AKTIVITAS ANTIBAKTERI KARANG LUNAK HASIL TRANSPLANTASI (Sinularia sp.) PADA DUA KEDALAMAN BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Oleh : Windhyka Priyatmoko C 34104051
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
WINDHYKA PRIYATMOKO. C34104051. Aktivitas Antibakteri Karang Lunak Hasil Transplantasi (Sinularia sp.) pada Dua Kedalaman Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dibawah bimbingan TATI NURHAYATI dan MUJIZAT KAWAROE. Sinularia sp. merupakan salah satu jenis karang lunak yang belakangan ini banyak dikaji kandungan bioaktifnya. Hasil penelitian tentang kandungan senyawa bioaktif dari hasil alam membuktikan bahwa spesies ini merupakan penghasil senyawa terpen yang dimanfaatkan sebagai sebagai antibiotika, antijamur, dan senyawa antitumor. Dewasa ini telah banyak dilakukan usaha transplantasi soft coral terutama spesies Sinularia sp. yang bertujuan untuk meningkatkan kelimpahan spesies karang lunak lunak ini yang dapat digunakan sebagai bahan baku senyawa bioaktif tanpa harus mengambil dari alam. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kandungan senyawa bioaktif dari karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi yang ditumbuhkan pada dua kedalaman berbeda yaitu 3 meter dan 10 meter yang berumur 10 bulan meliputi uji antibakteri, uji daya konsentrasi daya hambat terendah (MIC), uji toksisitas dari ekstrak karang lunak hasil transplantasi terpilih, dan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia dari ekstrak terpilih. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian tahap satu yang terdiri dari proses koleksi dan karakterisasi, ekstraksi bahan aktif dari sampel karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi dengan menggunakan pelarut polar (metanol), dan uji aktivitas antibakteri. Penelitian tahap dua terdiri dari uji MIC, uji toksisitas dengan menggunakan Artemia salina, dan uji fitokimia. Rendemen ekstrak kedua jenis karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi adalah 1,56 % pada kedalaman 3 meter dan 1,38 % pada kedalaman 10 meter. Hasil uji antibakteri ekstrak kasar karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi menunjukkan bahwa ekstrak karang lunak Sinularia sp. pada kedalaman 10 m mempunyai aktivitas antibakteri yang terbaik karena mampu menghambat bakteri uji yang digunakan, yaitu S. aureus dan E. coli. Ekstrak Sinularia sp. hasil transplantasi ini mempunyai aktivitas antibakteri yang tergolong lemah (diameter zona hambat < 5 mm) yaitu dengan diameter zona hambat 2 mm pada S. aureus dan 1,5 mm pada E. coli. Ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada kedalaman 10 m mempunyai nilai MIC sebesar 320 µg/disk pada bakteri S. aureus. Bakteri E. coli pada uji MIC tidak terhambat pertumbuhannya pada selang konsentrasi uji yang digunakan. Ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi kedalaman 10 m mempunyai komponen yang bersifat toksik ditunjukkan oleh nilai LC50 sebesar 201,93 ppm. Ekstrak ini diduga berpotensi sebagai antikanker karena nilai LC50 < 1000 ppm. Ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada kedalaman 10 m mempunyai kandungan fitokimia berupa steroid/triterpenoid.
AKTIVITAS ANTIBAKTERI KARANG LUNAK HASIL TRANSPLANTASI (Sinularia sp.) PADA DUA KEDALAMAN BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Windhyka Priyatmoko C 34104051
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
:
AKTIVITAS ANTIBAKTERI KARANG LUNAK HASIL TRANSPLANTASI (Sinularia sp) PADA DUA KEDALAMAN BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Nama Mahasiswa
:
Windhyka Priyatmoko
NRP
:
C34104051
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si NIP. 132 149 436
Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si NIP. 132 090 871
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal lulus : 21 Nopember 2008
PERNYATAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya mengatakan bahwa skripsi “Aktivitas Antibakteri Karang Lunak Hasil Transplantasi (Sinularia sp.) pada Dua Kedalaman Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta” adalah karya saya sendiri yang dibiayai sepenuhnya oleh program Hibah Bersaing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini. Bogor, Nopember 2008
Windhyka Priyatmoko NRP C 34104051
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ngawi, pada tanggal 19 Januari 1987. Penulis
Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. memulai pendidkan formal di TK Dharma
Wanita Kandangan dan lulus tahun 1992, Sekolah Dasar di SDN Kandangan II lulus pada tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama di SLTPN 5 Ngawi lulus tahun 2001, Sekolah Menengah Atas di SMUN 1 Ngawi, Jawa Timur dan lulus pada tahun 2004. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2004 dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Selain itu Penulis juga aktif di organisasi Fisheries Diving Club-Institut Pertanian Bogor (FDC-IPB) tahun 2005-2008 dan menjabat sebagai kepala bagian Rumah Tangga FDC selama dua periode (2006– 2008), Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (2006–2007). Selama di FDC penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan diantaranya ”Expedisi Zooxanthellae Kangean, Madura”, ”Expedisi Zooxanthellae Wakatobi, Sultra”. Dalam bidang akademik penulis juga merupakan asisten dosen mata kuliah Ikhtiologi (2006-2008), Biologi Laut (2006-2007), Teknologi Industri Tumbuhan Laut (2007-2008), Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan (2007-2008), Anatomi Biologi Ikan (2007-2008) untuk program diploma, dan Mikrobiologi Hasil Perikanan (2008-2009). Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul Aktivitas Antibakteri Karang Lunak Hasil Transplantasi (Sinularia sp.) pada Dua Kedalaman Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta yang didanai sepenuhnya oleh Program Hibah Bersaing dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Syukur penulis ucapkan kepada penguasa semesta raya Alllah SWT, berkat ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul Aktivitas Antibakteri Karang Lunak Hasil Transplantasi (Sinularia sp.) pada Dua Kedalaman Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini : (1)
Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si dan Ir. Mujizat Kawaroe M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan, serta segala penjelasan sehingga penulis dapat menyesaikan skripsi ini.
(2)
Prof. Dedi Soedharma DEA, Dr. Hefni Effendi, Ir. Mujizat Kawaroe atas kesempatan yang diberikan untuk bergabung dalam Project Hibah Bersaing yang mendanai seluruh kegiatan penelitain ini.
(3)
Ir. Winarti Zahiruddin, M.S dan Ir. Komariah Tampubolon, M.S selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan nasehat untuk perbaikan skripsi ini.
(4)
Ayah, Ibu, dan adik-adikku tercinta. Tarima kasih untuk semuanya yang diberikan. Semuanya takkan terbalaskan sepanjang masa.
(5)
Beginer Subhan S.Pi, Dondi Arafat S.Pi, Citra Satrya S.Pi, Iis S.Pi, Bu Ema dan semua tim “Ristek dan Hibah Bersaing” untuk semua bantuannya baik dilapang maupun di laboratorium.
(6)
Keluarga Besar THP 41, Terutama Gank Lab “ Erlangga, An’im, Anang, Nuzul, Bayhaqi, Tomi’40” dan semua keluarga besar Laboratorium Industri dari angkatan 33-41.
(7)
Keluarag Besar Al-hikmah 17+ “Andika, An’im, Haris, Andi, Tyas,” untuk kebersamaannya selama ini.
(8)
Keluarga Besar FDC-IPB, terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menggali potensi dan beraktualisasi diri. Spesial buat Diklat XXIII “Deni, Rizki, Suciadi, Karim” semoga kita tetap kompak
sampai tua dan buat para mentor terima kasih buat semua pelajaran berharganya. (9)
Wisma Gopiss “ Haris, Juan, Ferry dan semua penghuni”.
(10)
M. Azwar Haris dan Herrisdiano Arjuan terima kasih buat persahabatan selama ini.
(11)
“Marya ulfah” terima kasih untuk semuanya yang sudah kita jalani.
(12)
Teman-teman 42 “Ulie, Dan, Irma, Inka, Tyas, Dini” terima kasih atas kebersamaan dan candanya.
(13)
Teman-teman THP 38, 39, 40, 42, 43 dan semua penghuni perikanan terima kasih atas persahabatannya.
(14)
Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi senua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Nopember 2008
Windhyka Priyatmoko NRP C34104051
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. 1. PENDAHULUAN ....................................................................................
xiii 1
1.1.
Latar Belakang ................................................................................
1
1.2.
Tujuan ............................................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
3
2.1.
Klasifikasi dan Morfolologi Karang Lunak Jenis Sinularia sp...........
3
2.2.
Transplantasi/Fragmentasi karang lunak Sinularia sp .......................
5
2.3.
Pertumbuhan Karang Lunak .............................................................
6
2.4.
Komponen Bioaktif karang lunak Sinularia sp .................................
6
2.5
Ekstraksi Senyawa Bioaktif .............................................................
8
2.6
Metode Ekstraksi Komponen Bioaktif Karang Lunak ......................
9
2.7.
Bakteri ............................................................................................. 10 2.7.1. Escherichia coli .................................................................... 10 2.7.2. Staphylococcus aureus .......................................................... 11
2.8.
Aktivitas antibakteri ......................................................................... 12
2.9.
Uji toksisitas .................................................................................... 15
2.10. Artemia salina ................................................................................. 16 2.11. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ....................................... 17 2.12. Analisa Fitokimia...... ...................................................................... 18 2.12.1 Alkaloid ................................................................................ 2.12.2 Steroid/triterpenoid................................................................ 2.12.3 Flavonoid .............................................................................. 2.12.4 Sapaonin ............................................................................... 2.12.5 Fenol hidrokuinon ................................................................. 2.12.6 Karbohidrat ........................................................................... 2.12.7 Gula pereduksi ...................................................................... 2.12.8 Peptida .................................................................................. 2.12.9 Asam amino ..........................................................................
18 19 20 20 21 22 22 23 24
3. METODOLOGI ....................................................................................... 25 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 25
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................... 25 3.3. Metode Penelitian............................................................................... 26 3.3.1. Penelitian tahap satu ................................................................ 27 1). Koleksi dan karakterisasi .................................................... 2). Ekstraksi bahan aktif sampel karang lunak Sinularia sp. (Rachmaniar 1995 yang dimodifikasi) ........... 3). Uji aktivitas antibakteri (Noer dan Nurhayati 2006) ........... a). Persiapan media cair .................................................... b). Persiapan suspensi bakteri ........................................... c). Persiapan media padat ................................................. d). Prosedur uji aktivitas antibakteri ..................................
27 27 28 29 29 29 29
3.3.2. Penelitian tahap dua ................................................................. 31 1). Uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (Meyer et al. 1982, McLaughlin Rogers 1998 dan Carballo et al. 2002 ............................................................ 2). Uji Minimum Inhibitory Concentration (modifikasi Lopez et al. 1993) ............................................................. a). Prekultur bakteri uji ..................................................... b). Perhitungan MIC ......................................................... c). Uji fitokimia................................................................. a. Alkaloid.................................................................... b. Steroid/triterpenoid ................................................... c. flavonoid .................................................................. d. saponin (uji busa) ..................................................... e. Fenol hidrokuinon .................................................... f. Uji molisch ............................................................... g. Uji benedict .............................................................. h. Uji biuret .................................................................. i. Uji ninhidrin ..............................................................
32 33 33 33 34 34 35 35 35 35 36 36 36 36
3.4. Analisis Data ...................................................................................... 36 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 37 4.1. Penelitian Tahap Satu ......................................................................... 37 4.1.1. Koleksi dan karakterisasi ......................................................... 37 4.1.2. Ekstraksi komponen bioaktif .................................................... 39 4.1.3. Uji aktivitas antibakteri ............................................................ 41 4.2. Penelitian Tahap Dua ......................................................................... 44 4.2.1. 4.2.2. 4.2.3. 4.2.4.
Hasil pemilihan sampel karang lunak ....................................... Uji Minimum Inhibitory Consentration (MIC) ......................... Uji toksisitas BSLT.................................................................. Uji fitokimia ............................................................................
44 44 48 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 53 5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 53 5.2. Saran ................................................................................................. 53 6. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 55 LAMPIRAN ................................................................................................... 58
DAFTAR TABEL
Teks No
Halaman
1. Jenis-jenis senyawa terpenoid pada ekstrak karang lunak Sinlaria sp. ......
7
2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya .............................................
9
3. Kategori toksisitas bahan......................................................................... 15 4. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian tahap satu ...................... 25 5. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian tahap dua....................... 26 6. Konsentrasi pada uji MIC. ....................................................................... 34 7. Hasil analisa kualitas air perairan tempat transplantasi karang lunak Sinularia sp di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. ........................ 39 8. Aktivitas daya hambat ekstrak Sinularia sp. pada konsentrasi 300 µg/disk. ............................................................................................ 44 9. Aktivitas ekstrak Sinularia sp. pada kedalaman 10 m dan kontrol pada uji MIC ................................................................................................... 48 10. Data hasil uji BSLT ekstrak kasar Sinularia sp hasil transplantasi (10 m) ..................................................................................................... 51 11. Hasil identifikasi kandungan fitokimia Sinularia sp. hasil transplantasi ............................................................................................ 53
DAFTAR GAMBAR
Teks No
Halaman
1. Sinularia sp. hasil transplantasi ...............................................................
4
2. Bentuk spikul dan koloni karang lunak Sinularia sp. ...............................
4
3. Aktivitas transplantasi soft coral. ............................................................
5
4. Alur ekstraksi karang lunak (Rachmaniar 1995) ......................................
9
5. Escherichia coli ...................................................................................... 11 6. Staphylococcus aureus ............................................................................ 12 7. Struktur kloramfenikol ............................................................................ 14 8. Struktur alkaloid...................................................................................... 19 9. Struktur steroid ....................................................................................... 19 10. Struktur umum flavonoid ........................................................................ 20 11. Struktur umum saponin ........................................................................... 21 12. Struktur umum fenol hidrokuinon ........................................................... 22 13. Struktur salah satu karbohidrat (maltosa) ................................................ 22 14. Salah laktosa sebagai gula pereduksi ....................................................... 23 15. Salah satu asam amino esensial ............................................................... 23 16. Struktur salah satu asam amino esensial. ................................................. 24 17. Metode ekstraksi bahan aktif Sinularia sp. (Rachmaniar 1995 yang dimodifikasi). ................................................................................. 28 18. Tahapan uji penapisan awal antibakteri ................................................... 31 19. Diagam alir uji toksisitas dengan A. salina (McLaughlin 1998). .............. 32 20. Foto karang lunak Sinularia sp. pada dua kedalaman berbeda (3 m dan 10 m) ........................................................................................ 38 21. Rendemen dari karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada dua kedalaman berbeda ........................................................................... 42 22. Histogram ukuran Sinularia sp. hasil transplantasi pada dua kedalaman berbeda .................................................................................. 43 23. Kompetisi antara alga dan karang lunak yang ditransplantasikan ............. 44
24.
