PENDAHULUAN Latar Belakang
Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi baik di hutan dam maupun hutan tanaman. Beberapa kali kebakaran besar terjadi sejak awal tahun 1980-an, yaitu pada tahun 1982-1983, 1987, 1991, 1994 dan 1997, telah menimbulkan kerugian besar secara ekonomi maupun terhadap kerusakan ekosistem (Anonimous, 1998), akibatnya telah menimbulkan kerugian ekonomis, ekologis, dan sosial yang sangat besar. Misalnya: asap yang ditimbulkan dapat mencemari udara, merusak kesehatan manusia dan menghambat sektor perhubungan,
selain itu dampak sosialnya adalah
ketidaknyamanan lingkungan dan hilangnya hari kerja terutama di tingkat pedesaan. Menurut Mackinnon et al. (1996) kebakaran hutan kemungkinan mengganggu lima proses ekologi hutan yaitu: suksesi alami, produksi bahan organik dan proses dekomposisi, siklus unsur hara, siklus hidrologi dan pembentukan tanah. Di Indonesia kebakaran hutan sebagian besar terjadi karena adanya aktivitas manusia dalam penggunaan api terutama untuk penyiapan lahan. Hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan dengan kondisi khusus, dimana gambutnya terbentuk dari sisa-sisa generasi hutan sebelumnya (Istomo, 1992). Di Indonesia, lahan gambut yang ada di sepanjang pantai timur Sumatera Bagian Selatan dan Barat Kalimantan digunakan untuk pertanian seperti kelapa sawit, padi, kopi, dan lain sebagainya (Soepardi, 1983). Akhir-akhir ini, lahan gambut di wilayah tersebut menjadi pusat perhatian bagi para pengusaha hutan ataupun masyarakat setempat sebagai daerah perluasan pertanian. Akibatnya
pembukaan lahan gambut di daerah Surnatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat semakin giat dilakukan. Di dalam pengembangan usaha pertanian di lahan gambut tidak semuanya dapat berhasil dengan baik. Gambut-gambut tebal dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah dimanfaatkan untuk tanaman pangan, dan umurnnya gambut tebal tersebut jauh dari jangkauan air sungai atau berada dekat daerah kubah ("dome"). Rendahnya tingkat kesuburan tersebut dicirikan oleh rendahnya kadar abu dan kejenuhan basa di samping pH yang sangat masam (Andriesse, 1988), sehingga dapat dikatakan yang menjadi kendala adalah faktor keadaan unsur hara tanah gambut yang tidak segera tersedia atau hanya tersedia dalam jumlah yang sedikit. Tanah tersebut apabila dikehendaki sebagai tanah yang produktif memerlukan pupuk. Metode yang dianggap mudah dan murah dalam penyiapan lahan untuk usaha pertanian adalah dengan pembakaran. Abu sisa pembakaran dapat meningkatkan pH dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, terutarna K, Ca, dan Mg (Andriesse, 1988). Narnun perbaikan kesuburan tersebut hanya berlangsung dalam jangka pendek dan merupakan proses oksidasi dipercepat, akibatnya "subsidence" (pengurangan ketebalan lapisan gambut) semakin cepat. Menurut Tie dan Rueh (1979 dalam Arnbak dan Melling, 2000), kecepatan bbsubsidence"rawa gambut tergantung pada morfologi profil, komposisi, ketebalan, kedalaman drainase dan tata guna lahan. Selain berdampak terhadap "subsidence", pembakaran juga berdampak pada sifat fisik gambut, dimana bahan gambut menjadi porous dan hidrofobik, bulk density menurun. Akibatnya gambut kehilangan kemampuan sifat fisik dan kimianya sehingga unsur hara mudah tercuci. Terjadi degradasi kesuburan tanah,
gambut semakin miskin, belum lagi p e n m a n kandungan hara yang diambil oleh tanaman tanpa pengembalian hara yang seimbang, turut mempercepat pemiskinan ini (Usup et al., 2000). Pembukaan hutan dengan pembakaran, khususnya di rawa gambut, akan menimbulkan kerugian yang sangat besar terutarna dari segi lingkungan. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana pengaruh kebakaran hutan di areal rawa gambut terhadap lingkungan khususnya terhadap tanah, kualitas air, serta pertumbuhan dan perkembangan vegetasi.
