PEMINDAHAN IBUKOTA KABUPATEN TASIKMALAYA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS*) ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A. Sejarawan Fakultas Sastra Unpad
PENDAHULUAN
Historis (sejarah) dalam judul makalah ini memiliki dua pengertian. Pertama, sejarah Kabupaten Tasikmalaya. Kedua, sejarah daerah yang akan dipilih sebagai ibukota baru kabupaten tersebut. Pertanyaan mendasar terhadap masalah
itu
memperhatikan
adalah, aspek
mengapa sejarah?
pemindahan Jawabannya
ibukota adalah
kabupaten karena
perlu sejarah
menunjukkan pengalaman penting manusia di masa lampau. Pengalaman itu sangat bermanfaat untuk dijadikan pedoman dalam menghadapi masalah masa kini. Sejarah merupakan suatu proses yang ber-kesinambungan. Kabupaten Tasikmalaya dengan kondisi seperti sekarang ini adalah hasil perubahan dari masa-masa sebelumnya. Demikian pula, bagaimana kehidupan kabupaten di masa mendatang, teoretis akan tergantung dari perubahan di masa kini. Dengan kata lain, sejarah mencakup tiga dimensi waktu, yaitu masa lampau (past), masa kini (present), dan masa yang akan datang (future). Atas dasar itulah
*) Makalah dipresentasikan dalam “Seminar Pemilihan Ibukota Kabupaten Tasikmalaya” tanggal 31 Maret 2003 di Caffe Sinta, Tasikmalaya.
1
2 Bung Karno (almarhum) beramanah agar “jangan sekalikali meninggalkan sejarah” (“Jasmerah”). Dimensi sejarah dan amanah Bung Karno tersebut mengandung arti, sejarah memiliki fungsi edukatif. Bahwa sejarah memiliki fungsi edukatif, juga tercermin dari beberapa ungkapan. “Belajarlah dari sejarah!”. “Sejarah adalah ‘guru’ yang paling baik”. “Sejarah adalah obor kebenaran” (“History is the torch of truth” kata Cicero, sejarawan Yunani). Sejarah juga memiliki kegunaan praktis-pragmatis. Hasil kajian sejarah dapat digunakan oleh para pejabat atau pemimpin masyarakat sebagai acuan dasar dalam membuat kebijakan mengenai suatu masalah. Apabila hal-hal tersebut dikaitkan dengan rencana pemindahan ibukota Kabupaten Tasikmalaya, berarti dalam proses merealisasikan rencana itu, perlu dipahami masalah yang dihadapi dalam pemindahan ibukota kabupaten sebelumnya. Hal itu antara lain dimaksudkan untuk menghindari atau mengatasi masalah yang merupakan faktor penyebab timbulnya kendala. Pada sisi lain, sejarah daerah calon ibukota baru pun perlu dikaji. Kajian itu perlu dilakukan terutama untuk memahami perubahan kondisi sosial daerah setempat, termasuk sikap atau sifat dan budaya masyarakat, aspirasi masyarakat, dan prospek di masa depan. Dalam hal ini, sejarah lebih merupakan pendekatan yang digunakan dalam kajian sosial budaya.
3 SEJARAH PERPINDAHAN IBUKOTA
Sejak masyarakat kita mengenal bentuk pemerintahan, tempat pusat pemerintahan merupakan bagian penting yang berkaitan erat dengan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, pemilihan lokasi pusat pemerintahan tidak sembarangan, melainkan hasil pertimbangan secara seksama. Sejarah menunjukkan, sekalipun tempat yang dipilih sebagai pusat pemerintahan adalah hasil pertimbangan yang seksama, tetapi pusat pemerintahan ada kalanya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Pemindahan pusat pemerintahan terjadi karena berbagai alasan atau pertimbangan, baik menyangkut kepentingan strategi maupun manyangkut masalah politik dan kepentingan sosial ekonomi. Dalam sejarah Kabupaten Tasikmalaya pun, perpindahan ibukota bukan hal yang aneh. Sampai sekarang, Kabupaten Tasikmalaya yang semula bernama Kabupaten Sukapura, telah mengalami enam kali perpindahan ibukota. Apabila rencana pemindahan ibukota yang sekarang dalam proses, kemudian terlaksana, berarti perpindahan yang ke tujuh kali. Berdasarkan fakta sejarahnya, Kabupaten Sukapura dibentuk oleh Sultan Agung raja Mataram (1613 – 1645) bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Bandung dan Parakanmuncang1). Ketiga kabupaten itu dibentuk sekitar pertengahan abad ke-17, berdasarkan surat piagam Sultan Agung bertanggal 9 Muharam tahun Alip (penanggalan Jawa-Islam). Khusus pembentukan Kabupaten Sukapura dinyatakan pula dalam piagam Sultan 1)
Kabupaten Parakanmuncang dihapuskan tahun 1813 (de Haan, I, 1910).
