23
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan
16 kampung di
Kabupaten Jayapura. Daerah ini dipilih karena mempunyai produktifitas sagu dan pemanfaatannya yang paling baik dibandingkan daerah lainnya di Jayapura dan wilayah ini paling terancam oleh konversi lahan ke penggunaan non pertanian karena berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura (Lampiran Gambar 1 dan 2). Penelitian ini (survei lapang) dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan September
2010 sampai Februari 2011. Lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 4. Bahan dan Alat Bahan penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder berupa data tabular dan data spasial. Data primer berupa data spasial yang diperoleh dari survei dan wawancara yakni sebaran sagu, tegakan, kerapatan dan jenis sagu, produktifitas serta pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Data sekunder berupa data tabular yang diperoleh dari instansi pemerintah dan hasilhasil penelitian terkait berupa data jumlah penduduk dan konsumsi sagu. Selengkapnya data yang diperlukan, cara memperoleh dan keluarannya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Data yang diperlukan dan cara memperolehnya Sumber
Primer
Sekunder
Jenis Data
Cara memperoleh
Sebaran sagu, penggunaan lahan
Digitasi citra GeoEye 2010 dari Google Earth dan hasil survei
Tegakan, kerapatan dan jenis tanaman sagu
Petak pengamatan
Pemanfaatan tanaman sagu, produksi, jenis sagu
Wawancara dengan penduduk
Peta RTRW dan batas administrasi
Bapeda
Peta tutupan lahan Kabupaten Jayapura
Dinas Kehutanan
Jumlah penduduk, dan konsumsi sagu
BPS, Dinas Ketahanan Pangan dan laporan hasil-hasil penelitian
24
Gambar 4. Lokasi penelitian
25
Prosedur Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 3 tahap yakni 1). persiapan, 2) survei dan (3) analisis data 1. Persiapan Kegiatan tahap persiapan terdiri atas: a) studi literatur dan pengumpulan data sekunder serta b) penyusunan peta lahan bervegetasi sagu a. Studi literatur dan pengumpulan data sekunder Studi literatur atau studi pustaka yang dilakukan berkaitan dengan sagu yakni habitat sagu, fungsi sagu secara ekonomi, ekologi dan budaya, konsep pengelolaan sagu, kajian dilakukan melalui buku terkait, jurnal, artikel, penelusuran melalui internet. Pengumpulan data sekunder berupa data tabular dan spasial. Data tabular dari laporan hasil-hasil penelitian dan laporan dari instansi pemerintah (BPS, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Bappeda) meliputi data produksi sagu, konsumsi sagu, budidaya tanaman sagu, data penduduk sedangkan data spasial berupa peta tutupan lahan, RePPProT dan peta administrasi untuk membatasi areal penelitian. b. Pemetaan sebaran sagu Pemetaan sebaran sagu adalah pemetaan lahan-lahan bervegetasi sagu, diperlukan saat pengamatan (survei) potensi tegakan sagu. Lahan bervegetasi sagu diidentifikasi lebih lanjut dengan pengecekan lapang. Pencarian lahan
bervegetasi melalui informasi hasil-hasil penelitian atau
laporan serta dari informasi letak areal hutan sagu dari sebagai sumber di dinas-dinas terkait dan masyarakat setempat dan mengambil titik GPSnya. Setelah diperoleh lokasi letak hutan sagu lalu disiapkan citra GeoEye dari Google Earth
untuk melihat sebaranya (Gambar 5). Interpretasi citra
GeoEye dengan metode on screen yakni mendelineasi pola-pola sebaran sagu yang ada secara visual secara online.
26
Pengecekan lapang / penentuan lokasi
Studi literatur
Informasi masyarakat/dinas
Interpretasi dari Citra GeoEye
Sebaran sagu
Gambar 5. Alur pemetaan sebaran sagu Peta lahan sebaran sagu menjadi peta lapang tentang sebaran tanaman sagu untuk rencanakan lokasi petak pengamatan saat survei tegakan tanaman sagu dilakukan.
