PENCEGAHAN PRAKTIK-PRAKTIK PENGHINDARAN PAJAK DALAM PERPAJAKAN INTERNASIONAL CBERDASARKAN UU PPH NO.36 PASAL 18 TAHUN 2008 Rafiudin Hanafiah Dosen Tetap FE UNTAG Cirebon
ABSTRAKSI Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara juga dapat menciptakan peluang untuk melakukan transaksi penghindaran pajak dalam rangka mengurangi beban pajak, apalagi jika terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan terhadap penghindaran pajak tersebut. Penghindaran pajak dapat dilakukan selama transaksi tersebut sah menurut undang-undang. Ada dua (2) bentuk penghindaran pajak yaitu acceptable tax avoidance contohnya tax planning dan unacceptable tax avoidance contohnya tax evasion. Pencegahan praktik-praktik penghindaran pajak ini dapat dicegah salah satunya adalah dengan melakukan perjanjian pajak antar dua negara dalam upaya menghindari pajak berganda (tax treaty).
Kata Kunci: Penghindaran Pajak, Acceptable Tax Avoidance, Unacceptable Tax Avoidance
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah bagian dari dunia internasional, setiap negara saling membutuhkan antara yang satu dan yang lain dalam memenuhi kebutuhan sumberdayanya sehingga diperlukan adanya transaksi antar negara (Transaksi Internasional). Transaksi internasional berupa impor barang dari luar negeri, ekspor barang ke luar negeri, merupakan bagian transaksi perdagangan internasional. Transaksi tersebut tentu mengakibatkan salah seorang penduduk dari salah satu negara memperoleh penghasilan. Penduduk yang memperoleh penghasilan disebut subjek pajak, sedangkan hasil yang diperoleh adalah obyek pajak. Kerjasama antar negara yang dilakukan selain bidang ekonomi berupa perdagangan, juga menyangkut kejasama lainnya seperti kerjasama keamanan dan kerjasama dibidang sosial budaya. Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara guna mencapai komitmen bersama, dalam bentuk perjanjian internasional yang
Halaman | 60 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus 2014
menyangkut kepentingan antar negara, tidak terkecuali yang terkait aspek perpajakan. Setiap penduduk asing di seluruh dunia, tidak ada larangan jika mereka ingin melakukan usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau menanamkan modal di Indonesia, atas hasil yang diterima penduduk asing tersebut, dapat dikenakan pajak di negara Indonesia. Pengenaan pajak yang dilakukan di Negara Indonesia dapat dilakukan dengan kewenangan yang dimiliki Negara Indonesia sebagai pemegang kedaulatan hukum dan wilayah, namun demikian juga harus mempertimbangkan aspek perekonomian nasional dan hubungan kerjasama antar negara yang telah dijalinnya. Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi tersebut. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap negara bebas melakukan penghitungan pajak untuk badan/warga negara lain? Pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina. Namun yang menjadi permasalahan adalah transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara juga dapat menciptakan peluang untuk melakukan transaksi penghindaran pajak dalam rangka mengurangi beban pajak, apalagi jika terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan terhadap penghindaran pajak tersebut. Penghindaran pajak lebih terbuka lagi dengan cara memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara (international tax avoidance). Sebagai contoh, kita dapat melihat ke salah satu wajib pajak yakni perusahaan multinasional (PMA). Dalam tahun 2005 saja, di Indonesia, realisasi investasi yang berasal dari PMA diperkirakan mencapai USD 8.68 miliar Jumlah tersebut meningkat dua kalinya dari tahun sebelumnya. Seiring dengan besarnya investasi asing yang masuk ke Indonesia, pendapatan pemerintah yang berasal dari pajak perusahaan multinasional seharusnya tinggi. Akan tetapi, kita pernah dikejutkan dengan pernyataan mantan Menteri Keuangan RI Jusuf Anwar pada akhir November 2005, yang menyatakan bahwa 750 PMA tidak pernah membayar pajak. Hal serupa juga pernah diungkapkan di tahun 2002 oleh pejabat pajak yang menangani Halaman | 61 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
perusahaan multinasional yang pernah mengindikasikan kemungkinan adanya praktik ilegal dari kalangan perusahaan PMA, antara lain melalui transfer pricing, sehingga 70% perusahaan PMA yang terdaftar sebagai Wajib Pajak laporan keuangannya terlihat merugi dan akhirnya tidak mempunyai kewajiban membayar pajak. Di balik pernyataan tersebut tentu kita bertanya, apakah perusahaan multinasional tersebut benar-benar rugi atau melakukan penghindaran pajak, sehingga tidak membayar pajak? Dan bagaimana pula peraturan perundang-undangan anti penghindaran pajak (anti avoidance) negara kita dalam menangkal skema penghindaran pajak tersebut? Dari pembahasan diatas maka kami mengambil judul ”Pencegahan Praktik-Praktik Penghindaran Pajak Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 18 tentang PPh”. 1.2. Rumusan Masalah Dari pembahasan diatas maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk praktik penghindaran pajak 2. Bagaimana pencegahan terhadap praktik penghindaran pajak 1.3.Tujuan dan Manfaat Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai: 1. Praktek penghindaran pajak yang terjadi: Memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kemungkinan dilakukannya penghindaran pajak oleh wajib pajak. 2. Pencegahan terhadap pratek penghindaran pajak: Memberikan pemahaman bagaimana pencegahan terhadap praktekpraktek penghindaran pajak tersebut dilakukan.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Hukum Internasional Sebelum memahami tentang pengertian pajak internasional, maka sebaiknya kita harus mengerti tentang pengertian hukum internasional, karena pemberlakuan pajak tidak lepas dari ketentuan hukum formal negara tersebut. Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah internasional adalah: a. perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus; b. kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum; c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
