PEMBAHASAN 1. Penapisan Sampel Berdasarkan rumus besar sampel seharusnya jumlah sampel untuk penelitian intervensi zat gizi selenium dan iodium yang diberikan setiap hari ini sebesar 206 anak. Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 (44,71%) Adapun besar sampel dan asal sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19-20. Jumlah sampel yang mengikuti penelitian intervensi gizi hingga datanya lengkap dan dapat dianalisis ada 115 anak (55.29%). Dalam penelitian ini 115 anak kemudian dipastikan menderita kretin secara patognomonik (memiliki tanda-tanda khas kretinisme) namun belum sampai pada taraf menderita kretinisme dengan gangguan neuropsikomotorik. Anak sekolah dasar (SD) dengan tanda khas kretin yang ditengarai dari gangguan neuropsikomotorik ini kemudian dipelajari dalam penelitian ini. Tabel 20 menunjukkan bahwa angka partisipasi masyarakat khususnya orang tua siswa SD untuk mengikuti kegiatan penelitian masih cukup tinggi, yaitu lebih dari 85%. Ada 15 desa di Kecamatan Cepogo dan yang tercacat sebagai desa dengan garam beriodium baik sebanyak 10 desa (66.67%). Sepuluh desa tersebut telah dapat dilakukan monitoring garam setiap satu tahun sekali. Lima desa lainnya belum dapat dilakukan monitoring garam karena lokasinya yang sangat jauh dan tinggi mendekati Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sehingga sangat sulit terjangkau kendaraan umum, akibatnya banyak petugas kesehatan yang kurang berani ambil inisiatif ke desa tersebut. 2. Penapisan Tes IQ Kemampuan kognitif anak diukur melalui tes IQ untuk mendapatkan skor IQ yang kemudian dicocokkan dengan kisaran kandungan /kadar selenium dan iodium dalam plasma darah anak. Tes IQ dilakukan oleh seorang psikolog dengan menggunakan metode Raven Cognitive Classical. Ada 36 soal yang disusun pada tiga kolom lembar jawab seperti pada Lampiran 3. Adapun hasil penapisan tes IQ anak dapat dilihat pada Gambar 14.
Selanjutnya hasil
pengkategorian skor IQ dengan kadar selenium dan iodium adalah:
IQ =25-40
(Idiot = Retardasi mental berat) tidak ditemukan (0 %)
IQ =40-55
(Imbecile= Retardasi mental sedang) ada 30 %
IQ =55-70
(Moron = Retardasi mental ringan/dibawah garis) ada 55 %
IQ =50-75 (Dull Normal = di bawah rata-rata) biasanya dengan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor dan pendengaran ada 15 %. 3. Penelitian Epidemiologi Profil Darah Anak menurut Kelompok Perlakuan Indikator yang paling umum untuk mengetahui defisiensi berbagai zat gizi melalui pemeriksaan darah anak di laboratorium adalah pengukuran kadar Hb, Ht, jumlah dan ukuran sel darah merah (eritrosit), darah putih (leukosit), kadar berbagai zat gizi penting seperti I, Se, Fe, Zn, serta Ca. Penelitian ini menganalisis darah secara menyeluruh yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan kondisi kesehatan dan status gizi seseorang. Oleh karena itu pemeriksaan darah yang dilakukan tanpa puasa terlebih dulu (sesaat/sewaktu) sering disebut sebagai pemeriksaan darah rutin. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam penelitian ini selanjutnya disebut profil darah. Dalam penelitian ditemukan kadar Hb anak paling rendah 11.50 g/dl dan paling tinggi mencapai 17.10 g/dl sehingga rata-rata kadar Hb 14.1 dengan standar deviasi sebesar 0.814. Sepintas tidak ditemukan penderita anemia, namun bila dilihat jumlah eritrosit sebelum pemberian suplemen selenium dan iodium ternyata kadar eritrosit minimum 4.23 dan maksimum 6.64 (Tabel 21). Hal ini disebabkan tingginya VO2max individu yang tinggal di pegunungan, yang umumnya mereka sering berjalan kaki naik atau turun lereng gunung. Kenaikan kadar hematokrit (Ht) belum disertai dengan profil darah lainnya secara nyata dan pada penelitian ini adalah rataan konsentrasi Hb dan Ht antar kelompok tidak berbeda nyata. Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa manfaat pemberian suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan ternyata mampu memperbaiki profil darah anak penderita GAKI. Secara umum anak penderita GAKI di daerah endemik di Boyolali tidak ada masalah dengan anemia gizi besi karena kadar Hemoglobin (Hb)nya hampir semua tinggi (11.50 – 17.10 g/dl). Namun bila dilihat hasil pemeriksaan jenis anemia dengan metode penghitungan
indeks mean corpuscular volume (MCV) ternyata sebelum perlakuan ada 31% penderita anemia jenis mikrositik dan makrositik, tetapi setelah diberi suplemen jumlah penderita anemia mikrositik/makrositik menurut MCV ini tinggal 16%. Penghitungan
dengan
metode
mean
corpuscular
hemoglobin
(MCH)
menunjukkan hasil bahwa prevalensi jenis anemia mikrositik pada awal penelitian ada 20% dan setelah pemberian suplemen jumlah individu yang menderita anemia jenis MCH menjadi 7%.
Penghitungan menggunakan mean corpuscular
hemoglobin concentration (MCHC) menunjukkan bahwa ditemukan 34% anak penderita anemia jenis hipokromik, kemudian setelah pemberian suplemen maka menurun menjadi 18%. Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kadar Hb anak dengan 611 petanda kretin yang hidupnya di pegunungan adalah normal (11.5-17.1 g/dl) namun prevalensi total anemia mikrositik maupun makrositik menurut kadar hematokrit ada 14% pada awal penelitian, dan setelah diberi perlakuan maka penderita anemia jenis mikrositik tinggal 3.5% dan lainnya sudah normal, yaitu memiliki bentuk sel monositik 96.5%. Studi suplementasi selenium terhadap anak penderita GAKI di Schotlandia menunjukkan bahwa status anemia anak berhubungan dengan status selenium dan iodium (Brown, et al. 2003). Status anemia berdasarkan kadar hematokrit juga memiliki pola yang hampir sama dengan hemoglobin yaitu rata-rata kadar hematokrit setelah perlakuan menunjukkan perbaikan yang sangat nyata yaitu menjadi 32.99% 49.8%. Prevalensi anemia pada anak penderita GAKI dengan tanda khas kretin berdasarkan hematokrit saat awal penelitian ada 14% dan setelah pemberian suplemen selenium dan iodium menjadi 3.5%. Selanjutnya menurut kelompok perlakuan perubahan profil darah MCV dapat dilihat pada Gambar 20. Pada Gambar 21 dapat diketahui bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian plasebo ternyata tetap terjadi perbaikan profil darah MCH yaitu sebelum perlakuan tidak ada yang monositik tetapi setelah perlakuan ada 3.5% anak berstatus monositik. Dengan demikian ada 6.1 % (plasebo), 9.6% (Se), 9.6% (I), dan 26% (Se+I) yang menderita anemia mikrositik. Menurut WHO (1994) hal ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih lebih dari 5%. Analisis perhitungan selisih persentase dari post test dan pre test
untuk variable MCV (Tabel 22 dan Tabel 25).
Analisis perhitungan selisih
persentase dari post test dan pre test untuk variable MCH pada Tabel 22 dan Tabel 26. Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen dapat disimpulkan sementara bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau Se+I dapat menyembuhkan anemia mikrositik hiperkromik menjadi sehat (monositik monokromik) Gambar 22 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian plasebo ternyata hampir sama dengan yang terjadi pada profil darah MCHC, yaitu tidak dapat memperbaiki profil darah anak karena tidak ada zat gizi untuk perbaikan hematokrit, eritrosit dan leukosit.
Akibatnya anak yang menderita
anemia hipokromik masih ada 4 anak dari 28 anak yang termasuk kelompok plasebo (14.3%). Namun dilihat secara keseluruhan sampel maka pemberian suplemen selenium dan iodium sangat bermanfaat bagi perbaikan profil darah khususnya untuk penyembuhan anemia hipokromik. Selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable MCHC (Tabel 27) Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dapat mengkoreksi anemia hiperkromik menjadi sehat (monokromik) sebesar 11%, sementara iodium saja hanya dapat 0.8% dan interaksi selenium+iodium 5.3% saja.