2. Survei Survei terdiri dari: a) pengamatan keragaman tanaman sagu, dan b) wawancara responden. a) Pengamatan keragaman tanaman sagu Pengamatan keragaman tanaman sagu dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan dan kerapatan tanaman sagu berdasarkan peta lahan sebaran sagu (yang dibuat pada tahap persiapan). Setiap sebaran sagu dibuat 4 petak pengamatan berukuran 15 m x 15 m. Penempatan petak pengamatan mewakili keragaman sagu yang ada dengan pertimbangan kemudahan dijangkau. Data yang dikumpulkan meliputi tipe sagu (dusun sagu, atau dusun sagu campuran), potensi tegakan (tegakan siap panen), kerapatan (rumpun), jenis sagu dan deskripsi kondisi lingkungan tumbuh. b) Wawancara responden Wawancara dilakukan untuk mengetahui sebaran jenis sagu dan pemanfaatan hutan sagu oleh masyarakat sekitar lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi jenis pemanfaatan
dan intensitas pemanfaatannya.
Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan (Tabel 6). Pemilihan responden berasal dari kampung yang berada di kawasan tanaman sagu. Data tersebut diperoleh melalui wawancara terhadap responden yang ditemui di kampung maupun di lahan sagu.
27
Wawancara juga dilakukan untuk memastikan penyebaran tipe sagu yang ada di lapang sesuai pengetahuan masyarakat dengan bantuan peta lahan sebaran sagu. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan mendelineasi
sebaran tipe sagu selain dari pengamatan lapang (titik GPS) dan analisis visual citra. Tabel 6. Kelas intensitas pemanfaatan hutan sagu Kelas Sangat Tinggi
:
Tinggi
:
Menengah
:
Rendah
:
Sangat Rendah
:
Kriteria Jika lebih dari 75 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Jika sebesar 51-75 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Jika sebesar 26-50 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Jika sebesar 1-25 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Jika tidak terdapat penduduk yang memanfaatkan hutan sagu
Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009) 3. Analisis Data Analisis data meliputi: a) pemetaan kawasan sagu; b) proyeksi kebutuhan lahan sagu; c) pemetaan arahan pengembangan pertanian pangan sagu; dan d) identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B a. Pemetaan kawasan sagu Pemetaan
kawasan
sagu
diperlukan
untuk
mendapatkan
informasi tentang lahan-lahan sagu khususnya yang telah berproduksi (dimanfaatkan) untuk menghasilkan pangan sagu.
Dilakukan dengan
mendetailkan peta sebaran sagu yang dibuat pada tahapan sebelumnya (tahap persiapan) dengan data hasil survei dengan memasukkan data atribut tentang tipe sebaran sagu, rumpun, tegakan siap panen dan pemanfaatan (Gambar 6).
Pemetaan tipe sebaran sagu mengacu
klasifikasi tipe sebaran sagu oleh Matanubun et al. (2008), yakni dusun sagu, dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran dan rawa sagu. Dusun sagu merupakan hutan sagu yang telah dimanfaatkan atau dikelola oleh masyarakat. Rawa sagu adalah rawa permanen yang ditumbuhi sagu. Hutan sagu adalah hamparan hutan yang ditumbuhi sagu (sagu 80 – 100 %) dan diselingi pohon hutan lainnya. Hutan sagu
28
campuran merupakan hutan sagu (sagu 30 – 80 %) yang diantaranya terdapat beberapa jenis-jenis pohon lainnya menyebar dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Dari tipe sebaran sagu diinput data atribut jumlah tegakan siap panen dan jumlah rumpun. Untuk informasi pemanfaatan dibuat dengan menumpangsusunkan peta tipe sebaran sagu dengan peta administrasi kampung. Dari hasil tumpangsusun tersebut menjadi dasar untuk mengisi data atribut pemanfaatan setiap kampung yang memiliki lahan sagu.
Sebaran sagu
Interpretasi dari Citra GeoEye
Hasil survei dan Informasi masyarakat
Input data tegakan dan rumpun
Tipe sebaran sagu Peta administrasi
Input data Intensitas pemanfaatan
Pemanfaatan sagu
Kawasan sagu
Gambar 6. Alur pembuatan peta kawasan sagu b. Proyeksi kebutuhan lahan sagu Proyeksi kebutuhan lahan sagu digunakan untuk mengetahui kebutuhan lahan sagu dalam wilayah tertentu dan dalam jangka waktu pula. Analisis ini akan digunakan sebagai dasar dalam menyusun LP2B. Jangka waktu yang digunakan adalah tahunan hingga 20 tahun akan datang sesuai dengan penyusunan RTRW. Untuk menentukan luasan lahan sagu disusun skenario luasan berdasarkan asumsi
jumlah
penduduk, tingkat konsumsi dan produktifitas sagu untuk tingkat lokasi penelitian dan kontribusi di tingkat lebih tinggi yakni Kabupaten dan Propinsi Papua (Gambar 7).
