1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis, serta menjadi salah satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Pada KTT pangan sedunia tahun 1966 di Roma, para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya penghapusan kelaparan di semua negara anggota. Komitmen tersebut dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights, dimana hak atas pangan ditetapkan menjadi bagian penting dari hak asasi manusia.1 Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan oleh UndangUndang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 pengganti Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996, yang dibangun berlandaskan kedaulatan dan kemandirian pangan. Hal ini menggambarkan bahwa apabila suatu negara tidak mandiri dalam pemenuhan pangan, maka kedaulatan negara bisa terancam. Undang-Undang Pangan ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat perorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermanfaat. 1 Mewa Ariani, Difersifikasi Konsumsi Pangan: Antara Harapan Dan Kenyataan, Bogor: Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian, 2010, hal. 2.
2
Gagasan diversifikasi pangan sebenarnya bukan merupakan hal baru. Slogan diversifikasi pangan bahkan telah dicanangkan sejak tahun 1970, jauh sebelum kita meraih swasembada beras. Bahkan pada Repelita IV, pemerintahan Orde Baru memberikan perhatian cukup besar terhadap diversifikasi dengan menempatkannya pada urutan teratas program di sektor pertanian, baru kemudian diikuti intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi.2 Namun dalam perjalanannya, pemerintah Orde Baru justru lebih menekankan pentingnya swasembada beras, yang kini telanjur menjadi konsumsi pangan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Kebijakan atau program secara langsung ataupun tidak langsung yang terkait dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah, melalui berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan sadar pangan dan gizi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, Program Diversifikasi Konsumsi Pangan dan Gizi oleh Departemen Pertanian (1993 - 1998) dan lain – lain. Dari sisi kelembagaan, tahun 1989 pada Kabinet Pembangunan VI dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan “Aku Cinta Makanan Indonesia” (ACMI). Pada tahun 1996 telah lahir Undang – Undang nomor 7 tentang Pangan, Tahun 2001, pada era kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin langsung oleh presiden.3 Dalam perwujudan ketahanan pangan pada umumnya dan diversifikasi konsumsi pangan pada khususnya juga dituangkan dalam 2 Lassa, J. A., Memahami Kebijakan Pangan Dan Nutrisi Indonesia, Journal Of NTT Studies, 2009, hal. 28.
3
Ibid., hal. 41 ‐ 43
3
Undang – Undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) melalui program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini mempunyai salah satu tujuan yaitu menjamin peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih beragam.4 Namun, hingga kini keinginan untuk menekan konsumsi beras melalui diversifikasi konsumsi pangan tampaknya belum juga berhasil. Secara umum upaya penganekaragaman konsumsi pangan sangat penting untuk dilaksanakan secara massal, mengingat trend permintaan terhadap beras kian meningkat seiring dengan derasnya pertumbuhan penduduk. Adanya efek pemberian beras bagi keluarga miskin (Raskin) juga ikut mendorong masyarakat menjadikan beras sebagai ‘primadona’ dalam hal konsumsi pokok sehari – hari, serta belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber pangan pokok bagi masyarakat setempat menjadi salah satu faktor penunjang yang tidak dapat disepelekan. Kekhawatiran krisis pangan di masa yang akan datang karena ketergantungan masyarakat indonesia terhadap beras sebagai konsumsi pangan tunggal dapat diibaratkan seperti bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja. Untuk menjawab persoalan tersebut, pemerintah mencanangkan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang merupakan implementasi dari rencana strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang salah satunya ialah mengenai peningkatan diversifikasi pangan, yang merupakan salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan 4 Krisnamurthi, Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 tahun dan tantangan ke depan, Jurnal Ekonomi Rakyat, 2003, Hal. 5.
4
Presiden RI pada tahun 2009-2014, dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik wilayah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut kini menjadi acuan untuk mendorong upaya penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat melalui basis kearifan lokal serta kerja sama terintegerasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Ronald P Cantrell5 mengatakan bahwa stabilitas masa depan Indonesia terletak pada kemampuannya untuk menjamin ketahanan pangan dan keberhasilan pembangunan masyarakat pedesaannya. Pendapat ini menunjukkan bahwa kunci ketahanan pangan nasional sesungguhnya terletak di pedesaan dan ukurannya tidak harus difokuskan hanya pada beras padi. Oleh karena itu, perlu dipikirkan bagaimana menjabarkan ketahanan pangan ke dalam diversifikasi pangan yang dimulai dari desa. Pengertian diversifikasi disini bersifat vertikal di samping horizontal, artinya bukan saja mengkonsumsi komiditi non beras (horizontal) tetapi juga mendiversifikasikan produk satu komoditi (vertikal) misalnya dari padi menjadi tepung, bihun, kue, dan lain-lain. Menurut draft pedoman pelaksanaan P2KP yang dirilis oleh Kementrian Pertanian, mekanisme program P2KP diimplementasikan melalui berbagai 5 Samhadi, Kompas, 24 Februari 2007, hal. 7.
5
kegiatan, yaitu: (1) Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), (2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L), serta (3) Sosialisasi dan Promosi P2KP.6 Melalui tiga kegiatan besar ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat untuk membentuk pola konsumsi pangan yang baik. Disamping itu perlu dijalin kerja sama kemitraan dengan pihak swasta yang antara lain bisa berupa Corporate Social Responsibility (CSR) atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) baik di bidang pangan maupun bidang lainnya seperti pendidikan, dengan sosialisasi baik kepada anak usia dini maupun ke kelompok wanita, sehingga tercipta masyarakat dalam konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman. Kebijakan P2KP menarik dikaji terutama yang berkaitan dengan proses implementasinya, karena setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, hingga kini program P2KP dianggap belum berhasil mencapai tujuannya untuk menekan konsumsi beras dan menciptakan ketahanan pangan yang stabil. Penelitian
ini
kemudian
diarahkan
untuk
mendeskripsikan
dan
menjelaskan permasalahan yang terjadi pada tahap implementasi kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP), khususnya di Desa Wonokerto Kabupaten Sleman. Studi ini setidaknya akan mendapatkan temuan yang relevan dan konstruktif bagi dunia pertanian, khususnya bidang ketahanan pangan. Pada tataran yang lebih luas, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan telaah secara riil tentang sebuah produk politik di bidang ketahanan 6 DPPK Kabupaten Sleman, Pedoman Umum Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Kabupaten Sleman, 2013, hal. 2.
6
pangan yang bernama Program P2KP. Demikian gagasan dasar dilakukannya penelitian ini.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan beberapa kondisi dan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini, yaitu: Bagaimana implementasi kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) dalam rangka memperkuat ketahanan pangan pada tingkat lokal di Desa Wonokerto Kabupaten Sleman?
