak sulung". Di rumah dia diandalkan orang tua, dianggap jadi pengganti ayah atau ibu di hadapan adik-adiknya. Dia berjasa di rumah atau terbiasa menjadi Direktur dan pemimpin di kantor. Saat berada di komunitas gereja atau
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
13
sosial lainnya, ia cenderung selalu mau jadi Ketua. Kalau sudah jadi pemimpin, enggan turun jabatan. Dia selamanya ingin jadi orang yang mengatur. Kalau pendapatnya diabaikan, ia bakalan marah besar. 6. Sindrom sinterklas. Mereka yang terlalu berjasa di sebuah lembaga sosial. Sebut saja donatur gereja terbesar atau orang yang kaya dan suka nyumbang. Ia merasa diri banyak berkorban. Sayangnya kebaikannya tidak seimbang dengan kematangan emosinya. Orang demikian cenderung sok ngatur. Kadangkadang dengan terus terang (kelihatan) atau pun diam-diam. Kalau dia tidak didengarkan, dia akan mudah tersinggung. Lalu kalau ia mulai tidak senang dengan seseorang, maka ia malas menyumbang dan mundur dari pelayanan. 7. Merasa insecure. Ini adalah pribadi yang kurang kasih sayang di masa kecilnya dan mengalami banyak tekanan dan trauma dalam keluarga. Misalnya ia dibeda-bedakan dari kakaknya.
14
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Saat dewasa dan menjadi sukses karena pintar, cenderung ia tidak mau disaingi. Dia mudah merasa tertekan ketika ada seseorang yang melebihi dirinya. Maka ia cenderung mau menyingkirkan siapa saja yang dapat mengancam jabatannya, bahkan dengan alasan-alasan yang dicari-cari atau rohani.
MengeMbangKan Kecerdasan eMosi Kecerdasan emosi adalah kemampuan individu untuk dapat menyelesaikan secara efektif dan efisien situasi hidup yang berubahubah. Stenberg mengartikannya sebagai “kapasitas untuk belajar dari pengalaman, dan kemampuan mengadaptasi terhadap lingkungan.” Menurut Goleman, kecakapan atau kesuksesan manusia lebih ditentukan oleh EQ daripada IQ (80:20). Ketrampilan emosional menentukan seberapa baik kita menggunakan kterampilan atau talenta yang kita miliki, termasuk intelektual yang belum terasah. Emotional Intteligence dipelajari dan di-
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
15
kembangkan sejak kanak-kanak. Keluarga adalah basis utama pembentukan kecerdasan emosional. Mendidik anak agar memiliki kecerdasan emosi ini menurut Lawrence Shapiro dalam buku “Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak” adalah melalui kasih sayang dan disiplin afirmatif.
unsur-unsur Kecerdasan eMosi 1. Mengenali emosi diri: mengenali perasaan sewaktu peristiwa terjadi. Dia mampu mengakuinya secara tepat, kepada orang yang tepat dan pada waktu yang tepat. 2. Mengelola emosi: individu mengungkapkan perasaannya dengan pas, baik emosi negatif maupun positif. Ada tiga emosi negatif utama: marah, sedih, dan kecewa. Kemampuan mengelola emosi ini membuat seseorang mampu mengatasi kemarahan, tanpa merusak baik dirinya maupun orang lain. 3. Memotivasi diri sendiri: menata emosi agar mencapai tujuan ( punya kendali diri emosional). Ia mampu menyesuaikan diri
16
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
dalam berbagai situasi dan memanfaatkannya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. 4. Mengenali emosi orang lain (empati): dia mampu menangkap sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Dia cakap bersukacita dengan mereka yang bersukacita, menangis dengan mereka yang menangis. 5. Membina hubungan dan bekerja sama: dia memiliki ketrampilan yang menunjang keberhasilan antarpribadi dan mampu mengelola konflik dengan baik. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat yang membuat seseorang lebih manusiawi, punya kemampuan berpikir analitis, yang digunakan untuk memecahkan problem. Dia dapat berpikir kreatif yang digunakan untuk memutuskan problem. Juga mampu berpikir praktis, cakap menemukan jalan keluar, dari konflik menjadi efektif. Orang demikian tahu kapan dan bagaimana menggunakan kemampuan
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
17
mereka, tidak untuk mencari keuntungan diri. Mereka memiliki identitas diri yang unik dan mampu belajar dari kegagalan atau kekurangan orang lain. Mereka tahu bagaimana membuat pekerjaan mereka dengan baik dan menemukan cara mencapainya di tengah keterbatasan, serta cakap mengelola konflik.
Mengubah cara Pandang Masalah-masalah yang muncul dalam pelayanan juga dipengaruhi oleh relasi hamba Tuhan dengan istri atau suaminya. Untuk mengelola pelbagai perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik mereka perlu belajar menyamakan persepsi dan nilai terhadap sesuatu hal. Apakah itu memandang iman atau keyakinan, soal benar-salah. Juga memandang uang atau harta. Pertama, masing-masing perlu menyadari bahwa kebenaran manusia itu relatif. Hanya kebenaran Tuhan yang absolut. Masing-masing yakin bahwa manusia itu terbatas, dan tidak mungkin pernah memiliki kebenaran yang tak
18
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
terbantah. Artinya masing-masing tidak boleh merasa benar sendiri. Kedua, Anda perlu menyadari bahwa cara memandang satu peristiwa bisa dengan sudut pandang yang berbeda. Karenanya perlu memiliki dan menumbuhkan empati, dan diawali dengan belajar saling mendengarkan. Ketiga, membuang sifat yang suka menghakimi, menyalahkan dan menyerang motif orang lain. Masing-masing perlu menumbuhkan keyakinan bahwa orang lain mempunyai motivasi yang sehat dan patut dihargai. Keempat, mengembangkan kecerdasan sosial dan membuang sifat cemburu. Yang terakhir, mengembangkan persekutuan iman dan kehidupan doa yang baik.*
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
19
III uPah haMba tuhan Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati. Harta dan kekayaan ada dalam rumahnya, kebajikannya tetap untuk selamanya. (Mazmur 112:13)
L
ewi adalah suku yang dikhususkan untuk melayani di rumah ibadat umat Israel. Mereka hidup dari persembahan umat Tuhan. Masa kini kita mengenal istilah "hamba Tuhan", yang menunjuk kepada mereka yang bekerja secara penuh waktu di gereja atau lembaga gerejawi. Banyak dilema yang kita dengar dari kehi-
20
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
dupan pribadi dan keluarga hamba Tuhan. Tulisan ini khususnya membahas sisi pergumulan dan rezeki anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai pengerja penuh waktu di Gereja, yaitu keluarga Pendeta, penginjil atau pengerja gereja. Dalam bahasa gaul Perjanjian Lama, anak-anak hamba Tuhan disebut juga "keturunan Lewi". Terkadang di ruang konseling atau seminar kami menjumpai anak hamba Tuhan atau Pendeta (Gembala Jemaat) trauma melihat kehidupan orang tuanya. Kehidupan keluarga mereka penuh dinamika, tantangan, kesulitan, termasuk kekurangan finansial. Tapi yang lebih menekan perasaan adalah saat melihat jemaat terlalu banyak menuntut ayah atau ibunya. Waktu mereka dikuras habis untuk mengurus jemaat, sampai untuk anak-anaknya hanya tinggal sisasisa waktu saja. Berlibur jadi barang mewah bagi keluarga hamba Tuhan. Lebih menyakitkan lagi, saat mendengar orang tua yang sudah berkorban banyak bagi umat, digunjingkan ke sana-sini. Kesalahan mereka dicari-cari. Seolah-olah hamba Tuhan
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
21
tak boleh salah. Terpeleset sedikit langsung masuk "Dunia Dalam Berita", digosipkan. Ketika kabarnya sampai ke telinga anak, mereka terpukul sedih melihat ayah atau ibu mereka mendapat cobaan berat. Kami juga menemukan, anak-anak yang tertekan akibat pengalaman di atas, setelah dewasa menjadi sadar, bahwa itulah risiko pekerjaan orang tua mereka. Anak-anak itu lantas belajar mengambil hikmahnya. Tak jarang mereka malah menyatakan, bahwa mereka sungguh bangga dan bersyukur melihat perjuangan dan dedikasi orang tua mereka. Anak-anak hamba Tuhan yang lain menyaksikan keindahan menjadi keluarga hamba Tuhan. Ada beberapa pengalaman kami bergaul dengan mereka yang ayah dan ibunya bekerja sebagai Pendeta penuh waktu di gereja. Pertama, dihormati. Firman Tuhan berkata, "betapa indahnya kedatangan pembawa kabar baik." Umumnya Pendeta atau Gembala punya strata sosial yang tinggi di masyarakat.