29
Proyeksi pertumbuhan penduduk
Proyeksi kebutuhan pangan sagu aktual
Proyeksi kebutuhan pangan sagu PPH
Asumsi Produktifitas sagu
Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu
Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu
Gambar 7. Alur Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu Jumlah penduduk (Y) Perhitungan proyeksi jumlah penduduk menggunakan persamaan regresi dengan mencari model terbaik (nilai R tertinggi). Persamaan regresi
menggunakan
trend
penduduk
masa
yang
lalu
untuk
memperkirakan jumlah penduduk masa yang akan datang. Model yang digunakan adalah model linear dikarenakan berdasarkan data BPS (2000-2009) pertambahan penduduk akan bertambah sebesar jumlah absolut yang sama/tetap (β) atau
rata-rata pertambahan penduduk
sama. Pt =α + βT Dimana :
Pt
=
penduduk pada tahun proyeksi t
α
=
intercept (penduduk pada tahun dasar)
β
=
koefisien ( rata-rata pertambahan penduduk)
T
=
periode waktu proyeksi
Kebutuhan konsumsi sagu (KKS) Kebutuhan konsumsi sagu adalah perkalian dari konsumsi sagu (tepung sagu) perkapita dengan jumlah penduduk pada tahun tertentu
30
KS= KS * Yt Dimana :
KKS
=
Kebutuhan konsumsi sagu (Kg)
KS
=
Konsumsi sagu (kg/kapita/tahun)
Yt
=
Jumlah penduduk tahun ke-t (jiwa)
KS atau konsumsi sagu perkapita menggunakan data persediaan pangan dalam bentuk jumlah pangan perkapita pertahun dihitung dengan membagi jumlah pangan yang tersedia dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Perhitungan KS mengunakan 2 (dua) asumsi yakni konsumsi aktual dan konsumsi ideal/harapan. Estimasi
kebutuhan
konsumsi
sagu
aktual
berdasarkan
permintaan waktu yang lalu bertujuan untuk menyediakan sesuai kecenderungan permintaan berdasarkan selera konsumen. Data untuk proyeksi konsumsi aktual digunakan dari Neraca Bahan Makanan (NBM) Kabupaten Jayapura 4 tahun terakhir (2002-2005) berdasarkan yang naik rata-rata 0,06 %. Konsumsi ideal/harapan adalah pemenuhan kebutuhan pangan yang dikonsumsi seimbang diantara jenis pangan yang dikonsumsi. Data yang gunakan berdasarkan skor dari penetapan pola pangan harapan (PPH) yakni 15,11 kg/kap/tahun. Kebutuhan Luas lahan Sagu (KLS) Kebutuhan luas lahan sagu adalah jumlah penduduk dikali kebutuhan konsumsi sagu terhadap produktifitas sagu. KLS = KKS/ PS Dimana :
KLS
= Kebutuhan Luas lahan Sagu (ha)
KKS
= Kebutuhan konsumsi sagu (Kg/tahun)
PS
= Produktifitas Sagu (kg/ha/tahun)
Produktifitas sagu diperoleh asumsi hasil pati sagu yang dipanen penduduk tiap tegakan siap panen (hasil wawancara) dikalikan dengan jumlah tegakan siap panen per hektar (hasil survei tegakan).
31
c. Pemetaan ketersediaan lahan sagu (arahan pengembangan pertanian pangan sagu) Penyusunan peta ketersediaan lahan sagu untuk mengetahui dimana lokasi yang sesuai berdasarkan aspek fisik dan spasial untuk pengembangan pertanian pangan termasuk lahan yang bervegetasi sagu maupun yang tidak bervegetasi sagu.