3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Mengetauhi pelaksanaan implementasi kebijakan program P2KP di Desa Wonokerto menurut juklak dan juknis. 2. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program P2KP di Desa Wonokerto, baik faktor yang mendukung maupun faktor yang menghambat sehingga menggambarkan dinamika P2KP pada dimensi lokal.
7
4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan ketahanan pangan disamping bagi penulis sendiri, sebagai berikut: 1. Bagi peneliti, penelitian ini akan menjadi referensi keilmuan dan langkah awal untuk mengkaji suatu konsep tentang implementasi kebijakan, dalam hal ini kebijakan P2KP dan implikasinya terhadap masalah ketahanan pangan khususnya di Desa Wonokerto Kabupaten Sleman. 2. Bagi Pemerintah Daerah, penelitian ini dapat memberi input atau kontribusi yang berharga bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam mengevaluasi dan menelaah pelaksanaan program P2KP sebagai upaya meningkakan ketahanan pangan di daerah. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini akan membuka cakrawala masyarakat luas, khsusnya masyarakat Desa Wonokerto tentang pelaksanaan program P2KP secara lebih dalam. Melalui penelitian ini masyarakat menjadi familiar dengan berbagai persoalan yang muncul dalam implementasi program P2KP khususnya di Desa Wonokerto, Kabupaten Sleman.
5. Kerangka Teori A. Kebijakan Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
8
kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.7 Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternatif yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternatif yang bermuara kepada keputusan tentang alternatif terbaik.8
B. Kebijakan Publik Pada dasarnya banyak para ahli yang memberikan definisi tentang kebijakan publik. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara di sisi lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya juga akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan. Para ahli yang memberikan definisi mengenai kebijakan publik antara lain9: 1) Robert Eyestone, mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai
hubungan
suatu
unit
pemerintah
dengan
lingkungannya; 7 Budi Winarno, Kebijakan Publik, Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo, 2002, hal. 14 ‐ 15. 8 Harbani Pasolong,Teori Administrasi Publik, Jakarta: Alfabeta, 2008, hal. 38.
9
Budi Winarno, Op.Cit. hal. 15 – 16.
9
2) Thomas R. Dye, mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan; 3) Richard Rose, menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri; 4) Carl Friedrich, memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu,
kesempatan-kesempatan
yang
memberikan
terhadap
hambatan-hambatan
kebijakan
yang
diusulkan
dan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu; Bagi Philip J. Cooper, kebijakan publik sebagai pilihan otoritatif yang dibuat demi kepintingan masyarakat. Dengan sendirinya, kebijakan publik hanya dapat dikeluarkan oleh pemerintah, tidak oleh badan lain, walaupun kebijakan tersebut mungkin diambil atas desakan pihak lain diluar pemerintah. Aspek paling vital dalam kebijakan publik adalah pembuat keputusan. Kebijakakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah mempunyai hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik sebelum ditetapkan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah. Lembagalembaga pemerintah merupakan pola - pola perilaku yang tersusun dari individu – individu dan kelompok – kelompok. Pola – pola perilaku individu dan kelompok yang stabil mungkin mempengaruhi substansi kebijaksanaan publik. Pola – pola
10
ini mungkin memberikan manfaat kepada kepentingan – kepentingan tertentu dalam masyarakat dan tidak memberikan manfaat kepada kepentingan – kepentingan lain. Penyelenggaraan kebijakan P2KP dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah, tokoh masyarakat dan masyarakat. Oleh karena itu, sangat mungkin terdapat masalah – masalah yang menghambat implementasi kebijakan P2KP disebabkan adanya kepentingan – kepentingan yang berbeda dari lembaga pelaksana. Kepentingan itu berasal dari pola perilaku individu – individu dan kelompok – kelompok yang ada dalam lembaga tersebut.
C. Implementasi Kebijakan Implementasi secara politik adalah implementasi yang perlu dipaksakan secara politik karena walupun ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi. Tahap implementasi terjadi hanya setelah keputusan hukum ditetapkan dan dana disediakan. Implementasi kebijakan tidak hanya bersangkut paut dengan mekanisme operasional kebijakan ke dalam prosedur – prosedur birokrasi, melainkan juga terkait dengan masalah konflik keputusan dan bagaimana suatu kebijakan tersebut diperoleh kelompok – kelompok sasaran.10 Studi implementasi kebijakan atau analisis implemetasi kebijakan memfokuskan diri pada aktivitas – aktivitas atau kegiatan yang dilaksanakan untuk menjalankan keputusan kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut Udoji (1981) dalam Wahab, implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting,
10 Riant Nugroho, Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012, hal. 32.
11
bahkan mungkin jauh lebih penting dibandingkan proses pembuatan kebijakan, karena suatu kebijakan hanya sekedar susunan peraturan yang sempurna dan hanya tersimpan rapi dalam arsip apabila tidak diimplementasikan.11 Implementasi kebijakan adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program. Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah jembatan yang menghubungkan antara tindakan – tindakan dengan tujuan yang ingin dicapai dari suatu kebijakan. Seperti yang dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky, implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut.12 Sedangkan Van Meter dan Carl Horn, Dalam ”The Policy Implementation Process” di dalam Jurnal Administration and Society, Vol. 5 no. 4 tahun 1975, mendefinisikan implementasi sebagai : ” ... policy implementation encompasses those action by public and privat individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in the prior policy decisions. This includes both one-tome efforts to transform decision into operational terms, as well as contuining efforts to achieve the large and small changes mandated by policy decisions” (Van Meter & Van Horn; 1975:447).
