1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Manusia beraktifitas,
bermasyarakat, dan dalam melangsungkan kehidupannya memerlukan tanah, yang hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada baik di permukaan, di dalam tubuh bumi, maupun di atas permukaan bumi. Demikian besar keberadaan tanah bagi kehidupan, sehingga tanah menjadi bagian dasar dari kebutuhan manusia. Tanah juga merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis dan nilai sosial yang tinggi. Tanah tidak dapat diproduksi ataupun diperbaharui seperti sumber daya alam yang lain yang dapat tergantikan. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di satu sisi dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan kebutuhannya akan tanah disisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang yang antara lain disebabkan karena perbedaan dalam akses modal.1 Undang-Undang no 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)
menyebutkan “Semua hak atas tanah
1
Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, cet. I, Margaretha Pustaka, hal.245.
2
mempunyai fungsi sosial”2. Pasal ini menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak boleh semata-mata dipergunakan untuk pribadinya, pemakaian
atau tidak dipakainya tanah yang menyebabkan kerugian bagi
masyarakat. Dengan demikian, tidak dibenarkan bahwa seorang pemilik tanah membiarkan tanahnya terlantar sedangkan orang lain menderita kelaparan karena tidak memiliki tanah untuk menghasilkan bahan makanan. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara.3 Mengingat kenyataan bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka pengaturan penguasaan tanah dipandang sangat penting, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa tanah dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Hubungan hukum antara negara dengan tanah, yang dalam UUD NRI Tahun 1945 dirumuskan dengan istilah “dikuasai” itu, ditegaskan sifatnya sebagai hubungan hukum publik oleh UUPA yang tercantum dalam Pasal 2.
2
Lihat Penjelasan Pasal 6 UUPA 1960. Boedi Harsono, 2010, Hukum Agraria Indonesia , cet. X, Djambatan, Jakarta, hal. 577. 3
3
Pasal 2 UUPA menyebutkan rincian kewenangan hak menguasai dari negara berupa kegiatan4: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang orang dengan bumi, air dan ruang angkasa 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA, maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA bahwa kepada perseorangan atau badan hukum diberikan beberapa macam hak atas tanah. Konsekuensi pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki orang-orang atau badan hukum, maka negara berkewajiban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, sehingga setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak tersebut dapat mempertahankan haknya. Hak-hak atas tanah yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, adalah: hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak tersebut dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara yang akan ditetapkan sementara, dimaksudkan 4
Ibid., hal. 232.
4
untuk memberikan hak atas tanah berdasarkan peruntukannya dan subjek yang memohon hak atas tanah tersebut. Berkaitan dengan hak sewa yang diuraikan secara khusus dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa “Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan pembangunan, dengan membayar sejumlah uang sebagai sewanya.” Dalam penjelasan Pasal 44 UUPA disebutkan bahwa oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat khusus maka disebut tersendiri. Hak pakai yang intinya adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah milik orang lain selama jangka waktu tertentu. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) pada buku II mengatur tentang kebendaan (kecuali mengenai tanah). Benda diantaranya dibedakan ke dalam benda bergerak dan benda tidak bergerak. Setiap benda dapat diberikan hak status keperdataan (hak kebendaan). Hak kebendaan adalah hak yang melekat pada kebendaan tersebut ke mana pun kebendaan tersebut beralih, pemegang hak memiliki hak atas kebendaan tersebut.5 Ada beberapa jenis hak keperdataan yang dapat dibebankan atas benda yaitu hak milik, hak sewa, hak pakai, hak gadai, hak tanggungan dan lain sebagainya.
5
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingakat Herlien Budiono I), hal. 229.
5
Dalam kegiatan ekonomi, bentuk hak-hak atas tanah dituangkan dalam bentuk praktek ekonomi atau kegiatan bisnis, dalam arti kata tanah dapat diperoleh dengan mengadakan perjanjian.6 KUHPerdata
mengenal berbagai perjanjian,7 beberapa
contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain seperti: jual-beli, sewa- menyewa, tukar menukar, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Perjanjian tersebut mengikat para pihak secara hukum, untuk pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum.8 Salah satu cara mendapatkan hak atas tanah adalah dengan melakukan perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menentukan, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang”. 6
Dalam tulisan ini, penulis mempersamakan istilah perjanjian dan kontrak. Ada 14 jenis perjanjian antara lain : a. Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian cuma-cuma; c. Perjanjian atas beban; d. Perjanjian bernama; f. Perjanjian obligatoir; g. Perjanjian kebendaan; h. Perjanjian konsensual; i. Perjanjian riil; j. Perjanjian liberatori; k. Perjanjian pembuktian; m. Perjanjian untung-untungan; n. Perjanjian publik; o. Perjanjian campuran. Mariam Darus Badrulzaman, dkk,2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66. 8 I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar, hal. 27. 7
6
Perikatan bersumber perjanjian dapat dibagi atas perjanjian pada umumnya dan perjanjian-perjanjian khusus.9 Perjanjian khusus, diantaranya adalah perjanjian sewamenyewa. Berdasarkan Pasal 1548 KUHPerdata, “Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.” Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah : 1. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa, 2. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak. 3. Adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang baik barang bergerak maupun tidak bergerak 4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut 5. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu. Sebagai suatu perjanjian, sewa-menyewa harus mengikuti kaidah-kaidah hukum perjanjian. Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 9
Djaja S. Meliala, 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia, Bandung, hal.1.
7
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. Syarat sahnya suatu perjanjian yang kesatu (sepakat mereka yang mengikatkan dirinya) dan syarat kedua (cakap untuk membuat suatu perjanjian) disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum yaitu orang-orang atau pihak-pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga (objek atau suatu hal tertentu) dan syarat keempat (sebab atau causa yang halal) disebut sebagai objektif, karena menyangkut objek hukum yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subjek hukum yang membuat perjanjian tersebut.10 Dalam perjanjian terdapat tiga unsur penting, yaitu11 : a. Unsur esensialia Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur pokok tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. Pada perjanjian sewamenyewa unsur esensialianya adalah barang yang disewakan, harga sewa dan waktu sewa.
10
Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,
hal.110. 11
I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal. 35.
8
b. Unsur naturalia Unsur naturalia adalah unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya. Misalnya dalam perjanjian tersebut tidak diatur menyangkut cacat tersembunyi, maka berlakulah ketentuan mengenai cacat tersembunyi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1504 KUHPerdata. c. Unsur aksidentalia Unsur aksidentalia adalah suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa mana menjadi unsur aksidentalia mengikat para pihak. Para pihak yang telah mengikatkan diri pada apa yang dinyatakan dalam perjanjian, juga mengikatkan diri terhadap segala ketentuan perundang - undangan, kepatutan, dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Sehingga faktor yang menentukan isi perjanjian adalah kehendak para pihak sebagai faktor primer serta faktor-faktor lain meliputi: kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
9
Perjanjian sewa-menyewa ini merupakan persetujuan konsensual yang bebas bentuknya. Boleh diperbuat dengan persetujuan lisan atau tertulis.12 Jika sewamenyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum apabila waktu yang
ditentukan
sudah
habis
tanpa
memerlukan
suatu
pemberitahuan
pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat hanya secara lisan, pihak yang menyewakan berhak untuk menghentikan sewa itu setiap saat, sepanjang ia (pihak yang menyewakan) diperlukan
memberitahukan
mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang pengakhiran
sewa-menyewa
menurut
kebiasaan
setempat. Berakhirnya sewa-menyewa, menurut ketentuan Pasal 1570 KUHPerdata, yang ditentukakan secara tertulis berakhir dengan sendirinya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan para pihak. Sehingga
apabila lama sewa-menyewa
sudah ditentukan dalam persetujuan secara tertulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan. Berbeda dengan ketentuan Pasal 1571 KUHPerdata yang ditentukan tanpa tertulis, perjanjian seperti ini tidak berakhir tepat pada waktu yang diperjanjikan. Perjanjian tersebut berakhir setelah adanya “pemberitahuan” dari salah
satu
pihak
tentang
kehendak
mengakhiri
sewa-menyewa,
dengan
memperhatikan jangka waktu yang layak menurut kebiasaan setempat.13 Suatu perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUHPerdata harus memiliki batas waktu tertentu. Batas waktu merupakan unsur yang esensial dalam 12
M.Yahya Harahap, 1986, Segi -Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,
hal. 222. 13
Ibid., hal.228.
10
suatu perjanjian sewa-menyewa. Terpenuhinya unsur esensial dalam suatu perjanjian menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji ketentuan hukum positif tertulis (perundang-undangan) dan ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto). Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto) itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan perjanjian.14 Peristiwa kongkret dalam penelitian ini adalah perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak menetapkan batas waktu dan putusan pengadilan atas penyelesaian perkara perjanjian tersebut. Dalam hal ini akan dilakukan pengujian apakah perundang-undangan dan ketentuan perjanjian telah diterapkan dengan baik dalam perjanjian sewa-menyewa tanah dan dalam putusan pengadilan. Apakah perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu dan putusan pengadilan atas perkara tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan perundang-undangan dan ketentuan perjanjian. Sengketa kasus sewa-menyewa berawal dari suatu perjanjian yang dibuat di bawah tangan. Perjanjian tersebut mengenai urusan penggunaan tanah selamalamanya atau dalam waktu tidak terbatas, dibuat di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar pada tahun 1971 (seribu sembilan ratus tujuh puluh satu). Disebutkan dalam perjanjian tanah seluas 30 (tiga puluh) are dengan harga sewa Rp. 14
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I), hal.53.
11
27.000 (dua puluh tujuh ribu rupiah) untuk jangka waktu selama-lamanya atau tidak terbatas. Sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tersebut. Orisinalitas Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran pada hasil-hasil penelitian, sepanjang yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian yang menyangkut masalah validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu dan cara pengakhiran perjanjian sewa menyewa tanah tanpa batas waktu tersebut. Adapun penelitian yang berkaitan dengan perjanjian sewa-menyewa yang pernah dilakukan adalah : Tesis dari Sri Hartati, NIM 06211038, alumni dari Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas, dengan judul tesis “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis tersebut adalah hukum apa yang telah digunakan oleh hakim dalam penyelesaian sengketa tentang sewa-menyewa tanpa batas waktu di Pengadilan Negeri Pariaman, dan apa pertimbangan hakim dalam menentukan hukum yang berlaku terhadap sengketa tentang perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu tersebut.15 15
Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman” Tesis Fakultas Hukum Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, http:// repository. unand.ac.id/id/eprint/556.
12
Tesis dari Rika Fitri, NIM 087011101, alumni dari Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa-menyewa Rumah Yang Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota Medan)”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis tersebut adalah bagaimanakah pengaturan klausul akta sewa-menyewa yang dibuat di hadapan notaris, bagaimana pengaturan mengenai pengosongan dalam akta sewa-menyewa rumah, dan perlindungan apakah yang diberikan dalam perjanjian sewa-menyewa terhadap penyewa dan yang menyewakan.16 Tesis dari Kelvina Sefialora, NIM 087011062, alumni dari Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis tersebut adalah apakah sewa-menyewa rumah dapat dilakukan jika objek sewa dijaminkan ke bank, bagaimana akibat hukum yang akan timbul terhadap penyewa rumah dalam masa sewa jika debitur wanprestasi terhadap kreditur (bank), dan bagaimana upaya penyelesaian dari akibat wanprestasi debitur terhadap kreditur (bank).17 16
Rika Fitri, 2010, “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa-menyewa Rumah Yang Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota Medan)” Tesis Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /25953 /4/ chapter %20I.pdf. 17 Kelvina Sefialora, 2010, “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank” Tesis Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/22266/6/chapter%20I.pdf.
13
Meskipun ada peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah perjanjian sewa menyewa tanpa batas waktu, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. 1.2
Rumusan Masalah : Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis membuat judul
Pengakhiran Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah validitas perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak mencantumkan batas waktu sewa-menyewa ? 2. Bagaimana cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak menetapkan batas waktu ? 1.3
Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan rumusan permasalahan dalam penelitian ini maka
dapat dikemukakan tujuan penelitian yang dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1.3.1
Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
khususnya di bidang hukum perjanjian yaitu untuk memecahkan permasalahan terkait dengan pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak menetapkan batas waktu.
14
1.3.2 Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yakni: a. Untuk mengetahui validitas perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak mencantumkan batas waktu. b. Untuk mengetahui cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak menetapkan batas waktu. 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga bermanfaat secara teoritis dan praktis. 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum perjanjian khususnya mengenai perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu. Penulis akan mengunggah hasil penelitian ini di internet sehingga dapat memberikan manfaat kepada khalayak umum yang berkepentingan. 1.4.2
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi para pihak
yaitu para peneliti, praktisi hukum dan masyarakat umum:
15
a. Memberikan masukan atau informasi bagi para pihak yang mengadakan perjanjian sewa-menyewa tanah dan mensosialisasikan hasil penelitian ini ke masyarakat umum. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti khususnya yang sedang memperdalam tentang perjanjian sewa-menyewa. c. Dapat bermanfaat bagi praktisi hukum dalam menangani perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu yang terjadi dalam praktek. 1.5
Landasan Teoritis dan Kerangka Konseptual
1.5.1
Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori hukum/teori
khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian selalu harus disertai pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa serta konstruksi data.18 1.5.1.1 Teori Hukum Teori hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori validitas hukum dan teori sama nilai.
18
Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan, 2011, Universitas Udayana, Denpasar, hal.52.
16
1.
Teori Validitas Hukum Teori validitas oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa “validitas adalah
eksistensi norma secara spesifik”. Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang mengansumsikan eksistensi norma tersebut dan mengansumsikan bahwa norma itu memiliki kekuatan mengikat (binding force) terhadap orang yang perilakunya diatur.19 Menurut Hans Kelsen, suatu aturan harus dalam keadaan valid terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat menjadi efektif. Setelah valid, dan diterapkan ternyata peraturan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat secara meluas dan/atau secara terus menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid.20 Memenuhi suatu kriteria tertentu adalah salah satu karakteristik dari validitas, dimana dalam konsep validitas tercakup juga pengertian kekuatan memaksa. Teori ini relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini. Teori Validitas dipakai untuk menganalisis permasalahan pertama yaitu bagaimana validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu. Suatu perjanjian sewa-menyewa
19
Asshiddqie Jimly dan Ali Safa’at,M., 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, cet.I,Konstitusi Pers, Jakarta, hal.36. 20 Munir Fuady, 2013, Teori-teori Besar dalam Hukum(Grand Theory), Cet.1, Prenada Media Group, Jakarta, hal.117.
17
dikatakan valid, apabila telah memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian sewamenyewa. 2.
Teori Sama Nilai Teori Perjanjian oleh Rescoe pound, menyatakan 4 teori mengenai
mengikatnya suatu perjanjian yaitu : teori hasrat, teori tawar menawar, teori sama nilai, dan teori kepercayaan merugi. Dalam buku An Introduction to the Philoshopy of law, Rescoue Pound menulis: Putting them in the order of their currency, we may call them (1) the will theory, (2) the bargain theory, (3) the equivalent theory, (4) the injurious-reliance theory. That is, promises are enforced as a giving effect to the will of those who agree, or to the extent that they are bargains or parts of bargains, or where an equivalent for them has been rendered, or where they have been relied on by the promisee to his injury, according to the theory chosen21 Ikatan dari suatu perjanjian dikuatkan oleh hukum karena perjanjian memberi akibat kepada hasrat mereka yang menyetujui, perjanjian itu diakui sampai kepada batas tawar menawar atau bagian dari tawar menawar, atau dimana satu equivalent bagi janji telah diberikan, atau apabila perjanjian dipercayai oleh pihak yang menerima janji atas kerugiannya sendiri, menurut teori yang dipilih.22 Dari ke empat teori diatas yang paling relevan dengan permasalahan adalah teori sama nilai. Teori ini mengajarkan bahwa suatu perjanjian baru mengikat jika para pihak dalam perjanjian tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent).
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320
KUHPerdata, bila dilihat pada teori ini, bahwa suatu perjanjian baru mengikat jika 21
Roscoe Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press, hal. 57. 22 Roscoe Pound, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Mohamad Radjab, Bhratara, Jakarta,(selanjutnya disebut Roscoe Pound II), hal.163.
18
para pihak memiliki hasrat atas janji tersebut, dan memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai. Teori sama nilai dipakai untuk menganalisis permasalahan kedua yaitu bagaimana cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu, karena teori ini dapat menjelaskan mengenai kekuatan mengikat perjanjian, yaitu suatu perjanjian baru mengikat bila para pihak dapat memberikan prestasi yang seimbang atau sama nilai. 5.1.1.2 Asas Asas Perjanjian Beberapa asas sebagai pendukung dari teori yang telah dipaparkan diatas adalah asas konsesualisme, asas kebebasan berperjanjian, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, asas proporsionalitas, dan asas kepatutan. 1.