22
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Karena sang ayah atau ibu dihormati karena panggilan dan pengabdian, maka anak-anak ikut menikmati "cipratan"-nya. Mereka ikut dihargai. Kedua, dipelihara lewat jemaat. Meski penghasilan sebagian Gembala Jemaat terbatas atau pas-pasan, hidup mereka relatif cukup, baik untuk pangan, papan, pendidikan hingga kebutuhan rekreasi. Sebab ada saja berkat yang mereka terima. Baik lewat persembahan khusus di gereja atau saat mengadakan pelayanan di rumah umat. Tak jarang kebutuhan rumah sehari-hari mereka diperhatikan jemaat. Di desa misalnya, sudah biasa jemaat mengirim makanan atau sayur dan beras hasil ladang. Mereka yang melayani dengan baik biasanya diperhatikan pula dengan baik. Ketiga, mendapat apresiasi. Ibu mertua saya seorang penginjil dan guru agama. Meski bukan pengerja penuh waktu di gereja, nenek Joseph dan Moze rutin memberitakan Firman, berkotbah dari satu tempat ke tempat lain di seantero Jakarta hingga keluar kota.
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
23
Setidaknya para mahasiswa ayah mertua di salah satu instansi Kementrian Dalam Negeri, rutin mendapat siraman rohani dari ibu mertua. Penulis rutin berkeliling memberi seminar dan mengajar. Sudah ke-25 propinsi dan 80 kota kami jalani. Tak jarang kami bertemu mantan murid dari ayah mertua, dan mereka yang dilayani ibu mertua memberi apresiasi, bentuknya bukan hanya dengan pujian dan kata-kata, tapi juga mereka melayani kami. Tahun 2004 mereka yang pernah dilayani mama dan diajar papa, membantu kami sekeluarga keliling dan berlibur di Pulau Bali, hampir seluruh kabupaten yang ada di Bali. Puji Tuhan! Keempat, mengalami berkat janji Firman. Mereka yang setia melayani, dijanjikan Tuhan berkat khusus hingga keturunannya. Seperti Tuhan berjanji kepada Abraham, demikianlah keturunan hamba Tuhan diberkati. Tidak saja secara finansial, tapi juga kesehatan mental, sosial dan spiritual. Anak dari keluarga hamba Tuhan, biasanya yang pertama mendapat
24
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
taburan firman di rumah. Sehingga mendapat kekuatan dari janji-Nya. Buahnya ialah mereka dibentuk menjadi keturunan yang beriman dan berpengharapan kepada Janji Tuhan. Kelima, mendapatkan komunitas yang relatif sehat. Anak-anak Pendeta menyaksikan bahwa mereka menikmati lingkungan yang relatif sehat. Mulai dari Sekolah Minggu hingga komunitas pemuda dengan aktifitas yang melindungi mereka dari pergaulan yang salah. Mereka terbiasa aktif melayani di gereja mendukung ayah dan ibunya. Keenam, mendapat kemudahan dan fasilitas khusus. Tak jarang karena dihormati, keluarga hamba Tuhan menikmati fasilitas khusus. Kami pernah berkali-kali mendapat pinjaman rumah, wisma hingga hotel untuk menginap secara gratis. Mendapat harga khusus atau diskon karena mereka mengenal kami dengan baik, hingga voucher khusus untuk berlibur, dan pendidikan anak-anak. Tak jarang umat yang kami kenal merasa berbahagia bisa memberi kepada hamba Tuhan dan keluarganya.
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
25
tidaK bersandarKan gaji, taPi berKat tuhan Gaji yang minim di kalangan Pendeta, Penginjil dan Pengerja gereja umumnya fenomena yang menarik perhatian saya selama 10 tahun terakhir ini. Saya sendiri pernah bekerja sebagai Gembala sebelum memilih karir sebagai konselor. Juga pernah menjadi Wakil Sekretaris Umum Sinode gereja kami. Minim atau tidak memang sesuatu yang relatif. Sebab gaji yang diberikan tergantung banyak hal, terutama aturan gereja. Yang menarik, beberapa gereja enggan menggunakan istilah gaji atau salary kepada hamba Tuhan di gereja. Mereka lebih suka memakai istilah persembahan kasih. Pertimbangan besaran gaji atau salary hamba Tuhan biasanya berdasarkan: geografi, kondisi keuangan jemaat, strata pendidikan, jabatan, dan fungsi yang diberikan. Fenomena ini menarik karena ada ketimpangan atau gap. Beberapa gereja mampu memberikan salary di atas sepuluh juta rupiah per bulan. Bahkan di beberapa denominasi gereja sang Gembala
26
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
bisa mendapat ratusan juta rupiah per bulan sebab kebijakan gerejanya mengizinkan seluruh persepuluhan untuk sang Gembala. Gereja lain, terutama di desa dan gereja kecil hanya mampu memberikan salary dari ratusan ribu hingga satu juta rupiah. Selama pemberian salary sesuai kesepakatan, tidak ada yang salah. Tetapi ada beberapa fenomena menarik ingin saya sharing-kan, khususnya kasus yang kami jumpai dalam percakapan pribadi dengan para pengerja gereja. Pertama, gaji yang minim ikut mempengaruhi harga diri. Apalagi jika cukup banyak jemaat gereja tersebut tergolong berpunya. Ini mempengaruhi kepemimpinan sang Gembala. Bisa timbul keraguan saat majelis atau pengurus memutuskan sesuatu yang penting. Mereka cenderung membiarkan anggota majelis yang kaya dan berpengaruh untuk memutuskan. Padahal mereka tahu itu keputusan yang salah. Kedua, ada jemaat mengritik Gembala/ pengerjanya. Gembala dituding lebih sering
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
27
mengunjungi keluarga jemaatnya yang kaya. Padahal sebenarnya tidak demikian. Meski ada kasus, tentu tidak bisa digeneralisasikan. Akibatnya hamba Tuhan akan hati-hati menerima undangan, khusus dari jemaat yang berpunya. Ketiga, sulit mengembangkan diri, terutama jika terpaksa membeli buku atau mengikuti seminar bermutu. Tentu ini mempengaruhi kualitas kotbah dan kapasitas pembinaan para pengerja. Keempat, ada fenomena Gembala (atau pejabat gereja di tingkat yang lebih tinggi) suka dekat dengan pejabat daerah (camat hingga gubernur) atau anggota dewan karena dianggap sumber persembahan utama gereja. Akibatnya ada rasa sungkan menegur saat yang bersangkutan terlibat korupsi atau pelanggaran moral lain. Para pejabat ini biasanya diminta jadi panitia pembangunan gereja atau lainnya. Kelima, di beberapa daerah ada pengerja gereja keluar dan berhenti menjadi Gembala. Mereka kemudian memilih menjadi pegawai