Halaman | 62 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
d. keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum. Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian hukum bangsa-bangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antar negara-negara. Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Dengan demikian sebelum kita memahami pengertian pajak internasional, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui kaedah hukum internasional, karena perpajakan merupakan bagian aturan negara nasional dan untuk menerapkan ke masyarakat internasional harus mengikuti hukum internasional yang berlaku antar negara. Negara Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena ia telah mengikuti dan menandatangani Konvensi Wina. Konvensi internasional memilki kekuatan hukum yang mengikat antarnegara yang ikut menandatangani tersebut, hal ini karena: a. hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi dari pada hukum nasional, karena menyangkut kepentingan lebih banyak masyarakat internasional. b. hukum internasional merupakan kehendak negara itu sendiri pada hukum internasional, dan juga merupakan kehendak bersama; c. kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak untuk dapat terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, jika Negara Indonesia mengadakan tax treaty (perjanjian penghindaran pajak berganda) bukanlah semata-mata keinginan dari negara kita, namun juga karena ada asas timbal balik dan keinginan yang sama dengan negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional tidak bisa menghindari pelaksanaan tax treaty, manakala masyarakat Indonesia telah berhubungan dan memperoleh penghasilan di negara lain tersebut. Atau Indonesia juga tidak dapat menerapkan perpajakan terhadap kedutaan karena terikat dengan konvensi internasional, meskipun belum mengadakan tax treaty, asalkan ada asas timbal balik. Oleh karena itu, hukum internasional, baik diatur secara khusus atau tidak, jika telah disepakati dalam dunia internasional mau tidak mau, Indonesia harus tunduk dan patuh akan hal tersebut, tidak terkecuali dalam hal perpajakan. 2.1.2. Hukum Pajak Internasional Setelah memahami hukum internasional, maka diperlukan pemahaman berikutnya mengenai definisi pajak dan hukum pajak. Menurut Halaman | 63 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
Seligman, pajak adalah suatu sumbangan paksaan dari perorangan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang bertalian dengan kepentingan orang banyak (umum), tanpa dapat ditunjukkan adanya keuntungan khusus terhadapnya. a. Pengertian Hukum Pajak Internasional Ottman Buhler membagi hukum pajak internasional dalam arti sempit dan hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas ialah kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan. Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional dalam arti luas termasuk sebagai berikut: a. hukum pajak internasional; b. hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-lain perjanjian internasional; c. bagian dari hukum antar bangsa yaitu: i). Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum internasional/antar bangsa yang diakui secara umum; ii). Keputusan pengadilan internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan; iii). Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat internasional (tertentu) supranationales steuerrecht. Menurut Rosendorff, hukum pajak internasional sebagai keseluruhan hukum pajak nasional dari semua negara yang ada di dunia. Menurut PJA Adriani, hukum pajak internasional ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu dimasing –masing negara. Pengertian hukum pajak internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas daripada pengertian pajak ganda dan hukum pajak nasional itu termasuk didalam hukum pajak internasional. Hukum pajak internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang di atur dalam Undangundang nasional mengenai: a. pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri; b. peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda; c. traktat-traktat. Menurut Negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi sebagai berikut: Halaman | 64 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
1. hukum pajak nasional mengatur hukum pajak luar negeri (national external law) National external Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai diluar batas-batas Negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek ada di luar negeri). 2. hukum pajak luar negeri (foreign tax law) Foreign tax law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia. 3. hukum pajak internasional (international tax law) Internasional tax law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktattraktat, konvensi, dan lain sebagainya, dan berdasarkan prinsipprinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh negaranegara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan. Sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di dunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai objeknya pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara atau lebih. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: i). Hukum pajak internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas baik ruang lingkup, kewenangan, dan kedudukannya; ii). Hukum ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama lain dengan negara domisili; iii). Hukum pajak nasional adalah merupakan bagian dari hukum pajak internasional, dimana ketentuan hukum pajak nasional bila telah diatur dalam hukum pajak internasional tentang hal tersebut, maka ketentuan hukum pajak internasional yang digunakan; iv). Hukum pajak internasional merupakan keseluruhan hukum pajak nasional di berbagai negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan pada hukum pajak nasional; v). Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah hukum pajak internasional yang mengatur kedua negara yang saling berkepentingan, Halaman | 65 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah hukum pajak intenasional yang berlaku bagi seluruh negara. b. Sumber-Sumber Hukum Pajak Internasional Sumber-sumber hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumbersumber hukum tesebut antara lain: 1. Kaedah hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing, antara lain: a) Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang “pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”; b) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) c) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak d) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5(2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap e) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Bilamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan f) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri g) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. 2. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat: a. Perjanjian bilateral b. Perjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), yang hingga saat ini sudah ada 56 P3B c. Perjanjian multilateral Perjanjian ini seperti Konvensi Wina 3.Keputusan Hakim Nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak internasional. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang meyangkut tentang perpajakan internasional atau Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan. Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undang Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah Halaman | 66 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara. Menurut Rochmat Soemitro, dalam hukum pajak internasional mencakup juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah ”traktat antar negara untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjeknya maupun mengenai objeknya”. Kekuasaan negara itu hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun kekuasaan ini juga tercermin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana tidak ada hukum internasional mana atau oleh siapa yang membatasi wewenang ini. Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara kita akan diberi sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut. 2.1.3. Pajak Internasional Definisi pajak internasional dalam undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini belum ada. Agus Setiawan bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian pajak internasional berdasarkan uraian sebelumnya. Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda). Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminsai gejala pajak ganda, hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara :
Halaman | 67 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
1) Dengan cara unilateral, dimana negara yang bersangkuatan memasukkan dalam perundang-undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti : a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial Principle b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious tax credit/tax sparing 2) Dengan cara bilateral, dilakukan denga melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk negara Indonesia telah memiliki Tax Treaty dengan 57 negara. 3) Perjanjian multilateral, misalnya Igeneral Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang mengatut tarif douane secara multilateral. Subjek dan objek pajak dalam pajak internasional: a. Subjek pajak dibagi menjadi 2: 1. Subjek pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari sumbersumber di luar negeri 2. Subjek pajak luar negeri yang mendapat penghasilan dari sumbersumber di dalam negeri b. Sedangkan objek pajak dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Objek pajak dengan sumber di dalam negeri 2. Objek pajak dengan sumber di luar negeri 2.2. Objek dan Metode Penelitian 2.2.1. Objek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah masalah praktik-praktik penghindaran pajak dan penanganannya. Objek ini dipilih karena penulis berpendapat bahwa banyaknya transaksi-transaksi penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional, dengan mengurangi beban pajak mereka, padahal perusahaan tersebut merupakan penyumbang pajak terbesar di banyak negara, tak terkecuali indonesia. 2.2.2. Metode Penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode deskriptif analisis. Nazir (2003) menjelaskan metode deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran objek penelitian yang sebenarnya, dengan cara mengumpulkan bukti, keterangan, dan data yang aktual dan faktual kemudian disusun, diolah, dan dianalisis guna menghasilkan suatu kesimpulan akhir yang sesuai dengan identifikasi masalah yang telah ditetapkan. Halaman | 68 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
2.2.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam makalah ini, penulis menggunakan jenis dan sumber data, yaitu: 1). Data Sekunder Ialah data yang berfungsi sebagai pendukung atau pelengkap dari data primer. Data tersebut dapat diperoleh melalui media-media, baik itu media cetak maupun elektronik. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penulis memanfaatkan sarana perpustakaan sebagai sarana untuk memperoleh keterangan melalui buku dan literatur lainnya yang berhubungan dengan judul yang diteliti.