Asas konsesualisme Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari
pihak-pihak. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas yang sangat esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas konsesualisme yang menentukan adanya perjanjian. Asas konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua atau lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus.23
23
Gunawan Widjaja,2007, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.263.
19
Dalam membuat perjanjian disyaratkan adanya konsensus, yaitu para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan.24 Setiap perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah tercapai sepakat mengenai prestasi atau hal pokok dari perjanjian tersebut. Asas konsensualisme sebagaimana terdapat pada Pasal 1320 ayat (1), menekankan adanya persesuaian kehendak (meeting of mind) sebagai inti dari hukum perjanjian. Asas konsensualisme merupakan roh dari suatu perjanjian, yang tersimpul dari kesepakata para pihak, namun pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya yang disebabkan adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi perjanjian. Cacat kehendak dalam KUHPerdata meliputi: a. Kesesatan atau dwaling. b. Penipuan atau bedrog. c. Paksaan atau dwang. Bila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka yang sebenarnya, maka hal ini akan mengancam eksistensi perjanjian itu sendiri. Sehingga pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku pada kata sepakat saja, tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 KUHPerdata dianggap telah terpenuhi sehingga perjanjian tersebut menjadi sah.
24
Muhammad Syaifudin, op.cit., hal.77.
20
Asas konsensualisme juga terkandung dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata memuat ketentuan yaitu perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat ditarik kembali (diputuskan) secara sepihak, selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Ini berarti bahwa jika satu pihak ingin memutuskan perjanjian, maka harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya. Jadi harus diperjanjikan lagi, baru perjanjian dapat diputus oleh salah satu pihak jika ada persetujuan dari pihak lainnya sebagai wujud dari adanya kesepakatan para pihak dalam pemutusan perjanjian tersebut. Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan, sehingga diantara para pihak itu timbul sengketa, dalam arti berbeda pendapat tentang hukum dan faktanya yang berkaitan dengan pemutusan perjanjian, maka sengketa tersebut diselesaikan oleh pengadilan negeri melalui prosedur hukum gugatan oleh salah satu diantara dua pihak yang bersengketa tersebut. Dengan demikian, asas konsensualisme ternyata tidak hanya harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, namun harus pula ada pada saat pemutusan perjanjian. 2.
Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di
dalam hukum perjanjian, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan perjanjiantual para pihak. Asas ini merupakan asas yang universal sifatnya, artinya artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.
21
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu.25 Menurut paham individualism setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak. Perjanjian, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. George Jessel, menyatakan “Perjanjian merupakan wujud kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).26 Perjanjian dibuat atas pilihan dan kemauan mereka sendiri, penyelesaian isi perjanjian dilakukan dengan kesepakatan bersama (mutual agreement).27 Hubungan bebas dan sukarela itu sah apabila terdapat kesepakatan yang wajar antara para pihak. Apabila kesepakatan dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan. Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka, yang artinya hukum memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya.28 Apa yang diatur dalam Buku III KUHPerdata hanya sekedar mengatur dan melengkapi. Berbeda dengan pengaturan Buku II KUHPerdata yang menganut 25
Agus Yudha Hernoko, 2011,Hukum Perjanjian; Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, hal.109. 26 Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-aspek Hukum Perdata ; Dalam Transaksi Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama,Bandung, hal.62. 27 Ibid. 28 Agus Yudha, loc. cit.
22
sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), di mana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku II KUHPerdata tersebut. Sistem terbuka pada Buku III KUHPerdata tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1). Menurut Sutan Remi Sjahdeini29 asas kebebasan berkontrak melingkupi ruang lingkup sebagai berikut : a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya. d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian. e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian. f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional ( aanvullend, optional) Asas kebebasan membuat perjanjian terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang memuat ketentuan-ketentuan normatif, sebagai berikut: 1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
29
Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Kebebasan Berperjanjian dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, PT.Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal.54.
23
2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 3. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam perjanjian memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataanya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang.30 Selain dibatasi oleh ketentuan normatif dalam Pasal 1338 KUHPerdata, kebabasan membuat perjanjian juga dibatasi oleh ketentuan limitatif dalam Pasal 1337 KUHPerdata, karena Pasal ini melarang perjanjian yang substansinya bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jadi setiap perjanjian yang disepakati tetap sah apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 ayat (1)
30
Agus Yudha, op.cit., hal.111.
24
KUHPerdata harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan yang lain, yaitu: 1). Pasal 1320 KUHPerdata, ketentuan yang mengatur mengenai syarat syahnya perjanjian. 2.) Pasal 1335 KUHPerdata, ketentuan yang melarang dibuatnya perjanjian tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan. 3.) Pasal 1337 KUHPerdata, menentukan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. 4.) Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang mengharuskan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 5.) Pasal 1339 KUHPerdata, yang mengikat perjanjian dengan sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. 6.) Pasal 1347 KUHPerdata, yang mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian. 3.
Asas kekuatan mengikat perjanjian (Pacta Sunt Servanda) Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda, yang terkandung dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku
25
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
menunjukkan bahwa
undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang.31 Menurut Herlien Budiono32, asas pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya. jika dipandang perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum. Perjanjian dianggap sebagai sumber hukum perikatan selain undang-undang , karena setiap perikatan lahir dari perjanjian atau undang-undang. Ini berarti bahwa setiap subjek hukum dapat membentuk hukum, dalam hal ini hukum perjanjian sebagaimana halnya pembentuk undang-undang. Para pihak yang membuat perjanjian secara mandiri mengatur pola hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Kekuatan perjanjian tersebut mempunyai daya berlaku seperti halnya undang-undang yang dibuat legislator dan karenanya harus ditaati oleh para pihak, bahkan jika dipandang perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum. Terdapat analogi tertentu antara perjanjian dengan undang-undang. Hingga batas tertentu para pihak yang berkontrak bertindak sebagai pembentukan undang 31
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.127. Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal.31. 32
26
undang. Adapun perbedaannya terkait dengan daya berlakunya, yaitu undang-undang dengan segala proses dan prosedurnya berlaku dan mengikat untuk semua orang dan bersifat abstrak. Sementara itu, perjanjian mempunyai daya berlaku terbatas pada para kontraktan (para pihak) yang bermaksud untuk melakukan perbuatan konkrit.33 Kekuatan mengikat perjanjian, terkait isi perjanjian atau prestasi, tidak hanya mengikat untuk hal-hal yag dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Hal ini terkandung dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Dalam pelaksanaanya diberikan penegasan untuk dipenuhinya syarat itikad baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. 4.
Asas itikad baik Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata yang berbunyi: ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Dalam praktek pelaksanaan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu perjanjian. Menurut teori klasik hukum perjanjian, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra perjanjian atau
33
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal.93.
27
tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat tertentu.34 Penerapan asas itikad baik dalam perjanjian bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama pada saat melakukan pra kontrak atau negoisasi, karena itikad baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau setelah negoisasi dilakukan. Suharnoko35 menyebutkan bahwa secara implisit Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra perjanjian dapat diminta pertanggung jawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari. Asas itikad baik menjadi salah satu instrumen hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum perjanjian itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. 5.
Asas Proporsionalitas Asas proporsionalitas merupakan asas yang melandasi atau mendasari
pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagian dalam seluruh 34
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT. Prenada Media, Jakarta, hal.5. 35 Ibid., hal.9.
28
proses kontraktual.36 Asas proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak seperti menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair. 6.
Asas Kepatutan Asas ini berkaitan dengan ketentuan dari isi perjanjian. Kepatutan melengkapi
keberlakuan keadilan. Duynstee memberikan definisi kepatutan sebagai kebajikan yang mendorong manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk berbuat secara rasional (menurut akal sehatnya).37 G.W. Paton menegaskan bahwa kepatutan dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak mengaturnya.38 Kepatutan sangat membertimbangkan aspek-aspek yang penting yang melingkupi suatu kasus, yaitu : itikad baik, maksud para pihak, situasi atau keadaankeadaan, dan lain-lain.39 Dalam hal ini hakim dituntut memperhitungkan situasi dan keadaan yang melingkupi mereka yang melakukan pelanggaran, dan pertimbangan kepatutan dapat mengarahkan hakim pada putusan yang seadil-adilnya berdasarkan kepatutan.
36
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.87. Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.66. 38 Agus Yudha Hernoko, loc.cit. 39 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.67. 37
29
5.1.2
Kerangka Konseptual Dalam penelitian hukum, adanya landasan teoritis dan kerangka konseptual
menjadi syarat yang sangat penting. Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang akan diteliti.40 Dalam kerangka konseptual diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah konsep perjanjian, konsep perikatan, konsep berakhirnya perjanjian, dan konsep pengakhiran perjanjian. Konsep-konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Perjanjian merupakan perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. b. Perikatan yaitu suatu hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan di antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi sedangkan pihak yang lain wajib melakukan suatu prestasi. c. Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah perjanjian yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang suatu hal. Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Sesuatu hal 40
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.25.
30
disini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, dan lain-lain.41 e. Pengakhiran perjanjian yaitu penghentian perjanjian
dikarenakan perjanjian
tersebut tidak menetapkan batas waktu. 1.6 1.6.1
Metode Penelitian Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris42. Penelitian ini mengkaji
pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan perjanjian secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang ditentukan43. Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum in concreto itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan perjanjian. Penelitian ini mengkaji implementasi ketentuan perundang-undangan dan perjanjian sewa-menyewa pada peristiwa hukum in concreto yaitu perjanjian sewamenyewa yang dibuat tanpa batas waktu dan putusan pengadilan atas perkara perjanjian tersebut. Tahap pertama penelitian untuk mengetahui bagaimana validitas perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu dengan menguji perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu tersebut dengan ketentuan dalam KUHPerdata 41
Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 163. 42 Bambang Sunggono,2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 42. 43 Abdulkadir Muhammad I, op.cit., hal. 53.
31
khususnya mengenai syarat sahnya perjanjian sewa-menyewa. Tahap kedua untuk mengetahui bagaimana perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu dapat diakhiri, apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sewa-menyewa tanpa batas waktu telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan ketentuan perjanjian. 1.6.2
Jenis Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.44 Dalam penelitian ini undangundang dan regulasi yang ditelaah antara lain: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang no 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria 3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang berkaitan yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 44
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.93.
32
Hal yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan hakim untuk sampai kepada suatu putusan.45 Pendekatan
ini
digunakan
untuk
menelaah
putusan
pengadilan
no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR, putusan no: 205/Pdt/2001/PT.DPS serta putusan Mahkamah Agung Nomor: 2312 K/Pdt/2002 untuk mengetahui pertimbangan hakim untuk sampai pada putusannya. c. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.46 1.6.3
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum yang digunakan antara lain: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (perjanjian, konpensi, dokumen hukum, dan putusan hakim).47 Bahan hukum yang diteliti dalam penelitian ini antara lain : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 45
Ibid., hal.119. Ibid., hal. 95. 47 Abdulkadir Muhammad I , op.cit., hal. 93. 46
33
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria 3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 4) Surat perjanjian bersama-kontrak 5) Putusan Pengadilan no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR 6) Putusan Pengadilan no. 205/Pdt/2001/PT.DPS 7) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2312 K/Pdt/2002 b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.48 Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain buku-buku ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum agraria, hukum perdata, hukum perikatan, hukum perjanjian, termasuk jurnal dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan perjanjian sewa-menyewa. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder49. Dalam penelitian ini digunakan kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia dalam rangka mencari definisi operasional.
48 49
Peter Mahmud Marzuki, op.cit.,hal.155. Abdulkadir Muhammad I, op.cit., hal. 93.
34
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi pustaka yang meliputi perundang-undangan, yurisprudensi, dan buku-buku literatur. Disamping studi pustaka juga studi dokumen
hukum
yang tidak dipublikasikan melalui
perpustakaan umum seperti dokumen perjanjian dan putusan pengadilan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier akan dikumpulkan berdasarkan metode sistematis. 1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan hukum 1.6.5.1Teknik Pengolahan Teknik pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teknik deskripsi, teknik sistematisasi, dan teknik argumentasi. a. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap sesuatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Dalam penelitian ini permasalahan akan dideskripsikan serinci mungkin sehingga tergambarkan kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum yang terkait dengan permasalahan ini. b. Teknik sistematis adalah berupaya mencari kaitan rumusan suatu konsep atau proposisi hukum yang berkaitan dengan permasalahan. c. Teknik argumentasi adalah pemberian alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
35
1.6.5.2 Analisis Bahan Hukum Bahan
hukum
yang
dikumpulkan
disusun
secara
sistematis
untuk
diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhannya. Selanjutnya bahan hukum yang telah disusun tersebut dianalisis secara kualitatif sesuai dengan permasalahan yang diteliti dengan menggunakan teknik deskripsi, teknik sistematisasi, dan teknik argumentasi kemudian disajikan dalam bentuk tesis. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. 1.7
Sistematika Penulisan Agar dapat diketahui dengan jelas kerangka dari penulisan tesis ini, maka
perlu dibuat sistematika penulisannya, dimana sistematika dari tesis ini terbagai atas lima (5) bagian yang disebut dengan bab, yang dimulai dari bab satu sampai dengan bab lima, masing-masing antara bab yang satu dengan bab yang lainnya saling berhubungan erat, dan sebagai gambaran mengenai sistematika penulisannya, adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN, pada bab ini berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika penulisan dari penelitian yang dilakukan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA, pada bab ini pustaka yang diperoleh dari bukubuku ilmu hukum serta peraturan perundang-undangan khususnya tinjauan
36
umum tentang perikatan, tinjauan umum tentang perjanjian, serta tinjauan umum tentang perjanjian sewa-menyewa. BAB III : VALIDITAS PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANAH TANPA BATAS WAKTU, pada bab ini dibahas mengenai validitas suatu perjanjian, validitas suatu perjanjian sewa-menyewa, serta hasil penelitian terhadap validitas suatu perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu. BAB IV : PENGAKHIRAN PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANAH TANPA BATAS WAKTU, pada bab ini dibahas mengenai cara berakhirnya suatu perjanjian, cara berakhirnya suatu perjanjian sewa-menyewa, serta hasil penelitian mengenai cara pengakhiran perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa
batas
waktu
no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR,
dalam
Putusan
Putusan
Pengadilan Pengadilan
Negeri Tinggi
no.205/Pdt/2001/PT.DPS serta Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2312 K/Pdt/2002 BAB V : SIMPULAN DAN SARAN, sebagai penutup dari penelitian dengan judul “Pengakhiran Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu”, maka pada bab ini akan dikemukakan mengenai simpulan dan saran-saran dari penelitian yang dilakukan yaitu pengujian validitas perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dan cara mengakhiri perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dalam putusan pengadilan.
37
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Umum Tentang Perikatan
2.1.1
Pengertian perikatan dan hubungannya dengan perjanjian Kata perikatan terdapat dalam Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan
bahwa perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang. Namun Pasal tersebut tidak memberikan definisi mengenai perikatan, karena KUHPerdata sendiri memang tidak memberikan definisi tentang perikatan. Berikut pendapat beberapa sarjana mengenai pengertian dari perikatan pada Pasal 1233 KUHPerdata: Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan yang berada di luar lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.50 Pengertian perikatan menurut Subekti51
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perhubungan yang dimaksud bahwa hak si berpiutang tersebut dijamin oleh hukum atau undangundang. Apabila tuntutan tidak dipenuhi oleh debitur atau si berutang secara sukarela, maka si berpiutang dapat menuntut haknya di depan hakim. 50
H.Mashudi dan Moch.Chidir Ali, 2000, Pengertian Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, hal.24. 51 Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet.XXIII, PT. Intermasa, Jakarta (selanjutnya disebut Subekti II), hal.1.
38
J. Satrio52 memberikan definisi yang sama mengenai perikatan yaitu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, disatu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban. Adapun dalam hal tidak terpenuhinya suatu prestasi perikatan dapat dilakukan dengan ganti rugi dalam sejumlah uang tertentu yang pemenuhannya dapat dituntut di depan hakim. Mariam Darus Badrulzaman53 menegaskan adanya 4 unsur penting dalam suatu perikatan yaitu: hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak dan prestasi, sehingga memberikan definisi perikatan sebagai hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Sehingga dapat disimpulkan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang mengadakan perjanjian dimana akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini menegaskan tentang kewajiban perdata, yaitu bahwa kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh para pihak, dimana para pihak disini adalah mereka yang terkait dalam perikatan, baik perikatan yang sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pihak-
52
J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, hal.5. 53 Mariam Darus Badrulzaman,dkk, op.cit., hal.1.
39
pihak dalam perikatan minimal terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban (debitur) dan pihak yang berhak atas pemenuhan prestasi (kreditur). Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa dengan perjanjian maka akan timbul perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, dimana sumber lain adalah undang-undang. Perjanjian demikian menurut doktrin dikenal sebagai perjanjian obligatoir atau perjanjian yang menimbulkan perikatan. 2.1.2 Pembagian perikatan Perikatan dapat dibagi menurut
sumber lahirnya perikatan, dan menurut
isi/prestasi perikatan. 1.