28
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
negeri, anggota dewan atau berbisnis. Tentu kita tidak boleh menghakimi atau menyalahkan, sebab kita tidak tahu persis situasi dan panggilan mereka. Keenam, sulit menyekolahkan anak di tempat yang baik. Hamba Tuhan tentunya ingin anak-anaknya punya masa depan yang baik. Bagaimana kalau di daerah itu tidak ada sekolah lanjutan? Apakah ini tidak dipikirkan oleh pemimpin gereja regional atau sinodal? Ketujuh, pergumulan istri hamba Tuhan yang harus mampu mengelola keuangan yang minim agar cukup. Jangankan memikirkan investasi (menabung), untuk membeli perias wajah atau ke salon saja tidak cukup. Padahal itu salah satu kebutuhan perempuan, agar tetap menarik bagi suaminya. Demikian juga kebutuhan rekreasi, masih jauh dari harapan. Padahal itu kebutuhan mendasar keluarga pemimpin gereja. Kedelapan, di beberapa gereja lokal suami dan istri yang sama-sama Pendeta terpaksa berpisah dengan alasan penempatan oleh atasan. Hal ini dikeluhkan beberapa Pendeta
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
29
yang hadir di seminar kami. Mereka heran, mengapa pimpinan Sinode tidak paham bahwa hal ini merusak sistem keluarga mereka. Namun di sisi lain mereka tidak berdaya membantah atasan. Situasi ini membuat ayah berpisah dengan anak, istri berpisah dengan suami. Menyedihkan sekali. Di sisi lain, mereka tidak berani mundur atau keluar dari kependetaan, karena masih perlu gaji untuk membiayai kehidupan dan sekolah anak-anak. Sungguh dilematis. Dalam situasi ini, Penulis menyarankan agar salah satu dari mereka berani menggumuli pelayanan dalam bentuk lain, tidak harus di penggembalaan. Misalnya, mengajar di sekolah, mengembangkan kemampuan memberi training atau seminar. Atau barangkali ada talenta menulis, dan sebagainya. Bisa juga keluar dari penggembalaan, kemudian membuka yayasan pelayanan sosial yang dibutuhkan masyarakat, seperti pusat konseling. Tentu sebelumnya mereka perlu studi lanjut bidang konseling. Jadi ada banyak cara menyiasati masalah ini.
30
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Ini hanya beberapa fenomena yang saya amati sepintas. Mungkin baik dikaji oleh para pengurus dan pemimpin gereja. Hal yang penting ini perlu dibicarakan secara terbuka. Semoga ini menjadi pertimbangan para pemimpin Sinode/Wilayah/Daerah dalam menyusun kebijakan keuangan gereja. Juga baik untuk para majelis gereja yang berwenang dalam memutuskan besaran kesejahteraan pengerja
gereja.*
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
31
IV MotIVasI Pelayanan
D
i ruang konseling tak jarang klien mengeluhkan pasangannya, seorang yang sangat aktif beribadah dan
melayani di gereja bahkan menjadi Pendeta Jemaat, tapi jabatan dan aktifitas itu sama sekali tidak mengubah kepribadiannya. Lalu apa yang salah? Tulisan ini ingin menjawab sebagian pergumulan di atas. Dalam perjalanan ke beberapa kota saya melihat satu fenomena. Banyak brosur terpampang di gereja atau toko buku rohani berisi undangan ibadah yang dikemas dengan banyak artis dan testimoni yang hebat dan menarik. Saya sendiri kadang hadir di sana.
32
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Tentu tidak ada masalah jika artis dan kesaksian tersebut disediakan sebagai pendukung acara. Namun dalam realita yang terjadi sebaliknya. Jemaat lebih tertarik kepada artis, dan orang yang bersaksi. Bahkan, panitia memberikan waktu lebih banyak untuk artis dan pembawa kesaksian daripada kotbahnya. Tak heran umat yang hadir membludak. Namun dalam acara yang minus artis atau kesaksian spektakuler, pengunjung gereja kembali normal. Kebaktian atau seremoni ibadah akhirnya berubah menjadi tontonan, bukan lagi tuntunan. Seharusnya umat dituntun mengenal Tuhan dan kebenaran-Nya, serta datang kepada-Nya. Namun kenyataannya ibadah disuguhkan sebagai tontonan. Fokus bukan lagi Tuhan, tetapi pada berkat dan kesaksian. Ibadah berubah tidak bedanya seperti ajang hiburan, tempat manusia melepaskan katarsis, melupakan beban hidup atau menghilangkan kelelahan. Jemaat senang karena bisa melampiaskan emosi saat bernyanyi bersama sang artis. Mereka gembira karena dapat bertemu
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
33
dengan "teman senasib", yakni mereka yang membawa kesaksian. Umat tanpa sadar memperlakukan gereja layaknya mal. Mereka ke gereja seperti mengunjungi sarana hiburan. Mana gereja yang besar dan lengkap serta nyaman, mereka ke sana. Konsep bergereja yang kabur membuat beberapa orang merasa oke-oke saja berpindah-pindah gereja. Ibadah menjadi sarana mencari kenyamanan dan penerimaan, bukan lagi persekutuan dan pelayanan. Juga tidak lagi bersandarkan Firman. Firman Tuhan berkata, Allah akan menarik hati banyak orang jika Dia menjadi pusat perayaan ibadah, bukan manusia dan seremoni. Jika Yesus ditinggikan, Ia akan menarik semua. Kebaktian yang benar menjadikan Tuhan dan Firman sebagai sentral. Persekutuan dan ibadah menjadi tuntunan, sarana mengantarkan umat mengenal kebenaran-Nya. Jikalau tidak, maka proses mencuri kemuliaan Allah sedang terjadi. Ibadah hanya tontonan, Tuhan diperlakukan seperti artis
34
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
yang kerap mendapat tepukan tangan yang tidak berarti apa pun mengubah hati umat. Liturgi dikemas untuk menyenangkan orang yang memimpin acara. Semua ini lebih banyak di alam bawah sadar, sehingga selalu terlambat menyadarinya.