Hasil uji aktivitas antibakteri karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi kedalaman 3 meter terhadap bakteri (A) E.coli (B) S.aureus ............................................................................................ 46
25.
Hasil uji aktivitas antibakteri karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi kedalaman 10 meter terhadap bakteri (A) E.coli (B) S.aureus ............................................................................................ 47
26.
Grafik kematian A. salina (hubungan antara log konsentrasi dengan mortalitas). .................................................................................. 51
27.
(a) Kultur A. salina pada media air laut steril. (b) Uji toksisitas menggunakan A. salina.................................................. 52
28.
Hasil uji steroid karang lunak hasil transplantasi Sinularia sp...............
54
DAFTAR TABEL
Teks No
Halaman
1. Jenis-jenis senyawa terpenoid pada ekstrak karang lunak Sinlaria sp. ......
7
2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya..............................................
9
3. Kategori toksisitas bahan ......................................................................... 15 4. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian tahap satu ...................... 25 5. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian tahap dua ....................... 26 6. Konsentrasi pada uji MIC. ....................................................................... 34 7. Hasil analisa kualitas air perairan tempat transplantasi karang lunak Sinularia sp di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. ........................ 39 8. Aktivitas daya hambat ekstrak Sinularia sp. pada konsentrasi 300 µg/disk. ............................................................................................. 44 9. Aktivitas ekstrak Sinularia sp. pada kedalaman 10 m dan kontrol pada uji MIC .................................................................................................... 48 10. Data hasil uji BSLT ekstrak kasar Sinularia sp hasil transplantasi (10 m) ...................................................................................................... 51 11. Hasil identifikasi kandungan fitokimia Sinularia sp. hasil transplantasi ............................................................................................ 53
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sinularia sp. merupakan salah satu jenis karang lunak yang belakangan ini
banyak dikaji kandungan bioaktifnya. Hasil penelitian Fikri (2007) menunjukkan bahwa ekstrak karang lunak jenis Sinularia sp. mempunyai kemampuan menghambat bakteri Staphylococcus aureus secara sempurna yaitu mempunyai diamter zona hambat yang masuk dalam kategori kuat. Hasil penelitian (Manuputty 1991) menunjukkan bahwa Sinularia mengandung senyawa terpen yang diduga mempunyai aktivitas antikanker pada manusia. Senyawa terpen merupakan senyawa kimia yang dihasilkan secara alamiah oleh tumbuh-tumbuhan dan mengandung aroma atau bau yang harum. Senyawa terpen ini telah menarik perhatian para ahli kimia terutama yang meneliti senyawa-senyawa alamiah karena dapat digunakan dalam bidang farmasi sebagai antibiotika, antijamur, dan senyawa antitumor. Kegunaan senyawa ini bagi karang lunak ialah sebagai penangkal terhadap serangan predator, dalam hal memperebutkan ruang untuk makan dan hidup, dan dalam proses reproduksi (Coll dan Sammarco 1986). Mengingat potensi dari karang lunak terutama Sinularia sp. yang mempunyai kandungan bioaktif yang besar, perlu adanya usaha pembudidayaan dari karang lunak jenis ini agar stok yang ada di alam tidak habis dimanfaatkan. Usaha transplantasi karang lunak Sinularia sp. ini merupakan salah satu upaya untuk menyediakan sumber bioakatif tanpa harus mengambil dari alam. Fragmentasi atau transplantasi karang lunak merupakan pemotongan koloni karang lunak menjadi kepingan-kepingan yang dijatuhkan pada substrat di sekitar koloni induk. Kepingan-kepingan tersebut akan menempel dengan cepat dan berkembang menjadi koloni baru. Jenis Sinularia, Lobophytum, Sarcophyton, dan Dendronephtya merupakan salah satu contoh karang lunak yang ditransplantasikan dan mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat (Oren dan Benayahu, 1997). Belakangan ini para peneliti dari Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan telah melakukan usaha transplantasi karang lunak
Sinularia sp. sebagai upaya untuk penyediaan bahan baku sumber bioaktif tanpa harus mengambil dari alam yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Mengingat telah dilakukannya usaha transplantasi ini, perlu diadakan penelitian untuk mengetahui kandungan bioaktif karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi ini yang dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta yang berumur 10 bulan. 1.2.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk :
(1). memperoleh ekstrak komponen bioaktif sebagai antibakteri dari karang lunak hasil transplantasi (Sinularia sp.) pada dua kedalaman berbeda asal perairan pulau Pramuka; (2). mengetahui tingkat toksisitas ekstrak karang lunak (Sinularia sp.) hasil transplantasi; (3). mengetahui konsentrasi terendah dari ekstrak karang lunak (Sinularia sp.) hasil transplantasi yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri; (4). mengetahui kandungan kimia yang terdapat pada ekstrak karang lunak (Sinularia sp.) hasil transplantasi;
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Klasifikasi dan Morfolologi Karang Lunak Jenis Sinularia sp. Karang lunak jenis Sinularia merupakan bagian dari suku Alcyioniidae.
Sinularia merupakan salah satu octocoralia yang bentuknya berkoloni. Sinularia termasuk dalam sub-kelas Alcyonaria. Urutan klasifikasi karang lunak jenis Sinularia menurut Fabricus K dan Philip A ( 2001) adalah sebagai berikut: Filum
: Coelenterata
Kelas
: Anthozoa
Sub-kelas
: Octocorallia (Alcyonaria)
Ordo
: Alcyonacea
Famili
: Alcyoniidae
Genus
: Sinularia Sinularia mempunyai bentuk koloni yang beragam dibanding dengan
genus karang lunak lainnya. Koloninya biasanya rendah dan mengkerak dengan bentuk seperti bukit kecil, tinggi, bentuk daun telinga yang melimpah, bercabang, datar, dan seperti atau tidak seperti daun serta kebanyakan berbentuk diantaranya. Selain itu koloninya juga bertangkai atau merambat (encrusting), kapitulum lebar, lobata yang merambat, yang bertangkai digitata, aboresen atau glomerata (Fabricus K dan Philip A 2001). Genus Sinularia mempunyai polip monomorfik, yaitu tidak memiliki sifonosoid, dan retraktil. Tangkai berwarna senada dengan kapitulum, kecuali Sinularia flexibilis tangkainya berwarna putih, kapitulum lentur, dan berwarna krem. Warna koloni krem, coklat muda atau abu-abu. Pada beberapa spesies bentuknya tunggal, koloni matang dapat mencapai ukuran 10 m dan pada beberapa spesies hanya beberapa sentimeter saja. Di dalam air reproduksi aseksual dilakukan dengan pembelahan koloni yang nampak sama dan agregasi yang terdiri dari ratusan koloni dapat pula ditemukan. Biasanya tumbuh dari daerah rataan terumbu sampai kedalaman 20 m (Fabricus K dan Philip A 2001). Koloni Sinularia umumnya mempunyai konstruksi yang kuat, liat, dan keras. Koloninya juga mempunyai ukuran yang besar, bentuk scleritesnya berupa gelondongan pada bagian anterior koloninya. Pada beberapa spesies bentuk
sclerites memadu atau melebur bersama-sama menjadi bentuk yang kuat, menyerupai batu yang disebut spikul. Anggota dari marga Sinularia sangat banyak sehingga untuk membedakan jenis yang satu dengan lainnya tidak cukup hanya dengan ciri-ciri morfologinya saja (Fabricus K dan Philip A 2001). Sinularia sp. hasil transplantasi yang sedang diukur laju pertumbuhannya pada umur 10 bulan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sinularia sp. hasil transplantasi
Gambar 2. Bentuk spikul dan koloni karang lunak Sinularia sp.
2.2.
Transplantasi / Fragmentasi Buatan Karang Lunak Karang lunak dapat bereproduksi dengan dua cara, yaitu secara seksual
dan aseksual (Bayer 1956 diacu dalam Haris 2001). Padahal di alam, reproduksi secara aseksual merupakan suatu mekanisme penting dalam peningkatan jumlah individu koloni di habitatnya, tetapi reproduksi aseksual belum banyak diteliti. Reproduksi aseksual yang umum terjadi adalah pertumbuhan koloni, fragmentasi, tunas (budding), pembelahan melintang (transverse fission), pencabikan pedal (pedal laceration). Fragmentasi adalah pemecahan koloni karang lunak menjadi kepingankepingan yang dijatuhkan pada substrat disekitar koloni induk. Kepingankepingan tersebut akan menempel dengan cepat dan berkembang menjadi koloni baru. Saat ini yang umum dikembangkan adalah fragmentasi buatan karang lunak dari jenis Sinularia, Sarcophyton, Lobophytum, dan Dendronephtya. Penempelan fragmen buatan akan berhasil dengan baik bila didukung oleh faktor lingkungan yang optimal dan substrat dasar yang baik (Oren dan Benayahu 1997). Transplantasi atau fragmentasi buatan biasanya menggunakan substrat semen yang diletakkan di atas rak baja berbentuk meja dengan luas 2x1 meter, lebar 5 cm, dan tebal 2 cm yang diletakkan di dasar perairan laut. Setelah diadaptasikan selama dua minggu di dalam lautan, kemudian substrat ditempelkan bibit karang lunak (Oren dan Benayahu 1997). Aktivitas transplantasi soft coral terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Aktivitas transplantasi soft coral
2.3.
Pertumbuhan Karang Lunak Karang lunak merupakan salah satu populasi penghuni ekosistem terumbu
karang. Biasanya hewan ini tumbuh di sekitar karang keras (hard coral) dan benda-benda laut lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari soft coral ini tidak jauh berbeda dengan terumbu karang. Perkembangan karang yang paling optimal terjadi pada perairan yang rata-rata suhu tahunannya berkisar antara 23-25 0C. Karang juga dapat mentolerir perubahan suhu sampai kira-kira sekitar 36-40 0C (Nybakken 1992). Selain suhu faktor lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan karang adalah kedalaman. Karang tidak dapat tumbuh/berkembang di perairan yang kedalamannya lebih dari 50-70 m. Kebanyakan karang hanya tumbuh pada kedalaman sekitar 25 m atau kurang. Faktor berikutnya yang juga berpengaruh penting terhadap pertumbuhan karang baik soft coral maupun hard coral adalah cahaya. Cahaya adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh penting dalam membatasi pertumbuhan karang. Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis dapat terjadi sehingga dihasilkan zat yang diperlukan untuk pertumbuhan karang. Faktor yang juga penting sebagai pembatas pertumbuhan karang adalah salinitas. Biasanya organisme karang hanya dapat bertahan pada salinitas air laut normal yaitu sekitar 32-35 0/00 (Nybakken 1992). 2.4.
Komponen Bioaktif Karang Lunak Sinularia sp. Karang lunak merupakan sumber yang kaya akan senyawa bioaktif seperti
terpenoid, steroid, dan steroid glikosida. Hasil penelitian terakhir menyebutkan bahwa sekitar 50 % ekstrak karang lunak menunjukkan sifat racun pada ikan, selain itu banyak metabolit sekunder yang dihasilkan oleh karang lunak memiliki aktivitas biologi seperti antifungal, sitotoksik, antineoplastik, inhibitor HIV, dan anti-inflamtori (Radhika 2006). Coll et al. (1982) telah mengisolasi senyawa terpen yang bersifat racun dari beberapa karang lunak terutama Sinularia flexibillis dan mengamati pertumbuhan karang batu Pavona cactus yang hidup berdampingan dengan karang lunak tersebut. Terbukti bahwa pada jarak 30 cm pertumbuhan karang batu tersebut terhambat, sedangkan pada jarak lebih dekat yaitu sekitar 15 cm karang
batu tersebut mati. Percobaan ini membuktikan bahwa sifat allelopatik tersebut dipakai untuk merebut ruang lingkup dari tetangganya dalam hal ini karang batu. Menurut Chao et al. (2006) ekstrak karang lunak Sinularia sp. dengan campuran etanol dan heksana menghasilkan senyawa sinularian (A) dan (B) yang mampu menghambat pertumbuhan sel kanker paru-paru, hati, dan payudara. Antibakteri dari jenis Sinularia flexsibillis telah ditemukan dan telah diujikan pada isolat bakteri yang ditumbuhkan pada media agar. Ada sembilan jenis senyawa terpen yang terdapat pada Sinularia flexibillis, yaitu antara lain : R-(-)- Cembrene A, 3,4,11,12- Diepoxycembrene A, Sinulariode, 11- Dihydrosinulariolide, 6 E- Dihydrosinulariolide, Sinularian, Dihydrosinularian, Flexibiline, 11- Episinulariolide acetate (Tursch et al 1978). Berdasarkan hasil isolasi dengan menggunakan bahan-bahan kimia tertentu, 1 kg kering S. flexibillis diperoleh sinularian 3,5 g dan campuran sinularian dan dihydrosinularian 7,5 g (Tursch et al. 1978). Hasil penelitian menyebutkan bahwa ekstrak Sinularia flexibillis setelah difraksinasi dengan TLC (Thin Layer Chromatographi) menghasilkan lima komponen terpenoid, antara lain diterpenes flexibilida, dihydroflexibilida, sinulariolida, epi-sinulariolida, dan epi-sinularilida asetat, yang terbukti memiliki aktivitas antimikrobial (Aceret et al. 1997). Tabel 1 menyajikan jenisjenis senyawa terpenoid dari karang lunak jenis Sinularia sp. Tabel 1. Jenis-jenis senyawa terpenoid dari karang lunak Sinularia sp. No
Nama Senyawa
Jenis Karang Lunak
Literatur
1.
Sinularian
Sinularia flexibillis
Tursch et al. 1978
2.
Dihydrosinularian Sinularia flexibillis
Tursch et al. 1978
3.
1-Episinulariolide
Sinularia querciformis
Tursch et al. 1978
4.
Flexibilide
Sinularia flexibillis
Quinn dan Sumamarco 1998
5.
Epoxypukalide
Sinularia sp.
Quinn dan Sumamarco 1998
2.5.