Pembuatan peta
tersebut
menggunakan software ArcGIS 9.3 dilakukan dengan mengoverlay peta kesesuaian lahan, peta RTRW dan peta penggunaan lahan (Gambar 8 dan Tabel 7). Identifikasi kesesuaian lahan sagu (termasuk lahan bervegetasi sagu) dilakukan dengan proses tumpangtindih (overlay) terhadap peta-peta tematik yang ada yaitu: peta kemiringan lereng, peta kedalam air tanah tanah dan peta ketinggian tempat (Gambar 6) untuk mendapatkan lahan yang sesuai untuk sagu. Langkah-langkah penyusunan data spasial lahan sagu potensial berdasarkan studi literatur melalui pendekatan dari berbagai sumber karena belum tersedianya kriteria baku penilaian kesesuaian lahan sagu. Kriteria tempat tumbuh sagu menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) yakni ketinggian idealnya <400 m dpl walaupun dapat tumbuh hingga 700 m dpl. Sagu tumbuh di antara tanah-tanah mineral dan gambut yang berada di dataran rawa, pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai. Hampir semua jenis tanah ditumbuhi sagu dengan syarat kedalaman air tanah < 100 cm atau tidak tergenang permanen. Oleh karena itu, tempat tumbuh sagu sangat ditentukan oleh kedalaman air tanah bukan jenis tanah. Kedalaman air tanah diperoleh dari peta landsystem. Terkait dengan kedalaman air tanah tersebut maka tempat tumbuh sagu diasumsikan pada kemiringan lereng < 2 %. Berdasarkan
hal
di
atas dibuat
kelas
kesesuaian
dengan
tumpangtindih peta kemiringan lereng, ketinggian tempat, kedalaman air tanah yang klasifikasikan menjadi sesuai dan tidak sesuai. -
Peta
kemiringan
lereng
diperoleh
dari
Citra
Aster
Gdem
diklasifikasikan menjadi dua yakni sesuai: 0-2 % dan tidak sesuai >2 % -
Peta ketinggian tempat dari Citra Aster Gdem diklasifikasikan menjadi 2 ketinggian tempat yakni sesuai: 0 - 400 m dpl dan tidak sesuai > 400 m dpl.
32
-
Dari
peta
landsystem
diekstrak
kedalaman
air
tanah
dan
diklasifikasikan menjadi 2 yakni sesuai: < 100 cm dan tidak sesuai > 100 cm. Ketinggian tempat
Kemiringan lereng
Kedalaman air tanah
Kesesuaian lahan sagu
RTRW
Arahan pengembangan
Penggunaan lahan
Ketersediaan lahan
Gambar 8. Alur pemetaan ketersediaan lahan
Tabel 7. Penentuan arahan pengembangan Kesesuaian lahan Sesuai
RTRW Kawasan budidaya pertanian (campuran dan budidaya)
Sesuai
Kawasan budidaya pertanian (campuran dan budidaya)
Sesuai dan tidak sesuai
Kawasan budidaya non pertanian (pemukiman, industri, pertambangan) dan kawasan lindung (hutan lindung dan sempadan danau)
Penggunaan lahan Hutan, semak, lahan pertanian, lahan terbuka Areal terbangun (pemukiman, bandara) Hutan, semak, lahan pertanian, lahan terbuka, areal terbangun (pemukiman, bandara)
Kategori Lahan tersedia
Tidak tersedia
Bukan arahan
33
Peta kesesuaian lahan dioverlay dengan peta RTRW untuk mendapatkan peta arahan pengunaan lahan. Peta arahan penggunaan lahan menginformasikan tentang keberadaan lahan-lahan sesuai yang di kawasan lindung dan budidaya. Setelah itu, peta arahan pengembangan dioverlay lagi peta penggunaan lahan untuk mendapatkan peta ketersediaan lahan.
Peta
penggunaan
lahan
dibuat
dengan
mendelineasi
penggunaan/tutupan lahan di lokasi penelitian secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Peta ketersediaan lahan menginformasikan penggunaannya lahan-lahan arahan pengembangan saat ini. d. Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam PP No 1 tahun 20011 Pasal 2 huruf a meliputi: Kawasan Pertanian
Pangan
Berkelanjutan
Berkelanjutan
(LP2B),
dan
(KP2B),
Lahan
Lahan
Cadangan
Pertanian
Pangan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan (LCP2B). LCP2B adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. LCP2B ditetapkan dari peta ketersediaan lahan dari lahan sagu yang belum memproduksi pangan sagu.