Rumusan Masalah Hutan rawa gambut merupakan ekosistem hutan yang mempunyai kondisi khusus dimana pada umumnya ekosistemnya terbentuk di atas permukaan gambut yang miskin hara. Garnbut ombrogen merupakan tipe gambut yang paling
urnurn ditemukan di Pulau Sumatra. Gambut ini terbentuk di daerah miskin hara, tumbuhan yang tumbuh di atasnya memanfaatkan hara yang semata-mata berasal dari air hujan, hara di dalam tumbuhan itu sendiri dm dari gambut. Tidak ada pasokan hara dari tanah mineral di bawahnya atau dari aliran air yang memasuki sistem tersebut (Whitten et al., 1988). Pada urnumnya tanah gambut yang ada di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatra, digunakan untuk areal tanaman pertanian seperti kelapa sawit, kopi, padi dan tanaman lainnya. Akhir-akhir ini pembukaan tanah gambut untuk tujuan komersial semakin banyak dilakukan. Untuk meningkatkan produktivitasnya tanah gambut memerlukan pupuk. Dengan kata lain untuk melakukan budidaya pertanian di lahan gambut dibutuhkan pasokan hara yang cukup untuk menunjang
perhunbuhan tanaman pertanian. Namun karena jenis gambut ini memiliki kandungan unsur hara yang tidak cukup tersedia, maka diperlukan ameliorasi intensif. Cara ini dipandang tidak efisien, karena membutuhkan biaya yang relatif tinggi. Oleh sebab itu masyarakat dan para pengusaha hutan mengatasi masalah tersebut dengan melakukan pembakaran pada tahap penyiapan lahan. Pembakaran merupakan satu-satunya cara yang paling mudah dan murah untuk dilakukan di dalam penyiapan lahan pertanian di lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat ataupun pihak-pihak pengusaha hutan. Kegiatan ini sedang giat dilakukan untuk pembukaan tanah gambut. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa pembakaran secara liar akan dapat merusak lingkungan. Dengan demikian perlu dibuktikan apakah teknik penyiapan lahan dengan pembakaran di lahan gambut dapat mempengaruhi ekosistim hutan rawa gambut. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari respon ekosistem hutan rawa gambut akibat adanya pembakaran terutama dampaknya terhadap tanah, vegetasi dan kualitas air.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari: 1. Dampak pembakaran limbah vegetasi di hutan rawa gambut sekunder terhadap
kerusakan lingkungan pada setiap tingkat kematangan gambut (saprik, hemik, dan fibrik). 2. Dampak pembakaran di hutan rawa gambut sekunder terhadap sifat-sifat tanah (fisik, kimia dan biologi tanah), kualitas air dan komposisi vegetasi pada setiap tingkat kematangan gambut.
Kersngka Teoritis
P m b k a m limb& vegetasi di hutan rawa gambut di1akuk;an p d a tip
tingmEat kematmgan gmbut y d a i sap&
hemik, d m iihik. P e m M m n di lafaata
%ambutmenyebabhn kemakm terhadq hgkungan, terntam8 Wh&p vegetasi dan air. K m w d m ini bqptung pada intensitas pembakaran yang
dilakukan, dimma hd ini di antaranya &tentdm oleh skumuiasi W a n bakar yang mwdia (patemi M a n War), kadar air
t>ahan b a h , s u h q k e l e m b
udpteEt, kaadungan M a Wan balm, dan angin (Whelm, 1995). Di samping Ztu,
p g k l w i M a n k d g a tip gzunbut tambut -e>t k-gan
p x k h n tingkat
(hdriesse, 19881, s e w a@ik dilhkan p m b h m rmka
diduga Einglrat b m a k m yang wadi pada masing-masing jenis -but
(sap&
h i k , dan fib&) rtk;an k k h - b e d a puXa.
