I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemberian kredit untuk hutan rakyat telah dimulai sejak tahun 1988/1989.
Pemberian kredit tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam rangka pengembangan kehutanan, perbaikan lingkungan dan membantu petani dalam bidang permodalan. Penjabaran dari program tersebut adalah Kredit Usaha Tani Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK DAS) pada tahun 1988/1989,
dan
Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) (Departemen Kehutanan 2005). Untuk menyalurkan Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR), dan Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK DAS), Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Pada pelaksanaan KUK DAS, kredit disalurkan langsung kepada kelompok tani, sedangkan pada pelaksanaan kegiatan KUHR, pengambilan kredit dilakukan oleh mitra usaha setelah memperoleh kuasa dari peserta kredit1. Menurut Departemen Kehutanan (2005), pelaksanaan KUK DAS dan KUHR, menghasilkan kinerja yang buruk yaitu rendahnya realisasi kegiatan fisik di lapangan dan macetnya pengembalian kredit dari petani. (2008),
Menurut Yunus
“suatu kredit dikatakan berhasil apabila nasabah yang terkait kredit
mampu mengembalikan uang yang dipinjamnya”.
Menurut Kuntjoro (1983);
Sanim (1997); dan Mayrowani et al. (1998) tingkat tunggakan dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal petani atau kelompok tani maupun faktor-faktor yang berada di luar kontrol petani atau kelompok tani. Faktor yang berada dalam diri petani di antaranya ialah karakteristik diri petani, kemampuan petani menggunakan kredit untuk usaha yang dapat memberikan keuntungan tinggi, sistem pengawasan dalam kelompok tani. Selain itu pandangan petani terhadap kredit yang disalurkan, pengalamannya dalam menggunakan kredit dan tingkat kesadaran membayar kredit. Sedangkan faktor yang berada di luar petani ialah sistem seleksi calon penerima kredit, sistem pemantauan (monitoring) dan pengawasan kredit. 1
Staf RLPS Kementerian Kehutanan di Jakarta pada 23 Juli 2009 (komunikasi pribadi)
2
Terdapat faktor-faktor kunci keberhasilan pinjaman atau kredit untuk petani yang ditemukan oleh beberapa peneliti, yaitu adalah: kelompok tempat petani bergabung harus kokoh, petani harus memahami mengenai hak dan kewajiban peserta kredit, sistem insentif dan penalti yang jelas (Syukur 1993). keberhasilan dalam menentukan lokal agen, adanya sistem insentif dan keleluasaan dalam pengambilan keputusan bagi pengelola di level tapak, kebijakan yang mendukung (Chaves et al. 1996), pemantauan oleh petugas, kemudahan prosedur dalam mengakses kredit, ketepatan waktu penyaluran dan besarnya pinjaman, bentuk dan cara penagihan, kemampuan mengelola kredit oleh petani dan kelompok tani (Mayrowani 1998), pemahaman mengenai karakteristik penerima pinjaman (Windarti 2000), sedangkan menurut Wijaya (2009) dalam Sugianto (2009), modal sosial, pembinaan intensif dengan jumlah pembina atau pendamping yang cukup dan pemasaran yang baik adalah faktor - faktor penunjang tersebut. Kelembagaan KUK DAS dan KUHR diperkirakan belum mengadopsi faktor-faktor tersebut diatas sehingga menunjukkan kinerja yang buruk. Departemen Kehutanan (2005) mengemukakan beberapa permasalahan KUK DAS dan KUHR, seperti: peraturan-perundangan, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan hubungan yang tidak harmonis antara petani dan mitra usaha. Permasalahan KUK DAS dan KUHR tersebut pada hakekatnya merupakan permasalahan kelembagaan. Pada tahun 2007, pemerintah c.q Departemen Kehutanan mencanangkan pemberian kredit Hutan Tanaman Rakyat (HTR), melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) P.48/Menhut-II/2007 tanggal 31 Oktober 2007 tentang Standar Biaya Pengembangan HTI dan HTR jo Permenhut Nomor P.64/Men-HutII/2009 tentang Standar Biaya HTI dan HTR, Permenhut P.9/Menhut-II/2008 tanggal 24 Maret 2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir untuk Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (PDB HTR). Untuk membantu pengembangan HTR, Kementerian
Kehutanan
khususnya Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (Pusat P2H) yang berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) menyediakan akses dana dengan mekanisme
3
seperti yang tercantum dalam Permenhut No P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani untuk Mendapatkan
PDB HTR dan Keputusan
Kepala Pusat P2H No.01/Pusat P2H-1/2008 tentang Tata Cara Permohonan, Penyaluran dan Pengembalian PDB HTR. Skema pembiayaan yang ditawarkan BLU Pusat P2H melalui Permenhut Nomor P.64/Menhut-II/2009 tentang Standar Biaya Hutan Tanaman Industri (HTI) dan HTR adalah skema pembiayaan tunggal. Persyaratan, prosedur, dan skema pinjaman yang mengatur PDB HTR merupakan suatu kelembagaan.
