PENAPISAN PLASMA NUTFAH KEDELAI TAHAN PENYAKIT HAWAR BAKTERI Ace Suhendar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian; Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111, Telp (0251) 8337975; E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk memperoleh genotipe kedelai tahan penyakit hawar bakteri (Pseudomonas syringae pv. glycinea, PSG). Penelitian dilakukan di laboratorium, rumah kaca, dan lapangan pada bulan Mei–November 2009. Penapisan lapangan dilakukan pada tiga lokasi di Jawa Barat, yaitu di Ciranjang (Cianjur, 287 m dpl), Cibadak (Cianjur, 1100 m dpl), dan Ciwidey (Bandung, 700 m dpl). Benih kedelai sebanyak 100 genotipe dan empat varietas pembanding ditanam pada petak percobaan berukuran 2,0 m x 0,8 m dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, tiga ulangan. Infeksi alami dibuat dengan menanam kedelai rentan di sekitar petak percobaan sebagai sumber inokulum. Variabel pengamatan meliputi intensitas penyakit dan ketahanan genotipe. Pengamatan penyakit pada setiap genotipe kedelai dilakukan sejak fase vegetatif sampai menjelang panen (20 rumpun/petak). Percobaan di laboratorium dan rumah kaca dilakukan untuk mengkofirmasi ketahanan genotipe kedelai hasil uji di lapang. Konfirmasi ketahanan terhadap penyakit hawar bakteri di laboratorium menggunakan teknik uji kotiledon dan di rumah kaca dengan teknik inokulasi buatan. Hasil uji virulensi 12 isolat PSG di laboratorium dengan teknik uji kotiledon kedelai varietas Orba menunjukkan isolat PSG 11 memiliki virulensi tinggi, sehingga dipilih sebagai sumber inokulum. Hasil uji cepat untuk konfirmasi ketahanan genotipe kedelai dengan teknik uji kotiledon menunjukkan 33 genotipe bereaksi tahan, 16 genotipe agak tahan, 22 genotipe agak rentan, dan 29 genotipe rentan terhadap patogen PSG. Hasil uji di lapang menunjukkan 48 genotipe tahan, 31 agak tahan, 13 agak rentan, dan 8 rentan. Hasil uji ketahanan di laboratorium setara dengan di lapang, sehingga teknik bioesei dapat digunakan untuk penapisan awal ketahanan genotipe kedelai terhadap PSG. Kata kunci: penapisan, ketahanan, hawar bakteri, kedelai
ABSTRACT Screening of soybean germplasm resistant to bacterial blight disease (Pseudomonas syringae pv.glycinea). The objectives of the study were to find out soybean germplasm resistant to bacterial blight disease (Pseudomonas syringae pv. glycinea, PSG). The experiment were conducted in laboratorium, screen house, and field from May to November 2009. Field screening were conducted at three different location in West Java, such as Ciranjang (Cianjur, 287 m asl), CibadakPacet (Cianjur, 1100 m asl), and Ciwidey (Bandung, 700 m asl). One hundred of soybean seed and four checked varieties planted at a plot size 2,0 m x 0,8 m with spacing 40 cm x 20 cm, arranged in randomized block design with three replications. The susceptible plants were planted around the experimental area used as inoculum source without inoculation. The disease intensity were observed since the vegetative stage up to nearly mature stage of soybean. Laboratorium and screen house activities were done to confirm the resistance of soybean genotype from the field. The bio assay technique were done to confirm the soybean resistance to PSG in laboratorium, while an artfiicial inoculation technique using in screen house. The result of resistance confirmation using a quick technique with cotiledone test indicated that 33 genotypes were resistant, 16 genotypes were moderately resistant, 22 genotypes were moderately susceptible, and 29 genotypes were susceptible against PSG patogen. The average of disease intensity in the field test indicated that 48 genotypes were resistant, 31 genotypes were moderately resistant, 13 genotypes moderately susceptible, and genotypes were susceptible. The disease resistence in laboratorium and field test were equal, so that