Ekstraksi Senyawa Bioaktif Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan yang didasarkan pada
distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Dalam pemilihan jenis pelarut yang digunakan harus memperhatikan daya larut, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi (Khopkar 2003). Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam memilih suatu pelarut adalah sifat pelarut tersebut dimana pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian sebaliknya pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar, pelarut semi polar akan cenderung melarutkan senyawa semi polar (Achmadi 1992). Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap, yaitu penghancuran bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan, dan tahap pemisahan. Penghancuran bertujuan agar dapat mempermudah pengadukan, dan kontak bahan dengan pelarutnya pada saat proses perendaman. Kemudian bahan ditimbang untuk mengetahui berat awal bahan sehingga dapat menentukan rendemen yang dihasilkan. Bahan yang telah ditimbang kemudian direndam dalam pelarut, seperti heksana (non polar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar). Proses perendaman ini disebut dengan maserasi. Prinsip pelarutan yang dipakai pada metode ini adalah like dissolve like artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan sampel dengan pelarut yang telah mengandung bahan aktif. Untuk memisahkan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan evaporasi, sehingga pelarutnya akan menguap dan diperoleh senyawa hasil ekstraksi yang dihasilkan (Khopkar 2003). Hasil ekstraksi yang diperoleh tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harborne 1987). Tabel 2
menyajikan beberapa jenis pelarut organik yang sering digunakan dalam proses ekstraksi beserta sifat fisiknya. Tabel 2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya Titik didih (oC)
Titik beku (oC)
Dietil eter
35
-116
4.3
Aseton
56
-95
20.7
Kloroform
61
-64
4.8
Heksana
68
-94
1.8
Etil asetat
77
-84
6.0
Etanol
78
-117
24.3
Metanol
65
-98
32.6
Air
100
0
80.2
Pelarut
Konstanta dielektrik
Sumber : Nur dan Adijuwana (1989)
2.6.
Metode Ekstraksi Komponen Bioaktif Karang Lunak Metode ekstraksi ini mengacu pada metode yang dilakukan oleh
Rachmaniar (1995), yang mengisolasi senyawa aktif dari karang lunak (yang belum diketahui jenisnya) menggunakan metanol 80 % (v/v) untuk mengekstrak komponen bioaktifnya. Alur ekstraksi karang lunak disajikan pada Gambar 4. Soft coral segar (25 g) dipotong kecil-kecil
Ekstrak kasar (diblender)
Maserasi dengan metanol 80 % (v/v) (35 ml ; 24 jam)
Ekstrak disaring dengan kertas saring (milipore)
Ekstrak disimpan dalam lemari pendingin
Gambar 4. Alur ekstraksi karang lunak (Rachmaniar 1995)
2.7.
Bakteri Bakteri adalah sel prokariot yang khas dan bersifat uniseluler. Sel bakteri
berbentuk bulat, batang, atau spiral. Umumnya suatu bakteri berdiameter antara 0,5-1,0 µm dan panjang 1,5-2,5 µm. Bakteri dapat dibedakan menjadi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif berdasarkan perbedaan pada komposisi dan struktur dinding selnya (Pelczar dan Chan 2005). Bakteri gram negatif mempunyai struktur dinding sel berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis berkisar antara 10-15 nm. Komposisi dinding sel bakteri gram negatif ini terdiri dari lipid dan peptidoglikan.
Konsentrasi lipid pada
dinding sel bakteri gram negatif berkisar antara 11-22 %. Bakteri gram negatif umumnya kurang rentan terhadap penisilin, kurang resisten terhadap gangguan fisik, dan persyaratan nutriennya relatif sederhana (Pelczar dan Chan 2005). Bakteri gram positif mempunyai struktur dinding sel yang tebal antara 15-80 nm dan berlapis tunggal.
Komposisi dinding sel terdiri dari lipid,
peptidoglikan, dan asam tekoat. Konsentrasi lipid pada dinding sel bakteri gram positif berkisar antara 1-4 %. Bakteri gram positif lebih rentan terhadap penisilin, dan persyaratan nutriennya relatif rumit pada banyak spesies (Pelczar dan Chan 2005). 2.7.1. Escherichia coli Escherichia coli termasuk dalam famili Enterobacteriaceae, tergolong patogen gram negatif, bersifat anaerob fakultatif, bersifat kemoorganik dengan tipe metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini ada yang bersifat motil bergerak dengan flagella peritrik dan ada juga yang nonmotil. Berbentuk batang tunggal dan berpasangan dengan ukuran 1,1-1,5 µm x 2,0-6,0 µm, diameter koloni 2-3 µm, memiliki kapsul dan mikrokapsul. Escherichia coli tumbuh pada suhu antara 15-45 oC dengan suhu optimum 37 oC (Fardiaz 1992). Bakteri ini sensitif terhadap antibiotik jenis sulfinamid, kloramfenikol, kanamycin, dan penicilin. Hal ini disebabkan karena pada bakteri gram negatif, struktur dinding sel berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10-15 nm). Komposisi dinding sel terdiri dari lipid dan peptidoglikan yang berada dalam lapisan sebelah dalam dengan jumlah sekitar 10 % dari berat kering. Kandungan lipid pada bakteri gram negatif cukup tinggi, yaitu 11-22 %. Bakteri gram negatif
umumnya kurang rentan terhadap penisilin dan kurang resisten terhadap gangguan fisik (Greenwood et al. 1995) Bakteri yang sering disebut dengan koli tinja ini juga dapat menimbulkan penyakit apabila masuk ke organ atau jaringan lain. Contohnya adalah timbulnya pneumonia, endokarditis, infeksi pada luka, dan abses pada berbagai organ. Selain itu, E. coli juga merupakan penyebab utama meningitis pada bayi yang baru lahir dan penyebab infeksi tractus urinarius pada manusia yang dirawat di rumah sakit (nosocomial infection). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa beberapa galur atau strain dari E. coli juga dapat menyebabkan wabah diare, terutama pada anakanak. Escherichia coli enteropatogenik (EPEC) merupakan penyebab diare terpenting pada bayi, terutama di negara berkembang. Mekanismenya adalah dengan cara melekatkan dirinya pada sel mukosa usus kecil dan membentuk filamentous actin pedestal sehingga menyebabkan diare cair (watery diarrheae) (Greeenwood 1995). Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh E. coli antara lain daging ayam, daging sapi, daging babi, ikan, dan makanan hasil laut lainnya, telur dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah, serta minuman seperti susu (Fardiaz 1992). Morfologi E. coli disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Escherichia coli ( Anonim 2007)a 2.7.2. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus tergolong bakteri gram positif bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini berbentuk bulat tunggal, berpasangan atau bergerombol dengan diameter 0,5-1,5 µm, tidak berkapsul dan berspora, dan non motil. Bakteri ini bersifat kemoorganotropik dengan tipe metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 10 % dan suhu optimum antara
35-37 oC dan pH 6-7, akan tetapi pada suhu 6,7-45,5 oC serta pH 4,0-9,8 bakteri ini masih dapat tumbuh dan berkembang biak. Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik
β-laktam, tetrasiklin, dan kloramfenikol, tetapi
resistan terhadap polimiksin (Pelczar dan Chan 2005). Staphylococcus
aureus
dapat
menyebabkan
penyakit
pneumonia,
keracunan makanan, yaitu dengan cara mengeluarkan enterotoksin yang bersifat tahan panas. Penyakit penemonia biasanya diinfeksikan melalui udara, dan keracunan makanan melalui kontaminasi manusia dan lingkungan yang tercemar (Greenwood et al. 1995). Morfologi S. aureus disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Staphylococcus aureus ( Anonim 2007)b 2.8.
Aktivitas Antibakteri Senyawa antibakteri didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia
yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Berdasarkan aktivitasnya zat antibakteri dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) atau menghambat germinasi spora bakteri. Mekanisme cara kerja zat antibakteri dalam menghambat pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain konsentrasi zat antibakteri, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, pH lingkungan, dan sifat mikroba yang yang meliputi jenis, umur, dan keadaan mikroba (Fardiaz 1992). Zat-zat yang digunakan sebagai antibakteri harus mempunyai beberapa kriteria ideal, antara lain aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan flavor, citarasa, dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, dan sebaiknya
bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Fardiaz 1992). Menurut Davis Stout (1971), ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah). Faktor yang mempengaruhi ukuran daerah penghambatan, yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi agar, yaitu konsentrasi mikroorganisme, komposisi media, suhu inkubasi, dan waktu inkubasi (Schlegel dan Schmidt 1994). Mekanisme kerja senyawa yang bersifat antimikroba ada beberapa cara, yaitu merusak dinding sel mikroorganisme sehingga menyebabkan terjadinya lisis, mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, menyebabkan terjadinya denaturasi protein sel, dan menghambat kerja enzim di dalam sel (Pelczar dan Chan 2005). Senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai antimikroba adalah fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen, dan senyawa amonium kuartener. Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Pelczar dan Chan 2005). Ciri-ciri antibakteri yang baik adalah (Pelczar dan Chan 2005): (1). mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri; (2). substansi itu harus dapat larut dalam air atau pelarut-pelarut lain sampai pada taraf yang diperlukan; (3). perubahan yang terjadi pada substansi itu bila dibiarkan beberapa lama harus seminimal mungkin dan tidak boleh mengakibatkan kehilangan sifat antimikrobialnya dengan nyata; (4). tidak bersifat racun bagi manusia maupun hewan lain;
(5). komposisinya harus seragam sehingga bahan aktifnya selalu terdapat pada setiap aplikasi; (6). tidak bergabung dengan bahan organik. banyak disinfektan bergabung dengan protein atau bahan organik lain apabila disinfektan semacam itu digunakan di dalam keadaan yang banyak mengandung bahan organik, maka sebagian besar dari disinfektan itu akan menjadi aktif; (7). aktivitas antimikrobial pada suhu kamar atau pada suhu tubuh; (8). kemampuan untuk menembus; (9). tidak menimbulkan karat dan warna; (10). kemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap; (11). berkemampuan sebagai deterjen. suatu disinfektan yang juga merupakan deterjen
mempunyai
keuntungan
bahwa
efeknya
sebagai
pembersih
memperbaiki keefektifannya sebagai disinfektan; Kloramfenikol merupakan antibiotik yang berspektrum luas yang aktif terhadap banyak bakteri gram positif dan gram negatif (Pelczar dan Chan 2005). Awalnya komponen ini diisolasi dari Streptomyces venezuelae, tetapi sekarang dapat disintesa dengan lebih murah, yaitu secara kimia tanpa tahap sintesa secara biologis (Fardiaz 1992). Struktur kloramfenikol dapat dilihat pada Gambar 7.
OH
NO2
CH
CH2OH CH
OH
NH
C
CHCI2
Gambar 7. Struktur kloramfenikol Kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida, yaitu antibiotik bakteriostatik yang tidak membunuh bakteri melainkan hanya menghambat sintesa protein yang sangat diperlukan dalam perbanyakan dan pembelahan sel bakteri. Kloramfenikol merupakan antibiotik yang paling stabil. Zat ini juga cepat dan hampir sempurna diabsorpsi oleh saluran pencernaan. Antibiotik ini masih banyak digunakan di negara-negara berkembang karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan antibiotik-antibiotik lainnya (Fardiaz 1992).
2.9.
Uji Toksisitas Toksisitas merupakan indikator yang sangat berguna dalam kaitannya
dengan aktivitas biologi. Toksisitas memberikan arahan yang penting terhadap adanya senyawa aktif secara farmakologi dan senyawa antimikroba (Meyer et al. 1982). Tingkat penetasan telur (seperti setelah 48 jam perlakuan dengan minyak prootelium, pestisida, Polychlorinated biphenyls (PCBs), dan pencemar lingkungan yang lain atau setelah perlakuan dengan bahan karsinogenik) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya racun dalam suatu bahan. Tingkat kematian naupli pada berbagai tahap perkembangan hidupnya sering digunakan penelitian uji toksisitas. Stadia larva yang paling umum digunakan adalah larva 24-48 jam setelah menetas. Pada stadia lebih tua dari naupli atau stadia artemia dewasa juga biasa digunakan sebagai organisme penyeleksi. Konsentrasi letal untuk kematian 50 % populasi naupli setelah 6 jam perlakuan (akut LC50) atau konsentrasi letal untuk kematian 50 % populasi naupli setelah 24 jam perlakuan (kronik LC50) dapat diartikan sebagai ukuran toksisitas kandungan racun dalam suatu bahan. Waktu pilihan ditentukan oleh daya serap dari suatu ekstrak. Ekstrak polar dalam perlakuannya membutuhkan waktu yang pendek, sedangkan untuk ekstrak nonpolar dengan konsentrasi yang lebih rendah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan ekstrak polar (Meyer et al. 1982). Tingkat toksisitas suatu bahan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kategori toksisitas bahan Kategori Sangat toksik Toksik Tidak toksik
LC50 (µg/ml) < 30 30-1000 >1000
Sumber : Meyer et al. (1982)
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) biasa dilakukan sebagai tahap pendahuluan dalam penapisan bahan-bahan yang diperkirakan memiliki sifat antitumor atau antikanker sebelum melangkah kepada uji in vitro menggunakan sel kanker lestari (Widjihati et al. 2004). Metode BSLT merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik, yaitu dengan uji
toksisitas terhadap larva udang dari A. salina Leach. Metode ini sering digunakan untuk penapisan awal terhadap senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak tanaman karena murah, cepat, mudah (tidak perlu kondisi aseptis), dan dapat dipercaya (Meyer et al.1982). Lebih dari itu uji larva udang A. salina ini juga digunakan untuk uji awal terhadap senyawa–senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor. Dengan kata lain, uji ini mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antikanker (Anderson 1991). Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa uji BSLT bersifat mudah dilakukan, cepat, biayanya murah, dapat dilakukan di dalam laboratorium, dan memiliki tingkat kepercayaan tinggi dibandingkan dengan uji in vitro menggunakan sel lestari yang memerlukan biaya sangat mahal dan media serta keterampilan khusus (Meyer et al.1982). 2.10.
Artemia Salina Artemia atau brine shrimp termasuk golongan udang yang hidup
planktonik di perairan berkadar garam tinggi hingga 300 permil. Di perairan dengan kadar garam 300 permil hanya beberapa jenis bakteri serta alga yang dapat bertahan hidup. Artemia salina menghasilkan siste bila lingkungannya memburuk dengan kadar garam lebih dari 150 permil dan kandungan oksigen rendah. Ukuran A. salina yang baru menetas panjangnya sekitar 15 mikrogram (Mudjiman 1988). Suhu lingkungan yang dikehendaki antara 5-30 °C dengan kadar oksigen terlarut sekitar 3 mg/l. Sebagai plankton A. salina tidak dapat mempertahankan diri dari gangguan musuh atau pemangsa sebab tidak memiliki alat atau cara mempertahankan diri. Makanan A. salina terdiri dari detritus bahan organik (sisa-sisa jasad renik), ganggang renik, bakteri dan cendawan (ragi laut), Namun dalam pemeliharaannya, makanan A. salina dapat berupa katul padi, tepung beras, terigu, tepung kedelai atau ragi (Mudjiman 1988) Artemia salina dikatakan dewasa bila telah berusia 141 hari, A. salina hidup sampai enam bulan, yang betina dapat bertelur setiap 4-5 hari sekali dengan jumlah 50-300 telur setiap kali bertelur. Telur-telur tersebut akan menetas dalam kurun waktu 24-36 jam, lalu menjadi larva atau nauptilus. Telur A. salina dapat diperoleh di toko-toko akuarium atau di tempat pembenihan udang, karena telur ini juga digunakan sebagai pakan untuk ikan-ikan tropis.
