PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton (Anwar, 2006). Gapkindo memperkirakan areal perkebunan karet di Indonesia pada 2010 seluas 3,445 juta ha dan diperkirakan bertambah 5.000 ha pada 2011 (Sihotang, 2011). Saat ini luas areal pertanaman karet di Sumatera Utara tahun 2010 adalah 463.851 ha dengan produksi 413.597 ton serta produktivitasnya 1.015 ton per ha. Untuk total luas areal Indonesia adalah 3.445.121 ha dengan produksi 2.591.935 ton serta produktivitas 935 kg per ha (BPS, 2011). Indonesia merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia. Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3,2 juta ha, disusul Thailand (2,1 juta ha), Malaysia (1,3 juta ha), China (0,6 juta ha), India
Universitas Sumatera Utara
(0,6 juta ha), dan Vietnam (0,3 juta ha). Dari areal tersebut diperoleh produksi karet Indonesia sebesar 2,3 juta ton yang menempati peringkat kedua di dunia, setelah Thailand dengan produksi sekitar 2,9 juta ton. Posisi selanjutnya ditempati Malaysia (1,1 juta ton), India (0,8 juta (ton), China (0,5 juta ton), dan Vietnam (0,4 juta ton) (Apriyantono, 2007). Luas areal perkebunan karet indonesia pada tahun 2007 sekitar 3,4 juta hektar dengan produksi 2,76 juta ton. Pada tahun 2025 diharapkan Indonesia menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia dengan produksi 3,8-4,0 juta ton per tahun. Tingkat produksi tersebut dapat dicapai bila penggunaan klon unggul meningkat menjadi lebih dari 85%, sehingga produktivitas rata-rata naik minimal 1.500 kg/ha. Dari luas areal karet Indonesia saat ini, 85% (2,8 juta ha) merupakan areal perkebunan karet rakyat yang memberikan
kontribusi
81%
terhadap
produksi
karet
alam
nasional
(Balit Sumbawa, 2009). Tanaman karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang menduduki posisi cukup penting sebagai sumber devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki prospek yang cerah. Oleh sebab itu upaya peningkatan produktifitas usaha tani karet terus dilakukan terutama dalam bidang teknologi budidaya (LIPTAN, 1992). Jenis Klon karet unggul yang dianjurkan untuk sistem pertanian karet di daerah Sumatera dan Kalimantan adalah PB 260, AVROS 2037, RRIC 100, BPM 1 dan RRIM 600. Selain itu, BPM 24 dapat digunakan juga di Jambi. Semua jenis klon karet tersebut memberikan hasil yang baik, pertumbuhan batang yang cepat, dan dapat diadaptasikan ke dalam kondisi perkebunan rakyat. Semua jenis klon tersebut mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap penyakit daun
Universitas Sumatera Utara
Colletotrichum kecuali BPM 24 dan toleran terhadap penyadapan yang kasar (Purwanto, 2001). Harga karet alam yang membaik saat ini harus dijadikan momentum yang mampu
mendorong
pembenahan
dan
peremajaan
karet
yang
kurang
produktif dengan menggunakan klon-klon unggul dan perbaikan teknologi budidaya.
Pemerintah
telah
menetapkan
sasaran
pengembangan
produksi karet alam Indonesia sebesar 3 - 4 juta ton/tahun pada tahun 2025 yang dapat dicapai apabila areal kebun karet (rakyat) yang saat ini kurang produktif berhasil
diremajakan
dengan
menggunakan
klon
karet
unggul
secara
berkesinambungan (Anwar, 2007). Tanaman karet klon PB 260 merupakan klon penghasil lateks yang dianjurkan untuk dikembangkan di Indonesia mulai tahun 1991. Karakteristik klon PB 260 adalah pertumbuhan lilit batang pada saat tanaman belum menghasilkan dan telah menghasilkan sedang, tahan terhadap penyakit daun. Potensi produksi awal cukup tinggi dengan rata-rata produksi 2.107 kg/tahun. Lateks berwarna putih kekuningan dan dapat dilakukan pada daerah beriklim sedang dan basah (Erlan, 2004). Masalah yang terdapat di perkebunan yaitu salah satunya kurangnya pemupukan terhadap stum okulasi mata tidur karet di pembibitan sehingga banyak pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet yang kurang baik setelah ditanam di lapangan. Pemberian pupuk fosfat merupakan salah satu cara perbaikan teknik budidaya yang dapat dilakukan guna mencapai tujuan yang optimal dalam
Universitas Sumatera Utara
penyediaan bibit karet stum mata tidur. Pada stadia ini unsur fosfat mempunyai peranan sangat penting bagi tanaman karet dalam proses pembentukan akar dan melindungi daerah perakaran batang bawah yang luka sewaktu pembongkaran dari lokasi pembibitan dan juga proses respirasi sehingga proses metabolisme pada sistem perakaran batang bawah dapat terbentuk dengan baik. Dengan pengaruh pupuk fosfat yang sangat penting diawal pertumbuhan stum mata tidur karet, maka pemberian pupuk fosfat sangat dianjurkan diawal pertumbuhan stum. Adapun unsur fosfat juga mempunyai peran di dalam pemindahan dan penggunaan energi (ATP-AMP), pembelahan sel, pertumbuhan jaringan meristem, pelindung jaringan tanaman yang terluka dari jamur serta pembentukan bagian-bagian generatif seperti bunga, buah, dan lateks (Sivandyan, 1981). Sludge (limbah padat) kelapa sawit adalah benda padat yang tenggelam di dasar bak pengendapan pengolahan limbah kelapa sawit. Limbah seharusnya dikelola agar tidak mencemari lingkungan. Limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan Minyak Kelapa Sawit banyak mengandung unsur hara, diantaranya nitrogen, fosfor, kalium, magnesium dan kalsium yang sangat baik digunakan sebagai bahan organik. Fungsi bahan organik diantaranya memperbaiki struktur tanah (fisika tanah) agar dapat meningkatkan keterikatan antar partikel tanah serta menurukan tingkat pencucian. Menyediakan unsur hara ke dalam tanah agar dapat meningkatkan kation-kation yang dapat dipertukarkan. Memperbaiki kualitas biologi tanah yang akan meningkatkan perkembangan biota yang ada di dalam tanah (Utomo dan Widjaja, 2004). Tanah Ultisol umumnya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Tanah ini memiliki kadar hara yang rendah, serta konsentrasi Al, Fe dan Mn yang cukup
Universitas Sumatera Utara
tinggi. Jerapan P merupakan kendala terpenting pada Tanah Ultisol sehingga menyebabkan P tersedia rendah bagi tanaman. Untuk mengatasinya perlu ditambahkan bahan organik yang dapat memperbaiki struktur tanah, menyumbang unsur hara dan memperbaiki kualitas biologi tanah (Jumronitoha dkk, 2008). Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai limbah padat kelapa sawit sebagai bahan campuran media dan pemberian pupuk fosfat terhadap pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet (Havea brasiliensis Muell Arg.) pada tanah ultisol.
Tujuan Penelititan
Tujuan penelititan adalah untuk mengetahui pengaruh media tanam dan pemberian pupuk fosfat terhadap pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet (Havea brasiliensis Muell Arg.) di pembibitan.
Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh media tanam dan pemberian pupuk fosfat serta interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet (Havea brasiliensis Muell Arg.) di pembibitan.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi dan sebagai informasi bagi pihak yang membutuhkan dalam penelitian stum okulasi mata tidur karet.
Universitas Sumatera Utara