Implementasi kebijakan dibatasi sebagai tindakan – tindakan yang dilakukan oleh individu – individu (atau kelompok - kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan – keputusan kebijakan sebelumnya. Dengan demikian
11 S.A. Wahab, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hal.21. 12 C. Jones, Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: Rajawali Press, 1999, hal. 295‐296)
12
perlu ditekankan bahwa tahap implementasi tidak akan dimulai sebelum tujuan – tujuan dan sasaran sasaran ditetapkan oleh keputusan. Eugene Bardach dalam bukunya yang berjudul The Implementation Game : What happen after a bill become a Law?, berpendapat bahwa proses politik dalam suatu policy tidak berhenti hanya pada saat penyusunannya, tapi juga sampai pada tahap implementasi. Berbagai trik politik berlangsung saat sebuah kebijakan dijalankan, sehingga seringkali tujuan utama dari kebijakan tersebut justru tidak tercapai. Menurutnya sebuah implementasi adalah suatu permainan tawar-menawar, persuasi, dan manuver di dalam kondisi ketidak-pastian oleh orang - orang dan kelompok - kelompok guna memaksimalkan kekuasaan dan pengaruh mereka. Hal ini terjadi karena kontrol rasional organisasi tidak dapat berjalan dengan sendirinya pada kebijakan yang dijalankan oleh berbagai aktor dan institusi, atau dengan kata lain, proses implementasi itu sudah dengan sendirinya berpotensi memunculkan konflik kepentingan dan kekuasaan diantara para aktor pelaksananya. Permainan yang demikian tentu bisa berakibat tidak sehat bagi implementasi sebuah kebijakan. Dalam rangka implementasi kebijakan P2KP, pelaksana atau implementor harus tunduk kepada instruksi – instruksi legal yang dibuat oleh pembuat kebijakan. Maka dari itu sebelum melaksanakan proses implementasi, pelaksana harus mengetahui dan memahami apa yang harus mereka lakukan. Karena itu menurut Jones (1977) ditegaskan bahwa implementasi mengatur kegiatan – kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. Kegiatan utama yang paling penting dalam
13
implementasi, yaitu meliputi: 1) Penafsiran, merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan. 2) Organisasi, sebagai unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan. 3) Penerapan, berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain – lainnya.13 Jones menjelaskan dari sudut institusional, organisasi bisa dilihat dari aktor atau badan – badan dalam implementasi program dengan memfokuskan diri pada peranan birokrasi sebagai lembaga pelaksana primer. Penafsiran terhadap rencana kebijakan ke dalam proses implementasi hanya dilakukan oleh organisasi pemerintah dan pihak – pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan program kebijakan. Suatu program kebijakan akan berhasil bila penafsiran oleh badan – badan eksekutif, birokrat dan beberapa pihak lain yang terlibat apa adanya. Patton dan Savicky membedakan kegagalan implementasi kebijakan ke dalam dua jenis; pertama, kegagalan program (program failure), yaitu kegagalan yang disebabkan kebijakan tidak dapat diimplementasikan. Kedua, kegagalan teori (theory failure), yaitu jika kebijakan dapat dilaksanakan tetapi tidak menghasilkan manfaat yang dikehendaki.14 Sedangkan menurut Winter (1990) terdapat empat variabel kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu: (1) proses formasi kebijakan, (2) perilaku organisasi pelaku implementasi, (3) perilaku pelaksana di tingkat bawah
13 14
C. Jones. Op. Cit. hal. 18. Riant Nugroho, Op. Cit, hal. 84.
14
(street-level bureucrats), (4) respons kelompok target kebijakan dan perubahan dalam masyarakat.15 Sementara itu, Cheema dan Rondinelli, mengatakan bahwa untuk analisa implementasi program – program pemerintah yang bersifat desentralisasi, ada empat kelompok variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program,16 yaitu: a. Kondisi lingkungan b. Hubungan antar organisasi c. Sumberdaya orgnaisasi untuk implementasi program; dan d. Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana Keempat faktor ini dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kondisi lingkungan meliputi: tipe sistem politik, struktur pembuatan kebijakan, karakteristik struktur, politik lokal, kendala sumberdaya, sosio kultural, derajat keterlibatan para penerima program, dan tersedianya infrastruktur yang cukup. Kedua, hubungan antar organisasi, meliputi unsur kejelasan dan konsistensi program, pembangunan fungsi antar instansi yang pantas, standarisasi prosedur perencanaan, anggaran, implementasi dan evaluasi, ketepatan, konsistensi, dan kualitas komunikasi antar instansi, dan efektivitas jejaring untuk mendukung program.
15
Ibid., hal. 85‐86.
16
A. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 100.
15
Ketiga, sumberdaya organisasi, meliputi unsur: kontrol terhadap sumber dana, keseimbangan antara pembagian anggaran dan kegiatan program, ketepatan alokasi anggaran, pendapatan yang cukup untuk pengeluaran, dukungan pemimpin politk pusat, dukungan pemimpin politik lokal, dan komitmen birokrasi. Terakhir, keempat, karakteristik dan kapabilitas instansi pelaksana, meliputi: keterampilan teknis; manajerial dan politis petugas; kemampuan untuk mengkoordinasi; mengontrol dan mengintegrasikan keputusan; dukungan dan sumberdaya politik instansi; sifat komunikasi internal; hubungan yang baik antara instansi dengan pihak di luar pemerintah, kualitas pemimpin instansi yang bersangkutan; komitmen petugas terhadap program, dan kedudukan instansi dalam hierarki sistem administrasi.17 Menurut Grindle18 ada dua hal yang mempengaruhi keberhasilan implementasi dalam proses politik dan administrasi, yaitu contens of policy dan contexs of policy. Adapun dimaksud content of policy yaitu kepentingan yang dipengaruhi (interest affected), tipe manfaat (type of benefits), derajat perubahan yang diharapkan, letak pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumber daya yang dilibatkan. Sedangkan yang dimaksud contexs of policy yaitu kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap. Jika kebanyakan tokoh diatas lebih fokus terhadap implementor dalam mengukur keberhasilan proses implementasi, lain halnya dengan Mazmanian dan
17 Ibid., hal. 101 ‐ 102. 18 S. Wibawa, Studi Implementasi Kebijakan. Yogyakarta: Laporan penelitian pada jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM, tidak diterbitkan, 1992, hal. 26.
16
Sabatier melihat masyarakat sebagai objek kebijakan mempunyai peran penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan diimplementasikan. Dalam teorinya, dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni:19
1. Karakteristik dari Masalah (tractability of the problems) 2. Karakteristik Kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation) 3. Variabel Lingkungan (non statutory variables affecting implementation)
Masing – masing model implementasi tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti yang diungkapkan Patton dan Savicky bahwa tidak ada satu model terbaik atau model tunggal untuk melakukan melakukan studi implementasi. Pada dasarnya faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan tergantung pada jenis kebijakan itu sendiri. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Ingram, dimana analisis implementasi kebijakan bergantung pada jenis kebijakannya.20 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Mazmanian dan Sabtier, dimana implementasi kebijakan diklasifikasikan ke dalam tiga variabel,21 yaitu:
19
A. Subarsono. Op. Cit, hal. 87.
20
Riant Nugroho, Op. Cit, hal. 85
21
Ibid., hal. 91 ‐ 92.
17
a.
Variabel independen: yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
b.
Variabel
intervening:
yaitu
variabel
kemampuan
kebijakan
untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan. c.