Sementara pada kelompok plasebo terjadi perbaikan status anemia 6%
mungkin disebabkan faktor pemberian obat cacing Albendazole 400 mg. Ada beberapa penjelasan tentang mengapa seseorang dilihat dari kadar Hbnya tidak termasuk anemia tetapi setelah dilihat dari kadar MCV, MCH atau MCHC ternyata menderita anemia jenis mikrositik hiperkromik atau makrositik hipokromik yang banyak terjadi pada individu yang tinggal di daerah endemik GAKI. Adapun penjelasan mengapa kadar Hb kurang peka pada tahap awal kekurangan zat besi, karena metode ini memiliki kelemahan antara lain : a. Nilai Hb yang rendah tidak spesifik untuk defisiensi besi. Defisiensi gizi lain, gangguan genetik dan infeksi dapat menyebabkan penurunan kadar Hb. b. Kadar Hb yang rendah menunjukan stadium akhir defisiensi besi sehingga tidak sensitif untuk deteksi dini defisiensi besi c. Kadar Hb tergantung usia, jenis kelamin, dan ras.
d. Kadar Hb bervariasi tergantung berbagai faktor, yaitu merokok, bertempat tinggal di daerah tinggi (pegunungan). Namun demikian, kadar Hb tetap berguna untuk mengetahui beratnya anemia untuk semua golongan usia, jenis kelamin, dan ras. Kandungan besi serum merupakan ukuran jumlah atom besi yang terikat pada transferin. Besi serum
meningkat
pada
anak
yang
mengalami
gangguan
thalassemia,
hemokromatosis, penyakit hati, leukemia akut, keracunan logam berat, penyakit ginjal, dan injeksi besi intramuskuler. Kadar besi serum menurun pada anemia defisiensi besi, kehilangan darah kronis, penyakit kronis (lupus, rheumatoid arthritis), menstruasi berlebihan (Frey, 2002). Eritropoesis terjadi karena penurunan kadar zat besi dalam feritin yang disimpan pada hepar, lien, dan sumsum tulang. Eritropoesis produksi sel darah merah itu dinamis dalam waktu yang cepat dan didaur ulang 0.8-1 % per hari. Artinya pada kondisi normal (sehat) eritrosit akan seimbang antara sel yang rusak dan yang baru. Pada saat tubuh kehilangan banyak darah,
terjadi peningkatan kapasitas kebutuhan oksigen
sebagai respon cepatnya proliferatif. Eritrosit dapat berubah bentuk dan merupakan sel tanpa inti serta bikonkaf. Eritrosit paling banyak ditemukan di antara keseluruhan sel darah. Sewaktu darah disentrifus maka akan terpisahkan komponen plasma dan seluler, yang bagian sel darah merahnya sekitar 45% dari volume total, ini merupakan “volume pacaked cell” atau hematokrit. Eritrosit merupakan sel pembawa oksigen karena banyak mengandung hemoglobin. Sel membran tersusun atas dua lapis fosfolipid denganprotein integral. Bentuk sel dipertahankan oleh struktur protein yang membentuk sitoskeleton. Sistem enzim melindungi hemoglobin dari eksidasi yang ireversibel. Eritrosit yang matang tidak mempunyai material inti, sehingga protein baru tidak dapat disintesis. Fungsi eritrosit adalah untuk transpot oksigen. Kira-kira 44% dari butir darah adalah sel darah merah, bentuknya bundar, pipih dan di tengahnya cekung, dengan garis tengah 7,5 μm (Underwood, 2002). Dalam penelitian ini jumlah eritrosit
(106/ul) sebelum perlakuan
pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah 4.18 – 6.44 dan sesudahnya berkisar 4.18 – 6.64 dengan nilai rujukan 4.2 – 5.2 106/ul. Prevalensi kelainan eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI ini tidak berbeda
nyata (p>0.05) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 14.63% menjadi 3.5%). Penurunan sel darah merah dan penurunan aktivitas eritropoesis adalah hasil dari penurunan metabolisme jaringan yang berhubungan dengan peranan zat besi sebagai kofaktor esensial metabolik. Sementara peranan selenium sebagai antioksidan sangat berpengaruh pada penstabilan metabolisme jaringan. Menurut WHO (1996) kejadian /kasus kesehatan yang besar prevalensinya kurang dari 5% bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara nasional. Namun cukup ditanggulangi secara wilayah melalui program kesehatan kabupaten dengan koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten bagi keluarga tidak mampu, sedangkan untuk keluarga mampu tentunya dapat berobat secara mandiri ke rumah sakit. Review oleh West et al. (2007) nilai Odd Ratio (OR) suplementasi vitamin A terhadap anemia sebesar 0.5. Nilai OR suplementasi besi dan asam folat terhadap anemia sebesar 0.2 namun dengan kombinasi besi, folat dan vitamin A dapat lebih menurunkan peluang kejadian anemia (OR=0.1). Sebaliknya hasil penelitian ini dengan pemberian suplemen Se 45 μg/hari selama 2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.1). Sementra hasil pemberian I sebanyak 50 μg/hari selama 2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2) namun dengan kombinasi Se+I selama 2 bulan tidak dapat lebih menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2). Kadar eritrosit anak di daerah endemik GAKI ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap kadar MCV (p<0.001). menderita
Akibatnya ada 66% anak
jenis anemia mikrositik yaitu anemia yang diklasifikasikan
berdasarkan ukuran eritrosit (MCV). Klasifikasi ini mempunyai nilai diagnosis yang tinggi pada sebagian besar jenis anemia yang sering ditemukan pada masyarakat yang tinggal di daerah pengunungan (tempat yang tinggi). Informasi selanjutnya dari diagnosis diperoleh dari pemeriksaan morfologi eritrosit. Penyakit pada darah sering diperlihatkan dengan bertambahnya ukuran eritrosit yang bermacam-macam, antara lain anisositosis dan terdapatnya eritrosit yang mempunyai bentuk yang bermacam-macam (poikilositosis). Meningkatnya anisositosis dan poikilositosis eritrosit merupakan kelainan yang spesifik
ditemukan pada berbagai gangguan hematologis dan gangguan sistemik gizi metabolik (Tierny et al. 2003). Hasil analisis pemberian suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan terhadap status eritrosit pada anak penderita GAKI yang memiliki tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata mampu memperbaiki jumlah eritrosit dari gangguan kurang eritrosit hingga menjadi normal yaitu 4.2 -5.2 (106/ul). Sementara kelompok plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita gangguan kurang eritrosit. Kalau dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita gangguan kurang eritrosit. Selanjutnya hasil analisis uji beda antar kelompok menurut selisih hasil perbaikan profil eritrosit sesudah dan sebelum perlakuan berbeda sangat nyata (p<0.001). Menurut Semba (2007) saat ini sudah diketahui bahwa sirkulasi kadar selenium yang rendah sangat erat hubungannya dengan kasus kejadian anemia pada orang dewasa.
Selenium juga memiliki kontribusi pada pasien yang
mengalami dialisis, pasien TBC.
Meskipun hubungan anemia dan difisiensi
selenium sudah diketahui, namun tanda /gejala defisiensi selenium yang spesifik belum ada kesepakatan para ahli. Hal ini masih menimbulkan pertanyaan di bidang pathogenesis anemia, tentang apakah kejadian anemia menyebabkan defisiensi selenium, atau sebaliknya defisiensi selenium akan menyebabkan terjadinya anemia. Dalam penelitian ini terjadinya anemia dapat dijelaskan dari terganggunya sistem imun tubuh yang disebabkan oleh stress oksidatif. Stress oksidatif adalah keadaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh. Pada kondisi ini, aktivitas molekul radikal bebas atau spesies oksigen reaktif (SOR) dapat menimbulkan kerusakan seluler dan genetika. Pembawa radikal bebas dan SOR yang dominan berasal dari makanan dan minuman yang kita konsumsi. Gambar 28 menunjukkan bahwa dengan pemberian selenium dapat memperbaiki jumlah sel eritrosit. Hal ini dapat dijelaskan dari potensi mekanisme biologi peran selenium dalam mencegah terjadinya anemia, yaitu selenium sebagai antioksidan utama yang berupa selenoenzyme pada eritrosit. Sehingga sel
eritrosit tetap mampu bertahan hidup normal sampai 120 hari.
Selain itu
mekanisme lain menunjukkan bahwa selenium mampu menurunkan kejadian inflamasi dan stres oksidatif.
Sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme
perlindungan terhadap serangan radikal bebas, secara alami telah ada dalam tubuh kita. Berdasarkan asal terbentuknya, antioksidan ini dibedakan menjadi dua yakni intraseluler (di dalam sel) dan ekstraseluler (di luar sel) atau pun dari makanan. Salah satu zat gizi yang merupakan antioksidan adalah selenium (Se). Selenium memiliki beberapa fungsi, fungsi fisiologis selenium diantaranya sebagai antioksidan dan antikarsinogen (WHO, 1996). Hasil analisis ∆ peningkatan jumlah eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium 50 µg/hari + selenium 45 µg/hari memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah eritrosit anak. Tabel 22 menunjukkan bahwa pemberian Se+I selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah eritrosit sebanyak 2.11 (106/ul). Jumlah eritrosit normal untuk anak usia 9-12 tahun adalah 4.8 (106/ul). Sebelum penelitian ini rata-rata semua anak memiliki jumlah eritrosit sebesar 3.88 (106/ul) artinya perlu peningkatan eritrosit sebesar 0.92 (106/ul). Seperti halnya dengan hasil kadar eritrosit, maka dalam penelitian ini jumlah leukosit (103/ul) sebelum perlakuan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah 4.04 – 7.57 dan sesudahnya berkisar 6.04 – 9.8 dengan nilai rujukan 4.5 – 14.5 103/ul.
Berdasarkan hasil analisis dengan
menggunakan Ancova dapat dikatakan bahwa prevalensi leukopenia pada anak di daerah endemik GAKI ini sangat berbeda nyata (p<0.001) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 20.43% menjadi 3.5%). Selanjutnya manfaat intervensi selenium dan iodium terhadap kadar leukosit selain meningkatkan imunitas anak juga dapat menurunkan berbagai jenis keluhan kesakitan. Secara kualitatif anak yang tadinya mengaku sering pusing dan cepat lelah setelah sekolah menjadi tidak merasakan adanya keluhan tersebut setelah dua bulan minum suplemen Se dan I. Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata mampu memperbaiki jumlah leukosit dari leukopenia (jumlah leukosit kurang dari normal) hingga menjadi normal yaitu 4.5 – 14.5 (103/ul). Sementara kelompok
plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita leukopenia. Jadi kalau dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita leukopenia. Dengan demikian cocok seperti dengan teori penyakit darah bahwa satu komponen darah mengalami gangguan maka komponen lainnya akan segera mengatasi gangguan yang timbul. Dalam penelitian ini anak yang mengalami gangguan kekurangan eritrosit ternyata juga mengalami gangguan leukopenia dan semuanya terjadi pada kelompok plasebo. Hasil analisis ∆ peningkatan jumlah leukosit pada anak di daerah endemik GAKI menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah leukosit anak. Tabel 24 menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah leukosit sebesar 1.99 (103/ul).
