PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi keberagamaan yang sangat plural. Tidak hanya agama mainstream yang sudah terlembaga, tetapi juga kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat, bahkan jauh sebelum negara Indonesia ada. Pada era Orde Baru berdasarkan GBHN paham keagamaan lokal digolongkan ke dalam aliran kepercayaan. Pada waktu itu pembinaan aliran kepercayaan diarahkan agar kembali kepada induk agamanya masing‐masing. Maka pada waktu itu pula ada kebijakan, agama/kepercayaan lokal untuk digabungkan dengan agama yang ajarannya mendekati. Berbagai agama/kepercayaan lokal seperti Kaharingan (Dayak), Aluk Todolo (Toraja) digabungkan ke dalam agama Hindu dan agama Khonghucu digabungkan ke dalam agama Buddha, sedangkan agama sunda wiwitan, agama Samin dan aliran kebatinan digabungkan ke dalam agama Islam. Dengan kebijakan pemerintah yang pada waktu itu sangat represif, maka demi menyelamatkan diri mereka dengan sangat terpaksa menerima penggabungan tersebut. Dengan berakhirnya Era Orde Baru dan munculnya Era Reformasi, maka hal‐hal yang tadinya tertutup, mulai terbuka. Mereka yang tadinya tidak berani menyuarakan aspirasinya, kini mulai berani menyuarakan tuntutannya. Diantara tuntutannya ialah, mereka ingin agama/kepercayaan lokal mereka diakui terpisah dari agama induknya, karena menurut mereka dari segi ajaran sangat jauh berbeda. Dengan demikian muncullah tuntutan agar agama/kepercayaan lokal Dinamika Agama Lokal di Indonesia
1
mereka diberikan pelayanan sebagaimana agama‐agama lainnya. Pertama kali tuntutan itu muncul dari agama Kaharingan, Khonghucu, dan Sunda Wiwitan. Selama ini informasi tentang keberadaan paham keagamaan lokal masih belum banyak diketahui oleh pemerintah dan masyarakat luas, meskipun Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah dua tahun berturut‐turut (tahun 2010 dan tahun 2011) melakukan penelitian tentang agama lokal. Oleh sebab itu pada tahun 2012 ini penelitian tersebut dilanjutkan kembali dengan fokus masalah pelayanan hak‐hak sipil mereka. Secara yuridis, agama lokal berhak memperoleh jaminan hak hidup dan pelayanan hak sipil dari negara pasal 29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kata kepercayaan dalam pasal 29 ayat 2 itu telah memiliki multi‐ interpretasi yang dampaknya tidak sederhana. Bagi aliran kebatinan (kepercayaan) seperti; Sapto Dharma, Sumarah, Subud dan Pangestu yang merupakan aliran kepercayaan utama yang keberadaannya jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan, pasal 29 yang memuat kata ”kepercayaan” dianggap merupakan pengakuan negara terhadap aliran kebatinan itu setaraf dengan agama yang dilayani pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 1 UU N0. 1 /PNPS /1965 disebutkan bahwa terdapat 6 (enam) agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confusius). Ini tidak berarti bahwa agama‐agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto, atau Taoism dilarang di Indonesia. (Kementerian Agama RI,
2
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012 : 184). Undang‐Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) khususnya pasal 64 ayat (1) juga tidak melarang agama‐agama lain selain yang secara faktual dan sosiologis dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Namun, dalam ketentuan pasal 64 ayat (2) UU Adminduk dinyatakan bahwa : “Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang‐Undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”. Oleh karena itu meskipun agama/kepercayaan lokal seperti yang telah disebutkan diatas, tampaknya mengalami stagnasi, namun komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal sebenarnya mengalami perkembangan pasang surut. Hal itu terkait dengan adanya perubahan‐perubahan di dalam dirinya sendiri, maupun perubahan yang diakibatkan karena adanya perkembangan di sekitarnya. Faktor politik juga seringkali turut mempengaruhi perubahan‐perubahan tersebut. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan sistem agama/ kepercayaan lokal dan persebaran pemeluknya ? 2. Bagaimana dinamika relasi sosial pengikut agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya?
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
3
3. Bagaimana realisasi hak yuridis pengikut agama/ kepercayaan lokal, terutama menyangkut pelayanan hak‐ hak sipil, baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU Adminduk No. 23 tahun 2006 (Akte kelahiran, Identitas agama dalam KTP, Pencatatan pernikahan dan tempat pemakaman)? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menggali informasi tentang perkembangan komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal dan persebarannya, baik menyangkut paham dan keyakinan, pengikut, organisasi maupun tradisi. 2. Menelusuri kebijakan politik pemerintah Indonesia terhadap komunitas pengikut agama/kepercayaa lokal, terutama terkait dengan pelayanan hak‐hak sipilnya sebagai warga Negara, baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan( Akte kelahiran, Identitas agama dalam KTP dan Pencatatan pernikahan maupun tempat pemakamannnya). 3. Menelusuri dinamika relasi sosial komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi kepada pimpinan Kementerian Agama dan pihak‐pihak lain yang terkait dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan pemerintah terhadap hak‐hak sipil pengikut agama/kepercayaan lokal.
4
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
E. Definisi Operasional Agama/kepercayaan lokal adalah agama yang berkembang dan dianut oleh komunitas di daerah tertentu. Agama lokal nusantara, memiliki berbagai nama, yang lazim digunakan di tempat mereka hidup sehari‐hari. Agama asli nusantara adalah agama lokal, yang lahir dan tumbuh di nusantara, jauh sebelum adanya agama Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Katolik, dan Kristen. Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum adanya agama‐agama tersebut di atas, telah ada agama lokal yang jauh lebih tua. Ciri‐ciri utama agama lokal adalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, gotong royong dan saling menghormati hubungan antara sesama manusia, alam dan Tuhan. Masyarakat penganut agama/kepercayaan lokal menyebut nama agama‐agama mereka sesuai dengan bahasa masing‐masing. Setelah Indonesia merdeka, kesadaran untuk mengembangkan agama/kepercayaan lokal tumbuh berkembang sesuai UUD dan kebijakan Pemerintah terkait dengan agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada tahun 1965 muncul PNPS yang menyebutkan beberapa agama yang hidup dan dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia. Disamping itu terdapat kelompok‐kelompok keagamaan/kepercayaan lokal yang pada masa Orde Baru diintegrasikan kepada agama‐agama induknya, kebijakan pemerintah terhadap penganut agama lokal juga diarahkan kembali ke agama asal. Namun bagi penganut kepercayaan yang tidak memiliki latar belakang ajaran pada agama besar, pembinaannya ditangani oleh Kemendikbud. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
5
F. Metodologi Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dalam tradisi sosiologi/antropologi, menggambarkan realitas sosial, penelitian ini bersifat deskriftif analitik tidak menggunakan model thick description dari Geertz, yaitu model yang lebih menekankan penggalian makna dari pada sekedar menggali pola atau hukum keteraturan (Geerts, 1973:5‐7). Jenis Data yang Dihimpun Adapun data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Data yang terkait dengan perkembangan komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal, baik menyangkut paham dan keyakinan, organisasi maupun tradisi, digali melalui observasi, wawancara dengan pihak‐pihak yang dipandang mempunyai kompetensi dan penggalian dokumen yang relevan. Data yang terkait dengan perkembangan kebijakan politik pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap pengikut agama/kepercayaan lokal, terutama menyangkut pelayanan hak‐hak sipilnya, digali melalui undang‐undang dan regulasi di bawahnya, termasuk peraturan daerah. Data yang terkait dengan dinamika relasi sosial pengikut agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya, digali dari pandangan komunitas kepercayaan lokal terhadap masyarakat di luarnya dan juga sebaliknya. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan melalui beberapa cara antara lain: 1) kajian pustaka dengan
6
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
mempelajari beberapa dokumen, literatur yang mendukung; 2) wawancara mendalam(indepth interview); 3) observasi lapangan. Kajian pustaka dilakukan di beberapa perpustakaan untuk mempelajari buku‐buku hasil penelitian yang ada kaitannya dengan masalah yang kita teliti. Wawancara mendalam dilakukan terhadap pihak yang terkait dengan penelitian ini antara lain: pimpinan kelompok paham keagamaan lokal yang diteliti, pengikutnya, pemerintah daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan pariwisata daerah, pimpinan ormas keagamaan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, aparat pemerintah setempat (Kantor Kementerian Agama, Kantor catatan sipil, Kantor Urusan Agama, Camat, Lurah/Kades, Kejaksaan/ intelegen, Kepolisian, Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem). Sedangkan observasi lapangan dilakukan antara lain mengenai aktivitas sehari‐hari pengikut paham keagamaan lokal, tradisi yang mereka jalankan serta interaksi sosial antara pengikut dan bukan pengikut, memperhatikan perkembangan agama/kepercayaan lokal, baik sebelum dan sesudah mengalami perkembangan hingga kini. G. Sasaran dan Lokasi Penelitian Komunitas yang masih memelihara kepercayaan agama lokal di Indonesia jumlahnya sangat banyak, seperti penelitian agama lokal yang pernah dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2010 adalah: 1) Paham Madrais di Cigugur Kuningan; 2) Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Masade/Islam Kaum Tua di Sulawesi Utara; 3) Paguyuban Sumarah sebelum dan sesudah Pasca Dinamika Agama Lokal di Indonesia
7
Reformasi di Yogyakarta; 4) Sapto Dharmo di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; 5) Aluk To Dolo di Tana Toraja Sulawesi Selatan; 6) Agama Kaharingan pada Era Reformasi di Kalimantan Tengah; 7) Boda Sasak di Lombok Utara. Selain itu penelitian agama/kepercayaan lokal yang juga telah dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011 adalah: 1) Komunitas Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan; 2) Komunitas Parmalim di Sumatera Utara; 3) Komunitas Samin di Kabupaten Blora Jawa Tengah; 4) Komunitas Kampung Naga diTasikmalaya; 5) Komunitas Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu di Indramayu Jawa Barat; dan 6) Komunitas Suku Anak Dalam di Jambi. Sedangkan penelitian pada tahun 2013 ini melanjutkan penelitian‐penelitian sebelumnya, namun lokasi agama/kepercayaan lokalnya berbeda, dengan permasalahan yang sama, tetapi fokus penekanannya pada pencatatan perkawinan, identitas agama dalam KTP dan akte kelahiran serta tempat pemakamannya. Agama‐agama lokal yang dikaji meliputi: 1) Agama/Kepercayaan Merapu di Sumba NTT; 2) Agama/Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun di Sukabumi Jawa Barat; 3) Agama/Kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy di Desa Kanekes Lebak Banten; 4) Agama/Kepercayaan Islam Wetu Telu di Bayan Lombok Utara NTB; 5) Agama/Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung; 6) Agama/ Kepercayaan Buhun orang Kranggan Jati Sampurna Kota Bekasi Jawa Barat; 7) Agama/Kepercayaan Masyarakat Kampung Dukuh Dalam; Agama/Kepercayaan lokal tersebut dipilih dengan pertimbangan; (1) paham keagamaan/kepercayaan tersebut
8
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
bersifat lokal, artinya dianut oleh komunitas yang terbatas; (2) paham keagamaan/kepercayaan tersebut bertahan hidup dalam berbagai perkembangan sosial; (3) ajaran dan ritual keagamaan/kepercayaan tersebut masih mereka patuhi dan taati oleh komunitasnya yang berbentuk tradisi hidup (living tradition), seperti: kelahiran, kematian/pemakaman, perkawinan, dan lain sebagainya; (4) mempunyai dinamika yang menarik, baik terkait dengan sikap politik pemerintah terhadap mereka, maupun terhadap lingkungan sosial dimana komunitas itu berada. H. Studi Kepustakaan Kajian terkait agama/kepercayaan lokal yang pernah dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2012, yaitu: 1) Komunitas Parmalim, secara umum telah mengalami stagnasi. Namun tradisi adat mereka dapat dipertahankan oleh para pengikutnya. Kebijakan pemerintah menyangkut pelayanan hak‐hak sipilnya belum mencerminkan implementasi dari UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sampai hari ini belum tertera di kolom kartu tanda penduduk (KTP) yang mencantumkan agama mereka. Akte kelahiran dan pencatatan nikah juga belum dilayani oleh pemerintah meskipun sudah ada perintah dari Undang‐Undang. Relasi sosialnya dengan masyarakat luar terutama terhadap agama mainstream sangat baik dan sangat toleran; 2) Kepercayaan Suku Anak Dalam, telah mengalami perubahan, mereka yang semula tidak menganut agama apapun, sebagian sudah menjadi mu’alaf muslim dan ada juga yang masuk Kristen. Pemerintah belum melakukan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
9
pendataan secara serius dan belum memberikan pelayanan maksimal terkait hak‐hak sipilnya belum terlayani dengan baik (pelayanan KTP, Akte kelahiran, pencatatan perkawinan dan kematian). Relasi sosial terhadap internalnya cukup baik, namun terhadap kelompok agama mainstream mereka tidak mengenalnya; 3) Komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Jawa Barat. Komunitas tersebut sejak awal sudah mengalami perubahan baik dari segi nama maupun ajaran mereka. Perubahan tersebut dilakukan dalam rangka menghadapi tantangan yang terjadi karena kondisi sosial yang berubah.Pemerintah setempat belum melakukan pendataan terhadap komunitas tersebut. Selama ini menurut keterangan camat Losarang (Ahmad Midan) mengatakan komunitas agama lokal baru mengurus KTP ketika beliau baru mau melakukan pernikahan, karena menurutnya KTP itu tidak penting. Salah satu penyebab keengganannya untuk memenuhi hak sipil mereka karena adanya keharusan mengisi kolom agama, sementara mereka tidak mengikatkan diri pada salah satu agama maupun organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Relasi sosial terhadap internal maupun eksternalnya cukup baik. 4) Kepercayaan Masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Penduduk Kampung Naga mayoritas beragama Islam. Islam sebagai agama mayoritas penduduk, diterima dan diakomodasi dalam tradisi budaya masyarakat Kampung Naga dengan warna etnik Sunda. Pencatatan perkawinannya dilakukan di KUA Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, karena masyarakatnya beragama Islam.Untuk pencatatan akte
10
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
kelahiran dan kematian dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Relasinya dengan masyarakat sekitar dan dengan ormas‐ ormas lainnya berjalan dengan baik. 5) Kepercayaan Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Blora Jawa Tengah, Pada era reformasi hingga kini komunitas Samin memperoleh kebijakan yang spesifik, seperti identitas agama dalam KTP boleh ditulis Samin atau boleh dikosongkan/tanda setrip dan akte kelahiran dilayani sama dengan penduduk lainnya. Dalam masalah perkawinan, pemerintah belum memberikan payung hukum, sehingga mereka masih melakukan berdasarkan hukum adat dan masih menunggu payung hukum dari pemerintah.Relasi sosial sesama komunitas Samin cukup baik dan akrab bahkan saling membantu dalam kebutuhan hidup sehari‐ hari. Tetapi relasi sosial dengan kelompok mainstream tidak terlihat karena komunitas Samin hidup mengelompok seakan‐akan membuat komunitas tersendiri dan mereka jarang ke luar rumah kecuali pergi ke kebun dan keladang. 6) Kepercayaan Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan, penganut agama lokal ini hingga sekarang masih bertahan. Mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, tidak menuntut apa yang tidak menjadi hak mereka. Identitas agama dalam KTP dituliskan agama Hindu untuk mencari keselamatan dan ketentraman.Masalah perkawinan mengikuti cara‐cara agama Hindu, yaitu calon pengantin laki‐laki mendatangi Petugas Pembantu Pencatat Perkawinan.Relasi sosialnya terjadi interaksi terhadap sesama golongan apapun yang ada di sekitarnya. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
11
I.
Kerangka Teori Menurut para antropolog dan sosiolog, agama merupakan sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan dalam tindakan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang suci dan gaib. “Dari pengertian tersebut maka terjadinya perubahan Paham dan keyakinan keagamaan sangat dimungkinkan. Perubahan tersebut disebabkan karena perbedaan‐perbedaan interpretasi dan cara pandang dalam memahami situasi‐situasi yang terus berubah atau ilmu pengetahuan yang berkembang” (Abdurrahman Mas ‘ud, 2009). Perbedaan interpretasi ajaran atau doktrin sebuah agama/kepercayaan lokal mengakibatkan timbulnya perbedaan keyakinan, faham atau aliran keagamaan. Jadi secara teoritis dan praktis perbedaan interpretasi terhadap doktrin agama yang menimbulkan aliran agama baru pada tingkat pemahaman pada prinsipnya tidak bisa dihindarkan terutama karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan, pemahaman dan pengamalan serta perkembangan budaya masyarakat. Sistem kepercayaan yang dianut tidak disebut berasal dari Tuhan, tetapi sebagai produk kebudayaan manusia itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Clifford Geertz (1981), agama pada dasarnya merupakan produk kebudayaan. Karena itu, sebuah sistem keyakinan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan masyarakatnya. Persoalannya adalah bagaimana posisi individu dan komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal dalam statusnya sebagai warga Negara diperlakukan. Hal ini terkait dengan kebijakan sebuah Negara mengenai status kewarganegaraan masyarakatnya.
12
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
AGAMA/KEPERCAYAAN MERAPU DI SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : Wakhid Sugiyarto
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
13
GAMBARAN UMUM WILAYAH Sumba Selayang Pandang Penelitian agama Marapu dilaksanakan di daratan Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur atau disebut ‘Bumi Marapu” tepatnya di Kabupaten Sumba Barat. Bumi Marapu adalah sebutan lain bagi Tana Humba atau Sumba untuk keseluruhan daratan Sumba. Agama Marapu sebagai agama komunitas masyarakat daratan Sumba hingga kini masih tetap eksis, meskipun secara administrasi kependudukan mereka sudah semakin terdesak dan digantikan sebagai orang Kristen dan Katolik. Menurut informan dari pihak Kristen dan Katolik, hal itu dipandang sebagai cara adaptasi, agar mereka dapat berperan sejajar dengan warga negara Indonesia lainnya di seluruh Sumba dalam aspek kehidupan sosial, pendidikan, ekonomi dan politik. Di sepanjang pantai timur hingga pantai barat tersimpan misteri agama Marapu dan rumah‐rumah adat yag menjulang tinggi diperbukitan maupun di ngarai, altar megalit dan batu kuburan keramat yang nampak menghiasi setiap depan rumah, pojok ruang kota, kampung (kabisu) dan dusun (paraingu) kiri kanan sepanjang jalanan trans Sumba. Di tengah‐tengah kota Waikabubak sebagai ibukota Kabupaten Sumba Barat, juga dapat disaksikan kampung‐ kampung adat dengan rumah‐rumah adat joglo yang tinggi menjulang beratapkan ilalang. Keberadaanya menjadi obyek wisata bagi turis‐turis asing, meskipun bagi kita sendiri malah menjadi simbol peninggalan peradaban jaman batu yang harus segera ditinggalkan.
14
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Rumah‐rumah itu di dalamnya bercampur aduk antara penyimpanan bahan makanan, tempat memasak, tidur, buang hajat, kandang babi, kandang kerbau, anjing dan gudang menjadi sesuatu yang mengesankan adalah lokasi yang jorok itu dibanggakan dan diperlihatkan kepada para turis. Kondisi lingkungan perkampungan adat yang terkesan jorok itu, bisa saja menurut kita memerlukan rehabilitasi total, supaya lingkungan berubah menjadi lingkungan yang sehat, dalam hal ini tentu saja harus melibatkan Pemerintah Daerah, karena hal tersebut memerlukan dana besar. Tetapi bagi para penghuninya, kondisi lingkungan seperti itu ternyata sama sekali tidak mengganggu kehidupan sehari‐harinya, mereka bisa hidup dengan tenang, seperti tidak ada problem apapun berkaitan dengan kondisi lingkunganya. Kondisi Geografis dan Demografis Kondisi daratan tanah pulau Sumba secara topografis terdiri dari perbukitan, lahan daratan rendah yang landai dan bertingkat‐tingkat. Wilayahnya bersuhu tinggi sehingga mengakibatkan batu‐batuan menjadi mudah lapuk. Jenis tumbuhan yang dapat tumbuh pada umumnya berupa tanaman keras seperti jati, kelapa, aren dan sebagainya. Sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi, babi, kuda dan anjing sesuai dengan keadaan alamnya. Masyarakat Sumba umumnya bermata pencarian sebagai petani ladang, sedikit sawah basah, tadah hujan dan peternak. Kebiasaan bertani dan beternak diwariskan oleh nenek moyang sejak zaman dulu. Sekalipun pulau Sumba dikelilingi lautan luas, namun sedikit orang Sumba yang menjadi nelayan tradisional, sebagaimana orang‐orang Bima, Bugis dan Jawa. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
15
Jumlah penduduk di Pulau Sumba ada sekitar 699.686 jiwa. Dilihat dari persebaran jumlah penduduknya adalah Sumba Barat Daya, 290.539 jiwa, Sumba Timur 232.237 jiwa, Sumba Barat 113.189 jiwa, dan Sumba Tengah 63.721 jiwa. Di Sumba Barat kepadatan penduduknya 153 jiwa/km2, terdiri dari laki‐laki 58.638 jiwa dan perempuan 54.551 tergabung dalam 256.963 Kepala Keluarga. Penduduk terpadat adalah Kecamatan Kota Waikabubak yaitu 29.494 jiwa; Loli 27.785 jiwa; Tana Righu 18.000 jiwa; Lamboya 16.097 jiwa; Wanokaka 14.375 jiwa dan Kecamatan Lamboya Barat berpenduduk 7.438 jiwa (Kabupaten Sumba Dalam Angka, 2012).
16
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
TEMUAN HASIL PENELITIAN Kehidupan Sosial Keagamaan Secara umum Provinsi NTT masih memperlihatkan lima (5) agama besar yang dilayani Pemerintah, sementara Khong Huchu belum tampak prosentasenya. Namun, sesungguhnya, di seluruh wilayah NTT masih banyak penganut agama lokal, tetapi dilihat dari data BPS, tidak nampak, sehingga tidak ada data resmi jumlah penganut agama lokal di seluruh Provinsi NTT. Secara administratif, penduduk Sumba Barat mayoritas memeluk agama Kristen 69.406 jiwa, Katolik 23.483 jiwa, Islam 9.291 jiwa dan Hindu 199 jiwa (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2012). Berdasarkan data lainnya jumlah umat Kristen 55.635 jiwa, umat Katolik 22.084 jiwa, umat Islam 8.543 jiwa, umat Hindu 198 jiwa dan umat Marapu sebanyak 24.198 jiwa (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2010). Menurut informan, dari kalangan bangsawan dan elit politik Sumba maupun orang‐orang penting di Sumba mengatakan bahwa sebahagian dari kami masih taat menjalankan ritual Marapu, meskipun sebagian besar lainnya sudah ke gereja. Hal ini sebagaimana dinyatakan juga oleh Rambu Sama Pati, yang masih seorang darah biru di Sumba Barat, adik kandung dari Bupati Sumba Tengah Umbu Sappi Pateduk, mengatakan bahwa dirinya dan umumnya para politisi dan birokrat meskipun sudah Kristen, tetap masih menjalankan tradisi Agama Marapu. (diolah dari hasil wawancara dengan Rambu Sama Pati, 12 April 2013). Dari hasil wawancara dan FGD, diperoleh informasi, bahwa para pendeta, guru, Dinas Pendidikan dan Pemerintah telah membuat jebakan mematikan keberadaan komunitas agama Dinamika Agama Lokal di Indonesia
17
Marapu, yaitu dengan menggiring anak‐anak usia sekolah ke sebuah kandang yang sudah disiapkan dan tidak ada pilihan lainya, mereka harus memiliki surat babtis di semua jenjang pendidikan. Anak‐anak usia sekolah itu termasuk orang tuanya, masuk ke agama Kristen/Katolik, sementara yang mereka kehendaki adalah dididik sesuai agama Marapu. Alasan menggiring anak‐anak usia sekolah ke kandang agama Kristen atau Katolik, ternyata cukup logis, yaitu bahwa di sekolah harus ada pelajaran agama, bahkan nilai agama minimal harus 6. Jika anak murid sekolah tidak ada nilai pelajaran agamanya maka siswa tersebut tidak akan naik kelas di semua jenjang pendidikan. Sementara itu, agama Marapu yang memang mayoritas itu masih dipandang bukan sebagai agama, karena tidak ada kitabnya, sehingga tidak dapat diajarkan dan tidak dapat disusun kurikulumnya, tidak ada gurunya, dan tidak ada pula pengawas agama Marapu. Satu‐ satunya jalan yaitu harus diajarkan dengan ajaran agama formal yang ada, yaitu Kristen atau Katolik. Sementara itu berkaitan dengan hak pendidikan agama bagi anak itu, terikat dengan agama apa yang dianut oleh siswa. Jika agamanya Kristen, maka didatangkanlah guru agama Kristen, dan jika siswanya beragama Katolik, maka didatangkanlah guru agama Katolik. Untuk mengetahui kebutuhan itu, maka satu‐ satunya jalan adalah dengan surat wajib babtis dari pendeta Kristen ataupun Katolik, sehingga sekolah tidak dipersalahkan oleh siapapun, karena pendidikan agama yang diberikan kepada siswa sudah sesuai dengan siswa yang telah memiliki surat babtis dari gereja. Jika tidak di babtis, berarti siswa tersebut tidak bisa sekolah dan tidak bisa menjadi pegawai negeri, tentara, polisi dan sebagainya yang mensyaratkan dalam KTP‐nya harus ada agama formal.
18
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Informan lain mengatakan bahwa dahulu ia ketika masuk Sekolah Dasar diharuskan memiliki surat babtis yang dikeluarkan oleh Gereja, jika tidak, maka ia tidak dapat sekolah. Oleh karena itu ia terpaksa minta surat babtis kepada pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) agar bisa bersekolah. Sementara itu sampai hari ini, ia tidak pernah tahu di dalam gereja itu ada apa. (diolah dari hasil wawancara dengan Weny Dela Kondo, 13 April 2013). Informan lainnya juga mengatakan, bahwa memang salah besar ketika semua lembaga pendidikan negeri dan swasta di semua jenjang mengharuskan calon siswa untuk memiliki surat babtis dari pendeta di gereja. Sebab masalah keyakinan tidak boleh dipaksakan seperti itu dan masalah agama merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar yang tidak bisa diganggu gugat. Persoalanya adalah bahwa agama Marapu ini tidak ada kitab suci tertulisnya, sehingga timbul kesulitan jika kelompok lain ingin membuktikan bahwa Marapu adalah agama. Karena semua orang setidaknya 85% masyarakat ber‐KTP sebagai umat Kristen/Katolik, tetapi seluruh perjalanan hidupnya masih bernilai sebagai orang Marapu. Oleh karena itu tidak heran jika semua gereja sepi pada hari minggu, karena sebagian besar orang masih beragama Marapu. Komunitas Marapu menjadi komunitas tak berdaya berhadapan dengan definisi agama yang diberikan oleh orang lain, pemerintah dan para agamawan lain, karena pemerintah tetap menempatkan Marapu sebagai aliran kepercayaan dan bukan sebagai agama. Cita‐cita untuk mendirikan lembaga adat Marapupun masih terkendala oleh desakan para pendeta agar pemerintah jangan sampai melegalkan Marapu sebagai agama, karena akan mengancam posisi mayoritas Kristen di Kabupaten Sumba Dinamika Agama Lokal di Indonesia
19
Barat. Pendirian Lembaga Adat sudah langsung mendapat kecurigaan dan reaksi dari para pendeta Kristen dan Katolik, karena ia tahu bahwa dengan pendirian lembaga adat Marapu akan menjadi langkah awal dari pengukuhan Marapu sebagai agama. Dan merekapun mengetahui bahwa begitu Marapu dikukuhkan sebagai agama, maka sebagian besar penduduk akan berpindah ke agama Marapu. Hasilnya adalah amanat kepada Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi komunitas adat Marapu, yaitu sebuah kantor yang representatif bagi lembaga adat tersebut dan sekaligus menjadi pusat informasi yang berkaitan dengan Marapu. Sementara ini, informasi berkaitan dengan Marapu di bawah kewenangan Dinas Pariwisata, yang menurut Lele sama sekali tidak paham seluk beluk kepercayaan dan adat Marapu. Bahkan pegawainya malah menjadi guide bagi wisatawan dan bukan menyiapkan paket‐paket dan inovasi pariwisata, dan dengan jengkelnya Lele Dapa Wole mengatakan, pegawai di Dinas pariwisata termasuk kepala Dinasnya hanya makan gaji buta. (diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wolu dan Ana Angelina Lele, 1 Mei 2013). Sampai hari ini ada ketentuan bahwa setiap siswa ketika akan mendaftarkan dirinya ke sekolah di semua jenjang harus memiliki surat babtis dan itu masih berlaku. Merekapun seolah‐olah masuk Kristen dengan surat babtis itu, tetapi sesungguhnya dalam kehidupan dari lahir hingga matinya masih dengan cara kepercayaan, nilai dan rasa agama Marapu, termasuk Lele Dapa Wole dan Ana Angelia Lele. Alasan bersedia di babtis dengan nama Kristen dan ber‐KTP Kristen juga diilhami oleh kenyataan lapangan, bahwa jika tidak memiliki surat babtis itu, maka anak‐anak dari keluarga Marapu tidak dapat bersekolah dan bekerja disektor
20
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
pemerintahan atau sektor lain yang memerlukan keterangan agamanya. Jadi mereka masuk agama Kristen, sebenarnya karena tidak ada pilihan dan digiring masuk kandang yang tidak dikehendakinya. Oleh karena itu dengan cara demikian, pemerintah dan semua lembaga pendidikan telah menggiring anak‐anak Marapu masuk Kristen, setidaknya secara formal. Soal mereka masih Marapu atau taat dan belum menjalankan nilai‐nilai dan ajaran Kristen itu hanya soal waktu saja, yang kemungkinan besar dalam beberapa generasi dipastikan akan meninggalkan kepercayaan lamanya.(diolah dari hasil wawancara dengan Oktavianus Bobsini, 28 April 2013). Agama Islam sudah diperkenalkan kepada orang‐ orang Sumba beberapa abad yang lalu oleh orang‐orang dari Bima, tetapi belum mampu menembus blokade tradisi Marapu yang sangat kuat di masyarakat. Hal ini adalah karena perbedaanya terlalu banyak, bisa dikatakan 180 derajat bertentangan dengan Islam, sementara mereka tidak mau ada konflik secara agama. Tidak seperti misalnya kaum Paderi di Sumatra Barat dan Tapanuli Selatan, di mana kelompok Paderi atau kelompok Islam pembaharu melakukan perang total melawan kaum adat. Jika di Sumatra Barat Kaum Paderi perang melawan kaum adat yang sudah muslim, sementara di Tapanuli Selatan Kaum Paderi perang melawan kaum Malim. Korban dari kedua belah pihak sangat besar, apalgi kaum adat kemudian berkianat yaitu dengan meminta bantuan Belanda, sementara kaum Malim banyak menjadi korban pembersihan oleh karena tradisi Malim yang bertentangan dengan prinsip keagamaan kaum Islam pembaharu. Ketidakmampuan menembus kaum adat Marapu ini menyebabkan pemeluk Islam sampai hari ini masih sangat terbatas di kalangan suku Sumba. Islam hanya banyak Dinamika Agama Lokal di Indonesia
21
dipeluk di kalangan suku Bima dan beberapa orang Arab seperti di Sumba Timur dan Tambolaka. Barulah sekitar tahun 1990‐an orang‐orang Jawa muslim mulai berdatangan yang akhirnya ikut meramaikan dinamika kehidupan keagamaan muslim di daratan Sumba. Orang Jawa di Sumba dikenal sebagai pekerja keras, tabah menghadapi kesulitan, ulet dan sabar, jujur dan dapat dipercaya, dermawan dan suka beramal shalih, apalagi untuk pembangunan rumah ibadah, dan mereka rajin bersedekah kepada orang‐orang Sumba di pedesaan. Mereka setiap beberapa bulan sekali mengirim sembako ke pedesaan muallaf dalam jumlah besar, seperti ke Mamboro, Lamboya, dan Wanokaka yang akhirnya juga diikuti oleh orang‐orang Bima. Masa depan agama Islam cukup baik di Sumba meskipun Kristen dan Katolik serta Pemerintah telah berkomplot melakukan planting curch, yaitu mendiamkan wajib surat babtis bagi anak usia sekolah yang ingin bersekolah di semua jenjang pendidikan. Sayang banyak pula di antara orang Jawa yang merantau ke Waikabubak ini tidak menjalankan shalat, meskipun rajin ikut pengajian paguyuban Jawa yang jumlahnya ada 5 kelompok majelis taklim. (diolah dari hasil wawancara dengan Pua Monto Umbu Ney, 23 April 2013). Sebagai umat beragama tentu saja memiliki banyak rumah ibadat yang dipergunakan untuk sembahyang atau menghadap Yang Kuasa, begitupun umat beragama di kabupaten Sumba Barat. Agama Marapu memiliki 5 tempat ibadat secara khusus. Sementara yang umum adalah dimana saja ia mempunyai keperluan, di situ ia sembahyang atau dalam bahasa Marapunya adalah Noppa memohon kepada Amaholu Amarawi. Rumah ibadat agama Marapu ini bukan sebuah gedung megah dengan berbagai asesoris arsitektur
22
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
modern, tetapi hanya sebuah tanah lapang kemudian di salah satu sisinya sebelah barat terdapat menara batu sebagai simbol untuk menuju kepada yang disembah yaitu Amaholu Amarawi. Itulah sebabnya, orang di luar Marapu memahami bahwa Marapu hanyalah kepercayaan yang menyembah kepada batu atau berhala, sementara dalam prakteknya batu itu simbol Marapu belaka, sebagaimana umat Kristen di dalam gerejanya terdapat patung Yesus atau Katolik yang didalamnya ada patung Yesus dan Bunda Maria dan dalam Islam versi tradisional ada wasilah. Oleh karena itu pertanyaan Lele adalah apa bedanya Marapu dengan Nasrani, Khonghuchu, Budha dan Hindu yang secara kasat mata juga menyembah patung. Tetapi jika bertanya kepada yang bersangkutan, benarkah ia menyembah patung Buddha, patung Yesus dan Bunda Maria? Yang membedakan antara Kristen, Katolik, Buddha dan Konghchu dengan agama Marapu adalah bahwa Kristen, Katolik, Buddha dan Konghchu kitab sucinya tertulis secara jelas, sehingga siapapun bisa belajar dan mengacu kepada kitab suci itu. Sementara, sistem kepercayaan, ritual, dan tradisi agama Marapu yang jauh lebih banyak dan padat makna dibandingkan dengan yang disebut di atas, tetapi tidak ada kitab suci tertulisnya. Semua praktek keagamaanya mengalir begitu saja dari generasi ke generasi melalui tutur dan tradisi yang terus terpelihara hingga hari ini. Tidak ada perubahan apapun dalam peraktek keagamaan Marapu, karena begitu ada perbedaan dengan yang sebelumnya langsung ada yang mengingatkannya. (diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wollu, 1 Mei 2013). Dalam kehidupan keagamaan, umat Kristen memiliki gereja 168 buah yang terpencar di berbagai kecamatan. Seperti Dinamika Agama Lokal di Indonesia
23
di Kecamatan Kota Waikabubak terdapat 14 gedung gereja, Loli terdapat 45 buah, Wanokaka 25 buah, Lamboya 24 buah, Lamboya Barat 8 buah dan di Kecamatan Tana Righu sebanyak 47 buah. Secara keseluruhan, yang layak pakai 118 gereja, karena umat yang ada masih merupakan penganut agama Marapu, sehingga gereja yang rusak itu tidak diperbaiki. Jumlah umat Kristen, menurut data Kementerian Agama, April 2013 berjumlah 64.975 jiwa dari keseluruhan jumlah penduduk Kabupaten Sumba Barat yang berjumlah123.189 jiwa. Untuk pembinaan keagamaan di kalangan umat Kristen, terdapat 174 rokhaniawan. Dalam bidang pendidikan, umat Kristen memiliki lembaga pendidikan Kristen sebanyak 17 SD, 2 SMP dan 1 SMA. Di samping itu juga memiliki satu yayasan namanya Yayasan Pendidikan Kristen (YAPKRIS) yang memiliki sebuah SMA Kristen Weekarow. Sekolah Tinggi Teologi (STT) yang ada satu‐satunya adalah STT Gereja Kristen Sumba (GKS) di Waingapu (Data Keagamaan Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat tahun 2013). Sementara itu umat Katolik memiliki gereja 8 buah, memiliki SD Katolik Santa Ana 1 buah, SMP Katolik Santo Yusuf dan 1 SMA Katolik Santo Yusuf. Umat Islam memiliki 13 buah masjid yang letaknya terpencar di berbagai kecamatan terutama di Kecamatan Kota Waikabubak, kecamatan Tana Righu dan Kecamatan Wanokaka, sedangkan agama lainnya tidak memiliki rumah ibadat. Sejarah Marapu Masyarakat di daratan Sumba pada umumnya sampai hari ini masih beragama Marapu, meskipun secara administratif sebagai umat Kristen dan Katolik. Beberapa
24
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
penulis tentang Marapu mengotak‐atik dari mana istilah Marapu, yang setelah dikonfirmasi dengan pemangku adat, otak‐atik mereka itu tidak ada yang benar. Justru ada kesan memojokan komunitas masyarakat punya agama. Misalnya, kata ’Marapu’ terdiri dari dua kata, ma dan rapu. Kata ma berarti ’yang’. Sedangkan kata rapu berarti ’dihormati’ dan ’didewakan’. Atau mera dan appu. Mera artinya ’serupa’ dan appu artinya ’nenek moyang’. Jadi Marapu artinya ’serupa dengan nenek moyang’. Dalam kaitannya ini, ’Marapu” digiring menjadi berarti merupakan kepercayaan asli orang Sumba yang menyembah nenek moyang. Akhirnya defnisipun diseret kearah pemujaan kepada arwah nenek moyang atau leluhur yang didewakan. Otak‐atik kata Marapu ini menurut informan sama sekali bertentangan dengan kenyataan penganut Marapu, karena penganut Marapu tidak menyembah roh nenek moyang dan juga bukan penyembah dewa. Masyarakat Marapu menyembah Amaholuamarawi, sementara para roh leluhur hanyalah sebagai wasilah, karena mereka beraggapan bahwa memohon langsung kepada Amaholuamarawi adalah kelancangan. Penyebutan Amaholuamarawi pun tidak sering dilakukan, yang disebut adalah sifat‐sifatnya Amaholuamarawi saja, sehingga posisi para roh leluhur, utamanya roh para rato rumatta adalah menjadi wasilah atau perantara dalam setiap peribadatan dan upacara ritualnya (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013). Ada lagi yang melihat kata mera dan appu, kata mera artinya “serupa” dan appu artinya “nenek moyang”, jadi Marapu adalah serupa dengan nenek moyang atau kata Marapu berasal dari kata ma yang artinya “yang” dan rappu yang artinya “mengkristal ke dasar” yang diartikannya Dinamika Agama Lokal di Indonesia
25
sebagai “telah rampung”, “telah beres” “telah selesai”. Maksudnya dengan “telah rampung, telah beres, telah selesai” adalah dalam hubungan dengan nenek moyang yang telah meninggal setelah selesai dikuburkan sesuai dengan aturan adat istiadat. Pemaknaan seperti ini dipersalahkan oleh Rato Rumatta, karena dianggap seperti asal nyambung belaka, tidak sesuai denga kenyataan.(diolah dari hasil waancara dengan Rato Rumatta Lado Rege Tera, 25 April 2013). Sementara itu dalam doa‐doanya, mereka selalu meyebut Mekah dan Madinah. Di mana mereka percaya bahwa jika jasad telah dikuburkan, sementara jiwanya telah berada di tempat yang disediakan oleh Tuhan Yang Mahaesa yaitu di Makkah dan Madinah. Jiwa yang berada di Makkah dan Madinah itu kemudian menjadi wasilah dan dapat menjadi penghubung antara manusia dengan Amahol Amarawi, Tuhan Yang Maha Esa. Amaholu Amarawi adalah kekuatan supra natural yang berpribadi atau pun tidak yang tampil dalam berbagai bentuk dan juga dapat berarti suci, sakti, mulia sehingga harus dihormati dan tak dapat diperlakukan sembarangan.(diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013 dan Rato Rumatta Lado Rege Tera, 25 April 2013). Sistem Kepercayaan dan Mitos dalam Komunitas Marapu Sebagaimana dipahami dalam kajian antropologi, bahwa sistem kepercayaan dalam suatu religi mengandung bayangan manusia tentang wujud dunia gaib, malaikat, makhluk halus, kekuatan sakti, kepercayaan mengenai hidup dan mati serta kesusastraan suci dan sebagainya. Orang Sumba menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak yang berada di luar batas kemampuan pancaindra dan
26
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
akalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para roh‐ roh, makhluk‐makhluk halus dan kekuatan‐kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena itu sangat ditakuti. Agar segenap penghuni dunia gaib itu menjadi senang atau menaruh belas kasihan sehingga tidak membawa bencana kepada mereka dan bahkan melindungi serta membantu kehidupanya, maka dalam menghadapi penghuni dunia gaib ini orang Sumba menyandarkan diri serta memohon agar disampaikan permintaanya atau do’a‐ do’anya kepada Amaholu Amarawi. Orang Sumba memiliki kepercaaan kepada malaikat yang memiliki tugas masing‐ masing dan memiliki tempat persemayaman sendiri di rumah suatu kabihu yang memwasilahkan semua permintaanya kepada Tuhan. Para malaikat dan roh‐roh para Rato biasanya tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali bila sedang ada upacara tertentu. Para arwah leluhur yang memiliki wasilah itu sangat dimuliakan, dihormati, selalu disebut dalam doa’anya dan dipercaya sebagai lindi papakalangu‐ketu papajualangu (titian yang menyeberang‐ kan, kaitan yang menjulurkan, perantara/ wasilah) antara manusia dengan Amaholu Amarawi (Tuhan Yang Membuat Manusia dan Yang Membentuk Manusia, Pencipta Manusia). Para marapu inilah yang telah menerima nuku ‐ hara (hukum dan cara) atau tata tertib hidup bermasyarakat dari Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia. Para marapu (roh leluhur) adalah makhluk‐makhluk mulia yang mempunyai pikiran, perasaan dan kepribadian seperti manusia, tapi dengan kepandaian dan sifat‐sifat lebih unggul. Mereka juga terdiri dari jenis pria dan wanita dan berpasangan sebagai suami istri. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013, Rato Rumatta 25 April 2013, Daniel Dinamika Agama Lokal di Indonesia
27
Mesa Kallo, Amaniga dan Lele Dapa Wolu 22‐ 27 April 2013 dan lihat FD. Wellem, 2004 : 33‐ 90). Di antara keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi cikal‐bakal dari kabihu‐kabihu/marga/klan/kanilah/suku. Marapu‐ marapu ini dibedakan antara Marapu Rato dengan Marapu. Marapu rato ialah marapu yang turun dari langit dan merupakan leluhur dari marapu lainnya. Sedangkan Marapu ialah arwah leluhur yang menjadi cikal‐bakal dari suatu kabihu/suku tertentu. Adapun kata‐kata sifat yang ditujukan untuk menyebut Amaholu Amarawi antara lain : Pencipta Manusia, Yang Membentuk dan Membuat Manusia, Yang Menumbuhkan dan Yang Menjadikan, Pencipta Langit dan Bumi, Yang Tidak Disebut Namanya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya, Jiwa dan Roh Yang Maha Esa, Yang dapat melihat dan mendengar seluruhnya, Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia dan sebagainya. Sifat‐sifat Amaholuamarawi ini selalu disebut dalam setiap do’a dalam sembahyang maupun dalam do’a‐ do’a ketika memulai persembahan, memulai tanam, memulai panen dan seterusnya. Mereka tidak mau menyebut nama Tuhan dengan sia‐sia atau sembarangan, dan merasa tidak pantas menyebut Amaholu Amarawi. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013). Selain kepada para Marapu (para roh rato dan nenek moyang), orang Sumba juga percaya bahwa di dunia gaib penuh dengan makhluk‐makhluk halus, seperti patau tana, mamarungu, maranongu, katiku kamawa dan bumbu. Patau tana adalah roh‐roh halus yang dapat berasal dari manusia,dan bukan berasal dari manusia. Biasanya mereka
28
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
menjadi penghuni pohon‐pohon besar, batu‐batu besar, gua‐ gua, hutan atau di kuburan. Patau tana ini bersifat jahat dan selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti. Patau tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang‐orang yang mati secara tidak wajar, misalnya disebabkan kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan sebagainya. Roh‐roh semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak dapat terlepas dari hidupnya yang lama. Mamarungu adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia dan mempunyai sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu karena mereka merupakan pesuruh‐pesuruh para marapu. Karena sifatnya yang jahat, mereka sering mengganggu dan mencelakakan manusia dengan memasuki tubuh manusia yang hidup. Orang yang kerasukan mamarungu ini akan menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang lain. Oleh karena itu, orang yang sering mencelakakan orang lain disebut mamarungu juga. Pada masa lalu orang semacam ini dibunuh karena dianggap membahayakan orang. Roh halus sederajat dengan mamarungu ialah maranongu. Akan tetapi, maranongu mempunyal sifat baik dan suka menolong manusia. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013). Katiku kamawa adalah makhluk halus lainnya yang termasuk kategori patau tana, tetapi bukan berasal dari manusia dan tidak diketahui asa‐usulnya. Penampilan katiku kamawa ini berupa kepala manusia tanpa rambut dan berkulit hitam legam. Kebiasaannya berguling‐guling di tanah sambil tertawa. Makhluk halus ini suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di pohon‐pohon besar atau di pohon mangga. Adapun bumbu adalah makhluk halus yang berupa kambing jantan. Makhluk halus ini pun suka mengganggu Dinamika Agama Lokal di Indonesia
29
manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung‐ gunung atau di tempat‐tempat sunyi. Orang Sumba percaya bahwa di sekeliling mereka ada kekuatan gaib dalam gejala‐ gejala dan hal‐hal luar biasa yang dapat berupa gejala‐gejala alam, tokoh‐tokoh manusia, bagian‐bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh‐tumbuhan, benda‐benda dan suara‐suara yang luar biasa. Gejala‐gejala alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah angin yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang ternak. Angin tersebut disebut ngilu katiu. Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Sumba menyelipkan ruu kamala pau (daun mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka. Tokoh‐tokoh manusia yang dianggap mempunyal kekuatan gaib ialah para rato, karena mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib, yaitu dengan mengucapkan mantra‐mantra tertentu. Ilmu gaib (puhi) yang dilakukan oleh para rato untuk mendatangkan hujan ialah dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan di katuada dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan empat ekor anak ayam kepada para marapu terutama kepada Uma Ndapataungu. Seorang rato ketika menjalanan ilmu gaib yang bersifat agresif, mempersembahkan pahapa, kawadaku dan beberapa ekor ayam (dua, empat atau delapan ekor tergantung kebutuhan) kepada para marapu yang berada di hutan hijau dan tebing batu, yaitu para marapu yang dipuja oleh kabihu Menggitu atau pada Marapu Ratu Kabuarangu dan Marapu Kabala. Kemudian melakukan upacara sembahyang dan mengucapkan mantra‐mantra (tundu wara)
30
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
dengan maksud agar orang yang dituju menjadi sakit, mendapat kesialan atau kematian. Ada pula ilmu gaib lain yang disebut kabeli mata (membalik mata), yaitu ilmu gaib semacam sihir yang dapat mengubah manusia menjadi binatang, pohon atau batu. Apabila ada seseorang yang ditimpa penyakit, maka ia dapat meminta pertolongan kepada mapingu muru untuk mengobatinya. Mapingu muru biasanya akan memberi muru (obat dari ramuan daun‐daunan) atau tada ai (obat dri ramuan akar‐akar pohon atau kulit kayu) yang telah diberi mantra‐mantra tertentu kepada si sakit (F.D. Wellem, 2004: 33 – 90). Bagian tubuh manusia yang paling dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah kapai atau ngati (kemaluan wanita). Bila kapai ini sampai terlihat oleh orang lain (terutama laki‐laki), maka dianggap akan membawa sial kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si wanita. Itulah sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada malam hari atau di tempat gelap. Alat kelamin wanita dianggap palili (tabu) karena merupakan tempat keluar sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib, seperti roh anak yang lahir dan darah. Darah, terutama yang keluar ketika haid dianggap mengandung kekuatan gaib yang dapat membawa kesialan kepada orang lain. Karena itu, wanita yang sedang haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat‐tempat suci lainnya, dilarang menyiapkan sesajian untuk para marapu dan tidak boleh mandi di sungai. Wanita yang sedang haid harus berdiam di kamar dan mandi di kamarnya pula dengan menggunakan air panas yang diberi ramuan kayu dan daun kahi jawa (asam) yang gunanya untuk menghangatkan badan dan melancarkan keluarnya darah. Bagian tubuh manusia yang juga dianggap mengandung kekuatan gaib ialah air Dinamika Agama Lokal di Indonesia
31
ludah. Air ludah digunakan untuk obat, antara lain untuk menghilangkan rasa pegal‐pegal yang diakibatkan oleh sakit malaria, yaitu dengan cara melumuri badan dengan hadabai (rumput yang tumbuh di batu‐batu) yang dikunyah bersama sirih pinang dan dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang baru lahir, agar luka pada pusarnya cepat sembuh maka luka itu dilumuri air ludah yang telah bercampur dengan kunyahan sirih pinang. Rambut adalah bagian tubuh manusia yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, rambut seseorang yang dipotong ketika ia baru lahir akan disimpan di dalam kahipatu dengan maksud agar selama hidupnya terhindar dan mara bahaya. Kelak bila orang itu meninggal, maka rambut dalam kahipatu itu akan dikuburkan pula bersamanya. Binatang yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara lain; burung wangi (burung hantu), kuu (burung alap‐alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh orang Sumba karena dianggap dapat membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam kepercayaan mereka ialah wei (babi), karambua (kerbau), njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing). Babi merupakan hewan korban yang utama dalam upacara‐upacara keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat menyampaikan segala kehendak manusia kepada para marapu. Diterima atau tidaknya suatu permohonan, dapat dilihat melalui hati babi. Kerbau merupakan binatang yang biasa dikorbankan pada upacara‐upacara keagamaan, terutama pada upacara perkawinan, kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara simbolis daging kerbau yang dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah. Menurut kepercayaan, kerbau‐kerbau korban itu merupakan
32
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
bekal arwah orang yang meninggal dalam perjalanannya ke parai marapu, dan setibanya di parai marapu digunakan untuk menjamu arwah keluarganya yang telah lebih dahulu berada di sana. Selain itu kerbau dianggap binatang yang dapat membawa keberuntungan pada pemiliknya. Oleh karena itu, ada tempat pemujaan khusus yang disebut uma karambua, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kekayaan. Binatang yang melambangkan ketaatan paling utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di akhirat sebagai tunggangan majikannya. Oleh karena itu, ketika majikannya meninggal, kuda kesayangan harus dikorbankan untuk mengantar arwah majikannya ke parai marapu. Seperti halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat permujaan khusus yang disebut uma njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kejayaan dan kekayaan. Jenis binatang lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah ayam jantan. Bulu‐bulu ayam jantan dianggap mempunyai kekuatan untuk menolak bahaya dan dapat memayungi arwah seseorang dalam perjalanannya menuju parai marapu. Selain itu kokok ayam jantan dianggap dapat membangunkan arwah orang yang meninggal agar bersiap untuk menempuh perjalanan ke alam baka. Anjing adalah binatang peliharaan yang senantiasa mengikuti majikannya jika sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan senasib sepenanggungan yang tidak terbatas di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Pada upacara kematian, anjing kesayangan dikorbankan agar arwahnya dapat mengikuti arwah majikannya. Selain itu anjing dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat melihat makhluk‐ makhluk halus. Tumbuh‐tumbuhan yang dianggap Dinamika Agama Lokal di Indonesia
33
mempunyai kekuatan gaib antara lain kalala (kaktus), karangga langadi (akar bahar), pau (mangga) dan menggitu (lontar). Kekuatan gaib yang ada dalam tanaman tersebut ialah dapat menolak bahaya dan penyakit. Selain itu mereka pun percaya bahwa semua daun‐daunan yang mempunyal khasiat sebagai obat, misalnya kuta (sirih), kabaru (waru), kahi jawa (asam), muru mangandingu (sejenis sulur‐suluran), yawilu (kayu manis), kunu buti dan ruto, juga dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghilangkan pernyakit. Pohon yang dianggap keramat tetapi tidak mempunyai akibat buruk ialah wangga (beringin), mayela, kunjuru (teniring) dan kanawa (angsana). Benda‐benda lain yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah benda‐ benda pusaka, seperti parang, kain‐kain, perhiasan mas, perhiasan manik‐manik (ana hida) dan hiwaru (jimat) yang dikeluarkan atau dibawa hanya pada saat‐saat tertentu saja oleh pemiliknya. Suara‐suara yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah mantra‐mantra atau tundu wara yang diucapkan para ratu, tau mapingu papuhi dan mapingu muru. Selain itu suara‐suara nyanyian dan irama pukulan gong yang dibawakan pada suatu upacara dianggap mempunyai kekuatan gaib juga, karena mampu menciptakan suasana yang diperlukan. Menurut kepercayaan orang Loli, seseorang yang lahir ke dunia ini adalah atas kehendak Yang Maha Esa, demikian pula bila seseorang meninggal itu pun atas kehendakNya. Peristiwa kematian adalah suatu peristiwa perpindahan atau peralihan dari alam nyata (dunia) ke alam gaib (akhirat). Menurut pandangan mereka, kehidupan di alam gaib mempunyai struktur yang sama dengan kehidupan di alam nyata. Akan tetapi kehidupan di alam nyata tidak kekal, sedangkan kehidupan di alam gaib adalah kekal. Tubuh
34
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
manusia hanyalah sebagai teda (kulit) atau haruma (selaput) yang dapat mati, sedangkan yang hidup kekal (njulu) ialah ndiawa (roh). Dalam kepercayaan Marapu roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada Amaholuamarawi. Roh orang yang mati akan menjadi penghuni parai marapu dan dimuliakan sebagai marapu‐marapu. Roh seseorang yang mati bisa mencapai parai marapu apabila dalam hidupnya di dunia memenuhi segala nuku‐hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Seseorang yang telah jatuh dalam dosa, maka Ia harus menyerahkan diri kepada seorang wai maringu (air dingin) untuk menebus segala dosanya, dan kelak bila dia mati harus dikebumikan dengan berbagai upacara. Apabila tidak demikian halnya, maka selama itu rohnya akan hidup merana karena tidak diterima di parai marapu dan akan bergabung dengan makhluk‐makhluk halus lainnya yang selalu berusaha mengganggu kehidupan manusia. Roh itu sendiri dalam diri manusia terdapat dua macam, yaitu yang disebut hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa (roh). Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti kekuatan badannya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu ini akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia yang mati akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa terdapat dalam segala makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh‐tumbuhan yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013, Rato Rumatta, 25 April 2013, Daniel Mesa, Amaniga, Adreas Sama Lele, Servius Matu Pala, Dinamika Agama Lokal di Indonesia
35
Margareta, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Amaniga, 22‐27 April 2013 dan lihat juga FD. Wellem, 2004 : 33‐90). Setiap ada pesta‐pesta adat dan upacara‐upacara penting, misalnya pada upacara pamangu langu paraingu, muti uhu, kanduku wuaka, pamangu ndiawa, pamau papa, paremi wulu uma, pataningu, kesusastraan suci diceritakan kembali dengan diiringi nyanyian‐nyanyian. Fungsi kesusastraan suci ini untuk menerangkan asal‐usul penduduk Umalulu serta para marapu‐marapunya. Kesusastraan suci dianggap bertuah dan dianggap dapat mendatangkan kemakmuran pada penduduk dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternaknya. Sistem Upacara‐upacara Keagamaan Dunia gaib dapat dihadapi manusia dengan rasa hormat, bakti, takut dan sebagainya, atau dengan suatu campuran dari segala macam perasaan tersebut. Perasaan‐ perasaan itu akan mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan dunia gaib yang disebut kelakuan keagamaan. Seperti yang telah dikemukakan bahwa perasaan yang mendorong orang Loli untuk melakukan hubungan dengan para marapu berlainan sekali dengan dorongan terhadap mamarungu dan patau tana. Perasaan yang melatarbelakangi hubungan orang Loli, Lamboya, Wanokaka, Kodi, Waejewa, Mamboro dan sebagainya dengan para marapu didasari oleh rasa cinta, hormat dan bakti, sebaliknya terhadap mamarungu atau patau tana didasari oleh rasa takut dan benci. Perasaan‐perasaan yang berbeda inilah yang menentukan serta mewarnai kelakuan keagamaan mereka, dan kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan baku yang biasa disebut upacara keagamaan. Upacara‐upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap
36
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
keramat, karena itu tempat‐tempat upacara, saat‐saat upacara, benda‐benda yang merupakan alat‐alat dalam upacara serta orang‐orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Pada bagian muka sudah dikemukakan bahwa seluruh kehidupan orang Sumba selalu diliputi oleh rasa keagamaan. Mereka menyembah Amaholuamarawi dengan perantaraan para marapu yang merupakan media atau wasilah dan perantara antara manusia dengan Pencipta‐Nya. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013, Rato Rumatta, 25 April 2013, Daniel Mesa, Amaniga, Adreas, Servius, Margareta, Angela Dapa Wolu, 22‐27 April 2013). Tempat‐tempat Upacara Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan di dalam rumah‐rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara‐upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Ada pun rumah‐ rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara ritual terhadap marapu yang mempunyai kekuasaan atau tugas tertentu, antara lain : Uma karambua ialah tempat meminta kepada leluhur untuk meminta kekayaan; Uma andungu ialah tempat semuja leluhur untuk minta keberhasilan dalam peperangan; Uma payenu ialah tempat memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin baru; Uma pakilungu ialah tempat memuja leluhur untuk Dinamika Agama Lokal di Indonesia
37
menolak bahaya penyakit; Uma menggitu ialah tempat memuja leluhur untuk mengundang arwah‐arwah yang berada di hutan‐hutan atau di gua‐gua agar turut serta dalam mengalahkan musuh; Uma mbaradita tempat memuja leluhur untuk meminta kekuatan, keberanian dan kekebalan. Selain itu, tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada. Katuada ialah tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga‐yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada sisi‐ sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam‐macam sesaji, seperti pahapa, kawadaku dan uhu mangejingu diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu‐ Rambu (dewa‐dewi) yang berada di tempat itu. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013, Ratu Rumatta, 25 April 2013, Daniel, Amaniga, Lele dapa Wolu, 22‐27 April 2013 dan lihat FD. Wellem, 2004 : 33‐90). Katuada ini ada bermacam‐macam menurut tempat dan fungsinya, yaitu : 1. Katuada kawindu (tugu halaman), tugu sembahyang yang dipancangkan di halaman setiap rumah. Pada tugu inilah tiap‐tiap keluarga batih melakukan upacara ritual kepada dewa‐dewi agar dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari tugu ini pula para marapu dari luar rumah diajak masuk bila ada upacara di dalam rumah, dan sebaliknya para marapu yang berada di dalam rumah diajak ke luar bila ada upacara di luar rumah. Katuada paraingu (tugu kampung), tugu sembahyang yang dipancangkan di muka uma bokulu. Tugu ini merupakan tempat upacara yang meliputi kepentingan seluruh warga paraingu atau warga kuataku, misalnya pada upacara hiri paraingu, puru la
38
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
2.
3.
4.
5.