Variabel dependen: yaitu variabel - variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Pengelompokan ke dalam tiga variabel diatas dilakukan dengan
pertimbangan yang disesuasikan dengan objek diteliti, yaitu kebijakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi
Pangan
(P2KP).
Untuk
lebih
jelasnya,
implementasi kebijakan yang dilihat sebagai suatu proses politik dan administrasi dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini
18
Gambar 1. Model Implementasi Menurut Mazmanian & Sabtier Variabel Independen: 1. Tingkat kesulitan masalah teknis yang ada 2. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran 3. Prosentase kelompok sasaran terhadap total populasi 4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan
Variabel Intervening: 1. Kejelasan atau konsistensi tujuan 2. Teori kausal yang memadai 3. Sumber keuangan yang mencukupi 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Dikresi pelaksana 6. Tingkat komitmen implementor 7. Akses-formal pelaksana ke organisasi lain
Variabel Dependen: 1. Kondisi sosial, ekonomi dan teknologi 2. Dukungan publik 3. Sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama 4. Dukungan kewenangan 5. Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana
Tahap – tahap dalam proses imple mentasi Output kebijakan dari badanbadan pelaksana
Kepatuhan kelompok sasaran terhadap output ke bijakan
Dampak nyata output kebijakan
Dampak ouput kebijakan sebagaimana dipersepsi
Perbaikan mendasar dalam UU
(Sumber: Subarsono, 2005:95)
Implementasi kebijakan dengan mengikuti gambar di atas, adalah model yang sesuai untuk menganalisis implementasi kebijakan P2KP. Hal ini disebabkan dalam implementasi kebijakan P2KP melibatkan beberapa organisasi pelaksana yang memiliki kepentingan cukup beragam dan sifat kebijakan ini yang begitu dekat dengan kelompok sasarannya, yaitu masyarakat. Sehingga untuk menjelaskan konteks politik dan administrasi dalam mencapai keberhasilan implementasi kebijakan program P2KP, maka penggunaan teori Mazmanian dan Sabtier dinilai tepat untuk mengkaji faktor – faktor yang berpengaruh dalam
19
mempermudah dan menghambat implementasi kebijakan program P2KP. Berikut penjelesannya. 1.
Variabel Independen (mudah tidaknya masalah dikendalikan) Terlepasnya dari kenyataan bahwa banyak sekali kesukarankesukaran
yang
dijumpai
dalam
implementasi
program-program
pemerintah, sebenarnya ada sejumlah masalah-masalah sosial yang jauh lebih mudah untuk ditangani bila dibandingkan dengan masalah lainnya. Aspek-aspek teknis dari permasalahan serta perilaku yang akan diatur sangat bervariasi sehingga ini menjadi kendala dalam implementasi program. Hal-hal yang dapat mempengaruhi program dari sudut pandang ini adalah: a.
Tingkat kesulitan masalah teknis yang ada Tercapai atau tidaknya tujuan suatu program akan tergantung pada sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya kemampuan untuk mengembangkan indicator - indikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta pemahaman mengenahi prinsip-prinsip hubungan kausal yang mempengaruhi masalah. Contahnya adalah kebijakan penyeragaman kurikulum sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia yang lalu dalam pelaksanaannya hampir dikatakan tidak banyak menemuhi hambatanhambatan teknis sehingga tujuan-tujuan formal dari kebijakan tersebut dapat direalisasikan dengan relatif mudah. Sementara itu kebijakan pengendalian atau pelestarian lingkungan hidup berjalan tersendat-sendat karena kesukaran-kesukaran dalam memonitor secara teratur kadar pencemaran
20
lingkungan, luasnya wilayah yang harus dicakup dalam program, masih rendahnya kesadaran para pelaku, relatif mahalnya peralatan yang digunakan dan masih rendahnya pengetahuan teknis para pejabat di daerah mengenahi masalah yang ditangani. Setiap program jelas akan menyangkut masalah biaya yang biasanya dikumpulkan dari wajib pajak serta dari kelompok-kelompok sasaran. Biaya yang dipikul tidak sebanding dengan tindakan-tindakan perbaikan terhadap masalah yang sedang dihadapi, maka dukungan politik terhadap program tersebut kemungkinan akan mengalami penurunan yang menimbulkan perubahan tujuan formalnya. Adanya teknologi yang canggih yang menjadi syarat dapat dilaksanakannya suatu program baru mungkin akan menimbulkan desakan-desakan keras berbagai pihak untuk menunda sementara waktu maksud pencapaian tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan hingga diperoleh kepastian bahwa telah tersedia sarana atau teknologi yang dapat menjamin efektifitas pencapaian tujuan tersebut. b.
Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran Hal ini menyangkut kelompok sasaran dari pembuatan suatu kebijakan atau dapat dikatakan masyarakat setempat yang dapat bersifat homogeni ataupun heterogen. Kondisi masyarakat yang homogen tentunya akan
lebih
memudahkan
suatu
program
ataupun
kebijakan
diimplementasikan, sementara itu dengan kondisi masyarkat yang lebih heterogen akan lebih menyulitkan ataupun mendapat lebih banyak tantangan dalam pengimplementasiaannya.
21
c.
Prosentase kelompok sasaran terhadap total populasi Dalam artian bahwa suatu program atau kebijakan akan lebih mudah diimplementasikan ketika sasarannya hanyalah sekelompok orang tertentu atau hanya sebagian kecil dari semua populasi yang ada ketimbang kelompok sasarannya menyangkut seluruh populasi itu sendiri. Semakin kecil dan semakinjelas yang perilakunya akan diubah, maka semakin besar pula peluang untuk memobilisasikan dukungan politik terhadap program dan dengan demikian akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan.
d.
Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki Jumlah modifikasi perilaku yang diinginkan bagi tercapainya tujuan formal adalah fungsi dari jumlah total orang yang menjadi kelompok sasaran dan jumlah perubahan yang dituntut dari mereka. Semakin besar perubahan perilaku yang dikehendaki, semaikin sulit memperoleh implementasi yang berhasil. Sebuah kebijakan atau program akan lebih mudah diimplementasikan ketika program tersebut lebih bersifat kognitif dan memberikan pengetahuan. Sementara itu, program yang bersifat merubah sikap atau perilaku masyarakat cenderung cukup sulit untuk diimplementasikan seperti perda larangan merokok ditempat umum, pemakaian kondom dan Keluarga Berencana, dan lain-lain.
