TINJAUAN PUSTAKA Karang Lunak (SoftCoral) Karang lunak merupakan kelompok hewan tingkat rendah (avertebrata) yang termasuk ke dalam filum Coelenterata atau sering disebut juga cnidaria karena rnemiliki crride (bahasa Yunani) yang berarti sengat. Filum ini terbagi menjadi tiga kelas, yaitu Hydrozoa, Anthozoa dan Scyphozoa (Barnes 1980; Bayer 1981). Saat ini kelas dari filum Coelenterata telah berkembang menjadi empat kelas yaitu Hydrozoa, Anthozoa, Cubozoa dan Scyphozoa (Kozloff 1990; Pechenik 2005; Suwignyo e f a/. 2005). Ciri khas lain dari kelompok hewan kolenterata adalah keberadaan rongga pencernaan (Coelen atazr gasfrovaskzrlar cavity) dan mulut, tetapi anus tidak ada. Kelompok organisme soft coral memiliki struktur tubuh yang menetap di dasar (polip) serta rangka lunak @shy skeletor~)termasuk kedalam kelas Anthozoa dan subkelas Octocorallia (Alcyonaria). Struktur octocorallia mirip zoanthoria, tetapi terdapat beberapa perbedaan yang khas seperti polip octocorallia selalu mempunyai 8 buah tentakel pinnate, artinya pada setiap sisi tentakel berlekuk-lekuk (Gambar 2.). Semua jenis octocorallia berbentuk koloni dengan sejumlah polip kecil-kecil. Masing-masing polip dalam koloni dihubungkan oleh suatu jaringan coer~errchynzdan untuk koloni karang lunak (soft c o r d termasuk ke dalam ordo Alcyonaceae (Wagner 2000; Suwignyo et a/. 2005).
Ga~ubar2. Polip Octocorallia clengan 8 buah tentakel pinnate (Wagner 2000)
Anggota dari subkelas Octocorallia (Alcyonaria) hidup di daerah pasang surut terendah sampai kedalaman beberapa ratus meter, dan salah satu anggotanya yaitu keluarga Alcyoniidae adalah karang lunak utama penyusun terumbu karang di laut Pasifik.
Sebaliknya di laut Atlantik, karang lunak utama penyusun terumbu
karangnya adalah Gorgonacea (Bayer 1981; Dinesen 1983, diacu dalam Sandy 2000). Tomascik et nl. (1997) menyatakan bahwa, biasanya Octocorallia kurang berperan dalam pembentukan karang tetapi ada beberapa spesies seperti Heliopora (Coenothecalia, Helioporidae) yang biasa disebut karang biru, materi skeletalnya terdiri dari aragonit fibrokristalin berkontribusi signifikan bagi kerangka terumbu karang. Pada laguna Shiraho, Pulau Ishagaki, Jepang, terdapat koloni Heliopora coerulea terbesar di dunia, dan untuk di Indonesia dilaporkan karang lunak jenis
tersebut membangun beberapa paparan terumbu karang di Pulau Lucipara, Laut Banda. Ordo Alcyonaceae terdiri kelompok karang lunak (koloni) dengan pangkal masing-masing polip menyatu di dalam satu jaringan yang lunak seperti karet, hanya ujung oral yang muncul keluar dengan rangka dari spikul kapur (Barnes 1980; Bayer 1981; Kozloff 1990; Pechenik 2005; Suwignyo et al. 2005). Bagian ujung oral yang muncul keluar tersebut bersifat retraktil, yaitu dapat ditarik masuk ke dalam jaringan tubuh yang terdiri dari delapan tentakel dilanjutkan dengan delapan septa yang tidak berupa kapur (Manuputty 2002). Karang Lunak sebagai Organisme Uji
Klasifikasi Klasifikasi kedua jenis karang lunak yang digunakan sebagai organisme uji menurut Hyrnan (1940); Bayer (1956); Allen and Steene (1994) dan Tomascik el nl. (1997) adalah :
a. Sinrclcirin s p Filum : Coelenterata Kelas : Anthozoa Subkelas : Octocorallia Ordo :
Alcyonaceae
Sub Ordo : Alcyoniina Famili
: Alcyoniidae
Genus : Sinularia Spesies
: Sitzulwia sp.
b. Lobopltytun~sp Filum : Coelenterata Kelas : Anthozoa Subkelas : Octocorallia Ordo : Alcyonaceae Sub Ordo : Alcyoniina Famili
: Alcyoniidae
Genus : Lobophytzinl Spesies : Lobophytum sp.
Morfologi dan Anatomi Karang Lunak Sebagai Organisme Uji Sinzrlul.ia sp dan Lobopl,ytzrn, sp merupakan jenis karang lunak yang termasuk dalam anggota subkelas octocorallia yang memiliki tekstur tubuh yang lunak, ditunjang oleh tangkai berupa jaringan berdaging yang diperkuat oleh suatu matriks dari partikel-partikel kapur mikroskopis yang disebut sklerit. Istilah sklerit berasal dari skleros yang berarti keras, selain sklerit istilah spikula dipakai untuk nama umum bagi kerangka kapur yang menyokong tubuh k a r a n ~lunak yang berbentuk pipih seperti sisik.
Bentuk, ukuran dan ornamen dari sklerit sangat berguna untuk
identifikasi. Sklerit merupakan spikula yang berbentuk seperti kumparan atau jarum tebal yang berukuran besar dengan kedua ujung runcing atau agak runcing dan
umumnya terdapat pada bagian basal atau tangkai temtama di dalam jaringan coenenchym (Manuputty 2002; Suwignyo 2005; Pachenik 2005 ). Anggota octocorallia memiliki mulut yang membentuk farinx berupa saluran, rongga gastrovaskular (perut yang berupa pembuluh), serta kepemilikan delapan tentakel atau lengan yang berduri (pinnula) yang berfungsi untuk membantu rnengalirkan air dan zat-zat makanan ke dalam mulut. Dilanjutkan dengan delapan septa (sekat) yang tidak berupa kapur yang menggantung dan membagi rongga dalam tubuhnya menjadi delapan bagian yang disebut mesenteri (Gambar 3.). Polip pada anggota octocorallia ada yang dapat ditarik atau dikuncupkan, terjulur, dan ha1 ini merupakan ciri morfologi yang dimiliki, yang dapat membedakan antara marga atau jenis yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang lain secara anatomis, yaitu pada kandungan spikula yang merupakan penyokong dan pembentuk tekstur tubuh. Selain itu polip ini juga dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu antokodia, kaliks dan antosela.