Dalam
penelitian ini sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium jumlah leukosit anak berkisar 4.04-7.57 (103/ul) dan setelah perlakuan menjadi 6.04 – 9.80 (103/ul) dengan prevalensi leukopenia sebesar 5.43% artinya sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di daerah endemik GAKI.
Dengan demikian
masalah leukopenia pada anak usia 9-12 tahun ternyata dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari. Kadar Selenium dan Iodium Plasma Menurut Kelompok Perlakuan Tabel 28 menunjukkan bahwa defisiensi selenium pada awal penelitian sangat tinggi (97.4%) berbeda sangat nyata dengan setelah diberi perlakuan suplemen kapsul selenium menjadi 3.5% (p=0.000). Begitu pula halnya dengan hasil pemeriksaan kadar iodium sebelum pemberian suplemen ada 81.7% anak yang menderita defisiensi iodium berbeda sangat nyata dengan setelah perlakuan dengan pemberian suplemen iodium selama dua bulan turun menjadi 13 % (p<0.001). Kalau dianalisis lebih lanjut semua kelompok perlakuan baik yang diberi suplemen selenium+iodium, selenium saja, atau kelompok iodium saja ternyata anak yang tadinya menderita defisiensi selenium dan iodium menjadi sehat semua.
Namun kelompok plasebo juga mengalami perbaikan profil darah
mungkin disebabkan konsumsi air kemasan yang bersih dan sehat yang disediakan oleh peneliti. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebersihan air minum sangat menentukan keberhasilan program pemberian kapsul suplemen pada anak sekolah dasar yang biasanya mengkonsumsi air kurang sehat. Pada kelompok perlakuan selenium dengan pemberian kapsul plasebo masih ada 3.5% yang menderita defisiensi selenium. Setelah dianalisis lebih lanjut ternyata empat anak tersebut ada kaitannya dengan kasus empat anak yang memiliki kelainan sel eritrosit (3.5%). Hasil analisis kadar selenium dan iodium menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 22 dan Tabel 33. Berdasarkan Tabel 32-33 dapat diketahui bahwa sebenarnya manfaat pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah pada anak di daerah endemik GAKI sangat nyata untuk perbaikan profil darah supaya tidak defisien terhadap zat gizi selenium maupun iodium pada masa pertumbuhan cepatnya. Hasil penelitian Brown, et.al (2003) menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium saja pada anak di daerah endemik GAKI di Skotlandia selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah anak penderita anemia jenis mikrositik. Berdasarkan hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar selenium pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin dapat disimpulkan sementara bahwa kelompok perlakuan Se 45 µg/hari saja atau Se+I selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi selenium. Hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar iodium pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok perlakuan selenium 45 µg/hari + Iodium 50 µg/hari selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi iodium (Tabel 33). Tabel 31 dan 32 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin baik pada kondisi sebelum dan sesudah diberi perlakuan terdapat perbedaan yang nyata antara kadar iodium dan selenium dalam plasma darah anak laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan teori masa pertumbuhan cepat antara laki-laki dan perempuan diawali pada usia 9-12 tahun. Dalam penelitian ini semua sampel juga berumur antara 9-12 tahun, sehingga anak laki-laki dan perempuan dengan kondisi yang sama saat awal penelitian ternyata juga menunjukkan kebutuhan zat gizi selenium dan iodium yang sama untuk pertumbuhan cepat kedua.
Hasil analisis ∆ peningkatan kadar iodium plasma pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan kadar iodium plasma anak. Hal ini ada kaitannya dengan tingkat defisiensi iodium (81.7%) pada awal penelitian yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan defisiensi selenium (97.4%). Berdasarkan Tabel 33 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar iodium plasma sebesar 1.35 ppm.
Dalam penelitian ini
sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium kadar iodium plasma anak berkisar 1.35 – 4.10 ppm dan setelah perlakuan menjadi 3.52 – 6.27 ppm dengan prevalensi sebelum intervensi defisiensi iodium sebesar 81.7%, setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 13% (p<0.001).
Dengan demikian masalah
defisiensi iodium dikalangan anak SD dapat pula diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja. Hasil analisis ∆ peningkatan kadar selenium plasma pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan kadar selenium plasma anak.
Tabel 33 menunjukkan bahwa
pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar selenium plasma sebesar 2.76 ppm.
Sebelum dilakukan intervensi suplemen
selenium dan iodium kadar selenium plasma anak berkisar 0.4-1.28 ppm dan setelah perlakuan menjadi 1.09 – 3.99 ppm dengan cut off point kadar rujukan 1.16.1 ppm, sehingga prevalensi defisiensi selenium ada 97.4% sebelum intervensi dan setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 3.5% itupun pada kelompok plasebo (p=0.000). Dengan demikian masalah defisiensi selenium dan iodium dikalangan anak SD dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja. Faktor yang Mempengaruhi Respon Profil Darah Tabel 22 menunjukkan bahwa respon hemoglobin (Hb) pada semua kelompok suplemen nyata (p<0.05) kecuali pada kelompok plasebo (p>0.05).
Sementara respon hematokrit (Ht) justru pada kelompok suplemen iodium yang tidak nyata (p>0.05). Namun demikian, perbaikan profil eritrosit sangat nyata pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo (p<0.05). Selenium merupakan komponen esensial enzim glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim glutathione peroxidase (Gambar 1) akan mengkatalisasi penguraian H2O2 dan hidroperoksida lipid oleh glutathione (GSH) sehingga lipid membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah. Hal ini berarti dengan suplemen selenium yang bersifat antioksidan dan iodium dapat secara positif mempengaruhi sel darah merah, baik jumlah maupun umur eritrosit.
Respon positif juga
ditemukan pada penelitian pada anak GAKI yang menderita anemia di Skotlandia (Brown et al. 2003). Peningkatan jumlah Free Erytrocite Protophorphyrin (FEP) tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari defisiensi besi laten. Dalam penelitian ini anak usia 10-12 tahun yang berstatus gizi underweight dan stunted+underweight mengalami anemia gizi besi (mikrositik hiperkromik dan makrositik hipokromik) karena tidak seimbangnya ukuran eritrosit dan kadar Hb. Anemia gizi besi jenis tersebut biasanya merupakan hasil akhir dari keseimbangan besi yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila kadar besi total mulai menurun, sumsum tulang mengalami deplesi.
Setelah
cadangan besi habis terjadi penurunan kandungan besi plasma dan suplai besi pada sumsum tulang tidak mencukupi untuk regenerasi hemoglobin yang normal. Selanjutnya kalau dilihat kadar leukosit ternyata pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo berbeda nyata (p<0.05) sehingga individu yang sebelum perlakuan mengalami leukopenia menjadi berada pada batas normal. Pada Tabel 56 juga terlihat bahwa tidak ada perbedaan damapk suplemen Se dan I dibandingka dengan plasebo.
Adanya respon positif yang dialami kelompok
plasebo ini disebabkan selama perlakuan mereka juga mengkonsumsi air mineral yang bersih dan bebas dari E.coli sehingga mereka bebas diare dan kecacingan. Efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Volume (MCV) yang tidak nyata (p>0.05) ini terjadi erat kaitannya dengan interaksi penyerapan selenium sebagai antioksidan dan iodium yang mencegah sensitivitas TSH agar tidak meningkatkan stimulasi kelenjar thyroid. Perubahan MCV akan terjadi bila cadangan besi terkuras habis tetapi kadar hemoglobin
darah masih lebih tinggi dari batas bawah nilai normal (biasanya di daerah pegunungan). Pada tahap ini terjadi abnormallitas biokimia pada metabolisme besi yang biasanya bisa dideteksi, terutama penurunan satu rasi transferin. Disamping itu ada faktor homeostatis untuk keseimbangan profil darah (WHO, 1996). Dampak pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH) berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok suplemen iodium 50 µg/hari saja, selenium 45 µg/hari saja dan plasebo (Tabel 56).
Justru pada
kelompok Se+I tidak nyata (p>0.05). Hal ini disebabkan respon Ht yang rendah karena faktor ketinggian lokasi disamping rendahnya status gizi. Anak dengan 611 tanda khas kretin yang menderita underweight ini memiliki respon Ht 61 % lebih rendah (OR=0.43; 95%CI 0.26-0.82; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang memiliki status gizi normal. Begitu juga pada anak yang stunted memiliki respon Ht 63 % lebih rendah (OR=0.49;95%CI 0.19-0.86; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang tidak stunted. Pengaruh pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Haemoglobin Consentration (MCHC) berbeda nyata (p<0.05) pada semua kelompok pemberian suplemen selenium dan iodium termasuk plasebo (Tabel 56). Selain disebabkan respon Hb yang rendah karena faktor ketinggian lokasi juga rendahnya status gizi.