Pembagian perikatan menurut sumber lahirnya perikatan, dibagi menjadi dua,
yaitu54 : a. Perikatan yang bersumber dari perjanjian. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 ayat (1) KUHPerdata, dimana dengan membuat perjanjian, salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah dijanjikan; b. Perikatan yang bersumber dari undang-undang. Sumber perikatan, selain perjanjian adalah dari undang-undang. KUHPerdata membagi perikatan yang lahir dari undang-undang ini menjadi perikatan yang lahir karena undang 54
Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 46.
40
undang saja, dan perikatan yang lahir karena undang-undang yang disertai dengan perbuatan manusia. Untuk perikatan yang lahir dari undang-undang disertai dengan perbuatan manusia, terbagi atas perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan perbuatan yang diperbolehkan oleh undangundang; 2.
Pembagian menurut isi/prestasi perikatan: Pasal 1234 KUHPerdata membagi perikatan menurut isinya/prestasi
perikatannya ke dalam55 : a. Perikatan yang ditujukan untuk memberikan sesuatu; KUHPerdata tidak memberikan definisi dari perikatan untuk memberikan sesuatu, tetapi dari rumusan yang ditemukan dari Pasal 1235 KUHPerdata dapat kita ketahui bahwa yang dimaksudkan dengan perikatan untuk memberi sesuatu adalah perikatan yang mewajibkan debitur untuk menyerahkan suatu kebendaan. Pengertian kebendaan adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 499 KUHPerdata, yaitu setiap barang dan tiap hak yang dapat menjadi objek dari hak milik. Kebendaan ini selanjutnya dibedakan lagi ke dalam kebendaan bertubuh, tidak bertubuh, bergerak atau tidak bergerak.
55
Ibid., hal.50-53.
41
b. Perikatan untuk melakukan sesuatu; Perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu merupakan perikatan yang berhubungan dengan kewajiban debitur untuk melaksanakan pekerjaan atau jasa tertentu untuk kepentingan kreditur. c. Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu Dalam perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, kewajiban prestasinya bersifat pasif, yaitu tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung. 2.2
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
2.2.1 Pengertian dan pengaturan perjanjian Hukum Perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian, yaitu bagian umum yang memuat peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, dan bagian khusus yang memuat peraturan mengenai perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan telah memiliki nama-nama tertentu. Pengaturan secara khusus mengenai perjanjian diatur pada Buku III KUHPerdata, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351. Dalam sehari-hari istilah perjanjian disepadankan dengan istilah kontrak. Dalam penulisan ini istilah perjanjian disamakan dengan perjanjian berlandaskan pada KUHPerdata buku III titel kedua tentang “perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian atau kontrak”. Contract adalah: an agreement between two or more
42
persons which creates an obligation to do or no to do a particular thing.56 Unsurunsur esensial kontrak yaitu: component parties, subject matter, a legal consideration, and mutuality of obligation.57 Di dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan definisi mengenai perjanjian yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:58 1. suatu perbuatan; 2. antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang); 3. perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut. Kata “perbuatan” dalam rumusan di atas menjelaskan bahwa suatu perjanjian hanya mungkin tercapai bila ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Selanjutnya pengertian “antara sekurangnya dua orang” menunjukkan bahwa suatu perjanjian tidak mungkin dibuat sendiri. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihakpihak yang berjanji tersebut. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau 56
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., ST. Paul Minnesota, USA, hal.293. 57 Ibid. 58 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet.V, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.7.
43
prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut.59 Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana salah satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang. Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.60 Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai perjanjian: 1. Menurut Subekti Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.61 2. Menurut Wirjono Prodjodikoro Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
59
Gunawan Widjaja, op.cit., hal.285. Gunawan Widjaja, op.cit., hal.286. 61 Subekti II, loc.cit. 60
44
melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.62 3. Menurut KRMT Tirtodiningrat Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.63 4. Menurut Herlien Budiono Perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.64 Berdasarkan uraian pengertian perjanjian menurut beberapa para sarjana, maka dapat dipahami bahwa: pertama, perjanjian adalah perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang; kedua, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang konkrit dalam hubungan tersebut. 62
Wirjono Prodjodikoro, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. IX, CV. Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I), hal.4. 63 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.16. 64 Herlien Budiono II, op.cit., hal.3.
45
Pasal 1338 KUHPerdata mengatur mengenai akibat suatu perjanjian bagi para pihak, yaitu: a. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, b. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, c. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Agar kepentingan pihak lain terlindungi karena pada saat dibuat berdasarkan kepada kesepakatan antara kedua belah pihak, maka pada saat pembatalannnya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Pasal 1339 KUHPerdata menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutuan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah: a. isi perjanjian; b. kepatutan; c. kebiasaan; dan d. undang-undang.65
65
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, hal.79.
46
2.2.2 Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian Buku III KUHPerdata mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1. syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata: - sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; - kecakapan untuk membuat suatu perikatan; - suatu hal tertentu; - suatu sebab yang halal. 2. Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur diluar Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu Pasal 1335,Pasal 1339, dan Pasal 1347.66 2.2.3 Unsur-unsur dalam perjanjian Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam Perjanjian. Unsur-unsur tersebut diuraikan oleh Ahmadi Miru67 sebagai berikut : 1. Unsur esensialia, adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, karena jika tidak ada unsur ini maka perjanjian tidak ada; 2. Unsur naturalia, adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undangundang yang mengaturnya; 66
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal.110. Ahmadi Miru, 2007, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.31-32. 67
47
3. Unsur aksidentalia, adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-kalusul lainnya yang sering ditentukan dalam perjanjian, yang bukan merupakan unsur esensial dalam perjanjian. Sedangkan Herlien Budiono68 menggunakan istilah “bagian” dari perjanjian dan bukan unsur-unsur perjanjian. Pendapatnya terhadap bagian dari perjanjian tersebut adalah : 1. Bagian esensialia, adalah bagian dari perjanjian yang harus ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian (bernama) yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain. Kata sepakat merupakan bagian esensialia yang harus ada. Dalam perjanjian sewamenyewa bagian esensialianya adalah: - sepakat dari para pihak; - objek sewa; - jangka waktu sewa; dan - uang sewa. 2. Bagian naturalia, adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak, yang galibnya bersifat mengatur termuat di dalam ketentuan perundang-undangan untuk masing-masing perjanjian bernama. Ini berarti bahwa para pihak bebas untuk 68
Herlien Budiono II, op.cit., hal.67-72.
48
mengaturnya sendiri, bahkan karena ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa, bebas untuk menyimpanginya. Sebaliknya, jika para pihak tidak mengatur sendiri di dalam perjanjian, ketentuan perundang-undangan tentang perjanjian tersebut akan berlaku. Bagian naturalia dari perjanjian sewamenyewa adalah ketentuan-ketentuan, baik Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 maupun KUHPerdata yang sifatnya tidak memaksa. Contoh dari ketentuan yang bersifat mengatur yang merupakan bagian naturalia dari perjanjian sewa-menyewa adalah: perjanjian sewa-menyewa tidak putus dengan dijualnya objek sewa, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Jika ada perjanjian demikian, penyewa tidak berhak menuntut ganti rugi apabila tidak diperjanjikan dengan tegas (Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 jo. Pasal 1576 KUHPerdata). 3. Bagian aksidentalia, adalah bagian dari perjanjian berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya termin (jangka waktu) pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan barang. Contoh dari ketentuan aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah: - pilihan hukum dan pilihan domisili. - cara pembayaran uang sewa. - denda atas keterlambatan penyerahan kembali setelah sewa berakhir. - Pengaturan pembayaran rekening listrik, air, telepon, pajak bumi dan bangunan, iuran RT, dan asuransi.
49
Singkatnya bagian aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah bagian yang tidak termasuk, baik ke dalam bagian essentialia maupun naturalia dari perjanjian sewa-menyewa. 2.2.4 Jenis-jenis perjanjian Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:69 1. Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalkan perjanjian jual-beli. 2. Perjanjian cuma-cuma Perjanjian
dengan
cuma-cuma
adalah
perjanjian
yang
memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah. 3. Perjanjian atas beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 4. Perjanjian bernama Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi 69
Mariam Darus Badrulzaman,,dkk, op.cit., hal.66-69.
50
sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam bab V sampai dengan bab XVIII KUHPerdata. 5. Perjanjian tidak bernama Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, dalam mengadakan perjanjian. 6. Perjanjian obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. 7. Perjanjian kebendaan Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian jual
51
belinya
disebutkan
juga
perjanjian
jual
beli
sementara
(voorlopig
koocontract). Untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan. 8. Perjanjian konsensual Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUHPerdata). 9. Perjanjian riil Di dalam KUHPerdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. Perbedaan antara perjanjian konsensual dan riil ini adalah sisa dari hukum romawi yang untuk perjanjianperjanjian tertentu diambil alih oleh hukum Perdata kita. 10. Perjanjian liberatoir Perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding) yang diatur dalam Pasal 1438 KUHPerdata.
52
11. Perjanjian pembuktian Perjanjian di mana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. 12. Perjanjian untung-untungan Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi yang diatur dalam Pasal 1774 KUHPerdata. 13. Perjanjian publik Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama, misalnya perjanjian ikatan dinas. 14. Perjanjian campuran Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. 2.2.5 Asas-asas hukum perjanjian Asas-asas hukum perjanjian menurut fungsinya terdiri dari70:
asas-asas
hukum perjanjian yang membangun konstruksi hukum perjanjian, yaitu membangun fondasi bagi kontruksi hukum perjanjian yang kokoh, dan menempatkan kedudukan 70
Muhammad Syafuddin, op.cit., hal.76.
53
para pihak dalam hubungan-hubungan hukum kontraktual yang setara. Fungsi yang kedua, asas yang mengarahkan substansi hukum perjanjian,
yang fungsinya
mengarahkan para pihak
perjanjian, yang
mencakup
hak
dan
untuk menentukan sendiri substansi
kewajiban
mereka
dalam hubungan-hubungan
hukum
perjanjiantual yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selanjutnya, asas-asas hukum perjanjian tersebut adalah: 1. Asas-asas hukum perjanjian yang membangun konstruksi hukum perjanjian a. Asas konsensualisme b. Asas kebebasan berperjanjian c. Asas pacta sunt servanda d. Asas itikad baik e. Asas proporsionalitas f. Asas kepercayaan 2. Asas-asas hukum perjanjian yang mengarahkan substansi hukum perjanjian: a. Asas kepatutan b. Asas moral c. Asas kebiasaan d. Asas ganti kerugian e. Asas ketepatan waktu f. Asas keadaan memaksa
54
g. Asas pilihan hukum h. Asas penyelesaian sengketa 2.2.6
Sifat terbuka hukum perjanjian Hukum perjanjian menganut asas terbuka, dengan pengertian bahwa setiap
orang bebas untuk membuat perjanjian atau bersepakat tentang segala hal, dalam bentuk apa pun juga, dengan siapa saja mengenai suatu benda tertentu; selama dan sepanjang: 1. perjanjian atau kesepakatan tersebut berada dalam lapangan bidang hukum di mana mereka dimungkinkan untuk berjanji atau bersepakat; dan 2. tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, yang berlaku dalam masyarakat di mana kesepakatan atau perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan.71 Dengan dibuatnya perjanjian oleh para pihak tersebut yang hanya akan berlaku secara sah jika dipenuhi keempat unsur yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka berlakulah pula asas-asas umum hukum perjanjian yang berlaku bagi mereka tersebut. Yang menjadi catatan bahwa suatu perjanjian akan berlaku menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dimana memuat perikatan atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Sifat keterbukaan hukum perjanjian sangat terbatas hanya pada saat para pihak menyatakan kehendak mereka, yang berada dalam harta kekayaan. Pada saat itu para 71
Gunawan Widjaja, op.cit., hal.301.
55
pihak bebas untuk menentukan kehendak mereka. Setelah tercapai kesepakatan, mereka tidak lagi dalam lapangan hukum perjanjian, melainkan telah masuk dalam hukum perikatan yang menentukan mengenai kewajiban, prestasi yang harus dipenuhi. Jadi hukum perjanjian hanya bersifat terbuka sebatas pada saat pembentukan perjanjian berdasarkan kesepakatan bebas, mengenai suatu hal tertentu yang berada dalam lapangan harta kekayaan, tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Setelah perjanjian terbentuk, para pihak tidak lagi bebas untuk menentukan kehendaknya. Bahkan untuk membatalkannya, para pihak memerlukan bantuan hakim pengadilan. 2.2.7
Berakhirnya perjanjian Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah perjanjian
yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang sesuatu hal. Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.72 Dalam buku III KUHPerdata telah diatur tentang berakhimva perikatan. Berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Berakhirnya perikatan karena perjanjian dibagi menjadi tujuh macam, yaitu73 : (1) pembayaran; (2) novasi (pembaruan utang); 72 73
Salim H.S., op.cit., hal.163. Salim H.S., op.cit., hal.165.
56
(3) kompensasi; (4) konfusio (percampuran utang); (5) pembebasan utang; (6) kebatalan; dan (7) berlaku syarat batal. Di samping ketujuh cara tersebut, dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya perjanjian, yaitu: 1. jangka waktunya berakhir; 2. dilaksanakan objek perjanjian; 3. kesepakatan kedua belah pihak; 4. pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak; dan 5. adanya putusan pengadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berakhirnya perjanjian dapat digolongkan menjadi dua belas macam, yaitu: 1. pembayaran; 2. novasi (pembaruan utang); 3. kompensasi; 4. konfusio (percampuran utang); 5. pembebasan utang; 6. kebatalan; 7. berlaku syarat batal;
57
8. jangka waktu perjanjian telah berakhir; 9. dilaksanakan objek perjanjian; 10. kesepakatan kedua belah pihak; 11. pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak; dan 12. adanya putusan pengadilan.74 Menurut R Setiawan, hapusnya suatu perjanjian harus dibedakan dari hapusnya suatu perikatan, karena dengan hapusnya perikatan belum tentu menghapus adanya suatu perjanjian. Adanya kemungkinan perikatan telah hapus sedangkan perjanjian yang menjadi sumbernya masih tetap ada.75 Pada umumnya perjanjian akan hapus bila tujuan perjanjian telah tercapai, dan masing-masing pihak telah saling menunaikan kewajibannya atau prestasinya sebagaimana yang dikehendaki mereka bersama. Perjanjian dapat hapus karena: a. tujuan dari perjanjian telah tercapai dan masing-masing pihak telah memenuhi kewajibannya atau prestasinya. b. perjanjian hapus karena adanya putusan oleh hakim. c. salah satu pihak mengakhirinya dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan setempat terutama dalam hal jangka waktu pengakhiran. d. para pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian yang sedang berlangsung, misalnya dalam peristiwa tertentu perjanjian akan hapus seperti yang 74 75
hal.69.
Salim H.S., loc.cit. R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung,
58
disebutkan dalam Pasal 1603 ayat j KUHPerdata yang menyebutkan dengan meninggalnya salah satu pihak perjanjian akan hapus. e. perjanjian akan hapus apabila telah lewat waktu yang telah ditentukan bersama. f. perjanjian akan berakhir menurut batas waktu yang ditentukan undangundang.76 2.3
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Sewa-menyewa
2.3.1
Pengertian dan pengaturan perjanjian sewa-menyewa Salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah perjanjian
sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual yang bebas bentuknya. Boleh dibuat dengan persetujuan lisan atau tertulis. Objek persetujuan sewa-menyewa meliputi segala jenis benda, baik atas benda berwujud, tak berwujud, maupun benda bergerak dan tidak bergerak. Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata yang dimaksud dengan sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. 76
Ibid., hal. 70.
59
Definisi yang lain dari perjanjian sewa-menyewa diungkapkan oleh Subekti77 yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Menurut M.Yahya Harahap78, perjanjian sewamenyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Perjanjian sewa-menyewa adalah “penikmatan” atas suatu barang dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Penikmatan itu tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan yang dapat dikecap dari barang yang disewa, harus diperuntukkan bagi si penyewa. Pada dasarnya sewa-meyewa dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu juga karena barang yang disewakan dipindahtangankan. Disini berlaku asas bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.79 Dari uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah: a. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian 77
Subekti II, op.cit., hal 90. M.Yahya Harahap,op.cit., hal.220. 79 Salim H.S.,op.cit., hal.58-59. 78
60
b. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan) c. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat (pihak yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat ( pihak penyewa) d. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut e. Adanya jangka waktu. Di dalam KUHPerdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewamenyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian sewa-menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan.Dalam perjanjian sewa-menyewa tanah, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian tersebut telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau notaris. 2.3.2
Subjek dan objek perjanjian sewa-menyewa Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:
a. Pihak yang menyewakan b. Pihak penyewa Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak lainya untuk dinikmati kegunaan benda tersebut kepada penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak harus pemilik benda sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan untuk memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan di dalam sewamenyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu barang melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari barang yang
61
disewakan. Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan. Objek barang yang dapat disewakan adalah barang bertubuh saja, namun ada pendapat lain yang berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang yang bertubuh saja yang dapat menjadi objek sewa melainkan hak-hak juga dapat disewa.80 Tujuan dari diadakanya perjanjian sewa-menyewa adalah untuk memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan bersetatus hak milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak atas benda tersebut. Jadi benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak mengunakan hasil, hak pakai, hak sewa (hak sewa kedua) dan hak guna bangunan. Subekti
berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah
menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa.81 Jadi objek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda tidak berwujud.