LP2B adalah
bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan yang akan menjadi LP2B ditetapkan dari lahan pertanian pangan yang telah ada (aktual) dan berproduksi. Konsep pemetaan LCP2B dan LP2B dilakukan dengan pengoverlay peta kawasan sagu dan peta arahan pengembangan dengan teknik Union (Gambar 9) lalu dipisahkan sesuai kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B (Tabel 8).
34
Peta ketersediaan lahan
Peta kawasan sagu
Union
Lahan produksi
Lahan belum produksi
LP2B
LCP2B
Proyeksi kebutuhan lahan
Gambar 9. Konsep pemetaan LP2B dan LCP2B Tabel 8. Kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B Peta Arahan pengembangan
Peta Tipe Sagu Dusun sagu
Ketersediaan lahan
dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran
Status LP2B LCP2B
Jika lahan produksi yang tersedia lebih luas dibandingkan kebutuhan lahan pangan sagu hasil proyeksi untuk jadi LP2B perlu dibuat urutan prioritas pemilihan lebih lanjut. Metode identifikasi urutan prioritas dibuat dengan indeks terbobot dihitung dengan teknik indeks
overlay. Indeks
terbobot dibangun berdasarkan pada tiap layer memiliki bobot (weight) dan tiap kelas di layer memiliki nilai (skor) sesuai dengan hasil pengamatan lapang. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun seperti ditampilkan Tabel 9.
35
Tabel 9. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun No
Kriteria
1
Rumpun Harapan Kehiran Sosiri Maribu Pohon siap tebang Harapan Kehiran Sosiri Maribu jenis sagu Harapan Kehiran Sosiri Maribu Pemanfaatan Sangat Tinggi Tinggi Menengah Rendah Sangat Rendah
2
3
4
Skor setelah Faktor standarisasi Bobot 0,15 0,33 0,60 0,48 1,00 0,30 0,83 1,00 0,83 0,92 0,05 0,30 1,00 0,52 0,70 0,50 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20
Keterangan Total skor telah distandarisasi dan bobot berkisar 0-1
Tahap pertama yakni penetapan layer-layer yang akan di overlay lalu layer-layer tersebut distandarisasi. Standarisasi dilakukan untuk mendapatkan nilai bersama antar layer karena nilai dari masing-masing layer berbeda-beda. Dalam hal ini standar dinilai dari perbedaan nilai maksimum dan minimum, sehingga nilainya berkisar dari 0 – 1 atau dengan persamaan: X’ij = (xij)/xjmax Dimana :
X’ij
= Nilai yang distandarisasi
(xij)
= Nilai ke I kriteria ke j
xjmax
= Nilai tertinggi kriteria ke j
Setelah standarisasi, dilakukan penetapan bobot untuk setiap layer. Pembobotan ini dibangun secara logika karena belum ada data mengenai pengaruh antar kriteria tersebut. Pemanfaatan mempunyai bobot lebih tinggi dibandingkan kriteria lain karena lahan sagu yang tidak dimanfaatkan tidak punya arti dibandingkan dimanfaatkan. Setelah itu, bobot tegakan siap panen lebih tinggi dibandingkan rumpun dan jenis karena tanpa tegakan
36
siap panen tidak dapat menghasilkan pati sagu. Bobot rumpun lebih tinggi dibandingkan jenis karena tiap rumpun akan menghasilkan tegakan siap panen. Setelah pembobotan dilakukan overlay. Hasil overlay ini diurutkan dari nilai tertinggi hingga nilai terendah. Urutan pemilihan lebih lanjut LP2B dimulai dari urutan terbaik dari hasil overlay layer-layer tersebut hingga sesuai dengan kebutuhan lahan hasil proyeksi. KP2B adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan KP2B dilakukan berdasarkan hasil pemetaan LP2B dan LCP2B ditambah dengan unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana untuk menunjang aktivitas produksi pangan sagu yang telah ada dilokasi LP2B dan LCP2B. Peta sarana prasarana dibuat dengan mendelineasi sarana prasarana secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Konsep pemetaan KP2B seperti tersaji pada Gambar 10. Peta saran prasarana
LP2B
LCP2B
Union
KP2B
Gambar 10. Konsep pemetaan KP2B