BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BALAKANG
Asma merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas kronis sedunia dan terdapat bukti bahwa prevalensi asma meningkat dalam 20 tahun terakhir. Prevalensi penyakit asma terus mengalami peningkatan, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering dijumpai, dengan estimasi 300 juta orang penderita di seluruh dunia, terutama pada anak – anak(GINA, 2014a) Saat ini, jumlah pasien asma diperkirakan mencapai 300 juta orang, dan jumlah pasien yang meninggal karena serangan asma mencapai 255.000 orang (WHO, 2005). Penyakit sistem pernapasan, merupakan penyebab 17,4% kematian di dunia, dengan urutan sebagai berikut: infeksi paru (7,2%), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (4,8%), tuberkulosis (TB) (3%), kanker paru (2,1%) dan asma (0,3%) (WHO, 2005). Asma merupakan sepuluh penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Di Indonesia, prevalensi asma belum didukung oleh data yang pasti (PDPI, 2004; Sundaru, 2007). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi asma di Indonesia sangat bervariasi. Yunus dkk. (2011) melakukan penelitian prevalensi asma di Jakarta 1
dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Chilhood/ISAAC pada tahun 2001 dan 2008 dengan prevalensi kumulatif 11.5% tahun 2001 dan 12.2%
tahun 2008. Selain itu, hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas) tahun 2007, menyatakan bahwa prevalensi asma di Jakarta mencapai 2.9%. Tujuan terapi asma adalah untuk mencapai dan memelihara kontrol manifestasi klinik penyakit pada periode yang lebih lama. Terapi asma di bagi menjadi 2 kelompok, controller (pengontrol) dan reliever (pelega). Obat pengontrol harus digunakan setiap hari untuk mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru dan mencegah serangan akut. Kelompok obat yang termasuk pengontrol adalah kortikosteroid inhalasi, sodium kromoglikat, nedokromil sodium, agonis beta-2 kerja lama (LABA) inhalasi, agonis beta-2 kerja lama, leukotrien modifiers, kortikosteroid oral. Kelompok obat pelega digunakan ketika terjadi serangan akut seperti mengi (wheezing), sesak dada dan batuk. Kelompok obat pelega adalah agonis beta2 kerja singkat (SABA), Kortikosteroid sistemik jangka pendek, dan antikolinergik (GINA, 2014b) Farmakoterapi merupakan terapi fundamental dalam mengobati asma. Tujuan terapi farmakoterapi adalah mengontrol gejala dan mencegah eksaserbasi dengan efek samping yang minimum. Terapi asma pada dewasa dapat diberikan dalam berbagai rute, seperti inhalasi, oral dan secara parental (subkutan, intramuscular, dan injeksi intravena.). Keuntungan utama dalam terapi inhalasi adalah obat langsung ke 2
saluran pernapasan, menghasilkan konsentrasi local dengan risiko sitemik yang minimal (GINA, 2014b). Pada penelitian (Palaian dkk., 2006), 100% pasien mengalami kepatuhan dengan adanya informasi mengenai penyakitnya, obat dan modifikasi gaya hidup. Farmasis berperan aktif dalam menyediakan konseling pasien sehingga dapat meningkatkan kepatuhan luaran terapi dan kualitas hidup. Farmasis dalam konseling pada pasien asma dapat memonitoring pengobatan mandiri pasien, penggunaan bentuk sediaan khusus,seperti Metered Dose Inhalers (MDI), Dry Powder Inhalers (DPI) dan spacer. Pelatihan penggunaan MDI merupakan peranan penting dalam konseling farmasis. Kegagalan dalam pengunaan bentuk sediaan khusus merupakan penyebab utama ketidakpatuhan pada pasien. Banyak pasien yang tidak tepat dalam menggunakan inhalasi kortikosteroid sehingga tidak memberikan efek yang diharapkan dengan cepat.Untuk itu sangat diperlukan konseling oleh farmasis agar kegagalan terapi terakit penggunaan bentuk sediaan khusus dapat diminimalisir. Farmasi berperan yang cukup besar dalam peningkatan dan memelihara kontrol asma dan kualitas hidup. Keberhasilan dalam peningkatan kontrol asma kualitas hidup pasien asma baik yang dewasa maupun anak – anak tidak terlepas dari peran
farmasi
dalam
memberikan
informasi
mengenai
penyakit