Ketiganya diatur dalam sebuah aturan main,
terdapat organisasi yang mengelola, dan adanya kesepakatan yang mengikat hubungan antara pemberi dan penerima pinjaman. Dalam kesepakatan tersebut seharusnya terdapat pengaturan aliran biaya dan manfaat yang seimbang sehingga dalam pengembangan sebuah usaha hutan rakyat tidak berhenti di tengah jalan dan tidak ada pihak yang dirugikan (Darusman dan Wijayanto 2007). Penelitian tentang kelembagaan pinjaman (aturan main dan organisasi) untuk pembangunan hutan dari perspektif hubungan antara pemberi dan penerima pinjaman (hubungan agensi) belum dilakukan, penelitian yang ada berkaitan dengan: (1) hubungan kontrak antara pemilik perusahaan dengan manajer (Jensen and Meckling 1986), (2) ketidaksepadanan informasi dan kredit di pedesaan (Hoff dan Stiglitz 1993), penelitian ini mengkaji hubungan antara kredit formal dan informal di pedesaan dan konsekuensi dari intervensi pemerintah terhadap kredit formal.
Tulisan tersebut juga menggambarkan modus operandi dari kredit
informal di lima negara berkembang dan Israel, (3) analisis skema kredit dalam pengembangan usaha hutan rakyat dari sudut pandang modal sosial yang dilakukan oleh Fauziyah (2009), lokasi penelitian dilakukan di kabupaten Ciamis Jawa Barat. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis deskriptif, dan (4) Prihadi (2010), membahas tentang kelembagaan kemitraan industri pengolahan kayu bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan di pulau jawa. Penelitian ini bertujuan mengetahui kelembagaan KIBARHUT (Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat dalam Rangka Pembangunan Hutan) yang mempunyai peluang untuk berlangsung secara berkelanjutan. Hubungan ini dikaji menggunakan teori kemitraan. Oleh karena itu penelitian ini akan memberi
4
kontribusi bagi ketersediaan data dan infomasi yang berkaitan dengan kelembagaan pinjaman untuk HTR dari perspektif hubungan agensi antara pemberi dan penerima pinjaman. 1.2
Perumusan Masalah Rendahnya akses petani terhadap pendanaan yang berasal dari lembaga
keuangan formal telah dinyatakan oleh Yunus 1981; Bunch 1991; Khandker 1995; Usman 2004; Dephut 2008. Tanpa adanya bantuan (kredit) petani akan terus terjebak dalam kemiskinan (Carter 2006). Adanya pinjaman dari Kementerian Kehutanan untuk pembangunan HTR perlu didukung walaupun kelembagaan pinjaman tersebut perlu dikaji mengingat kelembagaan merupakan hal yang sangat vital dalam menentukan kinerja program.
Pinjaman di Kementerian
Kehutanan seperti KUK DAS dan KUHR di masa lalu mempunyai kinerja yang buruk, dan kelembagaan sebagai aturan main maupun organisasi merupakan faktor dominan penyebab kegagalan tersebut. Kinerja merupakan refleksi bentuk kelembagaan yang mengatur hubungan antara prinsipal dan agen. Prinsipal atau pemberi kredit yaitu BLU Pusat P2H (Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan yang berada dibawah Kementerian Kehutanan) dan agen atau penerima PDB HTR yaitu petani. Kelembagaan PDB HTR (seperti organisasi dan aturan main) adalah subyek yang mengatur hubungan antara prinsipal dengan agen atau sering disebut agency relationship (Jensen dan Meckling 1986; Eisenhardt, 1989; Prihadi 2010). Hubungan agensi-dalam penelitian ini merupakan hubungan antara pemberi dan penerima pinjaman- sering diwarnai asymetric information atau ketidaksepadanan informasi yang menyebabkan timbulnya resiko adverse selection (salah pilih penerima pinjaman -ex ante), dan moral hazard (ingkar janji -ex post) (Maskin 2001). Resiko tersebut muncul karena dalam hubungan agensi selalu mempunyai 2 (dua) atribut, yaitu adanya asymmetric information (ketidaksepadanan informasi) dan kemungkinan perilaku oportunis (opportunistic behavior) dari para pelaku (Barney dan Ouchi 1986). Hubungan pemberi dan penerima pinjaman PDB HTR diatur dalam sebuah kelembagaan yang dapat menghasilkan kinerja tertentu tergantung dari struktur dan respon dari para pelaku di dalamnya, salah satunya melalui adopsi faktor-
5
faktor
pendukung keberhasilan pinjaman dalam kelembagaan pinjaman yang
bersangkutan.