2. Variabel Intervening (Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi)
22
Pada prinsipnya perintah eksekutif untuk dapat mensetrukturkan proses implementasi dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang akan dicapainya dengan cara melakukan seleksi terhadap lembaga-lembaga yang tepat untuk mengimplementasikannya, dengan cara memberikan kewenangan dan dukungan sumber-sumber finansial pada lembaga-lembaga tersebut. Para pembuat kebijakan dapat memainkan peran yang cukup berarti
dalam
rangka
pencapaian
tujuan
kebijakan
dengan
cara
mendayagunakan wewenang yang mereka miliki untuk menstrukturkan proses implementasi secara tepat.
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan
Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan dengan cermat dan disusun secara jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman yang konkrit bagi para pejabat-pejabat pelaksana dan sebagai sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri. Tujuan yang jelas dapat pula berperan selaku sumber-sumber bagi para aktor yang terlibat, baik yang ada didalam lembaga maupun yang ada diluar lembaga. Semakin baik suatu peraturan memberikan petunjuk-petunjuk yang cermat dan disusun menurut urutan kepentingannya bagi para pejabat pelaksana dan aktor-aktor lainnya, semakin besar pula kemungkinan bahwa output kebijakan dari badan-badan pelaksana dan pada gilirannya perilaku kelompok-kelompok sasaran akan sejalan dengan petunjuk-petunjuk tersebut.
23
b. Teori kausal yang memadai Setiap usaha pembaharuan sosial setidaknya secara implisit memuat teori kausal tertentu yang menjelaskan bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan itu akan tercapai. Dalam kaitan ini harus diakui bahwa salah satu kontribusi penting dari analisis implementasi ini adalah perhatiannya pada teori yang menyeluruh mengenahi bagaimana cara mencapai perubahan-perubahan yang dikehendaki. Hubungan yang baik suatu teori kausal mensyaratkan bahwa hubungan-hubungan timbal balik antara campur tangan pemerintah disatu pihak, dan tercapainya tujuantujuan program dapat dipahami dengan jelas.
c. Sumber keuangan yang mencukupi
Dana tak dapat disangkal merupakan salah satu faktor penentu dalam program pelayanan masyarakat apapun. Dalam program-program regulatif dana juga diperlukan untuk menggaji atau menyewa tenaga dan untuk memungkinkan dilakukannya analisis teknis yang diperlukan untuk membuat peraturan atau regulasi tersebut. Secara umum tersedianya dana amat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal.
d. Intergrasi organisasi pelaksana
Beberapa ahli menyatakan bahwa kesukaran-kesukaran untuk mewujudkan tindakan yang terkoordinasi dilingkungan badan atau instansi tertentu dan diantara sejumlah besar badan-badan lain yang telibat. Masalah
24
koordinasi ini makin runyam jika menyangkut peraturan pemerintah pusat, yang dalam pelaksanaannya seringkali amat tergantung pada pemerintah daerah. Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hirarki badan-badan pelaksana.
e. Direksi pelaksana
Badan pelaksana atau implementor sebuah kebijakan harus diberikan kejelasan aturan serta konsistensi agar tidak terjadi kerancuan yang
menyebabkan
kegagalan
pengimplementasian.
Selain
dapat
memberikan kejelasan konsistensi tujuan, memperkecil hambatan, dan intensif yang memadahi bagi kepatuhan kelompok-kelompok sasaran, suatu undang-undang
masih
dapat
mempengaruhi
lebih
lanjut
proses
implementasi dengan cara menggariskan secara formal aturan-aturan pembuatan keputusan dari badan-badan pelaksana.
f. Tingkat komitmen implementor terhadap tujuan kebijakan
Pada prinsipnya ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh pembuat undang-undang atau peraturan untuk menjamin bahwa para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang diisyaratkan demi tercapainya tujuan. Tanggungjawab untuk implemetasi dapat ditugaskan pada badan-badan yang orentasi kebijakannya sejalan dengan peraturan dan bersedia menempatkan program pada prioritas utama.
25
g. Akses formal pihak-pihak luar
Faktor lain yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan ialah sejauh mana peluang-peluang untuk berpartisipasi terbuka bagi aktor-aktor diluar badan-badan pelaksana mempengaruhi pendukung tujuan. Aktor-aktor diluar badan pelaksana yang mau dan mampu berpartisispasi untuk mendukung program dapat mempengaruhi tercapainya tujuan.
3. Variabel independen (Diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi)
Variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan sasaran kelompok sasaran, dukungan kewenangan dan komitmen pejabat pelaksana.
a. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi
Perbedaan waktu dan wilayah hukum pemerintahan dalam hal kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan teknologi berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu peraturan. Pertama, perbedaan-perbedaan kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi persepsi mengenahi kadar pentingnya masalah yang akan ditanggulangi. Kalau pada waktu yang sama masih ada masalah lain yang harus ditanggulangi maka
26
kemungkinan untuk memperoleh sumberdaya menjadi sulit. Kedua, kenberhasilan implementasi mungkin akan lebih sulit dicapai mengingat perbedaan-perbedaan kondisi sosio-ekonomi setempat. Perbedaan ini menimbulkan desakan-desakan untuk membuat aturan-aturan yang luwes dan yang memberikan kelaluasaan untuk melakukan tindakan-tindakan administrasi tertentu pada satuan-satuan organisasi lokal. Artinya bahwa tercapainya tujuan tergantung kepada tingkat dukungan lokal terhadap peraturan tersebut. Ketiga, dukungan terhadap peraturan yang dimaksud melindungi lingkungan berkorelasi dengan sumber-sumber keuangan dari kelompok sasaran dan kelompok lain yang memiliki posisi strategis dalam sektor ekonomi secara keseluruhan.
b. Dukungan publik
Hakikatnya perhatian publik yang bersifat sesaat dalam siklus tertentu dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan tertentu. Karena untuk dapat mencapai hasil implementasi kebijakan setiap program membutuhkan adanya dukungan dari instansi-instansi atasan baik dalam alokasi anggaran maupun perlindungan dari aktor yang tidak mendukung kebijakan.
c.
Sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama
Kelompok-kelompok masyarakat dapat mempegaruhi proses implementasi kebijakan baik yang sifatnya mendukung program maupun yang menentang program. Kelompok-kelompok masyarakat berinteraksi
27
dengan variabel lain melalui sejumlah cara. Yaitu; Pertama, keanggotaan sumber-sumber keuangan mereka cenderung berbeda-beda sesuai dengan dukungan publik bagi posisi mereka dan lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki oleh tujuan peraturan. Kedua, kelompok-kelompok masyarakat dapat secara langsung mempengaruhi keputusan-keputusan badan-badan pelaksana melalui pemberian komentar atas keputusan-keputusan yang bersangkutan dan melalui sumbangan mereka berupa sumber-sumber yang diberikan.
