PENAPISAN BAKTERI ASOSIATIF KARANG LUNAK (Octocorallia; Alcyonacea) Sinularia dura DAN Lobophytum strictum YANG POTENSIAL SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN MICROFOULING DI LAUT
RAIJ BASTILA SUTIA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul PENAPISAN BAKTERI ASOSIATIF KARANG LUNAK (Octocorallia; Alcyonacea) Sinularia dura DAN Lobophytum strictum YANG POTENSIAL SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN MICROFOULING DI LAUT adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini. Bogor, Desember 2011 RAIJ BASTILA SUTIA NRP C54070024
RINGKASAN RAIJ BASTILA SUTIA. Penapisan Bakteri Asosiatif Karang Lunak (Octocorallia; Alcyonacea) Sinularia dura dan Lobophytum strictum yang Potensial sebagai Alternatif Penanganan Microfouling di Laut. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan MEUTIA SAMIRA ISMET. Microfouling (pembentukan biofilm) merupakan syarat utama terjadinya biofouling, sehingga untuk melakukan penghambatan terjadinya biofouling pada struktur bangunan laut dapat dilakukan dengan menghambat terjadinya biofilm. Beberapa mikroorganisme laut seperti bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak mampu menghasilkan sejumlah metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan biofilm. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari bakteri asosiasi potensial dari karang lunak Sinularia dura dan Lobophytum strictum yang dapat menghasilkan senyawa bioaktif sebagai sumber anti-microfouling alami. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei hingga Agustus 2011. Penelitian dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu pengambilan sampel karang lunak jenis Sinularia dura dan Lobophytum strictum, penjebakan biofilm bakteri, isolasi bakteri, dan uji antagonisme. Pengambilan sampel karang lunak dan penjebakan biofilm bakteri dilakukan pada waktu dan tempat yang sama yaitu di perairan Barat pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Uji antagonisme dilakukan antara bakteri asosiasi karang lunak terhadap bakteri pembentuk biofilm dengan metode difusi agar. Parameter kualitas perairan (fisika-kimia) yang diukur sebagai data penunjang meliputi suhu, kadar garam, kecerahan, pH, nitrat, fosfat, TSS, dan COD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 24 isolat bakteri asosiasi berhasil diisolasi dari karang lunak jenis Sinularia dura dan Lobophytum strictum. Uji antagonisme menunjukkan sebanyak 23 isolat (95,83%) bakteri asosiasi mampu menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm. SD6 dan LS1 merupakan isolat bakteri yang memiliki tingkat aktivitas penghambatan paling tinggi terhadap bakteri pembentuk biofilm. Bakteri SD6 dan LS1 tersebut berpotensi sebagai sumber anti-microfouling alami yang ramah lingkungan.
© Hak cipta milik Raij Bastila Sutia, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya
PENAPISAN BAKTERI ASOSIATIF KARANG LUNAK (Octocorallia; Alcyonacea) Sinularia dura DAN Lobophytum strictum YANG POTENSIAL SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN MICROFOULING DI LAUT
RAIJ BASTILA SUTIA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul
: PENAPISAN BAKTERI ASOSIATIF KARANG LUNAK (Octocorallia; Alcyonacea) Sinularia dura DAN Lobophytum strictum YANG POTENSIAL SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN MICROFOULING DI LAUT
Nama
: Raij Bastila Sutia
NRP
: C54070024
Departemen
: Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA NIP. 19460218 197301 1 001
Meutia Samira Ismet, S.Si., M.Si NIP. 19800325 200701 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Lulus: 19 Desember 2011
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Penapisan Bakteri Asosiatif Karang Lunak (Octocorallia; Alcyonacea) Sinularia dura dan Lobophytum strictum sebagai Alternatif Penanganan Microfouling di Laut. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada: 1) Mamah, Bapak, Kakak, Adek serta Putu Mandala atas kasih sayang, doa, dukungan, nasehat, semangat, kesabaran dan bantuannya baik moril maupun materil. 2) Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Meutia Samira Ismet, S.Si., M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan, serta segala penjelasan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3) Dr. Iriani Setyaningsih, MS selaku penguji sidang atas masukan, nasehat dan pengarahan yang diberikan. 4) Dr. Bintang Marhaeni, S.Si., M.Si yang telah memberikan motivasi, bimbingan, dan pengarahan dalam penelitian saya. 5) Ibu Heni, Pak Jaka, Kak Putri selaku laboran di Laboratorium Mikrobiologi yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Kesempurnaan skripsi ini tidak terlepas dari segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihakpihak yang membutuhkannya. Bogor, Desember 2011 Raij Bastila Sutia
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xii
1.
PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Tujuan .........................................................................................
1 1 3
2.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1. Biologi dan Ekologi Karang Lunak ..................................... …… 2.2. Bakteri Asosiatif Karang Lunak .......................................... …… 2.3. Senyawa Bioaktif sebagai Sumber Antifoulant Alami................. 2.4. Aktifitas Biofouling di laut........................................................... 2.5. Permasalahan dan Upaya Penanggulangan Biofouling di laut .....
4 4 7 8 10 12
3.
METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 3.2. Alat dan Bahan ............................................................................. 3.3. Metode Penelitian ........................................................................ 3.3.1. Koleksi dan Pengambilan Sampel Karang Lunak ............ 3.3.2. Identifikasi Sampel Karang Lunak ................................... 3.3.3. Penjebakan Biofilm Bakteri ............................................. 3.3.4. Isolasi Bakteri Asosiatif Karang Lunak ............................ 3.3.5. Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm ................................... 3.3.6. Uji Hambat (Uji Antagonisme) Bakteri Asosiatif Karang Lunak terhadap Bakteri Pembentuk Biofilm ..................... 3.3.7. Uji Hambat (Uji Antagonisme) Bakteri Asosiatif Karang Lunak terhadap Pembentukkan Biofilm ............................ 3.3.8. Analisis Data ...................................................................... 3.4. Diagram Alir Penelitian ...............................................................
15 15 15 16 16 17 18 18 20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 4.1. Pengamatan Parameter Fisika-Kimia Perairan ............................ 4.2. Identifikasi Karang Lunak ........................................................... 4.3. Isolasi Bakteri Asosiatif Karang Lunak (Sd dan Ls) ................... 4.4. Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm............................................... 4.5. Uji Hambat (Uji Antagonisme) Bakteri Asosiasi Karang Lunak terhadap Petumbuhan Bakteri Pembentuk Biofilm ...................... 4.6. Uji Hambat (Uji Antagonisme) Bakteri Asosiatif Karang Lunak terhadap Pembentukkan Biofilm ..................................................
24 24 26 28 31
21 22 22 23
34 39
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 5.1. Kesimpulan .................................................................................. 5.2. Saran ............................................................................................
43 43 43
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
44
LAMPIRAN...............................................................................................
48
DAFTAR TABEL Halaman 1. Senyawa terpenoid dari beberapa jenis karang lunak .................. 9 2. Natural Product Antifouling (NPA) yang diisolasi dari beberapa jenis karang lunak ........................................................................ 14 3. Hasil analisis parameter kualitas lingkungan perairan (fisika-kimia) pada lokasi pengambilan sampel karang lunak ............................. 24 4. Jumlah koloni bakeri asosiasi (CFU/mL) pada kedua jenis karang lunak .............................................................................................. 29 5. Karakteristik morfologi koloni bakteri asosiasi Sd ....................... 30 6. Karakteristik morfologi koloni bakteri asosiasi Ls ....................... 30 7. Karakteristik morfologi koloni bakteri pembentuk biofilm........... 33 8. Hasil uji antagonis antar populasi bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak Sd dan Ls terhadap bakteri pembentuk biofilm ....... 34 9. Persentase bakteri asosiasi karang lunak Sd dan Ls yang aktif pada uji antagonisme terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm............................................................................................ 35
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Penampang vertikal polip karang lunak ...............................................
4
2. Mekanisme pembentukan biofilm ........................................................
11
3. Peta lokasi pengambilan sampel karang lunak dan penjebakan biofilm bakteri ..................................................................................................
15
4.
Proses penjebakan biofilm bakteri pada substrat kayu ........................
18
5. Proses isolasi bakteri asosiasi karang lunak .........................................
19
6. Proses isolasi bakteri pembentuk biofilm .............................................
21
7. Diagram alir penelitian.........................................................................
23
8. Morfologi Sinularia dura dan Lobophytum strictum ...........................
27
9. Penyebaran koloni bakteri asosiasi karang lunak ................................
29
10. Penyebaran koloni bakteri pembentuk biofilm pada media SWC........
31
11. Foto bawah air biofilm panel kayu (a) hari pertama perendaman dan (b) Seminggu setelah perendaman .......................................................
32
12. Jumlah isolat bakteri asosiasi yang positif pada uji antagonisme terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm...............................
35
13. Diameter zona hambat (mm) hasil uji antagonisme bakteri asosiasi karang lunak (Sd dan Ls) terhadap pertumbuhan bakteri A, B dan C ............................................................................................
36
14. Kurva pertumbuhan bakteri asosiasi karang lunak ..............................
38
15. Persentase bakteri pembentuk biofilm yang dihambat oleh bakteri asosiasi karang lunak (Sd dan Ls) ........................................................
39
16. Diameter zona hambat (mm) uji penghambatan bakteri asosiasi karang lunak Sd dan Ls terhadap biofilm.........................................................
40
17. Tingkat resistansi bakteri pembentuk biofilm dan biofilm terhadap bakteri asosiasi Sd dan Ls ....................................................................
41
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Identifikasi sampel karang lunak .................................................. 48
2.
Metode pewarnaan Gram .............................................................. 50
3.
Sterilisasi alat dan bahan ............................................................... 51
4.
Pembuatan media isolasi bakteri ................................................... 52
5.
Hasil uji hambat (uji antagonisme) ............................................. 54
6.
Penghitungan total koloni bakteri pada media SWC ................... 55
7.
Hasil pewarnaan Gram beberapa isolat bakteri asosiasi................ 56
8.
Diameter zona hambat (mm) bakteri asosiasi karang lunak terhadap bakteri pembentuk biofilm .............................................. 57
9.
Kurva pertumbuhan bakteri asosiasi karang lunak........................ 56
10. Diameter zona hambat (mm) bakteri asosiasi karang lunak terhadap bakteri biofilm ...............................................................