6.
manangu dan pamangu langu paraingu. Katuada pindu (tugu pintu), tugu sembahyang yang dipancang di pintu kampung dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk menolak mara bahaya dari luar kampung. Selain itu sebagai tempat untuk mengajak para marapu dan para arwah lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara. Demikian pula sebaliknya. Ketuada padangu (tugu padang), tempat melakukan upacara sembahyang di padang rumput untuk meminta agar hewan ternak berkembang biak dengan baik. Katuada wuaka (tugu kebun), tugu sembahyang yang dipancangkan di katiku wuaka (kepala kebun) dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk minta kesuburan tanaman serta menolak segala bencana. Katuada latangu (tugu sawah), tugu sembahyang yang dipancangkan di ngaru wai (mulut air), yaitu tempat permulaan air masuk ke sawah. Tugu ini tempat upacara sembahyang untuk meminta keamanan dan kelimpahan hasil tanaman di sawah. Katuada padira tana (tugu batas tanah), tempat mengulpulkan arwah‐arwah dari seluruh tanah perkebunan agar tidak mengganggu tanaman dalam kebun itu. Katuada bungguru (tugu persekutuan), tempat upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan, yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada para marapu dan arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil panen yang baik. Katuada patamangu (tugu perburuan). tempat upacara sembahyang ketika hendak berburu dengan permohonan agar arwah‐arwah yang berada di tempat perburuan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
39
menolak segala bahaya dan memberikan hasil buruan seperti yang diharapkan. 7. Katuada mananga (tugu muara), tugu sembahyang yang dipancangkan di muara sungai dan merupakan tempat upacara untuk memohon kebersihan lahan, menolak segala bencana dan agar hujan turun dengan baik. Upacara sembahyang di katuada mananga ini biasanya dilakukan oleh seorang mangu tanangu (tuan tanah). 8. Andungu (tiang). merupakan sebuah katuada juga, tapi karena tugu ini merupakan tiang kekuatan dan seluruh kabihu maka disebut andungu. Ada dua macam andungu, pertama yang disebut andu uhu (tugu padi), yaitu tugu tempat upacara mengenai padi yang biasanya dipancangkan di rumah pusat mangu tanangu; kedua yang disebut andu katiku (tugu kepala), yaitu tugu tempat memancangkan kepala‐kepala manusia yang berhasil di penggal dalam peperangan. Tugu ini dipancang di muka rumah kabihu yang leluhurnya mempunyai kewajiban untuk keperluan tersebut. 9. Pahuamba (penyembahan), merupakan suatu timbunan batu yang biasanya berada di bawah pepohonan dan merupakan tempat upacara pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu‐ Mata Lodu (ujung langit dan matahari). Upacara pemujaan pada pahuamba ini dilakukan ketika diadakan Pamangu Ndiawa (perjamuan dewa) yaitu upacara pemujaan dan persembahan kepada para marapu agar seluruh warga tiap‐tiap kabihu diberi perlindungan dan kemakmuran. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil
40
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
yang tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku disebut sebagai Uma Ndapataungu‐ Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan orang Sumba, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali) karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan rnenghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Adapun bahan‐bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang‐tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013, Rato Rumatta, 25 April 2013, Daniel,Amaniga, Adreas, Servius, Margareta, Angela, Weny Amaniga, Lele Dapa Wolu, 22‐27 April 2013). Dinamika Agama Lokal di Indonesia
41
Saat‐saat Upacara Menurut pandangan orang Sumba, manusia itu merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan‐kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah‐arwah dan manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah‐arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku‐hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rambu Sama Pati, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Anggi Pana, Amaghani, Daniel Mesa, 25 April 2013). Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat‐ saat upacara dirasakan sebagai saat‐saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat‐ saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan
42
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
berbagai upacara itu didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut tanda wulangu. Kalender adat ini tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku‐ hara dari para leluhur. Bila diubah akan menimbulkan kegoncangan yang menimbulkan bahaya dan kemarahan para leluhur. Secara kalender adat setiap tahun dibagi dalam dua belas bulan yang pada setiap bulannya selalu ada acara‐acara adat. Dalam jangka waktu kehidupan tertentu tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, ada saat baik dan berkah, ada saat naas. Saat‐saat itu ialah sekitar kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat sekitar kelahiran seorang bayi, ada beberapa peristiwa penting yang harus mendapat perhatian orang tua dan kaum kerabatnya. Misalnya pada bulan keempat masa kehamilan, diadakan upacara Pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa, kewadaku dan mangejingu kepada para marapu agar kandungan luput dari mara bahaya. Selain itu untuk mencegah adanya kekuatan‐kekuatan gaib yang bersifat jahat, wanita yang sedang hamil selalu menyelipkan sebilah pisau bertuah di pinggangnya. Selama kehamilan suami‐istri harus mentaati beberapa pantangan makanan dan perbuatan agar nantinya tidak menyulitkan kelahiran dan tidak menimbulkan cacat kepada anak yang akan lahir. Bila saat kelahiran telah tiba dilakukanlah upacara ritual dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu untuk menyambut tamu yang baru datang dari alam gaib. Menurut anggapan orang Sumba, ana rara (bayi) yang akan lahir adalah makhluk gaib yang datang dari alam gaib dengan tena (perahu). Oleh karena itu, untuk melancarkan kelahirannya, segala dosa orang tuanya harus Dinamika Agama Lokal di Indonesia
43
diakui dan segala kelalaian dalam memenuhi kewajiban terhadap para marapu harus dinyatakan. Setelah bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara Dekangu tamu, dilakukan lagi upacara ritual baha kaheli untuk membersihkan segala kekotoran dan menghaturkan terima kasih kepada para marapu. Ketika bayi sudah berumur empat hari dilakukan upacara Kikiru (cukur). Kemudian rambut dan tali pusar si bayi disimpan dalam kahipatu untuk turut dikuburkan bila dia meninggal di kemudian hari. Apabila sudah berumur delapan hari dilakukan upacara ritual, yaitu upacara penyambutan si bayi di tengah kaum kerabatnya. Pada masa inilah ia mulai menginjak tanah dan turut mandi di sungai. Upacara‐upacara tersebut selalu disertai dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Khususnya persembahan mangejingu pada upacara ritual, harus disediakan seekor babi yang seluruh tubuhnya berwarna hitam (wei mitingu). Setelah berumur dua sampai tiga tahun dilakukan upacara peralihan dari masa anarara menjadi anakiada (kanak‐kanak), yaitu upacara Papaita wai huhu (memahitkan air susu dalam penyapihan). (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rambu Sama Pati, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Anggi Pana, Amaghani, Daniel Mesa, 25 April 2013 ). Upacara ini dilakukan dengan permohonan kepada para marapu agar si anak cepat besar, diberikan rejekinya dan keselamatan. Pada masa ini seorang anakiada sudah boleh makan telur ayam dan mengikuti orang tuanya bekerja di ladang. Anakiada yang berusia antara dua sampai delapan tahun biasanya disebut anakiada kudu. Pada usia ini, anak perempuan disebut pula hiliwuku kudu (gadis kecil), rambut mereka dicukur hanya bagian atasnya saja, bagian belakang
44
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
dibiarkan panjang, sedangkan bagian atas dahi disisakan sedikit. Setelah melalui masa anakiada kudu, yaitu antara usia delapan sampai enam belas tahun, anakiada ini disebut anakiada matua atau hiliwuku bokulu (gadis besar). Rambut mereka masih dicukur seperti anakiada kudu tetapi sudah lebih teratur. Pada usia 15 – 21 tahun, untuk anak laki‐laki dilakukan upacara sunat dengan memotong beberapa ekor babi dan ayam, rambutnya dicukur pendek saja, kecuali pada masa anakiada kudu mempunyai potongan yang sama dengan anak perempuan. Pada waktu anakiada beralih menjadi bidi tau, yaitu antara usia enam belas sampai dua puluh empat tahun, dilakukan berbagai upacara untuk menghadapi saat krisis dalam menginjak dewasa. Untuk para bidi mini (pemuda) dilakukan upacara Puru la wai (turun ke air) yang disebut juga upacara Waku atau Kari. Beberapa pemuda dengan jumlah genap berpasangan mempersiapkan diri selama tiga hari untuk merayakan upacara itu. Mereka membuat suatu pondok yang tersembunyi di dekat sungai. Ke pondok itulah mereka membawa makanan berupa ayam, babi dan kambing yang mereka peroleh secara meminta atau mencuri di kampung‐kampung sekitarnya. Pada hari keempat, rato atau parato yang bertindak sebagai pengatur upacara mengundang para ama bokulu untuk melakukan upacara hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu yang dilanjutkan dengan pemotongan ayam dan babi. Sementara masing‐masing calon mengaku dosa dan memohon ampun. Kemudian kulup alat kemaluan mereka ditetak atau ditoreh dengan pisau tajam di atas tempurung. Beberapa hari kemudian setelah mereka sembuh, diadakan selamatan dengan memotong ayam, babi atau kerbau. Dengan dilaksanakannya upacara itu diharapkan tambahan kekuatan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
45
gaib untuk kesuburan dan kesejahteraan. Setelah upacara sunat itu selesai, masih ada lagi upacara yang harus dilakukan oleh pemuda menjelang dewasa, yaitu upacara rondangu (memapar gigi ) yang disertai dengan kamiti (menghitamkan gigi). Selanjutnya dibuat katatu/tatoo (rajah tubuh) dengan berbagai gambar. Rajah tubuh ini perlu dilakukan karena sebagai tanda pengenal bila masuk ke Parai Marapu. Menurut kepercayaan setempat, orang yang tidak mempunyai katatu akan ditolak memasuki Parai Marapu. Bagi para bidi kawini (pemudi) atau disebut juga anakaria (anak dara) dilakukan upacara Nggutingu (menggunting) sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa. Selain itu dilakukan pula upacara Rondangu, Kamiti dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara Rondangu, dilakukan pula upacara ritual secara sederhana dengan persembahan dan hewan kurban. Saat peralihan lain yang merupakan saat krisis dan dianggap penting dalam kehidupan seseorang ialah saat perkawinan. Untuk menghadapi saat krisis itu, orang Sumba melakukan upacara Pamau papa (memberkati jodoh) dengan maksud meminta pertolongan, perlindungan, pemeIiharaan dan berkat dari para marapu. Saat peralihan lainnya yang dianggap penting pula ialah kematian. Saat kematian merupakan saat perubahan atau perpindahan dari alam nyata ke alam gaib yang dalam luluku dikatakan njulu la kura luku‐ halubu la mandu mara (menjelma bagai udang sungai dan berubah bagai ular darat). Tubuh yang mati hanyalah sebagai tada (kulit) atau haruma (selaput) dan tidak bersifat kekal, sedangkan yang hidup kekal ialah ndiawa (roh). Roh inilah yang harus kembali kepada Amaholuamarawi. Akan tetapi, Selama tubuh yang mati itu belum dikebumikan dengan berbagai upacara, maka selama itu pula rohnya masih
46
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
melayang‐layang dan dapat membawa bahaya, baik terhadap kerabatnya maupun terhadap orang lain (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rambu Sama Pati, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Anggi Pana, Amaghani, Daniel Mesa, 25 April 2013 ). Orang Sumba membedakan dua macam kematian, yaitu meti mbana (kematian panas) dan meti maringu (kematian dingin). Adapun yang dimaksud dengan meti mbana ialah kematian yang bukan disebabkan oleh ketuaan atau penyakit, melainkan karena mati terlantar (njadangu), kecelakaan( manjurangu) dan akibat perang ( meti la pabiara). Sedangkan meti maringu ialah kematian yang disebabkan oleh usia tua atau penyakit. Pada saat kematian seseorang diumumkan, keluarga dan kenalan dekatnya datang dengan membawa kain kapan, sarung, selimut dan ikat kepala. Pahapa dan mangejingu dipersiapkan, gong dibunyikan disertai lagu duka dan ludu rato. Kemudian dilakukanlah upacara Pahadangu, yaitu upacara pemasukan janazah ke dalam kabangu (keranda) secara duduk dengan lutut dilipat dan bertopang dagu serupa janin dalam rahim ibu. Semua kain bawaan orang yang datang melayat diselubungkan pada jenazah. Kemudian jenazah dipindahkan ke kaheli bokulu (balai besar) dan selama empat malam dijaga bergiliran oleh kaum keluarganya. Pada waktu itu pula dipersembahkan korban kerbau, kuda, babi dan ayam. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberi persembahan pada saat kematian ini adalah : 1. Yubuhu ‐ karandi (kafan dan pengikat), terdiri dan kain selimut (hinggi) dan kain pengikat (tiara) bila si mati itu laki‐laki, sedangkan untuk wanita ialah sarung (lau) dan tiara. Hal ini pun dibedakan menjadi dua bagian, yaitu Dinamika Agama Lokal di Indonesia
47
yubuhu la tana (kapan di tanah) yang harus disertakan dengan si mati ke dalam kubur, dan yubuhu kaheli (kapan di balai‐balai) untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Yubuhu karandi ini dibawa oleh pihak yiara‐ anamini (ipar dan saudara laki‐laki). 2. Dangangu ‐ ihi ngaru (iringan dan isi mulut), terdiri dari perhiasan mas dan perak, kerbau dan kuda. Dangangu dibedakan antara danga meti (iringan mati ), yaitu kurban yang harus dipotong, dan danga luri (iringan hidup ) yaitu yang diberikan kepada keluarga si mati sebagai sumbangan. Sedangkan Ihi ngaru dibedakan antara ihi ngaru la tana (isi mulut di tanah), yaitu perhiasan mas perak yang harus disertakan ke dalam kubur, dan ihi ngaru la kaheli (isi mulut di balai‐balai) yang diberikan untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Dangangu‐ ihi ngaru ini dibawa oleh pihak laiya ‐ anakawini (ipar dan saudara wanita). Jadi pembawaan orang pada saat kematian selalu dari dua jurusan, yaitu dan pihak yiara (pemberi wanita) dan dari pihak laiya (penerima wanita). Orang lain yang termasuk kerabat dapat membawa salah satu dari dua macam pembawaan tersebut. Selain itu jenazah baru boleh dikuburkan setelah semua sengketa antar keluarga (bila ada) didamaikan, suatu hal yang kadang‐kadang menuntut waktu lama. Apabila kemungkinan pelaksanaan pemakaman masih lama lagi, maka untuk menyimpan jenazah dilakukan upacara kaba tana kawaru watu. Dalam upacara ini jenazah dimasukkan ke dalam peti tanah atau batu kemudian dimakamkan, tetapi belum pemakaman yang sesungguhnya. 3. Cara lainnya lagi ialah jenazah dimasukkan ke dalam kabangu (keranda), kemudian diletakkan di dalam sebuah
48
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
kawarungu (pondok) yang dibuat di tengah halaman dekat pekuburan, atau dapat pula diletakkan di kaheli bokulu. Jenazah dalam kabangu itu selalu dijaga oleh orang‐orang yang khusus untuk maksud itu yang disebut pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah). Setiap malam diadakan persembahan berupa makanan kepada arwah, berupa pahapa dan kurban ayam atau babi. Ada kalanya pula dipotong kerbau atau kuda, yaitu bila ada kerabat lain yang hendak pawala (berjaga). Penyimpanan jenazah ini dapat berlangsung empat bulan, delapan bulan atau lebih, bahkan ada kalanya hingga bertahun‐tahun, tergantung pada mungkin atau tidaknya upacara pemakaman dilaksanakan. Apabila ternyata segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara pemakaman memungkinkan, maka empat atau delapan hari sebelumnya dilakukan dundangu (mengundang) ke seluruh kerabat, handai‐taulan di dalam atau di luar kampung untuk menghadirinya. Biasanya keluarga yang jauh tempat tinggalnya, datang sehari sebelumnya. Sedangkan keluarga yang bertempat tinggal dekat serta undangan lainnya datang pada hari pemakaman. Mereka disambut tuan rumah dengan segala hormat dan dipersilakan duduk di bangga hanamba, kemudian dibagikan sirih pinang dalam tanga wahilu. Kaum wanita biasanya langsung naik ke kaheli bokulu untuk meratapi jenazah. Setelah penyambutan tamu dan menetapkan perimbangan bawaan, dipersiapkan perbekalan si mati untuk ke alam arwah. Untuk keperluan itu disembelih seekor kerbau. Gong dibunyikan disertai nyanyian lagu duka dan ratap tangis para kerabat. Sementara itu para pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah) Dinamika Agama Lokal di Indonesia
49
didandani dengan pakaian dan perhiasan yang indah. Ketika saat pemakaman tiba, jenazah diturunkan dari rumah dan diarak dengan banyak pengawal ke pekuburan. Pengawal yang menunggang kuda dipayungi dengan payung yang dilapisi kain sutera. Pada saat itu para pengawal menjadi tidak sadar (trance) sehingga harus dipapah. Sementara itu dua pasang kuda disembelih dan perbekalan arwah si mati dibuang ke arah matahari terbenam. Setibanya di pekuburan, jenazah dikeluarkan dari keranda, lubang kubur ditutupi kain, kemudian jenazah diturunkan dan didudukkan menghadap ke arah matahari terbenam. Pada saat inilah kaum keluarga yang ingin memberi bekal kepada arwah si mati melemparkan benda‐benda berharga ke dalam lubang kubur. Setelah itu lubang ditutupi tanah dan di atasnya ditutupi lagi dengan watu reti (batu kubur) (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rato Rumatta dan Daniel Mesa Kallo, 25 April, 2013). Pada kalangan bangsawan, mulut lubang kubur itu ditutupi batu rata, kemudian di atasnya ditaruh sebuah batu besar yang diberi kaki, dan pada bagian kepala serta kaki didirikan penji reti (batu nisan). Kubur yang semacam itu disebut reti pawihi. Ketika jenazah diturunkan ke dalam lubang kubur, disembelih lagi dua pasang kuda agar arwah si mati dapat mengendarainya ke Parai Marapu Sesudah semuanya beres, para pengurus jenazah mencuci tangan mereka dengan air kelapa empat buah di atas kubur. Para wanita meletakkan pahapa dan menyirami bagian hulu kubur dengan minyak wangi. Selanjutnya dilakukan upacara Pahewa (berpisah), yaitu upacara perpisahan antara si mati dengan kaum kerabatnya yang datang dan
50
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
kampung lain. Peristiwa itu ditandai dengan diberikannya kain kepada pihak layia, dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama. Empat hari kemudian dilakukan upacara Padita waimata (menaikkan air mata). Saat itu merupakan saat terakhir meletakkan pahapa di atas kubur dan berakhir pulalah saat perkabungan. Dalam upacara ini dikorbankan seekor kerbau atau babi. Keesokan harinya semua kerabat diberi jamuan makan minum, memberi kain kepada pihak layia, memberi kuda dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara dan masing‐masing diberi pula kameti (daging kurban). Setelah itu berpisahlah mereka semua. Empat tahun kemudian dilakukan upacara perpisahan terakhir, yaitu upacara Palundungu. Upacara ini dilaksanakan untuk menyampaikan arwah si mati ke parai Marapu, karena menurut kepercayaan, sebelum dilakukan upacara ini maka arwah si mati masih tinggal di luar kampung saja. Upacara dimeriahkan dengan memotong babi dan kerbau sebagai kurban bagi para marapu dan hidangan bagi kaum kerabat. Sebagai tanda bahwa hubungan dengan alam nyata sudah putus, maka tempat sirih pinang si mati dibuang ke luar kampung. Dengan berakhirnya upacara tersebut, arwah si mati sudah menjadi marapu seperti arwah para leluhur lainnya. Para arwah itu setahun sekali diundang untuk menikmati persembahan pada pesta dalam penutupan Wolapuddu. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rambu Sama Pati, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Anggi Pana, Amaghani, Daniel Mesa, 25 April 2013). Dinamika Agama Lokal di Indonesia
51
Benda‐benda Upacara Untuk memperingati marapu, orang Sumba mengeramatkan benda‐benda yang biasanya digunakan dalam upacara‐upacara. Berdasarkan fungsinya,benda‐benda keramat itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu benda‐ benda upacara dan alat‐alat upacara. Benda‐benda upacara dijadikan obyek ritual, karena dianggap sebagai lambang yang mewakili para marapu. Sedangkan alat‐alat upacara tidak dijadikan obyek pemujaan. Walaupun demikian, alat‐ alat itu dianggap keramat pula karena telah lama digunakan sebagai alat pemujaan. Benda‐benda upacara yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu ; Pertama, tanggu marapu la hindi (bagian marapu di atas loteng), yaitu benda‐benda yang sangat dikeramatkan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuh benda‐benda itu kecuali rato dan rato rumatta. Manurut kepercayaan Marapu, roh‐roh leluhur ada di dalam benda‐benda itu (biasanya terbuat dan emas) sehingga dianggap sebagai marapu itu sendiri. Tanggu marapu la hindi yang paling dipuja di Loli ialah tanggu marapu dari Uma Ndapataungu yang berupa perhiasan emas dan dua buah guci yang disebut na mbalu rara‐na kihi muru. Suatu hal yang istimewa dari tanggu marapu dari Uma Ndapataungu ini ialah tidak disimpan di dalam menara rumah seperti tanggu marapu lainnya, melainkan mempunyai tempat khusus, yaitu di dalam rumah pemujaan yang disebut Uma Ndapataungu juga. Tanggu marapu dalam golongan kedua ialah tanggu marapu la kaheli (bagian leluhur di balai). Tanggu marapu golongan ini merupakan benda‐benda pusaka yang dimiliki oleh suatu kabihu dan tidak sekeramat tanggu marapu la
52
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
hindi. Tanggu marapu la kaheli ini antara lain berupa perhiasan‐perhiasan mas perak, kain kain, gelang gading, kalung manik‐manik, gong, perhiasan kepala dan sebagainya. Bila ada peristiwa‐peristiwa penting, seperti upacara kematian, pesta langu paraingu dan pamangu ndiawa benda‐ benda tersebut dipamerkan. Adapun alat‐alat upacara antara lain berupa wadah‐wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, piring tembaga atau perunggu, pisau, parang, tombak, gunting, piring kayu, lesung, periuk tanah, tali dan kendali kuda. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Weny Anggi Pana, Rambu Sama Pati, Rato Rumatta, Daniel Mesa Kalo, 22 ‐ 27 April 2013). Tokoh Agama Marapu Setiap agama memiliki tokoh kharismatik yang selalu menuntun umatnya agar terus berusaha untuk hidup sesuai dengan kepercayaan, ajaran dan nilai‐nilai agama yang dianut. Tentu saja istilah yang digunakan dalam setiap agama berkaitan dengan tokoh agama atau pemimpin agama itu berbeda‐beda. Di kalangan komunitas Marapu juga terdapat pemimpin agama, yang disebut dengan Rato Rumatta. Rato Rumatta adalah pemimpin tertinggi agama Marapu dalam satu kabisu atau marga, atau klan. Sementara itu pemimpin agama Marapu yang membawahi seluruh kabisu, marga atau klan tidak ada, sehingga para Rato Rumatta itu hanyalah merupakan pemimpin agama di tingkat klanya, marganya atau kabisunya. Di bawah Rato Rumatta terdapat pemimpin atau tokoh agama Marapu yang disebut dengan rato, yaitu pemimpin agama yang memimpin pengikut agama Marapu di tingkat kampung adat. Perlu diketahui bahwa klan, marga Dinamika Agama Lokal di Indonesia
53
atau kabisu adalah kumpulan dari beberapa masyarakat adat dalam klan, marga atau kabisunya itu. Misalnya, Rato Rumatta Lado Rege Tera adalah Rato Rumatta bagi klan, marga atau kabisu sub suku Sumba Loli. Sementara di dalam marga Loli itu terdapat beberapa kampung adat atau dusun dan disinilah para rato menjadi tokoh Marapu. Di Sumba Barat terdapat beberapa marga, klan dan kabisu, yaitu Loli, Wanokaka, Lamboya, dan Tana Righu yang dalam sistem pemerintahan juga ditandai dengan kecamatan‐kecamatan yang terpisah. Jadi kecamatan yang ada hampir selalu menunjukan kumpulan dari satu klan, marga atau kabisu itu. Tetapi ada dua kecamatan yang tidak merupakan satu klan, tetapi merupakan bagian dari klan lainya, seperti Kecamatan Lamboya Barat dan Kecamatan Kota Waikabubak. Warga Kecamatan Lamboya Barat merupakan bagian dari klan atau marga Lamboya, dan warga Kecamatan Kota Waikakbubak merupakan bagian dari klan atau marga Loli. Di dalam klan, marga atau kabisu Loli inilah terlahir raja‐raja di seluruh Sumba, dan kemudian juga termasuk para elit lokal, baik politik maupun keagamaan. Di Sumba Barat Daya ada Waejewa, Kodi dst. Di Sumba Tengah ada Mamboro, Anakalang dan seterusnya. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, Lele Dapa Wolu, Rato Rumatta, Daniel Mesa Kallo, 22‐ 25 April 2013). Dalam keagamaan Marapu tidak dikenal semacam ormas keagamaan secara tertulis, tetapi semua didasarkan pada kharisma seseorang dan diakui oleh para Rato yang lain. Pengikut agama Marapu disebut dengan ata bara, atau umat Marapu atau pengikut agama Marapu. Komunitas Marapu yang tidak terorganisir ini telah membuatnya menjadi tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan yang berada di
54
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
luarnya, baik organsiasi keagamaan maupun Pemerintah Daerah. Komunitas Marapu ini akhirnya secara formal tidak memiliki posisi tawar yang dapat membela kepentingan komunitasnya. Kasus kewajiban siswa untuk memiliki surat babtis agar dapat bersekolah adalah bentuk tekanan resmi yang berusaha meminggirkan komunitas agama Marapu sebagai kelompok keagamaan yang mestinya berhak membina anak‐anaknya dan sekaligus dapat bersekolah milik pemerintah maupun swasta. Peran Pemerintah Daerah sendiri terhadap komunitas Marapu juga terlihat ambivalen, karena di satu sisi dipertahankan tradisi‐tradisinya, tetapi sebagai komunitas diabaikan. Bahkan sarasehan tentang eksistensi komunitas Marapu yang pernah dilakukan di Waikabubak tahun 2006, agar Pemerintah Daerah memfasilitasi pendirian Lembaga Adat bagi komunitas Marapu ternyata tidak dilaksanakan sampai hari ini, sehingga komunitas Marapu tetap menjadi komunitas pinggiran dalam kontelasi berbagai bidang. Dengan tidak adanya lembaga adat, maka para rato rumatta di semua klan tetap merupakan pemimpin lokal dalam kabisu‐kabisunya sendiri. Jadi pendirian lembaga adat saja tidak dilakukan apalagi mendirikan ormas keagamaan seperti umat agama lain yang dilayani oleh pemerintah, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.(diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wole, Rato Rumatta, dan Daniel Mesa Kallo, 25 – 27 April 2013). Rato Rumatta adalah rato yang terpilih untuk memimpin para rato dan melayani semua kepentingan rato dan ata bara/umat Marapu. Pemilihan rato tidak dilakukan secara tertulis atau dengan suara terbanyak. Cara pemilihan rato rumatta ini sangat unik, magis dan mendebarkan semua Dinamika Agama Lokal di Indonesia
55
orang. Misalnya pemilihan Rato Rumatta yang sekarang yaitu Lado Rege Tera harus bersaing dengan dua calon lainya yang juga para rato. Dalam pemilihan Rato Rumatta ini ada fid and propertestnya atau uji kelayakan menempati posisi jabatan juga. Di saat test uji kelayakan inilah saat‐saat yang mendebarkan, karena para roh leluhur atau para marapu seperti ikut pemilihan itu secara ghaif. Tehnik tes menjadi ratoRumata dalam bentuk, berdiri tegak memegang tongkat di depan rumah besar (tempat ritual agung) selama beberapa menit menunggu munculnya keajaiban pada diri calon Rato Rumatta. Sepandai apapun orang berbicara, jika dalam pemilihan itu bakal tidak terpilih, maka ia tiba‐tiba glagaban dan ngomongnya salah melulu. Jadi tidak ada jaminan tukang khotbah dan pandai agama secara substansial atau secara lahiriah sangat memahami keyakinan dan ajaran Marapu bisa menjadi Rato Rumatta. Seseorang yang menjadi rato Rumataa adalah seorang yang bersih, adil, sederhana, mengayomi, dan memiliki kharisma. Tetapi jika ia bakal terpilih dan direstui para roh leluhur, maka meskipun tadinya bukan oerang yang pandai berbicara seperti tukang pidato dan tukang khotbah, maka tiba‐tiba ia berbicara penuh dengan kewibawaan, lantang, lancar berbicara, rapi (runtut tata bahasanya), penuh makna dan kharismanya akan menghiasi suasana pemilihan yang mendebarkan itu. Begitu terpilih dan lancar berbicara, maka yang lain dengan senang hati akan mendaulat dan berbai’at kepada Rato Rumatta terpilih. Tidak ada ceritanya pemilihan Rato Rumatta kemudian terjadi perkelahian karena kalah atau menang dalam pemilihan itu.(diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde dan Daniel Mesa Kallo, 25 – 26 April 2013).
56
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Setelah Rato Rumatta terpilih, maka ia harus keliling daratan Sumba dalam waktu paling lama 4 jam. Ketika itulah Rato Rumatta dengan tetap memegang tongkat akan kelililing daratan Sumba dalam simbol. Keliling daratan Sumba ini hanyalah simbol, tetapi pelaksanaanya juga sangat serius, yaitu ia harus menyebutkan rute yang dilalui dari Loli ke arah selatan melalui Wanokaka, Lamboya, Laboya Barat, Kodi, Waitabula, Tambolaka pantai utara dst sampai ke Waingapu, Mangili terus menyusuri pantai selatan sampai kembali ke rumah besar di mana ia berdiri memegang tonggak. Dalam keliling daratan Sumba itu Rato Rumatta yang baru juga bercerita tentang apa yang terjadi atau ada apa yang menarik perhatianya untuk diceriterakan maka akan diucapkannya. Setelah selesai mengeliling daratan Sumba melalui jalan‐jalan pingiran pantai, maka ia kembali ke rumah besarnya dan biasanya terus pingsan karena seperti kelelahan. Setelah itu potong ayam hitam, badanya di belah untuk melihat hatinya. Jika ia direstui, maka di situ akan ada tandanya, jika tidak direstui maka tanda‐tanda itu tidak muncul. Oleh karena itu kejujuran bagi yang melihat hati ayam ini sangat penting, dan kebetulan tidak ada yang berani bohong dalam melihat tanda‐ tanda kepemimpinan ini. Jika berani bohong, maka saat itu pula mereka yang bohong akan kena bala’. Jadi kejujuran dalam segala hal akhirnya menjadi sangat penting dalam kehidupan komunitas Marapu. Seluruh proses pemilihan sampai pelantikan itu dalam suasana menegangkan, mencekam dan penuh aura magis, dihadiri oleh para rato dari 12 kampung adat, dan tokoh‐tokoh masyarakat Marapu, baik yang masih ber KTP lali‐lain maupun yang sudah ber‐KTP Kristen, tetapi hidupnya masih Marapu. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa meskipun masyarakat Sumba sudah Dinamika Agama Lokal di Indonesia
57
beragama Kristen dan bahkan sudah babtis dan ber‐KTP Kristen tetapi sebagian besar masih hidup dengan suasana, cara, nilai, ajaran dan aroma Marapu yang sangat kental dan akan selalu mengakui Rato Rumatta yang baru terpilih. Setelah semua selesai, maka dipotonglah kerbau untuk menjamu semua orang yang hadir dalam acara pemlihan dan pelantikan Rato Rumatta yang baru.( diolah dari hasil wawancara dengan Lado Rege Tera, Lidah Mawo Mudde, Daniel, Amaniga dan Lele Dapa Wolu, April 2013). Rato Rumatta yang terpilih terakhir adalah Lado Rege Tera yang hadir juga dalam acara FGD menyampaikan banyak informasi berkaitan dengan keagamaan Marapu dan harapan‐ harapanya kepada pemerintah. Lado Rege Tera ini terpilih dalam pemilihan Rato Rumata pada tahun 2006 ketika ia berumur 26 tahun dan belum menikah sampai hari ini. Lado Rege Tera hanya lulusan SMP Negeri Waikabubak, yang waktu masuk diwajibkan memiliki surat babtis, tetapi ia tidak bersedia. Anehnya ia tidak dilarang masuk sekolah dan mengikuti semua pelajaran oleh guru, termasuk mengikuti pelajaran agama Kristen. Prestasi Lado Rege Tera cukup bagus di sekolah, sayangnya ayahnya meninggal ketika ia baru klas 2 SMP, sehingga cita‐cita sekolah lebih tinggi kandas di tengah jalan. Lado Rege Tera adalah anak dari ayah bernama Kurilele Lebba Ari asli kampung Tarung dengan ibu Lidah Mawo Mude yang berasal dari kampung adat Gollu Tana dan masih marga Loli. Mama Lidah Mawo Mude ini sangat memahami kepercayaan, ajaran, ritual dan tradisi Marapu, karena ia sendiri di Gollu Tana adalah anak seorang Rato atau tokoh Marapu di Gollu Tana. Ia juga informan sangat penting dalam penelitian ini, sehingga diperoleh semesta pemahaman peneliti terhadap agama Marapu. Ia dengan sabar
58
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
menjelaskan satu persatu kepercayaan, ajaran, ritual, tradisi dengan bahasa lokal kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Peneliti sangat terbantu dalam mendekripsikan hasil wawancara dan berbagai observasi lapangan ketika harus konfirmasi ulang agar tidak salah penulisan dan laporan penelitian. Rato Rumata Lado Rege Tera yang dipilih secara demokratis versi Marapu ini adalah rato rumata yang ketujuh dari kabihu atau marga Loli. Keturunan yang ketujuh ini sebenarnya hanya ingin menunjukkan rato rumata yang berasal dari kampung Tarung saja, bukan kampung adat yang lain. Sebagaimana pemilihan pemimpin yang dilakukan secara demokratis, maka tidak selamanya komunitas Marapu kabihu Loli itu selalu berasal dari Kampung Tarung. Terkadang dari Kampung Waitabar, Gollu Tana dan setersunya. Hanya saja rato rumata yang berasal dari Kampung Tarung itu sebanyak 7 orang. Rato rumata yang pertama namanya sama dengan rato rumata hari ini, bernama Rato Rumata Lado Rege Tera Rato rumata yang kedua adalah Rato Rumata Kure Lele, rato ketiga Rato Rumata Nissa Bodo Bulu, rato keempat Rato Rumata Dangu Manu, rato kelima Rato Rumata Nissa Bodo Bulu, dan keenam adalah Rato Rumata Bulu Ubbu Raga. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudded an Rato Rumatta, 25 April 2013). Tugas rato rumatta sangatlah berat karena harus mengawal seluruh kegiatan adat yang akan dilaksanakan, menguasai dunia gaif kaum Marapu, memenuhi permintaan berbagai macam keperluan ata bara (umatnya). Banyak di antaranya ata bara yang sakit, ia akan datang kepada rato rumata untuk berobat, bertanya tentang perjalanan nasib hidupnya, bertanya tentang orang‐orang yang tidak senang Dinamika Agama Lokal di Indonesia
59
dengan dirnya (musuh), bahkan sampai bertanya tentang suatu pertandingan sepak bola siapa yang akan menang dalam permainan itu dan sebagainya. Jadi tugas rato rumata sangat banyak, ia harus menguasai kemampuan pengobatan orang sakit fisik dengan perbendaharaan ramuan obat tradisional yang mumpuni, ia harus menguasai dunia ghaif yang membahayakan komunitas Marapu dan siap memimpin perang dengan kabihu lain yang menganggunya, baik karena membela kabihunya sendiri atau karena secara tidak terasa diperalat oleh kaangan elit lokal. Kasus perang antara kabihu Loli dengan kabihu Waejewa tahun 2006 adalah kasus kepentingan politik elit lokal. Di mana pada saat itu bupati Sumba Barat masih dipimpin oleh orang dari Loli dan Ketua DPRD berasal dari Waejewa. Persoalan kepentingan kedua elit yang tidak dapat diselesaikan dengan cara baik, akhirnya melahirkan perang antar kabihu, yaitu kabihu Loli dengan kabihu Waejewa. Akhirnya Gubernur Nusa Tenggara Timur waktu itu turun tangan dan perangpun berakhir. Kbihu Waejewa yang datang meyerbu ke Kota Waikabubak menjadi bulan‐bulanan dari warga Kampung Tarung Waitabar. Dengan berbagai senjata mereka berperang untuk saling mempertahankan gengsi politik para pemimpinya, terutama dengan senjata panah beracunya. Pada perang antar kabihu itu, warga penyerang yaitu komunitas kabihu Waejewa banya mengalami kehancuran, yang meninggal saja mencapai 150 orang, luka‐luka 230 orang, 10 truk hancur, dan beberapa mobil habis terbakar. Sementara dari pihak jabihu Loli, 50 orang meninggal, 60 orang luka‐luka, 49 rumah dibakar dan 25 motor habis dibakar penyerang. Oleh karena itu atas terjadinya perang itu orang kabihu Waejewa menolak bergabung dengan Kabupaten Sumba Barat ketika Sumba
60
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Barat dimekarkan menjadi Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya. Kabihu Waejewa yang berkumpul dalam satu kecamatan Waejewa bergabung dengan Kabupaten Sumba Barat Daya, meskipun ia berbatasan langsung dengan Kecamatan Kota Waikabubak, sehingga Kabupaten Sumba Barat hanya terdiri dari 6 kecamatan saja dengan luas wilayah hanya sekitar 35 % jika dibandingkan dengan Kabpaten Sumba Barat Daya yang memiliki luas wilayah 65 % jika kedua kabupaten itu digabungkan.(diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wolu, Margareta, Anggarita, Angela Lele Dapa Wolu, Rato Rumatta dan Daniel Mesa Kalla, 25 ‐ 28 April 2013). Belakangan ini, para rato yang diwakili Rato Rumata Lado Rege Tera telah menyesal atas dukunganya terhadap pemekaran kabupaten menjadi tiga ini, karena mestinya cukup dengan dua kabupaten saja yaitu Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Barat. Pemekaran menjadi tiga kabupaten itu bagi komunitas Marapu tidak memiliki dampak bagus, karena akhirnya posisi‐posisi penting diduduki oleh mereka yang memiliki loyalitas keagamaan ganda, yaitu secara formal sebagai Kristen meskipun secara antropologis masih Marapu. Sementara yang tetap Marapu, sama sekali tidak ada yang terlibat dalam semua peluang yang tersedia itu, karena tidak ada yang berpendidikan cukup. Masyarakat jauh lebih menyesal lagi, karena semua hanya menguntung‐ kan mereka yang berpendidikan saja, sementara dalam pelayanan sebenarnya tidak ada kendala ketika masih satu Kabupaten Sumba Barat, karena yang terpenting adalah infrastruktur masyarakat. Infrastruktur sudah sangat baik, sehingga jarak tempunh dari desa paling pelosokpun ke Kota Wakabubak hanya 1 jam, sehingga tidak perlu dimekarkan. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
61
Jarak antara Kota Waikabubak ke Tambolaka sebagai ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya hanya 25 menit.(diolah dari hasil wawancara dengan Rato Rumata Lado Rege Tera dan Daniel Mesa Kallo, 25 April 2013). Wacana Terkini tentang Komunitas Agama Marapu Agama Merapu sebagai agama asli masyarakat Sumba merupakan agama yang diyakini secara turun temurun yang masih diakui, dipelihara, dipertahankan dan dilaksanakan secara teratur dengan tutur lisan dari generasi ke generasi. Tidak ada perubahan apapun dalam sisi teologis dan tata ritual. Semua terpelihara dengan sangat baik. Bahkan rumah adat sebagai salah satu simbol agama Merapu juga masih bertahan hingga kini. Khusus dikampung‐kampung adat masih menggunakan bahan kayu, bambo, beratap alang‐alang dan tanpa paku, tetapi semua diikat menggunakan tali dari rotan jenis tertentu. Kayu yang digunakan untuk bahan bagunan juga kayu khusus yang diambil dari hutan. Sementara di sekitar lingkungan masyarakat kampung adat, model rumah tetap gaya Merapu tetapi bahan‐bahan bangunan sudah menggunakan tembok dan beratapkan seng, termasuk kantor‐kantor pemerintah juga masih mempertahan‐ kan gaya rumah adat itu. Rumah‐rumah penduduk yang masih menganut agama Merapu selalu ada tanda atau simbol tanduk kerbau berbentuk bulat panjang atau kotak yang diletakan di atas atap yang disebut dengan tanduk rumah. Jika Weber berteori bahwa agama harus disiarkan agar berkembang dan untuk menyelamatkan manusia dalam hidupnya baik di dunia maupun akhirat, maka di kalangan komunitas Merapu ini, agama dalam posisi bertahan dan stagnan. Bentuk pertahanan
62
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
diri yang mereka lakukan itu adalah mempertahankan semua ajaran dan tradisi Marapu secara turun menurun, di tengah‐ tengah planting curch kamunitas Kristen dan Katolik dengan memperalat Pemerintah Daerah dan kepala Sekolah di semua jenjang pendidikan untuk mewajibkan adanya surat babtis dari gereja jika ingin masuk seklah. Adanya surat wajib babtis menjadi syarat adanya pelajaran agama di sekolah, karena dalam hal ini tidak ada yang bersdia dipersalahkan oleh siapapun. Di lembaga pendidikan itu, nilai pendidikan agama minimal harus enam, sementara jika mereka tidak memiliki surat babtis, mereka tidak dapat mendapatkan pendidikan agama di sekolah, karena agama Marapu tidak diakui sebagai agama, tetapi hanya sebagai aliran kepercayaan yang berlakunyapun juga sangat lokal, yaitu hanya di daratan Sumba. Pihak Kristenpun tidak mau dipersalahkan karena mengajarkan pendidikan agama Kristen di semua jenjang pendidikan, sementara Pemerintah Daerah juga tidak mau dipersalahkan oleh siapapun, karena anak‐anak sekolah menerima pendidikan agama Kristen. Tetapi dari pihak Pemerintah Daerah sendiri sesungguhnya ada unsur kesengajaan juga untuk tidak mengakui Marapu sebagai agama, karena kebetulan birokrasi sendiri dipegang oleh umat Kristen, meskipun Kristennya juga hanya KTP. (diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wole). Masyarakat Sumba, meskipun secara administratif sudah kelar dari agama sukunya, yaitu agama Marapu dan sudah Kristen atau Katolik yang diperoleh secara tidak benar sesuai hak azasi manusia (HAM), tetapi jelas secara sosiologis dan antropologis mereka masih sangat kental dengan ajaran agama dan tradisi Marapu. Keluarnya dari agama suku ke agama Kristen yang mereka bkanlah karena kesadaran Dinamika Agama Lokal di Indonesia
63
sendiri, tetapi karena berbagai pertimbangan yang tidak bisa dihindarinya. Oleh karena itu gereja‐gereja sepi‐sepi saja di hari minggu, karena sebagian besar memang masih memegang agama dan tradisi Marapu. Sementara sebagian kecil pergi ke gereja beribadah minggu, sebagian besar tetap melaksanakan aktifitas seperti biasa, bahkan di sekitar gereja sekalipun. Jadi klaim bahwa masyarakat daratan Sumba mayoritas beragama Kristen atau Katolik hanyalah merupakan klaim administratif, sementara secara sosiologis dan antropologis masih menganut agama dan tradisi Merapu. Lidah Mawo Mudde, mama dari Rato Rumatta Lado Rege Tera di kampung adat Tarung Waetabar yang dikramatkan komunitas Merapu seluruh daratan Sumba, mengatakan bahwa awal bulan Februari 2013 kedatangan 8 pendeta dari gereja tertentu yang rata‐rata berkulit putih, dan hanya satu yang asli Sumba. Pendeta itu datang dengan baik‐ baik, tiba‐tiba bertanya “Mama agamanya apa”. Mama Lidah Mawo Muddepun menjawab, “agama saya agama Merapu”. Pendeta itu mengatakan “Tidak ada agama Merapu itu mama, yang ada hanyalah agama Yesus dengan sebutan agama Kristen”. Kemudian terjadilah perdebatan sengit antara Lidah Mawo Mudde dengan salah seorang pendeta dari Sumba itu, yang intinya bahwa para pendeta telah menghina Lidah Mawo Mudde punya agama. Lidah Mawo Mudde marah sekali dikatakan tidak beragama, sehingga meluncurlah kalimat‐kalimat pembelaan atas penghinaan terhadap agamanya itu. Oleh para pendeta itu, agama Merapu dilihatnya sebagai agama pagan atau agama berhala dan animisme karena menyembah roh‐roh leluhurnya. Lidah Mawo Mude mengatakan bahwa agama Marapu adalah agama yang tidak menyembah berhala seperti dipahami
64
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
orang, tetapi menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa Sang Penciptalan Seisinya. Penganut agama Marapu sangat arif menyebut nama Tuhan dengan tidak menyebut nama aslinya yaitu Amaholuamarawi dengan sia‐sia dan sembarangan, sehingga di kalangan komunitas Merapu hanya menyebut gelarnya saja. Komunitas Merapu memang tidak pernah menyebut nama Tuhan yang sesungguhnya, tetapi cukup dengan menggunakan gelarnya saja yaitu Sang Pencipta, Yang Maha Suci, Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa dan seterusnya. Nama Tuhan komunitas Merapu yang disebut dengan Amaholuamarawi jarang disebut, karena tidak mau menyebutnya dengan sia‐sia. Maksudnya ketika menyebut Amaholuamarawi, maka itu sudah merupakan puncak pengakuan dan jika ternyata melakukan kebohongan pasti menemukan bala dan membuat seseorang akan sengsara seumur hidupnya, itulah keyakinan Merapu. Oleh karena itu komunitas Merapu jika tidak dalam situasi gawat dan di acara‐acara ritual besar, maka tidak akan menyebut nama tuhanya dengan Amaholuamarawi, tetapi cukup dengan nama‐nama sifat‐sifat‐Nya atau gelarnya saja. Para pendeta itupun tidak bisa berkata‐kata secara argumentatif, karena memang Lidah Mawo Mudde sebagai seorang mama rato rumatta sangat luas dan rinci menjelaskan Marapu secara teologis, ritual dan budaya dari akar sampai dahan dan daunnya. (Diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 13 April 2013). Bagi Lidah Mawo Mudde, apa yang dilakukan oleh para pendeta itu adalah kekeliruan besar jika mengatakan bahwa Merapu disebutnya bukan agama, tetapi hanya kepercayaan terhadap roh‐roh leluhur. Apalagi dalam kedatanganya itu secara vulgar menyuruh dan meminta Lidah Dinamika Agama Lokal di Indonesia
65
Mawo Mudde dan seluruh pengikutnya untuk ikut agama Kristen baik secara administratif maupun secara sosiologis dan meninggalkan tradisi budayanya. Oleh karena itu hari ini dan hari‐hari berikutnya adalah perjuangan besar bagi Komunitas Merapu untuk mendapat pengakuan secara benar dari pemerintah. Permintaanya sederhana, yaitu tuliskan nama agama Mrapu dalam kolom agama di KTP, dicatat perkawinanya di Kantor Catatan Sipil (KCS) dan diberikan ajaran agama Merapu bagi anak‐anak sekolah yang beragama Merapu, itu saja. Lidah Mawo Mudde mengatakan, akhirnya semua terserah kepada pemerintah membuat kebijakan bagi komunitas Merapu, tetapi yang ia inginkan hanyalah kesamaan hak bagi setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agama dan menjaganya sesuai dengan yang diyakini sebagai agama kebenaran. Agama‐agama lain disebutnya sebagai pendatang di negeri ini. Misalnya ia mengatakan bahwa Kristen itu berasal dari Yerusalem, Katolik itu berasal dari Perancis dan Islam berasal dari jasirah Arab, yaitu Mekah dan Madinah. Makah dan Madinah ini selalu disebut‐sebut dalam doa‐doa dan ritual yang dlakukan oleh para penganut agama Marapu ini, karena Makkah dan Madinah adalah perjalanan manusia berikutnya setelah di alam dunia ini. Dia katakan bahwa seluruh jiwa dan roh manusia seteleh meninggal akan menuju Mekkah dan Madinah untuk berkumpul dan sebagai gua terbesar bagi umat manusia untuk berkumpul dari seluruh dunia apapun agama dan tatacara ritual dan budayanya sambil menunggu perjalanan menuju padang gurun. Di Padang Gurun itulah seluruh umat manusia akan mengetahui kemana perjalanan berikutnya, karena di padang gurun itu manusia akan memegang catatan
66
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
amal baik dan amal buruknya dalam kehidupan pada masa hidup di dunia.(diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 28 April 2013). Dari hasil observasi, wawancara dan FGD, dapat dinyatakan bahwa hampir seluruh segi‐segi kehidupan masyarakat Sumba masih utuh dipengaruhi oleh rasa dan nilai keagamaan Marapu. Sampai dewasa ini agama Marapu masih mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakatnya, baik di kota maupun di desa. Meskipun sebagian besar sudah ber‐KTP Kristen dan Katolik, ternyata tidak mudah bagi mereka untuk melepaskan rasa dan nilai keagamaan Marapu. Menurut catatan sejarah, masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan‐ kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dari sebagian kecil suku Sumba. Pekabaran atau penyebaran agama Kristen yang sudah dilakukan sejak tahun 1881, secara sosiologis dan antropologis hanya berpengaruh pada kalangan elit atau pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba dan itu pun tak begitu banyak jumlahnya. Mereka ini sebenarnya diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat untuk beralih agama dari agama Marapu ke agama Kristen. Kemudian sekolah‐sekolah dari pekabaran Injil (Zending) juga sudah mulai didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibukota kecamatan Rindi‐Umalulu) Sumba Timur berupa Volks School, tetapi pengaruhnya juga baru sedikit. Usaha‐uasaha Kristenisasi dengan mendirikan
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
67
sekolah zending tersebut ternyata belum mendapat hasil yang memuaskan. Jikalau kita percaya bahwa perubahan itu adalah sunatullah, maka asumsi kita kehidupan keagamaan Marapu juga akan berubah seiring dengan perubahan yang terus terjadi. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada suatu masyarakatpun yang tidak berubah. Dengan kata lain, perubahan itu konstan dalam kebudayaan manusia. Perbedaannya hanya ada perubahan kebudayaan yang cepat dan ada perubahan yang lambat, hal mana tergantung pada latar belakang stabilitas kebudayaan dan juga hubungannya dengan kemungkinan adanya penolakan akan perubahan. Menurut Geertz agama pun dapat mengalami perubahan, tetapi yang berubah adalah tradisi‐tradisi keagamaan atau sistem‐sistem keyakinan keagamaan, sedangkan teks suci atau doktrin agama itu sendiri tidak berubah. Mengingat bahwa di dalam masyarakat selalu ada dua macam kekuatan, yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolak perubahan, maka di dalam sistem keyakinan yang dianut masyarakat Sumbapun mungkin saja akan atau dapat berubah sejalan dengan proses dan terjadinya perubahan sosial‐budaya pada masyarakat yang bersangkutan. Proses perubahan itu sendiri bisa saja dengan jalan damai, atau bisa juga dengan jalan ‘pemaksaan’, dengan kata lain suka atau tidak suka sebagai sesuatu hal yang ‘harus dilakukan’. Perubahan yang ‘dipaksakan’ ini rupanya sudah sering pula dilakukan pihak luar. Akan tetapi, sejauh itu pula tidak atau belum mendapat hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti hingga tahun 1982 hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Sumba yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama
68
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
asli mereka, yaitu agama Marapu (Suriadiredja,1983:49). Namun perkembangan selanjutnya (terutama sejak tahun 1990‐an) agak mengejutkan, karena ternyata data tersebut mengungkapkan yang sebaliknya. Kini sebagian besar dari mereka (+/‐ 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, meskipun baru pada tahap adminsitratif. Salah satu hal yang sangat penting strategi perubahan dalam kristenisasi dan yang menyumbang andil yang luar biasa bagi beralihnya masyarakat agama Marapu ke agama Kristen, yaitu diwajibkanya anak usia sekolah untuk memiliki surat babtis dari gereja. Akankah masyarakat Sumba benar‐benar dapat menjadi pengikut Gereja Kristen Sumba (GKS atau lainya secara teologis, dmisnitratif maupun secara antropologis. Hanya sejarah yang akan membuktikan hal itu, karena sepanjang kritenisasi di Sumba ternyata masih belum mendapatkan umat Kristen yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bishawaf. Berdasarkan hasil wawancara berbagai narasumber berbeda, secara umum diperoleh informasi yang menunjukan bahwa terdapat 4 (empat) langkah dalam menjalankan maupun menurunkan ajaran lisan Bara Marapu. Pertama, sesungguhnya Bara Marapu dipertahankan secara oral atau tradisi lisan dari generasi ke generasi. Kedua, sekalipun pengikutnya tidak ada batasan, akan tetapi yang bisa Bara Marapu adalah yang dikehendaki oleh Gha Magholo Gha Marawi atau Amaholu Amarawi yaitu seseorang yang diberikan karunia untuk mampu memimpin upacara Bara Marapu. Dalam dialek Loura, orang yang memperoleh karunia dari nenek moyang atau Marapu disebut “Pa Ka zangada.” Ketiga, orang yang terpanggil karena “dipakai atau dipilih oleh Marapu” untuk menjalankan ritual‐ritual Bara Dinamika Agama Lokal di Indonesia
69
Marapu. Dalam beberapa bukti kehidupan, terdapat banyak rato Bara Marapu yang sesungguhnya sebelum menjadi Rato Urrata atau Rato Rumatta sudah pernah menganut agama formal seperti Katholik atau Protestan, akan tetapi karena panggilan Marapu, secara otomatis bisa berbicara dalam syair‐ syair adat yang sangat bernilai tinggi maupun kemampuan memimpin semua jenis upacara adat Bara Marapu. Yang bersangkutan serta merta meninggalkan agama formal dan kembali ke Bara Marapu. Usia rata‐rata usia para penganut Bara Marapu sudah tua dan sangaat sedikit sekali anak‐anak muda atau generasi muda yang tertarik untuk mengikuti ajaran lisan Bara Marapu tersebut, apalagi ketika akan sekolah harus memiliki surat babtis. Oleh karena itu, meskipun mereka sudah Kristen, tetapi orang tuanya masih Marapuisme bahkan menjadi Rato Bara Marapu, tetapi sebagian tidak menganut Bara Marapu. Salah satu konsekuensi dari pemekaran wilayah pada jaman otonomi daerah tersebut adalah semakin berkurangnya jumlah penganut dan pemraktek agama Bara Marapu. Salah satu hal yang berkembang dalam FGD adalah adanya pendapat dari peserta yang berasal dari berbagai unsur keterwakilan, bahwa peran Pemerintah Pusat melalui berbagai instrumen peraturan perundang‐undangan yang ada sebelum dan selama masa Orde Reformasi, sesungguhnya telah merampas hak‐hak penganut Bara Marapu. Jika pada tahun 1940an‐1960an, jumlah penganut agama formal seperti Katolik dan Protestan hanya sedikit dari jumlah penganut Bara Marapu, maka semenjak tahun 1970an‐1990an jumlah penganut Bara Marapu terus mengalami penurunan. Salah satu momentum yang menjadi media perantara dan paling berperan dalam penurunan drastis angka penganut Bara
70
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Marapu adalah kebijakan Pemerintah Orde Baru yang mengharuskan warga negara termasuk orang Sumba penganut Bara Marapu untuk mau tidak mau harus menentukan pilihan atas salah satu dari lima agama formal yang ada pada jamannya, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Melalui berbagai kebijakan yang sistematis antara lain melalui pelayanan hak‐hak sipil yang selalu disertai dengan kolom agama yang dianut, maka sang penganut Bara Marapu, serta merta dipaksa untuk memilih agama Katolik atau Protestan yang sudah lama membumi di Sumba. Di samping itu, kebijaksanaan pemerintah lainya yang menyebabkan Bara Marapu semakin punah adalah adanya kewajiban surat babtis untuk masuk sekolah. Data berikut memperlihatkan kekuatiran akan ancaman kepunahan agama lokal Bara Marapu di Sumba secara umum dan Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai kabupaten berpendudukn terbesar di Sumba. Sejalan dengan kemajuan peradaban orang Sumba, penetrasi pengenalan dan pengajaran agama Katholik dan agama Protestan semakin menjauhkan orang Sumba dalam praktek penganutan agama asli mereka yaitu Marapu. Penurunan agama asli orang Sumba tersebut tidak saja disebabkan semakin banyaknya kaum tua yang memutuskan menganut agama formal seperti yang dianut anak‐anak mereka yakni Katholik atau Protestan, akan tetapi lebih dari itu terutama disebabkan oleh tidak adanya pengajaran secara tertulis. Pelayanan Hak‐Hak Sipil Sekalipun Pemerintah telah menjamin pelayanan hak‐ hak sipil dari warga negara penganut agama lokal sebagaimana diatur dalam Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, namun fakta di lapangan bertolak Dinamika Agama Lokal di Indonesia
71
belakang dengan amanat undang‐undang tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak adanya harmonisasi peraturan perundang‐undangan yang ada. Berbagai macam hak‐hak sipil yang diberikan pemerintah, oleh kalangan penganut Bara Marapu dianggap tidak ada perbedaannya antara mereka yang masih menganut dan menjalankan agama lokal Bara Marapu dengan yang sudah menganut agama formal lainnya seperti Katolik, Protestan dan Islam. Dalam hal ini, para penganut Bara Marapu tetap memperoleh hak pelayanan adminduk seperti KTP dan KK, akta kelahiran bagi anak‐anak mereka yang menjadi syarat untuk memperoleh pendidikan. Dalam kaitannya dengan hak pencatatan perkawinan, berbagai narasumber dan peserta FGD mengatakan bahwa tidak pernah lagi ditemui adanya perkawinan yang murni pasangan penganut Bara Marapu. Seluruh perkawinan yang ada untuk usia generasi muda sudah melalui tata cara agama formal, baik Katolik atau Protestan. Semua tata cara penguburan orang Sumba Kristen masih merujuk pada adat penguburan orang mati menurut kepercayaan Bara Marapu seperti bentuk galian kuburan antara di atas permukaan tanah atau di bawa permukaan tanah, posisi jenazah saat diturunkan dalam liang lahat yang dibungkus kain adat Sumba berlapis‐lapis dalam posisi duduk menelungkup. Ada pun adat perkawinan yang dilakukan sudah menyesuaikan keadaan zaman, sekalipun mahar atau belis dan tata cara perkawinan budaya Sumba masih tetap dipegang teguh, namun demikian tidak ada perkawinan yang dilakukan dicatat sipil dengan menyebutkan agama yang dianut Bara Marapu.
72
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Temuan yang menarik bahwa dalam hal pelayanan administrasi kependudukan seperti KTP dan KK, melalui Form F‐1.01 yang memuat mengenai Formulir Isian Biodata Penduduk Untuk WNI (Per Keluarga), pada kolom Agama tertulis Marapu, yang diisikan oleh pencacah berdasarkan pengakuan warga yang disensus atau oleh warga yang bersangkutan. Namun demikian, ketika data manual tersebut dimasukan dalam sistem komputerisasi Adminduk yang berbasi online nasional, maka kolom agama yang muncul adalah lain‐lain yang berakibat pada pencetakan KTP yang tidak jarang tertulis salah satu agama formal.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
73
PENUTUP Kesimpulan 1. Perkembangan zaman yang terus mewarnai peradaban Sumba telah mendorong perubahan strata sosial di kalangan orang Sumba. Dimana, pada zaman sebelum tahun 1980an, pengaruh keturunan Raja dan tokoh masih sangat dominan dalam hidup keseharian orang Sumba, sekarang telah bergeser dipegang oleh kaum keturunan strata sosial kalangan biasa yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. 2. Tata cara perkawinan bagi masyarakat Bara Marapu dilakukan menurut agama formal Katolik atau Kristen. 3. Pemekaran wilayah yang melahirkan dua kabupaten baru yaitu Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah tidak ikut mengubah sistem kebudayaan atau adat istiadat yang sudah secara turun temurun hidup di Sumba. 4. Secara faktual (sensus tertulis di tingkat kecamatan), mayoritas orang Sumba masih Marapuisme, meskipun secara administrative kependudukan, mereka beragama Kristen, sehingga tidak mengejutkan jika gereja‐gereja di hari minggu sepi, karena sebagian besar masyarakatnya masih Marapu bukan Kristen. 5. Tradisi kehidupan orang Sumba sebagian besar masih eksis sampai hari ini, karena disetiap upacara adat apapun selalu dikorbankan kerbau, babi, anjing, dan ayam. 6. Pelayanan hak‐hak sipil keluarga Bara Marapu tidak mengalami hambatan, terutama pelayanan pencatatan Bara Marapu dalam berbagai dokumen kependudukan tetap dilakukan secara manual pada dokumen agama lokal, akan tetapi menjadi hilang pada sistem nasional. Sehingga kolom
74
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
agama dalam KTP, ditulis dengan tanda setrip atau lain‐ lain. 7. Relasi sosial masyarakat Bara Marapu dengan masyarakat di luar lingkungannya dikatakan cukup baik Rekomendasi Pertama, pentingnya mendorong Pemerintah Kabupaten dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten di seluruh Sumba, untuk membentuk Lembaga Pemangku Adat, sesuai ketentuan yang berlaku, idealnya Lembaga Pemangku Adat tersebut hendaknya diambil dari penganut agama Bara Marapu, dan bukan oleh penganut agama formal. Kedua, Kementerian Dalam Negeri, seharusnya membuat terobosan dengan menyempurnakan Sistem Adminduk yang memungkinkan secara elektronik dapat dicantumkan nama agama lokal yang akan tercetak di Kartu Tanda Penduduk, misalnya khusus wilayah Sumba “Agama: Bara Marapu.” Ketiga, pelayanan hak‐hak sipil seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Pencatatan Perkawinan Adat, dan Pendidikan; hendaknya secara tegas diatur dalam sebuah Peraturan Perundang‐undangan baik pada tataran PP, Perpres, Permen, dan Perda.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
75
DAFTAR PUSTAKA Buletin Nusadadi Nomor 01, Cetakan I, Juli‐Desember 2012. Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2012. Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2010. Laporan Data Keagamaan Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat, 2013. Wellem FD, Injil dan Marapu: Studi Historis Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba, pada Periode 1876‐1990, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004. DAFTAR INFORMAN Lidah Mawo Mudde; Agela Lele Dapu Wole; Ana Angelina Lele; Rambu Sama Pati; Weny Anggi Pana; Weny Dela Kondo; Amaghani; Amaniga; Danil Mesa Kalla; Rattu Rumatta; Lado Rege Tera; Lele Dapa Wolu; Oktavianus Bobsini.
76
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
AGAMA/KEPERCAYAAN KASEPUHAN CIPTAGELAR GUNUNG HALIMUN DI SUKABUMI JAWA BARAT Oleh : Nuhrison, M. Nuh
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
77
GAMBARAN UMUM WILAYAH Kecamatan Cisolok Kecamatan Cisolok merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Sukabumi. Kecamatan Cisolok terdiri dari 13 desa yaitu: Desa Cisolok, Cikahuripan, Karangpapak, Pasirbaru, Cikelat, Gunung Karamat, Gunung Tanjung, Cicadas, Sirnaresmi, Caringin dan Sukarame. Luas wilayah kecamatan Cisolok 17.806.726 Ha, dengan ketinggian dari permukaan laut 2‐325 m. Suhu rata‐rata 45‐63O C, dengan demikian suhu di kecamatan ini sangat panas karena berada ditepian laut Samudra Indonesia. Kecamatan Cisolok berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten, sebelah selatan dengan Samudra Indonesia, sebelah barat dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten dan sebelah timur dengan kecamatan Cikakak. Jarak dari Ibukota Kabupaten (Pelabuhan Ratu) 14 km, dan jarak dari Ibukota Provinsi 162 km. Jumlah penduduk Kecamatan Cisolok 65058 jiwa, dengan perincian penduduk laki‐laki 32939 jiwa, dan perempuan 32119 jiwa. Jumlah KK sebanyak 18237, berarti setiap KK terdiri dari 4 jiwa, dengan demikian KB didaerah ini sudah berhasil, dimana setiap keluarga hanya mempunyai 2 orang anak. Jumlah penduduk bila dilihat dari segi agama: Islam sebanyak 64.707 orang, Kristen, 17 orang, Katolik 18 orang, Buddha 2 orang dan Penganut Kepercayaan 4 orang. Mengenai Desa Sirnaresmi dimana Kasepuhan Ciptagelar berada, diperoleh informasi sebagai berikut: luas wilayah 4917 Ha, dengan ketinggian dari permukaan laut 620 ‐ 1200 m, dengan suhu rata‐rata 20 – 23 derajat celcius, maka
78
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
suhu didaerah ini tergolong dingin/sejuk. Desa Sirnaresmi berbatasan sebelah utara dengan desa Sirnagalih Kabupaten Lebak Provinsi Banten, sebelah selatan dengan Desa Cicadas, sebelah barat dengan Desa Cicadas, dan sebelah timur dengan desa Cianten Kabaupaten Bogor. Jarak Desa Sirnaresmi ke Ibukota Kabupaten 33 km, dan ke Ibukota Provinsi 192 km. Desa Sirnaresmi terletak 22 km dari Pelabuhan Ratu (ibukota Kabupaten Sukabumi), dapat ditempuh dengan kendaraan mobil, selama 1.5 jam. Di dekat kantor desa terdapat Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sinar Resmi, sedangkan Kasepuhan Ciptagelar terletak 16 Km dari Kantor Desa Sirna Resmi, yang hanya dapat ditempuh dengan kendaraan ”mobil offroad” atau motor, selama 1.5 jam. Jalan menuju ke Kasepuhan Ciptagelar berbatu‐batu cadas, dan berkelok‐kelok, sehingga laju kendaraan sangat lambat dan berbahaya. Menurut data dari KUA Kecamatan Cisolok, jumlah penduduk Desa Sirnaresmi 5113 jiwa, dan Desa Cicadas berpenduduk 5331 jiwa. Desa Cicadas merupakan pecahan dari desa Sirnaresmi, dan penduduknya sebagian besar merupakan anggota komunitas kasepuhan. Persebaran anggota masing‐masing kasepuhan tidak berdasarkan wilayah, tetapi berdasarkan kepengikutan. Desa Sirnaresmi berbatasan dengan tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi (desa Cicadas), Kabupaten Lebak (desa Sirnagalih), dan Kabupaten Bogor (Kecamatan Leuwiliyang). Di tiga kabupaten tersebut terdapat 21 kasepuhan yang pengikutnya berjumlah 350.000 jiwa, tergabung dalam Kesatuan Adat Banten Kidul (Data dari Aliansi Adat Nusantara, Abah Asep). Dinamakan Kesatuan Adat Banten Kidul karena pada waktu itu belum ada provinsi Banten. Kepala Desa Sirnaresmi, Dinamika Agama Lokal di Indonesia
79
sekarang dijabat oleh Ujang Supendi, dan Kepala Desa Cicadas, dijabat oleh Adang Suganda. Permukiman di Lembur Ciptagelar Lembur Ciptagelar merupakan lembur utama dari seluruh lembur yang tergabung dalam Kasepuhan Gunung Halimun. Lembur Ciptagelar lazim disebut Kasepuhan Ciptagelar. Dalam bahasa Sunda kata kasepuhan mengacu pada golongan masyakat yang masih hidup dan bertingkah laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Kata Ciptagelar berarti terbuka atau pasrah. Hal ini berarti Kasepuhan Ciptagelar sudah terbuka terhadap dunia luar. Berdirinya desa Ciptagelar tidak terlepas dari yang sifatnya mitos dan tradisi yang melekat pada masyarakat tradisional. Penduduk desa Ciptagelar merupakan penduduk pindahan dari desa Ciptarasa. Perpindahan ini didahului oleh sebuah mimpi atau wangsit yang diterima oleh Abah Anom yang menyuruh mereka pindah. Maka pada bulan Juli tahun 2001, Abah Anom bersama belasan baris kolot (pembantu sesepuh girang) menjalankan wangsit tersebut. Beberapa rumah baris kolot beserta seluruh isinya ikut dibawah pindah. Lokasi baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris kolotnya bukan merupakan daerah yang baru dibuka. Abah Anom pindah ke tempat yang telah ada penduduknya dan kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kampung Sukamulya diganti menjadi Ciptagelar. Pusat pemukiman Kasepuhan Ciptagelar berupa rumah‐ rumah dan bangunan lain yang berderet rapi mengelilingi tanah lapang atau alun‐alun yang berbentuk persegi. Di sekeliling tanah lapang tersebut terdapat rumah kediaman Abah Ugi, gedung pertemuan, leuit induk, Imah Gede,
80
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
mushallah, stasiun TV Ciptagelar, Pemancar Radio FM, dan dua buah rumah untuk tamu menginap, kalau rumah Ima Gede tidak mampu menampung tamu yang datang untuk menginap. Dengan pola pemukiman seperti ini, nampaknya arah rumah bukanlah hal yang penting secara magis relegius, tetapi penting berdasarkan fungsinya atau keindahan. Jumlah rumah yang terdapat di kampung Ciptagelar sebanyak 90 buah rumah, dengan jumlah KK sebanyak 140 KK, dengan jumlah penduduk kira‐kira 330 orang. Sedangkan kampung‐kampung lainnya seperti Ciptarasa dan Cipulus yang berbatasan dengan kampung Ciptagelar walaupun masih berada dibawah pengaruh kasepuhan Ciptagelar sudah boleh mengadakan perubahan, seperti atap rumah sudah boleh memakai genteng, dinding rumah berdindingkan tembok. Dalam membajak sawah sudah boleh memakai traktor, hanya di kampung Ciptagelar ketentuan adat dijalankan secara ketat. Menurut Abah Ugi, disamping memelihara adat istiadat kita juga tetap menerima perkembangan teknologi sebagai konsekuensi perkembangan zaman, karena kita juga ingin maju, dan tidak ingin dibodohi oleh teknologi selama tidak mengganggu tatacara adat disini. Adapun teknologi yang masuk tetap dikontrol, bahkan dulu listrik dan televisi dilarang samasekali, namun ketika pimpinan Abah Anom kmai mulai mencari tahu kenapa ini dilarang, dan ternyata apabila tidak mengganggu tatacara adat kebiasaan, maka teknologi tidak masalah untuk masuk kesini. Dulu ketika Abag di SMA ada pikiran dari ilmu yang Abah dapat apa yang bisa Abah sumbangkan bagi kemajuan kampung, maka Abah merintis Radio Komunitas FM suara Ciptagelar, pada tahun 2004, kemudian pada tahun 2008
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
81
mendirikan TV Ciptafelar. (wawancara dengan Abah Ugi, 26 April 2013). Bangunan‐bangunan tersebut sengaja dibuat secara tidak permanent, oleh karena kebiasaan mereka yang berpindah‐ pindah dari suatu tempat ke tempat lain didalam kawasan Gunung Halimun. Dengan kondisi bangunan dan bahan bangunan yang tidak permanent maka memudahkan untuk membongkar dan memasangnya kembali bila terjadi perpindahan. Kapan waktu pindah dan berapa lama mereka tinggal di dalam suatu lokasi, sukar untuk ditentukan, karena waktu untuk berpindah ke lokasi permukiman baru tergantung dari wangsit yang datang atau diterima oleh kepala adat (Sesepuh Girang) yang dipanggil dengan sebutan Abah. (Jajang Gunawijaya, 2011: 12‐13). Rumah penduduk umumnya berbentuk panggung, berdindingkan bambu dan beratapkan ijuk, hal itu dilakukan memang kondisi alam dimana mereka tinggal terdapat pohon bambu, pohon aren, dengan demikian nampaknya mereka sengaja membangun rumah dengan memanfaatkan tumbuh‐ tumbuhan yang ada disekitar mereka. Dengan demikian mereka ingin menyatu dengan alam sekitarnya. Kampung Ciptagelar mempunyai luas empat hektar, dengan jarak 44 km dari Pelabuhan Ratu kea rah Cisolok, atau 200 km dari Jakarta. Berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Untuk mencapai kampung tersebut para pengunjung harus melalui jalan tanah berbatu kasar sepanjang 14 km, dengan jalan menurun dan menanjak yang sangat tajam dari lereng yang satu ke lereng yang lain di Gunung Halimun. Dengan kendaraan motor (ojek) dapat ditempuh selama 1,5 jam, dengan biaya Rp 75.000 (Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah), sedangkan dengan
82
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
kendaraan mobil ditempuh selama 2 jam, itupun mobilnya harus yang mempunyai dua gardan. Pemanfaatan Lahan dan Kegiatan Pertanian Mengingat kondisi fisik lingkungan Gunung Halimun, maka sumber daya alam berupa lahan pertanian yang digarap masyarakat kasepuhan antara lain sawah (merupakan usaha pertanian utama), ladang dan kebun campuran. Areal persawahan terletak pada daerah lereng, dataran dan depresi, yang sebagian berada di dekat pemukiman dan sebagian lagi berada agak jauh dari pemukiman. Sebagian besar areal persawahan penduduk berada di kawasan Perum Perhutani. Sumber air sawah berasal dari sungai dan mata air. Pada daerah persawahan yang berlererng dibentuk sistem terasiring dengan galangan‐galangan sempit sebagai pembatas yang juga berfungsi sebagai jalan setapak atau sebagai lahan pertanian tambahan yang ditanami palawija (jagung dan kacang‐kacangan), sayuran (kangkung, kacang panjang, katuk dan lain‐lain) dan pohon buah (pisang, pepaya, jeruk, dan lain‐lain). Selain menanam tanaman pangan untuk kebutuhan sehari‐hari, mereka juga terbiasa menenam tanaman cash atau tanaman yang hasilnya untuk mendapatkan uang tunai disamping untuk kebutuhan sendiri. Komoditi tersebut ditanam di sawah yang sudah mengering, di kebun, talun (lahan hutan yang boleh digarap), atau di pinggiran sawah bersamaan dengan tanaman padi. Tanaman tersebut di antaranya adalah: cabe merah, cabe rawit, cabe keriting, kol (kubis), kacang‐kacangan, kentang besar dan jagung. Selain itu mereka juga menanam cengkeh, pisang, advokado, kapol dan lain‐lain. Sumber uang tunai yang lain adalah pohon kayu Dinamika Agama Lokal di Indonesia
83
manglid yang dijual setelah berusia 10 tahun. (Jajang Gunawijaya, 2011: 14‐15). Dalam bertani masyarakat mencoba untuk menyelaras‐ kan dengan alam sehingga mereka tidak mau menanam padi jenis unggul versi pemerintah, karena: (a) upacara adat mengharuskan menggunakan padi lokal, (b) padi jenis unggul (pemerintah) tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah lembab dan terlalu dingin, (c) padi jenis lokal berbatang panjang sehingga memudahkan dietem, mudah pengeringan dan penyimpanannya, tahan sampai waktu lebih dari 5 tahun dan tidak rontok, (d) melestraikan adat leluhur, ada sekitar 43 jenis pare rurukan (padi pokok) dan 100 jenis padi hasil silang dari pare rurukan, (e) dengan menanam padi setahun sekali, juga menghentikan siklus hama wereng yang biasanya jatuh pada bulan dan musim yang sudah diperhitungkan, (f) untuk menentukan masa tanam didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan perhitungan bintang. Kusnaka Adimiharja mencontohkan: Tanggal Kerti Kana Beusi, Tanggal Kidang turun Kijang (untuk menyiapkan alat‐alat pertanian), Kidang Ngarangsang Ti Wetan, Kerti ngagoredag ka kulon (untuk memulai menggarap lahan). Pengetahuan tentang hutan di masyarakat adat kasepuhan dibagi tiga golongan, yaitu (a) Hutan Tua (Leuweung Kolot), Hutan asli dengan kerimbunan dan kerapatan tinggi dan banyak satwa, tidak boleh di eksploitasi. (b) Hutan Titipan/Kramat (Leuweng Titipan). Hutan Kramat yang harus dijaga oleh setiap orang dan tidak boleh digunakan tanpa seizin sesepuh girang, memungkinkan penggunaan hasil hutannya bila ada wangsit dari leluhur. (c) Hutan Sempalan/bukaan (Leuweng Sampalan), Hutan bukaan yang boleh dieksploitasi untuk ladang, menggembalakan
84
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
ternak, mencari kayu bakar dan ditanami berbagai tanaman kayu dan buah‐buahan yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Fasilitas Umum dan Kreatifitas Lokal Fasilitas umum yang tersedia sebagai hasil dari kreatifitas lokal dari elit‐elit kasepuhan diantaranya adalah pemancar televisi lokal, radio AM lokal, sumber tenaga listrik mikro, dan lembaga pendidikan formal. Semua fasilitas itu dibangun berdasarkan dana swadaya masyarakat dan bantuan dari NGO asing yang merupakan jaringan elit‐elit lokal. Semua fasilitas itu dapat dinikmati sepenuhnya oleh warga kasepuhan. Selain itu terdapat pula dua buah mushalla, yang pertama khusus untuk tamu,yang terletak di samping alun‐alun (tanah lapang)dan yang kedua terletak ditengah‐ tengah pemukiman warga, dimanfaatkan untuk warga kasepuhan, diantaranya digunakan oleh anak‐anak untuk belajar mengaji yang dibimbing oleh penghulu Rahman. Berdasarkan informasi dari Pak Rahman, anak‐anak yang mengaji berjumlah 20 orang, waktu belajar mengaji didakan sehabis shalat maghrib. Untuk shalat jumat warga pergi ke masjid yang terdapat di dusun Cipulus, berjarak 2 km dari Ciptagelar. Ketika waktu subuh terdengar suara azan dari mushalla tersebut, yang dapat peneliti dengar dari rumah tempat kami menginap.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
85
TEMUAN HASIL PENELITIAN Sejarah Kasepuhan Sejauh ini berdasarkan bukti sejarah, masih banyak pihak yang meragukan keberadaan warga desa Ciptagelar yang memiliki hubungan erat dengan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Bila melihat fakta situs, diduga kuat merupakan peninggalan Kerajaan Pajajaran yang berada di sekitar desa tersebut, tepatnya di kampung Pangguyangan. Apalagi disekitar situs tumbuh pohon hanjuang (pajajaran). Situs yang ditemukan di perkampungan tersebut katanya, dilihat dari ilmu arkeologi diyakini tempat pemujaan animis. Di sana terdapat situs megalitik, batu jolang (tempat pemandian), salak datar, tugu gede, cungkuk, batu kursi dan batu dakon (alat perhitungan tangga/ilmu bintang). Perkampungan tersebut, menurut cerita legenda merupakan salah satu tempat pelarian keturunan dan pengikut Kerajaan Pajajaran. Sekitar tahun 1300, saat Prabu Siliwangi dan pengikutnya dikejar‐kejar Kerajaan Mataram dari Banten mencoba melarikan diri ke Pulau Christmas (Australia) lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Tapi itu gagal dilakukan Prabu Siliwangi dan pengikutnya, karena ombak Samudra Hindia saat itu sedang pasang. Tanpa memikir panjang, Prabu Siliwangi meminta pada keturunan dan pengikutnya untuk mencari jalan masing‐masing untuk menyelamatkan diri dari kejaran Kerajaan Mataram. Dari sekian banyak pengikut dan keturunan Prabu Siliwangi, mereka akhirnya berpencar. Sebagian di antaranya melarikan diri ke Urug (Bogor) dan sebagian lagi lari ke Citorek (Banten), Sirna Rasa dan Ciganas (Sukabumi).