256
Suhendar: Penapisan plasma nutfah kedelai tahan penyakit hawar bakteri
this bio assay technique can be used at initial screening technique of the soybean resistance test against PSG pathogen. Keywords: screening, resistance, bacterial blight, soybean
PENDAHULUAN Usaha peningkatan produksi kedelai diantaranya masih menghadapi gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) atau hama dan penyakit yang dapat menimbulkan kehilangan hasil. Di antara berbagai penyakit penting pada tanaman kedelai, penyakit virus SSV, hawar bakteri (HB) yang disebabkan Pseudomonas syringae pv. glycinea (PSG) dan bisul bakteri yang disebabkan Xanthomonas campestris pv. gycines (XCG) Syn: X. axonopodis pv. glycines seringkali menginfeksi pertanaman kedelai di Indonesia (Roechan 1992, Machmud dan Surachmat 1988, Machmud et al. 1992, Suryadi et al. 1995, Khaeruni 1998). Kerugian hasil yang diakibatkan hawar daun bakteri berkisar antara 11–20% (Schaad 1980, Sinclair 1983, Suryadi 1989). Fluktuasi intensitas penyakit di lapangan sangat dipengaruhi oleh perbedaan cara bercocok tanam, waktu tanam, kondisi lingkungan, dan jenis varietas (Habazar dan Rudolph 1996). Marmaini et al. (1996) melaporkan penyakit hawar daun bakteri terdistribusi luas di Sumatra Barat dengan kisaran penularan 1–18%; sementara Habazar dan Rudolph (1996) melaporkan hawar daun bakteri terdistribusi luas di pusat produksi kedelai di Sumatera Barat, Lampung, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Berbagai komponen pengendalian terpadu penyakit kedelai telah dikaji diantaranya (a) pengembangan varietas tahan; (b) penggunaan benih sehat; (c) pengendalian hayati; (d) pengendalian kimiawi, dan (e) kultur teknis. Mikroflora tanah/tanaman golongan bakteri yang efektif menekan penyakit HB adalah dari genus Pseudomonas (Suwanto et al. 1995). Sebagai contoh, aplikasi P. fluorescens B29 dan B39 pada bisul bakteri menunjukkan adanya efek kompetisi nutrisi maupun ruang terhadap XCG (Khaeruni 1998, Nawangsih 1997). Upaya pengendalian melalui penggunaan varietas tahan belum berhasil secara optimal. Untuk menunjang keberhasilan pengendalian penyakit diperlukan kajian ekologi patogen dan epidemiologi. Penanaman varietas tahan merupakan cara pengendalian penyakit kedelai yang efektif dan ekonomis. Penggunaan varietas tahan untuk mengendalikan masih terbatas karena munculnya variabilitas patogen yang berbeda antarmusim dan lokasi sehingga ketahanan tanaman terhadap patogen tidak dapat bertahan lama. Patogen penyebab penyakit hawar daun bakteri pada kedelai memiliki kemampuan yang sangat tinggi membentuk ras-ras baru untuk mempertahankan keberadaannya pada varietas dengan gen ketahanan yang berbeda. Masalah tersebut mendorong perlunya menggali potensi sumber daya genetik tanaman untuk meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan varietas tahan yang dikombinasikan dengan cara bercocok tanam dan waktu penanaman yang tepat efektif mengendalikan penyakit pada daun kedelai. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh beberapa galur kedelai yang mempunyai gen ketahanan terhadap hawar daun bakteri di lapangan dan rumah kaca.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
257
BAHAN DAN METODE Penelitian di Laboratorium Penelitian di laboratorium meliputi: (1) seleksi dan uji virulensi isolat PSG, dan (2) uji ketahanan genotipe kedelai dengan teknik kotiledon.