Gambar 3. Morfologi Octocorallia (Bayer 1956)
Antokodia merupakan bagian yang terdapat di permukaan koloni dan bersifat retraktil, yaitu dapat ditarik masuk ke dalam jaringan tubuh. Bangunan luar dari poripori inilah yang disebut kaliks. Pada daerah kaliks ditemukan rongga gastrovaskular atau rongga perut, tenisan dari farinx (yang terbagi menjadi delapan dan disebut septa), benang-benang septa dan organ reproduksi atau gonad.
Bagian antosela
merupakan bagian basal polip yang mengandung jaring-jaring solenia. Hubungan antara polip satu dengan yang lainnya tejadi melalui jaring-jaring solenia ini ( Bayer 1956; Manuputty 1996a; Fossa & Nielsen 1998). Ordo Alcyonaceae umumnya ditemukan polip-polip dimorfisme atau polip yang memiliki dua bentuk berdasarkan tipe dan fungsi yang berbeda. Tipe pertama adalah autozoid, yaitu polip dengan delapan tentakel yang berkembang dengan baik dan bersifat fertil. Polip ini berfbngsi untuk mencema makanan, berkembang secara vegetatif disamping polip induknya, mempunyai mulut dan tentakel yang panjangnya normal.
Polip lainnya yaitu siponosoid, polip ini memperlihatkan dinding yang
dibangun pada bidang-bidang yang bersilia, berperan mengalirkan air pada sistem pipa internal ke dalam dan keluar koloni dan menyediakan oksigen untuk jaringan. Fungsi lain dari polip ini adalah berperan dalam proses reproduksi yaitu menghasilkan gamet. lolip-polip ini juga sebagian bergerak untuk berekspansi dan berkonstraksi, sebuah proses yang dapat dilihat pada beberapa koloni (Barnes 1987; Kozloff 1990; Rupert dan Barnes 1994; Manuputty 1996a; Fossa & Nielsen 1998). Polip dalam sub ordo Alcyoniina menunjukkan bentuk dan ukuran yang be~ariasi, ada yang panjang ada juga yang hanya sedikit menonjol diatas epidermisnya. Ada polip dengan spikula yang sangat kecil, ada juga polip pada genera lain mempunyai spikula sangat padat sampai menonjol keluar yang berhngsi sebagai pertahanan diri. Pada sub ordo ini polip dimorfik dijumpai. Pada spesies dengan koloni besar dan massif biasanya dimorfik, sedangkan spesies dengan koloni seperti pohon (mborescent) tidak dimorfik, namun pola tersebut tidak selalu seperti itu. Pada famili xeniiidae, ada yang dimorfik ada yang tidak. Heteroxenlin spp adalah dimofik tapi hanya pada saat musim perkembangbiakkan (Sprung & Delbeek 1997).
Beragam warna indah yang nampak pada koloni octocorallia dihasilkan oleh sejumlah zooxanthellae yang hidup dalam jaringan tubuhnya. Zooxanthellae ini menghasilkan pigmen coklat, kuning, hijau dan sebagainya (Manuputty 19963. Zooxanthellae ini mulai masuk ke jaringan polip karang lunak pada saat masih berbentuk telur atau larva yang baru lahir (Gohar 1940; Atoda 1951; Smith 1980; Fitt 1984 yang diacu dalam Sorokin 1989). Larva terinfeksi oleh zoospora zooxanthellae
yang berenang bebas yang terdapat di dalam air. Infeksi ini juga terjadi pada saat larva yang baru menempel pada substrat. Polip menarik zooxanthellae yang berenang ke dalam rongga mesentari lewat mulut, kemudian menginfeksinya (Kinzei 1973, diacu oleh Sorokin 1989).
Karang lunak ordo Alcyonaceae yang mengandung
zooxanthellae adalah jenis Alcyonizrm, Lithophyton, Lobophytzrm, Sarcophyton,
Simlcria, Capnella, Cladiella, Lemnalia, Paralemnalia (Sorokin 1989). Karang lunak diketahui berkembang biak dengan tiga cara, yaitu fertilisasi internal, yaitu telur yang dibuahi tetap tinggal pada permukaan tubuh, fertilisasi ekstemal,yaitu terjadi diluar tubuh dimana larva yang terbentuk memiliki silia atau bulu getar, kemudian berenang bebas mencari tempat perlekatan berupa substrat dasar yang keras untuk selanjutnya tumbuh menjadi polip atau koloni barn dan reproduksi secara aseksual yaitu peleburan atau pertumbuhan koloni dan fragmentasi (Manuputty 2002). Senyawa Bioaktif Karang Lunak Senyawa bioaktif atau Bioactive Compozrnd adalah senyawa yang dihasilkan secara alami oleh organisme melalui jalur biosintetik dan aktif sebagai senyawa antimikroba, senyawa aktif secara fisiologi (sinyal kimia), senyawa aktif secara farmakologi dan senyawa sitotoksik dan antitumor (Kobayashi & Satari 1998). Senyawa bioaktif merupakan metabolit sebagai produk metabolisme organisme yang melibatkan anabolisme dan katabolisme, sebagai contoh lintasan pembentukan glukosa.