Wpon pma h y a pe-angnp
hutan rawa gambut k d d a p tanah t e r j d karma W a n organik penyusm gambut
(de Bwna
et al.,
1998). Lebih jauh, pembakaran tersebut rnengakibbn prom "subsidence"akm
dipempat. Pexxelitian mdahulu tentang dampeak p r n b k m n whadap &fat fisik tanah w b u t menyatakan Wwa pmdxhrm akan mengdibatkan bahan gambut
mmjadi porous, bidmfobik, nrsaknya sbvirtur tanah d m terjadi penunman bulk density (Usup et al., 2000; de Bano eta!., 1998). Smentsra itu bila dihitkern dengan sifat kimia tanah, timbdnya panas
&bat pembdwm w b u t
men&milh volettilisasi unsur-unsur hara
tmtmtu dm m d o m n g nitkifihsi (Wosbg, 1983 &urn de
B m et a!., 1998;
Chandler et d., 1983). Akibatnya, timbul respon dimma @a& peningSratan pH, sata p e m h u n s u r - m K, Ca, Mg,clan S (Nishita et
at., 1998; Andriwe, 1988).
d,1970; de Bana d
Respon pembakaran terhadap sifat biologi tanah dapat dilihat dari hubungan antara pemanasan tanah dan keberadaan mikororganisme tanah. Selma pemanasan, temperatur maksimum, kadar air tanah, dan tipe populasi mikroba, merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam mempelajari respon mikroba terhadap pemanasan tanah (Dunn dan de Bano, 1977 dalam de Bano et al., 1998). Respon pembakaran hutan rawa gambut terhadap vegetasi ditentukan oleh panas yang ditimbulkan (de Bano et al., 1998). Akibat pemanasan tersebut, proses metabolisme tumbuhan terganggu dan jaringan tanaman akan rusak bahkan mati (Brown dan Davis, 1973; Whelan, 1995). Namun terdapat pula bermacammacam adaptasi tumbuhan terhadap api, di antaranya mendorong pertunasan, penyebaran benih, dan pemecahan dormansi benih-benih tertentu (Whelan, 1995; Pyne, 1984). Bila ditinjau dari aspek struktur dan komposisi jenis, pembakaran akan berdampak pada terjadinya suksesi dimana akan terjadi munculnya jenis-jenis baru dan hilangnya beberapa jenis tumbuhan (Neiland, 1958; Chuswa d m Redd,
1966; Taylor, 1973; Krefting dan Ahlgren, 1974; Stransky dan Harlow, 1981 dalam de Bano et al., 1998). Respon pembakaran hutan rawa gambut terhadap kualitas air dapat dilihat dari kekeruhan air, sedimen, temperatur, volatilisasi unsur-unsur tertentu, dan aktifitas biologi di dalam air (de Bano et al., 1998; Wright dan Bailey, 1982). Selain peningkatan suhu, faktor-faktor di atas juga dipengaruhi oleh suspensi abu dan debu yang masuk ke dalam air. Namun informasi tentang pengaruh pembakaran hutan rawa gambut terhadap kualitas air masih sangat terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan keranglca teoritis di bawah ini.
-
-
Pmkgkatm bulk density dan kejen-
basa
Penurunan kapasitas m e h air, kandungm baPa, wrh KTK
Pen-
M i t s s air gmbut
iinghmgan yang berbeda.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian pembakaran limbah vegetasi di areal gambut ini, dapat digunakan sebagai acuan untuk: 1. Mengetahui perubahan struktur dan komposisi vegetasi akibat pembakaran, sehingga dapat diketahui jenis-jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi terhadap api, sehingga hal ini dapat bermanfaat dalam kegiatan rehabilitasi lahan bekas kebakaran. 2. Bahan masukan di dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan rawa gambut yang berkelanjutan.