59
11. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian......................... 60
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Struktur bangunan laut yang berada di sekitar pantai tidak terlepas dari berbagai masalah-masalah teknis. Salah satu masalah yang timbul pada pemasangan struktur bangunan laut adalah tumbuhnya organisme penempel (fouling). Penempelan organisme fouling merupakan fenomena yang dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan pada beberapa struktur bangunan laut seperti penghambatan laju kapal, kerusakan peralatan bawah air, dan mempercepat pelapukan konstruksi bangunan bawah air. Usaha-usaha pencegahan terhadap tumbuhnya organisme fouling telah banyak dilakukan diantaranya dengan menggunakan cat antifoulant sintetis yang umumnya dibuat dari bahan kimia beracun seperti tributyltin (TBT). Namun banyak penelitian membuktikan bahwa ternyata TBT tidak hanya toksik terhadap biota penempel, tetapi juga dapat mencemari lingkungan dan membahayakan berbagai organisme non-target lainnya. Sehingga diperlukan alternatif sumber alami untuk mencegah keberadaan organisme fouling, salah satunya adalah dengan memanfaatkan kandungan senyawa bioaktif yang berasal dari organisme laut. Berbagai organisme laut diketahui memiliki potensi yang sangat besar dalam menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif. Salah satu organisme laut tersebut adalah karang lunak. Karang lunak merupakan salah satu organisme laut sesil yang memiliki kemampuan menghasilkan senyawa bioaktif (metabolit sekunder). Senyawa bioaktif yang dihasilkan karang lunak berperan penting dalam fungsi ekologis dan biologis terutama untuk perlindungan terhadap predator, kompetisi ruang hidup,
dan antifouling (Sammarco dan Coll, 1990). Namun masalah utama dalam pengembangan dari produk hayati laut tersebut adalah masalah suplai. Proksch et al. (2002) menyatakan bahwa senyawa bioaktif yang dihasilkan avertebrata laut sangat sedikit. Bahan baku yang dibutuhkan untuk mendapatkan 1 gram senyawa bioaktif adalah sekitar 1 ton berat basah. Dengan demikian produksi senyawa bioaktif dari karang lunak dalam jumlah yang banyak secara kontinyu, akan menyebabkan over-eksploitasi terhadap karang lunak. Di sisi lain, karang lunak sebagai organisme bentik sesil diketahui hidup berasosiasi dengan beberapa mikroorganisme seperti bakteri. Bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak juga dapat menghasilkan sejumlah metabolit sekunder yang sama seperti organisme inang (Faulkner et al., 2000). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan hipotesa tersebut. Senyawa bioaktif telah berhasil ditemukan diantaranya adalah dari bakteri asosiasi karang lunak jenis Juncella juncea (Arlyza, 2007). Hal ini membuktikan bahwa bakteri asosiasi karang lunak merupakan salah satu sumber yang menjanjikan sebagai sumber alternatif senyawa bioaktif. Dengan demikian maka over-eksploitasi terhadap karang lunak dapat dihindari. Salah satu fungsi ekologis dari senyawa hasil metabolit sekunder karang lunak adalah sebagai antifouling. Oleh karena itu kemungkinan bakteri asosiasi karang lunak menghasilkan metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai antifouling juga perlu dipelajari. Dengan demikian pencarian senyawa bioaktif antifouling dari bakteri asosiasi karang lunak dapat dijadikan sebagai alternatif sumber senyawa antifouling yang ramah lingkungan.
1.2. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mencari bakteri asosiasi karang lunak yang potensial sebagai sumber antimicrofouling alami sehingga dapat diproduksi secara efektif.
2. Membandingkan tingkat aktifitas bakteri asosiasi dalam menghambat bakteri pembentuk biofilm dan pembentukan biofilm.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi dan Ekologi Karang Lunak Karang lunak merupakan kelompok hewan tingkat rendah (avertebrata) yang termasuk ke dalam filum Coelenterata, kelas Anthozoa. Kelas Anthozoa dibagi dalam dua sub-kelas yaitu sub-kelas Scleractinia dan sub-kelas Octocorallia. Karang lunak termasuk dalam sub-kelas Octocorallia yang memiliki delapan tentakel. Octocorallia memiliki tubuh yang lunak tetapi lentur dan mempunyai tangkai yang melekat pada substrat yang keras terutama karang mati (Manuputty, 2002). Bagian atas tangkai disebut kapitulum, bentuknya bervariasi antara lain seperti jamur, bentuk lobus atau bercabang-cabang. Kapitulum mengandung polip yaitu individu atau binatang karang sehingga disebut bagian fertil, sedangkan tangkainya banyak mengandung spikula yaitu duri-duri kecil dari kalsium karbonat yang berfungsi sebagai penyokong jaringan tubuh, sehingga disebut bagian steril. Polip karang lunak dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu antokodia, kaliks dan antostela (Gambar 1).
Gambar 1. Penampang vertikal polip karang lunak (Bayer, 1956)
Antokodia merupakan bagian yang terdapat di permukaan koloni dan bersifat retraktil, yaitu dapat ditarik masuk ke dalam jaringan tubuh. Apabila antokodia ditarik ke dalam, maka yang nampak dari atas adalah pori-pori kecil seperti bintang. Bangunan luar dari pori-pori inilah yang disebut kaliks. Pada antokodia ditemukan tentakel yang berjumlah delapan dengan deretan duri-duri (pinnula) yang berfungsi untuk membantu mengalirkan air dan zat-zat makanan ke dalam mulut. Antokodia juga mengandung spikula yang letaknya berderet sampai ke ujung masing-masing tentakel. Pada daerah kaliks ditemukan rongga gastrovaskuler atau rongga perut, terusan dari farinks (yang terbagi menjadi delapan dan disebut septa), benang-benang septa dan organ reproduksi atau gonad. Bagian antostela merupakan bagian basal polip yang mengandung jaring-jaring solenia. Jaring-jaring solenia ini menghubungkan antara polip satu dengan polip lainnya (Manuputty, 2002). Karang lunak juga mempunyai sel-sel amuboid yang akan berkembang menjadi sel-sel knidoblas dan menghasilkan sel-sel penyengat (nematosit). Sebagian dari sel-sel amuboid tersebut akan menjadi sel-sel skleroblas yang menghasilkan sklerit berkapur (spikula). Sebaran spikula pada bagian basal tentakel dan dinding tubuh di antara septa umumnya kurang merata. Namun di bagian bawah antokodia, sebaran spikula merata dan tersusun dalam jumlah besar sehingga memberi kesan lebih kokoh dan tidak lentur (Manuputty, 2002). Spikula pada bagian kapitulum (atas) terutama pada bagian dalam dan permukaan lobus serta di bagian permukaan tangkai (base) umumnya berbentuk “club” yaitu kumparan kecil dengan salah satu ujung yang melebar. Sedangkan di bagian interior tangkai, spikula berbentuk kumparan besar (spindle) (Manuputty, 2002).
Anggota Octocorallia hidupnya menetap, tidak dapat berpindah tempat dan melekat erat di dasar perairan yang keras. Octocorallia memiliki kebiasaan makan yang holosoik, yaitu menangkap organisme planktonik (crustacea kecil dan larva moluska) dalam jumlah yang besar. Namun ada juga beberapa jenis dari suku Xenidae dan jenis-jenis dari genus Clavularia dapat hidup bertahan lama walaupun sama sekali tidak mengambil makanan dari air laut. Hal tersebut dikarenakan jenis-jenis ini mengandung zooxanthellae dalam jumlah besar di dalam dinding gastrodermisnya (Manuputty, 1986). Karang lunak hidup di daerah pasang surut sampai kedalaman 200 m. Hewan ini menyukai perairan yang hangat atau sedang terutama di Indo-Pasifik. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan karang lunak adalah gelombang, arus, cahaya, nutrien, sedimentasi, kadar garam, dan temperatur. Hasil ekspedisi Sibolga di perairan Timur Jauh (zona Indo-Malaya), termasuk Indonesia, mencatat ditemukannya 4 suku, 28 marga dan 219 jenis karang lunak (Manuputty, 1986). Karang lunak kaya akan unsur-unsur nutrisi yang penting seperti lemak, protein, dan karbohidrat yang merupakan sumber makanan yang bernilai tinggi bagi predator. Hal inilah yang menyebabkan karang lunak dapat dijadikan sebagai habitat dan sumber makanan oleh binatang laut lainnya. Selain itu juga, komunitas epifit seperti biofilm bakteri, diatom dan alga memberikan makanan terhadap binatang kecil sebagai dasar rantai makanan yang akan dikonsumsi oleh predator karang lunak seperti ikan, krustasea, dan ekhinodermata (Manuputty, 1986). Predator khusus yang ditemukan hidup bersimbiosis dengan karang lunak dan bersifat komensalisme diantaranya seperti Ovula ovum dan Phyllodedesmium
longicirra (Manuputty, 1986). Karang lunak juga bersimbiosis mutualisme dengan beberapa mikroorganisme seperti bakteri. Simbiosis karang lunak dengan oganisme lain dapat terjadi baik pada permukaan tubuh (epifit) dan di dalam jaringan tubuh (endofit) (Mearns-Spargg et al., 1998).
2.2. Bakteri Asosiatif Karang Lunak Bakteri laut umumnya dapat berasosiasi dengan organisme laut lainnya seperti karang lunak, spons, dan moluska. Bakteri asosiasi merupakan komunitas bakteri yang hidup bersama dengan biota lain dan melakukan berbagai macam pola hubungan (interaksi) yang paling penting dan mendasar dalam ekologi di lingkungan laut (Munn, 2004). Asosiasi bakteri dengan organisme laut dapat mempengaruhi proses metabolisme bakteri. Oleh karena itu bakteri asosiatif memiliki kecenderungan menghasilkan senyawa bioaktif yang lebih tinggi daripada bakteri yang hidup planktonik (Nofiana et al., 2009; Armstrong et al., 2001). Beberapa senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh bakteri asosiatif adalah senyawa yang dapat digunakan sebagai pertahanan terhadap patogen dan organisme fouling (Murniasih, 2005). Hal tersebut disebabkan oleh adanya kompetisi hidup yang tinggi antar bakteri dan keterbatasan nutrisi (Mearns-Spargg et al.,1998). Kompetisi ruang dan nutrisi dapat menginduksi bakteri untuk menghasilkan senyawa dengan berbagai aktivitas biologis, misalnya antimikroba. Sehingga dapat dikatakan bahwa produksi senyawa antimikroba merupakan salah satu cara bakteri beradaptasi terhadap lingkungan dengan tujuan bakteri mempertahankan diri. Bakteri asosiasi dapat ditemukan juga pada permukaan tubuh dan jaringan karang lunak. Permukaan tubuh karang lunak dilapisi oleh lendir yang banyak
mengandung bakteri dan bersifat tidak merusak inangnya (Kim, 1994). Bakteri yang disolasi dari avertebrata laut merupakan sumber yang menjanjikan dalam pencarian produk hayati laut dengan berbagai aktivitas biologis. Raveendran dan Limna (2009) menyatakan bahwa Pseudoalteromonas tunicata yang diisolasi dari tunicate Ciona intensitanalis, memperlihatkan adanya aktifitas antifouling melawan larva Balanus amphitrite dan Ciona intestinalis. Selain itu juga Alteromonas sp. yang diisolasi dari sponge Halichondria okadai yang menghasilkan ubiquinone-8 (metabolit penghambat) mampu menghambat terbentuknya biofilm. Bukti-bukti keterlibatan bakteri asosiasi dalam menghasilkan senyawa bioaktif menjadikan bakteri asosiasi tersebut sebagai hal yang sangat penting dalam bidang biologi laut dan produk alami laut. Hal tersebut dikarenakan potensi yang dimilikinya dapat menjadi sumber baru sehingga dapat menyelesaikan masalah suplai produk alami laut tanpa harus melakukan pemanenan biomassa inang secara berlebihan (Li, 2009).