ibadah yang salugeniK dan PatogeniK Ada dua jenis sifat agama ataupun ibadah yang berkembang di sekitar kita. Pertama, agama salugenik. Ini sejenis agama yang dihayati secara batiniah oleh pengikutnya, dan menghasilkan kesehatan mental dan pertumbuhan iman. Agama ini disebut intrinsik, karena nilai-nilainya dihayati dan diresapi hingga terwujud dalam hidup sesehari, bukan sekedar seremoni. Ibadah dalam agama ini tidak saja fokus pada ritual tapi mengubah hidup pengikutnya. Ibadah ini membangun penganutnya dan mempengaruhi orang di sekitarnya ke arah yang lebih baik. Agama yang menjadi berkat. Agama batiniah ini mempengaruhi keluarga
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
35
dan karir menjadi lebih baik. Membuat orang yang menghayatinya hidup harmonis dan sehat baik bagi individu dan sekitarnya. Sehat secara fisik, moral dan mental. Sifat ibadah intrinsik umumnya tidak menonjolkan ritual semata tapi terasa garamnya bagi masyarakat. Beberapa hasil penelitian di barat membuktikan, bahwa penghayatan agama salugenik sangat signifikan terhadap masalah kesehatan mental. Juga terhadap rendahnya angka bunuh diri, terhindar dari penggunaan drugs dan alkohol, dan kepuasan pernikahan. Sebaliknya ada jenis keagamaan yang, penghayatannya bersifat patogenik. Agama yang dihayati secara tidak seimbang (ekstrem). Ini justru menghambat pertumbuhan. Penghayatan lebih menekankan pada doktrin, ritual dan kurang peduli pada aplikasi kehidupan sehari-hari. Yang penting hanya pemuasan rohani secara individual. Jemaat merasa senang jika kebutuhan katarsis emosinya terpenuhi. Kewajiban agamanya bisa dijalankan secara teratur, apakah itu doa, baca firman, memberi persembahan, dan lainnya. Soal apakah kehi-
36
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
dupan ibadah menyatu dengan perilaku sosial, tidaklah penting. Model keberagamaan seperti ini mudah ditunggangi oknum-oknum tertentu seperti: a. Mempolitisasi agama untuk kepentingan politik tertentu. b. Memajukan bisnis dan memperkaya pribadi. c. Menutupi kejahatan korupsi, dan lainnya. Jangan heran, pengikutnya sulit menyadari bahwa gereja sudah dijadikan lahan bisnis dan mencari keuntungan oleh pemimpin merangkap owner. Aset gereja tidak lagi milik kolektif umat, tapi menjadi milik pribadi dan bisnis keluarga. Ini jauh dari tujuan bergereja menurut Kitab Suci. Penghayatan beragama yang mengandung sifat patogenik menumbuhkan sikap mementingkan diri sendiri. Mereka mengutamakan kelompok agamanya, dan memandang rendah sesamanya. Lihat saja sejarah konflik antar agama di pelbagai tempat. Tak jarang juga terjadi konflik antarkelompok gereja, saling “curi domba” dan mengklaim diri ajarannya paling
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
37
benar. Sebenarnya dipandang dari sudut ilmu sosial, agama adalah sebagai salah satu lembaga yang paling kuat untuk mempengaruhi perilaku masyarakat. Namun sayangnya perilaku sebagian pemimpin agama justru tidak menjadi panutan bagi pengikutnya.*
38
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
39
V CaKaP beKerjasaMa
M
anusia itu unik karena ia berbeda. Perbedaan itu terjadi karena punya latar belakang tertentu: sistem ke-
luarga, pendidikan, ekonomi, minat, moral, iman, kapasitas, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerja sama kita perlu memahami latar belakang orang yang menjadi rekan kerja kita. Karena kita berbeda maka konflik tak bisa dihindarkan. Konflik itu sehat, dinamis dan membuat relasi bertumbuh asal kita cakap mengelolanya. Untuk memahami latar belakang rekan sepelayanan, kita perlu sedikit banyak memahami psikologi perkembangan,
40
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
latar belakang dan sistem keluarga yang membesarkan mereka. Termasuk di sini mengerti visi dan aspirasi mereka dalam bekerja atau melayani. Tanpa mengenal dengan baik, maka cepat atau lambat konflik bisa merusak relasi.
suMber KonFliK Ada banyak sumber konflik dalam sebuah organisasi pelayanan. Tapi tak jarang sifat cuek dan egoisme pemimpinlah yang menjadi pemicu konflik karena kurang tahu latar belakang dan aspirasi team kerja mereka. Minimnya evaluasi dan fokus yang berlebihan pada program ( proyek) membuat tak jarang pemimpin mengabaikan orang-orang yang dia pimpin. Kepuasan pemimpin lebih didasarkan pada program dan keberhasilan ( prestasi). Negeri kita kaya dengan pemimpin, formal maupun informal. Di gereja juga banyak tokoh yang mumpuni, pemimpin yang baik dan berkualitas. Namun apa sih yang menjadi ukuran kepuasan seorang pemimpin? Tidak sedikit orang berpuas diri karena bisa menjadi pemimpin sekelompok umat
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
41
yang besar atau menjadi ketua ini dan pemimpin organisasi itu. Mereka puas dengan program dan keberhasilan setiap program tahunannya. Pemimpin sejati tidaklah berpuas diri dengan prestasinya sendiri. Tidak pula hanya bermegah atas tuntutan organisasi. Pemimpin yang baik, puas dan bangga karena mereka yang dipimpinnya. Dia mampu dan cakap melipatgandakan pemimpin. Inilah pemimpin yang membuat sejarah. Pemuridan adalah 'amanat agung' dalam leadership yang dilupakan para pemimpin yang terobsesi dengan jabatan dan uang. Obsesi yang membuat mereka lupa diri di puncak kekuasaan, enggan turun meski sudah uzur. Obsesi membuat mereka enggan mendelegasikan jabatan kepada orang yang cakap memimpin. Tak jarang organisasi gereja dijadikan seperti perusahaan, menjadi milik keluarga. Kadang status pendiri atau berjasa telah membiusdanmembutakansebagianpemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Bah-
42
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
kan para pengikutnya pun tak jarang ikut menjadi buta, terpesona oleh kharismanya. Sehingga mereka membiarkan pemimpin jatuh dalam kesalahan, menjadi tiran atau otoriter. Pemimpin yang baik bahagia ketika anggotanya sukses melebihi dirinya. Pada waktunya ia rela mundur, bahkan saat di puncak kejayaan sekali pun. Ia siap melakukan regenerasi kepemimpinan di saat dirinya paling dibutuhkan organisasi. Pemimpin demikian akan dikagumi dan dikenang sebagai pemimpin sejati. Ia tak hanya rela berbagi pengetahuan, pengalaman, kemampuan, tapi juga otoritas dengan mereka yang telah ia didik. Yesus menjadi contoh klasik pemimpin yang sukses dan siap melepas kepemimpinanNya setelah tiga tahun mendidik muridNya. Soeharto menjadi contoh buruk dalam kepemimpinannya, karena tak rela turun dari kursi kepresidenan lebih dari 30 tahun. Akhirnya dia tidak turun tapi diturunkan. Ironis. Tentu tak semua orang terpanggil men-
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
43
jadi pemimpin. Saya sendiri merasa tidak berkarunia di bidang ini. Namun bersyukur boleh bertemu dan belajar dengan banyak pemimpin yang sarat pengalaman, serta melihat langsung teladan dari para pemimpin yang mendidik saya di "Universitas Kehidupan". Satu diantara pemimpin yang saya kagumi adalah alm. Prof. T. Ndraha. Beliau adalah mertua Penulis yang telah mengajar ribuan Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, para Jenderal Polisi dan TNI hingga para Menteri, lewat institusi yang ia dirikan, Institut Ilmu Pemerintahan. Meski sebagai pendiri dia rela tidak menjadi pemimpin tertinggi. Dia rela menjadi orang kedua bahkan ketiga di organisasi. Dia merasa puas dengan Menjadi dosen. Selama lebih 50 tahun, ia menghasilkan pemimpin. Meski sebagai salah satu founder sekolah, dia rela mundur dan menyerahkan tongkat kepemimpinan pada mantan muridnya. Ia rela menjadi anak buah dan mengabdi kepada organisasi yang lahir dari visinya. Penulis senang bertemu ribuan pemimpin
44
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
di 24 propinsi dan 80 kota di 200 lembaga gereja dan organisasi pendidikan, karena rutin memberi seminar dan pelatihan konseling. Mereka yang sukses jadi pemimpin umumnya punya tiga ciri ini: mempunyai visi yang jelas, konsisten dalam visinya, dan melatih orang cakap mengerjakan visinya ( pelipatgandaan). Sebaliknya ada satu kesalahan umum sebagian pemimpin. Mereka senang digantungi, sehingga banyak tanggung jawab dan kegiatan dilimpahkan kepadanya. Akibatnya yang dipimpin tidak maju, tidak bertumbuh. Misalnya, di gereja tertentu ada gejala "Pendeta-sentris", yaitu Pendeta melakukan banyak hal. Apa saja, mulai dari bersihkan gereja hingga main musik, dan berkotbah. Ironisnya ketika si pemimpin pindah, pensiun atau meninggal dunia, penggantinya dibanding-bandingkan dengan pemimpin yang "hebat" tadi. Tapi sesungguhnya itu contoh pemimpin yang gagal. Dia tidak berhasil melipatgandakan pemimpin. Dia tidak memberdayakan jemaatnya mengerjakan apa yang ia kerjakan.
