PENDAHULUAN
Latar Belakang Kedelai (Glyczne max L. Merr.) merupakan sumber protein nabati yang penting bagi penduduk Indonesia. Departemen Pertanian (2002) menyatakan produksi kedelai di Indonesia tahun 200 1 dan 2002 berturut-turut sebanyak 1,38 dan 1,O 1 juta ton atau produktivitas rata-rata 1,2 tonlha. Menurut Badan Pusat Statistik (2002), kebutuhan kedelai untuk konsumsi penduduk dan pakan ternak di Indonesia pada tahun 2002 sebanyak 3,27 juta ton. Kesenjangan kebutuhan kedelai yang terjadi dipenuhi dengan impor kedelai terutama dari Amerika dan Taiwan. Setiap tahun Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 1,6 juta ton. Sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 dan naiknya nilai dolar Amerika terhadap rupiah maka kebijakan mengimpor yang menghabiskan dana sebesar 5 trilyun
rupiah per tahun (harga
kedelai per kg adalah Rp 3500,OO) perlu dipertimbangkan. Kebutuhan kedelai belum dapat terpenuhi oleh produksi kedelai nasional karena berbagai kendala, diantaranya masalah hama dan penyakit di pertanaman kedelai.
Salah satu penyakit yang dapat mengurangi produksi di berbagai areal
pertanaman kedelai di Indonesia adalah pustul bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas axonopodz.~pv. glycznes ( X d . Machmud (1 990), Aini ( 1 992), Rahayu (1994) dan Dirrnawati (1996) berturut-turut melaporkan bahwa varietas kedelai unggul nasional maupun lokal di areal pertanaman kedelai Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta teserang bakteri pustul sehingga dapat menurunkan produksi antara 15,9 % hingga 50,O %.
Sinclair dan Backman (1989) mengemukakan bahwa taktik pengendalian penyakit pustul bakteri yang dianjurkan diantaranya penanaman varietas kedelai resisten, benih sehat, dan penggunaan bakterisida kimia. Namun demikian masingmasing
taktik pengendalian
tersebut memiliki kendala apabila dilakukan di
lapangan. Bakteri Xug mempunyai banyak stru~nyang masing-masing menunjukkan genotip dan virulensi yang berbeda-beda dan telah dibuktikan melalui analisis sidik jari DNA (Rukayadi et u1. 1999). Patogen yang mempunyai banyak stru~n dan perkembangan penyakitnya tergolong berbunga majemuk seperti halnya pustul bakteri tidak dapat dikendalikan dengan penggunaan satu varietas kedelai dengan daya tahan vertikal. Bakteri Xug dapat bertahan
dalam mekanisme infeksi laten pada benih
kedelai selama dua tahun tanpa menunjukkan gejala sakit (Mortensen 1989). Oleh karena itu penggunaan benih kedelai yang tidak menunjukkan gejala sakit belum tentu menjamim bahwa benih kedelai sehat. Penggunaan bakterisida kimia untuk pengendalian Xug dapat menjadi kendala karena dengan frekuensi yang tinggi dapat (Lorrnan 1996).
penggunaan bakterisida kimia
menimbulkan
pencemaran air dan tanah
Untuk mengatasi kendala pengendalian penyakit pustul bakteri
pada berbagai varietas kedelai di berbagai areal tanam diperlukan evaluasi beberapa strategi pengendalian sehingga didapatkan cara pengendalian yang efisien dan efektif. Penyemprotan suspensi agens biokontrol sebagai salah satu alternatif dari bakterisida kimia telah dilakukan terhadap penyakit tanaman.
Suspensi bakteri
BBOl dilaporkan dapat menurunkan keparahan penyakit hawar bakteri padi yang
disebabkan oleh Xanthornonas campestrw pv. oryzue (Tjahjono 2000, komunikasi pribadi).
Selain hawar bakteri padi,
penyakit pustul bakteri daun kedelai juga
dilaporkan dapat dikendalikan dengan bakteri P.~eudomonas,fluorescens B29 asal daun kedelai.
Pengendalian dengan suspensi Pf B29 dapat menekan keparahan
penyakit pustul bakteri dari 20,44 hingga 23,66 % bergantung kepada waktu aplikasi. Suspensi P j B29 yang diaplikasikan sebelum inokulasi Xag menurunkan keparahan penyakit 20,44 %, sedangkan Pf B29 yang diaplikasikan bersama-sama dengan Xug menurunkan keparahan penyakit 23,66 %.