Ketiga,
kelompok-kelompok
tersebut
mungkin
mampu
mempengaruhi kebijakan secara tidak lansung yaitu melalui publikasi hasil penelitian yang kritis mengenahi prestasi kerja badan tersebut atau melaluipengumpulan pendapat umum.
d.
Dukungan kewenangan
Lembaga-lembaga atasan dari badan-badan pelaksana dapat memberikan dukungan terhadap tujuan-tujuan undang-undang melalui jumlah dan arah pengawasan, penyediaan sumber-sumber keuangan, banyaknya tugas-tugas yang baru saling bertentangan dengan tugas yang lama.
e.
Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana
Variabel yang paling berpengaruh langsung terhadap output kebijakan badan-badan pelaksana ialah kesepakatan para pejabat badan pelaksana terhadap upaya mewujudkan tujuan undang-undang. Dimana
28
sedikitnya dua komponen yaitu arah dan ranking tujuan-tujuan tersebut dalam skala prioitas pejabat-pejabat tersebut dan kemampuan pejabatpejabat dalam mewujudkan prioritas-prioritas tersebut.
6. Kerangka Berpikir Ketahanan pangan merupakan salah satu permasalahan yang cukup krusial, mengingat isu pangan sendiri memiliki keterkaitan erat dengan kestabilan satu bangsa. Kebijakan atau program secara langsung ataupun tidak langsung yang terkait dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah, melalui berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan sadar pangan dan gizi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, Program Diversifikasi Konsumsi Pangan dan Gizi oleh Departemen Pertanian (1993 - 1998) dan Program Percepatan Penganekaragaan Konsumsi Pangan (P2KP). Ironisnya, pada tingkat lokal pun belum dapat dirasakan dampak positif dari kebijakan – kebijakan yang berkenaan dengan masalah ketahanan pangan tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh instansi yang bertugas menjalankan program tersebut kurang serius dalam tahap implementasinya, sehingga program P2KP yang dicanangkan pemerintah tidak mampu dirasakan oleh masyarakat yang sesungguhnya memiliki potensi sangat baik dalam hal diversifikasi konsumsi pangan. Berdasarkan masalah yang diperoleh dari observasi awal dan wawancara serta landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka
29
pemikiran yang menjadi acuan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teori implementasi kebijakan publik untuk mengetauhi bagaimana upaya Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabuaten Sleman dalam mengatasi masalah ketahanan pangan melalui program P2KP dengan mengkaji dari beberapa dimensi yang
mempengaruhi
proses
implementasi
kebijakan
berdasarkan
teori
implementasi menurut Mazmanian dan Sabtier yaitu:
Gambar 2. Kerngka Berpikir Proram Percepatan Peganekaragaman Konsumsi Pangan Identifikasi Masalah: 1. Masih tertanamnya pola pikir yang kuno pada masyarakat setempat, yang menjadikan beras sebagai satu-satunya konsumsi pokok 2. Masyarakat lokal cenderung tertutup oleh masuknya pengetauan atau budaya baru terkait konsumi pangan, karena kurangnya inforasi yang berkenaan dengan hal tersebut. 3. Sarana dan prasarana yang kurang memadai di Desa Wonokerto untuk menciptakan pengenakaragaman konsumi pangan yang baik. 4. Pemerintah, dalam hal ini instansi yaang bertugas menjalankan Program P2KP, belum cukup serius dalam menggalakan program ini. (Sumber: Peneliti,2013) Implementasi Kebijakan Menurut Teori Mazmanian dan Sabtier: 1. Variabel Independen (Karakteristik masalah) 2. Variabel Intervening (Karakteristik kebijakan) 3. Variabel Dependen (Lingkungan kebijakan) (Subarsono, 2010:94)
Tingkat konusmsi beras menurun dan tercipta ketahanan pangan yang ideal
30
7.
Definisi Konsep dan Operasional
A. Definisi Konseptual Konsep merupakan generalisais dari sekelompok fenomena abstrak yang secara empirik dapat memberikan arahan pada variabel penelitian. Konsep – konsep ysng dioperasionalkan dalam penelitian ini meliputi : a. Kebijakan P2KP adalah keputusan yang dibuat oleh negara atau pemerintah untuk kepentingan masyarakat luas (public goods), dalam rangka menciptakan ketahanan pangan. b. Implementasi kebijakan P2KP adalah wujud dan juga upaya pemerintah dalam merealisasikan kebijakan tersebut dengan segala keputusan atau kesepakatan yang telah diambil sebelumnya dalam bidang pertanian. c. Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), yaitu salah satu bentuk kebijakan pemerintah bidang pertanian, khususnya ketahanan pangan, yang mendukung masyarakat desa untuk melakukan kegiatan – kegiatan penganekaragaman konsumi pangan.
B. Definisi Operasional Berdasarkan definisi konseptual di atas, maka untuk menyelaraskan konsep dengan pelaksanaan penelitian, maka perlu dibuat definisi operasional yang digunakan sebagai alat ukur atau indikator penelitian di lapangan. Sesuai dengan topik penelitian ini, yaitu implementasi Program P2KP dalam rangka mendukung kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan (DKP), maka
31
terdapat tiga variabel yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan P2KP Di Desa Wonokerto Kabupaten Sleman, yaitu : a. Variabel independen: yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. b. Variabel
intervening:
yaitu
variabel
kemampuan
kebijakan
untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan. c. Variabel dependen: yaitu variabel - variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
8. Metodologi Penelitian A. Metode Penelitian Berdasarkan gambaran permasalahan yang diuraikan pada bagian sebelumnya maka penelitian ini dirancang dengan metode Penelitian Kualitatif. Penelitian kualitatif lebih memberikan penekanan pada upaya untuk menjawab makna yang ada di balik realitas dan terungkap lewat data yang terkumpul.22
22 J.W. Creswell., Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qulitative Research. New Jersey: Pretince Hall, 2008, hal. 42.
32
Metode penelitian ini terfokus pada kualitatif studi kasus (case study), menurut Creswell23 metode studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan terhadap suatu “kesatuan sistem”. Dalam suatu kasus, dapat terdiri atas satu unit atau lebih dari satu unit, tetapi merupakan satu kesatuan. Misalnya kasus dapat satu orang, satu komunitas, satu desa, beberapa desa tetapi dalam satu kantor Pemerintahan, dan sebagainya.