2.3. Senyawa Bioaktif sebagai Sumber Antifoulant Alami Karang lunak merupakan salah satu organisme bentik sesil yang memiliki kemampuan menghasilkan metabolit sekunder sebagai salah satu upaya pertahanan diri terhadap lingkungan. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh karang lunak diantaranya terpenoid, steroid, dan steroid glikosida. Salah satu senyawa kimia yang paling banyak ditemukan pada karang lunak adalah terpenoid. Terpenoid merupakan suatu kelompok senyawa kimia dari golongan hidrokarbon isometrik dengan rumus molekul C10H16 yang memiliki aroma atau bau harum (Coll dan Sammarco, 1983). Senyawa terpen dari beberapa jenis karang lunak disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Senyawa terpenoid dari beberapa jenis karang lunak Nama senyawa Jenis karang lunak Literatur Lobolide Lobophytum crassum Tursch et al., 1978 Crassolide Lobophytum crassum Tursch et al., 1978 Nephtenol Lobophytum pauciflorum Tursch et al., 1978 Sinularide Sinularia flexibilis Tursch et al., 1978 Dihydrosinularian Sinularia flexibilis Tursch et al., 1978 11-Episinularide acetate Sinularia queciformis Tursch et al., 1978 Sarcopane Sarcophyton glancum Tursch et al., 1978 Flexibilide Sinularia flexibilis Sammarco dan Coll, 1988 Isosarcophytoxides Sarcophyton sp Sammarco dan Coll, 1988 13-Hydroxylobolide Lobophytum crassum Sammarco dan Coll, 1988 Epoxypulide Sinularia sp Sammarco dan Coll, 1988 Lobohediliolide Lobophytum hedleyi Sammarco dan Coll, 1988 Pukalide Lobophytum Sammarco dan Coll, 1988 microbulatum Sumber: Tursch et al. (1978) dan Sammarco dan Coll (1988)
Senyawa biaoktif (bioactive compound) merupakan senyawa kimia aktif yang dihasilkan secara alamiah oleh organisme melalui jalur biosintetik metabolit sekunder. Metabolit sekunder adalah komponen senyawa yang diproduksi pada saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan dalam mekanisme evolusi spesies atau strategi adaptasi terhadap lingkungan (Torsell, 1983). Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan organisme. Produksi metabolit sekunder karang lunak merupakan kompetisi akibat interaksi dengan lingkungan biotik, abiotik dan sebagai senjata kimia terhadap predator (Harper et al., 2001). Metabolit sekunder tersebut berperan penting dalam fungsi ekologis terutama untuk perlindungan terhadap predator, kompetisi ruang hidup serta memberikan pertahanan kimia sebagai antimikroba untuk mencegah terjadinya infeksi dan fouling (Sammarco dan Coll, 1992). Bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak juga diketahui dapat menghasilkan senyawa aktif sebagai penghambat organisme fouling pada
inangnya (Armstrong et al., 2000). Hasil penelitian Sabdono et al. (2005) menunjukan bahwa 10 isolat dari 371 isolat bakteri yang berhasil diisolasi dari karang lunak Sarcophyton sp. dan Sinularia sp. di perairan Ujung Kulon dan Karimunjawa menunjukkan adanya aktifitas antifoulant. Selain itu juga ekstrak kasar dari Pelagiobacter variabilis UPS3.37 diketahui mempunyai aktifitas antifouling terhadap bakteri fouling. Uji macrofouling menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kasar tanpa campuran cat mampu menurunkan jumlah penempelan bernakel (Sabdono, 2007). Metabolit sekunder yang dihasilkan organisme laut merupakan penemuan baru yang dapat dijadikan sebagai alternatif teknologi non-toksik untuk mengontrol biofouling di laut.
2.4. Aktivitas Biofouling di Laut Rittchof (2001) menyatakan bahwa semua permukaan bawah air di dalam lingkungan laut dipengaruhi oleh penempelan organisme fouling seperti bakteri, alga dan invertebrata khususnya teritip dan remis. Faktor-faktor biologi, fisika, dan kimia juga mempengaruhi semua permukaan di lingkungan laut. Hal tersebut akan menghasilkan suatu lapisan kompleks dari perlekatan mikroorganisme (microfouling) dan makroorganisme (macrofouling) yang lebih dikenal sebagai biofouling. Biofouling adalah penempelan dan akumulasi organisme hidup yang melekat pada permukaan substrat (material yang ditempeli biofouling). Istilah ini biasanya mengacu pada organisme stasioner makroskopik seperti makroalga, teritip, kerang, dan sejenisnya. Namun biofouling juga terjadi sangat cepat pada skala mikroskopis. Sehingga biofouling dapat dibagi menjadi 2, yaitu microfouling yaitu pembentukan biofilm (kolonisasi bakteri dan mikroalga) dan
macrofouling yaitu penempelan makroorganisme (kolonisasi avertebrata dan makroalga) yang bersifat merusak (Railkin, 2004). Biofilm merupakan kumpulan mikroorganisme khususnya bakteri yang melekat erat pada permukaan substrat dan diselubungi oleh matriks extracellular polymeric. Biofilm tersebut diketahui merupakan prasyarat bagi penempelan dan metamorphosis dari organisme penempel (Sabdono, 2007; Marhaeni, 2011). Biofouling diawali dengan adanya akumulasi nutrien sebagai sumber makanan pada permukaan substrat sehingga menarik bakteri di sekitarnya untuk menempel. Akumulasi dan reproduksi bakteri pada permukaan substrat menjadi sumber nutrisi bagi perkembangan organisme jenjang trofik yang lebih tinggi. Keadaan tersebut selanjutnya dapat menarik makroorganisme untuk menempel (Railkin, 2004). Sehingga dalam hal ini mikroorganisme merupakan agen utama yang mengambil tempat di permukaan dan berkembang untuk menghasilkan biofilm. Mekanisme pembentukan biofilm dapat dilihat pada Gambar 2.
1 detik – 1 menit
1 menit – 1 jam
1 jam – 24 jam
24 jam – 1 minggu
2 minggu – 1 bulan
Gambar 2. Mekanisme pembentukan biofilm (Donlan, 2002)
Pembentukan biofilm pada suatu substrat di perairan membutuhkan waktuwaktu tertentu dalam setiap tahapannya. Bakteri planktonik yang berada di perairan mengalami pengendapan yang berubah-ubah dalam hitungan detik. Selanjutnya bakteri melekat pada substrat dalam hitungan menit (pelekatan awal). Bakteri yang melekat membentuk koloni dan melekat secara permanen pada substrat karena terjadi produksi eksopolimer dalam hitungan menit hingga jam. Selanjutnya terjadi proses pematangan biofilm tahap awal (maturasi 1) dalam hitungan 1 jam sampai 24 jam. Pematangan biofilm tahap akhir (maturasi 2) terjadi pada hitungan 24 jam hingga 1 minggu. Pada hitungan 2 minggu hingga 1 bulan terjadi proses disphersi, yaitu sebagian bakteri siap untuk menyebar dan berkolonisasi di tempat lain.
2.5.Permasalahan dan Upaya Penanggulangan Biofouling di Laut Organisme fouling (biofouling) yang menempel pada kapal dan berbagai struktur buatan manusia di laut memberikan kerugian (ekonomis maupun operasional). Berdasarkan Chambers et al. (2006) keberadaan organisme fouling pada lambung kapal yang telah berlayar selama 6-8 bulan dapat mengakibatkan berkurangnya kecepatan kapal hingga 50%. Hal tersebut mengakibatkan tertundanya waktu berlayar selama 10-15% dari total waktu berlayar serta meningkatkan konsumsi bahan bakar hingga 40%. Biofouling secara komersial dapat menyebabkan dampak besar bagi konsumer, tetapi ahli lingkungan mengatakan bahwa biofouling memiliki beberapa kerugian yang lain juga. Penelitian yang dilakukan Sudaryanto et al. (2001) dan Harder (2004) membuktikan terjadinya akumulasi bahan TBT pada sedimen perairan di Indonesia dan menyebabkan terjadinya imposex pada
gastropoda laut betina karena dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran pengeluaran telur. Kelainan seksual pada spesies gastropoda yang terekspos TBT tergambar secara luas pada awal tahun 1990 (Soedharma dan Fauzan, 1996). Usaha-usaha untuk mencegah dan menghilangkan biofouling terus dikembangkan diantaranya dengan metode pengerokan. Namun metode serupa dirasa sangat tidak efektif karena untuk melakukan pengerokan diperlukan teknik khusus dengan terlebih dahulu melakukan pendaratan kapal. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi industri perkapalan karena pada masa itu kapal tidak bisa melakukan aktivitasnya di laut. Oleh karena itu pada pertengahan tahun 1800 dikembangkan cat antifouling yang mengandung tembaga. Namun penggunaan cat ini memiliki masa pakai yang pendek (kurang dari 1,5 tahun). Tahun 1960 digunakan bahan-bahan kimia seperti arsen, organo-mercury, DDT, dan timah sebagai campuran cat antifouling. Berdasarkan hasil penelitian, bahan-bahan kimia tersebut memiliki daya toksik yang berbahaya dan memiliki persisten tinggi di lingkungan. Metode pencegahan selanjutnya adalah penggunaan cat antifouling berbahan dasar tributyltin (TBT). Ine dan Ant (2001) menyatakan hampir seluruh dunia termasuk Indonesia menggunakan cat berbahan baku TBT untuk pengecatan badan kapal. TBT yang merupakan campuran dalam cat antifouling memiliki sifat peluruhan yang tinggi serta membahayakan berbagai organisme laut lainnya. Oleh karena itu, produk alami antifoulant (Natural Product Antifoulant atau NPA) sebagai alternatif antifouling alami pengganti TBT telah dikembangkan. Karang lunak merupakan salah satu avertebrata laut yang telah dikenal memiliki kemampuan antifouling sehingga dapat digunakan sebagai sumber NPA.
Penyelidikan properti antifouling dari karang lunak bergerak pesat pada tahun 1980-an dengan banyaknya laboratorium yang memfokuskan penelitian ke arah ini. Berikut merupakan Natural Product Antifouling (NPA) yang diisolasi dari karang lunak antara lain (Tabel 2). Tabel 2. Natural Product Antifouling (NPA) yang diisolasi dari beberapa jenis karang lunak Nama Senyawa Himarine Muricin Renillafoulins Pukalide dan epoxypukalide 11-episinulariolide dan sinulariolide 12α-acetoxy-13 17-seco-cholesta-1, 4-dien-3-ones Juncins (Reveendran dan Limna, 2009)
Jenis Karang Lunak Leptogorgia virtulata Muricea fruticosa Renilla reniformis L. Virgulata Sinlaria flexibillis Dendronepthya sp Juncella juncea
Selain dari organisme karang lunak, mikroba simbion yang diisolasi dari permukaan avertebrata laut juga dapat dijadikan sebagai sumber NPA. Keuntungan menggunakan mikroorganisme sebagai sumber NPA adalah kecepatannya dalam memproduksi senyawa bioaktif dalam waktu singkat dengan jumlah yang banyak (Marhaeni, 2011).
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Mei sampai Agustus 2011. Lokasi pengambilan sampel karang lunak serta penjebakan biofilm bakteri dilakukan di perairan pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 3). Isolasi bakteri, serta uji hambat dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, FMIPA, IPB. Identifikasi karang lunak dilakukan di Laboratorium Kering Biologi Laut, ITK, FPIK, IPB. Analisis kualitas perairan dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan (Proling), FPIK, IPB.
Gambar 3. Peta lokasi pengambilan sampel karang lunak dan penjebakan biofilm bakteri
3.2. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan di lapang meliputi peralatan scuba diving, under water camera, GPS Garmin 12 CX, sacchi disk, refraktometer, plastik tahan
panas, botol sampel, kontainer pendingin, thermometer dan substrat jebakan. Sedangkan peralatan yang digunakan di Laboratorium meliputi mikroskop, cawan petri, spatula, mortar, erlenmeyer, vortex stirrer, timbangan analitik, tabung reaksi, batang penyebar, jarum ose, laminar air flow, paper disk (diameter 6 mm), spektrofotometer, dan jangka sorong. Bahan yang digunakan di lapangan meliputi es batu dan air laut. Sementara bahan yang digunakan di laboratorium meliputi sampel karang lunak segar, akuades, air laut, media Sea Water Complex (SWC) padat dan cair, alkohol 70%, dan antibiotik ampicilin sigma konsentrasi 100 ppm.