Ada dua jenis metabolit yang dihasilkan oleh organisme selama masa
pertumbuhan dan perkembangannya yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Murniasih (2005) menjelaskan bahwa metabolit primer adalah metabolit yang
secara ekologis karena beberapa metabolit sekunder dengan tipe senyawa diterpen dari karang lunak tersebut terlibat di dalam interaksi ekologi (Coll 1992, diacu dalam Radhika 2006) serta memiliki aktivitas anti inflamasi (Radhika et a/. 2005) dan HIV inhibitoly (Rashid et al. 2000). Tursch el 01. (1978) berhasil mengisolasi senyawa terpen dari beberapa jenis karang lunak. Senyawa terpen merupakan senyawa kimia yang dihasilkan secara alamiah oleh tumbuh-tumbuhan dan rnengandung aroma atau bau yang harum. Senyawa terpen ini telah menarik perhatian para ahli kimia terutama yang meneliti senyawa-senyawa alamiah karena dapat digunakan dalam bidang farmasi sebagai antibiotika, anti jamur dan senyawa anti tumor. Sedangkan kegunaannya bagi karang lunak itu sendiri ialah sebagai penangkal terhadap serangan predator, dalam ha1 memperebutkan ruang lingkup, dan dalam proses reproduksi (Coll & Sarnmarco 1983). Senyawa Terpenoid pada Karang Lunak Uji Sifat allelopatik yang dimiliki karang lunak merupakan sisi lain dari kehidupannya. Allelopatik menurut La Berre and Coll (1982) dan Sammarco et a1 (1983) adalah sifat penghambat secara langsung terhadap suatu jenis oleh jenis lainnya dengan menggunakan zat-zat kimia beracun atau berbisa. Zat kimia yang digunakan berupa senyawa organik dengan nama terpen. Senyawa terpenoid adalah senyaura organik yang banyak terdapat pada komponen minyak essensial pada banyak tumbuhan dan bunga (Streiwieser et al. 1992). Senyawa ini disintesis oleh organisme dari asam asetat melalui proses biokimia dengan sistem enzimatik yang disebut metabolisme. Proses tersebut merupakan jalur-jalur biosintetik (biosintetic pathways) yang digunakan oleh semua makhluk hidup dalam memproduksi metabolit yang essensial untuk kelangsungan hidup dan pertahanan dirinya (Murniasih 2005). Pechenik (2005) menambahkan bahwa jaringan octocorallia telah diketahui mengakumulasi beragam turunan senyawa biokimia yang tidak biasa sebasai hasil metabolisme asam lemak.
Senyawa ini tidak terlibat langsung dalam proses
metabolisrne melainkan untuk perlindungan diri dari predator dan hambatan pertumbuhan oieh organisme lain (kompetisi ruang).
Terpen atau terpenoid merupakan suatu kelompok senyawa kimia dari golongan hidrokarbon isometrik dengan struktur yang umumnya disusun oleh sejumlah unit isoprena (unit Cs) (Streitwieser el nl. 1992).
Senyawa ini umumnya
ditemukan dalam minyak essensial atau minyak atsiri dari tumbuh-tumbuhan yang berdaun harum seperti eukaliptus atau dalam bentuk terpentin dari sebangsa pinus, damar, karet dan sebagainya (Tursch et nl. 1978). Senyawa terpen ditemukan dalaiil bentuk bermacam-macam, oleh Ikan (1991) diklasifikasikan menjadi enam kelompok yaitu : (1) Monoterpena (CIOHIG),(2) Seskuiterpena ( C l j H ~ d ,Diterpena ( C Z O H ~ ~ ) , Triterpena (C30&8), Tetraterpena ( C ~ O H GPolyterpena ~), (CsH8)n Tomascik el al. (1997) menyatakan bahwa karang lunak pada temmbu karang di Indonesia berlimpah diduga karena kemampuan karang lunak untuk menghasilkan senyawa terpen. Hasil penelitian yang telah dibuktikan menunjukkan bahwa jenisjenis hewan yang mengandung senyawa terpen dapat mematikan biota lain di sekitarnya, baik dari kontak langsung maupun tidak langsung atau yang saliiig berdekatan (Sammarco et al. 1983).
Murniasih (2005) berpendapat bahwa
invertebrata laut mempunyai struktur pergerakkan fisik lebih terbatas dibanding dengan vertebrata taut, sehingga mampu mengembangkan sistem pertahanan diri dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense).
Senyawa kimia seperti
halnya senyawa terpen dalam tubuh karang lunak, biasanya berfungsi sebagai pelengkap kegiatan fisik. Fungsi dan peranan senyawa terpen bagi karang lunak adalah untuk kompetisi ruang (Benayahu & Loya 1981; Coll & Sammarco 1986; Van Alstyne et al. 1994, diacu dalam Sandy 2000), sebagai racun untuk melawan predator, sebagai senyawa untuk menyelamatkan makanan dari biota lain (Coll dan Sammarco 1956; Griffith 1994; Van Alstyne et a/. 1994 yang diacu dalam Sandi, 2000). Selain itu senyawa terpen berperan juga dalam reproduksi (Coll dan Sammarco, 1983). Cove1 et al. (1996) dalam Rashid el al. (2000) berhasil mengidentifikasi senyawa terpen dari jenis Lobophytzmm c~istagnlli yang berpotensi sebagai inhibitor dari fernes~yi protein tra?7sferasse (FPT) yang berasosiasi pada sel kanker. Enzim FPT ini dilepaskan oleh sel kanker untuk mendegradasi protein yang akan digu~lakanuntuk meregulasi sel
induk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senynwa diterpene dari karang lunak mampu berkompetisi dengan WT untuk mendapatkan substrat, sehingga kinerja dari enzim FPT terhambat. Senyawa inhibitor FPT sangat potensial untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker.