B. Instrumen Penelitian Pada metode penelitian kualitatif, peneliti sebagai instrumen utama. Menurut Nasution24 peneliti adalah key instrument atau alat penelitian utama. Oleh karena itu instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Peneiti sendiri yang mengadakan pengamatan atau wawancara tak berstruktur dengan menggunakan buku catatan, tape recorder, kamera dan lainnya. Peneliti sebagai instrumen dapat memahami instrumen antar manusia, membaca gerak muka, serta mengetauhi makna yang terkandung dalam ucapan atau perbatan informan.
C. Lokasi Penelitian dan Unit Analisa Penelitian ini dilakukan di dua instansi yang terkait dengan penelitian ini yaitu, Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman dan Kantor Pemerintahan Desa Wonokerto. Alasan pemilihan instansi tersebut sebagai site
23
Ibid., hal. 44.
24 A. Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif: dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Yogyakarta: Ar‐Ruzz Media, 2011, hal. 43.
33
penelitian karena melihat Yogyakarta sebagai salah satu propinsi yang fokus terhadap permasalahan ketahanan pangan dan telah berkomitmen untuk menciptakan ketahanan pangan yang baik dan cukup. Kabupaten Sleman dengan kekayaan sumber daya alamnya, memiliki potensi besar untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui diversifikasi pangan tingkat lokal. Keseriusan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam meningkatkan kualitas konsumsi pangan di tingkat lokal di dukung oleh ditetapkannya 12 Kelompok Wanita Tani (KWT) dari berbagai desa di kabupaten Sleman sebagai penerima manfaat P2KP melalui KWT Muda Jaya sebagai masyarakat desa yang diberdayakan untuk menunjang program P2KP di Desa Wonokerto. Oleh karena itu peneliti mengangkat Desa Wonokerto di Kabupaten Sleman sebagai site penelitian. Untuk meneliti tentang Implementasi program P2KP, maka yang menjadi unit analisis dalam penelitiannya, antara lain: 1) Individu, yaitu masyarakat Desa Wonokerto serta birokrat daerah yang tugasnya bersentuhan dengan pengelolaaan program P2KP tersebut. Antara lain yakni panitia kecamatan, panitia desa, BKPP tingkat kabupaten dan provinsi 2) Perundang – undangan, yaitu beberapa Undang – undang, Peraturan Pemerintah, Keppres, Peraturan Menteri Pertanian, dan Perda yang berkaitan dengan pengaturan kebijakan tersebut.
34
D. Jenis Data Jenis data yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah data primer yang langsung dari informan di lapangan dan data sekunder yang bersumber dari dokumen dokumen baik lembaga pemerintah maupun swasta. Rincian tentang jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini, sebagaimana berikut: a. Data Primer, dalam penelitian ini, yaitu hasil wawancara dengan masyarakat dan berbagai pihak yang berkompeten untuk memberikan informasi dalam kajian ini termasuk tokoh masyarakat, akademisi dan pejabat terkait. b. Data sekunder, yang akan menjadi data sekunder dalam penelitian ini adalah laporan, hasil pembahasan, opini dan petunjk teknis kegiatan tersebut. Data sekunder yang dimaksud bersumber dari berbagai institusi, antara lain: 1) Juknis dari pemerintah, melalui Departemen Pertanian. 2) Perda Propinsi melalui Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Daerah Istimewa Yogyakarta. 3) Pedoman Umum P2KP dari Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (DPPK) Kabupaten Sleman. 4) Laporan dari kecamatan dan kepala desa, serta lembaga lain yang memuat kegiatan penyaluran dana dan permasalahan yang muncul
35
E. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka memperoleh data dan informasi yang memadai, maka peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data, sebagai berikut: a. Observasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung dan membuat catatan yang sistematis terhadap kegiatan P2KP. Kemudian, dilihat juga bagaimana reaksi masyarakat terhadap implementasi program tersebut. Pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperanserta (partisipan) dan cara tidak berperanserta (non-partisipan). Pada pengamatan tanpa peran serta, pengamat hanya melakukan satu fungsi yaitu mengadakan pengamatan saja. Sedangkan pengamat berperan serta melakukan dua peranan sekaligus yaitu sebagai pengamat dan sekaigus menjadi anggota resmi kelompok yang diamati.25 Pada penelitian ini peneliti melakukan observasi non-partisipan karena dalam penelitian ini tidak terlibat untuk membantu pekerjaan Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman
dalam
menangani permasalahan ketahanan pangan seta tidak
teribat dalam kegiatan penyuuhan program P2KP. Agar observasi ini mencapai hasil yang maksimal, digunakan alat penelitian, berupa catatan – catatan, menyiakan alat elektronik seperti camera digital, recorder, dengan memusatkan
perhatian
pada
data
–
data
yang
relevan,
dan
mengklasifikasikan gejala dalam kelompok yang tepat.
25 J.L. Moeloeng. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Hal. 176.
36
b. Wawancara, yaitu mengadakan wawancara dengan berbagai pihak terkait kegiatan P2KP. Para pihak di sini tidak hanya pemberi tetapi juga penerima dan masyarakat. Harapannya hasil wawacara ini dapat melengkapi dan menguji kebenaran data lainnya. Jenis wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara terpimpin. Tujuan wawancara ini jelas adalah agar pertanyaan yang diajukan menjadi sistematis sehingga mudah diolah kembali, dan dianalisis secara kualitatif, dan kesimpulan yang diperoleh lebih reliable. Pada penelitian ini, peneliti telah menyusun pedoman wawancara mengenai hal – hal yang nantinya aka ditanyakan kepada para informan untuk
mendapatka
informasi
yang
akurat.