86
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Sedangkan Prabu Siliwangi sendiri lari kearah utara pantai Tegal Buleud. Berdirinya desa Cipta gelar tidak terlepas dari yang sifatnya mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk Ciptagelar merupakan penduduk pindahan dari desa Ciptarasa. Perpindahan ini di dahului oleh sebuah mimpi atau wangsit yang diterima Abah Anom yang menyuruh pindah, maka tepatnya bulan Juli 2001 Abah Anom bersama belasan baris kolot beserta seluruh isinya ikut dibawa pindah. Lokasi baru tempat Abah Anom beserta baris kolotnya pindah bukan daerah baru dibuka. Abah Anom pindah ketempat yang telah ada penduduknya dan kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian diganti menjadi Ciptagelar. Abah Anom yang nama aslinya Encup Sucipta sebagai pucuk pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Arti dari kata Cipta gelar adalah terbuka atau pasrah. Kepindahan dari Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena ”perintah leluhur” yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau, dimana hasilnya tidak boleh tidak harus pindah. Oleh karena itulah kepindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya. (http://wacananusantara.org/kehidupan‐ kolektif‐kebudayaan‐masyarakat‐desa‐ciptagelar/23/4/2013). Sistem Organisasi Adat Menurut keterangan Abah Asep yang memimpin Kasepuhan Sinar Resmi, dulu Kasepuhan Gunung Halimun di pimpin oleh Abah Harjo. Dia mempunyai tiga orang anak, Dinamika Agama Lokal di Indonesia
87
dua orang dari isteri pertama dan satu orang dari isteri kedua. Dari isteri pertama lahir Abah Uum dan Abah Ujat, sedangkan dari isteri kedua lahir Abah Encup. Setelah Abah Harjo meninggal kasepuhan terpecah menjadi tiga yaitu Kasepuhan Cipta Mulya dipimpin oleh Abah Uum, Kasepuhan Sinar Resmi dipimpin oleh Abah Ujat dan Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Anom (Encup Sucipta). Setelah ketiga orang tersebut meninggal dunia, kepemimpinan diteruskan oleh anak‐anak mereka berdasarkan keturunan. Sekarang ini Kasepuhan Ciptamulya dipimpin oleh Abah Hendrik, Kasepuhan Sinar Resmi dipimpin oleh Abah Asep dan Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Ugi Sukriana Rakasiwi. Ketiga kasepuhan ini terletak di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Pimpinan adat atau Sesepuh Girang diharuskan seorang laki‐laki, pemilihan sesepuh girang tidak dipilih secara langsung oleh rakyatnya, tetapi berdasarkan wangsit, dalam hal ini biasanya yang terpilih menjadi kepala adat adalah salah satu anak dari ketua adat yang menjabat sebelumnya. Aparatur sesepuh adalah orang‐orang yang terpilih dan dipercaya oleh ketua adat. Sistem pengangkatan pemimpin adat dilakukan atas dasar wangsit yang diberikan oleh leluhur. Wangsit merupakan petunjuk atau perintah leluhur yang disampaikan kepada baris kolot atau calon pemimpin melalui mimpi. Keberadaan wangsit dilingkungan masyarakat kasepuhan Ciptagelar sangat sakral, wangsit merupakan perintah leluhur yang harus dipatuhi tanpa kecuali, tidak boleh ada penolakan atau pelanggaran, bagi yang melanggar akan mendapatkan kabendon atau musibah.
88
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Abah Anom menjadi sesepuh girang sejak tahun 1982 sampai tahun 2007. Setelah Abah Anom meninggal pada tahun 2007, Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Ugi Sukriana Rakasiwi anak dari Abah Anom. Ia lahir di Kampung Ciptarasa pada tanggal 16 Oktober 1985. Pendidikannya sampai pada tingkat SMA di Pelabuhan Ratu dan pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Sukabumi, tapi tidak selesai, karena merasa bukan bidangnya, dia lebih tertarik pada masalah teknologi. Kemampuannya mengutak‐ atik barang‐barang elektronik tersebut kemudian diwujudkannya dengan mendirikan Radio FM dan stasion Televisi Ciptagelar. Pada mulanya di kasepuhan tidak diperbolehkan menonton televisi, mendengarkan radio, dan menggunakan telepon, sekarang ini semuanya sudah diperbolehkan, mungkin hal tersebut berdasarkan pengalaman Abah Ugi ketika hidup di kota, berbaur dengan masyarakat disekitarnya, dimana ketika itu dia sudah dapat mengakses hal‐hal tersebut, dan merasakan manfaatnya. Dia diangkat menjadi Abah pada akhir tahun 2007, dan menikah dengan seorang gadis dari Pelabuhan Ratu pada awal tahun 2008. Meskipun bukan pemimpin formal, namun pengaruh Abah Ugi melebihi kepala desa, camat bahkan bupati sekalipun. Menurut penjelasan para tokoh masyarakat di Ciptagelar, hingga saat ini Kasepuhan Ciptagelar membawahi 568 sepuh lembur (kepala kampung) yang tersebar di wilayah Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Kasepuhan ini menurut pengakuan mereka mempunyai pengikut jutaan orang yang tersebar diberbagai kota seperti Bogor, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota‐kota dalam Wilayah Provinsi Banten. Mereka tergabung dalam organisasi primordial yang Dinamika Agama Lokal di Indonesia
89
disebut Persatuan Adat Banten Kidul. Sejumlah kasepuhan (perkampungan) yang berada dalam kawasan Gunung Halimun masing‐masing dipimpin oleh seorang sesepuh kampung atau kokolot lembur. Nama‐nama kampung atau lembur tersebut di antaranya seperti dikemukakan di atas. (Jajang Gunawijaya, 2011:13). Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat hingga ke berbagai daerah. Secara structural tertinggi kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia didampingi oleh sesepuh induk yang dijabat oleh bapak Umit. Sesepuh induk merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan abah Ugi, jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik masalah tanah, maka biasanya akan ditangani oleh terlebih dahulu oleh kolot lembur daerah, jika tidak berhasil dapat dibawa ke sesepuh induk. Umit sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Ugi yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adapt. Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi‐fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat. Sesepuh girang membawahi dua orang sekretaris, bendahara dan Baris Kolot/Kepala Urusan. Baris Kolot/Kepala Urusan membawahi sespuh lembur (568 kampung kecil dan 360 kampung besar). Struktur diatas sebagai tuntunan managemen untuk memperlancar tugas‐tugas Abah dalam melayani warganya. Ke 13 baris kolot atau mkepala urusan adalah pembantu Abah secara turun temurun dan bersifat sosial artinya kerja dan jasanya bagi kasepuhan tidak mendapat bayaran atau gaji, karena tugas tersebut merupakan kewajiban dan pengabdian rakyatnya terhadap kasepuhan
90
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
dan pemimpin adat leluhurnya. Ke 13 pengurus adat yang membantu tugas pemimpin adat adalah: a. Rorokan Pakakas atau petugas adat perawat pusaka yang bertugas memeriksa perkakaas, menyiapkan bahan dan alat‐alat perdukunan dan pemakayan. b. Rorokan Pamakayan atau petugas adat pertanian yang bertugas: mewakili Abah dalam hal‐hal yang terkait dengan pertanian; menjalankan perdukunan atau pengobatan terhadap warga. c. Rorokan Paninggaran atau petugaas keamanan dalam bidang pertanian yang bertugas: mengontrol lahan pertanian, memberantas hama‐hama yang mengganggu seprti babi, mencari ikan atau daging untuk kepentingan pemimpin adat (dengan berburu) tetapi sekarang ini tidak lagi dilakuakan karena warga sudah memelihara ternak. d. Rorokan Kepenghuluan atau petugas adat dalam masalah keagamaan, yang bertugas: membimbing warga dalam keagamaan, memimpin acara syukuran, menjalankan syukuran misalnya rajaban, mauludan dan nadaran. e. Rorokan Kedukunan atau petugas adat dalam pengobatan yang bertugas untuk: memeriksa rorokan pusaka dibagian perdukunan, mengobati warga yang tidak ditangani oleh Pamakayan. f. Rorokan Bengkong atau petugas adat Khitan, bertugas melaksanakan khitanan, mengatur hajatan di semua warga kasepuhan. g. Rorokan Paraji/Nini Beurangatur petugas adat urusan dapur rumah pemimpin ada yang bertugas: mengatur dapur di Imah Gede atau wakilemak (sebutan isteri Abah), menyiapkan sesaji yang diperlukan oleh Abah.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
91
h. Rorokan Paraji Hias, petugas adat urusan merias yang bertugas: merias pengantin, selamatan pengantin yang terkait adat. i. Rorokan Paraji atau petugas adat menyangkut kelahiran atau dukun bayi yang bertugas: mengurus orang hamil, mengurus orang yang melahirkan, mengatur syukuran 40 hari kelahiran. j. Rorokan Panahiban, petugas adat kebersihan lingkungan yang bertugas: mengrus halaman Abah dan lingkungan Leuit (lumbung), merawat bentungan (tembok batu untuk jalan atau pondasi). k. Rorokan Ngebas, petugas adat dalam pertukangan yang bertugas untuk : kordinator semua tukang bangunan, memimpin pembangunan dan perbaikan pembangunan. l. Rorokan Tatabuhan; petugas adat dibidang kesenian yang bertugas: mengatur grup kesenian, mengatur kesenian untuk hajatan m. Rorokan Kapamukaan/Bebentung, petugas adat dalam menjaga keamanan yang bertrugas: menjaga rumah Abah atau Imah Gede, mengatur tamu yang akan menghadap Abah, mengamankan semua kawasan warga. Selain itu di beberapa kampung ada juga pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lembur jika bepergian dinas. Juga terdapat pujangga keraton yang bertugas membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, pada malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang. Isi pantunnya menuturkan asal usul perjalanan hidup kasepuhan. Kasepuhan juga memiliki perangkat pemerintahan desa, yang bekerja lintas administrasi desa. Dalam satu wilayah
92
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di kampung Ciptagelar ini tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan pemerintah adat. Di sektor kependudukan, kasepuhan juga memiliki biro stastika yang bisa mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang disebut pongokan. Tidak hanya jumlah penduduk, jumlah pongokan juga dihitung secara beraturan yang dipungut berdasarkan perhitungan jumlah hewan piaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan kendaraan mempengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing‐masing keluarga. Sebab, dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan peliharaan) dan pajak kendaraan. Sistem Kepercayaan Secara formal sesuai dengan pengakuan Abah Ugi, masyakat kasepuhan Ciptagelar adalah beragama Islam, hal ini mulai berlaku sejak Abah Ardjo menjadi sesepuh girang di Ciptarasa, kemudian diteruskan oleh pemimpin adat berikutnya (Abah Anom dan Abah Ugi). Meskipun demikian sebagian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih menganut kepercayaan ”Sunda Wiwitan”, Urang Girang, atau Kolot. Tuhan atau sistem kekuasaan tertinggi dalam keprcayan mereka disebut sesuai dengan sifatnya, seperti Sang Hyang Kresa (Yang Maha Kuasa), Nu Ngersaken (Yang Maha Berkehendak), Batara Jagat (Penguasa Alam), Batara Seda Niskala (Yang Gaib) dan Batara Tunggal. Warga komunitas tersebut meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari Kerajaan Pajajaran, para Dinamika Agama Lokal di Indonesia
93
pimpinan kasepuhan tersebut dipercaya sebagai orang yang selalu mendapat wangsit untuk memimpin dan memelihara adat kebiasaan nenek moyang mereka yang disebut tatali paranti karuhun. Mereka diyakini sebagai keturunan Raja Pajajaran yang memiliki sejumlah karuhun (nenek moyang yang hidup secara gaib) yang selalu melindungi, mendampingi, dan memberikan petunjuk kepadanya berupa wangsit‐wangsit atau kekuatan supranatural lainnya. Pedoman tingkah laku dan tindakan serta kehidupan sehari‐hari ialah pikukuh yang bersumber dari Karuhun, yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Pikukuh itu menentukan bahwa tempat bermukim mereka harus dipelihara karena menjadi pancer bumi, atau inti jagad, yaitu pusat bumi yang membuat sejahtera kehidupan dunia. Kelompok masyarakat Sunda berdasarkan sistem budya dan struktur sosialnya merupakan kelompok masyarakat yang masih menjalankan tatanan kehidupan seperti masyarakat Sunda lama, dari masa sebelum pengaruh Hindu masuk ke Jawa Barat. Monoteisme sudah merupakan landasan beragama orang Sunda sejak dahulu kala ketika Karuhun orang Sunda menganut agama Sunda Wiwitan atau agama Sunda Asli. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama dll), tunduk kepada Batara Seda Niskala. (Edi.S.Ekadjati; 1995: 73). Konsep dewa dari India disesuaikan dengan sitem kepercayaan lokal yang monoteistis. Akar monoteisme itu sering dijadikan alasan logis bila orang mempertanyakan proses masuknya Islam ke Tatar Sunda yang relatif mudah. Dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, hanya satu yang menyebarkan ajaran Islam di
94
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
wilayah Tatar Sunda., yaitu Sunan Gunung Jati. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh sesepuh warga yang mengatakan bahwa keputusan mereka untuk masuk Islam adalah karena Islam mudah dan tidak memaksa. Walaupun awalnya mereka enggan masuk Islam namun seiring waktu dan berubahnya pandangan mereka terhadap Islam sebagai agama yang damai mereka mau mengikuti dan menjalankan ajarannya.. Pada masa Aki Ardjo masyarakatnya telah mengenal agama Islam, bahkan sebagian dari mereka telah memeluk Islam. Seperti kita ketahui bahwa asal usul masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berasal dari rakyat kerajaan Sunda yang bercorak Hindu di Jawa Barat. Kedatangan mereka ke gunung Kendeng merupakan penolakan terhadap Islam, namun dalam perkembangan selanjutnya Islam mulai diterima di tengah‐tengah masyarakatnya. Islam yang datang dengan damai dan tanpa paksaan menarik mereka untuk memeluk Islam. Walaupun begitu, masyarakat yang memeluk Islam masih menjadi minoritas. Selain itu dalam pelaksanaan syariat Islam masih bercampur dengan tradisi Hindu, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi agama Islam, karena Islam masuk secara damai penuh dengan penyesuaian dan kemudahan, sehingga tidak memberatkan umatnya. Masyarakat yang memeluk Islam dan Sunda Wiwitan dapat hidup berdampingan dan saling menghormati. Aki Ardjo tidak melarang dan membatasi warganya yang berkeinginan memeluk Islam. Selama mereka dapat hidup berdampingan dan mematuhi pikukuh Sunda yang merupakan warisan nenek moyangnya. Kebijakan tersebut terus berlanjut hingga kepemimpinan Abah Ugi sekarang ini, sehingga penganut Islam semakin berkembang. Fasilitas Dinamika Agama Lokal di Indonesia
95
tempat ibadah masih kurang, karena hanya tersedia sebuah langgar yang tidak terlalu besar. Aktifitas sehari‐hari dilanggar tersebut adalah shalat Maghrib berjamaah, dan kegiatan belajar mengaji bagi anak‐anak kecil yang diikuti 20 orang anak. Mereka yang menjalankan syariat Islam secara sempurnah masih merupakan minoritas. Diperoleh informasi akan dibangun sebuah mushalla yang cukup besar, dibekas tempat pemandian isteri Abah. Dalam tatali paranti karuhun, dijabarkan juga tentang keyakinan Masyarakat Kasepuhan yang telah dipengaruhi oleh Islam yaitu tentang adanya pemahaman ”lain selam lawas, lain selam anyar tapi selam pangandika gusti rasul’ (bukan Islam lama, bukan Islam baru, tapi Islam yang mengikuti ajaran Rasul). Dari ungkapan keyakinan tersebut, hal yang sangat mendasar adalah pengertian ”pangandika” atau uacapan dan perilaku (sunnah) menurut kehendak Sang Pencipta. Secara mendalam pemahaman tersebut termuat dalam istilah tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta‐eta keneh. Atau hubungan timbal balik dari Ucap‐Tekad‐Lampah; Syara‐Buhun,Negara, Papakean‐ Nyawa‐Raga. Yang bisa diartikan bahwa setiap tindakan harus diawali dengan niat dan tekad yang kuat; adat istiadat selalu berdasarkan syariat agama dan tidak bertentangan dengan aturan negara; dan hubungan adat‐ agama/spiritualitas dan aturan negara diibaratkan seperti tubuh manusia yang memiliki jasad, nyawa, dan ditutupi oleh pakaian. Bisa dibayangkan jika kehidupan meninggalkan adat istiadat beserta kearifan lokalnya, bagaikan sosok manusia yang mempunyai raga, berpakaian, tetapi tidak ada nyawanya, atau seperti jasat yang mati (bangkai). Bangkai seperti kita tahu, ditutupi pakaian secantik apapun akan menyebarkan bau tidak sedap kemana‐mana.
96
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Tiga aspek diatas merupakan hal yang harus selalu diperhatikan dalam kehidupan masyarakat dan diyakini merupakan pandangan dan sikap hidup Masyarakat Adat Kasepuhan. Tekad, Ucap dan Lampah merupakan cerminan ucapan dan tingkah laku yang harus berlandaskan niat yang dapat dipertanggung jawabkan, yang secara kemanusiaan keadaan tersebut merupakan atas unsur jiwa, raga, dan prilaku yang harus selaras. Makhluk hidup berpakaian mengandung makna bahwa ” Masyarakat Adat Kasepuhan memiliki kebudayaan tersendiri”, makna pakaian dalam hal ini merupakan cerminan akhlak dan sikap mental. Budaya ini dibangun berdasar keyakinan masyarakat kasepuhan bahwa ada hal‐hal yang ingin dijaga atau dilindungi. Dengan lambang pakaian dimaknakan sebagai penutup aurat yang berarti simbol yang akan memperlihatkan jati diri masyarakat yang berupa aturan, adat dan agama. Ketiga aspek tersebut juga menggambarkan tentang peleburan antara buhun (kepercayaan adat Masyarakat Kasepuhan), nagara (negara) dan syara (agama). Peleburan seperti ini yang menunjukkan adanya sikap terbuka dan pengakuan terhadap perubahan bernegara (dari kerajaan Padjadjaran menjadi Pemerintah Indonesia) dan kehadiran keyakinan yang lain (Islam). Meskipun mereka telah memeluk agama Islam, masyarakat masih mengadakan ritual yang tidak terdapat dalam agama Islam seperti ritual Ngembang, sebuah acara untuk meminta restu dan perlindungan kepada leluhur sebelum melakukan kegiatan dengan cara mendatangi leluhur pemimpin adat dari generasi pertama sampai generasi kesepuluh dengan melakukan arakan yang diikuti oleh sebagian warganya. Ritual Ngembang merupakan salah satu contoh ritual yang selalu dilakukan Abah beserta keluarga Dinamika Agama Lokal di Indonesia
97
dan rakyatnya terutama sebelum dilakukan acara seren taun agar acara tersebut dapat berjalan lancar dan diberi keselamatan bagi seluruh warganya. Segala tingkah laku dan kebiasaan hidup sehari‐hari diatur oleh aturan adat, seperti dalam berpakaian selalu memakai pakaian adat dengan stelan yang serba hitam dan ikat kepala bagi laki‐laki dan kebaya sederhana dengan paduan samping atau semacam sarung bagi perempuan. Pembagian tugas dalam kegiatan sehari‐hari telah berjalan sesuai dengan kodratnya, yaitu perempuan mengurus rumah tangga dan laki‐laki bekerja mencari nafkah bagi seluruh keluarganya. Dalam melaksanakan upacara‐upacara lingkaran hidup dan pertanian disertai doa secara agama Islam walaupun masih bercampur dengan doa yang berbahasa Sunda. Untuk membacakan doa‐doa tersebut dilakukan oleh petugas yang disebut dengan penghulu. Menurut Aki Rahman, tugas seorang penghulu antara lain memimpin doa dalam upacara adat secara Islam (membaca yasin), mengurus mayit/jenazah, doa syukuran, dan menyembelih hewan (ayam/kambing). Sebagai contoh doa yang dibaca oleh Aki Rahman dalam upacara Rasulan: ”Asemak asemik ti adhabi adhabik, kulubina wakulubina wajaeban aerin wama kubrotin, falawatin halimin hibkin arja arji kena saomalam labisin, kaobal jkausen, ibnu abdul manaf ibnu abdul mutholib birohmatika yaa arhamarrohimin.” Adapun doa selamat: ”Allahumma afsil sawaba wakiri atiina watahlilina washodaqotina abaaina Muhammadin shollallahu alaihissalam, jami’il anbiyai wal auliyail walfuqoha wasyuhada washsholihina min masyarikina ardi ila maghribiha wajamiil muslimiina wal mu’minina wal mu’minati al ahyau minhum wal amwat birohmatika yaa
98
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
arhamarrohimin” doa‐doa ini digunakan untuk mipit, menanam padi.” Doa kelahiran bayi, menurutnya baca doa selamat: ”Allahumma salamatan alaina fiddini, wa afiyatan fil jasadi wa ziyadatan fil ilmi, wa barokatan fi rizki ea taubatan qoblal maut, warohmatan indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut, Allahumma hawwin alaina fi saaratul maut, qannajata minannari, walafwa indal hisaab.Robbana la tuzighqulubana ba’da izhadaitana milladunka rohmatan, wa rohmatan antal wahab waqina azabannar.” (wawancara dengan Aki Rahman, 27 April 2013). Dari cuplikan doa diatas nampak sekali bahwa pengetahuan penghulu tersebut dalam masalah agama masih sangat kurang, hal itu wajar saja karena memang Aki Rahman tidak pernah sekolah formal baik sekolah agama maupun umum, sehingga dia tidak dapat membaca huruf latin. Hal tersebut menjadi hambatan bagi dia untuk menambah ilmu. Untuk itu pembinaan terhadap penghulu‐penghulu dibeberapa kasepuhan sangat perlu menjadi perhatian Kementrian Agama. Ajaran Karuhun Tentang Kehidupan Masyarakat Kasepuhan adalah masyarakat tradisional yang lekat dengan aturan hidup dari leluhur, tidak hanya mengenai hubungan mereka dengan leluhurnya tetapi aturan yang diterapkan dalam kehidupan sehari‐hari. Bagi mereka pantang meninggalkan aturan hidup dalam setiap kegiatan mereka sehari‐hari, karena mereka percaya bahwa apa yang mereka dapat pada hari itu karena bukti kasih sayang leluhurnya, begitu juga keselamatan yang selalu menyertai kehidupan masyarakatnya merupakan limpahan dari leluhur.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
99
Pandangan dan ajaran yang harus dipatuhi oleh Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah: 1. Yakin kepada amanat leluhur yang diberikan kepada anak cucunya. 2. Harus melestarikan adat leluhur 3. Harus bisa mengayomi hidup dengan tatacara leluhur 4. Nyaur kadu diukur; Nyabda kadu ditunggang; bekasna bisa ngalakan ( berbicara harus benar; ucapan harus tepat jangan salah bicara, karena dapat mencelakakan). 5. Mipit kudu amit; ngala kudu menta; make suci, dahar halal; ulah maen kartu, maen dadu; madat; jinah; ngrinah tanpa wali (memetik harus izin; mengambil harus minta; makai apa saja mesti yang suci dan bersih; memakan yang halal; jangan berjudi; madat; berjinah sebelum ada perkawinan). 6. Kudu bagi rasa, rumasa, ngarasa kudu hate tekad, ucap jeung lampah, kudu akur jeung dulur, hade carek jeung saderek, kabatur tunggal makena (harus rukun dengan saudara, bicara baik dengan orang, terhadap orang tinggal menerapkan) 7. Kudu sarende saigel, sababad, sapi hancam (Ringan sama dijinijing, berat sama dipikul). 8. Kudu jadi takeucik saleuwi, kudu jadi buyur sacing keung (Harus jadi satu wadah, tujuan dan haluan). Pandangan hidup masyarakat ciptagelar mengajarkan bahwa mereka harus dapat mensyukuri anugerah dan rizki yang didapat sekecil apapun setiap harinya, karena dengan rasa syukur itu akan mendatangkan rizki yang lebih melimpah dan membuat rezki yang mereka dapat lebih barokah atau lebih bernilai. Selain itu harus bersyukur dalam hidupnya, masyarakat ditutuntut untuk selalu sadar diri,
100
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
dalam arti tidak boleh sombong dan angkuh. Apa yang ada didalam diri kita merupakan sebuah pemberian dan titipan yang harus dijaga, karena akan diambil kembali oleh Tuhan yang Maha Esa. Leluhur sangat benci terhadap kesombongan karena dapat merusak diri dan menimbulkan penyakit. Adapun adat istiadat dalam menanam padi yang harus dipatuhi oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah: 1. Menanam padi hanya satu kali dalam setahun 2. Dalam menanam padi harus menggunakan padi lokal yang sekarang varietasnya ada 100 jenis. 3. Padi tidak boleh digiling 4. Beras tidak boleh di jual 5. Tidak boleh memasak diatas tanah dan harus mengguna‐ kan tungku. Dalam kehidupan sehari‐hari, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, memakai ikat kepala adalah kebiasaan laki‐laki yang tidak boleh ditinggalkan, terutama bila berada dilingkungan Imah Gede. Makna dari kebiasaan tersebut sebagai simbol ajaran hidup yang mengerti dirinya sendiri dan lingkungan hidup. Hal itu dilambangkan dengan kain kepala yang mempunyai 4 sudut yang menunjukkan 4 arah mata angin kehidupan, dan lipatan segitiga yang ujungnya mengarah kebawah sebagai simbol pengingat diri. Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan orang lain. Walaupun aturan‐aturan tersebut diturunkan secara lisan dari generasi kegenerasi, tetap mempunyai kekuatan yang mengikat masyarakatnya. Sesepuh girang sendiripun akan mendapatkan sanksi atau hukuman bila melanggar adat. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
101
Upacara‐Upacara Di Kasepuhan Ciptagelar Sebagian besar anggota komunitas ini bekerja sebagai petani, maka upacara‐upacara yang banyak dilaksanakan berkaitan dengan pertanian. Upacara yang dimaksud terdiri dari: 1. Carita. Sebelum memulai aktivitas dalam bertani maka dilakukan kegiatan cerita secara lahir maupun batin yang tujuannya untuk meminta doa restu. Carita secara lahir dilakukan kepada ibu/bapak, sedangkan secara batin dengan cara ziarah ke kubur. Dalam konteks perubahan iklim, semua petunjuk penetapan bertani ditentukan secara komunal oleh sesepuh adat. Hal ini akan dibicarakan pula, tentang ketentuan‐ketentuan jenis padi yang akan ditanam di lahan adat dengan merespon kondisi alam. 2. Ngaseuk, pelaksanaan tatanen (bercocok tanam) yang diutamakan adalah berhuma. Langkah awal yang dilakukan sebelum tatanen di huma (ngaseuk) adalah menyiapkan ”pupuhan” (bagian dari areal huma yang berbentuk bujur sangkar dengan luas 1 meter persegi yang berfungsi sebagai tutuwuh/pancer (patokan/pusat) di huma). Bagi masyarakat kasepuhan, pupuhunan merupakan lambang dari gambaran awal dan akhir kehidupan manusia. Pada pupuhunan masyarakat akan bisa memprediksikan dan mengantisipasi pola tanam yang harus dilakukan agar mendapatkan hasil maksimal dan tidak merusak alam. Masyarakat Kasepuhan meyakini bahwa pupuhunan merupakan tempat menyatunya Dewi Padi, bumi dan alam semeseta. 2. Mipit, kegiatan memanen padi dihuma diawali dengan membaca doa amit dan pemanenan padi pertama (indung
102
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
pare) di pupuhunan oleh sesepuh girang. Setelah selesai di pupuhunan, kegiatan memanen dilanjutkan ke seluruh huma oleh para warga Kasepuhan. 3. Ngadiukeun, sesudah semua padi dipanen, dilakukan penjemuran padi ”dilantai” selama kurang lebih satu bulan, kemudian baru dimasukkan ke lumbung (ngadiukeun). Konsep ngadiukeun bukan sekedar menyimpan padi di leuyit (lumbung padi), tetapi lebih pada mencontohkan bagaimana pranata ekonomi lokal dikembangkan dikalangan kasepuhan. Dengan 2 jenis lumbung padi (lumbung padi pribadi dan lumbung padi kasepuhan), pola ketahanan pangan tradisonal yang relatif stabil telah teruji selama berabad lamanya. Tentunya pranata lokal ini terbentuk atas respon/adaptasi dari perubahan dan ketidak pastian alam termasuk didalamnya perubahan iklim. 4. Nganyaran, sesudah netepkeun pare di leuyit, dilakukan nganyaran yaitu upacara meminta izin kepada Nu Bogana (Tuhan yang memiliki segala sesuatu) untuk mulai mengkonsumsi padi yang baru dipanen. 5. Pongokan, sesudah padi dianyarkeun, kemudian diadakan serah pongokan yaitu mengistirahatkan tanah/bumi selama 21 hari (3 minggu) dan meminta restu serta maafnya karena telah mengotori/menggaruk bumi untuk keperluan hidup dalam satu tahun lamanya. Pada kesempatan ini juga para baris kolot berkumpul untuk membahas jumlah jiwa yang harus membayar pajak untuk keperluan upacara seren taun. 6. Seren Taun, adalah puncak acara dari segala kegiatan masyarakat Kasepuhan yang dilakukan hanya di kampung gede setiap tahunnya. Upacara besar dalam Dinamika Agama Lokal di Indonesia
103
menghormati leluhur dan dewi Sri, dengan segala bentuk seni dan kesenian dari yang sangat buhun (lama) sampai seni yang modern ditampilkan untuk masyarakat, dan padi dibawa dan diarak dengan diiringi oleh orang banyak, untuk kemudian disimpan di lumbung komunal Leuit Si Jimat. 7. Upacara nebar, adalah selamatan menabur benih padi menandai permulaan musim tanam. Waktu pelaksanaan biasanya 1 bulan setelah upacara seren taun, yang ditentukan oleh Abah dan baris sepuh. Selain upacara yang berkaitan dengan pertanian, masyarakat juga melaksanakan upacara lingkaran hidup, seperti upacara sekitar kehamilan, kelahiran, sunatan dan perkawinan. Upacara ini sepenuhnya dikontrol oleh otoritas adat kasepuhan, bahkan perkawinan baru sah secara adat bila telah direstui oleh Abah. Upacara penyucian benda‐benda pusaka (upacara ngumba pakarang), berlangsung setiap tanggal 15 bulan Maulid. Inti dari acara ini adalah pencucian benda‐benda pusaka yang terdiri dari berbagai jenis senjata tradisional, jimat‐jimat, benda‐benda keramat lainnya hingga perangkat gamelan baik milik kasepuhan ataupun milik orang‐orang yang menjadi pengikut Abah yang berasal dari berbagai kota atau daerah. Disamping upacara yang menyangkut pertanian dan lingkaran hidup, juga terdapat upacara selamatan Rasulan (permohonan), selamatan Berebes (menghindarkan masalah karena pelanggaran) dan sedekah Maulud dan Rewah (saling mengirim makanan). Abah sebagai pimpinan kasepuhan dapat menyelenggara‐ kan pergelaran kesenian tradisional Sunda setiap tanggal 14 penanggalan setempat bertepatan dengan munculnya bulan
104
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
purnama. Pergelaran itu sangat diminati oleh warga kasepuhan maupun warga dari luar kasepuhan yang secara suka rela datang ke pusat kasepuhan untuk menyaksikan event tersebut. Legitimasi adat yang dimiliki Abah sebagai pemimpin adat tertinggi itu, menyebabkan ia memiliki kewenangan untuk mengontrol tradisi agar tetap dijalankan oleh warganya, memiliki kesempatan untuk menciptakan berbagai bentuk kreasi baru mulai dari bentuk‐bentuk kesenian, pelaksanaan berbagai upacara adat, maupun praktik‐praktik sosial lainnya. Kreasi baru itu diterima dan dilaksanakan oleh warga masyarakatnya karena telah dikemas dengan simbol‐ simbol tradisi lama oleh inisiatornya. Pelayanan Hak‐Hak Sipil Pelayanan hak‐hak sipil yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pelayanan dalam masalah perkawinan, akte kelahiran, Kartu Tanda penduduk, dan pendidikan. Secara formal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menganut agama Islam maka pelayanan hak‐hak sipil tidak mengalami hambatan. Perkawinan dilakukan secara agama Islam, oleh sebab itu untuk melayani mereka telah diangkat seorang Amil (Beni Supritna, SAg), untuk tingkat Desa Sirnaresmi, yang juga membawahi kampung Ciptagelar. Perkawinan mereka tidak selalu dilaksanakan di kantor KUA, karena terkadang dilaksanakan di tempat tinggal pihak perempuan. Hanya saja ada keluhan mahalnya biaya nikah, dengan alasan daerahnya sulit dijangkau oleh transportasi. Ketika peneliti dilapangan, umumnya warga sudah mengenal Bapak Amil, karena sudah sering datang ke daerah tersebut untuk menikahkan warga setempat. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
105
Kolom agama dalam KTP, di cantumkan agama Islam, hal tersebut terbukti dari KTP yang dimiliki oleh Bapak Umit Sumitra, seorang Kepala Kampung Induk (Ciptagelar), setelah kita lihat memang dicantumkan agamanya Islam. Bahkan KTP yang diperlihatkan kepada peneliti, sudah dalam bentuk e‐ KTP, hanya peneliti tidak melihat KTP warga lainnya. Menurut keterangan Pak Umit, warga lainnya juga mencantumkan Islam sebagai agamanya, karena memang sejak generasi ketiga pimpinan Kasepuhan telah menyatakan Islam sebagai agama masyarakat Kasepuhan, hanya masyarakat Baduy yang diharuskan tetap memeluk agama Sunda Wiwitan. Mengenai akte kelahiran, belum semua warga mengurus akte kelahiran bagi anak‐anaknya. Hanya sebagian yang sudah mengurus akte kelahiran, untuk kepentingan anaknya dimasa depan ketika mau masuk sekolah. Memang sejak Abah Anom menganjurkan agar warga menyekolahkan anaknya untuk bersekolah, sudah banyak anak‐anak yang bersekolah SD dan SMP. Untuk sekolah SMA masih jarang, karena harus keluar kampung (Pelabuhan Ratu). Sekarang ini sudah berdiri sekolah SD yang didirikan pada tahun 2000 dan hingga sekarang muridnya sudah mencapai ratusan orang, disekolah tersebut sudah tersedia guru agama Islam honorer, anaknya Pak Umit Sumitra. Dengan demikian anak‐anak setempat sudah memperoleh pelajaran agama Islam, dari guru agama tersebut. Ketika seorang anak ditanya apakah mereka menerima pelajaran agama disekolah, dia mengatakan ia sudah menerima. Dari uraian diatas, ternyata pelayanan hak‐hak sipil sudah tidak menjadi masalah lagi bagi masyarakat kasepuhan Ciptagelar, hanya proses dalam pelayanan tersebut yang
106
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
masih menjadi hambatan terutama dalam masalah transportasi. Relasi Sosial dengan Masyarakat Luar Sejak Abah Anom menjadi pimpinan Kasepuhan Ciptagelar, sangat terbuka dengan dunia luar, hingga demikian, maka hubungannya dengan masyarakat diluar kasepuhan sangat mungkin terjadi. Dengan terbukanya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, sangat memungkinkan terjadinya interaksi antara warga kasepuhan dengan masyarakat sekitar dan pemerintahan. Berdasarkan wawancara dengan pimpinan kasepuhan dan pemuka masyarakat Kecamatan Cisolok, terjadi hubungan yang harmonis diantara kedua belah pihak. Sepanjang sejarahnya hanya terjadi satu konflik antara warga kasepuhan dan masyarakat sekitar. Hal tersebut terjadi karena masyarakat kasepuhan masih memegang adat leluhur yang mengajarkan hidup saling menghormati dengan orang lain. Masyarakat sekitar menganggap warga kasepuhan berprilaku sangat sopan, dan selalu menjaga perkataan dari hal‐hal yang menyakitkan orang lain. Sekarang ini hampir setiap minggu, banyak tamu yang datang berkunjung ke Kasepuhan, dan diterima dengan penuh ramah tamah. Tamu yang rutin datang setiap minggu adalah kelompok offroad, mereka datang dari berbagai daerah. Selain itu masyarakat berkunjung ke Kasepuhan setiap malam bulan purnama (12‐13 bulan qomariyah), karena pada saat tersebut diadakan pertunjukkan kesenian, diantaranya musik dangdut, yang menjadi kegemaran masyarakat setempat. Selain itu setiap tahun ada acara seren taun yang juga ramai dikunjungi masyarakat dari luar Dinamika Agama Lokal di Indonesia
107
kasepuhan, bahkan banyak tamu yang datang dari tempat‐ tempat jauh seperti Jakarta, Surabaya, dan Palembang. Demikian pula banyak warga yang bekerja di Pelabuhan Ratu, dan menjadi tukang ojek, yang sudah pasti terjadi interaksi ditempat kerja mereka masing‐masing. Hubungan mereka dengan pemerintah setempat terjalin sangat baik, karena dalam ajaran mereka harus selalu menghormati pemerintah, ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara ( hidup harus taat pada hukum, dan berlindung pada negara). Selain itu ada kesatuan antara Syara’, Buhun dan Negara. Pemerintah telah memberikan bantuan berupa bangunan Puskesmas, sebuah sekolah dasar (SD), sebuah gedung untuk balai pertemuan, yang dibangun oleh Dinas Sosial Kabupaten Sukabumi. Selain itu pada acara Seren Taun, Dinas Pariwisata turut berpartisipasi diantaranya memberikan bantuan tenda untuk para tamu berteduh. Dalam pembangunan pembangkit tenaga listrik ada bantuan dari Jepang, disamping swadaya masyarakat setempat. Pembangunan menara (tower) telepon seluler bekerjasama dengan Indosat dan Telkomsel, sehingga hubungan telepon seluler (HP) sudah dapat diterima didaerah ini dengan baik. Selain itu yang diharapkan oleh mereka terhadap pemerintah adalah agar dapat dilakukan pengaspalan jalan yang sekarang masih berupa jalan berbatu yang masih sangat sulit dilalui oleh kendaraan, pada hal jalan‐jalan yang berada di provinsi Banten umumnya sudah diaspal. Sehingga banyak juga kendaraan yang akan menuju Ciptagelar melalui jalan lingkar dari daerah Banten, walaupun jalannya menjadi jauh.
108
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
PENUTUP Kesimpulan 1. Kepercayaan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih tetap eksis, karena kepercayaan tersebut masih terus dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi, dan adanya keyakinan bahwa barang siapa yang melanggar aturan adat akan memperoleh tulah dari leluhur (karuhun). 2. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar secara formal mengaku beragama Islam, tetapi dalam kenyataannya terjadi sinkretisme antara ajaran Islam dengan kepercayaan karuhun. Bahkan sebagian besar masyarakat lebih banyak mengamalkan ajaran karuhun daripada syariat Islam. 3. Relasi sosial antara masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dengan masyarakat sekitar dan pemerintah terjalin dengan baik, meskipun mereka menjalankan ajaran leluhur yang menekankan hidup selaras dengan Tuhan, manusia dan alam sekitar. 4. Pelayanan hak‐hak sipil warga Kasepuhan, sudah diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan mereka menerimanya. Namun demikian ada satu hal yang mereka inginkan dari pemerintah agar dapat membangunkan jalan aspal. Rekomendasi 1. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, karena mengaku beragama Islam, dan masih mengamalkan ajaran yang dianggap sinkretis, maka sebaiknya Kanwil Kementerian Agama menugaskan penyuluh agama untuk bertugas di daerah tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah Dinamika Agama Lokal di Indonesia
109
pendekatan budaya, dalam arti upacara‐upacara yang dilakukan diberi warna Islam. 2. Pemerintah setempat, sebaiknya memperhatikan tuntutan masyarakat, agar mereka tidak merasa adanya deskriminasi dengan masyarakat yang ada di daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
110
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Agus Hermawan Atmadilaga et.al: Ekspedisi Geografi Indonesia, Cibinong, Bakosurtanal, 2005. Berger, Peter,L, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. M.Fanani, Jakarta, LP3ES, 1991. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern, terj.Salihin, Jakarta, LP3ES, 1992. Dove, Michael: Peran Kebudayaan Tradisonal Indonesia dalam Modernisasi (Penyunting), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985. Eliade, Mircea, The Sacred and the Profane: The Nature of Relegion, Harcourt: Brace & World Inc, 1959. Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya, 1981. Humaedi, M.Alie, Pandangan Hidup Orang Tau Taa di Vananga Bulang Tojo Una‐una, Jakarta, LIPI Press, 2009. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Ekspedidi Menuju Tuhan, Yogyakarta, Valia Press, 2011. Jajang Gunawijaya: Tatali Paranti Karuhun: Invensi Tradisi Komunitas Kasepuhan Gunung Halimun Di Sukabum, Jawa Barat, Disertasi, UI, Jakarta, 2011. Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonseia, Jakarta, 2010.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
111
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia, Jakarta, 2011. Kusnaka Adimihardja, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh, Bandung, Tarsito, 1992. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta, Grafiti Press, 1980. Mas’ud, Abdurrahman: Menyikapi Keberadaan Aliran Sempalan, Jurnal DIALOG, No 32, Tahun 2009. N.Septiarini: Kearifan Tradisional di Kawasan Ekosistem Halimun, di http://www.rareplanet.org/en/node/28788, unduh tanggal 25/04/2013). Sheldon,W.H, The Varieties of Temperament: A Psychology of Constitutional Differences, New York: Harper &Brother, 1942.
112
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
AGAMA/KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN SUKU BADUY DI DESA KANEKES LEBAK BANTEN Oleh : Asnawati
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
113
GAMBARAN UMUM WILAYAH Geografis dan Demografis Suku Baduy Masyarakat Baduy bertempat tinggal di tanah adat (ulayat) di daerah pedesaan di antara perbukitan dan pegunungan Kendeng, yakni Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Letak desa Kanekes sekitar 17 kilometer sebelah selatan Kota Kecamatan Leuwidamar. Desa Kanekes berjarak sekitar 40 Km dari Kota Rangkasbitung, dan dari Serang ± 95 Km dan dari Jakarta sebagai Ibu Kota Negara berjarak sekitar 150 Km. Desa Kanekes yang berhawa sejuk berada pada ketinggian dari permukaan laut berkisar antara 200‐300 meter di bagian utara dan 900‐1000 meter di bagian selatan dengan suhu berkisar antara 16ºC ‐ 30ºC. Tanahnya berbukit‐bukit dengan kemiringan antara 30 hingga 70 derajat. Perbukitan itu kemudian membentuk gunung‐gunung, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Baduy bermukim di gunung. (Abdul Aziz, 1989/1990: 5). Untuk menuju Kota Rangkasbitung bila tidak dengan kendaraan sendiri, maka dapat menggunakan kereta api dari Tanah Abang menuju Rangkas dengan ongkos Rp.4.000,‐. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan kota (angkot) menuju terminal Aweh di Rangkas dengan tarif Rp. 3.000,‐. Dari terminal Aweh perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan umum Elf dengan tarif Rp. 15.000,‐ sampai terminal Ciboleger yang berbatasan dengan perkampungan Wisata Budaya Baduy Luar. Rute perjalanan kendaraan Elf beroperasi dari Rangkas ke Ciboleger selalu ada, namun untuk kembali ke Rangkas dengan Elf, beroperasi terakhir hanya sampai pukul 13.00
114
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
WIB, dan sebagai solusinya maka ada kendaraan roda dua (ojek motor) dengan tarif Rp. 50.000,‐. Perjalanan menuju Ciboleger cukup panjang dengan kondisi jalan yang berkelok‐kelok, naik turun dan tidak mulus karena banyak jalan beraspal dan berlubang‐lubang. Sesampainya di Ciboleger, situasi cukup ramai dengan para pedagang yang menjual aneka ragam souvenir khas kerajinan masyarakat Baduy, mulai dari gantungan kunci, tas khas Baduy (Koja) dan beberapa warung yang menjual makanan dan minuman serta satu mini market Indomart. Sesampainya di pintu gerbang perkampungan suku Baduy Luar, tampak tertulis Selamat Datang di Wisata Budaya Masyarakat Baduy. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001, luas desa ini kira‐kira 5.101,85 hektar. Luasnya terdiri dari pemukiman masyarakat seluas 2.101,85 hektar dan hutan lindung mutlak (taneuh larangan) seluas 3.000 hektar. Meskipun masyarakat Baduy bermukim di kaki‐kaki gunung, hidup berdampingan dengan alam (perbukitan, sungai dan hutan lindung), bukanlah berarti sebagai suku terasing. (Hasil wawancara dengan Dainah Kepala Desa Kanekes). Selain itupun mereka mempertahankan tradisi yang telah diwarisi nenek moyangnya secara turun temurun selama ratusan tahun, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari keyakinan religius mereka. (Abdul Aziz, 1989/1990: 5). Suku Baduy tidak mau terpengaruh kultur luar dan tetap mempertahankan dan menunaikan amanat leluhur untuk memelihara dan tidak merusak alam semesta. Hal ini dikarenakan ketentuan hukum adat yang melarang tanah Ulayat adat Baduy dibangun secara modern termasuk untuk dilalui kendaraan bermotor. Selain itu juga karena didorong oleh keyakinan yang kuat, sehingga baik masyarakat Baduy Dinamika Agama Lokal di Indonesia
115
luar maupun Baduy dalam, tidak ada yang berani menentang ataupun menolak aturan yang ditetapkan oleh Pu’un. Lokasi pemukiman komunitas masyarakat Baduy luar mudah dijangkau, lain halnya bila ke lokasi komunitas Baduy dalam, karena kondisi alam yang berbukit‐bukit, jalan setapak berkelok‐kelok, dengan jarak dari kampung ke kampung cukup jauh karena itu hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, dengan waktu tempuh berkisar antara satu atau satu setengah jam untuk sampai ke Baduy luar Kampung Kadu Ketug. Mereka juga dilarang memakai sandal atau apapun sejenisnya termasuk menggunakan kendaraan saat bepergian, termasuk larangan memakai pakaian selain yang telah ditentukan oleh adat. Berbeda halnya bagi masyarakat umum yang ingin ke Baduy Dalam, misalnya pada salah satu kampung Cibeo, maka harus juga dengan berjalan kaki selama hampir 6 jam, karena tidak ada kendaraan roda dua apalagi roda empat, karena medannya tidak memungkinkan untuk menggunakan kendaraan. Secara demografi pertumbuhan dan perkembangan penduduk Suku Baduy termasuk kategori cepat dan tinggi, hal ini ditandai dengan seiring bertambahnya jumlah kampung dari tahun ke tahun. Pada tahun 1994 saat kepemimpinan Jaro Asep jumlah penduduk yang tercatat di Desa Kanekes adalah 6.483 jiwa terdiri dari 3.339 jiwa laki‐laki dan 3.144 jiwa perempuan dengan jumlah KK sekitar 1.533. Dengan demikian jumlah kampung bertambah menjadi 49 kampung. Pada saat pemerintahan dijabat oleh Jaro Dainah berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk meningkat dan otomatis jumlah kampung bertambah menjadi 52. Pada tahun 2009 jumlah kampung bertambah menjadi 59 kampung. Jumlah penduduk suku
116
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Baduy menurut data di Desa Kanekes pada bulan Januari tahun 2010, penduduk laki‐laki berjumlah 5.624 jiwa, perempuan 5.548 jiwa dan jumlah seluruhnya 11.172 jiwa.( Saatnya Baduy Bicara, 2010: 72). Berdasarkan data kependudukan masyarakat komunitas Baduy di Desa Kanekes dari Kantor Catatan Sipil Lebak, berjumlah 10.344 jiwa dan yang wajib KTP berjumlah 6.642 jiwa. (Wawancara dengan Wewen, 23 April 2013). Namun menurut Sekdes Kanekes (H. Sapin) bahwa jumlah tersebut belum termasuk orang Baduy yang berada di di luar Kanekes, karena itu tercatat secara keseluruhan berjumlah 12.876 jiwa. Pertumbuhan penduduk sangat pesat seiring dengan perubahan lahan tempat tinggal (teritorial) pun terus menerus berkembang. Dalam Peraturan Daerah No. 23 Tahun 2001 berdasarkan posisi, dalam dan luar, tempat tinggal warga, secara administratif masyarakat Baduy dibagi menjadi dua: Baduy dalam dan Baduy luar. Masyarakat Baduy baik yang berada di luar maupun yang di dalam, hidup saling menghargai dan saling menyelamatkan, dan jauh dari perselisihan. “Menurut Sekdes Kadu Ketug bahwa kalau ada masalah antara orang adat dengan orang adat atau antara orang adat dengan orang luar karena perselisihan paham, maka tidak langsung melapor pada urusan‐urusan lain, tetapi diselesaikan dengan urusan keluarga, dengan urusan adat. Misalnya perselisihan paham, atau karena garapan lahan (pohon duren), diselesaikan tidak dengan jalur hukum tetapi secara kekeluargaan atau dengan kebijakan adat, sehingga tidak ada dendam. Orang Baduy tidak ada yang saling bacok dan sebagainya (Diolah dari wawancara dengan H. Sapin, Sekdes, tanggal 25 April 2013 di perkampungan Suku Baduy Luar). Itulah sebabnya Baduy Dinamika Agama Lokal di Indonesia
117
Dalam dengan segala kepatuhan menjalankan amanat leluhur dengan konsekwensi dalam menjalankan keyakinannya sebagai wiwitan. Sedangkan Baduy luar adalah sebagai saudara yang selalu menjaga dan membantu saudaranya di Baduy dalam. Administrasi Pemerintahan Desa Kanekes yang dibatasi dan diapit secara administratif oleh 11 Desa dari 6 Kecamatan. Batas wilayah secara administratif yaitu: a. Sebelah Utara dibatasi oleh: 1) Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar 2) Desa Cisimeut Raya Kecamatan Leuwidamar 3) Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar b. Sebelah Selatan dibatasi oleh: 1) Desa Cikate Kecamatan Cigemblong 2) Desa Wangunjaya Kecamatan Sobang c. Sebelah Barat dibatasi oleh: 1) Desa Parakan Beusi Kecamatan Bojongmanik 2) Desa Kebon Cau Kecamatan Cirinten 3) Desa Karangnunggal Kecamatan Cirinten d. Sebelah Timur dibatasi oleh: 1) Desa Karang Combong Kecamatan Muncang 2) Desa Hariang Kecamatan Sobang 3) Desa Cicalebang Kecamatan Sobang Masyarakat Baduy Kanekes (dalam maupun luar), mengenal dua sistem pemerintahan yaitu pertama: secara nasional mengikuti aturan Negara; kedua: secara keyakinan mengikuti adat istiadat; Dimana aturan secara adat, tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi adalah Pu’un
118
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
(Kepala Adat). Kedua struktur ini mempunyai sistem alur kerja dan kekuatan hukum yang berbeda. Sementara itu aturan secara nasional bagi penduduk Kanekes dipimpin oleh Kepala Desa yang disebut Jaro Pamarentah, sementara urusan adat kepada Pu’un. Jaro Pamarentah Desa Kanekes berada di Baduy luar Kp. Kadu Ketug dan sudah berjalan 3 periode dijabat oleh Jaro Dainah yang berada di bawah Camat, yang diangkat sejak tahun 1997 sampai dengan sekarang tahun 2013. Sebelumnya yang menjabat sebagai Jaro Pamarentah pada tahun 1992 adalah Asrap. Jabatan selanjutnya dipimpin Jaro Pulung pada tahun 1993‐1995. Tahun 1996 kosong (sekitar 8 bulan). Seorang Kepala Desa dipilih dan diangkat berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Puun. Setelah disahkan oleh lembaga adat diajukan kepada Bupati melalui Camat. SK.Kepala Desa Kanekes secara remi di SK.kan oleh Bupati sama dengan desa‐desa lain yang ada di kabupaten Lebak khususnya di Indonesia.Oleh karena itu Kepala Desa 50% ke adat, dan sisanya kepada aturan‐aturan lain. Termasuk Sekretaris Desa, meskipun orang luar, tetap mematuhi aturan‐ aturan adat setempat. (Wawancara dengan Sekretaris Desa, H. Sapin, 25 April 2013). Meskipun jabatannya sebagai Jaro pamarentah, namun dalam pengangkatannya sesuai menurut aturan adat dan tetap diberikan sesuai dengan kemampuannya dan sepanjang masih bisa diterima oleh yang bersangkutan dan tentunya diatas pertanggungjawaban lembaga adat. (wawancara dengan Jaro Dainah, 24 April 2013). Bila dilihat dari struktur pemerintahan adat, maka posisi Kepala Desa Kanekes berada di strata sosial yang paling rendah, karena Kepala Desa Kanekes dipilih dan diberhenti‐ Dinamika Agama Lokal di Indonesia
119
kan oleh Lembaga Adat. Namun sebaliknya bila dikaji dari sisi pemerintahan, maka posisi Kepala Desa Kanekes memegang peranan yang sangat strategis, sebagai penentu lancar tidaknya program‐program yang disodorkan pemerintah bagi Suku Baduy. (Skripsi H. Sapin. 2010: 96). Seorang Kepala Desa dipilih dan diangkat berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Puun. Berawal dari pengajuan yang dilakukan oleh Tanggungan Jaro Dua Belas, Jaro Tangtu dan Baris Kolot, kemudian ketiga Puun mengadakan musyawarah untuk selanjutnya diambil persetujuan untuk mengesahkan seorang kepala desa ditentukan oleh Lembaga adat tersebut.Sedangkan yang mengesahkan secara adat didalam Lembaga Adat adalah Tangkesan dan disetujui oleh Tanggungan Jaro Dua Belas dan anggota Jaro Tujuh(Lembaga Adat). Dalam melaksanakan tugas Jaro Pamarentah dibantu oleh seorang Carik (Sekdes)serta dua orang staf dan delapan orang Panggiwa (Kadus). Secara berkala mereka harus mengadakan kunjungan dan penyuluhan aturan adat dan keamanan lingkungan desa, selain menyampaikan program dari pemerintah ke tiap‐tiap kampung, baik kampung Baduy dalam maupun Kampung Baduy luar.(Skripsi H. Sapin) Pemimpin tertinggi struktur pemerintahan adat di pegang oleh tiga Pu’un yang ada di tiga kampung tangtu, yaitu Pu’un Cibeo, Pu’un Cikartawana dan Pu’un Cikeusik. Struktur pemerintahan adat terpusat di Baduy dalam, yang di dalamnya merupakan gabungan antara para pemimpin adat di Baduy dalam dengan para pemimpin adat di Baduy luar, yang dikenal dengan sebutan Lembaga Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh.
120
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Yang dimaksud dengan sebutan Tangtu Tilu adalah ketiga Pu’un yang melimpahkan wewenang dan juga keputusannya untuk mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan adat kepada tiga Jaro Tangtu, yaitu: Jaro Tangtu Cibeo, Jaro Tangtu Cikartawana dan Jaro Tangtu Cikeusik. Pengertian lain dari Tangtu Tilu adalah bahwa ketiga kampung kepu’unan (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik) berfungsi sebagai penentu kebijakan dan keputusan hukum adat Suku Baduy. Jaro Tangtu di kesukuan Baduy sangat tinggi, karena jabatan tersebut adalah jabatan tertinggi kedua setelah Pu’un. Kedudukannya yang kedua setelah Pu’un, juga dihormati dan disegani oleh para pemimpin adat lainnya, karena memiliki mandat penuh tugas dan wewenang yang melekat pada Pu’un. (Asep Kurnia dan Ahmad Sihabuddin; 2010: 94). Jika dilihat dari struktur pemerintahan desa, seorang Kepala Desa Kanekes (Jaro Pamarentah) mempunyai kewenangan yang sangat terbatas, khususnya yang berkaitan dengan pemerintahan di atasnya. Karena dalam setiap pengambilan keputusan akan lebih ditentukan oleh keputusan Lembaga adat. Disamping itu seorang Sekretaris Desa (Carik) yang ada di Desa Kanekes dipegang oleh warga masyarakat luar desa Kanekes yang diangkat oleh kepala desa atas dasar persetujuan lembaga Adat. Karena tugas Carik diantaranya membantu tugas kepala desa menjembatani program‐program dari pemerintah kepada pihak masyarakat adat. Secara umum masyarakat Baduy sangat tunduk dan patuh pada hukum adat. Indikasinya terlihat dari kehidupan kesehariannya yang senantiasa berpatokan pada hukum adat. Namun dengan demikian mereka juga mengakui akan keberadaan Negara dan
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
121
merasa termasuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terkait dengan inspirasi politik warga masyarakat Baduy, menurut keterangan tokoh masyarakat Baduy memaparkan masalah perilaku politik terdapat perbedaan yang cukup signifikan, salah satunya adalah masalah perilaku pada pelaksanaan Pemilu. Khusus masyarakat Baduy dalam dimana seluruh warganya tidak mau menggunakan hak suaranya (memilih dan dipilih), mereka lebih memilih diam dengan bahasa mendoakan saja siapapun yang jadi pemimpin kami dari pihak adat mengakui dan menghormati. Mereka sangat menghormati keberadaan Pemerintah Republik Indonesia yang merupakan pelindung mereka, namun mereka tidak akan turut campur dalam masalah politik khususnya politik praktis. Lain halnya masyarakat Baduy luar mayoritas mau mengikuti acara pesta demokrasi tersebut. Sejalan dengan paradigma baru dalam Pemilihan Umum, termasuk dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Undang‐Undang Pemilu, bahwa bagi golongan masyarakat yang dikategorikan terbelakang dan memiliki minimal 7.000 (Tujuh ribu) Jiwa, mereka berhak mengajukan wakilnya untuk duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tugas dan wewenang pemimpin adat Suku Baduy adalah sebagai berikut : 1) Puun; antara lain sebagai kepala adat (pemberi restu hukum adat), dan sebagai Pemimpin spiritual. Menariknya ruang lingkup dan gerak kehidupan Puun lebih sederhana dan terbatas dibanding dengan kehidupan anggota masyarakatnya, Pu’un mendekati seorang resi yang jauh dari nafsu kematerian.