Telur A. salina ini disimpan selama beberapa tahun pada tempat yang kering (Mudjiman 1988). Ketersediaan telur, kemudahan dalam menetaskan telur menjadi larva, pertumbuhan yang cepat dari naupli dan relatif mudah dalam mempertahankan populasi dalam kondisi laboratorium membuat kondisi A. salina merupakan hewan percobaan yang efektif dan sederhana dalam ilmu biologi dan toksikologi. Artemia salina sering digunakan dalam penelitian, sederhana dan yang terpenting tidak mahal serta mudah diproduksi (Meyer et al. 1982). 2.11. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Metode pengujian MIC merupakan salah satu metode yang biasa digunakan dalam pengujian aktivitas zat antimikroba secara invitro, dengan cara menentukan konsentrasi terendah dari zat tersebut yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme yang diuji (Schegel dan Schmidt 1994). Ada 2 metode yang digunakan dalam pengujian MIC, yaitu teknik tabung pengenceran (tube dillution technique) dan metode difusi agar (agar diffusion method). Dalam teknik tabung pengenceran, disiapkan beberapa seri tabung yang berisi medium kultur yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme yang akan diujikan dan diberi zat antimikroba dengan konsentrasi berbeda-beda. Adanya aktivitas zat antimikroba ditentukan dengan kekeruhan yang terlihat pada tabung tersebut. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dipengaruhi oleh jenis organisme, ukuran inokulum, komponen media kultur, waktu inkubasi, serta kondisi inkubasi berupa suhu, pH atau aerasi. Metode tabung pengenceran ini tidak dapat digunakan untuk menentukan suatu zat bersifat sidal, statik, atau litik (Schegel dan Schmidt 1994). Metode difusi agar dilakukan dengan menyiapkan cawan petri yang berisi agar medium yang telah diinokulasi mikroorganisme dengan metode tuang. Setelah itu sejumlah paper disc atau kertas cakram steril yang telah berisi zat antibakteri dengan konsentrasi berbeda-beda diletakkan di atas permukaan agar tersebut dan diinkubasi selama waktu yang ditentukan. Selama inkubasi zat antimikroba akan terdifusi atau tersebar dari paper disc menuju ke agar menimbulkan
suatu
gradien
konsentrasi
disekelilingnya.
Melalui
zona
penghambatan yang terbentuk dapat diketahui konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme tersebut (Schegel dan Schmidt 1994). Antimikroba dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap mikroba apabila nilai konsentrasi minimum hambatannya rendah tetapi mempunyai daya hambat besar. Aktivitas antimikroba ditentukan dengan mengukur diameter hambatannya, yaitu daerah bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Suatu bahan dikatakan mempunyai akivitas antibakteri apabila diameter hambatan yang terbentuk lebih besar atau sama dengan 6 mm (Bell 1984). 2.12. Analisa Fitokimia Analisa fitokimia adalah analisis yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh mahluk hidup, yaitu mengenai struktur
kimianya,
biosintesisnya,
perubahan
serta
metabolismenya,
penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologinya. Alasan melakukan analisa fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditujukan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). 2.12.1. Alkaloid Alkaloid pada umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sitem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat tropis aktif , kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misal nikotina pada suhu kamar). Alkaloid merupakan turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Secara klasik, alkaloid dipisahkan dari tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987). Struktur dari beberapa alkaloid disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Strukur beberapa alkaloid (Anonim 2008)a 2.12.2. Steroid / Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik (Harborne 1987). Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat senyawa, yaitu triterpenoid, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol, dan kaempsterol (Harborne 1987). Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Struktur salah satu jenis triterpenoid (steroid) dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur steroid (Anonim 2008)b
2.12.3. Flavonoid Menurut strukturnya, semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan Primula. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid ini berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987). Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita serapan pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mulamula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna.terdapat sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavanol, khalkon, auron, flavonon dan isoflavon (Harborne 1987). Struktur umum flavonoid disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Struktur umum flavonoid (Anonim 2008)c 2.12.4. Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Winarno 1997). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat dirubah di laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif dan lain-lain).
Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Struktur umum saponin (Anonim 2008)d 2.12.5. Fenol hidrokuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi, kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidrolisis dan bersifat ”senyawa fenol” serta mungkin dapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadangkadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan hidrolisa asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksida ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut di udara (Harborne 1987). Struktur fenol hidrokuinon disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Struktur umum fenol hidrokuinon (Anonim 2008)e 2.12.6. Karbohidrat Karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein dalam tubuh. Karbohidrat dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman yang berklorofil. Karbohidrat yang terdapat dalam hewan terutama terdiri dari glikogen (Winarno 1997). Karbohidrat dalat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Monosakarida merupakan molekul yang terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida dan pula umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer polisakarida (Winarno 1997). Karbohidrat dengan zat tertentu akan menghasilkan warna tertentu yang dapat digunakan untuk analisa kualitatif. Bila karbohidrat direkasikan dengan larutan naftol dalam alkohol, kemudian ditambahkan H2SO4 pekat secara hati-hati, pada batas akan terbentuk furfural yang berwarna ungu. Reaksi ini disebut Molisch dan merupakan reaksi umum bagi karbohidrat (Winarno 1997). Struktur salah satu karbohidrat disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Struktur salah satu karbohidrat (maltosa) (Anonim 2008)f 2.12.7. Gula pereduksi Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan
pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 1997). Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan pereaksi Tollens (reduksi Ag+ menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis untuk mendeteksi gual dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes (Pine et al. 1998). Struktur laktosa sebagai gula pereduksi disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Struktur laktosa sebagai gula pereduksi (Anonim 2008)g 2.12.8. Peptida Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptida (-CONH-) dengan melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air. Dipeptida masih mempunyai gugus amino dan karboksil bebas sehingga dapat bereaksi dengan dipeptida-dipeptida lainnya membentuk peptida dan akhirnya membentuk molekul protein (Winarno 1997). Struktur salah satu asam amino esensial disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. salah satu asam amino esensial (Anonim)h
2.12.9. Asam amino Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim akan dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada atom C yang dikenal sebagai karbon alfa, serta gugus R merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi alfa dan hanya konfigurasi l kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 1997). Ninhidrin adalah peraksi yang digunakan secara luas untuk mengukur asam amino secara kuantitatif. Pereaksi itu bereaksi dengan hampir semua asam amino, menghasilkan senyawa berwarna lembayung (prolina memberikan warna kuning) (Pine et al. 1988). Struktur salah satu asam amino seperti Gambar 16.
Gambar 16. Struktur salah satu asam amino (Anonim 2008)i
3. METODOLOGI
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2008 berupa pengambilan
sampel dilapang, bulan Maret sampai bulan Juni 2008 dilakukan proses ekstraksi dan analisa di laboratorium yang bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Bioteknologi 2 Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Seafast, Institut Pertanian Bogor. 3.2.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
yaitu yang pada penelitian tahap satu dan tahap dua. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian tahap satu disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian tahap satu Tahapan 1. Koleksi dan karakterisasi
2. Ekstraksi bahan aktif
3. Uji aktivitas antibakteri : a. Persiapan media cair
b.Persiapan suspensi bakteri c. Persiapan media padat
d. Prosedur uji aktivitas antibakteri
Alat Scuba Diving Foto underwater Plastik tahan panas Timbangan analitik Kertas label Cool box Es batu Alat-alat gelas Evaporator Kertas saring Shaker bath Hotplate Tabung reaksi Kapas Aluminium foil Autoklaf Pipet Akuades Jarum ose Cawan petri Inkubator Akuades Hotplate Pipet Tabung reaksi Kapas Aluminium foil Autoklaf Laminer (Clean bench) Refrigerator Vortex Cawan petri Clean bench Refrigerator Paper disc Pipet
Bahan Metanol
Sampel Sinularia sp. Metanol Etil asetat Heksana
Biakan E.coli Biakan S. aureus Nutrient Broth
Media cair
Agar Muller Hinton
Agar Muller Hinton 2 jenis bakteri uji
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian tahap dua disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian tahap dua Tahapan 1. Uji toksisitas
Alat Tabung reaksi Lampu TL 40 watt
Bahan Air Garam dapur Larva A. salina Ekstrak sampel karang
Jarum ose Shaker bath Spektrofotometer Cawan petri Paper disc
Media NB
3. Uji Fitokimia a. Alkaloid
Tabung reaksi
b. Steroid / triterpenoid
Tabung reaksi
c. Flavonoid
Tabung reaksi
d. Saponin (uji busa)
Tabung reaksi
e. Fenol hidrokuinon
Tabung reaksi
f. Uji molisch
Tabung reaksi
g. Uji benedict
Tabung reaksi
h. Uji biuret
Tabung reaksi
i. Uji ninhidrin
Tabung reaksi Penangas air
Sampel Asam sulfat 2 N Pereaksi Dragendorff Pereaksi Meyer Pereaksi Wagner Sampel Kloroform Anhidrida asetat Asam sulfat pekat Sampel Magnesium Amil alkohol Alkohol Sampel HCl 2 N Sampel Etanol 70 % FeCl3 5 % Asam sulfat pekat Pereaksi molisch Sampel Pereaksi benedict Sampel Pereaksi biuret Sampel Larutan ninhidrin 0,1 %
2. Uji MIC (Minimum Inhibibitory concentration) : a. Prekultur bakteri uji
b. Perhitungan MIC
3.3.
Media agar 2 jenis bakteri uji
Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap satu yaitu koleksi dan
karakterisasi, ekstraksi bahan aktif, dan uji aktivitas antibakteri. Tahap dua, yaitu uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC), uji toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dari ekstrak kasar karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada umur 10 bulan dan uji fitokimia untuk mengetahui senyawa kimia yang terdapat pada bahan.
3.3.1. Penelitian tahap satu Penelitian tahap satu merupakan penapisan awal komponen bioaktif antibakteri dari karang lunak hasil transplantasi (Sinularia sp.) di kedalaman 3 dan 10 meter yang dipanen pada umur 10 bulan. Tahap ini terdiri dari koleksi dan karakterisasi, ekstraksi bahan aktif, dan uji aktivitas antibakteri. (1). Koleksi dan karakterisasi Sampel karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi diambil pada kedalaman berbeda yaitu kedalaman 3 m dan 10 m pada umur 10 bulan dari Perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu ini diambil dengan Scuba Diving pada bulan Februari 2008. Peta lokasi pengambilan sampel disajikan pada lampiran 1. Karang lunak Sinularia sp. diambil sebanyak 300-500 g/sampel, kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas yang telah diberi metanol. Berikutnya sampel tersebut ditransportasikan dalam keadaan dingin dengan menggunakan cool box yang diberi es. Setelah sampai di laboratorium, kemudian dilakukan proses preparasi dimana sampel karang lunak ditimbang masing-masing 100 gram pada tiap kedalaman. Penimbangan ini bertujuan untuk menentukan rendeman dari ekstrak yang didapat. Setelah ditimbang sampel karang lunak diberi label, difoto dan dikarakterisasi menurut Manupputy (2002). (2). Ekstraksi bahan aktif sampel karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi (Rachmaniar 1995 yang dimodifikasi) Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, yaitu metanol p.a. Diagram alir ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 17. Maserasi pertama kali dilakukan pada sampel sebanyak 100 gram yang didapatkan dari 20 koloni karang lunak transplantasi yang telah dihancurkan dan ditambahkan pelarut metanol sebanyak 200 ml selama 24 jam pada suhu ruang. Hasil maserasi disaring menggunakan kertas saring hingga diperoleh residu dan filtrat yang diinginkan (ekstrak metanol). Filtratnya kemudian dievaporasi hingga didapatkan pelarut dan ekstrak yang terpisah (ekstrak metanol). Apabila ekstrak dalam bentuk cairan, maka dilakukan pengeringan suhu dingin (freze drying) hingga dihasilkan filtrat dalam bentuk serbuk. Setelah didapatkan filtrat dalam bentuk pasta, kemudian dimasukkan dalam botol kaca steril yang ditempatkan dalam lemari pendingin untuk menjaga agar kandungan bioaktif dari sampel tidak rusak.
Soft coral segar (100g) Dipotong kecil-kecil
Ekstrak kasar (diblender)
Maserasi dengan metanol80% (b/v) (400 ml;24 jam)
Ekstrak disaring dengan kertas saring milipore
Filtrat
Ampas
Evaporasi
Ekstrak
Ekstrak disimpan dalam lemari pendingin
Gambar 17. Metode ekstraksi bahan aktif Sinularia sp. (Rachmaniar 1995 yang dimodifikasi) (3).
Uji aktivitas antibakteri (Noer dan Nurhayati 2006) Uji ini dilakukan terhadap sampel karang lunak Sinularia sp. hasil
transplantasi yang telah diekstrak dengan menggunakan pelarut polar (metanol). Tahapan dari uji ini meliputi persiapan media cair, persiapan media padat, dan prosedur uji aktivitas antibakteri. Bakteri uji yang digunakan antara lain E. coli dan S. aureus. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar (Kirby-Bauer) menggunakan kertas cakram (paper disc).
a).
Persiapan media cair Penyegaran bakteri uji, yaitu E. coli, S. aureus menggunakan media cair
Nutrient Broth. Nutrient Broth (Oxoid) ditimbang sebanyak 0,72 gram kemudian dilarutkan ke dalam 60 ml akuades, media tersebut dihomogenkan menggunakan hotplate pada suhu ±100 oC, setelah homogen, bahan dipipet 9 ml kedalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup menggunakan kapas dan alumunium foil. Sebelum digunakan, media disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. Media didinginkan di tempat yang steril pada suhu ruang. b).
Persiapan suspensi bakteri Sebanyak satu ose bakteri uji dimasukkan ke dalam media cair yang telah
dingin secara aseptik. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam dengan optical density (OD) antara 0,5-0,8 (Lalitha 2004) pada panjang gelombang 600 nm. c).