4 Agung bertanggal 9 Muharam tahun Jim Akhir2). Ketiga kabupaten tersebut dibentuk oleh Sultan Agung, karena sejak tahun 1620 Priangan berada di bawah pengaruh Mataram. Semula
Kabupaten
Sukapura
beribukota
di
Dayeuh
Tengah
(Sukakerta), sebuah tempat di sebelah utara Salopa. Sejalan dengan situasi dan kondisi zaman yang berpengaruh terhadap pemerintahan pribumi, ibukota kabupaten berpindah-pindah. Dari Dayeuh Tengah pindah ke Leuwi Loa di tepi Sungai Ciwulan. Beberapa tahun kemudian – diduga sekitar akhir abad ke-18 – pusat pemerintahan pindah lagi ke Kampung Empang (sekarang daerah Sukaraja). Tahun 1832 ibukota kabupaten pindah lagi ke Pasirpanjang (perpindahan sementara). Dari Pasiprpanjang, ibukota kabupaten pindah ke Manonjaya. Tahun 1830-an, Kabupaten Sukapura yang wilayahnya sudah bertambah luas, dipecah menjadi tiga bagian (afdeling). Tahun 1901, ibukota Kabupaten Sukapura pindah lagi ke Tasikmalaya, dan nama kabupaten diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya (1913). Pada masa pemerintahan tradisional (sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20), pemilihan tempat untuk pusat pemerintahan pribumi, baik pemerintahan kerajaan maupun kabupaten di Tatar Sunda, harus memenuhi persyaratan menurut kepercayaan waktu itu. Pertama, lahan untuk pusat 2)
Terhadap tanggal 9 Muharam tahun Alip terdapat dua penafsiran. F. de Haan (ilmuwan Belanda) menafsirakan tanggal itu menjadi tanggal 20 April 1641. Akan tetapi Prof. Dr. Mr. Sukanto dan Dr. J. Brandes menafsirkan tanggal 9 Muharam tahun Alip sama dengan tanggal 16 Juli 1633 Masehi (de Haan, III, 1912 dan Widjajakusumah, 1961). Menurut versi Sukapura, tanggal 9 Muharam tahun Jim akhir sama dengan tanggal 26 Juli 1632 Masehi. Akan tetapi versi lain (berdasarkan perhitungan sistem windu dari Ir. Marsito), tanggal 9 Muharam tahun Jim akhir bertepatan dengan tanggal 30 April 1640 (Sunardjo et al., 1978 cf. de Haan, III, 1912).
5 pemerintahan harus seperti garuda ngupuk (burung garuda mengibaskan sayapnya di tanah). Kedua, lahan itu harus bahe ngaler-wetan (landai ke arah timur-laut). Ketiga, deukeut pangguyangan badak putih (dekat dengan kubangan badak putih). Maksud ungkapan itu adalah, pertama, lahan bakal ibukota harus memiliki ketinggian yang cukup, agar tidak menjadi sasaran banjir di musim hujan. Kedua, landai ke arah timur-laut, agar lahan banyak menerima sinar matahari pagi yang sangat baik untuk kehidupan dan kesehatan. Ketiga, dekat dengan sumber air, karena air sangat penting untuk kehidupan. Dengan kata lain, lahan bakal pusat pemerintahan harus baik dari berbagai segi, baik letak maupun kondisi dan potensinya. Ketiga faktor tersebut selalu diperhatikan dalam pemindahan ibukota Kabupaten Sukapura yang berkali-kali terjadi. Hal itu berarti, dahulu aspek fisik merupakan faktor utama yang dipertimbangkan dalam pemilihan tempat untuk ibukota kabupaten. Sejalan masyarakat,
dengan pemilihan
perkembangan tempat
pemerintahan
untuk
pusat
dan
kehidupan
pemerintahan,
selain
memperhatikan aspek fisik, termasuk letak strategis tempat, kondisi sosial ekonomi dan budaya pun menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan. Hal itu antara lain terjadi dalam pemindahan ibukota Keresidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung (pertengahan tahun 1864). Semula, yang dimaksud letak strategis pusat pemerintahan adalah tempat itu berada di bagian tengah wilayah pemerintahan. Setelah prasarana transportasi berupa jalan darat berkembang, letak strategis tempat lebih