80
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, hal. 190. 81 Subekti, op.cit., hal. 40.
62
2.3.3
Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan dan penyewa
a.
Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah
ditentukan. Pasal 1550 KUHPerdata menentukan tiga macam kewajiban pihak yang menyewakan. Ketiga macam kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang harus dibebankan pada pihak yang menyewakan, sekalipun hal itu tidak ditentukan dalam perjanjian82: 1. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada pihak penyewa; 2. Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara barang yang disewa selama waktu yang diperjanjikan, sehingga barang yang disewa tadi tetap dapat dipergunakan, dan dinikmati sesuai dengan hajat yang dimaksud penyewa; 3. Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman kepada si penyewa menikmati barang yang disewa, selama perjanjian sewa berlangsung. Mengenai kewajiban pertama, yakni menyerahkan barang yang disewa kepada pihak penyewa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1551 KUHPerdata, yang menyewakan harus menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan sebaik-baiknya. Tentang kewajiban kedua, pihak yang menyewakan wajib memelihara dan melakukan perbaikan atau reparasi, selama perjanjian sewa-menyewa masih berjalan, terkecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi kewajiban si penyewa. 82
M. Yahya Harahap, op.cit., hal 223.
63
Kewajiban ketiga yakni memberi penikmatan yang tentram bagi pihak si penyewa, selama jangka waktu perjanjian sewa-menyewa berjalan, meliputi: menanggung segala kekurangan yang merupakan cacat pada barang yang disewakan, pihak yang menyewakan tidak boleh merubah bangunan dan susunan barang yang disewa selama perjanjian sewa-menyewa masih berlangsung, dan pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas cacat barang yang disewa, apabila cacat tadi menghalangi pemakaian barang. b.
Hak dan kewajiban pihak penyewa Hak dari pihak penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam
keadaan baik. Kewajiban pihak penyewa diatur dalam Pasal 1560, 1561, 1564 dan 1566 KUHPerdata. Secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Membayar atau melunasi uang sewa sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah ditentukan; 2. Memakai barang yang disewa secara patut sesuai dengan tujuan yang ditentukan dalam perjanjian; 3. Wajib menanggung segala kerusakan yang terjadi selama masa sewamenyewa. Kecuali jika dapat membuktikan, bahwa kerusakan tersebut bukan karena kesalahannya, tetapi terjadi diluar kekuasaannya. 4. Harus mengembalikan barang yang disewa kepada yang menyewakan pada saat berakhirnya perjanjian sewa.
64
Menggunakan atau menikmati objek sewa berlaku selama masa sewa merupakan hak dari penyewa. Selama itu hak penyewa dimaksud tidak hilang sekalipun objek dialihkan (dijual) kepada pihak ketiga, kecuali terjadinya pelepasan atau pembatalan perjanjian karena suatu sebab. Dalam hukum perdata dikenal suatu kaedah yang diatur dalam Pasal 1576 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi ”jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa”. Pasal ini memberikan kedudukan yang kuat bagi penyewa dalam memanfaatkan objek sewa. 2.3.4 Risiko dalam perjanjian sewa-menyewa Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek dari suatu perjanjian.83 Risiko merupakan suatu akibat dari suatu keadaan yang memaksa (overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Pembebanan risiko terhadap objek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang/objek sewa. Musnahnya barang yang menjadi objek perjajian sewa-menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : a. Musnah secara total (seluruhnya) Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian 83
Subekti, op.cit., hal.92.
65
tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagai mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal. b. Musnah sebagian Barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan dinikmati kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika objek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu : a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan harga sewa. b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.
66
2.3.5 Mengulangsewakan dan melepaskan sewa kepada pihak ketiga Pihak penyewa dilarang untuk mengulang sewakan objek sewa kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik objek sewa. Mengenai hal ini diatur di dalam Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperzinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang, yang disewanya, maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan pengantian biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa. Dari ketentuan yang berlaku dari Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata tersebut dapat diketahui bahwa: a. Mengulang-sewakan kepada pihak ketiga hanya dapat dilakukan oleh seorang penyewa apabila diperbolehkan di dalam perjanjian sewa-menyewa atau disetujui oleh para pihak. b. Jika pihak penyewa mengulang-sewakan objek sewa dalam masa sewa maka pihak yang menyewakan objek sewa dapat melakukan pembatalan perjanjian sewa-menyewa dan menuntut ganti rugi. Akibat pembatalan perjanjian sewamenyewa tersebut maka perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan oleh pihak penyewa dengan pihak ketiga juga batal demi hukum. Dari ketentuan Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata tersebut dapat diketahui tentang istilah mengulang-sewakan dan melepas sewa. Pada prinsipnya kedua perbuatan tersebut dilarang dilakukan bagi pihak penyewa. Meskipun demikian perbutan-perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh penyewa jika sebelumnya telah
67
diperjanjiakan sebelumnya. Berikut ini adalah perbedaan kedua perbuatan tersebut: mengulang sewakan yaitu penyewa bertindak sendiri sebagai pihak yang menyewakan objek sewa dalam suatu perjanjian sewa-menyewa yang diadakan olehnya dengan pihak ketiga, dan melepaskan sewa adalah pihak penyewa mengundurkan diri sebagai pihak yang menyewa dan menyuruh pihak ketiga untuk mengantikan kedudukanya sebagai penyewa sehingga pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan objek sewa.
68
BAB III VALIDITAS PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH TANPA BATAS WAKTU 3.1
Validitas Perjanjian Validitas berasal dari bahasa Inggris dari kata validity yang berarti keabsahan
atau kesahihan.84 Dalam kamus hukum arti valid adalah saat sahnya, dan arti kata validitas adalah syarat mulai berlakunya suatu tindak administratif secara yuridis formal, yakni saat ditandatanganinya tindak administratif tersebut oleh pejabat yang berwenang.85 Validitas hukum berarti bahwa norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma hukum, bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma hukum. Norma hukum satuan tetap valid selama norma tersebut merupakan bagian dari suatu tata hukum yang valid.86 Untuk memastikan bahwa suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, maka hal yang harus ditempuh adalah memeriksa validitas dari perjanjian tersebut. A valid contract is one that meets all of the legal requirements for a binding contract.87Suatu perjanjian dapat mengikat para pihak, tergantung kepada sah atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. Sah atau tidak sahnya suatu 84
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta,
hal.792. 85
Setiawan Widagdo, 2012, Kamus Hukum, PT. Prestasi Pustaka, Jakarta,
hal.575. 86
http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-validitas hukum.html. Jane P.Mallor,et.al, 2007, Business Law: The Ethical, Global, And ECommerce Environment, McGraw Hill Companies, Inc., New York, hal.279. 87
69
perjanjian dapat dipastikan dengan menggunakan instrumen hukum yang menguji standar keabsahan perjanjian yang mereka buat. Hal tersebut diatur dalam Buku III KUHPerdata yaitu: 1. Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan 2. Syarat sahnya perjanjian yang diatur di luar Pasal 1320 KUHPerdata (Pasal 1335, Pasal 1337, Pasal 1339 dan Pasal 1347)88 Pasal 1320 KUHPerdata merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat oleh para pihak.89 Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal; Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata diatas, maka terdapat konsekuensi apabila tidak dipenuhinya masing-masing syarat yang dimaksud. Dua syarat yang pertama, yaitu syarat kesepakatan dan kecakapan dinamakan syarat-syarat subyektif karena berkenaan dengan orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat yang kedua yaitu syarat
88 89
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.157. Agus Yudha Hernoko, loc.cit.
70
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut diatas menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif) maupun batal demi hukum ( dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.90 In common law, contracts are affected by illegality where the contract was contrary to (1) positive law, (2) morals or good manners, and (3) public policy.91 Jadi demikian pula di sistem common law, bahwa suatu perjanjian menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, bertentangan dengan moral atau kepatutan dan ketertiban umum. Penjelasan masing-masing syarat syahnya suatu perjanjian lebih mendalam adalah sebagai berikut : a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirirnya Pasal 1320 KUHPerdata syarat pertama mensyaratkan adanya kesepakatan
sebagai salah satu syarat validitas suatu perjanjian. For a contract to be valid, the
90
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal.94. G.H.Treitel, 1995, The Law Of Contract, International Student Edition, Sweet & Maxwell, London, hal.389. 91
71
parties must consent to the basic matters contained in the agreement.92 Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masingmasing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan para pihak saling bersesuaian. Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.93 Sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara : tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol-simbol tertentu.94 Sepakat menurut Herlien Budiono, mencakup pengertian tidak saja “sepakat” untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi. Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak yang memuat hak atau kewajiban satu pihak untuk mendapatkan/memberikan prestasi, tetapi mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak.95 Perjanjian yang lahir dari kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan penerimaan),
pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan
92
Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.74. 93 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.162. 94 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal.51. 95 Herlien budiono II, op.cit., hal.73-74.
72
pernyataan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak. Ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan hal-hal sepakat tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan karena kesesatan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Selain itu juga terdapat unsur penyalahgunaan keadaan yang belum diatur secara normatif dalam KUHPerdata, tetapi berkembang dalam doktrin hukum dan yurisprudensi. Jadi terdapat empat hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu : -
Kesesatan atau dwaling Kesesatan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata. Kesesatan terjadi jika salah satu pihak dalam membuat perjanjian khilaf dalam mengemukakan pernyataan, atau khilaf mengenai objek perjanjian namun pihak lain yang mengetahui atau secara normal semestinya dapat memperkirakan pihak tersebut dalam keadaan khilaf, tetap membiarkan.
- Paksaan atau dwang Paksaan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata. Paksaan adalah suatu perbuatan ancaman yang dilakukan oleh orang, karena kedudukannya, usia, jenis kelamin sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan orang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan ancaman itu menjadi kenyataan akan dapat memberikan kerugian pada dirinya
73
secara nyata. Perbuatan ancaman tersebut tidaklah ditujukan kepada fisik, tetapi merupakan ancaman psikologis yang sifatnya melanggar hukum. -
Penipuan atau bedrog Penipuan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, dimana perjanjian dibuat karena adanya daya upaya dari salah satu pihak, baik dengan kata-kata ataupun perbuatan untuk mengelabui pihak lain, sehingga pihak lain setuju membuat perjanjian
- Penyalahgunaan keadaan Penyalahgunaan keadaan dikatagorikan sebagai kehendak yang cacat, karena lebih sesuai dengan dengan isi dan hakekat penyalahgunaan keadaan tersebut, yang mempengaruhi syarat-syarat subjektifnya.96 Terdapat dua unsur penyalahgunaan keadaan yaitu: adanya kerugian yang diderita satu pihak dan adanya penyalahgunaan kesempatan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.
Penyalahgunaan
keadaan
dibedakan
menjadi
dua
yaitu
penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan.
96
H.P. Panggabean, 2010, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogya, hal.51.
74
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Setiap subjek hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum. Siapa yang dapat dan boleh bertindak dan mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu utnuk melakukan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum. Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan kriteria orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Pasal ini menerangkan tentang orang yang dianggap tidak cakap, yakni97 : 1. orang-orang yang belum dewasa, yakni orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah karena walaupun belum berusia 21 tahun kalau sudah menikah, maka sudah dianggap cakap, bahkan walaupun dia bercerai sebelum berusia 21 tahun; 2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yakni orang yang gila, kalap mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros; 3. orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, yakni perempuan yang sudah menikah dan tidak didampingi oleh suaminya. 97
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, op.cit., hal.74.
75
Walaupun demikian, ketentuan ini sudah tidak diberlakukan sekarang sehingga perempuan yang bersuami pun dianggap telah cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. 4. pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu, khusus bagian keempat ini sebenarnya bukan tergolong orang yang tidak cakap, melainkan orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa badan hukum standar kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tidak menghadapi polemik seperti pada perorangan, karena cukup dilihat pada kewenangannya. Artinya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya. Dengan demikian, untuk mengetahui syarat kecakapan pada badan hukum harus diukur dari aspek kewenangannya.98 c.
Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitur dan apa
yang menjadi hak dari kreditur. Suatu hal tertentu sebagai objek perjanjian adalah pokok perikatan ataupun sebagai pokok prestasi. Prestasi terdiri atas : 1. memberikan sesuatu; 2. berbuat sesuatu; 3. tidak berbuat sesuatu. 98
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 191.
76
Asser-Rutten menyebutkan bahwa menurut tradisi hukum perjanjian, untuk sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian haruslah : (1) dapat ditentukan; (2) dapat diperdagangkan (diperbolehkan); (3) mungkin dilakukan; (4) dapat dinilai dengan uang.99 Pasal 1333 KUHPerdata menentukan barang yang menjadi objek perjanjian harus merupakan pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Barang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya misalnya jenis barang yang tampak oleh mata dapat ditentukan dengan cara menghitung, menimbang, mengukur, menakar, menentukan batas, menentukan kualitas. Doktrin hukum mengakui bahwa tidak hanya terhadap benda/barang yang berwujud, tetapi juga terhadap benda/barang yang tidak berwujud yang akan nada di kemudian hari, dapat menjadi objek atau pokok persoalan dalam perjanjian, asalkan benda/barang itu dapat ditentukan kemudian dan dengan syarat-syarat tertentu. (syarat menangguhkan).100 Jika syarat objektif berupa objek atau pokok persoalan tertentu atau dapat ditentukan sebagaimana diharuskan oleh Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat oleh pihak batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut sejak semula 99
Herlien Budiono II,op.cit., hal.107. Herlien Budiono II, op.cit.,hal.109.
100
77
dianggap tidak pernah ada. Jadi para pihak tidak terikat dengan perjanjian itu, sehingga masing-masing pihak tidak dapat menuntut pelaksanaan perjanjian, karena perjanjian sebagai dasar hukum tidak ada sejak semula. c.
Suatu sebab yang halal Pengertian sebab atau causa yang halal tidak dijelaskan dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Vullmar memberikan pengertian sebab atau causa yang tidak dilarang sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian.101 Subekti102 menjelaskan bahwa sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Herlien Budiono103 menjelaskan bahwa kata “causa” dalam ilmu hukum mengandung pengertian sebagai dasar yang melandasi hubungan hukum jika memenuhi dua syarat: pertama, tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas/patut; kedua, harus mengandung sifat yang sah. Perjanjian yang tidak memenuhi dua syarat tersebut akan menimbulkan akibat hukum mengikat para pihak, karena perjanjian tersebut menurut undang-undang tidak mempunyai causa. Menurut Annalisa Yahanan, Muhammad Syaifuddin, dan Yunial Laili104, kriteria atau ukuran sebab atau causa yang halal adalah:
101
Mummad Syaifuddin,op.cit., hal.131. Subekti II, op.cit., hal.20. 103 Herlien Budiono II, op.cit., hal.114. 104 Annalisa Yahanan, Muhammad Syaifuddin, dan Yunial Laili Mutiari, 2009, Perjanjian Jual Beli Berklausula Perlindungan Hukum Paten, Tunggal Mandiri Publlishing, Malang, hal.24. 102
78
1. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Misalnya perjanjian untuk melakukan pembunuhan dengan imbalan tertentu mempunyai sebab atau causa yang bertentangan atau dilarang oleh Pasal 338 KUHPidana, sehingga perjanjiannya batal demi hukum, dalam arti sejak semula perjanjian dianggap tidak pernah ada dan para pihak tidak terikat untuk melaksanakan isi perjanjian; 2. Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan kesusilaan, yang relatif tidak sama wujudnya di seluruh dunia, sehingga di Indonesia suatu perbuatan tertentu dapat dianggap bertentangan dengan kesusilaan. Jadi tergantung pada anggapan yang didasarkan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat terhadap perbuatan itu. Misalnya, perjanjian dengan seorang artis film yang berpakaian sangat minim atau mempertontonkan auratnya; 3. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, yang merupakan lawan atau kebalikan dan kepentingan individu. Contohnya, perjanjian pengangkutan barang yang melebihi daya muat alat pengangkut dapat membahayakan ketertiban umum. Perjanjian yang sebab atau causanya yang halal berkaitan dengan tiga aspek dari perbuatan hukum kontraktual, yaitu: (1) dilakukannya perbuatan hukum kontraktual; (2) substansi dari perbuatan hukum kontraktual; (3) maksud dan tujuan dari perbuatan hukum kontraktual.