Persiapan media padat Media padat yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri, yaitu
media agar Muller Hinton. Sebanyak 11,78 gram serbuk media agar Muller Hinton dilarutkan dalam 310 ml akuades lalu diatur pH nya menjadi 7,0. Larutan dihomogenkan menggunakan hotplate pada suhu ± 100 oC. Larutan dipipet 20 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup menggunakan kapas dan alumunium foil. Sebelum digunakan, media disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Media didiamkan di laminar (clean bench) aseptik sampai agar membeku.
Setelah
membeku, media disimpan dalam refrigerator. d).
Prosedur uji aktivitas antibakteri (Noer dan Nurhayati 2006) Sebanyak 20 ml media agar Muller Hinton dalam keadaan cair,
ditambahkan 20 µl bakteri uji yang telah diukur optical density (OD) pada panjang gelombang 600 nm dengan menggunakan pipet mikro. Agar yang telah ditambahkan bakteri uji dihomogenkan dengan vortex, kemudian segera dituangkan ke dalam cawan petri steril dan digoyangkan membentuk angka delapan agar bakteri lebih menyebar secara merata atau dengan memutar cawan petri tersebut sampai semua bakteri dan media Muller Hinton tercampur merata.
Media agar tersebut didiamkan dalam clean bench aseptik selama 15 menit atau sampai agar membeku. Setelah membeku, media disimpan dalam refrigerator selama 30 menit yang bertujuan untuk menghindari resiko tumbuhnya bakteri uji lebih awal sebelum diletakkan paper disc yang diberi ekstrak karang lunak. Posisi cawan yang direfrigerasi dalam keadan terbalik ini mempunyai maksud untuk menghindari jatuhnya air yang terbentuk selama proses pembekuan agar Muller Hinton bila cawan diletakkan dalam keadaan tidak dibalik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri uji pada media Muller Hinton. Setiap paper disc diberi ekstrak dengan konsentrasi 15.000 ppm sebanyak 20 µl sehingga didapat konsentrasi eksrak per paper disc sebesar 300 µg, ekstrak dipipet 10 µl sebanyak dua kali untuk setiap paper disc dengan menggunakan pipet mikro. Kemudian paper disc dibiarkan sampai mengering atau pelarutnya menguap dalam clean bench steril. Contoh perhitungan penentuan konsentrasi ekstrak per disk disajikan pada Lampiran 2. Setelah 30 menit, masing-masing paper disc diletakkan dalam cawan petri berisi agar dan bakteri yang telah direfrigerasi tadi dengan menggunakan pinset yang telah disterilkan terlebih dahulu, kemudian disimpan kembali dalam refrigerator selama kurang lebih 30 menit dengan posisi cawan terbalik. Selanjutnya, cawan tersebut diinkubasi dalam keadaan terbalik selama 18-20 jam dengan suhu 37 oC. Aktivitas antibakteri dapat dilihat dengan mengamati zona hambatan yang terbentuk di sekeliling paper disc. Antibakteri dikatakan positif jika terbentuk zona hambatan berupa zona bening di sekeliling paper disc dan antibakteri negatif ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening. Setelah diketahui diameter zona hambat yang terbentuk pada cawan petri, kemudian diukur lebarnya zona hambat yang terbentuk dengan menggunakan penggaris atau alat ukur yang lain. Besarnya diameter zona hambat diukur dengan cara mengurangi diameter zona hambat yang terbentuk pada cawan petri uji dengan diameter paper disc. Setelah diameter zona hambat diukur kemudian dilakukan proses dokumentasi terhadap hail ujiMetode uji penapisan awal seyawa antibakteri dapat dilihat pada Gambar 18.
Inokulasi bakteri (20 µl) kedalam 20 ml media cair
Penghomogenan dengan vortex
Penuangan agar ke dalam cawan petri steril
Pendinginan selama 15 menit (sampai agar beku)
Peletakkan ke refrigerator dalam Keadaan terbalik selama 30 menit
Paper disc diberi ekstrak 20 µl konsentrasi 15.000 ppm
Paper disc diletakkan di cawan petri yang berisi bakteri uji
Inkubasi suhu 37 °C selama 18-20 jam dalam posisi terbalik
Pengamatan dan pengukuran zona bening
Zona bening Gambar 18. Tahapan uji penapisan awal antibakteri (Noer dan Nurhayati 2006) 3.3.2. Penelitian tahap dua Penelitian tahap dua merupakan penelitian terhadap sampel karang lunak Sinularia sp. dengan perlakuan kedalaman berbeda (mempunyai aktivitas antibakteri terbaik) pada penelitian tahap satu. Penelitian tahap dua ini terdiri dari identifikasi sampel, uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC), dan uji toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dan uji fitokimia.
(1). Uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Meyer et al. 1982, McLaughlin Rogers 1998 dan Carballo et al. 2002) Secara umum metode BSLT dilakukan untuk memprediksi toksisitas suatu bahan dan digunakan untuk mendeteksi toksin fungal, logam berat, toksin sianobakteria, dan aktivitas pestisida. Metode ini biasanya dilakukan dalam uji pendahuluan untuk penapisan aktivitas farmakologis pada produk alam (Carballo et al. 2002 ; Guerrero et al. 2004). Diagram alir dari uji toksistas BSLT dapat dilihat pada Gambar 19 20 mg telur A. salina Pemasukan dalam 500 ml air laut 38 ppt, pH 7,5 Pencahayaan 48 jam (sampai menetas) Pemasukan 10 ekor A. salina ke dalam tabung reaksi yang berisi 5 ml air laut yang tercampur ekstrak 1000, 100, 10 ppm dan kontrol
Pencahayaan 24 jam
Pengamatan dan penghitungan A.salina yang mati
Penentuan LC50 LC50
Gambar 19. Diagam alir uji toksisitas dengan A. salina (McLaughlin 1998) Pada uji ini digunakan larva A. salina sebagai hewan uji. Mula-mula telur A. salina diteteskan di dalam air laut buatan (38 gram garam dapur dalam 1000 ml air biasa) di bawah lampu TL 40 watt. Setelah 48 jam telur menetas menjadi naupli instar III/IV yang bentuknya seperti berudu dengan ukuran rata-ratanya
sekitar 1 cm yang siap digunakan sebagai hewan uji. Larva A. salina dimasukkan sebanyak 10 ekor larva A. salina ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan ekstrak sampel dengan konsentrasi 10 ppm, 100 ppm dan 1000 ppm dan ditambahkan air laut buatan sampai volume 5 ml. Air laut buatan tanpa pemberian ekstrak (0 ppm) digunakan sebagai kontrol. Setiap perlakuan serta kontrol dibuat tiga kali ulangan. Semua tabung reaksi diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam di bawah penerangan lampu TL 40 watt. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah A. salina yang mati pada tiap konsentrasi. Penentuan harga LC50 (ppm) dilakukan dengan menggunakan analisis probit dan persamaan regresi. Tabel probit disajikan pada lampiran 3 dan contoh perhitungan penentuan LC50 disajikan pada lampiran 4. Bila masing-masing ekstrak yang diuji kurang dari 1000 µg/ml maka dianggap menunjukkan aktivitas biologik (Anderson 1991). (2).
Uji Minimum Inhibitory Concentration (modifikasi Lopez et al. 1993) Minimum Inhibitory concentration (MIC) dilakukan untuk mengetahui
konsentrasi minimum dari tiap ekstrak untuk dapat menghambat aktivitas pertumbuhan dari bakteri uji, beberapa tahapan dalam proses MIC, yaitu prekultur bakteri uji, dan perhitungan MIC. (a).
Prekultur bakteri uji Prekutur dilakukan dengan cara mengambil biakan bakteri uji sebanyak
1 ose dan dimasukkan dalam media LB kemudian diinkubasi dalam shaker bath pada suhu ruang dan diukur OD menggunakan spektrofotometer dengan
λ=600 nm. Prekultur dilakukan bertujuan untuk mendapatkan suspensi bakteri uji dengan OD antara 0,5-0,8 (Lalitha 2004). (b).
Perhitungan MIC Ekstrak karang lunak hasil penapisan yang mempunyai aktivitas
penghambatan yang cukup tinggi dilanjutkan dengan penentuan MIC. Metode yang digunakan adalah metode difusi agar. Caranya, yaitu menyiapkan cawan petri yang berisi medium agar yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme yang masing-masing terdiri dari E. coli, dan S.aureus menggunakan metode tuang. Setelah itu sejumlah paper disc atau kertas cakram steril yang telah berisi
zat anti bakteri dengan konsentrasi berbeda-beda diletakkan diatas permukaan agar tersebut dan diinkubasi selama waktu 18 jam. Selama inkubasi zat anti mikroba akan terdifusi atau tersebar dari paper disc atau kertas cakram steril yang telah berisi zat antibakteri dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Tiap paper disc diberi konsentrasi ekstrak yang berbeda-beda dimulai dari konesntrasi yang rendah sampai tinggi dengan tujuan untuk mengetahui pada konsentrasi berapa bakteri uji dapat terhambat pertumbuhannya. Konsentrasi pada uji MIC dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Konsentrasi pada uji MIC (dalam satuan yang berbeda) Konsentrasi ekstrak
Konsentrasi ekstrak
Konsentrasi
Konsentrasi
(ppm)
per paper disc (µg)
kloramfenikol (ppm)
kloramfenikol per paper disc (µg)
20.000
400
20.000
400
18.000
360
18.000
360
16.000
320
16.000
320
14.000
280
14.000
280
12.000
240
12.000
240
10.000
200
10.000
200
2000
40
2000
40
200
4
200
4
3.
Uji fitokomia Identifikasi senyawa kimia yang berperan sebagai antibakteri dalam
karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi dengan perlakuan kedalaman yang berbeda dilakukan terhadap senyawa-senyawa, yaitu alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molish, benedict, biuret, dan ninhidrin. (a). Alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner, dan endapan merah sampai jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Pereaksi Meyer dibuat dengan menambahkan 1,36 raksa klorida dengan 0,5 gram kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambah 2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran antara 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi ini berwarna jingga. (b). Steroid/triterpenoid Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering, lalu kedalamnya ditambahkan 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali, kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif. (c). Flavonoid Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran HCl 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama) dan ditambahkan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. (d). Saponin (uji busa) Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya senyawa saponin. (e). Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3) Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70 %. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5 %. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.
(f). Uji molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan cairan. (g). Uji benedict Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya warna hijau, kuning atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi. (h). Uji biuret Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambah 4 ml pereaksi biuret. Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan hasil uji positif adanya senyawa peptida. (i). Uji ninhidrin Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin 0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan berwarna biru manunjukkan reaksi yang positif terhadap adanya asam amino. 3.4.
Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif. Pada uji aktivitas antibakteri yakni memilih sampel karang lunak Sinularia sp. yang memiliki zona hambat terbaik terhadap empat bakteri uji, kemudian karang lunak yang terpilih di uji lanjut pada uji MIC dan uji toksisitas. Pada uji MIC, nilai MIC ditentukan dengan menentukan konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Pada uji toksisitas, penentuan harga LC50 dilakukan dengan menggunakan analisis probit menggunakan tabel probit (Fisher dan Yates diacu dalam Akhila et al. 2007) dan persamaan regresi menggunakan microsoft excel 2003.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Tahap Satu Penelitian tahap satu terdiri dari koleksi dan karakterisasi, ekstraksi senyawa bioaktif, dan uji antibakteri menggunakan dua bakteri uji yang mewakili bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, yaitu S. aureus dan E. coli. 4.1.1. Koleksi dan karakterisasi Sampel karang lunak hasil transplantasi dikoleksi dari Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu tepatnya pada daerah Area Perlindungan Laut (APL) pada titik koordinat 06045’,6” LS dan 106032’,45” BT diambil dengan menggunakan peralatan Scuba Diving pada kedalaman 3 m dan 10 m. Karang lunak hasil transplantasi ini diambil di rak-rak yang sengaja dibuat sebagai media pertumbuhan, setelah itu dimasukkan ke dalam plastik tahan panas yang telah berisi metanol sampai terendam dan ditransportasikan dalam keadaan dingin. Foto dari karang lunak hasil transplantasi ini dapat dilihat pada Gambar 19. Berdasarkan hasil karakterisasi bentuk, warna, dan morfologi (Manuputty 2002) jenis karang lunak yang ditransplantasikan ini adalah jenis Sinularia sp. Hasil identifikasi dari karang lunak Sinularia sp. mempunyai bentuk polip Autosoid, bentuk pertumbuhannya merambat (encrusting), bentuk kapitulumnya bertangkai pendek, warnanya coklat muda, dan daerah penyebarannya pada kedalaman kurang dari 20 m (Manuputty 2002). Sinularia sp. termasuk famili Alcyoniidae. Karang lunak ini umumnya ditemukan pada daerah rataan terumbu sampai kedalaman 20 meter. Beberapa jenis hanya ditemukan pada kedalaman tertentu saja (15-20 meter). Karang lunak ini mempunyai polip monomorfik, yaitu tidak mempunyai sifonoid dan retraktil. Koloninya bertangkai dan merambat (encrusting). Mempunyai kapitulum lebar, lobata pada yang merambat, yang bertangkai digitata, aborescen atau glomerata. Tangkai berwarna senada dengan kapitulum, kecuali Sinularia flexibilis tangkainya berwarna putih, kapitulum lentur, dan berwarna krem. Warna koloni krem, coklat muda atau abu-abu. Anggota dari marga Sinularia sangat banyak sehingga untuk membedakan jenis yang satu dengan yang lainnya tidak cukup
hanya dengan ciri-ciri morfologinya saja. Untuk itu harus dibedakan dari bentuk sklerit atau spikulanya (Manuputty 2002).
(a) Sinularia sp. (3 m) atas air
(b) Sinularia sp. (3 m) bawah air
(c) Sinularia sp. (10 m) atas air
(d) Sinularia sp. (10 m) bawah air
Gambar 20. Foto karang lunak Sinularia sp. pada dua kedalaman berbeda (3 m dan 10 m) Transplantasi atau fragmentasi karang lunak yang dikembangkan ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan jumlah karang lunak yang ada di alam, sebagai salah satu cara untuk mendapatkan karang lunak komersial tanpa merusak alam, dan mengkaji kandungan bioaktif yang terdapat didalamnya. Selain ditumbuhkan di alam, fragmentasi atau transplantasi karang lunak dapat pula dilakukan di kolam terkontrol. Sampai saat ini parameter yang diamati pada karang lunak hasil transplantasi adalah tingkat pertumbuhan, reproduksi dan kandungan
senyawa
bioaktifnya.