Seleksi dan uji virulensi isolat PSG Dua belas isolat bakteri PSG dari koleksi plasma nutfah patogen Kelti Biokimia dan beberapa isolat yang diperoleh dari isolasi contoh tanaman kedelai bergejala hawar dari lapang diuji virulensinya dengan menginokulasikan inokulum bakteri pada tanaman kedelai varietas Orba. Masing-masing isolat PSG dikeluarkan dari penyimpanan dalam ampul, ditumbuhkan pada cawan petri berisi medium King’s B Agar (KBA) (Lelliot and Stead 1987). Isolat yang tumbuh dimurnikan dan diperbanyak kembali pada medium KBA. Pada uji kotiledon, tingkat virulensi isolat ditentukan berdasarkan kriteria diameter gejala/bercak.
Uji Ketahanan Genotipe Kedelai dengan Teknik Kotiledon Pengujian dilakukan di laboratorium untuk mengkonfirmasi ketahanan 100 genotipe kedelai yang diuji di lapangan, menurut teknik Rukayadi (1995) dan Khaeruni et al. (2008). Penyediaan kotiledon 100 genotipe yang diuji dilakukan seperti pada uji virulensi isolat PSG. Kotiledon berumur tujuh hari dipisahkan dari kecambahnya, kemudian didisinfeksi menggunakan larutan NaOCl 0,5% dan air steril. Kotiledon diletakkan di cawan petri steril berisi kertas merang basah (10 kotiledon/petri/genotipe), kemudian diinokulasi dengan menusukkan jarum pentul yang telah disentuhkan pada inokulum PSG umur 48 jam di bagian tengah kotiledon. Kotiledon yang telah diinokulasi diinkubasi selama 5–7 hari pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan terhadap diameter gejala klorotik pada bagian kotiledon yang telah dilukai tersebut. Ketahanan genotipe kedelai ditentukan berdasarkan kriteria: skor 0 = IP 0% (tahan); 1 = IP >0–20% (agak tahan); 2 = >20 –40% (agak rentan); 3 = >40% (rentan).
Penelitian di Rumah Kaca Penelitian untuk mengkonfirmasi ketahanan genotipe kedelai terhadap penyakit HB di lapangan. Benih masing-masing genotipe kedelai (100 nomor) dan empat varietas pembanding ditanam dalam kantong plastik (polibeg) berdiameter 20 cm yang berisi campuran tanah dan pupuk. Pada setiap kantong polibeg ditanam empat biji kedelai. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Tanaman dipelihara secukupnya. Isolat PSG 11 dari hasil seleksi yang memiliki virulensi tinggi digunakan sebagai sumber inokulum. Isolat PSG diperbanyak pada King’s B Agar (KBA). Inoklulasi dilakukan dengan cara menyemprotkan inokulum bakteri umur 48 jam dengan kerapatan bakteri 108 cfu/ml ke seluruh permukaan daun yang sebelumnya telah diolesi dengan bubuk karborundum 600 mesh pada tanaman umur sebulan. Pengamatan terhadap penyakit dilakukan dua minggu setelah inokulasi sebanyak dua kali dengan selang satu minggu. Gejala hawar daun bakteri diamati menggunakan skoring: 1 = tidak tampak gejala, jumlah bercak hawar 0% 2 = jumlah bercak sedikit dan kecil, >0–5% dari luas daun; 3 = bercak coklat tersebar agak banyak dan besar, >5–10% dari luas daun; 4 = bercak coklat tua, tersebar, banyak dan agak rapat, >10 –25% dari luas
258
Suhendar: Penapisan plasma nutfah kedelai tahan penyakit hawar bakteri
daun; 5 = bercak coklat tua, keriput dan rapat sekali, >25–60% dari luas daun; 6 = daun layu, bercak coklat, daun keriput dan koyak-koyak, >60% dari luas daun bercak. Intensitas penyakit HB dihitung menurut rumus I = ∑ nz/NZ x 100%; di mana I = intensitas penyakit; n = jumlah daun untuk tiap kategori infeksi; v = nilai numerik kategori infeksi; N = jumlah daun yang diamati, dan Z = skor numerik untuk kategori infeksi tertinggi. Ketahanan genotipe kedelai ditentukan berdasarkan kriteria pada Tabel 1. Tabel 1.