122
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
2) Jaro Tangtu; antara lain mewakili seluruh tugas Pu’un dalam aspek kegiatan berdasarkan ketentuan adat, mandataris Pu’un, dan mengawasi tentang pelanggaran pelaksanaan hukum adat di masyarakat Baduy Dalam dan Luar. 3) Wakil Jaro Tangtu (Jaro Parawari); Tugas utamanya membantu Jaro Tangtu mempersiapkan alat dan kebutuhan untuk upacara‐upacara adat seperti ; Kawalu, Ngalaksa dan upacara adat lainnya. 4) Baresan; Tugasnya setara dengan Jaro Parawari yaitu sama‐ sama membantu Jaro Tangtu mempersiapkan upacara adat, tetapi perbedaannya adalah Baresan lebih pada membangtu prosesi pelaksanaannya agar dapat berjalan secara lancar. 5) Tangkesan; tugasnya sebagai penasehat, diminta atau tidak diminta Tangkesan memberikan nasehat kepada tokoh adat yang ada di Baduy dalam dan pensehat lembaga adat Baduy luar. 6) Jaro Tanggungan Duabelas; Bersama Tangkesan memberikan saran kepada Pu’un, Memberikan penjelasan kepada seluruh masyarakat Baduy mengenai larangan adat, Jaro Tujuh : Anggotanya sebanyak 7 orang yang masing‐ masing membina Dangka‐dangka yang ada di wilayahnya masing‐masing. 7) Jaro Pamarentah; dibentuk sebagai pelindung Baduy dalam demi kelangsungan hukum adat dari rongrongan Belanda. Sejalan dengan uraian di atas, maka di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak terdapat adanya dualisme sistem administrasi pemerintahan, yaitu adanya Dinamika Agama Lokal di Indonesia
123
pemerintahan yang diatur oleh hukum Negara dan yang diatur dengan hukum adat setempat yang sudah turun temurun. Segala urusan pemerintahan berdasarkan Perda Nomor 14 Tahun 2006, dilaksanakan oleh Jaro Pamarentah dengan mekanisme konsultatif dan koordinatif dengan BPD. Sedangkan segala urusan adat maka Jaro Pemerintah melaksanakan mekanisme konsultatif dan koordinasi dengan Lembaga Adat. Pada sisi ini seringkali yang lebih kuat adalah ketentuan lembaga adat yang bersumber dari Pu’un. Berdasarkan ketentuan adat bahwa seorang Kepala Desa dipilih dan diangkat berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Pu’un. Berawal dari pengajuan yang dilakukan oleh Tanggungan jaro duabelas (Lembaga Adat), Jaro Tangtu dan Baris Kolot, kemudian ketiga Puun mengadakan musyawarah untuk selanjutnya diambil persetujuan. Sedangkan yang mengesahkan secara adat adalah tangkesan disetujui oleh perangkat jaro tujuh (Lembaga Adat Masyarakat Baduy), sedangkan yang memberikan Surat Keputusan/ SK Kepala Desa Kanekes adalah Bupati Atas Dasar Keputusan Lembaga Adat yang diajukan melalui Camat Kecamatan Leuwidamar. Masa jabatan seorang Kepala Desa Kanekes ditentukan oleh peraturan lembaga Adat dan tidak ditentukan waktu masa jabatan oleh ketentuan adat semasih bisa dipercaya dan tidak melanggar aturan hukum Adat Wiwitan, “Panjang Ulah Dipotong, Pondok Ulah Disambung” Nulin Dilainkeun, Nuenya Dinyakeun, Jeung Ulah Goroh, Ulah Linyok.Secara adat Peraturan Desa ditentukan Tangtu Tilu Jaro Tujuh Tanggungan Jaro dua belas (Lembaga Adat masyarakat Baduy). Sosial Budaya dan Mata Pencaharian Suku Baduy Pola hidup antara masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar secara umum hampir sama, misalnya anak‐anak mereka
124
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
dilarang bersekolah secara formal. Menurut seorang ibu kepada peneliti: “kalau mereka bersekolah menjadi pinter dan kalau pinter ngeminterin orang”. Memang anaknya berkeinginan untuk sekolah tetapi dilarang oleh Jaro, mereka harus patuh pada apa yang sudah menjadi ketentuan yang disebut dengan pikukuh karuhun yang ditetapkan sang Pu’un. Jadi dalam hal pendidikan anak‐anak usia sekolah bagi masyarakat Baduy, baik Baduy luar maupun Baduy dalam, sebagian ada keinginan untuk sekolah, namun tidak dapat terlaksana karena adanya larangan dari adat. Permasalahan yang dihadapi apabila ketentuan adat yang diputuskan oleh Puun bertentangan dengan ketentuan Pemerintah Kabupaten Lebak, misalnya dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun dimana anak usia sekolah harus menyelesaikan pendidikan dasar, tetapi ketentuan adat Baduy melarang anak‐anak Baduy luar maupun dalam untuk sekolah formal. Di satu sisi Pemerintah Kabupaten Lebak memandang bahwa masyarakat Baduy perlu diberdayakan dan disamaratakan penanganannya sebagai warga masyarakat Kabupaten Lebak pada umumnya, hal ini dengan melihat adanya kecenderungan generasi muda Baduy memiliki ketertarikan dan secara naluriah berkeinginan untuk bisa hidup berdampingan secara serasi dengan masyarakat Kabupaten Lebak pada umumnya, serta mereka juga ingin pintar secara keilmuan dan teknologi. Gejala yang nampak pada generasi muda Baduy misalnya Baduy luar ada yang memiliki alat komunikasi (HP /Telepon Genggam), nonton Televisi, beralas kaki dan sebagainya. Bahkan gejala umum peralatan elektronik dan rumah tangga seperti alat makan sudah menggunakan hasil produksi luar. Sejalan dengan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
125
kondisi di atas, maka hal ini bertentangan dengan adat Baduy warisan leluhur dimana masyarakatnya dilarang memiliki alat‐alat hasil produksi mesin modern. Orang Baduy dalam sering keluar dari kampungnya di Cibeo misalnya dengan tujuan untuk menjual hasil kebunnya seperti; pisang. Kedatangan orang Baduy dalam ke perkampungan Baduy luar sudah menjadi rutinitasnya selain membawa hasil kebun untuk di jual dan atau untuk membeli kebutuhan sehari‐hari keluarga, misal beras, minyak dan sebagainya, juga untuk sekedar bersilaturrahmi. Kesempatan untuk bisa melihat tayangan televisi bagi anak‐anak muda dari Baduy luar maupun Baduy dalam yang kebetulan sedang bermain keluar kampungnya, sehingga memanfaatkan waktunya untuk menyaksikan tayangan acara di televisi atau ada yang membaca koran. Bahasa yang mereka gunakan dengan bahasa Sunda logat Rangkas Bitung, namun demikian mereka mengerti berbahasa Indonesia, bahkan bisa membaca, meskipun anak‐anak Baduy tidak di izinkan oleh adat untuk bersekolah formal, karena baginya cukup memperoleh pelajaran secara otodidak dari orang tuanya. Masyarakat Baduy termasuk masyarakat yang produktif, senantiasa memanfaatkan waktu untuk kegiatan‐ kegiatan yang menghasilkan dan bermanfaat. Sebagaimana tampak pada salah satu rumah penduduk yang peneliti hampiri di teras rumahnya ada seorang wanita usia sekitar 30 tahun lebih, sedang tekun menenun kain. Hasil tenunannya ini ada berupa selendang dan ikat kepala. Setelah selesai dikerjakan selama beberapa hari lamanya menenun, misalnya selendang bisa dijual dengan harga yang bervariasi pula dari mulai harga 100 ribu rupiah atau lebih tergantung besar kecilnya ukuran tenun selendang yang dibuat. Kegiatan
126
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
menenun ini dikerjakan saat waktu lengang dan tidak sedang ngahuma (berladang). Tampak beberapa anak muda remaja (laki‐laki) dengan memakai baju ciri khas Baduy dalam dengan berlengan panjang yang disebut Jamang Sangsang, warna baju serba putih polos. Baju yang dikenakannya ini diberi lubang pada bagian leher tanpa boleh dijahit dengan mesin. Bahan yang digunakan dari benang kapas asli yang ditenun sendiri. Untuk bagian bawahnya menggunakan kain warna hitam kebiruan serupa sarung, yang diikatkan pada bagian pinggang, ber‐ikat kepala warna putih. Sementara itu cara berpakaian pada orang Baduy luar ada kesamaannya dengan Baduy dalam, meski ada sedikit kelonggaran dalam model maupun bahan dasar yang digunakan tidak diharuskan dari benang kapas murni. Pakaian orang Baduy luar lebih umum memakai baju kampret warna hitam dengan ikat kepala berwarna biru tua dengan corak batik dengan memakai celana sebatas dengkul dan sudah dijahit. Sedangkan untuk baju sehari‐hari yang dikenakan di kalangan wanita Baduy luar, tidak menampak‐ kan perbedaan yang mencolok dengan pakaian wanita di kalangan Baduy dalam memakai kebaya. Namun ada diantara wanita Baduy luar yang memakai perhiasan emas di leher sebagai kalung dan gelang di pergelangan tangannya, namun tidak demikian halnya bagi wanita Baduy dalam. Mata pencaharian masyarakat Baduy Kanekes (Baduy luar dan Baduy dalam) yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma (99%) dan berkebun serta membuat kerajinan (koja atau tas yang terbuat dari kulit kayu, mengolah gula aren, dan tenun. Padi tidak di jual, kecuali cabe, pisang, jahe, sehingga ada satu kelompok yang membuat gula jahe. Selain itu suku Baduy luar, ada juga mendapatkan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
127
penghasilan tambahan dengan membantu mengerjakan lahan orang lain, di luar desa Kanekes. Ada pula yang membantu memasarkan hasil kerajinan khas Baduy seperti: gantungan kunci dari batok kelapa, dan menenun selendang, sarung dan sebagainya. Sementara di Baduy dalam yang banyak menghasilkan kebon jahe sampai 50 kwintal, tidak perlu membawanya keluar tetapi justru para pedagang (pengusaha) yang mendatangi langsung ke petani Baduy dalam. Secara perlahan sebagian kecil masyarakat di Baduy luar, sudah mengenal berdagang yang membuka warung‐ warung kecil, seperti di Kp. Gajebo, Kp. Karahkal, dan di Kp.Kadu Jangkung, yang menjual kebutuhan sehari‐hari, bahkan sudah ada yang home industri. Mereka sudah sangat memahami (Baduy luar dan Baduy dalam) untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga tentunya memerlukan uang untuk dapat memilikinya, karena itu dengan transaksi jual beli. Meski pasar di kampung kawasan Ciboleger tidak ada aktifitas setiap hari, namun kegiatan rutin keluar masuk kendaraan ke terminal yang hanya berjarak 100 meter untuk menuju ke tanah Ulayat Suku Baduy yang datang dari berbagai kota. Termasuk bagi anak‐ anak di Baduy luar untuk main bola sudah dperbolehkan. Meskipun demikian kehidupan secara sosial dan ekonomi, komunitas Baduy luar tidak jauh berbeda dengan Baduy dalam. Anak‐anak remaja Baduy dalam baik yang laki‐ laki maupun yang perempuan dapat melakukan transaksi hasil tani yang dibawanya dari dalam untuk dijual, misalnya Baduy dalam pergi keluar dengan membawa hasil kebunnya berupa buah‐buahan seperti pisang. Sambil membawa hasil kebunnya mereka datang ke Baduy luar dengan berkelompok sampai 5‐7 orang kelompok laki‐laki (remaja), terpisah dengan
128
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
kelompok remaja perempuan Baduy dalam, dengan tujuan yang sama. Pada masyarakat Baduy luar sudah terlihat dinamika perubahannya sedikit dibandingkan dengan saudaranya di Baduy dalam yang secara adat masih memegang teguh tradisi leluhur. Artinya pola hidup masyarakat Baduy luar sudah mulai bergeser dan menerima sedikit demi sedikit perubahan sesuai dengan kebutuhan, mengingat filosofi pokok hidup masyarakat Baduy adalah tidak boleh mengubah dan merusak alam. Kondisi Baduy luar maupun Baduy dalam sama aturannya tidak diperbolehkan untuk memiliki kendaraan motor atau alat‐alat elektronik lainnya. Kalaupun ada diluar batas desa Kanekes sebagai tetangga kampung dan bukan orang Baduy. (Wawancara dengan Kades Kanekes, Jaro Dainah, 24 April 2013). Bentuk bangunan rumah komunitas Baduy luar sudah memiliki lebih dari satu pintu dengan bahan bangunan dari bambu dan menggunakan paku sebagai pengikatnya, berbeda dengan rumah di Baduy dalam yang hanya memiliki satu pintu, dan tidak boleh menggunakan paku, hanya menggunakan pasak dan tali dari rotan, demikian menurut Jaro Dainah. Bila dilihat dari bentuk bangunan rumah warga kampung Baduy luar, baik dari luas dan bahan bangunannya semua terkondisikan sama, tampak seperti rumah panggung yang tidak terlalu tinggi dari permukaan tanah, sekitar 50 cm terbuat dari bambu yang dibelah‐belah dan beratap rumbia dan injuk. Perkampungan komunitas suku Baduy khususnya di Baduy luar, tampak bebas bagi siapapun bisa keluar masuk untuk melihat cagar budaya ini, kecuali untuk memasuki 3 Dinamika Agama Lokal di Indonesia
129
(tiga) perkampungan Baduy dalam yaitu kampung Cikesik, Cibeo dan Cikartawana. Pekecualian ini ditujukan sesuai dengan aturan adat yang tertulis, bahwa ada larangan untuk memasuki wilayah tanah Ulayat Suku Baduy dalam, bagi yang beragama non muslim berasal dari etnis Cina, Belanda (kulit putih). Istilah rumah disebut dengan susuhunan. Pada tahun 2008, jumlah perkampungan Baduy luar terdiri dari 55 Kampung dalam data penyebaran penduduk Desa Kanekes. Bila melihat Perda Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Hak Ulayat Masyarakat Baduy ada 51 Kampung. (Ahmad Sihabuddin. 2010: 15). Menurut Sekdes H. Sarpin saat wawancara (23 April 2013), bahwa komunitas suku Baduy luar kini berjumlah 59 kampung yang tersebar di daerah pegunungan Kendeng. Susuhunan (rumah) sudah berjumlah 98, yang sebelumnya hanya berjumlah 60 susuhunan. Dimana dalam satu susuhunan berjumlah antara 1 sampai 2 Keluarga.
130
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
TEMUAN HASIL PENELITIAN Kehidupan Keagamaan Suku Baduy Kepercayaan suku Baduy dengan sebutan Slam Sunda Wiwitan, bahwa berdasarkan pemujaan pada karuhun dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya pikukuh, tanpa perubahan apapun. Menurut Dainah: Kalau semua itu berubah misalnya alam berubah dan manusia bisa berubah, tetapi wiwitan karena ada sumpah amanat, yaitu wiwitan sebagai cikal bakal dari awal sampai akhir zaman tidak bisa berubah. Lain halnya dengan manusia yang bisa berubah, misalnya H. Sapin dan H. Kasmin yang lahir disini, kakeknya masih berada di Cibeo. Yang berubah manusianya itu bisa, tetapi wiwitan tidak bisa berubah. Masyarakat Baduy Kanekes (Baduy luar maupun Baduy dalam) selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan‐aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Kepatuhan terhadap ketentuan maupun aturan menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu didorong oleh kepatuhan dan ketaatan mereka pada satu keyakinan, yakni agama Slam Sunda Wiwitan, hanya untuk komunitas adat Baduy. (Saatnya Baduy Bicara; 2010: 9). Slam Sunda Wiwitan hanya ada di Baduy dan mengenal Tuhan dengan sebutan Gusti Nu Maha Soci, Allah yang maha kuasa, namun Baduy tidak kebagian untuk menjalankan salat. Suku Baduy juga mengucapkan alhamdulillah. Dari situlah disebut Slam Sunda Wiwitan, bukannya Islam. Slam Sunda Wiwitan hanya ada di Baduy, sebab cikal bakal manusia di dunia itu adalah Baduy. (wawancara dengan Dainah, 24 April 2013).
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
131
Slam Sunda Wiwitan. Sunda artinya suku Sunda, Wiwitan artinya pertama. Slam nya itu karena di sunat, sebab bila orang Baduy tidak disunat, jika laki‐laki maka tidak sah menjadi orang Baduy dan tidak bisa diangkat untuk menjadi pengurus adat. Pelaksanaan sunat bagi laki‐laki dan perempuan dengan di upacarakan. Menurut H. Sapin bahwa Slam itu di ambil (cirinya) kawin dengan baca dua kalimat sahadat. Ucapan sahadat yang dilafalkan oleh Jaro Daenah, menurutnya ada bedanya sedikit, yakni: Audzubillahi minassyaitonirozim bismillahirohmanirrohim. Asyhadualla ilaha illallah, waasyhaduanna muhammadarrosulalloh, Allohumma sholliala syaidina muhammad, (ditambah) Isun anggorahi saturane arane pangeran anging Allah, Isun anggorohi arane nabi anging Muhammad. Dengan menjalani kehidupan sesuai dengan adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat, maka kehidupan masyarakat Baduy tampak damai dan sejahtera. Kehidupan mereka layaknya kehidupan masyarakat lainnya, hanya perbedaannya adalah begitu banyaknya aturan tradisional yang harus dipatuhi. Karena kepatuhannya pada aturan, sehingga ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa tidak boleh masuk ke Baduy dalam, bagi orang‐orang luar yang non Islam (misalnya Cina dan Belanda/kulit putih). Jika hal ini di langgar, maka akan kena tulah (bala). Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang
132
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Maha Gaib) yang bersemayam di Buwana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (pedoman atau aturan) untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan (wilayah yang disakralkan dalam komunitas Baduy); titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buwana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1994:5) Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga Buwana, yaitu (1) Buwana Nyungcung sama dengan Buwana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat paling atas; (2) Buwana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan (3) Buwana Larang sama dengan Buwana Handap atau Ambu Handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buwana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buwana Akhir yaitu Buwana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buwana Luhur. Antara Buwana Nyungcung dan Buwana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam. Komunitas Adat Baduy Bukan Suku Terasing Asal‐usul Suku Baduy Suku Baduy merupakan keturunan langsung Adam Tunggal untuk menjaga alam dan mengamalkan amanat awal Dinamika Agama Lokal di Indonesia
133
dengan bersumber “ Lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang dirakrak, mun ngadek kudu saclekna mun neukteuk kudu sateukna mun nilas kudu sapasna, nu lain dilainkeun nu enya dienyakeun ulah gorok ulah linyok”. Artinya: panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, kalau menyabet atau menebang harus sepasnya, kalau memotong harus sesuai ukurannya, kalau mengelupas harus sepasnya, yang salah nyatakan salah, yang benar nyatakan benar, tidak boleh menipu dan berbohong”. (Asep Kurnia dan Ahmad Sihabuddin: 2010: 24). Baduy merupakan sebutan populer orang lain terhadap masyarakat Desa Kanekes Banten. Sebutan Baduy muncul sesudah agama Islam masuk ke daerah Banten utara pada abad ke‐16, sekitar tahun 1522‐1526 (Garna, 1987: 36). Akan tetapi, orang Baduy dipaparkan oleh Judistira Garna (1987: 16‐ 17), sebagai berikut: “Kesetiaan orang Baduy kepada agama yang diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya seperti keadaan sebelum Hindu dan Islam berkembang di Jawa Barat serta letak desanya yang tak mudah dicapai orang seolah‐olah memperkuat angggapan bahwa orang Baduy itu bukan orang Sunda”. Meskipun demikian, pada tahun 1822 C.L. Blume pernah menulis bahwa masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad ke‐17, dan sejalan pesatnya kemajuan kerajaan Banten Islam (Garna, 1993: 144 dan Permana, 2006: 26). Terlepas dari perdebatan para ahli sejarah tentang sebutan Baduy, penelusurannya dapat diteruskan dan ditemukan di banyak sumber. Karena itu, menurut Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Baduy
134
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan, tempat pemujaan nenek moyang, bukan Hindu atau Budha. Kabuyutan di Desa Kanekes dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Dari sinilah, masyarakat Baduy sendiri menyebut agamanya adalah Sunda Wiwitan, Sunda Pertama (Permana 1986: 4‐5 dan 2006: 27). Hal itu menjelaskan juga bahwa asal usul Baduy secara tepat bisa ditemukan di dalam diri masyarakat Baduy itu sendiri yang kukuh melestarikan alam lindung pegunungan Kendeng sebelum ekspedisi Islam datang mengubah kepercayaan mereka. Baduy Bukan Suku Terasing Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yakni sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Desa Kanekes merupakan perkampungan Suku Baduy dipimpin oleh Kepala Desa yang disebut Jaro Pamarentah, yang berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat, suku Baduy tunduk kepada Kepala Pemerintahan tradisional (adat) yang disebut Puun. Hanya bedanya dalam hal penunjukan jabatan sebagai kepala desa bila di desa lain yang memilih warga, namun untuk komunitas adat Baduy yang menunjuk adalah Puun baru kemudian diajukan melalui camat untuk disahkan sebagai kepala desa. Karena itu mereka tidak suka disebut sebagai suku terasing tetapi sengaja memilih mengasingkan diri dan tidak terlibat dengan peradaban modern yang bisa merusak akhlak, alam, lingkungan hidup dan warisan adat istiadat kebudayaan nenek moyang mereka. Sehingga mereka selamat dari bencana apapun karena selalu menjaga alam dan lingkungan. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
135
Prinsip Pikukuh atau kepatuhan terhadap konsep lojor heunteu beunang dipotong, pendek heunteu beunang disambung (panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong dan pendek tidak bisa/tidak boleh disambung). Konsep hidup statis secara turun temurun dan menerapkan etika Tabu sesuatu yang menyimpang/dilarang oleh adat tidak boleh dilanggar. Ketika ada pelanggaran Tabu akan mendapatkan peringatan dari Jaro atau Pu’un. Masyarakat Baduy termasuk masyarakat yang produktif, senantiasa memanfaatkan waktu untuk kegiatan‐ kegiatan yang menghasilkan dan bermanfaat. Bagi kaum wanitanya, mereka menenun berbagai jenis pakaian khas Baduy misalnya selendang, sarung dan sebagainya. Hasil tenunannya dijual dengan harga yang bervariasi pula dari harga 100 ribu rupiah sampai lebih tergantung panjang dan lebarnya sesuai hasil ukuran selendang yang dibuatnya. Pola hidup masyarakat Baduy Luar, sudah mulai longgar dan terbuka, hal demikan karena adatnya memberikan kelonggaran dibandingkan dengan hukum adat bagi masyarakat Baduy Dalam. Kelonggaran tampak pula pada desain dan tata ruang rumah masyarakat Baduy Luar yang sudah bervariasi termasuk jumlah ruangan, jumlah pintu dan diperbolehkan menggunakan paku, serta memakai peralatan rumah tangga dan sabun untuk mencuci. Berbeda dengan rumah masyarakat Baduy Dalam yang tidak boleh memakai paku dan hanya memiliki satu pintu, dan tetap tidak berubah dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh adat dan tidak mau melanggarnya. Bagi masyarakat Baduy luar dan Baduy dalam terkait dengan pendidikan secara umum hampir sama, misalnya anak‐anak mereka dilarang bersekolah secara formal,
136
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
termasuk dalam pola makan dan bentuk rumah yang seragam dengan bentuk nyulah nyanda, namun pada hal‐hal tertentu adanya perbedaan yang cukup mencolok. (Saatnya Baduy Bicara, 2010: 63). Sementara itu pada masyarakat Baduy luar sudah terlihat dinamika perubahannya dibandingkan dengan saudaranya Baduy dalam yang secara adat masih memegang teguh tradisi leluhur. Artinya pola hidup masyarakat Baduy luar sudah mulai bergeser dan menerima sedikit demi sedikit perubahan sesuai dengan kebutuhan, karena filosofi pokok hidup masyarakat Baduy adalah tidak boleh mengubah dan merusak alam. Sementara itu bagi komunitas Baduy dalam, mereka teguh dalam mempertahankan adat istiadatnya dan mengikat kepada semua pihak dan semua aspek kehidupannya dan bertahan untuk menutup diri dari pengaruh luar yang dianggapnya negatif. Mereka lebih memandang tugas dan kewajiban kesukuan mereka yang dilahirkan ke dunia ini adalah untuk bertapa, yang berarti bertapa untuk tidak makan, tidak minum atau tidak tidur, tetapi bertapa untuk tidak mengubah dan merusak alam agar tetap terjaga keseimbangan fungsi dan manfaatnya demi kesejahteraan, keharmonisan seluruh manusia. Apabila ini tidak dipatuhi maka akan berakibat hapusnya wiwitan, karena akan terpengaruh oleh zaman. Mengingat tugas ini berat, maka membagi tugas menjadi dua yaitu bagi orang Baduy dalam bertapa di wiwitan dan orang Baduy luar bertugas menjaga orang yang sedang bertapa, bukan karena telah melakukan pelanggaran adat yang kemudian di istilahkan sebagai warga penamping, yaitu sebagai warga pinggiran atau warga buangan. (Asep Kurnia dan Ahmad Sihabuddin, 2010: 25‐26). Dinamika Agama Lokal di Indonesia
137
Baduy luar itu fungsinya sebagai penyaring. Apabila kebutuhan ke Baduy dalam, maka Jaro Dainah yang bertugas menjelaskan. Baduy luar bukan berarti karena telah melanggar aturan, karena ketika dibentuknya tokoh adat, ada yang di dalam dan ada yang di luar. Yang di luar bertugas menyambungkan dengan yang di dalam. Kondisi Baduy luar maupun Baduy dalam sama aturannya tidak diperbolehkan untuk memiliki kendaraan motor atau alat‐alat elektronik lainnya. Kalaupun ada diluar batas desa Kanekes sebagai tetangga kampung dan bukan orang Baduy. Secara umum yang membedakan antara Baduy dalam dan Baduy luar dalam hal hubungannya dengan dunia luar adalah sebagai berikut: ‐ Baduy luar relatif sudah mau menerima inovasi dan modernisasi dari luar seperti memiliki HP, bahkan lap‐top meskipun harus sembunyi‐sembunyi. ‐ Baduy dalam belum dapat menerima hal‐hal yang berbau teknologi dan modernisasi. Sementara itu ada perbedaan dan persamaan antara suku Baduy luar dan Baduy dalam terkait dengan adat aturan antara lain mengenai: ‐ Rumah Baduy luar dan Baduy dalam, ada persamaannya yaitu sama‐sama dibangun dengan bahan yang sama dari bambu, dengan atap terbuat dari rumbia dan injuk. Letak perbedaaanya pada Baduy luar, boleh menggunakan paku, sudah menggunakan alat makan dan minum terbuat dari gelas dan memakai sabun cuci, serta memiliki lebih dari satu pintu. Pada Suku Baduy dalam bangunan rumahnya hanya diikat dengan tali bambu tidak boleh menggunakan paku dan hanya memiliki satu pintu.
138
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
‐ Bagi Suku Baduy dalam peralatan makan dan minum tidak boleh menggunakan peralatan modern serta tidak boleh menggunakan sabun saat mandi ataupun mencuci, karena akan membuat tercemar sungai dengan bahan kimia. Baik Suku Baduy dalam maupun Suku Baduy luar sama‐sama tidak boleh menggunakan kendaraan bermotor saat bepergian serta tidak diperkenankan memakai alas kaki. Perbedaannya pada Suku Baduy luar sudah memakai minyak tanah untuk memakai lampu sebagai alat penerang, sedangkan pada Suku Baduy dalam tidak boleh menggunakan minyak tanah, karena itu untuk penerangan dengan menggunakan minyak kelapa. ‐ Dalam hal berpakaian pada Suku Baduy luar, umumnya pakaian berwarna hitam dan terkadang bisa warna hitam dan warna putih dengan ikat kepala berwarna corak biru hitam. Sementara pada Suku Baduy dalam hanya dua warna, hitam atau putih belacu, umumnya warna putih dengan ikat kepala warna putih. Perkampungan masyarakat Baduy luar, berbatasan dengan perkampungan Ciboleger sebagai masyarakat Sunda di luar Baduy. Karena termasuk daerah wisata, maka banyak masyarakat umum yang membuka usaha dagang, dari menyediakan sembako, menjual makanan matang semacam warteg dan berdagang berbagai kebutuhan sehari‐hari masyarakat umumnya. Ada beberapa pemilik warung yang menjual makanan dan minuman dingin, sekaligus sebagai tempat tinggal, sehingga meletakkan televisinya di luar, dan dapat dinikmati oleh anak‐anak suku Baduy luar dan Baduy dalam yang sedang berada di kampung suku Baduy luar. Menurut Adimihardja,komunitas adat adalah kelompok masyarakat yang terisolasi, baik secara geografi maupun Dinamika Agama Lokal di Indonesia
139
sosial budaya dan bertempat tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Pranata sosial dalam komunitas adat ini umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan yang sangat terbatas dan homogeni. (Ahmad Sihabuddin. 2009: 9). Menurut Dainah selaku Jaro Pamarentahan, bahwa masyarakat Baduy memang sejak dahulu selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan‐aturan yang ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Kepatuhan kepada ketentuan‐ketentuan tersebut menjadi pegangan dan acuan mutlak untuk mereka jalani dalam kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy luar maupun Baduy dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un. Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, termasuk tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa nama Sunda Wiwitan mengandung arti sebagai permulaan awal. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri adalah sebagai sistem keyakinan yang merupakan tradisi nenek moyang dari masyarakat Sunda Kuno, jauh sebelum ada agama‐agama dari luar nusantara masuk. (mengutip paparan Dewi Kanthi Setyaningsih). Yang sampai saat ini mempercayai dan menganggap sakral pemujaan kepada nenek moyangnya atau
140
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
mereka menyebutnya para karuhun. Orang Baduy hanya mempercayai satu Tuhan yang mereka sebut Gusti Nu Maha Agung atau Sang Hyang Tunggal dan dalam hal kenabian meyakini bahwa Nabi Adam sebagai manusia yang pertama di bumi berasal dari Baduy. Sebutan “Agama Slam Sunda Wiwitan”, merupakan agama khusus untuk komunitas Baduy dan tidak disebarkan kepada masyarakat luar Baduy. Dari sebutan Slam yang hampir mirip dengan kata “Islam” itu merupakan bukti adanya kedekatan dengan Islam. Kedekatannya terlihat dari kepercayaan orang Baduy hanya kepada satu Tuhan, dan Nabi Muhammad dikatakannya dalam posisi sebagai saudara nabi Adam. Faktor kedekatan lainnya antara ajaran Baduy dengan Islam yaitu adanya pantangan minum arak (khamar) dan memakan anjing. (Kesuma, Sobby, Arsyad: Fenomena Konversi Agama pada Komunitas Suku Baduy Banten”, 12 September, 2012). Suku Baduy tetap mempertahankan ajaran Slam Sunda Wiwitan, karena mereka meyakini bahwa alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh kekuasaan Tunggal Maha Pencipta yang mereka sebut Adam Tunggal adalah leluhur dan diakui sebagai nabinya. Sedangkan nabi Muhammad dipandang sebagai saudara muda dari keturunan mereka, yang memiliki amanat sebagai penutup kesempurnaan untuk mengiblati Ka’bah, sehingga pada upacara tertentu, mereka mengenal dan membaca dua kalimah syahadat sebagai penyempurnaan dari sahadat‐sahadat lainnya. Dari keyakinan dan kepercayaan semua itu mereka namakan Agama Slam Sunda Wiwitan. (Asep Kurnia dan Ahmad Sihabuddin, 2010: 25‐28).
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
141
Kaitan dengan spesifikasi ajaran Slam Sunda Wiwitan yang menitik beratkan pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam, maka dalam ajaran Slam Sunda Wiwitan dikenal nama‐nama sahadat yang diyakini keampuhannya serta kemustatajabannya sebagai suatu doa yang disampaikan pada Gusti Allah sesuai dengan tujuan dan kebutuhan atau kejadian yang akan mereka lakukan. Sahadat‐ sahadat tersebut digunakan secara spesifik sesuai dengan kegiatan yang akan mereka laksanakan, karena sahadat‐ sahadat tersebut memiliki fungsi dan manfaat masing‐masing. Kata syahadat yang dimaksud ajaran sunda Wiwitan tentunya berbeda dengan kata syahadat pada agama Islam. Syahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai suatu rangkian kalimat atau doa atau jampe‐jampe yang khusus dibacakan dan disampaikan kepada sang pencipta alam sesuai dengan kebutuhan. Masalah yang dihadapi dan diucapkan tidak sembarangan tetapi ada tata kramanya. ( Saatnya Baduy Bicara, 2010: 140). Menurut Jaro Dainah, sejak zaman kuno syahadat ini tidak bisa dirubah, karena Allah yang mendirikan baitullah. Namun untuk sebutan Allah bagi suku Baduy adalah Gusti Nu Maha Suci, Alloh Yang Maha Kuasa. Dari situlah disebut Slam Sunda Wiwitan, dan bukannya Islam, termasuk pada Suku Baduy, juga mengucapkan alhamdulillah. Hanya masalah salat, bagi Suku Baduy ketika itu tidak kebagian untuk menjalankan salat. (Wawancara dengan Jaro Dainah, 23 April 2013). Beberapa contoh kalimat syahadat Baduy yang jumlahnya cukup banyak dan digunakan sesuai dengan penempatan/penggunakannya, salah satu contoh dari hasil wawancara dengan Jaro Dainah, bahwa syahadat Baduy ada
142
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
bedanya sedikit dengan syahadat Islam yaitu: Audzubillahi minassyaitonirozim bismillahirohmanirrohim. Asyhadualla ilaha illallah, waasyhaduanna muhammadarrosulalloh, Allohumma sholliala syaidina muhammad, kemudian ditambah dengan kata‐kata Isun anggorahi saturane arane pangeran anging Allah, Isun anggorohi arane nabi anging Muhammad. Karena itulah terkait dengan Slam Sunda Wiwitan, menurut Jaro Dainah, semua bisa berubah, misalnya alam dan manusia bisa berubah. Tetapi pada wiwitan yang merupakan cikal bakal dari awal sampai akhir zaman tidak bisa berubah. Jadi bagi kami manusia itu bisa berubah, tapi hukum adat wiwitan tidak bisa berubah. Yang dimaksud dengan manusia bisa berubah, misalnya H. Sapin dan H. Kasmin yang lahir disini, telah memeluk agama Islam sementara kakeknya masih berada di Cibeo. Terkait dengan aturan untuk memasuki wilayah tanah ulayat suku Baduy, terutama bagi orang non Islam, menurut Jaro Dainah sama halnya sesuai dengan sejarah, bahwa untuk memasuki Kota Mekkah dan Madinah tidak boleh orang asing masuk ke dalamnya. Ini aturan. Demikian pula halnya di Baduy dalam, aturannya orang‐orang luar yang non Islam (misalnya Cina dan Belanda/kulit putih).tidak boleh masuk ke Baduy dalam. Meskipun demikian hubungan orang Baduy dengan orang luar Baduy, terjalin dengan baik, semuanya teman, tetapi ada batas aturan. Misal:nya di Cicakal Girang (yang berada ditengah‐tengah) komunitas Baduy, sebagai teman yang melaksanakan salat (karena sebagai umat Islam), kami dukung dan tidak mau merugikan orang lain. Namun Baduy tetap bertahan dengan adat dan aturan. Karena itu menurut Dinamika Agama Lokal di Indonesia
143
orang Baduy, kalau manusia itu bisa berubah, tapi aturan tetap tidak bisa berubah, sepanjang tidak merugikan orang lain. (Wawancara dengan Jaro Dainah). Kehidupan sosial dan ekonomi, antara komunitas Baduy luar tidak jauh berbeda dengan Baduy dalam. Anak‐anak remaja Baduy dalam baik yang laki‐laki maupun yang perempuan dapat melakukan transaksi hasil tani yang dibawanya dari dalam untuk dijual, misalnya Baduy dalam pergi keluar dengan membawa hasil kebunnya seperti pisang. Sambil membawa hasil kebunnya mereka datang ke Baduy luar dengan berkelompok sampai 5‐7 orang kelompok laki‐ laki (remaja), terpisah dengan kelompok remaja perempuan Baduy dalam, meskipun dengan tujuan yang sama. Masalah mitos bahwa komunitas Baduy dalam hanya terdiri dari 40 suhunan, penulis dengar dari masyarakat Lebak yang mengatakannya demikian. Artinya apabila di Baduy dalam ada yang melahirkan atau ada yang meninggal dunia, maka ada yang dikeluarkan dari Baduy dalam dan ada pula yang diambil dari Baduy luar. Ternyata itu hanya sekedar “mitos yang disebarkan atau dimunculkan oleh orang‐orang Belanda yang saat itu menjajah kita, ketika bertanya pada tokoh adat masyarakat berapa jumlah warga Suku Baduy. Oleh tokoh tersebut dikatakan berjumlah 40 suhunan yang berada di hutan belantara”. Namun faktanya menunjukkan bahwa di Baduy dalam (Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik), baik jumlah penduduk, jumlah rumah dan jumlah keluarga sudah lebih dari 40, apalagi di Cibeo, rumah sudah lebih dari 96 rumah.(Saatnya Baduy Bicara, 2010: 34). Selain mitos 40, mereka juga dikatakan kalau orang Baduy itu bau, karena jarang mandi dan jarang mengganti bajunya secara rutin, ini keliru. Ternyata setelah peneliti
144
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
berdekatan duduknya saat wawancara, tidak sedikitpun merasakan ada aroma yang kurang sedap. Mereka tampak bersih dengan warna kulit yang kuning langsat, bahkan mereka meskipun tidak merasakan duduk di bangku sekolah secara formal, sangat menarik karena ternyata mereka bisa membaca dan menulis, bahkan berita seputar politik yang sedang banyak di bicarakan dan disampaikan melalui televisi merekapun memahaminya. Misalnya kasus Aceng Fikri, mereka pun mengikuti beritanya. Diawali ketika bertanya mengenai panggilan apa untuk anak laki‐laki suku Baduy, maka salah seorang dari Suku Baduy dalam bernama Mursyid dan teman‐temannya yang berjumlah 5 orang, yang kebetulan sedang berada di komunitas Suku Baduy luar di rumah Jaro Dainah, mengatakannya bahwa sebutan panggilan untuk anak laki‐ laki itu dengan Aceng. Lalu di teruskan dengan kata Aceng Fikri yang terlibat kasus pernikahan sesaat. Artinya mereka yang dikatakan tidak bersekolah, terbelakang dan bodoh ternyata mereka mengikuti berita di Koran dengan membaca dan melihat televisi saat berada di kampung Baduy luar. Konsep dan pengamalan keagamaan Suku Baduy, ada ibadah umum ,dikaitkan dengan tingkah laku sehari‐hari, dan ibadah khusus terkait dengan hari raya puasa. Puasa dalam ajaran Sunda Wiwitan yang disebut dengan Kawalu yang dilaksanakan dalam satu tahun tiga kali. Pada hari Kawalu banyak prosesi adat yang dilakukan, sehingga selama kegiatan ini tidak diperbolehkan melaksanakan kegiatan selain untuk mempersiapkan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba. Inti kepercayaan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya kepercayaan akan pikukuh untuk selalu dianut dan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
145
dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari‐hari masyarakat Baduy. Warisan pikukuh nenek moyang ini‐lah yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin. Hal ini bisa dilihat dari ajaran pikukuh: “Lojor Teu Meunang Dipotong Pondok Teu Meunag Disambung, Gunung Teu Menang dilebur, Lebak Teu menang Dirusak, Buyut Teu Menang Dirobah” . Komunitas Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat kepada kepercayaannya. Yang menariknya lagi, meskipun ada masyarakat Baduy yang enggan memeluk agama Islam, akan tetapi faktanya mereka mengakui dan menggunakan nama Islam dalam kepercayaannya. Seperti terlihat dalam ungkapan mereka: “Agama jeung kapercayaan Urang Baduy mah, Islam Sunda Wiwitan. Ngan di Cicakal Girang aya warga muslim, dina sajarah kahadiranana nyaeta dipenta ku lembaga adat ka Sultan Banten, anu tujuana supaya ngabantu ngurus pencatatan perkawinan warga Baduy atawa warga anu ngalanggar adat jeung ngurus mayit…….”. Demikian pula halnya yang disampaikan ayah Karmain, seorang warga Baduy dalam yang kebetulan sedang berada di Baduy luar mengatakan bahwa Agama Slam Sunda Wiwitan, secara turun temurun dari nenek moyang mengakui agama Sunda Wiwitan. Tetapi untuk disahkan secara hukum negara , sekarang sedang berusaha. Tetap kami mempunyai ketentuan “Agama Sunda Wiwitan “ yang mirip dan dekat ke Islam dan tidak ke Hindu. Misalnya dalam ibadahnya ke gusti Allah juga, hanya dengan tatacara yang berbeda. Ada ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah khusus seperti hari Raya Kawalu.
146
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Dan ibadah umum terkait dengan perilaku sehari‐hari. Seperti: tolong menolong, saling menghargai, adil dan bijak. Umat Sunda Wiwitan menjalankan juga ritual ibadah sunah Rasul, yakni sunat atau khitan (Djoewisno, 1987: 28). Ritus sunat diyakini sebagai nyelamkeun, mengislamkan, bagi laki‐laki pada umur 4‐7 tahun dan perempuan. Dan, mereka tak lupa juga melaksanakan ritual ibadah puasa kawalu, lebaran. Puasa ini dilakukan hanya sehari pada bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga dalam setahun sekali (Sam dkk., 1986: 64). Agama Slam Sunda Wiwitan Tetap Eksis Kalau alam bisa berubah dan manusia bisa berubah, tetapi wiwitan karena sebagai cikal bakal dari awal sampai akhir zaman tidak bisa berubah. Tetapi manusianya jika ada yang mau berubah, silahkan misalnya H. Sapin dan H. Kasmin yang lahir disini, kakeknya masih berada di Cibeo. Kalau yang berubah manusianya itu bisa, tetapi wiwitan tidak bisa berubah. Untuk keagamaan, bagi masyarakat adat Baduy, tidak berubah. Hanya karena kemauan manusianya (individu). Meskipun tinggal di luar desa Kanekes, tetap menganut dan patuh pada aturan adat. Terkait dengan pencatatan perkawinan Suku Baduy, dilaksanakan secara adat dan disahkan oleh Pu’un dengan disaksikan oleh Amil dari KUA setempat. Dari pernikahan ini, mereka tidak memperoleh buku nikah, sehingga saat melahirkanpun tidak memperoleh surat akte kelahiran. Sementara bagi orang Baduy, bila ada yang keluar, maka tidak ada sangsi bagi yang tidak lagi mengakui sebagai Sunda
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
147
Wiwitan. Karena aturan adat Baduy, tidak boleh mempunyai musuh. (Wawancara dengan Dainah). Terkait dengan kematian semua keluarga kumpul. Ada yang merawat khusus, seperti memandikan, mengkafani, dan di talqin. Setelah dikuburkan kemudian pada hari pertama, tiga hari dan 7 hari dilaksanakan do’a dirumahnya masing‐ masing, tidak ada ziarah kubur. Karena setelah 7 hari menurut orang Baduy bagi yang sudah meninggal sudah tidak ada lagi hubungannya dengan yang hidup. Perbedaan cara penguburannya bagi orang Baduy dengan menghadap kiblatnya arah selatan, sedangkan dalam Islam ke barat. Karena itu, yang membedakannya dengan Islam adalah keimanan dan ketaatan Sunda Wiwitan kepada Tuhan, terkandung di dalam makna simboliknya supaya senantiasa menjaga dan melestarikan hutan, sungai dan puncak gunung berada dalam ekosistemnya supaya memberikan kedamaian dan kesejahteraan pada umat manusia. Perkembangan dan Persebaran Penganutnya Suku Baduy dengan keyakinannya Slam Sunda Wiwitan, sejak dahulu sampai sekarang ini berkembang hanya diseputar wilayah desa Kanekes di Baduy luar dengan bertambahnya jumlah kampung dan susuhunan. Hanya komunitas Baduy dalam tidak ada perkembangan jumlah kampung, yang tetap berada pada tiga kampung yaitu Cibeo, Cikarwatana dan Cikeusik. Realisasi Sosial Suku Baduy dengan Masyarakat Lain Hubungan orang Baduy dengan orang luar Baduy, terjalin dengan baik. Terlebih lagi dalam menjalankan transaksi jual beli barang kebutuhan sehari‐hari, atau
148
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
melakukan kunjungan untuk bersilaturrahmi dengan orang di luar Baduy yang sudah mereka kenal saat ada kunjungan ke kampung Baduy dan meninggalkan alamat. Perihal Pencantuman SWWT pada KTP Masyarakat Suku Baduy yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, secara turun‐temurun memeluk Agama Slam Sunda Wiwitan, tanpa diusik oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah. Namun, kebebasan itu nampaknya tidak lantas membuat warga Baduy ini puas. Mereka pun menggugat agar agamanya diakui secara legal formal dan dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Saat ini pemerintah belum mengakui Sunda Wiwitan sebagai agama atau kepercayaan sebagian warga masyarakat Baduy Lebak, padahal kepercayaan ini sudah lama kami anut. (Wawancara dengan Kepala Pemerintahan Adat Baduy, Daenah, ). Menurut Donny, aliran‐aliran kepercayaan yang ada di Indonesia “bukan agama, karena sifatnya sudah masuk ranah hak pribadi seseorang. Maka dari itu, bagi mereka yang penghayat suatu paham kepercayaan tidak perlu mencantumkannya dalam kolom agama pada KTP. Penghayat kepercayaan dalam administrasi kependudukan diatur dalam Pasal 61 ayat 2 UU Nomor 23 tahun 2006. Dalam pasal itu disebutkan, keterangan mengenai kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan. Dulu aliran kepercayaan kami dicantumkan dalam KTP. Menurut Dainah kepada peneliti mengatakan, kebijakan siapapun kami terima, yang penting apa yang menjadi Dinamika Agama Lokal di Indonesia
149
keyakinan kami itu masuk dalam kolom agama pada KTP. Dulu ketika di tahun 1972, punya KTP dan tidak dipermasalahkan. Waktu diperdebatkan (zaman Bung Karno yang sering datang dan musyawarah dengan kolot) menanyakan maunya apa. Karena sebagai Slam Wiwitan dan dikhawatirkan dianggap merembet dengan teman‐teman yang lain, maka diarahkan ke Sunda Wiwitan saja. Tidak dimasalahkan karena kebijakan daerah. Tiba‐tiba tahun 2011, 2012 dipermasalahkan. Orang Baduy bukan untuk kepentingan orang luar, tetapi untuk Sunda Wiwitan, yang penting ada kebijakan bisa ditempelkan ke KTP. Selama ini dalam e‐KTP masih kosong. Ketika manual karena di buat di kecamatan ada tertulis Sunda Wiwitan. Sementara bagi orang Baduy dalam, ketika melaksana‐ kan pernikahan dicatat di desa dengan izin adat, ada saksi, wali, amil. Sedangkan untuk Akte kelahiran di buat rekomendasi dari kepala desa. Terkait dengan masalah KTP masyarakat Baduy meminta keadilan pada MK (Mahkamah Konstitusi) untuk pencantuman pada kolom agama e‐ KTP adalah agama Slam Sunda Wiwitan. Karena pada e‐KTP yang dimiliki warga Baduy, tidak ada tercetak pada kolom agama dengan Slam Sunda Wiwitan, tetapi masih kosong. Menurut seorang warga Baduy luar bahwa terkait dengan keinginan memiliki e‐KTP’ akhirnya tidak begitu penting, kecuali bagi mereka yang suka keluar. Kalaupun tidak memiliki e‐KTP, jika akan keluar, maka akan diberikan surat jalan sementara oleh Jaro Dainah.
150
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
PENUTUP Kesimpulan 1. Agama Slam Sunda Wiwitan tetap eksis karena mereka semua patuh kepada karuhun, dan adat yang tidak bisa berubah, sebaliknya kalau manusia dan alam bisa berubah. Wiwitan sebagai cikal bakal sampai kapanpun tidak bisa berubah. Sunda Wiwitan merupakan agama sinkretisme Islam dan Hindu yang dianut oleh masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Lebak Banten. Agama Slam Sunda Wiwitan tidak memiliki kitab suci, akan tetapi ajaran‐ajarannya terwujud dalam tapa, bekerja sehari‐hari di ladang. Pemahaman ajaran‐ajaran agama yang menjadi keyakinannya dipraktikkan di dalam interaksi umat dengan alamnya. Keimanannya kepada Allah hanya terlihat di dalam pengucapan kalimat syahadat, namun mereka melakukan praktik ritual keagamaan dengan berpedoman pada pikukuh, aturan adat, dan ketaatan kepada buyut, dan menghindari dari pantangan atau tabu yang tidak boleh dilanggar. 2. Perkembangan agama Slam Sunda Wiwitan tidak mengalami peningkatan yang signifikan terkait dengan penyebaran penganutnya, kecuali penambahan jumlah kampung yang sudah mencapai 59 kampung di Baduy luar dan tetap terdapat 3 kampung di Baduy dalam. Demikian pula dengan jumlah rumah (susuhunan) yang semula 60 susuhunan, kini sudah mencapai 98 susuhunan. Mengenai penyebaran penganut agama Slam Sunda Wiwitan, meskipun masyarakat Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat dan selalu memegang teguh adat kepercayaannya dengan konsep ajaran hidup “tanpa perubahan apapun”, Dinamika Agama Lokal di Indonesia
151
akan tetapi faktanya saat ini banyak Orang Baduy yang sudah mengalami perubahan. Di antara sekian banyak bentuk perubahan yang terjadi pada komunitas Baduy adalah perubahan dari sisi kepercayaan agamanya. Saat ini banyak warga Baduy yang sudah berpindah agama menjadi penganut agama Islam. 3. Hubungan sosial antara penganut agama Slam Sunda Wiwitan dengan masyarakat diluarnya cukup baik. Hal ini disebabkan perilaku santun dan jujur yang dimiliki oleh orang Baduy, yang taat dan kuatnya mereka dalam mematuhi adat kepercayaan akan pikukuh yang diajarkan kepada mereka untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari‐hari masyarakat Baduy. Sehingga dengan konsep ketentuan sebagai warisan pikukuh (kepatuhan) tersebut yang dijadikan panutan hidup orang Baduy sampai kini. 4. Terkait dengan pelayanan hak‐hak sipil dari penganut agama Slam Sunda Wiwitan, pencantuman agama pada e‐ KTP, bagi masyarakat komunitas penganut agama Slam Sunda Wiwitan, masih belum mendapatkan prioritas sebagaimana halnya 6 agama yang dilayani Negara, yang sampai saat ini masih diupayakan sampai ke MK (Mahkamah Konstitusi) untuk mendapatkan hak‐hak sipilnya sebagai warga Negara Indonesia. Memang sebelum adanya Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), sudah ada tercantum pada KTP yang ditandatangani oleh Camat setempat pada kolom agama dengan sebutan Slam Sunda Wiwitan (SWWT). Artinya atas kebijakan pemerintah daerah, pencantuman agama Slam Sunda Wiwitan ada pada KTPnya ketika itu.
152
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Rekomendasi Dengan adanya program Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) menjadikan komunitas Baduy tidak memperoleh haknya dalam pencantuman agama pada e‐KTP, maka Kementerian terkait sebaiknya mempertimbangkan kembali untuk memberikan pelayanan hak‐hak sipil mereka sebagai warga negara, disesuaikan dengan peraturan Perda.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
153
DAFTAR PUSTAKA Aziz, Abdul. H. Ketakwaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Sistem Sosial Budaya Masyarakat Baduy, Departemen Agama RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Penelitian Keagamaan, Jakarta, 1989/1990. Buku VIII Adimihardja, Kusnaka, Dinamika Budaya Lokal. Bandung. CV. Indra Prahasta dan Pusat Kajian LBPB, 2007. Djamas, Nurhayati & Azril Yahya, Penyunting, Proses Keagamaan Pada Masyarakat Pedesaan, Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta, 1993/1994. Garna, Judistira, Masyarakat Tradisional Banten dan Upaya Pelestarian Nilai‐Nilai Budaya. Makalah pada Seminar Kurnia, Asep, S.Pd. dan Dr. Ahmad Sihabuddin, M.Si., Saatnya Baduy Bicara. Jakarta Bumi Aksara, 2010.. Kesuma, Sobby, Arsyad, Fenomena Konversi Agama pada Komunitas Suku Baduy Banten, 12 September, 2012. Ria, Andayani, S, Dra. Komunitas Adat Baduy, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Bandung, 1998. Saidi, Anas (Ed.), Abdul Aziz dkk., Menekuk Agama, Membangun Tahta (Kebijakan Agama Orde Baru), Cet. 1, Penerbit Desantara, 2004. Sihabuddin, Ahmad, Persepsi Komunitas Adat Baduy Luar Terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Labak Provinsi Banten. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, 2009.
154
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Puncak‐Puncak Perkembangan Warisan Budaya Banten, dalam Forum Ilmiah Festival Banten 1994. Serang, 28‐29 Agustus 1994. http://www.beritasatu.com/berita‐utama/84563‐suku‐baduy‐ minta‐kepercayaan‐sunda‐wiwitan‐tercantum‐di‐ e‐ktp.html Jappy Pellokila: (http://www.jappy.8m.net/blank Robert Bogdan & Steven Taylor, Introduction to Qualitative Reserach Methode: A Phenomenological Approach to the Social Science, Alih Bahasa Arief Furchan, Surabaya, Usaha Nasional, 1992. Kesuma, Sobby, Arsyad, Fenomena Konversi Agama pada Komunitas Suku Baduy Banten, 2012. (makalah) Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999. (http://www.antaranews.com/berita/287527/sunda‐wiwitan‐ tak‐masuk‐ktp‐baduy‐ datangimk, diunduh 12‐12‐ 2011) Informan: 1. Dr. Ahmad Sihabuddin (Penulis Buku Saatnya Baduy Bicara) 2. Jaro Dainah, 23 April 2013. 3. Wewen (Kasi Bagian KTP dan Pendaftaran Kependudukan) 4. Wanto (Kasi Penerbitan Akte Kelahiran) 5. H. Sapin (Sekdes Kanekes) 6. Poim Hamzah (KUA Kecamatan Leuwidamar) 7. Ayah Mursyid (Baduy Dalam) 8. Ayah Karmain (Baduy Dalam) Dinamika Agama Lokal di Indonesia
155
156
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
AGAMA/KEPERCAYAAN ISLAM WETU TELU DI BAYAN LOMBOK UTARA (NTB) Oleh : Jajang Jahroni & Dadi Darmadi
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
157
GAMBARAN UMUM WILAYAH Demografis Bayan Bayan merupakan sebuah nama kawasan pesisir di Pulau Lombok yang memiliki sejarah panjang. Dalam administrasi pemerintahan moderen, selama puluhan tahun Bayan termasuk wilayah Lombok Barat. Pada tahun 2008, terjadi pemekaran wilayah, dan Bayan kini menjadi bagian dari Kabupaten Lombok Utara, NTB. Kecamatan Bayan tercatat memiliki luas wilayah 366,10 km2. Menurut sensus terakhir (2011) total jumlah penduduk di kecamatan Bayan adalah 48.135 orang. Seperti halnya masyarakat Pulau Lombok, mayoritas penduduk Bayan adalah suku Sasak. Meskipun demikian, sebagian masyarakat Bayan mereka mengaku lebih sebagai orang Bayan. Menurut sensus terakhir (2012) jumlah total penduduk kecamatan Bayan adalah 47,041 jiwa. Terdiri dari 14,470 KK dan tersebar di 9 desa. Dari aspek agama, penduduk Muslim berjumlah 45,382 orang, Protestan 8 orang, Hindu 326 orang dan Buddha 1,325 orang. Sejauh ini tidak ada data mutakhir berapa jumlah resmi penganut adat dan kepercayaan Wetu Telu di Bayan. Namun, sebuah sumber kami di Bayan menjelaskan bahwa mayoritas penduduk yang mengaku Muslim di Bayan adalah penganut Wetu Telu. Sumber lain memprediksikan bahwa Wetu Telu dianut oleh kurang lebih 95% penduduk Muslim Bayan. Itu berarti bahwa jumlah mereka lebih dari 40,000. Namun, perlu ditegaskan di sini bahwa ini hanyalah sekedar estimasi di lapangan, karena sesungguhnya pendataan seperti itu tidak mudah dilakukan. Apalagi hampir semua penduduk Bayan meskipun mereka
158
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
menganut paham Wetu Telu tapi mereka tetap mengaku Islam sebagai agamanya. Wilayah Bayan terbentang di sebelah utara Laut Jawa, berada di sebelah barat Selat Lombok dan Kabupaten Lombok Barat. Wilayah ini juga berbatasan dengan Lombok Barat di sebelah selatan dan Lombok Timur di sebelah timur. Sebagian wilayah Bayan adalah pantai, tetapi sebagian lain wilayahnya adalah pegunungan. Dengan posisi geografis yang seperti, maka Bayan dan Lombok Utara sangat strategis sebagai jalur perhubungan laut dan daerah tujuan wisata dan turisme. Ada sembilan desa di Bayan, yaitu: Sambik Elen, Loloan, Bayan, Senaru, Karang Bajo, Anyar, Sukadana, Akar‐ akar dan Mumbul Sari. Pusat perdagangan dan pemerintahan terdapat di sekitar desa Bayan dan Anyar. Di wilayah lain seperti Senaru terdapat sejumlah tempat rekreasi dan parawisata menarik, dan bahkan unggulan Pulau Lombok, seperti air terjun Sindang Gile, dan lokasi pendakian gunung (trekking) ke Gunung Rinjani, khususnya untuk melihat pemandangan Danau Sagara Anak yang popularitasnya sudah mendunia. Wisatawan mancanegara kerap berdatangan ke wilayah ini, seperti turis‐turis dari Eropa (Perancis, Jerman) dan Asia (Jepang). Sementara itu, masing‐masing desa memiliki rumah dan komunitas adat. Tapi, untuk acara ritual adat dan keagamaan, kerap dilaksanakan di sebuah mesjid yang disebut Mesjid Kuno atau Mesjid Bayan Beleq, yang berlokasi di pinggir jalan Labuan Lombok, Desa Bayan. Lambang Lombok Utara berbentuk kotak persegi empat, dengan ujung bawah lancip, seperti dasi. Lambang ini didominasi oleh warna hijau, dengan garis merah di atasnya. Slogannya adalah “tioq, tata, tunaq”, yang merupakan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
159
ilustrasi lain dari ajaran serba tiga dalam falsafah Wetu Telu, seperti yang akan dijelaskan kemudian. Pada saat kami melakukan penelitian ini dan berkunjung ke Bayan pada April 2013, Bupati Lombok Utara dijabat oleh Bapak H. Djohan Sjamsu, SH, dan Camat Bayan adalah Bapak Fahri, S.Pd. Kecamatan Bayan berada di ujung utara Pulau Lombok, dan kira‐kira berjarak 80 KM dari pusat ibukota propinsi. Untuk mencapainya dari arah Mataram atau Ampenan, maka harus melewati wilayah Lombok Barat dan beberapa kecamatan lain seperti Tanjung, Pemenang, Kayangan, dan Gangga. Tinjauan Literatur Bayan, dengan segala keunikan dan kekhasan adat istiadatnya, telah menarik minat para sarjana dan peneliti. Sejumlah studi dan penelitian mengenai masyarakat adat di Bayan telah dilakukan, salah satu yang paling awal dilakukan oleh sarjana Belanda pada pertengahan abad ke‐20 M. Van Baal, misalnya, meneliti upacara keagamaan di sana yang disebut ‘Pesta Alip’ (Baal, 1976). Pada April 2013 yang lalu kami berkunjung ke salah seorang tokoh adat Bayan, dan ia mengakui pernah bertemu dengan sarjana Belanda tersebut. Di kalangan sarjana di tanah air, pada awal tahun 1970‐a Moh. Koesnoe sudah mulai melakukan studi tentang kaitan antara hukum adat di Bali dan Lombok (Koesnoe, 1975). Pada tahun‐tahun ini pula, Sven Cederroth, seorang sarjana Swedia, tinggal di Bayan dan melakukan kajian antropologis tentang agama dan adat di sana. Dari studi‐studi ini, istilah Islam Wetu Telu sudah mulai digunakan untuk menjelaskan fenomena Islam yang bercampur baur dengan adat lokal. Meskipun demikian, hingga akhir tahun 1980‐an,
160
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
masih ada peneliti yang menggolongkan masyarakat Bayan sebagai “suku terasing” (Adonis, 1989). Belakangan, sejumlah kajian oleh sarjana Muslim mengenai Islam di Lombok juga berkembang, baik berupa penelitian pribadi, tesis maupun disertasi (Abd. Syakur 2005; Zuhdi, 2011; Yasin, 2010). Kajian Sven Cederroth terus berlanjut hingga tahun 2000‐an, dan hingga kini barangkali ia merupakan sarjana asing yang karyanya paling berpengaruh dalam kajian agama dan adat di Bayan dan Lombok. Karena dinamika sosial yang cukup hebat di kalangan masyarakat tradisional di Indonesia, khususnya sejak masuknya program pembangunan dan modernisasi tata kelola pemerintahan daerah, maka pada tahun 1990‐an mulai bermunculan kajian‐kajian dengan pendekatan yang lebih segar tentang agama dan adat di sana. Budiwanti, misalnya, meneliti tentang interaksi antara gerakan dakwah Islam dan masyarakat adat di Bayan. Ia menyebut Islam wetu telu sebagai agama tradisional, sementara Islam kebanyakan yang ortodoks, sebagai agama samawi (Budiwanti, 1997, 2000). Studi Budiwanti cukup berpengaruh karena ia berhasil menunjukkan garis tegas yang diametral antara wetu telu dan Islam ortodoks, yang disebutnya Islam wektu lima. Meskipun begitu, perlu dicari penjelasan lain, sejauhmana sebenarnya perbedaan diametral di antara keduanya itu, dengan mendengarkan kedua belah pihak. Ritual merupakan salah satu aspek terpenting di dalam masyarakat adat dan agama lokal di Indonesia. Begitu juga halnya dengan Islam di Lombok, sejumlah ritus keagamaan seperti perkawinan mendapat porsi yang cukup penting di dalam kajian mengenai Islam di wilayah ini (Bartholomew, 2001; Yasin 2010). Dinamika Agama Lokal di Indonesia
161
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kajian Islam di Lombok juga beragam, khususnya dengan meletusnya peristiwa kerusuhan di Mataram pada tahun 2001. Lombok mengalami banyak perubahan pada masa reformasi, ditandai dengan kemunculan berbagai kelompok sosial dan politik yang turut bermain di dalam politik lokal di Lombok (Antlöv, Cederroth, and Cederroth 2004; MacDougall 2008). Aspek kesenian lokal, khususnya seni musik di Lombok juga dikaji karena keterkaitannya dengan agama Islam, budaya Bali dan adat khas Lombok sendiri (D. D. Harnish, 2006; D. Harnish, 2011). Namun demikian, sejauh ini belum cukup banyak kajian yang memfokuskan diri kepada Islam dan dinamika agama lokal, bukan hanya terkait dengan Islam semata tetapi juga kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, sejumlah kasus merebak di tanah air karena sebagian masyarakat adat mengaku tidak mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara, khususnya terkait dengan sistem kepercayaan dan adat istiadatnya. Di sinilah arti pentingnya penelitian ini, di mana agama lokal dilihat sebagai suatu sistem kepercayaan yang dinamis. Terlebih dengan adanya Undang‐undang yang menjamin hak‐hak yuridis dan hak‐hak sipil setiap warga negara; di sini para pemeluk dan pengikut agama lokal seperti yang terdapat di Lombok didengar aspirasi dan permasalahan yang dihadapinya.