Jenis
karang
lunak
yang
biasanya
ditransplantasikan adalah dari genus Sinularia, Lobophytum, Sarcophyton,
Gorgonian, dan Dendronephtya (Oren dan Benayahu 1997). Penempatan rak transplantasi biasanya ditempatkan pada kedalaman 3 meter dan 10 meter dengan dasar kedalaman 1-5 meter merupakan kategori kedalaman dangkal untuk pertumbuhan karang lunak dan kedalaman 6-10 meter merupakan kategori kedalaman dalam bagi pertumbuhan karang lunak (English et al. 1994). Data pendukung berupa hasil analisa kualitas air yang dilakukan di lapangan dan di laboratorium dari penelitian Nugroho (2008) terlihat pada Tabel 7 merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi. Tabel 7. Hasil analisis kualitas air perairan tempat transplantasi karang lunak Sinularia sp di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Parameter
Suhu Kecerahan
Satuan
ºC
-
Oksigen terlarut (DO)
mg/l
Salinitas
‰
Nitrit
Fosfat Arus permukaan
mg/l
mg/l
mg/l cm/s
Pengamatan Bulan keI
II
III
IV
Kisaran V
VI
3
28.3
28.5
29.3
29.1
29.3
28.9
28,3-29,3
10
27.8
27.5
27.4
27.3
27.1
27.3
27,1-27,8
3
4.3
3
3
1
1
1-4,3
3
8
7.5
-
-
-
-
7.5-8
10
8
8
-
-
-
-
8
3
5.24
5.44
5.77
5.57
5.54
5.64
5,24-5,77
10
5.65
5.24
5.73
5.69
5.67
5.24
5,24-5,73
meter
Keasaman (pH)
Nitrat
Kedalaman (m)
3
33
32
-
-
-
-
32-33
10
33
32
-
-
-
-
33-33
3
0.001
<0.005
<0.005
0.008
0,09
<0.005
<0,005-0,09
10
0.09
0.007
<0.005
0.011
0.09
0.011
<0,005-0,09
3
0.005
0.165
<0.005
0.020
0,007
0,005
<0,005-0,165
10
0.007
0.124
0.133
0.051
0
0.007
0,004-0,124
3
0.001
0.978
0.009
0.008
0.01
0.001
0,001-0,978
10
0.014
0.843
0,018
0.038
0.01
0.04
0,009-0,843
26.27
19.2
19.17
20.12
-
-
19,17-26,27
Baku mutu 28-30 > 5m 7-8,5
>5
33-34
0.008
-
0.015 -
Sumber : Nugroho (2008) Catatan : 1. Pengamatan parameter fisika-kimia perairan dilakukan dari bulan Juli – Desember 2007. 2. Baku mutu merujuk pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang baku mutu kualitas air untuk biota laut No. 179 tahun 2004.
Tabel 7 memperlihatkan hasil pengamatan parameter fisika-kimia perairan. Suhu, salinitas, dan derajat keasaman (pH) memperlihatkan kisaran fluktuasi yang kecil. Hal ini terjadi karena pada saat pengamatan berlangsung masih dalam musim yang sama yaitu musim timur. Kisaran tersebut berada pada kisaran aman untuk kehidupan di ekosistem terumbu karang. Kisaran suhu yang diperoleh dari penelitian ini pada kedalaman 3 m adalah 28,3 – 29,3 ºC sedangkan pada kedalaman 10 m kisarannya adalah 27,1 - 27,8 ºC.
Kisaran suhu pada kedalaman 3 m berada di atas kisaran suhu yang mendukung pertumbuhan optimum, karena menurut Birkeland (1997) karang akan tumbuh optimum pada kisaran suhu 26 -28 ºC. Walaupun demikian, kisaran suhu yang diperoleh dari penelitian ini masih dalam kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan karang. Arus sebagai salah satu parameter fisik yang diukur memiliki peranan dalam memindahkan sedimen yang menempel pada karang maupun yang ikut melayang dalam kolom perairan. Arus juga berperan dalam pemindahan nutrien, larva dan sedimen (Tomascik et al., 1997). Arus pada lokasi penelitian berkisar antara 19,17 cm/dt – 26,27 cm/dt. Arus pada lokasi penelitian ini dipengaruhi oleh pasang surut di daerah penelitian. Kecerahan pada lokasi penelitian berkisar antara 1,0 – 4,3 meter. Hal ini menunjukan kecerahan pada lokasi penelitian kurang baik, karena menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 179 Tahun 2004, baku mutu kecerahan untuk kehidupan biota adalah lebih dari 5 meter. mempangaruhi cahaya yang masuk dalam perairan.
Kecerahan
Cahaya dibutuhkan oleh
zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang lunak pada proses fotosintesis. Tetapi menurut Fabricius (2001) ada beberapa karang lunak yang dapat tumbuh pada perairan yang cukup keruh seperti Sinularia, Lobophytum, Sarcophyton dan Klixum. Nutrien, seperti nitrit, nitrat dan fosfat, mempengaruhi pertumbuhan alga di ekosistem terumbu karang. Alga akan cenderung tumbuh lebih baik pada perairan yang kaya akan nutrien. Pada Tabel 2, hasil pengukuran kandungan nitrit, nitrat dan fosfat cenderung lebih tinggi di kedalaman 10 meter daripada di kedalaman 3 meter. Hasil tersebut mengakibatkan pada rak transplantasi di kedalaman 10 meter lebih banyak ditumbuhi alga. 4.1.2. Ekstraksi komponen bioaktif Tahap ekstraksi merupakan tahap awal penapisan komponen bioaktif dari sampel karang lunak hasil transplantasi di alam. Ekstraksi secara harfiah artinya adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang menjadi sumber komponennya. Ekstraksi menggunakan pelarut dapat digolongkan
menjadi dua cara, yaitu fase cair dan fase organik. Fase cair biasanya dilakukan dengan air sebagai pelarut, sedangkan cara fase organik dilakukan dengan pelarut organik. Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti dengan melakukan pemisahan bahan yang telah diekstrak. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ekstraksi biasa (metode modifikasi Rachmaniar 1995). Metode ini merupakan metode fase organik karena dalam prosesnya digunakan pelarut organik, yaitu berupa metanol. Tahap ekstraksi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam larutan dengan atau tanpa pengadukan yang disebut dengan maserasi. Pelarut yang digunakan adalah metanol p.a karena diduga Sinularia sp. mempunyai kandungan senyawa polar. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Fikri (2007) dan Gunawan (2007) yang melakukan proses ekstraksi bertingkat pada lima jenis karang lunak hasil alam termasuk Sinularia sp. Ekstrak dengan rendemen dan hasil uji aktivitas yang terbaik adalah yang diekstrak dengan pelarut metanol. Proses maserasi dilakukan selama 2x24 jam dengan pengadukan menggunakan water shaker bath, tujuannya agar terjadi tumbukan antara partikel yang dapat memperbesar kemungkinan pengikatan dan pemecahan sel sehingga komponen bioaktif dapat keluar dari jaringan dan larut dalam pelarut. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan sampel karang lunak dari pelarut yang telah mengandung bahan aktif. Untuk memisahkan pelarut dari senyawa bioaktif yang terikat, maka dilakukan evaporasi dengan suhu 37 0C. Penggunaan suhu evaporator vakum yang tidak terlalu tinggi (30-40) 0C bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan senyawa bioaktif (Harborne 1987). Rendemen hasil ekstraksi terhadap dua sampel karang lunak Sinularia sp. pada kedalaman 3 dan 10 meter dengan menggunakan pelarut metanol dapat dilihat pada Gambar 20. Bobot dari ekstrak kedua jenis sampel karang lunak Sinularia sp. digunakan untuk mengetahui nilai rendemen. Rendemen merupakan perbandingan antara bobot ekstrak yang dihasilkan dengan bobot awal yang digunakan dan dinyatakan dalam persen (%). Rendemen dari kedua karang lunak
Sinularia sp. disajikan dalam bentuk diagram batang pada Gambar 21. Data rendemen ekstrak komponen bioaktif disajikan pada Lampiran 5.
Gambar 21. Rendemen dari karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada dua kedalaman berbeda Berdasarkan Gambar 21 diketahui bahwa rendemen terbesar dari karang lunak Sinularia sp. adalah pada kedalaman 3 meter yaitu sebesar 1,56 %, sedangkan ekstrak pada kedalaman 10 meter sebesar 1,38 % yang diekstrak menggunakan pelarut polar (metanol). Hart (1987) menjelaskan bahwa pelarut metanol mempunyai berat molekul yang rendah sehingga memudahkan pembentukan ikatan hidrogen dan air pada jaringan sampel, sehingga banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder (Lenny 2006). Penggunaan metanol sebagai pelarut tunggal untuk mengekstrak kandungan senyawa bioaktif Sinularia sp. hasil transplantasi juga didasarkan pada hasil penelitian Fikri (2007) dan Gunawan (2007) yaitu dari kelima jenis sampel karang lunak yang diekstrak dengan tiga jenis pelarut yang berbeda, yaitu pelarut polar (metanol), semi polar (etil asetat) dan non polar (heksana), pelarut polar (metanol) mempunyai nilai rendemen yang terbesar yang menandakan bahwa banyak bahan senyawa dari sampel yang larut dalam metanol dan hasil uji aktivitas antibakteri yang terbaik. Perbedaan rendemen karang lunak Sinularia sp. yang ditransplantasikan pada dua kedalaman berbeda diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana karang lunak ditumbuhkan. Berikut merupakan data hasil pengukuran
pertumbuhan Sinularia sp. selama ditransplantasikan yang disajikan dalam bentuk
3 meter
Desember
November
Oktober
September
Agutus
Juli
Juni
Desember
November
Oktober
September
Agutus
Juli
8 7 6 5 4 3 2 1 0
Juni
Rata-rata ukuran fragmen (cm)
histogram hasil penelitian Nugroho (2008) dari bulan Juni-Desember 2007.
10 meter Kedalaman Panjang
Lebar
Gambar 22. Histogram ukuran Sinularia sp. hasil transplantasi pada dua kedalaman berbeda (sumber : Nugroho 2008) Rata-rata ukuran panjang dan lebar Sinularia sp. meningkat secara bertahap. Pada kedalaman 3 meter diperoleh hasil yang cenderung lebih baik daripada pada kedalaman 10 meter. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain, adalah (a) pada kedalaman 3 meter karang lunak yang ditransplantasikan memperoleh cahaya yang cukup; (b) pada kedalaman 3 meter masih terkena gelombang sehingga banyak mendapat suplai oksigen. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi adalah pada kedalaman 10 meter rak transplantasi cenderung lebih banyak ditumbuhi oleh alga sehingga terjadi kompetisi ruang antara karang lunak yang ditransplantasi dengan alga yang tumbuh pada rak (Gambar 23).
Alga
Gambar 23. Kompetisi antara alga dan karang lunak yang ditransplantasikan. Pertumbuhan mutlak Sinularia sp. pada kedalaman 3 meter lebih baik daripada pada kedalaman 10 meter. Pertumbuhan mutlak panjang Sinularia sp. pada kedalaman 3 meter adalah 1,61 cm, sedangkan untuk kedalaman 10 meter adalah 1,23 cm. Pertumbuhan mutlak lebar Sinularia sp. pada kedalaman 3 meter adalah 1,89 cm, untuk kedalaman 10 meter adalah 1,37 cm (Nugroho 2008). Berdasarkan hasil pengukuran pertumbuhan panjang dan lebar karang lunak Sinularia sp. kedalaman 3 meter mempunyai pertumbuhan yang lebih baik daripada kedalaman 10 meter. Hasil pengukuran tersebut mempunyai korelasi positif dengan nilai rendemen, dimana Sinularia sp. kedalaman 3 meter rendemennya lebih besar daripada kedalaman 10 meter. Murniasih (2003) menyebutkan bahwa tingkat keragaman dari senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh mahluk hidup yang hidup di laut dipengaruhi oleh lingkungan dimana mahluk tersebut hidup yakni, seperti kadar garam (salinitas), intensitas cahaya, arus, suhu, pH, kecerahan, dan kompetisi dengan orgainsme lain. 4.1.3. Uji aktivitas antibakteri Suatu antibakteri/antibiotik dikatakan mempunyai aktivitas terhadap bakteri jika mempunyai ketentuan kekuatan sebagai berikut, luas daerah hambatan 20 mm atau lebih masuk kategori sangat kuat, daerah hambatan antara 10-20 mm masuk kategori kuat, daerah hambatan antara 5-10 mm masuk kategori sedang dan daerah hambatan 5 mm atau kurang masuk kategori lemah (Davidstout 1971). Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi dilakukan dengan menguji aktivitasnya terhadap dua bakteri yang mempunyai sifat patogen uji yaitu E. coli dan S. aureus yang merupakan
perwakilan dari bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Pada pengujian aktivitas antibakteri terhadap dua bakteri uji ini digunakan konsentrasi ekstrak dan kontrol sebesar 300 µg/disk. Hasil pengujian aktivitas daya hambat dari ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi terhadap dua jenis bakteri patogen disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Aktivitas daya hambat ekstrak Sinularia sp. pada konsentrasi 300 µg/disk. Diameter zona hambat Karang lunak
Sinularia sp. (3 m)
Sinularia sp. (10 m)
Bakteri
Ekstrak metanol
Kontrol (kloramfenikol)
E. coli
-
10 mm
S. aureus
-
12 mm
E. coli
1,1 mm
12 mm
S. aureus
2 mm
14 mm
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa ekstrak karang lunak hasil transplantasi Sinularia sp. pada kedalaman 3 meter tidak mempunyai aktivitas antibakteri yang ditunjukkan dengan tidak adanya daya hambat. Ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada kedalaman 10 meter memiliki aktivitas antibakteri yang lemah terhadap kedua jenis bakteri patogen yang diuji yaitu dengan diameter zona hambat sebesar 1,1 mm untuk bakteri E. coli dan diameter zona hambat sebesar 2 mm untuk bakteri S. aureus. Perbedaan aktivitas antibakteri dari kedua jenis ekstrak karang lunak hasil transplantasi ini terhadap dua perwakilan bakteri gram positif dan negatif yang bersifat patogen diduga karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana karang lunak ini ditumbuhkan, yaitu pada kedalaman 3 meter didukung oleh faktor lingkungan yang lebih baik untuk pertumbuhan bila dibandingkan di kedalaman 10 meter seperti pada hasil analisa kualitas air, pengukuran pertumbuhan, dan rendenmen Hal ini mengakibatkan karang lunak yang ditransplantasikan di kedalaman 10 meter lebih banyak menggunakan energi dalam tubuhnya untuk bertahan hidup pada kondisi yang lingkungan yang kurang kondusif dengan memproduksi metabolit sekunder untuk bertahan hidup dibandingkan untuk
pertumbuhannya. Soedharma et al. (2008) yang melakukan penelitian tentang kandungan senyawa bioaktif spons laut pada dua kedalaman berbeda yaitu 7 meter dan 15 meter menunjukkan bahwa pada kedalaman 15 meter rata-rata nilai diameter zona hambatnya lebih besar dari pada di kedalaman 7 meter. Menurut hasil penelitian Hans (2004) diketahui bahwa senyawa bioaktif ekstrak organisme laut yang hidup pada lingkungan dengan tingkat gangguan yang rendah berbeda dengan senyawa bioaktif ekstrak organisme yang hidup pada lingkungan dengan tingkat gangguan yang tinggi dalam hal kemampuan menghasilkan metabolisme sekunder. Mahluk hidup yang hidup pada lumgkungan yang tingkat gangguannya tinggi kandungan senyawa bioaktif yang lebih besar daripada organisme yang hidup pada lingkungan dengan tingkat gangguan rendah. Hasil penelitian Gunawan (2007) yang melakukan uji aktivitas antibakteri ekstrak kasar karang lunak Sinularia sp. dengan pelarut metanol terhadap dua bakteri patogen E. coli dan S. aureus menunjukkan nilai hambat sebesar 2 mm pada bakteri E. coli dan 5 mm pad bakteri S. aureus. Perbedaan diameter zona hambat ekstrak kasar Sinularia sp. hasil alam dengan transplantasi ini diduga karena pada hasil transplantasi yang berumur 10 bulan ini energi yang ada lebih banyak dipakai untuk pertumbuhan dan memperbaiki bagian tubuh yang luka akibat perlakuan awal saat proses transplantasi. Gambar 24 dan 25 menunjukkan besarnya diameter zona hambat pada ekstrak kasar karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada kedalaman 3 dan 10 meter terhadap dua jenis bakteri patogen E. coli dan S. aureus.