3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mencari bakteri asosiasi karang lunak yang potensial sebagai alternatif teknologi ramah lingkungan untuk mengontrol biofouling di laut. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
3.3.1. Koleksi dan Pengambilan Sampel Karang Lunak Metoda sampling yang digunakan adalah metoda purposive sampling dimana pengambilan sampel terfokus pada target dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu terhadap obyek yang sesuai dengan tujuan penelitian (Fachrul, 2007). Dalam hal ini penelitian dilakukan terhadap karang lunak jenis Sinularia dura dan Lobophytum strictum yang mana berdasarkan Radjasa et al. (1999) karang lunak tersebut mampu menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm. Kedua sampel diambil pada kedalaman 5 meter, di bagian barat (105063’09” BT dan 5074’52” LS) pulau Pramuka dengan peralatan scuba diving set. Sampel karang lunak jenis Sinularia
dura dan Lobophytum strictum yang belum mendapat sentuhan difoto untuk kepentingan identifikasi. Sampel karang lunak selanjutnya dibawa ke permukaan air secara perlahan dan dimasukkan dalam kantong plastik tahan panas berisi air laut. Selanjutnya disimpan dalam kontainer pendingin berisi es untuk ditransportasikan ke laboratorium.
3.3.2. Identifikasi Sampel Karang Lunak Identifikasi sampel karang lunak dilakukan di Laboratorium Kering Biologi Laut, FPIK, IPB. Sedangkan buku panduan dan teknik identifikasi mengacu pada Fabricius dan Alderslade (2001) dan Manuputty (2002). Identifikasi sampel karang lunak dilakukan melalui beberapa tahap (Lampiran 1), yaitu: 1) Foto bawah air dari sampel karang lunak uji dicocokkan dengan foto bawah air jenis-jenis karang lunak yang ada pada buku identifikasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui genus dari karang lunak uji. 2) Sampel karang lunak segar dipotong menjadi dua bagian yaitu bagian atas (top) dan bagian bawah (basal). Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui bentuk spikula pada masing-masing bagian karang lunak. Cuplikan jaringan dari setiap bagian karang lunak diletakkan di atas gelas objek, kemudian diberi larutan pemutih dengan tujuan untuk melarutkan jaringan karang. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air untuk menghilangkan larutan pemutih dan sisa jaringan. Spikula dari masing-masing bagian karang lunak diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. 3) Spikula yang teramati dari masing-masing bagian karang lunak difoto dan dicocokkan dengan literatur untuk mengetahui spesies dari karang lunak uji.
3.3.3. Penjebakan biofilm bakteri Penjebakan biofilm bakteri adalah suatu proses untuk mendapatkan bakteri pembentuk biofilm dengan cara menunggu hingga bakteri tersebut terjebak pada substrat yang telah disipkan dalam rentang waktu tertentu. Penjebakan dilakukan dengan menggunakan substrat berupa empat buah balok kayu steril berukuran 3 x 6 cm2. Balok kayu tersebut kemudian diikatkan pada penyangga besi dengan menggunakan tali pengikat dan dipasang secara sirkular (Gambar 4). Hal tersebut bertujuan supaya bakteri dapat terjebak dalam kondisi apapun.
6 cm
3 cm
Gambar 4. Proses penjebakan biofilm bakteri pada substrat kayu
Substrat jebakan dipasang pada lokasi di sekitar ekosistem karang lunak dengan cara dibenamkan pada kedalaman 1 meter di bawah permukaan laut selama 1 minggu. Setelah 1 minggu pembenaman, substrat diambil dan dimasukkan dalam kantong plastik berisi air laut. Selanjutnya disimpan dalam kontainer pendingin berisi es untuk ditransportasikan ke laboratorium.
3.3.4. Isolasi Bakteri Asosiatif Karang Lunak Isolasi merupakan suatu proses pemisahan bakteri tertentu dari populasi campuran. Metode yang digunakan untuk isolasi bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak adalah metode cawan sebar. Tahapan isolasinya adalah sebagai
berikut: karang lunak segar dicuci dengan menggunakan air laut steril sebanyak tiga kali (triturasi). Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan bakteri non target (bakteri non simbion). Kemudian dilakukan pengerokan terhadap permukaan jaringan dengan alat pengerok steril. Selanjutnya dilakukan seri pengenceran terhadap sampel tersebut. Sebanyak 10 gram sampel hasil kerokan dimasukkan ke dalam air laut steril 90 ml dan diperoleh pengenceran sampel sebesar 10-1. Dari pengenceran 10-1 tersebut diambil 1 ml sampel dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml air laut steril dan diperoleh pengenceran 10-2. Demikian selanjutnya sehingga diperoleh pengenceran sampel sampai 10-6. Masing-masing hasil pengenceran 10-3, 10-4 dan 10-5 diambil 100 μl diteteskan dalam cawan petri steril berisi 20 ml media SWC. (Gambar 5).
10 gram
1 ml
1 ml
1 ml
1 ml
1 ml
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10 gram sampel hasil kerikan
90 ml -1
10 air laut steril
Air laut steril @ 9 ml 0,1 ml
1
1
1
0,1 ml
2
2
2
0,1 ml
3
3
3
Gambar 5. Proses isolasi bakteri asosiasi karang lunak
Selanjutnya disebar dengan menggunakan batang penyebar steril dan diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 37 0C (suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri) (Pelczar dan Chan, 2005). Setelah inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh pada masing-masing cawan dihitung dan diamati. Koloni-koloni dengan bentuk, warna, elevasi, dan tepian koloni berbeda diisolasi dan dilakukan pengamatan bentuk sel dan pewarnaan Gram (Lampiran 2). Semua alat dan bahan yang digunakan dilakukan sterilisasi terlebih dahulu dengan autoklaf (Lampiran 3).
3.3.5. Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm Biofilm bakteri disiapkan dengan tujuan memperoleh isolat bakteri pembentuk biofilm. Metode yang digunakan untuk isolasi bakteri pembentuk biofilm adalah metode cawan sebar (Gambar 6). Tahapan isolasinya adalah sebagai berikut: substrat yang telah dipasang di perairan laut selanjutnya diambil pada waktu perendaman 1 minggu. Substrat selajutnya dicuci menggunakan air laut steril dengan cara disemprokan sebanyak tiga kali (triturasi). Hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa bakteri yang terisolasi adalah bakteri pembentuk biofilm yang sudah permanen. Substrat selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang sebagian berisi air laut steril. Kemudian dilakukan pengerokan terhadap permukaan substrat dengan alat pengerok steril secara aseptik. Selanjutnya dilakukan seri pengenceran terhadap sampel (hasil kerokan) dan proses isolasi dilakukan dengan prosedur yang sama dengan isolasi bakteri asosiasi karang lunak. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 x 24 jam. Setelah inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh pada masing-masing cawan dihitung dan diamati. Koloni-koloni dengan bentuk, warna, elevasi, dan tepian koloni berbeda diisolasi dan dilakukan pengamatan bentuk sel dan pewarnaan Gram.
Gambar 6. Proses isolasi bakteri pembentuk biofilm
3.3.6. Uji Hambat (Uji Antagonisme) Bakteri Asosiatif Karang Lunak terhadap Pertumbuhan Bakteri Pembentuk Biofilm Kegiatan uji hambat pertumbuhan dilakukan antara isolat bakteri asosiatif karang lunak terhadap bakteri pembentuk biofilm dengan metode difusi agar (Radjasa, 2004). Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri pembentuk biofilm. Tahapan dari uji ini meliputi persiapan media cair dan persiapan media padat (Lampiran 4). Sebanyak 20 ml media agar SWC dalam keadaan cair ditambahkan 20 μl bakteri pembentuk biofilm dan dihomogenkan dengan vortex, kemudian segera dituangkan ke dalam cawan petri steril. Cawan petri yang telah berisi campuran media SWC dan bakteri pembentuk biofilm tersebut didiamkan sekitar 15 menit atau sampai media membeku. Selanjutnya beberapa paper disk steril (diameter 6 mm) diletakkan secara aseptik pada permukaan agar dan sebanyak 20 µl kultur cair bakteri asosiasi karang lunak diteteskan di atas paper disk. Sebagai kontrol positif digunakan antibiotik ampicillin sigma konsentrasi 100 ppm sebanyak 20 µl. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 0C selama 2 x 24 jam. Aktivitas antibakteri ditunjukkan dengan adanya zona bening (zona hambatan) disekitar paper disk dan dibandingkan dengan aktivitas antibiotik ampicillin (Murniasih dan Rasyid, 2010). Diameter zona bening diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,1 mm (Lampiran 5).
3.3.7. Uji Hambat (Uji Antagonisme) Bakteri Asosiatif Karang Lunak terhadap Pembentukkan Biofilm Bakteri uji yang digunakan dalam uji hambat ini adalah biofilm bakteri (kumpulan dari beberapa jenis bakteri pembentuk biofilm). Kegiatan uji hambat dilakukan dengan metode difusi agar (Radjasa, 2004). Sebanyak 20 ml media agar SWC dalam keadaan cair ditambahkan 20 μl biofilm bakteri dan dihomogenkan dengan vortex, kemudian segera dituangkan ke dalam cawan petri steril. Cawan petri yang telah berisi campuran media SWC dan biofilm bakteri tersebut didiamkan sekitar 15 menit sampai media membeku. Selanjutnya beberapa paper disk steril (diameter 6 mm) diletakkan secara aseptik pada permukaan agar dan sebanyak 20 µl kultur cair bakteri asosiasi karang lunak diteteskan di atas paper disk. Sebagai kontrol positif digunakan antibiotik ampicillin sigma konsentrasi 100 ppm sebanyak 20 µl. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 0C selama 2 x 24 jam. Aktivitas antibakteri ditunjukkan dengan adanya zona bening (zona hambatan) disekitar paper disk dan dibandingkan dengan aktivitas antibiotik ampicillin (Murniasih dan Rasyid, 2010). Diameter zona bening diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,1 mm.
3.3.8. Analisis Data Analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis tersebut diperoleh berdasarkan tabel dan gambar, serta melihat ukuran diameter zona hambat bakteri asosiatif terhadap biofilm bakteri. Isolat bakteri asosiasi yang memiliki zona hambat paling tinggi terhadap ketiga bakteri uji dijadikan sebagai isolat terpilih sebagai sumber antimicrofouling.
