PENDAHULUAN Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi (Soetrisno, 1998). Fokus ketahanan pangan tidak hanya pada penyediaan pangan tingkat wilayah tetapi juga penyediaan dan konsumsi pangan tingkat daerah dan rumah tangga bahkan individu dalam memenuhi kebutuhan gizinya (Braun et al.1992) Ketahanan pangan Indonesia selama tiga dekade lalu, berada dalam kondisi yang relatif baik yaitu ditunjukkan dengan ketersediaan pangan perkapita meningkat dari 2000 kkal/hari pada tahun 1960 an menjadi sekitar 2700 Kkal./hari awal tahun 1990-an (FAO,1996). Tingkat kemiskinan menurun dari 40 % pada tahun 1976 menjadi 11 % pada tahun 1996. Kombinasi antara peningkatan ketersediaan pangan dan penurunan tingkat kemiskinan tersebut membawa dampak pada peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi baik pada tingkat nasional maupun tingkat rumah tangga, akan tetapi krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada akhir tahun 1990-an sampai sekarang telah membawa dampak negatif terhadap ketahanan pangan, kemiskinan dan status gizi masyarakat (Tabor, et al. 2000). Krisis
ekonomi
yang
berkepanjangan
menyebabkan
harga-harga
kebutuhan pokok meningkat tajam sehingga banyak keluarga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi. Hal tersebut berdampak pada pemenuhan gizi anak balita, khususnya baduta. Sehingga pada dua tahun terakhir ini kembali muncul masalah gizi kurang (kwashiorkor, marasmus, dan kombinasi
2
keduanya). Anak yang bergizi baik akan tumbuh sesuai dengan potensi genetisnya namun sebaliknya anak yang kekurangan gizi akan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya (Meylina, 2000). First Informal Consultation on Growth of Children (UNICEF, 1998) menyepakati bahwa pertumbuhan anak merupakan indikator kunci (key indikator) dalam kesehatan dan perkembangan anak sehingga dapat menggambarkan bagaimana suatu masyarakat akan melaksanakan pembangunan. Jika pertumbuhan anak menjadi indikator penting maka perhatian harus lebih diarahkan pada bagaimana agar anak tetap berada pada garis pertumbuhan yang optimal sehingga sumber daya manusia yang berkualitas dapat tercapai. Sumber daya manusia yang berkualitas sebagai salah satu modal dasar pembangunan karena dimensinya yang begitu kompleks dan salah satu yang paling mendasar adalah faktor gizi masyarakat yang tercermin oleh keadaan gizi individu (Syarif, 1997). Selain itu kualitas SDM dapat ditentukan oleh pembinaan kesehatan dan konsumsi pangan. Pembinaan pertama dan utama terhadap anak terjadi di dalam keluarga, seorang ibu mempunyai peran dan andil yang sangat besar dalam pembinaan anak. Untuk mempersiapkan anak tersebut menjadi manusia yang berguna maka harus dimulai sejak usia dini melalui peran ibu dan pola asuh yang baik (Darmadji, 1993). Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin tumbuh kembang anak yang optimal. Pengasuhan anak dalam hal perilaku yang dipraktekkan sehari-hari seperti pemberian makan, pemeliharaan kesehatan, dan stimulasi mental serta dukungan emosional dan kasih sayang akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan intelektual anak (Engel et al, 1998; Husaini, 1997).
3
Anak baduta merupakan anggota keluarga yang memerlukan perhatian khusus dari orang tuanya atau orang yang dekat dengannya dan sangat bergantung baik secara fisik maupun emosi sehingga memerlukan pertolongan dalam berbagai kegiatan. Namun yang terpenting bahwa pertumbuhan otak seorang anak sangat ditentukan pada masa awal (baduta). Apabila anak pada usia tersebut mengalami kurang gizi maka dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan otak yang mempengaruhi kualitas dan tingkat kecerdasannya. Faktor lain yang berkaitan dengan pertumbuhan anak baduta adalah penyakit infeksi. Data Unicef (1998) menunjukkan bahwa 1000 anak balita di Indonesia meninggal setiap hari selama tahun 1996 karena penyakit infeksi. Gangguan gizi pada masa anak-anak berdampak negatif bukan hanya pada pertumbuhan fisik tetapi juga pada perkembangan mental dan intelektual masa remaja dan dewasa (Seifert & Hoffnung, 1997). Krisis
ekonomi
yang
melanda
Indonesia
mengakibatkan
terjadi
peningkatan jumlah penduduk miskin. Sejak tahun 1996–1998 data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin meningkat sekitar 60 % atau sekitar 4,4 juta jiwa di perkotaan dan 9,6 juta di pedesaan, namun pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin mencapai 49,5 juta dan 31,9 juta terdapat di pedesaan (1999). Sitorus (1993) mengemukakan bahwa mayoritas penduduk miskin di Indonesia adalah penduduk desa dan umumnya adalah golongan nelayan, petani lahan sempit, buruh tani dan pengrajin. Dan nelayan merupakan kelompok masyarakat yang masih tertinggal dibandingkan dengan masyarakat lain yang mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian (Suryana, 1999).
4
Berdasarkan kriteria desa tertinggal yang dikeluarkan Bappeda tingkat II Medan (2000) bahwa salah satu Kelurahan di Kota Medan yang termasuk Inpres Desa Tertinggal (IDT) adalah daerah nelayan Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga, pola pengasuhan (pola asuh makan dan kesehatan), konsumsi zat gizi dan pertumbuhan anak baduta pada keluarga nelayan.
Tujuan Tujuan Umum Menganalisis hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga, pola pengasuhan, konsumsi zat gizi dan pertumbuhan anak baduta keluarga nelayan di Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan Kota Medan. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga (besar keluarga, pedidikan, pekerjaan, pendapatan), ketahanan pangan rumah tangga, pola pengasuhan (pola asuh makan dan pola asuh kesehatan), konsumsi zat gizi anak baduta (energi, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A dan vitamin C), konsumsi zat gizi keluarga (energi, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A dan vitamin C), status kesehatan, sanitasi lingkungan dan pertumbuhan anak baduta. 2. Menganalisis hubungan pendapatan keluarga dengan ketahanan pangan rumah tangga. 3. Menganalisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan konsumsi zat gizi dan pola asuh makan anak baduta.
5
4. Menganalisis hubungan konsumsi zat gizi keluarga dengan konsumsi zat gizi anak baduta. 5. Menganalisis hubungan konsumsi zat gizi dan status kesehatan dengan pertumbuhan anak baduta.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah kota Medan, sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan dibidang kesejahteraan rakyat (kesra) khususnya pangan dan gizi bagi anak baduta. Disamping itu dapat sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi penelitian berikutnya yang relevan.