79
Jadi, sebab atau causa yang halal ditujukan terhadap pembuatan perjanjian dan prestasi dalam perjanjian yang harus dilaksanakan oleh para pihak. Suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena sebab yang palsu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata, adalah termasuk ke dalam sebab yang tidak halal. Berkaitan dengan sebab yang tidak halal dapat dijumpai dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan ( Pasal 1254, 1335, 1337 KUHPerdata) dan kebiasaan dan kepatutan ( Pasal 1339 KUHPerdata). Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat para pihak, oleh KUHPerdata diberikan asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya atau pemenuhannya. 3.2
Validitas Perjanjian Sewa Menyewa Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya, dalam Pasal 1548
KUHPerdata dirumuskan bahwa “sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
80
pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.” Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk suatu prestasi, yaitu pihak yang menyewakan yang memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak penyewa selama waktu tertentu dan pihak penyewa yang memberikan prestasi berupa pembayaran suatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Validitas perjanjian sewa-menyewa adalah keabsahan daripada perjanjian sewa-menyewa tersebut yang harus mengikuti kaidah-kaidah hukum perjanjian. Selain harus memenuhi persyaratan umum yang tercantum dalam Pasal 1280 KUHPerdata, sewa-menyewa harus memenuhi persyaratan khusus yang diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan rumusan pengertian sewa-menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata, maka dapat disimpulkan beberapa hal pokok dalam sewa-menyewa: a.
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian sewa-menyewa harus
memenuhi syarat syahnya perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: -
Adanya kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan diri;
-
Pihak-pihak yang melakukannya dianggap cakap untuk membuat suatu perjanjian;
81
-
Adanya hal tertentu yang diperjanjikan, dan
-
Perjanjian itu harus mengandung suatu sebab yang halal. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, maka klausul-klausul dalam perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak dengan sendirinya berlaku sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) bagi pihak-pihak tersebut. Menurut Subekti dengan menekankan pada perkataan “semua”, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang atau dengan perkataan lain dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-Pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturanaturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.”105 Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, itu berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang. Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu. Pada umumnya
105
Subekti II, op.cit., hal. 14.
82
mereka hanya menyetujui hal-hal pokok saja, dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya.106 Dalam hal perjanjian sewa-menyewa, perjanjian sudah dianggap cukup jika sudah memuat klausul-klausul apabila setuju tentang barang dan harga sewanya. Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya pengantaran barang, tentang bagaimana barang itu musnah dalam perjalanan, soalsoal itu lazimnya tidak terpikirkan dan tidak diperjanjikan.107 Apabila dikemudian hari terdapat masalah maka yang bersangkutan akan tunduk saja pada hukum dan undang-undang. ”Namun apabila pembuat perjanjian itu tidak atau kurang memahami hukum maka akan berlandaskan pada kebiasaan setempat yang mungkin saja kebiasaan itu sesungguhnya lahir atau sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”108 Perjanjian menganut sistem terbuka yang mengandung pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk. KUHPerdata hanya mengatur perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang sudah memang dikenal masyarakat. “Sistem terbuka dalam hukum perjanjian telah memberi peluang yang sangat luas bagi munculnya jenis-jenis perjanjian baru
106
Subekti II, op.cit., hal. 13. Subekti II, loc.cit. 108 Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.76. 107
83
yang lazimnya merupakan gabungan dari perjanjian-perjanjian bernama tersebut.”109 Perjanjian sewa-menyewa telah berkembang sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat seperti: perjanjian sewa beli, sewa usaha dengan hak opsi (leasing), perjanjian bangun-pakai-serah (build-operate-transfer) dan sebagainya.110 Para pihak yang membuat perjanjian, dianggap sudah mengetahui bahwa mereka tidak hanya mengikatkan diri terhadap apa yang dinyatakan dalam perjanjian yang dibuatnya tetapi juga telah mengikatkan diri terhadap segala ketentuan perundang-undangan, kepatutan dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Dengan demikian, yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah: (i) isi perjanjian; (ii) kepatutan, (iii) kebiasaan, dan (iv) undang-undang. b.
Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan) Perjanjian sewa-menyewa tidak mungkin terjadi tanpa adanya suatu yang
dapat memberikan manfaat dan kegunaan atau menurut istilah KUHPerdata suatu “kenikmatan” kepada si pemakainya. Maksud persetujuan sewa-menyewa ialah “penikmatan” atas suatu benda dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka 109
G.H.S Lumban Tobing, 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta, hal. 89. 110 Suharnoko, op.cit., hal.44.
84
waktu tertentu. Benda yang menjadi objek sewa-menyewa bukan untuk dimiliki tetapi hanya untuk dinikmati. Penikmatan atas seluruh benda yang disewa tidak akan menimbulkan persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian benda. Masalah penikmatan bisa menimbulkan persoalan, apabila si penyewa hanya menyewa atas sebahagian barang saja.111 Seperti halnya penyewaan atas sebagian bawah suatu rumah bertingkat atau satu kamar dari suatu rumah tentunya penyewa hanya berhak menikmati bagian yang disewa saja. Atas dasar penikmatan inilah memungkinkan terjadinya perjanjian sewa-menyewa hanya untuk sebagian saja dari suatu benda. Karena penyewaan atas suatu kamar jelas dapat dipakai dan dinikmati si penyewa. Dengan demikian pada sewa-menyewa “sebagian dari suatu benda” dapat diartikan “benda”. Berbeda pada perjanjian jual beli, pengertian benda adalah “sesuatu yang utuh” yang dapat diletakkan atasnya hak untuk memiliki. c.
Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat (yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (penyewa) Unsur ini merupakan subjek perjanjian atau para pihak yang membuat
perjanjian. Subjek perjanjian dapat merupakan orang per orang (naturlijk person) atau badan hukum (recht person). Sehubungan dengan subjek perjanjian, perjanjian menganut azas personalia. Azas ini dapat ditemukan dalam dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat 111
M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 222.
85
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.” Pasal 1315 KUHPerdata diatas menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat perjanjian. Secara khusus ketentuan Pasal ini menunjuk pada kewenangan bertindak untuk individu pribadi sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.112 Dalam kapasitas kewenangan tersebut, sebagai orang yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subjek hukum akan mengikat diri pribadi tersebut, dan lapangan perikatan, mengikat seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadinya sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, yang berbunyi : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya yang berada yaitu tidak untuk kepentingan dirinya sendiri, maka kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa memang orang-orang perorangan tersebut tidak membuat atau menyetujui dilakukannya perjanjian untuk dirinya sendiri. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja113
112 113
Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya, op.cit., hal.15. Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya ,op.cit, hal.17.
86
masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam: 1. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal ini ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku baginya secara pribadi; 2. Sebagai wakil dari pihak tertentu. Mengenai perwakilan ini, dapat dibedakan kedalam : a. Badan
hukum
dimana
orang
perorangan
tersebut
bertindak
dalam
kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut
dengan pihak ketiga. Dalam hal ini berlakulah ketentuan
mengenai perwakilan yang diatur dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut, yang akan menentukan sampai seberapa jauh kewenangan yang dimilikinya untuk mengikat badan hukum tersebut serta batasan-batasannya. b. Perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dari anak dibawah umur, kewenangan curator untuk mengurus harta pailit. Dalam hal ini berlakulah ketentuan umum yang diatur dalam buku I KUHPerdata dan undang-undang kepailitan sebagaimana diumumkan dalam Staatsblaad Tahun 1905 No.217 dan Tahun 1906 No. 348 yang telah diubah dengan pemerintah pengganti undang-undangan No.1 Tahun 1998 jo Undang-undang No.4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan jo Undang – Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang.
87
c. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa. Dalam hal ini berlakulah ketentuan yang diatur dalam Bab XVI Buku III KUHPerdata, mulai dari Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUHPerdata. d.
Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut Imbalan terhadap pembayaran benda dan manfaatnya merupakan hal penting
untuk menjadikan suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian sewamenyewa. Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban membayar sesuatu apapun, maka yang terjadi adalah perjanjian pinjam-pakai. Harga sewa merupakan unsur yang esensial dalam perjanjian sewa-menyewa, sehingga dapat dipastikan selalu tercantum dalam klausul perjanjian tertulis. Namun masih banyak dalam masyarakat dilakukan perjanjian sewa-menyewa dengan perjanjian lisan yaitu dengan mengikuti kebiasaan setempat bahkan tidak jarang terjadi pembayaran dilakukan tanpa kwitansi dan hanya mengandalkan ingatan kedua belah pihak. Pasal 1569 KUHPerdata, mengantisipasi pengaturan hukumnya sebagai berikut : “Jika terjadi perselisihan tentang harga suatu penyewaan yang dibuat dengan lisan, yang sudah dijalankan dan tidak terdapat suatu pembayaran maka pihak yang menyewakan harus dipercaya atas sumpahnya, kecuali apabila si penyewa memilih untuk menyuruh menaksir harga sewanya oleh orang-orang ahli.” e.
Adanya jangka waktu Jangka waktu merupakan bagian yang esensial dalam perjanjian sewa-
menyewa, sehingga tidak terjadi suatu perjanjian sewa-menyewa tanpa adanya batas
88
waktu. KUHPerdata mengatur perjanjian sewa-menyewa dengan batas waktu baik yang dibuat dengan tertulis maupun dengan lisan. Pada sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu, batas waktu penghentian yang selayaknya ini berpedoman pada kepatutan dan kebiasaan setempat. Untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diingikan dikemudian hari maka pencantuman “batas waktu yang jelas” sangat diperlukan. 3.3
Validitas Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Telah dijelaskan pada bab sebelumnya dalam buku III KUHPerdata memuat
peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya dan bagian khusus yaitu perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah memiliki nama-nama tertentu. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian bernama, yaitu perjanjian khusus yang mempunyai nama sendiri. Bentuk perjanjian sewa-menyewa ada yang dibuat secara tertulis, dan perjanjian dibuat secara lisan. Dalam prakteknya, terdapat perjanjian sewa-menyewa tertulis dan lisan dengan batas waktu tertentu, adapula perjanjian sewa-menyewa yang tidak ditentukan batas akhir waktunya. Validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu, dapat diuji dengan menggunakan isntrumen hukum untuk menentukan keabsahan perjanjian tersebut. Berdasarkan teori validitas dari Hans Kelsen, bahwa norma hukum itu mengikat, dan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian harus menaati dan menerapkan norma hukum tersebut. Dalam halnya perjanjian sewa-menyewa, norma hukum yang harus ditaati dan diterapkan adalah peraturan-peraturan yang termuat
89
dalam Buku III KUHPerdata. Validitas suatu perjanjian sewa-menyewa harus memenuhi persyaratan umum syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan persyaratan khusus yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata tentang sewa-menyewa. Beberapa contoh putusan mengenai perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu adalah sebagai berikut : 1.
Putusan Mahkamah Agung no.3280 K/Pdt/1995,114 sewa-menyewa rumah yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun ( Pasal 12 (6) UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).
2.
Putusan Pengadilan Negeri Pariaman No. 33/ PDT.G/ 2003/PN.PRM,115 menghukum tergugat mengosongkan tanah perumahan sewa terperkara dengan jalan membongkar rumah milik Tergugat, penggugat sebagai pemilik tanah objek perkara bagai manapun sudah sepatutnya diberi kesempatan untuk dapat menikmati tanah objek perkara tersebut.
3.
Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002,116 menyatakan sah bahwa ahli waris penyewa berhak menerima dan mewarisi tanah sengketa,
114
Habib Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”, habibadjie.dosen.narotama. ac.id/files /2011/04/Hukum-Perjanjian-2-Keabsahan-Perjanjian.pdf, hal.32. 115 Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hal.15. 116 Lihat lampiran.
90
menyatakan sewa- menyewa tanpa batas waktu adalah sah menurut hukum berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu setiap persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Selanjutnya akan dilakukan pengujian keabsahan terhadap perjanjian sewa – menyewa tanah tanpa batas waktu yang melatar belakangi putusan MA No. 2313 K/Pdt/2002 tersebut.
Sewa-menyewa tanah
terjadi sejak tahun 1971 di Banjar
Lungsiaka Desa, Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali dibuktikan dengan surat perjanjian tertanggal 22 September 1971 dengan isi perjanjian sebagai berikut : 1. Terjadi hubungan sewa-menyewa antara Anak Agung Rai Pande sebagai pihak pemilik tanah mengadakan perjanjian di bawah tangan dengan Sjamsuari Sjam selaku penyewa, perjanjian tersebut dibuat diatas kertas segel dengan nama “Surat Perjajian Bersama-Perjanjian”, 2. Kesepakatan yang diperjanjikan diantara pihak pemilik tanah dan penyewa tanah yaitu mengenai urusan/penggunaan tanah untuk tanah seluas 30 are (3000m2) dengan batas-batas nya : -
Sebelah utara berbatas dengan
: Anak Agung Anom Nesa
-
Sebelah timur berbatas dengan
: sungai
-
Sebelah selatan berbatas dengan
: Tjok. Dugil
91
-
Sebelah barat berbatas dengan masuk lebar 4 meter dan sisa
: Anak Agung Raka Pande (jalan tanah)
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku tanggal 22 September1971 dan dibayar seharga Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu) oleh Sjamsuari Sjam untuk jangka waktu selama-lamanya/tidak terbatas. 4.
Terdapat 2 (dua) pokok isi perjanjian terkait dengan pihak Anak Agung
Rai Pande sebagai masyarakat setempat pemilik tanah dengan pihak Sjamsuari Sjam yang saat itu sebagai pengusaha yang beralamat di Jakarta yaitu bahwa: -
Pihak penyewa berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat sekolah untuk bekerja pada usaha milik penyewa di atas tanah tersebut
-
Pihak penyewa memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama minimal 4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha pembangunan.
Dalam Pasal 1548 KUHPerdata tentang sewa-menyewa menyatakan bahwa yang disebut sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana satu pihak mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu benda kepada pihak lain selama jangka waktu tertentu dengan pembayaran tertentu. Bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam sewa-menyewa adalah: -
Adanya kesepakatan antara kedua orang atau kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian
92
-
Pihak yang satu menyerahkan / memberikan kenikmatan manfaat suatu benda ( dalam hal ini pemilik barang/benda)
-
Pihak lainnya menerima untuk selama waktu tertentu dengan pembayaran ( dinyatakan dengan sejumlah uang) .
Perjanjian sewa tanpa batas waktu tidak memenuhi unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu selama waktu tertentu. Perjanjian ini tidak valid karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa. Bagian esensialia dari suatu perjanjian adalah bagian perjanjian yang harus ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian bernama yang dimaksudkan para pihak.117 Dalam perjanjian sewa-menyewa yang merupakan bagian esensialia adalah sepakat dari pada para pihak, objek sewa, jangka waktu sewa, dan uang sewa. Bagian esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.118 Hal ini merupakan perbuatan hukum yang nonexistent, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi salah satu atau semua unsur suatu perbuatan hukum (tertentu).119 Maka perjanjian ini dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. Pada sewa-menyewa, hak menikmati barang yang diserahkan kepada si penyewa: hanya terbatas pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan 117
Herlien Budiono II, op.cit., hal.67. Herlien Budiono, op.cit., hal.366. 119 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit.,hal.35 118
93
lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian.120 Perjanjian sewa tanah hanya bersifat menikmati manfaat tanah untuk digunakan oleh penyewa dalam waktu tertentu dengan pembayaran harga sewa dan tidak mengalihkan hak milik atas tanah.Hak kebendaan seorang pemilik tanah tidak beralih kepada penyewa Perjanjian sewa-menyewa yang mencantumkan jangka waktu untuk selamalamanya/tidak terbatas tersebut merupakan pengingkaran terhadap lembaga hukum jual-beli terutama jual-beli atas tanah, karena apabila ada pihak yang memang tidak beritikad baik dalam perjanjian yang dibuatnya dan mencantumkan jangka waktu selama-lamanya maka dengan demikian objek menjadi dapat dikuasai untuk selamalamanya tanpa perlu melakukan jual-beli secara sah. Hal ini jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dijamin oleh keberadaan lembaga hukum jualbeli. Pada perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau tidak terbatas secara substansi akan sama dengan artinya dengan menjual, ini artinya melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya sendiri, sedangkan disisi lain pemilik tanah yang mempunyai sertifikat hak milik (hak atas tanah turun-temurun, terkuat dan terpenuh) atas tanah tersebut. Sehingga pada hakikatnya telah terjadinya kekaburan substansi hukum, rasa ketidakadilan dan ketidak patutan karenanya persewaan bentuk apapun mestinya mengenal batas waktu. Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu adalah tidak valid. Tidak valid karena persyaratan khusus yang merupakan 120
M.Yahya Harahap, op.cit., hal.221.