Sumber lain menyebutkan bahwa karang lunak
Lobophytzim mampu memproduksi senyawa turunan terpene yang berpotensi sebagai HIV-protease inhibitor yang dapat menghambat kineja protease dari virus HIV (Rashid et al. 2000). Pertahanan diri karang lunak dari predator selain menggunakan senyawa terpen dibantu oleh sklerit-sklerit.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil
penelitian yang dilalcukan oleh Van Alstyne et al. (1994), diacu dalam Sandi (2000) yang mengetahui bahwa hngsi sklerit dalam meningkatkan kekuatan tubuh organisme dan membatasi kelenturan serta perluasan koloni, sehingga hngsi utama dari sklerit adalah untuk menyokong tegalcnya tubuh. Van Alstyne et al. (1994), diacu dalam Sandi (2000) menduga bahwa produksi dari pertahanan berganda ini merupakan hasil dari ketidakmampuan dari pertahanan tunggal untuk menghalangi semua tipe predator. Hal ini karena metabolit tunggal seringkali hanya efektif untuk satu predator, tapi tidak untuk predator lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tursch et al. (1978) melaporkan bahwa karang lunak yang bersimbiose dengan zooxanthellae saja yang dapat menghasilkan senyawa terpen.
Sebagai contoh pada sejenis Gorgonacea yaitu
Pseudoplexazira porosa ditemukan bahwa senyawa terpen yang berasal dari polip berbentuk sesquiterpen, sedang dari zooxantheliae menghasilkan senyawa terpen berbentuk diterpen. Acerett el al. (1998) melaporkan bahwa Sin~~laria,flexibilis yang jarang ditumbuhi penuh (overgrown) bakteri dan algae menghasilkan senyawa diterpenoid lebih besar. Beberapa studi melaporkan bahwa senyawa diterpenoid yang dihasi!kamya mampu melindunginya dari kompetitor dan predator. Ekstrak karang : -----1. :: ,: :.*-.
...,,. .
.:,:--.. .,1 ,.,,:.. ,,
....
,, > L: ; ,.J J2 :E :z I, :: E
setelah
difraksinasi
dengan
TLC
(171ir1 L q e r
<'b~.r?r?torr?.rir.~~~i!l.;> . : ,.. mesgh3siikz~ iimz QsnT?z-2 r s ~ e n o i dT!fi.'fi . - du"di:rrrz?zr)x:a
i-, , :.-..LUG . . . . cc:: . .: 1 :.-.!: 1 - 1 l l G l l ~1.1~ l ~ uakrlvlras . I . . : . . : ' + . . . ?I...:;.., ;... T , . >rituiaiw~~Gc ~all a ~ l r l l ~ ~.,~ ~&ut u ' ~b ~a i l li i~ t c ~ i ~ ~ l a i i l b ~ i
pertumbuhan bakteri gram positif. Beberapa jenis senyawa terpen yang dihasilkan oleh hewan karang lunak ditampilkan pada Tabel 1. Satari (1997) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi besar-kecilnya zona harnbat senyawa bioaktif terhadap bakteri indikator antara lain aktivitas senyawa bioakif gugus fungsi dari substansi sendiri, resistensi dari bakteri terhadap substansi senyawa bioaktif kadar substansi aktif, serta jumlah inokulum bakteri atau kepadatan bakteri uji.
Menurut beliau, ekstrak-ekstrak yang tidak menunjukkan
aktivitas senyawa bioaktif belumlah berarti sampel tidak aktif, tetapi kemungkinan tidak terdeteksi pada konsentrasi sampel uji yang digunakan atau kadar hambat umumnya belum tercapai. Tabel 1. Jenis-jenis senyawa terpen dari beberapa jenis karang lunak Nama senyawa Lobolide Crassolide Nephtenol Sinularide 1 Sinularine Dihydrosinularin 1 1-Episinularide acetate Xenicin Sarcopine Sarcophytoxide Sarcoglaucal African01 Denticultolide Flexibilide lsosarcophytoxidcs Renilafoulins Homarin Eunicin Muricin Thunbergol 13-Hydroxylobolide 3,4-Epoxynepthenol Decoryol Pukalide Epoxypulide Lemlialol Lobohediliolide
Jenis karang lunak Lobophyhim crassum Lobophyhim crasstrm Lobophyhrm paucijlorum Sinularia flexibilis Sinulariaflexibilis Sinularia queciformis Xenis elorigate Sarcophyton glmrcum Sarcophyton trocheliophontm Sarcophyton gtatrc~rrri Lemnalia oficana Lemnalia denticulohfm Sintilaria.flexibitis Sarcophyron sp Renilla reniformis Leptogorgia setasea Elmicia mammosa Muriceafnrctosa Lobophyhim compactarm Lobophytum crass71ni Lobophynfmmicrobzflahrm Lobophytum microbulatum Lobophytzrm niicrobtrtaturi~ Siiiitlaria sp Lamr7alia tennutis Lobophyhim hedleyi
Literatur Tursch et al. 1978 Tursch et al. 1978 Tursch et 01. 1978 Tursch et al. 1978 Tursch el al. 1978 Tursch et al. 1978 Tursch et at. 1978 Tursch et a/. 1978 Tursch et at. 1978 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco d m Coll 1988 Sammarco d m Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco d m Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco d m Coll 1988 Sammarco d m Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988 Sammarco dan Coll 1988
Ekstraksi dan Fraksinasi Isolasi senyawa organik potensial dilakukan dengan mengekstrak organisme dengan pelarut. Ekstraksi adalah suatu metode pemisahan atau pengambilan secara selektif zat terlarut dari campuran yang didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Beberapa zat terutama bahan alam dapat dipisahkan dari padatannya dengan ekstraksi sederhana. Teknik
paling
sederhana
untuk
mengekstraksi
padatan
adalah
dengan
