KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-3
PENATAAN KEAGRARIAAN DAN PERTANAHAN WUJUD KESINAMBUNGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN oleh Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si.
PENDAHULUAN 1. Petani selalu digambarkan sebagai kelompok sosial yang lemah secara politik maupun ekonomi dan memiliki cukup tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya 2. Sebagai penyakap, petani tidak memiliki posisi tawar di hadapan pemilik tanah. 3. Sebagai petani gurem miskin, mereka seringkali ditindas atau diintimidasi untuk melepaskan hak atas tanahnya, kerap juga dipaksa untuk menanam komoditas tertentu sesual kehendak penguasa
1. Pada masa kolonial, kondisi petani lebih buruk karena adanya pemaksaan kejam rnelalul sistem "tanam paksa" (cultuurstelsel). 2. Petani dipaksa pemerintah kolonial menanam komoditas tertentu, seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu, dan sebagainya, di atas seperlima bagian tanahnya. 3. Hasilnya kemudian diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk diekspor ke Eropa.
4. Pada umumnya konflik yang berkembang dan melibatkan petani menyangkut dua masalah pokok, yaitu berkaitan dengan pemberian ganti rugi yang tidak memadai dan tidak adanya perlindungan hak-hak dalam pemilikan tanah. 5. Rakyat yang secara de facto dan de jure, menguasai tanah, pada banyak kasus selalu harus menerima putusan sepihak (dikalahkan). Pada banyak kasus pembebasan tanah, pemerintah kurang berpihak pada kepentingan rakyat. 6. Di satu sisi pemerintah sangat jelas menggunakan pendekatan formal-legalistik. Di sisi lain, katakata untuk kepentingan pembangunan telah menjadi legitimasi berbagai bentuk intervensi negara untuk mengalahkan kepentingan rakyat petani.
7. Konflik yang terjadi bukan karena rakyat menolak kepentingan pembangunan, kepentingan bisnis atau investasi, tetapi karena prosedur hukum yang tidak dipenuhi. 8. Misalnya penetapan ganti rugi pembebasan tanah dilakukan sepihak tanpa proses musyawarah dengan pemilik tanah dan ganti rugi yang diberikan tidak memadai. 9. Akibatnya, muncul prasangka buruk tentang "konspirasi" atau persekongkolan antara pemilik modal dan oknum aparat negara. 10. Di sisi lain, karena nilai ekonomi tanah terus meningkat, muncul pula spekulan-spekulan yang menguasai tanah rakyat sehingga jumlahpetani tak bertanah (landless) terus meningkat .
11. Sekalipun instrumen pelaksanaan keagrariaan telah diatur dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960, kenyataannya UUPA tidak mampu menjadi rujukan dan faktor penentu dalam mengatasi berbagai problem agraria dan pertanahan. 12. Hal ini disebabkan oleh politik hukum yang seringkali bertentangan dengan makna dan semangat yang terkandung dalam UUPA. 13. Akibatnya, masalah-masalah keagrariaan dan pertanahan bermunculan di berbagai daerah tiada henti mewarnal kehidupan masyarakat sehari-hari.
14. Misalnya, terjadinya pemusatan penguasaan tanah oleh segolongan masyarakat, meningkatnya alih fungsi tanah pertanian subur ke penggunaan nonpertanian, 15. semakin menyempitnya lahan pertanian dan fragnientasi pemilikan/penguasaan tanah dan fragmentasi fisik hamparan tanah, 16. semakin bertambahnya jumlah petani gurem dan petani tak bertanah (landless), semakin banyaknya petani yang menjadi buruh tani, 17. semakin intensifnya pengurusan sumberdaya lokal untuk kepentingan pihak luar, semakin meningkatnya proses penggusuran tanah tanah rakyat termasuk petani, 18. tiadanya jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat tani, dan berbagai persoalan lain yang menyangkut sumberdaya tanah.
NERACA PENGGUNAAN TANAH
PENGGUNANAN TANAH SAWAH MENURUT SISTEM IRIGASI
RASIO PERTANIAN SAWAH TERHADAP RUMAHTANGGA PETANI SAWAH
DISTRIBUSI USAHATANI DI INDONESIA
POLA PENGGUNAAN TANAH DI INDONESIA
STRUKTUR PENGUASAAN TANAH PERTANIAN DI INDONESIA