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
45
Sebagai Konselor saya sendiri banyak mendampingi para pemimpin yang menangisi pelayanan dan keluarganya. Mereka mengalami putus asa, kepahitan, kemarahan hingga kelelahan fisik maupun psikis hingga masalah rumah tangga dan kejatuhannya dalam dosa. Tak sedikit pula menemukan kasus pemimpin yang cakar-cakaran dengan pemimpin lainnya. Organisasi gereja pecah bukan hanya jadi dua, tapi tiga, bahkan empat. Mereka berfokus pada ambisi pribadi bukan pada visi Ilahi. Lewat pengalaman di atas, Penulis makin sadar betapa tidak mudah menjadi pemimpin. Apalagi mengelola organisasi yang besar dengan fasilitas yang wah. Tidak mudah pula menjadi pejabat gereja dengan otoritas yang melimpah. Banyak godaan mempertahankan kekuasaan hingga menyalahgunakannya. Apakah saat ini saudara dipercayakan sebagai pemimpin? Jabatan itu sungguh mulia. Punya ambisi jadi pemimpin sungguh amat sangat baik, asal saat mendapatkan jabatan itu menggunakannya sesuai kehendak Tuhan. Kiranya rekan-rekan pemimpin nantinya di-
46
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
kenang oleh generasi penerus sebagai pemimpin yang memberdayakan bukan memperdayakan. Sebagai pemimpin yang dinamis bukan oportunis. Sebagai pemimpin pelayan dan bukan menjadi pelayan penguasa.
KebersaMaan yang sehat Kebersamaan yang sehat itu dinamis dan menumbuhkan. Dinamika yang terjadi dalam sebuah organisasi bukan saja mengubah sistem dan program organisasi dari waktu ke waktu, tetapi terutama menumbuhkan (growing up) orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut. Salah satu hal penting dalam budaya organisasi sehat ialah mendorong orang yang kita pimpin menuju perubahan yang lebih baik. Pemimpin, sistem, serta program membuat orang di dalam lembaga itu nyaman, sekaligus berubah. Bukan saja pemimpin yang maju tapi terutama mereka yang dipimpin. Jika tidak demikian, maka jangan heran "orang-orang potensial" akan memilih keluar dan membentuk organisasi baru. Budaya organisasi sehat itu juga harmonis.
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
47
Bukan tanpa perbedaan tapi ada saling menghargai dan hidup harmoni. Ada sikap rela menanggung kekurangan anggota team dan tidak mempermalukan teman yang berbuat salah. Pemimpin justru menguatkan anggota saat nmreka gagal mengerjakan tugas. Pemimpin yang baik tidak hanya peduli pada anggota yang baik dan penurut, tetapi juga pada mereka yang terkesan mbalelo dan menjengkelkan. Dalam organisasi yang baik ada pembinaan dan pastoral yang baik. Organisasi bisa menjadi harmonis dengan cara masing-masing menjalankan fungsi sesuai jabatan dengan sebaik-baiknya. Namun tetap ada waktu dan suasana ngobrol atau bercanda. Ada rekreasi serta fasilitas hidup memadai. Jangan sampai anggota diminta beriman tapi pemimpinnya malah "bermain” alias hanya memperkaya diri sendiri. Idealnya, pemimpin juga bisa menjadi tempat curhat anggota. Pemimpin memberi telinga untuk mendengarkan anggota yang lelah melayani, terutama saat muncul friksi dan konflik. Pemimpin bisa menjadi fasilitator
48
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
dan mediator, serta menjadi tempat katarsis. Anggotanya boleh bicara atau curhat apa saja yang mengganggu emosi mereka. Karena itu pemimpin yang baik, perlu belajar menjadi pendengar yang baik dan bersedia menjadi "keranjang sampah". Jika tidak, jangan heran staf Anda akan mencarinya di tempat lain alias bergosip. Organisasi sehat juga menciptakan keseimbangan di mana setiap anggota bisa menjalani kehidupan karir dan keluarga secara seimbang.
Mengelola KonFliK dan Perbedaan Untuk mengelola konflik setiap kita perlu punya sifat lentur. Kelenturan adalah daya adaptasi, sifat yang rela beradaptasi (menyesuaikan) dengan sifat anggota lainnya. Kelenturan adalah kecakapan pribadi dalam menyesuaikan diri dengan situasi ( pribadi) rekan kerja yang tidak Anda harapkan. Kelenturan dimiliki mereka yang cerdas emosi. Mereka memiliki kesadaran diri yang jernih dan empati. Mereka mudah memahami orang lain tanpa ngotot ingin mengubah pribadi
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
49
rekan sekerja. Sebaliknya, rela menyesuaikan diri di mana perlu. Pemimpin yang baik belajar menerima sifat anggotanya, sambil menjadikan dirinya pribadi yang enak diajak bicara. Seorang yang lentur biasanya pemaaf. Dia tidak mudah tersinggung, dan kalaupun menjadi marah tidak suka menyimpan kesalahan teman atau menyebar gosip dan kebencian. Ia lebih suka membicarakannya secara asertif. Firman Tuhan berkata, kasih tidak menyimpan kesalahan. Selain kelenturan, untuk sebuah organisasi sehat dibutuhkan skil dasar mengelola konflik, di antaranya: Menunjukkan penghargaan satu sama lain. Meskipun sedang ada perbedaan pendapat, mereka sepakat saling menghargai dan belajar memahami pasangan dari sudut pandang teman kerja. Jika akhirnya harus berpisah karena berbeda visi, misalnya, maka pemimpin yang matang secara emosi rela berpisah baik-baik dengan tetap menghargai. Tanpa menyimpan rasa kemarahan tersembunyi apalagi benci. Mereka sadar bahwa Tuhan bisa memakai siapa
50
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
pun lewat lembaga apapun. Kedua belah pihak tidak saling merendahkan, apalagi menghina meski pelayanan mereka yang memisahkan diri itu lebih kecil. Sukses tidak bisa diukur hanya dari besarnya organisasi, tetapi besarnya hati menerima dan menghargai sukses orang lain. Tak jarang, setelah memisahkan diri anggota yang tadinya biasa saja jadi jauh lebih berkembang. Sebab sebelumnya ia hanya jadi "kernet", tapi kini jadi "supir" lembaga. Siapapun yang menjadi pemimpin hendaknya menyadari bahwa kita jangan puas menghidupi visi orang lain, kita harus berani mengikuti visi atau menghidupi mimpi pribadi. Kalau tidak, kita akan sungguh menyesal di hari tua. Akhirnya, mari merajut hati, meski bekerja dalam lembaga dan visi berbeda, kita bertekad saling menghargai. Luasnya ladang pelayanan tidak bisa dikerjakan dengan satu model atau satu lembaga. Juga tidak bisa dikerjakan karena kharisma seseorang. Meski berbeda, kita adalah satu tubuh, satu Roh, dan satu iman.*
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
51
VI Kedewasaan rohanI
K
onsep yang keliru tentang Allah telah mengakibatkan banyak orang Kristen berdoa hanya karena adanya
kebutuhan tertentu, bukan karena mengasihi atau merindukan Tuhan. Tidak demikian halnya dengan mereka yang dewasa rohani. Salah satu ciri dari orang dewasa rohani adalah orang itu senang bergaul, bercakap-cakap secara pribadi dengan Tuhan. Mereka memberikan waktu khusus dengan Tuhan, sehingga hati mereka limpah dengan syukur dan keterbukaan. Dalam hal ini kita perlu melatih batin untuk mencari dan membutuhkan Dia siang dan malam.