Kriteria intensitas penyakit dan ketahanan genotipe kedelai terhadap penyakit hawar bakteri. Intensitas penyakit (%)
Reaksi (T-R)
0 – <25 25–<50 50–<75 > 75–100
T AT AR R
T = Tahan; AT = Agak Tahan; AR = Agak Rentan; R = Rentan; SR = Sangat Rentan (modifikasi dari Muji Rahayu 2008).
Penelitian Lapang Percobaan lapang dilaksanakan di Desa Cibadak, Cianjur (1100 m dpl.); Ciranjang, Cianjur (280 m dpl.), dan Ciwidey, Bandung (1000 m dpl.). Benih kedelai ditanam pada petak percobaan ukuran 2,0 m x 0,8 m dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas 100 genotipe kedelai dan empat varietas unggul (Lampobatang, Cikutray, Wilis, dan Lokon) sebagai pembanding. Pertanaman dipupuk N, P, dan K dengan dosis 60 kg Urea, 90 kg TSP, dan 50 kg KCl/ha. Penyemprotan insekstisida disesuaikan dengan kondisi infestasi serangga hama di lapang. Pertanaman tidak diinokulasi dengan inokulum bakteri PSG, karena intensitas awal penyakit HB di lokasi percobaan cukup tinggi, berkisar antara 20–30%. Pengamatan terhadap penyakit HB dilakukan setelah tanaman kedelai umur satu bulan dan dilanjutkan selang satu minggu hingga empat kali pengamatan. Perkembangan gejala penyakit HB diamati berdasarkan skor berikut: 0=tidak tampak gejala; 1=gejala hawar <1% luas daun; 3=gejala hawar 1–<1% luas daun; 5=gejala hawar meluas hingga 11<25% luas daun; 7=gejala hawar meluas dan saling bergabung mencapai 25–<50% luas daun; 8=gejala hawar daun meluas hingga >50% luas daun, muncul gejala klorosis, sebagian daun gugur. Intensitas penyakit HB dihitung dengan rumus I = ∑ nz/NZ x 100%; di mana I = intensitas penyakit; n = jumlah daun untuk tiap kategori infeksi; v = nilai numerik kategori infeksi; N = jumlah daun yang diamati, dan Z = skor numerik untuk kategori infeksi tertinggi. Ketahanan genotipe kedelai ditentukan berdasarkan kriteria pada Tabel 2. Tabel 2.
Kriteria intensitas penyakit dan ketahanan genotipe kedelai terhadap penyakit hawar bakteri. Intensitas penyakit (%)
Reaksi (T-R)
0 – <25 25–<50 50–<75 > 75–100
T AT AR R
T = Tahan; AT = Agak Tahan; AR = Agak Rentan; R = Rentan; SR = Sangat Rentan (modifikasi dari Muji Rahayu 2008).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
259
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian di Laboratorium 1) Seleksi isolat Uji virulensi isolat menggunakan teknik bioesei pada kotiledon kedelai varietas Orba menghasilkan gejala yang beragam, mulai dari tidak ada gejala hingga gejala berupa bercak yang ukurannya bervariasi, mulai dari tidak ada bercak sama sekali hingga bercak kuning dengan ukuran yang berbeda. Berdasarkan intensitas bercak pada kotiledon yang dihitung berdasarkan persentase luas bercak per luas kotiledon (Tabel 3 dan Gambar 1), maka hasil uji virulensi 12 isolat PSG disajikan pada Tabel 4. Isolat PSG 11 memiliki virulensi tertinggi dengan skor 3. Isolat ini selanjutnya digunakan sebagai sumber inokulum untuk uji konfirmasi ketahanan genotipe kedelai di laboratiorium dan di rumah kaca. Machmud (1987) melaporkan bahwa virulensi isolat PSG pada varietas Wilis jiuga sangat beragam, mulai dari rendah sampai tinggi. Tabel 3. Kriteria virulensi berdasarkan intensitas bercak pada kotiledon Intensitas bercak (%)
Skor
Tingkat virulensi
0 >0 – 20 >20 – 40 >40
0 1 2 3
Tidak virulen Rendah Sedang Tinggi
ABCD
Gambar 1. Kriteria virulensi isolat PSG menurut skor gejala HB pada kotiledon kedelai (A = tidak virulen; B = rendah; C = sedang; D = tinggi).