mencampurkannya dalam larutan pengekstraksi, dibantu dengan penghancuran padatan menggunakan alat penghancur. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan (Achrnadi 1992, diacu dalam Elsawati 1994; Khopkar 2003, diacu dalam Fikri 2007 dan Smart 2002, diacu dalam Ismet 2007). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat digolongkan menjadi dua cam, yaitu fase cair dan fase organik. Fase cair biasanya dilakukan dengan menggunakan air sebagai pelarut, sedangkan fase organik dilakukan dengan menggunakan pelarut organik. Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti dengan melakukan pemisahan bahm yang telah diekstrak. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode fase organik karena dalam prosesnya digunakan pelarut organik yaitu berupa metanol. Bahan pertimbangan yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut adalah (Achmadi 1992, diacu dalam Elsawati 1994) sebagai berikut : 1. Pelarut polar akan melarutkan zat polar dan pelarut non polar akan melarutkan zat nonpolar (like dissolved like). 2. Pelarut organik cenderung melarutkan zat anorganik 3. Air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam maupun basa
organik. 4. Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi ke dalam
air dengan menggunakan basa (NaOH, NalC03, NaHC03)
Dalam pemilihan pelarut, faktor yang hams diperhatikan antara lain adalah : daya n~elamtkan,titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi. Beberapa pelarut organik yang dapat digunakan pada proses penapisan senyawa bioaktif seperti yang tertera pada Tabel 2. Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap, yaitu penghancuran bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan dan tahap pemisahan. Penghancuran bertujuan agar dapat mempermudah pengadukan dan kontak bahan dengan pelarutnya pada saat proses perendaman. Kemudian bahan ditimbang untuk mengetahui berat awal bahan sehingga dapat menentukan rendemen yang dihasilkan. Bahan yang telah ditimbang kemudian direndam dalam pelamt, seperti heksana (non polar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar). Proses perendaman ini disebut dengan maserasi. Prinsip pelamtan yang dipakai pada metode ini adalah like dissolve like artinya pelamt polar akan melamtkan senyawa polar dan pelarut non polar akan
melarutkan senyawa non polar. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan sampel dengan pelarut yang telah mengandung bahan aktif
Untuk memisahkan pelamt
dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan evaporasi, sehingga pelamtnya akan menguap dan diperoleh senyawa hasil ekstraksi yang dihasilkan (Khopkar 2003). Tabel 2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
1
Pelarut
Dietil eter
/
Titili didih ("C)
I
1
35
Iionstanta dielektrik I
-116
I
Sumber : Nur
Titik beku ('C)
I
Adijuwana (1989)
4.3
I
Fraksinasi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen organik dan ionik (larut dalam air) dalam suatu senyawa campuran menjadi dua fraksi berbeda (Parenrengi 1999). Fraksinasi merupakan kegiatan awal pemurnian dalam tahapan isolasi dan identifikasi senyawa bioaktif hingga diperoleh fraksi sesuai pelarut yang dipilih. Isolasi dan identifikasi komponen-komponen senyawa organik yang memiliki potensi sebagai senyawa bioaktif dapat dilakukan dengan cara kromatografi. Kromatografi Kromatografi adalah teknik analisis kimia bagi pemisahan komponen senyawa yang masih bercampur. Kromatografi analitik digunakan untuk menentukan identitas dan konsentrasi molekul pada suatu senyawa campuran, dimana pemisahan kromatografi dapat memumikan sejumlah besar sampel molekul.
Semua metoda
kromatografi memiliki fase bergerak (gas atau cairan) yang mampu menarik spesimen sepanjang fase diam (dapat berupa kertas, gelatin atau silika gel magnesium) dengan melambatkan pergerakkan komponen yang masih bercampur. Pergerakkan komponen pada fase diam berbeda kecepatannya dan akan terpisah pada suatu waktu. Masing-masing komponen senyawa yang masih bercampur memiliki karakteristik waktu bergeraknya atau retensi waktu yang berbeda-beda (Engmann 2000). Dewasa ini kromatografi mempakan metoda pemisahan yang paling banyak digunakan untuk tujuan halitatif, kuantitatif dan preparatif.
Pemisahan dengan
kromatograf~dilakukan dengan memodifikasi langsung beberapa sifat umum molekul seperti kelarutan, adsorptibilitas dan volatilitas -(Gritter et nl. 1997).
Teknik
kromatografi untuk pemisahan suatu campuran dipengamhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan interaksi pelamt dengan fase gerak (Harborne
1987; Gritter el nl. 1991).
Menumt Darwis (2000) ada beberapa
kromatografi yang dapat dilakukan antara lain : Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Kolom (KK), Kromatografi Gas (KG) dan IOomatografi Cair Tekanan Tinggi (KCTT).
Kromatografi Lapis Tipis (Tlzin Lnyer Chroinntogmphy)
Kromatogafi Lapis Tipis (Thin Layer Chronmtograyhy) merupakan metode awal pemisahan senyawa dan identifikasi komponen-komponennya. Metode ini berdasarkan distribusi komponen yang berbeda dari suatu senyawa campuran antara fase bergerak dan fase diam pada suatu lempeng tipis. Fase diamnya berupa lapisan tipis yang melekat atau terikat pada suatu material (dapat berupa gelas, plastik atau lembaran metal), yang memungkinkan fase bergerak dapat bergerak ke atas secara kapilari.