52
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Kekeliruan lain adalah menganggap Allah hanya ditemukan di gereja, atau dalam kegiatan rohani di gereja. Banyak orang Kristen mempunyai konsep bahwa religiusitas (tingkah laku agama) sama pengertiannya dengan mengenal Allah. Mereka pikir tingkah laku agama yang baik adalah ibadah kepada Allah. Tetapi apakah demikian? Tidak. Kekristenan tidak sama dengan agama. Kekristenan lebih dari sekedar agama. Fritz Ridenour (1996: 12) dalam bukunya How to be a Christian Without Being Religious mendefinisikan kekristenan sebagai: “Kekristenan lebih dari sekadar agama, karena setiap agama memiliki satu karakter dasar. Para pengikutnya mencoba menjangkau Allah, menemukan Allah, menyenangkan Allah melalui usaha mereka sendiri. Agama mencoba menanggapi Allah. Kekristenan adalah Allah yang menjangkau manusia. Kekristenan menyatakan bahwa manusia tidak menemukan Allah, tetapi Allah yang menemukan mereka.”
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
53
Apa implikasinya jika kita beranggapan bahwa kekristenan sama dengan tingkah laku agama? Pertama, manusia cenderung berpikir bahwa Tuhan itu sama dengan berkat. Seharusnya tidak demikian. Jika buah pelayanan kita nampak hebat, itu tidak sama dengan berkat Allah. Hal ini jelas terlihat dari teguran Allah yang keras kepada jemaat di Efesus ( Wahyu 2). Dari segi ritual dan ibadah mereka sangat aktif dan efektif. Namun mengapa Allah mencela mereka? Justru karena mereka telah meninggalkan Allah dan esensi daripada ibadah itu sendiri. Kedua, mereka cenderung menyamakan antara melayani dan mengasihi. Banyak orang yang melayani, namun itu hanya karena mereka punya talenta dan pengalaman, dan bukan karena didorong oleh cinta kasih. Kita harus sadar bahwa siapapun dapat melayani tanpa kasih, namun tidak seorang pun yang dapat mengasihi tanpa melayani. Ketiga,jikakekristenansamadengantingkah laku beragama saja, akan menghasilkan orang
54
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Kristen yang memiliki ‘agama’ yang ekstrinsik, dan bukan intrinsic, agama yang lahiriah, bukan batiniah. Agama yang mementingkan kemasan daripada kehidupan nyata yang menjadi berkat bagi sesama.
FanatisMe seMPit Dalam bukunya yang lain, “The Newborn Christian”, J.B. Philips (1978: 18) memberi istilah the spirit of churchiness, bagi orang yang mengotak-kotakkan atau membatasi Tuhan yang hanya ada hadir dalam tembok gereja. Spirit ini justru telah menjadi batu sandungan bagi orang yang belum percaya karena hanya menghasilkan orang Kristen yang fanatik dan munafik. Fanatisme sempit inilah membuat orang non-Kristen membenci gereja sampai hari ini. Mengapa banyak orang menjauh dari gereja? Mengapa mereka menuduh orang Kristen munafik? Karena agama membuat orang Kristen sombong dan merasa benar sendiri, atau merendahkan agama lain. Ini salah. Agama yang sehat seharusnya membuat kita menjadi
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
55
orang yang baik, jujur, rendah hati dan penuh kasih. Di sinilah para pemimpin gereja perlu menyadari dan mengajarkan kepada jemaat, agar menghindari bahaya itu. Namun ironisnya, realitanya justru para pemimpin gerejalah yang mudah terjebak dalam spirit itu. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya waktu untuk merenung, belajar Firman Tuhan dan memiliki hubungan pribadi yang intim dengan Tuhan. Kekristenan cenderung menjadi sesuatu yang lahiriah dan ritual semata. Hal ini saya amati disebabkan oleh dua hal yang saling mendukung. Pertama, tuntutan jemaat terlalu banyak (tidak realistis) terhadap hamba Tuhan. Hanya sedikit yang sungguh mengerti bahwa mereka juga manusia biasa. Kedua, hamba Tuhan itu sendiri kurang menyadari keterbatasannya. Kepribadian yang kurang matang mudah menjebak hamba Tuhan itu pada pemberhalaan diri sendiri. Sebagai contoh kehidupan pelayanan di gereja yang berpusat pada pendeta. Dalam situasi ini tidak
56
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
sedikit pelayan Tuhan tanpa sadar kehilangan identitasnya sebagai manusia biasa. Jay Kesler (1988) dalam bukunya, “Being Holy Being Human”, hamba Tuhan kerap diperlakukan seolah-olah Superman bahkan seperti malaikat kudus. Akibatnya adalah mereka menjadi kurang bijaksana dalam meresponi tuntutan jemaat yang tidak realistis itu. Akhirnya hamba Tuhan terjebak dalam rutinitas dan mudah mengalami depresi. Sebagai contoh kita belajar dari pengalaman seorang pengkotbah Inggris yang terkenal pada abad lalu bernama Charles Haddon Spurgeon. Dr. Archibald Hart (1995), dalam tulisannya When Healer Hurt menuliskan pengalaman depresi dari pengkotbah yang terkenal itu. Spurgeon mulai pelayanannya pada usia 18 tahun menjadi Pendeta di gereja yang besar di London. Keefektifan dan kehebatannya dalam mengajar menjadikan dia seorang yang sangat terkenal. Namun untuk itu ia harus membayar harga yang mahal. Ia seringkali harus berjuang dengan depresi. Spurgeon sering sakit dan menghabiskan waktu berminggu-minggu di
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
57
tempat tidur. Ia juga tidak luput dari kekuatiran perihal kehidupan keuangannya. Menurut Hart, Spurgeon akhirnya menyadari bahwa hal ini bukanlah depresi yang bersifat rohani semata, tapi justru sesuatu yang sangat natural. Lewat pengalaman ini Spurgeon menyadari bahwa banyak pelayan Tuhan seperti dirinya cenderung mengalami depresi karena mereka kurang mengenali diri dan kebutuhannya sendiri dengan benar. Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk menyimpulkan karakter dan kebenaran Allah yang dinyatakan-Nya melalui pribadi Yesus Kristus. Sering kita mencoba mengerti dan menjelaskan tentang Tuhan dari latar belakang pemahaman yang pernah kita miliki mengenai Dia ( pemahaman agamawi). Ini mungkin saja menolong. Namun semuanya perlu dipahami ulang dengan mengerti apa yang sesungguhnya Kristus ajarkan dalam Kitab Suci. Kebenaran yang sejati diajarkan oleh Kristus. Itulah Jalan Kehidupan. Ini tidak sama dengan agama. Allah telah menjelaskan mengenai diri-Nya
58
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
dengan istilah-istilah yang dapat dipahami manusia. Jika kita gagal memahami bahwa Kristus sajalah yang memberikan hidup yang sejati, maka kehidupan agama kita sesungguhnya akan gagal total.*
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
59
VII KeMalangan PeMIMPIn
P
emimpin adalah jabatan mulia. Siapa pun wajar menginginkannya. Bahkan orang yang bijak sadar, dia perlu