asma,
rekomendasikan penggunaan inhaler secara tepat kepada pasien, mengingatkan kembali indikasi yang diberikan oleh dokter dan kemungkinan efek samping (González-Martin dkk., 2003; Mehuys dkk., 2008). 3
Peran farmasis dalam edukasi pasien dan evaluasi terapi semakin hari semakin dibutuhkan. Farmasis merupakan posisi yang ideal untuk mengakses dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan kepatuhan yang dapat mempengaruhi outcome kesehatan pasien (Cipolle dkk., 2012). Beberapa penelitian, farmasis komunitas menyediakan pelatihan yang efektif mengenai penggunaan teknik inhaler yang tepat. Pada pasien asma, intervensi mengenai teknik penggunaan inhaler yang tepat dapat meningkatkan pengukuran kontrol asma dan skor kuesioner kualitas hidup terkait asma, klasifikasi keparahan asma dan fungsi paru seperti Peak Expiratory Flow (PEF) (O’Dea dkk., 2010). Pengukuran kualitas hidup atau Quality of Life (QoL) dalam farmakoekonomi dapat digunakan sebagai perbandingan beberapa alternatif pengobatan atau tindakan,menilai manfaat suatu intervensi klinis, mengidentifikasi masalah kesehatan, dan dapat juga digunakan sebagai data dalam penelitian klinik. Secara umum kualitas hidup seseorang dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, latar belakang pendidikan, pekerjaan,status pernikahan, penghasilan, dan hubungan dengan orang lain (Depkes RI, 2007). Penelitian yang telah dilakukan (Imelda dkk., 2007) terhadap pasien asma dewasa dalam menghubungkan derajat asma dan kualitas hidup menunjukkan bahwa derajat asma mempengaruhi kualitas hidup pada kelompok asma derajat ringan. Sebuah penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Gonzalez-Barcala dkk., (2012) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan 4
kualitas hidup penderita asma dewasa adalah usia lanjut, tingkat pendidikan yang rendah, dan kontrol asma yang buruk. Sedangkan, dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, penurunan produktivitas, ketidakhadiran dikantor, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit, dan bahkan kematian. Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh konseling farmasis terhadap pasien dengan asma memang agak banyak. Namun, pada penelitian sebelumnya belum ada yang mengukur outcome yang diteliti kontrol asma yang diukur dengan Asthma Control Test (ACT) dan kualitas hidup yang diukur dengan Asthma Quality of Life Questionnaire (AQLQ). Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian agar mengetahui pengaruh terapi inhalasi padapasien asma persisten terhadap kontrol asma dan kualitas hidup pada di rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantu, sehingga bisa menjadi sumber literatur dokter dalam terapi asma pada pasien asma.
B. RUMUSAN MASALAH Adapun perumusan masalah yang hendak dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah : Bagaimanakah pengaruh konseling farmasis terapi inhalasi pada pasien asma persisten terhadap kontrol asma dan kualitas hidup pasien asma di Yogyakarta?
5
C. KEASLIAN PENELITIAN Tabel I. Keaslian penelitan JUDUL (TAHUN)
Metode
PENELITI
KESIMPULAN
Penelitian Pengaruh Jenis Terapi dan
Analitik
Chinthia Sari
Karateristik
Karakteristik Penyakit
noneksperimental,
Yusrina
mempunyai
Asma Terhadap Kualitas
cross sectional
penyakit pengaruh
yang terhadap
kualitas hidup pasien asma di
Hidup Pasien Asma Rawat
RSUD
Panembahan
Senopati
Jalan di RSUD
Bantul Yogyakarta adalah tingkat
Panembahan Senopati
keparahan (p=0,000) dan pemicu
Bantul Yogyakarta (2013)
asma (p=0,045). Semakin berat keparahan asma, kualitas hidup pasien semakin menurun. Jenis terapi tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien
Pengaruh Konseling
Quasi
Chinthia
Konseling
Farmasis Terhadap Tingkat
eksperimental
Pradiftha
terhadap
Kepatuhan Dan Hasil
dengan control
Sari
Terapi Pasien Asma Rawat
grup design with
Jalam di RS Khusus Paru
pretest and
Respira UPKPM
posttest
terapi
dapat kepatuhan
pasien
pada
berpengaruh dan
hasil
kelompok
konseling dibandingkan kelompok control.