Proses
penyusunannya
disesuaikan pada dimensi keberhasilan implementasi kebijakan dengan menggunakan teori Mazmanaian dan Sabtier yang dimensinya terdiri dari karateristik kebijakan, masalah dan lingkungan kebijakan. Adapun pedoman wawancara yang telah disusun yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Pedoman Wawancara Dimensi
Kisi-kisi Pertanyaan
Karakteristik masalah
a) Kesulitan teknis dalam penerapan prograrm P2KP b) Keragaman perilaku masyarakat dalam menyikapi permasalahan penganekaraga man konsumsi pangan c) Target kelompok sasaran yang menjadi tujuan utama untuk
Informan -
-
Pegawai bidang ketahanan pangan Aparat pe merintah desa Masyarakat desa Wonokerto
37
d)
Karakeristik kebijakan
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Lingkungan kebijakan
a)
b)
c)
d)
melaksanakan suatu kebijakan Ruang lingkup perubahan perilaku masyarakat yang diharapkan - Pegawai Tujuan kebijakan dalam bidang ketahanan penganekaragaman pangan konsumsi pangan - Aparat pe Sumber daya yang merintah desa dibutuhka dalam - Masyarakat mengimplementasikan desa kebijakan Wonokerto Koordinasi bidang ketahanan pangan dalam mengimplementasikan kebijakan Aturan-aturan keputusan yang dibuat implementor Lembaga pemerintah yang terkait dengan implementasi kebijakan Akses kelompok luar untuk berpartisipasi dalam impleme ntasi kebijakan Kondisi sosial, - Pegawai ekonomi masyarakat bidang dan kemajuan ketahanan teknologi. pangan Dukungan masyarakat - Aparat pe terhadap sebuah merintah desa kebijakan - Masyarakat Sikap dan sumber desa yang dimiliki Wonokerto masyarakat dalam mempegaruhi suatu kebijakan Komitmen dan keterampilan para implementor (Sumber, Peneliti 2013)
38
Pedoman wawancara ini disusun sesuai dengan fokus penelitian dengan berdasarkan apa yang nantinya akan peneliti kaji dan temukan saat di lapangan, kemudian akan diolah dan dikembangkan sesuai degan data yang diperoleh dan menjadi suatu rangkaian informasi yang dinarasikan dalam bentuk deskriptif, sehingga menjadi suatu hasil penelitian yang paten dapat dipertanggungjawabkan kredibiltas datanya. c. Dokumentasi, yaitu upaya – upaya untuk mendapatkan data sekunder dari dokumen – dokumen yang memuat data dan informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan P2KP. Dokumen – dokumen yang dimaksud berupa buku – buku, laporan penelitian terkait, berita dan artikel dalam media cetak. Di samping itu, dokumen internet dalam bentuk berita dan artikel merupakan pilihan yang sangat penting mengingat kualitas datanya.
F. Penentuan informan Narsumber atau informan adalah orang yang bisa memberikan informasi – informasi utama yang dibutuhkan dalam suatu penelitian. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk me mberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar (lokasi atau tempat) penelitian. Adapun teknik yang digunakan untuk menentukan informan dalam penelitian kualitatif ini dijelaskan oleh Sugiyono (2011), yaitu dengan peneliti memasuki situasi sosial tersebut. 26
26
Ibid., hal. 132.
39
Pada penelitian ini, penentuan informan yang menjadi sumber data dilakukan dengan teknik purposive,yaitu dipilih dengan petimbangan dan tujuan tertentu yang
memahami fokus penelitian. Pada penelitian ini, penentuan
informan dibagi menjadi dua yaitu key informan dan secondary informan. Key informan sebagai informan utama yang lebih mengetaui situasi fokus penelitian dan secondary informan sebagai informan penunjang dalam
memberikan
penambahan informasi. Pada penelitian ini, peneliti memilih informan yaitu informan di bidang ketahanan pangan, aparat pemerintah desa, anggota KWT Muda Jaya dan
masyarakat Desa Wonokerto. Adapun Tabel instrumennya
sebagai berikut: Tabel 2. Daftar Informan No
Informan
Keterangan
1.
Pegawai bidang ketahanan pangan
Key informant
2.
Aparat pemerintah desa
Secondary informant
3.
Anggota KWT Muda Jaya
Secondary informant
Masyarakat Desa
Secondary informant
4.
40
G. Teknik Analisa Data Setelah keseluruhan data yang diperlukan terkumpul, guna menjawab rumusan permasalahan, maka data tersebut perlu dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif. Adapun langkah – langkah yang akan ditempuh sebagai berikut: a. Reduksi data, yaitu memilih dan memilah data mentah yang masih beragam untuk dikelompokkan dalam pokok – pokok persoalan sesuai fokus penelitian. Tujuannya agar data yang sama segera terkelompok pada bagian yang relevan dan mudah ditelusur bilamana diperlukan. b. Display data, yaitu penampilan data sistematis yang sudah diolah. Data – data yang display dapat berupa table, matriks, chart atau grafik dan lain sebagainya. Dengan demikian, peneliti dapat mempelajari data dengan mudah. c. Penarikan kesimpulan, yaitu tahap pengambilan keputusan atas pertanyaan penelitian. Data – data yang telah disusun sedemikian rupa dikaitkan dengan pola, model, hubungan sebab akibat dan persamaan dengan pendapat lain akan muncul kesimpulan dari apa yang telah diteliti. Seandainya kesimpulan tersebut yang dihasilkan masih menyasikan keraguan dan ketidakjelasan, maka akan diadakan verifikasi dengan mencari data – data baru yang relevan.
41
Tabel 3. SiklusTeknik Analisis Data Menurut Miles dan Huberman
Data display
Data colection
Data reduction Conclusion, drawing & reviewing
(Sumber: Bungin, 2005:69)
9. Sistematika Penulisan Pembahasan dalam penelitian ini akan disajikan dalam 5 (lima) bab, masing – masing dengan sub – sub bab sebagai berikut: Bab I, merupakan bab pendahuluan. Bab ini memuat dan menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konseptual dan operasional, metode penelitian (meliputi: jenis penelitian, lokasi penelitian dan unit analisis data, jenis data, teknik data dan teknik analisa data), serta sistematika penulisan. Bab II, merupakan bab yang menguraikan tentang desain program P2KP, terdiri dari subbab, yaitu, desain kebijakan P2KP (meliputi: tujuan, sasaran dan indikator keluaran program P2KP), mekanisme pelaksaan P2KP, operasionalisasi desain program P2KP di desa Wonokerto Kabupaten Sleman. Pada bab ini juga diberikan gambaran umum terkait lokasi penelitian.
42
Bab III, merupakan bab yang menguraikan tentang analisis lingkungan yang menpengaruhi implementasi kebijakan program P2KP, meliputi; kondisi sosial, ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama, dukungan kewenangan, serta komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana. Pada bab ini penulis juga memaparkan interpretasikan hasil penelitiannya. Bab IV, menguraikan tentang karateristik masalah kebijakan P2KP, meliputi tingkat kesulitan masalah teknis yang ada, tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran, Prosentase kelompok sasaran terhadap total populasi, dan derajat perubahan perilaku yang diharapkan. Bab ini juga menguraikan karakteristik kebijakan P2KP, yang meliputi kejelasan atau konsistensi tujuan, teori kausal yang memadai, sumber keuangan yang mencukupi, integrasi organisasi pelaksana, dikresi pelaksana, tingkat komitmen implementor dan aksesformal pelaksana ke organisasi lain. Bab V, merupakan bab penutup. Bab ini akan menguraikan secara singkat tentang kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian serta analisis pada bab sebelumnya.