jabatan yang baik jika ingin menyebarkan pengaruh yang baik dengan kapasitas atau talentanya yang baik pula. Hanya sayang sebagian pemimpin yang awalnya punya hati yang tulus dan visi mulia, di tengah jalan digerogoti nafsu pribadi. Selain itu dirusak oleh sebagian trauma masa lalunya yang tak pernah selesai. Masa lalu yang buruk itu antara lain, pernah dibesarkan dengan kurang kasih sayang, mengalami kekerasan orang tua, atau pernah didera kemiskinan
60
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
yang parah di masa lalu yang secara tidak sadar membentuk harga diri yang buruk. Namun itu semua berhasil ditutupi dengan kemampuan berkotbah yang baik, talenta mengajar yang luar biasa, hingga memiliki gelar yang tinggi. Sementara, ia merasa tidak perlu konseling untuk mengatasi masalah dalam kepribadiannya. Karena jabatannya, ia gengsi mencari bantuan atau nasihat. Di awal pelayanannya, motivasinya masih murni. Kelakuannya belum banyak disorot. Gaya hidupnya tidak begitu dilihat orang banyak, jemaat atau komunitasnya. Namun yang tahu pasti adalah keluarganya, yang diamdiam menderita karena perilaku sesehari sang pemimpin tadi. Saya memberi konseling di antara keluarga-keluarga pemimpin dengan kasus ini. Setelah memimpin cukup lama, barulah majelis jemaat mencium sifat yang tidak sedap dari si gembala. Teman sejawat dalam organisasi mulai merasakan emosi negatif pemimpinnya. Sifat egois dan merasa benar sendiri mulai menjadi duri dalam diri bawahan
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
61
atau staf. Keangkuhan yang dikemas dengan mengutip ayat-ayat Firman Tuhan makin membuat karyawan gerah. Salah satu sifat menonjol dari pemimpin yang punya jabatan tinggi dengan masa lalu yang buruk adalah rasa tidak aman. Ia selalu mencemaskan kedudukannya. Ia mulai gelisah saat melihat bawahannya le-bih populer dari dirinya. Ia merasa tidak nyaman saat sadar ada Asisten Gembala yang lebih disayang jemaat daripada dirinya. Dia menjadi mudah marah, menyalahkan situasi dan orang lain tanpa alasan yang jelas. Misalnya dalam kotbah ia menyerang individu tertentu dengan ilustrasi yang disamarkan. Mimbar disalahgunakan untuk kepentingan pribadinya. Tetapi orang yang dekat dirinya tahu siapa yang dimaksudkannya. Jika masa jabatannya akan berakhir, dia gelisah dan berjuang untuk mempertahankannya. Untuk itu apa pun ia akan lakukan. Jika perlu menggeser keluar saingannya. Ia tidak akan pernah merasa sedih untuk itu. Sebab, sekali dia ada di posisi puncak, maka
62
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
sulit baginya menjadi bawahan. Jikalau di jemaat ada tim penggembalaan, maka ia selalu ingin jadi Gembala Sidang, sulit jadi anggota. Firman Tuhan yang diajarkannya, bahwa yang terbesar adalah yang melayani, hanya sekadar bahan kotbah atau orasi ilmiah. Inilah kemalangan pemimpin yang paling menyedihkan. Ia tidak menyadari apa yang terjadi, tidak punya self-awareness yang baik. Selain itu ia tidak mampu memahami apa yang dirasakan oleh mereka yang dia pimpin. Miskin empati. Ia merasa semua oke-oke saja, padahal sebenarnya tidak. Banyak orang yang merasa susah dan merasa terpaksa menurut kemauannya yang terkadang aneh. Kerjasama yang baik hanya mimpi bagi bawahannya, sebab semua keputusan ada di tangan satu orang. Selain itu jika ada masalah atau konflik, ia akan selesaikan dengan mengumbar kemarahan. Sebab sekali ia marah, semua akan menjadi "baik-baik" saja. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini disebabkan rendahnya kecerdasan emosi sang pemimpin tadi. IQ, gelar, dan jabatannya boleh tinggi,
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
63
tapi jika kecerdasan emosinya (EQ) rendah ya begini jadinya. Mereka yang miskin kecerdasan emosi sulit menyadari apa yang terjadi dalam emosinya sendiri, termasuk sulit mengelola emosi negatifnya. Ia juga sulit menyadari, apalagi mengakui kelemahan atau kekurangannya sendiri. Sebagai contoh, kata maaf sulit keluar dari mulutnya. Dia lebih suka menyalahkan atau mengambinghitamkan pihak lain jika ada masalah.Itulahcaranyamelindungidiri.Banyak kontradiksi antara apa yang diajarkan dengan yang dihidupi. Jangan heran saat memimpin rapat, meski dia melakukan kesalahan, tak ada bawahan yang berani bicara. Semua memilih diam seribu bahasa. Sebab siapa yang berani menegur, bakal dimarahi. Ironisnya, ada pemimpin yang hingga turun dari jabatan hingga ke liang kubur tidak menyadari kesalahannya ini. Lebih mengerikan lagi, penggantinya mewarisi nilai dan sifatnya yang buruk tadi, karena kesalahan yang lama tidak pernah dikoreksi. Apalagi jika yang mewarisi posisi anaknya sendiri.*
64
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
65
daftar baCaan Archibald Hart. “When Healer Hurt”, Christian Counseling Today (Fall 1995). David Atkinson (Ed.). New Dictionary of Christian Ethics and Pastoral Theolog y. Leicester, England: Inter-Varsity Press, 1995. Fritz Ridenour. How To Be A Christian Without Being Religious, Edisi Indonesia. ( Yogjakarta: Yayasan Gloria, 1996). Gary Collins, Konseling Kristen yang Efektif. (Malang: SAAT, 1990) J.B. Philips, The Newborn Christian. (New York: Macmillan Publishing Company, 1978) Jay Kesler, Being Holy Being Human (Minnesota: Bethany House Publisher, 1988)
66
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Norman Wright, Menjadi Orang Tua yang Bijaksana ( Yogjakarta: Yayasan Andi, 1996) William & Candace Backus. Menjadi Orang Tua yang Berwibawa. Jakarta: YPI Imanuel, 1996) Yakub Susabda. Pastoral Konseling Jilid 2. (Malang: Gandum Mas)
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
67
tentang PenulIs
J
ulianto Simanjuntak menikah dengan Roswitha Ndraha dan dikaruniai dua putra, Josephus (21) dan Moze (17). Saat ini Julianto bekerja sebagai terapis untuk masalah-masalah keluarga dan kesehatan mental. Juga menjadi tenaga pengajar bidang konseling dan rutin memberikan seminar pemberdayaan di bidang konseling dan pen-didikan di lebih 80 kota. Mereka mendirikan Yayasan LK3 (Layanan Konseling Keluarga dan Karir) dan Yayasan Pelikan (Peduli Konseling Nusantara), dengan visi: rindu melihat berdirinya pusat konseling di setiap kota di Indonesia serta tersedianya secara merata tenaga psikolog, psikiater dan konselor di seluruh tanah air. Untuk itu Julianto Simanjuntak dan tim melakukan kampanye lewat seminar konseling di pelbagai kota, serta mengajar Program Strata-2 Konseling di beberapa tempat. Selain itu memberi konseling edukasi dengan menulis buku-buku konseling yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Penerbit Visi dan Andi Offset.