94
bagian yang sangat esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi yaitu jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktunya tidak ditentukan atau tanpa batas waktu, maka perjanjian tersebut dianggap tidak valid, void dan tidak mempunyai akibat hukum. Sejalan dengan itu, Catherine Elliot dan Frances Quinn menyatakan void contracts are agreements that create no legal obligations and for which no remedy will be given.121 Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu ini pun tidak memenuhi Pasal 1339 KUHPerdata, dimana para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, namun juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Jangka waktu penggunaan tanah yang selamalamanya/tidak terbatas tersebut telah bertentangan dengan asas kepatutan dalam masyarakat.
121
Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate, England, hal. 562.
95
BAB IV PENGAKHIRAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH TANPA BATAS WAKTU 4.1
Cara Berakhirnya Perjanjian Normalnya, suatu perjanjian akan hapus setelah perjanjian tersebut berakhir.
Artinya, ketika seluruh bentuk-bentuk perikatan yang telah disepakati dalam perjanjian telah dilaksanakan, maka perjanjian berakhir dan hapus dengan sendirinya. Akan tetapi, selain dari ketentuan-ketentuan berakhirnya perjanjian melalui cara pemenuhan seluruh ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian (atau yang dalam pengertian umumnya juga dikenal dengan cara pelunasan atau pembayaran) KUHPerdata berdasarkan Pasal 1381 mengatur tentang cara berakhirnya perikatan berdasarkan perjanjian, yaitu : 1.
Berakhirnya perjanjian karena pembayaran Pemenuhan kewajiban adalah pelaksanaan isi perjanjian. Dengan telah
dipenuhinya apa yang dijanjikan, maka tujuan perikatan telah tercapai. Dikatakan perikatan berakhir. Undang-undang menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk pada
pelaksanaan
kewajiban,
seperti
“pemenuhan”,
“pembayaran”,
dan
“pelaksanaan”.122 Berakhirnya perjanjian karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1403 KUHPerdata. Ada dua pengertian 122
Herlien Budino II, op.cit. hal.168.
96
pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis.123 Pengertian pembayaran dalam arti sempit, adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur. Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah, tukang cukur atau guru privat. Syarat utama pemenuhan kewajiban adalah karena adanya perikatan. Pembayaran yang dilakukan kepada orang yang tidak berwenang untuk menerima pembayaran menyebabkan pembayaran tersebut dapat dituntut kembali, demikian ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan Pasal 1382 KUHPerdata mengatur siapa yang dapat melakukan pembayaran, yaitu: a. debitur yang berkepentingan langsung; b. pihak ketiga yang berkepentingan, yakni pihak yang juga turut berkewajiban untuk membayar, yakni penanggung utang (borg) atau orang yang turut berutang; c. pihak ketiga lainnya yang tidak berkepentingan asalkan bertindak atas namanya sendiri dengan maksud untuk melunasi utang debitur atau atas namanya sendiri asalkan tidak menggantikan hak-hak kreditur. Sedangkan pihak yang berhak untuk menerima pembayaran diatur dalam Pasal 1385 KUHPerdata yaitu: a. kreditur; atau 123
Salim H.S., op.cit.,hal.165.
97
b. orang yang menerima kuasa dari kreditur; atau c. orang yang telah ditunjuk oleh hakim; atau d. orang-orang yang berhak menurut undang-undang. Ketentuan-ketentuan yang diatur sebagai dasar dari berakhirnya perjanjian melalui pembayaran tersebut di atas, sangat menekankan pada bentuk-bentuk penyelesaian yang disepakati oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.Misalnya, tentang pembayaran kepada pihak yang berhak dengan jumlah dan tata cara yang disepakati oleh keduanya. Dengan kalimat lain, tidak ada alasan untuk melakukan pembayaran jika memang tidak ada kewajiban untuk itu. Begitu pula sebaliknya, tidak ada alasan untuk menerima pembayaran bila tidak ada hak untuk itu. 2.
Pembaruan utang (Novasi) Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1421
KUHPerdata. Novasi
adalah sebuah persetujuan, di mana suatu perikatan telah
dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli.124 Novasi diartikan pula sebagai perjanjian yang menggantikan perikatan yang lama dengan perikatan yang baru. Penggantian tersebut dapat terjadi berkenaan dengan salah satu pihak, yakni kreditur atau atau debitur, ataupun terjadi pada objek perjanjiannya. Ketentuan Pasal 1413 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembaruan utang dilaksanakan dengan tiga jalan, yaitu: 124
Salim H.S.,op.cit., hal.168.
98
a. apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya. Terjadi dan dikenal sebagai novasi objektif; b. apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Terjadi dan dikenal sebagai novasi subjektif pasif; c. apabila sebagai akibat suatu persetujan baru, seorang berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. Terjadi dan dikenal sebagai novasi subjektif aktif. Sementara itu, yang merupakan unsur-unsur novasi adalah sebagai berikut: a. adanya perjanjian baru; b. adanya subjek yang baru; c. adanya hak dan kewajiban; dan d. adanya prestasi. 3.
Kompensasi Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUHPerdata
sampai dengan Pasal 1435 KUHPerdata. Kompensasi adalah perjumpaan utang antara debitur dan kreditur yang sama-sama mempunyai piutang ataupun tagihan diantara kedua belah pihak. Contohnya A mempunyai tagihan Rp. 1 juta kepada B, dimana
99
pada saat yang bersamaan B juga mempunyai tagihan kepada A. Dengan keadaan ini A dan B dapat mengadakan perjumpaan utang yang akhirnya akan membebaskan kedua belah pihak dari perjanjian-perjanjian yang telah diperjumpakan tadi. 4.
Percampuran utang Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUHPerdata sampai dengan
Pasal 1437 KUHPerdata. Percampuran utang adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (Pasal 1436 KUHPerdata). Percampuran utang terjadi apabila kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang yang berutang berada pada satu orang, akan mengakibatkan secara hukum terjadinya percampuran utang yang mengakibatkan hapusnya piutang yang ada. Ada dua cara terjadinya percampuran utang, yaitu: a. dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum, misalnya si kreditur meninggal dunia dan meninggalkan satu-satunya ahli waris, yaitu debitur. Ini berarti bahwa dengan meninggalnya kreditur maka kedudukan debitur menjadi kreditur; b. dengan jalan penerusan hak di bawah alas hak khusus, misalnya pada jual beli atau legaat. Pada umumnya percampuran utang terjadi pada bentuk-bentuk debitur menjadi ahli waris dari debitur.
100
5.
Pembebasan utang Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUHPerdata sampai dengan Pasal
1443 KUHPerdata. Pembebasan utang merupakan suatu kesepakatan yang secara sukarela dilakukan oleh seorang kreditur terhadap debiturnya, dan ataupun pihakpihak yang terikat untuk menyelesaikan kewajiban tersebut untuk membebaskan debitur dari seluruh kewajiban-kewajiban utangnya. Ada dua cara terjadiya, pembebasan utang, yaitu: (1) cuma-cuma; dan (2) prestasi dari pihak debitur. Pembebasan ini didasarkan pada perjanjian. 6.
Kebatalan Kebatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1446 KUHPerdata sampai dengan
Pasal 1456 KUHPerdata. Ada empat penyebab timbulnya pembatalan perjanjian, yaitu: a. adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan di bawah pengampuan; b. tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam undangundang; c. adanya cacat kehendak; d. tidak
terpenuhinya salah satu atau semua unsur dari suatu perjanjian
(nonexsistent). Akibat dari kebatalan apakah karena batal demi hukum atau setelah adanya tuntutan akan kebatalannya mempunyai akibat yang sama, yaitu tidak mempunyai akibat
101
hukum (yang diinginkan). Demikian pula dengan perbuatan hukum yang nonexistent. Ketiga peristiwa hukum tersebut berakibat sama.125 Kebatalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kebatalan mutlak dan kebatalan relatif. Kebatalah absolut adalah perbuatan hukum yang batal demi hukum, yaitu atas perbuatan hukum tersebut sejak terjadinya perbuatan hukum tidak mempunyai akibat hukum. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kebatalan relatif adalah perbuatan hukum yang dapat dibatalkan dimana keadaan di mana keadaan dapat dibatalkannya atau disahkannya perbuatan hukum digantungkan pada keinginan satu pihak. Perbedaan antara batal dapat dibatalkan di satu pihak dan nonexistent di lain pihak secara juridis praktis memang tidak ada perbedaannya karena kedua kelompok tersebut sama-sama tidak mempunyai akibat hukum, hanya penyebabnya yang berbeda.126 Perbedaan secara juridis dogmatis antara penyebab kebatalan mempunyai nilai di dalam menentukan permohonan pembatalan melalui pengadilan negeri. Jelas pada perbuatan hukum yang nonexistent tidak perlu dimohonkan pembatalannya karena secara juridis dogmatis perbuatan tersebut “tidak ada”, sedangkan pada perbuatan hukum yang cacat lainnya dapat dimohonkan dengan putusan atau dengan penetapan pengadilan negeri. Apabila cacat pada perbuatan hukum berakibat batal
125 126
Herlien Budiono, op.cit., hal.381. Herlien Budiono, op.cit., hal.384.
102
demi hukum, penetapannya bersifat deklaratoir, sedangkan untuk perbuatan hukum yang dapat dibatalkan, sifat keputusannya adalah constitutief.127 7.
Berlakunya syarat batal Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan
perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak ada suatu perjanjian (Pasal 1265 KUHPerdata). Biasanya syarat batal berlaku pada perjanjian timbal balik. Seperti pada perjanjian jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Ketentuan Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian timbal balik. Manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dianggap syarat batal yang diperjanjikan dipenuhi. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, demikian ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Disamping ketujuh cara tersebut diatas, dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya perjanjian yaitu: 8.
Jangka waktu perjanjian telah berakhir Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baik perjanjian yang dibuat
melalui akta di bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di muka pejabat yang berwenang telah ditentukan secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian. Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian dimaksudkan bahwa salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang berakhirnya perjanjian 127
Herlien Budiono, loc.cit.
103
tersebut, namun para pihak telah mengetahuinya masing-masing. Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian adalah didasarkan pada kemauan dan kesepakatan para pihak. Ada perjanjian yang jangka waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian singkat dan ada juga jangka waktu dan tanggal berakhirnya lama. 9.
Dilaksanakan objek perjanjian Pada dasarnya objek perjanjian adalah sama dengan prestasi. Prestasi itu
terdiri dari melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Di dalam perjanjian timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar dan lain-lain telah ditentukan objek perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual beli tanah, yang menjadi objek perjanjian adalah barang dan harga. Pihak penjual tanah berkewajiban untuk menyerahkan tanah secara riil dan menyerahkan surat-surat tanah tersebut, begitu juga pembeli tanah berkewajiban untuk menyerahkan uang harga tanah tersebut. Sedangkan hak dan penjual tanah adalah menerima uang harga tanah dan hak dari pihak pembeli menerima tanah beserta surat-surat yang menyertainya. Dengan telah dilaksanakan objek perjanjian maka perjanjian antara penjual dan pembeli telah berakhir, baik secara diam-diam maupun secara tegas. Contoh lainnya, dalam perjanjian jasa dokter, di mana dokter memeriksa pasien dan menyerahkan resep kepada pasien, dan pasien membayar jasa dokter. Sejak terjadi pembayaran jasa dokter oleh pasien, pada saat itulah perjanjian itu telah berakhir.
104
10.
Kesepakatan kedua belah pihak Kesepakatan kedua belah pihak merupakan salah satu cara berakhirnya
perjanjian, di mana kedua belah pihak telah sepakat untuk menghentikan perjanjian yang telah ditutup antara keduanya. Motivasi mereka untuk menyepakati berakhirnya perjanjian tersebut adalah berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Ada yang menyepakatinya didasarkan pada nila-inilai kemanusiaan dan ada juga yang menyepakati karena bisnis. Pertimbangan karena bisnis adalah didasarkan pada untung rugi. Apabila salah satu pihak merasa rugi untuk melaksanakan substansi perjanjian tersebut, salah satu meminta kepada pihak lainnya untuk mengakhiri perjanjian tersebut dan pihak lainnya akan menyetujuinya. 11.
Pemutusan perjanjian secara sepihak Pada dasarnya suatu perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak
berdasarkan itikad baik, namun dalam kenyataannya sering kali salah satu pihak tidak melaksanakan substansi perjanjian, walaupun mereka telah diberikan somasi sebanyak tiga kali berturut-turut. Karena salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lainnya dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian itu secara sepihak. Pemutusan perjanjian secara sepihak merupakan salah satu cara untuk mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Artinya pihak kreditur menghentikan berlakunya perjanjian yang dibuat dengan debitur, walaupun jangka
105
waktunya belum berakhir. Ini disebabkan debitur tidak melaksanakan prestasi sebagaimana mestinya. 12.
Putusan pengadilan Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola,
yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan lazim disebut dengan alternative dispute resolution (ADR). Cara ini dapat dilakukan dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Apabila kelima cara itu telah dilakukan oleh para pihak namun masih juga menemui jalan buntu maka salah satu pihak, terutama pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan perjanjian dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat perjanjian atau objek berada. Biasanya dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, telah ditentukan tempat penyelesaian sengketa. 4.2
Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang. Penentuan
berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk perjanjian. Ketentuan hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUHPerdata membedakan antara perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis. Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa:
106
4.2.1
Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan
a. Perjanjian sewa-menyewa tertulis Diatur di dalam Pasal 1570 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”. Dalam perjanjian sewa-menyewa yang masa berakhirnya telah ditentukan secara tertulis, sewa-menyewa dengan sendirinya berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan dalam persetujuan secara tetulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan.128 b. Perjanjian sewa-menyewa lisan Diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.” Dalam hal ini, berakhirnya sewa-menyewa tidak disudahi sesaat setelah lewatnya batas waktu yang telah ditentukan. Melainkan setelah adanya pemberitahuan dari salah satu pihak, yang menyatakan kehendak akan mengakhiri sewa-menyewa. Pemberitahuan pengakhiran sewa tersebut, harus memeperhatikan jangkauan waktu yang layak menurut kebiasaan setempat. 128
M. Yahya Harahap, op.cit., hal.238.
107
4.2.2 Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya. Berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, yang diatur dalam undangundang hanya berakhirnya sewa-menyewa tertulis dan lisan yang mempunyai batas waktu tertentu. Oleh karena itu pengakhiran perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu tertentu sebaiknya diserahkan kepada penghentian yang selayaknya bagi kedua belah pihak atau batas waktu penghentian yang selayaknya ini berpedoman kepada kepatutan dan kebiasaan setempat.129 4.2.3
Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus
a. Permohonan/pernyataan dari salah satu pihak Penghentian
perjanjian
sewa-menyewa
hanya
dapat
dilakukan
atas
persetujuan kedua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Dalam Pasal 1579 KUHPerdata diatur bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan menggunakan sendiri barangnya, kecuali apabila pada saat membentuk perjanjian sewa-menyewa ini diperbolehkan, dimana hal tersebut telah ditentukan lebih dulu dalam perjanjian. Namun jika ketentuan tersebut tidak 129
M.Yahya Harahap , op.cit., hal.240.
108
disebutkan dalam perjanjian, maka pihak yang menyewakan tidak dapat mempergunakan alasan dimaksud. b. Putusan Pengadilan Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur di dalam Pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981. Perjanjian berakhir atau hapus, karena terdapat putusan hakim yang memutus berakhirnya perjanjian tersebut, berdasarkan gugatan pembatalan yang diajukan oleh salah satu pihak. Berikut beberapa putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa:130 1. -Dalam hal tergugat secara melawan hukum telah menyewakan rumah milik penggugat kepada pihak ketiga, maka penggugat berhak atas ganti kerugian dari tergugat, yang besarnya sama dengan uang sewa yang oleh tergugat telah diterima dari pihak ketiga tersebut. -Dalam hal uang sewa ditentukan dalam mata uang asing, maka ganti rugi itu dihitung dalam mata uang republik Indonesia (rupiah), sesuai dengan nilai lawan (kurs) mata uang asing tersebut dalam rupiah pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan (MA tanggal 17-91973 No. 625 K/Sip/1972).
130
Habib Adjie, loc.cit, hal.31-35.
109
2. Segala
sesuatu
mengenai
penghentian
sewa-menyewa
dan
pengosongan rumah merupakan wewenang Kantor Urusan Perumahan (MA tanggal 22-3-1972 No. 937 K/Sip/1970). 3. -Apabila pembeli kolam mengetahui bahwa kolam yang bersangkutan ada pada (sedang disewa oleh) orang lain, maka ia juga mengambil risiko atas beban yang mungkin akan mengakibatkan kerugian baginya, sehingga tidak ada alasan yang cukup untuk mengabulkan gugatan atas ganti kerugian yang dideritanya. -Sekalipun pemilik baru berhak menghentikan hubungan sewamenyewa tanah yang diadakan oleh pemilik lama dengan memberikan waktu yang layak kepada penyewanya, ia wajib membayar ganti kerugian kepada penyewa tersebut. -Bila sebidang tanah yang disewa oleh orang lain dijual, maka hubungan sewa-menyewa dengan pemilik lama harus dihormati oleh pemilik baru, dengan pengertian bahwa apabila pemilik baru hendak menghentikan hubungan sewa-menyewa itu, ia harus memberi waktu yang layak kepada penyewa untuk mengosongkan tanah tersebut dan menyerahkannya kepadanya. (MA tanggal 12-9-1970 No. 130 K/Sip/1970).