6 mengandung arti tempat itu dapat dijangkau dari beberapa arah. Faktor-faktor penting yang menjadi per-timbangan dalam pemindahan ibukota Kabupaten Sukapura dari Manonjaya ke Tasikmalaya (1901), adalah letak strategis tempat dalam pengertian yang disebut terakhir, kondisi fisik, kepentingan ekonomi3), dan sosial budaya. Pada waktu itu, kehidupan di kota Tasikmalaya lebih baik dan wilayahnya lebih luas bila di-bandingkan dengan Manonjaya. Sekarang (2003) pusat pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya akan dipindahkan lagi ke tempat lain. Dalam menentukan pilihan tempat untuk bakal ibukota baru itu, faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pemindahan ibukota Kabupaten Sukapura masa lalu, setidaknya perpindahan dari Manonjaya ke Tasikmalaya (1901), perlu dijadikan bahan pelajaran atau sumber acuan. Tujuannya adalah untuk memahami faktor apa yang menunjang dan faktor mana yang menjadi kendala dalam pemindahan pusat pemerintahan. Dalam menentukan pilihan tempat untuk ibukota baru yang sekarang, selain aspek fisik yang telah diteliti oleh LAPI-ITB, aspek kesejarahan yang mencakup masalah sosial budaya pun perlu dipertimbangkan. Aspek yang disebut terakhir perlu diperhatikan, karena pembangunan fisik daerah bukan hanya dimaksudkan untuk pemerintahan, tetapi bertujuan pula untuk mengembangkan kondisi sosial ekonomi, bahkan budaya.
3) Waktu itu Tasikmalaya menjadi tempat pengumpulan nila yang banyak ditanam di daerah Galunggung.
7 SEJARAH DAERAH CALON IBUKOTA BARU
Pada bagian awal pembicaraan telah dikemukakan, bahwa sejarah daerah calon ibukota juga perlu dipahami (dikaji). Mengapa hal itu perlu dilakukan? Sejarah daerah calon ibukota perlu diketahui untuk memahami masalah aspek fisik dan non-fisik daerah yang bersangkutan. Pertama, untuk memahami bagaimana proses perubahan daerah itu. Apakah berubah (berkembang) cukup cepat atau lambat? Apa Faktor-faktor penyebabnya? Kedua, untuk memahami bagaimana sikap, aspirasi, dan peran masyarakat dalam proses perubahan daerahnya. Aspek sosial budaya mana yang berubah (berkembang) cukup cepat dan aspek mana yang perubahannya lambat? Faktor-faktor apa penyebabnya? Ketiga, kondisi sosial budaya saat ini di daerah-daerah alternatif calon ibukota, juga perlu dikaji. Hal itu terutama dimaksudkan untuk memahami sikap, budaya, aspirasi masyarakat daerah setempat, dan hal lain yang berhubungan dengan pemindahan ibukota. Pemahaman akan hal-hal tersebut sangatlah penting, agar Pemda tidak banyak menghadapi kendala dalam realisasi pemindahan ibukota kabupaten dan pembangunan selanjutnya. Dalam hal ini, perlu dihindari kasus seperti yang terjadi di Propinsi Banten4). Keempat,
penelitian
sejarah
daerah
juga
dimaksudkan
untuk
mengetahui, apakah di daerah calon ibukota terdapat situs sejarah atau tidak. Hal itu perlu mendapat perhatian, karena di Tasikmalaya, antara lain di daerah 4)
Dalam proses pencarian lahan untuk ibukota propinsi itu, terjadi konflik berkepanjangan antara Pemda, DPRD, dan pemilik tanah. Sementara itu, timbul dugaan terjadinya mark up dana pembebasan tanah bakal ibukota propinsi tersebut (PR, 15 November 2002).