3.4. Diagram Alir Penelitian Berikut merupakan diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 7. Pengambilan sampel karang lunak
Isolasi bakteri asosiasi karang lunak
Penjebakan Biofilm bakteri
Isolasi bakteri pembentuk biofilm
Kultur murni bakteri asosiasi karang lunak Kultur murni bakteri pembentuk biofilm
Gambar 7. Diagram alir penelitian
Uji Antagonisme
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengamatan Parameter Fisika-Kimia Perairan Kondisi lingkungan (fisika-kimia) habitat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi senyawa metabolit sekunder karang lunak. Karang lunak merupakan organisme yang memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap ekologi perairan (Dinensen et al., 1983). Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor yang tidak dapat ditolerir seperti kekeringan yang terlalu lama, endapan yang tebal, dan penurunan kadar garam yang drastis. Data pendukung berupa hasil analisis parameter fisika-kimia pada lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis parameter kualitas lingkungan perairan (fisika-kimia) pada lokasi pengambilan sampel karang lunak No 1 2 3 1 2 3 4 5
Parameter Fisika Suhu Kadar garam Kecerahan Kimia TSS Derajat Keasaman Nitrat Fosfat COD
Unit
Lokasi Barat pulau Pramuka
Baku mutu
(0C) (ppt) (%)
31 33 100
28-30* 33-34* >5*
(mg/l) pH (mg/l) (mg/l) (mg/l)
37 8,17 0,0032 0,0099 52,2941
20* 7-8,5* 0,008* 0,015* < 80**
Keterangan: * Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 untuk Biota Perairan Laut ** Bapedalda DKI Jakarta – LP ITB, 1998
Kedua jenis sampel karang lunak dikoleksi pada lokasi yang sama yaitu pada perairan Barat pulau Pramuka. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perairan pada lokasi pengambilan sampel masih berada pada kisaran baku mutu
air laut untuk mendukung kehidupan biota yang telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Kondisi perairan pada lokasi pengambilan sampel terlihat jernih. Hal tersebut ditunjukkan oleh persentase kecerahan pada lokasi pengambilan sampel mencapai 100% (sampai dasar perairan). Kondisi perairan tersebut sangat mendukung kehidupan karang lunak mengingat intensitas cahaya matahari yang tinggi sangat mendukung proses fotosintesis alga simbiotik dari karang lunak (zooxanthellae). Zooxanthellae sendiri merupakan sumber nutrisi dan warna bagi karang lunak (Birkeland, 1997). Suhu pada lokasi pengambilan sampel karang lunak mencapai 310C. Nilai suhu yang diperoleh melebihi batas kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan karang (25-29 0C). Namun menurut Nybakken (1992) terdapat beberapa jenis karang lunak yang mampu mentolerir perubahan suhu sampai kira-kira sekitar 36-40 0C. Pengaruh perubahan suhu terhadap binatang karang adalah respon makan menurun, banyak mengeluarkan lendir, dan proses fotosintesis atau respirasi menjadi berkurang. Kadar garam merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan karang. Kadar garam pada lokasi pengambilan sampel mencapai 33 ppt, sehingga dapat dikatakan kadar garam pada lokasi pengambilan sampel masih berada dalam kisaran yang masih mendukung hidup karang lunak. Derajat keasaman pada lokasi pengambilan sampel sebesar 8,17. Angka tersebut menunjukkan bahwa derajat keasaman perairan masih dalam batas standar baku mutu menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa pH air laut umumnya berada pada kisaran 7-8,5. Kesuburan suatu perairan dapat diukur dari nutrien yang terkandung pada perairan
tersebut. Nutrien yang diukur pada lokasi pengambilan sampel adalah nitrat dan fosfat. Kandungan nitrat pada lokasi pengambilan sampel adalah 0,00321 mg/l dan fosfat sebesar 0,0099 mg/l. Kandungan nutrien tersebut berfungsi untuk mendukung pertumbuhan karang lunak. COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik. Hasil pengukuran COD pada penelitian ini mengindikasikan bahwa perairan tersebut kemungkinan mengalami kontaminasi bahan organik, atau menunjukkan bahwa perairan tersebut merupakan perairan yang cukup subur namun masih tergolong normal (Hariyadi, 2004).
4.2. Identifikasi Karang Lunak Hasil identifikasi menunjukkan bahwa karang lunak yang digunakan sebagai biota inang dari bakteri yang diisolasi berasal dari spesies Sinularia dura (Sd) dan Lobophytum strictum (Ls). Kedua karang lunak tersebut dapat diklasifikasikan (Fabricius dan Alderslade, 2001; Manuputty, 2002) sebagai berikut: Kingdom
:Animalia
Phylum
:Coelenterata
Kelas
:Anthozoa
Sub-Kelas
:Octocorallia (Alcyonaria)
Ordo
:Alcyonacea
Famili
:Alcyoniidae
Genus
:Sinularia
Species
: Sinularia dura
Genus
: Lobophytum
Species
: Lobophytum strictum
Morfologi karang lunak Sinularia dura dan Lobophytum strictum dapat dilihat pada Gambar 8.
(a) Sinularia dura di bawah air
(c) Lobophytum strictum di bawah air
(b) Sinularia dura di atas air
(d) Lobophytum strictum di atas air
Gambar 8. Morfologi Sinularia dura dan Lobophytum strictum Sinularia dura dan Lobophytum strictum termasuk kedalam famili Alcyoniidae. Berdasarkan Gambar 8 kedua spesies karang lunak uji tampak memiliki bentuk morfologi yang hampir sama, yaitu mempunyai bentuk koloni merambat, kapitulum lebar, dan permukaan digitata. Namun terdapat perbedaan yang kontras antara kedua spesies ini, yaitu warna koloni. Warna koloni digunakan sebagai alat untuk membedakan kedua jenis karang lunak tersebut ketika pengambilan sampel di alam. Warna koloni kuning atau kuning kehijauan merupakan perbedaan yang kontras dari karang lunak genus Lobophytum dengan jenis Alcyonacea lainnya. Namun terdapat beberapa genus Lobophytum yang memiliki koloni bewarna krem seperti warna koloni dari genus Sinularia. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis spikula untuk memastikan spesies tersebut.
Berdasarkan hasil analisis spikula, Sd memiliki spikula berbentuk club yaitu kumparan kecil dengan salah satu ujung yang melebar. Sementara spikula pada Ls memiliki bentuk seperti kapstan yaitu kumparan kecil berujung tumpul dengan tonjolan duri yang menggerombol teratur. Kedua jenis karang lunak tersebut dipilih sebagai organisme uji dikarenakan keberadaan spesies tersebut yang sangat melimpah di alam. Di Indonesia, terutama di kepulauan Seribu jenis-jenis karang lunak didominasi berturut-turut oleh genus Sinularia, Sarcophyton, Lobophytum, Lobularia, dan Nephtea (Manuputty, 1986). Selain kelimpahannya yang sangat tinggi, karang lunak tersebut juga telah terbukti pada beberapa penelitian oleh adanya indikasi kandungan senyawa bioaktif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm dan penempelan teritip (Radjasa et al., 1999). Sehingga kemungkinan besar mengindikasikan bakteri yang hidup berasosiasi dengan karang lunak tersebut juga dapat menghasilkan senyawa bioaktif seperti inangnya.
4.3. Isolasi Bakteri Asosiatif Karang Lunak (Sd dan Ls) Bakteri laut umumnya memiliki kecenderungan untuk berasosiasi dengan organisme laut lainnya seperti bakteri kemosintetik yang biasa hidup pada jaringan tubuh cacing laut . Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa bakteri laut memiliki kecenderungan untuk hidup berasosiasi dengan karang lunak. Berdasarkan hasil isolasi diperoleh sejumlah koloni bakteri yang hidup berasosiasi dengan karang lunak. Jumlah total koloni bakteri asosiasi yang tumbuh dalam media SWC dihitung dalam CFU (Colony Forming Unit) per mL biakan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah koloni bakteri asosiasi (CFU/mL) pada kedua jenis karang lunak No
Spesies
1 Sinularia dura (Sd) 2 Lobophytum strictum (Ls) Sumber data: Diolah dari Lampiran 6
Jumlah Bakteri Asosiasi (CFU/mL) 1,7 x 106 3 x 104
Berdasarkan hasil perhitungan total bakteri pada kedua jenis karang lunak dapat diketahui bahwa jumlah bakteri asosiasi Sd lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bakteri asosiasi Ls. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur morfologi dari masing-masing inangnya. Sd memiliki morfologi yang tidak keras dengan spikula berukuran kecil. Sementara Ls memiliki morfologi yang kaku dan agak keras dengan spikula yang tersebar secara merata sehingga bakteri yang menempel pada permukaan karang lunak Ls menjadi lebih mudah lepas ketika terbilas arus. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Ismet (2007) bahwa organisme dengan morfologi yang tidak keras dan susunan spikula yang tidak terlalu padat memiliki bakteri simbion yang lebih banyak dibandingkan organisme yang memiliki morfologi yang lebih kaku dan mengandung spikula yang tersebar merata. Sebaran koloni bakteri asosiasi kedua karang lunak setelah diisolasi pada media agar SWC dapat dilihat pada Gambar 9.
(a)
(b)
Gambar 9. Penyebaran koloni bakteri asosiasi karang lunak (a) Sd dan (b) Ls
Berdasarkan hasil pengamatan koloni bakteri terisolasi dari segi bentuk, warna, elevasi, dan tepian koloni diperoleh 16 isolat bakteri asosiasi Sd dengan kode isolat SD1-SD16 (Tabel 5) dan 8 isolat bakteri asosiasi Ls dengan kode isolat LS1-LS8 (Tabel 6). Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bahwa bakteri yang berhasil diisolasi dari karang lunak Sd, sebelas isolat diantaranya merupakan bakteri Gram (-) dan lima isolat berasal dari bakteri Gram (+). Sementara hampir semua isolat bakteri yang berasosiasi dengan Ls berasal dari bakteri Gram (-), namun terdapat satu isolat yang berasal dari bakteri Gram (+). Hasil pewarnaan Gram disajikan pada Lampiran 7. Tabel 5. Karakterisik morfologi koloni bakteri asosiasi Sd Isolat bakteri SD1 SD2 SD3 SD4 SD5 SD6 SD7 SD8 SD9 SD10 SD11 SD12 SD13 SD14 SD15 SD16
Bentuk koloni Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat
Morfologi bakteri Elevasi koloni Tepi koloni Warna koloni Bentuk sel Gram Datar Licin Putih Coccus Datar Licin Putih basil + Cembung Licin Putih basil pendek Datar Licin Putih krem basil pendek Cembung Licin Putih basil pendek + Cembung Licin Putih krem Coccus Datar Licin Putih Coccus Datar Berombak Putih Coccus + Datar Licin Putih bening basil pendek Datar Licin Putih krem Coccus Cembung Licin Putih Coccus + Cembung Berombak Putih basil pendek Datar Licin Putih bening basil pendek Cembung Licin Putih krem basil pendek Datar Licin Putih krem Coccus Datar Licin Putih krem basil pendek +
Tabel 6. Karakteristik morfologi koloni bakteri asosiasi Ls Isolat bakteri LS1 LS2 LS3 LS4 LS5 LS6 LS7 LS8
Bentuk koloni Tak beraturan Bulat Bulat Tak beraturan Bulat Bulat Bulat Bulat
Morfologi bakteri Elevasi koloni Tepi koloni Warna koloni Bentuk sel Gram Datar Berombak Putih basil pendek Cembung Licin Putih krem Coccus Cembung Licin Putih bening Coccus Datar Licin Putih krem basil pendek Cembung Berombak Putih krem Coccus Cembung Licin Putih krem Coccus Cembung Licin Putih Coccus Cembung Licin Putih krem basil pendek +
4.4. Isolasi bakteri pembentuk biofilm Biofilm yang digunakan sebagai objek dalam penelitian ini berasal dari kelompok bakteri. Biofilm bakteri diperoleh dengan cara menjebak secara langsung pada ekosistem karang lunak tempat karang lunak uji dikoleksi. Substrat jebakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa empat buah panel kayu berukuran 3 x 6 cm2. Berdasarkan metode penelitian yang dilakukan, ditemukan adanya beberapa bakteri yang mampu membentuk biofilm pada permukaan panel kayu di perairan pulau Pramuka kepulauan Seribu yang dipilih sebagai tempat penelitian. Sebaran koloni bakteri pembentuk biofilm yang berhasil diisolasi dari balok kayu pada media agar SWC disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Penyebaran koloni bakteri pembentuk biofilm pada media SWC
Secara alami, hampir semua jenis biofilm bakteri terdiri dari campuran berbagai jenis bakteri. Semakin beragam bakteri yang tumbuh pada suatu permukaan maka biofilm yang terbentuk akan semakin cepat dan kompetitif. Jumlah bakteri pembentuk biofilm yang berhasil terisolasi adalah sebanyak 6,3 x 107 cfu/ml . Bakteri tersebut menempel dan tumbuh pada substrat jebakan
dikarenakan substrat tersebut dibenamkan dalam perairan sehingga permukaan substrat menjadi lembab. Kombinasi permukaan yang lembab, air serta nutrien yang cukup memicu bakteri pembentuk biofilm untuk tumbuh. Foto bawah air biofilm pada panel kayu disajikan pada Gambar 11.