Yogyakarta (2013) Pengaruh Pemberian
Quasi
Konseling Apoteker
eksperimental
oleh lamanya waktu terpapar asma
Terhadap Hasil Terapi
dengan control
(p=0,024) tetapi tidak dipengaruhi
Pasien Asma Anak Di Balai
grup design
oleh tingkat pendidikan orang tua
Pengobatan Penyakit Paru –
without pretest
(saksi) dan jenis terapi yang
Paru (BP4) Yogyakarta
and posttest
Rahma Aliya
Kemajuan hasil terapi dipengaruhi
diterima pasien.
(2012)
6
Pengaruh Konseling Oleh
Eksperimental
Mutiara
Konseling farmasis
Farmasis Terhadap Tingkat
pretest-postest
Herawati
pengaruh yang bermakna terhadap
Kontrol Asma dan Kepuasan Terapi Inhalasi
group with Control Group
Pasien Asma Rawat Jalan
tingkat
kontrol
mempunyai
asma
pasien
persisten sedang (p=0,000) dan persisten berat (p=0,001), serta berpengaruh kepuasan
terhadap
pasien
tingkat
menggunakan
inhalasi (p=0,000) di poli klinik penyakit dalam rawat jalan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konseling yang diberikan farmasis dalam bentuk penggunaan terapi inhalasi yang tepat kepada pasien asma dengan menilai kontrol asma dan kualitas hidup pasien asma menggunakan kuesioner. Kuesioner kontrol asma yang digunakan adalah Asthma Control Test (ACT)
sedangkan
kuesioner kualitas hidup anak dengan asma digunakan Asthma Quality of Life Questionnaire (AQLQ). Meskipun pada penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Yusrina (2013), parameter outcome adalah kualitas hidup asma pada dewasa dengan menggunakan kuesioner Asthma Quality of Life Questionnaire (AQLQ), namun penelitian ini tidak menghubungkan dengan kontrol asma dan hanya dihubungkan dengan karakteristik penyakit dan jenis terapi. Penelitian Sari (2013) membandingkan pengaruh pemberian konseling farmasi terhadap kepatuhan dan hasil terapi pada pasien asma dewasa. Sedangkan penelitian Aliya (2012), fokus penelitian adalah pengaruh konseling farmasi terhadap 7
hasil terapi pada pasien anak dengan asma. Dan, penelitian Herawati (2013), membandingkan pengaruh konseling farmasis terhadap tingkat kontrol dan kepuasan terapi inhalasi pasien asma dewasa. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan ini belum pernah sebelumnya dilakukan. Sehingga penelitian ini layak untuk di lakukan untuk mengetahui pengaruh intervensi farmasis terhadap kontrol asma dan kualitas hidup pasien asma.
D. MANFAAT PENELITIAN Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Sebagai masukan rumah sakit untuk mengevaluasi Standar Pelayanan Medis ASMA pada dewasa untuk meningkatkan keberhasilan terapi pasien. 2. Bagi tenaga kesehatan para dokter dan praktisi kesehatan lain, pembuat kebijakan, serta masyarakat kesehatan dan para peneliti lain sebagai referensi untuk melakukan monitoring terapi pada penderita asma. 3. Sebagai masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
E. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui pengaruh konseling farmasis terapi inhalasi terhadap pasien asma persisten, terhadap kontrol asma dan kualitas hidup pasien asma di Yogyakarta.
8