Proses pemisahan senyawa berdasarkan prinsip bahwa tiap komponen
dalam campuran senyawa memiliki perbedaan polaritas dan akan terserap oleh fase diamnya (misalnya gel silika), demikian pula pelarut (adsorbent) dan zat terlarut (dissolve) yang berada pada fase gerak, akan bergerak pada tingkatan yang berbeda. Oleh karena itu, tiap komponen dalam campuran senyawa akan tertarik oleh pelarut fase gerak pada tingkatan yang berbeda di sepanjang plat kromatografi. Senyawa yang terikat lebih dulu (fase diam) merupakan senyawa polar dan senyawa yang terus bergerak atau yang memiliki nilai Rf yang tinggi (berada paling atas) merupakan senyawa non polar. Hasil pemisahan senyawa akan menunjukkan spot-spot yang terpisah sepanjang plat kromatosafi lapis tipis (KLT) berdasarkan tingkat polaritasnya. Spot-spot ini kemudian ditandai di bawah sinar UV (Ultra Violet). Faktor retardasi
(Rf) dari tiap spot komponen yang terpisah dapat dikalkulasi dengan mengukur jarak dari titik awal sampel ke tengah spot yang sudah terpisah. Rf ini dapat merupakan langkah awal untuk memperkirakan jenis (identifikasi awal) senyawa organik yang telah terpisah (Smart 2002; Furniss et 01. 2004, diacu dalam Ismet 2007). Kromatografi kolom (Coloum Chronzntogrnphy)
IColom Kromatografi (Colzintn chron~atography)adalah metode pemurnian cairan (dan padatan) yang biasanya digunakan oleh para ahli kimia organik. Kromatografi dengan sistem kolom dapat dilakukan dengan dua cara yaitu disp/acen~ei?tcliron7atography dan partifio?~ chron~atography(Winarno et al. 197;). Displacenlenl chrontatography pada prinsipnya terdiri dari suatu kolom yang terbuat
dari gelas dengan diameter antara 1 - 3 cm dan panjangnya antara 10-20 cm. Kolom gelas diisi dengan bahan yang tidak mudah bereaksi (inert) selanjutnya disebut kolom adsorban. Sampel yang belum murni dimasukkan ke dalam suatu kolom adsorban, seperti silica gel atau alumina.
Pelarut organik atau campuran pelamt (eluen)
dialirkan rnelalui kolom. Komponen sampel terpisah satu dengan yang lainnya yang dipisahkan oleh paket material yang diam (silica atau alumina) dan eluen yang bergerak. Molekul dengan polaritas yang berbeda terpisah hingga kedudukanlposisi yang berbeda (different extents), dan oleh karenanya komponen sampel bergerak sepanjang kolom dengan lajulkecepatan yang berbeda. Eluen terkumpul pada fraksi. Fraksi dianalisa dengan TLC atau Thin L q e r Chromatography (Kromatografi Lapis Tipis) untuk melihat apakah pemisahan telah berhasil. Pada partition chron~afogmphy,adsorbent yang digunakan untuk bahan pengisi yang dilapisi dengan suatu film cair. Film cair ini mempunyai titik didih yang tinggi dan daya adsorbsinya kuat terhadap permukaan partikel dari bahan pengisi. Partikel padat yang dilapisi film cair tersebut disebut supporting material, sedangkan film cair yang melapisinya disebut stationav phase.
Pelarut yang
mengalir di dalam kromatografi disebut mobile phase. Kromatografi Gas (Gas Chromatography) Kromatografi gas rnempakan pemisahan campurasn senyawa yang cukup stabil pada pemanasan, karena sampel yang akan digunakan akan di rubah menjadi fase gas dan dengan adanya perbedaan keterikatan senyawa pada fasa padat yang digunakan terhadap senyawa organik sehingga terjadi pemisahan masing-masing senyawa dari campurannya (Darwis 2000). Aktivitas Antibakteri Senyawa antibakteri didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Berdasarkan aktivitasnya zat antibakteri dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) atau menghambat germinasi spora liakceii. Mekanisine caia kzija zat aniibak<eii dalam iiiengliambai pertunibiihan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain konsentrasi zat antibakteri, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, pH lingkungan, dan sifat mikroba yang meliputi jenis, umur, dan keadaan mikroba (Fardiaz 1992). Zat-zat yang digunakan sebagai antibakteri hams mempunyai beberapa kriteria ideal, antara lain aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan flavor, citarasa, dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, dan sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Fardiaz 1992). Menurut Davis Stout (1971), ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat h a t , daerah hambatan 10-20 mm (hat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah). Faktor yang mempengamhi ukuran daerah penghambatan, yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar. Kelman et al. (2006) menjelaskan bahwa tingkat atau luasan aktivitas ekstrak pada kertas cakram tergantung pada laju difusi ekstrak pada media agar dan potensi ekstrak. Bisa saja ekstrak mempunyai potensi bioaktivitas yang tinggi namun memiliki sifat fisik yang sukar berdifusi pada media. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi agar, yaitu konsentrasi mikroorganisme, komposisi media, suhu inkubasi, dan waktu inkubasi (Schlegel & Schmidt 1994). Mekanisme kerja senyawa yang bersifat antimikroba ada beberapa cara, yaitu merusak dinding sel mikroorganisme sehingga menyebabkan terjadinya lisis, mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, menyebabkan terjadinya denaturasi protein sel, dan menghambat kerja enzim di dalam sel (Pelczar & Chan 2005). Senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai antimikroba adalah fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen, dan senyawa amonium kuartener. Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba.
Komponen fenol juga dapat mendenaturasi
enzim yang
bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Pelczar & Chan 2005). Ciri-ciri antibakteri yang baik adalah (Pelczar & Chan 2005): 1) Mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. 2) Substansi itu h m s dapat larut dalam air atau pelarut-pelarut lain sampai pada taraf yang diperlukan. 3) Perubahan yang tejadi pada substansi itu bila dibiarkan beberapa lama harus seminimal mungkm dan tidak boleh mengakibatkan kehilangan sifat antimikrobialnya dengan nyata.
4) Tidak bersifat racun bagi manusia maupun hewan lain.
5) Komposisinya harus seragam sehingga bahan aktihya selalu terdapat pada setiap aplikasi.
6) Tidak bergabung dengan bahan organik. banyak disinfektan bergabung dengan
protein atau bahan organik lain apabiia disinfektan semacam itu
digunakan di dalam keadaan yang banyak mengandung bahan organik, maka sebagian besar dari disinfektan itu akan menjadi W, 7) Aktivitas antimikrobial pada suhu kamar atau pada suhu tubuh.
8) Kemampuan untuk menembus. 9) Tidak menimbullcan karat dan warna; 10)Kemampuanmenghllangkan bau yang kurang sedap.