110
4. MA No. 213 K/Sip/1979, sebagai penyewa, penggugat tidak mempunyai
kedudukan
untuk
menggugat
tentang
beralihnya
kepemilikan. 5. MA
No.
313
K/Sip/1960,
penjualan
sebidang
tanah
tidak
mengakibatkan putusnya perjanjian sewa-menyewa yang telah ada antara pemilik tanah yang lama. 6. MA No. 287 K/Sip/1963, Pasal 1553 BW menentukan kalau barang yang disewa adalah musnah dari sebab suatu keadaan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan pada salah satu pihak, maka perjanjian sewamenyewa dengan sendirinya batal. Perkataan “musnah” ini harus ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa barang itu tidak usah sama sekali musnah melainkan sudah cukup, apabila barang itu rusak sedemikian rupa, sehingga tidak dapat lagi dipergunakan. 7. MA No. 219 K/Sip/1955, hak penyewa untuk membongkar dan mengambil barang-barangnya yang ada pada benda yang disewanya sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 1567 BW hanya dapat dilaksanakan pada waktu ia meninggalkan benda yang disewanya itu dan tidak lagi sesudah itu. 8. MA No. 3280 K/Pdt/1995, sewa-menyewa rumah yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah ditentukan
111
bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun ( Pasal 12 (6) UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992). 9. MA No. 199 K/sip/1962, hukum adat yang kini dianggap berlaku tidak mengenal ketentuan seperti Pasal 1579 BW yang tidak membolehkan perjanjian sewa-menyewa rumah dihentikan oleh yang menyewakan dengan alasan akan memakai sendiri rumah itu. 10. MA No. 32 K/Sip/1954, menurut Pasal 1579 BW hubungan sewamenyewa suatu perkarangan tidak dapat dihentikan dengan alasan pekarangannya akan dipakai sendiri oleh pihak yang menyewakan, kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa-menyewa ini dijanjikan diperbolehkan. Adanya janji ini tidak didalilkan oleh penggugat maka gugatannya tidak dapat diterima. 11. MA No. 7 K/Sip/1959, dalam hal ini, oleh karena menurut Pasal 1567 BW pada waktu terhentinya sewa si penyewa dapat mengambil segala sesuatu yang dipasang olehnya pada perkarangan yang disewa, maka si pemilik pekarangan tidak berhak membongkar begitu saja bangunan tersebut tanpa izin si penyewa. 12. MA No. 313 K/Sip/1960, perjanjian sewa-menyewa sebidang tanah bertahan terus, meskipun pemilik tanah menjualnya kepada orang lain. 13. MA No. 1400 K/Sip/1974, membongkar, mengubah dan mendirikan bangunan adalah hak pemilik, bukan hak penyewa, pengadilan tidak
112
dapat member izin untuk membangun, membongkar mengubah bangunan kepada penyewa. 14. MA No. 227 K/Sip/1973, karena sewa-menyewa diadakan tanpa ketentuan mengenai batas waktu serta alasan-alasan berakhirnya sewa,hubungan sewa-menyewa tidak dengan sendirinya berakhir karena oleh penyewa sewa di operkan kepada anaknya tanpa izin pemilik, tetapi pengoperan tanpa izin itu dapat merupakan alasan untuk meminta pemutusan hubungan sewa-menyewa. 15. MA No. 4413 K/Pdt/1986, penghentian sewa-menyewa dapat dilakukan berdasarkan kepentingan pemilik atas dasar kepatutan dan keadilan sosial pada waktu tersebut. 16. MA No. 1976 K/Pdt/1994, merujuk kepada Keputusan Menteri Sosial No. 11 Tahun 1977 dalam hal SIP yang dimiliki oleh para penyewa sudah habis dan tidak atau belum diperpanjang, maka beralasan untuk menghukum para penyewa untuk mengosongkan tanah dan rumah terperkara, namun dikaitkan dengan kedudukan ekonomi antara pihak yang menyewakan dengan para penyewa ternyata lebih lemah, maka pihak yang menyewakan berkewajiban untuk membayar pesangon kepada para penyewa guna mencari tempat tinggal pengganti yang layak sebesar 25% dari harga pasaran tanah dan rumah sengketa. c. Benda objek sewa-menyewa musnah
113
Pasal 1553 KUHPerdata mengatur apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht). 4.3
Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola,
yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan masih juga menemui jalan buntu maka salah satu pihak, terutama pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan perjanjian dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat perjanjian atau objek berada. Biasanya dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, telah ditentukan tempat penyelesaian sengketa. Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu, dapat berlangsung sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak. Bila perjanjian tersebut tidak disepakai lagi dan timbul sengketa, masing-masing pihak merasa tidak puas sehingga merasa perlu untuk mendapat kepastian hukum dengan memasukkan gugatan ke pengadilan. Permohonan penghentian hubungan sewa-menyewa tanpa batas waktu oleh salah satu pihak tersebut akan diputus oleh hakim berdasarkan gugatan yang diajukan, dan menentukan hapus atau berakhirnya perjanjian tersebut. Beberapa contoh putusan pengakhiran perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu adalah sebagai berikut:
114
1.
Putusan Mahkamah Agung no. 3280 K/Pdt/1995.131 Sewa-menyewa rumah yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa
batas waktu yang telah ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun ( Pasal 12 (6) UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992). Pertimbangan hakim mengacu kepada Pasal 12 ayat 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman bahwa sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu tiga tahun setelah berlakunya undang-undang ini. 2.
Putusan Pengadilan Negeri Pariaman no. 33/ PDT.G/ 2003/PN.PRM.132 Perjanjian sewa-menyewa secara terus-menerus atau tanpa batas waktu
diakhiri dengan menghukum tergugat/penyewa untuk mengosongkan tanah perumahan
sewa
terperkara
dengan
jalan
membongkar
rumah
milik
tergugat/penyewa. Pertimbangan hakim dalam hal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan, maka hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagai pemilik tanah objek perkara yang sudah sepatutnya diberi kesempatan untuk dapat menikmati tanah objek perkara tersebut.
131 132
Habib Adjie, op.cit.,hal.32. Sri Hartati, loc.cit.
115
3.
Putusan Mahkamah Agung no. 2313 K/Pdt/2002.133 Putusan ini diawali dengan perkara perdata nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR
dengan banding yang diakhiri dengan putusan nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS tapi perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002. Selanjutnya putusan pengadilan ini akan dibahas lebih detail dan dilakukan pengujian terhadap putusan hakim melalui pertimbangan-pertimbangan yang dipakai hakim dalam menyelesaikan perkara perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu ini, apakah penerapannya sesuai dengan ketentuan perjanjian. Sebelumnya pada bab III, telah diuraikan isi perjanjian sewa-menyewa yang melatar belakangi perkara ini. 3.1
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134
Para Pihak : 1. Dra. Dalifah Syamsuddin, bertempat tinggal di komplek Bumi Jati Waringin F. 14. RT. 03 /16, Kelurahan Jati Waringin, Kecamatan Pondok Gede, KOdya Tingkat II Bekasi. 2. Amir Rabik, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kedua-duanya
133 134
Lihat lampiran. Lihat lampiran.
116
adalah pemilik tanah sengketa dan disebut juga sebagai penggugat I dan penggugat II. Melawan : 1. Anak Agung Rai Pande, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lunsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, selanjutnya disebut juga sebagai tergugat. A.
Kasus Posisi 1. Bahwa penggugat I adalah kakak kandung dari Alm. Sjamsuarni Sjam yang telah meninggal dunia , yang juga telah menetapkan penggugat I sebagai ahli waris tunggal berdasarkan Akta Permohonan Pertolongan pembagian harta peninggal No. 011/P3IIP/2000/P.A.BKS, tertanggal 04 Desember 2000 dan Surat Keterangan kelurahan Jatiwaringin No. 587/PD.01/XII/2000, tertanggal 19 Juli 2000; 2. Bahwa adik kandung penggugat I Alm. Sjamsuarni Sjam telah mengontrak sebidang tanah dari tergugat sesuai dengan Surat Perjanjian Bersama Perjanjian tertanggal 22 September 1971 seluas + 3000 m2 (30 Are) dari pipil No. 34, persil 13 a, Kls. II. 3. Bahwa sesungguhnya tanah tersebut diatas sudah dibeli oleh adik kandung penggugat I dari tergugat, karena tergugat malu didengar oleh warga menjual tanah, maka terhadap tanah yang sudah dibeli oleh adik kandung penggugat
117
selanjutnya dibuatkanlah Surat Perjanjian Bersama Perjanjian pada tanggal 22 September 1971 dengan jangka waktu selama-lamanya/tidak terbatas; 4. Bahwa diatas tanah sengketa tersebut adik kandung penggugat sudah mendirikan bangunan, selama + 12 tahun bangunan tersebut ditempati oleh adik kandung penggugat I dan selanjutnya tanah dan bangunan tersebut diserahkan (dikuasakan) penguasaan dan pengelolaannya pada bulan februari 1982 dan dikuatkan dengan surat tugas tertanggal 1 Juni 1988 kepada penggugat II dan dipertegas lagi dengan surat perjanjian penggunaan tanah tertanggal 11 April 1994 dari penggugat I kepada penggugat II; 5. Bahwa tanpa sepengetahuan penggugat I dan penggugat II tiba-tiba pada tanggal 24 Februari 2000, tempat usaha dan Kantor Konsulat Spanyol penggugat II didatangi oleh + 20 orang pemuda dengan membawa tongkat, pentungan dan senjata tajam yang kemudian tergugat menutup (menembok) jalan masuk ke tanah sengketa; 6. Bahwa atas perbuatan tergugat yang tidak memenuhi isi dari Surat Perjanjian Bersama tertanggal 22 September 1971 dan tergugat juga sudah menutup (menembok) asset menuju jalan keluar masuk ketanah sengketa adalah perbuatan melawan hukum. B.
Gugatan Berdasarkan uraian diatas, penggugat I dan penggugat II mengajukan gugatan
di Pengadilan Negeri Gianyar karena merasa dirugikan oleh tindakan tergugat yang
118
menutupi/menembok akses jalan keluar masuk menuju tempat tanah sengketa (Kantor Konsulat Spanyol). Atas hal tersebut penggugat I dan penggugat dalam gugatannya juga mengajukan petitum sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk seluruhnya; 2. Menyatakan sah hukum “surat perjanjian bersama perjanjian” tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya/tidak terbatas atas sebidang tanah pipil No. 34, persil No. 13, klas II, luas + 3000 m2 (30 are) dari luas asal 5250 m2, atas nama Dw.Rk. Mangku terletak di dusun/banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud; 3. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha dan kantor Konsulat Spanyol penggugat II; 4. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha dan kantor konsulat spanyol penggugat II; 5. Menyatakan hukum penggugat II telah menderita kerugian setiap bulan sebesar Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,-;
119
6. Menghukum tergugat untuk membayar kerugian materiil setiap bulan sebesar Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,- kepada penggugat II; 7. Meletakan sita jaminan (conservatoir beslag) atas barang-barang milik tergugat baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak; 8. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan kembali; 9. Menghukum tergugat untuk membayar segela biaya yang timbul dalam perkara ini. C.
Eksepsi dan rekonpensi tergugat 1. Jawaban dalam eksepsi dan dalam pokok perkara Bahwa tergugat konpensi menolak secara tegas semua dalil-dalil gugatan penggugat konpensi terkecuali apa yang secara tegas telah diakui olehnya; 2. Bahwa dalam hal ini para tergugat rekonpensi ingin tetap menguasai tanah sengketa hanya berdasarkan perjanjian perjanjian yang pernah dibuat oleh penggugat rekonpensi dengan Syamsuarni almarhum yaitu adik kandung tergugat rekonpensi I. Padahal para tergugat rekonpensi tidak mempunyai hak lagi untuk menguasai dan menempati tanah sengketa sebab salah satu pihak yang membuat perjanjian perjanjian itu yaitu syamsuarni syamsuddin sudah meninggal dunia;
120
3. Bahwa terhadap terhadap perjanjian perjanjian tersebut diatas yang dibuat dibawah tangan pada tanggal 22 september 1971 ternyata isinya juga banyak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku salah satu diantaranya dalam perjanjian itu tidak ada batas waktu berlakunya perjanjian tersebut. Dan setelah perjanjian berjalan adik kandung tergugat rekonpensi I (syamsuarni syamsuddin) sama sekali sejak perjanjian itu dibuat hingga sekarang tidak pernah melakukan/melaksanakan/memenuhi isi perjanjian tersebut. Maka berdasarkan atas alasan-alasan yang telah kami kemukakan tersebut diatas, penggugat rekonpensi mohon agar pengadilan negeri gianyar berkenan memutus: Dalam konpensi : -
Menolak gugatan para penggugat konpensi seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan gugatan para penggugat konpensi tidak dapat diterima.
Dalam rekonpensi: 1. Mengabulkan gugatan penggugat rekonpensi untuk seluruhnya; 2. Menyatakan hukum tanah sengketa adalah syah hak milik penggugat rekonpensi; 3. Menyatakan hukum perjanjian perjanjian tanah sengketa antara penggugat rekonpensi dengan syamsuarni syamsuddin/adik kandung tergugat rekonpensi I, yaitu perjanjian dibawah tangan yang dibuat pada tanggal 22
121
september 1972 dan perjanjian yang dibuat tanggal 11 Januari 1974 adalah batal demi demi hukum; 4. Menyatakan hukum perjanjian sewa-menyewa yang dibuat antara anak kandung penggugat rekonpensi dengan tergugat rekonpensi II pada tanggal 29 oktober 1986 batal demi hukum karena masa perjanjiannya sudah habis; 5. Menyatakan hukum para tergugat rekonpensi telah melakukan perbuatan melawan hukum menguasai dan menempati tanah sengketa tanpa alasan hak yang sah; 6. Menyatakan hukum semua bangunan yang ada diatas tanah sengketa menjadi hak milik penggugat rekonpensi; 7. Menghukum para tergugat rekonpensi menyerahkan tanah sengketa dengan lasia kepada penggugat rekonpensi dan bila perlu dengan bantuan yang berwajib; 8. Menyatakan hukum putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun para tergugat rekonpensi banding dan kasasi; 9. Menghukum para tergugat rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. D.
Pertimbangan hukum dan putusan Berdasarkan hal-hal diatas, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:
122
1. Menimbang, bahwa untuk mendalilkan gugatannya para penggugat telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d P-13 serta telah mengajukan 4 orang saksi masing-masing yaitu : 1. I Made Lembeng, 2 I Ketut Robin, 3. Ketut Munut, 4. Ni Wayan Taman. Sedangkan tergugat untuk menguatkan dalil sangkalannya telah pula mengajukan bukti surat yang diberi tanda T-1 s/d T-9 serta telah pula mengajukan 3 orang saksi yaitu : 1. Anak Agung Rai Santun , 2. I Wayan Tambun, 3. I Made Koyo; 2. Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P-3, P-4, P-4a dan P-5, P-9 serta keterangan saksi Ketut Robin, Ketut Munut serta Ni Wayan Taman masing-masing berhubungan dan bersesuaian satu sama lainnya; 3. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti secara hukum bahwa A.A. Rai Pande (tergugat) telah terikat perjanjian perjanjian dengan syamsuarni syam atas sebidang tanah yang terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud dengan jangka waktu selama-lamanya; 4. Menimbang, bahwa oleh karena syamsuarni syamsuddin telah meninggal dunia dan Dra. Dalifah Syamsuddin adalah satu-satunya ditetapkan sebagai ahli waris. Mka terhadap tanah sengketa tersebut yang paling berhak mewaris adalah Dra. Dalifah Syamsuddin sebagai penggugat I; 5. Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan majelis hakim pada saat melakukan pemeriksaan setempat atas tanah sengketa pada tanggal 6 April
123
2001 memang benar jalan yang menuju tanah sengketa yang telah berisi bangunan telah ditutup dengan tembok sehingga penggugat II maupun karyawan konsulat spanyol yang menyewa rumah diatas tanah sengketa tidak bisa keluar maupun masuk; 6. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, bahwa tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menembok jalan yang menuju tanah sengketa; Dalam rekonpensi: 7. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam konpensi tersebut diatas, majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian perjanjian bersama antara A.A. Rai Pande (tergugat) dengan syamsuarni syam atas sebidang tanah seluas +30 are yang terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan dengan jangka waktu yang selama-lamanya adalah sah menurut hukum sebagaimana tertuang dalam bukti P-3. Oleh karena Pasal 1338 KUHPerdata bahwa setiap persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya; 8. Menimbang, bahwa menurut majelis bahwa bukti yang diajukan oleh tergugat konpensi / penggugat rekonpensi yang bertanda T-2 s/d T-8 serta keterangan saksi-saksi yaitu A.A. Rai Pande, I Wayan Tambun dan I Made Koyo tidak ada yang dapat melumpuhkan alat bukti penggugat konpensi/tergugat
124
rekonpensi. Oleh karena itu penggugat rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatanya; 9. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas penggugat rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil gugatannya maka penggugat rekonpensi berada pihak yang kalah; 10. Menimbang, bahwa oleh karena penggugat rekonpensi/tergugat konpensi berada pada pihak yang kalah, maka biaya perkara ini termasuk biaya rekonpensi dibebankan kepada tergugat konpensi/penggugat rekonpensi. 11. Setelah memperhatikan undang-undang yang bersangkutan : Mengadili : Dalam konpensi : 1. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk sebagian; 2. Menyatakan sah menurut hukum “surat perjanjian bersama perjanjian” tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya / tidak terbatas atas sebidang tanah, pipil No. 34, persil No. 139, Klas II, Luas + 3. 000 m2 (30 are) dari luas asal 5250 m2 atas nama Dewa Raka Mangku, yang terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud; 3. Menyatakan sah menurut hukum penggugat I adalah ahli waris tunggal dari syamsuarni syam disebut juga syamsuarni syamsuddin yang berhak menerima dan mewaris tanah sengketa;
125
4. Menyatakan sah menurut hukum penggugat II tinggal dan menempati tanah sengketa atas kuasa dan seijin syamsuarni syam disebut juga syamsuarni syamsuddin dan penggugat I; 5. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha kantor konsulat spanyol dan tempat tinggal penggugat II; 6. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu sepanjang mengenai jalan masuk selebar 4 meter yang menuju tempat tinggal, tempat usaha, kantor konsulat spanyol dan tempat penggugat II walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan kembali; 7. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha Kantor Konsulat Spanyol dan tempat tinggal Penggugat II.