E. coli
S. aureus
(A) (B) Gambar 24. Hasil uji aktivitas antibakteri karang lunak Sinularia sp hasil transplantasi kedalaman 3 meter terhadap bakteri (A) E. coli (B) S. aureus
E. coli
S. aureus
(B) (A) Gambar 25. Hasil uji aktivitas antibakteri karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi kedalaman 10 meter terhadap bakteri (A) E. coli (B) S. aureus 4.2.
Penelitian Tahap Dua Penelitian tahap dua terdiri atas beberapa tahap, yaitu memilih karang
lunak hasil transplantasi yang mempunyai aktivitas antibakteri yang terbaik yang didapat dari penelitian tahap pertama, kemudian dilakukan uji lanjutan, yaitu uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC), uji toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak terpilih yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. 4.2.1. Hasil pemilihan sampel karang lunak Sampel karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada dua kedalaman berbeda, yaitu 3 meter dan 10 meter yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif yang terbaik adalah Sinularia sp. pada kedalaman 10 meter yang terlihat dari besarnya diameter zona hambat yang terbentuk bila dibandingkan dengan Sinularia sp. pada kedalaman 3 m. 4.2.2. Uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Metode pengujian MIC merupakan salah satu metode yang biasa digunakan dalam pengujian aktivitas zat antimikroba secara invitro, dengan cara menentukan konsentrasi terendah dari zat tersebut yang dibutuhkan untuk
menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme yang diuji (Schegel dan Schmidt 1994). Uji MIC merupakan salah satu uji yang digunakan untuk mengetahui daya hambat minimum suatu senyawa bioaktif dalam menghambat pertumbuhan suatu jenis bakteri uji yang digunakan dalam suatu penelitian. Uji MIC dilakukan dengan cara meneteskan ekstrak sebesar 20 µl pada paper disc dengan konsentrasi antara 200-20.000 ppm atau 4-400 µg/disk pada media agar (MHA) 20 ml. Variasi konsentrasi ekstrak pada kertas cakram ini bertujuan untuk melihat konsentrasi ekstrak terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji yang digunakan. Uji MIC pada penelitian ini dilakukan terhadap dua bakteri uji, yaitu E. coli dan S. aureus. Hasil uji aktivitas ekstrak karang lunak terpilih Sinularia sp. pada kedalaman 10 meter pada uji MIC dapat dilihat pada Tabel 9 . Tabel 9. Aktivitas ekstrak Sinularia sp. kedalaman 10 meter dan kontrol pada uji MIC Konsentrasi ekstrak Sinularia
Zona hambat (mm)
sp kedalaman 10 m (µg/disk)
E. coli
S. aureus
4
-
-
40
-
-
200
-
-
240
-
-
280
-
-
320
-
1
360
-
1,2
400
-
1,4
Konsentrasi kloramfenikol
Zona hambat (mm)
(µg/disk)
E. coli
S. aureus
4
-
4
40
-
6
200
1,5
8
240
2
8,5
280
2,8
9,2
320
3,5
9,8
360
4
10,5
400
5,5
11
Berdasarkan hasil uji MIC pada Tabel 9 terlihat bahwa ekstrak Sinularia sp. mampu menghambat aktivitas pertumbuhan bakteri S. aureus dan tidak bisa menghambat pertumbuhan bakteri E. coli yang terlihat dari diameter zona hambat yang terbentuk. Besarnya diameter zona hambat yang terbentuk untuk konsentrasi maksimum 400 µg/disk adalah sebesar 1,4 mm pada bakteri S. aureus dan konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji ini adalah 320 µg/disk dengan diameter zona hambat sebesar 1 mm. Berdasarkan data ini diketahui bahwa konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri adalah pada konsentrasi sebesar 320 µg/disk. Berdasarkan diameter zona hambat yang terbentuk, kemampuan ekstrak karang lunak Sinularia sp. dalam menghambat pertumbuhan bakteri termasuk dalam kategori lemah, yaitu kurang dari 5 mm (Davidstout 1971). Adanya daya hambat pertumbuhan bakteri uji yang digunakan diduga dipengaruhi oleh adanya komponen bioaktif yang terekstrak dari Sinularia sp. hasil transplantasi yang dipengaruhi juga oleh umur sampel tersebut dan bagian tubuh dari karang lunak yang ditransplantasikan. Diameter zona hambat yang terbentuk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain mikroorganisme uji yang digunakan, medium kultur, metode uji dan kecepatan difusi (Branen dan Davidson 1993). Diameter zona hambat dari bakteri S. aureus lebih besar dari pada bakteri E. coli. Hal ini karena bakteri S. aureus cenderung lebih sensitif terhadap komponen terhadap komponen antibakteri. Hal ini karena struktur dinding sel bakteri S. aureus (bakteri gram positif) relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Adapun bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif. Kelompok bakteri gram negatif mempunyai sifat kurang rentan terhadap beberapa antibiotik. Hal ini dikarenakan struktur dinding sel bakteri gram negatif relatif lebih kompleks dan berlapis tiga, yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa lipopolisakarida, dan lapisan dalam berupa peptidoglikan (Pelczar dan Chan 2005). Perbedaan diameter zona hambat antara ekstrak dengan kontrol yang digunakan (kloramfenikol) dikarenakan ekstrak Sinularia sp. hasil transplantasi
masih merupakan ekstrak kasar yang masih banyak senyawa lain yang mempengaruhi
kemampuannya
untuk
menghambat
pertumbuhan bakteri.
Kloramfenikol adalah salah satu jenis antibiotik yang berspektrum luas terbukti dari diameter zona hambat pada kedua jenis bakteri uji yang digunakan. Besarnya nilai MIC untuk bakteri S. aureus adalah sebesar 4 mm pada konsentrasi 4 µg/disk dan untuk bakteri E. coli adalah sebesar 1,5 mm pada konsentrasi 200 µg/disk. Mekanisme kerja dari kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah dengan menghambat sintesa protein yang sangat diperlukan dalam perbanyakan dan pembelahan sel bakteri (Pelzcar dan Chan 2005). 4.2.3. Uji toksisitas BSLT Uji toksisitas dilakukan untuk mendukung hasil hasil uji antibakteri pada ekstrak terpilih karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah uji toksisitas menggunakan larva A. salina (Mclaughlin 1998). Uji ini merupakan metode yang paling sederhana sebagai langkah awal untuk menentukan sifat toksisitas dari bahan. Toksisitas merupakan indikator biologi yang sangat berguna kaitannya dalam aktivitas biologi. Uji toksisitas dilakukan menggunakan 10 ekor larva A. salina yang ditetaskan selama 48 jam. Kemudian larva A. salina dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi ekstrak dengan berbagai konsentrasi dan ditambahkan air laut murni yang steril sampai 5 ml. Konsentrasi ekstrak yang digunakan pada uji ini, yaitu 10 ppm, 100 ppm dan 1000 ppm. Sebagai kontrol digunakan air laut murni steril tanpa pemberian ekstrak. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Data mentah jumlah kematian A. salina disajikan pada Lampiran 6. Kategori toksisitas suatu bahan berdasarkan nilai LC50 terbagi menjadi 3 kategori, yaitu kategori sangat toksik bila nilai LC50 < 30 µg/ml, kategori toksik dengan nilai LC50 sebesar 30 -1000 µg/ml dan kategori tidak toksik dengan nilai LC50 > 1000 µg/ml (Meyer et al. 1982). Contoh perhitungan penentuan LC50 dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji toksisitas terhadap ekstrak Sinularia sp. pada kedalaman 10 m disajikan pada Tabel 10. Data mentah kematian A. salina pada berbagai konsentrasi disajikan pada Lampiran 6.
Tabel 10. Hasil uji BSLT ekstrak kasar Sinularia sp. kedalaman 10 meter hasil transplantasi Konsentrasi
Log
Persen
(ppm)
konsentrasi
mortalitas
Sinularia sp
10
1
23,33
4,26
hasil
100
2
46,67
4,92
transplantasi
1000
3
63,33
5,33
Ekstrak
LC 50
Probit (y)
(ppm)
201,93
Tabel 10 menunjukkan hasil analisis uji BSLT terhadap ekstrak kasar Sinularia sp. kedalaman 10 meter hasil transplantasi. Berdasarkan data tersebut semakin tinggi konsentrasi yang diujikan semakin banyak A. salina yang mati. Gambar 28 menunjukkan grafik regresi kematian A. salina (hubungan antara log konsentrasi dengan mortalitas).
mortalitas probit 6 5.33
5
4.92 4.26
4
y = 0.535x + 3.7667 R 2 = 0.9821
3 2 1 0 1
2
3
Log konsentrasi
Gambar 28. Grafik kematian A. salina (hubungan antara log konsentrasi dengan mortalitas). Berdasarkan grafik diatas diperoleh persamaan regresi, yaitu hubungan antara log konsentrasi dengan mortalitas A. salina Y=0,535X + 3,7667, dimana Y menunjukkan konsentrasi mortalitas, X menunjukkan log konsentrasi dan
R
menunjukkan koefisisen korelasi antara X dan Y. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0,9821 artinya antara konsentrasi ekstrak dengan nilai mortalitas A. salina mempunyai hubungan yang sangat erat,
yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan semakin besar pula jumlah A. salina yang mengalami kematian. Nilai LC50 adalah konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50 % populasi A. salina yang digunakan dalam penelitian. Nilai LC50 dapat dihitung dengan menggunakan regresi linear. Nilai LC50 yang dihasilkan dari perhitugan adalah sebesar 201,93 ppm yang masuk dalam kategori toksik. Beberapa hasil penelitain terhadap senyawa bioaktif yang diuji dengan A. salina (BSLT) menunjukkan adanya korelasi spesifik terhadap uji antikanker bila mempunyai LC50<1000 ppm. Hal tersebut didukung beberapa hasil penelitian lainnya, penelitian Chao et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak polar (etanol) dan non polar (heksana) karang lunak Sinularia sp. mengandung senyawa sinularianin (A) dan sinularianin (B) yang mampu menghambat pertumbuhan sel lestari kanker, paru-paru, lambung, dan hati. Hasil penelitian Jia et al. (2006) ekstrak Sinularia sp. mempunyai kandungan senyawa steroid yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri dan antiinflammatori. Manuputty (1989) melakukan penelitian terhadap karang lunak Sinularia flexibilis yang mempunyai kandungan senyawa terpenoid yang dalam dunia farmasi dapat dimanfaatkan sebagai antikanker, antijamur, dan antibiotik. Gambar 29 menunjukkan proses kultur A. salina dan uji toksisitas.
(a)
(b)
Gambar 29. (a) Kultur A. salina pada media air laut steril (b) Uji toksisitas menggunakan A. salina
4.2.4. Uji fitokimia Uji fitokimia adalah analisa yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh mahluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah, dan fungsi biologinya. Alasan dilakukannya analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa yang terdapat pada suatu bahan yang mempunyai efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia dapat digunakan untuk menganalisa sruktur kimia suatu bahan, biosintesis, perubahan metabolisme, dan fungsi biologi dari suatu bahan yang sedang dianalisis (Harborne 1987). Sampel terpilih Sinularia sp. hasil transplantasi pada kedalaman 10 meter yang diketahui mempunyai aktivitas antibakteri dilakukan uji lanjut berupa uji fitokimia. Uji lanjut ini berfungsi untuk mengetahui kandungan kimia yang terdapat pada karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi tersebut. Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak Sinularia sp. terpilih dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil identifikasi kandungan fitokimia Sinularia sp. hasil transplantasi Uji Fitokimia a. Alkaloid - Wagner - Meyer - Dragendorf
Hasil (warna) Coklat muda (-) Putih kuning (-) Orange (-)
b. Steroid/Triterpenoid c. Flavonoid
Hijau kekuningan (+ ) Transparan (-)
d. Saponin (uji busa)
Tidak terbentuk busa
e. Fenol hidrokuinon Hijau kuning (-) f. Molisch Krem (-) g. Benedict Hijau muda (-) h. Biuret Hijau muda (-) i. Ninhidrin Ungu muda (-) Keterangan : ++++ : Sangat kuat +++ : Kuat ++ : Sedang + : Lemah : Tidak ada -
Standar (warna) Endapan coklat Endapan putih kekuningan Endapan merah sampai jingga Merah → biru atau hijau Merah, kuning/jingga pada amil lapisan amil alkohol Terbentuk busa stabil selama 30 menit Hijau / hijau biru Ungu Hijau, kuning / merah bata Ungu Biru
Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak karang lunak Sinularia sp. terpilih hasil transplantasi yang mempunyai aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa Sinularia sp. mengandung senyawa kimia berupa steroid/triterpenoid. Kandungan senyawa steroid pada ekstrak karang lunak ini ditandai dengan terbentuknya warna hijau kekuningan pada ekstrak yang diuji. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid, senyawa ini dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Kandungan Sinularia sp. yang mengandung steroid juga ditemukan pada penelitian Rui jia et al. (2006) yang menemukan bahwa karang lunak jenis Sinularia sp. mempunyai kandungan senyawa terpenoid diantaranya diterpen dan steroid yang juga mempunyai aktivitas sebagai antikanker, antiinflammatori dan antialergi. Senyawa terpenoid yang dihasilkan oleh karang lunak Sinularia sp. ini merupakan hasil metabolisme sekunder. Hasil uji kandungan steroid dari karang lunak transplantasi Sinularia sp. hasil analisis fitokimia disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30. Hasil uji steroid karang lunak hasil transplantasi Sinularia sp.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Hasil uji antibakteri ekstrak kasar karang lunak Sinularia sp. hasil
transplantasi pada kedalaman 3 m dan 10 m yang diekstrak dengan menggunakan pelarut metanol menunjukkan bahwa ekstrak karang lunak Sinularia sp. pada kedalaman 10 m mempunyai aktivitas antibakteri yang terbaik karena mampu menghambat bakteri uji yang digunakan, yaitu S. aureus dan E. coli. Ekstrak Sinularia sp. hasil transplantasi ini mempunyai aktivitas antibakteri yang tergolong lemah (diameter zona hambat < 5 mm) yakni dengan diameter zona hambat 2 mm pada S. aureus dan 1,5 mm pada E. coli. Ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi kedalaman 10 m mempunyai nilai MIC sebesar 320 µg/disk pada bakteri S. aureus. Bakteri E. coli pada uji MIC tidak terhambat pertumbuhannya pada selang konsentrasi uji yang digunakan. Ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi kedalaman 10 m mempunyai komponen yang bersifat toksik yang ditunjukkan oleh nilai LC50 sebesar 201,93 ppm. Ekstrak ini mempunyai potensi untuk uji spesifik antikanker karena memiliki LC50 < 1000 ppm. Ekstrak karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi kedalaman 10 m mempunyai kandungan fitokimia berupa steroid/triterpenoid. 5.2.
Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini adalah :
(1). penelitian uji aktivitas antibakteri terhadap karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada berbagai umur panen, sehingga akan diketahui pada umur panen berapa karang lunak ini mempunyai aktivitas antibakteri yang terbaik. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif dari berbagai bagian tubuh karang lunak Sinularia sp. sehingga dapat diketahui bagian tubuh mana yang paling potensial sebagai penghasil senyawa bioaktif. Perlu dilakukan transplantasi karang lunak pada berbagai substrat dasar perairan sehingga diketahui pada substrat perairan jenis apa karang lunak akan menghasilkan senyawa bioaktif yang paling optimal.
Perlu dilakukan pemurnian terhadap senyawa steroid yang terdapat pada karang lunak Sinularia sp. yang mempunyai potensi sebagai anti kanker sehingga dapat menjadi salah satu sumber bahan obat-obatan yang alami.
DAFTAR PUSTAKA
Aceret TL, Coll JC, Uchio Y, Sammarco PW. 1997. Antimicrobial activity of the diterpenes flexibilide and sinulariolide derived from Sinularia flexibilis Quoy and Gaimard 1833 (Coelenterata: Alcyonacea, Octocorallia). CBF Part C 120: 121–126. Achmadi S S. 1992. Teknik Kimia Organik. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor Akhila JS, Shyamjith, Deepa, Alwar MC. 2007. Acute toxicity studies and determination of median lethal dose. Science 93(7):917-920 Anderson JE, Mc.Laughlin JL. 1991. A blind comparison of simple bench top bioassay and human tumour cell cytotoxicities as antitumour prescreens, Phytochemical Analysis 2:107-111 Anonim a. 2007. Escherichia coli. http://www.astrographics.com/Gallery [7 Agustus 2007]. Anonim b. 2007. Staphylococcus aureus. http://www.biomarker.cdc.go.kr:8080/ [7 Agustus 2007]. Anonim a. 2008. Alkaloid. http://www.ebi.ac.uk [2 Agustus 2008]. Anonim b. 2008. Steroid. commons.wikimedia.org/wiki/Image:Steroid [2 Agustus 2008]. Anonimc. 2008. Flavonoid. www.metabolome.jp/software/FlavonoidViewer/ Flavonoid. jpg [2 Agustus 2008]. Anonimd. 2008. Saponin. www.metabolome.jp/software/FlavonoidViewer/ Saponin. jpg [2 Agustus 2008]. Anonime. 2008. Fenol hidrokuinon. dictionnaire.sensagent.com/fenol/es-es/ fenol. jpg [2 Agustus 2008]. Anonim f. 2008. Maltosa. www.um.es/molecula/gluci04.htm. [2 Agustus 2008]. Anonim g. 2008. Laktosa. projektalfa.ic.cz/olygosacharidy.htm [2 Agustus 2008]. Anonim h. 2008. Peptida.www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek. peptida. jpg [2 Agustus 2008]. Anonimi. 2008. Asam amino. www.kaskus.us/showthread.php?p=28852748. asam amino. jpg [2 Agustus 2008].
Brannen and Davidson. 1993. Antimicrobial in Food. New York : Marcel Dekker. Bell SM.1984. Antibiotic sensitivity testing by CDS methods. Di dalam: Clinical Microbiology UP Date Programme. N. Hertwig, editor. New South Wales: The Price Wales Hospital. Carballo JL, Hernadez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravalos MD. 2002. A comparison between two brine shrimp assay to detect in vitro cytotoxicity in marine natural product (methodology article). Bioorganic Marine Chemistry Biotechnology 2:1-5. Chao NJ, Liu CX, Rooney B. 2006. Sinularianin a dan b, novel sesquiterpenoid from the formosan soft coral Sinularia sp. Tetrahedron Letter 47: 5889-5891. Coll J.C and P.W Sammarco. Soft Coral :Chemistry abd ecology. Oceanus 29 (2) : 33-37.
Coll P, Almirall J, Morato I, Riera F, Verdaguer J, Priu R, Vidal J, Murgui L, Valls F, Catalan F. 1982. Guidelines for the Management of Adults with Community-acquired Pneumonia. Am. J. Respir. Crit. Care Med 163:17301754. Davidstout. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic assay. Journal of Microbiology 22(4):659-665. English, Wilkinson, V. Baker. 1994. Survei Manual Tropical Marine Resources.Australian : Australian Institute of Marine Science. Fabricus K, Philip A. 2001. Soft Coral and Sea Fans. Australian : Australian Institute of Marine Science. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fikri M. 2007. Penapisan inhibitor protease dari karang ekstrak karang lunak asal perairan pulau panggang, kepulauan seribu dan potensi daya hambatnya terhadap bakteri pathogen [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Gunawan I. 2007. Penapisan awal ekstraksi senyawa bioaktif sebagai antibakteri serta uji toksisitas dan uji minimum inhibitory concentration (MIC) dari karang lunak asal perairan pulau panggang, kepulauan seribu [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Greenwood, Stall R, Paul J. 1995. Medical Microbiology. Hongkong: ELBS.
Hans A. 2004. Transplantasi spons laut Aaptos aaptos (Porifera :Demospongiae) pertumbuhan, sintasan, perkembangan gamet dan bioaktivitas antibakteri ekstrak dan fraksinya [desertasi]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. K. Padmawinata, I. Sudiro, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Hart H. 1987. Kimia Organik .Suatu Kuliah Singkat. Achmadi S, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Organic Chemistry. Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press. Lalitha. 2004. Manual an Antimicrobial Suspectibility Testing. India: Indian Association of Medical Microbiologist. Lenny S. 2006. Isolasi dan uji bioaktivitas kandungan kimia utama puding merah dengan metode uji Brine Shrimp. Medan: USU repository. Lopez et al. 2003. Antimicrobial activity of medicinal plant extract against foodborne spoilage and pathogenic microorganism. National science. 37: 460-467. Manuputty AEW. 1991. Senyawa terpen (Octocorallia:Alcyonacea). Oseana 15(2):7-84.
dalam
karang
lunak
_________________. 2002. Karang lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. McLaughlin JL, Rogers LL, Anderson JE. 1998. The use of biological assay to evaluate botanocals. Journal Drugs Information 32:13-517. Meyer BN, Ferrigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nicholas DE, McLaughlin JL.1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta Medica 45:31-34. Mudjiman A. 1988. Udang Renik Air Asin (Artemia salina). Jakarta: P2O-LIPI. Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak bertulang belakang. Oseana 30(2):19-27. Nur MA, Adijuwana HA. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor.
Nugroho SC. 2008. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Transplantasi Karang Lunak Sinularia dura dan Lobophytum strictum di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Noer IS, Nurhayati L. 2006. Bioaktivitas Ulva reticulata forsskal asal Gili Kondo Lombok Timur terhadap bakteri. Biotika 5(1):45-60. Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh H.M. Eidmen, Koesobiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo. PT Gramedia. Jakarta. Vx + 459 h. Oren U and Benayahu Y. 1997. Transplantation of juvenile corals : a new approach for enhancing colonization of artificial reefs. Marine biology o ISSN 0025-3162 CODEN MBIOAJ. vol. 127, n 3, pp. 499-505 (34 ref.) Pelczar MJ, Chan ECS. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2 . Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL. penerjemah : Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology. Pine SH, Hendrickson JB, Cram DJ, Hammond GS. 1998. Kimia Organik 2. Joedodibroto R, Pubo SW, Hadiwidjoyo, penerjemah. Bandung : ITB. Terjemahan dari : Organic Chemistry 2. Rachmaniar R. 1995. Penelitian produk alami laut screening substansi bioaktif Laporan penelitian tahun anggaran 1994/1995. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Puslitbang Oseonologi. Radhika P. 2006. Chemical constituens and biological activities of the soft coral of genus Cladiella: A review. Biochemical Systematics and Ecological 34:781-789. Jia R, Guo YW, Mollo E, Gavagnin M, Cinimo G. Two New Polyhydroxylated Steroid from the Soft Coral Sinularia sp. Helvetica Chimica Acta 2006; 89: 1-5. Schlegel HG, Schmidt K. 1994. Mikrobiologi umum. Baskara T, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Soedharma D, Susanna, Fakhrizal S. 2007. Kajian Kelimpahan dan Uji Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Laut Demospongiae terhadap Kualitas Perairan Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Laporan Hibah Bersaing DIKTI, Institut Pertanian Bogor. Tursch N, Braekman JC, Daloze D, Kaisin M. 1978. Terpenoid from Coelenterates. Scheuer PJ (ed). Marine Natural Product Chemical and Biological Perspective 2: 247-96.
Widjhati R, Supriyono, Subintoro A. 2004. Pengembangan senyawa bioaktif dari biota laut. Makalah pada Forum Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Tanggal 25 Maret 2004. Winarno F G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta lokasi pengambilan sampel karang lunak.
Sumber: Citra Formosat 2006, BPPT.
Lampiran 2. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak per disk.
Berat ekstrak
= 0,015 gram
Volume ekstrak per paper disk
= 20 µl
Volume pelarut
= 1 ml = 1000 µl
Konsentrasi ekstrak Paper disk
= 20 µl x 15 mg 1000 µl = 20 µl x 15. 103 µg 1000 µl = 300 µg/disk
Contoh perhitungan larutan pada uji MIC
Pembuatan larutan induk Berat ekstrak
= 0,2 gr
Volume pelarut
= 10 ml
Jadi konsentrasi ekstrak sebesar
= 0,2 gr = 0,02 gr/ml = 20.000 ppm 10 ml
Pembuatan konsentrasi 16.000 ppm
M1 x V1 = M2 x V2 20.000 x V1 = 16.000 ppm x 1 ml V1 = 0,8 ml Jadi untuk membuat larutan dengan konsentrasi 16.000 ppm membutuhkan 0,8 ml larutan dengan konsentrasi 20.000ppm diencerkan sampai 1 ml.
Lampiran 3. Tabel Probit Tabel Probit Persentase
Probit 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
-
2,67
2,95
3,12
3,25
3,36
3,45
3,52
3,59
3,66
10
3,72
3,77
3,82
3,87
3,92
3,96
4,01
4,05
4,08
4,12
20
4,16
4,19
4,23
4.26
4,29
4,33
4,36
4,39
4,442
4,45
30
4,48
4,5
4,53
4,56
4,59
4,61
4,64
4,67
4,69
4,72
40
4,75
4,77
4,8
4,82
4,85
4,87
4,9
4,92
4,95
4,97
50
5
5,03
5,05
5,08
5,1
5,13
5,15
5,18
5,2
5,23
60
5,25
5,28
5,31
5,33
5,36
5,39
5,41
5,44
5,47
5,5
70
5,52
5,55
5,58
5,61
5,64
5,67
5,71
5,74
5,77
5,81
80
5,84
5,88
5,92
5,95
5,99
6,04
6,08
6,13
6,18
6,23
90
6,28
6,34
6,41
6,48
6,55
6,64
6,75
6,88
7,05
7,33
99
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
7,33
7,37
7,41
7,46
7,51
7,58
7,65
7,75
7,88
8,09
Lampiran 4. Contoh perhitungan penentuan LC50
Ekstrak
Konsentrasi
Log
Persen
(ppm)
konsentrasi
mortalitas
10
1
23,33
4,26
100
2
46,67
4,92
1000
3
63,33
5,33
Metanol
Probit
LC 50 (ppm) 201, 93
Pada ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm
•
Persen mortalitas
= Jumlah artemia yang mati Jumlah populasi = 14/30 x 100% = 46,67 %
•
Dari grafik hubungan antara log konsentrasi (sumbu x) dengan nilai probit
sumbu y didapatkan persamaan Y = 0,535x + 3,7667 Penentuan LC50 (Konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50%) 50%
nilai probit (y) = 5 (dilihat dari table probit (lampiran 5)) x = log konsentrasi y = 0,535x + 3,7667 5 = 0,535x + 3,7667 x = (5-3,7667) / 0,535 x = 2,3052
anti log dari x = 2,3052 LC50 = 201,93
Lampiran 5. Rendemen ekstrak komponen bioaktif karang lunak. Sampel karang
Berat
Volume
Berat ekstrak
Rendemen
lunak hasil
sampel
pelarut
(gram)
(%)(b/b)
transplantasi
(gram)
metanol p.a (ml)
Sinularia sp (3 m)
100
200
1,56
1,56
Sinularia sp (10 m)
100
200
1,38
1,38
Lampiran 6. Data mentah kematian Artemia salina pada berbagai konsentrasi Ekstrak
Konsentrasi
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Jumlah
Kematian
Jumlah
Kematian
Jumlah
Kematian
10
10
2
10
3
10
2
100
10
4
10
5
10
5
1000
10
6
10
7
10
6
Kontrol
10
10
10
10
10
10
10
(Kloramphenikol)
100
10
10
10
10
10
10
1000
10
10
10
10
10
10
Metanol