PEMBAHASAN HASIL ANALISA 3.1. Praktik Penghindaran Pajak Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, bentuk penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi: a. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance). b. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance). Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang bentuk apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu bentuk penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (aggressive tax planning), tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan (defensive tax planning). Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan sebagai suatu bentuk transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan bentuk tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Halaman | 69 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”,atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of parliament). Lantas apa yang dimaksud dengan tax planning itu sendiri? Tax planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang melalui bentuk yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundangundangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu bentuk memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif. Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah suatu bentuk transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai bentuk yang biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak, yaitu: (i) Transfer pricing, The setting of the amount of related party charges is commonly referred to as transfer pricing. Many jurisdictions have become sensitive to the potential for shifting profits with transfer pricing, and have adopted rules regulating setting or testing of prices or allowance of deductions or inclusion of income for related party transactions. Many jurisdictions have adopted broadly similar transfer pricing rules. The OECD has adopted (subject to specific country reservations) fairly comprehensive guidelines. Arm’s length principle: a key concept of most transfer pricing rules is that prices charged between related enterprises should be those which would be charged between unrelated parties dealing at arm’s length. Most sets of rules prescribe methods for testing whether prices charged should be considered to meet this standard. Such rules generally involve comparison of related party transactions to similar transactions of unrelated parties (comparable prices or transactions). Various surrogates for such transactions may be allowed. Most guidelines allow the following methods for testing prices: Comparable uncontrolled transaction prices, resale prices based on comparable markups, cost plus a markup, and an enterprise profitability method (International Taxation-Wikipedia). Halaman | 70 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
Peyalahgunaan Transfer Pricing dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties). Dimana terjadi harga transfer tidak wajar dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dalam melakukan transaksi . (ii) Thin capitalization, Most jurisdictions provide that taxable income may be reduced by amounts expended as interest on loans. By contrast, most do not provide tax relief for distributions to owners. Thus, an enterprise is motivated to finance its subsidiary enterprises through loans rather than capital. Many jurisdictions have adopted "thin capitalization" rules to limit such charges. Various approaches include limiting deductibility of interest expense to a portion of cash flow, disallowing interest expense on debt in excess of a certain ratio, and other mechanisms (International Taxation-Wikipedia). (iii) Treaty shopping, An anlisys of tax treaty provisions to structure as international transaction or operation so as to take advantage of a particular (Treaty Shopping and Benefeficial Ownership, Mr David Partington, OECD Secretariat). Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B (Peraturan Dirjen Pajak No PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran pajak Berganda). (iv) controlled foreign corporation (CFC). Adalah badan usaha yang didirikan diluar indonesia yang modal disetornya: Sekurang-kurangnya 50% dimiliki oleh WP dalam negri, baik secara sendiri maupun bersama-sama denngan WP dalam negri lainnya dan badan usaha diluar negri tersebut sahamnya tidak terdaftar (diperdagangkan) di bursa efek. Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat menjalankan dalam bentuk: 1. Substantive tax planning, yang terdiri atas: a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negaranegara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan Halaman | 71 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. 