68
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
Judul buku-buku mereka antara lain: 1. Seni Merayakan Hidup yang Sulit (Pelikan) 2. Mencinta Hingga Terluka (Gramedia) 3. Kesehatan Mental dan Masa Depan Anak (Gramedia) 4. Perlengkapan Seorang Konselor (Pelikan) 5. Transformasi Perilaku Seksual 6. Mendisiplin Anak Dengan Cerita 7. Tidak Ada Anak yang Sulit 8. Bersahabat Dengan Remaja (Pelikan) 9. Mengubah Pasangan Tanpa Perkataan ( Visi) 10. Membangun Harga Diri Anak (Pelikan) 11. Mendidik Anak Utuh Menuai Keturunan Tangguh (editor) 12. Banyak Cocok Sedikit Cekcok ( Visi) 13. Ketrampilan Perkawinan (Pelikan) 14. Mengenali Monster Pribadi: Seni pemulihan diri dari trauma, emosi negatif dan kebiasaan buruk (Pelikan) 15. Konseling dan Amanat Agung: Dari konseling intervensi ke edukasi 16. Alat Peraga di Tangan Tuhan: Mengapa hal buruk menimpa keluarga baik-baik? (Pelikan) 17. Perlengkapan Seorang Konselor (Pelikan) 18. Hidup Berguna Mati Bahagia (Pelikan) 19. Ayah yang Hilang: Membawa kembali hati ayah kepada keluarganya (Pelikan) Apresiasi terhadap buku Julianto dan Roswitha datang dari Jakob Oetama (Preskom Kelompok Kompas Gramedia), Agung Adiprasetyo (CEO Kelompok Kompas Gramedia), Prof. Yohanes Surya
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
69
(Fisikawan), Prof. Irwanto (Guru Besar Psikologi Unika Atma Jaya), Andrias Harefa, James Riady (CEO Lippo Group), Jonathan Parapak (Rektor UPH), Prof. Dr. Wimpie Pangkahila, Prof. Taliziduhu Ndraha, Prof. Mesach Krisetya, Pdt. Paul Gunadi, dan lain-lain. Julianto mendapat piagam penghagaan dari Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN) di Denpasar pada tahun 2006 atas kiprah pelayanan di antara keluarga pecandu narkoba. Sejak 2004 Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha rutin memberikan pelatihan konseling keluarga dan kesehatan mental di pelbagai kota dan negara.
KontaK Website : http:// JuliantoSimanjuntak.com Appstore : http:// JuliantoBooks.mahoni.com Twitter : @PeduliKeluarga @DrJSimanjuntak
70
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
testIMonIal jaKob oetaMa Preskom Kelompok Kompas-Gramedia Sungguh suatu paradoks yang menggetarkan: Tuhan hadir justru ketika pencobaan hidup menimpa kita. Buku "Seni Merayakan Hidup yang Sulit" berisi kisah nyata tentang akrabnya penderitaan dan kehadiran Tuhan.
agung adiPraset yo CEO Kelompok Kompas-Gramedia Buku "Mencinta Hingga Terluka" mengajarkan kekuatan cinta dalam pengampunan yang memulihkan dan menghidupkan.
ProF. yohanes surya, Phd Fisikawan, Pelopor TOFI Tanpa masalah dunia ini terasa hambar dan tidak akan muncul penemuan dan orang-orang besar. Sdr. Julianto & Roswitha dalam bukunya "Seni Merayakan Hidup yang Sulit", telah begitu jeli melihat masalah dari sisi positifnya dan menyadarkan kita bahwa Tuhan selalu bersama kita saat menghadapi masalah.
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
71
Paul gunadi, Phd Gembala Sidang, Dosen, dan Konselor Saya menikmati buku "Banyak Cocok Sedikit Cekcok". Tuhan melengkapi Julianto dan Roswitha bukan saja dengan pengetahuan yang dalam tentang dinamika pernikahan dan persiapannya, tetapi juga pengalaman yang kaya dalam menangani masalah keluarga. Buku ini sangat baik digunakan sebagai panduan pranikah, dan bahkan bagi yang sudah menikah. Kisahkisah pribadi ini menyentuh dan menambah pemahaman kita akan dinamika pernikahan.
ProF. irwanto, Phd Guru Besar Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta Buku "Mencinta Hingga Terluka" tidak sekadar berteori tetapi bertutur tentang hidup, contoh nyata, dan keimanan yang berakar pada rasa yang dapat kita maknai bersama.
ProF. dr. Fg winarno Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Buku "Seni Pemulihan Diri" karya Julianto meski sederhana tetapi sangat menyentuh hati saya.
jonathan ParaPaK Rektor Universitas Pelita Harapan Buku "Seni Merayakan Hidup yang Sulit" memberikan kita inspirasi untuk selalu berpengharapan dalam mengarungi berbagai tantangan kehidupan.
72
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
jaMes riady CEO Lippo Group Tuhan punya tujuan untuk setiap kesulitan kita. Dia yang Maha Kasih tidak mungkin mengizinkan kesulitan tanpa maksud baik. Buku "Seni Merayakan Hidup yang Sulit" memberikan kita wawasan bagaimana kita menjalani penderitaan dari perspektif Tuhan.
anne ParaPaK, Ma Praktisi Pelayanan Keluarga Membina anak adalah misi yang berdampak kekal. Alangkah pentingnya kita mempunyai visi yang jelas dan membekali diri mengemban tugas yang mulia ini. Buku "Tidak Ada Anak yang Sulit" mengajar kita banyak hal tentang mendidik anak.
dr. dwidjo saPutro, sPKj Psikiater Buku "Bebas dari Gangguan Jiwa" karya Julianto sangat bermanfaat bagi para Konselor di Indonesia dalam melakukan konseling, terutama masalah gangguan jiwa.
ProF. dr. Mesach Kriset ya Guru Besar Emeritus Bidang Konseling - UKSW Karunia membedakan roh, merupakan salah satu karunia rohani yang kita butuhkan untuk mendiagnosa gangguan jiwa. Buku "Bebas dari Gangguan Jiwa" ini menolong pembaca bagaimana melaksanakannya.
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
73
ProF. dr. taliziduhu ndraha Kybernolog Buku "Seni Merayakan Hidup yang Sulit" sungguh bernilai karena isinya tidak sekadar pengetahuan tetapi pengalaman jatuhbangun hidup penulis sendiri. Di sini Penulis membagikan nilai-nilai hidup yang bermakna bagi sesama ”pengembara” agar dapat merayakan hidup yang sulit.
ProF. irwanto, Phd Dalam buku "Seni Pemulihan Diri" ini Anda akan berkenalan dengan teman-teman Penulis yang berbagi pengalaman hidup. Pengalaman yang dapat membawa para pembaca ke dalam proses belajar untuk mengenal diri sendiri dan menggunakan pengetahuan itu untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang menggelayuti Anda bertahun-tahun.”
andrias hareFa Penulis Buku "Seni Merayakan Hidup Yang Sulit" sarat dengan kesaksian-kesaksian dari orang-orang yang diterpa badai-badai kehidupan. Penulis menantang pembaca untuk mendefinisikan ulang makna kesulitan dan masalah-masalah kehidupan, agar dapat tetap merayakan dan mensyukuri hidup itu sendiri sebagai anugerah dan rahmat besar.
74
Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya
VIsI PelIKan Kami rindu melihat hadirnya minimal satu pusat konseling di setiap kota dan tersedianya tenaga Psikolog, Psikiater, dan Konselor secara merata di Indonesia (tahun 2030). Jika Saudara terbeban untuk mendukung pelayanan konseling ini, silakan mengirim donasi sukarela ke rekening: Bank : BCA Supermal Karawaci No. Rek. : 7610 487 887 Atas nama : Yayasan Pelikan Terimakasih atas doa dan dukungan yang Saudara berikan terhadap Visi Pelikan. Nama Tuhan terus dipermuliakan melalui pelayanan kita. Tuhan Yesus memberkati.
Alamat : Ruko Paramount Centre blok D10 Gading Serpong, Tangerang 15333 Email :
[email protected] Web : www.PelikanIndonesia.com