Konfirmasi ketahanan dengan teknik uji kotiledon Hasil pengujian secara cepat menggunakan teknik bioesei kotiledon terhadap 100 genotpe kedelai menunjukkan 33 genotipe bereaksi tahan, dan 16 genotipe agak tahan, 22 genotipe bereaksi agak rentan, dan 29 genotipe rentan terhadap patogen PSG (Tabel 5). Hasil uji di lapang menunjukkan 48 genotipe bereaksi tahan, 31 agak tahan, 13 agak rentan, dan 8 rentan. Hasil uji ketahanan di laboratorium dengan di lapang setara, sehingga teknik bioassay dapat digunakan sebagai teknik penapisan awal ketahanan geno-
260
Suhendar: Penapisan plasma nutfah kedelai tahan penyakit hawar bakteri
tipe kedelai terhadap PSG. Teknik biosesei kotiledon juga telah digunakan oleh Khaeruni et al. (2008) untuk uji ketahanan genotipe kedelai terhadap XAG. Tabel 4. Virulensi 12 isolat PSG pada kotiledon kedelai varietas Orba di laboratorium. Kode isolat
Asal inang
Asal lokasi
Skor virulensi*) (0–3)
PSG 8807 PSG 1 PSG 2 PSG 4 PSG 5 PSG 6 PSG 8 PSG 9 PSG 11 PSG 12 PSG 14 PSG 17
kedelai kedelai kedelai kedelai kedelai kedelai kedelai kedelai kedelai kedelai kedelai kedelai
Sukarami; ampul Pusakanagara, penelitian ini Pusakanagara, penelitiani ini Pusakanagara, penelitian ini Cimanggu Bogor; penelitian ini Cimanggu Bogor; penelitian ini Cimanggu Bogor; penelitian ini Cimanggu Bogor; penelitian ini Cimanggu Bogor; penelitian ini Pacet; penelitian ini Pacet; penelitian ini Pacet; penelitian ini
0 0 1 1 1 1 0 0 3 0 2 1
Tingkat virulensi Tidak virulen Tidak virulen Rendah Rendah Rendah Rendah Tidak virulen Tidak virulen Virulen Tidak virulen Sedang Rendah
Tabel 5. Reaksi ketahanan genotipe kedelai terhadap hawan bakteri di laboratorium dan rumah kaca Lokasi Laboratorium Rumah kaca Rata-rata lapang
Reaksi T
AT
AR
R
33 67 48
16 33 31
22 0 13
29 0 8
Jumlah 100 100 100
Penelitian di Rumah Kaca Perkembangan penyakit di rumah kaca kurang baik karena lingkungan rumah kaca memiliki suhu tinggi dan kelembaban rendah, sehingga kurang kondusif untuk perkembangan hawan bakteri. Menurut Sinclair (1983), perkembangan hawan bakteri memerlukan kelembaban tinggi (>80%) dengan suhu optimum 24–26oC. Pada saat pengujian, suhu di rumah kaca berkisar antara 26–38,5oC dengan rata-rata 32oC, dan kelembaban udara 61–67%, berarti kisaran suhunya tinggi dan kelembaban relatif rendah. Intensitas penyakit pada varietas Orba yang merupakan pembanding rentan rendah, sehingga dikategorikan agak tahan. Oleh karena itu, hasil pengujian hanya menunjukkan dua kategori ketahanan, yaitu 67 genotipe tergolong tahan dan 33 genotipe agak tahan (Tabel 5). Dengan demikian, hasil percobaan di rumah kaca ini tidak dapat digunakan untuk konfirmasi hasil uji ketahanan di lapang. Pada pengujian rumah kaca, Habazar et al. (1996) mengevaluasi ketahanan 11 genotipe kedelai terhadap PSG dengan inokulasi buatan dan menyatakan varietas Lokon tahan terhadap PSG, sedangkan Wilis rentan. Budiman (1997) juga melaporkan hasil uji ketahanan 40 genotipe kedelai terhadap PSG, dua genotipe tergolong tahan, yaitu varietas Lokon dan galur MSC 8613-5-1.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