2. Formal tax planning Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah. Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak lagi bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut: a. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan. b. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya. c. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds). d. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa yang akan datang. e. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak. f. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven countries 3.2. Pencegahan Terhadap Praktik Penghindaran Pajak A. Metode Penghindaran Pajak Berganda (Method for Elimination of Double Taxation) Dalam rangka mengurangi atau menetralisir dari kemungkinan pengenaan pajak berganda beberapa metode yang bisa dilakukan antara lain (P3B, John Hutagaol; Manajemen Perpajakan, Moh. Zain): 1. Metode Pembebasan (Exemption) Halaman | 72 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
Dikatakan metode pembebasan apabila negara itu tidak memajaki penghasilan yang berasal dari luar wilayah juridiksinya yang diperoleh atau diterima oleh penduduknya. Metode Pembebasan terbagi menjadi 2, yaitu: a. Metode Pembebasan Penuh (Full Exemption) Dikatakan metode pembebasan penuh apabila seluruh penghasilan yang berasal dari luar negri yang diperoleh penduduk dari suatu negara tidak dikenakan pajak negara itu. b. Metode Pembebasan (Exemption with Progression) Dikatakan metode pembebasan progrssif apbila penghasilan yang berasal dari luar negri turut di perhitungkan dengan penghasilan dari dalam negri hanya untuk tujuan penentuan tarif pajak dalam rangka menentukan besarnya pajak yang tehutang atas penghasilan dari dalam negri. 2. Metode Kredit (Credit Method) Dibedakan atas 2, yaitu: a. Metode Pengkreditan Penuh (Full Credit) Dikatakan metode pengkreditan penuh apabila atas seluruh pajak yang terhutang atau dibayar di luarnegri sehubungan dengan penghasilan yang diperolehnya dari luar negri dapat diperhitungkan dengan pajak yang terhutang diakhir tahun. b. Metode Pengkreditan Pembatasan (Ordinary Credit) Dikatakan metode pengkreditan pembatasan apabila pajak yang terhutang atau dibayar di luar negri yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dibatasi tidak boleh melebihi batas maksimum yang diperkenankan oleh UU domestik dari suatu negara. 3. Metode Fiktif (Fictious Method) Yang disebut metode fiktif (tax sparing method) adalah insentif pajak yang diperoleh dari luar negri oleh penduduk dari suatu negara yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak atas pajak yang terhutng di negara itu. B. Ketentuan tentang Anti Avoidance Dalam menghadapi bentuk unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundangundangan perpajakan sebagai berikut ini: 1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, (iv) controlled foreign Halaman | 73 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
corporation (CFC). Berikut adalah SAAR untuk masing-masing transaksi: i). SAAR untuk transfer pricing : Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA bersifat unilateral: yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak, Bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya. ii). SAAR untuk thin capitalization Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Dari sudut pandang UU perpajakan, pinjaman pembiayaan (loan financing) akan berdampak mengurangi dasar pengenaan pajak karena bunga yang dibayar dibebankan sebagai biaya. Untuk mencegahnya, ialah dengan mengatur maksimum pinjaman yang diperbolehkan agar tidak semua biaya bunga dapat dikurangkan. Halaman | 74 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
Ketentuan thin capitalization diwujudkan dalam aturan tentang penentuan batas maksimum ratio antara utang dan modal (debt-to-equity ratio, DER). Ketentuan dalam peraturan UU pajak yang mengatur rasio antara utang dan modal adalah bahwa sebagian dari biaya bunga tidak dapat dibebankan sebagai biaya, apabila utang yang berkaitan dengan pembayaran bunga tersebut melebihi rasio yang ditentukan. Tujuan aturan DER adalah untuk mendorong perusahaan melakukan investasi melalui equity. Tanpa adanya ketentuan yang mengatur DER, perusahaan cenderung untuk melakukan investasi dengan utang karena bunga yang dibayar untuk utang tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya. iii).
SAAR untuk treaty shopping Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; dan WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form).
iv).
