PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat yang menyebabkan kabut asap yang menyebar tidak hanya di Pulau Sumatera tetapi juga negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Data historis antara tahun 2001 sampai 2012 mengatakan bahwa Pulau Sumatera mengalami rata-rata sekitar 20.000 peringatan titik api setiap tahunnya (dengan tingkat keyakinan deteksi lebih dari 30 persen). Peringatan titik api biasanya muncul cukup banyak di sekitar bulan Juni hingga September setiap tahunnya. 60 persen titik api yang diobservasi setiap tahunnya muncul pada periode waktu 4 bulan tersebut (Sizer, et al. 2013). Titik panas (hotspot) pada awalnya diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Hotspot adalah sebuah titik yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Cara deteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan pengamatan hotspot (Anderson, et.al. 1999). Sebuah hotspot dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah hotspot dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire Fight South East Asia, 2002).
Tujuan Penelitian 1.
2.
Penelitian ini bertujuan untuk : mengetahi hubungan antara nilai suhu permukaan, bowen ratio, dan evaporative fraction dengan hotspot sebagai indikator kebakaran lahan; dan menyusun formulasi hubungan suhu permukaan, bowen ratio, evaporative fraction sehingga dapat digunakan sebagai indikator kebakaran lahan. METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2013 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
2
2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer beserta perangkat lunak pembantu. Perangkat lunak yang digunakan ada 2, yaitu perangkat lunak pengolah citra satelit Landsat 8 dan perangkat lunak pengolah data statistik. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Landsat 8 path/row 126/61, peta administrasi Provinsi Jambi, dan data hotspot MODIS 2013. Tanggal akusisi data citra Landsat 8 adalah 18 Juni 2013.
Prosedur Analisis Data
Gambar 1 Diagram alir penelitian. Pengolahan Awal Data Citra Pengolahan awal data citra meliputi koreksi geometrik, pengambilan wilayah kajian, dan klasifikasi penutupan lahan. Koreksi geometrik merupakan proses memposisikan citra sehingga cocok dengan koordinat peta dunia yang sesungguhnya (Supriatna dan Sukartono, 2002). Pengambilan wilayah kajian dilakukan untuk membatasi dan memfokuskan wilayah penelitian. Klasifikasi penutupan wilayah dilakukan untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan tutupannya yang dilakukan dengan metode klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Kanal Landsat 8 yang digunakan untuk klasifikasi lahan adalah kanal 653.
3
Pendugaan Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan suhu bagian terluar dari suatu obyek. Suhu permukaan untuk suatu tanah terbuka adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Suhu permukaan akan meningkat saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, namun penyerapan radiasi belum tentu sama. Hal ini tergantung pada sifat fisik obyek pada permukaan tersebut. Sifat fisis obyek tersebut diantaranya : emisivitas, konduktivitas termal dan kapasitas panas jenis (Bakry 2011). Ada beberapa cara untuk melakukan pengukuran suhu permukaan, salah satunya adalah dengan metode penginderaan jauh menggunakan data citra satelit. Pengukuran dengan citra satelit membutuhkan persamaan. Persamaan suhu permukaan didapat dari turunan nilai suhu kecerahan (Brightness Temperature/TB) menggunakan persamaan Artis &Carnahan (1982), yaitu: ................................................ (1) Ts adalah suhu permukaan (untuk penelitian ini oC) dan TB adalah suhu kecerahan (oC); λ adalah panjang gelombang radiasi emisi (11.5 μm); = 1.438 x 10-2 mK; dan nilai ε nilai emisivitas benda. Menghitung Radiasi Netto Nilai radiasi netto di suatu wilayah dapat diduga menggunakan citra Landsat 8 kanal 432. Nilai radiasi netto didapat dari penghitungan nilai radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Nilai radiasi gelombang pendek netto merupakan selisih dari radiasi gelombang pendek yang datang ke permukaan bumi (Rs In) dengan radiasi gelombang pendek yang dikeluarkan oleh permukaan bumi (Rs Out). Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan Rs Out adalah: ........................... (2) Rs Out merupakan nilai radiasi gelombang pendek keluar yang dikonversi dari Wm-2 sr-1 μm-1, yaitu besar laju perpindahan energi (Watt) yang terekam oleh sensor per luas permukaan (m-2), untuk satu steredian (sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor satelit) per unit panjang gelombang dalim satu kali pengukuran menjadi satuan energi radiasi (Wm-2) yang tidak tergantung sifat lengkung bumi (Aryani 2013). Sedangkan nilai Rs In didapat dari hasil perbandingan nilai Rs Out (Wm-2) dengan nilai albedo, (3). Sehingga persamaan untuk mendapatkan nilai radiasi gelombang pendek netto adalah: Rs Netto = Rs In – Rs Out ..................................... (4)
4
4
Perhitungan nilai radiasi netto (RN) selain memerlukan nilai radiasi gelombang pendek netto, juga memerlukan nilai radiasi gelombang panjang netto. Nilai radiasi gelombang panjang netto menggunakan nilai radiasi gelombang panjang yang keluar (RL out). Nilai RL out diturunkan dari persamaan StefanBoltzman dan Ts = suhu permukaan. .................................................( ) Sehingga nilai radiasi netto (RN) dapat diperoleh dengan persamaan: RN = Rs Netto – RL out ......................................(6) Menghitung Neraca Energi Neraca energi di dekat permukaan adalah penentu utama dari pembentukan cuaca/iklim. Neraca energi merupakan kesetimbangan antara masukan energi dari matahari dengan kehilangan energi oleh permukaan setelah melalui proses-proses yang kompleks (Risdiyanto dan Rini 1999). Neraca energi penting dipelajari karena dapat digunakan sebagai penciri kondisi iklim lokal suatu lokasi yang memberikan informasi nilai masing-masing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan laten, fluks pemanasan udara dan fluks pemanasan tanah (Syukri 2004). Persamaan : ......................................( ) Fluks bahang tanah (G) adalah sejumlah energi radiasi surya yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Persamaan untuk menentukan G adalah: G = Rn * Proporsi ................................................(8) Tabel 1 Proporsi penutupan lahan Penutupan Proporsi Lahan Tambak 0.07 Sawah 0.08 Vegetasi Industri 0.11 Sumber: Khomaruddin (2005) Fluks bahang terasa merupakan energi yang terkonversi dari radiasi netto untuk pemanasan atmosfer sekitarnya (Monteith & Unsoworth, 1990). Persamaannya: ........................................................( ) dimana adalah bowen ratio, Rn adalah radiasi netto (Wm-2), dan G adalah fluks bahang tanah (Wm-2).