Anak dengan tanda khas kretin yang menderita
underweight (48.7%) ini memiliki respon Hb 59 % lebih rendah (OR=0.43; 95%CI 0.26-0.82; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang tidak underweight. Begitu juga anak yang stunted memiliki respon Hb 69 % lebih rendah (OR=0.41; 95%CI 0.22-0.91; p=0.02) dibandingkan dengan anak yang tidak stunted. Tabel 22 juga menunjukkan bahwa efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar selenium plasma berbeda nyata (p<0.05). Hal ini terjadi erat kaitannya dengan interaksi penyerapan selenium sebagai antioksidan disamping respon positif akibat defisiensi selenium yang sudah kronis pada anak. Selain itu juga disebabkan karena asupan selenium yang rendah dan lingkungan tanah dan airnya yang sangat kurang mengandung selenium. Menurut Semba (2007) kadar selenium plasma atau serum tergantung pada usia, semakin muda semakin cenderung defisiensi dan seiring dengan rendahnya risiko terkena penyakit
degeneratif. Risiko defisiensi selenium terjadi pada orang dewasa yang merokok, dan pada wanita yang mengalami obes. Defisiensi selenium berbeda pada setiap manusia, hal ini karena daya adaptasi setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Di New Zealand dan Finland yang merupakan daerah rendah kandungan selenium dalam tanah dan airnya, asupan selenium dari diet sehari-hari adalah 30ug - 50 ug/hari, bandingkan dengan asupan di USA dan Canada yaitu 100 ug – 250 ug/hari. Konsentrasi selenium dalam darah anak-anak di New Zealand lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tinggal dibandingkan dengan negara lainnya. Faktor utama yang mempengaruhi rendahnya kandungan selenium dalam darah anak-anak di New Zealand karena intake selenium yang rendah yang juga merupakan gambaran rendahnya kandungan selenium dalam tanah di New Zealand. Kandungan Selenium dalam darah bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah
dan
jenis
makanan
yang
dikonsumsi.
Anak
yang
menderita
phenylketonuria dan maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se dalam darah (Mc.Kenzie, 1978). Efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar iodium plasma berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok Se+I dan kelompok Se saja. Pada Tabel 56 terlihat bahwa rata-rata kadar iodium plasma baik pada sebelum dan sesudah tetap ada yang defisiensi iodium (<3.3 μg/dl) sebanyak 13% (Tabel 49).
Faktor
rendahnya respon Se dan I terhadap kadar iodium plasma ini erat hubungannya dengan rendahnya mutu makanan terutama asupan protein hewani yang mudah diserap (Semba, 2007). Hasil analisis regresi biokimia darah menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 22. Ada kemungkinan kenaikan kadar Hb anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.77 yang artinya 77% kenaikan kadar Hb anak dengan tanda khas kretin dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen iodium saja. Pada kelompok selenium saja dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan sebesar 0.11 artinya 11% kenaikan kadar Hb anak dipengaruhi oleh pemberian
suplemen selenium saja. Pada kelompok plasebo tidak mengalami kenaikan kadar Hb justru sebanyak 3 % anak mengalami penurunan. Tabel 22 menunjukkan bahwa kenaikan kadar Ht anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.11 yang artinya 11% kenaikan kadar Ht anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen selenium saja dan plasebo. Pada kelompok iodium saja kadar Ht anak tidak mengalami kenaikan tetapi justru sebanyak 3 % anak mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan 2% anak yang mengalami penurunan MCV pada kelompok pemberian iodium. Pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap MCV tidak berbeda nyata. Hal ini sangat logis karena MCV merupakan perbandingan antara kadar Ht dengan jumlah eritrosit. Hasil analisis regresi linier antara kelompok perlakuan dengan kadar MCH menunjukkan bahwa pada kelompok Iodium diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.07 yang artinya 7 % kenaikan status MCH anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen selenium saja. Sementara pada kelompok plasebo jumlah anak yang mengalami penurunan status MCH ada 7 % yang berkaitan dengan kadar Hb yang tidak mengalami kenaikan sebanyak 3 % anak dan anak yang memiliki konsentrasi eritrosit rendah ada 14%. Begitu pula dengan kadar leukosit, kelompok plasebo tidak mengalami perbaikan yang diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan 0.14 yang artinya 14 % kenaikan status leukosit pada anak dipengaruhi oleh pemberian suplemen Se+I, Se saja atau iodium saja. Efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) untuk kadar selenium plasma adalah 0.14 yang artinya 14 % kenaikan status kadar selenium plasma pada anak dapat dipengaruhi oleh pemberian suplemen Se+I, Se saja atau iodium saja. Sementara efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) untuk kadar iodium plasma adalah 0.29 yang artinya 29 %
kenaikan status iodium plasma pada anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium saja. Pada kelompok Se+I justru mengalami penurunan 25%, dan kelompok plasebo memiliki efek bersih sebesar 0.29 yang artinya kenaikan status iodium plasma pada anak tidak dipengaruhi suplemen. Kemungkinan faktor yang mempengaruhi koreksi kadar iodium plasma adalah intake energi dan iodium harian, obat cacing sebelum perlakuan dan perilaku sehat seperti kebiasaan menggunakan sandal/sepatu. Status Gizi Anak menurut Kelompok Perlakuan Status gizi adalah hasil interaksi asupan berbagai zat gizi ke dalam tubuh anak pada saat sebelum dan sesudah intervensi suplemen selenium dan iodium, yang diukur secara antropometri.
Hasil pengukuran antropometri disajikan
dengan Z-skor BB/U dan TB/U berdasar data CDC (WHO, 2000). Anak dikatakan stunted bila Z-skor TB/U <- 2 SD, termasuk status gizi kurang (underweight) bila -3 < Z-skor < - 2 SD dan termasuk status gizi buruk (wasting) bila Z-skor < -3 SD. Selanjutnya asupan zat gizi dalam penelitian ini adalah jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh anak yang diterjemahkan ke dalam energi, protein, lemak dan zat gizi mikro lainnya per hari. Status Gizi berdasarkan standar CDC (WHO, 2000) menurut Kelompok Perlakuan Status gizi antropometri dalam penelitian ini didasarkan pada hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi dianalisis dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Berdasarkan hasil perhitungan Z-skor BB/U dengan batas <-2SD sebagai underweight, maka prevalensi underweight pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI ada 48.69%. Analisis status gizi menurut jenis kelamin (Gambar 25) menunjukkan bahwa prevalensi underweight anak laki-laki (51.47%) lebih tinggi dari anak perempuan (44.68 %). Status gizi anak menurut jenis kelamin dalam penelitian ini tidak dapat dianalisis menurut gender pathway karena jumlah sampel antara anak laki-laki
dan perempuan berbeda (Gambar 25). Namun demikian dapat diketahui bahwa respon suplementasi lebih baik pada anak perempuan, yang dapat dibuktikan dari jumlah anak perempuan dari masing-masing kelompok perlakuan memiliki perbaikan status gizi yang baik dari pada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan anak perempuan usia 9-12 tahun (masa growth sprout II) lebih cepat dibandingkan dengan anak laki-laki (Tabel 8). Usia 9-12 tahun merupakan kelompok usia resiko (chacth up periode) terhadap gangguan pertumbuhan jika tidak mendapatkan cukup asupan zat gizi. Status gizi (BB/U) menurut kelompok perlakuan pada anak laki-laki di daerah endemik GAKI sebelum dan sesudah diberi perlakuan ternyata lebih berisiko kurang gizi dibandingkan anak perempuan. Akan tetapi hal ini perlu dilihat kecenderungan menderita anemia kronis pada anak perempuan yang menderita kurang gizi dibandingkan anak laki-laki yang kurang gizi. Respon perbaikan status gizi anak perempuan lebih baik dibandingkan dengan respon anak laki-laki.
Artinya bila anak perempuan di daerah endemik GAKI selalu
menerima suplemen selenium dan iodium maka harapan untuk dapat menjaga status gizi baik diukur dari BB/U akan lebih baik dibandingkan dengan respon anak laki-laki (Tabel 36-37). Berdasarkan Tabel 36 dan 37 dapat diketahui bahwa respon pemberian suplemen terhadap status gizi menurut jenis kelamin tidak berbeda nyata antara anak laki laki dan perempuan (p>0.05). Namun pada saat pre-test ada perbedaan status gizi menurut jenis kelamin (p<0.05).