a
b
Gambar 11. Foto bawah air biofilm panel kayu (a) hari pertama perendaman dan (b) seminggu setelah perendaman Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa telah terjadi perubahan tekstur pada permukaan panel kayu seiring dengan bertambahnya waktu pembenaman substrat. Hal tersebut dikarenakan ketika substrat dibenamkan dalam air laut, molekulmolekul organik dan nutrien yang berada di dalam air laut tersebut langsung teradsorpsi oleh permukaan substrat sehingga memodifikasi permukaan substrat (Loeb dan Neihof, 1975). Adanya akumulasi molekul-molekul organik dan nutrien pada permukaan substrat memicu tersedianya sumber makanan dan menarik mikroorganisme seperti bakteri untuk menempel. Hal tersebut terbukti setelah satu minggu pembenaman, permukaan substrat kayu menjadi lebih licin seperti dilapisi oleh gel (lendir) yang diduga banyak mengandung bakteri pembentuk biofilm (Gambar 11b). Alasan dilakukan penjebakan selama satu minggu dikarenakan pembentukan biofilm pada suatu substrat di perairan membutuhkan waktu-waktu tertentu dalam setiap tahapannya. bakteri yang
merupakan pembentuk dari biofilm tersebut memiliki waktu reproduksi yang sangat cepat. Sel induk bakteri melakukan reproduksi melalui pembelahan biner dalam waktu 20-30 menit menjadi 2 sel anakan, lalu 20-30 menit berikutnya setiap sel anak tersebut berbagi diri lagi menjadi 4 sel anakan. Sel-sel tersebut terus berbagi diri dalam jumlah eksponensial menjadi bermilyar-milyar sel anakan yang bertumpukan di atas dan di sampingnya membentuk satu koloni. Koloni bakteri tersebut kemudian memproduksi sebuah lapisan eksopolisakarida (EPS) untuk memperkuat pelekatannya. Selanjutnya terbentuklah biofilm yang pelekatannya sangat kuat. Berdasarkan Donlan (2002), usia 1 minggu merupakan waktu dimana biofilm mengalami proses maturasi 2 yaitu pematangan biofilm tahap akhir. Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan banyaknya jumlah bakteri pembentuk biofilm menempel dan membentuk lapisan biofilm pada substrat. Kondisi nutrien yang cukup rendah pada lokasi penjebakan menyebabkan bakteri cenderung untuk melekat ke permukaan padat dalam hal ini adalah kayu. Dengan kondisi demikian, kesempatan bakteri untuk mendapatkan nutrisi menjadi lebih tinggi (Dewanti dan Haryadi, 1997). Berdasarkan hasil purifikasi, diperoleh tiga isolat bakteri pembentuk biofilm dengan morfologi koloni berbeda (Tabel 7). Tabel 7. Karakteristik morfologi koloni bakteri pembentuk biofilm Isolat bakteri A B C
Bentuk koloni Bulat Bulat Bulat
Morfologi bakteri Elevasi koloni Tepi koloni Warna koloni Bentuk sel Gram Cembung Licin Merah Basil pendek + Cembung Licin Kuning Basil pendek + Cembung Licin Putih Basil pendek -
Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bahwa dua isolat bakteri pembentuk biofilm (bakteri A dan B) diantaranya adalah berasal dari bakteri Gram (+), dan
satu isolat (bakteri C) berasal dari bakteri Gram (-). Ketiga bakteri pembentuk biofilm tersebut akan dijadikan sebagai bakteri uji untuk mengetahui kemampuan bakteri asosiatif karang lunak dalam menghambat pertumbuhan biofilm yang merupakan rantai utama terbentuknya biofouling di laut.
4.5. Uji Hambat (Uji Antagonisme) Bakteri Asosiasi Karang Lunak terhadap Pertumbuhan Bakteri Pembentuk Biofilm Penapisan bakteri asosiasi karang lunak dilakukan dengan uji antagonisme antara bakteri asosiasi karang lunak terhadap bakteri pembentuk biofilm. Bakteri pembentuk biofilm tersebut terdiri dari bakteri A dan bakteri B sebagai perwakilan bakteri Gram (+) dan bakteri C sebagai perwakilan bakteri Gram (-). Hasil uji antagonis antar isolat bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak Sd dan Ls terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil uji antagonis antar populasi bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak Sd dan Ls terhadap bakteri pembentuk biofilm
No
Kode
1
SD1
2
SD2
Sinularia dura Bakteri pembentuk biofilm Kode A B C + + LS1
-
-
-
LS2
3 SD3 + LS3 4 SD4 + LS4 5 SD5 + + LS5 6 SD6 + + + LS6 7 SD7 + LS7 8 SD8 + + LS8 9 SD9 + + 10 SD10 + + 11 SD11 + + 12 SD12 + + 13 SD13 + + 14 SD14 + 15 SD15 + 16 SD16 + + Keterangan: (+) = antagonis; (-) = tidak antagonis
Lobophytum strictum Bakteri pembentuk biofilm A B C + + + +
-
+
+ + +
+ + + -
+ + + + +
Masing-masing isolat bakteri asosiasi memiliki kemampuan antagonisme yang beragam pada setiap bakteri uji. Hasil analisis uji sifat antagonisme antar isolat bakteri asosiasi menunjukkan bahwa dari 24 total bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak Sd dan Ls, hanya satu isolat bakteri yang tidak memiliki sifat antagonisme terhadap semua bakteri pembentuk biofilm yaitu bakteri dengan kode isolat SD2. Tabel 9 menunjukkan bahwa bakteri asosiasi karang lunak Ls memiliki persentase antagonisme lebih tinggi dibandingkan bakteri asosiasi Sd walaupun jumlah bakteri asosiasi yang terisolasinya lebih banyak. Tabel 9. Persentase bakteri asosiasi karang lunak Sd dan Ls yang aktif pada uji antagonisme terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm Jenis Karang Lunak Sinularia dura Lobophytum strictum
Persentasi bakteri penghambat (%) 93,75 % 100%
Hasil penapisan awal diperoleh 15 isolat dan 8 isolat bakteri yang memiliki sifat antagonisme terhadap bakteri pembentuk biofilm berturut-turut dari bakteri Sd dan Ls (Gambar 12). Ke 23 bakteri tersebut merupakan isolat terpilih untuk dilakukan uji antagonisme selanjutnya.
Gambar 12. Jumlah isolat bakteri asosiasi yang positif pada uji antagonisme terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm.
Uji antagonisme dilakukan untuk melihat tingkat penghambatan dari bakteri asosiasi karang lunak terhadap bakteri pembentuk biofilm berdasarkan diameter zona bening (zona hambatan) yang terbentuk di sekitar paper disk. Tingkat penghambatan isolat bakteri asosiasi karang lunak terhadap bakteri pembentuk biofilm disajikan pada Gambar 13. Sinularia dura
Lobophytum strictum
.
Sumber
: Diolah dari Lampran 8
Keterangan: SD LS
: kode bakteri asosiasi Sinularia dura : kode bakteri asosiasi Lobophytum strictum
Gambar 13. Diameter zona hambat (mm) hasil uji antagonisme bakteri asosiasi karang lunak (Sd dan Ls) terhadap pertumbuhan bakteri A ( ), B ( ) dan C ( )
Berdasarkan hasil uji antagonisme, diameter zona hambatan yang dihasilkan oleh isolat bakteri asosiasi karang lunak berbeda-beda pada setiap bakteri uji. Zona hambatan yang terbentuk merupakan hasil dari perlawanan isolat bakteri asosiasi terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm. Zona hambatan tersebut mengindikasikan adanya aktivitas antagonisme dari isolat bakteri asosiasi tersebut. Semakin tinggi diameter zona hambatan yang dihasilkan, mengindikasikan bahwa semakin tinggi pula tingkat perlawanan yang dimiliki oleh isolat bakteri asosiasi. Gambar 13 menunjukkan bahwa secara keseluruhan dapat dikatakan bakteri asosiasi Sd memiliki zona hambat lebih besar dibandingkan bakteri asosiasi Ls. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat perlawanan bakteri asosiasi Sd terhadap bakteri pembentuk biofilm lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat perlawanan dari bakteri asosiasi Ls. Berdasarkan diameter zona hambatan yang dihasilkan, dalam penelitian ini bakteri SD6 merupakan isolat bakteri yang memiliki aktivitas antagonisme paling tinggi diantara isolat bakteri lainnya. Berdasarkan Davidstout (1971) bakteri SD6 memiliki aktivitas penghambatan yang tergolong sedang dengan diameter zona hambatan sebesar 6,9 mm. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan kekuatan antibakteri bahwa diameter hambatan 20 mm atau lebih masuk kategori sangat kuat, diameter hambatan 10-20 mm (kuat), diameter hambatan antara 5-10 mm (sedang) dan diameter hambatan 5 mm atau kurang (lemah). Rendahnya aktivitas penghambatan yang dimiliki bakteri asosiasi karang lunak terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm salah satunya disebabkan oleh penggunaan isolat yang kurang tepat ketika proses uji hambat. Produktivitas optimal senyawa metabolit sekunder terjadi ketika kultivasi bakteri berada pada fase stasioner. Berdasarkan
Gambar 14 fase stasioner berlangsung dari jam ke-10 dengan log kepadatan 9,692832 sel/ml sampai jam ke-42 dengan log kepadatan 9,696906 sel/ml.
Sementara uji hambat dalam penelitian ini menggunakan isolat bakteri yang sudah memasuki fase kematian (jam ke-48) sehingga diduga produktivitas metabolit sekunder yang dihasilkan bakteri mulai menurun. 12
Log Populasi
10
8 6 4 2 0 0
20
40
60
80
100
120
140
Waktu inkubasi (Jam ke-)
Sumber: Diolah dari Lampiran 9 Gambar 14. Kurva pertumbuhan bakteri asosiasi karang lunak
Tingkat aktivitas antagonisme dari suatu isolat juga dilihat dari kemampuan suatu senyawa dalam menghambat jumlah bakteri lain untuk tumbuh. Jumlah bakteri pembentuk biofilm yang dihambat pada uji antagonisme bakteri asosiasi Sd dan Ls memperlihatkan hasil bahwa secara keseluruhan bakteri asosiasi Ls mampu menghambat bakteri pembentuk biofilm lebih banyak dibandingkan bakteri Sd. Gambar 15 merupakan grafik tingkat aktivitas antagonisme (dalam persen penghambatan) dilihat dari banyaknya bakteri pembentuk biofilm yang dihambat.
Gambar 15. Persentase bakteri pembentuk biofilm yang dihambat oleh bakteri asosiasi karang lunak (Sd dan Ls)
Persentase bakteri asosiasi karang lunak Sd dan Ls yang aktif dalam uji antagonisme terhadap bakteri pembentuk biofilm memperlihatkan bahwa bakteri asosiasi Ls memiliki persentase penghambatan lebih besar terhadap ke tiga bakteri pembentuk biofilm dibandingkan dengan bakteri asosiasi Sd. Secara keseluruhan, berdasarkan grafik dapat dikatakan bakteri asosiasi karang lunak (Sd dan Ls) memiliki aktivitas penghambatan lebih besar terhadap bakteri C. Hal tersebut dikarenakan bakteri C merupakan bakteri Gram (-) yang mana bakteri Gram (-) memiliki struktur dinding sel yang lebih tipis (10-15 nm) dibandingan dengan bakteri Gram (+), sehingga bakteri ini umumnya kurang rentan terhadap senyawa dan gangguan fisik.