261
Penelitian Lapang Gejala penyakit hawan bakteri dijumpai pada beberapa genotipe berupa lesio nekrotik dengan diameter bercak kira-kira 5 mm dikelilingi oleh tepi halo kekuningan. Hasil pengamatan terhadap keparahan penyakit hawar bakteri di lapangan menunjukkan tingkat penularan yang ringan sampai berat. Pada umumnya gejala penyakit hawan bakteri mulai terlihat pada fase generatif, terutama di Pacet. Tanaman kedelai yang terinfeksi PSG pada fase berbunga akan menghasilkan benih terinfeksi patogen yang tinggi (Machmud et al. 1995). Pada percobaan di Pacet, intensitas penyakit hawan bakteri pada genotipe di lapangan cukup baik, dengan kisaran 0–52,2% karena lingkungannya lebih kondusif untuk perkembangan penyakit ini. Di Ciwidey, perkembangan hawan bakteri juga cukup baik, walaupun intensitasnya lebih rendah daripada di Pacet, berkisar antara 0–38%. Di Ciranjang, suhu lebih tinggi dibanding Pacet dan Ciwidey, sehingga perkembangan penyakit kurang baik (0–10,6%). Kondisi tersebut mengakibatkan distribusi ketahanan genotipe pada masingmasing lokasi juga berbeda (Tabel 6). Tabel 6. Reaksi ketahanan genotipe kedelai terhadap hawan bakteri di lapang Lokasi Pacet Ciranjang Ciwidey Rata-rata
Reaksi T
AT
AR
R
20 67 56 48
23 33 38 31
33 6 13
24 8
Jumlah 100 100 100 100
Perbedaan ketahanan genotipe kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya intensitas penyakit dan starin (ras) patogen yang terdapat di suatu wilayah. Bakteri penyebab penyakit hawan bakteri memiliki kemampuan sangat tinggi untuk membentuk ras-ras baru guna mempertahankan keberadaannya pada varietas dengan gen ketahanan yang berbeda (Machmud 1987). Menurut Habazar dan Rudolf (1996), berdasarkan hasil uji berbagai isolat PSG dari Sumatera Barat pada tujuh varietas kedelai diferensial (Acme, Chippewa, Flambeau, Horosoy, Lindarin, Merit, dan Norchief) dijumpai tiga ras PSG yang berbeda, yaitu ras 4, ras 5, dan ras 9. Ras 4 merupakan ras yang paling dominan. Dominasi komposisi strain bakteri yang beragam dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu musim ke musim lain juga telah dilaporkan di beberapa negara (Mew 1987). Salah satu faktor yang berpengaruh adalah komposisi genotipe inang patogen.
KESIMPULAN 1. Hasil uji cepat untuk konfirmasi ketahanan genotipe kedelai di lapang dengan teknik uji kotiledon menunjukkan 33 genotipe bereaksi tahan, 16 genotipe agak tahan, 22 genotipe agak rentan, dan 29 genotipe rentan terhadap patogen PSG. 2. Hasil uji rata-rata penyakit hawan bakteri di lapang menunjukkan 48 genotipe tahan, 31 agak tahan, 13 agak rentan, dan 8 rentan. Hasil uji ketahanan antara di laboratorium dengan di lapangan setara, sehingga teknik bioesei dapat digunakan dalam penapisan awal ketahanan genotipe kedelai terhadap PSG.