Artinya jenis kelamin tidak
mempengaruhi respon pemberian suplemen namun status gizi awal (masa lalu) anak yang berpengaruh terhadap respon pemberian suplemen selenium dan iodium. Meskipun demikian tetap perlu analisis gender untuk melihat kesetaraan status gizi, perolehan menu makanan bergizi seimbang, dan kesempatan sekolah anak laki-laki dan perempuan di daerah endemik GAKI. Dalam penelitian ini ternyata pemberian Se 45 µg/hari terhadap berat badan memiliki selisih 3.04 (paling baik). Hal ini dikarenakan bahwa mekanisme kerja selenium dalam bentuk aktif sodium selenat sangat berperan aktif sebagai antioksidan, komponen enzim GSH-Px.dan anti karsinogen (IOM, 2000) sehingga cepat dalam membantu proses penyerapan zat gizi dan sebagai luarannya
kenaikan berat badan anak mudah tercapai. Selain itu alasan yang paling masuk akal untuk menjelaskan mengapa berat badan anak dapat meningkat sesuai harapan dalam tujuan penelitian adalah adanya pemberian obat cacing ‘Albendazol 400 mg’ yang dapat membersihkan usus dari telur dan keberadaan semua jenis cacing. Selanjutnya menurut Semba (2007) menyebutkan bahwa selenium juga mampu secara langsung mencegah anemia dan semua penyebab kematian pada manusia karena selenium mampu mengurangi kapasitas penggunaan oksigen darah yang terjadi pada anak dengan tanda khas kelainan fisik, dan pada pasien dengan komplikasi jantung. Peningkatan status gizi terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo (1.96 kg), dari kelompok pemberian suplemen kapsul selenium + iodium yaitu rata-rata penambahan berat-badannya sebesar 2.09 kg. Sementara dilihat dari tinggi badan maka terjadi peningkatan tinggi badan anak 1.20-3.50 cm selama 4 bulan pengamatan (Tabel 34). Terjadinya peningkatan tinggi badan setelah pemberian suplemen Se+I (∆=1.7) pemberian iodium 50 µg/hari (∆=3.5) pemberian Se 45 µg/hari (∆=1.4), dan Plasebo (∆=1.2) menunjukkan bahwa anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin masih tetap dapat tumbuh tinggi meskipun tanpa pemberian suplemen. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 34. Pemberian iodium memiliki pengaruh terbaik terhadap tinggi badan (p=0.00). Hal ini mirip dengan beberapa hasil penelitian dengan pemberian suplemen zinc 35– 40 mg/hari (Black, 2003) yang menunjukkan bahwa peningkatan tinggi badan sebagai cermin status gizi masa lalu dapat dikoreksi seiring dengan perkembangan motorik dan IQ anak dengan catatan selama intervensi anak tidak mengalami sakit yang dapat mengganggu proses penyerapan zat gizi di usus. Hasil pengamatan status gizi menunjukkan bahwa sebelum perlakuan ada 15 anak (13%) dengan kategori pendek, 7 anak (6.1%) termasuk kurang gizi, dan 49 anak (42.6%) menderita kurang gizi serta termasuk pendek (gizi buruk). Anak dengan status gizi buruk (underweight + stunted) sebelum perlakuan paling banyak pada kelompok plasebo (12.2%), selanjutnya kelompok iodium saja ada 13 anak (11.3%), kelompok selenium saja ada 12 anak (10.4%). Setelah diberi selenium 45 µg/hari dan suplemen kapsul iodium 50 µg/hari selama 2 bulan semua kelompok perlakuan tidak ada lagi anak yang memiliki gizi buruk kecuali
kelompok plasebo. Namun demikian setelah perlakuan masih ditemukan 10 anak (8.7%) dengan kategori stunted dan sebanyak 8 anak (7%) masih mengalami kurang gizi. Jadi secara keseluruhan ada peningkatan status gizi baik dari 44 anak (38.26%) menjadi 90 anak (78.26%). Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada anak remaja awal (usia 9-12 tahun) baik laki-laki maupun perempuan merupakan masa penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu (misalnya penyakit infeksi, depresi, anemia dan diare) juga dapat mempengaruhi produktifitas dan aktivitas belajarnya. Oleh karena itu pemantauan status gizi perlu dilakukan secara berkesinambungan termasuk di daerah endemik GAKI.
Namun faktor
keterbatasan tenaga, waktu dan sarana pemantauan belum memungkinkan dilakukan pemantauan status gizi secara berkesinambungan akibatnya KMS anak sekolah tidak jalan. Hasil analisis status gizi sesudah perlakuan antar kelompok sangat berbeda nyata (p<0.001), kecuali pada kelompok Se saja bila dibandingkan dengan kelompok yang diberi suplemen iodium saja maupun Se+I. Kelompok plasebo sangat berbeda nyata (p<0.001) bila dibandingkan kelompok yang mendapat suplemen. Selanjutnya hasil analisis perumbuhan fisik dilihat dari status gizi anak dan perkembangan psikologis sama-sama dipengaruhi oleh masukan zat gizi selama periode tumbuh kembangnya. Kecerdasan anak ternyata dipengaruhi oleh hal yang lebih kompleks daripada pertumbuhan fisik. Kekurangan gizi pada masa tumbuh kembang anak akan berpengaruh baik pada kecerdasan maupun kondisi fisik mereka. Anak-anak yang kekurangan gizi, disamping akan memperlihatkan penampilan fisik yang buruk juga akan meperlihatkan perkembangan kecerdasan yang terlambat. Sebaliknya kadar gizi yang cukup dapat menampilkan perkembangan fisik yang baik tetapi belum tentu menjamin perkembangan kecerdasan yang baik (Husaini et al. 2001). Sementara hasil penelitian terhadap tikus terungkap bahwa kurang gizi menyebabkan “isolasi diri” yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak dengan mengurangi kegiatan interaksi, aktivitas, perilaku eksploratorik, kurang perhatian dan motivasi yang rendah. Aplikasi teori ini pada manusia ialah bahwa pada keadaan kurang energi dan protein (KEP), anak
menjadi tidak aktif, apatis, pasif dan tidak mampu berkonsentrasi. Akibatnya, anak dalam melakukan kegiatan eksploratori fisik di sekitarnya hanya mampu sebentar saja dibandingkan dengan anak yang gizinya baik, yang mampu melakukannya dalam waktu yang lebih lama (Pollitt, 2000). Untuk melakukan aktivitas motorik, dibutuhkan ketersediaan energi dalam jumlah yang cukup banyak. Anak usia sekolah saat pelajaran olahraga, upacara bendera dengan berdiri, berjalan, berlari melibatkan suatu mekanisme
yang
memerlukan energi dalam jumlah yang tinggi. Dengan demikian anak sekolah yang menderita kekurangan energi dan protein biasanya selalu mengalami keterlambatan perkembangan psikomotorik dan tidak mampu konsentrasi dalam waktu lama. Selanjutnya, tahapan perkembangan aktivitas motorik anak sekolah yang cerdas akan menurunkan tingkat ketergantungan atau kontak yang terus menerus dengan para guru dan orangtua mereka. Keadaan ini tampaknya berpengaruh secara nyata terhadap mekanisme self-regulatory, sehingga anakanak menjadi lebih bersosialisasi dan ramah terhadap lingkungan sekitarnya. Sebaliknya keterlambatan locomotion dan perkembangan motorik anak sekolah akan merusak akses pada sumber-sumber eksternal yang akan berakibat kurang baik terhadap regulasi emosional dan menghambat perkembangan kecerdasan anak. Ini berarti bahwa tingkat kemandirian seorang anak akan berkorelasi secara positif dengan tingkat kecerdasan mereka. Anak-anak yang sudah mendapat gizi yang cukup selama periode perkembangan mereka masih memerlukan peluang untuk tumbuh mandiri yang diperlukan bagi perkembangan tingkat kecerdasan mereka (Husaini et al. 2001). Kemungkinan kenaikan berat badan anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.536 yang artinya 53.6% kenaikan berat badan anak penderita GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium. Pada kelompok iodium saja dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan sebesar 0.398 artinya 39.8% kenaikan berat badan anak dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium saja, dan yang dipengaruhi selenium saja ada 40.3%. Namun pada kelompok plasebo juga mengalami kenaikan berat badan yang dipengaruhi obat cacing sebesar 44.1%.
Berdasarkan hasil analisis Adjusted R Square = 0.85 (85% anak kurang gizi menggunakan indikator BB/U dapat diperbaiki dengan suplemen Se dan Iod). Hal ini terjadi disamping karena tingkat konsumsi energi yang relatif cukup (1400 – 2000 Kal), protein 35-45 g, lemak 8.75 – 19.25 % juga disebabkan pemberian obat cacing Albendazole 400 mg satu kali sebelum intervensi zat gizi mikro dimulai. Menurut Stephenson et al.(1993) bahwa dengan pemberian dosis tunggal obat cacing Albendazole satu kali saja dapat memperbaiki pertumbuhan anak (peningkatan berat badan 1.6-1.75 kg) serta dapat meningkatkan kadar Hb anak di Kenya selama 4 bulan. Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Energi
merupakan
sumber
zat
gizi
utama
untuk
beraktifitas.
Keseimbangan energi akan tercapai bila asupan energi sesuai dengan energi yang digunakan/ dikeluarkan. Energi yang digunakan tergantung kepada jenis pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Dalam penelitian ini perhitungan kecukupan energi dilakukan menggunakan 24 hours Recall pada subsampel anak SD di desa endemik GAKI, dan frekuensi makan/hari. Berdasarkan wawancara dengan 41 anak diketahui bahwa belum ada keseimbangan energi dengan komposisi tubuh pada anak. Hasil analisis regresi linier antara intake energi /hari terhadap berat badan sebelum maupun sesudah diberi perlakuan tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata (p>0.05), begitu pula antara intake energi /hari terhadap tinggi badan anak juga tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) dengan R=0.16.
Dapat
disimpulkan sementara bahwa perbaikan status gizi anak baik dari indikator BB/U maupun TB/U tidak dipengaruhi oleh intake energi. Artinya perlakuan pemberian supelemen selenium dan iodium serta obat cacing sangat berpengaruh terhadap perbaikan status gizi anak di daerah endemik GAKI. Kebutuhan zat gizi (RDA) pada puncak Growth Spurt II (umur 10-20 tahun) baik laki-laki maupun perempuan seperti yang dikemukakan oleh Hartono (2000) dan IOM (2001) pada Tabel 11 ternyata untuk Se sebesar 280 (μg/hari) dan kebutuhan iodium antara 100-130 (μg/hari). Sementara menurut AKG (2004) kebutuhan selenium hanya 20 (μg/hari) dan iodium sebanyak 120 (μg/hari).