162
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
TEMUAN HASIL PENELITIAN Agama Lokal dan Eksistensinya di Bayan Pada prinsipnya, istilah Islam Wetu Telu datang dari luar, dan masyarakat adat penganut ajaran yang disebut Wetu Telu ini mengaku beragama Islam dan telah menganut ajaran ini selama ratusan tahun. Seperti dijelaskan, bahwa masyarakat Bayan memegang teguh sebuah tradisi, tapi hal itu tidak mereka anggap bertentangan dengan agama Islam yang dianutnya. Bagi mereka, Islam dan adat lokal itu tidak harus dipisahkan, dan bahkan menyatu dengan kehidupan mereka sehari‐hari. Hal itu nampak jelas dari temuan kami di lapangan setelah berdiskusi dengan para tokoh adat setempat di Bayan, Lombok Utara. Bagi masyarakat luar, bahkan bagi sebagian kaum Muslimin yang tinggal di Lombok, keteguhan masyarakat Islam di Bayan menjaga tradisi dan tunduk akan adat istiadat setempat menjadikan mereka seolah‐olah sebuah entitas agama tersendiri, yaitu Islam Wetu Telu. Beberapa kajian antropologis agama dan kebudayaan di Lombok juga mengisyaratkan adanya bentuk keagamaan khas yang disebut Islam Wetu Telu. Seperti halnya studi antropologis Geertz di Jawa, Cederroth mendeskripsikan adanya varian‐varian Islam di Lombok yakni Wetu Telu dan Waktu Lima (Cederroth, 1981, 1995). Bahkan, dalam sebuah studi yang menarik tentang kemunculan gerakan dakwah Islam di kalangan masyarakat Muslim Sasak, Islam Wetu Telu secara tegas dipertentangkan dengan Islam Waktu Lima (Budiwanti, 1997, 2000). Yang pertama merujuk kepada Islam lokal, sedangkan yang disebut terakhir merujuk kepada Islam mainstream yang dianut kebanyakan orang Islam pada umumnya, seperti di Mataram Dinamika Agama Lokal di Indonesia
163
ataupun kota‐kota lainnya di Jawa. Baik Cederroth dan Budiwanti melakukan penelitiannya di Bayan, Lombok Utara. Dalam penelitian ini kami banyak mendapat pelajaran dan temuan berharga dari hasil studi‐studi terdahulu. Akan tetapi, berbeda dengan sebagian dari temuan mereka, kami tidak bermaksud mempertentangkan di antara jenis‐jenis keberislaman yang ada di Bayan. Kami menemukan fakta di lapangan bahwa Islam mainstream sudah sedemikian berkembang di sana. Modernisasi lembaga‐lembaga pemerintahan, termasuk pengenalan organisasi dan birokrasi keagamaan, sudah terjadi sejak awal pemerintahan Orde Baru. Islamisasi dalam bentuk gerakan dakwah ormas Islam dan pendidikan Islam juga sudah masuk seperti yang ditemukan dalam studi‐studi Cederroth dan Budiwanti di atas, akan tetapi menurut hemat kami tidak selayaknya kedua bentuk keislaman itu dipertentangkan. Memang ada sejumlah perbedaan, namun tidak selamanya Islam dan Wetu Telu itu bertentangan. Dalam sejumlah kasus, seperti yang akan kami jelaskan, terdapat bentuk‐bentuk adaptasi dan inkulturasi budaya dari pertemuan keduanya. Hal itu tidak terlepas dari perubahan sosial yang lumayan cepat di Bayan, di mana faktor sosial, ekonomi dan politik banyak berperan di dalam menguhubungkan Bayan dengan dunia luar. Secara geografis, masyarakat Bayan tinggal di daerah pantai dan pedalaman Lombok. Sebagian penduduknya bekerja sebagai nelayan, dan sebagian lainnya bercocok tanam di sawah dan kebun. Karena letaknya tidak jauh dari pegunungan, dengan Gunung Rinjani sebagai dataran tertingginya, Bayan dan wilayah sekitarnya kawasan pertanian dan perkebunan yang lumayan subur. Di daerah Senaru, di lereng bukit Gunung Rinjani, selain bertani,
164
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
masyarakatnya mengembangkan usaha turisme pendakian gunung (trekking) di mana mereka bekerja sebagai porter, pemandu dan pedagang bagi turis‐turis lokal dan mancanegara. Di sepanjang perjalanan kami dari Mataram ke Bayan, sekitar 100 kilometer jauhnya, kehidupan sosial masyarakat Lombok nampak dinamis. Di antara wilayah Senggigi hingga Tanjung, pantai‐pantai biru nan indah terlihat dari balik gedung‐gedung hotel, restoran dan pertokoan dan tanah lapang yang luas. Inilah pusat wilayah turisme Lombok yang dulu, pada tahun 1990‐an pernah berjaya. Kini, meskipun industri turisme tetap berjalan, hingar bingarnya hanya terasa pada waktu‐waktu tertentu. Khususnya sejak “Peristiwa 171” pada tahun 2001 itu, perkembangan turisme tidak pernah lagi seramai dulu. Tentu hal itu berimbas kepada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Lombok. Meskipun di kelilingi hotel‐hotel berbintang, tidak jarang kami melihat mesjid di kanan‐kiri jalan. Bahkan di sebuah perbukitan, terdapat sebuah mesjid cukup besar. Untuk bisa masuk ke sana, orang harus melewati jalan setapak berputar ke atas, dan dari mesjid itu terhampar luas pemandangan laut Lombok yang biru. Hari itu kami melihat cukup banyak wisatawan dan peziarah lokal berkunjung ke sana. Konon, menurut seorang informan kami, pada musim ibadah haji mesjid itu ramai sekali dengan para peziarah lokal yang akan berangkat ke Mekah. Orang‐orang juga berziarah ke sana sekedar untuk mendapatkan berkah. Hal‐hal di atas memberikan gambaran bahwa, Islam di Lombok hidup cukup dinamis, dan meskipun industri turisme terus berkembang, kegiatan keagamaan seperti ziarah tetap berjalan. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
165
Di siang dan sore hari, suara azan atau pengajian dari kaset juga diperdengarkan. Sesekali ada sejumlah orang duduk di kursi atau berdiri di tengah jalan, dengan saring ikan di tangan mereka, bermaksud meminta sumbangan untuk pembangunan mesjid di wilayahnya. Di wilayah Malaka, kira‐kira satu setengah jam perjalanan menuju Bayan, sebuah panggung pertunjukan besar disiagakan. Spanduk sponsor yang cukup besar terpampang di pinggiran jalan. Spanduk sponsor yang terbesar berada tepat di atas panggung, yang berada tepat di bibir pantai; tampaknya kegiatan ini disponsori oleh sebuah bank lokal. Ternyata itu adalah kegiatan festival keagamaan dan kebudayaan tahunan: Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) untuk tingkat kecamatan. Semakin kami mendekat ke Bayan, suasana pantai perlahan seperti menghilang. Di beberapa tempat pemukiman tampak semakin padat. Rumah berasitektur Hindu Bali — dengan bangunan pura kecil yang khas di bagian depan — juga terlihat semakin sering dijumpai. Rumah‐rumah tersebut berjejer, berdempetan dengan rumah‐rumah biasa lainnya. Hal ini menandakan di wilayah‐wilayah ini komunitas orang Hindu juga lebih besar di banding wilayah lainnya, dan hubungan Muslim‐Hindu tampak sesuatu yang normal. Di wilayah Tanjung, suasana keagamaan semakin terasa. Mesjid nampak semakin kelihatan, besar dan kecil. Sebagian dari mesjid‐mesjid itu dibangun dengan kubah‐kubah besar. Kami mendapat kesan bahwa, jika dibandingkan dengan bangunan kubah sejenis di Jawa, terkadang kubahnya jauh lebih besar dari proporsi bangunan mesjid itu sendiri. Tapi, seperti pada umumnya di Pulau Lombok, bangunan rumah ibadah Muslim ini terlihat sederhana, sebagian di antaranya lebih tampak sebagai bangunan yang belum selesai sepenuhnya.
166
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Di desa Anyar, yang merupakan salah satu pintu masuk ke wilayah Bayan, kehidupan masyarakat adat masih belum begitu terlihat. Semuanya terlihat biasa, hampir sama dengan apa yang kami lihat dari sepanjang perjalanan kami dari Mataram. Kalaupun ada sedikit pengecualian, hal itu adalah suasana perkampungan semakin terasa. Di siang hari, kehidupan ekonomi masyarakat di Anyar tampak berjalan normal; sebagian mereka adalah petani, sebagian lain pedagang. Warung makan dan warung sayur‐mayur terletak di berbagai penjuru. Anak‐anak berseragam sekolah hilir mudik, sebagian ibu‐ibu dan kaum perempuannya menggunakan jilbab. Wujud nyata dari bagaimana adat dan tradisi masyarakat Bayan itu benar‐benar eksis baru kami jumpai ketika kami sampai di kompleks Mesjid Kuno di Bayan Beleq. Terletak di pinggir jalan yang besar, dikelilingi pohon‐pohon tua besar yang rimbun, Mesjid Kuno yang terbuat dari bebatuan, kayu dan anyaman bambu ini merupakan sebuah sanctuary, tempat yang dihormati. Inilah mesjid yang dianggap keramat oleh para pemangku adat dan para pengikutnya karena dianggap merupakan saksi dan bagian sejarah awal kedatangan Islam di Lombok. Dibangun pada abad ke‐16 M, bangunan mesjid ini masih tampak kuat dan kokoh. Sebagai pusat kegiatan ritual, Mesjid Kuno dikelilingi sejumlah kompleks makam. Makam ini bukanlah pekuburan biasa, karena hanya tokoh‐tokoh adat dan masyarakat yang terdahulu saja dimakamkan di sini. Makam‐makam itu terpisah satu sama lain, dan lebih nampak sebagai rumah bilik karena ditutupi atap bambu dan bebatuan sebagai fondasinya. Mesjid Kuno Bayan Beleq juga merupakan simbol Bayan yang utama. Di sinilah acara‐acara ritual keagamaan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
167
yang terpenting dilakukan. Khususnya dua kegiatan utama: Hari Raya Idul Fitri dan Maulid Nabi. Pada kedua acara besar ini, sejumlah pemangku adat, tiga tokoh agama, dan ratusan pengikut adat dari berbagai kampung di Bayan berkumpul. Terkadang ada juga tamu dan undangan hadir di acara tersebut. Mereka semua berpakaian adat khas Bayan. Masyarakat Bayan memiliki kalender dan sistem penanggalan tersendiri. Misalnya, dalam perayaan acara Hari Raya dilaksanakan pada hari ketiga setelah berakhirnya bulan puasa Ramadan. Seringkali hal ini mendatangkan kebingungan di sebagian kalangan. Penanggalan ini berbeda dengan kebanyakan warga Muslim lainnya di Lombok. Tapi penentuan jatuhnya awal Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri di daerah lainnya di Indonesia juga seringkali berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Menurut Raden Palasari, tokoh adat muda masyarakat Bayan, para leluhur mereka selalu mengikuti sistem penanggalan ini. Keputusan para tokoh adat dan agama di dalam penentuan jatuhnya Hari Raya diyakini absolut, karena, seperti kata Raden Palasari, meskipun kuno, sistem penanggalan mereka tidak mungkin keliru. Mempertahankan Agama dan Melanggengkan Adat Secara tidak langsung, sistem penanggalan yang khas ini menjadi semacam marking boundary‐batas pemisah antara masyarakat adat dan warga Muslim lainnya. Tapi sejauh tidak mengganggu, masyarakat adat tidak pernah memaksa komunitas lain untuk mengikutinya. Karena, misalnya, di wilayah lain, ada juga yang disebut Lebaran Ketupat. Lagi pula, seperti yang dijelaskan seorang informan kami, perayaan Hari Raya di Mesjid Kuno lebih sebagai adat,
168
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
bukan agama; ia lebih berfungsi sebagai peristiwa “budaya” ketimbang ritual “agama.” Kedua kata budaya dan agama di sini sengaja diberi tanda petik karena masing‐masing bisa melahirkan tafsiran yang berbeda‐beda. Lalu dari mana istilah Islam Wetu Telu muncul, dan lalu dianggap berbeda dengan Islam ortodoks? Memang terdapat sejumlah perbedaan. Misalnya, ada kepercayaan bahwa kewajiban melaksanakan ibadah puasa dan Hari Raya hanya dilakukan oleh kiyai yang jumlahnya hanya ada tiga. Kemudian Hari Raya dilaksanakan pada hari ketiga setelah berakhirnya bulan puasa. Oleh karena itu, banyak orang Bayan biasa (selain tokoh agama yang tiga) tidak menjalankan ritual puasa. Mereka juga tidak melaksanakan shalat Idul Fitri. Bahkan, konon ada anggapan stereotype sebagian kalangan di luar Bayan bahwa orang‐orang ini hanya mengenal tiga kali sembahyang dalam sehari (oleh karena itu mereka disebut Wektu Telu atau Wetu Telu). Menurut penjelasan informan kami, penganut adat Bayan tulen tidak mengerjakan shalat meskipun mereka mengaku Islam. Di sinilah letaknya perbedaan penafsiran itu. Menurut Raden Gedarip, salah seorang tokoh tertua adat dari kampung Karang Salah, Bayan, ia adalah penganut Islam dan para leluhurnya sudah menjadi Muslim sejak ratusan tahun yang lalu. Ia mengaku akan marah kalau disebut bukan‐Islam, apalagi anggapan itu muncul hanya karena ia mempertahan‐ kan adat istiadat. Di samping rumah Raden Gedarip dibangun sebuah brugah sekenem, ruang paviliun bertiang enam. Bangunan ini berfungsi banyak, di antaranya sebagai tempat tuan rumah menerima tamu. Pada waktu kami berkunjung dan salah satu dari kami memohon diri untuk sholat, ia dengan cekatan mengambilkan sejadah dan peci putih dari Dinamika Agama Lokal di Indonesia
169
dalam rumahnya. Ketika sebagian di antara kami mulai shalat, ia berlalu ke dalam rumahnya. Sejadah dan peci putih seperti tadi merupakan simbol penting dalam ritual Islam. Dan Raden Gedarip memiliki kedua simbol itu di rumahnya. Dipakai atau tidak, bukan persoalan penting di sini, karena penelitian kami ini bukan investigasi apakah seseorang shalat atau tidak. Lagi pula, kebaikan hati Raden Gedarip yang sudah mempersilahkan tamunya menjalankan kewajiban agamanya ketika itu juga merupakan sikap toleransi yang patut dihargai. Sebagai tokoh adat yang dituakan, Raden Gedarip sangat paham akan dunia dan nilai‐nilai adat istiadat Bayan. Tapi ia juga berkata bahwa ia sudah lama memimpikan bisa naik haji ke Mekah. Sekali lagi, ia menegaskan bahwa ia adalah bagian dari umat Islam di Lombok ini. Mengapa sampai sekarang belum berhaji jika memang merasa diri mampu? Ia menjelaskan ibadah haji perlu kesiapan yang luar biasa, dan ia merasa bingung karena daftar tunggu calon jemaah haji sangatlah lama. Bahkan, ketika niat itu sudah hendak dijalanka, istrinya yang sedianya mendaftar haji ternyata harus sabar menunggu antrian yang lebih lama. Pada saat tulisan ini dipersiapkan, calon jemaah haji di Lombok harus rela menunggu sekitar tujuh tahun untuk bisa berangkat ke Tanah Suci. Ketika Peristiwa “171” meletus, Raden Gedarip diberitahu bahwa ada sejumlah orang dengan berkendaraan truk datang ke Bayan. Mereka mencari orang‐orang Kristen. Dan menanyakan apakah di wilayah ini ada kegiatan kristenisasi. Ia berkata bahwa ia akan samoai mati mempertahankan keislamannya, akan tetapi ia tidak begitu setuju dengan cara‐cara kekerasan. Meskipun tidak melarang,
170
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Raden Gedarip tidak mau ikut serta di dalam gerakan seperti itu. Ia tahu bahwa gerakan‐gerakan keagamaan tertentu sarat dengan muatan politik, dan ia tidak mau masyarakat adat Bayan terperosok ke dalamnya. Alih‐alih menolak atau menerima secara langsung setiap gerakan keislaman yang datang dari luar, Raden Gedarip dan tokoh‐tokoh adat Bayan memilih setia kepada tradisi. Di samping dua acara adat besar seperti Hari Raya dan Maulid Nabi, mereka mengajak masyarakat mematuhi adat istiadat di dalam hal melaksanakan upacara perkawinan, kematian, meratakan gigi, dan lain‐lain. Terkadang, perayaan‐ perayaan itu memakan biaya besar. Dan semuanya itu dilakukan secara bersama‐sama, saling membantu. Sampai‐ sampai jika ada warga yang kesulitan, masyarakat adat lainnya siap membantu. Akan tetapi, jika ada yang melanggar adat, maka merekapun diwajibkan membayar denda. Demikianlah menjaga tradisi diberlakukan dengan penyelenggaraan ritual adat istiadat secara kontinyu dan konsekuen. Menurut Raden Palasari denda‐denda tersebut beragam macamnya. Ada denda berupa potong kerbau, ada denda berupa ex‐komunikasi seperti pengucilan atau pengusiran dari warga Bayan. Tidak seperti sapi, binatang kerbau seolah sengaja dijadikan denda karena binatang ini tidak banyak diternakkan di Lombok. Dengan demikian, benarlah kiranya seperti apa yang dijelaskan Cederroth bahwa acara ritual di Bayan memiliki banyak makna. Di antaranya sebagai peneguhan dan loyalitas masyarakat Bayan terhadap adat. Kemudian, dengan melaksanakan adat yang cenderung mahal dan tegas seperti itu, masyarakat Bayan seolah ingin memperlihatkan kepada pihak luar, termasuk di dalamnya Dinamika Agama Lokal di Indonesia
171
kaum Islam ortodoks yang salah paham atau tidak suka kepada mereka bahwa mereka bisa mandiri dan cukup bangga dengan tradisi leluhurnya. Di situlah terkadang masalah identitas sebagai orang Bayan dipertentangkan, dipertaruhkan. Pada perayaan Maulid Nabi, elemen adatpun sangatlah kental. Sementara para tokoh adat dan tokoh agama bersiap di Mesjid Kuno, puluhan anak muda dan dewasa berpakaian adat membawa hasil bumi dan persediaan makanan. Mereka bergiliran datang, sesuai dengan wilayah masing‐masing. Di Karang Bajo, kaum lelaki mereka membersihkan gamelan dan perangkat lainnya. Mereka membawa alat‐alat musik tradisional ini, melewati kampung mereka hingga mereka sampai di rumah adat, yang berlokasi tidak jauh dengan Mesjid Kuno. Seperti masyarakat adat lainnya, Bayan merupakan sebuah komunitas yang unik di mana agama dan adat berjalan berdampingan. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas Islam di Pulau Lombok, masyarakat Bayan memeluk Islam. Identitas keislaman ditunjukkan dengan berbagai simbol formal: mesjid, sekolah Islam dan pesantren, dan Kantor Urusan Agama (KUA). Sepanjang jalan dari Senggigi hingga Pemenang, mesjid‐mesjid berdiri kokoh dengan kubah yang cukup besar, meskipun sebagian di antaranya nampak belum selesai pembangunannya. Pendirian dan renovasi bangunan mesjid cukup menonjol yang ditandai dengan sejumlah kencleng sumbangan mesjid di jalan‐jalan. Tapi mesjid‐mesjid lainnya, dengan ukuran lebih kecil tapi berkubah besar, dengan konsep bangunan moderen, juga berderet di sepanjang jalan antara Tanjung, Gangga hingga Bayan. Ketika waktunya, suara azan bergema di mana‐mana;
172
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
bahkan, suara kaset pengajian dan pembacaan tilawah al‐ Qur’an oleh Qari‐qari terkenal diperdengarkan di mesjid‐ mesjid sebelum shalat. Namun, di Bayan adat tetap memainkan peranan yang sangat penting. Seorang pemuda Bayan, yang bekerja sebagai pemandu wisata gunung Rinjani di Senaru mengatakan bahwa, “saya ini bersuami‐istri dengan Bayan.” Meskipun dianggap masyarakat adat tertua, Bayan sendiri tidak selalu dianggap yang paling utama di masyarakat Sasak. Bahkan, sejumlah kalangan menganggap masyarakat adat lain seperti ... Tapen dan ... sebagai komunitas yang lebih “asli” menjaga tradisi wetu telu. Hal ini disebabkan letak geografis Bayan yang berada di antara pemukiman besar dan dan secara langsung terhubung dengan jalur transportasi Lombok Utara‐ Lombok Barat dan Lombok Timur. Jalan utama perdagangan dan turisme dari Mataram, Senggigi ke Gunung Rinjani memang melewati Bayan. Itulah yang menyebabkan seorang peneliti lokal di Lombok mengatakan bahwa Bayan— meskipun masih memegang kuat tradisi, tapi ia sudah “terkontaminasi.” Terkontaminasi dari apa? Bayan sudah nyata‐nyata dipengaruhi oleh faktor luar: Islam mainstream, kultur ekonomi perkotaan dan, tentu saja, industri turisme yang sangat besar potensinya di Pulau Lombok. Di Senaru, Bayan, jalan sepanjang tiga hingga lima kilometer dipenuhi dengan restoran, cafe dan penginapan etnik yang cukup moderen. Beberapa kilometer menjelang lokasi TRC (tempat bermula para pendaki gunung) di lembah Gunung Rinjani, berada sebuah terminal bus besar dan sejumlah cafe dan warung‐warung kecil menjajakan makanan dan minuman bagi para pendaki, turis lokal dan asing yang ingin berkunjung ke lokasi Air Terjun Sindang Gile. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
173
Relasi Sosial di Bayan Islam Bayan memiliki ciri yang berbeda dengan Islam pada umumnya (mainstream). Perbedaan ini terlihat pada sistem ajaran dan praktik ritual (adat dan tradisi) yang senantiasa diamalkan oleh para pengikutnya yang mendiami beberapa kecamatan di Lombok Utara dan Lombok Timur. Bayan adalah nama sebuah dusun yang ada di Kecamatan Bayan, yang merupakan cikal bakal masyarakat Bayan. Dalam tulisan ini Bayan merujuk pada model keislaman yang berkembang di masyarakat Bayan yang memiliki karakteristik yang khas. Sekarang ini masyarakat Bayan tersebar di dua kecamatan Bayan dan Sembalun. Islam Bayan sering disebut Islam Wetu Telu. Penyebutan ini sebenarnya dibuat oleh orang luar dan sering menimbulkan salah paham. Orang Bayan sendiri tidak pernah menggunakan sebutan tersebut. Mereka menyebut diri mereka Islam atau Muslim tanpa embel‐embel apa pun. Salah paham yang paling umum yang ada di masyarakat luar Bayan adalah anggapan bahwa Islam Bayan hanya melaksanakan tiga salat. Wetu Telu sering dipahami Waktu Telu (Waktu Tiga) yang kemudian dipertentangkan dengan Waktu Lima. Karena dianggap hanya melaksanakan salat tiga waktu, Islam Bayan lalu dianggap heterodoks. Penyebutan ini jelas keliru dan menimbulkan banyak persoalan baik pada masa lalu maupun masa kini. Banyak konflik terjadi yang timbul dari penyebutan ini yang berakibat pada lahirnya relasi sosial‐politik antara masyarakat Bayan dengan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan wawancara dengan tokoh‐tokoh Bayan, penggunaan istilah ini berkonotasi perojudais dan menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan dalam. Tanpa menampik filosofi Wetu Telu yang ada dalam
174
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
seluruh ajaran dan adat istiadat mereka, penganut Islam Bayan menyatakan bahwa mereka sudah menganut Islam dan menjadi Muslim jauh sebelum masyarakat Lombok lainnya memeluk Islam. Pernyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat Bayan tidak ingin dilihat kecuali sebagai muslim yang tidak berbeda dengan muslim‐muslim lainnya. Ini penting diperhatikan dan seyogyanya menjadi titik tolak dalam melihat Islam Bayan sebagai sebuah fenomena sosial‐budaya, bukan agama. Nama Bayan sendiri, menurut mereka, diambil dari al‐Qur’an dan menjadi tempat pertama yang menerima Islam di Lombok, Masjid Bayan yang terletak di desa Bayan Beleq sekarang ini adalah masjid tertua di Lombok. Menurut cerita, orang Bayan menerima Islam langsung dari penyebar Islam di Jawa ketika orang Lombok lainnya masih beragama animisme. Berdasarkan hal ini, menurut mereka, sangat tidak adil kalau keislaman mereka dinilai berbeda, kurang, apalagi bertentangan dengan Islam pada umumnya. Bahwa mereka memiliki dan melaksanakan tradisi tertentu tidak harus dipandang sebagai bertentangan dengan Islam pada umumnya. Data‐data yang tersedia mengenai Bayan sejauh ini banyak membahas filosofi, adat istiadat dan ritual. Ada juga yang membahas konflik dan integrasi masyarakat Bayan dengan masyarakat sekitarnya. Tulisan ini berupaya menyajikan secara singkat adat dan tradisi Bayan dan implikasinya pada hak‐hak sipil warga. Untuk mengetahuinya, kami mengawali dengan mengunjungi Masjid Bayan yang cukup terkenal tersebut dan menjadi simbol Islam Bayan. Sewaktu mengunjungi Masjid Bayan, penulis sebenarnya tertarik untuk mengetahui keberislaman Dinamika Agama Lokal di Indonesia
175
masyarakat Bayan dewasa ini, semacam indeks yang memuat data pelaksanaan ritual keislaman. Namun sayang tidak ada data mengenai hal ini. Raden Palasari sang juru kunci lebih banyak bercerita peran masjid pada masa lalu dan adat istiadat Bayan dan hubungannya dengan struktur sosial masyarakat Bayan. Menurut hemat penulis, masjid tersebut tidak bisa dijadikan simbol kesalehan orang Bayan dalam pengertian yang ortodoks: mengerjakan solat lima waktu, puasa, zakat, mengaji, dan seterusnya. Ini dikarenakan masjid tersebut tidak menjalankan fungsinya sebagai tempat peribadatan kecuali pada saat‐saat tertentu saja. Pertanyaannya kemudian, kalau masjid tersebut sudah tidak lagi digunakan untuk keperluan ibadah, di mana masyarakat Bayan melakukan hal tersebut? Pertanyaan yang lebih spesifik, apakah Islam ortodoks sudah memfosil di Bayan seperti termaksud dalam istilah Islam Wetu Telu? Apakah orang Bayan tidak mendirikan masjid baru untuk melaksanakan solat, ibadah jum’at dan sebagainya? Perlu diketahui bahwa Masjid Bayan terletak di seberang jalan utama desa, yang melintas dari barat ke timur. Bangunan yang berdinding bambu, beratap ijuk, dan berfondasi batu‐batuan tersebut dikelilingi oleh pohon‐pohon besar, beberapa makam tua yang diduga penyiar Islam di Bayan. Di bagian utara terdapat pemakaman umum. Sebelah timur berbatasan dengan sawah dan hutan adat terhampar luas. Menurut juru kunci, masjid ini sudah mengalami renovasi berkali‐kali. Di sana‐sini terdapat sisa‐sisa bambu dan kayu yang berserakan. Masyarakat, katanya, tidak berani menggunakannya karena itu melanggar ketentuan adat. Penduduk membuat pemukiman di beberapa dusun.
176
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Pemukian yang berada di seberang jalan masjid diperkirakan yang pertama kali dibangun. Ada beberapa rumah adat di sana yang masih berfungsi untuk melaksanakan ritual. Selain itu rumah adat sekarang sering digunakan untuk keperluan wisata. Kalau Masjid Bayan merupakan bangunan yang paling tua, maka pemukiman sekitar masjid bisa diduga yang paling awal dibangun. Begitu teori yang ada dalam arsitektur Islam: bila ada masjid, berarti di tempat tersebut ada masyarakat Muslim, dan bila ada masyarakat, biasanya terdapat struktur politik‐kekuasaan, kerajaan, kedatuan, chiefdom, dan semacamnya. Dalam teori arsitektur kota‐kota di Nusantara, disebutkan bahwa bila ada masjid, biasanya ada keraton, alun‐ alun, pasar, dan penjara. Ini ciri umum kota‐kota tua di Jawa. Di Bayan hanya terdapat masjid yaitu Masjid Bayan. Mana keraton dan alun‐alunnya? Penjara dan pasarnya? Apakah pola ini hanya berlaku di Jawa saja? Atas pertanyaan ini, Raden Palasari hanya bisa mengatakan bahwa mungkin dulu ada kerajaan di sini. Karena itu keturunannya, termasuk ia sendiri, menggunakan kata raden untuk laki‐laki, dan dende untuk perempuan, sebuah gelar yang hanya digunakan oleh kalangan ningrat. Namun, katanya, ini hanya asumsi saja yang harus dibuktikan. Diperkirakan di Bayan terdapat ratusan kepala keluarga. Pemukiman lainnya terdapat di Karang Bajo, Senaru, Anyar, Loloan dan Sembalun. Semuanya menganut tradisi Islam Bayan. Masyarakat Bayan tersebar di sebelah utara Gunung Rinjani, mulai dari Anyar di sebelah Barat sampai Sembalun di sebelah Timur. Masjid Bayan sudah lama tidak dipakai untuk salat, hanya dibuka pada waktu Hari Raya dan perayaan maulid. Ia Dinamika Agama Lokal di Indonesia
177
sudah menjadi monumen sejarah, bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan. Maka kami beranggapan melihat tingkat kesalehan orang Bayan lewat masjid ini menjadi sia‐sia belaka. Di seberang masjid terdapat warung. Kami pun beristirahat di sana, makan‐minum dan berbincang dengan pemilik warung yang merupakan warga Bayan asli. Dari gaya bicaranya, perempuan tersebut tidak banyak beda dengan perempuan lainnya yang ada di Lombok. Satu hal yang menghubungkannya dengan tradisi dan adat Bayan adalah alat tenun tradisional yang teronggok di samping rumahnya. Ia menenun kain‐kain tradisional Lombok yang kemudian dijual di kedainya. Di situ terpajang berbagai hasil tenun Lombok. Kami khawatir ia melihat kami sebagai turis, bukan peneliti, sehingga bersikukuh menawarkan dagangannya. Memang tenun Bayan memiliki kekhasan tersendiri. Pilihan warnanya khas, berbeda dengan kain‐kain lainnya. Ia menerangkan fungsi kain‐kain tersebut dalam ritual Bayan. Kami beristirahat di kedai tersebut sampai waktu asar. Ketika kami pamit, setelah membeli beberapa potong kainnya, perempuan tersebut menyarankan agar kami menemui Raden Gedarip. Kami pun lalu menuju rumah Raden Gedarip yang terletak tidak jauh dari warung itu. Ia menerima kami di bruga‐nya yang terletak di samping rumah, mengenakan t‐ shirt dan bersarung. Maka obrolan pun dimulai. Ada peristiwa menarik terjadi sore itu. Ketika waktu magrib datang, azan berkumandang dari beberapa masjid dan musola yang ada di Bayan. Ketika kami bermaksud melaksanakan salat maghrib, dengan sigap tuan rumah mengambil sajadah dan peci. Mereka pun menunjukkan tempat berwudhu. Kami lalu berpikir bahwa salat bukanlah
178
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
sesuatu yang asing bagi mereka meskipun mereka tidak ikut salat bersama kami. Mungkin mereka salat di dalam bersama keluarganya. Mungkin juga tidak salat. Sementara kami salat di bruga, bangungan terbuat dari kayu beratap rumbia yang terletak di samping rumah. Setelah salat, pembicaraan dilanjutkan kembali. Raden Gedarip, seorang pemangku dan tokoh masyarakat Bayan, bercerita kembali kisahnya di Eropa, diundang oleh Sven Cederroth, antropolog Swedia yang pada 1980‐an melakukan penelitian etnografi di Bayan. Usianya di atas tujuh puluh. Ia pun bercerita tentang politik dan perubahan sosial yang terjadi di Bayan sejak ia muda. Ia adalah saksi hidup yang bisa banyak bercerita tentang banyak hal di Bayan, mulai dari yang paling menyenangkan sampai yang paling memilukan. Ketika muda, ia mengagumi Sukarno. Ia pun masuk PNI. Namun ketika zaman Sukarno berakhir, dan Suharto dengan Orde Barunya masuk ke Bayan dan membangun sekolah, ia pun masuk Golkar. Ia pun bercerita tentang anak‐anaknya yang sekarang sudah mengambil alih peran dan tanggungjawabnya sebagai pemangku adat. Pengetahuannya dan pengalamannya luar biasa luas. Di sela pembicaraannya kami selalu bertanya tentang fungsi adat dan agama dalam kehidupan sosial masyarakat dan bagaimana hubungan keduanya. Ini penting karena dari sini kami bisa mengetahui hak‐hak sipil masyarakat Bayan. Dari pembicaraannya ada dugaan adat dan agama tidak pernah terlibat konflik secara serius di Bayan. Di Loloan, lima kilometer dari Bayan, masalah ini terjawab lebih gamblang. Seorang pemimpin adat dan tokoh masyarakat Bayan justru melaksanakan haji beberapa tahun yang lalu. Bagi kami ini sebuah kejutan yang membuktikan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
179
asumsi kami tentang relasi adat dan agama di Bayan benar adanya. Tidak hanya itu ia pun kemudian aktif di Nahdhatul Watan, ormas Islam yang banyak bergerak di bidang pendidikan. Ketika ditanya alasannya, ia mengaku bahwa dari kecil ia sebenarnya ingin melaksanakan haji. Ia pun ingin belajar agama. Namun kesibukannya sebagai kepala desa memaksanya untuk menunda niat tersebut. Niat itu baru terlaksana setelah ia tidak lagi menjabat lurah. Tidak hanya itu. Ia pun menjalin hubungan dengan tokoh agama. Pergaulannya dengan Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid, ulama kharismatik dan pendiri NW dari Lombok Timur dapat melukiskan betapa ia hanyalah Muslim biasa yang mengharap mendapat berkah ketika sang ulama salat dan berdoa di rumahnya. Pada waktu jum’at, orang yang bernama Haji Amir tersebut, yang nama asilnya Itrawati, pergi ke masjid yang terletak tidak jauh dari rumahnya dan duduk di barisan depan. Ia kenakan semua atribut kehajian dan keislamannya: memakai sorban, peci putih, baju koko dan kain sarung. Ia pun mendengarkan khutbah dengan khidmat. Kami melihatnya sebagai muslim yang tidak berbeda dengan muslim‐muslim lainnya. Kami tidak menyadari bahwa kami bersolat jum’at di Loloan, sebuah tempat yang konon Islamnya sinkretik, berbeda dengan Islam yang ada di masyarakat. Setelah jum’atan, Haji Amir bercerita bahwa ia tengah memugar masjid. Ia sendiri ketua panitianya. Sebenarnya ia menyarankan yang lebih muda saja untuk ambil alih tugas ini. Namun tidak ada yang bersedia. Ketika sekelompok orang menyarankan agar ia menerima dana dari yayasan, yang ternyata diketahui ada embel‐embel di belakangnya, ia menolak tegas. Pembicaraan menjadi semakin menarik ketika
180
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
ia menyebut agen Wahabi berada di balik pembangunan masjid yang akhir‐akhir ini marak di Lombok. Ia menyarankan masyarakat agar lebih sabar dalam membangun masjid. Lebih baik bermasjid jelek, namun milik sendiri, daripada bermasjid bagus, namun dikendalikan orang lain. Itu prinsipnya. Prinsip ini pula yang ia gunakan dalam melayani masyarakat. Ia menjadi lurah selama lebih kurang 30 tahun. Selama itu ia membangun Loloan yang tampak lebih ramai dari Bayan. Meski sudah tidak aktif, Haji Amir adalah pemangku adat. Pada dirinya terlihat harmoni adat dan agama. Baginya tidak perlu dipertentangkan antara adat dan agama. Justru keduanya saling melengkap. Untuk memimpin ritual, katanya, ia mengenakan kain dodot khas Bayan, memakai baju putih, dan ikat. Pakaian itu, katanya lagi, tidak perlu dipertentangkan dengan pakaian yang dikenakan waktu melaksanakan Jum’at. Yang penting menutup aurat. Ia tekankan betul bahwa pakaian apa pun yang dikenakan harus memenuhi prinsip‐prinsip kesopanan umum, menutup aurat, karena di situlah letak fungsinya. Dari gaya bicaranya Haji Amir adalah sosok yang kritis. Ia, misalnya, mempertanyakan gelar raden untuk pria dan dende untuk perempuan yang dipakai masyarakat Bayan. Setahunya gelar kebangsawanan hanya digunakan oleh raja dan para bangsawan. Pertanyaannya, lalu, apakah Bayan pernah memiliki kerajaan? Memang sejauh ini sulit dibuktikan ada kerajaan di Bayan. Paling tidak belum ada bukti arkeologis yang mengarah ke situ. Dengan alasan ini, Haji Amir tidak pernah menggunakan gelar apa pun di depan namanya, juga untuk anak keturunannya. Mungkin, alasan ini pula yang mendorongnya untuk menjalin hubungan dengan masyarakat Lombok yang lebih Dinamika Agama Lokal di Indonesia
181
luas termasuk ormas Islam Nahdhatul Watan. Di depan rumahnya terpampang plang NW yang mana ia menjadi ketuanya. Alasannya masuk NW adalah karena ormas ini sesuai dengan pemikiran dan imajinasinya sebagai anak Bayan yang tidak bisa lepas dari tradisi leluhurnya. NW, menurutnya, sangat moderat, dapat menerima perbedaan‐perbedaan yang ada di masyarakat. Kembali ke pertanyaan utama diskusi kita, apakah pada sosok Haji Amir ini masih layak disematkan istilah Islam Wetu Telu? Kepada siapa, kapan dan dimana istilah Wetu Telu bisa dipertanggungjawabkan? Apakah keislaman Haji Amir masih perlu disangsikan? Apakah Islam‐nya dipandang berbeda dengan Islam lainnya yang dianut oleh, katakanlah, masyarakat Kediri, sebuah kecamatan di sebelah barat Mataram yang terkenal dengan pesantrennya dan tuan gurunya? Mari kita diskusi lebih lanjut. Sosok Haji Amir menunjukkan bahwa Islam Bayan mengalami transformasi. Pemahaman warga mengenai bagaimana Islam dan adat dipraktikkan dan dilestarikan terus berubah sesuai waktu dan tempat. Pada tingkat masyarakat dan individu terjadi hal serupa. Transformasi ini terjadi tidak saja karena ada upaya modernisasi yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, namun—ini lebih penting—karena Islam Bayan dan komunitasnya merasa mereka merupakan bagian integral dari Islam itu sendiri. Ini yang kemudian membuat orang seperti Itrawati—nama asli Haji Amir—pergi haji dan aktif di NW. Karena itu tidak beralasan bila ada sebutan bahwa orang Bayan memiliki agama sendiri, sebuah istilah yang ditolak mentah‐mental oleh Haji Amir, Raden Gedarip, maupun orang Bayan lainnya.
182
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Transformasi Islam Bayan dapat ditemukan secara lebih gamblang pada sosok Raden Nyakranom, anak Bayan asli namun pernah menyantri di sebuah pesantren di Jawa Timur dan sekarang aktif menjadi pendakwah. Ia adalah anak seorang pemangku adat yang kemudian memutuskan untuk menggarap lahannya yang terletak di Anyar, tidak jauh dari Bayan Beleq, tempat di mana Masjid Kuno Bayan yang terkenal terletak. Setelah lulus SD, Nyakranom menyantri di PP Nurul Bayan yang terletak persis di depan rumahnya. Lulus dari situ, ia pergi ke Jawa dan menyantri di Nganjuk. Dapat tiga tahun, ia balik ke Bayan dan menggeluti banyak pekerjaan: penyuluh KUA, penceramah, dan salah satu pengurus MUI. Pekerjaannya tak jauh dari berdakwah: memberikan pengajian, khutbah jum’at, mengajar. Untuk menyokong dapurnya, ia dan istrinya yang berasal dari Tanjung membuka warung menjajakan berbagai makanan dan minuman. Sesekali Nyakranom harus bulak balik ke pasar mengisi persediaan warung yang menipis. Namun setelah itu ia kembali bertugas mengajar. Raden Nyakranom adalah sosok penghubung masyarakat Bayan dengan pemerintah, atau sebaliknya. Kalau pada sosok Raden Gedarip dan Haji Amir, kita melihat kesinambungan adat dan agama, pada diri Nyakranom kita melihat kesinambungan antara adat, agama, dan negara. Mereka merupakan lembaga masyarakat yang senantias saling mengisi dan melengkapi. Meski masih muda pengetahuan Nyakranom tentang adat istiadat Bayan tidak perlu diragukan lagi. Justru ia adalah tokoh muda Bayan yang sering dijadikan tempat bertanya. Hubungannya dengan kelompok tua seperti pemangku adat sangat baik. Mereka pun menaruh hormat padanya. Dalam Dinamika Agama Lokal di Indonesia
183
satu kesempatan, Raden Gedarip mempersilakan Nyakranom untuk menempati tanah yang memang menjadi hak keluarganya bila ia bermaksud kembali ke Bayan. Pertanyaannya kemudian, apakah Nyakranom merupakan gambaran anak muda Bayan secara keseluruhan? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita telusuri secara singkat proses transformasi nilai kepada generasi muda di Bayan. Sejauh ini, adat istiadat dan ritual merupakan sumber nilai yang penting di Bayan yang diwariskan kepada generasi muda lewat perayaan atau upacara tertentu. Maka kemudian generasi muda menjadi sadar akan identitas dan budayanya. Di samping itu pewarisan nilai juga terjadi di sekolah, madrasah, dan masjid. Pada umumnya anak‐anak Bayan bersekolah di sekolah umum yang ada di Bayan dan sekitarnya. Sebagian belajar di madrasah dan pesantren. Mereka yang belajar di dua lembaga terakhir tentu akan mendapat pengetahuan tentang Islam secara lebih memadai yang kemudian mempengaruhi cara pandang mereka terhadap adat istiadat Bayan. Islamisasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu akan mempengaruhi pola pikir masyarakat Bayan terhadap budaya dan tradisinya. Banyaknya lembaga pendidikan Islam mulai dari tingkat dasar sampai atas di sekitar Bayan membuat masyarakat Bayan semakin mengenal Islam. Sebelum masuk SD anak masuk PAUD, TK, TPA, dan sejenisnya di mana di dalamnya agama diperkenalkan sejak dini. Kalau proses ini terus terjadi, lahirnya generasi seperti Nyakranom hanya menunggu waktu saja. Haji Amir dan Raden Nyakranom jelas merupakan sosok menarik yang menunjukkan bahwa Islam Bayan mengalami transformasi. Adat dan tradisi yang diperpegangi
184
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
masyarakat Bayat bukan entitas yang statis apalagi jumud dan anti modernitas. Berdasarkan pengamatan ini, hubungan Islam dan adat atau tradisi Bayan bersifat ko‐eksistensial, bukan oposisional. Fakta ini juga membuktikan tesis Islam Wetu Telu versus Waktu Lima tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau paling tidak perlu direvisi. Hak‐hak Yuridis dan Hak‐hak Sipil Ajaran dan praktik Islam Bayan memang berbeda dengan Islam yang dianut masyarakat Lombok pada umumnya. Mereka punya tradisi sendiri dalam pernikahan, kematian, pengolahan lahan, penanganan lingkungan, muludan, dan banyak lagi. Berdasarkan pengamatan, praktik mereka memang sangat dipengaruhi oleh filosofi animisme, Hindu‐Budha. Namun, pada sisi lain, pengaruh Islam pun jelas sekali dan tampak di sana‐sini. Ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan. Bagaimana kita memahami perbedaan ini? Apakah perbedaan ini menunjukkan Islam Bayan merupakan satu varian Islam yang berkembang di tengah masyarakat? Apakah Islam Bayan bisa berdialog dengan, dan selanjutnya, menjadi bagian dari, Islam kebanyakan? Kalau memang Islam Bayan merupakan sesuatu yang berbeda, apa dampak sosial‐politik yang bias dirasakan atau dialami pemeluknya? Bagaimana para pengikutnya mendapatkan hak‐haknya sebagai warga negara? Ini adalah rangkai pertanyaan yang diajukan oleh banyak peneliti Islam baik dari dalam maupun luar negeri. Tentu masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Namun untuk keperluan tulisan ini, kita fokuskan saja perhatian pada dua pertanyaan terakhir menyangkut relasi‐sosial sebagai akibat perbedaan yang ada dan hak‐hak sipil masyarakat Dinamika Agama Lokal di Indonesia
185
Bayan. Ini penting untuk membuktikan bahwa tesis yang selama ini berkembang bahwa Islam Bayan identik dengan Islam Wetu Telu, dan karenanya akan selalu berada dalam hubungan yang diametral dengan Islam Waktu Lima. Sudah sejak lama Bayan menjadi objek kajian para peneliti. Begitu uniknya Islam Bayan ini sehingga ia menarik minat antropolog sejak beberapa dasawarsa terakhir. Tulisan ini hendak menelusuri sejauh mana perbedaan keagamaan dan kepercayaan berimplikasi pada pemenuhan hak‐hak sipil warga Bayan. Apakah negara selama ini telah memberikan hak‐hak mereka? Atau malah sebaliknya ada semacam diskriminasi? Bagaimana masyarakat Bayan mendapatkan hak‐ hak sipil mereka di bidang pendidikan, perkawinan, sosial‐ budaya? Lalu terakhir, bagaimana kecenderungan yang ada di tengah masyarakat? Apakah masyarakat Bayan berupaya untuk mengidentifikasi sebagai masyarakat Muslim yang “berbeda” dengan masyarakat Muslim lainnya? Secara teori demokrasi memberi ruang bagi para pemeluk agama, baik besar maupun kecil, untuk menunjukkan jatidirinya, identitasnya, budayanya, dan sebagainya. Dan ini dimungkinkan atas nama kebebasan. Dulu pada masa rejim otoriter, kebebasan ini nyaris tidak mungkin. Ini disebabkan sistem politik yang tidak memberi ruang yang memadai untuk adanya sebuah keragaman. Negara cenderung menyederhana‐ kan, mengabaikan, bahkan tidak mengakui perbedaan‐ perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Ini semua dilakukan atas nama ketertiban atau keamanan sosial. Akan tetapi ketika ruang kebebasan mulai terbuka, maka setiap pemeluk agama memiliki kesempatan yang memadai untuk mengungkapkan identitas yang selama ini disembunyikannya. Dan, karena pengungkapan ini dijamin
186
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
oleh undang‐undang, maka pemenuhan hak‐hak sipil, yang ditimbulkan dari sistem ajaran dan kepercayaannya, menjadi mendesak dan niscaya. Persoalannya kemudian proses pengungkapan ini seringkali bersinggungan dengan kepentingan kelompok lain. Kelompok mayoritas sering memonopoli tafsir atas ruang publik, bagaimana seharusnya ruang publik ditata dan dikelola. Akibatnya kelompok minoritas sering diabaikan, ditinggalkan, dan tidak dilibatkan dalam proses negosiasi. Maka tidak mengherankan bila kemudian kita mendengar di mana‐mana terjadi ketegangan, gesekan, bahkan persekusi terhadap kelompok minoritas. Kelompok minoritas di sini bisa sebagai kelompok agama, budaya, etnis, dan lain sebagainya. Celakanya adalah, seringkali pejabat pemerintah turut berperan dalam pengekangan ini, bekerja sama dengan ormas‐ormas tertentu yang ada di masyarakat, sehingga membuat persoalan semakin rumit. Hak menjalankan agama dan kepercayaan setiap warga negara dijamin dalam undang‐undang. Dalam negara sekuler, negara tidak mengurusi masalah‐masalah agama. Namun Indonesia sejak awal menegaskan hal ini. Negara terlibat dalam pengurusan hak‐hak sipil warga yang sebagiannya berkaitan dengan, atau dipengaruhi oleh, agama dan kepercayaannya. Pertanyaannya adalah, dan ini yang kemudian menjadi persoalan dewasa ini, apa itu agama dan apa itu kepercayaan. Pertanyaan ini jelas tidak mudah untuk dijawab. Diperlukan pemahaman dan kesepakatan bersama antara pemerintah sebagai pelaksana undang‐undang dan masyarakat yang mengklaim memiliki agama tertentu. Agama sering didefinisikan sebagai manifestasi atau ekspresi keyakinan atau kepercayaan manusia atau masyarakat Dinamika Agama Lokal di Indonesia
187
atas hubungannya dengan sesuatu yang supranatural yang dipercaya memiliki kekuatan yang maha dahsyat atas kehidupan mereka. Dengan definisi ini kita bisa menangkap berbagai ajaran dan praktik yang ada di masyarakat yang bisa dianggap agama. Dengan definisi ini pula kita pada akhirnya dapat menyimpulkan bahwa fenomena agama dapat ditemukan dalam setiap kelompok masyarakat, setiap tradisi dan budaya, karena ia merupakan bagian yang tak terpisahkan darinya. Dengan kata lain, agama yang dianut dan dipraktikkan oleh masyarakat Nusantara jumlahnya banyak sekali, mungkin ratusan. Bahwa kemudian agama mengalami kemunduran atau bahkan hilang ditelan modernisasi, atau umatnya memutuskan memeluk agama yang mapan, merupakan persoalan lain yang tidak bisa mereduksi keunikan dan keragamannya. Pada awalnya negara hanya mengakui lima agama saja yang ada di Indonesia: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Ini jelas bias negara modern yang tidak mau dipusingkan dengan berbagai keragaman agama yang ada di tengan masyarakat. Sejak masa kemerdekaan, terlebih pada masa Orde Baru, negara berupaya untuk mengadministrasi agama ke dalam birokrasi negara. Tujuannya memang untuk membantu kaum beragama agar terjamin hak‐hak sipilnya. Namun dengan definisi yang top‐down, pada sisi lain negara juga memaksa bahkan menggilas agama‐agama lokal agar sesuai dan masuk dalam bingkai kebijakan dan perundang‐ undangan yang ada. Di sini persoalannya, agama‐agama lokal yang tergilas modernisasi tersebut ternyata hanya mengalami mati suri. Mereka bangkit kembali dewasa ini dan menuntut pemerintah agar menjamin hak‐hak mereka sebagai warga negara.
188
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Sejak reformasi, Kong Hu Chu dilayani sebagai agama. Ini artinya negara harus menjamin hak‐hak mereka. Dulu agama ini, karena berbagai alasan politis, tidak dilayani. Akibatnya terjadi pindah agama pada penganut agama ini ke agama‐agama yang dilayani. Sekarang mereka dilayani dan dijamin hak‐haknya. Namun rupanya hal ini mendorong agama‐agama lokal untuk minta dilayani. Dewasa ini ditengarai sejumlah agama dan kepercayaan secara agresif menuntut dilayani, dan konsekuensi logisnya, diberikan hak‐ haknya. Dengan menggunakan argumen hak asasi, mereka menuntut penyejajaran dengan agama‐agama mapan lainnya. Namun masalahnya sejauh ini negara tidak memiliki informasi yang memadai mengenai mereka. Siapa mereka, di mana saja, berapa jumlahnya, dan seterusnya. Dalam konteks inilah sebenarnya tulisan sederhana tentang Bayan ini dibuat. Ini adalah upaya pemetaan sederhana Islam Bayan sebagai varian Islam yang ada di Pulau Lombok dan hubungannya dengan pemenuhan hak‐hak sipil warga. Sebelum membahas masalah ini secara lebih mendalam, terlebih dahulu akan dibahas adat istiadat dan praktik ritual yang ada di Bayan. Islam Wetu Telu atau Islam Bayan memiliki kepercayaan yang kuat terhadap adat. Adat berasal dari berbagai tradisi: animisme, Hindu‐Budha, Islam yang masuk ke dalam sistem ajaran agama pada waktu penyebaran Islam berlangsung di Bayan. Akibatnya adalah Islam dan adat menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Adat dilestarikan lewat lembaga yang ada di masyarakat dan ditangani oleh pemangku adat. Ada struktur yang hirarkis yang mengatur pembagian wewenang (otoritas) di kalangan pemangku adat dan jajarannya ke bawah menyangkut semua masalah yang Dinamika Agama Lokal di Indonesia
189
ada di masyarakat. Perayaan ritual menjadi realisasi dari pembagian wewenang ini sekaligus meneguhkan identitas kolektif masyarakat Bayan. Pada masa kemudian, setelah terjadi Islamisasi secara lebih intensif, agama diurus oleh tuan guru atau kyai. Dalam sejarah Bayan, adat dan agama sebenarnya diurus oleh orang atau lembaga yang sama dan satu, karena adat dan agama pada awalnya adalah satu. Adat berfungsi sebagai sistem nilai yang menjadi rujukan masyarakat. Masyarakat yang melanggar ketentuan adat mendapat sanksi atau hukuman yang telah ditentukan oleh adat. Nilai ini diyakini dapat mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat karena dianggap bersumber dari sesuatu yang supranatural dan sakral. Dalam konteks Bayan, agama dan adat berasal dari, dan diyakini sebagai, sumber yang sama, yang hanya karena fungsinya saja kemudian keduanya dibedakan. Pada praktiknya adat dan agama dapat dilihat dalam berbagai ritus peralihan (kelahiran, perkawinan, dan kematian). Semua ada adatnya dan semua memiliki nilai agamawi di dalamnya. Demikianlah lebih kurang awal mula terciptanya adat di Bayan. Pada waktu kemudian adat dipahami sebagai sesuatu yang suci dan karenanya harus dijaga kelangsungan‐ nya. Adat yang seharusnya terus berubah sesuai dengan waktu dan ruang, karena berkaitan dengan kehidupan manusia, terjebak pada, atau ditangkap dalam, bentuk‐bentuk tertentu dan selanjutnya dipahami oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak berubah, statis. Inilah yang membuat adat Bayan terlihat unik dengan berbagai pantangan dan anjurannya agar sistem ini bekerja secara baik di tengah gempuran modernisasi. Di sinilah masalahnya, adat itu sendiri diyakini dan dilestarikan agar orang tidak kehilangan jatidirinya, identitas‐
190
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
nya, dan budayanya. Modernisasi yang mengasumsikan adanya perubahan yang terus menerus menawarkan sesuatu yang mengerikan ketika orang pada akhirnya lepas dari identitas asalnya dan kehilangan budayanya. Jadi, di sini ada dua pilihan yang sama‐sama sulit, bertahan dengan adat istiadat yang berpotensi terjebak dalam kejumudan, atau terus menerus berubah yang berpotensi tersesat atau larut dalam perubahan. Bagi masyarakat Bayan, perubahan yang terus menggerus haruslah disikapi dengan arif agar dampak negatifnya dapat dihindari. Dengan kata lain, adat sebenarnya tidak anti‐perubahan, hanya perubahan harus dilakukan secara seksama, perlahan agar nilai‐nilai yang diwariskan dari leluhur dapat terus dipertahankan. Bila kita melihat struktur adat Bayan secara lebih mendalam, tampak bahwa masyarakat sebenarnya mengupayakan terciptanya sebuah lembaga atau institusi yang dapat melindungi keberadaan dan kepentingan mereka. Dalam masyarakat tradisional, lembaga itu ada di dalam masyarakat itu sendiri. Hukum‐hukum sosial berupaya untuk menciptakan tertib sosial, keamanan, dan seterusnya. Dalam masyarakat modern, tugas dan tanggung jawab ini diambilalih oleh lembaga yang disebut negara. Maka mempertentangkan hukum adat dan hukum negara secara teori adalah absurd dan sama sekali tidak relevan. Justru negara adalah lembaga yang dinanti‐nanti oleh masyarakat. Inilah yang ditemukan di lapangan bahwa masyarakat Bayan tidak memiliki niat sedikit pun untuk menentang hukum negara. Ketentuan adat diatur berdampingan, melengkapi ketentuan hukum negara. Contoh, adat Bayan banyak mengatur tentang bagaimana caranya mengelola lingkungan: tanah, air, hutan, sawah, kebuh, pemukiman, pekuburan, dan lain‐lain. Di Bayan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
191
ada beberapa hutan yang diklaim oleh masyarakat Bayan sebagai hutan adat. Hutan adat artinya hutan yang dikelola oleh adat, ada berbagai aturan mengenai penggunaannya. Orang yang melanggarnya, misalnya menebang pohonnya dan menggunakannya untuk keperluan pribadi, akan dikenakan sanksi yang berat, berupa denda dengan nilai tertentu. Konsep hutan adat Bayan sebenarnya mirip dengan konsep hutan titipan (titipan dari nenek moyang) atau hutan tutupan (hutan lindung) yang ada pada masyarakat adat Sunda di Sukabumi. Di balik berbagai pamali, dan di balik peraturan‐peraturan itu, sebenarnya ada upaya untuk memelihara lingkungan secara bijak agar manfaatnya tetap lestari. Maka ritual bumi dan sejenisnya adalah upaya kolektif untuk menjaga hubungan yang seimbang antara mikrokosmos dan makrokosmos. Tanpa pemahaman ini adat dan segala peraturan yang berkaitan dengannya, akan menjadi absurd. Dengan kata lain adat sebenarnya diciptakan untuk menciptakan tatanan dunia yang ideal. Berikut akan dijelaskan secara singkat apa itu Wetu Telu dan implementasinya dalam adat Bayan. Adat Bayan tercermin pada filosofi wetu telu (wetu artinya keluar atau lahir, dan telu artinya tiga). Bilangan tiga ini kemudian selalu diulang‐ulang dalam melihat dan memahami realitas. Menurut kosmologi Bayan, makhluk hidup terbagi tiga: 1) yang lahir seperti manusia atau hewan; 2) yang bertelur seperti ayam dan bebek; 3) yang tumbuh seperti tumbuh‐tumbuhan. Demikian juga waktu: masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Alam juga terbagi tiga: alam rahim, alam dunia, dan alam akhirat. Kepercayaan pada yang serba tiga ini berasal dari tradisi animisme dan Hindu‐Budha yang masuk ke dalam
192
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
struktur adat. Dalam hubungan ini, maka kemudian keliru pendapat yang menyatakan Wetu Telu bermakna Waktu Tiga (mengerjakan tiga waktu salat), yang kemudian dipertentangan dengan Waktu Lima. Bahwa banyak terjadi konflik antara masyarakat Bayan dengan lainnya tidaklah harus berhubungan dengan doktrin filosofis ini. Banyak konflik ditengarai berhubungan urusan politik dan kekuasaan. Namun anggapan itu tidak mudah untuk dihilangkan. Penekanan yang berlebihan pada pelaksanaan adat telah menimbulkan kesan pada kalangan luar bahwa masyarakat Bayan tidak mengindahkan ketentuan agama (syari’at), mereka lebih mementingkan adatnya. Sementara itu bagi orang Bayan, pelaksanaan adat adalah bagian dari pengamalan agama itu sendiri. Ini karena agama dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kalangan luar, baik masyarakat maupun pemerintah, selanjutnya berupaya untuk melakukan Islamisasi secara lebih intensif bagi masyarakat Bayan. Pada tahap ini, intensifikasi gerakan pada satu sisi memicu dan mempercepat kristalisasi dan mobilisasi identitas Bayan pada sisi lain, paling tidak bagi sebagian kalangan, bahwa adat Bayan memang berbeda dengan agama. Langkah ini tercermin dalam berbagai peristiwa di mana di dalamnya identitas atau adat ditegaskan kembali sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Islam, budaya luar, atau penetrasi negara. Pernikahan seringkali menjadi ajang tarik menarik antara adat dan agama di satu pihak, masyarakat dan negara di pihak lain. Ini terjadi karena adatpun mengatur masalah pernikahan. Ada berbagai tahapan yang harus dilalui sebelum pasangan menikah. Ketika negara mengharuskan adanya pencatatan nikah di KUA (Kantor Urusan Agama), maka Dinamika Agama Lokal di Indonesia
193
benturan antara negara dan adat tidak terhindarkan lagi. Namun bagaimana mengatasi masalah ini? Masyarakat Bayan memiliki cara yang cukup bijak yang pada dasarnya berakhir pada pengakuan keberadaan negara dan adat (win‐win solution). Menurut informasi petugas KUA, pada umumnya masyarakat Bayan enggan mencatatkan pernikahannya di KUA. Mereka lebih sering pergi ke pemangku adat untuk urusan ini. Hanya baru akhir‐akhir ini saja timbul kesadaran di kalangan warga untuk mencatatkan pernikahannya di KUA. Yang menarik adalah, meskipun mereka mencatatkan pernikahannya, tidak berarti mereka tidak melakukan pernikahan adat. Pernikahan adat tetap dilakukan dan biasanya dilakukan setelah pernikahan resmi di KUA . Dengan kata lain terjadi dua kali pernikahan di sini: pernikahan negara dan pernikahan adat. Kenyataan ini penting untuk membuktikan pengakuan mereka atas negara dan adat. Untuk melaksanakan pernikahan ini ada pembagian peran antara ayah atau kakek dan paman. Kalau di KUA orang tua (ayah atau kakek) berperan sebagai wali, sedang dalam pernikahan adat, wewenang diberikan kepada paman. Dengan demikian baik negara maupun adat tetap menjalankan tugas dan wewenangnya di tengah masyarakat. Pengakuan pada dua lembaga ini (negara dan adat) merupakan prinsip umum di Bayan. Di satu sisi masyarakat Bayan ingin mempertahankan adat istiadatnya yang diwariskan dari para leluhurnya. Di sisi lain, masyarakat Bayanpun berupaya menjadi masyarakat modern, menjadi bagian masyarakat Indonesia. Atas dasar ini pula, ketika seorang ditanya identitas mana yang lebih utama antara Islam, Indonesia, dan Bayan, Raden Gedarip menyebutkan semuanya
194
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
utama dan penting. Dengan kerangka ini, masyarakat Bayan tetap mendapatkan hak‐hak sipilnya sebagai masyarakat adat. Dalam kasus pernikahan seperti yang dipaparkan di atas tampaknya tidak ada masalah yang berpotensi mengurangi atau mengancam hak‐hak sipil masyarakat Bayan. Masyarat Bayan tetap mendapatkan kebebasannya untuk mempraktikkan budayanya. Ini karena ternyata mereka melakukan negosiasi untuk mendamaikan institusi adat dan negara. Negosiasi ini terlihat pada pelaksanaan dua tatacara perkawinan menurut hukum negara dan menurut hukum adat. Di sini terlihat hubungan negara dan adat bersifat ko‐ eksistensial dan saling melengkapi. Fenomena seperti ini sebenarnya umum ditemukan di masyarakat lainnya seperti Jawa, Sunda, Melayu dan sebagainya di mana, di samping pernikahan dilakukan menurut hukum negara, juga dilakukan menurut ketentuan adat. Model negosiasi yang umum adalah adanya upaya untuk tidak membenturkan ranah adat dan ranah negara. Pertama, keduanya diakui sebagai institusi yang keberadaannya diharapkan dapat mengayomi dan melindungi kepentingan mereka. Kedua, pengakuan ini berimplikasi pada pembagian peran antara pemangku adat dan petugas negara. Pembagian peran antara ayah/kakek yang menjadi wali dalam pernikahan negara dan pamah dalam pernikahan adat merupakan bukti kongkrit adanya distribusi wewenang dan tanggung jawab antara dua institusi ini. Dalam hal Dalam kasus merarik (kawin lari) yang banyak terjadi di Bayan, upaya untuk membagi peran antara pemangku adat dan aparatur negara juga tampak sekali. Ketika seorang gadis dilarikan oleh pacarnya hingga melewati batas waktu tertentu maka merarik ditegakkan. Pada tahap ini adat berperan. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
195
Kepala dusun si laki‐laki mendatangi kepala dusun si perempuan dan menerangkan ada “sapi” tersesat di kampungnya. Lalu terjadilah negosiasi antara keluarga si laki‐ laki dan si perempuan untuk menentukan besarnya uang yang harus diserahkan oleh pihak laki‐laki dan tatacara pernikahan yang akan dilangsungkan, dan sebagainya. Setelah negosiasi berhasil dilakukan, pernikahan dilakukan sesuai dengan ketentuan adat. Prosesi ini pada akhirnya berakhir pada pengakuan akan lembaga negara berupa berupa pencatatan nikah di KUA. Jadi, dalam konteks ini pun, tidak ada pertentangan antara adat dan negara sehingga tidak ada hak‐ hak sipil warga yang terancam pemenuhannya. Sejauh menyangkut masyarakat Bayan, paling tidak pada kasus menikah, tidak ada hak sipil warga yang terlanggar apalagi terancam. Yang terjadi adalah negosiasi agar hukum negara dan hukum adat dapat dilaksanakan dengan baik. Pada tahap ini, paling tidak bagi orang luar, ada kesan prosesnya sangat lambat, menimbulkan kesan seolah‐olah masyarat Bayan tidak mau tunduk kepada hukum negara, tidak mau berubah, dan seterusnya. Kesan ini jelas tidak berdasar. Justru di sini permasalahannya modernisasi yang dilakukan tanpa mempertimbangkan nilai‐nilai yang berkembang di tingkat lokal, dan penetrasi negara yang berlebihan dapat mengancam hak‐hak sipil warga. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan bidang‐bidang lain seperti pendidikan, kewargaan, dan administrasi kependudukan lainnya?