262
Suhendar: Penapisan plasma nutfah kedelai tahan penyakit hawar bakteri
DAFTAR PUSTAKA Budiman, A. 1997. Reaksi ketahanan beberapa genotipe kedelai terhadap penyakit bakteri hawar (P. syringae pv. glycinea), pp. 127–131. In Parman (ed). Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah, Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI). Mataram, 25–27 September 1997. Habazar, T. and K. Rudolph. 1996. Isolation and characterization of bacterial diseases of soybean from different region in Indonesia. Paper presented in an Internat’l. Conf. on Plant Pathogenc Bacteria. Madras, 26–29 August 1996. Habazar, T., Nurbailis, dan P. Erlinda. 1996. Reaksi beberapa varietas kedelai terhadap P. syringae pv. glycinea Ras A. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah PFI. Vol. II. Palembang, 27–29 Oktober 1997. Khaeruni, A. 1998. Pengaruh bakteri kitinolitik dan fotosintetik anoksigenik terhadap kemampuan P. fuorescens B29 sebagai biokontrol penyakit bisul bakteri pada kedelai. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Khaeruni, A., B. Tjahjono, A. Suwanto, dan M.S. Sinaga. 2008. Virulensi sejumlah isolat X. axonopodis pv. glycines asal Edamame pada tiga varietas kedelai. J. HPT Tropika 8(1): 39–46. Lelliot and Stead. 1987. Identification of plant pathogenic bacteria. Academic Press, London. Machmud, M. 1987. Pengamatan penyakit pustul dan hawar kedelai. Pp. 35–37. Proc. PFI VIII, Jakarta. Machmud, M. 1992. Hubungan antara infeksi benih kedelai oleh bakteri hawar dan pustul dengan mutu benih dan hasil kedelai. Risalah Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Machmud, M., M. Jaeni, dan M.A. Suhendar. 1995. Kajian hubungan infeksi benih kedelai oleh bakteri hawar, bakteri bisul, dan jamur antraknose dengan intensitas penyakit di lapangan serta hasil, mutu, dan kesehatan benih. Laporan Hasil Penelitian 1994/1995. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Machmud, M. dan Surachmat. 1988. Current major diseases of important crops in Indonesia. p:41– 61 In Rifai et al. (eds). Proc. of the symposium on crop athogens and nematodes. Biotrop Special Publications No. 34. Marmaini, F. Rifai, T. Habazar, dan G. Ismail. 1996. Penyebaran Ras P. syringae. pv. glycinea, penyebab penyakit hawar pada kedelai di Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah PFI. Vol. II. Palembang, 27–29 Oktober 1997. Mew, T.W. 1987. An overview of the world bacterial blight situation. In Proc. of Intl. Workshop on Bacterial Blight of Rice. IRRI, Philippines. p. 7–12. Nawangsih, A.A. 1997. Sintasan dan keefektifan bakteri filosfer B29 dan B39 dalam menekan X. campestris pv. glycines penyebab penyakit bisul bakteri pada kedelai di lapangan. Tesis. Program Pascasarjana. IPB Bogor. Roechan, M. 1992. Penyakit-penyakit virus kedelai di Indonesia dan cara penanggulangannya. Disertasi Doktor. Universitas Pajajaran, Bandung Schaad, NW. 1980. Laboratory guide for identification of plant pathogenic bacteria. Bacteriology Committee of American Phytopathol. Soc., St Paul Minn. 72 pp.. Sinclair, J.B. 1983. Compendium of soybean diseases. Amer. Phytopathol. Soc. St Paul Minn.104 p. Suryadi, Y. 1989. Pengaruh tingkat inokulum P. syringae pv glycinea pada perkembangan penyakit hawar kedelai. p:126–129. Proc. Kongres dan Seminar Ilmiah PFI X. Denpasar Suryadi, Y., Yulianto, dan S. Kartaatmadja. 1995. Pengaruh kalium dan mulsa terhadap penyakit hawar daun bakteri (P. syringae pv. glycinea). Proc. Kongres dan Seminar Ilmiah PFI, Yogyakarta. Hal. 414–418. Suwanto, A., Mariani, B. Tjahyono, and S.E. Lindow. 1995. Phyllosphere bacteria for biocontrol of X. campestris pv. glycines. Proc. 6th Internat’l. Symp. Microbiol. Aereal Plant Surfaces. Bandol, France. Rukayadi Y. 1995. Analisis profil DNA genom sejumlah isolat X. campestris pv. glycines dengan menggunakan elektroforesis gel medan berpulsa (Pulses-filed gel electrophoresis). Thesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
263