11)Kemampuan sebagai deterjen, suatu disinfektan yang juga merupakan detejen mempunyai keuntungan bahwa efehya sebagai pembersih memperbaiki keefektifamya sebagai disinfektan; 12)Ketersediaan dan biaya
Uji Toksisitas Toksisitas merupakan indikator yang sangat berguna dalam kaitamya dengan aktivitas biologi.
Toksisitas memberikan arahan yang penting terhadap adanya
senyawa aktif secara farmakologi dan senyawa antim~kroba(Meyer et al. 1982). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui toksisitas senyawa adalah dengan metode Brine Shrimp Lethal Toxicity (BSLT). Secara umum metode BSLT dilakukan untuk memprediksi toksisitas suatu bahan dan digunakan untuk mendeteksi toksin&ngal, logam berat, toksin sianobakteria, dan aktivitas pestisida. Metode ini biasanya dilakukan dalam uji pendahuluan untuk penapisan aktivitas farmakologis pada produk alam (Carballo et al. 2002 ;Guerrero et al. 2004). Tingkat penetasan telur (seperti setelah 48 jam perlakuan dengan minyak prootelinm, pestisida, Polychlorinated biphenyls PCBs) dan pencemar lingkungan yang lain atau setelah perlakuan dengan bahan karsinogenik dapat digunakan untuk mendeteksi adanya racun dalam suatu bahan. Tingkat kematian naupli pada berbagai tahap perkembangan hidupnya sering digunakan penelitian uji toksisitas. Stadia larva yang paling umum digunakan adalah larva 24-48 jam setelah menetas. Pada stadia lebih tua dari naupli atau stadia artemia dewasa juga biasa digunakan sebagai organisme penyeleksi. Konsentrasi letal untuk kematian 50 % populasi naupli setelah 6 jam perlakuan (akut LCso) atau konsentrasi letal untuk kematian 50 % populasi
naupli setelah 24 jam perlakuan (kronik LCso) dapat diartikan sebagai ukuran toksisitas kandungan racun dalam suatu bahan. Waktu pilihan ditentukan oleh daya serap dari suatu ekstrak. Ekstrak polar dalam perlakuannya membutuhkan waktu yang pendek, sedangkan untuk ekstrak nonpolar dengan konsentrasi yang lebih rendah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan ekstrak polar (Meyer et al. 1982). Tabel 3. menyajikan kategori toksisitas suatu bahan.
Tabel 3. Kategori toksisitas bahan Kategori
Lcso (~s/ml)
Sangat toksik
< 30
Toksik
30-1000
Tidak toksik
>I000
Sumber : Meyer et al. (1982)
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) biasa dilakukan sebagai tahap pendahuluan dalam penapisan bahan-bahan yang diperkirakan memiliki sifat antitumor atau antikanker sebelum melangkah kepada uji in vitro menggunakan sel kanker lestari (Widjhati et al. 2004). Metode BSLT merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik, yaitu dengan uji toksisitas terhadap larva udang dari A. salina Leach. Metode ini sering digunakan untuk penapisan awal terhadap senyawa aktif yang terkandung di dalam ekseak tanaman karena murah, cepat, mudah (tidak perlu kondisi aseptis) dan dapat dipercaya (Meyer
et ~1.1982).Lebih dari itu uji larva udang A. salina ini juga digunakan untuk uji awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor. Dengan kata lain, uji ini mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antikanker (Anderson 1991).
Freshney (2000), diacu dalam Astuti et al. (2005) juga
menyebutkan bahwa uji sitotoksisitas sudah banyak digunakan untuk mencari dan senyawa potensial untuk dikembangkan sebagai obat, kosmetik, dann antikanker. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa uji BSLT bersifat mudah dilakukan, cepat, biayanya murah, dapat dilakukan di dalam laboratorium, dan memiliki tingkat kepercayaan tinggi dibandingkan dengan uji in vibo menggunakan sel lestari yang memerlukan biaya sangat mahal dan media serta keterampilan khusus (Meyer et al. 1982).
Artemia salina Artemia salina atau brine shrimp termasuk golongan udang yang hidup planktomk di perairan berkadar garam tinggi hingga 300 permil. Di perairan dengan kadar garam 300 permil hanya beberapa jenis bakteri serta alga yang dapat bertahan hidup. Artemia salina menghasilkan siste bila lingkungannya memburuk dengan kadar garam lebih dari 150 permil dan kandungan oksigen rendah. Ukuran A. salina yang baru menetas panjangnya sekitar 15 mikrogram (Mudjiman 1988). Suhu lingkungan yang dikehendaki antara 5-30 OC dengan kadar oksigen terlarut sekitar 3 mgtl. Sebagai plankton A. salina tidak dapat mempertahankan diri dari gangguan musuh atau pemangsa sebab tidak memiliki alat atau cara mempertahankan diri.