Dalam penelitian analisis kecukupan zat gizi selenium dan iodium menggunakan rekomendasi dari Hartono (2001) dan IOM (2001) mengingat selenium dan iodium yang diekskresi tubuh mencapai 50 μg/hari. Hasil analisis rata-rata intake zat gizi pada anak di daerah endemik GAKI menurut sumbangan kecukupannya dari rumah maupun makanan jajanan di sekolah dapat dilihat pada Lampiran 4-7. Diketahui bahwa persentase kecukupan energi (Kal), protein dan lemak pada anak masih sangat jauh dari seimbang, begitu juga dengan tingkat kecukupan mineral mikro seperti zat gizi besi, seng, selenium dan iodium. Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) antara intake selemiun/hari dengan kadar selenium dalam plasma baik sebelum dan sesudah diberi perlakuan, begitu pula antara intake iodium /hari terhadap kadar iodium plasma anak juga tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) dengan R=0.15. Artinya pemberian supelemen selenium dan iodium serta obat cacing sangat berpengaruh terhadap perbaikan status defisiensi selenium dan iodium pada anak di daerah endemik GAKI. Dalam penelitian ini wawancara tingkat kecukupan konsumsi dilakukan dengan metode Recall 24 jam yang lalu oleh Bidan Desa dibantu oleh guru SD setempat. Dikarenakan anak-anak yang memiliki tanda khas kretin kebanyakan sulit berbicara dan menangkap pertanyaan dari Tim peneliti, maka dilakukan cross-chek dengan food frequency dan penimbangan makanan jajanan di sekolah. Secara tidak langsung terlihat adanya hubungan antara iodium dan selenium, dimana ketersediaan selenium yang rendah pada tanah diduga juga mengandung iodium yang rendah. Interaksi yang terbentuk antara iodium dan selenium bersifat sangat kompleks dan terkait dengan fungsi-fungsi selenium dalam selenoprotein. Selain itu selenium juga sangat dibutuhkan dalam proses perubahan T4 menjadi T3 selain enzim deiodonase (WHO, 2001). Sebaliknya yang menghambat proses perubahan T4 menjadi T3 dari bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh penduduk di daerah endemik adalah makanan yang mengandung goitrogenik.
Goitrogenik adalah zat yang dapat menghambat
pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goitrogenik dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon
tiroksin terhambat (Linder, 1992). Goitrogenik alami menurut Chapman (1982) terdapat dalam jenis pangan seperti 1) kelompok sianida (daun + umbi singkong, gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung); 2) kelompok mimosin (pete cina dan lamtoro); 3) kelompok isothiosianat (daun pepaya); 4) kelompok asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Meskipun sudah diketahui jenis bahan makanan yang mengandung goitrogenik, namun kandungan zat gizi lain dalam bahan makanan tersebut tetap banyak membantu kecukupan gizi penduduk setempat. Berdasarkan hal tersebut, maka WHO (2001) sudah menganjurkan program penanggulangan GAKI dengan fortifikasi iodium pada garam dengan melakukan universal garam beriodium. Selanjutnya Burk, et al. (2006) mengatakan bahan makanan yang banyak mengandung selenium biasanya juga ditemukan banyak mengandung iodium, misalnya daging dan seafood (0.4-1.5 μg/g), sereal dan padi-padian (0.1-0.8 μg/g) tergantung pada kandungan selenium pada tanah. Lingkar Lidah menurut Kelompok Perlakuan Tabel 41 menunjukkan bahwa pemberian suplemen kapsul iodium maupun selenium selama dua bulan seolah-olah tidak ada manfaatnya bila dilihat dari besaran ukuran volume lingkar lidah anak di daerah endemik GAKI. Hal ini dapat dijelaskan dari ilmu patologi anatomis, bahwa cacat lahir atau penyakit bawaan lahir seperti dampak permanen dari defisiensi zat gizi mikro dalam waktu yang lama dan bersifat kronis adalah sulit untuk diperbaiki.
Begitu juga
‘glossitis’ dan kelainan bawaan lahir pada lidah akibat defisiensi zat gizi mikro yang sangat lama (Underwood, 2002).
Sampai saat ini kegunaan selenium
sebagai suplemen tambahan zat gizi yang tepat untuk setiap kasus kekurangan zat gizi mikro masih banyak diteliti untuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Pengaruh suplemen selenium dan iodium terhadap volume lingkar lidah menunjukkan hasil yang negatif, artinya semua suplemen yang diberikan kepada anak penderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tidak berpengaruh positif. Namun demikian tetap terjadi perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p=0.001) setelah diberi suplemen. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan
jika pemberian suplemen dilakukan lebih dini kepada anak penderita GAKI maka diharapkan ada perbaikan atau koreksi dari perbesaran volume lingkar lidah. Kemungkinan ini diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.114 yang artinya 11.4% nilai volume lingkar lidah anak penderita GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium. Selanjutnya kalau dilihat dari Tabel 41-42 dapat diperhitungkan bahwa pemberian Se+I memiliki selisih negative yaitu 3.5%-7.8% = -4.3%, pemberian I 50 µg/hari memiliki selisih 6.1% - 20.9% = - 14.8%, dan pemberian Se 45 µg/hari memiliki selisih 10.4% - 13.1% = -3.3% sedangkan pemberian kapsul plasebo memiliki selisih 7.8% - 11.3% = -3.5%. Hasil negatif dari lingkar lidah ini belum banyak penjelasan yang dapat mengartikan perubahan lingkar lidah setelah pemberian suplemen zat gizi mikro. Namun ada kemungkinan pada anak yang sebelum perlakuan menderita radang tenggorokan atau ada kelainan ‘glossitis’ sehingga anak menjadi sulit mengucap kata ‘A’ setelah pemberian suplemen selenium dan iodium menjadi sehat sehingga dapat mengucapkan kata ‘A’ dengan lancar akibatnya dapat merubah ukuran lingkar lidah anak setelah 2 bulan perlakuan. Kejadian penebalan lidah sehingga menyebabkan ukuran lingkar lidah menjadi lebih besar dari ukuran lingkar lidah normal dapat dijelaskan menurut ilmu penyakit dalam dan THT (Telinga-Hidung-Tenggorakan).
Adapun
penjelasan tersebut menyebutkan bahwa fenomena anak kekurangan iodium dan selenium akan mengalami penebalan lidah dan sulit mengucapkan ‘A’ seperti yang terjadi pada anak yang mengalami peradangan ‘tonsil’ di tenggorokan atau amandel (Quindom.com. 2006). Karena sakit atau sulit bicara maka umumnya anak yang defisiensi iodium dan selenium berat menjadi apatis dan motivasinya menurun seiring dengan penurunan IQ point (Van den Briel and West, 2000). Perkembangan pengetahuan biologi molekuler saat ini memungkinkan untuk mengidentifikasi kelompok bahan yang dapat merangsang produksi leukosit dan megakariosit, yang dikenal sebagai colony stimulating factors. Kelompok bahan ini termasuk granulocyte- dan granulocyte/monocyte- colony stimulating factors (G-CFS adan GM-CFS). Sitokin sekarang digunakan untuk pengobatan
pada kemoterapi penyakit kronis, termasuk kelainan lidah akibat cacat bawaan atau defisiensi zat gizi mikro yang kronis. Selenium khususnya seleno metionin atau seleno sistein mampu untuk merangsang produksi anti oksidan dan trombosit yang akhir-akhir ini telah dapat diidentifikasikan untuk menangkal radikal bebas dan memperlama hidup sel sehat dan menghentikan proses patologis sel maupun jaringan yang rusak (Chen & Berry, 2003). Pada umumnya anak yang sudah mengalami penebalan lidah atau memiliki lingkar lidah yang lebih besar dari ukuran lingkar lidah normal juga akan diikuti gejala penyakit ‘Hematinik’. Hematinik adalah faktor zat-zat gizi /diet yang esensial baik untuk sintesis hemoglobin maupun produksi eritrosit yang menurun atau memang sudah rendah saat lahir yang biasanya dialami oleh penderita kretin yang lahir di daerah endemik GAKI. Dilihat dari Tabel 44 ternyata tidak ada perbedaan tingkat risiko antara anak laki-laki dan perempuan, artinya anak laki-laki maupun anak perempuan yang memiliki lingkar lidah lebih besar dari normal meningkat jumlahnya meskipun sudah diberi perlakuan (p<0.001; r=0.58). Dengan demikian manfaat pemberian suplemen selenium dan iodium dengan dosis rendah selama dua bulan tidak memberikan dampak positif terhadap penebalan lingkar lidah anak di daerah endemik GAKI. Hal ini mungkin disebabkan karena waktu pemberian suplemen yang kurang lama (tidak enam bulan) dan dosis yang diberikan terlalu rendah untuk perbaikan kesehatan ‘Glossitis’ mulut dan lidah anak. Belum ada data tentang gangguan fungsi bicara (bisa sampai bisu) yang disebabkan kekurangan iodium tingkat berat seperti pada penderita kretin, sehingga dalam penelitian ini dilakukan diagnosis bentuk ringan dari kretin endemik. Skor IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan Selanjutnya kalau dilihat status gizi dengan standar CDC (WHO, 2000) hubungannya dengan skor IQ pada anak di daerah endemik GAKI dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum perlakuan ada 19 anak (16.5%) dengan status gizi buruk dan memiliki kategori retardasi mental sangat berat dengan skor IQ kurang dari 25. Anak berstatus pendek ada 27 (23.5%) memiliki skor IQ antara 25–40 dan setelah dilakukan pemberian suplemen kapsul iodium
dan selenium dosis rendah selama 2 bulan ternyata ada peningkatan skor IQ yang sangat nyata (p=0.001; r=0.463).
Gambaran selengkapnya status gizi
hubungannya dengan skor IQ dapat dilihat pada Gambar 30. Banyak tes IQ untuk mengukur kualitas anak seperti tingkat pengetahuan, daya ingat sesaat, alasan abstrak, bagian kemampuan visual dan perasaan. Test IQ mengukur sebagian dari budaya seseorang baik yang nyata maupun budaya yang tidak dilakukan.