196
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
PENUTUP Kesimpulan 1. Islam Wetu Telu atau Islam Bayan sebagai adat dan kepercayaan hingga kini keberadaannya masih tetap eksis; ia mampu bertahan di tengah gempuran perubahan sosial yang cepat, faktor utamanya didorong oleh perkembangan birokrasi pemerintah, pendidikan, dakwah Islam dan industri turisme Pulau Lombok. Proses sosial di Bayan berlangsung cukup dinamis, dan hal itu lebih menunjukkan integrasi yang berjalan cukup baik antara adat, agama dan hukum negara. 2. Pada umumnya anak‐anak Bayan bersekolah di sekolah umum yang ada di sekitar Bayan. Di sekolah mereka menerima pelajaran agama Islam dan buku pelajaran serta kurikulumnya disediakan oleh pemerintah. Sejauh ini menyangkut pendidikan, tidak ada tuntutan bahwa pendidikan agama Islam yang diajarkan di sekolah‐sekolah Bayan harus sesuai dengan Islam yang berkembang di Bayan. Mereka menerima pelajaran Islam seperti yang tertulis di buku‐buku pelajaran, sebuah tafsir Islam yang sesuai dengan keyakinan mayoritas Muslim. 3. Masalah administrasi kependudukan, masyarakat Bayan dalam KTP, kolom agama dituliskan Islam. Ini merupakan bukti bahwa mereka beragama Islam,dan ini pula yang membedakan mereka dengan kelompok‐kelompok lainnya seperti Sunda Wiwitan atau penganut kebatinan atau kepercayaan yang mengosongkan kolom agama dalam kartu identitas mereka. Dengan kata lain, orang Bayan mengidentifikasi diri mereka sebagai Islam atau Muslim dalam administrasi kependudukan mereka (KTP, ijazah, Dinamika Agama Lokal di Indonesia
197
akta lahir, surat nikah, paspor, dll). 4. Pada umumnya masyarakat Bayan enggan mencatatkan pernikahannya di KUA. Mereka lebih sering pergi ke pemangku adat untuk urusan ini. Hanya saja baru akhir‐ akhir ini timbul kesadaran di kalangan warga Bayan untuk mencatatkan pernikahannya di KUA. Yang menarik adalah, meskipun mereka mencatatkan pernikahannya di KUA, tidak berarti mereka tidak melakukan pernikahan adat. Pernikahan adat tetap dilakukan dan biasanya dilakukan setelah pernikahan resmi di KUA. 5. Sebagai makhluk sosial para penganut Islam Wetu Telu juga percaya akan tiga aspek sosial di dalam masyarakat, yaitu adat, agama dan negara. Hal itu tercermin dalam perilaku keseharian masyarakatnya yang cenderung terbuka dan menerima hubungan sosial dan interaksi dengan masyarakat sekitar. Pemerintah mendapatkan cukup apresiasi ketika ia terlibat di dalam pembangunan infrastruktur dan pelestarian simbol‐simbol adat setempat seperti pemugaran dan renovasi komplek Mesjid Kuno Bayan. Rekomendasi 1. Pihak pemerintah perlu memberikan perhatian kepada masyarakat Bayan (Islam Wetu Telu) dalam hal pendidikan agama, walaupun selama ini tidak ada masalah, mereka menerima semua kurikulum yang sudah diatur pemerintah. 2. Pihak pemerintah untuk dapat meningkatkan pemberian dukungan pembangunan dan memfasilitasi perbaikan infrastruktur bukan saja untuk kepentingan pemerintah
198
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
pusat tetapi juga pemerintah daerah dan, terlebih lagi, masyarakat adat. 3. Pihak pemerintah perlu melakukan komunikasi sosial dan politik yang sehat dengan masyarakat adat sehingga program‐program pemerintah baik pusat maupun daerah dapat berjalan tanpa mencampuri apalagi mengganggu keberlangsungan hidup dan ketersebaran ajaran dan adat istiadat masyarakat Bayan. 4. Pihak pemerintah untuk terus menjaga hubungan baik dengan masyarakat Bayan, hal tersebut dapat menciptakan stabilitas politik dan menjamin keamanan warga adat Bayan. 5. Pihak pemerintah diharapkan terus berupaya memfasilitasi pembangunan daerah dalam bidang sosial, ekonomi dan pendidikan dengan memberikan peluang yang cukup bagi warganya untuk menunjukkan keunikan, determinasi percaya diri dan kemampuan terbaik di dalam membangun daerahnya. Termasuk di dalamnya menjaga kelestarian adat dan budayanya, menghormati hak‐hak sipil dan hak‐hak yuridisnya sebagai warga Negara.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
199
DAFTAR PUSTAKA Abd. Syakur, Ahmad. Islam Wa‐Tatawwuruh Bi‐Jazira Lombok. Al‐Jami’ah 43 (No. 2), 2005.. Adonis, F. X. Tito, Suku Terasing Sasak di Bayan, Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaa, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai‐Nilai Budaya, 1989. Antlöv, Hans, Sven Cederroth, and Sven Cederroth, Traditional Power and Party Politics in North Lombok, 1965‐99.”, in Elections in Indonesia: The New Order and Beyond. Routledge, 2004. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar‐akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. 1st Edition. Bandung: Mizan, 1994. Azra, Azyumardi, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay‐Indonesian and Middle Eastern “Ulamā” in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: Crows Nest, NSW, Australia: Asian Studies Association of Australia in association with Allen & Unwin; Honolulu: University of Hawai’i Press, 2004. Baal, Jan van, Pesta Alip di Bayan, Jakarta: Bhratara, 1976. Bartholomew, John Ryan, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 2000.
200
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Budiwanti, Erni, Religion of the Sasak: An Ethnographic Study of the Impact of Islamisation on the Wetu Telu of Lombok, Ph.D Thesis, Clayton, VIC, Australia: Monash University, 1997. Cederroth, Sven, A Sacred Cloth Religion?: Ceremonies of the Big Feast Among the Wetu Telu Sasak (Lombok, Indonesia). NIAS Press, 1995. Cederroth, Sven, The Spell of the Ancestors and the Power of Mekkah: A Sasak Community on Lombok, Acta Universitatis Gothoburgensis, 1981. Dahlan, Fahrurrozi, Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Dakwah Islamiyah Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli di Pulau Lombok, Ciputat: Sentra Media, 2006. Harnish, David, ʺTensions between Adat (Sustom) and Agama (Religion) in the Music of Lombok.” in Divine Inspirations: Music and Islam in Indonesia, edited by David D. Harnish and Anne Rasmussen. Oxford and New York: Oxford University Press, 2011. Harnish, David D., Bridges to the Ancestors: Music, Myth, And Cultural Politics at an Indonesian Festival, Honolulu, Hawai’i: University of Hawaii Press, 2006. Koesnoe, Mohammad, Penelitian Hukum Adat di Bali dan Lombok, 1971‐1973: Laporan Pokok, Surabaya: Universitas Airlangga, 1975. MacDougall, John M., “The Political Dimensions of Emasculation: Fantasy, Conspiracy, and Estrangement aminf Populist Leaders in Post‐New Order Lombok, Indonesia.” in Postcolonial disorders, edited by Mary‐Jo DelCecchio Good, Sandra Teresa Hyde, Sarah Pinto, and Byron Good. Berkeley Dinamika Agama Lokal di Indonesia
201
and Los Angeles, CA: University of California Press, 2008. Yasin, Akhmad Masruri, “Islam, Tradisi dan Modernitas dalam Perkawinan Masyarakat Sasak Wetu Telu (Studi Komunitas Wetu Telu Di Bayan),” M.A. Thesis, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010. Zuhdi, Muhammad Harfin, Lombok Mirah Sasak Adi: Sejarah Sosial, Islam, Budaya, Politik & Ekonomi Lombok, Pisangan, Ciputat: Imsak Press, 2011.
202
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
AGAMA/KEPERCAYAAN ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN DI KECAMATAN CIPARAY KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT Oleh : Suhanah
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
203
GAMBARAN UMUM WILAYAH Geografis dan Demografis Pusat penganut Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) terletak di Desa Paku Tandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung Jawa Barat. Luas wilayahnya mencapai 377,5 km, luas daratan 226,5 km, dan perbukitan 151 km. Tanahnya subur dan banyak ditanami pepohonan yang hijau. Desa ini berbatasan sebelah utara dengan Kota Ciparay, sebelah selatan dengan Desa Sagara Cipta, sebelah barat dengan Desa Gunung Leutik Jeiheulawi, dan sebelah timur dengan Desa Manggung.(Profil Desa Paku Tandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung). Desa Paku Tandang adalah desa yang cukup ramai. Waktu tempuh ke desa tersebut dari ibukota kecamatan Ciparay hanya 5‐6 menit. Dari kota Bandung berjarak 29 km atau sekitar 2 jam. Masyarakat Desa Paku Tandang bermata pencaharian sebagai petani persawahan dan sebagai peternak ikan kolam, itik, domba, dan sebagai buruh tani serta buruh ternak. Sebagaian lagi ada yang menjadi PNS dan pedagang. Jumlah penduduk yang ada di desa Paku Tandang sebanyak 17.051 orang dengan perincian penduduk laki‐laki 8.653 orang dan 8.398 orang. Namun penduduk dilihat dari segi agama adalah Islam 8.386 orang laki‐laki dan perempuan 8.169 orang; Kristen 67 orang laki‐laki dan perempuan 39 orang; Katolik laki‐laki 7 orang dan perempuan 9 orang; selebihnya adalah penganut Aliran Kebatinan Perjalanan berjumlah 374 orang dengan rincian 193 orang laki‐laki dan 181 orang perempuan. (Laporan tahunan Desa Paku Tandang, 2012). Mata Pencaharian penduduk yang ada di desa Paku Tandang adalah: 1) sebagai petani berjumlah 249 orang; 2) 431
204
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
orang; 3) PNS 758 orang; 4) pengrajin industri rumah tangga 27 orang; 5) peternak 92 orang; 6) montir 41 orang; 7) perawat 10 orang ; 8) pembantu rumah tangga 72 orang; 9) TNI/POLRI 57 orang; 10) Pensiunan 237 orang; 11) pengacara 22 orang; 12) Notaris 1 orang; 13) dukun kampung 1 orang ; 14) dosen di Perguruan Tinggi Swasta 7 orang; 15) Pengusaha 21 orang; 16) Seniman 71 orang; 17) karyawan swasta 5024 orang; 18) Karyawan perusahaan pemerintah 44 orang. Tingkat pendikan penduduk Desa Paku Tandang adalah: Tk 987 orang, Tamat SD 2.314 orang, Tamat SMP 2.247 orang, Tamat SMA 2.175 orang, Tamat D1 73 orang, Tamat D2 21 orang Tamat D3 82 orang , Tamat S1 128 orang, Tamat S2 16 orang dan Tamat S3 5 orang.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
205
TEMUAN HASIL PENELITIAN Sekilas Tentang Aliran Kebatinan Perjalanan Istilah kebatinan, berasal dari kata Batin artinya soal “dalam”, soal kesunyataan, soal kebenaran, dan soal hakikat. Batin sebagai permasalahan dalam karena tidak dapat dilihat dengan mata kepala, tidak dapat diraba dengan pancaindera, oleh karena sifatnya ghaib. Selain itu hakikat batin adalah hidupnya Tuhan Yang Maha Esa, yang tumerap pada umatnya, seperti: Otak dengan elingnya atau ingatannya; Kuping dengan pendengarannya; Mata dengan penglihatan‐ nya; Hidung dengan penciumannya; Tangan dengan merabahnya; Kaki dengan langkahnya; Hati dengan pikirnya; dan syaraf dengan rasanya. Hal‐hal semua itu, setiap umat dapat menerima sebagai kesaksian mutlak tentang segala keadaan dan rasanya, baik yang ada di luar maupun yang ada di dalam dirinya sendiri. (Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, 1981 : 71). Dalam kehidupan kebatinan, perjalanan tidak mengenal adanya guru dan murid. Yang ada adalah sifat kekeluargaan dimana setiap manusia sama derajatnya, tidak ada perbedaandan mereka tidak memandang kedudukan sosial antara semua warganya, baik petani, buruh, atau PNS sekalipun. Jadi pada prinsipnya setiap manusia derajatnya sama. Tradisi/Budaya tradisional (Upacara Daur Hidup) Dalam masyarakat Sunda khususnya masyarakat yang ada di Desa Paku Tandang Kecamatan Ciparay, dalam menjalankan kehidupan, selalu melakukan upacara daur hidup, seperti:
206
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
1. Upacara Selamatan 7 bulan kandungan (hamil): a) Ibu yang hamil dimandikan dengan air serta kembang 7 rupa, yang berarti setiap manusia hidup dilengkapi dengan: gerak langkah, kemauan, pengetahuan, hidup, dengar, lihat dan ucap yang harus wangi semerbak perikehidupannya. b) Daun Jati, bahwa gerak langkah, kemauan dan sebagainya itu berasal dari Hyang Jati (Zat Illahi ) yang disebut Penguasa Gusti. c) Telur ayam akan menetaskan ayam, telur bebek akan menetaskan bebek. Maka apabila sudah mengetahui adanya Penguasa Gusti yang ada pada dirinya, sewajarnyalah setiap umat melakukan (menelorkan) perbuatan ke Gustian (Ketuhanan Yang Maha Esa). d) Perhiasan dan daun keluwih. Sekalipun hidup karena kekayaannyaa, seakan‐akan bermandikan perhiasan permata intan berlian, akan tetapi harus difahami bahwa barang yang paling berharga adalah diri manusiawinya. Pangkat, dunia kekayaan, apabila mati tidak akan ada yang dibawa meski suami isteri, anak kesayangan sekalipun. Oleh sebab itu pangkat, dunia dan kekayaan janganlah dijadikan tujuan hidup yang utama, hendaklah itu dianggap sebagai pelengkap dalam suasana pergaulan. Dari itu janganlah ingin hidup secara kaluwihan(berlebihan) ingin kaya sendiri, ingin kuasa sendiri karena semuanya itu hanya sekedar barang sampingan. e) Kain panjang yang baru dan bagus. Kelakuan harus baik, lapang tekad ucap dan lampah. f) Rujak dalam jambangan. Jembangan yang berasal dari tanah, namun karena sifat dan fungsinya, sudah lain Dinamika Agama Lokal di Indonesia
207
dari pada bumi yang menjadi asal segala benda dari tanah, jembangan tidak boleh disebut bumi. Demikian pulalah dengan manusia yang berasal dari Tuhan, karena fungsinya amat berbeda dengan Tuhan Yang Maha Esa, tidak boleh disebut Tuhan. Adapun badan jasmani yang berasal dari dunia, proses kejadiannya melalui makanan dari buah‐buahan, garam, kewan dan lain‐lain, bagaikan rujak yang dicampur aduk, yang kemudian sari patinya berkembang menjadi wujud badan jasmani. g) Kelapa gading bergambarkan arjuna dan Srikandi. Bayi yang dalam kandungan masih belum dikuasai oleh nafsu‐nafsu seperti:hewani sifatnya merah, Duniawi sifatnya kuning, Robani sifatnya putih, Setani sifatnya hitam. Maka gading dikiaskan masih tiada warna, tiada nafsu‐nafsu tersebut di atas. Dari padanya diharapkan kelak ia akan hidup dengan tidak mengutamakan kepuasan nafsu‐nafsu itu. Kalau anak itu lahir lelaki, supaya selain cakap seperti arjuna, ia suka membantu yang lemah menolong orang yang sengsara, bagaikan Dananjaya yang senantiasa tenggang rasa. Kalau anak lahir perempuan, supaya selain cantik seperti Srikandi, ia juga akan bisa menjadi Pahlawan pecinta tanah air, dan selalu setia mendampingi suaminya dalam suka dan duka. h) Jembangan dipecah di tengah jalan perempatan. Supaya anaknya kelak berdiri di tengah‐tengah menguasai semua empat jurusan nafsu, yang dapat mengendalikannya secara wajar. Dengan demikian semoga bila mana ia akan sampai pada saat rapuhnya badan jasmani, akan dapat pulih kajati pulang keasal.
208
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
2. Upacara Kelahiran anak: a) Bayi yang baru lahir ditaruh di tampah. Tampah, alat untuk menampih beras guna memisahkan beras dari menir dan kotoran lainnya. Dalam hal ini hendaknya sang bayi kelak akan dapat memisahkan/memilih mana yang wajib dan yang tidak wajib adanya pada Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Sang dukun bayi , menggebrak‐gebrakan tampah dengan mengucap : jangan mempergunakan mata untuk yang tidak patut dilihat. Jangan menggunakan kuping untuk yang tidak patut di dengar. Jangan menggunakan mulut untuk yang tidak patut diucapkan. Jangan menggunakan tangan untuk yang tidak patut diambil. Jangan menggunakan kaki untuk yang tidak patut dilampahi. Yang paling utama, agar sang bayi kelak tidak akan menjadi orang latah, hanya dapat meniru‐niru tingkah laku orang/bangsa lain yang tidak cocok dengan sifat dan kepribadian bangsanya. b) Garam. Supaya dalam segala tekat, ucap dan lampah mengandung sari manusia agar disenangi sesama hidupnya. 3. Upacara Khitanan: a) Khitanan disebut juga ngabersihan. Supaya semenjak kecil anak harus sudah mengenal kebersihan, baik dalam lingkungan hidup maupun dalam tingkah laku tahu kepada tuhannya. b) Kebon alas :digantungi serba serbi hasil bumi. Supaya semenjak kecil, anak sudah mengenal segala kekayaan hasil tanah airnya, yang dijadikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk keperluan kesejahteraan hidup
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
209
umatNya. Yang ia harus cintai dan pelihara sebaik‐ baiknya. c) Gendang pencak. Supaya semenjak kecil anak harus belajar berani mempertahankan keselamatan diri, bangsa dan membela kekayaan dan kejayaan tanah air, yang gemahrifah loh jinawi, dimana ia dilahirkan, hidup dan dimana ia akan dikebumikan. d) Ayam jantan sebagai bela yang dipotong dan dijadikan bekakak. Supaya semejak kecil anak harus sudah mempunyai sifat jantan yang berani menghadapi maut dalam membela bangsa dan tanah air. Sikap itu pada hakikatnya merupakan penyerahan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugrahkan segala‐galanya guna kepentingan hidup dan kehidupan umatnya, sebagaimana halnya bangsa‐bangsa lain di dunia ini, yang masing‐masing mempunyai tanah air, bangsa, negara dan kebudayaan sendiri‐sendiri. e) Dulang remong yang dibalik serta gulungan tikar. Mengingat kodrat Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara tidak mencintai bangsa, bahasa, budaya dan tanah airnya akan menjungkir balikan dulang (tempat) nasi. Ia hanya akan makan sisa‐sisa yang tercecer dan menemui kematian dalam arti yang luas. 4. Upacara Perkawinan: a) Sawer. Kesayangan orang tua tiada duanya semua yang ada diperuntukan keselamatan dan kebahagiaan hidup anak dan keturunannya. Ia menaburkan: beras lambang pangan. Ia menaburkan: Kunir lambang emas dan kekayaan. Memanjatkan doa mohon pada Tuhan Yang Maha Esa dan Leluhur agar diberi berkah selamat lahir batin.
210
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
b) Memecah telur. Iktikad dan tujuan yang baik akan menelorkan kebaikan dan sebaliknya segala iktikad dan tujuan buruk akan menelorkan keburukan, demikianlah hukum pada kehidupan. c) Cuci kaki. Bersihkan segala laku dan perbuatan, sebab kehidupan tiap insan adalah sendi rumah tangga, dan setiap rumah tangga adalah sendi kehidupan negara dan bangsa. d) Tarapong (bambu lurus tidak berbuku). Hidup rumah tangga antara suami isteri ,sekalipun berbeda sifat, ibarat kiri dan kanan, namun keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama. Dari itu harus “bungbas” tiada kecurigaan antara yang satu terhadap yang lain, tiada rahasia antara mereka berdua, segalanya harus bersifat terbuka. e) Batu pipisan. Yang satu bersifat datar, dan lainnya bersifat bulat panjang, namun justru perbedaannya itu mempunyai pungsi yang dapat menggrus jamu serta lainnya semacam itu. Demikianpulalah suami isteri dalam rumah tangga harus seimbang, sehingga kehidupan dapat memberikan kekuatan jasamaniyah dan rohaniah dan jikalau mungkindapat dimanfaatkan sebagai obat pelipur lara bagi keluarga‐keluarga yang lain yang memerlukan bantuan. 5. Upacara Meninggal: a) Kain kapan pembungkus mayat. Hal itu melambang‐ kan bahwa hakekat hidup itu adalah putih (suci) maka pembungkusnya adalah berwarna putih. Sedangkan yang kotor adalah nafsunya yang menyuramkan kehidupan umat, yaitu empat tali pengikat. Kejadian jasmani berasal dari : Api yang menjadi daging, angin Dinamika Agama Lokal di Indonesia
211
b)
c)
d)
e)
f)
212
yang menjadi kulit dan bulu, air yang menjadi balung sumsum. Bumi yang menjadi isinya badan, yaitu bantalan 7 dari tanah berbentuk bulat. Hidupnya jasmaniyah ditopang oleh Penguasa Tuhan Yang Maha Esa , yaitu: Gerak langkah; Kemauan; Pengetahuan; Hidup; Dengar; Lihat; dan Ucap. Hal‐hal itu semuanya diatur oleh Tuhan. Nyusur tanah. Dalam artian mengenang segala apa yang dikerjakan dan yang pernah dicapai almarhum dan almarhumah selama hidupnya, baik dari segi lahiriyah maupun rohaniyah, untuk diambil manfaatnya bagi yang ditinggalkannya. Hari ketiga. Dalam artian, dengan kematian, maka terpisahlah antara satu sama lain. Raga Salira : Jasmani untuk kembali kedunia. Raga Purasa : Rohani untuk kembali kesari rasa alam. Raga batara : aku untuk kembali kepada Tuhannya sebagai asalnya masing‐ masing. Hari ketujuh. Mengandung arti Penguasa Tuhan yang berjumlah tujuh tersebut di atas akan kembali kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Hari keempat puluh. Mengadung 4 (empat) hal yaitu: nafsu hewani, nafsu duniawi, nafsu Robbani dan nafsu syaitani. 0 (kosong): hilang terpisah dari badan jasmani. Hari keseratus. Ratus, semacam setanggi untuk mewangikan pakaian. Hendaknyalah yang dikenang almarhum/almarhumah dengan memaafkan kekhilafannya, menghilangkan dari ingatan keburukan, yang pernah diperbuatnya, karena segala sesuatu telah lalu dan tiada lagi yang akan kembali. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
g) Mendak (satu tahun). Kubur kanghalus dan jisim kang latif dari pada almarhum dan almarhumah adalah anak keturunannya, sebab badan jasmani dari anak keturunannya berasal dari badan jasmani almarhum/ almarhumah. Tegasnya jasmani almarhum/ almarhumah dan keturunannya itu tunggal. h) Seribu hari. Tuhan Yang Maha Esa itu Yang Maha Langgeng tiada awal dan akhirnya, asal dari semua asal dan kemana segala yang ada akan kembali 1 (satu). Sang Aku harus sudah kembali= 0 (kosong). Jasmani harus sudah kembali sama dengan 0 (kosong). Rohani harus sudah kembali = 0 (kosong). (Pulih Kajati pulang kaasal).(Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan, 1983 : 44‐50). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) Aliran Kebatinan Perjalanan sering disebut juga dengan nama komunitas penghayat kepercayaan. Pada saat didirikan hanya beranggotakan 15 orang, dan terbatas hanya di Kabupaten Subang, tetapi pada tahun 1987, penganutnya telah berkembang ke beberapa kabupaten yang ada di propvinsi Jawa Barat, hingga mencapai 19.406 orang. (Abd Rozak, 2005 : 17). Saat penelitian ini dilakukan Aliran Kebatinan Perjalanann telah berkembang hampir di semua daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat, seperti: 1. Kabupaten Bandung; 2. Kabupaten Bandung Barat; 3. Kabupaten Bogor; 4. Kabupaten Ciamis; Dinamika Agama Lokal di Indonesia
213
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kabupaten Cianjur; Kabupaten Cirebon; Kabupaten Garut; Kabupaten Karawang; Kabupaten Kuningan; Kabupaten Majalengka; Kabupaten Purwakarta; Kabupaten Subang; Kabupaten Sumedang; Kota Bandung; Kota Cimahi.(Wawancara dengan Asma Samsudin, (Ketua AKP Desa Paku Tandang Kecamatan Ciparay) Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) bisa disebut juga Agama Kuring (bahasa sunda, maksudnya agama saya), Agama Pancasila, Agama Petrap atau Traju Trisna, Ilmu Sejati, Jawa‐Jawi Mulya, Agama Yakin Pancasila, Agama Sunda, atau PERMAI, dan ada juga yang menyebutnya Agama Buhun. Aliran AKP didirikan pada hari Jumat Kliwon jam 12 dan tanggal 19 Maulud tahun 1858 Saka, bertepatan dengan tanggal 17 September 1927 di Kampung Cimerta, Kelurahan Pasir Kareumbi, Kecamatan Subang, Kabupaten Subang. (Abd. Rozak, 2005 : 119). Menurut sejarah, pendiri Aliran Kebatinan Perjalanan ada tiga orang yaitu Mei Kartawinata, M. Rasyid, dan Sumitra. Mei Kartawinata lahir pada tanggal 1 Mei 1897 di Kebon Jati Bandung. Pada masa remajanya dia mengikuti dan tinggal bersama kakak iparnya di Kediaman Sultan Kanoman Cirebon. Pendidikan yang diperolehnya adalah sekolah rakyat (HIS Zendingschool pada zaman Belanda) sampai tamat, sehingga ia banyak mengenal teologi Kristen dan ia juga
214
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
pernah belajar di pesantren‐pesantren sehingga ia diduga kuat pandai membaca kitab kuning. (Abd. Rozak, 2005 : 120‐121). Salah seorang yang bertempat tinggal di Komplek Penghayat Aliran Kebatinan Perjalanan,mengatakan bahwa penganut AKP berjumlah 347 orang laki‐laki dan perempuan, semuanya tinggal dalam satu komunitas di RW 15 Kecamatan Ciparay Desa Paku Tandang. Di lingkungan Kompleks Penghayat terdapat sebuah gedung Pasewakan, dimana gedung tersebut merupakan salah satu tempat rembukan bagi komunitas AKP. Di belakang gedung Pasewakan terdapat beberapa kuburan yang dianggap keramat seperti: Kuburan salah seorang pendiri Aliran Kebatinan Perjalanan Mei Kartawinata beserta Isterinya yang letaknya berdampingan dalam sebuah bangunan yang megah dan bersih. Selain itu terdapat juga beberapa kuburan yang dianggap orang‐orang baik, letaknya mengelilingi kuburan Mei Kartawinata yang ada di gedung tersebut. Pokok‐pokok Ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan Ajaran‐ajaran AKP (Mei Kartawinata) berasal dari sinkritisme adat sunda dengan aneka macam agama seperti: Islam, Kristen dan Hindu. Ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) ini penekanannya lebih pada aspek sosial dibandingkan dengan aspek religiusnya yang meliputi sepuluh wangsit yaitu: 1. Melarang menghina dan dihina, merendahkan dan direndahkan orang lain tanpa alasan yang jelas. 2. Mengajarkan kasih dan sayang kepada orang lain, serta berakhlak mulia.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
215
3. Larangan menggunakan potensi yang ada pada diri kita untuk kepentingan hawa nafsu kecuali untuk kepentingan menolong orang lain. 4. Mengajarkan supaya selalu bekerja keras sebagai darma karena untuk memperoleh karma yang baik harus diusahakan secara serius 5. Menganjarkan semua karunia yang ada pada kita patut disyukuri 6. Mengajarkan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui heneng, Hening, Eling, Awas, dan Waspada. 7. Mengajarkan bersemedi yang dilakukan pada hari ulang tahun AKP tanggal 17 September dan 1 Sura, dilakukannya di depan makam tokoh pertama AKP (Mei Kartawinata) yang berada di sebelah timur gedung Pasewakan di Kampung Paku Tandang Ciparay. Dalam bersemedi tersebut para warga AKP memohon perlindungan dan karunia dari roh sang tokoh. Untuk perlindungan dan karunia dapat diperoleh dengan cepat, seseorang yang melakukan semedi perlu lebih dekat lagi dengan makam itu. Biasanya bersemedi itu dilakukan ketika seorang penganut bermaksud meminta sesuatu seperti ilmu kekebalan atau lainnya. (Abdul Rozak, 2005 : 151‐160). Konsep Ketuhanan Bagi Penganut Aliran Kebatinan Perjalanan Konsep tentang Tuhan menurut Aliran kebatinan Perjalanan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Tuhan Yang Maha Esa itu Wujud adaNya dan berada dimana‐mana;
216
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
2) Tuhan Yang Maha Esa itu ada terlebih dahulu, sebelum adaya langit dan bumi beserta segala isinya; 3) Tuhan Yang maha Esa itu kekal dan abadi; 4) Tuhan Yang Maha Esa itu berbeda dengan segala yang ada di langit dan bumi beserta segala isinya; 5) Tuhan Yang Maha Esa itu Mandiri tidak diadakan oleh siapapun; 6) Tuhan Yang Maha Esa itu Tunggal, Tuhannya segala umat dan makhluk yang ada, yang telah tiada dan yang akan ada; 7) Tuhan Yang Maha Esa itu, Maha Kuasa, Kekuasaannya itu meliputi segala sesuatu yang ada; 8) Tuhan Yang Maha Esa itu, Maha Kehendak; 9) Tuhan Yang Maha Esa itu, Maha Hidup; 10) Tuhan Yang Maha Esa itu, maha Mendengar, pendengaranNya itu tidak memakai telinga; 11) Tuhan Yang Maha Esa itu, Maha Melihat, melihatNya itu tidak memakai mata; 12) Tuhan Yang Maha Esa itu, Maha Mengucap, mengucap‐ Nya itu tidak memakai mata. (IR. Andri Hernandi, 2005: 6‐ 7). Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa konsep keTuhanan yang diyakini Aliran Kebatinan Perjalanan hampir sama dengan konsep Islam tentang sifat‐ sifat Tuhan. Seperti: a) Tuhan Yang Maha Esa itu Wujud adaNya dan berada dimana‐mana; b) Tuhan Yang Maha Esa itu ada terlebih dahulu, sebelum adaya langit dan bumi beserta segala isinya; d) Tuhan Yang maha Esa itu kekal dan abadi. Namun demikian perbedaannya adalah bagi penganut aliran kebatinan perjalanan yaitu mereka tidak melakukan ibadah seperti yang umat Islam lakukan (Sholat, puasa, zakat Dinamika Agama Lokal di Indonesia
217
dan sebagainya). Cara ibadat aliran kebatinan perjalanan cukup dengan melakukan eling kepada gusti Allah dan mereka melakukan semedi (bertapa di depan makam pendirinya yaitu Mei Karta Winata. Penghayatan dan Pengamalan Aliran Kebatinan Perjalanan dilakukan melalui beberapa hal yaitu: 1) Heneng, yaitu berdiam diri dengan melepaskan segala pikiran dan ingatan mengenai keadaan dunia sekitar diri, untuk merasakan nikmat Tuhan Yang Maha Esa yang ada pada diri (lahir dan batin), seperti: otak dengan inagatannya. 2) Hening, yaitu jernihkan batin, seakan‐akan menjadi cermin yang bening dapat dijadikan pengilon terhadap kehidupan umat, sehingga tampak hakikat hidup bahwasanya semua umat dihadapan Tuhan Yang Maha Esa adalah sama, yang bedanya hanyalah darmanya. 3) Awas, yaitu bukan berarti awasnya mata, namun awasnya hati nurani yang bisa membedakan mana yang wajib dan mana yang tidak wajib dilakukan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. 4) Eling, yaitu sebagai Kaula Gusti wajib kumawula kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu mengatur hidup dan kehidupannya berdasarkan cinta kasih, sifat Tuhan Yang Langgeng. Oleh karena itu manusia harus dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, agar hidupnya mempunyai arah. 5) Waspada, yaitu keadaan baik ataupun buruk untuk masa yang akan datang ditentukan oleh perbuatan yang sekarang. Oleh karena itu sebaiknya sebelum beristirahat tidur, meninjau kembali segala sesuatu apa yang
218
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
telah/pernah diperbuat pada hari yang baru lalu, sehingga dengan gamblang dapat mengambil imbangan tentang kebaikan atau keburukan. (IR. Andri Hernandi, 2005: 20). Sarana sesajen Sunan Ambu dan Dewi Sri Pohaci meliputi beberapa hal: 1. Bedak (rias muka) Baik budi dan perangai 2. Kaca Muka Bercerminlah pada diri sendiri(mawas diri) setiap kali menghadap situasi kehidupan sesame umat secara tenggang rasa. 3. Sekapur sirih Sirih selengkapnya mengandung berbagai rasa: pedas, sepet, panas, manis, dan sebagainya menjadi satu. Demikian pula dalam lingkungan hidup, kita bisa merasakan suasana pahit, getir, panas dan lain‐lain sesuai harmoni dan dinamika kehidupan. Karena itu harus bisa memilah‐milah antara baik dan buruk. Jagalah mulut supaya tidak mengeluarkan kata‐kata buruk yang mengandung nafsu, namun peganglah segala ucapan yang benar adalah benar, tercermi dalam tekad ucap dan lampah. 4. Segenggam padi Terdiri dari tiga jenis warna padi, bisa memanfaatkan rezeki: Warna merah : Mau usaha/bekerja Warna putih : Tulus Jujur, dipercaya/dihormati sesame umat. Warna hitam : Tekun, teliti dan hati‐hati. 5. Padi sageugeus (bahasa sunda : 2 eundan = 2 ikat. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
219
Cara hidup lahir batin harus selalu dalam keadaan seimbang. 6. Pakain: kain panjang, kebaya, Selendang dengan segala perlengkapannya. Tingkah laku harus sesuai dan serasi dengan sikap hidup kemanusiaan. 7. Menghampar kain putih ditebar bunga rampai. Bisa mengelar kehidupan yang bersih dan mengembang‐ kan kebaikan agar bisa menarik perhatian/simpati lingkungan hidup masyarakat bersama. 8. Air bersih dalam sangku kaca Tata pranata hidup itu antara lahir dan batin harus sama dan transparan. 9. Aneka rujukan. Pada hakekatnya hidup bermasyarakat itu adalah saling rujukan, satu sama lain saling membutuhkan diantara aneka ragam budaya dan tradisi, secara keselarasan. Syarat‐syarat Ruwat (Menjauhkan Diri dari Sifat Perbuatan Buruk). A. Makanan Puncak manic dengan telor di atasnya ‐ Manik : Lambang manusia ‐ Telor : Angan‐angan Manusia harus punya cita‐cita luhur. 1. Rujak manis tujuh rupa. Tujuh penguasa gusti yang ada pada setiap umatNya agar bisa melakukan karma dan darmanya: - Kuasa - Kersa - Ilmu - Hidup - Dengar
220
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
- Lihat - Ucap. 2. Bubur merah/putih yang manis/tawar - Warna merah/ manis : berarti melakukan segala sesuatu yang member warna (tujuan hidup/ kehidupan) dalam bermasyarakat /berbangsa (kepedulian social) secara adil/kemanusiaa. - Tawar: berarti jangan bersifat acuh tak acuh terhadap kehidupan bermasyarakat/bernegara, karena setiap insane social merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat/bernegara yang tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. 3. Ketupat/leupeut gepokan. - Ketupat: berarti janganlah mengumpat orang lain dalam bentuk dan cara apapun , karena bisa menimbulkan perselisihan. - Leupeut: berarti merupakan hukum alami, bahsanya di dunia ini segala sesuatu harus ada pasangannya, ada pria‐wanita, ada tinggi‐rendah. Oleh karena itu dibutuhkan saling pendekatan, agar adanya keterikatan dan keseimbangan, sehingga terjadi saling pengertian yang harmonis dan maju dalam suasana persatuan dan kekeluargaan. Faktor‐faktor masih eksisnya Aliran Kebatinan Perjalanan 1) Pokok‐pokok ajarannya sangat terpuji, seperti mengajarkan rasa kasih sayang dan melarang saling menghina; 2) Sebagian pengikutnya walaupun berpendidikan tinggi atau sudah menjadi dosen di Perguruan Tinggi ITB maupun perguruan tinggi lainnya tetapi mereka masih Dinamika Agama Lokal di Indonesia
221
tetap mengamalkan adat nenek moyangnya seperti melakukan semedi atau bertapa di kuburan Mei Karta Winata; 3) Keberadaan Aliran Kebatinan Perjalanan tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat; 4) Mengikuti aturan pemerintah seperti identitas dalam KTP, kolom agama ditulis angka 7 atau dikosongkan; 5) Aliran Kebatinan Perjalanan tidak membeda‐bedakan agama, semua agama yang ada dianggapnya baik dan kepercayaannya sendiri juga dianggap baik. Relasi Sosial Aliran Kebatinan Perjalanan Relasi sosial Aliran Kebatinan Perjalanan dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di Kecamatan Ciparay cukup baik dan akrab, terutama terhadap agama mainstream dan masyarakat lainnya, karena ajarannya menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Setiap manusia derajatnya sama, tidak boleh saling menghina dan dihina. Dalam kehidupan sehari‐harinya mereka tidak mengganggu orang lain sehingga orang lain tidak mengganggunya dan ajaran mereka yang paling menonjol ada lima hal yaitu tentang heneng, hening, awas, eling dan waspada. Masyarakat sekitar, memandang bahwa Aliran Kebatinan Perjalanan baik‐baik saja, dan mereka bukan agama melainkan sebuah penghayat kepercayaan. Keberadaan mereka tidak meresahkan masyarakat sekitar karena mereka tidak pernah mencela dan tidak mengganggu agama orang lain, oleh karena itu tidak perlu dibina dan dibesar‐besarkan. Aliran Kebatinan Perjalanan ini pengikutnya semakin lama
222
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
semakin bertambah. Keberadaan Aliran Kebatinan Perjalanan terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut salah seorang pejabat Kemendikbud mengatakan bahwa kami membantu alat‐alat musik kepada warga Aliran Kebatinan Perjalanan karena kami beranggapan bahwa kelompok mereka yang paling menonjol adalah kesenian dan kebudayaannya, seperti wayang golek, dan bukan dalam hal keagamaannya. Pelayanan hak‐hak sipil Aliran Kabatinan Perjalanan Komunitas Aliran Kebatinan Perjalanan yang ada di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung telah terpenuhi dengan baik hak‐hak sipilnya oleh pemerintah daerah, seperti: 1. Pembuatan e‐ KTP, pada kolom agama ditulis dengan strip (‐) atau angka 7; 2. Pencatatan perkawinannyapun dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Hal ini didasarkan pada: I. Peraturan pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan Undang‐Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Bab X Tentang Persyaratan dan Tata cara pencatatan perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan Pasal 81,82 dan 83. Pasal 81 berbunyi : 1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan dihadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan; 2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi Penghayat Kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan; Dinamika Agama Lokal di Indonesia
223
Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada Kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. II. Undang‐Undang nomor 23 Tahun 2006 bagian ketiga pencatatan perkawinan paragraf 1 : Pencatatan perkawinan di wilayah Negara Kesatuan RI pasal 34 (1) : “ perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang‐ Undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Pasal 82 berbunyi: peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana atau UPTD instansi pelaksana paling lambat 60 hari dengan menyerahkan: a. Surat perkawinan penghayat kepercayaan; b. Foto copy KTP sesuai pasal 61 dan 64 ayat (2) nomor 23 Tahun 2006; c. Pas foto suami isteri; d. Akte kelahiran dan e. Pasfor suami isteri bagi orang asing. Pasal 83 berbunyi : (1) Pejabat instansi pelaksana atau UPTD instansi pelaksana mencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 dengan cara :
224
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
a) menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami isteri; b) melakukan verifikai dan validasi terhadap data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan; c) mencatat pada register akte perkawinan dan menerbitkan kutipan akte perkawinan penghayat kepercayaan. (2) Kutipan akte perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan kepada masing‐masing suami isteri. III. Surat Edaran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 01/SE/NBSF/VIII/07 tentang penunjukkan dan penetapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditujukan kepada ketua organisasi penghayat kepercayaan seluruh Indonesia, yang tembusannya ditujukan kepada : 6) Dirjen Administrasi Kependudukan; 7) Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia. IV. Dalam Undang‐Undang Dasar 1945 : 1) Pasal 28 E ayat (2) : Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hatinuraninya. 2) Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap‐ tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing‐ masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Cara penunjukkan pemuka penghayat kepercayaan: Ketua organisasi bermusyawarah dengan : Dinamika Agama Lokal di Indonesia
225
a. sesepuh organisasi; b. pengurus organisasi; c. warga organissasi. Syarat‐syarat menjadi pemuka penghayat adalah mendaftarkan diri ke Direktorat pembinaan kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi, dengan dilengkapi : 1) surat pengajuan dari organisasi yang ditanda tangani oleh ketua atau sekretaris dan dilampirkan surat pengantar dari Dnas setempat yang membidangi kebudayaan; 2) alamat tempat tinggal (lampirkan KTP yang kolom agamanya kosong); 3) Wilayah kerja; 4) Foto berwarna sebanyak 3 lembar. Proses pengangkatan menjadi pemuka penghayat adalah melalui Direktorat menerbitkan surat keterangan terdaftar pemuka penghayat kepercayaan dengan tembusan SK kepada Dinas Catatan Sipil dan Dinas yang membidangi Kebudayaan dan Pariwisata. Tugas pemuka penghayat: mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan. Masa kerjanya 5 (lima) tahun. Dasar hukum pencatatan bagi pemeluk penghayat kepercayaan adalah Undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan : a) Pasal 8 ayat (4) : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tata cara pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan atau bagi penghayat atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada Peraturan Perundang‐undangan.
226
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
b) Pasal 61 (2) : keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang‐Undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base kependudukan, c) Pasal 64 (2) : keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang‐Undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base kependudukan. d) Pasal 1005: Dalam waktu paling lambat (6) bulan sejak diundangkannya Undang‐Undang ini, pemerintah wajib menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penetapan persyaratan dan tatacara perkawinan bagi para penghayat kepercayaan sebagai dasar diperolehnya kutipan akta perkawinan dan pelayanan pencatatan peristiwa penting. Proses Persyaratan dan Tata Cara pencatatan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan adalah: 1. Persyaratan Calon mempelai: a. KTPnya disesuaikan dengan Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2006; b. Calon mempelai datang ke RT/RW dan Kelurahan: dengan membawa surat pernyataan dan buku pintar; c. Calon mempelai menghubungi/melapor ke Pemuka Penghayat; d. Apabila ada masalah, calon mempelai melapor ke Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
227
2. Tugas Pemuka agama adalah: a. Mengecek KTP sesuai dengan Undang‐Undang nomor 23 Tahun 2006; b. Menyiapkan buku registrasi, cap organisasi, dan SPP (Surat Perkawinan Penghayat). c. Mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa rangkap 3 untuk instansi pelaksana (asli), mempelai dan Pemuka. d. Bukan menikahkan; e. Berada di tengah‐tengah mempelai. Yang dilayani oleh pemuka penghayat adalah: 1) warga organisasi yang bersangkutan; 2) penghayat perseorangan; 3) penghayat dari organisasi lain yang belum mempunyai pemuka. (Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, 1‐12). Proses Perkawinan bagi pengikut aliran kebatinan adalah: Adanya Calon mempelai; Adanya Orang tua/wali; Adanya Saksi‐saksi dari kedua calon mempelai; Adanya Pemuka penghayat kepercayaan. Tatacara perkawinannya dilakukan sesuai dengan adat atau tatacara dari masing‐masing organisasi bila ada. Pelaksanaan fungsi pokok pemuka penghayat di masyarakat dan hubungannya dengan pemerintah: 1. Peran pemuka penghayat dalam masyarakat adalah:
228
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
a) menjadi suri tauladan bagi warganya dan masyarakat luas; b) menjadi pengayom bagi warga dan masyarakat umum; c) pelaku dan pelestari Budaya Spritual bangsa. 2. Hubungan pemuka penghayat dengan pemerintah adalah: a) sebagai pelaksana teknis terkait peraturan perundang‐ an (Undang‐Undang nomor 23 Tahun 2006 dan PP No. 37 Tahun 2007); b) Sebagai koordinator antara warga penghayat dengan pemerintah. Pelayanan masalah akte kelahiran bagi penganut Aliran Kebatinan Perjalanan, sudah dilayani pemerintah daerah sebagaimana penduduk lainnya tidak dibeda‐bedakan, namun demikian dalam kolom agama berdasarkan aturan yang ditentukan ditulisnya dengan angka 7 atau dikosongkan dan tidak ditulis sesuai keinginan yaitu penghayat kepercayaan. Begitu juga dalam KTP , kolom agama ditulisnya sama dengan surat akte kelahiran. Masalah pemakaman mereka, juga disatukan tempatnya dengan mayarakat pada umumnya dan surat‐surat kematian dibuatkan oleh pihak kelurahan. (wawancara dengan Ketua Aliran Kebatinan Perjalanan Bapak Ama Syamsudin). Menurut penjelasan Bapak Tamsara sebagai ketua RW 15 Kecamatan Ciparay bahwa ia sejak tinggal di Desa Paku Tandang menjadi penganut Kepercayaan Kebatinan Perjalanan, dimana sejak kecilnya ia beragama Islam dan keluarga semuanya Islam. Namun hubungan kekeluargaan tetap berjalan baik. Dikatakannya bahwa di dalam ajaran Islam masalah ibadat dilakukan ada waktu‐waktunya seperti: ketika zuhur, asar, maghrib dan sebagainya, tetapi ibadat Dinamika Agama Lokal di Indonesia
229
dalam aliran kebatinan perjalanan yang dikatakan ibadat tidak mengenal waktu, kapan saja bisa dilakukan, setiap ada sesuatu yang dapat membahayakan manusia, lalu kita singkirkan maka itu namanya ibadat. Kami sejak menganut Aliran Kebatinan Perjalanan tidak lagi beragama Islam, maka tidak perlu lagi melakukan shalat, puasa dan yang lainnya, tetapi selalu eling atau ingat saja, pada waktu kapan saja dan tidak mengenal waktu. Masyarakat luar dari Aliran Kebatinan Perjalanan menyatakan bahwa kami selaku tetangga dengan penganut AKP tidak pernah ada masalah, karena mereka selalu baik terhadap tetangga dan mereka juga jiwa sosialnya cukup tinggi
230
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
PENUTUP Kesimpulan 1. Ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan merupakan sinkritisme adat Sunda dengan beragam agama seperti: Islam, Kristen dan Hindu. Pokok penekanan ajarannya lebih kepada hal‐hal yang bersifat sosial dibandingkan dengan hal‐hal yang bersifat religi. 2. Kepercayaan terhadap sifat ketuhanannya hampir sama dengan Islam, namun dari sisi pengamalannya berbeda, mereka melakukan persembahannya hanya melalui heneng, hening, eling, awas dan waspada, dan ibadah mereka tidak seperti umat Islam melakukan sholat 5 waktu, dengan waktu‐waktu tertentu. 3. Pengikut Aliran Kebatinan Perjalanan melakukan semedi (bertapa) pada hari ulang tahun AKP tanggal 17 September dan 1 Suro yang dilakukan di halaman Makam Mei Kartawinata dan istrinya serta dikelilingi makam‐ makam para kerabatnya. 4. Aliran Kebatinan Perjalanan ini keberadaannya masih tetap eksis, karena sebagian kecil pengikutnya walaupun sudah berpendidikan tinggi tetapi mereka masih tetap melakukan upacara‐upacara adat nenek moyangnya dan bahkan organisasinyapun cukup kuat. 5. Relasi sosialnya cukup baik, terutama terhadap sesama masyarakat aliran kebatinan perjalanan maupun terhadap masyarakat di luarnya. 6. Pelayanan hak‐hak sipil Aliran Kebatinan Perjalanan telah terpenuhi dengan baik oleh pemerintah daerah seperti: a. pembuatan e‐ KTP pada kolom agama ditulis dengan setrip (‐) atau ditulis dengan angka 7; Dinamika Agama Lokal di Indonesia
231
b. Pencatatan perkawinannya dilakukan di kantor Catatan Sipil dan dilaksanakan dihadapan pemuka penghayat kepercayaan; c. Pelayana akte kelahiran sudah dilayani pemerintah daerah sama seperti penduduk lainnya tanpa dibeda‐ bedakan; d. Tempat pemakamannya disatukan dengan pemakaman masyarakat pada umumnya. e. Penganut Aliran Kebatinan Perjalanan karena mengaku bukan Islam, sehingga masalah pendidikan agamanya mereka minta diberikan pelayanan khusus sesuai kepercayaannya itu, namun belum dapat terlaksana karena belum tersedianya fasilitas guru dan kurikulum ajarannya. Rekomendasi 1. Kepada pihak pemerintah daerah yang telah memberikan pelayanan hak‐hak sipil dengan baik kepada penganut aliran kebatinan perjalanan supaya dipertahankan terus, agar warganya merasa nyaman tinggal di wilayahnya karena merasa kebutuhannya terpenuhi; 2. Sampai sekarang ini pemerintah daerah masih merasa sulit memberikan pelayanan keagamaan bagi penganut Aliran Kebatinan Perjalanan, hal ini karena faktor tenaga , dana dan waktu. Oleh karena itu kepada pihak pemerintah daerah, sebaiknya perlu memikirkan lebih jauh masalah pelayanan pendidikan agama, khusus bagi penganut Aliran Kebatinan.
232
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran Kebatinan Perjalanan, Jakarta, 1983. Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan, Aliran Kebatinan Perjalanan, Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan, 1981.
Departemen Agama RI, Badan Litbang Dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang‐Undangan Kerukunan Umat Beragama, edisi kesebelas, 2009. Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Dimensi‐ Dimensi Kehidupan Beragama, Studi tentang Paham/Aliran Keagamaan, Dakwah dan Kerukunan, Jakarta, 2011. Kartapraja Kamil, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, Yayasan Masagung, 1985. Kahmad Dadang, Agama Islam dan Budaya Sunda, KIBS., 2001. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, HARMONI , Volume X, Nomor 3 Juli 2011. Qoyim Ibnu dkk, Religi Lokal dan Pandangan Hidup, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat, Jakarta, 2004.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
233
Rozak Abdul, DR. ,Teologi Kebatinan Sunda, Bandung, 2005 Sumber:Alamat: http://groups.yahoo.com/group/Oi‐ Bersatulah/message/1756
234
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
AGAMA/KEPERCAYAAN BUHUN ORANG KRANGGAN JATI SAMPURNA KOTA BEKASI JAWA BARAT Oleh: Ahmad Syafi’i Mufid
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
235
GAMBARAN UMUM WILAYAH Sekilas tentang Kranggan Menurut penuturan informan, nama Kranggan berasal dari tokoh pendiri kampung ini yang bernama Raden Rangga. Beliau adalah seorang bangsawan dari kerajaan Pajajaran. Pendapat lainnya menyatakan bahwa “Kranggan” berasal dari kata “Keranggaan” yakni tempat pemerintahan pejabat setingkat bupati atau rangga. Di kelurahan Jati Rangga, dahulu disebut Kampung Rangga, terdapat sebuah petilasan yang diberikan tanda dalam bentuk gapura. Pada gapura tersebut terdapat tulisan dalam bahasa Indonesia “ Kraton Pasarean Selamiring Embahbuyut Kranggan” (Wawancara dengan Pak Arsyad, 9 Mei 2013). Selamiring adalah dua kata yaitu sela yang berarti kereta yang ditarik oleh kuda dan kata miring yang berarti tidak tegak. Kata Selamiring berkaitan dengan mitologi lokal, perjalanan seorang pangeran dari Pajajaran yang bernama Pangeran Rangga, yang bersembunyi di wilayah ini untuk menghindari gerakan Pangeran Kiansantang dalam rangka penyebarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Pangeran Rangga dari kerajaan Pajajaran ini mengendarai sela dan berjalan miring ketika melewati wilayah yang sekarang disebut Selamiring. Dari situlah nama Selamiring berasal (Wawancara dengan Abah Kolot, 5 Mei 2013). Pendapat lainnya dikemukakan oleh Pak Anim yang menyatakan bahwa Kranggan berasal dari kata “keranggaan” yang berarti tempat istirahat. Konon di tempat inilah dahulu Prabu Siliwangi beristirahat dari perjalanan jauh, Pajajaran (Bogor) ke Cirebon dan kembali ke Bogor. Sebelum sampai ke ibu kota, beliau singgah dan beristirahat di Kranggan (Wawancara tanggal 25 Mei 2013).
236
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Mitologi yang berkembang di kalangan masyarakat Kranggan, dan masih diyakini oleh beberapa tokoh adat, adalah di daerah Kranggan inilah Prabu Siliwangi mengalami “moksa” yang berarti meninggalkan jasadnya, sedangkan roh dan jiwanya kembali kepada Sang Hyang. Beliau masih tetap dengan keyakinan agamanya, belum memeluk Islam, tetapi tidak melakukan perlawanan terhadap dakwah Islam. Dari sinilah lahir ungkapan “ Menyepi dalam terang” atau dalam bahasa Sunda disebut “ nyeumpet di enggon ca’ang”. Kalimat ini memiliki implikasi pertanyaan historis filosofis yaitu benarkan Prabu Siliwangi meninggal dan dikuburkan di wilayah Kranggan? Dan apakah tradisi Buhun yang hingga saat ini masih dipertahankan oleh orang Kranggan merupakan bentuk akulturasi antara ajaran Islam dengan budaya Pajajaran yang diwariskan oleh Prabu? Tidak seorang informan pun dapat memberikan penjelasan mengenai teka‐ teki ini. Abah Kolot sebagai pemimpin spiritual dan tradisi Buhun menyatakan rahasia ini tidak ada yang tahu kecuali diberitahukan oleh leluhur melalui “pewangsitan”. Prediksi Abah Kolot, kemungkinan rahasia Kranggan ini akan dibuka pada kepemimpinan yang kedua belas. Beliau sendiri sekarang menduduki kepemimpinan yang kesembilan (Wawancara dengan Abah Kolot, 5 Mei 2013 dan dengan bapak Anim, tanggal 25 Mei, 2013). Geografi dan Demografi Kranggan terletak di sebelah tenggara ibu kota Jakarta. Jarak dari Jakarta Pusat ke kampung ini sekitar 50 km. Dari kota Bekasi wilayah ini berada di bagian barat daya berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Jakarta Timur. Sebelum pemekaran, tahun 1972, Kranggan masih merupakan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
237
sebuah desa yang masuk wilayah Kecamatan Pondok Gede Bekasi. Pada zaman kolonial Belanda, desa Kranggan, Kecamatan Pondok Gede, termasuk wilayah Kabupaten Jatinegara. Luas wilayahnya 194374 Ha.Sejak 1977 Kranggan menjadi kecamatan Jatisampurna. Kecamatan ini terdiri atas lima kelurahan, 66 RW dan 326 RT. Lima kelurahan dimaksud adalah Jatisampurna, Jatikarya, Jatiranggon, Jatirangga dan Jatiraden. Jatisampur berbatasan dengan sebelah utara Kp. Panayangan, Kelurahan Jatisari (d/h. Jatiluhur), sebelah selatan berbatasan dengan desa Leuwinanggung, Kecamatan Depok, dan Kab Bogor. Sebelah timur dibatasi oleh kali Cikeas dan sebelah barat dibatasi oleh Kali Sunter, kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur dan kelurahan Harjamukti, kecamatan Depok. Perjalanan menuju Kranggan dari kota Bekasi lewat tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) keluar di pintu tol Kranggan. Setelah keluar tol, belok ke kiri, ke arah selatan. Kira‐kira sekitar 10 km, sebelum sampai jalan raya Cibubur‐Cileungsi, belok ke kiri. Kurang lebih sekitar 200 m sampailah ke kantor KAU Jatisampurna. Lokasi inilah pusat pemerintahan kecamatan Jatisampurna. Ada kantor kelurahan Jatisampurna, kantor kecamatan dan kantor tingkat kecamatan lainnya, pasar dan masjid besar. Kranggan juga dapat dicapai melalui jalan raya Cibubur–Cilengsi, sebelum Perumahan Kota Wisata, belok ke kiri sekitar 2 km. Kendaraan umum yang melewati jalan Kranggan Raya adalah angkutan kota. Bus dan kerata api belum ada yang melawati wilayah ini. Penduduk asli Kranggan sehari‐hari menggunakan bahasa Sunda, sedangkan penduduk Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, yang berada di sebelah barat Kecamatan Jatisampurna berbahasa Melayu (Betawi). Begitu juga
238
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
penduduk kampung Sawah kecamatan Jatimurni yang berhimpitan dengan kecamatan Jatisampurna, sebagian besar etnik Betawi dan bahasa sehari‐hari mereka adalah bahasa Melayu (Indonesia). Dibandingkan dengan penduduk di sekitarnya, orang Kranggan memiliki keunikan budaya dan keagamaannya. Sepintas tidak ada perbedaan yang menyolok antara orang Kranggan dengan orang Sunda umumnya atau dengan orang Betawi. Penduduk Kecamatan Jatisampurna berjumlah 87.910 orang yang terdiri atas penduduk laki‐laki berjumlah 44.545 (50,6%) dan penduduk perempuan berjumlah 43.365 (49,4%). Dari jumlah tersebut, sebagain besar adalah warga negara Indonesia (87698 atau 99,7%). Warga negara keturunan berjumlah 211 orang (0,2 %) dan penduduk warga negara asing berjumlah satu orang (Sumber Laporan Kependudukan Kecamatan Jatisampurna Bulan Maret 2013). Dilihat dari agama yang dianut, sebagian besar penduduk memeluk agama Islam, dan sedikit sekali yang beragama non Islam. Jumlah penduduk yang beragama Islam ada 71.198 orang. Kristen 7.522 orang, Katolik 2.926 orang, Hindu 533 orang, Budha 286 orang, Konghucu 11 orang dan lainnya 624 orang. Orang Kranggan pada umumnya bekerja sebagai pedagang, sebagian lagi bekerja sebagai pegawai dan karyawan. Mereka yang bekerja disektor pertanian sangat kecil, karena sudah tidak ada lagi lahan persawahan. Mereka yang berkerja di sektor perdagangan umumnya berdagang alat‐alat dapur seperti pengkik, kukusan, bakul, seting, sapulidi. Hampir semua pasar di Jabodetabek terdapat pedagang dari Kranggan. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
239
Kehidupan Keagamaan Kehidupan keagamaan di wilayah Keranggan sepintas tidak berbeda dengan wilayah lain. Suasana keagamaan seperti pengajian melalui pengeras suara terdengar di beberapa tempat, terutama menjelang waktu shalat. Perempuan yang mengenakan pakaian muslimah juga terlihat di mana‐mana. Masjid, mushala dan bahkan pesantren juga tersebar di berbagai lingkungan Rukun Tetangga/Rukun Warga. Jika kita bertanya tentang Kranggan kepada penduduk sekitar, informasi yang disampaikan pasti menyangkut karuhun, sesaji dan magis. Gambaran tentang kebudayaan Kranggan sebagaimana yang dipersepsi oleh masyarakat sekitarnya hanya bisa pahami kalau kita berada dan melakukan observasi partisipasi terhadap kehidupan sehari‐hari mereka.
240
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
TEMUAN HASIL PENELITIAN Penduduk Kranggan dapat digolongkan sebagai penganut agama dan tradisi yang bersumber pada keyakinan dan ajaran masa lalu. Hampir semuanya memeluk agama Islam, tetapi di antara mereka ada yang tergolong santri, buhun dan aliran kebatinan Perjalanan (AKP). Kehidupan keagamaan masyarakat Kranggan terbagi dalam tiga varian, yaitu: Varian pertama adalah Islam Santri yakni penduduk Kranggan yang beragama Islam, taat melaksanakan ajaran Islam dan telah meninggalkan kepercayaan dan praktik‐praktik pemujaan karuhun. Kelompok ini telah mengalami purifikasi keyakinan dan ajaran dari pengaruh tradisi buhun. Pertemuan penulis dengan H. Mansur (lahir 1937) di Kranggan memberikan gambaran bahwa di kampung mereka sedang terjadi proses puritanisasi agama (Islam). Menurut penuturannya,beliau berasal dari desa Nagrak, Gunung Putri, Bogor. H. Mansur menikah pada tahun 1965. Isterinya asli orang Kranggan dan tergolong penganut “buhun” yang kuat. Ayah dan ibu mertuanya juga masih penganut “buhun” atau buda (bukan beragama Budha), dan tidak sembahyang (shalat). Waktu itu, orang Kranggan tidak sembahyang, karena merasa tanahnya sudah wangi dan tidak usah dicium. (Wawancara dengan H. Mansur, 16 April 2013). Sembahyang, menurut orang Kranggan pada waktu itu hanyalah tugas amil. Amil menurut bahasa Sunda adalah pejabat desa yang mengurusi tugas‐ tugas keagamaan seperti memimpin shalat, pengumpul zakat, mengurus perkawinan dan kematian. Dengan demikian, kehidupan keagamaan di Kranggan sampai dengan tahun 1980‐an masih dominan peran adat dan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
241
tradisi Buhun. Itu sekilas gambaran keberagamaan orang Kranggan pada tahun 1960‐an hingga 1980‐an. Perubahan politik pemerintah, dari orde lama ke orde baru rupanya menjadi pendorong tumbuhnya syiar Islam. Pada tahun 1970, bersama‐sama komandan polisi setempat, Pak Titing (orang Sunda) dan Pak Mansur mendirikan sebuah mushala di depan pasar Kranggan. Bangunan tersebut dipergunakan untuk kebutuhan shalat Jum’at, dan Jama’ahnya adalah orang pasar Kranggan yang berasal dari masyarakat sekitar. Bermula dari mushala kecil di depan pasar Kranggan sekarang sedang direnovasi menjadi masjid besar. Masjid ini menjadi kebanggaan orang Kranggan dan diberi nama Hidayatut Taufiq, yang diharapkan dapat membuka petuntuk (hidayah) bagi masyarakat setempat dan sekaligus sesuai (taufiq) petunjuk Allah SWT. Sebelum ada mushala, oleh orang Kranggan dan para pedagang melaksanakan shalat Jum’at di masjid At Taqwa Kp. Raden. Kalau tidak ke Kp. Raden, orang Kranggan melaksanakan shalat Jum’at di Cikeas. Berkat bantuan seorang Arab (pak Paris) mushala tersebut dikembangkan menjadi sebuah masjid. Tanahnya diperluas, berkat bantuan orang Padang yang memiliki usaha di Kp. Kranggan. Dewasa ini setiap RW di Kranggan sudah ada masjid yang dipergunakan untuk shalat Jum’at. Islam dalam coraknya yang puritan juga sudah datang ke wilayah ini sejak awal. Konon menurut penuturan Ibu Hj. Marwati, pimpinan Majelis Taklim Al Ummahat, di Jatiraden, penyiar Islam pertama di wilayah ini adalah mbah Raden atau sering disebut Sanghiyang Senopati (berasal dari Mataram atau Demak). Nama asli beliau adalah Raden Ahmad, putra Rd. Dipati Unus, Putra Rd. Fatahilah, putra Rd. Ulung Anyer
242
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
dari perkawinaannya dengan Nyai Ayu Pakuwati anak Syarif Hidayatullah (Sunan Cirebon). Tokoh ini memiliki hubungan kekerabatan dengan orang karamat di Luar Batang dan Kampung Bendan serta pangeran Jayakarta yang dimakam‐ kan di Jatinegara Kaum (Wawancara, dengan I bu Marwati, 26 April 2013). Wilayah Kranggan yang penduduknya sudah taat melaksanakan keyakinan pada ajaran Islam, berada di kelurahan Jatiraden (Kp.Raden). Nama Raden diambil dari tokoh penyiar Islam tersebut. Di kampung inilah terdapat petilasan Mbah Raden, yang dikeramatkan orang. Mitologi yang berkembang di Kp. Raden adalah nama Kranggan diambil dari Rd. Rangga yang menurut mereka berasal dari “keranggaan” atau pondok untuk penyiaran agama Islam (Wawancara dengan H.Nosaris dan H.Ahmad Madina, 27 April 2013). Proses puritanisasi dari buhun menjadi santri terjadi pada tahun 1980‐an dan terus berlangsung hingga sekarang. Orang Kranggan mulai ramai menunaikan shalat dan beribadah haji. Masjid, mushala dan madrasah mulai tumbuh. Pengajian diselenggarakan di tempat‐tempat tersebut dan suara mimbar diperdengarkan secara terbuka melalui pengeras suara. Kini, sebagian besar orang Kranggan sudah dapat digolongkan mengikuti ajaran Islam. Sekolah Islam dan madrasah dibuka di beberapa tempat. Saat ini di wilayah Jatisampurna telah berdiri 6 buah Madrasah Ibtida’iyah (MI), dengan murid berjumlah 1179 orang. Madrasah Tsanawiyah, ada 2 buah dengan murid berjumlah 228 orang. Pesantren juga sudah didirikan di Kelurahan Jatirangga, untuk tahfidz Al Qur’an. Sekolah umum mulai dari SD, SMP, SMA, SMK negeri maupun swasta berkembang di wilayah ini. Sekolah‐sekolah tersebut juga mengajarkan agama Islam. Melalui lembaga‐ Dinamika Agama Lokal di Indonesia
243
lembaga pendidikan inilah proses purifikasi kehidupan beragama menjadi semakin cepat. Varian Kedua adalah Buhun, yang merupakan mayoritas penduduk Kranggan. Buhun menurut para pemuka masyarakat berarti bahan, atau bakalan. Buhun adalah ajaran kuno yang dianut oleh para leluhur. Menurut Pak Mait, tokoh adat setempat, buhun adalah percampuran ajaran Hindu‐ Budha. Buhun adalah senjatanya orang Budha, dan Buhun juga berarti sesajinya orang Hindu. Jadi tradisi Buhun mengandung arti ilmu kesaktian dan upacara sakral yang diwariskan secara turun temurun oleh Prabu Siliwangi kepada orang Kranggan (Wawancara, dengan Pak Mait, 29 Mei 2013). Orang Kranggan yang mengikuti ajaran dan keyakinan Buhun diperkirakan berjumlah lebih dari 75 % dari total penduduk. Ketaatan mereka terhadap ajaran Buhun karena ada janji dari Pangeran Rangga, utusan Prabu Siliwangi yang keluar dari keraton, menghindari Pangeran Kiansantang yang mengajaknya memeluk Islam. Prabu Siliwangi menyatakan “Sing saha incuk putu kawula ngagem ilmu kawula, kawula aya didinya” artinya; siapa saja anak cucu saya yang memegang ilmu saya, saya akan ada di situ. Kalimat ini dan juga ungkapan “nyumpet di nggon ca’ang” berarti; sembunyi di tempat terang, menunjukkan bahwa keyakinan dan ajaran serta tradisi Buhun di Kranggan bersumber dari Pangeran Rangga atau bahkan dari Prabu Siliwangi sendiri. Dalam pengertian yang lebih sederhana, Buhun adalah komunitas yang masih melestarikan tatacara leluhur atau nenek moyang (karuhun). Kranggan modern masih kuat memegang adat istiadat lama. Orang mau menikah, khitanan, mendirikan rumah, dan memulai pekerjaan masih datang ke orang tua (abah kolot) untuk meminta petunjuk. Ilmu perhitungan dan ilmu
244
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
kesaktian juga masih kuat. Upacara sedekah bumi ( bebaritan) dilakukan oleh masyarakat tidak saja di kelurahan tetapi di tingkat RT/RW di seluruh kawasan Kranggan. Bebaritan dilakukan pada bulan Apit (Dzulqa’dah) setelah mereka shalat Jum’at. Tempat upacara dilakukan di lapangan terbuka, di tanah kosong yang dekat dengan persimpangan jalan dan juga di makam‐makam.Penduduk setempat juga melalukan upacara atau perayaan Maulid, untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid dilakukan setiap tanggal 12‐14 bulan Mulud (Rabiul Awal). Pada upacara Maulid ini ada sejumlah aktifitas sakral seperti mandi di tujuh sumur, menyuci pusaka, dan memotong kerbau bule, kepalanya di tanam di tempat yang dikeramatkan. Pada bulan Syawal, dimulai pada hari ketiga hingga hari ke tujuh setelah Idul Fitri, dilakukan ziarah ke makam leluhur orang Kranggan di Gunung Putri. Konon makam yang secara turun temurun diziarai tersebut adalah makam salah seorang luluhur yang bernama Sayidina Ali, yang dianggap sebagai leluhur orang Kranggan. Kepemimpinan komunitas Buhun dimulai dari Abah Pidin di Kranggan Tua (Gunung Putri, Bogor). Pimpinan kedua bapak Ipin pindah ke Kranggan muda (Jatisampurna). Pimpinan yang ketiga adalah Bapak Kolot Mija, kemudian yang ke empat Bapak Kolot Okong. Pimpinan ke lima bapak kolot Piun, pimpinan ke enam Bapak Kolot Demping. Kolot Demping inilah yang paling tersohor, memiliki ilmu tinggi. Pimpinan ketujuh bapak Kolot Miin, pimpinan ke delapan bapak kolot Misun dan yang kesembilan komunitas Buhun dipimpin oleh bapak kolot Kisan. Pimpinan Buhun diwariskan tidak dipilih oleh warga. Anak laki‐laki tertua adalah mereka yang memiliki peluang pertama untuk Dinamika Agama Lokal di Indonesia
245
menerima estafet kepemimpinan. Selain anak tertua, ia harus orang yang benar dan jujur dalam menjalankan amanah. Kapan seorang abah kolot, tetua adat, mewariskan kepemimpinannya kepada generasi penerus. Suksesi kepemimpinan ini menurut bapak Kisan, abah kolot yang sekarang, adalah ketika ada wahyu atau petunjuk dari leluhur. Abah kolot dalam melaksanakan uapacara, tugas adat, mengenakan baju “cele”, model baju seperti yang dikenakan oleh orang Baduy. Pimpinan memiliki pusaka sejenis kujang sebagai simbol kepemimpinannya. Selain pusaka, abah kolot juga memiliki kopak yakni rumus petungan untuk menentukan hari baik dan atau hari‐hari yang terlarang menurut perhitungan mereka. Kopak ini dibuat dari papan kayu ukuran sekitar 30 x 30 cm. Isinya simbol‐simbol yang berupa bulatan kecil. Tugas sebagai seorang abah kolot esensinya adalah sebagai mediator antara dunia nyata dengan dunia gaib. Dialah yang menyampaikan maksud setiap sesaji, yakni memohon atau minta kepada leluhur untuk disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan maksud dan tujuan sesaji. Adapun doa secara Islam disampaikan oleh amil yang sekaligus sebagai saksi. Inilah ijab atau ungkapan permohonan yang disampaikan oleh Abah Kolot dalam upacara sesaji “kawula teh dina bulan hade jung tanggal nue hade, dine pueiya wa kawula nyuguh ka bapak ka emak jeng ka karuhun di Kranggan (bapak buyut, makam gandiriya, karuhun bapak Rapidin di Gunung Putri. Sesuai jeng kemampuan abdi sa kaluarga, abdi teh nyandok kadaangan sekiya rupina tetapi harus dicicipi. Salajengna abdi sakaluarga, minta kasalamatan, kaberkahan jeng di babarikan milik sareng rezeki dijauhken tina penyakit/bilahi, jeng minta baruda pinter sekolah”.