8 Karangnunggal, Singaparna, dan Ciawi, pernah ditemukan benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala. Apabila di daerah calon ibukota terdapat situs sejarah, perlu dikaji, seberapa tinggi nilai kesejarahannya untuk ilmu pengetahuan. Perhatian terhadap unsur kesejarahan itu perlu dilakukan, untuk menghindari musnahnya situs sejarah atau benda cagar budaya yang harus dipelihara, sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya No. 5 Tahun 19925). Apabila pembangunan fisik mengganggu situs sejarah atau benda cagar budaya, akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan pemerintah, seperti kasus yang menimpa situs Rancamaya di daerah Bogor dan kasus di daerah lain. Kasus situs Rancamaya menunjukkan bahwa pemerintah daerah hendaknya memahami sejarah daerahnya sendiri. Bila tidak, ada kalanya terjadi keputusan yang keliru mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan kesejarahan. Misalnya, -- maaf – penetapan tanggal 21 Agustus 1111 sebagai hari jadi Kabupaten Tasikmalaya. Penetapan itu keliru karena sumber-sumber sejarah tidak ada yang menyatakan, bahwa pada tahun 1111 atau abad ke-12 di Tatar Sunda sudah berdiri pemerintahan kabupaten. Seperti telah dikemukakan, fakta sejarah yang kuat (hard fact) menunjukkan, bahwa Kabupaten Sukapura (sekarang Tasikmalaya) dibentuk pada sekitar pertengahan abad ke-17. Oleh karena itu, hari jadi Kabupaten Tasikmalaya perlu dikaji ulang.
5)
Revisi dari “Monumenten Ordonantie” 1931/1934.
9 PENUTUP
a. Simpulan Dengan mengacu pada sejarah pemilihan tempat untuk pusat pemerintahan dan perpindahan ibukota kabupaten di masa lalu, dapat disimpulkan, bahwa pemilihan tempat untuk ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya perlu didasarkan atas hasil kajian dua aspek. Pertama, hasil kajian aspek fisik, yang telah dilakukan oleh LAPI-ITB. Kedua, hasil kajian sejarah mencakup aspek sosial budaya, atau kajian sosial budaya dengan pendekatan sejarah. Kajian kesejarahan dan sosial budaya akan memperkuat/menunjang hasil kajian asfek fisik. Perpaduan hasil kajian kedua aspek itu akan merupakan dasar yang kuat bagi Pemda dalam menentukan pilihan tempat, dan dasar yang kuat pula bagi DPRD dalam membuat keputusan mengenai penetapan tempat bakal ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya. Hal itu berarti, pemilihan dan penetapan tempat untuk ibukota baru itu dilakukan secara objektif dan proporsional.
b. Rekomandasi 1) Penelitian kesejarahan dan sosial budaya, setidaknya perlu dilakukan di daerah Mangunreja-Singaparna dan Karangnunggal-Bantarkalong. Alasan atau
dasar
pertimbangannya
adalah,
jauh
sebelum
LAPI-ITB
merekomendasikan Mangun-reja-Singaparna sebagai daerah paling layak untuk calon ibukota baru, daerah Karangnunggal-Bantarkalong telah ditetapkan dalam Perda No. 8 Tahun 1999 tentang Sub Wilayah
10 Pengembangan (SWP), sebagai calon pusat pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya (PR, 1 Februari 2003). Sampai sekarang, Perda tersebut tidak dicabut alias masih berlaku (PR, 25 Maret 2003). Dengan demikian, Karangnunggal-Bantarkalong diperlakukan secara adil. 2) Adanya desakan, baik dari pemerintah pusat maupun dari pihak masyarakat, agar tempat untuk ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya segera ditetapkan (PR, 25 Maret 2003), maka peneltian sejarah dan sosial budaya hendaknya segera dilakukan. Tentu peneltian itu harus dilakukan oleh tenaga profesional dalam jangka waktu yang cukup memadai, agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
11 SUMBER ACUAN
de Haan, F. 1910, 1912. Priangan; De Preanger-Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811. Deel I & III. Batavia : Kolff. Hardjasaputra, A. Sobana. 2001. Eksplorasi Sejarah Lokal; Studi Kasus Masalah Hari Jadi Kabupaten Bandung dan Tasikmalaya. Makalah dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Sejarah. Direktorat Sejarah. Dirjen. Sejarah dan Purbakala. Dep. Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta, 28-30 Oktober 2001. Pikiran Rakyat (Harian Umum). 2002-2003. 15 November 2002 1 Februari 2003 25 Maret 2003 Sunardjo, Unang et al. 1978. Hari Jadi Tasikmalaya. Cetakan Pertama. Tasikmalaya : (Pemda Tk. II Kabupaten Tasikmalaya). Widjajakusumah, R.D. Asikin. 1961. Tina Babad Pasundan; Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Padjadjaran Dina Taun 1580. Bandung : Kalawarta Kudjang.