5
Tabel 2 Nilai Bowen ratio yang digunakan Penutupan Lahan Bowen Ratio (β) Pemukiman* 4.0 Perkebunan* 0.50 Air* 0.11 Sumber: * Khomaruddin (2005) Fluks panas laten ( adalah limpahan energi yang digunakan untuk menguapkan air ke atmosfer. Menurut Monteith dan Unsworth (1990), fluks panas laten adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa airmenjadi uap pada suhu yang sama (Fajri 2011). Persamaannya: ............................................. (
)
Estimasi Evaporative Fraction (EF) Evapotranspirasi (ET) merupakan salah satu proses utama pertukaran energi dan air antara hidrosfer, atmosfer, dan biosfer (Wang et al. 2006). Berbagai metode telah digunakan untuk menghitung ET salah satunya adalah dengan satelit penginderaan jauh dengan cara mengestimasikan evaporative fraction (EF) yang merupakan rasio dari ET terhadap jumlah energi tersedia (Shuttleworth et al. 1989, dalam Wang et al. 2006). EF digunakan oleh Niewmeyer dan Vogt (1999) untuk memantau kekeringan daerah Sicilia. Pada konsep ini nilai EF semakin rendah, potensi kekeringan akan lebih tinggi. Persamaan untuk menetukan EF sebagai berikut. ..................................................... (
)
EF merupakan evaporative fraction; λE merupakan fluks bahang laten (Wm-2); Rn merupakan radiasi netto (Wm-2); dan G merupakan fluks bahang tanah (Wm-2). Nilai EF berkisar antara 0-1 dan semakin besar EF daerah tersebut semakin berpotensi basah dan semakin kecil nilai EF daerah tersebut berpotensi semakin kering (Khomaruddin et al. 2005). Estimasi Bowen Ratio (β) Rasio antara fluks bahang terasa dengan fluks bahang laten merupakan pengukuran dari bagaimana energi tersedia terbagi-bagi pada pertemuan atmosfer dengan permukaan air dan diketahui sebagai Bowen ratio (Quintanar 2007). Sama seperti EF, β juga merupakan parameter yang dapat mengidentifikasi potensi kekeringan. Perbedaan dengan EF adalah bila nilai β semakin besar, maka potensi kekeringan semakin tinggi (Khomaruddin et al. 2005). Rumusan untuk menghitung β adalah sebagai berikut: ............................................................... (
)
6
6
Simbol β merupakan Bowen Ratio; H merupakan fluks bahang terasa (Wm-2); dan λE merupakan fluks bahang laten (Wm-2). Pengelompokkan Hotspot Data hotspot yang diturunkan dari citra MODIS dikelompokkan dengan batas 5 km dari titik panas. Batas 5 km dipilih karena memberi hasil yang lebih baik dibanding 2 jarak lain yang diuji, yaitu 3 km dan 10 km. Pengujian Pengaruh Parameter terhadap Hotspot Kelompok data hotspot yang didapat ditimpakkan di atas data hasil dugaan suhu permukaan, estimasi evaporative fraction (EF), dan Bowen ratio (β) untuk mengetahui pengaruh parameter-parameter terhadap jumlah hotspot. Setelah mengetahui tren pengaruh parameter-parameter pengaruh terhadap jumlah hotspot, uji hubungan antara semua parameter terhadap jumlah hotspot. Pengujian menggunakan uji-t dan uji-F. Uji-t Uji-t digunakan untuk menunjukkan pengaruh satu variabel penjelas/bebas secara individual dalam menerangkan ragam variabel terikat. Hipotesis yang digunakan: H0: bi=0; artinya variabel bebas tidak mempengaruhi ragam variabel terikat. H1: bi≠0; artinya variabel bebas mempengaruhi ragam variabel terikat. Hasil hipotesis uji-t didapat dengan membandingkan t hitung dengan t tabel, bila t hitung lebih besar dibanding t tabel, maka tolak H0.
Uji-F atau ANOVA Uji-F digunakan untuk menunjukkan pengaruh semua varibel bebas yang digunakan bersama terhadap variabel terikat. Hipotesis yang digunakan: H0: b1=b2=b3=0; artinya variabel bebas bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat. H1: b1≠b2≠b3≠0; artinya variabel bebas merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat. Hasil hipotesis uji-F didapat dengan membandingkan F hitung dengan F tabel, bila F hitung lebih besar dibanding F tabel, maka tolak H0.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan analysis tools dari Ms. Excel. Data
Data Analysis
Regression
Gambar 2 Alur menu untuk uji hubugan.