SAAR untuk controlled foreign corporation (CFC) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam Halaman | 75
JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company). Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek (Deemed Dividen). 2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis. C. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) Adalah perjanjian pajak antar dua negara dalam upaya menghindari pajak berganda. Hal-hal yang ada didalamnya meliputi negara mana saja yang menjadi peserta dan terikat dalam perjanjian tersebut dan objek pajak apa yang tercakup dalam perjanjian tersebut. Pada dasarnya tax treaty dapat dibedakan menjadi 3 macam: a) Menyebutkan jenis pajaknya tetapi tidak menyebutkan definisinya, hal ini dapat menimbulkan perbedaan dalam penafsiran, sehingga sering kali ditambahkan klausal “jika terdapat keragu-raguan maka akan dibicarakan bersama”. b) Mencantumkan definisi pajak yang diliputinya disertai dengan nama pajaknya, yang pada waktu perjanjian dibuat telah ada dan ditambah dengan ketentuan bahwa pada sewaktu-waktu tertentu otoritas keuangan dari masing-masing negara akan saling memberitahukan, pajak mana yang tunduk dalam perjanjiana tersebut. c) Menyebutkan nama pajaknya dengan ketentuan, bahwa perjanjian tersebut juga berlaku untuk pajak-pajak yang akan diadakan, dan pada hakekatnya mempunyai dasar yang sama. Objek pajak dalam tax treaty pada umumnya dibagi dalam 15 jenis penghasilan : a. penghasilan dari harta tetap atau barang tak bergerak (income from immovable property) b. penghasilan dari usaha (business income atau business profit) c. penghasilan sari usaha perkapalan atau angkutan udara (income from shipping and air transport) d. deviden e. bunga f. royalty g. keuntungan dari penjualan harta (capital gain) Halaman | 76 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
h. penghasilan dari pekerjaan bebas (income from independent personal service) i. penghasilan dari pekerjaan (income from dependent personal service) j. gaji untuk direktur (director fees) k. penghasilan seniman, artis dan atlit (income earned by entertainers and athletes) l. uang pensiun dan jaminan social tenaga kerja (pension and social security payment) m. penghasilan pegawai negeri (income in respect of government service) n. penghasilan pelajar atau mahasiswa (income received by students and apprentices) o. penghasilan lain-lain (other income) D. Kedudukan Pajak Penghasilan dan Kaitannya Dengan Tax Treaty Tax treaty hanya mencakup pada Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan tidak berlaku untuk Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan-ketentuan dalam UU PPh yang terkait dengan perpajakan internasional adalah sebagai berikut: 1. Pasal 18 UU PPh a.Pembelian saham atau aset perusahaan WP dalam negeri melalui Special Purpose Company (SPC). b.Penjualan saham SPC di tax haven country yang memiliki saham WP dalam negeri. c.Pembayaran gaji ekspatriat yang ditempatkan oleh perusahaan induk di luar negeri untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan/WP dalam negeri yang merupakan anak perusahaannya. PASAL 18 AYAT (3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. PASAL 18 AYAT (3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan Halaman | 77 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. PASAL 18 AYAT (3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 1. Penghindaran pajak dapat dilakukan selama transaksi tersebut sah menurut undang-undang. Ada dua (2) bentuk penghindaran pajak yaitu acceptable tax avoidance contohnya tax planning dan unacceptable tax avoidance contohnya tax evasion. 2. Pencegahan praktik-praktik penghindaran pajak ini dapat dicegah salah satunya adalah dengan melakukan perjanjian pajak antar dua negara dalam upaya menghindari pajak berganda (tax treaty). B. Saran 1. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.
Halaman | 78 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus
DAFTAR PUSTAKA Agus Setiawan. 2006. Perpajakan Internasional. Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia. Jakarta Danny Darussalam Tax Center. 14 Januari 2009. Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule. www.ortax.org Gunadi. 2007. Pajak Internasional. Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. IAI. 2008. Sanding Pajak Penghasilan 2008. John Hutagaol. 2000. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan Nrgara-negara di Kawasan Asia Pasifik, Amerika dan Afrika. Jakarta: Salemba Empat. John Hutagaol, Darussalam, Danny Septriadi 2007. Kapita Selekta Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat. Kusumaatmadja, Mochtar, Etty, R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni. Mohammad Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Moh. Zain. 2007. Manajemen Perpajakan ed. 3. Jakarta: Salemba Empat. Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor Per-62/PJ./2009 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Pricewaterhouse Coopers. 2008. Indonesi Pocket Tax Book 2008. Jakarta: PT. Prima Wahana Caraka. Rachmanto Surahmat, 2006, Mendorong Investasi Lewat Thin Capitalization, Tax Partner Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult. Rudi. 10 Oktober 2008. Pokok-Pokok Perubahan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008. http://www.klinik-pajak.com/pokok-pokok-perubahan-undangundang-pph-baru.html.
Halaman | 79 JURNAL EKONOMI 2014
ISSN: 2302-7169
Vol. 2 No. 3 • Mei-Agustus