246
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Abah kolot juga menerima permintaan para penganut tradisi Buhun ketika melakukan sesaji untuk membacakan mantra atau doa. Sebelumnya orang yang memiliki hajat mengucapkan; Pak Kolot, saya dan anak cucu saya hari ini berniat untuk membawa ka makanan anu perlu didahar ka bapak dan ibu/emak. Abah kolot kemudian mengucapkan “bismillahir‐ rahmanirrahim, assalamu’alaikum, waalaikum salam. Asawadu alla ilahaillah wa ashadu anna Muhammadarrasulullah”. Sambil membakar kemenyan Abah Kolot membaca mantra “Bol kukus bul kaula, menyan putih anu sakti” terus meminta maaf, dan menyerahkan sesaji dengan ucapan “barangkali bapak lagi tidur atau istirahat” lalu asap kemenyan diusapkan kemukanya sebanyak 3 kali dan membaca Mantra‐mantar khusus. Varian Ketiga adalah Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) Sebagian orang Kranggan ada yang mengaku tidak menganut agama apapun. Mereka adalah penganut aliran kebatinan “Perjalanan” atau disebut dengan AKP. Aliran ini tidak mengaku beragama Islam, tetapi mengaku sebagai orang penghayat kepercayaan. Hari raya mereka jatuh pada tanggal 1 Suro menurut perhitungan Jawa. Jika melakukan pernikahan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Anak‐anak mereka di sekolah mengikuti pelajaran agama agama Islam, tetapi kalau ada ujian praktik (ibadah) mereka tidak ikut. KTP mereka sudah banyak yang mencantumkan kolom agama dengan dikosongkan atau angka 7 atau ada juga yang sudah menuliskan dengan Aliran Kebatinan Perjalanan. Mereka mempunyai tempat “ibadat” tersendiri yang disebut Gedung Pasewakan. Kegiatan rutin di Pasewakan bukan ibadat tetapi sarasehan, untuk mempelajari ajaran kebudayaan spiritual. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
247
Kegiatan ini dilakukan setiap seminggu sekali, pada malam Minggu. Untuk kepentingan pendalaman ajaran yang lebih intensif dilakukan setiap Kliwonan dan sekali setahun mereka melakukan upacara “mapak Suro”. Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) didirikan oleh Mei Kartawinata, M. Rasyid dan Sumitra pada tanggal 17 September 1927, di Subang (Abdul Rozak, 2005: 119). Pokok ajarannya adalah sebagai berikut: a). Tuhan Yang Maha Esa itu Wujud, Terdahulu, Kekal/Abadi, Berbeda, Mandiri, Tunggal, b). Wujud Tuhan Yang Maha Esa memancar dalam rasa panas, dingin, semilir dan tetap; c). Timbul kehidupan seperti pepohonan/tetumbuhan, binatang dan manusia. Manusia terdiri atas unsur sari pati: api, air, angin, bumi. Manusia mempunyai badan yang wadag (jasmani), sari rasa alam mempunyai badan halus (rohani). Umat Tuhan Yang Maha Esa yaitu manusia mempunyai hidup, nafsu dan budi pekerti yang lebih sempurna dari pada makhluk lain. Manusia mempunyai empat unsur nafsu: Khewani, Duniawi, Robani, Setani. Keepat unsur tersebut diatas dapat membentuk jiwa yang sebaik‐baiknya dan dapat meningkatkan derajat hidup. Sarasehan yang dilakukan oleh penganut aliran kebatinan “Perjalanan” adalah untuk menumbuhkembang kan cinta kasih yang mengandung jiwa dan semangat yang maju. Cinta kasih ada dalam batin manusia, dengan batin itulah manusia mengenal kuasa Tuhan Yang Maha Esa yang ada dalam dirinya. Ajaran Aliran Kebatinan “Perjalanan” mewajibkan supaya manusia menjaga diri, jasmaniah, rohaniah, lahir iyah dan batiniyah. Akhirnya, penganut yang mampu menjaga diri akan berhasil sampai kepada kesadaran; Aku ini wujud yang berasal wujud Tuhan Yang Maha Esa. Aku ini diberkahi Tuhan Yang Maha Esa. Dari itu pula aku
248
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
wajib menghormati dan berterima kasih kepada: ibu yang melahirkan, ibu yang mengandung (ibu pertiwi), bapak yang menjadi lantaran, bapak yang mengayomi, diri, Tuhan Yang Maha Esa (Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan,1989 : 7). KELANGSUNGAN DAN PERUBAHAN Penggambaran dinamika keberagamaan masyarakat Kranggan sebagaimana di atas menunjukkan kebenaran sinyalemen para antropolog seperti Geertz, Mulder, hingga Robert Hefner yang melihat proses Islamisasi dalam pengertian kuantitatif maupun substantif di Indonesia masih berlangsung. Hubungan saling pengaruh mempengaruhi dalam beragama, seperti penyerapan tradisi kecil terhadap tradisi besar atau sebaliknya, merupakan fenomena yang dapat ditemukan di semua agama dan semua tempat. Trend purifikasi dan fundamentalisme juga terjadi, manakala pranata‐pranata lama tidak lagi fungsional menghadapi penetrasi modernisasi. Keberlangsungan tradisi Buhun di Kranggan masih tetap eksis karena dalam pandangan mereka tidak bertentangan dengan tradisi besar (Islam). Sesaji, bebaritan dan ngancak adalah media (wasilah) untuk para karuhun dalam rangka bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. Para penceramah dan pengkutbah yang berasal dari lingkungan setempat memahami prilaku keagamaan tersebut. Mereka pun diterima oleh pimpinan dan penganut tradisi Buhun, karena ia mau menghargai keyakinan seperti itu. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, Abah Kolot, pemimpin komunitas Buhun membangun mushala di dekat rumah, selain untuk shalat juga untuk pengajian. Guru yang diundang memberikan pengajian adalah ibu Hj. Marwati yang Dinamika Agama Lokal di Indonesia
249
berasal dari Kp. Raden. Pengajian ini didengar oleh Abah Kolot karena disampaikan melalui pengeras suara. Menurut pemimpin Buhun, pelajaran dalam pengajian di dekat rumah sesuai dengan pengetahuan dan sikap keagamaannya. Dengan demikian terjadilah dialog kebudayaan dan menghasilkan sikap saling menghormati. Hubungan harmoni antara kelompok santri (setempat) dengan penganut Buhun melahirkan pemahaman keagamaan baru bagi mereka. Mengikuti pendidikan Islam, melaksanakan ibadah haji menjadi fenomena baru bagi warga Kranggan. Kalau dahulu para leluhur mereka dapat pergi pulang ke Mekkah dalam sekejap, karena kesaktiannya, sekarang mereka lakukan dengan menunaikan ibadah haji atau umrah. Isteri – isteri mereka sudah mengenakan jilbab, dan anak‐anak dikirim ke pesantren. Gejala seperti ini merupakan pertanda bahwa perubahan memang telah terjad, proses santrinisasi. Meskipun demikian, tradisi yang dibangun berdasarkan ajaran leluhur masih tetap dipertahankan. Faktor lain yang mempengaruhi kerukunan masyarakat Kranggan adalah mereka berasal dari ethnik Sunda, dan keturunan leluhur yang sama. Oleh karena itu keberadaan aliran kepercayaan “Perjalanan” juga tidak dipermasalahkan. Di Kp. Rangga ini terdapat Gedung Pasewakan yang merupakan pusat dari kegiatan kelompok penganut aliran kepercayaan “Perjalanan” yang paling besar di kota Bekasi. Hampir bersamaan dengan kehadiran penulis di Kranggan, walikota Bekasi juga meresmikan dimulainya pembangunan gereja Katolik di Kalamiring. Masyarakat sekitar melakukan penolakan terhadap pembangunan gereja. Pada tanggal 17 Mei 2013 warga berkumpul di halaman kantor Kecamatan dan menuntut agar pembangunan gereja
250
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
dihentikan dan ijinnya dicabut. Sebelum berdemo, di sebuah masjid di Kp. Rangga, ketua DKM menyampaikan ajakan kepada jamaah untuk berdemo. Alasan yang dikemukan sangat menarik; “saudara‐saudara kita sudah berhasil menyelamatkan keimanan kita dari sejak zaman penjajahan. Bagaimana dengan anak cucu kita ke depan sekiranya gereja sudah dibangun di sekitar kita?” Kalimat seperti itu menunjukkan komitmen keagamaan yang ekslusif, sekaligus tanggung jawab terhadap masa depan generasi muda dalam beragama. Itulah corak pemahaman dan sikap seorang santri terhadap kehadiran rumah ibadat penganut agama yang berbeda. Sebaliknya, seorang staf KUA yang masih setia dengan keyakinan dan tradisi Buhun menyatakan orang‐ orang yang menolak kehadiran gereja di Kranggan tidak bakal menang. Alasannya, penganut Katolik di wilayah Kecamatan Jatisampurna sudah banyak dan mereka berhak untuk memiliki rumah ibadat sendiri. Apalagi syarat‐syarat untuk mendirikan rumah ibadat sudah terpenuhi semua.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
251
PENUTUP Kesimpulan 1. Tradisi Buhun di Kranggan keberadaannya masih tetap eksis, karena pranata keagamaan dan tradisinya masih tetap dipertahankan dan difungsikan dengan baik. Masyarakat Kranggan merasa bahagia dan tidak merasa terasing karena modernisasi. Adaptasi terhadap lingkungan dan penyerapan ajaran dan keyakinan Islam berjalan secara evolutif. Harmoni antara dua ajaran dan keyakinan bersatu (Islam dan Buhun) karena mengguna‐ kan wadah (lembaga) agama seperti Maulid Nabi, Ziarah, Suro. Hubungan kekerabatan, termasuk silsilah yang konon bersambung sampai Sayyidina Ali. Tradisi sesaji atau ngancak dapat dipertahankan karena ijab kabulnya menggunakan kalimat syahadat dan persembahan tersebut dipandang sebagai tawasul. 2. Pelayanan hak‐hak sipil bagi masyarakat Kranggan yang mempercayai tradisi buhun atau Aliran Kebatinan Perjalanan, sudah dilayani dengan baik oleh pemerintah, seperti pada KTP kolom agama ditulis angka 7 atau dikosongkan atau boleh juga ditulis dengan Aliran Kebatinan Perjalanan; Masalah perkawinan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil; Masalah pendidikan agama pada anak didik mengikuti pelajaran Agama Islam, tetapi kalau dalam ujian praktek ibadah mereka tidak ikut, karena mereka menginginkan diberikan soal sesuai ajaran kepercayaannya, tetapi pemerintah belum siap, karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana.
252
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
3. Masyarakat Kranggan terdiri dari tiga varian yaitu varian Islam Santeri, buhun dan Aliran Kebatinan Perjalanan. Ketiga varian ini relasinya cukup baik, diantara mereka saling mendukung dan memperkuat, tidak ada saling menyalahkan bahkan saling membenarkan. Relasi antara agama santeri, buhun dan Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) di Kranggan merupakan sebuah model dialog kebudayaan atau peradaban yang perlu dipertahankan. Rekomendasi 1. Pemerintah perlu memberikan perhatian kepada masyarakat Kranggan terutama terhadap anak didik dalam masalah pelayanan terhadap mata pelajaran agama di sekolah, mereka minta dilayani sesuai keyakinan ajaran yang dianutnya. 2. Relasi sosial terhadap masyarakat sekitar dan masyarakat diluarnya yang sudah cukup baik itu, perlu dipertahankan terus.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
253
DAFTAR PUSTAKA
Kahmad Dadang, Agama Islam dan Budaya Sunda, KIBS., 2001. Abdullah, Taufik, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Sebuah Prespektif Perbandingan”, dalam Taufiq Abdullah, Sharon Shidiqiy. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta, LP3IS. 198 Berger, Peter L., Langit Suci: Agama sebagai realitas Sosial. Jakarta, LP3IS, 1991. Bellah, Robert N., Beyond Belief: Esei‐Esei Tentang Agama di DuniaModern. Jakarta Penerbit Paramadina, 2000. (Penerjemah Rudy Harisyah Alam) Capps, Walter H., Religious Studies: the Making of a Disipline. Miniapolis‐ Fortress Press, 1995. Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran Kebatinan “Perjalanan”, 1989. Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Pedoman dasar/pedoman rumah tangga aliran kebatinan “perjalanan”, 2005. Durkheim, Emile, Sejarah Agama (The Elementary Form of Religious Life), Yogyakarta IRCiSoD, 2003. (Terjemahan Inyiak Ridwan Munir) Rozak, Abdul, Kebatinan Sunda: Kajian Antropologi Agama Tentang Aliran Kebatinan Perjalanan. Bandung Kiblat Buku Utama, 2005. Spradley, James P, Observation Participaton. New York Holt, Rinehart and Winston, 1980. Weber, Max, Sosiologi Agama. Yogyakarta. IRCiSoD, 2012.
254
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
AGAMA/KEPERCAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG DUKUH DALAM (di Desa Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut) Oleh : Kustini & Iklilah Muzayyanah DF
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
255
GAMBARAN UMUM WILAYAH KAMPUNG DUKUH DALAM Sekilas tentang Masyarakat Kampung Dukung Dalam Masyarakat adat Kampung Dukuh terletak di Desa Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Untuk mencapai wilayah itu, tidaklah mudah. Selain jarak yang cukup jauh dari ibu kota Kabupaten Garut, juga akses jalan sangat tidak mendukung khususnya dari ibu kota Kecamatan Cikelet ke Kampung Dukuh. Kecamatan Cikelet berjarak sekitar 101 km dari ibu kota Kabupaten Garut dan harus ditempuh selama hampir 5 jam jika menggunakan kendaraan umum yaitu seperti colt atau elf. Selain jalan yang kecil dan berkelok‐kelok, sebagian jalan masih berbatu, di sebelah kiri dan kanan jurang yang cukup lebar atau tebing gunung yang rawan longsor. Ketika melewati tebing gunung, ada daerah yang terkenal dengan daerah gunung gelap. Sepanjang jalan itu gelap meskipun siang hari karena diapit oleh tebing tinggi. Dari Kecamatan Cikelet menuju Kampung Dukuh sebenarnya tidak jauh hanya sekitar 10 km. Tetapi akses jalan yang berbatu, dan naik turun menyebabkan perjalanan menjadi lambat dan melelahkan. Meski jalan dapat dilintasi satu mobil, tetapi angkutan umum sangat terbatas hanya ada dua mobil dalam satu hari. Selebihnya masyarakat menggunakan ojek dengan ongkos minimal Rp. 30.000,‐ Kampung Dukuh dikenali dalam dua istilah, yaitu kampung dukuh dalam dan kampung dukuh luar. Sebutan ‘dalam’ dan ‘luar’ cukup mudah dipahami karena dapat terlihat dari batas tanah yang jelas dan mudah dikenali. Secara fisik, batas ini terlihat melalui pagar bambu yang melingkari kampung dukuh dalam. Itu artinya, kampung dukuh luar
256
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
adalah penduduk yang ada di luar batas pagar bambu yang ada. Batas pagar bambu ini juga menjadi batas wilayah rukun tetangga, dimana kampung dukuh dalam masuk RT 01 sedangkan kampung dukuh luar masuk RT 02 dari RW 06. Meskipun tampak sederhana, pagar bambu yang menjadi pembatas ini menjadi simbol atas perbedaan beberapa nilai dan aturan yang ditaati. Meskipun pada sebagian hal, warga kampung dukuh luar masih mempertahankan dan mentaati nilai dan aturan yang ada, namun tidak lagi seketat yang diterapkan di dalam kampung dukuh dalam. Salah satu yang terlihat jelas adalah penggunaan listrik dan bahan bangunan untuk rumah yang berbeda antara kampung dukuh dalam dan luar. Penduduk di Kampung Dukuh Dalam saat ini berjumlah 94 orang, dengan jumlah laki‐laki 49 jiwa dan perempuan 45 jiwa. Jumlah KK adalah 33 KK dengan kepala keluarga laki‐laki berjumlah 19 orang dan kepala keluarga perempuan (janda) berjumlah 14 orang. Sedangkan anak‐anak berusia dibawah 18 tahun berjumlah 20 anak laki‐laki dan 8 anak perempuan. Jumlah ini diperoleh melalui penghitungan manual dan pendataan secara langsung oleh peneliti bersama Pak Hanafi, ketua RT 01. Menurutnya, data penduduk Kampung Dukuh Dalam tidak dimiliki dirinya yang menjabat sebagai ketua RT karena hangus dalam kebakaran tahun 2011. Apalagi setelah peristiwa kebakaran tersebut, jumlah penduduk Kampung Dukuh Dalam berkurang dari sebelumnya, meskipun ada juga warga baru yang tinggal di Kampung Dukuh Dalam. Terdapat sebuah masjid, sebuah madrasah, rumah balai adat, bumi alit (rumah khusus untuk beribadah), enam kamar mandi di atas balong, dan 26 rumah panggung yang Dinamika Agama Lokal di Indonesia
257
memiliki model dan pola yang sama, yaitu berdinding bambu, menghadap ke barat atau ke utara, beratap ijuk, dan berlantai bambu yang dilebarkan (palupuh). Besar rumah cukup berfariasi, namun rumah terkecil yang saya dapati adalah rumah seorang janda yang mengaku berusia 98 tahun dengan luas sekitar 9 M2 dan rumah terbesar adalah rumah kepala dukuh (kuncen) yang biasa dipanggil dengan julukan Mamak, yaitu sekitar 100 M2. Luasnya rumah kuncen ini sengaja dipersiapkan untuk menfasilitasi tamu yang terus datang, berkonsultasi, dan bertawassul kepadanya. Di dalam semua rumah, tidak ada meja kursi bagi tamu yang berkunjung, namun tersedia tikar yang siap digelar setiap kali ada tamu. Semua penduduk memasak dengan menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu yang diperoleh dari hutan di sekitarnya, dan menggunakan penerangan dari api dengan bahan bakar minyak tanah. Kebanyakan penduduk bermata pencaharian sebagai petani, pekebun, dan peternak ikan dalam balong. Kebanyakan padi dan sayur mayur yang ditanam untuk kebutuhan sendiri, bukan untuk dijual, namun tanaman kebun dan palawija seperti cengkeh, cabe, dan lainnya biasanya untuk dijual. Pekerja di kebun dan sawah dilakukan bersama antara laki‐ laki dan perempuan, namun tanggung jawab diemban penduduk laki‐laki. Oleh karena itulah, beberapa janda yang memiliki lahan akan bekerjasama dengan kerabatnya yang laki‐laki dalam mengelola lahan miliknya. Aktifitas para perempuan tampak lebih banyak berkecimpung dalam urusan domestik dan reproduksi. Perempuan memasak, mencuci, menjemur pakaian, membersihkan rumah, menyapu halaman, dan merawat anak. Untuk kebutuhan memasak, biasanya laki‐
258
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
laki yang mencari kayu bakar di hutan, meskipun perempuan juga kadang‐kadang ikut mencari ranting kayu. Setiap hari, anak‐anak bersekolah di pagi hari. Selepas sholat dhuhur di siang hari dan setelah sholat asar di sore hari, anak‐anak bersekolah agama di madrasah satu‐ satunya yang ada di dalam Kampung Dukuh Dalam. Pengajar utamanya baru satu orang, yaitu anak kedua atau anak laki‐ laki pertama kuncen yang belum lama menggantikan ustadz yang telah berpindah di luar pagar (istilah yang biasa diucapkan) setelah kebakaran tahun 2011. Sedangkan masjid yang terletak di sebelah madrasah hanya diperuntukkan untuk laki‐laki. Perempuan tidak memiliki ruang khusus untuk sholat berjamaah. Sebelum kebakaran, ada musholla yang diperuntukkan bagi perempuan, namun tidak dibangun kembali. Di malam hari, suasana gelap dan sunyi sangat kental terasa. Namun demikian, ada beberapa aktifitas keagamaan yang dilakukan pasca sholat isya di rumah kuncen, seperti pembacaan Ratib Haddad, Tahlil, pembacaan Sholawat Nariyah 4444 kali, dan dibaiyah. Aktifitas ini tampak hanya diikuti oleh mayoritas laki‐laki dewasa dan anak‐anak. Ada beberapa perempuan mengikuti kegiatan keagamaan ini dan duduk di ruang belakang bersama anak‐anak. Sedangkan pengajian khusus untuk perempuan yang sudah dewasa dan tua dibina langsung oleh kuncen di setiap hari Ahad dimulai sekitar pukul 9 pagi hingga sekitar pukul 11 siang. Seluruh penduduk Kampung Dukuh Dalam beragama Islam dan menjalankan ritual sholat wajib lima waktu, sholat Jumat berjamaah di Masjid, dan berpuasa Ramadhan yang dipimpin oleh seorang Kuncen dan ia merupakan keturunan dari kuncen sebelumnya. Setiap hari Dinamika Agama Lokal di Indonesia
259
tampak selalu ada tamu yang berkunjung. Ada kepentingan yang berbeda‐beda dari para tamu yang hadir, seperti kepentingan melakukan kajian atau studi, melakukan peziarah makam, melakukan isol (tawassulan) dengan membawa kahaturan tuang, atau berkonsultasi tentang permasalahan yang dihadapi, baik masalah rumah tangga, ekonomi, pekerjaan, atau kesehatan. Para tamu ada yang berkunjung sejenak dan ada yang menetap untuk kurun waktu tertentu, misalnya 2 hari, 7 hari, 30 hari, 50 hari, atau lebih. Peran kuncen tidak hanya melayani kebutuhan para tamu yang berkunjung ke rumahnya untuk berbagai kepentingan. Namun kuncen dan istrinya juga menyediakan kebutuhan dasar para tamu, minimal kebutuhan makan sehari‐hari. Hampir tidak ada tamu yang tidak mencicipi makanan yang ada di rumah kepala adat tersebut, bahkan bagi penduduk Kampung Dukuh Dalam sendiri yang sedang tidak memiliki makanan dapat manikmati makanan yang ada di dalam rumah kepala adat ini. Makanan sepertinya tidak pernah habis tersedia, sejalan dengan kesan tidak pernah berhentinya tamu yang datang dan memakan makanan yang tersedia. Di hari Jumat dan Sabtu, beras yang dimasak hingga mencapai jumlah 60 kg dengan sayur pepaya, lalap, sambal, dan ikan asin sebagai lauk khas yang konon sudah terkenal. Selain makanan, Kuncen juga kerap memberi sejumlah uang kepada para tamu yang kehabisan uang untuk biaya ongkos pulang atau keperluan yang disampaikan kepada kepala adat. Setiap ritual dipimpin oleh kuncen, dengan didampingi wakilnya yang saat ini ada dua orang yang keduanya adalah menantu kuncen dari anak pertama dan anak ketiga Kuncen. Ritual rutin adalah melakukan sholat
260
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
berjamaah, tawassulan, munjungan berziarah, dan melakukan mandi 40 kucuran. Khusus di hari Sabtu, jamaah ziarah perempuan dipimpin oleh Nek Emes, seorang perempuan berusia hampir seratus tahun yang merupakan bibi Kuncen. Sedangkan istri kuncen berkonsentrasi menemani kuncen dalam melakukan tawassulan rutin di bumi alit dan memimpin warga perempuan yang bertugas membersihkan makam penduduk. Namun setiap hari, istri Kuncen bertugas mengatur jamuan makanan dan menyiapkan makanan untuk munjungan yang dilakukan secara rutin seminggu tiga kali. Kuncen memiliki peran sentral dalam Kampung Dukuh Dalam. Tampak penghormatan warga kepada kuncen cukup terlihat dari bahasa tubuh dan cara bicara yang ditampilkan. Demikian juga warga Kampung Dukuh Luar yang menghormati kuncen. Apabila akan melakukan perjalanan jauh atau keluar kota, tidak jarang warga Kampung Dukuh Luar mengunjungi kuncen terlebih dahulu dan meminta doa keselamatan bagi perjalanannya.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
261
TEMUAN HASIL PENELITIAN Tokoh dan Perkembangan Ajarannya Ajaran dan nilai yang dipertahankan di dalam Kampung Dukuh Dalam adalah ajaran yang dikembangkan secara turun temurun dari zaman nenek moyang. Salah satu tokoh kunci dalam sejarah ajaran Kampung Dukuh Dalam adalah seorang yang dipercaya waliyullah yang bernama Syekh Abdul Jalil. Kehidupan syekh Abdul Jalil tampak terus hidup dan dipertahankan, bahkan tetap menjadi pertimbangan atas berbagai aturan adat yang masih dipertahankan. Syekh Abdul Jalil merupakan bangsa Indonesia keturunan Jawa yang sejak kecil telah menempuh pendidikan agama di Makkah hingga dewasa. Dalam cerita yang disampaikan Mamak Uluk, Kuncen Kampung Dukuh Dalam, ketika dewasa Syekh Abdul Jalil diutus oleh seorang ulama Makkah untuk kembali ke Jawa. Pada mulanya Syekh Abdul Jalil menolak, namun pada akhirnya beliau berangkat dengan membawa sejumlah air zamzam dan tanah dari Makkah sebagai bekalnya. Setelah di Jawa, Syekh Abdul Jalil ditawari menjadi penghulu Kabupaten Sumedang oleh sinuhun Sumedang. Syekh Abdul Jalil menyetujuinya dengan syarat bahwa Bupati Sumedang harus bersatu bersama rakyat dan tidak melanggar syariat Islam. Setelah menjabat sebagai penghulu selama 12 tahun, Syekh Abdul Jalil berangkat kembali ke Makkah untuk suatu tujuan. Ketika Syekh Abdul Jalil tidak ada di Sumedang, Bupati memerintahkan bawahannya untuk membunuh dua orang utusan dari Banten yang membawa pesan dari Kerajaan Banten agar bupati Sumedang mau mengabdi ke Banten.
262
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Pembunuhan itu terjadi di Parakan Muncang, saat dua utusan tersebut dalam perjalanan kembali ke Banten. Karena pembunuhan ini melanggar syariat Islam, maka Bupati memerintahkan agar jangan sampai terdengar oleh Syekh Abdul Jalil. Namun sayangnya, kejadian ini diketahui oleh Suta Wijaya, seorang tangan kanan Syekh Abdul Jalil dan menceritakan kejadian yang dirahasiakan tersebut kepada Syekh Abdul Jalil. Mendengar tindakan Bupati, Syekh Abdul Jalil kecewa. Saat bupati dipanggil Sykeh Abdul Jalil, Bupati meminta maaf kepada Syekh Abdul Jalil atas kekhilafan keputusannya. Namun Syekh Abdul Jalil merasa kepercayaannya telah dikhianati. Oleh karena itulah, Sykeh Abdul Jalil mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penghulu kabupaten Sumedang. Syekh Abdul Jalil mengatakan kepada bupati bahwa “hari ini bakal ada kejadian.” Pernyataan Sykeh Abdul Jalil ini terbukti setelah sekitar 2 atau 3 bulan dari mundurnya Sykeh Abdul Jalil dari jabatannya, di hari Jumat terjadi penyerangan cukup besar di Sumedang yang datang dari Banten. Selepas menjabat sebagai penghulu, SYekh Abdul Jalil tinggal di Batuwangi, lalu berpindah di Pameumpeuk selama sekitar satu tahun setengah. Di suatu malam tanggal 12 Maulid tahun Alif, ketika Syekh Abdul Jalil sedang bermunajat, ia mendapatkan wangsit (semacam petunjuk ghaib) melihat cahaya menuju atas yang berasal dari sebuah pohon aren. Lalu berangkatlah Syekh Abdul Jalil ke arah cahaya yang dilihatnya, sehingga sampailah pada sebuah daerah yang saat ini disebut sebagai Kampung Dukuh Dalam. Beliau tinggal dan menyebarkan agama dengan menekankan
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
263
pada cara hidup sufi yang menjauhkan diri dari hal‐hal yang bersifat kemewahan duniawi sampai wafatnya. Makam Syekh Abdul Jalil di wilayah hutan larangan, sekitar 300 meter dari Kampung Dukuh Dalam. Makam ini hanya dibuka dan diizinkan untuk diziarahi pada hari Sabtu saja, karena ada keyakinan pada hari Sabtulah Syekh Abdul Jalil hadir di persinggahan terakhirnya. Salah satu tempat dimana Syekh Abdul Jalil bermunajat adalah di lokasi dimana bumi alit dibangun, yaitu di antara rumah tokoh adat dan deretan kamar mandi warga. Setelah wafatnya Syekh Abdul Jalil, masyarakat Kampung Dukuh Dalam dipimpin oleh tokoh adat yang disebut dengan julukan kuncen. Kepemimpinan dari unsur adat ini sejalan dengan konsepsi tentang hak atas tanah yang didasarkan pada siapa pihak yang paling pertama mengelolanya. Kampung Dukuh Dalam telah ada sebelum hadirnya Islam dengan penduduknya adalah masyarakat adat Sunda. Islam yang ada di Indonesia tmbuh dan berkembang dengan dibawa oleh salah satunya para wali dan habib. Tetapi mereka datang belakangan, sehingga hak atas kepemimpinan adat bukanlah pada kalangan habib namun menjadi hak keturunan adat Sunda dengan sistem kepemimpinan turun temurun. Namun, dalam penjelasan Pak Kuncen, calon pengganti kuncen tidak pernah direncanakan secara khusus, apalagi diajarkan. Calon pengganti kuncen juga tidak selalu harus anak pertama, namun pasti harus laki‐laki. Sebagaimana dirinya bukanlah anak pertama dan tidak dipersiapkan oleh ayahnya untuk menggantikan kedudukan ayahnya. Namun semua terjadi dalam sebuah rangkaian rahasia Ilahi sebagai sebuah proses perjalanan, demikian ungkap Mamak Uluk suatu hari.
264
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Dalam logika yang hidup di Kampung Dukuh Dalam, kepemipinan adat tidak bisa digantikan dengan selain orang keturunan adat. Sejarah adat yang diceritakan dalam tuturan lisan turun temurun menjelaskan bahwa Kampung Adat Dukuh memiliki tokoh‐tokoh adat yang disebut eyang. Ada beberapa titik makam eyang yang dapat ditelusuri dan berada melingkari Kampung Dukuh. Dalam mitos yang hidup juga dipercaya adanya harimau penjaga hutan yang senantiasa hadir, muncul, dan bersuara di malam hari, khususnya di malam‐malam tertentu yang membantu dan menemani para eyang melakukan tugasnya menjaga keseimbangan alam. Oleh karena itulah, kepemimpinan di Kampung Dukuh Dalam tidak akan tergantikan oleh selain orang keturunan adat, bahkan oleh orang Arab‐pun yang secara keilmuan bisa jadi lebih mumpuni dari orang adat. Hal ini pernah terbukti pada sejarah kepemimpinan Mamak Uluk yang pernah digugat untuk turun dan digantikan oleh seorang habib, salah satu warga Kampung Dukuh Dalam. Ketika perwakilan warga menuntutnya turun, Mamak Uluk tidak melawan sama sekali. Beliau mengikuti permintaan warganya dan keluar dari rumah adat dalam Kampung Dukuh Dalam menuju rumah mertuanya di Garut. Namun kepemimpinan ini tidak berjalan lama, karena kemudian Mamak Uluk yang pada saat itu tinggal di Bandung, ditemui oleh mayoritas warga Kampung Dukuh Dalam dan memintanya kembali memimpin adat di Kampung Dukuh Dalam. Dalam sejarah kepemimpinan Kampung Dukuh Dalam, Mamak Uluk Luqman adalah kuncen ke‐14. Namun tidak ada catatan silsilah nama‐nama para kuncen yang pernah memimpin Kampung Dukuh Dalam ini. Mamak Uluk hanya mengingat tiga nama kuncen di atasnya secara Dinamika Agama Lokal di Indonesia
265
berurutan, yaitu Mamak Bani (Kuncen ke‐13), Mamak Ilyas (Kuncen ke‐12), dan Mamak Nurilyas (Kuncen ke‐11). Kampung Dukuh Dalam yang kesemuanya beragama Islam, menjalankan kewajiban sebagai umat Islam sebagaimana dalam pemahaman Islam pada umumnya. Namun ada beberapa nilai ajaran utama yang cukup menonjol dalam Kampung Dukuh Dalam yang hingga saat ini masih dipertahankan. Setidaknya ada empat nilai ajaran, yaitu prinsip kehidupan sufi, hubungan alam dan keselamatan dunia, perhitungan tanda‐tanda kiamat, dan karomahnya para auliya. Pertama, prinsip kehidupan sufi merupakan satu ajaran yang ditekankan oleh para leluhur, khususnya Syekh Abdul Jalil. Kehidupan sufi yang dipertahankan merupakan sebuah ikhtiyar dalam keihtiyatan (kehati‐hatian) untuk tujuan memaksimalkan kualitas dan kesempurnaan ibadah. Prinsip ini merupakan bentuk pilihan dari berbagai pilihan dalam cara hidup yang bertujuan untuk beribadah ini. Oleh karena itulah, prinsip yang diberlakukan di dalam Kampung Dukuh Dalam hanya diberlakukan bagi yang secara voluntary mengikuti prinsip ini. Tidak ada upaya menyebarkan, mengajak, atau memerintahkan seseorang untuk mengikuti prinsip ini. Demikian juga sebaliknya, masyarakat Kampung Dukuh Dalam akan sangat berkeberatan jika dianjurkan, diajak, atau diperintahkan untuk merubah prinsip ini dengan prinsip yang lainnya. Bentuk nyata dari prinsip ini diwujudkan dalam praktik‐praktik kehidupan sehari‐hari. Bentuk rumah yang sederhana dengan model yang hampir seragam diyakini dapat menghindarkan masyarkat Kampung Dukuh Dalam dari sifat iri, dengki, dan riya’. Kesederhanaan memunculkan rasa
266
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
sekelas, tidak ada persaingan dalam hal duniawi, dan strata sosial. Implikasi nyata yang dirasakan oleh warga Kampung Dukuh Dalam dengan memiliki rumah sederhana adalah rasa damai dan tenang karena terbebas dari keinginan duniawi. Karena prinsip ini pula, seluruh warga Kampung Dukuh Dalam tidak menggunakan listrik. Penolakan terhadap listrik ini bukan didasarkan alasan keterbatasan ekonomi warga, namun untuk tujuan menghindari efek dari akses terhadap listrik yang dapat mengganggu kualitas ibadah warga. Nafsu terhadap barang‐barang mewah bisa jadi sulit dibendung ketika akses listrik mudah diperoleh, seperti keinginan memiliki barang elektronik kulkas, microwive, mesin cuci, oven, dan lainnya, atau memiliki televisi dan radio atau tape sehingga mendengarkan atau menonton sajian yang tidak penting. Bukti alasan ini terlihat dari nilai kebutuhan untuk penerangan di Kampung Dukuh Dalam lebih tinggi ketimbang seandainya mereka menggunakan penerangan listrik. Dalam hitungan sebulan, kebutuhan terhadap minyak tanah bisa jadi lebih besar dari tagihan listrik warga Kampung Dukuh Luar. Misalnya saja kebutuhan minyak tanah rumah kuncen, sebulan bisa mencapai 60 liter atau sekitar setengah juta rupiah. Padahal minyak tanah hanya digunakan untuk sedikit menghidupkan api dalam tungku dan untuk penerangan di malam hari saja. Kedua, hubungan alam dan keselamatan dunia. Nilai ajaran ini membicarakan tentang logika‐logika yang dibangun berkaitan dengan berbagai bencana dan kerusakan alam. Dalam ajaran ini, Kampung Dukuh Dalam percaya ada tiga pacaduan, yaitu pacaduan maqom (larangan makam), pacaduan kampung (larangan kampung), dan pacaduan leuweung (larangan hutan) (Bardan & Suhadriman, 2007). Dalam Dinamika Agama Lokal di Indonesia
267
perbincangan sambil menikmati kopi pagi, Mamak Uluk menjelaskan bahwa batas‐batas larangan ini dapat dilihat secara fisik dalam bentuk pagar atau sungai kecil. Dalam konsepsi tentang tanah, terdapat empat jenis kategori tanah, yaitu tanah larangan, tanah garapan, tanah tutupan, tanah cadangan. Tanah garapan, tanah tutupan, dan tanah cadangan saat ini telah dikuasai oleh pemerintah, sehingga hak adat hanya tersisa tanah larangan saja. Di tanah larangan ini, siapapun yang ada di dalamnya harus mematuhi larangan untuk hidup mewah. Meskipun agama tidak melarang hidup bermewah, namun larangan ini berlaku bagi siapapun yang tinggal di dalamnya, khususnya di daerah Larangan Kampung. Sedangkan tanah larangan hutan dilarang ditanami dengan tanaman industri seperti kayu jati yang banyak tampak di wilayah tanah cadangan dan tanah garapan. Di tanah larangan hutan ini, tanaman dibiarkan tumbuh sendiri. Kayu‐kayu alami yang biasa dijumpai di tanah larangan hutan ini adalag kayu kisampang, kayu balung injuk, kayu cempaka, kayu jaka, dan lainnya. Kayu‐kayu inilah yang boleh digunakan untuk konstruksi rumah, bukan kayu jati atau kayu industri lainnya. Keseimbangan atas tanah dan alam ini dipertahankan karena segala kejadian yang adai di dunia ini merupakan bagian dari hasil perbuatan manusia terhadap alam. Jika manusia secara bijak memperlakukan alam, maka alam akan memberikan penghidupan yang baik. Namun jika manusia memperlakukan alam secara sewenang‐wenang dan dzalim, maka bencana dan kerusakan alam akan dialami manusia. Oleh karena itulah, Kampung Dukuh Dalam hingga saat ini masih sangat ketat memperlakukan aturan‐aturan terkait tanah‐tanah larangan tersebut. Misalnya pada tanah larangan
268
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
hutan yang pohonnya dilarang untuk ditebang dengan alasan apapun. Tanah larangan hutan ini akan menjaga manusia dari kehilangan akses terhadap air. Jika pepohonan yang ada di dalamnya ditebang secara sembarangan, maka ketersediaan air akan berkurang atau habis yang dapat mempengaruhi pertanian yang menjadi dasar kebutuhan primer manusia. Keterbatasan air juga dapat mengancam kehidupan manusia dan hewan yang hidup di dalamnya. Ketiga, perhitungan tanda‐tanda kiamat. Kepercayaan atas datangnya hari kiamat diyakini pasti kedatangannya. Hari kiamat dapat diperhitungkan melalui kejadian‐kejadian alam dan sosial yang terlihat. Kejadian alam terlihat dari terjadinya kiamat‐kiamat sughro (kiamat kecil) yang semakin sering terjadi, seperti tsunami, gempa, banjir, longsor, dan sebagainya. Kejadian alam tersebut pada dasarnya merefleksikan bagaimana manusia memperlakukan alam. Sedangkan kejadian sosial terlihat dari semakin jauhnya manusia dari tuntutan ibadah sebagai tujuan hidupnya. Pengaruh kehidupan duniawi telah terlihat dan mempengaruhi orientasi hidup manusia. Untuk mencapai kepentingan nafsu, manusia terbawa pada kesifatan dajjal seperti berbohong, menfitnah, tidak amanah, dan dzalim. Kesifatan dajjal ini terlihat sangat jelas dalam kehidupan sehari‐hari. Padahal dalam logika Kampung Dukuh Dalam, ketika kesifatan dajjal telah makin menguat, maka makhluk Allah yang bernama Dajjal akan turun ke bumi dan membuat kerusakan. Kehadiran Dajjal inilah menjadi salah satu tanda kiamat yang sesungguhnya akan terjadi. Keempat, karomahnya para auliya. Masyarakat adat Kampung Dukuh Dalam sangat mempercayai kemuliaan dan keistimewaan para auliya (kekasih Allah). Penghormatan Dinamika Agama Lokal di Indonesia
269
terhadap auliya dilakukan secara cukup konsisten melalui berbagai ritual, aturan, dan tabu yang hidup di masyarakat. Ada beberapa ritual adat yang merefleksikan penghormatan mendalam pada auliya. Di antaranya adalah ritual munjungan, yaitu menyediakan sejumlah makanan siap santap dalam wadah‐wadah dari batok kelapa dan piring dari kayu yang ditata dalam sebuah nampan khusus dan dibawa masuk ke bumi alit. Munjungan ini dilakukan sebagai bentuk tasyakkur atas nikmat rizki yang ada. Praktik ini hampir mirip seperti menyediakan sesaji, namun setelah ritual munjungan, makanan yang ada dibawa kembali ke rumah adat dan disantap. Tidak ada larangan tentang siapa yang menikmati makanan munjungan ini, karena tampak kadang Kuncen menyantap makanan tersebut, terkadang istri kuncen, anak kuncen, warga yang sedang ada di rumah adat, bahkan pernah ditawarkan kepada saya, orang luar yang sedang ada di rumah adat. Selama ritual belum selesai dilaksanakan, maka siapapun yang ada di dalam rumah adat tidak boleh mendahului makan makanan yang ada, kecuali keluar dari rumah adat dan berpindah ke rumah penduduk atau di balai adat. Ritual lainnya yang menunjukkan penghormatan kepada auliya adalah ritual kahaturan tuang. Dalam ritual ini, makanan pokok mentah seperti beras, garam, kelapa, dan lauk semampunya (bisa ikan asin, ayam, kambing, atau sapi) disediakan dalam satu wadah dan dilakukan tawassulan yang dipimpin oleh kepala adat. Tawassul ini dilakukan dengan mengharap karomah pada auliya, karenanya doa dilakukan dengan menghadap arah makam Syekh Abdul Jalil. Selain ritual, ada beberapa tabu perilaku yang sangat dipertahankan oleh masyarakat Kampung Dukuh Dalam. Di antaranya
270
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
adalah tidak berselonjor ke arah makam dan rumah tidak menghadap makam. Hampir semua warga Kampung Dukuh Dalam mentaatinya, bahkan Kampung Dukuh Luar. Hanya terlihat beberapa anak kecil melakukan karena ketidaktahuan mereka, yang langsung mendapat sanksi keras dari orang‐ orang sekelilingnya. Bertahannya aturan ini diperkuat dengan adanya mitos‐mitos bencana yang dialami orang yang melanggar tabu yang berlaku, misalnya meninggal mendadak. Bentuk penghormatan lainnya adalah adanya aturan‐ aturan cukup ketat terhadap cara‐cara berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil. Makam yang hanya dibuka di hari Sabtu ini, menyaratkan peziarahnya bukan dari kalangan PNS dan pemuda yang sudah memiliki tunangan. Larangan bagi PNS ini didasarkan pada sejarah pahit tentang pengkhiatan bupati Sumedang kepada Sykeh Abdul Jalil. Bupati direlasikan dengan pemerintah, sehingga semua pihak yang memperoleh gaji bulanan dari pemerintah seperti PNS dinilai ikut bertanggung jawab atas pengkhiatanan di masa lalu. Oleh karenanya, larangan bagi PNS diyakini sebagai bentuk pengakuan sejarah dan penghormatan kelukaan yang dialami waliyullah Syekh Abdul Jalil. Eksistensi Ajaran Paham Keagamaannya Nilai dan ajaran yang dipraktikkan di Kampung Dukuh Dalam telah berlangsung lama. Tidak ada catatan sejarah tentang berapa tahun ajaran dan nilai ini dipertahankan. Namun masyarakat Kampung Dukuh Dalam meyakini telah dipraktikkan oleh para pendahulu sejak masa sebelum orde baru, bahkan mungkin sebelum kemerdekaan. Namun demikian, ajaran dan nilai yang bertahan hingga kini bukanlah tanpa proses negosiasi dan kontestasi. Bencana alam Dinamika Agama Lokal di Indonesia
271
dan hadirnya berbagai intervensi dari luar Kampung Dukuh Dalam yang membawa nilai‐nilai berbeda telah banyak ada, seperti kebijakan pemerintah, modernisasi dan kemajuan teknologi. Peristiwa‐peristiwa dan kejadian‐kejadian tersebut secara tidak langsung telah mempengaruhi cara pandangan warga Kampung Dukuh Dalam serta nilai dan ajaran yang ada. Namun dalam situasi tersebut, nyatanya warga Kampung Dukuh Dalam dapat mempertahankan nilai dan ajarannya, meskipun muncul dinamika‐dinamika di dalamnya. Salah satu peristiwa yang dinilai sebagai cobaan mempertahankan nilai dan ajaran yang dipraktikkan Kampung Dukuh Dalam adalah peristiwa bencana kebakaran yang terjadi di tahun 2006 dan tahun 2011. Kejadian ini telah meluluhlantakkan semua harta benda dan benda‐benda bersejarah penting yang dimiliki oleh Kampung Dukuh Dalam (Garut News, 10 September 201, diakses 24 April 2013, Tempo.Co, 10 September 2011, diakses 24 April 2013). Namun tidak ada korban jiwa satupun dalam kejadian ini. Akibat peristiwa ini, muncul kekhawatiran terhadap model rumah yang didasarkan pada bahan‐bahan alam yang mudah terbakar. Akibat kejadian ini, jumlah warga Kampung Dukuh Dalam terus berkurang. Salah satu indikatornya, jumlah rumah di dalam Kampung Dukuh Dalam yang sebelumnya berjumlah 40 rumah, sekarang tersisa 26 rumah. Beberapa warga memilih berpindah ke Kampung Dukuh luar atau ke desa yang lain karena khawatir mengalami kebakaran kembali. Termasuk di Kampung Dukuh Luar yang sebelumnya menggunakan rumah sebagaimana Kampung Dukuh Dalam, saat ini hampir semua rumah di Kampung Dukuh Luar tidak menggunakan atap ijuk. Hanya tersisa dua rumah yang masih mempertahankan model rumah tersebut.
272
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Bagi warga Kampung Dukuh Dalam, peristiwa kebakaran yang terjadi dua kali dalam sepuluh tahun terakhir membuat mereka semakin merasa mantab hidup dengan tanpa berorientasi pada harta dunia. Kepemilikan atas aset dalam rumah tidak lagi seperti dahulu. Bi Ipah, seorang janda yang hidup bersama kedua orang tuanya menyatakan refleksinya atas kejadian kebakaran yang dialaminya. Jika dahulu dirinya masih tergoda untuk memiliki perkakas dapur lebih dari kebutuhan yang ada, saat ini keinginan terhadap hal tersebut telah musnah. Misalnya panci yang sebelumnya dimiliki dari beberapa ukuran, namun sekarang panci dua biji sudah dirasa cukup memenuhi kebutuhan dia dalam memasak. Kebakaran telah mengingatkan dirinya atas nafsu yang terselit di balik kesederhanaan yang ditampilkan. Karena itulah Bi Ipah dan orang tuanya memilih bertahan di dalam Kampung Dukuh Dalam hingga saat ini. Ujian atas eksistensi nilai dan ajaran di Kampung Dukuh Dalam adalah hadirnya kebijakan pemerintah terkait pajak tanah garapan dan kebijakan atas konversi minyak tanah menjadi gas. Kedua kebijakan ini mempengaruhi ajaran tentang sharing hasil bumi yang telah lama diterapkan dan tradisi penggunaan tungku untuk memasak. Jika masyarakat Kampung Dukuh Luar memilih mengganti menggunakan kompor gas dan memasang listrik untuk membantu pekerjaan dapur, namun tidak terjadi di warga Kampung Dukuh Dalam. Mereka mempertahankan filosofi pentingnya penggunaan tungku api dalam memasak. Namun kebijakan pemerintah mengenai pajak tanah garapan warga telah memudarkan praktik berbagi hasil bumi yang saat ini sudah jarang dilakukan warga.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
273
Sharing hasil bumi ini biasanya dilakukan warga sebelum panen kebun, sawah, atau ternak yang dimiliki. Adalah pantangan bagi warga melakukan panen dan menikmati hasil sebelum terlebih dahulu memetik sebagian dari hasil panen kepada rumah adat dan kantor pemerintah terdekat. Hasil panen yang masuk ke rumah adat biasnaya akan diolah dan menjadi bagian dari sajian para tamu atau warga Kampung Dukuh Dalam yang sedang mengalami kesulitan. Konsep ini memuat nilai tentang berbagi atas nikmat yang diberikan alam kepada manusia. Namun sejak warga harus membayar pajak bumi atau tanah ke kelurahan, praktik ini sudah jarang dilakukan. Ketua adat juga tidak melakukan tindakan apapun untuk mengajak warganya menerapkan praktik adat tersebut. Pasifnya sikap ketua adat ini didasarkan pada pertimbangan tidak ingin memberatkan warganya, yang selain harus membayar pajak tanah juga harus membayar zakat jika telah mencapai nishob. Apabila sharing hasil bumi dipaksakan dilakukan, kekhawatiran menjadi beban berganda bagi warga menjadi pertimbangan utama Mamak Uluk. Terhadap intervensi kemajuan teknologi dan modernisasi, warga Kampung Dukuh Dalam memilih bersikap tidak antipati. Asas fungsi dan manfaat menjadi pertimbangan utama dalam menghadapi perubahan yang ada. Salah satu sikap tidak menolak modernisasi karena asas manfaat adalah penggunaan telephone selular yang tampak dimiliki oleh kepala adat, istri kuncen, dan wakil kuncen. Mereka memilih menggunakan handphone untuk kepentingan‐kepentingan positif. Mereka juga tidak menolak memiliki motor dan mobil. Barang‐barang ini tidak dinilai sebagai kemewahan namun lebih diposisikan atas fungsinya
274
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
yang positif. Akan tetapi terhadap hadirnya listrik di wilayah Kampung Dukuh, tidak menggoyahkan prinsip dan filosofi nilai yang mereka pertahankan. Eksistensi nilai dan ajaran di Kampung Dukuh Dalam tetap bertahan, selain karena sikap bijaksana dan cara pandang yang dikembangkan oleh warga Kampung Dukuh Dalam, juga karena adanya proses‐proses migrasi yang dialami warga Kampung Dukuh.ada banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya migrasi, diantaranya karena adanya kepentingan untuk mengakses sumber‐sumber daya yang tidak tersedia di Kampung Dukuh Dalam dan sekitarnya, seperti mengakses pendidikan tingkat SMU, S1, dan pesantren, atau untuk mengakses tawaran pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan warga. Selain itu, migrasi yang dilakukan karena adanya kepentingan perkawinan juga menjadi faktor eksistensi ajaran dan nilai ini masih tetap ada. Karena perkawinan, warga Kampung Dukuh Dalam terus mengalami dinamika, baik dari segi jumlah yang terus bertambah atau berkurang, juga dari segi sosial karena kehadiran warga‐warga baru yang membawa nilai dan tradisi yang bisa jadi berbeda. Dan migrasi lain yang terlihat dalam Kampung Dukuh Dalam adalah pandangan sebagian masyarakat tentang Kampung Dukuh Dalam sebagai tujuan akhir di dunia. Karena Kampung Dukuh Dalam menjadi tujuan akhir, beberapa warga melakukan migrasi ke luar untuk kepentingan pekerjaan, pendidikan, atau pendidikan, namun ketika usia telah senja dan manusia merasa perlu mulai melakukan taqorrub ilallah, bermigrasilah warga Kampung Dukuh Luar atau masyarakat luar menjadi warga RT 01 ini.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
275
Itulah mengapa jumlah generasi yang berusia senja banyak ditemui di dalam Kampung Dukuh Dalam ini. Relasi Sosial dengan Masyarakat Luar Beberapa penjelasan di atas telah menampilkan bagaimana eksistensi nilai dan ajaran dalam Kampung Dukuh Dalam yang terus terpelihara, meskipun mengalami dinamika. Beberapa hal di atas merupakan bagian yang muncul dari dalam internal atau dari dalam diri warga melalui cara pandang terhadap perubahan fenomena dan sosial. Akan tetapi dari sudut pandang eksternal, warga luar Kampung Dukuh menilai keberadaan warga Kampung Dukuh Dalam bukanlah menjadi suatu ancaman. Dalam pandangan aparat pemerintah, warga Kampung Dukuh Dalam merupakan gambaran orang‐orang yang sholeh, tidak merepotkan, dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Warga Kampung Dukuh Dalam tidak pernah melakukan demo atau melakukan tindakan anarkis yang merefleksikan resistensi warga Kampung Dukuh Dalam terhadap pemerintah. Hal ini menunjukkan bagaimana posisi pemerintah bagi ketua adat. Dalam relasi sosial yang terbangun antara warga Kampung Dukuh Dalam dengan komunitas luarnya, tampak tidak ada persoalan mendasar yang disampaikan, termasuk dalam konteks kesejarahannya. Malah yang terjadi adalah sebaliknya, ketua adat Kampung Dukuh Dalam membuat Akta Notaris untuk membuka peluang kerjasama dengan pihak manapun, selain untuk tujuan utamanya yaitu perlindungan hukum masyarakat adat Kampung Dukuh Dalam. Selain itu, sejauh ini kepala adat Kampung Dukuh Dalam telah juga bekerjasama dengan danramil untuk
276
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
mengatur keamanan bersama‐sama khususnya di hari Sabtu dan hari‐hari penting di bulan Maulid. Pandangan orang luar komunitas Kampung Dukuh Dalam inilah yang mendorong tetap eksisnya nilai dan ajaran yang ada. Selain itu, warga Kampung Dukuh Dalam memegang beberapa prinsip dasar ketika berelasi dengan masyarkat di luar komunitasnya. Diantaranya adalam prinsip untuk bersikap pasif, membatasi diri, dan terbuka. Pertama, prinsip bersikap pasif dilakukan warga Kampung Dukuh Dalam dalam bentuk tidak mengajak sekaligus tidak melarang masyarakat luar untuk menjalani kehidupan sufistik seperti yang mereka jalani. Kedua, membatasi diri dilakukan warga Kampung Dukuh Dalam dengan tidak memaksakan perubahan warga luar melakukan praktik‐praktik yang mereka jalani, dan ketiga, bersikap terbuka atas segala peluang dan kerjasama dari pihak luar sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip kehidupan yang dijalani warga Kampung Dukuh Dalam. Dengan pilihan sikap terbuka tersebut, kepala dukuh telah melakukan kerjasama dengan beberapa pihak, seperti dinas kehutanan, pemerintah, dan LSM. Dalam relasinya dengan masyarakat luar, di satu sisi Kampung Dukuh Dalam menjadi subyek atas dirinya sendiri, namun di sisi yang lain, Kampung Dukuh Dalam menjadi obyek dari pihak di luar. Dalam relasinya sebagai subyek, Kampung Dukuh Dalam menjadi tujuan dari para peziarah dan pencari solusi atas masalah kehidupan yang dialami. Keberadaan Kampung Dukuh Dalam menjadi sumber harapan bagi mereka, dan oleh karenanya setiap orang yang masuk ke dalam Kampung Dukuh Dalam akan secara voluntary melakukan segala aturan adat dan ritual yang harus mereka jalani. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
277
Salah satu ritual yang hampir setiap warga peziarah dan pencari solusi kehidupan datang adalah melakukan kahaturan tuang dan melakukan mandi 40 kucuran di malam hari. Prosesi ini kerap dilakukan di malam jumat atau malam sabtu, untuk kemudian di hari Sabtu melakukan ziarah ke makam Syekh Abdul Jalil. Ketika akan berziarah pun, mereka akan dengan rela mematuhi segala aturan ziarah, seperti harus memiliki wudhu, berpakaian polos dengan sarung bukan batik, melepas semua pakaian dalam, dan menanggalkan semua perhiasan dan aksesoris pakaian dan jilbab. Namun dalam relasinya sebagai obyek, Kampung Dukuh Dalam merasakan pengalaman bekerjasama dengan pemerintah dan mengalami kekecewaan. Dalam cerita yang disampaikan, posisi Kampung Dukuh Dalam yang seharusnya menjadi partner bagi pemerintah, nyatanya seperti dijadikan obyek untuk mencari keuntungan tertentu. Kenangan yang paling teringat adalah bantuan pasca kebakaran yang diberikan pemerintah, pada kenyataannya tidak sesuai dengan harapan yang ada. Karena pengalaman pahit bekerjasama ini, pada kebakaran kedua di tahun 2011, kepala adat Kampung Dukuh Dalam melakukan negosiasi atas bantuan yang digulirkan pemerintah kepada mereka. Hal yang sama juga terhadap tawaran kerjasama pengelolaan hutan, dimana Kampung Dukuh diposisikan sebagai obyek yang tidak memiliki kekuasaan dan otoritas mengelola hutan sebagaimana nilai dan ajaran yang diyakini. Karena itulah, tawaran pengelolaan hutan pernah ditolak oleh kepala adat karena kesadaran atas relasi yang tidak seimbang tersebut. Sedangkan dalam konteks Kampung Dukuh Dalam menjadi sumber inspirasi atas kajian, pembelajaran, dan penelitian terjadi ketika Kampung Dukuh Dalam berinteraksi
278
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
dengan para akademisi, peneliti, pemerhati, kelompok pecinta alam, dan lain sebagainya. Keminatan pihak‐pihak di luar Kampung Dukuh Dalam menjadi pertanyaan mendasar terhadap relasi yang terbangun di dalamnya. Di satu sisi, Kampung Dukuh Dalam dapat menjadi subyek yang memberi pengetahuan dan sekaligus menjadi kontrol atas pengetahuan tentang Kampung Dukuh Dalam. Namun relasi ini juga bisa menempatkan Kampung Dukuh Dalam menjadi obyek dari sebuah kepentingan di luar kepentingan Kampung Dukuh Dalam sendiri. Realitas Hak‐hak Sipil dan Pemenuhannya Dalam hubungannnya dengan negara, Kampung Dukuh Dalam adalah bagian dari warga Indonesia yang memiliki hak‐hak yang sama sebagaimana warga negara yang lain. Karena itulah pemenuhan atas hak‐hak sipil warga Kampung Dukuh Dalam menjadi kewajiban negara yang niscaya. Ada beberapa hak sipil yang telah terpenuhi bagi warga Kampung Dukuh Dalam, di antaranya adalah pendataan warga melalui KTP. Pendataan ini merefleksikan pengakuan negara atas eksistensi masyarakat di Kampung Dukuh Dalam ini sebagai warga negara. Demikian juga sebaliknya, warga Kampung Dukuh Dalam tidak menolak, bahkan ketika secara massal dilakukan pembuatan e‐KTP, seluruh warga Kampung Dukuh Dalam berbondong‐bondong menuju kelurahan untuk berpartisipasi. Di dalam identitas KTP, juga tidak ada data terkait agama yang menimbulkan konflik, karena seluruh warga Kampung Dukuh Dalam meyakini beragama Islam dan didata sebagai penganut Agama Islam. Namun demikian, pembinaan keagamaan yang secara rutin dilakukan para penyuluh kementrian agama, Dinamika Agama Lokal di Indonesia
279
tidak dirasakan oleh warga Kampung Dukuh Dalam ini. Dalam konfirmasi kepada kepala KUA Cikelet, pembinaan keagamaan memang tidak dilakukan setiap bulan, namun dilakukan per‐tiga bulan pada dusun‐dusun yang ada di Cikelet secara bergiliran. Keterbatasan dana menjadi salah satu faktor mengapa pembinaan ini dilakukan dalam jeda waktu yang lama dan bergiliran, sehingga satu dusun bisa jadi dalam dua tahun hanya memperoleh pembinaan sekali. Dalam penjelasan pak Mulkini, pembinaan pada kampung dukuh sebenarnya diberikan, namun dilakukan di Kampung Dukuh Luar. Dalam hal perkawinan, peran penghulu dari KUA lebih berfungsi sebagai pencatat perkawinan. Kadang‐kadang penghulu melakukan khutbah nikah dan menikahkan, namun peran ini cukup jarang terjadi. Kebanyakan perkawinan dilakukan di Kampung Dukuh Dalam dengan melibatkan tokoh agama dan kuncen sebagai aktor utama prosesi perkawinannya. Hampir semua perkawinan yang dilakukan perawan dengan perjaka akan mengurus surat nikah dan mendaftarkan perkawinannya ke KUA. Akan tetapi bagi perkawinan janda dan atau duda, hampir dipastikan tidak ada yang dicatatkan. Ada banyak faktor yang mendasari fenomena ini, di antaranya karena kebanyakan perceraian yang ada tidak dilakukan secara legal di hadapan hakim pengadilan agama. Karena tidak memiliki surat putusan cerai dari PA, janda atau duda menjadi sulit mendaftarkan perkawinan selanjutnya. Selain itu, tidak tercatatnya perkawinan janda dan atau duda ini juga tidak dianggap sebagai masalah bagi warga Kampung Dukuh. Hal ini menunjukkan masih minimnya kesadaran akan pentingnya akta nikah bagi warga.