Makanan A. salina terdiri dari detritus bahan organik (sisa-sisa jasad renik), ganggang renik, bakteri dan cendawan (ragi laut), Namun dalam pemeliharaannya, makanan A. salina dapat bempa katul padi, tepung beras, terigu, tepung kedelai atau ragi (Mudjiman 1988) Artemia salina dikatakan dewasa bila telah bemsia 141 hari, A. salina hidup
sampai enam bulan, yang betina dapat bertelur setiap 4-5 hari sekali dengan jumlah 50-300 telur setiap kali bertelur. Telur-telur tersebut akan menetas dalam kurun waktu 24-36 jam, lalu menjadi larva atau naupli. Telur A. salina dapat diperoleh di toko-toko akuarium atau di tempat pembenihan udang, karena telur ini juga digunakan sebagai pakan untuk ikan-ikantropis. Telur A. salina ini disimpan selama beberapa tahun pada tempat yang kering (Mudjiman 1988). Ketersediaan telur, kemudahan dalam menetaskan telur menjadi larva, pertumbuhan yang cepat dari naupli dan relatif mudah dalam mempertahankan populasi dalam kondisi laboratorium membuat kondisi A. salina merupakan hewan percobaan yang efektif clan sederhana dalam ilmu biologi dan toksikologi. Artemia salina sering digunakan dalam penelitian, sederhana dan yang terpenting
tidak mahal, dan mudah diproduksi (Meyer et al. 1982). Faktor LingkungadHabitat Penanaman Karang lunak Sinrilaria sp dan Lobopl~ytr~m sp terhadap Prodnksi Senyawa Bioaktif Karang Lunak Faktor lingkungan laut yang mempengaruhi kandungan senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh organismenya antara lain seperti kadar garam, rendahnya intensitas cahaya, adanya ams maupun kompetisi yang h a t mendorong organisme laut menghasilkan metabolit sekunder yang berbeda dengan organisme darat (Murniasih 2001). Lingkungan laut sangat mempengaruhi keaktifan senyawa bioaktif berupa metabolit sekunder yang dihasilkan biotanya. Tingkat keragaman yang tinggi dan keunikkan senyawa baru yang ditemukan pada organisme laut mempakan pengamh dari tingginya dari biodiversitas organisme laut. Hubungan ekologi dengan keaktifan senyawa yang dihasilkannya dapat dibuktikan dengan melihat kecendemngan bahwa sumber terbesar substansi bioaktif berasal dari organisme laut di daerah t~opik,
khususnya daerah h d o Pasifik Paul, 1992). Proksch (2002) menambahkan bahwa bahan alami laut dihasilkan oleh organisme perairan dangkal. Perairan tropis merupakan tempat yang mengagumkan dengan beragamnya habitat yang mengisi serta organisme yang menyusunnya. Colin dan Arneson (1995) mengemukakan bahwa perairan daerah tropis dicirikan salah satunya dengan suhu perairan yang tidak pemah dibawah 6 8 ' ~ (~o'c), kondisi ini menggambarkan perairan hangat daerah tropis dipengaruhi oleh pengaruh sinar matahari secara langsung dan pola angin musiman yang menggerakkan arus utama serta fluktuasi pasang surut. Lingkungan laut sangat mempengaruhi keaktifan dari metabolit sekunder yang dihasilkan dari biotanya (Paul 1992). Temraz et al. (2006) memperkuat pernyataan Paul (1992) dengan mengemukakan bahwa organisme laut menghasilkan beberapa senyawa yang berpotensi sebagai bahan obat (potential novel drugs) karena kondisi lingkungan yang unik seperti besarnya kekuatan ionik, tingkat cahaya yang rendah, suhu perairan yang dingin atau hangat dan tekanan. William et al. (1989), diacu dalam Mumiasih (2005) juga memperkuat bukti bahwa produksi senyawa bioaktif oleh organisme sebagai respon terhadap lingkungannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fleury et al. (2004) menunjukkan bahwa kompetisi interspesifik antara karang sceleractinia dengan karang lunak alcyonacea dan atau perubahan kandungan nutrien lingkungan dapat mempengaruhi konsentrasi metabolit sekunder yang dihasilkan oleh karang lunak alcyonacea. Keseimbangan kompetisi antar spesies hewan karang dapat juga dikontrol oleh beberapa faktor lingkungan seperti suhu, aksi gelombang, cahaya, makanan, nutrien, predasi dan lain sebagainya (ALino et al. 1992; Coll1992, diacu dalam Fleuy et al. 2004). Kompetisi ruang menurut Benahayu dan Loya (1981) adalah salah satu strategi yang dimiliki oleh karang lunak dalam menempati substrat di ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang menyediakan substrat untuk beragam organisme. Kedalaman perairan yang terkena cahaya adalah salah satu sumber pembatas penting, akibatnya terjadi kompetisi interaksi diantara populasi yang akan terbentuk. Harper et al. (2001) melaporkan bahwa produksi metabolit sekunder dari
spons merupakan kompensasi akibat interaksi dengan Lingkungan biotik, abiotik dan sebagai senjata kirnia terhadap predator. Salah satu pemicu produksi senyawa terpene, poliketida dan alkaloid oleh spons adalah adanya kompetisi dengan koral dan untuk mencegah infeksi bakteri patogen. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara beberapa variabel spasial pada produksi senyawa bioaktif seperti kedalaman dan geografi. Variasi komposisi dan konsentrasi senyawa metabolit yang dihas~lkanoleh Gorgonacea jenis Briareum asbestinum diantaranya pada kedalaman dan struktur geografis yang berbeda (Harvell et al. 1993). Harvell et al. (1993) mendapati konsentrasi senyawa diterpene lebih tinggi pada koloni karang lunak yang tumbuh di perairan yang
lebih dalam (deeper colonies).
Tingginya konsentrasi senyawa
diterpene pada koloni karang lunak dijelaskan karena adanya kemungkman rendahnya Iaju pertumbuhan sehingga kelebihan karbohidrat digunakan untuk memproduksi bahan alami (natzrralproducts). Produksi bahan alami mempakan kompensasi dari rendahnya laju pertumbuhan untuk mengatasi laju predasi yang akan berakibat pada kehilangan jaringan. Hasil yang sama juga diperlihatkan oleh hasil penelitian Kelman et al. (2000) yaitu produksi senyawa calamenene lebih tinggi oleh koloni karang lunak Parelythropodium fulvun~fulvum yang dikoIeksi di perairan yang lebih dalam jika dibandingkan produksi senyawa yang sama dari jenis yang sama namun dikoleksi dari perairan dangkal. Temuan yang berbeda dikemukakan oleh Soedhaxma et al. (2005) yaitu bioaktivitas ekstrak jenis karang lunak hasil koleksi di perairan Pulau Pramuka di kedalaman 3 dan 10 meter terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus cenderung semakin rendah apabila lokasinya semakin menjauhi daratan utama. Bioaktivitas yang diperlihatkan oleh Sinularia sp dari kedalaman 10 m (6,42 mm) dan Lobophytum sp dari kedalaman 3 m (3,39 mm) merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan jenis yang sama pada kedalaman pengkoleksian karang lunak uji.