Lama bertahannya Pf' B29 pada
permukaan daun kedelai yang diaplikasikan dengan campuran xantan gum bertumtan 4 dan 9 hari setelah penyemprotan di musim kemarau dan penghujan (Nawangsih 1997). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa keefektifan pengendalian dengan suspensi I'J B29 saja belum cukup, oleh karena itu keefektifan suspensi hams ditingkatkan lagi. Selain dengan aplikasi agens biokontrol, pengendalian penyakit tanaman dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan ekstrak tumbuhan sebagai bakterisida botani.
Menurut Harborne (1987), senyawa fenolik
yang terkandung dalam
tumbuhan merupakan antibakteri yang efektif. Bakterisida botani yang sering digunakan untuk pengendalian penyakit tanaman adalah mimba (Azadzrachta zndzca Juss) dengan memanfaatkan bagian daun, daging buah, biji, kulit batang, dan akar. Agens biokontrol atau bakterisida botani yang digunakan dalam pengendalian penyakit tanaman perlu dibuat dalam formulasi yang tidak toksik dan mendukung pertumbuhan tanaman sekaligus efektif mengendalikan organisme pengganggu sasaran serta ekonomis dalam penyediaan. Menurut Jones dan Burges (1 998), syarat
supaya agens biokontrol atau bakterisida botani terpilih sebagai bahan pengendalian penyakit tanaman adalah agens biokontrol atau bakterisida botani hams masih efektif selama 18 bulan dalam formulasi. Menurut Suastuti (1 998) medium cair yang terdiri atas glukosa dan garam anorganik berupa NH4N03, KH2P04, FeS04.7H20, serta MgS04.H20 penting untuk stabilisasi metabolisme bakteri yang dibiakkan di dalamnya. Pengaruh pola tanam tumpangsari terhadap produksi tanaman telah banyak diteliti, tetapi pengaruhnya terhadap keparahan penyakit tanaman masih belum konsisten.
Lanter (1990) dan Bodreau et al. (1992) menyatakan bahwa penyakit
bercak daun bersudut pada buncis yang disebabkan oleh cendawan Phaeosarropsrs grweolu lebih rendah intensitasnya pada pola pertanaman tumpangsari buncis dan
jagung dibandingkan dengan monokultur buncis. Tanaman jagung menghalangi penyebaran dan memerangkap spora P. grrseola. Informasi ini penting untuk mengkaji beberapa strategi pengendalian penyakit pustul bakteri yang memprioritaskan penggunaan agens biokontrol atau bakterisida botani dalam formulasi yang efektif dan efisien dikombinasikan dengan pola tanam kedelai.
Dengan strategi ramah lingkungan maka penggunaan bakterisida kimia
yang tidak mendukung kelestarian ekosistem pertanian dapat dihindari.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan perlu dilakukan penelitian dengan tujuan sebagai berikut:
( 1 ) Mengevaluasi keefektifan formulasi bakteri biokontrol dan mengidentifikasi senyawa penghambat terhadap penyakit pustul bakteri. ( 2 ) Mengevaluasi keefektifan bakterisida botani asal enam jenis tanaman dan
menganalisis senyawa penghambat terhadap penyakit pustul bakteri. ( 3 ) Menganalisis keefektifan dan keefisienan strategi pengendalian penyakit pustul
bakteri berupa kombinasi pola tumpangsari atau monokultur dengan aplikasi bakteri biokontrol atau bakterisida botani.
Hipotesis Penelitian ( I ) Tingginya keeefektifan penghambatan formulasi cair bakteri biokontrol terhadap pustul bakteri berbeda-beda karena senyawa penghambat yang dihasilkan masing-masing bakteri biokontrol berbeda. ( 2 ) Tingginya keefektifan penghambatan enam jenis bakterisida botani terhadap
pustul bakteri berkaitan dengan kandungan asam galat dalam bakterisida botani. ( 3 ) Keefektifan dan keefisienan pengendalian pustul bakteri berupa kombinasi pola
tumpangsari kedelai-jagung dengan aplikasi bakteri biokontrol atau bakterisida botani lebih tinggi dibandingkan taktik pengendalian tunggal.