280
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Tidak dicatatnya perkawinan janda dan duda berkonsekuensi langsung pada pendataan anak melalui akta lahir. Akta lahir ini tampak tidak dilihat sebagai sebuah kepentingan bagi warga Kampung Dukuh Dalam, selain karena sekolah‐sekolah yang ada tidak meuntut akta lahir anak saat mendaftar sekolah maupun keperluan sekolah yang lain, seperti ijazah dan piagam. Ketika ditanyakan, apakah pemerintah pernah mensosialisasikan pentingnya akta nikah dan akta lahir tersebut, semua warga yang ditanya menjawab tidak pernah. Fenomena di atas juga menjelaskan tentang bagaimana praktik perceraian terjadi di masyarakat Kampung Dukuh Dalam. Hampir tidak ada perceraian yang dilalui melalui proses di PA. Perceraian seringkali dilakukan secara adat atau agama, dengan cara mengucapkan kata thalak atau meninggalkan pasangan nikah dalam kurun waktu yang tidak jelas. Dari pihak PA sendiri, sejauh ini tidak ada upaya penyuluhan tentang pentingnya mengurus perceraian di PA dan konsekuensinya terhadap perlindungan hak keduanya atas harta dan pengasuhan anak. Demikian juga dengan pendataan atau pencatatan warga yang meninggal dunia. Tidak ada pencatatan untuk itu, warga tidak melaporkan kejadian kematian kepada lembaga negara sehingga mendapat akta kematian, dan pihak negara juga tidak ada penyuluhan tentang hal ini. Karena itulah, dapat dipahami jika seorang Ketua RT justru mempertanyakan apa pentingnya surat kematian seseorang, “toh semua warga tahu dan makamnya dapat dilihat di sana ”, ungkap Pak Hanafi. Di bidang pendidikan dasar, akses anak‐anak Kampung Dukuh Dalam terhadap pendidian dapat dibilang terpenuhi. Ada SD Ciroyom 2 yang terletak paling dekat Dinamika Agama Lokal di Indonesia
281
dengan Kampung Dukuh Dalam, yaitu sekitar 1 km. Sedangkan SD Ciroyom 1 dan MTs terletak sekitar 2 km dari Kampung Dukuh Dalam. Hampir dipastikan anak‐anak Kampung Dukuh Dalam bersekolah sampai tamat SD. Namun yang meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (SMU dan sederajat) tidak banyak, apalagi karena jarak tempuh yang tidak terjangkau dengan berjalan kaki atau harus keluar kota. Tampaknya, Pendidikan agama bagi warga Kampung Dukuh Dalam lebih diperhatikan ketimbang pendidikan formal. Hal ini terlihat dari adanya sebuah madrasah dengan dua lantai di dalam lokasi Kampung Dukuh Dalam yang setiap hari tampak ramai dihadiri anak‐anak dari usia sekolah SD hingga setara dengan SMP. Meskipun demikian, kesadaran akan pentingnya pendidikan formal juga terlihat pada sebagian kecil warga yang diketahui putranya menempuh pendidikan di perguruan tinggi, Dalam hal kesehatan dan layanan kesehatan, warga Kampung Dukuh Dalam sudah mengenal alat kontrasepsi dan sebagian perempuan menggunakannya. Di masa kehamilan, cukup jarang warga Kampung Dukuh Dalam melakukan periksa rutin ke bidan atau dokter. Dalam melahirkan juga demikian, masih cukup banyak perempuan Kampung Dukuh Dalam melakukan persalinan dibantu oleh paraji (dukun beranak). Menurut mereka, dengan dibantu seorang paraji, proses melahirkan menjadi lebih cepat karena pengalaman paraji yang tidak dapat diragukan. Hanya pada situasi tertentu, dimana paraji telah tidak sanggup membantu persalinan, baru perempuan tersebut dibawa ke bidan tertentu. Situasi ini tidak menguntungkan bagi perempuan dan dapat menyumbang angka kematian ibu (AKI) karena terlambat penanganan. Selain itu, akses terhadap sumber‐
282
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
sumber layanan kesehatan masih belum ideal yang memudahkan perempuan sampai dengan cepat dan mendapat layanan yang prima. Problem lain yang tidak secara langsung terkait dengan UU Adminduk adalah tentang hak ekonomi dan politik warga Kampung Dukuh Dalam. Adanya pajak pembayaran atas tanah garapan menjadi problem gender terhadap kepemilikan tanah. Sedangkan kebijakan dinas kehutanan dengan menanam tanaman industri seperti pohon jati di lahan‐lahan garapan dan cadangan pada akhirnya berimplikasi pada pengurangan sumber‐sumber alam yang penting bagi penghidupan warga Kampung Dukuh.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
283
PENUTUP Kesimpulan 1. Keberadaan Kampung Dukuh Dalam di Garut menggambarkan bagaimana faham keagamaan dapat dipertahankan dalam kehidupan sosial di Indonesia melalui proses‐proses negosiasi dan kontestasi. Nilai dan ajaran yang diterima dan dipraktikkan secara terus menerus mengalami dinamikanya seiring dengan perkembangan teknologi dan modernisasi yang tersinggungan secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian, nilai‐nilai ajaran yang masih dipertahankan diantaranya adalah prinsip hidup sufistik yang menolak kemewahan, menjaga keteraturan dan keseimbangan alam untuk keselamatan dunia, kiamat Sughro dan menjaga diri dari kesifatan dajjal, dan kemuliaan serta keistimewaan kepada auliya’. 2. Untuk menjaga eksistensi nilai dan ajarannya, warga Kampung Dukuh Dalam melakukan berbagai tindakan reflektif dalam menghadapi berbagai intervensi dan perubahan sosial. Tindakan ini menjadikan nilai dan ajaran dinegosiasikan dan dipertaruhkan. Namun dengan menggunakan asas fungsi dan manfaat, adanya intervensi dari luar disikapi secara bijaksana dan dengan cara pandang yang positif. Dengan demikian, terdapat pilihan‐ pilihan atas berbagai perubahan menuju tujuan kehati‐ hatian (ihtiyat) dalam ibadah yang lebih sempurna. 3. Dengan masyarakat luar, masyarakat Kampung Dukuh Dalam berada dalam relasi yang tidak selalu setara. Dalam satu konteks, Kampung Dukuh Dalam menjadi subyek dan memiliki kontrol atas sumber daya yang mereka miliki.
284
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Namun dalam realisasinya dengan negara, kerap terbangun relasi yang tidak seimbang dan menjadikan Kampung Dukuh Dalam sebagai obyek atas kepentingan sepihak. 4. Sebagian hak sipil warga Kampung Dukuh Dalam telah terpenuhi, misalnya dalam hal pendataan KTP. Tidak ada masalah terkait identitas agama yang tercantum dalam KTP karena mereka adalah penganut Agama Islam dan diidentifikasi sebagai warga beragama Islam. Akan tetapi masih ditemukan persoalan‐persoalan lain dalam pemenuhan hak‐hak sipil bagi warga Kampung Dukuh Dalam. Di antaranya adalah persoalan pencatatan nikah bagi status janda dan atau duda, akta lahir anak dari perkawinan tidak tercatat, pendataan warga yang meninggal dunia dan surat kematian, serta persoalan kesehatan dan layanan kesehatan reproduksi yang terbatas. Persoalan lain yang juga menjadi problem adalah kebijakan pemerintah berkaitan dengan tanah dan lahan garapan, yang dalam perspektif masyarakat Dukuh Dalam sebagai salah satu kebijakan yang merugikan mereka. Rekomendasi: 1. Pemerintah perlu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat Kampung Dukuh Dalam terkait dengan hak‐ hak sipilnya melalui cara‐cara sosialisasi yang intensif. Upaya ini harus dilakukan dengan cara jemput bola, mengingat masyarakat Kampung Dukuh Dalam berada dalam lokasi yang spesifik dan terlokalisasi. 2. Selain sosialisasi intensif, pemerintah juga harus mengembangkan layanan pemenuhan hak sipil tidak dalam pola pasif yang menuntut masyarakat datang Dinamika Agama Lokal di Indonesia
285
dengan voluntary. Posisi ini mengasumsikan masyarakat telah memiliki kesadaran hukum yang baik, padahal fakta yang ada justru sebaliknya. Karena itulah, penting secara berkala, pemerintah melakukan layanan hak sipil dengan cara aktif, mendatangi warga dan memberikan pelayanan langsung di lokasi dimana warga tinggal. Misalnya dengan cara melakukan layanan sidang talak di luar PA, itsbat nikah massal, pembuatan akta lahir massal, dan memberikan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang lebih terjangkau. 3. Pemerintah sebaiknya melibatkan masyarakat adat dalam program‐program pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan tanah yang ada di sekitar Kampung Dukuh Dalam. Pelibatan mereka menjadi hal mendasar yang harus dipertimbangkan pemerintah, karena akan berkonsekuensi langsung terhadap sumber daya lokal bagi keberlangsungan penghidupan masyarakat adat di Kampung Dukuh Dalam.
286
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Ali, Mukti, Suatu Etnografi Suku Bajo. Salatiga: STAIN Salatiga Press. 2010. Al‐Kumayi, Sulaiman, Islam Bubuhan Kumai: Perspektif varian Awam, Nahu, dan hakekat,. Jakarta: Kementrian Agama. 2011. Berger, Peter L, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, terj. M. Fanani, Jakarta: LP3ES, 1991. Dove, Michael. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi (Penyunting). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 1985. Eliade, Mircea, The Sacred and theProfane: The Nature of Religion. Harcourt: Brace & World Inc, 1959. Garut News 10 September 2011, Pembakaran Hutan Musnahkan 40 Rumah Adat, http://garutnews.com/?p=3844, diakses 24 April 2013. Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya. 1981. Humaedi, M. Alie. Pandangan Hidup Orang Tau Taa Wana di Vananga Bulang Tojo Una‐una. Jakarta: LIPI Press. 2009. Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia, Jakarta, 2010 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia, Jakarta, 2011. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
287
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Grafiti Press. 1980. Mas’ud, Abdurrahman. “Menyikapi Keberadaan Aliran Sempalan. Dalam “Dialog” dalam Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, Nomor. 32. 2009 Miharja, Deni. Integrasi Agama Islam dengan Budaya Sunda (Studi pada Masyarakat Adat Cikondangn Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung). Disertasi pada Program Pascasarjana Uinversitas Islam Negeri Bandung. 2013 Rosyid, Mohammad., Nihilisasi Peran Negara: Potret Perkawinan Samin. Jogjakarta: Idea Press, 2009. Sheldon, W.H, The Varieties of Temperament: A Psychology of Constitutional Differences, New York: Harper & Brother, 1942. TEMPO.CO, Sabtu, 10 September 2011, Kampung Adat Dukuh Garut Musnah Terbakar, http://www.tempo.co/read/news/2011/09/10/17835 5547/Kampung‐Adat‐Dukuh‐Garut‐Musnah‐ Terbakar, diakses 24 April 2013. ‐‐‐o0o‐‐‐
288
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
INDEKS Adat, 20, 55, 75, 79, 87, 90, 97, 119, 120, 121, 124, 131, 132, 133, 140, 149, 154, 168, 184, 189, 190, 192, 201, 265, 287, 288 Agama Lokal, 163 Agama Marapu, 14, 17, 22, 53, 62 AKP, 204, 213, 214, 215, 216, 230, 231, 241, 247, 248, 253 Aliran, 7, 8, 112, 204, 206, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 221, 222, 223, 229, 230, 231, 232, 233, 247, 248, 252, 253, 254, 288 Amaholu Amarawi, 22, 26, 27, 28, 69 Appu, 25 Ata bara, 54, 55, 59 Awas, 216, 218 Baduy Dalam, 116, 118, 123, 136, 155 Baduy Luar, 114, 115, 117, 136, 154 Batara, 93, 94, 132 Batara Jagat, 93, 132 Batara Seda Niskala, 93, 94, 132 Buhun, 8, 96, 108, 214, 237, 242, 244, 245, 247, 249, 250, 251, 252 Buwana Luhur, 133 Buwana Nyungcung, 133 Buwana Panca Tengah, 133 Carita, 102 Ciptagelar, 8, 78, 79, 80, 81, 82, 85, 86, 87, 88, 89, 93, 95, 100, 101, 102, 105, 106, 107, 108, 109 Eling, 216, 218 Heneng, 218 Hening, 216, 218
Humba, 14 Islam Wetu, 8, 160, 163, 169, 174, 176, 182, 185, 186, 189, 197, 198 Jaro, 116, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 129, 132, 135, 136, 138, 140, 142, 143, 144, 145, 150, 155 Kabaru, 34 Kabisu, 14, 53, 55 Kabuyutan, 133, 135 Kapamukaan/Bebentung, 92 Karandi, 47 Karuhun, 94, 99, 111 Kasepuhan, 8, 78, 79, 80, 86, 87, 88, 89, 92, 93, 95, 96, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 105, 106, 107, 109, 111, 112 Kedukunan, 91 Kolot lembur, 90, 92 Kuncen, 259, 260, 261, 262, 264, 266, 270 Lampah, 96, 97 Mapak Suro, 248 Mendak, 212 Mipit, 100, 102 Munjungan, 270 Nebar, 104 Ngahulu, 108 Nganyaran, 103 Ngaseuk, 102 Nu Ngersaken, 93 Nyanghunjar, 108 Nyusur tanah, 212 Pacaduan kampung, 267 Pacaduan maqom, 267 Paraingu, 41 Paranti karuhun, 94, 96
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
289
Pasewakan, 215, 216, 247, 250 Perjalanan, 8, 115, 204, 206, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 221, 222, 223, 229, 230, 231, 232, 233, 238, 241, 247, 248, 250, 252, 253, 254 Pikukuh, 94, 136 Pongokan, 103 Pu’un, 116, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 131, 136, 140, 147 Raga batara, 212 Raga Purasa, 212 Raga Salira, 212 Rato, 26, 27, 28, 35, 37, 41, 50, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 61, 64, 70 Rorokan, 91, 92 Rorokan Bengkong, 91 Rorokan Kepenghuluan, 91 Rorokan Ngebas, 92 Rorokan Pakakas, 91 Rorokan Pamakayan, 91
290
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Rorokan Panahiban, 92 Rorokan Paninggaran, 91 Rorokan Paraji Hias, 92 Rorokan Tatabuhan, 92 Sawer, 210 Sepuh lembur, 89 Seren Taun, 103, 108 Slam Sunda Wiwitan (SWWT), 152 Tarapong, 211 Tatali, 111 Telu, 8, 158, 160, 163, 164, 169, 174, 176, 182, 185, 186, 189, 192, 193, 197, 198, 200, 201, 202 Tunggal, 93, 132, 133, 141, 217, 248 Uma bungguru, 37 Uma payenu, 37 Urang Girang, 93 Yubuhu, 47
BIODATA EDITOR Dra. Suhanah, M.Pd, lahir di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 1958, pendidikan formal yang diikuti adalah SD, PGAN (SLTP dan SLTA) Jakarta, S1 pada IAIN Jakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah. Kemudian melanjutkan S2 di Program Pascasarjana UNJ (Universitas Negeri Jakarta) jurusan PEP (Penelitian Evaluasi Pendidikan). Pegawai pada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama sejak tahun 1983, bergabung di Litbang ketika Sarjana Muda (D3), dan lulus S1 Tahun 1986, kemudian menjadi Peneliti di Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama sejak Tahun 1995 hingga kini. Hasil penelitian yang telah diterbitkan di Jurnal Ilmiah yang sudah terakreditasi LIPI adalah : 1) Peranan FKUB Dalam Pelaksanaan Pasal 8,9 dan 10 PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006 di Kota Denpasar Bali, tahun 2009; 2) Kawin Kontrak di Kawasan Puncak Jawa Barat, tahun 2010; 3) Jaringan Salafi di Jakarta dan Bogor, tahun 2010; 4)Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Samin di Kabupaten Blora, Semarang tahun 2011; 5)Potensi Kerukunan dan Konflik Umat Beragama di Kota Madiun Jawa Timur, tahun 2012; 6) Dampak Sosial Perbedaan Pendapat dalam Penentuan Awal Ramadhan dan 1 Syawal terhadap Umat Islam di Kota Semarang, tahun 2012; 7) Pandangan Forum Ukhuwah Islamiyah Cirebon tentang Wawasan Kebangsaan, tahun 2013; 8) Aliran Kebatinan Perjalanan di Bandung, tahun 2012; 9) Gerakan Keagamaan GARDAH Dalam Membrantas Kemaksiatan dan Pemurtadan di Kota Cirebon Jawa Barat, tahun 2014; dan beberapa hasil penelitian lainnya. Dinamika Agama Lokal di Indonesia
291
292
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
DINAMIKA AGAMA LOKAL DI INDONESIA
Editor: Suhanah
KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN TAHUN 2014
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) dinamika agama lokal di indonesia/ Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta: 2014
ISBN 978‐602‐8739‐27‐6 Hak Cipta pada Penerbit ..................................................................................................................................... Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit ..................................................................................................................................... Cetakan Pertama, Oktober 2014 ..................................................................................................................................... DINAMIKA AGAMA LOKAL DI INDONESIA ..................................................................................................................................... Editor : Suhanah ..................................................................................................................................... Desain Cover dan Layout : Suka, SE ..................................................................................................................................... Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 ‐ 3920421 http://puslitbang1.kemenag.go.id
ii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia‐Nya terwujud penerbitan, Buku Hasil Penelitian Kehidupan Keagamaan pada tahun 2014. Penerbitan buku ini merupakan hasil‐hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI pada tahun 2013. Pada tahun 2014 ini ditetapkan sebanyak 10 (sepuluh) naskah buku yang diterbitkan. Buku‐buku tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia. Jaringan Kerja Penginjilan dan Dampak Pemahaman Misi Kekristenan Terhadap Oikumenis dan Kemajemukan di Indonesia. 3. Kasus‐Kasus Aktual Kehidupan Keagamaan di Indonesia. 4. Penistaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam. 5. Efektivitas Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dalam Memberikan Pelayanan dan Bimbingan Terhadap Jamaah Haji. 6. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA). 7. Mencari Format Ideal Pemberdayaan Penyuluh Agama dalam Peningkatan Pelayanan Keagamaan. 8. Resolusi Konflik Keagamaan di Berbagai Daerah. 9. Penyiaran Agama dalam Mengawal Kerukunan di Indonesia. 10. Memelihara Harmoni dari Bawah: Peran Kelompok Keagamaan dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang banyak menyampaikan informasi dan fakta ini dapat Dinamika Agama Lokal di Indonesia | iii
memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah keagamaan dalam dinamika sosial keagamaan yang sangat dinamis di Indonesia. Buku hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi berbagai lembaga atau institusi, terkait informasi kehidupan keagamaan di Indonesia. Untuk itu, dengan selesainya penerbitan naskah buku ini, kami mengucapkan terima kasih yang setinggi‐tingginya kepada: 1.
2.
3.
4.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan dan sekaligus memberi‐kan kata sambutan pada masing‐masing buku yang diterbitkan. Para pakar dan akademisi yang dengan serius telah mencermati dan memberikan prolog dan epilog pada masing‐masing buku yang diterbitkan. Para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, baik sebagai penulis maupun editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi naskah buku, yang menjadi enak dibaca. Kepada tim pelaksana kegiatan dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya penerbitan naskah buku ini.
Apabila dalam penerbitan buku ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, baik substansi maupun teknis kami mohon maaf yang sebesar‐besarnya. Kami berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku‐buku yang kami terbitkan dan semoga bermanfaat. Jakarta, Oktober 2014 Kepala Muharam Marzuki, Ph.D NIP.19630204 199403 1 002
iv |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas terselenggaranya penelitian tentang Dinamika Agama Lokal di Indonesia pada Tahun 2013 telah disusun dalam bentuk buku ini. Penelitian ini sangat penting artinya bagi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, sebagai sebuah studi yang mendeskripsikan tentang dinamika agama lokal di berbagai daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Agama/Kepercayaan Lokal di Indonesia tetap eksis dan tumbuh di masyarakat hingga kini. Penelitian ini diselenggarakan di beberapa wilayah yang ada di Indonesia dengan berbagai komunitas penganut Agama/Kepercayaan lokal dan budaya‐budaya yang telah diwarnai olehnya. Fokus kajian ini sesuai dengan judulnya, yaitu: (a) Agama/Kepercayaan Merapu di Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh Wakhid Sugiyarto; (b) Agama/ Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun di Sukabumi Jawa Barat, oleh: Nuhrison M. Nuh; (c) Agama/ Kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy di Desa Kanekes Lebak Banten, oleh: Asnawati; (d) Agama/Kepercayaan Islam Wetu Telu di Bayan Lombok Utara (NTB), oleh: Jajang Jahroni dan Dadi Darmadi; (e) Agama/Aliran Kebatinan Perjalanan di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung Jawa Barat, oleh: Suhanah; (f) Agama/Kepercayaan Buhun Orang Kranggan Jati Sampurna Kota Bekasi Jawa Barat, oleh: Ahmad Syafi’i Mufid dan; (g) Agama/Kepercayaan Masyarakat Kampung Dukuh Dalam di Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut Jawa Barat, oleh: Kustini dan Iklilah Mujayyanah DF.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia | v
Fokus kajian tersebut dipilih dengan pertimbangan: pertama, faham keagamaan tersebut bersifat lokal; kedua, faham keagamaan tersebut hingga kini masih tetap eksis; ketiga, ajaran dan ritual keagamaan masih tetap dipatuhi dan ditaati oleh mereka; keempat, menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini menggunakan pendekatan kualitatf. Dalam buku ini dijelaskan bahwa keberadaan Agama/ Kepercayaan masyarakat yang bersifat lokal seharusnya memperoleh pelayanan hak‐hak sipil mereka oleh pemerintah dibidang administrasi kependudukan sebagaimana yang dilakukan terhadap agama‐agama yang dipeluk di Indonesia, sesuai amanat Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk yang memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Mudah‐mudahan dengan disusunnya buku ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak umumnya dan kepada para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan khususnya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak atas suksesnya penyelenggaraan kegiatan tersebut hingga dapat tersusunnya buku ini. Jakarta, Oktober 2014 Kepala Badan, Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
vi |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
PROLOG Heterogenitas khususnya dalam masalah agama merupakan fakta kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak bisa dihindari. Jaminan kebebasan beragama bagi setiap orang yang mengandaikan adanya penghormatan dan toleransi antar pemeluk agama yang berbeda terpaut erat dengan persoalan bagaimana negara mengelola perbedaaan itu. Harus diakui bahwa rezim Orde Baru dengan politik kerukunan yang mengandaikan adanya negara yang kuat sehingga mampu membina, mengatur dan mengintervensi seluruh aspek kehidupan kegamaan warganya cukup mampu menjinakkan keragaman itu. Homogenisasi yang dilakukan Orde Baru, untuk sementara waktu bisa dikatakan berhasil dalam memutus perbedaan yang dalam tingkat tertentu bisa memicu konflik. Namun, kerukunan yang dibangun secara vertikal itu pada saat yang sama juga menyumbat kemampuan dan kompetensi masyarakat dalam menegoisasikan perbedaan secara santun. Pada akhrinya, ketika stuktur penyangga homogenisasi itu runtuh, seolah tidak ada cara lain untuk mengelola perbedaan selain dengan kekerasan. Ketika perlawanan terhadap rezim otoriter menghasilkan reformasi dan demokratisasi, yang terjadi bukan tumbuhnya tatanan masyarakat yang egaliter dan inklusif, tapi sebaliknya. Dalam tataran horizontal, proses demokratisasi malah kembali mengentalkan identitas kesukuan dan keagamaan yang telah lama terkubur dan dijinakkan oleh ideologi nasionalisme Orde Baru. Pada saat yang sama, proses demokratisasi ternyata belum sepenuhnya mampu merubah warisan kebijakan Orde Baru dalam penataan masyarakat majemuk. Padahal, kemampuan dalam mengelola perbedaan ini sangat terkait erat dengan kematangan proses demokrasi suatu negara. Demokrasi mengandaikan adanya kesetaraan hak dan
Dinamika Agama Lokal di Indonesia | vii
kesempatan kepada kelompok minoritas agama, kepercayaan dan adat sebagaimana yang dimiliki kelompok mayoritas. Meski dalam tataran normatif UUD RI 1945, UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipil dan Politik, negara wajib memberi jaminan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas etnis maupun agama, namun faktanya masih banyak ditemui kebijakan yang sarat dengan pola‐pola diskriminatif pada komunitas kepercayaan lokal. Padahal, seharusnya Indonesia memberikan jaminan kebebasan akan keyakinan atau agama‐agama lokal, bahkan keyakinan non‐agama (non religious beliefs). Sebab, penafsiran mengenai agama dan keyakinan dalam pasal 18 ICCPR tidak hanya dibatasi pada agama tradisional (agama besar) tetapi juga keyakinan yang menyerupai agama tradisional (agama lokal), bahkan mencakup keyakinan orang untuk tidak bertuhan (atheistic), agnostisisme, non tuhan (non‐theistic), kebebasan berfikir dan resionalisme. 1 Alih‐alih memberikan jaminan atas hak dan kebebasan beragama dan berkayakinan kepada kelompok kepercayaan lokal dan memastikan bahwa hak fundamental mereka terbebas dari sasaran diskriminasi dari kelompok luar, kelompok kepercayaan lokal masih diperlakukan layaknya sebagai orang luar (the others/liyan) di lingkungan sosial mereka sendiri. Mereka menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial, karena sejumlah kesempatan‐kesempatan sosial, ekonomi, dan politik mereka dibatasi. Mereka yang tergolong minoritas, sering mempunyai gengsi rendah dan menjadi sasaran olok‐olok, kebencian, kemarahan, serta kekerasan. 2 1
Mafred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary 2nd revised edition (Arlington USA: N.P. Angel Publisher, 2005) hlm. 414 2 Parsudi Suparlan, “Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multikultural, dan Minoritas: Memperjuangakan Hak-Hak Minoritas”.
viii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Problem Dasar Negara Homi K. Bhabha, salah satu intelektual aliran postkolonial, melihat diskriminasi terhadap minoritas merupakan buah dari operasi kuasa diskursif yang menancap dalam kontruksi pengetahuan di masyarakat multikultur yang seringkali, terbentuk dalam hubungan sosial‐budaya yang saling mendominasi. 3 Dengan pemahaman terhadap konsepsi minoritas yang demikian, praktik diskriminasi kelompok kepercayaan lokal bisa dipahami sebagai produk dari akibat‐akibat diskursif. 4 Dalam konteks Indonesia, kuasa diskursif yang dimaksud Bhabha ini disatu sisi tidak bisa dilepaskan dari problem dasar hubungan agama dan negara, serta peran Islam didalam percaturan diskursus disisi lainya. Munculnya kebijakan diskriminatif terhadap kelompok kepercayaan lokal bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari problematika hubungan agama dan negara di Indonesia. Hubungan agama dan negara ini merupakan persoalan yang rumit. Disatu sisi, dengan jelas disebutkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara agama yang menjadikan salah satu agama sebagai dasar negara, tapi pada saat yang sama juga bukan negara sekuler sama sekali. Alih‐alih menjadikan Islam
dalam http://www.interseksi.org/publications/ essays/articles/masyarakat_ majemuk.html, (diakses l 3 Juli 2013). 3 Homi K. Bhabha, Location On History (London: Routledge, 1994), 31. 4 Ridwan Al-Makassary, “Multikulturalisme: Review Teoritis dan Beberapa Catatan Awal” dalam Mashudi Noorsalim et.all (ed.), Hak Minoritas, Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (Jakarta: Yayasan Interseksi, 2007), 53. Dinamika Agama Lokal di Indonesia | ix
atau agama lain sebagai agama negara, Indonesia menyepakati Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia. 5 Namun disaat bersamaan, prinsip keagamaan itu juga dipakai sebagai pijakan dalam bernengara. Prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki dasar moral keagamaan dalam prinsip berbangsa (religius), tetapi prinsip itu sama sekali tidak diderivasi dari salah satu keyakinan keagamaan (sekuler). Konsep hubungan agama dan negara yang dipraktekkan di Indonesia ini nampak mendekati gagasan ‘negara demokrasi agama’ sebagaimana dirumuskan oleh Luthfi Assyaukanie.. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa, dasar religius adalah kemutlakan karena ia merupakan unsur vital kehidupan komunal di masyarakat. Dengan menolak komunitas politik yang didasarkan pada relativitas moral yang tercermin dalam negara model sekular, gagasan ini dalam praktiknya mendukung konsep pelembagaan agama oleh negara sebagaimana tercermin dalam Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). 6 Sebagai konsekuensinya, alih‐alih menyerahkan urusan keagamaan sebagai urusan pribadi sepenuhnya di mana negara tidak berhak ikut campur, demi terciptanya masyarakat yang saleh, negara justru dibenarkan untuk ikut campur dalam urusan agama. Padahal seharusnya, mengikuti rumusan Olaf Schumann, jika negara tidak lagi terkait dengan prinsip salah satu agama, maka ia tidak lagi mengurusi soal benar tidaknya suatu keyakinan agama, melainkan yang menjadi urusannya ialah
5
Ahmad Syafii Maarif,. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. (Jakarta: LP3ES, 2006). 6 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute: 2011), 21-22
x |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
begaimana jaminan beragama dan berkeyakinan yang setara diberikan kepada semua warga negara. 7 Konsep “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila sekilas nampak netral dengan dihapuskanya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada pemeluk‐ pemeluknya,” sebagai akibat penolakan dari kalangan non‐ Muslim. Namun, menurut Daniel Dhakidae, secara rasional maksud dari sila pertama ini menjadi absurd. Paham yang diberikan oleh dokumen negara menyebutkan bahwa agama adalah “Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” namun pada kenyataanya paham ini tidak bisa dikenakan kepada agama lokal dan kepercayaan. Maksudnya, kata “Ketuhanan yang Maha Esa” yang seharusnya menjadi dasar untuk memahami setiap agama di Indonesia, dalam praktiknya cenderung bias kepada agama monotheis. Kata tersebut hanya boleh dikenakan kepada “agama resmi” yang monotheis, bukan “agama lainnya”. 8 Akibatnya, di awal kemerdekaan agama Hindu dan Buddha tidak secara otomatis dianggap sebagai agama oleh negara. Sebagaimana kita ketahui Hindu adalah agama polytheis, sementara Buddha adalah agama nontheis. Dengan konsep keyakinan dan konsep Ketuhanan yang berbeda dari agama‐agama monotheis, kedua agama ini baru mendapat pengakun dari Departemen Agama pada tahu 1958 setelah melakukan penyesuaian terhadap keyakinanya sehingga sesuai dengan agama monotheis. 9 Di antara bentuk penyesuaianya, 7
Olaf Schumann, Kata Pengantar dalam buku Beyond Belief: Eseiesei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Harisah Alam, (Jakarta: Paramadina: 2000), xxv 8 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 513 9 A. Najib Burhani, “Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia”, 47 Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xi
Hindu menetapkan “Sang Hyang Widi” yang sebelumnya tak terlalu sentral dalam agama ini sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara agama Buddha menyepakati untuk menganggap tokoh Adi Buddha, nama yang diambil dari teks Jawa Kuno, sebagai Tuhan Yang Esa. 10 Situasi diskriminatif ini juga dialami sebagian besar agama lokal dan penganut kepercayaan di mana sebagian besar kepercayaan mereka adalah nontheis. Bedanya, agama lokal ini, sampai sekarang harus terus berjuang untuk mendapat pengakuan. Lebih jauh, diskriminasi yang berasal dari diskursus dasar negara ini, semakin mendapat legitimasinya ketika diturunkan dalam kebijakan negara melalui Departemen Agama. Apa yang dimaksud agama berdasarkan tafsiran negara tidak lain adalah kombinasi antara konsep agama dunia dalam terminologi Kristen dan agama yang benar menurut Islam, di mana harus berasal dari Tuhan, memiliki kitab suci, memiliki hukum dan ritual peribadatan yang rapi sebagaimana definisi Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers. 11 Pada akhirnya, sejumlah agama lokal dan penghayat kepercayaan, karena tidak memiliki kitab suci atau tidak memiliki nabi atau tidak memiliki konsep teologi yang setara dengan Islam atau Kristen, dikatakan tidak beragama dan pantas untuk menjadi obyek konversi. 12 (Hairus Salim,2004:32) Cara pandang yang memposisikan masyarakat lokal dan penganut kepercayaan sebagai orang yang tidak beragama atau
10
Julia Howell, “Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia: Changing Meanings of Religious Pluralism”. Social Compass. 52.4 (2005): 473-493. 11 Hairus Salim, “Sejarah Kebijakan Kerukunan” BASIS, No. 01‐02, tahun ke‐53, Januari‐Februari (2004), 32. 12 Michel Picard, "‘Agama’, ‘adat’, and Pancasila" dalam Michel Picard dan Rémy Madinier, ed. The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali. (Abingdon, Oxon: Routledge, 2011), 3
xii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
“beragama tidak resmi” ini sebenarnya merupakan warisan dari “Victorian mind” yang sangat percaya dengan teori evolusi dan menganggap monotheisme sebagai puncak evolusi dari perjalanan keagamaan manusia. Akibatnya, kelompok penganut agama lokal dan penghayat kepercayaan dijadikan sasaran penyebaran agama karena dianggap belum beragama. 13 Atas nama tugas suci, yaitu adanya kewajiban untuk mendakwahkan ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran mutlak, masing‐masing agama semitis ini dengan tidak disadari telah melakukan “kolonialisasi” terhadap agama‐agama lokal, yang umumnya diklaim sebagai kelompok animisme yang perlu diluruskan, dan dibawa pada ajaran yang “benar”. 14 Padahal secara konseptual, pemberian istilah ‘agama’ oleh negara ini pada dasarnya bertolak belakang dengan definisi awal tentang agama yang mencakup adat, moralitas dan tradisi secara umum. 15 Kondisi demikian ini merupakan bentuk ketidakmampuan negara dalam mengelola agama‐agama yang ada di Indonesia. Negara telah menunjukkan dominasinya dalam melakukan kontrol yang berlebihan terhadap keberadaan agama minoritas dengan beragam regulasinya seperti UU No. 1/PNPS/1965. 16 Sekali lagi bisa dikatakan bahwa persoalan ini akarnya adalah tidak selesainya konsep dasar negara yang bukan agama, namun juga bukan negara sekuler. Dalam praktik, ketidajelasan posisi dasar negara terbukti menemui banyak hambatan. Dengan 13
A. Najib Burhani, “Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia”,48 14 Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru (Jakarta: Desantara, 2004), 11 15 Jane Monnig Atkinson, “Religions in dialogue: the construction of an Indonesian minority religion” dalam Rita Smith Kipp and Susan Rodgers, ed, Indonesian Religions in Transition, (Tucson: Arizona State University, 1987), 175 16 Th Sumartana, Agama dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan. (Yogyakarta: Interfidei, 2002) Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xiii
dalih menjaga kerukunan dan ketertiban dalam masyarakat, negara justru mengontrol persoalan agama terlalu jauh dan tidak jarang mendiskriminasi kelompok minoritas dan memihak kelompok mayoritas. Indonesia sepertinya terjebak dalam konsep hubungan agama dan negara yang ia ciptakan sendiri dalam memainkan perannya dalam urusan agama. Hal demikian terlihat jelas dalam tafsir negara atas agama dan kebijakan negara terhadap agama, terutama agama lokal. Tafsir keagamaan yang bias mayoritas namun berimplikasi pada diskriminasi atas hak minoritas ini bisa dikatakakan pula memiliki keterkaitan dengan posisi Islam dalam percaturan politik dan sosial di Indonesia. Selain menjadi agama mayoritas, dari aspek sosial dan politik, Islam juga telah memainkan peran yang signifikan dalam menentukan cara pandang dan kebijakan negara mengenai kelompok dan hak minoritas dan aliran kepercayaan lokal di Indonesia. Bagaimana masyarakat Indonesia memandang kelompok minoritas, aspirasi dan sudut pandang umat Islam baik sebagai umat beragama maupun sebagai institusi keagamaan sangat menentukan. Hal demikian terlihat jelas misalnya dalam perumusan konstitusi pada awal‐ awal kemerdekaan, tokoh‐tokoh Islam berusaha memasukkan syariat Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional sebagaimana disebutkan dimuka, meski pada akhirnya gagal. 17 Lebih jauh panorama klaim Islam sebagai agama mayoritas ini terlihat dalam kontestasi pelarangan aliran kebatinan dan kepercayaan sebagai agama dan dilarang keberadaanya pada tahun 1952. Sampai pada akhirnya, muncul definisi tentang rumusan yang disebut agama oleh Departemen Agama yang sampai sekarang berlaku, adanya Nabi/Rasul, kitab suci dan 17
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai dasar negara: Studi tentang Perdebatan dalam konstituante.( Jakarta: LP3ES, 2006).
xiv |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
pengakuan sebagai agama dari luar negeri. 18 Meski tidak menjadi bagian konstitusi secara khusus, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, definisi agama yang bias agama semit ini tentu saja memiliki dampak peminggiran agama minoritas lokal karena mereka digolongkan sebagai orang yang “belum beragama”. 19 Pada akhirnya, agama‐agama dan kepercayaan lokal karena dianggap “belum beragama” atau belum menganut salah satu dari lima agama resmi sering dijadikan sebagai sasaran “aneksasi spiritual” dari sasaran dakwah dari agama‐agama mayoritas. Diskriminasi terhadap minoritas lokal ini terlihat jelas dalam Instruksi Menteri Agama No. 4 tahun 1978 yang menyatakan bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan agama, sehingga Departemen Agama tidak akan mengurusi urusan‐urusan terkait aliran kepercayaan tersebut. 20 Sebagai konsekuensi atas pengakuan negara hanya terhadap enam agama yakni, Islam, Kristen,Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, maka agama‐agama ini akan mendapat jaminan khusus dari negara untuk mengekspresikan ajaran‐ ajarannya. Tidak sampai disini, hal ini menumbuhkan persoalan krusial dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Salah satu persoalan yang timbul adalah timbulnya dikotomi antara agama yang ‘resmi’ dan yang ‘tidak resmi’, mayoritas dan minoritas, agama global dan agama lokal, dan lain sebagainya. Dari dikotomi konseptul tersebut, lahir pula dikotomi dan pembedaan perlakuan pada masing‐masing agama oleh negara. Agama‐ agama yang diakui negara mendapat kemudahan‐kemudahan, sementara agama‐agama lokal selalu diposisikan sebagai agama 18
Rahmat Subagyo, Kepercayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 116. 1919 Budhy Munawar-Rachman (ed.), Membela Kebebasan Beragama (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), xviii. 20 Pdt. Weinata Sairin, M.Th., Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996), 112-115. Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xv
yang tertindas dan termarjinalkan. Agama‐agama lokal diposisikan sebagai sasaran‘pencerahan’ melalui dakwah dan gerakan‐gerakan penyadaran lainnya. Pengistimewaan dilakukan negara terhadap kelompok mayoritas dan penganut “agama resmi” dan diskriminasi dilakukan terhadap kelompok minoritas, terutama minoritas agama dan etnis lokal. Alih‐alih mengalami perbaikan, di kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas yang terciptakan sedemikian rupa sejak masa kemerdekaan itu masih bertahan hingga saat ini. Problem Kebijakan Negara Sebagaimana disebutkan di depan, akar dari munculnya kebijakan diskriminatif ini terletak pada sila “Ketuhanan yang Maha esa” dalam Pancasila. Akibat dari keputusan negara bahwa Tuhan yang diyakini dan disembah oleh masyarakat Indonesia harus ʺTuhan Yang Esaʺ yang mengindikasikan monothesime, maka secara tidak langsung menjelaskan hanya Kristen dan Islam yang layak disembah. Sementara agama Buddha dan Hindu harus membutuhkan modifikasi dan perjuangan tersendiri untuk diakui negara. Begitu juga dengan agama lokal, posisi mereka hampir pasti terabaikan. 21 Dasar negara yang terkesan bias ini kemudian semakin dikuatkan dalam konteks konstitusi. Apa yang disebut agama menurut pemerintah dengan berdasar pada Departemen Agama tidak lain harus berasal dari wahyu Tuhan, memiliki Nabi dan mempunyai kitab suci serta memiliki hukum dan ritual yang rapi. Ini menjadi persoalan serius ketika dihadapkan pada agama 21
Pada awal kemerdekaan, hanya ada tiga agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu: Islam, Kristen atau Protestan, dan Katolik. Agama Hindu dan Buddha baru diakui sekitar tahun 1950an. Ahmad Najib Burhani, "Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia" Maarif vol.7 No. 1 (2012): 46-52
xvi |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
lokal yang sebagian besar tidak berdasar wahyu Tuhan dan Nabi, tapi merupakan kombinasi antara adat, moralitas, dan tradisi. 22 Pembedaan kategorikal antara agama yang ʹdiakuiʹ dan ʹtidak diakuiʹ pada akhirnya membawa semangat superioritas untuk mendiskriminasi dan membatasi agama lokal yang cenderung tidak diakui. Bahkan agama‐agama lokal tidak jarang diposisikan sebagai sasaran ‘pencerahan’ melalui dakwah dan gerakan‐ gerakan penyadaran lainnya. Problem definisi ini terlihat jelas dalam UU No. 1/PNPS/1965 atau Penetapan Presiden (Penpres) No.1/1965 23 yang menjelaskan perbedaan antara agama yang diakui dan tidak diakui. Dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, hanya ada enam agama yang diakui. Dalam bagian penjelasan yang termaktub “...agama‐agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama‐agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama‐agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan‐bantuan dan perlindungan seperti diberikan oleh pasal ini” dan ““Ini tidak berarti bahwa agama‐agama lain misalnya, Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoisme dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar 22
Jane Monnig Atkinson, “Religions in dialogue: the construction of an Indonesian minority religion,” 175. 23 Pada 19 April 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon agar UU ini dicabut karena dinilai masih relevan. MK justru berkeyakinan, jika UU Penodaan Agama ini dicabut maka akan muncul anarkhi dan kekacauan sosial karena akan terjadi kekosongan hukum. The Wahid Istitute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Dan Toleransi di Indonesia 2010, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011) , 27 Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xvii
ketentuan‐ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundangan lain.” Dari sini dapat dipahami bahwa agama yang diakui setidaknya akan mendapat jaminan dari negara, yaitu jaminan hidup, perlindungan sebagaimana pasal 29 ayat 2 dan mendapat bantuan dari pemerintah. Sementara diluar enam agama itu, meski dalam tataran undang‐undang mendapat jaminan yang sama, tapi dalam praktik hanya mendapat jaminan hidup, tanpa jaminan perlindungan dan kebebasan sebagaimana termaktub dalam pasal 29 ayat 2. 24 Pemberian definisi agama yang cenderung bias mayoritas tersebut semakin terlihat jelas dampaknya dalam tataran praktis. Agama‐agama yang diakui mendapat kemudahan‐ kemudahan, sementara agama‐agama lokal selalu diposisikan sebagai agama yang disia‐sia, termarjinalkan, dan terhakimi yang tidak memiliki ruang ekspresi keagamaan yang proporsional. 25 Akibat pengakuan resmi dari negara, maka keenam agama tersebut selain secara otomatis memiliki representasi di kementerian agama baik di tingkat pusat maupun daerah, juga memiliki kesempatan untuk menunjang keberlangsungan pelaksanaan dan penyebaran ajaran sebagaimana terlihat dari keberadaan beberapa organisasi keagamaanya seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja‐gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), WALUBI, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN). Keberadaan organisasi keagamaan ini mencerminkan pengakuan dan keberpihakan 24
The Wahid Institute, Laporan Tahunan Pluralisme dan Kebebasan Beragama di Indonesia 2008, (Jakarta: The WAHID Institute, 2009), 11-12 25 Ibnu Qoyim, “Agama dan Pandangan Hidup Masyarakat Towani Tolotang” dalam Ibnu Qoyim, ed. Religi Lokal dan Pandangan Hidup: Kajian tentang Masyarakat Penganut Religi Tolotang dan Patuntung, Sipelebegu (Permalim), Saminisme, dan Agama Jawa Sunda. (Jakarta: LIPI, 2004), 28
xviii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
negara terhadap agama resmi sambil mengesampingkan keberadaan agama‐agama lokal yang hadir bahkan lebih awal dari agama‐agama besar saat ini. 26 Tidak hanya itu, dalam konteks pemidanaan, salah satu kelompok yang dijadikan sasaran dalam undang‐undang ini adalah penganut aliran kebatinan/kepercayaan yang dianggap sebagai “penoda agama resmi” atau mendapat kecaman sebagai sesat/aliran sesat. Aspek pemidanaan terhadap penistaan agama sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 sangat bias mayoritas. 27 Bukan warga negara yang dijadikan sebagai subyek hukum yang harus dilindungi, tapi agama itu sendiri. Hal demikian bisa dipahami karena Penpres No.1/1965 ini sejak awal kemunculanya memang ditujukan untuk melindungi agama‐agama yang diakui dan dirumuskan dalam perspektif untuk melindungi agama‐agama besar, bukan dalam konteks melindungi setiap individu terkait keyakinan dan kepercayaanya. Namun, apa yang perlu digaris bawahi bahwa agama sendiri tidak bisa menjadi subyek hukum. 28 Pada akhirnya, ketika terjadi tuduhan penistaan atau penafsiran yang berbeda dengan keyakinan mayoritas, bukan warganegara yang dijadikan tolok ukur, tapi agama itu sendiri. Apa yang lebih pelik 26
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. (Semarang: RaSAIL, 2009), 16 27 Bunyi pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatankegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu” 28 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos. Mengatur Kehidupan Beragama; Menjamin Kebebasan? Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 11. Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xix
lagi dengan konsep demikian adalah siapa yang memiliki hak untuk menyatakan kebenaran dan penistaan atas suatu doktrin agama. Pada akhirnya, penentuan sesat yang sarat dengan dominasi mayoritas terhadap ajaran tertentu kerap berimplikasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan secara massal terhadap kelompok minoritas. Dalam artian itu pula, dapat dikatakan bahwa ukuran dasar dari negara untuk mengakui dan melindungi agama, hanya melihat status pemeluknya yang mayoritas, bukan kesetaraan bagi semua warga negara. Hak sipil seseorang sebagai warga negara senantiasa dilekatkan dengan agama yang dipeluk apakah itu agama yang diakui atau tidak. Pada akhirnya, penganut aliran kepercayaan menjadi masyarakat agama kelas dua, dibawah penganut “agama resmi”. Bagi pemeluk kepercayaan di luar agama yang diakui negara, tentu saja implikasinya adalah berbagai akses sosial, politik, dan hukum serta berbagai bentuk aktivitas kehidupan yang lain menjadi terpinggirkan dan bahkan tertutup. Identifikasi hak sipil seseorang sebagai warga negara yang selalu dilekatkan dengan agama yang dipeluk apakah itu agama yang diakui atau tidak, bisa dilihat dari keberadaan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Meski lahir dari proses reformasi, namun muatan undang‐udang ini belum sepenuhnya bisa keluar dari jebakan UU No. 1/PNPS/1965 terutama terkait dengan agama resmi dan tidak resmi. Salah satu persoalan yang paling krusial adalah terkait ketentuan menyangkut pencantuman kolom agama di Kartu Keluarga (KK) pada Pasal 61 ayat 2 dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada pasal 64 ayat 2 di mana ada pembedaan terkait dengan status keagamaan seseorang. Ketentuan yang menyatakan bahwa bagi mereka yang agamanya belum diakui diperbolehkan untuk tidak mengisi kolom agama sekilas memang nampak adil. Namun, pengosongan tersebut dalam praktiknya berdampak pada
xx |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
diskriminasi kelompok masyarakat yang agamanya tidak diakui. Bagi kelompok masyarakat yang agamanya belum diakui sebagai ʹagama resmi; memang diperbolehkan untuk tidak mengisi kolom agama dalam UU tersebut, namun praktik di lapangan cenderung menunjukkan bahwa kelompok minoritas etnis ini akan menjadi warga negara “kelas dua” dalam pelayanan publik. Tidak hanya persoalan KTP dan KK, kelompok kepercayaan lokal juga mengalami kesulitan dalam mendapat akses layanan publik lain, seperti pencatatan perkawinan atau pembuatan akta kelahiran. Pasal 2 ayat 1 Undang‐Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, berbunyi bahwa“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing–masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Karena yang dimaksud dalam UU ini hanya agama dan kepercayaan yang diakui negara, maka perkawinan mereka pun tidak bisa dicatatakan. Pada 28 Juni 2007, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 yang mengizinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk memimpin upacara perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk mendaftarkan izin nikah yang ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut, sehingga membuat perkawinan‐ perkawinan ini diakui secara resmi. 29 Namun faktanya, ini tidak banyak memberikan harapan kepada kelompok kepercayaan lokal. Prasyarat bahwa perkawinan harus lebih dahulu dicatatkan pemimpin penghayat kepercayaan menemui banyak kendala di lapangan. Pasalnya, pemimpin penghayat kepercayaan yang diakui adalah yang sudah tercatat di 29
Nicola Colbran, "Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia: Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara", dalam Tore Lindholm et.al., Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 694. Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxi
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sementara hanya sedikit masyarakat lokal yang melakukan pencatatan ini. Pada akhirnya, dengan tidak diakuinya perkawinan kelompok kepercayaan lokal, maka status anak yang lahir dari perkawinan itu juga menjadi runyam. 30 Hal tersebut menunjukkan bahwa negara nampak masih terkesan setengah‐setengah dan belum memberikan kepastian hukum terhadap penghayat kepercayaan lokal. Bahkan, Alih‐alih mampu menjadi fasilitator antara kelompok serta melindungi kelompok minoritas, negara tidak jarang malah menjadi pendukung terkuat praktik diskriminatif dengan beragam kebijakannya. Negara telah menjadi kekuatan yang mengontrol semua persoalan‐persoalan agama di Indonesia hingga menentukan mana agama yang boleh berkembang dan tidak. Disatu sisi negara tampak begitu berhasrat untuk turut campur dan ingin mengatur segala urusan agama warganya, tapi pada saat bersamaan negara selalu absen dan tidak berdaya menjangkau atau malah terkesan membiarkan praktik diskriminasi terhadap kelompok kepercayaan lokal. Tentang Buku Ini Meski secara normatif pemerintah telah berkomitmen dalam perlindugan HAM, khususnya jaminan beragama dan berkeyakinan, namun berbagai permasalahan terkait dengan jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan kelompok minoritas lokal secara khusus masih terus terjadi. Hilangnya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini juga berimpilikasi pada hilangnya hak dasar dan hak sipil kelompok 30
Ali Maskur, "Membaca Ulang Eksistensi Aliran Kepercayaan di Indonesia" dalam M. Syafi’ie & Nova Umiyati, ed. To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-Kasus Aktual tentang Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2012), 21.
xxii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
minoritas lokal untuk ikut menikmati layanan layanan publik seperti administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan dan layanan publik lainnya. Pemerintah tidak jarang menolak memberikan pelayanan kepada kelompok hanya karena keyakinannya dianggap sesat atau identitas keagamaan tidak tercantum dalam kartu tanda penduduk (KTP). Ini menunjukkan bahwa pejabat pemerintah cenderung tidak memiliki komitmen bukan hanya untuk melindungi hak‐hak dasar setiap warga negaranya terutama kaum minoritas dalam menjalankan kepercayaannya, namun juga dalam memberikan layanan publik yang setara kepada setiap warga negara. Pejabat pemerintah masih menggunakan dasar keyakinan keagamaanya untuk memberikan pelayanan kepada warga negara. Padahal, UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas mengatakan bahwa pelayanan publik merupakan hak dasar semua warga negara dan negara harus memberikan pelayanan publik secara adil dan tidak diskriminatif. Buku Dinamika Agama Lokal di Indonesia yang merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI ini salah satunya ingin menjawab problem pelayanan publik bagi kelompok kelompok agama lokal tersebut. Kajian ini juga ingin melihat sejauh mana dinamika internal kelompok agama lokal dalam mempertahankan tradisi dan keyakinan serta relasi mereka dengan komunitas luar. Dengan mendasarkan pada UU Adminduk No. 23 tahun 2006, kajian ini ingin melihat komitmen pemerintah dalam memberikan layanan hak‐hak sipil bagi kelompok agama lokal di 7 lokasi penelitian. Dari sejumlah kajian dalam buku ini terlihat adanya keterkaitan antara dinamika internal kelompok kepercayaan lokal dan hubungan mereka dengan masyarakat luar dengan Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxiii
terpenuhinya layanan hak dasar mereka. Maksudnya, suatu kelompok kepercayaan lokal yang menjalankan siasat resistensi dengan tetap memegang teguh keyakinan dan tradisi secara eklusif akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan hak‐hak sipil mereka. Sementara pada saat yang sama, layanan hak sipil akan semakin terpenuhi ketika suatu kelompok kepercayaan secara sukarela atau berdasarkan tuntutan keadaan, mau melakukan adaptasi, entah dengan strategi sinkretisme, asimilasi atau akulturasi antara tardisi mereka dengan agama dan tradisi kelompok mayoritas. Hubungan relatif antara pemenuhan layanan hak sipil dengan dinamika kelompok ini terjadi secara gradual. Maksudnya, semakin kuat resistensi suatu kelompok maka tuntutan akan hak sipil tersebut akan semakin sulit dipenuhi pemerintah. Di saat bersamaan, ketika akulturasi dan asimilasi itu semakin kuat hingga menyisakan sedikit identitas dan tradisi awal sebuah komunitas lokal, maka layanan publik akan semakin dipenuhi oleh pemerintah. Di antara dua kutub yang bersebarangan tersebut, ada kelompok minoritas lokal yang secara tradisi dan ajaran memiliki kemiripan dengan agama mayoritas, sehingga memudahkan untuk beradaptasi serta mendapat layanan hak sipil sebagaimana warga mayoritas lainnya. Kelompok kepercayaan lokal dalam kategori kedua ini juga mendapat perlakukan khusus dalam pencatuman agama lokal di kolom KTP. Situasi ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak sipil seseorang atau kelompok masih didasarkan dengan agama yang dipeluk apakah itu agama yang diakui atau tidak, bukan statusnya sebagai warga Negara yang berhak memperoleh layanan yang setara. Kajian Asnawati tentang Agama/Kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy Di Desa Kenekes, Lebak, Banten menunjukkan dengan jelas bagaimana kuatnya keyakinan dan kepercayaan penganut Agama Slam Sunda Wiwitan dan sikap untuk menolak berasimilasi dengan agama formal menjadikan hak sipil mereka
xxiv |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
belum terpenuhi. Sampai saat ini, pemerintah lokal enggan untuk memenuhi tuntutan penganut Agama Slam Sunda Wiwitan agar agama mereka secara legal formal diakui dan dicantumkan dalam KTP. Pada akhirnya, hingga kini mereka tidak mempunyai KTP, buku nikah maupun akte kelahiran untuk anak‐anak mereka. Sementara temuan dari penelitian Agama/Kepercayaan Buhun Orang Kranggan Jati Sampurna di Kota Bekasi oleh Ahmad Syafii Mufid dan kajian Suhanah tentang Aliran Kebatinan Perjalanan di Kecmatan Ciparay, Bandung menunjukkan kategori yang kedua. Sinkretsime antara Tradisi Buhun dengan Ajaran Islam di kalangan Orang Kranggan Jati Sampurna serta Sinkretisme antara adat Sunda dengan agama Islam, Hindu dan Kristen dalam aliran kebatinan perjalanan menjadikan dua aliran ini mudah beradaptasi dengan dunia luar. Kesamaan ajaran dengan agama formal, terutama Islam menjadikan dua pemeluk aliran kepercayaan ini tidak harus pindah keagamaan untuk mendapat layanan publik. Kedua aliran kepercayaan ini sama‐ sama tercantum dalam KTP sebagaimana mandat dari UU 23 2006, di mana dalam kolom agama dituliskan angka 7 atau dikosongkan. Pemenuhan hak sipil masih terjadi dalam masalah pendidikan bagi anak‐anak. Dengan alasan kurangya tenaga dan pendanaan, pemerintah lokal belum memenuhi tuntutan kedua komuntias ini agar materi pelajaran agama bagi anak dididik sesuai dengan agama mereka sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam ketegori lainnya, layanan hak sipil bagi kelompok kepercayaan lokal tidak menjadi masalah suatu ketika komunitas itu telah menerima untuk dianggap bagian dari agama mayoritas, meski dalam praktik sehari‐hari mereka masih menjalankan tradisi dan adat lokal. Kajian Nuhrison tentang Agama/kepercayaan Ciptagelar Gunung Halimun di Sukabumi, Agama/kepercayaan Islam Wetu Telu di Bayan, Lombok Utara (NTB) Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxv
oleh Jajang Jahroni dan Dadi darmadi serta kajian Kustini Agama/Kepercayaan Masyarakat Kampung Dukuh Dalam, Desa Ciroyom, Cikelet, Garut bisa dijadikan contoh. Ketiga komuntias ini sehari‐hari masih menjalakan adat dan kepercayaan lokal, namun secara formal mengaku beragama Islam. Pada akhirnya, ketiga komunitas ini tidak mengalami hambatan berarti dalam pelayanan hak sipil karena mereka dianggap beragama Islam. Di luar itu, kajian Wahkid Sugiyarto tentang Agama/kepercayaan Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur menunjukkan gambaran situasi yang agak berbeda. Komuntias Marapu bisa memperoleh layanan publik yang setara bukan karena keinginan mereka sendiri, tapi lebih sebagai hasil upaya sistematis pemerintah lokal dalam menjadikan mereka sebagai bagian agama mayoritas. Dalam konteks ini pemerintah lokal telah memaksa penganut agama Marapu untuk meninggalkan agama dan kepercayaanya untuk kemudian mengikuti agama mayoritas yang sudah ada, dalam hal ini Katolik dan Protestan sehingga mereka mendapat layanan publik yang setara. Kewajiban untuk memiliki surat baptis dari gereja bagi tiap anak sekolah contohnya, di satu sisi menjadikan hak sipil penganut agama Marapu secara formal terpenuhi, namun secara bersamaan hak mereka dalam beragama dan bepercayaan sesuai keyakinannya telah dilanggar. Pada akhirnya, meski komunitas ini menuntut dicantumkanya agama Marapu di KTP, dicatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil serta mendapatkan pelajaran agama Marapu bagi anak‐anak mereka, namun tuntutan ini pun hanya relevan bagi sebagian kecil pemimpin anggota komunitas, tidak untuk pengikut kepercayaan Marapu secara keseluruhan, terutama dari kaum muda yang telah mendapat pendidikan modern. Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa dalam praktiknya, dalam memberikan pelayanan hak sipil terhadap komuntias lokal, pemerintah nampaknya masih memposisikan mereka
xxvi |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
sebagai orang yang berbeda. Sikap yang bias mayoritas dalam pelayanan publik, pada akhirnya akan mendorong anggota‐ anggota kelompok agama lokal untuk melepaskan keterikatan mereka dengan budaya dan pandangan hidup yang mendasari eksistensi sebuah komunitas mereka. Cara pandang integralistik yang ingin mengintegrasikan beragam unsur adat dan kepercayaan masyarakat lokal dalam agama dominan ini pada akhirnya akan melestarikan praktik marjinalisasi kelompok‐ kelompok kepercayaan lokal yang memiliki konstruksi budaya dan identitas kultural sendiri. Pelayanan publik yang setara baru diberikan ketika komuntias lokal tersebut, mau beradaptasi dengan menjadi bagian dari kelompok mayoritas dengan meninggalkan tradisi dan budayanya secara tidak langsung seperti Islam Wetu Telu, Masyarakat Kampung Dukuh Dalam dan Ciptagelar Gunung Halimun. Dengan menjadi “bagian” dari kelompok Islam secara formal, pemerintah memberikan layanan hak‐hak sipil yang setara kepada kelompok sebagaimana layanan kepada masyarakat lainya. Pada saat yang sama, ketika strategi resistensi digunakan seperti yang dilakukan oleh komunitas Sunda Wiwitan Suku Baduy Di Desa Kenekes untuk memperjuangkan status dan hak mereka, maka pemerintah cenderung abai meski konstitusi secara tegas mengatakan bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan yang setara kepada setiap warga negara. Karena itulah, penataan kembali kerangka hukum yang lebih kuat dan adil menjadi salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk mewujudkan persamaan hak kepada kelompok agama lokal. Langkah ini dapat dimulai dengan melakukan kajian dan analisis atas situasi dan kondisi kelompok kepercayaan lokal secara langsung dimana diskriminasi atas dasar agama dan kepercayaan memiliki implikasi pada penganuliran hak sipil, ekonomi dan politik kelompok lokal. Dalam arti inilah, buku Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxvii
tentang Dinamika Agama Lokal di Indonesia ini nampak menjadi relevan dan menjadi salah satu strategi efektif untuk tetap menjadikan hak dan kebebasan beragama kelompok lokal secara umum dan layanan publik kepada mereka sebagai persoalan bangsa yang segera harus diselesaikan. Kajian ini memiliki kontribusi yang signifikan terhadap reformasi perundang‐ undangan baik berupa pencabutan, perubahan maupun pembentukan regulasi baru yang lebih menjamin hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan kepada setiap warga negara, termasuk kelompok kepercayaan lokal. Sebuah regulasi dengan perspektif kewajiban negara untuk menghormati, menjamin, melindungi hak‐hak asasi setiap warga negara. Sebuah regulasi yang berdasarkan standar hak asasi manusia berdasarkan prinsip kesetaraan dan non‐diskriminasi, perlindungan kepada kelompok minoritas, langkah‐langkah affirmatif action demi kesetaraan dalam pemenuhan hak asasi manusia, dan pemulihan kepada korban pelanggaran. Selamat Membaca! Jakarta, Oktober 2014 M. Imdadun Rahmat Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
xxviii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
PRAKATA EDITOR Puji syukur kepada Allah SWT, berkat hidayah dan inayahNya maka penyusunan buku penelitian “Dinamika Agama Lokal di Indonesia” telah dapat diselesaikan dengan baik. Buku yang berjudul Dinamika Agama Lokal di Indonesia ini memuat beragam isi tentang: a) Agama/ Kepercayaan Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh; Wakhid Sugiyarto; b) Agama/Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun di Sukabumi Jawa Barat, oleh: Nuhrison, M. Nuh; c) Agama/Kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy di Desa Kanekes Lebak Banten, oleh: Asnawati; d) Agama/Kepercayaan Islam Wetu Telu di Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB),
oleh:
Jajang
Jahroni
dan
Dadi
Darmadi;
e)
Agama/Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung, Jawa Barat, oleh: Suhanah; f) Agama/Kepercayaan Buhun Orang Kranggan Jati Sampurna Kota Bekasi
Jawa
Barat,
oleh:
Ahmad
Syafi’i
Mufid;
g)
Agama/Kepercayaan Masyarakat Kampung Dukuh Dalam di Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut Jawa Barat, oleh : Kustini dan Iklilah Mujayyanah DF. Dalam buku ini dijelaskan bahwa 1) Seluruh agama dan kepercayaan lokal yang diteliti masih eksis meskipun masing‐ masing mengalami dinamika yang berbeda. Eksistensi tersebut didorong oleh nilai‐nilai dan keyakinan yang diyakini secara turun temurun yang diperkuat dengan perayaan‐perayaan dan ritual keagamaan yang dilaksanakan secara kontinyu. Sementara itu dinamika yang ada, terjadi karena adanya perubahan sosial, intervensi dan pengaruh dari pihak luar serta perkembangan Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxix
pengetahuan masyarakatnya. 2) Persebaran pemeluk agama dan kepercayaan
masing‐masing
komunitas
mengalami
perkembangan ditandai dengan masih dipertahankannya ajaran dan kecenderungan jumlah penganut yang meningkat, kecuali di komunitas Marapu Sumba dan Ciptagelar Sukabumi. Di sebagian wilayah persebarannya terlihat dari semakin meluasnya wilayah geografis penganut agama dan kepercayaan tersebut. 3) Secara umum relasi sosial antara komunitas agama dan kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya terjalin cukup baik misalnya dalam hubungan ketetanggaan, pekerjaan, perkawinan dan kekerabatan. Namun demikian dibeberapa lokasi pernah terjadi ketegangan sosial seperti di Lombok dan Ciptagelar menyangkut isu pendirian rumah ibadat dan masalah tanah. 4) Pemenuhan hak‐hak sipil bagi komunitas Islam dengan paham kepercayaan lokal secara umum tidak mengalami masalah dalam hal pencatatan identitas agama dan pencatatan perkawinan. Namun bagi komunitas agama lokal seperti Marapu dan Sunda Wiwitan masih mengalami hambatan dalam hal pencatatan perkawinan. 5) Dalam hal pelayanan pendidikan agama, bagi komunitas Islam mendapatkan pendidikan sesuai agamanya. Bagi agama lokal seperti Aliran Kebatinan Perjalanan, pendidikan agamanya tidak sesuai
dengan
yang
diharapkan
penganutnya
karena
keterbatasan tenaga guru dan dana. Sedangkan pada komunitas agama lokal, khususnya agama Marapu mengalami hambatan karena harus melalui proses baptis di gereja sehingga mendapatkan pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Mudah‐mudahan buku ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak terutama Kementerian Agama, Kementerian
xxx |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
Dalam Negeri, Jaksa Agung dan para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang turut mensukseskan dalam penyelenggaraan kegiatan penelitian ini. Jakarta, Oktober 2014 Editor Dra. Hj. Suhanah, M.Pd. NIP. 19581005 198306 2 001
Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxxi
xxxii |Dinamika Agama Lokal di Indonesia
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN .......................................
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ........................
v
PROLOG ............................................................................
vii
PRAKATA EDITOR ......................................................... xxix DAFTAR ISI ...................................................................... xxxiii PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................. B. Perumusan Masalah .................................................... C. Tujuan Penelitian ......................................................... D. Kegunaan Penelitian ................................................... E. Definisi Operasional .................................................... F. Metodologi ................................................................... G. Sasaran dan Lokasi Penelitian .................................. H. Studi Kepustakaan ...................................................... I. Kerangka Teori ............................................................ AGAMA/KEPERCAYAAN MARAPU DI SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR Wakhid Sugiyarto ..................................
13
AGAMA/KEPERCAYAAN KASEPUHAN CIPTAGELAR GUNUNG HALIMUN DI SUKABUMI, JAWA BARAT Nuhrison M. Nuh ..................................
77
1 3 4 4 5 6 7 9 12
Dinamika Agama Lokal di Indonesia | xxxiii
AGAMA/KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN SUKU BADUY DI DESA KANEKES, LEBAK, BANTEN Asnawati ................................................ 113 AGAMA/KEPERCAYAAN ISLAM WETU TELU DI BAYAN, LOMBOK UTARA (NTB) Jajang Jahroni & Dadi Darmadi ............ 157 AGAMA/KEPERCAYAAN ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN DI KECAMATAN CIPARAY, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT Suhanah ................................................. 203 AGAMA/KEPERCAYAAN BUHUN ORANG KRANGGAN, JATI SAMPURNA, KOTA BEKASI, JAWA BARAT Ahmad Syafi’i Mufid ............................. 235 AGAMA/KEPERCAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG DUKUH DALAM DI DESA CIROYOM, KECAMATAN CIKELET, KABUPATEN GARUT Kustini & Iklilah Muzayyanah DF ......... 255 INDEKS .............................................................................. 289 BIODATA EDITOR .......................................................... 291
xxxiv |Dinamika Agama Lokal di Indonesia