Jika faktor kunci keberhasilan kredit menurut Syukur 1993;
Chaves et al 1996; Mayrowani 1998; Windarti 2000; Wijaya 2009 dalam Sugianto 2009 tidak terpenuhi, maka program pinjaman tersebut diyakini akan mengalami kegagalan.
Faktor kunci keberhasilan tersebut pada hakekatnya membuat
informasi antara ke-2 pihak menjadi sepadan sehingga risiko-risiko dalam hubungan seperti yang dinyatakan oleh Maskin (2001) dapat dihindari. Dari penjelasan diatas terdapat beberapa pertanyaan penelitian, yaitu: (1) bagaimana kinerja PDB HTR?, (2) apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PDB HTR telah terakomodir dalam kelembagaan PDB HTR (karakteristik, aturan main dan organisasi, persepsi dan perilaku), (3) apakah faktor-faktor keberhasilan tersebut telah diadopsi dalam model pinjaman lain?, dan (4) apakah skema pendanaan
yang ditawarkan pemberi pinjaman
mampu memenuhi
kebutuhan penerima pinjaman khususnya petani? Untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian digunakan suatu model penyaluran kredit lain yang telah terbukti berhasil. Model penyaluran kredit yang dipilih adalah PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) dari Kementan (Kementerian Pertanian), dengan beberapa alasan diantaranya: (1) kredit dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dianggap tidak berhasil (Departemen Kehutanan 2005), kredit dimaksud yaitu KUK DAS dan KUHR, (2) PUAP mampu meningkatkan modal awal Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) sebesar 25%-250% , dan (3) jumlah petani penerima manfaat PUAP terus meningkat. 1.3
Tujuan Tujuan umum disertasi ini adalah merumuskan kelembagaan pinjaman
untuk pengembangan HTR yang efektif dan efisien sesuai dengan kondisi yang bervariasi di lapangan. Tujuan antara adalah sebagai berikut: 1
Untuk menilai kinerja PDB HTR.
2
Untuk
menganalisis
mempengaruhi
dan
memahami
faktor-faktor
kinerja PDB HTR (aturan main
yang
PDB HTR dan
organisasi BLU Pusat P2H, karakteristik dan persepsi para pihak terhadap PDB HTR).
6
3
Untuk membandingkan PDB HTR dengan model pinjaman lain (KUK DAS, KUHR dan PUAP).
4 1.4
Menemukan skema PDB HTR optimal untuk petani.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi para pihak; 1
Hasil penelitian diharapkan diadopsi oleh pemerintah dalam bentuk skema pembiayaan HTR yang
lebih tepat sehingga petani
memperoleh manfaat yang lebih besar 2
Memberikan pengetahuan baru khususnya di bidang kelembagan pinjaman berdasarkan teori hubungan prinsipal agen.
1.5
Novelty atau Kebaruan Penelitian yang sudah ada, yang terkait dengan penelitian ini adalah
tentang: (1) hubungan antara kredit formal dan informal di pedesaan dan intervensi pemerintah terhadap kredit formal (Hoff et al. 1993), (2) faktor-faktor yang mempengaruhi pinjaman formal pedesaan (Syukur et al. 1990; Chaves et al. 1996; Wijaya dalam Sugianto 2009), (3) daya serap dan pengembalian (Kuntjoro 1983; Syukur 1993; Waluyo & Djauhari 1992; Indroprahasto 1994; Sanim 1997; Mayrowani 1998, Lubis et al.2008, Utami et al. 2009), (4) analisis skema kredit dari sudut pandang modal sosial (Fauziyah 2009), (5) kelembagaan kemitraan Industri Pengolahan kayu bersama rakyat menggunakan teori kemitraan (Prihadi 2010), (6) perbandingan skema pinjaman PDB HTR dengan KUHR menggunakan analisis kebijakan naratif (Nugroho 2011 a). Berdasarkan tinjauan (review) hasil-hasil penelitian tersebut, belum ada penelitian yang membahas: (1) gap antara peraturan-perundangan yang berkaitan dengan pinjaman bergulir untuk pembangunan hutan tanaman dengan peningkatan atau penurunan risiko yang biasa muncul dalam hubungan agensi, seperti salah pilih penerima pinjaman, perilaku ingkar janji, dan peningkatan biaya transaksi terhadap kinerja pinjaman secara keseluruhan, (2) menghasilkan kebaruan berupa rumusan untuk memperbaiki kebijakan PDB HTR, dan (3) menghasilkan skema pendanaan optimal untuk pembangunan hutan tanaman, khususnya yang ditujukan terhadap petani dengan menggunaan metoda Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik (PHA).