Dalam rekonpensi : -
Menolak gugatan penggugat rekonpensi seluruhnya.
Dalam konpensi Dan rekonpensi :
126
-
Menghukum tergugat dalam konpensi atau penggugat dalam rekonpensi untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini dianggar sebesar Rp. 174.000.
Atas Putusan Pengadilan Negeri Gianyar tersebut, tergugat tidak puas dan mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Dasar hukum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar pada intinya adalah karena apa yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Gianyar tidak sesuai dengan jawaban gugatan dan proses persidangan, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan bagi tergugat selaku pemilik tanah sengketa. Setelah permohonan pemeriksaan dalam tingkat banding yang diajukan oleh kuasa hukum pembanding dan telah diajukan memori banding yang oleh para terbanding telah juga diajukan kontra memori banding dengan Putusan Perkara No. 07/Pdt.G/2001/PN.GIR, tanggal 16 Juli 2001 3.2
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar no. 205/Pdt/2001/PT.Dps.135
A.
Pokok Pertimbangan Hukum. 1. Menimbang,
bahwa
permohonan
banding
dari
tergugat
dalam
konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang maka permohonan banding tersebut secara formal dapat diterima; 135
Lihat lampiran.
127
2. Menimbang, bahwa pengadilan tinggi setelah memeriksa dan meneliti dengan seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 No. 7/Pdt.G/2001/PN.Gir. dan telah pula membaca dan memperhatikan memori banding yang diajukan oleh tergugat dalam konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding serta kontra memori banding yang diajukan oleh para penggugat dalam konpensi/para tergugat dalam rekonpensi/para termbanding, yang ternyata tidak ada hal-hal baru yang perlu dipertimbangkan maka pengadilan tinggi dapat menyetujui dan membenarkan putusan hakim tingkat pertama oleh karena dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah memuat dan menguraikan dengan tepat dan benar semua serta alasan-alasan yang menjadi dasar dalam putusan dan dianggap telah tercantum pula dalam putusan ditingkat banding; 3. Menimbang, bahwa dengan demikian maka pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan dijadikan dasar di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi sendiri, sehingga putusan Pengadilan
Negeri
Gianyar
tanggal
16
Juli
2001
Nomor.
7/Pdt.G/2001/PN.GIR. dapat dikuatkan; 4. Menimbang bahwa oleh karena tergugat dalam konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding tetap berada dipihak yang dikalahkan, maka
128
kepadanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan; 5. Mengingat peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku khususnya undang No. 14 tahun 1970, undang-undang No. 2 tahun 1986 serta Rbg. Mengadili : -
Menerima permohonan banding dari tergugat dalam konpensi/ penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut.
-
Menguatkan putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 Nomor.: 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, yang dimohonkan banding.
-
Menghukum
tergugat
dalam
konpensi/penggugat
dalam
rekonpensi/pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang untuk ditingkat banding saja ditetapkan sebesar Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah) 3.3
Putusan Mahkamah Agung no. 2313 K/Pdt/2002.136 1. Bahwa putusan pengadilan tinggi denpasar tanggal 26 Nopember 2001 No. 205/Pdt/2001/PT.Dps. pemohon kasasi telah menyatakan kasasi tanggal 11 Maret 2002, sehingga dengan demikian pemasukan memori kasasi ini masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan oleh undang-undang;
136
Lihat lampiran.
129
2. Bahwa dalam putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 No. 7/Pdt.G/2001/PN.Gir,
sudah
tepat
dan
benar
tanpa
memberikan
pertimbangan lebih jauh mengenai memori pembanding adalah merupakan pertimbangan hukum yang salah dan menyimpang dari hukum acara perdata yang berlaku; 3. Bahwa judex factie pengadilan tinggi denpasar yang menganggap benar dan menyetujui Putusan Pengadilan Negeri Gianyar dalam perkara tersebut, yang menyatakan sah surat perjanjian bersama perjanjian tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya atau tidak terbatas adalah keliru besar, sebab perjanjian yang dibuat tersebut bertentangan dengan Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat syahnya suatu perjanjian antara lain: 1. Sepakat mereka yang mengikat diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal 4. Bahwa jangka waktu yang ditulis dalam perjanjian tersebut untuk selamalamanya/tidak terbatas bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang diatur dalam Pasal 1548, karena dalam Pasal tersebut dsyaratkan
130
jangka waktu tertentu artinya waktunya terbatas dan tidak untuk selamalamanya; 5. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Anak Agung Rai Pande tersebut harus ditolak; 6. Menimbang, oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi telah dinyatakan ditolak, maka kepadanya harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini; 7. Memperhatikan Pasal-Pasal dari undang-undang No. 4 tahun 2004, undang-undang No. 14 tahun 1985 jo. Undang-undang No. 5 tahun 2004 yang bersangkutan. Mengadili : -
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Anak Agung Rai Pande tersebut.
-
Menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
131
3.4
Analisis hukum Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu merupakan perjanjian yang tidak
seimbang atau mengandung klausul yang berat sebelah karena pemohon kasasi tidak dapat memanfaatkan tanah sengketa selama-lamanya padahal pemohon kasasi adalah pemilik tanah, sedangkan termohon yang menguasai tanah sengketa dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah sengketa tersebut untuk selamalamanya. Perjanjian yang demikian melanggar asas keadilan, yang mana dalam ajaran asas keadilan menyatakan bahwa perjanjian adalah adil apabila prestasi-prestasi yang diperjanjikan adalah sama nilainya atau yang dimaksudkan sebaliknya bahwa prestasi-prestasi yang diperjanjikan itu adil berdasarkan suatu perjanjian yang seimbang, yaitu perjanjian dilakukan oleh pihak-pihak yang sama haknya.137 Rescoue Pound dalam teorinya yaitu teori sama nilai menyatakan bahwa suatu perjanjian baru mengikat jika para pihak dalam perjanjian tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai.138 Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu tentunya tidak memberikan prestasi yang seimbang dan merugikan pemilik tanah karena tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri selamalamanya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata yang menyatakan: ”si penyewa jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewa barang, yang disewanya maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas 137 138
Herlien Budiono, op.cit., hal.20. Roscoe Pound II, loc.cit.
132
ancaman pembatalan perjanjian sewa…….”. Peralihan hak sewa dari termohon I (Dalifah Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik tanah yaitu Anak Agung Rai Pande adalah tidak beralaskan hukum sehingga tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata. Bahwa Sjamsuarni Sjam tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan isi perjanjian sewa-menyewa yang dibuat yaitu: -
pihak kedua berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat sekolah untuk bekerja pada usaha pihak kedua diatas tanah tersebut
-
pihak kedua memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama minimal 4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha pembangunan”.
Menurut Pasal 1266 KUHPerdata syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas watu ini tidak menyebutkan syarat batal maka sesuai Pasal 1266 KUHPerdata manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimohonkan pembatalan dimuka hakim. Bahwa wanprestasi dalam perjanjian timbal balik dapat dimajukan sebagai alasan minta pecahnya perjanjian dan hakim diberi kuasa mengatur akibatnya selaras dengan keadaan dan kepatutan.139 Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 139
Wirjono Prodjodikoro I, op.cit., hal.88.
133
KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam suatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.
Perjanjian tersebut tidak
mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum, maka perjanjian ini harus diakhiri. Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak sekedar mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak milik yang bersifat hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas maka artinya melanggar hak asasi pemiliknya untuk dapat memanfaatkan tanah miliknya sendiri. Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dalam Putusan Mahkamah Agung
no. 2313
K/Pdt/2002 ini dapat diakhiri dengan cara pemilik tanah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasar-dasar gugatan sebagai berikut: 1. karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah tersebut selama-lamanya, karenanya perjanjian sewa-menyewa bentuk apapun semestinya mengenal batas waktu.
134
2. karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), sehingga dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai dengan Pasal 1266 KUHPerdata. 3. karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya secara substansi akan sama artinya dengan menjual, ini artinya melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya sendiri selamalamanya. Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan, sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri. 4. karena telah terjadi peralihan hak sewa dari termohon I (Dalifah Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik tanah yaitu Anak Agung Rai Pande, bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata dan perjanjian ini dapat diakhiri. Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu ini adalah sah menurut hukum, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Sedangkan dalam ketentuan perjanjian, suatu perjanjian sewa-menyewa dapat mengikat, apabila syarat_syarat suatu perjanjian sewa-menyewa telah terpenuhi. Dalam hal ini jangka waktu yang merupakan unsur yang sangat esensial dan merupakan syarat khusus sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi dan melanggar asas kepatutan
135
dan kebiasaan, Hakim dalam hal ini lebih menekankan pada aspek daya mengikatnya perjanjian serta mengenyampingkan aspek kepatutan dan kebiasaan. Dalam KUHPerdata pun telah dengan tegas dirumuskan pemaknaan kepatutan yaitu dalam Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata. Bahwa faktor kepatutan merupakan faktor yang teramat penting di dalam penemuan hukum. Rasa kepatutan ini mengharapkan para hakim untuk memberikan pertimbangan terhadap masalah yang dihadapinya. Faktor kepatutan perlu mendapat perhatian dalam setiap pertimbangan yang hendak diambil oleh hakim untuk menjatuhkan keputusannya.140 Putusan pengadilan ini tidak menerapkan ketentuan perjanjian. Meskipun putusan ini telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali karena hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam meneliti bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan merugikan ahli warisnya sehingga tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri untuk selama-lamanya.
140
Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”, dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV, hal.359.
136
BAB V PENUTUP
5.1
Simpulan Dari hasil pembahasan permasalahan pada bab III dan bab IV, maka diperoleh
simpulan sebagai berikut: 1.
Perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu tidak valid karena tidak terpenuhinya persyaratan khusus yang merupakan bagian yang esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yaitu jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktunya tidak ditentukan atau tanpa batas waktu, maka perjanjian tersebut dianggap tidak valid, tidak ada, dan tidak mempunyai akibat hukum.
2.
Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola, yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Dalam penelitian ini para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu dalam putusan Mahkamah Agung no: 2313 K/Pdt/2002 dapat diakhiri dengan cara pihak pemilik tanah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasardasar gugatan sebagai berikut: a. karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah
137
tersebut selama-lamanya, karenanya persewaan bentuk apapun semestinya mengenal batas waktu. b. karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), sehingga dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai dengan Pasal 1266 KUHPerdata. c. karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau tidak terbatas secara substansi akan sama artinya dengan menjual, ini artinya melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya sendiri selama-lamanya.Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri. d.
karena telah terjadi peralihan hak sewa tanpa ijin dari pemilik tanah yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata dan perjanjian ini dapat diakhiri.
5.2
Saran Mendasarkan pada uraian pembahasan dan kesimpulan yang disampaikan,
maka saran yang dapat diajukan untuk mendapatkan kajian lebih lanjut adalah: Hendaknya para pihak yang akan mengadakan perjanjian sewa-menyewa berhati-hati dalam membuat perjanjian, jangan sampai membuat perjanjian tanpa menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan nantinya. Para hakim juga hendaknya berhati-hati dalam memberikan
138
pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara, khususnya disini perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu. Faktor kepatutan dan kebiasaan adalah hal yang harus diperhatikan sebagai pertimbangan dalam putusannya. Meskipun putusan diatas telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali karena hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam meneliti bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan merugikan ahli warisnya yaitu tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri untuk selama-lamanya.
139
DAFTAR PUSTAKA A.
Buku
Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar. Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., ST. Paul Minnesota, USA Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Elliot, Catherine & Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate, England. Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Cet.1, Prenada Media Group, Jakarta. Gautama, Sudargo, 1995, Indonesian Business Law, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Salim H.S., 2011, Hukum Perjanjian Teori dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika ,Jakarta. Harahap, M.Yahya, 1986, Segi segi Perjanjian, Alumni, Bandung. Harsono, Boedi, 2010, Hukum Agraria Indonesia, cet. X, Djambatan, Jakarta Hernoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Perjanjian; Azas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Asshiddqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, cet.I, Konstitusi Pers, Jakarta.
140
Limbong, Bernhard, 2012, Pustaka, Jakarta.
Hukum Agraria Nasional, cet. I, PT.
Margaretha
Mallor, Jane P., et.al, 2007, Business Law: The Ethical, Global, And E-Commerce Environment, McGraw Hill Companies,Inc., New York. Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Mashudi, H. dan Moch.Chidir Ali, 2001, Pengertian Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung. Meliala, Djaja S., 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia, Bandung. Miru, Ahmad dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan; Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta. Miru, Ahmad, 2007, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Panggabean, H.P., 2010, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogya. Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan , 2011, Universitas Udayana, Denpasar. Pena, Tim Prima, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta. Pound, Roscoe, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press.
141
_______, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Mohamad Radjab, Bharatara, Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta. _______, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, CV.Mandar Maju, Bandung. Satrio, J., 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Setiawan, R., 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.. Simanjuntak, Ricardo, 2011, Hukum Perjanjian; Teknik Perancangan Perjanjian Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta. Sjahdeini, Sutan Remy, 2009, Kebebasan Berperjanjian Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Subekti, 1984, Pokok Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta. _______, 2010, Hukum Perjanjian, Cet.XXIII,PT. Intermasa,Jakarta. Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung. Tan, Thong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris I, Ictiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Treitel, G. H., 1995, The Law Of Contract, International Student Edition, Sweet & Maxwell, London. Widagdo, Setiawan, 2012, Kamus Hukum, PT. Prestasi Pustaka, Jakarta.
142
Widjaja, Gunawan, 2007, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wyasa Putra, Ida Bagus, 1997, Aspek-aspek Hukum Perdata; Dalam Transaksi Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung. Yahanan, Annalisa, Muhammad Syaifuddin, dan Yanial Laili, 2009, Perjanjian Jual Beli Berklausula Perlindungan Hukum Paten, Tunggal Mandiri Publishing, Malang. Yudha Hernoko Agus, 2011 , Hukum Perjanjian; Azas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. B.
Peraturan Perundang – Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (lembaran negara). C.
Majalah
Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”,dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasioonal, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV. D.
Elektronik
Adjie, Habib, 2011, ”HukumPerjanjian”, habibadjie. dosen. narotama. ac.id /files /2011/04 /Hukum -Perjanjian-2-Keabsahan-Perjanjian.pdf. Fitri, Rika, 2010, “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa-menyewa Rumah Yang Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota Medan)” Tesis Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /25953 /4/ chapter %20I.pdf.
143
Hartati, Sri, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman” Tesis Fakultas Hukum Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, http:// repository.unand.ac.id/id/eprint/556. _______, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Di Pengadilan Negeri Pariaman” Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas. http://repository.unand.ac.id/ 556/1/Sri_Hartati_06211038.rtf. http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-validitas-hukum.html. Sefialora, Kelvina, 2010, “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank” Tesis Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http :// repository .usu. ac.id/bitstream/123456789/22266/6/chapter%20I.pdf.