Namun biasanya untuk keperluan akademik sehingga
kurang baik untuk mengukur kreativitas anak. Setelah pengamatan secara acak, ternyata banyak faktor yang menetukan nilai/skor sehingga perlu diamati ulangan tes setiap minggunya karena dapat berubah antara 5-10 point. Untuk ukuran kemampuan verbal pada anak dengan kelainan fisik atau mental tertentu Wechsler tidak menganjurkan pengukuran verbal, karena memang sudah dapat dipastikan anak dengan kelainan pasti memiliki kemampuan verbal yang buruk. Hal ini juga diakui oleh Raven yang kemudian mengembangkan ‘Block Design’ untuk mengukur IQ melalui ketajaman pengamatan gambar berwarna yang diambil untuk dipasangkan ke gambar design utamanya. Model ini kemudian dikenal dengan nama ‘Modeled after Raven's Progressive Matrices’
sebagai Matrix
Reasoning (Morris, 2006). Peningkatan skor IQ setelah pemberian suplemen kapsul iodium 50 µg/hari ditambah selenium 45 µg/hari (15.7% - 9.4% = 6.3%) dari IQ sangat rendah/idiot yaitu IQ kurang dari 25 (retardasi mental berat) dan retardasi mental sedang (IQ=25-40) menjadi retardasi mental ringan (IQ=40-55). Pemberian iodium 50 µg/hari saja dapat meningkatkan 100% artinya dari 30.4% anak yang menderita retardasi mental berat (skor IQ <25) semua dapat dikoreksi menjadi retardasi mental tingkat sedang (skor IQ=40-55). Pemberian selenium 45 µg/hari juga dapat meningkatkan 100% artinya dari 29.6 % anak yang menderita retardasi mental berat (skor IQ <25) semua dapat dikoreksi menjadi tingkat sedang (skor IQ=40-55), dan plasebo (19.1% - 10.4% = 8.7%) dari kategori retardasi mental berat (skor IQ <25) menjadi tingkat sedang dengan skor IQ=40-55. Artinya dapat diambil kesimpulan sementara bahwa pemberian iodium 50 µg/hari atau selenium 45 µg/hari saja memberikan pengaruh terbaik terhadap skor IQ (p<0.001).
Kemampuan metakognitif diyakini sebagai kemampuan tingkat tinggi untuk menegemen pengetahuan. Metakognitif berhubungan dengan gaya kognitif dan strategi belajar (Limited, 1996).
Kemampuan kognitif dibutuhkan untuk
bekerja pada suatu tugas, sedangkan metakognisi penting untuk memahami bagaimana tugas itu akan dikerjakan. Kemampuan kognisi ada dua hal, yaitu penilaian terhadap diri sendiri (self assessment) dan menegemen diri sendiri sebagai kemampuan mengatus pengembangan kognitif diri sendiri (selfmenegement). Kemampuan metakognitif berhubungan dengan teori pembelajaran konstruktivis yang menempatkan kognisi dan pemahaman dalam diri individu (Imel, 2002). Secara teoritis kemampuan metakognitif dapat meningkatkan ketrampilan pemecahan masalah di kelas saat proses pembelajaran, namun sejauh yang penulis ketahui belum ada penelitian empiris yang mendukung atau menolak teori tersebut ketika diterapkan di dalam konteks pendidikan dasar di Indonesia. Untuk itulah penelitian dilakukan untuk melihat adanya pengaruh suplemen selenium dan iodium dalam meningkatkan skor IQ anak usia sekolah dasar. Hasil analisis selisih (∆) peningkatan skor IQ pada anak di daerah endemik GAKI menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium saja atau pemberian suplemen selenium saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan skor IQ anak. Tabel 49 menunjukkan bahwa pemberian selenium + iodium ternyata tidak efektif karena pada usia 9-12 tahun merupakan saat tumbuh cepat kedua sehingga yang dibutuhkan adalah lemak tidak jenuh khususnya arachidonic acid (ARA), sialic acid (SA) dan docosahexaenoic acid (DHA) dan iodium saja untuk perkembangan otak anak (Yehuda et al. 1999). Nilai rata-rata skor IQ anak sebelum perlakuan sebesar 24.5 – 30.9 artinya angka tersebut dalam kisaran skor IQ<25 yang memiliki indikasi bahwa anak-anak yang memiliki 6-11 tanda khas kretin di daerah endemik GAKI dalam penelitian ini menderita retardasi mental berat. Kemudian nilai rata-rata skor IQ anak sesudah perlakuan meningkat menjadi 35 – 42.5 artinya skor IQ anak dalam kisaran skor IQ=25-40 yang memiliki indikasi retardasi mental kategori sedang. Jadi dengan pemberian suplemen selenium 45 µg/hari saja atau suplemen iodium 50 µg/hari saja selama 2 bulan dapat meningkatkan skor IQ anak sebesar 18 point.
Jumlah Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan Dalam penelitian ini spektrum 6-11 tanda khas kretin yang paling cepat menunjukkan pengaruhnya dari pemberian suplemen selenium dan iodium adalah (motivasi belajar, sulit menangkap pembicaraan orang lain, benjolan di leher, anemia , ukuran lingkar lidah, dan gangguan pertumbuhan fisik=BB/U, TB/U). Hasil analisis selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable tanda khas kretin (Tabel 50-51) Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok anak yang menderita GAKI dengan tanda khas kretin yang diberi suplemen dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari saja atau iodium 50 µg/hari atau selenium 45 µg/hari +iodium 50 µg/hari dapat menurunkan jumlah tanda khas kretin 1 point.
Sementara plasebo tidak dapat menurunkan tetapi tetap ada
penurunan sebesar 0.1 % . Artinya ada kemungkinan bila pemberian suplemen dilakukan dengan durasi yang lebih lama akan dapat menurunkan jumlah tanda khas kretin pada masa pertumbuhan anak penderita GAKI di daerah endemik. Tidak ada perbedaan hasil penurunan jumlah tanda khas kretin pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan.
Hal ini
disebabkan karena pengukuran yang bersifat kualitatif tanpa menggunakan alat yang sudah standar atau baku, sehingga hasilnya kurang valid (Gambar 26). Faktor yang Mempengaruhi Respon Status Gizi Pada Tabel 64 terlihat bahwa pada semua kelompok suplemen mengalami peningkatan berat badan dan tinggi badan yang nyata (p<0.05) antara sebelum dan sesudah perlakuan. Efek bersih suplementasi Se dan I terhadap berat badan sebesar 1.96-3.04 kg dan terhadap pertambahan tinggi badan sekitar 1.2-3.5 cm (Tabel 34). Efek suplemen selenium dan iodium pada anak di daerah endemik GAKI ini sejalan dengan hasil penelitian suplemen selenium dan iodium pada anak penderita anemia terhadap berat badan meskipun nyata tetapi efek bersihnya kecil yaitu 0.26 SD (Brown et al. 2003) Artinya pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dan iodium 50 µg/hari dapat mengurangi dampak memburuknya status gizi seiring dengan pertambahan umur pada masa growth sprout II.
Efek pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap semua kelompok perlakuan ternyata tidak berbeda dengan plasebo. Artinya pada semua kelompok mengalami pertambahan berat badan dan tinggi badan tanpa melihat status anemia maupun status defisiensi selenium dan iodium. Namun demikian kejadian stunted pada kelompok plasebo tetap terbanyak yaitu 22.22 % dan underweight 23.31%. Meskipun perlakuan dengan pemberian suplemen relatif cepat (2 bulan) tetapi memiliki efek yang cukup besar terhadap perbaikan status gizi anak. Efek bersih BB/U +1.52 SD dan efek bersih TB/U +0.8 SD.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa suplementasi Se dan I dapat meningkatkan perbaikan pertumbuhan anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik GAKI. Analisis Normalitas Data dan Uji ANCOVA Sebelum semua data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis, maka perlu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan One-Sampel Kolmogorov-Smirnov Test, Program SPSS for Windows V.11 (Lampiran1). Hasilnya semua data dari tiap variabel sangat nyata (p=0.000) memiliki distribusi normal. Bukti ini diperkuat dengan efek bersih dari analisis peragam (Ancova) bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sebelum dan sesudah perlakuan dengan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan (Lampiran 8) Setelah yakin bahwa semua data memiliki distribusi normal, maka menurut disain penelitian ini digunakan analisis uji ANCOVA untuk mengetahui nyata tidaknya perbedaan sebelum dan sesudah perlakuan pemberian suplemen selenium dan iodium selama dua bulan pada anak di daerah endemik GAKI. Hasilnya semua variabel yang diteliti berbeda sangat nyata antara sebelum dan sesudah perlakuan (Paired Sampel T-test). Namun hasil korelasi Spearman antara jumlah tanda kretin, kategori ketinggian area desa, jenis kelamin, dengan variabel bebas seperti status gizi, lingkar lidah, skor IQ, jenis anemia dan kadar selenium maupun kadar iodium. Hasil analisis ANCOVA dapat dilihat pada Lampiran 9. Analisis regresi linier digunakan untuk melihat apakah pemberian suplemen selenium dan iodium yang diberikan menurut kelompok masing-masing variabel yang diteliti benar-benar bersih dari faktor-faktor pengganggu
(confounding factor). Hal ini perlu dilakukan khususnya untuk melihat manfaat bersih dari intervensi gizi selenium dan iodium terhadap status gizi yang sangat erat hubungannya dengan tingkat kecukupan energi /hari. Disamping itu data zat gizi rujukan untuk komposisi bahan makanan mikronutrien masih sangat minim sehingga menjadi masalah tersendiri dalam analisis konversi tingkat kecukupan zat gizi (dalam penelitian ini zat gizi selenium dan iodium). Selanjutnya analisis kepatuhan minum kapsul harian pada anak di daerah GAKI sangat tergantung pada kedisiplinan guru dalam meluangkan waktu saat istirahat untuk memberikan suplemen kapsul selenium dan iodium kepada anak didiknya di kelas. Tingkat kepatuhan minum suplemen dalam penelitian sebesar 79.17%-95.83% memiliki hubungan yang nyata dengan perbaikan skor IQ anak (p=0.009; r=0.243). Artinya kepatuhan anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik GAKI di Kabupaten Boyolali dapat dikatakan ‘baik’ untuk keberlangsungan program, jika suplemen selenium dan iodium akan dijadikan alternatif program penanganan GAKI. Analisis Regresi Logistik Hasil analisis bivariate antara kadar Se dan I plasma dengan status gizi, skor IQ dan jumlah tanda khas kretin (Tabel 22) menunjukkan bahwa suplementasi selenium 45 µg/hr saja yang mempunyai nilai p < 0.05 yaitu perbaikan profil darah (kadar leukosit, MCV, kadar Se dan I plasma), status gizi (BB/U) dan skor IQ. Variabel independen lain seperti status gizi (TB/U) dan jumlah tanda khas kretin mempunyai nilai p > 0.05. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa sampel yang diberi suplemen seleneium 45 µg/hr saja terlihat risiko anemia mikrositik hiperkromik disertai defisiensi Se dan I dan menderita kurang gizi lebih rendah dan bermakna (kadar leukosit, MCV, kadar Se dan I plasma) dibandingkan sampel yang diberi iodium 50 µg/hr atau Se+I (p<0.01; OR=0.31; 95%CI OR 0.19-0.62). Pemberian Se+I selama 2 bulan menunjukkan risiko menderita anemia makrositik hipokromok lebih rendah
dan bermakna dibandingkan sampel yang diberi suplemen Se
sebanyak 45 µg/hr atau I sebanyak 50 µg/hr saja (p<0.01; OR=0.64; 95%CI OR 0.11-0.99).