4.6. Uji Hambat (Uji Antagonisme) Bakteri Asosiatif Karang Lunak terhadap Pembentukkan Biofilm Uji antagonisme selanjutnya dilakukan antara isolat bakteri asosiasi karang lunak terhadap biofilm (campuran dari ketiga bakteri pembentuk biofilm). Gambar
16 merupakan tingkat aktivitas penghambatan bakteri asosiasi karang lunak terhadap pembentukkan biofilm dilihat dari diameter zona hambat yang dihasilkan
Sumber: Diolah dari Lampiran 10 Gambar 16. Diameter zona hambatan (mm) uji penghambatan bakteri asosiasi karang lunak Sd dan Ls terhadap biofilm
Uji kuantitatif menunjukkan bahwa setiap isolat bakteri asosiasi karang lunak (Sd dan Ls) semuanya memperlihatkan adanya aktivitas penghambatan terhadap biofilm. Hal tersebut dapat dilihat dari terbentuknya diameter zona hambatan pada setiap isolat bakteri asosiasi karang lunak (Gambar 16). Zona hambat uji antagonisme memperlihatkan hasil bahwa bakteri asosiasi Sd memiliki aktivitas penghambatan yang lebih beragam terhadap pembentukkan biofilm. Hal tersebut dapat dilihat dari diameter zona hambatan yang dihasilkan pada setiap isolat bakteri asosiasinya. Sementara bakteri asosiasi Ls memiliki aktivitas penghambatan yang hampir sama pada setiap isolatnya. Adonizio (2008) menyatakan jika suatu bakteri telah membentuk biofilm dan berkolonisasi dalam suatu jaringan atau organ biasanya sudah resisten
terhadap beberapa jenis antibakteri. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini yang dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Tingkat resistansi bakteri pembentuk biofilm dan biofilm terhadap bakteri asosiasi Sd dan Ls
Berdasarkan Gambar 17 secara keseluruhan dapat dikatakan tingkat resistansi biofilm cenderung lebih tinggi terhadap isolat bakteri asosiasi karang lunak (Sd dan Ls). Meningkatnya tingkat resistansi biofilm dilihat dari menurunnya diameter zona hambatan yang dihasilkan oleh setiap bakteri asosiasi. Semakin kecil diameter zona hambatan yang dihasilkan artinya semakin tinggi resistansi yang dimiliki oleh bakteri uji. Tingginya tingkat resistansi pada biofilm disebabkan karena adanya interaksi dan komunikasi antar bakteri dalam biofilm,
sehingga resistansi yang diperoleh tidak hanya berasal dari satu bakteri saja. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Bauman (2009) bahwa ketika bakteri tersebut menjadi bagian dari biofilm maka bakteri akan saling bekerja sama dan mendapatkan resistensi dari bakteri lainnya sehingga tingkat resistansinya menjadi meningkat. Namun demikian, bakteri asosiasi karang lunak masih menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap biofilm meskipun dalam tingkatan yang lebih rendah. Bakteri SD6 merupakan bakteri asosiasi Sd yang menghasilkan diameter zona hambat paling tinggi (3,7 mm). Sementara bakteri asosiasi Ls yang menghasilkan diameter zona hambat paling tinggi adalah bakteri dengan kode isolat LS1 (1,9 mm). Besarnya diameter zona hambatan yang melebihi diameter zona hambat kontrol (1 mm), diduga menujukkan suatu indikasi tingginya kandungan metabolit sekunder yang bersifat antibakteri pada bakteri tersebut.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Bakteri asosiasi yang terisolasi pada karang lunak Sinularia dura (Sd) dan Lobophytum strictum (Ls) memperlihatkan bahwa jumlah isolat bakteri asosiasi Sd lebih banyak dibandingkan bakteri asosiasi Ls. Hasil isolasi menunjukkan 16 isolat bakteri asosiasi telah berhasil diisolasi dari Sd dan 8 isolat bakteri asosiasi dari Ls. Uji antagonis menunjukkan bahwa 95,83% dari total bakteri asosiasi karang lunak memiliki sifat antagonis terhadap bakteri pembentuk biofilm dan mampu menghambat pembentukkan biofilm. Berdasarkan diameter zona hambatan yang dihasilkan, bakteri asosiasi Sd memiliki tingkat aktivitas penghambatan yang lebih tinggi daripada bakteri asosiasi Ls. Uji penghambatan terhadap biofilm menunjukkan bahwa biofilm menjadi lebih resisten terhadap isolat bakteri asosiasi karang lunak dibandingkan dengan bakteri pembentuk biofilm. SD6 dan LS1 merupakan bakteri asosiasi karang lunak yang memiliki tingkat aktivitas penghambatan paling tinggi terhadap bakteri pembentuk biofilm dan biofilm. Sehingga bakteri SD6 dan LS1 berpotensi sebagai sumber antimicrofouling alami yang ramah lingkungan.
5.2. Saran Perlu dilakukan uji ulangan dengan menggunakan biofilm target untuk mencari penyebab tinggi atau rendahnya efektivitas uji hambat, serta dilakukan uji ulangan dengan menggunakan substansi dari intra dan ekstraseluler bakteri sebagai bahan ekstraksi.
DAFTAR PUSTAKA Adonizio, A.L. 2008. Anti-quorum sensing Agents From South Florida Medicinal Plants and Their Attenuation of Pseudomonas aeruginosa Pathogenicity. FIU Electronic Theses and Dissertations, Florida International University. http://biobakteri.wordpress.com/2009/06/07/8biofilm/. (25 Agustus 2011). Armstrong, E., L. Yan, K.G. Boyd, P.C. Wright, dan J.G. Burgess. 2001. The symbiotic role of marine microbes on living surfaces. Hydrobiologia, 461: 37-40. Arlyza, S.I. 2007. Bahan aktif dari organisme laut sebagai pengendali biota penempel. Oseana. 32(1): 39-48. Bauman. 2009. biofilm, Pseudomonas putida, Streptococcus mutans. http://biobakteri.wordpress.com/2009/06/07/8-biofilm/. (9 Agustus 2011). Bayer, F.M. 1956. Octocorallia. In : Treatise on Invertebrata Palaeotology, Coelenterata. R.C. Moore. Dan F. Part (ed). Univ. Kansas Press. Lawrence. Birkeland, C. 1997. Life and Death of Coral Reefs. International Thomson Publishing. New York. Chambers, L.D., K.R. Stokes, F.C. Walsh, dan R.J.K. Wood. 2006. Modern approaches tomarine antifouling coating. Surface & Coatings Technology, 201: 3642–3652. Coll, J.C. dan P.W. Sammarco. 1983. Terpenoid toxins of soft corals (Cnidaria, Octocorallia) their nature, toxicity and ecological significance. Toxicol Suppl, 41(3): 69-72. Davidstout. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic assay. Journal of Microbiology, 22(4): 659-665. Dewanti, R., dan Haryadi. 1997. Pembentukan biofilm bakteri pada permukaan padat. Buletin Teknolgi dan Industri Pangan, 8(1): 70-76. Dinensen, Z.D. 1983. Pattern in the distribution of soft coral across the central Great Barrier Reef. Coral Reefs, 1: 229-236. Donlan, R.M. 2002. Biofilm: Microbial Life on Surface. Emerging Infectious Diseases. 8(9). Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisius. Jakarta..
Fabricius, K. dan P. Alderslade. 2001. Soft coral and sea fans: a comprehensive guide to tropica; shallow-water genera of the central-west pasific, the indian ocean and the red sea. Institute of Marine Science. Town. Fachrul, M.F. 2007. Metode sampling bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Faulkner, D.J., M.. Harper, M.G. Haygood, C.E. Salomon, dan E.W. Schmidt. 2000. Symbiotic bacteria in sponges: source of bioactive substances. In: N. Fusetani (ed). Drugs from the sea. Basel. Karger. Harder, T. 2004. Analytical chemistry of natural product with Marine Biology, Larval Biology, Environmental Microbology and Molecular Biology. Hariyadi, D. 2004. BOD dan COD sebagai parameter pencemaran air dan baku mutu air limbah. [Tesis]. Institut pertanian Bogor. Bogor. Harper, M.K., T.S. Bugni, B.R. Copp, J.D. James, B.S. Lindsay, A.D. Richardson, P.C. Schnabel, D. Tasemir, F.M.V. Wagoner, S.M. Veritski, dan C.M. Ireland. 2001. Introduction to the Chemical Ecology of Marine Natural Products. Hlm.3-29. In J.B. McClintock, B.J. Baker (ed). Marine Chemical Ecology. CRC Press USA. New York. Ine dan Ant. 2001. RI Tandatangani Konvensi Larangan Penggunaan Cat Kapal. Warta. Ed. Kamis, 11 Oktober 2001. Ismet, S.A. 2007. Penapisan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari lokasi yang berbeda. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kim, K.Y. 1994. Antimicrobial activity in Gorgonian corals (Coelenterata, Octocorallia). Coral Reefs, 13: 75-80. Li, Z. 2009. Advance in marine microbial symbionts in the china sea and related pharmaceutical metabolites. Mar. Drugs, 7: 113-129. Loeb, G.I. dan R.A. Neihof. 1975. Marine conditioning films. In R.E Baier (ed) Applied chemistry at protein interfaces. American Chemical Society, Washington, DC. Advances in Chemistry Series, 1045: 319-335 . Manuputty, W.E.A. 1986. Karang lunak, salah satu penyusun terumbu karang. Oseana, 11(4): 131-141. Manuputty, W.E.A. 2002. Karang lunak (soft coral) perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Marhaeni, B. 2011. Potensi bakteri simbion tumbuhan lamun sebagai penghambat terjadinya biofouling di laut. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mearns-Spargg, A., M. Bregu, K.G. Boyd, dan J.G. Burgess. 1998. Cross-species induction and enhancement of antimicrobial activity produced by epibiotic bacteria from marine algae and invertebrates, after exposure to terrestrial bacteria. Letter Applied Microbiology, 27: 142-146.
Munn, C.B. 2004. Marine Microbiology, Ecology and Aplication. Garland Science BIOS Science Publishers. Murniasih, T. 2005. Substansi kimia untuk mempertahankan diri dari hewan laut tak bertulang belakang. Oseana, 30(2): 19-27. Murniasih, T. dan A. Rasyid. 2010. Potensi bakteri yang berasosiasi dengan spons asal Barang Lompo (Makassar) sebagai sumber bahan antibakteri. Oseana, 36(3): 281-292. Nofiana, R., Kadarisno, Daryat, dan A. Sapan. 2009. Characteristics of Antimicrobial Activity of Eucheuma cottonii Doty-Associated Bacteria Extracts. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 12(2): 14-153. Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. Diterjemahkan oleh H.M. Eidman, Koesobiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta. Pelczar, M. J. dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Diterjemahkan oleh R.S. Hadioetomo, T. Imas, S.S. Tjitrosomo, dan S.L. Angka. Penerjemah. UI Press, Jakarta. Proksch, P., R.A. Edraa, dan R. Ebel. 2002. Drugs from the seas-current status and microbiological implications. Appl. Microbiol. Biotechnol, 59:125-134. Radjasa, O.K., A. Sabdono. dan Suharsono. 1999. The growth inhibition of marine biofilm-forming bacteria by the crude extract of soft coral Sinularia sp. J. Coastal Development, 2: 329-334. Radjasa, O.K. 2004. Marine invertebrate-associated bacteria in coral reef ecosystem as a new source of ioactive compounds. J. Coast. Dev, 7: 65-70. Railkin, A.I. 2004. Marine Biofouling; Colonization Processes and Defence. CRC Press. Florida. Raveendran, T.V. dan M.P.V. Limna. 2009. Natural Product Antifoulants. Review Article. National Institute of Oceanography (Regional Centre). India. Rittchof, D. 2001. Natural poduct antifoulant and coatings development. In: J.B. Mcclintock, dan B.J. Baker (ed). Marine Chemical Ecology (eds). CRC Press Sabdono, A., O.K. Radjasa, dan T. Bachtiar. 2005. Eksplorasi senyawa bioaktif antifoulant bakteri yang berasosiasi dengan avertebrata laut sebagai alternatif penanganan biofouling di laut. Pusat studi pesisir dan laut tropis. Universitas Diponegoro. Semarang. Sabdono, A. 2007. Pengaruh ekstrak antifouling bakteri karang Pelagiobacter variabilis Strain USP3.37 terhadap penempelan bernakel di perairan pantai Teluk Awur, Jepara. J. Coast. Dev, 12(1): 18-23
Sammarco, P.W. dan J.C. Coll. 1988. The chemical ecology of alcyonarian corals (Coelenterata: Octocorallia). In: Scheuer, P. J. (ed.). Bioorganic marine chemistry, (2): 87-116. Sammarco, P. W. dan J.C. Coll. 1990. Lack of predictability in terpenoid function: multiple roles and integration with related adaptations in soft corals. J. Chem. Ecol, 16: 273-289. Sammarco, P.W. dan J.C. Coll. 1992. Chemical adaptation in the Octocorallia: Evolutionary considerations. Marine Ecology Progress Series, 88: 93-104. Soedharma, D. dan A. Fauzan. 1996. Imposex pada Neogastropoda (Thais sp) sebagai akibat kontaminasi Tributyltin (Senyawa Sn) dari cat pelapis Kapal di sekitar Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 4(1): 45-53. Sudaryanto, A., M. Muhtar, H. Razak, dan S. Tanabe. 2001. Pencemaran Senyawa Butyltin di sedimen dari perairan Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi, 3(5): 64-69. Torsell, K.B.G. 1983. Natural product chemistry: a mechanistic and biosynthetic approach to secondary metabolisme. British: John Wiley & Sons,Ltd. Tursch, B., C.J. Braekman, D. Dalose, dan M. Kasin. 1978. Terpenoid from Coelenterata. In: P.J. Scheuer (ed). Marine Natural Products. Chemical and Biological Perpectures II, Academic Press. New York.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Identifikasi Sampel Karang Lunak 1. Sinularia dura a). Pengamatan dengan Mikroskop
a.Fragmen karang lunak
d. Koloni karang lunak
b. Potongan fragmen
c. Perendaman
e. Spikula bagian lobus
f. Spikula bagian basal
b. Perbandingan dengan Literatur (Manuputty, 2002) Hasil Pengamatan
Literatur
a. Spikula pada bagian lobus
b. Spikula pada bagian basal
2.
Lobophytum strictum
a). Pengamatan dengan Mikroskop
a. Fragmen karang lunak
b. Potongan fragmen
d. Koloni karang lunak
e. Spikula bagian lobus
c. Perendaman
f. Spikula bagian basal
b. Perbandingan dengan Literatur (Manuputty, 2002) Hasil Pengamatan
Literatur
Spikula bagian lobus dan basal
Lampiran 2. Metode pewarnaan Gram
Berikut merupakan langkah-langkah pembuatan preparat dalam pewarnaan Gram: Air steril 1 loop Isolat bakteri 1 loop Kristal violet Iodium gram Safranin 1) 1 loop air steril diteteskan di atas slide kaca 2) 1 loop isolat bakteri hasil peremajaan dismear (dioleskan) sampai tipis diatas slide kaca. Biarkan kering di udara. Selanjutnya difiksasi dengan api. 3) Teteskan 1 pipet Kristal violet. Diamkan selama 1 menit. Selanjutnya bilas dengan akuades 4) Teteskan 2 pipet iodium gram. Diamkan selama 2 menit. Selanjutnya bilas dengan akuades 5) Lewati slide kaca dengan 1 pipet alkohol 5% 6) Teteskan 2 pipet safranin gram. Diamkan selama 30 detik. Kemudian biarkan mengering. 7) Amati di bawah mikroskop perbesaran 1000x.
Lampiran 3. Sterilisasi alat dan bahan Alat dan bahan yang akan digunakan dalam proses isolasi harus dilakukan sterrilisasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Berikut merupakan langkahlangkah seterilisasi alat dan bahan: 1. Peralatan yang terbuat dari gelas direbus sampai medidih (killing). Selanjutnya dicuci dan dikeringkan. Kemudian disemprot dengan alkohol 70%, lalu dibungkus dengan plastik tahan panas. Selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C pada tekanan 1 atm selama 15 menit. 2. Air laut, air destilata, kertas cakram, dan media kultur bakteri disterilisasi pada suhu 1210C pada tekanan 1 atm selama 15 menit. 3. Alat-alat inokulasi seperti jarum ose, batang penyebar, pinset, alat pengerik disterilisasi dengan cara dipijarkan dengan lampu bunsen. Sementara meja kerja disterilisasi dengan menyemprotkan alhoho 70% dan membersihkannya dengan tissue.
Lampiran 4. Pembuatan media isolasi bakteri Media yang digunakan dalam isolasi bakteri adalah media Sea Water Complex (SWC) padat, SWC cair, dan media Soft agar. Komposisi media SWC yang digunakan: a. Media SWC padat/ 1L 1. Bacto-agar : 15 gram 2. Bacto-peptone : 2,5 gram 3. Ekstrak yeast : 0,5 gram 4. Gliserol : 2,5 ml 5. Air laut : 750 ml 6. Akuades : 250 ml b. Media SWC cair/ 1 L 1. Bacto-peptone : 2,5 gram 2. Ekstrak yeast : 0,5 gram 3. Gliserol : 2,5 ml 4. Air laut : 750 ml 5. Akuades : 250 ml c. Media Soft agar/ 1 L 1. Bacto-agar : 9 gram 2. Bacto-peptone : 2,5 gram 3. Ekstrak yeast : 0,5 gram 4. Gliserol : 2,5 ml 5. Air laut : 750 ml 6. Akuades : 250 ml Langkah-langkah pembuatan media tersebut adalah sebagai berikut: a). Media SWC Padat Pembuatan 1 liter media SWC padat dilakukan dengan melarutkan 15 gram bacto-agar, 2,5 gram bacto-peptone, 0,5 gram ekstrak yeast, dan 2,5 ml gliserol kedalam 750 ml air laut + 250 ml akuades. Selanjutnya dihomogenkan degan stirrer magnetic di atas hot plate. Setelah semuanya benar-benar larut, media tersebut disterilisasi pada suhu 1210C dengan tekana 1 atm selama 15 menit.
b). Media SWC Cair Pembuatan 1 liter media SWC cair dilakukan dengan melarutkan 2,5 gram bacto-peptone, 0,5 gram ekstrak yeast, dan 2,5 ml gliserol kedalam 750 ml air laut + 250 ml akuades. Selanjutnya dihomogenkan degan stirrer magnetic di atas hot plate. Setelah semuanya benar-benar larut, media tersebut disterilisasi pada suhu 1210C dengan tekana 1 atm selama 15 menit.
c). Media SWC Soft Agar Pembuatan 1 liter media SWC soft agar dilakukan dengan melarutkan 9 gram bacto-agar, 2,5 gram bacto-peptone, 0,5 gram ekstrak yeast, dan 2,5 ml gliserol kedalam 750 ml air laut + 250 ml akuades. Selanjutnya dihomogenkan degan stirrer magnetic di atas hot plate. Setelah semuanya benar-benar larut, media tersebut disterilisasi pada suhu 1210C dengan tekana 1 atm selama 15 menit.
Lampiran 5. Hasil uji hambat (uji antagonisme)
Isolat Bakteri Asosiasi Sinularia dura
Isolat Bakteri Asosiasi Lobophytum strictum
Biofilm A
Biofilm A
Biofilm B
Biofilm B
Biofilm C
Biofilm C
Lampiran 6. Data mentah untuk penghitungan total koloni bakteri asosiasi Spesies
10-3 76 135 210 29 30 30 39 44 82
Sinularia dura
Lobophytum strictum Bakteri pembentuk Biofilm
Pengenceran 10-4 10 20 23 9 11 13 13 26 29
10-5 2 11 19 4 5 7 7 8 11
Cara perhitungan: χ
=
= 172,5 = 173
Jumlah bakteri per mL biakan = jumlah koloni per cawan x = 173 x
= 1,73 x 105
====== (per 0,1 ml biakan)
= 1,73 x 106 / mL biakan
Lampiran 7. Hasil pewarnaan Gram dari beberapa isolat bakteri asosiasi
Lampiran 8. Diameter zona hambat (mm) bakteri asosiasi karang lunak terhadap bakteri pembentuk biofilm Jenis Karang Lunak
Sinularia dura
Lobophytum strictum
Kode SD1 SD3 SD4 SD5 SD6 SD7 SD8 SD9 SD10 SD11 SD12 SD13 SD14 SD15 SD16 LS1 LS2 LS3 LS4 LS5 LS6 LS7 LS8
Optical Density (OD) 0,657 0,592 0,781 0,773 0,712 0,609 0,887 1,256 0,392 1,259 1,246 1,194 0,75 0,436 1,192 0,45 0,471 0,445 0,45 0,722 0,502 0,521 0,398
Diameter zona bening (mm) Bakteri A Bakteri B Bakteri C 4,9 0 4,1 4,6 0 0 0 0 3,2 0 4,1 4,1 6,9 5,4 5,7 0 0 1,9 0 3,7 2,7 1,9 2,9 0 2,2 0 3,2 5 1,7 0 0 4,2 2,5 3,7 0 2,9 0 0,9 0 0 0 3,5 3,7 0 2,3 3,2 3,1 3,3 3,1 0 2,1 0 2,9 1,5 0 0 2,7 1,9 0 1,9 2,1 2,4 0 0 2,2 2,9 0,5 0 1,4
Lampiran 9. Kurva Pertumbuhan Bakteri Asosiasi Karang Lunak Jam ke-
Log Populasi
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 30 36 42 48 54 60 72 78 84 90 96 102 108 114 120 126
8,126544 8,39752 8,968672 9,410176 9,621584 9,692832 9,649616 9,656624 9,663632 9,67064 9,677648 9,684656 9,696336 9,696416 9,696912 9,696906 9,651952 9,74656 9,695168 9,51296 9,451056 9,417184 9,399664 9,375136 9,347104 9,280528 9,245488 9,2268 9,195264
Lampiran 10. Diameter zona hambat (mm) bakteri asosiasi karang lunak terhadap bakteri biofilm Jenis karang lunak
Kode
Sinularia dura
SD1 SD3 SD4 SD5 SD6 SD7 SD8 SD9 SD10 SD11 SD12 SD13 SD14 SD15 SD16 LS1 LS2 LS3 LS4 LS5 LS6 LS7 LS8 AA
Lobophytum strictum
Kontrol
Diameter zona hambatan (mm) 1,1 0,7 0,3 2,1 3,7 0,2 1 1,6 1,3 2,1 2,5 2,3 0,1 0,9 1,2 1,2 1 0,9 0,7 0,7 1 1,1 0,8 1
Lampiran 11. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian a. Peralatan yang digunakan di Lapang
Under Water Camera
Botol Sample
Subsrat jebakan
Refraktometer
Camerer Water Sample
Sacchi disk
GPS
Termometer
Cool box
b. Peralatan yang digunakan di Laboratorium
Timbangan analitik
Hot Plate
Pipet mikro
Autoklaf
inkbator
Laminar air flow
Vortex mixer
batang penyebar
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut, Jawa barat, 12 Februari 1989 dari pasangan Bapak Drs. Sutia, M.Pd dan Ibu Titin. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Tahun 2003-2006 Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Garut Jl. Siliwangi no.2, Garut, Jawa Barat. Pada tahun 2007 penulis tercatat sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan , Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam organisasi Perhimpunan Mahasiswa Garut, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Koperasi Mahasiswa dan Gentra Kaheman, Himpunan Profesi (Himpro) Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA). Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Pelabuhan Perikanan Pantai Wonokerto, Pekalongan, Jawa Tengah. Selain itu juga Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa dalam bidang Penelitian (PKMP). Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Penapisan Bakteri Asosiatif Karang Lunak (Octocorallia; Alcyonacea) Sinularia dura dan Lobophytum strictum yang Potensial sebagai Alternatif Penanganan Microfouling di Laut”