Berdasarkan Tabel 53 nilai Odd Ratio dan nilai p untuk status gizi anak yang diberi suplemen Iod 50 µg/hr tampak risiko untuk stunted (TB/U) lebih rendah dibandingkan dengan pemberian Se+I (p<0.01; OR=0.64; 95%CI OR 0.51-0.87). Sementara risiko untuk underweight (BB/U) lebih rendah dibandingkan dengan pemberian I saja (p<0.01; OR=0.44; 95%CI OR 0.21-0.67). Analisis Implikasi Kebijakan Pada hakekatnya, masalah GAKI dan spektrum kretin di daerah endemik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara Nasional tetapi tidak boleh melupakan faktor budaya setempat/ lokal. Artinya endemisitas dari tiap lokasi dengan ketinggian daerah di atas permukaan air laut yang berbeda memiliki tingkat risiko yang berbeda juga. Dalam penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan antara ketinggian lokasi SD atau tempat tinggal anak dengan kadar iodium dalam plasma darah yang sangat signifikan, yaitu makin tinggi lokasi SD dan tempat tinggal anak maka kadar iodium dalam plasma akan makin rendah (p=0.00; r=6.57). Begitu pula dengan semakin tinggi lokasi tempat sekolah dan tempat tinggal anak maka akan semakin rendah kadar selenium dalam plasma darah anak (p=0.00; r=7.20). Kesepakatan internasional antara Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2006) dengan para pengambil kebijakan bidang kesehatan di negara-negara berkembang memutuskan bahwa prevalensi Total Goiter Rate (TGR) sudah tidak layak lagi dipakai sebagai indikator prevalensi GAKI di daerah endemik. Sekarang dianjurkan menggunakan Urinary Iodine Excretion (UIE) sebagai indikator besarnya masalah GAKI di masyarakat. Namun dampak penggunaan data UIE di Indonesia belum juga menghasilkan keputusan yang tepat dalam penanganan GAKI dan spektrum kretin endemik. Begitu pula dengan upaya UNICEF dalam menggalakkan Universal Salt Iodisation (USI) di Indonesia ternyata memerlukan regulasi, law inforcement, social inforcement dan community inforcement dalam melaksanakan universal garam beriodium (USI). Sebagai perbandingan berikut disajikan hasil intervensi suplemen iodium di berbagai Negara (Lampiran 9).
Hal yang sama terjadi pada pemberian kapsul minyak beriodium, dimana kandungan Iodium setiap kapsul adalah sekitar 190 - 210 mg Iodium per 0,5 ml. Selanjutnya ditetapkan bahwa jumlah aman untuk setiap kapsul lipiodol adalah sebanyak 200 mg Iodium (Depkes, 2000). Sasaran untuk pemberian kapsul minyak beriodium di kecamatan endemik berat (prevalensi TGR > 30%) adalah wanita usia subur, ibu hamil, ibu menyusui dan anak sekolah dasar. Analisis Implikasi Keilmuan Selenium dan Iodium dalam darah manusia sangat bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah/jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari. Misalnya anak penderita phenylketonuria dan Maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se dalam darah (The Lancet, MedScape 2000). Artinya setiap anak kemungkinan dapat mengalami defisiensi selenium dan iodium atau sebaliknya mengalami kelebihan selenium dan iodium dalam darahnya. Oleh karena itu perlu pendidikan pengenalan bahan makanan yang mengandung banyak atau kurang selenium dan iodium, serta jenis bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan iodium maupun selenium.
Underwood
(2002) mengatakan bahwa setiap bagian darah memiliki fungsi dan peran yang sangat spesifik dan bila salah satu kekurangan atau sampai kehabisan zat gizi maka tubuh seseorang akan mengalami kelainan yang bersifat sistemik. Sebagai contoh berdasarkan keadaan geografi, maka diketahui kecenderungan populasi yang hidup di daerah rendah kadar Se dalam tanah dan relatif rendah asupan Se dalam makanan memiliki angka kematian yang tinggi akibat kanker. Kebaruan Penelitian 1.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 15 tanda khas kretin yang masih diragukan validitasnya secara klinis ternyata baru ditemukan 6-11 tanda khas kretin yang secara umum mudah dikenali sebagai tanda awal akan terjadinya kretin pada anak usia sekolah.
Tanda khas kretin yang paling dominan
berpengaruh terhadap skor IQ anak adalah lingkar dan tebal lidah dengan nilai pseudo R square = 0.903. Penebalan lidah pada anak usia sekolah di daerah endemik GAKI belum banyak diteliti sehingga masih sedikit referensi
tentang pentingnya penelitian pertumbuhan dan perkembangan lidah anak sejak lahir. 2.
Penelitian ini berhasil menunjukkan hubungan antara spektrum ‘kretin endemik’ dan jenis anemia mikrositik hiperkromik maupun anemia mikrositik hipokromik pada anak usia 9-12 tahun yang lahir di daerah endemik GAKI dan memiliki 6-11 tanda khas kretin. Adapun nilai pseudo R square 6-11 tanda khas kretin menurut kuatnya hubungan (R) dengan skor IQ adalah: i.
lidah membesar (pseudo R square = 0.90)
ii.
anemia /pucat, lemah, malas (pseudo R square = 0.89)
iii.
motivasi belajar kurang (pseudo R square = 0.88)
iv.
kurang dapat mendengar (pseudo R square = 0.84)
v.
pendek/cebol/ kerdil dibanding seusianya (pseudo R square = 0.83)
vi.
sulit diajak bicara, sulit menangkap pembicaraan orang lain (pseudo R square = 0.79)
vii.
mengalami gangguan pertumbuhan fisik/status gizi buruk/kurang gizi (pseudo R square = 0.78)
viii.
apatis, tidak bersemangat (pseudo R square = 0.73)
ix.
ada benjolan di leher (pseudo R square = 0.66)
x.
kulit berbintik/ bercak merah (pseudo R square = 0.56)
xi.
gangguan berjalan /langkah tidak teratur (pseudo R square = 0.39) Konsisi tersebut dapat dikoreksi dengan pemberian selenium 45 µg/hari dan iodium 50 µg/hari selama 2 bulan. Namun masih perlu dilakukan analisis yang lebih rinci tentang faktor perancu guna melihat faktor yang paling dominan mempengaruhi tanda khas kretin.
3.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan GAKI dengan teknik yang mengandalkan palpasi dan IEU tidak dapat secara langsung dihubungkan dengan skor IQ anak. Khususnya pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin dan tinggal di daerah endemik GAKI.
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan dari desainnya, yaitu tidak mampu menggunakan Randomizaed Control Trial (RCT) tetapi cukup menggunakan
eksperimen kuasi (Non Randomisasi) sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini dikarenakan lokasi yang sangat sulit dijangkau untuk dilakukan RCT pada sampel. Namun randomisasi Sekolah Dasar tetap dilakukan dalam penentuan kelompok perlakuan. Meskipun demikian nilai homogenitas pada semua sampel /subyek penelitian tetap tinggi (p=0.008) (Lampiran 8). Tingginya drop out sampel (44.14%) tidak mempengaruhi power statistik, karena sejak awal penelitian (saat penapisan) power statistik sudah di set tinggi (90%). Setelah terjadi drop out sampel 44.14% maka power statistik menjadi 87%. Hal ini terjadi karena sampel yang drop out tetap secara random sehingga tidak mengganggu tingkat kemampuan untuk mengambil kesimpulan karena distribusi sampel tetap seimbang dan homogen dan hasilnya tetap nyata (Murti, 2008 Komunikasi pribadi). Analisis data dalam penelitian ini belum mencakup semua faktor perancu yang mempengaruhi perbaikan profil darah, status gizi dan skor IQ anak, dan penurunan jumlah tanda khas kretin.